Cermin Dunia Kedokteran 1995
99. Tuberkulosis Maret 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary 5. 9.
Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis – Nur Aida Uji Faal Paru Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat Jalan di Polildinik Paru URJ RSAL Dr. Ramelan, Surabaya–Didik Supardi, Caecilia L, Soemarno 11 Penyebab Kematian Penderita Penyakit Paru – Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Herry Budi 14. Penggunaan Gliseril Guaiakolat untuk Meningkatkan Cakupan BTA (+) pada Tersangka Tuberkulosis Paru – Sudyo 18. Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada Tuberkulosis di Luar Paru – Indro Handojo 22. Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro padaPenderitaTuberkulosis Biakan Positif dan Biakan Negatif – Anik Widijanti 25. Potensi Mikrobiologi dan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina – Akmal 29. Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru – Tjandra Yoga Aditama 32. Bronkhitis, Bronkhopneumoni dan Bronkhiektasis di Lingkungan Keluarga Penderita Tuberkulosis Paru – Kusnindar Atmosukarto 35. Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik – Faisal Yunus 39. Efusi Pleura Keganasan – Bambang Kisworo 43. Heat-Shock Protein – Zuljasri Albar 48. Taxol sebagai Antikanker – Usman Suwandi 51. Aspek Genetik dan Irnunologik Kanker Payudara–Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo 55. Pengaruh Filter Aluminium pada Tegangan Puncak (kVp) dan Dosis Sinar X Diagnostik dari Pesawat Tanka RTO-125 – Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari 58. Efek Antidiare Infus Batang Kayu Kuning (Archangelisia flava L) pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya – Sa'roni, Adjirni, Wien Winarso 62. Abstrak 64. RPPIK
Penyakit tuberkulosis telah sering dibahas; kendati demikian masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol, apalagi dengan mewabah kembalinya penyakit ini di negara-negara maju seiring dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS. Pembahasan tuberkulosis dalam Cermin Dunia Kedokteran edisi ini lebih menitikberatkan segi/masalah komplikasi dan diagnostik, baik melalui pemeriksaan yang lazim seperti pemeriksaan BTA sputum maupun dengan cara lain yang lebih sensitif, terutama untuk mendeteksi adanya tuberkulosis di luar paru. Masalah paru lain yang juga disinggung di sini ialah bronkiektasis kronik dan efusi pleura; di samping itu masih ada beberapa artikel lain mengenai kanker dan mengenai heat-shock protein. Selamat Tahun Baru 1995. Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995
Cermin Dunia Kedokteran 1995
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
KETUA PENGARAH Prof. Dr Oen L.H. MSc KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PEMIMPIN USAHA Rohalbani Robi
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar
TATA USAHA Sigit Hardiantoro ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 Fax. 4893549, 4891502 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 PENERBIT Grup PT Kalbe Farma
– Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Staf Ahli Menteri Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
PELAKSANA Sriwidodo WS
PENCETAK PT Temprint
REDAKSI KEHORMATAN
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Drg. Siti Wuryan A. Prayitno SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta
Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
– Prof.DR.Hendro Kusnoto Drg.,Sp.Ort Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti, Jakarta
REDAKSI KEHORMATAN
– Dr. B. Setiawan Ph.D – DR. Ranti Atmodjo
– Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc. – Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, JI. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 Jakarta. Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995 kerja si penulis.
3
English Summary THE USE OF GLYCERYL GUAIACOLATE IN ACID-FAST BACTERIA SPUTUM EXAMINATION Sudijo Health Regional Office, Lamongan, East Java Indonesia
Pulmonary Tuberculosis remains a problem in Indonesia with a fairly high (0.29%) prevalence combined with low (16%) coverage of treatment and low (10%) BTA(+) findings. Tuberculosis control program still relies heavily on BTA(+) as the main positive diagnostic finding of pulmonary tuberculosis, butthe main difficulty of BTA(+) finding is in obtaining good sputum samples for laboratory examination. This investigation was aimed at solving this problem by administering glyceril guaiacolate to Pulmonary Tuberculosis suspects prior to sputum examination. The study was conducted in the program area of the Babat and Sekaran health centers in the Lamongan regency from April to June 1994, Two hundred and fifty seven (257) subjects were assigned to experimental and control groups and each group was examined twice, before and after the administration of glyceril guaiacolate or placebo. BTA(+) cases found among the experimental group before and after the administration of glyceril guaiacolate are 19.2% and 46.4% respectively; and positive cases found among the control group before and after the administration of placebo are 23.9% 4
and 19% respectively. It seemed that there were39.1% changes from BTA(-) to BTA(+) in experimental group and 10.9% in control group. Statistical anaiyses proved that the administration of glyceril guaiacolate can significantly improve the BTA(+) findings based on 'sputum examination on new pulmonary tuberculosis suspects (p = 4.13E-09 p = 8,034E-06). Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 14–7 sj
DIAGNOSTIC VALUE OF PAP-TB TEST IN EXTRA PULMONARY TUBERCULOSIS Dr. dr. Indro Handojo Clinical Pathology Lab., Faculty of Medicine Airlangga University, Dr. Sutomo General Hospital, Surabaya, Indonesia
A laboratory study to evaluate the diagnostic value of PAP-TB test for the diagnosis of extrapulmonary tuberculosis (TB) was carried out on 48 patients with extrapulmonary TB and 53 non-TB patients attending the TB Centre di Malang, several hospitals and other treatment centres in East Java during the period of 1989 until 1992. Histopathological test was used to confirm the diagnosis of extrapulmonary TB in this study. PAP-TB tests (Handojo's method) were performed on the sera of the above mentioned patients. The cut-off titre of the PAP-TB test used in this study is related to a serum dilution of 1: 5000. The result of this study showed
Cermin Dunia Kedokteran No. 99, 1995
that for the diagnosis of extrapulmonary TB, the PAP-TB test has a diagnostic sensitivity as high as 87.5%, a diagnostic specificity as high as 90.6%, a diagnostic efficiency as high as 89.1%, a diagnostic positive predictive value as high as 89.4% and a negative predictive value as high as 88.9%. From the analysis on data obtained in this study, it can be concluded that the PAP-TB test is a reliable diagnostic tool for the diagnosis of extrapulmonary TB with high diagnostic value based on the criterion of Handojo. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 18–21 Ih
MICRO ELISA TEST ON SERA FROM, CULTURE-POSITIVE- AND CULTURENEGATIVE PULMONARY TUBERCULOSIS PATIENTS Anik Widijanti Dept. of Clinical Pathology. Dr. Sjaiful Anwar Hospital/Faculty of Medicine Brawijaya University, Malang, Indonesia
This study was carried out on 61 sera from pulmonary tuberculosis patients; 35 sera from patients with positive sputum cultures, and 26 sera from patients with negative sputum cultures. The concentration of specific lgG against M. tuberculosis of the abovementioned sera was determined by the micro Elisa technique. The result showed that the concentration of specific IgG from patients with positive sputum culture did not differ significantly from patients with negative sputum culture (p > 0,05). Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 22-4 Aw
Artikel Patogenesis Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis Nur Aida Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT). Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara 16%–50%. Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kompleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi jaringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan sehingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri. Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom obstruksi pasca TB. SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1) menyebutnya emfisēma obstruksi kronik. Martin dan Hallet(2) menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan Robin(3) menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha dan Bruckner(4) menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi; Tanuwtharjā menyebutnya sirldronrobstruksi difus(5). Di Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada penderita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas
TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT). KEKERAPAN Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang pernah diteliti (Tabel 1). Tabel 1.
Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB Peneliti
Tahun
Kekerapan
Ref.
Cuggel Gaensler Martin dan Haller Lancaster dan Tomasshesfki Malik dan Martin Snider et al Tanuwiharja Tanuwiharja Sardikin Giriputro
1955 1959 1961 1963 1969 1971 1980 1988 1989
44 % 42,6 % 50,4 % 34 % 32 % 41,8 % 50,4 % 46,9 % 16,7 %
1 5 2 6 7 8 9 10 11
PATOGENESIS Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada terjadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT). Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara(3). Emfisema kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif. Sedangkan Gaensler(5) dan Snider et al(8) menyatakan bahwa kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam
perkembangan emfisema. Gaensler dan Lindgren(5) berpendapat bahwa bronkitis kronis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi. Bell(11) berhasil menimbulkan bula emfisematous pada kelinci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas menimbulkan kelainan obstruksi(12). Baum(13), Crofton dan Douglas(14) menyatakan bahwa reaksi hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi spesifiknya sendiri. Hennes et al(15) menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan penting pada patogenesis emfisema. Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru dengan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok, lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti(2,6–11,13) Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit, tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas kelainan dan distribusi lesi(9). Pemeriksaan perubahan faal ventilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persahabatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mempunyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit(9). Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sindrom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga menimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari pemeriksaan spirometri. SISTIM IMUNITAS TUBUH Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesifik dan nonspesifik(16,17) (Gambar 1).
Gambar 1. Sistem Imun(16)
Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan responnya(17,18). Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik(19–22). Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(20,22). Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan memfagosit serta respon imunologiknya(20). Kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen(17,20,21). Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi(20). TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertamatama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis(18). Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan metabolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H2O2). Chaparas 1984(23) menerangkan bahwa mikobakterium tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-
dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan : • Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan • Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut. • Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepaskan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya. Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pembentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen membunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain. Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai penanggungjawab destruksi matriks(24). Komponen utama yang membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari : kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru(24). Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel dan anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut(24,25) : 1) Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan dinding alveoli. 2) Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase. 3) Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema. 4) Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain
merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase. Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti(25) : a) Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara langsung merusak sel terutama pneumosit I. b) Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis. c) Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun. Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri. KESIMPULAN Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara lain : 1) Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan, sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag aktif. 2) Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena proses TB. 3) Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis dan oksidasi akibat infeksi TB. 4) TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.proteolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju kerusakan pant yang, menahun dan mengakibatkan gangguan faal pant yang dapat dideteksi secara spirometri. SARAN Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan hipereaktifitas bronkus. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med. 1961; 54: 1156. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis. Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 1–27. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1964; 89: 830–4. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kumpulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun. 54–65. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis – a cause of emphysema. Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435.
7. 8. 9. 10. 11. 13. 15. 16. 17.
Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971; 103: 625. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni 1980. p. 77–84. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif. Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphysematous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc. 1958; 78: 848–861. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and Company. 2nd ed., 1974; p. 263. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir. Dis. 1961; 83: 354. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 1–72. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991.
18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 : 355–87. 19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In: Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd ed. New York: Raven Press. 1989: 1–33. 20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985; 87: 247–52. 21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co. 1988: 589–98. 22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia: WB. Saunders Co. 1986: 313–39. 23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immunol. 1984; 2: 126. 24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl. 1) : 56. 25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during lung inflammation. Chest 1987; 92: 161.
Uji Faal Paru Penderita Tuberkulosis Paru yang Berobat Jalan di Poliklinik Paru URJ RSAL Dr. Ramelan, Surabaya Didik Supardi*, Caecllia L**, Soemarno*** * Bagian Uji Coba Lakesla Ditkes TNI-AL,Surabaya ** Sub. Dept. Paru RSAL Ramelan, Surabaya *** Kepala Bagian Paru RSAL Dr Ramelan Surabaya
PENDAHULUAN Tuberkulosis Paru (TB-Paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai penyakit kronis yang dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius; hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan jaringan paru yang bersifat permanen. Di samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap serta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru. Hutchinson pada tahun 1846, untuk pertama kalinya mengadakan penelitian faal paru atas sejumlah pasien TB-Paru yang dirawatnya. Secara umum TB-Paru akan menyebabkan radang paru kronis yang di kemudian hari akan memberikan perubahan-perubahan jaringan yang berupa emfisema sehingga mengakibatkan kelainan faal paru restriktif, campuran maupun obstruktif pada penderita. Berikut ini disampaikan hasil pemeriksaan faal paru para penderita TB-Paru yang berobat jalan di poll Paru URJ - RSAL Dr Ramelan Surabaya, bekerja sama dengan bagian Faal Paru Lakesla Ditkesal Surabaya. BAHAN DAN CARA Data diperoleh secara prospektip dengan mencatat hasil pengukuran Mal paru penderita TB-Paru yang berobat jalan di poli Paru URJ RSAL Dr Ramelan Surabaya antara kurun waktu 21 Desember 1992 s/d akhir April 1993. Pada masing-masing penderita dilakukan pengukuran VC, FVC FeV-1, MBC dan MEFR dengan mempergunakan alat Spirometer Collins dengan kapasitas 7 liter. Pemeriksaan dikerjakan dengan posisi penderita berdiri; hidung penderita dijepit dengan nose-clip. Pengukuran Dibacakan pada Konas VI PDPI 1993 di Surakarta 4 Juli 1993.
faal paru penderita dilaksanakan oleh petugas perawat di bagian faal paru yang telah menekuni bidangnya cukup lama, yakni lebih kurang 20 tahun. Yang dimaksudkan dengan penderita TB-Paru di sini adalah para penderita TB-Paru yang telah terbukti/terdiagnosis secara klinis, rontgenologis dan laboratoris, maupun para penderita TB-Paru tersangka, secara klinis dan rontgenologis. Dari data yang terkumpul dilakukan interpretasi kelainan faal parunya (Tabel 1). Tabel 1. Kelas
Parameter Kelainan Faal Paru Restriktif Derajat Kerusakan VC FEV1
0 I II III IV
Normal Ringan Sedang Berat Sangat berat
> 80 60–80 50–60 35–50 < 35
> 75 > 75 > 75 > 75 N/↓
Obstruktif VC
FEV1
> 80 > 80 > 80 ↓ ↓↓
> 75 60–75 40–60 < 40 < 40
HASIL PEMERIKSAAN Selama kurun waktu penelitian, telah diperoleh hasil uji faal paru 111 orang penderita dan hanya 1 orang saja yang normal faal parunya. Tabel 2.
Pembagian menurut Umur dan Sex Penderita TB-paru yang diperiksa taal parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Persentase
10–19 20–29 30–39 40–49 50–59 60–69 ≥ 70
Umur
5 12 2 11 20 12 7
4 8 6 13 10 1 0
9 20 8 24 30 13 7
8,1 18,1 7,9 21,6 27,0 11,7 6,3
Jumlah
69
42
111
100,0
Usia termuda pasien kami adalah 13 tahun sedangkan yang paling tua berusia 74 tahun. Tabel 3.
Pembagian menurut Jenis kelamin 110 penderita TB-Paru yang Mengalami Kelalnan Faal Paru
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Tabel 4.
Persentase
68 42
61,3 37,8
Kelainan Faal Paru 110 penderita TB-Paru yang Diperiksa di Lakesla Ditkesal Surabaya
Kelainan Restriksi Obstruksi Campuran Normal Tabel 5.
Jumlah
Laki-Iaki
Jumlah
Perempuan
n
%
n
%
n
%
32 2 34 1
28.8 1,8 30,6 0,9
26 1 15 0
23,4 0,9 13,5 0,0
58 3 49 1
52,3 2,7 44,1 0,9
Derajat Kelainan Faal Paru pada 110 Penderita TB-Paru yang Diperiksa Faal Parunya di Lakesla Ditkesal Surabaya
Kelainan Restriksi Obstruksi
Ringan n % 21 18,9 30 27,0
Sedang n % 23 20,7 12 10,8
Berat n % 63 56,8 10 9,0
Jumlah n % 107 96,4 52 46,8
Tabel 5 menggambarkan distribusi kelainan faal paru 110 penderita TB-Paru yang diperiksa; apabila seorang penderita mengalami gangguan faal paru campuran antara restriktif dan obstruktif, maka dicatat secara terpisah dalam kolom restriksi ataupun obstruksi; itulah sebabnya mengapa dalam tabel 4 hanya diketemukan kelainan faal paru obstruktif murni sebesar 2,7% kasus saja, sedang dalam tabe15 terdapat lebih banyak tercatat kelainan faal paru obstruktifnya; hal tersebut berasal dari kasus yang mempunyai kelainan faal paru campuran yang jumlahnya cukup banyak, yakni sebesar 44,1% kasus. DISKUSI Umur penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa faal parunya berkisar antara 13 – 74 tahun dengan golongan usia terbanyak adalah sekitar usia 50 – 59 tahun. Perbandingan antara penderita priadan wanita yakni 61,3% penderita pria dan 37,8% penderita wanita. Dari 111 orang penderita TB-Paru yang berhasil diperiksa faal parunya ternyata 99,1% mengalami kelainan faal paru dan 0,9% normal (1 orang penderita). Pada tabel 4 tampak jenis kelainan faal paru yang didapat, yakni kelainan restriktif sebesar 52,3% kemudian disusul kelainan campuran antara restriktif dan obstruktif sebesar 44,1% dan selanjutnya kelainan obstruktif sebesar 2,7%. Angka-angka tersebut tampaknya sesuai dengan hasil penelitian terdahulu yang melaporkan bahwa proses radang TB-Paru akan banyak memberikan kelainan faal paru restriktif pada tahap awal perjalanan penyakitnya, selanjutnya berakhir dengan kelainan yang obstruktif pada akhir perjalanan penyakitnya(4). Snider dick pada penelitiannya yang meliputi sejumlah 1403
orang penderita TB-Paru mendapatkan hasil sebagai berikut : 24,4% restriktif, 23,2% obstruktif, 18,6% campuran antara restriktif dan obstruktif, akhirnya normal 37,7%(7). Tanuwiharja dick pada penelitiannya di RS Persahabatan Jakarta mendapatkan hasil 40,2% restriktif, 6,5% obstruktif, kemudian 43,9% campuran dan 9,4% tanpa kelainan faal paru(8). Peneliti yang lain memperoleh hasil yang hampir serupa, terbanyak adalah tipe campuran kemudian restriktif selanjutnya terakhir tipe obstruktif(6). Pada tabel 5 dapat dilihat derajat berat ringannya faal paru yang diketemukan; terbanyak adalah restriksi berat (56,8%), restriksi sedang 20,7% dan restriksi ringan sebesar 18,9%. Kelainan obstruktif terbagi menjadi : 9% obstruksi berat, 10,8% obstruksi sedang dan 27% obstruksi ringan. Secara umum ditemukan pada penelitian kami 96,4% kelainan restnktif dan 46,8% kelainan obstruktif. KESIMPULAN Telah dilakukan penelitian faal paru path 111 orang penderita TB-Paru yang berobat jalan di Poll Paru URJ RS AL Dr. Ramelan Surabaya dengan hasil 99,1% penderita mengalami kelainan faal paru, yang secara umum terdiri atas 96,4% restriktif dan 46,8% obstruktif. Ditinjau dari macam kelainan faal parunya, 52,3% restriktif, 44,1% tipe campuran dan 2,7% obstruktif. Kemudian dari derajatnya diketemukan kelainan restriksi berat sebesar 56,8% sedang obstruksi ringan 27%. Tuberkulosis pant akan mengakibatkan terjadinya kerusakan parenkhim paru yang sangat bervariasi dan tidak spesifik; pada tahap awal penyakit TB-Paru memberikan kelainan faal paru restriktif, selanjutnya pada keadaan yang lanjut berakhir dengan obstruktif.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Caensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an etiological factor in obstructive emphysema. Am Rev Respir Dis 1989; 80: 185. Hood Alsegaff dkk. Penelitian faal pare pada penderita TB-Paru di RSUD Dr Soetomo Surabaya. Laporan Pendahuluan. Part 1983; 3: 163–8. Leulallen EC, Fowler WS. Maximal mid expiratory flow rate. Am Rev Tuberc 1955; 72: 783–99. Malik SK, Martin Cl. Tuberculosis corticosteroid therapy and pulmonary function. Am Rev Respir Dis 1969; 100: 13–8. Martin CJ, Hawlett WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a tuberculosis sanatorium. II. Incidence and Symptoms. Ann Intern Med 1961; 54: 1156–64. Pasiyan R, Prihadi M. Uj faal part penderita TB-Pam di RS Karyadi Semarang. Medika 1986; 9: 824–8. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR Obstructive airway disease in patient treated for puhnonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis 1971; 103: 625–40. Tanuwiharja BY. Pemeriksaan spirometrik pads penderita TB-Para lanjut di RS Persahabatan Jakarta. Skripsi bagian Pulmonologi FKUI Jakarta. 1979. Tjandra YA, Husaeri F. Uji faal pans penderita TB-Pam di Laboratorium Spirometri Unit Paru RS Persahabatan Jakarta. Medika 1984; 3: 839–41.
Penyebab Kematian Penderita Penyakit Paru Tjandra Yoga Aditama, Hadiarto Mangunnegoro, Sutji Astuti, Harry Budi Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Indonesia UPF Paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Berbagai penyakit paru kini merupakan masalah kesehatan. Penyakit infeksi, tuberkulosis maupun nontuberkulosis, asma dan penyakit paru obstruktif menahun, kanker paru dan juga penyakit paru akibat kerja merupakan contoh penyakit-penyakit yang punya dampak luas di masyarakat. Kedokteran Respirasi (Respiratory Medicine) saat ini agaknya merupakan istilah yang lebih tepat dan lebih banyak dikemukakan oleh karena cakupan yang luas serta mempunyai pengaruh sosial ekonomi dan budaya. Hal ini tidak mengherankan karena paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan udara luar (lingkungan), hingga perubahan tersebut di atas berpengaruh langsung terhadap kesehatan paru, contohnya ialah Smoking Related Diseases, penyakit paru kerja, Tb, Asma dan lain-lain. Hal-hal tersebut berarti bila ingin menanggulangi penyakit paru dan meningkatkan kesehatan paru secara menyeluruh, aspek kuratif menjadi sebagian saja dari pendekatan yang harus dilakukan. Upaya promotif, preventif, dan rehabilitatif sudah waktunya diperluas cakupan kegiatannya. Khusus untuk Indonesia, penyakit-penyakit infeksi paru masih merupakan penyebab kematian yang amat penting dan masih sering pula dijumpai dalam pola morbiditas yang ada, demikian pula dengan asma bronkial dan penyakit paru obstruktif. Hasil survai kesehatan rumah tangga 1980 menunjuk hampir sepertiga (28,4%) kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit paru. Pada survai berikutnya di tahun 1986 angka ini ternyata meningkat menjadi 30,5%, sehingga berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga Nasional terbaru ini tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa 1 di antara 3 kematian di negara kita disebabkan oleh penyakit paru. Berikut ini disampaikan data pola kematian pada penderita yang dirawat di unit Paru RSU Persahabatan tahun 1991. Seperti Tabel 2.
Distribusi Umur
diketahui RSU Persahabatan adalah pusat rujukan untuk penyakit paru di Indonesia. Data penyebab kematian dikumpulkan dari catatan medik, dan sebab kematian ditentukan pada suatu diskusi atau rapat kematian oleh peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan staf pengajar bagian Pulmonologi FKUI/UPF Paru RSU Persahabatan. DATA KEMATIAN Data kematian yang dikumpulkan selama tahun 1991 dari bagian Ilmu Kedokteran Respirasi FKUUUnit Paru RSU Persahabatan, penyebab kematian utama adalah Tb paru (41,7%) sebanyak 73 kasus dari 175 jumlah total kematian, disusul kanker paru (29,1%) sebanyak 51 kasus dan kemudian pneumonia (9,1%) sebanyak 16 kasus (tabel 1). Tabel 1.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Distribusi Diagnosis Penyakit Penyebab Kematian Nama Penyakit
Jumlah
%
TB paru Tumor paru Pneumonia Bronkhiektasi Cor pulmonal PPOK Tumormediastinum Pneumotoraks Empiema toracis Abses paru Asma
73 51 16 15 7 4 3 3 2 1 0
41,71 29,14 9,14 8,57 4,10 2,29 1,71 1,71 1,14 0,57 0
Total
175
100
Usia terbanyak adalah 26 – 30 tahun sebanyak 27 kasus (15,4%), disusul oleh 31 – 35 tahun sebanyak 17 kasus (9,7%) (tabel 2). Penyebab kematian terbanyak adalah karena gagal napas (40%) pada 70 kasus, disusul oleh stadium akhir dari suatu ke-
Umur <18 18 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65 Total
Jumlah
%
7 13 30 24 28 36 37
4,0 7,43 17,14 13,72 16,0 20,57 21,14
175
100
ganasan pada 38 kasus (21,7%), kemudian sebab asfiksi pada 28 kasus (16%) (tabel 3). Tabel 3.
Distribusi Sebab Kematian
Sebab Kematian
n
%
70 4 5 7 28 14 8 1 38
40 2,28 2,85 4 16 8 4,57 0,5 21,7
175
100
Gagal napas Gagal jantung Gagal jantung paru Gagal multi organ Asfiksia Sepsis Asidosis metabolik Gagal ginjal Stadium akhir keganasan Total
Pada Tb paru, sebagai penyebab kematian tertinggi adalah karena hemoptisis yang tidak teratasi sebanyak 33 kasus (34%), disusul dengan penderita Tb paru yang disertai keadaan umum buruk (gizi buruk, dehidrasi dan sebagainya) sebanyak 23 kasus (23,7%) (tabel 4). Tabel 4.
Distribusi Sebab Kematian Pasien Tb Paru
Dengan hemoptoe Dengan komplikasi : – Ca – Decomp cordis – NIDDM – Pneumotoraks – Bronchopneumonia – enterim Tb paru dupleks KU lemah Destroyed Lung Total
n
%
33
34
1 2 4 11 7 1 10 23 15
1,03 2,06 4,12 1,03 7,21 1,03 10,3 23,7 15,46
97
100
Pada kanker paru, yang terhanyak adalah jenis adeno Ca (29,4%) 15 kasus, kemudian karsinoma (19,6%) sebanyak 10 kasus (tabel 6). Tabel 6.
Distribusi Jenis Kanker Paru n
%
Dengan effusi pleura Adeno ca Epidermoid Sel kecil Belum terdiagnosis jenisnya
8 15 10 1 17
15,69 29,41 19,61 1,96 33,33
Total
51
100
Usia yang terbanyak 56–65 tahun (35,3%) 18 kasus, disusul 46 – 55 tahun (27,45%) sebanyak 14 kasus (tabel 7). Tabel 7.
Distribusi Usia Pasien Kanker Paru Usia (tahun)
n
%
<18 18 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65
– 1 3 7 14 18 8
– 1,96 5,88 13,72 27,45 35,29 15,69
Total
51
100
Umumnya penderita kanker paru yang dirawat di RSUP Persahabatan meninggal dunia karena mereka datang dalam keadaan Stadium akhir dari suatu keganasan (72,5% – 37 kasus) (tabel 8). Tabel 8.
Distribusi Sebab Kematian pada Kanker Paru
Stadium akhir Gagal napas Gagal jantung Total
Distribusi Usia Pasien Tb Paru Usia (tahun)
12
n
%
< 18 18 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65
6 8 32 13 10 10 18
6,18 8,24 32,98 13,4 10,3 10,3 18,55
Total
97
100
% 72,55 25,49 1,96
51
100
Penyakit infeksi paru sebagai penyebab kematian adalah pneumonia. Umumnya terjadi di usia 26 – 35 tahun (41,7%) sebanyak 5 kasus (tabel 9). Tabel 9.
Distribusi Umur Pasien Pneumonia yang Meninggal Dunia Usia (tahun)
Tabel 5.
n 37 13 1
< 18 18 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65 Total
n
%
– 1 5 – 2 3 1
– 8,333 41,67 – 16,67 25,00 8,333
12
100
Sebab kematian yang terbanyak pada pneumonia adalah karena gagal napas (50%) sebanyak 6 kasus, disusul asidosis metabolik yang tidak terkompensasi (25% – 3 kasus) (tabel 10).
Tabel 10. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Pneumonia
Tabel 14. Distribusi Sebab Kematian pada PPOK
n
%
Gagal jantung paru Gagal napas Sepsis Asid metab
1 6 2 3
8,333 50,00 16,67 25,00
Total
12
100
Selain pneumonia, bronkiektasis juga menyebabkan kematian pada urutan ke 4 karena hemoptisis yang tidak teratasi pada 6 kasus (54,5%) (tabel 11).
Dengan infeksi Hemoptoe Cor pulmonale Total
%
4 6 1
36,36 54,54 9,10
11
100
Umur penderita bronkiektasis terbanyak antara 26 – 35 tahun (36,4% – 4 kasus) (tabel 12). Tabel 12. Distribusi Umur pada Pasien Bronkiektasis Usia (tahun) < 18 18 – 25 26 – 35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65 Total
n
%
– 1 4 1 1 1 3
– 9,10 36,36 9,10 9,10 9,10 27,27
11
100
Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena asfiksi (36,4% – 4 kasus), disusul dengan gagal napas (27,3% – 3 kasus) (tabel 13). Tabel 13. Distribusi Sebab Kematian pada Bronkiektasis n
%
Asfiksia Gaga] napas Sepsis Gagal jantung paru Asid metob
4 3 2 1 1
36,36 27,27 18,18 9,10 9,10
Total
11
100
Pada penyakit paru obstruksi kronis, kematian yang terbanyak tidak diketahui sebabnya sebanyak 4 kasus (36,4%) (tabel 14). Usia pada penderita PPOK adalah terutama lebih dari 65 tahun (45,45% – 5 kasus) (tabel 15). Gagal napas merupakan penyebab kematian utama pada penderita PPOK (9 kasus – 87,8%) (tabel 16).
18,18
Total
11
100
n
%
<18 18–25 26–35 36 – 45 46 – 55 56 – 65 > 65
– – – – 3 3 5
– – – – 27,27 27,27 45,45
Total
11
100
Usia (tahun)
9,10 9,10 9,10 9,10 36,36
Tabel 16. Distribusi Sebab Kematian Pasien PPOK
Gagal napas Gaga] jantung Gagal multiorgan Total
n
%
9 1 1
81,82 9,10 9,10
11
100
kematian, disusul dengan tumor paru. Tuberkulosis merupakan penyebab kematian pertama pada laporan kali ini. Kanker paru yang dirawat di RSUP Persahabatan umumnya datang pada stadium yang sudah lanjut sehingga meningkatkan penyebab kematian. Distribusi umur pasien yang meninggal tampaknya merata, 41,71% diantaranya berusia di atas 56 tahun. Dalam proses akhir penyebab kematian, gaga] napas merupakan penyebab utama, disusul dengan stadium akhir keganasan dan asfiksia. Pola penyebab kematian pada laporan ini tentu dipengaruhi oleh pola diagnosis dan keadaan penderita yang datang ke punt rujukan di RSUP Persahabatan ini. Laporan ini telah membahas berbagai aspek penyebab kematian pada penyakit paru, dan tampaknya perlu disusul dengan laporan-laporan selanjutnya secara berkala. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
KESIMPULAN Dari data yang dikumpulkan selama tahun 1991 di bagian Pulmonologi FKUUUPF Paru RSUP Persahabatan penyakit infeksi masih menduduki urutan pertama sebagai penyebab
%
2 1 1 1 1 1 4
Tabel 15. Distribusi Usia Pasien PPOK
Tabel 11. Distribusi Sebab Kematian pada Pasien Bronkiektasis n
n Dengan bronch emfisema Bronkhiektasi TB paru tsk Gagal ginjal Pneumotoraks KU lemah Tidak disebut jenisnya
4.
Hadiarto M. Pengembangan IPTEK Kedokteran Bidang Respirasi PJPT II. Jakarta, 1993; 1–5. Hadiarto M. Penyakit Paru di Indonesia dan Penanggulangannya dalam Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk Bagian Pulrnonologi FKUI. Jakarta, 1992; 3–8. Ratna Budiarso dkk. Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat. Penclitian Ekologi Kesehatan. Jakarta. Tjandra YA. Situasi dan Dampak Penyakit Paru pada Pusat Kesehatan Masyarakat. Dalam: Pulmonologi Klinik. Ed. Faisal Yunus dkk. Jakarta, 1992; 9–14.
