Cdk 080 Edisi Khusus

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cdk 080 Edisi Khusus as PDF for free.

More details

  • Words: 94,570
  • Pages: 181
CERMIN DUNIA KEDOKTERAN

Edisi Khusus

Menyambut :

LIMA WINDU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 20 Agustus 1952 — 20 Agustus 1992 KAMI CINTA ALMAMATER

KUMPULAN MAKALAH PAKET KEGIATAN ILMIAH : Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran (KPPIK) Simposium Satelit : Coronary Heart Disease Update Simposium Satelit : Pola makan untuk mencegah kegemukan Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih

Peristiwa ulang tahun sering dirayakan orang; padahal, setiap ulang tahun berarti penambahan usia, semakin tua; dan ketuaan adalah sesuatu yang sedapat mungkin dihindari. Orang berusaha untuk tetap muda, tetap aktif dan berguna. Lalu, apa sebenarnya tujuan perayaan ulang tahun ? Sebagian alasannya, mungkin karena peristiwa ulang tahun merupakan kesempatan untuk berhenti sejenak, merenungkan kembali dan menghitung-hitung apa yang telah dikerjakan, berapa jauh perjalanan yang telah ditempuh, mensyukuri keberhasilan dan mempelajari kesalahan/kekeliruan yang telah diperbuat agar tidak terulang lagi di kemudian hari. Hal-hal seperti itulah yang membuat kita semakin arif, dan lebih berhati-hati merencanakan langkah selanjutnya. Semoga dalam semangat di atas, perayaan ulang tahun ke empatpuluh Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara diselenggarakan, antara lain dengan mengadakan berbagai acara ilmiah, yaitu Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran dan beberapa Simposium Satelit. Cermin Dunia Kedokteran merasa sangat beruntung karena dapat ikut serta mensukseskan perayaan ini, melalui penerbitan naskah-naskah ilmiah yang dibahas dalam berbagai pertemuan tersebut. Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk dapat menerbitkan dengan selengkap-lengkapnya dan tepat waktu; hal ini tidak lepas dari kesediaan para penyumbang naskah untuk menyelesaikan makalahnya dengan tepat waktu pula; sekiranya ternyata terdapat beberapa hal yang kurang sesuai, Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mohon maaf, karena hal itu sama sekali di luar kehendak kami. Segenap Redaksi Cermin Dunia Kedokteran mengucapkan selamat ulang tahun bagi seluruh CivitasAcademica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, semoga dengan perayaan ini, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara semakin disegani dan berjaya. Redaksi

2

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

REDAKSI KEHORMATAN KETUA PENGARAH



Dr Gen L.H.

— Prof. Dr. B. Chandra

Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

KETUA PENYUNTING

Dr Budi Riyanto W

Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro

Guru Besar llmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya

— Prof. Dr. R.P. Sidabutar Gum Besar llmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

PELAKSANA

Sriwidodo TATA USAHA

Sigit Hardiantoro

— Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo

ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Teip.4892808 Fax. 4893549, 4891502

Guru Besar Bmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta –

Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976



Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Bmu Penyakit Dalam Fakuhas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang



Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta

– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

DEWAN REDAKSI

PENERBIT Grup PT Kalbe Farina



PENCETAK PT Midas Surya Grafindo

— –

DR. B. Setiawan Ph.D Drs. Oka Wangsaputra DR. Ranti Atmodjo

— Drs. Victor S. Ringoringo, SE, MSc. — Dr. PJ. Gunadi Budipranoto – DR. Susy Tejayadi

PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pemah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai name, tempat dan said berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang bake, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah hams disemi dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai jugs dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ads, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di alas kertas putih benrkuran kuarto/ folio, sate muka, dengan menyisakan cukup niangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafikflustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor

sesuai dengan unitan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor unit sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London: William and Wilkins, 1984. Hal 174-9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr, Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974 : 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran PO Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disettai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

Daftar Isi : 2. Editorial Gawat Darurat Penyakit Paru 5. Beberapa Aspek Bedah Onkologi — Humala Ilutagalung 7. Penerapan Biopsi Aspirasi Jarum Halus dalam Deteksi Dini Kanker — Gani W Tambunan 10. Strategi Deteksi Kanker Payudara Stadium Awal — Gani W Tambunan, Joko S Lukito, Soekimin 14. Karsinoma Serviks Uteri — Deteksi Dini dan Penanggulangannya — M Fauzie Sahil Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman 17. Permasalahan Visum et Repertum —Amar Singh 22. Hukum Kesehatan : The New Frontier — Amri Amir 25. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti Pemeriksaan secara Laboratoris Kriminalistls — P Emma Sitompul Gawat Darurat Bedah 28. Akut Abdomen pada Alat Pencemaan Orang Dewasa — S Soewandi 31. Trauma Wajah, Luka Bakar, dan Luka Avulsi —Buchari Kasim 35. Trauma Toraks — Harry Soedjatmiko Update I (Pediatri) 39. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue — Syahril Pasaribu 44. Mekanisme Diare Infeksius Akut — Atan Baas Sinuhaji, All Sutanto 47. Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pematuauan Akut (ISPA) — H Ridwan Muchtar Daulay Penyakit Hati dan Tukak Lambung 53. Vaksinasi terhadap Hepatitis B — EN Kosasih, / Sukiman Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada Obstetri Ginekologi 57. Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan — Rush P Barus 60. Perdarahan Hamil Tua dan Perdarahan Postpartum — John Slamet Khoman 64. Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda — Daulat Sibuea 67. Hipertensi dalam Kehamilan/Preeklamsi dan Eklamsi (Gestosis) — Hasdiana Hasan Penyakit Kardiovaskular dan Penanganannya 72. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia — HA Adin St Bagindo 76. Pola Payah Jantung di Rumah Sakit Dr Pimgadi Medan — T Renardi Haroen, Gontar A Siregar Gawat Darurat Penyakit Syaraf 79. Status Epileptikus — LBM Sitorus 82. Penatalaksanaan Memar Otak (Contusio Cerebri) — Syawalludin Nasution, Adril A Hakim 84. Koma — A Sjukri Batubara 88. Stroke Hemoragik : Perdarahan Intrascrebral — Darulkutni Nasution DarutPenyki Gawt 90. Hemoptisis Masif — 11 Luhur Soeroso, H Sugito, RS Parhusip, Sumari, Usman 95. Efusi Pleura Masif — Sugito, LS Soeroso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N 98. Benda Asing di Saluran Nafas — Sugito, //MM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip Update II (Diagnostik) 101. Penatalaksanaan Malaria Berat Masa Kini — Endang Haryanti Gani 105. Perkembangan Teknologi Radiologi dalam Diagnosis Berbagai Penyakit — Sahat Sianipar 109. Asma Noktumal —Rusli Pelly 112. Metabolit Oksigen Radikal Babas dan Kcrusakan Jaringan — Pangaribuan Siregar Update HI (Penyakit Kulit dan Kelamin) 116. Diagnosis dan Penatalaksanaan Dermatofitosis — Mansur A Nasution, Kamallah Muis, Juwono, Tapi S Niari 119. Manifestasi Klinis Infeksi HIV —Namyo O Hutapea, Mansur A Nasution, Rosiana R Ramsi 124. Penatalaksanaan Gejala Duh Tubuh Uretra — Mansur A Nasution, Zulilham 126. Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari — Diana Nasution Kursus dan Demonstrasi RJP 128. Resusitasi Jantung, Paru dan Otak — Oloan SM Siahaan Makalah Lain 138. Pengiriman dan Pengelolaan Jaringan untuk Diagnostik Histopatologik —Joko S Lukito, II Soekimin, Delyuzar, T Kemala lntan 141. Toxoplasmosis dan Infertilitas — Maria Irene robing 147. Berbagai Aspek Deteksi Dini Karsinoma Paru — Luhur Soeroso, Gani W Tambunan 150. Laboratorium Diagnostik Malaria Masa Kini — Makmur Husaini Simposium Satelit : Coronary Heart Disease Update 152. Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner — T Bahry Anwar, Sutomo Kasiman 157. Penggunaan Ca Antagonists dalam Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner — Sutomo Kasiman, T Nahry Anwar, T Renardi Haroen Simposium Satelit : Pola Makan untuk Mencegah Kegemukan 161. Interkonversi Zat-zat Kimia dalam Tubuh — Pangaribuan Siregar Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih 165. Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap — Hasty RPO Sitompul 171. Pemantauan Aspek Non Medik Pelayanan Kontrasepsi Mantap — Raja Malem Kaban 174. Pencegahan Infeksi pada Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET) — Maciste Lumbanraja

Humala Hutagalung Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Penanganan penyakit keganasan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan pemeriksaan, pengobaran dan kontrol tidal lagi ditangani oleh seorang dokter. Karakteristik dari kelompok yang khusus menangani penyakit keganasan ini ialah tidak ada lagi dasar pemikiran hierarkis; pertukaran pikiran dan bebas mengeluaran pendapat unf tuk membahas dari berbagai aspek serta memilih alternati terbaik pola penanggulangan penyakit keganasan, merupakan faktor penting untuk meningkatkan fungsi kelompok penanganan penyakit kanker. Pada tulisan ini dikemukakan berbagai pad pola pemeriksaan tumor yang mendasar sebelum berlanjut tindakan pengobatan. POLA PEMERIKSAAN PENYAKIT KANKER 1) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik merupakan cara yang klasik dan penting dalam diagnosis tumor. Dengan cara ini dapat diketahui letak dan diameter tumor serta hubungannya dengan jaringan atau organ sekitarnya. Diameter ditentukan dengan mengukur diameter terbesar tumor. Kecepatan membesar tumor dapat di ukur dengan menentukan diameter. Sebenarnya kecepatan pertumbuhan tumor harus diukur menurut volume. Hubungan tumor harus dinyatakan deskriptif : bebas bergerak, atau melengket dengan jaringan sekitarnya. Konfigurasi kulit yang menutup tumor juga penting dinyatakan. Misalnya pada kanker payudara stadium lanjut sering terlihat konfigurasi kulit seperti kulit jeruk, bisul dan tukak. Palpasi kelenjar getah bening regional dilakukan cermat dengan pola tertentu untuk mengetahui kemungkinan adanya metastasis.

2) Pemeriksaan sitologi/histopatologi Tumor yang letaknya dalam, diusahakan diperiksa melalui fine needle aspiration biopsy (bipsi aspirasi jarum halus), truecut needle biopsy, bone marrow punction ataupun biopsi insisi/ eksisi. Pemeriksaan jaringan dengan cara di atas perlu dilakukan, selain untuk diagnostik kanker, juga untuk menentukan subtipe tumor karena ada kaitannya dengan pola pengobatan. 3)

Pemeriksaan sifat kimiawi atau biologis Reaksi hormon atau sitostatika terhadap sel tumor penting diketahui untuk kepentingan terapi. Kalau mungkin pada setiap jenis tumor di lokasi tertentu dibuat saru skema pola penanggulangan mulai dari diagnosis sampai pada terapi yang disebut protokol penanggulangan tumor. Biasanya protokol ini merupakan kesepakatan dari kelompok atau tim kanker berdasarkan pengalaman dan kutipan dari berbagai kepustakaan. Hal ini penting sekali untuk menyatukan "bahasa" dari berbagai disiplin ilmu yang terkait. Sebagai langkah permulaan cara penanggulangan tumor adalah mengenal dan mengaplikasi sistem T.N.M. (T = Tumor, N = metastasis pada node °atau kelenjar getah bening regionbal, M = Metastasis pada organ jauh). Secara bertahap sistem YNM pada setiap tumor ganas sudah harus dimanfaatkan. Sistem TNM merupakan petunjuk stadium tumor semakin lanjut : T (0, 1, 2, 3, 4), N (0, 1, 2, 3) dan M (0, 1).

POLA PENGOBATAN Pola pengobatan yang baik adalah pola pengobatan yang memberi penyembuhan komplit atau penyembuhan untuk jangka waktu lama, komplikasi paling ringan dan mutilasi

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 5

paling sedikit. Untuk itu perlu diketahui bentuk mutilasi yang mungkin timbul, gangguan psikis karena operasi, kemungkinan pemakaian alat-alat tehnik revalidasi (contoh : pemakaian payudara palsu, hilang pita suara diganti suara perut). Dari uraian di atas dapat dipahami pentingnya kelompok/tim penanggulangan kanker dalam tukar menukar pikiran atau informasi mengenai berbagai penyakit kanker dan membandingkannya dengan pengalaman kelompok lain untuk memilik alternatif protokol yang paling baik. ASPEK BEDAH MENGURANGI RESIDIF Berkaitan sifat biologis dari sel kanker, perlu diperharikan berbagai aspek bedah untuk mengurangi residif lokal atau penyebaran kanker waktu operasi. 1) Mencegah anestesi lokal Sel ganas yang terlepas sangat mudah masuk ke dalam pembuluh darah yang diinfiltrasi cairan anastesi, karena tusukan jarum atau perubahan tekanan dalam jaringan. 2) Massa tumor tidak boleh ditekan-tekan Pada waktu tumor ditekan, sel tumor gampang terlepas dan masuk ke dalam pembuluh limfe atau pembuluh darah atau melalui cerah jaringan masuk ke permukaan tumor dan invasi ke jaringan sekitarnya. 3) Jaringan tidak boleh ditarik Pada waktu operasi, jaringan tidak boleh ditarik-tarik karena daya regang massa tumor terbatas dan mudah terkoyak. Melalui jaringan rusak ini sel ganas mudah terlepas dan menyebar sehingga dapat terjadi kontaminasi di permukaan luka operasi. Juga tumor sebaiknya dikeluarkan in toto atau dengan jaringan pembungkus setebal 2 cm dan tidak terpotong-potong. Diseksi tumor tidak boleh dilakukan secara tumpul dan harus secara tajam. Jaringan yang seolah-olah batas tumor tidak boleh dipercayai. 4) Pengangkatan kelenjar getah bening Jaringan tumor beserta kelenjar getah bening bila mungkin diangkat bersama-sama dan dianggap sebagai tumor. Luka bekas

6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

eksisi percobaan juga harus ikut, hams dianggap dan ditanggulangi sebagai tumor. 5) Permukaan berupa tukak harus Permukaan tumor berupa tukak dan luka operasi ditutup secara hermetis dan bila tak mungkin harus dibakar dengan koagulasi, sehingga jaringan vital tidak terkontaminasi sel tumor. 6) Reseksi usus Usus yang direseksi karena tumor ganas, sebaiknya dibilas dengan cairan anti sel kanker seperti sublimat, cairan hipochlorit dengan konsentrasi tertentu; pemakaian cairan ini harus hati-hati karena sifatnya sangat beracun; demikian juga luka operasi, dan instrumen harus dicuci dengan cairan anti sel kanker sebelum ditutup. 7) Radiasi Dengan indikasi khusus dapat dilakukan radiasi sebelum dan sesudah operasi untuk memperkecil kemungkinan residif lokal. Penyinaran sebelum operasi dilakukan dalam hal tertentu bertujuan mengantipasi kesalahan yang mungkin terjadi atau sudah terjadi sebelum tumor ditanggulangi, misalnya biopsi yang dilakukan dengan anestesi infiltratif, operasi terdahulu yang dilakukan tidak radikal. Penyinaran preoperatif sebagai fase pertama penanggulangan karsinoma rektum dan karsinoma esofagus tidak termasuk dalam kategori ini. Penyinaran sesudah operasi terutama dilakukan apabila selama operasi ada kontaminasi atau pada spesimen ada darah. KEPUSTAKAAN 1. del Regato JA, Sputj HJ. Dalam : aekerman and Regato;s Cancer Diagnosis, Treatment and Prognosis. 5th Ed. St. Louis : CV Mosby Co 1977 : 820-76. 2. Linsk JA, Franzen S. The Breast : Diagnosis and management. Fine Needle Aspiration biopsy for Clinieian. Lippineou Co 1986. 3. Orel SR, Sterret GF, Walters MI, Whitaker D. Manual and Atlas of fineNeedle Aspiration Cytology. Churehill Livingstone, 1986. 4. Tambunan G. Penuntun Biopsi Aspirasi Janrm Halus. Aspek Klinik dan Sitologi Neoplasma. Jakarta : Hipokrates, 1990. 5. Tjindrambumi D. Penangan Kanker Payudara Dini dan Lanjut. Naskah Simposium Tumor Ganas pada Wanita. Bagian Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran UI.

I

Penerapan Biopsi Aspirasi Jarum Halus dalam Deteksi Dini Kanker Gani W. Tambunan Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

ABSTRAK Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH), bukan merupakan alat diagnostik bar'. Di negara Barat metode ini dipergunakan sebagai prosedur diagnostik rutin tumor. Di Indonesia, BAJAH semakin banyak dipergunakan dalam pelayanan onkologik. Pengetrapan BAJAH sebagai diagnostik pendahuluan dari berbagai tumor, mempunyai dampak positif pada aspek deteksi dini kanker, menejemen tumor, pengelola rumah sakit dan bagi pasien sendiri. Keberadaan alat canggih berguna membantu diagnosis kanker, tetapi sifatnya selektif. Untuk memperoleh basil yang optimal dari biopsi aspirasi diperlukan kerja sama kelompok klinis, radiologis dan patologis. Teknik biopsi aspirasi sederhana, murah, cepat dan akurat dan dapat dipergunakan hampir pada semua tumor baik yang letaknya superfisial maupun yang terletak di rongga tubuh.

PENDAHULUAN Walaupun teknologi radioterapi semakin maju dan berbagai jenis obat penyakit kanker semakin maju dan semakin banyak di pasaran, upaya penanggulangan penyakit kanker lebih banyak diarahkan pada deteksi dini penyakit tersebut. Penyakit kanker dapat dideteksi sedini mungkin dengan mempergunakan Bederetan alat diagnostik, mulai dari alat sederhana sampai pada alat canggih. Pemeriksaan fisik merupakan alat diagnostik klasik dan sederhana. Kombinasi fisik diagnostik dengan biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) merupakan alat diagnostik yang efektif dan efrsien( 1,2.3. > . Kedua alat diagnostik sederhana ini Bering dilupakan atau kurang mendapat perhatian karena larut dalam keberadaan alat canggih seperti ultrasonografi (USG), CT Scan dan image magnetic resonance (IMR). Keberadaan alat canggih banyak membantu dalam diagnosis berbagai tumor, namun sifatnya selektif karena biaya mahal( 2 ).

Pada makalah ini dikemukakan peranan biopsi aspirasi jarum halus dalam deteksi dini kanker dengan penekanan pada aspek perkembangan, keterlibatan, teknik dan nilai diagnosis sitologi pada klinik. PERKEMBANGAN Akhir-akhir ini alat diagnostik biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) semakin luas dipergunakan baik sebagai diagnosis preoperatif maupun sebagai diagnosis konfirmatif berbagai kanker"). Konsep diagnosis BAJAH, pertama sekali dikemukakan oleh Martin dan Ellis (1926) di Memorial Hospital, New York( o . Tiga tahun kemudian (1933) Stewart mengemukakan berbagai masalah yang berkaitan dengan aspek sitopatologi. Dua puluh tahun setelah publikasi Martin dan Ellis, di Eropah, terutama di negara Scandinavia, penggunaan biopsi aspirasi sebagai prosedur diagnostik pendahuluan tumor, maju lebih pesat dibandingkan dengan negara asalnya. Franzen, Soderstorm, Zajicek dari Swedia dan Cardozo dari Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

7

Belanda, dikenal sebagai pakar biopsi aspirasi generasi pertama di Eropaa3 . Melalui "murid-murid Scandinavia", metode biopsi aspirasi tersebar ke negara lain seperti Australia. Di Indonesia, biopsi aspirasi semakin banyak dikenal dan dipergunakan untuk diagnosis pendahuluan tumor on. Di beberapa pusat pemeriksaan kanker, biopsi aspirasi semakin banyak dipergunakan. Di Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran USU, Medan, biopsi aspirasi diperkenalkan sebagai prosedur diagnostik tumor sejak tahun 1980. Pala saat ini konsep BAJAH diterima dan dipergunakan sebagai prosedur diagnosis pendahuluan berbagai tumor di RS. Dr. Pirngadi dan di berbagai Rumah Sakit ataupun Klinik swasta di Medan.

Aspek Patologi Di berbagai rumah sakit atau insitut, biopsi aspirasi dilakukan di laboratorium patologi. Dengan demikian patologist bukan hanya duduk di muka mikroskop memeriksa jaringan, tapi juga memeriksa pasien. Cara ini lebih praktis. Apabila pads pemeriksaan sediaan halms aspirat pertama belum memadai, biopsi aspirasi dapat diulang pads waktu hampir bersamaan. Dengan demikian waktu dapat dihemat dan akurasi diagnosis lebih akurat. Billa biopsi aspirasi dilakukan dokter lain yang bukan patologist, maka informasi singkat data klinis sangat diperlukan dalam membantu membuat keputusan terutama kasus yang meragukan.

KAITAN DENGAN DISIPLIN ILMU LAIN Untuk menentukan tumor neoplasia atau nonneoplasia dan tumor jinak atau tumor ganas tersedia berbagai alat diagnosis mulai dari alat sederhana sampai dengan alat canggih. Alternatif pilihan tergantung pada letak dan kondisi tumor disertai pertimbangan efisiensi dan efektivitasnya. Penanganan tumor melibatkan berbagai disiplin ilmu. Demikian juga penetrapan BAJAH sebagai salah satu prosedur diagnostik tumor, memerlukan kerja sama yang erat antara disiplin ilmu kelompok klinisi (bedah, penyaldt dalam, pulmonologi, THT, kesehatan anak,kulitdan kelamin),radiologidan patologi (2.8)..Keberhasilan metode biopsi aspirasi tergantung pads integrasi disiplin ilmu tersebut. Sehubungan dengan itu perlu diperhatikan beberapa aspek pads penerapan biopsi aspirasi dalam diagnosis kanker.

KEUNTUNGAN BAJAH Penggunaan biopsi aspirasi dalam diagnosis tumor mempunyai dampak yang menguntungkan baik ditinjau dari segi menejemen tumor, pelayanan onkologik rumah sakit maupun bagi pasien.

1.

Dampak terhadap pelayanan rumah sakit Teknik dan peralatan biopsi aspirasi yang sederhana, murah dan cepat memberi dampak yang menguntungkan bagi pengelolaan rumah sakit, terutama rumah sakit pemerintah : 1) Pelayanan onkologik dapat ditingkatkan 2) Biaya operasional rumah sakit menurun

Aspek klinis Pengamatan klinisi yang cermat tentang sasaran biopsi aspirasi baik pada tumor yang letaknya superfisial (palpable rumor) maupun tumor di dalam rongga tubuh (nonpalpable) diperlukan untuk memperoleh basil optimal. Tumor yang letaknya superfisial dapat dilakukan langsung biopsi aspirasi tanpa kombinasi pemeriksaan lain. Pada tumor difus dan letaknya dalam sering diperlukan pemeriksaan radiologi. Tumor yang letaknya di rongga tubuh yaitu di rongga dada dan abdomen memerlukan pemeriksaan radiologi. Dokter umum yang bekerja di Rumah Sakit ataupun Puskesmas yang diharapkan menjadi ujung tombak penemu dini kanker, tidak mustahil dilatih dan mahir meaakukan biopsi aspirasi pads tumor yang letaknya superfisial. Dengan demikian kesempatan menemukan kanker sedini mungkin lebih besar. 2. Aspek radiologi Kemajuan teknolgi radiologi yang pesat dan merupakan mitra utama biopsi aspirasi, terutama pads tumor yang terletak di rongga dada dan rongga abdomen. Keberadaan fluoroskopTV, ultrasonogram dan CT Scan sangat bermanfaat dalam menuntun ujung jarum sampai mencapai massa tumor. Kemajuan teknlogi laboratorium, tersedianya pewarnaan dif-quik dan ditopang kerja sama patologist dan radiologist, sitologi biopsi dapat dilakukan lebih efektif dan efisien. 8

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

3.

Dampak dalam menejemen tumor Ditinjau dari segi menejpmen tumor, biopsi aspirasi memberi dampak menguntungkan : 1) Menejemen tumor lebih sederhana. 2) Penggunaan alat canggih lebih selektif. 3) Tindakan biopsi yang tidak menguntungkan dapat dihindari. 4) Alternatif pengobatan dapat dilakukan segera.

Dampak terhadap pasien Teknik sederhana, murah, cepat dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti, memberi dampak yang menguntungkan sbb. : 1) Biaya pemeriksaan lebih murah 2) Hasil pemeriksaan cepat, rasa cemas dan sires dipersingkat 3) Keinginan pasien konsultasi pada dokter meningkat dan kesempatan menemukan kanker sedini mungkin lebih luas 4) Pasien mendapat pengobatan segera.

KETERBATASAN BAJAH Harus disadari bahwa jangkauan sitologi biopsi aspirasi terbatas(2 "). 1) Luasnya invasi tumor tidak dapat ditentukan. 2) Subtipe kanker tidak selalu dapat diidentifikasi. 3) Dapat terjadi negatif palsu. 4) Harus ada kerja sama klinisi dengan patologis.

INDIKASI BAJAH Paola hampir semua tumor dapat dilakukan biopsi aspirasi, baik yang letaknya superfisial palpable ataupun tumor yang terletak di dalam rongga tubuh unpalpable dengan indikasi : 1) Preoperatif biopsi aspirasi pads tumor sangkaan maligna operable. Tu juannya adalah untuk diagnosis dan menrrntukan pola tindakan bedah selanjutnya. Sebagai contoh tumor payudara dan kelenjar tiroid. 2) Maligna inoperable. Biopsi aspirasi merupakan diagnosis konfirmatif. 3) Diagnosis konfirmatif tumor "rekuren" dan metastasis. 4) Membedakan tumor kistik, solid dan peradangan. 5) Mengambil spesimen untuk kultur dan penelitian.

TEHNIK BIOPSI ASPIRASI Teknik biopsi aspirasi mencakup kegiatan mulai dari pendekatan pasien, mempersiapkan peralatan, mengambil aspirat tumor dan membuat sediaan m. a) Persiapan alat Alat yang dipergunakan terdiri dari tabung suntik plastik ukuran 10 ml, jarum halus, gagang pemegang tabung suntik, kaca objek dan desinfektan alkohol atau betadin. b) Pendekatan pasien Dengan ramah pasien dianamnesis singkat. Wawancara singkat ini dibuat sedemikian rupa, sehingga pasien tidak takut atau stres dan bersedia menjalani biopsi aspirasi. Biopsi dilakukan dengan kelembutan hati dan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia. c) Pengambilan aspirat tumor 1)Tumor dipegang lembut 2) Jarum diinsersi segera ke dalam tumor. 3) Piston di dalam tabung suntik ditarik ke arah proksimal; tekanan di dalam tabung menjadi negatif; jarum manuver mundur-maju. Dengan cara demikian sejumlah sel massa tumor masuk ke dalam lumen jarum suntik. 4) Piston dalam tabung dikembalikan pads posisi semula dengan cara melepaskan pegangan. S) Aspirat dikeluarkan dan dibuat sediaan hapus, dikeringkan di udara dan dikirimkan ke laboratorium pusat pemeriksaan kanker. Pemahaman teknik dan aspek lain BAJAH tercantum pada buku Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus 8).

DIAGNOSIS SITOLOGIK BIOPSI ASPIRASI DAN NILAI KLINIK 1. Posisif maligna disebut Posistif 2. Kelainan jinak disebut Negatif 3. Mencurigakan maligna disebut Suspek 4. Tidak dapat diinterpretasi disebut Inkonklusif 1) Sitologi positif merupakan "mandat" untuk melakukan tindakan lebih lanjut antara lain survei metastasis, menentukan stadium, memilih alat diagnostik lain bila diperlukan dan mendiskusikan pola pengobatan. 2) Sitologi negatif atau kelainan jinak, belum dapat menyingkirkan adanya kanker; perlu dipikirkan kern ungkinan negatif palsu. Negatif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknis, sehingga sejumlah sel tumor tidak terdapat pads sediaan. Bila terdapat diskrepansi sitologi dan data klinik, alternatif tindakan terbaik adalah biopsi bedah; akan tetapi, pads kasus sitologi negatif dengan spesifikasi kelainan dan cocok dengan gambaran klinik, maka pola pengobatan dapat ditentukan. 3) Sitologi suspek, mungkin memerlukan pemeriksaan lain sebelum pengobatan antara lain pemeriksaan potongan beku ataupun sitologi imprint atau kerokan durante operasionam. 4) Inkonklusif dapat terjadi karena kesalahan teknik atau karena situasi tumor, misalnya mudah berdarah, reaksi jaringan ikat banyak atau tumor terlalu kecil, sehingga sulit memperoleh sel tumor. Dalam praktek, sitologi inkonklusif meningkatkan negatif palsu. KEPUSTAKAAN 1. Frable WJ, Frable MA Thin needle aspiration biopsy. The diagnosis head neck tumors revisited Cancer 1979, 43 : 1541-8. 2. Linsk JA, Franzen S. Fine needle aspiration for the clinician. Philadelphia : J.B. Lippincott Co, 1986. 3. Drell SR, Sterret GF, Walters MI, Whitaker D. Manual and atlas of Fine needle aspiration cytology. Churchill Livingstone, 1986. 4. Zajicek J. The aspiration smear. In : Koss. Diagnostic cytology and its histopathology bases. Ed. II, vol 2. Lippincott 1978, p. 1048-68. 5. TambunanGW.Beberapacatatanmengenaibiopsiaspirasitumor.Pengalaman pada 468 kasus. Naskah KONAS VII, Ujung Pandang, 1984. 6. Marthin HE, Ellis EB. Biopsy by needle puncture and aspiration. Ann Surg 1930; 92 : 169-181. 7. Tambunan GW. Sitologi aspirasi dalam tatalaksana limfadenopati. Khusus li mfoma malignum. Naskah Simposium Lekemia dan Lmmfoma II, Medan 1989. 8. Tambunan GW. Teknik Biopsi Aspirasi. Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Aspek Klinik dan Sitologi NeoplasmaJakarta : Percetakan Hipokrates 1990. 9. Hajdu SI, Melamed MR. Limitation of aspiration cytology in the diagnostic of primary neoplasm. Acta Cytol 1984, 28 : 337-45.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

9

Strategi Deteksi Kanker Payudara Stadium Awal Gani W Tambunan, Joko S Lukito, Soekimin Laboratorium Patologi Anatokik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

ABSTRAK Sebagian besar kanker payudara ditemukan oleh penderita sendiri, yang berarti pads kondisi stadium lanjut inoperabel. Oleh karena ukuran tumor umumnya berpengaruh terhadap prognosis, maka penanggulangan diprioritaskan pads upaya menemukan tumor ini dalam ukuran kecil asimtomatik dengan cara : (1) pemeriksaan payudara sendiri (SARARI) dan (2) pemeriksaan payudara secara klinik (SARANIK) oleh dokter, bidan ataupun paramedis yang terlatih. Apabila pada kedua pemeriksaan ini ditemukan nodul, maka pemeriksaan dilanjutkan dengan (3) sitologi biopsi aspirasi dengan/tanpa (4) mamografi ataupun (5) biopsi bedah. Prosedur, teknik dan peralatan sitologi biopsi aspirasi sangat sederhana dan murah dengan ketepatan diagnosis yang tinggi. Kombinasi sitologi biopsi aspirasi dan mamografi memberikan ketetapan diagnosis alternatif, apabila biopsi aspirasi tidak dapat dilakukan atau gagal memberi informasi yang akurat. PENDAHULUAN Tumor payudara hampir selalu memberi kesan menakutkan bagi wanita. Bahkan banyak para pakar sependapat bahwa setiap nodul pads payudara dianggap sebagai kanker terutama pads wanita golongan risiko tinggi walaupun kemungkinan tumor jinak tidak dapat diabaikan. Pendapat yang "berlebihan" ini dapat dipahami, mengingat insiden kanker payudara tinggi tidak hanya di negara sedang berkembang, tapi juga di negara maju. Di Indonesia kanker payudara berada pada urutan ke dua dari jenis kanker yang ada dan lebih kurang 60 - 80% ditemukan pads stadium lanjut yang berkaibat fatal'). Tingkat pertumbuhan atau stadium kanker payudara ditentukaan tumor, penyebaran pads kelenjar getah bening di daerah ketiak ataupun supraklavikuler dan organ lain misalnya paru, hati dan tulang. Semakin kecil tumor, kemungkinan penyebaran tumor semakin kecil dan tindakan bedah kuratif dapat diharapkan walaupun sifatnya "sulit diramalkan" karena

10

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

kemungkinan mikrometastasis tidak dapat diabaikan( 2 . Oleh sebab itu penanggulangan kanker payudara dewasa ini diprioritaskan path upaya menemukan kankerpada ukuran sekecil mungkin. Tujuan tulisan ini adalah untuk mengemukakan berbagai pendekatan sederhana untuk menemukan kanker payudara pads stadium awal secara efektif dan efieisn. ETIOLOGI Penyebab kanker payudara belum jelas diketahui, namun pengaruh hormonal merupakan faktor yang utama. Apabila pads wanita berusia kurang dari 35 tahun dilakukan kastrasi ovarium ataupun adrenal, maka risiko kanker payudara pads wanita tersebut lebih kecil dibanding dengan wanita biasa. Wanita yang menarkhe pads usia sebelum 11 tahun dan wanita yang sulit dapat anak, insiden kanker payudaranya lebih tinggi dibanding wanita normal.

Faktor luar, antara lain kemungkinan makanan, diduga ada kaitannya dengan insiden kanker payudara. Insiden kanker payudara pads wanita Jepang lebih rendah dibanding wanita Barat Golongan risiko Golongan risiko sering membantu dalam diagnosis karsinoma payudara. Yang dimaksud dengan golongan risiko adalah kelompok wanita yang mempunyai kemungkinan lebih tinggi terjangkit penyakit kanker payudara, dengan kriteria : 1) Wanita berusia di atas 40 tahun 2) Orang tua (ibu) menderita kanker payudara 3) Saudara (kakak, adik) menderita kanker payudara 4) Pernah menderita kanker pads salah satu payudara 5) Penderita tumor jiank payudara 6) Kehamilan pertama terjadi sesudah usia 35 tahun.

PERTUMBUHAN Kanker payudara 95% merupakan karsinoma,'berasal dari epitel saluran dan kelenjar payudara. Pertumbuhan dimulai di dalam duktus ataupun kelenjar lobulus yang disebut karsinoma noinvasif. Kemudian tumor menerobos ke luar dinding duktus atau kelenjar di daerah lobulus dan invasi ke dalam stroma, yang dikenal dengan nama karsinoma invasif. Pada pertumbuhan selanjutnya tumor meluas menuju fasia otot pektoralis ataupun daerah kulit yang menimbulkan perlengketan-perlengketan. Pada kondisi demikian, tumor dikategorikan stadium lanjut inoperabel. Penyebaran tumor terjadi melalui pembuluh getah bening, deposit dan tumbuh di kelenjar getah bening, sehingga kelenjar getah bening aksiler ataupun supraklavikuler membesar. Kemudian melalui pembuluh darah, tumor menyebar ke organ jauh antara lain pare, hati, tulang dan otak. Akan tetapi dari penelitian para pakar, mikrometastasis pads organ jauh dapat juga terjadi tanpa didahului penyebaran limfogen( 2). Beberapa penulis mengemukakan konsep bahwa karsinoma payudara merupakan penyakit sistemik; walaupun tumor kecil, namun kemungkinan mikrometastasis tidak dapat diabaikan. Namun demikian, stadium dan prognosis karsinoma payudara pads umumnya ditentukan berdasarkan ukuran tumor, luas invasi pads payudara, keterlibatan kelenjar getah bening aksiler ataupun supraklavikuler dan metastasis ke organ jauh. Semakin kecil ukuran tumor, tingkat pertumbuhan/stadium semakin rendah dan prognosis lebih baik. Faktor daya tangkal tubuh Karsinoma payudara sebagian meluas progresif, sebagian tumbuh laten bertahun-tahun dan bahkan ada pula yang mengalami regresi (Townsend). Kejadian ini diduga ada kaitannya dengan faktor daya pertahanan tubuh yang disponsori jaringan limfoid. Defek reaksi limfosit pads kelenjar getah bening di ila mempercepat pertumbuhan tumor dan prognosis lebih uruk. Di samping itu ketergantungan tumor terhadap hormon rterutama estrogen berpengaruh terhadap pertumbuhan tumor.

GEJALA KLINIK Keluhan utama penderita adalah pembengkakan payudara. Perasaan sakit jarang terjadi, kalaupun ada Baru muncul pads tingkat pertumbuhan yang lanjut. Oleh karena keluhan sakit tidak ada, pasien tidak merasa perlu pergi berobat, sehingga tumor dibiarkan tumbuh tanpa menyadari bahaya yang akan terjadi. Itulah sebabnya sebagian besar (60-80%) penderita kanker payudara ditemukan pads tingkat pertumbuhan lanjut inoperabel. Pada situasi demikian sering ditemukan tumor melengket dengan kulit atau kelihatan seperti bisul atau borok disertai pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak ataupun di leher. Pada keadan penyakit demikian, pengobatan biasanya hanya bersifat paliatif. Pengobatan kuratif dapat dilakukan apabila tumor ditemukan pads ukuran kecil atau stadium dini. METODE DETEKSI DINI Walaupun kemajuan pengobatan kanker dengan sitostatika semakin meningkat, namun penemuan tumor pada stadium dini merupakan faktor penting dalam penanggulangan kanker payudara. Sebagian besar kanker payudara ditemukan oleh pasien sendiri, artinya tumor dalam tingkat pertumbuhan lanjut. Untuk menemukan tumor ini pads stadium awal diperlukan inisiatif pasien dan pemeriksaan medis : 1) Pemeriksaan payudara sendiri (SARARI) Pemeriksaan payudara sendiri ternyata terbukti dapat menemukan tumor pads ukuran kecil. Dengan pola pemeriksaan tertentu payudara diperiksa sendiri setiap bulan 5-7 hari sesudah haid berhenti. Pemeriksaan payudara sendiri waktu sedang mandi sangat efektif karena dengan mempergunakan sabun benjolan lebih mudah teraba. Apabila teraba benjolan walaupun kecil dan tidak sakit, apalagi pads wanita golongan risiko tinggi, segera diperiksakan pads dokter keluarga ataupun dokter di Rumah Sakit/Puskesmas. Menurut penelitian para ahli, SARARI sangat bernilai dalam deteksi kanker payudara sedini mungkin(2 '4>. 2)

Pemeriksaan payudara oleh secara klinis (SARANIS) Dokter umum merupakan ujung tombak dalam penaggulangan kesehatan masyarakat; diperkirakan mempunyai kesempatan luas untuk menemukan kanker payudara ukuran kecil. Kesempatan ini mungkin, apabila pads setiap wanita yang berusia lebih dari 40 tahun atau wanita yang termasuk golongan risiko tinggi, walaupun dia datang karena penyakit lain, dilakukan pemeriksaan payudara secara klinis (SARANIS) oleh dokter, bidan atau paramedis wanita merupakan strategi untuk menerobos kendala "budaya rasa malu kalau diperiksa dokter pria yang sering terjadi di klin ik atau puskesmas. Beberapa penulis melaporkan bahwa spesialis kandungan tidak jarang menemukan tumor payudara pads ukuran kecil. SARANIS dilakukan sistematis dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1) Pasien duduk berhadapan dengan petugas medis, diamati Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

11

simetrisasi atau perubahan bentuk kedua payudara. 2) Kedua tangan pasien diangkat ke atas kepala sambil memperhatikan simetrisasi ataupun perubahan gerakan kedua payudara. Adanya tarikan pada kulit merupakan pertanda kern ungkinan keganasan. Untuk melihat lebih jelas, tarikan kulit yang menutup massa ditekan di antara dua jari tangan dan terjadi dimpling sign. 3) Palpasi kelenjar getah bening di daerah aksiler dilakukan dengan tangan penderita diletakkan santai di alas tangan pemeriksa. 4) Pada posisi fleksi kepala, daerah supraklavikuler dipalpasi dengan cermat untuk melihat kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening. 5) Pada posisi supine, kedua payudara dipalpasi sistematis mulai daerah pinggir sampai ke daerah areola payudara. Palpasi lebih intensif di daerah kuadran lateral atas, karena di daerah ini lebih sering dijumpai karsinoma. Nodul lebih jelas teraba apabila di atas kulit payudara dilapukan sabun sambil dipalpasi. 3)

Pemeriksaan mamografi Mamografi adalah foto payudara dengan mempergunakan alat khusus. Teknik sederhana, tidak sakit dan tidak ada suntikan kontras. Dengan cara ini kanker payudara ukuran kecil 0.5 cm dapat diteksi; bahkan cara ini dapat dipergunakan sebagai alat skrining massal terutama golongan risiko tinggi walaupun tumomya tidak teraba. Apabila pads SARARI atau pemeriksaan SARADIS ditemukan benjolan pads payudara, pemeriksaan dilanjutkan dengan mamografi. Pemeriksaan mamografi dilanjutkan dengan pemeriksaan patologik : sitologi biopsi aspirasi ataupun biopsi bedah. Ketepatan diagnosis mamografi lebih kurang 80%. Indikasi lain mamografi adalah para wanita golongan risiko dengan keluhan bahwa dari puting susu keluar cairan coklat atau campurdarah. Akhir-akhirini munculalatmutahirxeromamografi yang mempunyai kemampuan deteksi lebih akurat. USG sering dipergunakan untuk diagnosis kista pads payudara. Akan tetapi dengan adanya sitologi aspirasi pemakaian USG makin berkurang. 4)

Biopsi aspirasi Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum sering dipergunakan sebagai prosedur diagnosis berbagai tumor termasuk o,61 : tumor payudara dengan indikasi 1) Diagnosis preoperatif tumor yang klinik diduga maligna. 2) Diagnosis konfirmatif klinik tumor maligna ataupun tumor rekuren. 3) Diagnosis tumor nopnneoplastik ataupun neoplastik. 4) Mengambil bahan aspirat untuk kultur ataupun bahan penelitian. Teknik dan peralatan sangat sederhana, murah dan cepat serta tidak ada komplikasi yang berarti. Dengan mempergunakan jarum halus dan semprit plastik 10 ml, bahan ekstrak jaringan diambil, dibuat sediaan hapus dan diwarnai dengan MGG. Dalam beberapa menit (15-30 menit) diagnosis preoperatif dapat ditentukan dan dalam waktu yang singkat tindakan lanjut 12

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

dapat ditentukan. Akurasi diagnostik sitologi BAJAH 80-96% dan dengan kombinasi mamografi akurasi diagnostik meningkat menjadi 98.7% 0.7). Sitologi positif merupakan mandat untuk survai metastasis dan rencana pengobatan. Akan tetapi sitologi negatif, belum dapat di per g unakan seba g ai oettangan untuk menentukan terapi oleh karena kemungkinan negatif palsu dapat terjadi. Pada kasus demikian perlu diperhatikan aspek klinik. apabila aspek klinik sesuai dengan sitologi negatif maka tindakan bedah dapat dilakukan. Sebaliknya pads kasus di mana sitologi negatif tidak sesuai dengan klinik hams dilakukan pemeriksaan biopsi bedah. Aplikasi prosedur diagnosis sitologi aspirasi pada tumor payudara, memungkinkan manajemen lebih sederhana. Kista merupakan salah satu indikasi sitologi biopsi aspirasi. Cairan kista jernih biasanya jinak dan apabila cairan dievakuasi seluruhnya, kista tidak teraba (kolaps) dan sering tidak muncul kembali. Akan tetapi bila cairan kista coklat atau campur darah dan cepat berulang, maka perlu dilakukan pemeriksaan lain seperti mamografi dan biopsi. 5)

True-cut Jaringan diperoleh dengan mempergunakan jarum kaliber besar yang dilengkapi alat pemotong jaringan. Pengambilan jaringan dilakukan di bawah anastesi lokal ataupun umum. Metode ini tidak banyak dipakai lagi oleh karena adanya sitologi biopsi aspirasi. 6)

Biopsi terbuka Biopsi terbuka (open biopsy) adalah prosedur pengambilan jaringan dengan jalan operasi kecil, eksisi ataupun insisi yang dilakukan sebagai diagnosis preoperatif ataupun durante operationam. Di rumah sakit yang tidak mempunyai fasilitas sitologi aspirasi atau mamografi, maka pads setiap benjolan payudara terbuka dilakukan biopsi terbuka. Biopsi insisi durante operationam dan pemeriksaan histopatologi jaringan dengan teknik pemotongan beku (frozen section) dilakukan untuk mengetahui sifat tumor jinak atau ganas. Dalam waktu yang singkat (5-10 menit) sifat tumor dapat ditentukan dan tindakan bedah dapat dilakukan dalam satu tahap.

KEPUSTAKAAN 1. Thomas JF, Fitharris BM, Redding WH dkk. Clinical examination, xeromammografi and fine needle aspiration cytology in diagnosis of breast tumours. BMJ. 1978; 2: 1139-1147. 2. Tjindarbumi D. Penanganan kanker payudara dini dan lanjut. Naskah simposium tumor ganas pada wanita. Bagian Patologi Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1987. 3. Philip J, Harris G, Flaherti C, Joslin CAF. Clinical measure to assess the practice and efficiency of breast self-examination. Cancer 1986; 58 : 973-7. 4. Strax P. Strategy (motivation) for detection early breast cancer. Cancer 1980; 46:926-9.

S. Oertel YC. Fine needle aspiration of breast. Butterworth 1987. 6. Drell SR, Sterret GF, Walters MNI, Whitaker D. Manual and Atlas of Fine Needle Aspiration Cytology. Churchill Livingstone 1986. p. 87-113. r7. Tambunan GW. Penuntun biopsi aspirasi jarum halus. Aspek klinik dan sitologi neoplasma. Jakarta; Penerbit Hipokrates, 1990.

8. Tambunan GW. Karsinoma payudara. Dalam : Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbanyak di Indonesia, Handoyo (ed), Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1991. 9. Townsend CM. Management of breast cancer. Surgery and ajuvant therapy. Clinical Symposia 1987; 39 : 1-32 Ciba-Geigy.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

13

Karsinoma Serviks Uteri Deteksi Dini dan Penanggulangannya M. Fauzie Sahli Sub Bagian Onkologi Ginekologi Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Kanker kandungan masih menempati urutan teratas dari seluruh kanker yang menyerang kaum wanita. Menurut data Departemen Kesehatan di Indonesia saat ini kanker leher rahim menempati urutan pertama dari seluruh kanker yang menyerang penduduk Indonesia. Di samping jumlah penderitanya yang cukup banyak, ternyata lebih dari separuh penderita kanker leher rahim ini datang ke fasilitas pengobatan sudah dalam tingkat (stadium) lanjut. Akibatnya penderita kanker leher rahim ini memerlukan fasilitas pengobatan yang khusus serta biaya yang mahal, sebaliknya angka kesembuhan atau ketahanan hidup lima tahunnya sangat rendah yaitu berkisar antara 20 – 40%. Ada dua faktor pokok yang sangat membantu dalam penanggulangankanker leher rahim ini yaitu : – Pertama, perjalanan perkembangan penyakit ini telah dapat diketahui; sebelum menjadi kanker ternyata penyakit kanker leher rahim ini didahului oleh adanya lesi prakanker yang disebut Cervical Intraepthelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Lesi prakanker ini berlangsung cukup lama yaitu memakan waktu antara 10 – 20 tahun. – Kedua, telah ditemukan metode untuk mendeteksi perubahan serviks uteri pads keadaan prakanker dengan pemeriksaan yang sederhana, murah dan tidak menimbulkan perasaan sakit yang dikenal dengan nama pemeriksaan Pap smear atau Tes Pap. Dengan adanya kedua faktor tersebut di atas, kita dapat melakukan usaha-usaha untuk menemukan kelainan pada serviks uteri dalam tahap prakanker, sehingga kejadian karsinoma serviks uteri dapat dicegah. LESI PRAKANKER (NEOPLASIA INTRAEPITEL SERVIKS) Secara histopatologi karsinoma serviks terdini dari 2 jenis,

14

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi KhususNo. 80, 1992

yaitu: jenis karsinoma epidermoid (95%) dan jenis adenokarsinoma (5%). Proses perubahan sel kolumner endoserviks menjadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara fisiologik pads setiap wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena adanya faktor-faktor risiko yang bertindak sebagai ko-karsinogen, proses metaplasia fisiologis ini dapat berubah menjadi proses displasia yang bersifat patologis. Adanya proses displasia inilah yang dinamakan sebagai lesi prakanker atau disebut sebagai Cervical Intraepithelial Neoplasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Lesi prakanker serviks tersebut di atas dibagi menjadi : CIN I : sesuai dengan displasia ringan. CIN II sesuai dengan displasia sedang. CIN III : sesuai dengan displasia berat. Sehingga perkembangan kanker leher rahim dapat digambarkan sebagai berikut : CIN I —> CIN II —> CIN III —> CIS —> Ca invasif. CIS = Carcinoma Insitu. Lamanya waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari CIN I atau displasia ringan sampai menjadi karsinoma insitu dapat dilihat pads tabel 1. Tabel 1.

