Cdk 081 Edisi Khusus

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 081 Edisi Khusus as PDF for free.

More details

  • Words: 75,746
  • Pages: 157
PENGANTAR Buku naskah lengkap ini merupakan kumpulan makalah yang dibicarakan dalam Seminar Tiga Hari, meliputi Demam Berdarah Dengue dan Penyakit Tropik, Endoskopi dan Ultrasonografi Anak. Isi buku sebagian besar berbentuk makalah lengkap dan sebagian lagi berbentuk saripati (abstrak). Dalam buku ini dimuat juga makalah lengkap pembicaraan pada acara ilmiah bulanan. Isi makalah yang dihimpun dalam buku naskah lengkap sesuai dengan apa yang disampaikan/ditulis oleh pembicara/pengarang tanpa perubahan isi dari penyunting. Kami sampaikan terima kasih kepada para pengarang dan pihak/instansi lain yang telah memberikan bantuan dalam penerbitan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua. Penyunting

Penyunting Tatang Kustiman Samsi Jacobus Jimmy Setiawan Sugianto Djoharman

Daftar Isi : 2. Pengantar 7 Sambutan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Republik Indonesia 9 Sambutan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Universitas Tarumanagara 10 Sambutan Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras — FK Universitas Tarumanagara Demam Berdarah Dengue 11 14 19 26 34 35 40 44 50 53 57 62 66 70 71 72

Dengue Hemorrhagic Fever - A Global public Health problem — Dr. Duane J. Gubler, Sc.D. Kebijakan nasional pada Demam Berdarah Dengue — Dr. Thomas Suroso, MPH. Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 — 1991) — Dr. Tatang Kustima n Samsi, DSA. Pemberantasan penyakit Demam Berdarah melalui pengawasan kualitas lingkungan — DR. Sumengan Sutomo. Recent developments in Research on Dengue Hemorrhagic Fever— Dr. Duane J. Gubler, Sc.D. Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue — DR. Dr. Sutaryo, DSAK. Demam Berdarah Dengue berat dengan konfirmasi virologik — Dr. Sugianto Djoharman Problematik diagnosis Demam Berdarah Dengue — Dr. Tatang Kustiman Samsi, DSA. Manifestasi klinis langka Demam Berdarah Dengue — Dr. Sugianto Djoharman Peranan ultrasonografi dalam penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue — Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc. Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta - Dr. Sri Rezeki Harun, DSA. Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian ilmu Kesehatan Anak RS Hasan Sadikin, Bandung—Prof. Dr. Azhali M.S, DSAK. Demam Berdarah Dengue: Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS DR. Karyadi, Semarang — Dr. Anggoro D.B. Sachro, DSA, DTM&H. Dengue virus surveillance at Sumber Waras Hospital September 1987 through August 1992 — Dra. Ratna Tan Potential pathogenic roles of acute inflammatory cytokines and HLA status in DH-HF— Peter Donald 0' Hanley, MD., MPH. Study of human peripheral blood leukocytes from Dengue immune persons, relation ship between FC receptor expression and virus growth — Gerald B. Jennings, DVM, PhD.

Penyakit Tropis 73 Hepatitis in children in Asia — Mei-Hwei Chang, M.D. 75 Hepatitis pada bayi — Dr. Adnan S. Wiharta, DSAK. 79 The protective efficacy of Recombinant Hepatitis 13 vaccine in infants of H-HbeAg positive HBs Ag carrier mothers in Taiwan — Mei-Hwei Chang,MD. 80 Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras — Komalarini, DSA. 83 Rotavirus in pediatric patients at Sumber Waras hospital — Dra. Anni C. Sie 84 Hepatocelluler Carcinoma in children — Mei-Hwei Chang, M.D. 86 Histoplasmosis di Rumah Sakit Sumber Waras — Dr. S. Setijo Noegroho 90 Pengobatan Malaria yang resisten terhadap Klorokuin — Dr. Emiliana Tjitra, MSc. Ultrasonografi 96 99 104 106 110

Pengalaman Ultrasonografi Abdomen di RS Sumber Waras — Melani W. Setiawan, I. Susanto, Purnadi K, JJ Setia wan, II. Wulur Echo Encephalography of newborn infants baby — Willem Baerts, M.D. USG examination of the hepatobiliary system — Mei-Hwei Chang, M.D. Indikasi USG ginekologi pada anak — Dr. Indra Wiradharma Ultrasonografi intervensi tumor perut — dr. Haryanto Sidharta

Endoskopi 112 Helicobacter pylori & duodenal ulcer children – Mei-Hwei Chang, M.D. 113 Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Bilier– DR. Laurentius A. Lesmana, PhD. 115 Endoskopi pada pendarahan gastrointestinal – Dr. Hadjat S. Digdowirogo, DSA. Simposium Satelit: Hematuri pada Anak 121 Hematuria pada anak: Pendekatan diagnosa – Dr. Setiadharma Selopranoto, DSA. 126 Hematuri pada anak: Aspek radiologi – Dr. Linda Supardi 129 Hematuri path anak: Aspek sonografi – Dr. Melani Witarsa Setiawan, MSc. 132 Hematuri pada anak: Aspek urologi – Dr. Zainal Abidin Simposium Satelit: Psikologi Anak 135

Pendekatan psikologis terhadap anak yang dirawat dan sikap orang tua – Prof. DR. Singgih D. Gunarsa

Simposium Satelit: Batuk Kronik pada Anak 137 Batuk kronik path anak – Dr. Ilerman Sidharta 141 Batuk kronik pada anak ditinjau dari bidang THT – Dr. Oemi Alifa Tadjoeddin 144 Konsep Baru penatalaksanaan Asma Bronkial pada anak – Dr. E.M. Dadi Suyoko, DSA. Simposium Satelit: Nyeri Perut Berulang dan Menahun pada Anak 149 155

Nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Dr. Hansa Wulur Faktor psikogenik pada gangguan organik nyeri perut berulang dan menahun pada anak – Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa

SAMBUTAN KEPALA LITBANG KESEHATAN PADA ULANG TAHUN KE 25 BAGIAN KESEHATAN ANAK RS SUMBER WARAS FK TARUMANAGARA DESEMBER 1992 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Adalah suatu kehormatan bagi saya untuk memberikan sambutan tertulis dalam buku proceeding seminar menyambut Ulang Tahun ke 25 Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sumber Waras – Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara dan Lustrum VI Universitas Tarumanagara. Pada kesempatan ini saya sampaikan ucapan selamat kepada seluruh Pembina dan Civitas Academica di lingkungan Universitas Tarumanagara pada umumnya dan Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Sumber Waras – Fakultas Kedokteran pada khususnya. Semoga pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat yang diselenggarakan akan dapat semakin berperan untuk Pembangunan Nasional kita, utamanya dalam kaitan dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Pemilihan tema "Peningkatan kualitas anak mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif dan produktif dalam Pembangunan Nasional" untuk seminar ini adalah sangat tepat. Sebagaimana telah disebutkan dalam GBHN 1988 bahwa sasaran utama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyarakat Indonesia yang maju dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir dan batin. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hingga dewasa ini berbagai upaya pembangunan kesehatan telah dilaksanakan secara berkelanjutan dan sistematis sehingga hasilhasilnya secara nyata telah dapat dirasakan kemajuannya. Hasil pembangunan kesehatan selama ini telah memberikan dampak yang berarti terhadap membaiknya derajat kesehatan masyarakat. Hal ini nampak dari menurunnya angka kematian bayi dan anak balita serta meningkatnya angka rata-rata harapan hidup bangsa Indonesia. Sebagai contoh angka kematian bayi di Indonesia yang tinggi telah mengalami penurunan yang cukup tajam antara tahun 1976 - 1986, yakni dari 109 menjadi 71, dan menjadi 63 kematian bayi per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990. Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peranan masyarakat, termasuk swasta dalam pembangunan kesehatan. Peran tersebut meningkat terus terutama akhir-akhir ini dengan adanya iklim deregulasi. Pembangunan kesehatan di masa mendatang akan semakin berat, permintaan pelayanan kesehatan akan meningkat, tetapi kemampuan Pemerintah sangat terbatas. Permasalahan yang dihadapi akan semakin luas dan kompleks dan membutuhkan cara-cara pemecahan yang lebih rumit dan mahal. Oleh karenanya peran serta masyarakat termasuk swasta dalam pembangunan kesehatan perlu ditingkatkan. Universitas ini telah secara nyata turut memberikan sumbangan berharga dalam banyak bidang pembangunan, khususnya pembangunan kesehatan. Hal ini dapat dilihat dengan dihasilkannya dokter yang kini bekerja di lembaga-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

7

lembaga pelayanan kesehatan, Puskesmas dan Rumah Sakit di seluruh Indonesia. Banyak di antara mereka yang bekerja di daerah-daerah terpencil guna turut mengatasi berbagai masalah kesehatan masyarakat. Demikian pula Rumah Sakit Sumber Waras secara nyata telah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat luas dalam penanggulangan penyakit-penyakit infeksi khususnya pelayanan bagi kalangan masyarakat yang kurang mampu. Sebagai salah satu institusi yang menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, saya mengharapkan kiranya upaya ini dapat terus-menerus dimantapkan, dikembangkan dan ditingkatkan agar keberadaan institusi ini semakin nyata dalam mewujudkan cita-cita Pembangunan Nasional. Selamat ber-HUT dan berseminar semoga sukses. Wassalamualaikum Waramatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, Nopember 1992 Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Prof. Dr. Sumarmo Poorwo Soedarmo

8

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

SAMBUTAN KETUA LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA Pada kesempatan yang membahagiakan ini, sudah sewajarnya bila seluruh anggota Civitas Akademika Universitas Tarumanagara merasa gembira serta berharap agar tujuan seminar dapat tercapai. Rasa gembira dan bangga yang menyambut terselenggaranya seminar ini didasari kepercayaan bahwa para ilmuwan kedokteran kita tanggap terhadap tantangan pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan kualitas hidup manusia Indonesia. Kegiatan mulia ini mencerminkan kepedulian kita terhadap kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu kedokteran pada khususnya. Lazimnya, seminar il miah merupakan suatu usaha kegiatan untuk mempertemukan para ilmuwan sebidang guna bertukar informasi atau bertukar pikiran mengenai temuan-temuan penelitian yang dianggap baru. Jadi, sebenarnya kegiatan tersebut mempunyai beberapa fungsi : 1. Menyebarkan informasi mengenai temuan-temuan. 2. Menggalakkan penelitian bidang yang digeluti. 3. Mengingatkan para pesertanya agar ikut berpacu dalam ilmu yang digauli. Kita tabu bahwa suatu bangsa tidak akan dapat maju bila para ilmuwannya tidak tanggap dan tidak peduli terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Dengan kata lain, para ilmuwan harus terampil menerapkan kemampuannya untuk menemukan informasi-informasi alternatif guna memecahkan persoalan dalam profesinya. Sebagai bangsa yang merdeka kita ingin hidup berdampingan dan setaraf dengan bangsa lain yang maju. Sebagai bangsa yang ingin maju kita terpanggil untuk menyumbangkan temuan-temuan ilmu pengetahuan bagi khasanah ilmu yang makin canggih sifatnya. Karena itu sudah saatnya bagi kita untuk meningkatkan, membina dan mengembangkan keterampilan mencliti agar kita dapat berbicara dan ikut berpacu dengan para ilmuwan lain. Kita semua berharap agar seusai seminar ini, semangat untuk menggali temuan-temuan baru dalam bidang kita masing-masing akan semakin membara. Betapa tidak, pertemuan ilmiah ini seharusnya meningkatkan motivasi kita semua untuk mengukuhkan komitmen kita dengan ilmu. Semangat bertopang dagu harus kita tinggalkan, karena kita semua merasa terangsang oleh kemajuankemajuan ilmu dewasa ini. Kita tidak akan dihargai bangsa lain apabila kita tidak dapat mengikuti derap langkah mereka. Tema seminar ini kiranya sangat tepat, karena dalam era pembangunan ini, kita harus pula memikirkan peningkatan kualitas generasi mendatang dengan mempersiapkan sumber daya yang sehat agar mereka kreatif dan produktifdalam pembangunan bangsa. Hanya apabila mereka sehatlah, kesejahteraan bangsa dapat terwujud. Karena itu usaha-usaha ke arah ini harus didukung dan dihargai sebagai tindak kemanusiaan yang mulia dan terpuji. Akhirnya, saya berharap agar rekan-rekan senantiasa berusaha meningkatkan kompetensi meneliti supaya kita menjadi ilmuwan yang tangguh dan handal. Terima kasih, semoga sukses. Pjs. Ketua Lemlitbang Universitas Tarumanagara

Prof. DR. Siswojo Hardjodipuro Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

9

SAMBUTAN KEPALA UPF/LAB ILMU KESEHATAN ANAK RS SUMBER WARAS – FK UNIVERSITAS TARUMANAGARA Temu ilmiah bulanan dan Seminar 3 Hari dengan tema " Peningkatan kualitas anak mempersiapkan sumber daya manusia yang produktif dan kreatif dalam Pembangunan Nasional" merupakan rangkaian acara ilmiah dalam memperingati HUT ke-25 Bagian Ilmu Kesehatan Anak dan Lustrum VI Universitas Tarumanagara. Peningkatan kualitas anak merupakan tujuan antara dalam perjalanan panjang pembinaan manusia seutuhnya agar kelak menjadi pelaku yang produktif dan kreatif dalam Pembangunan Nasional. Sekelumit faktor yang mungkin akan mengganggu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan yang panjang ini disorot dalam seminar, meliputi penyakit tropik dengan fokus Demam Berdarah Dengue dan tindakan diagnostik yang pada dekade ini berkembang pesat yaitu endoskopi anak dan pencitraan sonografi pada anak. DBD dipilih sebagai bahan diskusi utama untuk mengantisipasi dan mempersiapkan diri terhadap prakiraan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) hebat dalam tahun 1993. Data pengamatan dan penelitian DBD yang disajikan oleh pembicara dari RS Sumber Waras – FK Universitas Tarumanagara adalah hasil kerja sama UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak dengan NAMRU-2 di Jakarta yang digiatkan kembali sejak bulan September 1987 sebagai persiapan menghadapi KLB tahun 1988. Pembicara dari NAMRU-2 Jakarta dengan subjek penelitian penderita rawat inap RS Sumber Waras, pakar dari manca negara, Instansi Pemcrintah dan Lembaga Pendidikan Kedokteran Negeri serta pakar disiplin il mu sosial memberi bobot pada seminar dan gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan ini. Pada Temu ilmiah bulanan yang berorientasi pada pemecahan masalah (problem solving oriented) dibahas antara lain: Psikologis anak yang dirawat dan sikap orang tua, nyeri perut kronik berulang ditinjau dari segi medik, nerologik dan psikologik, dan lain-lain. Pokok bahasan acara ini ialah permasalahan yang scring dijumpai dalam pekcrjaan schari-hari. Semua makalah ini dikumpulkan dalam buku naskah lengkap seminar dengan harapan bermanfaat sebagai masukan tambahan dalam pclaksanaan pclayanan keschatan anak. Kepada para pembicara, pemandu dan semua pihak yang terlibat dalam seminar dan penerbitan buku kumpulan makalah ini disampaikan terima kasih. UPF/Lab. Il mu Kesehatan Anak RS Sumbcr Waras–FK Untar Kepala, Dr. Tatang Kustiman Samsi, DSA 10

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

DEMAM BERDARAH DENGUE

Dengue Hemorrhagic Fever A Global public health problem Duane J. Gubler, Sc. D. Division of VectorBorne Infectious Diseases, National Center for Infectious Diseases, Centers for Disease Control Fort Collins, CO 80522, USA

The past 20 years has seen a dramatie global expansion of epidemie dengue/degue hemorrhagic fever (DHF), with in creased frequeney of epidemie activity eaused by all four virus serotypes in Asia, the Pacifie and the Americas. This paper will review recent trends in each geographie area' and identify factors responsible for continued spread of the disease. In Southeast Asia, established epidemie patterns eontinued in eountries sueh as Thailand, Myanmar and Indonesia where DHF has been endemie for many years. In other eountries, however, the disease and transmission patterns eontinue to change. For example Sri Lanka,a eountry previously eonsidered a silent area for DHF, reported the first major epidemic in history in 1989 and 1990. Two transmission peaks oceured in assoeiation with the monsoons in 1989, with a total of 204 DHF eases and 20 deaths reported that year. In 1990, transmission was more intense with only one peak assoeiated with the southwest monsoon (May - July). A total of 1,119 DHF eases and 60 deaths were reported in 1990. In both years over 75% of the reported eases oeeurred in ehildren less than 12 years of age. In 1989, all reported eases were from Colombo, but in 1990. DI-IF cases were also reported outside the eapital eity. It is not known for sure at this time, but DEN-3 appeared to be the predominant virus serotype involved, although DEN-2 was also isolated. This is the first epidemic of DHF to occur in Sri Lanka and the reasons for its occurrence at this time are unelear. Investigations eonducted by seientists at the Medieal Researeh Institute, Colombo, have monitored dengue transmission in that eity for over 10 years. Mosquito densities and distribution have not ehanged significantly furing that time. Virologie surveillanee has doeumented that all four dengue virus serotypes have been transmitted during that same time and that at least 3

serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-3) circulated simultaneously during most of those years. The last signifieant dengue outbreak in Colombo oceurred in 1982 - 83 even though most eonfirmed dengue infeetions showed seeondary serologie responses. Studies are now in progress to investigate the viruses assoeiated with the 1989 - 90 epidemie and to eompare them with viruses isolated during the 1980s in an effort to determine whether genetie ehanges may have oeeured that eould explain the changing disease pattern observed. Singapore is another Southeast Asian eountry where the dengue transmission pattern has been changing in recent years. The Aedes control program implemented in 1969 was very effeetive and from 1974 to 1985 dengue transmission remained low with only an oeeasional ease of DHF reported. In 1986, however, a small outbreak oeeurred (354 cases of dengue fever/DHF) and sinee then transmission has inereased progressively, with 436 and 944 eases reported in 1987 and 1989, respectively. In 1990, the largest outbreak in Singapore history occurred, with 1,733 cases and three deaths. Not all of these eases were DHF, but 95% were hospitalized. Morbidity was highest among children and young adults. Transmission was widespread in the eastern part of Singapore, but was highest in selected foci where the Aedes house index exceeded 10%. This was followed by 2,179 eases and 6 deaths in 1991. Other statisties were similar to 1990. These outbreaks underseore the importance and the diffieulty of sustaining suecessful prevention and eontrol programs. The sueeess of the Singapore program in the 1970s and early 1980s resulted in a waning herd immunity in the population, and when the Aedes population densities inereased in the late 1980s, the result was epidemic transmission. In the Pasifie, epidemie dengue eontinues to oeeur, fre-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

11

quently associated with severe and fatal disease. Two serotypes, DEN-1 and DEN-3, have been the predominant viruses eausing epidemies in that area in the past several years. Severe and fatal hemorrhagie disease has oeeurred in many of the reeent outbreaks, and although the numbers of cases reported are small compared to southeast Asia, they are signifieant when the population of Paeific island eountries is eonsidered. French Polynesia and New Caledonia have both experieneed reeent DEN-3 epidemies assoeiated with DHF. In the former, a DEN-1 epidemic in 1988 - 89 was followed by a DEN-3 epidemie in 1989 - 90. The latter epidemie was a large one with many cases of severe hemorrhagie disease and 11 deaths reported. In New Caledonia, a similar pattern was observed with more severe hemorrhagic disease also associated with DEN-3 infection. Virgin soil dengue epidemies have eontinued to oeeur in the Amerieas, most reeently in Paraguay and Peru. The Peru epidemie in 1990, was the first dengue transmission in that eountry in over 139 years. The epidemie began in the northern eity of Iquitos and later spread south to Tarapoto. The predominant virus was DEN-1 although DEN-4 was also isolated. From a survey earried out in May, 1990, it was estimated that approximately 76,000 persons were infeeted in Iquitos alone. No DHF was reported. More important than elassieal dengue fever is that the disease pattern associated with dengue infeetion in the Americas has eontinued to evolve in a way that is almost identical to the pattern that was observed in Southeast Asia in the 1960s. The emergence of DHF in most Ameriean eountries has been assoeiated with hyperendemieity, that is with multiple virus serotypes transmitted simultaneously. Three serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-4) currently have wide distribution in the American region. As was observed in Asia, DHF in the Amerieas first appeared sporadieally, and laboratory eonfirmed eases of DHF whieh meet the WHO ease definition, have now been documented in 13 Ameriean eountries. The most reeent Ameriean epidemie of DHF oeeurred in Venezuela in 1990, with 3, 108 eases of severe hemorrhagie disease and 73 deaths. The epidemie began in late 1989 and peak transmission oceurred during the seeond and third weeks of January, 1990. Most DHF eases and deaths oecurred in ehildren less than 15 years of age. Three dengue virus serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-4) were isolated from patients during the epidemie. DEN-2 was the predominant virus isolated (12 strains) and this serotype was also deteeted in formalin-fixed liver of 4 fatal cases. The cause of the Venezuelan DHF epidemie in 1990 is not known. Multiple virus serotypes (DEN-1, DEN-2 and DEN-4) have been present in Venezuela for several years, but a major dengue epidemie has not occurred sinee the DEN-1 outbreak in 1978. In 1987, a small outbreak occurred, but endemie transmission of multiple serotypes was documented for several years before and since that outbreak. There is no indication that mosquito densities have increased in the major cities of Vene-

12

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

zuela in reeent years. Severe and fatal DHF has most reeently been reported in Rio de Janeiro, Brazil in assoeiation with DEN-2 infeetion. This serotype was deteeted in Brazil in 1990 but a major epidemie has not yet occurred as expected. The Brazil experience with DEN-2 is typical of other eountries in the region. The Jamaiea topotype of DEN-2 has beeome widespread in the Ameriean region since 1981, but with the exeeption of Venezuela, it has caused no major epidemies, despite large suseeptible host populations to DEN-2 in most eountries. By eontrast, both DEN-1 and DEN-4 have eause major dengue epidemies in all parts of the reion. In summary, the 1980s provided ideal conditions for the inereased movement and spread of dengue viruses in all tropieal parts of the world Aedes aegypti mosquitoes were present. Thus, inereased air travel provided the ideal meehanism to transport viruses between population eenters in infected humans, and insured repeated introduetions of new virus strains and serotypes into crowded urban areas with large Ae. aegypti populations . This resulted in increasingly more frequent and larger epidemies, and a dramatie increase in the incidenee of DHF. Table 1 presents global reports of DHF/DSS from the mid 1950s to the present time. In the first 25 years of reporting, a total of 715,283 eases, or an average of 29,803.

DHF cases per year were reported. In the first 5 years of the 1980s, however, an average of 137,504 eases of DHF per year were reported, a nearly 5-fold inerease, and in the last 5 years of the deeade, 267,692 eases per year were reported, whieh is nearly double the reports for the previous 5 years and nearly 0 ° Id higher than in previous years. In 1992, dengue remains the most important arbovirus disease of humans, with over 2 billion persons at risk of infection. Millions of eases of dengue fever and tens to hundreds of thousands of eases of DHF oceur eaeh year. This raises the question of how do we prevent epidemic DHF ? No dengue virus vaecines are available for general use, although eonsiderable promise has been shown by eandidate vaceines developed in Thailand by researchers at Mahidol University. Moreover, molecular virologists have now sequeneed all four dengue serotypes, opening the way for genetieally engineered reeombinant vaccines. The general consensus, however, is that it will be ten or more years before an effeetive, safe, eeonomical vaceine is eommercially available. currently, the only way to reduee incidence and thus prevent epidemie DHF, therefore, is to eontrol the mosquito that transmits the

virus. Unfortunately, our ability to control Ae. aegypti in the 1990s is limited. Too mueh relianee has been plaeed on emergeney adult mosquito eontrol using inseetieides in the pas 20 years. This has been ineffective for two reasons. First, surveillanee for epidemie dengue/DHF in most countries is insensitive, and epidemie transmission generally peaks before eontrol efforts can be organized and implemented. Seeond, researeh in recent years has east doubt on just how effeetive adulticiding is in breaking dengue transmission. Extensive trials in Puerto Rieo have shown that both ultra-blow volume (ULV) and thermal fog spraying of insecticides from truck-mounted units were completely ineffective in killing wild adult female Ae. aegypti mosquitoes. Studies in Trinidad, Surinam and Jamaiea gave similar results. Reeent trials in Venezuela have given somewhat better results, indieating that application dose, housing type, street layout, etc., may influence effieaey of ULV insectieide applieation. The faet remains, however, that during the 20 year period we have depended on this approaeh for the eontrol of Ae aegypti, the incidenee and distribution of DHF have inereased dramatieally.

The ehanging epidemiology of dengue in most tropieal countries dictates that something must be done to stop the eurrent trend. The only truly effeetive way to eontrol the mosquito veetors of dengue is souree reduetion. Unfortunately, eompeting priorities for limited resourees prevent developing the large, vertieally struetured programs that were so sueeessful in the past. It should also be noted, however, that even the sueeessful vertieal programs were not sustainable because thery did not address the mosquit real issue of individual responsibility for allowing larval habitats to oeeur in and around homes where most dengue transmission oceurs. To have long-term and lasting impaet, the persons living in the house where most transmission takes plaee must be made to understand the importanee of the disease , and that the disease exists only beeause they allow mosquitoes to breed in and around their home. Mosquito control programs, Persontherefore, must be eommunity-based and integrated. living Ae. aegypti infested eommunities must be edueated to accept responsibility for their own health destiny by helping governmental ageneles control the mosquito veetors and thus prevent epidemic dengue/DHF.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

13

Kebijakan nasional pada Demam Berdarah Dengue Dr. Thomas Suroso MPH Subdit Arbovirosis Dit. P2B2Ditjen PPM-PLP Departemen Kesehatan RI, Jakarta

SITUASI PENYAKIT DBD 1) Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, yang cenderung semakin luas penyebarannya sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Kejadian Luar Biasa penyakit ini seeara nasional terjadi setiap 5 tahun. Pada tahun 1993 yang akan datang diperkirakan siklus KLB ini akan terulang lagi (Lampiran 1 dan 2). 2) Seluruh wilayah Indonesia, mempunyai resiko untuk kejangkitan penyakit demam berdarah dengue karena virus penyebab dan nyamuk penularnya (Aedes aegypti) tersebar luas, baik di rumah-rumah maupun di tempat umum (Lampiran 3), keeuali yang ketinggiannya lebih dari 1000 meter di Was permukaan laut. Persentase rumah dan tempat umum yang ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti di ibukota - ibukota Propinsi berkisar antara 10% — 50% (Lampiran 4). 3) Sampai saat ini penyakit DBD telah tersebar di seluruh propinsi kecuali Timor Timur. Wilayah yang tinggi angka kesakitannya ialah pulau Jawa & Bali dan sebagian Kalimantan (Lampiran 5). Pada saat ini penyakit DBD endemis di 122 Dati II, 605 Kecamatan dan 1.800 Desa/Kelurahan (Lampiran 6). 4) Dengan meningkatnya sarana transportasi antar wilayah/ daerah maka diperkirakan penyebaran penyakit ini masih akan berlan jut jika tidak dilakukan upaya untuk memberantas nyamuk penular secara intensif dan menyeluruh. TUJUAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT DBD Umum : Membatasi penularan DBD dan kematian DBD. Khusus ; 1. Mencegah KLB/wabah DBD. 2. Menurunkan insidens DBD di Kecamatan endemis. 3. Membatasi kematian DBD. 14

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

KEBIJAKSANAAN & STRATEGI PEMBERANTASAN 1) Untuk memberantas penyakit demam berdarah dengue dilakukan : a) Pembinaan peran serta masyarakat guna meneegah dan membatasi penyebaran penyakit terutama dengan memberantas jentik nyamuk penularnya (Pemberantasan Sarang Nyamuk = PSN). Pembinaan peran serta masyarakat dilaksanakan dengan penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat melalui kerjasama lintas program dan sektoral yang dikoordinasikan oleh Kepala W ilayah/Daerah. b) Penyemprotan insektisida dan/atau penaburan racun jentik (abatisasi) dilaksanakan di Tempat Umum, dan lokasi/wilayah yang terjadi penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD) guna membatasi penyebarannya dan meneegah Kejadian Luar Biasa/Wabah. 2) Upaya pemberantasan diprioritaskan di keeamatan yang mempunyai desa/kelurahan rawan penyakit demam berdarah dengue. KEGIATAN PEMBERANTASAN 1) Peneegahan : Pencegahan penyakit DBD dilaksanakan oleh masyarakat di rumah dan tempat umum dengan melakukan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) secara terus menerus yang meliputi : a) Menguras tempat penampungan air sekurang-kurangnya seminggu sekali, atau menutupnya rapat- rapat. b) Mengubur barang bekas yang dapat menampung air. c) Menaburkan racun pembasmi jentik (abatisasi). d) Memelihara ikan. e) Cara-cara lain untuk membasmi jentik. 2) Pembinaan peran serta masyarakat : a) Pembinaan peran serta masyarakat dalam PSN dilaksanakan dengan melakukan kunjungan secara berkala ke rumah-rumah

.dan Tempat-tempat Umum untuk penyuluhan dan pemeriksaan jentik. b) Penyuluhan PSN (Pemeriksaan Jentik Berkala) dilaksanakan : — di rumah-rumah oleh kader atau tenaga pemeriksa jentik secara swadaya di bawah bimbingan Ketua RW/Kepala Dusun. — di tempat umum oleh petugas kesehatan. c) Pemantauan hasil penyuluhan PSN dilakukan oleh Kelompok Kerja Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (Pokja DBD) — LKMD di Desa/Kelurahan. d) Pembinaan usaha PSN di Desa/Kelurahan dilakukan seeara berjenjang oleh Kelompok Kerja Operasional Pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue (Pokjanal DBD)—Tim Pembina LKMD tingkat Keeamatan, Dati II, Dati I, dan Pusat. 3) Kewaspadaan dini terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) : Setiap penderita DBD/tersangka dilakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan seperlunya (penyemprotan insektisida dan/atau PSN) untuk membatasi penularan penyakit lebih lanjut dan meneegah KLB. 4) Pemberantasan intensif di Keeamatan/Desa rawan penyakit DBD. Di kecamatan yang terdapat desa rawan penyakit DBD dilakukan : a) Penyuluhan PSN (PJB) di rumah-rumah di semua desa/ kelurahan sekurang-kurangnya setiap 3 bulan. Di rumah-rumah di semua desa/kelurahan rawan I dan II serta di Tempat-tempat Umum penyuluhan PSN disertai dengan abatisasi pada tempat penampungan air yang ditemukan jentik (Abatisasi Selektif). b) Penyemprotan insektisida sebelum musim penularan di desa/ kelurahan rawan I. Maksud penyemprotan ini adalah untuk meneegah terjadinya KLB dan membatasi penularan/penyebaran penyakit. 5) Penyuluhan kepada masyarakat Penyuluhan dilaksanakan : a) Oleh petugas/pejabat kesehatan dan sektor lain serta warga masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang penyakit demam berdarah dengue pada berbagai kesempatan. b) Melalui berbagai jalur informasi dan komunikasi kepada masyarakat. c) Secara intensif sebelum musim penularan penyakit demam berdarah dengue terutama di daerah rawan. PELAKSANAAN PEMBERANTASAN TAHUN 1991/1992 DAN 1992/1993 1) Kebijaksanaan dan strategi dan kegiatan pemberantasan penyakit DBD sebagaimana diuraikan path Bab II & III telah mulai dikembangkan di beberapa daerah terutama sejak 1991/ 1992 yang lalu. 2) Cakupan wilayah yang diliput program sebagai berikut (Tabel 1). 3) Untuk mendukung penyuluhan PSN yang dilaksanakan di rumah dan tempat umum, dilakukan pula penyuluhan melalui media massa antara lain : — Televisi (film-filler)

— Radio (radio spot) — Pemutaran film di lapangan (layar tancap) di kelurahan rawan I. — Penyuluhan kepada kelompok-kelompok masyarakat. 4) Selain itu, di beberapa daerah juga dilaksanakan usahausaha memotivasi masyarakat antara lain dengan : a) Penggerakan peran serta masyarakat dengan kerja bakti PSN (dan kebersihan lingkungan). b) LombaPSN untuk Desa, Sekolah dan Tempat-tempatUmum lainnya. 5) Evaluasi sementara (oleh Ditjen PPM & PLP bersama FKM Universitas Gadjah Mada) di 144 desa endemis di Propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, dan DI. Yogyakarta menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna dalam penurunan insidens DBD antara Desa/Kelurahan Rawan I yang dilaksanakan program (pemberantasan intensif) dan yang tidak dilakukan program (Tabel 2).

HAMBATAN/MASALAH 1) Belum semua desa rawan I (endemis) dapat diliput program pemberantasan intensif. 2) Belum semua daerah melembagakan kerjasama lintas sektoral untuk pembinaan peran serta masyarakat dalam PSN. 3) Belum semua Lurah/Kepala Desa dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya, yang merupakan motor penggerak masyarakat, memahami sepenuhnya Penyakit DBD dan peneegahan/pemberantasannya. 4) Belum semua wilayah yang rawan penyakit DBD dilaksanakan penggerakan masyarakat untuk melakukan PSN secara intensif. 5) Masih terbatasnya frekuensi penyuluhan melalui media massa khususnya melalui Televisi dan Radio. 6) Belum mantapnya petunjuk teknis penggerakan peran serta masyarakat untuk PSN. PEMECAHAN MASALAH 1) Memperluas cakupan pemberantasan intensif sehingga meliputi semua kecamatan dan desa/kelurahan endemis. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

15

2) Pembentukan Pokja/Pokjanal DBD di setiap tingkat administrasi pemerintahan. 3) Orientasi pemberantasan DBD kepada Lurah & Camat (dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya). 4) Peningkatan penyuluhan melalui media massa khususnya televisi/radio. 5) Penyebar-luasan petunjuk teknis penggerakan peran serta masyarakat kepada Pokja dan Pokjanal DBD. RINGKASAN Penyakit DBD eenderung semakin menyebar luas sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk. Untuk membatasi penyebaran penyakit DBD diperlukan pembinaan peran serta masyarakat untuk melakukan PSN secara terusmenerus, melalui kerja sama lintas sektoral dalam koordinasi Kepala Wilayah/Kepala Daerah. Dengan diterbitkannya SK Menkes No. 581/Menkes/SK/ VII/1992 tanggal 27 Juli 1992 diharapkan upaya pemberantasan penyakit demam berdarah dengue dapat dilaksanakan dengan lebih intensif dan secara luas sehingga penyakit ini tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Keterangan : * Insidens per 100.000 penduduk

16

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

17

18

Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992

I

Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 — 1991) Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, Kevin Gunawan, G.B. Jennings* dan Ratna Tan* UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Jakarta dan NAMRU Unit 2

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta (RS Sumber Waras) dan dilaporkan tahun 1969 oleh Kho, dkk.('), dan di Surabaya (RS Dr Sutomo) dilaporkan oleh Partana, dick. pada tahun 1970( 2). Dewasa ini penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia(3 ), bersifat endemis dan timbul sepanjang tahun. Serangan epidemi timbul pada tahun 1973, 1983, 1985 dan terakhir tahun 1988. Di Jakarta, morbiditas DBD terus meningkat tiap tahun namun di lain pihak mortalitas dengan mantap menurun dan sejak tahun 80-an angka kematian di bawah 2%. Walaupun demikian harus diingat bahwa angka kematian DBD berat masih tinggi, sehingga penatalaksanaan penderita ini masih memerlukan perhatian dan upaya perbaikan. Pengamatan klinis menunjukkan adanya keeenderungan bergesernya usia rata-rata penderita dan beberapa gejala klinis DBD dalam kurun waktu dua dasawarsa sejak ditemukannya DBD di Indonesia (4s) . Makalah ini mengemukakan pengamatan klinis mutakhir DBD yang dirawat di RS Sumber Waras dan kecenderungannya selama 2 dekade ini.

Diagnosis klinis dan klasifikasi derajat DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 1986 6)dan konfirmasi dengan pemeriksaan serologis (HI dan/atau IgM–IgG Elisa) serta isolasi virus. Pemeriksaan serologis dilakukan terhadap darah akut saat masuk rawat inap, saat dipulangkan atau segera sebelum meninggal dan 1 minggu setelah dipulangkan. Tes Hemaglutinasi Inhibisi (HI) Pemeriksaan tes HI dilakukan menurut modifikasi eam Clark dan Cassal dan penilaian hasil titer berdasarkan kriteria serologis menurut WHO 1986(6).

SUBJEK DAN METODA Subjek penelitian adalah penderita DBD yang dirawat di UPF/Lab Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras dalam kurun waktu Januari 1988 – Desember 1991. Khusus untuk pengamatan gejala klinis dan laboratorium selama epidemi dan interepidemi diambil sampel penderita yang dirawat selama puncak epidemi tahun 1988 (gambar 1) yaitu bulan Februari 1988 – April 1988 (kelompok I) dan penderita yang dirawat dalam kurun waktu inter -epidemi yaitu dari Januari 1991 – Desember 1991 (kelompok II). Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

19

Elisa IgM dan IgG Kadar antibodi IgM dan IgG terhadap virus Dengue dan JBE dilakukan dengan prosedur Innis, dkk. 8 ). Hasil tes dikatakan positif untuk infeksi Dengue bila kadar Ig > 40 U dan rasio kadar IgM anti Dengue terhadap IgM anti JBE ? 1,0. Penderita dikatakan menunjukkan reaksi primer bila rasio kadar IgM terhadap IgG ? 1,8 dan sekunder bila rasio < 1,8. Isolasi virus Isolasi virus dilakukan seeara Mosquito Inoculation Technique (Toxorhynchite splendens dewasa) dan biakan jaringan TRA-284 (T. amboinensis) dari darah akut semua penderita tersangka DBD. Pemeriksaan serologis dan isolasi virus dilakukan di Laboratorium NAMRU Unit 2 di Jakarta. Untuk analisis statistik dipergunakan "S tudent t test" dan ehi kuadrat. HASIL Kelompok I terdiri dari 481 anak dengan umur rata-rata 7,7 ± 3,2 tahun dan kelompok II dari 164 anak, umur rata-rata 8,3 ± 3,4 tahun. Pada kelompok I usia Iebih muda dan derajat pen yakit lebih ringan secara bermakna dari kelompok II (tabel 1 dan 2).

Keluhan nyeri perut pada masa epidemi lebih sedikit dibandingkan dengan masa inter-epidemi , demikian pula halnya dengan petekia dan trombositopeni. Di lain pihak anak dengan suhu tinggi (suhu ? 39°C) Iebih banyak pada masa epidemi dan tes tumiket walaupun yang terakhir secara statistik perbedaan tidak bermakna (tabel 3, tabel 4 dan tabel 5). Dalam kurun waktu 1988—1991 telah dirawat sebanyak 1.392 penderita DBD dengan konfirmasi serologis dan atau isolasi virus. Distribusi golongan umur penderita selama epidemi tahun 1988 dan inter-epidemi (1989—1991) terlihat pada tabel 6. 20

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Nampaknya pada masa epidemi golongan umur penderita secara bermakna lebih muda dari masa inter-epidcmi. Penderita DSS dengan konfirmasi positif dalam periode ini berjumlah 176 dengan kematian 10 orang (5,7%). Sebagian

I

Pengamatan klinis Demam Berdarah Dengue di Rumah Sakit Sumber Waras (1968 — 1991) Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, Kevin Gunawan, G.B. Jennings* dan Ratna Tan* UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta Jakarta dan NAMRU Unit 2

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali ditemukan pada tahun 1968 di Jakarta (RS Sumber Waras) dan dilaporkan tahun 1969 oleh Kho, dkk.('), dan di Surabaya (RS Dr Sutomo) dilaporkan oleh Partana, dick. pada tahun 1970( 2). Dewasa ini penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di Indonesia(3 ), bersifat endemis dan timbul sepanjang tahun. Serangan epidemi timbul pada tahun 1973, 1983, 1985 dan terakhir tahun 1988. Di Jakarta, morbiditas DBD terus meningkat tiap tahun namun di lain pihak mortalitas dengan mantap menurun dan sejak tahun 80-an angka kematian di bawah 2%. Walaupun demikian harus diingat bahwa angka kematian DBD berat masih tinggi, sehingga penatalaksanaan penderita ini masih memerlukan perhatian dan upaya perbaikan. Pengamatan klinis menunjukkan adanya keeenderungan bergesernya usia rata-rata penderita dan beberapa gejala klinis DBD dalam kurun waktu dua dasawarsa sejak ditemukannya DBD di Indonesia (4s) . Makalah ini mengemukakan pengamatan klinis mutakhir DBD yang dirawat di RS Sumber Waras dan kecenderungannya selama 2 dekade ini.

Diagnosis klinis dan klasifikasi derajat DBD ditegakkan berdasarkan kriteria WHO 1986 (6)dan konfirmasi dengan pemeriksaan serologis (HI dan/atau IgM–IgG Elisa) serta isolasi virus. Pemeriksaan serologis dilakukan terhadap darah akut saat masuk rawat inap, saat dipulangkan atau segera sebelum meninggal dan 1 minggu setelah dipulangkan. Tes Hemaglutinasi Inhibisi (HI) Pemeriksaan tes HI dilakukan menurut modifikasi eam Clark dan Cassal dan penilaian hasil titer berdasarkan kriteria serologis menurut WHO 1986(6).

SUBJEK DAN METODA Subjek penelitian adalah penderita DBD yang dirawat di UPF/Lab Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras dalam kurun waktu Januari 1988 – Desember 1991. Khusus untuk pengamatan gejala klinis dan laboratorium selama epidemi dan interepidemi diambil sampel penderita yang dirawat selama puncak epidemi tahun 1988 (gambar 1) yaitu bulan Februari 1988 – April 1988 (kelompok I) dan penderita yang dirawat dalam kurun waktu inter -epidemi yaitu dari Januari 1991 – Desember 1991 (kelompok II). Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

19

dalam kriteria WHO 1986 dan keluhan nyeri perut terlihat pada tabel 10. Keluhan nyeri perut terutama pada anak 5 tahun berkaitan dengan manifestasi lebih berat°'8 ) dan keluhan ini bertambah banyak pada dekade ke 2 (Tabel 10). Gejala lain tampaknya tidak menunjukkan perubahan yang bermakna.

Demam Pada saat epidemi demam tinggi (>— 39°C) didapatkan pada 35% kasus dan seeara bermakna lebih banyak dari pada masa inter-epidemi. Lamanya sakit sebelum dirawat berkisar antara 1—8 hari dengan rata-rata 3,8 ± 1,9 hari pada tahun 1971, 4,2± 1,6 hari pada tahun 1985 dan 3,9 ± 1,6 hari pada tahun 1991. Manifestasi perdarahan Manifestasi perdarahan pada DBD dapat berbentuk perdarahan spontan atau tes turniket positif. Pada masa epidemi manifestasi perdarahan spontan lebih sedikit dari masa interepidemi. Hal ini sesuai dengan derajat penyakit yang relatif lebih ringan pada masa epidemi. Jenis perdarahan spontan terutama berbentuk petekia dan epistaksis sedangkan perdarahan yang lebih berat (hematemesis dan melena) relatif menurun pada tahun-tahun terakhir (tabel 10 dan 11). Apakah keadaan ini disebabkan pengobatan suportif yang diberikan lebih dini dan adekuat atau karena faktor lain seperti pola serotipe virus, faktor imunitas tuan rumah, memerlukan penelitian lebih lanjut.

Hepatomegali Hepatomegali hanya didapatkan pada 29% penderita, lebih 22

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

rendah dari periode 20 tahun sebelumnya yang berjumlah 46% 0:7) . Nyeri perut Meskipun keluhan nyeri perut tidak termasuk dalam salah satu kriteria klinis DBD dari WHO akan tetapi dalam pengalaman klinis keluhan ini penting karena berkaitan dengan perjalanan penyakit yang berat ' 7 '8). Persentase keluhan nyeri perut pada masa epidemi lebih rendah dari masa inter-epidemi, mungkin disebabkan karena pada masa epidemi derajat penyakit relatif lebih rendah, meskipun seeara keseluruhan jumlahpenderitanya lebih banyak. Frekuensi keluhan ini meningkat pada dasawarsa kedua dan masih tetap tinggi pada tahun-tahun terakhir (tabel 9). Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang penting ialah hemokonsentrasi dan trombositopeni. Persentase trombositopeni dan hemokonsentrasi pada masa epidemi tidak berbeda dengan masa inter-epidemi. Walaupun demikian terlihat adanya penurunan persentase trombositopeni dan hemokonsentrasi dalam tahuntahun terakhir (tabel 12).

Serologis Data klinis (9) menunjukkan bahwa kurang dari 50% penderita datang kembali untuk diambil serum ke-3 untuk pemeriksaan titer HI setelah penderita dipulangkan. Pengamatan mengenai kadar IgM dan IgG terhadap titer HI( 9) menunjukkan bahwa kadar IgG pada penderita dengan HI < 1.280 lebih rendah dari IgM nya, dan kadar IgG penderita dengan HI 1.280 lebih tinggi dari IgM nya. Hal ini sesuai dengan penelitian titer HI pada anak sekolah di Jakarta") di man titer HI 640 menyokong diagnosis klinis DBD. Tampak pula bahwa kadar IgM dan IgG baru menunjukkan kenaikan setelah hari ke 4 sakit dan pada infeksi sekunder IgG dengan cepat naik (gambar 3). Hal ini dapat menerangkan mengapa tes Dengue Blot kurang sensitif pada infeksi primer. Pengamatan pada 20 anak yang pernah menderita DBD ( " "menunjukkan bahwa dalam waktu 11 minggu setelah sakit, kadar IgM negatif, sebaliknya setelah 18 minggu kadar IgG masih tetap positif pada 40% subjek. Data ini perlu dipertimbangkan dalam menilai tes Dengue Blot karena adanya kemungkinan reaksi positif palsu pada penderita demam disebabkan penyakit lain. Pada penelitian terhadap penderita DBD dengan konfirmasi virologis (9) terlihat pula bahwa IgM positif pada pemeriksaan tunggal pada saat dirawat hanya didapatkan pada 20% penderita, sedangkan pada saat dipulangkan berjumlah 80% (gambar 4).

penderita terutama yang fatal tidak dapat disokong dengan pemeriksaan serologis dan virologis (tabel 7). Hasil isolasi virus selama masa epidemi dan inter-epidemi terlihat pada tabel 8. Semua serotipe virus Dengue berhasil diisolasi dengan keeenderungan jumlah D 2 lebih banyak pada masa epidemi dibandingkan dengan masa inter-epidemi dimana perbandingan ketiga virus D1 , D 2 dan D3 hampir seimbang. Dari 361 penderita DBD dengan konfirmasi virologis, 42 orang ,menderita DS S dan 4 di antaranya meninggal dunia. Terlihat bahwa virus D3 lebih banyak terkait dengan manifestasi lebih berat (tabel 8). PEMBAHASAN

dengan kecenderungan usia penderita selama epidemi lebih muda dari usia penderita DBD keseluruhannya (tabel 1). Perlu diteliti lebih lanjut faktor apa yang menyebabkan hal tersebut mengingat selama epidemi isolasi virus D3 secara bermakna lebih banyak dibandingkan pada masa inter-epidemi (tabel 4). Distribusi bulanan Distribusi bulanan penderita DBD selama epidemi tahun 1988 terlihat dengan puncak pada bulan Januari – April 1988, sedangkan pada masa inter-epidemi frekuensi penderita hampir merata sepanjang tahun. Pola dua puncak frekuensi bulanan yang terlihat dalam tabula 70-an dan 80-an tidak tampak pada tahuntahun terakhir ini (gambar 2).

Distribusi umur Dalam dua dekade pertama sejak tahun 1968 terlihat adanya pergeseran distribusi umur penderita dari kelompok 2–5 tahun dalam periode 1968–1977 menjadi kelompok 5–9 tahun pada periode 1978–1987( 0). Tampaknya dalam periode 1988–1991 tidal( terjadi pergeseran dalam distribusi umur penderita (tabel 9).

Gb. 2. Distribusi bulanan DBD pada saat epidemi dan inter—epidemi di Bagian IKA RS.Sumber Waras

Catalan : * bahan dari (4)

Dalam tahun 1988 terjadi ledakan hebat penyakit DBD

Manifestasi klinis Beberapa gejala Minis yang terlihat selama epidemi berbeda dengan masa inter-epidemi terutama dalam keluhan sakit perut, perdarahan spontan dan petekia, semuanya lebih rendah path saat epidemi (tabel 3, 4 dan 5). Hal ini mungkin disebabkan antara lain pada masa epidemi timbul perasaan waswas dan ketakutan sehingga penderita berobat lebih dini dan lebih eepat dirawat. Perubahan frekuensi gejala klinis penting seperti tereantum Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

21

Periode 111(1977–1978): terapi standar+ heparin +ASA/DPM Upaya untuk meneegah timbulnya DIC pada DBD dilakukan dengan pemberian kombinasi Asetosal (ASA) dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dan Dipyridamol (DPM) dengan dosis 5 mg/ kgBB/hari selama.3 hari"). Dipyridamol berkhasiat meneegah agregasi trombosit dan asetosal memperkuat khasiat tersebut dengan meneegah pelepasan pro agregating thromboxane A 2. Periode IV (1979–1983): terapi standar+ heparin +ASA/DPM + manipulasi minimal Disadari bahwa manipulasi yang agresif, invasif dan berlebihan dapat menyebabkan kerusakan dinding vaskuler, permeabilitas bertambah, keboeoran plasma bertambah dan selanjutnya dapat menyebabkan renjatan dan merangsang terjadinya DIC. Dengan demikian dalam periode ini ditekankan agar manipulasi penderita dilakukan seeara minimal sesuai dengan kebutuhan. Dengan tindakan ini kejadian DIC menurun dari 35,4% (68/ 192) pada tahun 1972–1973 dan 34,2% (88/258) pada tahun 1979–1982 menjadi 22,2% (42/189) pada tahun 1983( 19 ). Periode V (1984–1987): IV-heparin Pada periode ini DIC sebagai penyulit timbul pada 9,5% (17/ 178) dan heparin pada periode ini hanya diberikan pada penyulit DIC berat. Periode VI (1988–1991): standar + manipulasi minimal Dengan sedikitnya penyulit DIC pada DBD maka ASA/ DPM untuk meneegah terjadinya DIC tidak lagi diberikan dalam protokol pengobatan DBD. Dengan demikian pengobatan penderita DSS terdiri dari pemberian cairan Dextrose 5%–1/2 Garam faali dan pemberian expander plasma secara dini serta pemantauan yang ketat dan kontinyu dengan manipulasi minimal. Kortikosteroid dan antibiotik tidak diberikan. Dalam penelitian mengenai Tumor Necrotic Factor (TNF) dan interleukin yang dilakukan pada penderita DBD dan DSS di UPF. IKA RSSW, biakan darah selalu negatif dan kadar TNF tidak meninggi sehingga data ini memperkuat keyakinan untuk tidak memberikan antibiotik profilaktik termasuk padapenderita DSS. Angka kematian selama periode ini tercantum dalam tabel 13. Meskipun angka kematian pada periode terakhir sangat rendah akan tetapi dalam periode yang sama angka kematian penderita tersangka DSS klinis sekitar 14,5%. RANGKUMAN Pengamatan kasus DBD yang dirawat di UPF/Lab Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras–FK Untar dalam 24 tahun ini menunjukkan : 1) Golongan umur penderita bergeser ke golongan usia 5–9 tahun dalam kurun waktu 1978-1987, akan tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna dalam tahun-tahun berikutnya. 2) Gejala klinik tidak menunjukkan perubahan yang bermakna kecuali pada keluhan nyeri perut. Frekuensi nyeri perut terus 24

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

meningkat dalam dekade ke 2 dan keluhan ini berkaitan dengan manifestasi penyakit yang lebih berat. 3) Pada masa epidemi usia penderita lebih muda dan derajat penyakit lebih ringan dibandingkan dengan masa inter- epidemi. 4) Semua serotipe virus Dengue berhasil diisolasi. Dalam keadaan epidemi serotipe D 3 lebih dominan. Pada masa interepidemi D3 dan D 2 hampir sama jumlahnya. 5) Data serologis menunjukkan bahwa titer HI ? 640 sudah eukup untuk menegakkan diagnosis DBD. Tes serologis HI dan IgM menunjukkan korelasi positif dan keduanya dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis. 6) Angka kematian DBD telah menurun sejak tahun 80-an, walaupun demikian kematian kasus DSS masih cukup tinggi oleh karena itu peninjauan dan perbaikan manajemen DBD/DSS masih diperlukan. 7) Penanggulangan/penatalaksanaan DBD secara sederhana dengan manipulasi minimal pada tahun-tahun tcrakhir, diikuti dengan penurunan angka kematian DBD yang dirawat di BIKA RSSW. PENUTUP Walaupun angka kematian (case fatality rate) DBD di Jakarta telah menurun dengan cukup tajam pada dekade terakhir ini akan tetapi prevalensi DBD tiap tahun terus meningkat diselingi dengan epidemi. Tampaknya upaya peneegahan dengan pengendalian sarang nyamuk belum memberikan dampak yang berarti. Persepsi masyarakat mengenai upaya pengendalian dan pemberantasan DBD perlu diperbaiki dan yang lebih mendasar adalah upaya perbaikan sikap dan perilaku masyarakat mengenai kesehatan dan kebersihan lingkungan seeara umum perlu ditingkatkan. Dalam klinik upaya untuk mendeteksi mediator kimia yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk meramal kasus yang menjurus menjadi berat dan fatal masih belum berhasil. Dengan demikian pengamatan dan pemantauan klinis yang ketat dan berkesinambungan merupakan hal yang mutlak dalam pengelolaan DBD.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

25

Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah melalui Pengawasan Kualitas Lingkungan Sumengen Sutomo*, Thomas Suroso**, Kasnodihardjo*, Pranoto**, Sutardjo Martono**, Abbas Abdulkadir**, Hari Purwanto** * Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta ** Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Jakarta

ABSTRAK Dalam rangka mencari cara pemberantasan yang lebih efektif, telah diadakan studi eksperimen di kotamadya Sukabumi Jawa Barat dari bulan Oktober 1988 — Maret 1989. Tujuan studi mempelajari dampak berbagai eara pemberantasan terpadu terhadap perilaku penduduk dan index jentik. Kegiatan dalam studi terdiri dari survei dasar, intervensi dan penilaian. Pada survei dasar dan penilaian diadakan survei perilaku penduduk dengan eara mewawaneara, dan survei entomolog menggunakan single larva method dan penangkapan nyamuk. Kegiatan intervensi terdiri dari kombinasi fogging dengan malathion; abatisasi dan PSN; PSN dan pengawasan kualitas lingkungan. Pengawasan Kualitas Lingkungan merupakan intervensi yang paling efektif meningkatkan pengetahuan, sikap, perilaku penduduk dan menurunkan indek jentik. Persentase perubahan efektif yang terjadi pada pengetahuan 71,2, sikap 39,8 dan perilaku 46,5 dan menurunkan house index 13,3, container index 1,0 dan breteau index 13,4. Selanjutnya perlu adanya upaya pengembangan PKL lebih lanjut untuk meneari alternative lain yang lebih efisien. PENDAHULUAN dan indek jentik. Cara pemberantasan yang dilakukan terdiri dari Penyakit dengue haemorrhagic fever (DHF) atau demam fogging, abatisasi, pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dan berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesepengawasan kualitas lingkungan (PKL). Studi ini dilaksanakan hatan masyarakatdi Indonesia. Direktorat Jenderal P2M dan PLP oleh Direktorat Jenderal P2M dan PLP bersama Badan Penelitimelaporkan bahwa rata-rata penderita yang meninggal setiap an dan Pengembangan Kesehatan dari bulan Oktober 1988 s/d tahun meningkat sejak tahun 1968. Dewasa ini penyakit itu telah Maret 1989. menyebar di 27 propinsi, 300 kabupaten, dan pada tahun 1988 dilaporkan 45.791 penderita dan 1.432 kematian. BAHAN DAN CARA Dalam rangka mencari metode pemberantasan DBD yang Lokasi studi di 15 desa yang berada di 2 kecamatan kotaefektif, telah dilakukan suatu studi di kotamadya Sukabumi, madya Sukabumi. Jumlah penduduk 109.647 orang terdiri dari Jawa Barat. Studi ini bertujuan untuk mempelajari dampak ber- ± 23.373 rumah tangga. Menggunakan kriteria kasus DBD bagai eara pemberantasan terpadu terhadap perilaku penduduk antara tahun 1983 — 1988, desa dikelompokkan dalam 3 strata Catatan : Tclah dimuat dalam MEDHKA, No. 7 Tahun 17, Juli 1991

26

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

endemis, yaitu strata tinggi, sedang dan rendah. Strata tinggi adalah desa dengan kasus lebih dari 30 yaitu Gunung Parang, Nyomplong, Sriwedari dan Selabatu. Strata sedang adalah desa dengan kasus 20–30 yaitu Tipar, Kebonjati, Cikole dan Gunung Puyuh. Strata rendah adalah desa dengan kasus kurang dari 20 yaitu Benteng, Cikondang, Karamat, Gedung Panjang, Warudoyong, Nanggeleng dan Citameang (Gambar 1). Studi ini menggunakan desain eksperimen yang terdiri dari kegiatan-kegiatan survei dasar, kegiatan intervensi dan survei penilaian.

Survei dasar Survei dasar terdiri dari survei penduduk dan survei entomologi. Survei penduduk untuk memperoleh data mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku (PSP) terhadap pemberantasan vektor DBD. Ibu rumah tangga yang diwawancarai 382 mewakili 80% yang dipilih seeara proporsional dan sistimatik. Data PSP terdiri dari tanda-tanda, akibat, penyebab, pertolongan penderita, eara penularan, jenis nyamuk, tempat perindukan dan eara pemberantasan. Pengumpulan data oleh sarjana kesehatan dan sosial melalui wawaneara menggunakan kuesioner terstruktur. Terhadap data yang tereatat pada kuesioner diadakan editing, koding, dan dipindahkan ke dalam disket dengan program dBase III+. Kemudian diadakan pembersihan, reduksi dan analisis data menggunakan program SPSS/PC+. Survei entomologi mengumpulkan data vektor DBD dan tempat perindukannya. Terhadap 400 rumah tangga yang dipilih proporsional dan sistimatik mewakili 100% sampel, dilakukan pemeriksaan jentik. Data berupa house index, container index dan breteau index dikumpulkan menggunakan single larva method pada tempat penampungan (TPA) dan bukan TPA di

lokasi sampel. Penangkapan nyamuk dilakukan di dalam rumah dengan 1 orang berlaku sebagai umpan dan penangkap nyamuk selama 20 menit per rumah. Nyamuk A. aegypti yang ditangkap diperiksa perutnya untuk menentukan umur nyamuk. Pengumpulan, proses dan analisis data dilakukan oleh satu tim yang dipimpin oloh seorang entomolog. Survei dasar ini dilakukan dalam bulan Oktober 1988. Intervensi Intervensi terdiri dari kombinasi fogging, abatisasi, PSN, abatisasi dan PSN, PSN dan pengawasan kualitas lingkungan. Fogging diadakan 2 kali setiap tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96% technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar. Abatisasi diadakan satu kali seeara selektif menggunakan obat 1% dosis 1 gram per 10 liter air. Sasaran adalah TPA yang ada di dalam maupun di luar rumah penduduk di kelurahan endemis tinggi dan sedang yang tidak dapat dibersihkan pada rumah penduduk. PSN merupakan penyuluhan kesehatan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui dan melaksanakan pembersihan rumah dan lingkungan dari tempat perindukan vektor DBD. Kegiatannya dilakukan oleh tenaga kesehatan pusat dan daerah melalui jalui pimpinandan tokoh masyarakat sampai pada tingkatkeluarga di daerah. Kegiatan ini dilakukan di semua desa di kotamadya Sukabumi. PKL adalah kegiatan pengawasan kebersihan lingkungan oleh masyarakat dengan tujuan untuk menghilangkan tempat perindukan vektor DBD yang ada di lingkungan rumah tangga masing-masing. Kegiatan pokok yang dilakukan ialah: pengawasan kebersihan lingkungan 1 minggu/sekali, pertemuan membahas masalah yang ditemui dalam kegiatan gotong-royong membersihkan lingkungan, dan menyiapkan laporan kebersihan lingkungan. Kegiatan dilaksanakan oleh kader yang terdiri dari ibu-ibu kelompok dasawisma. Setiap kader bertanggung jawab dan seminggu sekali mengunjungi 10–20 rumah tangga, Pengawasan kegiatan oleh ketua RT, RW, lurah dan sanitarian dari puskesmas. Survei penilaian Survei penilaian terdiri dari survei penduduk dan survei entomologi. Kedua survei menggunakan populasi yang sama tetapi sampel yang berbeda. Pada survei penduduk dipilih 456 ibu rumah tangga dipilih seeara proporsional dan sistimatik mewakili 91% sampel. Sasaran lain dipilih 90 sekolah, tempattempat umum (TTU) dan tempat-tempat industri (TTI). Pada survei entomologi diperiksa 400 rumah yang tersebar dan meCermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

27

wakili 100% sampel. Pemilihan sampel, pengumpulan dan analisis data pada survei dasar dan survei penilaian dilakukan dengan eara yang sama.

Tabel 2.

Proporsi pendidikan ibu rumah tangga pada sampel sebelum dan sesudah intervensi

Tabel 3.

Proporsi agama ibu rumah tangga pada sampel sebelum dan sesudah intervensi

Analisis data Data survei dasar dan survei penilaian disusun dalam bentuk frekuensi distribusi menurut karakteristik rumah tangga, PSP dan indek jentik. Data PSP dan indek jentik sebelum dan sesudah intervensi dibandingkan untuk menentukan perubahan. Perubahan PSP diukur menggunakan persentasi perubahan efektif (PPE) dengan perhitungan berikut. Untuk membantu interpretasi data digunakan chi-square test:

PPE = persentasi perubahan efektif. P1 = persentasi jawaban benar sebelum intervensi. P2 = persentasi jawaban benar sesudah intervensi. HASIL Banyak rumah tangga yang berhasil dikunjungi sebelum intervensi pada survei dasar dan survei penilaian seperti tertera pada tabel 1. Tabel 1.Besar sampel menurut strata, desa dan macam intervensi

Pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk Pada umumnya ibu rumah tangga belum semuanya memiliki PSP yang benar terhadap pemberantasan DBD. Mereka memiliki pengetahuan yang benar dan sikap positif terhadap DBD, akan tetapi perilakunya baru mencapai 53,2%. Sesudah intervensi terpadu perilaku ibu mengenai pemberantasan vektor meningkat menjadi 69,8%. PPE tertinggi pada pengetahuan yaitu meneapai 40,7 (Tabel 4). Tabel 4.

Karakteristik penduduk pada survei dasar dan survei penilaian khususnya dalam hal pendidikan dan agama ibu rumah tangga tidal( ada perbedaan. Ibu rumah tangga sebagian besar berpendidikan rendah. Pada survei dasar terdapat 67,1% dan pada survei penilaian terdapat 62,6% orang tidak tamat SLP. Mereka termasuk yang tidal( sekolah, tidak tamat SD dan tamat SD (Tabel 2). Proporsi pendidikan pada kedua sampel tersebut tidak adaperbedaan yang berarti (p > 0.05). Ibu rumah tangga pada umumnya beragama Islam. Pada survei dasar terdapat 90,0% dan pada survei penilaian terdapat 86,0% ibu rumah tangga beragama Islam. Proporsi pada kedua sampel tidak ada perbedaan yang berarti (p > 0.05). 28

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

Persentase perubahan efektif perilaku penduduk sebelum dan sesudah intervensi

Pengetahuan Pada umumnya ibu di semua strata memiliki pengetahuan benar terhadap semua pertanyaan mengenai DBD. Rata-rata pengetahuan yang benar di strata I 81,1%, strata II 84,6%, strata III 79,2% dan strata IV 73%. Ibu di strata IV memiliki pengetahuan yang paling rendah dibandingkan dengan di strata lain. Pengetahuan yang masih rendah terdapat di semua strata mengenai penyebab DB D, dan di strata IV mengenai pemberantasan sarang nyamuk. Pengetahuan terendah terdapat di strata IV yaitu 2,3% mengenai penyebab DBD dan 57,8% pemberantasan sarang nyamuk. Sesudah intervensi terjadi peningkatan pengetahuan ibu di

semua strata. Persentase perubahan efektif pengetahuan di strata I 34,6, strata II 29,2, strata III 27,6, dan strata IV 71,2. PPE yang terbesar terjadi di strata IV dibandingkan dengan strata lain. PPE di strata IV 1,8 X lebih besar dari PPE keseluruhan intervensi di kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk pada setiap strata tidak mempengaruhi pengetahuan terhadap DBD (p > 0,05) (label 5).

Sikap Pada umumnya ibu di semua strata memiliki sikap positif mengenai DBD. Rata-rata sikap positif di strata I 81,8%, strata II 86,0%, strata III 84,7% dan strata IV 82,2%. Ibu di strata I memiliki sikap positif yang paling rendah dibandingkan di strata lain. Sikap yang masih rendah didapalkan di semua strata mengenai frekuensi pemeriksaan TPA. Sikap ibu mengenai frekuensi pemeriksaan TPA, terendah di strata IV yaitu 41,5%. Sesudah intervensi terjadi peningkatan sikappositif di semua strata. Persentase perubahan efektif sikap di strata I 12,7, strata II9,6, strata III 1,5, dan strata IV 39,8. Perubahan efektif di strata IV lebih besar dibandingkan dengan di strata lain. PPE di strata IV 2,5 X lebih besar dari PPE karena keseluruhan intervensi di kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk di setiap strata tidak mempengaruhi sikap terhadap DBD (p > 0,05) (Tabel 6).

Perilaku Pada umumnya ibu di semua strata belum melakukan tindakan yang mendukung pemberantasan vektor DBD. Rata-rata tindakan positif di strata I 55,4%, strata II 53,4%, strata III 55,6% dan strata IV 48,4%. Penduduk di strata IV memiliki perilaku paling rendah dibandingkan di strata lain. Perilaku yang rendah di semua strata adalah mengenai frekuensi pengecekan usaha pemberantasan nyamuk dan adanya pakaian tergantung dalam rumah.

Frekuensi pengecekan TPA di semua strata bervariasi antara 13,0-24,5% dan terendah di strata IV. Pemberantasan jentik dan nyamuk di semua strata bervariasi antara 11,3-49,1%, dan terendah di strata IV. Adanya pakaian tergantung di semua strata bervariasi antara 8,6—16,5% dan terendah di strata IV. Sesudah intervensi terjadi peningkatan perilaku yang mendukung pemberantasan vektor DBD. Persentasi perubahan efektif perilaku di strata I 33,8, strata II 38,8, strata 11I 21,0, strata IV 46,5. Perubahan efektif di strata IV lebih besar dibandingkan dengan strata.lain. PPE di strata IV 1,3 X lebih besar dari PPE Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

29

keseluruhan intervensi di Kotamadya Sukabumi. Proporsi penduduk pada setiap strata tidak mempengaruhi perilaku terhadap DBD (p > 0,05) (Tabel 7). Pengawasan kualitas lingkungan merupakan cara pemberantasan yang paling efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku pemberantasan DBD. Fogging, abatisasi dan PSN kurang efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap penduduk terhadap DBD.

tamer index dan breteau index seperti tercantum pada Tabel 9. House Index Rata-rata house index di strata I 9.0, strata II 18.8, strata III 8.0, dan strata IV 16.7. House index yang tertinggi adalah di strata II. Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan house index di semua strata. Indek di strata I 16.7, strata II 12.5, strata III 20.5, dan strata IV 30.1. House index tertinggi strata IV. Sesudah 6 bulan intervensi terjadi penurunan house index di semua strata, kecuali di strata III terjadi kenaikan menjadi 18.5. Penurunan house index terbesar terjadi di strata IV menjadi 3.4.