13
Penggunaan Gliseril Guaiakolat untuk Meningkatkan Cakupan BTA(+) pada Tersangka Tuberkulosis Paru Sudijo Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
ABSTRAK Penyakit tuberkulosis paru masih menjadi masalah di Indonesia karena prevalensi BTA (+) masih tinggi (0,29%), penemuan penderita rendah (10%), cakupan pengobatan rendah (16%). Penemuan BTA (+) masih dipakai sebagai kriteria diagnosis pasti pada program pemberantasan tuberkulosis paru di lapangan. Salah satu kesulitan penemuan BTA (+) adalah pada pengumpulan dahak yang berkualitas untuk bahan pemeriksaan laboratorium. Penelitian ini dimaksudkan untuk mencoba memecahkan masalah tersebut dengan pemberian gliseril guaiakolat (GG) pada tersangka TB paru. Studi ini dilakukan di wilayah Puskesmas Babat dan Sekaran Kabupaten Lamongan dari April sampai Juni 1994. Telah diperiksa 257 kasus yang dibagi menjadi dua kelompok, kelompok studi dan kontrol, setiap kelompok diperiksa dua kali yaitu sebelum dan sesudah pemberian GG atau plasebo. BTA (+) yang ditemukan sebelum dan sesudah pemberian GG adalah 19,2% dan 46,4%, sebelum dan sesudah pemberian plasebo 23,9% dan 19%. Perubahan BTA (– ) menjadi BTA (+) pada kelompok studi 39,1%, kelompok kontrol 10,9%. Dengan uji statistik dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan penemuan BTA (+) dalam dahak penderita (sangat bermakna P = 4,13E-09 dan P = 8,034E-06).
PENDAHULUAN WHO memperkirakan 1700 juta penduduk dunia telah terinfeksi TB paru dengan ditandai test tuberkulin (+); dari jumlah itu 4 juta merupakan penderita baru dengan BTA (+), dan 4 juta BTA (–) setiap tahunnya(1,2). Sedangkan di Indonesia diperkirakan pada akhir Pelita IV sekitar 714000 orang terserang TB paru; sekitar 440000 orang dengan BTA (+), dan 145000 orang di antaranya adalah penderita baru(3). Kuman BTA akan terlihat bila jumlahnya sekitar 5000 –
14
100000 dalam 1 ml dahak(5,6). Rendahnya penemuan BTA (+) di lapangan salah satu disebabkan karena dahak yang diperiksa kurang adekuat(7). Penggunaan ekspektoran (gliseril guaiakolat) menyebabkan dahak lebih mudah dikeluarkan, dahak berasal dari tempat radang yang jumlah kumannya banyak, dahak lebih encer sehingga kuman tersebar merata(8). Dengan demikian kuman lebih mudah terambil saat membuat sediaan atau positive ratenya lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara biasa.
PATOGENESIS TB PARU TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. TB paru post primer adalah TB paru yang mehyerang orang yang telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi sebelumnya. Proses awal berupa satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. Gejala penting TB paru post primer adalah : 1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat. 2) Batuk darah atau bercak saja. 3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal. 4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya parenkhim paru yang luas. 5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endobronkhial. 6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun. WHO merekomendasikan gejala penting TB paru berturutturut adalah batuk lebih dari 4 minggu, batuk darah, nyeri dada, dan demam(7). GLISERIL GUAIAKOLAT(8,9,10,11) Ekspektoran adalah zat kimia yang mengubah jumlah dan kekentalan cairan saluran pernafasan; merupakan zat yang mendorong ekspektorasi atau meningkatkan buangan mukus dari saluran nafas. Gliseril guaiakolat atau guaefenesin adalah ekspektoran yang diintrodusir sekitar tahun 1948, pemakaiannya sangat luas baik untuk campuran obat batuk maupun obat tersendiri. Food and Drug Administration (FDA) mengklasifikasikan obat ini sebagai kategori I yaitu obat yang secara umum aman dan efektif. Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan keenceran dan produksi cairan dari saluran nafas. Penulis lain menduga melalui efek emetik di vagal dan glandula sekretorik di saluran pernafasan. Lokasi aktivitas obat ini pada jaringan otot trakhea dan bronkhial. Beberapa penulis melaporkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan dahak sampai 200% pada pasien yang tidak ada respon dengan potasium karbonat dan sulfonat(8). Penelitian double blind dari 65 kasus menyimpulkan GG dapat mengurangi kekentalan dahak dan meningkatkan jumlahnya(11). Robinson
yang meneliti 239 kasus dengan batuk kering dan produktif menyimpulkan terjadi penurunan frekuensi dan intensitas batuk, sedang peningkatan volume dahak yang menonjol hanya pada batuk yang produktif saja(8). Studi in vivo menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan volume namun ekspektorasi jadi lebih mudah(8). Dosis yang dianjurkan adalah 200 – 400 mg tiap 4 – 6 jam, tidak boleh melebihi 2400 mg per hari. Efek obat telah tampak pada 15 – 30 menit setelah pemberian per os. Efek samping biasanya ringan dan jarang berupa skin rash, drowsiness, nausea, stomach pain, diare. Kontra indikasi absolut tidak ada namun harus hati-hati pada penderita ulkus peptikum, batuk darah, muntah darah serta penderita yang mendapat obat antikoagulan. BAHAN DAN CARA Penelitian dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Babat dan Sekaran Kabupaten Lamongan pada bulan April – Juni 1994. Rancangan penelitian adalah eksperimental semu (quasi experimental) dengan jenis rancangan ulang non random (non randomized pretest-posttest control group design(12,13). Pencarian kasus dilakukan secara aktif dan pasif oleh peneliti, dokter puskesmas, paramedis pengelola program P2TB paru kedua puskesmas tersebut. Pembuatan dan pemeriksaan kuman oleh tenaga laboratorium Puskesmas Babat (pendidikan analis medis). Dahak yang diambil adalah dahak semalam setelah atau sebelum diberi GG atau plasebo. Dosis obat 200 mg single dose diminum malam sebelum tidur; pagi harinya dahak diambil untuk.diperiksa. Kelompok studi adalah kasus di wilayah Puskesmas Babat dan kelompok kontrol kasus di Puskesmas Sekaran. Populasi penelitian adalah kasus TB paru klinis yang berdas3r gejala sesuai dengan rekomendasi WHO, umur di atas 15 tahun, belum pernah mendapat obat antituberkulosis, tidak sedang batuk darah dan muntah darah.
HASIL Jumlah TB paru klinis yang dapat diperiksa sebanyak 257 orang terdiri dari 136 orang kelompok studi dan 121 kelompok kontrol, usia termuda 16 tahun, tertua 90 tahun, usia rata-rata 49,7 tahun. Kelompok studi pria 70 orang, wanita 66 orang; BTA (+) sebelum pemberian GG (pre GG) 26 orang (19,2%) dan setelah pemberian GG (post GG) BTA (+) 63 orang (46,4%). Kelompok kontrol pria 60 orang, wanita 61 orang; BTA (+) sebelum pemberian plasebo (pre pia) 29 orang (23,9%) dan setelah diberi plasebo (post pia) BTA (+) 23 orang (19%) (Tabel 1).
PEMBAHASAN Penelitian ini mendapatkan hasil pre GG 19,2%, post GG 46,4%, pre pla 23,9%, post pla 19% (tabel 1). BTA (+) di kelompok studi naik 27,2% antara sebelum dan sesudah pemberian GG, sedang di kelompok kontrol terjadi penurunan sebesar 4,9% antara sebelum dan sesudah pemberi an plasebo. Dengan uji
15
Tabel 1.
Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Jenis Kelamin Bulan April – Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat Post GG % + BTA+
–
Laki-laki 13 57 Perempuan 13 53 Jumlah Tabel 2.
9,6 9,6
–
Pre Pla
% + BTA+
–
Babat
Post Pla
% + BTA+
–
% BTA+
33 37 30 36
24,3 22,1
13 47 16 45
10,7 13,2
9 51 14 47
7,4 11,6
26 110 19,2 63 73
46,4
29 92
23,9
23 98
19
Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Umur Bulan April – Juni 1994 Babat
Umur
Sekaran Post GG
Pre Pla
Post Pla
BTA
BTA
BTA
BTA
%
+
%
+
%
+
%
–20 –30 –40 –50 –60 60–
0 2 4 9 7 4
0 1,5 2,9 6,6 5,2 2,9
2 8 10 14 19 I2
1,5 4,4 7,4 10,3 13,9 8,8
0 0 3 11 9 6
0 0 2,5 9,1 7,4 5
0 0 3 9 9 2
0 0 2,5 7,4 7,4 1,7
Jumlah
26
19,2
63
46,4
29
23,9
23
19
Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Pekerjaan April – Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat
Pekerjaan
Sekaran
Pre GG
Post GG
Pre Pla
Post Pla
BTA
BTA
BTA
BTA
+
%
+
%
+
%
+
%
Petani Pedagang Pegawai Buruh Ibu R T Lain-lain
8 4 5 3 3 3
5,9 2,9 3,8 2,2 2,2 2,2
28 12 7 7 5 5
20,6 8,8 5,2 5,2 3,8 3,8
23 2 0 2 1 1
19 1,7 0 1,7 0,8 0,8
22 0 0 0 1 0
18,2 0 0 0 0,8 0
Jumlah
26
19,2
63
46,4
29
23,9
23
19
Tabel 4.
Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Lama Sakit Bulan April– Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran Babat
Sekaran
Pre GG
Post GG
Pre Pla
Post Pla
BTA
BTA
BTA
BTA
Lama Sakit
16
Gejala Penderita
+
%
+
%
+
%
+
%
- 3 bulan - 6 bulan - 1 tahun > tahun
4 5 5 12
2,9 3,8 3,8 8,8
8 13 12 30
5,9 9,6 8,8 22,1
6 4 2 17
4,9 3,3 1,7 14
5 4 2 12
4,1 3,3 1,7 9,9
Jumlah
26
19,2
63
46,4
29
23,9
23
19
Sekaran
Pre GG
Post GG
Pre Pla
Post Pla
BTA
BTA
BTA
BTA
+
%
+
%
+
%
+
%
Batuk Nyeri dada Batuk darah Sesak nafas Demam
26 12 11 20 4
19,1 8,8 8 14,7 2,9
63 35 35 44 6
46,3 25,7 26,5 32,4 4,4
29 25 18 17 19
23,9 20,7 14,9 14 15,7
23 20 15 19 18
19 16,5 12,4 15,7 14,9
Lain-lain
15
11
38
27,9
19
15,7
13
10,7
Tabel 6.
Pre GG
+
Tabel 3.
Hasil Penelitian BTA (+) Berdasarkan Gejala Penyakit April – Juni 1994 Puskesmas Babat dan Sekaran
Sekaran
Pre GG +
Tabel 5.
Hasil Penelitian Berdasarkan Perolehan BTA Sebelum dan Se sudah Percobaan
Pre
Post
Babat
Sekaran
– – + +
+ – – +
43 66 6 21
10 82 16 13
statistik pre 6G-post GG P = 0,0000, pre pla-post pla P = 0,3268, pre GG-pre pla P=0,4273, post GG-post pla P=6,803E-06 maka dapat disimpulkan bahwa pemberian GG dapat meningkatkan BTA (+) yang diketemukan, dan tidak dipengaruhi oleh kondisi awal dari sampel penelitian(14,15). Peneliti lain membandingkan hasil BTA (+) dengan beberapa cara antara lain: Noor Rachman membandingkan hapusan langsung, biakan, flourescen mendapatkan hasil berturut-turut 21,6%, 32,1%, 38,1%. Atasiati mendapatkan hasil (dikutip Noor Rachman) hapusan langsung 9,3%, biakan 35,6%. Yosep memperoleh hasil hapusan langsung 25%, flourescen 41%(16) sedangkan Yan Hendrokusumo: hapusan langsung 28,7%, homogenisasi 53% dan Gopixathan: hapusan langsung 18,36%, konsentrasi 35,4%(17). Berdasarkan jenis kelamin, kedua kelompok tidak ada perbedaan antara laki dan wanita. Hal ini sesuai dengan laporan Askandar (1982) di RS. dr. Sutomo Surabaya(18), Gunadi (1982) di tempat yang sama, Faisal Yunus (1985–1990)(19). Berbeda dengan Taufik (Bukit Tinggi)(20), Bachtiar (Jakarta)(21) yang mendapatkan pria 2 kali lebih besar dari wanita. Demikian pula laporan dari beberapa negara lain yaitu Singapura, Brunei, Philipina, Malaysia, Tanzania yang melaporkan pria 1,5-2 kali dari wanita(1,22). Berdasarkan kelompok umur (tabel 2) BTA (+) yang tertinggi adalah di kelompok usia 50–60 tahun (kelompok studi) dan di kelompok kontrol pada usia 40–50 tahun. Makin tinggi usia makin tinggi frekuensi BTA (+) dari kedua kelompok tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga 1980 (dikutip Kusnindar). Berbeda dengan yang dilaporkan Taufik, usia terbanyak adalah 21–30 tahun, Faisal Yunus juga menemukan usia tertinggi 21–30 tahun, masingmasing 21,01% dan 40,6%. Perbedaan ini mungkin disebabkan karena perbedaan lokasi penelitian antara populasi di lapangan
dan di rumah sakit. Berdasarkan jenis pekerjaan (Tabel 3) petani frekuensinya BTA (+) paling tinggi, dan terendah ibu rumah tangga. Hal ini karena mayoritas pekerjaan populasi adalah petani. Abdul Manaf dalam evaluasi program pemberantasan TB paru melaporkan BTA (+) berturut-turut adalah petani 47%, pegawai 28%, pedagang 16,9%, ibu rumah tangga 1% (dikutip Kusnindar)(3). Taufik menemukan frekuensi BTA (+) pada petani 44,8%, pedagang 16,9%, ibu rumah tangga 8,8%, pegawai 7,5%(20). Berdasarkan lamanya sakit (Tabel 4) dari kedua kelompok frekuensi BTA (+) tertinggi adalah bila lebih daii satu tahun; makin laifia sakit makin tinggi frekuensinya; demikian pula makin tinggi peningkatan BTA (+) nya setelah diberi GG. Keadaan ini mungkin disebabkan karena makin lama sakit makin parah kerusakan paru, dan batuk lebih produktif sehingga lebih memberi respon dengan GG; pada kelompok kontrol keadaan ini tidak didapatkan(8,11). Perubahan BTA (–) ke BTA (+) (tabel 6) pada kelompok studi sebanyak 43 orang dari 110 orang yang BTA (–) (39,1%), sedang kelompok kontrol 10 orang dari 92 orang yang BTA (–) (10,9%) perbedaan sebesar 28,8% ini sangat bermakna (p = 8,034E-06). Ini berarti pemberian GG meningkatkan perubahan dari BTA (–) ke BTA (+) atau positive rate pemeriksaan dahak meningkat. KESIMPULAN Pemberian gliseril guaiakolat pada tersangka TB paru sebelum pengambilan dahak untuk diperiksa, ternyata dapat meningkatkan cakupan BTA (+) karena positive ratenya meningkat. Makin lama sakit makin mudah dipengaruhi oleh obat ini sehingga BTA (+) yang ditemukan juga tinggi. Peningkatan BTA (+) terjadi pada semua golongan umur namun yang menonjol pada umur di atas 40 tahun. SARAN Dianjurkan gliseril guaiakolat digunakan pada program pemberantasan penyakit TB paru di lapangan untuk membantu meningkatkan cakupan BTA (+), mengingat cakupan selama ini masih rendah dan obat ini cukup tersedia di Puskesmas. Perlu penelitian lebih lanjut dosis yang optimal sehingga lebih berdaya guna dan berhasil guna.
UCAPAN TERIMA KASIH Disampaikan kepada Prof: Sabdoadi dr., MPH., Priyono Saryabhakti dr., MS., MPH. atas bimbingan, saran, dorongannya .celama penelitian dan pembuatan tulisan ini. Kepada dokter Puskesmas Babat dan Sekaran beserta staf atas partisipasi dan kerja samanya selama penelitian berlangsung. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.
Aditama T. Tuberculosis situation in Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, and the Philippines. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 3–7. Aditama T. Pola gejala dan kecenderungan berobat penderita tuberkulosis paru, Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 17–9. Kusnindar. Masalah Penyakit Tuberkulosis dan Pemberantasannya di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 63: 8–12. Depkes RI. Pedoman Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990. Kabat, Rai, Hood, dkk. Tuberkulosis Pam, Lab. UPF Paru RS U. dr. Sutomo Surabaya, tanpa tahun. Depkes RI. Pedoman Pemeriksaan Kuman Tuberkulosis Pada Program Pemberantasan Tuberkulosis Paru, 1990. Dinkes TK I Jatim. Program Pemberantasan Penyakit TB Paru di Jatim tahun 1990–1991. Beritā Epidemiol Jatim, Juli 1991. Modell W. Drug of Choice. 1973, p: 431–432. Farmakope Indonesia, 1979. Ed. 3, 272–273. Long WJ. The Essential Guide to Prescription Drug, 1993: 307–309. Reynolds EJ. Martindale: The Extra Pharmacopeia. London: The Pharmaceutical Press Ed. XXIX, 1993: 910–911. Zainudin M. Metodologi Penelitian, 1988: 56–61. Pratiknyo. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: CV Rajawali 1986: 78–87. Steel R, Tome H. Statistika Nonparametrik, Prinsip dan Prosedur Statistika, Gramedia Pnstaka Utama Jakarta, Ed. II, 1991: 633–644. Windu Purnomo. Analisa Data Kategorial. Kumpulan Makalah Penataran Penelitian Unair, 1992: Ed. II. Noor Rachman. Kumpulan Simposium Penyakit Infeksi FK. UNAIR 1979. Hendrokusumo, Rai. Penemuan Hasil Tahan Asamdengan Metode Apusan Dahak Homogenisasi-Konsentrasi dan Biakan Media Ogawa. Mai. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 1992; 12 (2): 3–13. Askandar dkk. Pengobatan dan Perawatan Penderita Diabetes Mellitus dengan Tuberkulosis Paru, Naskah LengkapSimposiumTuberkulosis Paru 1982. Yunus Faisal dkk. Aspek Diagnosadan Pengobatan pada Penderita TB Paru yang Berobat Jalan di bagian Pulmonologi FKUI RS. Persahabatan, Maj. PDPI 1992; 12 (2): 14–24. Taufik. Naskah Lengkap Kongres Nasional Ke II IDPI Surabaya, 1980. Bachtiar. Tuberkulosis Miliaris di bagian Pulmonologi FKUI. Naskah Lengkap Simposium TB dan Kesempatan Kerja FK UNAIR Surabaya 1983. Chum HJ. Eight Years Experience of The National Tuberculosis and Leprosy Programe in Tanzania. Paper. World Conference of the International Union Against Tuberculosis. Singapura, 1986.
PEMBERITAHUAN Atas permintaan pengarangnya (DH), maka mohon agar artikel berjudul 'Infeksi Anaerob pada Alat Genital' yang diterbitkan di Cermin Dunia Kedokteran 1994, no. 98, di halaman 24 – 27 dianggap tidak ada. Mohon maklum dan maaf atas timbulnya masalah akibat penerbitan artikel tersebut. Redaksi
Nilai Diagnostik Uji PAP-TB pada Tuberkulosis di Luar Paru Dr. dr. Indro Handojo Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
PENDAHULUAN Walaupun paru merupakan predileksi utama penyakit tuberkulosis (TB), namun bukan merupakan satu-satunya tempat infeksi, sebab TB praktis dapat mengenai semua jaringan tubuh manusia(1,2,3). Oleh karena sifat kuman TB yang obligat aerob, maka tidak mengherankan bahwa prevalensi TB di luar paru lebih rendah daripada TB paru. Menurut Starke), TB di luar paru merupakan 30% dan semua kasus TB pada anak, sedangkan pada penderita dengan AIDS, TB di luar paru merupakan manifestasi TB yang tersering. Walaupun secara umum prevalensi TB di luar paru tidak setinggi TB paru, namun penyakit ini masih banyak menimbulkan permasalahan, baik dari segi diagnostik, pengobatan maupun dari segi pemantauan hasil pengobatannya, teristimewa di daerahdaerah endemis TB. Dan segi diagnostik, TB di luar paru dapat memberikan masalah-masalah sebagai berikut : 1) Pemeriksaan radiografis tak selalu .dapat dipakai sebagai penunjang diagnosis penyakit TB di luar paru, misalnya pada TB kelenjar, meningitis TB, peritonitis TB dan lain sebagainya. 2) Tidak semua jaringan di luar paru mempunyai hubungan dengan dunia luar, sehingga sukar membuat diagnosis secara mikrobiologis. Walaupun suatu organ tubuh mempunyai hubungan dengan dunia luar, seperti ginjal dan usus, namun hanya sedikit saja basil TB (10–12%) yang dapat ditemukan secara mikroskopis, sedangkan pemeriksaan biakan membutuhkan waktu yang lama dan peralatan yang tidak murah(2,5,6). Pemeriksaan histopatologis merupakan pemeriksaan yang spesifik tetapi tidak begitu sensitif, invasif dan juga tidak murah. Permasalahan dalam pemantauan hasil pengobatan penyakit, hampir sama dengan perma'salahan yang dihadapi oleh segi diagnostiknya.
18
Berpijak pada masalah-masalah tersebut di atas, para pakar Ilmu Kedokteran Laboratorium berusaha untuk mencari suatu sarana diagnostik yang andal, praktis dan murah untuk penyakit TB di luar paru. Pada tahun 1988 Handojo(6) melaporkan hasil yang baik dari penggunaan uji peroksidase-antiperoksidase (PAPTB) sebagai sarana diagnostik dan pemantauan hasil pengobatan penyakit tuberkulosis paru. Keandalan dari tes ini pada penyakit TB di luar paru tentunya perlu diteliti lebih lanjut. Permasalahan tersebut mendorong pelaksanaan penelitian ini dengan tujuan untuk menentukan nilai diagnostik dari uji PAP-TB pada penyakit TB di luar paru. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian laboratoris ini dilakukan terhadap sera yang berasal dari 48 penderita TB di luar paru dan 53 penderita bukan TB yang datang berobat di BP4 Malang, beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan lain di Jawa Timur selama kurun waktu 1989 sampai dengan tahun 1992. Diagnosis TB di luar paru ditegakkan atas dasar : 1) Hasil pemeriksaan fisik mencurigakan adanya proses TB di luar paru. 2) Uji tuberkulin positif (≥ 10 mm). 3) Pada pemeriksaan histopatologis jaringan yang dicurigai ditemukan hasil TB, tuberkel yang mengalami pengejuan (caseated tubercle) atau tuberkel yang tidak mengalami pengejuan (non-caseated tubercle) tetapi disertai uji kompleks imun TB yang positif. Tolok ukur yang dipakai untuk menentukan penderita bukan TB yaitu : 1) Pada pemeriksaan fisik dan x-foto paru tidak ditemukan tanda-tanda proses tuberkulosis. 2) Pada pemeriksaan histopatologis tidak ditemukan proses TB atau yang mencurigakan adanya tuberkulosis di jaringan
yang dicurigai. Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji PAP-TB dengan metode Handojo(6) yang secara singkat adalah sebagai berikut : Sebagai antigen dipakai polimer protein dan sitoplasma M. tuberculosis var. bovis BCG (Glaxo) yang dihancurkan secara ultrasonis dan dipisahkan dari dinding selnya dengan cara ultrasentrifugasi. Polimerisasi dilakukan dengan metode Avrameas dan Ternynck~71. Sebagai perekat antigen dipakai suspensi 5% kuning telur ayam cram 7 hari dalam larutan dapar fosfat salin (PBS) dan sebagai reagensia dipakai histoset immunoperoxidase staining kit for IgG dari Cambridge Research Laboratory. Sepuluh mikroliter suspensi antigen polimer yang diencerkan 1 : 100 dalam PBS dan disonikasi selama 1 menit, diteteskan di atas gelas objek yang telah diberi lapisan perekat antigen pada suatu area berbentuk lingkaran dengan diameter 1 cm dan dibuat dengan pengerat kaca. Setelah dikeringkan di udara dan difiksasi dengan aseton (4°C selama 10 menit), ditambahkan 20 ul serum atau kontrol (pengenceran 1 : 10000) dan diinkubasikan dalam kotak lembab pada suhu 4°C selama semalam, kemudian dicuci dengan larutan PBS (pH 7,4) selama 3 kali 3 menit. Untuk memblokade peroksidase endogen, ditambahkan 1 tetes H2O2 3% dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C, lalu dicuci dengan PBS selama 5 tnenit. Dalam tahap berikutnya, ditambahkan antibodi primer (rabbit antihuman IgG) dan diinkubasikan selama 10 menit pada 37°C dalam kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS 3 kali 3 menit, ditambahkan serum domba normal (normal sheep serum) dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C untuk mencegah terjadinya pengecatan latar belakang akibat pelekatan antibodi penghubung pada celah-celah di antara antibodi primer atau pada perekat antigen. Selanjutnya ditambahkan antibodi penghubung dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C dalam kotak lembab. Setelah dicuci dengan PBS selama 2 kali 5 menit, ditambahkan kompleks imuno-enzim peroksidaseantiperoksidase (PAP) kelinci dan diinkubasikan selama 8 menit pada 37°C dalam kotak lembab. Setelah direndam selama 2 kali 5 menit dalam PBS, ditambahkan substrat (H2O2 0,02% dan aminoethylcarbozole) dan diinkubasikan pada 37°C selama 7 menit. Setelah dicuci dengan larutan PBS, ditambahkan cat Mayer's hematoxylin selama 3 menit lalu dicuci dengan air. Selanjutnya sediaan dikeringkan di udara dan dilihat di bawah mikroskop cahaya (putih) dengan pembēsaran 10 kali 10. Uji PAP-TB dikatakan positif bila ada 3 atau lebih antigen polimer yang tercat merah. Nilai diagnostik dari uji PAP-TP ditentukan dengan menilai validitas klinis uji PAP-TB yang diperoleh dalam penelitian ini dan meliputi sensitivitas diagnostik, spesifisitas diagnostik, efisiensi diagnostik, nilai ramal positif diagnostik dan nilai ramal negatif(8,9). HASIL Hasil dari uji PAP-TB pada 48 penderita dengan TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ini diringkas dalam tabel 1
Tabel 1.
Hasil Uji PAP-TB dan Pemeriksaan Histopatologis pada 48 Penderita dengan TB di Luar Paru Hasil Uji Laboratoris
Diagnosis Klinis Histopatologis TB Kelenjar (N = 26) TB Tulang (N = 4) TB sendi Peritonitis TB (N = 4) Salphingitis TB Cervicitis TB Ovaritis TB Pleuritis TB Otitis TB Laryngitis TB TB kulit & Jaringan Lunak Tuberkuloma Otak Jumlah
Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Non-caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle Caseated tubercle
PAP-TB N Positif Negatif n n 18 18 0 8 6 2 3 3 0 1 0 1 4 4 0 3 2 1 1 0 1 1 1 0 1 1 0 l 1 0 2 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 0 1 1 0 48
42
6
Dari 48 penderita TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ini, 42 penderita (87,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB positif dan 6 penderita (12,5%) menunjukkan basil uji PAP-TB negatif. Dari 6 penderita yang memberikan basil uji PAP-TB yang negatif, 5 orang menunjukkan adanya non-caseated tubercle pada pemeriksaan histopatologisnya dan hasil pemeriksaan uji kompleks imun TB yang positif. Di samping itu, dalam pemantauan basil pengobatan, kelima penderita dengan noncaseated tubercle tersebut di atas memberikan respons yang baik dengan pengobatan anti-TB jangka pendek (6 bulan) dan bifasik dengan regimen pengobatan yang mengandung rifampisin, sedangkan pengobatan non-spesifik selama 3 minggu yang diberikan sebelumnya, tidak memberikan kemajuan. Dengan demikian maka sensitivitas diagnostik dari uji PAPTB pada penderita TB di luar paru yang termasuk dalam penelitian ialah 87,5%. Di antara 53 penderita bukan TB yang termasuk dalam penelitian ini, 48 penderita (90,6%) menunjukkan basil uji PAPTB negatif. Hanya 5 penderita (9,4%) yang menunjukkan hasil uji PAP-TB positif semu. Pada 4 penderita dengan limfadenitis non-spesifik (pada pemeriksaan histopatologis ditemukan selsel radang tak spesifik), pengobatan non-spesifik yang diberikan selama 3 minggu, memberikan hasil yang baik. Dengan demikian spesifisitas diagnostik uji PAP-TB pada TB di luan paru dalam penelitian ini ialah 90,6%. Hasil uji PAP-TB pada 53 penderita bukan TB yang termasuk dalam penelitian ini, diringkas dalam Tabel 2. Dari data tersebut dapat ditentukan bahwa efisiensi diagnostik uji PAP-TB pada TB di luar paru ialah 89,1%, nilai ramal positif diagnostiknya 89,4% dan nilai ramal negatifnya 88,9%. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai diagnostik
19
Tabel 2.
