Cdk 106 Malaria

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 106 Malaria as PDF for free.

More details

  • Words: 32,783
  • Pages: 65
Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125 – 913X

106. Malaria Januari 1996

Karya Sriwidodo WS

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel 5. Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias, Sumatera Utara – Rita Marleta Dewi Harijani A. Marwoto, Sustriayu Nalim, Sekartuti, Emiliana Tjitra 10. Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka, Flores. Penelitian Entomologi 2: Bionomik Anopheles Setelah Gempa Bumi – Sahat Ompusunggu, Harijani A. Marwoto, Mursiatno, Rita Marleta Dewi, Marvel Renny 15. Kepadatan Vektor dan Penderita Malaria di Desa Waiklibang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur Sebelum dan Sesudah Gempa Bumi – Barodji, Widiarti, Ima Nurisa, Sumardi, Tri Suwarjono, Sutopo 19. Anopheles hyrcanus group dan Potensinya Sebagai Vektor Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias, Sumatera Utara - Damar Tri Boewono MS, Sustriayu Nalim 26. Uji Patogenisitas Bacillus thuringiensis yang Diisolasi dan Tanah Pohon Kelengkeng (Euphoria longan) terhadap Jentik Nyamuk Vektor di Laboratorium – Blondine Ch.P., Umi Widyastuti, Subiantoro, Sukarno 30. Pengujian Metode Larvasida Teknar 1500 S terhadap Larva Anopheles maculatus yang Merupakan Vektor Malaria di Daerah Aliran Sungai – Amrul Munif, Pranoto 34. Pengaruh Pasase terhadap Gejala Klinis Mencit strain Swiss derived yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA – Rabea Pangerti Jekti, Edhie Sulaksono, Siti Sundari Yuwono, Rita Marleta Dewi Subahagio 37. Keadaan Hematologis Mencit yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA – Rita Marleta Dewi Harijani A. Marwoto, Emiliana Tjitra, Suwarni, Rabea Pangerti Jekti 41. Cendawan Patogen pada Larva C. quinquefasciatus yang Berasal dari Kubangan Air Limbah Rumah Tangga untuk Menunjang Pengendalian Hayati – Amrul Munif 45. Penentuan Vektor Filariasis bancrofti di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur – Barodji, Sumardi, Tri Suwardjono, Rahardjo, Heru Prijanto, Sutopo 49. Nyeri Kepala Tipe Tegang – Budi Riyanto W. 52. Pengaruh Pemberian Obat Kumur Mengandung Fluor terhadap Perkembangan Karies Gigi Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan – Monang Panjaitan 55. Hambatan Pembentukan Plak Gigi dengan Larutan Obat Kumur Hexetidine 0,1% (secara klinis) – Prijantojo 60. English Summary 61. Pengalaman Praktek 62. Abstrak 64. RPPIK

Malaria kembali menjadi pokok bahasan dalam terbitan Cermin Dunia Kedokteran di awal tahun 1996 ini, penelitian-penelitian sebagian besar dilaksanakan di daerah Indonesia Timur, selain juga di Nias – daerah-daerah yang relatif masih jauh dan keramaian. Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa para Sejawat di kota-kota besar tidak perlu mengikuti perkembangannya. Edisi ini juga memuat dua artikel mengenai kesehatan gigi; muah-mudahan menambah wawasan Sejawat bukan dokter gigi dalam al peningkatan kesehatan gigi dan mulut. Selamat Tahun Baru 1996.

Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Cermin Dunia Kedokteran International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PELAKSANA Sriwidodo WS

PENCETAK PT Temprint

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

– Prof. DR. Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

DEWAN REDAKSI

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary THE POTENCY OF ANOPHELES HYRCANUS GROUP AS MALARIA VECTOR IN TELUK DALAM, NIAS Damar Tri Boowono, Sustriayu Nalim Vector Research Station, Health Research and Development Board, Salatiga, Indonesia

A two-year study was conducted starting on May 1992, to observe the seasonal fluctuation, biting activity and the potency of An. hyrcanus spesies group as malaria vector in Teluk Dalam district, Nias island, North Sumatera province. Regular standard collecting methods such as night landing and morning collections - indoor and outdoor, revealed 4 species of An. hyrcanus group, e.g. An. Sinensis, An. crawfordi, An. nigerrimus and An, ped/taeniatus. The peak biting activity occured at 20.00 to 21.00 hours, decreasing gradually until morning. The An. hyrcanus group had the highest dominance rate and vectorial capacity among Anopheles revealed in the study areas,respectively belween 4,016.25-8,492.31 and 0.67-2.73. Seasonal density of the An.hyrcanusspecies group and An. sundaicus supports the prevalence of malaria cases in Teluk Dalam village, which occurs throughout the year. No sporozoites found through the conventional salivary gland dissecting method on 1,347 Anopheles spp. Further investigations will be conducted using the EllSA

test to confirm the vector, Cermin Dunia Kedokt. 1996, 106:19-25 Dtb,Sn

PATHOGENICITY TEST OF BACILLUS THURINGIENSIS ISOLATED FROM EUPHORIA LONGAN SOIL ON VECTOR LARVAE IN LABORATORY SETTING Blondine Ch.P., Umi Widyastuti, Subiantoro, Sukarno

sure) and 3 isolates (48 – hour exposure) were pathogenic on more than 50% Culex quinque fasciatus. This study showed the possibility of utilization of B. thuringiensis as a biological control for mosquito larvae population. Cermin Dunia Kedokt. 1996; 106: 26-9 Bcp, Uw, S, S

Vector Control Research Station, Health Research and Development Board, Department of Health. Salatiga Indonesia

TEST OF TEKNAR 1500S LARVICIDAL APPLICATION METHOD AN. MACULATUS LARVAE IN RIVER STREAM

A study to evaluate the potency of bacteriae from soil sample as biological vector control against mosquito larvae, was conducted at the Vector Control Research Station at Salatiga. Protein crystals were detected by ChIlco8 & Wigley’s method (1988). Samples of soil from 5 different locations in Kotamadya Salatiga, were evaluated. Total of 6 samples collected from 2 habitats (hole and branch of Euphoria Iongan). 1 sample from Butuh, 2 samples from Canden Timur, 1 sample from Karangduwet, 1 sample from Banyuputih and 1 sample from Imam Bonjol. Bacteriological evaluation showed that 4 out of 10 B.thuringiensis isolates and 5 out of 10 B. thuringiensis were pathogenic on more than 50% Aedes aegypti instar III larvae afer 24 and 48 hours of exposure. One isolate (24-hour expo-

Amrul Munif*, Pranoto** * Health Ecology Research Centre Boord of Health Research and Development Department of Health. Jakarta Indonesia * Subdirectorate of Disease-transmitting Insects. Departmentof Health, Jakarta Indonesia

A study to evaluate the efficacy of biological larvacide Teknar 1500S which contains 1500 S AAU of Baccilus thuringiensis israeliensis (Bti) serotype H-14 crystal delta endotoxin against Anopheles maculatus larvae was conducted at Kokap district, Kulon Progo Regency in Yogyakarta Province. Three methods of application was compared, i.e.; spraying, using plastic bags and pouring the larvicide on small stream. The design of the study was Split Plot design with six replication. The larval densities were measured one day before application: 1,8. 14, and 21 days after (Bersambung ke halaman, 60

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Artikel HASIL PENELITIAN

Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias, Sumatera Utara Rita Marleta D, Harijani AM, Sustriayu N., Sekartuti, Emiliana Tjitra Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka uji coba Bacillus thuringiensis israelensis sebagai sarana pemberantasan penyakit malaria di Pulau Nias, telah dilakukan pemeriksaan klinis, parasitologis, entomologis dan resistensi malaria terhadap obat di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias. Pemeriksaan parasitologis dan klinis dilakukan pada semua kelompok umur terutama murid sekolah dasar. Secara keseluruhan ditemukan adanya daerah hipoendemis dan mesoendemis. Kasus malaria terutama ditemukan di desa-desa dengan persawahan. Hasil penelitian entomologis dan resistensi terhadap obat-obat malaria akan dilaporkan secara terpisah.

PENDAHULUAN Malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar di Indonesia, terutama untuk daerah luar Jawa–Bali. Untuk meningkatkan efektifitas usaha-usaha pemberantasan diperlukan data epidemiologi malaria yang lengkap dan masing-masing ekosistem yang ada. Sampai saat ini data tersebut masih sangat terbatas, terutama untuk daerah luar Jawa–Bali Pulau Nias adalah suatu pulau kecil di kawasan barat Indonesia yang merupakan daerah wisata yang potensial dan sedang dikembangkan. Kabupaten Nias terdiri dari 13 kecamatan dengan 106.965 rumah tangga, 588.642 jiwa (Sensus Penduduk tahun 1990). Upaya pemberantasan malaria dewasa ini ditujukan terhadap parasit dan nyamuk malaria. Disesuaikan dengan kemampuan yang terbatas maka upaya pemberantasan malaria diprioritaskan pada daerah-daerah wisata dan pembangunan ekonomi. Dan seluruh kecamatan, yang merupakan lokasi prioritas dan ada upaya pemberantasan adalah Kecamatan Teluk Dalam, Lolowau dan Gunung Sitoli(1). Dari tiga kecamatan tersebut, Teluk Dalam merupakan daerah wisata yang utama.

Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi data parasitologi dan klinis. METODOLOGI SPVP telah menentukan daerah penelitiannya yaitu di desa Lagundri, Teluk Dalam dan Hilinifaoso. Pada bulan Oktober 1992 SPVP telah melakukan survai pendahuluan, maka pada tahun 1994/1995 ini survai malariometrik terutama dilakukan ditiga desa tersebut, kemudian dikembangkan di beberapa desa lain dengan kasus malaria klinistinggi. Pemeriksaan parasitologis dan klinis (limpa) dilakukan pada semua kelompok umur terutama murid sekolah dasar kelas I,II dan III. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara standar dari penderita positif malaria diberikan pengobatan dengan cara standar pula(2,3). Kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk penelitian resistensi terhadap klorokuin akan dilaporkan secara terpisah. HASIL Desa Lagundri merupakan daerah pantai, tempat perindukan utama di desa ini adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi pohon nipah, air tersedia sepanjang tahun.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

5

Dan dua kali survai malaria didapatkan Parasite Rate (PR) 0–9th= 0% dan Spleen Rate (SR) 2–9th= 2,18% pada bulan Mei, sedangkan pada bulan Nopember nilai PR = 7,78% dan SR = 1,11% (Tabel 1).

dan SR = 59,83% pada bulan Pebruari 1995 (Tabel 3). Desa Hilisimaetano merupakan dataran tinggi di daerah pedalaman, sekitar pemukiman berupa hutan campuran, tidak ditemukan tempat perindukan utama. Hasil survai pada bulan

Tabel 1. Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Lagundri, Kecamatan Teluk Dalam, Nias Mei dan Nopember 1994 Golongan umur

Waktu (bin)

0-11 bulan

10 Mei 16 Nop 12-23 bulan 10 Mei 16 Nop 2- 4 tahun 10 Mei 16 Nop 5- 9 tahun 10 Mei 16 Nop I0-14 tahun l0 Met 16 Nop ≥ 15 tahun 10 Mei 16 Nop Jumlah 10 Met 16 Nop

Jumiah Darah Limpa SR Jumlah PR dipedipebesar % positif PF riksa riksa 4 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 1 20 5 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 19 1 5,26 19 0 0 0 12 0 0 12 1 0 0 58 0 0 58 0 0 0 78 1 1,28 78 6 7,69 0 24 1 8,13 24 0 0 0 13 2 0 13 4 30,77 1 32 0 0 32 0 0 0 32 0 0 31 2 6,25 1 142 4 281 142 0 0 0 136 1 0,74 136 13 9,56 2

Desa Teluk Dalam juga merupakan daerah pantai; desa ini merupakan ibukota kecamatan dan pelabuhan sehingga lalu lintas masyarakatlebih tinggi. Tempatperindukan utama di desa ini adalah sawah dan saluran irigasi yang airnya sangat tergantung pada hujan, di samping itu juga ditemukan lagun. Dan dua kali survai malaria didapatkan PR = 2,72% dan SR = 1,36% pada bulan Mel sedangkan pada bulan November nilai PR = 3,08% dan SR = 14,3% (Tabel 2). Tabel 2.

PM MIX

0 0 0 0 0 1 0 6 0 3 0 1 0 11

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Mei 1994 dapat dilihat dalam Tabel 4 dengan nilai PR = 0% dan SR = 0%. Desa Bawomataluo, merupakan desa tradisional dan daerah wisata yang sedang dikembangkan. Terletak di dataran tinggi pedalaman dengan tanaman utama karet dan cengkeh. Di sekitar pemukiman tidak diketemukan tempat perindukan utama. Hasil survai malaria bulan Nopember 1994 mendapatkan PR = 0% dan SR = 0% (Tabel 5).

Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Teluk Dalam, Kecamatan Teluk Dalam, Nias Mei dan Nopember 1994

Golongan umur 0–11 bulan

Waktu (bin)

8– 9 Mei 14–15 Nop 12–23 bulan 8– 9 Mei 14–15 Nop 2– 4 tahun 8– 9 Mei 14–15 Nop 5– 9 tahun 8– 9 Mei 14–15 Nop 10–14 tahun 8– 9 Mei 14–15 Nop > 15 tahun 8– 9 Mei 14–15 Nop Jumlah 8– 9 Mei 14–15 Nop

Jumlah Limpa dipe– besar riksa 0 4 0 1 7 17 140 200 118 89 89 44 349 155

0 0 0 0 0 5 2 26 3 6 0 0 5 37

SR % 0 0 0 0 0 294 143 13 2 54 6,74 0 0 1,41 10,42

Desa Hilinifaoso letaknya berdekatan dengan Teluk Dalam, tempat perindukan utama di desa ini adalah sawah dengan saluran irigasi. Dan survai malaria yang dilakukan tiga kali didapatkan PR = 6,09% dan SR = 10,34% pada bulan Mei, PR = 6,93% dan SR = 10,9% pada bulan November serta PR = 17,5%.

6

Spesies PV

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Darah Jumlah PR dipe– positif riksa 0 4 0 1 7 17 140 210 118 89 89 44 354 365

0 0 0 0 0 0 4 7 1 3 2 5 7 15

0 0 0 0 0 0 2 85 1,31 0 84 3 37 2 24 11,37 197 4,11

Spesies PF

PV

PM

MIX

0 0 0 0 0 0 2 1 1 0 1 4 4 5

0 0 0 0 0 0 1 6 0 3 1

0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 10

Desa Bawonahono, letaknya berdekatan dengan Bawornataluo. Desa ini merupakan dataran tinggi dengan komoditi utama karet dan kelapa hibrida. Di sekitar pemukiman tidak ditemukan tempat perindukan utama. Hasil survai malaria bulan Nopember 1994 mendapatkan PR = 0% dan SR = 0% (Tabel 6).

Tabel 3.

Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Hilinifaoso, Kecamatan Teluk Dalam Kab. Nias, Mel dan Nopember dan Pebruari 1994/95

Golongan umur 0-11 bulan

12-23 bulan 2- 4 tahun 5- 9 tahun 10-14 tahun 15 tahun

Jumlah

Tabel 4.

Waktu (bin) Mei Nop Peb Mei Nop Peb Mei Nop Peb Mei Nop Peb Mei Nop Peb Mei Nop Peb Mei Nop Peb

Jumlah Darah Limpa SR Jumlah dipedipePR besar % positif riksa riksa 3 1 0 3 0 4 15 4 18 14 97

0 0 0 1 0 2 1 1 4 2 10 66 3 10 34 0 0 9 7 21 115

22 49 65 55 29 70 112 180 256

0 0 0 33,33 0 50 6,66 25 22,22 14,28 10,31 66,67 13,63 20,41 52 31 0 0 12 86 6,25 11,67 44,92

Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Hilisimaetano, Kecamatan Teluk Dalam Nias, Mei 1994.

Jumlah Limpa SR dipebesar % riksa 0– 1 bulan 4 0 0 12–23 4 0 0 2–4 tahun 9 0 0 5–9 tahun 12 0 0 10–14tahun 17 0 0 ≥ 15 tahun 93 0 0 Golongan umur

Jumlah

139

0

0

Darah Jumlah PR dipepositif riksa 4 0 0 4 0 0 9 0 0 12 0 0 17 I 5,88 93 0 0 139

I

0,71

6,73

106

1

0 94

PM

MIX

0 0 100 0 0 0 0 0 0 0 25 0 6 66 0 0 0 14 29 1 7,14 0 7,22 3 192 6 9 09 1 12,24 3 21 54 6 0 0 17,24 2 16 67 7 3,57 1 10,56 8 18,77 20

0 1 0 0 0 1 1 0 2 1 4 12 1 3 8 0 3 5 3 11 28

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0. 0 0 1

Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Bawonahono Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Mei 1994

PV

0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 1 0

0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0

0

1

0

0

Jumlah

Jumlah Darah Limpa SR Jumlah PR dipe– dipe– hesar % positif P1T riksa riksa 0–11 bulan 10 3 30 10 0 0 0 12–23 bulan 5 2 40 5 0 0 0 2–4 tahun 9 0 0 9 0 0 0 5–9 tahun 9 0 0 9 0 0 0 10–14 tahun 9 1 11,11 9 0 0 0 ≥ 15tahun 62 1 1,61 64 1 1,56 0 7

PV

PF

Golongan umur

104

Tabel 6.

0 1 0 0 0 1 1 0 3 1 7 19 2 6 14 0 5 12 4 19 49

PF

Jumlah Limpa SR dipe– besar % riksa 0–11 bulan 3 0 0 12–23 bulan 3 0 0 2– 4 tahun 13 0 0 5–9 tahun 8 0 0 10–14tahun 4 0 0 15 tahun 76 0 0

Spesies PM MIX

Tabe1 5. Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam, Nias. November 1994

Jumlah

3 1 0 3 0 4 15 4 21 14 97 99 22 49 65 55 29 72 112 180 261

Spesies

0

Spesies PV

PM M1X

0 0 0 0 0 1

0 0 0 0 0 0

1

0

0 0 0 0 0 0

Desa Sorake, merupakan daerah pantal tempat berselancar (surfing) yang bersebelahan dengan desa Lagundri. Tempat perindukan yang utama di desa ini berupa sawah dengan irigasi non teknis. Hasil pemeriksaan darah penduduk yang dilakukan pada bulan Pebruari 1995 mendapatkan PR = 2,86% (Tabel 7). Pemeriksaan limpa tidak ditakukan.

Golongan umur

107

0

0

Darah Jumlah PR dipe– positif riksa 3 0 0 3 0 0 13 0 0 8 0 0 4 1 25 76 1 1,32 107

2

0 02

Spesies PF

PV

0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 1 1

PM MIX 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0

0

2

0

0

Tabel 7. Hasil pemeriksaan darah penduduk desa Sorake Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Pebruari 1992 Golongan umur 0–11 bulan 12–23 bulan 2–4 tahun 5–9 tahun 10–14 tahun 15 tahun Jumlah

Jumlah dipe– riksa 5 2 12 23 11 61 114

Spesies

Jumlah positif

PR

0 0 0 1 1 0 2

PF

PV

PM

M1X

0 0 0 4,35 9,09 0

0 0 0 0 0 0

0 0 0 1 1 0

0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0

1,75

0

2

0

0

Desa Lazafahowu, merupakan dataran rendah yang bersebelahan dengan Hilinifaoso. Keadaan ekosistem di desa ini menyerupai desa Hilinifaoso namun lokasi penduduk menyebar di sekitar persawahan sedangkan masyarakat Hilinifaoso berkelompok. Hasil survai malaria bulan Pebruari 1995 mendapatkan data PR = 3,33% dan SR = 27,12% (Tabel 8).

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

7

Tabel 8.

Hasil pemeriksaan darah dan limpa pada masyarakat Desa Lazafahowu, Kecamatan Teluk Dalam, Nias 1994

Golongan umur

Jumlah Limpa SR dipebesar % riksa

Darah Jumlah PR dipepositif % riksa

Spesies PF

PV

PM MIX

0–11 bulan 12–23 bulan 2– 4 tahun 5–9 tahun 10–14 tahun ≥ 15 tahun

7 10 22 37 17 66

2 3 3 13 5 3

28,57 30 13,64 35,14 29,41 4,55

7 10 22 38 19 68

0 0 1 1 3 4

0 0 4,55 2,63 15,79 5,88

0 0 1 0 3 2

0 0 0 0 1 1

0 0 0 0 0 0

0 0 0 1 0 0

Jumlah

159

29

18,24

164

9

5,49

6

2

0

1

PEMBAHASAN Di tiga desa utama (Lagundri, Teluk Dalam dan Hilinifaoso) ternyata dari dua kali survai (awal Mei dan akhir Nopember 1994) terjadi peningkatan jumlah kasus malaria, tertinggi di desa Hilinifaoso. Rendahnya kasus malaria pada survai pertama sesuai dengan hasil penelitian SPVP; pada saat tersebut (bulan MeI) curah hujan dan kepadat populasi nyamuk tersangka vektor rendah, curah hujan meningkat mulai bulan Agustus/September dan populasi tersangka vektor meningkat pada bulan September/ Oktober(4), menyebabkan kasus malaria pada bulan Oktober/ Nopember meningkat. Di Kecamatan Teluk Dalam ini ternyata Plasmodium vivax lebih dominan dan P1. falciparum sehingga tingginya kasus malaria pada survai ke dua mungkin akibat relaps penderita malaria vivax. Jumlah kasus malaria falciparum berkaitan dengan tingkat sensitifitas parasit terhadap obat (khususnya kiorokuin). Cara pengobatan yang tidak tepat menyebabkan sensitifitas parasit terhadap obat malaria menurun(3). Keadaan ekonomi masyarakat Nias umumnya kurang, pendidikan/pengetahuan rendah dan klorokuin mudah didapat di toko obat menyebabkan masyarakat melakukan pengobatan sendiri (jika terasa gejala panas dan sakit kepala) dengan cara yang tidak tepat. Di samping itu efek samping berupa pusing, vertigo, mual, muntah dan sakit perut menyebabkan pengobatan tidak sesuai aturan. Secara umum dan seluruh survai yang dilakukan ternyata pada delapan desa (Tabel 1 sld 8) kasus malaria tertinggi terjadi pada anak usia 5 s/d 14 tahun. Hal ini sesuai pula dengan hasil survai pendahuluan yang dilakukan oleh SPVP pada bulan Oktober 1992 (komunikasi pribadi). Mengingat mayoritas masyarakat Nias adalah pemeluk agama Kristen/Katholik (kecuali di desa Lagundri) dengan banyak kegiatan agama (doa bersama dan latihan koor) yang dilakukan pada malam hari (mereka keluar rumah) kemungkinan transmisi terjadi pada saat itu. Kegiatan tersebut terutama dilakukan oleh anak usia remaja (10 s/d 15 tahun) sehingga mungkin hal ini yang menyebabkan kasus malaria tertinggi pada usia tersebut. Di samping itu masyarakat Nias mempunyai kebiasaan dudukduduk di luar pada malam hari (terutama di desa Hilinifaoso) sehingga infeksi malaria mulai terjadi pada usia lebih rendah (1–4 tahun); di samping itu anak usia mulai 7 tahun sudah mulai membantu kegiatan orang tua di kebun/sawah. Splenomegali adalab akibat suatu fenomena imunologi

8

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

berupa hiperaktifasi limpa. Dan hasil pemeriksaan limpa ternyata pembesaran limpa banyak dijumpai pula pada anak usia 5 s/d 14 tahun (sesuai dengan tingginya kasus malaria). Mengingat keadaan geografi kecamatan m beragam (pantai, pedalaman/persawahan dan bukit/dataran tinggi) dengan ekosistem yang berbeda, maka kemungkinan vektor malaria berbeda. Sampai saat ini SPVP belum menemukan vektor potensial, sedangkan nyamuk tersangka vektor adalah Anopheles hyrcanus group. Berdasarkan keadaan ekosistem/geografi ternyata dari 8 desa dengan kasus malaria klinis tinggi (komunikasi pribadi dengan kepala Puskesmas Teluk Dalam) pemeriksaan parasitologi mendapatkan kasus malaria terutama di desa dengan persawahan (Hilinifaoso dan Lazafahowu). Sedangkan di desa Teluk Dalam, tingginya kasus malaria mungkin disebabkan karena letak desa Teluk Dalam dengan Hilinifaoso dan Lazafahowu berdekatan/bersebelahan (Gambar 2) sehingga kemungkinan terjadi transmisi. Di samping itu banyak masyarakat Teluk Dalam yang memiliki sawah (bertani) di desa Hilinifaoso. Desa Teluk Dalam merupakan ibukota kecamatan dan pusat kegiatan serta pelabuhan sehingga lalu lintas masyarakat di sini paling tinggi. Dari laporan SPVP ternyata selain Anopheles hyrcanus group sebagai nyamuk tersangka vektor An. Sundaicus juga mempunyai dominasi yang cukup tinggi, sehingga malaria di Teluk Dalam merupakan masalah. Seringnya masyarakat Lagundri berkunjung ke Teluk Dalam menyebabkan kemungkinan terjadinya penularan. Keadaan malaria di daerah tinggi relatif rendah dan dan wawancara dengan penderita ternyata dalam 1 bulan terakhir mereka berkunjung (menginap) ke desa lain. Dari hasil penelitian dan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa daerah bukit/dataran tinggi dan pantai termasuk daerah hipoendemis malaria (SR < 10%) sedangkan di daerah pedalaman/persawahan termasuk daerah mesoendemis (SR > 10%). KESIMPULAN 1) Umumnya kasus malaria terjadi pada usia 5 s/d 14 tahun.

2) Kebiasaan masyarakat Nias melakukan kegiatan ke luar rumah pada malam hari menyebabkan penularan malaria lebih memungkinkan. 3) Malaria di Kecamatan Teluk Dalam masih merupakan masalah kesehatan, walaupun secara keseluruhan merupakan daerah hipoendemis, namun ada beberapa daerah yang mesoendemis, terutama di daerah persawahan. 4) Secara keseluruhan spesies parasit malaria yang dominan adalah Plasmodium vivax. 5) Tingginya kasus malaria di kecamatan ini mungkin karena gagalnya pengobatan akibat pengetahuan dan keadaan ekonomi yang relatif rendah. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih yang sangat besar kepada Dr. Moh. Khaerani dari Puskesmas Teluk Dalam dan Dr. Kasim dari Puskesmas Lagundri yang telah/selalu membantu dalam penyiapan dan pelaksanaan semua kegiaran di lapangan. Selain itu rasa terima kasih kami sampaikan pula kepada Bapak Dokabu Nias Dr. Ambarita yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat terlaksana dengan baik. Terima kasih pula kepada J. K. Baird, PhD., Sdr. Sofyan Masbar dan Dr. Hasan Basri dan NAMRU-2 Jakarta yang telah banyak membantu penelitian ini. Tak lupa kami sampaikan rasa terima kasih kepada Sdi. Sri Supriyanto, Sdr. Mujiyono dan Sdr. Budi yang telah membantu pelaksanaan Penelitian ini.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

Kanwil Kesehatan Sumatera Utara. Laporan Program Pemberantasan malaria di Kabupaten Dati II Nias. 1994. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dit Jen PPM & PLP. Epidemiologi. Malaria. 1991. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Dit Jen PPM & PLP. Pengobatan Malaria. 1991. Boewono DT, Sustriayu N. Anopheles hvrcanus species group dan potensinya sebagai vektor malaria, di Kecamatan Teluk Dalam, Nias 199

Never mind who was your grandfather. What are you?

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

9

ULASAN

Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka, Flores Penelitian Entomologi-3: Bionomik Anopheles Setelah Gempa Bumi Sahat Ompusunggu, Harijani A. Marwoto, Mursiatno, Rita Marleta Dewi, Marvel Renny Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Gempa bumi yang mengguncang pulau Flores pada akhir tahun 1992 menyebabkan perubahan fisik lingkungan yang besar di pulau itu sehingga diduga juga bisa menyebabkan perubahan fauna nyamuk Anopheles serta perubahan perilakunya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fauna dan perilaku nyamuk Anopheles setelah gempa bumi. Survei dilakukan dua kali yang meliputi penangkapan nyamuk dewasa yang sedang menggigit orang dan istirahat pada malam hari baik di dalam maupun luar rumah dan pencarian larva. Terdapat 6 spesies Anopheles yang ditemukan, yaitu: An. sundaicus, An. aconitus, An. subpictus, An. barbirostris, An. rnaculatus dan An. vagus dengan kepadatan tertinggi dimiliki oleh An. barbirostris. Seluruhjenis nyamuk itu lebih senang menggigit orang di luar rumah daripada di dalam rumah. Tiga spesies vektor di daerah itu: An. sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris sesudah mënggigit lebih senang istirahat di dalam rumah daripada di luar rumah. Seluruh jenis nyamuk tersebut kebanyakan berumur pendek. Anopheles sundaicus menggigit sepanjang malam dengan puncaknya pada tengah malam, An. subpictus hanya menggigit pada awal-awal malam tiba dan A. barbirostris mirip dengan aktifitas menggigit An. sundaicus namun mencapai puncaknya segera sesudah tengah malam. Jenis perindukan nyamukAnopheles adalah: lagun, sawah, genangan dan tepian sungai.

PENDAHULUAN Selama tahun 1991–1993 telah dilakukan penelitian pemberantasan malaria di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NIT) yang tujuannya untuk mengetahui apakah penyemprotan rumah dengan insektisida perlu dilakukan dua kali dalam setahun sebagaimana yang dilakukan dalam program pemberantasan malaria, atau cukup satu kali saja. Beberapa hasil yang diperoleh dalam penelitian tersebut berupa data-data dasar antara lain bahwa di kabupaten Sikka terdapat 3 macam daerah ekosistim yang berkaitan dengan malaria yaitu daerah Pantai Utara, Pedalaman dan Pantai Selatan. Di seluruh daerah tersebut ditemukan

10

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

11 spesies Anopheles(1) dan 4 spesies di antaranya telah diketahui selama ini sebagai vektor malaria di daerah lain Indonesia, yaitu Anopheles sundaicus, An. subpictus, An. barbirostris dan An Aconitus(2). Dan keempat spesies tersebut,. tiga spesies terbukti positif sporozoit (confirmed vectors) di daerah itu, yaitu An. sundaicus (di Pantai Selatan dan Pedalaman), An. barbirostris (di Pantai Selatan dan Pedalaman) dan An. subpictus (di Pantai Utara)(3). Beberapa sifat perilaku nyamuk tersebut juga telah diketahui, baik perilaku berkembang biak, menggigit maupun istirahat. Gempa bumi yang mengguncang pulau Flores dan sekitar-

nya pada bulan Desember 1992 diduga menyebabkan perubahan lingkungan fisik yang besar di pulau itu, terutama kabupaten Sikka, sebab daerah ini merupakan kabupaten yang paling dekat dengan pusat gempa dibanding kabupaten lain yang ada dipulau Flores. Perubahan lingkungan fisik yang besar ini selanjutnya diduga dapat menyebabkan perubahan bionomik vektor, baik tempat perindukan, populasi/kerapatan maupun pola menggigitnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran bionomik nyamuk Anopheles setelah terjadinya gempa bumi di kabupaten Sikka. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, yang meliputi 6 desa, yaitu Watumilok dan Wairbleler di Pantai Utara, Koting A dan Tilang di Pedalaman dan Korowuwu serta Mbengu di Pantai Selatan. Seluruh desa tersebut merupakan lokasi penelitian yang sama dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Survei entomologis telah dilakukan sebanyak dua kali di masing-masing desa yaitu pada bulan September 1993 dan Maret 1994. Survei meliputi penangkapan nyamuk dewasa yang hinggap di tubuh orang selama 40 menit setiap jam semalam penuh (antara pukul 18.00–06.00) baik di dalam maupun di luar rumah). Juga dilakukan penangkapan nyamuk yang istirahat di dalam rumah dan di sekitar kandang ternak selama 10 menit setiap jam semalam penuh. Di samping itu dilakukan juga pencarian dan penangkapan nyamuk dewasa yang istirahat di dalam rumah pada 10 rumah dan di luar rumah pada pagi hari antara pukul 06.00–11.00 serta pencarian larva nyamuk. Setelah diidentifikasi, terhadap nyamuk dewasa betina yang termasuk Anopheles yang tertangkap malam hari dibedah ovariumnya, sedangkan terhadap nyamuk yang tertangkap pada pagi hari dibedakan antara yang penuh darah (blood fed), setengah penuh (half fed) dan tidak mengandung darah. HASIL Hasil penangkapan nyamuk dewasa pada malam hari dengan gabungan seluruh cara pengobatan (4 cara) dapat dilihat pada Tabel 1. Terdapat 6 spesies Anopheles yang ditemukan yaitu: An. sundaicus, An. aconitus, An. subpictus, An. barbirostris, An. maculatus dan An. vagus dengan An. barbirostris sebagai spesies yang dominan. Dilihat dan distribusinya menurut desa, nampak spesies tertentu cenderung hanya terdapat di desa tertentu, misalnya An. sundaicus dan An. subpictus hanya terdapat di daerah pantai (desa Wairblhler di Pantai Utara dan Tabel 1.

desa Korowuwu di Pantai Selatan), An. aconitus terdapat baik di pedalaman (desa Tiulang) maupun pantai selatan (desa Korowuwu dan Mbengu), An. barbirostris dan An. vagus terdapat di seluruh ekosistim dan An. maculatus hanya terdapat di pedalaman (desa Tilang). Dilihat dan distribusi menurut waktu penangkapan (Tabel 2) ternyata bahwa rata-rata jumlah An. sundaicus, An. Aconitus dan An. subpictus menunjukkan peningkatan yang besar pada bulan Maret 1994 dibanding pada bulan September 1993, sedangkan spesies lainnya meskipun meningkat atau menurun, namun tidak begitu tinggi. Tabel 2.

