Cdk 094 Malaria

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 094 Malaria as PDF for free.

More details

  • Words: 38,262
  • Pages: 65
Cermin Dunia Kedokteran 1994

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

94. Malaria Juli 1994

Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel : 4. Manifestasi Klinis dan Pengobatan Malaria – Emiliana Tjitra 14. Gambaran Penyakit Malaria di Bagian Anal( RSU Langsa, Aceh Timur – H. Nuchsan Umar Lubis 16. Obat-obat Baru Anti Malaria – Emiliana Tjitra 23. Beberapa Aspek Perilaku An. farauti di Klademak IIA, Sorong – Pranoto, Amrul Munif 29. Spesies Anopheles dan Peranannya sebagai Vektor Malaria di lokasi Transmigrasi Manggala, Lampung Utara – Hasan Boesri 32. Penebaran Konidiospora Metarrhizum anisopliae untuk Penanggulangan Populasi Larva An. aconitus di Persawahan Rejasari, Banjarnegara – Amrul Munif, Supraptini, M. Sukirno 38. Prevalensi Cendawan Patogen pada Larva Nyamuk Vektor Malaria sebagai Dasar Pengendali Hayati – Amrul Munif 44. Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka. Penelitian entomologi-2 : tempat perindukan Anopheles sp. – Sahat Ompusunggu, HA Marwoto, Sekar Tuti Sulaksono, Soeroto Atmosoedjono, Suyitno, Moersiatno 51. Korelasi Musim terhadap Populasi Tiga Vektor Malaria – kaitannya dengan Insiden Malaria di Dua Kecamatan, di Banjarnegara – Pranoto, Amrul Munif 58. Pengaruh Klorokuin terhadap Jumlah Parasit pada Mencit yang Diinfeksi dengan Pl. berghei – Suwarni, Sekar Tuti, Rita Marleta Dewi, Harijani A. Marwoto 61. Pengaruh Pasase Pl. berghei pada Mencit strain Swiss – Rita Marleta Dewi, Edhie Sulaksono 64. RPPIK

Kendati usaha pemberantasan malaria telah dilakukan sejak berpuluh tahun yang lalu, penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara tropis, termasuk Indonesia. Pengembangan obat antimalaria, usaha pemberantasan sarang nyamuk, penggunaan insektisida secara besar-besaran masih belum berhasil mengatasi penyebaran penyakit ini, sementara pengembangan vaksin gntimalaria belum memperoleh hasil yang memuaskan. Ditambah dengan meningkatnya resistensi terhadap obit antimalaria, semuanya merupakan masalah yang masih harus dihadapi oleh para petugas kesehatan, terutama yang bertugas di daerah endemis malaria. Oleh karena itu, malaria kembali menjadi topik utama dalam penerbitan kali ini, semoga dapat memberikan informasi tambahan dalam usaha pemberantasan penyakit tersebut. Ditambah dengan beberapa artikel lain, selamat membaca. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

Cermin Dunia Kedokteran 1995

International Standard Serial Number: 0125 – 913X

KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi

– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Dr. R.P. Sidabutar

TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran Gedung Enseval Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih Jakarta 10510, P.O. Box 3117 Jkt. NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma

– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

– Prof. DR. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

PELAKSANA Sriwidodo WS

PENCETAK PT Temprint

REDAKSI KEHORMATAN

– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.

– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,

– Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta

REDAKSI KEHORMATAN

– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo

– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

English Summary NEW ANTIMALARIAL DRUGS Emiliana Tjitra Research Centre for Communicable Diseases, Health Research and Development Board, Department of Health, Jakarta. Indonesia.

One of the obstacles in malaria control in Indonesia is the unavailability (up to now) of an ideal antimalaria drug. Quinine is still the preferred drug against malaria. Furthermore, resistance of the plasmodium towards antimalaria drugs is increasing and spreading. Hence synthetic antimalarials has been and are still being tested. These drugs, known as new antimalarials are not yet registered, not available and not commonly used, are being tested in Indonesia. Among these, the blood schizontosides mefloquine, halofantrin and artesunate (a derivative of artemycinne) have been tested on patients with uncomplicated falciparum malaria with good results and little side effects.

Cure, disappearance of fever and of parasites were respectively 94-100%, 9.3-25 hours and 47.1-59 hours for mefloquine; 98.4%, 22,4 ± 22.7 h and 58.3 ± 5.2 h for halofantrin and 75%, 14.0 ± 4.6 h and 32.0 ± 5.9 h for artesunate. Other derivatives of artemycinine, artesunate and artemether (parenteral use) are bering and/or going to be tested on severe malaria cases with complications and halofantrin against falciparum malaria with mild complications. Other new antimalarial drugs, not yet tested in Indonesia, are the blood schizontosides yinghaosu, pyronaridine, piperaquine and atovaquone. Cermin Dunia Kedokt. 1994; 94: 16–22 ssz

ANOPHELES SPECIES AND THEIR ROLE AS MALARIA VECTOR IN MANGGALA, NORTH LAMPUNG. Hasan Boesri Vector Surveillance Center, Health Ecology Research Center, Health Research and Development Board, Department of Health, Salatiga, Indonesia.

Survey on anopheles species and their role as malaria vector was done In Manggala, a location for transmigration In North Lampung, from March 1990 till March 1991. Anopheles mosquitoes that were found were An. nigerrimus, An. barbirostris, An. annularis and An. vagus among them, only An. nigerrimus is known as malaria vector. Anopheles larvae that were found were An. barbirostris, An, annularis and An. vagus; they mostly live in ricefield and marsh with Eichornia sp., Pistia sp. and other infestations. Cermin Dunia Kedokt. 1994; 94: 29–31 Brw

One half of the world can not understand the pleasures of the other

4

Cermin Dunia Kedokteran No. 101, 1995

Artikel

Manifestasi Klinis dan Pengobatan Malaria Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Diagnosis dini dan pengobatan cepat merupakan salah satu sasaran perbaikan strategi pemberantasan malaria. Penegakan diagnosis malaria sedini mungkin sangat ditunjang oleh manifestasi klinis selain dengan pemeriksaan parasitologis. Dengan demikian dapat diberikan pengobatan yang cepat, baik pengobatan kausal dengan obat antimalaria maupun pengobatan suportif untuk memperbaiki fungsi organ akibat kelainan patofisiologi yang ditimbulkan oleh malaria tersebut. Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan malaria, manifestasi klinis pada umumnya dikelompokkan menjadi malaria ringan atau tanpa komplikasi dan malaria berat atau dengan komplikasi. Manifestasi malaria ringan terutama disertai gejala klinis sakit kepala, demam, menggigil dan mual. Manifestasi klinis malaria berat antara lain merupakan basil proses cytoadherence dan reaksi yang berlebihan dari sistim kekebalan sehingga terjadi malaria otak, malaria dengan gangguan kesadaran, kejang berulang, prostration (sangat lemah), hiperpireksia, syok (algid malaria), gangguan cairan elektrolit dan asam-basa, perdarahan atau Disseminated Intravascular Coagulation, anemia berat, edema paru, jaundice, gagal ginjal, hemoglobinuri' atau Blackwater fever, hipoglikemi, dan hiperparasitemi. Obat antimalaria pilihan untuk mengobati malaria tanpa komplikasi adalah oral klorokuin 10 mg basa/kgbb/hari dosis tunggal pada hari 1,2 dan 5 mg basa/kgbb/hari pada hari ke 3. Di samping itu diberikan primakuin dosis tunggal satu kali untuk malaria falsiparum dan selama 5–14 hari untuk malaria vivaks, malariae dan ovale. Kasus malaria resisten klorokuin diberi sulfadoksin-pirimetamin dan bila resisten multidrug diberi kina. Obat antimalaria pilihan untuk malaria berat adalah infus kina dihidroklorida 10 mg garam atau 8,3 mg basa/kgbb/dosis dalam 10 ml cairan Dekstrosa 5% atau NaC10,9% dalam 4 jam, tiap 8 jam dan bila memungkinkan secepatnya diberikan peroral sehingga dosis total adalah 21. Pada malaria otak dosis awal dapat diberikan 20 mg garam atau 16,7 mg basa/kgbb/dosis. Bila tidak terdapat kina dapat dipakai infus klorokuin atau kinidin glukonat. Pengobatan suportif diberikan sesuai dengan gejala dan tanda klinis serta kelainan fungsi organ yang menyertainya. Obat antimalaria alternatif baru yang pernah diteliti untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin atau multidrug adalah oral klindamisin, meflokuin, halofantrin, dan artesunat; sedangkan untuk malaria berat, sedang dan akan diteliti dengan artesunat dan artemether.parenteral.

Pengembangan penelitian pengobatan malaria berat pada saat ini selain mencari obat antimalaria yang ideal, juga mencari obat yang dapat memutuskan atau menetralisir proses patofisiologi malaria antara lain desferrioxamine, heparin, pentoxifylline dan antiTNF monoclonal antibodies. Dengan mengerti patofisiologi dan mengenal manifestasi klinis, diagnosis malaria dapat ditegakkan sedini mungkin sehingga pengobatan dapat dilakukan dengan cepat, terarah, tepat dan adekuat. Dengan demikian dapat dicegah penyakit yang bertambah berat, kematian dan penularan.

PENDAHULUAN Dalam pelaksanaan program pemberantasan malaria, sudah banyak biaya dan tenaga yang dikerahkan tetapi belum membuahkan basil yang nyata. Salah satu kendala adalah keterlambatan mendiagnosis malaria sedini mungkin sehinggatidak dapat segera diberi pengobatan. Oleh sebab itu dalam perbaikan strategi pemberantasan malaria, upaya diagnosis dini dan pengobatan cepat merupakan sasaran utama(1). Walaupun sampai saat ini diagnosis hanya dapat dipastikan melalui pemeriksaan parasitologis yang memerlukan ketrampilan dan fasilitas khusus, manifestasi klinis yang ditimbulkan tidak kalah pentingnya karena dapat mengarahkan dan mempercepat diagnosis. Penelitian manifestasi klinis pada umumnya terhadap malaria falsiparum karena dapat menimbulkan komplikasi dan kematian dibandingkan jenis malaria lain. Seringkali data ini diambil hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis dui basil pemeriksaan fisik karena keterbatasan dana dan fasilitas, walaupun sebenarnya ada keterkaitan antara gejala dan tanda klinis dengan kelainan fungsi organ tubuh yang dapat dibantu dinilai dari hasil pemeriksaan laboratorium. Di samping itu model pengambilan data manifestasi klinis mempunyai peranan penting. Manifestasi klinis di rumah sakit biasanya lebih berat karena umumnya penderita datang karena sakit, sedangkan yang di lapangan pada waktu survei kadang-kadang penderita tidak tabu dirinya menderita sakit. Dalam penanganan malaria, kesulitan tidak hanya diawali dengan mendapatkan kepastian diagnosis dini tetapi juga sering diakhiri dengan kegagalan pengobatan. Kegagalan pengobatan selain karena keterlambatan mendapat pengobatan, juga dapat karena ketidaktepatan regimen dan dosis obat yang diberikan, serta adanya Plasmodium resisten terhadap obat antimalaria. Penggunaan obat-obat yang terdaftar sebagai antimalaria sudah diatur dan dibakukan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria. Pembatasan penggunaan obat tersebut berguna untuk menekan berkembangnya kasus resisten terhadap obat-obat antimalaria lainnya. Di beberapa rumah sakit dan di lapangan, tidak jarang ditemukan pengobatan malaria yang tidak sesuai dengan petunjuk yang sudah dibakukan tersebut. Keanekaragaman regimen dan dosis yang diberikan hanya berdasarkan pengalaman. Hal ini mungkin karena ketidaktahuan sebab dalam masa sekolah tidak mempunyai pengalaman atau mendapat kesempatan menangani kasus malaria, atau adanya ketidakseragaman kurikulum, khususnya mengenai malaria.

Malaria falsiparum resisten klorokuin in vitro dan atau in vivo pernah dilaporkan di 27 propinsi Indonesia dengan derajat RI–RIII. Sulfadoksin-pirimetamin di 9 propinsi (Irja, Lampung, Jateng, Sumut, Aceh, Riau, Sulsel, DKI Jakarta dan Kaltim) dengan derajat RI – RII. Kina di 5 propinsi (Jabar, Jateng, NTT, Irja dan Kaltim), sedangkan meflokuin di 3 propinsi (Jateng, Irja dan Kaltim) dengan derajat RII – RIII dan halofantrin di 1 propinsi (Kaltim) walaupun obat-obat tersebut belum dipakai di Indonesia. Kasus resisten yang ditemukan di DKI Jakarta dan Bali adalah merupakan kasus import(2–4). Kasus malaria vivaks resisten in vivo terhadap klorokuin juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti(5-8). Penilaian resisten dapat berdasarkan kadar klorokuin dalam darah serum yang diukur dengan cara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang sudah melebihi 15 mg/ml(9). Belum lama ini ditemukan kasus malaria vivaks paska transfusi yang resisten multidrug (klorokuin dan kina) di salah satu rumah sakit Jakarta(8). Untuk mengantisipasi masalah resistensi, sejumlah obat antimalaria sintetis telah dan sedang diuji coba. Obat-obat ini dikenal sebagai obat antimalaria baru yang belum terdaftar, beredar dan dipakai di Indonesia. Dalam pengobatan malaria tidak hanya dilakukan dan diperhatikan pengobatan kausal dengan obat antimalaria, tetapi juga tidak kalah pentingnya pengobatan suportif atau simptomatik. Hal ini disebabkan karena malaria merupakan penyakit sistemik yang dapat menyerang organ otak, paru, hati, ginjal dan sebagainya yang perlu diperbaiki kelainan patofisiologinya. Oleh sebab itu dalam penanganan kasus malaria, manifestasi klinis tidak hanya perlu diketahui tetapi juga dikenal untuk dapat membantu menegakkan diagnosis sedini mungkin. Dengan demikian pengobatan dapat dilakukan dengan segera dengan tepat. MANIFESTASI KLINIS MALARIA Manifestasi klinis penderita malaria ini sangat beragam, dari yang tanpa gejala sampai dengan yang berat. Di daerah endemis malaria, manifestasi klinis tersebut sudah sangat dikenal oleh tenaga kesehatan bahkan penderita dapat mendiagnosis penyakitnya sendiri. Pada daerah non endemis diperlukan pengalaman untuk mengarah ke diagnosis malaria antara lain pengetahuan epidemiologis, status malaria daerah asal atau tempat tinggal, mengetahui riwayat tindakan medis yang pernah didapat (transfusi darah, suntikan), riwayat penyakit dan berpergian dari penderita tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi manifestasi klinis tersebut antara lain : 1) Status kekebalan yang biasanya berhubungan dengan ting-

kat endemisitas tempat tinggalnya. 2) Beratnya infeksi (kepadatan parasit). 3) Jenis dan strain Plasmodium (spesies, resisten obat antimalaria atau Chesson strain). 4) Status gizi. 5) Sudah minum obat antimalaria. 6) Keadaan lain penderita (bayi, hamil, orang tua, menderita sakit lain dan lain-lain. 7) Faktor genetik (HbF, defisiensi G6PD, ovalositosis dan lainlain). Biasanya penderita yang tinggal atau berasal dari daerah endemis telah mempunyai kekebalan terhadap malaria sehingga manifestasi klinisnya lebih ringan dibandingkan penderita yang tidak kebal. Oleh sebab itu malaria berat sering didapatkan pada penderita tidak kebal bahkan dapat berakibat fatal. Secara umum, bila kepadatan parasit tinggi, biasanya risiko menjadi malaria berat lebih besar. Walaupun demikian tidak jarang didapatkan penderita malaria berat dengan kepadatan parasit rendah dan sebaliknya(10,11). Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis malaria dipengaruhi oleh banyak faktor. Malaria berat umumnya disebabkan oleh P. falciparum. Di samping itu malaria falsiparum merupakan jenis malaria yang telah dilaporkan resisten terhadap klorokuin maupun multidrug(2,3). Di Irian dikenal P. vivax Chesson strain yang lebih sulit dapat disembuhkan. Status gizi sangat mempengaruhi kekebalan tubuh terhadap infeksi terutama pada anak-anak, sehingga tak mengherankan malaria pada anak kurang gizi sering berkembang menjadi berat. Manifestasi klinis penderita yang sudah minum obat antimalaria atau minum profilaksis biasanya dapat lebih ringan atau menjadi tidak jelas. Pada penderita dengan defisiensi G6PD dapat disertai dengan hemoglobinuria. Anak-anak, ibu hamil dan orang tua, biasanya lebih rentan terhadap infeksi. Malaria pada kehamilan dapat menyebabkan abortus, kematian janin, bayi lahir mati, berat badan lahir rendah, malaria kongenital, partus sulit, anemia, gangguan fungsi ginjal dan hipoglikemia(12). Infeksi malaria lebih sulit terjadi pada penderita dengan HbF, defisiensi G6PD, dan ovalositosis. Untuk memudahkan penatalaksanaan penanganan kasus malaria, manifestasi klinis dikelompokkan menjadi : A) Malaria ringan atau tanpa komplikasi Malaria ini umumnya disertai gejala dan tanda klinis yang ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil dan mual serta tanpa kelainan fungsi organ(13). Kadang-kadang dapat disertai dengan sedikit penurunan trombosit dan sedikit peningkatan bilirubin serum(4,14,15). Gejala-gejala klinis ini juga sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain(16,17). Gejala dan tanda klinis lain yang juga dapat ditemukan adalah pusing, pucat, tak nafsu makan, muntah, sakit perut, diare, lemah, myalgia, hepatomegali dan splenomegali(4,10,14–18). Biasanya penderita malaria ringan dirawat jalan dan tidak memerlukan tindakan khusus. Pencarian kasus dan pengobatan malaria ringan dapat dilakukan oleh kader kesehatan melalui Pos Obat Desa (POD).

B) Malaria berat atau dengan komplikasi Malaria berat adalah malaria falsiparum yang cenderung menjadi fatal atau malaria dengan komplikasi dimana kemungkinan penyakit lain sudah dapat disingkirkan(19). Lebih kurang 10% dari penderita malaria falsiparum adalah malaria berat dengan angka kematian 18,8 – 40,0%(11,20–22). Patofisiologi malaria berat sangat kompleks dan tergantung pada sistim organ yang terkena(22). Dikenal beberapa hipotesis yang sedang berkembang yaitu : a) Cytoadherence Yang dimaksud dengan cytoadherence adalah adanya perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan sel enditel pembuluh kapiler (endothelial cytoadherence)(23–26). Di samping itu juga terjadi perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan eritrosit normal, dan dikenal dengan rosette form(27,28). Perlekatan tersebut mengakibatkan kerusakan dinding pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah ke pembuluh darah kapiler akhir karena terbentuknya sloughing, sequestration dan roset. Proses tersebut menyebabkan terjadinya edema dan hipoksia karena adanya kebocoran kapiler dan aliran darah berkurang. Sequestration dapat terjadi pada semua penderita malaria, sedangkan pembentukan roset hanya pada penderita dengan kerusakan organ. Oleh sebab itu manifestasi klinis malaria berat lebih berkaitan dengan van pembentukan roset dari pada sequestration. b) Reaksi berlebihan dari sistim kekebalan Malaria berat juga dapat terjadi karena sistim kekebalan penderita bereaksi berlebihan dan sebagai perantara kerusakan sel (saraf, hati dan ginjal) melalui produk toksik dari sel kekebalan (makrofag) yaitu sitokin antara lain Tumor Necrosing Factor (TNF), Inter Leukin I (IL I), IL VI dan lain-lain. Pengeluaran TNF dirangsang oleh produk parasit yang dikeluarkan pada waktu eritrosit yang terinfeksi pecah. Kelainan tubuh yang diakibatkan oleh TNF adalah demam, peradangan, perubahan keadaan mental, trombositopenia, depresi fungsi sumsum tulang dan merangsang sel kebal untuk mengeluarkan produk tambahan(29–35). Salah satu produk toksik tambahan dari makrofag adalah nitrik oksid (NO) yang dirangsang pengeluarannya oleh TNF. NO adalah gas yang larut dengan bebas menembus sel membran sehingga dapat melewati blood-brain barrier. NO berfungsi sebagai neurotransmitter dan merupakan komponen yang berperan pada reaksi kekebalan terhadap parasit dalam sel, sehingga dapat membunuh sel hati yang terinfeksi malaria (stadium preeritrositik)(36,37). Menurut WHO manifestasi klinis malaria berat dapat berbentuk : 1) Malaria otak (malaria serebral) Malaria otak adalah malaria dengan penurunan kesadaran (unarousable) yang dinilai dengan Skala Koma dari Glasgow (Glasgow Coma Scale). Nilai GCS untuk penderita malaria anak adalah < 5, sedangkan untuk penderita dewasa < 15 (lampiran 1)(38,39). Untuk dapat membedakan dengan gangguan kesadaran yang lain adalah penurunan kesadarannya harus menetap selama ≥ 30 menit setelah terjadi kejang(40).

Cukup banyak kasus malaria otak yang dilaporkan(11,20–22), mungkin disebabkan batasan malaria yang kurang jelas pada waktu dahulu atau sulit dibedakan dengan penyakit lain atau overdiagnosis. Manifestasi klinis malaria otak biasanya disertai bentuk malaria berat lainnya, misalnya : edema paru, anemia berat dan kegagalan ginjal, sehingga sering berakhir dengan kematian yaitu 20 – 25%(41–46). 2) Malaria dengan gangguan kesadaran Seringkali didiagnosis sebagai malaria otak karena perbedaannya hanya pada gangguan kesadaran yang masih arousable (dapat dirangsang atau dibangunkan)(40). 3) Malaria dengan kejang berulang Yang dimaksud dengan bentuk malaria ini adalah malaria yang disertai kejang umum > 2 kali dalam 24 jam, walaupun sudah dilakukan cooling (kompres dingin)(40). 4) Malaria dengan prostration atau sangat lemah Penderita malaria berat ini tidak dapat duduk atau berjalan yang tak dapat dijelaskan kelainan neurologisnya(40). 5) Malaria dengan hiperpireksia Suhu rektal penderita malaria berat ini adalah > 40°C atau suhu tubuh axillar > 40,5°C atau 105°F(19,40). 6) Malaria dengan syok (algid malaria) Tekanan darah sistolik penderita malaria anak balita (1–4 tahun) < 50 mmHg dan < 70 mmHg pada dewasa disertai tandatanda syok lain antara lain : kulit dingin, kesadaran menurun dan sebagainya(19,40,47). 7) Malaria dengan gangguan cairan, elektrolitdan asam-basa Penderita malaria ini biasanya dalam keadaan dehidrasi dan atau asidosis dengan pH darah arteri < 7,25 dan bikarbonat plasma < 15 mmol/1(19,40,47). 8) Malaria dengan perdarahan atau Disseminated IntCravascular Coagulation (DIC) Perdarahan dapat berupa perdarahan pada retina, subconjuctival, gusi, epistaxis, hematemesis, melena dan atau dengan tanda-tanda DIC yaitu fibrinogen plasma meningkat dan antitrombin III menurun(19,40,47). 9) Malaria dengan anemia berat Dalam hal ini merupakan anemia normositik dengan hematokrit (Ht) < 15% atau hemoglobin (Hb) < 5 g%(19,40,47). 10) Malaria dengan edema paru Penderita malaria berat ini mengalami sindroma kesulitan bernafas yang dapat disertai dengan batuk, rasa dada tertekan, sesak, krepitasi, sianosis, kejang-kejang dan gangguan kesadaran. Foto thorax diperlukan untuk menegakkan diagnosis edema paru(19,40,47). 11) Malaria dengan jaundice Biasanya disertai dengan hepatomegali dan bilirubin serum > 50 Umol/l atau > 3 mg %(19,40). 12) Malaria dengan gagal ginjal Urine output penderita malaria dewasa <400 ml/24 jam atau < 12 ml/kgbb/24 jam pada penderita anak-anak, tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi rehidrasi, dan kreatinin serum > 265 Umol/l atau > 3 mg %(19,40,47). 13) Blackwater fever atau malaria dengan hemoglobinuria Merupakan malaria akut yang bukan sebagai akibat peng-

gunaan obat antimalaria pada penderita defisiensi G6PD. Ditandai dengan urine yang berwarna kehitaman atau merah coklat akibat hemolisis yang masif(19,40,47). 14) Malaria dengan hipoglikemi Kadar gula darah penderita malaria < 2,2 mmol/l atau < 40 mg % dan dapat disertai dengan gejala gelisah, bingung, sulit bernafas, berkeringat, gangguan kesadaran, kejang atau koma(19,40,47). 15) Malaria dengan hiperparasitemi Hubungan antara kepadatan parasit dan beratnya penyakit adalah malaria otak, malaria dengan hiperpireksi, jaundice, anemi berat, hipoglikemi, gangguan fungsi ginjal dan hiperparasitemi, yang sebagian besar masih memakai batasan lama atau telah dimodifikasi(11,20,21,48). PENGOBATAN MALARIA Pengobatan dan tindakan yang dilakukan dalam penanganan penderita malaria pada umumnya dipengaruhi oleh : 1) Manifestasi klinis, yaitu dengan atau tanpa komplikasi. 2) Umur penderita yaitu bayi, anak-anak atau dewasa. 3) KEadaan lain penderita yaitu hamil atau menyusui. 4) Spesies Plasmodium yaitu P. vivax atau P. falciparum atau P. malariae atau P. ovale, atau infeksi campuran. 5) Tempat tinggal atau tempat asal kena infeksi yaitu daerah sensitif atau resisten klorokuin atau resisten multidrug. A) Malaria tanpa komplikasi 1) Malaria sensitif klorokuin Malaria falsiparum yang sensitif klorokuin dan tanpa komplikasi diobati dengan klorokuin 25 mg basa/kgbb, secara oral, selama 3 hari yaitu hari I dan hari II 10 mg basa/kgbb, hari III 5 mg basa/kgbb, dengan dosis harian diminum sekaligus. Pada hari I juga diberikan primakuin dengan dosis sesuai golongan umur kecuali pada bayi dan ibu hamil (tabel 1). Penggunaan primakuin bukan sebagai anti relaps karena P. falciparum tidak mempunyai bentuk jaringan sekunder (eksoeritrositer sekunder), melainkan untuk membunuh gametosit sehingga penularan dapat dicegah atau dikurangi(49). Tabel 1. Pengobatan malaria falsiparum yang sensitif klorokuin dan tanpa komplikasi

Hari

Jenis Obat

I

Klorokuin Primakuin Klorokuin Klorokuin

II III

Jumlah tablet (dosis tunggai) menurut golongan umur (tahun) <1 1/2 – 1/2 1/4

1–4 1 1/2 1 1/2

5–9 2 3/4 2 1

10–14 3 1 3 11/2

15+ 3– 4 2–3 3– 4 2

Dikutip dari : Depkes R.I. Malaria. Pengobatan : 3, 1991. Catatan : 1 tablet klorokuin = 150 mg basa klorokuin I tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil Obat diminum tidak boleh dalam keadaan perut kosong.

Malaria vivaks yang sensitif klorokuin atau malaria ovale atau malariae diobati juga dengan klorokuin 25 mg basa/kgbb,

secara oral, selama 3 hari, seperti pengobatan pada malaria falsiparum yang sensitif klorokuin. Dalam hal ini primakuin diberikan selama 5 – 14 hari sebagai anti relaps karena P. vivax mempunyai bentuk jaringan sekunder(19,49)(tabel 2). Tabel 2.

Hari I

Pengobatan malaria vivaks yang sensitif klorokuin dan malaria ovale, serta malaria malariae Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut golongan umur (tahun)

Jenis Obat Klorokuin Primakuin Klorokuin Primakuin Klorokuin Primakuin Primakuin Primakuin

II III IV V

<1

1–4

5–9

10–14

15 +

1/2 – 1/2 – 1/4 – – –

1 1/4 1 1/4 1/2 1/4 1/4 1/4

2 1/2 2 1/2 1 1/2 1/2 1/2

3 3/4 3 3/4 1'/2 3/4 3/4 3/4

3– 4 1 3–4 1 2 1 1 1

Dikutip dari : Depkes R.I. Malaria. Pengobatan : 3, 1991. Catatan : I tablet klorokuin = 150 mg basa klorokuin 1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil Obat diminum tidak boleh dalam keadaan perut kosong.

2)

Malaria resisten klorokuin Malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin dan primakuin dosis tunggal kecuali pada bayi dan wanita hamil, diberikan secara oral sesuai golongan umur. Sulfadoksin diberikan dengan dosis 25 mg/kgbb. dan pirimetamin 1,25 mg/kgbb(19,49) (tabel 3). Sulfadoksin-pirimetamin bersifat skizontosida jaringan primer, skizontosida darah dan sporontosida terhadap ke 4 spesies plasmodium manusia. Obat ini digunakan pada kasus malaria falsiparum di daerah yang resisten klorokuin(49). Efek samping yang pernah dilaporkan adalah sindroma Steven-Johnson yang dapat berakibat fatal. Tabel 3.

Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi dengan sulfadoksin-pirimetamin

Jenis Obat Sulfadoksinpirimetamin Primakuin

Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut golongan umur (tahun) <1

1–4

5–9

10–14

15+

– –

3/4 1/2

11/2 3/4

2 1

3 2–3

Dikutip dari : Depkes R.I. Malaria. Pengobatan : 3, 1991. Catatan : 1 tablet sulfadoksin-pirimetamin = 500 mg sulfadoksin dan 25 mg pirimetamin 1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.

Bila penderita malaria falsiparum tersebut masih belum sembuh, obat diganti dengan tablet kina sulfat 10 mg/kgbb/dosis, 3 kali sehari dengan atau tanpa tetrasiklin serta primakuin, dengan dosis sesuai golongan umur(19,49)(tabel 4). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak adalah 10 mg/kgbb/dosis, 3 kali sehari, selama 4 hari kemudian dilanjutkan dengan dosis 15 mg/ kgbb, diberikan 3 kali sehari selama 3 hari untuk mencapai

Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dalam darah(19). Penggunaan kina kurang disukai karena memerlukan waktu yang lebih lama (7 hari) dan efek samping yang paling sering dijumpai adalah tinitus. Tetrasiklin tidak diberikan kepada anak kurang dari umur 8 tahun dan wanita hamil. Tabel 4.

Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi dengan kina sulfat

Jenis Obat

Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut golongan umur (tahun) <1

Kina sulfat

*

1-4 1/2

5-9

10-14

15+

1

1

2

1 /2

Diminum 3 kali sehari selama 7 hari Primakuin



1/2

3/4

1

2–3

diminum sekaligus pada hari I pengobatan dengan kina Dikutip dari : Depkes R.I. Malaria. Pengobatan : 3, 1991. Catatan : * Dosis kina setiap hari untuk bayi dihitung 10 mg/umur dalam bulan, dibagi dalam 3 bagian yang diberikan selama 7 hari. 1 tablet kina sulfat = 200 mg kina sulfat 1 tablet primakuin = 15 mg basa primakuin, tidak pada bayi dan ibu hamil.