Hasil Uji PAP-TB pada 53 Penderita Bukan TB Hasil Uji PAP-TB Diagnosis Klinis
Limfadenitis tak spesifik Artritis rematoid (RF positif) Lekemia (CML) Karsinoma bronkogenik Karsinoma payudara Limfoma Maligna Jumlah
Negatif
Positif
n
%
n
%
38 8 1 4 1 2
34 7 1 4 1 2
89,5 87,5 100,0 100,0 100,0 100,0
4 1 0 0 0 0
10,5 12,5 0 0 0 0
53
48
90,6
5
9,4
Keterangan : RF = faktor rematoid; CML = chronic meylocytic leukemia
(sensitivitas, spesifisitas, efisiensi, nilai ramal positif dan nilai ramal negatif) uji PAP-TB pada tuberkulosis di luar paru, walaupun tidak setinggi nilai diagnostiknya pada TB paru, menurut kriteria dari Handojo(6) masih tergolong tinggi (80–94%). Bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh Handojo(6) pada TB paru (98,3%), sensitivitas diagnostik uji PAP-TB dalam penelitian ini (87,5%) masih jauh lebih rendah. Hal ini dapat dimengerti mengingat sifat dari hasil TB yang obligat aerob sehingga pertumbuhan kuman ini di paru lebih baik daripada di organ lain yang tekanan oksigennya tidak setinggi di paru. Dengan demikian, populasi hasil TB pada TB paru akan jauh lebih tinggi daripada populasinya pada TB di luar paru. Akibatnya, rangsangan untuk pembentukan antibodi spesifik terhadap M. tuberculosis pada TB paru menjadi lebih kuat daripada TB di luar paru, sehingga sensitivitas diagnostik uji PAP-TB pada TB paru lebih tinggi daripada sensitivitasnya pada TB di luar paru. Spesifisitas diagnostik dari uji PAP-TB pada penelitian ini, sedikit lebih rendah (90,6%) bila dibandingkan dengan hasil yang dilaporkan oleh Handojo (93–94%) dalam penelitiannya(6,10). Seperti diketahui, spesifisitas dari suatu uji laboratoris dipengaruhi oleh jenis dan kemurnian antigen yang dipakai serta profil spesifisitas dari reagensia yang dipakai. Antigen polimer untuk uji PAP-TB yang dipakai dalam penelitian ini hampir tidak berbeda dengan antigen polimer yang dipakai Handojo(6) dalam penelitiannya pada TB paru. Perbedaannya hanya terletak pada batch pembuatannya saja, sehingga diharapkan tidak memberikan perbedaan spesifisitas yang bermakna. Reagensia yang dipakai oleh Handojo(6) dalam penelitiannya pada TB paru memang sedikit berbeda dengan reagensia yang dipakai dalam penelitian ini. Bila dalam penelitian pada TB paru, Handojo memakai reagensia buatan Ortho Diagnostic Systems, maka dalam penelitian ini dipakai reagensia buatan Cambridge Research Laboratory. Walaupun demikian, diharapkan tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam spesifisitas diagnostik yang didapatkan dalam kedua penelitian tersebut. Hal lain yang mungkin menjadi sebab dari perbedaan tersebut ialah populasi dari sampel yang dipakai dalam kedua penelitian tersebut. Dalam penelitian pada TB paru(6,10), jumlah sampel yang dipakai jauh lebih banyak (120–150 orang) dan
20
jenis penyakit yang diteliti juga lebih luas dibandingkan dengan sampel yang dipakai dalam penelitian ini. Perbedaan-perbedaan tersebutdi atas mungkin menjadi sebab perbedaan spesifisitas diagnostik yang ditemukan pada kedua penelitian tersebut. Berbeda dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini (sensitivitas 87,5%), Rahardja dan kawan-kawan(11), dengan menggunakan antigen dan reagensia yang sama, mendapatkan sensitivitas uji PAP-TB pada 41 penderita limfadenitis TB di leher yang lebih rendāh (85,4%). Walaupun Rahardja memakai hasil pemeriksaan histopatologis sebagai standar emas dalam penelitiannya, namun tidak dirinci dengan jelas jenis kelainan histopatologis yang ditemukan dalam penelitiannya. Sayangnya hanya dilaporkan sebagai histopatologis positif TB atau negatif TB saja. Perlu ditekankan di sini bahwa tidak setiap penderita dengan TB kelenjar memiliki kelainan histopatologis yang spesifik. Salah satu jenis kelainan histopatologis yang tidak spesifik dalam hal ini adalah tuberkel yang tidak mengalami pengejuan (non-caseated tubercle). Patogen yang lain, seperti jamur, dapat juga memberikan kelainan semacam ini. Adanya noncaseated tubercle bersama-sama dengan hasil uji PAP-TB dan kompleks imun TB yang negatif, menunjukkan bahwa tuberkulosis bukan merupakan penyebab dari kelainan tersebut. Sebaliknya, bila hasil pemeriksaan histopatologis kelenjar yang dicurigai negatif (tak ada kelainan yang spesifik), sedangkan uji PAP-TB positif, tak dapat menjamin bahwa penderita tersebut tidak menderita tuberkulosis di lain bagian tubuhnya misalnya di paru (covert TB, hidden TB dan unusual manifestation of pulmonary TB), atau di organ=brgan lain di luar kelenjar yang dicurigai. Uji tuberkulin yang negatif tidak dapat memastikan bahwa penderita tersebut tidak menderita TB, sebab kira-kira 10% dari kasps TB memberi uji tuberkulin yang negatif(12,13). Walaupun spesifisitas dari tes ini cukup tinggi, namun penggunaannya untuk mendeteksi TB di luar paru pada penderita-penderita dengan lepra, khususnya lepra tipe lepromatus (L), tidak dianjurkan. Hasil positif semu dapat dijumpai pada 33,3% dari kasus yang diperiksa(6). Interpretasi hasil uji PAP-TB pada penderita artritis rematoid dengan faktor rematoid positif, perlu dilakukan dengan hatihati, sebab penyakit ini dapat memberikan hasil positif semu pada 12,5% dari kasus yang diperiksa (tabel 2). Di samping itu perlu diingatkan bahwa uji PAP-TB tidak dapat menentukan lokasi dari proses TB di luar paru. Hasil uji PAP-TB yang positif, hanya menunjukkan bahwa dalam tubuh penderita terdapat proses TB yang aktif(14). Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo(6) tergolong tinggi. RINGKASAN Suatu penelitian laboratoris untuk mengevaluasi nilai diagnostik dari uji PAP-TB pada tuberkulosis (TB) di luar paru telah dilakukan terhadap 48 penderita TB di luar paru dan 53
penderita bukan TB yang datang berobat di BP4 Malang, beberapa rumah sakit dan pusat kesehatan yang lain di Jawa Timur selama kurun waktu 1989 sampai 1992. Konfirmasi diagnosis dari TB di luar paru dalam penelitian ini dilakukan dengan pemeriksaan histopatologis. Pada sera dari 101 penderita tersebut di atas dilakukan uji PAP-TB dengan metode dari Handojo. Sebagai batas atas titer rujukan dipakai titer 1 : 5000. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa untuk diagnosis TB di luar paru, uji PAP-TB memiliki sensitivitas diagnostik sebesar 87,5%, spesifisitas diagnostik sebesar 90,6%, efisiensi diagnostik sebesar 89,1%, nilai ramal positif diagnostik sebesar 89,4% dan nilai ramal negatif sebesar 88,9%. Dari analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa uji PAP-TB merupakan sarana diagnostik yang andal untuk diagnosis TB di luar paru dengan nilai diagnostik yang menurut kriteria Handojo tergolong tinggi.
4. 5.
6. 7. 8. 9. 10. 11.
12. KEPUSTAKAAN 13. 1. 2. 3.
Davies PDO. The pathogenesis of tuberculosis. Postgrad Doctor 1984; 4: 236–40. Toman K. Tuberculosis case finding and chemotherapy. Questions and answers. Geneve: WHO, 1979. Koneman EW et al. Mycobacteria. In: Diagnostic Microbiology. Third ed. Philadelphia: JB Lippincott Co, 1988: 535–70.
14.
Starke JR, Jacobs RF, Jereb J. Resurgence of tuberculosis in children. J. Pediatr. 1992; 120: 839–55. Handojo I, Adimasta MR, Handojo R A. Uji imunoperoksidase tak langsung dalam diagnosis penyakit tuberkulosis paru. Naskah lengkap Simposium dan Lokakarya Penanggulangan Penyakit Tuberkulosis Paru secara Terpadu melaiui Pendekatan Imunoepedemiologis, 1984. Handojo I. Uji peroksidase-antiperoksidase (PAP) pada penyakit Tuberkulosis Paru. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 1988. 213 pp. Disertasi. Avrameas S, Ternynck T. Biologically active water insoluble protein polymer. I. Their use for isolation of antigens and antibodies. J Biol Chemistry 1976; 242: 1651–59. Galen RS. Application of the predictive value model in the analysis of test effectiveness. Clin Laboratory Medicine 1982; 2: 685–93. Snider DE. The tuberculin skin test. Am Rev Resp Dis 1982; 125 (Koch centennial supplement): 108–18. Handojo I. The clinical value of peroxidase-antiperoxidase (PAP-TB) test in the serodiagnosis of tuberculosis. South-East Asian J Trop Med and Publ Health 1993; In press. Rahardja T, Reksoprawiro S, Marmowinoto RM. Limfadenitis tuberkulosis leher. Uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB) dan pemeriksaan histopatologi sebagai sarana diagnostik. Surabaya, Indonesia: Universitas Airlangga, 1992. 32 pp. Karya Akhir. WHO Reg Off for South-East Asia. Tuberculosis control in Indonesia 1952–1965. Report on WHO Projects: SEARO 0003 and Indonesia 0050, 1968. Handojo RA. Review hasil-hasil penelitian mengenai tuberkulosis paru. Laporan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Dep. Kes. RI. Balai Pemberantasan Penyakit Pam-paru (BP4), Malang, 1978. Handojo I. Peranan uji peroksidase-antiperoksidase tuberkulosis (PAP-TB) dalam diagnosis dan pemantauan hasil pengobatan tuberkulosis. Dexa Media 1993; 5: 11–5.
Man's second childhood begins when a woman gets hold of him (J.M. Barrie)
Perbandingan Hasil Uji ELISA-Mikro pada Penderita Tuberkulosis Biakan Positif dan Biakan Negatif Anik Widijanti Instalasi Patologi Klinik RSUD Dr Saiful Anwar/Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang
ABSTRAK Penelitian dilakukan pada 61 sera penderita tuberkulosis paru, 35 sera dengan biakan dahak positif dan 26 sera dengan biakan dahak negatif. Pada sera ditentukan kadar IgG spesifiknya terhadap M. tuberculosis dengan cara Elisa mikro. Hasil uji Elisa mikro yang diperoleh menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif dan biakan negatif (p > 0,05).
PENDAHULUAN Penyakit Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia(1). Berdasarkan program pemberantasan penyakit TB di Indonesia maka pengobatan ditentukan dengan adanya kuman di dalam dahak(2). Hal tersebut berdasar padapertimbangan bahwapemeriksaan dahak mikroskopik yang positif lebih mempunyai arti epidemiologi dibandingkan dengan biakan yang positif. Untuk mendapatkan hasil positif pada pemeriksaan mikroskopik dibutuhkan 5000–10000 kuman per ml dahak, sedangkan untuk biakan yang positif hanya dibutuhkan 25–50 kuman per ml dahako). Pemeriksaan mikroskopik yang positif belum tentu menemukan kuman hidup, tetapi biakan yang positif selalu disebabkan adanya kuman hidup, hanya sayangnya pemeriksaan biakan selain membutuhkan waktu lama (1–2 bulan) juga relatif lebih mahal(4). Penderita dengan kuman mati (biakan negatif) seharusnya mempunyai kadar IgG spesifik yang berbeda bila dibandingkan dengan penderita dengan kuman hidup (biakan positif). Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis sering meningkat sesudah penderita TB mendapatkan pengobatan dan akan normal kembali pada 2–3 bulan sesudah pengobatan dihentikan,
22
serta akan meningkat lagi jika terjadi kekambuhan(1). Kadar IgG spesifik terhadap M. tuberculosis dapat ditentukan dengan cara Elisa Mikro. Sensitivitas dan presisi Elisa Mikro lebih buruk dibandingkan dengan Elisa Makro, tetapi Elisa Mikro lebih sesuai untuk jumlah sampel besar (survei). dan harganya lebih murah dari Elisa Makro(5). Dalam penelitian ini akan dibuktikan apakah ada perbedaan hasil Elisa Mikro antara biakan positif dan negatif. MATERIAL DAN METODF, Sampel diambil dari 61 penderita TB Paru dengan kriteria : 1) BTA dahak (mikroskopik) yang positif (Ziehl Nielsen). 2) Kelainan radiologis yang relevan untuk TB Paru. 3) Belum pernah mendapat pengobatan anti TB (wawancara cermat). 4) Keadaan umum baik, tidak menderita penyakit lain. 5) Tidak minum obat yang dapat menekan imunitas Immoral. Pelaksanaan : 1) Dilakukan pemeriksaan biakan dahak. 2) Pemeriksaan kadar IgG dengan cara Elisa Mikro (menurut Kardjito dkk)(5).
Ke dalam sumuran polistiren dimasukkan 0,2 ml antigen sitoplasmik dari Mycobacterium tuberculosis var bovis BCG (ultrasonicated) pengenceran 1 : 100 dan diinkubasikan dalam kotak lembab pada 4°C selama semalam. Kemudian sumuran polistiren dicuci dengan larutan dapar fosfat salin-tween (PBS tween) sebanyak 3 kali. Sesudah itu ditambahkan 0,2 ml serum (pengenceran 1 : 500) dan diinkubasikan selama 2 jam pada suhu kamar, kemudian dicuci seperti di atas. Berikutnya ditambahkan 0,2 ml konyugat (antihuman IgG berlabel ensim peroksidase) dengan pengenceran 1 : 1000, diinkubasikan semalam pada 4°C. Sesudah inkubasi sisanya dibuang dan sumuran dicuci seperti di atas. Selanjutnya dimasukkan 0,2 ml substrat (H202 0,03% dan ABTS), inkubasi 30 menit. Tambahkan 0,050 ml NaF 1 N sebagai larutan penghenti reaksi. Pembacaan dilakukan pada micro Elisa reader dengan panjang gelombang 420 nm(5). Dalam tiap seri pemeriksaan dipakai serum kontrol yang sama, yang juga berguna untuk menghitung CV antar seri (between run) dan dalam 1 seri (intra run). 3) Penentuan batas atas nilai rujukan (cut off) pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa 34 perawat sehat, dan dipakai rumus : Cut off = Mean + 2 SD
Nilai cut off dipakai untuk menentukan apakah hasil Elisa mikro positif atau negatif. Nilai absorbance test di atas nilai cut off memberikan hasil positif, sebaliknya nilai absorbance di bawah nilai cut off memberikan hasil tes negatif. 4) Perhitungan CV (koefisien variasi) dari Elisa Mikrodengan rumus : =
SD ––––– Mean
Pengaruh CV terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pemeriksaan ElisaMikro diperbandingkan pada kedua kelompok biakan. 5) Untuk membandingkan kadar IgG spesifik antara 2 kelom pok biakan positif dan negatif dipakai uji statistik Student t(6). 6) Penentuan sensitifitas pemeriksaan dengan rumus : =
Jumlah penderita dengan Elisa Mikro positif ––––––––––––––––––––––––––––––––––– Jumlah penderita Tb dalam penelitian
7) Perbedaan sensitifitas (nilai diagnostik) uji Elisa Mikro dari kedua kelompok biakan positif dan negatif dihitung dengan uji statistik Mc Nemar(7). HASIL 1) Pemeriksaan biakan : 35 positif, 26 negatif. 2) Pemeriksaan Elisa Mikro.pada 34 perawat sehat. Mean (nilai rata-rata) = 0,109 absorbance unit Deviasi Standar (SD) 1 = 0,045 Cut-off pemeriksaan = 0,199 3) CV (koefisien variasi) between run = 40,40% within run = 13,02% 4) Untuk mengetahui pengaruh besarnya CV pemeriksaan terhadap sensitifitas (nilai diagnostik) pada Elisa Mikro, maka
dilakukan perhitungan cut off sebagai berikut. a) Cut off 40,40% lebih tinggi : 0,279 b) Cut off 40,40% lebih rendah : 0,119 c) Cut off mean + 3 SD : 0,244 Tabel 1. =
Hasil Elisa Mikro pada penderita TB Paru barn dengan cut off mean + 2 SD Biakan positif
Biakan negatif
35 0,46 0,419 0,035 – 1,625 0,199 57,14 %
26 0,371 0,358 0,035 – 1,36, 0,199 65,38 %
Jumlah kasus Mean SD (simpangan baku) Rentangan Cut off f Sensitifitas
Perbedaan tidak bermakna dengan p > 0,05 Tabel 2.
Hasil sensitifitas Elisa Mikro dengan berbagai batas atas nilai rujukan (cut off)
Cut off value
Dahak positif N=61
Biakan positif N=35
Biakan negatif N=26
0,119 0,199 0,279 0,244
81,97 % * 60,65 % $ 52,45 % # 54,09 % #
80,00 % * 57,14 % $ 54,28 % # 54,28 % #
84,61 % # 65,38 % $ 50,00 % # 53,85 % #
Keterangan $ cut off = mean + 2 SD (lama) * perbedaan sensitifitas yang bennakna antara cut off baru dan lama (p < 0,05) # perbedaan sensitifitas tidak bermakna antara batas atas nilai rujukan baru dan lama (p > 0,05)
PEMBAHASAN Pada penderita TB yang sudah mendapat pengobatan, kadar IgG spesifiknya akan meningkat dan mencapai puncaknya pada 3 bulan sesudah pengobatan dimulai, kemudian menurun secara perlahan dan mencapai kadar orang normal pada 3 bulan sesudah pengobatan berakhir(1). Pengobatan dapat juga menyebabkan perubahan pengeluaran kuman hidup dalam dahak menjadi kuman mati (dahak mikroskopik positif tetapi biakan negatif). Pada penelitian ini penderitanya adalah penderita baru, tetapi hanya dari wawancara yang cermat, sehingga sering kurang representatif. Hal tersebut terbukti di sini yaitu dari 61 penderita dengan dahak mikroskopik yang positif hanya 35 yang menunjukkan biakan positif. Dari kenyataan di atas maka kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif seharusnya berbeda dari penderita dengan biakan negatif (kuman mati), tetapi ternyata hasil penentuan kadar IgG spesifik dengan Elisa Mikro tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p > 0,05). Ketidak sesuaian hasil penentuan kadar IgG spesifik pada Elisa Mikro mungkin disebabkan karena : – detektabilitas ElisaMikro yang rendah – besarnya CV pada Elisa Mikro (between run = 40,40%) – jumlah sampel kurang besar Pada Elisa Makro dengan detektabilitas dan sensitifitas yang lebih tinggi, kadar IgG spesifik pada kelompok biakan positif
23
lebih rendah dari pada kelompok biakan negatif (p < 0,05), padahal jumlah dan macam sampelnya sama(8). mempengaruhi hasil sensitifitas (nilai diagnostik)nya. Perbedaan sensitifitas ElisaMikro yang terjadi pada penggunaan cut-off (baru) hanya pada cut-off 40,40% lebih rendah dari cut-off (lama) mean + 2 SD (p < 0,05). Pengaruh CV antar seri terhadap sensitifitas tes tidak terjadi pada Elisa Makro(8).
CV antar seri pemeriksaan Elisa Mikro yang besar juga KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.
KESIMPULAN Pada penentuan kadar IgG spesifik secara Elisa Mikro : 1) Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar IgG spesifik pada penderita dengan biakan positif (kuman hidup) maupun negatif (kuman mati) (p > 0,05). 2) Pengaruh CV terhadap perubahan sensitifitas pemeriksaan (nilai diagnostik) hanya terjadi pada cut off 40,40% di bawah cut off mean + 2 SD.
24
5. 6. 7. 8.
Handojo I. Uji Peroksidase-Antiperoksidase (PAP) pada Penyakit Tuberkulosis Paru (Disertation) Surabaya, Indonesia : Universitas Airlangga Surabaya, 1988. 213 p. Dit Jen P3M Dep Kes RI. Rencana Induk Pemberantasan Penyakit Tuberkulosis Paru di Indonesia. Surabaya : Konggres PPTI ke III September 1984. 47–69. Handojo RA. Review Hasil-hasil Penelitian mengenai Tuberkulosis Paru. Laporan kepada Kepala Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan, Dep Kes RI. Balai Pemberantasan Penyakit Paru-paru (BP4) Malang 1978. Koneman EW et al. Color Atlas and Texbook of Diagnostic Microbiology. 3th ed. United States of America: JB Lippincott Co 1988: 535–72. Anik W, Handoyo I. Nilai Diagnostik Uji Elisa Makro Pada Penyakit Tuberkulosis Paru (Karya akhir di bagian Patologi Klinik FK) Surabaya, Indonesia : Universitas Airlangga Surabaya, 1990. Sutrisno Hadi. Statistik, jilid 2. 9th ed. Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta, 1987: 256–284. Siegel S. Statistik Non Parametrik untuk llmu-ilmu Sosial. 2nd ed. Gramedia Jakarta Indonesia 1986: 77–81. Anik W. Perbedaan hasil uji Elisa Makro pada penyakit Tuberkulosis Paru berdasar biakannya : Poster pada Kongres Nasional IAPI ke Juli 1990 di Surabaya (Indonesia).
Potensi Mikrobiologi dan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina Akmal Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang
ABSTRAK Telah dilakukan pengujian potensi mikrobiologi dan efek teratogenitas senyawa hasil oksidasi rifampisina dalam larutan air. Pengujian potensi mikrobiologi dilakukan dengan metode difusi-agar menggunakan bakteri uji Bacillus subtilis ATCC 6633:. Efek teratogenitas diuji terhadap mencit putih galur Swiss-Webster. Dari percobaan diperoleh senyawa basil oksidasi rifampisina dengan potensi jauh lebih rendah daripada rifampisina dan memperlihatkan sejumlah kelainan pada fetus mencit.
PENDAHULUAN Penyakit tuberkulosis masih merupakan penyakit infeksi yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia, terutama yang tinggal di pedesaan. Indonesia dengan iklim tropis dan udara yang lembab sangat cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan Mycobacterium tuberculosis. Obat pilihan (drug of choice) yang direkomendasi oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization) untuk penanggulangan penyakit tuberkulosis ini adalah antibiotika rifampisina. Di pasaran tersedia dalam bentuk tablet salut kapsul dan sirop(1,2,3). Dalam bentuk sediaan sirop, rifampisina dibuat berupa suspensi dalam air yang didapat pada pH netral. Dalam bentuk sediaan sirop, masalah yang timbul adalah mempertahankan stabilitas rifampisina. Selama penyimpanannya rifampisina cenderung mengalami degradasi (penguraian) melalui proses oksidasi membentuk senyawa rifampisina kuinon(4,5). Dalam pembuatan sediaan, proses oksidasi ini telah dicoba dihambat dengan penambahan suatu antioksidan; akan tetapi dari peme-
riksaan dengan kromatografi lapis tipis, ternyata hasil degradasi
25
ini masih tetap terbentuk yang biasanya ditandai dengan perubahan warna sediaan sirop menjadi kehitaman(6,7). Penguraian rifampisina dalam sediaan yang akan digunakan dalam pengobatan pada manusia, dapat menurunkan potensinya dan diduga hal ini merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah resistensi bakteri yang akhir-akhir ini banyak dilaporkan(8,9,10). Apabila senyawa hasil degradasi merupakan zat yang tidak berkhasiat, tidak menimbulkan efek toksik maka bila penurunan potensi masih dalam batas-batas yang diperkenankan, obat itu masih boleh digunakan dengan memperhatikan kadar yang seoungguhnya. Akan tetapi apabila hasil degradasi merupakan senyawa yang lebih toksik atau mempunyai efek buruk lainnya, makapemakaian bahan obat yang sebahagian telah terurai sangat berbahaya dan harus dicegah(10,11). Efek toksik yang mungkin timbul dari senyawa hasil degradasi ini antara lain efek teratogen (cacat pada janin) dan karsinogen (kanker)(12,13) Toksisitas semacam ini pernah dilaporkan pada pemakaian antibiotika golongan tetrasiklin yang telah mengalami degradasi(10).
26
Mengingat besarnya jumlah penggunaan rifampisina di Indonesia maka sediaan rifampisina yang digunakan dalam pelayanan kesehatan harus terjamin mutunya, agar masyarakat terlindung dari bahaya yang ditimbulkan oleh obat bermutu rendah. Bertitik tolak dari kenyataan di atas, perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui adanya penurunan potensi senyawa hasil degradasi rifampisina ini dalam larutan air dan efek toksis yang dapat ditimbulkannya terhadap janin. METODE PENELITIAN 1) Pemeriksaan Bahan Baku Rifampisina Pemeriksaan yang dilakukan meliputi : pemerian, titik leleh, identitas, kemurnian, kadar dan potensi(14,15,16). 2) Pemeriksaan Kepekaan Mikroba Uji Meliputi penentuan Kadar Hambat Minimum dan penentuan konsentrasi inokulum(17). 3) Penguraian Rifampisina dalam Larutan Air Dibuat sediaan berupa suspensi rifampisina dalam air dan disimpan selama 1 bulan pada temperatur kamar (25°C)(2,7). 4) Pemisahan Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina Pemisahan dilakukan menggunakan teknik ekstraksi caircair dan kromatografi lapis tipis preparatif. Sebagai pelarut pengekstraksi digunakan etil asetat dan sebagai pelarut pengembang digunakan campuran kloroform-metanol (15:85) (Akmal, 1984). 5) Pemurnian Senyawa Hasil Oksidasi Pemurnian dilakukan dengan cara rekristalisasi menggunakan kloroform. Atas hasil yang diperoleh dilakukan pemeriksaan spektrum serapan inframerah dan spektrum serapan ultravioletnya, kemudian dibandingkan dengan data spektrum pustaka(5). 6) Pemeriksaan Potensi Mikrobiologi Senyawa Hasil Oksidasi Pemeriksaan dilakukan dengan metode difusi-agar dalam cawan petri menggunakan bakteri uji Bacillus subtilis ATCC 6633, sebagai pembanding digunakan baku pembanding biologi nasional. Sebagai media perbenihan digunakan Nutrient Agar (Difco). Perlakuan menggunakan tiga seri dosis berturut-turut : 3,75: 5,00 dan 6,67 ug/ml dengan susunan dosis 3:3(17,18,19). Perhitungan potensi menurut pola blok rawu dilakukan dengan bantuan komputer bahasa Basic(20). 7) Pemeriksaan Efek Teratogenitas Senyawa Hasil Oksidasi Terhadap Mencit Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit albino galur Swiss-Webster dengan metode in-vivo. Hewan percobaan pada masa kritis kehamilan diberi suspensi senyawa hasil degradasi rifampisina dengan dosis yang bervariasi. Penelitian didahului dengan masa aklimatisasi untuk mengamati kesehatan hewan percobaan, membiasakan hidup pada lingkungan percobaan dan penentuan siklus estrus. Awal kehamilan ditentukan bila ditemukan sumbat vagina atau sperma pada pemeriksaan apusan vagina esok paginya. Sediaan diberikan pada masa kritis kehamilan yaitu pada hari ke-enam sampai hari ke-limabelas kehamilan. Fetus dikeluarkan dengan cara laparaktomi sehari sebelum dilahirkan. Jumlah fetus dan kelainan yang terlihat diamati secara morfologi. Fetus dari masing-masing induk di-
maserasi dengan larutan Bouin selama 2 minggu dan Alizarin selama 3 hari untuk pengamatan bagian viseral dan skeletal(21–24). 8) Analisis Data Perhitungan potensi dilakukan menurut Pola Blok Rawu yang tertera pada Biometri Farmakope Indonesia (1979), sedangkan perhitungan teratogenitas dilakukan secara statistik dengan metode Anova dan Uji Lanjut LSD(21,25). HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penyimpanan rifampisina dalam larutan air selama satu bulan pada temperatur kamar telah terbentuk senyawa hasil oksidasi rifampisina dalām jumlah yang memadai untuk dilakukan analisis selanjutnya. Secara fisik warna sediaan berubah dari merah bata menjadi merah kehitaman dan dari deteksi dengan cara kromatografi lapis tipis telah terbentuk dua noda dengan harga koefisien tambat (retention factor) yang berbeda. Rifampisin mempunyai harga koefisien tambat sebesar 0,60 (warna noda merah-bata), sedangkan senyawa hasil oksidasinya sebesar 0,87 (warna noda hitam). Setelah dilakukan pemisahan senyawa hasil oksidasi ini diperoleh serbuk hablur berwarna hitam, tidak berbau dengan titik leleh 180-181°C. Spektrum serapan UV-VIS dalam pelarut metanol memberikan puncak serapan pada panjang gelombang: 226,0: 328,5 dan 480,0 nm, sedangkan spektrum serapan inframerah memberikan pita serapan pada bilangan gelombang: 3350, 2970, 2290, 1710, 1670, 1610, 1570, 1550, 1420, 1360, 1310, 1250 dan 1080. Berdasarkan data yang diperoleh dan dibandingkan dengan data pustaka, dapat dipastikan bahwa senyawa hasil oksidasi yang telah dipisahkan adalah rifampisina kuinon (Gambar 1 dan 2).
Gambar 1. Spektrum serapan uv-vis senyawa hasil oksidasi rifampisina dalam pelarut metanol.
Gambar 2. Spektrum serapan inframerah senyawa hasil oksidasi rifam pisina dalam tablet KBr.
27
Pada pengujian potensi mikrobiologi, diperoleh potensi senyawa hasil oksidasi tersebut sebesar 136,891U/mg. Potensi ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan potensi rifampisina awal yaitu sebesar 950,55 IU/mg (Tabel 1). Penurunan aktivitas hayati ini mungkin disebabkan transformasi rifampisina menjadi rifampisina kuinon menyebabkan perubahan pada gugus aktifnya. Gugus aktif rifampisina meliputi inti naftohidrokuinon dan sepanjang jembatan ansa alifatiknya, sehingga dengan demikian dapat dipahami bahwa perubahan struktur hidrokuinon menjadi kuinon akan menurunkan aktivitasnya. Tabel 1.
Hasil Pengukuran Diameter Hambatan Pertumbuhan Bacillus subtilis ATCC 6633 yang Disebabkan oleh Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina dan Pembanding Biologi Diameter hambatan (mm/10)
No. 1 2 3 4 5 6
u-1
u-2
u-3
s-1
s-2
s-3
82 79 84 78 78 80
88 91 89 93 92 90
105 102 101 103 105 104
155 158 152 156 155 154
159 166 161 164 165 164
179 170 172 178 175 172
Keterangan : u : senyawa hasil okcidasi rifāmpisina s : pembanding biologi rifampisina ratio potensi 13,926 % terhadap pembanding * Potensi = 136,86IU/mg
Berdasarkan kenyataan di atas, penggunaan sediaan rifampisina dalam bentuk sediaan cair yang telah mengandung hasil oksidasinya perlu diwaspadai mengingat aktivitasnya yang sudah sangat rendah. Antibiotika dengan potensi yang rendah bila tetap digunakan dalam pengobatan penyakit infeksi, akan menginduksi terjadinya resistensi bakteri karena tidak tercapainya potensi efektif yang disyaratkan. Tabel 2.
Data induk dan reproduksi mencit yang diberi senyawa hasil oksidasi rifampisin selama mesa organogenesis Parameter
Jumlah induk hamil Berat induk hamil : – Pada hari ke-9 (grain) – Pada hari ke-18 (gram) Rata-rata/induk : – Implantasi Resorpsi – Fetus mati – Fetus hidup
Dosis 0
14
28
56 (mg/kgBB)
10
10
10
10
22,18 42,83
21,11 40,78
21,25 40,81
20,25 39,97
13,9 1,0 0,1 12,8
12,4 1,4 0,1 10,9
9,1 0,7 0,3 8,1
6,8 1,1 0,2 5,5
Hasil pengujian efek teratogenitasnya terhadap mencit dapat dilihat pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat terjadinya penurunan jumlah rata-rata implantasi. Hal ini dapat disebabkan oleh karena sifat menggagalkan pembentukan fetus dari senyawa uji. Berkurangnya jumlah implantasi tersebut ditunjukkan oleh terjadinya peningkatan resorpsi rata-rata pada setiap kelompok dosis dibandingkan dengan kontrol, kecuali pada kelompok dosis 28 mg/kgBB. Terlihat bahwa terjadinya resorpsi tidak tergantung pada dosis yang diberikan dan tidak bermakna secara statistik pada taraf keberartian p=0.05. Rata-rata fetus yang mati
28
dalam uterus juga lebih besar pada kelompok dosis 28 dan 56 mg/ kgBB dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok kontrol dan kelompok dosis 14 mg/kgBB jumlah rata-rata kematian fetus sama yaitu masing-masing satu ekor. Pada tabel 3 terlihat bentuk kelainan yang terjadi pada fetus mencit meliputi: mata terbuka, kepala membesar, jari kaki dempet, cleft palate, tulang iga bersatu dan kurangnya jumlah telur. Namun semua bentuk kelainan tersebut terlihat tidak tergantung pada dosis yang diberikan. Terjadinya kelainan kepala membesar tidak bermakna dibandingkan dengan kontrol. Mata terbuka hanya terdapat secara ekstrim pada dosis 56 mg/kgBB. Kelainan pada mata ini diduga berasal dari kelainan spontan pada spesies yang diuji (Manson, 1982). Terjadinya cleft palate sangat bermakna pada dosis terbesar; diduga senyawa ini menghambat pembentukan palate pada hari k,e-sebelas kehamilan (Manson, 1982). Terjadinya iga bersatu (fused rib) dan jari berdempet (club foot) dapat dianggap sebagai indikator kemungkinan potensi teratogenitas suatu senyawa yang diuji(26). Tabel 3.
Data kelainan internal dan eksternal pada fetus mencit Parameter
Jumlah fetus diamati Mata terbuka Kepala membesar Jari kaki dempet Cleft palate Tulang iga bersatu Tulang ekor kurang
Dosis 0
14
28
56 (mg/kgBB)
139 7 1 0 1 1 0
124 4 0 1 0 1 0
91 7 0 1 0 0 1
68 1 1 0 9 1 0
Senyawa hasil oksidasi rifampisin berpengaruh terhadap berat badan induk; hal ini terlihat pada sidik ragam Anova pada hari ke-sembilan dan hari ke-delapanbelas kehamilan (Tabel 4 dan 5). Ini menunjukkan bahwa senyawa uji bersifat toksis terhadap induk mencit tetapi masih di bawah ambang batas kefatalan yang dapat menyebabkan kematian. Adanya fluktuasi berat badan induk selama kehamilan juga merupakan salah satu indikator potensi teratogenitas suatu senyawa uji(27,28). Tabel 4. Sidik ragam berat badan induk pada hari ke-delapan kehamilan Sumber Perlakuan Galat Total Tabel 5. delapan
JK
DB
KT
FH
F (0,05)
15,334 45,295 60,629
3 36 39
5,111 1,258
4,063
2,86
Sidik ragam anova berat induk pada hari kehamilan kebelas
Sumber Perlakuan Galat Total
JK
DB
KT
FH
F (0,05)
26,383 92,304 118,607
3 36 39
8,768 2,564
3,420
2,86
KESIMPULAN 1) Senyawa hasil oksidasi rifampisina mempunyai potensi mikrobiologi yang lebih rendah dibandingkan dengan rifampisina. 2) Senyawa hasil oksidasi rifampisina dapat menimbulkan sejumlah kelainan pada fetus mencit (efek teratogen).