Vektor Menurut survei jentik dan nyamuk, jenis vektor yang ada di kotamadya Sukabumi adalah A. aegypti dan A. albopictus. Pemeriksaan TPA baik di dalam maupun di luar rumah ditemukan 71,0% A. aegypti dan 14,5% A. albopictus (N ± 00). Jenis TPA di daerah perumahan: 40,5% bak mandi, 11% tempayan, 25,5% ember dan 33% TPA lain. Letak TPA pada umumnya (89,9%) berada di dalam rumah. Di sekolah dan TTU/I (N = 90) ditemukan 20% A. aegypti dan 33,3% A. albopictus. Jenis TPA terdiri dari 86,6% tempayan, 12,3% TPA lain. Letak TPA umumnya (81,8%) bcrada di dalam gedung. Secara keseluruhan indek jentik termasuk house index, container index dan breteau index di Sukabumi cukup tinggi. Ini mcnandakan bahwa Sukabumi merupakan dacrah potensial DBD. Scsudah 3 bulan intervensi bersama dan tcrpadu nampak tidak ada pcnurunan akan tetapi tcrjadi kenaikan indek jentik. House index mcncapai 18,6, container index 12,9 dan breteau index 35,2. Sctclah 6 bulan intcrvcnsi penurunan hanya tcrjadi path house index scbesar 1,7 dan tidak tcrjadi penurunan container index maupun breteau index (Tabel 8). Analisis lebih lanjut mcmbcrikan data house index, con30

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Container Index Rata-rata container index di strata I 3.1, strata II 6.3, strata III 2.4 dan strata IV 5.5. Container index tertinggi di strata II. Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan container index di semua strata. Indek di strata 1-8.2, strata II 10.6, strata III 17.7 dan strata IV 15.2. Container index tertinggi di strata III. Setelah 3 bulan intervensi terjadi kenaikan breteau index di semua strata. Indek di strata I 29.8, strata II 38.8, strata III 33.5 " dan strata IV 43.3. Breteau index tertinggi di strata IV. Setelah 6 bulan intervensi terjadi penurunan container index di semua strata, kecuali di strata III naik menjadi 9.2. Penurunan terbesar di strata II menjadi 3,3. Breteau Index Rata-rata breteau index di strata I 9.0, strata II 13.8, strata III 7.8 dan strata IV 16.7. Breteau index tertinggi di strata IV. Setelah 6 bulan intervensi terjadipenurunan breteau index di semua strata. Penurunan terbesar terjadi di strata IV menjadi 3.3. Perubahan indek jentik di semua strata sebelum dan sesudah intervensi seperti pada Tabel 10. Pengawasan kualitas lingkungan yang konsisten merupakan cara pemberantasan yang paling efektif dalam menurunkan indeks jentik termasuk house index, container index, dan breteau index. Abatisasi dan PSN merupakan altematif cara pemberantasan yang efektif dalam menurunkan indek jentik. PEMBAHASAN Banyak rumah tangga yang berhasil diwawancarai dan diperiksa jentik balk sebelum dan sesudah intervensi mewakili

lebih dari 80% sampel. Besar sampel rumah tangga cukup memberikan data untuk menilai dampak intervensi pemberantasan vektor DBD terpadu. Karakteristik penduduk yang dipelajari terbatas pada pendidikan dan agama. Pendidikan ibu rumah tangga umumnya rendah. Pada sampel sebelum dan sesudah pemberantasan vektor memiliki proporsi yang besar yaitu lebih dari 60% terdiri dari kelompok tidak sekolah,tidak tamat SD, dan tamat SD. Proporsi pendidikan pada setiap strata tidak berbeda dan konsisten pada sampel sebelum .dan sesudah pemberantasan vektor. Agama ibu rumah tangga bervariasi pada sampel sebelum dan sesudah pemberantasan vektor. Sebelum clan . sesudah pemberantasan vektor lebih dari 85% sampel beragama Islam. Proporsi agama pada sebelum maupun sesudah pemberantasan tidak berbeda. Karakteristik penduduk sampel sebelum dan sesudah pemberantasan vektor sesuai dengan karakteristik penduduk kodya Sukabumi, di mana sebagian besar berpendidikan rendah dan beragama Islam. Kesamaan dalam karakteristik sampel memberikan peluang untuk membandingkan efek pemberantasan vektor terhadap perilaku penduduk. Pada umumnya penduduk telah memiliki pengetahuan yang benar dan sikap yang positif dalam pemberantasan vektor DBD, akan tetapi perilakunya masih rendah. Intervensi terpadu dalam waktu yang relatif singkat sangat efektif meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku penduduk terhadap pemberantasan vektor DBD. Hal ini mungkin disebabkan adanya gerakan PSN melalui instruksi Walikota dan adanya intervensi pengawasan kualitas lingkungan yang diadakan dari rumah ke rumah penduduk. Di semua strata pada umumnya penduduk memiliki pengetahuan yang benar mengenai DBD, dan yang paling rendah 73% terdapat di strata IV. Pengetahuan penduduk terhadap DBD yang masih rendah adalah mcngenai penyebab penyakit di semua strata; penularan dan cara pemberantasan vektor di strata IV. Setelah intervensi terdapat peningkatan pengetahuan di semua strata. PPE bervariasi antara 27,6—71,2, dan terbesar di strata IV yaitu 1,8 X PPE intervensi keseluruhan di kotamadya Sukabumi. PPE pengetahuan mengenai penyebab DBD bervariasi antara 10,2—66,6 dan terbesar di strata IV yaitu lebih dari 3 x PPE di strata lain. Begitu juga PPE pengetahuan mengenai cara penularan dan pemberantasan terbesar di strata IV di mana masingmasing mencapai 95% dan 100%. Pada umumnya penduduk memiliki sikap mengenai DBD yang positif di semua strata, dan yang paling rendah 81,8% terdapat di strata I. Sikap penduduk yang ' masih rendah adalah mengenai frekuensi pemeriksaan TPA di semua strata dan terendah di strata IV. Setelah intervensi terdapat peningkatan sikap positif di semua strata. PPE bervariasi antara 1,5—39,8, dan terbesar di strata IV yaitu lebih dari 2,5 x PPE intervensi keseluruhan di kotamadya Sukabumi. PPE sikap mengenai frekuensi pemeriksaan bervariasi antara 24—39,4 dan terbesar di strata I. Mengenai perilaku penduduk di semua strata pada umumnya masih rendah, dan terendah di strata IV yaitu 48,4%. Perilaku Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

31

penduduk yang masih rendah adalah mengenai frekuensi pengecekan TPA, pemberantasan nyamuk, penyimpanan pakaian tergantung, dan yang paling rendah terdapat di strata IV untuk ketiga aspek perilaku tersebut. Setelah intervensi terdapat peningkatan perilaku yang positif di semua strata IV yaitu lebih dari PPE 1,3 intervensi keseluruhan di kotamadya Sukabumi. Begitu juga PPE perilaku positif ketiga aspek mengalami peningkatan bervariasi antara 12,9–100. Data survei dasar memberikan gambaran pengetahuan, sikap dan perilaku penduduk sebelum intervensi yang paling rendah di strata IV. Setelah diadakan intervensi di semua strata terjadi peningkatan PPE, dan yang tertinggi di strata IV. Mengingat berbagai variabel yang diduga ada hubungan dengan PSP seperti pendidikan, agama dan stratifikasi tidal( ada perbedaan sebelum dan sesudah intervensi maka PKL merupakan cara yang sangat efektif dalam men ingkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku ibu rumah tangga di kotamadya Sukabumi. Vektor DBD di Kodya Sukabumi adalah A. aegypti dan A. albopictus. Tempat perindukan vektor berada di daerah pemukiman yang terutama di dalam perumahan dan gedung sekolah, TTU dan TTI. Situasi ini konsisten dengan data perilaku, di mana sebagian besar penduduk masih belum membersihkan tempat perindukan vektor. Pada survei dasar indek jentik di semua strata umumnya cukup tinggi yaitu rata-rata house index 12,3, container index 4,0, dan untuk breteau index 10,9. Indek jentik tersebut memberikan gambaran bahwa daerah Sukabumi merupakan daerah potensial DBD. Setelah 3 bulan intervensi, tidak terjadi penurunan indek jentik di semua strata. Ini mungkin karena dalam bulan Januari adalah musim hujan, di mana bertepatan dengan tingginya A. aegypti. Intervensi yang dilakukan memberi dampak akan tetapi dampaknya tidak terlihat. Walaupun demikian efek intervensi khususnyafogging mencapai cakupan lebih dari 90% rumah dan bangunan, serta mengurangi density nyamuk dewasa. Setelah 6 bulan intervensi terdapat penurunan house index terutama di strata I, II dan IH dan penurunan terbesar di strata IV meneapai 13,3. Penurunan ini juga terjadi pada container index khususnya di strata II dan IV. Penurunan di strata II lebih besar dari pada di strata IV. Penurunan breteau index hanya terjadi di strata IV yang meneapai 13,3, sedangkan di strata lain tidal( terjadi penurunan breteau index. Breteau index merupakan indikator yang lebih sensitif dari pada house index dan container index. Dengan demikian PKL merupakan cara yang efektif dalam memberantas tempat perindukan vektor DBD. Penurunan indek ini konsisten dengan peningkatan perilaku karma PKL di mana penduduk telah melakukan pembersihan tempat perindukan vektor A. aegypti. Dalam waktu yang relatif singkat PKL sangat efektif dalam meningkatkan PSP penduduk dan menurunkan indek jentik khususnya house index, dan breteau index. Fogging yang direncanakan dengan balk meneapai cakupan 'ang tinggi sehingga dalam waktu yang singkat dapat menurunkan density nyamuk. Kondisi ini dipertahankan dengan mengadakan abatisasi seIektif. Rupanya kegiatan abatisasi seiektif tivak nampak me32

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

nurunkan indek jentik A. aegypti. Indek jentik sebelum dan sesudah fogging, abatisasi selektif dan PSN masih tinggi. Sesudah abatisasi di strata I, II, III terdapat house index 7,5–18,5, container index 2,2–9,2 dan breteau index 10,4–23,5. Banyak hal yang mungkin menyebabkan tidak menurunnya indek jentik antara lain tenaga abatisasi yang kurang terlatih, sulit melaksanakannya, dan kurang mendapat sambutan masyarakat karena kurang informasi yang mendalam dan masyarakat berharap terlalu banyak dari fogging dan abatisasi. Kemudian upaya ini dilengkapi dengan kegiatan PSN yang merupakan upaya memobilisasi partisipasi masyarakat melalui segala macam media komunikasi dan pimpinan. Walaupun demikian kegiatan ini belum meneapai optimum. Sasaran, isi pesan dan metode perlu lebih terarah kepada hal-hal yang mendasar dan belum diketahui dan dilaksanakan masyarakat. Masyarakat belum mengetahui penyebab DBD dan cara memberantas jentik, maka PSN berkewajiban menjelaskannya dalam bahasa yang lebih sederhana. Apalagi dengan adanya instruksi yang diduga lebih menguntungkan. Kenyataan kurang membawa dampak yang luas karena pendekatannya melalui jalur dari atas (pimpinan) ke bawah. Pendekatan langsung melalui jalur bawah yaitu dari rumah ke rumah lebih menguntungkan. Masyarakat seeara aktif dapat berpartisipasi melakukan pembersihan lingkungan khususnya tempat perindukan A. aegypti. Pengawasan kualitas lingkungan yang dilakukan di desa Nanggeleng dan Citameang telah mengisi pendekatan tersebut. Kelemahan yang dihadapi pada PKL antara lain mobilisasi masyarakat secara besar-besaran yang dilengkapi dengan pemberian fasilitas mengakibatkan intervensi kurang efisien. Oleh karena itu perlu adanya upaya pengembangan lebih lanjut mengenai eara intervensi PKL yang lebih efektif dan efisien. PKL menggunakan staf kelurahan yang terbatas diduga menjadi alternatif yang lebih efektif dan efisien. KEPUSTAKAAN 1. Anwar S. Penanggulangan fokus DBD di Kodya Sukabumi, Lokakarya Demam Berdarah di Sukabumi 1987, Dit. Jen PPM & PLP 1986. 1-7. 2. Bang Yll, Shah NK. Regional Review H)IIF Situation and Control of A. aegypli in South East Asia. Dengue Newsletter, World Health Organization, New Delhi, 1986; (Dec) 12: 2-9. 3. Kalra NL, Bang Yll. General Guidelines for Community Participation in the Control and Prevention ..1 vectors of Dcngue/DIIF in Tropical Asia, WIIO, New Delhi, 1984. 1-19. 4. Oppcnhcim. Qucstionaire Design and Attitude Mcasurrcment. New York: Basic Books, Inc Pub 1966. 105-160. 5. Suroso T. Pemberantasan Demam Berdarah. Makalah Seminar Sehari 25 Agustus 1988, Dit.Jen PPM & PLP Dcpanemen Kesehatan, 1986. 1-7. 6. Dit.Jen PPM & PLI'. Ilasil Lokakarya Penyusunan Stratcgi Pemberantasan I)BD dcngan Peranscrta Masyarakat, Ciloto, tanggal 25—27 Agustus 1988. 1-10. 7. Bang Yll, Shah NK. Regional Review of DIHF Situation and Control of Aedesaegypti in South-East Asia. Dengue Newsletter, WHO Rcg. Off for SEA New Delhi, 1986. 1-10. 8. Scin Kyow. Knowledge, attitude-practice survey on dengue hacmorrhagic fever in Kyank Tan Village Moulmein Townslip, Mon State Birma. Dengue Newsletter. WI 10 Reg Off for SEA New Delhi, 1986. 17-20. 9. Suroso 'l, Ahas Abdulkadir, Ali 1•rhar, Gunawan, Faltah Noor, Bactiar, Yusuf. Knowledge-attitude practice of the c anmunity in the prevention of DHHF in Pontianak, Hndonesia, July 1986. Dengue News letter. WHO Reg

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Direktur Jenderal PPM dan PLP, Dr. Gandung Hartono yang telah memberikan kesempatan pada kami untuk melakukan survei, d an kepada Dr. Arwati S yang telah membantu seluruh kegiatan pemberantasan DBD di Sukabumi. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Dinas Kesehatan Kodya Sukabwni Dr. Satya, dan Kepala Seksi P3M Dinas Kesehatan Kodya Sukabumi Dr. Anwar, alas bantuannya selama pelaksanaan survei di daerah. Kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya survei, kami mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

33

Recent Developments in Research on Dengue Hemorrhagic Fever Duane J. Gubler, Sc. D. Division of VectorBorne Infectious Diseases, National Center for Infectious Diseases, Centers for Disease Control Fort Collins, CO 80522, USA

ABSTRACT

The global resurgence of epidemie dengue/dengue hemorrhagie fever during the past 15 years has underseored the need to develop improved diagnostie techniques as well as more effeetive prevention and eontrol strategies. There has been signifieant progress in both of these areas in the past 5 years. This paper will give a brief overview of reeent advanees in methodologies that ean be used both for laboratory diagnosis and for surveillanee, and of reeent developments in dengue vaecine researeh. Development of the polymerase ehain reaetion (PCR) has provided potentially the most useful diagnostie methodology in reeent years. This teehnique is based on making oligonueleotide primers that are unique to selected regions of the genome of a partieular agent, in this case dengue virus. These primers ean be both serotype and virus speeific. They are used to amplify small amounts of cDNA by PCR. Several PCR approaches have been developed for dengue viruses, most of whieh have eomparable or slightly less sensitivy than virus isolation in detecting dengue virus in viremic serum. In prineipal, however, the PCR teehnique should have greater sensitivity while giving eomparable specifieity. The PCR teehnique has been extremely useful in determining genetie differenees between dengue virus strains of the same serotype. This method, which looks at the whole envelope protein, has allowed us to reelassify the dengue virus topotypes that were originally determined by alogonueleotide fingerprinting. Reeent data on the molecular epidemiology of dengue-2 and dengue-3, and the epidemlologie implieations will be discussed.

34

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Another exeiting advanee in reeent years is the development by Mahidol University scientists in Thailand, of attenuated live virus eandidate vaeeines for all four dengue serotypes using primary dog kidney (PDK) eells. These have all been safety tested in humans as Monovalent vaeeines with exeellent results. Reeent safety trials as bivalent, trivalent and tetravalent vaeeines have shown that there is no interferenee between the viruses when given to humans simultaneously. Rather, there appears to be an enhaneement of the dengue-1 and dengue-3 eandidate vaeeines by the dengue-s and dengue-4 candidates. When given in an tetravalent formulation, neutraliaing antibody develops to all four serotypes. The progress with the PDK attenuated eandidate vaeeines is exeellent, but it is elear that if a dengue vaeeine is to be used to prevent dengue hemorrhagic fever, it must not only be safe and effeetive, but economieal. It is unlikely that the Mahidol University PDK eandidates vaeeine ean be produeed in large enough quantities and will be economieal enough to be used on a wide seale in the developing world. Therefore, it will probably be neeessary to develop a genetically engineered recombinant vaeeine for this disease. Considerable researeh has been done in this area in reeent years and the teehnology is now being applied to recombinant dengue vaeeine development. The most likely approaeh will be to develop eDNA infectious elones for eaeh of the serotypes. This research will be diseussed along with prospects for its use in prevention and eontrol of dengue hemorrhagie fever.

Patogenesis dan patofisiologi Demam Berdarah Dengue Sutaryo Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Patofisiologi dan patogenesis Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever/Dengue Shock Syndrome (DHF/DSS) menjadi subyek yang utama dalam bidang penelitian dengue, dalam upaya untuk menjelaskan manifestasi klinis dengue yang sangat luas, dari ringan sampai berat. Tetapi basil penelitian yang sudah hampir satu abad belum dapat menerangkan mekanisme yang sesungguhnya tentang patofisiologi dan patogenesis dari DHF/DSS. Kesulitan para peneliti salah satunya karena model binatang pereobaan untuk menimbulkan gejala klinis yang mirip DHF pada manusia tidak tersedia. Perubahan pokok patofisiologi yang terjadi pada DHF/DSS adalah pertama vaskulopati, ke dua trombopati, ke tiga koagulopati, ke empat perubahan imunologi humoral dan seluler. Diperkirakan perubahan patofisiologi tersebut disebabkan oleh tidak hanya satu faktor tetapi disebabkan oleh multifaktorial. Vaskulopati ditandai dengan terjadinya kerapuhan pembuluh darah dan peninggian permeabilitas kapiler. Keiapuhan pembuluh darah dibuktikan dengan uji tourniquet atau Rumpel Leede atau uji Hess. Uji ini mungkin positif meskipun waktu perdarahan normal ' . Sehingga muneul pertanyaan mendasar terhadap kriteria WHO (1986) mengapa fenomena ini dipakai dalam lingkup kriteria manifestasi perdarahan yang minimal. Tes resistensi kapiler tersebut sebaiknya dipisahkan dari kriteria manifestasi perdarahan. Permeabilitas kapiler yang meningkat menyebabkan protein plasma dan eairan dari intravaskuler boeor ke ektraeaskuler( 2) . Hal tersebut terbukti dengan timbulnya hemokonsentrasi, efusi pleura, aseites, edema, hipoproteinemia terutama hipoalbuminemia. Biopsi pada bereak merah di kulit menunjukkan adanya edema perivaskuler pada mikrovaskulatur terminal di daerah papila kulit, dengan infiltrasi limfosit dan monosit. Di daerah ini (

)

dapat ditemukan antigen dengue, deposit kompolemen, imunoglobulin dan fibrinogen pada dinding vasa at . Pada fase awal timbul vaskulopati dan disfungsi trombosit, selanjutnya muncul trombositopenio). Fungsi trombosit yang terganggu berupa penurunan agregasi, kenaikan platelet faetor 4 (PF4) dan penurunan betathromboglobulin (BTG) disertai memendeknya umur trombosit. Mekanisme hipoagregasi trombositbelum jelas. Kemungkinan agregasi trombosit dihambat oteh adanya kompleks imun yang terdiri atas antigen virus dengue dengan antiodi anti dengue di dalam plasma atau dihambat oleh fibrinogen degradation product (FDP). Tetapi karena FDP tidak selalu ada, penjelasan melalui hambatan FDP tidak dapat dipertahankan. Boonpueknavig et at. (1979) menunjukkan adanya antigen dengue dan komplek antibodi di permukaan trombosit( s ). Apakah hal ini yang menyebabkan terjadinya hipoagregasi belum diketahui. Trombositopeni pada DHF dapat disebabkan karena adanya komplek imun di permukaan trombosit. Komplek imun tersebut akan menyebabkan rusaknya trombosit yang kemudian akan diambil hati dan lien (6) . Trombositopeni dapat juga terjadi karena depresi sumsum tulang m dan konsumsi yang berlebihan di sirkulasi o) . Koagulopati dibuktikan dengan adanya penurunan faetor fibrinogen, faetor V, VII, VIII, X dan XII. Pada DHF fase akut terjadi koagulasi intravaskuler dan fibrinolisis. Telah dibuktikan adanya peman jangan partial thromboplastin time, perpan jangan thrombin time, penurunan fibrinogen dan kenaikan FDP hersama-sama dengan penurunan antithrombin IIi, alfa-2 antiplasminogen(6,9,10). Koagulasi intravaskuler ini terutama pada DSS( "• ) Perubahan imunologik pada DHF terdiri atas perubahan imunologik humoral dan seluler. Perubahan humoral dapat dibuktikan dengan terbentuknya antibodi IgG yang dipakai se1

Cermin Dunia Kedokteran

Edisi Khusus No. 81, 1992

35

bagai dasar uji haemaglitinasi inhibition (HI) dan Dengue Blot, dan IgM yang pada umumnya dideteksi dengan IgM Elisa Capture. Selain komplek imun IgG dan IgM, juga ada komplek imun IgA dan IgE( 13). Perubahan imunologik seluler adalah terjadinya leukopeni pada fase akut disertai aneosinofili, kenaikan monosit dan basofili. Limfosit-T menurun dan limfosit-B (5,14) meningkat pada fase akut Secara hematologis di darah tepi dengan pengecatan May Grunwald, Giemsa atau Wright muncul satu tipe khas sel limfosit atipik yang disebut limfosit plasma biru (LPB). LPB berbentuk bulat tetapi adakalanya ameboid. Sitoplasma biru tua sampai gelap dengan vakuolisasi. Vakuolisasi dapat halus sampai sangat nyata menyerupai sel lemak. In ti umumnya berbentuk bulat, oval atau seperti ginjal, dengan kromatin renggang, kadang tampak ada nukleoli, terletak eksentris. Di tepi nuklei ada there' perinuklear yang jernih, kadang-kadang terdapat gambaran dalam berbagai tingkat mitosis( 13 ). Sebetulnya perubahan pada limfosit tersebut sudah diamati lama. Stitt (1907) mengamati pada awal penyakit dengue proporsi limfosit keeil meningkat, lalu diikuti li mfosit besar yang dominan". Setelah itu muneul menonuklear yang•besar dan transitional cells. Muneulnya transitional cells atau limfosit yang sejenis itu juga ditemukan oleh penelitian ts•" -24). Karena bentuk LPB menyerupai plasma sel, dan pada saat itu muneul kenaikan imunoglobulin dan kenaikan limfosit-B, maka diduga LPB adalah termasuk populasi limfosit-B. Hasil imunoperoksidase dengan menggunakan monoklonal antibodi CD4, CD7, CD8, CD22, Ia dan DR didapatkan LPB tersebut merupakan eampuran dari li mfosit-T dan limfosit-B dengan perbandingan 1:1, sedang perbandingan T helper dan T supressor 2:3. Pada kasus-kasus yang berat jumlah T supresor terdapat kecenderungan lebih meningkat o'). Arti diagnostik LPB adalah dapat membantu memilahkan infeksi dengue dan non-dengue. Dengan LPB 4% pada darah tepi basil sensitivitas dan spesifisitas pada hari ke empat dan ke li ma adalah : 68% dan 86%, 81% dan 83%. Apalagi kalau digabung dengan uji tourniquet yang positif, kombinasi kedua parameter tersebut mempunyai nilai sensiti vitas dan spesifisitas pada hari keempat dan kelima sebesar 81% dan 84%, 84% dan 86%. Uji tersebut sangat spesifik kalau digabung dengan trombositopenia (< 150.000/mmkubik) sejak hari kedua demam. Selain sebagai pembantu diagnosis dini (sebelum timbul shock), penghitungan LPB relatif sederhana yaitu dengan menggunakan preparat dan pengecatan rutin hematologi: Giemsa, Wright atau May Grunwald. Ketiganya memberikan basil yang tidak berbeda. Prosentase LPB tidak dipengaruhi oleh status nutrisi pasien, pemberian obat parasetamol, salisilat, ampisilin, kloramfenikol( 8 ). Dari kejadian di atas, yaitu adanya perubahan vaskuler, trombosit, koagulasi, imunologi seluler dan humoral, para ahli kemudian menyusun teori patogenesis. Bermacam-macam teori patogenesis diajukan oleh banyak pakar, dan kadang bertentangan. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis DHF belum jelas. Di sini akan dibicarakan hipotesis patogenesis secara umum. 36

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

Hipotesis infeksi sekunder yang berturutan dengan virus serotipe yang lain Sabin (1952) merupakan peneliti pertama yang mengamati bahwa kejadian manifestasi klinis dari penyakit merupakan reinfeksi dengan virus jenis lain pada beberapa waktu setelah serangan pertama t2o . Kesimpulan tersebut berdasarkan pengamatan wabah dengue di sekiitar perang dunia kedua. Teori infeksi sekunder itu dikembangkan oleh Halstead (1969)( V ). Pada studi epidemiologi didapatkan bahwa kasus DHF/DSS lebih banyak didapatkan pada populasi dengan reaksi serologis yang menunjukkan infeksi sekunder, ada dua puneak distribusi kasus di Thailand, virus eepat menghilang setelah fase akut, lalu disusun teori sebagai berikut : penyakit akan muneul bilamana seseorang setelah terinfeksi virus dengue untuk pertama kali kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue tipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. Di Thailand, Sangkhawibha (1984) dan Burke (1988) membuktikan bahwa faktor risiko yang penting adalah infeksi berturutan virus Den-1 . diikuti dengan Den-2 Antibodi terhadap dengue sebelum infeksi yang kedua merupakan faktor penting patogenesis dengue. Menurut hipotesis ini infeksi primer pada umumnya menyebabkan penyakit ringan. Infeksi sekunder pada individu yang telah mempunyai antibodi heterolog merupakan kondisi kritis untuk terjadinya DHF/DSS( • ). Ada kemungkinan bahwa vaksinasi Japanese-B diikuti infeksi virus dengue akan menimbulkan gejala klinis penderita dengue yang lebih berat( 31) karena pada pasca vaksinasi muneul antibodi terhadap flavivirus. Kenaikan antibodi terutama IgG dan IgM dan kenaikan komplemen C3a dan C5a menumbuhkan pemikiran adanya teori antigen antibodi akan mengaktivasi komplemen. Karena C3 proaktivator normal maka Ikeuchi (1981) menduga bahwa aktivasi komplemen bukan melalui jalur altematif". Virus dengue eepat hilang dari darah dan jaringan o ). Hal tersebut diduga antigen virus dinetralisir oleh antibodi. Malasit (1987) mendapatkan kenaikan C3a mempunyai korelasi dengan berat ringan penyakit°2). Kadar C3a pada DHF IV secara bermakna lebih tinggi daripada kelompok yang lain yang lebih ringan, adanya sirkulasi imun kompleks dalam darah03) dan histamin pada air kencing' 33) , semuanya memperkuat teori aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen akan memproduksi C3a dan C5a yang akan menaikkan permeabilitas kapilero' ) . Teori infeksi sekunder yang berturutan dengan serotipe lain tersebut temyata tidak selalu dapat menerangkan kejadian DHF/ DSS. Pertanyaan yang masih tetap belum terjawab adalah : mengapa tidal( semua infeksi sekunder menimbulkan infeksi berat dan itu merupakan proporsi yang sangat besar (97–99% tidak shoek). Kalau teori tersebut benar maka di daerah endemis akan sangat mungkin muncul infeksi ke tiga, ke empat dan seterusnya yang tentunya akan menimbulkan reaksi lebih berat. Demikian juga akan sangat riskan kalau mendapat vaksinasi, karena akan menimbulkan antibodi di dalam tubuh. Infeksi beratpun dapat juga terjadi pada infeksi primer. Hal tersebut dilaporkan di Jakarta, Kepulauan Tonga, Manila, dan (28.29)

29 30

Bangkok( 35.36.37). Di beberapa kepulauan Pasifik pernah terjadi hanya satu tipe virus yang beredar tetapi dapat menimbulkan shoek, jadi tidak hams heterologis. PERANAN ANTIBODY DEPENDENT ENHANCEMENT (ADE) Untuk menjawab pertanyaan di atas lalu muneul teori peranan ADE. Virus dengue termasuk flavivirus. Pada flavivirus ada kejadian, suatu peningkatan pembiakan virus kalau sebelumnya sudah ada antibodi sebelumnya( 38). Tetapi dengan syarat antibodi ini tidak menetralisir infeksi flavivirus yang datang belakangan. Antibodi tersebut bersifat subneutralising. Karena antibodi yang subneutralising tersebut malahan memaeu pertumbuhan virus disebutAntibodyDependent En hancement (ADE). Teori itu memperkirakan proses terjadinya kenaikan replikasi virus adalah sebagai berikut : pada infeksi sekunder akan terbentuk komplek imun yang dibentuk oleh virus dengan antibodi kadar rendah yang bersifat subneutralising dari infeksi primer. Imun komplek itu lalu melekat pada reseptor Fe pada mononuklear fagositosis (terutama makrofag). Ini akan mempermudah virus masuk sel dan meningkatkan multiplikasi. Kejadian tersebut menimbulkan viremia yang lebih hebat dan semakin banyak sel makrofag yang terkena. Penemuan pada flavivirus tersebut kemudian diteliti pada dengue. Ternyata memang serupa hasilnya. Pada kera yang sudah pernah mendapat infeksi sebelumnya, kejadian viremia lebih hebat daripada yang tidak terinfeksi sebelumnya. Untuk menjawab adanya kasus berat pada anak di bawah umur 1 tahun, diadakan penelitian kemungkinan imunoglobulin pasif antidengue dari ibu yang dibawa anak. Ternyata antibodi tersebut menurun setelah 8 bulan. Pada saat antibodi maternal dari ibu meneapai kadar subneutralising di situlah dapat timbul serangan DHF39). Dan hal itu menerangkan infeksi primer pada bayi sebetulnya seperti infeksi sekunder. Peranan ADE tidak dapat dipisahkan dengan peranan makrofag. Peranan Makrofag Makrofag adalah salah satu sel target pada infeksi dengue. Pembiakan virus terjadi di dalam selk ini, semakin banyak makrofag yang diinfeksi virus makin berat penyakit yang timbul. Berat ringan penyakit dapat diduga dipengaruhi seeara genetis, yaitu dengan eara membantu atau menghambat pertumbuhan virus dalam monosit( 30). Di Kuba mononuklear orang kulit putih lebih peka dari pada orang kulit hitam (40) . Peranan IgM Russel et al, (1968) melaporkan terjadi kenaikan IgG pada infeksi sekunder, tetapi IgM tidak meninggi t3o . Dengan eara .42 yang lebih spesifik IgM dapat diukur seeara kuantitatif(' ) IgM anti dengue menurun sampai tidak dapat dideteksi kadarnya setrelah 30-60 had43). Pada 151 penderita DHF yang dipastikan secara virologis, IgM terdapat pada 77,5% kasus. IgM akan muneul pada fase awal penyakit yang dimulai pada hari ke44.45.4 empat( ) Infeksi sekunder tidak selalu menimbulkan dengue berat, dengue berat hanya muncul pada 1-3% kasus. Salah satu

faktor yang mempengaruhi kejadian itu adalah IgM spesifik terhadap dengue. IgM yang bersifat netralisasi dapat berikatan dan menetralisasi infeksi sekunder sehingga mencegah timbulnya sakit yang berat. Bila IgM tidak cukup, alma timbal peningkatan IgG yang akan menghasilkan dengue bentuk yang berat(47). TEORI VIRULENSI VIRUS Berbeda dengan pendapat di atas, ahli lain berpendapat bahwa yang menyebabkan penyakit adalah virulensi virus. Teori virulensi virus menyatakan bahwa untuk timbulnya DHF tidak perlu dua kali infeksi, satu kali saja eukup bila virusnya virulen. Permasalahan dalam pembuktian teori ini adalah tidak ada petandalaboratorium untuk virulensi,kesulitan lain adalah masalah isolasi strain dengue pada penderita dengan pen yakit perdarahan. Teori tersebut didukung kenyataan bahwa ada bayi dengan perdarahan dan shok dengan isolasi virus35.4s) dan Plaque Reduction Netralization Test (PRNT) yang positiP melaporkan adanya gambaran yang tidak umum pada epidemi dengue tipe 2 di Kepulauan Niue pada tahun 1985. Sebagian besarpopulasi sudah mempunyai antibodi terhadap dengue tipe 2 tetapi tidak ada kasus DHF/DSS yang dijumpai. Hal ini sama sekali bertolak belakang dengan pendapatan di Thailand. Penelitian di Kepulauan Niue menimpulkan bahwa komplikasi yang serius tidak selalu akibat dari epidemi yang berturutan berdasar tipe virus yang berbeda.

TEORI TROMBOSIT ENDOTEL Trombosit dapat mengeluarkan bermaeam-maeam mediator, sedang sel endotel mempunyai bermaeam-maeam reseptor (misalnya untuk histamin, interleukin-1), yang dapat melepaskan bahan-bahan vasodilator yang kuat misalnya prostasiklin, dan dapat mensintesis dan mengeluarkan banyak bahan, misalnya Platelet Activating Factor, Plasminogen Factor, InterleukinJ(49.50)• Pada keadaan normal trombosit tidak menempel pada endotel. Gangguan endotel akan menimbulkan agregasi trombosit, aktifisi kogulasi dan sistem fibrinolisis( S1 Penderita DHF mempunyai koagulasi intravaskuler tipe akut, baik koagulasi dan sistem fibrinolitik diaktivasi pada waktu yang sama. Pada waktu itu juga terdapat trombositopeni, trom.u.52 . Kebosit yang besar, antibodi terhadap trombosit" mungkinan trombosit akan mengeluarkan granula yang mengandung histamin like substance dan 5-hydroxytrytamine yang akan menyebabkan kenaikan permeabilitas kapiler. Semakin berat penyakit didapatkan semakin lama dan semakin 53 berat kejadian trombositopeni( ). Keparahan penyakit tergantung pada berat ringan permeabilitas kapiler. Korelasi antara trombositopeni dengan berat-ringan kenaikan permeabilitas vaskuler belum diteliti, karena salah satu faktor, yaitu, kesulitan teknis dalam mengukur agregasi trombosit selama trombositopeni, dan juga karena kesulitan membagi derajat permeabilitas kapiler.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

37

TEORI MEDIATOR Terjadinya manifestasi yang berat pada DHF berlangsung antara 48 – 72 jam. Setelah itu terjadi penyembuhan yang cepat, praktis tanpa gejala sisa. Pada autopsi tidak didapatkan hal-hal yang khas. Oleh karena itu dipikirkan adanya suatu mediator berumur pendek pada fase akut(" ) . Halstead mempunyai dugaan mediator yang dikeluarkan oleh makrofag yang diaktivasi akan menimbulkan perdarahan, gangguan koagulasi, perbeabilitas kapiler yang meninggi dan lisis sel. Meskipun tidal( persis sama, kejadian pada saat shock pada dengue mirip dengan septik shock. Kedua shock itu mempunyai beberapa kesamaan sifat antara lain trombositopenia, perubahan pada komplemen, faktor XII, sistim resistensi vaskuler dan koagulasi intravaskuler. Pada sepsis interleukin-6 dan elastase naik secara nyata dan prekallikrein . menurun(" ") LPB sebagai limfosit-B yang berhubungan dengan produksi imunoglobulin tidak menimbulkan banyak pertanyaan. Tetapi LPB terdiri juga atas limfosit –T CD4+ dan pada yang berat ada kecenderungan CD8+ meningkat( 25) . Kurane (1990) membuktikan bahwa soluble interleukin-2 receptor, soluble CD4 dan soluble CD8 meningkat sangat bermakna pada DHF/DSS bila dibanding dengan DF"). Dibuktikan juga bahwa aktivasi CD8+ mengeluarkan interferon gama. Interferon gama akan mengaktivasi makrofag, dan makrofag akan mengeluarkan mediator. Dan keempat teori patogenesis tersebut tidak satupun yang dapat menuntaskan pelbagai pertanyaan pada dengue. Oleh karena itu sekarang ini penelitian ke arah biologi molekuler terhadap virus dengue59 diharapkan dapat membantu memperjelas patogenesis infeksi dengue. RINGKASAN Perubahan patofisiologi pada DHF yang sudah diketahui antara lain perubahan pada vaskuler, trombosit, koagulasi dan imunologi. Pada perubahan vaskuler terjadi kerapuhan pembuluh darah dan kenaikan permeabilitas kapiler. Trombosit pada fase awal penyakit akan terjadi gangguan fungsi, kemudian menyusul trombositopenia, gangguan agregasi, penurunan betathromboglobulin, kenaikan PF4 dan umurnya memendek. Koagulopati yang terjadi berupa penurunan sejumlah faktor koagulasi, dan terjadi pula koagulasi intravaskuler. Perubahan imunologi seluler dan humoral antara lain munculnya leukopenia, aneosinofilia, limfosit plasma biru, penurunan limfosit –T dan kenaikan limfosit-B, peningkatan imunoglobulin dan komplek imun. Saat ini terdapat banyak teori patogenesis DHF yang menunjukkan belum jelas patogenesis yang sesungguhnya. Pawgenesis tersebut antara laijn infeksi sekunder yang berturutan dengan tipe virus yang lain, yang ada hubungannya dengan ADE, IgM dan makrofag, teori virulensi virus, teori trombosit-endotel, dan teori mediator. Tidak satupun teori patogenesis itu dapat menjelaskan terjadinya DI-1F secara tuntas. Diharapkan penelitian biologi molekulerdapat membantu men jelaskan patogenesis DHF. Kemungkinan besar DHF merupakan penyakit multifaktorial. 38

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

39

Demam Berdarah Dengue berat dengan konfirmasi virologik Suglanto D, Tatang K. Samsi UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak/Rumah Sakit Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) berat atau DBD yang disertai renjatan masih merupakan salah satu sebab kematian pada anak sekalipun penyakit ini sudah dikenal di Indonesia lebih dari 20 tahun( ' . Sampai saat ini, dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian ialah kesukaran menduga penderita DBD mana yang akan mengalami renjatan atau renjatan berulang dan berakhir dengan kematian. Hal ini disebabkan patogenesis renjatan belum diketahui dengan jelas. Yang banyak dianut ialah hipotesis Dengue Heterolog Sekunder di samping adanya dugaan virulensi dari virusnva sendiri yang berperan sebagai penyebab renjatan (2) . Diagnosis pasti DBD ialah ditemukannya virus Dengue, partikel virus atau antigen dan respons antibodi penderita. Isolasi virus membutuhkan waktu lama dan virus yang dapat diisolasi hanya beberapa hari dari sakitnya. Oleh karena itu, dalam praktek dan laporan-laporan makalah hanya diagnosis klinis dan serologis yang lebih banyak digunakan o) . Untuk mendapatkan gambaran virologis, manifestasi klinis, prediksi renjatan berulang dan prognosis yang lebih akurat maka dalam makalah ini hanya ditinjau penderita BDB berat dengan isolasi virus positif. SUBJEK DAN METODA Subjek ialah penderita DBD derajat III/IV yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras/FK Untar dalam kurun waktu 55 bulan (1 September 1987 -31 Maret 1992). Diagnosis DBD derajat III/IV ditegakkan alas dasar kriteria WHO 1986, konfirmasi serologis (H.I. test, IgM dan IgG Elisa) dan isolasi virus (2.4) . Kriteria yang digunakan untuk : 1) Renjatan teratasi. a) Kenaikan tekanan sistolik dan diastolik, dengan tekanan 40

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

sistolik > 80 mmHg dan tekanan nadi > 20 mmHg. b) Nadi pada perabaan ada perbaikan dalam keeepatan dan isinya. c) Kulit tidak dingin dan lembab. 2) Renjatan berulang. Renjatan lebih dari satu kali setelah teratasi. Untuk pemeriksaan serologis (H.I. tes, IgM dan IgG Elisa) dan isolasi virus diambil darah subjek sebanyak 2–5 ml. pada masa akut dan konvalesen. Pemeriksaan ini dilakukan atas kerja sama dengan NAMRU-2. Uji statistik dilakukan terhadap kadar rata-rata IgM dan IgG dari masing-masing spesimen I, II dan III. Juga terhadap beberapa faktor dalam hubungannya dengan renjatan berulang dan prognosis. Metoda yang digunakan ialah uji student-t dan Chi kuadrat (X 2) dengan koreksi Yate dengan tingkat kemaknaan yang diharapkan p < 0,05. HASIL Isolasi virus positif didapat sebanyak 45 (10,3%) dari 438 penderita DBD dengan renjatan. Dari 45 penderita yang diteliti, 38 (84%) dengan derajat III termasuk di dalamnya 7 (16%) penderita yang mengalami renjatan dalam rawat nginap dengan DBD. Derajat IV sebanyak 7 (16%) penderita (Tabel I). Umur berkisar antara 2,5 -13 tahun (gam bar 1). Umur ratarata 8 tahun 2 bulan dengan penderita terbanyak golongan umur 8 – 10 tahun (31%) dan paling sedikit golongan umur 2 -4 tahun (11%) dan golongan umur 6 – 8 tahun (11%). Jenis kelamin penderita terdiri atas 23 (51%) anak perempuan dan 22 (49%) anak laki dengan rasio anak perempuan dan laki 1,04 : 1. Gejala klinis terlihat pada Tabel H; demam merupakan gejala utama pada semua penderita DBD berat dengan nilai rata-

Tabel IV. Interpretasi tes HI penderita DBD berat dengan konfirmasi virologis menurut WHO 1975 dan 1986 Tabel II. Gejala klinis DBD berat dengan konfirmasi virologis

Kadar rata-rata IgM dan IgG dari spesimen I, II dan Ill terlihat pada tabel V. Nilai rata-rata IgM dan IgG dari spesimen I tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Perbedaan bermakna Tabel V. Kadar rata-rata immunoglobulin M dan G penderita DBD berat dengan konfirmasi virologis

rata suhu tubuh pada saat renjatan 37,7° ± 1 °C. Lama demam di rumah sampai timbul renjatan berkisar antara 2 — 7 hari dengan nilai rata-rata 5 ± 1 hari. 86% penderita sudah menderita demam di rumah selama 3 — 5 hari (Gambar 2). Gejala klinis lain yang menonjol ialah muntah, nyeri abdomen dan hepatomegali, meliputi lebih dari 60%. Pemeriksaan laboratorium darah sederhana pada saat renjatan terlihat pada tabel III. Didapat hemokonsentrasi (nilai ratarata Hb 13,0± 1,6 dan Ht 41 ± 6,1), trombositopeni (nilai rata-rata trombosit 96.000 ± 86.000) dan lekopeni (nilai rata-rata lekosit 4600 ± 2700). Pemeriksaan serologis untuk tes HI, hanya 35 penderita yang dapat dinilai. Interpretasi menurut WHO 1975 maupun WHO 1986 menunjukkan bahwa infeksi primer lebih banyak daripada sekunder (tabel IV).

baru terlihat pada masa konvalesen yaitu spesimen II dan III. Hubungan isolasi virus dan scat renjatan terlihat pada gambar 3. Isolasi virus dari saat renjatan sampai 2 hari sesudah renjatan didapat 80% dengan frekuensi terbanyak satu hari sesudah renjatan sebanyak 44%. Serotipe virus Dengue terbanyak Dengue 3, sejumlah 71% dan paling sedikit Dengue 4 hanya 5%. Jumlah penderita yang meninggal karena Dengue 1 sejumlah 25% dan Dengue 3, 75%. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

41

Kalau ditinjau persentase dari masing-masing virusnya (fatality rate) untuk Dengue 1 dan 3 sejumlah 20% dan 9%. Secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (Tabel VI). Faktor-faktor yang mempengaruhi renjatan berulang dan prognosis terlihat pada Tabel VII. Dari sekian banyak faktor yang menunjukkan perbedaan bermakna hanya melena sedangkan untuk prognosis ialah teratasi tidaknya renjatan dalam 1– 2 jam dan renjatan berulang (Tabel VIII).

42

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

PEMBAHASAN Bukti-bukti yang mendukung hipotesis Dengue heterolog sekunder ialah menghilangnya virus Dengue dengan cepat baik dari darah maupun jaringan tubuh, kadar immunoglobulin G yang tinggi dari permulaan sakit dan menurunnya kadar komplemen serum selama fase renjatan( 3). Viremia Dengue merupakan kejadian sesaat (self-limited). Umumnya virus yang berhasil diisolasi dari penderita DBD berkisar 10 – 20%( 2.5,6) . Dari hasil penelitian didapat 10,3% kasus DBD dengan renjatan yang mempunyai virus positif. Hal ini telah dilaporkan oleh Sumanmo (1983) yaitu pada kasus DBD berat yang meninggal masih dapat diisolasi virusnya ('). Lamanya viremia dapat berlangsung sampai hari ke-8 dari demam("). Kalau ditinjau dari saatrenjatan, viremia masih berlangsung sampai 2 hari sesudah renjatan dan meliputi 80% 'kasus (gambar 3). Serotipe virus yang predominan ialah Dengue 3 dan bila dihubungkan dengan kasus fatal tidak menunjukkan perbedaan bermakna dengan virus Dengue 1. Kadar immunoglobulin M dan G dari spesimen I (fase akut) secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Hal ini tidak sesuai dengan teori infeksi sekunder yang mana kadar IgG tinggi sejak permulaan sakit. Dari hasil tes HI baik menurut kriteria WHO 1975 maupun WHO 1986 didapat respon primer lebih banyak dari pada sekunder dengan titer spesimen pertama < 320 yang meliputi 90% kasus. Dengan adanya viremia dari saat renjatan, kadar immunoglobulin G yang hampir tidak berbeda dengan immunoglobulin M, dan tes HI menunjukkan respon primer yang lebih banyak, maka dari hasil penelitian ini lebih menyokong ke arah infeksi k primer. udkialn Hal ini sesuai dengan penelitian yang sudah 9,1m oleh Rosen (1976) dan Scott (1976)( Mengenai gejala klinis, demam tetap merupakan gejala utama. Demam hari ke-2 dan ke-7 walaupun frekuensinya kecil (14%) tetap harus diwaspadai. Gejala lain yang menonjol – muntah dan nyeri abdomen harus mendapat perhatian karena kedua gejala ini tidak termasuk dalam kriteria WHO. Trombositopeni dan hemokonsentrasi pada penelitian ini didapat sekitar 50% – 60% sesuai dengan peneliti-peneliti sebelumnya l.12.13) Tes turniket yang dianggap sebagai gejala penting pada pasien DBD meliputi sekitar 50% – 70% kasus, namun dari hasil penelitian ini hanya didapat 33% karena penderita sudah jatuh dalam renjatan. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah sederhana didapat nilai rata-rata saat renjatan; Hb 13 g%, Ht > 40% dan trombosit sekitar 100.000/mm3 . Nilai ini tidak jauh berbeda

dengan penelitian sebelumnya( 14) Pada penelitian ini dari sekian banyak faktor yang mempunyai hubungan dengan renjatan berulang hanya gejala melena. Gejala ini penting karena dengan adanya gejala ini segera dipersiapkan darah segar sehingga bila dijumpai renjatan berulang dan gejala perdarahan lainnya dapat langsung dilakukan tranfusi darah. MenurutFunahara (1990), 6 dari 8 kasus renjatan berulang terjadi karena lekositosis hingga diduga yang berperan sebagai pencetus renjatan berulang ialah infeksi bakteri( m . Pada penelitian ini lekositosis hanya dijumpai 3 kasus dan satu kasus yang mengalami renjatan berulang. Secara statistik tidak menunjukkan perbedaan bermakna (Tabel VII). Faktor-faktor yang berpengaruh buruk terhadap prognosis ialah renjatan berulang dan gagalnya mengatasi renjatan dalam 1 – 2 jam pertama. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya" KESIMPULAN 1. Infeksi primer lebih berperan pada DBD berat. 2. Gejala melena mempunyai hubungan erat dengan renjatan berulang. 3. Gagalnya mengatasi renjatan dalam 1– 2 jam pertama dan renjatan berulang memperburuk prognosis.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

43

Problematik diagnosis Demam Berdarah Dengue Tatang Kustiman Sams!, Indra Susanto, Hansa Wulur, Trl Ruspandjl UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Jakarta

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit endemis, timbul sepanjang tahun dengan ledakan epidemi hebat setiap 5 tahun. Angka kejadian penyakit DBD masih cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebaliknya angka kematian telah menurun sejak tahun delapan puluhan, alcan tetapi angka kematian DBD berat/DSS masih tetap tinggi. Meskipun penyakit DBD bersifat sembuh sendiri (self limiting disease) akan tetapi perjalanan penyakitnya sukar diramalkan sehingga pengamatan klinik yang jeli mutlak diperlukan untuk mengenal seeara dini penyakit ini. Pedoman yang dianjurkan/dipakai untuk menegakkan diagnosis klinis DBD ialah patokan yang disusun oleh WHO 1986o ). Patokan tersebut meliputi 4 gejala klinik yaitu demam tinggi, manifestasi perdarahan baik perdarahan spontan maupun tes turniket positif, hepatomegali dan renjatan serta 2 pemeriksaan laboratorium yaitu adanya trombositopeni dan hemokonsentrasi. Dalam pengalaman klinik ternyata tidak semua kriteria dapat dipenuhi terutama hemokonsentrasi berdasarkan definisinya baru dapat dinilai setelah penderita sembuh. Dewasa ini dilaporkan pula manifestasi langka/tidak lazim DBD dan tidak jarang trombositopeni baru terjadi seminggu setelah sakit. Diagnosis pasti DBD ditegakkan dengan pemeriksaan Hemaglutinasi Inhibisi (HI) akan tetapi diperlukan sampel darah ganda akut dan konvalesen. Kadar IgM dapat pul a dipakai untuk menegakkan diagnosis pasti dan hasilnya dapat diperoleh dalam waktu lebih singkat. Pengamatan terdahulu(') menunjukkan bahwa pemeriksaan IgM dari darah akut hanya positif pada 20% penderita, kenaikan titer IgM dan IgG baru terjadi pada hari ke 4 sakit dan untuk memperoleh hasil yang baik diperlukan pula pemeriksaan darah konvalesen. Pemeriksaan li;nfosit plasma biru dikemukakan pula sebagai alat bantu diagnostik akan tetapi bermanfaat terutama pada reaksi sekunder' g • • 10 )• Dewasa ini telah (2.3.4.5A

8

44

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

dipasarkan pemeriksaan yang dikatakan sederhana, eepat dan sensitif yaitu tesDengue Blot(" ). Tes inipun kurang sensitif untuk infeksi primer dan dianjurkan untuk dilakukan gabungan dengan pemeriksaan IgM pada penderita dengan Dengue Blot negatif 122 . Harus pula diingat kemungkinan reaksi positif palsu untuk daerah endemis DBD, karena kadar IgG masih tetap tinggi (13) . Dengan demikian diagnosis kerja/klinis DBD masih harus bertumpu pada pengamatan klinis dan jangan semata-mata ditentukan dari hasil pemeriksaan serologik seperti apa yang mulai eenderung terjadi dewasa ini. Makalah ini membahas problema yang dihadapi dalam menegakkan diagnosis klinis DBD serta sikap dan tindakan dalam menghadapi penderita tersangka DBD. SUBJEK DAN METODA Cara kerja Pada semua penderita tersangka DBD (demam dengan perdarahan spontan atau tes turniket positif dirawat di UPF IKA RS Sumber Waras dalam kurun waktu Februari 1988–April 1988, dilakukan pemeriksaan titer Hemaglutinasi Inhibisi (HI), Elisa IgM dan IgG serta isolasi virus. Pemeriksaan TT dikerjakan sesuai dengan eara yang dianjurkan WHO (1986) dan untuk menghitung jumlah petekia dipergunakan lembar plastik transparan yang telah digambari kotak berukuran 1 inch 2 (2,8 cm x 2,8 cm). Jumlah petekia dihitung di daerah voler di mana terdapat petekia terpadat. Data pribadi, keluhan, pemeriksaan fisik dan laboratorium serta pemeriksaan harian selama dirawat dicatat. Pemeriksaan darah rutin, urine rutin dan tinja rutin dikerjakan pada saat masuk dirawat. Pemeriksaan hemoglobin, hematokrit dan trombosit dikerjakan setiap 12 jam dan kalau perlu lebih sering.

Pemeriksaan serologik dikerjakan terhadap darah akut pada saat masuk rawat inap (sampel darah I), pada saat dipulangkan dari rumah sakit (sampel darah II) dan setelah 1 minggu pulang (sampel darah III). Pemeriksaan serologik meliputi HI dan Elisa IgM/IgG dan dikerjakan pula terhadap Chikungunya dan Japanese B encephalitis. Titer HI diukur dengan modifikasi metoda Clarke dan Cassalso2 dan Elisa IgM/IgG menurut metoda Innis, t13 dkk ) Isolasi virus diupayakan dari darah akut semua penderita dan dibiakkan pada Toxorrhinchytes splendens dewasa dan biakan jaringan TRA-284 (T. amboinensis). Pemeriksaan serologik dan isolasi virus dikerjakan oleh Namru-2 di Jakarta. Subjek Subjek penelitian ialah penderita DBD dengan konfirmasi virologis. Kontrol Kelompok kontrol terdiri dari penderita dengan : 1. Titer HI akut dan konvalesen (jarak 7 hari) negatif. 2. IgM dan IgG Elisa negatif. 3. Isolasi virus Dengue negatif. 4. Tidak terdapat lekositosis. Analisis Analisis dilakukan terhadap hemokonsentrasi dan trombositopeni yang termasuk dalam kriteria diagnosis klinik DBD WHO 1986. Hemokonsentrasi dinyatakan dalam % dan dihitung dari hematokrit (Ht) paling tinggi selama dirawat dikurangi Ht pada hari terakhir sebelum dipulangkan (konvalesen) dibagi dengan Ht masa konvalesen. Jumlah trombosit dalam analisis diambil jumlah trombosit terendah selama penderita dirawat. Perhitungan statistik dilakukan dengan komputer dan piranti lunak SPSS-PC +, versi 3. HASIL Penderita yang memenuhi kriteria sebagai subjek penelitian berjumlah 99 anak, akan tetapi 3 anak tidak mempunyai data klinik yang lengkap sehingga hanya 96 penderita yang diikutsertakan dalam analisis penelitian. Kelompok kontrol terdiri dari 53 penderita. Data umum kedua kelompok tercantum dalam Tabel 1, 2 dan 3. Manifestasi perdarahan tercantum dalam Tabel 4. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam umur, lamanya sakit sebelum dirawat dan suhu tubuh saat dirawat. Nilai trombosit dan besarnya hemokonsentrasi pada subjek dan kontrol terlihat pada Tabel 5, 6, 7 dan 8. Pada tabel tersebut tedihat bahwa hemokonsentrasi lebih banyak pada subjek dibandingkan dengan kontrol (p < 0,05), begitu pula trombositopeni lebih banyak pada kelompok subjek dibandingkan dengan kontrol (p < 0,01). Nilai rata-rata hematokrit (Ht) menurut kenaikan hemokonsentrasi pada subjek dan rata-rata Ht kelompok kontrol terlihat pada Tabel 9. Dan Label ini ttarlihat bahwa nilai

Tabel 1.

Data Umum Penderita DBD dengan Kontirmasi Virologis dan Kontrol

Data Umur (tahun) Lama sakit (hari) Suhu tubuh (Celsius)

Tabet 2.

Kelompok DBD Kontrol

N Mean SD Mean SD Mean SD

99

55

7,89 3,72 3,30 1,66 38,3 1,04

6,55 3,32 3,73 2,19 37,98 0,95

Keterangan t=0 p > 0,05 t = -0.327 p>0.05 t = 0.327 p > 0,05

Dtstribusi Umur Subjek dan Kontrol DBD

Kontrol n

%

n

%

< 5 tahun 5-9 tahun > 10 tahun

13 53 30

13,54 55,21 31,25

14 30 9

26,42 56,60 16,98

Jumlah

96

100,00

53

100,00

Tabel 3.

Gejala Perdarahan dan Keluhan Nyeri Perut pada Subjek dan Kontrol Kelompok DBD

Kontrol

(N=96)

(N=53)

Gejala

Tes tumiket (+) Perdarahan spontan Nyeri penn

Tabel 4.

Jumlah

%

Jumlah

%

84 57 51/83

87,50 59,38 61,45

46 33 19/39

86,79 62,26 48,72

Manlfestasi Perdarahan pada Subjek dan Kontrol Sub jek

Jails perdarahan

Kontrol

N

%

N

%

Perdarahan kulit Epistaksis Perdarahan gusi Hematemesis Melena Epistaksis dan perdarahan gusi Epistaksis dan hematemesis Epistaksis dan melena Melena dan hemstemesis Hematemesis dan perdarahan kulit Epistaksis, melena dan hematozichia Melena, hematozichia, dan perdarahan kulit Epistakais, melena dan hematemesis Melena, hematozichia, hematoma, perdarahan gusi Hematochizia

10 19 2 7 7 1

13,33 25,33 2,67 9,33 9,33 1,33

1 16 4 1 2 1

1,47 23,53 5,88 1,47 2,94 1,47

5

6,67

1

1,47

0 1

0,00 1,33

1 0

1,47 0,00

1

1,33

0

0,00

1

1,33

0

0,00

1

1,33

5

7,35

1

1,33

0

0,00

1

1,33

0

0,00

0

0,00

1

3,03

Jumlah

57

33

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

45

Hubungan Hanokonsentrasi dengan Jumlah Trombodt pada Kelompok Subjek

Tabd 5.

Hemokonsentrad (%)

<

50.000 - 100.000 - > 150.000 Jambth 50.000 100.000 150.000

> 20% 10%-19,9% < 10%

17 6 6

4 5 3

1 2 6

8 8 30

30 21 45

Jumlah

29

12

9

46

96

Tibet 6.

Hubungan pada Hemokonsentrasl dengan Jumlah Trombosit Kelompok Kontrd

Hemokonsentrad (%)

< 50.000

50.000 - 100.000 - > 150.000 Jumlah 100.000 150.000

>20% 10%-19,9% < 10%

0 1 0

1 0 0

0 0 8

5 12 26

6 13 34

Jumlah

1

1

8

43

53

Perbandingan Kenalkan Hematokrlt pada Subjek dan Kontrol

Tabel 7.

Kenaikan Ht



Subjek -

Kontrol

Jumlah

%

n

%

n

30 21 45

31,25 21,88 46,88

5 13 34

8,62 24,53 64,15

35 34 79

23,49 22,82 53,02

Jumlah

96

100,00

53

100,00

149

100,00

X2 = 8.946 p < 0,05

Perbandingan Jumlah Trombodt pada Subjek dan Kontrol

Tabel S.

Trotabodt (1000/uL)

Subjek n

Kestrel %

a

%

Jumlah a %

<50 50 -100 100-150 > 150

29 12 9 46

30,21 12,50 9,38 47,92

1 1 8 43

1,89 1,89 15,09 90,57

30 13 17 89

20,13 8,72 11,41 59,73

Jumlah

96

100,00

53

100,00

149

100,00

Keterangan : Tabd 9.

x2 = 25298 p < 0,01

Hubungan Hemokonsentrad dengan Ntlal Rata-rata Hematokrlt pada Kdampok DBD dan Kontrol

Hemokonsentrad (keaalkaa Ht)

Jumlah

> 20% > 10% < 10% Kontrd

29 54 45 53

SD

46,7 41,1 36,9 37,1

4,4 4,7 5,3 3,4

t = 4.177 P < 0,01 t = 0.226 p > 0,05

Ht rata-rata pada hemokonsentrasi z 20% dan hemokonsentrasi 2 10% tidak berbeda (p > 0,05). Nilai Ht rata-rata penderita dengan hemokonsentrasi  10% berbeda secara bermakna dengan kelompok hemokonsentrasi < 10% (p < 0,01) dan nilai 46

Cent:id Duna

Jumlah trombosit Hematokrlt (%)

< 50.000

50.000 - 100.000 - > Jumlah 150.000 100.000 150.000

a 40

< 40

16 13

7 5

4 5

17 29

44 52

Jumlah

29

12

9

46

96

Tabel 11. Hubungan Hematokrlt dengan Jumlah Trombosit pada Kelompok Kestrel Jumlah trombosit

Hematokrlt (%)

< 50.000

50.000 - 100.000 - > Jumlah 150.000 100.000 150.000

a 40

< 40

0 1

0 1

1 7

12 31

13 40

Jumlah

1

1

8

43

53

Tabel 12. Sensitivitas dan Spesifisitas Hemokonsentrasi

a 20% pada DBD

DBD

Kontrol

Jumlah

Hemokonsentmsi a 20% Hemokonsentrasi < 20%

30 66

6 47

36 113

Jumlah

96

53

149

Sensitivitas Spesifisitas Positive predictive value Negative predictive value Accuracy

31,25% 88,68% 83,33% 58,41% 51,68%

Tabel 13. Sensitivltas dan Spesifisitas Hematokrlt a 40% pada DBD

Nllal hematokrit Mean

Tabel 10. Hubungan Hematokrlt dengan Jumlah Trombosit pada Kelompok Subjek

%

> 20% 10%-19,9% < 10%

Keterangan :

Ht rata-rata subjek dengan hemokonsprltrasi < 10% tidak berbeda dengan nilai rata-rata kelompok kontl(p > 0,05). Hubupgan nilai Ht dan jumlah trombosit pada subjek dan kelompok kontrol terlihat pada Tabel 10 dan 11. Sensitivitas dan spesifitas hemokonsentrasi 20%, Ht ? 40% dan trombosit S 100.000/uL terlihat pada Tabel 12, 13 dan 14. Terlihat bahwa ketiganya mempunyai nilai sensitivitas rendah dengan spesifitas tinggi. Perhitungan sensitivitas dan spesifitas kombinasi hemokonsentrasi 2 20% dan trombosit S 100.000/uL seperti kriteria WHO ternyata menunjukkan sensitivitas yang lebih rendah dan spesifitas yang lebih tinggi (Tabel 15). Begitu pula halnya dengan kombinasi Ht >_ 40% dan trombosit 100.000/uL (Tabel 16).

Kedokteran Ed/xi K1:tasus No. 81,1992

DBD

Kontrol

Ht 240% Ht < 40%

47 49

13 40

60 89

Jumlah

96

53

149

Sensitivitse Spesifisitas Positive predictive value Negative predictive value Accuracy

48,96% 75,47% 78,33% 55,06% 58,39%

Jumlah

Tabel 14. Sensitivitas dan Spesiflsitas Trombosit 5100.000

Tabel 1S. Sensitivitas dan Spesifisitas Hemokonsentrasi 2 20% dan Trombosit < 100.000 pada DBD

Tabel 16. Sensitivitasdan Spesifisitas Hematokrit 240% dan Trombosit < 100.000

PEMBICARAAN Kriteria klinik diagnosis DBD yang dikemukakan WHO telah dipakai sebagai patokan dalam menentukan diagnosis DBD untuk waktu lebih dari 25 tahun. Kriteria diagnosis klinik WHO tersebut(') meliputi : Klinis : 1. Papas tinggi 2—7 hari tanpa sebab yang jelas. 2. Adanya manifestasi perdarahan termasuk TT postal. 3. Hepatomegali. 4. Disertai atau tanpa kegagalan sirkulasi perifer sampai renjatan. Laboratorium : 1. Hemokonsentrasi (kenaikan Ht 20% pada masa akut dibandingkan dengan masa konvalesent). 2. Trombositopeni (<_ 100.000/uL). Menurut pedoman tersebut diagnosis Minis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan adanya panas dan manifestasi perdarahan disertai dengan kelainan kedua pemeriksaan laboratorium

(trombositopeni dan hemokonsentrasi). Pada pengamatan selama ini terlihat kecenderungan prevalensi hemokonsentrasi (>— 20%) menurun pada tahun-tahun terakhir ini dari sekitar 50%an pada tahun delapan puluhan menjadi sekitar 20% saja. Begitu pula dengan jumlah trombosit 5 100.000/uL hanya ditemukan pada sekitar 50% pende4.is.i6.n rita Perubahan ini mungkin disebabkan perjalanan alamiah penyakit DBD dihambat dengan pemberian pengobatan secara dini sehingga gambaran penyakit dan gangguan laboratorium tidak khas seperti dalam tahun-tahun pertama ditemukannya DBD. Hemokonsentrasi dan trombositopeni Mengingat angka kematian DBD secara keseluruhan telah menurun di bawah 2% sejak tahun delapan puluhan (Gambar 1) sedangkan angka kematian DSS masih cukup tinggi maka pendekatan skrening dapat dibagi dalam 2 tahapan yaitu ta4ap pertama untuk menyeleksi penderita tersangka DBD yang dapat dimonitor secara rawat jalan dan kedua skrening bagi penderita yang perlu diawasi secara rawat inv. Untuk tujuan pertama diperlukan alat ukur dengan sensitivitas tinggi dengan maksud menjaring sebanyak mungkin penderita DBD dan untuk tujuan ke dua diperlukan alat ukur dengan spesifitas tinggi dengan maksud sebanyak mungkin menyingkirkan penderita bukan DBD. Hal ini menjadi lebih, penting dengan kenyataan bahwa sampai saat ini belum ditemukan mediator yang dapat dipakai untuk meramal kapan penderita akan jatuh ke DSS. Tumor necrotic factor (TNF) yang ditemukap pada renjatan septik/endotoksik diharapkan dapat dipakai sebagai salah satu petunjuk, akan tetapi tidak ditemukan pada penderita DBD maupun DSS yang dirawat di UPF IKA RS S umber Waras (data belum dipublikasi). Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO 1986, dipakai secara murni makabanyak penderita DBD yang tidak terjaring dan luput dari pengawasan. Hal ini terlihat pada sensitivitas yang rendah berjumlah 21,2% dengan spesifitas yang tinggi sebesar 98,18% (Tabel 5). Dalam kenyataannya di klinik tidak mungkin mengukur kenaikan hemokonsentrasi pada saat penderita pertama kali datang sehingga nilai hematokritlah yang dapat dipakai sebagai pegangan. Pengamatan pada 47 penderita DBD berat/DSS dengan konfirmasi virologis' menunjukkan bahwa nilai rata-rata hematokrit 41 ± 6,1% dan trombosit 96.000± 86.000/uL. Dalam pengamatan pada tahun 1985( 2 ') terlihat pada DBD 1—II dan DSS nilai Ht rata-rata > 40%, jumlah trombosit pada DBD I—II 127.000 ± 85.000/uL dan pada DSS 80.000 ± 85.000/uL. Kedua data tersebut sejalan dengan pengamatan pada penelitian ini yaitu nilai rata-rata hematokrit 2 40% pada penderita dengan hemokonsentrasi ?.10%, sehingga untuk pegangan diambil nilai Ht 40% dan diperhatikan kenaikannya selama pengawasan. Dengan mengambil nilai Ht ? 40% sebagai patokan, maka sensitivitas dan spesivitasnya berturut-turut berjumlah 48,96% dan 75,47% (Tabel 13). Dalam pertemuan Kelompok Kerja (Pokja) DBD di Ciloto tahun 1991( 22) disepakati jumlah trombosit 150.000/uL sebagai Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

47

keluhan demam berdarah hanya disertai dengan salah satu kriteria laboratorium saja atau tidak sama sekali, kadang-kadang tanpa manifestasi perdarahan yang nyata tapi disertai Ht tinggi dan trombosit cenderung menurun. Untuk kasus yang meragukan ini dilakukan pemeriksaan pencitraan radiologis atau USG. Peneitraan USG pada anak lebih disukai dengan pertimbangan mudah dan yang penting tidak menggunakan sistim peng-ion (sinar X). Adanya aseites dan cairan plewa pada pemeriksaan USG sangat membantu dalam penatalaksanaan DBIX23•2i11.

batas trombositopeni. Dengan demikian untuk pegangan dipakai parameter hematokrit (Ht) dan trombositopeni. Pada kombinasi Ht 40% atau trombosit <_ 150.000/uL terlihat sensitivitas 69,79%, spesifisitas 58,49% dan positive predictive value 75,28% (Tabel 17), sehingga memadai untuk dipakai sebagai pegangan dalam menentukan penderita yang dapat diawasi secara rawat jalan. Tabel 17. Sensitivitas dan Spesifisitas Hematokrit 240% atau Trombosit 5150.000/uL DBD

Kontrol

Jumlah

Ht 2 40% dan Trombo 5150.000 Ht < 40% dan Trombo > 100.500

67 29

22 31

89 60

Jumlah

96

53

149

Sensitivitas Spesifisitas Positive predictive value Negative predictive value Accuracy

Prevalence

69,79% 58,49% 75,28% 48,33% 65,77% 64,43%

Untuk menentukan kapan penderita harus diawasi seeara rawat inap diperlukan tes dengan spesifisitas tinggi agar tidak terjadi overdiagnosis dan rawat inap berlebihan/tidak diperlukan. Sensitivitas dan spesifisitas kombinasi hemokonsentrasi 20% dan trombosit 5100.000/uL sertakombinasi Ht40% dan trombosit <_ 100.000/uL relatif hampir sama. Kombinasi Ht Z 40% dan trombosit 5 100.000/uL mempunyai nilai sensitivitas 23,96%, spesifisitas 100,00% dan negative predictrive value 57,94%, dengan demikian dapat dipakai sebagai indikasi untuk rawat imp. Sebagai catatan, pada penderita anemi mungkin nilai Ht jauh di bawah 40%, dan bila dieurigai menderita DBD sebaiknya dilihat sediaan darah tepi untuk melihat adanya tanda anemi. Rawat inap Kesulitan dalam menentukan diagnosis tidak hanya timbul pada penderitarawat jalan akan tetapi tidak jarang di j umpai pada penderita rawat inap terutama yang berat di mana harus ditentukan apakah penderita diobati sebagai DBD berat/DSS atau penyakit infeksi lain. Tidak jarang penderita dirawat dengan 48

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

Sikap dan tindakan Beberapa keadaan yang tidak termasuk dalam kriteria WHO 1986, perlu diperhatikan dalam mempertimbangkan sikap terhadap penderita tersangka DBD, yaitu : Lekosit Pada penelitian ini jumlah lekosit pada kelompok subjek dalam batas normal. Pengamatan pada penderita DBD berat/DSS dengan konfirmasi virologik juutlah lekosit berkisar antara 1.500-12.500, rata-rata 4.600 ± 2.700/uL( 20 . I lalam pedoman WHO dikemukakan jumlah lekositbervariasi dari lekopeni sampai lekositosis ringan dan tidak jarang didapatkan limfositosis dengan limfosit atipik (plasma biru). Pengamatan pada anak sehat dan menderita DBD di UPF IKA RS Sumber Waras menunjukkan bahwa pada penderita DBD terjadi penurunan jumlah limfosit T terutama T4 pada masa akut dan 3 minggu setelah sakit, sedangkan jumlah limfosit B tetap m ). Dalam pedoman WHO jumlah lekosit perlu diperiksa bersama hitung jenis dalam seleksi penderita DBD untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi bakteri. Nyeri perut Keluhan nyeri perut (epigastrik) tidak termasuk dalam salah satu kriteria diagnosis klinis DBD dari WHO, akan perlu diperhatikan karena adanya hubungan antara nyeri perut dengan manifestasi lebih berat terutama pada anak di atas umur 5 t7 9 tahun( " ) Keluhan nyeri perut pada penelitian ini berjumlah 61,45% dan seeara bermakna lebih banyak pada penderita yang disertai keluhan/gejala perdarahan, Keluhan ini dalam dua dekade ini t16.t7 8.19 " ) oleh karena itu perlu diperhatikan eenderung meningkat dalam menentukan sikap terhadap penderita tersangka DBD. Umur t21 Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa umur < 5 tahun cenderung menderita penyakit yang lebih berat. Faktor ini perlu dipertimbangkan dalam menentukan sikap dan tindakan terhadap penderita tersangka DBD. Tempat tinggal Dalam keadaan tertentu perlu dipertimbangkan apakah penderita dapat segera dibawa ke rumah sakit atau tidak. Pertimbangan ini tidak hanya dari jaraknya/jauhnya saja akan tetapi termasuk juga sarana transportasi untuk membawa penderita ke sarana kesehatan yang diperlukan. Juga perlu diperhatikan apakah tempat tinggal penderita merupakan daerah "Kantung DBD".

Epidemi/kejadian luar biasa Ada tidaknya kejadian luar biasa pada saat penderita tersangka DBD dapat memperkuat dugaan dan membantu menentukan apakah penderita perlu diawasi seeara rawat inap atau rawat jalan. Dengan demikian pedoman dalam menentukan sikap dan tindakan pada penderita tersangka DBD terdiri dari : 1) Kriteria diagnosis klinis WHO (1986). 2) Nilai Ht >_ 40% atau trombosit 150.000/uL sebagai patokan rawat jalan. 3) Nilai Ht ? 40% dan trombosit 100.000/uL sebagai patokan bagi rawat inap. 4) Anak berumur 5 tahun cenderung menderita penyakit lebih berat. 5) Keluhan nyeri perut berkaitan dengan kemungkinan manifestasi lebih berat 6) Diperhatikan adakah epidemi pada saat itu dan apakah daerah tempat tinggal merupakan "Kantung DBD". 7) Pengertian dan kerja sama orang tua penderita serta mudahnya penderita segera datang ke rumah sakit bila keadaan memaksa. Penatalaksanaan dan sikap terhadap penderita tersangka DBD terlihat dalamflow chart (Gambar 2). KESIMPULAN 1. Patokan klinis WHO dewasa ini tidak dapat seeara murni diterapkan dalam menegakkan diagnosis klinis DBD. 2. Prevalensihemokonsentrasi20%dantrombosit100.000/ uL eenderung menurun dalam dua dekade sehingga perlu dipertimbangkan untuk modifikasi dalam pemakaian di lapangan. 3. Nampaknya kombinasi Ht 40% dan trombosit <_ 100.000/ uL dapat dipakai sebagai indikasi rawat inap dan kombinasi Ht 40% atau trombosit 150.000/uL sebagai indikasi pengawasan rawat jalan. 4. Pencitraan USG untuk meneari eairan di rongga perut dan pleura sangatbermanfaat sebagai alat bantu diagnosis pada kasus DBD yang tidak khas di samping keuntungan tidak menggunakan sistim peng-ion.

4. 5. 6.

7.

8. 9. 10.

11.

12.

13.

14. 15. 16.

17.

18.

19. UCAPAN TERIMA KASIH Penulismengucapkan terima kasih kepadaNAMRU-2 Jakarta dan stafalas bantam clan kerja soma terulama dalam analisa serologik dan isolasi virus.

20.

21. KEPUSTAKAAN 1. World Health Organization: Dengue Hemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment and control, Geneva, 1986. 2. Sri Rezeki Hadinegoro, Muslim A Nathin. Beberapa manifestasi klinik yang tidak lazim pada DBD di Bagian IKA FKUI-RSCM, Jakarta. Diajukan pada KONIKA VIII, Ujungpandang, 1990. 3. Sri Rezeki Hadinegoro, Muslim A Nathin. The changing pattern of clinical manifestation in DHF: Ten years observation. Diajukan pada International

22. 23.

24. 25.

Symposium on Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Bangkok, 1991. Usa Thisyakul, Chule Thisyakul, Chule Mitrakul, Saowanee Chundermpadetsuk. Dengue infection with unusual manifestations. Diajukan pada International Symposium on Dengue and DHF, Bangkok, 1990. D Sugianto, Melani Setiawan. Distensi abdomen pada penderita DBD. Diajukan pada Konika VIII, Ujungpandang, 1990. Tatang K Samsi, H Wulur, Sugianto D, Melani Setiawan, GB Jenning. Dengue Hemorrhagic Fever with unusual manifestation in Sumber Waras Hospital. Diajukan pada 7th Asian Congress of Pediatrics, Perth, 1991. TK Samsi, H Wulur, Sugianto D, CR Bartz Serum IgM in virologically confirmed Dengue Haemorrhagic Fever. Diajukan pada 19th International Congress of Pediatrics, Paris, July 1989. Sutaryo, Suhadi, Harun Al Rasyid. Limfosit plasma bin' pada DHF. Diajukan di Konika IV, Yogyakarta, 1978. Vinai Suvate, Malee Longsaman. Diagnostic value of huffy coat preparation in DHF, Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1979; 10: 1. Usa Thisyakul, Suchitra Nimmanitya, Vander Ninsanond, Suphan Soogarun. Atypical lumphocyte in Dengue Hemorrhagic Fever: its value in diagnosis. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 1984; 15: 1. OF Lai, YC Chan, BL Ngoh, HC Tan. Evaluation of a commercial enzyme immunoassay (Dengue Blot) for the diagnosis of Dengue virus infection. Diajukan pada International Symposium on Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Bangkok, 1991. YC Chan, BL Ngoh, HC Tan, CLK Seah. Dengue Diagnosis by Dengue Blot and IgM Elias: A comparative study. Diajukan pada Seminar Demam Berdarah Dengue, Jakarta, 1991. Tatang K Samsi, Hansa Wulur, Sugianto Djoharman, May C Chu, GB Jennings. Tes dengue blot pada anak yang pemah menderita Demam Berdarah Dengue, Medika. Clarke DH, Casals J. Techniques for hemagglutination and hetnagglutination-inhibition with arthropod borne viruses, Am J Trap Med 1958; 7: 561—573. Innis BL, et al. An enzyme linked immunosirbent assay to characterize dengue infection where dengue and Japanese encephalitis co-circulate, Am J Trop Med Hyg 1989; 40: 418-427. H. Sidharta, H. Wulur, Melani Setiawan, Jani Simkoputra, J. Kartika, Tatang KS. Kasus demam berdarah dengue selama 20 'shun di RS Sumber Warn. Presented at Symposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, December 11 -12, 1987. Sumarmo, Indra Rumadji, Sri Rezeki Harun, Muslim A. Nathin. Pengamatan klinis penderita demam berdarah dengue yang dirawat di Unit Kesehatan Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1975 — 1986). Presented at Symposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, December 11—12,1987. Tatang Kustiman Samsi, Hansa Wulur. Clinical aspects and management pof ad Dengue Hemorrhagic Fever in Sumber Warts Hospital. Diajukan Symposium on Tropical Medicine and Parasitology, Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1984. Muslim A Tahin, Sri Rezeki Harun. Penatalaksanaan DBD pada Anak. Diajukan pada Seminar Nasional DBD, Jakarta, 1991. Sugianto D, Tatang K Samsi. Demam Berdarah Dengue beret dengan konfirmasivirologik. Diajukan pada Seminar HUT IKA RSSW-FK Untar, Jakarta, 1992. Tatang KS, Indra Susanto. Pengenalan dini dan penatalaksanasn Demam Berdarah Dengue. Diajukan pada Simposium Dwi Dasawarsa BIKA RSSW, Jakarta, December 11 – 12, 1987. Laporan Pertemuan Pokja DBD di Ciloto, 1991. Melani Setiawan, D Sugianto, H Wulur, Tatang KS. The role of ultrasound in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Prosiding 4th Annual Scientific International Seminar on Medical Imaging, Hongkong, 1991. Melani W Setiawan, D Sugianto, Tatang K Samsi et al. Ultrasound in fluid collections: the value m me management of Dengue Hemorrhagic Fever. Prosiding 3rd Congress of AFSUMB 92, Korea, 1992. Pudjoprawiro N, et al. Evaluation of lymphocyte subset profiles in healthy Indonesian and children with DHF. (tidak dipublikasi)

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

49

Manifestasi Klinis Langka Demam Berdarah Dengue Suglanto D, Melani S, Tatang K. Sarni UPF/Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Manifestasi klinis yang lazim dijumpai pada pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam tinggi, perdarahan terutama perdarahan kulit, hepatomegali dark renjatan o.z (Tabel 1). Variasi dari manifestasi tersebut yang dikenal sebagai manifestasi klinis langka telah banyak dilaporkan oleh para peneliti, misalnya, nyeri epigastrium dan manifestasi dari organ-organ vital seperti sistem saraf pusat, hepar, traktus digestivus dan mata") (Tabel 2). Akhir-akhir ini, dalam klinik lebih sering dijumpai manifestasi yang tidak lazim, berupa trombositopeni,

hemokonsentrasi dan renjatan yang timbul setelah satu minggu demam, serta gejala utama bukanlah perdarahan. Dalam makalah ini diajukan 3 kasus DBD dengan manifestasi langka. Kasus pertama dengan meningoensefalopati disertai hepatitis B kronik, dan 2 kasus lainnya dengan diare akut. Pemeriksaan virologis menunjukkan kasus pertama dengan virus Dengue 3, dan 2 kasus lainnya dengan virus Dengue 3 dan Dengue 2.