Pada malaria vivaks yang resisten klorokuin dianjurkan untuk mengulangi sekali lagi pengobatan klorokuin dan primakuin dengan dosis sama, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan klorokuin 300 mg basa dan primakuin 45 mg basa dosis tunggal, setiap minggu sekali selama 8 – 12 minggu(49). B) Malaria dengan komplikasi (malaria berat) Malaria dengan komplikasi umumnya disebabkan oleh P. falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin sehingga memerlukan penanganan khusus, karena banyak mengakibatkan kematian. 1) Pengobatan kausal Pengobatan dengan kina dihidroklorida intravena merupakan pilihan utama karena malaria berat memerlukan pengobatan cepat dan tepat. Kina diberikan dalam larutan infus NaCl atau dextrosa 5%, 10 ml/kgbb, dengan dosis awal terutama untuk malaria otak adalah 20 mg garam atau 16,7 mg basa/kgbb dalam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan dosis 10 mg garam atau 8,3 mg basa/kgbb dalam 4 jam berikutnya dan diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7. Pemberian dosis awal (loading dose) akan lebih cepat memberi basil, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 12 jam sebelumnya sudah diberi klorokuin atau kina. Dalam hal ini diberikan kina dosis 10 mg garam atau 8,3 mg basa/kgbb. Pada gangguan fungsi ginjal setelah hari ke 3 pengobatan, dosis kina dikurangi menjadi separuhnya untuk menghindari efek toksik kumulatif(19,40,47,50). Bila tidak ada kina dihidroklorida, penderita malaria berat yang sensitif klorokuin dapat diberikan klorokuin 5 mg basa/ kgbb. dalam larutan infus 10 ml/kgbb. NaCl atau dextrosa 5% dalam 4 jam, diulang setiap 6–8 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kgbb. dalam 3 hari(19,40,47,50). Bila tidak tersedia kina dihidroklorida atau klorokuin dapat juga diberikan kinidin glukonat 15 mg basa/kgbb. dalam 4 jam,

dilanjutkan 7,5 mg basa/kgbb. dalam 4 jam berikutnya, kemudian diulang tiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7(19,40,47,50). Hipoglikemia dapat juga terjadi selama pemberian intravena kina dihidroklorida(51). 2) Pengobatan suportif Pengobatan suportif pada penderita malaria berat harus pula segera dilakukan untuk memperbaiki fungsi organ yang mengalami gangguan. Tindakan yang dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis malaria berat. • Antikejang Diberikan diasepam 0,2 mg/kgbb, intravena atau intramuskular dan dapat diulangi setiap 5 – 10 menit sampai kejangkejangnya terkendali. Jika pemberian parenteral tidak mungkin dapat diberikan perekta10,5 – 1,0 mg/kgbb(19,40,47,50). • Mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa Pemberian cairan sangat tergantung keadaan penderita. Cairan pada penderita dewasa dapat diberikan sampai > 3,51/24 jam baik melalui oral maupun intravena (cairan garam fisiologis : dektrosa 5% = 2 : 1). Rehidrasi peroral juga dapat diberikan melalui naso-gastric tube(19,40,47,50). • Menurunkan suhu tubuh Jika suhu tubuh > 38,5°C, dilakukan kompres dingin atau memberikan antipiretik(19,40,47,50). • Pemberian oksigen Diberikan kepada penderita yang mengalami kesulitan bernafas dan kesadaran yang menurun(19,40,47,50). • Transfusi darah Untuk mengatasi anemia berat dapat diberikan packed red blood cells. Transfusi darah segar mungkin dibutuhkan untuk mempertahankan hematokrit > 15% pada penderita hemoglobinuria atau blackwater fever dan perdarahan(19,40,47,50). • Pemberian larutan glukosa Pada penderita hipoglikemia diberikan larutan glukosa 50% intravena ( <=1,0 ml/kgbb) yang diteruskan dengan infus cairan Dextrosa 10 – 20%. Cairan glukosa tersebut dapat juga diberikahn melalui naso-gastric tube(19,40,47,50). • Pemberian vitamin K Diberikan bila terdapat perpanjangan waktu protrombin atau tromboplastin(19,40,47,50). • Exchanged transfusion Dilakukan bila parasitemia > 10%(19,40,47,50). • Dialisis Bila didapatkan gagal ginjal yang sudah sulit diperbaiki(19,40,47,50). PENELITIAN OBAT ANTIMALARIA BARU Sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal, hanya kina masih sebagai obat penyelamat, dan meluasnya distribusi kasus malaria falsiparum resisten klorokuin dan multidrug serta meningkatnya derajat resistensi. Oleh sebab itu telah dilakukan beberapa penelitian pengobatan malaria tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin atau multidrug dan pengobatan malaria

berat dengan obat antimalaria yang belum terdaftar dan digunakan sebagai obat antimalaria di Indonesia. 1) Klindamisin Klindamisin telah terdaftar dan digunakan sebagai obat antibiotika. Obat ini pada malaria bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan juga P. falciparum resisten klorokuin(52,53). Di RSU Dili, Timor Timur, klindamisin diberikan kepada penderita dewasa malaria falsiparum in vitro resisten klorokuin dengan dosis dua kali 300 mg, per oral selama 5 hari. Dengan pengawasan selama 28 hari, angka kesembuhan yang dicapai adalah 100% dan waktu untuk bebas parasit yang dibutuhkan adalah 2 – 6 hari. Efek samping yang ditemukan ringan dan bersifat sementara(54). 2) Meflokuin Meflokuin adalah obat antimalaria golongan 4-metanol kuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk ke 4 spesies plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multidrues.se) Dosis yang dianjurkan adalah 15–29 mg/kgbb, per-oral, dosis tunggal atau terbagi dalam 2 dosis flap 12 jam. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil trimester pertama(47,57). Pada penelitian pengobatan meflokuin pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi menunjukkan bahwa meflokuin efektif dan aman untuk malaria falsiparum in vitro resisten klorokuin maupun untuk malaria falsiparum in vitro resisten multidrug. Angka kesembuhan yang dicapai 94 – 100% dengan derajat resistesi RII – RIII. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 9,3 – 25 jam dan 47,1 – 59 jam. Efek samping yang ditemukan hanya mual yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(14,58). 3) Halofantrin Halofantrin merupakan obat antimalaria golongan fenantren metanol yang bersifat skizontosida darah untuk ke 4 spesies plasmodium manusia dan juga untuk strain P. falciparum resisten multidrug. Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 8–10 mg/ kgbb tiap 6 jam dengan dosis total 24 mg/kgbb. Untuk orang dewasa (> 12 tahun) diberikan 500 mg tiap 6 jam dengan dosis total 1500 mg. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui karena mempunyai efek foetotoksik(59). Hasil penelitian pengobatan halofantrin pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin, menunjukkan bahwa halofantrin efektif dan aman. Angka kesembuhan yang dicapai 98,4% – 100% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 22,4 ± 2,7 jam dan 58,3 ± 5,2 jam. Efek samping yang ditemukan adalah diare, mual, palpitasi, dan pusing yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(40). Halofantrin juga efektif dan aman untuk penderita malaria falsiparum in vitro resisten klorokuin dan tidak berbeda bermakna bila dibandingkan penderita malaria falsiparum in vitro sensitif klorokuin dalam hal angka kesembuhan, waktu bebas panas dan bebas parasit yang dibutuhkan. Angka kesembuhan penderita malaria falsiparum in vitro sensitif klorokuin dan resisten klorokuin adalah 100% dan 96,3%. Waktu bebas panas

dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan untuk penderita malaria falsiparum in vitro sensitif dan resisten klorokuin adalah 17,1 ± 3,5 jam dan 21,8 ± 4,6 jam serta 51,6 ± 2,8 jam dan 66,9 ± 12,1 jam(61). Halofantrin juga efektif untuk pengobatan malaria vivaks di daerah resisten klorokuin (Irja). Dimana selain halofantrin juga diberikan primakuin dosis tunggal setiap hari pada 14 hari pertama dan dilanjutkan tiap 2 hari untuk 14 hari berikutnya dan memberikan angka kesembuhan 100%(60). 4) Qinghaosu (Artemisinin) Qinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falsiparum dan P. vivax. Sebenarnya obat ini merupakan obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun lalu. Qinghaosu tidak diberikan pada wanita hamil karena efek foetotoksik(62). Obat ini mempunyai 4 derivat yaitu artemisinin (tablet untuk peroral dan supositoria untruk perektal), artesunate (tablet untuk peroral dan bubuk kering yang dilarutkan dengan larutan NaHCO3 5% untuk pemberian intravena atau intramuskular), artemether (larutan minyak dalam kapsul untuk peroral dan dalam ampul untuk pemberian intramuskular), dan arteether (dalam larutan ether untuk pemberian intramuskular)(63). Obat ini terutama digunakan untuk pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin atau multidrug dan malaria berat atau dengan komplikasi karena efek obat yang sangat cepat dan toksisitas rendah. Dosis yang efektif masih diteliti. Ariesunat Telah diuji klinik tablet artesunat pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug dengan dosis 600 mg dalam 5 hari yaitu 100 mg tiap 12 jam pada hari 1, kemudian dilanjutkan 50 mg tiap 12 jam pada 4 hari berikutnya. Sampai dengan hari ke 14 angka kesembuhan mencapai 100% kemudian menjadi 75% pada hari ke 28, dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,0 ± 4,6 jam dan 32,0 ± 5,9 jam. Tidak ditemukan efek samping secara klinis Ilan laboratoris(15). Parenteral intravena artesunat sedang diteliti pada penderita malaria berat dengan dosis 1,2 mg/kgbb, diberikan pada 0, 4, 24 dan 48 jam (3 hari) sehingga dosis total mencapai 240 – 300 mg(64). Artemether Intramuskular artemether juga sedang dan akan diteliti pada penderita malaria berat dengan dosis awa13,2 mg/kgbb/hari pada hari 1 (2X/hari), kemudian dilanjutkan 1,6 mg/kgbb/hari pada hari berikutnya (1X/hari) sehingga dosis total adalah 480 mg untuk 5 hari(65). Sehubungan dengan berkembangnya hipotesis patofisiologi malaria berat, telah cukup banyak dilakukan pengobatan kombinasi antara pengobatan kausal dengan obat antimalaria yang efektif dan obat yang berkhasiat memutuskan atau menekan atau menghambat proses patofisiologi malaria antara lain dengan desferrioxamine, heparin, pentoxifylline dan anti-TNF mono-

clonal antibodies(66,71). KESIMPULAN Dengan memahami patofisiologi dan mengenal manifestasi klinis, diagnosis malaria dapat dibantu ditegakkan sedini mungkin sehingga pengobatan dapat dilakukan dengan cepat, terarah, tepat dan adekuat. Dengan demikian dapat dicegah penyakit bertambah berat, kematian dan penularan. UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, diucapkan terima kasih atas kesempatan dan saran-saran yang diberikan. KEPUSTAKAAN 1.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15.

16.

17. 18. 19. 20.

World Health Organization. Global malaria control strategy : prepared for the Ministerial Conference on Malaria, Amsterdam, 26–27 October 1992. Malaria Unit, Division of Control of Tropical Diseases, World Health Organization, Geneva. Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC. FKUI, Jakarta, 28 Nopember, 1991. Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk. Penelitian obat antimalaria. Bul Penelit Kes 1992; 19 (4): 15–23. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan halofantrin di daerah resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1992; 20 (1): 1–8. Schwartz IK, Lacteritz EM, Patchen LC. Letter : Chloroquine Resistant Plasmodium vivax from Indonesia. N Engl J Med 1991; 324: 927. Baird JK, Basri H, Pumomo dkk. Resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1991; 44 (5): 547–552. Murphy GS, Basri H, Purnomo dkk. Vivax malaria resistant to treatment and prophylaxis with chloroquine. Lancet 1993; 341: 96–100. Tjitra E, Lukito B, Gunawan S. A case report : Transfusion vivax malaria resistant to multidrug (akan diterbitkan). Patchen LC, Mount DL, Schwartz IK, Churchill FC. Analysis of filterpaper-absorbed, finger – stick blood samples for chloroquine and its major metabolite using high – performance liquid chromatography with fluorescence detection. J Chromatogr 1983; 278: 81–89. Tjitra E. Hubungan beratnya penyakit malaria falsiparum dengan kepadatan parasit pada penderita dewasa. Cermin Dunia Kedokt 1989; 55: 19–23. Hadisaputro S, Ardana K, Djamil A. Pola klinik dan pengelolaan malaria berat di RSU RA Kartini, Jepara, Jawa Tengah. Kumpulan Makalah Simposium Malaria, FKUI, Jakarta, 1991. Tjitra E. Malaria pada kehamilan. Cermin Dunia Kedokt 1991; 68: 48–52. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria : Epidemiologi I. Direktorat Jenderal PPM & PLP, 1991. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan meflokuin di daerah resisten klorokuin. Bull Penelit Kes 1992; 20 (3): 25–33. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan artesunat pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug. Seminar Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4I VI, Denpasar, Bali, 23–25 Agustus 1993. Alwi Datau E, Karema KAMC, Pangalila PEA dkk. Perbandingan pengobatan malaria dengan sulfadoksin-pyrimethamine dan chloroquine dan beberapa aspek klinik malaria di Rumah sakit Umum Manado. KOPAPDI III, Bandung, 1975. Amirudin AR. Malaria di Puskesmas Dili Timor Timur. Simposium Penyakit Infeksi, Ujung Pandang, 1979. Tjitra E, Suwarni, Harun S dkk. Malaria di Kepulauan Seribu. Cermin Dunia Kedokt 1991; 70: 31–34. Wolrd Health Organization. The Clinical Management of Acute Malaria. WHO Regional Publications, South-East Asia Series No. 9, 3rd edition. WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1990. Hartono FX, Syamsuridjal, Regomal T. Malaria di Samarinda. Naskah

Lengkap KOPAPDI IV, Medan, 1978. 21. Sarumpaet B, Hoffman SL, Punjabdi NH dkk. Malaria serebral pada penderita dewasa di RSUP Jayapura. Naskah Lengkap KOPAPDI VI, Jakarta, 1984. 22. Tjitra E. Malaria berat. Cermin Dunia Kedokt 1988; 49: 44–46. 23. Macpherson GG, Warren MI, White NJ dkk. A quantitative ultrastructural analysis of parasitized erythrocyte sequestration. American Journal of Pathology 1985; 119: 385–401. 24. Udeinya IJ, Schmidt JA, Aikawa M dkk. Falciparum malaria-infected erythrocytes specifically bind to cultured human endothelial cells. Science 1981; 213: 555-557. 25. Ho M, Singh B, Looareesuwan S dkk. Clinical correlates of in vitro Plasmodium falciparum cythoadherence. Infection and immunity 1991; 59 (3): 873-878. 26. Pongponratn E, Riganti M, Punpoowong B dkk. Microvascular sequestration of parasitized erythrocytes in human falciparum malaria : a pathological study. Am J Trop Med Hyg 1991; 44 (2): 168–175. 27. David P, Handunnetti SM, Leech JH dkk. Rosetting : a new cythoadherence property of malaria-infected erythrocytes. Am J Trop Med Hyg 1988; 38 (2): 289–297. 28. Udomsangpetch R, Wahlin B, Carlson J dkk. Plasmodium falciparuminfected erythrocytes from spontaneous erythrocyte rosettes. J Experiment Med 1989; 169: 1835–1840. 29. Bate CAW, Taverne J, Playfair JHL. Malarial parasites induce TNF production by macrophages. Immunology 1988; 64: 227–231. 30. Maheswari RK. The role of cytokines in malaria infection. Bull WHO 1990; 68 (suppl) : 138–144. 31. Playfair JHL. Tumor Necrosis Factor and Malaria. Beneficial and harmful aspects. Diagn Microbiol Infect Dis 1990; 13: 435-438. 32. Mshana RN, Boulandi J, Mshana NM dkk. Cytokines in the pathogenesis of malaria : level of IL-113, IL-4, IL-6, TNF-a and IFN-r in plasma of healthy individuals and malaria patients in a holoendemic area. J Clin Lab Immunol 1991; 34: 131-139. 33. Kern P, Hemmer CJ, Damme JV dkk. Elevated tumor necrosis factor alpha and interleukin-6 serum levels as markers for complicated Plasmodium falciparum malaria. Am J Med 1989; 87: 139–143. 34. Kwiatkowski D, Hill AVS, Sambon I dkk. TNF concentration in fatal cerebral, non fatal cerebral, and uncomplicated Plasmodium falciparum malaria. Lancet 1990; 336: 1201-1204. 35. Grau GE, Taylor TE, Molyneux ME dkk. Tumor necrosis factor and disease severity in children with falciparum malaria. New Engl J Med 1989; 320 (24): 1586–1591. 36. Rockett KA, Awbum MA, Aggarwal BB dkk. In vivo indication of nitrite and nitrate by Tumor Necrosis Factor, Lymphotoxin, and Interleukin-1 : Possible roles in malaria. Infection and Immunity 1992; 60 (9): 3725-3730. 37. Clark IA, Rockett KA, Cowden WB. Possible central role of nitric oxide in conditions clinically similar to cerebral malaria. Lancet 1992; 340: 894– 896. 38. Molyneux ME, Taylor TE, Wirima JJ dkk. Clinical features and prognostic indicators in paediatric cerebral malaria : a study of 131 comatose Malawian children. Quarterly J Med 1989; 71 (265): 441-459. 39. Teasdale G, Jennett B. Assessment of coma and impaired consciousness. Lancet 1974; ii: 81–83. 40. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases. Severe and Complicated Malaria. Trans Roy Soc Trop Med and Hyg 2nd ed 1990; 84 (suppl 2): 1-65. 41. Tjitra E. Penelitian retrospektif manifestasi malaria falciparum berat pada penderita dewasa. Cermin Dunia Kedokt 1989; 54: 26–28. 42. Brook MH, Kiel FW, Sheehy TW dkk. Acute pulmonary edema in falciparum malaria. A clinicopathological correlation. N Engl J Med 1968; 279: 732-737. 43. Sitprija V dkk. Renal failure in malaria. Lancet 1967; is 185–188. 44. Stone WI, Hanchett JE, Knepshield JH. Acute renal insufficiency due to falciparum malaria. Arch Intern Med 1972; 129: 620–628. 45. Warrell DA, Looareesuwan S, Warren MJ dkk. Dexamethasone proves deleterious in cerebral malaria. A double blind trial in 100 comatose patients. N Engl J Med 1982; 306: 313–319. 46. Buck RL, Alcantara AK, Uylangco CV dkk. Malaria at San Lazaro Hospital, Manila, Philipphines, 1979–1981. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 (2): 212–216.

47. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical handbook. WHO, Geneva, 1991. 48. Harianto PN. Penanganan malaria. Simnosium dan Lokakarya Malaria, Manado, 15–16 Oktober 1993. 49. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Malaria. Pengobatan : 3, 1991. 50. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Malaria : Penatalaksanaan malaria berat di Rumah Sakit dan Puskesmas : 16, 1991. 51. White N, Warren DA, Chantavanich P dkk. Severe hypoglycaemia and hyperinsulinaemia in falciparum malaria. N Engl J Med 1983; 309: 61–66. 52. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibiotics on P. falciparum in-vitro. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 (2): 221–225. 53. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against chloroquine resistant P. falciparum. The J Infect Dis 1984; 150 (6): 904–911. 54. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S dkk. Pengobatan infeksi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dengan klindamisin. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jawa Timur, 23–25 Juni, 1990. 55. Harinasuta T, Bunnag D, Werndorfer W. A phase II clinical trial of mefloquine in patients with chloroquine resistant falciparum malaria in Thailand. Bull WHO 1983; 61: 299-305. 56. Karbwang J, White NJ. Clinical Pharmacokinetics of mefloquine. Clin Pharmacokinet 1990; 19 (4): 264–279. 57. Chongsuphajaisidhi T, Sabchareon A, Chantavanich P dkk. A phase III clinical trial of mefloquine in children with chloroquine-resistant falciparum malaria in Thailand. Bull WHO 1987; 65 (2): 223–226. 58. Hoffman SL, Dimpudus AJ, Campbell JR dkk. R II and R III type resiatance of Plasmodium, falciparum to combination of mefloquine and sulfadoxine/ pirimethamine in Indonesia. Lancet 1985; November 9 : 1039–1040. 59. Smith Kline & French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitology Today Suppl, 1989. 60. Fryauff DJ, Baird JK, Basri H dkk. Primaquine adjunct to 28 day evaluation of halofantrine vs chloroquine for therapy of malaria in people remaining exposed to infection. Akan dibawakan pada Annual Meeting of the Am Soc of Trop Med and Hygiene, Atlanta, Georgia, 30 October – 4 November 1993. 61. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Studi perbandingan pengobatan halofantrin pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang invitro sensitif dengan yang resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1993 (akan diterbitkan). 62. World Health Organization. The Development of Qinggaosu and its devivates as antimalarial drugs. Fourth meeting of the scientific working group on the chemotherapy of malaria. Beijing, People's Republic of China, 6–10 October 1981. 63. The Wellcome Trust. Artemisinin Meeting, London, 25th –I 27th April 1993. 64. Quillin pharmaceutical. Guangxi, China. A new antimalarial drugartesunate. 65. Rhone-Poulenc Rorer. Paluther (artemether) 8% solution for i.m injection : Chemistry, pharmaceutical, preclinical pharmacology of Paluther (artemether). 66. Gordeuk V, Thuma P, Brittenham G dkk. Effect of iron chelation therapy on recovery from deep coma in children with cerebral malaria. N Ēttgl J Med 1992; 327: 1473–1477. 67. Bunnag D, Poltera PA, Viravan C dkk. Plasmodicidal effect of desferrioxamine B in human vivax or falciparum malaria from Thailand. Acta Tropica 1992; 52: 59–67. 68. Carlson J, Ekre HP, Helmby H dkk. Disruption of Plasmodium falciparum erythrocyte rosetts by standard heparin and heparin devoid of anticoagulant activity. Am J Trop Med Hyg 1992; 46 (5): 595–602. 69. Graniger W, Thalhammer F, Locker G. Pentoxifylline in cerebral malaria. J Infect Dis 1991; 164: 829. 70. Landau Z, Attali M. Pentoxifylline in the treatment of cerebral malaria. Clinical Infection Diseases 1993; 17: 137. 71. Grau GE, Heremans H, Piguet PF dkk. Monoclonal antibody against interferon t can prevent experimental cerebral malaria and its associated overproduction of tumor necrosis factor. Proc Natl Acad Sci USA 1989; 86: 5572–5574.

Lampiran 1. Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale) Penderita anak Reaksi motorik: – reaksi elas pada rangsang nyeri setempat – menarik tungkai dan rangsangan nyeri – tak ada reaksi atau reaksi lemah Reaksi verbal (bersuara): – menjerit karena rangsang nyeri – mengerang atau berteriak lemah terhadap nyeri – tak ada reaksi suara terhadap nyeri Gerakan mata: – mengikuti dengan mata terhadap lingknngan – tak ada gerakan

2 = normal 1 0 2 1 0 1 0 5 = normal

Penderita dewasa Reaksi motorik: – mengikuti perintah – dapat melokalisasi nyeri – mengelak dan rangsangan nyeri – gerakan fleksi terhadap rangsang nyeri – gerakan ekstensi terhadap nyeri – tak ada gerakan Reaksi verbal (berbicara): – orientasi balk terhadap orang dan tempat – berbicara kacau (disorientasi) – hanya berbicara satu atau dua kata – hanya mengerang – tak ada reaksi Gerakan mata: – melihat spontan terhadap lingkungan – melihat kalau dipanggil atau ada suara – ada gerakan bila ada nyeri – tak ada gerakan

6 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 4 3 2 1 15 = normal

Gambaran Penyakit Malaria di Bagian Anak Rumah Sakit Umum Langsa Aceh Timur Dr. H. Nuchsan Umar Lubis D.S.A. Bagian Anak Rumah Sakit Umum Langsa/Aceh Timur

ABSTRAK Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia. Penyakit ini kebanyakan menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia. Endemisitas malaria di suatu daerah ditentukan oleh beberapa faktor antara lain keadaan lingkungan dan cuaca setempat. Diagnosis klinis penyakit malaria ialah: Demam periodik, Anemi, Splenomegali. Pengobatan malaria,dilakukan dengan dua cara : dengan klorokuin dan dengan pirimetamin-sulfadoksin; respon terhadap kedua cara tersebut cukup balk, meskipun pengobatan klorokuin memberikan respon yang lebih lambat. PENDAHULUAN Malaria masih merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia; dari empat spesies parasit malaria yang menginfeksi manusia yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale, dua spesies yang pertama merupakan penyebab lebih dari 95% kasus malaria di dunia(1,2). Di Indonesia malaria dijumpai hampir di seluruh pulau. Dari survai yang dilaksanakan oleh Badan LitBangKes pada tahun 1972, ternyata 60% masalah kesehatan yang ada di Indonesia adalah masalah penyakit menular. Dari sekian banyak penyakit menular, satu di antaranya yang utama adalah penyakit malaria(3). Penyakit malaria kebanyakan menyerang penduduk yang tinggal di pedesaan yang merupakan sebagian besar dari penduduk Indonesia(3). Malaria pada anak merupakan penyebab tidak langsung dari kematian, sebagai akibat dari eksaserbasi serangan malaria pada anak dengan penyakit lain, seperti infeksi saluran nafas dan diare; ini terutama pada masa bayi atau anak(4,5). Tujuan penelitian ini memberi gambaran penyakit malaria di bagian Anak RSU Langsa/Aceh Timur berupa gejala klinis, umur penderita, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium serta membandingkan pengobatan klorokuin dengan sulfadoxinpirimetamin. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan pada penderita dengan diagnosis klinis

malaria yang dirawat di Bagian Anak Rumah Sakit Umum Langsa/Aceh Timur dalam periode Januari 1992 – Desember 1992. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya demam periodik, anemi dan splenomegali. Data penderita diperoleh secara anamnesis dari orang tua atau keluarga terdekat penderita. Pemeriksaan fisis pertama meliputi pengukuran berat badan dan tinggi badan, frekuensi jantung atau nadi, frekuensi pernapasan, suhu tubuh dan pemeriksaan rutin darah serta urine. Semua data dicatat terinci. Penderita mendapat terapi klorokuin 10 mg/kg.bb. pada hari I, 6 jam kemudian 5 mg/kg.bb; hari ke II s/d VII 5 mg/kg.bb/ hari, atau mendapat terapi sulfadoxin pirimetamin single dose sesuai dengan umur. HASIL Distribusi yang terbanyak pada bulan Juni dan bulan Juli (12,6% dan 13,3%), mungkin dipengaruhi oleh lingkungan dan cuaca(6). Perbandingan laki-laki : wanita kira-kira 1 : 1; ini tidak begitu berarti, walaupun pada kepustakaan ada perbedaan penderita laki-laki dan wanita. Pengobatan dengan klorokuin lebih lambat dibandingkan dengan sulfadoxin/pirimetamin.

Tabel 1. Distribusi Penderita Malaria di Bagian Anak Rumah Sakit Umum Langsa

n

%

Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

6 9 10 12 15 17 18 7 8 9 11 13

4,4 6,6 7,4 8,8 11,1 12,6 13,3 5,2 5,9 6,6 8,1 8,7

Jumlah

135

Klorokuin Sulfadoxin/Pirimetamin Tabel 7.

Pria

%

2 12 20 40

2 10 19 30

4 22 39 70

2,9 16,3 28,5 52,3

Jumlah

74

61

135

100

Keluhan Penderita Malaria pada Waktu Masuk Rumah Sakit n

%

Demam Menggigil Sakit Kepala Berkeringat Mual Muntah Pucat Tidak Nafsu Makan

135 82 22 54 49 50 54

100 60,4 16,5 40 36 37 40

Tabel 4.

Hasil Pemeriksaan Fisis pada Penderita Malaria

Febris > 37,5°C Anemi 92 Splenomegali a. Schaffner I b. Schaffner II c. Schaffner III Hepatomegali Ikterus 11 Tabel 5.

n

%

135 92

100 68

24 29 16 86 11

17,5 21,2 11,8 64 8

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penderita Malaria

Hasil Laboratorium

n

%

Leukopeni Leukositosis P. falsiparum (+) Plasmodium lain

108 14 101 34

88 10 75 25

% 58

57

42

Pengamatan Penderita Sesudah Pengobatan

Klorokuin Sulfadoxin/ Pirimetamin

n

Keluhan

n 78

Rata-rata Lama rawat rata-rata Tercepat Terlambat

< 6 bulan 7 – 23 bulan 24 – 59 bulan > 60 bulan

Tabel 3.

10 mg/kgbb hari I; 6 jam kemudian 5 mg/kgbb; hari II s/d V II 5 mg/kgbb/hari Single dose sesuai dengan umur

Demam hilang

Jumlah

Wanita

Jumlah

Cara pemberian

Jenis Obat

Distribusi Umur dan Jenis Kelamin Penderita Malaria

Golongan Umur

Pengobatan Penderita Malaria Jenis Obat

Jumlah

Bulan

Tabel 2.

Tabel 6.

6 hari 4 hari

4 hari 2 hari

6 hari 4 hari

antara lain keadaan lingkungan dan cuaca setempat (keadaan alam, temperatur udara, kelembaban udara, dan curah hujan sebagai tempat perindukan dan kehidupan vektor(6). Pada penderita waktu datang ke rumah sakit dijumpai 100% demam periodik, 60% menggigil, sakit kepala 16,5%, berkeringat 40%. Gambaran klinis seperti ini memang sering dijumpai pada penderita-penderita malaria. Dari pemeriksaan fisis dijumpai hal-hal yang menyokong diagnosis malaria seperti: demam 100%, anemi 68%, splenomegali 50,5%. Pada pemeriksaan darah dijumpai leukopeni 88,8%, dan leukositosis 10%; P. falsiparum positip dalam darah 75% utituk menegakkan diagnosis untuk mendapat parasit sering kami lakukan provokasi test dengan adrenalin. Pada pemeriksaan darah hanya dijumpai leukopeni dan sebagian monositosis. Pengobatan penderita dilakukan dengan dua cara yaitu dengan klorokuin (58%) dan sulfadoxin perimetamin (SP) (42%). Respon kedua obat ini cukup baik, demam hilang setelah penggunaan klorokuin selama 4 hari atau setet.ah penggunaan sulfadoxin perimetamin 2 hari. Memperbandingkan keampuhan klorokuin dan sulfadoxin/pirimetamin kurang tepat, karena jumlah kasus sangat sedikit; untuk itu perlu penelitian lebih lanjut mengenai kemungkinan resistensi terhadap klorokuin. Lamanya penderita dirawat di rumah sakit rata-rata adalah 6 hari untuk klorokuin dan 4 hari untuk sulfadoksin/pirimetamin; tidak dijumpai adanya komplikasi.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

DISKUSI Distribusi penderita malaria terbanyak pada bulan Juni dan Juli (12,6% dan 13,3%); endemisitas atau tingkat transmissi malaria di suatu daerah ditentukan oleh berbagai-bagai faktor

4 hari 2 hari

5. 6.

Duncan B. Malaria in: Wedgwood RI, Favis SD Ray CG, Kelley VC (ads). Infection in Children. Philadelphia: Harper & Row Publ. PP 1420-1435. Kondarshin AV. Malaria in Southeast Asia. Southeast Asian J Trop Med Publ Hlth 1986; 17(4). Soepanto A. Penggunaan obat anti malaria yang rasional. Seminar Parasitologi Nasional ke-2 dan Kongres Perkumpulan Pemberantasan Penyakit Parasit Indonesia, Jakarta 24 – 27 Juni 1981. Bruce L.J. Chwatt. Essential Malaria. Second Ed. London : William Heinemann Medical Books Ltd. 1986. Maurice J, Anna Marina Pearce (Eds). Tropical Disease Research : A Global Partnership. World Health Organization. Geneva, 1987. Deparry A. Plasmodium. Dalam: Protozoologi Kedokteran. Medan: FKUSU. hal 47-48.

Obat-obat Baru Anti Malaria Emiliana Tjitra Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Salah satu kendala dalam penanggulangan malaria adalah masalah pengobatan kausal karena sampai saat ini belum ditemukan obat antimalaria yang ideal dan hanya kina sebagai obat antimalaria penyelamat. Di samping itu kasus Plasmodium resisten terhadap obat antimalaria sudah menyebar luas dan bertambah berat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejumlah obat antimalaria sintetis telah dan sedang diuji coba pada akhir abad ini. Obat-obat ini dikenal sebagai antimalaria baru yang belum terdaftar, beredar dan dipakai di Indonesia. Meflokuin, halofantrin dan artesunat (derivat artemisinin) adalah obat antimalaria baru yang bersifat skizontosida darah, dan telah diuji coba terhadap penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi. Obat-obat ini memberi basil yang baik dengan efek samping ringan. Angka kesembuhan, waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 94 – 100%, 9,3 – 25 jam dan 47,1– 59 jam untuk meflokuin; 98,4%, 22,4 ± 22,7 jam dan 58,3 ± 5,2 jam untuk halofantrin; 75%, 14,0 ± 4,6 jam dan 32,0 ± 5,9 jam untuk artesunat. Derivat artemisinin lain yaitu artesunat dan artemether (parenteral) sedang dan akan diuji coba untuk penderita malaria berat atau dengan komplikasi; halofantrin juga sedang diuji coba untuk malaria falsiparum dengan komplikasi tidak berat dan malaria vivaks. Obat antimalaria baru lainnya yang juga bersifat skizontosida darah dan belum pernah diuji coba di Indonesia adalah yinghaosu, pyronaridine, piperaquine dan atovaquone.

PENDAHULUAN Malaria adalah salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia terutama di Indonesia Bagian Timur. Salah satu kendala dalam penanggulangan malaria adalah masalah pengobatan, walaupun Badan Kesehatan Dunia (WHO) maupun Departemen Kesehatan telah mempunyai pedoman penatalaksanaan kasus malaria. Kesulitan dalam pengobatan diawali dari kepastian diagnosis sedini mungkin sampai pada kegagalan pengobatan. Kegagalan pengobatan dapat disebabkan karena keterlambatan mendapat pengobatan, ketidaktepatan regimen dan dosis obat yang

diberikan, serta resistensi Plasmodium terhadap obat antimalaria yang sudah meluas. Pengobatan malaria tidak hanya meliputi pengobatan kausal dengan obat antimalaria, pengobatan simptomatik atau suportif juga tidak kalah pentingnya. Hal ini disebabkan karena malaria merupakan penyakit sistemik yang dapat mengenai organ otak, paru, hati, ginjal dan sebagainya yang juga perlu diperbaiki kelainan patofisiologinya. Obat antimal aria sudah sejak lama dikenal dan sudah banyak ditemukan tetapi sampai saat ini belum ada yang ideal. Obat antimalaria yang ideal adalah obat yang efektif terhadap semua

jenis dan stadia parasit, menyembuhkan infeksi akut maupun laten, cara pemakaian mudah, harganya terjangkau oleh seluruh lapisan penduduk dan mudah diperoleh, efek samping ringan dan toksisitas rendah(1). Obat antimalaria dapat dikelompokkan menurut rumus kimia dan efek atau cara kerja obat pada stadia parasit. Obat antimalaria yang ada dan telah dipakai di Indonesia adalah klorokuin, sulfadoksin/sulfalen-pirimetamin, kina dan primakuin. Di samping itu terdapat beberapa obat yang terdaftar sebagai antibiotika di Indonesia tetapi dapat juga bekerja sebagai antimalaria yaitu golongan tetrasiklin, klindamisin dan lain-lain. Penggunaan obat-obat yang terdaftar sebagai antimalaria sudah diatur dan dibakukan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria. Pembatasan penggunaan obat tersebut berguna untuk menekan berkembangnya kasus resisten terhadap obat-obat antimalaria lainnya. Penilaian sensitivitas obat hanya baru dapat dilakukan terhadap obat-obat yang bersifat skizontosida darah dengan tes in vitro menggunakan kit WHO dan tes in vivo sistim 7 hari untuk di lapangan atau sistim 28 hari atau lebih di klinik atau di rumah sakit(23). Walaupun telah ditemukan kasus Plasmodium vivax resisten terhadap klorokuin(4–7), tetapi umumnya penelitian ditujukan kepada P. falciparum karena jenis Plasmodium ini yang biasanya berhubungan dengan malaria berat yang banyak menimbulkan kematian, semakin dominan dan telah resisten terhadap banyak obat antimalaria(8–10). Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejumlah obat antimalaria sintetis telah dan sedang diuji coba pada akhir abad ini. Obat-obat ini dikenal sebagai obat antimalaria baru yang belum terdaftar, beredar dan dipakai di Indonesia. OBAT ANTIMALARIA DI INDONESIA 1. Klorokuin Klorokuin merupakan obat antimalaria kelompok 4-aminokuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Obat ini merupakan obat pilihan utama untuk pengobatan dan pencegahan semua jenis malaria yang dipakai dalam program pemberantasan malaria(1). Klorokuin dikemas dalam bentuk tablet dan suspensi untuk pemberian peroral, dan larutan untuk pemberian parenteral. Waktu paruh klorokuin adalah 1–2 bulan tetapi waktu paruh yang sebenarnya untuk pengobatan adalah 6–10 hari(11). Dosis total klorokuin untuk malaria tanpa komplikasi dan sensitif klorokuin adalah 25 mg basa/kg BB, diberikan dalam 3 hari yaitu hari 1 dan 2 masing-masing 10 mg basa/kg BB dan pada hari 3 adalah 5 mg basa/kg BB dengan dosis tunggal. Bila tidak ada kina dihidroklorida, penderita malaria dengan komplikasi atau malaria berat yang sensitif klorokuin dapat diberikan klorokuin 5 mg basa/kg BB dalam larutan infus 10 ml/kg BB NaCl 0.9% atau dextrosa 5%, dalam 4 jam, diulang setiap 12-24 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kg BB dalam 3 hari(1,12). Klorokuin juga dipakai sebagai obat antimalaria pilihan untuk profilaksis dengan dosis 5 mg basa/kg BB/minggu, dosis tunggal(1).

Efek samping yang pernah dilaporkan adalah pusing, vertigo. diplopia, mual, muntah dan sakit perut. Hal ini yang membuat penderita minum obat tidak sesuai aturan atau menolak di samping rasanya yang pahit. Kasus P. falciparum resisten in vivo dan atau in vitro terhadap klorokuin sudah ditemukan di 27 propinsi Indonesia; penderita yang ditemukan di DKI Jakarta dan Bali merupakan kasus import. Angka kesembuhan yang dilaporkan sangat bervariasi antara 10-100% dengan derajat resistensi yang beragam antara R I – R III(9≠9). Meluas dan bertambah beratnya derajat resistensi terhadap obat ini, mungkin disebabkan oleh pemakaian yang tidak terkontrol dan penggunaan yang tidak tepat karena obat tersebut dijual bebas. Kasus P. vivax resisten in vivo terhadap klorokuin juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti berdasarkan konsentrasi klorokuin dalam darah serum yang diukur dengan cara High Performance Liquid Chromatography (HPLC) yang sudah melebihi 15 ng/ml(13). 2.

Sulfadoksin/Sulfalen - pirimetamin Merupakan obat antimalaria kombinasi antara golongan sulfonamida/sulfon dengan diaminopirimidin yang bersifat skizontosida jaringan P. falciparum, skizontosida darah dan sporontosida untuk ke empat jenis plasmodium manusia. Kombinasi obat ini digunakan secara selektif untuk pengobatan radikal malaria falsiparum di daerah-daerah dengan proporsi P. falciparum resisten terhadap klorokuin yang tinggi(1). Sulfadoksin/sulfalen - pirimetamin (SP) dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral; obat ini tidak diberikan untuk bayi. Waktu paruh sulfonamida adalah 180 jam, sedangkan pirimetamin adalah 90 jam(14). Dosis yang diberikan untuk pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten klorokuin adalah sulfadoksin 25 mg/kg bb. dan pirimetamin 1,25 mg/kg bb. dosis tunggal. SP tidak dipakai untuk profilaksis(1,15). Efek samping yang pernah dilaporkan adalah sindrom Steven Johnson yang dapat berakibat fatal. Kasus P. falciparum resisten in vivo atau in vitro terhadap sulfadoksin-pirimetamin sudah ditemukan di 9 propinsi Indonesia (Irja, Lampung, Jateng, Sumut, Aceh, Riau, Sulsel, DKI dan Kaltim), penderita yang ditemukan di DKI Jakarta merupakan kasus import. Angka kesembuhan yang dilaporkan adalah antara 92-100% dengan derajat resisten R I – R II(9). Meluasnya kasus resisten terhadap obat ini mungkin disebabkan pemakaian yang tidak terkontrol karena obat tersebut dijual bebas, mudah pemberiannya, rasanya tidak pahir; dan pemakaian antibiotika golongan sulfa yang juga meluas. 3.