Jumlah rata-rata tiap jenis nyamuk Anopheles yang tertangkap dalam dua kali penangkapan di 6 desa di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 1993-1994 Spesies

Jumlah rata-rata September 1993

Maret 1994

1 12 0 39 4 5

43 55 10 31 0 7

An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. barbirostris An. maculatus An. vagus

Perilaku menggigit menunjukkan bahwa seluruh jenis Anopheles yang ditemukan lebih banyak tertangkap menggigit manusia di luar rumah dan pada di dalam rumah (Tabel 3). Perilaku istirahat menunjukkan bahwa An.sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris lebih banyak tertangkap istirahat di dalam rumah dan pada di kandang ternak, sedangkan An. aconitus, An. maculatus dan An. vagus sebaliknya. Jumlah masing-masing jenis Anopheles dengan status parousnya dapat dilihat pada Tabel 4. Ternyata seluruh jenis Anopheles tersebut lebih banyak yang telah pernah bertelur (parous) dan pada yang belum pernah bertelur (nulliparous) atau yang sedang bertelur (gravid). Aktifitas menggigit menurut waktu (jam) menunjukkan bahwa An. sundaicus cenderung Iebih banyak menggigit pada tengah malam meskipun telah mulai menggigit begitu. Malam tiba namun menurun menjelang subuh (Tabel 5 dan Gambar 1). Adapun An. aconitus langsung banyak menggigit begitu malam tiba namun menurun drastis 3 jam kemudian dan selanjutnya meningkat tajam pada jam 22.00 lalu berangsur-angsur menurun menjelang subuh. An. subpictus hanya menggigit pada awal-

Jumlah masing-masing jenis Anopheles dewasa yang tertangkap pada malam hari dengan gabungan seluruh cara penangkapan di 6 desa di Kabupaten Sikka, Flores, 1993–1994

Desa

An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. barbirostris

An. maculatus

An. vagus

Wairbleler Watumilok Koting A Tilang Korowuwu Mbengu

33 0 0 0 11 0

0 0 0 65 10 1

5 0 0 0 5 0

2 1 0 97 8 0

0 0 0 4 0 0

1 0 2 8 6 0

Jumlah

44

76

10

108

4

17

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

11

Tabel 3.

Jumlah masing-masing jenis Anopheles yang tertangkap menurut cara penangkapan di 6 desa di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 1993–1994 Jumlah dan (%) yang menggigit

Spesies

Di dalam Di luar Di dalam Di kandang Jumlah Jumlah rumah umah rumah ternak

An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. An. maculatus An vagus *Jumlah; Tabel 4.

b

Jumlah dan (%) yang istirahat

8" (22,2)h 6 (12,0) 0 (0,0) 10 (22,2) 0 (0,0) 2 (20,0)

28 (77,8) 44 (880) 8 (100) 35 (77,8) 1 (100) 8 (80,0)

36 (100) 50 (100) 8 (100) 45 (100) 1 (100) 10 (100)

5 (62,5) 6 (23,1) 2 (100) 39 (61,9) 0 (0,0) 1 (14,3)

3 (37,5) 20 (76,9) 0 (0,0) 24 (38,1) 3 (100) 6 (85,7)

8 (100) 26 (100) 2 (100) 63 (100) 3 (100) 7 (100)

Persen terhadap jumlah yang menggigit atau istirahat.

Jam Penangkapan

Jumlah masing-masing jenis Anopheles yang tertangkap pada malam hari dengan status parousnya di 6 desa di Kabupaten Sikka, NTT, 1993–1994

Gambar 1. Grafik aktifitas menggigit 3 spesies vektor malaria di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 1993–1994. Tabel 6.

Spesies An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. barbirostris An. maculatus An. vagus

Jumlah dan (%) dengan status parous Dibedah Parous Nulliparous Gravid 42 31, 4 7 (100) (73,8)b (9,5) (16,7) 73 33 32 8 (100) (45,2) (43,8) (11,0) 10 5 5 0 (100) (50,0) (50,0) (0,0) 67 46 16 5 (100) (68,7) (23,9) (7,4) 4 3 1 0 (100) (75,0) (25,0) (0,0) 9 5 1 3 (100) (55,6) (11,1) (33,3)

Jenis-jenis tempat perindukan masing-masing jenis Anopheles di 6 desa di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 1993–1994

Spesies An. sundaicus An. aconitus An..subpictus An. barbirostris An. maculatus An. vagus An. indefinitus

Lagun

Sawah

Sungai

Genangan

? – + ? – ? –

– + – + ? + +

? ? ? ? ? + –

– – – + – + –

+ = ditemukan larva; – = tidak ditemukan larva; ? = belum ditemukan larva.

*Jumlah; bPersen terhadap jumlah yang dibedah.

awal malam tiba sedangkan An. barbirostris mulai menggigit begitu malam tiba dan secara berangsur-angsur meningkat hingga tengah malam dan selanjutnya berangsur-angsur menurun menjelang subuh. Hasil penangkapan nyamuk yang istirahat di dalam rumah pada pagi hari menunjukkan hanya satu ekorAn. barbirostris di Korowuwu yang pernab tertangkap, sedangkan di luar rumah

belum pernah berhasil ditangkap nyamuk Anopheles sama sekali. Hasil pencarian larva nyamuk dapat dilihat pada Tabel 6. Terdapat 4 jenis tempat perindukan yang potensial di daerah itu meskipun belum seluruh jenis larva berhasil ditemukan. Anopheles barbirostris dan An. vagus merupakan spesies yang paling banyak jenis tempat perindukannya. PEMBAHASAN Gempa bumi yang mengguncang pulau Flores pada bulan Desember 1992 telah menyebabkan banyak tanah-tanah longsor

Tabel 5. Rata-rata jumlah masing-masing jenis Anopheles yang tertangkap sewaktu menggigit menurut waktu (jam) penangkapan di 6 desa di Kabupaten Sikka, Flores, NTT, 1993–1994 Spesies An. sundaicus An. aconitus An. subpictus An. barbirostris An. maculatus An. vugus

Rata-rata jumlah yang tertangkap menggigit orang menurut jam 18– 0 13 0 3 0 3

19– 0 1 3 1 0 0I

20– 3 0 2 3 0 0

21– 3 4 2 2 1 0

22– 5 10 0 4 0 1

23– 4 7 0 3 0 2

24– 11 3 0 3 0 1

01– 4 4 0 8 0 1

02– 2 1 1 6 0 0

03– 0 2 0 7 0 0

04– 5 5 0 3 0 1

05– 0 0 0 2 0 0

di samping gelombang yang sangat besar, kesemuanya menyebabkan perubahan fisik pantai maupun pedalaman. Perubahan fisik yang besar tersebut diduga menyebabkan perubahan lingkungan hidup nyamuk-nyamuk penular malaria dan selanjutnya akan mempengaruhi bionomiknya. Pada Tabel 1 terlihat bahwa hanya 6 spesies nyamuk Anopheles dewasa yang ditemukan dan An. barbirostris merupakan spesies yang paling dominan. Seperti diketahui bahwa 5 di antara 6 spesies yang ditemukan tersebut merupakan vektor malaria atau filariasis di Indonesia. Anopheles sundaicus dan An. subpictus adalah vektor malaria di berbagai propinsi di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur, sedangkan An. aconitus sejauh ini hanya terbukti sebagai vektor malaria di pulau Jawa saja. Sebaliknya An. barbirostris belum pernah terbukti sebagai vektor malaria di pulau Jawa, namun telah terbukti di Sulawesi, Irian Jaya dan Nusa Tenggara Timur di samping sebagai vektor Brugia malayi periodik nokturna di Sulawesi Tengah dan Selatan dan vektor B. timori di F1ores Di kabupaten Sikka sendiri, ada 3 spesies: An. barbirostris, An. sundaicus dan An. subpictus yang terbukti mengandung sporozoit parasit malaria Di kawasan lain pulau Flores sebelumnya telah terbukti pula bahwa An. barbirostris mengandung sporozoit parasit malaria(7) Sebagai vektor malaria, An. maculatus hanya terbatas di Sumatera Utara dan Jawa Tengah saja meskipun secara eksperimen bisa mengandung larva stadium tiga W. bancrofti Meskipun belum pernah terbukti sebagai vektor malaria, namun di Flores An. vagus telah terbukti sebagai vektor W. bancrofti(4). Seluruh jenis nyamuk Anopheles yang ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 1) juga ditemukan dalam pengamatan selama 3 tahun (1991–1993) di daerah itu. Dua spesies Anopheles lainnya yang belum ditemukan dalam penelitian ini adalah An. kocki dan An. indefinitus. Tidak tertangkapnya kedua spesies ini bisa disebabkan oleh terlalu sedikitnya frekuensi penangkapan nyamuk sehingga spesies yang populasinya rendah seperti kedua spesies tersebut menjadi kecil kemungkinannya tertangkap. Dalam penelitian sebelum gempa bumi kedua spesies tersebut di samping jarang ditemukan, populasinyapun sangat rendah. Bahwa kepadatan An. barbirostris menduduki urutan tertinggi di antara seluruh jenis nyamuk Anopheles yang tertangkap di daerah itu juga sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fauna nyamuk di keenam desa yang diteliti tidak berubah sesudah gempa bumi. Rata-rata jumlah An. sundaicus, An. aconitus dan An. subpictus menunjukkan peningkatan yang besar pada bulan Maret 1994 dibanding pada bulan September 1993, sedangkan spesies lainnya meskipun meningkat atau menurun namun tidak begitu tinggi (Tabel 2). Pada penelitian sebelumnya di lokasi yang sama selama tiga tahun, Harijani melaporkan bahwa An. sundaicus mempunyai 2 puncak kepadatan dalam satu tahun yaitu bulan Mei–Juni dan September–November. Hal tersebut sangat berlawanan dengan hasil dalam penelitian ini, sebab jumlah nyamuk dewasa An. sundaicus yang tertangkap pada bulan September 1993 hanya I ekor dan sebaliknya pada bulan Maret 1994 sebanyak 43 ekor. Keadaan yang sedikit berlainan juga diperlihatkan oleh An. subpictus, yang dalam penelitian ini jenis

nyamuk tersebut tidak pernah tertangkap di salah satu desa di Pantai Selatan (Mbengu) dan satu desa di pantai Utara (Watu milok) sedangkan pada penelitian sebelum gempa bumi spesies tersebut ditemukan di seluruh desa yang terletak di pantai. Di samping itu di kedua desa tempat ditemukannya kedua jenis nyamuk ini, saat (waktu) penemuannya pun tidak sama. Hal ini pun diduga di samping disebabkan oleh frekuensi penangkapan yang jauh lebih sedikit dalam penelitian ini, mungkin juga karena pergeseran musim nyamuk, yang juga ada kaitannya dengan tersedianya tempat perindukan. Pada bulan September 1993 (musim kemarau) terlihat bahwa An. barbirostris (salah satu vektor yang telah dikonfirmasi pada penelitian sebelumnya adalah spesies yang dominan, namun pada musim hujan (Maret 1994) spesies yang dominan adalah An. aconitus sedangkan An. barbirostris menempati urutan ke tiga setelah An. sundaicus. Perubahan ini diduga sesuai dengan tersedianya tempat perindukan masing-masing spesies. Dalam penelitian tentang tempat perindukan nyamuk Anopheles sebelum gempa bumi di daerah itu telah diketahui bahwa An. barbirostris mempunyai tempat perindukan segala jenis, baik lagun, sawah, sungai maupun genangan, sedangkan An. sundaicus terutama bertempat perindukan di lagun dan An. aconitus di sawah Dengan lebih bervariasinya tempat perindukan An. barbirostris, maka dapat dimengerti bahwa pada musim kemarau meskipun sawah atau lagun kering namun masih ada genangan atau sungai sebagai tempat perindukan yang tersedia, yang selanjutnya menghasilkan nyamuk dewasa relatif lebih banyak daripada spesies yang hanya mempunyai satu atau dua jenis tempat perindukan. Sebaliknya pada bulan Maret 1994 yang diperkirakan merupakan akhir musim hujan, lagun sudah terbentuk dan sawah sudah ditanami padi sehingga nyamuk dewasa An. sundaicus dan An. aconitus mendominasi spesies lainnya. Dalam Tabel 6 memang larva An. sundaicus belum ditemukan pada lagun, namun hal inipun diduga karena frekuensi pencarian larva yang juga sangat kecil. Seluruh spesies Anopheles yang tertangkap menunjukkan kecenderungan yang lebih senang menggigit manusia di luar rumah daripada di dalam rumah (Tabel 3). ini berarti bahwa penduduk yang mempunyai aktifitas di luar rumah pada malam hari lebih besar kemungkinannya tertular malaria daripada yang berada di dalam rumah. Untuk An. sundaicus dan An. barbirostris kenyataan ini berlawanan dengan hasil penelitian sebelum gempa bumi sedangkan untuk spesies lainnya menunjukkan sifat yang sama. Dalam pengamatan sebelumnya selama hampir dua tahun (1990–1992) ditunjukkan bahwa An. sundaicus dan An. barbirostris lebih senang menggigit di dalam rumah daripada di luar rumah Keadaan inipun diduga bukan karena sudah ada perubahan perilaku menggigit, melainkan karena terlalu sedikitnya frekuensi penangkapan nyamuk dalam penelitian ini sehingga secara kebetulan ditemukan keadaan yang berbeda. Tiga spesies (An. sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris) lebih senang beristirahat di dalam rumah daripada di sekitar kandang ternak sedangkan spesies lainnya sebaliknya. Hal ini berarti bahwa ketiga spesies ini lebih mudah diberantas dengan penyemprotan residu dibanding spesies lainnya. Satu spesies lain-

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

13

nya yang dalam penelitian sebelumnya telah dikonfirmasi sebagai vektor di daerah itu, An. subpictus, meskipun tidak ada yang tertangkap menggigit di dalam rumah belum dapat disimpulkan lebih senang menggigit di luar rumah. Berhubung populasinya sangat rendah, masih dibutuhkan pengamatan lebih lanjut. Hampir seluruh spesies Anopheles yang dibedah menunjukkan lebih banyak yang parous daripada yang nulliparous atau gravid, kecuali An. aconitus yang relatif sama jumlah yang parous dengan yang nulliparous (Tabel 4). Keadaan ini mengisyaratkan bahwa kebanyakan nyamuk-nyamuk yang tertangkap berumur pendek. Aktifitas menggigit ketiga spesies yang berperan sebagai vektor di Kabupaten Sikka (Tabel 5 dan Gambar 1) menunjukkan bahwa mulai malam tiba selalu ada jenis nyamuk yang menggigit penduduk. Kemungkinan mendapat gigitan sesudah lelap tidur (menjelang tengah malam hingga pagi hari) lebih besar dan pada awal-awal malam tiba, sebab dua spesies (An. sundaicus dan An. barbirostris) di samping dominan, aktifitas menggigitnya juga lebih banyak pada waktu-waktu tidur penduduk. Dalam Tabel 6 ditunjukkan hanya 6 spesies larva yang ditemukan, padahal pada penelitian sebelum gempa terdapat 10 spesies Anopheles yang ditemukan di daerah itu. Empat spesies lainnya yang belum pernah ditemukan larvanya dalam penelitian ini adalah An. sundaicus, An. minimus, An. annularis dan An. flavirostris. Belumditemukannyakeempatspesiestersebutdiduga juga disebabkan karena terlalu sedikitnya frekuensi pencarian larva.

menggigit manusia di luar rumah daripada di dalam rumah dan ketiga jenis vektor (An. sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris) seluruhnya lebih senang istirahat di dalam rumah daripada di luar rumah/kandang ternak. 4) Seluruh spesies Anopheles yang ditemukan kebanyakan berumur pendek (sudah pernah bertelur). 5) Aktifitas menggigit menunjukkan An. sundaicus menggigit sepanjang malam dengan puncaknya pada tengah malam, An. subpictus cenderung hanya pada awal-awal malam tiba dan An. barbirostris menggigit sepanjang malam dengan puncaknya segera sesudah tengah malam. 6) Tempat perindukan Anopheles adalah lagun, sawah, sungai dan genangan namun beberapa spesies belum ditemukan tempat perindukannya.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

KESIMPULAN Dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Fauna nyamuk Anopheles dewasa yang ditemukan lebih sedikit (6 spesies) yaitu: An. sundaicus, An. aconitus, An. subpictus, An. barbirostris, An. maculatus dan An. vagus dengan An. barbirostris sebagai spesies yang dominan. 2) Kepadatan An. sundaicus, An. aconitus dan An. subpictus lebih tinggi pada musim hujan daripada musim kemarau sedangkan spesies lainnya relatif sama. 3) Seluruh spesies Anopheles yang ditemukan lebih senang

6. 7. 8. 9.

Harijani AM. Penelitian Pemberantasan Malanadi Kabupaten Sikka, Roses. Laporan Penelitian. Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular Malaria, Entomologi. Departemen Kesehatan RI, Jakarta 1990: 34–40. Harijani AM. Pcnelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka– Flores (Tahun III). Laporan akhir. Pusat Penelitian Penyakit Menular. Badan Litbang Kesehatan, Jakarta 1993. Lie. K.ian Joe. The, distribution of filariasis in Indonesia. A summary of published inforn Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. HIth. 1970; 1(3): 366–376. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT, Purnomo. Anopheles barbirostris (Diptera: Culicidae) as a vector of the timor filaria on Flores island. Preliminary observations. J. Med. Entomol. 1977; 13: 61 1–13. Marwoto HA, Atmosoedjono S. Dewi RM. Penentuan vektor malaria di Flores. Bull. Penelit. Kes. 1992; 20(3): 43–9. Lien JC, Atmosoedjono 5, Usfinit AU, Gundelfinger BF. Observations on natural Plasmodial infections in mosquitoes and a brief survey of mosquito fauna in Belu Regency, Indonesia Timor. J. Med. Entomol. 1975; 12(3): Lee VH, Atmosoedjono S. Dennis DI, Suhaepi A. The Anopheine (Diptera: Culicidae) vectors of malaria and bancroftian filariasis in Flores Island, Indonesia. J. Med. Entomol. 1983; 20(5): 577–78. Ompusunggu S, Marwoto HA, Sulaksono ST, Atmosoedjono S. Suyitno, Mursiatno. Tempat tierindukan Anopheles sp. Penelitian Malaria di Kabupaten Sikka. Penelitian Entomologi –2: Tempat perindukan Anopheles sp. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 94: 44-50.

Never disregard your enemy’s sayings ( BR Haydon)

14

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

HASIL PENELITIAN

Kepadatan Vektor dan Penderita Malaria di Desa Waiklibang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur Sebelum dan Sesudah Gempa Bumi Barodji*, Widiarti*, Ima Nurisa**, Sumardi*, Tn Suwarjono*, Sutopo* * Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Salatiga * * Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Pengamatan situasi kepadatan populasi vektor dan penderita malaria di daerah pantai sebelum dan sesudah gempa bumi di Flores telah dilakukan di desa Waiklibang, ibukota kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa gempa bumi di Flores yang disusul dengan gelombang tsunami (12 Desember 1992) ternyata telah berpengaruh terhadap peningkatan kepadatan populasi nyamuk Anopheles spp. (An. sundaicus, An. subpictus, An.barbirostris dan An.flavirostris) dan penderita malaria. Rata-rata kepadatan nyamuk yang menggigit orang di dalam rumah meningkat dari 0,19 ekor/orang/jam sebelum gempa menjadi 0,92 ekor/orang/jam dan yang menggigit di luar rumah meningkat dari 0,22 ekor/orang/jam menjadi 1,32 ekor/orang/jam. Peningkatan kepadatan nyamuk Anopheles tersebut didominasi oleh nyamuk yang menjadi vektor malaria di daerah-daerah pantai terutama An. sundaicus dan yang kedua An. subpictus. Penderita malaria sesudah gempa meningkat dari 20,77% menjadi 30, 60% dan penderita malaria Plasrnodium falciparum meningkat dari 12,30% menjadi 20,06%.

PENDAHULUAN Kecamatan Tanjung Bunga merupakan salah satu daerah endemis penyakit malaria di Flores Timur, NTT. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan bahwa penderita malaria di kecamatan ini berkisar antara 21,50%-46,84%(1). Penderita malaria di ibukota kecamatan (Waiklibang) bulan Juni 1992 sebesar 20,77%(2). Hasil survai entomologi menunjukkan bahwa di kecamatan ini terdapat 5 spesies nyamuk Anopheles, yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. barbirostris, An. flavirostris dan An. macu1atus Di antara nyamuk Anopheles, An. barbirostris, An. sundaicus dan An. subpictus telah dinyatakan sebagai vektor malaria di Flores dan di pulau-pulau lain di NTT sedang An. maculatus dan An. flavirostris dilaporkan berpotensi sebagai

penular malaria di daerah-daerah pantai(5). Gempa bumi di Flores yang terjadi pada 12 Desember 1992, diikuti gelombang pasang tsunami, di samping telah banyak menelan korban baik jiwa maupun harta benda juga telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan alam khususnya di daerah pantai. Sesudah gempa, sambil menunggu perbaikan rumah-rumah yang hancur, juga karena rasa takut akan terjadi gempa susulan, banyak penduduk yang tidur di luar rumah, baik menggunakan tenda maupun rumah-rumah darurat sehingga mereka kurang terlindungi dan gigitan nyamuk malaria atau nyamuk lainnya. Selain itu meluapnya air laut ke daratan akibat gelombang pasang tsunami telah mencemari air tawar sehingga perairan tersebut berubah menjadi air payau; dengan demikian

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

15

maka perairan payau sesudah gelombang pasang tsunami menjadi bertambah. Bertambahnya perairan payau ini berarti bertambah pula tempat perkembangbiakan vektor malaria (An. sundaicus dan An. subpictus) sehingga dapat meningkatkan populasi vektor malaria tersebut. Kemungkinan peningkatan kepadatan vektor dan kurang terlindunginya penduduk dan gigitan nyamuk malaria sesudah gempa, sangat memurigkinkan peningkatan penderita malaria di daerah-daerah yang dilanda gempa dan gelombang tsunami. Dalam makalah ini dilaporkan kepadatan vektor dan penderita malaria di ibukota kecamatan Tanjung Bunga (desa Waiklibang) sebelum dan sesudah gempa bumi.

Perairan di dusun Waiklibang berupa mata air, sungai kecil yang merupakan aliran mata air, genangan air pada sungai mengering, dan lagun. Sumber air minum berasal dan mata air di gunung yang dialirkan melalui pipa, sumur dan mata air yang ada di dekat pemukiman. Keadaan iklim panas, tanahnya gersang, macam pepohonan di samping semak belukar antara lain adalah kelapa, pinang, pisang, jambu mete dan bakau. Tanaman padi hanya terdapat pada musim hujan. Curah hujan setahun berkisar antara 1052 ml–2010 ml, dengan variasi hari hujan antara 0–30. Musim hujan berlangsung antara bulan Nopember–April, sedang musim kemarau antara bulan Mei–Oktober.

BAHAN DAN CARA KERJA

Cara kerja 1) Penilaian kepadatan vektor Penilaian kepadatan vektor malaria dilakukan 2 minggu sekali dengan penangkapan nyamuk yang menggigit orang, baik di dalam maupun di luar rumah pada malam hari (18.00–24.00). Masing-masing penangkapan dilakukan di dalam dan di luar 4 rumah, dikerjakan oleh 4 orang. Semua nyamuk Anopheles hasil penangkapan diidentifikasi dengan kunci identifikasi yang dibuat oleh O’Connor dan Arwati(6). Penangkapan nyamuk sebelum gempa dilakukan dan bulan Juli–September 1992 dan sesudah gempa dilakukan dan bulan Juli–September 1993. 2) Penilaian penderita malaria Penilaian penderita malaria di desa Waiklibang, dilakukan dengan survai malariometrik di daerah penangkapan nyamuk (Waiklibang dusun III). Survai malariometrik dilakukan dengan mengambil darah tepi penduduk lewat ujung jar Pemeriksaan darah tepi dilakukan dengan cam konvensional dan QBC. Survai malariometnik sebelum gempa dilakukan bulan Juli 1992 dan sesudah gempa bulan Agustus 1993.

Daerah penelitian Penelitian situasi kepadatan vektor dan penderita malaria dilakukan di desa Waiklibang. Desa ini merupakan ibukota kecamatan Tanjung Bunga, terbagi menjadi 3 dusun (Dusun I, Dusun II dan Dusun III). Sebelum dan sesudah gempa desa tersebut (Dusun III) merupakan daerah penilaian penelitian pemberantasan penyakit malaria dan filariasis. Desa Waiklibang terletak di pantai Teluk Hading (Gambar 1); sebelum gempa terdapat 212 rumah dengan penduduk sekitar 1238 jiwa. Pada waktu gempa sebagian besar bangunan di desa ini hancur. Sesudah gempa selain rumah yang hancur direhabilitasi juga dibangun pemukiman barn di dusun Riang Pigang. Pemukiman baru ini dibangun untuk penduduk Waiklibang yang tidak mempunyai rumah. Hasil pemetaan sesudah gempa menunjukkan bahwa di desa Waiklibang terdapat 194 rumah dengan penduduk sekitar 970 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah petani ladang, sedang lainnya adalah nelayan dan penderes pohon lontar.

Gambar 1. Peta Kecamatan Tanjung Bunga dan Lokasi Pangambatan

16

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

HASIL DAN PEMBAHASAN Penilaian kepadatan vektor Hasil penilaian kepadatan vektor malaria Anophe/es spp. (An. sundaicus, An. subpictus, An. barbirostris, dan An. flavirostris) dikemukakan pada Tabel 1, Gambar 2 dan 3. Sedang penilaian kepadatan tiap spesies dikemukakan pada Tabel 2, dan Gambar 4 Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan Anopheles spp. yang menggigit orang di dalam rumah sebelum dan sesudah gempa masing-masing sebesar 0,19 ekor/orang/jam dan 0,92 ekor/orang/jam, sedang menggigit orang di luar numah masing masing 0,22 ekor/orang/jam dan 1,32 ekon/orang/jam. Penilaian kepadatan tiap spesies Anopheles yang menggigit orang menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan sebelum dan sesudah gempa masing-masing 0,01 ekor/orang/jam dan 1,54 ekor/orang/jam untuk An. sundaicus, 0,10 ekor/orang/jam dan 0,55 ekor/orang/jam untuk An. subpictus, 0,27 ekor/orang/jam dan 0,33 ekor/orang/jam untuk An. flavirostris, 0,10 ekon/orang/ jam dan 0,14 ekor/onang/jam untuk An. barbirostris (Tabel 2). Kepadatan populasi vektor tersebut secara keseluruhan

Tabel 1.

Kepadatan Anopheles sp. (per orang/jam) sebelum dan sesudah gempa bumi di desa Waiklibang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur NTT.

Tabel 2.

Menggigit orang Bulan penangkapan Juli Juli Agustus Agustus September September Rata-rata

Di dalam rumah Sebelum 0,57 0,00 0,12 0,24 0,04 0,16 0,19

Sesudah 0,62 0,75 0,92 0,92 0,83 1,46 0,92

Di luar rumah Sebelum 0,58 0,05 0,29 0,16 0,04 0,20 0,22

Sesudah 1,25 0,79 1,21 1,71 0,62 2,33 1,32

Penangkapan nyamuk sebelum gempa bumi dilakukan tahun 1992 dan sesudah gempa dilakukan tahun 1993.

kepadatan (tiap orang/jam)

Gambar 2.

Kepadatan Anopheles sp. Yang menggigit orang di dalam rumah sebelum dan sesudah gempa.

kepadatan (tiap orang/jam)

Rata-rata kepadatan Anopheles spp. (per-orang/jam) yang menggigit orang sebelum dan sesudah gempa Spesies

Sebelum

Sesudah

An. sundaicus An. .cubpictus An. barbirostris An.,flavirostris

0,01 0,10 0,27 0,10

1,54 0,55 0,33 0,14

sesudah gempa meningkat sekitar 5–6 kali (Tabel 1, Gambar 2 dan 3). Peningkatan kepadatan nyamuk Anopheles tersebut didominasi oleh peningkatan kepadatan An. Sundaicus dan sedikit oleh peningkatan kepadatan An. subpictus (Tabel 2, Gambar 4). Kepadatan An. barbirostris dan An. flavirostris sesudah gempa hanya sedikit meningkat, rata-ratanya tidak banyak berbeda bila dibanding dengan sebelum gempa. Peningkatan kepadatanAn. sundaicus yang menggigitorang sangat besar dan rata-rata 0,01 ekor/orang/jam menladi 1,54 ekor/orang/jam sesudah gempa, antara lain karena keberhasilannya dalam mengisap darah dan bertambahnya tempat perindukan spesies tersebut. Sesudah gempa sebagian besar penduduk karena rumahnya hancur dan rasa takut akan terjadi gempa susulan, tidur di luar rumah, di dalam tenda dan di rumah-rumah darurat sehingga kurang terlindungi dari gigitan nyamuk. Keberhasilan nyamuk mengisap darah akan berpengaruh terhadap jumlah telur yang dihasi1kan(7). Semakin banyak nyamuk yang berhasil mengisap darah maka semakin banyak telur yang dihasilkan.Perairan tawar (genangan air tawar) yang tercemar oleh meluapnya air laut ke daratan akibat gelombang pasang tsunami berakibat berubahnya perairan atau genangan air tawar tersebut menjadi perairan payau; kondisi perairan yang demikian merupakan tempat perindukan yang baik bagi An. sundaicus. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada beberapa perairan seperti aliran air dan bak penampungan air tenaga surya yang sebelum gempa tidak mengandung jentik, sesudah gempa ditemukan jentik nyamuk air payau. Semakin banyaknya nyamuk yang mengisap darah, ditunjang dengan tersedianya tempat perindukan yang baik, berakibat terjadinya peningkatan kepadatan populasi nyamuk. PENILAIAN PENDERITA MALARIA Hasil survai malariometrik menunjukkan bahwa sebelum gempa SPR 20,77% dan SFR 12,70%, sesudah gempa SPR 30,60% dan SFR 20,86% (Tabel 3); peningkatan SPR sebesar 47,32% dan peningkatan SFR sebesar 64,25%. Peningkatan Tabel 3.