Waktu yang Diperlukan oleh Penderita Displasia untuk MenJadi Karsinoma Insitu Tingkat Displasia

Waktu (bulan)

sangat ringan ringan sedang berat

82 (t 7 tahun) 58 (± 5 tahun) 38 (± 3 tahun) 12 (± 1 tahun)

Untuk dapat mendeteksi adanya perubahan epitel serviks

pads masa lesi prakanker ini maka setiap ibu yang sudah pernah melakukan hubungankelamin, diharuskan men jalani pemeriksaan Pap smear paling sedikit sekali setahun sampai berusia 65 tahun, taepa menunggu adanya keluhan atau gejala lain. Diagnosis 1) Melakukan pemeriksaan Pap smear secara rutin setiap tahun terhadap ibu-ibu sejak mulai melakukan hubungan seksual sampai berusia 65 tahun. ,' 2) Jika didapatkan hasil Pap smear yang abnormal, harus dilakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi terarah untuk pemeriksaan histopatologi. Teknik pemeriksaan Pap smear : Dua hari menjelang pemeriksaan, ibu dilarang melakukan senggama maupun memakai obat-obatan yang dimasukkan ke dalam Hang senggama. Waktu yang baik untuk pemeriksaan adalah beberapa hari setelah selesai menstruasi. Ibu dalam posisi litotomi, dipasang spekulum vagina tanpa menggunakan pelicin, dan tanpa melakukan periksa dalam sebelumnya. Setelah portio ditampakkan, maka spatula Ayre ditempelkan pads portio uteri dengan bagian yang lebih panjang dimasukkan ke dalam canalis cervicalis, lalu spatula diputar 180° searah jarum jam. Lendir yang didapat dioleskan pads objek gelas, lalu difiksasi atau direndam dalam larutan alkohol 96%. Sediaan dapatdikirim secara basah (tetap direndam dalam alkohol) atau dikirim secara kering dengan mengeringkan sediaan setelah direndam dalam alkohol lk. setengah jam. Selanjutnya sediaan tadi dikirim ke Ahli Patologi Anatomi untuk diperiksa. Adapun jawaban yang akan kita peroleh dari ahli Patologi anatomi biasanya adalah : Kelas I : Normal. Kelas II : Sel atipik/proses radang. Kelas III : Mencurigakan ganas (Displasia ringan, sedang dan berat). l Kelas IV : Dijumpai sel ganas jumlah sedikit. Kelas V : Dijumpai sel ganas jumlah banyak. Keterangan : —

Kelas I dan II, tergolong smear yang negatif. Kelas III, mencurigakan ganas, yang hams dijajaki lebih lanjut dengan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi. Di dalam kelas III inilah lesi prakanker biasanya terdeteksi. — Kelas IV dan V, tergolong smear yang positif. -

Akhir-akhir ini dengan adanya kemajuan interpretasi pemeriksaan Pap smear, seorang patolog telah dapat langsung menginterpretasikan hasil Pap smear tanpa menggunakan kelas-kelas 'seperti di atas; sehingga jawaban hasil pemeriksaan Pap smear saat ini wring kita jumpai sebagai berikut : 1. Normal smear. 2. Atipik/proses radang. 3. Displasia ringan. 4. Displasia sedang. 5. Displasia berat. i6. Karsinoma insitu. 7. Karsinoma mikroinvasif. 8. Karsinoma invasif.

Jika di jumpai hasil yang abnormal yaitu mulai dari kelas III ke atas (displasia ringan dan selanjutnya), maka pasien harus melakukan pemeriksaan kolposkopi dan biopsi untuk memastikan diagnosis dan penanganan selanjutnya. Pemeriksaan sitologi Pap smear yang abnormal tidak boleh dijadikan dasar untuk pengobatan, sehingga perlu dilakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi yang merupakan pemeriksaan final untuk menegakkan diagnosis; barulah berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi tersebut dilakukan tindakan pengobatan. Ada beberapa kasus yang tidak hanya memerlukan biopsi serviks tetapi juga memerlukan bedah konisasi diagnostik. Indikasi bedah konisasi diagnostik : 1. Lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan kolposkopi. 2. Lesi dicurigai berada di endoserviks. 3. Kesenjangan antara hasil Pap smear dan basil histopatologi sediaan biopsi. Pengobatan lesi prakanker : Pada keadaan CIN I dan CIN II, jika lesinya kecil dapat dilakukan krioterapi, namun jika lesinya luas dilakukan tindakan elektrokoagulasi. Pada CIN III, jika fungsi reproduksi masih dibutuhkan, dapat dilakukan bedah konisasi, dan jika fungsi reproduksi sudah tidak dibutuhkan lagi, dilakukan histerektomi simpel. KARSINOMA SERVIKS UTERI Karsinoma serviks uteri merupakan perkembangan lanjut dari Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS); di sini jelas dijumpai sel-sel ganas pads epitel serviks, bahkan telah menginvasi ke dalam stroma serviks. Penyebab Sampai saat ini penyebab kanker leher rahim belum diketahui secara pasti. Namun sudah ditemukan beberapa faktor risiko yang ada pads wanita yang memudahkan terserangnya kanker leher rahim. Di samping itu juga karena akhir-akhir ini kejadian kanker leher rahim banyak dikaitkan dengan infeksi dari Human Papilloma Virus (HPV), yang penularannya melalui hubungan seksual (Sexually transmitted diseases), maka timbul istilah adanya pria risiko tinggi untuk menimbulkan kanker leher rahim pads isterinya. Yang tergolong wanita risiko tinggi adalah : 1. Kawin/bersenggama pertama kali pads usia di bawah 20 tahun, terutama jika di bawah 16 tahun. 2. Sosial ekonomi yang rendah. 3. Higiene seksual yang tidak baik. 4. Sering ganti pasangan seksual. 5. Sering melahirkan dengan jarak yang pendek. Yang tergolong pria risiko tinggi adalah : 1. Riwayat adanya kanker penis (alat kelamin). 2. Riwayat kanker leher rahim pada isteri. 3. Sosial ekonomi rendah. 4. Menderita penyakit hubungan seksual, terutama kondiloma penis. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

15

Cejala klinik Lesi prakanker dan lesi kanker stadium awal sering tidak menampakkan gejala yang menyolok. Sering mengalami keputihan yang biasanya dianggap sebagai hal yang normal. Dapat mengalami perdarahan pasca senggama (contact bleeding), kadang-kadang keluar cairan berbau busuk dari vagina. Path keadaan lanjut dapat terjadi menometrorhagia, nyeri panggul/ lumbosakral, badan pucat dan kurus, edema tungkai, hematuri atau melena, gejala-gejala metastasis di tempat lain. Biasanya kematian disebabkan oleh karena gagal ginjal yang disebabkan obstruksi ureter bagian distal oleh massa tumor. Stadium klinik Stadium 0 : Karsinoma insitu. Stadium I : Proses terbatas path uterus, ekstensi ke korpus uteri tidak diperhitungkan. Ia : Proses belum terdeteksi secara klinis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan patologi. Ia.1.:Minimal stromal invasion. Ia.2 : Invasi proses dengan kedalaman 5 mm atau kurang, dari membrana basalis, dan penjalaran secara horizontal 7 mm atau kurang. Ib : Proses lebih besar dari Ia.2. Stadium II : Proses telah menginvasi keluar uterus, tapi belum mencapai dinding panggul dan sepertiga distal vagina. IIa : Tanpa invasi ke parametrium. IIb :, Dengan invasi ke parametrium. Stadium III : Proses menyebar ke dinding panggul, dan/atau melibatkan sepertiga distal vagina, dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal. IIIa : Proses melibatkan sepertiga distal vagina, tanpa ekstensi ke dinding panggul. IIIb : Proses sampai ke dinding panggul, dan/atau menyebabkan hidronefrosis, atau gangguan fungsi ginjal. Stadium IVa : Proses menginvasi ke mukosa kandung kemih atau rektum, dan/atau ekstensi keluar pelvis minor. Stadium IVb : Metastasis jauh.

Diagnosis Ditegakkan : 1) Pemeriksaan Pap smear rutin. 2) Kolposkopi. 3) Biopsi dengan/tanpa kolposkopi. 4) Konisasi. 5) Gejala klinik. Diagnosis pasti adalah berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi hasil biopsi atau konisasi. Pengobatan Path stadium insitu dan stadium Ia dengan early stromal invasion, di mana fungsi reproduksi masih dibutuhkan dapat dilakukan bedah konisasi. Namun jika fungsi reproduksi tidak dibutuhkan lagi, harus dilakukan ekstrafasial histerektomi. Path stadium Ib sampai IIa, dilakukan histerektomi radikal dan limfadenektomi pelvis. Bagi penderita stadium Ib—IIa dengan kontraindikasi tindakan operasi, dapat diberikan terapi radiasi. Sedangkan path stadium IIb dan seterusnya tindakan pembedahan sudah tidak mungkin dilakukan lagi (inoperable), sehingga pads kasus-kasus ini pengobatan yang diberikan adalah radioterapi, kemoterapi atau gabungan antara radioterapi dan kemoterapi. KEPUSTAKAAN 1. Azis MF, Syamsuddin S, Kampono N. Cervical Intraepithelial Neoplasia and its management. Indon J Oncol 1990; 2: 47-55. 2. Berek IS, Hacker NF. Practical Gynecologic Oncology, Baltimore: Williams & Wilkins, 1989. 3. Disaia PJ, Creasman WT. Clinical Gynecologic Oncology, St Louis: CV Mosby, 1981. 4. Gusberg SB, Shingleton HM, Deppe G. Female Genital Cancer. New York: Churchill Livingstone, 1988. 5. McGuire WL. Gynecologic Oncology. Boston: Martinus Nijhoff Publ, 1983. 6. Syamsuddin S. Manual Prekanker dan Kanker Serviks Uterus. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1985.

It is when we forget ourselves that we do things that will be remembered 1 6 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Visum dan Hukum dalam Kedokteran Kehakiman

Permasalahan Visum et Repertum Dr. H. Amar Singh Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara - Medan

ABSTRAK Dibicarakan berbagai masalah visum et repertum yang dihadapi oleh peminta (penyidik), pembuat (dokter) dan pemakai (pengadilan). Diusahakan berbagai cara pendekatan baik kepada famili korban maupun kalangan penegak hukum supaya hambatan-hambatan dapat ditekan seminimal mungkin agar penegak hukum dapat manfaat dari visum et repertum dalam penyelesaian perkara pidana, demi tegaknya keadilan di masyarakat. Salah satu altematif untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul ialah perlu adanya jalinan kerjasama yang baik dan efektif di antara kalangan yang terlibat dalam visum, sehingga pelayanan visum et repertum oleh dokter kepada penegak hukum dapat mendapai sasaran yang dikehendaki. PENDAHULUAN Kita mengetahui pada dasarnya pelayanan visum et repertum (selanjutnya disebut visum) dapat dibagi atas dua bagian besar yaitu : visum untuk orang hidup dan visum untuk orang yang telah meninggal. Yang terakhir ini disebut visum mayat atau visum jenazah yaitu visum yang dibuatoleh dokter atas permintaan yang berwenang pada orang yang meninggal karena kekerasan, luka-luka, keracunan/diduga keracunan, kematian yang sebabnya mencurigakan dan lain-lain makar yang membinasakan nyawa manusia. Hal ini telah berlangsung sejak dahulu diatur dalam undang-undang ayat 2 dan Staatsblad tahun 1937 No. 350. Pada dasarnya setiap dokter yang bekerja di Indonesia dapat dimintakan bantuan untuk membuat visum baik untuk orang hidup maupun untuk jenazah. Umumnya pembuatan visum jenazah dilakukan oleh dokter rumah sakit Pemerintah. Selanjutnya dengan makin berkembangnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat dimana makin banyak pula muncul rumah sakit-rumah sakit bare di samping rumah sakit swasta,

rumah sakit Pertamina, rumah sakit ABRI dan lain-lain, terlihat pula adanya kecenderungan pelayanan visum dilakukan oleh rumah sakir-rumah sakit di atas. Pada waktu ini sebagian visum orang hidup telah banyak diterbitkan oleh rumah sakitrumah sakit yang dikemukakan di atas, dan begitu pula telah ada visum jenazah yang diterbitkan oleh sebagian rumah sakit tersebut biarpun visum jenazah yang diterbitkannya tidak berdasarkan pemeriksaan yang lengkap melalui bedah mayat (otopsi). Dalam undang-undang memang tidak diatur ke mana permintaan visum harus dimintakan/ditujukan. Yang ada hanyalah peraturan yang menyatakan anal visum dibuat oleh dokter, visum itu sudah merupakan alat bukti yang sah di pengadilan, tanpa membedakan kedudukan dokter tersebut maupun keahliannya. Agaknya semua orang memahami bahwa tidak mudah melakukan bedah mayat untuk visum jenazah. Banyak hambatan yang harus diatasi. Pada kertas kerja ini kami akan mengemukakan beberapa masalah yang dihadapi dokter dalam menerbitkan visum jenazah, berikut masalah yang dihadapi dokter sesudah visum diterbitkan. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

17

Sebuah visum baru dapat diterbitkan bila : pertama, ada kasus: kedua, ada yang meminta visum; ketiga, ada yang membuat visum (kalangan dokter); keempat, ada famili korban yang berkepentingan, dan akhirnya dipakainyavisum oleh pengadilan. Untuk memudahkan melihat permasalahannya, pads kertas kerja ini masalahnya kami bagi menurut : 1. Permasalahan antara dokter dengan instansi yang miminta visum. 2. Permasalahan antara dokter dengan famili korban/ masyarakat. 3. Permasalahan antara dokter dengan kalangan pengadilan. 4. Permasalahan biaya visum. Kemudian karena Bagian Kedokteran Kehakiman dianggap pula oleh kalangan dokter sebagai tempat konsultasi mengenai permasalahan yang bersangkut paut dengan pelayanan kesehatan yang menyangkut bidang hukum, maka balakangan ini sering pula ditanyakan kaitannya antara surat keterangan yang dibuat atau harus diisi dokter untuk kepentingan asuransi. Hal ini dapat dimengerti karena akhir-akhir ini perasuransian (khusus asuransi jiwa dan kesehatan) berkembang dengan subur/ bertambah banyak. Semakin banyak orang yang menjadi nasabah asuransi dengan sendirinya semakin banyak pula kalangan dokter yang terlibat dalam membuat surat keterangan bila terjadi sesuatu pads nasabah (seperti luka-luka atau meninggal), kepada dokter diminta untuk mengisi formulir-formulir dari kalangan asuransi yang ia sendiri tidak tabu sejauh mana ia (dokter) terlibat dalam hubungan pihak asuransi dan nasabahnya. Akhirnya Bagian Kedokteran Kehakiman mengharapkan diadakan pertemuan ilmiah yang dapat mengidentifikasi masalah yang dihadapi masing-mas ing instansi yang terlibat dalam visum et repertum, dan juga dapat menceritakan beberapa jalan keluar yang disepakati bersama dalam menempuh kebijaksanaan untuk mengatasi beberapa masalah yang ada selama ini. PERMASALAHAN 1. Permintaan visum et repertum datang terlambat Biarpun ia (dokter), tabu pengiriman jenazah ke Bagian Ilmu Kedokteran Kehakiman pada umumnya adalah untuk masalah permintaan visum, tetapi dokter tidak dapat melakukan pemeriksaan sebelum datang permintaan visum dari yang berwenang. Bila permintaan visum telah datang barulah dokter melakukan tugasnya dengan memanggil famili korban untuk menerangkan apa yang akan dilakukan dokter pads janazah. Pada kesempatan ini kami merasa perlu mengemukakan tingkatan tindakan dokter dalam menyiapkan visum : Segera setelah permintaan visum datang, dokter yang bertugas akan memanggil famili korban dan menerangkan akan dilakukan pemeriksaan lengkap pada tubuh korban dengan melakukan bedah mayat. Bila familinya dapat memahami dan menyetujui (hal ini jarang) maka pada famili terdekat dimintakan untuk memaraf suatu surat yang telah disiapkan oleh Bagian Kedokteran Kehakiman yang isinya persetujuan untuk dilakukan bedah mayat. Cara ini terpaksa ditempuh dokter Bagian 18

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Kedokteran Kehakiman karena sering terjadi datang famili korban yang lain, yang keberatan bila dilakukan atau telah dilaksanakan bedah mayat. Bila famili korban keberatan (hat ini sering terjadi), maka pihak dokter berusaha meyakinkan familinya bahwa pembuatan visum untuk kepentingan famili korban juga. Dokter melaksanakan itu adalah atas permintaan penyidik. Dokter menjelaskan kepada famili korban bahwa tidak ada jaringan korban yang diambil baik untuk percobaan ataupun dijadikan obat, kecuali pada beberapa kasus bila diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk pemeriksaan Patologi Anatomi, pemeriksaan keracunan, memang ada yang diambil sedikit dari jaringan tubuh si korban. Bila keberatan didasari alasan keagamaan maka dicoba pula pendekatan secara keagamaan sejauh yang dikuasi dokter; khususnya untuk yang beragama Islam, dokter mengingatkan adanya fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara; No. 4 Tabun 1955 yang mengatakan bedah mayat itu mubah/boleh hukumnya(2 . Malah tidak jarang dokter mengingatkan famili korban pada pasal 222 KUHP yang mengatakan : Barang siapa yang menghalang-halangi bedah mayat untuk pengadilan dapat dipidana penjara selama 9 bulan. Seterusnya diingatkan pula pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan visum dokter, famili korban (ahli waris) akan dapat mengurus santunan asuransi sebesar Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah). Dengan usaha ini kadang-kadang famili korban dapat memahami dan menyetujui dokter melakukan bedah mayat; tetapi sering pula famili korban tetap tidak setuju. Matra jalan yang ditempuh dokter adalah menyuruh famili korban menghadap Polisi yang meminta visum untuk mengusahakan pencabutan permintaan visum. Karena Kantor Polisi tidak dekat dari rumah sakit malah kadang-kadang permintaan dari luar kota maka tidak mudah bagi famili korban untuk mengusahakan pencabutan visum. Polisi kadang-kadang menyatakan pada famili korban untuk mengadakan kompromi saja dengan dokter; pokoknya polisi perlu visum, terserah dokter mau melakukannya dengan bedah mayat atau dengan melakukan pemeriksaan luar saja. Sudah jelas ini salah. Tetapi begitu kenyataan yang dihadapi dokter. Bila ada surat persetujuan dari Polisi untuk mencabut kembali permintaan visum, jenazah dapat diserahkan dokter kepada famili korban. Bila famili korban dengan paksa mengambil korban dari kamar jenazah; dalam hal ini terpaksa dokter menyuruh familinya menandatangani sebuah surat pernyataan bahwa semua risiko atas pengambilan jenazah ditanggung famili korban. Pada kasus pembunuhan/disangka pembunuhan yang perkaranya pasti sampai ke sidang pengadilan, maka visum pasti tidak akan ada. Juga bila permintaan visum datang terlambat, sering dokter sulit menghadapi famili korban. Dalam hal ini sering petugas di Bagian Kedokteran Kehakiman yang mengejar pihak Kepolisian untuk segera menyampaikan permintaan visum ke rumah sakit.

2. Permintaan visum telah datang, famili korban tidak ada Hal ini sering pula dihadapi dokter, seperti pads korban kecelakaan lalu lintas, mati tiba-tiba dan tidak disangka-sangka di luar rumah, korban pembunuhan dan lain-lain. Mayat diantar ke rumah sakit disertai dengan visum atau permintaan visum datang kemudian. Dokter tidak bisa segera melakukan pemeriksaan karena sering menjadi persoalan besar, terutama bila famili korban ternyata keberatan. Penungguan ini kadang-kadang bisa berhari-hari. Sebelum ada kamar pendingin di rumah sakit (Bagian Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran USU) hal ini betul-betul menjadi problem karena mayat segera membusuk dan tanda-tanda/kelainan-kelainan yang mingkin didapat pada tubuh korban sebagai penyebab kematian korban menjadi kabur atau hilang sama sekali. Pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi, pemeriksaan secara ilmiah tidak dapat dilakukan lagi, pemeriksaan jaringan untuk kelainan Patologi Anatomi tidak ada gunanya lagi karena jaringan sudah mengalami lisis (membusuk); tetapi sesudah kamar pendingin mayat ada di Bagian Kedokteran Kehakiman hal ini dapat diatasi. Persoalannya adalah sampai berapa hari dokter dapat menunggu. Kapasitas kamar pendingin mayat yang ada sekarang hanya untuk 2 kasus. Bila banyak kasus datang sekaligus, maka problem yang sama timbul kembali. Dokter di Bagian Kedokteran Kehakiman tidak berani mengambil keputusan misalnya setelah 2 hari famili korban tidak ada, jenazah dapat diperiksa, karena tidak ada pegangan/ ketentuan yang disetujui Direktur Rumah Sakit, Dekan Fakultas Kedokteran USU, Dinas Kesehatan Kotamadya dan /Walikota sebagai pedoman yang dapat dipakai dokter menghadapi masyarakat. 3. Permintaan visum ada, jenazah tidak ada Hal ini misalnya pada korban kecelakaan lalu lintas dan sebab kernatian lain yang jenazahnya sudah dibawa ke rumah/ ke rumah sosial/ke rumah sakit luar lainnya. Ada yang meminta supaya dokter datang ke rumah korban/ ke rumah sosial untuk memeriksa dan membuat visum. Umumnya famili meminta supaya dilakukan pemeriksaan luar saja. Tentu hal ini tidak mungkin dilakukan. Sejauh itu memang belum ada suatu kesepakatan dokter dengan Kepolisian untuk mengatasi hal ini. 4. Permintaan visum et repertum yang kurang/tidak Iengkap Dari kenyataan selama ini, sering permintaan visum dari yang berwenang bila diteliti tidak atau kurang lengkap; kadangkadang tidak ada nomor, tanggal ataupun keterangan yang lengkap mengenai korban, kadang-kadang malah tidak ditanda tangani. Kadang-kadang permintaan visum malah datang dari dokter; biasanya hal ini terjadi karena Polisi meminta visum pads dokter di daerah/Puskesmas; karena dokter tersebut tidak dapat melaksanakan bedah mayat (baik karena fasilitas atau keberatan mengerjakaninya), maka dokter tersebut mengirim jenazah ke

Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan untuk pemeriksaan, sementara permintaan visum belum ditukar melalui pihak yang berwenang. Atau pihak Kepolisian meminta visum untuk korban yang dirawat di Badian Bedah, bila korban tersebut akhirnya meninggal, sering Bagian Bedah melan j utkan permintaan visum ke Bagian Kedokteran Kehakiman. Kecuali bila permintaan visum diperbaharui kembali oleh Polisi untuk dibuatkan visum jenazah pada korban yang sekarang telah meninggal, dokter Bagian kedokteran Kehakiman tidak akan melakukan pemeriksaan dan biasanya jenazah diserahkan saja pada famili korban. 5.

Masalah dari famili korban Biarpun masalah yang dihadapi dokter dengan famili korban telah ditemukan sebagian, di bawah ini kami kemukakan masalah lainnya yang dihadapi dokter dengan famili korban : 1) Bersedia diperiksa hanya tubuh korban bagian luar saja (asal tidak melukai tubuh korban). Inilah permintaan yang paling banyak dari kalangan masyarakat. Mereka menyadari perlunya visum, tetapi tidak mengizinkan dokter membedah korban untuk membuat visum. 2) Bersedia diperiksa tetapi seperlunya saja. Pada kebanyakan kasus sekarang timbul pula kecenderungan ini misalnya bila pada korban kecelakaan lalu lintas telah jelas pecah pada bagian kepala, famili korban dengan sangat memohon kepada dokter agar pemeriksaan dilakukan pada bagian kepala saja, jangan lagi dibuka pads bagian rongga dada dan rongga perut si korban. Untuk sebagian besar kalangan dalam masyarakat hal demikian agaknya masuk akal, kalau sudah jelas ruda paksa itu yang menyebabkan kematian. Tetapi dokter paling tidak terikat pada tiga hal yang mengharuskannya melakukan pemeriksaan lengkap : a) Secara ilmiah kematian korban hanya dapat ditentukan dengan pemeriksaan lengkap. Dengan pemeriksaan yang terbatas dapat dinyatakan bahwa belum tentu sebab kematian korban seperti yang dicantumkan dalam visum benar, mungkin oleh sebab lain yaitu pada bagian tubuh yang tidak diperiksa. 2) Ketentuan dari Polisi sendiri yaitu Instruksi Kapolri No. Pol E/IX/75 yang menyatakan yang dimaksud dengan visum jenazah adalah pemeriksaan lengkap dari tubuh korban'). 3) Permintaan visum dari Kepolisian biasanya ditulis : Mohon dilakukan pemeriksaan luar/luar dan dalam. Umumnya pihak Kepolisian tidak jelas-jelas menentukan mana yang akan dilakukan dokter. Bila tidak dicoret, maka dokter beranggapan harus dilakukan pemeriksaan lengkap. Kebijaksanaan ini ditempuh karena bila tidak ada visum sama sekali tentu akan merugikan famili korban/masyarakat/penegak hukum. BagianKedokteranKehakimanFK-USU pemah mengajukan suatu usul agar pada kasus-kasus tertentu terutama kecelakaan lalu lintas) dapat dilakukan pemeriksaan terbatas atau pemeriksaan luar jenazah korban@) . Tetapi usul demikian tidak dapat disetujui pusat pendidikan Bagian Kedokteran Kehakiman yang lain di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

19

6.

Masalah yang dihadapi dokter di sidang pengadilan Dari sekian banyak visum yang diterbitkan, pada beberapa kasus masih dianggap perlu memanggil dokter sebagai saksi ahli di dalam sidang pengadilan yang umumnya berhubungan dengan visum yang dibuatnya. Biarpun tidak ada data lengkap tentang pengalaman dokter sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, tetapi pada kesempatan ini kami merasa perlu mengemukakan pengalaman kami dan beberapa sejawat dokter lain di sidang pengadilan. 1)

Waktu pemanggilan dan waktu sidang.

a) Pada beberapa kasus pemanggilan terlalu dekat dengan waktu sidang, sehingga dokter tidak sempat mengumpulkan dan mempelajari data dan keterangan yang diperlukan. b) Waktu sidang seringkali tidak sesuai dengan waktu yang dicantumkan dalam formulir pemanggilan. Dapat diketahui waktu dokter terutama adalah untuk pelayanan kesehatan. Bila waktu sidang tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan, tentu ini merugikan orang sakit yang memerlukan bantuan dokter. 3)

Dalam persidangan

Pada umumnya dalam persidangan yang diminta adalah keterangan dokter sehubungan dengan visum yang dibuatnya, tetapi tidak jarang pula diminta keterangan saksi ahli yang tidak berhubungan langsung dengan visum yang dibuatnya. Tetapi hal yang paling menggelisahkan dokter adalah pertanyaan hakim ataupun jaksa yang kadang-kadang menganggap dokter sebagai tertuduh dalam persidangan tersebut, atau pertanyaanpertanyaan diajukan sedemikian rupa menjuruskan kepada sesuatu yang dikehendaki hakim atau jaksa. Malah kadangkadang beban suatu keputusan yang penting seakan-akan digeser ke pundak dokter. Tentu hal demikian tidak mengenakkan, karena kehadirannya ke sidang pengadilan adalah memberikan keterangan sebagai saksi ahli tentang visum yang dibuatnya. Sering pertanyaan-pertanyaan tertulis dokter dalam visum yang tidak jelas baru ditanyakan di sidang pengadilan. Alangkah baiknyabila hal-hal yang tidak jelas dalam visum dapatditanyakan sebelum sidang dibuka, sehingga dalam sidang pengadilan yang diminta adalah kesaksian dokter sebagai saksi ahli yang benar-

20

4. Selain hal di atas, permasalahan lain adalah mengenai biaya perjalanan dokter. Bila sidang pengadilan berada di kota yang sama tentu tidak akan menjadi masalah yang besar; tetapi dokter sering pula diminta hadir pada sidang pengadilan di luar kota.

Panggilan saksi ahli (dokter).

Pada pengalaman kami selama ini dalam pemanggilan saksi ahli, kami mendapat dua cara pemanggilan : a) Berdasarkan perintah. Dalam hal pemanggilan seperti ini, kalangan dokter merasa di bawah perintah pengadilan. Bila diteliti cara pemanggilan ini, ini, seakan-akan pengadilan menganggap kedudukan saksi ahli sama dengan tertuduh, sebab kelihatannya formulir yang diisi untuk memanggil saksi ahli sama dengan formulir pemanggilan saksi biaya. b) Bernada minta bantuan. Dalam cara pemanggilan seperti ini dokter merasa bantuannya diperlukan di sidang pengadilan. 2)

benar diperlukan penjelasannya. Pet-1u kami kemukakan di sini, kadang-kadang dokter sampai dibentak dalam sidang pengadilan, suatu hal yang tidak mesti terjadi.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

DISKUSI Dari masalah yang dikemukakan di atas tampak bahwa masih ada hambatan yang harus diatasi dalam menerbitkan visum jenazah di daerah ini. Gambaran yang sama sesungguhnya terdapat juga, di lain-lain daerah di Indonesia. Pada kasus-kasus yang akhirnya perkaranya sampai ke pengadilan, hal ini akan merugikan famili korban dan juga bagi kalangan hukum karena visum sebagai pengganti corpus delicti tidak ada. Suatu kenyataan lain yang perlu kami kemukakan di sini selain banyaknya kasus yang tidak jadi diperiksa di Bagian Kedokteran Kehakiman FK-USU/RS. Dr. Pirngadi Medan adalah banyak visum yang telah dibuat dan kelihatannya tidak dipersiapkan oleh yang meminta visum mauupun oleh kalangan pengadilan. Kepada Kepolisian Kota Besar Medan dan Sekitarnya kami telah memberitahukan dan mengirim surat resmi bahwa bagi visum yang diperlukan segera siap, petugas kepolisian dapat mengambilnya ke Bagian Kedokteran Kehakiman sesudah 2 minggu korban diperiksa dokter. Yang mengherankan kami adalah selama beberapa tahun terakhir ini setelah kebijaksanaan di atas diambil, kelihatannya hanya sebagian kecil saja dari visum yang telah dibuat yang diambil petugas kepolisian. Sebagian besar yang lain tidak diambil dan menumpuk di Bagian Kedokteran Kehakiman . Seperti dikemukakan sebelumnya untuk menyiapkan sebuah visum banyak tantangan dan hambatan yang harus diatasi dokter, banyak tenaga dan alat-alat yang harus dipakai. Diperlukan suatu kerjasama yang lebih baik agar pelayanan visum kepada penegak hukum dapat lebih ditingkatkan. Mengen-ai prosedur pencabutan visum di Medan belum terlaksana dengan baik. Agaknya hal ini dapat dimengerti karena yang berhak mencabut visum et repertum adalah instansi yang lebih tinggi dari yang meminta visum semula ('). Menurut hemat kami kerjasama yang balk antara dokter dengan penyidik perlu ditingkatkan sehingga hambatan antara dokter-polisi dan famili korban lebih mudah diatasi. Banyak masalah dapat diatasi bila ada jalinan kerja sama yang baik terutama antara dokter dan kalangan yang meminta visum. Misalnya dalam famili korban hendaknya dihadapi oleh pihak kepolisian, karena sesungguhnya dokter hanyalah pelaksana bantuan kepada penegak hukum. Bila penegak hukum menganggap perlu hares ada visum untuk korban yang telah meninggal tersebut, seharusnya polisi secara tegas

menjelaskan kepada famili korban. Lagi pula ini sesuai dengan Instruksi Kapolri No. Pol/E//20/IX/75 yang menyatakan seharusnya polisi yang meminta visum harus di tempat waktu dokter melakukan pemeriksaan. Dengan demikian selain keamanan setempat dijaga, juga pihak kepolisian dapat segera mengetahui sebab kematian sebelum visum diterbitkan (biasanya selesai sesudah 2 minggu). Pada kasus yang mati tiba-tiba karena penyakitnya, orang yang telah ditahan karena disangka terlibat dalam kematian korban dapat dibebaskan, sebaliknya dapat bertindak cepat menahan seseorang bila sebab kematian korban jelas karena kekerasan. Mengenai masalah dengan kalangan pengadilan menurut hemat kami dapat dijalin pengertian yang lebih bail:. Kalangan dokter akan dapat menyadari kekurangan pelayanan yang diberikannya selama ini bila kalangan pengadilan menyampaikan kekurangan-kekurangan yang didapatnya pada visum .yang dibuat oleh dokter. Begitu pula keluhan-keluhan yang dialami dokter selama sidang pengadilan hendaknya dapat dimengerti oleh kalangan pengadilan. Tentang biaya untuk menerbitkan visum, kami sangat mengharapkan dapat dicarikan jalan keluarnya, sehingga visum dapat diselesaikan dokter tanpa menggelisahkan inasyarakat. Mengenai hambatan dari masyarakat, dengan penerangan dan pendekatan manusiawi dari semua pihak, kami yakin pads saatnya akan dapat diterima oleh masyarakat.

KESIMPULAN 1) Visum et repertum jenazah mempunyai kecenderungan bertambah banyak setiap tahun. Masih banyak hambatan yang dihadapi dokter dalam melakukan bedah mayat untuk menerbitkan visum et repertum jenazah. 2) Hambatan terutama dihadapi dokter dari kalangan masyarakat yang belum menyadari bagaimana seharusnya visum et repertum jenazah dipersiapkan. 3) Sampai sekarang belum terdapat suatu kerja sama yang memadai, efektif dan serasi antara dokter dengan kepolisian, terutama dalam menghadapi masalah dan hambatan dari famili korban tentang pencabutan kembali permohonan visum dan pengamanan setempat.

4) Demikian pula kedudukan dokter sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, tampaknya belum berjalan dengan baik, baik cara pemanggilan, jam sidang, perlakuan di sidang pengadilan dan juga biaya yang dihadapi dokter untuk datang dan pulang dari sidang. 5) Sampai sekarang belpm dapat ditentukan siapa yang menanggung biaya untuk menerbitkan visum. 6) Begitu pula belum ada ketentuan berapa hari dokter hams menunggu untuk melakukan bedah mayat pads korban yang tidak atau belum datang familinya dan demikian pula tentang biaya penguburan jenazah yang tidak/belum datang faliminya. SARAN Diperlukan satu jalinan kerjasama yang baik dan efektif di antara kalangan yang terlibat dalam visum, sehingga pelayanan visum et repertum oleh dokter kepada penegak hukum dapat mencapai sasaran yang dikehendaki. Untuk menghadapi famili korban, sangat diperlukan penempatan petugas Polri di kamar jenazah. Hendaknya dapat dikeluarkan suatu keputusan bersama sampai berapa hari dokter dapat menunggu kapan pencabutan dapat dilakukan baik untuk kasus yang menunggu pencabutan visum maupun korban yang tidak ada familinya. Akhimya menurut pendapat kami adanya suatu Lembaga Kedokteran Kehakiman tingkat Sumatera Utara dimana segala unsur yang berkepentingan dengan visum duduk dalam instansi ini, dapat merupakan wadah dalam menjalin kerjasama di antara kalangan yang berkepentingan dengan visum. KEPUSTAKAAN 1. Amri Amir et al. Pelayanan visum et repertum di Sumatera Utara dan daerah Istimewa Aceh tahun 1976 sampai 1978, Bagian Kedokteran Kehakiman FK-USUIRS. Dr. Pimgadi Medan, 1990. 2. Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara' Kementerian KesehatanRepublik Indonesia. Soal Bedah Mayat. Fatwa No. 4/1955, Jembatan, Jakarta, 1955. 3. Instruksi Kapolri No. Pol. Inst/E/20/IX/75 tentang Tata Cara Permohonan dan Pencabutan Visum et Repertum. 4. Amri Amir, Amri Amiruddin. Pelayanan Visum et Repertum jenazah dengan pemeriksaan luar dan pemeriksaan sebagian, Kongres IAPI VI, Denpasar, 1979. 5. Panel Diskusi Tatalaksana Visum et Repertum, Kongres Nasional IAOPI IV, Bandung, 1975.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

21

Hukum Kesehatan : The New Frontiers Am?' Amir Bagian Kedokteran Kehakiman, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Tulisan ini kami turunkan dalam rangka menyongsong dan memperingati Hari Ulang Tahun Fakultas Kedokteran USU yang ke 40. Biarpun judul yang dikemukakan di alas — secara disiplin ilmu — tidak ada kaitannya atau kalau dilihat dari tujuannya malah "berlainan arah" dengan bidang Ilmu Kedokteran Kehakiman, namun kami sengaja menurunkan tulisan ini setelah dalam beberapa tahun ini terlibat dalam pengembangan disiplin Hukum Kedokteran/Hukum Kesehatan melalui organisasi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI). Bila dilihat secara global, kedua ilmu ini (Ilmu Kedokteran Kehakiman dan Hukum Kedokteran/Kesehatan) adalah samasama termasuk dalam kelompok bidang ilmu yang men jembatani disiplin ilmu hukum dan ilmu kedokteran. Tetapi bila ditinjau dari tujuannya akan terlihat perbedaan. Tujuan Ilmu Kedokteran Kehakiman (Kedokteran Forensik) adalah penggunaan pengetahuan dan keterampilan ilmu kedokteran untuk kepentingan hukum dan peradilan. Ini melibatkan bantuan dokter dalam melayani pemeiiksaan korban untuk pembuatan visum et repertum, sebagai saksi ahli di sidang pengadilan, penentuan identitas jenazah yang sudah tidak utuh lagi (misalnya hanya tinggal tulang belulang), penentuan telah berapa lama luka terjadi atau telah berapa lama korban meninggal, penentuan sebab dan cara kematian korban tindak kekerasan dan kematian yang tidak wajar, tentarig perkosaan, pemeriksaan korban keracunan dan lain-lain. Dalam bidang ini termasuk pula Odontologi Forensik dan Psikiatri Forensik. Dalam bidang Hukum Kedokteran/Hukum Kesehatan yang dibicarakan adalah tentang ketentuan hukum yang mengatur pelayanan di bidang kesehatan. Yang dibicarakan dan dikembangkan di sini antara lain hubungan dokter-pasien, malpraktek kedokteran, hak dan kewajiban dokter, hak dan kewajiban pasien, perjan jian tindakan medik, euthanasia, transplantasi organ tubuh 22

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

manusia, abortus provokatus,bayi tabung, tanggung jawab hukum rumah sakit, dokter dan perawat, aspek hukum dalam penelitian kedokteran dan lain-lain. Semua ini bertujuan agar pelayanan di bidang kesehatan tidak menyalahi ketentuan hukum yang berlaku. Jadi jelasnya demi keamanan pelay.a.an di bidang kesehatan, baik untuk kepentingan dokter sebagai pemberi jasa (health provider) maupun untuk kepentingan pasien atau masyarakat pada umumnya sebagai penerima jasa medik. Selama ini pengetahuan Hukum Kedokteran/Hukum Kesehatan tidak pernah diberikan secara formal di Fakultas Kedokteran karena sampai sekarang memang belum masuk dalam kurikulum pendidikan di fakultas kedokteian negeri. Tetapi kini kalangan kesehatan mulai menyadari bahwa dokter dan petugas lain di bidang kesehatan perlu pula memahami dan menguasai pengetahuan ini. Untuk itu pulalah kami pada kesempatan ini yaitu dalam menyongsong dan merayakan Hari Ulkang Tahun Fakultas KedokteranUSU Medan mengemukakan tulisan di bidang hukum Kesehatan. STAR TREK Kami mencoba membandingkan Hukum Kesehatan dengan penjelajahan ruang angkasa yang pada zaman sekarang kita anggap the new frontier. Penjelajahan ke ruang angkasa bukan jalan pikiran orang sekarang saja, dari zaman dahulu pikiran untuk menjelajahi ruang angkasa sudah dipunyai oleh manusia, demikian pula dengan Hukum Kesehatan. Aturan pelayanan di bidang kesehatan ini diterapkan untuk melayani orang-orang yang memerlukan bantuan. Tidak mungkin kalangan kesehatan berbuat sesukanya tanpa ada peraturan yang disepakati olch kedua belah pihak, yaitu kalangan health provider (para pelayan di bidang kesehatan) dengan pemakai jasa di bidang kesehatan (pasien).

Dalam hukum tcrtua yang terkodefikasi dinyatakan bahwa Raja Hamurabi (1728 – 1689 SM) dari Babylonia tclah mcngcluarkan Code dimana terdapat ketentuan yang berbunyi : "if the doctor performs a major operation or cure a sick eye, he shall receive ten shekels of silver. If the patient is freed man, he shall pay five shekels. If he is a slave, then his master shall pay two shekels on his behalf But if the patient lost his life or an eye in an operation, then the doctor's hands were cut off If the patient was a slave, the doctor was only bound to make good the loss by getting the owner a new slave".

Di India pads kurun waktu yang lebih kurang bcrsamaan ada ketentuan : 1) Umur minimal untuk dapat dikawinkan bagi scorang wanita adalah 12 tahun. 2) Lamanya kehamilan bcrkisar antara 9 – 12 bulan haid dengan rata-rata 10 bulan. THE NEW FRONTIER Untuk membuktikan Hukum Kesehatan adalah pengetahuan yang relatif baru, dapat ditanya kepada diri kita sendiri, seberapa jauh masing-masing kita tclah memahami Hukum Kesehatan ini. Untuk sebagian besar kita, istilah Hukum Kesehatan (Health Law) atau Hukum Kedokteran (Medical Law) sampai beberapa tahun yang lalu masih kedengaran anch. Selama ini kita hanya tahu dengan Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Medicine).

Ali Said SH, Ketua Mahkamah Agung pernah mcnulis bahwa Hukum Kedokteran/Kesehatan merupakan cabang Ilmu Hukum yang relatif masih muds usia. Sebetiulnya bukan Indonesia saja yang menganggap Hukum Kesehatan dan Hukum Kedokteran ini baru. Kebangkitan Hukum Kedokteran terjadi setelah diadakan Kongres Dunia tentang Hukum Kedokteran di Ghent (Belgia) tahun 1967. Bidang ini kemudian berkembang pesat di Negeri Belanda dan Eropa pads umumnya, bcgitu juga di negara maju lainnya. Banyak alasan mengapa bidang ini berkembang dengan pesat. Dua di antaranya yang pokok adalah : 1. makin meningkatnya tuntutan di bidang pelayanan kesehatan, disertai dengan berkembang dan majunya bidang pengobatan dan diagnostik yang kebanyakan menggunakan alat-alat canggih yang tidak dikenal selama ini; dan 2. kesadaran hukum masyarakat juga semakin men ingkat. Tuntutan alas kegagalan pelayanan di bidang kesehatan kini bukan hal yang jarang terjadi. Banyak pelayanan bidang kesehatan yang merupakan hal yang baru sama sekali dan memerlukan aturan dan dukungan di bidang hukum. Beberapa contoh misalnya tentang transplantasi organ tubuh manusia seperti jantung, paru, ginjal, hati dan lainlain, perkembangan pengertian mati, mati otak atau mati batang otak, bayi tabung, sewa rahim, ganti kelamin, rckayasa genetika, transfer embrio, operasi plastik dan lain-lain. Masalahnya adalah se jauh mana kita harus mendalami hukum kesehatan agar tidak ketinggalan dalam perkembangan di dunia kedokteran. Mungkin tidak semua topik di dalam bidang hukum kesehatan harus kita pahami. Tempi ada beberapa topik dan masalah yang harus kita ketahui dan pahami dari sekarang.

PERKEMBANGAN HUKUM KESEHATAN DI INDONESIA Kehadiran Hukum Kedokteran dan Hukum Kesehatan di Indonesia dimulai sejak awal tahun 80 an, dimana beberapa tokoh kesehatan dan hukum yang mengikuti World Congress of Health Law di Ghent tahun 1982, tergerak untuk mengembangkan bidang ini di Indonesia. Pada awalnya dibentuk Kelompok Studi untuk Hukum Kedoktcran di Universitas Indonesia; selanjutnya berkembang menjadi sebuah organisasi bernama Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran tahun 1983 di Jakarta. Pada kongres pertama organisasi ini pads tahun 1987 alas petunjuk dan saran dari Menteri Kehakiman dan Dirjen Departemen Kesehatan pada saat itu, organisasi ini dikembangkan dari yang semula bergerak dalam pengembangan Hukum Kedokteran (Medical Law) menjadi lebih luas meliputi Hukum Kesehatan (Health Law). Dalam pengertian ini Hukum Kedokteran menjadi bagian dari Hukum Kesehatan. Hukum Kesehatan mencakup semua ketentuan hukum yang langsung berhubungan dengan pemeliharaan kesehatan (health care) sedangkan Hukum Kedokteran adalah semua ketentuanketentuan hukum yang berhubungan dengan bidang medik. Prof. DR. Rang, salah seorang pakar hukum kesehatan di Negeri Belanda mengatakan : hukum kesehatan adalah semua aturanaturan hukum dan hubungan-hubungan kedudukan hukum yang langsung berkembang dengan atau yang menentukan situasi kesehatan di dalam mana manusia berada. Sejak itu organisasi ini disebut Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia dengan kependekan tetap seperti semula yaitu PERHUKI. Organisasi ini dengan cepat mengembangkan sayapnya ke berbagai daerah di Indonesia. Pada waktu ini organisasi ini telah mempunyai perwakilan di banyak daerah Tingkat I di Indonesia. PERHUKI Wilayah Sumatera Utara sampai kini telah mengadakan 8 kali Temu Ilmiah membicarakan dan mengupas berbagai topik dalam hukum kesehatan dengan mengundang pembicara tamu atau pakar dalam bidang ini dari Pusat maupun dari Luar Negeri. Temyata minat dari kalangan kesehatan dan hukum dalam bidang ini mendapat tempat yang baik. PENUTUP Pengetahuan ini dengan cepat berkembang; dapat dilihat dari mulainya bidang ini diajarkan secara formal dalam kurikulum pendidikan di Fakultas Kedokteran maupun di Fakultas Hukum. Dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa topik yang dianggap perlu telah pula diberikan kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang dikaitkan dalam mata kuliah Kedokteran Foreksik. Sejak tahun 1991, di Fakultas Kedokteran swasta (UISU Medan) secara resmi tercantum dalam kurikulum pendidikan sebagai mata kuliah pilihan. Di Fakultas Hukum USU Medan, walaupun belum diberikan mata kuliah Hukum Kesehatan, tetapi telah banyak tulisan akhir (skripsi) yang dibuat oleh mahasiswa dengan topik-topik yang berkaitan dengan Hukum Kesehatan. Fred Ameln dalam buku Kapita Selecta Hukum Kedokteran mencantumkan Hukum Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

23

Kedokteran/Hukum Kesehatan telah diberikan secara resmi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung dan di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Pada saat ini mungkin beberapa Fakultas Kedokteran Swasta yang lain juga telah mulai mencantumkan Hukum Kesehatan/Hukum Kedokteran sebagai salah satu mata kuliah. Dengan demikian dapat dilihat bahwa kalangan kedokteran dan hukum sudah menyadari pengetahuan ini sudah saatnya dikembangkan atau dikuasai semua pihak yang terkait agar pelayanan di bidang kesehatan mendapat dukungan yang seimbang antara kemajuan di bidang kesehatan itu sendiri dengan kemajuan dalam ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan hukum yang mengatur agar pelayanan kesehatan itu dapat ber-

24

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

jalan dengan baik, baik untuk kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa maupun bagi para pemberi pelayanan kesehatan.

KEPUSTAKAAN 1. Ameln F. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Grafikatama Jaya, 1991. 2. Ameln F. Perkembangan Hukum Kedokteran di Indonesia, Naskah lengkap Musyawarah Kerja Ikatan Dokter Indonesia XI. Medan, 1987. 3. HandokoTjondroputranto.PandanganKomparatifinengenaillmuKedokteran Kehakiman dan Hukum Kedokteran. Pertemuan llmiah Hukum Kedokteran. Medan, 1986. a 4. Amri Amir. Organisasi dan kegiatan PERHUKI Wilayah Sumatera Utara. Kursus Dasar Hukum Kesehatan Angkatan I. Medan, 1989.

Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti untuk Pemeriksaan Secara Laboratoris Kriminalistik Letkol POI P. Emma Sitompul, SH. Kepala Laboratorium Kriminal Kepolisian RI Cabang Medan

DAHULUAN Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah yebabkan perubahan social dalam masyarakat dengan implikasinya, baik positif maupun negatif. Modemisasi membuka alam pikiran manusia dengan meningkatnya lektualitas dan kesadaran hukum masyarakat. Dampak atif dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi but antara lain adalah meningkatnya kejahatan yang i dengan munculnya modus operandi yang menggunateknologi baru. Secara umum kecenderungan peningkatan kejahatan ini dilihat dari segi kualitas dan kuantitas kejahatan yang inkan pads mobilitas kejahatan, ruang gerak, sasaran pun pengorganisasiannya. Kedua fenomena di atas akan pakan tantangan dal am upayapenegakan hukum, khususnya sistim deteksi dan pembuktian tindak pidana. Tantangan hanya mungkin dapat dijawab dengan penggunaan ilmu getahuan dan teknologi dalam penyidikan kasus tindak piBarang bukti mati (physical evidence) pads hakekatnya saksi diam yang selalu ada dalam setiap tindak pidana terjadi dan saksi diam ini sebenamya adalah saksi rig paling jujur. Peranan barang bukti dalam tindak pidana dapat diketahui dengan pasti sebagai alat kejahatan, yek kejahatan dan sebagai petunjuk setelah terjadinya suatu atan, oleh sebab itu pengambilan dan pengawetan barang yang benar akan mempermudah pemeriksaan barang bukti sebut dan tidak akan menimbulkan kesulitan yang mpengaruhi penyidikan lebih lanjut.