Kina Kina merupakan obat antimalaria kelompok alkaloida kinkona yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan gametositosida P. vivax dan P. malariae. Sampai saat ini kina merupakan satu-satunya obat antimalaria penyelamat untuk pengobatan malaria komplikasi atau malaria berat dan juga malaria resisten multidrug(1,12). Kina dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral dan larutan untuk pemberian parenteral. Waktu paruh kina pada

orang sehat 11 jam, sedangkan pada penderita malaria tanpa komplikasi 16 jam dan pada malaria berat 18 jam(16). Dosis yang diberikan untuk penderita malaria tanpa komplikasi yang resisten multidrug adalah 10 mg garam/kb bb. tiap 8 jam selama 7 hari. Dosis kina setiap hari untuk bayi dihitung 10 mg garam/umur dalam bulan, dibagi dalam 3 bagian dan diberikan selama 7 hari(1,15). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak adalah 10 mg garam/kg bb. tiap 8 jam selama 4 hari kemudian dilanjutkan dengan dosis 15 mg garam/kg bb. tiap 8 jam selama 3 hari untuk mencapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC)(15). Untuk penderita malaria berat atau dengan komplikasi, kina diberikan dalam larutan NaCl atau Dextrosa 5%, 10 ml/kg bb. dengan dosis awa120 mg garam atau 16,7 mg basa/kg bb. dalam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan dosis 10 mg garam atāu 8,3 mg basa/kg bb. dalam 4 jam berikutnya dan diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7. Pemberian dosis awal (loading dose) dengan maksud lebih cepat memberi basil, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 48 jam sebelumnya sudah diberi kina. Dalam hal ini diberikan kina dosis 8,3 mg basal kg bb.(13–14,17). Pada pengobatan kina parenteral dapat terjadi hipoglikemi(18) dan efek samping yang paling sering ditemukan adalah tinitus. Kasus P. falciparum resisten in vitro terhadap kina sudah ditemukan di 5 propinsi Indonesia (Jabar, Jateng, NTT, Irja dan Kaltim)(9). Kasus P. vivax resisten in vivo terhadap kina pada penderita pasca transfusi juga telah ditemukan di sebuah rumah sakit di DKI Jakarta(7). Resistensi terhadap kina dampaknya belum meluas dan berat. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya laporan atau penelitian terhadap obat ini, penggunaannya selektif, kurang disukai karena memerlukan waktu yang agak lama (7 hari) dan efek samping yang ditimbulkan.

4.

Primakuin Primakuin merupakan obat antimalaria kelompok 8-aminokuinolin yang bersifat skizontosida jaringan, gametositosida dan sporontosida untuk jenis Plasmodium manusia. Obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang hanya bersifat skizontosida darah untuk mendapatkan pengobatan radikal. Penggunaan primakuin untuk profilaksis kausal masih dalam penelitian; dalam program tidak digunakan untuk profilaksis(1). Primakuin dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil. Waktu paruhnya adalah 6 jam(19–20). Dosis pengobatan radikal malaria falsiparum adalah 0,5–0,75 mg basa/kg bb., dosis tunggal pada hari 1 pengobatan. Untuk pengobatan radikal malaria vivaks, ovale dan malariae, diberikan primakuin 0,25–0,375 mg basa/kg bb., dosis tunggal selama 5–14 hari. Efek samping yang dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan (mual, muntah dan sakit perut) dan sistim hemopoetik (anemi, leukopeni dan methemoglobinemi)(1,15). Oleh karena primakuin bukan merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah, maka sulit dan belum diketahui cara mengukur sensitivitas in vivo atau in vitro obat ini.

OBAT ANTIBIOTIKA YANG BERKHASIAT ANTIMALARIA 1) Tetrasiklin Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin merupakan obat antimalaria kelompok antibiotika tetrasiklin yang bersifat skizontosida jaringan dan skizontosida darah untuk P. falciparum. Oleh karena kerjanya lambat dan kurang efektif, obat ini digunakan bersama obat antimalaria lain yang kerjanya cepat dan menghasilkan efek potensiasi antara lain dengan kina. Obat ini tidak dianjurkan dipakai dan juga tidak dipakai untuk profilaksis kausal dalam program(1). Tetrasiklin yang dipakai sebagai obat antimalaria adalah bentuk kapsul untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada anak-anak yang berumur < 8 tahun dan pada ibu hamil karena dapat menyebabkan perubahan warna gigi dan gangguan pertumbuhan gigi dan tulang. Waktu paruh tetrasiklin adalah 8 jam. Dosis yang diberikan adalah 250 mg setiap 8 jam selama 7 hari(1,14–15). Doksisiklin dan minosiklin dikemas dalam bentuk tablet atau kapsul untuk pemberian peroral. Waktu paruh doksisiklin adalah 18–22 jam. Dosis yang diberikan adalah 1,5–2 mg/kg bb. tiap 12 jam selama 7 hari(14,21). Penggunaan doksisiklin sebagai profilaksis kausal dengan dosis 100 mg/hari, dosis tunggal, akan diteliti di daerah P. falciparum resisten klorokuin (Irja). Efek samping yang dilaporkan adalah gangguan saluran pencernaan yaitu mual, muntah dan sakit perut(14). Tetrasiklin, doksisiklin dan minosiklin merupakan obat yang sudah lama dikenal dan dipakai sebagai antibiotika. Obat ini dipakai selektif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin atau multidrug dan biasanya dipakai bersama dengan kina, sehingga sulit untuk menilai sensitivitas antimalarianya. 2) Klindamisin Klindamisin merupakan antibiotika yang juga bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan juga yang resisten klorokuin(22–23). Obat ini tidak dipakai sebagai obat antimalaria dalam program. Klindamisin dikemas dalam bentuk kapsul untuk pemberian peroral dengan dosis 5–10 mg/kg bb. tiap 12 jam selama 5 hari. Obat ini bekerja lambat, untuk itu dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug dianjurkan menggunakan kombinasi dengan obat antimalaria lain yang bekerja cepat antara lain kina(23-24). Klindamisin pernah diteliti pada penderita malaria falsiparum yang in vitro resisten klorokuin di RSU Dili, Timtim pada tahun 1989. Dosis yang diberikan adalah 300 mg tiap 12 jam peroral, selama 5 hari. Angka kesembuhan yang diperoleh adalah 100% dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 2–6 hari, sedangkan efek sampingnya adalah gangguan saluran pencernaan ringan dan bersifat sementara(25). 3) Lain-lain Kloramfenikol, eritromisin, sulfametoksasol-trimetoprim dan siprofloksasin (kuinolon) merupakan antibiotika lain yang juga bersifat ant=malaria dan bekerja lambat. Obat ini pernah diteliti di luar negeri untuk pengobatan malaria falsiparum resisten

klorokuin dengan kombinasi obat antimalaria lain yang bekerja cepat yaitu kina atau amodiakuin(26–29). OBAT ANTIMALARIA BARU 1) Meflokuin Meflokuin merupakan obat antimalaria golongan 4-metanol kuinolin yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten klorokuin dan multidrue"). Obat ini sudah diteliti di Indonesia sebagai persiapan untuk mendapatkan obat alternatif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug terutama apabila juga telah resisfen terhadap kina. Meflokuin dikemas dalam berituk tablet dan suspensi untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil trimester I(17). Waktu paruh meflokuin adalah 3 minggu pada orang sehat dan 2 minggu pada penderita malaria(32–34). Dosis meflokuin untuk pengobatan adalah 15–29 mg/kg bb. peroral, dosis tunggal atau dibagi dalam 2 dosis tiap 12 jam(16–17,35). Untuk memperlambat terjadinya resistensi, dapat dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin (MSP)(36). Penggunaan meflokuin untuk profilaksis akan diteliti dengan dosis awa1750 mg yaitu 250 mg/hari dosis tunggal selama 3 hari pada minggu pertama, kemudian dilanjutkan 250 mg/minggu. Walaupun meflokuin belum pernah dipakai, pada penelitian sensitivitas P. falciparum in vivo dan atau in vitro, ditemukan kasus resisten di tiga propinsi yaitu Jawa Tengah, Irja dan Kaltim dengan derajat resisten RII–RIII(9,37). Pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi, meflokuin memberikan angka kesembuhan 94–100%, waktu bebas panas 9,3–25 jam dan waktu bebas parasit 47,1–59 jam(37–38). Efek samping yang ditemukan hanya mual yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(38). Peneliti-peneliti di negara lain mendapatkan angka kesembuhan yang beragam yaitu 33–100% dan waktu bebas panas yang dibutuhkan lebih lama yaitu 67–84 jam(30,39–43). Efek samping yang juga paling sering dijumpai oleh peneliti-peneliti lain adalah mual yang sembuh tanpa pengobatan(16,30). 2) Halofantrin Halofantrin merupakan obat antimalaria golongan fenantren metanol yang bersifat skizontosida darah untuk semua jenis Plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multidrug(44). Obat ini tidak digunakan untuk profilaksis dan sedang diteliti di Indonesia sebagai persiapan untuk mendapatkan obat alternatif pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten multidrug. Halofantrin dikemas dalam bentuk tablet, kapsul dan suspensi untuk pemberian peroral. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil dan menyusui karena mempunyai efek foetotoksik. Waktu paruhnya adalah 1–2 hari. Dosis yang digunakan untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi adalah 8–10 mg/kg bb. tiap 6 jam dengan dosis total 24 mg/kg bb. Untuk mencegah rekrudesen, halofantrin dapat diberikan kembali dengan dosis sama pada hari ke 3 atau 7(44-45). Pada uji coba klinik halofantrin di RS ITCI Balikpapan,

ditemukan 1 kasus resisten R I. Efikasi obat tersebut cukup baik dengan angka kesembuhan, waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 98,4%, 22,4 ± 2,7 jam, 58,3 ± 5,2 jam. Tidak ditemukan perbēdaan nyata efikasi antara penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in vitro sensitif dan resisten klorokuin. Efek samping yang. tercatat adalah diare, .nual, palpitasi dan pusing yang bersifat ringan dan sembuh tanpa pengobatan(47). Pada penelitian pengobatan malaria di Arso, Irja, selain halofantrin juga diberikan primakuin dosis tunggal setiap hari pada 14 hari pertama dan dilanjutkan tiap 2 hari untuk 14 hari berikutnya untuk mencegah reinfeksi dan relaps. Angka kesembuhan untuk malaria vivaks maupun malaria falsiparum adalah 100%(48). Peneliti-peneliti di negara lain mendapatkan angka kesembuhan 28–100% dengan waktu bebas panas yang dibutuhkan lebih lambat yaitu 28,8 – 68,1 jam dan waktu bebas parasit lebih lambat atau lebih cepat yaitu 42,4 – 75,9 jam(43,49). Salah satu penyebab sangat beragamnya angka kesembuhan halofantrin adalah absorbsi obat tersebut yang akan meningkat bila disertai dengan makanan berlemak(50). Belum lama ini dilaporkan adanya efek samping halofantrin pada jantung (QTc memanjang dan aritmia ventrikel). Oleh sebab itu WHO menghendaki perbaikan keterangan mengenai obat ini(51). 3) Artemisinin (Qinghaosu) Artemisinin merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen lakton yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax. Obat ini merupakan basil perkembangan obat tradisional Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan Artemesia annua L (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan tahun yang lalu. Karena adanya efek foetotoksik, obat ini tidak diberikan pada wanita hamil. Dari uji klinis, obat ini sangat efektif, bekerja sangat cepat dan toksisitasnya rendah(52). Oleh sebab itu obat ini telah dan sedang diteliti untuk mempersiapkan mendapat obat antimalaria alternatif yang efektif dalam pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug, dan malaria berat. Kemasan obat ini tergantung dari jenis derivat artemisinin yaitu : Artesunat Obat ini ada yang dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral dan bentuk serbuk kering dengan pelarut NaHCO3 5% untuk pemberian parenteral (intravena atau intramuskular). Dosis oral yang dianjurkan pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi adalah 600 mg dalam 5 hari yaitu 100 mg tiap 12 jam pada hari 1, kemudian dilanjutkan 50 mg tiap 12 jam pada 4 hari berikutnya. Dosis parenteral yang dianjurkan pada pengobatan malaria dengan komplikasi adalah 1,2 mg/kg bb., diberikan pada 0, 4, 24 dan 48 jam (3 hari) sehingga dosis total mencapai 240– 300 mg(53). Waktu paruh artesunat parenteral sangat cepat yaitu diperkirakan hanya 48 menit(16). Pada uji coba klinik pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di RS ITCI, Balikpapan, tablet artesunat pada awalnya memberikan angka kesembuhan 100% (s/d hari ke 14) ke-

mudian menjadi 75% pada hari ke 28, dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,0 ± 4,6 jam dan 32,0 ± 5,9 jam. Tidak ditemukan efek samping secara klinis dan laboratoris(54). Peneliti-peneliti di Thailand dengan menggunakan dosis tablet artesunatyang sama, memberi angkakesembuhan 76–90% dengan waktu bebas panas sedikit lebih lama yaitu kurang dari 2 hari dan waktu bebas parasit hampir sama yaitu juga kurang dari 2 hari. Efek samping yang ditemukan antara lain : sakit kepala, pusing, mual, muntah, sakit perut, diare, gatal-gatal dan rambut rontok(55–58). Uji coba pengobatan artesunat intravena 240–300 mg untuk penderita malaria berat sedang dilaksanakan di RSU Balikpapan. Di Cina, pengobatan malaria dengan artesunat intravena 240 mg memberikan angka kesembuhan 48,7% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,6 – 27,0 jam dan 32,3 – 58,5 jam. Bila digunakan dosis total 480 mg untuk 7 hari, memberikan angka kesembuhan 94,4%. Efek samping yang dilaporkan hanya skin rash(59). Demikian pula pada pengobatan malaria dengan artesunat intramuskular dosis 240 mg untuk 3 hari, 360 mg untuk 5 hari, dan 480 mg untuk 7 hari, memberikan angka kesembuhan 48%, 90,2% dan 97,5%. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan oleh ke 3 kelompok tersebut tidak berbeda nyata yaitu antara 19,5 – 22,4 jam dan 64,1 – 68,2 jam(59). Artemisinin Obat ini dalam bentuk tablet (dihidroartemisinin) untuk pemberian peroral dan supositoria (artemisinin) untuk pemberian perrektal. Dosis total oral yang pernah diteliti pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di Cina adalah 240 mg untuk 3 hari, 360 mg untuk 5 hari, dan 480 mg untuk 7 hari, yaitu 120 mg pada hari 1 dilanjutkan 60 mg pada hari berikutnya. Angka kesembuhan yang diperoleh dengan dosis-dosis tersebut adalah 48%, 94% dan 98%, dan tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan. Efek samping yang dilaporkan ailalah skin rash dan penurunan jumlah retikulosit(59). Dosis total supositoria rektal yang juga pernah diteliti untuk penderita malaria di Cina adalah 2800 mg untuk 3 hari yaitu 600 mg pada 0, 4 jam pada hari 1, kemudian dilanjutkan 2 kali 400 mg pada hari ke 2 dan 3. Angka kesembuhan yang diperoleh 54% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 14,9 – 38,9 jam dan 35,2 – 52,8 jam. Efek samping yang ditemukan adalah tenesmus, sakit perut dan diare yang bersifat sementara dan sembuh tanpa memerlukan pengobatan(59). Artemether Obat ini dalam bentuk larutan minyak, dikemas dalam bentuk kapsul untuk pemberian peroral dan dalam ampul untuk pemberian intramuskular. Di Thailand, pengobatan malaria tanpa komplikasi dengan artemether oral dosis total 500 – 700 mg untuk 5 – 7 hari, memberi angka kesembuhan 74 – 98%(60). Uji coba pengobatan malaria berat dengan artemether intramuskular sedang dan akan dilakukan di Indonesia. Waktu paruh

artemether intramuskular adalah 12 jam(16). Dosis awal yang dianjurkan adalah 3,2 mg/kg bb./hari pada hari 1, kemudian dilanjutkan 1,6 mg/kg bb./hari pada hari berikutnya sehingga dosis total adalah 480 mg untuk 5 hari. Di Cina dengan dosis artemether seperti ini memberi angka kesembuhan 93,3% dengan waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 20,6 – 29,7 jam dan 31,9 – 76,2 jam. Efek samping yang ditemukan adalah demam dan penurunan jumlah retikulosit(59). Arteether Obat ini dalam larutan (I3-etil eter) yang dikemas dalam ampul untuk pemberian intramuskular. Obat ini masih dalam penelitian(61). Sehubungan dengan cukup tingginya angka rekrudesen, dan pengobatan tampaknya sangat tergantung dari lamanya pengobatan selain dosis yang tepat, serta memperlambat terjadinya resisten, maka dalam pengobatan digunakan kombinasi dengan obat antimalaria lain antara lain meflokuin, sufadoksin-pirimetamin, dan doksisiklin(60,62–64). 4) Yinghaosu Yinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpen peroksid yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum terutama yang resisten klorokuin. Obat ini juga dikembangkan dari tanaman obat tradisional Cina yang dapat diberikan peroral atau parenteral. Dilaporkan obat ini tidak ditemukan resisten silang dengan klorokuin, meflokuin dan ginghaosu(65–66). 5) Pyronaridine Pyronaridine merupakan obat antimalaria derivat hidroksianilino benso-naftridin yang mempunyai struktur sama dengan mepakrin dan amodiakuin. Obat ini bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan P. vivax resisten multidrug dan sudah digunakan luas di Cina sejak lebih 10 tahun yang lalu(67–68). Pyronaridine dikemas dalam bentuk tablet dan kapsul untuk pemberian peroral, dan bentuk untuk parenteral yang lebih efektif. Waktu paruh obat ini diperkirakan 63 ± 5 jam. Dosis oral adalah 300 – 400 mg, dua kali sehari pada hari 1 dan kemudian dilanjutkan satu atau dua kali sehari dengan dosis total 1200 g. Dosis parenteral adalah 300 mg intramuskular atau intravena, dua kali sehari tiap 8 jam. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan oleh pekerja di Thailand dan Cina adalah 36 dan 57 jam. Efek samping yang pernah ditemukan adalah diare, sakit perut dan muntah-muntah(14,69–70). Untuk memperlambat terjadinya resisten, pada pengobatan dikombinasikan dengan sulfadoksin-pirimetamin(70). 6) Piperaquine Piperaquine merupakan obat antimalaria yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum dan sudah digunakan luas di Cina lebih dari 10 tahun yang lalu(71). Obat ini dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral. Dosis total yang biasa dipakai adalah 1500 mg yaitu dosis awal 600 mg, dilanjutkan 300 mg pada 6 jam berikutnya dan 600 mg pada jam ke 24(71,72). Angka kesembuhan di Cina adalah 33,3 – 100% dengan derajat resisten R I – R 11I(72–73). Efek

samping yang dilaporkan adalah muntah-muntah(72). Untuk daerah yang diketahui adanya kasus resisten terhadap piperaquine, biasanya dikombinasikan dengan antimalaria lain antara lain sulfadoksin-pirimetamin(71). 7) Atovaquone Atovaquone merupakan obat antimalaria kelompok hidroksinaftokuinon yang bersifat skizontosida darah untuk P. falciparum. Obat ini diharapkan dapat berguna untuk pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin atau multidrug karena cara kerjanya berbeda dengan obat antimalaria skizontosida darah lainnya sehingga diperkirakan tidak terjadi resisten silang dengan obat-obat tersebut(74). Obat ini dikemas dalam bentuk tablet untuk pemberian peroral. Dosis yang efektif untuk pengobatan masih dalam penelitian. Di Thailand, uji coba atovaquone pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan dosis 750 mg tiap 8 jam, dosis total 3 gram, atau dengan dosis yang lebih tinggi yaitu 750 mg tiap 8 jam selama 7 hari, tidak memberikan angka kesembuhan yang memuaskan (72% dan 61%). Bila dikombinasikan dengan proguanil atau tetrasiklin akan memberikan angka kesembuhan 96 – 100%. Oleh sebab itu dalam pengobatan malaria falsiparum, sebaiknya atovaquone dikombinasikan dengan obat antimalaria lain yang mempunyai efek potensiasi(75). KESIMPULAN 1) Obat antimalaria baru adalah obat yang belum terdaftar sebagai obat antimalaria, belum beredar dan belum dipakai di Indonesia. 2) Penelitian obat antimalaria barn dilakukan karena sampai saat ini belum ada obat antimalaria yang ideal, hanya kina masih sebagai obat antimalaria penyelamat, kasus resisten yang sudah menyebar dan bertambah berat. 3) Setiap penelitian obat antimalaria baru umumnya bertujuan mempersiapkan obat antimalaria alternatif yang efektif untuk pengobatan malaria falsiparum resisten multidrug dan malaria berat. 4) Meflokuin, halofantrin dan tablet artesunat merupakan obat antimalaria yang telah diteliti pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin dan atau multidrug, dan memberikan hasil yang cukup baik dengan efek samping yang ringan dan sembuh tanpa pengobatan. 5) Halofantrin sedang diuji coba klinik untuk penderita malaria falsiparum dengan komplikasi tidak berat dan malaria vivaks, sedangkan artesunat intravena dan artemether intramuskular sedang dan akan diteliti pada penderita malaria berat. 6) Yinghaosu, pyronaridine, pipēraquine dan atovaquone merupakan obat antimalaria baru lain yang belum diteliti. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Kepala Puslit Penyakit Menular dan Panitia Simposium dan Lokakarya Malaria di Manado yang mempercayakan saya membicarakan makalah ini.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

13.

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.

KEPUSTAKAAN 1.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Pengobatan no 3, 1991.

29. 30.

World Health Organization. WHO Technical Report Series 1973; 529. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Tes resistensi in vivo dan in vitro untuk P. falciparum no 9, 1991. Schwartz IK, Lacteritz EM, Patchen LC. Letter : Chloroquine resistant Plasmodium vivax from Indonesia : New Engl J Med 1991; 324 (13) : 927. Baird JK, Basri H, Purnomo dkk. Resistance to chloroquine by Plasmodium vivax in Irian Jaya, Indonesia. Am J Trop Med Hyg 1991; 44 (5) : 547–552. Murphy GS, Basri H, Pumomo dkk. Vivax malaria resistant to treatment and prophylaxis with chloroquine. Lancet 1993; 341 : 96–100. Tjitra E, Lukito B, Gunawan S. A case report : Transfusion vivax malaria resistant to multidrug (akan diterbitkan). Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC, FKUI, Jakarta, 28 Nopember 1991. Tjitra E, Marwoto H, Sulaksono S dkk. Penelitian obat antimalaria. Bul Penelit Kes 1991; 19 (4) : 15–23. Pribadi W. Drug resistance of Plasmodium falciparum in several parts of Indonesia. Simposium & Workshop on drug resistance of Plasmodium falciparum. FKUI, Jakarta, 20 Mei 1993. Frisk-Holmberg M, Bergqvist Y, Termond E dkk. The single dose kinetics of chloroquine and its major metabolite desethylchloroquine in healthy subjects. Eur J Clin Pharmacol 1984; 26 : 521–530. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman. Malaria : Penatalaksanaan malaria berat di rumah sakit dan puskesmas no 16, 1991. Patchen LC, Mount Dl, Schwartz IK, Churchill FC. Analysis of filterpaper-absorbed, finger-stick blood samples for chloroquine and its major metabolite using high-performance liquid chromatography with fluorescence detection. J Chromatogr 1983; 278 : 81–89. World Health Organization. Division of Control of Tropical Diseases. Severe and complicated malaria. Transaction of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2nd ed 1990, 84 (Suppl 2) : 1–65. World Health Organization. The Clinical Management of Acute Malaria. WHO Regional Publications, South-East Asia Series no 9, 3rd ed. WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi, 1990. Karbwang J, White NJ. Clinical importance of antimalarial pharmacokinetics. Asia Pacific J Pharmacol 1988; 3 : 181–189. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical handbook. World Health Organization, Geneva, 1991. White N, Warrell DA, Chantavanich P dkk. Severe hypoglycaemia and hyperinsulinaemia in falciparum malaria. N Engl J Med 1983; 309: 61-66. Fletcher KA, Price Evans DA, Gilles HM dkk. Studies on the pharmacokinetics of primaquine. Bull WHO 1981; 59 : 407–412. Mihaly GW, Ward SA, Edwards G dkk. Pharmacokinetics of primaquine in man. Studies of the absolute bioavailability and effects of dose size. Br J Clin Pharmacol 1985; 19 : 745–750. Colwell EJ, Hickman RL, Intraprasert R dkk. Micocycline and tetracycline treatment of acute falciparum malaria in Thailand. Am J Trop Med Hyg 1972; 21 (2) : 144–149. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibiotics on P. falciparum in vitro. Am J Trop Med Hyg 1983; 32 (2) : 221–225. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against chloroquine resistant P. falciparum. J Infect Dis 1984; 150 (6) : 904-911. Hoffman SL. Clinics in Tropical Medicine and Communicable Diseases. Malaria : Treatment of malaria. WB Saunders Co 1986; 1 (1) : 171–224. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S dkk. Pengobatan infeksi P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin dengan klindamisin. Seminar Parasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jawa Timur, 23–25 Juni 1990. Ruiz – Sanchez F, Casillas J, Paredes EM dkk. Antibiotics and Chemotherapy 1952; 2 : 51. Looareesuwan S, White NJ, Benjasurat Y dkk. Intravenous amodiaquine and oral amodiaquine/erythromycin in the treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria. Lancet 1985; ii : 805–808. Colwell EJ, Hickman RL. Quinine-tetracycline and quinine-bactrim treatment of acute falciparum malaria in Thailand. Ann Trop Med Parasitol 1973; 67 : 125–132. Watt G, Shank D, Edstein MD dkk. Ciprofloxacin treatment of drugresistant falciparum malaria. J Infect Dis 1991; 164 : 602–604. Harinasuta T, Bunnag D, Wemsdorfer WH. A phase II clinical trial of mefloquine in patients with chloroquine resistant falciparum malaria in

Thailand. Bull WHO 1983; 61 (2) : 299–305. 31. Karbwang J, White NJ. Clinical pharmacokinetics of meflowuine. Clin Pharmacokinet 1990; 19 (4) : 264–279. 32. Desjardins RE, Pamplin CL, Von Bredow J dkk. Kinetics of a new antimalarial, mefloquine. Clin Pharmacol Therapeut 1979; 26 : 372–379. 33. Schwartz DE, Eckert G, Hartmann D dkk. Single dose kinetics of mefloquine in man. Chemotherapy 1982; 28 : 70–84. 34. Karbwang J, Bunnag D, Brechkenridge AM dkk. The pharmacokinetics of mefloquine when given alone or in combination with sulphadoxine and pyrimethamine in Thai male and femalee subjects. Et: J Clin Pharmacol 1987; 32 : 173–177. 35. Chongsuphajaisidhi T, Sabchareon A, Chantavanich P dkk. A phase III clinical trial of mefloquine in children with chlorowuine-resistant falciparum malaria in Thailand. Bull WHO 1987; 65 (2) : 223–226. 36. Brockelman CR, Thanomsub B, Bhisutthibhand. Mefloquine suladoxine pyrimethamine (MSP) combination delays in vitro emergence of mefloquine resistance in multiple drug resistant Plasmodium falciparum. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1989; 20 (3) : 371–378. 37. Hoffman SL, Dimpudus AJ, Campbell JR dkk. R II and R III type resistance of Plasmodium falciparum to combination of mefloquine and sulfadoxine/ pyrimethamine in Indonesia. Lancet 1985; Noc 9 : 1039–1040. 38. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan meflokuin di daerah resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1992; 20 (3) : 25–33. 39. De Souza Jose - Maria. A phase I clinical trial of mefloquine in Brazilian male subjects. Bull WHO 1983; 61 (5) : 809–814. 40. Thimasarn K, Pinichpongse S, Malikul S dkk. Phase III double blind comparative study of Fansimef® and Lariam® for the curative treatment of Plasmodium falciparum infections in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1990; 21 (3) : 404-411. 41. Boudreau EF, Pang LW, Dixon KE dkk. Malaria : Treatment efficacy of halofantrine (WR 171, 669) in initial field trials in Thailand. Bull WHO 1988; 66 (2) : 227–235. 42. Karbwang J dkk. Single dose mefloquine pharmacokinetics in healthy Thai subjects and Thai patients with falciparum malaria. XII th International Congress for Tropical Medicine and Malaria. Amsterdam, The Netherlands, 18–23 September 1988. 43. Ketrangsee S, Vijaykadga S, Yamokgul P dkk. Comparative trial of the response of Plasmodium falciparum to halofantrine and mefloquine in Trat provinces, Eastern Thailand. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1992; 23 (1) : 55–58. 44. Smith Kline & French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitology Today Suppl 1989. 45. Eamsila C. Repeat course of halofantrine for the treatment of highly resistant P. falciparum malaria in Thailand. XIII th International Congress for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 46. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan halofantrin di daerah resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1992; 20 (1) : 1–8. 47. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Studi perbandingan pengobatan halofantrin antara penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang in vitro sensitif dengan yang resisten klorokuin. Bul Penelit Kes 1993 (akan diterbitkan). 48. Fryauff DJ, Baird JK, Basri H dkk. Primaquine adjunct to 28 day evaluation of halofantrine vs chloroquine for therapy of malaria in people remaining exposed to infection. Akan dibawakan pada Annual Meeting of the American Society of Trop Med and Hygiene, Atlanta, Georgia, 30 October – 4 November 1993. 49. Horton RI, Paar SN. Halofantrine : an overview of efficacy and safety. Suppl Parasitology Today 1989 : 65–79. 50. Milton KA, Edwards G, Ward SA dkk. Pharmacokinetics of halofantrine in man : effects of food and dose size. Br J Clin Pharmacol 1989; 71–77. 51. Nosten F, Kuile F, Luxemburger F dkk. The cardiac effects of antimalaria treatment with halofantrine. Lancet 1993 (in press). 52. Qinghaosu Antimalaria Coordinating Research Group. Antimalaria studies in qinghaosu. China Med J 1979; 92 : 811–816. 53. Quillin pharmaceutical. Guangxi, China. A new antimalaria drug - artesunate. 54. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W dkk. Pengobatan artesunat pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten multidrug. Seminar

Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4I VI, Denpasar, Bali, 23 – 25 Agustus 1993. 55. Looareesuwan S, Viravan C, Vanjanonta S dkk. Randomised trial of artesunate and mefloquine alone and in sequence for acute uncomplicated falciparum malaria. Lancet 1992; 339 : 821–824. 56. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Clinical trial of artesunate and artemether on multidrug resistant falciparum malaria in Thailand. A preliminary report. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 380–385. 57. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Double blind randomised clinical trial of oral artesunate at once or twice daily dose in falciparum malaria. Southwast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 539–543. 58. Bunnag D, Viravan C, Looareesuwan S dkk. Double blind randomised clinical trial of two different regiments of oral artesunate in falciparum malaria. Southeast Asian J Trop Med Pbl Hlth 1991; 22 : 534–538. 59. Li GQ. Clinical trials on artemisinin and its derivates in treaytment of malaria in China. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 60. Looareesuwan S. Overview of clinical studies on artemisinin derivates in Thailand. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993. 61. Kager P. Safety, Tolerance and pharmacokinetics of arteether in man. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993. 62. Tran TH, Arnold K. Artemisinin and its derivates in the treatment of falciparum malaria in Vietnam. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 63. Shwe T, Win K. Clinical trials of artemether and artesunate in the treatment of falciparum malaria in Myanmar. Artemisinin Meeting, London, 25th – 27th April, 1993. 64. Li GQ, Guo XB, Fu LC dkk. Randomised comparative study of mefloquine, qinghaosu and pyrimethamine-sulfadoxine in patients with falciparum malaria. Lancet 1984; ii : 1360–1361. 65. Stohler HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel bicyclic peroxides as potential antimalarial agents. XII th IntematCongr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988. 66. Hofheinz W, Jaquet C, Masciadri R dkk. Structure activity relationship of novel bicyclic peroxide antimalarials related to Yinghaosu. Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988. 67. Fus S, Bjarkman A, Wahlin B dkk. In vitro activity of chloroquine, the two enantiomers of chloroquine, desethyl chloroquine and pyronaridine against Plasmodium falciparum. Br J Clin Pharmacol 1986; 22 : 93–96. 68. Chlids GE, Hensler B, Milhous W dkk. In vitro activity of pyronaridine against field isolates and reference clones of Plasmodium falciparum. Am J of Trop Med Hyg 1988; 38 : 24–29. 69. Qiu CD, Ren DX, Liu DQ dkk. Sensitivity of P. falciparum to pyronaridine and sodium artesunate in Hainan island, China. XII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Amsterdam, The Netherlands, 18 – 23 September, 1988. 70. Chang C dkk. Studies on a new antimalarial compound pyronaridine. Trans R Soc Trop Med Hyg 1992; 86 : 7–10. 71. Cai XH and Tang X. A dozen years research in strategy for treatment of chloroquine-resistant falciparum malaria after ceasing of chloroquine use in malaria endemic areas of Hainan island, PR China. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 72. Guo XB, Fu LC, Fu YX dkk. Randomised comparison in the treatment of falciparum malaria with dihydroartemisinin tablet and piperaquine. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 73. Fu YJ and Jia J. A study of curative effect on several antimalarial drugs – 302 cases of falciparum malaria. XIII th Intemat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992. 74. Gutteridge WE. Site and mode of action of atovaquone. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand. November 29 – December 4, 1992. 75. Looareesuwan S, Hutchinson DBA, Viravan C dkk. Evaluation of Atovaquone in the treatment of uncomplicated P. falciparum malaria in Thailand. XIII th Internat Congr for Tropical Medicine and Malaria, Jomtien, Pattaya, Thailand, November 29 – December 4, 1992.

Beberapa Aspek Perilaku An, farauti di Klademak IIA, Sorong Pranoto; Amrul Munif "` *) Sub. Direktorat Serangga Penular Penyakit, Direktorat Jenderal PPM & PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta **) Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Anopheles farauti merupakan vektor utama di Irian Jaya. Di Sorong pemberantasan malaria yang dilakukan sejak tahun 1959 sampai 1988 dengan penyemprotan DDT pada rumah-rumāh penduduk belum berhasil menurunkan angka kesakitan malaria seperti yang diharapkan. Dalam rangka mencari metode pemberantasan malaria yang sesuai, berhasil guna dan berdaya guna, beberapa aspek perilaku An. farauti telah dapat terungkap di Klademak IIA Sorong. Tempat perindukan yang lebih disukai adalah genangangenangan air sementara, dangkal, ditemukan rumput-rumputan dan terkena sinar matahari langsung. Dewasa banyak hinggap sementara pada dinding bagian dalam rumah setelah menggigit daripada sebelum menggigit malam hari. Di lokasi penyemprotan pada siang hari lebih banyak hinggap atau istirahat di luar rumah terutama di bawah rumput, di tempat teduh atau berlindung. Persentase menggigit lebih banyak di leuar rumah (86%) daripada dalam rumah (14%). Nyamuk ini menggigit sepanjang malam dengan fluktuasi gigitan aktif pada empat jam pertama (18.30 — 22.15) setelah matahari terbenam. NyāmukAn. farauti lebih tertarik menggigit manusia (87%) dibanding hewan babi (7%) atau kambing (6%). Musim kepadatan populasi terjadi pada bulan-bulan Januari, Pebruari dan Mei. Perkiraan gonotrophic cycle 2,5 hari, masa pradewasa 9 hari, umur dewasa 18 hari, umur infektif 8 hari dan perkiraan angka kematian harian 7%. Uji pestisida menunjukkan hasil masih rentan terhadap DDT dan Malathion. PENDAHULUAN Anopheles farauti merupakan vektor utama di Irian Jaya, yang tersebar mulai dari pantai sampai ke pegunungan (Sloff, 1964). Salah satu usaha untuk menghentikan penularan penyakit malaria adalah memutuskan rantai penularan dengan pemberantasan vektor. Pemberantasan malaria yang dilakukan dengan jalan penyemprotan rumah penduduk dengan menggunakan DDT diharapkan dapat memutuskan transmisi. Penyemprotan DDT sudah dilakukan sejak tahun 1959 sampai sekarang namun belum memberikan hasil menurunkan angka kesakitan malaria seperti yang diharapkan. Di daerah sektor Sorong selama empat tahun diper-

oleh 30 – 69% Slide PositivityRatedari Passive Case Detection, sedangkan dati Parasite Survey didapatkan 4,8 sampai 18,8% Parasite Rate dan 4,6 sampai 15,8% Infant Parasite Rate (DinKes Dati II Sorong, 1979). Aspek yang perlu dipelajari dalam menanggulangi vektor adalah tentang penyebaran, tempat perkembang biakan, kesenangan mencari darah, tempat menggigit, waktu menggigit, tempat hinggap/istirahat, jarak terbang, status kerentanan, musim penularan dan pengaruh faktor lingkungan terhadap nyamuk. LarvaAn. farauti dapat hidup pada berbagai macam genangan air, sangat toleran terhadap air garam dan dapat hidup pada perahu-perahu ditepi pantai. Tentunya bentuk dewasa An. farauti

tidak jauh dari habitat larva. Dengan mengetahui berbagai aspek perilaku nyamuk ini diharapkan penyemprotan dapat lebih terarah dan memberikan dampak penurunan angka kesakitan malaria di daerah tersebut. BAHAN DAN CARA KERJA Keadaan Lokasi Lokasi penelitian merupakan daerah berawa-rawa terletak di tengah kota Sorong di daerah tepi pantai. Rawa yang ada dimanfaatkan untuk pembuatan kolam ikan sertakolam kangkung. Daerah ini terletak pada ketinggian dua meter di atas permukaan laut (Gambar 1). Iklim daerah ini dengan curah hujan sepanjang tahun, rata-rata mencapai 232,2 mm per bulan dengan hari hujan 11,4 hari. Temperatur lingkungan selama penelitian mencapai 23°C minimum dan 32°C maksimum, dengan kelembaban udara 78 – 96% dan kecepatan angin 0 – 8,9 meter/detik. Penyemprotan rumah-rumah memakai 5% DDT, dilakukan Dinas Kesehatan di wilayah tersebut menghabiskan 2 gram untuk setiap meter persegi. Penyemprotan dilakukan dua kali setahun sejak tahun 1972 sampai sekarang; di samping itu juga dilakukan pest control oleh Pertamina, khususnya untuk daerah lingkungan kompleks perumahan Pertamina. Insektisida yang digunakan adalah campuran 150 ml Malathion 50 EC, 30 ml Nogos 50 EC dan 20 ml Dursban 20 EC ditambah air menjadi 8,5 liter. Campuran insektisida ini disemprotkan ke dinding bagian dalam rumah atau perlengkapan rumah tangga yang terletak di bagian dalam rumah. Sedangkan untuk bagian luar rumah seperti halaman digunakan insektisida campuran 60 ml Agrothion 50 EC dan 40 ml Nogos 50EC ditambah air hingga menjadi 8,5 liter. Campuran insektisida ini disemprotkan pada bagian got, parit dan tanaman di sekitar halaman rumah. Penyemprotari dilakukan 10 hari sekali sejak bulan Januari 1980. Untuk tindakan pencegahan malaria khusus karyawan Pertamina dibagikan Paraquin (Chloroquin-Diphosphate 250 mg) seminggu sekali dengan takaran dosis disesuaikan menurut golongan umur.