Survai jentik An.sundaicus dan An.subpictus di perairan di desa Waiklibang, sebelum dan sesudah gempa bumi

Macam perairan Mata air Aliran mata air Rawa-rawa Bak air tenaga surya* Lagun (terbuka) Gambar 3.

Kepadatan Anopheles sp. yang menggigit orang di luar rumah sebelum dan sesudah gempa.

Sebelum gempa

Sesudah gempa

An. sundaicus An. subpictus An. sundaicus An. subpictus – – – –

– – – –

– + – +

– – + +





+



* Sesudah gempa rusak sehingga tidak digunakan lagi.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

17

Kepadatan (tiap orang/jam)

Gambar 4. Kepadatan Anopheles spp. yang menggigit orang sebelum dan sesudah gempa bumi.

jumlah penderita malaria sesudah gempa tersebut karena peningkatan kepadatan populasi vektor dan kurang terlindunginya penduduk dari gigitan nyamuk. Peningkatan kepadatan populasi vektor disertai sebagian besar penduduk tidak terlindungi dari gigitan nyamuk sangat menunjang keberhasilan penularan penyakit malaria.

Tabel 4.

KESIMPULAN DAN SARAN Gempa bumi yang diikuti dengan gelombang pasang tsunami di Flores, telah mengakibatkan peningkatan kepadatan vektor dan penderita malaria di desa Waiklibang, kecamatan Tanjung Bunga. Dari hasil pengamatan tersebut disarankan bahwa dalam penanggulangan gempa bumi dan gelombang tsunami khusus di daerah endemis penyakit malaria, bantuan berupa kelambu atau kelambu beninsektisida sangat bermanfaat untuk melindungi penduduk dan serangan penyakit malaria.

SPR = Jumlah sediaan darah (%) positif malaria SFR = Jumlah sediaan darah (%) positif P. falciparum

KEPUSTAKAAN 1. Puskesmas Kecamatan Tan jung Bunga. Laporan secara klinis penderita

18

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Prevalensi penyakit malaria sebelum (Juli 1992) dan sesudah gempa (Agustus 1993) di desa Waiklibang, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT.

Saat survai

Sediaan darah

Juli 1992 Agustus 1993

130 163

SPR

SFR

%

n

%

n

20.77 30.60 1

27 49

12.10 20.06

16 14

malaria di kecamatan Tan Jung Bunga. 1992. SPVP. Laporan survai malariometrik di kecamatan Tanjung Bunga. Flores Timur, NIT. 1992. Barod Sumardi. Tn Suwarjono, Survai fauna nyamuk di heberapa desa pantai Teluk I-lading. kecamatan Tanjung Bunga. Flores Tiniur. Seminar Parasitologi Nasional. Denpasar. 1993. Dit. Jen. P2M dan PLP. Entomologi. Malaria Vol. tO. Dep. Kes. RI. 1983. Lien JC. Atmosoejono S. Unfinit AU Gundelfinger BF. Observation of natural plasmodial infections in mosquitoes and a brief survey of mosquito fauna in BeIu Regency, Indonesian Timor. J. Med. Entoniol. 1975: 12(3). O”Connor. Arwati. Kunci bergambar untuk nyaniuk A henna di Indonesia. Dit. Jen. P2M. Dep. Kes. RI. 1985. Clements AN. The Physiology of Mosquitoes. New York; The Macmillan Co. 1963.

HASIL PENELITIAN

Anopheles hyrcanus Group dan Potensinya sebagai Vektor Malaria, di Kecamatan Teluk Dalam, Nias Damar Tn Boewono, Sustriayu Nalim Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Salatiga

ABSTRAK Suatu penelitian tentang kepadatan musiman, aktivitas menggigit dan potensi An. hyrcanus spesies group sebagai vektor malaria, telah dilakukan di kecamatan Teluk Dalam, pulau Nias, propinsi Sumatera Utara, selama 2 tahun dimulai bulan Mei 1992. Penangkapan nyamuk pada malam dan pagi hari, ditemukan 4 spesies An. hyrcanus group, yaitu An. sinensis, An. crawfordi, An. nigerrimus dan An. peditaeniatus. Aktivitas menggigit berlangsung sepanjang malam, mencapai puncaknya pukul 20.00–21.00, kemudian secara bertahap menurun hingga menjelang pagi. Angka dominasi dan vectorial capacity An. hyrcanus group paling tinggi di antara nyamuk Anopheles spp. yang ditemukan, masing-masing berkisar antara 4.016,25-8.492,31 dan 0,67-2,73. Kepadatan musiman An. hyrcanus spesies group dan An. sundaicus sangat menunjang selalu tingginya kasus malaria di desa Teluk Dalam sepanjang tahun. Pembedahan 1.347 nyamuk Anopheles spp. belum menemukan sporozoit. Test ELISA akan dikembangkan untuk verifikasi vektor malaria di pulau Nias.

PENDAHULUAN Di Asia Tenggara, Anopheles hyrcanus spesies group dilaporkan terdiri dan 8 spesies(1), di antaranya termasuk An. sinensis dan An. nigerrimus, yang juga dilaporkan ditemukan di beberapa daerah di Indonesia(2). Hanya satu spesies yang pernah ditemukan di pulau Nias, yaitu An. sinensis(3). Anopheles sinensis adalah vektor utama penyakit malaria di dataran Cina bagian timur dan tengah dan juga di Jepang(6) Di Indonesia, potensi An. hyrcanus spesies group sebagai vektor malaria kurang penting jika dibandingkan dengan An. sundaicus, An. aconitus, An. balabacensis dan An. maculatus. Walaupun demikian pernah dilaporkan bahwa An. nigerrimus bertang-

gungjawab terhadap epidemi malaria di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Benteng, Sulawesi bagian Selatan, dan Karangbinangoen, kabupaten Lamongan, Jawa Timur(7,8) Spesies ini juga pernah dilaporkan sebagai vektor pada waktu terjadi ledakan penyakit malaria di dekat Kuala Lumpur, Malaysia Nyamuk An. sinensis pernah dilaporkan sebagai vektor utama wabah malaria di daerah Sungei Tuan, dan Mandailing, Sumatera (Swellengrebel 1950) Hal tersebut menandakan bahwa An. sinensis dan An. nigerrimus mempunyai potensi penting sebagai vektor malaria, sehingga perlu diwaspadai. Penelitian tentang dinamika populasi nyamuk An. hyrcanus spesies group telah dilakukan khususnya tentang kepadatan

Penelitian dibiayai oleh WHO/TDR.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

19

musiman dan aktivitas menggigit, sehubungan dengan potensinya sebagai vektor penyakit malaria di daerah kecamatan Teluk Dalam, pulau Nias. Informasi yang diperoleh akan digunakan sebagai dasar dikcmbangkannya metoda pengendalian vektor yang tepat dan efisien.

BAHAN DAN CARA KERJA Daerah penelitian Dua daerah yang merupakan tanah pantai datar yaitu desa Lagundri dan Teluk Dalam, dipilih sebagai tempat penelitian, terletak di kecamatan Teluk Dalam, di bagian Barat Daya pulau Nias. Sebagian daerah penelitian merupakan rawa-rawa dengan air tawar atau payau, dan banyak tumbuh pohon nipah. Tanaman ekonomi yang utama adalah kelapa, kopi dan karet. Macam vegetasi lain yang tumbuh di daerah penelitian pada umumnya rumput liar. Padi juga banyak ditanam di antara pohon kelapa, dengan sistim irigasi non teknis. Jumlah penduduk pada tahun 1993 di desa Teluk Dalam dan Lagundri masing-masing adalah 2.254 d 455 jiwa. Mata pencaharian pada umumnya bertani serta memelihara ayam dan babi, sedangkau kerbau, sapi dan kambing sangat jarang ditemukan. Selama penelitian, suhu udara pada malam hari berkisar antara 28,09 ± 0,11°C dan 21,52 ± 0,12°C. Kelembaban udara berkisar antara 88,38 ± 0,54% dan 93,85 ± 0,49%. Jumlah curah hujan setiap tahun±1.645mm, dengan maksimum dan minimum setiap bulan tercatat 412 mm dan 28 mm, berturut-turut pada bulan November dan Januari 1993. Teknik sampling Penelitian dilakukan selama dua tahun, dimulai pada bulan Mei 1992. Penangkapan nyamuk dilakukan dua kali setiap bulan, di setiap daerah penelitian, menggunakan tiga cara penangkapan seperti berikut: 1) Penangkapan nyamuk yang hinggap/menggigit manusia Suatu team yang terdiri dari empat orang ditugaskan sebagai penangkap nyamuk. Di antara mereka, dua kolektor ditempatkan di dalam dua rumah yang berbeda sedang dua orang yang lain ditempatkan di luar,yaitu di serambi rumah. Nyamuk yang hinggap atau menggigitt pada dua tungkai yang dibuka atau bagian badan lain dan kolektor, ditangkap menggunakan aspirator dengan bantuan lampu senter. Penangkapan nyamuk pada malam hari dilakukan selama 6 jam, dimulai pada saat matahari terbenam dan diakhiri tengah malam. Penelitian untuk mengetahui aktivitas menggigit dilakukan dengan penangkapan nyamuk sepanjang malam. Nyamuk Anopheles yang tertangkap diidentifikasi dan dibedah untuk penentuan prosentase nyamuk parous dan pemeriksaan sporozoit. Kepadatan nyamuk dihitung dalam satuan jumlah setiap spesies/orang/jam. 2) Penangkapan nyamuk istirahat pagi hari Dua kolektor ditugaskan menangkap nyamuk yang istirahat di dalam rumah penduduk selama 15 menit setiap rumah. Dua kolektor yang lain bertugas menangkap nyamuk yang istirahat di luar rumah, yaitu di kebun dan semak-semak. Cara penangkapan ini dilakukan selama 2 jam, dimulai pada pukul 07.00 pagi.

20

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Semua nyamuk yang tertangkap diidentifikasi dan spesies nyamuk Anopheles dibedah untuk penentuan prosentase parous dan pemeriksaan sporozoit. 3) Koleksi stadium pra dewasa Pada penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah dipper standard WHO yang terdiri dari dipper plastik isi 350 ml, dengan tangkai kayu panjang. Koleksi dilakukan antara pukul 08.00-11.00 pagi, sebanyak 50 cidukan di setiap habitat yang ada di lokasi penelitian. Sampling air dilakukan dengan cara merendahkan satu sisi dipper, .sehingga air dengan perlahan akan masuk ke dalam. Semua stadium pra dewasa nyamuk Anopheles diambil menggunakan pipet dan dikumpulkan di dalam tabung plastik. Semua koleksi diberi label sesuai dengan tipe habitat dan dibawa ke laboratorium. Pupa dan larva dipelihara menjadi nyamuk, kemudian dibunuh dan diidentifikasi. 4) Dominasi spesies nyamuk Angka dominasi spesies diperoleh dan hasil kali antara kelimpahan nisbi dengan frekuensi setiap spesies nyamuk tertangkap, selama penelitian. 5) Vectorial Capacity (VC) Kemampuan nyamuk sebagai vektor (vectorial capacity) ditentukan dengan 4 faktor utama yaitu: kepadatan populasi nyamuk, pilihan hospes, kerentanan terhadap infeksi parasit dan umur atau proporsi nyamuk parous. Hubungan tersebut ditentukan dengan rumus(11,12): VC =

m a 2 pn − ln p

(m)=Kepadatan spesies nyamuk/orang/malam. (a) Proporsi nyamuk yang menggigit orang/malam dihitung dari Human Blood Index (HBI), dibagi jumlah hari dari satu siklus gonotropi. (pn)=Harapan hidup nyamuk setiap hari, dihitung dari akar pangkat (jumlah hari satu siklus gonotropi) dan pada proporsi nyamuk parous = (p). (n) = jumlah hari yang diperlukan bagi sporozoit untuk tumbuh kembang di dalaan tubuh nyamuk. pn − ln p

= Harapan hidup populasi nyamuk infektif

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penangkapan nyamuk di daerah penelitian, ditemukan empat spesies An. hyrcanus group yaitu An. sinensis, An. crawfordi, An. nigerrimus dan An. peditaeniatus. Penentuan kepadatan dan angka dominasi, tidak ditentukan secara rinci setiap spesies, tetapi diperhitungkan sebagai An. hyrcanus spesies group. Nyamuk Anopheles yang ditemukan dengan dominasi tinggi adalah An. hyrcanus group, diikuti An. kochi, An. sundaicus dan An. tessellatus. Sedangkan An. indefinitus, An. balabacensis, An. vagus dan An. barbirostris, ditemukan dengan dominasi sangat rendah (Tabel 1). Tabel 1.

Dominasi spesies Anopheles spp, tertangkap menggiglt orang pada malam hari, selama penelitian

Spesies An. hyrcanus grp. An. sundaicus An. balabacensis An. kochi An. tessellatus An. indefinitus An. vagus An. barbirostris

Desa Lagundri Dalam Luar rumah rumah 8.492,31 8.348.02 2,81 22,58 0,00 0,23 282,63 630,05 2,81 13,38 0,00 0,87 0,00 0,23 0,00 0,23

Desa Teluk Dalam Dalam Luar rumah rumah 4.016,25 4.054,75 663,06 533,33 0,00 0,62 1.005,81 1.973,89 17,83 209,60 1,10 0,00 1,10 0,00 0,00 0,00

Nyamuk An.hyrcanus spesies group, mempunyai dominasi paling tinggi yaitu 4.054,75 dan 4.016,25, masing-masing di luar dan di dalam rumah di desa Lagundri. Sedangkan di desa Teluk Dalam angka dominasi tersebut 8.348,02 dan 8.492,81, masingmasing di luar dan di dalam rumah. Angka dominasi nyamuk An. sundaicus sangat kecil dibandingkan An. hyrcanus spesies group yaitu 533,33 dan 663,06 masing-masing di luar dan di dalam rumah di desa Teluk Dalam dan 222,58 di luar rumah dan 2,81 di dalam rumah di desa Lagundri. Angka dominasi nyamuk An. hyrcanus group paling tinggi di antara nyamuk Anopheles yang tertangkap menggigit manusia, baik di dalam maupun di luar rumah. Hal ini menunjukkan bahwa nyamuk tersebut mempunyai kepadatan dan frekuensi menggigit manusia paling tinggi, sehingga potensinya dalam penularan penyakit paling tinggi pula. Gambar 3 menunjukkan bahwa nyamuk An. hyrcanus group mempunyai aktivitas menggigit sepanjang malam. Aktivi-

Gambar 1.

tas menggigit mencapai puncaknya pada pukul 20.00 hingga 21.00 dan kemudian menurun secara bertahap sampai menjelang matahari terbit. Hasil ini sesuai dengan kebiasaan menggigit nyamuk Anopheles pada umumnya(13). Kepadatan musiman nyamuk An. hyrcanus group di desa Lagundri menunjukkan kenaikan pada saat kurang hujan, yaitu pada bulan Januari-April 1993 dan menurun pada saat curah hujan tinggi pada bulan Agustus-Oktober 1992 dan SeptemberDesember 1993 (Gambar 1). Hasil tersebut sedikit berbeda dengan di desa Teluk Dalam, dengan kepadatan An. hyrcanus group meningkat pada saat curah hujan tinggi, yaitu pada bulan Juni-Agustus 1992 dan Oktober-Desember 1993 (Gambar 2). Keadaan yang hampir sama, terlihat pada kepadatan musiman stadium pra dewasa baik di desa Lagundri maupun Teluk Dalam. Kepadatan stadium pra dewasa An. hyrcanus spesies group di desa Lagundri meningkat pada waktu kurang hujan, seperti pada

Kepadatan musiman Anopheles hyrcanus spesies group menggigit manusia, di desa Lagundri, Nias

Gambar 2.

Kepadatan musiman Anopheles hyrcanus spesies group menggigit manusia, di desa Teluk Dalam, Nias

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

21

Gambar 3. Aktivitas menggigit An. hyrcanus spesies group di daerah kecamatan Teluk Dalam, Nias

bulan Maret-Mei 1993 (Gambar 4). Tetapi di desa Teluk Dalam kepadatan populasi nyamuk tersebut di sawah maupun di saluran irigasi, meningkat pada waktu musim hujan, yaitu bulan September-Desember 1993 (Gambar 5). Hal tersebut dapat terjadi

karena perbedaan habitat utama stadium pra dewasa di dua daerah penelitian. Habitat utama di desa Teluk Dalam adalah sawah dan saluran inigasi. Tersedianya air sangat tergantung adanya hujan dan pada waktu musim penghujan jentik nyamuk hanyut oleh banjir.Habitat utama stadium pra dewasa nyamuk ini di desa Lagundri adalah rawa-rawa yang banyak ditumbuhi pohon nipah, dan air tersedia sepanjang tahun. Walaupun dalam kepadatan yang sangat rendah, jentik An. hyrcanus spesies group juga ditemukan di lagun desa Teluk Dalam (salinitas air berkisar antara 1-3%). Perhitungan vectorial capacity menunjukkan bahwa di antara nyamuk Anopheles spp yang tertangkap menggigit manusia, An. hyrcanus spesies group paling besar potensinya sebagai vektor penyakit malaria. Vectorial capacity An. hyrcanus group di desa Lagundri 1,88 dan 2,73, masing-masing di dalam dan di luar rumah.Sedangkan di desa Teluk Dalam adalah 0,87 di dalam rumah dan 0,67 di luar rumah. Kemampuan nyamuk Anopheles yang lain sebagai vektor malaria, pada umumnya sangat rendah, kecuali An. kochi yang menggigit orang di luar rumah di desa Lagundri, dengan vectorial capacity 1,31. Hasil perhitungan vectorial capacity secara rinci disajikan pada Tabel 2.Pada siang hari, nyamuk An. hyrcanus group sangat sedikit ditemukan istirahat baik di dalam maupun di luar rumah (Gambar 6). Angka dominasi nyamuk An.sundaicus di desa Teluk Dalam adalah 663,06 di dalam rumah dan 533,33 di luar rumah. Sedangkan vectorial capacity spesies tersebut adalah 0,04 dan 0,53, masing-masing di dalam dan di luar rumah (Tabel 1 dan 2). Jentik nyamuk ini banyak ditemukan di lagun sepanjang tahun dan meningkat kepadatannya pada waktu musim kering. Hal ini sangat berbed dengan An. hyrcanus group di daerah tersebut, kepadatan nyamuk ini meningkat pada waktu musim penghujan dan menurun pada musim kering (Gambar 2). Kenyataan ini sangat menunjang data kasus malaria di desa Teluk Dalam yang selalu tinggi sepanjang tahun (Gambar 8). Walaupun An. ludlowi tidak ditemukan dan An. tessellatus juga hanya ditemukan di daerah penelitian dengan vectorial capacity yang sangat

Gambar 4. Kepadatan musiman stadium pra dewasa An. hyrcanus spesies group, di desa Lagundri, Nias

Tabel 2.

Vectorial capacity nyamuk Anopheles spp. tertangka menggigit manusia di daerah kecamatan Teluk Dalam, pulau Nias @ Desa Lagundri

Spesies

Di dalam rumah ma

An. hyrcanus grp An. sundaicus An. balabacensis An: kochi An. tessellatus An. indefinitus 4n. vagus An. barbiro.ctris

2

p

-In p

p

n

Desa Teluk Dalam Di luar rumah

V.C ma

2

p

-In p

p

Di dalam rumah n

V.C ma

2

p

-In p

p

n

Di luar rumah V.C ma

2

1 61 0 85 0 1647 0 21 188 2 08 0,85 0 1574 0,21 2,73 0,27 0 90 0,1061 0,35 0 87 0,39 * * 0 18 0,76 0,2776 0,06 0,04 0,22 – * – 0,22 0,86 0,1536 0 22 0,31 0,61 0,88 0,1292 0 27 1,31 0,22 0 81 0,2081 0,12 0,13 0 58 – * * Oil – * * – * * – * –

p

-in p

pn

V.C

0,86 0,1419 0,24 0 67 0,89 0,1216 0 30 0,53 * 0,86 0,1536 0,22 0,81 0 86 0,1507 0 22 0,17 – – –

@ HB1 diperhitungkan 50% (Reid, 1968), siklus gonotropi 2–3 hari (faal, 1992) dan perkembangan intrinsik P. falciparum dan P. vivax = 10–12 hari (WHO, 1963). * Persentase tidak dihitung (jumlah nyamuk kurang dari 10 ekor); (–) Nyamuk tidak diremukan.

kecil 0,17, tetapi nyamuk ini pernah dilaporkan positip mengandung sporozoit di pualu Nias(3). Verifikasi spesies vektor malaria ini masih perlu diteliti lebih lanjut, mengingat dan hasil pem

bedahan kelenjar ludah 1.347 ekor nyamuk Anopheles spp. belum ditemukan sporozoit. Test ELISA akan dikembangkan untuk melanjutkan verifikasi vektor malaria di Nias.

Gambar 5. Kepadatan musiman stadium pra dewasa An. hyrcanus spesies group, di desa Teluk Dalam, Nias

Gambar 6. Kepadatan An. hyrcanus spesies group pagi hari di desa Lagundri, Nias

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

23

Nyamuk An. hyrcanus group ini ditemukan mempunyai angka dominasi dan vectorial capacity paling tinggi di antara Anopheles spp. yang tertangkap. Walaupun dari pembedahan 1.347 ekor nyamuk belum ditemukan sporozoit, tetapi kepadatan musiman An. hyrcanus group dari An. sundaicus di desa Teluk Dalam, sangat menunjang data kasus malaria yang selalu tinggi sepanjang tahun. Verifikasi vektor malaria akan dikembangkan dengan teknik ELISA. KEPUSTAKAAN

1. 2.

Reid JA. Anopheline mosquitoes of Malaya and Borneo. Studies from the Institute for Medical Research, Malaysia 1968 No. 31, 520p. O’Connor CT. The Anopheles hyrcanus Group in Indonesia. Mosquito Systematics, 1980; 12: 293–305.

3. Soesilo R. Uittreksel Uit het rapport omtrent het onderzoek naar de verspreiding van de malaria op een eiland Nias. Gen. Ti voor Ned-Indie, 1926; 75: 1–27. 4.

Chow CY. Note on the time of feeding of An. hyrcanus var sinensis and An. minimus in the vicinity of Chungking. Chinese Med i. 1949; 67: 489–490, 5. Ho C, Chou TC, Chen TH, Hsueh AT. The An. hyrcanus group and its relation to malaria in East China. Chinese Med J. 1962; 81: 71–8. 6. Otsuru M, Ohmari Y. Malaria studies in Japan after World War II. Part II. The research forAn. sinensis sibling species group. Japanese J Experimen tal Mcd. 1960; 30: 33–65. 7. Kirnowardoyo S. Status of malaria vectors in Indonesia. Southeast Asian J Trop Med and Publ Health 1985; 16: 129–132. 8. Van Hell JC. Dc betekenis van An. (A) hyrcanusvar. X als malaria over brenger op Zuid-Celebes. Med. Maandbl. 1950; 3: 557–567. 9. Hodkin EP The transmission of malaria in Malaya. Studies from the Institute for Medical Research Federation of Malaya, No. 27, 1956, 98p. l0. Beales PF. A review of the taxonomic status of An. sinensis Wiedemann

Gambar 7. Kepadatan An. hyrcanus spesies group dan jumlah kasus malaria di desa Lagundri, Nias

Gambar 8. Kepadatan An. hyrcanus spesies group dan jumlah kasus malaria di desa Teluk Dalam, Nias

24

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

1828, in relation to transmission of Brugian filariasis in Peninsular Malaysia. Tropical Biomedicine 1986; 3: 179–182. 11. Dharmawan R. Metoda identifikasi spesies kembar nyamuk Anophele.c. Sebelas Maret University Press 1993, lS7p. 12. White GB. The impotance of An leucosphyrus group mosquitoes as vectors of malaria and filariasis in relation to transmigration and forestry in Indonesia, with assessment of An. balabacensis ecology and vectorial capacity. WHO/VBCRU/VBC 025. 1983. 13. Jaal Z, MacDonald WW. Anopheline mosquitoes of Northwest coastal

Malaysia. Southeast Asian J Trop Med and PubI Health 1992; 23: 479–85. 14. Chiang GL, Cheong WH, Mak JW, Eng KL. Field and laboratory observation on An. sinensis Wiedemann 1828, in relation to transmission of Brugian filariasis in Peninsular Malaysia. Tropical Biomedicine 1986; 3: 179–182. 15. Reid JA. The An. hyrcanus group in Southeast Asia (Diptera: Culicidae). Bull Entomol Res 1954; 44: 5–76. 16. WHO. Practical entomology in malaria eradication, Part 11. WHO/MHO/ PA/62.63. 1963.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

25

HASIL PENELITIAN

Uji Patogenisitas Bacillus thuringiensis yang Diisolasi dan Tanah Pohon Kelengkeng (Euphoria longan) terhadap Jentik Nyamuk Vektor di Laboratonium Blondine Ch.P, Umi Widyastuti, Subiantoro, Sukarno Stasiun Penilaian Vektor Penyakit, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Salatiga

ABSTRAK Suatu penelitian telah dilakukan di Laboratorium Pengendalian Jazad Hayati, Stasiun Penelitian Vektor Penyakit di Salatiga untuk mengisolasi bakteri patogen lokal Bacillus thuringiensis dan tanah pohon kelengkeng (Euphoria longan) dengan cara Chilcott & Wigley (1988), yaitu dengan mendeteksi adanya kristal protein (parasporal body). Isolat yang ditemukan, diuji patogenitasnya terhadap jentik nyamuk vektor. Dari 6 sampel tanah yang berasal dari 2 habitat (lubang dan percabangan) pohon kelengkeng dan 5 lokasi di Kotamadya Salatiga, berhasil diperoleh 10 isolat B. thuringiensis. Uj i patogenitas isolat tersebut terhadap jentik Aedes aegypti instar III, menunjukkan 4 dari 10 isolat mempunyai patogenitas > 50% yang diuji selama 24 jam perlakuan dan 5 dari 10 isolat yang diuji selama 48 jam perlakuan, mempunyai patogenitas >50%. Satu isolat (24 jam perlakuan) dan 3 isolat (48 jam perlakuan) dan masing-masing 10 isolat, mempunyai patogenisitas >50% terhadapjentik Culex quinquefasciatus instar III. Isolatisolat yang mempunyai patogenitas tinggi, akan dikembangkan lebih lanjut untuk dijadikan agen pengendali jentik nyamuk vektor.

PENDAHULUAN Salah satu mikroorganisme yang telah dikembangkan penggunaannya sebagai agen pengendali hama pertanian dan serangga kesehatan adalah Bacillus thuringiensis. Selain B. thuringiensis, beberapa spesies Bacillus telah diketahui pula sebagai patogen serangga seperti B. papilliae, B. larvae dan strain tertentu dan B. sphaericus(1). Bacillus thuringiensisadalah bakteri yang membentuk spora, masing-masing spora menghasilkan kristal protein toksin (delta endotoksin) selama sporu1asi(2). Kristal toksin memegang peranan penting karena aktifitasnya sebagai insektisida(3). Beberapa pene1iti(4,5,6), menggunakan B.thuringiensis untuk pengendalian beberapa genus nyamuk vektor Culex, Anopheles, dan Aedes. Bacillus thuringiensis dapat diisolasi dan berbagai habitat tanah misalnya tanah di lubang dan percabangan pohon (komu-

26

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

nikasi pribadi dengan DR. Pillai J.S). Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengisolasi B. Thuringiensis dari tanah dilubang dan percabangan pohon kelengkeng (E. longan), serta uji patogenitasnya terhadap jentik Ae. aegypti dan Cx. quinquefasciatus instar III. BAHAN DAN CARA KERJA 1) Pengambilan sampel Sampel tanah diambil dan lubang (5 sampel) dan cabang (1 sampel) pohon kelengkeng (E. longan) tua di lima lokasi, Kotamadya Salatiga (Gambar 1). 2) Pemeriksaan sampel Dari masing-masing sampel diambil 1 gram tanah, ditambah

dengan menggunakan pengecatan Chilcott dan Wigley(7), diperoleh bakteri patogen B. thuringiensis (Tabel 1). Bacillus thuringiensis mempunyai kristal-kristal protein tercat hitam, sedangkan spora-sporanya tercat ungu (Gambar 2,3). Ditemukannya bakteri patogen pada sampel tanah, mungkin disebabkan tanah yang berada pada lubang dan cabang pohon sudah tua umurnya dan berada pada kedalaman 0,5–2 cm dari permukaan tanah (komunikasi pribadi dengan DR. PilIai J.S).

Gambar 1. Lubang pohon kelengkeng (Euphoria longan)

10 ml air suling (distilled water) didiamkan selama 5 menit. Dari sampel-sampel tersebut dibuat pengenceran 10-1-10-5, kemudian dipanaskan pada suhu 70°C selama 15 menit. Pemanasan tersebut bertujuan untuk menghambat pertumbuhan bakteri lain, terutama bakteri non spora. Masing-masing seri pengenceran diinokulasikan pada media nutrien agar yang terdiri dari bacto beef extract 3 gram, bacto peptone 5 gram dan bacto agar 15 gram per 1 liter akuades, kemudian diinkubasikan selama 48 jam pada suhu 30°C. Dari koloni yang diduga bakteri patogen, dibuat preparat olesan dan dicat dengan pengecatan Naphthalene black 2 menit dan Gurr’s improved R 66 Giemsa selama 1 menit(7).Diamati di bawah mikroskop perbesaran 1000 kali, untuk melihat protein toksin. Apabila terdapat kristal protein, berarti ditemukan B. thuringiensis yang patogen. Dan koloni yang positif dibuat biakan murni dengan cara inokulasi bakteri ini ke dalam media nutrien agar, kemudian diinkubasikan pada suhu 30°C, selama 48 jam. Biakan murni ini disimpan pada agar miring NYSMA selama 4 hari, suhu 30°C, kemudian diuji patogenitasnya. Uji patogenitas biakan murni dilakukan menurut metoda Chilcott dan Wigley(7), sebagai berikut: Diambil 2 loop (2 ose) biakan murni dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer ukuran 250 ml yang telah diisi dengan 50 ml Tryptose Phosphate Broth (Oxoid, Unipath Ltd. Basingstoke, Hampshire, England). Sampel-sampel tersebut digoyang dengan menggunakan penggoyang pada suhu kamar selama 48 jam. Dari masing-masing sampel yang sudah digoyang diambil 15 ml dan dimasukkan ke dalam mangkok plastik yang diisi dengan 100 ml suling dan 25 ekor jentik Ae. aegypti instarlil (umur 6–7 hari). Sebagai kontrol, mangkok plastik hanya diisi dengan 150 ml air suling dan 25 ekor jentik Ae aegypt instar III. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan selama 2 kali jam sesudah perlakuan Uji patogenisitas terhadap Culex quinquefasciatus dilakukan seperti cara yang sama HASIL DAN PEMBAHASAN Dari 6 sampel tanah pohon kelengkeng yang diperiksa (5 sampel dan lubang pohon dan 1 sampel dan cabang pohon),

Gambar 2. Pengecatan kristal Bacillus thuringiensis (K=kristal,S =spora)

Gambar 3. Pengecatan kristal Bacillus thuringiensis (K kristal,S = spora)

Isolasi 6 sampel tanah,menemukan 10 isolat bakteri patogen B. thuringiensis. Isolat-isolat yang ditemukan diuji patogenitasnya terhadap jentik nyamuk Aedes aegypti dan Cx. quinquefasciatus. Uji patogenitas 10 isolat tersebut terhadap jenis Ae. aegypti instar III (6–7 hari) memperoleh 4 isolat (40%) mempunyai patogenitasnya lebih dari 50% dan 6 isolat (60%) kurang dan 50% selama 24 jam perlakuan Pada 48 jam perlakuan diperoleh 5 isolat (50%) yang patogenitasnya Iebih dan 50% dan 5 isolat (50%) kurang dari 50% (Tabel 2). Pada Tabel 3, menunjukkan 1 isolat (10%) mempunyai patogenitas lebih dan 50% dan 9 isolat (90%), kurang dan 50% terhadap jentik Cx quinquefasciatus selama 24 jam perlakuan

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

27

Tabel 1.