Tabel 1.

Kasus 1 (Gambar 1) E., seorang anak laki-laki, umur 15 tahun, dirawat sejak tgl. 19 Juli 1990, dengan riwayat penyakit, 2 hari sebelumnya mengalami demam tinggi disertai muntah-muntah. Dinihari sebelum rawat nginap, pasien tidak sadarkan diri dan kadangkadang berontak. Pemeriksaan fisis : Keadaan umum tampak sakit berat, delirium,. nonkooperatif. Gizi baik dengan berat badan 59 kg dan tinggi badan 162 cm. Suhu tubuh 38,7°C. Nadi 100/merit. Pernapasan 40/menit. Tekanan darah 120/60 mmHg. Pupil isokor, dilatasi dengan refleks cahaya lambat. Faring hiperemis dan terdapat kaku kuduk. Jantung dan paru tidak ada kelainan. Abdomen lemas, hepar dan limpa tidak teraba. Tes turniket positif. Refleks fisiologis +/+ dan refleks patologis -/-. Punksi Iumbal : lanear, jemih, Nonne - dan Pandy + ringan. Diagnosis : Meningoensefalopati. Pemeriksaan labo1atorium : Hb 13 g %, Ht 45 %, LED 11 mm/jam, Trombosit 142.000/mm', Lekosit 12.000/mm', dengan hitung jenis 0-0/1-79/18-2. SCOT 183,5 U. SGPT 210,7 U. Amonia 72 p.g/dl. LDH 363 U. CPk 86 U. Kalium 3,6 mEq/l. Natrium 123 mEq/l. Calcium 7,6 mg %. Analisa gas darah : pH 7,461, pOz 71,2 mmHg, pCO 2 27,9 mmHg. HCO 3 19,64mmol/l. Total CO2 20,4 mmol/l, Base Exeess -1,8 mmol/l. 0 2 sat 94,3 %.

Manifestasi klinis Demam Berdarah Dengue

Lazim Demam tinggi Perdarahan : kulit Hepatomegali Renjatan Tidak lazim, tapi penting Nyeri epigastrium Langka 1 Tabel 2.

Manifestasi klinis Iangka pasien Demam Berdarah Dengue

Organ vital Sistem saraf pusat

Manifestasi klinis

Tahun

SindromaReye

Tin U Sumanno LK Kho WulurH

Hepar

Gagal Hati Hepatitis A

Nimmannitya Tatang

1987 1991

Traktus Digestivus

Diare Distensi abdomen

Adinegoro Sugianto

1990 1990

Mata

Neuritis optika

Tatang

1991

50

Ensefalitis Ensefalopati

Peneliti

Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992

1976 1978 1981 1983

LAPORAN KASUS

Hari Sakit

3

- 40

4

5

6

7

8

9

10

delirium compos mentis

Temp. (•C)

- 37 L P : normal 50

Ht. (%) 40 200 Tromb. (/uL) 0 SGOT (U) SGPT (U) Anti-Dengue IgM (U) IgG (U)

183,5 210,7 6 24

185,9 282,9 Dengue Pos. (D 2 )

HBsAg

+

Anti-HBc + Anti-HBe +

Gambar 1. Perjalanan penyakit anak laki 15tahun dengan Meningoensefalopati Dengue dan Hepatitis B kronik

Likuor : lekosit 4/mm 3 , glukosa 104 mg %, protein 16 mg %, NaCl 757 mg %, dan C1459 mg %, preparat hapus : bakteri–. dan kultur bakteri –. Foto toraks tidak ada efusi pleura. Pengobatan : eairan infus dekstrose 10% – DG, manitol 20% dan deksametason untuk mencegah peninggian tekanan intrakranial. 12 jam setelah rawat nginap, pasien mulai sadar. Suhu tubuh menurun dalam 24 jam perawatan dan kembali normal hari ke-6. Hari ke2 perawatan, jumlah trombosit menurun yang meneapai nilai terendah hari ke-3 (35.000/mm 3 ) dan kembali normal hari ke-6. Oleh karena nilai SOOT 185,7 U dan SGPT 282,9 U pada hari ke7, maka dilakukan pemeriksaan serologis hepatitis A clan B, dengan basil IgM anti-HAV –, HBsAg +, IgM anti-HBe –, antiHBe +, dan anti-HBe +. Pemeriksaan serologis dan isolasi virus Arbo AB dan JBE (Japanese B Encephalitis), dilakukan dari serum dan eairan likuor. Dari basil pemeriksaan serum tersebut, didapat kadar immunoglobulin untuk Dengue, IgM 6 U dan Ig 24 U dan verologis Dengue (D) tipe 3. Diagnosis akhir : Meningoensefalopati dengue dan hepatitis B kronik. Kasus 2 A. seorang anak laki-laki umur 3 tahun dirawat sejak tgl. 17 Nopember 1987 dengan keluhan muntah berak dan demam tinggi sejak 24 jam sebelumnya. 9 jam kemudian muntah berak bestambah sering dan 12 jam sebelum rawat nginap mengalami kejang-kejang seluruh tubuh sebanyak 2 kali. Lama kejang ± 10 menit. Pemeriksaan fisis : Anak dalam keadaan koma dengan pernapasan cepat dan dalam. Terlihat tanda-tanda dehidrasi berat. Suhu tubuh 40°C. Nadi 120/menit. Pemapasan 40/menit. Tekanan darah 100/70 mmHg. Pupil isokor, dilatasi dan refleks

cahaya –/–. Tidak terdapat kaku kuduk. Jantung dan paru tidak ada kelainan. Hepar dan limpa tidak teraba. Refleks fisiologis +/+ dan refleks patologis –/–. Pemeriksaan laboratorium : Hb 10 g %. Lekosit 5900/mm 3 dengan hitting jenis 0-0/60-38/2-0. Analisa gas darah pH 7,2, p0 2 72,1 mmHg, pCO 2 20,9 mmHg, HCO3 mmol/l, total CO 2 8,3 mmol/l, dan base exeess – 19,7 mmol/l. Punksi Lumbal : lanear, jernih, tidak berwarna, Nonne –, Pandu –, lekosit 4/mm3 , glukosa 70 mg %, protein 17 mg %, preparat hapus : bakteri – dan kultur bakteri : –. Foto toraks tidak menunjukkan kelainan. Pemeriksaan serologis dan virologis untuk JBE (Japanese B Encephalitis) dilakukan pada waktu mulai rawat nginap. Juga dilakukan kultur feses untuk bakteri dengan basil –. Diagnosis : Diare akut, dehidrasi berat, asidosis metabolik dan ensefalopati. Untuk pengobatan, diberikan eairan intravenaRL-DG (RingerLaktat-DarrowGlueose),natriumbikarbonas, diazepam (Valium), manitol dan deksametason. 12 jam kemudian, pasien apnea dan meninggal. Pemeriksaan serologis dan isolasi virus Arbo AB dan JBE, dilakukan dari serum dan eairan likuor. Dan hasil pemeriksaan serum tersebut, didapat titer H.I untuk Dengue dan JBE < 10 dan virologis Dengue (D) tipe 3. Diagnosis akhir : Ensefalopati dengue dan diare akut. Kasus 3 (Gambar 2) Y., anak perempuan, umur 5 bulan dirawat sejak tgl. 30 Desember 1991, dengan keluhan satu han sebelumnya muntah berak terus-menerus. Pemeriksaan fisis : Suhu tubuh 37,1°C, nadi 120/menit, pernapasan 20/menit, dan tekanan darah 90/60 mmHg. Keadaan umum : tampak sakitberat, terlihatngantuk dan lesu dengan tanda-tanda dehidrasi sedang. Jantung dan paru tidak ada kelainan. Hepar dan limpa tidak teraba. Pada kedua tungkai bawah terlihat petekia. Pemeriksaan fisis lainnya tidak menunjukkan kelainan. Pemeriksaan darah : Hb 13,5 g %, Ht 32 %. Trombosit 69.000/mm 3 dan lekosit 4200/mm 3 . Pemeriksaan feses Hari Sakit

2

Temp.

- 38

(°C)

-

3

4

5

6

7

8

Compos mends ,~-.

A

- 36 Ht.

-

40

(%) - 20 Tromb.

200

(ML)

100 0

H.I.

r 160

Dengue Pos. (D l)

0 Gambar 2. Perjalanan penyakit akut dan DBD

anak

perempuan 5 bulan dengan Diare

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

51

rutin : tidak terdapat darah dan lekosit. Juga dilakukan kultur feses untuk bakteri. Pemeriksaan serologis dan virologis untuk Arbovirus A/B danJBE dilakukan dari serum pasien, mulai rawat nginap dan 7 harikemudian: Diagnosis : Diane akut dan dehidrasi sedang. Pengobatan : cairan intravena Ringer-Laktat/DarrowGluzose (RL-DG) untuk mengatasi dehidrasi. Foto toraks dan pemeriksaan ultrasonografi (USG) menunjukkan adanya efusi pleura kanan. Pada hari ke-3 perawatan, nilai trombosit meneapai 19.000/mm3 dan kembali normal pada hari ke-5. Pasien dipulangkan pada hari ke-8 perawatan. Titer tes H.I. akut dan konvalesen : 10 dan 160. Isolasi virus : Dengue (D) tipe 2. Kultur feses : steril untuk bakteri patogen. Diagnosis akhir : DBD dan diare akut. PEMBAHASAN Kasus pertama dengan meningoensefalopati dalam 12 jam perawatan kesadarannya pulih kembali, bahkan keadaan umumnya membaik. Adapun pemikiran ke arah infeksi dengue, oleh karena 2 hari sebelumnya pasien mengalami demam tinggi dan pada pemeriksaan fisis didapat tes tumiket positif. Juga, hasil laboratorium darah sederhana menunjukkan hemokonsentrasi dan nilai trombosit kurang dari 200.000/mm 3 . Dan terbukti selanjutnya, dari hasil pemeriksaan virologis menunjukkan adanya infeksi virus dengue tipe 3. Sampai saat ini, ensefalopati dengue sudah banyak dilaporkan, sungguhpun usaha untuk mengisolasi virus, baik dari jaringan otak maupun cairan likuor belum berhasilttl. Isolasi virus baru berhasil diperoleh dari darah, sumsum tulang, jaringan jantung, paru, hepar, limpa, kelenjar getah bening dan timus. Hubungan antara virus dengue dengan manifestasi sistem saraf pusat sampai saat ini, belum diketahui dengan pasti. Diduga akibat kegagalan hati akut( z . Pada pasien ini, dari hasil pemeriksaan serologis untuk hepatitis menunjukkan dalam keadaan kronik infeksi virus hepatitis B. Nilai SGOT dan SGPT yang masih tetap tinggi selama fase akut, mungkin disebabkan infeksi virus denguenya atau aktivasi virus hepatitis B. Dalam hal ini, perlu diteliti lebih lanjut apakah penderita hepatitis B kronik mudah terinfeksi virus dengue sehingga memperberat disfungsi hepar dan selanjutnya mengakibatkan ensefalopati. Oleh karena pada pasien DBD, juga dilaporkan adanya infeksi virus hepatitis A( 9). Pada kasus kedua dan ketiga, gejala yang menonjol ialah diare akut dengan dehidrasi, sehinggapenatalaksanaan ditujukan untuk menanggulangi eairan yang hilang karena diare. Kasus kedua, disertai dengan ensefalopati dan penderita meninggal dalam 12 jam perawatan. Berhubung adanya ensefalopati, maka dilakukan pemeriksaan serologis dan virologis untuk JBE (Japanese B Encephalitis), namun dari hasil isolasi virus ditemukan virus dengue tipe 3. Menyadari akan pengalaman kasus ini dan adanya laporan dari Adinegoro dkk°' 1 , maka pada kasus ketiga dengan dijumpainya petekia pada kedua tungkai bawah, dilakukan pemeriksaan hitung trombosit dan ternyata nilainya rendah, 69.000/mm 3 . Untuk lebih menyokong akan diagnosis DBD, dilakukan pemeriksaan foto toraks, USG toraks/abdomen dan serologis/virologis dengue. Hasil dari pemeriksaan-pemeriksaan tersebut menyokong diagnosa DBD. Hingga saat ini, 52

CerminDunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992

belum diketahui apakah virus dengue dapat menyebabkan diare akut. Virus yang menyebabkan diare akut umumnya virus Rota, adenovirus enterik, virus Norkwalk dan virus lainnya o01 . Di bagian kami, virus Rota meliputi 35 – 40% dari diare akut( tt) Kelainan patologis usus besar dan kecil (dari hasil pemeriksaan otopsi) pasien DBD menunjukkan adanya bendungan dan dilatasi pembuluh darah mukosa dan la,ina propria. Sedangkan pada muskularis mukosa, hanya dijumpai bendungan vaskulardengan derajat lebih ringan dan tidak ditemukan perdarahan (ln. Dengan kelainan-kelainan tersebut di atas apakah dapat menimbulkan diare, sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut. Pada kasus ketiga, walaupun mengalami diare akut dengan dehidrasi dan pada hari ke-3 rawat nginap terdapat trombositopenia berat (nilai trombosit 19.000/mm 3), namun tidak mengalamiperdarahan usus. Mungkin penyebab diarenya bukan akibat dari kerusakan mukosa usus( 13 ) KESIMPULAN 1. Dalam menghadapi pasien DBD dengan nilai fungsi hepar yang tetap meninggi pada masa konvalesen, sebaiknya dipikirkan kemungkinan akan infeksi hepatitis B kronik. 2. Pada diare akut bila dijumpai petekia, patut dipertimbangkan kemungkinan infeksi dengue. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada seluruh staf NAMRU-2 atas kerja sama dalam pemeriksaan serologis dan virologis. KEPUSTAKAAN 1. Sumarmo. Demam Berdarah Dengue (Dengue) pada Anak. Tesis PT Penerbit UI) 1983. 2. Nimmannitya S, Thisyakom U, Hemsrichart V. Dengue Haemorrhagic Fever with Unusual Manifestations. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth. 1987; 18: 398. 3. Tin U, Myo A, Than Nu Swe et al. Dengue Haemorrhagic Fever with Encephalitis Symptoms. Conference on Dengue Haemorrhagic Fever : Current Knowledge. Seameo — Tropmed, Bangkok, p 1, 1976. 4. Sumarmo, Wulur H, Jahja E et al. Encephalopathy associated with Dengue Infection. 1978; Lancet 1: 449. 5. LK Kho, Sumarmo, WulurH et al. Dengue Haemorrhagic Fever accompanied by Encephalopathy in Jakarta. Southeast Asian J. Trap. Med. Pub. Hlth. 1981; 12: 83. 6. Wulur H, Sugianto D, Rumalean Let al. Reye 's Syndrome associated with Dengue Vitus Infection. Bull. WHO 1983; 9: 24. 7. Adinegoro SR, Nathin MA. Beberapa Manifestasi Klinik yang Tidak Lazim pada Demam B erdarah Denguedi B agianIKA FKUI/RSCM Jakarta. Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990. 8. Sugianto D, Setiawan M. Distensi Abdomen pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990. 9. Tatang K. Samsi, Wulur H, Sugianto D et al. Dengue Haemorrhagic Fever with Unusual Manifestation in Sumber Waras Hospital. Abstr. 7th Asian Congress of Paediatrics, Perth 5 -10 Mei, 1991. 10. Rodriguez WJ. Viral Enteritis in the 1980s : Perspective, Diagnosis and Outlook for Prevention. Pediatr. Infect. Dis. J. 1989; 8: 570. 11. Komalarini S, Setiawan J, Anni CS et al. Pemeriksaan Rotavirus pada Bayi dan Anak tanpa Diare. Abstrak KONIKA VIII, Ujung Pandang, 1990. 12. Bhamarapravati N, Tuchinda P, Boonyapaknavik V. Pathology of Thailand Haemorrhagic Fever : A Study of 100 Autopsy Cases. Ann. Trop. Med. Parasit. 1967; 61: 500. 13. Santos JI. Nutritional Implications and Physiologic Response to Pediatric Diarrhea. Pediatr. Infect. Dis. 1986; J 5: s 152.

Peranan ultrasonografi dalam penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Melani W. Setiawan, Suglanto D, H. Wuiur, *G.B. Jennings, Tatang K. Sams! Bagian Anak, Rumah Sakit Sumber Waras Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara *NAMRU-2, Jakarta

PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia saat ini masih merupakan suatu penyakit endemis-sporadis yang jika tidak ditangani seeara tepat dan adekuat dapat menimbulkan permasalahano.2.3). Dalam praktek cukup banyak dijumpai penderita tersangka DBD dengan gejala yang tidak khas menurut kriteria klinis dari WHO (1986) 0 ), misalnya bila nilai hematokrit clan/ atau trombosit masih dalam batas norman (6). Oleh karena itu diperlukan suatu sarana diagnostik-bantu yang lebih-'akurat untuk mendeteksi sedini mungkin kasus-kasus tersebut 89). Salah satu eara ialah dengan menentukan adanya efusi pleura yang dapat diketahui dengan foto rontgen toraks° 00. Penyakit DBD terutama menyerang anak-anak, maka diperlukan sarana peneitraan diagnostik yang tidak menggunakan (") sistem peng-ion, untuk menghindari bahaya radiasi . Untuk ini kami telah meneoba melakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) pada kasus-kasus DBD terutama dengan gejala-gejala yang tidak khas. BAHAN DAN CARA Suatu penyelidikan prospektif telah dilakukan selama 1,5 tahun dari 1 November 1990 sampai 1 Juni 1992 pada 87 bayi dan anak-anak dengan dugaan menderita DBD yang dirawat di RS Sumber Waras. Terdiri dari 48 (55,2%) anak laki-laki dan 39 (44,8%) perempuan berumur antara 5 bulan – 14 tahun. Pada 87 anak yang diduga menderita DBD, dilakukan klasifikasi berdasarkan ada/tidaknya gejala demam, pendarahan, hemokonsentrasi dan trombositopeni. Kelompok I terdiri dari 29 anak yang mempunyai 4 gejala tersebut. Sedangkan kelompok II 58 anak dengan persangkaan DBD yang hanya mempunyai gejala demam dan perdarahan, sebagian ada yang hanya disertai hemokonsentrasi atau trombositopeni saja. Enampuluh satu pemeriksaan USG (70%) dilakukan pada

hari pertama dirawat, sisanya dikerjakan antara hari ke-2 dan hari ke-6 masa perawatan, untuk mencari manifestasi kebocoran plasma dalam bentuk pengumpulan cairan dalam rongga pleura dan rongga peritoneal. Sistem skoring Pada penelitian ini dibuat klasifikasi berdasarkan nilai skoring mengenai derajat DBD, trombositopeni, hemokonsentrasi dan banyaknya/penyebaran kumpulan cairan bebas di rongga pleura dan rongga intraperitoneal. Nilai skoring penyakit DBD : a. Derajat DBD : skor 1 = derajat I skor 2 = derajat II skor 3 = derajat III skor 4 = derajat IV b. Trombosit : skor 1= > 150.000/mm 3 skor 2 = 150 -100.000/mm 3 skor 3 = 100 – 50.000/mm 3 skor 4 = < 50.000/mm 3 c. Hematokrit : skor 1 < 40% skor2=40–45% skor3=46–50% skor 4 = > 50% Nilai skoring cairan dalam rongga pleura : a. Skor 1 = tidak ada cairan pada kedua rongga pleura kanan maupun kiri b. Skor 2 = eairan di rongga pleura kanan saja c. Skor 3 = cairan di kedua rongga pleura kanan dan kin. Nilai skoring cairan intraperitoneal : a. Skor 1 = tidak ada cairan b. Skor 2 = cairan hanya terdapat/tampak di daerah perihepatik c. Skor 3 = cairan terdapatdi daerah perihepatik dan perivesikal d. Skor 4 = cairan yang lebih banyak akan memberi gambaran usus yang mengapung di dalamnya. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

53

Pemeriksaan dilakukan dalam posisi terlentang. Untuk mencari korelasi antara berat ringannya penyakit DBD dan cairan dalam rongga pleura dan rongga intraperitoneal pada setiap penderita digunakan sistem skoring tersebut. Skor yang makin tinggi menunjukkan gejala klinik yang makin berat yaitu derajat penyakit DBD, trombositopenia dan hemokonsentrasi. Statistik Analisis statistikdilakukan dengan memakai teknik Pearson Produet Moment Correlation Coefficient (r) dan prosedur regresi sederhana untuk mendapatkan persamaan regresi.

Tabel 2.

HASIL Pada kelompok II yang terdiri dari 58 kasus terlihat bahwa USG memberikan korelasi positif yang lebih bermakna dibandingkan hemokonsentrasi atau trombositopenia maupun keduanya (p < 0.001), (Tabel 1). Dari 87 anak dengan dugaan DBD, terdapat 74 (85%) anak yang memenuhi kriteria WHO (1986) dan selanjutnya dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologik clan isolasi virus. Tigabelas anak dikeluarkan dari penelitian ini karena diagnosis akhir adalahc ampak, demam tifoid, renjatan sepsis dan 6 anak dengan demam yang tidak diketahui penyebabnya (Tabel 2). Pemeriksaan USG dari 74 penderita DBD menemukan asites dan cairan pleura pada 34/35 penderita DBD berat (derajat III dan IV), tetapi hanya 14/39 pada kasus-kasus DBD-ringan (derajat I dan II), (Tabel 3). Duabelas kasus dengan tanda-tanda klinis DBD III/IV, sedangkan nilai hematokrit dan trombosit masih dalam batas normal, pada pemeriksaan USG menunjukkan adanya ashes dan eairan pleura pada semua kasus (12/12) sedangkan foto toraks (Fr) hanya 3 kasus (3/6), (Tabel 4). Karena kesulitan teknis, tidak seluruh kasus dapat dilakukan FT sehingga hanya 30 dari 74 kasus yang diteliti. Dari 26 kasus DBD yang dilakukan pemeriksaan USG dan FT USG menunjukkan 3 kasus dengan cairan pleura kanandan asites, sedangkan FT normal. Pada 6 kasus USG juga menunjukkan cairan rongga pleura kiri yang tidak terlihat path FT. Satu kasus dengan efusi pleura kanan yang terlihat path USG, tidak dapat ditunjukkan oleh FT. Sisanya 16 kasus (61,5%) memberikan basil yang sama antara USG dan FT (Tabel 5). Dengan pemeriksaan USG ditemukan efusi pleura/asites pada 48/74 (64,8%), sedangkan FT menemukan 12/26 (46,1%)

Tabel 3.

Tabel 1.

E

Korelasi Trombositopeni-Hemokonsentrasi-USG dengan Derajat DBD pada 58 Kasus-Atipik yang Diduga DBD (Kelompok II) Koeflsien Korelasi

Koefisien Determinasi

.166

2%

.211 (satu-ekor) .423 (dua-ekor)

Hemokonsentrasi

.210

4%

.109 .218

– .004

0%

.977 .999

.522

27%

Ultrasonografi

54

< .001 (satu-ekor)

Cermin Dunia Kedo/aeran Edisi Khusus No. 81,1992

USG

Penyakit

+



Campak Tifoid Renjatan septik FUO

0 1 2 1

3 1 0 5

Jumlah

4

9

Keterangan : FUO = demam tak diketahui penyebabnya Basil Ultrasonografl 74 Kasus DBD Ultrasonografi Gejala

DBD Derajat

Asites dan/atau Efusi pleura

I

II

III

IV

+ 25

2

1

21

1



4

2

1

1

0

+ 23

4

7

9

3

– 22

17

S

0

0

Kelompok I

Tipik

Kelompok II Alipik

Tabel 4.

Perbandingan antara USG dan Foto Toraks pada 12 Kasus DBD Berat (Derajat III–IV) dengan Hematokrit & Trombosit normal

Kasus

Derajat

No.

DBD

4

III

21 72

Ultrasonografl Asites

Efusi pleura

FT Efusi pleura

neg

ka

neg

III

P. vesikal

ka + ki

ka + ki

III

Usus

ka+ki

neg

78

IV

Usus

ka + ki

ka

79

1II

Usus

ka + ki

ka

39

III

P. hepatik

neg

neg

2

III

P. hepatik

ka

*

32

IV

P. vesikal

ka + ki

*

55

IV

P. vesikal

ka

*

57

III

Usus

ka + ki

*

82

III

P. vesikal

ka

*

83

]II

P. vesikal

ka

*

P

Trombositopenia

Trombositopenia + Hemokonsentrasi

Diagnosis Akhir 13 Kasus Bukan DBD

Keterangan : FT = fold loraks * = tidak dikerjakan

cairan pleura yaitu efusi pleura bilateral path 3 (11,5%) dan sisi kanan 9 (34,6%). Hasil kedua pemeriksaan ini berbeda secara bermakna p < 0,001 (Tabel 6). Ultrasonografi path 4 kasus USG menemukan ashes saja tanpa adanya efusi pleura. Pada penelitian ini sistim skor digunakan untuk menilai hasil pemeriksaan

Tabel 5.

Perbandingan USG dan FT untuk Deteksi Kumpulan Cairan pada 26 Kasus DBD Asites

Efusi Pleura

USG

USG

+



Total

2 2 3 6 3 —

8 1 — — — 1

10 3 3 6 3 1

16

10

26

FT

Total Cases

Neg R R+L R+L R+ L R

Neg R R+L R Neg Neg

10 3 3 6 3 1 26

Keterangan : FT = foto torahs hanya dikerjakan pada 268 kasus

USG; skor makin tinggi makin banyak jumlah cairan di dalam rongga pleura dan rongga intraperitoneal. Terdapat korelasi positif yang bermakna antara banyaknya kumpulan cairan dengan beratnya penyakit (derajat DBD, trombositopeni dan hemokonsentrasi), yaitu dengan asites (p < 0,001, Gambar 1) maupun efusi pleura (p < 0,001, Gambar 2). Korelasi positif yang bermakna antara asites dan cairan pleura dapat dilihat pada Gambar 3 (p < 0,001). Tabel 7 menunjukkan daya prediksi berdasarkan asites ternyata lebih tinggi yaitu (0.776) atau ± 60% dibanding dengan eairan pleura (0.653) atau ± 42%. Jadi pada kasus-kasus yang meragukan yaitu dengan nilai hematokrit dan trombosit normal, USG dapat menyokong diagnosis DBD sekitar 60%. PEMBAHASAN Kasus DBD atipik dengan trombositopeni dan nilai hematokrit normal ditemukan pada 68% kasus. Diagnosis bandingnya dapat dipertimbangkan infeksi viral, infeksi bakterial terutama demam tifus, trombositopeni purpura idiopatik dengan infeksi sekunder, dan keganasan. Keadaan ini bila disertai shock dapat ditemukan pada septikemia karena mikroorganisme lain. Hemokonsentrasi dengan jumlah trombosit normal dapat ditemukan pada anak-anak dengan dehidrasi terutama pada gastroenteritis yang merupakan penyakit anak yang tersering dijumpai di negara kami. Kami menemukan beberapa kasus DBD atipik dengan gejala gastroenteritis( 6 ). Walaupun ada keboeoran plasma, penderita DBD dengan anemia dapat memberikan nilai hematokrit dalam batas normal. Anemia dijumpai pada 30% anak-anak Indonesia° l . Pemeriksaan fisik dengan secara manual dapat menemukan cairan asites bila jumlahnya melebihi 1000—1500 ml. Ultrasonografi adalah suatu pemeriksaan non-invasif yang dapat dengan mudah membedakan cairan dan massa padat. Menurut Goldberg (1976) hanya 100 ml cairan ashes sudah dapat dideteksi pada kadaver dan 300 ml pada orang hidup(14) . Menurut penyelidikan Dinkel (1984) dengan USG, cairan perivesikal sebanyak 10 ml sudah dapat ditemukan dan cairan perihepatik

30 mlt '2 . Pengalaman kita pada penderita DBD membuktikan bahwa menemukan cairan perihepatik lebih mudah daripada cairan perivesikal 8•"> Kesulitan menemukan cairan perivesikal disebabkan oleh : 1) Pemeriksaan harus dilakukan : Dengan isi karidung kemih yang penuh. Dalam posisi miring atau berdiri tegak. Posisi ini sulit dilakukan pada bayi ataupun anak-anak apalagi dalam keadaan sakit berat. 2) Adanya udara dalam lumen usus yang menghalangi pemeriksaan yang memadai di daerah tersebut. Tarau (1987) menemukan 91,6% efusi pleura pada penderita DBD yang dideteksi dengan foto rontgen toraks° 01 , dan pada penelitian kami dari 74 kasus DBD dengan pemeriksaan USG ditemukan eairan pleura dan intraperitoneal pada 97,1% kasus DBD berat (derajat III-IV), sedangkan pada derajat I-II hanya 35,9%. Cairan pleura ditemukan pada 44 anak (59,4%) yaitu efusi pleura bilateral pada 30 (40,5%), sisi kanan 14 (18,9%) dan tidak ada satu kasus pun ditemukan eairan sisi kiri saja. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut sebab-sebab tidak pemah ditemukannya eairan pleura sisi kin saja. Selain itu dengan USG ditemukan ashes saja tanpa efusi pleura path 4 kasus. Tampak bahwa USG mempunyai kelebihan 48/74 dibanding dengan radiologik 12/26 yaitu lebih peka/mudah menemukan cairan pleura dan sekaligus dapat mendeteksi ashes (p < 0,001). KESIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa dengan pemeriksaan USG diperoleh korelasi positif antara jumlah kumpulan cairan pleura intraperitoneal dan beratnya penyakit. USG dapat digunakan sebagai sarana diagnostik bantu path kasus DBD yang masih diragukan; terutama pada kasus-kasus dengan hematokrit dan trombosit normal, sehingga pengobatan yang adekuat dapat diberikan sedini mungkin. Selain itu USG juga dapat digunakan sebagai prediktor prognosis. KEPUSTAKAAN 1. Kho LK, Melani Setiawan, Himawan T, Wulur H. Management of Dengue Hemorrhagic Fever. Dengue Newsletter, WHO 1984; 10: 20—22. 2. Sugianto D. Pengalaman penanggulangan DBD berat. S ymposium Dwi Dasawarsa Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras, Jakarta 11—12 Desember 1987. 3. Tatang KS, Wulur 11. Clinical aspects and management of Dengue hemorrhagic fever in Sumber Waras hospital. Presented in the Symposium on Tropical Medicine and Parasitology. Tanrmanagara University, Jakarta, August 4, 1990. 4. World health Organization: Dengue I lemorrhagic Fever. Diagnosis, treatment and control, Geneva, 1986. 5. Sugianto D, Melani Setiawan. Acute abdomen in Dengue Hemorrhagic Fever. Proc 8th National Congress in Pediatrics. Ujung Pandang, September 19—24, 1990. 6. Tatang KS, Wulur H, Sugianto D, Melani Setiawan. Dengue hemorrhagic fever with unusual manifestation in Sumber Waras hospital. 7th Asian Congress of Pediatrics. Perth, Westem Australia, May 5—10, 1990. 7. Markum All. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, FKUI, 1991:2. 8. Melani Setiawan, D. Sugianto, Wulur I I, Tatang KS. The role of ultrasound

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

55

9.

10. 11. 12.

56

in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Proc 4th Annual Scientific International Seminar of Medical Imaging. Hong Kong, September 30-October 5, 1991: 145-146. Tatang KS, Susanto I. Pengenalan dini dan penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue. Simposium dua hari 20th Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras. Jakarta, 11-12 Desember 1987: 75-92. Tarau Y, Azis Tanra, Dasril D. Pleural elusion in Dengue Hemorrhagic Fever. LIKA FK-UNHAS 1987; 4: 216-21. Pramuljo HS, Harun SR. Ultrasound findings in Dengue Haemorrhagic Fever. Pediatr Radiol 1991; 21: 100-102. Dinkel E, Lehnart R, Peters H, Dittrich M. Sonographic evidence of intraperitoneal fluid. An experimental study and its clinical implications.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

13.

14.

Pediatr Radiol 1984; 14: 299-303. Mel ani W. Setiawan, D. Sugianto,Tatang K. Samsi et al. Ultrasound in fluid collections: the value in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Proc 3rd Congress of AFSUMB '92 Seoul-Korea, August 30-September 5, 1992: 94. Goldberg BB. Ultrasonic evaluation of intraperitoneal fluid. JAMA 1976; 235: 2427.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih kami tujukan kepada Prof. Siswoyo dalam mempersiapkan analisis data, juga Sejawat lainnya yang telah membantu dan memberiken saran-saran yang berharga dalampenulisan makalah ini.

Demam Berdarah Dengue Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Sri Rezeki Harun Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Melihat peta epidemiologi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia, peningkatan jumlah kasus terjadi setiap jangka 5 tahun. Dirjen P2M & PLP melaporkan peningkatan kasus DBD pada tahun 1978, 1983, dan 1988. Maka ramalan selanjutnya adalah tahun 1993 yang akan datang. Menghadapi hal tersebut kita perlu mengantisipasi, misalnya lebih waspada dalam menegakkan diagnosis, memperbaiki tatalaksana dan managemen pasien. Maka di dalam makalah ini akan disajikan pengalaman mengelola pasien DBD di bagian IKA RSCM Jakarta, guna saling menukar informasi demi perbaikan pengelolaan kasus DBD di masa mendatang. ANGKA KEJADIAN Jumlah kasus selama tahun 1984 sampai 1992 (sampai dengan Juni 1992) dapat dilihat pada tabel 1. Pada lima tahun terakhir, angka kejadian DBD di Bagian IKA RSCM masih menduduki kelompok 5 penyakit terbanyak. Bila dilihat jumlah kematian (berkisar antara 5-10%), tampak tidak jauh berbeda dengan angka kematian rumah sakit di Indonesia(2) . Di lain pihak, Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan untuk DBD eenderung merawat kasus berat. Sepertiga dari kasus DBD yang dirawat disertai renjatan dan 23,2% kasus meninggal dalam 24 jam perawatan. Menarik untuk dikaji, bahwa peningkatan angka kematian terjadi pula pada saat jumlah kasus meningkat, seperti terlihat pada tahun 1987 dan 1988. Maka kewaspadaan perlu ditingkatkan bila menghadapi peningkatan jumlah kasus. Bila ditinjau distribusi kasus per bulan, maka pada bulan Maret, April, dan Mei tiap tahunnya terjadi peningkatan ratarata jumlah kasus berturut-turut 71, 78, 67, dan 57 orang anak (tabel 2). Distribusi ini sesuai dengan angka kejadian DBD di Jakarta o) .

Tabel 1.

Jumlah kasus DBD Bagian IKA RSCM, tahun 1984 -1992

Tahun

Kasus

Kematian *) (dalam %)

501 330 850 705 1031 277 630 358 183

2,79 5,15 6,59 10,64 13,58 9,75 4,60 3,63 5,19

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 **)

*) 23,2% meninggal dalam 24 jam perawatan **) sampai dengan bulan Juni

Tabel 2.

o

Distribusi Jumlah kasus rata-rata per bulan DBD pada anak dl Bagian IKA RSCM, 1984 -1992*)

Jan Feb Mar A pr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec 41.1 1 49.3 1 71.7 ' 73.2 1 67.7

1 57.7 !

393 1 40.1

1 32.6

1 33.5

1 23.5 1295

Keterangan : *) sampai dengan bulan September

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

57

KELOMPOK UMUR Proporsi DBD menurut kelompok umur telah mengalami pergeseran. Kelompok umur> 10 tahun eenderung lebih banyak terkena (22-28%) bill dibandingkan dengan kejadian(5,6) tahun 1975-1978 (10,8%)t4). Beberapa penulis dari Jakarta juga melaporkan peningkatan kasus DBD pada orang dewasa, terutama remaja dan dewasa muda. Sedangkan proporsi jumlah kasus menurut kelompok umur terbanyak tetap kelompok umur 4-9 tahun yaitu hampir separuh dari jumlah kasus (tabel 3). Tabel 3.

Distribusi menurut kelompok umur DBD pada anak di Bagian IKA, 1984 -1992 Kelompok umur

Tahun

1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992*)

<1

1-4

5-9

Total

> 10

n

%

n

%

n

%

n

%

n

%

11 8 29 24 47 14 26 8 5

2,1 2,4 3,4 3,4 4,5 5,0 4,0 2,2 2,7

120 80 212 196 256 76 139 86 33

23,9 24,0 24,8 27,8 24,6 27,1 21,6 24,0 18,0

246 148 403 307 487 124 297 163 93

49,0 44,4 47,1 43,5 46,9 44,3 46,0 45,6 50,8

125 97 211 179 249 66 183 101 52

24,9 29,2 24,7 25,3 24,0 23,6 28,4 28,2 28,5

502 333 855 706 1039 280 645 358 183

100 100 100 100 100 100 100 100 100

Kelerangan : *) s/d bulan Juni 1992.

MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinik DBD path 754 orang anak terlihat path tabel 4. Tabel 4.

Manifestasi klinik (dalam persen) DBD pada anak Bagian IKA FKUIIRSCM, periode 1975-1978 dan 1985-1986 Gejala klinis

Demam Petekie Hematemesis Melena Renjatan Nyeri perut Hepatomegali Penurunan kesadaran Kejang Muntah Batuk Diare Tes Torniket positif Trombositopeni

1975-1978

1985-1986

(n = 358)

(n = 754)

100 79,1 18,7 17,9 64,3 37,4 37,4 9,2 7,8 27,1 6,7 4,5 54,5 80,7

100 69,4 8,1 6,8 27,7 51,7 51,7 18,7 1,6 71,3 35,0 23,8 69,4 59,0

DIAGNOSIS Kriteria WHO (1986) sebagai pedoman diagnosis DBD masih dipakai sampai saat ini. Sejauh mana kriteria tersebut dapat membantu diagnosis perlu dikai? xembali : 1)

58

Demam Rentang lama demam di rumah, pada akhir-akhir ini

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

cenderung lebih luas dari pada tahun 1970-an, yaitu 2-10 hari. Tetapi bila ditinjau dari proporsi terbanyak demam berkisar antara 3-5 harit4>. Hal tersebut sering mempersulit diagnosis sehingga perlu dipikirkan diagnosis banding, terutama demam tifoid. Pendapat klinis ini telah sesuai dengan hasil penelitian antara Bagian IKA FKUI/RSCM Jakarta dan Badan Penelitian & Pengembangan Departemen Kesehatan (1992), bahwa hampir 50% kasus DBD dengan tes serologi hemaglutinasi inhibisi negatif ternyata positif pada tes serologi untuk Salmonela typhi atau paratyphi (data belum dipublikasi). 2)

Perdarahan spontan Petekie merupakan perdarahan kulit spontan paling sering dijumpai (69,5%), maka gejala ini hams selalu dieari bila kita mencurigai kasus DBD (tabel 4). Petekie yang dibuat dengan melakukan tes Torniket perlu mendapat perhatian pula. Walaupun lebih dari 2/3 kasus disertai tes torniket positif, tidak semua pasien demam dengan tes torniket positif adalah DBD. Maka penting untuk diobservasi bila pasien demam disertai tes torniket positif sampai terbukti bukan DBD. Perdarahan kedua terbanyak adalah epistaksis. Perlu ditanyakan pada anamnesis riwayat epistaksis sebelumnya. Bila kali ini merupakan epistaksis yang pertama, akan lebih membantu diagnosis. Perdarahan saluran eerna (hematemesis dan atau melena) merupakan jenis perdarahan yang serius. Yang perlu diperhatikan di sini adalah apakah darah tersebut berasal dari saluran eerna atau darah dari epistaksis atau perdarahan gusi yang termuntahkan atau tertelan. Tidak jarang pula terjadi perdarahan lambung oleh karena iritasi obat (antipiretik, khususnya aeetominophen). 3)

Hepatomegali Separuh dari kasus kita (48,5%) disertai hepatomegali, kejadian ini lebih keeil bila dibandingkan data dari Thailand (90%). Pembesaran hati akan lebih berarti, bila terjadi selama perjalanan penyakit DBD (semula tidak teraba, menjadi teraba). Gejala lain yang mengikuti hepatomegali adalah nyeri perut (daerah epigastrik dan hipokondrium kanan). Walaupun gejala ini tidak termasuk kriteria WHO, 59,0% kasus kami disertai nyeri perut (terutama pada anak besar). Maka nyeri perut dapat di jadikan gejala tambahan yang perlu dieari n>. Di lain pihak, harus dipikirkan diagnosis banding nyeri perut seperti gastritis dan apendisitis akut. 4)

Hemokonsentrasi Hemokonsentrasi diketahui dari peningkatan (20% atau lebih) kadar hematokrit awal (sebelum sakit atau sama dengan saat penyembuhan). Oleh karena kadar hematokrit pada saat sebelum sakit tidak diketahui, maka sangat sulit menduga adanya hemokonsentrasi hanya dengan satu kali pemeriksaan saja. Maka pemantauan kadar hematokrit berkala sangat dianjurkan guna mengetahui hemokonsentrasi yang terjadi. Hemokonsentrasi menggambarkan adanya kebocoran plasma, maka nilai hematokrit menjadi penting untuk pedoman pemberian cairan baik pada awal pengobatan maupun sebagai tindak lanjut.

Pengalaman kami pada 90 orang anak dengan DBD disertai renjatan (60 orang DBD derajat III dan 30 orang DBD derajat IV), menunjukkan bahwa nilai rata-rata hematokrit pada saat masuk RS (36,2 + 6,2) vol%, sedangkan pada saat keluar RS (30,8 + 8,0) vol% (tabel 5). Maka rata-rata kadar hematokrit maksimal adalah 38.8 vol%. Sehingga kita memakai pedoman (seeara kasar) bila nilai hematokrit > 40 vol% berarti telah terjadi kenaikan kadar hematokrit, maka dianjurkan pemberian eairan intravena.

Tabel 6.

Tabel 5.

diagnosis klinis. Sensitifitas DB di sini tidak dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Chan Y.C." melaporkan sensitifitas DB 20,5% dan 100% berturut-turut untuk infeksi primer dan sekunder. Dan bila digabung antara DB dan IgM Elisa menjadi 84%.

Jumlah hematokrit dan trombosit rata-rata DBD disertai renjatan, Bagian IKA FKUI/RSCM Hari rawat

Nilai r) Hematokrit (vol%) Trombosit ( UI) Keterangan :

*)

(mean

+

Masuk RS

Keluar RS

36,3 + 6,2

30,8 + 8,0

81,4 + 3,3

147,8 + 2,0

Tabel 7.

Hasil tes serologi hemaglutinasi inhibisi DBD pada anak di bagian IKA FKUI/RSCM (Januarl 1990 – Juni 1992)

5)

PEMERIKSAAN SEROLOGI Secara rutin semua kasus DBD dilakukan pemeriksaan tes serologi hemaglutinasi inhibisi (=IH) pada saat masuk rumah sakit (fase akut) dan saat pulang (konvalesens). Pemeriksaan tes IH dilakukan di Laboratorium Badan Penelitian & Pengembangan Dep.Kes Jakarta. Hasil tes IH selama periode 2,5 tahun (Januari 1990 - Juni 1992) dapat dilihat pada tabel 6. Dari 587 orang anak dengan diagnosis klinis DBD, 61,7% konfirmasi tes IH. Hasil ini akan lebih tinggi bila bahan yang dikirimkan lebih lengkap (pada pasien yang meninggal kurang dari 2 hari perawatan bahan hanya diambil satu kali atau terjadi lisis dari bahan pemeriksaan, sehingga tidak dapat dinilai hasilnya). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan laporan Samsi, T.K. dkk. yaitu 62,9% 0 ° Sejak bulan Agustus 1992 telah dilakukan uji coba tes Dengue Blot (= DB) path 61 orang pasien DBD dengan manifestasi klinis jelas (tabel 7 dan 8). Tujuh puluh empat persen kasus konfirmasi tes Dengue Blot. Sensitifitas tes DB terhadap tes IH (tes IH dianggap sebagai baku emas) adalah 87,1%. Hal ini berarti tes DB eukup baik untuk dipakai sebagai tes penunjang

Tabel 8.

Persen (n = 587)

Positif : Infeksi primer Infeksi sekunder Presumptif Negatif Bahan tidak lengkap

8,4 35,1 18,2 20,1 18,2

Hasil tes Dengue Blot DBD pada anak di bagian IKA FKUI/ RSCM

2 deviasi standar)

Trombositopeni Trombositopeni merupakan tanda yang penting baik untuk diagnosis maupun untuk meramalkan perjalanan penyakit. Disayangkan tanda tersebut pada saat masuk rumah sakit hanya ditemukan pada 59% kasus, walaupun pada hari perawatan berikutnya cenderung menurun. Hal ini oleh karena pasien yang datang kurang pada hari ketiga sakit, belum terjadi trombositopenia. Hal yang sama telah pula dilaporkan oleh Sunarto dan Sutaryo(8). Sedangkan pada DBD disertai renjatan, trombositopenia terdapat pada semua kasus (tabel 5). Keadaan ini berhubungan dengan kejadian renjatan terjadi terbanyak pada hari kelima sakit, dan adanya korelasi positif antara renjatan dan trombositopenia° 1 .

Tes IH

Tes DB

Persen (n = 61)

Positif Negatif

73,8 26,2

Spesitisitas dan sensitifitas tes Dengue Blot terhadap tes III, DBD pada anak Bagian IKA/FKUI/RSCM Tes IH

DB

Jumlah

+

-

+

27

15

42



4

15

19

31

30

61

Jumlah Sensitifitas : 27/31 = 87,1% Spesifiritas : 15/30 = 50,0%

KOMPLIKASI Pada periode lima tahun terakhir, tampak kejadian renjatan pada DBD makin berkurang. Bila pada tahun 1987 kejadian DBD + renjatan adalah 62,6% menurun menjadi 53,9%; 37,2%; 29,7% dan 21,8% berturut-turut pada tahun 1988, 1989, 1990 dan 1991. Hal ini merupakan hal yang menggembirakan, diduga berhubungan dengan peningkatan kewaspadaan masyarakat untuk berobat serta ketajaman para dokter untuk segera merujuk pasien ke rumah sakit°). Sedangkan prosentase jumlah pasien DBD dengan perdarahan saluran cema dan ensefalopati tetap berkisar antara 6,8 - 8,1% dan 2,5 - 8,2% (tabel 4). HAL LAIN Kejang Kejadian kejang pada DBD dapat disebabkan oleh kejang demam sederhana (menurat kriteria Livingstone) atau DBD ensefalopati. Kejadian kejang pada 5 tahun terakhir ini (Tabel 9) cenderung menurun bila dibandingkan kejadian sepuluh tahun yang lalu yaitu 7,8% 01 . Walaupun demikian, bila kita menjumpai demam tinggi disertai kejang, diagnosis banding untuk DBD Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

59

Tabel 9.

Komplikasi terbanyak DBD pada anak Bagian IKA RSCM, 1987 -1991 DBD

Tahun

1987 1988 1989 1990 1991

Renjatan

Perdarahan sal. cerna

Ensefalopati

n

%

n

%

n

%

441 556 103 187 78

62,6 53,9 37,2 29,7 21,8

57 70 21 44 25

8,1 6,8 7,9 7,0 6,9

18 7? 12 38 33

2,5 7,4 4,3 6,0 8,2

perlu diperhitungkan. Muntah dan diare Gejala klinis lain yang pada akhir-akhir ini telah banyak mengecohkan para klinis adalah muntah dan diare. Tabel 4 memperlihatkankejadiandiaredan muntahmasing-masing71,3% dan 23,8% baik sebagai keluhan utama ataupun gejala penyerta pada kasus DBD di bagian IKA FKUI/RSCM. Kejadian tersebut jelas meningkat bila dibandingkan 27,1% dan 4,5% pada sepuluh tahun yang lalu l4> . Maka kewaspadaan kita perlu ditingkatkan bila menjumpai anak demam tinggi dengan muntah dan diare. Dehidrasi sebagai akibatnya, dapat mempereepat terjadinya renjatan yang telah menganeam. TATALAKSANA 1) Dalam menghadapi peningkatan kasus, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana membedakan kasus DBD berat, ringan, dan meragukan (tersangka), oleh karena tatalaksananya berlainan. Untuk kasus berat diperlukan perawatan intensif baik seeara medis maupun sarana penun jang. Pada kasus ringan, perlu kewaspadaan terhadap kejadian yang dapat memperberat perjalanan penyakit. Sedangkan pada kasus yang meragukan, memerlukan observasi berkala untuk menentukan apakah benar menderita DBD. Untuk mengatasi hal tersebut di alas, telah dieoba membuat alur pasien sebagai berikut : Pasien DBD Sore/malam

Pagi Poli

Bangsal

IGD

RRS

ICU

Pulang

Gambar 2. Bagan/alur pasien di bagian IKA TSCM

60

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

Catalan : !DG = instalasi gawat darurat RRS = ruang rawat sehari ICU = intensive care unit

Pada pasien berat dan jelas gejala kliniknya segera dirawat. Sedangkan untuk pasien yang meragukan dilakukan observasi di RRS selama 24 jam. Sejak sistem ini diberlakukan pada bulan Agustus 1991 sampai Juli 1992, telah dirawat 96 orang anak dengan tersangka DBD, 64 orang diantaranya (66,7%) dipulangkan dalam waktu 24 jam sedangkan 31(23,3%) memerlukan perawatan lebih lanjut(12) 2) Pada DBD, renjatan merurakan kelainan utama, sedangkan kerusakan organ lain adalah sek under terhadap kejadian renjatan tersebut(8). Dari pengalaman, kami menemukan 21,8—37,2% kasus DBD yang dirawat disertai renjatan. Seperti diketahui prognosis DBD dengan renjatan lebih buruk daripada tanpa renjatan. Maka kiat utama dalam pengobatan DBD adalah mengatasi renjatan seeepat mungkin, dan mencegah semaksimal mungkin agar renjatan tidak terjadi. Dan 90 orang pasien DBD disertai renjatan yang kami observasi, menunjukkan bahwa lama renjatan teratasi rata-rata 87,8 menit (maksimal 97,3 menit). Maka disepakati bila renjatan belum teratasi setelah 120 menit (2 jam) di samping penggantian cairan segera diupayakan pemberian plasma/plasma ekspander, koreksi asidosis, koreksi hipoksemia dan elektrolit, dan dipertimbangkan pemberian komponen darah. Waktu 2 jam tersebut dihitung sejak renjatan terjadi. Jadi bila renjatan di rumah telah > 2 jam, maka pengobatan tersebut di atas harus segera diberikan sejak awal. 3) Di dalam tindak lanjut perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit. KEPUSTAKAAN 1. Suroso T. Situasi masalah dan program pemberantasan Demam Berdarah Dengue. Dalam: Haryanto B, Harun SR, Wuryadi S, Djaja IM, editor. Berbagai aspek Demam Berdarah Dengue dan Penanggulangannya. Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1989: 30—36. 2. Yatim F. Masihkah ada kekeliruan kita dalam pengelolaan penderita DBD? Warta DBD 1992; 6: 2-3. 3. Masyhur M. Program pemberantasan infeksi dengue di Jakarta antara fakta dan teori. Mikrobiol Klin Ind 1988; 3: 70-75. 4. liarun SR, Nathin MA. The changing pattern of clinical manifestations in Dengue llaemorrhagic Fever: ten years observations. Presented at The International Symposium on Dengue Ilaemorrhagic Fever. Bangkok, October 1-3, 1990. 5. Malik S. Situasi DBD di DKI Jakarta. Dipresentasikan pada Simposium sehari keperawatan. Jakarta, Desember 1988. 6. Sumarsono. Penatalaksanaan klinik Demam Berdarah Dengue. Dalam: Tumbelaka AR, Harm SR, Wuryadi S, editor. Prosiding Seminar National Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta, 8 Juni 1991. 7. Sumarno. Demam bcrdarah (Dengue) pada anak. Jakarta, UI Press 1983. 8. Sunarto,Sutaryo.Thrombocytopeniain Dengue IlcmonhagicFever. Pediatr Indones 1992; 3—4: 75-83. 9. Nimmanitya S, Thiasyakorn U, Ilerosrichart V. Dengue Ilacmorrhagic Fever with unusual manifestations. South East Asian J Trop Mcd Pub 111th 1987;18:398-406. 10. Samsi TK, Wulur IH, Sugianto D. Bartz CR, Tan R, Sia A. Imunoglobulin M and G in Virologically Confirmed Dengue Ilaemorrhagic Fever. Pediatr Indones 1992; 3-4: 65-74.

12.

Penelitian Universitas Indonesia. Jakarta, 8 Juni 1991. Tumbelaka AR. Ruang Rawat Sehari untuk kasus tersangka DBD. Warta Demam Berdarah Dengue 1992; 7 (dalam percetakan).

11.

Cheong CY. Dengue Diagnosis by Dengue Blot and IgM Elisa. Dalam: Tumbelaka AR, Harun SR, Wuryadi S, editor. Prosiding Seminar Nasional Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Pusat Penelitian Kesehatan Lembaga

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

61

Demam Berdarah Dengue : Pengalaman di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS. Hasan Sadikin, Bandung Prof. Azhali M.S., Dr., DSAK Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung

PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus Dengue, ditandai dengan gejala klinik yang khas berupa demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan dan bertendensi menimbulkan renjatan dan kematian° 1 . Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan masalah di tanah air kita ini dan jumlah kasus dari tahun ke tahun eenderung meningkat, demikian juga daerah yang terkena makin meluas. Pada tahun 1968 penyakit ini baru ditemukan di Jakarta dan Surabaya, tapi 20 tahun kemudian telah ditemukan di 201 Dati Wabah atau kenaikan kasus DBD selalu terjadi tiap tahun di pelbagai tempat di Indonesia terutama pada musim hujan°1 . Di Jawa Barat sejak tahun 1982–1983 praktis seluruh Dati II telah melaporkan adanya wabah DBD( 4). Di Bandung kasus DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1972 0 ) dan kemudian laporan-laporan berikutnya menyusul, di antaranya 1986( 6) dan 1988 r'1 . DBD dapat menimbulkan kematian dengan Case Fatality Rate berkisar antara 5–10% dan paling tinggi yang pernah dilaporkan 25% 0.9). Gejala klinis DBD dan derajat beratnya berpedoman pada kriteria WHO dan konfirmasi diagnosis DBD dilakukan dengan pembiakan dan pemeriksaan serologis seperti Haemagglutination Inhibition (HI) test, IgM eapture Elisa dan Denmgue Blot°" 01 . MANIFESTASI KLINIK DBD lebih banyak menyerang anak-anak dan di Indonesia 90% penderita penyakit ini adalah anak-anak di bawah umur 15 tahun (2) dan tidak ada perbedaan jenis kelamin(1) . Hasil yang sama juga didapat di Filipina(2) . Sedangkan kami di Bandung dan dibandingkan dengan Jakarta"") didapatkan angka-angka seperti tampak pada Tabel 1 dan Tabel 2. 62

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

Tabel 1.

Distribusi umur penderita DBD di Bandung (Garna, Azhali) dan Jakarta (Sumarmo) Sumarmo, 1983

Umur (thn)

Jumlah

%

0–2 2–5 5 -10 10 – 14

23 132 165 38

6,4 36,9 46,1 10,6

Jumlah

358

100

Garna, 1986 Jumlah

%

3 38 75 35

1,9 25,2 49,6 23,3

151

100

Azhali, 1988 Jumlah % 4 10 67 40 121

3,3 8,3 55,4 33,0 100

Dari Tabel 1 tampak bahwa DBD jarang menyerang anak di bawah 2 tahun dan paling sering menyerang anak golongan umur 5–10 tahun. Tabel 2.

Distribusi Jenis kelamin penderita DBD di Bandung (Garna, Azhali) dan Jakarta (Sumarmo)

Jenis Kelamin

Sumarmo, 1983 Jumlah

%

Laki-laki Perempuan

153 205

42,7 57,3

Jumlah

358

100

Garna, 1986 Jumlah 68 83 151



% 45,0 55,0 100

Azhali,1988 Jumlah 54 67 121

% 44,1 55,9 100

Dari Tabel 2 tampak bahwa DBD menyerang laki-laki dan perempuan hampir sama banyak sesuai dengan hasil yang dilaporkan Dit.Jen. P3M Depkes RI. Gambaran klinis DBD ditandai oleh demam, perdarahan, hepatomegali dan kegagalan peredaran darah dan WHO telah menetapkan kriteria untuk diagnosis klinik DBD, yaitu : 1) Demam mendadak tinggi selama 1–7 hari tanpa sebab yang jelas. 2) Manifestasi perdarahan :

2.1 Uji Tourniquet positif. 2.2 Purpura, petekia, ekimosis, hematoma. 2.3 Epistaksis, perdarahan gusi. 2.4 Perdarahan saluran pencernaan (hematemesis, melena). 3) Pembesaran hati. 4) Tanpa atau dengan gejala renjatan seperti : 4.1 Nadi lemah, cepat dan kecil sampai tidak teraba. 4.2 Tekanan nadi (beda tekanan sistolik dan diastolik) menurun menjadi 20 mmHg atau kurang. 4.3 Tekanan darah turun. 4.4 Kulit teraba dingin dan lembab terutama pada daerah akral seperti ujung hidung, jari dan kaki. 4.5 Sianosis di sekitar mulut. 5) Trombositopenia (100.000/mm 3 atau kurang). 6) Hemokonsentrasi yang dapat dinilai dengan melihat peninggian nilai hematokrit sebesar 20% atau lebih. Gambaran klinis DBD pada penelitian kami dibandingkan dengan peneliti-peneliti lain tampak pada Tabel 3. Tabel 3.

Gambaran klinik kasus Demam Berdarah Denguedari berbagai peneliti (%)

Manifestasi Klinik

Kho, 19720»

Demam Nyeri perut Muntah Mencret Batuk Kejang Obstipasi Syok Sakit kepala Uji Tomiket (+) Petckia Epistaksis Perdarahan gusi llematemesis Melcna Ilcpatomcgali

100 76 45 16 60 38 35 24 20 42 -

Ismangun Sumarmo 19750" 1983" 100 6,2 33,7 12,5 25 12,5 97,9 19,5 8,3 6,2 6,2 -

100 37,4 27,1 4,5 6,7 7,8 10,9 64,3 6,7 54,5 79,1 17,0 10,9 17,9 52,8

Garna 1986('

Azhali 1988m

100 41 36,4 9,9 3,9 13,2 41,0 94,0 70,8 45,7 7,3 2,6 60,3

100 35,5 17,4 11,6' 31,4 28,9 84,3 64,5 40,5 10,7 28,9 23,1 57,9

Dari Tabel 3 tampak bahwa gambaran klinis DBD bervariasi dari peneliti yang satu ke peneliti lainnya bila dibandingkan dengan kriteria WHO. Hal ini dapat disebabkan karena derajat beratnya DBD yang dirawat tidak sama. Derajat beratnya penyakit DBD sesuai dengan kriteria WHO: Derajat 1 : Demam dan uji Tourniquet positif. Derajat 2 : Derajat 1 disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. Derajat 3 : Ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi eepat dan lembut, tekanan nadi menurun kurang atau sama dengan 20 mmHg atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah. Derajat 4 : Renjatan berat dengan nadi dan tekanan darah yang tidak dapat diukur.

Tabel 4.

Derajat DBD saat masuk perawatan dari Azhali dan Sumarmo (dalam persen)

Derajat DBD I II III IV

Azhali

Sumarmo

31,3 45,8 9,7 13,2

0,0 35,7 38,5 25,8

Gambaran hasil pemeriksaan laboratorium DBD berupa trombosit dan hematokrit tampak pada Tabel 5. Tabel 5.

Hasil pemeriksaan trombosit dan hematokrit (dalam persen)

Laboratorium Trombositopenia Hemokonsentrasi

Azhali

Sumarmo

10,8 50,6

96,6 88,0

Yang dimaksud dengan trombositopenia dan hempkonsentrasi sesuai dengan kriteria WHO. Tabel 5 menunjukkan perbedaan hasil yang menyolok. Hal ini juga berhubungan dengan derajat beratnya penyakit dan juga trombositopenia pada DBD hanya dapat ditemukan bila pemeriksaan trombosit dilakukan secara serial dan intensif sekurang-kurangnya dari hari ke tiga sampai ke delapan dari sakitnya" 6l Diagnosis serologis DBD yang dilakukan saat itu memakai tes HI (Hemaglutinasi Inhibisi) untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan titer antibodi dari specimen akut dan konvalesen (Tabel 6). Tabel 6.

Hasil pemeriksaan tes HI penderita DBD dibandingkan dengan basil Sumarmo (dalam persen)

Interpretasi serologis Primer Sckunder Presumptif (infeksi barn)

Penilaian Sumarmo,1983"

Azhali, 1988 m

17,2 62,0 20,8

6,6 30,6 62,8

Dan Tabel 6 ternyata ada perbedaan hasil dari interpretasi serologis primer, sekunder dan presumptif. Perbedaan basil interpretasi serologis primer coming bila kita memakai pemeriksaan Dengue Blot (IgE) di manapemeriksaan ini sensitif untuk dengue sekunder tapi kurang sensitif terhadap dengue primer. PENATALAKSANAAN Dasar pengobatan DBD adalah pemberian cairan ganti secara adekuat. Pada sebagian besar penderita penggantian plasma secara dini dengan memberikan eairan yang mengandung elektrolit, ekspander plasma dan atau plasma memberikan basil yang baik. Hemokonsentrasi mencerminkan derajat kebocoran plasma dan biasanya mendahului munculnya perubahan vital secara klinik.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

63

Perubahan hemostatik pada DBD meliputi tiga faktor, yaitu perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan pembekuan. Hampir 80% penderita DSS dan 17% kasus yang tanpa renjatan mempunyai gangguan pembekuan menunjukkan adanya disseminated intravascularcoagulation (DIC) yang ditandai oleh trombositopenia yang berlanjut, partial thromboplastin time (PTT) yang memanjang, penurunan kadar fibrinogen dan peningkatanfibrinogen degradation product (1.DP). Sekitar satupertiga kasus renjatan menunjukkan perdarahan terutama perdarahan traktus gastrointestinal sehingga pada penatalaksanaan DBD perlu : 1. Pengawasan : Pengawasan terutama observasi teliti tanda-tanda dini renjatan seperti pengawasan secara periodik terhadap keadaan umum, nadi, tekanan darah, pernapasan, kulit, ujung jari, hematokrit dan trombosit setiap hari bahkan bila perlu setiap 3—6 jam sekali. 2. Pengobatan : a) DBD tanpa renjatan : 1. Minum banyak, 1,5—2 liter sehani, bisa air, teh, gula, sirop, susu, oralit. 2. Pemberian i.v.f.d. (intravenous fluid drip), pada DBD tanpa renjatan dilaksanakan apabila : - penderita muntah terus menerus, - didapatkan hematokrit yang bertendensi terus meningkat. Untuk hani pertama kita anggap penderita ada dalam keadaan dehidrasisi sedang, maka diberikan eairan laktat Ringer sebagai berikut : Berat badan (Kg) 3—10

10—15

15—20

P.W.L. N.W.L. C.W.L.

80 ml 100 ml 25 ml

70 ml 80 ml 25 ml

50 ml 65 ml 25 ml

Jumlah

205 ml

175 ml

140 ml

P.W.L. : Previous Water Losses, yaitu jumlah cairan yang hilang karena muntah, berak dan diperkirakan 8% untuk berat badan 3—10 kg, 7% untuk 10—15 kg, dan 5% untuk 15—25 kg. N.W.L. : Normal Water Losses, yaitu jumlah eairan yang hilang dengan pernapasan, penguapan kulit (keringat) dan air keneing. C.W.L. : Concomitant Water Losses, yaitu jumlah eairan yang hilang karma lanjutan diare, muntah atau penghisapan. Untuk setiap kenaikan suhu badan satu derajat di atas 37 derajat Celcius atau suhu ruangan di atas 32 derajat Celeius, maka N.W.L. harus dinaikkan dengan 12%. Apabila hari kedua dan selanjutnya masih diperlukan pemberian i.v.f.d. maka jumlah cairan yang dibutuhkan ialah jumlah N.W.L. dan C.W.L. yaitu untuk berat badan : — 3 -10 kg : 125 ml/kgBB/24 jam, 10— 15 kg : 105 ml/kgBB/24 jam, 15 — 25 kg : 90 ml/kgBB/24 jam. 3. Pemberian obat-obatan :

64

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

1) Antipiretik : asetaminopen dengan dosis : umur 6—12 bulan : 50 mg/kali, sehari 4 kali; umur 1— 5 tahun : 50—100 mg/kali, sehari 4 kali; umur 5—10 tahun : 100—200 mg/kali, sehari 4 kali; umur > 10 tahun : 250 mg/kali, sehari 4 kali. 2) Antikonvulsi : bila kejang diberi : Diazepam perrektal atau intravenous, Dosis : 5 — 10 mg per rektal/kali 0,2—0,5 mg/kgBB/kali, i.v. b) DSS (Dengue Shock Syndrome) : 1. Bed eairan Laktat Ringer : 1) Renjatan berat : Cairan diberikan seeara diguyur, artinya secepat-cepatnya; bila vena kolaps sehingga keeepatan tetesan yang dihanapkan tidak dieapai, maka eairan diberikan dengan semprit denhgan paksaan dimasukkan 100—200 ml, kemudian dilanjutkan dengan tetesan. 2) Renjatan tidak berat : Cairan 20 ml/kgBB/jam; bila tidak memberikan hasil dalam waktu 1 jam maka diberikan plasma atau ekspander plasma 20—30 ml/kgBB/jam. Bila renjatan sudah diatasi, nadi jelas teraba, amplitudo nadi eukup keras, tekanan sistolik 80 mmHg atau lebih, maka kecepatan tetesan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam. Mengingat kebocoran plasma dapat berlangsung 24 — 48 jam, maka pemberian eairan i.v. dipertahankan walaupun tandatanda vital telah menunjukkan perbaikan nyata. Karena hematokrit merupakan indeks yang dapat dipercaya dalam menentukan keboeoran plasma, maka pemeriksaan hematokrit perlu dilakukan seeana periodik. Keeepatan pemberian eairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinik vital dan nilai hematokrit. Dalam masa penyembuhan cairan dalam ruang ekstravaskuler direabsorbsi kembali ke dalam ruang vaskuler, maka pemberian eairan hanus hati-hati. 3) Pemberian darah : Indikasi pemberian darah ialah pada penderita dengan perdarahan gastrointestinal hebat, kadangkadang perdarahan gastrointestinal berat dapat diduga apabila nilai hemoglobin dan hematokrit menurun meskipun perdanahannya sendiri tidal( kelihatan. 2. Obat-obatan : 1) Antibiotik : Dirikan bila ada tanda-tanda infeksi bakteri atau bila syok berulang atau syok berkepanjangan. 2) Kortikosteroid : Kegunaan pemakaian kortikosteroid untuk penderita DSS masih kontroversial. Sumarmo" ) dengan dosis tunggal hidrokortison suksinat 50 mg/kgBB i.v. menarik kesimpulan tidak ada gunanya memberi hidrokortison pada penderita DSS, tapi Prasit Futrakul dkk ""> dengan memakai dosis tinggi methyl prednisolone (MP) dan Mannitol (M) yaitu : MP 30 mg/kgBB/kali i.v., dan dosis kedua: MP diberikan 4—8 jam kemudian ditambah M, dosis 0,5—1 gr/kg i.v. dan dosis kcdua M. Dosis tinggi MP melepaskan post kapiler spinchter dan spasme vena, mengurangi permeabilitas vaskuler sehingga meninggikan venous return, juga merangsang glukoneogenesis hepar, menyokong metabolisme karbohidrat hepar, menstabilkan membran normal hepar dan meneegah aktifasi buruk kom-

plemen. 3) Carbazochrome Sodium Sulfonate : Pemakaian obat(18) ini masih belum ada kesepakatan. Penelitian Funahara dkk melaporkan bahwa obat ini antara lain dapat menekan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan mempersingkat waktu perdarahan. Kegunaan pemakaian obat ini sekarang masih dalam penelitian yang akan dilakukan di beberapa senter: Bandung, Jakarta, Yogyakarta, dari Surabaya. Dosis dan cara pemberiannya yaitu: 75 mg i.v., tiap 4 jam selama 4 hari berturut-turut. 4) Heparin : DIC merupakan penyebab utama perdarahan hebat, khususnya perdarahan gastrointestinal dan dibuktikan dengan kadar trombosit yang rendah, kadar fibrinogen yang rendah dan peninggian'kadar FDP dan kelainan hemostatik. Dalam keadaan ini pemberian heparin dapat dipertimbangkan. Dosis : 1/2 – 1 mg/kgBB, tiap 4 jam, i.v.

4. 5.

6.

7. 8.

9. 10.

11.

KESIMPULAN DBD masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan terutama menyerang an ak-anak. Diagnosis klinik berdasarkan kriteria WHO, tapi dari hasil yang didapatkan beberapa peneliti ternyata terdapat variasi dari gambaran klinik dan laboratorium. Diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan isolasi virus dan pemeriksaan serologis. Penatalaksanaan DBD bersifat suportif dan penting sekali pengawasan penderita secara eermat dan periodik.

12. 13. 14. 15. 16. 17.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

WHO. Dengue Hemorrhagic Fever : Diagnosis, treatment and control. WHO, 1986. Suroso T. Perkembangan DBD di Indonesia. Simposium Nasional DBD, Jakarta 1991. Wuryadi S. Sepuluh Tahun Pengamatan virus Dengue di Indonesia. Sim-

18.

posium Demam Berdarah Dengue 67–82; Jakarta 1986. Djatnika H. Epidemiologi dan pemberantasan DBD di Propinsi Jawa Barat. Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD, 1—28, Bandung, 1988. Abdul Rivai, Suroto-Hamzah E., Oscar Rahman, Soeprapti Thaib. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever in Bandung. Paediatr. Indones. 1972; 12(1): 40-48. Gama H, Azhali MS. Tinjauan kasus Demam Berdarah Dengue selama 5 tahun di LabIUPF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung. Pekan Ilmiah FKUP/RSHS, 1986. Azhali MS. Aspek klinik dan penanggulangan Demam Berdarah Dengue pada anak. Simposium Diagnosa dan Penanggulangan DBD, 29—47, Bandung 1988. WHO. Technical guides for diagnosis, treatment, surveillance, prevention and control of Dengue Hemorrhagic Fever. Technical Advisory Committee on Dengue Hemorrhagic Fever for the South East Asian and Western Pacific Region, 1975. Halstead SB. Dengue Hemorrhagic Fever, A public health problem and a field for research. Bull. WHO 1980; 58: 1—21. Chan Y, Lao OF, Ngoh BL, Tan F1C, Seah C, Chan L. Rapid diagnosis on acute sera of DHF patients by Dengue Blot and IgM Elisa. Proc. International Symposium on Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever, Bangkok, 1990. Dit.Jen. P3M, Depkes RI. Proyek pemberantasan penyakit yang ditularkan binatang. Sub Proyek Arbovirus : Penyakit Demam Berdarah di Indonesia dan pemberantasannya. Bahan Penataran Pelaksanaan Pemberantasan Demam Berdarah Tingkat Propifisi se-Indonesia, Jakarta 1976. Dixon JJ. The occurrence of dengue hemorrhagic fever in the Phillipines. Asian J. Infect. Dis. 1978; 2: 15. Sumanno. Demam Berdarah Dengue pada anak. Cetakan I, UI Press, 1983. Kho LK, Wulur H, Himawan T, Thaib S. Dengue hemorrhagic fever in Jakarta. Paediatr. Indones. 1972; 12(1): 31—9. Ismangun, Samik Wahab S, Rachmat Sutrisno, Achmad Surjono. Dengue hemorrhagic fever in Yogyakarta, Central Java. Paediatr. Indones. 1972; 12(1): 49—54. Sunarto, Sutaryo. Thrombocytopenia in Dengue Hemorrhagic Fever. Paediatr. Indones. 1992; 32(3–4) 75—83. Prasit Futrakul, Makumkrong Poshyachinda, Chulee Mitrakul, Smaru Kwakpetoon, Pompon Unchumchoke, Chantana Teranaparin, Kouthini Kheokham, Chaweeman Impand. Hemodynamic response to high dose methyl prednisolone and Mannitol in severe Dengue shock patients unresponsive to fluid replacement. The South East Asian. J Trop Med Publ Filth 1987; 18(3): 373—82. Funahara Y, Shirahata A, Dhanna R, Nishiyama S, Wiharta AS, Nathin MA, Karjomanggolo TW, Tam9ela LA. Simposium Demam Berdarah Dengue, 109—138, 1986.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 199?