TATA KERJA Penyelidikan kebiasaan bersarang Untuk mempelajari kebiasaan bersarang dilakukan penangkapan larva pada genangan-genangan air yang diperkirakan ada larva. Penangkapan larva ini dilakukan satu minggu sekali dengan menggunakan gayung plastik bergaris tengah 13,5 cm sebagai ciduknya. Jumlah cidukan untuk memperoleh larva dan jumlah larva An. farauti yang ditemukan dihitung. Larva yang ditemukan dibedakan dalam stadium 1, stadium 2, stadium 3, stadium 4 dan pupa. Sedangkan tempat bersarangnya dibedakan atas got dan parit, genangan air, rawa, kolam ikan dan kolam kangkung. Penyelidikan kebiasaan hinggap Untuk mempelajari kebiasaan hinggap dilakukan penangkapan nyamuk hinggap sebagai berikut : a) Di dinding bagian dalam rumah pada malam hari, tiap jam 15 menit oleh 2 orang petugas. b) Di bagian dalam rumah pada pagi hari, tiap rumah 15 menit oleh 2 orang petugas. c) Di luar rumah pada pagi hari, selama dua jam oleh 2 orang petugas. Penangkapan nyamuk ini dilakukan seminggu sekali dan nyamuk An. farauti yang tertangkap dibedakan atas : jenis kelamin dan kondisi perutnya (kosong, isi darah, setengah telur atau penuh telur). Penyelidikan kebiasaan menggigit Kebiasaan menggigit yang dipelajari adalah : a) Menggigit di dalam dan di luar rumah. b) Aktivitas menggigit tiap jam selama semalam penuh. c) Kesukaan menggigit. Untuk mempelajari kebiasaan menggigit dilakukan penangkapan nyainuk menggigit dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah. Penangkapan nyamuk ini dilakukan tiap minggu sekali, oleh dua orang di dalam dan dua orang di luar rumah,

masing-masing sebagai umpan dan sebagai penangkap. Hasil penangkapan tiap jam dipisahkan dan penangkapan dilakukan mulai puku118.30 sampai puku100.30, tiap jam selama 45 menit. Untuk mempelajari aktifitas menggigit tiap jam selama semalam penuh, dilakukan penangkapan nyamuk menggigit dengan umpan orang semalam penuh di dalam dan di luar rumah oleh masing-masing dua orang sebagai umpan dan sebagai penangkap, sebulan sekali, mulai matahari terbenam sampai saat matahari terbit. Hasil penangkapan nyamuk tiap jam dipisahkan dan dihitung jumlahnya. Penangkapan dilakukan 45 menit untuk setiap jam. Untuk mempelajari kesukaan menggigit dilakukan penangkapan nyamuk hinggap di sekitar kandang babi dan kandang kambing yang ada di lokasi tersebut, seminggu sekali selama 15 menit tiap jam yang dilakukan setelah penangkapan nyamuk menggigit dengan umpan orang. Hasil penangkapan nyamuk ini dibandingkan dengan hasil penangkapan nyamuk menggigit dengan umpan orang di luar rumah. Penyelidikan musim kepadatan nyamuk Dari hasil penangkapan nyamuk menggigit dengan umpan orang yang dilakukan tiap minggu sekali dapat diketahui musim kepadatan nyamuk untuk tiap bulan. Perkiraan umur nyamuk Untuk mempelajari perkiraan umur nyamuk dilakukan : a) Pengamatan gonotrophic cycle yaitu pengamatan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh seekor nyamuk An. farauti betina sejak mulai menghisap darah sampai meletakkan telur. Nyamuk yang digunakan berasal dari penangkapan nyamuk menggigit umpan orang di luar rumah. b) Pengamatan lamanya waktu yang dibutuhkan sejak telur menetas sampai menjadi nyamuk. c) Seksi ovarium dari nyamuk-nyamuk yang baru ditangkap dengan penangkapan umpan badan untuk mengetahui nyamuk yang sudah bertelur dan yang belum bertelur. Dari butir a dan butir c dapat diperkirakan umur nyamuk, umur infektif dan angka kematian harian. Susceptibility test Untuk mengetahui kerentanan nyamuk An. farauti terhadap DDT dan Malathion dilakukan susceptibility test berdasarkan standar WHO. Nyamuk yang digunakan untuk tes berasal dari penangkapan nyamuk menggigit dengan umpan orang di luar rumiah.

Tabel 1.

Hasil penangkapan larva An. farauti di Klademak

Stadium larva Macam tempat Jumlah Jumlah Larva penangkapan larva ciduk larva ciduk I + II III IV Pupa Got dan parit Genangan air sementara Rawa Kolam ikan Kolam kangkung

605 655

291 845

0,48 1,29

85 317

74 246

95 251

37 31

440 696 665

382 447 364

0,87 0,65 0,55

145 227 143

102 103 91

133 111 130

2 6 0

Jumlah

3.061

2,329

0,76

917

616

720

76

Kebiasaan hinggap a) Di dinding dalam rumah pada malam hari Hasil penangkapan nyamuk hinggap di dinding dalam rumah pada malam hari menunjukkan bahwa An. farauti hinggap di dinding sebelum dan sesudah menggigit (Tabel 2). An. farauti yang hinggap pada dinding lebih banyak setelah menghisap darah (94 ekor) dari pada sebelum menghisap darah (45 ekor). Tabel 2.

Hasil penangkapan nyamuk An. farauti hinggap di dinding malam hari di Klademak IIA Kondisi perut

Jumlah nyamuk

Kosong

140

45

Penuh darah Setengah telur 94

Penuh telur

1

0

b) Di bagian dalam rurnah pada pagi hari Hasil penangkapan nyamuk hinggap pagi hari di dalam rumah yang dilakukan pada pukul 08.00 sampai pukul 10.00, seminggu sekali pada 10 buah rumah, sejak tanggal 10 Januari sampai dengan April 1980 adalah nihil. Hasil ini menunjukkan bahwa An. farauti tidak hinggap istirahat di dalam rumah pada siang hari. Setelah bulan April 1980 penangkapan nyamuk hinggap di dalam rumah pada pagi hari tidak dilakukan lagi. c) Di luar rumah pada pagi hari Hasil penangkapan nyamuk hinggap di luar rumah pada pagi hari menunjukkan bahwa An. farauti pada siang hari hingga istirahat di luar rumah (Tabel 3). Tempat hinggap di luar rumah adalah pada tempat teduh di mobil bekas atau drum, rumputrumputan, pangkal pohon pisang dan celah-celah tumpukan batu. Tempat yang lebih disukai adalah pangkal pohon pisang yang tumbuh di semak-semak. Tabel 3. Hasil penangkapan nyamuk An. farauti hinggap di luar rumah di Klademak IIA Kelamin Kondisi perut Macam tempat Jumlah hinggap nyamuk Jantan Betina Kosong Darah 1/2 Telur Telur

HASIL DAN PEMBAHASAN Kebiasaan bersarang Hasil penyelidikan ini menunjukkan bahwa An. farauti dapat bersarang pada genangan air sementara maupun tetap seperti pada parit, got, genangan air, rawa, pinggiran kolam ikan dan kolam kangkung (Tabel 1). Tempat yang lebih disukai adalah genangan air sementara, dangkal, kena sinar matahari dan ada rumput-rumputan di tepinya.

Mobil bekas dan drum Rumputmmputan Pangkal pohon pisang Celah tumpukan batu karang

205

141

64

28

14

10

12

122

72

55

35

5

11

4

489

279

210

67

52

57

34

20

13

7

3

0

1

3

Jumlah

841

505

336

133

71

79

53

Hasil penangkapan nyamuk hinggap ini juga menunjukkan

bahwa An. farauti hanya masuk rumah untuk menghisap darah, setelah itu keluar rumah dan hinggap istirahat di luar rumah selama menunggu waktu bertelur. Hal ini dapat dilihat dari kondisi perut nyamuk pada Tabel 2 dan Tabel 3. Kebiasaan menggigit a) Menggigit di dalam dan di luar rumah Selama penangkapan dilakukan jumlah nyamuk yang tertangkap menggigit di dalam rumah adalah 587 ekor (14%) dan jumlah nyamuk yang tertangkap menggigit di luar rumah adalah 3.592 ekor (86%). Hasil ini menunjukkan bahwa An. farauti lebih banyak menggigit di luar rumah daripada di dalam rumah. b) Aktivitas menggigit tiap jam selama semalam penuh Dari 14 kali penangkapan nyamuk semalam penuh yang dilakukan hasilnya tertera pada Tabel 4 dan Gambar 3. Aktif menggigit sejak matahari terbenam sampai matahari terbit. Puncak aktivitas menggigit di luar rumah adalah pada saat setelah matahari terbenam yaitu pukul 18.30 sampai pukul 19.15. Lebih banyak menggigit pada empat jam pertama setelah matahari terbenam (72% untuk di dalam rumah dan 68% untuk di luar rumah). Tabel 4.

Aktivitas menggigit An. farauti semalam penuh dari 14 kali penangkapan, di Klademak IIA, oleh masing-masing 2 orang penangkap di dalam dan di luar rumah, tahun 1980 Di dalam rumah

Di luar rumah

Waktu (pukul)

Jumlah nyamuk

Kepadatan/ orang/jam

Jumlah nyamuk

Kepadatan/ orang/jam

18.30 – 19.15 19.30 – 20.15 20.30 – 21.15 21.30 – 22.15 22.30 – 23.15 23.30 – 00.15 00.30 – 01.15 01.30 – 02.15 02.30 – 03.15 03.30 – 04.15 04.30 – 05.15

22 16 11 11 2 6 3 5 4 2 1

1,05 0,76 0,52 0,52 0,09 0,26 0,14 0,24 0,19 0,09 0,05

206 152 68 54 46 23 34 35 52 32 27

9,81 7,24 3,24 2,57 2,19 1,10 1,62 1,67 2,48 1,52 1,29

Jumlah

83



704



c)

Kesukaan menggigit Untuk waktu yang sama, jumlah nyamuk yang tertangkap di luar rumah 997 ekor (87%), di sekitar kandang babi 70 ekor (6%) dan di sekitar kandang kambing 74 ekor (7%). Hasil ini menunjukkan bahwa An. farauti tertarik pada manusia maupun ternak tetapi lebih tertarik pada manusia daripada ternak. Musim kepadatan nyamuk Dari hasil penangkapan nyamuk tiap minggu dapat dilihat musim kepadatan nyamuk untuk setiap bulan (Tabel 5 dan Gambar 4). Bulan-bulan kepadatan nyamuk An. farauti adalah pada bulan-bulan Januari, Pebruari dan Mei. PERKIRAAN UMUR NYAMUK a)

Pengamatan gonotrophic cycle Dari 52 ekor nyamuk An. farauti yang diamati ternyata 39 ekor bertelur setelah dua hari, sembilan ekor bertelur setelah tiga

Gambar 3. Aktivitas menggigit semalam penuh An. farauti di Klademak IIA

Gambar 5. Parity tiap bulan dan An. farauti di Kladernak IIA

Gambar 4. Kepadatan An. farauti tiap bulan di Klademak IIA. Tabel 5.

Jumlah dan kepadatan nyamuk An. farauti dari penangkapan nyamuk umpan badan puku1 18.30 ski puku1 00.30, di Klademak IIA, tahun 1980 Di dalam rumah

Bulan

Jumlah nyamuk

Kepadatan/ orang/jam

Di luar rumah Jumlah nyamuk

Kepadatan/ orang/jam Gambar 6. Slide Positive Rate dan Curah hujan tiap bulan di kota sorong.

Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

72 110 30 65 90 38 18 19 8 19 61 20

2,0 3,1 0,8 1,4 3,3 1,4 0,4 0,5 0,2 0,4 1,7 0,6

729 410 280 337 347 216 89 96 45 118 128 97

20,3 11,4 7,8 7,5 12,9 8,0 2,0 2,7 1,3 2,6 3,6 2,7

hari, dua ekor bertelur setelah empat hari dan dua ekor bertelur setelah lima hari. Jadi waktu menghisap darah sampai meletakkan telur (gonotrophic cycle) adalah 2 - 5 hari, rata-rata 2,5 hari. b) Pengamatan waktu telur menetas sampai menjadi nyamuk Dari pengamatan yang dilakukan dapat diketahui waktu telur menetas sampai menjadi nyamuk adalah sembilan hari. d)

Perkiraan umur nyamuk Jumlah An. farauti yang diseksi ovariumnya 2.832 ekor dan jumlah nyamuk yang sudah bertelur (parous) 2.415 ekor. Dari proporsi parous dan gonotrophic cycle dapat diperkirakan umur nyamuk 18 hari, umur infektif 8 hari dan angka kematian harian 7% (WHO, 1975).

SUSCEPTIBILITY TEST Hasil susceptibility test dari An. farauti hasil penangkapan umpan badan di luar rumah yang dites keesokan harinya tertera pada Tabel 6. Hasil susceptibility test ini menunjukkan bahwa An. farauti masih rentan (susceptible) terhadap DDT dan Malathion. Tabel 6. Hasil seksi ovarium An. farauti dari penangkapan nyamuk umpan badan, di Klademak IIA Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah

Jumlah nyamuk diseksi

Jumlah nyamuk parous

% parous

322 454 318 393 413 243 93 123 37 131 177 128

263 321 260 345 371 225 85 108 36 111 174 116

81,7 70,7 81,7 87,8 89,8 92,6 91,4 87,8 97,3 84,7 98,3 90,6

2.832

2.415

85,3

Tabel 7.

Hasil susceptibility test An. farauti di Klademak IIA

Racun serangga yang digunakan Control DDT 4% Malathion 3,2%

Jumlah An. farauti di test Mati

Jumlah

% kematian

1 56 25

42 56 25

2,9 100,0 100,0

UCAPAN TERIMA KASIH Dengan terlaksananya penyelidikan ini kami ucapkan terima kasih kepada dr. Ny. Arwati S. Kepala Direktorat Pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang Pusat dan dr. Soesilo Kepala Kantor Wilayah Dep. Kes. di Daerah Tingkat 1 Propinsi Irian Jaya yang telah membantu dan mengi;.inkan kami untuk melakukan penyelidikan di Klademak IIA, Sorong. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada dr. Harsono K. Kepala Dimas Kesehatan Kabupaten Sorong dun dr. Zulkifli Kepala Kesehatan Perta-

mina Sorong atas bantuan dan, frzsilitas yang diberikan selama kami melakukan penyelidikan. Untuk penangkap nyamuk dan masyarakat setempat yang telah membantu kami dalam penyelidikan ini kami ucapkan terima kasih. Semoga Allah membalas amal baik mereka. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

Assam JVD, J. Bonne-Webster. New Guinea Culicidae, A Synopsis of Vectors, Pest and Common Species. Zoologische Bijdrager No. 6. Leiden 1964. 136 p. Dinas Kesehatan Kabupaten Dati II Sorong. Laporan Tahunan. Tahun 1979. 58 p. Suriadi Gunawan. The Malaria Situation in Irian Jaya. Eight South West Pacific Malaria Conference Port Moresby, 4 – 8 August 1980. 19 p. Manual on Practical Entomology in Malaria Part I, WHO. Division of Malaria and Other Parasitic Disease. WHO Geneva: WHO, 1975. 160 p. Zainuddin Jusuf. Masalah Pemberantasan Malaria di Sorong. Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II Sorong 1980. 38 p.

Spesies Anopheles dan Peranannya sebagai Vektor Malaria di Lokasi Transmigrasi Manggala, Lampung–Utara Hasan Boesri Stasiun Penelitian Vektor Penyakit Pusat Penelitian Ekologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Salatiga

ABSTRAK Penelitian mengenai Anopheles dan peranannya sebagai vektor malaria telah dilakukan pada bulan Mei 1990 sampai Maret 1991 di daerah Transmigrasi Manggala Lampung Utara. Nyamuk Anopheles yang berhasil ditangkap yaitu An. nigerrimus, An. barbirostris, An. annularis dan An. vagus. Dari keempat spesies Anopheles yang ditangkap ditemukan satu spesies yang dinyatakan sebagai vektor malaria yaitu An. nigerrimus. Larva Anopheles yang berhasil ditangkap yaitu An. barbirostris, An. annularis dan An. vagus, yang ditemukan hidup di sawah, rawa, parit (pH 4,5 – 7,0) yang banyak ditumbuhi Eichornia sp, Pistia sp., serta berbagai spesies rerumputan.

PENDAHULUAN Transmigrasi telah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak zaman penjajahan Hindia Belanda, walaupun dengan tujuan yang berbeda. Peningkatan program transmigrasi dimulai sejak adanya pembangunan lima tahun (Pelita) dan ditangani secara terpadu. Oleh karena penyelenggaraan transmigrasi merupakan kegiatan lintas sektoral dan melibatkan berbagai sektor dan disiplin ilmu, maka sektor kesehatan tidak terlepas dari program transmigrasi. Salah satu program kesehatan dalam menangani transmigrasi adalah pemberantasan penyakit menular terutama penyakit malaria.' Untuk mengetahui dinamika penularan malaria di daerah transmigrasi perlu mengetahui vektornya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fauna Anopheles di daerah transmigrasi Manggala. Dari hasil ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi pemberantasan malaria guna mencegah terjadinya transmisi yang Iebih lugs atau peningkatan kasus, karena sampai saat ini penyakit malaria di Propinsi Lampung masih menjadi masalah kesehatan di masyarakat.

BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi Penelitian entomologi dilakukan di transmigrasi Manggala, Kabupaten Lampung Utara. Daerah tersebut terletak kira-kira 80 km dari Kotabumi. Penangkapan nyamuk dilakukan di dua lokasi yaitu Rawa Jitu dan Gedong Aji, dari bulan Mei 1990 sampai Maret 1991. Pada mulanya daerah transmigrasi Manggala adalah hutan yang terdiri dari dataran rendah dengan rawa-rawa dan pegunungan yang kemudian dijadikan daerah transmigrasi (Gambar 1). CARA KERJA Penangkapan nyamuk telah dilakukan di dua lokasi yaitu di Rawa Jitu dan Gedong Aji. Cara penangkapan tiap lokasi dilakukan semalam suntuk dengan interval waktu sebulan sekali, adapun cara penangkapan sebagai berikut : 1) Penangkapan dengan umpan badan manusia di dalam dan di luar rumah pada malam hari. 2) Penangkapan nyamuk yang hinggap di dalam rumah pada

Gambar 1. Peta Propinsi Lampung dan daerah Transmlgrasi Manggala

malam hari. 3) Penangkapan nyamuk di kandang pada malam hari. 4) Survei larva dengan cidukan (dipper) pada pagi hari. 5) Identifikasi nyamuk Anopheles dan larva dengan menggunakan kunci determinasi yang disusun oleh O'Connor dan Arwati (1979)(1) dan Sandosham (1965)(2) serta dilakukan pembedahan terhadap nyamuk Anopheles betina. HASIL Jumlah nyamuk Anopheles yang berhasil ditangkap dengan cara-cara tersebut di atas adalah sebagai berikut : Di Rawa Jitu, Anopheles betina yang ditangkap sebanyak 120 ekor, dari jumlah tersebut terdiri dari 12,5% An. nigerrimus, 9,2% An. barbirostris, 40% An. annularis dan 37,5% An. vagus. Larva yang ditemukan hanya An. vagus sebanyak 21 ekor. Di Gedong Aji, Anopheles betina ditangkap sebanyak 80 ekor dari jumlah tersebut terdiri dari 10% An. nigerrimus, 1,25% An. barbirostris, 51,25% An. annularis dan 37,5% An. vagus. LarvaAnopheles yang ditangkap 17 ekor terdiri dari 11,8% larva An. barbirostris, 29,4% larva An. annularis dan 58,8% larva An. vagus. Jenis nyamuk yang ditangkap baik di Rawa Jitu maupun di Gedong Aji terdiri dari An. nigerrimus, An. barbirostris, An. annularis dan An. vagus. Nyamuk Anopheles betina yang ditangkap sebanyak 200 ekor telah dibedah di lapangan tetapi tidak ditemukan adanya sporozoit.

Tabel 1.

No.

Jumlah Anopheles yang ditangkap di Transmigrasi Manggala Lampung Utara

Bulan

1

Mei 1990

2

Juni 1990

3

Juli 1990

4

Agt. 1990

5

Sept. 1990

6

Okt. 1990

7

Nop. 1990

8

Des. 1990

9

Jan. 1990

10

Feb. 1990

11

Maret 1990

Lokasi R. Jitu G. Aji R. Jim G. Aji R. Jim G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jitu G. Aji R. Jim G. Aji R. Jitu G. Aji

Total Keterangan : 1. An. nigerrimus 2. An. barbirostris

3. 4.

Jumlah Anopheles Nyamuk n % 305 32 365 177 148 116 268 221 102 221 51 20 244 200 134 145 73 237 255 46 81 44 3485

7 0 21 24 7 1 6 0 0 25 2 6 0 23 24 16 11 1 10 7 7 2 200

An. annularis An. vagus

2,3 0 5,7 13,5 4,7 0,8 2,2 0 0 11,3 3,9 30 0 11,5 17,7 11,0 15,0 0,4 3,9 15,2 8,6 4,5 5,7

Janis Anopheles ditangkap l

2

3

4

1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 0 1 5 7 1 23

0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 0 0 5 0 1 3 0 4 0 0 0 15

0 0 0 12 0 0 0 0 0 23 0 5 0 8 22 11 3 0. 0 2 0 0 86

6 0 21 11 6 1 4 0 0 2 0 1 0 9 2 4 2 1 5 0 0 1 76

Tabel 2.

Data Anopheles yang tertangkap dengan Umpan Badan Lokasi penangkapan

No.

Jenis nyamuk

Tempat Penangkapan

Rawa Jitu

Gedong AJi

Jumlah MHD Jumlah MHD 1

An. nigerrimus

2

An. barbirostris

3

An. annularis

4

An. vagus

Dalam rumah Luar rumah Di dinding Di kandang. Dalam rumah Luar rumah Di dinding Di kandang Dalam rumah Luar rumah Di dinding Di kandang Dalam rumah Luar ntmah Di dinding Di kandang

0 2 0 13 0 1 0 11 0 0 0 48 0 1 0 44

Total Tabel 3.

No. 1 2 3

0 0,007 0 0,09 0 0,004 0 0,08 0 0 0 0,36 0 0,004 0 0,3 120

0 2 0 6 0 0 0 1 0 2 0 39 0 2 0 28

0 0,007 0 0,04 0 0 0 0,007 0 0,007 0 0,29 0 0,007 0 0,2 80

Larva Anopheles yang ditangkap di perairan Rawa Jitu dan Gedong Aji Jenis larva

An. barbirostris An. annularis An. vagus

Rawa Jitu Jumlah 0 0 21

2

Rata /ciduk 0 0 0,09

Gedong Aji Jumlah 2 5 10

Rata2/ciduk 0,009 0,02 0,04

PEMBAHASAN Jumlah nyamuk yang ditangkap di Rawa Jitu dan Gedong Aji dengan berbagai cara 3.485 ekor, dari jumlah tersebut 200 ekor (5,7%) adalah nyamukAnopheles betina (Tabel 1). Nyamuk Anopheles yang ditangkap terdiri dari An. nigerrimus betina (11,5%), An. barbirostris betina (7,3%), An. annularis betina (43%) dan An. vagus betina (38%). Dari ke empat spesies Anopheles yang ditangkap ditemukan satuAnopheles yang telah dinyatakan sebagai vektor malaria (suspect) di Propinsi Lampung yaitu An. nigerrimus(3). Walaupun dalam penelitian ini belum ditemukan nyamuk yang positif mengandung sporozoit tetapi tampak bahwa penularan malaria masih memungkinkan; hal ini terbukti dari hasil survei malariometrik yang telah dilakukan mendahului survei entomologi, yang menemukan bahwa angka parasit di Rawa Jitu dan Gedong Aji di antara anak-anak yang berumur 0 – 9 tahun sebesar 0,13 – 0,23%. Parasit yang ditemukan di kedua lokasi tersebut di atas adalah Plasmodium falciparum (69%) dan Plasmodium vivax (31%). Melihat rendahnya angkaparasit pada para transmigran, wajar di daerah Rawa Jitu dan Gedong Aji tidak ditemukan nyamuk yang rositif dengan sporozoit.

Di Rawa Jitu kepadatan An. nigerrimus dengan umpan badan di luar rumah sebesar 0,007 ekor per orang per jam dan di kandang sebesar 0,04 ekor per orang per jam. Berdasarkan kepadatan menggigit An. nigerrimus dengan umpan badan, masih memungkinkan penularan malaria, meskipun pada pembedahan terhadap seluruh nyamuk Anopheles yang ditangkap tidak ditemukan adanya sporozoit(4). Larva An. nigerrimus tidak ditemukan baik di Rawa Jitu maupun Gedong Aji, hanya di Gedong Aji larva An. vagus, An, barbirostris, An. annularis ditemukan di sawah, rawa dan parit yang banyak ditumbuhi Eichornia sp, Pistia sp serta jenis rerumputan dengan pH 4,5 – 7,0. Rendahnya kepadatan nyamuk dan larva disebabkan karena di beberapa tempat perindukan banyak terdapat ikan kepala timah. Di Rawa Jitu dan Gedong Aji banyak persawahan dan kolam yang masih belum dikelola dengan baik sehingga terdapat perairan-perairan yang memungkinkan nyamuk An. nigerrimus untuk berkembang biak seperti genangan air terbuka, rawa dan kolam(5). Mengingat keadaan demikian, untuk mencegah meningkatnya kasus malaria di daerah transmigrasi, sudah saatnya disadari pentingnya penanganan persawahan dan kolam secara baik, tidak saja sebagai penambahan pendapatan penduduk tetapi juga dapat membantu penanggulangan vektor malaria dengan cara pengelolaan lingkungan. KESIMPULAN DAN SARAN NyamukAnopheles yang berhasil ditangkap di daerah transmigrasi Manggala adalah An. nigerrimus, An. barbirostris, An, annul aris, An. vagus dan yang berperanan sebagai vektor malaria adalahAn. nigerrimus. Larva Anopheles yang berhasil ditangkap di sawah, rawa dan parit dengan pH 4,5 – 7,0 yaitu An. barbirostris, An. annularis, An. vagus. Untuk menekan populasi Anopheles di daerah transmigrasi, antara lain perlu memperbaiki pengelolaan lingkungan yaitu dengan jalan memanfaatkan genangan air dijadikan kolam ikan serta pengelolaan sawah secara baik. UCAPAN TERIMA KASIH Atas selesainya penelitian ini saya ucapkan terima kasih kepada Bapak Panut dan asisten entomologi yang ada di Lampung Utara atas kerja sama yang baik. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

O'Connor CT, Arwati Supanto. Kunci bergambar untuk Anopheles betina dari Indonesia. Dit. Jen. PPM & PLP Dep. Kes. Jakarta, 1979; 40 hal. Sandosham AA. Malariology with special reference to Malaya. First Edition. Singapore: University of Malaya Press, 1965. Anonymous. Malaria : Entomologi. Dit. Jen. PPM & PLP. Dep. Kes. Jakarta, 1990. Bruce Chwatt U. Essential Malariology. London: William Heinemann Medical Books Ltd. 1981. Stojanovich CJ, Scott HG. Ilustrated Key to Mosquitoes of Vietnam. CDC Center, Atlanta, Georgia, 1966.

Penebaran Konidiospora Metarrhizum anisopliae untuk Penanggulangan Populasi Larva An.acenitus di Persawahan Rejasari, Banjarnegara Amrul Munif, Supraptini, M. Sukirno Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Cendawan Metarhizium anisopliae termasuk cendawan tidak sempurna (imperfect fungi) tersebar luas pada berbagai inang serangga lunak di daerah tropis. M. anisopliae yang entomopathogenetik telah berhasil diisolasi dan dikembangbiakkan dari larva An. aconitus di wilayah Rejasari, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara. Di laboratorium telah dilakukan uji coba patogenitas konidiospora M. anisopliae terhadap larva An. aconitus instar III dan IV diperoleh dosis kematian untuk separuh populasi (LD50) memerlukan 0,71 mg/cm2 dan mematikan 95% populasi larva uji (LD 95) dengan dosis 3,085 mg/cm2 berdasarkan persamaan regresi Y = 36,61+ 18,93 X setelah kontak 48 jam. Nampaknya larva An. aconitus lebih sensitif dibandingkan larva Cx. p. quinquefasciatus. Hasil uji di lapangan menunjukkan dengan pemberian dosis 300 mg konidiospora/m2 telah mampu menekan populasi larva An. aconitus sebesar 88% di persawahan. PENDAHULUAN Salah satu faktor penyebab kurang berhasilnya usaha pemberantasan vektor malaria adalah meningkatnya kekebalan An. aconitus terhadap insektisida terutama DDT. Sebagai alternatif dianjurkan melakukan penanggulangan secara hayati. Cara hayati ini mempunyai beberapa tujuan di antaranya : konservasi, inundasi dan inokulasi(1). Cara konservasi adalah dengan menjaga patogen yang sudah terdapat di alam bersama vektor sasaran dengan maksud untuk melestarikan agar populasi musuh alami dapat hidup lestari. Inundasi dengan melepas musuh alami dalam jumlah yang besar ke serangga sasaran. Cara ini tidak bertujuan pada pelestarian musuh alami sehingga hampir sama dengan penggunaan pestisida. Inokulasi melepas musuh alami seperlunya yang diharapkan dapat berkembang sehingga pada waktunya kelak dapat menimbulkan dampak dalam waktu yang lama. Salah satu patogen yang ditemukan pada larva nyamuk adalah cendawan dan telah dikenal dari beberapa jenis sebagai

pengendali hayati. Cendawan Metarhizium anisopliae mempunyai penyebaran yang sangat luas terutama di daerah tropik. Cendawan ini telah dinyatakan berhasil sebagai agen pengendali pada berbagai serangga hama tanaman. M. anisopliae ini termasuk cendawan tidak sempurna (imperfect fungi) dan telah dievaluasi terhadap berbagai spesies nyamuk pada bermacammacam habitat. Di alam cendawan ini tersebar Was di berbagai inang serangga lunak terutama pada larva Coleoptera, namun baru-baru ini telah dapat diisolasi dari larva Culex pipien fatigans di alam. Berbagai isolasi M. anisopliae telah diketahui perbedaan batasan inang dan tingkat virulensinya. Cendawan ini mempunyai batasan inang larva nyamuk yang Was di berbagai habitat. Konidiospora dapat menyebabkan rata-rata kematian yang cukup tinggi pada larva Culex dan Anopheles yaitu dengan dosis antara 400–600 mg konidiospora/m2. Walaupun M. anisopliae merupakan spesies cendawan patogen yang kosmopolitan namun tidak menginfeksi cacing yang hidup di darah hewan, tidak toksis pada maniusia(2).

Konidiospora dari M. anisopliae dapat diproduksi dalam jumlah cukup banyak untuk pengujian dan penggunaan di lapangan hanya dengan menanam spora pada media beras(3). Strain yang spesifik perlu dikembangkan dengan cara memperbanyak produksinya tanpa mengurangi daya virulensinya. Di samping mencari penggunaan agen cendawan yang praktis di masa akan datang, perlu diketahui formulasi yang cocok sehingga dapat memberikan nilai daya guna dalam masalah penanggulangan vektor secara hayati. Kematian larva disebabkan oleh serangan hife yang menembus ke dalam haemosul pada waktu perkembangan hife dan juga karena pertumbuhan konidiospora menjadi hife yang melepaskan toksin dektrusin A dan B yang dapat membunuh larva nyamuk.

tahun, tidak jauh dari persawahan ditemukan sungai yang pada saat tertentu airnya mengalir. Sawah dikelola masih secara tradisional dengan pengairan nonteknis, sehingga dapat ditanam sepanjang tahun tanpa selingan tanaman palawija, dan penanaman tidak dilakukan secara serentak. Kejadian ini dapat menjaga kelangsungan kehidupan larva An. aconitus yang populasinya tidak terputus. Di wilayah Rejasari terdapat hewan ternak di antaranya 8 ekor kerbau, 6 sapi, 15 kambing yang ditempatkan dalam rumah, hewan-hewan ini merupakan surnber makanan bagi nyamuk. Letak lokasi sawah tidak jauh dari pemukiman penduduk yaitu di bagian belakang rumah (Gambar 1). Tabel 1.

Perkembangan kasus malaria selama kurun waktu enam tahun, pada kedua kecamatan dibandingkan Annual Parasite Incidence yang terdapat di Kabupaten Banjarnegara

BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi percobaan Lokasi yang dipilih sebagai daerah percobaan adalah desa Rejasari, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah (Gambar 1). Daerah ini terletak pada ketinggian 660 m dari atas permukaan lāut dengan jumlah penduduk 1674 jiwa terdiri dari 338 kepala keluarga. Keadaan kasus malaria di Kecamatan ini dari tahun ke tahun meningkat dan cukup tinggi walaupun berfluktuasi (Tabel 1). Kondisi sawah di desa ini berteras-teras air kebanyakan dari mata air yang mengalir sepanjang

Kecamatan (Parasite Incidence) Tahun

1987 1988 1989 1990 1991

Annual Parasite Incidence

Banjarmangu (permil)

Madukara (permil)

Banjarnegara (permil)

1,98 17,27 12,43 11,28 31,5

0,20 1,85 5,7 16,57 18,37

0,8 3,65 3,44 2,08 2,57

Desa Kaliurip, kecamatan Madukara ditetapkan sebagai daerah pembanding terletak di ketinggian 540 m di atas permukaan laut. Jumlah penduduk desa ini sebanyak 2968 jiwa dengan 615 kepala keluarga, keadaan kasus malaria juga berfluktuasi (Tabel 1). Kondisi sawah samadengan daerah Rejasari, dengan pengairan nonteknis, sumber air dari mata air yang berlimpah dan banyak dijumpai genangan air. Sawah terletak di jalur aliran air sehingga sulit dikeringkan. Waktu penanaman padi berlangsung sepanjang tahun yang dilakukan tidak serentak. Pada lokasi ini juga dijumpai hewan-hewan ternak seperti di desa Rejasari, yang dikandangkan satu atap dengan penghuni rumah. CARA KERJA

Gambar 1. Lokasi daerah penebaran cendawan Metarhizium anisopliae di desa Rejasari Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jawa Tengah.