No.

dasar dan dinding penampungan air (bottom feeders)(10). Isolat-isolat B. thuringiensis mampu membunuh 50% jentik Ae.aegypti maupun Cx. quinquefasciatus, maka pengembangan lebih lanjut perlu dilakukan.

Hasil isolasi Bacillus thuringiensis dan tanah di lima lokasi penelitian Lokasi

1.

Butuh

2.

Canden Timur

3.

Karangduwet

4.

Banyuputih

5.

Imam Bonjol

Habitat

Jumlah sampel tanah

Hasil isolasi B. thuringiensis

l

+

1

+

1

+

1

+

1

+

1

+

Lubang pohon kelengkeng Cabang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng

KESIMPULAN DAN SARAN Dari 6 sampel tanah yang diperiksa, diperoleh 10 isolat B. thuringiensis (8 isolat berasal dari lubang pohon dan 2 isolat dari cabang pohon). Isolat-isolat B. thuringiensis yang ditemukan pada lubang pohon kelengkeng di lokasi Canden Timur, Banyuputih dan Imam Bonjol mampu membunuh jentik Ae. aegypti maupun Cx. quinquefasciatus lebih dari 50% pada 24 jam dan 48 jam perlakuan. Test serologi bakteri B. thuringiensis akan dilakukan guna mengetahui serotipenya.

Sedangkan pada 48 jam perlakuan, menunjukkan 3 isolat (30%), patogenitasnya lebih dan 50%, serta 7 isolat (70%) kurang dari 50% terhadap jentik Cx. quinquefasciatus (Tabel 3). Perbedaan tinggi rendahnya patogenitasnya isolat-isolat yang diperoleh, mungkin disebabkan oleh banyaknya toksin bakteri yang termakan oleh jentik dan adanya perbedaan serotipe. Serotipe B. thuringiensis H-14, menunjukkan patogenitas lebih tinggi terhadap jentik nyamuk dibandingkan dengan 13 serotipe lain yang menunjukkan patogen tinggi terhadap jentik Lepidoptera(2). Oleh karena itu pemeriksaan serologi akan dilakukan guna mengetahui serotipenya. Selain itu patogenitas dapat dipengaruhi oleh kebiasaan dan perilaku makan jentik serta adanya toksin di daerah makan jentik (larval feeding zone)(8,9).Jentik Cx. quinquefasciatus biasa mengambil makanannya di bawah permukaan air (suspension feeders) dan Ae. aegypti mengambil makanan di Tabel 2.

UCAPAN TERIMA KASIH Kami mengucapkan terima kasih kepada DR. Sustriayu Nalim, Pjh. Kepala Stasiun Penelitian Vektor Penyakit yang telah membimbing dan memberi saransaran sehingga selesainya makalah ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada rekan-rekan di laboratorium jazad hayati SPVP atas bantuan yang diberikan. KEPUSTAKAAN

1. 2.

de Barjac H. Insect Pathogens in the Genus Bacillus. In: R.C.W. Berkeley & M. Goodfellow (ed). The aerobic endospore forming bacteria. Classification and identification. Academic Press. New York. 1981. p. 241–250. WHO. Data sheet on the biological control agent. Bacillus thuringiensis

Hasil uji patogenitas isolat Bacillus thuringiensis yang diisolasi dari tanah terhadap jentik Aedes aegypti instar III Kematian jentik nyamuk terhadap B. thuringiensis*

No.

Lokasi

Habitat tanah

Jumlah sampel/ isolat

24 jam I n

1/1

1

8,0

1/2

2 14,7–25,0

n

1.

Butuh

2.

Canden Timur

3.

Karangduwet Banyuputih

5.

Imam Bonjol Jumlah

Lubang pohon kelengkeng Cabang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng

1/2

%

2 52,0–80,0

1/1 56,0

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

I n

%

n

II %

1

49,3

2 37,3–44,0 2 66,7–93,3

1

16,0

1

12,0

1

49,3

1/2

1

1/2 6/10

1 90,7 1 10,7 1 94,7 1 18,7 4 52,0–90,7 6 8,0–25,0 5 53,3–94,7 5 18,7–49,3

Keterangan: * = rata-rata dan 3 ulangan I = jumlah isolat dengan kematian jentik nyamuk > 50% II = jumlah isolat dengan kematian jentik nyamuk < 50% (. . .) = percentase kematian jentik nyamuk

28

48 jam II %

2 53,3–78,7

Tabel 3.

Hasil uji patogenitas isolat Bacillus thuringiensis yang diisolasi dan tanah terhadap jentik Culex quinquefasciatus instar III Kematian jentik nyamuk terhadap B. thuringiensis*

No.

Lokasi

Habitat tanah

Jumlah sampel/ isolat

24 jam I n

1

Butuh

2.

Canden Timur

3.

Karangduwet

4.

Banyuputih

5.

Imam Bonjol Jumlah

Lubang pohon kelengkeng Cabang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng Lubang pohon kelengkeng

48 jam II

I

%

1/1

1

24,0

1/2

2

9,3-25,3

2 13,3-28,0

1/2

2 21,3-22,7

2 41,3-42,7

1/1

1

25,0

1

1

24,0

1

74,7

1/2 6/10

n

II

n

1/2

%

74,7

9

9,3-25,3

n

%

1

36,8

37,3

2 57,3-88,0

2 16,0-18,7 1 1

%

60,0

29,3

3 57,3-88,0 7 13,3-42,7

Keterangan: * = rata-rata dan .3 ulangan I = jumlah isolat dengan kematian jentik nyamuk > 50% II = jumlah isolat dengan kematian jentik nyamuk < 50% (…) = persentase kematian jentik nyamuk

3. 4. 5. 6.

serotype H-14, WHO/VBCI79.750.13p. 1979. Soesanto Prospek Bacillus thuningiensis dalam Pengendalian Hama. Kumpulan Makalah Seminar B. thuringiensi. Komisi Pestisida Departemen Pertanian. 1994. hal 1–14. Reeves EL, Garcia C Jr. Pathogenicity of bicrystalliferous Bacillus isolate for Aedes aegypti and other aedine mosquito larvae. Proc. IV mt. Collo quium on Insect. Pathol. College Park, Maryland, USA. 1970. p 219–228. Goldberg U, Margalit J. A bacterial spore demonstrating rapid larvicidal activity against Anopheles sergentii Uranotaenia unquiculata, Cx. univit tatus, Ac. aegypti, and CL pipiens. Mosquito News. 1977; 37(3); 246–251. Lee HL, Cheong WH. Laboratory evalution of the potential efficacy of B. thuningensis for the control of mosquitoes in Malaysia. Trop. Biomed. 1985; 2: 133–37.

7.

Chilcott CN, Wigley PJ. Technical note: an improved method for differential staining of Bacillus thuringiensis crystals. Letters in Applied Microbiology. 1988; 7:,67–70. 8. Aly C, MullaMS,Bo-Zhao Xu, Schnetter W. Rate of ingestion by mosquito larvae (Diptera, Culicidae) as a factor in the effectiveness of a bacterial stomach toxin. J. Med. Entomol. 1988; 25(3): 191–96. 9. Mulla MS, Darwazeh HA, Tietze NS. Efficacy of B. sphaericus 2362 formulations against floodwater mosquitoes. J. Am. Mosq. Contr. Assoc. 1988; 4(2). 10. BeckerN, DjakariaS, KaiserA, ZulhasrilO, Ludwig HW. Efficacyofanew tablet formulation of an Asporogenous strain of Bacillus thuringensis israclensis against larvae of Aedes aegypti. Bull. Soc. Vector Ecol. 1991; 16(1): 1–7.

Many can argue, not many converse (AB Alcott)

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

29

HASIL PENELITIAN

Pengujian Metode Larvasida Teknar 1500 S terhadap Larva Anopheles maculatus yang merupakan Vektor Malaria di Daerah Aliran Sungai Amrul Munif*, Pranoto** *) Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta * *) Kepala Sub Direktorat Serangga Penular Penyakit, Direktorat P2M & PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit malaria di pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, terutama di daerah pedalaman berbukit dengan pengairan sawah nonteknis yang memerlukan air mengalir sepanjang tahun agar sawah dapat dikelola terus menerus. Keadaan demikian dapat dimanfaatkan untuk perkembangan nyamuk Anopheles spp. Selama tahun 1980-an kecamatan yang selalu mempunyai High Case Incidence (HCI) adalah sebanyak 75 kecamatan, kemudian menurun pada tahun 1986 dan 1992 menjadi 9 kecamatan(1). Analisis epidemiologis menunjukkan bahwa semua kecamatan dengan HCI berada di daerah dataran tinggi dengan sawah bertingkat, dan sumber air melimpah dan mata air secara terus menerus, sehingga dapat menunjang perkembangbiakan nyamuk vektor malaria, di antaranya; Anopheles aconitus, An. maculatus dan An. balabacensis. Selama ini telah diketahui An. aconitus merupakan vektor utama penyakit malaria karena terbukti ditemukan sporozoit pada tubuh An. aconitus di Kabupaten Jepara (1,2%) dan pada An. aconitus di Wonosobo (0,5%), Jawa Tengah(2). Bahkan baru-baru ini telah ditemukan nyamuk An. balabacensis sebagai vektor malaria yang positif ookista dan sporozoit dengan infeksi alami sebesar 4,3% di Banjarnegara(3). Hal tersebut di atas berbeda dengan apa yang dilaporkan oleh para ahli sebelumnya yang hanya mencatat An. aconitus sebagai vektor malaria di daerah pedalaman berbukit dengan kondisi sawah bertingkat. Bahkan dan hasil konfirmasi vektor untuk wilayah P. Jawa dan Bali terdapat 5 spesies yaitu: An. aconitus, An. subpictus, An. sundaicus, An. balabacensis, An. maculatus dengan suspected vector An. barbirostris Pada tahun 1990 sampai dengan 1991, telah dikonfirmasikan An. maculatus se-

30

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

bagai vektor penyakit malaria untuk daerah Yogyakarta, Jawa Tengah. Walaupun sembilan kecamatan ini merupakan daerah prioritas pemberantasan penyakit malaria dengan insektisida, namun pada hakekatnya daerah-daerah tersebut masih termasuk dalam kelompok HCI. Berbagai upaya penelitian untuk mengendalikan nyamuk vektor malaria baik uji coba insektisida maupun pemanfaatan hewan predator terhadap larva telah dimasukkan ke dalam program P2M PLP. Pemberantasan larva Anopheles spp di persawahan telah dilakukan dengan menebar ikan kepala timah (Panchak spp) pada tempat-tempat perkembangbiakán larva. Dilakukan juga penggunaan biosida untuk menekan dampak negatif dengan Bacillus thuringiensis. Percobaan telah dilakukan dengan berbagai formulasi pada lagun yang merupakan habitat larva An. Sundaicus(5).Namun sampai saat sekarang, larva Anopheles spp yang hidup di sungai belum pernah ditanggulangi secara efektif dan efisien; sehingga dipandang perlu adanya metode tertentu untuk melakukan penekanan populasi larva An. maculatus yang mempunyai habitat genangan air, sungai, kolam dan air mengalir di pegunungan dengan menggunakan biosida B. thuringiensis H-14 (Teknar 1500 S). BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi Kabupaten Kulon Progo terdiri dan 5 kecamatan dan 59 desa. Salah satu kecamatan yang terpilih sebagai lokasi penelitian adalah Kecamatan Kokap (Gambar 1), karena daerah ini termasuk 9 kecamatan yang mempunyai HCI dengan SPR 2,07% ada tahun 1992. Kecamatan Kokap dihuni oleh 27,123 jiwa dengan jumlah rumah 5.991 buah. Sebelah barat berbatasan

dengan Kecamatan Bagelen yang termasuk Kabupaten Purworejo, yang merupakan salah satu daerah malaria di Jawa Tengah. Kecamatan Kokap merupakan daerah pegunungan dengan banyak sungai yang secara alami terisi air sepanjang tahun. Air yang mengisi badan sungai ini berasal dari mata air, selain itu banyak genangan-genangan air yang terlindung tumbuh-tumbuhan, sehingga matahari tidak dapat menembus masuk. Tempat ini cocok sebagai tempat perkembangbiakan larva nyamuk An. balabacensis dan An. maculatus.

Gambar 1. Lokasi aplikasi Teknar 1500 S terhadap larva An. maculatus di Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo

Lokasi penelitian adalah 4 daerah aliran sungai yang ada dalam wilayah Kecamatan Kokap yaitu: a) Untuk aplikasi penyemprotan di Kedungsole, Dusun Terigi, Desa Hargowilis. b) Untuk aplikasi penyebaran kantong plastik di Kedung Longen, Dusun Tegiri, Desa Hargowilis. c) Untuk aplikasi pengocoran di Kali Jambon, Dusun Gunung Rego, Desa Hargorejo. d) Untuk kontrol di Bondalem, Dusun Menguri, Desa Hargo tirto. CARA KERJA Bahan larvasida yang digunakan adalah Teknar 1500 S yang mengandung 1500 AAU kristal delta endotoksin Baccillus thu-

ringiensis H-14, untuk mengendalikan larva nyamuk Anopheles yang berkembangbiak di aliran sungai. Teknar 1500 S bekerja sebagai racun perut, diformulasikan dalam bentuk cairan yang penggunaannya dicampur dengan air. Metode aplikasi biosida dilakukan dengan tiga cara, yaitu penyemprotan, penyebaran dengan kantong plastik dan pengocoran secara perlahan-lahan selama 24 jam. Besarnya dosis yang diperlukan pada cara pertama adalah dengan memperhitungkan volume serta luas permukaan sungai pada saat aplikasi. Penyemprotan dilakukan dengan memakai Hudson X-Pert [volume maksimum 8 liter] dengan dosis 1,5 liter per hektar, larutan Teknar 1500 S disemprotkan secara merata pada permukaan air sungai. Cara kedua adalah penyebaran larvasida dalam kantong plastik, dengan memasukkan Teknar 1500 S sesuai dosis yang telah diperhitungkan persatuan luas permukaan air yang diperlukan [± 1 hektar] ke dalam 40 kantong plastik, yang selanjutnya sebarkan atau ditanam secara merata di 40 lokasi perindukan nyamuk Anopheles untuk daerah seluas 1 hektar. Agar kantong plastik dapat tenggelam ke dalam air maka setiap kantong plastik diisi batu kerikil. Cara ketiga adalah dengan metode pengocoran; dosis yang digunakan adalah 1,5 liter Teknar 1500 S per hektar. Dengan menggunakan drum plastik (20 liter) dipasang kran untuk mengatur besar kecilnya cairan yang keluar. Dosis dihitung berdasarkan panjang sungai kali rata-rata Iebar permukaan air sungai. Dosis yang telah ditetapkan dilarutkan ke dalam air sesuai dengan kapasitas drum dan diaduk sampai merata. Volume larutan jadi yang keluar melalui ksan dihitung persatuan waktu selama. 24 jam. sebagai berikut volume larutan jadi Volume [ml] per menit = 24 X 60 Pengocoran Teknar 1500 S dilakukan pada bagian hulu sungai sebelum sungai tersebut masuk ke daerah permukiman penduduk. Masing-masing metode dilakukan 4 kali dengan interval waktu 7 hari selama 21 hari; apabila dalam pengamatan tertangkap pupa Anopheles sp sebagai vektor malaria maka penangkapan larva dihentikan. Evaluasi penelitian dilakukan dengan mengadakan pengukuran densitas larva dengan pencidukan di lokasi uji coba dibandingkan dengan kontrol. Pengambilan sampel dilakukan oleh 6 orang, kemudian dihitung jumlah setiap instar larva dan pupa nyamuk An. maculatus. Pengamatan dilakukan beberapa jam sebelum perlakuan, 24 jam setelah perlakuan dan selanjutnya setiap minggu setelah perlakuan sampai ditemukan pupa dari setiap perlakuan. Uji coba larvasida Teknar 1500 S dengan beberapa cara perlakuan dan interval waktu perlakuan dianalisis dengan rancangan petak terbagi [Split Plot design]. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil kerapatan populasi rata-rata larva An.maculatus yang ditemukan di lokasi aliran sungai Kedungsole sebelum aplikasi penyemprotan Teknar 1500 S adalah 95 ekor. Kerapatan populasi larva ini terus menurun pada pengamatan minggu ke 2 se-

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

31

sudah aplikasi, yaitu hanya diperoleh I ekor larva. Populasi meningkat menjadi 21 ekor 3 minggu setelah aplikasi. Persentase reduksi setelah perlakuan Teknar 1500 S pada setiap pengambilan sampel menunjukkan nilai yang berfluktuasi (Tabel 1). Pada pengamatan setelah 2 minggu persentase reduksi masih di atas 95%, namun kemudian menurun dengan tajam menjadi 33% setelah minggu ke tiga. Kerapatan populasi rata-rata An. maculatus yang ditemukan di Kali Jambon sebelum pelaksanaan pengocoran Teknar 1500 S diperoleh larva 79 ekor. Setelah diberi Teknar 1500 S populasi larva A maculatus menurun menjadi 45 ekor setelah 24 jam kontak. Tiga minggu kemudian ditemukan 6 ekor larva dan 1 ekor pupa An.maculatus (Tabel 2). Dilihat dan hasil perhitungan nilai reduksi ternyata nilainya (6,8%) setelah 24 jam, dan makin lama nilai reduksinya meningkat yaitu pada hari ke 21 masih di atas 97,34% (Tabel 2). Tampaknya penggunaan metode pengocoran Teknar 1500 S kurang baik daripada metode penyemprotan. Hal ini terlihat bahwa pada metode penyemprotan hasil rata-rata kerapatan populasi larva An. maculatus selalu rendah pada setiap pengambilan sampel.

Namun kemudian meningkat kembali setelah 1 minggu menjadi 7 ekor dengan persentase reduksi 97% dan menurun sampai 80,74% setelah 3 minggu (Tabel 3). Hasil dan ke tiga metode aplikasi Teknar 1500 S berpengaruh jika dibandingkan dengan kontrol pada aliran sungai Bondalem yang mempunyai kerapatan populasinya selalu tinggi dengan rata-rata 43 ekor pada setiap pengambilan sampel. Hasil analisa percobaan menunjukkan bahwa antara perlakuan penggunaan metode pemberian Teknar 1500 S dan rancangan petak terbagi (Split Plot design) menunjukkan perbedaan yang nyata (Anova F hit>F tab pada α = 0,05). Pada petak anak perolehan instar dengan berbagai metode aplikasi menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (F hit > F tab pada α = 0,05 dan α = 0,01) (Tabel 4). Teknar 1500 S cepat menyebar rata ke permukaan perairan sehingga larva dengan mudah memakan knistal B. thuringiensis. Artinya kerapatan populasi larva An. maculatus dari setiap instar dipengaruhi oleh cara aplikasi penggunaan Teknan 1500 S. Aplikasi Teknar 1500 S dengan berbagai metode mempunyai dampak yang berbeda terhadap jumlah populasi An. maculatus (F hit> F tab; pada α = 0,05 dan α = 0,01) (Tabel 4);metode penyemTabel 1. Kerapatan populasi larva Anopheles maculatus sebelum dan sesudah aplikasi dengan protan secara bermakna lebih baik jika dimetode penyemprotan Teknar 1500 S di lokasi aliran sungai Kedung Solo, Dusun bandingkan dengan metode pengocoran dan Tegiri, Desa Hargowilis, Kecamatan Kokap DIY penebaran kantong plastik (F hit > F tab; pada Jumlah rata-rata larva An. maculatus berdasarkan instar α = 0,05 dan α = 0,01) (Tabel 5), sedangkan Reduksi Metode penyemprotan Kontrol (Sungai Bon Dalem) Pengamatan metode pengocoran dan penebanan kantong (%) plastik tidak menunjukkan perbedaan, artinya I II III IV Pupa Jumlah I II III IV Pupa Jumlah mempunyai efektivitas yang sama.Kejadian ini Sebelum aplikasi disebabkan karena pada metode penyemprotan penyemprotan 19 51 12 10 3 95 2 12 1 2 1 18 Teknar 1500 5 akan tersebar merata di sungai, Sesudah : 24 jam 0 0 0 0 0 0 2 6 3 0 0 11 100 yang memudahkan larva terpapar Teknar 1500 7 hari 0 8 0 0 0 8 0 18 1 0 0 19 92,02 S, sedangkan pada metode pengocoran dan pe8 had 0 0 0 0 0 0 25 38 0 0 2 65 100 nebaran kantong plastik berisi Teknar 1500 S 14 hari 0 1 0 0 0 1 4 30 39 8 4 85 99,71 yang terkena tidak menyeluruh, bahkan genang21 hari 0 16 1 3 1 21 9 17 19 12 3 60 33, an air yang merupakan tempat perkembangTabel 2. Kerapatan populasi larvaAnopheles maculatus sebelum dan sesudah aplikasi dengan biakan An.maculatus di badan sungai sulit termetode pengocoran berisi Teknar 1500 S di lokasi aliran sungai Kali Jambon, Dusun isi air yang mengandung Teknar 1500 S asal Gunung Rejo, Desa Hargorejo, Kecamatan Kokap pengocoran dan penebaran kantong plastik. Di Jumlah rata-rata larva An. maculalus berdasarkan insta samping itu formulasi dan kemasan dari B. Reduksi thuringiensis berpenganuh terhadap angka kePengamatan Metode pengocoran Kontrol (Sungai Bon Dalem) (%) matian larva Cx. quinquefasciatus(4). PengI II III IV Pupa Jumlah I II III IV Pupa Jumlah gunaan formulasi granula terhadap kedua jenis Sebelum aplikasi larva ternyata sangat efektif pada larva An. pengocoran 14 15 26 17 7 79 2 12 1 2 1 18 Teknar 1500 aconitus dibandingkan Cx. quinquefasciatus Sesudah dalam percobaan di laboratorium(5). 24 jam 0 18 14 12 1 45 2 6 3 0 0 11 6,8 7 hari 8 hari 14 hari 21 hari

0 0 0 0

35 1 3 2

0 0 0 1

0 0 1 3

0 0 0 1

35 1 4 7

0 25 4 9

18 1 0 38 0 0 30 39 8 17 19 12

0 2 4 3

Pada metode aplikasi penyebaran kantong plastik yang berisi Teknar 1500S, sebelum aplikasi diperoleh 95 ekor larva. Setelah larva kontak dengan Teknar 1500 S dalam waktu 24 jam jumlah tersebut menjadi nol dengan persentase reduksi 100%.

32

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

19 65 85 60

58,03 9,65 98,93 97,34

KESIMPULAN Pemakaian berbagai metode aplikasi penggunaan Teknar 1500 S terhadap populasi larva An. maculatus pada aliran sungai menghasilkan kematian larva yang berbeda. Metode aplikasi penyemprotan lebih efektif daripada metode penebaran kantong plastik dan pengocoran di sekitar aliran sungai. B. thuringiensisH-l4dalam bentuk formulaTeknar 1500 S dapat menurunkan populasi larva An. maculatus selama 3 minggu dengan nilai reduksi di atas 50% dari ketiga metode

Tabel 3.

Kerapatan populasi larvaAnopheles maculatus sebelum dan sesudah aplikasi dengan metode penebaran kantong plastik berisi Teknar 1500 S di aliran sungai Kedung Longen, Dusun Tegiri, Desa Hargowilis, Kokap, Kabupaten Kulon Progo, DIY

aplikasi. Nilai reduksi 95% dan tiga metode aplikasi diperoleh selama 2 minggu.

Jumlah rata-rata larva An. maculatus berdasarkan instar Pengamatan

Metode penyebaran I

Sebelum aplikasi penyebaran kantong plastik Sesudah 24jam 7 hari 8 hari 14 hari 21 hari Tabel 4.

II III IV Pupa Jumlah

II III IV Pupa Jumlah

19 51 12 10

3

95

2

12

2

1

18

0 0 0 0 0

0 0 0 2 4

0 7 7 23 61

2 0 25 4 9

6 3 0 18 1 0 38 0 0 30 39 8 17 19 12

0 0 2 4 3

11 19 65 85 60

0 0 0 7 0 0 7 0 0 17 1 3 23 12 22

1

Analisa variens penggunaan metode pemberian Teknar 1500 S terhadap instar larva Anopheles maculatus di aliran sungai Kecamatan Kokap, Kulon Progo

Sumber Variasi

Mean Petak Utama Ulangan t1 = A (metode) Acak Petak Utama Petak Anak t2 = B (Instar) AB (t1 t2) Acak Petak Anak

Ftabel

Derajat Jumlah Kwadrat bebas kwadrat tengah

100 93,02 97,96 94,87 80,74

UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami sampaikan kepada DR. Moh. Sudomo, Ketua Kelompok Biologi Lingkungan, Puslit Ekologi Kesehatan, yang telah membina dan memberi saran serta koreksi hingga selesainya penulisan paper ini.

Fhitung 005

001

1

865,33

865,33







4 2 8

2095 758,72 397,5

5,24 379,4 49,69

0,105 7,635*

3,84 4,46

7,01 8,65

4 8 48

594,803 563,87 620,85

148,7 70,48 12,9

11,527** 2,86 5,464** 2,36

4,38 3,35

KEPUSTAKAAN

1

Keterangan : *) mempunyai perbedaan bermakna **) perbedaan sangat nyata

2.

Tabel 5.

3.

Perbedaan rata-rata dan perlakuan metode pemberian Teknar 1500 5 terhadap larva Anopheles maculatus di aliran sungai Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo Rpenyemprotan Rpengecoran

Rpenyemprotan 1,2 3,68 Rpengecoran 3,92 Rpenyebaran

Reduksi (%)

Kontrol (Sungai Bon Dalem)

– – –

2,48** – –

Keterangan : **) berbeda sangat nyata

Rpenyebaran 2,72** 0,24 –

Beda nyata jujur 005

001

1,54

1,384

4. 5.

Somthas Malikul. Consolidated Annual Report on Malaria Control Programme, Indonesia 1992/1993 Ministry of Health & World Health Organization WHO/IND Mal 001, 1993. Kirnowardoyo. Konfirmasi An. aconitus Donits sebagai vektor malaria di Jawa Tengah. Berita Entomologi, 1982. Pranoto, Pudjo Prasetyo. Konfirmasi An. balabacensis Bisas sebagai vektor utama malaria dan An. maculatus Thes sebagai suspect vektor malaria di Banjarnegara., Berita Epidemiologi, Jawa Tengah No. 01/03/BE/PP/CBCF/ 90. Seregeg 1G. Soekirno M. Perbandingan pengaruh biosida Sandoz dengan Bactimos terhadap pencemar biologis, Cx. quinquefasciatus dalam satu uji coba lapangan di Jakarta Indonesia. Bul Kes. 1978. Amrul Munif. Pengaruh beberapa dosis B. thuningiensis Formula granula terhadap larva Anopheles aconitus dan Culex. p. quinquefasciatus pada simulasi air tergenang. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, Bogor 2–3 Desember 1991.

Nature’s thief masterpiece is writing well (Duke of Buckingham)

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

33

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Pasase terhadap Gejala Klinis pada Mencit Strain Swiss Derived yang Diinfeksi Plasmodium berghei ANKA Rabea Pangerti Jekti, Edhie Sulaksono, Siti Sundari Y, Rita Marleta, Subahagio Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Plasmodium berghei adalah suatu hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia terutama rodensia kecil. Di laboratorium pemeliharaan kelangsungan hidup parasit ini dilakukan dua cara yaitu menyimpan darah mencit yang mengandung parasit pada suhu –70°C atau dalam nitrogen cair, dan kedua melalui proses pasase pada mencit. Penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh pasase terhadap gejala klinis pada mencit Swiss derived yang diinfeksi Plasmodium berghei. Pasase dilakukan terhadap beberapa kelompok mencit masing-masing 6 ekor (BPO–BP6) (betina; umur: 6–8 minggu, berat badan: 20–25 gram). BPO adalah mencit yang disuntik darah yang mengandung sporozoit (secara intraperitoneal sebanyak 0,25 ml). Demikian selanjutnya dilakukan pasase dan BPO ke BP1, BP1 ke BP2, dan seterusnya. Selama 7–10 hari dilakukan pasase serta pengamatan terhadap gejala klinis. Infeksi Plasmodium berghei ANKA pada mencit Swiss derived sampai dengan pasase ke 6 (BP6) menyebabkan perubahan keadaan umum rata-rata dimulai pada hari ke empat setelah inokulasi yaitu suhu tubuh subnormal, bum berdiri, berat badan turun, lesu, lemah, selaput lendir permukaan anemis, turgor buruk, faeces mengering. Dan dengan pasase berulang (sampai pasase ke 6), akan bertambah lagi gejala klinisnya sampai menjelang kematiannya yaitu jalan kiposis serta paralisis kaki belakang. Sedangkan tingkat kematian akibat pasase berulang pun bertambah besar. Kesimpulannya adalah makin banyak dilakukan pasase, maka mungkin terjadi peningkatan virulensi Plasmodium berghei ANKA.

PENDAHULUAN Penelitian aspek parasitologi, kemoterapi, dan imunologi, atau pengembangan vaksin penyakit malaria, banyak menggunakan malaria pada rodensia sebagai model, dengan pertimbangan rodensia merupakan hewan percobaan yang mudah ditangani, banyak keturunan, serta mudah dalam pemeliharaan.