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Sejawat Drs. Almuhdy A, MSc, Apoteker, yang telah banyak membanlu penelitian ini khususnya pengujian efek teratogenitas pada mencit. KEPUSTAKAAN 1.
Akmal. Suatu Telaah Kesejajaran antara Kadar dan Potensi Rifampisina dalam larutan Air pada Berbagai Kondisi Penyimpanan, Jurnal Andalas No. 12, 1993. 2. Kim SJ. Bioavailability of Rifampicin Preparations, The Korean Tuberculosis Association, Seoul. hal. 11–12. 3. Goodman LS, Gilman AG. The Pharmaceutical Basis of Therapeutics, 7th. ed. New York: MacMillan Pub]. Co., 1985; 345–350. 4. Akmal. Potensi Mikrobiologi Beberapa Senyawa Hasil Degradasi Rifampisina dalam Larutan Air, Kumpulan Makalah Seminar Nasional Bioteknologi Industri. Bandung, 27–29 Januari 1993. 5. Akmal. Isolasi Senyawa Hasil Oksidasi Rifampisina dalam Sediaan Obat Cairdan Pengujian Aktivitas Mikrobiologinya, Majalah Farmasi Indonesia 1993; 4:1. 6. Asiatin et al. Effect of Ascorbic Acid, Aīfa'Tocopherol and Citric Acid as Antioksidant' of Rifampicin Potency in Suspension, Proc 12th. Asian Congress Pharmaceutical Sciences, FAPA, Denpasar, 1988; hal. 87. 7. Uun Hidayat. Formulasi Suspensi RifampisinadanGambaran Ketersediaan Hayatinya, Tesis PascaSarjana(S-2), Institut Teknologi Bandung, hat. 3–5. 8. Akmal. Telaah Kinetika Reaksi dan Kecepatan Laju Penguraian Rifampisina dalam Larutan Air pada Berbagai Kondisi Penyimpanan, Laporan Penelitian Fakultas MIPA Universitas Andalas, 1992. 9. Akmal, Hendri. Aktivitas Inhibitor Beta Laktamase Asam Klavulanat Terhadap E. colt yang Telah Resisten dengan Ampisilin. Cermin Dunia Kedokt. 1993; 84. 10. Satiadarma K et al. Relevansi Pengujian Kimia dan Fisikokimia pada Berhagai Antibiotika Dibandingkan dengan Cara Mikrobiologi, Laporan Penelitian Institut Teknologi Bandung, 1981, hal. 3–4. 11. Akmal, Fauzia Rozani, Yovita Lisawaty, Zadiar, Hendri. Uji Keandalan Beberapa Metode Kimia Untuk Penentuan Kadar Rifampisina, Laporan
Penelitian SPP/DPP, Universitas Andalas Padang, 1993. 12. Almandy A. Pemeriksaan Toksisitas/Teratogenitas Kayu Kasai, Cermin Dunia Farmasi 1991; 11. 13. Almandy A. Uji Abortifasien Kayu Mulu pada Mencit, Cermin Dunia Farmasi 1992; 12. 14. Florey K et al. (Eds), Rifampicin In: Analytical Profile of Drug Substances. New York: Academic Press, 1976: 470–505. 15. World Health Organization. International Pharmacopeia, Vo. 3, Geneva, 1988. 16. World Health Organization. Analytical Report of Rifampicin Quinon, Pharm. 1991; 55(12): 59–63. 17. Arret B. Outline of Details for Microbiological Assays of antibiotics, J. Pharm. Sci. 1 9 7 1 ; 60(1 I ): 1698–1694. 18. Kavanagh FW. Microbiological Diffusion Assay, J. Pharm. Sci. 1974; 66(9): 1459–1466. 19. Katz S, Katz SE. Microbiological Assay Antibiotic in Surface Water. J. Assoc Off Anal Chem, 66(3): 635–39. 20. Akmal, Almandy A. Teknik Perhitungan Potensi Antibiotika menurut Pola Blok Rawu dengan Bantuan Komputer, Laporan Penelitian Fakultas MIPA Universitas Andalas Padang, 1993. 21. Almandy A. Efek Antifertilitas dan Toksisitas Kayu Mulu, Medika 1992; 34. 22. Almandy A. Potensi Teratogenitas Hyptis capitata Jacq pada Mencit, Cermin Dunia Farmasi 1993; 17. 23 Almandy A. Potensi Antimakan dan Teratogenitas Tumbuhan Subangsubang, Jurnal Andalas 1993; 18. 24. Wilson JG, Frazer FG. Handbook of Teratology, Plenum Press, New York, 1978.hal. 49–72. 25. Akmal. Isolasi dan Pemeriksaan Aktifitas Hayati Senyawa 3-formil Rifampisina dari Sediaan Sirop Rifampisina, Laporan Penelitian Fakultas MIPA Universitas Andalas, 1992. 26. Yasauda M. Significancy of Lumbar Ribs as Indicator in 'Fer: togenicity Test, Teratology, 1992: 6–24. 27. Beck F. Model System in Teratology Research, Croo. Helm. Ltd. London, 1984. p. 14–24 28. Habison RD. Teratogen In: Cassaret and Douls Toxicology. New York: MacMillan Publ.Co., 1980: 158–175.
If we take the time to think, more we wilt undoubtedly thank, more
29
Perkembangan Mutakhir Diagnosis Tuberkulosis Paru Dr. Tjandra Yoga Aditama, DTM&H Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RSUP Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN WHO menyatakan bahwa sekitar 1700 juta orang - sepertiga penduduk dunia - telah pernah terinfeksi oleh kuman tuberkulosis dalam hidupnya. Setiap tahunnya ada sekitar empat juta penderita baru tuberkulosis yang menular, ditambah dengan sejumlah sama penderita baru tuberkulosis yang tidak menular. Artinya, setiap tahun di dunia ini akan ada sekitar 8 juta penderita tuberkulosis yang baru, dan akan ada sekitar tiga juta orang yang meninggal setiap tahunnya karena penyakit ini. Di tahun 1990 ini tercatat ada lebih dari 45 juta kematian di dunia ini, sekitar 3 juta di antaranya (7%) terjadi karena penyakit tuberkulosis. Selain itu, 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah (preventable death) juga disebabkan oleh tuberkulosis(1). Di tahun 1990 yang lalu di kawasan Asia Tenggara telah muncul lebih dari 3,1 juta penderita baru tuberkulosis dan terjadi lebih dari satu juta kematian akibat penyakit ini. Sementara itu, di tahun 2000 kelak di seluruh dunia akan timbul lebih dari 10,2 juta penderita baru tuberkulosis dengan 3,5 juta kematian. Pada tahun 2000 itu juga di kawasan Asia Tenggara akan ada lebih dari 3,9 juta penderita baru tuberkulosis dan lebih dari 1,3 juta kematian. Kalau dijumlahkan maka pada dekade 1990 – 1999 di seluruh dunia akan muncul 88 juta penderita tuberkulosis dan 30 juta orang akan meninggal akibat penyakit ini. Sementara itu, pada dekade yang sama di kawasan Asia Tenggara akan timbul lebih dari 35 juta penderita tuberkulosis yang baru dan akan ditemui pula lebih dari 12 juta orang yang meninggal akibat penyakit ini(1,2,3). Di Afrika setiap tahunnya muncul 165 orang penderita tuberkulosis paru baru yang menular pada setiap 100.000 penduduknya, sementara di Asia angka itu adalah 110 orang pen-
30
derita baru per 100.000 penduduk pertahunnya. Tetapi, karena jumlah penduduknya yang lebih banyak maka jumlah penderita baru tuberkulosis di benua Asia 3,7 kali lebih banyak daripada di Afrika(1,3). Di Indonesia kini diperkirakan ada sejumlah sekitar 500.000 orang setiap tahunnya yang menderita tuberkulosis paru dengan BTA (+). Di pihak lain, menurut hasil survei kesehatan rumah tangga yang dikerjakan oleh Departemen Kesehatan di tahun 1992 tuberkulosis ternyata merupakan penyebab kematian ke dua di Indonesia. Menurut survei kesehatan rumah tangga sebelumnya yang dikerjakan di tahun 1986 tuberkulosis menduduki peringkat ke empat dalam pola penyebab kematian di Indonesia. Ancaman baru kini muncul berhubungan dengan datangnya virus HIV. WHO memperkirakan bahwa di tahun 1990 telah ada 300.000 penderita tuberkulosis baru yang juga terinfeksi virus HIV penyebab AIDS, angka ini merupakan 4% dari seluruh penderita baru tuberkulosis di tahun itu. Sementara itu, di tahun 1000 akan muncul 1,4 juta penderita baru, dan angka ini merupakan 13% dari seluruh penderita baru tuberkulosis yang muncul di tahun 2000. Artinya, selain jumlahnya bertambah, proporsi infeksi HIV dan TB juga meningkat dari tahun ke tahun. Dalam periode 1990 sampai 1999 akan muncul sekitar 8 juta penderita tuberkulosis yang juga terinfeksi virus HIV. Pada dekade ini akan teradi 2,9 juta kematian akibat tuberkulosis dan infeksi HIV ini, sebagian besar terjadi di negara-negara berkembang. Di tahun 1990 yang lalu kematian akibat tuberkulosis dan infeksi HIV adalah sekitar 4,6% dari seluruh kematian akibat tuberkulosis, sementara di tahun 2000 kelak proporsi ini meningkat menjadi 14,2% dari seluruh kematian akibat tuberkulosis. Di tahun 1993 diperkirakan ada 5,1 juta manusia yang telah terinfeksi dengan
virus HIV dan kuman tuberkulosis sekaligus. Dan 5,1 juta yang telah terinfeksi kuman ini, 660.000 di antaranya berada di kawasan Asia Tenggara dan 3,7 juta di kawasan Sub Sahara Afrika(3,4). ROBERT KOCH Riwayat diagnosis tuberkulosis dimulai dan penemuan basil tuberkulosis oleh Robert Koch di tahun 1882 yang lalu. Setelah penemuan itu, mulailah dikembangkan berbagai teknik diagnosis untuk penyakit ini. Sampai saat ini, prinsip penemuan basil tahan asam tetap merupakan salah satu pilihan utama, walaupun dengan keterbatasan di sana-sini. Kini secara luas digunakan teknik pewarnaan Ziehl Nielsen dan / atau Kinyoun Gabett untuk mendeteksi BTA menggunakan mikroskop biasa. WHO dan IUAT-LD (International Union Against Tuberculosis and Lung Diseases) telah beberapa kali membuat buku pedoman diagnosis BTA ini. Laboratorium Mikobakteriologi RSUP Persahabatan / WHO Collaborating Center for Tuberculosis juga telah pernah mengeluarkan buku serupa. Sementara itu, penemuan BTA khususnya uniuk screening juga dapat dilakukan dengan mikroskop fluorensens dengan pewarnaan auramin-rodamin. Untuk mendapatkan diagnosis pasti tuberkulotis tentu perlu dilakukan kultur. Media yang digunakan dapat berupa media Lowenstein Jensen, media Kudoh dan atau media Ogawa. Dengan berbagai teknik baku maka dapatlah dideteksi adanya Mycobacterium tuberculosis, dan juga Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan tes nikotinamid, tes niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul(3,5). Di pihak lain, diagnosis tuberkulosis juga tentunya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan gambaran rontgen, dengan berbagai kriteria dan keterbatasannya pula. Penemuan sinar X oleh Roentgen di tahun 1895 lah yang membuka kemungkinan penggunaannya dalam diagnosis tuberkulosis. Sementara itu, sarana diagnostik lain adalah dengan tes tuberkulin. Tuberkulin sendiri mulanya sebenarnya diperkenalkan oleh Robert Koch di tahun 1890 untuk salah satu upaya terapi tuberkulosis, yang kemudian tentunya tidak membawa hasil. Konsep reaksi tuberkulin diperkenalkan Oeh von Pirquet di tahun 1906, dan PPD diperkenalkan oleh Siebartt di tahun 1931. Kini tes tuberkulin dipakai untuk mendeteksi adanya riwayat infeksi tuberkulosis(1,3).
PERKEMBANGAN KINI Salah satu masalah dalam diagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu untuk kultur/pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik barn yang dapat mengidentifikasi pasti kuman tuberkulosis secara lebih cepat. Dasar pemeriksaan adalah mendeteksi kuman tuberkulosis daniatau mendeteksi respon tubuh terhadap masuknya kuman tersebut. Untuk mendeteksi kuman, dapat dilakukan pendekatan secara molekuler khususnya untuk mendeteksi DNA, pendekatan
serologis untuk mendeteksi antigen - antibodi terhadap kuman serta pendekatan komponen untuk mendeteksi struktur kuman itu sendiri. Sementara itu, deteksi respon tubuh terhadap masuknya kuman biasanya dilakukan secara serologi untuk mendeteksi respon humoral, dan kadang-kadang dapat pula dideteksi respon selular yang terjadi(1,6,7). DETEKSI KUMAN Salah satu teknik yang paling populer adalah Polymerase Chain Reaction (PCR). Prinsip utama teknik ini adalah deteksi DNA kuman, setelah dilakukan amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga deteksi dapat lebih mudah dilakukan. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Dalam pelaksanaannya tes ini masih hams dilakukan di laboratorium yang baik, kendati di tahun 1988 yang lalu para ahli tadinya menduga bahwa PCR dapat dipakai luas di lapangan, bahkan dikatakan under plam tree(1,3). Sementara itu, komponen struktur dinding kuman tuberkulosis juga mungkin dideteksi dengan berbagai teknik tertentu yang menggunakan gas khromatograf dan spektrometri. Deteksi antigen kuman juga dapat dilakukan, hanya saja memang diperlukan hōmogenisasi bahan secara baik terlebih dahulu(1,5). Teknik lain yang juga sudah banyak dipakai adalah "BACTEC" (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dasar pemeriksaan ini adalah radiometrik. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang kemudian akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. BACTEC secara rutin dilakukan pada setiap penderita tuberkulosis di beberapa negara tertentu, seperti di Singapura(1,5,8). Teknik lain yang kini sedang banyak diteliti dan dikembangkan adalah RELP (restrictive fragment lenght polymorphism). Teknik RELP ini dikenal sebagai teknikfinger printing, atau identifikasi "sidik jari" dan kini dikembangkan secara luas(1,8). Salah satu teknik lain yang juga sedang dikembangkan adalah yang disebutLight producing mycobacteriophage. Pada teknik ini dapat dilakukan tes resistensi/kekebalan; bila kuman yang diperiksa ternyata kebal terhadap obat tertentu maka akan tampak semacam cahaya yang dapat dideteksi, dan bila kuman masih sensitif/peka terhadap obat maka cahaya itu tidak akan tampak(1,8).
RESPON TUBUH Upaya serodiagnpsis tuberkulosis telah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu. Dalam perkembangan kini maka teknik ELISA merupakan salah satu tes serologi yang cukup baik yang dapat mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah kemungkinan bahwa antibodi dapat menetap dalam waktu lama dan cukup rumitnya pekerjaan laboratorium yang harus dilakukan. Penggunaan antigen merupakan salah satu perhatian utama, karena ketidak murnian antigen dapat menimbulkan reaktifitas silang yang mengganggu diagnosis. Penggunaan antibodi monoklonal ternyata dapat membantu. Kini antara lain
31
tengah dikembangkan antigen 38 kilo dalton dalam diagnosis tuberkulosis paru(1,6). MYCODOT adalah salah satu tes lain yang mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Tes ini menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat berbentuk seperti sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum penderita, dan bila di dalam serum itu ada antibodi spesifik anti LAM dalam jumlah yang memadai, yang sesuai dengan aktifitas penyakit, maka akan timbul perubahan warna pada sisir itu yang dapat dideteksi dengan mudah(1,7). Tes Peroksidase Anti Peroksidase (PAP) adalah salah satu jenis tes lain, yang juga mendeteksi reaksi serologi yang terjadi. Sementara itu telah pula dilakukan upaya untuk mendeteksi respons selular tubuh manusia terhadap masuknya kuman tuberkulosis, seperti antara lain mendeteksi lymphocyte proliferative response, adenosine deaminase dan/atau lysozime(1,5).
narnya sebagian besar kasus ada di negara-negara berkembang. Karena itu, sudah sepatutnyalah para ahli dari negara-negara berkembang seperti Indonesia melakukan berbagai penelitian untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang tuberkulosis dan memberikan sumbangsihnya dalam dunia ilmu pengetahuan secara luas. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ini tentu akan membawa manfaat besar dalam penanggulangan tuberkulosis secara umumnya. Hanya dengan kerja sama semua pihak kita dapat mengharapkan agar tuberkulosis dapat segera terbasmi dari bumi nusantara. 1. 2. 3. 4. 5.
PENUTUP Teknik-teknik baru dalam identifikasi kuman tuberkulosis kini masih terus diteliti, dikembangkan dan jadi bahan kajian para ahli di berbagai negara. Harus diakui bahwa penelitian-penelitian ini banyak dilakukan oleh para ahli di negara-negara maju, kendati sebe-
6. 7. 8.
KEPUSTAKAAN Tuberculosis - Back to the future. Ported, JD McAdam KPWJ (eds). London : John Wiley & Sons Ltd. 1994; 79–95. Nunn PP, Enarson DA. Tuberculosis from neglect to control. Trans. Roy. Soc. Trop. Med. Hyg. 1994; 88: 129–31. Crofton J, Horne N, Miller F (eds). Clinical Tuberculosis. London : Macmillan Press Ltd., IUATLD, TALC 1992. Murray C. Styblo K, Rouillon A. Tuberculosis. In : Disease Control Priorities in Developing Countries. New York : World Bank 1993; pp 223–35. Enarson A, Rieder HL, Amadottir T. Tuberculosis Guide for Low Incomt: Countries. Paris : IUATLD, 1994. Bothamley GH, Rudd R, Festenstein F, Ivanyi J. Clinical value of the measurement of Mycobacterium tuberculosis specific antibody in pulmonary tuberculosis. Thorax 1992; 47: 270–5. Sada E, Aguilar D, Herera T. Detection of Lipoarabinomannan as a Diagnostic test for Tuberculosis. J. Clin. Microbiol. 1992; 30: 2415–7. Tjandra Yoga Aditama. Tuberkulosis. Jakarta : UI Press, 1994.
Lend only what you can afford to lose
Bronkhitis, Bronkhopneumoni dan Bronkhiektasis di Lingkungan Keluarga Penderita Tuberkulosis Paru Kusnindar Atmosukarto Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Melalui pemeriksaan foto Rontgen paru dari penderita tuberkulosis paru dan keluarganya yang tinggal serumah (369 orang), didapatkan 16 orang (4,3%) menderita bronkhitis, 4 orang (1,1%) menderita bronkhopneumonia dan 2 orang (0,5%) menderita bronkhiektasis. Jumlah penderita seluruhnya 22 orang (6%); lebih tinggi dari prevalensi penderita infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma di Indonesia (2,8%) dalam tahun 1986. Prevalensi tuberkulosis paru dalam lingkungan penderita dan keluarganya yang tinggal serumah (47,5%), jauh lebih tinggi dari prevalensi tuberkulosis paru dalam masyarakat di Indonesia (0,42%). Menurut uji Chi-kuadrat, ada hubungan yang bermakna antara banyaknya penderita bronkhitis, bronkhopneumonia dan bronkhiektasis dengan luas jendela rumah tempat tinggal penderita tuberkulosis paru pada taraf nyata p ~ 0,01.
PENDAHULUAN Hasil penelitian ini merupakan hasil samping dari suatu penelitian mengenai pengaruh percahayaan dan perhawaan terhadap penularan penyakit tuberkulosis paru dalam lingkungan keluarga penderita yang tinggal serumah(1). Bronkhitis, bronkhopneumonia dan bronkhiektasis yang selanjutnya disebut infeksi saluran pernafasan dan paru (ISP), adalah sebagian dari penyakit ISP yang menjadi penyebab kematian paling besar di Indonesia. Menurut Survai Kesehatan Rumah Tangga tahun 1982, diperkirakan kematian akibat infeksi saluran nafas sebesar 9,3% dari seluruh kematian, kematian oleh sebab tuberkulosis 8,4%, dan oleh sebab bronkhitis, emphisema dan asthma sebesar 5,8%(2). Mengingat masalah ISP menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling besar, maka hasil penelitian mengenai ISP dalam lingkungan penderita tuberkulosis paru ini perlu dianalisis lebih lanjut hubungannya dengan faktor lingkungan pemukiman khususnya terhadap percahayaan dan perhawaan. Hasil analisis data dapat digunakan sebagai masukan dalam rencana program pemberantasan ISP terutama dalam upaya pencegahan penyakit.
Pneumonia dapat disebabkan oleh bakteri, virus, benda asing, jamur dan pneumonia hipostatik. Bronkhitis dan bronkhiektasis disebabkan oleh pneumonia, tuberkulosis, pertusis, morbili, asthma atau oleh benda asing. Ketiga penyakit tersebut cara penularannya melalui udara atau pernafasan(3,4). BAHAN DAN CARA PENELITIAN Lokasi penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Puskesmas Sepatan, Pabuaran Tumpeng, Sukasari dan Batuceper, Kabupaten Tangerang Jawa Barat, tahun 1991. Besar dan cara pengambilan sampel Sampel dipilih secara acak dari daftar penderita tuberkulosis paru yang berobat di masing-masing puskesmas, berjumlah 65 orang penderita sebagai kasus indeks. Selanjutnya semua penderita dan keluarga yang tinggal serumah dengan penderita indeks menjalani pemeriksaan foto Rontgen paru (sebanyak 369 orang).
33
Pemeriksaan foto Rontgen paru dilakukan oleh dokter ahli paru dari Laboratorium Cimone Medica Tangerang, Jawa Barat . Pengukuran cahaya dalam ruangan rumah dilakukan di tiga titik di atas lantai ruangan, ialah di pinggir, pusat ruangan dan satu titik di antara keduanya. Intensitas cahayaruangan ialah nilai rata-rata dari intensitas cahaya di ketiga titik tersebut. Pengukuran cahaya menggunakan alat Lux-meter. Analisis data Analisis data secara statistik menggunakan uji Chikuadrat, dengan rumus asosiasi antara dua faktor dalam daftar kontingensi B x K sebagai berikut(5) :
Tabel 1.
Banyaknya ISP menurut Luas Jendela Rumah Penderita Tuberkulosis Paru
Luas jendela (dalam m2)
Foto Rontgen paru
Jumlah
BR (+) BRP (+) BRE (+)
(+)
(–)
Total
0,0 – 0,99 1,0 – 1,99 2,0 – 2,99 3,0 & lebih
10 2 3 1
3 0 1 0
0 1 1 0
13 3 5 1
278 29 23 17
291 32 28 18
Jumlah
16
4
2
22
347
369
Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis; X2 = 15,12; X20,99(3) = 9,21
Daftar kontingensi B x K Tabel 2.
Faktor II (K taraf) Faktor I (B taraf)
Jumlah
1 2 – B
1 O11 O21 – OB1
2 …… K O12 …..O1k O22 …..O2k – …….. – OB2 …..OBK
Jumlah n10 n20
no1
n02 ……n0K
n
nB0
Hipotesis H = kedua faktor bebas statistik. Rumus : Eij = ( ni0 x noj ) / n Eij = frekuensi teoritik atau gejala yang diharapkan terjadi ni0 = jumlah bads ke i noj = jumlah bans ke j n = banyaknya sampel yang diobservasi/diamati.
Luas ventilasi (dalam m2)
X2 =
B
∑ ∑(O
ij − Eij ) / Eij
1= i
2
K
i= j
2
Hipotesis H ditolak apabila X lebih besar dari X pada tanaf nyata p = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (B–1) (K–1).
Untuk tabel yang terdiri dari dua baris dan dua kolom digunakan rumus : X2 = n (Iad–bcI – 1/2 n)2 / (a+b) (a+c) (b+d) (c+d)
HASIL Dari 369 foto Rontgen paru yang diperiksa, dinyatakan positif menderita bronkhitis sebanyak 16 orang (4,3%), bronkhopneumonia 4 orang (1,1%) dan bronkhiektasis 2 orang (0,5%), jumlah seluruhnya 6%. Menurut luas jendela rumah tempat tinggal penderita tuberkulosis paru, penderita ISP didapatkan paling banyak di rumah dengan luas jendela paling kecil (13 penderita) sedang pada rumah dengan luas jendela paling besar hanya didapatkan satu penderita (Tabel 1). Menurut luas ventilasi rumah, penderita ISP paling banyak juga didapatkan di rumah dengan ventilasi paling kecil (0–0,99 m2) ialah 13 penderita, sedang pada rumah dengan ventilasi paling besar (lebih dari 3 m2) didapatkan 3 orang penderita (Tabel 2). Penderita ISP paling banyak didapatkan pada rumah dengan intensitas cahaya paling rendah (0-19,9lux) sebanyak 11 orang; di rumah dengan intensitas cahaya paling tinggi (lebih dari 40 lux) didapatkan hanya 5 orang penderita (Tabel 3).
34
Foto Rontgen paru
Jumlah
BR (+) BRP (+) BRE (+)
(+)
(–)
Total
0,0 – 0,99 1,0 –1,99 2,0 – 2,99 3,0 & lebih
9 2 2 3
3 1 0 0
1 0 1 0
13 3 3 3
166 65 49 67
179 68 52 70
Jumlah
16
4
2
22
347
369
Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis; X2 = 1,18; X20,95(3) = 7,81 Tabel 3.
Uji statistik Chi-kuadrat terhadap hipotesis tersebut di atas, menggunakan rumus :
Banyaknya ISP menurut Luas Ventilasi Rumah Penderita Tuberkulosis Paru
Banyaknya ISP menurut Intensitas Cahaya Ruang Tidur Penderita Tuberkulosis Paru
Foto Rontgen paru Intensitas cahaya (dalam lux) BR (+) BRP (+) BRE (+)
Jumlah (+)
(–)
Total
0,0 – 19,9 20,0 – 39,9 40,0 & lebih
9 4 3
3 0 1
0 1 1
12 5 5
257 52 44
263 57 49
Jumlah
16
4
2
22
347
369
Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis; X2 = 3,7; X20,95(3) = 7,81
Penderita ISP terbanyak juga didapatkan di rumah dengan intensitas cahaya di ruang tamu paling kecil (0–99 lux) sebanyak 12 orang penderita; dalam rumah dengan intensitas cahaya ruang tamu lebih dari 300 lux didapatkan hanya 2 orang penderita (Tabel 4). Tabel 4. Banyaknya ISP menurut Intensitas Cahaya Ruang Tamu Rumah Penderita Tuberkulosis Pam Foto Rontgen paru Intensitas cahaya (dalam lux) BR (+) BRP (+) BRE (+)
Jumlah (+)
(–)
Total
0,0 – 99,9 100 – 299,9 300 & lebih
7 5 2
4 0 0
0 0 0
11 5 2
190 64 37
201 69 39
Jumlah
16
4
2
22
347
369
Catatan : BR = bronkhitis; BRP = bronkhopneumonia; BRE = bronkhiektasis; X2 = 15,12; X20,95(3) = 7,81
Hubungan banyaknyapenderita ISP dengan kepadatan peng-
huni rumah atau luas lantai per orang, disajikan dalam tabel 5. Didapatkan 7 penderita dalam rumah dengan kepadatan penghuni kurang dari 8 m2 per orang dan 10 penderita dalam rumah dengan kepadatan penghuni lebih dari 8 m2 per orang. Tabel 5. Banyaknya Rumah Terdapat Penderita ISP menurut Kepadatan Penghuni Luas lantai per orang (m=)
Terdapat ISP
Jumlah
(+)
(–)
Kurang dari 8 m2 Lcbih dari 8 m2
7 10
18 30
25 40
Jumlah
17
43
65
Keterangan :X2 = 0,00 ; X20.95(1) = 3,84
PEMBAHASAN ISP dalam lingkungan penderita tuberkulosis dan keluarganya yang tinggal serumah, sebanyak 22 orang (6%) dari 369 orang yang diperiksa. Data ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma dari penduduk Indonesia tahun 1986 sebesar 2,8%(6). Hal ini mungkin oleh terjadinya bronkhiektasis berasal dari tuberkulosis, perbedaan jenis responden dan perbedaan cara diagnosis penyakit. Dalam SKRT tahun 1986 diagnosis penyakit dilakukan berdasarkan keluhan-keluhan yang dirasakan responden. Prevalensi tuberkulosis paru di lingkungan penderita dan keluarganya yang tinggal serumah (47,6%) jauh lebih tinggi dari prevalensi tuberkulosis paru penduduk Indonesia pada umumnya (0,42%). Hal ini jelas karena seorang penderita tuberkulosis paru yang telah berobat ke Puskesmas, masih dapat menularkan kepada 33,396 dari seluruh keluarga yang tinggal serumah(1). Dari tabel 1 didapatkan bahwa ISP paling banyak ditemukan dalam rumah dengan luas jendela paling kecil (0,0 – 0,99 m2) ialah sebanyak 13 penderita, sedang dalam rumah dengan luas jendela paling besar (lebih 3 m2) hanya ditemukan seorang penderita. Setelah dilakukan uji Chi-kuadrat dengan rumus asosiasi antar dua faktor, didapatkan X2 = 15,12; X2 lebih besar dan X20,99(3), yang berarti ada hubungan bermakna antara banyaknya kasus ISPdengan luas jendelarumah tempat tinggal (p=0,01). Dari label 2, meskipun kasus ISP banyak terjadi di rumah dengan luas ventilasi paling kecil (0,0 – 0,99 m2) yakni sebanyak 13 penderita, sedang pada rumah dengan ventilasi paling besar
(lebih dari 3 m2) hanya ditemukan 5 orang penderita, secara statistik tidak terbukti berbeda bermakna karena X2 lebih kecil dari X20,95(3). Demikian pula dari tabel 3 dan 4; kasus ISP cenderung menggerombol di rumah dengan intensitas cahaya yang paling rendah, baik di kamar tidur penderita tuberkulosis paru maupun di ruang tamu; namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna. Dari tabel 5 diketahui bahwa kasus ISP ditemukan di 7 rumah dengan kepadatan penghuni kurang dari 8 m2/orang dan 10 rumah dengan kepadatan lebih dari 8 m2/orang; X2 lebih kecil dari X20,95(1) jadi kedua faktor tersebut tidak ada hubungan. KESIMPULAN DAN SARAN Prevalensi penderita ISP di lingkungan penderita tuberkulosis paru dan keluarganya sebesar 6%; lebih besar dari prevalensi infeksi saluran nafas, bronkhitis dan asthma dalam masyarakat umum di Indonesia (2,8%). Demikian pula prevalensi tubeikulosis paru di lingkungan keluanga penderita tuberkulosis paru jauh lebih besar dibandingkan dengan prevalensi tuberkulosis paru dalam masyanakat umum, yakni 47,6% berbanding dengan 0,42% (17 x lipat). Upaya perbaikan sanitasi perumahan khususnya mengenai percahayaan dan perhawaan sangat besan artinya untuk mengurangi penularan penyakit tuberkulosis dan ISP. Perlu pemugaran rumah penderita tuberkulosis paru yang tidak memiliki jendela dan lubang ventilasi serta kaman tidur penderita yang gelap (intensitas cahaya 0 lux). Upaya ini perlu dilakukan secara swasembada, mengingat keterbatasan dana dari Pemerintah untuk program pemberantasan tuberkulosis dan ISP.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kusnindar, Suharjo, Bambang Sukana. Pengaruh percahayaan dan perhawaan terhadap penularan penyakit tuberkulosis paru, Cermin Dunia Kedokt 1993; 84: 34–8. Ratna L Budiarso. Laporan SKRT 1992. Badan Litbang Kesehatan, 1992. Abdoerachman dkk. Kumpulan kuliah ilmu kesehatan anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI. Jakarta, 1968. Hoepriech PD. Infectious Diseases. New York: Harper Row, 1972. Sujana. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito 1982. L Ratna Budiarso, Zaenul Bakri, Siti Sapardiah Santoso. Data Statistik Survai Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta, 1986.