PENGAMBILAN DAN PENGAWETAN BARANG BUKTI Pengambilan dan pengawetan barang bukti dalam kasus yang berbeda akan memerlukan teknik atau cara yang berbeda pula. Ada beberapa cara pengambilan dan pengawetan barang bukti yaitu : I) Pengambilan dan pengawetan barang bukti darah. A. Barang bukti yang diperlukan : 1) Darah yang berasal dari sikorban, kemudian didapatkan pada : Pakaian/diri sikorban Pakaian/diri sipelaku Di tempat kejadian Senjata/alat yang dipergunakan 2) Darah yang berasal dari sipelaku/penjahat mungkin ditemukan seperti pada ad. 1. 3) Keterangan/Laporan Polisi Keadaan darah sikorban di tempat kejadian dapat dipergunakan dalam memberikan interpretasi, informasi dan rekonstruksi mengenai jalannya peristiwa. Keterangan-keterangan itu meliputi : – Pemancaran/mengalirnya darah. Bentuk-bentuk tetesan darah. Area/luas darah yang menempel baik pada sikorban dan pakaiannya ataupun pads sitersangka. B. Pengambilan barang bukti darah. Darah pada diri dan pakaian korban dari peristiwa pembunuhan, serangan ataupun kejahatan lainnya dengan kekerasan fisik, biasanya adalah darah sikorban sendiri. 1) Pengambilan darah yang berada di tempat yang tidak mungkin Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,1 992

25

dibongkar/diangkat, diusahakan dengan mengerik bagian yang akan diambil dengan alat yang bersih. 2) Darah yang melekat pads pakaian. - Cegah pakaian tersebut dari kontaminasi. – Jika perlu dipotong hindarkan pemotongan pads bekas tembusan peluru, pilau atau benda lainnya. C. Pengawetan Barang Bukti Darah. 1) Noda darah yang masih basah pada pakaian atau pada bendabenda basah yang bernoda darah dapat dibiarkan mengering dan jangan dijemur dengan sinar matahari. 2) Noda darah yang sudah kering tidak perlu dilarutkan dengan zat/larutan tertentu. II. Pengambilan dan pengawetan barang bukti pads kasus tindak pidana yang mempergunakan Senjata Api. A. Barang bukti yang diperlukan 1) Senjata Api 2) Anak Peluru 3) Selongsong Peluru 4) Mesiu 5) Peluru 6) Pecahan logam yang diperlukan ada hubungannya dengan senjata api B. Pengambilan Barang Bukti pada senjata api. 1) Senjata Api a) Pada senjata api mungkin ditemukan sidik jari dari orang yang menggunakan senjata tersebut. Memungut senjata api di TKP jangan ceroboh, harus hatihati dan jangan sampai merusak/menghilangkan sidik jari tersebut atau menambah sidik jari. b) Pada ujung laras senjata api mungkin didapati sisa-sisa mesiu, darah, sobekan kain ataupun kulit/rambut/daging, maka hams dijaga jangan sampai rusak/hilang atau ujung larasnya kemasukan kotoran-kotoran lain. 2) Anak Peluru Anak peluru bukti mungkin didapatkan di tubuh korban atau di sekitar TKP. Anak peluru yang ditemukan jangan sampai mengalami perubahan. Anak peluru diambil dengan menggunakan telunjuk dan ujung ibu jari memegang pada kedua ujung anak peluru tersebut, jangan pada badannya. 3) Selongsong Peluru Selongsong peluru yang ditemukan jangan sampai mengalami perubahan terutama pads bahagian dasar (pantatnya). 4) Mesiu Sisa mesiu yang ditemukan sangat besar artinya terutama dalam peristiwa pembunuhan atau bunuh diri. Mesiu yang ditemukan diambil dengan cara memberikan parafin pada tangan atau dengan menggunakan asam nitrat 5%. 5) Peluru Peluru mungkin didapatkan karena peluru tersebut belum dipakai. Peluru yang ditemukan di pistol tidak perlu dikeluarkan. 6) Pecahan logam Pecahan logam yang diambil, kasus yang ada hubungannya dengan senjata api, atau peluru. 26

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80. 1992

C. Pengambilan Barang Bukti pada kasus senjata api. 1) Senjata Api Untuk mengawetkan sidik jari pada senjata api, ikatkanlah senjata api tersebut pada sehelai karton tebal dan benang. Untuk mengawetkan sisa mesiu pada ujung laras, tutuplah laras dengan kain atau kertas dan diikat dengan tali, kain atau kertas tersebut jangan dimasukkan ke dalam lubang laras. 2) Anak peluru dan selongsong peluru, pecahan logam Untuk pengawetan anak peluru, selongsong dan pecahan logam yang ditemukan, maka pisahkan masing-masing barang bukti tersebut dan masukkan ke dalam kotak yang telah dilapisi kapas. 3) Mesiu Mesiu yang telah diambil dengan menggunakan parafin dan asam nitrat dimasukkan dalam kantong plastik dan kemudian dibungkus. 4) Peluru Peluru yang ditemukan di dalam senjata tidak perlu dikeluarkan. Untuk senjata api berisi peluru, selongsong peluru dan peluru yang tidak meledak. Berilah tanda peluru, selongsong peluru sesuai dengan kamar silinder yang telah diberi nomor dan pemberian nomor tersebut berlawanan dengan arah putaran silinder. III. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti pada Kasus Keracunan. A. Barang Bukti yang diperlukan Sebelum mencari dan mengumpulkan barang bukti di tempat kejadian, usahakanlah terlebih dahulu mengetahui urutan-urutan perisitiwanya. - Waktu terjadinya - Jarak waktu antara makan/minum dengan mulai timbulnya gejala kelainan pads sikorban Gejala itu sendiri Usaha apa yang telah dilakukan pada sikorban. Selanjutnya barn melangkah untuk mencari/mengumpulkan barang bukti yang erat hubungannya dan peristiwanya yaitu : 1) Makanan/minuman yang dimakan/diminum koban 2) Muntahan korban 3) Isi lambung korban 4) Jaringan tubuh korban B. Pengambilan Barang Bukti Ambillah barang bukti yang benar-benar sangat erat hubungannya dengan peristiwa yang telah diketahui. Kerjakan semuanya dengan teliti dan seksama agar barang bukti tidak ternodai keasliannya yaitu dengan cam : 1) Tempatkan tiap-tiap jenis barang bukti dalam tempat yang terpisah 2) Hindarkan pemakaian botol/stoples bekas C. Pengawetan Barang Bukti Untuk menghindari rusaknya keaslian dari pads barang bukti dibutuhkan pengawetan. Pengawet dipakai yaitu alkohol 95%.

IV. Pengambilan dan Pengawetan Barang Bukti Sperma. A. Barang Bukti yang diperlukan 1) Noda-noda pada pakaian korban, sprei dan lain-lain. 2) Cairan yang dikeluarkan dari dalam vagina B. Pengambilan Barang Bukti Sperma Barang bukti cairan yang dikeluarkan dari dalam vagina harus dilakukan dengan pertolongan dokter C. Pengawetan Barang Bukti Barang bukti yang mengandung noda-noda air mani dibiarkan kering di udara dan ditaruh di tempat yang bersih.

Pengiriman barang bukti untuk pemeriksaan diusahakan dengan cepat dan rahasia atau sedapat mungkin dengan kurir. Hambatan yang sering ditemukan pads pemeriksaan barang bukti antar lain disebabkan oleh : – Barang Bukti yang dikirim telah mengalami perubahan/ terkontaminasi. – Pengambilan contoh Barang Bukti tidak mewakili keseluruhan barang bukti. - Terjadinya pengurangan atau penambahan barang bukti.

LAIN-LAIN Barang bukti yang akan dikirim untukpemeriksaan sebaiknya dibungkus atau dimasukkan dalam wadah tertentu, atau kotak dan kemudian dibungkus dengan kertas serta diikat dengan tali atau benang, kemudian diberi lak dan label barang bukti.

1. Kirk L. P. Crime Investigation. 2nd Ed. Malabar, Florida; Robert E Krieger Publ. co. 1985. 2. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Buku Petunjuk Pengumpulan Pengiriman dan Pengamanan Barang Bukti untuk Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistis. Jakarta, 1977.

KEPUSTAKAAN

Cermin Dunia Kedokieran, Edisi Khusus No. 80, 1992

27

Gawat Darurat Bedah

Akut Abdomen pada Alat Pencernaan Orang Dewasa S. Soewandi Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

Akut abdomen merupakan sebuah terminologi yang menunjukkan adanya keadaan darurat dalam abdomen yang dapat berakhir dengan kematian bila tidak ditanggulangi dengan pembedahan. Keadaan darurat dalam abdomen dapat disebabkan karena perdarahan, peradangan, perforasi atau obstruksi pada alat pencemaan. Peradangan bisa primer karena peradangan alat pencernaan seperti pada appendisitis atau sekunder melalui suatu pencemaran peritoneum karena perforasi tukak lambung, perforasi dari Payer's patch,pada typhus abdominalis atau perforasi akibat trauma. Pada akut abdomen, apapun penyebabnya, gejala utama yang menonjol adalah nyeri akut pada daerah abdomen. Kadangkadang penyebab utama sudah jelas seperti pada trauma abdomen berupa vulnus abdominis penetrans namun kadang-kadang diagnosis akut abdomen baru dapat ditegakkan setelah pemeriksaan fisik serta pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan radiologi yang lengkap dan masa observasi yang ketat. Ditinjau dari lokasi nyeri dapat dibuat tabel diagnosis banding (Tabel 1). Nyeri abdomen dan perdarahan merupakan suatu malapetaka yang sangat besar bagi seorang penderita yang menderita akut abdomen alat pencernaan pada orang dewasa. Oleh karena itu dokter yang memberikan pertolongan pertama harus memastikan dengan segera 1. diagnosis kerja sementara, 2. mengambil langkah-langkah untuk membuktikan kebenaran diagnosis dan 3. mengambil langkah-langkah penanggulangan yang tepat selama pembuktian kebenaran diagnosis. Untuk penegakan diagnosis diperlukan pengumpulan data dengan mengadakan penelitian terhadap penderita melalui pemeriksaan fisik penderita secara sistematis yang dimulai dengan anamnesis penderita ditambah dengan pemeriksaan tambahan 28

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

dan khusus. Bila penderita tidak sadar atau terlalu sakit bisa dilakukan anamnesa keluarga (allo-anamnesa).

Tabel 1. Diagnosis Banding Akut Abdomen

Anamnesis Pada suatu penyakit bedah darurat anamnesis merupakan pemeriksaan yang sangat panting. Bahan-bahan utama yang dapat diperoleh melalui anamnesis yang memberikan informasi sangat berharga pads proses penegakan diagnosis adalah : A. Lokasi nyeri Di atas telah diberikan daftar kemungkinan diagnosis banding dari penyakit-penyakit berdasarkan lokasi. B. Radiasi perasaan nyeri Kadang-kadang informasi mengenai cara penyebaran rasa nyeri (radiasi perasaan nyeri) dapat memberikan petunjuk mengenai asal-usul atau lokasi penyebab nyeri itu. Nyeri yang berasal dari saluran empedu menjalar ke samping sampai bagian bawah scapula kanan. Nyeri karena appendicitis dapat mulai dari daerah epigastrium untuk ketnudian berpindah ke kwadran kanan bawah. Nyeri dari daerah rektum dapat menetap di daerah punggung bawah. C. Bentuk rasa nyeri Nyeri pada akut abdomen dapat berbentuk nyeri terusmenerus atau berupa kolik. D. Perubahan fisiologi alat pencernaan 1. Nafsu makan, mual, muntah Defekasi teratur, mencret, obstipasi Perut kembung, serangan kolik • 4. Sudah berapa lama semua perubahan ini berlangsung E. Perubahan anatomi . Adanya benjolan neoplasma ▪ Adanya luka akibat trauma ▪ Adanya bekas operasi apa, bilamana. Pemeriksaan fisik dilaksanakan dengan memeriksa dulu keadaan umum penderita (status generalis) untuk evaluasi keadaan sistim pemafasan, sistim kardiovaskuler dan sistim saraf yang merupakan sistim vital untuk kelangsungan kehidupan. Pemeriksaan keadaan lokal (status lokalis abdomen) pads derita dilaksapakan secara sistematis dengan inspeksi, pal1, perkusi dan auskultasi. Tanda-tanda khusus pala akut omen tergantung pada penyebabnya seperti trauma, peragan, perforasi atau obstruksi. Inspeksi Tanda-tanda khusus pada trauma daerah abdomen adalah : Penderita kesakitan. Pernafasan dangkal karena nyeri di rah abdomen. Penderita pucat, keringat dingin. Bekas-bekas trauma pads dinding abdomen, memar, luka, laps omentum atau usus. Kadang-kadang pada trauma tumpul abdomen sukar diukan tanda-tanda khusus, maka harus dilakukan pemeriksaberulang oleh dokter yang sama untuk mendeteksi kern ungkinterjadinya perubahan pada pemeriksaan fisik. Pada ileus obstruksi terlihat distensi abdomen bila obstruksi nya rendah, dan bila orangnya kurus kadang-kadang terlihat talsis usus (Darm-steifung). Keadaan nutrisi penderita.

B. Palpasi a) Akut abdomen memberikan rangsangan pads peritoneum melalui peradangan atau iritasi peritoneum secara lokal atau umum tergantung dari luasnya daerah yang terkena iritasi. b) Palpasi akan menunjukkan 2 gejala : 1. Perasaan nyeri 2. Kejang otot (muscular rigidity, defense musculaire) 1. Perasaan nyeri Perasaan nyeri yang memang sudah ada terus menerus akan bertambah pads waktu palpasi sehingga dikenal gejala nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada peitonitis lokal akan timbul rasa nyeri di daerah peradangan pads penekanan dinding abdomen di daerah lain. 2. Kejang otot (defense musculaire, muscular rigidity) Kejang otot ditimbulkan karena rasa nyeri pads peritonitis diffusa yang karena rangsangan palpasi bertambah sehingga secara refleks terjadi kejang otot. C. Perkusi Perkusi pads akut abdomen dapat menunjukkan 2 hal. 1) Perasaan nyeri oleh ketokan pads jari. Ini disebut sebagai nyeri ketok. 2) Bunyi timpani karena meteorismus disebabkan distensi usus yang berisikan gas pads ileus obstruksi rendah. D. Auskultasi Auskultasi tidak memberikan gejala karena pada akut abdomen terjadi perangsangan peritoneum yang secara refleks akan mengakibatkan ileus paralitik. E. Pemeriksaan rectal toucher atau perabaan rektum dengan jari telunjuk juga merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi adanya trauma pads rektum atau keadaan ampulla recti apakah berisi faeces atau teraba tumor. Setelah data-data pemeriksaan fisik terkumpul diperlukan juga pemeriksaan tambahan berupa : 1. Pemeriksaan laboratorium A) Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan Hb diperlukan untuk base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi 20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup banyak terutama pads kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma pads hepar. B) Pemeriksaan urine rutin Menunjukkan adanya trauma pads saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat menyingkirkan adanya trauma pada saluran urogenital. 2.

Pemeriksaan radiologi Foto thoraks Selalu harus diusahakan pembuatan foto thoraks dalam posisi tegak untuk menyingkirkan adanya kelainan pada thoraks atau trauma pads thoraks. A)

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

29

Hams juga diperhatikan adanya udara bebas di bawah diafragma atau adanya gambaran usus dalam rongga thoraks pada hernia diafragmatika. B) Plain abdomen foto tegak Akan memperlihatkan udara bebas dalam rongga peritoneum, udara bebas retroperitoneal dekat duodenum, corpus alienum, perubahan gambaran usus. C) IVP (Intravenous Pyelogram) Karena alasan biaya biasanya hanya dimintakan bila ada persangkaan trauma pada ginjal. D) Pemeriksaan Ultrasonografi dan CT-scan Bereuna sebagai pemeriksaan tambahan pada penderita yang belum dioperasi dan disangsikan adanya trauma pada hepar dan retroperitoneum. 3. Pemeriksaan khusus A) Abdominal paracentesis Merupalcan pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah dimasukkan 100—200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit, merupakan indikasi untuk laparotomi. B) Pemeriksaan laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk mengetahui langsung sumber penyebabnya. C) Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rektosigmoidoskopi. D) Pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk memeriksa cairan yang keluar dari lambung pads trauma abdomen. Dari data yang diperoleh melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan tambahan dan pemeriksaan khusus dapat diadakan analisis data untuk memperoleh diagnosis kerja dan masalah-masalah sampingan yang perlu diperhatikan. Dengan demikian dapat ditentukan tujuan pengobatan bagi penderita dan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan. TUJUAN PENGOBATAN Dapat dibagi dua : 1) Penyelamatan jiwa penderita 2) Meminimalisasi kemungkinanterjadinyacacaddalam fungsi fisiologis alat pencemaan penderita. Biasanya langkah-langkah itu terdiri dari : 1) Tindakan penanggulangan darurat A) Berupa tindakan resusitasi untuk memperbaiki sistim pernafasan dan kardiovaskuler yang merupakan tindakan penyelamatan jiwa penderita. Bila sistim vital penderita sudah stabil dilakukan tindakan lanjutan berupa (B) dan (C). B) Restorasi keseimbangan cairan dan elektrolit. C) Pencegahan infeksi dengan pemberian antibiotika. 2) Tindakan penanggulangan definitif Tujuan pengobatan di sini adalah : 1) Penyelamatan jiwa penderita dengan menghentikan sumber perdarahan. 2) Meminimalisasi cacad yang mungkin terjadi dengan cara : 30

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

a. menghilangkan sumber kontaminasi. b. meminimalisasi kontaminasi yang telah terjadi dengan membersihkan rongga peritoneum. c. mengembalikan kontinuitaspassage usus dan menyelamatkan sebanyak mungkin usus yang sehat untuk meminimalisasi cacad fisiologis. Tindakan untuk mencapai tujuan ini berupa operasi dengan membuka rongga abdomen yang dinamakan laparotomi. Laparotomi eksplorasi darurat A) Tindakan sebelum operasi 1. Keadaan umum sebelum operasi setelah resusitasi sedapat mungkin harus stabil. Bila ini tidak mungkin tercapai karena perdarahan yang sangat besar, dilaksanakan operasi langsung untuk menghentikan sumber perdarahan. 2. Pemasangan NGT (nasogastric tube) 3. Pemasangan dauer-katheter 4. Pemberian antibiotika secara parenteral pads penderita dengan persangkaan perforasi usus, shock berat atau trauma multipel. 5. Pemasangan thorax-drain pads penderita dengan fraktur iga, haemothoraks atau pneumothoraks. B) Insisi laparotomi untuk eksplorasi sebaiknya insisi median atau para median panjang. C) Langkah-langkah pada laparotomi darurat adalah : 1. Segera mengadakan eksplorasi untuk menemukan sumber perdarahan. 2. Usaha menghentikan perdarahan secepat mungkin. Bila perdarahan berasal dari organ padat penghentian perdarahan dicapai dengan tampon abdomen untuk sementara. Perdarahan dari arteri besar hams dihentikan dengan penggunaan klem vaskuler. Perdarahan dari vena besar dihentikan dengan penekanan langsung. 3. Setelah perdarahan berhenti dengan tindakan darurat diberikan kesempatan pads anestesi untuk memperbaiki volume darah. 4. Bila terdapat perforasi atau laserasi usus diadakan penutupan lubang perforasi atau reseksi usus dengan anastomosis. 5. Diadakan pembersihan rongga peritoneum dengan irigasi larutan NaCl fisiologik. 6. Sebelum rongga peritoneum ditutup harus diadakan eksplorasi sistematis dari seluruh organ dalam abdomen mulai dari kanan atas sampai kiri bawah dengan memperhatikan daerah retroperitoneal duodenum dan bursa omentalis. 7. Bila sudah ada kontaminasi rongga peritoneum digunakan drain dan subkutis serta kutis dibiarkan terbuka. KEPUSTAKAAN 1. Baker RJ. Acute abdominal pain. Manual of Surgical Therapeutics. 5th ed. Asian Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 97-110. 2. Darin JC. Abdominal injury. Manual of Surgical Therapeutics. 5th ed. Asian Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 26-32. 3. Dennis C. Intestinal Obstruction. Shaftan & Gardner Quick Reference to Surgical Emergencies. Lippincott. p. 201-206. 4. Gleysteen JJ, Condon RE. Intestinal Obstruction. Manual of Surgical Therapeutics. 5th ed. Asian Ed. Boston: Little, Brown and Co, p. 117-135.

Trauma Wajah, Luka Bakar dan Luka Avulsi Buchari Kasim Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan

PENDAHULUAN Dalam gawat darurat bedah, kasus terutama saat ini adalah lukaakibatkecelakaan. Di antara kasus-kasus kecelakaan, trauma wajah, luka bakar dan luka avulsi merupakan kasus yang seharidijumpai dalam pelayanan kesehatan dasar, namun jenis luka ini mempunyai masalah yang dapat menimbulkan cacat deformitas). Sesuai dengan perkembangan ilmu bedah dan meningkatya kebutuhan masyarakat, pengelolaan trauma pada daerah ukaan luar tubuh ini seyogyanya mengikuti pola dasar ngelolaan secara bedah plastik. Penyegaran pengetahuan dalam pengelolaan ketiga jenis ma ini yang setiap saat kemungkinan dijumpai dalam gawat t bedah, diharapkan dapat dimanfaatkan dan diterapkan am pelayanan kesehatan masyarakat di daerah yang semakin eningkat kebutuhannya dan semakin maju. JUAN PENGELOLAAN Tujuan pengelQlaan luka wajah, luka bakar dan luka avulsi am gawat darurat bedah, walaupun prioritas pertama meyelamatkan hidup (life saving) penderita, tetapi tindakan yang t dan mantap pada awal kedaruratan akan sekaligus meelamatkan kehidupan (life saving) penderita di kemudian hari. Pada masa dini kecelakaan, secara bedah plastik sudah di' bangkan pengelolaan yang tepat agar dapat dihindari atau urangi kemungkinan timbulnya cacat yang akan mengggu mutu kehidupan penderita, Walaupun penderita disctitan dari mortalitas pads awal gawat darurat bedah, tetapi kemudian mendapat morbiditas berupa cacat, akan nggangu kenyamanan psikologik dan lingkungan sosial idupannya seperti keluarga atau masyarakat sekitarnya. Dalam tujuan pengelolaan ketiga jenis trauma ini, aspek ososial penderita mutlak diperhatikan, apalagi dalam pela -

yanan kebutuhan masyarakat yang semakin menuntut nilainilai kesempurnaan dan kecanggihan. TRAUMA WAJAH Tergantung besamya gaya kecelakaan dari luar, trauma wajah sering bersamaan dengan cedera kepala (trauma capitis). Jika prioritas pertama kedaruratan bedah yang mengancam nyawa penderita sudah dapat disingkirkan, seperti gangguan pernafasan dan perdarahan yang hebat, penanganan luka wajah diarahkan kepada : 1. Luka jaringan lunak (soft tissue wound). Penanganan di sini bertujuan utama mengembalikan bentuk dan penampilan wajah yang seminimal mungkin menimbulkan cacat dan keluhan estetik. 2. Luka jaringan keras, dikenal sebagai patah tulang rahang wajah (maxillofacial fracture). Tujuan utama penanganan adalah mengembalikan fungsi pengunyahan (mastikasi) di samping masalah estetik wajah. Tergantung besarnya gaya, luka wajah dapat timbul sekaligus mengenai jaringan lunak dan jaringan keras. Luka Jaringan Lunak Penanganan luka wajah, sepanjang mengenai penjahitan luka, masih dapat ditangguhkan kecuali dalam hal penderita atau keluarga sangat cemas terhadap luka dan cacat wajah. Umumnya luka masih dapat dijahit primer dalam waktu 24—36 jam, mengingat pendarahan di wajah cukup baik dan proses penyembuhan luka wajah lebih cepat. Setiap luka wajah diperlakukan secara eksklusif dan individuil. Penjahitan dan penempatan garis luka, kadang-kadang memerlukan daya kreasi dari dokter dalam menyesuaikan dengan garis keserasian wajah. Walaupun luka relatif kecil, tetapi jika terletak pads daerah strategis seperti kelopak mata, hidung, bibir, dahi dan pipi akan sangat mempengaruhi penampilan dan Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 31

keserasian komposisi wajah di kemudian hari. Beberapa pegangan dacar bedah plastik dapat digunakan dalam menangani luka wajah : Asepsis. — Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing. - Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darahpun tidak bersisa sesudah dijahit. — Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka. — Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik. — Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti. — Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang hanya berfungsi pemegang. — Eksposur; luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan perawatan luka lebih balk, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure). — Jahitan luka wajah dibuka hari ke lima, sedangkan pada kelopak mata hari ke tiga; bila lebih lama timbul stitching mark. Umumnya luka wajah dianggap sembuh, sesudah proses jaringan parut matang, minimal 6 bulan. Tarikan pinggir luka masih berlangsung 3—4 minggu. Luka yang sudah di jahit sesudah masa jahitan primer atau luka yang sudah sembuh tetapi memerlukan revisi sekunder secara bedah plastik sebaiknya dalam masa minimal 6 bulan, sesudah evaluasi matangnya parut. Patah Tulang Rahang Wajah Adanya daya yang lebih hebat menyebabkan cedera tulang kepala dan/atau fraktur maxillo facial. Khusus fraktur maxillo facial dapat diketahui dengan pemeriksaan raba kontinuitas, simetri dan gerakan oklusi rongga mulut. Bantuan pemeriksaan rontgenologik, terutama dengan posisi Waters (mento-occipital 's view) dapat mengkonfirmasi adanya patch tulang rahang wajah. Tindakan bedah masih dapat dilakukan dalam masa 5—10 hari sesudah edema wajah menyurut, sampai 3—4 minggu timbulnya callus. Prinsip tindakan operasi adalah reposisi melalui sayatan terbatas pada wajah dan fiksasi seperti intermaxillary wiring atau mini plate. LUKA BAKAR Dalam klinis luka bakar yang serius adalah : 1. Luka bakar luas 20 — 80%. 2. Luka bakar listrik, kimiawi dan inhalasi. 3. Luka bakar mengenai daerah strategis : tangan, wajah, daerah sekitar persendian/gerak tubuh, perineum, tap p k kaki dan payudara. Penanganan luka bakar secara bedah plastik meliputi tiga masalah : 1) Tindakan resusitasi gawat darurat untuk menyelamatkan nyawa penderita. 2) Pengobatan luka setempat untuk menghindari infeksi sekun32

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

der dan mempercepat penyembuhan dengan skin grafting serta mengurangi cacat di kemudian hari. 3) Penilaian psikologikpenderitadankeluargadenganprakiraan mengenai mortalitas dan morbiditas. DIAGNOSIS Menegakkan diagnosis luka bakar pada hakekatnya mengadakan penilaian beratnya luka bakar, apakah luka bakar tersebut ringan, sedang dan berat. Penilaian beratnya akan menentukan apakah penderita : a. Cukup berobat jalan. b. Perlu rawat nginap biasa. c. Perlu rawat nginap dengan penanganan lebih serius dan dirujuk. Penilaian ini tergantung dari beberapa faktor : 1. Luas. 2. Dalam. 3. Lokalisasi. 4. Penyebab. 5. Usia. 6. Adanya trauma ikutan atau penyakit lain. 7. Lamanya kejadian. 1)

Taksiran luas Taksiran secara kasar dapat berdasarkan "aturan sembilan", namun untuk lebih teliti digunakan semacam formulir yang siap diisi dari Lund-Browder chart. 2)

Penentuan dalam Tergantung penyebab dan lamanya kontak, dari dalamnya luka bakar dapat direncanakan pengobatan setempat dan prognosis morbiditas : Tingkat I : Superficial burn; akan sembuh dengan epitelisasi walau tanpa tindakan khusus. Sembuh dalam masa 7 — 10 hari. Tingkat II : a) Superficial partial thickness burn, akan sembuh seperti tingkat I melalui epitelisasi dalam masa 2—4 minggu dengan obat topikal. b) Deep partial thickness burn, akan sembuh melalui jaringan granulasi. Jika terletak pada daerah strategis dipersiapkan segera untuk skin grafting dalam masa 1— 2 minggu. Membiarkan luka granulasi sembuh berlama-lama, akan menimbulkan keloid dan kontraktur. Tingkat III : Full thickness burn; penyembuhan melalui jaringan granulasi dan epitelisasi hanya berasal dari pinggir luka. Untuk luka bakar ini mutlak dipersiapkan skin grafting sesegera mungkin. Jaringan granulasi yang dibiarkan sembuh sendiri dengan epitilisasi yang lama akan menimbulkan jaringan parut hipertrofik/keloid dan pada daerah persendian akan timbul kontraktur. Hal ini dapat dihindari bila dalam masa 1— 2 minggu luka bakar dilakukan skin grafting. 3)

Lokalisasi Dari lokalisasi dapat ditaksir kecenderungan penyulit dari cacat di kemudian hari.

Jika mengenai daerah kritis dan strategis, walaupun luas relatif kecil perlu dipikirkan kemungkinan memerlukan skin grafting secara dini. Luka bakar daerah leher dan wajah dalam masa gawat darurat dapat menimbulkan edema tenggorokan. 4) Penyebab Dari anamnesis penyebab dapatdiperkirakan dalamnya luka bakar. Penyebab uap panas dan nyala seperti pakaian terbakar, cairan panas; tergantung dari lamanya kontak dan temperaturnya biasanya tingkat I dan II. Langsung kena api dapat sampai tingkat II. Inhalasi uap panas pada bencana kebakaran dapat menyebabkan gangguan jalan pernafasan. Luka bakar listrik dan kimiawi selalu tingkat III dan hampir mutlak memerlukan tindakan operatif. 5) Usia Hati-hati pada usia di bawah 3 tahun dan di alas 60 tahun. Pada anak-anak luka bakar mempunyai masalah tersendiri baik dalam taksiran luas dan pemberian cairan maupun tentang kemungkinan cacat pads usia pertumbuhan. Pada usia lanjut diperhatikan penyakit ikutan lainnya dan masalah resusitasi cairan dalam gawat darurat harus lebih teliti. Dari usia dan luas luka bakar, dapat ditaksir mortalitas penderita. 6) Adanya Trauma atau Penyakit Lain Adanya trauma lain dan penyakit lain akan memberatkan penderita luka bakar. 7) Lamanya Kejadian Lamanya antara kejadian dan penanganan sangat penting dalam penghitungan resusitasi cairan yang harus diberikan dalam 24 jam pertama. PENANGANAN LUKA BAKAR 1) Secara Umum a) Resusitasi gangguan pernapasan oleh inhalasi, edema jalan pemafasan atau syok. b) Resusitasi cairan pada penderita dengan luas luka bakar lebih 20% atau menunjukkan gejala syok. Pemberian cairan secara praktis dapat menggunakan Formula Parkland Hospital; 24 jam pertama diberikan dalam tiga porsi larutan Ringer Laktat sejumlah : 4 mlBerat Badan/prosentasi luas. Dapat juga menurut Aturan Evans. c) Mempertahankansirkulasi perifer, terutama pads l uka daerah Langan dan kaki. Kedua tungkai dianjurkan lebih tinggi. Jika sirkulasi perifer terganggu mungkin dilakukan : Escharatomi. d) Pemberian analgesik, pencegahan tetanus dan pemberian antibiotika. 2) Pengobatan Luka Setempat a) Debridement luka, gelembung tingkat II jangan dipecah. b) Pengolesan obat topikal yang mengandung antibakterial 4seperti silver sulfadiazine atau larutan 0,5% Ag-Nitrat; peng -

obatan dapat terbuka atau tertutup. c) Perawatan hidroterapi, mempercepat timbulnya jaringan granulasi. d) Skin grafting. Perlu dipertimbangkan saat yang tepat untuk melakukan skin grafting guna menghindari/mengurangi timbulnya cacat dan kontraktur yang sangat mengganggu kehidupan penderita. Memperbaiki cacat hebat di kemudian, jauh lebih sulit dan kurang efisien dibandingkan melakukan pads saat langsung sesudah keadaan gawat darurat diatasi. Perkiraan Mortalitas dan Morbiditas Pada saat-saat pertama penderita atau keluarga mengalami gangguan psikologik tentang mortalitasdan morbiditas. Keluhan ini sangat tergantung dari keadaan sosial individu. Di samping prognosis yang buruk untuk luas luka bakar di alas 75%, persentase keselamatan penderita berdasar usia dan luas dapat dihitung sebagai berikut : 100 – (usia + luas) Formula ini hanya berlaku untuk penderita usia di atas 10 tahun. Kemungkinan cacat dan morbiditas dapat diperkirakan pada luka bakar listrik dan kimiawi, luka bakar tingkat III lainnya atau luka bakar yang mengenai daerah strategis tubuh, terutama sekitar persendian, walaupun luasnya relatif kecil. Untuk menghindarkan morbiditas yang berat ini dilakukan tindakan mempercepatpenyembuhan luka sedini mungkin secara bedah plastik menggunakan skin grafting atau flap. Rekonstruksi sesudah timbulnya penyulit seperti keloid dan kontraktur secara teknologi canggihpun merupakanoperasi yang rumit dan menimbulkan ketidakpuasan penderita atau keluarga. LUKA AVULSI Dengan meningkatnya mobilitas kendaraan bermotor dan mesin industri, pada kecelakaan sering timbul luka avulsi pada permukaan luar tubuh. Luka avulsi adalah terangkatnya jaringan lunak lapisan yang lebih dalam sehingga jaringan yang terangkat tersebut mengalami devitalisasi dan tidak viable untuk dijahitkan kembali. Kasus yang sering dijumpai adalah luka avulsi kulit kepala akibat putaran mesin yang menyangkut rambut atau kecelakaan pada daerah cruris sehingga tampak tulang (bone expose). Tindakan gawat daruratnya adalah menghentikan pendarahan dan menutup bagian yang terluka; secara permanen membutuhkan skin grafting untuk menutup luka avulsi,flap kulitatau flap otot pada bagian bone expose. PENUTUP Telah dibicarakan pengelolaan kasus-kasus gawat darurat bedah oleh kecelakaan sehari-hari yang menimbulkan trauma wajah, luka bakar dan luka avulsi. Dalam pengelolaan ketiga jenis kasus ini, secara bedah plastik dipertimbangkan sekaligus di samping untuk menyelamatkan nyawa penderita; pads saat yang tepat dan dini diper-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

33

siapkan tindakan yang bcrupaya mengurangi dan kalau perlu menghindari sedapat mungkin timbulnya cacat penampilan tubuh yang dapat mengganggu mutu kehidupan penderita di kemudian hari. KEPUSTAKAAN Barret BM. Manual of Patient Care in Plastic Surgery. Boston: Little-Brown, 1. 1982. 2. Cook J, Sankaram B, Wasuna AE. General Surgery at the Distric Hospital. Geneva: WI1O & New Delhi: Yaypee Brothers, 1989. 3. Goldin J11. Plastic Surgery. Pocket Consultant. Oxford: Blackwell Scient

ro\< 0

-u n .)*o

---

34

)

IT1 pU 11C)

Cermin Dunia Kedokieran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Puhl, 1987. 4. Goodman A. Soft Tissue Injuries to the Face. In: Papel ID, Nachlas NE (Ed). Facial Plastic and Reconstructive Surgery. St. Louis: Mosby Year Book, 1982; pp. 449-459. 5. Kasim B. Rekonstruksi trauma wajah. Simposium Trauma Muka PIT III IKABI, Semarang, 1985. 6. Najarian JS, Delaney JO. Emergency Surgery. Trauma-Shock-Sepsis-Burn. Chicago: Year Book Medical Publ, 1983. 7. Oluweasanmi JO. Plastic Surgery in the Tropics. London: Maxmillan International College Edition, 1979. 8. Willital CH. Chirurgische Erstversorgung. Muenchen: Urban-Schwarzenberg, 1982.

Harry Soedjatmiko Sub Bagian Bedah Toraks, Bagian Ilmu Bedah Fakutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

NDAHULUAN Dengan semakin meningkatnya teknologi dan industri di gara kita terutama kendaraan bermotor serta peningkatan inalitas, maka akan meningkat pula angka kejadian dari ma toraks. Di Amerika Serikat, penderita trauma secara uruhan mendekati 70 juta jiwa setiap tahunnya dengan nghabiskandanakira-kira 100 milyar dolar setahun, dan 1 dari kematian oleh trauma disebabkan oleh truma toraks m . Schulpen mengemukakan jumlah terbanyak penderita trauma adalah golongan umur 16 - 25 tahun dengan angka kematian 35% da yang disertai dengan trauma toraks dan 18% tanpa uma toraks( 2) , sedang Glinz W mendapatkan pendeeita uma tumpul toraks bersamaan dengan trauma lainnya, to 51% dengan trauma kapitis, 20% dengan trauma aben, 38% dengan fraktur ekstremitas, 12% dengan fraktur silo-fasial, 13% dengan fraktur pelvis dan 6% dengan tur tulang belakang m Pneumotoraks, hemotoraks, pneumo-mediastinum dan emfissubkutis merupakan manifestasi klinik yang paling sering pati pada penderita-penderita dengan trauma toraks @). Pada man ganda sering terjadi adanya truma toraks, dan truma s harus ditangani secepatnya karena dapat menyebabkan ksi otak dan jantung yang berakibat fatal. Dalam penatanaan trauma harus selalu diingat ABC yaitu airway, breathdan circulation, agar kemungkinan adanya truma toraks terlupakan. Juga penting sekal i dilakukan pengamatan yang at terhadap fungsi kardiovaskuler. MBAGIAN TRUMA TORAKS Truma dinding toraks, fraktur iga dan sternum flail chest emfisema subkutis

ms„c,'s>

.

II. 1. 2. III. IV. 1. 2. 3. 4. V.

Kelainan pada rongga pleura, pneumotoraks hemotoraks Cedera jaringan paru, trumatic wet lung Kerusakan pada mediastinum, ruptura trakea dan bronkus utama ruptura esofagus truma pada jantung ruptura aorta Hernia diafragma traumatika

FRAKTUR IGA DAN STERNUM Manifestasi klinis cedera dinding dada ini tergantung dari akibatnya terhadap fungsi respirasi dan kardiovaskuler; fraktur tulang iga sederhana yang dialami oleh penderita truma toraks dengan penurunan faal paru mungkin akan mengakibatkan gangguan fungsi respirasi dan kardiovaskuler yang cukup berat. Fraktur iga dan sternum sering merupakan akibat dari truma tumpul toraks, dapat dijumpai mulai dari fraktur jenis sederhana (greenstick, simple, isolated) hingga fraktur iga jamak (multiple o. '). BorrieJ° ) membuat pembagian fraktur iga menjadi : a) Simple (isolated), merupakan fraktur iga tanpa kerusakan yang berarti dari jaringan lainnya. b) Compound, truma menembus kulit dan merobek pleura parietalis di bawahnya yang disertai fraktur iga. c) Complicated, fragmen dari fraktur iga menyebabkan cedera organ visera. d) Pahtologic, neoplasma atau kista tulang iga sebagai penyebab dari fraktur iga. Ketnungkinan terjadinya cedera paru lebih besar path penderita anak-anak dan dewasa muda karena iga masih lentur

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 35

hingga dibutuhkan trauma yang lebih kuat untuk menyebabkan terjadinya pada fraktur iga (6) . Bila terdapat graktur iga 1 dan 2 pada hemitoraks kiri dan pada foto toraks PA didapati pelebaran mediastinum, dianjutkan secepatnya melakukan aortografi olch karcna mungkin tclah terjadi ruptura aorta(''. Letak fraktur iga tergantung dari arah benturan dan lengkungan iga, Hinton dan Steiner mengamati fraktur iga sebagai berikutm : a) Iga 5 dan 9 mcncerima akibat benturan yang paling berat. b) Trauma tidak langsung, terjadi akibat mendekatnya kcdua ujung tulang iga schingga kelcngkungan iga bertambah dan letak fraktur biasanya bagian tengah. c) Trauma langsung, menyebabkan fraktur satu atau lebih tulang iga pada tempat benturan dan sering (ragmen fraktur merobek pleura serta jaringan paru. d) Faktur tunggal biasanya end-to-end, fraktur jamak mungkin overlapoing. Fraktur sternum lebih sering terjadi pada persendian manubriosternal, dapat rbentuk fraktur yang sederhana dengan prognosis baik hingga bentuk fraktur yang overlapping yang sering bersamaan dengan fraktur iga dan cedera toraks lainnya serta keadaan penderita yang cukup serius( 6). Tanda klinis dapat berupa pernafasan ccpat dan dangkal, krepitasi dan rasa sakit pada daerah fraktur serta emfisema subkutis. Penatalaksanaan Fraktur iga dan sternum sederhana hanya memerlukan pengobatan simpotatis dengan pemberian analgetika dan mukolitika, namun pada fraktur sternum yang overlapping dibutuhkan fiksasi(o . Dilakukan suntikan blok saraf interkostal pada fraktur iga untuk mengurangi rasa sakit agar batuk dan bernafas dalam tidak terhalangi. Pada fase akut tidak dilakukan pembebatan dengan plester karena dapat mengganggu mekanisme pernafasan o) . FLAIL CHEST Terjadi oleh adanya tiga atau lebih fraktur iga multipel, dapat tanpa atau dengan fraktur sternum (9) , sehingga menyebabkan : a) segmen yang mengambang akan bergerak ke dalam selama fase inspirasi dan bergerak ke luar selama fase ekspirasi, sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi; keadaan ini disebut dengan respirasi pendelluft. b) pergerakan ke dalam dari segmen yang mengambang akan menerkan paru-paru di bawahnya sehingga mengganggu pengembangan paru ipsilateral. c) mediastinum terdorong ke arah kontralateral selama fase inspirasi oleh adanya peningkatan tekanan negatif hemitoraks kontralateral selama fase ini, sehingga pengembangan paru kontralateral juga akan terganggu. d) pergerakan mediastinum di alas akan mengganggu venous return jantung.

36 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemotoraks, pneutoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan member-at keadaan pendcrita ( ' 9) . Penatalaksanaan Segera dilakukan traksi pada bagian dinding dada yang mengambang, bila keadaan penderita stabil dapat dilakukan stabilisasi dinding dada secara operatif. EMFISEMA SUBKUTIS Dapat disebabkan olch adanya cedera saluran pernafasan atau segmen fraktur iga yang merobek paru-paru dan dapat disertai dcngan adanya pneutoraks maupun pneutoraks desakan o ) Penatalaksanaan Emfisema subkutis yang tcrbatas di daerah toraks tidak memerlukan tindakan karena dapat diabsorbsi dalam 2 hingga 4 minggu; bila terdapat penumotoraks dilakukan pemasangan water seal drainage. Emfisema subkutis yang luas harus dicurigai disebabkan cedera dari saluran pernafasan yang mungkin memerlukan tindakan torakotomi untuk memperbaikinya. PNEUMOTORAKS Terdiri dari : a. pneumotoraks tertutup b. pneumotoraks terbuka PNEUMOTORAKS TERTUTUP Dapat terjadi karena fragmen fraktur iga merobek paru, namun dapat pula terjadi tanpa adanya fraktur iga, dimana truma terjadi pada fase inspirasi dengan glotis tertutup dan daya tahan alveoli terlampaui. Pneumotoraks tertutup dengan adanya mekanisme pentil akan menyebabkan udara terperangkap pada rongga pleura sehingga tekanan rongga pleura akan lebih besar dari udara atmosfir dan disebut sebagai pneumotoraks desakan (tension pneumothorax). Pneumotoraks desakan dapat menyebabkan pendorongan mediastinum ke arah kontralateral yang dapat mengakibatkan terjepitnya venacava sehingga dapat mengganggu venous return jantung. Penatalaksanaan Pemasangan water seal drainage pada penderita penumotoraks bergantung kepada :~• 10, 11) a) beratnya gangguan pernafasan b) disertai pneumotoraks desakan c) pneumotoraks bilateral d) disertai hemotoraks e) selama observasi pneumotoraks bertambah luas f) bila diperlukan pemakaian ventilator g) bila diperlukan anestesi umum PNEUMOTORAKS TERBUKA Pneumotoraks terbuka dapat disebabkan oleh trauma

tumpul maupun trauma tajam, rongga pleura mempunyai tekanan yang sama dengan udara atmosfir dan dari lubang luka pada dinding dada akan terdengar suara hisapan udara selama fase inspirasi yang disebut sebagai sucking chest wound. Pada keadaan ini jugs akan terdapat respirasi yang pendellufa5), karena selama fase inspirasi paru ipsilateral akan kun1 cup dan selama fase ekspirasi paru akan sedikit mengembang, hal ini menandakan bahwa selama fase ekspirasi udara dari paru kontralateral masuk ke paru ipsilateral. '

Penatalaksanaan

Luka dinding dada segera dijahit dan dipasang water seal :drainage.

HEMOTORAKS Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering dijumpai pada penderita 'trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks didapati adanya darah pads rongga pleura". Sumber perdarahan dapat berasal dari adanya cedera pada paru-paru, robeknya arteri mamaria interna maupun pembuluh darah besar lainnya seperti aorta dan bena kava. Bila darah pada rongga pleura mencapai 1500 ml atau lebih -akan menyebabkan kompresi pads paru ipsilateral dan dapat mengakibatkan hipoksiao.5) . Perdarahan masif pada hemotoraks yang disertai hipoksia karena hipoventilasi dapat mempercepat kematian penderita. Penatalaksanaan

Segera dipasang water seal drainage untuk mengukur jumlah darah mula-mula dan perdarahan setiap jam. Indikasi torakotomi pada hemotoraks adalah bila perdarahan mula-mula lebih dari 1500 ml atau perdarahan lebih dari 3 - 5 ml/ kg BB/jam selama 4 jam berturut-turut pada masa observasi( 5 8 ). TRAUMATIC WET LUNG Burford dan Burbank yang memperkenalkan istilah ini di tahun 1944 0> ; yaitu terjadinya kelainan pada paru-paru akibat trauma dinding dada dan paru-paru. Kelainan yang terjadi adalah bertambahnya cairan intersisial dan intraalveolar paru; transudasi alveolar ini merupakan akibat dari anoksia. Penulis lain menyebutkan sebagai Dan Nang lung, white lung syndrome, kontusio pare ).

Kemungkinan kejadian ruptura bronkus utama meningkat pada trauma tumpul toraks yang disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan percabangan bronkus". Pneumotoraks, pneumomediastinum, emfisema subkutan dan hemoptisis dapat merupakan gejala dari ruptura ini. Penatalaksanaan

Dilakukan pemasangan water seal drainage pads pneumotoraksnya, bronkoskopi untuk membantu diangosis dan mencari lokasi rupturanya. Kemudian dilakukan torakotomi untuk reparasi kerusakan saluran trakeobronkial. RUPTUR ESOFAGUS Lebih sering terjadi pads trauma tajam dibanding trauma tumpul toraks0) , dan lokasi ruptura oleh karena trauma tumpul paling sering pada 1/3 bagian bawah esofagus o ). Akibat ruptura esofagus akan terjadi kontaminasi rongga mediastinum oleh cairan saluran pencernaan bagian atas sehingga terjadi mediastinitis yang akan memperburuk keadaan penderitanya. Pada foto toraks akan terlihat adanya pneumomediastinum dan hidrotoraks, yang paling sering adalah hidrotoraks kiri o8 . Penatalaksanaan Pemeriksaan foto toraks dengan bubur barium atau dengan mempergunakan esofagoskopi dapat mengetahui lokasi dari ruptura esofagus ini, dan dilakukan torakotomi untuk reparasi operatif. TRUMA JANTUNG Kontusio miokardium terdapat path 20% penderita dengan trauma toraks yang berato), trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunirya suara jantung"' 15). Penatalaksanaan

Segera dilakukan perikardiosintesis untuk mengurangi tamponade dan diikuti torakotomi untuk mencari serta menghentikan sumber perdarahan. Trauma tajam daerah prekordial, parastemal kiri dan kanan harus dicurigai mengenai jantung dan segera dilakukan eksplorasi torakotomi sebelum keadaan penderita memburuk o).

Penatalaksanaan

Membersihkan jalan nafas dengan aspirasi maupun bronkoskopi, mempertahankan mekanisme batuk, blok interkostal bila terdapat fraktur iga agar batuk tidak terhalang. Brewer dan kasan-kawan menganjurkan dilakukan IPPB pada penderita traumatic wet lung").

RUPTUR TRAKEA DAN BRONKUS UTAMA Ruptur trakea dan bronkus utama dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun truma tumpul. Pada trauma tumpul ruptur terjadi pada saat glotis tertutup dan terdapat peningkatan yang hebat dan mendadak dari tekanan saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobronkial ini.