65

Demam Berdarah Dengue di Semarang Anggoro D.B. Sachro Sub Bagian Penyakit Infeksi Tropis, Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang

ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini merupakan masalah karena dalam waktu beberapa hari dapat menimbulkan kematian. Di daerah endemis seperti,Semarang, 87% dari orang tua penderita yang memeriksakan anaknya pada poliklinik Anak RS Dr. Kariadi mengatakan bahwa DBD merupakan penyakit yang berat dan berbahaya. Pada tahun 1972 dan tahun 1973 di kota Semarang dan sekitarnya telah terjadi outbreak penyakit dengan gejala klinis persangkaan DBD. Sejak 1 Januari 1972 sampai dengan 31 Maret 1973 telah dirawat 1381 anak yang berumur sampai dengan 14 tahun, dan pada tahun 1973 telah berhasil ditemukan virologi positip. Sedangkan menurut Kriteria klinik WHO 1975, 80% serologis positip pada penderita Tersangka DBD, dan 73,33% serologis positip pada penderita klinis DBD (1986). Rata-rata kadar Hemoglobin (metode Sahli) 10,2 gr % (SD1, 19); dan rata-rata Hematokrit 34,8% (SD 3,37) pada penderita DBD setelah 2 minggu sembuh dari penyakitnya (1986). Data 5 tahun terakhir menunjukkan : dirawat penderita Tersangka DBD, DBD dan DSS di Bagian Anak RS Dr. Kariadi 768 orang (1987), 859 orang (1988), 250 (1989), 1240 orang (1990), dan 508 orang (1991); dengan angka kematian antara 4,1 — 5,2%. Diagnosa T. DBD 25,4—42,8%, DBD I 23,4—29,6%, DBD II 6,9—18,1%, DBD III 2,0–9,4%, dan DSS 17,8–21,8%. Penderita T. DBD rawat jalan 26,66% akhirnya rawat nginap, sedangkan 50% penderita DBD I akhirnya rawat nginap. PENDAHULUAN Demam Berdarah Dengue (DBD) sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan baik bagi tenaga kesehatan khususnya maupun masyarakat luas pada umumnya, karena penyakit ini dapat menimbulkan wabah, dan apabila penanganannya tidak tepat dapat mengakibatkan kematian, sehingga penyakit ini masih sangat ditakuti oleh masyarakat; kadangkadang penyakit ini muneul secara mendadak pada suatu daerah tertentu yang tidak diwaspadai atau diperkirakan sebelumnya t '". Walaupun sudah Iebih seperempat abad penyakit DBD 66

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

dikenal di Indonesia, namun sampai saat ini kita masih mengalami kesulitan dalam usaha menegakkan diagnosis dini serta menurunkan angka kematian. Hal ini karena begitu luasnya spektrum gejala klinis yang diperlihatkan penderita DBD, mulai demam ringan yang tidak khas dan sembuh sendiri dalam beberapa hari, sampai pada demam tinggi yang tiba-tiba jatuh pada keadaan syok dan perdarahan berat hingga meninggal sebelum sempat diagnosis ditegakkan(2) . Pada daerah endemis seperti Semarang dan sekitarnya, sekitar 90% orang tua penderita penyakit DBD maupun yang

bukan DBD yang berobat di Rumah Sakit Dr. Kariadi Bagian Anak mengatakan bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (yang orang awam sering menyebut penyakit "Demam") merupakan penyakit yang berat dan berbahaya, dengan alasan gejalanya tidak jelas dan dalam waktu yang singkat dapat menimbulkan kematian yang kebanyakan pada anak usia sekolah. Bahkan sebagian besar orang tua yang anaknya menderita Demam, belum merasa puas sebelum dokter yang memeriksa dapat memastikan bahwa anaknya pasti menderita DBD atau bukan DBD. Hingga saat ini sarana diagnostik untuk memenuhi diagnosis dengan Kriteria WHO 1975, berupa pemeriksaan tanda adanya hemokonsentrasi belum tersedia pada seluruh Rumah Sakit Kabupaten, sedangkan untuk menentukan nilai jumlah trombosit belum banyak tenaga yang terlatih. Pengaruh budaya, sosio ekonomi masyarakat terutama di desa masih berpengaruh di dalam usaha untuk secepatnya merujuk penderita ke Sarana Perawatan yang lebih baik, dengan tujuan menekan angka kematian DBD masih berkisar 3 - 5%. Untuk mengurangi meluasnya penyakit, usaha mengaktifkan atau menggerakkan masyarakat di dalam Gerakan Pembersihan Sarang Nyamuk (PSN) walaupun pelan namun dirasakan manfaatnya. SITUASI DEMAM BERDARAH DENGUE DI SEMARANG Di Semarang kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) dicurigai sejak tahun 1968, dan jumlah kasus meningkat dengan pesat pada tahun 1972. Sejak 1 Januari 1972 sampai dengan 31 Maret 1973 telah dirawat di Bagian Anak RS Dr. Kariadi sebanyak 1381 orang anak dengan diagnosis klinik DBD, terdiri 692 laki-laki dan 689 orang perempuan. Sembilan puluh satu persen berasal dari kota Semarang. Dari pemeriksaan HI tes (serologis) saat itu 69,8% positip. Sedangkanc angka kematian saat itu 6,4% (penderita dengan syok 14,4%) Pada tahun 1973 (2-6 Maret) telah diteliti 30 penderita tersangka DBD; berhasil diisolasi virus Dengue tipe 1, 2, dan 3 dari 10 orang penderita(3) . Tabel 1.

Jumlah kasus DBD yang dirawat di RS Dr. Kariadi Semarang

Periode Tabun 1972 - 1976 1977 - 1981 1982 - 1986 1987 - 1991

Laki-laki

Perempuan (%)

Jumlah Kasus

48,23 47,83 47,55 46,81

51,74 52,17 52,45 53,19

2324 2074 3957 3625

(%)

Rata-rata kasus DBD merupakan kasus 3 terbesar jenis penyakit di Bagian Anak RS Dr. Kariadi di samping ISPA dan gastroenteritis (13,75 - 14,2% dari semua penderita anak). Pengelolaan Penderita Setelah diagnosis ditegakkan penderita dirawat di Rumah Sakit apabila ada indikasi rawat. Semua penderita yang akan dirawat di bangsal, baik pada jam kerja maupun di luar jam kerja, harus melalui Unit Gawat Darurat (UGD).

Tabel 2.

Distribusi umur penderita DBD dalam periode 5 tahunan pada Bagian Anak RS Dr. Kariadi Semarang

Umur

Jumlah Penderita DBD ( %) 1972-1976 1977-1981 1982-1986 1,44 32,14 54,28 12,44

0-11 bl 1 - 4 th 5 - 9 th 10th-

Tabel 3.

2,42 30,41 48,78 18,38

4,22 22,01 58,52 15,24

Penderita DBD yang dirawat, menurut derajat sakitnya Jumlah Penderita DBD (%)

Derajat Sakit 1972-1976

1977-1981

1982-1986

1987-1991

23,01 47,85 12,29 16,89

28,81 40,63 12,14 18,42

39,47 40,54 3,96 16,02

34,23 22,01 13,32 6,43 16,74

T. DBD DBD I DBD II DBD ]II DBD IV/DSS Tabel 4.

2,59 32,21 50,88 12,32

1987-1991

Angka kematian rata-rata penderita DBD yang dirawat di Bagian Anak Rumah Sakit Dr. Kariadi selama 4 periode lima tahunan

Pa-lode tahun 1972 - 1973 1972 - 1976 1977 - 1981 1982 - 1986 1987 - 1991

Angka kematian (%) 6,40 (pertama kali KLB) 5,79 3,77 4,50 4,68

Sebagaimana penyakit infeksi virus lainnya, hingga sekarang belum ditemukan pengobatan DBD secara etiologis. Perubahan patofisiologis terutama adanya keboeoran plasma dengan segala akibatnya (syok, asidosis, DIC dan lain-lain) menjadi dasar penatalaksanaan penyakit DBD. Dengan demikian pengobatan DBD masih bersifat suportip berupa pemberian cairan ganti (volume replacement) yang adekuat dan mengoreksi perubahan asam basa yang terjadi. Pada sebagian besar penderita penggantian dini plasma yang hilang dengan memberikan cairan pengganti secara efektif memberikan basil yang balk. Apakah penderita-penderita tersangka DBD perlu dirawat, ditentukan berdasarkan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara berkala. Penderita DBD tanpa syok dirawat dan observasi secara teliti terhadap kemungkinan adanya tanda-tanda dini syok. Akibat kehilangan cairan (demam tinggi, anoreksia, muntah-muntah) penderita perlu diberi minum banyak. Cairan intravena diberikan pada penderita DBD tanpa syok bila anak terus muntah, yang mengancam terjadinya dehidrasi atau bila nilai hematokrit pada pemeriksaan berkala cenderung terus meningkat. Pada penderita DBD dengan syok, mula-mula diberikan cairan Ringer Laktat sebanyak 10 ml/kgBB/30 mnt, sebagai resusitasi cairan. Kemudian diadakan evaluasi, tiap setengah jam. Apabila syok belum teratasi pemberian eairan dapat diulangi sampai 3 kali sementara itu sudah dilakukan usaha plasma sebanyak 15 - 20 ml/kgBB. Apabila resusitasi cairan berhasil, tanda-tanda syok sudah tidak ada, penderita dipindah rawat ke Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

67

ruang HND (High Nursing Dependency) untuk mendapat pengelolaan lebih lanjut. Sedangkan apabila penderita masih mengalami syok, dirujuk ke PICU (Pediatric Intensive Care Unit), dengan indikasi syok yang berkepanjangan untuk mendapatkan pemantauan yang lebih ketat antara lain : pemeriksaan tekanan vena sentralis, pemeriksaan albumin, elektrolit darah, analisa gas darah dan X foto toraks. Begitu juga penderita yang sudah sampai ruang HND harus dipindah rawat ke ruang PICU apabila terjadi syok berulang atau pendarahan berat. Penderita di ruang HND yang mengalami perbaikan dipindah rawat ke ruangan perawatan biasa. Cairan RL yang digunakan untuk resusitasi cairan diberikan sampai dengan syok teratasi, kemudian diganti eairan pemeliharaan. Selama perawatan ini kepada penderita dilakukan pemantauan : keadaan umum, tensi, nadi, pernapasan, tanda edem paru, tanda pendarahan abdomen, dan perdarahan yang lain, serta pelembaban kulit. Pemantauan pemeriksaan Laboratorium adalah terhadap kadar Hemoglobin, Hematokrit, jumlah trombosit. Pemantauan dilakukan tiap 1—2 jam. Apabila keadaan (5,6) membaik pemantauan tersebut dapat lebih jarang dilakukan ) Indikasi perawatan di PICU RS Dr. Kariadi/FK UNDIP : 1. Syok yang tidak dapat diatasi, 2. Syok berulang, 3. Syok dengan perdarahan hebat, dan 4. Syok dengan menyulitsepertikegagalan pemafasan,ensefalopati, payah jantung dan lain-lain. Angka kematian penderita DB D/DSS yang dirawat di PICU masih tinggi (tahug 1987 — 1988 : 50,1%). Kasus DBD/DSS yang dirawat di PICU (dalam %) dengan berbagai penyebab : (1987 — 1988)( 6 ). 12,73% - DBD perdarahan DBD syok berulang 25,45% DSS prolong syok 26,36% DBD ensefalopati 16,36% DSS Hiperpireksi 3,67% DSS Edema paru 0,90% DSS 21,82% HASIL PANTAUAN PEMERIKSAAN LABORATORIS Pemeriksaan serologis (Uji HI/Haemaglutination Inhibition) Telah diteliti, pada tahun 1983 menunjukkan serologi positif 55,4 — 60% positif, tahun 1985 — 1986 menunjukkan 55,97 — 59,75% positif. Sedangkan pada penderita DBD III/DSS ditemukan 66,56% positif (1983), dan 88,6% positif (1987). Tahun 1986 — 1987 pernah dilakukan penelitian terhadap penderita tersangka DBD/DSS rawat jalan menunjukkan hasil : Penderita T. DBD : 80% positif, dan DBD : 73,3% positif. Oleh sebab itu setelah melihat hasil di atas, penderita T. DBD perlu diwaspadai (dalam penelitian selanjutnya 26,66% penderita T. DBD rawat jalan pada akhirnya memerlukan rawat nginap) maka indikasi perawatan penderita lebih diperluas(6'7 9 '

)

Pemeriksaan terhadap Hemokonsentrasi Penelitian tahun 1986 — 1987 menunjukkan bahwa dengan 68

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

pemeriksaan hemoglobin (Sahli) dan Hematokrit (Mikrohematokrit) menunjukkan kenaikan yang bermakna, malca keadaan akut serta penurunan pada keadaan rekovalesen. Rata-rata kadar Hb penderita dalam keadaan sembuh 10,2 g% dengan simpang baku 1,19, dan HT penderita dalam keadaan sembuh 34,8% dengan simpang baku 3,37 (diartikan keadaan sembuh ialah 2 minggu setelah pulang dari Rumah Sakit) t10I Sikap/Pendapat Orang Tua terhadap DBD Tahun 1989 — 1990 tclah diteliti pendapat/sikap orang tua penderita DBD maupun yang bukan D13D terhadap penyakit DBD. Penderita DBD datang ke RS 82% atas kemauan sendiri, dan 51% ada. keluarga yang sakit DBD dalam 2 minggit terakhir, sedangkan 37% mengatakan ada teman sekolah yang sakit DBD. 96,5% OT mengatakan sudah pernah/tahu DBD, dan 92,5% mengetahui nyamuk sebagai binatang perantaranya. 87% menganggap DBD sebagai penyakit yang berat/berbahaya. Tindakan peneegahan yang perlu dilakukan 70% menyebutkan perlunya , PSN, namun hanya 51% yang pernah melakukan, sedangkan hanya 24,6%'yang melakukan PSN atas kesadaran sendiri tttl KESIMPULAN 1) Semarang dan sekitarnya merupakan daerah endemis DBD, seperti daerah endemis tinggi yang lain di Indonesia perlu waspada setiap saat akan terjadinya KLB, khususnya menMang musim hujan, siklus 5 tahun; yang diperkirakan jatuh pada tahun depan (1993). 2) Sejak tahun 1971 kasus DUD makin meningkat. Sedangkan angka kematian tidak menurun, meskipun masih relatif tinggi, sehingga perlu peningkatan dalam mengelola kasus DBD. Keterlambatan penanganan kasus berat disebabkan oleh faktor pengetahuan masyarakat terhadap kesehatan, di samping keadaan sosioekonomi masyarakat yang masih rendah sehingga menolak untuk diru juk ke RS. Di samping begitu luasnya spektrum gejala klinis di DBD, juga belum dapat dipenuhinya sarana diagnosis terhadap DBD di Puskesmas maupun di RS Kabupaten. 3) Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap perlunya tindakan PNS secara teratur, sehingga meluasnya penyakit belum dapat diatasi secara balk. 4) Penelitian perlu torus menerus dilakukan guna membuka atau dapat memperjelas patofisiologi, patogenesis serta biokimiawi penyakit DBD, dan tersedianya vaksin anti DBD. KEPUSTAKAAN 1. Anggoro DB Sachro. Pcn®talaksanaan kasus DBD. Pelatihan tcrpadu pcmbcrantasan P2ML dan P2132 bagi doktcr Puskcsmas Jatcng, 1992. 2. Anggoro D13 Sachro. Aspek klinik dan pcngclolaan DH3D. Penataran DBD doktcr Puskcsmas. 1983. 3. Mocljono 'H S, Ag. Sumantri, Sujono, Anggoro DB Sachro, Suprapti T. Pcnderita DHHF dcngan pengisolasian virus pcnycbabnya. KONIKA III Surabaya 1974.

4. Sujono, MocijonoTS, I lardiman, Anggoro DB Sachro, Suprapti T. Pendcrita DHHF yang dirawat di Bagian IKA RS Dr. Kariadi/17C UNDIP 1972 — 1973. KONHKA I1I Surabaya 1974.

5. 6. 7. 8. 9. 10.

11.

Djoti Atmodjo. Pengelolaan DBD berat. Simposium pengelolaan kegawatan pada anak. Semarang, 1986. Susanto JC, Anggoro DB Sachro, Djoti Atmodjo. Pemeriksaan serologi Penderita DBD III/IV/DSS. KONIKA VII Jakarta 1987. M. Arifin Basri, Anggoro DB Sachro. Gambaran pemeriksaan serologi DHF di RS Dr. Kariadi. KONIKA VI, Denpasar 1984. Sudarto Y, Anggoro DB Sachro. Gambaran pemeriksaan serologipenderita DBDIDSS yang dirawat di Bagian IKA FK UNDIP/RS Dr. Kariadi 1985 1986. KONIKA VII Jakarta 1987. Anggoro DB Sachro, Hendiani S. Gambaran serologi penderita T. DBD/ DBD di Unit rawat jalan anak RS Dr. Kariadi. KONIKA VII Jakarta 1987. Sugeng Riswanto, Anggoro DB Sachro, Hendriani S. Gambaran Hematologi pada Penderita Tersangka DBD, DBD yang dirawat di RS Dr. Kariadi, KONIKA VII, Jakarta 1987. Anggoro DB Sachro dkk. Sikap/pendapat Orang Tua terhadap DBD. KONIKA VIII Ujung Pandang 1990.

12. 13. 14. 15. 16.

17.

18.

Sumarmo. Demam Berdarah (Dengue) pada anak. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1983. WHO. Dengue Haemorrhagic Fever, diagnosis, treatment and control. Geneva : 1986. Anggoro, Mulyono, Suliansyah. Dengue Shock Syndrome. KPPIK. FK UNDIP Semarang, 1982. Tatty Hendatto, Setyabudi, Ag. Sumantri, Djoti Atmodjo, Winamo. Albumin penderita DBD berat di PICU RS Dr. Kariadi, KONIKA VII, Jakarta 1987. Anggoro DB achro, Susanto JC. Penderita DBD yang dirawat di Bagian Anak RS Dr. Kariadi/FK UNDIP 1987 - 1988. Kongres Nasional ke III PKGDI Semarang 1989. Sulaimi P, Anggoro DB Sachro. Penderita DHP yang dirawat di Bagian Anak FK UNDIP/RS Dr. Kariadi 1975 - 1977. Ceramah klinik RS Dr. Kariadi 1978. Anggoro DB Sachro. Aspek klinis dan Laboratoris DBD. Penataran Ka. Unit arboviruses Kab. Kodya. 1985.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

69

Dengue virus surveillance at Sumber Waras Hospital September 1987 through August 1992 Ratna Tan, G. Jennings, TK. Samsi U.S. Naval Medical Research Unit No. 2, Jakarta, Indonesia Sumber Waras Hospital, Jakarta, Indonesia

ABSTRACT A hospital-based surveillance program was eondueted at Sumber Waras Hospital to monitor dengue virus infeetions and the prevailing dengue serotype. Serum samples from suspected dengue eases were colleeted for virus isolation using C6/36 mosquito eell eulture and/or by mosquito inoeulation. In 1988, a dengue epidemic oeeurred with 1431 hospitalized cases of suspected dengue infection. This was followed by four interepidemie years, 1989 through 1992, with a total of 1873 cases. A total of 496 (14.2%) dengue virus isolates were identified during the period. The predominate isolate in 1987—1988 and 1988—1989 was serotype dengue serotype 3 (53.8% and 70.0%, respectively), but in 1990 and 1991 the predominate isolate was serotype 1 (40.0%). We found in 1992 an increase in all serotypes with the exception of dengue 4. Isolates were found throughout the year, with peak rates occurring at different times each year. Dengue virus was isolated primarily (37.4%) from primary dengue infections than from secondary infeetions (64.5% vs 35.5%). There was no direct correlation between serotype and severity of infection. While virologie surveillance is an important component of dengue surveillance, these findings indieate that in an urban area with endemie dengue virus, serotype data may be of minimal epidemiologic value, since all four dengue serotypes were found throughout the year, and that during the epidemic the frequency of isolation for all serotypes increased.

70

Co-min Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Potential pathogenic roles of acute inflammatory cytokines and HLA status in DHF P. O'Hanley#, G. Jennings, R. Larasati, S. Diegagunarsa, N. Pudjoprawoto, C. Maroef, N. Punjabi, H. Wulur*, and T. Samsi* Navy Medical Research Unit-2, Jakarta, Indonesia; Stanford University#, Stanford, CA; and Sumber Warasa Hospital* , Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Dengue hemorrhagie fever remains a common disease in Jakara; however, little is known about the cellular immnune responses and acute inflammatory responses in this disease. Lymphoeyte subset pupulations and acute inflammatory cytokine responses (e.G., IL-1, IL-6 and TNF) were eharacterized in aeutely ill and eonvalescing patients aged 8 months to 13 years with eomfirmed dengue infeetion. An obvious first requirement to interpret the signifieance of lympphoeyte subset levels by flow eytometry in dengue infected patients was to determine a relevant reference standard. We evaluated the lymphocyte profiles of 97 healthy Indonesians children by flow cytometric techniques. Results indieate that healthy Indonesian children have significantly greater number of natural killer eells and lower T4 cells and T4:T8 rations in peripheral blood than Caucasians of comparable age. The lymphocyte profiles of 47 acutely-infected and convalescing children with dengue viral infestion demonstrate an overal decrease in lymphocytes of all subsets when compared to the normal standard for this raee. T4 cells are affeeted the most. This effect is significantly greater for young boys compared to girls and persists at least for 3-6 months. Also, we evaluted serially acute inflammatory cytokines in the serum and urine in patients with documented dengue infection from the time of admission until dischage 5 days later. Among the 56 hospitalized patients that exhibited various grades (I-IV) of severity of disease after >_ 5 days of initial symptoms, there were no detectable levels of acute inflammatory cytokines in any of the sera samples. There were occassionally detectable amounts of IL-6 ant TNF in concentrated urine samples at the time of admission. This suggested humoral clearance of these cytokines sinee there was no evidence of renal insuffciency in these patients. Further studies involving in vitro macrophage cultures infected with dengue viral serotypes 1-4 indicate that there are robust IL-6 and TNF respons detected in eulture supernatants. We postulate that these inflammatory cytokines contribute to the pathogenesis of dengue virus mediated eapillary leak syndromes; however, it will be futile to modulate the noxious eonsequenees of acute inflammatory eytokines in dengue disease sinee these mediators are released early in the disease process and are usually cleared by the time a patient seeks hospital care.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

71

A study of human peripheral blood leukocytes from Dengue immune persons; relationship between FC receptor expression and virus growth May Chu', G.B. Jennings2 C. Na'Roef 2 H. Wulur 3 , T.K. Samsi 3 Centers for Disease Control, Ft. Collins, CO, USA' U.S. Naval Medical ResearchUnit No. 2, Jakarta, Indonesia' Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta, Indonesia'

ABSTRACT The factors that lead to the development of the severe manifestations of dengue infeetions, dengue hemorrhagic fever (DHF) and dengue shock syndrome (DSS), remain unelear. In vitro antibody dependent enhaneement (ADE) of dengue virus growth has been shown to be mediated by the presenee of sub-neutralizing amonts of specific antibody and the presence,of Fe receptors (FcRs) expressed on suseeptible eells. Dengue viruses are known to replieate in monocytes and maerophage eells that express FcRs. Three classes of FcRs are detected on these eells : FcRI, FcRII, and FcRIII. Eaeh of these receptors ean be differentiated by speeifie monoelonal antibodies. The proposed study was eondueted : to determine wheter we eould differentiate variable FeR expression in a group of reeently hospitalized dengue patients; to determine if we could correlate differential expression of FcRs with dengue disease severity; and to examine in vitro whether inereased FeRs on the surfaee of human peripheral blood leukoeytes (HuPBLs) ean mediate inereased dengue virus replieation in the presenee of an enhacing antibody. Whole blood was collected from 20 children who had been admitted previously to R.S. Sumber Waras for dengue virus infection. All grades of dengue illness were determined. HuPBLs were analyzed for the presence of FeRs, and for their ability to replieate dengue virus in the presence of neutralizing antibody. We found that FeRII was the dominant receptor, followed by GeRIII and FeRI. The FcR expression varied among the study participants and could be segregated into two major groups : lowexpression or non-responders and high-expression or responders. There was no association between the amount of FcR-expression and the severity of dengue virus infection. In vitro ADE assays found that patients with low neutralizing antibody titers and non-responder HuPBLs did not support dengue virus replication as eontrasted with patients with high antibody levels and responder HuPBLs. Future Phase Ii studies will eompare FcR profiles with serum neutralization and ADE eulture results.

72

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992

PENYAKIT TROPIS

Hepatitis in children in Asia Mel-Hwel Chang, MD. Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT Asia is an area prevalent for various hepatitis virus infeetion. Hepatitis A and B are especially important in ehildren beeause most of the infections oeeur in ehildren in Asia. I.

Hepatitis A Virus (HAV) Infection In the past, HAV infeetion oeeurs mainly during ehildhood. It was the most important etiologie agent of acute hepatitis in ehildren. The majority of children has been infeeted. The improvement of sanitation and socioeeonomic condition has made a prominent change of seroepidemiology of HAV infection in Asia and other part of the world. Nowadays, many ehildren and young adults are suseeptible to HAV infeetion. However, outbreaks of HAV infection still oceur in many areas of Asia. While the communications between eountries are increased rapidly, it is mandatory to give immunoprophylaxis to those who is going to the endemie areas. Aetive immunization by an inaetivated hepatitis A vaeeine has been proved to be highly immunogenic and safe to both ehildren and adults. II. Hepatitis B Virus (HBV) Infection Perinatal transmission of HBV from HBsAg carrier mothers to their infants is a eommon transmission route of HBV infection in Asia. It explains for about 40—50% of HBV carriers in Taiwan. Age of infection is an important factor determining the outcome of HBV infeetion. About 90% of neonates of HBeAg positive HBsAg carrier mothers beeame HBsAg earriers while only 25% of infeeted toddlers and 3% of infeeted young adults beeame earriers. Age is also an important faetor to determine HBeAg positivity. The annual HBeAg seroclearanee rate was low before 3 years of age. It increases to about 5% after 3 years of age. During the proeess of HBeAg seroeonversion, serum aminotransferases inerease and HBV DNA levels decline. The liver histology is usually ehronie persistent or ehronie nonspecific hepatitis with or without focal neerosis in the early stage of chronic HBV infeetion. It changes to ehronie active liver diseases during HBeAg seroconversion. After HBeAg seroeonversion, aminotransferases returns to normal range, and liver histology beeomes inaetive mostly nospecific hepatitis or ehronic persistent hepatitits, with small oeeasions of cirrhosis.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

73

III. Hepatitis C Virus (HCV) infection in children HCV infeetion in ehildren in Asia is uneommon exeept in high risk groups such as ehildren who reeeived frequent infusions or multiple donors of blood or blood produets. Transmission of HCV from HCV positive mothers with or without HIV infection to their infants is uncommon but possible. IV. Hepatitis D Virus (HDV) infection in children Hepatitis D eoinfeetion or super-infeetion in HBsAg earrier ehildren is rare. Perinatal transmission of HDV has been reported but is limited to case reports.

Untuk segala surat-menyurat, pergunakan Alamat lengkap Anda dengan mencantumkan Kode Pos ke alamat kami : CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105, JAKARTA 10002

74

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

Hepatitis pada bayi Adnan S. Wiharta Sub Bagian Hepatologi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Hepatitis atau radang hati biasanya ditandai oleh peningkatan kadar bilirubin direk (conjugated) di dalam darah. Keadaan tersebut disebut kolestasis dan sering di jumpai pada sindrom hepatitis pada bayi (1) Kolestasis adalah penimbunan bahan-bahan dalam darah dan hati yang biasanya disekresikan oleh hati ke duodenum (2) . Ada dua tipe kolestasis yaitu kolestasis intrahepatik yang terjadi akibat adanya kelainan mulai dari hepatosit, membran hepatosit sampai kepada saluran empedu intrahepatik. Yang kedua yaitukolestasis ekstrahepatik akibat adanya sumbatan pada saluran empedu ekstrahepatik('). Pada makalah ini pembahasan akan dititik beratkan pada kolestasis intrahepatik yang merupakan keadaan yang paling sering di jumpai pada hepatitis neonatal. ANGKA KEJADIAN Pada tabel 1 diperlihatkan angka kejadian hepatitis neonatal dibandingkan dengan keadaan lain. Hepatitis neonatal di London terdapat 11 di antara 54 bayi yang lahir dengan kolestasis, sedangkan di Meboume Oslo masing-masing 105, dan 57 di antara 171 dan 124 bayi yang lahir dengan kolestasis. ETIOLOGI Banyak faktor yang menjadi penyebab bilirubin direk darah meningkat akibat kolestasis intrahepatik. Hal tersebut dapat terlihat pada tabel 2. Seperti tertera di tabel was, banyak sekali penyebab kolestasis intrahepatik sehingga menyulitkan uapaya menegakkan diagnosis etiologik, apalagi sarana untuk menentukan kelainan di alas belum tersedia lengkap di Indonesia.

Tabel 1. Insidens dan penyebab kolestasis pada bayl London Atresia bilier Hepatitis neonatal terdiri dari : defisiensi alpha antitrypsin infeksi penyebab lain Idiopathic Sporadik Familial Hipoplasia intrahepatik Total Total kelahiran

Melboure

Oslo

Total

11 43

55 105

64 57

130 205

7 3 4 29 27 2 0

8 22 6 69 59 10 11

8 5 15 32 25 7 3

23 30 25 130 111 19 14

54 134.000

171 790.385

124 1.000.000

349

(Tanner S, 1989)

GEJALA KLINIK Kolestasis intrahepatik atau hepatitis neonatal akan memperlihatkan gejala klinik seperti umumnya kolestasis dan dapat terlihat pada gambar 1. Kolestasis intrahepatik biasanya memperlihatkan wama tinja yang berfluktuasi pada ketiga tinja 3 porsi. Tinja yang dimasukkan ke dalam kantong plastik hitam dan dikumpulkan dari jam 6.00 – 14.00 disebut tinja porsi pertama, dari jam 14.00 – 22.00 disebut tinja porsi kedua dan porsi ketiga diperoleh antara jam 22.00 - 6.00 esok harinya. Data laboratorium yang menyokong kolestasis intrahepatik yaitu peningkatan kadar SGOT/SGPT darah yang melebihi 19 kali normal dengan peningkatan gama GT yang melebihi 5 kali harga normal'. Akibat buruk yang terjadi pada kolestasis kronik dapat dilihat pada gambar 1. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

75



Tabel 2. KELAINAN INTRAHEPATIK a'

Gambar 1. Sekuele kolestasis kronik°

A. Idiopatik 1) Hepatitis neonatal idiopatik 2) Kolestasis intrahepatik persisten, antara lain : a) Displasia arteriohepatik (sindrom Alaggille) b) Sindrom Zeliweger (sindrom serebrohepatorenal) c) Intrahepalic bile duct paucity B. Anatomik 1) Fibrosis hepatik kongenital atau penyakit polisistik infantil (pada hati atau ginjat) 2) Penyakit Caroli (pelebaran kistik pada duktus intrahepatik) C. Kelaanan metabolisme 1) Kelainan metabolisme asam amino : tyrosinemia Pick dan penyakit Faucher 3) Kelainan metabolisme karbohidrat : galaktosemia, fruktosemia, glikogenosis IV. 4) Kelainan metabolisme asam empedu 65) Penyakit metabolik tidak khas, antara lain : defisiensi alfa 1 – antitripsin, fibrosis kistik, hipopituitarisme idopatik, hipotiroidisme D. Hepatitis 1) Infeksi (hepatitis pada neonatus) antara lain : TORCH, virus hepatitis B (virus hepatitis C?), Reovirus tipe 3, dan lain-lain 2) Toksik : kolestasis akibat nutrisi parenteral, sepsis dengan kemungkinan endotoksinemia E. Genetik atau kromosomal Trisomi E, Sindrom Down, Sindrom Donahue (leprechaunisme) F. Lain-lain Ilistiositasis X, rejatan atau hipoperfusi, obstruksi intestinal, sindrom poliplenia, lupus neonatal.

Kolestasis

Relensi/Regurgitasi

• Asam empedu Pruritus Hcpatotoksik

Data klinis Wama tinja : - putih - kuning Berat badan lahir > 3 kg Umur saat tinja akolis Gambaran klinis hepar : Ilcpatomegali : –konsistensi normal – padat (firm) –keras (hard)

Kolestasis ekstrahepatik

Kolestasis intrahepatik

79% 21% < 3 kg Sekitar 2 minggu

25% 74%

12 anak 63 anak 24 anak

35 anak 47 anak 6 anak

Sekitar 1 bulan

(Allagille, 1985)

Kelainan di atas terutama disebabkan oleh tertimbunnya asam empedu yang toksis misalnya asam lotikolat yang akan merusak sel hati secara selektif dan akan melibatkan SER (Smooth Endoplasmic Reticulum) serta motokondria. SER menjadi hipertrofik sehingga aktivitas enzim terganggu dan pembentukan asam empesu akan melalui alur pertama, minor side chain oksidase, sehingga akan dihasilkan kenodeoksikolat lebih banyak dari biasa. Keadaan ini akan mengakibatkan Iebih banyak terbentuknya asam litokolat karena kenodeoksikolat merupakan bahan baku asam litokkolat, sedangkan litokolat yang tertimbun akan menyebabkan peradangan dan fibrosis pada saluran empedu kecil yang kemudian akan menyebabkan kolestasis. Asam litokolat dan asam empedu dihidroksi lain bersifat detergen 76

Cermin Dunia Kedo1aeran Edici Khusus No. 81, 1992

Malabsorbsi



Bilirubin ikterus

Lemak malnutrisi retardasi pertumbuhan



Kolesterol Xantelasma Iliperkolesterolemia

Vitamin yang larut dalam lemak A - kulit tebal D - osteopenia E - degenerasi neromuskular K - hipoptotrobinemia

• Penumpukan * Trace elements* (lembaga dB)

Diare / steatorea Penyakit hati progresif (sirosis bilioer) Hipenensi porta Hipersplenisme

Tabel 3. Gambaran klinis yang membantu membedakan kolestasis intrahepatik dengan kolestasis ekstrahepatik t•~.

Konsentrasi asam empedu intraluminal sedikit

\Asites

Gagal hati '---__Perdarahan (varises)

kuat, sehingga dapat merusak mikrosom dan sitokrom P. 450. Kerusakan pada mikrosom akan mengganggu proses dehidroksilasi, sehingga akan terbentuk asam empedu dihidroksi yang lebih banyak lagi dan dapat menyebabkan kerusakan hati yang lebih luas. PENGELOLAAN Berhubung sulitnya mencari etiologi kolestasis intrahepatik umumnya, maka pengelolaan penderita hepatitis neonatal khususnya dapat dibagi menjadi : 1) Pengelolaan suportif 2) Upaya menegakkan diagnosis etiologik. 1.

Pengelolaan suprotif Sarana utama tindakan ini adalah : 1) Memperbaiki gangguan aliran bahan yang dihasilkan oleh hati, terutama asam empedu (asam litokolat) dan kolesterol. 2) Melindungi hati dari pengaruh buruk zat toksik. 3) Menjaga tumbuh kembang bayi agar tidak terganggu. Untuk tujuan pertama diberikan obat yang dapat mengatasi retensi zat toksik. a) Penumpukan asam empedu dapat diatasi dengan pemberian obat yang memperbaiki aliran empedu seperti fenobarbital. Manfaat obat tersebut : Merangsang enzim glukoronil transferase dalam mengubah bilirubin indirek (neurptoksik) ke dalam bilirubin direk yang larut dalam air. Enzim ini juga merangsang pengikatan asam

litokolat yang hepatoksik dengan glisin yang tidak toksis t9>. • Merangsang sitokrom P-450 untuk oksigenisasi benda asing dan toksin oleh hati". • Merangsang sel hati yang berada di sekitar vena porta (zone 1-2) meneroboskan garam empedu ke hepatosit yang berada di daerah vena sentralis, sehingga tidak terjadi stasis ataupun konsentrasi zat toksin di beberapa kelompok sel hati saja. Dengan eara demikian konsentrasi zat toksin ditunrunkan atau diratakan untuk tiap sel hati(") • Merangsang aktivitas dan sintesis enzim Na+- K+- ATPase yang berguna untuk memompa garam empedu dari ruang sinusoid melalui sel hati terus masuk ke dalam saluran empedu secara aktiff12>. b) Untuk memotong siklus enterohepatik asam epedu sekunder diberikan obat pengikat zat tersebut seperti kolesteramin. Obat ini diberikan dengan dosis 1 g tiap kg berat badan per hati dibagi 6 kali atau sama dengan frekuensi pemberian susu. Dalam upaya melindungi sel hati dipergunakan asam ursodeoksikolat (ursodeoxyeholic acid, Urdaflak° s>) dengan dosis 3 - 10 mg/kg BB/hari yang dapat meneegah kerusakan sel hati. Asam ursodeoksikolat (AUDK) adalah 7 beta efimer kenodeoksikolat yang lebih hidrofilik dibandingkan dengan asam empedu lain, sehingga AUDK kurang begitu toksis("). Zat di atas yang divrikan seeara oral dapat menghambat masuknya asam empedu yang lebih toksis melalui ileum terminal. Hal ini dapat dilihat dengan penurunan ekstresi adam kolat dan kenodeoksikolat, suatu bukti bahwa absorbsi kedua zat itu la. menurun( 15))'. Litokolat jauh lebih sulit larut dalam air dibandingkan dengan ursodeoksikolat, akibatnya AUDK lebih eepat memasuki parenkim hati daripada litokolat. Oleh karena itu litokolat akan segera didorong keluar kembali oleh AUDK, dengan demikian hati akan dilindungi dari asam empedu yang 16) toksis(4 Itulah sebabnya mengapa AUDK disebut zat kloretik (chloretic agent). Selain itu AUDK adalah garam empedu yang mempunyai sifat membantu peneernaan lemak. Pada kolestasis, terjadi penurunan asam empedu, tetapi AUDK dapat menggantikan fungsi empedu terutama dalam proses absorpsi lemak. Enzim-enzim pankreas dan pengosongan kantong empedu dapat dipaeu oleh AUDK t17 >. Upaya ini berguna untuk membantu peneernaan agar berjalan lanear, karena itu AUDK dapat juga merangsang pengeluaran bikarbonas( 1S ) sehingga suasana di dalam duodenum memungkinkan enzim-enzim pencernaan bekerja optimal. AUDK juga dapat merangsang sekresi bilirubin, sehingga metabolisme bilirubin berjalan laneart19>, dan dapat meneegah sumbatan oleh empedu yang menggumpal. AUDK mungkin mempengaruhi MHC (major Histocompabilit), Complex). Sel hati yang sakit akan mengeluarkan APC (Antigen Presenting Cell) berupa molekul MHC kelas I yang diduga berperan dalam mengundang sel limfosit T sitotoksis untuk menghaneurkan sel yang tereemar. Kehadiran sel MHC kelas I pada permukaan hepatosit dapat membantu menerangkan terjadinya negrosis pada daerah periportal dan globuler pada penyakit sirosis bilier primer. Chalmus dan kawan-kawan «0>

menunjukkan bahwa pemberian AUDK jangka panjang path penderita-penderita PBC dapat memperbaiki gejala klinik, biokimiawi dan kelainan histopatologik. AUDK dapat menekan ekspresi antigen MHC kelas 1 pada hepatosit, oleh karena itu target sel T sitotoksis juga berkurang sehingga kerusakan jaringan hati dapat dihindari. Pengobatan nutrisional merupakan pengelolaan suportif lain yang berguna untuk mempertahankan tumbuh kembang bayi dilakukan : a) Pada penderita yang mengalami malabsorpsi lemak berat diberikan formula yang mengandung medium ehain trigliserida, sedangkan yang ringan dan sedang eukup diberikan lipase saja. Protein yang diberikan diutamakan protein nabati. Sebagai sumber kalorinya dipergunakan glukosa polimer. b) Defieisnsi vitamin-vitamin yang larut dalamlemak : * Defisiensi vitamin A diberikan Aquasol A dengan dosis 10.000 - 15.000 IU tiap had. * Defisiensi vitamin E diobati dengan pemberian alfa tokoferol 50 - 400 IU per oral. * Defisiensi vitamin D diberikan pengobatan 5.000 - 8.000 IU vitamin D atau 3 - 5 ug/kg BB/hari hidroksikolekalsiferol. * Defisiensi vitamin K diberikan pengobatan dengan pemberian 2,5 - 5 mg vitamin K yang larut dalam air berupa derivat dari menadion. 2. Pengelolaan khususterutama berupaya mencaripenybab atau mengeakkan diagnosis etiopatik Bilirubjn direk Pemeriksaan fisik Balk

saki(

I Biakan darah

I

USG perut

virus markers abnormal

l Tapisan m etabolisme Analisis kromosomal

tidaktjelas abnormal

—Kista duktus Skaning —Duplikasio dari Biopsi hati salu ran cema Tidak ada kelainan

Dismorfolokik

Sepsis — kongential — didapat

— Trisomi — Galaktosaemia —Sindrom Zellweger —Sindrom Alagille

ada kelainan

Uji tails metabolisme Atresia biller Uji keringat Hepatitis neonatal — Fibrosis kistik — defisiensi alpha antitrypsin —Tyrosinosis Gambar 2. Aigorithme disnostik untuk mencarl penyebab hiperblilrubine• mia direk m>.

Dengan mengenal beberapa kelainan klinik dapat diduga ke arah kelainan tertentu seperti yang terlihat pada tabel 3. Yang penting mencari penyebab yang dapat diobati seperti Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

77

Tabel 3. Kelainan yang dicurigal pada pemeriksaan klinik°t. Kelainan

Pemeriksaan fisik

Infeksi virus

Kelainan kulit, purpura, koroidolrenitis, meokarditis dsb.

Galaktosaemia, hipoparatiroidisme

Katarak

Trisomi 21, 18 or 13

Kongenital anomali multiple

Kistakoledokus

Masa kista di dalam hati

Perforasi spontan saluran empedu

Asistes dan hernia yang tercemari empedu

Hipoppasia bilier

Murmur sistolik, raut muka yang abnormal

Haemangioma hepatik/bilier

Haemangioma kulit

Atresia bilier ekstrahepatik

Situs inversus

Displasia septo-optik

Hipoplasia septo-optik dan mikro-penis

Tabel 4. Pemeriksaan yang seyogianya dilakukan (t) . Pemeriksaan yang perlu cepat dilakukan Pembiakan darah dan urin Pemeriksaan urin makroskopik dan analisis zat reduktor non glukosa Waktu protrombin Pemeriksaan darah tepi Gula darah dan ureum darah Natrium, kadar bikarbonat dan kalsium Golongan darah Pemeriksaan lanjutan bila mungkin uji fungsi hati Toxoplasma IgM antibodi, listeria dan petanda virus Fenotipe alpha-1 antitripsin Galatose-l-fospate-uridil transferase (dalam sel darah merah) Elektrolit keringat Kadar amino serum dan urin Uji Coobe USG X-ray untuk menghilangkan kelainan jantung Parasentesis (bila ada) Diagnosis jaringan Biopsi had perkutan Biopsi kulit untuk biakan fibroblast dan enzim leukosit Fungsi sumsum tulang untuk mengeluarkan Niemann-Pick Type C

sepsis, infeksi saluran kemih, toksoplasma, sifilis, listeriosis, tuberkulosis dan malaria. Sedangkan yang lain akibat kelainan metabolisme seperti falaktosemia dan fruktosemia juga dieari karena dapat dieegah. Pemeriksaan lain untuk menentuknn prognosis dan berguna untuk menilai kehamilan berikutnya yaitu pemeriksaan alfa anti tripsin dan biopsi. Bila ditemui defisiensi alfa anti tripsin pada bayi maka kita harus waspada pada kehamilan berikutnya,

78

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

sedangkan bila pada biopsi telah terdapat sirosis prognosisnya tidak baik. KEPUSTAKAAN 1. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy : Intrahepatic disorders. In : Mowat AP, ed. Liver disorder in childhood, 2nd ed. London : Butterworths, 1987; 37-71. 2. Simon RF, Richen. Bile secretory failure. Recent concepts of pathogenesis of inrrahepatik cholestasis. In : Progress in Liver Diseases Vol II. New York, London : Grunes & Stratton, 1982; 207-20. 3. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. In : Paediatric Cholestasis : Novel Approaches to Treatment Boston, London : Kluwer Academic Publishers, 1992; 49-82. 4. Tanner S. Hepatitis in infancy : In : Tanners, ed Paediatric Hepatology, 1st ed. : London, New York. Churchill Livingstone, 1989; 79-132. 5. Moyer MS, Balisreri WF. The liver and biliary tree. Prolonged neonatal obstntktive jaundice. In : Walker WA, Durie PR, Hamolton JR, Walker Smith JA, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Patophysiology, diagnosis, management, 1st ed. Philadelphia, Toronto : Decker, 1991; 835-48. 6. Alagille D. Management of paucy of interlobular bile duct. J Hepatology 1985; 1 : 561-65. 7. Ferry GD, Selby ML, Udal J, et al. Guide to early diagnosis of biliary obstruction in infancy. Clin Pediat 1985; 24 : 305-11. 8. Wiharta AS. Kolestasis pada bayi dan anak. Aspek Pediatrik. Simposium Hepatologi. KONIKA VIII Ujungpandang 1990. 9. Balistreri WF, Suchy FJ, Parrell MF, Henbi JE. Pathologic versus physiologic cholestasis : Elevated serum concentration of a secondary bile acid in presence of hepatobiliary disease J. Pediat 1981; 98-402. 10. Bendy P, Oesch F. Foreign compound metabolism in the liver. In : Progress in Liver Disease Vol II. New York, London : Grunes & Stratton, 1982; 15778. 11. Gumucio JJ, Miller DL. Zonal hepatic function solutehepatocyte inter action within the liver acinus. In : Progress in Liver Diseases Vol II. New York, London : Grunes & Stratton, 1982; 17-30. 12. Reichen J, Paumgarter G. Relationship between bile flow and Na+-K+ adenosine triphosphate in liver plasma membrane enriched in bile canaliculi. J Clin Invest 1977; 60 : 429-34. 13. Stiehl A, Raedsch, Rudolf F. Acute effects of ursodeoxycholic acid on the small intestinal absorption of bile acid. Gastroenterology 1990; 98 : 424-8. 14. Podda M, Ghezzi C, Battezzat PM, Crogsignan A, Zuin M, Roth A. Effects of ursodeoxycholic acid and taurine on serum liver enzymes and bile acid in chronic hepatitis. Gastroentrology 1991; 13 : 1044-50. 15. Denk H, Greim H, Hutlerer. Detergent action og bile acids on hepatocellular microsome, and its role in cholestasis (abstract). Gastroentrology 1971; 60 : 187. 16. Jansen PLM. Drug therapy of liver cirrhosis. Promises and limitation. Proceeding of a symposium held on artheim the Nederland, January 25, 1991. 17. Lanzini A, Raedsch G. Acute effects of ursodeoxycholic and chenodeoxycholic acid on the small intestinal absorption of bile acids. Gastroentrology 1990; 98 : 424-8. 18. Omland E, Mathisen. Mechanism of ursodeoxycholic acid and canrenoate induced biliary bicarbonate sectretion and the effect of glucose and amino acid induced cholestasis. Scand J Gastroent 1991; 26 : 512-22. 19. Galan Al, Jimenez R, Munoz ME, Gonzalez J. Effects of ursodeoxycholate on maximal biliary secretion of bilirubin in the rat. Biochem Pharmac 1990; 39 : 1175-80. 20. Calmus Y, Gane P, Ronger P, Ponpon R. Hepatic expression of class I and class II mayor hidtocompatility of complex molecules in primary biliary cirrhosis effect of ursodeoxycholic acid. Iepatology 1990; 11-12-5. 21. Fang JWS, Laujyn, La CL. Neonatal jaundice a diagnostic approadi. J Paediat. Obst & Gynaec 1992; 18 : 5-8.

The protective efficacy of Recombinant Hepatitis B vaccine in infants of HbeAg positive HBsAg carrier mothers in Taiwan Mel-Hwel Chang, MD. Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT Recombinant hepatitis B vaceine has been shown to be as safe and effeetive as plasma derived vaecines. We evaluated the effieaey in the prevention of perinatal infeetion on an hyperendemie area. One hundred and ten high risk infants born to HBeAg positive HBsAg earrier mothers were reeruited. They were randomized into two groups, A (54 infants) and B (56 infants), to receive four doses of reeombinant vaeeine, eontaining 20 or 10 ug of HBsAg, respectively, at 0, 1, 2, and 12 months of age. An additional 60 high risk infants were reeruited later (Group C) and received three 20-ug doses of vaeeine at 0, 1, and 6 months of age. All infants also received a dose (145 IU) of hepatitis B immunoglobulin soon after birth. Sera were colleeted at 0, 1, 2, 3, 6, 12 and 14 months of age to assay HBsAg and anti-HBs. At 12 months of age the HBsAg earrier rates were 7.4 and 1.8%, in group A and B, respectively. In group C, the HBsAg earrier rate was 3.3%. HBsAg was invariably first observed between 0 and 2 months of age. All nonearrier infants developed substantial titers of anti-HBs at 12 months of age. No serious adverse effeet was observed after vaeeination.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

79

Diare di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras S. Komalarini, S. Njotosiswojo* Bagian Ilmu Kewehatan Anak dan *Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Penyakit diare di Indonsia masih sering dijumpai pada bayi dan anak. Pola kuman penyebab dan sensitivitas kuman eenderung berubah dari waktu ke waktu dan dari satu daerah ke daerah lain, antara lain disebabkan oleh perubahan kebiasaan penduduk. Tujuan dari penulisan ini untuk memantau penderita diare yang dirawat inap dengan pola kuman penyebab diare dan resistensinya terhadap obat-obat di Bagian Anak RS Sumber Waras pada tahun 1990 - 1991. BAHAN DAN CARA Semua penderita diare dengan dihidrasi sedang atau berat dengan atau tanpapenyakitpenyerta yang dirawatdi Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras dari bulan Januari 1990 Desember 1991 dilakukan pemeriksaan tinjanya di Laboratorium Mikrobiologi RS Sumber Waras. Isolasi dan identifikasi dengan cara yang lazim dilakukan di laboratorium mikrobiologi. Uji kepekaan kuman terhadap antibiotika dengan menggunakan metode eakream digusi agar menurut Krrby-Bauer. Penentuan kepekaan kuman dengan eara pembaeaan menurut kriteria yang dibuat oleh The Conunittee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) dari Amerika Serikatt ' 1 . Cakram antibiotika yang dipergunakan sebagian besar jenis komersial yang diproduksi oleh Oxiod Limited Comapany, England. Jenis dan kekuatan cakram yang dipergunakan adalah Kotrimoksasol 25 ug, Khloramfenikol 30 ug, Tetrasiklin 50 ug, Nitrofurantoin 200 ug, Neomisin 30 ug, Sefmetason 30 ug, Sefotaksim 30 ug. HASIL Dalam kurun waktu 2 tahun (janurai 1990 - Desember 1991)• telah diperiksa 1278 penderita diare. Pada tahun 1990 sebanyak 80

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

729 penderita dan tahun 1991 549 penderita. Distribusi penderita diare terdiri dari 60% anak laki-laki dan 40% anak perempuan (Tabel 1). Tabel 1. Dlstribusi penderita Diare menurut Jenis Keiamin Tahun Jumlah penderita

1990 1991

729 549

Laki-laki

Perempuan

n

%

n

436 327

(59.8%) (59.6%)

293 222

% (40.2%) (49.4%)

Umur berkisar antara 2 hari sampai dengan 14 tahun terbanyak anak dengan usia di bawah 1 tahun, kemudian disusul usia 1 - 2 tahun, 2 - 5 tahun lebih dari 5 tahun (Tabel 2). Tabel 2 Pembagian penderita diare dengan dihidrasi menurut umur Umur

Tahun

Jumlah

1990

1991

2 hr - I tit > 1 th - 2 th >2th-3th >3th-5th >5th

342 289 59 47 112

289 158 10 22 70

631 327 69 69 182

(49.4) (25.6) (5.4) (5.4) (14.2)

Jumlah

729

549

1278

(100)

n

%

Pada tahun 1990, 50% penderita diare disertai dengan penyakit lain dan tahun 1991 sebanyak 36%. Penderita yang meninggal, umumnya menderita diare disertai dehidrasi berat atau Bronkopneumoni. Tahun 1990 penderita yang meninggal 9 anak (0.12%) dan tahun 1991, 4 anak (0.7%).

Tabel 3. Penderita diare yang meninggal dengan penyakit penyerta. Tahun Penyakit penyerta

1991 (N = 549)

1990 (N = 729)

Encephalopathy Acidosis Bronchopneumonia

4 3 2

1 3

Jumlah meninggal

9 (0.12%)

4 (0.7%)

Lama perawatan penderita tanpa penyakit penyerta antara 2 6 hari dengan rata-rata 4 hari. Dari 1278 penderita dapat diisolasi kuman penyebab sebanyak 483 speeimen dengan rineian seperti Tabel 4. Tabel 4. Frekuensi dan pola pada kuman yang diisolasi dari tinja. Kuman

Kasus

E. coli Enterobacteriacae Vibrio Salmonella Typhi S. paratyphi A S. paratyphi B S. flexner Proteus

263 183 24 1 1 6 2 3

Jumlah

483

% 54.4 38 5 0.2 0.2 1.2 0.4 0.6 100

Hasil uji sensitivitas kuman menunjukkan Ko-trimoksazol masih sensitif untuk E. eoli, Vibrio, Salmonella typhi dan S. paratyphi A dan Shigella flexner, sedangkan untuk S. paratyphi B sudah resisten. Kloramfenikol hanya untuk Vibrio dan Salmonella typhi. Nitrofurantoin dan Neomisin masih dapatdigunakan untuk E. eoll. Enterobaeteriaeease, Vibrio, Salmonella dan S. flexner (Tabel 5). PEMBAHASAN : Pada tahun 1974 - 1986, jumlah penderita rawat inap di bagian anak terus meningkat jauh dari 2445 (1974) menjadi 3284 (1986) penderita rawat inap, tetapi jumlah penderita diare dengan

dehidrasi menurun dari 35% menjadi 22.6%. Angka kematian juga menurun dari 10% menjadi 3% (4 ). Pada tahun 1990, jumlah seluruh penderita yang dirawat adalah 3509 dengan di antaranya 729 anak (20.8%) menderita diare dehidrasi, sedangkan tahun 1991 sebanyak 2859 anak, di antaranya 549 anak (19.2%) menderita diare dehidrasi dan angka kematian turun menjadi 0.12% (1990) dan 0.7% (1991). Enam puluh persen penderita diare adalah anak laki-laki dan 40% anak perempuan. Umumnya umur penderita adalah di bawah usia 1 tahun, ini mungkin berhubungan dengan perubahan dimana anak mulai disapih dan mulai dengan makanan tambahan serta ditambah faktor-faktor lain seperti juga pada anak yang lebih besar. Ada pergeseran peran kuman penyebab, pada tahun 19701976 Vibrio eltor (2,5) , tahun 1987 Salmonella(3,4) , sekarang kuman penyebab lebih menonjol adalah E. eoli. Dalam laporan ini diperlihatkan kepekaan kuman penyebab diare terhadap beberapa antibiotika. Untuk kuman E. eoli masih peka terhadap Kotrimoksasol, Nitrofurantoin, Neomisin, Sefmetazon dan Sefotaksim. Vibrio eltor : Kotrimoksasol, Khloramfenikol, Nitrofurantoin dan Neomisin. S. typhi : Kotrimoksasol, Khloramfenikol, Nitrofurantoin, Neomisin dan Sefmetazon. S. paratyphi A : Kotrimaksasol, Nitrofurantoin dan Neomisin. S. paratyphi B : Nitrofurantoin dan Sefmetason. S. Fexnr : Kotrimoksasol,Nitrofurantoin, Neomisin, Sefmetason dan Sefotaksim. Pada tahun 1990 dan 1991, 4 penyakit utama pada penderita rawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Sumber Waras adalah Penyakit Diare-dehidrasi, DHF/DSS, Infeksi Saluran Pemapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pernapasan Bawah (Tabel 6). Pola penyakit di Bagian Rawat Jalan/Poliklinik Anak RS Sumber Waras, pada tahun 1990 dan 1991 masih tetap seperti tahun lalu, yaitu batuk pilek (Influenza), infeksi saluran pernapasan atas, infeksi saluran pernafasan bawah dan diare. Penyakit diare pada umumnya "self-limiting". Pemberian eairan dan elektrolit merupakan pengobatan utama, tetapi ada-

Tabel 5. Presentasi resistensi kuman yang diisolasi dari tinja pasien. Kuman Obat Kontrimoksasol Chloramfenicol Tetrasiklin Nitrofurantoin Neomisin Sefmetazon Sefotaksim

Vibrio

S. Typhi

S. Paralyphi A

S. Paralyphi B

%

Enlerobacleriae %

%

%

%

%

Shigella Flexner %

40.25

22.09

97.03

100

100

36.93

100

23.14

13.11

97.46

100

0

23.86

0

13.36 92.63

10.24 90.50

95.58 98.26

100 100

0 100

21.56 61.93

33.33 100

76.59 97.26

71.07 87.60

98.98 18.45

100 100

100 0

37.17 97.73

100 100

81.43

81.15

44.72

-

-

32.95

50

E. coli

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Tabel 6. Empat penyakit utama pendelta rawat Inap.

Tabel 7. Peran antibiotika dalam kasus diare dengan kuman diare tertentu.

Tahun Penyakit

1990 N : 3509 % n

Diare-dehidrasi DHF/DSS ISP Bawah ISP Atas

729 361 346 297

920.80 10.3 9.9 8.5

Antibiotika

Enteropatogen

1991 N : 2859 n %

Indikasi untuk diberikan

549 204 251 199

Shigella E. coli enteroinvasive Cholera

Diberikan dalam keadaan tertentu

Salmonella Campylobacter E. coli enteropatogen E. coli enterotoxigenic Clostrium difficile

Tidak jelas

E. coli enterohemorrhagic E. coli enteroadherent Aeromonas spp Non Cholera Vibrio spp

19.2 7.1 8.8 7

kalanya perlu pemberian pengobatan anti mikroba, bila secara klinis kita sudah dapat menduga penyebab diare, seperti Shigella atau Vibrio Eltor. Ashkenazi dan Cleary (1991) menyarankan kapan seorang penderita diare harus diberi antimikroba (Tabel 7). Dengan uraian di atas, dapat dilihat pola angka sakit, kuman penyebab dan resistensi dari penyakit diare - dehidrasi di RS Sumber Waras.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3.

KESIMPULAN 1. Di bagian rawat inap anak RS S umber Waras, penyakit diare dehidrasi masih merupakan penyakit utama.. 2. Kuman penyebab diare-dehidrasi terbanyak pada saat ini adalah E. coli. 3. Dilaporkan basil pemeriksaan dari laboratorium mikrobiologi perihal maeam kuman dan pola kepekaannya terhadap antibiotika.

82

Cermin Dunaaa

Kedokteran Edisi

Khusus No. 81,1992

4.

5.

6.

Ashkenazi S, Cleary T G. antibiotic treatment of bacterial gastroenteritis. Pediatr. Infect. Dis. J. 1991,10: 140-148. Komalarini S., Kartika Adi Suwirjo, Sanborn W R. Diarrhoea disorders of bacterial origin in Jakarta. South East Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth 1980; 11 : 539-542. Komalarini S, Njotosiswojo, S. Rohkill R.C., Lemana M. : Resistant strains in Salmonellosis in Jakarta. Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. H1th.1980; 11 : 539-542. Komalarini S, Setiawan J, Lane E M, Lesmana M., Bartz C R., Annie Sie : Pola kuman patogen penyebab diare di Bagian Anak RS Sumber Waras. Buku Peringatan Dua Puluh Tahun dan Simposium 2 hari Bagian Anak RS Sumber Waras 153-160. Jakarta, 11-12 Desember 1987. Njotosiswojo S, Komalarini S, Iswandari J, Kho L K. Sensitivity test of enterobacteriaceae in diarrhoea disease in Jakarta. Southeast Asian Trop. Med. Pub. 11th. 3 : 326-331, 1972. NCCLS : First supplement performance standard for antimicrobic Disc. susceptibility test vol 1; 6 : 141-156, 1981.

Rotavirus in pediatric patients at Sumber Waras Hospital Ann! C. Sie, GB. Jennings, *S. Komalarini Naval Medical Research Unit-2 Jakarta and *Department of Pediatrics, Sumber Waras Hospital Jakarta Tarumanagara University

ABSTRACT Human rotavirus is reeognized as a major cause of nonbaeterial gastroenteritis in infants and young children. From January 1986 through December 1991, feeal samples were collected from 1608 diarrhea patients at the Pediatrie Department of S umber Waras Hospital. Samples were examined by enzyme-linked immunosorbent assay on mierotiter plates, coated with anti-rotavirus antibody. The overall positivity rate was 35% with a yearly range of 32% — 42%. Children under two years of age were more likely to have rotavirus infeetion than older ehildren. Infeetion with rotavirus did not seem to have a seasonal pattern, sinee it was found throughout the year. We performed serotyping on the 148 rotavirus positive samples with suffieient quantity. The commereial rotavirus monoclonal antibody from Serotee Laboratory Japan, was used to serotype the samples. There was no requirement to isolate the virus. All serotypes were deteeted exeept serotype 3. Overall, serotype 1 was the most prevalent, followed by serotype 2 and serotype 4. This prevalence pattern was eonsistent throughout the years of the study with the exeeption of 1987 when serotype 2 was most prevalent. Some samples from the five year study were examined by eleetrophoresis to determine the electropherotype. Samples were treated with phenol to purify the rotavirus double-stranded (ds) RNA, and eleetrophoresed in a 10% polyaerylamide gel, the dsRNA visualized by staining with silver nitrate. Identification of eleetropherotypes is based on the migration of the tenth and eleventh RNA segment. Of 101 samples tested, 89 (88%) were the "long" pattern and 12 (12%) were the "short" pattern. Recently the rotavirus eleetropherotypes have been divided into long, short, and supershort strains. Serotype 1, 3 and 4 belong to "long" pattern and serotype 2 belong to "short" pattern, "supershort" strain have not been found to relate to a speeific serotype. This study may assist investigators in understanding the epidemiology of rotavirus infeetions in Jakarta, and thus help in the seleetion of an appropriate serotype for vaceination.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

83

Hepatocellular Carcinoma in Children Mel - Hwei Chang, M.D. Departement of Pediatrics, College of mMdicine, National Taiwan University, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT Hepatocellular eareinoma (HCC) oecurs mainly during adulthood at 40 to 60 years of age in most part of the world. It is uncommon in children in most areas. Autopsy materials revealed that HCC patients from high-incidenee areas. However, even in high incidenee areas relatively small number of HCC cases oeeur in ehildren. In Taiwan, with high incidenee of HCC, 51 (4.3%) of the pathologically proved 1191 HCC oecureed in children below 15 years. Although it seems relatively uncommon when compared with adult HCC, ehildhood HCC ranks as the second to the fifth eommon malignaneies in children between age 5 to 14 years in Taiwan. Age and sex Childhood HCC has been reported in ehildren of any age including infaney, but oeeurs mainly in children above 6 years. Similar to that in adulthood, ehildhood HCC is also more prevalent in males than females. The male to female ratio in ehildhood HCC ranged between 2 :1 to 11:1. The reason that HBsAg earrier boys have higher risk of HCC than earrier firls remains unelear. Clinical Manifestations Childhood HCC usually remains asymptomatie until the tumor beeomes huge. Abdominal mass or distrnsion is the most common presenting symptom. Abdominal pain is the seeond and weight loss the third eommon presenting symptoms. Other symptoms ineluding fever, anorexia, vomiting, jaundiee and acute abdominal erisis were also presented oecasionally. Two of the 54 HCC ehildren in our series presented as hemoperitoneum due to rupture of HCC. Obstruetive jaundiee is rare on presentation. Hepatitis B virus (HBV) infection and childhood HCC Childhood HCC is elosely related to HBV infection. We have reported a 100% HBsAg positive rate in children with HCC in Taiwan, a higher positive rate than that (85%) in our adult HCC. The HBsAg prevalence rate is higher in younger HCC patients.

84

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

Molecular Biologic Study of HBV in HCC Childresn We have studied the status of HBV DNA in the HCC and non- tumorous liver tissues in eight HCC ehildren. Five of the eight tumor tissues showed integration of HBV DNA into the host genomes. Four of the five eases demonstrated a single-site intergration pattern. In adult HCC only about 10% of the tumor tissues showed single-site integration pattern while most of them showed multiple-site integration pattern. Integration of HBV DNA eould be observed as early as 4 years of age in the tumor tissues of HCC ehildren. The Role of Maternal Transmission of HBV in HCC Children Maternal transmission of HBV during early life is the main route of HBV transmission in HCC. We have studied the HBsAG status in 33 mothers of HCC ehildren by radioimmunoassay. The maternal HBsAg positive rate was 95%, which is higher than the 50% HbsAG positive rate in mothers of apparently healthy HBsAG earrier ehildren without HCC. Perinatal transmission of HBV from HBsAG carrier mothers is the most important route of HBV transmission in HCC ehildren. In Taiwan and other parts of Asia, perinatal transmission from HBsAg earrier mothers aeeount for about half of the HBsAg earriers. Beasley et al. reported a HBsAg carrier boy who developed HCC 7 years after perinatal infection of HBV. Treatment and Outcome of Childhood HCC The outeome of ehildhood HCC has been very poor. Poor outeome with a mortality rate of nearly 100% was noted in the conventional HCC with a mean survival of 4.2 months. Complete surgical excision was reported to be the only way of long term survival in most reports. However, the tumor is usually large on presentation making eomplete exeision of the tumor impossible in most oecasions. The resectability of HCC in our series is less than 10%, similar to that in advaneed HCC in adults. Only 10% surrived longer than 1 year and two of the 54 HCC ehildren in our series survives for more than five years without disease. Both of them presented with rupture of the HCC. One is a small HCC of 3 cm in diamter,the other is a tumor of 6 em in diameter located at the lower surfaee of the right lobe. The tumor in both eases were surgieally excised. The latter reeeured two times and each was sueeessfully reseeted. Neither transarterial embolization nor chemotherapy eould lead to long-term survival. Sinee the poor responsiveness to various treatments, prevention is the best way to eontrol childhood HCC. HBV infection during very early life is the most important contributing faetor of HCC formation, thus immunoprophylaxis of HBV infeetion in neonates espeeially in high ineidence areas is the most effective way to eliminate HCC. The nation-wide HBV vaecination program has been sueeessfully condueted in Taiwan with a marked decrease of HBsAg earrier rate. It is expectable that ehildhood HCC will deereased dramatieally within ten years after the initiation of the vaecination program.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 8/, /992

85

Histoplasmosis

di Rumah Sakit Sumber Waras S. Setijo Noegroho Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, RS Sumber Waras Jakarta

Histoplasmosis adalah penyakit jamur sistemik yang terutama menyerang sistem retikuloendotel. Penyebabnya ialah Histoplasma capsulatum. Histoplasmosis diseminata adalah bentuk klinis yang paling berat dan sering fatal. Penyakit ini banyak ditemukan di Amerika, dijumpai juga di negara-negara beriklim sedang dan tropis, termasuk Indonesia. Gejala klinisnya tidak khas dan sering tersamar dengan penyakit lain, sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah penderita meninggal. Akan dilaporkan dua kasus histoplasmosis diseminata pada dua saudara sekandung, tinggal di Sukabumi (Jawa Barat) yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras pada tahun 1985 dan 1988. Dua kasus tersebut dapat diselamatkan dengan pemberian amfoterisin B. KASUS 1 Seorang anak laki-laki, bangsa Indonesia, umur 11 tahun, dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 2 Juli 1985, dengan keluhan panas, pucat dan perut membesar. Penderita tinggal di Sukabumi, sebelah rumah ada perternakan ayam. Selama dua bulan sebelum dirawat, penderita dirawat di RS Sukabumi karena lemas, pucat, satu bulan menderita sakit kepala dan suhu badannya panas naik turun, diagnosis kerja pada saat itu ialah tifus abdominalis. Hasil pemeriksaan ultrasonografi pada tanggal 19 Juni 1985 ialah tersangka sirosis hepatis stadium 1. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras. Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita tampak sakit berat, eompos mentis, gizi kurang, lemah, pueat, berat badan 24 kg, suhu badan 36,5°C. Jantung dan paru tidak ada kelainan, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening maupun tanda-tanda perdarahan, hati teraba (1/4 — 1/4) dan limpa S.II. Hemogram: hemoglobin 6,2 g/dl, leukosit 2800/mm'. Sediaan sumsum tulang menunjukkan jumlah sel eukup, gambaran 86

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

polimorf, banyak sel mieloblast, eritropoesis hipoplastis, granulopoesis masih aktif, jumlah megakariosit kurang. Diagnosis kerja pada saat itu ialah aleukemik mieloblastik leukemia dan gizi kurang. Penderita diberi Baetrium®(TM-SMZ), prednison dan transfusi packed cell. Selama perawatan, hati membesar (1/2—1/2), limpa menjadi S. III, tampak gambaran pembuluh vena membesar pada dinding perut, suhu badan masih temp naik turun dan timbul epistaksis. Foto RSntgen toraks menunjukkan hilus kiri membesar, tidak tampak infiltrat di kedua paru, jantung normal. Pada pemeriksaan biopsi had, pungsi limpa dan sediaan sumsum tulang diperiksa ulang, ditemukan sel-sel ragi berukuran 1—5 mikron dalam set makrofag, gambaran ini sesuai dengan histoplasma eapsulatum. Pemeriksaan serologi (uji imunodifusi) dengan histoplasmin menunjukkan basil positif dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum. Pengobatan dengan amfoterisin B segera diberikan secara infus dalam 500 ml glukosa 5% selama 6 jam setiap hari selama lima hari, mulai 5 mg amfoterisin B, kemudian dosis dinaikkan 5 mg setiap hari sampai mencapai 25 mg, kemudian diberikan 25 mg seminggu tiga kali sampai tereapai dosis total 1250 mg. Saw jam sebelum infus, diberikan premedikasi berupa antihistamin dan antipiretik. Seminggu sekali diperiksa faal ginjal, hemoglobin, leukosit dan trombosit. Reaksi obat yang timbul ialah demam dan menggigil beberapa kali, tetapi tidak terjadi gagal ginjal. Pada akhir pengobatan hati dan limpa mengeeil, basil uji serologik dan biakan darah negatif, sediaan sumsum tulang menunjukkan gambaran yang aktif dan normal, tidak ditemukan lagi sel-sel ragi H. capsulatum. Penderita pulang tanggal 22 November 1985 dalam keadaan baik. Lima bulan setelah pulang, keadaan umum penderita baik,

berat badan naik, hati dan limpa tidak teraba lagi, uji serologik dan biakan darah tiga bulan berturut-turut negatif. Faal ginjal sampai tiga bulan setelah pengobatan dihentikan adalah normal. Pada pemeriksaan beberapa sampel tanah yang diambil secara acakdari petemakan ayam sebelah rumah penderita di Sukabumi tidak ditemukan H. capsulatum. KASUS 2 Adik kandung kasus 1, seorang anak laki-laki umur 12 tahun dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, RS Sumber Waras, pada tanggal 6 Mei 1988, dengan keluhan batuk selama satu bulan, perut bagian kanan membesar, berat badan menurun, badan lamas dan cepat lelah. Penderita pernah sakit kuning ketika berumur 4 tahun. Selma satu bulan sebelum dirawat, penderita batuk terus dan mengeluarkan banyak dahak, waktu diperiksa oleh dokter di Sukabumi teraba benjolan di bagian kanan perut. Foto Rontgen toraks menunjukkan gambaran bronkhitis. Selama itu tidak demam, berat badan menurun, merasa lamas dan lelah. Karena batuknya tidak sembuh-sembuh serta mengingat riwayat penyakit kakaknya, orang tua penderita menjadi curiga dan membawanya ke Jakarta. Penderita dirujuk ke RS Sumber Waras dengan hepatomegali dan pansitopenia. Pada pemeriksaan fisik waktu masuk didapatkan penderita compos mantis, tampak sakit sedang, gizi sedang, pucat, tidak ikterik, berat badan 28 kg, suhu badan 36°C. Jantung dan paru normal. Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, hati teraba 1/2-1/2 dan limpa S. II. Hemogram: hemoglobin 9,7 g/dl, leukosit 2800/mm', hitung jenis dalam batas normal, trombosit 38.000/mm', SGOT 40 U/1, SGPT 22 U/l. Tuberkulin test negatif. Foto Rtntgen toraks normal. Diagnosis kerja pada saat itu ialah observasi hepatitis. Mengingat pada penderita ditemukan hepatosplenomegali dan pansitopeni perifer sama seperti yang dijumpai pada kakaknya waktu masuk dahulu, maka dicurigai kemungkinan histoplasmosis pula. Pemeriksaan sediaan menunjukkan gambaran normal dan ditemukan gambaran mikroskopik yang sesuai dengan H. capsulatum. Hasil uji imunodifusi dengan histoplasmin ialah positif dan biakan darah tumbuh koloni H. capsulatum. Pengobatan amfoterisin B diberikan dengan dosis dan cam yang sama seperti pada kasus 1. Pada hari ke 22 perawatan, keadaan umum penderita eukup baik, jantung dan paru normal, hati dan limpa mengecil (teraba berturut-turut 1 cm dan 0,5 cm di bawah arkus kosta), penderita selanjutnya berobat jalan. Selama pengobatan, beberapa kali timbul demam dan menggigil serta muntah, tidak terjadi kegagalan ginjal. Pada akhir pengobatan keadaan umum penderita baik, hati dan limpa tidak teraba lagi, uji serologik dan biakan darah adalah negatif, faal ginjal dan hati normal. Penderita pulang tanggal 31 Agustus 1988. DISKUSI Histoplasmosis ialah penyakit jamur sistemik yang disebabkan oleh histoplasma capsulatum yang terutama menyerang sistem retikuloendotel°. Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Dr. Samuel T Darling dari Panama pada tahun 1905( 12) oleh

karena itu juga dikenal sebagai Darling's disease atau Reticuloendothelial cytomycosis. Penyakit ini dijumpai di banyak negara beriklim sedang dan tropis (1,2) . Di beberapa negara bagian Amerika ditemukan secara endemis, dimana 90% penduduknya pada umur 20 tahun menunjukkan uji kulit histoplasmin positif . Di Indonesia masih jarang dilaporkan, pertama kali dilaporkan oleh Dr. H. Muller dari Jawa Timur°. Dan tahun 1932 hingga tahun 1988 telah dilaporkan tujuh belas kasus dengan perineian, enam kasus sejak tahun 1932 sampai dengan tahun 1981 dan sebelas kasus dari tahun 1985 sampai tahun 1988. H. capsulatum bersifat dimorfik, di alam bebas hidup di \ tanah yang terkontaminasi oleh kotoran burung, ayam atau kelelawar (1,2). Susilo dan Kartanegare pada tahun 1973 telah berhasil mengisolasi H. capsulatum dari kelelawar di Jawa Barat. Manusia dapat terinfeksi melalui inhalasi spora (1,2). Histoplasmosis tidak ditularkan dari manusia ke manusia(') maupun dari hewan ke manusia . Gambaran klinik histoplasmosis bervariasi dan tidak khas, sering tersamar dengan penyakit lain, sehingga diagnosis baru ditegakkan setelah penderita meninggal atau penyakit meneapai stadium lanjut. Beberapa bentuk klinik histoplasmosis (3) yaitu : 1) Histoplasmosis paru akut Bentuk yang paling sering ditemukan, dapat primer (infeksi awal atau sekunder (infeksi Wang). Bentuk primer seringkali asimptomatik, masa tunasnya pada bayi dan anak kecil ialah 10-23 hari, banyak dijumpai di daerah endemis. Satu-satunya tanda infeksi adalah uji kulit histoplasmin positif. Bila timbul gejala akan menyerupai influenza yaitu panas mendadak, malaise, nyeri otot sakit kepala, batuk nonproduktif, dapat disemi rhonkhi yang difus dan hepatosplenomegali ringan. Pemeriksaan radiologis menunjukkan infiltrat kecil-kecil tersebar di paru dan pembesaran kelenjar pada hilus. Kelainan ini bersifat ringan dan sembuh sendiri. Pada anak-anak berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Bentuk sekunder, gejalanya serupa dengan yang primer, pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-nodul milier tersebar di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa perkapuran. Uji tuberkulin negatif sedangkan uji kulit histoplasmin positif(3,8) . 2) Histoplasmosis paru kronis Dijumpai pada orang dewasa setengah umur, perokok dan mempunyai riwayat penyakit obstruksi paru kronis, belum pernah ditemukan pada anak-anak( zo. Gejalanya demam, batuk produktif, malaise, lelah, berat badan turun, nyeri dada dan hemoptisis (z. Foto Rtntgen torak menunjukkan gambaran kaverna. 3) Histoplasmosis diseminata Suatu penyakit yang akut pada bayi, anak kecil dan penderita (3) dengan imunospresi. Morbiditas dan mortalitas tinggi . Bentuk o.22 yang fatal ini jarang terjadi . Kelainan dimulai dengan infeksi paru akut, demam, batuk, sesak napas dan cepat menjadi progesif serta menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit berat, mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan rhonkhi, limfaCermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

87

denopati, hepatosplenomegali, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Bila tidak diobati, kelainan akan memburuk dan dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan gastro-intestinal yang tidak dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan kematian t3l . Kelainan ini dapat dijumpai pula pada penderita leukemia atau keganasan sistem limfatik dan hemopoetik lainnya, path pemberian kemoterapi, obat imunosupresif atau steroid, serta pada penderita AIDS yang menunjukkan gejala demam yang tidak dapat diterangkan sebabnya disertai hepatosplenomegali dan pansitopenia t10l . Kelainan yang bersifat subakut atau kronis dapat di tern ukan pada penderita dewasa, biasanya dengan gejala ulserasi pada mulut, faring, laring dan saluran peneernaan, insufisiensi adrenal, endokarditis, osteomielitis, arthritis dan meningitis (1,,2,3). Diagnosis histoplasmosis ditegakkan bila ditemukan sel-sel ragi berukuran 1–5 mikron intraselulerpada sediaan mikroskopik bahan klinik. Uji kulit histoplasmin, uji imunodifusi dan reaksi ikat komplemen dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis, sedangkan diagnosis pasti didapatkan bila biakan bahan klinik tumbuh koloni H. capsulatum (11) Pengobatan terpilih untuk histoplasmosis yang membahayakan jiwa penderita ialah amfoterisin B(1,2,3,12) Kedua kasus yang dilaporkan dalam makalah ini menunjukkan gejala yang tidak khas pula, kasus 1 menyerupai leukemia dan kasus 2 batuk kronis serta hepatitis. Diagnosis histoplasmosis baru dapat ditegakkan dari hasil pemeriksaan sediaan biopsi hati dan pungsi limpa (kasus 1) serta pungsi sumsum tulang, uji serologik dan biakan darah (kasus 1 dan 2). Pengobatan dengan amfoterisin pada kedua kasus memberikan hasil perbaikan klinis yang eepat. Dosis inisial yang diberikan kepada penderita ialah 0,2 mg/kgbb, lalu dinaikkan setiap hari dengan 0,2 mg/kg sampai meneapai dosis optimal 1,0 mg/kg, setelah itu infus dengan dosis optimal tersebut diberikan tiga kali seminggu sampai dosis total 1250 mg. Dosis total obat dan lama pengobatan diberikan tergantung pada umur penderita dan berat ringannya penyakitt122. Dosis total pada anak keeil yang dianjurkan ialah 30 mg/kg t31 . Selama pemberian infus amfoterisin B, botol eairan infus perlu dibungkus untuk menghindari pengaruh eahaya( 3 ), dan karena obat ini bersifat nefrotosik maka setiap minggu diperiksa kadar ureum darah dan creatinine clearance t121 . Sampai pengobatan selesai, pada kedua penderita ternyata tidak timbul kegagalan ginjal. Reaksi obat seperti demam, menggigil, mual, muntah dan sakit kepala dapat dicegah atau dikurangi dengan pemberian premedikasi berupa antihistamin dan anti(14) piretik, serta keeepatan infus diperlambat Kedua kasus ini tetap perlu diikuti perkembangannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya infeksi ulang. Selain itu, kemungkinan peranan kotoran ayam dari petemakan di dekat rumah penderita sebagai amber infeksi pada kedua kasus ini, perlu diselidiki lebih lan jut, agar dapat dilakukan tindakan peneegahan. Mengingat gejala klinik histoplasmosis sangat tidak khas seperti yang tampak juga pada kedua kasus tersebut di atas, maka 88

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

pada penderita dengan riwayat panas yang tidak dapat diterangkan sebabnya, pansitopenia dan hepatosplenomegali, serta penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif, antibiotika atau kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka waktu lama, perlu diwaspadai akan kemungkinan infeksi H. capsulatum. RINGKASAN Telah dilaporkan kasus histoplasmosis diseminata Dada dna saudara sekandung laki-laki, umur 11 tahun dan 12 tahun, asal Sukabumi (Jawa Barat). Kasus pertama dirawat tahun 1985 dan kasus ke dua dirawat tahun 1988, di Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta. Keduanya mempunyai riwayat pucat, lemas, terdapat pembesaran hati dan limpa, serta pansitopenia perifer. Kasus pertama disertai panas selama 2 bulan dan kasus kedua menderita batuk selama satu bulan sebelum dirawaL Pada gambaran sumsum tulang kasus pertama dieurigai suatu aleukemia leukemia. Histoplasma capsulatum intra seluler ditemukan pada sediaan biopsi hati yang punksi limpa (kasus 1) serta punksi sumsum tulang (kasus 1 dan 2). Hasil uji serologik positip dan biakan darah timbul koloni H. eapsulatum (kasus 1 dan 2). Pengobatan dengan ampoterisin B memberikan hasil perbaikan klinis yang eepat dan penderita dipulangkan dalam keadaan baik.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8.