34

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Plasmodium berghei adalah suatu hemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. Untuk memelihara kelangsungan hidup Plasmodium ini di laboratorium dilakukan dua cara. Pertama dengan menyimpan darah mencit yang mengandung parasit pada suhu –70°C atau

dalam nitrogen cair, kedua dengan memeliharanya dalam makhluk hidup (mencit); namun pada cara kedua perlu dilakukan pemindahan parasit karena mencit yang telah terinfeksi akan mati dalam jangka waktu tertentu bila tidak diobati. Pemindahan parasit (pasase) merupakan pemeliharaan kelangsungan perkembangan aseksual. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pasase terhadap gejala klinis pada mencit strain Swiss derived yang diinfeksi Plasmodium berghei ANKA. Mencit strain Swiss derived digunakan karena telah diketahui bahwa tanpa diobati, strain ini relatif lebih tahan hidup dibanding strain lainnya(1). BAHAN DAN CARA KERJA Dipakai mencit strain Swiss derived betina berusia 6–8 minggu (1–1,5 bulan) dengan berat badan rata-rata 20–25 gram (setiap pasase memerlukan 6 mencit). Mencit yang digunakan dipelihara pada suhu 27°C, diberi makan dan minum ad libitum. Pasase sporozoit (BPO) dipakai sebagai permulaan infeksi mencit. Pasase dilakukan dengan cara penyuntikan intra pentoneal sebanyak 0,25 ini/mencit. Setelah 7–10 hari dilakukan pasase pada mencit lain (BP1), dengan cara mengambil darah melalui mata, kemudian disuntikkan secara intrapenitoneal sebanyak 0,25 ini/mencit. Demikian selànjutnya dilakukan cara yang sama terhadap kelompok BP1 ke BP2, BP2 ke BP3 dan seterusnya. Pengamatan yang dilakukan tiap hari antara lain : angka kematian (mortalitas) dan mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei ANKA, gejala klinis yang tampak (suhu tubuh, berat badan, keadaan fisik). Selain itu tiap mencit diambil darah perifernya (melalui ekor) dan dibuat preparat ulas tipis untuk mengetahui pertumbuhan parasit. HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala klinis dan perubahan fisik yang diamati serta pertumbuhan parasit dalam darah dan masing-masing kelompok pasase adalah sebagai berikut: 1) Suhu tubuh Suhu tubuh mencit normal (sebelum diinokulasi P. berghei ANKA) dan dipelihara pada suhu 27°C adalah 38,41°C. Semua mencit yang diinokulasi parasit P. berghei ANKA serta dipelihara pada suhu 27°C mengalami penurunan suhu tubuh secara progresif (sudah dimulai hari ke 4 setelah inokulasi), bahkan menjelang kematian mencapai 32,2°C (Grafik 1). Penurunan suhu yang terus berlangsung ini diikuti dengan gejala klinis bulu berdiri. Penurunan suhu ini mungkin disebabkan: a) Kerusakan sistem termoregulator di otak. Karena P. berghet mampu menembus banier darah otak sehingga menyebabkan trombus yang berakibat antara lain nekrosis jaringan. b) Pada suhu ruang biasa, panas tubuh mencit akibat radang lebih banyak terbuang daripada menaikkan suhu tubuh(2). 2) Perubahan fisik/keadaan umum Hewan tampak lesu, lemah, kurus. Tampak pada grafik 2 berat badan turun rata-rata dimulai pada hari ke 4 setelah inokulasi, dan terus menurun sampai kematiannya. Hewan tampak

Grafik 1. Suhu Tuhuh Mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA

Hari ke

Sumber : Puslit Penyakit Menular.

pucat/anemis (tampak dari selaput lendir mata, anus, dan ekor); hal ini disebabkan banyaknya eritrosit yang terserang dan kemudian pecah/hilang pada saat pecahnya sison, atau eritrosit yang terserang membentuk trombus yang mengakibatkan timbulnya nekrosis janingan, anoksi, serta anemi. Bila kerusakan eritrosit ini meluas, maka hewan mengalami shock, dan apabila tidak diobati akan menyebabkan kematian(3). Grafik 2. Berat Badan Mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA

Hari ke

Sumber : Puslit Penyakit Menular.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

35

Menjelang kematian faeces mengering, mungkin karena hewan tidak nafsu makan dan minum, sehingga kekurangan cairan tubuh, yang diikuti dengan turgur yang buruk. Gejala-gejala tersebut selalu ada pada masing-masing kelompok pasase. Sedangkan gejala lain yang timbul yaitu: a) Hewan berjalan kiposis muncul pada BP5 hari ke 5 setelah inokulasi. Cara berjalan kiposis ini merupakan salah satu cara menahan sakit di daerah rongga perut; P. berghei dapat menyerang ginjal dan menyebabkan glomerulonefritis akut(3). b) Paralisis kaki belakang muncul pada BP6 hari ke 6 setelah inokulasi. Hal ini mungkin akibat kerusakan otak sebagai pusat susunan saraf karena pada otak tikus yang diinfeksi P. berghei terjadi perdarahan yang meluas (Mercado, dikutip dari 3).

Grafik 3. Pertumbuhan Parasit Plasmodium berghei ANKA pada Mencit yang dilnfeksl sampai dengan pasase ke-6

Pertumbuhan parasit dan tingkat kematian Dari Tabel 1 tampak bahwa pada pasase ke 6 (BP6) relatif lebih cepat dan lebih banyak jumlah kematiannya, hal ini mungkin karena pada saat tersebut parasitnya lebih virulen; virulensi parasit ini tergantung pada kemampuannya untuk memblokir kapiler otak,yang akhirnya menyebabkan kematian akibat shock(3). Tabel 1.

Jumlah Kematian Mencit (per hari) akibat Infeksi Plasmodium berghei ANKA

Hari ke

2

3

4

5

6

7

8

9

10

BP0 BP1 BP2 BP3 BP4 BP5 BP6

– – – – – – –

– – – – – – 1

– – – – – – 3

– – – – – 1 –

– 1 1 – – 2 1

– 2 2 – – – –

1 – – 1 – – –

2 – – 2 1 – –

2 – – 1 2 – –

Pada Grafik 3 tampak bahwa nilai rata-rata pertumbuhan parasit dalam darah dari hari 1 sampai dengan hari 10 berfluktuasi, dan mencapai puncaknya pada hari ke 3 (24,29 x 104/ mm3 darah), kemudian menurun, dilanjutkan kenaikan lagi pada hari ke 5 (23,39 x 104/mm3 darah), menurun lagi, dan naik lagi pada hari ke 8 (23,79 x 104/mm3 darah). Nilai rata-rata pertumbuhan parasit ini tidak berhubungan dengan tingkat kematian. Hal ini misalnya terlihat pada BP2 dengan BP6 di hari ke 5; nilai pertumbuhan parasitnya relatif sama, namun tingkat kematian pada BP6 relatif lebih besar. Hal tersebut mungkin karena sifat parasit akibat pasase berulang lebih virulen, sehingga relatif lebih besar tingkat kematiannya. Kenaikan jumlah parasit secara tidak progresif dalam darah mencit hingga mencapai puncaknya dan kemudian cenderung menurun tersebutjuga tidak ada hubungannya dengan penurunan suhu tubuh mencit.

36

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Sumber : Puslit Penyakit Menular

KESIMPULAN Gejala klinis yang umum timbul akibat infeksi Plasmodium berghei ANKA pada mencit strain Swiss derived, rata-rata setelah hari ke 4 setelah inokulasi, sampai kematiannya adalah : suhu tubuh subnormal., lesu, lemah, berat badan menurun, pucat anemis di seluruh selaput lendir permukaan, faeces mengering. Gejala klinis tersebut bervaniasilbertambah setelah dilakukan pasase berulang (sampai pasase ke 6), yaitu jalan kiposis, panalisis kaki belakang. Makin sering dilakukan pasase, mungkin menyebabkan peningkatan virulensi, ditandai dengan beragamnya gejala klinis, timbulnya kematian relatif lebih cepat, dan jumlah kematian relatif lebih besar. KEPUSTAKAAN

1. 2. 3. 4.

Suwarni, Tuti S, Dewi RM, Marwoto HA. Pengaruh Kiorokuin terhadap Jumlah Parasit pada Mencit yang Diinfeksi dengan Pt. berghei. Cermin Dunia Kedokt. 1994; 94: 58–60. Sadikin M. Peningkatan daya tahan tubuh oleh kenaikan suhu tubuh pada mencit terinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA. Cermin Dunia Kedokt. 1989; 55: 32–7. Aikawa M, Suzuki M, Gutierrez Y. In: Malaria-Pathology, Vector Studies, and Culture (Kreier JP ed). New York: Academic Press 1980. pp 47–95. Dewi RM, Sulaksono EM. Pengaruh Pasase Pt. berghei pada Mencit strain Swiss. Cermin Dunia Kedokt. 1994; 94: 61–3.

HASIL PENELITIAN

Keadaan. Hematologis Mencit yang Diinfeksi dengan Plasmodium berghei Rita M. Dewi, Harijani AM, Emiliana T, Suwarni, Rabea P. Yekti Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka mempelajari penggunaan binatang percobaan pada penelitian malaria, telah dilakukan penelitian keadaan hematologis mencit yang diinfeksi Plasmodium berghei. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan keadaan darah mencit yang menderita malaria dan mencari kelainan utama yang menyebabkan kematian mencit. Dipakai mencitjantan (umur 6 minggu), diinfeksi secara intraperitoneal dengan 0,1 ml darah yang mengandung 4 x 104 P. berghei. Secara acak dibagi menjadi tiga kelompok yaitu yang diperiksa pada hari ke dua (H2), hari ke lima (H5) dan hari ke sepuluh (H 10) setelah infeksi. Pemeriksaan terdiri dari pemeriksaan darah rutin dan kimia darah. Pada kelompok H5 dan H10 terjadi perubahan keadaan darah yaitu menurunnya nilai rata-rata eritrosit, hemoglobin dan hematokrit dan 4,3 juta/µl 12,89 g/dl dan 39,3 ml% menjadi 2,7 juta/µl; 7,73 g/dl dan 23,1 ml% pada H5 sedangkan pada H10 adalah 2,5juta/µl 6,67 g/dl dan 20,17 ml%. Keadaan leukosit meningkat dan 5490/µl menjadi 8250/µl dan 7700/µl Perubahan kimia darah terutama terjadi pada kelompok H5 yaitu menurunnya nilai glukosa darah dan 189,8 1 mg% menjadi 29,33 mg% sedangkan nilai bilirubin, kolesterol, ureum, SGPT dan SGOT meningkat dan 0,49 mg/dl; 101,07 mg/dl; 45,2 1 mg/dl; 68,29 IU dan 116,71 IU menjadi 0,83 mg/dl; 120,83 mg/dI; 56,75 mg/dl; 555,75 IU dan 963,83 IU. Kepadatan parasit tertinggi juga terjadi pada H5 yaitu 20,14% sedangkan pada H2 dan H10 adalah 5,91% dan 3,63%. Semakin lama infeksi, semakin nyata perubahan nilai rata-rata danah rutin, sedangkan perubahan kimia darah dan kepadatan parasit hanya pada H5. Kelainan utama yang menyebabkan mencit mati adalah penurunan jumlah eritrosit dan hemoglobin (anemia berat).

PENDAHULUAN Malaria adalah penyakit yang prevalensinya diperkirakan relatif tinggi dan merupakan masalah di daerah tropika. Malaria falciparum adalah penyebab kesakitan dan kematian tertinggi di antara jenis malaria lain(1). Dengan banyaknya kasus Plas-

modium falciparum resisten terhadap obat anti malaria dan P. falciparum sebagai penyebab malaria berat(2), maka banyak penelitian yang mengarah pada parasit ini. Sebelum penelitian dilakukan pada manusia umumnya terlebih dahulu dilakukan pada binatang percobaan. Plasmodium

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

37

berghei adalah penyebab penyakit malaria pada rodensia. Secara analisis molekuler tampaknya ada persamaan antara malaria roden dengan malaria P. falciparum(3), maka dalam rangka menunjang penelitian yang mengarah pada P. falciparum digunakan P. berghei. Untuk memelihara kelangsungan hidup Plasmodium ini maka parasit tersebut diinokulasikan pada mencit, mencit tersebut akan mati dalam jangka waktu tertentu sehingga perlu dilakukan pemindahan parasit ke mencit lain. Dalam rangka pemeliharaan dan perbanyakan parasit ini dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan hematologis (darah rutin dan kimia darah) dan gambaran parasitemia dari mencit yang terinfeksi tersebut untuk mengetahui perubahan darah mencit bila diinfeksi dengan P. berghei. Data ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan untuk menentukan saat memanen atau memindahkan parasit. BAHAN DAN CARA KERJA Digunakan mencit strain Swiss jantan berumur ± 6 minggu dengan berat badan 18–20 gram.Sampel diambil secara acak dari kandang yang berbeda, dipelihara dalam suatu ruangan dengan temperatur ± 28°C dan kelembaban relatif ± 90%. Sebagai kelompok kontrol digunakan 10 ekor mencit untuk pemeriksaan darah rutin (eritrosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit, hitung jenis) dan 14 ekor untuk pemeriksaan kimia darah (bilirubin, kolesterol, kreatinin, glukosa, ureuni, total protein, fosfatase alkali, SGPT dan SGOT). Kelompok perlakuan adalah kelompok yang diinfeksi dengan 4 x 104 P. berghei dalam 0,1 ml darah yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu yang diikuti sampai dengan hari ke dua (H2 = 20 ekor), ke lima (H5 = 22 ekor) dan ke sepuluh (H10 = 13 ekor). Sebelum darah diambil, mencit dianestesi dengan eter secara tetes terbuka (hewan dimasukkan dalam silinder tertutup yang di dalamnya dibeni kapas yang dibasahi dengan eter). Sampel darah diperoleh dari sinus orbitalis (medial canthus sinus orbitalis) menggunakan mikrohematokrit Untuk pemeriksaan darah rutin darah ditampung sebanyak ± 0,5 ml dalam tabung yang telah diberi knistal EDTA. Untuk pemeriksaan kimia darah digunakan tabung mikrosentrifuge (tanpa antikoagulan) untuk mendapatkan serum. Sebanyak ± 1 ml darah disimpan dalam temperatur kamar ± I jam, kemudian disentrifuge dengan kecepatan 8000 rpm selama 2 menit. Serum ditampung, kemudian diperiksa kimia darah secara elektrofotometrik. Pemeriksaan ini dilakukan di Laboratorium RS Fatmawati, Jakarta. Penilaian parasitemia dilakukan dengan membuat sediaan darah tipis (sediaan hapus) yang difiksasi dengan methanol kemudian diwarnai dengan Giemsa secara standar. Tingkat parasitemia dinyatakan dengan persen eritrosit yang terinfeksi dalam seribu eritrosit.

HASIL Dari hasil observasi, pada mencit kelompok perlakuan, gejala sakit mulai terlihat pada hari ke lima yaitu hewan tampak kurus, menggigil, suhu tubuh terasa dingin, posisi tubuh kiposis dan pucat pada selaput lendir mata, moncong, daun telinga dan ekor.Makin lama gejala ini makin jelas dan mencit menunjukkan

38

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

tanda sakit berat (mencit diam, tidak aktif, menggigil dengan bulu berdiri, berat badan semakin menurun, pucat sampai iktenus pada selaput lendir dan turgor kulit memburuk). Pada pemeriksaan darah rutin H2 ternyata tidak terjadi perubahan yang bermakna, kecuali persentase netrofil yang meningkat disertai penurunan persentase limfosit. Pada pemeriksaan kimia darah terjadi penurunan nilai rata-rata bilirubin dan glukosa, sedangkan total protein dan SGOT meningkat (Tabel 1). Tabel 1.

Hasil pemeriksaan darah rutin dan kimia darah mencit yang diinfeksi dengan P. berghei, pada kelompok H2

No

Jenis pemeriksaan

Kontrol (X ± SE)

H2 (X ± SE)

P < 0,005

1 2 3 4 5

Eritrosit(juta/UL) Hemoglobin (g/dl) Hematokrit(ml%) Trombosit (x103/ul) Leukosit(xI0'/ul) - Neotrofil (°h) - Limfosit (%a) Bilirubin (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Kreatinin (mgldl) Glukosa (mg%) Ureum (mg/di) Total protein (g/dl) Fosfatase alkali (IU) SGPT (IU) SGOT (IU)

4,3 ± 0,38 12,89 ± 1,35 39,30 ± 3,24 268 ± 73 5.49± 1,67 27 ± 6,2 72 ± 6,1 0,49 ± 0,01 101,07 ± 14,82 0,4 ± 0,04 189,71±35,55 45,21 ± 3,47 5,76 ± 0.61 208,21 ±49,33 68,29 ± 21.94 116,71 ±44.76

4,34± 0,12 13,33 ± 0,45 40,00± 1,43 308,57 ± 21,63 5,79± 1.33 55,43 ± 8,08 44,57 ± 8.08 0,38 ± 0,07 103.85 ± 19.12 0,39 ± 0,02 111,38± 19,08 50,38 ± 0,41 6.49 ± 0,38 193,77 ± 51,34 89.85 ± 33.07 360,15 ± 180,80

TB TB TB TB TB B B B TB TB B TB B TB TB B

6 7 8 9 10 11 12 13 14

Keterangan: TB = Tidak Bermakna B = Bermakna

Pada kelompok H5 terjadi perubahan berupa menurunnya sebagian besar komponen darah rutin yaitu eritrosit, hemoglobin dan hematokrit sedangkan trombosit dan leukosit meningkat dengan persentase neutrofil lebih tninggi dan limfosit lebih rendah dan kontrol. Pada pemeriksaan kimia darah, kelompok H5 mengalami perubahan pada nilai rata-rata bilirubin. Ureum, SGPT dan SGOT yang meningkat sedangkan glukosa dan fosfatase alkali menurun (Tabel 2). Tabel 2.

Hasil pemeriksaan darah rutin dan kimia darah mencit yang diinfeksi dengan P. berghei, pada kelompok H5

No

Jenis pemeriksaan

Kontrol (X ± SE)

H2 (X ± SE)

P < 0,005

1 2 3 4

Eritrosit (juta/UL) Hemoglobin (g/dl) Hematokrit(ml%n) Trombosit (x I0'/ul) Leukosit (x 10'/ul) Neotrofil (%) Limfosit (%) Bilirubin (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Kreatinin (mg/dl) Glukosa (mg%) Ureum (mg/d)) Total protein (g/dl) Fosfatase alkali (IU) SGPT (IU) SGOT (IU)

4,3 ± 0.38 12,89± 1,35 39,30± 324 268 ± 73 5,49 ± 1.67 27 ± 6.2 72 ± 6,1 0.49 ± 0,01 101,07 ± 14,82 0,4 ± 0,04 189,71 ± 35,55 45,21 ± 3.47 5,76 ± 0,61 208.21 ± 49,33 68.29 ± 21,94 116,71 ± 44.76

2.7 ± 0.56 7.73± 1,83 23,10± 5.48 327 ± 37 8.25 ± 4,91 55.6 ± 13.28 44.4 ± 13.28 0.83 ± 0.18 120.83 ± 35,95 0.37 ± 0.04 29.33 ± 12.44 56.75 ± 7.92 5.93 ± 0.31 150,75 ± 42.04 555,75 ± 126.58 963.83 ± 156.17

B B B B B B B B TB B B B TB TB TB B

6 7 8 9 10 11 12 13 14

Keterangan: TB = Tidak Bermakna B = Bermakna

Pada kelompok Hl0 hasil pemeriksaan darah rutin yaitu eritrosit, hemoglobin dan hematokrit semakin jelas menurun sedangkan nilai trombosit, neutrofil dan limfosit berubah kembali mendekati keadaan normal sehingga tidak berbeda nyata dengan kontrol. Keadaan nilai leukositjuga kembali mendekati normal, namun tetap berbeda nyata dengan kontrol. Demikian pula hasil pemeriksaan kimia darah narnpaknya cenderung kembali ke keadaan normal sehinggajika dibandingkan dengan kontrol yang berbeda nyata adalah kolesterol, total protein dan glukosa yang lebih rendah sedangkan SGPT dan SGOT tetap tinggi (Tabel 3). Tabel 3.

Hasil pemeriksaan darah rutin dan kimia darah mencit yang diinfeksi dengan P. berghei, pada kelompok H10

No

Jenis pemeriksaan

Kontrol (X ± SE)

H2 (X ± SE)

P < 0,005

1 2 3 4 5

Eritrosit (juta/UL) Hemoglobin (g/dl) Hematokrit(ml%) Trombosit(xI0'/ul) Leukosit(x103/ul) Neotrofil (%) - Limfosit (%) Bilirubin (mg/dl) Kolesterol (mg/dl) Kreatinin (mg/dl) Glukosa (mg%) Ureum (mg/dl) Total protein (g/dl) Fosfatase alkali (IU) SGPT (IU) SGOT (IU)

4,3 ± 0,38 12,89 ± 1,35 39,30± 3,24 268 ±73 5,49 ± 1,67 27 ± 6,2 72 ± 6,1 0,49 ± 0,01 101,07± 14,82 0,4 ± 0,04 189,71 ± 35,55 45,21 ± 3,47 5,76 ± 0,61 208,21 ±49,33 68,29 ± 21,94 116,71 ± 44,76

2,5 ± 0,45 6,67 ± 0,93 20,17± 2,83 245 ± 28,33 7,7 ± 1,33 35,5 ± 2,83 60,67 ± 4,33 0,39 ± 0,13 55,14± 10,41 0,47 ± 0,04 83,29 ± 24,82 51,71 ± 8,82 4,99 ± 018 150 ± 62,57 258,43 ± 172,20 606,43 ± 201,22

B B B TB B TB TB TB B TB B TB B TB B B

6 7 8 9 10 II 12 13 14

Keterangan: TB = Tidak Bermakna B = Bermakna

Kepadatan parasit tertinggi terjadi pada kelompok H5 yaitu sebesar 20,14% sedangkan pada kelompok H2 dan H10 adalah 5,91% dan 3,63% (Tabel 4). Tabel 4.

Nilai rata.rata kepadatan parasit dan flap kelompok mencit yang diinfeksi dengan P. berghei

Hari Pengamatan ke

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kepadatan parasit (%) Kelompok H2 2,47 5,91 * – – – – – – – –

Kelompok H5 2,06 4,87 8,01 13,72 20,14 * – – – – –

Kelompok H10 3,12 5,07 9,38 12,49 19,98 19,80 14,65 8,08 5,13 3,63

Keterangan: – = Tidak dilakukan pemeriksaan mencit mati * = Kepadatan parasit pada saat dilakukan pemeriksaan hematologi

PEMBAHASAN Malaria dapat menyebabkan hemolisis eritrosit dan menurunkan kadar hemoglobin(5,6). Pengaruh infeksi P. berghei ter-

utama adalah terjadinya hemolisis. Banyaknya eritrosit yang mengalarni lisis menyebabkan nilai hemoglobin dan hematokrit menurun. Semakin lama infeksi menyebabkan semakin banyak eritrosit yang hilang dan semakin rendah nilai hemoglobin dan hematokrit. Penderita malaria juga mengalami trombositopeni karena umur trombosit memendek dan penggantian trombosit meningkat kira-kira dua kali lipat(7). Pada infeksi P. berghei gejala tersebut tidak tampak, pada saat menjelang kematianpun nilai trombosit tidak berbeda nyata dengan kontrol. Seperti penyakit lain, infeksi P. berghei juga menyebabkan meningkatnya jumlah leukosit yang disertai tingginya netrofil. Dari hasil pemeriksaan darah rutin nampaknya penyebab utama kematian mencit adalah anemia hemolitik. Pengaruh infeksi P. berghei pada keadaan kimia darah adalah rnenurunnya kadar glukosa darah. Rendahnya kadai glukosa darah pada penderita malaria disebabkan karena konsumsi glukosa oleh parasit, pemasukan makanan yang kurang dan metabolisme yang rneningkat(8). Pada penelitian ini juga terlihat adanya peningkatan nilai total protein dan bilirubin, hal ini mungkin karena terjadinya hemolisis darah oleh parasit. Hernolisis darah menyebabkan meningkatnya jumlah protein yang berikatan dengan bilirubin di dalam darah(9), di samping itu kerusakan hepatoseluler dan gangguan sirkulasi empedu pada keadaan ikterus hernolitikjuga dapat menyebabkan jumlah protein yang berikatan dengan bilirubin meningkat dalam darah(10). SGPT merupakan enzirn khas hati sehingga baik untuk diagnosis dan prognosis; bila terjadi perubahan kadar enzirn ini berarti ada kerusakan hati. SGOT dapat untuk rnendiagnosis jika semua jaringan lain selain hati dalam keadaan baik dan sehat. Adanya peningkatan jumlah enzim (SGPT dan SGOT) dalam serum mencit yang terinfeksi P. berghei mungkin disebabkan kerusakan sel-sel parenkhim hati atau gangguan permeabilitas membran sel hati sehingga enzim tersebut bebas keluar dari sel dan masuk ke dalam pembuluh darah melebihi biasanya sehingga kadarnya dalam darah meningkat. Pembesaran hati, jaundice dan kelainan fungsi hati sering terjadi pada malaria falciparurn(10). Karena P. berghei menyerupai P. falciparum maka mungkin P. berghei rnemberikan gambaran yang sama seperti malaria falciparum. Pada penelitian ini narnpaknya pengaruh P. berghei pada darah rutin berbeda nyata rnulai hari ke lima setelah infeksi, pada saat kepadatan parasit mencapai puncaknya (Tabel 4). Perubahan tersebut berupa penurunan jumlah eritrosit, hemoglobin dan hematokrit, juga terjadi pergeseran komposisi leukosit. Semakin lama, jumlah enistrosit, Hb dan hematokrit semakin rendah (H10) namun penurunannya hanya sedikit (dari H5 ke HlO) karena jumlah parasit pada Hl0 juga sudah berkurang. Berkurangnyajurnlah parasit mungkin karena sangat rendahnya kadar glukosa darah pada H5 sehingga banyak parasit yang mati. Berkurangnyajumlah parasit tampaknya menyebabkan keadaan kirnia darah cenderung kembali normal, sehingga puncak perubahan kimia darah rnencit akibat P. herghei terjadi pada hari ke lima, pada saat terjadi puncak kepadatan parasit. KESIMPULAN Pada penelitian ini, P. berghei pada mencit terutama me-

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

39

nyebabkan anemi hemolitika. Makin lama penyakit, anemi makin berat dan menyebabkan kematian. Pola ini berbeda dengan keadaan kimia darahnya yang tampaknya sesuai dengan angka parasitemia. Berdasarkan keadaan darah dan kepadatan parasit maka penentuan saat memanen, memindahkan/melestarikan P. berghei dapat dilakukan pada hari ke lima pa infeksi. UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada Dr. Suriadi Gunawan DPH selaku Kepala Puslit Penyakit Menular yang telah mendukung penelitian ini sehingga dapat terlaksana. Terima kasih juga ditujukan kepada Dra. Harijani AM selaku Ketua Kelompok Penelitian Penyakit Bersumber Binatang dan Dr. Hardi Gunawan DSPK sebagai Kepala Instalasi Laboratorium RS Fatmawati yang telah membimbing selama penelitian, juga Sdr Imu Rahman dan Kelompok Binatang Percobaan dan seluruh staf laboratorium RS yang telah membantu pelaksanaan sehingga penelitian ini terlaksana dengan baik KEPUSTAKAAN

1.

40

Garnham PCC. Plasmodium falciparum. In: Krier JP Malaria I, eds Epi-

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

demiology, Chemotherapy, Morphology and Metabolism. New York, London, Toronto,Sydney San Francisco: Academic Press. 1980; 104–109. 2. Tjitra E. Malaria berat. Cermin Dunia Kedokt 1988; 48. 3. Perkins ME. Erythrocyte invasion by the malarial merozoite. Recent Advances. Minireview. Experimental Parasitology. 1989; 69: 94–9. 4. Smith JB. Mangkuwidoyo S. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropik.Department of Education and Culture, Directorate General of Higher Education, International Development Program of Australia Universities and Colleges, UI Press. Jakarta. 5. Hall AP dkk. Jaundice in falciparum malaria. Annual Report SEATO Medicine Research Laboratory. 1975; :234-36. 6. Sihadi, Sandjaja, Karyadi D. Kaitan malaria dan hemoglobin. Medika 1990; 16(11). 7. Skudowitz RB, Katz J, Lurie A dkk. Mechanism of thrombocytopenia in malignant tertian malaria. BMJ 1973; 2: 515–17. 8. White NJ, Warrel DA, Chantavanich P dkk. Severe hypoglycaemia and hyperinsulinemia in f malaria. N Engi J Med 1983; 309: 61–6. 9. Girinda A. Patologi Klinik. Departemen Biokimia Fakultas Kedokteran Hewan, IPB. 1981. 10. Ramachandran S, Parera MV. Jaundice and hepatomegaly in primary malaria. J Trop Med and Hyg 1976; 79: 207–10..

HASIL PENELITIAN

Cendawan Patogen pada Larva Nyamuk Culex quinquefasciatus berasal dari Kubangan Air Limbah Rumah Tangga untuk Menunjang Pengendalian Hayati Amrul Munif Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka mencari agen pengendali nyamuk telah dilakukan penelitian terhadap cendawan patogen lokal pada berbagai instar larva Cx. quinquefasciatus yang berasal dari selokan air tergenang di Jakarta. Selama penelitian telah diperiksa sebanyak 5.438 ekor larva Cx. quinquefasciatus yang terdiri dari 4 instar dan stadium pupa. Dari sampel larva ini telah berhasil dibiakkan dalam agar Sabouraud dektrosa sebanyak 42 isolat yang terdiri dari 24 genus cendawan yang mempunyai perbedaan dalam sebaran serta frekuensinya pada setiap instar. Cendawan yang terbanyak ditemukan pada semua instar Cx. quinquefàsciatus adalah Blastomyces sp (0,44), Culicinomyces (0,44), Candida sp (0,33); Geotrichum sp (0,33); Verticuluin sp (0,33); Lagenidium sp (0,44) dan Penicillium sp (0,22) serta genus cendawan lainnya mempunyai nilai frekuensi di bawah 0,22. Prevalensi cendawan pada berbagai instar larva dan stadium pupa Cx. quinquefasciatus asal selokan tanah mempunyai perbedaan bermakna (p = 0,05). Tingkat infeksi tertinggi ditemukan pada stadium pupa (27,4%); instar 1(19,9%); instar III (25,4%); instar II (17,5%); dan paling rendah pada larva instar IV (14,8%). Hasil temuan keseluruhan cendawan yang diperoleh ternyata dua genus diantaranya telah dikenal sebagai agen pengendali hayati yaitu genus Culicinomyces sp dan Lagenidium sp. Keduanya termasük dalam kelompok fungi imperfecti. Kata kunci: Cendawan Patogen – Nyamuk Vektor – Pengendali Hayati

PENDAHULUAN Culex quinquefasciatus merupakan salah satu nyamuk vektor filaria di daerah endemis perkotaan dan perkampungan di Indonesia. Tempat perkembang biakan nyamuk ini tidak jauh dan pemukiman yaitu antara lain di selokan, genangan air penampungan limbah rumah tangga. Larva-larva tersebut dapat berkembang baik bila tempat-tempat tersebut banyak mengan-

dung bahan organik sebagai sumber bahan makanan; larva ini tidak terlepas dan infeksi organisme lainnya baik yang bersifat patogen maupun tidak. Parasit bersifat patogen antana lain cendawan dapat dimanfaatkan untuk menurunkan populasi larva nyamuk tersebut; untuk pengembangannya diperlukan pengetahuan khusus mengenai bioekologi nyamuk sebagai vektor dan cendawan sebagai agen pengendali.