RUPTUR AORTA Ruptur aorta sering menyebabkan kematian penderitanya, dan lokasi ruptura tersering adalah di bagian proksimal arteri subklavia kiri dekat ligamentum arteriosum° ). Hanya kira-kira 15% dari penderita trauma toraks dengan ruptura aorta ini dapat mencapai rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan( 8 ). Kecurigaan adanya ruptur aorta dari foto toraks bila didapatio. 16) a) mediastinum yang melebar b) fraktur iga 1 dan 2 c) trakea terdorong ke kanan d) gambaran aorta kabur Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 37

e) penekanan bronkus utama kiri f) gambaran pipa lambung (NGT) pada esofagus yang terdorong ke kanan. Penatalaksanaan Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan aortografi dan ekokardiorgrafi, reparasi operatif dilakukan dengan torakotomi dan dengan bantuan cardiopulmonaru bypass.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

HERNIA DIAFRAGMATIKA TRAUMATIKA Kejadian hernia diafragmatika traumatika kiri 9 kalai lebih banyak dibanding hernia diafragmatika kanan° el , hal ini terjadi karena adanya hepar di sebelah kanan. De Maeseneer M dan kawan-kawan melaporkan hernia diafrabmatika traumatika pada diafragma kanan dengan hemisasi dari lobus kanan hepar pada penderita dengan trauma tumupul abdomen° 11 . Organ abdomen yang dapat mengalami herniasi antara lain gaster, omentum, usus halus, kolon, limpa'dan hepar. Juga dapat terjadi hernia inkarserata maupun strangulata dari saluran cerna yang mengalami herniasi ke rongga toraks ini. Hernia diafragmatika akan menyebabkan gangguan kardiopulmoner karena terjadi penekanan paru dan terdorongnya mediastinum ke arah kontralateral. Dan pemeriksaan fisik didapati gerakan pernafasan yang tertinggal, perkusi pekak, fremitus menghilang, suara pernafasan menghilang dan mungkin terdengat bising usus pada hemitoraks yang sakit. Pada foto toraks dengan pemakaian pipa lambung Levin dan bubur barium akan terlihat pipa lambung dan bubur barium ini pada hemitoraks yang sakit. Penatalaksanaan Dibutuhkan tindakan operasi segera untuk> reparasi robekan 1.6, diafragma dengan insisi torako-abdomina 1° '

6.

7. 8. 9. 10.

1 I. 12. 13.

14. 15. 16.

17.

Hiyama DT. Thoracic trauma. In : The Mont Reid Surgical Handbook, Hiyama DT (Ed), 2nd ed, Boston : Mosby Year Book, 143, 1990. SchulpenTMJ, Doesburg Wil, Lemmens WAJ, Gerritsen SM. Epidemiology and Prognostic Sign of Chest Injury Patient, Injury, 1986; 17 : 305. Glinz W. Priorities in Diagnosis and Treatment of Blunt Chest Injuries, Injury, 1986; 17 : 318. Mattox KL, Allen MK. Penetrating Wounds of The Torax, Injury, 1986; 17 : 313. Brown AH, Guzman F. Cardiothoracic Trauma. In : Cardiothoracic Handbook, London; Butterworth & Co 127, 1988. Trinkle JK, Grover FL. Blunt Trauma to the Chest Wall. In : International Trend in General Thoracic Surgery, Philadelphia : WB Saunders Company, 1987; 231:2. Borne J. Management of Thoracic Emergencies. 3rd ed, New York : Appleton-Century-Croft, 1980. Locke T. Smith G. Thoracic Trauma. In : Cardiothoracic Surgery, The Medicine Group Ltd, 1650, 1989. Adkin PC, Corso PJ, Hill JL. Chest Wall Trauma. In : Thorracic Trauma, Daughtry DWC (Ed). Boston : Little, Brown and Company, 1980, 39. Deslauriers J. Piraux M. Diagnosis and Management of Spontaneous Pneumothorax in The Young Adult : Rule of Parietal Pleurectomy. In : International Trends in General Thoracic Surgery, The Philadephia; CV Mosby 6, 119, 1990. Rivarola CH. Tension Penumothorax. In : Intemational Trends in General Thoracic Surgery, Philadelphia; CV Mosby Co, 6, 153, 1990. ' Clarke DB, Thoracic Injuries. In : Hamilton Bailey s Emergency Surgery, Duddley HAF (Ed), 11th ed, Bristol; John Wright & Sons Lth, 225, 1986. Carr RE. Injuries to The Pulmonary Parenchyma and Basculature in Thoracic Trauma. Daughtry DWC (Ed), Boston; Little, Brown and Company, 53, 1980. Deslauriers J. Bronchial Rupture. In : International Trends in General Thoracic Surgery, Philadelphia; WB Saunders Co, 246, 1987. Tavares S et al. Management of Penetrating Cardiac Trauma : The Role of Emergency Room Thoracotomy. Ann Thorac Surg. 1984; 39. Langlois J, De Bnix JL, Binet JP, Khoury W. Traumatic Aortic Rupture. In : International Trends in General Thoracic Surgery, Philadelphia; WB. Saunders Co 273, 1987. De Maeseneer M, Vandendriessche M, Scohoofs E, De Hert S. Right Diaphragmatic Rupture Following Blunt Abdominal In jury -a Case Report, Injury 1985; 16 : 389.

It is the unforeseen that always happens

38

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Update I (Pediatri) Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Syahril Pasaribu Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Demam berdarah dengue (Dengue hemorrhagic fever) adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh 4 (empat) serotipe virus dengue dan secara klinis ditandai dengan adanya manifestasi perdarahan dan dapat berkembang men jadi renjatan (Dengue Shock Syndrome) yang berakibat fatal. Trombositopeni yang bersamaan dengan hemokonsentrasi merupakan gambaran yang selalu ditemukan. Pertama sekali ditemukan di Filipina pada tahun 1953, Thailand (1958), Malaysia, Singapura dan Viet Nam pada tahun 1953 - 1964°. Di Indonesia, pertama sekali dijump i di Surabaya pada tahun 1968 dan kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain( 2) . Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kotakota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan( 3) . Penyakit ini umumnya mengenai anak yang berumur 1-15 tahun, akan tetapi belakangan ini terlihat bahwa golongan umur > 15 tahun semakin banyak yang menderita Demam Berdarah Dengue dimana proporsinya berubah dari 4.3% pada tahun 1968 menjadi 26.2% pada tahun 1988(4). Serotipe virus Dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan bEN-4) secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Di Kotamadya Medan berdasarkan isolasi virus pada tahun 1975-1988 ditemukan DEN-2 dan DEN-3( 4 ). Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa DEN-3 merupakan serotipe virus yang dominan dan yang menyebabkan kasus yang berat. Penyakit ini ditularkan melalui gigikan nyamuk Aedes aegypti, A. albopictus, A. polynesiensis dan beberapa spesies A. scuttellaris a) , akan tetapi di Indonesia penularan adalah melalui A. aegypti dan A. albopictus(5) .

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Fenomena patofisiologi utama yang menentukan beratnya penyakit dan membedakan Demam berdarah dengue dengan Dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatese hemoragik. Mcningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan, menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstravaskular melalui kapiler yang rusak dengan akibat menurunnya volume plasma dan meningginya nilai hematokrit. Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis Demam berdarah dengue, hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian menganut the secondary heterologous infection hypothesis yang mengatakan bahwa demam berdarah dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus yang berbeda dalam jangka waktu tertentu yang diperkirakan 6 bulan sampai 5 tahun (2) . Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi sekundero) . (Gambar 1). Pada penderita dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30% dan berlangsung 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksi jaringan, asidosis metabolik dan kematian (2) . Sebab lain dari kematian adalah perdarahan saiuran cerna yang hebat, yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi. Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar penderita Demam Berdarah Dengue. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan. Kemudian jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tcrcapai sampai hari ke-10 sejak timbulnya Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

39

penyakit. Kelainan sistim koagulasi juga mempunyai peranan sebagai penyebab perdarahan pada penderita Demam Berdarah Dengue. Beberapa faktor koagulasi menurun, termasuk faktor II, V, VII, IX, XII dan Fibrinogen. Perubahan faktor koagulasi ini antara lain disebabkan oleh kerusakan hepar yang fungsinya terganggu karena aktivasi sistim koagulasi. Pembekuan intra-vaskular menyeluruh (PIM/DIC) secara potensial dapat juga terjadi pada penderita Demam Berdarah Dengue dengan atau tanpa renjatan. Renjatan pada PIM akan saling mempangaruhi, sehingga penyakit akan memasuki renjatan yang irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organorgan vital dan berakhir dengan kematian. Diagnosis PIM ditegakkan atas dasar : 1. Adanya penyakit yang mendasari 2. Klinis adanya perdarahan spontan 3. Laboratorium DIAGNOSIS Diagnosis Demam berdarah dengue dan !criteria beratnya penyakit didasarkan pada patokan WHO (1975). Diagnosis klinis berdasarkan adanya : 1) Demam tinggi, mendadak, berlangsung 2 – 7 hari, kemudian turun dengan cepat. 2) Manifestasi perdarahan dapat berupa : - Uji tourniquet positip - Petekhia, purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva - Epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena dan hematuri. Manifestasi perdarahan seperti tersebut di atas tidak semuanya harus muncul pada seorang penderita. Uji tourniquet positip 40

Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sebagai manifestasi perdarahan teringan dapat dinilai sebagai presumptive test olch karma uji tourniquet positip pada hari-hari pertama demam terdapat pada sebagian bcsar kasus. Namun uji tourniquet positip dapat juga terjadi pada penyakit lain seperti infeksi virus (Campak, Dcmam chikunguya) dan beberapa infeksi bakteri seperti Demam tifoid dan Sepsis. 6) Pembesaran hati (Hcpatomcgali), umumnya dapat diketahui pada permulaan penyakit dan nyeri tekan string kali ditemukan tanpa adanya ikterus. Kewaspadaan perlu ditingkatkan pada anak yang hatinya semula tidak teraba pada saat masuk ke rumah sakit, kemudian selama rawatan hatinya membesar dan atau pada anak yang selama rawatan menunjukkan semakin besarnya hari dan kenyal, karena keadaan ini menunjukkan ke arah terjadinya renjatan. 7) Renjatan pada anak mempunyai manifestasi berupa kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung, sedangkan kuku menjadi biru dan sianosis sekitar mulut° l. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah, lambat laun kesadarannya menurun menjadi apati, sopor dan koma (2) . Tekanan nadi menyempit menjadi 20 mmHg atau kurang" 1 dan oligouria sampai anurie l . Hal ini biasanya terjadi pada scat atau setelah demam turun, yaitu diantara hari ke-3 dan ke-7 sakit. Lama renjatan pendek, penderita dapat meninggal dalam waktu 12 – 24 jam atau menyembuh. Penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat akan menimbulkan komplikasi asidosis metabolik, hipoksia jaringan, perdarahan gastro-intestinal yang hebat dengan prgnosis buruk. Penderita menyembuh dalam waktu 2 – 3 hari, dan selera makan yang bertambah merupakan petunjuk baiknya prognosis(23) . Gejala klinis lain yang dapat menyertai penderita Demam berdarah dengue adalah anoreksia, lemah, mual, muntah, diare atau konstipasi, kejang-kejang dan sakit perut. Dulu keluhan sakit perut yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan gastro-intestinal dan renjatan. Akan tetapi belakangan ini terlihat bahwa nyeri perut ini string dijumpai tanpa diikuti oleh perdarahan gastro-intestina1 (89 ). Diagnosis laboratorium yang menyokoag 1) Trombositopeni di bawah 100.000/ul biasanya ditemukan antara hari ke-3 sampai ke-7 sakit, baik pada penderita Demam berdarah dengue yang disertai dengan renjatan atau tidak. 2) Hemokonsentrasi, berupapeningkatan nilai hematokrit yang merupakan indikator yang peka akan terjadinya renjatan, sehingga perlu diulang secara periodik; kenaikan nilai hematokrit yang lebih 20%, menunjang diagnosis Dcmam berdarah dengue. Contoh : Nilai Ht nertama = 30% dan kedua = 389;) Kenaikan nilai

Derajat beratnya penyakit : 1) Derajatl: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet positip. 2) Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain. 3) Derajat 111: Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg) atau

potensi (tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau urang) disertai dengan kulit yang dingin, lembab dan penderita njadi gelisah. Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi tidak dapat diraba tekanan darah tidak terukur. Diagnosis Demam Berdarah Dengue harus didasarkan atas gejala demam disertai satu atau lebih gejala klinik lainnya, dan tambah dengan adanya trombositopeni serta hemokonsentrasi. edangkan pada penderita Demam Berdarah Dengue dengan njatan, diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya renjatan, *lemam atau riwayat demam, trombositopeni dan hemokon). $entrasi° Kewaspadaan menegakkan diagnosis dini penyakit ini sangat penting oleh karena : 1) Satu dari tiga penderita Demam Berdarah Dengue akan jatuh ke dalam renjatan. 2) Angka kematian yang tinggi sekitar 30%, diakibatkan renjatmerupakan gambaran yang menakutkan dan memerlukan penatalaksanaan secara khusus. 3) Penderita yang jatuh ke dalam renjatan pada waktu sedang dirawat, mempunyai prognosis yang lebih baik. ,2.3.7

PENGOBATAN I. Demam berdarah dengue tanpa renjatan : 1) Pemberian cairan, banyak minum, 1.5 - 2.0 liter/24 jam (air teh, gula, sirop, susu dan lain-lain), dapat pula diberikan larutan garam gula (oralit). Indikasi pemberian cairan intra vena pads penderita tanpa renjatan ialah : a) Apabila penderita terus menerus muntah, sehingga tidak mungkin pemberian cairan per oral. b) Hematokrit bertendensi terus meningkat pada pemeriksaan serial. Cairan yang diberikan adalah Ringer laktat dan Dextrose 5% dalam 0.45% Saline. Jumlah cairan yang diberikan, disesuaikan dengan kebutuhan cairan pada penderita gastroenteritis dengan derajat dehidrasi sedang. c) Adanya perdarahan spontan, kesadaran menurun, kejang, pre-syok. 2) Obat-obatan : a) Anti piretika : Golongan Acetaminophen 10 mg/kgBB/kali. b) Anti konvulsan : Apabila timbul kejang, diatasi dengan pemberian : - Diazepam 0.5 mg/kgBB/kali/IV dan dapat diulang bila perlu. Phenobarbital 75 mg bila usia >1 tahun dan 50 mg pada umur <1 tahun secara intra muskular. Bila dalam waktu 15 menit kejang tidak berhenti, dapat diulang dengan dosis 3 mg/kgBB/IM atau pada anak >1 tahun 50 mg dan <1 tahun 30 mg, namun harus diperhatikan apakah ada depresi pernafasan. 3) Pemantauan - keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, pernafasan dan monitoring Hemoglobin, Hematokrit dan trombosit(3 ). II. Demam Berdarah Dengue dengan renjatan (DSS) : 1) Penggantiancairan; -PadaDBDderajat IVdiberikan Ringer

laktat intravena secara diguyur dan kalau perlu dengan semprit diberikan sebanyak 100-200 ml. Sedangkan pads DBD derajat III diberikan Ringer Laktat 20 ml/kgBB/jam secara intravena. Apabila renjatan telah teratasi, nadi sudah jelas teraba, maka kecepatan tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam. Oleh karena kebocoran plasma dapat berlangsung 24 - 48 jam, maka pemberian cairan intravena dipertahankan walaupun tandatanda vital telah menunjukkan perbaikan yang nyata, disertai dengan pemeriksaan hematokrit secara periodik. Kecepatan cairan selanjutnya disesuaikan dengan gejala klinis dan nilai hematokrit. Pada renjatan berat, atau renjatan berulang segera dipasang kateter vena sentralis (CVP) untuk mencegah pemberian cairan yang berlebihan. CVP dipertahankan antara 5 - 8 cm air. Bila CVP <5 cm air, maka tetesan cairan Ringer laktat dipercepat. Di samping itu perlu fdicari penyebab renjatan yang lain dan penderita diberikan plasma seperti plasma biasa, plasma segar, plasma segar yang dibekukan, plasma kaya trombosit atau cairan pengganti plasma seperti Haemacel, Subtosan, atau Dextran dengan kecepatan 10 - 20 ml/kgBB/jam. Pemberian cairan ini kita pertahankan sampai ditemukan perbaikan tanda-tanda vital dan penurunan nilai hematokrit. Cairan intravena harus dihentikan apabila nilai hematokrit turun <40 dan nafsu makan membaik. Adanya urine menunjukkan baiknya sirkulasi cairan. Secara umum tidak diperlukan lagi pemberian cairan 48 jam setelah renjatan teratasi. Indikasi pemberian transfusi darah ialah penderita dengan perdarahan gastro-intestinal hebat, yang dapat diduga bila nilai hematokrit dan hemoglobin menurun, sedangkan perdarahannya sendiri tidak terlihat. 2) Obat-obatan : a) Antibiotika; Ampisillin tunggal 100-200 mg/kgBB/hari atau dikombinasi dengan Gentamisin 5 mg/kgBB/hari. Antibiotika lain diberikan atas dasar pertimbangan klinis dan basil tes kepekaan ' . b) Kortikosteroid masih kontroversial, akan tetapi dapat diberikan pada DBD dengan ensefalopati untuk mengurangi edema otak, meninggikan ambang kejang dan diharapkan dapat mencegah pulmonary leakage, mempunyai efek inotropik positip terhadap jantung dan adanya vasodilatasi. Jenis obat yang dapat diberikan adalah : Deksametason 1 mg/kgBB dilanjutkan dengan 0.2 mg/kgBB/6 jam, atau Hidrokortison 25-50 mg/kgBB/hari( ). c) Dypiridamole (Persantin®); merupakan zat anti agregasi in vitro, in vivo merupakan zat antitrombotik, yaitu dengan cara menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) dalam trombosit. Dosisnya 2-3 mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis ' . d) Oksigen untuk mencegah hipoksia dan terjadinya oksidasi yang tidak lengkap, yang mengakibatkan lakto-asidosis. Pemberian melalui masker 5 - 8 liter/menit, atau melalui kateter sampai di nano-faring 3 - 5 liter/menit° . e) Koreksi asam basa dengan bikarbonas natrikus. Cara pemberian adalah : 0.3 X Berat Badan X Defisit Basa. Tetapi kalau fasilitas pemeriksaan analisa gas darah tidak ada, dan penderita menunjukkan pernafasan Kussmaull, Bikarbonas natrikus dibec >

I.3

r

>

3 7>



Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 41

rikan dengan dosis 1–2 mEq/kgBB, diencerkan dalam jumlah yang sama banyak dengan Dektrose 5%, disuntikkan secara perlahan-lahan°). f) Penanggulangan Over Loading; pada sebagian besar kasus, pemberian cairan yang banyak dapat menimbulkan over loading yang dapat terlihat dengan adanya edema palpebra dan tetap tingginyanilai CVP. Pada keadaan tersebut diberikan Dopamine dosis rendah yaitu 1.5 – 10 mcg/kgBB/menit. Dengan demikian diharapkan penurunan after load, terjadinya vasodilatasi pembuluh darah ginjal, di camping efek inotropik positip pada jantung. Selain itu dapat diberikan diuretika berupa Furesemid (LasixO ), dosis 1 – 4 mg/kgBB/IV 1–2 kali/hari. Bila perlu dapat dikombinasikan dengan Cedilanid® 0.03 mg/kgBB/hari dalam 3 – 4 dosis('). g) Sedatif; yang dianjurkan adalah Chloral hidrat oral atau rektal dengan dosis 12.5 – 50 mg/kgBB (tidak lebih 1 gram) dosis tunggalr' ) . Kami di bagian IKA FK-USU memakai Diazepam pada penderita DBD yang disertai dengan kejang, dan mendapatkan hasil yang baik. h) Heparin; pada penderita dengan prolonged shock, PIM diperkirakan merupakan penyebab utama perdarahan hebat (khususnya perdarahan gastrointestinal). Hal ini dibuktikan dengan kadar trombosit dan fibrinogen yang rendah disertai peninggian kadar FDP dan kelainan hemostatik. Dalam keadaan ini pemberian heparin dapat dipertimbangkan dan dapat diberi dengan dosis 0.5–1 ml/kgBB setiap 4 jam~ 3). 3) Pemantauan Pada semua penderita Demam Berdarah Dengue berat secara rutin dipantau frekuensi jantung dan nafas, gambaran EKG yang dilengkapi dengan sistem alarm. Pemantauan lain secara bed-side adalah pengukuran tekanan darah, CVP dan imbang cairan. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan pada penderita Demam berdarah dengue berat adalah : - Foto toraks, untuk melihat efusi pleura atau perikardial. Pemeriksaan elektrolit. Evaluasi kadar Hemoglobin, nilai hematokrit, trombosit, waktu perdarahan dan pembekuan, fibrinogen semi kuantitatip. Bila mungkin, diperiksa pula studi koagulasi, terutama plasma prothrombine time (PPT) dan plasma thromboplastin time with koalin (PTTK) untuk mendeteksi PIM/DUC. Analisis gas darah. – Pemberian nutrisi yang adekuat. Umumnya penderita Demam berdarah dengue disertai perdarahan gastro-intestinal, sehingga perlu diberikan nutrisi parenteral total. – Pemberian cairan, jenis dan jumlahnya. Frekuensi dan 2.3. ) ' . keluaran kencing perlu dicatat( PERA'WATAN 1) Indikasi rawat nginap : DBD derajat II, III dan IV. DBD derajat I dengan hiperpireksia, kejang, intake tidak cukup, serta kecenderungan kenaikan hematokrit. 2) Hal-hal yang perlu diperhatikan : a) Tempat/kamar perawatan diusahakan terpisah dengan 42

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

penderita penyakit lain. Seyogyanya dalam kamar yang bebas nyam uk. b) Hindarkan dari kemungkinan terjadinya dekubitus dengan menyelang-nyeling posisi tidur. c) Kebersihan perorangan penting diperhatikan, terutama kebersihan kulit dan mulut penderita. PELAPORAN Setiap penderita tersangka Demam Berdarah Dengue perlu segera dilaporkan ke Dinas Kesehatan Dati II setempat, untuk diambil tindakan pemberantasan vektor di rumah penderita dan sekitarnya guna mencegah penularan selanjutnya. Pelaporan resmi dilaksanakan dengan mengirim formulir pelaporan spesimen Demam Berdarah Dengue°. LABORATORIUM 1) Pemeriksaan trombosit. 2) Pemeriksaan hematokrit; nilai normal untuk anak adalah 33 – 38 vol%. 3a) Pemeriksaan serologi dengan tes HI (Hemagglutinasi Inhibisi) yakni untuk mengetahui adanya peninggian titer antibodi. Untuk ini dibutuhkan 2 spesimen pada masa akut dan konvalesen. Interpretasi (kriteria WHO) tes HI : 1) Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan naik 4X atau lebih pada masa konvalesensi, namun tidak akan melebihi 1:2560. 2) Pada infeksi sekunder, bukti adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai dengan titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa konvalesensi, titer bernilai sama atau lebih besar dari 1:2560 atau apabila titer antibodi akut sama atau lebih besar dari 1:20 dan titer akan naik 4X atau lebih pada masa konvalesensi. 3) Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang sama atau lebih besar dari 1:1280 pada masa akut, dalam hal ini diperlukan kenaikan titer IX atau lebih pada masa konU,2,3,7) valesensi Tabel.

Interpretasi tes HI Titer Antibodi

Akut < : 20

< : 20 > : 20 > : 1280

Konvalesensi

> 4x > 4x > 4x

< 1:2560 > 2560 tetap atau naik

Interpretasi

Infeksi primer Infeksi sekunder Infeksi sekunder Infeksi sekunder (baru terjadi)

3b) Pemeriksaan serologi dengan Dengue Blot Merupakan modifikasi dari ELIS A dan hanya membutuhkan waktu 3 jam untuk mengetahui hasilnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sekali saja pada fase akut atau dua kali bersamaan dengan fase konvalesen. Hasil pemeriksaan dua kali adalah lebih

baik dari pada satu kali. Dengue Blot mempunyai sensitivitas 80.9% dan spesifisitas 97.2%' 0) . Penelitian yang dilakukan oleh Faisal Yatim Lubis(") dari LitBangKes menunjukkan bahwa sensitivitas untuk 1 spesimen 48—63% dan untuk 1 pasang spesimen 21-51%. Sedangkan spesifisitas untuk 1 spesimen 13—93% dan untuk 2 spesimen 45—98%. Pemeriksaan Dengue Blot ini sangat bermanfaat untuk konfirmasi KLB/Wabah DBD, karena praktis dan hasilnya cepat diketahui. Hasil pemeriksaan Dengue Blot (baik yang positip atau negatip) hanya bersifat presumtif (dugaan kuat) dan bukan definitif (pasti). KEPUSTAKAAN 1. World Health Organization. Dengue Hemorrhagic Fever; Diagnosis, Treatment and Control: 1—58. 1986. 2. Sumanno. Dengue Hemorrhagic Fever (gambaran klinis, aspek serologic dan virologis). Simposium Kedaruratan pada Anak: 83—103. Denpasar 19 Maret 1983. 3. Departemen Kesehatan RI. Demam Berdarah Dengue, Diagnosis dan Pengelolaan penderita. Pentaloka DHF : 1—25 Cipayung 14—17 Nopember 1984.

4.

SurosoT. Demam Berdarah Dengue. Di dalam Konsep Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto, 14—16 Maret 1991. 5. Palada P. Demam Berdarah Dengue dalam Simposium Demam Berdarah: 1—4. Ujung Pandang 9 April 1988. 6. Suvatte V. Dengue Hemorrhagic Fever. Hematological abnormalities and pathogenesis. In Ghai O.P (ed) : New developments in pediatric research; I: 447 Interprint, New Delhi, India 1977. 7. Aunojo D. Pengelolaan Demam Berdarah Dengue Berat. Naskah Lengkap Simposium Pengelolaan Kegawatan pada Anak: 54—64. Semarang 5 April 1986. 8. Sri Rezeki Harun. Demam Berdarah Denguepada Anak. MDK 1991; 10(8): 14—19. 9. Pasaribu S, Lubis CP. Demam Berdarah Dengue di Bangsal Anak Rumah Sakit Dr. Pimgadi Medan. MKN 1990; Edisi Khusus (4): 235—240. 10. Lai OF, Chan YC, Ngoh BL, Tan HC. Evaluation of a Commercial Enzyme Immunoassay (Dengue Blot) for the Diagnosis of Dengue Virus Infection. Diagnostic Biotechnology (Pte) Ltd Singapore. 11. Lubis FY. Hasil Uji Coba Perbandingan Dengue Blot Test dengan H.I Test. Di dalam Konsep Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto, 14—16 Maret 1991. 12. Sumarsono. Demam Berdarah Dengue pada Dewasa. Di dalam Konsep Laporan Pertemuan POKJA Demam Berdarah Dengue (DBD) Ciloto, 14—16 Maret 1991.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

43

Mekanisme Diare Infektisius Akut Atan Baas Sinuhaji, A.H. Sutanto

Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRAK Diare Infeksius Akut dapat disebabkan oleh sejumlah virus, bakteri dan parasit. Untuk dapat menimbulkan diare, mekanisme apapun yang digunakan oleh mikroorganisme patogen tersebut, haruslah terjadi gangguan absorpsi/reabsorpsi cairan yang terdapat di lumen usus dan meningkatnya secara berlebihan sekresi kelenjar-kelenjar saluran cerna atau kombinasi keduanya. Karena itu tanpa memandang penyebab diare, umumnya akibat yang terjadi adalah oleh karena kehilangan cairan, elektrolit, basa dan makanan melalui tinja penderita. PENDAHULUAN Diare merupakan salah satu manifestasi gangguan fungsi saluran cerna. Pada keadaan diare, jumlah air dalam tinja akan meningkat, demikian juga volume tinja. Juga akan dijumpai perubahan tinja baik dalam konsistensi, warna dan bau°. Definisi yang tepat dari diare masih sulit dikemukakan. Umumnya frekwensi pengeluaran, bentuk dan konsistensi tinja tergantung terutama pada diet yang bervariasi antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Pada umumnya diare didefinisikan sebagai pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi sekurang-kurangnya 3 kali sehari. Bagaimanapun dalam hal ini, konsistensi lebih diutamakan dibandingkan dengan frekuensi pengeluaran tinja°. Pengeluaran tinja yang sering tetapi dengan konsistensi baik, seperti misalnya pads bayi yang hanya mendapat ASI, tidak dianggap sebagai diare. Kebanyakan tinja penderita diare akan cair (watery diarrhoea), kadang-kadang dijumpai darah/lendir dalam tinja (dysentery form). Umumnya episode diare adalah akut, datang tiba-tiba dan sembuh dalam beberapa hari. Pada keadaan-keadaan tertentu, dapat berlangsung terus sampai berminggu-minggu, keadaan ini disebut dengan persistent diarrhoea".

44

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Pada tulisan ini, pembicaraan selanjutnya akan dibatasi pada diare infeksius akut (diare akut yang disebabkan mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri dan parasit). FUNGSI DAN STRUKTUR SALURAN CERNA Fungsi utama saluran cerna, seperti juga permukaan mukosa saluran-saluran lain yang terdapat pada manusia, adalah sebagai pemisah (interface) antara bahan-bahan yang dimasukkan dari dunia luar dengan milieu interior m . Dalam menjalankan posisinya yang penting tersebut, saluran cerna akan bekerja dan memainkan peranannya sebagai unsur perlindungan (protective role) dengan dua cars yaitu : 1. Sebagai barrier terhadap bahan-bahan patogen (seperti virus, bakteri, parasit, toksin, bahan-bahan allergenik dan lainlain). 2. Menseleksi pemasukan bahan-bahan yang diperlukan tubuh; dengan perkataan lain mengambil dan menyerap cairan/ makanan yang dibutuhkan tubuh untuk berfungsi, bertambah dan mengganti bagian yang rusak. Karaena itu cairan/makanan yang tidak diserap, sel-sel usus yang tua dan rusak, toksin-toksin, bahan-bahan patogen dan materialmaterial lain akan dibuang oleh saluran cerna keluar dari tubuh

dalam bentuk tinja. Makanan dan minuman yang dimakan sering terkontaminasi dengan bahan-bahan patogen, tetapi tubuh akan dilindungi oleh mekanisme pertahanan yang terdapat di saluran cerna. Mekanisme pertahanan tersebut dapat bersifat spesifik (imunologik) dan non-spesifik (non-imunologik)( 3) (Tabel 1). Protein dari makanan yang diserap tetapi tidak menguntungkan tubuh akan diblok oleh mekanisme pertahanan tadi, demikian juga mikroorganisme patogen akan diinaktifasi bahkan dibunuh. Tabel 1.

Komponen barrier usus Mekanisme Non-Imunologik Intraluminal Asam lambung Akt~tas proteolitik Motilitas usus Permukaan mukosa Musin Membrane microvilli Mekanisme Imunologik Gut associated lymphoid tissue Secretory IgA Cell Mediated Immunity

Saluran cerna, mulai dari mulut sampai ke anus, bentuknya tidak lebih sebagai suatu tabung. Sepanjang saluran cerna ini, bermuara sejumlah kelenjar yang akan mensekresikan cairan yang berfungsi untuk pencemaan. Cairan yang disekresikan ini jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan caftan yang berasal dari makanan dan minuman t21 . Di camping itu, struktur usus halus didesain sedemikian rupa, sehingga membentuk permukaan yang luas untuk tempat kontak antara cairan/makanan yang terdapat di lumen usus dengan jaringan di dinding usus, sehingga absorpsi yang maksimal dapat terjadi. Hal ini dimungkinkan karena permukaan usus halus yang menghadap ke lumen, mengandung sejumlah lipatan-lipatan yang ditutupi oleh sel-sel khusus yang disebut enterosit di mana sel ini berfungsi untuk sekresi digesti dan absorpsi. Sel-sel ini umumya singkat, setiap 3-4 hari sekali sel-sel ini akan diganti. Enterosit-enterosit ini ditutupi lagi oleh brush like filament (microvilli), yang selanjutnya akan menambah luas permukaan usus. Ditaksir luas permukaan usus yang sehat sekitar 2000 m2 atau seluas lapangan sepak bola. Karena itu tak mengherankan bila penyerapan makanan paling banyak di usus halus, demikian juga air s` ) . Kolon, selain berfungsi untuk reservoir juga berfungsi dalam penyerapan air. Lebih 90% air yang sampai/terdapat di kolon akan diserap 1") (label 2). Karena itu tinja yang normal hanya mengandung sedikit air, lebih kurang 100-200 ml sehari. Tabel 2.

Jumlah air yang diserap oleh segmen-segmen usus

Segmen usus Jejunum Ileum Colon

Volume cairan dijumpai (I/hart)

Volume cairan dijumpai (I/hart)

Persentase penyerapan (%)

9 4–5 1 –2

4 –5 3–4 0.9 – 1.8

50 75 – 80 90

CARA MIKROORGAMSME MENYEBABKAN MARE Pada keadaan diare akan dijumpai peningkatan volume caftan dalam tin ja m . Hal ini terjadi karena adanya gangguan usus untuk mengabsorpsi/reabsorpsi cairan yang terdapat di lumen usus dan meningkatnya secara berlebih-lebihan sekresi dari kelenjar-kelenjar pencernaan ke lumen usus ataupun kombinasi kedua-duanya. Akibatnya akan terjadi kehilangan cairan, elektrolit dan basa dalam jumlah yang besar melalui tinja, sehingga gejala-gejala dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa akan dijumpai. Berdasarkan keterangan di alas, diare secara garis besar dapat dibagi Was Absorptive diarrhoea dan Secretory diarrhoea°. Sebenarnya pembagian ini tidak begitu tegas karena sering mikroorganisme yang menyebabkan absorptive diarrhoea, juga dapat menyebabkan secretory diarrhoea( o . Untuk dapat menimbulkan diare, bakteri enteropatogen yang tertelan haruslah survive melewati asam lambung, berproliferasi di lumen usus, membentuk kolonisasi pads usus halus/besar, kemudian melekat (adherent) pada enterosit dan mensekresikan enterotoksin. Mikroorganisme ini selanjutnya menginvasi mukosa usus, multiplikasi dalam mukosa diikuti dengan pembentukan sekretagogue dan sitotoksin ta," Secara garis besar bakteri enteropatogen menyebabkan diare dengan 4 cara yaitu tb) : 1) Kolonisasi dan melekatnya bakteri ke permukaan usus, sehingga terjadi destruksi microvilli dan kerusakan enterosit (adherent). 2) Setelah mengadakan kolonisasi, bakteri akan mensekresi enterotoksin yang akan mengikat reseptor spesifik di mukosa usus. Akibatnya terjadi peningkatan mediator intraselluler (adenosine 3-5 cyclic phosphate ataupun guanosine monophosphate) yang akan menyebabkan perubahan transport air dan elektrolit, tanpa adanya perubahan morfologi usus (toxigenic). 3) Bakteri enteropatogen yang menginvasi mukosa usus akan menyebabkan timbulnya radang dan ulkus. Enterosit dihancurkan dalam jumlah yang banyak, pembuluh darah akan ruptur, lekosit rusak. Sehingga timbul/pengeluaran darah dan pus bersama tinja (invasive). 4) Sekresi sitotoksin yang menyebabkan kerusakan mukosa usus (cyroroxic). Berdasarkan hal-hal di atas, maka virulensi bakteri enteropatogen tergantung dari kesanggupan bakteri tersebut melewati asam lambung dan kesanggupan menghasilkan ke-empat mekanisme di atas. Juga hams diingat, bakteri enteropatogen sering menimbulkan diare dengan menggunakan lebih dari satu mekanisme tadi secara simultan tb) (Tabel 3). Salah satu jenis virus enteropatogen yang sering menyebabkan diare adalah Rotavirus. Infeksi Rotavirus ini umumnya mengenai jejunum, tetapi dapatdifus menyebar mengenai seluruh usus halus sehingga menimbulkan diare yang hebat. Virus ini menimbulkan diare dengan cara menginvasi epitel villi sehingga .7.8) terjadi kerusakan sel yang matur" Sel yang matur ini akan diganti oleh sel immatur yang berasal dari proliferasi sel-sel kripta. Sel immatur ini mempunyai kapasitas absorpsi yang Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 45

Tabel 3.

Mekanisme Patogenik dart Bakteri Enteropatogen

Adherent Enteropathogenic E. coli Enterohemorrhagic E. soli

Toxigenic

Invasive

Cytotoxic

Shigella

Shigella

Shigella

Enterotoxigenic E. coli Y. enterocolitica

Salmonella

Aeromonas V. cholera dan non-O' vibrio serogroup

C. jejuni V. parahaemolyticus

Enteropathogenic E. coli Enterohemorrhagic E. coil C. difficile

Y. enterocolitica

kurang dibandingkan dengan sel matur, juga aktifitas disakaridase yang terdapat di sel immatur ini masih kurang sehingga terjadi gangguan pencernaan karbohidrat" 1 . Parasit yang sering menyebabkan diare adalah Giardia lamblia dan Cryptosporidium. Bagaimana sebenarnya kedua parasit enteropatogen ini menyebabkan diare, masih belum jelas; mungkin dengan melibatkan satu atau lebih mekanisme di bawah ini : 1. Bekerja sebagai barier mekanik sehingga mengganggu absorpsi. 2. Kerusakan langsung pada mukosa usus. 3. Pembentukan eksotoksin. 4. Menimbulkan reaksi imunologik. 5. Mengubah pattern yang normal dari motilitas usus. MANFAAT DARI SEGI PRAKTIS Proses yang terjadi pads diare, sebenamya dapat dipandang dari dua aspek. Pertama, secara alamiah, diare merupakan mekanisme pertahanan tubuh. Karena air yang keluar begitu banyak akan bekerja sebagai pembersih usus (cleaning effect). Dengan demikian bahan-bahan patogen (virus, bakteri, parasit, toksin, bahan-bahan allergenik dan lain-lain) akan dikeluarkan dari saluran cerna, sehingga membatasi efek selanjutnya dari bahanbahan tersebut° l . Berdasarkan hal tersebut, pemberian obat-obat spasmolitik harus dihindarkan pads penderita diare karena dapat

46

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

menyebabkan overgrowth bakteri, megakolon toksik, ileus paralitik dan lain-lainlo . Di samping itu diare, apapun penyebabnya, akan menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dari tubuh. Kehilangan tersebut dapat merupakan hal yang serius bahkan mengancam nyawa penderita, bila proses berlan jut menjadi dehidrasi berat, renjatan dan komplikasi lain yang dapat timbul pads diare (seperti asidosis, gangguan keseimbangan elektrolit, gagal ginjal dan lain-lain). Tidak kalah pentingnya adalah kehilangan makanan melalui tinja, sehingga bila diare berlangsung lama, dapat terjadi kurang kalori protein. Mengingat akibat-akibat tadi, maka prioritas utama pengobatan diare adalah rehidrasi secepat mungkin dengan pemberian cairan elektrolit, diikuti dengan pemberian makanan setelah tercapai rehidrasi. Pemeriksaan makroskopis tinja dapat membantu mengidentifikasi kasus yang termasuk invasive diarrhoea. Bila dijumpai darah/pus dalam tinja, kemungkinan menderita shigella dysentry. Bila kelihatan sakit berat, dapat diberikan antimikroba sebagai tambahan pemberian cairan elektrolit. KEPUSTAKAAN 1. WHO/CDD/SER/80.2.Rev.2.1990 : A Manual for the treatment of diarrhoeas. For use by physicians and other senior health worker. 2. Byme WJ. The gastrointestinal tract. In: Behnnan RE, Kliegman R. Nelson Essentials of Pediatrics. Philadelphia: W.B. Saunders Company. 1990; pp. 377-410. 3. Israel EJ, Walher WA. Host defense development in gut and related disorders. Pediatr. Clin. North. Am. 1988; 35: 1—15. 4. Bardhan PK. Pathophysiology of acute infectious watery diarrhoea. International training course on Diarrhoeal disease : Clinical Aspect, Dhaka. 4–14 December 1988. 5. Kerzner B. Pathogenesis of diarrhoea. Epidemiology and management of diarrhoea in children of S.E. Asia. 1st Ross Round Table Asian Edition. Excerpta Medica, Asia Pacific Congress Series No. 34. pp. 65-71, 1984. 6. Cohen MB. Etiology and mechanisms of acute infectious diarrhoea in infants in the United States. J. Pediatr. 1991; 118: S 34-39. 7. Saniel MC. Mechanisms of diarrhoea. Acute Diarrhoeas: their management and prevention. Ministry of Health, the Philippine Pediatric Society and the Kabalitkat ng Pamilyang Pilipino Foundation, Inc. pp. 16-19, 1985. 8. Hamilton JR. The Pathophysiological basis for viral diarrhoea : A Progress Report. J. Pediatr. Gastroenterol. Nutr. 1990; 11: 150-4.

Kendala Penanganan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) H. Ridwan Muchtar Daulay Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), diare dan kurang gizi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak di negara maju dan berkembang, terutama pads usia di bawah 5 tahun. ISPA merupakan penyebab morbiditas utama pads negara maju; tidak demikian keadaannya pada negara berkembang di mana morbiditasnya relatif lebih kecil. Mortalitas yang tinggi pada umumnya akibat ISPA bawah yang berat. Keadaan-keadaan ini merupakan penalar bagi kita agar segera memikirkan dan melaksanakan program pencegahan dan pemberantasan ISPA sesuai dengan usaha WHO pads tahun-tahun terakhir ini. Perumusan masalah seperti definisi, klasifikasi ISPA disertai pengumpulan data, hipotesis dan kesimpulan merupakan kunci utama untuk berhasilnya program ini. Tulisan ini mencoba menguraikan kendala penanganan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pads bayi dan anak. DEFINISI ISPA merupakan penyakit infeksi saluran nafas yang secara anatomi dibedakan atas saluran nafas atas mulai dari hidung sampai dengan taring dan saluran nafas bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli beserta adnexanya, akibat invasi infecting agents yang mengakibatkan reaksi inflamasi saluran nafas yang terlibat. Hingga saat ini telah dikenal lebih dari 300 jenis bakteri dan virus sebagai penyebab ISPA°. Berdasarkan definisi ini diagnosis ISPA ditegakkan dengan pembuktian jenis infecting agent dan adanya inflamasi saluran nafas. Pembuktian ini membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang tidak sederhana sehingga tidak praktis diterapkan pada saat ini di Indonesia dan kadangkala di negara maju. Klinik ISPA merupakan bangkitan tanda dan gejala akut

akibat inflamasi saluran nafas karena adanya invasi infecting agent. Dikatakan bangkitan baru bila tanda dan gejala tersebut terjadi sekurang-kurangnya setelah 48 jam bebas gejala bangkitan akhir dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Definisi praktis sangat didambakan; dengan pemeriksaan klinis sederhana berupa penglihatan, pendengaran dan perabaan, indentifikasi penyakit dapat diterapkan. KLASIFIKASI DAN PATOGENESIS Klasifikasi ISPA dibedakan berdasarkan anatomi, etiologi, berat ringannya ataupun gabungan sesamanya seperti yang diajukan International Classification of Diseases (ICD). Klasifikasi ICD-revisi 9 berdasarkan anatomi, etiologi dan fungsi hanya dapat diterapkan tenaga kesehatan formal seperti dokter Puskesmas dan Rumah Sakit yang mempunyai sarana pendukung, tidak sesuai dengan usaha penanggulangan ISPA di Indonesia saat ini. WHO (1985) mengajukan konsep perubahan klasifikasi ISPA berupa ICD-revisi 10 yang lebih menggambarkan perkembangan penanggulangan ISPA di Indonesia saat ini. Klasifikasi berdasarkan etiologi sangat ideal. Dengan mengetahui etiologinya dapat diketahui pola kuman atau virus penyebab serta pola mikrobiologi untuk terlaksananya usaha pencegahan dan penanggulangan yang akurat sehingga terwujudnya rasionalisasi penggunaan antibiotika di satu pihak dan merupakan kendala bagi para ahli terutama di Indonesia di pihak lain. Berdasarkan klasifikasi anatomis dibedakan alas rhinitis, faringitis, tonsilitis, laringitis, trakheitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia, abses pulmonum dan empiema. Klasifikasi sederhana berupa tanda dan gejala ISPA yang mudah dikenal untuk mengetahui tindakan selanjutnya apakah

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

47

harus diberi antibiotika, dapat dirawat di rumah atau harus dirujuk ke Rumah Sakit. Departemen Kesehatan Republik Indonesia menggunakan pedoman klasifikasi ISPA untuk petugas kesehatan sesuai dengan klasifikasi sederhana WHO berupa ISPA ringan, sedang dan berat( 2). Pada dasamya terjadinya ISPA bawah merupakan komplikasi ISPA atas kecuali pads bayi baru lahir 3 .

bayi berusia 0-1 tahun dan 35,0% pads anak 1-4 tahun o) . Penelitian BIKA FKUSU Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan oleh Fuad Arsyad (1981-1982) menunjukkan mortalitas penderita bronkopneumonia yang dirawat mondok adalah 41,46% sedang Charles Hutasoit (1985-1989) melaporkan 46,99%, tidak ter'4) masuk neonatus yang dirawat di Sub-Bagian - Perinatologi"•

MORBIFDITAS DAN MORTALITAS Morbiditas ISNA lebih banyak pads negara maju; tidak demikian keadaannya dengan diare, pads negara berkembang morbiditasnya 4 - 5 kali lebih besar dari negara maje). Di Indonesia morbiditas ISNA di pedesaan relatif lebih rendah dari perkotaan. Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980 dan 1986 di Indonesia memperlihatkan ISPA atas dan bawah merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas bayi dan anak balita. Survei tahun 1986 menunjukkan, 25,7% penduduk menderita ISPA dengan penyebaran 42,4% pada anak di bawah 1 tahun, 40,6% pada usia 1- 4 tahun dan 32,5% pada anak berumur 5 14 tahun(4). Penelitian terhadap 877 anak balita di Pondok Pinang Jakarta sejak 1 April 1970 sampai dengan 31 Maret 1971 ditemui dari 3121 episode penyakit, 1428 (45,3%) disebabkan ISPAA5 . Dari 12 besar penyakit anak di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang (1979) ISPA menduduki tempat ke dua setelah penyakit saluran cerna(6). Untuk daerah Sumatera Utara basil survei Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1972, ISPA atas menduduki tempat pertama (16,5%), sedang ISPA bawah pada urutan ke enam yaitu 5,2%('). Dari 15.960 pengunjung Poliklinik Anak Sakit Rumah Sakit Dr. Pimgadi Medan pada tahun 1981, 65,60% anak menderita ISPA atas dan 19,74% ISPA bawah( E). Soemardi Umar dick (1983) juga melaporkan kejadian ISPA bawah di ruang rawat mondok Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan pada tahun 1981 dan 1982 adalah 29,2%; 49,23% daripadanya adalah penderita bronkopneumonia yang merupakan 20,39% dari seluruh ISPA bawah. Mortalitas ISPA yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Kematiannya kebanyakan akibat bronkopneumonia dan bronkiolitis. Pada negara berkembang diperkirakan 20-25% kematian anak Balita diakibatkan ISPA0 •10). Mortalitas ISPA di Amerika Utara 0,5% per 1000 anakl,11) di bawah usia 1 tahun, dan 3-8 per 1000 anak usia 1-5 tahun° ; sedangkan laporan dari berbagai negara berkembang berkisar 10-44 per 1000 anak di bawah 1 o.9.11 tahun dan 3-8 per 1000 pada anak berusia antara 1-5 tahun ) Dari data ini diperkirakan angka kematian akibat ISPA perseribu penduduk 100-200 kali lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 1980, 19,9% kematian penduduk akibat ISPA bawah, 22,1% pada bayi berumur 0-1 tahun dan 28,1% pada anak berumur 1-4 tahun° z ; basil survei 1986 mortalitas ISPA seluruhnya termasuk difteri, pertusis dan campak pada seluruh penduduk 13,7%, 22,1% pada

Cuaca dan Musim Di negara dengan 4 musim, kejadian ISPA cenderung meningkat pads musim dingin" ) ; di negara tropis yang umumnya mempunyai 2 musim ISPA 2 atau 3 kali lebih sering terjadi pada musim hujan l16.17 )