Give some people an inch and they think, they are rulers
Penatalaksanaan Bronkhitis Khronik Faisal Yunus Bagian Pulmonologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru RSUP Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering(1). Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik. Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruktif kronik (PPOK). Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian yang disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke lima(2). Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur hidup dan memburuk dari waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini, pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik. DEFINISI BRONKITIS KRONIK Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi
36
tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok the(3). Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-turut(4). Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIS PENYAKIT Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial(5). Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi(6,7). Di RSUP Persahabatan ditemukan kekerapan hipereaktivitas bronkus yang tinggi pada penderita PPOK yaitu sebesar 76%(8). Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung 1014 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak pry; kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena(9,10) : 1) Kerusakan dinding alveolus 2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas. Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus. Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang
terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi(5). Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel(11,12). Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversibe1(11,12). Pada gambar 1 dapat dilihat skema patogenesis bronkitis kronik.
Gambar 1. Skema Patogenesis Bronkitis Kronik(11).
Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 50–80 ml setiap tahun(13,14). Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu adalah(15) : 1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca. 2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas. 3) Tahap perjalanan penyakit. 4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti sinusitis dan faringitis kronik.
5) Keteraturan penderita berobat. PENATALAKSANAAN BRONKITIS KRONIK Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan(16). Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi. Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik; obat ini tidak saja diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan golongan xanthin(16–18). Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan golongan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 6–8 jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi(18–20). Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi otot polos saluran napas(16–18). Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK(16–18,21). Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka mempunyai efēk sinergis. Pemberian secara kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan pemberian monoterapi; selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping yang minimal(16–18). Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto
37
toraks(18). Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol selama 7–10 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika untuk gram negatif(16–18). Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis; pemberian dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru(16,17). Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka lama memperlambat progresivitas penyakitt22). Pada serangan akut pemberian steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 4–7 hari, kemudian diturunkan secara bertahap selama 7–10 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara, bertahap(16–18). Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ2 < 55 mmHg) pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur(4,16–18). Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi dapat menghilangkan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis respiratorik(4,16,17). Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian obatobat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas. Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita pada tingkat yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan; tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah(4,16–18). Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat
38
perjalanan penyakit adalah : • Menghentikan kebiasaan merokok. • Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya iritasi saluran napas. Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin • agar tidak terjadi eksaserbasi akut. Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang • masih reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan. Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat • diberikan obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal. • Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta meramalkan prognosis penderita(23). PERANAN N-ASETILSISTEIN PADA BRONKITIS KRONIK Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik(9,10). Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok(9,24–26). N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation. Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan(9,10,24). Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna(26–28). PENUTUP Bronkitis kronik adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditandai dengan gejala batuk dan produksi sputum. Berbagai faktor dapat menimbulkan penyakit ini. Bahan-bahan oksidan dan iritan yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi merupakan faktor utama terjadinya bronkitis kronik. Pemberian bronkodilator merupakan pengobatan utama untuk mengatasi obstruksi yang terjadi, obat golongan antikolinergik merupakan bronkodilator pilihan pertama. Pemberian obat secara kombinasi akan memberikan efek bronkodilatasi yang optimal dan efek samping yang minimal. Antibiotika diberikan bila terdapat tanda-tanda infeksi. Obatobat lain diberikan bila ada indikasi. Pemberian N-asetilsistein yang merupakan antioksidan mempunyai manfaat mengurangi jumlah dan purulensi sputum,
lamanya sakit dan frekuensi eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis secara dini, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi dan lingkungan yang terpolusi, melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur dapat memperlambat laju penyakit. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Survai Kesehatan Rumah Tangga. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan. Jakarta, 1986 : 5–6. Tockman MS, Khoury MY, Cohen HH. The epidemiology of COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Petty TL. New York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 43–5. Brinkman GL, Coaster EO. The prevalence of chronic bronchitis in an industrial population. Am Rev Respir Dis 1962; 86: 47–54. American Thoracic Society. Medical section of the American Lung Association. Standards for the diagnosis and care of patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) and asthma. Am Rev Respir Dis 1987; 136: 225–43. Cherniack RM, Cherniack L. Airway disease. In: Respiration in Health and Disease. Philadelphia: WB Saunders Co, 1983 : 269–98. Yan K, Salome M, Woolcock AJ. Prevalence and nature of bronchial hyperresponsiveness in subjects with chronic obstructive pulmonary disease. Am Rev Respir Dis 1985; 132: 25–9. Ramsdale EH, Robert RS, Morris MM, Hargreave FE. Difference in responsiveness to hyperventilation and metacholine in asthma and chronic bronchitis. Thorax 1985; 40: 422–6. Faisal Yunus, Rahardjo Wirjo Kusumo, Hadiarto Mangunnegoro. Pola hipereaktivitas bronkus pada penderita penyakit obstruksi saluran napas. Paru 1989; 3 & 4 : 13–9. Cantin A, Crystal RG. Oxidants, Antioxidants and the pathogenesis of emphysema. Eur J Respir Dis 1985; 66: 7–12. Flenley DC. What should an ideal antioxidant do (and not do) ? Bull Eur Physiopathol Respir 1987; 23: 279–85. Rodman T, Sterling HF. Pulmonary emphysema and related lung disease. St Louis: CV Mosby Co 1969: 3–23, and 156–200. Bates PV. Chronic bronchitis and emphysema. In: The Lung in Transition between Health and Disease. Eds. Macklem PT, Permutt S. New York: Marcel Dekker Inc, 1979: 1–3. Tisi GM, The pulmonary function laboratory : A guide to diagnosis. In: Pulmonary Physiology in Clinical Medicine. Baltimore: William & Wilkins, 1980: 129–74. Faisal Yunus. Peranan faal pare pada penyakit pare obstruktif menahun. Dalam: Penyakit Pam Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar
Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 33–44. 15. Hadiarto Mangunnegoro. Penatalaksanaan penyakit pare obstruktif menahun. Hasil pengamatan selama 5 tahun di Bagian Pulmonologi FKUII Unit Pam RS Persahabatan. Dalam: Penyakit Pam Obstruktif Menahun, eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 51–9. 16. Hodgkin HE. Comparative respiratory care program. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Park Ridge: The American College of Chest Physician. 1979 : 34–101. 17. Miller WF, Geumel AM. Respiratory and Pharmacological therapy in COPD. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Petty TL. New York: Marcel Dekker Inc, 1985 : 205–338. 18. Rebuck AS, Galko BM. Brochodilators in the treatment of bronchitis and emphysema. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Cherniack NS. Philadelphia: WB Saunders No, 1991 : 487–89. 19. Manfaat obat antikolinerik pads pengobatan penyakit pare obstruktif menahun. Dalam: Penyakit Paru Obstruktif Menahun. eds. Faisal Yunus, Anwar Jusuf. FKUI, Jakarta 1989 : 45–50. 20. Gross NJ. Anticholinergic agents in the treatment of chronic bronchitis and emphysema. In: Chronic Obstructive Pulmonary Disease. ed. Cherniack NS. Philadelphia: WB Saunders Co, 1991 : 490–4. 21. Murciano D, Auber M, Lecocquic Y, Parient R. Effect of theophylline on diaphragmatic strength and fatigue in patients with chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med 1984; 311: 349–53. 22. Dompeling E, Van Schayc CP, Molema J, Folgering H, Van Grunsven PM, Van Wheel C. Inhaled beclomethasone improves the course of asthma and COPD. Eur Respir J 1992; 5: 954–62. 23. Faisal Yunus. Peranan pemeriksaan faal pare pada penyakit pare obstruktif. Dalam: Pulmonologi klinik. eds. Faisal Yunus, Menaldi Rasmin, Achmad Hudoyo, Achmad Mulawarman, Boedi Swidarmoko. Jakarta: FKUI 1992: 167–75. 24. Moldeus P, Berggren M, Grafstrom R. N–acetylcysteine protection against the toxicity of cigarette smoke and cigarette smoke condensates in various tissues and cells in vitro. Eur J Respir Dis 1985; 66 (suppl) 139: 123–9. 25. Auroma OL, Halliwell B, Hoey BM, Butler J. The antioxidant action of Nacetylcysteine, its reaction with hydrogen peroxide, hydroxyl–radical, superoxide and hypochlorous acid. J Free Radicals Bio Med 1989; 6: 593– 7. 26. Multicenter Study Group. Long term oral acetylcysteine in chronic bronchitis. A double blind controlled study. Eur J Respir Dis 1980; 61 (suppl III) : 93–108. 27. Boman G, Backer U, Larsson S, Melander B, Wachlander L. Oral acetylcysteine reduces exacerbation rates in chronic bronchitis : report of a vial organised by the Swedish Society for Pulmonary Diseases. Eur J Respor DIs 1983; 64: 405–15. 28. British Thoracic Society Research Committee. Oral N–acetylcysteine and exacerbation rates in patients with chronic bronchitis and severe airways obstruction. Thorax 1985; 40: 832–5.
Old accountants never die they just lose their balance
Efusi Pleura Keganasan Bambang Kisworo Kepala Puskesmas Laclubar, Kabupaten Manatuto, Timor Timur
PENDAHULUAN Efusi pleura adalah penimbunan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakatrtanda suatu penyakit(1,2). Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan(3.4). Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non-tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah Ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif(2,3,5). Di negana-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negana yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis(2,4). Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara(1). Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitan 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik(6). Sementana 95% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura(4). Efusi pleura keganasan memiliki dua sifat yang khas, yaitu cairan pleura lazim berwarna merah (hemoragik) dan pada umumnya cepat terbentuk kembali setelah diaspirasi(1,7). Oleh karena itu, jumlah cairan pleura biasanya banyak, sehingga mengakibatkan pendorongan mediastinum ke arah sisi yang sehat dengan segala akibatnya(2). Tulisan ini akan membahas masalah diagnosis dan pe-
40
nanganan efusi pleura keganasan. PENYEBAB Ada berbagai keganasan yang dapat menimbulkan efusi pleura, namun pada umumnya disebabkan oleh metastasis tumor ganas dari bagian tubuh yang lain; karena keganasan primer pleura sendiri, yaitu mesotelioma pleura sangat jarang ditemukan(1,7). Keganasan yang paling sering mengakibatkan efusi pleura adalah karsinoma pare, baik berupa karsinoma epidermoid, karsinoma sel kecil, adenokarsinoma, maupun karsinoma sel besar. Jenis kanker paru yang paling banyak menimbulkan efusi pleura adalah adenokarsinoma, karena keganasan ini biasanya terletak di daerah perifer paru(1). Tumor lain yang dapat menimbulkan komplikasi efusi pleura adalah keganasan payudara, pankreas, uterus, ovarium, lambung, hati, prostat dan testis(1,2,7). Limfoma dan keganasan lain pada kelenjar limfe di daerah hilus pare dan mediastinum juga dapat menyebabkan efusi pleura(6). Jenis kelamin dan letak efusi pleura dapat membantu dalam memperkirakan lokasi tumor primer dengan ketepatan mencapai 96%; efusi pleura keganasan akibat kanker paru, payudara, atau ovarium biasanya satu sisi (ipsilateral) dengan letak tumor primer dan efusi pleura bilateral akibat tumor pare primer lazim berkaitan dengan metastasis kanker hati atau kanker paru kontralateral(4). Kanker penyebab sering tidak jelas atau berukuran sedemikian kecil sehingga sukar ditemukan pada pemeriksaan. Pada kasus lain (khususnya pada kanker payudana), efusi pleura timbul beberapa tahun setelah tumor primer diangkat; efusi pleura keganasan semacam ini merupakan tanda akhir dari kehidupan penderita(7). PATOGENESIS Cairan pelicin yang terdapat di dalam rongga pleura individu
normal dihasilkan oleh suatu anyaman pembuluh kapiler permukaan pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya. Oleh karena itu, gangguan apapun yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses pembentukan cairan ini akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura(3,7). Beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis efusi pleura keganasan adalah(4): (1) infiltrasi sel-sel tumor secara langsung pada pleura, (2) penyumbatan pembuluh getah bening atau vena, (3) penyumbatan bronkus disertai dengan atelektasis, (4) pneumonia pasca-obstruksi yang disertai dengan efusi parapneumonik, dan (5) hipoproteinemia yang berat. Di samping itu, cairan asites keganasan juga dapat mengalir secara langsung ke dalam rongga pleura melalui pembuluh getah bening atau suatu lubang makroskopik pada diafragma(3,6). DIAGNOSIS Teknik diagnosis efusi pleura keganasan pada dasarnya tidak berbeda dengan efusi pleura pada umumnya, dan dapat ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik, gambaran radiologik dan aspirasi cairan pleura dilanjutkan dengan pemeriksaan terhadap cairan yang diperoleh(1,2,3,6,7). Manifestasi Klinik Pada anamnesis lazim ditemukan keluhan nyeri dada dan sesak. Rasa nyeri membuat penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernafas dangkal atau tidur miring ke sisi yang sakit. Sesak nafas dapat ringan atau berat, tergantung pada proses pembentukan efusi, jumlah cairan efusi pleura, dan kelainan yang mendasari timbulnya efusi. Selain itu, dapat dijumpai keluhan yang berkaitan dengan keganasan penyebab efusi pleura(1,2,3). Sekitar 25% penderita efusi pleura keganasan tidak mengalami keluhan apapun pada saat diagnosis ditegakkan(6). Pada pemeriksaan fisik, penderita dapat terlihat sesak nafas dengan pernafasan yang dangkal, hemitoraks yang sakit lebih cembung, ruang sela iga melebar, mendatar dan tertinggal pada pernafasan. Fremitus suara melemah sampai menghilang, dan pada perkusi terdengar suara redup sampai pekak di daerah efusi, tergantung jumlah cairan; untuk menimbulkan suara pekak paling sedikit harus terdapat cairan sekitar 500 ml. Selain itu, dapat ditemukan tanda-tanda pendorongan jantung dan mediastinum ke arah sisi yang sehat. Pada auskultasi, suara pernafasan melemah sampai menghilang pada daerah efusi pleura(1,2,3,6,7). Gambaran Radiologik Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya(2,3). Pada foto toraks terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus(1,7). Cairan berjumlah kurang
dari 100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300 ml(3). Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA), maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral(1,2,3,7). Aspirasi Cairan Pleura Selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik(2,3). Aspirasi cairan (torakosentesis) dapat dilakukan sebagai berikut: penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan di atas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit medial dari ujung skapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup. Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum berukuran besar, misalnya nomer 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum terlampau rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal(2). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan makroskopik dan sitologik pada cairan yang diperoleh(1,6). Pemeriksaan Cairan Pleura Cairan efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan suatu eksudat serta lazim bersifat hemoragik(1,3). Kadar protein pada umumnya tinggi (lebih dari 3 g/dl), demikian juga kadar LDH (di atas 200 UI). Kadar glukosa kurang dari 60 mg/dl, jumlah eosinofil meningkat, jumlah limfosit pada hitung jenis leukosit 50% atau lebih, dan jumlah eritrosit lebih dari 100.000/ ml(2,4). Pemeriksaan sitologik cairan pleura memiliki arti yang amat penting dalam menegakkan diagnosis efusi pleura keganasan. Pada se[iap penderita yang dicurigai mengidap efusi pleura keganasan, pemeriksaan sitologik cairan pleura merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pertama kali(6). Ketepatan diagnosis pemeriksaan ini mencapai 60% dari semua penderita dan apabila dilakukan tiga kali, angka yang dicapai sekitar 80–90%(4,6). Namun demikian, diagnosis mesotelioma sukar ditegakkan dengan pemeriksaan sitologik, meskipun merupakan keganasan pleura primer, karena tumor ini memiliki gambaran histologik yang berbeda-beda. Pada tumor ini, perlu dilakukan torakotomi untuk menegakkan diagnosis pasti pada hampir 65% penderita(6). Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat mendukung diagnosis mesotelioma adalah tingginya kadar asam mukopolisakarida sebagai asam. hialuronat di dalam cairan pleura(4). Biopsi pleura perlu dipikirkan setelah hasil pemeriksaan sitologik ternyata negatif. Diagnosis keganasan dapat ditegakkan dengan biopsi pleura tertutup pada 30–60% penderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa biopsi yang dilakukan berulang (dua sampai empat kali) dapat meningkatkan diagnosis sebesar 2–4%(4,6). Biopsi pleura dapat dilakukan dengan jarum
41
Van Silverman atau jarum Abrams(1). Jika pemeriksaan sitologik dan biopsi dilakukan bersamaan pada satu penderita, angka diagnosis yang dapat dicapai hampir 90%(4). Namun demikian, hasil pemeriksaan sitologik dan biopsi yang negatif tidak dapat mengesampingkan kemungkinan adanya keganasan(1,7). Perlu diingat bahwa tidak semua cairan pleura pada efusi pleura keganasan merupakan eksudat; metastasis sel-sel tumor ke sistem getah bening subpleura akan menghambat pengaliran cairan dari rongga pleura, sehingga menimbulkan penimbunan transudat di dalam rongga pleura(1,4). PENANGANAN Efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan pengobatan terhadap keganasan pada stadium ini biasanya tidak memberikan hasil yang baik. Oleh karena itu, penanganan efusi pleura keganasan hampir selalu bersifat paliatif dengan tujuan untuk mengurangi gejalagejala dan mencegah pembentukan cairan pleura(1,6). Pengobatan terhadap kanker primer dapat diberikan apabila diketahui lokasinya serta terdapat pengobatan untuk tumor tersebut(1). Penanganan paliatif pada efusi pleura keganasan dapat berupa aspirasi cairan, pleurodesis, dan pembedahan(1,2,3,6,7). Tujuan tindakan ini adalah mengurangi dan mencegah penimbunan kembali cairan pleura, menghindari komplikasi akibat efusi pleura, dan mengembalikan fungsi normal pleura-paru(1,6). Aspirasi Cairan Pleura Cairan pleura dapat dikeluarkan dengan jalan aspirasi secara berulang atau dengan pemasangan selang toraks yang dihubungkan dengan Water Seal Drainage (WSD)(2,3,6,7,8): Aspirasi cairan (torakosentesis) berulang merupakan tindakan penanganan yang tidak berbeda dengan torakosentesis untuk tujuan diagnostik. Cairan yang dikeluarkan pada setiap kali pengambilan sebaiknya tidak lebih dari 1000 ml untuk mencegah terjadinya edema paru akibat pengembangan paru secara mendadak(6,8). Selain itu, pengeluaran cairan dalam jumlah besar secara tiba-tiba bisa menimbulkan refleks vagal, berupa batukbatuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi(8). Penulis lain menganjurkan pengambilan tidak lebih dari 1500 ml dengan selang waktu sekitar 20–30 menit(3). Namun demikian, pengambilan cairan sebanyak 3–4 liter pada penderita efusi pleura berulang kadangkala tidak menimbulkan komplikasi apapun(6). Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambatmamun aman dan sempurna(2,4,6). Pemasangan WSD dapat dilakukan sebagai berikut: tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di ruang sela iga 7, 8 atau 9 linea aksilaris media atau ruang sela iga 2 atau 3 lineamedioklavikularis. Setelah dibersihkan dan dianestesi, dilakukan sayatan tranversal selebarkurang lebih 2 cm sampai subkutis. Kemudian dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura parietalis. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik. Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks. Setelah posisi benar, selang
42
dijepit dengan klem dan luka kulit'dijahit serta dibebat dengan kasa dan plester. Selanjutnya selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang sebaiknya diletakkan di bawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura(2,8). WSD perlu diawasi setiap hari dan jika sudah tidak terlihat undsulasi pada selang, maka cairan mungkin sudah habis dan jaringan paru sudah mengembang. Untuk memastikan hal ini, dapat dilakukan pembuatan foto toraks(8). Selang toraks dapat dicabut jika produksi cairan harian kurang dari 100 ml dan jaringan paru telah mengembang, yang ditandai oleh terdengarnya kembali suara nafas dan terlihat pengembangan paru pada foto toraks. Selang dicabut pada waktu ekspirasi maksimum(6,7). Pleurodesis Tujuan utama tindakan ini adalah melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, dengan jalan memasukkan suatu bahan kimia atau kuman ke dalam rongga pleura sehingga terjadi keadaan pleuritis obliteratif(1,3,6,7). Pleurodesis merupakan penanganan terpilih pada efusi pleura keganasan(1,7). Bahan kimia yang lazim digunakan adalah sitostatika, seperti tiotepa, bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adriamisin dan doksorubisin(1,3,6). Setelah cairan efusi dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misalnya, tiotepa 45 mg) diberikan dengan selang waktu 7–10 hari; pemberian obat tidak perlu disertai pemasangan WSD. Setelah 1–3 hari, jika berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah penimbunan kernball cairan di dalam rongga tersebut(1). Obat lain yang murah dan mudah diperoleh adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini, WSD harus dipasang dan paru sudah dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan ke dalam 30–50 ml larutan garam faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal 10–30 ml untuk membilas selang serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgesik narkotik yang diberikan 1–1,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama sekitar 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24– 48 jam cairan tidak keluar lagi, selang toraks dapat dicabut(1,3). Prakhas (1986) melaporkan hasil pleurodesis yang memuaskan dengan bakteri Corynebacterium parvum, 5–10 mg dilarutkan dalam 20 ml larutan garam faal, atau preparat streptokokus OK 432. Pembedahan Pleurektomi jarang dikerjakan pada efusi pleura keganasan, oleh karena efusi pleura keganasan pada umumnya merupakan stadium lanjut dari suatu keganasan dan pembedahan menimbulkan risiko yang besarm. Bentuk operasi yang lain adalah ligasi duktus toraksikus dan pintas pleuroperitoneum. Kedua pembedahan ini terutama dilakukan pada efusi pleura keganasan akibat limfoma atau keganasan lain pada kelenjar limfe hilus dan
mediastinum, di mana cairan pleura tetap terbentuk setelah dilakukan pleurodesis(3,6). PENUTUP Efusi pleura keganasan merupakan komplikasi yang banyak ditemukan pada keganasan pleura primer maupun metastatik, dan lazim terjadi pada stadium lanjut dari suatu keganasan. Tujuan pengobatan efusi pleura ini hampir selalu bersifat paliatif, dengan cara pengeluaran cairan, pleurodesis, dan pembedahan. Pleurodesis merupakan terapi pilihan untuk efusi pleura akibat keganasan.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Suryanto E, Subroto H, Suradi, Siswarni. Penatalaksanaan Efusi Pleura Ganas (Malignant Pleural Effusion), Paru 1985; 5 (3): 82–84. Lubis HNU. Penatalaksanaan Efusi Pleura pada Anak. Maj Kedokt Indon 1991; 41 (10): 622–626. Sugito dick. Efusi Pleura Masif. Cermin Dunia Kedokt (Edisi Khusus) 1992; 80: 95–97. Ward PO. Pleural Fluid Data. Postgrad. Med. 1982; 72: 281–303. Jay SJ. Pleural Effusion: Preliminary Evaluations and Recognition of the Transudate. Postgrad. Med. 1986; 80: 164–177. PrakashUBS. MalignantPleuralEffusions. Postgrad. Med. 1986; 80:201–208. Kusnan B. Efusi Pleura. Seminar Penanggulangan Keadaan Darurat pada Paru dan Saluran Pemafasan. Surakarta, 8 November 1986. Syaffiuddin T. Pemasangan Selang Toraks. Maj Dokter Keluarga 1992; 11 (10): 67–70.
Heat-Shock Protein Dr. H. Zuljasri Albar Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi, Jakarta
PENDAHULUAN Sintesis protein pada semua sel akan terganggu oleh stres lingkungan, misalnya hipertermia. Di lain pihak, sel yang mengalami stres juga memiliki mekanisme yang – sekalipun dalam kondisi sintesis protein normal mengalami hambatan total – memungkinkan mereka mensintesis sekelompok protein yang dikenal sebagai heat shock protein (HSP). Beberapa di antara protein ini sekarang diketahui dapat memungkinkan pulihnya prosesing RNA dan sintesis protein normal setelah pemaparan terhadap hipertermia, dan dapat melindungi sel terhadap kerusakan lebih lanjut. Mereka juga memegang peranan penting dalam sintesis dan transpor protein pada sel normal, .an mungkin juga dalam pengeluaran protein abnormal host (atau juga yang berasal dari virus) dari sel. Sintesis HSP ternyata juga dapat dipicu oleh pemaparan terhadap stres lain. Sebaliknya terdapat sejumlah protein yang dapat diinduksi oleh stres fisiko-kimia ini, tetapi tidak oleh panas. Berdasarkan alasan ini, istilah stres protein akan dipakai sebagai istilah umum untuk melukiskan HSP dan protein lain – yang diinduksi oleh faktor fisiko-kimia – yang berkaitan. Dalam tulisan ini HSP terutama dibicarakan dalam kaitannya dengan penyakit reumatik/penyakit otoimun. GAMBARAN UMUM Tigapuluh tahun yang lalu Rittosa melukiskan adanya pembengkakan khromosom dalam kelenjar ludah Drosophila (fruit fly) sebagai respon terhadap hipertermia; 10 tahun setelah itu, Tissiere cs. menunjukkan bahwa pembengkakan ini berkaitan dengan hambatan sintesis protein normal dan adanya sintesis sejenis protein yang diberi nama heat shock protein. Berturutturut setelah itu terbukti bahwa beraneka macam Ares, termasuk pemaparan terhadap alkohol, logam berat (misalnya garam emas),
44
radiasi UV, virus, radikal oksigen dan beberapa sitokin dapat menimbulkan reaksi yang sama. Meningkatnya jumlah HSP tampaknya berkaitan dengan hambatan sintesis protein normal. Langkah-langkah dalam sintesis protein normal yang peka terhadap hambatan oleh hipertermia atau stres lain ialah : prosesing transkripsi RNA primer menjadi RNA ribosom (rRNA) dan mRNA oleh ribonukleoprotein kecil inti (snRNP), serta translasi mRNA menjadi protein dalam poliribosom (Gambar 1).
Gambar 1. Proses dasar translasi DNA menjadi protein. 3 rantai DNA ditranskripsi menjadi rRNA, RNA primer dan tRNA. Ke tiga bentuk RNA ini berturut-turut ditranskripsi oleh RNA polimerase I, II dan III,
Kerentanan proses ini terhadap panas atau stres oksidatif mungkin merupakan cerminan dari kepekaan enzim atau partikel subseluler terhadap denaturasi. Kepekaan terhadap denaturasi ini mungkin dapat menerangkan mengapa kebanyakan dari protein inti atau anak inti merupakan sasaran respon otoimun pada penyakit reumatik. HSP terdiri atas beberapa keluarga molekul dan merupakan protein yang paling berhasil bertahan selama proses evolusi. Banyak yang diekspresikan pada sel mamalia dalam keadaan basal. Sebagian hanya muncul jika ada stres (pemaparan terhadap panas, bahan kimia, anoksia) yang memutuskan sintesis protein normal. HSP yang diekspresikan dalam keadaan basal juga meningkat jika ada stres. Respon yang cepat ini diperkirakan merupakan mekanisme proteksi. Protein ini juga mempunyai fungsi penting pada sel yang tidak dalam keadaan stres, misalnya mengatur lipatan protein dan mengawal gerakan mereka sekitar sel. Pandangan sekarang ialah bahwa HSP terutarna ikut berperan dalam pelipatan, penyusunan dan peletakan protein intraseluler. Mungkin sties terhadap sel – seperti heat shock – mengakibatkan bertambahnya jumlah protein yang terdenaturasi atau protein yang rusak, dan dengan demikian juga meningkatkan kebutuhan akan HSP. Karena itu dulu bertambahnya sintesis protein ini sebagai respon terhadap sties dipakai sebagai batasan karakteristik HSP. Tetapi sekarang telah jelas bahwa banyak dari anggota keluarga HSP yang berbeda-beda diperlukan pada setiap waktu bagi fungsi normal sel dan memang banyak HSP yang disintesis secara rutin oleh sal. Beberapa hal yang menyebabkan HSP menjadi pusat perhatian utama dalam 15 tahun terakhir ini adalah kenyataan bahwa HSP terdapat juga pada suhu fisiologis, merupakan salah satu molekul yang paling dapat bertahan selama evolusi dan mempunyai peranan yang sangat penting dalam fungsi sel normal. Yang terakhir ialah dugaan bahwa HSP memegang peranan dalam melindungi sel dan timbulnya penyakit otoimun. PENGGOLONGAN HSP HSP dibedakan berdasarkan atas perbedaan berat molekul (Tabel 1)(5). Sudah terbukti bahwa banyak dari protein ini berperan dalam menentukan struktur tiga dimensi yang tepat dari berbagai ragam protein. Sebagai contoh, Bip protein (termasuk keluarga HSP-70) bertugas untuk mengatur lipatan yang tepat dari rantai panjang imunoglobulin dan mungkin juga rantai pendek. HSP juga mempunyai efek chaperon penting yang berkaitan dengan molekul reseptor sampai munculnya molekul efektor yang menggantikan HSP ini. Gen HSP menunjukkan beberapa sifat yang tidak lazim yang memungkinkan mereka ditranslasi menjadi protein pada situasi mana translasi gen lain dihambat. Sifat ini diilustrasikan pada respon bertingkat sel Drosophila yang terpapar terhadap hipertermia : peningkatan suhu sedang (29–30°C) menyebabkan peningkatan sintesis mRNA HSP; pada suhu lebih tinggi (34–36°C) translasi mRNA normal menjadi protein dihambat, sedangkan mRNA HSP tidak; Pada suhu yang lebih tinggi
Tabel 1. Keluarga HSP-90
HSP-70
HSP-60
HSP-27
Penggolongan dan Fungsi HSP Utama Anggota
Fungsi
HSP-100, HSP-90 Pemeliharaan protein. Grp-94 Misalnya reseptor steroid dalam bentuk inaktif sampai digantikan oleh agen yang sesuai. Grp-78 (Hip), Pelipatan dan pembuHSP-70, Hsc-70 kaan protein, pemaHsx-70 sangan kompleks multimerik. Misalnya Bi}sbertanggung jawab terhadap pelipatan yang tepat dari rantai panjang Ig. HSP-60 Pelipatan dan pembukaan protein, translokasi organel. HSP-27, HSP-26 dst.
Ubiquitin Ubiquitin
Belum diketahui. Degradasi protein,
Komentar Homolog HSP-90 pada Drosofila dan ragi dikenal sebagai HSP-83
Hsx-70 hanya pada primata
Antigen utama kebanyakan bakteri dan parasit yang menginfeksi manusia. Ukuran dan jumlahnya sangat bervariasi pada berbagai organisme. Juga terkonyugasi pada histon H2A pada inti, memungkinkan berperan pada regulasi gen.