Makalah ini disajikan dalam pertemuan Seminar Sümbangan Entomologi dalam bidang Pertanian dun Kesehatan. PEI Cabang, Bandung,3 Agustus 1994. Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

41

Secara umum daur hidup nyamuk dapat dibagi dalam empat stadium kehidupan yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Tiga dari empat stadium kehidupan tersebut berada di dalam air,sedangkan stadium dewasa berada di luar air. Dalam kondisi normal, semua jenis telur nyamuk akan menetas menjadi larva setelah 2 sampai 3 hari di dalam air pada suhu optimum yang berkisar antara 25° –36°C; sedangkan suhu yang lebih rendah misalnya 20°C akan menurunkan aktivitas pertumbuhan, demikian pula pada suhu 40°C(1). Cendawan merupakan tumbuhan yang tidak berklorofil, tubuhnya berupa sel atau benang hifa yang mempunyai dinding, inti dan sitoplasma di dalamnya; dinding sel atau hifa terdiri dari selulosa atau kitin atau keduanya; pada umumnya berkembang biak secara aseksual dan seksual. Cendawan tidak berklorofil sehingga tidak dapat membentuk makanannya sendiri (autotrop) dan harus menggantungkan hidupnya pada hewan (heterotrop), dapat hidup sebagai parasit atau saprofit. Cendawan yang hidup sebagai saprofit tidak merugikan makhluk lain karena dapat hidup dan zat organik yang sudah tidak diperlukan lagi oleh pemiliknya. Sebaliknya cendawan yang bersifat parasit serta patogen dapat merugikan inang yang dihinggapinya dan juga dapat menyebabkan kematian inang misalnya cendawan Coelomomyces sp., Culicinomyces sp., Metarrhizium sp., Lagenidium sp. Beauveria sp dan Saprolegnales sp.(2). Cendawan parasit pada larva nyamuk dapat berkembang secara alami dengan larva sebagai inang definitif dan cephopod sebagai perantara dan dengan keadaan lingkungan yang mendukung patogen untuk dapat mencapai jasad sasaran. Beberapa jenis cendawan yang bersifat patogen telah dikenal sejak tahun 1930 an sebagai agen pengendali biologis yang potensial terhadap larva nyamuk yang hidup di air tawar dan payau. Bahkan secara sinambung agen yang bersifat patogen telah dikembangkan dan diteliti oleh Vektor Control Research Centre, Pondicherry India. Jenis cendawan ini telah dapat dibiakkan secara in vivo maupun in vitro(3). Pembentukan hipagen juga terjadi di dalam tubuh larva nyamuk yang akan mengakibatkan kematian bagi larva nyamuk yang terinfeksi. Hewan yang hidup di air diperkir berperan memindahkan spora-spora cendawan dan satu kolam ke kolam lainnya. Perpindahan spora ini dapatjuga dilakukan oleh angin pada saat kolam atau selokan mengalarni kekeringan, kemudian dalam bentuk debu akan berpindah ke lain tempat(4). Spora ini dapat tahan perubahan (melalui proses pengeringan) dari panas dan dingin yang terjadi dalam habitat untuk jangka waktu 20 tahun(5). Sifat biologi cendawan parasit dapat melakukan reproduksi aseksual ditandai adanya pembentukan konidia dan umumnya ditemukan pada kelas Deuteromycetes yang termasuk parasit fakultatif. Larva nyamuk dapat terinfeksi oleh masuknya konidia yang menempel dan menembus kulit kemudian menuju ke usus depan atau usus buntu. Pada kelompok cendawan yang berproduksi secara seksual (Coelomocyces sp) zigot akan masuk ke tubuh larva nyamuk untukk emudian membentuk sporangia yang membutuhkan waktu 14 sampai 21 hari. Temperatur air yang sesuai untuk terjadinya infeksi pada larva nyarnuk antara 30–35°C,dan

42

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

akan lebih berkernbang pada kondisi daerah tropis(6). Penelitian ini bertujuan untuk mengenal beberapa jenis cendawan patogen pada larva nyamuk Culex quinquefasciatus di Jakarta, dan beberapa masalah yang terkait dalam rangka mencari agen pengendali hayati. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Entomologi Kesehatan, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan bulan Januani sampai Mei 1990. Larva dan pupa yang diperiksa diambil dari kondisi perairan tergenang yang merupakan penampungan buangan air rumah tangga. Dan setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel larva dan pupa sebanyak tiga kali dengan 10 kali cidukan di setiap stasiun. Pada penampungan air rumah tangga ditentukan 15 stasiun pengambilan sampel secara acak. Dicatat pula data mengenai lingkungan baik biotik maupun abiotik dan setiap genangan air. Larva dan pupa yang telah terkumpul dalam botol sampel dipisahkan menurut instar larva dan stadium. Dengan batang kaca steril larva digerus kemudian ditanam pada cawan petri berisikan agar Sabouraud dektrosa steril. Selanjutnya biakan dieramkan pada suhu kamar selama 1 –2 minggu. Biakan ini diletakkan dalam stoples plastik yang ditutup kain kasa. Setelah koloni tumbuh diisolasi kembali dalam cawan petri yang jumlahnya sesuai dengan jumlah cendawan yang tumbuh. Setiap hari dilakukan pengamatan bentuk morfologi dan sifat cendawan yang tumbuh. Pembuatan sediaan kultur digunakan untuk pemeriksaan secara mikrokopis dari bentuk spora, hifa dan miselium yang kemudian dicocokkan dengan kunci determinasi. Nilai frekuensi diperoleh dan kemunculan jenis cendawan dari jumlah seluruh cendawan yang ditanam. Sedangkan nilai prevalensi adalah persentasejumlah isolat yang ditemukan pada setiap instar larva dan pupa yang dipeniksa. Untuk melihat perbedaan di antara instar larva dan pupa yang terinfeksi cendawan, digunakan analisis uji F 005. Hari-hari pengambilan sampel sebagai ulangan dan instar larva serta pupa yang terinfeksi sebagai perlakuan. Bila ditemukan adanya perbedaan maka analisis dilanjutkan dengan pengujian LSD(7). HASIL DAN PEMBAHASAN Larva dan pupa Cx. quinquefasciatus yang diperiksa sebanyak 5.438 ekor berasal dan beberapa tempat penampungan limbah domestik. Rata-rata kerapatan populasi larva dan pupa secara kumulatif mencapai 54,4 per cidukan. Sedangkan pada setiap pengambilan sampel diperoleh rata-rata 18,2 larva per cidukan (Tabel 1). Kondisi lingkungan selokan pada umumnya mempunyai kedalaman rata-rata antara 40–120cm dengan dasar lumpur dan tepian tanah. Di tempat ini banyak dijumpai bahan organik seperti daun-daun kering, ranting kayu, bahkan feses manusia, yang banyak membantu perkembangan cendawan. Selain itu juga ditemukan dalam jumlah banyak larva dan hewan Avertebrata dari jenis Daphnia. Kondisi fisik perairan selokan rata-rata mempunyai pH air 6,0 dan suhu antara 25°C–28°C, dengan warna air hitam jernih. Dari sampel larva telah berhasil dibiakkan sebanyak 42 isolat

Tabel 1.

Kerapatan Populasi Larva Cx. quinquefasciatus pada setiap pengambilan sampel di selokan tanah di Jakarta

Periode pengambilan sampel

Instar/ stadium

Jumlah Rata-rata larva per dip terkoleksi

1

I (satu) II (dua) III (tiga) IV Pupa

284 354 235 305 108

2,8 3,5 2,4 3,5 1,1

Jumlah

1286

12,9

2

1 (satu) II (dua) III (tiga) IV Pupa

328 261 175 229 12

3,3 2,6 1,8 2,3 1,2

Jumlah

1005

10,1

3

I (satu) 11 (dua) III (tiga) IV Pupa

755 480 750 982 180

7,6 4,8 7,3 9,8 1,8

Jumlah

3147

31,5

I (satu) 11 (dua) III (tiga) IV Pupa

1367 1095 1160 1516 300

13,7 10,9 11,6 15,2 3,0

Jumlah

5438

54,4

Jumlah keseluruhan Instar

Tabel 2.

No. Kondisi air selokan

air berwarna hitam jernih. pH air 6,0 suhu air 25 28°C bagian tepi berupa lumpur. Banyak bahan organik dan hewan air (daphia) air berwarna hitam jernih, pH air 6,0 suhu air 25 28°C bagian tepi herupa lumpur. Banyak bahan organik dan hewan air (daphia) air berwarna hitam jernih, pH air 6,0 suhu air 25 28°C bagian tepi berupa lumpur. Banyak bahan organik clan hewan air (daphia)

terdiri dari 24 genus cendawan yang berbeda dalam frekuensi dan prevalensinya, tergantung dari instar. Frekuensi cendawan yang sering muncul dalam penauaman pada semua instar larva Cx. p. quinquefasciatus adalah Blastomyces sp (0,44); Culicinomyces (0,44); Candida sp(0,33); Geotrichum sp (0,33); Verticulum sp (0,33); Legenidium sp (0,44) dan Penicillium sp (0,22). Genus cendawan lainnya mempunyai nilai frekuensi di bawah 0,22 (Tabel 2). Prevalensi cendawan yang ditemukan pada berbagai instar larva dan stadium pupa Cx. p. quinquefasciatus asal selokan tanah mempunyai perbedaan bermakna (p = 0,05). Tingkat infeksi tertinggi ditemukan pada stadium pupa (27,4%), instar III (25,4%), instar 1(19,9%), instan 11(17,5%) dan paling rendah pada larva instar IV (14,8%). Cendawan saprofit maupun parasit akan memanfaatkan bahan organik maupun hewan avertebrata lainnya untuk perkembangan lebih lanjut. Telah dinyatakan bahwa konidiospora Culcinomyces dapat bertahan selama 30 hari yang mengakibatkan kematian 85% – 100% larva nyamuk. Medium buatan yang digunakan untuk pembiakan cendawan Culicinomyces terdiri dari partikel tanah, daun-daunan, sedimen konidiospora mampu bertahan satu minggu dan. masih dapat. membunuh larva Culex. Serasah dan lumpur dapat membantu kehidupan cendawan tertentu, sehingga bila dilihat dan frekuensi

1 2. 3. 4. 5. 6. 7 8. 9. 10. 11. 12 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19 20. 21 22. 23. 24. 25. 26.

Sebaran Genus Cendawan yang berhasil diisolasi dari berbagai instar larva dan pupa Cx. p. quinquefasciatus di selokan tanah Cendawan

Acremium sp Aspergillus sp Antheridium sp Blastomyces sp Candida sp Cephalostrum sp Cladispora sp Culicinomyces sp Dendrospora sp Epidermophyton sp Fucarium sp Geotrichum sp Humicola sp Histoplasma sp Lbgenidium sp Leptographium sp Microspirium .cp Monilia sp Monosporium sp Penicillium sp Scopulariopsis sp Saprolegnalessp Stachylodium sp Spiera sp Varicosporium sp Verticulum sp

Instar larva

Stadium

Frekuensi

1 2, 3, 4 1 2,4 1 3 2 2,3 3 2,3 2 2, 3, 4 4 2,3 3,4 1 3 – 4 2,3 4 3 2 2 3,4 1,3

– p p p p – – – – – – – – – p – – p – – p p – – p p

0,11 0,44 0,22 0,33 0,33 0,11 0,11 0,33 0,11 0,22 0,11 0,33 0,11 0,22 0,33 0,11 0,11 0,11 0,11 0,22 0.22 0,22 0,11 0,11 0,33 0,33

serta prevalensi cendawan yang ditemukan dalam penelitian ini wajar karena banyak faktor pendukung tersebut di atas. Konsentrasi ion hidrogen mempunyai pengaruh penting terhadap kehidup dan produksi zoospora Lagenidium(8). Bahkan juga konsentrasi kadar garam dapat menahan produksi zoospora cendawan tertentu. Faktor abiotik Iainnya adalah temperatur air yang berpengaruh terhadap pembentukan konidiospora. Cendawan Aspergillus sp merupakan cendawan kosmopolit yang berperan sebagai salah satu komponen dalam proses perombakan di tanah(7). Dalam siklus hidupnya cendawan tersebut dapat bertindak sebagai saprofit, yang mudah berkembang dan menghasilkan spora walaupun keadaan lingkungan kurang menguntungkan(8). Cendawan genus lainnya adalah Epidermophyton sp dan Geotrichum sp menyebar secara merata pada seluruh instar. Kedua genus cendawan ini selalu ditemukan pada tanaman yang mati, tanah, ranting kayu dan daun serasah yang terendam air. Cendawan lain yang ditemukan pada larva Cx. p. quinquefasciatus dan telah dikenal sebagai agen pengendali hayati adalah Culicinomyces sp dan Lagenidium sp dalam habitat selokan. Kejadian ini sesuai dengan hasil penelitian terdahulu dimana kedua genus cendawan tersebut merupakan cendawan yang bersifat spesifik dalam memilih inangnya yang tersebar di selokan yang banyak mengandung sampah domestik, sayur sayuran dan bahan organik lain yang dapat menunjang kehidupan cendawan(9). KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

43

1. Geotrichum sp dan Aspergillus sp merupakan cendawan yang paling luas penyebarannya dan mempunyai kaitan paling besar dengan kondisi Iingkungan sebagai habitat Cx. p. quinquefasciatus. 2. Kerapatan populasi larva nyamuk Cx. p. quinquefasciatus rnernpunyai kaitan dengan banyaknya atau frekuensi ditemukannya cenclawan. 3. Tingkat infeksi tertinggi ditemukan pada stadium pupa. 4. Dua genus cendawan yang telah dikenal sebagai agen pengendali ternyata ditemukan pada larva Cx. p. qunquefasciatus dalam jumlah sedikit yaitu Lagenidium dan Culicinomyces. 1.

44

KEPUSTAKAAN Reid JA. Anophelcs mosquitoes of Malaya and Borneo. Government Malaysia. 1968; 510 hal.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Brown H. Mosquito control: some perspectives for developing countries. Nat. Acad. Sci. Washington. 1973; 63 hal. WHO. Lagenidium gigantium. Data sheet on the biological control agent. Information Document. WHO/VBC/79 –753. 1979. WHO. Culicinomyces clavoporus. Data sheet on the biological control agent. Doc. WHO/VB 755. Rev. I –7. 1980. Frances SP, Russell RC, Panter C. Persistence of the mosquito pathogenic fungus Culicinomyces in artificial aquatic environments. Mosq. News 44. 3; 312. Ling, Donaldons. Biotic and abiotic factors affecting stability of Beauveria bessiana conidia in soil. J Invertebrate Pathol 36; 191–200. Hazen EL, Read FC. Laboratory Identification of Pathogenic Fungi Simplified. Springfield Illinois: Charles C. Thomas. PubI. 1960. Zimmermann C. Insect pathogenic fun as pest control agents. Dalam: J. Franz, ed. Biological Plant and Health Protection. Stuttgart, New York: Gustav Fisher Verlag. 1986. Cole, Kendrick. Biology of Conidial Fungi. New York, Toronto, Sydney, San Fransisco: Academic Press. 1981. Vol. 2; 201–7.

HASIL PENELITIAN

Penentuan Vektor Filariasis bancrofti di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur Barodji, Sumardi, Tn Suwardjono, Rahardjo Heru Prijanto, Sutopo Stasiun Penelitian Vektor Penyakit, Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Salatiga

PENDAHULUAN Kecamatan Tanjung Bunga di samping sebagai daerah endemis penyakit malaria di Flores Timur, juga merupakan daerah endemis penyakit filariasis yang disebabkan oleh cacing W. bancrofti. Survai penyakit filariasis bulan Juli–Agustus tahun 1992 dan 1993 menunjukkan bahwa penderita filariasis di desadesa di kecamatan Tanjung Bunga berkisar antara 0,00–l7,60%(1). Sedangkan informasi nyamuk yang menjadi vektor filariasis di kecamatan Tanjung Bunga belum ada. Sampai dengan tahun 1991 belum pemah dilakukan pemberantasan vektor penyakit filariasis. Tahun 1992 dimulai upaya pemberantasan nyamuk baik yang menjadi vektor malaria maupun filariasis. Untuk penilaian pemberantasan nyamuk vektor tersebut telah dilakukan penangkapan nyamuk secara intensif dan pemeriksaan larva cacing filaria pada nyamuk (Anopheles dan Culex) yang dicurigai sebagai vektor. Dalam makalah ini disajikan hasil pemeriksaan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria di beberapa desa di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur.

BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi penelitian Penelitian penentuan vektor filariasis dilakukan di Kecamatan Tanjung Bunga,Flores Timur, NTT. Kecamatan ini dipilih karena merupakan daerah endemis filariasis. Ibu kota kecamatan adalah desa Waiklibang, terletak 30km ke arah timur laut ibu kota kabupaten Flores Timur (Larantuka). Pemukiman penduduk di kecamatan Tanjung Bunga umumnya berlokasi di pinggir pantai Teluk Hading (Gambar 1). Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah nelayan, petani ladang dan penderes pohon lontar. Tanaman padi hanya dijumpai pada musim hujan.

• 1. 2. 3. 4. 5.

Lokasi penangkapan nyamuk Waiklibang Ebak Waikelak Lamaojan Kawaliwu

Gambar 1. Peta Kecamatan Tanjung Bunga dan Lokasi Penangkapan Nyamuk

Keadaan tanah di kecamatan Tanjung Bunga umumnya berupa pegunungan berbatu-batu, gersang, sebagian besar ditumbuhi semak-semak, kebun jambu mete, kelapa dan hutan. Iklim panas, curah hujan setahun berkisar antara 1052mm–2010

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

45

mm dengan hari hujan antara 0 – 30. Musim hujan umumnya berlangsung bulan Nopember–April dan musim kemarau antara bulan Mei – Oktober. Cara kerja Penelitian penentuan vektor filariasis dilakukan di 5 desa, yaitu di desa Kawaliwu, Waiklibang, Ebak, Waikelak dan Lamaojan (Gambar 1). Pemilihan desa-desa tersebut didasarkan pada terdapatnya tempat perkembangbiakan nyamuk. Penangkapan nyamuk di Kawaliwu dan Waikelak dilakukan Juli – Nopember 1992 dan di Waiklibang, Ebak dan Lamaojan dilakukan Juni 1993 – Desember 1994. 1) Penangkapan nyamuk malam hari Dilakukan dan pukul 18.00– 24.00, terdiri dari: • Penangkapan nyamuk yang menggigit orang di dalam 4 rumah, dikerjakan oleh 4 orang, masing-masing satu orang di dalam satu rumah. • Penangkapan nyamuk yang menggigit orang di luar 4 rumah, dikerjakan oleh 4 orang, masing-masing satu orang di dalam satu rumah. 2) Penangkapan nyamuk yang istirahat pagi hari Dilakukan dan pukul 06.00 – 08.00 terdiri dari: • Penangkapan nyamuk yang istirahat di dalam 32 rumah, dikerjakan oleh 4 orang. Di tiap rumah koleksi dilakukan selama 15 menit. • Penangkapan nyamuk yang istirahat di luar rumah (di semak-semak) dikerjakan oleh 4 orang. Semua nyamuk yang tertangkap baik nyamuk Anopheles maupun Culex diidentifikasi dengan kunci identifikasi(2,3), dibedah bagian thoraksnya. Larva cacing filaria yang ditemukan diidentifikasi menurut kunci identifikasi(4). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penangkapan menunjukkan bahwa nyamuk Anopheles lebih banyak tertangkap di semua daerah dibanding dengan nyamuk Culex (Tabel 1). Spesies nyamuk Anopheles yang tertangkap adalah An. aconitus, An. barbirostris, An. maculatus, An. sundaicus, An. subpictus, An. indefinitus, An. tesselatus, dan An. vagus. Nyamuk Culex yang tertangkap terdini Cx. quinqueTabel 1. Timur

Hasil pemeniksaan larva cacing filaria pada nyamuk yang tertangkap di beberapa desa di kecamatan Tanjung Bunga, Flores

Spesies An. aconitus An. barbirostris An..flavirostris An. maculatus An. sundaicus An. subpictus An. inde1initus An. tesselatus An. vagus Cx. bitaeniorhynchus Cx..fisscocephalus Cx. tritaeniorhynchus Cx. quinquefāsciatus Cx. vishnui

46

fasciatus, Cx. fuscocephalus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus, dan Cx. vishnui. Semua spesies nyamuk yang tertangkap tersebut dicurigai dapat berperan sebagai vektor filariasis, karena pernah dilaporkan positif larva cacing filaria W. bancrofti baik di Indonesia maupun di .negara Asia lainnya(5). Pada pembedahan nyamuk Anopheles spp. dan Culex spp. yang tertangkap (Tabel 1) ditemukan larva cacing filaria stadium infektif (L 3) pada An. sundaicus, dan An. flavirostris di desa Waikelak, pada An.subpictus di desa Lamaojan dan hanya pada An.flavirostris di desa Ebak. Nyamuk Anopheles yang mengandung larva cacing filaria tersebut semuanya ditemukan di desadesa yang mempunyai prevalensi filariasis tinggi(di Ebak 6,75%, di Lamaojan 19,94% dan di Waikelak 17,50%)(1). Pembedahan nyamuk di Waiklibang dan Sinarnading tidak menemukan nyamuk yang mengandung larva cacing filaria. Prevalensi filariasis di dua desa tersebut masing-masing 1,15% dan 0,00%, Persentasi nyamuk An. sundaicus dan An. flavirostris yang mengandung larva cacing filaria di desa Waikelak masingmasing adalah 0,93% (3 ekor dan 322 ekor yang dibedah) dan 0,40% (1 ekor dan 248 ekor yang dibedah), di desa Ebak An. flavirostris yang terinfeksi 0,13%(l dari 770 ekor yang dibedah), sedang di desa Lamaojan A. subpictus yang terinfeksi 1,42% (2 ekor dan 141 ekor nyamuk yang dibedah). An. subpictus yang ditemukan positif larva cacing filaria W. bancrofti di kecamatan Tanjung Bunga juga pernah ditemukan positif di pulau Alor, NTT(6). An. sundaicus dan An. fiavirostnis belum pernah ditemukan positif larva cacing filaria W. bancrofti di tempat lain di Indonesia, akan tetapi masing-masing dilaporkan sebagai vektor filaniasis W. bancrofti di India dan di Pi1ipina(7).Spesies lainnya An. aconitus, An. maculatus dan An. barbinostris walaupun selama penangkapan dan pemeriksaan belum pernah ditemukan positif larva cacing filaria W. bancrofti akan tetapi ketiga spesies tersebut berpotensi sebagai vektor filariasis di kecamatan Tanjung Bunga. An. aconitus pernah ditemukan positif larva cacing filariasis W. bancrofti di pulau Alor(6). An. nacu1atus dan An. barbinostnis pernah ditemukan positif di Sulawesi dan India(5). An. barbinostris di Flores Timur

Kawaliwu Jumlah Positif 0 0 0 0 0 0 0 0 806 0 108 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 2 0

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Waikelak

Waiklibang

% Jumlah Positif % Jumlah Positif 0 0 0 0 0 0 0 116 0 0 72 0 0 248 1 0,40 161 0 0 31 0 0 0 0 0 322 3 0,93 245 0 0 122 0 0 135 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 I 0 0 0 0 0 3 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 11 0 0 49 0 0 8 0 0 2 0

Ebak

Lamaojan

% Jumlah Positif % Jumlah Positif % 131 0 0 19 0 0 0 148 0 0 138 0 0 0 770 1 0,13 891 0 0 0 39 0 0 21 0 0 0 43 0 0 13 0 0 0 52 0 0 141 2 1,42 0 18 0 0 14 0 0 0 3 0 0 2 0 0 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 19 0 0 10 0 0 0 432 0 0 836 0 0 0 35 10 0 10 0 0

telah dilaporkan sebagai vektor utama filariasis Brugia timori(8,9). Selama penangkapan dan pemeriksaan nyamuk tidak pernah ditemukan nyamuk Culex yang terinfeksi larva cacing filaria W. bancrofti, akan tetapi semua spesies nyamuk Culex yang ada berpotensi sebagai vektor filariasis. Cx. quinquefasciatus telah diketahui sebagai vektor filariasis W. bancrofti di daerah perkotaan di Indonesia (Lie, 1970 dalam Lee dkk., 1983) dan larva cacing W bancrofti dapat berkembang baik secara alamiah dalam Cx. fuscocephalus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. bitaeniorhynchus dan Cx. Vishnui(5). Dominansi spesies nyamuk yang menggambarkan kepadatan (kelimpahan nisbi) dan seringnya nyamuk tertangkap pada tiap tipe penangkapan (Gambar 2, 3, 4, dan 5) di tiap desa penangkapan tidaklah sama. Hal ini sangat tergantung pada kondisi perairan yang ada. Di desa Kawaliwu, Waiklibang dan Waikelak An. sundaicus dijumpai paling dominan karena selain desa tersebut terletak di pantai, juga terdapat muara sungai, lagun dan genangan-genangan air payau yang menjadi tempat perkembangbiakan utama spesies tersebut. Di desa Waiklibang dan Waikelak nyamuk yang banyak dan sering ditemukan setelah An. sundaicus adalah An. flavirostris dan An. subpictus. Di desa Lamaojan dan Ebak nyamuk yang paling dominan menggigit orang di dalam rumah adalah An. barbirostris dan yang paling dominan menggigit orang di luar rumah adalah An. flavirotris. Gambar 2.Dominansi spesies nyamuk Anopheles dan Culex yang menggigit orang di dalam rumah di kecamatan Tanjung Bunga Angka dominasi (ribuan)

Desa Lamaojan dan Ebak terletak agak jauh dari pantai dan di daerah ini terdapat tempat perkembangbiakan utama An. flavirostris dan An. barbirostris berupa sungai yang menggenang berbatu, ditumbuhi tanaman air dan banyak seresah yang membusuk di permukaan air. Perairan yang menggenang ditumbuhi tanaman air merupakan tempat perkembang biakan utama An. barbirostris sedang perairan yang menggenang berbatu-batu dan banyak seresah yang membusuk merupakan tempat perkem bangbiakan utama An. flavirostris. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa An. sundaicus, An. subpictus dan An. flavirostris merupakan vektor filariasis W.

Gambar 3. Dominansi spesies nyamuk Anopheles dan Culex yang menggit orang di luar rumah di kecamatan Tanjung Bunga

Angka dominasi (ribuan)

Gambar 4. Dominansi spesies nyamuk Anopheles dan Culex yang istirahat di dalam rumah di kecamatan Tanjung Bunga

Angka dominasi (ribuan)

bancrofti di kecamatan Tanjung Bunga. Di tiap desa di kecamatan Tanjung Bunga dijumpai lebih dari 1 spesies nyamuk yang dapat menjadi vektor penyakit filaria. Dominansi spesies nyamuk yang menjadi vektor filariasis di tiap desa tidaklah sama, tergantung jenis perairan di masing-masing desa tersebut. An. sundaicus banyak dijumpai di desa-desa pantai (Kawaliwu, Waiklibang dan Waikelak) yang ada muara sungai, lagun dan air payau tergenang yang ditumbuhi tanaman air, lumut atau banyak seresah yang membusuk. An. subpictus selain banyak dijumpai di daerah pantai bersama-samaAn. sundaicusjuga ditemukan di daerah yang ada sungai atau perairan yang menggenang seperti di Ebak dan Lamaojan. Sedang An.flavirostris banyak dijumpai

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

47

maupun PiIipina(5). Gambar 5. Dominansi spesies nyamuk Anopheles dan Culex yang istirahat di luar rumab di kecamatan Tanjung Bunga

Angka dominasi (ribuan)

KESIMPULAN Vektor filariasis W. bancrofti di kecamatan Tanjung Bunga adalah An. sundaicus, An. subpictus, dan An. flavirostris. Di tiap desa di kecamatan Tanjung Bunga dijumpai lebih dari 1 spesies nyamuk yang dapat menjadi vektor filariasis. Spesies nyamuk yang paling dominan di flap daerah tidaklah sama, tergantung dan jenis perairan yang ada yang menjadi tempat perkembang biakannya.

KEPUSTAKAAN

1.

di daerah yangada mata air tergenang, sungai kecil yang banyak seresah membusuk seperti di Waiklibang, Waikelak, Ebak dan Lamaojan. Selama penelitian walaupun spesies lainnya tidak terinfeksi larva cacing filaria, akan tetapi patut dicurigai karena pernah ditemukan positif larva cacing W. bancrofti di pulau lain di Indonesia maupun di negara teiangga seperti di Malaysia, India

SPVP. Laporan hasil survai malariometrik dan filariasis di kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTF. 1992–1993. 2. O’Connor, Arwati. Kunci bergambar untuk nyaniuk Anopheles betina di Indonesia. DitJen.P2M, Dep.Kes. RI. 1985. 3. Stojanovich C, Scot HG. Mosquitoes of Vietnam, Dep. HEW, CDC, Atlanta, Georgia. 1966. 4. Purnomo. Bagan kunci larva Cacing filaria stadium 3 (infektif) di tubuh nyamuk (Unpublished). 5. Craig CF, Faust EC. Clinical Parasitology, 5th ed. Philadelphia: Lea & Febiger 1953. 6. Atmosoedjono 5, Dennis DT. Anopheles aconitus and An. subpictus naturally infected with Wuchererja bancrofti in Flores, Indonesia. Mosq. News 1970; 37: 529. 7. Sasa M. Epidemiology of Filariasis and Schistosomiasis in Asia arm the Pacific: A Review. Research in Filariasis and Schistosomiasis, vol.2. 1972. 8. Atmosoedjono S. Partono F, Dennis DT, Pumomo. Anopheles barbirostris (Dipt. Culicidae) as a vector of the Timor filaria on Flores Island, preliminary observation, J. Med. Entomol. 1977; 13: 611. 9. Barod Widiarti, Sumardi, Mujiono. Penggunaan kelambu oleh petani Se Luhir. 1993. (in press). 10. Dennis DT, Partono F, Purnomo, Atmosoedjono S, Saroso J. Timor Filariasis: epidemiologic and clinical features in a defined community. Am. J. Trop. Med. and Hygiene 1976; 25(6).

Rivers flow with sweet waters; but, having joined the ocean, they become undrinkable (Hitopadesa)

48

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Nyeri Kepala Tipe Tegang Budi Riyanto W. Dokter Spesialis Saraf Bogor

PENDAHULUAN Istilah nyeri kepala tipe tegang (tension-type headache) diperkenalkan pada klasifikasi tahun 1988, menggantikan istilah nyeri kepala tegang otot (muscle contraction headache), tension headache, psychogenic headache, stress headache yang sebelumnya digunakan secara bergantian tanpa definisi yang jelas. DEFINISI Dalam klasifikasi diagnosis nyeri kepala yang mutakhir (1988), nyeri kepala tipe tegang didefinisikan sebagai nyeri kepala berulang, berlangsung antara 30 menit sampai 7 hari, kurang dari 15 episode dalam satu bulan dan dengan sedikitnya dua sifat berikut: 1) Bersifat tegang/menekan (tidak berdenyut) 2) Intensitas nyeri ringan sampai sedang 3) Lokasi bilateral 4) Tidak diperberat oleh aktivitas fisik dan keadaan tersebut tidak disertai dengan rasa mual ataupun muntah; juga tanpa fotofobi dan/atau fonofobi (Tabel 1). KEJADIAN Nyeri kepala tipe tegang dianggap merupakan jenis nyeri kepala yang paling sering dijumpai, terutama di kalangan dewasa. Rassmusen (1991) mendapatkan prevalensi selama hidup (life time prevalence) di kalangan pria adalah sebesar 69% dan di kalangan wanita sebesar 88%, sedangkan prevalensi satu tahun (one year prevalence) masing-masing sebesan 62% di kalangan pria dan 80% di kalangan wanita. Penelitian Surabaya (1989) mendapatkan bahwa nyeri kepala tipe tegang diderita oleh 513 pasien di antara 1227 pasien nyeri kepala yang datang berobat; dalam kurun waktu yang sama tercatat 6488 pasien baru yang mengunjungi poliklinik tersebut. Sedangkan di Jakarta (1986) selama 5 bulan didapatkan 87 pasien nyeri kepala tipe tegang di antara 273 pasien banu yang

mengeluh nyeri kepala; selama waktu tersebut dicatat 1568 pasien baru.