48

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

FAKTOR-FAKTOR YANG MUNGKIN MEMPENGARUHI

Kepadatan penduduk David Morley (1973) menekankan, yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya ISPA adalah kepadatan penghuni di dalam atau di luar rumah; dikatakannya meningkatnya kejadian ISPA pada musim-musim tertentu bukan diakibatkan perubahan cuaca atau musim"). Di Inggris kejadian infeksi RSV pada anak lebih sering pada anak yang mempunyai saudara dibandingkan dengan yang tidak; disebutkan juga puncak kejadian ISPA berhubungan dengan masa masuknya anak sekolah kembali setelah masa libur"). Umur dan Jenis Kelamin Anak berusia di bawah 2 tahun mempunyai risiko mendapat ISPA lebih besar daripada anak yang lebih tua. Keadaan ini mungkin karena pada anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum sempuma dan lumen saluran nafasnya relatip sempit. Kejadian ISPA atas tidak ada bedanya antara anak laki-kaki dengan perempuan, sedang ISPA bawah pada umur kurang dari 6 tahun lebih sering pada anak laki-laki" Keadaan Nutrisi dan Anemia Sejauh mana hubungan nutrisi dan anemnia terhadap kejadian ISPA belum diketahui dengan jelas. Menurut David Morley (1973) karena hubungan nutrisi dengan ISPA belum jelas; apabila gizi jelek tidak diperhitungkan, kekurangan gizi di negara berkembang tidak dapat dianggap sebagai penyebab utama dari tingginya angka kematian ISPA. Anemia terutama anemia defisiensi besi yang sering ditemui pada bayi dan anak di Indonesia mempunyai hubungan timbal balik dengan ISPA. ETIOLOGI Walaupun penyebab ISPA beranekaragam namun penyebab terbanyak adalah infeksi virus dan bakteri. Penyebab infeksi ini dapat sendirian atau bersama-sama secara simultan. Penyebab ISPA akibat infeksi virus berkisar 90-95% terutama ISPA atas. Kendatipun demikian peranan bakteri belum dapat disingkirkan. Data penelitian ISPA kebanyakan berasal dari negara-negara barat walaupun sebenarnya penyakit ini merupakan ma-

salah penting di negara-negara tropis. Penelitian di negara maju dan beberapa daerah perkotaan negara sedang berkembang membuktikan bahwa ISPA bawah juga diakibatkan infeksi virus p7.2'.21> . Turner dkk (1987) melaporkan dari 98 anak yang menderita pneumonia di Amerika 39% disebabkan infeksi virus, dan 19% oleh bakteri 53% dari22 padanya dijumpai juga infeksi virus( ). Penyebab ISPA yang pasti pads negara berkembang belum diketahui. Fakta menunjukkan bahwa bakteri patogen merupakan penyebab ISPA bawah yang berat baik primer maupun sekunder. Virus respiratorik memegang peranan pads fase pertamao.23> . WHO melaporkan dari anak-anak yang menderita ISPA berat yang dirawat di Rumah Sakit di 7 negara sedang berkembang dan belum mendapat antibiotika ternyata basil pungsi parunya 60% positif terhadap bakterP. Dijumpainya kultur darah yang positif dan adanya perbaikan klinis akibat pemberian antibiotika terhadap anak yang menderita pneumonia, secara tidak langsung menyokong penyebab infeksinya adalah s.26> bakteri e, ' Dan data di atas diperkirakan penyebab pneumonia berat [ada negara sedang berkembang 50% oleh karena infeksi bakteria dan sensitif terhadap pemberian antibiotika. Bakteri Peranan bakteri sebagai penyebab ISPA lebih sulit ditentukan karena bakteri juga dapat ditemui pads anak-anak yang tidak menderita ISPA (19). H. influensa, streptokokkus, dan pneumokokkus merupakan bakteri patogen yang banyak ditemui, diikuti dengan stafilokokus aureus dan streptokokkus beta hemolitikus. Di negara berkembang penyebab utama ISPA berat pada anak adalah S. pneumonia dan H. influenzae(1.' penyebab ISPA berat lain adalah S. aureus, B. pertusis, M. pneumonia, Chlamydia dan Branhemella catarrhalis. M. pneumonia dan B. pertusis dapat menyebabkan epidemi dan umumnya basil kultur hapusan tenggorok pads anak usia sekolah hasilnya negatip kecuali M. pneumonia 10–15% basil biakan positip ('). Pala masa neonatus bakteri penyebab ISPA yang paling sering adalah S. aureus, E. coli di samping Stafilokokkus agalactiae (grup B), S. pneumonia, Pseudomonas dan Klebsiella a28> . Ong dkk mendapatkan hanya 15,4% biakan bakteri positif dari nasal swab. Soejono, Moeljono ST dkk (1975) memperoleh stafilokokkus 36,1% pads anak berumur di bawah 1 tahun dan 4,8% pads anak berumur di atas 1 tahun yang menderita bronkopneumoniaa29 sedangkan Tatty, H. Moeljono ST dkk (1980) dengan melakukan biakan nasofaring penderita ISPA menemukan S. aureus 5,06%, S. albus 5,06%, ALfa streptokokkus 34,18% dan Beta streptokokkus 8,86% 0 1.'6.2°.2s.2s.Th

j,

>

Virus Virus-virus yang sering menyebabkan ISPA adalah virus Influenzae A, B, C, virus Parainfluenzae 1, 2, 3, 4, virus Respiratory Syncytial (RSV), Adenovirus, Rhinovirus dan Enterovirus. Virus yang sering dilaporkan sebagai penyebab. 6.4.23.25,27> ISPA bawah adalah RSV, Parainfluenzae dan Adenovirus o." ' Virus Influenzae C menyebabkan ISPA dengan gejala ringan, virus Influenzae A sering menimbulkan demam tinggi,

kejang dan pneumonia pada bayi dan virus Influenzae B menyerang anak yang lebih besar dengan gejala influenzae disertai nyeri perut. Virus Parainfluenzae tipe 1 dan 2 menimbulkan gejala mirip croup, tipe 3 sering menyerang bayi berumur di bawah 6 bulan dengan gejala mirip bronkiolitis dan pneumonia. Adenovirus serotipe 1, 2, 5 sering menimbulkan ISPA bawah yang berat sedangkan serotipe 3, 4, 7 sering menyebabkan faringitis pads anak dengan umur yang lebih tua. Virus lain misalnya virus morbili dapat menyebabkan ISPA yang apabila diikuti infeksi bakteri akan menyebabkan ISPA bawah yang berat (pneumonia). Ong dkk (1977) dengan melakukan biakan paranasal swab menemui virus sebagai penyebab ISPA adalah 47,7% dan Bakteria, 15,4% 01> . PENGELOLAAN Mengingat pencegahan lebih baik dari pengobatan maka sebaiknya pengelolaan ISPA dilaksanakan secara menyeluruh meliputi penyuluhan kesehatan yang baik, menggalakkan imunisasi dan penatalaksanaan penderita secara medik sebagaimana lazimnya. Walaupun morbiditas ISPA bawah relatif lebih kecil dari ISPA atas namun fasilitas klinik yang dibutuhkan dalam penanganannya sangat tinggi. Selayaknyalah pemberantasan ISPA bawah diprioritaskan dengan menitik beratkan usaha penekanan morbiditas ISPA bawah baik sebagai lanjutan ISPA atas atau tidak dan mortalitasnya. Penyuluhan Kesehatan Penyuluhan kesehatan berperan mengurangi risiko mortality ISPA berupa bayi berat badan lahir rendah, gizi kurang, kebiasaan ibu merokok dan keengganan ibu menyusukan bayinya. Penyuluhan ini penting sekali bagi ibu-ibu sebagai tenaga kesehatan non-formal untuk mengenal ISPA ringan, sedang dan berat untuk pengelolaan penderita selanjutnya. Imunisasi Peningkatan cakupan imunisasi penyakit ISPA dengan menggalakkan imunisasi difteri, pertusis dan morbili sangat berberan dalam usaha pemberantasan ISPA. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penderita dilaksanakan tenaga medik (formal) dengan prosedur medik berupa diagnosis, pengobatan dan rujukan serta tenaga non-medik dimulai tingkat ibu rumah tangga sampai dengan kaderkesehatan desa dengan menggunakan pedoman dan klasifikasi sederhana. Diagnosis Umumnya diagnosis ditegakkan secara klinik walaupun diagnosis etiologik sangat menentukan keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan bakteriologik dan penunjang lainnya dapat membedakan penyebabnya bakteri atau virus. Tidak spesifiknya gejala klinik, basil biakan oro dan nasofaring yang positif terhadap S. pneumonia dan H. influenzae, basil kultur bakteri yang positif akibat kontaminasi, kultur darah yang hanya sebagian kecil positif dan kultur aspirat pungsi paru yang sulit dilakukan dan invasif walaupun merupakan metoda paling baik untuk menentukan etiologi, semuanya merupakan Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

49

masalah. Untuk mengatasinya harus difikirkan pengembangan pemeriksaan serologis terhadap S. pneumonia dan H. influenzae berupa pemeriksaan antigen, antibodi dan CRP. Pemeriksaan CRP berguna untuk membedakan penyebab ISPA bakteri atau virus. Untuk mengetahui virus sebagai penyebab dapat dilakukan pemeriksaan kultur walaupun umumnya sangat sulit dilakukan. Sediaan berasal dari hapusan tenggorok, hidung, aspirat nasofaring atau dari serum pada masa akut dan konvalesen. Kultur ini dilakukan pada embrio ayam, ginjal monyet, Hela/Hep 2 cells atau human lung fibroblast. Pemeriksaan mikroskop elektron, imunofloresen, enzim, redioimmunoassay, haemagglutination, haernadsorption dan deteksi IgM spesifik membutuhkan waktu lebih singkat sehingga deteksi virus secara dini dapat dilakukan untuk mencegah penyebaran dan penggunaan antibiotika yang tidak rasional.

Alan Tumbelaka dkk (1987) membandingkan pengobatan pneumonia berat pads anak berumur 2 bulan – 2 tahun dengan kotrimoksazol dan kombinasi ampisilin dan kloramfenikol dengan hasil pengobatan yang tidak bermakna, masing-masing 93,2% dan 91,0% 04). Diagnosis etiologik belum pernah dilaporkan, sebaiknya dilakukan walaupun merupakan tantangan akibat sulit mahal untuk dilaksanakan. Para ahli menduga pneumonia yang terjadi pads stadium awal morbili biasanya diakibatkan invasi virus morbili; bila terjadi pada stadium rekonvalensi dialdbatkan infeksi bakteri sekunder. Cissy B. Kartasasmita dkk (1987) melaporkan hasil penelitian terhadap 142 anak berumur 6 bulan– 9 tahun dengan pneumonia morbili ternyata 77% pneumonia terjadi pada stadium awal dengan 27% leukositosis3sdan 23% pada stadium rekonvalensi dengan 53% leukositosis( )

Pengobatan Pengobatan meliputi pengobatan penunjang dan antibiotika. Penyebab ISPA atas yang terbanyak adalah infeksi virus maka pemberian antibiotika pads infeksi ini tidaklah rasional kecuali pada sinusitis, tonsilitis eksudatif, faringitis eksudatif dan radang telinga tengah° l).

Bronkiolitis Williams dan Phelan (1975) menyatakan bronkiolitis umumnya dijumpai antara usia 1– 6 bulan( 19). Penyebab utamanya 86% oleh karena infeksi RSV dan dapat juga oleh virus Parainfluenzaem. Banyak laporan kepustakaan menyatakan bahwa anak yang sembuh dari ISPA sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang bersifat sementara atau menetap. Gejala sisa ini merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa mendatang. Gejala sisa yang ditimbulkan bronkiolitis tidak hanya terbatas pada asthma tapi dapat berupa obstruksi, emfisema, infeksi berulang dan atelektase akibat necrotizing bronkiolitis akibat infeksi adeno virus. Kemungkinan keadaan ini tidak terlepas dari faktor ras dan sosio-ekonomi(36.37.3s) Bentuk lain adalah bronkiolitis obliterans, akibat kerusakan jaringan otot, elastis dan epitel bronkiolus pada penyembuhan nantinya akan terbentuk fibrosis yang mengakibatkan obliterasi lumen bronkiolus. Keadaan ini diakibatkan oleh infeksi virus Influenzae, Rubeola, Adeno virus dan inhalasi gas-gas 36.37,38) . toksik(

KEADAAN DAN KENDALA ISPA PADA BAYI DAN ANAK Pneumonia Diagnosis Rumah Sakit merupakan diagnosis klinik; bila diikuti pemeriksaan radiologik paru dan analisa gas darah, diagnosis anatomik dan fungsional dapat ditegakkan. Tanda klinik berupa panas, sesak nafas dengan frekuensi pernafasan yang bertambah dan adanya retraksi suprasternal, interkostal dan epigastrium disertai ronki basah halus nyaring. Penelitian Marjanis Said (1980) pads anak dengan bronkopneumonia berat menemui frekuensi pernafasan dan jantung meningkat, ronki basah halus nyaring pada semua penderita, gelisah 60%, gangguan kesadaran 56,6% dan sianosis 53,3%. Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemi pada semua penderita dan setelah pemberian oksigen sebanyak 3 1/menit masih ditemui 42,4% penderita hipoksemi. Peneliti juga menemui insufisiensi dan kegagalan ventilasi dan asidosis metabolik pads 44,4%. Tanda klinik yang mempunyai korelasi baik terhadap adanya hipoksi dan penurunan saturasi oksigen adalah sianosis( 32) . Penelitian ini menunjukkan, walaupun terapi kausal sangat didambakan namun terapi suportif tidak dapat diabaikan. Penyuluhan terhadap keluarga dan tenaga kesehatan nonformal sangat diperlukan sehingga mereka mengenal ISPA ringan, sedang dan berat untuk tindakan selanjutnya. Pertanda untuk perujukan penderita ISPA bagi tenaga nonmedis adalah frekuensi pernafasan lebih dari 50 kali/menit dan 33 adanya retraksi dada( ) Penyebab pneumonia di negara berkembang kebanyakan adalah bakteri terutama S. pneumonia dan H. influenzae maka WHO menggariskan pemberian antibiotika terhadap ISPA sedang dan berat berupa penisilin, kotrimoksazol atau amoksisilin (28). 50 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Bronkitis Akut Infeksi bronkus ditandai dengan adanya demam, batuk produktif, pilek serta tanda-tanda radang pads saluran nafas atas dan ronki basah kasar tidak nyaring. Menurut kepustakaan penyebab bronkitis akut pada umumnya adalah virus. Pemeriksaan kadar CRP (C-reaktive Protein) dapat digunakan sebagai test penyaring untuk menentukan penyebab. Untuk menguji kebenarannya sebaiknya dikonfirmasi dengan kultur bakteri dan pemeriksaan virus. Penelitian-penelitian mendatang untuk validitas virus sebagai penyebab bronkitis akut sangat diharapkan sehingga penggunaan antibiotika yang tidak rasional dapat dihindari. Nastiti N Rahajoe dkk (1987) mendapatkan dari 60 anak yang umurnya berkisar 1 – 12 tahun menderita bronkitis akut ternyata, penderita terbanyak pada umur 1 – 3 tahun (58,33%), secararadiologis telah disingkirkan adanya pneumonia (93,02%) dan tidak bertentangan dengan infeksi virus, pemeriksaan CRP normal, leukosit kurang dari 10.000/mm 3 (90%) dan suhu tubuh kurang dari 38,3 C sebanyak 75,50% 04).

Laringitis akut non difterika Umumnya ditemukan pads usia 1 — 3 tahun t19.'0l , manifestasinya berupa laringitis supra atau sub-glotis dan dapat mengakibatkan obstruksi saluran nafas alas menyebabkan keadaan darurat medik yang mengancam jiwa anak. Diagnosis etiologik belum ada yang melaporkannya sedangkan diagnosis klinik di Rumah Sakit tidak menjadi permasalahan. Prognosis dapat dipengaruhi umur penderita. Makin muda usia anak makin kecil ukuran laringnya makin berat pula gejala yang ditimbulkannya o11 Untuk mencegah obstruksi laring yang berat pads awal penyakit diberikan kortikosteroid dan antibiotika dan bila obstruksi telah terjadi sebaiknya dilakukan intubasi atau trakeostomi. Pengamatan dan penatalaksanaannya yang tepat sangat diharapkan terlebih-lebih lagi sampai saat ini pencegahan dengan cara imunisasi belum ditemukan. Laringitis akut difterika Seperti laryngitis nondifterika, laryngitis ini sangat cepat menimbulkan gawat anak. Diagnosis klinik di Rumah Sakit selalu dikonfirmasi dengan pemeriksaan basil kultur yang disertai pemeriksaan test sensitivitas. Untuk mencegah angka kematian yang lebih besar dibutuhkan diagnosis dini yang segera diikuti dengan pemberian ADS dan antibiotika. Faringitis dan Tonsilitis karena streptokokkus Adanya kemungkinan korelasi faringitis dan tonsilitis streptokokkus ini dengan sakit jantung rematik sehingga kedua infeksi ini hams selalu ditanggapi dengan serius. Pertusis Rendahnya cakupan imunisasi DPT dan sedikitnya penemuan diagnosa pertusis merupakan suatu keadaan yang sumir. Permasalahan yang timbul apakah gambaran atau manifestasi klinis pertusis saat sekarang ini telah mengalami perubahan. Syafitri Siregar dkk (1987) melakukan pemeriksaan kultur dan pengukuran S-IgA usap nasofaring terhadap 21 anak tersangka pertusis dan 28 anak kelompok kontrol, temyata S-IgA positif pada penderita tersangka pertusis dibandingkan dengan basil biakan kuman berbeda bermakna 58,1% dan 25%. Dengan demikian untuk menegakkan diagnosis pertusis pada biakan kuman yang negatip sebaiknya dilakukan.pengukuran S-IgA l42l .

KESIMPULAN Telah diutarakan kepustakaan ISPA pads bayi dan anak di Indonesia dengan membandingkannya dengan kepustakaan barat. Ternyata morbiditas dan mortalitas ISPA bayi dan anak di Indonesia masih tinggi. Kendala yang ditemui antara lain belum ditemukannya pola bakteriologi, mikrobiologi dan virologi sehingga penggunaan antibiotika yang rasional belum terlaksana sebagaimana mesti-

nya. Kendala lain yang juga berperan tapi belum semua terungkapkan adalah faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas ISPA. Adanyapenyakit-penyakit ISPA yang sembuh dengan gejala sisa yang merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit paru kronis di masa mendatang menjadi tantangan bagi kita semua. Sangat dibutuhkan penelitian-penelitian berikutnya untuk mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi pada program pemberantasan ISPA dalam usaha menurunkan angka kematian bayi dan anak untuk menunjang program pcmerintah di tahun 2000 mendatang. KEPUSTAKAAN 1. WHO. A Programme for Controlling Acute Respiratory Infections in Children : Memorandum from a WHO Meeting Bull WHO 1984; 62: 47-58. 2. WHO. Case Management of Acute respiratory Infections in Children in Developing Countries. WHO/RSD/85.15. Rev 1. 3. Smith MHD. Bacterial Pneumonias. dalam Kendig's Disorders of the Respiratory Tract in Children, WB Saunders, 1977. pp 378-401. 4. L Ratna Budiarso dkk (eds). Presiding Survei Kesehatan Rumah Tangga 1986. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan, 1987. 5. Saroso JS, Supamadi, Retnawati, Manikoro. A Longitudinal Survey of Diseases Occuring in Children Under 5 Yeras Age In Pondok Pinang, Jakarta, Paediatr Indon 1972; 12: 469-478. 6. Moeljono S Trastotenojo. Beberapa masalah dan perspektif kesehatan anak di Indonesia. Pidato pengukuhan penerimaan Guru Besar Tetap Universitas Diponegoro, 1981. 7. Kanwil Depkes RI, Propinsi Sumatera Utara. Tinjauan epidemiologi penyakit saluran nafas bagian alas di Propinsi Sumatera Utara. Pertemuan Ilmiah Sehari Penanggulangan Penyakit Saluran Nafas Atas dan Rongga Mulut. Medan, 1983. 8. SoemardiUmardkk. KejadianPenyakitlnfeksiSaluran Nafas diPoliklinik Anak Sakit RS. Dr. Pimgadi Medan: Konas IDPI ke III, Medan 1983. 9. WHO. Clinical Management of Acute Respiratory Infections in Children: A WHO Memorandum. Bull WHO 1981; 59: 707-16. 10. WHO. Global Medium-Term Programme, Acute Respiratory Infections, Seventh General Programme of Work Covering the Period 1984-1989, WHO TRI/ARI/MTP/83.1, Geneva, September 1983. 11. WHO. Research on Acute Respiratory Infections, Advisory Committee on Medical Research, ACMR 24/82.13, Geneva, October 1982. 12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1980), Survey Kesehatan Rumah Tangga, Data Statistik, hal 27-81, 92-104. 13. Hutasoit C, Mardiana K.Dj, Daulay RM, Lubis HM, Siregar Z. Bronkopneumonia dengan Morbili pada bayi dan anak yang dirawat di RS. Dr. Pimgadi Medan. KONIKA VIII, Ujung Pandang 1990. 14. Fuad Arsyad, Rusdid jas, Siregar Z, Siregar H. Kejadian Bronkopneumonia di Bagian Bmu Kesehatan Anak FK. USU/RS Dr. Pimgadi Medan. KONAS Ke III IDPI, Medan, 1983. 15. WHO. Viral Respiratory Infections, WHO Techn Rep Ser, 642, 1980. 16. Herrero L. Respiratory Infection in Central America, Pediatr Res 1983; 17: 1035-1038. 17. Reeves WC, Dillman L, Quiroz E, Centano R. Opportunities for studies of children' s respiratory infection in Panama, Pediatr Res 1983; 17: 1045-9. Morley D. Acute Respiratory Infections. dalam: Paediatric Priorities in the 18. Developing World, Butterworths & Co Ltd, 1973. 19. Williams HE, Phelan PD. Respiratory illness in children. 1st ed. Ozford•London-Edinburg-Melboume: Blackwell Scient Publ. 20. Sutmoller F, Naccimento JP. Studies on Acute Respiratory Infections in Brazil (A Status Report) Pediatr Res 1983; 17: 1038-40. 21. Denny FW, Clyde WA. Acute Respiratory Tract Infection: An Overview, Pediatric Research, 1983; 17: 1026-1029. 22. Tumer RB et al. Pneumonia in paediatric outpatients: Cause and clinical

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

51

manifestations, J. Pediatr 1987; 111: 194-200. 23. Steinhoff MC, John TJ. Acute Respiratory Infections of Children in India, Paediatr Res 1983; 17: 1032-5. 24. Mc Cord C, Kielmann AA. Successful Programme for Medical Auxiliaries Treating Childhood Diarrhoea and Pneumonia, Tropical Doctor 1978; 8: 220-225. 25. Riley I et al. Status of Research on Acute Respiratory Infections in Children in Papua New Guinea, Pediatr Res 1983; 47: 1041-3. 26. Weissenbacher MC. Opportunities for studies of children's respiratory infections in Argentina, Pediatr Res 1983; 17: 1058-60. 27. Duenas A. Opportunities for Studies on Acute Respiratory Infections in Children of Columbia, Pediatr Res 1983; 17: 1058-1060. 28. WHO. Antigen Detection in Bagterial Respiratory Infections in Children. WHO/RSD/87.39. 29. Soejono, Moeljono ST, Harsoyo N. Treatment of bronchopneumonia with spiramycine (rovamycine). Paediatr Indon 1976; 16: 396-402. 30. Tatty H, Moeljono ST, Soemantri Ag, Moedrik T. Bacteriological pattern in respiratory tract infection in Children (unpublished, 1983). 31. Ong SB, Thong ML, Tay LK. Viruses and bacteria associated with acute respiratory illnesses in young children in general practice. SE Asian J Trop Med Pub Hit 1978; 9: 98-102. 32. Mardjanis Said et al. Acid-Base Balance and Blood Gas Analysis in Bronchopneumonia in Infancy and Childhood. Paediatr Indon 1980; 20: 68-76.

33.

34.

35. 36. 37. 38. 39.

40. 41. 42.

Kartasasmita CB, Widjajaningsih, Alisjahbana A, Rarasati. Infeksi Saluran Pemafasan Akut: Bilakah seorang penderita hams dirujuk oleh petugas kesehatan di pedesaan (dukun paraji?). KONIKA VII, Jakarta 1987. Tumbelaka AR, M. Harjono Abdoerrachman, Bulan Ginting Munthe. Pengobatan bronkopneumonia dupleks pads anak dengan Trimetoprim dan Sulfametoksazol. KONIKA VII, Jakarta 1987. Kartasasmita CB, Dedi Rachmadi. Beberapa aspek dari Bronkopneumonia pada ai ak dengan campak. KONIKA VII, Jakarta 1987. Phelan PD, Landau LI, Olinsku. A respiratory illness in children 2nd ed. Oxford, London, Melbourne: Blackwell Scient Pub, 1982. Kendig E, Chemick V. Disorders of the Respiratory tract in Children. 4th ed. St. Louis, London, Toronto: WB Saunders Co, 1983. Kattan M. Long-Term Sequelae of Respiratory illness infancy and childhood. Pediat Clin N Am, 1979; 26: 525. Rahajoe NN, Rahajoe N, Marjanis Said, Siti Rozanah. Gambaran bronkitis pada anak. Peranan CRP dalam penyaringan etiologi. KONIKA VII, Jakarta 1987. Krugman S, Katz SL. Infections diseases of children. 7th ed. St. Louis, Toronto, London: C.V Mosby Co, 1981. Moffet HL. Paediatrics infections diseases. A problem oriented apprqach. 2nd ed. Philadelphia, Toronto: JB Lippincou Co, 1981. Siregar S, Harahap F, Matondang CS, dkk. Pengukuran kadar sekret IgA untuk membantu menegakkan diagnosis pertusis. KONIICA VII, Jakarta 1987.

5fe who asks a question is a fool for five minutes, he who does not, remains a fool forever (Chinese proverb) 52

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Penyakit Hati dan Tukak Lambung

Vaksinasi terhadap Hepatitis B E.N. Kosaslh*, I. Suklman** Bagian Patologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRAK Kekerapan hepatitis B adalah tinggi di Asia. Di Indonesia (1981) kekerapan Hepatitis B Antigen (= HBsAg) positif ditambah kekerapan Hepatitis B Antibodi (= HBsAb) positif, cukup tinggi : 51,6% (5,5% + 46,1%), sedangkan mahasiswa baru (1982) USU : 53% (16% HBsAg+, 37% HBsAb+). Golongan risiko tinggi akan kontak dengan virus hepatitis B, perlu mendapat vaksinasi karena kecenderungan keterkaitan HBsAg-emia, hepatitis kronik, cirrhosis hepatis dan hepatoma. Dikenal dua jenis vaksin : berasal dari plasma dan rekombinan berasal dari sel ragi. Kedua-duanya aman, memberikan imunogenisitas hampir sama. Faktor harga menghambat pelaksanaan vaksinasi secara luas. Pada orang normal : titer HBsAb (cara EIA) dianggap cukup protektif bila minimal 10 IU/1. Pengalaman penulis utama : 47 orang sehat (26 pria, 21 wanita, usia 2 – 66 tahun) di antara pasien pribadi yang telah divaksinasi (Engerix B®) memberi keberhasilan terbentuknya HBsAb (cara EIA) pada 44 kasus (93,6%) dengan titer antibodi rata-rata 429,4 IU/l. Kebanyakan tergolong respons sedang (= 101 – 1000 IU/1) kecuali satu kasus dengan respons lemah (= 10 – 100 IU/1). Tiga kasus negatif, menjadi responsif lemah setelah suntikan ke 4. PENDAHULUAN Epidemiologi hapatitis B Bagian dunia yang endemisitasnya tinggi untuk hepatitis B adalah terutama di Asia, misalnya daratan Cina, Vietnam, Korea, di mana 50 – 70% dari penduduk berusia antara 30 sampai 40 tahun pemah kontak dengan virus hepatitis B (HBV) dan sekitar 10 – 15% menjadi pengidap Hepatitis B surface Antigen (HBsAg)(') . Pengidap HBsAg terbagi dalam 2 golongan : tanpa '

Guru Besar Patologi Klinik, Spesialis Penyakit Dalam, Fellow Int. Soc. Hematology, Anggota Amer. Soc. Clin. Path., Anggota Board of Study CHS (Jakarta) bidang Pat ologi Klinik, Ketua Program Studi Patologi Klinik. *' Spesialis Patologi Klinik, Fellow Int. Soc. Hematology, Kepala Bagian Patologi Klinik.

adanya tanda-tanda hepatitis kronik (pengidap asimtomatik) dan disertai tanda-tanda hapatitis kronik. Golongan terakhir ini yang berjumlah sekitar 10 – 30% dari pengidap, harus berhati-hati karena adanya peluang untuk menjadi sirosis hepatis dan kemudian hepatomao). Indonesia (1981) digolongkan sebagai negara dengan kategori endemisitas sedang sampai tinggi, kekerapan rata-rata 5.5% dengan variasi 3,5 sampai 9,1% 0,3 ). Pada umumnya di luar (3). Jawa kekerapan lebih tinggi Di pulau Samosir dan pulau Nias dengan cara penentuan HBsAg yang lama kurang peka (cara CIE = Counter Immuno-Electrophoresis) di antara orang yang tampak sehat (masing-masing 224 kasus dan 312 kasus), sudah mencapai masing-masing 4,3% dan 7,7% pada tahun 1972. Pada

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

53

tes ulangan dengan cara yang lebih peka 1AHA (Immune adherence Hemagglutination) oleh WHO Immunology Centre Singapore, memberikan hasil HBsAg positif pads 10,5% di antara penduduk pulau Samosir t4•' Pada tahun 1982 dengan menggunakan cara yang lebih peka survai di antara mahasiswa yang baru masuk USU, berusia antara 18 dan 23 tahun adalah 16% HBsAg positif (cara PHA), sedangkan 37% HBsAb positif (ca as rPHA) ( 5). Pada tahun 1985 dengan cara pemeriksaan yang kini lazim digunakan dan menupakan yang paling peka yang pernah digunakan di Medan, (cara EIA = Enzyme ImmunoAssay), didapat kekerapan HBsAg positif sebesar 6% di antara donor darah Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan (200 orang). Exposure rate (pernah kontak) hepatitis B untuk suatu gologan penduduk dihitung dengan menjumlahkan kekerapan HBsAg positif dengan kekerapan HBsAb positif. Exposure rate untuk Indonesia berdasarkan survei di 9 kota besar dengan pemeriksaan HBsAg cara PHAdan HBsAb cara rPHA (kedua cara relatif kurang peka dibandingkan dengan cara EIA) adalah rata-rata 5,5% (HBsAg +) + 46,1% (HBsAb +) = 51,6% pads tahun 1981( 5 ). Exposure rate mahasiswa baru USU (1982) adalah 16% + 37% = 53%. Di Eropa dan Amerika Serikat kekerapan pengidap antigen hepatitis B adalah sangat kecil sekitar yaitu 0,5 – 1 per-mil dan kebanyakan terdiri dari pecandu obat suntik narkotik. Cara penularan hepatitis B Dugaan semula bahwa penularan hepatitis B terutama karena transfusi darah (darah donor mengandung HBsAg) dan melalui alat-alat suntik yang tecemar HBsAg tidak sepenuhnya benar. Ternyata banyak kasus-kasus hepatitis B penularannya dengan cara lain seperti melalui darah, air ludah, cairan mani, tinja, dan berbagai cairan tubuh lain dari penderita hepatitis B. Kontak erat dalam waktu yang lama merupakan salah satu faktor penentu penularan. Penularan dapat terjadi melalui/akibat: Hubungan kelamin dengan penderita/pengidap. – Menggunakan peralatan yang tercemar/seperti alat suntik, tindik anak telinga, akupunktur, tato. – Benda-benda yang dipergunakan bersama penderita dapat melukai tubuh, misalnya sikat gigi, alat pencukur, sisir, glinting kuku. – Kontak dengan cairan tubuh atau getah tubuh penderita melalui luka-luka di kulit atau selaput lendir mata dan mulut. – Bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita hepatitis B (penularan secara vertikal). VAKSIN HEPATITIS B Jenis vaksin Pada tahun 1982 telah berhasil dibuat vaksin hepatitis B dari partikel HBsAg murni yang dipisahkan dari plasma. Vaksin terdiri dari HBsAg yang telah di-inaktifkan dan tidak lagi infeksius. Setelah dikenal penyakit AIDS, vaksin rekombinan berasal dari sel ragi (yeast) dipasarkan sejak 1986. Vaksin viral noninfeksius ini mengandung protein HBsAg yang dihasilkan oleh sel-sel ragi: Saccharomyces cerevisiae. 54 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Evaluasi intensif bidang epidemiologik, virologik dan serologik meunjukkan bahwa vaksin berasal dari plasma tidak (9.1°) Kedua jenis vaksin dapat digunakan demenularkan AIDS ngan aman dan mempunyai Jaya imunogenisitas hampir sama. Vaksin berasal dari sel ragi memberi persentase imunogenisitas agak kurang(1W. pads orang tua dibandingkan dengan vaksin berasal dari plasma Walaupun demikian banyak orang masih enggan menggunakan vaksin berasal dari plasma walaupun vaksin jenis ini memberikan geometric mean titer antibodi lebih tinggi dan harganya lebih ekonomis. Titer antibodi yang lebih tinggi memberipeluang untuk waktu proteksi yang lebih lama dan bukan (lo). Vaksin hepatitis B ini berperan terhadap gaya imunogenitas memberi proteksi terhadap HBV dari semua subtipe yang dikenal. Vaksin dalam vial disimpan pads suhu antara 2–8 derajat C. Jangan dibekukan, karena vaksin akan rusak. Perhatikan masa daluwarsanya. Pilihan Vaksin Hepatitis B & Dosisnya (I I M S, 1991) Nama dagang & Pembuat Vaksin Engerix-B SmithKline Biological H B Vax II Merck Sharp & Dohme Hevac B Pasteur Pasteur–Merieux Hepaccine B Cheil Sugar Hepa B Korea Korea Green Cross

Golongan Dewasa Bayi-anak sampai 10 tahun Dewasa anak < 11 thn bayi Dewasa Bayi–anak < 11 thn Dewasa Bayi–anak < 11 thn Dewasa Bayi–anak < 11 thn

Antigen protein per dosis

Asa! Vaksis

1 ml = 20 mcg 0,5 ml = 10 mcg

Ragi

1 ml = 10 mcg 0,5 ml = 5 mcg 0,25 ml = 2,5 mcg 1 ml = 5 mcg HBsAg 0,5 ml = 2,5 mcg HBsAg 1 ml = 3 mcg HBsAg 0,5 ml = 1,5 mcg HBsAg 1 ml = 20 mcg HBsAg 0,5 ml = 10 mcg HBsAg

Ragi

Plasma Plasma Plasma

INDIKASI VAKSINASI Mengingat keterkaitan : HBsAg-emia menjadi —> hepatitis kronik menjadi —> sirosis hepatic menjadi —> karsinoma hepato-seluler, maka pencegahan hepatitis B dengan cara vaksinasi pre-exposure prophylaxis adalah yang paling baik. Hal ini berlaku untuk semua umur. Terutama diprioritaskan. bayi dan anak-anak yang tergolong risiko tinggi. Hal ini didasarkan kepada kecenderungan bahwa infeksi HBV mengakibatkan keadaan kronik, terutama pads bayi, yaitu 90% atau lebih, sedangkan pads anak-anak dan orang dewasa masing-masing 20–30 % dan 5–10%. Vaksinasi aktif perlu diberikan kepada mereka yang belum/ kurang memiliki kekebalan terhadap hepatitis B (HBsAb negatif atau positif dengan titer kurang dari 10 IU/1) yang dianggap kurang protektif, sedangkan risiko akan kontak dengan virus hepatitis B adalah tinggi atau sedang. Mereka yang perlu divaksinasi • Pekerja bidang kesehatan/kedokteran, terutama bila ada peluang bagian tubuhnya tertusuk oleh jarum atau benda tajam : Dokter spesialis ,bedah, spesialis T.H.T., dokter umum, dokter beserta semua pegawai yang bekerja di laboratorium, unit he-

modialisis, din gs transfusi darah dan unit bedah mayat. Pegawai paramedik : perawat, bidan, teknisi. Pegawai non medik, misalnya di bagian binatu, pembersihan dan lain-lain. • Pasien yang sering mendapat transfusi darah/komponen darah seperti penderita hemofilia, talasemia, anemia aplastik dan sebagainya. • Mereka yang bepergian ke daerah endemik dan atau mereka yang sering ada kontak seksual ekstra-marital dengan partner yang berganti-ganti. • Kontak dalam keluarga dengan penderita hepatitis B akutJ kronik/pengidap, terutama bila merupakan suami/isteri. • Bayi lahir dari ibu yang mengidap HBsAg. Pemakaian secara luas masih jauh dari yang diharapkan karena mahalnya harga vaksin. Sejak tahun 1987 – 1991 Departemen Kesehatan telah melaksanakan pilot project vaksinasi hepatitis B di pulau Lombok di mana kekerapan HBsAg-emia tertinggi di Indonesia. CARA PEMBERIAN PRE-EXPOSURE PROPHYLAXIS Vaksinasi primer Orang dewasa : tiap suntikan : 1 dosis penuh (1 ampul = 1 ml). Suntikan pertama : hari yang dipilih, suntikan ke dua : 1 bulan kemudian, suntikan ke tiga : 6 bulan setelah suntikan pertama. Adakalanya diberikan dengan cara yang lebih cepat : misalnyapadadugaan ancaman penularan risiko tinggi; pads vaksinasi ini suntikan yang ke tiga diberikan 2 bulan (tidak 6 bulan) setelah injeksi pertama. Cara penyuntikan berselang satu bulan ini merupakan anjuran bila memakai vaksin Hepaccine B buatan Cheil Sugar yang berasal dari plasma. Bayi baru lahir dan anak hingga umur 10 tahun : tiap suntikan : 1/2 dosis orang dewasa. Suntikan pertama : hari yang dipilih, suntikan ke dua : 1 bulan kemudian, suntikan ke tiga : 6 bulan setelah suntikan pertama. Untuk vaksin H B Vax II, (MSD) dianjurkan 2,5 mcg sebagai dosis untuk bayi baru lahir sampai anak usia 10 tahun, sedangkan anak dari usia 10 tahun hingga dewasa 5 mcg. Untuk vaksin Hevac B Pasteur yang berasal dari plasma cara pemberian vaksinasi sedikit berbeda : suntikan pertama dan ke dua dengan berselang waktu satu bulan, sedangkan yang ke tiga satu tahuti kemudian. Pada bayi yang lahir dari ibu pengidap : dosis orang dewasa 3 kali berturut-turut dengan berselang waktu satu bulan. POST-EXPOSURE PROPHYLAXIS Bagian tubuh terluka yang berhubungan langsung dengan darah, cairan tubuh lain atau sekret dari pengidap HBsAg : perlu segera mendapat vaksinasi pasif dengan hepatitis B immunoglobulin sebanyak 0,06 ml/kg berat badan dalam waktu 24 jam dan selanjutnya dalam waktu 7 hari dimulai suntikan vaksin hepatitis B seperti biasa atau ke tiga suntikan diberikan berselang waktu satu bulan.

Bayi yang lahir dari ibu pengidap HBsAg : Hari pertama diberikan suntikan (i.m.) vaksinasi pasif : 0,5 ml hepatitis B immunoglobulin. Vaksinasi aktif fdiberikan berturut-turut pada usia : 7 hari,1 bulan dan 6 bulan atau sesuai petunjuk dari pabrik pembuat vaksin. Vaksinasi booster Pada umumnya vaksinasi booster tidak diperlukan dalam waktu 5 tahun setelah vaksinasi primer. Mereka yang memiliki titer antibodi < 10 IU/l cukup mendapat vaksinasi booster satu kali. Tempat dan cara injeksi Pada orang dewasa dianjurkan agar vaksin disuntikkan pads musculus deltoid. Tempat penyuntikan ini lebih memberikan keberhasilan vaksinasi dari pads suntikan di bokong di mana vaksin sering terserap ke jaringan lemak. Pada bayi sebaiknya dipilih paha bagian antero-lateral. Pada pasien dengan kecenderungan berdarah misalnya hemofilia, suntikan dapat diberikan subkutan. Cara ini dapat memberikan lebih banyak reaksi lokal dan kadang-kadang terbentuk nodules. Maka dari itu suntikan subkutan ini hanya diberikan kepada mereka yang ada kecenderungan perdarahan. Kriteria keberhasilan Sebagai tanda keberhasilan vaksinasi adalah terdapatnya antibodi terhadap hepatitis B, sekitar satu bulan setelah suntikan ke tiga. Titer antibodi yang biasanya dianggap protektif terhadap infeksi HBV adalah minimal 101U/1. Titer 10 – 100 IU/1 setelah vaksinasi dianggap sebagai respons lemah, sedangkan titer antara 101 – 1000 IU/1 : respons sedang dan titer > 1000 IU/l dianggap sebagai respons kuat (8) . Gangguan daya imun Mereka yang sedang dalam pengobatan imunosupresif atau dalam keadaan gangguan daya imun termasuk gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis secara berkala, memerlukan dosis vaksin lebih tinggi dan hasilnya sering kurang baik. Pasien hemodialisis dianjurkan menggunakan vaksin 4 kali lebih pekat dari pada dosis orang dewasa normal. Dengan dosis vaksin yang tinggi ini pun keberhasilan hanya mencapai 40 – 60%. Kontraindikasi Hanya demam tinggi yang merupakan kontraindikasi pemberian vaksinasi. Sudah tentu vaksinasi tidak diberikan kepada penderita/pengidap Hepatitis B virus dan mereka yang sudah memiliki antibodi terhadap hepatitis B dalam titer yang cukup tinggi. Maka dari itu pemberian vaksinasi didahului dengan pemeriksaan terhadap HBsAg dan HBsAb dan bila mungkin diperiksa jugs HBcAb, karena pada window period hanya HBcAb positif yang merupakan satu-satunya petanda terkenanya infeksi HBV. Apabila salah satu tes tersebut di atas memberikan basil positif, maka vaksinasi tidak diberikan. Kehamilan pada wanita golongan risiko tinggi atau sedang tidak merupakan kontra-indikasi karena vaksin rekombinan maupun vaksin berasal dari plasma tidak mengandung zat in-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 55

feksius yang akan berpengaruh terhadap ibu dan perkembangan fetus". Efek samping Hampir tidak ada atau minimal, hanya berupa rasa sakit lokal di tempat injeksi. Adakalanya ada reaksi seperti demam subfebril, rasa lemas, capai, sakit kepala, sakit pada sendi-sendi dan tulang, rasa mual, puling. Jarang sekali ada urtikaria atau rash dan sangat jarang timbul hipersisitivitis atau reaksi anafilaksis yang pernah dijumpai beberapa jam setelah suntikan. KEBERHASILAN VAKSINASI Antibodi tidak selalu terbentuk/terukur setelah rampungnya vaksinasi. Menurut pembuat vaksin Engerix B, keberhasilan vaksinasi dicapai sekitar 90 – 95% pada orang yang tampak normal. Penulis utama telah melakukan vaksinasi di antara pasien pribadi dengan menggunakan vaksin Engerix B pads 47 orang sehat,26 pria dan 21 wanita, usia bervariasi antara 2 sampai 66 tahun (rata-rata 29,7 tahun)(6) . HBsAg dan HBsAb diperiksa dengan cara E.I.A yang kini lazim digunakan. Keberhasilan terbentuknya HBsAb setelah vaksinasi berjumlah 44 kasus atau 93,6% dengan titer HBsAb rata-rata 429,4 IU/l. Perincian : 43 kasus tergolong respons imunogenisitas sedang dengan variasi titer antibodi antara 150 — 912 IU/l; satu kasus tergolong respons imunogenisitas lemah : titer antibodi 20 IU/I. Tiga kasus negatif tersebut setelah mendapat suntikan ke 4 memberikan respons dengan titer antibodi rendah, rata-rata 42,3

56

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

IU/I, berkisar antara 27 sampai 57 IU/I yang berarti tergolong respons lemah(6).

KEPUSTAKAAN 1. Merck, Sharp & Dohme. Hepatitis B Prevention : Mass immunisation called for. Asian Medical News, July 9, 1991. 2. Sulaiman HA. Hepatitis dan permasalahannya menjelang tahun 2000. Pidato pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia, Mei 1992. 3. Sulaiman HA. Infeksi virus hepatitis B, sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler. Disertasi Kobe University School of Medicine, 1989. 4. Kosasih EN, Sembiring P. Hepatitis B Antigen Determination (CIE) in Medan. Acta Medica Indonesiana, 1977; VIII: 72-74. 5. Kosasih EN, Sukiman I. Pemeriksaan laboratorium imunologik membantu penenwan diagnosa hepatitis. Simp. Peny. Hati, Fakultas Kedokteran USU, 23 Peb. 1983. 6. Kosasih EN. tidak dipublikasi, 1992. 7. Simons MJ, Kosasih EN, Wright R, Noerjasin B, Yap EH, Nishioka K. Epidemiological Aspects of Hepatitis B agent Infection in Indonesian Ethnic Groups. Kongres Nasional Pertama, Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia. Jakarta, 1974. 8. Jilg W, Lorbeer B, Schmidt M, Wilske B, Zoulek G, Deinhardt F. Clinical evaluation of a recombinant hepatitis B vaccine. Lancet 1984; II: 1174-5. 9. HollingerFB.Hepatitis B Vaccines-to switch or not to switch, JAMA SEA, 8-10, Aug. 1987. 10. Center for Diseases Control, Department of Health and Human Services. Update on Hepatitis B Prevention : Recommendations of the Immunization Practices Advisory Committee. Ann Intern Med, 1987; 107: 353-7.

Infeksi, Perdarahan dan Hipertensi pada Obstetri Ginekologi Infeksi dalam Kehamilan dan Persalinan Rusli P. Barus Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Infeksi merupakan penyakit yang sering menyerang ibu, baik pads masa kehamilan maupun pada saat persalinan. Infeksi ini dapat terjadi oleh karena faktor penanganan persalinan yang kurang adekuat dan kurang bebas hama. Dilaporkan bahwa infeksi merupakan salah satu dari tiga penyebab kematian pads ibu hamil dan bersalin, selain perdarahan dan tekanan darah tinggi. Pada makalah ini dibatasi pembicaraan mengenai ketuban pecah dini dan partus terlantar yang sering di jumpai pada bagian Kebidanan RS Dr. Pirngadi Medan. KETUBAN PECAH DINI Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD; Premature Rupture of the Membrane = PROM; Amniorrhexis) ialah robeknya selaput ketuban pads setiap saat sebelum persalinan mulai atau sebelum in partu. Insidens - RS Dr. Pirngadi Medan (1982) : 2,27% dari seluruh persalinan. RS Hasan Sadikin Bandung (1979) : 5,05%. RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (1988) : 11,22%. Etiologi/Faktor Predisposisi Sampai saat ini penyebab KPD belum diketahui secara pasti, tetapi berbagai penulis menyebutkan beberapa faktor predisposisi, antara lain : 1) Faktor selaput ketuban. 2) Faktor infeksi. 3) Faktor perubahan tekanan intrauterin yang mendadak.

4) Faktor yang berhubungan dengan kebidanan dan ginekologi, seperti : multigravida, pernah mengalami KPD pada persalinan yang lalu, perdarahan antepartum, hamil ganda, hidramnion, malposisi, disproporsi sefalo-pelvik, umur lebih dari 35 tahun, trauma vagina, dan lain-lain. 5) Faktor sosio ekonomi yang rendah, seperti : defisiensi gizi, vitamin C. 6) Faktor antagonismus golongan darah A, B, O. 7) Faktor merokok. 8) Faktor keturunan. Diagnosis Diagnosis ditegakkan dengan : 1) Anamnesis : keluar air dari vagina. 2) Pemeriksaan klinis, antara lain : Pemeriksaan klinis langsung yaitu melihat air ketuban keluar. Pemeriksaan inspekulo, air ketuban mengalir keluar dari kanalis servikalis (bila perlu dengan tekanan ringan pada fundus uteri). Periksa dalam, secara asepsis meraba tidak adanya selaput ketuban. 3) Pemeriksaan laboratorium : Tes kristalisasi/tes arborisasi air ketuban. Tes pH air ketuban dengan kertas indikator (air ketuban bersifat alkalis dengan pH 7,0 - 7,5). Suntikan zat warna intraamnion, pengecatan lemak, lanugo, pengukuran kadar glukosa dan fruktosa, pemeriksaan sitologi sel skuamosa janin). 4) Pemeriksaan dengan ultrasonografi, menilai banyaknya air ketuban, umur kehamilan, dan posisi janin.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

57

Penanganan Prosedur penanganan KPD : 1) Penderitadirawat dirumahsakit,istirahatmutlakdanbokong ditinggikan, sedapat mungkin hindari periksa dalam. 2) Diberikan antibiotika profilaksis atau terapi sedini mungkin (suntikan PP 1,2 juta IU). 3) Pemantauan denyut jantung janin, pengamatan tanda-tanda infeksi dan tanda-tanda mulainya persalinan. 4) Pemeriksaan USG untuk konfirmasi diagnostik. 5) Jika ada tanda-tanda korio-amnionitis dan bila pelvic score > 5 langsung dilakukan induksi persalinan tanpa memandang tuanya kehamilan. Jika persalinan belum selesai dalam waktu 6 — 8 jam sebaiknya dilakukan tindakan operatif. Bila pelvic score < 5, persalinan diakhiri dengan sectio Caesarea (SC). Bagan Penanganan KPD A. Viable for life : ? 37 minggu/BB 2500 gram a) Observasi yang baik selama 8 — 12 jam. b) Lalu dilakukan induksi partus bila belum ada tanda in partu. c) Anak letak lintang dan letak sungsang langsung SC. B. Non-viable for life : < 37 minggu/BB < 2500 gram a) Jika maturitas paru belum matang, dirawat dan diusahakan agar kehamilan dapat dilanjutkan sampai berumur 37 minggu. b) Jika maturitas paru sudah matang, dilakukan induksi partus setelah observasi 24 jam. c) Bila induksi partus gagal, dilakukan SC. d) Sementara menunggu, diberikan : — Suntikan PP 1,2 juta IU perhari, kalau perlu diberi antibiotika oral seperti Amoksisilin 500 mg 3x/hari. - Vitamin C dosis tinggi. — Spasmolitik/tokolitik, plasento-tropik. Catalan : 1) KPD dengan umur kehamilan < 26 minggu (BB 500 gram) sebaiknya langsung dilakukan induksi/terminasi kehamilan (survival rate mendekati nol). 2) Tanda-tanda utama korio-amnionitis adalah : suhu 38°C, air ketuban purulen dan berbau busuk, lekosit > 15.000/mm3 . Tanda-tanda lain adalah : takikardi, nyeri tekan Uterus, dan lainlain. Komplikasi Infeksi/sepsis. — Kematian janin karena infeksi dan/atau prematuritas. PARTUS TERLANTAR Pendahuluan Persalinan di Indonesia masih banyak ditolong oleh dukun, ditolong sendiri, atau oleh suaminya. Telah lama diketahui bahwa kira-kira 80% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan, dan kebanyakan dari mereka menerima pelayanan kebidanan/ persalinan dari dukun. Mereka tidak mengetahui mekanisme persalinan. Pertolongan dilakukan berdasarkan pengalaman yang didapat turun temurun, dan di samping itu mereka kurang mengetahui keadaan persalinan yang bersifat patologik sehingga

58

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

dalam merujukan penderita ke rumah sakit, sudah dalam keadaan terlantar. Keadaan inilah yang meninggikan angka morbiditas dan mortal itas ibu dan anak. Hal tersebut di atas dapat juga terjadi bila persalinan ditolong oleh penolong persalinan lain yang tidak trampil. Definisi Partus terlantar adalah suatu keadaan fase akhir dari suatu persalinan yang macet dan berlangsung lama, sehingga menimbulkan komplikasi terhadap ibu maupun anak. Etiologi Penyebab partus terlantar adalah multikompleks, yang berhubungan dengan pengawasan pada waktu hamil dan penatalaksanaan pertolongan persalinan. Penatalaksanaan persalinan yang tidak adekuat bisa disebabkan oleh : — ketidaktahuan - ketidaksabaran - keterlambatan merujuk. Diagnosis Gejala klinis, antara lain : 1) Tanda-tanda kelelahan ibu : — dehidrasi dan kadang-kadang sampai syok, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit — nadi cepat dan lemah — meteorismus febris — his lemah sampai hilang oliguria. 2) Tanda-tanda infeksi intrauterin/intrapartum : — air ketuban yang keluar berwarna keruh kehijau-hijauan atau keruh kecoklatan dan berbau. 3 — suhu badan naik (>— 38°C); leukosit > 15.000/mm . 3) Tanda-tanda gawat janin : — denyut jantung janin mula-mula meninggi, lalu menurun sampai hilang. — air ketuban bercampur mekonium. Palpasi : his lemah sampai hilang. gerakan janin lemah sampai hilang. kadang dapat dijumpai tanda-tanda RUI. Auskultasi : denyut jantung janin melemah sampai hilang. adanya meteorismus. Periksa dalam : Dijumpai kaput suksadaneum yang besar dan air ketuban berwarna keruh kehijau-hijauan sampai kekuning-kuningan serta berbau (meconium stain). Komplikasi 1) Ibu : — Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. - Dapat terjadi PPH. — Infeksi sampai sepsis. - Robekan jalan lahir.