9. 10. 11. 12.

Emmons CW, Binford CH, Utz JP. Medical mycology 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1970: 275-308. Rippon JW. Medical mycology. The pathogenic fungi and the pathogenic Actinomycetes 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 1982: 342-88. Spek WT, Aranioff SC. Histoplasmosis. In: Behrman RE, Vaughan VC, eds, Nelson textbook of pediatrics 12th ed. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders, 1983: 832-4. Soeprihatin SD. Penjakit djamur di Indonesia (Laporan singkat kasuskasus). Dalam: Naskah ilmiah lengkap Muktamar Nasional IDI ke XII dan KPPIK ke-VII, Djakarta 1972: 435-54. Diana S, Marwoto W, Susilo J, Soeprihatin SD. Histoplasmosis hati. Laporan sebuah kasus. Dalam: Kumpulan Makalah KONAS IAPI VII cabang Jakarta. Medan 1981: 108-16. Abdulsalam M, Hoedijoko, Gatot D, Moeslichan Mz, Susilo J, Wahidiyat I. Histoplasmosis diseminata pada anak. Medika 1986; 12: 404–8. Susilo J, Kartanegara D. Isolasi Histoplasma capsulatum dari kelelawar di Jawa Barat. MKI 1973: 7–8: 122-3. Christie A. Histoplasmosis. In: Vaughan VC, McKay RJ, Behm►an RE, eds. Nelson textbook of pediatrics 11th ed. Tokyo: Igaku-Shoin/Saunders, 1979: 967-70. Goodwin RA, Des Prez RM. Histoplasmosis. Am Rev Resp Dis 1978; 117: 929-56. Henochowicz S, Sahovic E, Pistole M, Rodrigues M, Macher A. Histoplasmosis diagnosed on peripheral blood smear from a patient with AIDS. JAMA 1985; 253: 3148. Susilo J. H listoplasmosis. Bulletin Kedokteran Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta 1976; 4: 86. Sande MA, Mandell GL. Antimicrobial agents. Antifungal and antiviral agents. In: Goodman LS, Rail TW, Murad F, (eds). Goodman and Gilman 's: the pharmacological basis of therapeutics 7th ed. New York: Mac Milian

13. 14.

Publ 1985: 1219–22. Hams JS. Therapy with amphotericin B. In: Vaughan , VC, McKay RI, Behrman RE, eds. Nelson textbook of pediatrics 11th ed. Tokyo: IgakuShoin/Saunders, 1979: 958–64. Hughes WT. Histoplasmosis. In: Gellis SS, Kagan BM, (eds). Current

15. 16.

pediatric therapy 8. Philadelphia: WB Saunders, 1978: 889–95. Muller H. Histoplasmose in Oost-Java. Geneesk T Ned Ind 1932; 72: 889–95. DelimaISM. BerbagaiKasusHistoplasmosis diIndonesia Tahun1932–1988. Medika 1990; 16(4): 312–18.

r--

Acara "COBA S1APA DIA''

~- mak ndn

Anda memakan makanan seharga

s ehargn

+ 200,-per kilo ./

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, /992

Pengobatan Malaria yang Resisten terhadap Klorokuin Emiliana Tjitra, Harijani Marwoto Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta

PENDAHULUAN Klorokuin merupakan obatpilihan utama untuk semua jenis malaria yang dipakai dalam program pemberantasan malaria. Klorokuin bersifat skizontosida darah untuk semua spesies plasmodium manusia dan gametosida Plasmodium vivax dan Plasmodium malariaeo >. Obat ini banyak dijual bebas sehingga tak mengherankan banyak kasus malaria resisten klorokuin ditemukan. Resistensi klorokuin adalah kemampuan parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan klorokuin secara teratur baik dengan dosis standard maupun dosis lebih tinggi yang masih dapat ditolerir oleh pemakai obat. Resistensi merupakan akibat pemakaian obat yang tidak tepat( 2). Malaria yang resisten terhadap klorokuin dapat diketahui dengan tes in-vivo sistim 7 hari atau 28 hari, dan/atau tes in-vitro (makro atau mikro tes), sesuai dengan ketentuan WHO. Kelebihan tes in-vivo adalah dapat menentukan tingkat atau derajat resistensi (lampiran 1), sedangkan tes in-vitro dapat dilakukan terhadap beberapa jenis obat antimalaria pada saat yang bersamaan('). Malaria yang resisten terhadap klorokuin biasanya dihubungkan dengan Plasmodium falciparum yang merupakan spesies terbanyak diteliti karena dallat menyebabkan komplikasi dan kematian. Di Indonesia,P. falciparum yang resisten terhadap klorokuin telah dilaporkan oleh 27 propinsi, penderita yang berasal dari Bali dan DKI Jakarta merupakan kasus import<4 (lampiran 2). Hal ini menyebabkan pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin menjadi masalah yang penting. Selain itu di 11 propinsi (Aeeh, Sumatera Utara, Riau, Lampung, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya) juga telah ditemukan adanya kasus P. falciparum yang resisten multi-

>

90

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

drug P. vivax yang resisten terhadap klorokuin sudah mulai dilaporkan( 6'') dan sedang diteliti lebih lanjut di Irian Jaya dan P. Nias 8>. Penentuan kasus P. vivax resisten klorokuin tersebut berdasarkan konsentrasi klorokuin dalam darah serum yang diukur dengan eara high-performance liquid chromatography sudah melebihi 15 ng/ml 9>.

PENGOBATAN MALARIA Pengobatan dan tindakan yang dilakukan pada umumnya dipengaruhi oleh : 1. Manifestasi klinis, dengan atau tanpa komplikasi. 2. Umur penderita: bayi, anak-anak atau dewasa. 3. Keadaan lain penderita yaitu hamil atau menyusui. 4. Spesies Plasmodium yaitu P. vivax, P. falciparum, P. malariae, P. ovale, atau infeksi eampuran. 5. Tempat tinggal atau tempat asal kena infeksi: daerah sensitif atau resisten klorokuin atau resisten multidrug. 1.

Malaria sensitif klorokuin Malaria falsiparum yang sensitif klorokuin dan tanpa komplikasi diobati dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB, seeara oral selama 3 hari, yaitu hari I dan hari II 10 mg/kgBB, hari 1115 mg/ kgBB, diminum sekaligus. Pada hari I juga diberikan primakuin dengan dosis sesuai golongan umur keeuali pada bayi dan ibu hamil (tabel 1). Penggunaan primakuin bukan sebagai anti relaps karenaP.falciparum tidak mempunyai bentuk jaringan sekunder (eksoeritrositer sekunder), melainkan untuk membunuh gametosit sehingga penularan dapat dicegah atau dikurangi('). Malaria vivax yang sensitif klorokuin atau malaria ovale atau malariae diobati juga dengan klorokuin basa 25 mg/kgBB, seeara oral selama 3 hari, seperti pengobatan pada malaria falsiparum yang sensitif klorokuin. Primakuin diberikan selama 5 -14 hari sebagai antirelaps karena P. vivax mempunyai bentuk

jaringan sekunder o.101 (tabel 2). Tabel 1.

Hari I II III

Pengobatan malariafalsiparum yang sensitif kloroku in dan tanpa komplikasi Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut golongan umur (tahun)

Jenis Obat klorokuin primakuin klorokuin klorokuin

<1

1–4

5–9

10–14

15+

1/2

1 1/2 1 1/2

2 3/4 2 1

3 1 3 1'/2

3– 4 2–3 3– 4 2



1/2 1/4

Dikutip dari : Depkes R.I.1990. Malaria : Pengobatan : 3. Catalan : 1 tablet klorokuin =150 mg bnsa klorokuin. 1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hami/. Obat diminum tidak boleh dalam keadaan perut kosong. Tabel 2.

Hari I II

1II IV V

Pengobatan malaria vivax yang sensitif klorokuin dan malaria ovale, serta malaria malariae

Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut golongan umur (tahun)

Janis Obat

klorokuin primakuin klorokuin primakuin klorokuin primakuin primakuin primakuin

<1

1–4

5–9

10–14

15+

1/2

1 1/4 1 1/4 1/2 1/4 1/4 1/4

2 1/2 2 12 1 1/2 1/2 12

3 3/4 3 3/4 V/2 3/4 3/4 3/4

3– 4 1 3– 4 1 2 1 1 1



1/2



1/4

– – –

Dikutip dari : Depkes R.I.1990. Malaria : Pengobatan : 3. Catalan : 1 tablet klorokuin =150 mg basa klorokuin. 1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu liana Obat diminum tidak boleh datum keadaan perut kosong.

2. Malaria resisten klorokuin Malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi' diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin dan primakuin dosis tunggal keeuali pada bayi dan wanita hamil, diberikan seeara oral sesuai golongan umur. Sulfadoksin diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB dan pirimetamin 125 mg/kgBB t '•10 (tabel 3). Sulfadoksin-pirimetamin bersifat skizontosida jaringan primer, skizontosida darah dan sporontosida terhadap ke empat spesies plasmodium manusia. Obat ini digunakan pada kasus malaria falsiparum di daerah yang resisten klorokuin'). Efek samping yang pemah dilaporkan adalah sindroma Steven — Johnson yang dapat berakibat fatal. Bila penderita malaria falsiparum tersebut masih belum sembuh, obat diganti dengan tablet kina sulfat dengan atau tanpa tetrasildin sertaprimakuin, dengan dosis sesuai golongan umur om (tabel 4). Di Thailand, dosis kina untuk anak-anak sekolah 10 mg/kgBB, 3 kali sehari, selama 4 hari kemudian dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kgBB, diberikan 3 kali sehari selama 3 hari untuk meneapai Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dalam

darah". Penggunaan kina kurang disukai karena memerlukan waktu yang lebih lama (7 hari) dan efek samping yang paling sering dijumpai adalah tinitus. Tetrasiklin tidak diberikan kepada anak kurang dari umur 8 tahun dan wanita hamil. Path malaria vivax yang resisten klorokuin dianjurkan untuk mengulangi sekali lagi pengobatan klorokuin dan primakuin dengan dosis sama, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan klorokuin 300 mg basa dan primakuin 45 mg basa dosis tunggal, minggu sekali selama 8 — 12 minggu° l . Tabel 3.

Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi dengan sulfadoksin – pirimetamin Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut

Hari

golongan umur (tahun)

Jenis Obat

1–4

5–9

10–14

15+

-

3/4

1

'

/2

2

3

-

1/2

3/4

1

2–3

<1

sulfadoksinpirimetamin primakuin

I II

Dikutip dari : Depkes RJ.1990. Malaria : Pengobatan : 3. Catalan : 1 tablet sulfadoksin-pirimethamin = 500 mg sulfadoxin dan 25 mg pirimethamin. 1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hamil.

Tabet 4. Pengobatan malaria falsiparum yang resisten klorokuin dan tanpa komplikasi dengan kina sulfat. Jumlah tablet (dosis tunggal) menurut Hari I

golongan umur (tahun)

Jenis Obat kin sulfat

<1

1–4

*

1/2

5–9

10–14

15+

1

2

diminum 3 kali sehari selama 7 hart dengan atau tanpa tetrasiklin

II

primakuin



12

3/4

1

2– 3

diminum sekaligus pada hari pertains pengobatan dengan kina Dikulip dari : Depkes RI. 1990. Malaria : Pengobatan : 3. Catalan : * Dosis kina setiap hari unluk bayi dihitung 10 mg/umur dalam bulan, dibagi dalam 3 bagian yang diberikan selama 7 hari. 1 tablet kina sulfat = 200 mg kina sulfat. 1 tablet primakuin =15 mg basa primakuin, tidak diberikan pada bayi dan ibu hand.

3.

Malaria dengan komplikasi (malaria berat) Malaria dengan komplikasi umumnya disebabkan oleh P. falciparum yang telah resisten terhadap klorokuin sehingga memerlukan penanganan khusus, diagnosis dini, pengobatan eepat dan tepat karena banyak mengakibatkan kematian. Manifestasi klinis malaria dengan komplikasi dapat berbentuk malaria otak, anemia berat, gagal ginjal, edema paru, hipoglisemia, syok, perdarahan spontan (Disseminated Intravascular Coagulation), kejang berulang, asidosis atau asidemi, hemoglobinuri, hiperparasitemi, ikterus, hiperpireksia dan kelelahan beratt ' .10. " Pengobatan dengan kina dihidrokhlorida intravena merupakan pilihan utama karena malaria berat memerlukan pengobatan eepat dan tepat. Kina diberikan dalam larutan infus NaCl Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

91

drug. Angka kesembuhan yang dieapai 100% dengan waktu 0.9% atau Dextrosa 5%, 10 mlkgBB, dengan dosis awal 16,7 — bebas panas dan waktu bebas parasit adalah 9,3 ± 2,4 jam dan 20 mg basa/kgBB dalam 4 jam pertama, dilanjutkan dengan dosis 47,1 ± 3,7 jam. Efek samping yang ditemukan hanya mual ringan 22 8,3 — 10 mg basa/kgBB dalam 4 jam berikutnya dan diulang dan sembuh tanpa pengobatan( ). setiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7. 3. Halofantrin Pemberian dosis awal (loading dose) akan lebih cepat memberi Halofantrin merupakan obat antimalaria golongan genanbasil, tetapi tidak diberikan kepada penderita yang dalam 48 jam tren metanol yang bersifat skizontosid darah untuk ke empat sebelumnya sudah diberi00.11.'2. kina. Dalam hal ini diberikan kina dosis species plasmodium manusia dan juga untuk strain P. falciparum ' 3> 8,3 – 10 mg basa/kgBB resisten multidrug. Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak 8—10 Bila kina dihidrokhlorida tidak tersedia dapat diberikan mg/kgBB tiap 6 jam dengan dosis total 24 mg/kgBB. Untuk kinidin glukonat 15 mg basa/kgBB dalam larutan infus NaCl dewasa (> 12 tahun) diberikan 500 mg tiap 6 jam dengan dosis 0.9% atau Dextrosa 5%, 10 mlkgBB dalam 4 jam, dilanjutkan total 1500 mg. Obat ini tidak diberikan pada wanita hamil dan 7,5 mg basa/kgBB dalam 4 jam berikutnya, kemudian diulang menyusui karena mempunyai efek foetotoksin("). tiap 8 jam sampai penderita dapat menelan obat untuk kemudian Penelitian pengobatan halofantrin pada penderita malaria (10,11,12) diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ke 7 falsiparum tanpa komplikasi di daerah resisten klorokuin, meHipoglikemi pada penderita malaria berat perlu segera dinunjukkan bahwa halofantrin efektif dan aman. Angka kesemtanggulangi dan terus dimonitor karena menentukan prognosis buhan yang dieapai 98,4% dengan waktu bebas panas dan waktu Hipoglikemi tersebut dapat juga terjadi selama pemberian intrabebas parasit adalah 22,4 ± 2,7 jam dan 58,3 ± 5,2 jam. Efek U12 vena kina dihidroklorida ). samping yang ditemukan adalah diare, mual, palpitasi, dan pusing yang ringan dan sembuh tanpa pengobatan( M ). PENELITIAN PENGOBATAN MALARIA FALCIPARUM Halofantrin juga efektif dan aman untuk penderita malaria RESISTEN KLOROKUIN falsiparum in-vitro resisten klorokuin dan tidak berbeda berSehubungan dengan meluasnya distribusi kasus malaria makna bila dibandingkan penderita malaria falsiparum in-vitro falsiparum resisten klorokuin dan meningkatnya derajat resissensitif klorokuin dalam hal angka kesembuhan, waktu bebas tensi serta resistensi multidrug, maka telah dilakukan beberapa panas dan bebas parasit yang dibutuhkan. Angka kesembuhan penelitian pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin penderita malaria falsiparum in-vitro sensitif klorokuin dan dengan obat antimalaria yang belum terdaftar dan digunakan resisten klorokuin adalah 100% dan 96,3%. Waktu bebas panas sebagai obat antimalaria di Indonsia. dan waktu bebas parasit untuk penderita malaria falsiparum invitro sensitif dan resisten klorokuin adalah 17,1 ± 3,5 jam dan 1. Klindamisin 21,8 ± 4,6 jam serta 51,6 ± 2,8 jam dan 66,9 ± 12,1 jam (25) . Klindamisin telah terdaftar dan digunakan sebagai antibiotika. Obat ini pada malaria bersifat skizontosid darah untuk (14,15) OBAT LAIN UNTUK P. FALCIPARUM RESISTEN KLOP. falciparum dan juga P. falciparum resisten klorokuin ) Di RSU Dili, Timor Timur, klindamisin diberikan kepada ROKUIN penderita dewasa malaria falsiparum in-vitro resisten klorokuin Selain klindamisin, meflokuin dan halofantrin juga ada dengan dosis dua kali 300 mg, per oral selama 5 hari. Dengan beberapa obat antimalaria yang terbukti efektif untuk P. falcipengawasan selama 28 hari, angka kesembuhan yang dieapai parum resisten klorokuin tetapi belum pernah diteliti di Indoadalah 100% dan waktu yang dibutuhkan untuk bebas parasit nesia. adalah 2—6 hari. Efek samping yang ditemukan ringan dan 1) Qinghaosu bersifat sementara a ' o . Qinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiter2. Meflokuin pen lakton yang bersifat skizontosid darah untuk P. falciparum Meflokuin adalah obat antimalaria golongan 4-metanol dan P. vivax. Sebenarnya obat ini merupakan obat tradisional kuinolin yang bersifat skizontosid darah untuk ke empat species Cina untuk penderita demam yang dibuat dari ekstrak tumbuhan plasmodium manusia dan strain P. falciparum resisten multi- Artemesia annua (qinghao) yang sudah dipakai sejak ribuan drugm " .18u. Dosis yang dianjurkan adalah 15—29 mg/kgBB, pertahun lalu. Qinghaosu tidak diberikan pada wanita hamil karena oral dosis tunggal atau terbagi dalam 2 dosis nap 12 jam. Obat ini efek foetotoksik « . tidak diberikan pada wanita hamil trimester pertama(13,19) Obat ini mempunyai empat bentuk yaitu tablet (artemesin Kasus P. falciparum yang resisten terhadap meflokuin inatau qinghaosu) untuk peroral, dalam larutan minyak (artemeter) vivo maupun in-vitro telah ditemukan di Irian Jaya dan Jawa untuk suntikan intramuskular, bentuk bubuk kering yang diTengah(20 21 ". larutkan dengan larutan NaHCO 3 5% untuk suntikan intravena Penelitian pengobatan meflokuin pada penderita malaria atau intramuskular dan bentuk supositoria untuk supositoria 1(11,26,27. falsiparum tanpa komplikasi menunjukkan bahwa meflokuin Obat rektalini terutama digunakan untuk pengobatan malaria efektif dan aman untuk malaria falsiparum in-vitro resisten klo- berat atau dengan komplikasi karena efek obat yang sangat cepat. rokuin maupun untuk malaria falsiparum in-vitro resisten multi•

92

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Dosis yang efektif masih diteliti. Dosis tablet untuk orang dewasa adalah 2,5 - 3,2 g, larutan minyak adalah 0,6 - 1,2 g dan larutan NaHCO 3 5% adalah 1,2 g. Angka rekrudensi eukup tinggi yaitu > 18% yang biasanya timbul pada hari ke 15-30 setelah pengobatan. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit yang dibutuhkan adalah 15-22 jam dan 30-68 jam. Efek samping yang ditemukan adalah penurunan jumlah lekosit dan retikulosit yang bersifat sementarao3's 29 Dalam waktu dekat akan dilakukan penelitian qinghaosu di Indonsia. •

2) Yinghaosu Yinghaosu merupakan obat antimalaria golongan seskuiterpan peroksid yang bersifat skizontosid darah untukP. falciparum dan strain P.fal ciparum resisten klorokuin. Obat ini baru dikembangkan dari tanaman obat tradisional Cina dan tidak ditemukan resistensi silang dengan klorokuin, meflokuin dan qinghaosu. Yinghaosu dapat diberikan peroral atau parentral(32.33) 3) Pironaridin Pironaridin merupakan obat antimalaria derivat hidroksianilino benso-naftridin, mempunyai struktur sama dengan mepakrin dan amodiakuin. Obat ini bersifat skizantosid darah untukP. falciparumresisten multidrug dan sudah digunakan luas (34,35,36,37) di Cina sejak lebih dari 10 tahun yang lalu Pironaridin mempunyai bentuk tabletdan kapsul dan bentuk 38) parenteral yang lebih efektif . Dosis oral adalah 300-400 mg, dua kali sehari pada hari pertama dan selanjutnya satu atau dua kali sehari, dengan dosis total 1,2 gram. Dosis parenteral adalah 0,3 gram intramuskular atau intravena, dua kali sehari dengan perbedaan waktu 8 jam. Waktu bebas panas dan waktu bebas parasit obat ini pada pekerja di Thailand dan Cina adalah 36 jam dan 57 jam (39) . Efek swiping yang pernah ditemukan adalah diare, sakit perut, muntah-muntah. 4)

Falcimax TM Falcimax TM merupakan obat an timalaria kombinasi antara kita, kuinidin dan einehonin. Obat ini bersifat skizontosid darah untuk ke empat species plasmodium manusia dan telah diteliti di Thailand untuk penderita anak malaria falsiparum dengan dosis 12 mg/kgBB tiap 8 jam selama 7 hari peroral. Angka kesembuhan yang dieapai jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengobatan hanyakina yaitu 100%. Efek samping yangditemukan (40) bersifat ringan dan sementara RINGKASAN Dengan ditemukannya P. falciparum resisten klorokuin di 27 propinsi dan resisten multidrug di 11 propinsi, maka pengobatan malaria yang resisten terhadap klorokuin menjadi masalah penting. P. vivax resisten terhadap klorokuin juga telah mulai dilaporkan dan sedang diteliti lebih lanjut di Irian Jaya dan P. Nias. Kasus resistensi dapat diketahui dengan tes in-vivo (sistim 7 hari atau 28 hari) dan atau tes in-vitro (tes makro atau mikro) menurut standar WHO untuk tes sensitivitas obat antimalaria. Sesuai dengan program pemberantasan malaria, malaria falsiparum tanpa komplikasi yang resisten terhadap klorokuin

dapat diobati dengan sulfadoksin-pirimetamin (kecuali bayi dan ibu hamil) atau kina sulfat dengan atau tanpa tetrasiklin. Malaria kompl ikasi denganatau tanpa resisten klorokuin sebaiknyadiobati dengan kina di hidrokhlorida intravena karena memerlukan pengobatan yang tepat dan obat yang bekerja eepat. Klindamisin, meflokuin dan halofantrin merupakan obat antimalaria alternatif yang pernah diteliti pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi dan memberikan hasil yang baik. Qinghaosu, yinghaosu, pironaridin dan Faleimax TM merupakan obat antimalaria alternatif yang memberikan harapan untuk pengobatan malaria falsiparum resisten klorokuin tetapi belum pemah diteliti di Indonesia. KESIMPULAN Hanya kina yang masih merupakan obat antimalaria yang bersifat life-saving untuk pengobatan malaria falsiparum yang resisten multidrug. KEPUSTAKAAN 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jenderal PPM & PLP. (1990) Malaria. Pengobatan : 3. 2. Bruce–Ch watt U. Chemotherapy of malaria. 2nd ed. Geneva: WHO 1981. 3. World Health Organization. Chemotherapy of malaria and resistance to anti-malarials : Report of a WHO Scientific Group. WHO Techn Rep Ser no. 529. 1973. 4. Arbani PR. Situasi malaria di Indonesia. Simposium QBC. FKUI, Jakarta, 28 Nopember 1991. 5. Tjitra E, Marwoto, Hariyani, Kenny, Marvel dkk. Penelitian obat antimalaria. Bul Penelit Kes 1992; 19(4): 15-23. 6. Schwartz IK, Lacteritz EM, Patchen LC. Letter : Chloroquine resistant Plasmodium vivax from Indonesia. New Engl J Med 1991; 324: 927. 7. Baird JK, Basri H, Pumomodkk. Resistance to chloroquine by Plasmodium vivaxin Irian Jaya,Indonesia. Am. J. Trop. Med. Hyg. 1991; 44(5): 547-52. 8. Baird JK. Komunikasi pribadi. 1992. 9. Patchen LC, Mount DL, Schuwartz IK, Churchill FC. Analysis of filterpaper-absorbed, finger– stick blood samples for chloroquine and its major metabolite using high – performance liquid chromatography with fluorescence detection. J. Chromatogr. 1983; 278: 81–9. 10. World Health Organization. The Clinical Management of Acute Malaria. WHO Regional Publications, South-East Asia Series No. 9, 3rd ed. WHO Regional Office for South-East Asia, New Delhi. 1990. 11. World Health Organization Division of Control of Tropical Diseases. Severe and Complicated Malaria. Trans Roy Soc Trop Med Hyg. 2nd ed. 1990. 84 (suppl 2): 1-65. 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Malaria : Penatalaksanaan malaria berat di Rumah Saki' dan Puskesmas : 16. 1991. 13. Gilles HM. Management of severe and complicated malaria. A practical handbook. Geneva: World Health Organization, 1991. 14. Geary TG, Jensen JB. Effects of antibodies on P. falciparum in-vitro. Am J Trop Med Hyg, 1983; 32(2): 221-5. 15. Seaberg LS, Parquette AR, Gluzman IY dkk. Clindamycine activity against chloroquine resistant P. falciparwn. J Infect Dis. 1984; 150(6): 904–11. 16. Oemijati S, Pribadi W, Suprijanto S. dkk. Pengobatan infeksiP. falciparwn yang resisten terhad ap klorok uin dengan klindamisin. SeminarParasitologi Nasional VI dan Kongres P4I V, Pandaan, Jaws Timur 23–25 Juni 1990. 17. Harinasuta T, Bunnag D, Wemdkorfer W. A phase II clinical trial of mefloquine in patients with chloroquine resistant falciparum malaria in Thailand. Bull WHO 1983; 61: 299-305. 18. Karbwang J, White NJ. Clinical Phannacokinetics of mefloquine. Clin Pharmacokinet, 1990; 19(4) : 264-79. 19. Chongsuphajaisidhi T, Sabchareon A, Chantavanich P, dkk. A phase III clinical trial of mefloquine in children with chloroquine-resistant falci-

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

93

20.

21. 22.

23. 24.

25.

26.

27. 28. 29.

30. 31.

32.

33.

34.

35. 36.

37.

38. 39.

40.

94

parum malaria in Thailand. Bull WHO 1987; 65(2): 223-6. Hoffman SL dkk. RU and R III type resistance of Plasmodium falciparum to combination of mefloquine and sulfadoxine/pirimethamine in Indonesia. Lancet 1985, November 9: 1039-40. Hoffman SL dkk. In-vitro studies of the sensitivity of Plasmodium falciparum to mefloquine in Indonesia. Panel Diskusi dalam Seminar Parasitologi Nasional & Kongres ke II P4I, Agustus, Bandung 1983. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan meflokuin di daerah resisten klorokuin. Bull Penelit Kes 1992 (akan diterbitkan). Smith Kline & French. Halofantrine in the treatment of multidrug resistant malaria. Parasitol Today (Suppl) 1989. Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi dengan halofantrin di daerah resisten klorokuin. Bull Penelit Kes 1992, 20 (1). Tjitra E, Oemijati S, Pribadi W, dkk. Studi perbandingan pengobatan halofantrin pada penderita malaria falsiparum tanpa komplikasi yang invitro sensitif dengan yang resisten klorokuin. 1992. (akan diterbitkan). World Health Organization. The Development of Qinghaosu and its devivates as antimalarial drugs. Fourth meeting of the scientific working group on the chemaotherapy of malaria. People's Republic of China: Beijing, 6-10 Oktober 1981. Arnold K, dkk. A randomized comparative study of artemisine (qinghaosu) suppositories and oral quinine in acute falciparum malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1990; 84: 499-502. Jiang BJ, Li GQ, Guo XB, Yun CK. Antimalarial activity of mefloquine and qinghaosu. Lancet 1982, August 7 : 285-8. Pe TM, Tin S. The efficacy of artemether (Qinghaosu) in P.falciparu n and P. Vivax in Burma. Southeast Asia J. Trop Med Publ Health, 1986; 17(1): 19-22. Pe TM, Tin S. A controlled clinical trial of artemether (qinghaosu derivates) versus quinine in complicated and severe falciparum malaria. Trans Roy Soc Trop Med Hyg, 1987; 81: 559-61. Li GQ, Guo XB, Jian HX, Arnold K. Randomized comparative study iof mefloquine, qinghaosu and pyrimethamine-sulfadoxine in patients with falciparum malaria. Lancet 1984, December 15 : 1360-1361. Stohler HR, Jaquet C, Peter W. Biological characterization of novel bicyclic peroxides as potential antimalarial agents. XII th Intemat Conggr Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23 September 1988. Hofheinz W, Jaquet C, Masciadri R, dkk. Structure activity relationship of novel bicyclic peroxide antimalarials related to Yinghaosu. XII th Intemat Conggr Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23 September 1988. Zheng XY, Chen C, Goo FH, dkk. Synthesis of new antimalarial drug pyronaridine and its analoques. Yao Hsueh Hsueh Pao Sinica, 1982; 17: 118-125. Fus S, Bjarkman A, Wahlin B, dkk. In-vitro activity of chloroquine, the two enantiomers of chloroquine, desethyl chloroquine and pyronaridine against Plasmodiumfalciparwn. Brit J Clin Pharmacol 1986; 22: 93-6. Childs GE, Hansler B, Milhous W, dkk. In-vitro activity of pyronaridine against field isolates and reference clones of Plasmodium falciparum. Am J Trop Med and Hyg 1988; 38: 24-9. Qiu CD, Ren DX, Liu DQ, dkk. Sensitivity ofP. falciparwn to pyronaridine and sodium artesumate in Hainan island, China. XII th Intemat Conggr Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands. 18-23 September 1988. Feng Z, Wu ZF, Wang CY, dkk. Pharmacokinetics of pyronaridine in malaria patients. Chung Kuo Yao Li Hsueh Pao 1987; 8: 543-6. Chanthavanich P, Changsuphajaisiddhi T, Sahchareon A, dkk. A combination of quinine, quinidine and cinchonine (Falcimax TM) in the treatment of falciparum malaria in Thai children. XII th Intemat Conggr Trop Med and Malaria. Amsterdam, The Netherlands 18-23 September 1988. Chang C, dkk. Studies on a new antimalarial compound pyronaridine. Trans R Soc Trop Med Hyg, 1992; 86: 7-10.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

UCAPAN TERIMA KASIH Kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kepala Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Litbang Kesehatan, dan Dr PR Arbani, MPH, Kasubdit Malaria, Departemen Kesehatan R.I., diucapkan terima kasih alas kesempatan dan saran-saran yang diberikan.

Lampiran 1. BerbagaiderajatresistensiP.faldparumterhadapkiorokuin. Berbagai derajat resistensi/sensitivitas P. falciparum terhadap kiorokuin. Sensitif (S) Batas ambang mikroskop

R I Kasep

R I Dini

1

RII

l_

R III

01234567 I I Standart Test (Test - 7 hari) I I

1 14

21

28

Hari dihitung dari mulai makan obat (DO)

Extended Test (Test 28 hari) Parasitemia askesual P. falciparum Dikutip dari WHO Technical Report Series 1973, no. 529. Catalan : S : Hilangnya semua parasit asekual dari darah perifer dalam waktu 7 hari dihitung setelah hari pertama minum obat tanpa adanya rekrudensi. RI : Hilangnya semua parasit aseksual dari darah perifer, seperti halnya pada S, tetapi selalu ada rekrudensi. RII : Penurunan 75% yang jelas dari jumlah parasit aseksual dalam darah perifer tetapi tdak pernah hilang (negatif) sama sekali. RIII : Tidak ada perubahan yang berarti (25%) dan jumlah parasit aseksual dalam darah perifer.

Lampiran 2 : Peta malaria dan P. falclparum resIsten klorokuin.

INDONESIA r

nOPt.;iiopia. s,.

.

- ,, ')

Sou:. Cans S.*

Su.

Sw

11 .

t

1

t.

MALA''rk

\al

,—. - - - - - -

e

\,

A

Y

I

S

A

aPuu:!

''

‘3

./

T



t,

SLRA wAK ;

v

..

k' .

9

Pocif;c

t Sui a a si

--'----''=---="

i-L%..

> /

:1

ft

-s

-

_

,

o.

...."t :--

a

OCtan

g-'-

---t

0-a

. —,—...._

..r.... _

,

Baaaa .................... _

....I:v.!.

''..:'" . l

._

i

a

--A

' ,/

a



PAC R

.

A,. t

S,,

0

iiTer Sea

Keterangan : =Persistent malaria transmission li:EMPresominald Pf. incidence Confirmed Pf resistance to 4 amino-quinollines

Dikutip dari : Subdit Malaria, Dirjen P2M & PLP, Depkes RI.

0

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

95

Pengalaman ultrasonografi abdomen di RS. Sumber Waras Melani W. Setiawan *, I. Susanto, Purnadi K, J.J. Setiawan dan H. Wulur *Unit Ultrasonografi Bagian Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, RS Sumber Waras Jakarta

PENDAHULUAN Di Indonesia pemeriksaan ultrasonografi (USG) telah banyak memasuki dunia kedokteran kita dalam berbagai bidang, antara lain dalam bidang Ilmu Kesehatan Anak. Alat ini merupakan salah satu sarana eanggih yang telah banyak digunakan oleh dokter-dokter ahli di dunia sejak 15 tahun terakhir. Pemeriksaan USG pada anak dapat diterapkan pada berbagai alat tubuh, misalnya untuk kelainan-kelainan perut, saluran keneing, kepala, dada, jantung, kandungan, leher, pinggul dan lain-lain, sehingga banyak permintaan dari sejawat atau orang tua penderita untuk pemeriksaan tersebut. Makalah ini bertujuan mengemukakan pengalaman pemeriksaan USG abdomen sebagai salah satu sarana diagnostikbantu pada bayi dan anak. Pada kesempatan ini hanya akan dibatasi pada saluran eerna dan sistim hepatobilier. BAHAN DAN CARA Dalam kurun waktu 4,5 tahun (1 Januari 1987 – 1 Juni 1992) telah dilakukan 1.213 pemeriksaan USG pada bayi dan anak. Mereka berasal dari rujukan poliklinik 149 (12,2%) anak, rujukan ruangan 570 (47%) anak, rujukan ruang bayi 104 (8,6%) anak dan permintaan konsultasi dari sejawat di luar rumah sakit 390 (32,2%) anak. Umur penderita berkisar antara 6 jam sampai 14 tahun terdiri dari 570 (52%) laki-laki dan 524 (48%) perempuan. Sebelumnya penderita harus berpuasa selama 6 jam, kecuali pada kasus-kasus kedaruratan. Alat ultrasonik yang dipakai adalah Toshiba SSA-90-A dan SAL-50A dengan probe limier dan sektor 3,75 MHz. HASIL Pemeriksaan USG abdomen sebanyak 698 kasus, walaupun permintaan pemeriksaan dikategorikan untuk beberapa jenis 96

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

kelainan seperti: traktus urinarius 131 (18,8%), hepatobilier 112 (16%) dan sisanya abdomen umum 455 (65,2%). Di rumah sakit kami pemeriksaan USG abdomen dikerjakan seeara menyeluruh di abdomen karena seringnya dijumpai kelainan yang berkaitan dengan kelainan lain. Keluhan non-spesifik penderita yang paling sering menjadi indikasi rujukan oleh para sejawat dapat dilihat pada Tabel 1, yaitu nyeri abdomen menahun 34,3%, nyeri abdomen mendadak 9,9%, muntah-muntah 5,7% dan panas 5,9%. Tabel 2 menunjukkan bahwa ikterus, hepatomegali, hepatosplenomegali dan hepatitis merupakan keluhan utama gangguan sistim hepatobilier untuk rujukan pemeriksaan USG. Lokalisasi nyeri sangat penting pada penderita dengan keluhan nyeri abdomen. Lokalisasi yang sering ditemukan path nyeri abdomen menahun dan berulang adalah di daerah periumbilikal (28,8%) dan epigastrium (23,7%), (Tabel 3). Sedangkan nyeri epigastrium (30,8%), nyeri abdomen kanan atas (43,6%) dan kanan bawah (23,1%) merupakan keluhan yang tersering dijumpai pada nyeri abdomen akut, tetapi tidak termasuk kasus dengan dugaan Demam Berdarah Dengue (Tabel 4). Hasil yang ditemukan dengan USG pada 156 kasus nyeri abdomen menahun adalah terbanyak tanpa kelainan organ (81,4%), dan hanya sebagian kecil yang dijumpai kelainan yaitu peritonitis TBC 2 anak, abses hepar 2 anak, abses limpa 1 anak dan keganasan 3 anak. Tujuh bayi yang berumur kurang dari 3 bulan dengan ikterus pada pemeriksaan USG terbanyak menunjukkan hepatitis neonatal 10 kasus (58,8%), juga ditemukan 2 kasus at esia biliaris dan 2 kasus kista duktus khioledokhus. Pada penderita dengan ikterus, pemeriksaan USG dijumpai beberapa kelainan, seperti: hepatitis 32 kasus, kelainan saluran empedu (kista duktus kholedokhus) 3 kasus dan penyakit hati kronik 13 kasus. Pemeriksaan USG pada anak-anak dengan hepatomegali

Tabel 1.

Distribusi Keluhan Non-Spesifik untuk Pemeriksaan USG Abdomen n

%

Nyeri abdomen menahun Nyeri abdomen mendadak Demam + nyeri epigastrium* Muntah-muntah Demam Massa abdomen Trauma Perut membuncit Pertumbuhan terlambat Efusi pleura Diafragma letak tinggi Metastasis Follow-up Lain-lain

156 45 97 26 27 17 11 10 4 3 3 6 18 32

34,3 9,9 21,3 5,7 5,9 3,7 2,4 2,2 0,9 0,7 0,7 1,3 4,0 7,0

Total

455

100,0

* Demam Berdarah Dengue

label 2.

Distribusi Keluhan Sistem Hepatobilier untuk Pemeriksaan USG

Ikterus Hepatomegali Hepatosplenomegali Hepatitis Nyeri perut kanan atas Abses hati Sirosis hati Hematemesis Hipertensi portal Gangguan fungsi hati Trauma Follow-up Total Tabel 3.

%

26 21 17 11 6 6 5 4 4 4 2 6

23,2 18,8 15,2 9,8 5,3 5,3 4,5 3,6 3,6 3,6 1,8 5,3

112

100,0

Lokalisasi Nyeri Perut Menahun dan Berulang

Sekitar pusar

Epigastrium Kanan atas Kiri atas Kanan bawah Tengah kiri-kanan Kiri bawah Tengah bawah Pindah-pindah Jumlah

n

n

%

45 37 26 8 7 5 5 6 17

28,8 23,7 16,7 5,2 4,5 3,2 3,2 3,8 10,9

156

100

terutama dengan pembesaran difus lobus kanan memberikan gambaran nonspesifik misalnya infeksi akut atau penyakit sistemik, proses infiltratif yaitu 2 kasus hepatoselular karsinoma dan 1 metastasis dan kelainan metabolik 1 kasus. Keadaankeadaan lain yang ditemukan adalah lesi fokal hati seperti abses (6 kasus), trauma (2 kasus), dan hemangioma (2 kasus). Keluhan utama kelainan saluran eerna dengan tanda-tanda obstruksi, pada 7 anak merupakan kelainan yang paling sering

Tabel 4.

Lokalisasi Nyeri Perut Mendadak n

%

Epigastrium* Kanan atas Kanan bawah Sekitar pusar Difus

14 17 7 2 5

31,1 37,8 15,6 4,4 11,1

Jumlah

45

100

* tidak termasuk Dent= Berdarah Dengue

ditemukan pada gangguan saluran cerna dengan keluhan muntah-muntah dan hematoschezia, 6 anak memberikan gambaran khas "kokade" patologik untuk invaginasi dan dikonfirmasi dengan tindakan bedah dan endoskopi diagnostik maupun terapeutik. Pada 17 bayi dengan dugaan hipertrofi pilorus hanya 3 kasus yang memenuhi kriteria dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan barium per-os maupun tindakan bedah. Pemeriksaan USG pada 7 anak dengan muntah-muntah, sakit perut dan perut membuncit, menunjukkan ileus obstruksi tinggi path 3 anak dan paralitik path 4 anak. Telah dilakukan tindakan aspirasi untuk diagnosa dan terapeutik pada 3 kasus abses hati (1 piojenik dan 2 amubik). Satu abses limpa ternyata adalah piojenik dan dilanjutkan tindakan bedah. Path 3 kasus asites telah dilakukan aspirasi diagnostik, ternyata sesuai dengan proses spesifik. PEMBAHASAN Nyeri abdomen khronis merupakan keluhan utama (13%) dari anak-anak yang dirujuk untuk pemeriksaan USG. Di Inggris dan Amerika Serikat 10-15% anak-anak sekolah mempunyai keluhan nyeri abdomen menahun( 1). Para klinisi umumnya berpendapat bahwa keluhan nyeri abdomen menahun merupakan kelainan yang serius dan harus dievaluasi dengan berbagai pemeriksaan; termasuk pemeriksaan radiologik dengan barium enema, barium per os dan pielografi intravena. Pada 15 tahun terakhir pemeriksaan USG banyak dipakai oleh para klinisi sebagai pengganti pemeriksaan peng-ion radiasi karena sifatnya yang non-invasif(2,5). Teele (1991) tidak mendukung pemakaian USG dalam anti untuk menemukan suatu kelainan organik, akan tetapi sangat berarti dalam hal menyingkirkan tidak adanya kelainan organik sebagai penyebab dari keluhan nyeri abdomen khronis. Dokumentasi tidak adanya massa dalam perut, hidronefrosis dan batu empedu akan menghilangkan keeemasan orang tua(') . Sesuai dengan pendapat John Apley (1982), kami menemukan bahwa nyeri yang makin dekat ke umbilikus, makin kurang menunjukkan kelainan patologik('). Kami hanya menemukan peritonitis TBC yang merupakan komplikasi dari TBC paru yang prevalensinya eukup tinggi di Indonesia8). Menurut Berhman berbagai penyebab dari nyeri abdomen menahun dan berulang termasuk kelainan pada hepatobilier, traktus urinarius, ginekologik( 9), pada penelitian kami ketiga kelompok tersebut kami keluarkan dari kelompok penelitian, sehingga memberi kesan bahwa pada penderita dengan keluhan-keluhan nyeri abdomen menahun dan berulang pemeriksaan USG dirasakan Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

97

kurang dapat menemukan kelainan organik yang merupakan keluhan nyeri tersebut (8,3%). Nyeri abdomen akut merupakan keadaan gawat darurat yang disebabkan oleh kelainan usus seperti obstruksi' 2.3 ) atau radang" ditemukan sebanyak 15,4% pada kasus kami. Juga ditemukan 2 kasus dengan gejala peritonitis TB, 2 kasus dengan gambaran yang mengarah Demam Berdarah Dengue( 11•12) dan 2 kasus pankreatitis. Merupakan suatu hal yang sulit untuk membedakan atresia biliaris dengan hepatitis neonatal. Abramson dick (1982) membuktikan bahwa pada keadaan ini USG sangat penting sebagai pemeriksaan pendahuluan dan memberikan hasil yang sama balk dengan radionukleiktl ' l . Kami menemukan 2 kasus dengan diagnosa banding atresia biliaris yang setelah di follow-up terlihat pengisian kandung empedu yang normal menandakan saluran extrahepatik yang paten.

KESIMPULAN Ultrasonografi dapat digunakan untuk pemeriksaan awal dalam hal screening, guiding, mapping yang bersifat tidak invasif dan t npa radiasi; di samping biayanya relatif dapat terjangkau. Ultrasonografi dipakai sebagai skrining pada nyeri perut akut/menahun-berulang, untuk menemukan massa dalam abdomen, kelainan-kelainan pada sistim saluran pencernaan dan hepatobil ier. Mengesankan USG bermanfaat untuk membantu tindakan intervensi balk untuk diagnostik atau terapeutik.

98

Ccrmin Duniu Kedoklcran Edisi Khusus No. 8/, 1992

KEPUSTAKAAN 1. Apley J. One child. In: Apley J, Ounsted C (eds): One Child (Clinics in Developmental Medicine Sed., Vol. 80). Philadelphia,JB Lippincott, 1982; 23-47. 2. Swischuk LE, Hadyen CK, Boulden T. Intussusception: indications for ultrasonography and an explaination of the doughnut and pseudokidney signs. Pediatr Radiol 1985; 15: 338-391. 3. Alzen A, Funke G, Truong S. Pitfalls in the diagnosis of intussusception. J Clin Ultrasound 1989; 17: 481-488. 4. Henschke CI, Teele RL. Cholelithiasis in children: recent observations. J Ultrasound Med 1983; 2: 481-484. 5. Yip WCL, Wong ML, Tay JSH, Wong HB. Infantile hypertrophic pyloric stenosis: evaluation of sonographic criteria. J Singapore Paediatr Soc. 1989;31:111-1154. 6. Stunden RJ, LeQuesne GW, Little KET. The improved ultrasound diagnosis of hypertrophic pyloric stenosis. Pediatr Radiol 1986; 16: 200—205. 7. Teele RL, Share JC. Recurrent abdominal pain. In Ultrasound of infants and children. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991: 343-345. 8. Melani Setiawan, D. Sugianti. Sonographic appearance of peritoneal tuberculosis (A preliminary report). The second World Congress of Ultrasound in Developing Countries. Kuala Lumpur, Malaysia, November 23—26, 1989. 9. Berman S, Ocampo PS. Gastrointestinal disease. In: Berman A, (ed). Pediatric Decision Making. Philadelphia: BC Decker Inc. 1991; 2: 307-356. 10. Skaane P, Amland PF, Nordshus T, Solheim K. Ultrasonography in patients with suspected acute appendicitis: a prospective study. Br J Radio] 1990; 63: 787-793. 11. Sugianto D, Melani Setiawan. Akut abdomen pada penderita Demam Berdarah Dengue: peranan sonografi. Pros Penemuan Ilmiah Berkala V Kursus Intensif Ultrasonografi. Bandung 19—24 Februari 1991: 297. 12. Melani W. Setiawan, D. Sugianto, Wulur II, Tatang K. Samsi. Ultrasound in fluid collections: the value in the management of Dengue Hemorrhagic Fever. Seoul, Korea, August 30—September 3, 1992. 13. Abramson SJ, Treves S, Teele RL. The infant with possible biliary atresia: evaluation by ultrasound and nuclear medicine. Pediatr Radiol 1982; 12: 1-5.

Echo Encephalography of Newborn Infants Willem Baerts, MD Department of Pediatrics and Neonatology Sophia Hospital, Zwolle, The Netherlands

HISTORY Ultrasound has been used for the diagnosis of intracranial disease sinee 1955 when Leksell, a Swedish neurosurgeon, first published the results of a study in trauma patients". Onedimensional pulsed ultrasound, later ealled A-mode enehoencephalography, was used to deteet displaeements of the cerebral midline eeho whieh suggested unilateral intracranial lesions, partieularly subdural hemorrhages. The first useful two-dimensional images were reported as early as 1956 by Kikuehi and eo-workers from Japan( 2 ). The quality of these bistable pictures was rather poor as compared to present day pictures. When applied to infants and young ehildren, this so-called B-mode-encephalography produced detailed and reliable views of the midline structures and the ventrieles and other fluid containing cavities, such as porencephalies and subdural effusions. Developments in scanning technique (compounding) and in transducer technology (focussing and high scanning frequeneies), improvements in signal processing (time gain controlled amplification), and the display of the images (gray scale) greatly improved image quality in the late 60's and early 70's. In 1975 Kossoff from Australia published the first "Atlas of the Normal Brain of Infants" "). This atlas was followed by many reports on the diagnosis of eerebral anomalies and lesions in ehildren. The problems of the the large size of the equipment and of motion artifacts were overcome by the development in the late 4970's of mechanical and electronic transducers, digital scan convertors with electronic image memories, and video displays which could produee up to 60 frames per second. Miniaturisation of these components enabled small transportable ultrasound equipment, which was highly useful for bedside studies. The first results of a study in sick preterm infants were published in 1979 by Pape and co-workers in London o). Ultra-

sound scanners have sinee become important tools in the management of siek newborn infants in general and in the diagnosis of cerebral, cardiac, and abdominal disease in particular. INDICATIONS FOR ECHO-ENCEPHALOGRAPHY IN THE NEWBORN INFANT Indications for eonducting eranial ultrasound studies in newborn infants vary according to the gestational age of the baby. Routine examinations are generally not indieated in term infants. Indications for echo-encephalography in the term newborn include perinatal asphyxia, neurologie signs or symptoms, abnormal head size or growth, externally visible malformations of the eentral nervous system, and other syndromal anomalies. In view of the very high incidence of cerebral lesions, every very preterm and very low birthweight infant should be examined routinely at least 3 times: at age 3, 7, and 21 days. In ease of abnormal findings the examination may have to be repeated more frequently, depending on the type of lesion. In addition to the routine studies, seanning may be indieated in case of sudden elinical deterioration, abnormal head growth, rapid drop in hcnnatocrit, and in septicemia and other generalised infections (Table I). PRACTICAL EXECUTION OF ECHO-ENCEPHALOGRAPHY IN THE NEWBORN Neonatal echo-eneephalography is generally eondueted through the anterior fontanel using a mechanical or eleetronic sector scanner. The optimal scanning frequeney is 7.5-10.0 MHz in preterm infants and 5.0-7.5 MHz in term infants. Two sets of planes are scanned, one coronal set -parallel to the face- fanning from frontal to occipital and one sagittal set -perpendicular to the

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

99

Table I. Indications, timing and findings in neonatal echo-encephalography Indication

Timing

Findings

Asphyxia Traumatic delivery

Day 1, 3, 7 Day 1, 3, 7

Abnormal head-shape Abnormal head-size Congenital malformations

Day 3 - 7 Day 3 - 7 Day 3 - 7

Convulsion

After incident (+follow-up)

Preterm birth

Septicemia

Day 3, 7, 21 or more often (+follow-up) Day 3, 7, 21

Neuro-surgery

Pre- and post-op

Edema Edema hemorrhages Usually normal Usually normal Usually normal Structural anomaly Hydrocephalus Usually normal Edema Hemorrhage Meningitis Structural anomaly Hemorrhages Ischemic lesions Hydrocephalus Ventriculitis Hydrocephalus Various lesions

faee- fanning from temporal to temporal (Table II). Most of the cranial contents may be easily visualised. In the eoronal planes eare must be taken to keep the image symmetrie. In the parasagittal planes one cut should include a view of the entire lateral ventricle. Table II. Transducer position and field of vision in echo-encephalography Position

Fontanel Temporal

Field of vision

Coronal planes – Sagittal planes – Axial planes –

Frontal <-> occipital Parietal <-> parietal Frontal <-> occipital

Points of interest are the morphologie anatomy, the size and shape of the ventrieular system, the parenchyma, and the arterial pulsations. The bone, dura, fissures, ehoroid plexi, and cerebellum show high eehodensity. Ventricles, eisterns and other cerebrospinal fluid containing cavities, and the eorpus eallosum show low or no eehodensity. The cerebral parenehyma has intermediate echogenieity with loealized differences in density. The peripheral areas and the posterior fossa may be diffieult to evaluate reliably in some infants with small fontanels. In the eoronal views the brain structures should be symmetric and the anterior and inferior horns of the lateral ventrieles should be crescent-shaped. Ventricular asymmetry may be the result of the position of the head of the infant, the upper ventriele being the larger. The size of the anterior horns may be expressed as an absolute value, or as an index of their width and the width of the hemisphere at the level of Monro ' s foramina. Normal index values are 0.30 – 0.35 in preterm newborns and 0.25 — 0.30 in term newborns. The size of the occipital horns may be similarly indexed at the point of their maximal width. During real-time scanning arterial pulsations ean be identi-

100

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

tied at the base of the brain, in the Sylvian and inter-hemispherie fissures, and in the choroid plexi. Representative hardcopies may be taken on polaroid film or on video imager or the entire study may be recorded on videotape for later viewing. Normal images In the normal ultrasound images of the newborn brain the echo-dense bone, dura, fissures, choroid plexi, and eerebellum, and the echo-free ventricles, cisterns and other cerebrospinal fluid containing cavities, and the eorpus callosum are easily recognised. In addition, the echo-free cavum of the septum pellucidum may be a prominent feature in the preterm infant. The parenchyma shows variable echogenicity and the thalamus can be easily distinguished. In the coronal views the anterior horns of the lateral ventricles are creseent-shaped. The preterm brain usually results in the more detailed pietures. The preterm brain is more easily visualised because of the larger fontanellae and the shorter distances enable the use of high-resolution transdueers. In addition, the aspect of the brain parenchyma is relatively regular and the gyri and sulei are not very pronounced. In the immature infant there may be a physiologie lissencephaly, i.e. absence of gyri. The ultrasound images of the term brain, at the other hand, show relatively irregular parenehyma and a large number of gyri and sulei. Congenital malformations and structural disorders Many malformations and disorders of the brain have been identified using echo-eneephalography. Congenital eerebral malformations mainly present as struetural anomalies, i.e. as anomalies of size and/or shape, or as assymmetries. In a few eases the diseovery of abnormal eerebral structures is a chance finding, during routine seanning or seanning for some unrelated indication. In many patients, however, additional congenital mal formations or elinical signs will be the indication for echo-encephalography. Neural tube anomalies are disorders of early cerebral organogenesis. They may be divided in disorders of ventral induction (holoprosencephaly, teleprosencephaly) and disorders of dorsal induction (anencephaly, encephalocele, meningo-myelocele, eneephalocele). Holoprosencephaly may be part of the syndromal anomalies assoeiated with ehromosome disorders, partieularly trisomy 13-15. There is partial or total absence of the interhemispherie fissure and there appears to be one eentral ventrieular eavity. Developmental outeome of these ehildren is always abnormal. Eneephalocele and meningomyeloeele will usually present with the typieal external anomalies of the cranium and/or spinal eolumn and the dorsal integument. In encephalocele midline eystic lesion may be seen anywhere in the frontal to oecipital eerebral areas, with varying degrees of cranial bony defects and external protrusion. Meningomyelocele is associated in many eases with one of the Arnold-Chiari malformations, leading to hydroeephalus. In those infants liquor outflow is' obstructed resulting in widely dilated lateral ventricles and a wide third

ventricle. The lateral ventrieles may have a typieal blunted outline and abnormal gyration may be present, usually polymierogyria. Developmental outcome may be normal. Agenesis of the eorpus eallosum is a relatively common struetural anomaly, possibly also related to abnormal neural tube development. This anomaly may be isolated or associated with other syndromal anomalies and may be complete or partial. In the classical agenesis, the third and lateral ventricles show a typical bull's head contour. The corpus callosum and septum pellucidum are absent and there is a large third ventricle with a radiating pattern of paraventricular gyri and sulci. The lateral ventricle shows abnormal frontal and occipital dilatations. In some cases there is massive ventricular dilatation as a result of separation of the eerebral hemispheres. Disorders of neuronal proliferation, migration, and organization are rare diseases that are best deteeted using MRI seanning. Polymierogyria and lissencephaly are disorders of migration that can be diagnosed with ultrasound. Polymicrogyria may be an isolated finding but is often associated with meningomyelocele. In case of lissencephaly gyri and sulci are absent, only Sylvian and inter-hemispherie fissures are present. The outlines of the Sylvian fissures and the lateral ventrieles are abnormal. Abnormal brain growth and differentiation may be generalized as in some cases of abnormal neuronal proliferation and organization, or localized. Cerebellar hypoplasia may be found in trisomy 13-15, but may also be an isolated finding. The cerebellum has a normal shape but is too small both in the coronal and sagittal views. Congenital hydrocephalus Congenital/prenatal ventricular dilatation may be asymmetrie or symmetric and relatively mild or extreme. It is very often secondary to some other cerebral anomaly and will often be discovered during scanning for additional congenital malformations or elinieal signs. Common eauses of eongenital hydrocephalus include Arnold-Chiari malformation, Dandy-Walker anomaly, congenital infections, congenital intracranial hemorrhage, and aquaductal stenosis. Arnold-Chiari malformation often coexists with meningomyelocele and is associated with hydrocephalus in the majority of eases. Abnormal development of the cerebellum and brain stem may lead to an obstruction of liquor outflow from the fourth ventricle, resulting in tri- or quadri-ventricular hydrocephalus. In the Dandy Walker anomaly abnormal development of the eerebellum (e.g. absence of the vermis) and of the fourth ventricle may result in a eystically dilated fourth ventricle which protrudes between the separated cerebellar hemispheres, and which impedes liquor outflow from the third ventricle and aquaduct. Congenital cystic lesions A variety of intracranial eongenital cystie lesions may be identified in seanning newborn infants. They may be unilateral and bilateral, small and isolated, or extensive and multiple. The origin of these lesions is not always clear. Some may be develop-

mental deviations, some may be caused by in-utero eerebrovaseular aecidents, and some may be the result of hemorrhages or infections. Araehnoidea cysts may grow to impressive sizes and may cause considerable deformation of the cerebrum, including hydrocephalus. These eysts pose an important problem to the neuro-surgeon: the surgical treatment is teehnieally difficult and the results are not always as expeeted. Cysts of the ehoroid plexus are an occasional finding, sometimes even prenatally. Being eollections of eerebrospinal fluid, they present as round echolucent structures in the choroid plexus. Large eysts may someti mes cause ventricular assymmetry. Cystic dilatations of the frontal horns of the lateral ventricles can be demonstrated in 24% of all preterm infants, they may be unilateral or bilateral. Some authors eonsider these eysts to be the remnants of early subependymal hemorrhages, others suspect an infectious origin. Hydraneneephaly and schizencephaly are most probably eaused by vaseular anomalies or cerebro-vascular accidents in early gestation. The result may be more or less extensive destruction of eerebral tissue in various areas of the brain. In elassical schizeneephaly a poreneephalic eanal is seen, eonnecting the ventrieular cavity with the subarachnoid space. In multieystie eneephalopathy there are multiple eystie lesions symmetrieally distributed in both eerebral hemispheres. This rare anomaly most eommonly occurs in twin pregnancies where the sibling has died in utero. Intravascular coagulation, due to eirculating thromboplastic substanees, or shock have been proposed as causative factors. Vascular anomalies, i.e. arteriovenous malformations, may impress as cystie lesions. The classical malformation results in a dilatation of the central vein of Galenus and is centrally located. Arteriovenous malformations may also be seen in other areas, particularly in the posterior fossa. A proper diagnosis can only be made with Doppler ultrasound and/or cerebral arteriography. Congenital infections A number of miero-organisms may infect the fetus transplacentally. The best-known organisms are the rubella and cytomegalo virusses and toxoplasma gondii. Except for rubella, these infections usually cause only mild flu-like symptoms in the mother. Although all fetal organs may be involved, there appears to be a preferential involvement of the liver and the central nervous system where both vascular endothelial and parenchymal tissues may be damaged. In the central nervous system ventricular dilatation and paraventricular calcifications are the most prominent findings. Congenital neoplasms Congenital neoplasms are relatively rare. Depending on the type and loealization they may show asymmetry, cyst formation, ventricular dilatation, hemorrhage or calcification, thus enabling detection by echo-encephalography. Neonatal intracranial hemorrhages Hemorrhagic and hypoxic-ischemic cerebral lesions mainly Cermin Dunia Kedotieran Edisi Kh sus No. 81,1992

101

manifest abnormal echodensity. Intracranial hemorrhages present as eehodense colleetions in various localizations. They may be subdivided in subarachnoid, subdural, intraventricular, and parenchymal hemorrhages. Subarachnoid hemorrhages are extremely eommon both in the preterm and term infant. Various amount of blood may eollect in the subarachnoid space and in the eerebral sulei and fissures. Small subarachnoid hemorrhages may not be detected with echo-encephalography. In some eases, however, there is increased echogenicity of sulci. Large subarachnoid hemorrhages ean be easily recognized in the peripheral spaee or in fissures and sulei. Localized subcortical hemorrhages are an oceasional finding in preterm or term infants. These hemorrhages usually resolve in 2 to 3 weeks, leaving no trace. So-called primary parenchymal hemorrhages may involve large areas of the brain and are particularly seen in ease of eoagulation disorders. Large subdural haemorrhages may be found in both preterm and term infants. They are generally the result of traumatie delivery and may be very extensive. These hemorrhages usually originate from ruptured intracranial venous sinusses or anehor veins. Intraventrieular hemorrhages most commonly occur in preterm infants. At gestational ages less than 34 weeks intraventrieular hemorrhages are usually part of the periventricular-intraventrieular hemorrhage complex, hemorrhages that originate in the germinal matrix and that have variable intraventricular and/ or parenehymal extension. Periventricular and intraventricular hemorrhages are among the most important problems of perinatal special care. The ineidenee of these hemorrhages is highest in the youngest and smallest infants. The most important etiologic factors appear to be immaturity of the eapillary structure in the germinal matrix, and uneontrolled fluetuations of cerebral blood flow due to immature or impaired autoregulation of cerebral circulation. These periventrieular and intraventrieular hemorrhages are usually elassified aeeording to their extension (Papile).Grade I hemorrhages are localized in the germinal matrix only; ingrade II hemorrhages a "mall amount of intraventricular blood is seen, in gradeIII hemorrhages a large amount of blood is distending the ventriele, and in grade IV hemorrhages extension into the brain parenchyma outside the matrix has occurred. Extension of these hemorrhages occurs in a high percentage of cases. Subependymal cysts, ventrieular dilatation, and neerotie porencephaly are important short-term eomplications of periventrieular-intraventricular hemorrhages. Ventricular dilatation will develop in about one half of patients with intraventricular hemorrhage. Half of the post-hemorrhagie dilatations are transient and less than one quarter progressive. Hemorrhagic parenchymal involvement, as in grade IV hemorrhages, will lead to necrotie porencephaly. Since parenchymal hemorrhages are generally accompanied by some degree of intraventricular hemorrhage, ventricular dilatation may be present simultaneously. Intraventricular hemorrhages are relatively uncommon in infants born at gestational ages over 34 weeks, as mentioned earlier. They usually arise in the choroid plexus and may result in varying degrees of ventricular dilatation. 10 2

Cermin Dania Kedokteran Edisi Kh iw s No. 81.1992

Neonatal cerebral ischemic lesions Hypoxie-isehemic cerebral injury, eaused by respiratory and circulatory failure, is the most frequent eause of severe neurologic deficits originating in the perinatal period. Immature or impaired autoregulation of the cerebral circulation in the sick newborn lead to an increased suseeptibility of the brain to hypoxic-ischemic injury. Cerebral hypoxemia-isehemia may particularly arise in perinatal asphyxia, in severe respiratory distress, and in septicemia. The metabolically most active brain areas, i.e. the hippocampus and the basal ganglia, are the areas most easily and severely damaged in ease of hypoxemia. The brain areas situated in watershed zones of cerebral arterial perfusion, i.e. the paraventricular white matter, are most severely affeeted in ease of shock and ischemia. In the many such patients both conditions co-exist. Generalised eerebral hypoxia-ischemia may be followed by varying degrees of brain edema in the term infant, and by paraventricular flaring in the preterm infant. Cerebral infaretions show inereased echogenicity. Secondary cystic resolution may oceur in the infareted areas. Parasagittal eerebral infaretion is a typical manifestation of ischemic damage of eerebral cortex and subcortical white matter in the term infant, located in the watershed zones between the anterior and middle cerebral arteries and between the middle and posterior cerebral arteries. Atrophic ventricular dilatation and broadening of the interhemispheric fissure and the eortical sulei are the end stage of these neonatal hypoxie-ischemic cerebral injuries. Periventricular leucomalaeia may oeeur after inadequate eerebral perfusion in the preterm infant. The causative mechanisms are similar to those of parasagittal cerebral infarction. The areas of involvement are characteristically loeated in the white matter adjacent to the external angles of the lateral ventricles. The ineidence of periventricular leucomalacia is reported to be very high in surviving very preterm ehildren, possibly as high as 50%. Mild lesions are followed by subependymal thinning of the white matter and mild dilatation of the lateral ventrieles. Severe lesions result in periventrieular eystic cavitation. Again, cerebral atrophy with broad peripheral spaees and ventricular dilatation is the end-stage. Localised infaretions of different origin and/or different loealisation may be rarely eneountered. Neonatal cerebral bacterial infections The newborn infant is highly suseeptible to infections, due to immature immune responses. Infections may be transferred prenatally from an infected mother or, in case of early rupture of membranes, aseend from the lower genital tract. Postnatal infections most commonly arise from an infeeted umbilieal area or from the gastrointestinal, respiratory, urinary tract. Invasive neonatal treatment and the use of antibiotics may be other causes of infection. Finally, some infections may be transferred from personel to patient or from patient to patient. More or less severe bacterial infections may be found in up to 20% of infants admitted for neonatal special eare. Cerebral involvement occurs in 25 to 50% of cases, mostly following

hematogeneous dissemination. The most important baeterial pathogens are: B hemolytic Streptoeoccus, various gram negative bacteria, Staphylocoecus aureus, and Staphylococcus epidermidis. Cerebral infeetions inelude meningitis, ventriculitis, and eneephalitis. Hydrocephalus, brain abscesses, and subdural effusions may be seeondary complications. The ultrasound diagnosis of bacterial meningitis is not easy, at least not in mild eases. Inereased echogenieity of the arachnoid space and of the sulci may be seen in the more severe cases. With proper antibiotie treatment these echogenicities will disappear in 1 to 2 weeks. In a few cases meningitis will evolve into a subdural empyema or effusion. Due to the peripheral localisation of these complications, they are not easily detected with ultrasound. In early ventriculitis, an increased echogenicity of the choroid plexuses and a mild ventrieular dilatation may be noted. This stage is followed by an increased dilatation and the presence in the ventricular cavities of purulent debris or fibrin strands. Progressive hydrocephalus may develop after a few days, as a result of the high protein content of the intraventricular eerebrospinal fluid and/or obstruction of the aquaduct. Treatment usually eonsists of neurosurgical drainage and intraventricular instillation of antibioties. The ultrasound image of early (bacterial) encephalitis is best characterised by its similarity to severe brain edema with absent

anatomical landmarks. In eontrast with brain edema, however, early encephalitis is usually localised in cireumscript areas. These areas may later beeome confluent or evolve into brain abseesses. The prognosis of baeterial eneephalitis is extremely poor. Most infants suffering from bacterial encephalitis will not survive, those who survive will usually be severely handieapped. REFERENCES 1. Lek sell L. Echo-encephalography. I. Detection of intracranial complications following head injury. Acta Chir Scand 1955/56; 115: 301-315. 2. Kikuchi Y, Uchida R, Tanaka K, Wagai T, Hayashi S. Early cancer diagnosis through ultrasonics. J Acoust Soc Am 1957; 29: 824-833. 3. Kossiff G, Garrett WI, Radovanovich G. Ultrasonic atlas of normal brain of infant. Ultrasound Med Biol 1974; 1: 259-266. 4. Pape KE, Cusick G, Ilouang MTW, et al. Ultrasound detection of brain damage in preterm infants. Lancet 1979; I: 1261-1264. 5. Papile LA, Burstein J, Burstein R, Koffler H. Incidence and evolution of subependymal and intraventricular hemorrhage: a study of infants with birth weights less than 1,500 gm. J Pediatr 1978; 92: 529-534. FURTHER READING -

Levene MI, Williams JL, Fawcr C-L. Ultrasound of the infant brain. Clinics in Developmental Medicine No 92, Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1985. Baerts W. Neonatal brain lesions, ultrasound diagnosis. Zwolle: Sophia HHospital. 1991.