GEJALA KLINIS Berdasarkan definisi IHS, maka nyeri kepala tipe tegang bersifat tegang/menekan, tidak berdenyut, dirasakan di kedua sisi dengan aktivitas ringan sampai sedang; keadaan ini tidak/ jarang disertai gejala penyerta seperti mual, muntah, fotofobi ataupun fcnofobi; juga tidak dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Para pasien dapat mendeskripsikan nyerinya sebagai rasa kaku, terikat atau tertekan; kadang-kadang disertai dengan nyeri kulit kepala terutama bila disentuh seperti misalnya bila disisir; rasa nyeri kulit kepala ini dapat masih dirasakan beberapa saat setelah nyeri kepalanya mereda. Selain itu juga sering disertai rasa kaku otot-otot leher dan punggung. Intensitas nyeri dapat berubah-ubah, juga lokasinya; bisa dirasakan di frontal, temporal, oksipital maupun parietal, unilateral maupun bilateral. Kadang-kadang rasa nyeri dapat dikurangi dengan mengubah posisi kepala dan/atau mengurangi gerakan-gerakan kepala/leher. Pada pasien-pasien nyeri kepala tipe episodik sering dijumpai nyeri otot perikranial dengan’nodul yang dapat diraba di daerah leher, kepala, punggung/bahu. Peranan otot dan/atau tulang di daerah servikal dalam menimbulkan nyeri kepala masih diperdebatkan sampai saat ini. Istilah cervicogenic headache kadang-kadang digunakan untuk nyeri kepala yang unilateral, tidak berdenyut, menetap di satu sisi, umumnya di temporal, frontal atau okular; nyeri kepala tersebut mulai dirasakan di daerah leher. Lamanya nyeri berkisar antara beberapajam sampai beberapa hari, dapat bersifat kronis. Gejala lain berupa keterbatasan gerakan leher, nyeri bahu, lengan atas; nyeri dapat ditimbulkan oleh gerakan leher, posisi kepala tertentu atau tindakan Valsava.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

49

Table 1–5

Classification of tension-type headache

2.1 Episodic tension-type headache Previously used terms: tension headache, muscle contraction headache, psychomyogenic headache, stress headache, ordinary headache, essential headache, idiopathic headache and psychogenic headache Diagnostic criteria A. At least 10 previous headache episodes fulfilling criteria B-D listed below. Number of days with such headache < 180/year (< 15/month) B. Headache lasting from 30 minutes to 7 days C. At least 2 of the following pain characteristics: 1. Pressing/tightening (non-pulsating) quality 2. Mild or moderate intensity (may inhibit, but does not prohibit activities) 3. Bilateral location 4. No aggravation by walking stairs or similar routine physical activity D. Both of the following: 1. No nausea or vomiting (anorexia may occur) 2. Photophobia and phonophobia are absent, or one but not the other is present E. At least one of the following: 1. History, physical and neurological examinations do not suggest one of the disorders listed in groups 5-11 2. History and/or physical and/or neurological examinations do suggest such disorder, but it is ruled out by appropriate investigations 3. Such disorder is present, but tension-type headache does not occur for the first time in close temporal relation to the disorder 2.1.1 Episodic tension-type headache associated with disorder of pericranial muscles Previously used, terms: muscle contraction headache Diagnostic criteria A. Fulfills criteria for 2.1 B. At least one of the following: 1. Increased tenderness of pericranial muscles demonstrated by manual palpation or pressure algometer 2. Increased EMG level of pericranial muscles at rest or during physiological tests

2.1.2Episodic tension-type headache unassociffted with disorder of pericranial muscles Previously used terms: idiopathic headache, essential headache, psychogenic headache Diagnostic criteria A. Fulfills criteria for 2.1 B. No increased tenderness of pericranial muscles. If studied, EMG of pericranial muscles shows normal levels of activity 2.2 Chronic tension-type headache Previously-used terms: chronic daily headache Diagnostic criteria A. Average headache frequency 15 days/month (180 days/year) for 6 months fulfilling criteria B-D. B. At least 2 of the following pain characteristics: 1. Pressing/tightening quality 2. Mild or moderate severity (may inhibit but does not prohibit activities) 3. Bilateral location 4. No aggravation by walking stairs or similar routine physical activity C. Both of the following: 1. No vomiting 2. No more than one of the following: nausea, photophobia or phonophobia D. At least one of the following: 1. History, physical and neurological examinations do not suggest one of the disorders listed in groups 5-11 2. History and/or physical and/or neurological examinations do suggest such disorder, but it is ruled out by appropriate investigations 3. Such disorder is present, but tension-type headache does not occur for the first time in close temporal relation to the disorder 2.2.1 Chronic tension-type headache associated with disorder of pericranial muscles 2.2.2 Chronic tension-type headache unassociated with disorder of pericranial muscles Note : Headache Classification Committee of the International Headache Society (1988).

Faktor emosional Peranan faktor emosional/psikologik dalam mencetuskan nyeri kepala telah lama diperdebatkan; telah lama diketahui pula bahwa rasa nyeri dan faktor psikologik saling berpengaruh. Tetapi penelitian atas pasien-pasien nyeri kepala tipe tegang tidak menemukan ciri kepribadian tertentu yang cenderung peka terhadap nyeri kepala tersebut; kebanyakan mempunyai konflik multipel seperti hostilitas, konflik seks dan ketergantungan (dependency). Depresi kadang-kadang tampil dalam bentuk keluhan nyeri kepala yang bila diteliti lebih lanjut, juga menampilkan gejalagejala lain seperti gangguan pola tidur dan gangguan nafsu makan. Nyeri kepala yang dikeluhkan dapat berubah-ubah, baik sifatnya – seperti rasa terikat, tertekan, terbebani ataupun lokasinya yang tidak tetap, meskipun biasanya terasa di oksipital. Umumnya nyeri telah diderita selama bertahun-tahun, biasanya memberat di pagi hari dan malam hari. Keluhan-keluhan yang didasari oleh depresi secara umum bersifat multipel, tetapi tidak menuruti pola tertentu, melainkan muncul pada situasi-situasi tertentu; selain itu sering sulit diterapi, baik karena berganti-ganti keluhan atau karena kurangnya kooperasi pasien.

50

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

PENATALAKSANAAN Umumnya serangan nyeri kepala tipe tegang dapat diatasi dengan analgetik biasa, tetapi penanganan selanjutnya untuk mengurangi kekambuhan hartis disertai dengan cara-cara lain seperti relaksasi, biofeedback dan kadang-kadang penggunaan obat antidepresan. Selain itu harus diingat bahwa pasien nyen kepala tipe tegang juga kadang-kadang menderita serangan migren, demikian juga sebaliknya; ha! ini dapat dipahami mengingat kedua jenis nyeri kepala tersebut merupakan gangguan fungsional yang dapat berubah-ubah;kasus-kasus seperti ini tidak jarang dijumpai dan dikenal sebagai sindrom nyeri kepala campuran (mixed headache syndrome); jenis nyeri kepala ini umumnya ditandai dengan nyeri kepala yang terus menerus,praktis tiap hari diseling dengan nyeri kepala tipe migren yang timbul antara 1–10 kali sebulan, disertai kecenderungan penggunaan analgesik yang berlebihan. Penggunaan analgesik seperti ibuprofen, fenoprofen, naproksen, ketoprofen biasanya cukup berhasil, kadang-kadang dikombinasi dengan antidepresan seperti amitriptilmn; MAO inhibitor seperti feneizin, pargilin dapat juga digunakan meski-

pun harus secara hati-hati mengingat kemungkinan interaksinya dengan obat-obat lain dan makanan tertentu; kombinasi dengan antidepresi trisiklik juga tidak dianjurkan. Terapi fisik meliputi biofeedback, fisioterapi, terapi relaksasi dapat membantu dalam beberapa kasus, terutama pada pasien-pasien yang tidak dapat merelaksasikan otot-ototnya. Kasus-kasus yang diduga menderita cervicogenic headache mungkin dapat diatasi dengan suntikan anestetik lokal di daerah saraf spinal C2–C3 atau di daerah n. oksipitalis magnus. RINGKASAN Nyeri kepala tipe tegang merupakan nyeri kepala yang paling sering dijumpai, terutama di kalangan dewasa; nyeri kepala tipe ini sering dikaitkan dengan ketegangan otot-otot leher dan tengkuk; dengan kelainan vertebra daerah servikal, dan selain itu juga dengan beberapa berbagai stres psikologik seperti depresi dan anxietas.

Penatalaksanaan meliputi penggunaan analgesik, kadang kadang dikombinasi dengan antidepresan; terapi fisik dan relaksasi dapat membantu meringankan gejala.

KEPUSTAKAAN

1. 2. 3. 4.

Diamond S. Tension type headaches. Dalam: Dalessio Di, Silberstein SD (eds).. Wolffs Headache and other head pain. 6th ed. 1993; hal. 236–61. International Headache Society. Classification and diagnostic critena for headache disorders, cranial neuralgias and facial pain. CephaI 1988; 8 suppl. 7: 1–96. Sjaastad 0. Cervicogenic headache. Dalam: Dalessio DJ. Silberstein SD (eds.). Wolff s Headache and other head pain. 6th ed. 1993; hal. 203–08. Wreksoatmodjo BR. Kàrakteristik Penderita Nyeri Kepala Menahun/Berulang di Poliklinik Saraf FKUI/RSCM. Skripsi Pasca Sarjana, 1987.

Kalender Peristiwa 8 – 10 Juli 1996

– MUKTAMAR AHLI BEDAH INDONESIA (MABI) XII XII Surabaya, 8–10 Juli 1996 Sekr.: Kantor IKABI Wilayah Jawa Timur d/a Chef de Clinique Lab./UPF Ilmu Bedah FK Universitas AirlanggaIRSUD Dr. Soetomo Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 6–8 Surabaya 60286 INDONESIA Tel. : (031) 550 1315/550 1305 Fax : (031) 535 3648/516 364 Pendaftaran peserta : PT Haryono Travel JI. Sulawesi 27–29 Surabaya 60271 INDONESIA Tel. : (031) 546 5029 Fax : (031) 546 5030

16 – 20 Juli 1996 – KONGRES NASIONAL ILMU KESEHATAN ANAK (KONIKA) X Bukittinggi, 16–20 Juni 1996 Sekr. : Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. M. Djamil JI. Perintis Kemerdekaan Padang INDONESIA Tel./Fax: (0751) 37913

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

51

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Pemberian Obat Kumur Mengandung Fluorterhadap Perkembangan Karles Gigi Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan Monang Panjaitan, MS Bagian Kesehatan Gigi Masyarakat Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK Penelitian dilakukan pada narapidana Lembaga Permasyarakatan kelas H Tanjung Gusta Medan. Jumlah sampel sebesar 74 orang yang didapat dan seluruh jumlah narapidana yang baru 3–6 bulan masuk di Lembag Permasyarakatan tersebut. Sampel dibagi menjadi tiga kelompok: kelompok I diberi kumur-kumur dengan larutan Fluocaril® selama enam bulan dengan jarak waktu kumur-kumur satu kali seminggu. Kelompok II diberi kumur-kumur dengan larutan Natrium Fluorida dengan jangka waktu sama dengan kelompok I. Kelompok III diberi kumur-kumur air leding dengan waktu yang sama dengan kelompok I dan II. Dari hasil perhitungan statistik dengan student t-test tenlihat Fluocaril® lebih bermakna dibanding Natrium Fluonida dalam menghambat terjadinya karies. Juga terlihat bahwa Fluocaril® dan Natrium Fluorida sangat bermakna mencegah terjadinya karies dibanding perlakuan dengan air leding.

PENDAHULUAN Dari penelitian epidemiologi Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1983 ternyata 70% penduduk Indonesia yang berumur 6–14 tahun menderita penyakit gigi berlubang. Prevalensi karies yang tinggi di Indonesia hingga saat ini masih tetap merupakan masalah yang patut mendapat perhatian khusus. Karies gigi dapat terjadi pada setiap gigi yang sudah erupsi, pada tiap orang tanpa memandang umur, jenis kelamin, bangsa atau pun status ekonomi. Mengingat besarnya prevalensi karies gigi dan tingginya biaya perawatan serta kurangnya tenaga kesehatan gigi maka perlu diadakan usaha-usaha penelitian di bidang pencegahan penyakit gigi secara luas dan berkesinambungan dengan demikian akan diperoleh suatu cara pencegahan yang dianggap lebih efisien dan ekonomis serta mencakup masyarakat luas dengan jumlah tenaga kesehatan gigi yang ada(1). Pengobatan dini lesi karies (karies baru) merupakan hal

52

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

yang baik dan dapat meningkatkan kesehatan secara umum; tetapi mencegah terjadinya penyakit jauh lebih baik daripada tindakan pengobatan, oleh karena itu, perlu dipikirkan usaha yang optimal untuk dapat mencegah terjadinya penyakit ini(1,2). Untuk itu perlu dikaji karies yang masih dapat dicegah perkembangannya yaitu karies permulaan atau disebut juga white spot. White spot adalah suatu keadaan dekalsifikasi di bawah permukaan enamel; secara klinis permukaan enamel terlihat utuh, agak kasar, buram, warna opak dan putih(3,4,5). White spot ini sering juga disebut karies permulaan, karies dini atau initial caries. Pada keadaan ini masih dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan cara remineralisasi dengan bahan mengandung fluor, baik dalam bentuk pasta dengan aplikasi topikal maupun dalam bentuk larutan yang digunakan sebagai kumur-kumur. Salah satu mekanisme kerja fluor yang terpenting adalah proses remineralisasi sebagai perbaikan dan demineralisasi sebagian enamel. Proses ini lebih efektif bila demineralisasi

enamel masih ringan atau pada lesi karies yang kecil. Pada keadaan mineral banyak yang larut atau kavitas telah terbentuk, proses remineralisasi tidak berarti lagi(6,7). Pengertian mengenai remineralisasi telah banyak dikembangkan akhir-akhir ini oleh beberapa penulis yang antara lain menyatakan bahwa remineralisasi adalah fenomena biologis penting dan bahwa remineralisasi merupakan proses terhentinya atau kebalikan dan lesi karies, yang disebabkan meningkatnya ketahanan gigi dan menurunnya serangan karies atau kombinasi antara keduanya(8,9,10). Dalam rongga mulut proses remineralisasi dan demineralisasi dapat berlangsung setiap saat. Apabila ada keseimbangan, maka tidak timbul karies pada enamel. Apabila demineralisasi lebih kuat dapat terjadi karies dan sebaliknyajika remineralisasi lebih kuat akan timbul suatu pertahanan yang tinggi pada enamel; sebagai akibat dan remineralisasi ini akan terjadi pengerasan kembali pada enamel yang telah mengalami demineralisasi (11,12,13). PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada narapidana remaja Lembaga Permasyarakatan kelas II Tanjung Gusta Medan; sebagai sampel adalah gigi anak remaja yang telah menjalani hukuman paling sedikit 3 bulan sehingga sudah terbiasa dengan makanan.dan minuman serta kondisi di sana,dan harus masih menjalani hukuman paling sedikit enam bulan lagi. Dipilihnya Lembaga Permasyarakatan untuk tempat penelitian karena masyarakatnya terisolir dan mudah dikontrol serta pola makanan dan minuman tetap sama untuk setiap orang, dengan demikian variabel-variabelnya. Sampel juga dibebaskan dan pemakaian pasta yang mengandung fluor dan selama penelian tidak diberi minuman yang mengandung gula. Di samping itu, narapidana jarang sekali mendapat perhatian dalam masalah kesehatan khususnya kesehatan gigi; di Ujung Pandang rata-rata DMF-T nanapidana = 9.01 yang berarti ratarata setiap narapidana mempunyai sembilan gigi berlobang (Mujari, 1983).

Sampel Semua anak remaja yang masuk ke Lembaga Permasyarakatan diseleksi; hanya 72 orang memenuhi syarat dan dibagi tiga kelompok yang sama yaitu: 1) Kelompok I diberi kumur-kumur sekali seminggu dengan Natrium Monofluorofosfat dan Natrium Fluorida dengan kadar 0,240 g/l000 ml yang terionisasi (Fluocaril® bifluoride) yang diberikan selama enam bulan. 2) Kelompok II diberi kumur-kumur sekali seminggu dengan Natrium Fluorida 0,2% selama 6 bulan. 3) Kelompok III (grup kontrol) diberi kumur-kumur dengan plasebo (air leding) dengan waktu yang sama selama 6 bulan, untuk perbandingan. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan dengan memeriksa gigi-gigi dengan cahaya lampu yang terang, memakai alat pembantu pinset, kaca mulut, sonde tumpul; gigi sampel dikeringkan. Apabila terlihat bercak warna keputihan dan permukaan licin serta tidak ada porositas digunakan sonde tumpul untuk mendeteksi permukaan yang licin tersebut. Gigi diperiksa sesuai dengan oral higiene yaitu diperiksa seluruh permukaan, dilakukan untuk merata antara gigi depan dan belakang (Skema). Skema gigi yang diperiksa :

Pengukuran dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata jumlah gigi yang mengalami white spot sebelum pemberian obat kumur-kumur fluor dan setelah diberi kumur-kumur larutan fluor selama 6 bulan; juga untuk melihat perbedaan rata-rata gigi yang mengalami remineralisasi setelah perlakuan. HASIL PENELITIAN Tabel 1.

Tujuan 1) Tujuan Umum : Melihat efek pemberian fluor dalam menghambat terjadinya karies. 2) Tujuan Khusus : Mengetahui perbedaan efek kumur-kumur Fluocaril® dan Natrium Fluorida dalam menghambat karies gigi yang dini. Manfaat Hasil penelitian ini berguna untuk program pencegahan penyakit gigi karena prevalensi karies gigi di Indonesia sangat tinggi yaitu sekitar 70% pada tahun 1983. Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahan kumur-kumur yang paling efektif untuk mencegah terjadinya karies gigi baik di klinik-klinik gigi dan dalam program kumur-kumur dalam rangka Upaya Kesehatan Gigi Sekolah di seluruh Indonesia. METODOLOGI PENELITIAN Lokasi Penelitian dilakukan pada gigi narapidana Lembaga Pemasyarakatan kelas II Tanjung Gusta Medan.

Persentase narapidana yang giginya terserang white spot pada kelompok I, II dan III sebelum dan sesudah perlakuan White spot Sebelum

Kelompok Ada

1 11 III

Sesudah

Tidak ada

Ada

Tidak ada

n

%

n

%

n

%

n

%

24 24 24

100 100 100

– – –

– – –

11 12 24

49,5 50 100

13 12 –

510,5 50 –

Prevalensi white spot anak remaja narapidana Tanjung Gusta Medan sebelum perlakuan adalah 100% yang berarti setiap anak remaja narapidana, giginya terserang karies dini atau white spot. Sesudah perlakuan kumur-kumur terlihat perubahan pada kelompok I menurun menjadi 49,5%, kelompok II 50% dan kelompok III tetap persentasenya 100%. Skor rata-rata gigi yang mengalami white spot tiap kelompok sebelum kumur-kumur terlihat tinggi yaitu kelompok I = 0,80, kelompok II = 0,71, kelompok III = 0,78, dan setelah diberi kumur-kumur selama 6 bulan skor menurun: kelompok I = 0,15,

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

53

kelompok II = 0,19 dan kelompok III = 0,54. Tabel 2.

Rata-rata skor gigi yang mengalami white spot sebeiwn dan sesudah kumur-kumur fluor Skor Rata-rata

Kelompok

I II 111

Sebelum 0,80 0,71 0,78

Sesudah 0,15 0,19 0,54

Gambar 1. Penurunan skor gigi yang mengalami white spot sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok 1, kelompok II dan kelompok III setelah enam bulan.

PEMBAHASAN Pemakaian fluor untuk mencegah karies gigi telah dilakukan sejak lama dan ternyata hasil-hasil penelitian menunjukkan reduksi karies yang bermakna. Pemberian kumur-kumur dengan larutan fluor juga sejak larna dilakukan pada proyek-proyek usaha kesehatan gigi masyarakat dalam mencegah terjadinya karies gigi. Perhitungan statistik dilakukan untuk melihat perbedaan rata-rata gigi yang mengalami white spot sebelum dan sesudah diberi kumur-kumur Fluocaril® selama 6 bulan pada kelompok I; terlihat adanya perbedaan bermakna yang menunjukkan manfaat fluor dalam meremineralisasi karies dini. Hal ini sesuai dengan pendapat Koulourides (1990) yang mengatakan bila dalam saliva dijumpai mineral terutama fluor akan menyebabkan remineralisasi cepat pada 24 jam pertama, mereda pada hari ke dua dan terhenti setelah 3 minggu; karena itu remineralisasi karies dini umumnya tidak terjadi pada seluruh lesi. Perhitungan statistik rata-rata gigi yang mengalami white spot sebelum dan sesudah diberi kumur-kumur Natrium Fluroda 0,2% selama 6 bulan pada kelompok II menunjukkan adanya perbedaan bermakna, yang beranti Natrium Flurida mempunyai pengaruh dalam mineralisasi white spot enamel dan sesuai pendapat bahwa fluor sangat berpengaruh dalam mencegah karies gjgi(l).

54

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Perhitungan statistik dengan student t-test pada kelompok III sebelum dan sesudah kumur-kumur dengan air leding hasilnya tidak bermakna; kelompok ini merupakan kelompok kontrol untuk membandingkan pengaruh pemberian fluor dengan plasebo dalarn mencegah karies dini. Perhitungan statistik untuk melihat perbedaan rata-rata gigi yang mengalami white spot setelah perlakuan selama 6 bulan antara kelompok I yang diberi kumur-kumur dengan larutan Fluocaril®dengan kelompok II yang diberi kumur-kumur Natrium Fluorida 0,2% memperoleh hasil bahwa Fluocanil® lebih bermakna dan Natrium Fluorida dalam mencegah karies dini. KESIMPULAN 1) Tidak ada perbedaan bermakna rata-rata gigi yang terserang white spot sebelum pérlakuan pada kelompok I, kelompok I dan kelompok III. 2) Ada perbedaan bermakna akibat pemberian Fluor pada ke lompok I dan kelompok II dalam meremineralisasi white spot sebelum dan sesudah perlakuan. 3) Dari perhitungan statistik terlihat bahwa Fluocaril® lebih bermakna dan Natrium Fluorida dalam menurunkan angka rata rata white spot. KEPUSTAKAAN

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Nio BK. Preventive dentistry. Bandung: Yayasan Kesehatan Gigi, 1975; 3–5. Konig KG, Hoogendorn Fl. Prevensi dalam Kedokteran Gigi dan dasar ilmiahnya. Jakarta: PT Denta, 1982; 10–67. Darling AA. The pathology and prevention of caries. Brit Dental J, 1980; 10: 287–302. Silverstone LM. Histologic and ultrastructural features of remineralization caries enamel. J Dent Res 1969; 896–901. Thoma KH. Oral Pathology. Vol 1. St Louis: The CV Mosby Co., 1979; 263–266. Arthur G, Tinanoff N. Effect of SnF on initial bacterial colonization of tooth enamel. J Dental Res. 197; 10: 56–60. Sundoro EH. Efek teh terhadap remineralisasi email. Penelitian FKG UI Jakarta 1988. Kid GEAM. The diagnosis and management of the early caries lesion in permanent teeth. Dental Update 1984; 69–78. Koulourides EH. Dynamic of biologic mineralization applied on dental caries. In: Menaker L (ed). The biologic basis of dental caries - an oral textbook, London: Harper & Row Publ, 1980; 419–41. Nizel AN. Nutrition in preventive dentistry. Science aiuf practice. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Co, 1981; 53–65. Ostrom CA. Clinical cariology. In Menaker L (ed). The biologic basis of dental caries. An Oral Biology textbook. London: Harper & Row Pubi, 1980; 247–58. Panjaitan M. Perbedaan efektifitas antara Stannous Fluorida dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme plak. Dept P dan K, Universitas Airlangga, 1981–1983. Sundoro EH. Remineralisasi sebagai usaha untuk mencegah meluasnya karies dini. Kumpulan Makalah Ilmiab Kongres Nasional PDGI ke XVII. Ujung Pandang 1989; 12–18.

HASIL PENELITIAN

Hambatan Pembentukan Plak Gigi dengan Larutan Obat Kumur Hexetidine 0,1 % (Secara Klinis) Prijantojo Laboratorium Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

ABSTRAK Larutan 0,1% hexetidine sebagai obat kumur digunakan untuk membuktikan hambatan pembentukan plak gigi pada 80 siswa umur ant 10–15 tahun yang dibagi 2 kelompok terdiri dari 40 siswa untuk masing-masing kelompok. Kelompok I kumurkumur dengan plasebo, kelompok II kumur-kumur dengan 0,1% larutan hexetidine. Hasil penelitian menunjukkan adanya hambatan pembentukan plak pada semua kelompok. Hambatan pembentukan disebabkan kanena peningkatan motivasi pembersihan gigi secara mekanis. Adanya perbedaan yang bermakna antara kelompok plasebo dan kelompok hexetidinepadahani ke 3 (t:21.817; p <0,05) dan hari ke 87 (t :2.728; p <0,05) disebabkan karena hexetidine merupakan antibakteri.

PENDAHULUAN Sejak Loe dkk(1) mengadakan menyimpulkan adanya hubungan langsung antara plak gigi dan radang jaringan periodonsium, banyak usaha telah dilakukan untuk mengadakan pencegahan terhadap radang. Usaha m dilakukan karena walaupun kontrol plak secara mekanis memberikan hasil yang baik(2,3,4) namun kemampuan tiap individu tidak sama, sehingga masih banyak didapatkan radang gingiva(5). Berdasarkan alasan di atas banyak peneliti mencoba mencari suatu metoda lain untuk kontrol plak. Perhatian banyak ditujukan pada hambatan pembentukan plak secara khemis. Di antara bahan-bahan kimia yang telah dicoba ialah antibiotik, antiseptik dan enzim(6); karena plak merupakan kumpulan berbagai macam bakteri, maka sangat beralasan bahwa antibiotik mempunyai peranan dalam usaha mencegah pembentukan plak(6). Eritromisin dapat mengurangi pembentukan plak sebanyak 35%(7). Berbagai macam antiseptik telah dilakukan diteliti untuk menghambat pertumbuhan bakteri dalam rongga mulut. dan menghambat pembentukan plak. Bahan antiseptik chlorhexidine 0,2% sebagai obat kumur ternyata dapat menghambat pertumbuhan

plak dan mencegah terjadinya radang gingiva(8) dan ternyata enzim dapat menghambat pertumbuhan plak, walaupun pada permulaan bertujuan mengurangi terbentuknya karang gigi(6). Suatu metoda yang digunakan dalam usaha untuk memperbaiki kontrol plak ialah dengan menggunakan berbagai macam larutan sebagai obat kumur. Tujuan penelitian ini untuk membuktika efektifitas larutan hexetidine 0,1% dalam menghambat pembentukan plak gigi secara klinis, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai pencegahan atau mengurangi keparahan radang jaringan periodonsium. TINJAUAN PUSTAKA Akhir-akhir ini banyak penelitian di bidang kedokteran gigi menyimpulkan bahwa bakteri plak meru penyebab utama terjadinya penyakit jaringan periodonsium(1,9,10). Hubungan antara akumulasi plak dan radang gingiva telah pula dilaporkan(11,12,13,14). Proses terjadinya plak dapat dijelaskan sebagai berikut Setelah permukaan gigi dibersihkan dengan sempurna, enamel

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

55

yang tidak tertutup oleh kotoran kemudian bersentuhan dengan ludah, dalam beberapa menit akan terjadi endapan/lapisan yang disebut acquired pellic1e(15). Pellicle ini merupakan presipitasi gliko-protein yang berasal dan 1udah dan terjadi tanpa adanya bakteri. Kemudian bakteri tumbuh dengan cepat pada permukaan pelikel,melekat pada pelikel sehingga terbentuk plak(16,17). Penyelidikan menunjukkan bahwa bakteri ditemukan pertama-tama 4–6 jam setelah permukaan gigi dibersihkan(17). Bakteri pembentuk piak pada permukaan sebagian terdiri dan gram positif anaerob cocci dan setelah 6–10 hari mulai tampak bakteri gram negatif anaerob, bakteri fosiformis dan spirochaeta(18,19). Cocci dilaporkan berjumlah terbanyak selama penyelidikan, walaupun rods dan filaments meningkat jumlahnya dalam waktu 24–28 jam. Dengan bertambahnya umur plak, jumlab cocci akan menurun dengan cepat dan setelah 7 hari filament dan fusirform menjadi 50% dan selutuh jumlah bakteri(18). Laporan ini sesuai dengan laporan yang menyatakan bahwa Streptococcus sanguis terbanyak ditemukan, sedangkan Actinomyces viscosus secara terus menerus juga ditemukan(20,21). Streptococcus mutans, Staphylococcus epidermis, Actinomyces israeli, Peptostreptococcus dan Veillonella alcalescens juga terdapat dalam jumlah sedikit. Pemeriksaan mikrobiologis plak manusia yang berusia 2 hari menemukan sejumlah besar Streptococcus sanguis(20). Pada stadium permulaan pembentukan plak memberikan tanda-tanda lebih cepat bila terdapat sedikit bakteri anaerob(16). Plak ini terbentuk karena kemampuan bakteri untuk mengadakan pelekatan dengan pelikel pada stadium permulaan dan diikuti dengan pelekatan/pengumpulan antar bakteri-bakteri itu sendiri(21,22). Oleh karena itu pelekatan antar bakteri diperkirakan akan mempengaruhi proses pembentukan p1ak(23). Bakteri-bakteri yang tidak ditemukan pada stadium permulaan karena kurangnya daya pelekatan dengan pelikel akan dapat ditemukan pada stadium lebih lanjut karena mempunyai daya pelekatan antar bakteri yang lebih tinggi. Dengan adanya daya peiekatan ini pada beberapa hari akan tenbentuk koloni-koloni dan bakteri(24). Bila telah terjadi gingivitis koloni bakteri dapat terjadi 30 menit setelah permukaan gigi dibersihkan.Pengamatan dengan mikroskop elektron menunjukkan adanya perbedaan komposisi dan bakteribakteri antara plak sampel. Beberapa plak sampel mengandung banyak filament sedangkan yang lain mengandung banyak cocci(25). Pentingnya akumulasi dan plak sebagai penyebab utama dari kelainan jaringan periodonsium pada manusia telah dilaporkan juga pada anjing percobaan(10). Telah dibuktikan bahwa penghentian pembersihan mulut pada orang-orang dengan gingiva yang sehat mengakibatkan akumulasi bakteri plak yang berlebihan dengan akibat terjadinya marginal gingivitis. Penemuan ini sesuai dengan percobaan binatang(10) yang memperlihatkan terjadinya gingivitis perlahan-lahan dengan hanya membiarkan plak tumbuh pada permukaan gigi. Dan apa yang telah disebutkan di atas dapat dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya radang jaringan periodonsium, akumulasi plak harus dicegah atau dikurangi. Pencegahan dapat secara mekanis atau khemis. Salah satu bahan kimia yang dapat mencegah/mengurangi terjadinya akumulasi plak adalah

56

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

hexetidine. Hexetidine Hexetidine atau hexahydropirimidine merupakan suatu cairan seperti minyak, bersifat antibakteri dengan spektrum luas, pada konsentrasi rendah dapat menghainbat pertumbuhan mikroorganisme rongga muIut(26). Percobaan in vitro terhadap mikroorganisme rongga mulut menggunakan 0,1% hexetidine mendapatkan hasil: secara keseluruhan bakteri gram positif sensitif terhadap hexetidine. Staphylococcus, Streptococcus dan Diplococcus pnemonia secara keseluruhan dihambat pada konsentrasi 3,12 mcg/ml. Fusobakteri yang anaerob dihambat mulai konsentrasi 15,6 meg/ini. Sedangkan Gram negatif dihambat dengan konsentrasi yang tinggi(26). Hexetidine juga mempunyai efek terhadap Candida albicans(27). Bermanfaat untuk bakteri gram positif dan gram negatif dan dapat digunakan untuk mengurangi radang rongga mulut. Hexetidine merupakan derivat pirimidin dapat menghambat tiamin yang penting untuk mikroorganisme(28). Hexetidine mengikat protein mukosa mulut(29), yang merupakan keuntungan dan hexetidine sebagai antibakteri karena ikatan dengan protein mukosa mulut akan memperpanjang efek hexetidine sebagai antibakteri(30);selain itu pelekatan hexetidine pada mukosa mulut akan mengikat bakteri plak sehingga metabolisme dan mikroonganisme dihambat(31). Hambatan ini akan mengurangi jumlah mikroorganisme untuk beberapa jam(32),berkisar selama 7 jam(29). Pendapat ini diperkuat oleh Read(33) yang mengemukakan bahwa hexetidine dapat menghambat aktivitas bakteri, bahkan diserap oleh permukaan luar mukosa mulut. Hexetidine dapat merusak bakteri yang sensitif terhadap penisilin dan auromisin secara in vitro(34). Percobaan klinis telah dilakukan terhadap 375 penderita dengan berbagai keradangan di rongga mulut, pendenita setelah operasi rongga mulut serta pencabutan gigi, didapatkan hasil sebagai berikut: 304 penderita berhasil baik, 60 penderita kurang memuaskan dan 11 penderita tidak berhasil. Hasil yang paling baik didapat pada terapi dan radang gingiva setelah initasi lokal dihilangkan Hasil ini diperkuat oleh penelitian terhadap 66 siswa sekolah dasar yang 95% sampelnya terdapat karang gigi, 0,1% hexetidine hanya menurunkan derajat peradangan sebanyak 36% pada minggu pertama dan 58% pada minggu kedua(38). Teori yang mendasari penelitian ini : Radang gingiva merupakan penyakit jaringan peniodonsium yang disebabkan oleh bakteri plak. Penyembuhan atau berkurangnya radang gingiva ditentukan oleh banyak atau sedikitnya jumlah bakteri plak. Hexetidine merupakan antiseptik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri plak. Hipotesis Hexetidine dapat menghambat pertumbuhan plak. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan secara double blind terhadap siswa Sekolah Dasar Negeri di daerah Tangerang, Jawa Barat. Umur siswa antara 10–15 tahun dan belum pernah mendapat pendidikan atau penerangan tentang kesehatan gigi baik dan dokter gigi

maupun dari perawat gigi. Dipilih 80 siswa dari 192 siswa yang memenuhi kriteria sesuai dengan indeks plak dari simplified oral hygiene index. OHI-S(39) yang telah dimodifikasi yaitu: 0 = tidak ada plak 1 = plak tidak melebihi 1/3 permukaan gigi 2 = plak melebihi 1/3 permukaan gigi dan tidak lebih dari 2/3 permukaan 3 = plak melebihi 2/3 permukaan gigi

Persyaratan lain sampel adalah sebagai berikut: • Tidak ada kelainan sistemik • Umur antara 10–15 tahun • Tidak sedang menggunakan obat antibiotik • Belum pernah mendapat perawatan kelainan periodontal • Biasa menggunakan sikat gigi. Pada penelitian ini digunakan larutan 0,1% hexetidine sebagai obat kumur dan di pasaran dapat diperoleh dengan merek Bactidol® (Warner Lambert) dan plasebo. Alat yang digunakan berupa: sonde, kaca mulut serta pinset. Dari 80 sampel yang memenuhi persyaratan dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok yang menggunakan hexetidine dan kelompok yang menggunakan plasebo, masing-masing terdiri dari 40 siswa. Sebelum pencatatan (scoring) dimulai, kepada sampel diberikan penerangan tentang cara-cara pemakaian obat kumur. Sengaja tidak dibenikan penjelasan tentang cara-cara melakukan pembersihan gigi dan mulut agarjumlah plak masih tetap sesuai dengan kebiasaan sehani-hari. Tahap selanjutnya dilakukan pencatatan jumlah plak sesuai dengan kriteria OHI-S dengan menggoreskan ujung sonde pada permukaan labial dan palatal dan gigi. Pada penelitian ini hanya dilakukan pencatatan plak pada bagian labial dan palatal gigi depan atas. Setelah pencatatan, plak, kepada sampel diberikan obat kumur cukup untuk 6 hari.Obat kumur dipakai 2 kali sehari, pagi setelah menyikat gigi dan malam hari sebelum tidur sebanyak kurang lebih 15 ml (satu sendok makan) setiap kali kumur selama kurang lebih 30 detik. Kontrol dilakukan pada hari ke tiga dan hari ke tujuh. HASIL Pada akhir penelitian 10 sampel dinyatakan tidak memenuhi persyaratan (drop out), sehingga sampel yang memenuhi persyaratan sebanyak 70, terdiri dari 35 siswa dan masing-masing kelompok. Data menunjukkan bahwa pada 60% sampel baik kelompok kontrol maupun aktif terdapat karang gigi.