Fistula vesikovaginal dan/atau rektovaginal, vesikovaginal, vesikokel, rektokel, dan prolapsus uteri. 2) Anak : – Anak lahir dalam keadaan asfiksi sehingga menimbulkan cacat otak yang menetap. – Gawat janin sampai meninggal. –

Penatalaksanaan 1) Perawatan pendahuluan : – Pemberian infus cairan untuk rehidrasi cepat dalam 1 jam, diberikan larutan dextrose 5% sebanyak 1 liter dan larutan Laktat-Ringer sebanyak 500 ml (2 : 1). – Penicillin procain 1,2 juta IU/im. – Kortison asetat 100–200 mg im. – Dievaluasi kembali setelah rehidrasi 1 jam. 2) Mengakhiri persalinan : Mengakhiri persalinan partus terlantar tergantung kepada : – penyebab kemacetan – status presens penderita – keadaan janin (fetal distress atau tidak). Tindakan yang mungkin dilakukan antara lain adalah augmentasi partus, ekstraksi vakum, ekstraksi forceps, sectio caesarea, sectio caesarea-histerektomi, atau operasi Porro.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4.

5. 6.

7.

8.

9.

10.

Cunningham FG, Mc Donald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 8th Ed. Ch 38. Pretenn and posttemi pregnancy and inappropriate fetal growth. Harger JH, Hsing AW, Toumola RE et al. Risk factor for preterm rupture of fetal membranes : A multicenter case-control study. Am J Obstet Gynecol 1990; 163(1): 130-7. Larsen JW. Premature amniorrhexis. Obstet Gynecol Ann 1979; 8. Medical Committee Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS Dr Pimgadi Medan. Ketuban Pecah Dini (Premature Rupture of The Membranes = PROM). POGI. Konsep Standar Pelayanan Medis Obsgin, Bagian I, Surakarta, Juni 1991. Sarkawi W, Roeshadi RH, Simanjuntak P. Ketuban Pecah Dini (KPD) dengan kehamilan prematur (Laporan Kasus). Pros Pertemuan Bmiah Tahunan Pertama POGI, Jakarta, 26-27 Juni 1981. Sarkawi W. Hasil penelitian ketuban pecah dini di RS Dr. Pimgadi Medan. Skripsi Bagian Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RS Dr. Pimgadi Medan, 1983. Simanjuntak P, Hutapea H, Tanjung MT, Roeshadi RH. Antibiotik profilaksis dalam kebidanan. Naskah Lengkap Simposium Antibiotik, Pangkalan Brandan, Makalah 17, 1980. Sinaga B, Reksoprodjo M. Meninjau ketuban pecah dini sebagai kasus rujukan di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo. Kumpulan Makalah POGI Jaya di PTP-V POGI. Siregar D,Iskandar FR, Hasan B. Tinjauan penatalaksanaan ketuban pecah dini. Naskah Lengkap Sidang Bmiah KOGI-IV Yogyakarta, 10-15 Juni 1979.

Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 ' 59

Perdarahan Hamil Tua dan Perdarahan Postpartum Dr. John Slamet Khoman Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah masalah perdarahan. Walaupun angka kematian maternal telah menurun secara dramati dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan persalinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah, namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal. Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera, merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak. Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan, persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita hamil, dan nifas yang mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan tepat. PERDARAHAN HAMIL TUA A. PLASENTA PREVIA Definisi Plasentaprevia ialah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pads segmen bawah rahim sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri intemum. Faktor Predisposisi 1. Multiparitas dan umur lanjut (> 35 tahun)

60

Cermin Dania Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

2. Defek vaskularisasi desicua oleh peradangan dan atrofi 3. Cacat/jaringan parut pads endometrium oleh bekas-bekas pembedahan (SC, kuret, dan lain-lain) 4. Khorion leve persistens 5. Korpus luteum bereaksi terlambat 6. Konsepsi dan nidasi terlambat 7. Plasenta besar pads hamil ganda dan eritropblastosis atau hidrops fetalis. Klasifikasi Klinis 1. Plasenta previa totalis : seluruh ostium uteri intemum tertutup oleh plasenta. 2. Plasenta previa lateralis/parsialis : sebagian ostium uteri intemum tertutup oleh plasenta. 3. Plasenta previa marginalia : pinggir bawah plasenta berada tepat pada pinggir ostium uteri intern urn. Insidens Satu di antara 125 persalinan terdaftaran (0,8%) di RSCM Jakarta pada tahun 1971 - 1975, sedangkan di RS Dr. Pirngadi Medan 2,64% atau 1 diantara 38 persalinan. Gejala Klinis 1) Gejala utama plasenta previa adalah perdarahan tanpa sebab, tanpa rasa nyeri dan biasanya berulang (painless, causeless, recurrent bleeding), darahnya berwarna merah segar. 2) Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak janin. 3) Perdarahan pertama (first bleeding) biasanya tidak banyak dan tidak fatal, kecuali bila dilakukan periksa dalam sebelumnya, sehingga pasien sempat dikirim ke rumah sakit. Tetapi perdarahan berikutnya (recurrent bleeding) biasanya lebih banyak. 4) Janin biasanya masih baik.

Diagnosis 1) Gejala klinis 2) Pemeriksaan ultrasonografi (USG) 3) Periksa dalam di atas meja operasi; infus atau transfusi darah telah dipasang (double set up) : a) Inspekulo (pemeriksaan dengaqn sepkillum) b) Meraba forniks, mulai dari forniks posterior, apa ada teraba tahanan lunak (ban talan) an tara bagian terdepan janin dengan jari kita. c) Jan dimasukkan hati-hati kedalam ostium uteri internum (intraservikal) untuk meraba adanya jaringan plasenta. Pananganan Semua pasien dengan perdarahan pervaginam pads kehamilan trimester ke tiga, dirawat di rumah sakit tanpa periksa dalam (toucher vagina). Bila pasien dalam keadaan syok karena perdarahan yang banyak, hams segera diperbaikan keadaan umumnya dengan pemberian infus atau transfusi darah. Selanjutnya penanganan plasenta previa tergantung kepada : — keadaan umum pasien, kadar Hb — jumlah perdarahan yang terjadi — umur kehamilan/taksiran BB janin — jenis plasenta previa — paritas dan kemajuan persalinan. 1. Penanganan Ekspektatif Kriteria : - Umur kehamilan kurang dari 37 minggu - Perdarahan sedikit - Belum ada tanda-tanda persalinan Keadaan umum pasien baik, kadar Hb 8 gr% atau lebih Rencana penanganan : — Istirahat baring mutlak — Infus Dextrose 5% dan elektrolit — Spasmolitik, tokolitik, plasentotropik, roboransia Periksa Hb, HCT, COT, golongan darah Pemeriksaan USG Awasi perdarahan terus menerus, tekanan darah (tensi), nadi dan denyut jantung janin — Apabila ada tanda-tanda plasenta previa, tergantung keadaan, pasien dirawat sampai kehamilan 37 minggu, selanjutnya penanganan secara aktif. 2. Penanganan Aktif : Kriteria : — Umur kehamilan (masa gestasi) >37 minggu, BB janin > 2500 gram Perdarahan banyak, 500 ml atau lebih Ada tanda-tanda persalinan — Keadaan umum pasien tidak baik, ibu anemik, Hb < 8%. Untuk menentukan tindakan selanjutnya, SC atau partus pervaginam, dilakukan pemeriksaan dalam (VT) di kamarbedah, infus/tranfusi darah sudah dipasang. Umumnya dilakukan SC. Partus pervaginam dilakukan pads plasenta previa marginalis

dan enak sudah meninggal. Tetapi bila perdarahan banyak, segera SC. Tindakan versi Braxton Hicks dengan pemberat atau pemasangan cunam Willet-Gausz dengan pemberat untuk menghentikan perdarahan (kompresi atau tamponade bokong dan kepala janin terbadap plasenta) hanya dilakukan pads keadaan darurat, anak masih kecil atau sudah mati, dan tidak ada fasilitas untuk melakukan operasi. Komplikasi 1. Perdarahan dan syok 2. Infeksi 3. Laserasi serviks 4. Plasenta akreta Prognosis Ibu : Dengan adanya fasilitas diagnose dini (USG), transfusi darah, tehnik anestesi dan operasi yang baik dengan indikasi SC yang lebih liberal, prognosis ibu cukup baik. Prognosis kurang balk jika penolong melakukan VT di luar rumah sakit dan mengirim pasien sangat terlambat dan tanpa infus. Anak Kamatian janin umumnya disebabkan prematuritas. B. SOLUSIO PLASENTA Definisi Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal sebelum janin lahir. Insidens Berkisar diantara 1 per 78 sampai 206 persalinan. Di RSCM Jakarta (1968 - 1971) : 2,1% dari seluruh persalinan. Etilogi/Faktor Predisposisi 1. Hipertensi dalam kehamilan (penyakit hipertensi menahun, preeklamsia, eklamsia) 2. Multiparitas, umur ibu yang tua 3. Tali pusat pendek 4. Uterus yang tiba-tiba mengecil (hidramnion, gemelli anak ke-2) 5. Tekanan pads vena cava inferior 6. Defisiensi gizi, defisiensi asam folat 7. Trauma. Klasifikasi Klinis 1. A.Solusio plasenta ringan B. Solusio plasenta sedang C. Solusio plasenta berat 2. A.Solusio plasenta totalis : plasenta terlepas seluruhnya B.Solusio plasenta partialis : plasenta terlepas sebagian. 3. A.Perdarahan tersembunyi/terselubung (concealed) : 20% B. Perdarahan keluar pervaginam (revealed) " 80%. Gejala klinik (Klasik) 1. Perdarahan pervaginam disertai rasa nyeri di perut yang terus menerus, wama darah merah kehitaman. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

61

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Uterus tegang seperti papan (uterus enbois, wooden uterus). Palpasi janin sulit Auskultasi djj sering negatif KU pasien lebih buruk dari jumlah darah yang keluar Sering terjadi renjatan (hipobvolemik dan neurogenik) Pasien kelihatan pucar, sejak, gelisah dan kesakitan.

Catalan : Pada gejala solusio plasenta ringan dengan gejala tidak menonjol, harur hatihati, kerena anak bisa mati.

Diagnosis 1. Gejala klinis 2. Periksa dalam (VT) : ketuban menonjol walaupun tidak ada his 3. Pemeriksaan USG 4. Plasenta kelihatan cekung atau lebih tipis di tempat adanya hematom (diagnopsa setelah plasenta lahir). Penanganan 1. Pasien dirawat di rumah sakit, istirahat baring, mengukur keseimbangan cairan. 2. KU segera diperbaiki segera diberikan infus dan transfusi darah segar. 3. Pemeriksaan laboratorium : Hb, HCT, COT, golongan darah, kadar fibrinogen plasma, urine lengkap, fungsi ginjal. 4. Jika anak hidup dan sudah viable, dilakukan SC. 5. Pasien gelisah dan mengerang kesakitan, diberikan suntikan analgetika (petidin, morfin). 6. Persalinan dipercepat denganamniotomi danoksitosin drips. 7. Jika dalam 6 jam persalinan belum selesai, dilakukan SC. 8. a. Bila sudah terjadi gangguan pembekuan darah (COT) > 30 menit), diberikan darah segar dalam jumlah besar, kalau perlu fibrinogen intravena, monitor berkala dengan pemeriksaan COT dan Hb. b. Jika KU pasien kurang baik dengan kadar Hb yang rendah (< 8 g%) dengan fasilitas transfusi darah yang sangat terbatas, pertimbangkan untuk SC histerektomi atau operasi PORRO. c. Couvelaire uterus dengan atonia dilakukan histerektomi. Komplikasi a) Yang terjadi segera (immediate) adalah perdarahan dan renjatan. b) Yang terjadi kemudian (delayer) : 1) Uterus couvelaire = utero=placental-apoplexy 2) Gangguan pembekuan darah (hipo atau a-fibrinogenemi, DIC) 3) Gagal ginjal akut : — rental cortical necrosis — Lower nephron necrosis dengan gejala proteinuria, oliguria dan nauria. 6) Infeksi pelbvis. 7) sinfrom Sheehan (nekrose kelenjar hipofise). Prognosis

dan pasien segera mendapat transfusi darah segar. Anak Pada solusio plasenta berat, 100% janin mengalami kematian; pads solusio plasenta ringan dan sedang, kematian janin tergantung pada luasnya plasenta yang terlepas, umur kehamilan dan cepatnya pertolongan. PERDARAHAN POSTPARTUM Definisi Perdarahan postpartum adalah perdarahan pervaginam 500 ml atau lebih, sesudah anak lahir. Klasifikasi Klinis 1) PerdarahanPascaPersalinan Dini (Early Postpartum Haemor rhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). 2) Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Insidens Rumah Sakit Dr. Pirngadi Medan (1965 - 1969) : 5,1%. Etiologi 1. Atonia uteri (> 75%) 2. Robekan (laserasi, luka) jalan lahir 3. Retensio plasenta dan sisa plasenta 4. Gangguan pembekuan darah (koagulopati) Catalan :

Kemungkinan penyebab perdarahan yang lain dalam persalinanseperti : inveriso uteri, perlukan vulva (hematoma, robekan perineum/luka episiotomi), per-

lukan vagina (kolpaporrhexis dan lain-lain), perlu mendapat perhatian.

Predisposisi atonia uteri : 1) Grandemultipara 2) Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar (BB > 4000 gram). 3) Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi). 4) Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan anteparturn). 5) Partus lama (exhausted mother). 6) Partus precipitatus. 7) Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis). 8) Infeksi uterus. 9) Anemi berat. 10) Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus). 11) Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual. 12) Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas. 13) IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati). 14) Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.

Mu:

Baik, kalau persalinan sudah selesai dalam batas waktu 6 jam sejak saat mulai terjadinya keadaan patologik solusio plasenta 62

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Gejala Klinis 1) Perdarahan pervaginam yang terus menerus setelah bayi

lahir. 2) Pucat, mungkin ada tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual, dan lain-lain). Diagnosis 1) Berdasarkan gejala klinis : a) Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir.'Biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Warna darah merah segar. b) Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. 2) Palpasi uterus : fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik merupakan tanda atonia uteri. 3) Memeriksa uri dan ketuban, apakah lengkap atau tidak kotiledon atau selaput ketubannya. 4) Eksplorasi kavum uteri, apakah ada bekuan darah, sisa uri dan selaput ketuban, robekan rahim atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). 5) Inspekulo : robekan pada serviks, vagina dan varises yang pecah. 6) Laboratorium : Hb, HCT, COT, kadar fibrinogen, tes hemoragik, dan lain-lain.

RETENSIO PLASENTA/SISA PLASENTA 1) Retensio plasenta tanpa perdarahan masih dapat menunggu. Sementara itu kandung kemih dikosongkan, masase uterus dan suntikan oksitosin (i.v. atau i.m. atau melalui infus) dan botch dicoba perasat Crede secara lege artis. Jika tidak berhasil, dilakukan plasenta manuel. 2) Setelah plasenta manuel, diberi suntikan ergometrin 3 hari berturut-turut. Jika ada keraguan jaringan plasenta yang tertinggal, maka pads hari ke-4 dilakukan kerokan.kurentase dengan kuret tumpul ukuran besar didahuli suntikan/infus oksitosin. 3) Plasenta kaptiva atau inkarserata diberi suntikan oksitosin intraserviks untuk menambah pembukaan serviks dan diberi anestesi umum untuk melahirkan plasenta dengan memakai alat cunam ovum atau cara manuel. 4) Plasenta manuel segera dilakukan jika : a) Perdarahan kala-III lebih dari 200 ml b) Penderita dalam narkosa c) Riwayat PPH habitualis 5) Plasenta akreta, inkreta dan perkreta ditolong dengan histerektomi. 6) Sisa plasenta dikeluarkan dengan kerokan. 7) Penderita diberikan uterotonika, analgetika,m roboransia, dan antibiotika.

Penanganan 1) Hentikan perdarahan. 2) Cegah/atasi syok. 3) Ganti darah yang hilang : diberi infus cairan (larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen.

KEPUSTAKAAN 1.

ATONIA UTERI 1) Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 1001U dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin i.v., yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan prostaglandin. 2) Kompresi bimanuil 3) Tampon utero-vaginal secara lege antis, tampon diangkat 24 jam kemudian. 4) Tindakan operatif : a) ligasi arteri uterina b) ligasi arteri hipogastrika c) histerektomi Catalan : a) dan b) untuk yang masih menginginkan anak. Tindakan yang bersifat sementara untukmengurangi perdarahan menunggutindakan operatifdapat dilakukan metode Ilenke! (menjepit cabang arteri uterina melalui vagina, kiri dan kanan) atau kompresi aorta abdominalis.

ROBEKAN/LASERASI JALAN LAHIR Segera lakukan reparasi, robekan dilihat secara a vue dengan spekulum, dan dilihat dengan cermat. Catalan : Kolpaporrhexis dan hematoma yang besar dan tinggi (hematoma supralevatorial, parabaginal, ligamentum latom, ekstraperitonea!) kemungkinan memerlukan tindakan bedah/laparotomi.

Brooks C. Management of obstetrics emergency, Primary postpartum hemorrhage. J Paed. Obstet. Gynecol. 1940; 16 (2). 2. Heller L. Gawat darurat obstetri dan ginekologi (Ed. : Petrus Adrianto) Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran 1986. 3. Mochtar R, Simanjuntak P, Kwee Bing Kiong. Perdarahan postpartum di RSUP Medan. Naskah Lengkap KOGI-I POGI, Jakarta, 1970. 4. Moeloek FA. Perdarahan dalam obstetri dan ginekologi. Kedaruratan dan kegawatan medik-II Jakarta : FKUI 1982. 5. PB POGI. Konsep DasarPelayanan Medis Obstetri-Ginekologi,Surakarta, Juni 1991. 6. Pritchard-Mac Donald. Williams Obstetrics. Sixteen Ed. New York : Appleton-Century-Crofts 1980. 7. Purwandianto A, Sampuma B. Kedaruratan medik, pedoman penatalaksanaan praktis. Edisi Ketiga Jakarta : Binarupa Aksara 1981. 8. Samil RS. Postpartum Hemorrhage, Causes, Prophulaxis and Management. J Paed. Obstet, Gynecol. 1988; 16 (4). 9. Seto Martohoesodo. Gangguan dalam kala III persalinan. Buku Ilmu Kebidanan, Sarwono Prawirohardjo (Editor Ketua), Jakarta : Yayasan Bina Pustaka 1976. 10. Simanjuntak, P. Perdarahan Postpartum. Bahan Penataran Bidan Rumah Sakit di RS Dr. Pimgadi Medan. 11. Harahap RE. Penyakit serta kelainan plasenta dan selaput janin. Ilmu Kebidanan, Prawirohardjo, S (Editor Ketua), Yayasan Bina Pustaka Jakarta, 1976. 12. Khoman JS. Plasenta previa di RS Dr. Pimgadi Medan. Skripsi, 1983. 13. Rachman IA. Kedaruratan dalam bidang ilmu kebidanan pada praktek sehari-hari. Maj Kedokt Kel 1981; 1 (1). 14. Simanjuntak P, Albar E, Kaban RM. Plasenta previa dan solusio plasenta di Medan. Naskah Lengkap KOGI-I POGI, Jakarta, 1970.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

63

Penanganan Kasus Perdarahan Hamil Muda Daulat Sibuea Bagian Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Salah satu penyebab kematian ibu (maternal) pads masa hamil muda (umur kehamilan kurang dari 28 minggu) adalah perdarahan (pervaginam). Setiap kejadian perdarahan (pervaginam) harus ditangani segera dengan cara yang baik. Dengan demikian hilangnya darah yang berkepanjangan dicegah. Hilangnya banyak darah dalam kurun waktu yang relatif singkat akan berbahaya bagi ibu dan kehamilannya; bahaya ini semakin parah jika timbul kemudian infeksi. Sehubungan dengan besarnya bahaya tersebut, maka setiap kejadian perdarahan pads masa hamil muda harus segera dikonsultasikan kepada dokter. Peringatan ini harus selalu diberikan pada setiap ibu hamil yang datang memeriksakan kehamilannya.

hipoksi berubah dari vasokonstriksi menjadi vasodilatasi, akibatnya aliran darah intravaskular semakin lambat, sehingga terjadi kegagalan fungsi organ-organ tubuh. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat perdarahan ini ditandai dari gambaran klinis berupa syok (hemorrhagic shock) (tabel 1). Tabel 1.

Gambaran klinissyok hemoragis dan hubunganny a dengan infus cairan (darah) intravena""

ETIOLOGI 1) Abortus 2) Mola hydatidosa 3) Kehamilan ektopik terganggu 4) Kelainan di serviks uteri (trauma, polip, karsinoma) 5) Kelainan di vagina (trauma, varises, karsinoma) 6) Kelainan vulva (trauma, varises, karsinoma). GAMBARAN KLINIS Perdarahan yang banyak dalam waktu yang relatif singkat, akan mengakibatkan volume darah intravaskular berkurang; untuk menjaga aliran darah ke organ-organ vital (otak, jantung, pare), pembuluh darah ke organ usus, uterus, ginjal, otot, kulit mengalami konstriksi (vasokonstriksi) dan frekuensi denyut jantung semakin meningkat. Perdarahan yang berkepanjangan tanpa penanganan yang baik akan menimbulkan hipoksi pembuluh darah organ-organ. Pembuluh darah yang mengalami 64

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

PENANGANAN Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok, tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan selanjutnya adalah untuk menghentikan sumber perdarahan.

Tahap Pertama : Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju keadaan yang lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih balk (stabil), tindakan tahap ke dua umumnya akan berjalan dengan baik pula. Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa : 1) Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan). 2) Pengawasan pernafasan Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan (adanya takipnu, sianosis), saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan diberi oksigen melalui kateter nasal dengan kecepatan 4—5 1 per menit. 3) Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi Trendelenburg. 4) Pemberian infus cairan (darah) intravena. Pada tahap pertama dapat diberikan infus cairan : campuran Dekstrose 5% dengan NaCl 0,9%, Ringer laktat. 5) Pengawasan jantung. Fungsi jantung dapat dipantau dengan elektrokardiografi dan dengan pengukuran tekanan vena sentral. 6) Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lenekan, golongan darah, jenis Rhesus, teskesesuaian darah penderita dengan darah donor (cross match), pemeriksaan pH darah, pO 2, pCO 2 darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus cairan diganti dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah. Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit (packed red celO; jika sudah ti mbul gangguan pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-tanda asidosis harus segera dikoreksi. Tahap kedua Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua dilakukan. Penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan tindakan menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya.

ABORSI IMMINENS Kasus aborsi imminens ditangani secara konservatif dengan tujuan mengusahakan agar kehamilan dapat berlanjut sampai cukup bulan. ABORSI INSIPIENS Kasus aborsi insipiens ditangani secara aktif dengan tujuan menghentikan perdarahan dengan mengeluarkan konsepsi. ABORSI INKOMPLETUS Kasus aborsi inkompletus ditangani secara aktif dengan tujuan menghentikan perdarahan dengan mengeluarkan sisa-sisa konsepsi.

ABORSI KOMPLETUS Kasus aborsi kompletus umumnya mengalami perdarahan pervaginam sedikit-sedikit, cukup ditangani menurut tahapan pertama saja. ABORSI TERTUNDA ( MISSED ABORTION) Kasus aborsi tertunda umumnya tidak menunjukkan gejala perdarahan pervaginam. Tetapi jika konsepsi yang telah mati tertahan selama lebih dari 5 minggu akan menimbulkan gangguan pembekuan darah karena hipofibrinogenemia. Untuk menghindari komplikasi ini, sebaiknya konsepsi segera dikeluarkan. ABORSI INFEKSIOSA (ABORSI SEPTIK) Kasus aborsi yang disertai dengan infeksi disebut dengan aborsi infeksiosa. Jika proses infeksinya semakin berat, akan berlanjut dengan aborsi septik. Kasus-kasus aborsi septik prognosisnya sangat jelek. Untuk menghindari komplikasi ini, sebaiknya konsepsi segera dikeluarkan. PENGELUARAN KONSEPSI Pengeluaran konsepsi dapat dilakukan pervaginam ataupun perabdominal. Pengeluaran konsepsi pervaginam I) Pada umur kehamilan sampai 12 minggu 1) Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksitosin 5—10IU. 2) Penderita diberi anestesi umum atau anestesi lokal (blok paraservikal). 3) Konsepsi dikeluarkan dari uterus dengan peralatan abortus tang dan sendok kuret. 4) Setelah konsepsi keluar seluruhnya, diberi suntikan metil ergonovine 0,2 mg intramuskular dan infus oksitosin dilanjutkan sampai 8 jam post kuretase. II) Pada umur kehamilan lebih dari 12 minggu 1) Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksitosin 5 -10 IU dengan kecepatan 4 tetes permenit dinaikkan setiap 15 — 30 menit dengan 4 tetes. Penambahan tetesan dilanjutkan sampai konsepsi keluar seluruhnya. 2) Jika ternyata hanya sebagian konsepsi yang keluar, bagian jaringan plasenta yang tertinggal dikeluarkan dengan peralatan abortus tang dan sendok kuret. Sebelum tindakan kuretase dilakukan, terlebih dahulu penderita diberi anestesi umum atau anestesi lokal. 3) Setelah konsepsi keluar seluruhnya, diberi suntikan metil ergonovine 0,2 mg intramuskuler dan infus oksitosin dilan jutkan sampai 8 jam post kuretase. III. Pada kasus aborsi tertunda Penderita diberi infus cairan dekstrose 5% ditambah oksitosin 5—10 IU, dengan prosedur seperti ad. II; atau dengan pemberian prostaglandin jika tersedia, yang hasilnya lebih baik dari infus cairan berisi oksitosin, atau dengan infus cairan oksitosin dapat dikombinasi dengan pemakaian laminaria intraservikal. Tindakan selanjutnya sama seperti prosedur ad II-2, dan ad II-3. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

65

IV. Pada kasus aborsi infeksiosa dan aborsi septik Sebelum tindakan pengeluaran konsepsi dilakukan, terlebih dahulu diberi antibiotika spektrum lebar (luas). Prosedur pengeluaran konsepsi sama seperti ad. I atau ad. II. Pengeluaran konsepsi perabdominal Untuk kasus aborsi dengan umur kehamilan lebih dari 12 minggu yang gagal dikeluarkan pervaginam dapat dipertimbangkan melakukan laparotomi dan dilanjutkan dengan histerotomi atau histerektomi. Tindakan histerektomi khususnya dipertimbangkan pada kasus aborsi infeksiosa atau aborsi septik. Penanganan tahap kedua Molahidatidosa : Pada kasus Molahidatidosa pengeluaran jaringan molahidatidosa pervaginam dilakukan seperti prosedur penanganan tahap kedua kasus aborsi (ad II). Khusus untuk kasus Molahidatidosa risiko tinggi (kasus molahidatidosa berumur 35 tahun atau lebih, sudah punya anak 2—3 orang), pengeluaran jaringan Molahidatidosa dipertimbangkan perabdominal (histerektomi). Setelah jaringan Molahidatidosa keluar seluruhnya pemberian profilaksis khemoterapi dapat dipertimbangkan. Obatobat khemoterapi seperti methotrexate, dan actinomycin D adalah merupakan obat-obat yang suing dipakai. Selanjutnya kasus-kasus ini dipantau selama 2 tahun. Penanganan tahap kedua Kehamilan Ektopik Terganggu : Pada kasus kehamilan ektopik terganggu pengeluaran kon -

66 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sepsi perabdominal. Oleh karena tempat nidasi konsepsi umumnya terletak di tuba Fallopii, pengeluaran konsepsi ini disebut dengan Salpingektomi. Penanganan tahap kedua Kelainan Serviks, Vagina dan Vulva : Kasus-kasus perdarahan akibat kelainan serviks uteri, vagina dan vulva yang bersamaan dengan kehamilan dapat dilakukan secara konservatif. Kehamilan dijaga agar dapat berlanjut sampai cukup bulan, kecuali pads karsinoma. PENUTUP Sudah dibicarakan penanganan umum kasus-kasus perdarahan hamil muds. Pemahaman dan peningkatan keterampilan penanganan akan menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu.

KEPUSTAKAAN 1. Cavanagh D, Woods RE, O'Connor TCF, Knuppel RA. Obstetric Emergencies. Third Ed. Philadelphia: Harper & Row Publ. 2. Novak ED, Jones GS, Jones HW. Novak's Textbook of Gynecology, Ninth Ed. The William & Wilkins Co. 3. Prawiroharjo S, Wiknjosastro H, Sumapraja S, Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan. Edisi Pertama. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1976.

Hipertensi dalam Kehamilan/ Preeklam si dan Eklamsi (Gestosis) Hasdiana Hasan Bagian Obstetri & Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Sampai sekarang penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas. HDK adalah salah satu dari trias penyebab utama kematian ibu di camping perdarahan dan infeksi. Penanganan kasus HDK atau Gestosis atau EPH Gestosis masih tetap merupakan kontroversi karena sampai saat ini etiologi dan patofisiologi penyakit HDK masih belum jelas diketahui, sehingga penanganan yang definitif belum mungkin dijalankan dengan sempurna. Hanya tenninasi kehamilan yang dapat dianggap sebagai terapi yang definitif. DEFINISI HDK adalah komplikasi kehamilan setelah kehamilan 20 minggu yang ditandai dengan timbulnya hipertensi, disertai salah satu dari : edema, proteinuria, atai - edua-duanya. KLASIFIKASI Batasan yang dipakai The Committee on Terminology of the American College of Obstetrics and Gynecology (1972) adalah sebagai berikut : A. HDK sebagai penyulit yang berhubungan langsung dengan kehamilan : 1) Pre-eklamsia 2) Eklamsia B. HDK sebagai penyulit yang tidak berhubungan langsung dengan kehamilan : Hipertensi kronik. C. Pre-eklamsia/eklamsiapadahipertensikronik/superimposed. D. Transient hypertension. E. HDK yang tidak dapat dikiasifikasikan.

DEFINISI DAN KRITERIA 1) Hipertensi ialah : a) bila tekanan darah sistolik 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik >_ 90 mmHg. b) atau kenaikan tekanan darah sistolik 30 mmHg. c) atau kenaikan tekanan darah diastolik ? 15 mmHg. Untuk mengukur tekanan darah yang pertama dilakukan dua kali setelah istirahat duduk 10 menit. Pengukuran tekanan darah ini harus dilakukan sekurang-kurangnya 2 kali dengan selang waktu 6 jam dan ibu dalam keadaan istirahat. 2) Edema Akumulasi cairan ekstra vaskuler secara menyeluruh, dengan kriteria : a) Adanya pitting edema di daerah pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah dan tangan setelah bangun pagi. b) Kenaikan berat badan melebihi 500 gram/minggu atau 2000 gr/bulan atau 13 kg/seluruh kehamilan. 3) Proteinuria Adanya proteinuria dalam urine : a) Melebihi 0,3 gram/liter dalam 24 jam. b) Melebihi 1 gram/liter dalam dua kali pengambilan urine selang 6 jam secara acak, atau c) Pemeriksaan kualitatif .- 2+ pads pengambilan urine secara acak. Urine hams diambil dengan kateter atau porsi tengah (midstream urine/MSU). 4) Pre-eklamsia Ialah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblas. 5) Eklamsia

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

67

Ialah timbulnya kejang pada penderita pre-eklamsia yang disusul dengan koma. Kejang ini bukan akibat dari kelainan neurologik. 6) Hipertensi kronik Hipertensi yang menetap oleh sebab apapun, yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu, atau hipertensi yang menetap setelah 6 minggu pasca persalinan. 7) Superimposed pre-eklamsia/eklamsia Ialah timbulnya pre-eklamsia atau eklamsia pada hipertensi kronik. 8) Transient hypertension lalah hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darahnya normal sebelum hamil dan tidak mempunyai gejalagejala hipertensi kronik atau pre-eklamsia atau eklamsia. Gejala ini akan hilang setelah 10 hari pasca persalinan. ETIOLOGI Tidak diketahui dengan pasti. Pre-eclampsia, the disease of theories (Zweifel, 1916). Faktor predisposisi : 1) Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu remaja dan umur 35 tahun ke atas. 2) Multigravida dengan kondisi klinis : a) Kehamilan ganda dan hidrops fetalis. b) Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes mellitus. c) Penyakit-penyakit ginjal. 3) Hiperplasentosis : — Molahidatidosa,kehamilan ganda, hi drops fetalis, bay i besar, diabetes mellitus. 4) Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia. 5) Obesitas dan hidramnion. 6) Gizi yang kurang dan anemi. 7) Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium, defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans. PATOGENESIS Belum diketahui dengan pasti. Proses iskemik uteroplasenter menyebabkan vasospasmus arteriole/kapiler secara umum sehingga menimbulkan kelainan patologis pada organ-organ vital. PRE-EKLAMSIA RINGAN Kriteria 1) Tekanan darah > 140/90 mmHg atau tekanan darah sistolik naik > 30 mmHg atau kenaikan tekanan darah diastolik > 15 mmHg tetapi < 160/110 mmHg. 2) Edema dan/atau 3) Proteinuria, setelah kehamilan 20 minggu. Pencegahan Karena etiologi belum pasti, faktor predisposisi harus dihindari/diperkecil. Pemeriksaan antenatal harus teratur, clan cukup istirahat dan diet yang sesuai.

68

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Pengobatan A. Rawat jalan : Banyak istirahat (baring/tidur miring). Makanan cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak dan garam. — Sedativa : phenobarbital 3 x 30 mg per hari/oral atau diazepam 3 x 2 mg per hari/oral (7 hari). Roboransia (vitamin dan mineral). – TIDAK BOLEH DIBERIKAN DIURETIKUM ATAU ANTIHIPERTENSI. - Periksa ulang 1 x 1 minggu. — Pemeriksaan Laboratorium : Hb, hematokrit, trombosit, asam urat, urine lengkap (m.s.u), fungsi hati, fungsi ginjal. B. Penderita baru dirawat : 1) Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya perbaikan gejala-gejala pre-eklamsi. 2) Kenaikan berat badan ibu ? 1 kg per minggu selama 2 kali berturut-turut. 3) Kalau setelah 1 minggu dirawat tidak jelas terjadi perbaikan, penderita dimasukkan ke golongan PE berat, atau kalau dijumpai salah satu atau lebih gejala PE berat. Persalinan : – Penderita PE ringan yang mencapai normotensif selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai 40 minggu. Lewat TTP dilakukan induksi partus. — Penderita PE ringan yang tekanan darahnya turun selama perawatan tetapi belum mencapai normotensif, terminasi kehamilan dilakukan pada kehamilan 37 minggu. Catatan : 1) Pre-eklamsia ringan bukan berarti risiko kurang terhadap ibu dan janin, sebab pre-eklamsia ringan pun mungkin menjadi pre-eklamsia berat atau eklamsia pada waktu yang singkat. 2) Tekanan darah saja tidak dapat dipakai sebagai parameter untuk menentukan ringan-beratnyapenyakit, sebab tekanan darah 135/85 pun pada seorang wanita dapat menyebabkan kejang, sedangkan wanita lain dengan tekanan darah 180/120 belum tentu menderita kejang. 3) Sebaiknya pre-eklamsia ringan dirawat di rumah sakit jika fasilitas memungkinkan. PRE-EKLAMSIA BERAT Kriteria : Kalau dijumpai satu atau lebih tanda/gejala berikut : 1) Tekanan darah 160/110 mmHg. 2) Proteinuria lebih 5 gram/24 jam atau kualitatif 3+/4+. 3) Oliguria 500 ml/24 jam. 4) Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan. 5) Nyeri epigastrium. 6) Edema paru atau sianosis. 7) Pertumbuhan janin intrauterin yang terlambat (IUFGR). 8) HELLP syndrome (H = Hemolysis; EL = Elevated Liver enzymes; LP = Low Platelet counts).



Penanganan: I. PE berat dengan kehamilan >— 37 minggu 1. Pengobatan medisinalis : Rawat : a) Istirahat mutlak/isolasi. b) Diet rendah gram. c) Suntikan sulfas magnesikus : Loading dose : 4 g 20% iv. (20% dalam 20 ml) selama 4 — 5 menit (1 g/menit), dan 8 g 40% dalam 10 ml im., 4 g di bokong kiri dan 4 g di bokong kanan (sebaiknya dicampur dengan lidonest untuk mengurangi rasa sakit), yang diteruskan dengan 4 g tiap 4 jam (maintenance dose). d) Infus dextrose 5% 1 liter diselingi dengan Ringer laktat 500 ml (2 : 1). e) Kateter menetap. f) Empat jam setelah pemberian MgSO 4 tekanan darah dikontrol, jika tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik 120 mmHg diberikan suntikan Catapres® 1 ampul im. Tekanan darah tidak boleh diturunkan secara drastis, sebaiknya tekanan diastolik berkisar antara 90—100 mmHg. g) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada : edema paru gagal jantung kongestif edema anasarka. Syarat pemberian MgSO4 : Hams tersedia antidotum MgSO 4, yaitu Calcium Gluconas 10% diberikan iv. pelan-pelan (3 menit). — Refleks patella (+) kuat. - Frekuensi pernafasan > 16 x/menit. Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5 ml/ kgbb/jam). Pemberian MgSO4 sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diuresis. 2. Pengobatan obstetrik : a) Belum inpartu : Dilakukan induksi persalinan segera sesudah pemberian MgSO 4 kedua. Dilakukan amniotomi dan drip oksitosin dengan syarat : pelvik skor Bishop 5. SC dilakukan bila : Syarat drip tidak dipenuhi. 12 jam sejak drip oksitosin anal( belum lahir. Pada primi cenderung SC. b) Inpartu : Fase laten : 6 jam tidak masuk fase aktif, dilakukan SC. Fase aktif : amniotomi, kalau perlu drip oksitosin. — bila 6 jam pembukaan belum lengkap, dilakukan SC. c) Kala II dipercepat, bila syarat partus pervaginam dipenuhi, dilakukan EV/EF. d) Persalinan harus sudah selesai kurang dari 12 jam setelah dilakukan amniotomi dan drip oksitosin; jika dalam 6 jam tidak menunjukkan kemajuan yang nyata, pertimbangkan SC. e) Ergometrin tidak boleh diberikan kecuali ada PPH oleh

atonia uteri. f) Pemberian MgSO4 dapat diberikan sampai 24 jam pasca persalinan kalau tekanan darah masih tinggi. MgSO4 dihentikan bila : Ada tanda-tanda intoksikasi. - Dalam 8 jam pasca persalinan sudah normotensif. Catatan : Pemberian pertama MgSO4 sampai 20 gram (pemberian ke 3) tidak perlu menilai diuresis. II. PE berat dengan kehamilan < 37 minggu tanpa tanda i mpending eclampsia 1) Pengobatan medisinal : Pemberian MgSO 4 selama 1 x 24 jam dimulai dengan loading dose yang diteruskan dengan suntikan 4 g MgSO 4 tiap 4 jam. 2) Pengobatan obstetrik : Kalau setelah 24 jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan terminasi kehamilan. MgSO4 dihentikan bila sudah dicapai tanda-tanda pre-eklamsi ringan. Selama perawatan konservatif, observasi dan evaluasi sama seperti perawatan pre-eklamsi berat 37 minggu, hanya di sini penderita boleh pulang jika selama 3 hari perawatan tetap dalam keadaan PE ringan. Impending Eklamsia : Tanda-tanda : PE berat disertai gejala-gejala : nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, kenaikan prograsif tekanan darah (sistolik > 200 mmHg). Penanganan : SC. EKLAMSIA Detinisi Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala pre-eklamsia (kejang-kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik). Prinsip penanganan : Penanganan eklamsia sama dengan pre-eklamsia berat. Terminasi kehamilan dilakukan 4—8 jam setelah stabilisasi (lihat lampiran). PENANGANAN: A. Pengobatan Medisinal 1) MgSO4 a. Loading dose : 4 g MgSO4 dalam larutan 20 ml (20%) iv. selama 5 menit. — 8 g MgSO4 dalam larutan 10 ml (40%) im. (bokong kiri 4 g, dan bokong kanan 4 g). b. Maintenance dose : Tiap 4 jam diberikan 4 g im. bila tidak ada kontra indikasi (24 jam setelah kejang terakhir/pasca persalinan). c. Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 g iv; diberikan sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

69

Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan amobarbital 3 — 5 mg/kgbb iv. pelan-pelan. 2) Infus Dextrose 5% 1 liter kemudian dilanjutkan dengan Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP. 3) Antibiotika : dengan dosis yang cukup. 4) Perawatan pada serangan kejang : - Dirawat di kamar isolasi yang cukup terang. - Masukkan sudip Iidah (tong spatel) ke dalam mulut penderita. - Kepala direndahkan, lendir diisap dari daerah orofaring. — Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur. - Pemberian OZ Dipasang kateter menetap (Foley kateter). 5) Perawatan pada penderita koma : Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow-Pittsburg Coma Scale. — Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita. — Pada koma yang lama (> 24 jam), makanan melalui hidung (NGT = Naso Gastric Tube; Neus Sonde Voeding). 6) Diuretikum dan antihipertensi sama seperti pre-eklamsia berat. 7) Kardiotonikum (Cedilanid©) jika ada indikasi. 8) Tidak ada respons terhadap penanganan konservatif, pertimbangkan seksio sesarea. B. Pengobatan Obstetrik : 1) Semua kehamilan dengan eklamsia hares diakhiri tanpa memandang umur kehamilan dan keadaan janin. 2) Terminasi kehamilan. Sikap dasar : Bila sudah terjadi "stabilisasi" (pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu, yaitu 4 — 8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan di bawah ini : setelah pemberian obat anti kejang terakhir. setelah kejang terakhir. setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir. penderita mulai sadar (responsif dan orientasi). 3) Bila anak hidup, SC dapat dipertimbangkan. Perawatan Pasca Persalinan 1) Bila persalinan terjadi pervaginam, pengawasan tandatanda vital dilakukan sebagaimana lazimnya. 2) Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1 x 24 jam persalinan. 3) Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24 — 48 jam pasca persalinan. Prognosis Ditentukan oleh kriteria EDEN : 1) Koma yang lama (6 jam atau lebih). 2) Nadi di atas 120 x permenit. 3) Suhu 30°C (103°F). 4) Tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg. 5) Proteinuria lebih 10 g/liter. 6) Kejang lebih 10 hari. 70

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

7) Tidak ada edema. 8) Kegagalan sistem kardiovaskular : edema pulmonum — sianosis rendah atau menurunnya tekanan darah rendahnya tekanan nadi. 10) Gangguan keseimbangan elektrolit. 11) Kegagalan pengobatan : untuk menghentikan kejang untuk menghasilkan urine 30 ml/jam atau 700 ml/24 jam — untuk menimbulkan hemodilusi dengan menurunkan nilai hematokrit (Ht) dengan 10%. Bila didapatkan satu atau lebih dari gejala tersebut di atas, prognosis ibu buruk HIPERTENSI KRONIK DALAM KEHAMILAN Definisi Adanya hipertensi yang persisten oleh sebab apapun juga yang ditemukan pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau hipertensi persisten setelah 6 minggu pasca persalinan. Diagnosis klinik Diagnosis hipertensi kronik pada kehamilan ditegakkan berdasarkan gejala-gejala sebagai berikut : a) Adanya riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau didapatkan hipertensi pada kehamilan kurang dari 20 minggu. b) Ditemukan kelainan organik, misalnya : pembesaran jantung, kelainan ginjal, dan sebagainya. c) Umur ibu di atas 30 tahun dan umumnya multigravida. d) Bila terjadi superimposed preeclampsia, maka didapatkan : — tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg. — adanya perubahan-perubahan pada pembuluh darah retina berupa eksudasi, perdarahan, dan penyempitan. e) Retensi air dan natrium tidak menonjol. Jarang didapatkan edema dan proteinuria. fj Hipertensi masih temp didapatkan sampai 6 bulan pasca persalinan. Pemeriksaan Laboratorium a) Pemeriksaan urine : — sediman protein — kultur b) BUN, kreatinin serum c) Elektrolit serum d) ECG e) Foto thorax. Pengelolaan Pengobatan Medisinal a) Istirahat di rumah, dengan tirah baring miring, 1 jam pagi hari, 1 jam siang hari. b) Phenobarbital 3 x 30 mg atau diazepam 3 x 2 mg sebagai sedasi selama 1 minggu. c) Bila dengan perawatan di atas tekanan darah diastolik temp di atas 90 mmHg, maka dapat diberi obat-obat hipertensi, yaitu: — Methyldopa 500—2000 mg perhari atau hydralazine40—200 A.

mg perhari, atau clonidine (terapi awal : 1/2 tablet 2—3 kali sehari). – Bila tekanan darah belum turun, dapat ditambah propanolol (Inderal®). Dosis permulaan : 10 mg, 4 x sehari, dinaikkan menjadi 40 mg 4 x sehari. d) Bila terjadi pseudotoleransi terhadap obat-obatantihipertensi, dapat diberikan HCT 50 mg oral 2 hari sekali. e) Bila terjadi superimposed preeclampsialeclampsia, maka pengobatan disesuaikan dengan pengobatan preeklamsia/ eklamsia. B. Pengobatan Obstetrik Pengobatan hipertensi kronik maupun superimposed, disesuaikan dengan pengobatan obstetrik pada preeklamsia/ eklamsia. Obat-obat anti hipertensi diberikan bila : 1) Tekanan darah diastolik ? 110 mmHg. 2) Tekanan darah sistolik 180 mmHg. 3) Tekanan darah tetap >. 160/110 mmHg setelah istirahat baring (bedrest) dan diberi sedativa selama 12—48 jam.