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

I 11 3

USG examination of the hepatobiliary system Mei-Hwei Chang, MD. Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT

Ultrasonographie examination is a non-invasive image study method. It brings no pain and no irradiation, and is eonvinient (available at bedside), thus is very suitable for pediatric patients. The bottle neck of many examinations in pediatric patients is the small structures. The improvement of the resolution of ultrasound machines overeomes this difficulty. Ultrasonographie examination is a sensitive and specific method for the diagnosis of hepatobiliary diseases. It can be repeatedly used for follow-up studies. I.

Biliary diseases Congenital dilatation of the biliary tree (including choledochal cy. ) and eongenital extrahepatie biliary atresia are the two most common biliary diseases in pediatrie patients. The former is easily detected by ultrasonography while the latter is more difficult. Dilatation of the biliary tree, either infra- or extrahepatic can be detected by ultrasonography. We have set up the normal data of the diameter of biliary tree and protal vein in infants and children of various ages. In the normal ehildren, the main bile duct to portal vein ratio was below 0.65. While the ratio of the bile duct to portal vein exceed 1, the bile duct is dilated (shotgun sign). Congenital extrahepatic biliary atresia should be operated as early as possible. It is mandatory to diferentiate biliary atresia accurately from neonatal hepatitis or other cholestatic diseases which do not require surgery. To elearly clam the absence of extrahepatic biliary tree is not easy because the atretic gallbladder and cord-like remnant of extrahepatic bile duct are often demonstrated during operation. Careful observation of the change of gallbadder volume in fasting state (fasting for more than 6 hours) and after milk intake is helpful in differentiating biliary atresia from neonatal hepatitis. The dilatation of proximal extrahepatic or intrahepatic bile ducts, or absence of main bile duct are signs favor biliary atresia. However, ultrasonographic examination should not be used as the single method for the differential diagnosis of billiary atreisa and neonatal hepatitis. Other sensitive method such as liver histology and duodenal juice analysis should also be performed to make a more accurate diagnosis. II. Liver Space-occupying Lesions Space occupying lesions in the liver can be abscess, cyst, hematoma, benign or 104

S era:in Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992

malignant tumors. Ultrasonography is an useful cool to help differentiating between those lesions. Eehogenic mass favors solid tumor while echolucent mass favors cystie lesions. Careful observation of the echo patterns and vascular supply ean understand the nature of the mass. The extent of the tumor also could be observed aeeurately by ultrasonography. Sonoguided biopsy or aspiration is safer and could more accurately obtain the target tissues than blind proeedures. III. Doppler Ultrasonography Duplex doppler ultrasonography is very useful in evaluating the blood flow in portal hypertension and vaseular supply and ocelusion in liver diseases and tumors. Color doppler is especially convinient in evaluating vaseular problems in hepatobiliary diseases.

Cerrnin Dw+ia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

105

Indikasi USG ginekologi pada anak S. Indra Wiradharma Unit Ultrasonografi Bagian Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Pemeriksaan ultrasonografi saat ini dipandang sebagai metode pemeriksaan yang sederhana, tidak menimbulkan rasa nyeri dan bebas dari bahaya radiasi. Ultrasonografi pelvik terutama membantu sekali bagi penderita anak/gadis dimana pemeriksaan bimanual pelvik sulit bahkan tidak mungkin dilaksanakan. Penyakit yang didertia anak-anak berbeda dengan yang dijumpai pada orang dewasa, dengan demikian kelainan yang tampak pada pemeriksaan ultrasonografi juga berbeda. PERSIAPAN A) Persiapan dikerjakan dengan kandung keneing yang terisi penuh yang berguna : 1. Mendesak massa usus keluar dari rongga pelvis. 2. Kandung kencing berfungsi sebagai jensela akustik. untuk membedakan macam-macam organ pelvis. 3. Kandung kencing berperan sebagai indeks densitas bagi pemeriksa. Bayi dan anak keeil dapat diberi air, susu atau sari buahbuahan, 1 – 3 jam sebelum pemeriksaan. B) Posisi pasien : Pemeriksaan umumnya dilakukan pada pasien dalam posisi telentang. C) Alat USG yang digunakan umumnya dari jenis real-time yang mempunyai kualitas resolusi yang eukup baik, bentuk lebih kompak dan ringan, serta eara pengoperasiannya lebih praktis. Pada umumnya digunakan transduser berfrekuensi 5 – 7.5 MHz untuk neonatus dan bayi, dan 5 – 3.5 NHz untuk anak dan remaja. INDIKASI I. Anomali/Interseks genitalia/disgenesis gonad' II. Amenorea 106

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Klucrus No. 81.1992

III. IV. V. VI.

Pubertas dini Tumor dalam rongga pelvis Sekret vagina Nyeri pelvis

I. ANOMALUINTERSEKS/DISGENESIS GONAD A. ANOMALI I. Uterus Bikornis Etiologi : Kegagalan untuk bersatu sebagian dari kedua duktus Muller. Sulit dideteksi pada bayi dan anak keeil biasanya didiagnose setelah menarehe. Pada pemeriksaan USG potongan transversal : uterus nampak lebih lebar daripada normal, permukaan binoduler. Kedua kornu dipisah oleh satu septum dengan rongga endometrium yang ekogenik, terutama dengan jelas nampak pada fase luteal dari siklus haid. Diagnosi dapat dikonfirmasi dengan histerosalpingografi. Dapat berkaitan dengan kelainan ginjal misalnya agenesis renalis, ektopia. Karena terdapat hubungan erat antara traktus urinarius yang primitif dengan duktus Muller. II. Hidrometrokolpos Dapat terjadi pada byi bila hormon estrogen merangsang kelenjar uterus untuk memproduksi mukoid yang mengakibatkan distensi uterus dan vagina. Hidrokolpos : Distensi dari vagina oleh timbunan mukoid. Hidrometrokolpos; distensi dari vagina dan uterus. Gambaran ultrasonografi : Massa kistik tubuler di garis tengah, terletak antara vesika urinaria dan rektum, dan mengandung internal eko disebabkan oleh timbunan debris sel-sel, bahan mukoid atau darah, proksomal dari tempat obstruksi. Etiologi : 1. Himen imperforatus

2. Septum transvera/atresia vagina 3. Stenosis vagina Foley Catheter dalam vagina dapat menentukan tebal dari septum vagina seeara ultrasonografi. Bila besar, hidrometrokolpos dapat mengadakan penekanan path urethra, mengakibatkan retensi urin atau bila menekan vesika urinaria/ureter dapat mengakibatkan hidronefrosis. Refluks dari sekret melalui tuba Fallopii dapat mengakibatkan peritonitis adhesiva. Hematokolpos dan Hematometrokolpos Banyak dijumpai pada menarche, ketika uterus dan vagina mengalami distensi oleh timbunan darah menstruasi dan sekret. Gejala : 1) Mula-mula asimtomatik kecuali menarche yang terlambat kemudian. 2) Nyeri perut bagian bawah setiap bulan. 3) Massa pelvis. 4) Gangguan miksi. Bila dijumpai atresia vagina sonografi dapat memberi keternagan tentang ada atau tidak adanya 1/3 bagian proksimal vagina, uterus dan ovarium, sebelum dilakukan pembedahan rekonstruksi. INTERSEKS pad Merupakan indikasi utama pemeriksaan sonografi neonatus. Diagnosis dini penting untuk menghindari gangguan psisikologik yang serius, I. Hermafrodit sejati Memiliki jaringan ovarium dan testis, kedua struktur dapat tergabung sebagai ovitestis atau ovaria dan testes yang terpisah pada masing sisi pelvis. Uterus dapat positif/negatif. II. Pseugohermafrodit 1) Pseudohermafrodit Wanita Memiliki kromosom wanit (46, XX); Didapatkan ovarium, tetapi dengan genitalia eksterna pria, termasuk klitoris yang membesar, labia yang menonjol dan bersatu, serta urethra yang panjang. Bila keadaan ini disebabkan oleh hiperplasia adrenal yang kongenital, maka uterus selalu positif, sedangkan uterus dapat negatif bila disebabkan : 1. Pemakaian androgen pada ibu yang hamil muda 2. Tumor yang menghasilkan androgen pada ibu yang hamil. 2) Pseudohermafrodit Pria Memiliki kromosom pria (46, XY) dengan genitalia eksterna wanita. Keadaan ini disebabkan : a. Androgen yang berkurang. b. Kekurangan enzim. c. Jaringan alat genital yang tidak peka terhadap androgen. Sonografi sulit dan biasanya gagal untuk melokalisir testis yang belum turun, kecuali bila mereka terletak dalam kanalis inguinalis atau dalam skrotum bagian alas. Tidak ditemukan uterus dan ovarium.

DISGENESIS GONAD Ditandai dengan ovarium yang rudimeter. Contoh yang terkenal " 1) Sidrom Turner Kariotipe 45. XO Gejala : Tubuh pendek, pterigium kolli ( Webbed neck), perkembangan seksual yang infantil dan amenorea. Perkembangan ovarium dapat terganggu, ovarium tidak memiliki folikel primer, sering berbentuk sebagai jaringan. Ikat putih seperti pita (streak ovary) yang volumenya < 1 em 3 hingga jarang terdeteksi pada pemeriksaan sonografi. Nampak uterus keeil dan bentuk prapubertas. 2) Sindrom Feminisasi Testikular Kariotipe pria yang normal 46. XY. Fenotipenya = wanita. Sering uterus tidak ditemukan, vagina negatif pendek dan menutup. Gejala : Anemorea, perkembangan payudara normal, rambut pubis dan aksila negatif/sedikit. Testes intraabdomen/inguinal. Kadar Testosteron mendekati normal, akan tetapi jaringan alat genital tidak peka terhadap endrogen tidak sensitive. Risiko : timbulnya disgerminome/gonadoblastoma perlu dilakukan gonadektomia. II. ANENOREA Belum menstruasi pada usia 16 tahun.. Etiologi : Gangguan pada peristiwa hormonal yang komplaks yang mengendalikan menstruasi atau kelainan struktur dari alat genitalia. Peranan ultrasonografi dalam problem klinis ini adalah diagnosa adanya gangguan pada alat genitalia. Anemorea Primer – himen impergoratus * Vagina --atresia vagina --stenosis vagina * Uterus – interseks agenesis --sindrom feminisasi testiluar * Ovarium – gonadal disgenesis --neoplasma Sindrom Mayer Rokitansky Hauser Amenorea oleh karena atresia vagina, disertai uterus yang kecil/negatif. Tuba Fallopii dan ovarium normal. Dapat disertai kelainan ginjal, tulang skelet. Kariotipe normal, eiri-ciri seksuil sekunder normal. Anemorea Sekunder I) Kehamilan Bila amenorea sekunder didapatkan pada remaja harus dipikirkan kemungkinan kehamilan. II) Sindroma ovarium polikistik (sindroma Stein Leventahl). Dijumpai pada usia 15 – 30 tahun. Gejala : obesitas, hirsutisme, haid yang tdiak teratur yang ti mbul pada masa perimenarche, hiperplasia endometrium. Gambaran sonografi : Ovarium membesar tiga kali dari ukuran normal, berbentuk bulat dan diterumakn folikel-folikel Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992

/0 7

yang imatur yang hampir homogen ukurannya pada bagian korteks ovarii, bilateral sering asimetris. III. PUBERTAS DINI Perkembangan dini dari ciri-ciri kelainan sekunder yang mendahului usia penderita. Pada gadis thelarche/adrenarche sebelum umur 8 tahun dan menstrukasi sebelum 9 tahun. A. Pubertas dini yang sejati Selalu isoseksual. Etiologi : Biasanya karena aktivitas proso hipotalamushipofise gonad yang terlalu dini, 80% idiopatik, 20% sebagai akibat dari kelainan sistem syarat pusat. Gambaran Sonografi Bentuk uterus dewasa. Perbandingan korpus uteri : servis =1 : 1 volume + ukuran ovarium seperti pada pasea pubertas. B. Pseudo Pubertas Dini Perkembangan ciri-eiri kelamin sekunder yang dini dengan uterus prapubertas. Etiologi : Abnormalitas yang bekerja di luar poros Hipotalam us-Hipofise-Gonad. 1) Tumor ovarium, misalnya Tumor sel granulosa; kadar estrogen tinggi, tetapi kadar gonadotropin rendah. 2) Tumor kelenjar supra renalis, mitalnya adenoma; gejala : Perdarahan pervaginam (Menstruasi tidak teratur), perkembangan payudara normal, rambut pubes positif. Gambaran sonografi : Tumor sel granuulosa : Masa kompleks besar, kista multipel cyste yang kecil dengan jaringan neoplastik yang ekogenie. * Kista Folikuer Fungsional kadang - kadang dapat mempunyai gejala pserudopubertas dini. Peranan ultrasonografi, adalah untuk menetapkan volume ovarium, ukuran uterus dan perbandingan panjang korpus: serviks uteri biasanya oleh karena Pubertus Dini. Pembesaran ovarium unilateral dengan uterus ukuran prapubertas karena Pseudopubertas Dini. IV. MASSA PELVIS Pemeriksaan terhadap massa pelvis, lebih balk dilakukan pemeriksaan ultrasonografi terlebih dahulu daripada pemeriksaan radiologi, untuk menyingkirkan kemungkinan kehamilan infra uterin, pada setiap gadis berusia lebih dari 10 tahun. Tumor primer dari vagina dan uterus jarang ditemukan pada anak. A. Tumor Vagina dan Uterus 1)

Kista Duktus Gartner

Lokasi : pada dinding anterolateral vagina setinggi serviks. Kista ini berasal dari sisa duktus mesonefros. Gambaran sonografi : Massa anekoik di dalam vagina dengan dinding kista yang terpisah dari vagina. Asimtomatik, ditemukan secara kebetulan. 2)

10 8

Sarkoma botrioides

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Kiiusus No. 81,1992

Tumor ganas yang paling sering dijumpai pada anak; timbul dari sisa sinus urogenitalis. Lokasi : vagina dinding anterior dekat serviks yang menyebar ke uterus. Gambaran sonografi : Massa padat besar heterogen di vagina, yang menyebar ke uterus. Gejala Klinik : Massa di pelvis. Sekret vagina yang mengandung darah, massa seperti polip menonjol dari vagina. B. Tumor ovarium 1) Kista non neoplastik (kista ovarium fungsional) * – Kista Corpus Luterum pada masa panca pubertas – Kista Theca Lutein Massa kistik pada neonatus hingga umur 2 tahun, umumnya berupa kista ovarium yang okisiologis sebagai akibat rangsangan estrogen ibu waktu janin dalam kandungan. Pada masa pubertas pengaruh hormon yang meningkat path ovarium dapat mengakibatkan kejadian kista ovarii fungsional yang meningkat pula. * Kista Folikuler Berdiameter 1 – 10 m(folikel normal berukuran maximum 2,5 cm); berasal dari folikel ovarium yang gagal mengalami involusi atau gagal meresorpsi cairan. Dapat multipel dan bilateral. Biasanya asimtomatik. Gambaran sonografi Massa anekoik dengan penikgatan intensitas gema di bagian distalnya. Unilokuler berdinding tipis, berbatas tegas. Bila mengalami ruptur didapatkan cairan bebas di Cavum Douglasi/ rongga peritoneum. Nyeri bila ruptur, torsi atau infark. Kista Folikel yang persisten dapat berkaitan dengan hiperplasia endometrium. Pembuluh darah dalam "teka interna" dari Kista Folikel dapat robek dan terjadi perdarahan spontan dan terbentuk Kista Hemoragis. Gambaran sonografi : sangat bervariasi tergantung pada keadaan darah dalam kista. Darah yang segar anekoik akan tetapi cepat menjadi ekogenik bila terjadi pembekuan. Kemudian menjadi hipoekoik bila bekuan darah mengalami fibrinolisis. Kista dapat terlihat anekoik - solid - kompleks, kadangkadang bersepta. Dapat nampak debris di dalamnya. Kista ovarii yang jinak maupun ganas dapat mengalami komplikasi perdarahan. DD./Teratoma, keganasan, torsi, abses tubo ovarial, K.E.T. abses appendik. 2) Kista Neoplastik Kista Dermoid (Teratoma Kistik yang jinak) merupakan tumor ovarium yang paling sering dijumpai pada anak berumur 5 - 17 tahun. Biasanya asimtomatik, kecuali bila besar. Nyeri bila terjadi perdarahan/torsi. Gambaran sonografi : Massa kompleks dengan daerah yang dominan kistik berisi carian dan daerah jaringan padat yang ekogenik terdiri dari lemak, rambut. gigi. Kalsifikasi/osifikasi dengan bayangan akustik. Kista ini memiliki septa yang multipel. Adanya osifikasi/gigi kadang-kadang dapat dilihat pada pe-

meriksaan rontgen yang memperkuat diagnosa. B. TUMOR OVARIUM YANG GANAS Jarang dijumpai pada anak; misalnya Teratoma maligna, disgerminoma. Gambaran sonografi Bervariasi dari yang hampir seluruhnya kistik hingga solid. Sonografi tidak spesidik bagi tumor ganas. Tetapi adanya asites atau invasi ke uterus oleh massa tumor mencurigakan keganasan. V. BSEKRET VAGINA Etiologi : Infeksi, korpus alienum, kadang-kadang tumor. Pemeriksaan Inspeksi atau digital vagina anak, sukar dilaksanakan atau tidak meyakinkan. Sekret vagina meningkat pada masa 6 - 12 bulan premenarche, kadang-kadang banyak hingga vagina mengalami dilatasi. Gambaran sonografi : Nampak vagina sebagai satu tabung yang anekoik. Korpus alienum : menyebabkan sekret vagina mengandung darah atau berbagu busuk. Gambaran sonografi Nampak eorpus alienum dengan echogenisitas bermacammacam. Diagnosa banding, Haematokolpos. Lekorea pada neonatus Etiologi : rangsangan hormonal ibu, terdiri dari cel bertatah yang superficial. Sekret yang mengadung darah pada bayi selama 3 minggu pasea persalinan biasanya karena withdrawal bleeding. Perdarahan setelah bayi usia 1 bulan --► biasanya karena infeksi, kadang-kadang tumor. VI. NYERI PELVIS I. Torsi Ovarium

Pada gadis premenarehe, adneksa yang hipermobil dan pembesaran ovarium dengan jumlah kista fungsional yang bertambah, memudahkan terjadinya torsi. Gejala : Nyeri pelvis yang akut atau berulang disertai mual dan muntah, nyeri terlokalisir, lebih sering di sebelah kanan. Gambaran sonografi : assa adneksa yang ekogenik merata/ difus dapat disertai asites dalam cavum Douglas karena eksudat. II. Abses Tuboovarial Nyeri abdomen yang berkaitan dengan fluor albus path remaja. Ingatkemungkinan abses tuboovarial terutama pada usia 15 - 19 tahun. Gambar sonografi

Massa kompleks yang non-spesifik pada adneksa, cairan dalam cavum Douglasi. KESIMPULAN Ultrasonografi seharusnya merupakan alat yang pertama digunakan dalam mengevaluasi panggul anak dan hasilnya dapat mengarahkan tindakan yang tepat untuk pemeriksaan diagnostik selanjutnya.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3.

4.

Geagan M B, 0 Haller J, Cohen H L. Pediatric Gynecology Diagnostic Medical Sonography A guide to clinical practice volume I PhiladelphiaJ.B. Lippincott Company, 1991. Cohen IH L, O. Heller J. Pediatric and Adolescent Genital Abnormalities. In : Babcock D.S. Neonatal and Pediatric Ultrasonography New York, Churchill Livingstone 1989. Babcock DS, K.H. Bakyung. The Pediatric Pelvis. In : Steel B.S. and Cochrane W.J. Gynecologic Ultrasound, New York, Churchill Livingstone 1984. Bisset R A L, Khan A N. Differential; Bailliere Tindal 1990.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

10.9

Ultrasonografi intervensi tumor perut H. Sidharta Bagian Penyakit Dalam Rumah Sakit Sumber Waras, Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Fraha Medika, Jakarta, Indonesia

PENDAHULUAN Suatu tumor intra abdominal yang terlihat pada pemeriksaan ultrasonografi konvensional, dalam beberapa keadaan tidak dapat diterangkan etiologinya ataupun hubungannya dengan organ intra abdominal. Dalam hal ini, seringkali pula sarana penunjang diagnostik Iainnya juga tidak dapat menerangkan lebih jelas. Keragu-raguan yang ditumbulkannya, akan memperlambat diagnosis definitifnya. Dengan sendirinya akan memperlambat pula proses pengobatan dan penyembuhan penderita. Ultrasonografi intervensi merupakan suatu sarana untuk menghilangkan keragu-raguan tersebut di atas. Ditunjang oleh ahali histopatologi yang baik, sarana ini dapat merupakan kunci diagnostik tumor abdomen khususnya dan kelainan-kelainan organ tubuh umumnya. Dalam makalah ini, penulis mencoba melukiskan prosedur ultrasonografi intervensi tumor abdomen yang banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa, karena pelaksanaan pada keduanya tidak menujukkan perbedaan yang bermakna. PERSIAPAN Pada umumnya tidaklah diperlukan persiapan yang penting, hanya : 1) Penerangan kepada keluarga penderita. 2) Izin tertulis tindakan dari keluarga penderita. 3) Pemeriksaan darah : trombosit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin. 4) Pemberian obat pembekuan darah dapat diberikan sebelum dan sesudah tindakan. METODA Pada umumnya tidak diperlukan posisi penderita tertentu, disesuaikan dengan keadaan penderita, lokasi tumor dan kemudahan dilakukan tindakan. 110

Cermin Dunia Kedo aeran Edisi Khusus No. 81,1992

Pertama-tama ditentukan lokasi target dengan pemeriksaan ultrasonografi konvensional. Setelah target terlokalisir, maka daerah ini dibersihkan (toilet) dengan Betadine ® dan alkohol dengan cara menurut lazimnya. Kemudian ditutup dengan kain berlobang steril. Ini diikuti dengan pemberian anestesi lokal. Jarum halus 22G 18 cm panjangnya ditusukkan ke dalam target dengan pimpinan ultrasonografi mempergunakan transduser yang dirancang khusus untuk tindakan ini. Transduser dapat mempunyai eelah di bagian tengahnya sebagai tempat lewat jarum aspirasi. Disamping itu ada transduser yang mempunyai alat tambahan untuk lewatnya jarum aspirasi. Transduser dapat berupa transduser sector atau linier. Perjalanan jarum halus dapat/harus diiikuti pada layar monitor sampai terlihat jarum menembus target. Setelah ujung jarum terlihat berada di dalam target, mandren ditarik dan jarum dihubungkan dengan semprit steril dan mulailah ditarik untuk tindakan aspirasi ini. Hasil aspirasi diteteskan ke dalam gelas objek, dibuatpreparat gesek, dimasukkan ke dalam alkohol pekat dan dikirimkan ke bagian histopatologi/sitologi ataupun mikrobiologi. Sesudah tindakan selesai tempat tusukan ditekan, untuk waktu tertentu, pada umumnya sekitar 4 – 6 jam pasca tindakan. PENGAMATAN PASCA TINDAKAN Selain tiduran selama 4 — 6 jam pasca tindakan dengan tekanan pada lokasi tindakan, perlu diperhatikan : keadaan abdomen tensi penderita nadi penderita temperatur penderita Keadaan ini perlu dipertimbangkan/diperhatikan untuk memantau keadaan penderita. Bila komplikasi tindakan tidak mendapatkan perhatian yang baik, dapat herald bat buruk, bahkan dapat fatal.

Komplikasi tindakan yang paling berbahaya dan harus di perhatikan betul adalah perdarahan pasca tindakan. Bila ini terjadi, tindakan operatif perlu dikerjakan dengan segera, selain transfusi dan tindakan pertolongan pertama lain. PENUTUPAN Ultrasonografi intervensi merupakan suatu sarana yang ampuh balk untuk keperluan diagnostik maupun terapetik. Path kenyataannya, meskipun sangat sederhana metodanya, diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk dapat mengerjakan tindakan ini dengan baik. KEPUSTAKAAN 1. Bastid CF, Mauleon F. Atlas d'Echotomographie. Maloine s.a. Editeur, Paris; 1979. 2. Braun B, Pemice H, Herzog P, Bomer H, Dormeyer H H. Diagnostic and

3. 4. 5. 6.

7. 8. 9. 10.

therapy of liver abscess by ultrasonographic imaging puncture and drainage. Hepato-gastroenterol. 1983; 30 : 9-11. Holl H H, Kristensen J.K. Ultrasonically guided puncture technique. Copenhagen : Munksgaard, 1980. Kossoff G, Fukada M. Ultrasonic differential diagnosis of tumors. New York, Tokyo : Igaku-shoin, 1984. Mueller P R, van Sonnenberg E, Ferrucci J T. Percutaneus drainage of 250 abdominal abscesses and fluid collections. Radiology 1984; 151 : 343-7. Ohio M Kimura K, Tsuchiya Y, Ebara M. Sonographic guided procedures in the liver and biliary tract, clinics in diagnostic ultrasound. Churchill Livingstone : Interventional Ultrasound. 1987. SuyonoHadietal.Dasar-dasarultrasonografidanperanannyapadakeadaan gawat darurat. Alumnus 1986. Sanders R.C. : Clinical Sonography. Boston, Toronto : Little Brown & Co. 1984, 1991. Sidharta H. Atlas ultrasonografi, abdomen dan beberapa alai penting. Jakarta : Media Hospitalia, 1989. Weill F S.. L 'Ultrasonographieen pathologic digestive. Ed. Vigot Freres, Paris : 1980; 1989.

Cermin Dunia Kedokteran Ediri Kit¢rus No. 81,1992

11 !

ENDOSKOPI

Helicobacter pylori and duodenal ulcer in children Mei-Hwei Chang, MD.

Department of Pediatrics, National Taiwan University Hospital, Taipei, Taiwan, R.O.C.

ABSTRACT Duodenal uleer, though not as frequently seen as in adults, is not uncommon in ehildren. It can be divided into acute and ehronie type. Acute duodenal uleer often oeeur in younger ehildren with a predisposing illness such as fever, infeetion and aspirin intake. Chronie duodenal ulcer mainly oecurs in older children (> 10 years of age) with or without definite predisposing illness. Chronie duodenal uleer tends to recur during the natural history. Family history of duodenal ulcer is found in half of the children with chronie duodenal ulcer. Recently Helieobaeter pylori (HP) was suggested to be assoeiated with the pathogenesis of duodenal uleer in adults. The role of HP in duodenal uleer in children is not as well studied as that in adults. The seroepidemiologie patterns of I-P differ in different areas. In Taiwan, the seropositive rate of HP rises while age inereases. During adoleseence, the seropositive rate increases rapidly up to 41% at 18 years of age. We have studied urease test, HP culture, and histology of the gastrie (prepyloric) and duodenal mucosa for the evidene of HP in long-term followed 22 patients (age range 9—22 years) with chronie duodenal ulcer diagnosed before 15 years of age. 86% of the gastrie mueosa in those patients were positive for urease test, 68% positive for HP culture, 81% positive for histology of HP. In comparison, 25 children (1—15 years old) with gastrointestinal eomplaints but negative endoscopic findings were also studied for comparison. Only 8% were positive for urease test, 8% positive for HP culture, and 14% positive for histology. From ours and others studies, HP was proved to have close relationship with chronic duodenal ulcer in ehildren. Treatment with colloid bisthmus, metronidazole and amoxieillin has been to reduce the reeeurrence rate of chronie duodenal ulcer in adults. Its effect in ehildren is currently under investigation.

112

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (E R C P) diagnostik dan terapeutik pada Obstruksi Biller L.A. Lesmana

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Diagnosis ikterus bedah atau obstruksi bilier umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti serta tes laboratorium. Walaupun demikian, sarana penunjang imaging yang non-invasif seperti ultrasonografi; CT Sean abdomen dan yang invasif seperti percutaneous transhepatic cholangiography (PTC), endoscopic retrograde cholangio pancreatography (ERCP) sering diperlukan untuk menentukan letak, kausa dan luas dari lesi obstruksinya. Dengan kemajuan yang pesat di bidang endoskopi gastrointestinal maka ERCP telah berkembang dari satu modalitas dengan tujuan diagnosis menjadi tujuan terapi pada ikterus bedah. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai peranan ERCP dalam diagnosis dan terapi obstruksi bilier serta hasil pengalaman kami sendiri dengan teknik ini. DASAR DAN TEKNIK ERCP ERCP merupakan suatu perpaduan antara pemeriksaan endoskopi dan radiologi untuk mendapatkan anatomi dari sistim traktus biliaris (kolangiogram) dan sekaligus duktus pankreas (pankreatogram). Metode ini memerlukan alat radiologi dengan kemampuan tinggi, monitor televisi serta ketrampilan khusus dari ahli endoskopi. Prinsip teknik ERCP adalah mula-mula memasukkan endoskop "optik samping" sampai duodenum dan mencari papila Vateri yang merupakan muara bersama dari duktus koledokus dan dari duktus pankreatikus. Kemudian dilakukan kanulasi dari muara papila dengan kateter yang dimasukkan melalui kanal skop. Selanjutnya media kontras disuntikkan melalui kateter tersebut sehingga didapatkan kolangiogram atau pankreatogram yang akan terlihat pada monitor televisi. Untuk penilaian dan dokumentasi lalu dibuat beberapa foto dalam beberapa posisi.

ERCP DIAGNOSTIK ERCP untuk tujuan diagnosis pada ikterus bedah biasanya dikerjakan bila penemuan sonografi dan CTScan : a) normal (dengan dugaan adanya ikterus bedah) atau b) tidak konklusif, atau c) tidak dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menentukan terapi adekuat(1). . Dengan ERCP kita akan mendapatkan kolangiogram yang lengkap dari saluran empedu intra-hepatik, ekstra hepatik, duktus sistikus dan kandung empedu, sehingga letak l:usa dan derajat obstruksi dapat diketahui. Data pankreatogram iuga dapat diperoleh dan hal ini sangat penting sebab kelainan pankreas seperti keganasan merupakan salah satu kausa tersering dari ikterus bedah. Indikasi ERCP diagnostik pada ikterus bedah meliputi (2) : Kolestasis ekstra hepatik Keluhan pasca operasi bilier - Keluhan pasca kolesistektomi Kolangitis akut - Pankreatitis bilier akut. Di samping itu kelainan di daerah papila Vateri (tumor, impacted stone) yang juga sering merupakan penyebab ikterus bedah dapat terlihat jelas dengan teknik endoskopi ini. Kami sendiri telah melakukan ERCP sejak April 1981 dimulai dengan alat duodenokop Machida lalu Olympus 1E4, JF IT10 dan terakhir JFIT 20. Sebagai zat kontras digunakan Urografin 20—25% yang dicampur antibiotika. Dari April 1981 sampai Agustus 1987 telah dilakukan ERCP pada 520 pasien, 326 pasien (63%) di antaranya dengan ikterus kolestatik o ). Keberhasilan ERCP pada koledokolitiasis didapatkan pada 73%, kolelitiasis 97%, Ca pankreas 67%, Ca papila Vateri 86%, Ca sal uran empedu 80%. Komplikasi didapatkan pada dua pasien (0,4%) dengan ikterus bedah : satu pasien dengan pankreatitis akut dan satu lainnya septikaemia.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

113

ERCP TERAPEUTIK Penatalaksanaan kasus ikterus bedah telah banyak mengalami perubahan berkat perkembangan pesat di bidang endoskopi terapeutik dan radiologi intervensional. Pemilihan prosedur terapi yang tepat pada ikterus bedah (operatif, radiologik, endoskopik) tergantung dari diagnosis etiologi, luasnya lesi, adanya penyulit lain, fasilitas dan ketrampilan setempat (1). Pada sejumlah pasien ikterus bedah yang mempunyai risiko tinggi dapat dilakukan "ERCP terapeutik". Prinsip dari ERCP terapeutik adalah memotong sfingter papila Vateri dengan kawat yang dialiri arus listrik sehingga muara papila menjadi besar (spingterotomi endoskopik). Pada penderita dengan batu saluran empedu dengan kendala operasi dapat dikerjakan spingterotomi endoskopik dan pengeluaran batu dengan basket atau balon. Di luar negeri pembersihan saluran empedu sesudah pengeluaran batu dapat mencapai 80—90% dengan komplikasi dini 7—10% dan angka kematian 1—2%(4 - 7) . Kami sendiri dari Desember 1983 sampai Nopember 1989 telah melakukan spingterotomi endoskopik (SE) dan pengeluaran batu pada 84 pasien dengan batu saluran empedu. SE dilakukan dengan papilotom Olympus tipe KD-4Q dan elektrosurgeri EUS-2. Pengeluaran batu dilakukan dengan kateter basket atau kateter balon. Keberhasilan spingterotomi didapatkan pada 98%, keberhasilan pengeluaran batu pada 86% dan komplikasi 10% 0> . Kegagalanekstraksibatu yang relatif besar didapatkan pada 9 pasien; hal ini mungkin disebabkan spingterotomi yang tidak adekuat pada permulaan studi kami. Pada 6 pasien, batu baru dapat dikeluarkan setelah dihaneurkan dahulu dengan litotripsi mekanik. Komplikasi perdarahan pada 6 pasien, kolangitis dan pankreatitis masing-masing pada satu pasien. Dua dari 6 pasien dengan perdarahan memerlukan operasi darurat. Komplikasi dini SE dalam seri kami seperti perdarahan, pankreatitis dan kolangitis sebesar 10% juga tidak berbeda dengan studi sebelumnya yang mclaporkan 7—10% -71 Hasil keseluruhan SE dari studi kami ini juga memperlihatkan bahwa "ERCP terapeutik" merupakan prosedur yang bermanfaat dan cukup aman untuk mengeluarkan batu saluran empedu pada penderita usia lanjut atau dengan penyulit operasi di negara kita. Kebanyakan tumor ganas yang menyebabkan obstruksi biliaris sering sekali inoperabel pada saat diagnosis ditegakkan. Tindakan operasi yang dilakukan biasanya paliatif dengan membuat anastomosis bilio-digestif. Pada penderita dengan usia lanjut atau dengan penyulit operasi, drainase bilaer dapat dilakukan dengan ERCP terapeutik yaitu memasang endoprostesis parendoskopik. Prinsip dari teknik ini adalah setelah dilakukan small sphingterotomy kemudian dimasukkan prostesis yang terbuat dari tenon dengan bantuan guide wire melalui papila Vateri ke dalam duktus koledokus sehingga ujung proksimal prostesis terletak di bagian proksimal dari lesi obstruksi dan ujung distal terletak di duodenum. Dengan cara ini akan diperoleh drainase empedu internal melalui endosprotesis yang mempunyai lubanglubang di sampingnya (side holes). Pemasangan endoprotesis 114

Cermin Durua Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992

perendoskopik pada keganasan yang inoperabel sudah menjadi pilihan sarana terapi. Kami sendiri dari Desember 1988 sampai Juli 1991 telah melakukan pemasangan endoprostesis perendoskopik pada 34 kasus 1 " 1 . Indikasi pemasangan endoprostesis meliputi obstruksi maligna pada 20 pasien, batu saluran empedu besar 9 dan striktur benigna 5. Dalam studi ini digunakan duodenoskop Olympus yang mempunyai kausal besar dan endoprostesis 7FR atau 10FR. Keberhasilan drainase empedu didapatkan pada 33 pasien (97%) sedangkan komplikasi dini terjadi pada 3 pasien (9%) masing-masing perdarahan, sepsis dan migrasi endoprostesis. Selamafollow-up clogging (tersumbatnya endoprostesis) terjadi pada 6 pasien (18%) dan dislokasi pada 2 pasien (6%) sehingga diperlukan penggantian endoprostesis. Pengeluaran endoprostesis yang tersumbat (blocked endoprosthesis) dilakukan dengan kawat basket atau akhir-akhir ini dengan Soehendra retrieval device. Dari studi ini pemasangan endoprostesis melalui ERCP terapeutik jelas bermanfaat untuk sejumlah pasien dengan ikterus bedah yang disebabkan lesi maligna dan benigna. KESIMPULAN ERCP merupakan modalitas yang sangat bermanfaat dalam membantu diagnosis ikterus bedah dan juga dalam terapi sejumlah kasus ikterus bedah yang inoperabel. KEPUSTAKAAN 1. May GR, James EM, Bender CE, Williams HJ, Adson MA. Diagnosis and treatment of jaundice. Radiographics 1986; 6: 847-90. 2. Huibregtse K, Tytgat GNJ. Endoscopy retrograde cholangio pancreatography. In: Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. Hepabiliary and pancreatic malignacies. Stuttgart: George Thieme Verlag 1989: 100-14. 3. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Wibowo S, Nocr HMS, Pang RTL. Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP): Review of 520 cases (abstract). KONAS III PGI dan PEGI dan Pertemuan Ilrniah IV PPIII, Surabaya, 1987. 4. Safrany L. Endoscopic treatment of biliary-tract diseases. Lancet 1987; 983-5. 5. Cotton PB, Vallon AG. British experience with duodenoscopic sphingterotomy for removal of bile duct stones. Br. J. Surg. 1981; 68: 376-80. 6. Leese T, Neotolemos JP, Carr-Locke DL. Successes, failures, early complications and their management following endoscopic sphincterotomy: results in 394 concecutive patients from a single centre. Br J. Surg 1985; 72: 215-9. 7. Escourrou J, Cordova JA, Lazorthes F, Frexinos J. Early and late complications after endoscopic sphincterotomy for biliary lithiasis with and without the gall bladder "in situ". Gut 1984, 25: 598-602. 8. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Nurman A, Noer I IMS. Endoskopi terapetik pada batu saluran empedu. Naskah Lengkap. Konas IV PGI dan PEGI, Penemuan Ilmiah V PPHHI Jakarta, 1990. 9. Grimm H, Soehendra N. Endoscopy biliary drainage (Hamburg). In: Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. H epatobili a ry and pancreatic malignancies. Stuttgart: George Thieme Verlag 1989 : 418-25. 10. Hubregtse K, Tytgat GNJ. Endoscopy biliary drainage (Amsterdam). In: Lygidakis NJ, Tytgat GNJ, eds. Hepatobiliary and pancreatic malignancies. Stuttgart: George Thieme Verlag 1989 : 426-38. 11. Lesmana LA, Tjokrosetio N, Nurman A, Noer HHMS. Endoscopic Biliary Stenting (abstract). Sarasehan PPHHI, PGI, PEGI Cabang Jakarta, Jakarta Agustus 1991.

Endoskopi pada perdarahan gastrointestinal Hadjat S. Digdowirogo Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta

PENDAHULUAN Perdarahan gastrointestinal anak merupakan salah satu keadaan gawat darurat yang mempunyai banyak kemungkinan dalam pendekatan dan penatalaksanaannya. Dokter tidak hanya harus mengingat banyak penyebab dari perdarahan gastrointestinal, tetapi juga dipikirkan tiap penyebab yang berhubungan dengan umur pasien(1,2,3), dengan demikian dimungkinkan seleksi diagnosis untuk kejelasan penyebab. Arteriografi,endoskopi dan kedokteran nuklir bermanfaat dalam diagnosis dan tatalaksana pasien anak dengan perdarahan; implikasinya berbeda dengan pasien dewasa. Pada anak 90% perdarahan rektum akan berhenti spontan atau penyebabnya dapat diketahui (4), sisanya 10% setelah pemeriksaan penunjang menunjukkan hasil negatip, sebagian memerlukan laparatomi. Jika aspirasi lambung menemukan darah, maka tidak ada satu penyebabpun yang berasal dari bawah lig. Treitz. Hampir 10% perdarahan berasal dari proksimal lig. Treitz, sepertiga dari usus halus dan sekitar 50% berasal dari daerah kolorektal. PENDEKATAN DIAGNOSIS Untuk penelusuran penyebab perdarahan dapat diikuti sis(3,5) tematika yang dikemukakan oleh Berman sebagai berikut : 1) Setiap laporan perdarahan yang keluar dari mulut atai anus, harus diperiksa terlebih dahulu apakah bahan yang keluar tersebut darah atau bahan yang menyerupai darah. Zat pewarna makanan dapat menyebabkan tinja hitam. Pemeriksaan protein heme dengan hematest sangat penting, tetapi harus dipikirkan kemungkinan positip atau negatip palsu. Untuk neonatus harus dibedakan apakah darah tersebut berasal dari darah ibu yang tertelan atau darah bayi, dengan pemeriksaan test Apt. 2) Diteliti lebih lanjut apakah darah ini berasal dari saluran cerna atau dari saluran lain yang tertelan (mulut, hidung, saluran

nafas, darah ibu). 3) Analisis penyebab perdarahan. Penyakit sistemis/penyakit di luar saluran cerna dapat mempunyai komplikasi di saluran cerna atau primer penyakit pada usus. Misalnya: demam berdarah dengue, defisiensi vit.K, DIC, sindrom Henoeh Sehonlein, dan sebagainya. 4) Perkirakan lokasi perdarahan, di bawah atau di atas lig. Treitz. 5) Tentukan kemudian apakah kasus ini merupakan kasus medis atau bedah. Misalnya invaginasi, perdarahan dari divertikal Meckel, merupakan kasus bedah yang memerlukan tindakan bedah segera. Langkah 1 sampai 5 memerlukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang lain seeara teliti. Pengungkapan yang jelas muntahan/tinja yang berdarah sangat penting. Perdarahan saluran gastrointestinal di atas lig. Treitz dapat menyebabkan hematemesis; penyebab utama adalah ulkus deodenum, ulkus lambung, esofagitis, gastritis dan varises esofagus. Jika volume besar (1 cangkir/lebih) dan berwarna merah segar, menunjukkan perdarahan masif. Jika sudah bereampur dengan asam lambung, darah menjadi coklat tua atau hitam (seperti kopi). Perlu dibedakan warna muntahan dengan pewarna makanan, minuman, sirup, antibiotika. Pada anamnesis perlu ditanyakan kapan mulai hematemesis dan berapa volumenya. Dicari faktor presipitasi misalnya muntah hebat, ulkus peptikum, penyakit had kronis, obat yang sedang diminum (aspirin, steroid, antikoagulan), ingesti zat korosif, kelainan perdarahan (termasuk DBD), keadaan sires (kesulitan persalinan, luka bakar, operasi, trauma, dehidrasi, renjatan, infeksi berat). Penyakit sistemis yang menyertai perdarahan saluran cema, termasuk gangguan/defisiensi imunologis, infeksi usus atau paru, keganasan, penyakit kolagen, penyakit Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

115

saraf pusat, gagal ginjal dan kelainan jantung bawaan. Ditanyakan pula perdarahan terakhir dari oro-farings (epistaksis, perawatan gigi, tonsilektomi, sakit kerongkongan) atau tertelan benda asing yang mungkin tersangkut di esofagus. Pada pemeriksaan -fisis dinilai keadaan sirkulasi dan perubahan tekanan darah pada waktu berdiri. Diperiksa mulut dan orofaring terhadap kemungkinan perdarahan. Dicari tanda-tanda perdarahan umum dan kelainan pembekuan darah (petekia, rembesan darah, ekimosis). Tanda-tanda penyakit hati dan hipertensi portal dicari misal : hepatomegali, splenomegali dan asites. Anamnesis pada perdarahan per-anal, perlu ditanyakan kapan mula sakit, gambaran darah tinja, volume kehilangan darah. Ditanyakan keluhan lain : diare, muntah, konstipasi, anoreksi, sakit perut atau distensi. Keluhan di luar gastrointestinal : panas, kehilangan berat badan, pubertas lambat, artritis, rash, pupura, atau ikterus. Perlu disingkirkan sesuatu yang dapat mengelabui : preparat besi, bismuth, juice anggur, bayam, buahbuahan warna biru, pewarna makanan, wortel, antibiotika/obatobatan warna merah. Adanya faktor presipitasi atau predisposisi misalnya : ingesti obat-obatan (ibu/anak), antibiotika yang seclang dimakan, konstipasi, kelainan perdarahan, alergi susu. 6) Pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab (8) : – Di mana persis lokasi sumber perdarahan. — Bagaimana sifat perdarahan, setempat/lokal atau difus. – Apakah berhenti spontan atau perlu tindakan. - Kemungkinan untuk berdarah kembali. Dari langkah ke 1 sampai ke 5, biasanya sudah dapat diperkirakan diagnosis pasti penyebab perdarahan, misalnya difisiensi Vit. K, kelainan perdarahan, demam berdarah dengue, enterokolitis nekrotikans, invaginasi, fisura ani, infeksi usus, demam tifoid,perdarahan dari mulut/hidung/saluran nafas/darah ibu yang tertelan. Dengan pengobatan medikamentosa dan/atau bedah perdarahan dapat diatasi. Untuk sebagian keeil kasus lainnya, masih perlu diungkapkan lebih teliti sehubungan dengan pertanyaan ke 6. Penelitian lebih teliti diperlukan untuk meneapai presisi terapi yang tinggi dalam penyakit gastrointestinal anak. Dalam kaitan ini pemeriksaan endoskopi diperlukan. KELEBIHAN ENDOSKOPI Dengan ditemukannya serat optik, maka Hirschowitz pada tahun 1958 mendemonstrasikan gastroduodenoskop lentur serat optik191. Berkas eahaya dipantulkan oleh serat optik yang berdiameter 0,0006 inei atau ± 14 U, di dalam satu bendel berdiameter ± 0,25 inei yang terdiri dari 150.000 serat optik. Saat ini keeuali endoskop lentur serat optik, juga telah dikembangkan video-endoskopi. Dalam hal ini di ujung endoskop diletakkan kamera televisi keeil. Endoskopi ini mempunyai beberapa kelebihan(0.10.11.1 z ' ') 1) Mengetahui lebih jelas keadaan mukosa saluran gastrointestinal mulai dari esofagus sampai duodenum dan dari lubang anus sampai sekum/ilium terminalis. Saat ini telah dikembangkan endoskop kecil (enteroskop) untuk bisa menjelajahi usus halus. Untuk mengetahui sumber perdarahan saluran gastrointestinal 116

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

atas, endoskopi terbukti akurat dibandingkan pemeriksaan radiologi dengan kontras, arteriografi maupun kedokteran nuklir. Pemeriksaan ini memerlukan waktu 20 menit. 2) Gambaran mukosa dapat diteliti secara rinei warna, bentuk lesi mukosa, sekresi/perdarahan, isi lumen, diameter lumen. 3) Dengan memperhatikan gambaran sumber perdarahan dan dihubungkan dengan patofiologis terjadinya perdarahan, maka dapat dinilai karakteristik perdarahan tersebut. Gambaran dari sumber perdarahan : sifat : setempat atau umum, merembes atau memanear. bentuk lesi : superficial, luka dalam/ulkus atau benjolan/ tumor. – kemungkinan berhenti : spontan atau tidak. bagaimana kemungkinan timbul perdarahan kembali. Penilaian ini dilakukan dengan memperhatikan patofisiologi sebab perdarahan. Untuk menilai derajat perdarahan selain dilihat dari volume darah yang keluar, juga diperhatikan pengaruhnya terhadap keadaan sirkulasi. 4) Untuk lesi yang meneurigakan dapat dilakukan biopsi untuk memperoleh gambaran mikroskopis. 5) Untuk dokumentasi dapat dilakukan pemotretan, ditransmisikan melalui televisi atau direkam dalam kaset video atau film-movie. 6) Keuntungan lain yang penting adalah menghentikan perdarahanm 10•' 213•'4 ' 5' Melalui endoskopi perdarahan dapat dihentikan melalui beberapa cara, misalnya : • Perdarahan varises : terapi injeksi dengan larutan sklerosan atau dengan tissue adhesive (histoaeryl). • Perdarahan non varises : terapi in jeksi dengan adrenalin dan polidokanol dengan tissue adhesive (histoacryl), semprot dengan trombin dan larutan fibrinogen (cryoprecipitate), elektrokoagulasi, laser. • Pada saat ini juga telah berkembang metode menghentikan perdarahan dengan hemoclips. • Polip : polipektomi dengan elektrokoagulasi atau dengan laso. 7) Mengikuti perkembangan penyakit. Untuk mengetahui kemungkinan rekurensi atau menilai progresifitas, pada varises esofagus yang berhasil diobliterasi, perlu dilakukan pemeriksaan endoskopi ulang 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan. Kalau timbul varises lagi, harus dilakukan injeksi lagi. Demikian pula pada kolitis ulserosaatau granulomatosa, juvenile polip pemeriksaan endoskopi secara periodis perlu dilakukan. 8) Membantu dokter bedah menegakkan diagnosis. Perdarahan dari divertikel Meekel umumnya menimbulkan melena yang masif, yang menimbulkan gangguan sirkulasi. Dengan kolonoskopi dapat dipastikan bahwa perdarahan berasal dari proksimal sekum dan distal dari lig. Treitz. Dengan informasi ini dokter bedah dapat melakukan laparatomi eksplorasi° o . t

KELEMAHAN ENDOSKOPI (8,13) Di samping kelebihan, prosedur endoskopi tidak lepas dari kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan patofisiologi penyakit dan pemahaman atas kelebihan dan kelemahan ini.

1) Endoskopi adalah prosedur invasif. Dapat menyebabkan lesi mukosa, penekanan pada alat di luar saluran cerna (misalnya trakhea). Efek samping lain dapat berasal dari pemakaian obatobatan sedasi atau narkosis. 2) Lapangan pandang harus bersih. Lumen usus yang kotor oleh tinja atau sisa makanan, banyaknya genangan darah atau cairan lain, akan menyulitkan penilaian terhadap mukosa dan mempersulit gerak maju. 3) Membutuhkan ketrampilan yang cukup baik dari endoskopis dan perawat yang membantu. 4) Perlu investasi modal yang eukup mahal dan pemeliharaan alat yang teliti. DISKUSI Tidak semua perdarahan gastrointestinal memerlukan tindakan endoskopi. Digdowirogo 1 melaporkan bahwa dari 3303 bayi dan anak yang dirawat di Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, 63 (1,9%) kasus di antaranya mengalami perdarahan (tidak termasuk perdarahan karena infeksi usus). Dari 63 kasus tersebut ternyata 51,6% adalah karena penyakit sistemis, 36,7% karena kelainan mukosa usus dan 11,7% kasus bedah. Vaughan") menulis dalam bukunya, bahwa penyakit sistemis menempati jumlah 10-20%, sementara Yue(19) melaporkan bahwa 24 dari 100 kas us perdarahan berasal dari fissura ani. Algirtm dari Berman(5) dapat membantu menentukan kapan endoskopi perlu dikerjakan; endoskopi lebih akurat dalam mendeteksi kelainan mukosa saluran eerna daripada pemeriksaan (20,21,22,23) . Oleh karena itu salah satu indikasi endoskopi radiologi adalah permintaan kejelasan terhadap foto radiologi yang kurang jelas. Pengalaman kami pada kasus seorang gadis dengan foto kontras barium yang dicurigai morbus Crohn; dengan kolonoTabel 1.

skopi dan biopsi kemudian dapat dibuktikan penyakit tersebut secara makroskopis dan mikroskopis. Skleroterapi endoskopi (STE) biasanya dilakukan pada varises esofagus yang pernah berdarah, sedangkan yang belum pernah berdarah tidak dilakukan STE profilaksis(16,24,25,26) STE darurat (varises esofagus yang sedang berdarah) pada anak, telah dilaporkan berhasil baik oleh Thapa(27) . Perdarahan nonvarises yang memerlukan tindakan endoskopi terapeutis belum pernah dilaporkan, namun STE pada varises esofagus anak telah banyak dilaporkan, dan telah menjadi prosedur rutin klinik (3,25,28,29,30,31) . Rumah Sakit Sumber Waras gastroenterologi anak dan beberapa rumah sakit lain di Indonesia telah menerimanya sebagai prosedur (16,25,26) standar. Di bawah ini kami sajikan laporan dari beberapa penulis Gambaran klinis hipertensi porta (32)

Tabel 2.

Splenomegali Hematemesis Melena Varises esofagus Cutaneous portosystemic Shunt Kaput meduse Dengungan di bawah umbilikus

Hemoroid intema Hati mengecil atau hepatomegali Hipersplenisme Asites Malabsorbsi Protein losing enteropathy Failure to thrive

Perlu diutarakan bahwa varises esofagus path anak di Indonesia eukup banyak ditemukan, sejak Oktober 1987 sampai Mei 1992 kami telah mengumpulkan 22 kasus(25) . Jumlah ini akan semakin bertambah dengan semakin rineinya penearian sumber perdarahan. Keluhan dan gejala utama varises esofagus disebabkan karena hipertensi porta. Banyak kendala yang dijumpai dalam melaksanakan pro(16,25,26). sedur STE harus dikerjakan secara serial dengan

Laporan STE dari beberapa penulis p0

– Kasus – Umur – Prehepatis – Hepatis – Sedasi – Narkosis – Sklerosan – Komplikasi nyeri retrostemal striktur ulserasi perdarahan – Obliterasi – Sesion – Keterangan

Stamakis ' 1982

Howard°' ) 1984

21 2–14 8 13 – + 5% Ethanolamine oleat

57

– 2 5 5 18 1 –8 operasi – 8 Rekurens

22 35 – + 5% Ethanolamine oleat biasa 5 7 17 45 4,7 – 5,7 (rata-rata) – 8 belum selesai – 4 meninggal – 14 ex gagal operasi

Vane' » 1985

n

Thapa°') 1991

Digdowirogo° 1991

13 1 –19 7 6 – + Sod Morrhoute 5%—> 1 %

30 7/12–13 22 8 + – Etoksisklerol 1 %

15 2–13 2 13 + + Etoksisklerol 1%



18



3 1 8 5,6 (rata-rata) – 2 meninggal – 1 diligasi – 7 ex operasi

6 3 27 2 – 16

2 2 4 5 – 16

4 rekurens

– 7 ikut teratur

4 varises lambung

– 1 operasi – 11 varises lambung – 2 ex shunting – 2 rekurens

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992

I/7

hari, sampai varises mengalami obliterasi; oleh karena itu timbul masalah yang berupa penolakan anak/orang tua, tidak ada biaya, tempat tinggal jauh, keinginan untuk bersekolah, adanya penyakit sekunder. Kerjasama dengan guru dan atasan orang tua tempat bekerja sangat diperlukan. Pada melena masif yang berasal distal lig. Treitz yang mempengaruhi sirkulasi, harus diwaspadai kemungkinan perdarahan dari divertikel Meckel. Kami mendapatkan dua kasus semaeam yang dibuktikan dengan laparatomi yang dikerjakan kemudian. Perdarahan yang disebabkan oleh polip atau Inflammatory Bowel Disease (IBD), biasanya bersifat ringan t8l . Pemeriksaan sederhana terpenting adalah memeriksa lubang dubur terhadap kemungkinan adanya fissura ani(5,17.19). Dengan adanya endoskop maka pelayanan standar pengangkatan polip kolon, berubah dari laparatomi ke polipektomi endoskopi(18,13) Keeuali dengan elektrokoagulasi saat ini juga sudah berkembang metoda laso(15) (tabel 3). Untuk menjaminkeberhasilan endoskopi perlu diperhatikan indikasi tepat, persiapan cermat, alat yang baik, serta tim pelaksana yang handal. Dalam persiapan perlu diusahakan sirkulasi dan respirasi yang baik, keadaan koagulasi yang memenuhi syarat, dan terkadang perlu persediaan darah I(26). Pembersihan saluran gastrointestinal terhadap darah/cairan lain, sisa makanan, tinja untuk memperoleh pandangan yang bersih. Pada hematemesis dan melena yang masif sebelumnya lambung perlu dibilas dengan eairan dingin dan klisma seeara periodis. Persetujuan orang tua setelah penjelasan diberikan seeara lengkap dan gambaran hari depan anak perlu dibeberkan seeara torus terang. interval 5—7

RINGKASAN Pemeriksaan pendahuluan secara anamnesis, fisis dan pemeriksaan penunjang laboratorium tetap penting untuk mengetahui sumber perdarahan. Pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan pemeriksaan tersebut, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan endoskopi.Dengan indikasi, waktu, ketrampilan Tabel 3.

KEPUSTAKAAN 1. 2. Halimun EM, Suwamo R. Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak (2). Dalam: Suharyono dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta, FKUI 1988; 241–9. 3. Ilyams JS, Leichtner AM, and Schwartz AN. Recent advances in diagnosis and treatment of gastrointestinal hemorrhage in infants and children. J. Pediatr. 1985; 106: 1–9. 4. Stevenson RJ. Gastrointestinal bleeding in children. Surg. Clin. North. Am. 1985; 65: 1455–80. 5. Berman S. Pediatric Decision Making, Philadelpia, Toronto: BC. Decker Inc. 1986; 170 dan 184. 6. Wulur H, Handana B. Polipektomi endoskopi pada anak. Kongres Nasional IV PGI-PEGI Pertemuan Ilmiah V PPIHI, Jakarta, 1989. 7. Boediarso A. Perdarahan Gastrointestinal pada Bayi dan Anak (1). Dalam: Suharyono dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis, Jakarta: Balai Penerbit FKUI 1988. 231–240. 8. Burdelski M, Huchzermeyer 11. Gastrointestinale Endoskopie in Kindesalter. Berlin, Heidelberg, New York: Springer-Verlag 1981; 7–48, 96–101. 9. Ilirchowitz B, Curtis LE, Peters CE et al. Demonstration of a new gastroscope, the fibcrscope. Gastroenterol 1958; 35: 50-54. Disalin dari Sujono Iladi. 10. Abdurachman SA. Peranan kolonoskopi pada perdarahan saluran cema bagian bawah. Dalam: Sujono Iladi, dkk (eds). Endoskopi dalam bidang Gastroentero-Hepatologi, Jakarta, FKUI, 1987; 209–217. 11. Barkin JS, Rosen S. Enteroscopy. Dalam: Barkin JS, O'Phelan CA. (eds). Advanced Therapeutic Endoscopy, New York: Raven Press Ltd. 1990; 163–168. 12. Ilemomo K. Peranan endoskopi pada perdarahan saluran cema bagian atas. Dalam: Sujono Hladi dkk (eds). Endoskopi dalam bidang Gastroenteroilepatologi. Jakarta, FKUI: 1984; 179–192. 13. Wulur H, Digdowirogo I1S. Endoskopi serat optik pada anak. Dalam: Suharyono, dkk (eds). Gastroenterologi Anak Praktis, Jakarta, FKUI, 1988; 389–406. 14. Digdowirogo I1S, Ilalimun EM, Suhartati S, Hlartati NS. Perdarahan saluran cema alas karena varises esofagus. Pertemuan Ilmiah Berkala Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak XH, Jakarta, 1989. 14. Fleischer D. Endoscopic therapy of upper gastrointestinal bleeding in

Laporan polip kolon Philip 1979"

Hassal 1984"

Digdowirogo 1987"

– Kasus – Umur – Polip – Persiapan usus

73 1 –18 7 Lig. diet 2 hari Sonna syr.

113 1/12–20 26 Lig. diet 3 hari Mg. Citrat 1isacodyl tab+ supp.

51 1/12–17 17 Lig. diet Enema NaCl

– Scdasi

Diazepam Dilantin

Diazepam Meperidinc

Diazepam Pethidine Phenergan

– Narkosis – Hnstrumen

2 – 7 tahun Olymp. GHF P2 CF MH33 CF 1.63 ACM F7 –

4 kasus Olymp. GHF 1'2 PCF lingkungan anak

– Komplikasi

118

yang sesuai, maka presisi diagnosis penyakit gastrointestinal dapat ditingkatkan. Dengan algorithma yang dibuat Berman, maka dapat diupayakan saat yang tepat untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk endoskopi.



Cerntin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 31, /992

Olymp. PCF



Kawamitsu 1989" 105 1/12–15 10 Lig. diet 1 hari Picosulfat Na Bisacodyl Enema Glycerin Diazepam Pethidine

Wulur 199001 360 2–16 56 Lig. diet 3 hari Mg. Citrat Bisacodyl supp. Diazepam Pethidine

Pasien Hcbih muds Olymp. PCF CF 10-1. GHP XPHO –



humans. Gastrocnterol. 1986; 90: 217–234. 15. Sochendra M. Therapy of upper gastrointestinal bleeding. Konas V PGIPEGI. Pertemuan Ilmiah VI PPH HH, Medan, 1991. 16. Digdowirogo HHS. Bcbcrapa masalah dan pengalaman dalam endoskopi anak. Simposium Endoskopi Gastrointestinal, Diagnosis dan Terapi ke III, FKUI, Jakarta, 1992. 17. Digdowirogo H HS, Suhardjo NS, Ilalimun EM. Perdarahan gastrointestinal pada bayi dan anak. Laporan pendahuluan Kongres Nasional Bmu Kesehatan Anak VIII, Ujung Pandang, 1990. 18. Vaughan VC, McKay RJ. Nelson Textbook of Pediatrics. 10th ed. Philadelphia: W.B. Saunders, 1975. 812–3. 19. Yue PCK. Gastrointestinal bleeding in infants and children. Hongkong. J. Pediatr. 1985; 2: 3–7. 20. Cox K, Ament ME. Upper Gastrointestinal bleeding in children and adolescents. Pediatr 1979; 63: 408-13. 21. Cucchiara S, dkk. Sigmoidoscopy, colonoscopy, and radiology in evaluation of children with rectal bleeding. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1983; 2:667–671. 22. Gleason WA, Tedesco FJ, Keating JP, Goldstein PD. Fiberoptic gastrointestinal endoscopy in infants and children. J. Pediatr. 1974; 85: 810–3. 23. Gypes MT, Smith LE, Ament ME. Fibcroptic endoscopy and upper gastrointestinal series : comparative analysis in infants and children. Am. J. Rocntgenol. 1977; 128: 53–56. 24. Sujono Iladi. Sejarah perkembangan endoskopi di luar negeri dan di Indonesia. Dalam: Sujono Iladi, dkk (eds). Endoskopi Dalam Bidang Gastroentero-Ilepatologi. Jakarta: FKUI, 1987; 3. 25. Digdowirogo 11S, Wulur 11. Skleroterapi varises esofagus, pengalaman pada anak. Kongres Nasional V PGI-PEGI Pertemuan Ihmiah VI PPHI, Medan, 1991. 26. Digdowirogo IHS. Pengobatan sklerotik pada varises esofagus. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1992. 27. Thapa BR, Mehta S. Endoscopic sclerotherapy of esophageal varices in infants and children. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1990; 10: 430–4. 28. Iloward ER, Stamakis JD, Mowat AP. Management of esophageal varises in children by injection sclerotherapy. J. Pediatr. Surg. 1984; 19: 2–5. 29. Maksoud JG, Gonsalves MEP, Porta G, Miura I, Velhote MCP. The endoscopic and surgical management of portal hypertension in children : Analysis of 123 cases. J. Pediatr. Surg. 1991; 26: 178–81. 30. Stamakis JD, Iloward ER, Psacharopoulos, Mowat AP. Injection sclerotherapy for oesophageal varices in children. Br. J. Surg. 1982; 69: 74–5. 31. Vane DW, Boles ET, Clatworthy I1W. Esophageal Sclerotherapy : an effective modality in children. J. Pediatr. Surg. 1986; 20: 703–7. 32. Mowat AP. Liver Disorders in Childhood, 2nd Ed. London: Butterworths, 1987; 298–323. 33. Philip J, Fruhmorgen P. Kolonoskopi bei Kindcrs and Jugenlichen. Monatrsschr. Kinderheild. 1979; 127: 573–576. 34. Hlassal E, Burclay SN, Ament ME. Colonoscopy in childhood. Pediatr. 1984;73:594-9. 35. Digdowirogo HHS, Ilalimun EM. Kolonoskopi di Rumah Sakit Anak dan Bcrsalin llarapan Kita. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak ke VII. Jakarta, 1987. 36. Kawamitsu T, Nagashima K, Tsuchiya HH, Sugiyama T, Ogasawara T, Chcng S. Pediatric total colonoscopy. J. Pediatr. Surg. 1989; 24: 371-4.

Nasogastric

E

A

I

HHEMA'H'H:MESHS

11 Riwayat

>

C Pcmcriksaan fisik

>

Singkirkan < - scsuatu scperti darah - hcnda acing di esofagus - darah yang tertelan

<— 'lining se! darah + hitung jenis Hcukosit + trombosit. Pert imhangkan : – tcs koagulasi – 'es Apt - Downey D Tcntukan adanya : pcnyakit sistcmik kclainan koagulasi

Nilai derajat sakit

Ikuti

Hematemesis berhenti

i Berat

Sedang

Ringan

Rawat

Rawat

Pertimbangkan : – antasida simetidin sukralfat – observasi 12–36 jam

Hematemesis menetap

Perbaiki sirkulasi transfusi darah Pertimbangkan : – antasida, simetidin sukralfat – tampon varises esofagus

Endoskopi atas Ba - meal Pcrtimbangkan : Angiografi

Gastritis Esofagitis

Ulkus stres Ulkus peptikum

Mallory-Weiss Esophageal tear

Va `ses eofagus

Normal

Lampiran 20r BERAK DARAH B Riwayat

> <— C hitung sel darah + hitung jenis leukosit, trombosit, LED, tes guaiac, tinja, aspirasi - lambung. Pertimbangan : Tes Apt-Downey, PT, PTT, albumin - serum, BUN, ureum, kreatinin

Singkirkan < – darah tertelan - sesuatu serupa darah - kelainan pembckuan - 'hemol yt ic uremic syndrome - Henoch - Schonlein Purpura D Nilai derajat sakit f Ringan

Sedang

Pemcriksaan rcktum

Brat

Pemcriksaan rektum

Rawat 1

Normal Normal

Lampiran 1 (5)

tube

kp bilas lambung dengan lar. NACL

Tinja: leukosit kultur Parasit + cacing

L>

Abnormal fisura ani hemoroid ekskoriasi

Foto polos abdomen

j

Normal Positif

Terapi suportip

1

Abnormal

Ncgatif

Hnfcksiusus Alcrgi susu? Tcs diet Hkuti

kultur darah Tinja: cacing & parasit. Pcrtimhangkan Rotavirus C. difficilc 1 i

Pncumatosis: EKN E Ohstruksi: invaginasi volvulus H lirschphnmg Mcgakolen toksik Udara bcbas (perforasi)

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992

/19

I

Baik

negatif

positif

Konsul bedah

infeksi usus Tak memuaskan

Ba-Enema Endoskopi

Pertimbangkan : < — Normal < Meckel's scan

> Abnormal —> I

Malformasi vaskuler > H Polip

Kolitis F Positif

I Nonspesifik

Negatif

I

Trial diet Konsul Bedah Ikuti

L_

G Kolitis pseudomembran

lnflamatory Bowel disease'

ANDA MEMBUTUHKAN OERMIN DUNIA KEDOKTERAN EDISI LAMA ? Didalam persediaan kami masih terdapat Cermin Dunia Kedokteran Edisi lama, sebagai berikut : CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK CDK

No. No. No. No. No. No. No. No, No. No. No. No. No.

17 33 43 49 52 53 55 65 66 67 69 70 71

-

CDK CDK CDK CDK CDK CDK

No. No. No. No. No, No.