Tabel 1.

Indeks plak rata-rata hari ke 0,3,7 pada kelompok plasebo dan hexetidine Plasebo

Hexetidine

Hari

0 3 7

N

X

t

N

X

t

35 35 35

1,533 0,682 0,446

– 13,666 6,194

35 35 35

1,560 0,428 0,285

– 4,863 3,850

Tabel 1 menunjukkan penurunan indeks rata-rata plak pada kelompok plasebo maupun kelompok hexetidine pada hari ke 3 dan hari ke 7 bila dibandingkan dengan keadaan sebelum kumurkumur. Secara statistik ada perbedaan sangat bermakna penurunan indeks plak pada pemeriksaan hari ke 3 dan hari ke 7 dari, kedua kelompok. Pemeniksaan hari ke 3 dan kelompok plasebo didapat perbedaan sangat bermakna dengan t: 13,666 untuk p < 0,001. Demikian juga pada pemeniksaan hari ke 7 didapatkan penbedaan sangat bermakna dengan t: 6,194 untuk p < 0,001. Pada kelompok hexetidine didapatkan penurunan indeks plak yang sangat bermakna pada hari ke 3 dengan t: 4,863 untuk p < 0,001 dan penbedaan sangat bermakna dani penununan indeks plak pada hari ke 7 (t: 3,850; p <0,001). Grafik penurunan indeks plak rata-rata hari 0,37 dan kelompok plasebo dan hexetidine

Hari

Hasil perbandingan kelompok plasebo dan kelompok hexetidine dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.

Perbandingan indeks plak rata-rata hari ke 0, 3, 7 antara kelompok plasebo dan hexetidine

Hari

0 3 7

Plasebo >< Hexetidine N 35 35 35

tN 0,173 21,817 2,728

t * * *

* Perbedaan bermakna : p < 005

Di awal pencobaan tidak didapatkan perbedaan bermakna antana sampel masing-masing kelompok (t : 0,173; p > 0,05). Hasil pemeniksaan hari ke 3 dan kedua kelompok mendapatkan perbedaan benmakna (t: 21,817; p <0,05). Demikian juga hasil

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

57

pemeriksaan hari ke 7 antara kedua kelompok (t 2,728; p<0,05) pada penurunan indeks plak. Dar hasil tersebut di atas disimpulkan bahwa hipotesis dapat diterima yang berarti bahwa larutan 0,1% hexetidine dapat menghambat pertumbuhan bakteri plak. DISKUSI Penelitian double blind terhadap 80 penderita kelainan periodontal dan siswa Sekolah Dasar di daerah Tangerang Jawa Barat menggunakan larutan 0,1% hexetidine sebagai obat kumur menunjukkan adanyapenurunan indeks plak baik dan kelompok plasebo maupun kelompok hexetidine. Penurunan indeks plak berbeda dan masing-masing kelompok. Penurunan indeks plak dan kelompok plasebo sebanyak 55% pada hari ke 3 sedang pada hari ke 7 menunjukkan penurunan sebanyak 60%. Hasil ini dapat diartikan bahwa pemeriksaan saja sudah menambah motivasi para siswa untuk melakukan pembersihan gigi-giginya; plak kontrol secara mekanis menggunakan sikat gigi merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan plak dan sangat menunjang kesehatan jaringan periodonsium. Pernyataan ini mendukung penelitian terdahulu(42-44) yang menyatakan bahwa penerangan audio visual untuk melakukan plak kontrol secara mekanis terbuktimeningkatkankebersihanmulutsecarabermakna.Bahkan tindakan pemeriksaan saja sudah dapat meningkatkan motivasi dari cara-cara pembersihan gigi-giginya(40). Penelitian terhadap 66 siswa umur 10.-iS tahun yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok plasebo dan kelompok hexetidine menunjukkan kenaikan derajat kesehatan gingiva pada semua kelompok. Penurunan indeks plak karena larutan 0,1% hexetidine sebanyak 60% pada hari ke 3 dan 88% pada hari ke 7. Bila dibandingkan antara kelompok plasebo dan kelompok hexetidine didapatkan perbedaan yang bermakna baik hari ke 3 maupun hari ke 7. Hal ini dimungkinkan karena hexetidine dapat menghambat pertumbuhan miknoorganisme dan rongga mulut terutama gram positif dan gram negatif(26,36). Hexetidine juga dapat digunakan pada penderita dengan radang rongga mulut(28). Pernyataan ini didukung dengan penelitian secara klinis terhadap 375 penderita nadang di rongga mulut, ternyata 304 penderita dapat sembuh dengan baiik(37). Karena penyebab nadang pada umumnya mikroorganisme berarti pertumbuhannya dapat dihambat. Penlekatan antara hexetidine dengan protein di rongga mulut serta bakteri plak akan menghambat metabolisme bakteri plak sehingga benfungsi sebagai antibakteni(29).

ningkatkan hambatan pertumbuhan plak gigi. Perlekatan hexetidine dengan protein rongga mulut dan plak gigi akan menambah hambatan pertumbuhan bakteri. Daya lekat hexetidine hanya berlangsung selama 7 jam(41), oleh karena itu dianjurkan meningkatkan pemakaian hexetidine dan 2 kali sehari menjadi 3 kali sehari. Dengan meningkatkan frekuensi pemakaian hexetidine diharapkan hambatan pembentukan plak menjadi lebih baik. KEPUSTAKAAN

1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

13. 14. 15. I6. 17.

KESIMPULAN Hasil penelitian secara double blind pada 80 orang percobaan menunjukkan bahwa 0,1% hexetidine sebagai obat kumur dapat menghambat pentumbuhan bakteri plak. Hambatan pertumbuhan plak selain disebabkan karena pemeniksaan terhadap siswa dapat meningkatkan motivasi dan pembersihan gigi secara mekanis, juga karena hexetidine menupakan antibaktenial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme di rongga mulut. Larutan 0,1% hexetidine sebagai obat kumur dapat me-

58

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

18. 19. 20. 21. 22.

Loe H, Theilade E,Jensen SB. Experimental gingivitis in man. J. Periodontol. 1965; 36: 177–87. Lovdal A, Arno A, Schei 0, Waerhaug J. Combined effect of subgingival scaling and controlled oral hygiene on the incidence of gingivitis. Acta Odontol Scand 1961; 19: 637–55. Soumi JD, Greene JC, Vemullion JR, DoyleJ, ChangeJi, Leatherwood EC. The effect of controlled oral hygiene procedures on the progression of periodontal disease in adults. Results after a third and final year. J. Periodontol. 1971; 42: 152–60. Azelsson P, Lindhe J. The effect of a preventive programme on dental plaque gingivitis and caries in schoolchildren. Results after a and 2 years. J. Clin. Periodontal. 1974; 1: 126–38. Lindhe J, Koch 6. The effect of supervised oral hygiene on the gingivae of children. Lack of prolonged effect of supervision. J. Periodontol. Res. 1967; 2: 215–20. Hull PS. Chemical inhibition of plaque. J. Clin. Periodontol. 1980; 7: 431-42. Lobene RR, Brian M, Socransky SS. Effect of erythromycin on dental plaque and plaque forming microorganisms. J. Periodontol. 1969; 40: 287–91. Nagle Pi, Turnbull. Chlorhexidine: An ideal plaque inhibiting agent?. Literature Review. J. Can. Dent. Assn. 1978; 2: 73–5. Lindhe J, Hainp SE, Loe H. Experimental periodontitis in the beagle dog. J. Periodontol. Res. 1973; 8: 1–10. Ramfjord. Ifidices for prevalence and incidence of periodontal disease. J. Penodontol. 1971; 30: 51. Waerhaug J. Prevalence of periodontal disease in Ceylon. Acta Odont. Scand. 1967; 25: 205–31. Loe, Schiott R. The effect of supression of the oral microflora upon the development of dental plaque and gingivitis in Dental Plaque. Symposium 1969. Ed. by McHugh WDE. and S Livingstone Ltd. Edinburg 1970b. 247–255. Loe H, Schiott CR. The effect of mouth rinses and topical application of Chlorhexidine on the development of Dental Plaque and 6.1. in man. J. Periodontol. Res. 1970a. 5. 79–83. Lenz H, Muhlemann HR. Repair of etched enamel exposed to the oral environment. Helv. Odont. Acta. 1963; 7: 47–49. Ritz HL. The role of aerobic neisseria in the initial formation of dental plaque in dental plaque Symposium 1969. (Ed) Mc Hugh. WDE S. Livingstone Ltd. Edinburgh 1970. Tryggue LIE. Early dental plaque morphogenesis. J. Periodontol. Res. 1977; 12: 73–89. Theilade E Wright WH, Jensen SB. Experimental gingivitis in man. J. Periodontol. Res. 1966; I: 1–13. Egelberg J. A review of the development of dental plaque. In: dental plaque” symposium 1969, Ed. by Mc Hugh WDE S. Livingstone Ltd. Edinburgh 1970. Tinonoff N, Gross A, Brady J. Development of plaque on enamel parallel investigations. J. Periodontol. Res. 1976; 197–209. Socransky SS, Manganiello DD, Propos D, Orani V, Houten van J. Bacteriological studies of developing supragingival dental plaque. J. Periodontol. Res. 1977; 12: 90–106. Gibbon. Van Houte. On the formation of dental plaques. J. Periodontol. 1973; 44: 347. Gibbon, Nygaard. Interbacterial aggregation of plaque bacteria. Arch. Oral

Biol. 1970; 15: 1397. 23. Saxton. Scanning electron microscope study ofbacterial colonization of the tooth surface. In Tooth ename’ II. RW. Fearnhead. MV. Stach Ed. Wright Bristol. l971;2l8. 24. Boyde, Williams. Estimation of the volumes of bacterial cells by scanning electron microscopy. Arch. Oral Biol. 1971; 16: 259. 25. Utji R, Chatim A. Antibacterial properties of hexetidine against micro organisme isolated from patients mouth. Clinical trial 1982. 26. Wade A, Reynolds JEF. The extra Pharmacopoeia 27th Ed., The Pharma ceutical Press. London 1977; 647. 27. Lionetti FJ. Communications. ACS. Convention (Medical div.) Miami, 1957, April. 8. 28. Fosdick LS. Symposium on Hexetidine. Nortwestern University. Chicago ILL. October 1958. 29. Bourgonet. Dikutip dan HW. Kuhr et al : The use of Hexetidinc in the treatment of Inflammations in the Oral Cavity. 30. Church et a!. Dikutip dan HW. Kuhn et al. The use of hexetidine in the treatment of inflammations in oral cavity. Zahnarztl, Welt-Zahnarztl, Reform. 1969; 78: 560. 31. Cooper MJ. Symposium on Hexetidine, Nortwestern University, Chicago ILL.October 1958. 32. Read RR. Symposium on hexetidine. N.W.U. Chicago. October 1958. 33. Capriaglio D, Lisanti L. Dikutip dan HW. Kuhret al. The use of hexetidine

34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43.

in the treatment of inflammations in oral cavity. Zahnarztl. Welt-Zahnarztl. Reform. 1969; 58: 560. Kimmelman BB. Symposium on Hexetidine. N.W.U. Chicago. October 1958. Raymond A. Symposium on Hexetidine. N.W,U. Chicago. October 1958. Kuhr HW, Harle F, Schmidt H. The use of Hexetidine in the oral cavity: Zahnaerztl, Welt-Zahnaerzt. Reform 1969; 78: 506.4. Pnijantojo. Pengaruh Hexetidine terhadap peradangan gingiva. Clinical Trial 1985. Carranza. Glickmans : Clinical periodontology. WB. Saunders Co. 6th ed. 1984; 318. Kemal Y, Safril Y. Pengamatan klinis perawatan skeling penderita gingivitis. Kursus Penyegardan Penambah Ilmu Kedokteran Gigi UI 1983. Bergenholtz A, Hanstrom L. The plaque inhibiting effect of hexetidine (Oraldex (R) ) mouthwash compare to that chlorhexidine. Community Dent. Oral Epidemiol. 1974; 2: 70–4. Prijantojo. Pemeriksaan oral hygiene di bagian Periodontologi FKG UI. II. 1978. Prijantojo. Pemeriksaan oral hygiene di bagian Periodontologi FKG UI.III. 1980. Prayitno SW. Pemeriksaan oral hygiene di bagian Periodontologi FKG UI, 1977.

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

59

English Summary (Sambungan dari halaman 4) application. The larvae reduction rates of the three method of application were significantly different (a = 0,01). With spraying produced significantly beffer result compared to the two other methods. Cermin Dunia Kedokt. 7996,’ 106: 30-4 .Am,

PATHOGENIC FUNGI OF CULEX QUINQUEFASCIATUS FROM HOUSEHOLD SEWER AS BIOLOGICAL CONTROL AGENT Amrul Munif

sp (0,33); Geotrichum sp (0,33); Lagenidium sp (0,44); Verticulum sp(0.33) and Penicillium sp(0,22) only two genera of those fungi were known as biological control agent i.e. Culicinomyces sp and Lagenidlum sp. From the variance analysis it was shown that the infection rate between instar Ill (25,4%) pupae (27,4%) : instar I (19,9%); instar 11(17,5); instar IV (14,8%) was significantly different (p = 0,05). Cermin Dunia Kedokt. 99ó: W6;41-4 Am

Health Ecology Research Centre, National Institute of Health Research and Development. Department of Health. Jakarta, Indonesia

A study had been conducted to determine several pathogenic fungi to mosquito larvae from several ditch in South Jakarta. A number of 24 genera of fungi consisting 42 isolaters were able to be isolated from 5,438 mosquito larvae. They were cultured in Sabouraud dextrose agar media. Fungi which were found in all instar of Cx. quinquefasciatus were Blastomyces sp (0,44); Culicinomycessp(0,44); Candida

FILARIASIS BANCROFTI VECTOR DETERMINATION IN TANJUNG BUNGA, EAST FLORES Barod Sumardi, Tn Suwardjono, Rahardjo, Heru Prijanto, Sutopo Vector Research Station. Health Ecology Research Centre, Department of Health, Salatiga, Indonesia

A study on entomology has been conducted in 5 villages which were located in Teluk Hading, Tanjung Bunga Subdistrisct, East Flores, NIT. This study showed that the suspected filarla W. bancrofti vector in these area were Anopheles aconitus, An. barbirostris, An. maculatus, An. sundaicus, An. subpictus, Cx, quinquefasciatus,Cx. fuscocephalus, Cx. bitaeniorhynchus, Cx. tritaeniorhynchus, and Cx. vishnul. Only 3 species of Anopheles confirmed as W.bancrofti vector i.e. An. sundaicus, An. subpictus and An. flavirostris with natural infection rate percentage of 0,93%, 0,13-0,4% and 1,42% respectively. There were more than one species of Anopheles that can act as filaria vector in each village in Tanjung Bunga. Cermin Dun/a Kedokt. 7996. 706. 45-8 B, S, Ts, Rp, S

Marriage is heaven and hell

60

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Pengalaman Praktek Harga Diri yang Harus Dibayar Mahal Sudah cukup lama pasangan yang telah menikah 9 tahun mengharapkan kedatangan si mungil. Terlebih secara adat budaya mereka adalah memalukan atau hina bila tidak dapat memberi keturunan. Suatu hari, istrinya datang memeriksaan diri karena hamil dan perut sakit disertai bercah perdarahan pevaginam. Dari hasil pemeriksaan didiagnosis kerja kehamilan ektopik yang terganggu. Walaupun dengan berat hati, segera dianjurkan ke rumah sakit rujukan untuk mendapat pertolongan yang terbaik. Betapa terpukulnya pasangan tersebut mendengar keterangan atau vonis dan dokter. Demi menjaga martabat keluarga, si isteri rela menderita untuk mencoba mempertahankan kandungannya yang seharusnya dioperasi. Demikian pula si suami bersikeras mempertahankan kandungan si istri walaupun pada akhirnya haru dibayar sangat mahal dengan kematian Si istri. Rupanya meninggal dalam keadaan hamil lebih terhormat dari pada hidup tanpa anak. Benar-benar tragis. Emiliana Tjitra Jakarta

Kalender Peristiwa 8 – 10 Juli 1996 – KONGRES NASIONAL VIII PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS MATA INDONESIA Hotel Savoy Homann Bandung, INDONESIA Sekr.: Bagian Ilmu Penyakit Mata FK Unpad RS Mata Cicendo Jl. Cicendo 4 Bandung 40171 INDONESIA TeIp.: 62-22 431281 Fax : 62-22 4201962

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

61

ABSTRAK EFEK SAMPING KOMBINASI CISAPRID DENGAN KETOKONAZOL Janssen telah mengeluarkan edaran untuk para dokter di AS yang berisi peringatan akan kemungkinan efek samping kardiak akibat pemakaian kombinasi cisaprid + ketokonazol; selain dengan ketokonazol, kombinasi dengan itrakonazol, mikonazol dan troleandomisin juga merupakan kontraindikasi. Efek samping tersebut berupa pemanjangan interval QT dan aritmi ventriket, termasuk torsade de pointes yang diperkirakan dapat terjadi pada 1 di antara 120.000 pengguna cisaprid, dan pada kira-kira 1 per 400.000 pasien–bulan. Scrip 1995; 2008:25 Brw

DONOR GINJAL Untuk mengatasi kekurangan donor untuk transplantasi ginjal, sekelompok peneliti Belanda mencoba menggunakan ginjal dan donor yang jantungnya telah berhenti berdenyut selama kurang dari 30 menit (non-heart-beating/NHB donors) pada 57 pasien. Hasilnya dibandingkan dengan hasil transpiantasi ginjal dan donor yang jantungnya masih berdenyut (heart-beating/HB donors) pada 114 pasien lainnya. Setelah 5 tahun, graft survival adalah sebesar 54% untuk ginjal NHB dan 55% untuk ginjal HB; sedangkan patient survival masing-masing sebesar 75% di kalangan pasien yang menerima ginjal NHB dan 77% di kalangan pasien yang mendapat ginjal Ginjal NHB mengalami tebih banyak delayed-function (60% vs. 35%, p=0,0007) dan pasiennya rata-rata lebih lama tinggal di rumah sakit (32 hari vs. 23 hari, p=0,005). Kegagatan (primary non function graft) didapatkan pada 8 (14%)pasien ketompok NHB dan pada 9 (8%) pasien kelompok HB (p = 0,3).

MIKROEMBOLI PADA STROKE Pemeriksaan transkranial Doppler dapat mendeteksi adanya mikroemboli di kalangan pasien stroke iskemik. Dalam suatu penelitian,pasien-pasien stroke iskemik dibagi atas tiga kategori: grup 1 dengan katup jantung prostesis, stenosis karotis berat, infark miokard akut dan fibrilasi atrium dianggap berisiko tinggi; grup 2 dengan foramen ovale persisten,aneurisma septum atrial, trombus ventrikel kiri dan okiusi karotis di anggap berisiko sedang, sedangkan grup 3 terdiri dari pasien tanpa risiko emboli. Ternyata mikroemboli terdeteksi pada 17% pasien grup 1, pada 10% pasien grup 2 dan 0% pada pasien grup 3. Adanya ketainan dengan risiko mikroemboti merupakan faktor predisposisi bagi serangan stroke iskemik. Stro 1995; 26: 1588–92

KEMATIAN AKIBAT MALARIA Penelitian di Kenya menggunakan data mulai Mei 1989 sampai dengan November 1991 mendapatkan 1844 anak (usia rata-rata 26,4 bulan) dengan diagnosis utama malaria. Angka mortalitasnya 3,5% (95%CI: 2,7–4,3%) dan 84% kematian terjadi dalam 24 jam. Faktor prognostik utama dalam memperkirakan kematian ialah penurunan kesadaran (RR – 3,3; 95%CI: 1,6–7,0), gangguan pernapasan (RR–3,9; 95%CI: 2,0–7,7), hipogtikemi (RR–3,3; 95%CI: 1,6–6,7) dan ikterus (RR–2,6; 95%CI: 1,1–6,3). Di antara 64 anak yang meninggal, 54 anak menderita penurunan kesadaran (n = 336, case fatality rate 11,9%) atau gangguan pernapasan (n = 251, case fatality rate 13,9%) atau keduanya. Kesadaran menurun dan/atau gangguan pernapasan merupakan faktor risiko utama kematian di kalangan anak-anak Afrika yang mendenita malaria.

ACE INHIBITORS DAN HIPOGLIKEMI Dutch PHARMO system – data di Belanda – mencatat 94 pasien diabetes melitus yang masuk rumah sakit karena hipoglikemi selama.tahun 1986–1992. Setelah dibandingkan dengan 654 kontrol dan kohort yang sama, ternyata kejadian hipoglikemi berkaitan dengan penggunaan ACE-inhibitors(odds ratio – 2,8; 95%CI: 1,4–5,7). Peningkatan risiko ini didapatkan baik di kalangan pengguna insulin (odds ratio – 2,8; 95%CI: 1,2–6,4), maupun di kalangan pengguna antidiabetik oral (odds ratio– 4,1; 95%CI: 1,4.42,2).

PROFILAKSIS ULKUS DI PERA WATAN INTENSIF Di Amerika Serikat telah dikeluarkan rekomendasi penggunaan profitaksis terhadap stress ulcer di perawatan intensif. Pasien-pasien yang dirawat intensif dinilai secara individual atas risiko perdarahan gastrointestinal setiap hari, dan penggunaan antagonis H2 juga disesuaikan. Pengobatan tidak dianjurkan pada keadaan hiposekresi, dan mungkin tidak efektif pada keadaan kesakitan multipel. Profilaksis rutin hendaknya diberikan pada pasien dengan gangguan susunan saraf pusat, luka bakar berat, transplantasi organ dan mereka yang mempunyai riwayat perdarahan gastrointestinal atau ulkus peptikum.

N. Engl. J. Med. 1995; 332: 1399-404

Lancet 1995; 345: 1195–98

Inpharma 1995: 989: 5

Hk

Hk

Brw

62

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

Lancet 1995; 345: 1067–70 Hk

Brw

ABSTRAK GANCICLOVIR UNTUK INFEKSI CMV Ganciclovir – obat anti cytomegalovirus (CMV) oral yang pertama – telah mulai dipasarkan di AS dan UK, dan telah disetujui penggunaannya di Perancis dan Swiss, menyusul preparat intravenanya yang telah dipasarkan untuk indikasi yang sama di lebih dan 50 negara sejak tahun 1988. Obat oral ini digunakan untuk terapi pemeliharaan retinitis CMV pada pasienpasien AIDS dengan dosis 3 dd 250 mg. sampai 6 dd. 500 mg. per hari; bila ditelan bersama makanan akan meningkatkan bioavailabilitasnya dan hanya 5–8% menjadi 20%. Efek samping utamanya ialah lekopeni, anemi, trombositopeni – serupa dengan pada penggunaan intravena, tetapi dengan persentase yang lebih rendah: 19% vs. 25% untuk anemi dan 29% vs. 41% untuk lekopeni. Scrip 1995; 2009: 22 Brw

PENYEBAB DIARE Diare merupakan keluhan yang umum dijumpai, dan dapat disebabkan oleh berbagai penyakit; berikut ini adalah tabel yang dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab diare berdasarkan responsnya terhadap puasa: a. Responsif terhadap puasa: 1. Inkontinensia 2. Akibat asam empedu a. Setelah kolesistektomi b. Setelah reseksi ileum 3. Steatore 4. Diane osmotik a. Malabsorbsi kanbohidrat b. Kelebihan karbohidrat c. Laksatif 5. Alergi makanan b. Tidak/sedikit responsif terhadap puasa: 1. Penyalahgunaan laksatif atau diuretik

2. Inflammatory bowel diseases 3. Celiac sprue 4. Limfoma intestinal 5. Tumor neuroendokrin a. Sindrom Zollinger-Ellison b. Kolera pankreatik c. Tumor karsinoid d. Karsinoma meduler tiroid e. Mastositosis sistemik 6. Adenoma villous rektosigmoid 7. Infeksi kronis (tbc, giardia, amuba) 8. Hipertiroidi 9. Diare kongenital a. Defisiensi chloride-bicarbonate exchange b. Defisiensi sodium-hydrogen exchange c. Microvillus inclusion disease 10.Bacterial overgrowth N. Engl. J. Med. 1995; 332; 728 Hk

GEMUK DAN KANKER OVARIUM Studi di Hertfordshire, UK atas 5585 wanita yang lahir di sana menunjukkan bahwa 41 wanita yang meninggal karena kanker ovarium mempunyai berat badan rata-rata di waktu bayi yang lebih tinggi daripada berat badan rata-rata populasi (10,1 kg. vs. 9,7 kg., p =0,01). Observasi ini konsisten dengan hipotesis yang menghubungkan kanker ovarium dengan perubahan pola pelepasan gonadotropin in utero. Lancet 1995; 345: 1087–88 Hk

SEMPROT HIDUNG UNTUK MIGREN Berbagai macam obat maupun cara pemberian tejah dicoba untuk mengatasi nyeri kepala; selain cara biasa per oral, beberapa zat telah dicoba digunakan secara intranasal (inhalasi). Lidokain 4% intranasal dengan dosis 0,4 ml. dicobakan pada 23 pasien dengan serangan migren akut moderat/ berat; cara ini berhasil pada 12 pasien, 8 di antaranya sembuh dalam 5 menit;

cara ini lebih efektif untuk nyeri unilateral. Efek sampingnya berupa rasa pahit, iritasi mata dan hidung, dan rasa baal orofaring. Selain itu butorphanol (Stadol®) 1 mg.per dosis juga dikatakan efektif untuk serangan migren akut sedang/berat; setelah 48 jam 53% pengguna butorphanol bebas nyeri, dibandingkan dengan hanya 26% di kalangan plasebo. Efek samping berupa pusing(dizziness),mual/ muntah dan rasa kantuk diderita oleh 58%,38% dan 29% pengguna butorphanol, dibandingkan dengan 4%, 18% dan 0% di kalangan plasebo. Lidokain 4% juga dilaporkan efektif untuk mengatasi nyeri kepala kiaster; 30 pasien pria masing-masing mengguna kan 4 semprotan untuk terapi abortif, diikuti dengan 2 semprotan tambahan bila perlu 15 menit kemudian.Sebanyak 16 pasien mengalami perbaikan, sedang kan 14 lainnya tidak. Inpharma 1995; 983: 14 Brw

KERACUNAN LITLUM Litium dikenal efektif untuk mengatasi gangguan afektif bipolar, tetapi penggunaannya dibatasi oleh sempitnya rentang dosis terapeutik – perubahan kadar serum yang relatif kecil sudah dapat menyebabkan keracunan. Berikut ini dicantumkan gejala-gejala yang muncul pada kadar litium tertentu: Kadar serum 1,5–2,0 mmol/1–keracunan ringan: letargi, mengantuk, tremor kasar, kelemahan otot, mual, muntah, diare. Kadar serum 2,0–2,5 mmol/l–keracunan sedang: bingung, disartri, nistagmus, ataksia, miokionus, gelombang T mendatar/terbalilk pada EKG. Kadan serum> 2,5 mmol/l – keracunan berat: kesadaran menurun hiperrefeksi, kejang,sinkop,insufisiensi ginjal,koma, kematian. Gun. Pharmacokinet. 1995; 29(3): 174 Hk

Cermin Dunia Kedokteran No. 106, 1996

63

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 6. Filariasis di Flores Timur berupa: a) Filariasis bancrofti b) Filariasismalayi c) Filariasis timori d) Semua ada e) Semua salah 7. Yang tidak terdapat pada nyeri kepala tipe tegang: a) Rasa tertekan b) Rasa berdenyut c) Lakrimasi d) Kaku otot leher e) Nyeri unilateral 8. Jenis nyeri kepala yang dianggap paling sering diderita/ ditemukan: a) Migren b) Nyeri kepala tipe tegang c) Nyeri kepala klaster d) Nyeri kepala pasca trauma e) Neuralgia trigeminal 9. Pemberian fluor tidak berguna lagi bila telah terbentuk: a) White spot b) Initial caries c) Erupsi d) Karies e) Demineralisasi 10. Hexetidine menghambat pertumbuhan plak melalui mekan-isme: a) Antibakteri b) Demineralisasi c) Remineralisasi d) Anti enzim e) Anti karies

JAWABAN RPPIK :

1. Parasit malaria yang dominan di Kecamatan Teluk Dalam: a) Plasmodium falciparum b) Plasmodium vivax c) Plasmodium malariae d) Plasmodium berghei e) Tidak ada yang dominan 2. Jenis nyamuk yang paling sering ditemukan di Sikka: a) An. sundaicus b) An. aconitus c) An. barbirostris d) An. subpictus e) An. maculatus 3. Yang tidak termasuk dalam An. hyrcanus group: a) An. sundaicus b) An. nigerrimus c) An. sinensis d) An. crawfordi e) An. peditaeniatus 4. Bacillus thuringiensis adalah sejenis: a) Bakteri b) Jamur c) Protozoa d) Cacing e) Virus 5. Bacillus thuringiensis tersebut dapat digunakan untuk mengendalikan penyebaran a) Anopheles b) Aedes c) Culex d) Semua bisa e) Sernua salah

1. B 2. C 3. A 4. D 5. D

6. A 7. C 8. B 9. D 10. A

Related Documents

Cdk 106 Malaria
June 2020 2
Cdk 055 Malaria (ii)
November 2019 8
Cdk 131 Malaria
June 2020 0
Cdk 118 Malaria
June 2020 0
Cdk 054 Malaria (i)
November 2019 3
Cdk 094 Malaria
November 2019 5