A) Penebaran konidiospora Metarhizium anisopliae 1) Persiapan Kegiatan yang dikerjakan sebelum percobaan dimulai adalah sebagai berikut : a) Survey Survey pendahuluan dilakukan untuk mencari lokasi di beberapa kecamatan yang mempunyai penderita malaria cukup tinggi dan persawahan yang merupakan habitat larva An. aconitus. Larva yang diperoleh diperiksa untuk mendapatkan cendawan yang entomopatogenik dan dimanfaatkan sebagai agen. Agen ini merupakan strain yang ada di daerah tersebut. b) Isolasi cendawan entomopatogenik Cendawan yang diperoleh dalam jumlah serta frekuensi yang tinggi dan telah dikenal sebagai entomopatogenik dikembangbiakkan untuk memproduksi konidiospora secukupnya. Pembiakan cendawan M. anisopliae pada tahapan ini ditanam dalam media beras dan jagung rebus. Proses untuk memperoleh

konidiospora kering, langkah pertama melepaskan konidiospora dari media dengan larutan 0,05% tween kemudian dikeringkan. Pengeringan konidiospora dilakukan dengan memasukkan ke dalam inkubator pada suhu 28°C. Setelah konidiospora kering, dipersiapkan untuk pengujian laboratorium dan percobaan di persawahan. c) Pengujian pendahuluan Sebelum percobaan dilakukan di lapangan terlebih dahulu dikerjakan pre test untuk memperoleh dosis aman bagi kehidupan organisme yang ada di perairan sawah. Cendawan yang telah diperbanyak diuji cobakan pada larva An. aconitus instar III dan IV secara laboratorium sebelum diaplikasikan di sawah. Percobaan pengujian dilakukan menurut metode Innis dan Zattau (1980) dengan 4 kali ulangan untuk setiap dosis. Dosis yang digunakan dalam perlakuan adalah 0,25 mg; 5 mg; 1 mg; 2 mg dan 4 mg/16 cm2. Wadah yang digunakan dalam percobaan ini terbuat dari kaca berbentuk silinder dengan diameter 8,5 cm dan tinggi 9 cm. Wadah diisi dengan air suling sebanyak 250 ml untuk semua tempat perlakuan dan kontrol. Jumlah larva untuk setiap perlakuan dosis dan kontrol sebanyak 25 ekor larva, sehingga perdosis diperlukan 100 ekor. Untuk memperoleh dosis yang diperlukan mematikan separuh populasi larva (LD50) dan 95% populasi larva data dianalisis secara regresi. 2) Penebaran konidiospora Metarhizium anisopliae Konidiospora yang digunakan untuk percobaan ini sebanyak 300 mg M. anisopliae dalam satu meter persegi. Konidiospora ini berbentuk lonjong. (Gambar 2), yang diperoleh dari basil pemanenan pada media beras dan jagung. Untuk aplikasi ini dibutuhkan sebanyak 27 gram yang digunakan untuk areal seluas 900 m2. Penebaran konidiospora M. anisoplieae dicampur dengan tepung maizena dengan perbandingan masing-masing 50%. Setelah masa kontak larva dengan konidiospora dalam waktu 2 – 3 hari kemudian dilakukan evaluasi kerapatan larva An. aconitus.

Gambar 2. Morfologi dan sejumlah konidiospora dari cendawan Metarhizium anisopliae dilihat dari satu titik pandang dengan pembesaran 1000 kali.

B) Penilaian percobaan 1) Penilaian kerapatan populasi pradewasa Pengukuran kerapatan populasi larva dilakukan sebelum penebaran konidiospora sebanyak 6 kali pengambilan dan 6 kali sesudah penebaran konidiospora pada daerah percobaan dan daerah pembanding dengan membuat plot-plot pada petak sawah, setiap plot berukuran 1 m2. Pencidukan dilakukan pada setiap plot sebanyak 10 kali cidukan, larva yang diperoleh dihitung jumlahnya. Pencidukan larva dilakukan oleh 3 orang dimulai puku18.00 sampai 10.00. Kerapatan populasi larva dihitung per ciduk per orang per jam. Kerapatan populasi larva An. aconitus ini untuk melihat kemampuan daya bunuh M. anisopliae terhadap larva tersebut di persawahan. 2) Kerapatan populasi dewasa Penilaian diperoleh dari penangkapan nyamuk An. aconitus dengan cara umpan orang di dalam dan luar rumah serta penangkapan di sekitar kandang di daerah percobaan dan pembanding. Masing-masing penangkapan dilakukan 6 kali sebelum dan sesudah pemberian konidiospora. Setiap dua minggu sekali penangkapan nyamuk dilakukan malam hari oleh 6 orang penangkap yang merupakan standar WHO. Penangkapan malam hari dimulai dari pukul 18.00 sampai 22.00; nyamuk yang hinggap atau menggigit ditangkap dengan aspirator dibantu dengan penerangan lampu senter. Nyamuk yang diperoleh dimasukkan dalam paper cup dengan penutup kain kasa untuk diproses di laboratorium. Kerapatan populasi nyamuk An. aconitus dihitung dari rata-rata nyamuk yang tertangkap per orang per jam (Man Hours Density/MHD).

HASIL Bentuk spora dari cendawan M. anisopliae ini berbentuk lonjong dengan kedua ujungnya meruncing. Hasil uji coba infestasi cendawan M. anisopliae pada berbagai perlakuan dosis terteradi Tabel 2. Padadosis paling rendah yaitu 0,125 mg/cm2 dalam air dengan pH=6 diperoleh 28% angka kematian secara kumulatif. Perhitungan ini dilakukan setelah larva An. aconitus melakukan kontak dengan konidiospora M. amsopltae selama 42S jam. untuk mematikan separun populasi larva uji terlihat pada dosis antara 0,5 mg/cm2 dan 1,0 mg/cm2. Selanjutnya untuk mematikan seluruh populasi larva uji diperlukan dosis 4 mg/cm2 dan untuk mematikan 95% populasi diperlukan dosis antara 1,0 mg/cm2 dan 2,0 mg/cm2. Pengujian hasil uji coba ini dilakukan dalam kondisi laboratorium. Pengujian lebih lanjut dilakukan pada lahan sawah seluas kurang lebih mencapai 900 m2; dibutuhkan sebanyak 27 gram konidiospora dengan takaran dosis rata-rata 300 mg konidiospora/m2. Parameter untuk mengetahui efektifitas dari konidiospora M. anisopliae dilihat dari populasi larva dan dewasa Anopheles aconitus hasil penangkapan sebelum dan sesudah aplikasi (tabel 3). Sedangkan untuk daerah kontrol (Kaliurip) pengukuran kerapatan populasi larva dan dewasa An. aconitus melalui masing-masing enam kali penangkapan (tabel 4). Sebelum aplikasi konidiospora, kerapatan populasi larva nyamukAn. aconitus di daerah perlakuan Rejasari rata-rata pada

Tabel 2.

Angka kematian (%) larva nyamuk Anopheles aconitus setelah melakukan kontak selama 48 jam dengan cendawan Metarhizium anisopliae secara kumulatif

Dosis (mg/cm2) Kontrol 0,125 0,25 0,5 1,0 2,0 4,0

Jumlah larva yang diuji

Jumlah larva yang mati

% Kematian (%)

110 100 103 104 101 101 110

0 28 35 44 62 96 110

0 28 35,7 44,6 62,5 96,6 100

Keterangan : Pengujian untuk setiap dosis dilakukan 4 kali ulangan.

setiap survai mencapai 14,4 ekor per ciduk. Kerapatan populasi tertinggi pada pengambilan sampel ke enam sampai mencapai 20,4 per ciduk, sedangkan kerapatan terendah pada pengambilan sampel ke lima dengan jumlah kerapatan populasi 6,8 perciduk. Setelah aplikasi spora dari cendawan M. anisopliae secara umum kerapatan populasi larva menurun dengan rata-rata menjadi 1,3 per ciduk pada setiap pengambilan sampel. Kerapatan populasi larva An. aconitus tertinggi diperoleh pada saat pengambilan Tabel 3.

sampel ke lima yaitu mencapai 2,53 per ciduk. Sebaliknya kerapatan populasi terkecil diperoleh setelah 2 minggu penebaran konidiospora yang hanya 0,53 larva per ciduk. Penangkapan nyamuk yang dilakukan dengan umpan orang di luar dan dalam rumah serta di sekitar kandang ternak yang berdinding diperlihatkan pada Tabel 3. Nyamuk An. aconitus yang ditemukan di daerah penelitian mempunyai sifat exophilik dan lebih menyukai darah hewan yang tergolong zoophilik. Kerapatan populasi nyamuk dengan umpan orang di luar rumah sebanyak 23 ekor sebelum aplikasi. Rata-rata yang diperoleh pada setiap periode penangkapan sebanyak 3,8 ekor. Kerapatan rata-rata per orang per jam pada setiap periode 0,24 ekor nyamuk yang menggigit di luar rumah. Kerapatan tertinggi ditemukan pada periode penangkapan ke 4 yaitu mencapai 1,5 per orang per jam. Sebaliknya terendah ditemukan pada penangkapan pertama dan ke 3 diperoleh 1,17 per orang per jam. Penangkapan umpan orang di dalam rumah hanya memperoleh 2 ekor yang menggigit orang dengan nilai kerapatan 0,17 per orang per jam. Hasil penangkapan nyamuk di sekitar kandang secara keseluruhan merupakan penangkapan yang paling banyak karena diperoleh kerapatan populasi rata-rata 25,4 nyamuk/orang per jam pada setiap

Jumlah dan kerapatan rata-rata larva dan dewasa An. aconitus sebelum dan sesudah penaburan spora dari cendawan M. anisopliae di desa Rejasari, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Jawa Tengah

Parameter

Sebelum penaburan spora

Sesudah penaburan spora

Periode penangkapan

Periode Penangkapan

No. Entomologi 1.

2.

3.

Kerapatan populasi larva An. aconitus per ciduk Kerapatan populasi dewasa per orang/ jam Penangkapan di luar rumah Penangkapan di dalam rumah Penangkapan di kandang

Tabel 4.

I

II

III

IV

V

VI

Jumlah rata-rata

I

II

III

IV

V

VI

Jumlah rata-rata

13,4

15,4

15,2

7,2

6,8

20,4

14,4

0,5

1,4

1,8

0,96

2,53

1,73

1,3

0,17

0,5

0,17

1,17

1,5

0,3

0,6

0

0

0,17

0

0,3

0

0,07

0,17

0

0,17

0

0

0

0,057

0

0

0,17

0

0,17

0

0,057

16

28,7

31,7

34,2

13,7

30

25,4

0,83

1,67

1,8

2,2

2,0

1,1

1,6

Jumlah dan Kerapatan rata-rata larva dan dewasa An. aconitus di daerah pembanding desa Kaliurip, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah Kerapatan populasi pradewasa dan dewasa An. aconites yang terkumpul pada setiap Parameter

Periode penangkapan

No.

- Periode Penangkapan

Entomologi 1. 2.

3.

Kerapatan populasi larva per ciduk Kerapatan populasi per orang/jam - Penangkapan di luarrumah - Penangkapan di dalamrumah Penangkapan di kandang

I

II

III

IV

V

VI

Jumlah rata-rata

I

II

III

IV

V

VI

Jumlah rata-rata

13,1

12,5

3,4

4,7

8,3

9,3

8,55

7,2

9,9

12,5

5,6

5,2

4,2

7,43

0

0,34

0,61

0

0,34

0,17

0,24

0,17

0,17

0,34

0

0,17

0,34

0,2

0,17

0

0

0

0

0

0,03

0,17

0

0

0,17

0

0

0,06

30

31,8

14,8

13,2

19,3

19,2

21,4

18,3

22,1

32

31,3

15,2

22,1

23,5

periode penangkapan. Penangkapan tertinggi diperoleh pada periode ke 4 dengan kerapatan populasi 34,17 per orang per jam. Sebaliknya kerapatan populasi terendah ditemukan pada penangkapan ke 5 sebanyak 13,7 nyamuk per orang per jam, sebelum aplikasi. Setelah aplikasi nyamuk yang berhasil dikumpulkan di sekitar kandang menurun jumlahnya karena hanya diperoleh 58 ekor di sekitar kandang. Rata-rata nyamuk yang tertangkap pada setiap periode hanya mencapai 1,6 per orang per jam. Kerapatan tertinggi ditemukan pada periode penangkapan ke 4 dengan rata-rata 2,17 nyamuk per orang per jam dan terkecil pada periode pertama dengan rata-rata 0,83 nyamuk per orang per jam. Penangkapan menggunakan orang di luar rumah relatif menurun dengan jumlah 3 ekor nyamuk dengan rata-rata 0,5 per orang per jam dari setiap periode penangkapan. Kerapatan populasi tertinggi ditemukan pada periode penangkapan ke 5 dengan rata-rata 0,3 per orang per jam. Sebaliknya penangkapan nyamuk di dalam rumah dengan umpan orang diperoleh hanya 2 nyamuk selama 6 kali penangkapan yaitu pada periode penangkapan ke 2 dan ke 5 dengan kerapatan 0,17 nyamuk per orang per jam. Hasil penangkapan nyamuk dan larva di daerah kontrol pada setiap periode tidak mengalami penurunan populasi yang berarti. Pengumpulan larva selama 12 kali di desa Kaliurip memperoleh kerapatan larva tertinggi pada periode pertama mencapai 13,1 larva per ciduk per orang dan terendah pada periode ke 3 hanya 3,4 larva per ciduk per orang (tabel 4). Hasil penangkapan nyamuk An. aconitus di luar dan dalam rumah serta di sekitar kandang ternak terlihat pada Tabel 4. Penangkapan nyamūk di luar rumah diperoleh dengan umpan orang sebanyak 13 ekor dan di dalam rumah 3 ekor. Sedang penangkapan di sekitar kandang ternak tertinggi 31,7 per orang per jam dan terendah sebanyak 22 ekor per orang per jam. PEMBAHASAN Hasil pengujian Metarhizium anisopliae terhadap larva nyamuk Anopheles aconitus disajikan pada tabel 3. Hasil pengujian menunjukkan bahwa dalam waktu 48 jam pada dosis terendah 0,125 mg/ctri2 dapat membunuh larva 28%. Berdasarkan hasil analisis persamaan regresi yang diperoleh Y = 36,61 + 18,9 X, maka untuk mematikan separuh populasi larva An. aconitus (LD 50) diperlukan dosis 0,71 mg/cm2. Selanjutnya untuk mematikan 95% populasi larva yang diuji (LD 95) diperlukan dosis 3,085 mg/cm2 (Gambar 3). Pada dosis paling tinggi yaitu 1,6mg/cm2 semua larva uji ditemukan mati (100%). Kejadian ini berbeda dengan perlakuan pada larva Cx. p. quinquefasciatus; untuk LD 50 diperlukan dosis 6,15 mg/250 ml air dan LD 95 diperlukan dosis 20,13 mg/250 ml air dengan formulasi spora dicampur tepung jagung(6): Tampaknya larva An. aconitus lebih rentan dibandingkan dengan larva Cx. p. quinquefasciatus, karena untuk mematikan 50% dan 95% populasi larva An. aconitus dosisnya lebih rendah dibandingkan pada Cx. p. quinquefasciatus. Pengamatan lain di laboratorium dengan menggunakan spora kering yang dijadikan suspensi kering dengan teknik standar bioassay ternyata dapat

Gambar.3. Grasik angka kematian kumulatif larva An. aconitus yang diperlakukan dengan berbagai dosis konidiospora dari cendawan Metarhizium di laboratorium.

mematikan 95% sampai 98% larva Cx. p. quinquefasciatus setelah kontak 48 jam, pada konsentrasi 10 ppm atau 0,02 mg/ cm2(7). Kerapatan populasi larva An. aconitus sebelum aplikasi konidiospora rata-rata pada setiap pengambilan sampel mencapai 14,4 per ciduk per orang sehingga populasi tampak tinggi. Namun setelah dilakukan aplikasi di daerah perlakuan (Rejasari), menurun sangat tajam hanya 1,3 per ciduk per orang (Gambar 4). Kejadian ini didukung hasil pen gamatan di daerah pembanding (Kaliurip), kerapatan larva An. aconitus pada setiap pengambilan tetap stabil. Rata-rata kerapatan yang diperoleh setiap periode pengambilan 7,85 per ciduk/orang (Gambar 4). Perubahan penurunan terlihat jelas dari rata-rata 20,1 larva/ ciduk/orang menjadi 0,5 larva/ciduk/orang pada penangkapan pertama setelah aplikasi yang diikuti perkembangan selanjutnya berfluktuasi. Penaburan konidiospora pada habitat larva An. aconitus memberikan pengaruh terhadap kerapatan populasi di daerah perlakuan, dibandingkan daerah kontrol. Penelitian serupa namun berbeda jenis larvanya, yaitu An. gambiae, An. rufipes dan An. fumestus, penggunaan dosis 600 mg konidiospora/m2 terhadap larba An. freebarni telah dapat mematikan secara efektif(5). Ditinjau dari kerapatan menggigit nyamuk An. aconitus dengan umpan orang di dalam dan luar rumah di daerah perlakuan dan pembanding, nampaknya nyamuk An. aconitus lebih menyukai menggigit orang di luar rumah (exophilik). Jumlah rata-rata nyamuk yang menggigit di luar rumah (MBR) sebelum aplikasi dari setiap penangkapan 0,6 nyamuk/orang/jam, jumlahnya menurun setelah aplikasi menjadi 0,07 nyamuk/orang/ jam. Penurunan populasi secara umum pada setiap periode penangkapan mencapai 11 kali lipat. Di daerah pembanding pada setiap penangkapan di luar rumah diperoleh rata-rata 0,2 nya-

lakuan mencapai 25 ekor/orang/jam sebelum aplikasi. Namun sesudah aplikasi jumlahnya menurun menjadi 1,6 ekor perorang perjam. Di daerah pembanding keadaan kerapatan populasi nyamuk An. aconitus di sekitar kandang diperoleh rata-rata setiap periode penangkapan 22,5 nyamuk per orang perjam. Kejadian ini jauh berbeda dengan daerah perlakuan di mana kerapatan populasi menurun dengan tajam di daerah perlakuan pada saat penangkapan I, kemudian penangkapan selanjutnya terus menurun (Gambar 5). Ternyata penurunan kerapatan populasi larva di daerah perlakuan akan diikuti juga penurunan dewasa baik pada umpan orang maupun nyamuk yang ditangkap sekitar kandang. Kejadian ini sesuai dengan penggunaan M. anisopliae, formulasi tepung ditambah tanah ternyata dapat menghambat pertumbuhan Cx. p. quinquefasciatus selama 6 hari sebaliknya dengan formulasi spora dicampur tepung jagung dapat menghambat 16 hario). Sedang pada An. aconitus dengan menggunakan campuran konidiospora dengan tepung jagung 88% populasi larva turun drastis. Periode pengambilan sampel larva Gambar 4. Graft kerapatan populasi larva An. aconitus setelah dan sebelum pemberian konidiospora M. anisopliae di daerah perlakuan dan pembamding.

KESIMPULAN 1) Untuk mematikan separuh populasi larva An. aconitus (LD50) diperlukan dosis 0,71 mg/cm2 dan untuk mematikan 95% populasi larva (LD95) dibutuhkan dosis 3,085 mg konidiospora/cm2 pada kondisi laboratorium. 2) Larva An. aconitus sangat sensitif terhadap konidiospora Metarhizium anisopliae. 3) M. anisopliae dengan dosis 300 mg konidiospora/m2 telah mampu menekan populasi larva An. aconitus sebesar 88% di lingkungan persawahan. 4) Faktor biotik dan abiotik yang terdapat di lingkungan persawahan lebih menunjang kelangsungan hidup agen, karena cendawan ini dapat berperan sebagai saprofit. KEPUSTAKAAN 1.

Periode penangkapan nyamuk

2. 3. 4.

Gambar 5. Grafik kerapatan populasi nyamuk An. aconitus setelah dan sebelum pemberian konidiospora M. anisopliae di daerah perlakuan dan pembanding.

muk/orang/jam (Gambar 5). Pada penangkapan nyamuk di sekitar kandang ternak di kedua lokasi terlihat ada perbedaan antara daerah perlakuan dan daerah pembanding. Pada daerah perlakuan populasi nyamuk yang tertangkap disekitar kandang mengalami penurunan rata-rata yang tertangkap di daerah per-

5. 6. 7. 8.

Van Lenteren JC. Evaluation, mass production, quality control and release of entomophagous insect. Dalam: J. Franz ed. Biological plant and health protection. Stuttgart, New York: Gustav Fisher Verlag. 309 hal. Zimmermann G. Insect pathogenic fungi as pest control agents. Dalam: J. Franz ed. Biological plant and health protection. Stuttgart, New York: Gustav Fisher Verlag. 309 hal. WHO. Biological control of vectors of disease. Tech Rep Ser 679. 1982. Geneva. 39 hal. Cole TG, Kendrick B. Biology of conidial fungi. New York, Toronto, Sydney, San Fransisco: Academic Press. vol 2. 1981. Washino RK, Feterlasko. Field test with Metarhizium anisopliae a fungal pathogen of mosquito. Mosq Contr Resch Ann Rep. University of California. 1980. Amrul Munif, Mardiana, Eny WL. Pengaruh Metarhizium anisopliae terhadap pertumbuhan populasi larva nyamuk Cx. p. quinquefasiatus. Majalah Kesehatan Masyarakat. 1992. Th XX. no 7. 5 hal. Mula MS, Darwazeh. Mosquito control with Metarhizium. Mosq Contr Resch Ann Rep. University of California. 1980.68–70. WHO. Metarhizium anisopliae. Data sheet on Biological Control. Agent. WHO/VBC/80. 758. ; 1 - 9.

Prevalensi Cendawan Patogen pada Larva Nyamuk Vektor Malaria sebagai Dasar Pengendali Hayati Amrul Munif Pusat Penelitian Ekologi Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Telah dilakukan pemeriksaan cendawan patogen pada berbagai instar larva nyamuk Anopheles spp. dari dua kondisi perairan yang berbeda terletak di Bogor dan Indramayu. Selama penelitian telah diperiksa sebanyak 971 larva Anopheles spp. yang dibedakan menurut instar larva dan pupa. Pemeriksaan dilakukan dengan menggerus dan memupuknya dalam agar dekstrosa Sabouraud yang umum digunakan untuk pemeriksaan cendawan. Dari sampel larva dan pupa diperoleh 56 isolat yang terdiri dari 36 genus cendawan yang berbeda sebaran maupun frekuensinya tergantung pada aktifitas instar dan kondisi perairannya. Tingkat infestasi antar instar larva Anopheles spp. menunjukkan perbedaan yang nyata. Prevalensi cendawan pada Anopheles spp. asal sawah mencapai 67,9%, lebih tinggi dibandingkan asal goba yang hanya 32,1%. Sedangkan prevalensi cendawan pada instar larva Anopheles berbeda nyata antara instar II (30,4%) dan III (30,4%) dibandingkan instar I (16%), IV (4,3%) dan pupa (8,9%) pada tingkat kepercayaan a = 0,05. Cendawan yang terbanyak ditemukan pada semua instar dan kedua kondisi perairan adalah Aspergillus spp., Blastomyces spp., Botriotrichum spp., dan Penicillium spp. Sedangkan cendawan yang telah dikenal sebagai pengendali hayati ditemukan dalam jumlah kecil yaitu di antaranya Beauveria spp., Coelomomycetes, Entomophthora sp, Lagenidium sp. dan Metarhizium sp, yang hidup hanya di perairan tertentu.

PENDAHULUAN Di Indonesia penyakit malaria merupakan problem kesehatan masyarakat karena kerugian yang diakibatkan oleh penyakit ini terlihat pada kehidupan masyarakat di sekitar daerah endemik. Malaria pernah mencatat 30 juta jumlah penderita dengan 120.000 kematian, sebelum dilakukan program pemberantasan malaria. Bahkan di dunia akhir-akhir ini penderita penyakit malaria diperkirakan mencapai 300 juta dan 1– 2 juta penderita mengalami kematian. Setelah dimulainya kegiatan pengendalian vektor sejak 1919, maka angka kesakitan menurun dengan nyata menjadi 116.010 orang penderita positif malaria pada tahun 1987(1).

Strategi penanggulangan penyakit ini menitik beratkan pada pemutusan rantai penularan penyakit, dengan menekan serendah-rendahnya jumlah penderita dan menurunkan jumlah populasi vektor sampai batas yang tidak merugikan. Usaha penanggulangan penyakit ini telah dilakukan dengan cara pengobatan penderita dan pengendalian vektor. Namun dari kedua cara ini ditemukan berbagai hambatan baik pada vektor, inang maupun pada agen penyakit. Bahkan dinyatakan selama dua dasa warsa terakhir upaya pengendalian malaria kurang berhasil(2). Pelaksanaan pengendalian vektor dengan penggunaan pestisida banyak menimbulkan masalah di antaranya meningkatkan resistensi, pencemaran lingkungan, keracunan, kematian makhluk

bukan sasaran dan residu sehingga mengnambat usaha-usaha penanggulangan penyakit. DDT merupakan insektisida utama yang digunakan untuk program pemberantasan malaria di Indonesia sejak tahun 1957. Kemudian pada tahun 1973 telah diketahui terjadinya resistensi pada nyamukAn. aconitus hampir di seluruh daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat. Di sisi lain plasmodium resisten terhadap obat-obatan tertentu, salah satu di antaranya khlorokuin(1). Dengan timbulnya masalah baru akibat penggunaan pestisida untuk-penanggulangan vektor, dipandang perlu untuk melakukan penanggulangan tanpa pestisida, melainkan secara fisik atau biotik. Beberapa tahun terakhir ini metode pengendalian dengan menggunakan agen biotik telah banyak dikembangkan dan mendapat perhatian di beberapa negara maju. Beberapa musuh alami vektor yang telah dicoba di laboratorium maupun di lapangan di antaranya adalah bakteri, nematoda, protozoa, virus, ikan, serangga predator dan cendawan patogen(3). Cendawan yang dikenal sebagai pengendali biotik tersebar di beberapa negara terutama di daerah tropik dan subtropik. Rippon (1974) menyatakan bahwa cendawan mempunyai afinitas terhadap inang tertentu yaitu dapat hidup pada hewan, manusia, di tanah dan perairan serta banyak sekali sebagai saprofit(4). Cendawan yang menginfestasi binatang disebut zoofilik sedangkan cendawan yang habitatnya di tanah disebut geofilik. Di lingkungan air payau dan tawar telah ditemukan berbagai cendawan yang dapat diisolasi dari jentik antara lain Beauveria spp., Entomophthora spp., Metarhizium spp., Coelomomyces spp., Culicinomyces spp. dan Lagenidium spp.(5). Cendawancendawan ini telah banyak dicoba di laboratorium maupun lapangan untuk melihat keefektifannya. Bahkan secara besarbesaran cendawan telah digunakan dalam penanggulangan serangga hama di Brazil(6). Cendawan yang hidup di air payau dan tawar mampu membunuh larva; 90% populasi larva mati akibat terserang cendawan. Kematian ini disebabkan karena kerusakan lemak tubuh dan jaringan yang esensial untuk pertumbuhan mencapai dewasa(7). Mekanisme secara mendalam tentang infeksi dan sebaran spora cendawan masih belum banyak diketahui. Cendawan patogen menyebabkan inang mad dengan cepat akibat penembusan dan perkembangbiakan cendawan di dalam tubuh inane). Kematian ini disebabkan hilangnya nutrisi pada haemolim atau sari pada jaringan juga disebabkan pelepasan toksin dari cendawan-cendawan Beauveria, Metarhizium dan Entomophthora. Cendawan ektoparasit seperti Laboulbeniales, Termitaria, Antennopsis dan Coreomycetopsis, dapat menghambat aktifitas inang yang akan menyebabkan berkurangnya tenaga tetapi tidak menyebabkan kematian yang cepat(7). Di Indonesia penelitian mengenai cendawan pada larva nyamuk sebagai dasar pengendali hayati belum pernah dilakukan. Sehubungan dengan uraian di atas dan belum adanya informasi mengenai sebaran cendawan pada larva Anopheles di berbagai habitat maka perlu dilakukan penelitian tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penanggulangan penyakit malaria dengan cara biotik/hayati. BAHAN DAN METODA

1. Lokasi dan Waktu Penelitian A. Daerah Persawahan Larva Anopheles yang hidup di persawahan diambil dari daerah Situ Burung, Cikarawang Kabupaten Bogor. Daerah ini terletak pada ketinggian 325 m dari permukaan laut dengan kondisi lingkungan persawahan yang dikelola penduduk setempat. Pengambilan sampel larva dilakukan saat sawah telah dipanen dan masih ditemukan batang jerami padi yang terendam di air. Kedalaman air sawah pada tempat tersebut bervariasi dari mulai 6 cm sampai dengan 14 cm. Letak persawahan tidak jauh dari rumah penduduk, jarak sawah dengan kandang ternak kerbau kurang lebih 30 meter. Daerah persawahan lainnya yang diteliti adalah sawah yang telah dipanen banyak ditumbuhi gulma air Salvinia auriculata, juga terletak di Situ Burung. Kondisi air pada tipe sawah ini lebih keruh jika dibandingkan sawah dengan jerami padi. Fauna yang dijumpai pada perairan sawah meliputi larva udang, kopepoda, Cybister sp, nimfe capung dan larva Chaoborus. Kedalaman air pada setiap lokasi pengambilan larva bervariasi dari mulai 3 cm sampai dengan 16 cm, sinar matahari masih dapat menembus dasar sawah. B. Habitat Pantai Daerah pantai yang diambil sampelnya adalah Pantai Song yang terletak di Kecamatan Paoman, Kabupaten Indramayu. Daerah ini mempunyai ketinggian nol meter dari permukaan laut. Di tempat ini terdapat parit-parit dan empang ternak udang yang cukup luas. Hampir keseluruhannya terisi air payau, yang terkena langsung sinar matahari. Bagian tepi lagun ditumbuhi tanaman perdu dan lumut Enteromorpha serta Spirogira. Fauna yang ditemukan di perairan ini adalah tangau, larva udang, kopepoda, larva nyamuk dan ikan. Penelitian isolasi cendawan dilakukan di laboratorium Mikologi dan Laboratorium Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor serta Laboratorium Kesehatan Indramayu. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Februari 1990 dan berlangsung sampai dengan Mei 1990. 2. Cara Pengumpulan Larva Nyamuk Bahan larva nyamuk yang diperiksa diambil dari sawah dan goba, memakai alat penciduk; jumlah larva dihitung di setiap stasiun. Larva yang terkumpul dalam cidukan disaring dalam kantong net plankton nomer 25 dengan garis tengah lubang saringan 30 mikron agar larva instar I tidak lolos. Bagian dasar kantong net dihubungkan dengan botol sampel, larva dalam keadaan hidup. Botol sampel yang berisi larva dimasukkan ke dalam termos untuk diproses di laboratorium baik untuk membedakan instar maupun spesiesnya. Pengambilan sampel larva yang diperiksa pada setiap lokasi diulang sebanyak tiga kali. 3. Pengukuran Sifat-sifat Habitat Larva Pengukuran pH air dilakukan dengan mencelupkan kertas lakmus ke dalam air, setelah ditunggu 10 menit kemudian warna kertas lakmus ini dicocokkan dengan warna yang tertera pada label. Penentuan kadar garam dilakvkan dengan menggunakan

alat refraktometer tangan dengan kepekaan salinitas 0 – 100 permil. Pengukuran dilakukan pada setiap pengambilan sampel larva nyamuk di dua kondisi perairan. Selanjutnya ketinggian setiap lokasi penelitian diukur dengan altimeter, yang sebelumnya dicocokkan di daerah pantai.

telah diperoleh larva Anopheles sebanyak 359 ekor dengan kerapatan 3,6 ekor/dip. Distribusi instar larva yang ditemukan mempunyai jumlah serta kerapatan yang bervariasi (Tabel 1). Spesies larva Anopheles yang terkumpul dari habitat persawahan meliputi An. vagus, An. kochi, An. teselatus, An. aconitus dan An. barbirostris yang banyak dijumpai. An. barbirostris dan An. aconitus merupakan spesies yang dominan di daerah persawahan bertingkat di Jawa Barat (Munif, 1990). Selanjutnya pada tipe habitat air payau/goba diperoleh hanya satu spesies larva dari An. subpictus sesuai dengan yang dikemukakan Bonne-Webster (1953) bahwa larva An. subpictus selalu hidup di perairan payau yang tergenang. Jumlah larva yang terkumpul sebanyak 530 ekor dengan kerapatan 5,3 ekor/dip. Komposisi umur larva An. subpictus lebih banyak larva instar II dan IV (Tabel 1). Jumlah keseluruhan larva Anopheles yang diperiksa sebanyak 889 ekor dengan kerapatan 8,9 ekor/dip yang didominasi larva instar II.

4.

Cara Isolasi Cendawan dan Identifikasi Larva yang telah terkumpul dibedakan menurut spesies; kelompok larva ini dimasukkan ke dalam lima tabung reaksi menurut tingkat pertumbuhannya yaitu larva instar I, II, III, IV dan pupa. Larva digerus kemudian ditanam dalam cawan petri yang berisi agar Sabouraud. Biakan tersebut diperam pada suhu kamar selama satu sampai dua minggu, yang diletakkan dalam stoples tertutup kain kasa. Setelah koloni tumbuh, kemudian diisolasi ke dalam cawan petri yang berisi 30 ml agar Sabouraud. Isolat yang tumbuh diidentifikasi sampai ke genus berdasarkan sifat, bentuk koloni, bentuk spora, hife dan miselium(9,10,11).