73 74 76 77 78 79

-

Penyakit Saraf (Sambungan) Masalah Anestesi Bedah Mikro Seminar Penyakit Tak Menular I Tumor Kepala dan Leher

Insomnia Malaria II

Imunisasi I Imunisasi II Kardiovaskular Pulmonologi Kesehatan dan Lingkungan Khusus - Simposium Upaya Peningkatan Pelayanan Rumah Sakit Gizi Kulit (I) Kulit (II) Tumor Otak Penyakit Sendi Masalah Saluran Cerna

70 40 40 50 25 24 25 120 140 180 90 120

eks eks eks eks eks eks eks eks eks eks eks eks

400 57 70 320 520 580 380

eks eks eks eks eks eks eks

Sekiranya edisi tersebut di atas masih diper?.ukan, sejawat dapat memberitahukan kepada kami melalui surat, kami akan mengirimkannya selama persediaan masih ada secara cuma-cuma. Redaksi

120

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

SIMPOSIUM SATELIT I. SIMPOSIUM SATELIT : HEMATURI PADA ANAK

Hematuri pada anak pendekatan diagnosis Setiadharma Selopranoto Unit Nefrologi, Laboratorium Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Perubahan warna pada urin sering memberi kekhawatiran pada penderita maupun path keluarga. Lebih-lebih bila berwarna merah, berdarah; dengan rasa eemas penderita akan pergi ke dokter. Dalam hal menghadapi urin berwarna merah harus dibedakan antara hematuri yang sebenarnya atau urin merah oleh karena sebab lain. Pemeriksaan laboratorium yang eermat sangat dianjurkan. Hematuria dapat makroskopik, yang warnanya merah cerah atau dapatpula merah-coklat seperti Coca-Cola; dapatpula seperti air daging. Hematuria mikroskopik dengan mata telanjang tidak tampak ada kelainan warna, mungkin sedikitkeruh. Pada pemeriksaan dengan mikroskop baru tampak sel eritrosit. Bila keadaan ini merupakan gejala tunggal tanpa disertai proteinuria yang berarti dan tidak ditemukan sel lain, maupun silinder, disebut isolated hematuria. Etiologi hematuria merupakan daftar yang panjang. Makalah ini akan membahas pendekatan diganosis (diagnostic approach) hematuria pada anak. PENATALAKSANAAN URIN BERWARNA MERAH Seperti dikemukakan di atas, urin berwarna merah tidak selalu mengandung sel eritrosit. Langkah yang diambil untuk kepastian adalah : I) Pemeriksaan laboratorium urin lengkap. 2) Secara kuantitatip dengan Addis count : dihitung jumlah eritrosit dalam urin produksi 12 jam. Pada saat ini sudah tidal( dipakai lagi oleh karena sukar pelaksanaannya dan tidak reliable untuk evaluasi penyakit ginjal pada anak (Nelson) serta tidak praktis (Norman). 3) Secara kualitatip dengan dipstick test (HEMASTIX, Ames). Dengan cara ini secara mudah dan cepat dapat diketahui adanya occult blood dalam urin. Bila ada hemoglobin di dalam

urin akan terjadi oksidasi orthotolidin yang berubah warna men jadi biru (James). Pada test positip harus disusul dengan pemeriksaan mikroskopik untuk mencari eristrosit. Sebab karena ada kemungkinan dipstick test positip tanpa ditemukannya eritrosit pada keadaan tertentu. Beberapa kelemahan dari dipstick test : a) bila test tidak dilakukan sesuai dengan waktunya dapat memberi hasil positip palsu; b) pada urin yang mengandung beberapa eritrosit saja tidak dapat memberi reaksi positip; c) tidak dapat membedakan antara eritrosit yang utuh dengan hemoglobin bebas pada hemoglobinuri dan mioglobinuri (Kassirer) : hasil reaksi semuanya positip. URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST NEGATIP : Didapatkan pada keadaan sebagai berikut : Makanan : zat pewama anilin, anthrocyanin (berries, beets). Obat : phenaeetin, phenolphthalein (Laxadine ®), phenytoin (Dilantin®), phenozopyridine (Pyridium°), rifampisin Toxin : benzene, earbon tetrachloride Metal berat : Pb, Fe, Hg Urat URINE WARNA MERAH DENGAN DIPSTICK TEST POSITIP : Dalam hal ini harus dilakukan pemeriksaan mikroskopik dengan segera, oleh karena ada dua kemungkinan : 1) Dipstick test positip tetapi eritrosit negatip; 2) Dipstick test positip dengan eritrosit positip. Dipstick test positip dengan eritrosit negatip didapatkan pada : Cermin Dunia Kedok[eran Edisi Khusus No. 81, 1992

/21

Hemoglobinuria :

H.U.S. Myoglobinuria

– G-6-P-D deficieney – Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria – Intravascular coagulation : sepsis, luka bakar - Crush injury – Asfiksia pH tinggi, berat jenis urin rendah

False negative : (Schwartz). Dipstick test positip dengan eritrosit positip Harus dibedakan antara proses NON-GINJAL : proteinuria negatip, dengan proses GINJAL : proteinuria positip Hematuri, khususnya bila hanya diketahui dari pemeriksaan mikroskop, tidak merupakan suatu penyakit ginjal atau saluran kemih (tractus urinarius). Proses NON-GINJAL ini menurut Drummond dan Rose dapat terjadi pada keadaan sebagai berikut : 1. Latihan olah-raga berat 2. Penyakit panas 3. Gastroenteritis dengan dehidrasi 4. Infeksi virus atau bakteri (eystitis hemorrhagica) 5. Kontaminasi dengan eritrosit : ulcus meatus urehrae, menstruasi, vesica urinaria : kateterisasi, Wilms tumor, ureter : batu ginjal, Ca, prostat : BPH, prostatitis, Ca. HEMATURI Dikenal istilah hematuri makroskopik (gross) dan mikroskopik. Gross hematuria dapat dilihat dengan mata telanjang : urin berwarna merah eerah sampai merah-coklat seperti Coca-Cola; dapat bercampur dengan gumpalan darah. Warna dalam hal ini dipengaruhi oleh pH, berat jenis, lamanya proses berlangsung dan kadar protein urin. Dengan hematuri mikroskopik dimaksudkan urin yang berwarna normal, mengandung eritrosit dalam sedimen yang hanya dapat diketemukan dengan m ikroskop atau dengan dipstick test (Drummond). Hingga kini masih terdapat beda pendapat di antara para ahli mengenai berapa jumlah minimal sel eritrosit dalam sedimen urin yang harus dipenuhi untuk definisi hematuri mikroskopik significant bagi klnik. Menurut Gauthier : 1-2 atau lebih eritrosit/LPB adalah patologis, sedangkan menurut Drummond : > 5 eritrosit/LPB. Kebanyakan para penulis mempersyaratkan hematuri mikroskopik adalah significant, bila 2 dari 3 pemeriksaan urin dalam masa beberapa minggu mengandung darah (Norman). Jumlah eritrosit yang diekskresi oleh orang sehat menurut Kassirer dan Gennari sebagai berikut : 500.000 – 1.000.000 eritrosit per 12 jam urin dan 500.000 – 2.000.000 lekosit per 12 jam urin. Sedangkan pemeriksaan sedimen urin pada 5.000 orang pria dewasa sehat dan 1.000 wanita dewasa sehat menghasilkan : 90% pada kedua jenis kelamin < 1 eritrosit/LPB, 97% pada kedua jenis kelamin < 5 eritrosit/LPB serta 94% pada laki-laki < 2 lekosit/LPB dan 70% pada wanita < 3 lekosit/LPB. Mekanisme ekskresi sel eritrosit maupun Iekosit dalam urin sehat masih belum dikerahui dengan pasti. Kausa peningkatan ekskresi eritrosit didapatkan path con122

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,,l 992

tact sport seperti pada tinju yang mungkin menyebabkan trauma pada ginjal atau saluran kemih. Demikian pula pada kenaikan suhu badan dapat menyebabkan peningkatan ekskresi, meskipun lebih banyak terdapat sel lekosit daripada eritrosit. Oleh karena itu diambil kesimpulan, bahwa peningkatan ekskresi sel eritrosit saja adalah gambaran atau genala yang non-spesifik. Ekskresi sel eritrosit dapat disebabkan oleh perdarahan di mana saja dari ginjal sampai saluran kemih bawah. Papper berpendirian bahwa setiap kasus hematuri, terutama pada kasus yang rekuren dan persisten, harus dilakukan evaluasi dan diearai lokalisasi perdarahannya. Bila pada hematuri mikroskopik dalam sedimen urin hanya dikemukakan sel eritrosit saja tanpa sel lain dan tanpa silinder, serta proteinuri yang tidak berarti, keadaan ini disebut isolated hematuria (Coe). Penyebab keadaan demikian : batu, tumor ganas maupun tidak ganas, tuberculosis, truman, prostatitis, IgA nephropathy, penyalahgunaan obat analgesie, Sickle cell diasease. Lokalisasi hematuri Tujuan utama evaluasi hematuri adalah untuk mengetahui sumber perdarahan : apakah dari ginjal atau saluran kemih, dengan cara sebagai berikut : 1) Uji 3 gelas/tabung : Urin ditampung dalam tiga gelas terpisah : gelas pertama diisi dengan urin awal miksi, gelas ke-II dengan miksi pertengahan, gelas ke-III dengan urin akhir miksi. Interpretasi : gelas pertama : urin merah (hematuri +) berarti perdarahan urethra. Gelas ke-III lebih mereha dari gelas ke-II : hematuri terminal seperti pada perdarahan leher kandung kemih. Semua (tiga) gelas merah, berarti darah bercampur merata dalam urin di vesika urinaria; disebut total hematuria (James). 2) Dengan mikroskop dibedakan antara perdarahan glomerular dan non-glomerular : pada perdarahan non-glomerular semua eritrosit berbentuk dan berukuran yang sama, seperti didapatkan pada darah periger. Oleh Stapleton disebut eumorphic urinary red blood cells. Sedangkan pada perdarahan glomerular bentuk eritrosit irregular dan sitoplasmanya tidak seragam : dysmorphic red blood cells. Perbedaan hematuri yang Glomerular dan Extra-glomerular (Rose) Wama Gumpalan darah beku Silinder eri (RB casts) Proteinuri (<500 mg/24 jam)

merah/coklat negatip dapat positip dapat positip

Etiologi hematuria (Norman) I. Glomerular A. Benign recurrent or persistent hematuria 1. Sporadie 2. Familial B. Primary glomerulopathy 1. Acute glomerulonephritis 2. Chronic glomerulonephritis 3. Hereditary nephritis

dapat merah dapat positip tidak ada jarang

IgAnephropathy (Berger's diasease) 4. Non-glomerular II. A. Urinary traet infection B. Idiopathie hyperealciuria C. Nephrolithiasis D. Renal malformations 1. Cystie kidneys E. Urinary tract obstruction 1. Ureteropelvie junction obstruction F. Sickle eell trait/disease G. Tumors 1. Wilms tumor 2. Leukemia H. Truma 1. Loeal inflammation 2. Foreign body 3. External injury I. Interstitial nephritis 1. Drug indueed; "allergie" Untuk Indonesia ditambahkan : Intoksikasi jengkol. HEMATURIA GLOMERULAR Benign recurrent or persistent hematuria. Selama ini dirawat hanya satu kasus, yaitu seorang anak wanita umur 3 tahun dengan kelainan hanya hematuria mikroskopik tanpa silindriuria, proteinuria negatip, tidak ada edema dan hipertensi. IVP tidak menunjukkan kelainan. Observasi telah dilakukan selama 2 tahun. Hematuria mikroskopik dialami berulang kali setelah atau bersamaan dengan infeksi saluran pernafasan bagian atas. Selama pengawasan tidak pernah dialami gross hematuria. Pengobatan hanya untuk infeksi saluran pemafasan saja. Anamnesis keluarga tidak diketemukan kasus lain. Glomerulonephritis akuta Gejala klinik terdiri atas edema (terutama sekiata kelopak mata), oliguri, hipertensi, hematuri makroskopik, proteinuri, dengan atau tanpa azotemi. GNA biasanya nampak setelah penderita mengalami infeksi oleh group A beta-hemolytic streptococcus 7 sampai 21 hari sebelumnya. Hanya strain tertentu mengakibatkan GNA, yaitu yang memiliki sifat nephritogenik seperti type 12 pada pharyngitis dan type 49 pada pyodermi. Peningkatan titer-ASTO menunjukkan kebenaran infeksinya. Komplemen serum C 3 menurun sedangkan C4normal. Penurunan C 3 menunjukkan aktivitas GNA dan akan normal kembali setelah 4 sampai 5 minggu. Bila setelah 8 minggu kadar C 3 masih rendah dapat dipikirkan kemungkinan membranoproliferative nephritis, lebih-lebih bila disertai C4 yang rendah. Selama periode 16 tahun (1975 s.d. 1991) di R.S.S.W. telah dirawat 52 kasus GNA. Semua pasien pulang sembuh tanpa cacat. Sebagian besar didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas: Glomerulonephritis chronica Bila genala klinik GNA berulang kali timbul selama masa

lebih dari satu tahun disebut flomerulonephritis menahun (GNC). Pada umumnya hipertensi bertahan dan kadar ureum meningkat. Dari tahun 1975 s.d. 1991 dirawat 2 kasus. Hereditary nephritis Diagnosis ini dapat dipikirkan bila dalam suatu keluarga penderita didapatkan lain anggauta dengan penyakit ginjal disertai tuli syaraf. IgA nephropathy (Berger's disease) Disini terdapat proteinuri ringan disertai serangan gross hemaruti yang sering didahului oleh infeksi saluran nafas. Episode gross hematuri berlangsung selama 2 sampai 4 hari. Di antara episode gross hematuri didapatkan hematuri mikriskopik tanpa proteinuri (hematuri asimptomatik). Ini berbeda dengan benign recurrent hematuria yang di antara epidose hematui tidak ada kelainan urin. Serangan gross hematuria pada IgA nephropathy dapat berlangsung selama 5 - 10 tahun. Prognosis pada anak baik : 50% penderita anak dapat sembuh seeara spontan dalam waktu 5 tahun, sedangkan 15% akan mengalami progresi menuju insufisiensi ginjal dan hipertensi. Dalam hal ini biopsi ginjal dianjurkan. HEMATURI NON-GLOMERULAR Akan dikemukakan intoksikasi oleh jengkol. Diagnosis keracunan jengkol tidak sulit untuk diketahui, oleh karena penderitanya sendiri atau keluarganya selalu memberi keterangan yang hampir sama satu sama lainnya : beberapa waktu setelah makan beberapa buah jengkol mengalami nyeri perut (kolik), sukar buang air kecil, nyeri waktu miksi dan disusul oleh air keneing yang merah. Selama 5 tahun (1986-1991) di Lab. IKA Rumah Sakit. Sumber Waras telah dirawat 9 kasus, 7 laki-laki dan 2 wanita, dengan usia antara 41/2 tahun dan 12 tahun. Gejala nyeri perut dan kesukaran buang air keeil timbul sekitar 12 jam sampai 20 jam setelah makan buah jengkol sebanyak 3 sampai 6 biji. Seeara terperinci para penderita dapat menyebutkan bahwa urin berupa airi cuci beras berwama putih yang mengandung bahan seperti pasir putih. Dua penderita, satu pria dan satu wanita, mengalami retentio urinae hingga perlu kateterisasi. Edema pada penis dialami oleh dua penderita. Lima pasien mengalami gross hematuria. Semua penderita duipulangkan dengan baik setelah perawatan 4 - 7 hari. Pengobatan terdiri atas pemberian bicarbonas natricus per os maupun perenteral sesuai keadaan penderita. Dipandang perlu untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut apakah ada unsur hipersensitivitas pada keracunan jengkol. Pertanyaan yang timbul adalah : 1) Mengapa dalam satu keluarga yang makan jengkol hanya orang tertentu saja menderita keraeinan ? 2) Ada kesan bahwa jumlah buah jengkol yang dimakan tidak mempengaruhi derajat penyakitnya. Dari kasus di atas ditarik kesimulan sebagai berikut : dari 2 kasus yang ekstrim : satu penderita makan 3 buah dalam waktu 12 jam menunjukkan Cermin Dunia Kedokteran. Edisi Khusus No. 81, 1992

123

keluhan nyeri perut, sedangkan penderita lain makan 6 buah baru 20 jam kernudian mengeluh sakit. PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN EVALUASI HEMATURI PADA ANAK Bila hematuri makroskopik merupakan keluhan utama, penderita harus diobservasi di rumah sakit. Pada anak dengan hematuri mikroskopik tanpa proteinuri, tanpa hipertensi dan faal ginjal dalam batas normal harus dilakukan pemeriksaan urin lengkap berulang kali secara teratur selama enam bulan. Bila hematuri tersebut persisten, evaluasi lebih lanjut harus dilaksanakan baik dengan berobat/kontrole jalan maupun masuk rumah sakit. Tindakan pertama dalam evaluasi penderita anak dengan hematuri adalah : membuat anamnesa yang lengkap mengenai penderita sendiri, serta bila peruu j uga mengenai anggauta keluarga dengan sautu penyakit ginkal; melakukan pemeriksaan badan; dan pemeriksaan penunjang : laboratorium urin dan darah. Rontgen, IVP., USG., eystoseopy. PEMERIKSAAN DASAR (FUNDAMENTAL) PADA ANAK DENGAN HEMATURI (Gauthier, Lewy, Rose) : 1) Anamnesis : keluhan pada saat ini dan sebelumnya, pernah dirawat sebelumnya dengan keluhan-keluhan/gejala sama; keadaan keluarga : – ada penyakit ginjal dalam keluarga, – penyakit pendengaran (tuli), – sickle eell anemia. Adapun nyeri perut, dysuria, oliguria, anuria; trauma : hematuri pada akhir/permulaan miksi, hilang timbul (recurrent) atau penyakit saluran nafas/kulit. 2) Pemeriksaan badan meliputi berat badan, tinggi badan, riwayat hipertensi, edema (lokasinya). Keadaan kulit :rash, petechiae, purpura, pyodermi; mata : funduseopy; gigi : earries, THT : tonsillopharyngitis; abdomen : tumor; vesie urinaria penuh/kosong; suprapubie; genitalia ext. : laserasi, edema (pada laki-laki dewasa : prostaat). 3) Pemeriksaan penunjang meliputi : urine pagi : lab. lengkap protein kuantitatip; kultur dan resistensi; darah : lengkap, BUN; creatinin, ASTO; komplemen C 3 , C 4 , sickle cell diasease dan Rontgen : IVP, USG, eystoscopy. (?) PENDEKATAN DIAGNOSIS HEMATURI MIKROSKOPIK Bila trauma dan gejala infeksi saluran kemih dapat disingkirkan, maka diagnosis banding kasus hematuri asimptomatik yang persisten tanpa proteinuri adalah (Gauthier) : 1. Glomerulonephritis akuta yang dalam penyembuhan 2. Berger 's disease 3. Hereditary nephropathy 4. Isolated microscopic hematuria Dalam hal ini pemeriksaan sedimen urin harus berulangkali dilakukan. Keadaan harus diperhatikan, oleh karena hasilnya dapat tidak menetap (transient, atau menetap (persistent). Pada keadaan tidak menetap (transient) : secara klinis tidak penting pemeriksaan ulang urin masih diperlukan 124

Cermin Dwtia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

pemeriksaan lain-lain seperti IVP tidak diperlukan Bila hematuri menetap (persistent) : - pembiakan dan resistensi urin - kuantitatip protein urin 24 jam ((Esbaeh) darah ureum, creatinin, komplemen C 3 dan C4 – audiogram pada semua anggauta keluarga PENDEKATAN DIAGNOSIS HEMATURI MAKROSKOPIK (GROSS) (Gauthier). Gejala/keluhan : Kemungkinan diagnosis : Anamnesis : * trauma * trauma * infeksi saluran kemih * hematuri rekuren atau infeksi streptokok glomerulonephritis * dysuri, frekuensi; hematuri * infeksi saluran kemih terminal; nyeri suprapubie eystitis hemorrhagica * nyeri abdomen * infeksi saluran kemih kelainan-bawaan; tumor, batu * serangan-serangan * hematuri rekuren hematuri sebelumnya * oliguri * glomerulonephritis * telah mengalami gejala* penyakit darah gejala perdarahan; Siekel eell Pemeriksaan fisik : * edema, hipertensi * glomerulonephritis * teraba tumor dalam * kelainan bawaan; tumor abdomen * trauma lokal * genitalia ext. : laserasi * trauma lokal * gejala klin. penyakit * penyakit darah perdarahan Pemeriksaan penunjang Rotine : – menilai urin dengan mata telanjang : hematuri/gumpalan darah – urin lengkap – darah lengkap, ureum, creatini Selektip : – kultur dan resistensi urin – protein urin , kuantitati dan kalsium – darah : ASTO, komplemen C 3 dan C 4, sickle eell preparat Lain-lain : – Rontgen, IVP, USG; – Biopsi ginjal Indikasi biopsi ginjal Menurut Gauthier : – hematuri bersamaan dengan proteinuri > 1000 mg/M 2/24 jam – hematuri bersamaan dengan proteinuri sedang (100 -1000 mg per M2/24 jam yang persisten lebih dari 6 bulan – anamnesis dalam keluarga ada dugaan hereditary nephrothy – gejala klinik yang persisten sampai remaja

t Norman : tbila hematuri non-glomerular dapat disingkirkan gaan keras ada nephritis atau "hematuri" dalam keluarga hematuri mikroskopik yang telah berlangsung lama disertai episode gross hematuria yang persisten (>_ satu tahun) bersamaan dengan hipertensi dan nephrotic syndrome, atau infeksi sistemik bersamaan dengan proteinuri yang signifikan dengan atau silinder selular dalam sedimen urin kebutuhan keluarga untuk mengetahui diagnosisnya. IKASI RUJUKAN Anamnesis keluarga didapatkan glomerulonephritis, tuli , gagal ginjal menahun (chronic renal failure) atau transtasi ginjal. 2) Serangan gross hematuria rekuren. 3) Keluhan pans, arthritis atau arthralgia dan skin rash. 4) Proteinuri yang berat tanpa hematuri makroskopik. 5) Kenaikan kadar BUN dan kreatinin. 6) Kekhawatiran dari pihak keluarga. PENGOBATAN DAN PROGNOSIS Pengobatan dan prognosis hematuri ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya oleh perjalanan penyakit penyebabnya yang tidak akan dibiearakan di sini. Benign persistent hematuria yang sering dijumpai di kamar praktek tidak memerlukan terapi spesifik. Dalam hal ini penting untuk memberikepereayaan (reassurance) padapenderitamaupun pada keluarga agar supaya tidak gelisah dan mengetahui, bahwa prognosis baik pada jangka waktu yang lama. Aktifitas fisik tidal( perlu dibatasi. KESIMPULAN 1. Urin berwama merah harus dibedakan antara hematuri yang sebenamya (eritrosit +). 2. Tiap hematuri harus diobservasi, evaluasi berulang. 3. Tujuan utama pada hematuri adalah mencari lokalisasi dan penyebabnya perdarahan.

4. 5. 6.

Pada hematuri yang persisten dan menahun perlu diadakan anamnesis keluarga. Prognosis dan pengobatan ditentukan oleh banyak faktor. Reassurance dengan mengetahui posisi penyakitnya untuk disampaikan pada penderita atau anggauta keluarga adalah penting.

KEPUSTAKAAN 1. Alatas H. Penatalaksanaan hematuri pada anak. Dalam Kedaruratan pada penyakit ginjal anak. PKB IKA XXII FKUI (Jakarta, 1990) hal. 113-126. 2. Coe F L. Alterations in urinary function. In : R.R. Petersdorf et al (Eds) Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th ed. (Tokyo; McGraw-Hill, 1983). pp. 213-214. 3. Coe F L, Brenner B M. Diseases of the kidney and urinary tract. In : R.E. Petersdorf et al. (Eds) Harrison's Principles of Internal Medicine, 10th ed. (Tokyo; Mc Graw-Hill, 1983). p 1597. 4. Drummondi K N. diagnostic assesement. In : R.E. Behrman and V.C. Vaughan III (Eds). Nelson Textbook of Pediatrics, 12th ed. (Philadelphia; W.B. Saunders, 1983) pp. 1307, 1310-1311. 5. Gauthier B et al. Nephrology and Urology for the pediatrician, 1st ed. (Boston; Little, Brown 1983) pp. 87-101. 6. Houston I B. et al. Disorders of the urogenital system. In : John O. Forfar, G.C. Ameil (Eds) Textbook of Pediatrics, 3rd ed. (New York; Churchill Livingstone, 1984) pp. 1045, 1067-1068. 7. James, J.A. : Renal disease in childhood (St. Louis; Mosby 1972). p 58. 8. KassirerJP, Gennari FJ. Laboratory Evaluation of Renal Function. In : L.E. Early, C.W. Gottschalk (Eds). Strauss and Welt's Diseases of the Kidney, 3rd ed. (Boston; Little, Brown 1979). p. 72. 9. Lewy J E. Nephrology : Renal diseases. In : R.E. Behrman and R. Kliegman (Eds) Nelson Essentials of Pediatrics. (Philadelphia; Saunders 1990) pp. 564-566. 10. Norman, M E. An Office Approach to Hematuria and Proteinuria. Ped. Clin. of N. Am. 34 (3) : 545-552. 11. Papper S. Clinical Nephrology, 2nd ed. (Boston : Little, Brown, 1978). pp. 193-6. 12. Rose B D. Diagnostic approach to the Patient with Renal Disease. In : B.D. Rose (Ed) Pathophysiology of Renal disease (New York; McGraw-Hill 1981). pp. 35-38. 13. Stapleton F B. Morphology of Urinaru Red Blood Cells : A Simple Guide in Localizing the Site of Hematuria. Ped. Clin. of N. Am. 1987. 34 (3) 561-569. 14. Swartz M W. Hematuria. In : G R. Fleister, S. Ludwig (Eds). Textbook of Ped. Emergency, 2nd ed. (Baltimore; Williams and Wilkins 1988). pp. 197-199. 15. Tambunan T. Aspek medik keracunan jengkol pada anak. Dalam Kedaruratan pada penyakit ginjal anak. PKB IKA XXII FKUI (Jakarta, 1990) hal. 91-100.

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

125

Hematuri pada anak aspek radiologi Linda Supardi Bagian Radiologi Rumah Sakit Somber Waras, Jakarta

Hematuri merupakan salah satu gejala yang sering discbabkan oleh adanya kelainan pada traktus urinarius. Pemeriksaan radiologi merupakan penunjang diagnostik yang penting pada kasus-kasus urologi. Banyak imaging diagnostic procedure yang dapat dilakukan pada kasus urologi anak, apalabi saat ini alai diagnostik canggih sudah banyak diperkenalkan dan dipergunakan di Indonesia khususnya di Jakarta ini. Namun sebaiknya dipilih Imaging Procedure yang tepat dan terarah yang disesuaikan dengan penemuan kelainan pada pemeriksaan klinis dan laboratoris lengkap. Pemilihan imaging diagnostic procedure yang tepat akan mengurangi pembiayaan, risiko, rasa tidak enak (discomfort) dan juga penggunaan sinar-X. PLAIN FOTO ABDOMEN (B.N.0) Merupakan pemeriksaan dengan sinar X yang paling sederhana, sering diperlukan untuk penilaian pendahuluan sebelum dilakukan pemeriksaan radiologi lainnya; dapat melihat kalsifikasi intraabdomen, tumor mass, sistim skeletal. Hasil foto akan lebih baik bila sebelum pembuatan foto pasien dipersiapkan (cuci perut), untuk menghilangkan kemungkinan sisa faeses yang akan mengganggu penilaian daerah ginjal. Persiapan seperti ini sulit dilaksanakan pada kasus bayi/ anak kecil. Dapat dibuat di klinik rontgen sederhana , tetapi batu radiolusen tidal( terlihat pada plain foto. INTRA VENOUS PYELOGRAPHY (LV.P.) Merupakan prosedur dasar pada kasus urologi, berdasarkan dieksresikannya zat kontras radioopak yang disuntikkan intravena oleh kedua ginjal. Teknik ini terutama untuk menilai anatomi traktus urinarius dan juga evaluasi fungsi ginjal. 126

Cernein Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sebelum pasien menjalani pemeriksaan ini, yaitu tidak dilakukan pada pasien dengan alergi zat kontras dan tidak dilakukan pada newborn infant karena adanya faktor imaturitas fungsi ginjal dan imaging yang dihasilkan tidak baik; pada anak yang tidak kooperatif pengerjaannya menjadi sulit. MICTURATING CYSTO URETHROGRAPHY (M.C.U) Biasanya dilakukan untuk penilaian lower urinary tract atau untuk melihat adanya refluks vesicoureterie. Tindakan tidak mengenakkan anak karena untuk memasukkan kontras urographik secara retrograd ke dalam bull dilakukan dengan bantuan kateter; selain itu perlu penanganan yang terjamin sterilitasnya karena tindakan ini bisa mengakibatkan komplikasi infeksi dan atau luka traumatis. Pada kasus infant dan anak yang tidak kooperatif harus dilakukan di bawah kontrol fluoroskopi, sebab foto harus dibuat saat miksi, dan selain itu saat buli-buli penuh dan post voiding. RETROGRADE URETHROGRAPHY (khusus untuk anak laki-laki) Untuk penilaian urethra anterior; sedangkan urethra posterior kurang baik dilihat dengan tehnik ini karena pada pengisian kontras secara retrograd, urethra posterior kurang distended akibat adanya spasme pada sphincter externa. Kateter dimasukkan sedikit di ujung urethra anterior, lalu glans penis dijepit/dipencet dengan jari pemeriksa sewaktu kontras disemprotkan melalui kateter. RETROGRADE PYELOGRAPHY (R.P.G) Merupakan tindakan yang lebih invasif karena memasukkan kateter ureter ke dalam ureter oleh dokter urologi dengan bantuan

sistoskopi dalam keadaan pasien teranestesi; memerlukan sterilitas yang tinggi, oleh karena itu di RSSW dilakukan di kamar operasi. Setelah kateter ureter didorong sampai pelvis renis (dipantau dengan alat fluoroskopi), kontras disemprotkan. Bila ada obstruksi di ureter maka ureter kateter tidak bisa melewati obstruksi. Pemeriksaan ini hanya dilakukan bila pemeriksaan lainnya masih belum memberikan informasi yang diperlukan. C T SCANNING Peralatan eanggih yang mempergunakan komputer, dapat memberikan imaging yang bagus, yang tidak dapat ditampilkan oleh radiografi konvensional; bebas dari keterbatasan akibat faktor superposisi dan dapat menghasilkan cross section imaging dari tubuh. Bekerja berdasarkan adanya beda densitas dari berbagai organ tubuh dalam attenuasi X-ray yang dianalisa dengan komputer. Selain memperlihatkan anatomi abdomen dapat juga untuk menilai fungsi ginjal pada scan setelah penyuntikan kontras urographie intravena. Merupakan prosedur pilihan untuk kasus trauma tumpul abdomen dengan kecurigaan kerusakan traktus urinarius, karena bisa memperlihatkan imaging yang sulit ditampilkan pada BNO-IVP; juga sangat baik untuk kasus tumor ginjal. NUCLEAR IMAGING Untuk dapat memberikan data peneitraan (imaging) maka organ tubuh harus dijadikan sumber radiasi sehingga dapat diamati untuk menentukan besar/bentuk/letak organ Berta kelainannya : Dilakukan dengan menyuntikkan intravena radiofarmaka yang akan memanearkan radiasi Gamma; Dapat dieatat dalam bentuk kurva (renogram) atau dibuat scanning oleh alat gamma camera. Pemeriksaan ini tidak spesifik. ULTRASONOGRAPHY Dibiearakan tersendiri. ANGIOGRAPHY Merupakan tindakan invasif; baik untuk penilaian tumor, trauma. BEBERAPA PENYAKIT/KELAINAN DENGAN GEJALA HEMATURI PERADANGAN 1) GLOMERULONEPIIRITIS : Diagnostik imaging : BNO/IVP, USG. – GNA: – tidak ada gambaran khas pada BNO/IVP. – kadang ginjal membesar difus, smooth contour, collecting system normal.

GNC: – kedua ginjal mengencil, smooth contour, collecting system normal. 2) PYELONEPHRITIS : Diagnostik imaging : BNO/IVP, USG, Nuelear imaging, arteriografi renal, MCU. – PNA: – BNO/IVP pada kebanyakan kasus normal. – kadang ginjal yang sakit sedikit membesar, opasifikasi sistim kalises agak lambat dan rendah. – PNC: – BNO : contracted kidney. – IVP : clubbing kalises yang terkena, parenchym yang berdekatan mengisut, permukaan tak rata. Lama-kelamaan ginjal contracted. Gangguan ekskresi, poor function. 3) CYSTITIS : Pada anak dikenal : aeute hemorrhagie eystitis, Cytoxan cystitis, non speeifie tumor like eystitis; bisa phase akut dan pad phase kronis. Acut hemorhagic cystitis sering ditemukan anak, viral infection/colli infection. Diagnostik imaging : BNO/IVP, cystogram, MCU. Pada IVP/Cystogram : buli bundar, contour iregularity karena penebalan mukosa, small capacity, atau cobble stone pattern. Gambaran ini bisa difus atau terbatas hanya pada basis buli./ trigone, mild uretereetasis/refluks (kadang-kadang). Bentuk kronis : eontraeted bladder, small capacity contour ireguler, elevasi dan deformitas basis buli-buli dan kadangkadang obstruksi uretrovesical junction atau refluks. 4) BATU TRAKTUS URINARIUS : Terdiri dari 80% batu opak, batu luscent (urate, xanthine, cystine); lokasi : kaliks, pielum, ureter, buli, urethra (laki-laki). 75% kasus di tr. urinarius atas, 10% di tr. urinarius bawah. Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, RPG, MCU. BNO : batu opak terlihat (bisa di proyeksi ginjal, ureter, buli, urethra) batu luscent tak tampak pada BNO. IVP : tergantung letak batu, ukuran dan tingkat obstruksinya. Bisa terjadi gangguan ekskresi, opasitas kontras menurun, pembendungan hydroureter/hydronephrosis, pembesaran contour ginjal dengan smooth contour dan penipisan cortex. Batu buli umumnya opak laminated, batu urethra sangat jarang. 5) GINJAL POLIKISTIK Gejala : hematuri, hipertensi; sangat jarang pada anak, autosomal resesif, berakibat fatal. Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, CT scan. BNO/IVP : bila fungsi renal masih baik nephrogram membesar bilateral, permukaan licin, batas/tepi tak tegas, densitas tidak homogen ada bayangan luscent pada parenkim ginjal. Stretehing kalises karena terdesak pertumbuhan multikistik, Sering fungsi ginjal sudah menurun sehingga gambaran khas polikistik baru tampil pada late foto (12 - 24 jam). Gambaran sistim Tr. urinarius lainnya baik. USG dan CT scan akan lebih baik menampilkan gambaran ginjal polikistik. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

127

6)

TUMOR TR. URINARIUS : Tumor ginjal : Wilms tumor, Renal eell Ca, Tumor sekun-

der.

Tumor ureter : jinak (polip), ganas (primer)/sekunder (infiltrasi/metastasis). Tumor buli. Diagnostic imaging : BNO/IVP, USG, CT scan, Arteriografi. Wilms tumor : terbanyak pada Tr. urinarius dan merupakan tumor ganas anak tersering ditemukan. Diagnostic imaging : USG, BNO/IVP, CT sean. BNO : soft tissue mass besar yang mendorong usus.

128

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

IVP : ginjal membenjol lokal (tergantung pole ginjal yang kena). Massa tumor lebih dense dari parenchym normal. Kalises tertekan dan tergeser menjauhi massa. Ureter/buli normal. Biladi pool atas ginjal, DD/Neuroblastoma adrenal. USG danCTsean memperlihatkan tumor lebih balk. CT scan bisa menilai lebih luas, untuk kemungkinan terkenanya ginjal yang lainnya, ekstensi sekitar dan kemungkinan metastase (retroperitoneal) dan metastase jauh (hepar). USG : selain menampilkan gambaran tumor dengan balk, juga bisa menilai vena cava thrombus sebagai metastasis tumor Wilms. Polip/tumor tr. urinarius lainnya sangat jarang pada anak.

Hematuri pada anak aspek sonografi Melani

W.

Setiawan

Unit Ultrasonografi Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Masalah utama pada hematuria adalah banyaknya kemungkinan penyebab. Penting untuk melokalisasi asal sel darah merah dalam traktus urinarius. Penyebabnya dapat diduga setelah mengetahui keluhan dan pemeriksaan fisik yang dapat dikonfirmasi dengan berbagai pemeriksaan laboratorium yang sesuai. Hal ini mudah dilakukan dengan eara Out patient basis. Terdapat berbagai pemeriksaan standar spud urinalisis, kultur urine, pemeriksaan darah, dan sitologi. Ultrasonografi (USG) pada anak memberi keuntungan antara lain : tidak memakai radiasi, tidak invasif, m udah dan cepat dilakukan sehingga bermanfaat untuk follow-up dan menemukan komplikasi. Tujuan dari penelitian retrospektif ini adalah untuk menilai manfaat sonografi sebagai salah satu sarana penunjang diagnostik untuk mengevaluasi hematuria dalam mencari lokalisasi dan penyebab adanya darah. BAHAN DAN CARA Selama kurun waktu 5 tahun 4 bulan dan Januari 1987– Mei 1992 telah dilakukan 131 pemeriksaan USG traktus urinarius pada anak. Pada 38 (29%) anak mempunyai Wuhan kencing berwarna kemerahan atau mcrah-coklat. Umur penderita berkisar antara 4 bulan sampai 13 tahun dengan rata-rata 6 tahun 3 bulan, 24 laki-laki dan 14 perempuan. Mereka berasal dari rujukan poliklinik 11 (30%) anak, rujukan ruangan 20 (52%) anak dan perm intaan konsultasi dari sejawat di luar Rumah Sakit 7 (18%) anak. Umumnya data klinis pada surat permintaan sangat terbatas dan tidak menunjukkan tipe atau beratnya hematuria. Pemeriksaan dilakukan dengan memakai alat Toshiba SSA 90 A dcngan transduser Iinier dan sektor 3,75 MHz.

HASIL Tabel 1 menunjukkan 12 (31%) dari 38 penderita yang diperiksa mempunyai gambaran sonografi normal, sedangkan pada 26 (69%) kasus ditemukan kelainan pada sonografi; 2 kasus menunjukkan kelainan minimal yaitu pelebaran ealyees dan ureter proximal. Kelainan yang terbanyak ditemukan adalah adanya batu di traktus urinarius yaitu 8 (21%) kasus. Pada kasus dengan kelainan parenkim ginjal tampak kortek yang lebih ekhojenik dibandingkan dengan hati dan limpa pada 9 (25%) kasus. Sedangkan 5 (14%) dari 9 kasus tersebut disertai volume ginjal yang lebih besar dari normal (tabel 2). Tabel 3 menunjukkan 8 (21%0) kasus hematuria yang disertai tanda-tanda infeksi traktus urinarius. Di antaranya terdapat 4 (10%) kasus dengan sistitis menunjukkan penebalan dinding buli-buli. Pada 1 anak perempuan berumur 4 bulan ditemukan Wilm's tumor yang tidak diikuti perkembangan penyakitnya. Sedangkan satu anak dengan keeurigaan tumor bulibuli, pada USG tidak ditemukan kelainan. Pala trauma tumpul abdomen ditemukan 1 kasus dengan contusio ginjal kanan dan 1 kasus dengan hematoma pada pole inferior ginjal kanan. Sedang pada 1 anak yang jatuh terduduk, tidak ditemukan kelainan pada traktur urinarius. DISKUSI Banyak penderita yang dikirim dengan keluhan hematuria tanpa dilengkapi dengan data klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain sehingga menyulitkan diagnostik danfollow-up penderita yang bcrsangkutan. Path penelitian ini dari 131 anak yang dikirim untuk pemeriksaan USG, 38 (29%0) datang dengan keluhan hematuria. Ini sesuai dengan Foreman yang melaporkan bahwa hematuria/

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81.1992

129

Table 3. Correlation of ultrasound findings and the outcome

Tabel 1. Findings of sonography in 38 patients

Normal findings Minimal changes Echogenic cortex + nephromegaly Urinary calculi Renal Bladder Urethra Bladder wall thickening Tumor Contusion/HIematoma

5 5

No

%

12 2 9

31 5 24

8

21

4 1 2

10 3 5

4 3 1

Tabel 2. Correlation of sign & symptoms with ultrasound findings Sign & Symptoms HHematuria H H + Dysuria HH + glomerulonephritis HH+UTI H H + Tumor 11 + Trauma Total

US abnormal findings

Total

4 5 9 5 1 2

6 5 13 8 2 3

26 (69%)

38

proteinuria merupakan alasan kedua yang tersering (25%) dari penderita yang dikirim ke rumah sakit t ' 1. Batu dalam traktus urinarius sebagai penyebab hematuria ditemukan pada 20% kasus (2). USG dapat menemukan semua batu ginjal dan buli-buli yaitu dalam 21% kasus kami. Beberapa peneliti melaporkan bahwa sensitifitas USG sama akurat dengan foto polos untuk mendiagnosis batu ginjal(3' 4) . Kami berpendapat bahwa kekurangan USG hanya dalam menemukan batu keeil di ureter, seperti pada 2 kasus dengan dilatasi kalikses dan ureter proximal secara sonografi tidak ditemukan penyebabnya. Pada keadaan ini foto polos mungkin dapat membantu 0 . Pada kolik ureter USG dapat dipakai sebagai initial screening modality (6)• Bila obstruksi ureter masih stadium dini, mungkin belum ditemukan dilatasi proximal, maka Pyelografi Intra Vena (PIV) tetap merupakan pilihan utama(4.'''). Path 9 dari 13 anak dengan kecurigaan glomerulonephritis dapat dikonfirmasi secara klinis dan laboratoris. Pada 5 dari 9 kasus ini juga ditemukan parenkim ginjal yang Iebih tebal; menurut Paivansalo hal ini hanya ditemukan path kelainan tubulo-interstitial. Diagnosis kelainan parenkim ginjal harus dikorelasi dengan gambaran klinis dan hanya dapat dibuktikan 2) dengan biopsi ginjal( 4.9.10 •' yang akan lebih mudah dan tepat bila dibimbing dengan USG('). Dalam mencari penyebab mikro-hematuria pada orang dewasa USG lebih bermanfaat dari IVP misalnya untuk mendiagnosis keganasan dari traktus urinarius(9,13,14), tetapi pada 130

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

Indication

Ultrasound findings

Outcome

Hematuria

2 n.p. 1 dilated calyces 1 dil. cal. + ureter prox. 2 nephrolithiasis RK/LK

Ro : no urolithiasis

H + Dysuria Suspect vesicolithiasis

1 n.p. 1 nephrolithiasis RK 1 vesicolithiasis + HN 2 vesicolithiasis 1 urethrolihiasis proximal

Ro : no vesicolit, GNA Surgery : no vesicolit. IVP 2 i.f.0 Urethrolithotripsy

H + Suspected glomerulo nephritis -

4 n.p. 9 cortex more echogenic (5 nephromegaly)

IVP 7 GNA 1 GNA + hyperten. nephrop. 1 GNC + hyperten. nephrop.

IH + Suspected UTI

3 n.p.

1 Upper UTI 2 Lower UTI Lower UTI 4 Cystitis

1 nephrolithiasis RK 4 bladder wall thickening H + Suspected tumor H H + Trauma

1 1 1 1 1

n.p. Wilm's tumor LK n.p. contusion RK hematoma pole inferior RK

UTI 1 i.f.0

2 i.f.0 US : normal RK

Keterangan : np. = nothing particular i.f.u. = lost to follow-up 1/N = hydronephrosis

anak-anak kelainan ini jarang ditemukan(10) . Kami hanya menemukan satu penderita dengan tumor Wilm. Trauma tumpul abdomen merupakan masalah yang eukup string ditemukan pada anak-anak. Umumnya USG eukup sensitif untuk mendeteksi trauma pada ginjal, terutama untuk follow-up komplikasi seperti : kista, jaringan parut dan lain(15) lain . Pada 12 (31%) kasus yang tidak ditemukan kelainan pada sonografi, didapat sebagai diagnosis akhir 4 glomerulonephritis akuta, 3 infeksi saluran kencing, 1 tidak dapat ditelusuri dan 4 (10%) kasus tanpa kelainan/diagnosis. Sedangkan Perone yang melakukan peneil tian pada 250 kasus menemukan bahwa dengan pemeriksaan yang sesuai, etiologi dari hematuria-berulang dapat ditemukan path lebih dari 80% kasus KESIMPULAN Gambaran USG abnormal ditemukan pada 69% kasus dengan hematuria. Batu traktus urinarius merupakan kelainan yang paling sering ditermukan yaitu pada 8 (21%) penderita. Kortex ginjal yang lebih ekojenik ditemukan pada 9 (24%) kasus kelainan parenkim ginjal, tetapi harus dikorelasi dengan gambaran klinis dan diagnosis pasti baru dapat ditegakkan dengan biopsi ginjal. Hematuri pada anak umumnya disebabkan oleh infeksi, batu atau kelainan parenkhim ginjal. Ultrasonografi dapat dipakai

sebagai cara pertama untuk melakukan evaluasi pada hematuria terutama path gross-hematuria walaupun pada beberapa kasus masih diperlukan diagnostik imejing lain. Bahan dari penelitian ini hanya sedikit, karena itu masih diperlukan pengalaman lebih banyak untuk dapat menarik kesimpulan yang lebih akurat. KEPUSTAKAAN 1. Foreman JW, Chan JC. 10-year survey of referrals to a pediatric nephrology program. Child Nephrol Urol 1990; 10 : 8-13. 2. Abuelo HG. Evaluation of Hematuria. Urology 1983; 21 : 215. 3. Middleton WD, Dodds WJ, Lawson TL, Foley WD. Renal calculi : sensitivity for detection with US. Radiology 1988; 17 : 239-44. 4. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Ultrasonography compared with intravenous urography in the investigation on adults with haematuria. BMJ 1990; 301 : 1074-6. 5. Lewis-Jones HG, Lamb GHR, Hughers PL. Can ultrasound replace the intravenous urogram in the preliminary investigation of renal tract disease. Br J Radiol 1989; 62 : 977-80.

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

15. 16.

Erwin BC, Carroll BA, Sommer FG. Renal colic : the role of ultrasound in initial evaluation. Radiology 1984; 142: 147-50. PlattJF, Rubin JM, Bowerman RA, Mam CS. The inability to detect kidney disease on the basis of echogenicity. AJR 1988; 151: 317-319. Spencer JA, Lindsell DR, Mastorakou I. Can ultrasound replace the intravenour urogram ? Br J Radiol 1990; 63 : 247-8. Murakami S, Igarashi T, Hara S, Shimazaki J. Strategies for asymptomatic microscopic hematuria : a prospective study to 1,034 patients. J Urol 1990; 144 : 99-101. Perrone HC, de Moya L, Martini Filho D, de Moura LA, et al. Recurrent hematuria in children : study of 250 cases. AMB 1989; 35 : 167-70. Paivansalo M, Huttunen K, Suramo I. Ultrasonographic findings in renal parenchymal diseases. Scand J Urol Nephrol 1985; 19 : 119-123. Pettersson E. Diagnosis in hematuria. Nord-Med 1990; 105: 151-3. Howard RS, Golin AL. Long-term follow-up of asymptomatic microhematuria. J Urol 1991; 145 : 335-6. Aslaksen A, Gadeholt G, Gothlin JH. Ultrasonography versus intravenous urography in the evaluation of patients with microscopic haematuria. Br J Urol 1990; 66 : 144-7. Moel DI. Urinalysis, investigation of hematuria and renal biopsy. Clin Pediatr Urol 1985; 2 : 1093. Swischuk Le. Abdominal trauma with hematuria. Pediatr 1990; 66 : 247-8.

Cermin Dwtia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

131

Hematuri pada anak aspek urologi Zainal Abidin Bagian Bedah Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta

Sebagian besar penyebab hematuria pada anak adalah glomerulonephiritis dan infeksi saluran kencing. Orang tua atau dokter harus memperhatikan dan mengevaluasi lebih lanjut apabila warna keneing anaknya merah atau seperti minuman eoca eola. Batasan mikro hematuria bila jumlah sel darah merah lebih dari 5 per lapang pandang besar. Panting untuk menentukan penyebab dan lokalisasi dari hematuria. Penyebab hematuri seeara garis besar dibagi dalam 2 grup : I) Penyebab Renal : A) Glomerulopathies : 1. Primer, misal : Glomerulonephritis 2. Sistemik, misal : Hemolytic Uremic Syndrome B) Non Glomerular Renal Bleeding 1. Sistemik, misal : Sickle cell trait and disease 2. Vaskuler, misal : Renal venous thrombosis 3. Parenchymal: Infeksi — Pyelonephritis Obstruksi : — Ureteropelvic junetion - Ureterovesical reflux — Nephrolithiasis Neoplasma - Wilms Tumor Trauma II) Penyebab Post Renal : Urolithiasis Cystitis & Urethritis Trauma Di antara penyebab di alas yang berhubungan dengan kasus urologi adalah : obstruksi, neoplasma, trauma, urolithiasis, eystitis dan urethritis. Apabila ada gejala mikrohematuria tanpa disertai protein uri, harus dibuat Pyelografi Infra Vena (PIV) dan bila ada kecurigaan 132

Cermin Dunia Kedoiaeran Edisi Khusus No. 81,1992

infeksi bisa dilakukan pemeriksaan Voiding Cysto Urography (VCUG) untuk menilai ada tidaknya reflux vesieo ureter. Jika hematuria menetap, makin berat atau hilang timbul, atau pada pemeriksaan urogram curiga adanya lesi di kandung kencing atau urethra perlu pemeriksaan Urethrosistoskopi. Urutan kasus urologi yang sering menimbulkan hematuria pada anak ialah : trauma, obstruksi, batu, urethritis dan neoplasma('). TRAUMA SALURAN KEMIH : A) Trauma ginjal pada anak Trauma ginjal pada anak mudah terjadi dibandingkan dengan orang dewasa oleh karena proteksi daerah sekitar ginjal tidak sebaik pada orang dewasa dan ukuran ginjal relatif lebih besar. Laki-laki lebih sering dibanding wanita. Hematuri merupakan tanda yang paling sering pada trauma ginjal, selain adanya riwayat trauma daerah pinggang atau daerah abdomen sisi lateral. Diagnosis ditegakkan dengan PIV untuk menilai derajat trauma dan fungsi gin jal sisi kiri dan kanan. Sonografi dikerjakan karma mudah dan tidak invasif. Sonografi bisa menilai kondisi parenchym ginjal, lokalisasi dan derajat hematoma, apakah intra renal, subcapsular atau ekstra renal. Pada kondisi tertentu perlu pemeriksaan renal scan, angiografi renal atau retrograd pielografi. Derajat trauma ginjal dibagi dalam : 1) Kontusio ginjal. Terjadi lebih kurang 85% dari trauma ginjal. Didapatkan hematoma ginjal, tapi kapsul ginjal masih utuh. Pada PIV gambaran system pelviokalises ginjal normal. Terapi : konservatif.

2) Ruptura ginjal. Bisa sederhana maupun berat. Sekitar 10% dari trauma ginjal. Terjadi robekan parenchym dan kapsul ginjal. Pada PIV didapatkan ekstra vasasi dari kontras atau daerah non-visualisasi/luscent karena kerusakan parenehym ginjal. Terapi perlu tindakan eksplorasi operatif. 3) Ruptura pedikel ginjal. Bisa terjadi perdarahan yang hebat, sehingga keadaan umum penderita jelek. Pada PIV tidak nampak visualisasi kontras. Terapi perlu penanganan segera dengan eksplorasi operatif. B) Trauma ureter pada anak Jarang terjadi karena keeil dan lentur, serta proteks i jaringan sekitarnya cukup baik. Trauma tembus benda tajam lebih sering daripada trauma tumpul. Keluhan utama ialah adanya riwayat trauma dan hameturia. Diagnosis ditegakkan dengan PIV. Terapi dengan eksplorasi operatif. C) Trauma kandung kemih pada anak Kandung kemih pada anak relatif lebih ke arah intra peritoneal dan proteksi oleh tulang pelvis kurang baik dibanding orang dewasa. Trauma daerah kandung kemih sering disertai fraktur os. pelvis. Pada anamnesis didapatkan keluhan riwayat trauma daerah supra simpisis, nyeri supra simpisis, susah miksi dan hematuri. Aseites timbul bila ada rembesan urine ke dalam rongga intraperitoneal. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan sistografi. Sistokopi dikerjakan bila diagnosis masih meragukan. Terapi dengan eksplorasi operatif. D) Trauma Urethra pada anak Trauma pada daerah urethra anterior jarang terjadi. Trauma daerah bulbus urethra sering akibat straddle injury biasanya jatuh pada posisi terduduk. Trauma daerah urethra posterior biasanya trauma tumpul dan sering diikuti oleh fraktur ossis pubis. Pada anamnesis didapatkan keluhan riwayat trauma, darah menetes di orifieium urethra eksterna, hematuria, kesulitan miksi. Pemeriksaan radiologi dengan urethrografi. Terapi dilakukan pemasangan kateter tanpa atau dengan tindakan operatif. OBSTRUKSI Faktor obstruksi yang sering memberikan keluhan utama hematuria : 1) Ureteropelvic junction obstruction (Subpelvic Stenosis) Penyebabnya: a) Bendungan mekanik dari luar, misalnya pembuluh darah yang menyeberang. b) Kelainan neurogenik. Bisa terjadi unilateral maupun bilateral. Gejala dan tanda-tanda yang didapat : Hematuria, kadang-kadang pyuria

Teraba masa ginjal Nyeri ketok kostovertebra Nausea dan vomitus Pemeriksaan lanjutan : PIV; Voiding Cystourography (VCUG) pyelografi retrograd dan sonografi. Terapi dengan operasi Pyeloplasty. 2) Vesico Ureteral Reflux Normalnya, air kemih yang sudah masuk ke dalam kandung kemih tak bisa mengalir ke ureter, disebabkan sistem muara ureter ke kandung kemih berupa flap. Aliran kembali atau reflux terjadi akibat kelainan kongenital atau sistitis, terutama di daerah muara ureter. Gejala klinik biasanya didahului adanya ISK; kadang-kadang disertai hematuria. Pemeriksaan lanjutan : VCUG; PIV dan sistoskopi. Terapi mulai dari konservatif menghilangkan ISK sampai dengan tindakan operatif Uretero Neo Sistostomy. Apabila infeksi susah diberantas, gangguan fungsi ginjal dan perubahan anatomi dari sistim pelvioealises. 3) Batu saluran kemih pada anak Batu saluran kemih pada anak relatif jarang dibandingkan dengan orang dewasa. Gejala yang timbul biasanya gross hamaturia, uro-sepsis, nyeri eostovertebra, kolik, terutama bila batu bergerak di ureter. Kadang-kadang terjadi anuria bila batu menyumbat urethra. Bisa terjadi miksi tiba-tiba berhenti dan mengalir kembali pada perubahan posisi bila batu berada di buli-buli. Pemeriksaan lanjutan dengan PIV. Sonografi sangat berguna untuk menilai batu radio luscen, misalnya batu urat, batu sistin. Terapi pada prinsipnya pengeluaran batu dengan beberapa cara, antara lain :Konservatif, operasi, lithotripsi mekanik atau ESWL (Extra Corporal Shock Wave Lithotripsy).

SISTITIS DAN URETHRITIS PADA ANAK Hemorrhagic cystitis sering menyebabkan hematuria. Penyebabnya bisa bakteri, virus, parasit (Schistosoma hematobium), obat-obat immunosupresif dan anti neoplasma yang diinstilasikan ke dalam buli-buli radiasi. Blood spotting pasca miksi pada anak laki-laki bisa dikarenakan adanya divertikulum urethra. NEOPLASMA Wilms tumor atau renal embryoma atau nephroblastoma adalah tumor ganas yang paling sering ditemui pada anak (± 95%). Diagnosis mudah, oleh karena akan terlihat dan teraba massa di daerah abdomen. Gross hamaturia didapatkan hanya sekitar 12 - 25%. Gejala lain ialah demam, anemia dan hipertensi. Pemeriksaan lanjutan : PIV, USG dan kadang-kadang perlu renal angiografi maupun retrograd pyelografi. Terapi : nephrektomi dan khemoterapi. Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81. 1992

133

KEPUSTAKAAN 1. Abuelo JG. Evaluation of Hematuria. Urology 1983; 21 (3) : 215. 2. Cook W W. King L R. Vesico Ureteral Reflux. Urology 1979; 11 : 1596. 3. D'Angio G J. Duckettir Jr. J W, Belasco J B. Tumors, Upper Urinary Tract. Clinical Pediatric Urology, 2nd Vol. II, 1985, p 1157.

134

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khurus No. 81,1 992

4. 5. 6.

Malek R S. Urolithiasis. Clinical Pediatric Urology. 2nd ed. Vol. II; 1985, p 1093. McDougal W S. Persky L. Traumatic injuries of the Genitourinary System. Vol I, Baltimore; Williams & Wilkins, 1981. Moel D I. Urinalysis, investigation of hematuria dan Renal biopsi. Clinical Pediatric Urology. 2nd ed. Vol II, 1985 p. 1093.

II. SEVIPOSIUM SATELIT: PSIKOLOGI ANAK

Pendekatan Psikologis terhadap Anak yang dirawat dan sikap Orang Tua Prof. Singgih D. Gunarsa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , Jakarta

ANAK SAKIT DIRAWAT DI RUMAH SAKIT A. Keadaan anak 1) Anak sakit dan telah dirawat di rumah. Mungkin baru beberapa hari, mungkin sudah dirawat lebih lama. Pemindahan dari perawatan di rumah ke perawatan di Rumah Sakit, menimbulkan masalah tersendiri, antara lain karena perbedaan kualitas, larangan (peraturan) dan disiplin. 2) Dirawat secara tiba-tiba misalnya karena sakit atau keeelakaan, menimbulkan kegoneangan tersendiri (traumatik). Anak harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang baru, berbaring di tempat tidur, menghadapi perawat dan dokter yang barn dikenalnya. Baik keadaan nomer 1 ataupun nomer 2 di atas, anak membutuhkan dorongan, kekuatan, baik melalui ueapan atau kehadiran fisik orang tua dan yang tentunya disesuaikan dengan umur anak. B) Alasan anak dirawat 1) karena gangguan organis yang jelas. Sesuatu yang mudah terlihat misalnya karena patah kaki atau penyakit lain. 2) Karena gangguan non-spesifik seperti muntah-muntah, sakit lambung atau kejang-kejang. 3) Karena faktor psikogenik misalnya tidak mau makan (anorexia nervoda). Dengan memperhatikan latar belakang anak dirawat di Rumah Sakit, maka sikap-sikap dan ueapan-ueapan dari semua pihak yang merawat (termasuk keluarga) perlu disesuaikan dan mendasarkan pada sikap umum yang tujuannya adalah supportive (memberi dukungan dengan membesarkan hatinya). C) Lamanya anak dirawat 1. Singkat : 1— 2 hari 2. Sedang : 3 — 6 hari

3. 4.

Lama : lebih dari satu minggu Berulang-ulang. Lamanya seorang anak drawat di rumah sakit mempengaruhi pendekatan-pendekatan yang harus dilakukan, sedangkan ketepatan melakukan pendekatan (yang merupakan bagian dari perawatan) akan mempengaruhi proses kesembuhan anak. Pada anak yang dirawat hanya dalam waktu singkat, pemulihan diarahkan pada hal-hal yang traumatik. Sedangkan pada anak yang dirawat cukup lama, bahkan mungkin tergolong lama, perlu perhatian terhadap adanya efek : a) Pembiasaan : Terbiasa dilayani, diperhatikan, dibantu, merasa disayang, sehingga dapat muncul suatu reaksi untuk mempertahankan "sakitnya" agar terus mempereoleh perlakukan yang menyenangkan (secondary gain, instumental behaviour). b) hambatan emosi pada anak-anak yang terlalu lama dirawat di rumah sakit, sehingga jarang memperoleh respons afeksionalemosional (misalnya ucapan yang menyenangkan) dan mengakibatkan timbulnya gejala yang dikenal dengan istilah hospitalism dan yang kemudian mempengaruhi kondisi fisik secara umum pada anak. c) Metabolik, karena aktivitas yang terbatas sehingga kondisi fisik dan berat badan menurun secara drastis. d) Tugas sehari-hari pelajaran sekolah yang tertinggal dan menumpuk setelah sembuh, menimbulkan ketegangan tersendiri. Sikap penuh pengertian, khususnya dari orang tua, sangat diperlukan. D) 1. 2. 3.

Umur anak Bayi Pra-sekolah Usia sekolah Pada anak ada ciri-ciri umum sesuai dengan tahapan perkembangan (disamping ciri-eiri khusus sesuai dengan pribaCermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 31, 1992

135

dinya) dan karena itu semua jenis perlakuan (perawatan) perlu menyesuaikan hal ini. Menghadapi dan merawat anak usia empat tahun, delapan tahun dan 12 tahun, harus berbeda-beda. E. Latar belakang anak 1) Kondisi atau suasana keluarga. Corak hubungan antara pribadi dalam keluarga, akan mewarnai anak yang sedang dirawat. Orang tua, juga anggota keluarga berperan besar dalam "perawatan psikis" anak, faktor yang penting dalam proses penyembuhan dan kesembuhan anak. 2) Urutan anak dalam keluarga. Sebagai anak sulung, anak laki satu-satunya, anak tunggal, yang berpengaruh terhadap perkembangan pribadinya dan perikalku selama dirawat. 3) Kepribadian anak. Merupakan gambaran umum dari warna pribadinya yang terbentuk dari banyak faktor, diperlihatkan dalam berbagai ciri khusus dan yang perlu diperhatikan dalam proses perawatan. F) Lingkungan dan kondisi perawatan 1) Lingkungan atau ruangan. Sesuatu yang jelas tergantung dari kelas tempat anak dirawat. Namun patokan umum tetap berlaku : Tidak ada tempat, ruangan, kamar perawatan yang dirasakan nyaman bagi anak. Berbagai peraturan jelas membatasi kebebasan anak, apalagi kalau harus mengikuti prosedur perawatan dengan peralatan-peralatannya seperti pengambilan darah untuk pemeriksaan, injeksi, infus dan pemeriksaan lain yang harus dijalani. Masih termasuk lingkungan perawatan ini, di mana anak harus menyesuaikan yang kadang-kadang tidal( mudah ialah : ventilasi, lampu penerangan, bau-bauan. 2) Di dalam lingkungan perawatan, anak kehilangan tokoh yang biasa membantu dalam memenuhi berbagai kebutuhan, sehingga kehadiran orang tua acap kali diperlukan, khususnya pada permulaan anak dirawat. 3) Perawat sebagai tokoh pengganti ibu (substitute mother) yang dalam kenyataannya memang harus berganti-ganti, tidak khususdan jugabertugas sesuai dengan jadwal waktunya, mudah menimbulkan penilaian tersendiri, antara lain penilaian baik atau kurang baik. 4) Dokter sebagai tokoh sentral harus dianggap sebagai "malaikat" atau "tangan Tuhan" yang akan menyembuhkan anak, dan hubungan dokter-pasien, harus merupakan hubungan yang dapat mencipta keyakinan (rapport), bahwa ia akan dapat menyembuhkan. FAKTOR PSIKOLOGIS PADA ANAK YANG DIRAWAT A. Kecemasan terpisah (separation anxienty) Khususnya pada anak yang masih kecil, di mana keterikatan

136

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

(attachment) antara anak terhadap ibunya masih sangat kuat, maka dengan keadaan terpisah, akan menimbulkan keeemasankeeemasan. Banyak peneliti mengemukakan hasil penelitiannya, bahwa keadaan terpisah antara anak (khususnya pada anak yang masih kecil dan ketergantungannya masih besar) dengan ibu kandungnya, pada mulanya akan memberikan efek marah (anger), melawan (hostility) dan perilaku mundur (regressive behaviour, seperti mudah menangis dan mengompol), setelah itu reaksi lebih lanjut ialah mendekap terus menerus (clinging) sebagai reaksi dari sikap tidak mau atau takut terpisah lagi. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada kerja sama antara pihak rumah sakit dengan orang tua, khususnya ibu kandungnya.

B. Kondisi psikis anak yang sakit 1) Bertumpu pada kenyataan adanya kesatuan antara badan dan jiwa (body and mind unity) yang saling mempengaruhi. Keadaan sakit (organis) menimbulkan kegoncangan psikis (antara lain emosi) dan sebaliknya ketegangan yang dialami dapat menbulkan hambatan kefaalan (psikofisologik) dan lebih lanjut psikosomatik. Memahami kenyataan ini akan memahami pula bahwa pada anak yang hal ini jelas menggoneangkan stabilitas emosinya. Namun harus segera diatasi agar tidak menimbulkan reaksireaksi negatif dan tidak rasional atau tercekam pada kekhawatiran yang berlebihan (overanxious). Penjelasan mengenai keadaan anak secara objektif namun kadang-kadang perlu mempertimbangkan ucapan, terminologi dan pengkalimatan yang baik dari pihak rumah sakit, sangat diperlukan. Dalam hal ini harus diingat bahwa orang tua adalah salah satu faktorpenting dalam proses penyembuhan anak yang sakit. C. Kekhawatiran yang berlebihan dapat menimbulkan sikap melidungi yang berlebihan pula (overprotection) yang dampaknya tidak baik bagi anak yang bersangkutan dalam kaitan dengan perkembangan pribadinya, bagi saudara-saudaranya (kalau ada) dan bagi orang tua sendiri yang "hilang kepercayaan dirinya". D. Perlu perubahan sikap dan perlakuan orang tua, khususnya pada anak yang dirawat dan yang sebab utamanya adalah gangguan non-spesifik atau psikogenik. Penyesuaian diri kembali (readjustment) membutuhkan waktu yang eukup, khususnya terhadap tugas sehari-hari di sekolah. Banyak anak yang mengalami ketakutan sekolah (school-phobia), bahkan mogok sekolah (school refusal) karenakesulitan menghadapi pelajaran-pelajaran sekolah yang tidal( atau belum dapat diatasi.

Batuk Kronik padaAnak Herman Sidharta Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Rumash Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENDAHULUAN Batuk bukanlah suatu penyakit tersendiri, tetapi merupakan manifestasi klinis utama dari banyak penyakit saluran nafas yang paling sering pada anak yang datang periksa pada dokter. Sebagai gejala, batuk adalah suatu refleks yang dieetuskan oleh maeam-maeam rangsangan pada reseptor-reseptor batuk yang terdapat pada mukosa sepanjang saluran nafas mulai dari faring sampai bronkioli sebagai upaya untuk membersihkan saluran nafas dari sekresi yang berlebihan atau benda-benda asing lainnya. Selain di dalam saluran nafas, reseptor-reseptor batuk juga terdapat pada pleura, diafragma, perikardium, bahkan di dalam meatus eksterna telinga. Bila gejala batuk ini menjadi berkepanjangan atau sering berulang dalam jangka waktu tertentu, di samping dapat menimbulkan berbagai komplikasi, juga menyebabkan keresahan pada orangtua sehingga batuk kronik ini sering menjadi masalah dan merupakan tantangan yang dihadapi para dokter yang menanganinya. Dalam hubungan ini kita dituntut untuk melakukan pendekatan klinis dan evaluasi yang cermat dan rasional untuk sedapat mungkin menghindarkan dilakukannya pemeriksaanpemeriksaan atau test-test yang mahal dan tidak perlu. Anamnesa yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang teliti memegang peranan yang dominan. Dalam upaya untuk menentukan definisi batuk kronik, dikenal dua pengertian yaitu : batuk yang berlangsung terusmenerus atau membandal (persistent), dan yang berulang yaitu timbul secara episodik dalam kurun waktu tertentu (recurrent). Karena suing sulit untuk membedakan batuk yang persisten dari batuk yang rekuren, maka tercipta istilah batuk kronik berulang (BKB) yaitu batuk yang bertahan lama dan/atau timbulnya berulang. Dalam Kongres Nasionak Ilmu Kesehatan Anak (KONIKA) tahun 1981 telah disepakati definisi Batuk Kronik

Berulang yaitu : Batuk yang disebabkan oleh berbagai etiologi yang berlangsung sekurang-kurangnya dua minggu berturutturut dan/atau berulang paling sedikit tiga episode dalam waktu tigabulan dengan/atau tanpa diserta ge jala respiratorik/nonrespiratorik lainnya. Karena batuk kronik sebagai gejala klinis mempunyai etiologi yang sangat beranekaragam sehingga diagnosis diferensialnyapun luas, maka anamnesis yang baik serta pemeriksaan fisik yang cermat menduduki tempat yang utama dalam mengevaluasi pasien-pasien ini. Pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium dan lain-lain tanpa didasari petunjuk-petunjuk dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik hampir selalu tidak akan mengungkapkan apa-apa. Untuk penatalaksanaan batuk kronik yang sebaik-baiknya, disini akan diuraikan secara singkat mengenai etiologi, anamnesis, pemeriksaan fisik dan sedikit disinggung mengenai pemeriksaan-pemeriksaan penunjang dan terapi. ETIOLOGI Frekuensi BKB tergantung pada jenis infeksi/kelainan dan golongan umur. 1. Etiologi menurut urutan frekuensinya a) Paling sering : Infeksi saluran atas yang berulang Penyakit saluran nafas reaktif (asma); pencetusnya sering adalah infeksi viral. b) Sering : Alergi Sinusitis Iritatif : polusi udara (debu, asap rokok, dll) Infeksi : pertusis, TBC, mycoplasma, chlamydia. c) Jarang :

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

137

– Benda asing, terutama anak-anak yang sedang belajar jalan (umur 1 – 3 tahun). – Mekanismepembersihan saluran nafas yang terganggu seperti pada kistik fibrosis, bronkiektasis, immotile cilia syndr. – Kelainan kongenital : fistula trakheo-esofageal, refluks gastro-esofageal atau kelainan-kelainan yang menekan saluran nafas dari luar. 2.

Faktor umur Golongan umur merupakan faktor predisposisi dari BKB. a) Bayi (sampai 1 tahun) : • Kelainan-kelainan kongenital : fistula trakheo-esofageal, laryngeal cleft, batuknya mulai sejak lahir. • Infeksi kongenital dan neonatal : pnemonia interstisial dan bronkitis yang disebabkan oleh rubella kongenital atau CMV, pnemonia chlamudia trachomatis (batuk stakato yang dimulai sekitar umur 6 minggu dan sering didahului atau disertai inclusion conjunctivitis). • Aspirasi : susu, isi lambung sering tidak terpikirkan. Bisa sebagai akibat inkoordinasi antara refleks menelan dan menghisap, kelainan motilitas esofagus, refluks gastro-esofageal, fistula trakheo-esofageal. Bila ada kecurigaan ke arah itu, sebaiknya observasi waktu anak diberi minum. • Asma juga tidak jarang terdapat pada usia 1 tahun pertama. • Kistik fibrosis : batuk kronik disertai gangguan gastrointestinal (diare, malabsorpsi) dan pertambahan berat badan yang sangat kurang. Batuknya bisa paroksismal dengan wheezing dan bisa menyerupai pertusis. b) Usia prasekolah (1 – 5 tahun) : • Bronkitis viral berulang dan bronkitis alergik/bronkitis asmatik merupakan 2 penyebab utama. • Infeksi bakterial, myeoplasma. • Bronkitis yang berkaitan dengan infeksi kronik saluran nafas atas : sinobronkitis. • Penyakit reaktif : asma. • Penyakit paru supuratif : kistik fibrosis, bronkiektasis, atelektasis kronik. Batuk produktif tanpa remisi. • Aspirasi benda asing. e) Usia sekolah (5 – 15 tahun) : • Bronkitis viral berulang. • Asma. • Iritatif : merokok (aktif/pasif), debu, gas-gas. Lamanya batuk bisa berminggu-minggu sampai berbulan-bulan bila tidak diambil tindakan peneegahan. • Pnemoni mycoplasma. • Batuk psikogenik (tic cough). Suara batuknya biasanya keras mirip bunyi angsa (honking) dan seperti dibuat-buat untuk menarik perhatian. Anak batuk-batuk bila mengalami stress/ eemas dan waktu tidur batuknya hilang. • Postnasal drip. Batukkarenarangsanganmengalirnyasekret dari daerah nasofaring ke bawah. d) Yang umum pada semua golongan umur : • Bronkitis viral yang berulang. • Asma. • Pertusis. 138

Cermin Dunia KedoKteran Edisi Khusus No. 81,1992

ANAMNESIS Dengan bekal pengetahuan yang memadai tentang etiologi serta diagnosa diferensial, anamnesis dibuat selengkaplengkapnya sebagai sumber informasi yang berharga dan memegang peranan dominan dalam membuat evaluasi batuk kronik; anamnesis selain ditujukan pada keluhan batuknya sendiri, sebaiknya juga meneari keterangan-keterangan lain misalnya yang menyangkut kesehatan anak itu pada umumnya seperti : 1) Status kesehatannya selama ini. 2) Gangguan kesehatan/penyakit-penyakit yang telah dideritanya. 3) Pernah tidaknya dirawat di rumah sakit. 4) Pengobatan apa saja yang pernah diberikan padanya. 5) Bagaimana pertumbuhan dan perkembangannya. 6) Berat badan yang terus-menerus menyusut. 7) Aktivitas yang makin mengurang. 8) Febris yang berkepanjangan. Hal-hal ini bisa sangat membantu menilai serius tidaknya keadaannya dan pula dapat memberikan pengarahan yang positif pada upaya kita melakukan pendekatan diagnostik. Mengenai batuknya ditanyakan : 1) Sudah berapa lama; dalam 1 tahun terakhir ini berapa kali mengalami penyakit batuk ? 2) Waktu-waktu batuk : terus-menerus, pada waktu-waktu tertentu, siang hari, malam, bangun tidur pagi. 3) Faktor-faktor pencetus : euasa, debu, exercise, merokok aktif/pasif. 4) Nada batuk : serak, nyaring, kering, basah, menggonggong, disertai mengi (wheezing), muntah. 5) Bil keluar dahak : jernih, kuning, hijau, eampur darah. Tipe batuk dalam hubungannya dengan patologinya : 1) Produktif : bronkitis, bronkiektasis, kistik fibrosis. 2) Kering/melengking : infeksi saluran nafas alas, trakheitis, psikogen. 3) Menggonggong : laringitis (croup). 4) Batuk disertai wheezing : asma, bronkitis, asmatik, benda asing. 5) Batuk dengan stridor : obstruksi laring, subglotis, trakhea. Penting juga diketahui waktu-waktu batuk : 1) Paroksismal : pertusis, benda asing, kistik fibrosis, infeksi ehlamydia, mycoplasma. 2) Batuk malam : sinusitis, alergi saluran nafas atas, asma. 3) Bangun tidur pagi : bronkitis, kistik fibrosis, bronkiektasis. 4) Setelah exercise : saluran nafas reaktif (asma), kistik fibrosis, bronkiektasis. 5) Hilang waktu tidur : psikogen (habit cough). 6) Waktu makan/minum : fistula trakheoesofageal, refluks gastroesofageal. Bila keluar sputum : 1) Jerniah mukoid : pada umumnya karma alergi, asma, bronkitis asmatik. 2) Parule : penyakit supuratif (infeksi bakterial, kistik fibrosis). 3) Bereampur darah : benda asing, bronkiektasis, kistik fibrosis. 4) Berbau busuk : infeksi anaerobik, bronkiektasis.

PEMERIKSAAN FISIK Perhatikan : 1) Gizi. 2) Kelainan saluran nafas atas : rhinitis alergik, infeksi kronik sinus sering mempunyai hubungan dengan penyakit paru supuratif. 3) Bentuk toraks : barrel-shaped menunjukkan ke arah asma, bronkiektasis. 4) Frekuensi pernapasan : pada umumnya eepat. 5) Auskultasi : – Wheezing ekspiratorik yang difus karakteristik untuk asma. – Wheezing lokal : pikiran benda asing atau penyempitan saluran nafas karena pendekanan eksternal, misalnya kelenjar yang membesar. – Suara pemapasan yang melemah lokal juga mempunyai arti sama wheezing lokal. – Ronkhi basah pada umumnya terdengar pada kelainan paru yang difus seperti pnemonia, atelektasis, edema interstisial, fibrosis atau karena adanya penyempitan saluran nafas. Perlu dibedakan antara ronkhi awal inspirasi dan rohkhi akhir inspirasi. Ronkhi awal inspirasi berkaitan dengan obstruksi saluran nafas seperti asma, bronkhiss. Ronkhi akhir inspirasi terdapat pada kelainan yang bersifat restriktif misalnya infiltrat, edema, atelektasis, fibrosis. – Finger clubbing bisa ditemukan pada penyakit paru supuratif : kistik fibrosis, bronkiektasis. PEMERIKSAAN LAIN Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat memberi petunjuk apakah diperlukan pemeriksaan penunjang": 1) Pemeriksaan radiologis. X-foto toraks hampir selalu diperlukan anak dengan batuk kronik. Yang dapat ditemukan mungkin : infiltrat, atelektasis, eorakan brankhovaskuler yang kasar, emfisema, benda asing yang radio-opak, dll. Foto barium bila ada persangkaan fistula trakhel-esofageal. Foto sinur paranasal sesuai indikasi. 2) Sputum. Pewarnaan Gram, Ziehl-Nielsen, biakan bila diperlukan. Pada asma ditemukan banyak sel-sel eosinofil. 3) Pemeriksaan darah. – Netrofilia : infeksi bakterial. - Limfositosis : pertusis. - Limfositopenia : infeksi viral, imunodefisiensi. – Eosinofilia : penyakit alergi, infeksi cacing, pnemonia chlamydia. 8) Bronkhoskopi dan bronkhografi. Bronkhoskopi bila perlu untuk menyingkirkan diagnosis aspirasi benda asing atau untuk mengeluarkan benda asing dan melihat adanya anomali trakheobronkhial. Bronkhografi tidak selalu perlu pada persangkaan bronkhiektasis karena diagnosis biasanya sudah bisa dibuat atas dasar manifestasi kliniknya dan foto polos. Tindakan ini terutama diindikasikan bila akan dilakukan operasi untuk

menentukan batas bagian yang akan diambil. 9) Lain-lain. Test Mantoux/PPD (proses spesifik), sweat test (kistik fibrosis), Imunoglobulin IgE (alergi), IgA IgG IgM (imunodefisiensi), test serologi untuk myeoplasma dan bila perlu biopsi paru untuk identifikasi bakteri. TERAPI Yang ideal tentu terapi etiologi. Namun tidal( kalah pentingnya juga pengobatan suportif, simtomatik atau tindakan-tindakan preventif, sesuai basil evaluasi klinis kita. 1) Antibiotik sesuai indikasi : Infeksi bakterial : sputum purulen, pertusis, proses spesifik, kistik fibrosis, sinusitis. 2) Antitusif : batuk iritatif/kering. 3) Fisioterapi : batuk produktif, misalnya postural drainage, ini lebih bermanfaat daripada mukolitik atau ekspektoran. Bisa ditambah dengan humidifikasi. 4) Karena batuk kronik sering merupakan manifestasi penyakit saluran nafas reaktif (asma), penggunaan bronkhodilator dapat dicoba sekalian sebagai diagnostik. 5) Beberapa tindakan preventif : ▪ Mengurangi kemungkinan terkena infeksi saluran nafas yang berkelanjutan. • Membujuk orangtua agar tidak merokok di dalam rumah. • Menghindari/mengurangi kontak dengan alergen-alergen yang potensial dan pollutan-pollutan lainnya di dalam maupun di luar rumah. • Anak dengan refluks gastro-esofageal sebaiknya jangan makan/minum berlebihan dan setelah selesai dipertahankan dalam posisi tegak selama beberapa jam.