4) Tekanan darah diastolik 90 — 100 mmHg pada kehamilan trimester kedua. Komplikasi Gaga] gin jai, gagal jantung, edema paru-paru, kelainan pembekuan darah, perdarahan otak, kematian janin. KEPUSTAKAAN 1. Angsar MD, Simanjuntak P, Handaya S. Pedoman pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di Indonesia. Satgas Gestosis POGI, Ed I, 1985. 2. Angsar MD dkk. Pedoman diagnosis dan terapi RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 1988. 3. Mac Gillivray J. Preeclampsia, the hypertensive diseases of pregnancy. WB Saunders Co [ad, 1983. 4. Prawirohardjo S. Preekaamsia dan eklamsia. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka, 1976. 5. Pritchard JA et at. Hypertensive disorders in pregnancy. William Obstetrics, 17th Ed. 1985. 6. Simanjuntak P dkk. Penanganan preeklamsi dan eklamsi. Medical Committee Bag. Obgin FK-USU/RSU. Dr. Pimgadi Medan, 1979. 7. Simanjuntak P. Pedoman penanganan hipertensi dalam kehamilan, Kongres Nasional IBI ke-IX, Medan, 1985.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

71

Penyakit Kardiovaskuler dan Penanganannya Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Jantung Koroner di Indonesia H.A. Adin St Bagindo DTM&H

Divisi Kardiologi Bagian/UPF llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan bertujuan agar setiap penduduk mampu untuk hidup sehat sehingga dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Tinggi atau rendahnya derajat kesehatan masyarakat secara garis besar dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, perilaku dan kebiasaan hidup, tersedianya upaya pelayanan dan bawaan biologik. Yang besar pengaruhnya adalah faktor lingkungan dan perilaku serta kebiasaan hidup masyarakat. Di Indonesia peningkatan laju pembangunan termasuk meningkatnya pula upaya kesehatan telah menimbulkan dampak di berbagai bidang, baik yang positif maupun yang negatif, seperti perubahan pola penyakit dan lain-lain. Pada masa mendatang Indonesia akan beralih dari negara agraris menjadi negara industri dengan segala konsekuensi perubahan gaya hidup dan lingkungan. Transisi demografi saat ini sedang berlangsung, demikian pula transformasi kesehatan lingkungan dan semua ini dikenal sebagai masalah kesehatan baru. Angka harapan hidup yang saat ini mencapai 64 tahun cenderung semakin meningkat, pola penyakit menjadi campuran, dominasi penyakit-openyakit menular dan infeksi mulai digeser oleh penyakit-penyakit degeneratif termasuk penyakit jantung koroner. Untuk mengantisipasi hal tersebut dewasa ini sedang berkembang Gerakan Kesehatan Masyarakat Baru (New Public Health Movement) yang lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif secara aktif bagi ± 85% kelompok masyarakat yang majoritas dinyatakan sehat tetapi sebenarnya belum tentu sehat. Penyakit Jantung Koroner umumnya bersifat menahun dan banyak mengenai kelompok usia produktif. Survai Kesehatan Rumah Tangga pada tahun 1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan penyebab kematian ke tiga terbesar (9,7%) sesudah radang akut saluran nafas bagian bawah dan diare,

72

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sedangkan pads tahun 1972 masih berada di urutan ke-11. Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsurkesejahteraan umum dari tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan ini, upaya kesehatan dilaksanakan melalui pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Upaya kuratif untuk penyakit jantung koroner memerlukan teknologi tinggi serta biaya mahal, yang akan sulit dipikul secara nasional; oleh karena itu upaya preventif dan promotifnya perlu lebih mendapatkan perhatian. Penyakit jantung yang utama adalah Penyakit Jantung Koroner (PJK) yang patologinya didasarkan pads proses aterosklerosis (pengerasan dan penebalan dinding pembuluh darah) yang dilatar belakangioleh berbagai faktor risiko. Yang terpenting di antara faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah kebiasaan merokok, kelebihan kolesterol, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, kurang olahraga, dan stres. Semua faktor risiko ini erat kaitannya dengan gaya, kebiasaan dan lingkungan hidup seseorang. Hipertensi mencapai angka kejadian 11–25% pada usia 45–54 tahun dan meningkat bersamaan dengan bertambahnya umur. Penyakit ini sangaterat kaitannya dengan konsumsi garam dalam makanan. Untuk memecahkan masalah yang sudah nyata ini serta menghadapi tantangan pada waktu yang akan datang, perlu dikenali dulu macam ragam masalahnya dan disusun pokokpokok pencegahan dan penanggulangan yang tepat guna.

MASALAH Pola umum pencegahan dan penanggulangan masalah Penyakit Jantung Koroner harus bertitik tolak dari analisis faktorfaktor yang mempengaruhi, di antaranya :

1.

Masalah Kependudukan Saat ini sedang terjadi perubahan struktur kependudukan, angka kematian sudah menurun mendekati keadaan di negaranegara maju, angka kelahiran telah berhasil diturunkan secara konsisten mengarah ke keadaan negara maju. Dengan menurunnya angka kematian, umur harapan hidup meningkat, telah mencapai 64 tahun saat ini. Kemajuan di bidang kesehatan mengakibatkan proporsi dan jumlah penduduk yang mencapai usia tua akan meningkat; pada tahun 2000 nanti diperkirakan akan terdapat kurang lebih 16 juta penduduk usia lanjut, dan golongan usia ini banyak mempunyai penyakit degeneratif atau menahun, termasuk penyakit jantung koroner. Dengan keberhasilan program KB proporsi penduduk usia anak di bawah 15 tahun akan menurun dan penduduk usia kerja produktif akan meningkat sejalan dengan kemajuan pembangunan industri yang diikuti pula dengan arus urbanisasi yang meningkat; maka proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan akan meningkat pula mencapai 40% pads tahun 2000. Penduduk perkotaan ini cenderung mengikuti pola hidup negara maju yang rentan terhadap penyakit jantung koroner. 2. Masalah Penyakit Keberhasilan pembangunan, modernisasi pads umumnya dan keberhasilan pemberantasan penyakit menular pads khususnya menyebabkan timbulnya perubahan pola penyakit. Dalam jangka waktu hampir 10 tahun terakhir penyakitpenyakit kardiovaskular menempati urutan ke tiga sebagai penyebab kematian, sedangkan pada tahun 1972 adalah 1,11% (urutan ke-11). Proporsi kekerapan penyakit jantung juga meningkatkan dari 5,2% menjadi 6,3% pads SKRT 1986 (urutan ke-8). Secara singkat angka-angka beberapa penyakit kardiovaskular (dikutip dari Simposium Penyakit Kardiovaskular badan Litbangkes 1981) adalah sebagai berikut : a) Angka kematian rata-rata penyakit jantung koroner untuk golongan umur 40-45 tahun adalah 4 per 1000/tahun, golongan umur 55-64 tahun 10 per 1000/tahun dan untuk golongan 65 tahun ke atas sebesar 20/1000. SKRT 1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung menempati urutan ke tiga (9,9%) pads golongan usia 15-54 tahun, urutan pertama (24,1%) pads golongan usia di atas 45 tahun. Pengalaman di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita menunjukkan bahwa Penyakit Jantung Koroner (PJK) semakin banyak mengenai golongan usia yang lebih muda. Di perusahaan-perusahaan perminyakan PJK juga dilaporkan semakin meningkat. b) Angka kejadian hipertensi dalam masyarakat berdasarkan berbagai survai berkisar antara 5-15% dan hanya 25% dari penderita di perkotaan yang mendapat pengobatan. Pada golongan umur 45-54 tahun angka kejadiannya sebesar 11-25% dan meningkat dengan pertambahan umur. Masalah Perilaku dan Peran Serta Masyarakat Penyakit Jantung Koroner sangat erat kaitannya dengan perilaku dan kebiasaan masyarakat. Modernisasi telah menyebabkan lapisan tertentu masyarakat menempuh gaya hidup dengan ciri-ciri sedentary living, pola makan yang berlebihan 3.

lemak, refined carbohydrates, kebiasaan merokok yang kuat serta kesibukan sehari-hari yang ketat, terikat waktu dan terburuburu sehingga memacu terjadinya penyakit jantung koroner lebih dini. Pola hidup yang tegang dan konsumsi garam juga memacu terjadinya hipertensi. Khusus tentang merokok, penelitian di RS Jantung Harapan Kita menemukan bahwa pads pria penderita serangan jantung mendadak faktor risiko utamanya adalah merokok, yaitu 66-70%. Data dari berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan variasi persentase perokok pads pria antara 40-98% dan pads wanita antara 2-10%. Kebiasaan merokok pads kelompok remaja di Jakarta adalah 49% pads pelajar pria dan 8,8% pads pelajar wanita. Kebiasaan merokok pada petugas kesehatan juga cukup tinggi. Sebagian terbesar masyarakat yang tidak merokok tidak berani menegur orang didekatnya. Yang menggembirakan, dalam dasawarsa 1980, peran serta masyarakat yang dipelopori oleh Yayasan Jantung Indonesia semakin meningkat. Upaya promotif, preventif dan rehabilitatif diwujudkan melalui Klub Jantung Sehat dan kelompok Panutan Tidak Merokok. Dalam tahun 1991 Departemen Kesehatan juga telah mewajibkan pencantuman peringatan bahaya merokok pada kemasan rokok dan di fasilitas-fasilitas Departemen Kesehatan. Disadari bahwa perubahan gaya hidup bukan suatu hal yang mudah dilakukan karena banyak hambatan dan kendalanya. Khususnya dalam hal merokok, pemerintah sendiri masih mempunyai kepentingan karena pemasukan yang sangat besar dan pajak dan cukai tembakau. Sebaliknya dan segi makanan dan ketenangan hidup, masih banyak pola makanan etnik dan kebiasaan hidup di Indonesia yang cukup sehat ditinjau dan penyakit jantung. 4.

Masalah Pendidikan Meskipun jumlah penduduk yang mampu membaca dan menulis sudah jauh meningkat, namun informasi yang benar mengenai penyakit jantung masih sangat terbatas diketahui masyarakat, khususnya mengenai faktor-faktor risikonya. Pendidikan formal dan pendidikan keluarga yang merupakan wahana untuk mempersiapkan generasi penerus yang dapat diandalkan dari segi kecerdasan dan fisik saat ini cenderung dipengaruhi pula oleh perubahan-perubahan gaya hidup yang diperoleh akibat globalisasi informasi melalui media massa. Pendidikan olah raga di sekolah-sekolah kurang menekankan praktek fisik untuk menjadikan ini suatu kebiasaan hidup sejak dini. Hal ini terkait pula dengan kurikulum pendidikan secara keseluruhan dan sangat terbatasnya sarana untuk berlatih olahraga dengan baik. Kelangkaan bibit-bibit dengan keadaan fisik yang balk juga sangat dirasakan dalam rekrutmen calon-calon Akademi Angkatan Bersenjata. Penurunan kondisi fisik pada sebagian anak-anak dan remaja akan lebih diperburuk lagi dengan penurunan kualitas gizi aldbat kebiasaan menikmati makanan layanan cepat dan mencoba mencari jatidiri dengan meniru orang Barat dalam kebiasaan merokok dan minum alkohol. Kemampuan tenaga kesehatan untuk menangani penyakit Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

73

jantung koroner secara khusus masih kurang memadai. S.

Masalah Lingkungan Lingkungan hidup masyarakat Indonesia tidak terlepas dari kondisi social, ekonomi dan budaya bangsa Indonesia yang berada dalam masa transisi dari masyarakat agraris, tradisional dan berbelakang menuju masyarakat industri, modem dan maju. Di satu pihak lingkungan hidup mencerminkan keterbelakangan dengan kepadatanpenduduk yang berlebihan, sanitasi lingkungan yang tidak memadai dan sarana kesehatan yang belum mencukupi; di lain pihak tercermin budaya hidup barat, pencemaran industri dan urbanisasi dengan urban slumnya terutama di kotakota besar. Kondisi geografis Indonesia berupa kepulauan merupakan tantangan dan hambatan untuk pelayanan yang memadai, meskipun perkembangan bidang telekomunikasi dan informasi telah menyebabkan globalisasi informasi termasuk yang membantu perubahan gaya hidup ke arah yang negatif. 6.

Masalah Upaya Pelayanan Upaya pelayanan khusus PJK yang terprogram secara nasional belum ada. Kegiatan pelayanan yang ada saat ini umumnya belum mencakup bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi secara menyeluruh. Dalam bidang penyakit jantung pelayanan masih berorientasi kuratif. Pelayanan spesialistik dengan dukungan sarana yang memadai hanya terdapat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kim, pads Rumah Sakit tipe A (RSCM dan Rumah Sakit Dr. Soetomo) dan beberapa Rumah Sakit kelas B. Di sebagian terbesar Rumah Sakit kelas B dan C pelayanan untuk penyakit jantung koroner pada umumnya belum diselenggarakan secara memadai. Ilmu pengetahuan dan teknologi kardiovaskular adalah bidang yang sangat banyak mendapat perhatian di negara-negara maju. Banyak konsep-konsep mutakhir dalam bidang diagnostik dan pengobatan telah diajukan namun pada umumnya belum ada teknologi yang secara mendasar dapat menanggulangi penyakit jantung yang sudah manifes secara tuntas. Pengobatan untuk hipertensi sudah semakin mullah, namun masih tetap mahal. Beberapa konsep untuk mengurangi mortalitas pada PJK seperti trombolisis, pembedahan pintas koroner dan PTCA telah luas dipergunakan namun semua ini belum secara berarti memperpanjang harapan hidup. Diagnostik penyakit jantung koroner secara invasif (kateterisasi jantung) saat ini barn dapat dilakukan secara rutin di beberapa rumah sakit di Jakarta, dan Surabaya, dan secara terbatas di Semarang dan Padang. Bedah Jantung secara teratur baru dapat dilakukan di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, dan dalam volume lebih kecil di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya dan Rumah Sakit Gatot Subroto, dan secara terbatas di dua Rumah Sakit Swasta lain. Tindakan invasif (angioplasti dan vulvuloplasti balon) juga barn dapat dilakukan pada rumah sakit tertentu. Jelas ini tidak memadai dibandingkan kebutuhan/masalah yang sudah dikemukakan sehingga daftar tunggu penderita sangat panjang, bahkan banyak yang berobat ke luar negeri. Unit koroner intensif pada umumnya sudah terdapat pada Rumah sakit kelas B dan beberapa Rumah Sakit Swasta. Biaya 74

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

pembedahan dan perawatan di ruang intensif, termasuk biaya rujukan, masih sangat tinggi. Sebagai contoh biaya operasi jantung koroner di RS Jantung Harapan Kita rata-rata 15 juta rupiah per pasien. 7.

Masalah Ketenagaan Penanggulangan penyakit jantung memerlukan tenaga-tenaga yang trampil. Di camping terbatasnya tenaga, penyebarannya juga tidak merata. Jumlah dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh darah, yang saat ini 150 orang, masih sangat sedikit dibandingkan besamya kebutuhan. Jumlah tenaga dokter spesialis bedah jantung yang aktif bar' 8 orang di Jakarta dan Surabaya; dari mereka ini beserta tenaga pendukungnya dapat disusun 2–3 tim bedah jantung. Pendidikan dokter spesialis jantung, dokter bedah jantung dan ahli anestesi jantung masih sangat sedikit keluarannya; hal ini antara lain karena belum ada pola dan program penempatan tenaga yang resmi. Tenaga perawat yang terlatih dalam bidang penyakit jantung juga masih langka dan pendidikan khusus untuk itu baru ada secara terbatas di RS Jantung Harapan Kita dan RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Tenaga ahli epidemiologi dan peneliti profesional bidang kardiovaskular belum ada, demikian juga tenaga ahli yang mengkhususkan dalam bidang preventif promotif seperti pendidik kesehatan, ahli kedokteran olahraga, dan lain-lain. Dengan keadaan yang ada sekarang dan kecenderungan peningkatan kebutuhannya jelaslah bahwa pengadaan tenaga tidak akan memadai. 8. Masalah Pembiayaan Pembiayaan yang diperlukan untuk pelayanan penyakit jantung sangat mahal, khususnya bila dilihat dari segi pelayanan kuratif dan rehabilitatif. Hal ini disebabkan karena ongkos pengadaan dan pemeliharaan teknologi yang canggih itu memang mahal. Biaya pemeriksaan invasif (kateterisasi jantung) berkisar antara 1–2 juta rupiah perpasien, diagnostik non invasif dengan ekokardiografi antara 50 ribu sampai 125 ribu rupiah. Ongkos operasi jantung koroner rata-rata 15 juta rupiah per pasien (di Amerika Serikat US$ 40.000 dan di Australia Aus $ 25.000). Pembiayaan ini tidak akan mampu dipikul oleh pemerintah maupun masyarakat saja. Di RS Jantung Harapan Kita tidak sampai 10% dari pasien yang sudah menjalani kateterisasi jantung dan mempunyai indikasi operasi yang akhirnya bisa dioperasi. Masalah yang terbesar akhirnya adalah biaya. POKOK-POKOK PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MASALAH PENYAKIT JANTUNG KORONER 1. Pencegahan Primer dan Upaya Promotif a) Tujuan : Pencegahan primer dan upaya promotif bertujuan untuk mencegah terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner. Pencegahan primer pada penyakit jantung koroner terutama untuk : 1. mencegah timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko.

2. mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam. b) Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan untuk pencegahan primer, antara lain adalah : 1. Melakukan pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat luas mengenai faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner. 2. Meningkatkan pembinaan pola hidup sehat, termasuk di dalamnya kebersihan perorangan dan lingkungan, tidak merokok, memeriksakan tekanan darah secara teratur, makanan seimbang, menjaga berat badan ideal, mengendalikan sires dan olahraga teratur. 3. Meningkatkan upaya memperbaiki lingkugan hidup. 2. Pencegahan sekunder dan tersier a) Tujuan : Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas penyakit. Pencegahan tersier bertujuan untuk mencegah kematian atau cacad. b) Kegiatan-kegiatan yang perlu dijalankan : 1. Pada penyakit jantung koroner : - Penggunaan aspirin dan meneruskan penanggulangan faktor risiko. – Menyebarluaskan informasi tentang tanda-tanda serangan jantung. – Memperbanyak orang yang mampu melakukan Bantuan Hidup Dasar (Resusitasi). 2. Pada hipertensi : – Penggunaan obat-obatan dan meneruskan penanggulangan faktor risiko. 3. Rehabilitasi a) Rehabilitasi bertujuan untuk mengembalikan penderita sejauh mungkin ke tingkat kualitas hidup yang setinggi-tingginya yang dapat dicapai. b) Rehabilitasi mencakup rehabilitasi fisik/medik, dan psikososial yang mencakup kemampuan untuk bekerja dan melakukan kegiatan sosial lainnya. PENUTUP Mengingat besar dan luasnya masalah penyakit jantung ini

di Indonesia, maka berhasilnya seluruh upaya pencegahan dan penanggulangannya sangat ditentukan oleh keikutsertaan seluruh unsur-unsur terkait, baik jajaran organisasi Departemen Kesehatan, lintas sektoral,organisasi-organisasi masyarakat danbadanbadan internasional. Upaya pencegahan dan promotif yang berdaya guna yang dilaksanakan sejak dini, akan dapat mencegah timbulnya penyakit jantung koroner yang lebih berat dan luas di kalangan bangsa Indonesia pada waktu mendatang. Dengan demikian dapat dikurangi penderitaan yang berkelanjutan dan dapat dihemat biaya pembangunan nasional.

KEPUSTAKAAN Materi SeminarNasional Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kardiovaskuler (CVD), WHO-Depkes RI Cisarua – Bogor 27 April s/d 1 Mei 1992 sebagai berikut : 1. Adhyatma. Sambutan Menteri Kesehatan RI pads Pembukaan Seminar Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Kardiovaskuler Cisarua – Bogor, 27 April 1992. 2. Broto Wasisto. Kebijaksanaan Pembangunan Jangka Panjang Bidang Kesehatan dan Implikasinya untuk Pengembangan Program Kardiovaskuler. 3. Boedhi Dannojo, R. Setianto B, Sutedjo, Kusmana D, Andradi, Supari F, Salam R. A Study of baseline risk factors for Coronary Heart Disease : Results of Population Screening in A Developing Country. 4. Gani A. Peranan Swasta dalam Pembiayaan Kesehatan. 5. Gyarfas I. Cardiovascular Diseases in Developing and Industrialized Countries: WHO's CVD Programme. 6. Hanafiah A. Perkembangan Iptek Kardiovaskuler dan Kecenderungan Kebutuhan untuk Indonesia. 7. Kalangie MS. Penyakit Kardiovaskuler, suatu konsekwensi negatif dari perubahan sosio budaya yang tidak terencana. 8. Rai MK. Pembiayaan Kesehatan di Indonesia dalam berbagai perubahan kebijaksanaan ekonomi dan moneter. 9. Rilantono LI. Penyakit Kardiovaskuler dan Kecenderungannya di Indonesia. 10. Soema S. Pembiayaan Kesehatan melalui Asuransi Kesehatan Penyakit Kardiovaskular. 11. Soedarmo SP. Transisi demografi dan Transisi epidemiologi dan dampaknya terhadap Penyakit Kardiovaskular.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

75

Pola Payah Jantung di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan T. Renardi Haroen, Gontar A. Siregar Laboratorium/UPF Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Mara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan



PENDAHULUAN Dari penelitian yang dilakukan di Indonesia, terlihat adanya perubahan pola penyakit kardiovaskular selama dua dekade terakhir ini' ), yang diduga akibat adanya perubahan gaya hidup, kebiasaan makanan penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Data yang diperoleh berbeda menurut bahan penelitian dan saat penelitian tersebut dilakukan. Penelitian ini kami lakukan untuk menambah perbendaharaan data penyakit jantung di Indonesia, khususnya di Medan dan sekitarnya, sekaligus mengantisipasi kemungkinan perubahan pola penyakit jantung di masa mendatang.

koroner dari tahun ke tahun cenderung meningkat (gambar 2), yang secara statistik berbeda bermakna (r = 0.9; p < 0.001) (Gambar 3); terdapat peningkatan umur dari tahun ke tahun walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (r = 0.74; TB) (Gambar 4). Gambar 5 menunjukkan bahwa penyakit jantung hipertensi menurun dari tahun ke tahun (r = -0.89; p < 0.05). Angka kematian payah jantung pads penelitian ini secara keseluruhan adalah 18.8%; angka kematian payah jantung koroner meningkat dari tahun ke tahun (Gambar 6), yang secara statistik berbeda bermakna (r = 0.97; p < 0.01) (Gambar 7).

MATERI DAN METODA Dilakukan penelitian retrospektif terhadap 852 penderita payah jantung, rawat nginap di Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam RS Dr. Pirngadi Medan, sejak Januari 1984 — Desember 1988 berdasarkan rekaman Enedis yang tersedia. Diagnosis payah jantung ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, radiologi, elektrokardiograil dan ekokardiografi terhadap penderita. Kriteria diagnostik yang dipergunakan untuk masing-masing kelompok kelainan jantung pads penelitian ini adalah kriteria yang telah umum 25,4 diterima( ).

PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan bahwa separuh kasus payah jantung disebabkan oleh penyakit jantung pulmonik. Hal ini memperlihatkan bahwa penyakit jantung pulmonik masih me-

HASIL Dan 852 penderita yang diteliti terdapat 526 orang pria (61.74%) dan wanita 326 orang (38.26%). Umur penderita berkisar antara 15—84 tahun dengan umur rata-rata 55± 14 tahun dan dengan kelompok usia terbanyak : 55 — 64 tahun (32.9%). Urutan distribusi payah jantung menurut penyebabnya dapat dilihat pads gambar 1. Dari berbagai penyebab payah jantung pada penelitian ini didapatkan bahwa penyakit jantung

76

C¢rmin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

DIAGRAM PENYEBAB PAYAH JANTUNG

rupakan masalah yang cukup besar terutama di negara-negara sedang berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Padmavati (1970). (dikutip dari Seminar Penyakit Kardiovaskular, 1981). Juga terlihat adanya peningkatan penyakit jantung koroner dari tahun ke tahun, hal ini kemungkinan sehubungan dengan perubahan pola makan dan gaya hidup o ". Dari data ini perlu adanya penanggulangan yang efektif dan efisien. Aspek lain dari penelitian ini memperlihatkan payah jantung hipertensi mempunyai angka kejadian (25.1%) yang tidak berbeda dengan penyakit jantung hipertensi hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanif et al, 1978 (24.1%) di Sumatera Barat, akan

tetapi lebih besar dari yang dilaporkan Adam 1976 (12.0%) di Bandung, sedang angka kematian payah jantung hipertensi cenderung menurun dari tahun ke tahun. Hal ini memberikan gambaran adanya kemungkinan peranan edukasi dan kepatuhan yang bertambah dari penderita, namun hal ini masih memerlukan penelitian yang lebih lanjut. KESIMPULAN Penyakit jantung pulmonik masih merupakan penyebab utama dari payah jantung, sedang penyakit jantung koroner cenderung meningkat dari tahun ke tahun yang berbeda dengan payah jantung hipertensi. Adanya kecenderungan kematian yang meningkat akibat penyakit jantung koroner memerlukan upaya penanggulangan yang lebih dini. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

77



KEPUSTAKAAN 1. R. Boedhi Darmojo. The Present Picture of Cardiovascular Disease in Indonesia, Gizi Indonesia; 1987: 11/12.

78

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

2. Sokolow M, Mcfroy MB. Cardiac Failure in Clinical Cardiology, erd ed. Singapore: Maruzen Asian Edition 1981. p. 324—64. 3. Friedberg CK. Congestive Heart Failure. In: Diseases of the Heart 2nd ed. Philadelphia and London 1956. p. 124-293. 4. Krupp MA, Chatton MJ. Congestive Heart Failure. In: Current Medical Diagnosis and Treatment. Singapore: Maruzen Asian Ed, Lange Medical Publ Maruzen Asia 1984..p. 403—16. 5. Padvati. Seminar Penyakit Kardiovaskular. Jakarta, 28—29 September 1981.

Gawat Darurat Penyakit Syaraf

Status Epileptikus LBM Sitorus Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRACT Status epilepticus is a medical emergency. Recent experimental studies have shown that permanent brain damage can occur after only 60 minutes of uncontrolled seizure activity. Cardiac arrythmias are a common cause of death. Other complications, include rhabdomyolysis, acute tubular necrosis and neurogenic pulmonary edema. The management is divided into three phases : stabilization of the patient, termination of the seizures and diagnostic evaluation.

PENDAHULUAN Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi : status petitmal, status psikomotor dan lain-lain. Di sini khusus dibicarakan status epileptikus dengan kejang tonik-klonik umum. Definisi : status epileptikus adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60 — 80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacad neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi. GAMBARAN KLINIS Epilepsi fokal dengan manifestasi kejang otot lokal sampai separuh tubuh, gerakan adversif mata dan kepala, sering merupakan awal dari status epileptikus. Keluarga penderita yang melihat kejadian ini akan dapat menceritakannya kembali dengan jelas. Enampuluh sampai delapanpuluh persen status

epileptikus dimulai dengan gejala-gejala fokal. Kejang menjadi bilateral dan umum akibat penyebaran lepas muatan listrik yang terus menerus dari fokus pada suatu hemisfer ke hemisfer lain. Kejang tonik akan diikuti oleh sentakan otot atau kejang klonik. Proses ini berlangsung terus, sambung-menyambung tanpa diselingi oleh fase sadar. Dalam bentuk klinis seperti ini penderita berada dalam keadaan status epileptikus. ETIOLOGI Status epileptikus tonik-klonik, banyak berasal dari insult akut pada otak dengan suatu fokus serangan. Penyebab status epileptikus yang banyak diketahui adalah, in fark otak mendadak, anoksia otak, bermacam-macam gangguan metabolisme, tumor otak, menghentikan kebiasaan minuman keras secara mendadak, atau berhenti makan obat anti kejang. Jarang status epileptikus disebabkan oleh penyakit degenerasi sel-sel otak, menghentikan penggunaan penenang dengan mendadak, pasca anestesi dan cedera perinatal. Penderita yang sebelumnya tidak mempunyai riwayat epilepsi, mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang otak, tumor, penyakit pembuluh darah otak. Kelainan-kelainan ini terutama yang terdapat pada lobus frontalis, lebih sering Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

79

menimbulkan status epileptikus, dibandingkan dcngan lokasi lain pada otak. Penderita yang mempunyai riwayat epilepsi, dcngan sendirinya mempunyai faktor pcncctus tertentu. Umumnya karena tidak teratur makan obat atau menghentikan obat sekehendak hatinya. Faktor pencetus lain yang harus diperhatikan adalah alkohol, keracunan kehamilan, uremia dan lain-lain. PATOFISIOLOGI Suatu lepas muatan simpatis akan menyebabkan naiknya tekanan darah dan bertambahnya denyut jantung. Autoregulasi peredaran darah otak hilang, mengakibatkan turunnya resistensi serebrovaskuler. Aliran darah ke otak sangat bertambah didorong oleh tingginya tekanan darah dan tidak adanya mekanisme autoregulasi. Sebaliknya tekanan darah sistemik akan turun, bila kejang berlangsung terus dan mengakibatkan turunnya tekanan perfusi, yang selanjutnya menyebabkan iskemi otak. Hal ini dan berbagai faktor lain akan menyebabkan hipoksi sel-sel otak. Kejang otot yang luas dan melibatkan otot pernafasan, selain mengganggu pernafasan secara mekanis juga menyebabkan inhibisi pada pusat pernafasan di medulla oblongata. Di samping itu kegiatan lepas muatan saraf otonom menyebabkan sekresi bronkus berlebihan dan aspirasi, mengakibatkan gangguan difusi oksigen melalui dinding alveolus. Perubahan fisiologis lain yang paling penting ialah adanya penggunaan enersi yang sangat banyak. Neuron yang terus menerus terpacu menyebabkan bertambahnya metabolisme otak secara berlebihan, sehingga persediaan senyawa fosfat enersi tinggi terkuras. Hipotensi dan hipoksi akan memperburuk keadaan, yang berakhir dengan kematian sel-sel neuron. Selanjutnya hal ini dapat mengakibatkan aritmi jantung, hipoksi otak yang berat dan kematian. Kejang otot dan gangguan otoregulasi lain, juga menimbulkan komplikasi kerusakan otot, edema paru dan nekrosis tubuler mendadak. Status epileptikus yang berlangsung lama menimbulkan kelainan yang sama dengan apa yang terjadi pada hipoglikemia berat atau hipoksi. Sel-sel neuron yang mengalami iskemi selalu terdapat di daerah sektor Sommer hipokampus, lapisan 3, 4 dan 6 korteks serebri, kornu Ammon, amigdala, talamus dan sel-sel Purkinje.

PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN Status epileptikus tipe grandmal ini merupakan gawat darurat neurologic. Hams diatasi secepat mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya dilakukan 3 tahap tindakan : 1. Stabilisasi penderita. 2. Menghentikan kejang. 3. Menegakkan diagnosis. Stabilisasi penderita Tahap ini meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta memberikan oksigen. 80

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Dalam keadaan tcrtcntu, tcrutama bila kejang sudah lama atau ada hambatan saluran pemafasan, harus dilakukan intubasi. Tekanan darah dipertahankan, diberikan garam fisiologis dan bila perlu diberi vasopressor. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap, gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin dan bagi penderita epilepsi diperiksa kadar obat dalam scrum darahnya. Harus diperiksa gasgas darah arteri, untuk melacak adanya asidosis metabolik dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis dikoreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa 50% intravena, diikuti pemberian tiamin 100 milligram intramuskuler. Menghentikan kejang Usaha mengakhiri kejang dilakukan segera sesudah tahap stabilisasi selesai. Tindakan ini dimulai dengan pemberian bolus diazepam, 2 mg/menit, masing-masing 10 mg. Pemberian bolus diazepam dilanjutkan sampai jumlah 50 mg, sementara itu pernafasan dimonitor terus. Biasanya kejang sudah dapat diatasi. Bila pemberian diazepam yang waktu paruhnya hanya sekitar 15 menit belum berhasil, diberikan fenitoin yang bekerja lebih lama, mempunyai waktu paruh selama 24 jam. Fenitoin diberikan secara intravena, dilarutkan dalam garam fisiologis, dengan dosis 18 mg/kg berat badan, dengan kecepatan kurang dari 50 mg/menit. Efek samping aritmi jantung sering timbul pada pemberian fenitoin yang terlalu cepat atau lebih dari 50 mg/ menit, bukan karena jumlah fenitoin yang diberikan. Diazepam dan fenitoin dapat menekan pernafasan, terutama bila pemberian terlalu cepat. Oleh karena itu selama pemberian obat ini harus dilakukan monitoring ECG dan pernafasan. Bila kejang masih terus berlangsung sesudah 20 menit pemberian fenitoin, intubasi harus dilakukan. Selanjutnya diberi fenobarbital sampai kejang berhenti atau dosis seluruhnya mencapai 20 mg/kg berat badan. Fenobarbital juga diberikan per infus dengan kecepatan maksimum 100 mg/menit. Selama pemberian fenobarbital harus diperhatikan kemungkinan gangguan pernafasan dan turunnya tekanan darah. Apabila tahap pemberian fenobarbital belum berhasil menghentikan kejang, maka ahli saraf harus memikirkan tindakan resusitasi otak melalui anestesi dengan pemberian pentobarbital atau amobarbital. Takaran obat yang diberikan disesuaikan sampai tercapai aktivitas otak yang dikenal dengan outburst suppression pattern pada rekaman EEG. Dosis ini dipertahankan selama tiga jam, agar otak mempunyai waktu yang cukup untuk membangkitkan homeostasis dan melawan kejang berkelanjutan. Di tempat-tempat yang tidak mempunyai sarana pemberian obat secara intravena atau tidak ada fasilitas resusitasi, dapat diberikan pertolongan pertama dengan pemberian paraldehid ke dalam otot atau rektum. Suntikan paraldehid masing-masing 5 mg ke dalam kedua otot bokong setiap 3 jam, atau paraldehid 10% dalam larutan garam fisiologis, sebanyak 5 ml melalui rektum. Menegakkan diagnosis Dalam tahap ini bukan diagnosis epilepsi yang dicari, me-

lainkan upaya untuk mencari apa yang menjadi latar belakang timbulnya status epileptikus. Tahap ini sedikit banyak tumpang tindih dengan tahap stabilisasi penderita. Selama dilakukan usaha untuk mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital, alloanamnesis dilakukan untuk memperoleh keterangan mengenai riwayat penyakit sebelumnya. Adanya kemungkinan riwayat epilepsi, penggunaan alkohol, obat penenang, trauma, radang otak dan penyakit lain yang ada kaitannya dengan status epileptikus. Tahap ini sangat penting untuk menentukan prognosis di samping keberhasilan tahap sebelumnya.

KEPUSTAKAAN 1. Aminoff MJ, Simon RP. Status epilepticus : causes, clinical features and consequenes in 98 patients. Am J Med 1980; 69: 657. 2. Black TP. Therapy for status epilepticus. Clin Neurophannacol 1983; 6: 255. 3. Delgado - Escueta AV, Westerlain C, Treiman DM, Portner RS. Current concepts in neurology : Management of status epilepticus. N Engl J Med 1982; 306: 1337-40. 4. Johnson MH, Jones SN. Status epilepticus, hypothermia and metabolic chaos is aman with agenesis of the corpus callosum. J Neurol Neurosurg Psychiat 1985; 48: 480-483. 5. Jasper HH, Ward AA, Pope A. Basic Mechanism of Epilepsies. Boston: Little Brown & Company 1969. 6. Noel P, Comil A, Chailly P, Flamen - Durand J. Mesial temporal haemorrhage, consequence of status epilepticus. J Neurosurg Psychiat 1977; 40: 932-935. 7. Shorvon SD. Neurological Emergencies. Butterworths: Current Medical Literature Ltd 1989.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

81

Penatalaksanaan Contusio Cerebri Syawalluddin Nasution, Adril A. Hakim Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Akhir-akhir ini jumlah kendaraan bermotor makin bertambah dan tidak sebanding dengan peningkatan sarana jalan yang tersedia, di samping jumlah manusianya juga makin bertambah; akibatnya angka kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera kepala juga ikut meningkat. Dari 2063 penderita kecelakaan lalu lintas yang dirawat di RSCM Jakarta pada tahun 1983 ternyata 35,9% mengalami memar otak (contusio cerebri). Berat ringannya cedera kepala tergantung pada kekuatan, arah, dan tempat benturan. Pada daerah frontal dan oksipital dimana terdapat otot, kekuatan benturan bisa dikurangi dengan adanya otot-otot tersebut. Pada contusio cerebri, daerah yang mengalami cedera menjadi-lunak, nekrosis, dan didapati adanya pelebaran pembuluh darah, serta perdarahan kecil di samping hilangnya respons terhadap rangsangan fisiologis. Kerusakan jaringan otak ini menyebabkan gangguan peredaran darah otak (cerebral blood flow) dan keadaan ini memperburuk hipoksi otak yang menimbulkan acidosis lokal, edema otak, gangguan autoregulasi dan peninggian tekanan intrakranial. Kondisi di atas menyebabkan adanya defisit neurologis. PENATALAKSANAAN Perdefinisi dapat dikatakan bahwa memar otak adalah perdarahan otak tanpa gangguan kontinuitas jaringan yang disebabkan cedera kepala. Gangguan kesadaran dapat dipantau dengan mempergunakan Glasgow Coma Scale. Dengan melihat skor GCS tadi dapat dinilai apakah penderita dalam kondisi membaik atau sebaliknya. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat dianjurkan bila fasilitas merhungkinkan, terutama bila ada kecurigaan timbulnya 82

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

hematom intrakranial. Sewajarnya penderita contusio cerebri dirawat di ICU dengan fasilitas yang memadai. Pernafasan Ditujukan untuk membebaskan jalan nafas dan menjamin ventilasi yang baik. – bersihkan lendir, muntah, atau darah dari jalan nafas. – pasang endotracheal tube. – kalau perlu lakukan tracheostomi. – pemberian 02 secara intermiten. Sirkulasi Dalam waktu 24 jam pertama tekanan darah dan nadi harus dikontrol secara ketat; tiap 15 menit pada 4 jam pertama dan sesudah itu tiap 30 menit. Bila tekanan darah turun, nadi naik berarti shock; bila tekanan darah naik, nadi melambat berarti tekanan intrakranial meninggi; sedangkan bila tekanan darah naik, nadi naik berarti permulaan dari hiperkapnia. Bila ada, shock diberantas dengan pemberian infus. Pemberian cairan dan elektrolit Masukan cairan dibatasi untuk menghindari menghebatnya edema otak, jumlah cairan diberikan sekedar pengganti cairan yang hilang melalui pernafasan, kulit dan saluran kencing. Pada 3 – 4 hari pertama dapat diberikan cairan sebanyak 1 – 1,5 liter dalam bentuk infus berupa cairan glukose 10% sebanyak 1 – 2 kolf, dan 1 kolf NaCl 0,9%. Kemudian secara bertahap jumlah ini dinaikkan meqjadi 1500 – 2000 ml, terbagi atas cairan glukose dan NaCl (3 : ' 1). Pemberian makanan Diberikan makanan personde; biasanya sesudah 48 jam

sesuai dengan terdengarnya peristaltik usus. Jumlah makanan diperhitungkan sesuai dengan cairan, elektrolit dan kalori yang dibutuhkan dihitung bersama dengan cairan infus. Hari pertama diberikan larutan glukose 10% sebanyak 100 ml tiap 2 jam. Hari berikutnya dapat diberikan susu dengan cairan yang lama. Pemberian protein 100 g/hari untuk 4 – 5 hari, kemudian 400 g/hari, disertai makanan cair. Pemberian anti edema Upaya mencegah menghebatnya edema otak, kecuali melalui perbaikan ventilasi, pembatasan cairan yang masuk juga dipergunakan obat baik perinfus maupun parenteral. Mannitol 20%; 500 ml diberikan perinfus selama 30 menit per 24 jam. Gliserol 10%; 500 ml diberikan perinfus selama 6 – 8 jam per 24 jam secara intermiten. Peranan kortikosteroid sebagai obat untuk mencegah peninggian tekanan intrakranial masih dipertanyakan, namun pemakaian kortikosteroid dapat menstabilkan membran sel dan lisosomal, menghambat aggregasi trombosit, melindungi sel endotel kapiler dari pengaruh faktor toksis, dan memelihara metabolisme prostaglandin di tingkat sel. Preparat dexamethason mula-mula diberikan 10 mg intravena, kemudian 5 mg tiap 6 jam selama 2 hari pertama, diteruskan 5 mg/8 jam pada hari ke 3. 5 mg/12 jam pada hari ke 4 dan 5 mg/hari pada hari ke 5.

Pemberian obat-obatan Bila suhu tubuh penderita mcningkat, diturunkan dengan jalan mengkompres, dan mcmbcri antipiretika, di camping menutupi penderita dengan selimut tipis, dan memperlancar aliran angin dalam ruangan. Pemberian analgetik pada kasus yang kesakitan, baik karena luka maupun karena fraktur yang dialaminya. Keadaan gaduh gelisah dapat disebabkan karena nyeri, kandung kencing yang penuh, atau karena tekanan intrakranial yang meninggi. Pemberian minor tranquilizer cukup membantu, namun tidak jarang terpaksa dikombinasikan dengan major tranquilizer dosis rendah.

KEPUSTAKAAN 1. Beks JWF. Pathophysiology of Head Injuries. Neurona 1988; 7(1). 2. Capita Selecta Kedokteran U.I. 3. Jennet B. Diagnosis and Management of Head Trauma. Journal of Neurotrauma, July 1991. 4. Markam S. Kumpulan Makalah Neurologi. Bagian Neurologi FKUI. 5. Minderhoud JP. Medical Management of Head Injuries. Neurona 1988; 7(1). 6. Sutanto dkk. Defisit neurologi pada penderita kecelakaan lalu li mas tanpa atau dengan memakai helm dirawat di RSUP Dr. Sardjito — Yogyakarta. Kumpulan Naskah Lengkap, Kongres IDASI Ujung Pandang, 1988.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

83

Koma A. Sjukri Batubara Bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Kira-kira 10% kasus-kasus gawat darurat yang dijumpai dalam praktek sehari-hari di RSU adalah kasus gawat darurat saraf, dan tersering (3%) adalah koma. Maka penyakit saraf mempunyai reputasi dalam penanganan kasus-kasus gawat darurat. Gangguan kesadaran merupakan suatu proses kerusakan fungsi otak yang berat, yang dapat membahayakan kehidupan. Pada proses ini susunan saraf pusat terganggu fungsi utamanya mempertahankan kesadaran. Gangguan kesadaran ini dapat disebabkan beraneka ragam penyebab baik primer intrakranial ataupun ekstrakranial, yang mengakibatkan kerusakan struktural/metabolik di tingkat korteks serebri, batang otak atau keduanya. Bergantung pada kerusakannya, gejala utama yang timbul dapat berupa : obtundasi, stupor, semicoma dan coma. Penanggulangan koma sangat tergantung pads patologi dasarnya serta patofisiologi gangguan kesadaran. Hal ini sangat sulit, apalagi jika riwayat penyakit dan perkembangan gejala fisik sebelumnya tak jelas diketahui. PATOFISIOLOGI Gangguan kesadaran dapat dibagi dua : 1. Gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran. 2. Gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri – termasuk ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system (ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak 84

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sebagai suatu off-on switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake). Maka apapun yang dapat mengganggu interaksi ini, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran. Karena ARAS terletak sebagian di atas tentorium serebeli dan sebagian lagi di bawahnya, maka ada tiga mekanisme patofisiologi timbulnya koma : 1. Lesi supratentorial, 2. Lesi subtentorial, 3. Proses metabolik. Koma supratentorial 1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedang batang otak tetap normal. Ini disebabkan proses metabolik. 2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya; terjadilah : 1. Hemiasi girus singuli, 2. Hemiasi transtentorial sentral, 3. Herniasi unkus. Herniasi girus singuli Hemiasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan pads pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema. 1.

2.

Herniasi transtentorial/sentral Hemiasi transtentorial atau sentral adalah basil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan mereka menekan diensefalon, mesensefalon, pons dan medula oblongata melalui celah tentorium. 3)

Herniasi unkus Hemiasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa

kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium; akhirnya menekan n.Ifi.di mesensefalon ipsilateral, kemudian bagian lateral mesensefalon dan seluruh mesensefalon. Koma infratentorial Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma. 1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pads stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya. 2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS. a. Langsung menekan pons. b. Hemiasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon. c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medula oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya. Koma metabolik Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme sel saraf. 1) Ensefalopati metabolik primer. Penyakitdegenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer. 2) Ensefalopati metabolik sekunder. Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai gangguan sistim motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethimide atau atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat). PEMBAGIAN DERAJAT KESADARAN Koma bukan penyakit melainkan hanya sebuah gejala, carmin dari proses kerusakan otak berat yang setiap saat berubahubah; oleh karena itu diperlukan pengamatan serial dari waktu ke waktu. Koma adalah suatu keadaan tidak ada respons dengan rangsangan nyeri kuatpun. Agar penilaian derajat kesadaran dapat lebih objektif, Jennett & Teasdale (1974) memasyarakatkan Skala Koma Glasgow (SKG). Pada SKG ini, dinilai kemampuan pasien untuk memperlihatkan tiga tes fungsi saraf, yaitu : Respons membuka mata, Respons motorik dan Respons verbal. Tingkat kesadaran didapat dari basil penjumlahan ketiga basil tes tersebut (Tabel 1). Kecuali pads keadaan mata tertutup karena bengkak, endotracheal/tracheostomi. Pada respons motorik yang , dipakai lengan yang baik/tidak parese. Kesadaran terbaik 15 SKG dan terburuk 3 SKG. Koma disetarafkan dengan 8 SKG. Obtundation (somnolen) 13 SKG( 3 '6 '4 ).

Tabel 1.

Skala Koma Glasgow

PEMERIKSAAN PASIEN KOMA Tujuan pemeriksaan pasien koma adalah untuk menentukan letak proses patologi, apakah di hemisfer, batang otak atau di keduanya, dan penyebabnya. Anamnesis sangai penting tapi jarangbisa didapat. Trauma, penyakit sebelumnya, adiksi obat, alkohol dan gangguan psikis perlu diketahui. Pemeriksaan fisik 1. Tanda vital, keadaan jalan nafas, sistim pernafasan dan kardiovaskuler. 2. Kulit : tanda trauma, penyakit hati, bekas injeksi, fenomena emboli, sianosis, cherry red dan sebagainya: 3. Kepala : Battle's sign, racoon eyes, nyeri tekan, krepitasi, perdarahan dari hidung dan telinga. 4. Leber, dada, perut, anggota gerak, pinggul dan rektum diperiksa secara lazim. 5. Pernafasan, fetor hepatikus, bau ketoasidosis, bau liquor, uremia, alkohol dan sebagainya. Pemeriksaan saraf 1. Observasi, posisi tidur : alamiah atau posisi tertentu. Menguap, menelan, berarti batang otak masih utuh. Mata terbuka dan rahang tergantung (mulut terbuka) berarti gangguan kesadaran berat. 2. Derajat kesadaran ditentukan dengan SKG. 3. Pola pemafasan. a) Cheyne-Stokes dan central hyperventilation dapat dilihat pads gangguan metabolik dan lesi struktural di beraneka ragam tempat di otak dan tidak dapat menunjukkan tingkat anatomi lesi yang menyebabkan koma. b) Ataxia dan gasping paling sering dilihat pads lesi pontomeduler. c) Depressed, pola pernafasan tidak efektif, dangkal dan lambat disebabkan oleh lesi medula oblongata, atau diakibatkan obat-obatan. 4. Posisi kepala dan mata Pada lesi hemisfer, kepala dan kedua mata melirik ke arah lesi dan menjauh dari hemiparesis, lesi di pons kebalikannya. Pada Iesi di talamus dan mesensefalon bagian atas, kedua mata Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

85

melirik ke arah hidung. 5. Funduskopi. Papil edema menandakan peninggian tekanan intrakranial. Perdarahan subhyaloid, biasanya menandakan ruptur aneurisma atau malformasi arteriovena. 6. Pupil. Diperhatikan besar, bentuk dan refleks cahaya direk dan indirek. a) Midposition (3—5 mm) dan refleks cahaya negatif — kerusakan mesensefalon (pusat refleks pupil di mesensefalon). b) Refleks pupil normal, refleks kornea dan gerakan bola mata tidak ada — koma metabolik dan obat-obatan seperti barbiturat. c) Dilatasi pupil unilateral dan refleks cahaya negatif menandakan penekanan n.I1I oleh hernia unkus lobus temporalis serebri. Kedua pupil dilatasi dan refleks cahaya negatif bisa juga oleh anoksi, keracunan atropin dan glutethimide. d) Pupil kecil dan refleks cahaya positif disebabkan kerusakan pons seperti infark atau perdarahan. Opiat dan pilokarpin juga menyebabkan pinpoint pupil dan refleks cahaya positif. Bila dengan rangsang nyeri pads kuduk pupil berdilatasi, berarti bagian bawah batang otak masih utuh. 7. Gerakan bola mata. Khas untuk lesi batang otak. a) Gerakan bola mata spontan. 1. Pada koma metabolik, kedua mata bergerak spontan dan lambat dari satu sisi ke sisi lainnya. Ini berarti batang otak masih utuh. 2. Retractory nystagmus— ciri kerusakan tegmentum mesensefalon. 3. Convergence nystagmus — ciri kerusakan mesensefalon. 4. Ocular bobbing — ciri kerusakan caudal pontin. 5. Nystagmoid jerking of a single eye — ciri kerusakan midpontine-lower pontine. 6. Seesaw nystagmus— ciri lesi di regio ventrikel III dan bukan di batang otak. Gejala tersebut dapat menunjukkan lokasi lesi struktural penyebab koma. b) Gerakan bola mata refleks. Tes-tes yang lazim dilakukan : 1. Doll 's head maneuver (refleks okulosefalik). Bila refleks ini tidak normal, berarti ada lesi struktural di tingkat mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik atau barbiturat dapat menghalangi refleks ini. 2. Tes kalori (refleks okulovestibular). Bila kedua mata melirik ke arah telinga yang diirigasi air dingin, berarti batang otak masih utuh; bila kedua mata tidak bergerak/tidak simetris berarti kerusakan struktural mesensefalon-pons. Obat-obat ototoksik dapat menghalangi refleks ini. 8. Respons motoris. a) Spontan. 1. Kejang, kejang fokal mempunyai arti lokasi dari proses patologi struktural. Kejang umum tidak mempunyai arti lokasi. Kejang multifokal berarti koma disebabkan proses metabolik. 2. Myoclonic jerk dan asterixis (flapping tremor) berartiensefa-

86 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

lopati metabolik. b) Gerakan-gerakan refleks. Ditimbulkan dengan rangsang nyeri (penekanan supraorbita). 1. Gerakan dekortikasi — fleksi dan aduksi lengan dan ekstensi tungkai. Bisa simetris, bisa tidak. Ini artinya lesi hemisfer difus atau persis di batas dengan mesensefalon. (nilai 3 pads respons motorik SKG). 2. Gerakan deserebrasi — ekstensi, aduksi dan rotasi interns lengan dan ekstensi tungkai. (nilai 2 pads respons motorik SKG). KEADAAN-KEADAAN PSEUDOCOMA 1. Psychogenic unresponsiveness. Pasien kelihatannya tidak ada reaksi, tapi pads pemeriksaan saraf tidak dijumpai kelainan. 2. The locked-in syndrome. Lesi di basis pons akibat infark batang otak yang memutus jaras kortikobulbar dan kortikospinal, tapi jaras yang mengatur kedip mata dan gerakan bola mata vertikal, juga ARAS tetap utuh. Pasien sanggup berkomunikasi dengan kedipan mata(awake dan alert). 3. Persistent vegetative state. Koma akibat hipoksifiskemi/lesi struktural, setelah 2—4 minggu kembali wakeful tapi tidak aware. Membuka mata spontan. EEG kembali normal, batang otak dan otonom berfungsi normal. Keadaan ini dapat menetap bertahun-tahun. Ciri-ciri diagnostik Koma metabolik : — Refleks pupil dan gerakan bola mata baik. Pernafasan depressed atau Cheyne-Stokes. Anggota gerak hipotonus/refleks simetris. Hemiasi : Hemiparesis dan papil edema. - Bertahap hilangnya fungsi n.I1I atau ada ciri-ciri kerusakan batang otak. Lesi (lokal) batang otak : — Gangguan pergerakan bola mata dan tetraplegia sejak permulaan. PENGELOLAAN PASIEN KOMA Tindakan pengobatan segera : 1. Pastikan jalan pernafasan baik. Intubasi dan pernafasan buatan bila perlu. 2. Pasang IV catheter. 3. Mengambil darah untuk pemeriksaan rutin dan toksin bila perlu. 4. Bila ada kemungkinan ensefalopati Wernicke, ben thiamin 100 mg IV untuk mencegah kekurangan akut karena penggunaan dextrose. 5. Ben 50 ml dextrose 50% dalam air IV. 6. Bila koma karena kelebihan dosis opiat, beri naloxone 0.4 mg IV setiap 5—10 menit, sampai pasien sadar. Tindakan terhadap proses spesifik.