2) Pengamatan sifat-sifat habitat Hasil pengamatan sifat-sifat habitat pada kondisi perairan di persawahan dan goba menuhjukkan adanya perbedaan komposisi biotik dan abiotik pada setiap lokasi. a. Habitat Persawahan Sawah yang ditemukan di daerah Situ Burung desa Cikarawang meliputi areal yang cukup luas dan merupakan sawahsawah yang berdekatan dengan pemukiman penduduk. Air di tempat ini diperoleh dari irigasi sepanjang musim dan terus menerus tersedia, maka penanamannya dikerjakan sepanjang tahun. Habitat sawah mencakup dua tipe kondisi yaitu pertama, sawah setelah dipanen dan masih ditemukan adanya jerami terendam di air selanjutnya disebut tipe I, dan ke dua sawah yang pada bagian permukaannya tertutup oleh gulma air Salvinia auriculata sehingga matahari tidak dapat tembus ke dasar sawah

5.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial dan sebagai perlakuannya instar larva serta tipe habitat. Bila ada perbedaan dilanjutkan ke uji beda nyata terkecil (BNT)(12). Sebaran cendawan dicerminkan dalam besarnya prevalensi cendawan pada setiap instar dan frekuensi cendawan pada larva di berbagai tipe habitat. HASIL DAN PEMBAHASAN 1) Distribusi dan kerapatan relatif populasi larva Anopheles Distribusi dan kerapatan relatif populasi larva Anopheles mempakan salah satu faktor pendukung keberadaan cendawan di perairan. Di daerah persawahan selain terkumpul larva Culex,

Tabel 1. Distribusi dan kerapatan berbagai instar larva nyamuk Anopheles yang terkumpul dari dua kondisi perairan Jenis larva nyamuk Anopheles dari instar Lokasi

Tipe habitat

Tanggal

I a

Bogor

Sawah I

II b

a

III b

a

IV b

Pupa

a

b

a

0,2

3

b

Total a

14-3-90

6

0,6

14

1,4

22

0,2

20

21-3-90 28-3-90

22 7 35 5 14 2 21 56

0,22 0,07 0,35 0,05 0,14 0,02 0,2 0,6

45 13 72 7 13 8 28 100

0,5 0,1 0,7 0,7 0,1 0,08 0,3 1

31 9 62 6 26 8 40 102

0,3 0,09 0,6 0,06 0,3 0,08 0,4 1,0

16 0,2 6 0,06 120 6 0,06 2 0,02 37 42 0,4 11 0,1 222 8 0,08 2 0,02 28 12 0,1 4 0,04 69 11 0,1 11 0,1 40 31 0,3 17 0,2 137 73 0,7 28 0,3 359

Jumlah

b

0,03 65 0,65 1,2 0,4 2,2 0,3 0,7 0,4 1,4 3,6

Sawah II

14-3-90 21-3-90 28-3-90

Goba

27-4-90

29

0,3

46

0,5

28

0,3

54

0,5

9

0,09 166 1,7

4-5-90 11-5-90

25 35

0,3 0,4

52 60

0,5 0,6

54 33

0,5 0,3

58 39

0,6 0,4

8 0

0,08 197 1,9 0 167 1,7

Jumlah

89

0,9 156 1,6 115 1,2 151 1,5

17

0,2 530 5,3

Total

145 1,5 256 2,6 217 2,2 224 2,2

45

0,5 889 8,9

Jumlah Sawah keseluruhan Indramayu

Keterangan : a = Jumlah larva nyamuk yang terkumpul b = Jumlah rata-rata larva per dip.

selanjutnya disebut tipe II. Pengukuran sifat-sifat abiotik pada setiap habitat berupa pH, salinitas dan kedalaman dilakukan pada setiap stasiun pengambilan sampel larva. Pada tipe habitat I rata-rata pH = 6, salinitas 0‰. Kedalaman air rata-rata pada saat pengambilan sampel untuk tipe habitat I berkisar antara 7 – 15 cm dan warna airnya jernih. Tepi tanggul ditumbuhi vegetasi berupa tegakan pohon pisang, tanaman perdu dan pohon kelapa. Gulma air yang ditemukan pada Sipe habitat I adalah lumut air Spirogira dalam jumlah relatif sedikit. Hewan yang ada pada saat pengambilan sampel adalah Tubifex, larva udang, nimfe capung dan ikan. Pada tipe habitat sawah II, pH rata-rata = 6, salinitas 0‰, kedalaman air antara 8 – 11,5 cm dengan warna air keruh. Di sini terdapat tegakan pisang, pohon perdu dan permukaan air tertutup gulma Salvinia auriculata dengan sedikit Spirogira. Hewan air yang dijumpai yaitu larva udang, ikan kecil, kecebong dan nimfe capung terbanyak. 3) Prevalensi Cendawan Dari larva Anopheles asal kedua tipe habitat telah berhasil diisolasi sebanyak 56 isolat terdiri dari 36 genus cendawan (Tabel 3). Dari habitat persawahan sebanyak 38 isolat (67,8%) dan habitat goba 18 isolat (22,2%). Kenyataannya cendawan yang menginfestasi persawahan dua kali lipat lebih tinggi dengan larva asal goba. Untuk mengetahui letak dan besarnya perbedaan antara perlakuan tipe habitat dan instar larva tersebut dapat dilanjutkan dengan bantuan uji beda nyata terkecil (Tabel lampiran 2). Infestasi di antara instar larva Anopheles menunjukkan perbedaan yang nyata (α = 0,05) (Tabel lampiran 1). Prevalensi infestasi pada larva Anopheles yang hidup di sawah lebih tinggi dibanding dengan yang ada di goba. Kualitas fisik dan kimia air memberikan pengaruh cukup besar terhadap keberadaan cendawan pada inang maupun lingkungan yang sesuai untuk perkembangannya. Di persawahan selain keanekaragaman larva, dijumpai banyak sekali bahan organik baik dari serasah, batang tanaman biji padi, daun-daunan kering yang dapat dimanfaatkan sebagai sumberkehidupan cendawan. Cendawan saprofit maupun parasit akan memanfaatkan bhan organik dalam jumlah kecil di goba. Konidia Culicinomyces dapat bertahan selama 30 hari untuk membunuh larva Ae. aegypti sebesar 85% sampai 100%, dengan medium buatan terdiri dari partikel garam, daun kering dan sedimen. Sedangkan menggunakan medium buatan terdiri dari garam kasar serta halus, daun, ranting dan sedimen, konidia hanya mampu bertahan satu minggu dan angka kematian terhadap Cx. p. quinquefasciatus berkisar antara 10% sampai 83%(13). Ternyata serasah dan kadar garam mendukung kehidupan cendawan tertentu. Selain itu juga keadaan pH air di sawah tidak berbeda jika dibandingkan dengan goba yang mencapai pH = 6 serta salinitas 30%0. Kejadian ini akan menyebabkan adanya perbedaan kandungan cendawan di setiap tipe habitat. Konsentrasi ion hidrogen mempunyai pengaruh penting terhadap kehidupan dan produksi zoospora Lagenidium(14), karena zoospora dapat menginfeksi larva pada pH 9 4,5 sampai 8,4 dalam kondisi laboratorium. Bahkan konsentrasi NaC15 gram/1

akan menahan produksi zoospora. Faktor abiotik lainnya adalah temperatur air yang berpengaruh terhadap pembentukan konidia. Beauveria mampu melangsungkan kehidupannyapada suhu 10° sampai 25°C. Suhu air 42°C akan mengakibatkan kematian separuh dari populasi cendawan yang ada setelah 30 menit. Sebaliknya Leptolegnales akan menjadi virulen pada suhu air 28°C dan tidak mampu menginfeksi lainnya apabila keadaan suhu air melebihi 30°C. Jelaslah perbedaan susunan biotik dan abiotik di suatu habitat akan mempengaruhi kandungan cendawan. Pada Tabel 2 disajikan prevalensi isolat pada berbagai instar larva dan pupa Anopheles yang berasal dari kedua tipe habitat. Prevalensi di sawah dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan goba. Tabel 2.

Habitat

Prevalensi Cendawan pada berbagai Instar Larva Anopheles pada dua Tipe Habitat(1) Prevalensi cendawan pada instar

Jumlah isolat

I

II

III

IV

Pupa

a

Sawah 38(67,9%) 5 (13,2%) 10 (26,3%) 13 (34,2%) 6 (15,8%) 4 (10,5%) Goba 18(32,1%)b 4 (22,2%) 7 (38,9%) 4 (22,2%) 2 (11,1%) 1 (5,6%) Jumlah 56 (100%) 9 (16,1%)d 17(30,4%)c 17(30,4%)e 8 (14,3%)d 5 (8,9%)d i) Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata pada taraf α = 0,05.

Infestasi cendawan pada berbagai instar larva Anopheles berbeda .nyata. Hasil uji pembandingan antar instar Anopheles pada tingkat kesalahan = 0,05 menunjukkan besarnya perbedaan pengaruh yang nyata pada instar II dan III dibanding instar I, N dan pupa (Tabel lampiran 2). Angka prevalensi tertinggi ternyata ada pada instar II dan III, masing-masing sama besarnya yaitu 30,4%. Kemudian disusul larva instar I mencapai 16,1% dan instar IV sebesar 14,3% sedangkan pupa paling kecil hanya mencapai 8,9%. Keadaan ini sesuai dengan penelitian Umphlett (1969) yang mendapatkan nilai persentase infeksi Coelomomyces terhadap larva instar IV dan III di antara 790% sampai 50% dan selalu rendah pada instar I dan II, hanya mencapai 10,5%(15). Kemungkinan tingginya nilai prevalensi pada larva instar II dan III, disebabkan adanya aktifitas ruang gerak di dalam air. Larva ini mempunyai aktifitas ruang gerak di dalam air yang lebih luas dibandingkan dengan larva instar I sehingga peluangnya lebih mudah terkena cendawan. Larva selalu beristirahat dengan menempelkan tubuhnya pada subtrat yang ada di sekitarnya. Subtrat ini biasanya terdiri dari ranting, daun-daun yang kering dan bahkan gulma air. Keseluruhan subtrat ini merupakan tempat perkembangbiakan cendawan saprofit. Peluang ini lnemungkinkan larva terinfeksi cendawan dari Deuteromycetes. Karena kelompok Deuteromycetes ini selalu berkembang biak pada bahan organik, cendawan tersebut hidup sebagai saprofit serta parasit(16). Pada Tabel 3 terlihat bahwa angka frekuensi cendawan pada berbagai instar larva dan pupa Anopheles paling besar ditemukan pada Aspergillus spp. dengan angka frekuensi 0,89. Aspergillus spp. ini tersebar pada seluruh instar larva dan pupa di seluruh habitat. Blastomyces, Botriotrichum sp dan Penicillium spp.

mempunyai angka frekuensi 0,33 sedangkan genus lainnya mempunyai angka sangat rendah, antara 0,11 sampai 0,22 angka frekuensi paling rendah ini menunjukkan cendawan hanya ditemukan pada salah satu instar atau satu habitat. Penicillium spp. dan Botriotrichum spp. merupakan cendawan saprofit serta parasit, keduanya selalu ditemukan secara luas pada berbagai subtrat. Kejadian ini berhubungan dengan tipe habitat larva yang tersebar di sawah. Peristiwa ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Samson et al (1984)(17). Frekuensi yang tinggi dari genus cendawan tertentu pada inang larva Anopheles disebabkan oleh beberapa faktor pendukung. Faktor pendukung in i berpengaruh terhadap proses berlangsungnya kehidupan cendawan di suatu tempat inangnya terhadap cara penyebaran cendawan itu. Ketahanan hidup, adaptasi terhadap inang yang tinggi dan sebaran spora secara luas baik di udara maupun perairan menyebabkan tingginya frekuensi cendawan tersebut(9,17). Tabel 3.

Genus Cendawan yang Berhasil Diisolasi dari Larva dan Pupa Anopheles di Kedua Habitat Genus Cendawan

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.

Aspergillus spp. Basidiobotrys sp. Beauveria spp. Blastomyces spp. Botriotrichum sp. Cladosporium sp. Cunninghamella sp. Coelomomyces sp. Conidiobolus sp. Chalaropsis sp. Dendrospora sp. Entomophthora sp. Epidermophyton spp. Fusarium spp. Fonsecaea sp. Glomerularia sp. Gliocladium sp. Helicosporium sp. Helminthosporiumsp. Lacellina spp. Lagenidiumsp. Leptographium sp. Monillia spp. Mucorsp. Metarhizium sp. Paecilomyces sp. Phialophora spp. Penicillium spp. Scopulariopsis spp. Stachylidium sp. Speira spp. Syncephalastrum sp. Streptomyces sp. Trichocladiumsp. Trichophyton sp. Verticulum sp.

Habitat

Instar

Frekuensi

Sawah, Lagun Sawah Sawah Lagun, Sawah Sawah Sawah Lagun Lagun Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Lagun Sawah Sawah Sawah Lagun Lagun Sawah, Lagun Sawah Lagun Sawah, Lagun Sawah Sawah Sawah Sawah Sawah Lagun, Sawah Sawah Lagun, Sawah Sawah Lagun Sawah Lagun Sawah

1, 2, 3, 4, P 1, 2 1, 2 1, 2, 3 1, 2, 3 1 2 ;4 2 3 3, 4 3 1, 2 2, 3 4 4 3 3 3 2, p 3 1 2, 3 2 3 2 2, 4 2, 3, p 2, 4 3 3, 4 2 1 3 1 3

0,89 0,11 0,22 0,33 0,33 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,22 0,11 0,22 0,22 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11 0,22 0,11 0,11 0,22 0,11 0,11 0,11 0,22 0,33 0,22 0,11 0,22 0,11 0,11 0,11 0,11 0,11

KESIMPULAN 1) Prevalensi cendawan pada larva asal sawah lebih tinggi dibandingkan larva Anopheles di goba. 2) Kondisi perairan sawah lebih mendukung keanekaragaman cendawan saprofit dari pada kondisi goba.

3) Instarlarva II dan III dari Anopheles lebih rentan dibandingkan instar lainnya. 4) Kerapatan populasi larva nyamuk tidak mempengaruhi keanekaragam genus cendawan di perairan. 5) Telah diketemukan cendawan yang telah dikenal sebagai pengendali hayati pada larva Anopheles di antaranya Beauveria, Lagenidium, Entomophthora, dan Coelomomyces. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.

Dep Kes RI. Ekologi Vektor dan Beberapa Aspek Perilaku. Dit. Jen. P2M dan PLP. Jakarta, 1987. WHO. Biological Control of Vectors of Disease. Tech Repr Ser 679. Geneva, 1982. 39 ha]. Brown H. Mosquitoes Control : some perspectives for developing countries. Washington: National Academy of Sciences. 1973. Rippon ZW. Medical Mycology. The Pathogenic Fungi and The Pathogenic Actinomycetes. Philadelphia: WB Saunders Co, 1974: 96. Brady BL. Fungi as Parasites of Insects and Mites. Commonwealth Institute of Biological Control. 1981. Zimmermann G. Insect Pathogenic Fungi as Pest Control Agents. Gustav Fisher Verlag Stuttgart. New York, 1986: 217-231. Cole TG, Kendrick B. Biology of Conidial Fungi. New York, Toronto, Sydney, Sanfransisco: Academic Press. Vol 2. 1981; 201-207. Briese DT. Host Resistance to Microbiol Control Agents. Biological Plant Pest and of Vectors of Human and Annal Diseases. Verlag. Stuttgart. New York: Gustav Fishers. 1986. Frey D, Oldfield RJ, Bridges RC. A Color Atlas of Pathogenic Fungi. Wolfe Medical Publications Ltd. Holland. 1979. Hazen EL, Reed FC. Laboratory Identification of Pathogenic Fungi Simplificel. Charles C. Thomas. Publisher Springfield. Illinois. USA. 1960. Weisler J. Guide to Field Determination of Mayor Groups of Pathogen Effecting Arthropod Vector of Human Disease. WHONBC/82. 860. 1982. Steel RCD, Tome JH. Principles and Procedures of Statistics. Singapore: McGraw Hill Book Co. 1981. Francis SP, Russell RC, Panter C. Persistence of The Mosquito Pathogenic Fungus Culicinomyces in Artificial Aquatic Environments. Mosquito News 1984; 44(3): 321-4. Ling AJ, Donaldson MD. Biotic and Abiotic Factors Affecting Stability of Beauveriabassiana Conidiain soil. J InvertebrataPathol 1981; 38:191-200. Umphlett CJ. Infection Levels of Coelomomyces punctatus an Aquatic Fungus Parasite in a Natural Population of the Common Malaria Mosquito Anopheles quadrimaculatus. J Invertebrate Pathol 1969; 15: 299–305. Willoughby LC. Pure Culture Studies on The Aquatic Phycomycetes, Lagenidium giganteum. Transactions of The British Mycological Society 1969; 52: 393–410. Samson RA, Hoekstra ES, Van Dorschot CAN. Introduction Food Borne Fungi. Institute of The Royal Netherlands. 1984.

Tabel Lampiran 1. Daftar sidik ragam untuk banyaknya instar Larva Anopheles yang Terinfeksi Cendawan pads kedua Tipe Habitat Sumber keragaman

Derajat bebas

Jumlah kuadrat

Kuadrat tengah

Tipe habitat Instar Interaksi Galat

1 4 5 20

13,334 20,134 5,999 30,000

13,334 5,034 1,199 15

Total

29

69,467

Fhit

F005

8,889* 5,034* 0,799

4,35 3,356 0,799

Keterangan Rata-rata yang terinfeksi antar tipe habitat berbeda nyata Rata-rata yang terinfeksi antar instar pada Anopheles berbeda nyata

Tabel Lampiran 2. Daftar uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dari Tipe habitat pengaruhnya Terhadap Cendawan yang menginfeksi Larva Anopheles

1. Tipe habitat BNT005 =



= 2,09

2. KT

= 2,09

2. (1,5)

2( db ) n 15 = 0,935 Xl = 38/15 = 2,5 X2 = 18/15 = 1,2 X1 – X2 = 2,5 – 1,3 * X1 = habitat sawah X2 = habitat lagoon 2. Instar menunjukkan pengaruh nyata X4 – X5 = 0,5 Xl – R5 = 0,7

X2 – X5=2,0* X3 – R5 = 2,0 * X1 – X4 = 0,2 X2 – X4 = 1,5 * X3 – X4 = 1,5 * X2 – X1 = 1,3* X3 – X1 = 1,3* X3 – X2 = 0 X5 X4 0,8 1,3

X1 1,5

Keterangan : XI, X2, X3, X4 = instar larva

X2 2,8

X3 2,8

Penelitian Pemberantasan Malaria di Kabupaten Sikka Penelitian entomologi-2 : tempat perindukan Anopheles sp. Sahat Ompusunggu*, Harijani A. Marwoto*, Sekar Tuti Sulaksono*, Soeroto Atmosoedjono**, Suyitno*** dan Moersiatno* * Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** NAMRU Jakarta *** Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka penelitian pemberantasan malaria di Kabupaten Sikka, Flores, salah satu aspek yang diteliti adalah tempat-tempat perindukan Anopheles sp. di daerah itu. Penelitian dilakukan sejak Mei 1990 sampai dengan November 1992, dengan cara mencari larva setiap bulan di seluruh tempat-tempat yang mungkin sebagai tempat perindukan nyamuk lalu larva yang ditemukan diambil dengan cidukan atau pipet sesuai dengan bentuk dan kedalaman tempat perindukan. Setiap larva stadium instar tiga dan empat yang ditemukan diidentifikasi lalu dihitung kepadatannya. Terdapat 10 species larva Anopheles yang ditemukan yaitu Anopheles sundaicus, An. subpictus, An. aconitus, An. barbirostris, An. maculatus, An. vagus, An. minimus, An. annularis, A. flavirostris dan An. indefinitus. Jenis-jenis tempat perindukan menurut ekosistim di daerah itu agak bervariasi, di pantai Utara hanya berupa lagun, di pedalaman bērupa sungai, sawah dan genangan sedangkan di pantai Selatan seluruh jenis tempat perindukan tersebut tersedia. Berdasarkan jumlah kepadatan larva, ternyata tempat perindukan utama jenis-jenis nyamuk tersebut adalah lagun untuk An. sundciicus, An. subpictus dan An. barbirostris, sawah dengan padi berumur 4 bulan untuk An. aconitus, sungai untuk An. maculatus, genangan untuk An. vagus sedangkan kepadatan species lainnya sangat rendah. PENDAHULUAN Sama seperti kebanyakan daerah lainnya di Indonesia, malaria di Nusa Tenggara Timur (NTT) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar, termasuk di Kabupaten Sikka. Pemberantasan malaria di daerah itu dilakukan dengan metoda pemberantasan yang sama dengan daerah Luar Jawa Bali lainnya, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan karena banyaknya hambatan yang dihadapi terutama kurangnya data epidemiologi malaria yang tersedia. Nusa Tenggara Timur terdiri atas pulau-pulau kecil yang Makalah ini telah dibawakan dengan judul: Tempat perindukan Anopheles sp. di Kab. Sikka, Flores pada Seminar Parasitologi Nasional VII dan Kongres P41 VI, Denpasar, 23–25 Agustus 1993.

ekologinya secara keseluruhan hampir sama. Kabupaten Sikka terletak di pulau Flores, salah satu pulau terbesar di propinsi itu. Di pulau-pulau yang agak besar, misalnya pulau Flores, terdapat sungai-sungai kecil yang dalam musim kemarau mengering sesuai dengan lamanya musim kemarau dan besarnya sungai. Biasanya bila musim kemarau sudah agak lama, arus sungai menjadi lemah, air laut bisa masuk ke dalam sungai dan akhirnya muara sungai tertutup pasir dan membentuk lagun. Tempattempat seperti ini potensial sebagai tempat perindukan nyamuk. Karena sungai-sungainya kecil, maka tepi-tepian sungai juga

berarus lemah dan bahkan kadang-kadang membentuk genangan-genangan air tertahan yang juga bisa sebagai tempat perindukan nyamuk. Beberapa sungai besar biasanya airnya mengalir sepanjang tahun yang memungkinkan tempat perindukan nyamuk yang relatif permanen. Mata pencaharian penduduk di daerah itu, sebagaimana umumnya di pedesaan, adalah bertani dan beternak tradisional kecil-kecilan dan sebagian lagi sebagai nelayan, terutama yang tinggal di tepi pantai. Berhubung dataran rendah umumnya sempit, maka sawah di daerah itu tidak begitu lugs dan merupakan kantong-kantong seluas beberapa hektar. Bentuk pertanian yang dominan adalah berkebun. Beberapa persawahan mendapat pengairan dari sungai yang relatif besar dan bisa ditanami sepanjang tahun. Persawahan seperti ini juga menjadi potensial sebagai tempat perindukan nyamuk sepanjang waktu. Beberapa penelitian yang pernah dilaporkan menunjukkan bahwa species nyamuk yang sudah dikonfirmasi sebagai vektor di NTT adalah Anopheles sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris(1,2), sedangkan yang diduga sebagai vektor adalah An. flavirostris, An. aconitus dan An. maculatus(1). Kisaran species vektor malaria di daerah itu, perilaku vektor baik perilaku berkembang biak, mencari darah, istirahat dan aspek-aspek epidemiologis lainnya belum banyak diketahui. Dalam rangka penelitian pemberantasan malaria di kabupaten Sikka, selama tahun 1990 – 1992 telah dilakukan penelitian pemberantasan malaria yang didahului dengan penelitian entomologis. Tulisan ini khusus mengemukakan tempat-tempat perindukan Anopheles sp. yang ada di daerah itu. METODOLOGI Lokasi penelitian adalah kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) meliputi 6 desa yang distribusinya disesuaikan dengan topografi ekologis daerah itu yaitu 2 desa di pantai Utara, 2 desa di pedalaman dan 2 desa di pantai Selatan. Keenam desa tersebut adalah desa Wairbleler dan Watumilok di pantai Utara, Tilang dan Koting A di pedalaman dan Mbengu serta Korowuwu di pantai Selatan. Penelitian dilakukan selama 31 bulan yaitu sejak Mei 1990 sampai dengan November 1992. Penangkapan larva dilakukan 1 kali tiap bulan di setiap desa. Setiap tempat yang mungkin sebagai tempat perindukan nyamuk diamati untuk menemukan larva; meliputi lagun, tepian sungai, persawahan, genangan-genangan air dan sebagainya. Berdasarkan jaraknya dari pantai, tempat perindukan yang berupa lagun (muara sungai kecil yang tertutup sehingga airnya tertahan dan merupakan campuran air tawar dan air laut) dibagi menjadi 0–10, 20–30 dan > 30 meter. Penentuan muara sungai sebagai lagun atau tidak didasarkan atas kadar garam air yang dikandungnya sehingga terhadap air muara sungai dilakukan pengukuran kadar garam. Berdasarkan umur padi, tempat perindukan yang berupa sawah dibagi atas umur 1, 2, 3 dan 4 bulan. Tempat perindukan berupa sungai dibagi atas air tertahan dan air mengalir. Bekas persawahan dan genangan di tanah disatukan sebagai genangan. Keadaan ekologis setiap tempat perindukan juga dicatat yang meliputi luas tempat perindukan, kebersihan air, ada tidaknya: bahan-bahan terapung, lumut dan sinar mata

hari langsung. Larva diambil dengan menggunakan ciduk. Jumlah cidukan setiap pengambilan pada setiap tempat perindukan sebanyak 10 cidukan bila jumlah larva cukup banyak atau 20 cidukan/bila jumlah larva sedikit. Setiap larva yang diambil langsung dipisahkan menurut kelompok jenis perindukan. Seluruh larva stadium instar 3 dan 4 langsung diidentifikasi di laboratorium sedangkan instar 1 dan 2 diusahakan meneruskan perkembangannya untuk selanjutnya diidentifikasi setelah mencapai instar 3. HASIL Jenis tempat perindukan di masing-masing desa dapat dilihat pada tabel 1. Terlihat bahwa tempat perindukan berupa lagun terdapat di kedua daerah pantai (baik Utara maupun Selatan), sawah terdapat di daerah pedalaman dan pantai sedangkan sungai hanya terdapat di daerah pedalaman. Tempat perindukan yang paling banyak jenisnya terdapat di daerah pantai Selatan (desa Korowuwu) sedangkan di daerah pantai Utara hanya lagun sebagai tempat perindukan nyamuk. Tabel 1.

Jenis-jenis tempat perindukan Anopheles menurut daerah ekosistim di kabupaten Sikka, Flores, Mei 1990-November 1992

Daerah ekosistim

Pantai Utara Pedalaman Pantai Selatan

Desa

Watumilok Wairbleler Koting A Tilang Korowuwu Mbengu

Lagun Sawah Sungai Genangan

+ + – – + +

– – – + + –

– – + + + –

– – – + + –

Keterangan : + = ada; – = tidak ada

Topografi setiap desa penelitian dan tempat perindukan adalah sebagai berikut : 1) Desa Watumilok: desa ini terletak di pantai Utara, berjarak kira-kira 6 km dari Maumere. Tempat perindukan nyamuk di desa ini hanya satu buah lagun yang merupakan muara sungai dengan luas maksimum 5 x 20 meter dan kedalaman maksimum 1 meter. Lagun ini lebih sering kering daripada mengalir. 2) Desa Wairbleler: desa ini juga terletak di tepi pantai Utara, berjarak kira-kira 12 km dari Maumere. Tempat perindukan yang ada hanya lagun (dua buah) dengan luas lagun yang di Timur maksimum 10 x 10 meter dan kedalaman maksimum 1 meter dan yang di Barat kira-kira 20 x 50 meter dengan kedalaman bisa sampai 3 meter. Lagun yang di Timur lebih sering kering dari pada mengalir sehingga lebih tepat disebut kali mati. 3) Desa Koting A: desa ini terletak di pedalaman, berjarak kira-kira 15 km dari Maumere. Tempat perindukan nyamuk di desa ini hanya sungai. Sungai di desa ini mengalir hampir sepanjang tahun dengan panjang sungai beberapa kilometer. 4) Desa Tilang: desa ini juga terletak di pedalaman, berjarak kira-kira 10 km dari Maumere. Tempat perindukan di desa ini lebih bervariasi yaitu berupa sawah, genangan dan sungai. Persawahan di pedalaman ini umumnya terletak di pinggiran sungai dengan luas hanya puluhan meter persegi dan dialiri oleh air

sungai. Beberapa sawah tadah hujan juga ada. Sungai yang ada di desa ini juga relatif mengalir sepanjang tahun. 5) Desa Korowuwu: desa ini terletak di pantai Selatan, berjarak kira-kira 25 km dari Maumere. Desa ini memiliki seluruh jenis tempat perindukan baik lagun, sawah, genangan maupun sungai. Lagun yang ada di desa ini hanya satu dan merupakan muara sungai satu-satunya yang ada di desa tersebut. Luas lagun ini bisa berubah-ubah sesuai dengan lamanya musim kemarau, namun bisa mencapai 200 x 100 meter. Air sungai tersebut relatif mengalir sepanjang tahun dan merupakan lanjutan dari sungai yang ada di desa Tilang. Sawah yang ada di desa ini relatif sempit, hanya berukuran 50 x 50 meter dan diairi oleh air sungai. 6) Desa Mbengu: desa ini juga terletak di pantai Selatan, berjarak kira-kira 35 km dari Maumere. Tempat perindukan di desa ini berupa dua buah lagun, dengan luas lagun Barat maksimum 10 x 2 meter dan kedalaman maksimum 1 meter. Lagun di sebelah Barat merupakan muara sungai mati. Lagun yang ada di sebelah Timur lebih luas dengan ukuran bias bisa mencapai 15 x 5 meter dan kedalaman kira-kira 1 meter. Lagun Timur ini juga merupakan muara sungai, namun sungai tersebut relatif lebih besar sehingga keberadaan lagun juga relatif lebih lama atau lebih jarang mengering. Sesuai dengan lamanya musim kemarau, luas. masing-masing lagun bisa bertambah kecil. Jumlah species Anopheles yang ditemukan selama penelitian ada 10 jenis (tabel 2). Terlihat bahwa hanya 2 species larva (Anopheles barbirostris dan Anopheles vagus) yang mempunyai seluruh jenis tempat perindukan, sedangkan species lainnya hanya memiliki satu atau dua jenis tempat perindukan saja. Tabel 2.

No

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tempat-tempat perindukan masing-masing species Anopheles di kabupaten Sikka, Flores, Mei 1990-November 1992 Species

Anopheles sundaicus An. subpictus An. aconitus An. barbirostris An. maculatus An. vagus An. minimus An. annularis An. flavirostris An. indefinitus

Keterangan; + = ditemukan larva;

Lagun Sawah Sungai Genangan

+ + – + – + – – + –

– – + + + + – + – +

+ + + + + + + – + –

+ – – + – + – – + –

– = tidak ditemukan larva

Frekuensi ditemukan dan kepadatan masing-masing species larva Anopheles menurut jenis tempat perindukan dapat dilihat pada tabel 3. Meskipun beberapa species, misalnya An. aconitus, An. barbirostris, An. maculatus dan An. vagus, mempunyai lebih dari satu jenis tempat perindukan, namun frekuensi ditemukan dan kepadatan larvanya tidak sama. Kepadatan tertinggi An. sundaicus terdapat pada lagun, demikian juga An. subpictus dan An. barbirostris juga pada lagun, An. subpictus pada sawah berumur 4 bulan, An. maculatus pada sungai, An. vagus pada genangan sedangkan 4 species lainnya lebih jarang ditemukan dengan kepadatan yang rendah. 'Larva An. sundaicus dan An. subpictus hampir selalu di-

temukan bersama-sama di lagun yang berjarak 0–10 meter dari pantai. Kondisi lagun pada saat-saat penemuan larva kedua species ini adalah sebagai berikut: lebih sering ditemukan di air bersih daripada di air kotor, hampir selalu ada algae, lebih sering dengan bahan-bahan terapung, hampir selalu ada sinar matahari langsung dan kadar garam air sangat bervariasi antara 2,2–30‰ untuk An. sundaicus dan 0,2–30%o untuk An. subpictus. Pada lagun yang berjarak lebih jauh dari pantai, kedua species ini lebih jarang ditemukan serta dengan kepadatan yang lebih rendah. Selain di lagun, larva An. sundaicus juga ditemukan pada genangan dan air sungai, yang berarti pada air tawar. Larva An. barbirostris lebih sering ditemukan di sungai yang mengalir dan lagun namun kepadatan di lagun lebih tinggi daripada di air sungai (mengalir). An. barbirostris ditemukan bersama-sama dengan An. sundaicus hanya di lagun yang berjarak 0–10 meter dari pantai saja, sedangkan di lagun yang berjarak lebih jauh dari pantai, species ini ditemukan tersendiri. Kadar garam lagun saat penemuan species ini berkisar antara 0,2–10,4%o. Selain jenis-jenis perindukan tersebut, An. barbirostris juga memiliki jenis perindukan lain seperti sawah dengan padi berumur 1 dan 4 bulan dan genangan sehingga species ini merupakan salah satu species Anopheles yang paling bervariasi tempat perindukannya di daerah itu. Larva An. aconitus hanya ditemukan di sungai dan sawah. Meskipun lebih sering ditemukan di sungai, namun kepadatan di sawah dengan padi berumur 4 bulan (4,75 larva/ciduk) lebih tinggi daripada.di air sungai tertahan (1,2 larva/ciduk). Di sungai mengalir larva species ini juga ditemukan, demikian juga di sawah dengan padi berumur lebih muda, namun lebih jarang dan dengan kepadatan larva yang lebih rendah. Larva An. maculatus hanya ditemukan di sungai saja, baik dengan air tertahan maupun air mengalir. Memang larvanya pernah ditemukan 1 kali di sawah dengan padi berumur 4 bulan di Korowuwu, namun kepadatannya sangat rendah. Salah satu species Anopheles lainnya yang kepadatan larvanya juga dominan di daerah itu, An. vagus, memiliki seluruh jenis pērindukan yang ada di daerah itu, jadi menyerupai An. barbirostris. Meskipun paling sering ditemukan di sungai tertahan, namun kepadatan tertinggi terdapat di genangan. Di lagun, larva species ini mampu hidup pada kadar garam antara 0,4–5,0‰. Adapun keempat species lainnya, An. minimus, An. annularis, An. flavirostris dan An. indefinitus sangat jarang ditemukan dan kepadatannya pun sangat rendah. Larva An. minimus hanya pernah ditemukan di sungai mengalir di Tilang, An. annularis hanya di sawah, An. flavirostris di sungai dan sawah dan An. indefinitus hanya di lagun. PEMBAHASAN An. sundaicus adalah vektor malaria di berbagai propinsi di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT)(1). Dalam rangkaian penelitian ini, species nyamuk ini juga positif mengandung sporozoit di pantai Selatan (desa Mbengu)(z). Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa An. sundaicus mempunyai tempat perindukan utama di pantai dengan air payau berkadar garam antara 12–18%o(1,3) atau dengan

Tabel 3.