(37–39°C) penyambungan normal prekursor mRNA dihambat, tetapi transkripsi sebagian besar gen yang dapat diinduksi oleh panas lolos dari hambatan karena mereka tidak memiliki intron dan tidak memerlukan penyambungan. Temperatur saat sintesis HSP dimulai berbeda-beda pada tiap spesies. Biasanya beberapa derajat di atas suhu tubuh normal spesies yang bersangkutan. Stres protein biasanya diklasifikasikan berdasarkan massa molekul relatif (Mr). Keluarga 70 kD terdiri atas HSP-70, Hsx70, Hsc-70 dan glucose regulated protein (Grp) Grp78. Baik HSP-70 maupun Hsx-70 – yang masing-masing mempunyai hubungan erat – bersifat dapat diinduksi oleh panas, tetapi Hsx-70 disintesis pada tingkat basal yang tinggi pada sel yang tidak dalam keadaan stres. FUNGSI HSP Keluarga HSP 70 kD Fungsi HSP dan protein yang berkaitan masih merupakan bahan perdebatan yang hangat. Pada berbagai macam jenis sel, hipertermia mengakibatkan akumulasi HSP yang cepat dalam inti dan anak iunti sal. Di sini mereka berinteraksi dengan protein inti dan pre-ribosom anak inti. Interaksi yang erat antara HSP dengan anak inti yang heat-shocked dan protein inti memerlukan enersi dari hidrolisis ATP untuk menghentikannya. HSP juga menunjukkan efek protektif terhadap hipertermia. Induksi sintesis HSP dengan kondisi heat shock sedang (moderat) akan mencegah prosesing mRNA dan meningkatkan jangka hidup sel jika ada shock berikutnya yang lebih berat. Mirip dengan ini, transfeksi sel dengan plasmid yang mengakibatkan produksi berlebihan dari HSP-70 akan membantu pemilinan anak inti dari
45
heat shock. Hal ini dan fakta lain yang mirip mengantarkan kita kepada dugaan bahwa HSP-70 terikat pada bagian hidrofobik yang terpapar pada protein yang terdenaturasi sebagian, sehingga dengan demikian mencegah pembentukan agregasi yang tidak dapat larut. Enersi hidrolisis ATP kemudian digunakan untuk melepaskan HSP dari substratnya dan – diduga – perubahan yang terjadi akan meningkatkan kemungkinan protein yang terdenaturasi mengalami refolding ke bentuk semula, sebelum heat-shock (Gambar 2).
Gambar 2. Fungsi unfoldase HSP. Protein yang terdenaturasi (malfolded) dengan bagian hidrofobik yang terpapar terikat pads HSP, dan dalam proses ini menjadi lurus/terbuka. Dengan adanya ATP, kompleks HSP-protein ini berdisosiasi, memungkinkan timbulnya kesempatan kinetik bagi protein tersebut untuk terlipat kembali menjadi bentuk yang benar (seperti sebelunl heat shock). Model ini memungkinkan sebuah molekul protein yang rusak mengalami beberapa kali siklus ikatan dengan HSP, sehingga kemungkinannya makin besar untuk kembali ke bentuk normal.
Fungsi HSP dalam bentuk model unfoldase telah digunakan untuk menjelaskan bagaimana HSP mengurai agregasi hidrofobik dari protein normal atau yang terdenaturasi, dan membantu pemulihan prosesing RNA dan sintesis protein setelah heat shock. Model ini juga meramalkan bahwa HSP-70 boleh jadi mempunyai afinitas umum terhadap bagian hidrofobik pada protein yang terdenaturasi atau bermutasi, bahkan pada protein normal. Model ini lebih jauh disokong oleh laporan baru-baru ini bahwa HSP-70 terikat pada protein baru dan – dengan mempertahankan protein dalam keadaan tidak terlipat – memungkinkan transport protein tersebut melalui membran ke dalam endoplasmik retikulum atau mitokhondria. HSP-70 juga diinduksi oleh dan membentuk kompleks dengan protein yang dikode oleh virus seperti protein El A adenovirus dan antigen T besar dari virus simian 40. Herpes simpleks menginduksi sintesis HSP-90 yang didistribusi ke seluruh sel dan muncul pada permukaan sel. Berdasarkan pengamatan-pengamatan tadi, diajukan pendapat bahwa HSP mungkin berperan sebagai 'pemelihara rumah tangga' pada sel tidak hanya dengan jalan terikat pada protein yang rusak atau malfolded, melainkan juga dengan cara membantu transport mereka dari sel. Mekanisme ini dapat menjelaskan bagaimana nukleoprotein seperti antigen Ro menjadi terpapar pada permukaan sel setelah suatu rangsang yang merusak. Keluarga 70 kD dari protein yang glucose-regulated (Grp), yang terletak pada endoplasmik retikulum, homolog dengan
46
HSP dan diduga berfungsi dengan cara yang mirip, yaitu dengan jalan mencegah agregasi protein hidrofobik sebelum flikosilasi atau pembentukan menjadi molekul polimer. Yang menarik, Grp-78 identik dengan immunoglobulin heavy chain binding protein sel limfoid yang terikat pada bagian hidrofob dari rantai panjang protein. Bagian ini disamarkan oleh rantai pendek. Sama halnya dengan interaksi protein-HSP lain, kompleks ini berdisosiasi dengan adanya ATP. Pelham berpendapat bahwa proses ini mungkin merupakan suatu cara memperlambat sekresi protein sampai pembentukan mereka sempurna dan juga mencegah agregasi mereka yang tidak wajar melalui interaksi bagian yang hidrofobik. Grp juga terikat pada – dan diinduksi oleh – protein malfolded yang mengalami mutasi. Diperkirakan malfolding lebih berperan daripada glikosilasi abnormal sebagai sinyal primer induksi Grp. Keluarga HSP-90 Fungsi keluarga HSP-90 1ebih sedikit lagi diketahui. HSP90 merupakan HSP yang paling banyak pada sel mamalia. Diduga HSP-90 mempertahankan stabilitas reseptor yang inaktif dan mencegahnya terikat pada DNA kalau tidak ada hormon. HSP-90 membentuk kompleks dengan reseptor kortikosteroid atau hormon seks yang inaktif, sehingga mencegah interaksinya dengan DNA inti sel. Glukokortikoid, estrogen dan progesteron dapat melepaskan HSP-90 dari reseptor tersebut. Selanjutnya kompleks steroid dan reseptor memasuki inti sel lalu terikat pada DNA (pada regulatory region dari gen yang responsif terhadap steroid) dan mengaktifkan transkripsi. Keluarga HSP-20 dan stres protein lain dengan Mr rendah Keluarga HSP-20 terdiri atas 4 polipeptida yang berat molekulnya berkisar antara 22–27 kD. Selama heat shock, protein ini berpindah ke inti sel dan selanjutnya – dalam masa pemulihan – kembali ke sitoplasma. Fungsinya masih belum diketahui.
PERANAN HSP PADA INFLAMASI Demam telah lama dikenal sebagai salah satu tanda utama respon host terhadap infeksi. Demam meningkatkan respon imun dan mengubah jangka hidup terhadap organisme infeksius. Pada sel manusia, suhu 41°–43°C diperlukan untuk menginduksi sintesis HSP in vitro, tetapi apakah hanya demam yang menginduksi sintesis HSP in vivo belum dapat dipastikan. Telah diketahui bahwa stres lain di samping hipertermia seperti virus, IL-2, mitogen, H2O2 atau radiasi sinar ultraviolet juga menginduksi sintesis HSP pada leukosit atau sel jaringan ikat. Induksi HSP oleh agen-agen ini menghasilkan perlindungan terhadap faktor lingkungan yang merusak yang timbul akibat proses peradangan. Sebagai contoh, jika induksi HSP oleh peninggian sedang dari temperatur melindungi sel terhadap kerusakan oleh temperatur yang lebih tinggi, pemaparan monosit terhadap radikal oksigen cukup untuk menginduksi sintesis HSP yang akan melindungi mereka terhadap kerusakan akibat oksidasi berikutnya. Induksi HSP dapat pula memberikan 'perlindungan-silang' terhadap stres lain. Salah satu contoh ialah ketahanan terhadap
hipertermia yang diinduksi oleh H202 atau sebaliknya pada fibroblast. 1.25 vitamin D3 juga menginduksi sintesis stres protein dan di lain pihak melindungi monosit terhadap hipertermia. Dengan demikian induksi HSP dapat memberikan perlindungan terhadap jaringan host selama peradangan dan reaksi imun. STRES PROTEIN DAN ARTRITIS Beberapa rangkaian penemuan menunjuk kepada peranan HSP atau stres protein lain pada patogenesis artritis: Pertama, HSP disintesis oleh khondrosit penderita osteoartritis, sel intima sinovium dan sel endotel penderita RA. Jadi sinyal peradangan yang terbentuk in vivo cukup untuk menginduksi sintesis HSP, mungkin dengan hasil timbulnya efek perlindungan terhadap jaringan host. Kedua, respon imun terhadap HSP ditemukan pada penderita dengan penyakit otoimun, termasuk kekebalan sel T terhadap stres protein 65 kD pada penderita RA dan artritis reaktif dan otoantibodi terhadap HSP pada penderita SLE. Adanya otoantibodi terhadap HSP pada penderita SLE boleh jadi juga merupakan konsekuensi dari ekspresi – pada permukaan sel – nukleoprotein yang terdenaturasi yang membentuk kompleks dengan HSP. Seperti telah dibicarakan di atas, sel dalam keadaan stres yang mengandung protein rusak atau malfolded, baik yang berasal dari virus atau host sendiri, dapat memberikan respon dengan jalan membawa protein ini ke permukaan mereka, membentuk kompleks dengan HSP. Nukleoprotein dan ribonukleoprotein tampaknya lebih rentan terhadap denaturasi oleh stres lingkungan dan karena itu sangat besar kemungkinannya untuk terlibat dalam proses ini. Sekali terpapar pada permukaan sel, akan timbul respon imun terhadap HSP dan nukleoprotein abnormal yang berkaitan. Hasil akhirnya diduga bergantung kepada status imunogenetik host. Beraneka ragam rangsangan terhadap set (fisik, kimia atau biologis) dapat memicu denaturasi nukleoprotein dan menggiring ke arah respon oto- imun, baik terhadap HSP maupun terhadap nukleoprotein pada individu yang rentan secara genetik. Pertanyaan lain yang menarik ialah apakah induksi sintesis sires protein dalam set oleh kompleks emas berkaitan dengan sifat antireumatik kompleks ini. Penelitian pada tikus menunjukkan bahwa auranofin menginduksi sintesis HSP-70, 90 dan 100 pada pemberian akut. Hasil ini melahirkan kemungkinan bahwa induksi HSP atau sires protein lain mungkin berkaitan dengan efek terapeutik auranofin dan – mungkin juga – ATM (Sodium aurothiomalate). Sebagai contoh, induksi sires protein pada lekosit dalam darah perifer oleh emas sebelum mereka sampai ke tempat inflamasi dapat melindungi fungsi sintesis protein terhadap efek merusak oksigen radikal atau mediator lain setelah mereka sampai ke tempat inflamasi. Hal ini konsisten dengan pengamatan bahwa terapi dengan garam emas mempunyai efek restorasi atau stimulasi terhadap berbagai aspek fungsi imun pada artritis reumatoid. HSP DAN PENYAKIT OTOIMUN Konsep yang berpendapat bahwa HSP ikut berperan dalam timbulnya penyakit otoimun merupakan perkembangan yang
lebih baru lagi. Terdapat penangkaran HSP antar-spesies yang mengagumkan. Dengan . menggunakan model molecular mimicry, dikemukakan pemikiran bahwa HSP (dikenal sebagai antigen imuno-dominan, terutama pada bakteri) merangsang pembentukan antibodi dan sel T yang tidal( dapat membedakan antara HSpinvader dan HSP host. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa diperlukan langkah kedua dimana terdapat ekspresi HSP pada permukaan jaringan self dalam waktu yang bersamaan dengan terbentuknya antibodi dalam set B terhadap HSP asing. Penelitian-penelitian awal guna menguak peranan HSP pada penyakit otoimun dipusatkan kepada berkembangnya artritis ajuvan (yang timbul pada tikus Lewis setelah penyuntikan dengan M. tuberkulosis). Telah diidentifikasi klon sel T yang bereaksi dengan HSP-65. Beberapa di antara klon ini dapat menginduksi penyakit dan yang lain justru mencegah timbulnya penyakit ini. Penelitian lebih lanjut pada model binatang ini menunjukkan adanya epitop kritis, asam amino 180:188 dari HSP-65 mikobakterium. Walaupun hasil pengamatan ini cukup memicu kegairahan di lingkungan reumatologi, usaha untuk mengidentifikasi klon yang mirip yang relevan dengan artritis reumatoid dan artritis reaktif ternyata sukar. Ironinya, diperkirakan respon set T terhadap HSP tidak lazim pada penderita artritis reumatoid dan mungkin lebih jarang daripada populasi normal. Contoh otoimunitas lain pada binatang yang berkaitan dengan respon terhadap HSP misalnya artritis yang diinduksi oleh streptokokus, dinding sel dan prism; yang lebih baru lagi ialah Diabetes melitus tipe I pada tikus NOD. Pada model terakhir ini, imunisasi dengan HSP 65 kD dalam ajuvan dapat menginduksi onset penyakit, sedangkan imunisasi dengan protein yang sama dalam larutan garam faal berkhasiat protektif. Ringkasan tentang antibodi dan respon sel T – yang dilaporkan sampai saat ini – pada penyakit (pada manusia) dan model binatang dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2.
Hubungan antara HSP deasaa Otolmunitas Penyakit Respon set T Respon antibodi
Artritis reumatoid Artritis reakytif SLE
HSP-60, HSP-70 HSP-60 HSP-60, HSP-70 –
HSP-60, HSP-70 – HSP-60, HSP-70, HSP-90
Menurut Gaston, antigen sasaran pada penyakit otoimun dibagi dalam dua kategori umum : 1) Antigen yang jelas terlibat langsung dalam proses penyakit, dan memiliki spesifisitas jaringan. Contoh : reseptor asetilkolin pada miastenia gravis, reseptor TSH pada tirotoksikosis. 2) Molekul atau kompleks molekul yang sangat penting untuk berfungsinya sel secara normal. Contoh : kompleks protein-RNA yang diperlukan guna prosesing dan pemotongan mRNA, DNA topoisomerase I dan enzim-enzim transferase tRNA, yang semuanya merupakan sasaran otoantibodi tertentu yang khas untuk penyakit jaringan ikat tertentu. HSP tennasuk ke dalam kategori 2. Isenberg cs memusatkan penelitiannya kepada peranan HSP90 pada SLE. Sekarang ini telah ditunjukkan bahwa HSP-90
47
memiliki beberapa peranan fisiologis, yang paling penting mungkin efek chaperon terhadap reseptor kortikosteroid yang ditemukan tepat di bawah permukaan sel, pada sitoplasma. Begitu steroid menembus membran set, HSP digeser dan kompleks steroid dengan reseptornya memasuki inti sel lalu mengaktifasi gen tertentu. Karena itu cukup menarik untuk meneliti kadar HSP-90 pada SLE di mana kortikosteroid sering dipakai. Pada penelitian pendahuluan, peningkatan kadar HSP-90 pada PMN darah tepi terdapat pada sekitar 15% drii 57 penderita SLE, sedangkan pada kontrol normal atau penderita artritis reumatoid tidak ditemukan peningkatan sama sekali. Lebih jauh, penderita dengan kadar HSP-90 yang meningkat semtianya menunjukkan penyakit yang aktif. Penelitian lanjutan menunjukkan HSP-90 meningkat pada 25-30% penderita SLE. Peningkatan ini bukan merupakan bagian dari peningkatan HSP secara umum karena HSP-60, HSP-73 dan ubiquitin tidak meningkat. HSP-72 juga meningkat, tetapi prosentasenya rendah. Juga telah ditunjukkan bahwa penderita SLE dengan kadar HSP-90 yang meningkat sangat mungkin menderita kelainan SSP yang aktif, juga kelainan sistem kardiovaskuler dan sistem pernapasan. Kadar HSP-90 jarang meningkat pafa penderita penyakit reumatik otoimun lain atau penyakit infeksi. 20% penderita SLE mengoverekspresikan HSP-90 pada permukaan limfosit, terutama set B dan sel T CD4+. Penampilan HSP pada permukaan sebagian limfosit ini menimbulkan dugaan bahwa ia merupakan (kandidat) otoantigen pada SLE. Penyebab overekspresi HSP-90 pada penderita SLE sedang diteliti. Hasil yang diperoleh pada penyidikan penyakit reumatik
lain dapat dilihat berikut ini : Pada 15% kasus atritis reumatioid terdapat peningkatan HSP-60, sedangkan HSP lain normal; pada skleroderma atau sindroma Sjogren primer tidak ada HSP yang meningkat. Sebagai kesimpulan, sekarang telah jelas bahwa HSP - yang dulu hanya dianggap mempunyai peranan penting pada fisiologi semua sel, telah dipertahankan secara mengagumkan selama proses evolusi dan mungkin memegang peranan dalam etiopatologi - paling tidak - beberapa penyakit otoimun. KEPUSTAKAAN 1.
2.
3. 4. 5. 6. 7.
Dhillon VB, McCallum S, Norton P, Twomey BM, Erkeller–Yuksel FM, Lydard P, Isenberg DA, Latchman DS. Differential heat shock protein overexpression and its clinical relevance in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1992; 52: 436–42. Erkeller–Yuksel FM, Isenberg DA, Dhillon VB, Latchman DS, Lydard PM. Surface expression of heat shock protein 90 by blood mononuclear cells from patients with Systemic Lupus Erythematosus. J Autoimm 1992; 5: 803–14. Gaston JSH. Are heat shock proteins involved in autoimmunity ? Int J Clin Lab Res 1992; 22: 90–4. Hurst NP. Stress (heat shock) proteins and rheumatic disease. New advance of just another band wagon ? Rheumatol Int 1990; 9: 271–76. Isenberg DA. Heat Shock Proteins in Autoimmune Disease. Proc 4th Asean Congress of Rheumatology. Singapore, 31 Oct–4 Nov 1993. Norton PM, Isenberg DA, Latchman DS. Elevated levels of the 90 kd heat shock protein in a proportion of SLE patients with active disease. J Autoimmunol 1989; 2: 187–95. Twon.:y B, McCallum S, Dhillon V, Isenberg DA, Latchamn DS: Transcription of the genes encoding the small heat shock protein ubiquitin is unchanged in patients with systemic lupus erythematosus. Autoimmunity 1992; 13: 197–200.
Many has too much, but none enough
Taxol sebagai Antikanker Usman Suwandi Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma, Jakarta
PENDAHULUAN Taxol dan taxotere merupakan senyawa toxoid yang mempunyai aktivitas antikanker. Istimewanya, keduanya berasal dari pohon Pacific Yew, Taxus brevifolia. Tanaman ini merupakan pohon yang tumbuh lambat dan ditemui di daerah bertanah lembab dekat aliran sungai dan danau di bagian barat laut Pasifik. Kedua senyawa ini sekarang sedang berlomba untuk memperoleh otorisasi sebagai antinaoplastik. Taxol dikembangkan oleh Bristol Myers Squibb, sedang Taxotere oleh Rhone Poulenc Rorer. Taxol merupakan antineoplastik baru dengan indikasi untuk refractory ovarian cancer, doxorubicin- resistant breast cancer dan non small cell lung cancer. Senyawa derivat diterpenoid yang merupakan ester dengan cincin taxane ini, diekstrak dari kulit kayu pohon Yew. Taxol mempunyai sejarah perkembangan yang panjang; walaupun aktivitas antineoplastiknya telah diidentifikasi pada ekstrak kasar kulit kayu pada tahun 1960, namun baru tahun 1971 taxol ditetapkan sebagai bahan antineoplastik. Perkembangan selanjutnya terhambat kesulitan mengisolasi dalam jumlah besar dan problem formulasi karena sifatnya yang sukar larut. Sesudah semuanya dapat diatasi, kemudian muncul masalah kipersensitivitas. Namun setelah problem ini dapat diatasi, pengujian berikutnya terus dilanjutkan. Bahkan setelah memperlihatkan aktivitas terhadap refractory ovarian cancer, perkembangan taxol menjadi prioritas utama. Namun seperti halnya substansi lain yang diekstrak dari bahan alami dengan kandungan kecil, problem yang selalu muncul antara lain pengadaan bahan baku. Apalagi kandungan taxol kira-kira hanya 0,01 – 0,03 berat kering phloem. Padahal untuk pengobatan tumor diperlukan kira-kira 2 gram taxol murni. Hal ini jelas akan mempersulit penyediaan taxol dan dikhawatirkan, jika diambil dari alam, maka akan dapat memusnahkan pohon yew tersebut; apalagi bila diambil tanpa perhitungan. Sebenar-
nya pohon Taxus yang dapat memproduksi taxol ada 11 spesies. Namun sayangnya pohon ini jumlahnya hanya sedikit dan tumbuh di daerah yang terpencil. Untuk memecahkan masalah tersebut, sudah banyak penelitian untuk memproduksi dengan cara lain seperti dengan plant tissue culture, skrining mikroorganisme penghasil taxol untuk produksi dengan fermentasi, pembuatan secara semisintetis dan sebagainya. Senyawa lain yang mempunyai indikasi sebagai antikanker yaitu taxotere. Senyawa ini diperoleh dengan mengekstraksi daun pohon yew dan diharapkan dapat digunakan untuk pengobatan pada pasien yang telah mendapatkan kemoterapi tetapi belum berhasil, yaitu pada ovarian, breast, kidney, cervix, prostate cancer atau melanoma. Pada tahun 1992, senyawa ini dilaporkan telah memasuki trial fase 2 di Eropa dan US. Pada trial fase 1, ditetapkan dosis optimum dan toksisitasnya terutama untuk mendapatkan respon klinis pada pasien yang telah resistan terhadap kemoterapi lain terutama untuk solid tumor. Taxotere dikatakan mempunyai keuntungan lebih dibanding taxol, karena ia lebih larut dalam air, sehingga lebih mudah formulasinya. Selain itu dikatakan juga bahwa senyawa ini lebih poten secara in vitro dan mungkin akan lebih efektif dengan pemberian jumlah kecil. PRODUKSI TAXOL Di hutan daerah Montana telah tumbuh pohon yew yang sangat istimewa; kulit pohonnya dapat menghasilkan zat antikanker yang disebut taxol. Namun kemudian timbul masalah untuk memproduksinya karena kalau hanya dalam jumlah kecil tentu tidak sebanding dengan potensi pasar yang ada. Di samping itu para pecinta lingkungan hidup telah mengingatkan bahwa spesies pohon yew bisa punah jika dieksplorasi terus menerus. Untuk itu para ahli berusaha keras untuk mendapatkan cara produksi taxol dengan lebih efisien; di antaranya adalali ahli
49
patologi tanaman Gary Stroble dan ahli kimia Andrea Stierle dari Montana State University. Mereka mencoba mencari mikroba-fungi yang dapat menghasilkan taxol, atas dasar contoh-contoh yang telah ada bahwa suatu parasit dan host (fungi dan tanaman) dapat menghasilkan suatu substansi yang sama. Asumsi ini didasarkan pada penemuan Giberellin yaitu suatu hormon diterpenoid yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pada tahun 1930 ahli tanaman di Jepang telah menemukan spesies fungi (parasit) yang seperti juga tanaman padi (host) mampu menghasilkan Giberellin. Dengan pola pemikiran yang sama, Stirle mulai melakukan perjalanan di hutan Montana; hasilnya 50 sampel fungi diisolasi. Di antaranya ditemukan 1 spesies yang mampu memproduksi taxol, kemudian dinamakan Taxomyces andreane. Tentu saja penemuan ini telah menggemparkan para peneliti; para ahli mulai bertanyatanya, mana yang lebih dahulu menghasilkan taxol, pohon atau fungi. Tentu saja sangat sulit untuk membuktikan hal tersebut. Diperkirakan pohon yew menghasilkan taxol untuk menangkal fungi parasit, karena taxol mempunyai aktivitas antifungi. Fungi mungkin mengambil satu kopi gen untuk taxol dari pohon yew. Setelah melakukan berbagai pengujian dengan hati-hati dan teliti, mereka akhirnya menemukan bahwa Taxomyces andreane dapat membuat taxol setelah dipindahkan dari host mereka. Laporan ini sangat menggembirakan berbagai kalangan karena bila demikian berarti taxol akan dapat diproduksi dalam jumlah besar dalam tangki fermentasi dan harga taxol bisa menjadi lebih murah. Ditambah dari hasil laporan para peneliti bahwa taxol dapat mengurangi tumor kira-kira 30% wanita penderita ovarian cancer yang tidak terobati dengan kemoterapi lain, maka penemuan ini benar-benar luar biasa. Selanjutnya timbul pertanyaan, apakah fungi ini akan mampu memproduksi taxol terus menerus setelah mereka dipindahkan dari host mereka karena keadaan demikian bukanlah persoalan yang tidak pernah terjadi. Sal& satu contoh yaitu fungi penghasil toxin yang diambil dari sugar cane, secara berangsur kehilangan kemampuan untuk memproduksi. Menyadari bahaya tersebut, Tim Stroble menyimpan fungi mereka pada jaringan pohon yew dan produksi taxol mereka tetap stabil. Selain laporan yang menggembirakan, ada pula laporan yang kurang menyenangkan yaitu mengenai produktivitas mereka; fungi Stroble hanya menghasilkan taxol dalam nanogram, padahal strain-strain liar. lain yang telah dikembangkan sebagai sumber bahan baku obat mulai menghasilkan dalam mikrogram per ml. Hal tersebut telah memacu para ahli untuk berlomba meningkatkan produktivitas mereka. Produksi taxol pernah dicoba dalam media cair semisintetik dan taxol ada dalam biakan fungi yang berumur 3 minggu. Keberhasilan ini tidak dapat dilepaskan dari bantuan berbagai metode dan alat untuk pengamatan tersebut seperti Mass spectro, immunokimia, kromatografi, radiokimia. Taxomyces andreane sendiri merupakan fungi endophyte `yang diisolasi dari kulit bagian dalam (phloem) Taxus brevifolia. Usaha untuk mencari mikroba penghasil taxol juga masih terus dilakukan. Pertimbangan lain untuk mencari produsen taxol dari sumber lain yaitu adanya perkiraan bahwa untuk mengobati seorang
50
pasien selama 1 tahun diperlukan kira-kira 6 pohon yew yang berumur 100 tahun. Atas pertimbangan ini, eksplorasi lain juga dilakukan yaitu dengan cara melalui plant cell tissue culture. Salah satu perusahaan yang mēngembangkan cara ini adalah ESCAgenetics di San Carlos California. Melalui cara ini diharapkan dapat diproduksi taxol dalam jumlah lebih besar daripada mengekstraksi dari kulit kayu dan daun yew. Dengan menggunakan teknologi ini, sel-sel akar, daun dan batang pohon yew diisolasi dan ditumbuhkan dalam biakan menggunakan proses fermentasi untuk merangsang sel-sel memproduksi taxol. Berdasarkan.pengalaman mereka menggunakan teknologi ini untuk memproduksi vanilla dan food flavor yang lain, mereka menyebutkan dapat memproduksi taxol dengan cara ini dalam 9 bulan. Dan tahap selanjutnya yaitu scale up dengan kapasitas 100/150 kg. Namun biaya scale up tersebut akan sangat mahal. Perusahaan lain yang juga menumbuhkan sel tanaman untuk memproduksi taxol yaitu Phyton Catalytic Inc. Perusahaan ini telah berhasil dalam laboratorium dan tahap selanjutnya adalah scale up yang diperkirakan membutuhkan waktu 2 – 5 tahun. Cara lain untuk mempermudah produksi taxol yaitu dengan membuat taxol semisintetik seperti yang dikerjakan oleh Natural Products Company Indena, Milan, Italia. Perusahaan ini mengekstrak prekursor taxol yang dinamakan 10-deacyl-baccatine III (10-DAB) dari 2 spesies pohon yaitu European yew Taxus baccata dan Himaylain tree Taxus wallichiana. Taxol diperoleh dengan mengkonversi prekursor 10-DAB tersebut. EFIKASI DAN TOKSISITAS Pada bulan Januari 1993, FDA telah menyetujui taxol untuk pengobatan ovarian cancer dan direncanakan dapat tersedia secara komersiil pada tahun 1993. Selain itu taxol; juga memberi harapan sebagai antitumor yang lain seperti breast, head, neck, lung, colon tumours. Taxol dikatakan merupakan antikanker yang lebih unggul dibanding dengan antikanker lain, karena mempunyai mekanisme memblok pembelahan sel kanker. Dikatakan bahwa untuk mengobati 12500 pasien diperlukan 25 g taxol murni yaitu kira-kira diekstrak dari 750000 pound kulit pohon kering. Saat ini kulit kayu pohon Pacific Yew merupakan bahan baku resmi yang telah disetujui FDA. Taxol terutama digunakan untuk ovarian cancer. Dalam penelitian memberikan respon 28% dari 28 pasien. Ia juga aktif terhadap platinium-resistant ovarian cancer. Dosis paling rendah yang digunakan dalam penelitian tersebut 135 mg/m2. Penelitian lain melibatkan 192 pasien dengan dosis 135 – 300 mg/m2 yang diberikan dengan infus 24 jam setiap 3 minggu. Pasien ini setidaknyapernah mendapatkan satu kali kemoterapi lain. Semua pasien sebelumnya diberi dexametason, suatu antihistamin dan H2 antagonis untuk mencegah hipersensitivitas. Adapun hasilnya antara lain dapat dilihat pada tabel 1. Evaluasi keamanan didasarkan pada 655 pasien, 253 pada penelitian fase I dan 402 pada fase II. Sedangkan efek samping yang menyertai pemberian taxol antara lain white cell suppression, alergi, septikemi, anemi, thrombositopeni, hipotensi, bradikardi, aritmi, alopecia, emesis, diarea, mukositis, netropeni, peripheral neuropathy. Ada yang menyebutkan bahwa taxol
Tabel 1. Study
Hasil Pengobatan Kanker Ovarium dengan Tamil No of patients
Response rate1 PR
CR
Overall
Median duration of response
013 012 014 011 028
46 32 46 15 50
9 4 9 4 17
1 2 5 2 1
22% 19% 30% 40% 36%
7.2 months 8.7 months 7.5 months 6.0 months 6.8 months2
Total
189
43
11
29%
9.2 months
Note : 1 PR = partial response, CR = complete response; 2 still being evaluated
sebaiknya diberikan secara intrapritoneal, karena struktur molekul, BM besar dan metabolisme hepatik. Taxol mempunyai respon terhadap kanker payudara; pemberian dosis 200 – 250 m/m2 selama 24 jam pada 25 wanita penderita kanker payudara metastatik menghasilkan 3 pasien memberikan respon penuh dan 11 memberikan respon 56%, dengan median time 9 bulan. Di samping itu taxol juga dapat diberikan dalam kombinasi dengan antikanker lain seperti doxorubicin. Pada kanker paru juga telah dicoba pada 27 pasien dengan advanced non small cell cancer dengan pemberian 2 – 6 siklus pada dosis 200 mg/m2 setiap 3 minggu. Pada refractory lymphoma, taxol diberikan 96 jam infus dengan dosis 140 mg/m2. Namun taxol dinyatakan tidak aktif terhadap cervical, renal, prostatic dan colorectal adenocarcinoma dan mungkin pada pancreatic carcinoma. PENUTUP 1) Perjalanan satu senyawa dari saat ditemukan sampai ber-
manfaat bagi masyarakat memang memerlukan perjuangan, keuletan, kesabaran dan kecerdikan peneliti dan pemberi dana. Hal ini dapat terlihat pada perkembangan taxōl yang telah diketahui mempunyai aktivitas antineoplastik sejak 1960, ternyata baru akan bermanfaat bagi masyarakat di tahun 1993. Tentu saja tidak semua senyawa akan memerlukan waktu yang begitu panjang, karena banyak senyawa yang memerlukan waktu jauh lebih pendek. 2) Pentingnya sistem skrining. Sistem yang mantap sangat mendorong/meningkatkan keyakinan peneliti akan keberhasilannya. Sebagai contoh usaha memperoleh fungi penghasil taxol dan sistem plant cell culture untuk produksi taxol. Mereka begitu optimis akan berhasil dan dalam waktu relatif singkat telah diperoleh fungi penghasil taxol dan mampu memproduksi taxol dengan plant cell culture pada skala lab. Hal ini dapat diambil hikmahnya bagi lembaga pemerintah atau perusahaan swasta, terutama yang bergerak di bidang penelitian dan pengembangan. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Anonim. Taxol given broad, 2-nd- line indication. Scrip 1992; 1773: 20. Anonim. Taxol recommendation gives BMS a boost. PBN 1992 (8); 184: 1, 7, 8. Anonim. EscAgenetics produce cancer drug through plant cell tissue. PBN 1991 (7); 152: 1, 5. Anonim. TaxoUtaxotre race heats up, with BMS on the inside line. PBN 1992 (8); 176: 2. Anonim. BMS gets FDA approval for taxol. PBN 1993 (8); 186: 7, 8. Spiridonidis CH. Paclitaxel (taxol) : A novel antineoplastic Agent. Drugs of Today. 1993 (29); 4: 295–300. Stone R. Surprise. A fungus factory for taxol. Science 1993 (260); 9: 154– 155. Stierle A et al. Taxol and taxane production by Taxomyces andreanae, an endophytic fungus of Pacific Yew. Science 1993 (260); 9: 214–216.