RINGKASAN Batuk sebagai manifestasi nonspesifik dari bermaeammacam proses patologis saluran pernapasan merupakan keluhan yang paling sering pada anak. Penyebabnya sangat beraneka ragam, sehingga penyakit yang ditumbulkannyapun bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang dapat mengancam jiwa. B ila gejala tersebut terus berlanjut walaupun sudah dalam penanganan dokter, keadaan tersebut sering menimbulkan kekuatiran pada orangtuanya dan untuk dokternyapun merupakan tantangan. Batuk pada anak pada umumnya adalah akut, self-limiting, disebabkan oleh infeksi viral saluran nafas atas dan tidak memerlukan terapi khusus atau pemeriksaan laboratorium dsb. Bila batuknya terus berlanjut tanpa ditemukannya kelainan-kelainan yang serius, maka pada umumnya penyebabnya adalah asma bronkhial atau bronkhisit viral yang berulang. Dalam melakukan pendekatan diagnostik, anamnesis lengkap dan pemeriksaan fisik yang eermat memegang peranan dominan. Cermin Dunia Kedokteran F_disi Khusus No. 81, 1992

139

EVALUASI BKB

KEPUSTAKAAN

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK Pem. darah rutin, PPD, X-foto UMUR Bayi (0–1 th)

I

Usia prasekolah (1 – 5 th)

Usia sekolah (5 – 15 th)

6.

DAPAT MENEMUKAN SEBABNYA ? Y'A

7.

TERAPI SESUAI SEBABNYA

8.

TIDAK TRIAL BRONKHODILATOR ADA RESPONS

TIDAKI ADA RESPONS

BATUK BERTAHAN

SAL. NAFAS REAKTIF

I EVALUASI KHHUSUS

RUJUK

NORMAL

ABNOIiIVIAL

FOTO BARIUM

SHNUSITIS

ABNORMAL NORMAL OBSERVASI 1 – 2 bin.

RGE

FTE

POSITIF

NEGATIF

KISTIK FIBROSIS IMUNOGLOBULIN ABNORMAL IMUNODEF

NORMAL

BIOPSI MUKOSA NASAL /TRAKHHEAL untuk penilaian cilia

r – VASCULAR RING – LARYNGEAL CLEFT I ABNORMAL

I NORMAL

IMMOTILE BRONKOSKOPI CHLIA SYNDR.

140

9. 10. 11. 12.

SWEAT TEStf

FOTb SINUS

1. 2. 3. 4. 5.

Cermin Dunia Kecok1eran Ediri Khusus No. 81. 1992

Nelson Textbook of Pediatrics, 13th ed. 1987. Kendig's Disorders of the Respiratory Tract in Children, 5th Ed. 1990. Pediatric Emergency Medicine, 2nd Ed. 1988. Chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1991; 38 : 3. Evaluation and Treatment of chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1979; 16 : 3. Long-term Sequelae of Respiratory Illness in Infancy and Childhood. Pediatr. Clin. N. Am. 1979; 26 : 3. Chronic Bronchitis Complex in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1984; 31:4. Risk Factors Associated with the Development of Chronic Lung Disease in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1984; 31:4. Immulogic Mechanisms in Pulmonary Disease. Pediatr. Clin. N. Am. 1988; 35:5. The Wheezing Infant. Pediatr. Clin. N. Am. 1988; 35 : 5. Early/Late Response Model : Implications for Control of Asthma and Chronic Cough in Children. Pediatr. Clin. N. Am. 1988; 35 : 5. Marjanis Said : Penatalaksanaan Sinobronkitis pada Anak, PTB – IKA ke VII, FKUI, 1988.

Batuk Kronik pada Anak ditinjau dari Bidang THT Oemi Alifa Tadjudin Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok, Rurnah Sakit Sumber Waras, Jakarta

PENGANTAR Batuk ialah suatu ekspirasi eksplosif sebagai cara paru-paru dan salurannya untuk membersihkan diri atau sebagai refleks bring bila mukosa laring terangsang baik oleh benda asing endogen maupun eksogen, radang, polutan, atau alergen. Oleh sebab itu laring sering juga disebut sebagai an jint penjaga (wacth dog) untuk saluran napas bawah. Batuk harus digolongkan sesuai dengan : 1. Waktu atau dalam situasi apa timbulnya. Misalnya apakah hanya timbul pada waktu bekerja; dalam hal itu mungkin disebabkan oleh zat yang merangsang atau elergen. 2. Posisi badan. Pada penderita bronkitis, bronkiektasis, dan sinusitis batuk lebih banyak timbul sewaktu penderita berbaring. 3. Produktif atau nonproduktif. Batuk kronis pada anak di bidang THT selain disebabkan oleh alergi paling sering disebabkan oleh sinusitis. Pada lima tahun terakhir di Jakarta banyak ditemukan sinusitis, yang mungkin disebabkan tingkat polusi yang meningkat. Sinusitis pada bayi dan anak seeara Minis sudah dapat timbul sejak kehidupan awal. Karena ukuran rongga sinus lebih kecil dari muaranya, maka walaupun rinitis oleh karena virus dapat menjalar ke antrum dan merusak silia, tetapi lendir dalam antrum dapat dengan mudah dikeluarkan sehingga tidak mudah terjadi retensi lendir. EMBRIOLOGI SINUS PARANASALIS Pada waktu lahir belum semua sinus paranasalis berbentuk. Sinus maksilaris mulai terbentuk pada embrio hari ke 85 dan berkembang terus sehingga pada waktu dilahirkan mencapai

ukuran 0.5 X 0.5 X 0.5 em. Pada orang dewasa ukuran itu ialah 3X3X2,5cm. Sinus etmoidalis mulai terbentuk pada fetus berumur6 bulan dan teridir atas beberapa rongga. padaperkembangan selan j utn ya terbagi menjadi sinur etmoidalis anterior yang rongganya kecil dan sinus etmoidalis posterior dengan rongga besar. Sinus frontalis mulai dibentuk pada anak umur 1 tahun sebagai perluasan dari sinus etmoidalis anterior. Sinus sfenoidalis terbentuk pada umur 3 – 5 tahun. Sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis jugadisebut sinur paranasalis posterior bermuara di meatus superior. Karena sinus etmoidalis dan maksilaris sudah terbentuk sejak lahir, maka kedua sinus itu yang paling sering terserang sinusitas pada anak, terutama sinus etmoidalis. Sinus pada bayi baru lahir kadang-kadang terinfeksi oleh ibunya atau perawat terutama pada waktu pembersihan lubang hdung bayi dari cairan ketuban dengan kapas yang dilinting. Insiden sinusitas bertambah pada umur 3 tahun dan meningkatpada umur 5 -6 tahun, karena anak-anak mulai masuk sekolah sehingga dapat terpapar bermacam virus dan bakteri. Di samping itu juga ada pengaruh pembesaran tonsil dan adenoid. PATOFISIOLOGI Sinusitis pada bayi sukar diketahui secara radiologis, sehingga dapat berlanjut menjadi kronis dan mengakibatkan penebalan/udem mukosa yang lama kelamaan menyebabkan penyumbatan osti um. Hal itu berakibat udara dalam sinus diserap dan terjadi efusi cairan di dalam rongga sinus yang mudah terinfeksi menjadi epyema.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

141

Karena sinus paranasalis merupakan bagian saluran napas bagian atas, maka infeksi saluran napas bagian Las dapat menjalar ke sinus dan menyebabkan sinusitis. Kuman spesifik penyebab sinusitis tidak ada. Sinusitis lebih sering disebabkan adanya faktor predisposisi seperti : 1) Gangguan fisik akibat kekurangan gizi, kelelahan, atau penyakit sistemik. 2) Gangguan faal hidung oleh karena rusaknya aktivitas silia oleh asap rokok, polusi udara, atau karena panas dan kering. 3) Kelainan anatomi yang menyebabkan gangguan saliran seperti : a) Atresia atau stennsis koana. b) Deviasi septum. c) Hipertroti konka media. d) Polip yang dapat terjadi pada 30% anak yang menderita fibrosis kistik. e) Tumor atau neoplasma. f) Hipertroti adenoid. g) Udem mukosa karena infeksi atau alergi. h) Benda asing. 4) Berenang dan menyelam pada waktu sedang pilek. 5) Trauma yang menyebabkan perdarahan mukosa sinus paranasalis. 6) Kelainan immologi kongenital seperti pada sindroma Kartagenerisinusitas, situs inversus, dan bronkiektasis), sindroma Down, san sindroma Hurler (mukopolisakaridosis). 7) Kelainan imunologi didapat seperti imunodefisiensi karena leukimia dan immosupresi oleh obat. Menurut perjalanan penyakit sinusitis dapat di bagi menjadi : 1) Sinusitis akut jika infeksi berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa minggu. 2) Sinusitis sabakut jika infeksi berlangsung dari beberapa minggu sampai beberapa bulan. 3) Sinusitis kronis jika infeksi berlangsung dari beberapa bulan sampai beberapa tahun. Perluasan infeksi ke tempat lain dapat terjadi secara tromboflebitis, langsung dari ulserasi, mekrosis dinding sinur, atau hemahogen. Faktor yang menyebabkan sinusitis akut berubah menjadi kronis ialah : 1) Sinusitis akut yang berulang. 2) Gangguan saliran. 3) Pengobatan yang tidak adekuat. 4) Adapenyakitsistemisseperti diabetes melitus dan leukemia. GEJALA DAN TANDA SINUSITIS Path sinusitis akut umumnya ditemukan : 1) Gejala sistemik berupa demam, lesu, sakit kepala. 2) Hidung tersumbat dan rasa pcnuh di wajah. 3) Keluar ingus kental. 4) Rasa nyeri di daerah sinus yang terserang atau di tempat lain sebagai nyeri alih. 142

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

5) Nyeri ketuk. 6) Batuk yang tidak produktif. Path sinusitis kronis ditemukan : 1) Demam umumnya tidak ada kecuali jika pada eksaserbasi akut. 2) Lendir di hidung dan nasofaring (postnasal discharge) yang jika turun ke daerah hipofaring/laring dapat menyebabkan batuk terutama di malam hari. 3) Gejala faring berupa rasa mengganjal, sakit tenggorok, atau rasa kering. 4) Gejala di telinga berupa tinitus, rasa penuh, dan pendengaran terganggu karena tuba Eustachius tersumbat lendir atau radang. 5) Nyeri kepala dan rasa berat di kepala tak seberat path sinusitis akut. Sinusitis kronis sering disertai bronkitis, bronkiektasis atau asma bronkial sehingga disebut sinobronkitis. Tanta-tanda sinusitis : 1) Sinusitis akut : Kadang-kadang ada pembengkakan di daerah pipi/kelopak mata. • Nyeri ketuk di daerah terserang. • Pada rinoskopi anterior ditemukan : mukosa konka hiperemis dan udematik dan lendir mukopurulen di meatus medius. Pada rinoskopi posterior ditemukan lendir di nasofaring. 2) Sinusitis kronis : • Pembengkakan daerah pipi/kelompak mata tidak ada. • Lendir di meatus medius, superior, dan lebih sering tampak jelas di nasofaring. Gejala sinusitis pada anak agak berbeda daripada gejala sinusitis pada umumnya karena rasa sakit dan nyeri tak begitu dirasakan. Harus waspada jika path anak ditemukan : 1) Ingus mukopurulen yang persisten. 2) Laringitis yang berulang atau persisten. 3) Batuk kronis terutama di malam hari. 4) Ada kulit pecah-pecah atau keropeng kehijauan di sekitar hidung. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis: 1) Transiluminasi : jika sarana radiologi tidak ada, dapat dilakukan transiluminasi. Dengan pemeriksaan transiluminasi hanya dapat dilihat sinus maksilaris dan frontalis. Transiluminasi sukar dilakukan pada anak. 2) Radiologi : untuk dapat melihat semua sinur paranasalis diperlukan tiga posisi, yaitu Caldwell, Waters, dan lateral. 3) CT-Scan : akan tampak lebih jelas tetapi mahal. 4) Sinokopi dengan menggunakan teleskop dengan sudut pandang 0° dan 30°. PENGOBATAN Prinsip pengobatan ialah menghilangkan gejala, memberantas in feksi, dan menghilangkan penyebab. Pengobatan dapat dilakukan dengan cara konservatif dan pembedahan. Pengobatan konservatif terdiri dari :

1) Istirahat yang cukup dan udara di sekitarnya harus bersih dengan kelembaban yang ideal 45 – 55%. 2) Antibiotika yang adekuat paling sedikit selama 2 minggu. 3) Analgetika untuk mengatasi rasa nyeri. 4) Dekongestan untuk memperbaiki saluran yang tidak boleh diberikan lebih daripada 5 hari karena dapat terjadi rebound congestion dan rinitis medikamentosa. Selain itu pada pemberian dekongestan terlalu lama dapat timbul rasa nyeri, rasa terbakar, dan rasa kering karena atrofi mukosa dan kerusakan silia. 5) Antihistamin jika tersangka ada faktor alergi. 6) Kortikosterioid dalam jangka pendek jika ada riwayat alergi yang agak parah. 7) Diatemi dengan UKS untuk membantu mengurangi rasa nyeri dan tanda radang lainnya. 8) Penghisapan lendir dengan cam displacement therapy, yaitu menukar lendir dalam sinur dengan larutan efedrin 0.5 – 1.5% tetapi eara ini sulit dilakukan pada anak di bawah umur 10 tahun karena biasanya tidak kooperatif. 9) Irigasi sinus maksilaris : pada anak biasanya dilakukan dengan narkose dan pada anak di atas 4 tahun umumnya sekaligus dilakukan adenoidektomi. Pengobatan operatif dilakukan hanya jika ada gejala sakit yang kronis, otitis media kronika, bronkitis kronis, atau ada komplikasi seperti abses orbita atau komplikasi abses intrakranial. Prinsip operasi sinur ialah untuk memeprbaiki saliran saluran sinus paranasalis yaitu dengan cara membebaskan muara sinus dari sumbatan. Operasi dapat dilakukan dengan alai sinoskopi (1-"ESS = functional endoscopic sinus surgery).

paling sering ialah ke arah mata sebagai perluasan infeksi dari sinus etmoid melalui dinding lateral sehingga menyebabkan selulitis orbita atau abses peri-orbita. Mula-mula timbul udem di sekitar kelopak mata, nyeri, kadang-kadang eksoftalmus. Juga dapat timbul proptosis dan epifora. 2) Osteomyelitis dan sub-periostal abases : Sering disebabkan oleh sinusitis frontalis, kadang-kadang oleh sinusitis maksilaris yang asalnya gigi melar. 3) Komplikasi ke arah kranial : • Meningitis. • Abses ekstradural dan subdural. • Abses otak. • Trombosis sinus kavernosus. PENUTUP Batuk kronis pada anak harus dieurigai juga kemungkinan anak menderita sinusitis. Sinusitis path anak dapat terjadi sejak bayi tetapi insidensnya lebih banyak path anak di alas 3 tahun. Harus waspada jika anak menderita banyak batuk pada malam hari atau menjelang pagi, ingus mukopurulen yang persisten, laringitis yang berulang atau yang persisten, adanya kulit yang pecah-pecah atau keropeng kehijauan di sekitar hidung. Pengobatan sinusisit sebaiknya dengan antibiotika paliang sedikit 2 minggu tetapi harus juga menghilangkan faktor predisposisi yang menyebabkan gangguan saliran untuk mencegah komplikasi yang mungkin timbul.

KEPUSTAKAAN 1.

KOMPLIKASI Saat ini komplikasi sinusitis jarang terjadi karena adanya antibiotika spektrum luas. Komplikasi sinusitis biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada eskaserbasi akut dari sinusitis kronis. Timbulnya komplikasi karena terapi yang tidak adekuat atau terlambat. Hams waspada jika ada gejala seperti di bawah ini : 1) Sakit kepala menyeluruh yang menetap. 2) Muntah. 3) Kejang. 4) Panas tinggi atau menggigil. 5) Udema atau bertambahnya pembengkakan di daerah dahi atau kelompak mata. 6) Penglihatan kabur, diplopia, atau sakit di daerah retrobulber yang menetap. 7) Tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial. Komplikasi yang dapat ditemukan : 1) Penyebaran ke arah mata : Pada anak-anak komplikasi yang

2.

3. 4.

5.

6. 7. 8. 9.

Adams G L Boines Jr L R Paparella M M. Boies's Fundamentals of Otolaryngology. Chapter 11 : Acute and chronic sinus disease. Hal 393414. Aleya 0 E Van, Maxillary sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal 43-64. Aleya 0 E Van, Frontal sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal 6477. Aleya 0 E Van, Ethmoid sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal 77-88. Aleya 0 E Van, Sphenoid sinus. Dalam : Disease of the Nose, Throat, and Ear, Jackson C, Jackson C L (eds), Philadelphia; W B Saunders, 1959. Hal 88-97. Burman H J. Intracranial complications of rhinogenic infection. Dalam : Diseases of the Nose, Throat, and Ear. Jackson C, Jackson C L, (eds) Philadelphia; W B. Saunders, 1959. Hal. 97-104. DeWeese D D, Saunders W H. Textbook of Otolaryngology. St. Louis: C. V. Mosby, 1973. Hal. 240-270. English G M. Sinussitis. Dalam : Otolaryngology Vol. 2, Bab 21. New York; Harper & Row, 1981. Jazbi B, Sinusitis in infants and children. Dalam : Pediatric Otorhinolaryngology : A review of ear, nose, and throat problems in children, Bab 13. New York: Appleton-Century-Crofts, 1980. Hal 143-157.

Cermin Dunia Kedoxteran Edisi Khusus No. 81,1992

143

Konsep baru penatalaksanaan Asma Bronkial pada anak E.M. Dadi Suyoko Sub Bagian Alergi - Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rurnah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta

PENDAHULUAN Asma bronkial adalah suatu penyakit yang dapat mengenai semua golongan umur. Penyakit ini biasanya dimulai pada masa anak, bahkan seringkali pada usia kurang fari 1 tabula Walaupun terdapat kemajuan pesat dalam pemahaman mekanisme patogenesis dan perkembangan obat-obat asma yang baru, tetapi angka kejadian dan angka kejadian kematian tetapi tidak menurun. Beberapa faktor yang mempengaruhi keadaan ini diantaranya diganosis yang tidak tepat, pengobatan yang kurang memadai dan kurang patuhnya pasien dalam mengikuti petunjuk dokter. Patogenesis asma bronkial terutama yang kronik, tidak hanya disebabkan oleh bronkokonstriksi saja tetapi terutama juga disebabkan oleh adanya proses inflamasi dan hiperreaktivitas, jadi penggunaan obat anti asma merupakan kombinasi obat bronkodilator, obat anti inflamasi dan obat-obat yang dapat menekan hiperreaktivitas bronkus (1)' . Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan penatalaksanaan asma bronkial pada anak yang lebih tepat dan rasional didasarkan pada patogenesisnya. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang barik, angka kejadian, prognosis dan angka kematian dapat diperbaik. TUJUAN PENATALAKSANAAN (2 1. Menekan dan menghilangkan gejala seminimal mungkin, kalau bisa sampai babas serangan sama sekali. 2. Dapat men jalankan aktivitas kehidupan sehari-hari (di rumah, di sekolah, olah raga, rekreasi dsb) dengan obat yang seminimal mungkin. 3. Dengan menekan proses inflamasi, mengurangi hiperreaktivitas bronkus dan memperbaiki fungsi paru, dapat dicegah obstruksi paru yang irreversibel, diharapkan dapat mencegah kemungkinan kronisitas penyakit asma pada anak, sehingga tidak terbawa sampai dewasa.

/44

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

PENATALAKSANAAN PASIEN ASMA BRONKIAL PADA ANAK PADA GARIS BESARNYA DIBAGI DALAM 2 BAGIAN 1. Upaya pencegahan 2. Penggunaan obat-obatan. UPAYA PENCEGAHAN(2,3) Seperti ditekankan pada konsep patogenesis asma yang baru, peran inflamasi dan reaksi hiperreaktivitas bronkus sangat panting untuk terjadinya serangan sama. Berarti kalau kita dapat menghindarkan atau mengurangi faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya hiperreaktivitas bronkus, diharapkan serangan asma pada anak dapat dicegah atau dikurangi. Upaya pencegahan ini bahkan dapat dimulai sewaktu anak tersebut masih dalam kandungan. Seorang ibu yang mempunyai bakat atopik dianjurkan untuk mengurangi makanan yang bersifat alergenik tinggi, baik selama hamil maupun pada masa menyusui, karena sensititasi dapat terjadi akibat lewatnya protein yang bersifat alergenik baik melalui plasenta maupun air susu ibu. Juga anak yang dilahirkan dari keluarga yang atopik sebaiknya menunda pemberian makanan atau minuman yang bersifat alergenik tinggi (telur, susu sapi, sea food, dsb.) Sebagian besar anak dengan asma yang berusia lebih dari 5 tahun biasanya mempunyai faktor alergi sebagai dasar. Faktor pencetus yang bersifat khusus dan spesifik bilamana dapat diidentifikasi harus dihindari semaksimal mungkin. Usaha untuk mengidentifikasi faktor peneetus ini dapat dilakukan dengan anamnesis yang baik, tes kulit atau kalau perlu dengan tes eliminasi dan provokasi. FAKTOR-FAKTOR PENCETUS°'' ) : Infeksi virus Infesi virus merupakan faktor pencetus yang panting untuk ti mbulnya serangan asma. Hal ini disebabkan oleh kerusakan

sel mukosa atau seeara tidak langsung sebagai akibat berbagai rekasi karena terlepasnya mediator kimia. Alergen makanan Path anak yang agak besar serangan asma jarang sekali dieetuskan oleh alergen makanan. Alergen makanan sebagai faktor peneetus hanya penting pada masa bayi. Sensitivitas terhadap makanan seringkali menghilang dengan bertambahnya umur. Alergen hirup Tungau debu rumah yang terdapat dalam debu rumah merupakan alergen hidup yang terpenting. Penghindarannya agak sulit oleh karena perlu usaha yang terus menerus dan memerlukan ketekunan. Oleh karena seorang anak menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar tidur, maka harus diusahakan agar kamar tidur dapat bebas dari debu rumah. Sekarang di Indonesia sudah dipasarkan obat yang dapat membunuh tungau debu rumah. Alergen lain yang penting juga adalah bulu binatang. Bilamana ada seorang anak menderita asma maka sebaiknya dianjurkan untuk tidak memelihara anjing atau kueing di dalam rumah. Bahan iritan Oleh karena dasar utama dari penyakit asma adalah reaksi hiperreaktivitas bronkus, maka semua bahan iritan baik yang bersifat spesidik (alergen) maupun yang bersifat tidak spesifik dapat meneetuskan serangan asma. Bahan iritan tersebut dapat berupa asal obat nyamuk, asap rokok, obat semprot rambut, minyak wangi, bau bahan-bahan kimia, air dingi/es, udara dingin dll. Di antara semua bahan yang bersifat iritan aspesifik tersebut yang paling berbahaya adalah asap rokok. Terdapat bukti yang jelas bahwa asap rokok dapat menurunkan fungsi paru. Jadi penghindaran terhadap asap rokok adalah sangat penting. Olah raga Latihan olah raga yang terlalu berat dapat menimbulkan serangan asma pada sebagian besar penderita, sedangkan latihan jasmani sangat diperlukan oleh anak asma untuk menambah kepereayaannya pad diri sendiri dan juga untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya terhadap rangsangan yang dapat meneetuskan serangan asma. Latihan senam pernafasan misalnya, selain bermanfaat untuk meningkatkan kekuatan tubuh seeara umum, juga mempunyai tujuan khusus yakni memperkuat otot-otot pernafasan dan mengatur irama pernafasan sehingga pada akhirnya akan terjadi peningkatan fungsi paru. Pada dasarnya anak asma tidak dilarang untuk melakukan olah raga apapun, baik yang bersifat hobi maupun yang bersifat kompetitif. Semua kegiatan olah raga tersebut dapat dilakukan di luar serangan dan disesuaikan dengan kekuatan dan ketahanan masing-masing anak. Latihan olah raga hams dilakukan secara teratur, dan sedikit demi sedikit porsinya dapat ditingkatkan. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya exercise induced

asthma maka sebaiknya melakukan pemanasan dulu sebelum melakukan latihan fisik yang berat dan kalau perlu memakai obat sebelumnya. Latihan olah raga yang terbaik adalah berenang, karena olah raga ini dapat meningkatkan ketahanan safar otonom dan juga dapat memperkuat otot-otot pernafasan t4 ). Faktor emosi Gangguan emosi dapat mengakibatkan terjadinya bronkokonstriksi, hal ini diduga terjadi melalui aktivitas jalur parasimpatis. PENGGUNAAN OBAT-OBATAN Tujuan pemberian obat anti asma adalah : a. Mengatasi serangan akut dan mencegah serangan berikutnya. Setelah serangan akut teratasi sebaiknya untuk jangka waktu tertentu obat diberikan terus agar tidak terjadi serangan asma baru dan faal paru dapat dipertahanakan dalam batas-batas normal atau hampir normal. Obat-obat yang biasa dipakai path anak : adrenalin suntikan atau ephedrine per-oral, agonis beta - 2 oral atau aerosol, teofilin oral atau parenteral, antikolinergik aerosol, kortikosteroid oral atau parenteral. b. Pengobatan profilaksis, untuk menurunkan atau menghilangkan hiperreaktivitas bronkhus dan menrkan proses inflamasi. Karena ternyata pada serangan asma yang ringan sekalipun proses inflamasi ini sudah terjadi. Pengobatan progilaksis ini biasanya dalam jangka waktu lama. Obat yang dipakai : kortikosteroid aerosol, natrium kromolin (disodium ehromoglycate) aerosol, ketotifen oral, teofilin oral, agonis beta 2 atau anti-eholinergik aerosol. Sebelum pengobatan asama path anak dimulai hams diklasifikasikan dulu bentuk serangannya. Berat ringannya serangan asma dapat dinilai seearaklinis atau dengan menggunakan pemeriksaan fungsi paru. Untuk seorang dokter umum penilaian Tabel 1. Pengaruh obat asma pada hiperreaktivitas jalan nafas ('>. Antigen Obat

Stimuli f. eepat

Teolifin Simpatomimetik A. Kholinergik N. Kromolin Ketotifen Kortikosteroid

Exercise

f. lambat

+

+

+

++

++

0

0 0 0

++

+/-

++

++

+

++

+ -

+

+

?

+++

-

-

++

Tabel 2. Penggunaan obat anti asma o) : Jenis obat Agonis beta 2 Teofilin N. Kromolik Steroid aerosol Antikolinergik Steroid sistemik

Mengatasi serangan

Profilaksis

+++ ++ + ++

+ + ++ +++ + +(*)

*Hanya untuk kasus-kasus tertentu saja (special case). Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81, 1992

145

Tabel 3. Indikasi pemberian kortikosteroid oral/parenteral 6> . Lokasi

Stadium asma

Ruang perawatan Unit darurat Di rumah Di nunah (asma epidosik sering)

Status asmatikus Serangan asma akut Serangan asma akut Permulaan infeksi virus akut

Penggunaan steroid +++ ++ + +

Dosis obat-obat yang sering dipakai untuk asma : Salbutamol Terbutaline Orciprenaline

Teofilin Ketotifen Na Kromolin Budesonide Beclometasone Prednison/prednisolone Deksametasone

0,10 - 0,15 mg/kgbb/6 jam (2 mg/tablet) 0,05 - 0,075 mg/kgbb/6 jam (2,5 mg/tablet) oral; 0,5 - 1 mg/kgbb/hari, dibagi 4 dosis (20 mg/tablet) Inhalasi : 3 - 5 tetes larutan 2% 4 mg/kgbb/6 jam > 3 tahun : 1mg/kali/12 jam < tahun : 0,5 mg/kali/12 jam 4 x 1 puff/hari 2 - 4 x 1 puff (200 mcg)/hari 2 - 4 x 1 puff (l00 mcg)/hari I - 2 mg/kgbb/hari Dosis initial 1 mg/kgbb, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1/2 - 1 mg/kgbb/hari

seeara klinis adalah yang terpenting. Jenis, bentuk dan lamanya pengobatan tergantung dari klasifikasi serangannya. Walaupun pegangan untuk penatalaksanaan sudah dibuat, tetapi harus tetap diingat bahwa dalam prakteknya pengobatan seorang penderita haruslah tetap secara individual. Suatu kombinasi obat yang cocok untuk seorang penderita belum tentu eoeok untuk penderita lainnya. Dalam makalah ini penulis menggunakan klasifikasi klinis yang diajukan oleh Phelan dkk o1 : 1. Asma dengan serangan jarang (asma episodik jarang) Umumnya serangan dicetuskan oleh infeksi virus pada saluran nafas bagian atas dengan gejala pilck, demam ringan dan sakit tenggorokan. Gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung selama 3 - 4 hari tetapi batuk-batuknya dapat sampai 10 - 14 hari. ()bat yang di berikan : beta 2 agonis atau ephedrine per oral atau kalau perlu dapat dikombinasi dengan teofilin oral. Pada serangan yang agak bet-at dapat ditambahkan kortikosteroid per oral untuk jangka pendek. Bentuk serangan asma pada anak sebagian besar (70 - 74%) adalah bentuk yang tingan ini. Setelah serangan dapat diatasi, sebaiknya pengobatan tetap diteruskan selama 10 - 14 hari setelah bebas serangan untuk menekan hiperreaktivitas bronkus yang mungkin Malt terjadi. 2.

Asma dengan serangan sering (asma episodik yang sering) Serangan biasanya didahului oleh infeksi virus akut pada saluran nafas bagian alas. Pada anak di alas usia 5 tahun dapat terjadi serangan dengan penyebab yang lain; biasanya orang tua menghubungkannya dengan perubahan euaca, alergen/iritan, perubahan cuaea, kegiatan jasmani yang berlebihan atau emosi/ stress. Umumnya gejala memburuk pada malam hari dengan batuk dan mengi sehingga mengganggu tidumya. Asma jenis ini /46

Cermin Dania Kedolderan Edisi Khe:sus No. 81, 1992

merupakan 20 - 25% bentuk serangan asma pada anak. Pada serangan asma jenis ini pengobatan profilaksis sudah harus dimulai. Pada seorang anak yang diketahui kalau menderita serangan infeksi virus akut pada saluran nagas alas terjadi serangan asma, maka setiap kali ia mendapat serangan infeksi harus diberikan bronkhodilator selama paling sedikit 14 hari di kombinasi dengan kortikosteroid jangka pendek (kurang dari 5 hari). Pada seorang anak yang berdasarkan anemnesa dapat diduga faktor peneetusnya selain dieoba untuk dihindari, juga diberikan profilaksis bilamana temyata faktor peneetus tersebut sulit dihindari. Misal seorang anak yang pada anamnesa kalau melakukan olah raga terjadi serangan, sebelum dan sesudah latihan dapat diberikan agonis beta - 2 aerosol, teofilin oral atau natrium kromolin aerosol. Bilamana serangan akutnya sudah teratasi, tetap diberikan obat progilaksis natrium kromolin aerosol dan/atau kortikosteroid aerosol dan/atau ketotifen. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM pengobatan ketotifen dengan dosis 2 x 1/2 mg pada anak kurang dari 3 tahun dan 2 x 1 mg untuk anak lebih 3 tahun selama 3 sampai 6 bulan memberikan basil yang eukup baik 17 . 3. Asma berat dan menahun (asma kronik/persistent dengan serangan berat) Biasanya kasus ini sangat jarang hanya merupakan 1 - 3% dari kasus asma anak. Kasus asma berat ini biasanya serangannya dimulai pada usia kurang dari 3 tahun, bahkan 25% kasus mendapat serangan sebelum usia 6 bulan. Pada golongan ini hampir setiap hari selalu ditemukan mengi dan pada malam hari disertai gangguan batuk. Aktivitas fisik sering menimbulkan serangan sehingga anak tidak dapat melakukan kegiatan olah raga. Biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga. Sewaktuwaktu dapat terjadi serangan sesak berat sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Kelompok ini memerlukan obat kombinasi anti inflamasi dan bronkhodilator untuk jangka pan jang. Dapat diberikan antara 6 bulan sampai 2 tahun. Diusahakan obat-obat diberikan secara aerosol. Kalau tidak dapat, diberikan kombinasi obat oral dan obat aerosol dengan proporsi obat oral seminimal mungkin(1,8). Kasus yang berat ini sebaiknya ditangani oleh seorang dokter ahli (konsultan). Disamping tiga golongan besar di alas, terdapat pula berbagai varian asma yang lain : 4.

Asma dengan serangan yang berat tetapi jarang Biasanya mengenai anak pra sekolah dan faktorpeneetusnya adalah infeksi virus. Serangan biasanya berat dan seringkali memerlukan perawatan di rumah sakit. Pada golongan ini bila terserang infeksi virus akut penatalaksanaannya sepeni pada golongan dua. 5.

Asma dengan mengi persisten pada bayi Mengi yang menetap dengan sesak nafas berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu dapat terjadi pada bayi usia 3 - 12 bulan. Mengi biasanya jelas terdengar bila bayi sedang aktif dan tidal( terdengar bila sedang tidur. Selain mengi tidak terdapat

gejala lain, batuk tidak menonjol. Gejala sumbatan jalan nafas . lebih banyak disebabkan oleh pembengkakan selaput lendir saluran nafas dan pembentukan lendir yang berlebihan. Kalau serangan n ya ringan dan hanya berlangsung beberapa hari, tidak diberi pengobatan. Kalau serangannya komik dan agak berat sehingga mengganggu aktivitasnya dapat diberikan kortikosteroid aerosol atau teofilin dosis rendah 6 mg/kgbb/hari dan/atau ketotifen dengan dosis rendah 0,02 - 0,03 mg/kgbb/ harittl . 6. Asma dengan hipersekresi Biasanya terjadi path anak di bawah usia 5 tahun. Gejala yang menonjol adalah nafas ngorok, battik dan sesak nafas. Dapat diberikan kombinasi bronkodilator oral/aerosol dan kortikosteroid aerosol sampai sedikitnya 3 bulan bebas serangan. 7. Asma dengan faktor pencetus kegiatan jasmani (Exercise Induced Asthma) Terjadinya penyempitan saluran nafas akibat melakukan kegiatan jasmani dapat dijumpai pada asma epidosik sering dan asma kronik. Serangan ini dapat dieegah detigan pemberian agonis beta 2 aerosol, sebelum dan sesudah kegiatan jasmani yang berat, natrium kromolin aerosol, teofilin oral atau obat antikolinergik aerosol. 8. Asma dengan faktor pencetus spesifik Bila faktor pencetusnya tidak dapat dihindari, maka obat diberikan berdasakrna kepada tipe serangannya (lihat di atas). 9. Asma dengan gejala batuk malam hari Di samping obat yang sudah rutin diberikan (lihat di atas), maka dapat ditambahkan preparat agonis beta 2 lepas lambat atau teofilin lepas lambat sebelum tidur per oral. 10. Asma yang memburuk pada dini hari (Early morning dipping) Gejala obstruksi saluran nafas sangat memburuk terutama sekitar jam 1- 4 dini hari, keadaan ini umumnya terjadi pada asma kronik. Penatalaksanaan sama dengan ad. 9, hanya bilamana penderitanya terbangun dapat ditambahkan lagi agonis beta 2 aerosol. PENGOBATAN SERANGAN AKUT YANG BERAT (STATUS ASMATIKUS) 12 ''l : Setiap anak dengan asma dalam berbagai gradasi kadangkadang dapat mengalami serangan akut yang berat, yang disebut status asmatikus. Sebenarnya keadan ini belum mempunyai definisi yang seragam, akan tetapi pada umumnya sependapat bahwa status asmatikus adalah keadaan serangan asma akut yang tidal( dapat diatasi dengan pengobatan secara biasa atau yang membutuhkan terpai intravena untuk mengatasi keadaannya. 1. Di rumah sakit atau bagian darurat yang memiliki alat nebulizer, suntikan adrenalin/agonis beta 2 tidak berikan lagi, tetapi langsung diberikan agonis beta 2 secara nebulizer, yang dapat diulang setiap 15 - 20 menit sampai serangannya teratasi atau sampai tampak tanda-tanda efek samping seperti adanya tremor. Bilamana yang diberikan adalah suntukan adrenalin/ agonis betas 2 secara subkutan (untuk yang tidak mempunyai nebulizer), maka suntikan tersebut dapat diulang setelah 15 atau 20 menit.

2. Bila tindakan pertama tersebut tidak menolong, maka segera dipasang/diberikan cairan seeara parenteral untuk pemberian hidrasi secara optimal, koreksi asam-basa dan obat-obatan, Juga oksigen diberikan dengan dosis yang lebih tinggi dari biasa. 3. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi baik secara oral maupun suntikan adalah suatu keharusan. Kortikosteropid ini selain berfungsi sebagai anti inflamasi juga dapat menghidupkan kembali reseptor beta 2 yang sudah resisten. 4. Teofilin dapat diberikan bersama-sama baik seeara oral ataupun intravena. Bila diberikan seeara oral, maka digunakan preparat teofilin lepaslambat. 5. Dengan ketiga obat tersebut di atas biasanya 75% serangan dapat diatasi. Bila setelah 24 jam tidak memberikan respons maka sebaiknya penderita dipindahkan ke ruang perawatan intensif untuk pemeriksaan dan tindakan lain yang lebih akurat. Bilamana seorang penderita sampai mengalami serangan status asmatikus, harus dipertimbangkan dan dievaluasi apakah pengobatan profilaksis yang diberikan kurang adekuat. Sebelum penderita dipulangkan harus dibuat program pengobatan yang lebih tereneana untuk meneegah serangan berikut .

KESIMPULAN 1. Pengetahuan mengenai patogenesis asma membutikan inti kelainan adalah adanya hiperreaktivitas bronkus yang dapat dipengaruhi oleh faktor endogen dan faktor eksogen. 2. Hiperrreaktivitas ini terutama disebabkan oleh reaksi inflamasi yang terjadi pada fase lambatreaksi tipe I dan jugaoleh sel radang lain yang tertarik ketempat reaksi dan selanjutnya diperburuk oleh adanya bronkodilaro, obat anti inflasmasi dan obat-obat lain yang dapat menekan hiperreaktivitas bronkus. 3. Penatalaksanaan pasien asma terutama adalah menghindarkan irritant baik yang spesifik (allergen) maupun yang tdiak spesifik; dan selanjutnya menggunakan obat-obat asma secara rasional; dengan prinsip profilaksis Iebih baik dari path mengobati serangan.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4.

5. 6.

Reinhardt 1). Principles of grug therapy for childhood asthma. Annales Nestle, 1985, 43/3, 11 - 27. Warner J 0, Gotz M, Landau L I, Levison IH, Milner A H), Pedersen S, Silverman M. Special report. Management of Asthma : a consensus statement. Arch Dis. Child. 1989; 64 : 1065 - 1079. Warner J 0 Treatment of Childhood Asthma. In Mechel F 13, Bousquet J, Godard, P. Highlights in Asmology ;1 st ed. Springer - Verlag, Berlin,1987, pp. 385-393. Wiryodiarjo M. Latihan jasmani untuk anak asma dan permasalahannya. Suddharprana, Media Komunikasi dan Infonnasi Penanggulangan Asma Anak. Jakarta, Desember 1991; Htal. 2 - 5. Skoncr D P. Asthma. In : Fireman and Slahin, Atlas of Allergies : 1 st ed, New York, London : J.H3. Lippincott, 1991, pp. 5.1-5.23. Phelan P 1), landau L I, Olinsky A. Asthma : Clinical Patterns and

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

147

7.

148

Management. In : Respiratory Illness in Children. 2 nd ed. Oxford : Blackwell Scientific Publi. 1982; pp. 161 - 168, 188. Akib A. Manfaat ketotifen untuk pengobatan asma bronkial pada anak. Simposium Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA/FKUI ke XXI.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

8.

Jakarta, 1990. Hal. 89-96. Lawlor G J. Tashkin D P asthma. In Lawlor and Fischer : Manual of Allergy and Imunology. Diagnosis and Therapy; 2 nd ed, Boston: Little Brown, 1985, pp. 113-156.

IV. SIMPOSIUM SATELIT : NYERI PERUT BERULANG DAN MENAHUN PADA ANAK

Nyeri perut berulang dan menahun pada Anak Hansa Wulur Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas, Kedokteran, Universitas Tarumanagara, Rumah Sakit Sumber Waras, Jakarta.

PENDAHULUAN Nyeri perut menahun berulang — Reccurent Chronic Abdominal Pain (RCAP) — ialah suatu keadaan nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan, telah berjaln lebih dari 3 kali dan mengganggu aktivitas sehari-hari°. Berbeda dari nyeri perut mendadak yang biasanya disebabkan suatu peradangan, penyumbatan dan/atau perdarahan yang dengan demikian banyak kaitannya dengan pembedahan, maka nyeri perut menahun dan berulang merupakan kelainan multifaktorial yaitu medik, neurologik dan psikosomatik. Di sin akan dibiearakan sisi medik, meskipun pada keadaan sehari-hari sebenarnya ketiga faktor tersebut sering kali terjalin satu dengan lainnya, sehingga bersama-sama mereka menciptakan suatu keadaan yang sering tidak nyaman bagi si anak, juga kekuatiran orang tuanya, yaitu nyeri perut menahun dan berulang (selanjutnya akan digunakan singkatan RCAP). RCAP ini demikian mengganggu sehingga sering menyedabkan kesulitan seperti sekolah dan belajar, dan sekaligus menimbulkan kekuatiran orangtua yang biasanya akan eenderung mengeluarkan banyak biaya, waktu, perhatian dan perasaan bagi anaknya. ANAMNESIS Kita diharuskan menyediakan waktu yang lama dan kesabaran yang amat sangat pada anamnesis. Anamnesis dapat diperoleh dari anak sendiri yang sudah dapat bercerita, biasanya pada usia sekitar 3 - 4 tahun; yang lebih muda terpaksa melalui orang tua. Perlu ditanyakan seeara eermat dan teliti tentang : 1) Sifat dan jenis 2) Frekuensi dan internval 3) Saat pertama kali timbul (onset) 4) Hal yang menambah atau mengurangi nyeri

5) Lokasi nyeri 6) Gejala-gejala lain yang menyertai RCAP 1) Sifat dan jenis A) Perih — panas — sayatan; seperti pada peradangan atau kelainan mukosa lambung dan usus yang tersentuh makanan pedas atau bahan-bahan iritastif. B) Melilit atau lazim disebut nyeri kolik yang biasanya di jumpai pada sumbatan visera yang berlumen seperti intussusepsi, volvulus, batu pada saluran kemih dan empedu, tumor, parasit. C) Mulas; yang dimaksudkan adalah rasa ingin defekasi yang memang sering dijumpai pada diare atau bila banyak flaws. D) Nyeri seperti tertumbuk (dull pain); dapat karena peradangan atau desakan. E) Samar-samar Ini yang sulit; dapat karena si anak belum atau tidak dapat bereerita, mungkin juga bukan nyeri tetapi mual, mungkin juga tida ada nyeri. 2) Frekuensi (keseringan) dan interval A) Frekuensi dapat sangat sering sehingga dapat terjadi beberapa kali dalam 1 jam atau sehari seperti pada intususepsi dan diare, dapat juga jarang-jarang sampai beberapa kali saja setahun seperti pada kholelithiasis dan pankreatitis rukurent. B) Interval : dapat terus menerus tanpa interval seperti pada apendixitis, atau dengan interval/rentang waktu (periode) tertentu dimana penderita sama sekali tak merasa nyeri seperti pada intususepsi atau dapat bergelombang (fluktuasi) yaitu intensitas nyeri bertambah hebat lalu berkurang silih berganti seperti pada batu saluran kemih. Interval itu dapat sampai seminggu, sebulan atau bahkan setahun sekali, hal ini lebih sering dijumpai pada RCAP atas dasar psikosomatik seperti pada

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

149

masa-masa ulangan umum, ujian akhir di sekolah. 3) Pertama kali timbul (onset) A) Kapan atau sudah berapa lama RCAP terjadi B) Apakah ada pencetus, seperti sehabis makan obat-obat atau bahan iritatif, kecelakaan dan trauma pada perut, kejadian yang menyedihkan, menguatirkan atau menakutkan (psikosomatik). C) Lokasi nyeri pertama, misalnya pada apendisitis akan bermula pada epigastrium sebelum menjalar ke kanan bawah. 4) Hal-hal yang menambah atau mengurangi nyeri : A) Yang menambah hebat dan nyeri, seperti sehabis makan atau makanan tertentu seperti pedas pada gastritis dan tukak lambung, lemak padacholelithiasis, susu pada intoleransi laktosa. B) Yang mengurangi nyeri, seperti makan dan minum dapat mengurangi nyeri pada tukak peptik, defekasi dapat menghilangi nyeri perut pada konstipasi. 5.

Lokasi nyeri : Sangat penting tetapi sangat sulit diperoleh dari anamnesis anak muda usia (lihat gambar 1 & 2).

Gambar 1 Gambar 2 A) Epigastrium : lokasi primer (lawannya : nyeri sekunder atau refered pain) dari gastritis, tukak peptik, hepatitis, pankreatitis, kholesistitis, sumbatan usus bagian proksimal, appendisitis (saat dini); dapat berasal dari luar abdomen seperti pneumonia, Demam Berdarah Dengue. B) Kanan atas : dapat karena hepatitis, pankreatitis, klolesistitis, kholelithiasis, pneumonia. C) Kiri atas : pneumonia, tukak lambung, gastritis, abses limpa, pankreatitis dan sebagainya. D) Periumbilikal : anak usia muda pada umumnya eenderung menunjuk pusarnya sebagai lokasi nyeri perutnya karena belum dapat menentukan lokasi yang tepat; lokasi baru dapatditentukan pada pemeriksaan jasmani. Walalupun demikian periumbilikal merupakan lokasi nyeri akibat kelainan usus halus seperti sumbatan usus, pankreatitis, appendisitis saat dini. E) Tengah samping kanan & kiri : biasanya berasal dari ginjal, seperti batu ginjal, pyelonepritis, tetapi juga dapat berasal dari kelainan di eolon. 15o

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

F) Bawah kanan : terkenal dengan titik Mc Burney pada appendisitis; dapat juga karena ileitis terminalis, limfadenitis di ileum, batu ureter kanan, salfingitis kanan, torsi ovarium kanan, gravida extra uterin pada remaja wanita. G) Kiri bawah : peradangan pada rekto-sigmoid, konstipasi, batu ureter kin, salfingitis kid, torsi ovarium kin, gravida extrauterin. H) Suprapublik : karena eystitis, eolitis, dysmenorrhoea, gravida extrauterin, nyeri ovulasi (mittelschmerz). I) Nyeri dapat menjalar baik sebagai nyeti primer maupun sekunder (refered pain) seperti (a) bahu kanan untuk kandung empedu, diafragma sisi kanan dan duodenum (b) bahu kid untuk diafragma sisi kiri (e) di antara tulang belikat untuk lambung dan duodenum (d) bawah belikat kanan untuk kandung empedu (1) pinggang bagian tengah untuk pankreas dan aorta (g) dan di tengah bokong/pinggul untuk rektum dan uterus. 6) Gejala yang menyertai RCAP. A) Berat badan turun : dapat disebabkan intake kalori yang kurang, akibat rasa nyeri bila makan atau mual seperti path gastritis, duodenitis, tukak peptik, pankreatitis. Dapat juga karena penyakit dasarnya yang memerlukan kalori tambahan seperti pada demam, dapat juga karena malabsorpsi seperti pada intoleransi laktosa. B) Muntah & mual : asosiasi dengan penyakit radang seperti pankreatitis, hepatitis atau penyakit visera intra-abdominal. Bila ada hematemesis tentu ada kelainan pada saluran eerna atas. C) Dian : malabsorpsi makanan dengan contoh yang paling sering ialah intoleransi laktosa sudah pasti menimbulkan diare yang berulang dan menahun, demikian juga kolitis. D) Konstipasi : dapat terlihat pada konstipasi fungsional, karena diet kurang serat, penyakit Hirschsprung. E) Darah dalam faeces, dapat berupa darah samar sampai darah segar (hematoehezia), dapat terlihat pada eolitis, polip, penyakit parasit seperti amoebiasis, triehuriasi. F) Ikterus : ikterus dengan RCAP berartio ada kelainan pada saluran empedu dan saluran pankreas, seperti batu, parasit, peradangan, kelainan kongenital sepertikistaduktus choledoenus. G) Kembung : pada malabsorpi timbul banyak gas pada usus, pada penyakit Hirsehprung eolon sangat besar dan lebar. H) Demam : bila ada peradangan. I) Anemia karena perdarahan baik terlihat maupun samar; dapat juga karena infeksi menahun. PEMERIKSAAN JASMAM Biasanya diutamakan pada daerah perut/abdomen, akan tetapi bagian lain tubuh jangan sekali-kali dilewatkan; seperti adanya pneumonia dan proses lain pada rongga thorax, manifestasi penyakit di luar abdomen seperti ikterus; tanda-tanda avitaminosis di bibir pada sindrom malabsorpsi, adanya pigmen pada mukosa bibir dan jari kaki pada penyakit Peutz — Jeghers. 1.

Inspeksi : Pemeriksaan abdomen dimulai dengan inspeksi untuk melihat contour abdomen, apakah kembung, terlihat gerakan pe-

ristaltik, contour usus, vena-vena kolateral, dan daerah iguinal (hernia). 2.

Palpasi Merupakan tindakan paling penting pada kasus nyeri abdomen. A) Palpasi yang lazim dikerjakan untuk meraba hati, limpa, ginjal, masa, kandung kemih, uterus dsb. B) Palpasi untuk menentukan lokasi nyeri, baik untuk konfirmasi atau menermukan lokasi lain; biasanya abdomen dibagi menjadi beberapa daerah seperti : epigastrium, kanan atas, kiri atas, peribumbilikal, pinggang (flank) kanan, pinggang kiri, suprapubik, kanan bawah dan kiri bawah. Mulailah palpasi sejauh mungkin dari lokasi yang dinyatakan nyeri pada anamnesis supaya jangan menimbulkan rasa takut penderita, lalu perlahan-lahan bergeser pada lokasi tersebut. Bila sudah ditemukan tangan atau jari dipindahkan ke beberapa daerah lain untuk kernudian kembali lagi ke daerah nyeri untuk konfirmasi. Perlu diperhatikan dua hal : pertama, penderita jangan melihat ke arah pertunya, ia diharapkan dan diharuskan merasakan rasa nyeri pada waktu diraba atau ditekan; kedua, kita yang memeriksa juga tidak melihat ke arah abdomen os, tetapi yang dipandang dan diperhatikan ialah raut muka penderita dan perobahan wajah atau mimik os. apakah itu betul "meringis" bila lokasi nyeri tertekan ? Palpasi tersebut bukan saja dengan telapak tangan tetapi juga dengan menekan dengan satu atau lebih dari satu jari tangan tergantung besar/keeilnya penderita. 3.

Perkusi : Perkusi dilakukan seperti teknik palpasi yang mulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri. Selain untuk menentukan dan menemukan besar hepar, masa, cairan intraperitoneal, juga diselidiknya adanya nyeri ketok. 4.

Auskultasi : Memperhatikan apakah bising usus bertambah, mengeras, melemah, jarang, tad ada sama sekali atau terdengar bising (bruit) vaskuler/aorta seperti pada penderita yang kurus atau aneurisma aorta yang dapat menimbulkan nyeri abdomen. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN PENYOKONG: 1) Darah : A. Rutin : LED, Hb, Ht, leuko, Diff, thrombosit B. Biokimiawi : a. Hati : SGPT, SGOT, alkali fosfatase, y GT b. Pankreas : amulase, lipase c. Ginjal : ureum, ereatinin d. Elektrolit : Caleium e. Lain-lain yang dianggap relevan dan penting. 2) Urine : A. Lengkap/rutin B. Sedimen, sedimen yang diwarnai Gram C. Lain-lain yang dianggap relevan dan penting

3) Faeces : A. Lengkap/rutin B. Peneernaan (Sudan III, lugol, serat otot) C. Darah samar D. Parasit seperti Giardia lamblia, Blastokista, eandida. E. Reduksi, pH untuk intoleransi laktosa. F. Lain-lain yang relevan dan penting. 4) Radiologi – bila dianggap perlu dan relevan seperti : A. Abdomen polos tanpa persiapan B. Foto kontras saluran eerna atas C. Foto kontras saluran eerna menyeluruh (Barium passage photo) D. Foto kontras barium enema E. IVP F. MCU G. Cholangiografi H. dan sebagainya 5) Ultrasonogragi – bila dianggap perlu dan relevan : A. USG abdomen B. USG gynekologik 6) Endoskopi – bila dianggap perlu dan relevan A. Panendoskopi saluran eerna atas B. Kolonoskopi total C. ERCP (Endoxcopic retrograde – cholangio – pancreatography) 7) Elektromigrafi (EMG) – bila tersangka spasmofili 8) Elektro-eneephalografi (EEG) – bila tersangka ada kelainan saraf pusat seperti epilepsi 9) CT Scan dan MRI – bila dianggap perlu dan relevan DISUKUSI RCAP sering terjadi pada anak umur 3 – 16 tahun terutama usia sekolah antara 5 – 14 tahun; dilaporkan 10 – 15% anak-anak pernah menderita kelainan ini. RCAP dapat digolongkan menjadi 3 katagori : organik, fungsional dan psikosomatik. Yang organik sesungguhnya hanya terdiri dari 5 – 10% saja, tetapi dengan perkembangan laboratorium dan alat diagnostik, yang dulu disebut fungsional sekarang tergolong organik seperti gangguan motilitas dari saluran cerna (Gastrointestinal dysmotility syndrome). Banyak kelainan saluran cerna yang secara kamroskopi melalui endoskopi terlihat "normal", pada pemeriksaan mikro-histo-patologi dapatdijumpai kelainan seperti pada oesophagitis, gastritis, duodenitis, colitis. Beberapa hal atau gejala-gejala tertentu di samping nyeri perut berulang dan menahun memberikan isyarat kemungkinan adanya kelainan organik, antara lain : adanya riwayat demam, beratbadan menurun, gagal tumbuh kembang, nyeri perut malam hari yang dapat membangunkan, perdarahan saluran cerna (hematemesis, hematoehezia, melena dan darah samar dalam faeees), muntah empedu, anemia, disuria, polakisuria, diare, apalagi yang mengandung lendir dan darah. Pada pemeriksaan jamsani nyeri biasanya tidak pada garis tengah abdomen dan lokasi nyeri jelas dan persisten, terabanya masa atau pembesaran organ/viseera. Pemeriksaan laboratorium Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

151

dan penyokong untuk konfirmasi kelainan/diagnosis yang diduga atau untuk menemukan kelainan. Kelainan-kelainan organik yang dapat dijumpai pada RCAP misalnya : (1) Dari saluran cerna : sindrom malabsorpsi terutama intoleransi laktosa, esophagitis, esophagitis refluks asam, gastritis, tukak peptik lambung, duodenitis dan tukak peptik duodenum, ileitis, ileitis TBC, appendieitis menahun, berbagai colitis, penyakit Hirsehprung, konstipasi menahun, malrotasi, volvulus, parasit. (2) Dari hepar : peradangan, batu, parasit, kelainan kongenital. (3) Dari pankreas peradangan pseudo-kista, batu. (4) Dari seluran kemih : batu, peradangan, kelainan kongenital ginkal, ureter, kandung kemih dan uretra. (5) Dari alat reproduksi/genitalia : peradangan seperti salpingitis, oophoritis, orchitis, epididymitis, prostatitis; torsi dan kista ovarium; endomtriosis, myoma uteri, dysmenorrhoe mittelschmerz, gravida dan gravida ektopik, (6) Dari peritonium : peritonitis TBC yang menahun, hernia. (7) Dari otot dan tulang : peradangan miositis, dari dinding abdomen, dari psoas dari vertebrae Lumbasacral di pelvis. (8) Dari ekstraabdominal seperti dari rongga thorax. (9) Penyakit atau kelainan sistemik seperti porphyria, sickle cell anemia. PENGALAMAN Selama 3 tahun Unit Endoskopi Anak RS Sumber Waras dan FK Untar telah menermukan 220 anak (99 laki-laki dan 121 perempuan) dengan umur berkisar antara 11/2 tahun sampai 16 tahun (rata-rata 8,7 tahun). Pada penelitian ini batas waktu antara nyeri perut menahun dan berulang (RCAP) dengan nyeri perut bukan RCAP adalah 2 bulan dan lebih. (Tabel 1 dan 2). Di kelompok 1 dan.3 untuk RCAP, endoskopi dapat menemu kan berbagai jenis kelainan (Tabel 3 & 4), tetapi terlihat juga 38 kasus (40.9%) dan 36 kasus (61.0%) masing-masing pada endoskopi saluran cema atas dan saluran cerna bawah yang tidak berhasil diketemukan kelainan. Pada gambar 1 dan 2 terlihat distribusi umur dan kelainan dari empat kelompok tersebut di mana nyeri perut dijumpai pada anak usia sampai remaja; pada usia di bawah 8 - 9 tahun, anak laki-laki lebih sering ketimbang anak perempuan, sedang di atas 9 - 10 tahun lebih banyak anak perempuan, terutama nyeri perut bagian alas yang memerlukan endoskopi saluran eema atas. PENANGGULANGAN Sindrom nyeri abdomen menahun dan berulang atau RCAP bersifat atau berlatar belakang multifaktorial, sehingga penanggulangan dan pengobatan akan ditentukan setelah sebabnya

Nyeri perut Tabel 2 : Jenis kelamin dan umur dari kelompok kasus Kelompok

perempuan

laki-laki

I. II. III. IV.

40 25 27 7

53 30 32 6

Jumlah

99

121

umur

rata-rata umur

2 -16 th. 2 - 16 th. 2 — 16 th. 7 — 14 th.

10.0 th. 9.4 th. 8.7 th. 9.3 th 9.4 th.

Nyeri perut Tabel 3. Penemuan pada pemeriksaan kelompok I. (93 kasus) Tukak

8 kasus

lambung 3 kasus bulbus 6 kasus pylorus 2 kasus Oesophgitis Gastritis 9 kasus Duopdenitis Gastroduodenitis Oesophagogastrosuodenitis Migrasi eratik Accaris Refluks empedu Tidak ada kelaian

6 kasus 19 kasus 11 kasus 4 kasus 2 kasus 1 kasus 38 kasus

Nyeri perut Tabel 4. Penemuan pada pemeriksaan kelompok III. (59 kasus) Kolitis Polip koli Beds Hipertropi lymphoid Trichuriasis berat Tanpa kelainan

17 kasus 1 kasus 2 kasus 1 kasus 1 kasus 36 kasus FIG

.

1. NYERI PERUT

1s AGE &. SEX DISTRIBUTION

d

FEMALE

to 9

Ll MALE GROUP I 44

4

1 1 Nyeri perut Tabel 1. Pembagian kelompok penderita atas dasar inkikasi dan jenis periksaan endoskopi Kelompok I. H. III. IV.

Indikasi

Panendoslipi pada nyeri pent korim dan berulang 93 Panendoskopi pada nyeri pent akut (<– 2 bulan) dan hebat 55 Kolonoskopi pada nyeri perut kronik dan berulang 59 Kolonoskopi pada nyeri perut akut (5 2 bulan) dan hebat 13 Jumlah

152

Kasus

210

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

GROUP II

5

5 3

2 '

1

3

Fig. 1 Nyeri perut

Fig. 2 Nyeri perut Gambar 1

Gambar 2

AGE & SEX DISTRIBUTION

FEMALE MALE GROUP I

AGE & SEX DISTRIBUTION

FEMALE MALE

GROUP I & II GROUP III GROUP II GROUP III & IV GROUP IV ALL GROUPS (COLONOSCOPY) AGE AGE 35 11

22 r-y 17 ALL GROUPS

13~1

18

17

17 14 13

13

12 8

2

cRou IV CROUP

00 AGE 1-2

.0 1 0.

0 0r

3-4

5- 6

2 n0 7-8

9-10

11-12

0 M0 0 13-14

15-16

FIG. 2 NYERI PERUT ACE & SEX DISTRIBUTION 22 e--r

GROUP I & II

19

(PANENDOSCOPY)

a

FEMALE 12 rte.

MALE

1 8

3

3 p

I

18 10

1

10

3-4

1-2

5-6

7-8

9-10

11-12

13-14

15-16

AGE

terakhir ini eenderung akan bertambah karena kecanggihan teknologilaboratorium dan diagnostik. Nyeri dapat berasal dari berbagai organ intraabdominal, extraabdominal atau penyakit sistemik; oleh karena itu perlu sabar yang sering memerlukan waktu untuk melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan laboratorium dan penyokong sebelum meneapi diagnosis dan dengan demikian dapat memberikan pengobatan dan penanggulangan yang sesuai dan tepat (Bagan).

7

Eagan Langkah Diagnosis 3

Anamnesis Pemenkaan jasmani Pemeriksaan laboratorium

GROUP III & IV

13

(COLONOSCOPY)

5 2 me:

Diagnosis

6

5

I

:e urn • pat . itentu an 5

4

5

Konsultasi - Neurologi - Psikologi

'Diagnosis

diketahui. Sesuai dengan etiologi, penyebab atau diagnosis maka dilakukan penanggulangan, pengobatan dan tindakan. KESIMPULAN Nyeri abdomen menahun dan berulang (RCAP) adalah suatu kelainan multifaktorial yang tidak jarang dijumpai pada ank terutama anak sekolah. Pada umumnya sindrom ini dapat dibagi menjadi 3 katagori, yaitu organik, fungsional dan psikoge. Kasus organik meliputi 5 — 10% saja, tetapi pada tahun-tahun

'Pengobatan

Pemeriksaan penyokong Non-invasif : - USG - EMG - EEG Intensif : - Endoskopi - Radiologi - Cr scan - MRI

KEPUSTAKAAN 1.

Apley J. The Child with Abdominal Pain, 2nd ed. Oxford; Blackwell Seientific Publ., 1975.

Cermin Dunia Kedokteran Edisi KhususNo. 81,1992

153

2. 3. 4.

Berman S. Persistent or Recurrent Abdominal Pain. In : Pediatric Decision Making. S. Berman (Ed). 2nd ed. B C Decker. 1991, 312-315. Boyke J T. Chronic Abdominal Pain. In : Pediatric gastroinstestinal Disease. W.A. Walker et al (Ed). B C. Decker Inc. 1991, 45-54. Christensen J. Pin in the Abdomen. In : Bedside Logic in Diagnostic Gastroenteroly. Churchill Livingstone 1987, 39-59.

154

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

5.

Grant K E, Walker W A. Recurrent Abdominal Pain. In : Ambulatory Pediatric Care. R.A. Deschewitz (Ed). J.B. Lippincott 1988, 462-466. 6.pada H. Wulur, I. Susanto, K. Pumadi, E. Kosin : Endoskopi serat optik anak. Buku peringatan 20 tahun Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Somber Waras, Fakultas Kedokteran Tarttmanagara. 1987. Hal. 161-172. 7. H. Wulur, I. Susanto, K. Pumadi. NYeri Abdomen. Pandangan dari Endoskopi Digestif. Konika VII, 1987, hal. 183.

Faktor psikogenik pada gangguan nyeri perut pada anak Singgih D. Gunarsa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta

PENGERTIAN PSIKOSOMATIK : Sekalipun istilah psikosomatik sudah dikenal lama sekali, sampai saat ini istilah ini masih banyak dipergunakan. Istilah lain yang pada dasarnya tidak berbeda ialah psikofisiologik. Seeara singkat gangguan-gangguan psikosomatik adalah gangguan atau penyakit organik dengan latar belakang faktor psikis atau disebut psikogenik. Gangguan atau penyakit organik dapat berupa gejala atau keluhan yang tidak jelas kaitannya dengan kondisi organik-fisiologik. Apabila kelihan atau gejala organik memberi kesan terdapatnya gangguan organik-fisiologik tanpa ditemukan gangguan yang sebenarnya dan diduga kuat bahwa sebabnya adalah psikogenik, disebut somatoform. Munculnya konsep psikosomatik bertumpu pada beberapa teori : 1) Teori yang dikemukakan oleh William James dan Carl Lange kira-kira seabad yang lalu, yang dikenal dengan Teori James Lange, mengemukakan proses-proses terjadinya emosi dihubungkan dengan faktor fisik dengan urutan sebagai berikut: a) Mempersepsikan situasi di lingkungan yang mungkin menimbulkan emosi. b) Memberikan reaksi terhadap situasi dengan pola-pola khusus melalui aktivitas fisik. c) Mempersepsikan pola aktivitas fisik yang mengakibatkan muneulnya emosi seeara khusus. Uraian ini disingkat menjadi : Lingkungan -► otak -► perubahan pada tubuh -+ emosi 2) Teori yang dikemukakan oleh Walter Cannon dan Philip Bard pada sekitar tahun 20-an, dikenal dengan Teori CannonBard yang mengemukakan hubungan antara aspek emosi dengan

aspek fisik dengan urutan sebagai berikut : a) Mempersepsikan situasi di lingkungan yang mungkin menimbulkan emosi b) Pola aktivitas fisik dihasilkan melalui otak - thalamus yang menimbulkan sekaligus : emosi dan perubahan aktivitas. Uraian ini disingkat menjadi : Lingkungan -+ otak-+ thalamus -' perubahan pada tubuh '-► emosi Dan kedua teori ini jelas terlihat adanya hubungan yang erat antara aspek organik dalam bentuk perilaku dan aspek psikis dalam bentuk emosi. Perubahan emosi karena perasaan yang menekan, mempengaruhi fungsi peneemaan. Sebagaimana diketahui, pencernaan dilakukan di dalam lambung melalui asam lambung; biasanya lambung menghasilkan asam lambung dalam jumlah sesuai dengan yang dibutuhkan dan berhenti kalau tugas meneerna makanan selesai. Pengeluaran asam lambung ini diatur oleh susunan saraf parasimpatis sebagai bagian dari susunan saraf otonom. Dalam keadaan stres, asam lambung dihasilkan seeara berlebihan dan kalau ini terjadi tanpa dipergunakan untuk mencerna makanan, menyebabkan peradangan pada permukaan lambung dan dapat menimbulkan luka. Stres adalah suatu keadaan pikiran (jiwa) seseorang yang menimbulkan emosi yang tidak menyenangkan, tidak enak, menekan, yang timbul dari lingkungan dan tidak dapat atau sulit diatasi. Sires muneul karena keadaan tersebut menekan terlalu berat dan orang tersebut tidak kuat menahannya. Dalam praktik sehari-hari seringkali ditemui seorang anak menderita sakit dengan keluhan nyeri perut, balk akut maupun berulang-ulang, atau muncul seeara periodik (recurrent abdominal pain). Contoh : Gejala sakit perut di sekolah ketika men-

Cermin Dania Kedokteran Edisi Khusus No. 81,1992

155

dekati musim ulangan atau kenaikan kelas, atau muntah-muntah di pagi hari men jelang berangkat ke sekolah. Perilaku yang diperlihatkan ialah merintih kesakitan dengan emosi tegang, apalagi semakin mendekati saat penentuan yang tidal( kuar dihadapi seperti mendekati jam berangkat ke sekolah. Bentuk pelariannya dalam bentuk perilaku (flight atau escape meehanism) pada umumnya mudah dilihat, karena intensitas nyerinya akan turun seeara drastis kalau misalnya sumber tekanannya segera ditemukan dan diperoleh jalan keluar, misalnya kepada anak tersebut dikatakan untuk tinggal di rumah saja, jadi tidak perlu pergi ke sekolah. Pada contoh kasus seperti ini keluhan nyeri perut muneul karena ada faktor psikogenik dalam bentuk lingkungan yang tidak kuat dihadapi si anak dan lebih lanjut timbul reaksi-reaksi seperti : agresif atau takut sekolah (sehool phobia) bahkan lebih lanjut dapat meningkat menjadi mogok sekolah (sehool refusal). Contoh-eontoh kasus : Gangguan nyeri perut dan muntah-muntah pada anak yang; sedang liburan dan mendekati berangkat kembali untuk bersekolah di Singapore; anak umur 2 - 3 tahun dengan muntah-muntah dan mogok sekolah; anak yang terlalu muda duduk di kelasnya; anak yang selalu tegang karena khawatir tidak dapat mempertahankan kejuaraannya (peringkat satu, sindrom juara). Mengenai nyeri perut yang berulang-ulang, Kolvin & Nieol (1979) melaporkan bahwa 5 sampai 10% gejala nyeri perut muneul pada anak umur 5 tahun dan menjelang pra-remaja. Kirakira 10% benar-benar terdapat faktor psikogenik dan 1/3 dari kasus nyeri perut dibawa sampai dewasa (Kolvin, I., & Nieol A.R. (1979). Child psyehiatry. Dalam K. Graville-Grossman (Ed.), Recent advanees in elinical psychiatry (Vol. 3). Edinburgh : Churchill, Livingstone). Faktor psikogenik bersumber pada : 1) Keadaan anak itu sendiri yang meliputi gambaran kepribadian secara umum maupun ciri kepribadian tertentu. 2) Lingkungan hidup anak : a. Suasana keluarga meliputi orang tua, saudara, kakek, nenek, paman, bibi, bahkan pengasuh atau pembantu. b. Lingkungan sekolah sebagai sumber ketegangan, baik

156

Cermin Dunia Kedokteran Edisi Khusus No. 81, 1992

meliputi keadaan umum sekolah dengan ciri-eirinya, sikap guru dan isi kurikulum. 3) Lingkungan sosial sebagai tempat anak melakukan hubungan sosial, dapat menjadi sumber konflik. PENANGANAN 1) Terhadap anak yang jelas menderita sakit, tentu memerlukan tindakan pengobatan dan perawatan. Namun penanganan terhadap faktor psikogeniknya perlu dilakukan, jadi tidak hanya pengobatan terhadap gejalanya saja. Gejala organik dalam bentuk nyeri perut perlu ditangani dengan tindakan terapeutik maupun sugestif melalui wibawa dan tangan halus dari tenaga medik maupun paramedik, yang memberikan kepereayaan dan keyakinan tersendiri pada anak. 2) Terhadap anak yang jelas memperlihatkan keluhan nyeri perut, baik akut maupun berulang-ulang, perlu diidentifikasi sumbernya yang menjadi faktor psikogenik. Dalam pendekatan psikologi Klinis sering ditemukan kejadian : sekalipun yang menjadi pasien adalah anak, namun yang menjadi penyebab anak sakit adalah orang tuanya. Peranan orang tua sebagai orang yang dekat dalam kehidupan anak, kenyataannya besar sekali, baik sebagai sumber penyebab maupun sebagai sumber terapi. 3) Pendekatan terpadu antara berbagai pihak yang saling berkaitan, aeapkali diperlalukan. Sikap dan perlakuan yang tepat (tidak membiarkan atau sebaliknya tidak bertindak terlalu keras) dari pribadi yang penting dalam kehidupan anak (significant others, caregivers) sangat diperlukan. Identifikasi dan teknik penanganan mengenal hal ini dapat dilakukan dengan bantuan ahli lain. 4) Munculnya berbagai perilaku sebagai reaksi terhadap sumber utama (eseape mechanism, instrumental behavior, secondaru gain) dapat menjadi sumber baru yang menambah ketegangan baru, sehingga bertambah kompleks : Sires 1—+ nyeri perut -0 tidak sekolah -' tertinggal pelajaran -+ sires s, dan seterusnya. Penanganan karena itu harus tepat mengatasi sumber utamanya dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orang tua.

Related Documents

Cdk 081 Edisi Khusus
November 2019 15
Cdk 080 Edisi Khusus
November 2019 9
081
August 2019 31