Frekuensi (jumlah kali) ditemukan larva Anopheles dalam 30 kali pencarian dan kepadatannya menurut species, desa dan tempat perindukan di kabupaten Sikka, Flores, Mel 1990-November 1992

Desa dan tempat perindukan

Wairbleler : Lagun Timur : 0-10 M Lagun Barat : 0-10 M 10-20 M 20-30 M 30-40 M Watumilok : Lagun Timur : 0-10 M Lagun Barat : 0-10M Tilang : Sawah: 0-1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan Genangan Sungai : Mengalir Tertahan Koting A : Sungai : Mengalir Tertahan Mbengu : Lagun Timur : 0-10M 10-20 M Lagun Barat : 0-10 M 10-20 M 20-30 M 30-40 M Korowuwu : Lagun : 0-10 M Sawah: 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan Genangan Sungai: Mengalir Tertahan

A. sundaicus *Frek

5

A. subpictus

A. aconitus

A. barbirostris

A. macutalus

A. vagus

A. minimus

A. annularis

A. flavirostris

A. indefinitus

sKpd Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt Frek Kpdt t 3,4 6 2,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

6

2,9

6

9,2

0

0

3

0,95

0

0

1

0,15

0

0

0

0

0

0

0

0

0 0 0 3

0 0 0 0,65

0 1 1 4

0 0,1 0,15 2,65

0 0 0 0

0 0 0 0

2 2 0 1

0,3 1,3 0 0,3

0 0 0 0

0 0 0 0

1 1 0 4

0,2 0,1 0 5,9

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 1

0 0 0 0,15

4

2,05

4

2,35

0

0

1

1,5

0

0

4

6,15

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0 0 0 6

0 0 0 0 1,2

0 0 0 1 4

0 0 0 0,15 0,6

0 0 0 0 4

0 0 0 0 1,09

2 0 0 2 4

0,31 0 0 0,35 1,69

0 0 0 0 1

0 0 0 0 0,05

1 0 0 0 0

0,05 0 0 0 0

0 0 0 1 3

0 0 0 0,1 0,525

0 0 0 0 0

0 0 0 0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

3 2

0,3 0,35

1 0

0,075 0

5 1

1,75 0,5

6 3

1,7 04

0 0

0 0

0 0

0 0

2 0

0,3 0

0 0

0 0

0 10

0 10,83

0 9

0 5,36

3 0

0,325 0

2 1

0,075 0,1

4 0

0,55 0

4 4

0,5 1,65

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 1

0 1,0

2 6

2,7 1,85

2 5

1,3 1,25

0 0

0 0

0 1

0 0,25

0 0

0 0

0 1

0 0,15

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

0 0

4 3 2 2

4,9 1,25 0,25 0,225

2 2 2 1

3,3 0,85 0,3 0,1

0 0 1 0

0 0 0,1 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

1 0 0 3

0,15 0 0 1,05

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0 1 0 0

0 0,05 0 0

0 0 0 0

0 0 0 0

0

0

0

0

4

0,95

1

0,1

0

0

1

0,3

0

0

0

0

0

0

0

0

0 0 0 1 4

0 0 0 2,0 1,3

2

1,6

*Frek = frekuensi (jumlah kali) ditemukan; $ jumlah seluruh larva/cidukan);

kadar garam yang lebih tinggi antara 2-11%0@1. Penulis menemukan bahwa larva An. sundaicus masih mampu hidup pada kisaran kadar garam yang lebih lebar antara 2,2-30%o. Hal ini bisa merupakan petunjuk bahwa larva species ini mempunyai daya adaptasi yang lebih baik terhadap kadar garam air perindukannya. Adapun kondisi lain yang menguntungkan bagi larva jenis nyamuk ini dalam penelitian ini sama seperti yang disebutkan oleh peneliti lain, antara lain: sinar matahari langsung,

ada ganggang atau lumut, ada bahan-bahan terapung dan sebagainya. Di beberapa tempat seperti di Nias, dataran tinggi Karo dan danau Toba(5) telah-pernah dilaporkan bahwa tempat perindukan An. sundaicus bisa juga air tawar. Penelitian terakhir di pulau Batam juga menemukan tempat perindukan jenis nyamuk ini di air tawar di parit-parito1. Dalam penelitian inipun dijumpai hal yang sama dengan ditemukannya larva nyamuk ini di genangan dan air sungai, namun bukan di desa pedalaman (se-

perti yang di danau Toba dan Karo) melainkan di desa tepi pantai (seperti di Nias). Menurut Bonne-Webster dan Swellengrebel, di Indonesia nyamuk jenis ini lebih senang bertempatperindukan di air payau dan biasanya menghindari air tawar(6). Penulis juga menemukan hal yang sama sebab dilihat dari frekuensi penemuan maupun kepadatan larvanya, ternyata lebih tinggi di air payau dibanding di air tawar. Satu hal yang menimbulkan pertanyaan dalam rangkaian penelitian di kabupaten Sikka ini adalah bahwa nyamuk dewasa An. sundaicus belum pernah ditemukan positif sporozoit di pantai Utara yang larva maupun nyamuk dewasanya termasuk dominan dibanding species lain. Nyamuk dewasanya hanya positif di pantai Selatan dan bahkan pernah dua kali ditemukan positif sporozoit di daerah pedalaman (desa Tilang), adapun larvanya belum pernah ditemukan di daerah pedalaman. Ada kemungkinan bahwa nyamuk dewasa yang tertangkap dan positif sporozoit di pedalaman ini berasal dari pantai Selatan terbawa angin, sebab jarak antara desa Tilang dengan Korowuwu yang terletak di pantai Selatan hanya kira-kira 3 km. Dalam penelitian lain di Flores Barat, Lee dkk (1983) juga tidak menemukan jenis nyamuk ini positif mengandung sporozoit yang berarti tidak berperan sebagai vektor malaria di pantai Utara(7). Apakah species yang ada di pantai Utara dengan yang ada di pantai Selatan berlainan sibling, masih perlu pembuktian lebih lanjut. Sama halnya dengan An. sundaicus, An. subpictus juga merupakan vektor malaria di berbagai propinsi baik di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur(1). Dalam rangkaian penelitian inipun, jenis nyamuk ini juga terbukti mengandung sporozoit di pantai Utara (desa Watumilok)(2). Sebelumnya di kawasan lain pulau Flores (Robek) peneliti lain juga menemukan bahwa jenis nyamuk ini merupakan vektor malaria dan filaria (Wuchereria bancrofti)(7). Di pulau Timor (kabupaten Belu), yang bersebelahan dengan pulau Flores, An. subpictus juga telah terbukti sebagai vektor malaria(8). An. subpictus merupakan species yang sering ditemukan bersama-sama dengan An. sundaicus dan dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan air yang berbedabeda kadar garamnya(1). Dalam penelitian ini memang kedua species ini sering ditemukan bersama-sama dan bila An. subpictus ditemukan tidak bersama, kadar garamnya lebih rendah sehingga secara keseluruhan kisaran kadar garam air tempat perindukannya menjadi lebih lebar (0,2–30%o). Bone-Webster dan Swellengrebel mengatakan bahwa larva jenis nyamuk ini malah bisa hidup mulai dari air tawar hingga air payau yang berkadar garam hingga 8,6% atau lebih(3). Pada penelitian ini, pada saat-saat larva kedua species ini ditemukan bersama-sama, kepadatan An. sundaicus secara total lebih tinggi dari pada An. subpictus. Kepadatan ini berbeda dengan yang ditemukan di Sulawesi Selatan, dimana kepadatan An, subpictus jauh lebih tinggi dari pada An. sundaicus bila kedua species ini ditemukan bersama-sama(9). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis tempat perindukan sebab di Sulawesi Selatan jenis tempat perindukan kedua jenis nyamuk ini adalah kolam ikan berairpayau, sehingga jenis flora dan fauna lain yang mendukung atau menghambat pertumbuhan larvanya jugāmenjadi berbeda. Di Robek, kab. Manggarai, yang juga ter-

letak di pulau Flores, peneliti lain melaporkan bahwa selain di lagun, larva nyamuk ini juga ditemukan di sawah, rawa dan comberan yang ditumbuhi oleh tanaman air seperti eceng gondok(". Penulis belum pernah menemukan larva nyamuk ini di luar lagun dan sungai. Berbeda dengan dua species yang dibahas terdahulu, An. aconitus hanya terbukti sebagai vektor malaria di pulau Jawa saja, terutama di kawasan pedesaan(1). Dalam berbagai penelitian yang pernah dilakukan di pulau Flores, demikian juga dalam rangkaian penelitian ini, jenis nyamuk ini belum terbukti sebagai vektor malaria, namun di kabupaten Flores Timur telah terbukti sebagai vektor Wuchereria bancrofti(7). An. aconitus dalam penelitian ini ternyata mempunyai tempat perindukan yang kurang lebih sama dengan yang dinyatakan oleh peneliti-peneliti lain, yaitu di sawah dan sungai(1,3). Dalam penelitian ini, di antara kedua jenis perindukan tersebut, yang paling disenangi adalah sawah, sebab terbukti frekuensi penemuan maupun kepadatannya lebih tinggi di sawah daripada di sungai. Di sawah, larvanya ditemukan selama sawah ditumbuhi padi, namun kelihatannya ada sedikit variasi kepadatannya yaitu lebih tinggi di sawah yang ditumbuhi padi berumur tua (4 bulan) dan berumur muda (1 buIan) dibanding kelompok umur padi Iainnya. Selain terdapat di dataran rendah (desa Korowuwu), larva jenis nyamuk ini juga terdapat di dataran tinggi (desa Koting A dan Tilang) yang dengan demikian sama seperti yang dikatakan oleh BonneWebster dan Swellengrebel(3). Adapun An. barbirostris belum pernah terbukti sebagai vektor malaria di pulau Jawa, namun di Sulawesi, Irian Jaya dan NTT telah dinyatakan sebagai vektorm. Dalam rangkaian penelitian di kabupaten Sikka inipun, jenis nyamuk ini telah terbukti mengandung sporozoit di daerah pedalaman (desa Tilang dan Aebobo) dan pantai Selatan (desa Korowuwu)(2). Di kawasan lain pulau Flores, sebelumnya telah terbukti pula An. barbirostris mengandung sporozoit(8). Di samping sebagai vektor malaria, An. barbirostris juga berperan sebagai vektor B. malayi periodik nokturna di Sulawesi (Selatan dan Tengah)(11) dan Brugia timori(12). Publikasi yang ada selama ini menyebutkan bahwa tempat perindukan jenis nyamuk ini adalah air tawar, baik berupa sawah, sungai berarus pelan, kolam atau jenis lain dan air payau biasanya dihindarinya(3). Dalam penelitian ini ditemukan hal menarik dengan ditemukannya larva An. barbirostris selain di air tawar juga pada air payau di lagun dan bahkan kepadatan larvanya lebih tinggi di lagun tersebut dibanding dengan kepadatan di jenis perindukan lainnya di air tawar. Memang jenis nyamuk ini salah satu species yang memiliki jenis perindukan yang paling bervariasi dalam penelitian ini, yaitu selain di lagun juga di sawah, genangan dan sungai. Kadar garam air lagun saat penemuan larvanya pernah mencapai 22‰, yang berarti sama dengan kadar garam yang disenangi oleh An. sundaicus. Memang ditinjau dari frekuensi penemuan larvanya, lebih sering ditemukan di air sungai, namun kepadatannya lebih rendah daripada di lagun; apakah hal ini menunjukkan adanya perubahan atau peningkatan daya adaptasi larvanya, masih perlu pembuktian lebih lanjut. Atmosoedjono (hubungan pribadi) juga pernah menemukan larva jenis nyamuk ini di lagun, namun tidak

membandingkan kepadatannya pada berbagai jenis tempat perindukan. Sejauh ini diketahui bahwa sebagai vektor malaria, An. maculatus hanya terbatas di Sumatera Utara dan Jawa Tengah saja(l) meskipun secara eksperimen bisa mengandung larva stadium tiga W. bancrofti(11). Adapun tempat perindukan An. maculatus yang didapatkan dalam penelitian ini hanya di sungai dan sawah. Bonne-Webster dan Swellengrebel mengatakan bahwa selain di kedua jenis tempat perindukan itu, juga di genangangenangan, kolam ikan, mata-mata air dan sebagainya(6). Kepadatan larva nyamuk ini kelihatannya tidak dominan, namun ditinjau dari jenis tempat perindukannya tersebut yang relatif permanen (sungai), maka nyamuk dewasanyapun kemungkinan ditemukan relatif lebih lama. An. vagus pernah terbukti satu kali mengandung sporozoit di Timor (Atmosoedjono, hubungan pribadi) namun sejauh ini jenis nyamuk ini belum dinyatakan sebagai vektor malaria, sedangkan di Flores telah terbukti sebagai vektor W. bancrofti(7). Tentang tempat perindukan An. vagus tidak banyak tulisan yang membahasnya, mungkin karena larva nyamuk ini belum dinyatakan sebagai vektor malaria sehingga perhatian terhadap tempat perindukannya tidak besar. Dalam penelitian species inilah yang memiliki tempat perindukan yang paling bervariasi dan paling sering ditemukan. Seluruh tempat perindukan yang tersedia di daerah itu mengandung larva nyamuk ini sehingga dengan deinikian ditemukan di seluruh desa penelitian, baik daerah pantai maupun pedalaman. Menurut Bonne-Webster dan Swellengrebel, selama air tidak begitu kotor dan tidak begitu deras gerakannya, jenis nyamuk ini mampu bertempatperindukan di mana saja(3). Mengingat keberadaan jenis perindukan nyamuk ini yang ada sepanjang tahun sehingga keberadaan nyamuk dewasanya juga kemungkinan demikian, maka jenis nyamuk ini juga potensial sebagai vektor malaria. Keempat species lainnya yaitu: An. minimus, An. annularis, An. flavirostris dan An. indefinitus semuanya memiliki kepadatan larva yang sangat kecil dibanding species-species yang dibahas terdahulu serta sangat jarang ditemukan, sehingga bisa dikatakan kurang potensial sebagai vektor malaria maupun filaria di daerah itu. Adapun An. flavirostris telah dinyatakan sebagai vektor malaria di Sulawesi Selatan dan An. minimus sebagai vektor di Sulawesi Tengah dan Utara(1). Sesuai dengan strategi pengendalian malaria, yang salah satu tindakannya adalah memberantas vektornya, maka pengetahuan tentang tempat-tempat perindukan berbagai jenis vektor yang sudah disebutkan sebelumnya dapat memberi gambaran bagaimana cara pengendalian vektor yang tepat di daerah itu. Dilihat dari keberadaan serta luasnya tempat perindukan Anopheles yang ada di kabupaten Sikka ini, kelihatannya pengendalian larva di beberapa tempat perindukan sulit dilakukan, antara lain yang tempat perindukannya berupa sungai yang ada di pedalaman (desa Koting A dan Tilang) dan pantai Selatan (desa Korowuwu). Terdapat lima species vektor (Tabel 2 dan 3) yang menyenangi tempat perindukan tersebut. Namun terhadap larva yang bertempat perindukan di lagun dan sawah, apalagi

beberapa di antaranya hanya mempunyai luas puluhan meter, pemakaian larvisida seperti Teknar® atau pengeringan secara mekanis dapat dipikirkan. Sebenarnya dalam penelitian ini telah dicoba pemakaian Teknar® dengan penyemprotan sekali sebulan pada lagun dan sawah sejak Oktober 1991 sampai dengan Oktober 1992, namun hasilnya tidak begitu nyata. Bila pemakaian Teknar® ini dipersering misalnya setiap minggu, mungkin hasil penyemprotan akan lebih nyata. Kecuali satu lagun yang ada di desa Wairbleler (pantai Utara) dan satu lagun di desa Korowuwu (pantai Selatan) yang luasnya relatif hbesar, lagun-lagun lainnya adalah relatif kecil sehingga pemakaian Teknar® ataupun pengendalian secara mekanis (merusak tempat perindukan) bukan sesuatu hal yang sulit dilakukan. Di desa-desa dengan tempat perindukan yang terbatas demikian, kemungkinan penyemprotan dengan insektisida tidak perlu. Disarankan di masa yang akan datang, penelitian tentang efektifitas pemakaian Teknar® ini perlu mendapat prioritas. KESIMPULAN 1) Terdapat 10 species larva Anopheles yang ditemukan yaitu: Anopheles sundaicus, An. subpictus, An. aconitus, An. barbirostris, An. maculatus, An. vagus, An. minimus, An. annularis, An. flavirostris dan An. indefinitus. 2) Menurut ekosistim daerahnya, jenis tempat perindukan yang tersedia bervariasi, yaitu di pantai Utara hanya lagun, di pedalaman berupa sungai, sawah dan genangan sedangkan di pantai Selatan seluruh tempat perindukan tersebut tersedia. 3) Ditinjau dari kepadatan larvanya, tempat perindukan utama bagi masing-masing species adalah lagun untuk An. sundaicus, An. subpictus dan An. barbirostris, sawah dengan padi berumur 4 bulan untukAn. aconitus, sungai untukAn. maculatus sedangkan kepadatan empat species lainnya sangat rendah. UCAPAN TERIMA KASIH Atas segala bantuan yang begitu banyak selama pelaksanaan penelitian ini, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Agus Berek, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang. 2. BapakDr. Paulus M. Wignyohadi, MS dan Bapak Dr. Hermanus Man, berturut-turut sebagai mantan dan pejabat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka di Maumere. 3. Bapak Iskak Latiyantoro, B.Sc. Staf Subseksi Pemberantasan Vektor, Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka di Maumere. KEPUSTAKAAN

1. 2. 3. 4.

Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular. Malaria, Entomologi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1990. Marwoto HA, Atmosoedjono S, Dewi RM. Penentuan vektor malaria di Flores. Bull Penelit Kes 1992; 20(3): 43-9. Bonne-Webster J, Swellengrebel NH. The Anopheline Mosquitoes of the Indo-Australian Region. Amsterdam: J.H. de Bussy, 1953. Hal. 395, 415, 524, 454. Soemarto, Santiyo, Zubaedah, Bambang R, Kadarusman. Penelitian bionomik Anopheles sundaicus (Rodenwalt) betina di desa Cibalong (Mekarsari & Kartamukti), kecamatan Pameungpeuk kabupaten Garut propinsi Jawa Barat. Dalam: Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional ke II. Jakarta: PT. Grafiti Medika Pers, 1981: 823-833.

5. 6.

7. 8.

Gandahusada S, Sumarlan. Malaria in Indonesia, a review of literature. Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Jakarta, 1978. Kirnowardoyo S, Soekirno M, Abdullah M. Laporan akhir penelitian tentang habitat dan patensi penularan malaria dariAnophelessundaicus dan Anopheles lain yang berkaitan dengan malaria di pulau Batam, propinsi Riau. Jakarta: Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Litbang Kese hatan, 1981. Lee V H, Atmosoedjono S, Dennis DT, Suhaepi A. The Anopheline (Diptera: Culicidae) of malaria and bancroftian filariasis in Flores Island, Indonesia. J Med Entomol 1983; 20(5): 577–78. Lien JC, Atmosoedjono S, Usfinit AU, Gundelfinger BF. Observations on natural plasmodial infections in mosquitoes and a brief survey of mosquito fauna in Belli regency, Indonesia Timor. J Med Entomol 1975; 12(3):

333–37. Collins RT, Jung RK, Anoez H, Sutrisno RH, Putut D. A study of coastal malaria vectors, Anopheles sundaicus (Rodenwalt) and Anopheles sub pictus Grassi, in South Sulawesi, Indonesia. WHO unpublished document 1979, WHO/MAL/79.913, WHONBC/79.740. 10. Hoedojo. Bionomik Anopheles subpictus. Dalam: Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional ke II. Jakarta: PT. Grafiti Medika Pers. 1981: 801–13. 11. Lie Kian Joe. The distribution of filariasis in Indonesia. A summary of published information. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1970; 1(3): 366–76. 12. Atmosoedjono S, Partono F, Dennis DT, Purnomo. Anopheles barbirostris (Diptera: Culicidae) as a vector of the timor filaria on Flores island: Preliminary observations. J Med Entomol 1977; 13: 611–613.

9.

Korelasi Musim terhadap Populasi Tiga Vektor Malaria - kaitannya dengan Insiden Malaria di dua Kecamatan di Banjarnegara Pranoto*, Amrul Munif** * Kepala Sub. Direktorat Serangga Penular Penyakit Direktorat Jenderal PPM-PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Selama ini pengendalian vektor malaria di daerah pedalaman yang berdataran tinggi dengan sawah berteras hanya ditujukan pada nyamuk An. aconitus. Namun akhir-akhir ini telah ditemukan An. balabacensis ternyata ikut berperan sebagai vektor utama malaria dengan 4,3% infeksi alam menggeser kedudukan An. aconitus di daerah pedalaman yang bergunung.: Secara rinci telah dilakukan pengamatan vektor yang telah mengalami perubahan lingkungan sehubungan dengan faktor terkait di kedua daerah endemis yang tergolong HCI. Penangkapan nyamuk telah dilakukan dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah serta di sekitar kandang. Hasil penelitian diperoleh sebanyak 285 nyamuk dengan 17,43 per orang perjam dalam kurun waktu 12 bulan. Nyamuk ini terdiri dari 16,5% An. aconitus dengan 5,28 MHD kemudian 55,4% An. maculatus dengan 9,32 MHD, dan 28,1% An. balabacensis dengan 5,53 MHD. Secara umum dari ketiga vektor ini tertangkap di luar rumah dengan umpan orang (exophilik). Populasi nyamuk pada musim kemarau lebih tinggi dibanding musim penghujan dan berbeda nyata (α = 0,01). Kejadian ini disebabkan tempat perindukan vektor yang berupa genangan-genangan air di sungai lebih banyak ditemukan pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan tidak ditemukan genangan-genangan air di sungai-sungai kecil yang ada di desa tersebut. Tinggi rendahnya endemisitas di desa Pekandangan dan Kaliurip pada musim kemarau dan penghujan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, sehingga transmisi dapat berlanjut sepanjang tahun (a = 0,05). PENDAHULUAN Kabupaten Banjarnegara merupakan daerah malarious walaupun penanggulangan malaria dengan berbagai macam cara telah dilakukan, mulai dari yang sederhana sampai ke cara yang tersulit. Kejadian ini terlihat dari kasus malaria tiap 1000 penduduk khususnya di Kecamatan Punggelan pada tahun 1988 dengan Annual Parasite Incidence (API) = 15,28%0 kemudian Kecamatan Banjarmangu API = 10,19%o dan Kecamatan Makalah ini telah disampaikan pada Seminar Parasitologi V11 PA1 tanggal 23–25 Agustus 1993 di Denpasar.

Madukara API = 1,85%o. Tahun 1989 ternyata API mengalami kenaikan tertinggi ditemukan di Punggelan (21,03%0), Banjarmangu (12,43‰) dan Madukara (5,74%0); tahun berikutnya 1990 pada Kecamatan Punggelan menurun menjadi 3,7%0, API di Banjarmangu 11,28%o dan API di Madukara 16,57%0. Tahun 1991 API di Punggelan menurun drastis mencapai 1,39%o; kenaikan hanya di kedua lokasi, 31,5%0 di Banjarmangu dan 18,37%0 di Madukara, sehingga kedua lokasi ini dikelompokkan

dalam HCI karena mempunyai API lebih dari 5%0. Naik turunnya penyakit ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu di antaranya oleh sebaran vektor yang ada di tempat tersebut. Di daerah Banjarnegara sampai saat ini dicantumkan sebagai vektor malaria adalah An. aconitus yang berkembang biak di persawahan bertingkat(1), walaupun berdasarkan bionomik nyamuk ini mempunyai kemampuan rendah untuk menularkan malaria. Sejak tahun 1984 beberapa desa di Banjarnegara telah mengalami perubahan ekologi, asal mula daerah persawahan dan tegalan berubah menjadi kebun salak. Kejadian ini mengakibatkan perubahan lingkungan karena kurangnya padang rumput dan ternak yang dipelihara penduduk setempat. Kebun-kebun salak ini dapat menyebabkan bertambahnya tempat-tempat yang lembab yang akan mengakibatkan pertambahan tempat hinggap atau istirahat nyamuk serta menambah panjangnya umur nyamuk. Kejadian yang sangat mengejutkan adalah kemunculan spesies baru positip ookista dan sporosoit yang selama program pemberantasan malaria (KOPEM) tidak pernah ada di Jawa Tengah; namun pada tahun 1990 telah dikonfirmasikan sebagai vektor malaria utama yaitu nyamuk An. balabacensis(2). Kenyataan ini ditunjukkan dari hasil bedah 46 ekor An. balabacensis, ditemukan 2 ekor dengan lambung positip ookista dan positip kelenjar ludah(2). Natural infection rate An. balabacensis adalah 4,3% dengan sporozoit rate 4,3%. Sebaliknya dari 6 ekor An. maculatus yang dibedah tidak ditemukan baik lambung maupun kelenjar ludah positip, sehingga An. maculatus sebagai suspect vektor oleh karena nyamuk ini ditemukan banyak menggigit manusia; bahkan di tempat lain positip sporozoit Plasmodium falciparum(3). Hasil yang diperoleh ternyata berbeda dengan para ahli sebelumnya yang hanya mencantumkan An. aconitus sebagai vektor utama di pedalaman pada sawah bertingkat Jawa Tengah, sehingga perlu adanya perubahan alternatif pemberantasan vektor malaria di daerah tersebut. Salah satu faktor yang mendukung alternatif pemberantasan adalah kesenangan menggigit/mencari darah, tempat menggigit serta perbandingan dengan vektor lainnya. Diharapkan hal ini dapat membantu program dalam penanggulangan vektor yang terarah dan selektif. BAHAN DAN CARA Daerah penelitian Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Banjarnegara dengan mengambil dua daerah endemis penyakit malaria yaitu kecamatan Madukara desa Kaliurip dan kecamatan Banjarmangu desa Pekandangan. Kecamatan Madukara pada ketinggian 660 dpl dengan luas wilayah mencapai 4.820 Km2 terdiri dari lahan persawahan, tegalan, pekarangan, hutan dan lain-lainnya (Gambar lampiran 1). Kecamatan ini terdiri dari 20 desa dengan jumlah penduduk 35.274 orang; desa Kaliurip sendiri jumlah penduduknya paling banyak dibandingkan desa lainnya yaitu mencapai 2.988 orang. Kecamatan Banjarmangu terdiri dari 17 desa terletak pada ketinggian 540 m d.p.l dengan luas wilayah 1.816 Km2 terdiri dari lahan persawahan, tegalan, hutan, pekarangan dengan jumlah penduduk 34.268 orang. Desa Pekandangan sebagai tempat

Gambar 1. Peta Wilayah Kabupaten Dati Il Banjarnegara

penelitian berpenduduk 1.626 orang telah mengalami perubahan lingkungan. Endemisitas kedua kecamatan pada saat berlangsungnya penelitian untuk periode tahun 1991 di Kecamatan Madukara mencapai API = 18,39‰ dan pada desa tertinggi yaitu Kaliurip dengan API = 62,66‰. Di Kecamatan Banjarmangu dengan API = 27,82E, di desa Pekandangan sendiri mencapai API = 57,75‰.

Pengumpulan data Data mengenai vektor malaria yang diteliti pada kedua daerah adalah mengenai kesukaan menggigit, tempat menggigit dan fluktuasi populasi musim dan perbandingan komposisi dengan vektor spesies lainnya. Pengumpulan data fluktuasi populasi musiman dari nyamuk An. balabacensis dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk yang menggigit di luar dan di dalam rumah serta di sekitar kandang kerbau atau sapi per orang per jam (MHD). Setiap bulan penangkapan nyamuk dilakukan dua minggu sekali pada masing-masing lokasi. Penangkapan dengan menggunakan aspirator dan senter pada malam hari pukul 18.00 sampai 24.00 di rumah penduduk. Penangkapan nyamuk umpan orang dilakukan di dalam, luar rumah dan sekitar kandang, oleh masing-masing 3 orang penangkap nyamuk. Jumlah rumah yang dikunjungi 6 rumah dengan aktif menangkap selama 40 menit untuk setiap jam. Penangkapan nyamuk yang hinggap di dinding dan sekitar kandang ternak kerbau/sapi dilakukan oleh 3 orang penangkap. Sedangkan untuk penangkapan nyamuk umpan orang di sekitar kandang dengan waktu aktif menangkap selama 10 menit untuk setiap satu jam. Identifikasi hasil penangkapan, dengan menghitung masing-masing species Anopheles yang tertangkap, se-

hingga diperoleh rata-rata kepadatan nyamuk perjam perorang (MHD). Data pelengkap Data pelengkap merupakan data sekunder mengenai jumlah kasus malaria utltuk kedua kecamatan maupun desa diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Data klimatologi didapat dari Badan Meteorologi dan Geofisika, Departemen Perhubungan. HASIL DAN PEMBAHASAN Larva nyamuk An. balabacensis selalu ditemukan di genangan air kecil terbuka yang dangkal, di parit atau sungai kecil yang berbatu dengan air mengalir perlahan-lahan atau tanpa aliran. Juga ditemukan pada genangan air yang terletak di pinggir jalan di daerah pegunungan. Larva An. aconitus ditemukan pada persawahan yang berteras, irigasi aliran parit di daerah pegunungan. Populasi tertinggi pada saat pada umur 2 – 3 bulan dengan puncak menjelang panen(7). Larva An. maculatus mempunyai habitat khusus yaitu di parit atau sungai kecil berbatu dengan air mengalir perlahan atau tanpa aliran pada daerah pegunungan. Tempat perindukan larva ini lebih tertutup dari cahaya matahari bila dibandingkan dengan perindukan An. balabacensis(3). Selama penelitian An. balabacensis dan An. maculatus yang tertangkap tidak ditemukan hinggap atau istirahat di dinding dalam rumah pada malam hari, kejadian ini sama di Kalimantan dan Wonosobo(3,5). Sebaliknya untuk An. aconitus masih ditemukan hinggap atau istirahat di dalam rumah (Tabel 1 dan 2). Tempat istirahat An. maculatus dan An. balabacensis di luar rumah hingga sekarang belum ditemukan. Selama penangkapan nyamuk vektor malaria di desa Kaliurip, Kecamatan Madukara diperoleh 3 species nyamuk: 9 An. aconitus, 52 An. maculatus dan 51 An. balabacensis dengan umpan orang di dalam dan di luar rumah serta sekitar kandang. Umumnya species nyamuk ini menggigit lebih banyak ditemukan di luar rumah daripada di dalam rumah. Di luar rumah jumlah nyamuk yang menggigit orang sebanyak 11 An. aconitus dengan rata-rata gigitan (MHD) 0,66. Puncak gigitan tertinggi, ditemukan pada bulan Agustus 3 nyamuk dengan MHD 0,18; tidak ditemukan sama sekali pada bulan Juni, Juli, Desember, Januari, Pebruari dan Maret (Gambar 2). Menurut penelitian di Semarang nyamuk An. aconitus mempunyai 2 puncak padat populasi dalam setahun yakni bulan Maret–April dan antara bulan Agistus–September. An. maculatus ditemukan menggigit orang di luar rumah pada setiap bulan dan di dalam rumah hanya pada bulan Juli, (Tabel 1). Populasi An. maculatus paling banyak menggigit orang di luar rumah pada bulan Oktober sebanyak 12 An. maculatus dengan MHD 0,72 sebaliknya pada bulan Mei tidak tertangkap di Kaliurip (Gambar 4). Hasil pengamatan di Wonosobo menunjukkan puncak gigitan terjadi pada bulan April, Mei dan Juni serta lebih tertarik menggigit di luar rumah(3). An. balabacensis tertangkap setiap bulan, kecuali pada bulan

Gambar 2. Pengaruh pergantian musim terhadap kerapatan populasi nyamukAn. aconitus, An. maculatus danAn. balabacensis yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah serta kaitannya dengan Parasit Insidence di desa Kaliurip, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Tabel 1.

Hasil pengamatan vektor dan faktor terkait per bulan dari bulan April 1991 sampai Maret 1992 berdasarkan jumlah vektor tertangkap dan kasus malaria di desa Kaliurip, Kecamatan Madukara, Banjarnegara Jumlah dan kerapatan vektor tertangkap

Bulan dan Tahun

Parasit An. aconitus An. maculatus An. balabacensis incidence (PI) I II I II I II

April 1991 Mei 1991 Juni 1991 Juli 1991

– – – –

1 (0,06) 1 (0,06) – – 3 (0,18) 2 (0,12) 2 (0,12) 2 (0,12) – – – –

– – – 1 (0,06) – – – – – – – –

Agustus 1991 September 91 Oktober 1991 Nopember 91 Desember 91 Januari 1992 Februari 1992 Maret 1992

– – – – – – – –

11

1

2 (0,12) – 4 (0,24) 4 (0,24)

4 (0,24) l (0,06) 1 (0,06) 3 (0,3)

1,6 14 4,4 5,2

8 (0,48) 7 (0,42) 12(0,72) 6 (0,36) 2 (0,12) 2 (0,12) 3 (0,18) 2 (0,12)

– – – 1 (0,06) – – – – – – – –

8 (0,48) 6 (0,36) 6 (0,36) 10 (0,6) 6 (0,36) 4 (0,24) – –

14,4 5,6 6,3 4,6 9,6 3,9 2,8 0,6

52

1

49

Keterangan : I = penangkapan umpan orang dalam rumah II = penangkapan umpan orang di luar rumah (...) = rata-rata nyamuk menggigit per orang per jam (MBR) API = 62,66

Nopember tidak tertangkap menggigit orang di luar rumah. Populasi tertinggi ditemukan pada bulan Nopember sebanyak 10 An. balabacensis dengan MHD 0,6 dan populasi terendah pada bulan Februari dan Maret (Tabel 1). Di sekitar kandang tidak ditemukan sama sekali dan dalam rumah hanya 1 nyamuk. Di desa Kaliurip Kecamatan Madukara, Kabupaten Banjarnegara dari data penderita malaria bulanan (Parasite Inciudence) selama kurun waktu bulan April 1991 s/d Maret 1992 dengan API 62,67%o. Dilaporkan setiap bulan ditemukan penderita, tertinggi pada bulan Agustus dengan PI 41,4%o. Jumlah penderita terendah ditemukan pada bulan April (PI 91,6%o), Mei (PI = 1,6%o) dan Maret (PI = 1,6%o). Tidak dijelaskan adanya penderita malaria lama. Kemungkinan musim penularan di desa Kaliurip terjadi pada 1 sampai 2 bulan sebelum bulan Agustus. Data bulanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1, dengan Annual Parasite Incidence = 62,67‰. Di desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, kabupaten Banjarnegara telah tertangkap 3 species vektor malaria : 38 An. aconitus, 104 An. maculatus dan 31 An. balabacensis (Tabel 2). An. balabacensis tidak tertangkap di dalam rumah dan sekitar kandang sebaliknyaAn. aconitus dan An. maculatus banyak tertangkap di sekitar kandang dan umpan orang di luar rumah. Di luar rumah jumlah nyamuk menggigit orang sebanyak 19 An. aconitus dengan MHD 1,14. Puncak gigitan tertinggi pada bulan Juli mencapai 4 An. aconitus dengan MHD = 0,24 sebaliknya jumlah terendah bulan Mei dan Maret tidak ditemukan menggigit orang (Gambar 3a). Di sekitar kandang tertangkap sebanyak 19 An. aconitus dengan MHD = 1,14. Kepadatan tertinggi diperoleh pada bulan Oktober dan terendah pada bulan Februari dan Maret di sekitar kandang (Gambar 3b). Tabel 2.

Gambar 3a. Pengaruh perganiian musim terhadap kerapatan populasi nyamuk An. aconitus, An. maculatus dan An. balabacensis yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah serta kaitannya dengan Parasite Incidence di desa Pekandangan, Banjarnegara.

An. maculatus merupakan nyamuk vektor bersifat eksofilik karena banyak ditemukan menggigit di luar rumah dan istirahat di kandang, sama halnya dengan An. aconitus. Selama penelitian pada setiap bulannya selalu tertangkap dengan jumlah keseluruhan mencapai 51 An. maculatus dengan MHD = 3,1 (Tabel 2). Puncak penangkapan tertinggi diperoleh pada bulan September sebanyak 16 An. maculatus dengan MHD = 0,92, populasi terendah 1 An. maculatus dengan MHD = 0,06 pada bulan Mei,

Hasil pengamatan vektor dan faktor terkait perbulan dari bulan April 1991 sampai Maret 1992 berdasarkan jumlah vektor tertangkap dan kasus malaria di desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara Jumlah dan kerapatan vektor (MBR) tertangkap

Bulan dan Tahun

April 1991 Mei 1991 Juni 1991 Juli 1991 Agustus 1991 September 1991 Oktober 1991 Nopember 1991 Desember 1991 Januari 1992 Februari 1992 Maret 1992

An. aconitus I

II

III

– –

– – – – – – – – –

2 (0,12) – 1 (0,06) 4 (0,24) 2 (0 12) 3 (0,18) 2(0,12) 1, (0,06) 1 (0,06) 2 (0,12) 1 (0,06) –

3 (0,18) 1 (0,06) 2 (0,12) 1 (0,06) 2 (0,12) 3 (0,18) 4 (0,24) 2 (0,12) – 1 (0,06) – –



19

19

An. maculatus I

II

I

II

III

– 6 (0,36) 7 (0,42) – 3 (0,18) 1 (0,06) – 1 (0,06) 1 (0,06) – 2 (0,12) 2 (0,12) – 5 (0,30) 9 (0,54) – 12 (0,72) 16 (0,92) – 6 (0,36) 7 (0,42) – 6 (0,36) 4 (0,24) – 2 (0,12) 2 (0,12) – 4 (0,24) 1 (0,06) – 2 (0,12) 2 (0,12) – 2 (0,12) 1 (0,06)

– – – – – – – – – – – –

3 (0,18) 2 (0,12) 2 (0,12) 4 (0,24) 2 (0,12) 4 (0,24) 2 (0,12) – 1 (0,06) 9 (0,54) 1 (0,06) 1 (0,06)

– – – – – – – – – – – –





31

51

III

An. balabacensis

53

Keterangan : I = penangkapan umpan orang di dalam rumah II = penangkapan umpan orang di luar rumah III = penangkapan di sekitar kandang ( ... ) = rata-rata nyamuk vektor menggigit per orang per jam (MBR) API = 68

Parasite Incidence

2,6 2,1 6,8 14,96 16,1 2,1 4,8 3,8 9,2 3,8 1,7 1,2

Gambar 3b.