English Summary GENETIC AND IMMUNOLOGIC ASPECTS OF BREAST CANCER Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo Histology Laboratory, Faculty of Medicine, Gadjah Maria University, Yogyakarta, Indonesia
The estimated incidence of cancer in Indonesia is180/100,000 of which 18/100,000 is breast cancer. The genetic and the immunological aspects of breast cancer are reviewed. Presumptions on how immunologic es-
cape may be caused and the benefits of the knowledge of these genetic and immunological aspects are summarized. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99: 51–4 Ssz
51
Aspek Genetik dan Imunologik Kanker Payudara Sofia Mubarika Haryana, Marsetyawan Soesatyo Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
PENDAHULUAN Kanker payudara banyak dijumpai di Indonesia khususnya pada wanita, merupakan kanker terbanyak kedua setelah kanker mulut rahim('). Insiden kanker payudara kira-kira sebanyak 18 per 100.000 penduduk wanita, dengan insiden seluruh kanker di Indonesia diperkirakan 180 per 100.000 pesduduk(2). Pria juga mungkin mendapat kanker payudara, dengan kemungkinan 1:100 dari wanita. Hasil pengobatan kanker payudarasampai saat ini belum memuaskan, diperkirakan 50% penderita dapat disembuhkan bila datang dalam stadium dini. Penyebab kanker payudara sampai saat ini juga belum jelas, diduga ada kerusakan pada gen yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi akibat berbagai bal. Selain itu faktor imun tubuh seseorang juga sangat mempengaruhi timbulnya kanker tersebut. Untuk itu akan dibahas gen yang terpengaruh dan bagaimana sistim imun berperan dalam pertahanan terhadap tumor. ASPEK GENETIK KANKER PAYUDARA Kanker adalah pertumbuhan tidak terkontrol sel tubuh yang dapat disertai dengan invasi dan metastasis ke jaringan lain(3). Bukti-bukti menunjukkan bahwa kanker disebabkan akibat kerusakan genetik seperti kelainan kromosom, amplifikasi DNA, rearrangement maupun mutasi noktah, yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan fisiologik pengaturan pembelahan sel dan diferensiasi yang berakibat tumbuhnya tumor. Kerusakan genetik tersebut dapat disebabkan akibat pemaparan karsinogen lingkungan yang terdapat pada makanan, air, udara, radiasi, sinar matahari, mutasi spontan karena instabilitas gen, infeksi virus DNA atau RNA, inaktivasi gen dan lain-lain(4). Elemen genetik seperti onkogen, anti-onkogen dan virus merupakan sumber Disampaikan pada Seminar Ilmiah Populer Kanker Payudara, Yogyakarta, 4 Agustus 1993
52
proses terjadinya transformasi keganasan(5); ternyata elemen genetik ini tidak hanya berpartisipasi pada patogenesis kanker tetapi juga dapat digunakan sebagai penanda tumor (tumor marker). Sebetulnya tanpa melihat tipe kanker apakah berupa karsinoma, sarkoma, leukemia, limfoma atau lainnya, diperoleh abnormalitas DNA(6). Jadi sebagian besar kanker seperti kanker paru, usus dan kulit timbul akibat epitelnya terpapar karsinogen lingkungan. Kanker hati dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B, kanker rahim dihubungkan dengan infeksi virus papiloma, kanker nasopharynx serta Burkitt lymphoma karena infeksi virus Epstein Barr. Kanker payudara pada mencit dihubungkan dengan infeksi virus tumor payudara (MMTV). Ini telah dibuktikan pada percobaan mencit transgenik. Padapercobaan binatang yang diinfeksi virus tumor payudara, diketahui bahwa sejumlah proto-onkogen ikut berperan terjadinya kankerpayudara. Virus tumor payudara merupakan mutagen biologik(7). Pada saat virus memasuki siklus selnya, genom virus terintegrasi secara acak pada genom inang (host). Pada keadaan seperti ini genom viral mempunyai potensi sebagai mutagen insersional. Tiga gen seluler yaitu intl, int2, dan int3 telah dapat diidentifikasi dan sering mengandung genom virus yang terintegrasi pada DNA seluler karena induksi tumor payudara. Pada keadaan normal gen int tidak diekspresi, tetapi diekspresi pada masa perkembangan embrional. Pada manusia dengan tumor payudara, gen int2 dilaporkan mengalami amplifikasi(8). Gen c-myc(9), ras(10), c-erbB2, EGF, dan Rb atau p53 diduga ikut berperan dalam timbulnya kanker payudara. Gen tersebut letaknya di dalam kromosom telah diketahui dan produk proteinnya dapat dijumpai di membran sel sebagai reseptor (EGFr = cErbB2)(11), sebagai growth factor (PDGF=c-sis), pada membran sel
bagian dalam terikat pada protein G dan mempunyai aktivitas GTP-ase (ras), pada nukleus sebagai faktor transkripsi karena mempunyai kemampuan mengikat DNA (c-myc, p53) dan mempunyai peran dalam regulasi pertumbuhan dan diferensiasi sel(12). Aktivasi proto-onkogen myc dan ras dihubungkan sebagai penyebab kanker payudara (Parada dan Weinberg, 1983). Buktibukti menunjukkan bahwa aktivasi myc dan ras diperlukan untuk tranbsformasi keganasan pada fibroblas embrio mencit pada kultur in vitro. Percobaan pada mencit transgenik yang disisipi gen myc atau ras di bawah promoter enhancer MMTY-long terminal repeat (LTR) dapat memacu terjadinya transformasi apabila Fl dari transgenik myc dan transgenik ras dikawinkan. C-myc proto-onkogen diaktifkan dengan berbagai cara misalnya amplifikasi gen, translokasi kromosom, insersi provirus (Rabbits, 1985). Amplifikasi myc dijumpai pada kanker payudara pada manusia sebanyak 32% dari 121 penderita (Slamon, 1984), juga pada karsinoma mammae cell line (Kozbor dan Croce, 1984). Amplifikasi gen reseptor Epidermal growth factor (EGF) juga dijumpai pada tumor payudara, reseptor ini dapat berikatan dengan transforming growth factor alpha (TGF alphar)(13). Protein tirosin kinase setelah ada ikatan reseptor akan teraktivasi. Reseptor EGF dijumpai pada beberapa tipe epitel termasuk payudara(14). Onkogen lain yang sering mengalami kelainan adalah cerbB2 (neu), yang telah dimap letaknya pada kromosom 17q21. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 103 pasien yang diteliti diperoleh amplifikasi c-neu sebesar 18%(15). Ada korelasi antara amplifikasi c-neu dengan pembesaran limfonodi, dan pada 89 pasien ada korelasi antara metastasis limfonodus dengan prognosis yang jelek (Slamon dkk. 1987). Pada tumor payudara non-invasif terdapat 70% pasien mengalami ekspresi neu onkogen yang lebih (overekspresi)(16); overekspresi neu onkogen disertai dengan overekspresi mRNA dan produk proteinnya. Karena protein neu terletak pada membran sel, maka dapat merupakan target imunoterapi terutama pada tumor-tumor dengan overekspresi neu. Mutasi noktah paling banyak dipelajari pada gen ras. Lebih kurang 30% adenokarsinoma disertai mutasi noktah ras(17). Translokasi kromosom juga diamati pada tumor payudara. Adanya double minutes (DM) menunjukkan adanya amplifikasi. Penanda ini terdapgt pada lengan panjang kromosom 1(18). Delesi atau hilangnya gen regulator juga ikut berperan pada berbagai tumor termasuk tumor payudara. Hilangnya gen spesifik disebut anti-onkogen atau onkogen resesif seperti gen retinoblastoma (Rb) pada kromosom 13 dan gen p53 yang terletak pada kromosom 17. Ini dihubungkan dengan tumor yang diwariskan. Pada beberapa tumorpayudara manusia dijumpai inaktivasi gengen tersebut(19). Sebagian besar tumor payudara mempunyai reseptor terhadap estrogen. Sebagian besar tumor tersebut akan memberi respon baik terhadap pengobatan anti-estrogen. Tetapi sampai sekargng belum diketahui bagaimana pengaturan tumbuhnya tumor payudara pada tumor payudara yang estrogen indepen-
dent(8). ASPEK IMUNOLOGIK KANKER PAYUDARA Tubuh dilengkapi dengan sistem pertahanan tubuh yang dalam keadaan normal dapat melindungi tubuh terhadap berbagai invasi baik mikroorganisme maupun sel tubuh sendiri yang mengalami transformasi menjadi ganas. Sistim imun tubuh dapat mengenali/membedakan antara antigen asing (non-self) dan antigen sendiri (self). Antigen tumor dapat memacu sistim imun dan berada di bawah kontrol genetik yang terbentuk akibat agen onkogenik. Antigen semacam ini disebut TAA (Tumor associated antigen). Pada keadaan-keadaan tertentu seperti imunodefisiensi atau pada pemakaian obat imunosupresif, dapat terjadi penurunan fungsi sistim imun tubuh sehingga orang lebih mudah terkena infeksi maupun tumor. Aktivasi antigen tumor melibatkan berbagai sel dalam sistim imun yaitu Th (helper), Ts (supressor), Tc (cytotoxic), sel B, makrofag, sel NK (natural killer cells) dan lain-lain. Th dan Ts merupakan sel immunoregulator yang berperan dalam pemacuan/aktivasi maupun penekanan/penghambatan aktivitas berbagai sel tubuh (Hebermann dkk. 1985). Apabila fungsi sel-sel tersebut rusak (defect), maka pengaturan sistim imun tubuh menjadi terganggu. Sel Tc dan sel NK berperan sebagai efektor yang akan melisiskan sel target(20). Makrofag berperan selain sebagai antigen presenting cell (APC), apabila diaktifkan maka akan mempunyai kemampuan untuk mengenal/membedakan sel-sel tumor dari sel-sel normal, yaitu melalui reseptor Fc yang terikat di permukaan sel tumor. Perusahan tumor terjadi akibat adanya kontak sel dilanjutkan dengan sekresi lisosim yang menyebabkan kerusakan membran sel. Selain itu makrofag mensekresi faktor sitolitik seperti serin protease, hidrogen peroksida, tumor necrosis factor (TNF). Apabila terbentuk IgG oleh sel B akibat sensitisasi antigen tumor maka makrofag dapat bertindak sebagai efektor pada reaksi ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity). Sel NK aktivitasnya dipengaruhi pengaturan positif dan negatif baik in vitro maupun in vivo. Sel NK aktivitasnya meningkat setelah diinkubasi dengan yIFN (interferon gamma) atau interleukin-2 (IL-2), sehingga kemampuan sitolitiknya meningkat. Jadi fungsi sistim imun tubuh yang normal antara lain melakukan pemantauan terhadap munculnya sel tubuh sendiri yang menjadi asing (immunosurveillance). Bila terjadi kegagalan sistim imun terhadap sel neoplastik maka dapat terjadi kegagalan sistim imun terhadap sel neoplastik maka dapat terjadi pertumbuhan abnormal tubuh. Keadaan ini disebut immunological escape. Immunological escape terjadi apabila faktorfaktor yang mempengaruhi pertumbuhan tumor lebih dominan daripada faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan tumor. Faktor-faktor yang mempengaruhi immunological escape cukup banyak, seperti kinetik tumor, modulasi antigenik, antigen masking, blocking factor, tolerance, faktor genetik, produk tumor dan growth factor(21). Akibat kelainan genetik atau gen virus atau ekspresi yang mengalami deregulasi, maka sel-sel kanker dapat mengekspresi protein-protein yang pada orang normal tidak ada atau protein-
53
protein tadi jumlahnya lebih dari normal. Sebagian antigen tumor sifatnya spesifik pada tumor tertentu saja, sedang sebagian antigen tumor lain dijumpai pada sel-sel kanker pada umumnya. Antigen lain yang sering disebut adalah alphafetoprotein (AFP) dan carcinomaembryonic antigen (CEA). Antigen ini normal diekspresi saat perkembangan fetal. Ekspresinya pada sel tumor sebagai akibat hilangnya faktor represi gen tertentu, mekanismenya belum jelas. Ternyata antigen fetal ini tidak hanya diekspresi pada tumor saja tetapi juga pada keadaan radang jaringan tubuh, (jumlahnya rendah). Onkofetal antigen ini bersifat tidak antigenik sehingga tidak menimbulkan respon imun; sehingga kehadirannya dalam tubuh dipakai sebagai kepentingan diagnostik dan prognostik(22). Ketahanan terhadap infeksi virus penyebab tumor juga dikaitkan dengan produk MHC klas I. Tc hanya dapat melisiskan sel tumor apabila sel tumor dengan antigen tumor dipresentasikan kepada sel Tc bersama-sama dengan produk molekul MHC klas I; sehingga peptide immunodominant yang terikat pada suatu MHC klas I dapat memacu respon protektif terhadap tubuhnya.
Dugaan timbulnya immunological escape adalah sebagai berikut : 1) Tumor bersifat tidak imunogenik pada host tertentu sebab host tidak mengekspresikan MHC yangsesuai untuk mengikat dan memproses antigen tumor. 2) Ekspresi MHC mungkin ditekan/supresi oleh tumor sehingga kompleks antigen tumor dan MHC tidak terbentuk. 3) Host bersifat toleran terhadap antigen tumor, karena sejak neonatal terpapar dengan antigen tersebut, atau tumor antigen terpapar dalam jumlah yang tolerogenik (dosis tinggi atau tanpa stimulator). 4) Kinetik pertumbuhan tumor menyebabkan tubuh resisten terhadap tumor (sneaking through). Ini diduga karena pada mulanya jumlah antigen tumor sangat rendah (imunogenositas rendah), sehingga tidak cukup kuat memacu sistim imun tubuh. Bila suatu saat jumlah antigen tumor cukup besar, telah terjadi mutasi sehingga mengurangi kemungkinan pengenalan sistim imun. 5) Imunitas anti tumor berasal dari seleksi sel tumor mutan yang telah kehilangan sifat antigeniknya karena sifat sel tumor yang sangat cepat mengalami mitosis dan juga instabilitas gennya. 6) Hilangnya antigen tumor di permukaan sel (modulasi antigenik), sehingga diperoleh resistensi terhadap mekanisme efektor imun. Hal ini terjadi akibat endositosis atau shedding kompleks antigen-antibodi. 7) Antigen shed oleh tumor dan kompleks dengan antibodi dianggap sebagai faktor penghambat. 8) Antigen tumor tidak dikenali oleh sistim imun tubuh karena dilindungi oleh membran glikokaliks (mukopolisakarid) yang bertindak sebagai fibrin cocoon. 9) Produk tumor (TGF-R) bertindak sebagai immunosupressive agent.
HARAPAN DAN MANFAAT DARI PENGETAHUAN ASPEK GENETIK DAN IMUNOLOGIK 1) Banyak pendekatan pengobatan secara imunologik yang telah dicobakan di luar negeri misalnya dengan meningkatkan aktivitas sistim efektor imun tubuh (Tc, NK, makrofag dan sel B) dengan berbagai pacuan. Penggunaan berbagai sitokin (limfotoxin, I1-2, y-IFN, TGF-beta, TNF) dan lain-lain(22). Imunisasi spesifik yang bersifat aktif (ISA) dengan sel-sel tumor autologus sudah dicoba, misalnya pada pasien-pasien dengan karsinoma kolorektal. ISA dengan cara menyuntikkan sel tumor autologus bersama adjuvan BCG mampu menginduksi imunitas anti-tumor secara sistemik. Imunitas ini dapat menghilangkan mikrometastasis yang masih tinggal setelah operasi. Di sini jelas ada peningkatan bermakna reaksi delayed type hypersensitivity (DTH). Saat ini vaksin tersebut sedang dikembangkan di lab. onkopatologi Vrije Universiteit Amsterdam. 2) AFP dan CEA sebagai antigen tumor walaupun bersifat tidak antigenik tetapi dapat digunakan sebagai tumor marker untuk keperluan uji diagnostik dan prognostik terhadap tumor payudara. 3) Adanya overekspresi berbagai onkogen diharapkan nantinya dapat dipakai sebagai tes baterry rutin untuk membantu menentukan progresivitas dan prognosis penyakit. Anti-onkogen dapat digunakan untuk deteksi dini tumor payudara pada keluarga yang salah satu keluarganya menderita kanker ,payudara. Selanjutnya diharapkan nantinya akan ada terapi gen untuk tumor. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Broto Wasisto. Morbidity and Mortality of Cancer in Indonesia. Dep.Kes. RI, 1991. Sukardja IDG. KankerPayudara. M.K.I. 1993; 43: 367. Bishop JM. The molecular genetics of cancer. Science, 1987; 235: 305. Cossman J. Approaching the molecular genetic era of diagnostic pathology. In Molecular Genetic in Cancer Diagnosis. Elsevier, New York, 1990. Alitalo K, Scwab M. Oncogene amplification in tumor cells. Adv. Cancer Res 1986; 47: 235. Aaronson SA, Tronick SR. Oncogenes. In:Molecular Genetics in Cancer Diagnosis. Elsevier, New York, 1991. Varmus H. The Molecular genetics of cellular oncogenes. Ann. Rev. Gen. 1984; 18: 553. Van de Vijver M, Van deBerselaar R, Devilee P, Cornelisse C, Peterse J, Nusse R. Amplification of the neu (C-erbB2) oncogene in human mammary tumors is relatively frequent and is often accompanied by amplification of the linked c-erbA oncogene. Mol. Cell. Biol. 1987; 7: 2019. Bonilla M, Ramirez M, Lopez-Cueto J, Gariglio P. In vivo amplification and rearrengement of c-myc oncogene in human breast tumor. J. Natl. Cancer Inst, 1988; 80: 665. Bar-Sagi D, Feramisco JR. Induction of membran ruffling and fluid-phase pinocytosis in quiescent fibroblast by ras protein. Science 1986; 233: 1061. Carpenter G, Receptors for epidermal growth factor and other polypeptide mitogens. Ann. Rev. Gen, 1987; 56: 881. Vogelstein B, Kinzler KW. P53 function and dysfunction. Cell, 1992; 70: 56. Marquardt H, Hunkapiler MW, Hood LE, Todaro GJ. Rat transforming growth factor type, structure and relation to epidermal growth factor. Science 1984; 223: 1079. Ro J dick. Amplified and overexpressed epidermal growth factor gene in uncultured primary human breast carcinoma. Cancer Res, 1988; 46: 161. Barnes DM, Laramie GA, Millis RR, Gullick WL, Allen DS, Altman G. An Immunohistochemical evaluation of c-erbB-2 expression in human breast carcinoma, Br. J. Cancer 1988; 58: 448.
16. Gusterson BA dick. Immunohistochemical localization of c-erbB-2 in human breast carcinomas. Mol. Cell. Probes, 1988; 2: 383. 17. Rodenhuis S, Van de Wetering ML, Mooi WJ, Van Zandwijk N, Bos JL. Mutational activation of the K-ras oncogene: a possible pathogenetic factor in adenocarcinoma of the lung. New Engl. J. Med. 1987; 317: 929. 18. Sandberg AA, Turc-Carel C, Gemmil RM. Chromosomes in solid tumors and beyond. Cancer Res. 1988; 48: 1049. 19. Hunter T. Cooperation between oncogenes. Cell 1991; 64: 248. 20. Lanzavecchia A. How many work can a killer cell kill. Intern Immunol, 1989; 4: 109. 21. Roitt I, Brostoff, Mall D. Tumor Immunology. In Advance Immunology,
Gower Medical Publishing, England 1989; pp 181-188. 22. Abbas AK, Lichtman AH, Pober J. Tumor Immunology. In Cellular and Molecular Immunology. W.B. Saunders Co., Philadelphia, 1991. 23. Bargmann CL, Hung MC, Weinberg RA. The neu oncogene encodes an epidermal growth factor receptor related protein. Nature . 1986; 319: 226. 24. Lee EJY, Shew R, Bockstein P, Scully W, Lee H. Inactivation of the retinoblastoma susceptibility gene in human breast cancers. Science, 1988; 241: 218. 25. Van de Vijver. Oncogene activation in breast cancer. A Ph.D. thesi Amsterdam, 1989.
English Summary THE EFFECT OF ALUMINIUM FILTER ON PEAK-VOLTAGE (kVp) AND DOSE OF X-RAY DIAGNOSTIC MACHINE TANKA RTO-125 Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari PSKPR BATAN, Pasar Jum'at, Jakarta, Indonesia
Study on the effects of alumi-nium (Al) filter on the measured peak-voltage (kVp) and dose of X-ray diagnostic has been carried
out in the Center for Standardization and Radiation Safety Research (PSPKR), Qatar). Diagnostic X-ray machine Tanka Model RTO-125 was used in this experiment. Aluminium (AI) filter having high purity of 99.2% made in Nilaco, Japan, was used. Peakvoltage (kVp) was measured using digital kVp meter III, Victoren, USA. X-ray dose was measured using ionization
chamber detector (Aloka, Japan) having an air volume of 40 cc. Experimental results show that the use of 2 mm Al filter increases measured peak-voltage 1%; absorbs 40% of X-ray intensity; and decreases phantom (patient) entrance dose up to 17%. Cermin Dunia Kedokt. 1995; 99:55–7 Ss, Cfb
Let every man come to God in his own way (Ward Beecher)
55
Pengaruh Filter Aluminium pada Tegangan Puncak (kVp) dan Dosis Sinar X Diagnostik dari Pesawat Tanka RTO-125 Susetyo Trijoko, C. Tuti Budiantari PSPKR BATAN, Pasar Jumat, Jakarta
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh filter aluminium (Al) pada tegangan puncak (kVp) terukur dan dosis sinar-X diagnostik di PSPKR, Batan. Dalam penelitian ini digunakan pesawat sinar-X Tanka Model RTO-125. Filter aluminium (Al) yang digunakan adalah buatan Nilaco, Jepang, dengan kemurnian 99,2%. Tegangan puncak (kVp) diukur dengan digital kVp meter III, buatan Victoren, USA. Dosis sinar-X diukur dengan detektor bilik pengionan udara (Aloka, Jepang), volume 40 cc. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan filter 2 mm Al memperbesar tegangan puncak (kVp) terukur 1%; menyerap intensitas sinar-X sekitar 40%; dan mengurangi dosis masuk fantom (pasien) sampai 17%.
PENDAHULUAN Berkas sinar-X diagnostik (sinar rontgen) yang digunakan untuk memotret pasien, misalnya untuk foto toraks, terdiri atas foton-foton dengan spektrum energi kontinyu. Berkas radiasi kontinyu tersebut biasa disebut dengan radiasi polikromatik. Ketika berkas sinar-X diagnostik mengenai tubuh pasien, sebagian besar foton energi rendah terserap oleh jaringan permukaan kulit. Sedangkan foton yang berenergi tinggi mampu menembus tubuh pasien dan akhirnya membentuk bayangan radiografi pada film. Dosis yang diterima pasien akan tergantung pada jumlah intensitas foton yang terserap. Dengan demikian untuk pemeriksaan pasien dengan sinar-X tanpa filter, jaringan permukaan kulit akan menerima dosis cukup besar. Untuk melindungi jaringan permukaan kulit dari dosis yang terlalu besar, diperlukan filter yang ditempatkan di antara tubuh pasien dan tabung sinar-X. Filter berfungsi untuk menyerap foton berenergi rendah. Sedangkan foton yang berenergi tinggi diteruskan dan
56
hanya sedikit sekali yang terserap oleh permukaan kulit. Kelley dan Cathey, dalam buku yang ditulis oleh Curry(1), pernah meneliti pengaruh penggunaan filter aluminium terhadap dosis dan waktu paparan sinar-X diagnostik pada pasien dengan menggunakan pelvic phantom tebal 18 cm. Dengan menggunakan berkas radiasi dari pesawat sinar-X Tanka RTD125 yang berada di PSPKR Batan, Pasar Jumat, telah diteliti pengaruh penggunaan sillier aluminium dengan berbagai ketebalan pada tegangan-puncak terukur (kVp) dan dosis yang diterima pasien yang disimulasikan dengan fantom tebal 30 cm. FILTRASI SINAR-X Berkas sinar-X sebelum mencapai tubuh pasien akan mengalami pelemahan setelah melewati dua buah filtrasi, yaitu filtrasi bawaan (inherent filtration) dan filtrasi tambahan (added filtration). Pelemahan setelah melewati filtrasi bawaan terjadi ketika sinar-X melewati tabung. Bahan-bahan dalam tabung
yang terdiri dari kaca, minyak isolator, dan jendela (window) tabung biasanya memberikan pelemahan yang setara dengan ketebalan aluminium antara 0,5 mm – 1,0 mm(2). Filter tambahan ditempatkan di antara tabung sinar-X dan tubuh pasien. Idealnya, filter tambahan tersebut menyerap seluruh foton energi rendah dan meneruskan semua foton energi tinggi. Akan tetapi tidak ada bahan yang mempunyai sifat ideal tersebut. Aluminium (Al) merupakan bahan yang biasa dipilih untuk filter tambahan dalam radiologi diagnostik(3). Aluminium (Al) merupakan bahan yang mudah didapat dan sangat baik untuk filter sinar-X diagnostik tegangan rendah. Perlu diketahui bahwa interaksi sinar-X dengan bahan/materi dapat menimbulkan sinar-X karakteristik. Namun interaksi sinar-X dengan aluminium (Al) yang memiliki nomor atom 13, menimbulkan sinar-X karakteristik dengan energi hanya sekitar 1,5 keV(3) yang dengan mudah akan terserap oleh udara. Pengaruh filter aluminium (Al) dengan ketebalan 4 mm pada spektrum berkas sinar-X yang dihasilkan diperlihatkan dalam Gambar 1. Penggunaan filter tidak merubah besarnya energi foton maksimum. Dengan kata lain daya tembus sinar-X tersebut tetap. Yang berubah hanyalah besarnya intensitas radiasi. Untuk kondisi tanpa filter, intensitas maksimum terjadi pada energi foton sekitar 25 keV, dan ketika dengan filter, puncak intensitas terjadi pada energi foton sekitar 35 keV.
g.cmm-3 buatan NILACO(5). 3) Digital kVp Meter III Model 07-494, buatan Victoreen, USA. 4) Detektor bilik pengionan bervolume 40 cc, Merk ALOKA, Model RIC-DRM, Serial No. 201-2. 5) Elektrometer, Merk ALOKA, Model DRM-201, Serial No. 07R041. 6) Fantom air dengan dinding plexiglass berdimensi luar 30 cm x 30 cm x 30 cm. Tata Kerja Untuk mengukur tegangan puncak (kVp) pesawat sinar-X. digunakan digital kVp meter. Jarak fokus sinar-X ke digital kVp meter adalah 30 cm(6). Tegangan tabung dipilih pada 70, 80, 90, dan 100 kV, dengan kuat arus 20 mA. Untuk masing-masing tegangan tersebut, filter aluminium (Al) divariasi dengan ketebalan 0, 2, dan 4 mm. Untuk menyelidiki pengaruh filter pada intensitas radiasi sinar-X digunakan detektor ALOKA (40 ml) yang ditempatkan pada jarak 75 cm dari fokus(1). Lapangan berkas radiasi pada jarak tersebut dipilih 20 cm x 20 cm. Tegangan tabung dipilih pada 70, 80, 90, dan 100 kV, dengan kuat arus 20 mA. Untuk masingmasing tegangan tersebut, filter aluminium divariasi dengan ketebalan 1, 2, 3, dan 4 mm. Untuk menyelidiki pengaruh filter terhadap dosis pasien yang mendapatkan pemeriksaan sinar-X, digunakan fantom plexiglass(') dengan ketebalan 30 cm dan diisi air. Dosis masuk (entrance dose) dan dosis keluar (exit dose) fantom diukur dengan detektor ALOKA. Dosis masuk menggambarkan dosis yang diterima pasien, sedangkan dosis keluar merupalSan dosis yang mengenai kaset film radiografi. Fantom dengan ketebalan 30 cm mensimulasikan tebal tubuh rata-rata pada kondisi penyinaran arah lateral. Pada kondisi tersebut tebal tubuh adalah maksimum. Skema pengukuran diperlihatkan pada Gambar 2. Jarak fokus sinar-X ke permukaan fantom 75 cm. Lapangan radiasi di permukaan fantom 20 cm x 20 cm. Tegangan tabung dipilih pada 90 kV (± 74 kVp) dan kuat arus mA. Ketebalan filter aluminium (Al) divariasi sebagai berikut: 0, 2, dan 4 mm. Dosis keluar fantom ditetapkan 0,5 mR.
Gambar 1. Energi dan intensitas radiasi sinar-X tanpa filter dan dengan filter(4).
PERALATAN DAN TATA KERJA Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Pesawat sinar-X diagnostik Tanka, Model RTO-125, dengan filter bawaan 0,5 mmAl. 2) Filter aluminium, kemurnian 99,2% dan kerapatan 2,6989
Gambar 2. Cara mengukur dosis masuk dan dosis keluar fantom.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran pengaruh filter aluminium (Al) terhadap tegangan puncak (kVp) terukur ditunjukkan pada Tabel 1. Untuk
57
masing-masing tegangan tabung (kV) yang dipilih, penambahan tebal filter akan memperbesar tegangan puncak (kVp) terukur. Filter aluminium (Al) dengan ketebalan 2 mm memberikan kenaikan tegangan puncak (kVp) terukur ≤ 1%. Sedangkan filter 4 mmAl dapat memberikan kenaikan tegangan puncak (kVp) terukur di atas 1%. Tabel 1.
Pengaruh Filter Aluminium (Al) terhadap Tegangan Puncak (kVp) Terukur
Tegangan (kV) 70 80 90 100
Tebal filter (mm) 0 2 4 0 2 4 0 2 4 0 2 4
Tegangan terukur (kVp) 54,9 ± 0,2 55,0 ± 0,1 55,6 ± 0,2 63,7 ± 0,2 63,8 ± 0,3 64,6 ± 0,3 73,6 ± 0,3 74,0 ± 0,3 74,8 ± 0,3 82,3 ± 0,2 83,0 ± 0,3 84,4 ± 0,3
Kenaikan (%) – 0,2 1,0 – 0,2 1,3 – 0,6 1,6 – 0,8 2,6
Intensitas radiasi sinar-X setelah melalui filter akan tergantung pada tebal filter. Prosentase intensitas radiasi sinar-X yang terserap oleh filter aluminium dengan ketebalan 1, 2, 3, dan 4 mm ditunjukkan pada Tabel 2. Untuk semua tegangan yang dipilih, terlihat bahwa filter aluminium tebal 2 mm menyerap sekitar 40% intensitas radiasi sinar-X. Curry(1) menganjurkan agar dalam pemeriksaan dengan sinar-X, digunakan filter aluminium dengan ketebalan 2 mm. Karena filter 2 mmAl mampu mengurangi intensitas sinar-X energi rendah dan masih meneruskan sebagian besar dari intensitas radiasi sinar-X. Dari Tabel 2 juga terlihat bahwa untuk tegangan kurang dari 90 kV, filter 4 mmAl menyerap lebih dari 60% intensitas radiasi sinarX. Tabel 2.
diatur sedemikian rupa sehingga didapatkan dosis keluar besarnya tetap 0,5 mR. Dosis keluar yang dibuat tetap tersebut akan menghasilkan kualitas bayangan radiografi pada film yang hampir sama pula. Dari Tabel 3 terlihat bahwa filter 2 mmAl mampu menurunkan dosis masuk sampai 17%, dan memerlukan tambahan waktu penyinaran 0,5 detik. Filter 4 mmAl menurunkan dosis masuk sebesar 27%, akan tetapi waktu penyinaran bertambah 1,5 detik. Dari sudut pandang proteksi radiasi, penambahan filter akan selalu menguntungkan karena akan mengurangi dosis pasien. Akan tetapi filter yang terlalu tebal akan membutuhkan waktu penyinaran lebih lama. Hal ini akan memperbesar kemungkinan terjadinya gerakan pasien yang dapat menurunkan kualitas hasil pemeriksaan pada film. Tabel 3.