Di desa Pekandangan Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara data penderita dalam satu tahun (API) sebanyak 68,2%0. Penderita malaria pada setiap bulannya selalu ditemukan dengan jumlah tertinggi bulan Agustus PI = 16,1‰. Kemungkinan penularan yang terjadi di desa Pekandangan pada 1 – 2 bulan sebelum bulan Agustus. Interaksi kepadatan populasi ketiga nyamuk vektor dengan musim dan Parasite Incidence di dua lokasi pengamatan tertera dalam Tabel 3. Di desa Kaliurip An. maculatus banyak tertangkap dengan umpan orang dan di sekitar kandang tidak ditemukan. Pada musim kemarau populasi nyamuk An. maculatus dan An. aconitus paling tinggi dibandingkan musim penghujan (Tabel 3). An. balabacensis pada musim kemarau sama banyaknya tertangkap dengan umpan. orang di luar rumah jika dibandingkan musim penghujan. Di desa Pekandangan musim kemarau tertangkap sebanyak 14 An. balabacensis dan musim penghujan sebanyak 15 ekor; Parasite Incidence pada musim kemarau (31,4%0) lebih tinggi dibandingkan musim penghujan (24,7%0), hal ini serupa dengan di desa Pekandangan (Tabel 3). Secara keseluruhan nyamuk yang tertangkap di desa Kaliurip pada musim kemarau berbeda nyata dengan musim penghujan (= 0,05). Pada musim kemaraupun nyamuk An. aconitus, An. balabacensis dan An. maculatus mampu melakukan perkembangbiakan. Karena di daerah pegunungan akan selalu tersedia air dari mata air, sehingga air tetap mengairi parit yang merupakan habitat bagi ketiga species nyamuk vektor. Di desa Pekandangan hubungan populasi ke dua vektor (An. aconitus dan An. maculatus) nyamuk dengan musim, pada musim kemarau lebih banyak dibandingkan musim penghujan yang menunjukkan perbedaan bermakna (α = 0,05). Kejadian ini serupa dengan desa Kaliurip. Namun untuk populasi An. balabacensis di kedua desa penelitian jumlah populasinya sama pada

Pengaruh pergantian musim terhadap kerapatan populasi nyamuk An. aconitus dan An. maculatus yang tertangkap di sekitar kandang dengan Parasite Incidence di desa Pekandangan, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Juni, Januari dan Maret di desa Pekandangan. Di desa Pekandangan penangkapan An. balabacensis dengan umpan orang di luar rumah hanya memperoleh jumlah nyamuk keseluruhan 31 nyamuk dengan MHD = 1,74 (Tabel 2). Puncak gigitan tertinggi ditemukan pada bulan Januari 9 An. balabacensis dengan MHD = 0,34, terendah tidak ditemukan sama sekali pada bulan Nopember (Gambar 3a). Tabel 3.

Perbandingan kerapatan populasi nyamuk dari ketiga species vektor malaria dan Parasite Incidence antara musim kemarau dan penghujan di dua lokasi pengamatan, Banjarnegara, Jawa Tengah

Lokasi/Desa

An. aconitus Jumlah/orang/jam

Musim I

Pekandangan Kecamatan Banjarmangu

Kaliurip Kecamatan Madukara

II

III

An. maculatus Jumlah/orang/jam I

II

An. balabacensis Jumlah/orang/jam III

Kemarau Juni – 12 (0,72) 12 (0,48) 24 (1,2) 26 (1,56) 37 (2,18) 63 (3,74) Oktober Penghujan Nopember– 7 (0,42) 7 (0,42) 14 (0,84) 25 (1,86) 18 (1,02) 43 (2,88) Mei Kemarau 35 (2,1) 0 7 (0,42) 35 (2,1) 0 7 (0,42) Juni – Oktober Penghujan 17 (0,9) 0 2 (0,12) 17 (0,9) 0 Nopember– 2 (0,12) 28 (1,76) 19 (0,9) 47 (2,58) 103 (6,42) 55 (3,2) 158 (9,32)

Keterangan : I = umpan di luar rumah II = resting di kandang III = jumlah nyamuk tertangkap ( ... ) = jumlah rata-rata per orang per jam * An. maculatus bulan Juli tertangkap di dalam rumah 1 (0,06) An. balabacensis bulan Juli tertangkap di dalam rumah 1 (0,06)

P.I.

I

II

III

4 (0,84)

0

14 (0,48)

44,76

15 (1,02)

0

15 (1,02)

24,4

26 (1,59)

0

26 (1,59)

31,5

25 (1,86) 80 (5,53)

0 0

25 (1,86) 80 (5,31)

24,7 125,36

musim penghujan dan kemarau, sehingga sepanjang tahun selalu ditemukan species nyamuk tersebut. Hubungan kasus malaria dengan musim ternyata pada musim kemarau (Juni–Oktober) lebih banyak dibandingkan musim penghujan (Nopember–Mei) pada kedua lokasi, uji analisa statistik menunjukkan adanya perbedaan bermakna (α = 0,05). Kelihatan tinggi rendahnya endemisitas malaria di kedua lokasi terpengaruh oleh keadaan musim, berarti transmisi malaria berjalan terus sepanjang tahun dengan peningkatan pada musim kemarau. Peningkatan endemisitas malaria ini diikuti pula peningkatan populasi nyamuk vektor di desa Kaliurip dan Pekandangan. Gambar 5a kenaikan Parasite Incidence lebih dulu adanya kenaikan vektor nyamuk An. maculatus dan An. balabacensis pada bulan April di desa Pekandangan, kejadian ini juga diikuti kedua populasi nyamuk yang ditangkap di sekitar kandang pada Gambar 5b. Selanjutnya di desa Kaliurip Gambar 4 menunjukkan kenaikan Parasite Incidence pada saat populasi An. maculatus dan An. balabacensis. Hubungan Parasite formula di Banjarnegara dengan Parasite Incidence di Kaliurip dan Pekandangan kaitannya dengan curah hujan. Bila kita perhatikan Gambar 4. Parasite Incidence dan curah hujan, maka dapat diketahui rata-rata Parasite Incidence perbulan dengan jumlah curah hujan perbulan. Sehingga dari Gambar 4 tampak bahwa jumlah kasus perbulan dengan Parasite Incidence di dua lokasi hubungannya erat sekali. Kasus malaria di ke dua lokasi hubungannya dengan curah hujan tampak tidak berhubungan. Karena kasus malaria meningkat pada musim kemarau dibanding musim penghujan dengan analisa berbeda nyata (α = 0,05). Maka tinggi curah hujan justru populasi nyamuk vektor yang tertangkap jumlahnya sedikit. Hal ini disebabkan tempat perindukan vektor berupa genangan-

Gambar 5a. Pengaruh pergantian musim terhadap kerapatan populasi nyamuk An. aconitus, An. maculatus dan An. balabacensis yang tertangkap dengan umpan orang di luar rumah serta kaitannya dengan Parasite Incidence di desa Pekandangan, Banjarnegara.

Gambar 5b.

Gambar 4. Hubungan Parasite Formula kasus malaria di Banjarnegara dengan Parasite Incidence di desa Kaliurip dan Pekandangan dan kaitannya dengan curah hujan.

Pengaruh pergantian musim terhadap kerapatan populasi nyamuk An. aconitus dan An. maculatus yang tertangkap di sekitar kandang dengan Parasite Incidence di desa Pekandangan, Banjarnegara, Jawa Tengah.

genangan air di sungai-sungai kecil yang lebih banyak ditemukan pada musim kemarau. Sebab lain mungkin karena kedua lokasi ini terletak di pegunungan sehingga sumber mata air tersedia terus menerus sepanjang tahun. Di samping itu penanaman padi di kedua daerah berteras ditanam tidak serentak karena ketersediaan air tersebut, kejadian ini memberikan dampak terhadap perkembangbiakan nyamuk An. aconitus.

KESIMPULAN 1) Parasite Incidence desa Kaliurip dan Pekandangan pada sepanjang tahun tidak dipengaruhi oleh keadaan musim, insiden penyakit malaria selalu ada. 2) Tersedianya air yang terus menerus sepanjang tahun di kedua lokasi memberikan peluang bagi perkembangan ketiga vektor. 3) Ketiga vektor malaria yaitu An. aconitus, An. maculatus dan An. balabacensis lebih banyak ditemukan pada musim kemarau dibandingkan musim penghujari, di luar rumah An. balabacensis sama banyaknya pada musim penghujan dan musim kemarau. 4) Tempat perindukan An. balabacensis ditemukan pada aliran air terbuka di luar rumah sebaliknyaAn. maculatus pada sumber air tertutup sinar matahari. An. aconitus di persawahan yang tanaman padi berumur 2 – 3 minggu, pada sawah yang bertingkat dengan aliran irigasi nonteknis. 5) An. aconitus, An. maculatus dan An. balabacensis ditemukan secara bersama-sama di kedua daerah yang terletak di pedalaman dan daerah pegunungan pada ketinggian di atas 600 meter dari permukaan laut. 6) Di desa Kaliurip dan desa Pekandangan, PI tertinggi Agustus, transmisi terjadi bulan Juni dan Juli.

SARAN Perlu dilakukan penelitian perilaku An. balabacensis mengenai jarak terbang, habitat khusus, tempat istirahat/resting, dan kepekaan terhadap insektisida untuk menunjang penanggulangan penyakit malaria supaya pemberantasan vektor disesuaikan dengan waktu transmisi tersebut. KEPUSTAKAAN

1. 2.

3. 4. 5. 6. 7.

Santiyo K, Rintar, Wasito U. Konfirmasi An. aconitus Donits sebagai vektor malaria di Jawa Tengah. Berita Epidemiologi. 1982. Pranoto, Pujo Prasetyo. Konfirmasi An. balabacensis Bisas sebagai vektor utama malaria dan An. maculatus Theo sebagai suspect vektor malaria di Banjarnegara, Jawa Tengah. Berita Epidemiologi, Jawa Tengah, no. 01–03/ BE/PP/CBCF/90. 1990. Salim Usman. Ekologi dan penyebaran An. aconitus di Pulau Jawa. Skripsi Sarjana Biologi, Universitas Nasional Jakarta. 1973. Marbaniati, Dyat Sarsonosidhi. Pengaruh pola tanam terhadap insiden malaria di Kabupaten Banjamegara. Cermin Dunia Keliokt. 1991; 70 Santiyo K. An. balabacensis Bisas, 1936. di Kalimantan Timur. Seminar Entomologi Kesehatan. PEI Cabang Jakarta. 1985. Yoshi GP, Self LS, Salim Usman, Pant CP, Nelson MJ, Supalin. Biological studies on Anopheles aconitus in Semarang area of Central Java, Indonesia. 1977. (Unpublished document WHO/VBC/77.677). Self LS, Salim Usman, Nelson MJ, Sulianti Saroso J, Pant CP, Fanara DM. Ecological studies on vectors of malaria, Japanese encephalitis and filariasis in rural areas of West Java. Bull Penelit. Kes. 1976; IV (1,2): 41–55.

Kegiatan Ilmiah January 16 – 19, 1995 – 5th

CONGRESS OF THE ASEAN FEDERATION FOR PSYCHIATRY AND MENTAL HEALTH 9th ASEAN FORUM ON CHILD AND ADOLESCENT PSYCHIATRY 3rd BIENNIAL MEETING OF THE INDONESIAN PSYCHIATRIC ASSOCIATION Horizon Hotel, Bandung, INDONESIA Secr.: 1. Department of Psychiatry Faculty of Medicine, University of Indonesia Salemba Raya 6, Jakarta 10430 INDONESIA Phone : 62-21-337559 Fax : 62-21-3106986 2. Rumah Sakit Jiwa Bandung RE Martadinata 11, Bandung 40115 INDONESIA Phone : 62-22-4205447 Fax : 62-22-4205447

Pengaruh Klorokuin terhadap Jumlah Parasit pada Mencit yang Diinfeksi dengan Pl.berghei Suwarni, Sekar Tuti, Rita Marleta Dewi, Harijani A Marwoto Badan Penelitian dan Pengembangan Keseehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka penelitian imunitas seluler pada mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei diperlukan mencit yang kebal terhadap parasit tersebut. Hal ini diperoleh dengan cara menginfeksi dan mengobati mencit secara berulang, obat yang dipakai adalah klorokuin diphospat. Untuk mendapatkan mencit yang kebal tersebut, telah dilakukan penelitian pendahuluan untuk melihat pengaruh klorokuin terhadap P. berghei pada mencit tersebut. Masing-masing 20 ekor mencit Albino strain BALB/c dan Swiss derived yang ratarata berumur 6 minggu, dengan berat badan 20 gram diinfeksi dengan P. berghei dengan jumlah yang sama. Pengobatan dengan klorokuin diphospat dengan dosis 800 ug selama 3 hari berturut-turut, setiap mencit secara intraperitoneal. Jumlah parasit diamati, sebelum, selama dan setelah pengobatan selesai dilakukan. Lima ekor dari masing-masing kedua strain tersebut di atas berlaku sebagai kontrol (mencit diinfeksi dengan P. berghei tapi tidak diobati). Parasit tidak ditemukan lagi pada hari ke 2 – 3 setelah pengobatan selesai dilakukan. Pada kontrol terlihat bahwa jumlah parasitemia pada mencit strain BALB/c naik secara lebih tajam pada hari ke 1 dan 2 setelah infeksi dibandingkan dengan strain Swiss. Tanpa pengobatan klorokuin, semua strain BALB/c mati pada hari ke 4 setelah infeksi, sedang strain Swiss mulai ada yang mati pada hari ke-5.

PENDAHULUAN Penelitian aspek parasitologi, kemoterapi dan imunologi atau pengembangan vaksin penyakit malaria, banyak menggunakan malaria pada roden sebagai model; roden merupakan binatang percobaan yang mudah ditangani, banyak keturunan dan mudah dalam pemeliharaan. Hal ini diperkuat dengan adanya analisa molekuler yang menemukan persamaan antara malaria pada roden tersebut dengan Plasmodium falciparum(1). Selain itu ada pendapat bahwa vaksin malaria yang dapat mencegah infeksi atau menurunkan parasitemia akan mencegah kematian pada hewan maupun manusia(2). *

Dibacakan di Seminar Parasitologi Nasional VII dan Kongres P4I VI, Agustus 1993, di Bali.

Telah dilaporkan bahwa mencit-mencit strain BALB/c yang diinfeksi Plasmodium vinckei vinckei dapat menjadi kebal terhadap parasit tersebut; kekebalan itu didapat melalui infeksi Plasmodium vinckei vinckei dan diobati dengan klorokuin secara berulang(3). Penelitian reaksi imunitas seluler pada mencit yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei juga memerlukan mencit yang kebal terhadap infeksi parasit tersebut, dengan cara yang sama. Untuk mendapatkan mencit yang kebal ini terlebih dahulu perlu diketahui pengaruh pengobatan (klorokuin) terhadap

Plasmodium berghei pada dua strain mencit yang tersedia (ada) di Laboratorium Puslit Penyakit Menular sehingga penelitian pendahuluan ini dilakukan. Hasil penelitian pendahuluan ini akan menjadi dasar atau pegangan untuk penelitian selanjutnya. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di laboratorium Puslit Penyakit Menular Badan Litbang Kesehatan di Jakarta tahun 1992. Mencit yang dipergunakan adalah mencit Albino strain BALB/c dan Swiss derived, jantan, berumur kira-kira 6 minggu dengan berat rata-rata 20 gram. Mencit ini diinfeksi dengan Plasmodium berghei secara intraperitoneal yaitu dengan menyuntikkan 4,5 x 105 sel darah merah mencit yang mengandung parasit (SDMP) sebanyak 0,1 ml. Darah ini berasal dari mencit lain yang telah diinfeksi sebelumnya dengan P. berghei. Perkembangan parasitemia diikuti setiap hari, dengan melihat sediaan apus darah mencit, yang diwarnai dengan Giemsa selama cara standar. Persentase SDMP diketahui dengan menghitung jumlah 1000 sel darah merah (SDM), baik yang mengandung parasit maupun yang tidak mengandung parasit. Pengobatan dengan klorokuin dosis 800 ug dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan yang mengandung klorokuin diphospat secara intraperitoneal. Pengobatan dilakukan satu hari setelah infeksi selama 3 hari berturut-turut, sedang mencit yang diinfeksi P. berghei dn dipakai sebagai kontrol tidak diobati. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada kelompok kontrol (tidak diobati) terlihat bahwa strain BALB/c lebih peka terhadap infeksi Plasmodium berghei dari pada strain Swiss (gambar 1).

Gambar 1. Grafik pertumbuhan P. berghei pada mencit strain BALB/c dan strain Swiss Albino yang diobati denganklorokuindifosfat dosis 800 ug, dan yang tidak diobati (kelompok kontrol).

Pengobatan mencit strain BALB/c dan strain Swiss dengan dosis 800 ug untuk setiap mencit menunjukkan penurunan parasitemia pada kedua strain tersebut, walaupun saat penurunannya berbeda. Penurunan terjadi lebih cepat pada strain BALB/c daripada yang terjadi pada strain Swiss (gambar 1). Setelah pengobatan hari pertama, parasitemia pada strain BALB/c terlihat menurun dengafi tajam, sedangkan pada strain Swiss belum tampak pengaruhnya, parasitemia bahkan meningkat sampai mencapai kira-kira 15%. Di hari ke-2, strain BALB/c menunjukkan peningkatan parasitemia, meskipun sedikit, pada strain Swiss mulai terlihat penurunan yang cukup berarti. Pada dosis terakhir pengobatan terlihat penurunan parasitemia pada strain BALB/c, sebaliknya pada strain Swiss terjadi peningkatan. Dua hari setelah pengobatan selesai, masih ditemukan parasit pada strain BALB/c sedangkan pada strain Swiss tidak ditemukan lagi (gambar 1). Dari hasil di atas terlihat bahwa pengobatan dengan klorokuin difosfat, i.p., dosis 800 ug untuk setiap mencit selama 3 hari berturut-turutmenghasilkan dayapenyembuhan yang cukup baik. Persentase parasitemia menurun dengan tajam pada hari ke-2 dan 3 pengobatan dan menghilang 2–3 hari setelah selesai pengobatan; sedangkan klorokuin dosis 500 ug dengan cara yang sama pada strain mencit dan parasit yang sama pula, tidak menunjukkan kesembuhan(1). Akan tetapi klorokuin hidroklorida dengan dosis ini memberikan kesembuhan yang memuaskan pada mencit BALB/c yang diinfeksi dengan P. vinckei vincket(2). Hal ini mungkin karena jenis parasit dan pelarut obat berbeda. Peneliti lain menggunakan klorokuin dengan dosis yang lebih tinggi (1400 ug/20 gram BB mencit), untuk pengobatan mencit strain Albino yang diinfeksi dengan P. berghei(3). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan suhu ruangan karena suhu lingkungan yang panas akan mengurangi tingkat parasitemia(4). Suhu ruangan yang digunakan oleh peneliti tersebut untuk memelihara mencit yang diinfeksi, adalah 20° – 22°C, sedangkan ruangan yang dipergunakan untuk memelihara mencit dalam penelitian ini, mempunyai suhu 28° – 30°C. Perbedaan lainnya adalah disebabkan karena cara pemberian obat. Peneliti lain(1), mengobati mencit secara oral, dosis kira-kira 0,2 ml setiap hari selama 5 hari berturut-turut segera setelah infeksi; obat (klorokuin difosfat) tersebut dilarutkan dalam larutan 0,5% Carboxymethylcellulose atau akuades yang ditambah 20 ul Tween 80. Cara pemberian demikian tidak menjamin seluruh obat dapat masuk dan proses penyerapan obat lebih lambat. Pada kelompok kontrol jumlah parasitemia pada mencit strain BALB/c terlihat meningkat (23% – 77%) lebih cepat pada hari ke-1 dan hari ke-2 setelah infeksi (gambar 1, tabel 2), dibandingkan strain Swiss yaitu 3%–14%a (gambar 1, tabel 3); sehingga strain Swiss dapat hidup lebih lama dibandingkan strain BALB/c (gambar 2); strain BALB/c tahan hidup sampai dengan hari ke 4 setelah infeksi sedangkan strain Swiss tahan hidup sampai dengan hari ke 7 setelah infeksi. Jumlah mencit strain Swiss yang hidup atau sembuh selama dan setelah pengobatan dilakukan lebih banyak daripada mencit strain BALB/c; perbedaan ini bermakna (p < 0,05) (tabel 1).

Tabel 1.

Hasil pengobatan klorokuin difosfat ip. dengan dosis 800 ug setiap mencit, pada mencit strain BALB/c dan strain Swiss yang diinfeksi dengan P. berghei.

Strain mencit

Hidup (ekor)

Mati (ekor)

Jumlah (ekor)

BALB/c Swiss

13 19

7 1

20 20

Tabel 2.

No mencit

Jumlah sel darah merah yang mengandung parasit pada mencit strain BALB/c yang diinfeksi dengan P. berghei secara intraperitoneal H2 (1000)

H1 (1000)

Ho (1000)*

H3 (1000)

+

%

+

%

+

%

+

1. 2. 3. 4. 5.

208 292 213 312 167

20,8 29,2 21,3 31,2 16,7

1000 443 1000 431 1000

100 44,3 100 43,1 100

692 841 916 564 980

69,2 84,1 91,6 56,4 98,0

X

238,4

23,84

774,8

77,48

798,6

79,86

%

mati mati mati mati mati

Keterangan : * Jumlah SDM, baik yang mengandung parasit maupun tidak mengandung parasit.

Gambar 2. Diagram jumlah kematian mencit strain BALB/c dan Swiss Albino yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei pada kelompok kontrol (tak diobati).

Berdasarkan hasil-hasil percobaan di atas, maka untuk penelitian selanjutnya yaitu untuk mendapatkan mencit yang terhadap P. berghei, dipilih mencit strain Swiss, dengan pengobatan klorokuin difosfat, secara ip., dosis 800 ug, setiap mencit selama 3 hari berturut-turut.

DPH, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, yang telah memberi kesempatan melaksanakan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sepenuhnya selama penelitian ini berlangsung.

KESIMPULAN Klorokuin difosfat dengan dosis 800 ug, ip. untuk setiap mencit selama 3 hari berturut-turut cukup sensitif (berpengaruh terhadap penurunan parasitemia) pada mencit Albino strain BALB/c dan strain Swiss. Untuk penelitian selanjutnya dipilih mencit Albino strain Swiss dengan pertimbangan : a) Mencit strain ini cukup sensitif terhadap infeksi parasit dan reaksi terhadap pengobatan cukup baik. b) Mencit strain ini lebih tahan terhadap infeksi P. berghei.

1.

KEPUSTAKAAN

2. 3. 4. 5. 6.

UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Suriadi Gunawan,

Tuft S. Dewi RM, Suwarni, Marwoto HA. Laporan Akhir. Penelitian Imunitas selulerpadamencit BALB/c yang diinfeksi dengan Plasmodium berghei. Tahap I. 1991. Kumar S et al. Interdependence of CD4 T cells and malarial spleen in immunity to Plasmodium vinckei. Am Assoc Immunol 1989; 143: 2017. Merkli B, Richle R. The inhibitory effect of a drug combination on the development of mefloquine resistance in Plasmodium berghei. Ann Trop Med and Parasitol 1980; 74 (1): 1–9. Sadikin M. Peningkatan daya tahan tubuh oleh kenaikan suhu tubuh pada mencit terinfeksi dengan Plasmodium berghei ANKA. Cermin Dania Kedakt 1989; 55: 32–37. Perkins ME. Erythrocyte invasion by the malarial merozoite : recent advance. Mini Review. Experimental Parasitology 1989; 69: 94–9. Gran JL, Weidanz WP. Antibody independent immunity to reinfection malaria in B cell deficient mice. Infect Immun 1983; 41: 1197.

Tabel 3. Jumlah sel darah merah yang mengandung parasit pada mencit strain Swiss Albino yang diinfeksi dengan P. berghei secara intraperitoneal No. mencit

1. 2. 3. 4. 5. X

Ho (1000)*

H1 (1000)

H2 (1000)

H3 (1000)

H4 (1000)

H5 (1000)

H6 (1000)

+

%

+

%

+

%

+

+

+

+

18 59 16 12 72

1,8 5,9 1,6 1,2 7,2

200 89 121 100 191

20 8,9 12,1 10 19,1

119 683 283 102 801

11,9 68,3 28,3 10,2 80,1

%

600 60 mati 833 83,3 mati 479 47,9 625 62,5 800 80 900 90 890 89 945 94,5

– – 700 70 mati mati

35,4 3,54 140,2 14,02 397,6 39,76 720,4 72,04 494 49,4 140

Keterangan : * Jumlah SDM baik yang mengandung parasit maupun yang tidak.

I%

14

I%

– – mati – – –

Pengaruh Pasase Pl. berghei pada Mencit strain Swiss Rita Marleta Dewi, Edhie Sulaksono Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

ABSTRAK Telah dilakukan pengamatan efek pasase P. berghei pada mencit strain Swiss terutama terhadap kematian yang ditimbulkannya. Penelitian ini berguna dalam rangka pemeliharaan P. berghei pada hewan percobaan (mencit) yang banyak dipakai dalam penelitian imunologi dan obat malaria. Mencit diinfeksi secara intraperitoneal dengan 0,25 ml darah yang mengandung 2–3% parasit yang berasal dari mencit yang sudah terinfeksi dengan sporozoit P. berghei. Pengamatan terhadap kepadatan jumlah parasit, temperatur tubuh, keadaan umum dan kematian dilakukan setiap hari. Pada pengamatan sampai dengan pasase ke VII diketemukan bahwa mencit cenderung lebih cepat mati, berarti virulensi parasit ini cenderung meningkat. PENDAHULUAN Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan yang masih perlu diperhitungkan dalam pengelolaan kesehatan di negaranegara tropik termasuk Indonesia, karena sering terjadi letusanletusan yang tidak diduga sebelumnya. Penelitian mengenai malaria telah banyak dilakukan terutama mengenai imunologi dan pengobatan malaria. Penelitian pada manusia lebih besar resikonya daripada penelitian menggunakan hewan percobaan (dari segi etik, kemudahan, biaya dan lain sebagainya). Oleh karena itu penelitian malaria pada hewan percobaan perlu dikembangkan. Plasmodium berghei adalah suatu lfemoprotozoa yang menyebabkan penyakit malaria pada rodensia, terutama rodensia kecil. Penelitian mengenai imunologi dan obat malaria banyak menggunakan P. berghei dan mencit sebagai induk semangnya. Untuk memelihara kelangsungan hidup Plasmodium ini di laboratorium dilakukan dua cara. Pertama dengan menyimpan darah mencit yang mengandung parasit pada -70°g atau dalam nitroDibacakan di Seminar llmiah dan Kongres Nasional Biologi X, 24–26 September 1991, Bogor.

gen cair, kedua dengan memeliharanya pada makhluk hidup (mencit); namun pada cara kedua perlu dilakukan pemindahan parasit karena mencit yang telah terinfeksi akan mati dalam jangka waktu tertentu bila tidak diobati. Pemindahan parasit (pasase) merupakan pemeliharaan kelangsungan perkembangan secara aseksual; menurut Vanderberg dan Robert cara ini lambat laun akan menyebabkan hilangnya produksi gametosit; untuk mempertahankannya harus melalui siklus nyamuk (vektor). Di Indonesia belum diketahui vektornya sehingga hanya dapat memelihara bentuk aseksual yaitu dengan cara pasase. Di sini ingin diketahui pengaruh pasase terhadap perkembangan atau virulensi P. berghei di dalam mencit. BAHAN DAN CARA KERJA Dipakai mencit betina strain Swiss berumur ± 6 minggu dengan berat 20–25 gram. Pasase sporozoit dipakai sebagai permulaan infeksi mencit. Setelah 7–10 hari darah mencit sudah positif trophozoit malaria (2–3%) parasitemia. Melalui mata,

darah mencit ini diambil (sampai mencit mati sekitar 1 ml) kemudian diinfeksikan kembali ke mencit normal secara intraperitoneal sebanyak 0,25 ml. Enam ekor mencit dipelihara sampai mati dengan mengamati gejala klinis, temperatur tubuh dan jumlah parasit pada darah tepi (melalui ekor). Pengukuran dilakukan setiap hari. Pemeriksaan parasitologi dengan sediaan apus darah tipis dan tebal untuk mengetahui adanya parasit bentuk aseksual diwarnai dengan Giemsa lalu dihitung jumlah parasitnya per 1000 eritrosit atau per 300 leukosit. Beberapa ekor mencit terinfeksi dipakai sebagai sumber parasit dan pasase dilakukan sampai dengan 7 kali. HASIL DAN PEMBAHASAN Secara normal suhu rektal mencit berkisar sekitar 38,41°C. Mencit yang terinfeksi P. berghei pada awal penyediaan maupun pada pasase 1 sampai dengan ke-7 secara umum tidak mengalami kenaikan suhu rektal, yang terjadi adalah penurunan suhu rektal. Penurunan ini sudah terjadi mulai hari ke-4 dan terus berlangsung sampai dengan hari ke-13, mencit mati dengan suhu mencapai 32,2°C. Hal ini sesuai dengan pendapat pengamat lain bahwa pada mencit yang terinfeksi P. berghei dan diletakkan pada suhu biasa akan terjadi penurunan suhu rektum secara progresif'(1). Hal ini karena pusat pengatur suhu (termoregulator) mencit tersebut tidak berfungsi baik atau panas yang terbentuk akibat radang lebih banyak terbuang daripada menaikkan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh ini juga diiringi dengan beratnya penyakit, pada suhu subnormal mencit tampak sakit berat, lesu (tidak agresif), kurus, daun telinga, ekor dan selaput lendir mata, mulut dan anus tampak pucat kadang kekuningan; hewan tampak kedinginan, bulu berdiri, menggigil dengan posisi tubuh kiposis dan turgor buruk. Gejala ini semakin lama semakin berat sejalan dengan turunnya suhu rektal sampai hewan tersebut mati. Grafik perubahan suhu rektal dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar la. Grafik perubahan suhu rektal mencit yang diinfeksi dengan P. berghei pada pasase ke-1 sampai dengan pasase ke-7.

Gambar lb. Grafik rata-rata perubahan suhu rektal mencit yang diinfeksi dengan P. berghei pada hari pertama infeksi sampai dengan o C kematiannya.

P. berghei menyebabkan malaria berat pada mencit karena menyebabkan kematian jika tidak diberi pengobatan yang cepat. Secara laboratorik parasit ini sering menyerang lebih dari 5% eritrosit dan banyak dijumpai eritrosit yang mengandung lebih dari satu parasit; di samping itu juga banyak dijumpai sison dalam peredaran darah tepi. Karena banyaknya eritrosit yang terserang maka banyak pula eritrosit yang pecah/hilang pada saat pecahnya sison. Hal ini dapat menyebabkan hewan menderita anemi sehingga hewan tampak pucat. Pertumbuhan parasit terjadi mulai hari pertama setelah terinfeksi (23,24 x 104 parasit/mm3 darah) lalu meningkat sekitar hari ke-3 (28,86 x 104) kemudian kembali menurun pada hari ke-7 (21,6 x 104), hari ke-8 kembali meningkat (29,15 x 104), hari ke-9 menurun kembali menjadi 25,41 x 104 dan mencapai punGambar 2. Grafik pertumbuhan/jumlah parasit aseksual dalam 1 mm3 darah mencit terinfeksi

Tabel 1.

Pertumbuhan parasit P. berghei pada mencit yang diinfeksi pada awal sampai dengan pasase ke-7. Pertumbuhan parasit pada hari ke ………….. (x 104)

Pasase ke 1 21,7 28,9 – 21,3 11,0 22,0 29,5 28,3

2 17,0 29,2 – 28,6 19,4 24,5 36,2 20,8

3 26,8 23,9 – 33,9 16,8 18,3 40,4 41,9

11 9,8 18,5 36,2 23,0 13,6 – – –

12 – – – – – – – –

13 – – 27,8 – – – – –

Rata-rata 23,24

25,1

28,86 27,63 25,56 23,13 21,6 29,15 25,41 34,0 20,22



27,8

0 1 2 3 4 5 6 7

Tabel 2.

4 17,3 27,6 23,6 29,0 18,0 16,6 46,2 42,7

5 22,8 – – – 16,5 21,3 41,9 25,3

6 14,5 25,4 27,9 32,3 – 22,5 24,0 15,3

7 21,5 12,4 28,5 – – 24,0 – –

8 32,0 – 32,7 26,7 – 22,8 33,5 27,2

9 10,2 – 38,1 29,1 15,5 21,6 29,1 34,3

10 – 10,2 – 30,7 67,1 – 28,0 –

Jumlah kematian mencit setiap hari pada setiap pasase

Pasase

Jumlah kematian setelah infeksi pada hari ke 6

7

8

BPO BP1 BP2 BP3 BP4 BP5 BP6 BP7

1 – – – –

1 – –

– 1

– 2 – –

Jumlah

2

3

9

10

2 – – – –

– – – 1 –

– – 2

11

12

– 4 1 1 –

– 1

– 7 – 1 1 4 – 1

2

8

11

13

14

15

1 – 3 3

1

3

11 dan pasase ke tujuh pada hari ke 8,3. Terlihat bahwa pada pasase ke tujuh hewan rata-rata lebih cepat mati; hal ini mungkin karena adanya kecenderungan peningkatan virulensi parasit. Pada tabel 1 peningkatan jumlah parasit sudah tampak sejak pasase ke enam dan ke tujuh sehingga tampaknya pertumbuhan parasit semakin cepat.

5 7

1

3

cak pada hari ke-10 dengan jumlah parasit 34 x 104 sedangkan pada hari ke-11 menurun sangat tajam (20,22 x 104), pada saat ini hewan kebanyakan mati. Peningkatan dan penurunan jumlah parasit dalam darah mencit tidak ada hubungannya dengan penurunan suhu rektal (Gambar 2 dan Tabel 1). Secara kumulatif kematian tertinggi terjadi pada hari ke sebelas, pada saat itu jumlah parasit dalam darah sudah sangat berkurang namun kondisi hewan sudah sangat buruk karena banyak kehilangan sel darah merah. Banyaknya sel darah merah yang hilang juga menyebabkan menurunnya jumlah parasit. Kematian padainfeksi awalinfeksi rata-rata terj adi pada hari ke-8,2; pada pasase pertamapada hari ke 10,8; pasase ke dua 13,2; pasase ke tiga 11;pasase ke empat 11,5;pasase ke lima 9;pasase ke enam

KESIMPULAN P. berghei menyebabkan malaria berat dan berakibat fatal jika tidak cepat diobati. Hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan adanya demam melainkan penurunan suhu rektal. Pada pemeliharaan P. berghei di hewan percobaan yang memerlukan pemindahan parasit (pasase) perlu diperhatikan kemungkinan meningkatnya virulensi. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih diucapkan kepada Mu Dra. Harijani AM, Bapak Soeroto A dan Bapak Poernomo (Namru-2) yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam memelihara, mempergunakan dan mempelajari malaria pada rodensia KEPUSTAKAAN

1.

Sadikin M. Peningkatan daya tahan tubuh oleh kenaikan suhu tubuh pada mencit terinfeksi dengan Plasmodium berghci ANKA. Cermin Dunia Kedokteran 1989; 55: 32-7.

Never argue with doctor, he has the inside information

Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Obat antimalaria terpilih untuk malaria berat : a) Kina b) Klorokuin c) Primakuin d) Sulfadoksin-pirimetamin e) Kuinidin 2. Obat terpilih untuk malaria tanpa komplikasi : a) Kina b) Klorokuin c) Primakuin d) Sulfadoksin-pirimetamin e) Kuinidin 3. Antibiotik yang juga dapat digunakan sebagai Sntimalaria : a) Ampisilin b) Kloramfenikol c) Klindamisin d) Amoksisilin e) Kuinolon 4. Malaria dapat menyebabkan komplikasi berikut, kecuali : a) Syok b) Kejang c) Ikterus d) Gagal ginjal e) Tanpa kecuali 5. Obat antimalaria yang dikembangkan dari ekstrak tumbuhan : a) Halofantrin b) Artemisinin c) Meflokuin d) Klindamisin e) Primakuin

6. Obat antifilariasis yang tersedia di puskesmas : a) Klorokuin b) Halofantrin c) Dietilkarbamasin d) Sulfadiazin e) Tetrasiklin 7. Jenis nyamuk yang ditemukan terutama di sawah : a) An. sundaicus b) An. aconitus c) An. nigerrimus d) An. subpictus e) An. maculatus 8. Vektor utama malaria di Irian Jaya : a) An. sundaicus b) An. aconitus c) An. farauti d) An. nigerrimus e) An. subpictus 9. Obat antimalaria yang dapat diberikan par enteral : a) Kina b) Klorokuin c) Primakuin d) Halofantrin e) Kinidin 10. Jenis nyamuk yang larvanya tahan air asin : a) An. sundaicus b) An. aconitus c) An. nigerrimus d) An. subpictus e) An. maculatus

Related Documents

Cdk 094 Malaria
November 2019 5
Cdk 055 Malaria (ii)
November 2019 8
Cdk 131 Malaria
June 2020 0
Cdk 106 Malaria
June 2020 2
Cdk 118 Malaria
June 2020 0
Cdk 054 Malaria (i)
November 2019 3