Tebal filter Dosis masuk Penurunan Waktu penyinaran
Prosentase (%) foton yang terserap oleh filter 1,0 mm
2,0 mm
3,0 mm
4,0 mm
70 80 90 100
27 ± 0,3 26 ± 0,2 25 ± 0,3 22 ± 0,2
45 ± 0,2 42 ± 0,4 41 ± 0,5 37 ± 0,4
59 ± 0,6 55 ± 1,0 53 ± 1,0 49 ± 0,7
67 ± 1,0 63 ± 0,8 60 ± 1,2 58 ± 1,1
(mmAl)
(mR)
(%)
(det)
(%)
0 2 4
319,7 ± 5,4 264,5 ± 1,6 232,0 ± 6,4
– 17 27
2,0 2,5 3,5
– 25 75
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.
Pengaruh filter aluminium terhadap dosis masuk fantom dan waktu penyinaran ditunjukkan pada Tabel 3. Penyinaran pertama dilakukan pada kondisi tanpa filter, dan selanjutnya dengan menggunakan filter. Pada setiap perlakuan, waktu penyinaran
Kenaikan
KESIMPULAN Penggunaan filter aluminium tebal 2 mm pada penyinaran dengan pesawat sinar-X Tanka Model RTO-125 apabila dibandingkan dengan tanpa filter, akan diperoleh : 1) Tegangan puncak (kVp) terukur naik tidak lebih dari 1%. 2) Intensitas radiasi yang hilang sekitar 40%. 3) Dosis masuk pasien (fantom) turun sampai 17%, dengan penambahan waktu penyinaran sekitar 25%.
Pengaruh Filter Aluminium (Al) terhadap Intensitas Radiasi Sinar-X
Tegangan (kV)
Pengaruh Tebal Filter terhadap Dosis Masuk Fantom. Dosis keluar fantom tetap 0,5 mR. Tegangan 90 kV (± 74 kVp), kuat arus 20 mA
6. 7.
Curry IS. Christensen's Introduction to the Physics of Diagnostic Radiology. Philadelphia: Lea and Febiger, 1984. Oman RM. An Introduction to radiologic science. New York: McGrawHill Book Co, 1975. Jennings RI. A method for comparing beam-hardening filter materials for diagnostic radiology, Med Phys 1988; 15(4): 588. Archer BR, Wagner LK. Determination of diagnostic X-ray spectra with characteristic radiation using attenuation analysis, Med Phys 1988; 15(4): 637. NILACO, Buku katalog : High Purity Metals and Chemicals for Research and Industry No. 21, The Japan Lamp Industries Co. Ltd., 1989. Instruction Manual for Digital kVp Meter III Model 07-494, Victoreen, USA, 1991. Wall BF, Harrison RM, Spiers FW. Patient dosimetry techniques in Diagnostic Radiology, IPSM Report No. 53, London, 1988.
Efek Antidiare Infus Batang Kayu Kuning Archangelisia flava L pada Tikus Putih dan Toksisitas Akutnya Sa'roni, Adjirni, Wien Winarno Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
ABSTRAK Batang kayu kuning (Archangelisia flava L) secara empiris digunakan untuk obat gangguan pencernaan dan dari basil penelitian yang sudah dilakukan menunjukkan adanya efek mengurangi kontraksi otot polos usus marmut terpisah. Untuk mendukung pemakaian empiris serta penelitian yang sudah dilakukan, maka dilakukan penelitian efek antidiare infus batang kayu kuning pada tikus putih menurut cara P. Bass. Untuk mengetahui keamanan pemakaiannya dilakukan penelitian toksisitas akut pada mencit menurut cara Weil C.S. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infus batang kayu kuning termasuk bahan yang tidak toksik. Infus batang kayu kuning mempunyai efek antidiare non spesifik pada tikus putih. Infus dosis 202 mg/100 g. bobot badan masih menunjukkan frekuensi diare yang sama dengan difenoksilat 0,25 mg/100 g. bobot badan. Pada penggunaan dosis yang lebih rendah diketemukan semakin bertambah frekuensi diarenya.
PENDAHULUAN Secara empiris batang Kayu Kuning (Archangelisia flava L.) dapat digunakan untuk obat gangguan pencernaan(1). Dari hasil penelitian batang kayu kuning dapat menurunkan kontraksi otot polos usus halus marmut terpisah(2). Efek tersebut merupakan suatu indikasi/petunjuk bahwa batang kayu kuning dapat dipakai sebagai obat gangguan pencernaan seperti diare yang disebabkan oleh kontraksi usus yang kuat(3). Kontraksi dapat disebabkan oleh rangsangan zat kimia, protein asing atau mikroba(3). Karena adanya efek mengurangi kontraksi otot polos usus halus marmut terpisah, mungkin batang kayu kuning dapat digunakan untuk obat antidiare non spesifik pada manusia. Oleh
karena itu akan dilakukan penelitian efek antidiare non spesifik infus batang kayu kuning pada tikus putih menurut cara P. Bass(3). Untuk mengetahui keamanan pemakaian infus bahan serta besarnya dosis penelitian efek antidiare, dilakukan penelitian ioksisitas akut menurut cara Well C.S(4). Diharapkan infus batang kayu kuning mempunyai efek antidiare, dalam usaha melengkapi data penelitian yang sudah dilakukan sehingga batang kayu kuning dapat dipakai sebagai obat antidiare pada manusia. BAHAN DAN CARA Bahan Percobaan Batang kayu kuning (Archangelisia flava L) diperoleh dari
59
Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu. Bahan dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu tidak lebih dari 50°C sampai dapat dibuat serbuk. Serbuk dihaluskan dan diayak dengan ayakan Mesh 48 dan dibuat infus sesuai dengan Farmakope Indonesia edisi M(5). Hewan Percobaan Untuk penelitian toksisitas akut digunakan mencit berasal dari Puslitbang Penyakit Menular Badan Litbangkes Dep.Kes, bobot sekitar 25 gram, jenis kelamin jantan. Untuk percobaan antidiare digunakan tikus putih (rat) bērasal dari Puslitbang Gizi, Badan Litbangkes. Dep.Kes, strain Wistar Derived, bobot sekitar 150 gram, jenis kelamin betina. Percobaan Toksisitas Akut (LD50) : Percobaan menurut cara Weil C.S(4). Tahap I Disediakan 6 kelompok mencit @ 3 ekor. Setiap kelompok diberi bahan percobaan dengan dosis kelipatan 10, diberikan secara i.p (intra peritoneal). Observasi dilakukan setiap jam dan kematian dihitung sesudah 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada seekor mencitpun yang mati, maka dosis penjajagan diperbesar. Tahap II Disediakan 5 kelompok mencit @ 5 ekor. Setiap kelompok diberi bahan dengan dosis terkecil mendekati di mana ada kematian 2 ekor, sedang dosis terbesar mendekati di maim ada kematian di atas 2 ekor pada kelompok penjajagan. Sesudah 24 jam dihitung jumlah kematian tiap kelompok, komposisi jumlah kematian dicocokkan dengan daftar Weil C.S dan besar LD50 dihitung dengan rumus Weil C.S. Percobaan Efek Antidiare Dosis infus batang kayu kuning ditentukan berdasarkan besarnya LD50. Dosis I 2,02 mg/100 g. bobot badan (sebagai Perlakuan C), dosis II 20,2 mg/100 g. bobot badan (sebagai Perlakuan D) dan dosis III 202 mg/100 g. bobot badan (sebagai Perlakuan E). Pembanding difenoksilat 0,25 mg/100 g. bobot badan (sebagai Perlakuan A) dan blangko akuades 1 ml/100 g. bobot badan (sebagai Perlakuan B). Urutan penelitian sebagai berikut : • Tikus diadaptasikan dengan lingkungan laboratorium selama satu minggu. • Satu hari sebelum percobaan tikus dipuasakan, selanjutnya dikelompokkan menjadi 5 kelompok @ 3 ekor. Masing-masing kelompok diberi perlakuan secara oral yaitu satu kelompok diberi difenoksilat, satu kelompok diberi akuades dan 3 kelompok masing-masing diberi infus bahan dosis I, II dan III. • Satu jam setelah perlakuan, semua tikus diberi oleum ricini 2 ml/ekor secara oral. • Dilakukan observasi terhadap konsistensi feses menurut kriteria P. Bass(3) setiap 30 menit selama 8 jam. • Percobaan diulang minimum 5 kali. Dari observasi konsistensi feses dapat ditentukan saat mulai diare, frekuensi diare selama pengamatan dan jumlah tikus yang mengalami diare. Data dianalisis dengan Anova dan t-test(6).
60
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian toksisitas akut,infus batang Kayu Kuning mempun,yai harga LD50 : 20,16 (14,01 – 29,03) mg/10 gram bobot badan secara i.p pada mencit. Pengamatan terhadap perilaku hewan menunjukkan adanya efek menurunkan suhu normal mencit, reaksi terhadap sentuhan berkurang, pengatupan palpebra, piloereksi dan warna kulit menjadi lebih pucat. Tabel 1 menunjukkan saat mulai diare, Tabel 2 frekuensi diare selama pengamatan, Tabel 3 jumlah tikus yang mengalami diare sampai jam ke-2 dan Tabe14 jumlah tikus diare sampai jam ke-3. Tabel dianalisis dengan Anova dan t-test(6). (Lihat lampiran). PEMBAHASAN Harga LD50 infus batang Kayu Kuning adalah 20,16 (14,01– 29,03) mg/10 g. bb. pada mencit secara i.p. Setelah diekstrapoTabel 1.
Saat mulai diare dalam menit setelah tikus diberi oleum ricini Ulangan
Perlakuan A. Difenoksilat 0,25 mg/100 g. bb B. Akuades 1 ml/100 g. bb C. Infus Bahan 2,02 mg/100 g. bb D. Infus Bahan 20,2 mg/100 g. bb E. Infus Bahan 202 mg/100 g. bb Tabel 2.
II
III
IV
V
220
290
280
250
250
258 ± 27,75
100
90
120
120
100
106 ± 13,42
160
240
150
180
190
184 ± 35,07
140
150
140
130
270
166 ± 58,57
170
270
150
160
170
184 ± 48,79
Frekuensi diare selama pengamatan setelah tikus diberi oleum ricini. Ulangan
Perlakuan A. Difenoksilat 0,25 mg/100 g. bb B. Akuades 1 ml/100 g. bb C. Infus Bahan 2,02 mg/100 g. bb D. Infus Bahan 20,2 mg/100 g. bb E. Innis Bahan 202 mg/100 g. hb Tabel 3.
Rata-rata
I
Rata-rata
I
II
IlI
IV
V
1,0
0,7
0,3
0,7
0,3
0,60 ± 0,30
2,3
3,0
2,7
3,7
3,0
2,94 ± 0,51
2,0
1,7
3,3
2,3
1,7
2,20 ± 0,66
1,3
2,3
1,7
3,3
0,3
1,80 ± 1,12
1,0
1,0
1,7
2,3
1,0
1,40 ± 0,59
Jumlah tikus yang mengalami diare sampai jam ke-2 setelah tikus diberi oleum ricini Ulangan
Perlakuan A. Difenoksilat 0,25 mg/100 g. bb B. Akuades 1 ml/100 g. bb C. Infus Bahan 2,02 mg/100 g. bb D. Infus Bahan 20,2 mg/100 g. bb E. Infus Bahan 202 mg/100 g. bb
Jumlah
I
II
III
IV
V
0
0
0
0
0
0
3
3
2
3
3
14
3
0
1
1
2
7
2
0
2
2
0
6
2
0
2
2
0
6
Tabel 4.
selesai penelitian
Jumlah tikus yang mengalami diare sampai jam ke-3 setelah tikus diberi oleum ricini Ulangan
Perlakuan A. Difenoksilat 0,25 mg/100 g. bb B. Akuades 1 ml/100 g. bb C. Infus Bahan 2,02 mg/100 g. bb D. Infus Bahan 20,2 mg/100 g. bb E. Infus Bahan 202 mg/100 g. bb
KEPUSTAKAAN 1.
Jumlah
I
II
III
IV
V
2
1
0
1
2
6
3
3
3
3
3
15
2
1
2
2
2
9
2
2
2
2
0
8
2
0
2
2
2
8
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(7)
lasi ke oral pada tikus putih menurut Paget & Barnes menjadi 141.120 mg/kg. bb. Menurut Gleason MN(8) harga LD50 yang lebih besar dari 15.000 mg/kg. bb. oral pada tikus dapat digolongkan ke dalam golongan bahan yang tidak toksik (practically non toxic substances). Pengamatan terhadap perilaku mencit jantan dan betina menunjukkan adanya efek menurunkan suhu normal, reaksi terhadap sentuhan berkurang, mengalami abduksi, palpebra mengatup, ada piloereksi dan warna kulit menjadi pucat. Dari gejala-gejala yang ditunjukkan berarti bahan mempunyai pengaruh terhadap susunan saraf pusat maupun susunan saraf otonom. Analisa infus dosis 2,02 mg; 20,2 mg dan 202 mg/100 gram bobot badan terhadap jumlah tikus yang mengalami diare dan saat mulai diare ada beda sangat nyata baik dengan difenoksilat maupun dengan akuades. Sedang efek terhadap frekuensi diare infus dosis 202 mg/100 gram bobot badan tidak ada beda dengan difenoksilat dan beda sangat nyata dengan akuades, infus dosis 20,2 mg/100 gram bobot badan beda nyata dengan difenoksilat maupun dengan akuades, dosis 2,02 mg/100 gram bobot badan beda sangat nyata dengan difenoksilat dan tidak ada beda dengan akuades. Dengan demikian efek infus terhadap frekuensi diare pada dosis 202 mg/ 100 gram bobot badan efeknya dapat dikatakan sama dengan difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan. Pada penelitian dosis yang lebih rendah efeknya semakin berkurang. Batang Kayu Kuning mengandung alkaloid, berberin, jatrorrhizin, kolumbamin dan shobakumin(9). Mungkin berberin yang berefek merelaksasi kontraksi usus halus(2) sehingga batang kayu Kuning mempunyai efek antidiare.
Lampiran 1. Analisis Data Saat Mulai Diare (Tabel 1). Anova: Sumber Variasi
df.
SS
MS
F-Cale
Treatment Error Total
4 20 24
54.446 31.960 86.406
13.611,5 1.598
8,518
UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Kepala Puslitbang Farmasi serta seluruh staf Kelompok Program Penelitian Obat Tradisional yang telah membantu sejak perencanaan hingga
F-Value F-Tabel 5% 1% 2,866 4,431
F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata antara perlakuan. t-test Standard error of'difference (Sd) = 25,282. least significant different (lsd) 5% = 52,739. Least significant different (lsd) I% = 71,927. Beda Antar Perlakuan : Perlakuan A. 258 B. 106 C. 184 D. 166 E. 184
2.
KESIMPULAN Infus batang Kayu Kuning mempunyai efek antidiare non spesifik pada tikus putih. Infus batang kayu kuning dosis 202 mg/ 100 gram bobot badan menunjukkan frekuensi diare yang sama dengan difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan dan pada penelitian dosis yang lebih rendah semakin bertambah frekuensi diarenya. Infus batang Kayu Kuning termasuk golongan bahan yang tidak beracun (practically non toxic substances).
Mardisiswojo S, Rajakmangunsudarso H. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang I. PT. Karya Wreda, Jakarta, 1975. Dyan Yani Herawati. Pengaruh Archangelisia.flava L. Merr terhadap otot polos usus halus marmut terpisah. FF. UNAIR, 1981. P. Bass, JA. Measurement of fecal output in rats. Am J Digestive Dis. 1972; 17(10). Weil CS. Tables ForConvenientCalculation of Median Efective Dose and Instructions in Their Use. Biometrics 1952; 8: 249–263. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia Edisi III, Jakarta, 1979. Nainggolan M. Experimental Design I. FP. USU Medan, 1965. Paget GE, Barnes JM, Laurence DR, Bacharach AL. Evaluation Of Drug Activities. Pharmacometrics, Academic Press. London, 1964 Vol 1 p. 161–162. Gleason MN et al. Clinical Toxicology Of Commercial Products. William & Wilkins Co, Baltimore, 1969. Perry LM. Medicinal Plant of East and Southeast Asia. The Mit Press Cambridge, London, 1980.
A – 152** 74** 92** 74**
B
C
D
E
– 78** 60** 78**
– 18 0
– 18
–
Analisis Data Frekuensi Diare (Tabel 2). Anova: Sumber Variasi
Treatment Error Total
df
SS
4 15,294 20 9,560 2424,854
MS
F-Calc
3,824 0,478
7,999
F-Value F-Tabel 5% 1% 2,866
4,431
F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan. t-test : Standard error of difference (Sd) = Least significant different (Isd) 5% = Least significant different (lsd) 1 % =
0,437. 0,912. 1,243.
61
Beda Antar Perlakuan : Perlakuan A. 0,60 B. 2,94 C. 2,20 D. 1,80 E. 1,40 3.
A – 2,34** 1,60** 1,20* 0,80
4.
B
C
– 0,74 1,14* 1,54**
– 0,40 0,80
D
E
Anova : Sumber Variasi
– 0,40
–
Analisis Data Jumlah Tikus Yang Mengalami Diare Sampai Jam Ke-2 (Tabel 3). Anova : Sumber Variasi
Treatment Error Total
df 4 20 24
SS
MS
F-Calc
19,84 15,60 35,44
4,96 0,78 –
6,359
F-Value F-Tabel 5% 1% 2,866
F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan.
t-test : Standard error of difference (Sd) = Least significant different (lsd) 5% = Least significant different (lsd) 1% =
Analisis Data Jumlah Tikus Yang Mengalami Diare Sampai Jam Ke-3 (Tabel 4).
0,559. 1,166. 1,590.
4,431
Treatment Error Total
df
SS
MS
F-Calc
4 20 24
9,36 10,00 19,36
2,34 0,50 –
4,68
F-Value F-Tabel 5% 1% 2,866
4,431
F-Calc > F-Tabel 1%. Ada beda sangat nyata diantara perlakuan.
t-test : Standard error of difference (Sd) = Least significant different (lsd) 5% = Least significant different (lsd) 1% =
0,447. 0,932. 1,272.
Beda Antar Perlakuan : Perlakuan A. 6 B. 15 C. 9 D. 8 E. 8
A – 9** 3** 2** 2**
B
C
D
E
– 6** 7** 7**
– 1* 1*
_ 0
–
Beda Antar Perlakuan : Perlakuan A. 0 B. 14 C. 7 D. 6 E. 6
A – 14** 7** 6** 6**
B – 7** 8** 8**
C – 1 1
D
– 0
E
–
KETERANGAN LAMPIRAN : A. Difenoksilat 0,25 mg/100 gram bobot badan df = 1 ml/100 gram bobot badan. SS = B. Akuades C. Infus Bahan 2,02 mg/100 gram bobot badan. MS = D. Infus Bahan 20,2 mg/100 gram bobot badan. Calc= E. Infus Bahan 202 mg/100 gram bobot badan. * = ** =
degree qf. freedom. Sum of Square Mean (it' square Calculation. Ada beda nyata. Ada beda sangat nyata.
ABSTRAK TROMBOLITIK BARU UNTUK STROKE Para peneliti di Genentech melaporkan bahwa suatu zat baru – TNK – dapat merupakan trombolifik yang dapat digunakan pada stroke embolik tanpa memperbesar risiko perdarahan. Pada percobaan menggunakan kelinci, zat ini dibandingkan dengan alteplase; ternyata hanya 13% yang mengalami perdarahan, dibandingkan dengan 33% di kelompok alteplase dan 50% di kelompok plasebo. Manfaatnya pada manusia masih harus menunggu percobaan lanjutan. Inpharma 1994; 962: 11 brw
MERAMALKAN GAWAT JANIN Pemantauan denyut jantung janin selama persalinan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Para peneliti di Harare, Zimbabwe membandingkan sensiti vitas pemantauan cara elektronik, cara ultrasonik Doppler, cara biasa dengan stetoskop Pinard oleh bidan khusus, dan cara biasa secara rutin oleh bidan. Ternyata abnormalitas denyut jantung janin dapat dideteksi pada 54% (172 di antara 318) melalui cara elektronik, 32% (100/312) dengan cara Doppler, 15% (47/310) dengan cara Pinanrd dan hanya 9% melalui cara rutin. Bedah caesar dilakukan pada 28% (89), 24% (76), 10% (32) dan 15% (46) kasus, berturut-turut pada masing-masing cara. Kesejahteraan janin juga terbaik di kelompok ultrasonografi; ensefalopati hipoksik-iskemik diderita oleh masingmasing 2, 1, 7 dan 10 bayi pada masingmasing cara di atas, sedangkan kejang neonatal hanya ditemukan di kelompok cara Pinard (6 kasus) dan di kelompok cara rutin (9 kasus). Kematian terjadi pada masing-masing 8, 2, 5 dan 9 kasus pada masingmasing cara di atas.
Penggunaan alat bantu deteksi denyut jantung janin dapat meramalkan potensi gawat janin secara Iēbih baik. BMJ 1994; 308: 497–500 hk
DIKLOFENAK RESINAT Suatu percobaan multisenter, acak, buta ganda dilakukan untuk membandingkan manfaat diklofenak resinat – suatu bentuk baru diklofenak – dengan piroksikam pada pasien nyeri pinggang bawah akut. Masing-masing 66 pasien menerima 75 mg. diklofenak resinat dua kali sehari, atau piroksikam 40 mg. sekali sehari selama dua hari, dilanjutkan dengan 20 mg. sekali sehari selama 14 hari. Evaluasi yang dilakukan oleh terapis dan pasien menunjukkan positive response rate sebesar masing-masing 78,8% dan 81,8% di kelompok diklofenak resinatdan masing-masing 83,3% dan 87,7% di kelompok piroksikam. Efek samping umumnya berupa keluhan gastrointestinal, dijumpai pada 19,2% pasien kelompok diklofenak dan pada 18,2% di kelompok piroksikam. Drug Invest. 1994; 8(5) 288–93 brw
SKLEROSIS AKIBAT ASAM LEMAK TAK JENUH ? Pada orang-orang yang dietnya banyak mengandung asam lemak tak jenuh (omega-3 dan omega-6) ternyata ditemukan plaque (lesi) aorta yang juga mengandung asam-asam lemak tersebut. Terdapat hubungan positif antara kadar dalam serum dengan kadar dalam plaque (r = 0,75 untuk omega-6, r=0,93 untuk omega-3, r = 0,70 untuk monounsaturated), juga antara kadar dalam jaringan adiposa dengan kadar dalam plaque (r = 0,89 untuk omega-6). Hasil penelitian ini mengarahkan adanya hubungan antara diet tinggi asam lemak tak jenuh dengan pemben-
tukan plaque sehingga anjuran diet tersebut mungkin harus ditinjau kembali. Lancet 1994; 344: 1195–96 hk
KADAR LIPID DENGAN STENOSIS KORONER Studi atas 79 orang yang kadar kolesterol serumnya normal – terdiri dari 40 orang yang mendapat obat dan 39 orang mendapat plasebo – menunjukkan bahwa pemberian obat penurun kadar lipid darah dapat memperbaiki profil lipid darah berupa penurunan kadar kolesterol sebesar 28%, penurunan kadar LDL-kolesterol sebesar 41%, penurunan kadar trigliserid sebesar 26%, penurunan kadar apolipoprotein B sebesar 31% dan penijigkatan kadar HDL kolesterol sebesar 13%; semuanya secara statistik bermakna (p ≤ 0,001). Tetapi perubahan profil lipid tersebut tidak mempengaruhi derajat stenosis koroner yang terjadi di dua kelompok tersebut; terdapat penyempitan sebesar rata-rata 0,14 mm di kelompok obat dan rata-rata 0,15 mm di kelompok plasebo. Lancet 1994; 344: 1182–86 hk
PENGOBATAN LEPRA Peneliti di Jerman dan AS melaporkan bahwa pengobatan lepra dengan dapson, kombinasi dapson + rifampisin, dan kombinasi dapson + rifampisin + protionamid + isoniazid sama efektif, masing-masing memberikan kesembuhan 88%, 93% dan 95%. Pengobatan dilakukan selama 3 tahun dan tidak ada yang relaps sampai 5 tahun kemudian. Inpharma /994; 962: 17 brw
63
ABSTRAK KOLESTEROL DAN RISIKO PENYAKIT JANTUNG ISKEMIK Besarnya pengaruh penurunan kadar kolesterol darah terhadap penurunan risiko penyakit jantung iskemik diperkirakan melalui analisis atas 10 studi kohort prospektif, 3 studi internasional dan 28 studi acak terkontrol. Data para pria yang ikut dalam studi kohort menunjukkan bahwa penurunan kadar kolesterol serum sebesar 0,6 mmol/1 (± 10%) berkaitan dengan penurunan kejadian penyakit jantung iskemik sebesar 54% pada usia 40 tahun, 39% pada usia 50 tahun, 27% pada usia 60 tahun, 20% pada usia 70 tahun dan 19% pada usia 80 tahun; sedangkan berdasarkan studi internasional (usia 55–64 tahun) terlihatpenurunan sebesar 38% (95%CI: 33–42%). Kejadian penyakit jantung iskemik pada studi acak terkontrol atas pria menunjukkan penurunan sebesar 7% (90–14%) pada 2 tahun pertama, 22% (15–28% pada 2–5 tahun dan 25% (15–35%) setelah 5 tahun. BMJ 1994; 308: 367–73 hk
Di lain pihak, penurunan kadar kolesterol darah dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke hemoragik. Studi yang sama di atas menunjukkan bahwa pada kadar kolesterol darah kurang dari 5 mmol/1 terdapat peningkatan relative risk sebesar 1,9 (95%CI: 1,4–2,5). BMJ 1994; 308: 373–79 hk
ASAP ROKOK DAN PENYAKIT JANTUNG Suatu case control study dilakukan atas 59 wanita dengan penyakit jantung koroner dan 126 wanita kontrol; semuanya bekerja dan tidak pernah merokok, di Xian, Cina. Perhitungan crude odds ratio untuk
64
perokok pasif yang suaminya merokok ialah sebesar 2,12 (95%CI: 1,06–2,45) dan untuk perokok pasif di tempat kerja sebesar 2,45 (95%CI: 1,23–4,88); bila data tersebut dikoreksi terhadap usia, riwayat hipertensi, kepribadian tipe A, kadar kolesterol total dan HDL, maka angka-angka tersebut menjadi masingmasing sebesar 1,24 (95%CI: 0,56–2,72) untuk wanita yang suaminya merokok dan sebesar 1,85 (95%CI: 0,86–4,00) untuk wanita yang bekerja di lingkungan asap rokok. BMJ 1994; 308: 380–4 hk
INDIKASI BEDAH CAESAR Data statistik menunjukkan bahwa satu dari empāt wanita hamil di Florida akan menjalani bedah caesar; angka ini berkisar dari 44% di Hialeah Hospital, Miami sampai hanya ± 10% di University Medical Center, Jacksonville. Data nasional di AS ialah sebesar 23,6% – naik dari hanya 5% di tahun 1964. Frekuensi bedah caesar cenderung lebih tinggi di kalangan berpenghasilan. tinggi, yang dilindungi asuransi dan lebih rendah di rumahsakit pendidikan dibandingkan dengan di rumahsakit 'komersil'. Biaya rata-rata bedah caesar (1992) sebesar $ 6981, lebih dari dua kali lipat biaya rata-rata kelahiran hiasa. BMJ 1994; 308: 432 hk
ANTIPIKUN Perusahaan farmasi Cortex mulai mencoba Ampalex – obat yang dapat meningkatkan fungsi resepforAMPA di otak – untuk mengatasi gangguan memori dan kognisi. Zat ini mempunyai mula kerja yang cepat dan dapat menembus sawar darah-otak. Percobaan pendahuluan atas binatang telah menunjukkan hasil yang positif. Drug News 1994; 3(43): 6 brw
TEKANAN DARAH DAN DEPRESI Sejumlah 549 pria berusia 60–89 tahun di Rancho Bernardo, California yang tidak menggunakan antihipertensi diteliti untuk mengetahui hubungan antara tekanan darah rendah dan depresi. Pemantauan depresi dilakukan dengan Beck Depression Inventory. Ternyata pria dengan tekanan diastolik < 75 mmHg mempunyai angka rata-rata yang lebih tinggi (6,35vs.4,96; p < 0,001) dan juga lebih banyak yang angkanya ? 13 (categorical depression) (7,6% vs. 1,8%; p < 0,01) bila dibandingkan dengan pria yang tekanan diastoliknya 75–85 mmHg. Pria dengan tekanan diastolik > 85 mmHg mempunyai angka rata-rata yang juga lebih tinggi (5,85 vs. 4,96; p < 0,05). Kaitan ini tidak tergantung dari usia maupun penurunan berat badan. BMJ 1994; 308: 446–9 hk
EFEK SAMPING ACE INHIBITOR Catatan efek samping obat di Swedia selama tahun 1981–1991 menunjukkan bahwa terdapat 424 laporan gangguan respiratorik yang dikaitkan dengan penggunaan obat ACE inhibitors; sebagian besar (374) berupa batuk, 36 kasus mengalami asma, bronkospasme dan dispnoe. Gejala-gejala tersebut muncul dalam dua minggu pertama penggunaan obat pada±50% kasus, dan kira-kira sepertiga kasus memerlukan perawatan di rumahsakit. Dalam database WHO, dari tahun 1981 sampai dengan Agustus 1992 tercatat 7260 kasus batuk, 318 kasus asma/ bronkospasme dan 516 kasus dispnoe yang berkaitan dengan penggunaan ACE inhibitors. BMJ 1994; 308: 18–21 hk
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 6. Uji PAP-TB dapat membantu diagnosis terutama pada kasus : a) tb kronis b) tb akut c) tb ekstraparu d) tb pada anak e) tb milier 7. Penelitian masalah resistensi di RS Persahabatan menunjukkan bahwa resistensi primer terbanyak ditemukan terhadap : a) Isoniazid b) Etambutol c) Rifampisin d) Pirazinamid e) Streptomisin 8. Sedangkan resistensi sekunder terutama terhadap : a) Isoniazid b) Etambutol c) Rifampisin d) Pirazinamid e) Streptomisin 9. Gliseril guaiakolat dapat mempertinggi positive rate pemeriksaan BTA dari dahak karena mempunyai efek : a) Meningkatkan frekuensi batuk b) Mengurangi frekuensi batuk c) Mengencerkan dahak d) Merangsang proliferasi kuman e) Tidak mempugyai efek apapun 10. Taxol – suatu antikanker baru – telah disetujui penggunannya terhadap : a) Kanker payudara b) Kanker ovarium c) Kanker paru d) Kanker rahim e) Kanker kolon
JAWABAN R.P.P.I.K :
1. B 2. A 3. A
4. D 5. A 6. C
1. Efusi pleura di Indonesia terutama disebabkan oleh : a) Keganasan b) Tuberkulosis c) Bronkopneumoni d) Trauma paru e) Gaga] jantung kongestif 2. Jenis keganasan paru yang paling sering menimbulkan efusi pleura : a) Adenokarsinoma b) Karsinoma sel kecil c) Karsinoma sel besar d) Karsinoma epidermoid e) Semua sama 3. Pemeriksaan faal paru di Surabaya menunjukkan sebagian besar pasien tb paru yang diperiksa menunjukkan kelainan a) Restriktif b) Obstruktif c) Campuran d) Ringan e) Tidak ada kelainan 4. Sindrom obstruksi yang ditemukan pada penderita tb paru dapat disebabkan oleh : a) Destruksi jaringan b) Reaksi imunologis c) Proses proteolitik d) Semua benar e) Semua salah 5. Penyebab kematian utama pasien tb paru ialah : a) Hemoptoe b) Pneumotoraks c) Destroyed lung d) Asfiksi e) Efusipleura
65
7. A 8. A 9. C
10. B