Umpamanya trauma, infeksi, tumor dan sebagainya. Perawatan lanjutan (nursing care) : 1. Mempertahankan fungsi sistim kardiovaskular adekuat. 2. Mempertahankan fungsi sistim pernafasan adekuat. 3. Posisi dan kulit, ubah posisi tiap 1-2 jam. 4. Makanan dimulai dengan makanan IV, kemudian bila situasi telah stabil atau koma 2-3 hari, barn dim ulai tube feeding. 5. Perawatan bowel, mencegah diare; sering memeriksa rektum. 6. Perawatan kandung kemih, three-way catheter dipasang menetap, suing diirigasi, clamp buka tiap 3-4 jam. Penanggulangan edema serebri dan peninggian tekanan intrakranial Sejumlah proses (trauma, perdarahan, infark, tumor dan sebagainya) akan mengakibatkan edema serebri yang meninggikan tekanan intrakranial dan menyebabkan herniasi jaringan otak. Dalam banyak hal, bertambah buruknya keadaan disebabkan edema serebri dan edema ini kemungkinan besar adalah reversibel. Pengobatan edema serebri merupakan tindakan penyelamatan hidup, sampai dicapainya pengobatan yang mengoreksi proses patologi spesifik. 1. Hindari cairan hipotonik. 2. Hiperventilasi. 3. Mannitol 20% dosis 1.0 gr/kg IV dihabiskan dalam waktu 10-30 menit. Diulang 12 jam kemudian. Pemberian lebih dua kali kurang efektif. Efek antiedema serebrinya segera dan berakhir setelah beberapa jam. 4. Steroid, dexamethason dosis 10-100 mg IV dan kemudian 4 mg IV tiap 6 jam. Efek antiedema serebrinya dimulai dalam 4-6 jam dan maksimal pada 24 jam.

KESIMPULAN Telah diuraikan peranan pemeriksaan saraf pads pasien koma dan urutan tindakan yang hams segera dilakukan untuk keselamatan hidup.

KEPUSTAKAAN 1. 2.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

Adam RD, Victor M. Principles of Neurology. 3th Ed. Singapore: McGrawHill Book Co, 1985. Aquino TM. Coma and alterations in consciousness. Dalam: Manual of Neurologic Therapeutics with essentials of diagnosis, Ed MA Samuels (ed.). Boston: Little, Brown and Co, 1978. Bates D. Coma and brain death. Current Opinion in Neurology and Neurosurgery. London: Current Science Ltd, 1991. Friedman WA. Head injuries. Ciba clinical symposia 1983; 35: 1-32. Gilroy J, Meyer JS. Medical Neurology. McMillan Publ. Co. Inc, 1975. Harrison MJG. Coma. Medicine International, 1987; 2: 1908-11. Harrison MJG. Diagnosis of brain death. Medicine International 1987, 2: 1912-14. Plum F, Posner JB. The Diagnosis of Stupor and Coma. FA Davis Co, 1966. Sharvon SD. Neurological Emergencies. London: Current Medical Literature Ltd, 1989. Simon RP et al. Clinical Neurology. Lange Medical Book Prentice-Hall International Inc, 1989.

Lampiran Tabel 2.

II.

III.

IV.

Diagnose Akhir pada 386 pasien dengan Koma yang Tidak Diketahui Sebabnyam

Supratentorial Mass Lesions Epidural hematoma Subdural hematoma Intracerebral hematoma Cerebral infarct Brain tumor Brain abscess Subtentorial Lesions Brainstem infact Brainstem tumor Brainstem hemorrhage Cerebellar hemorrhage Cerebellar abscess Metabolic and Diffuse Cerebral Disorders Anoxia or ischemia Concussion and postictal state Infection (Meningitis and encephalitis) Subarachnoid hemorrhage Exogenous toxins Endogenous toxins and deficiencies Psychiatric Disorders

69 2 21 33 5 5 3 52 37 2 7 4 2 261 51 9 11 10 99 81

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

4

87

Stroke Hemoragik : Perdarahan Intraserebral Darulkutni Nasution

Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRACTS Stroke, especially intraccerebral hemorrhage, is one of the neurologic emergencies cases, but in the management still controversial. Strict indications for the surgical removal of intracerebral hemorrhage by craniotomy are not avarilable. However, there are two indications for acute surgery : 1) a patient with an intracerebral hemorrage that is located in a superficial location and 2) a hemorrhage into the cerebellum. The role of surgery in intraccrebral hemorrhage may be revived by the recent advent of stereotactic techniques to remove intracranial blood. PENDAHULUAN Sebenarnya semua jenis stroke, baik hemoragik maupun non-hemoragik termasuk gawat darurat neurologi pada fase akut. Memang sebagian penderita dapat dirawat dengan perawatan biasa yaitu istirahat, pemeriksaan laboratorium rutin dan ECG, observasi dan perawatan beberapa hari, fisioterapi dan rehabilitasi, kemudian dipulangkan atau dirawat di rumah. Tetapi untuk sebagian besar memerlukan perawatan intensif pada fase akut, oleh karena sebenarnya stroke bukanlah suatu untreatable disease seperti disangkakan beberapa dokter, tetapi hams dipahami benar-benar proses penyakit ini, agar dapat dihindari kerusakan jaringan otak yang lebih luas. Hams diingat bahwa : 1) kerusakan jaringan otak akibat stroke, tidaklah langsung menyebabkan kematian neuron, tetapi sering progressivitasnya berlangsung dalam beberapa jam pertama setelah kejadian, sehingga kemungkinan untuk pencegahan dengan pengobatan progressif bisa didapati pada beberapa kasus. 2) jaringan otak sekitar neuron yang mati mengalami gangguan fungsional dapat dipertahankan sehingga dapat berfungsi kembali setelah terjadi penyembuhan. 3) edema serebri dan vasospasme kadang-kadang dapat diatasi dan diobati. 88

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Walaupun belum ada pengobatan yang secara sempurna dapat memperbaiki kerusakan jaringan otak akibat stroke, namun pengobatan intensif sedini mungkin, akan memberikan harapan hidup dan penyembuhan yang lebih baik. Pada kesempatan ini dipilih stroke hemoragik, khususnya perdarahan intraserebral (PIS) sebagai topik untuk gawat darurat neurologi, oleh karena belakangan ini sering dipertanyakan oleh pars dokter, bahkan keluarga penderita mengenai kemungkinan tindakan operatif pads penderita PIS ini. PERDARAHAN INTRASEREBRAL Perdarahan intraserebral umumnya diartikan sebagai perdarahan dalam parenkin otak dengan pembentukan hematoma fokal. Etiologi Kebanyakan PIS disebabkan oleh hipertensi, sehingga teori aneurisma Charcot-Bouchard (1868) masih dianut untuk patofisiologi sebagian PIS. Akan tetapi, kira-kira 50% penderita PIS akut tidak mempunyai riwayat hipertensi dan basil pengobatan yang baik terhadap hipertensi menyebabkan menurunnya prevalensi pads penderita PIS dengan mantap dari

tahun ke tahun, antara 1945 - 1976 dari 98% menjadi 81%, kemudian terus menurun sampai 1987 dari 80% menjadi kirakira46%. Oleh karena itu, belakangan ini etiologi PIS dibagi dua yaitu Hypertensive Intracerebral Hemorrhage danNon-hypertensive Intracerebral Hemorrhage. Yang termasuk Honhypertensive Intracerebral Hemorrhage adalah Cerebral amyloid angiopaty (CAA), pemakai anti koagulansia/thrombolitik, neoplasma, drug abuse, aneurisma/AVM, idiopatik dan lain-lain. DIAGNOSIS Diagnosis PIS harus dipertimbangkan jika seorang dengan faktor risiko perdarahan seperti hipertensi, bleeding diathesis, pengobatan dengan antikoagulansia atau pemakai kokain, tibatiba mendapat serangan gangguan neurologik fokal selama beberapa menit tanpa didahului tanda-tanda peringatan. Adanya tanda peninggian tekanan intra-kranial seperti sakit kepala, muntah dan penurunan kesadaran akan mendukung diagnosis PIS. PIS harus dikonfirmasi dengan neuroimaging yaitu head CT Scan, yang tidak hanya menunjukkan ukuran, lokasi dan tempat hematom, tetapi juga memberikan informasi tentang perluasan hematom ke sistem ventrikel, adanya edema sekitar hematom dan adanya shift atau pendorongan. Jika tidak ada CT Scan, harus dilakukan pungsi lumbal atau arteriografi serebral untuk alat bantu diagnostik, atau ditunggu sampai keadaan penderita stabil lalu dikirim ke tempat fasilitas CT Scan. PENG OB ATAN Pengobatan pada prinsipnya konservatif, belum ada persesuaian atau indikasi yang tegas mengenai pembedahan pada stroke hemoragik. Tindakan pertama adalah mempertahankan jalan nafas yang baik dan pengobatan terhadap hipertensi jika sangat tinggi, tetapi hams dihindari penurunan yang berlebihan sehingga mengganggu autoregulasi dan pergusi jaringan otak. Edema otak harus diatasi jika mengakibatkan penurunan kesadaran atau mengancam herniasai, dianjurkan forced hyperventilation, pemberian mannitol atau glyserol, sedangkan kontikosteroid tidak dianjurkan oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Gangguan koagulasi harus dikoreksi, fresh frozen plasma, vitamin K, protamine dan transfusi platelet dapat diberikan tergantung defisit koabulasinya. Untuk PIS akibat pemakaian streptokinase, urokinase dengan atau tanpa heparin, dapat diberikan protomine dan epsilon-amino-caproic acid, sedangkan untuk warfarin dapat diberikan vitamin K atau fresh frozen plasma. Penggunaan antikonvulsan rutin nampaknya tidak diperlukan, tetapi banyak pasien dengan perdarahan kortikal atau subkortikal diberikan antikonvulsan walaupun tidak kejang. Belum ada suatu penelitian yang memastikan kelebihan tindakan operatif pada HIS dibandingkan dengan pengobatan konservatif. Dari suatu penelitian yang melibatkan 52 orang penderita PIS yang tidak sadar atau dengan defisit neurologik

yang berat dibagi atas kelompok operatif dan konservatif, ternyata hanya penderita dengan skala koma Glasgow 7 - 10 yang mendapat perbaikan dengan tindakan operatif, tetapi perbaikan fungsi neurologik jelek. Juga terlihat perluasan hematom ke ventrikel dan penurunan skala koma Glasgow pada kelompok bedah. F. Gotoh dan N. Tanahashi dari Jepang melaporkan dari 500 penderita PIS yang dirawat secara konservatif dibandingkan dengan kasus yang lama dengan tindakan operatif, ternyata tidak ada perbedaan antara kedua kelompok tersebut dan disimpulkan bahwa indikasi tindakan operatif terutama pads kasus yang berat untuk life saving. Sampai saat ini secara umum hanya ada 2 indikasi untuk tindakan operatif : 1) PIS dengan lokasi superfisial seperti lobus frontalis, temporalis dan occipitalis jika kondisi klinisnya membahayakan kehidupan untuk life saving, 2) perdarahan serebellum dengan ukuran lebih dari 3 cm; karena perjalanan klinisnya sukar diramalkan, harus segera dioperasi sebelum ada tanda-tanda kompresi batang otak yang berat. Peranan tindakan operatif diharapkan akan lebih balk lagi dengan dikembangkannya belakangan ini teknik stereotaktik dengan tujuan dasar memperkecil invasi bedah.

PROGNOSIS Secara umum mortalitas 26 - 50%, bertambah jelek pads perdarahan dithalamus dan serebellum dengan diamter lebih dari 3 cm dan perdarahan pontine yang lebih dari 1 cm. Prognosis lebih baik pads perdarahan lobar dengan mortalitas kira-kira 6 30%. Jika diukur dengan volume mortalitas kurang dari 10% pads perdarahan yang kurang dari 20mm3 dan 90% pada perdarahan yang lebih dari 60 mm3. Gejala neurologis permulaan serangan juga merupakan tanda prognostik penting, mortalitas bertambah jelek pads pasien yang tidak sadar pada onset penyakit, perdarahan yang luas dan dalam serta dengan perluasan ke ventrikel. Dilaporkan pula bahwa penderita PIS dengan SKG lebih dari 9, perdarahan kecil dan pulse pressure kurang dari 40 mm Hg, kemungkinan survival dalam waktu 30 hari adalah 98%, tetapi pasien dengan koma dan perdarahan luas serta pulse pressure lebih dari 65 mmHg, kemungkinan survival dalam 30 hari adalah 8%. KEPUSTAKAAN 1. Caplan LR. Intracerebral haemorrhage Lancet 1992; 339 : 656-58. 2. Earnest MP. Emergency Diagnosis and Management of Brain Infarctions and Hemorrhages. in : Earnest MP. Neulorogic Emergencies, Churchill Livingstone, 1983. 3. Feldmann E. Intracerebral hemorrhage. Stroke 1991; 22 : 684-91. 4. Gotoh F, Tanahashi N. Emergency Management of Stroke : The Problem Of Acute Cerebral Ilemorrhafe, World Congress Of Neurology, India, 1989. 5. Kase CS, Mohr JP. General features of intracerebral hemorrhage, in : Bamett HJM, Mohr JP, Stein BM, Yatsu FM (eds) : Stroke, New York : Churchill Livingstone, Inc, 1986, pp 497-523. 6. Marshall J. Should spontaneous cerebral haematomas be evacuated and if so when?. In : Warlow C, Garfield J (eds). Dilemmas in the management of the neurological patient, Churchill Livingstone, London, 1984.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

89

Gawat Darurat Penyakit Paru

Hemoptisis Masif H. Luhur Soeroso, H. Sugito, R.S. Parhusip, Sumarl, Usman Bagian Ilmu Penyakit Paru Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral UPF, Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRAK Pada tulisan ini dibicarakan hal-hal mengenai etiologi, patofisiologi, diagnosis serta penanggulangan hemoptisis masif, baik secara konservatif maupun operatif dan pencegahan khsusu melalui tindakan endobronkial dan endovaskuler. Bahan-bahan ilmiah ini dikutip dari pengalaman-pengalaman pakar ilmu penyakit paru nasional serta pakar-pakar internasional. Kita mengetahui, bahwa mengenai masalah hemoptisis masif ini masih didapatkan perbedaan pendapat antara suatu pusat medis dengan pusat medis lainnya. Maka dari itu peristiwa pelik ini harus kita waspadai secermat mungkin guna mencegah resiko yang membahayakan jiwa penderita.

PENDAHULUAN Hemoptisis atau batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak mengandung darah, berasal dari saluran nafas di bawah pita suara( o . Hemoptisis harus dibedakan dengan epistaksis atau hematemesis, baik secara anamnesis, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium. Hemoptisis merupakan salah satu gejala yang menyebabkan penderita segera datang berobat, karena bagi masyarakat awam hemoptisis merupakan pertanda bahwa penyakit yang dideritanya cukup membahayakan dan akan membawa maut baginya. Dalam tulisan ini akan dijelaskan hemoptisis masif, karena hemoptisis masif merupakan keadaan gawat dalam bidang medis dan perlu segera ditanggulangi. Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang banyak dalam waktu singkat, serta penyebaran penyakit ke bagian paru yang sehat. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak dari hemoptisis masif. Dalam tulisan ini akan dibahas batasan, etiologi, kekerapan, patofisiologi dan diagnosis serta penanggulangan hemoptisis masif.

90

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

BATASAN Dalam menetapkan kriteria sedang hemoptisis masif, masih dijumpai perbedaan di antara satu pusat medis dengan pusat medis lainnya, terutama dalam hal menentukan volume darah yang dikeluarkan dalam periode tertentu. Menurut Edward dkk dan J.A. Wedzicha, hemoptisis masif adalah batuk disertai darah, dengan volume darah antara 200 ml s/d 600 ml yang berlangsung 16 jam s/d 24 jam t2.3t . Di bagian Paru FK-UI/RS. Persahabatan Jakarta dipakai 3 kriteria untuk menyatakan hemoptisis masif yang memerlukan tindakan bedah karena akan mengancam kelangsungan hidup penderita( l ). 1) Bila penderita mengalami batuk darah lebih dari 600 ml per 24 jam - dan dalam pengamatan batuk darah tidal( berhenti. 2) Bila penderita batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam dan pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darah masih berlangsung terus. 3) Penderita dengan batuk darah kurang dari 600 ml per 24 jam, tetapi lebih dari 250 ml per 24 jam, kadar Hb lebih dari 10 g%, dan pada pengamatan selama 48 jam dengan pengobatan konser-

vatif perdarahan tidak berhenti lama sekali. Kritena lain yang biasa dipakai oleh penulis untuk menyatakan hemoptisis masif adalah sbb(1) : a) Batuk darah lebih dari 200 ml per 24 jam b) Batuk darah 600 ml atau lebih per 24 jam c) Batuk darah yang menyehabkan obstruksi jalan nafas mendadak atau batuk darah yang menetap sehingga menimbulkan anemi atau hipotensi sehingga merlukakan tranfusi darah. d) Batuk darah yang cukup banyak sehingga memerlukan tranfusi darah, atau terjadi retensi darah dalam alveoli dan saluran nafas disertai gangguan faal paru yang progresif. ETIOLOGI Etiologi hemoptisis, baik masif maupun tidak, secara garis besar dapat dikelompokkan atas 6 kelompok utama(") 1. Trauma dan benda acing 2. Kelainan kardiovaskular 3. Radang dan infeksi 4. Blood dyscrasias 5. Sindrom komprsi 6. Idiopatik Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah°). 1) Tumor a. Karsinoma b. Adenoma c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal 2) Infeksi a. Aspergilloma b. Bronkiektasis (terutama pada lobus atas) c. Abses paru d. Tuberkulosis paru 3) Infark paru 4) Udem paru Terutama disebabkan oleh mitral stenosis 5) Perdarahan paru a. Sistemik lupus eritematosus b. Goodpasture's syndrome c. Idiophatic pulmonary haemosiderosis d. Behcet's syndrome 6) Cedera pads dada/truma a. Kontusio pulmonal b. Transbronkial biopsi c. Transtorakal biopsi memakai jarum 7) Kelainan pembuluh darah a. Malformasi arteriovena b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis 8) Bleeding diathesis Biasanya dibuktikan adanya perdarahan di tempat lain, di luar paru.

tuberkulosis kira-kira 20%, pada penderita bronkiektasis kirakira 45% dan pada penderita tumor kira-kira 10%. Pada suatu chest clinic kekerapan batuk darah berkisar antara 10%-15%, bahkan ada sampai 38% dari seluruh kunjungan ( ' ) . PATOFISIOLOGI Mekanisme terjadinya batuk darah adalah sbb. (Wolf, 1977) : 1. Radang mukosa Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah. 2. Infark paru Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau inflasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus dan infeksi oleh jamur. 3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminal seperti pada dekompensasi kordis kiri akut dan mitral stenosis. Pada mitral stenosis, perdarahan dapat terjadi akibat pelebaran vena bronkialis. 4. Kelainan membran alveolokapiler Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures syndrome 5. Perdarahan kavitas tuberkulosis Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pads bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif. 6. Invasi tumor ganas 7. Cedera dada Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah. DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan urutan pemeriksaan sebagai berikuto1 . 1. Anamnesis teliti Perlu dipastikan apakah penderita benar-benar mengalami batuk darah bukan epitaksis atau muntah darah. Muntah darah karena varises esofagus atau ulkus peptikum dapat menyerupai batuk darah. Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat dipergunakan petunjuk sebagai berikut :

KEKERAPAN Untuk negara yang mempunyai kekerapan tuberkulosis tinggi, maka penyakit ini merupakan penyebab tersering terjadinya hemoptisis masif. Kekerapan batuk darah penderita

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

91

Tanda ini merupakan pertanda penyakit katup mitral. 3) Pembesaran kelenjar limfe Pembesaran kelenjar servikal, skalenus dan supraklavikula dapat terjadi akibat anal( sebar karsinoma bronkus. 4) Ulserasi septum nasalis Kerusakan septum nasalis merupakan pertanda adanya penyakit granulomatosis. 5) Teleangiektasi Teleangiektasi di bibir dan mukosa mcrupakan pertanda adanya penyakit Rendu-Osler-Weber. Hal-hal yang perlu ditanyakan(4 ) : a) Batuk dan ekspektorasi dahak bersifat mukopurulen atau purulen Batuk dengan dahak purulen atau mukopurulen menunjukkan adanya infeksi seperti bronkitis, pneumoni atau abses paru serta bronkiektasis, yang semuanya dapat menyebabkan batuk darah. b. Riwayat kelainan katup jantung Adanya riwayat kelainan katup jantung, akan mengarahkan kecurigaan terhadap kemungkinan adanya stenosis katup mitral; dalam keadaan demikian darah yang dibatukkan berasal dari anastomosis vena bronkopulmonal yang terdapat di dinding bronkus. c. Batuk darah yang menyertai cedera dada Adanya cedera dada akan menyebabkan pecahnya pembuluh darah trakeobronkial atau pecahnya kista paru, akan menimbulkan batuk darah. d. Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah Keadaan ini akan menunjukkan adanya diatesa hemoragik atau diskrasia darah e. Perokok berat yang telah berlangsung lama Adanya batuk darah pada penderita yang merokok dan telah berlangsung lama serta berumur lebih dari 40 tahun, akan mengarahkan perhatian kita terhadap proses keganasan di paru. f. Sakit pads tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada Adanya batuk darah disertai dengan keluhan sakit di tungkai atau adanya edema akan mengarahkan perhatian terhadap adanya infark paru; untuk keadaan demikian, batuk darah merupakan petunjuk adanya penyakit dengan risiko tinggi g. Hematuri yang disertai dengan batuk darah Adanya batuk darah disertai hematuri akan menimbulkan kecurigaan kita adanya kelainan yang disebabkan oleh Wegener 's granulomatosis, Goodpastures syndrome atau Lupus erythematosus. PEMERIKSAN FISIK Path pemeriksaan fisik hendaklah dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : 1) Jari tabuh Tanda ini menunjukkan adanya karsinoma paru, bronkiekasis, abses paru yang bersifat kronis. 2) Bising sistolik dan opening snap 92

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pada keadaan darurat, pemeriksaan laboratorium dapat dibatasi pads pemeriksaan Hb yang kemudian diikuti dengan pemeriksaan darah rutin, urine dan tinja. Pemeriksaan pembekuan darah meliputi protrombin dan partial thromboplastine time dilakukan bila memang diperlukan. Pemeriksaan sputum berupa pemeriksaan Gram, BTA, kultur bakteri, jamur perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi yang mendacari terjadinya batuk darah tersebut. Pemeriksaan sitologi sputum dilakukan bila ada kecurigaan terhadap keganasan. Pemeriksaan ini ditujukan terutama pada penderita dengan risiko besar untuk mendapat kanker paru, seperti pada laki-laki perokok berat usia di atas 40 tahun, (4.6) meskipun foto toraks tampak normal . PEMERIKSAAN FOTO TORAKS Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif, ditambah dengan dalam posisi lordotik dan oblik dengan tujuan untuk mendapatkan diagnosis lebih khusus. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat dan kemungkinan penyebab. Konfigurasi katup mitral sertaKerley B Line akan menyokong diagnosis stenosis mitralis dan hipertensi pulmonal @) . Pemeriksaan tomografi kadang-kadang diperlukan untuk kasus tertentu seperti untuk menentukan adanya kavitas paru, adanya massa padat serta adenopati di daerah mediastinum dan hillus. PEMERIKSAAN BRONKOSKOPI Batuk darah masif merupakan indikasi kuat untuk pemeriksaan bronkoskopi. Bronkoskopi dilakukan untuk mengevaluasi hemoptisis masif terutama pada orang tua di mana foto toraks tidak memperlihatkan kelainan, terlebih-lebih bila terdapat riwayat perokok berat. Hal ini sangat penting, mengingat pada stadium dini, kanker paru yang menyebabkan batuk darah masif dapat disembuhkan dengan tindakan bedah raja. Pemeriksaan bronkoskopi yang tidak memperlihatkan kelainan belum dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor ganas paru° > . Dikenal 2 macam bronkoskop, yaitu bronkoskop serat optik dan bronkoskop metal yang kaku; masing-masing jenis bronkoskop mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam mencari sumber perdarahan pads lobus superior, bronkoskop

Berta optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan nafas dari bekuan darah serta mengambil benda acing, di samping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat dimana terjadinya perdarahan. Pada keadaan yang mendesak pemeriksaan bronkoskopi perlu dilakukan di meja operasi dengan maksud untuk mempermudah intervensi bedah kalau diperlukan(". PEMERIKSAAN LAINNYA Pemeriksaan bronkografi kadang-kadang diperlukan untuk menentukan ada atau beratnya suatu bronkiektasi bila pads foto toraks tidak terdeteksi. Bronkografi biasanya dilakukan setelah perdarahan berhenti karena bekuan darah akan menghalangi zat kontras di samping bahan kontras yang dipergunakan dapat merangsang terjadinya batuk, ini akan mempermudah terjadinya aspirasi bekuan darah pads saat inspirasi untuk memulai batuk. Pada beberapa keadaan pemeriksaan angiografi atau skening perfusi paru. juga diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya emboli paru o,6) PENANGGULANGAN HEMOPTISIS MASIF Pengobatan hemoptisis masif tergantung pada volume darah yang dibatukkan, penyebab perdarahan serta kondisi penderita. Tujuan pengobatan : 1. Mencegah terjadinya asfiksi 2. Menghentikan perdarahan 3. Mengobati penyakit yang mendasarinya Penderita hemoptisis masif perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat komplikasi perdarahan dapat berakibat fatal. Untuk itu penderita harus dirawat, karena tidak dapat diramalkan apakah perdarahan akan berhenti secara spontan atau akan terus berlangsung. Ada dua tindakan penanganan hemoptisis masif, yaitu tindakan konservatif dan tindakan operatif. 1.

Tindakan konservatif Tindakan ini dilakukan apabila penderita menolak dioperasi, adanya kontra indikasi pembedahan, sumber perdarahan dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak ada atau belum jelas dalam pengamatan lebih lanjut, darah keluar menunjukkan kecenderungan untuk berhenti. Dalam perawatan dilakukan tindakan : a.

Mencegah asfiksi Menenangkan penderita sehingga perdarahan lebih mudah berhenti. Penderita perlu diberi tahu agar tidak takut untuk membatukkan darah yang ada di saluran nafasnya. Penderita dengan refleks batuk masih baik dan keadaan umum baik, dapat diletakkan dalam posisi duduk atau setengah duduk, apabila dianggap perlu, dipasang pipa endotrakeal dan dilakukan pengisapan bekuan darah. Penderita dengan refleks batuk yang tidak adekuat, diletakkan dalam posisi tidur miring ke sisi mana diduga asal perdarahan dan sedikit trendelenburg untuk mencegah

aspirasi darah ke paru yang sehat. Bila terdapat tanda penyumbatan jalan nafas, dilakukan pengisapan. Pengisapan dengan bronkoskop akan lebih baik tetapi memerlukan keahlian khusus dan kadang-kadang diperlukan pemasangan balon Forgarty. Penderita dinasihati untuk tidak menahan batuknya, tetapi bila batuknya terlalu sering, keras dan paroksismal dapat mengakibatkan perdarahan sukar berhenti. Untuk mengurangi kekerapan batuk dapat diberikan kodein 15-30 mg setiap 3 s/d 4 jam. Penderita hemoptisis masif pads umumnya gelisah dan ketakutan, sehingga berusaha menahan batuknya. Untuk menenangkannya dapat diberikan sedatif agar lebih kooperatif, seperti luminal dengan dosis 15-60 mg/hari. Cara tradisional seperti meletakkan es di dada penderita atau minum air garam dapat memberi efek psikologis pads penderita. b. Menghentikan perdarahan Pasang IV line atau IVFD untuk jalur pemberian obat dan penggantian cairan. Pemberian hemostatika belum jelas manfaatnya pads penderita hemoptisis masif, demikian pula penggunaan koagulan tidak rasional mengingat batuk darah masif bukan disebabkan gangguan pembekuan darah (Karsono, G. 1877). Karbozokrom,asam traneksamat dikatakan mempunyai efek antara lain : - memperkuat dinding kapiler, - menaik(an retensi kapiler, - menurunkan permeabilitas kapiler dan - mempercepat pembekuan darah bila suhu darah tubuh di bawah 37°C . Apabila obat di atas benar bermanfaat seperti yang dinyatakan, maka penggunaan obat ini adalah tepat, mengingat perdarahan pads hemoptisis masif diakibatkan pecahnya pembuluh darah. 2.

Tindakan operatif Ada sejumlah laporan tentang keberhasilan tindakan bedah dalam mengatasi hemoptisis masif. Crocco dkk memperlihatkan keberhasilan pembedahan dalam mengurangi mortalitas hemoptisis masif dibandingkan dengan cara konservatif, Conlan dkk melaporkan penurunan mortalitas dari 31,8% menjadi 17,6% akibat hemoptisis masif dengan bantuan pembedahan. Tindakan pembedahan merupakan tindakan cukup ampuh dalam menanggulangi hemoptisis masif apabila bleeding point telah diketahui dengan baik. Tindakan pembedahan dipikirkan apabila ada indikasi;kriteria hemoptisis masif yang memerlukan tindakan-tindakan bedah yang segera adalah sebagai berikut i') : 1. Bila dari anamnesis tidak didapatkan sesak nafas pads waktu olah raga atau kerja, maka faal paru dianggap cukup balk. 2. Pada keadaan normal, kapasitas pare kanan kira-kira 55% dal. paru kiri 45%, dalam keadaan sakit kapasitas paru sehat dapat diperhitungkan dari foto toraks. 3. Bila memungkinkan dilakukan pemeriksaan faal paru. Toleransi penderita dianggap bukup bila pada pemeriksaan faal paru yang tertinggal dengan kapasitas lebih dari 40% dan FEY-1 lebih dari 60%. Sebelum pembedahan, sebaiknya lebih dahulu dilakukan pemeriksaan bronkoskopi untuk menentukan sumber perdaCermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

93

rahan. Jika sumber perdarahan belum dapat ditentukan, maka dilakukan pemeriksaan bronkoskopi ulangan. PENANGGULANGAN HAMOPTISIS RUTIN 1) Memperbaiki keadaan umum penderita(' .4) — Pemberian oksigen Pemberian oksigen tidak selalu diperlukan dan hanya bermanfaat bila jalan nafas telah bebas dari sumbatan bekuan darah. Pemberian cairan rehidrasi Transfusi darah Memperbaiki keseimbangan asam-basa. 2. Mengobati penyakit yang mendasari Terapi konservatif dilakukan apabila pasien menolak dioperasi asal perdarahan dengan pemeriksaan bronkoskopi tidak atau belum jelas diketahui, dalam pengamatan perdarahan cenderung berhenti. Pada penderita seperti ini diusahakan mencari penyebab agar dapat diberi pengobatan kausal. PENANGGULANGAN HEMOPTISIS MASIF SECARA KHUSUS Garton dkk mengemukakan dua can untuk mengatasi perdarahan akibat hemoptisis masif langsung pada sumber perdarahannya. 1. Mellaui endobronkial Swersky berhasil mengatasi perdarahan masif pada penderita kistik fibrosis dengan menggunakan balon kateter serta sekaligus melakukan irigasi dengan bahan vasokonstriktor, seperti adrenalin t3 >. Tsukumoto T dkk melakukan infus tetapi pada penderita hemoptitis masif yang mengancam jiwa. Setelah lokasi perdarahan diketahui, melalui saluran aspirasi bronkoskop dimasukkan sebanyak 5-10 ml thrombin dengan kadar 10.000 U/ ml atau dikombinasi dengan cairan fibrinogen 2% sebanyak 510 ml dan didiamkan selama 5 menit. Setelah diyakini telah terjadi hemostatis, bronkoskop dicabut. Dari 33 penderita yang diteliti dan dijajaki selama 5 tahun, ternyata infus terapi cukup berhasil pads 31 pasien. Perdarahan pads saluran nafas dapat pula diatasi secara termodinamik intrabronkial, yaitu dengan mempergunakan sinar Laser melalui bantuan bronkoskop( 810) 2.

Melalui endosvaslular Transkateter embolisasi arteri bronkialis adalah cara terbaru; merupakan tindakan yang khusus dalam mengatasi hemoptisis masif. Whoey dkk melaporkan terapi embolisasi untuk pertama kali pads tahun 1976(9 ). Dengan bantuan arteriografi bronkial akan tampak gambaran hipervas kularisasi di daerah kabitas dan mungkin juga bersama-sama akan tampak aneurisma dari cabang arteri bronkialis. Terapi embolisasi dilakukan dengan memasukkan bahan emboli ke dalam cabang arteri bronkialis dan basil yang baik akan terlihat dengan menghilangnya hipervakulatisasi dan aneurisma. Bahan embolisasi dapat berupa gelatin (Gelfoam), 94

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

polivinil alkohol (Ivalon), alkohol absolutdan ginaturco atel-coil emboli; yang sering dipakai Gelfoam("). Ulfacker dkk (1985) melaporkan sebanyak 85% penderita hemoptisis masif berhasil dikontrol perdarahannya setelah tindakan embolosas i(3). Beberapa peneliti mendapatkan perdarahan berulang sekitar 20% setelah embolisasi berhasil pada penderita hemoptisis masif(9.9.t)

Perdarahan berulang dapat terjadi sewaktu-waktu dalam interval beberapa hari sampai dengan beberapa tahun t3> . Terjadinya perdarahan berulang dapat disebabkan antara lain karena : a. Embolisasi tidak adekuat b. Terjadinya rekamalisasi arteri bronkialis c. Lokasi embolisasi tidak tepat d. Terjadi revaskularisasi e. Terjadinya sistem kolateral arteri ekstrapulmonal, misalnya proses keganasan, infeksi kronis, aspergillosis paru. f. Keparahan penyakit yang mendasari Komplikasi terapi embolisasi dapat berupa cedera medulla spinalis, infark bronkus primer, kolitis iskemik yang fatal; pernah dilaporkan terjadi fistel esofagobronkia' t3>.

PROGNOSIS Prognosis baik bila : 1) Penderita tidak mendapatkan penyakit dari penyakit lain. 2) Hemoptisis masif yang terjadi dapat diketahui sumber perdarahannya, dan dengan segera dapat dilakukan tindakan pembedahan.

KEPUSTAKAAN 1. Yunus F. Hemoptisis, Maj Kedok Indon 1987; 37 (10) : 527-31. 2. Haponik EF, Chin R. Haemoptysis; clinicians perspective. Chest 1990; 97 (2) : 469-75. 3. Wedziche JA. Management massicr haemoptysis. Resp. Medicine 1990; 84:9-12. 4. Zagelbaum GL. Haemoptysis in : Manual of Acutc Respiratory Care. Asia Ed. 1982, 123-28. 5. Moxham et al. Symptom and signs in Respiratory disease. Medicine Intemat, Vol. 1, Par East Ed. 1991; 4 (14) : 3644-49. 6. Hinshaw HC, Murray IF. Diagnostic Procedure. In : Disease of Chest. 4th ed. Philadelpia; WB Saunders & Co, 1980, 1-152. 7. Laderle FA et al. Bronchoscopy to evaluate haemoptysis in olderman with nonsuspicious chest rontgenogram. Chest 1990; 95 (5) : 1045-7. 8. Bense L. Intrabronchial selective coagulative treatment of haemoptysis. Chest 1990; 97 : 990-6. 9. Hedzdroff NT et al. Tranccatheter bronchial artery embolization in multimodality management of massive haemoptysis. Chest 1990; 97 (6) : 1494-96. 10. Tomoi Tsukamoto et al. Treatment of heamoptysis patients by thrombin and fibrinogen-thrombin infusion therapy using afibro optic bronchoscope. Chest 1989; 96 : 473-6. 11. Katoh C et al. Recurrent beleeding after embolization in patients with haemoptysis.

Efusi Pleura Masif Sugito, LS Soeroso, RS Parhusip, Zainuddin Amir, Rusyda N Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral UPF Paru Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

ABSTRAK Efusi Pleura Masif masih sering dijumpai, dan untuk menetapkan diagnosisnya tidaklah begitu sukar. Namun demikian mencari penyebabnya tidaklah mudah, karena memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang yang agak banyak. Akibat adanya carian yang cukup banyak dalam rongga pleura, maka kapasitas paru akan berkurang dan di samping itu juga menyebabkan pendorongan organ-organ mediastinum, termasuk jantung. Hal ini mengakibatkan insufisiensi pernafasan dan juga dapat mengakibatkan gangguan pada jantung dan sirkulasi darah. Diperlukan penatalaksanaan yang bail( dalam menanggulangi efusi pleura masif ini, yaitu pengeluaran cairan dengan segera serta pengobatan terhadap penyebabnya sehingga hasilnya akan memuaskan. PENDAHULUAN Efusi pleura adalah penumpukan cairan di dalam rorigga pleura yang disebabkan oleh proses eksudasi atau transudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Efusi pleura bukanlah merupakan suatu diagnosis penyakit , tetapi suatu gejala penyakit serius yang dapat mengancam jiwa . Efusi pleura masif adalah penumpukan cairan pleura yang mencapai lebih 2/3 hemitoraks( ). Berbagai penyakit bisa menimbulkan efusi pleura masif, namun yang paling sering ditemukan karena proses keganasan dan tuberkulosis. Diagnosis efusi pleura masif pada umumnya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, tetapi kadang-kadang memerlukan pemeriksaan foto toraks. Untuk diagnosis pasti perlu dilakukan tindakan torakosentesis, evaluasi ,3.0) . cairan pleura, biopsi pleura dan prosedur diagnostik lainnya ' Berikut akan dibahas mekanisme terjadinya efusi pleura, diagnosis dan penatalaksanaan efusi pleura masif. (o

(2)

'

3

(

MEKANISME Dalam keadaan normal rongga pleura mengandung

kurang lebih 10-20 ml cairan dengan konsentrasi protein rendah, terdapat di antara pleura viseralis dan parietalis yang berfungsi sebagai pelicin agar gerakan kedua pleura tidak terganggu. Cairan ini dibentuk oleh kapiler pleura parietalis dan direabsorsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura viseralis. Keseimbangan ini tergantung pada tekanan hidrostatik, dan direabsorpsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura dan penyaluran cairan pleura oleh saluran getah bening ' ). Pada keadaan patologis rongga pleura dapat menampung beberapa liter cairan dan udara " ) Efusi pleura dapat timbul bila terjadi peningkatan tekanan hidrostatik sistemik, penurunan tekanan osmotik koloid darah akibat hipoproteinemia, kerusakan dinding pembuluh darah atau dalam rongga pleura pada atelektasis yang luas, gangguan penyerapan kembali carian pleura oleh saluran pembuluh getah bening, hipersensitif terhadap tuberkuloprotein, robeknya pembuluh darah atau saluran getah bening dan carian asites dapat mengalir melalui pembuluh getah bening diafragma atau defeks makroskopik pada diafragma '"3 o

(

4

3

(



0

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

95

DIAGNOSIS Anamnesis dan gejala klinis Keluhan utama penderita adalah nyeri dada sehingga penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernapas pendek atau tidur miring ke sisi yang sakit @) . Selain itu sesak napas terutama bila berbaring ke sisi yang sehat disertai batukbatuk dengan atau tanpa dahak. Berat ringannya sesak napas ini ditentukan oleh jumlah cairan efusi. Keluhan yang lain adalah sesuai dengan penyakit yang mendasarinya m .

nyakit jaringan penyokong o) . Bila pads pemeriksaan pertama tidak dapat ditegakkan diagnosis, pemeriksaan sitologi sebaiknya diulang sampai dengan tiga kali°• 8>. Untuk menentukan etiologi cairan pleura, biopsi pleura memberikan basil yang lebih baik dibandingkan sitologi carian. Biopsi dapat dilakukan secara buta dengan jarum Cope, Vim Silverman atau Abrams. Biopsi yang berulang sebanyak 2-3 kali akan memberikan angka positip yang lebih tinggi(' 3•') .

Pemeriksaan fisis Pada pemeriksaan fisik toraks didapatkan dada yang terkena cembung selain melebar dan kurang bergerak pads pernapasan. Fremitus vokal melemah, redup sampai pekak pada perkusi, dan suara napas lemah atau menghilang. Jantung dan mediastinum terdorong ke sisi yang sehat . Bila tidak ada pendorongan, sangat mungkin disebabkan oleh keganasan( w)

Biokimia Secara biokimia carian pleura dibagi alas transudar dan eksudat (Label 1).

Pemeriksaan radiologik Pemeriksaan radiologis mempunyai nilai yang tinggi dalam mendiagnosis efusi pleura, tetapi tidak mempunyai nilai apapun dalam menentukan penyebabnya. Secara radiologis jumlah cairan yang kurang dari 100 ml tidak akan tampak dan baru jelas bila jumlah cairan di atras 300 ml ( ' .5) Foto toraks dengan posisi Posterioe Anterior akan memperjelas kemungkinan adanya efusi pleura masif. Pada sisi yang sakit tampak perselubungan masif dengan pendorongan jantung dan mediastinum ke sisi yang sehat° . TORAKOSENTESIS Tujuan torakosentesis (punksi pleura) di samping sebagai diagnostik juga sebagai terapeutik o). PEMERIKSAAN CAIRAN PLEURA Makroskopis dan bau Cairan efusi berwarna serous (jarang serohemoragis), ini biasanya karena infeksi tuberkulosis, bila keruh kekuningkuningan akibat infeksi non tuberkulosis, keruh susu dengan endapan di dasar karena empiema, keruh susu dengan krim di bagian atas karena chylotoraks, keruh kehijau-hijauan karena arthritis rematoid, kental karena mesothelioma, merah tengguli karena sindrom hepatopulmonal, hemoragis karena karsinoma, truma dan infark paru dan bau busuk umumnya karena infeksi anaerobik°.0) Mikroskopis Kumpulan lebih kurang 10 ml, cairan untuk pemeriksaan mikroskopik. Bila ditemukan dominan neutrofil polimorf menunjukkan suatu inflamasi bakterial dan bila jumlahnya sangat banyak menunjukkan empiema. Efusi dengan sel limfosit perdominan merupakan tanda khas untuk tuberkulosis tapi dapat juga dijumpai pada efusi pleura kronis dengan sebab apapun. Eosinofil yang banyak sekali biasanya menunjukkan adanya perdarahan dalam rongga pleura, karena keganasan atau pe96

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Di samping pemeriksaan di atas diperiksa juga kadar pH (normal 7,64). pH < 7,30 dapat dijumpai pada penyakit TBC, infeksi non TBC, penyakit kolagen, dan neoplasma". Kadar glukosa yang rendah (40mg%) ditemukan karena proses infeksi dan keganasan( 9). Akhir-akhir ini diperkenaikan pemeriksaan biokimia diagnostik antara lain pemeriksaan Cytokine yang meliputi Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-2 (IL-2) serta gamma Interferop (IFN-Y) dan nemeriksaan Adenosine Deaminase (ADA)"•"' -Ribera dkk" 3) di Spanyol mendapatkan kadar gamma interferon yang tinggi pada efusi pleura tuberkulosis sebesar 91,2 U/ml (rata-rata 2,4-413 u/ml), sedangkanShimokata dkk(" ) di Nagoya mendapatkan 73/ml rata-rata 1,5 - 410 U/ml untuk efusi pleura tuberkulosis dan sebesar < 1,0 U/ml untuk efusi pleura karena karsinoma (p < 0,01). Banales dkk' di Mexico mengemukakan peranan pemeriksaan Adenosine Deaminase sebagai marker dengan sensitifitas 98% dan spesifisitas 96% untuk efusi pleura tuberkulosis dengan batasan 70 lU/liter. Torakoskopi atau pleroskopi dapat secara langsung melihat pleura dan dapat melakukan biopsi pada permukaan pleura yang abnormal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dengan mempergunakan torakoskop kaku atau dengan bronkoskopi serat optik dengan anestesi topikal. Torakoskopi baru dikerjakan bila pemeriksaan sitologi cairan pleura maupun biopsi pleura tidak memberikan hasil"). Demikian juga tindakan prosedur diagnostik lainnya yang bersifat invasif seperti biopsi pleura terbuka dikerjakan bila pemeriksaan sitologi cairan dan biopsi pleura tidak menemukan tanda keganasan°).

PENGOBATAN Efusi pleura masif harus segera mendapatkan tindakan pengobatan karena cairan pleura akan menekan organ-organ vital dalam rongga dada dan dapat menimbulkan kematian secara tiba-tiba( 2.5.0 . Beberapa macam pengobatan atau tindakan yang dapat dilakukan pada efusi pleura masif adalah sebagai berikut : 1) Obati penyakit yang mendasarinya t5> . 2) Torakosentesis - keluarkan cairan seperlunya hingga sesak - berkurang (lega); jangan lebih 1-1,5 liter pads setiap kali aspirasi( 2), Zangelbaum dan Pare menganjurkan jangan lebih 1.500 ml dengan waktu antara 20-30 menit( 9). Torakosentesis ulang dapat dilakukan pada hari berikutnya. Torakosentesis untuk tujuan diagnosis setiap waktu dapat dikerjakan, sedangkan untuk tujuan terapeutik pads efusi pleura tuberkulosis dilakukan atas beberapa indikasit6> : a) Adanya keluhan subjektif yang berat misalnya nyeri dada, perasaan tertekan pada dada. b) Cairan sudah mencapai sela iga ke-2 atau lebih, sehingga akan mendorong dan menekan jantung dan alat mediastinum lainnya, yang dapat menyebabkan kematian secara tiba-tiba. c) Suhu badan dan keluhan subjektif masih ada, walaupun sudah melewati masa 3 minggu. Dalam hal seperti ini biasanya cairan sudah berubah menjadi pyotoraks. d) Penyerapan cairan yang terlambat dan waktu sudah mendekati 6 minggu, namun cairan masih tetap banyak. 3) Jika efusi yang akan dikeluarkan jumlahnya banyak, lebih baik dipasang selang dada (chest tube), sehingga cairan dapat dialirkan dengan lambat tapi sempurna. Tidaklah bijaksana mengeluarkan lebih dari 500 ml cairan sekaligus. Selang dapat diklem selama beberapa jam sebelum 500 ml lainnya dikeluarkan. Drainase yang terlalu cepat akan menyebabkan distres pads pasien dan di samping itu dapat timbul edema paru t3s> . 4) Pleurodesis dimaksudkan untuk menutup rongga pleura sehingga akan mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti pads efusi karena keganasan o.4.5.' > Sebelum dilakukan pleurodesis cairan dikeluarkan terlebih dahulu melalui selang dada dan paru dalam keadaan mengembang t5>. Pleurodesis dilakukan dengan memakai bahan sklerosis yang dimasukkan ke dalam rongga pleura. Efektifitas dari bahan ini tergantung pada kemampuan untuk menimbulkan fibrosis dan obliterasi kapiler pleura° > . Bahan-bahan yang dapat dipergunakan untuk keperluan pleurodesis iini yaitu : Bleomisin, Adriamisin, Siklofosfamid, Mustard, Thiotepa, 5 Fluro urasil, perak nitrat, tt.2,3,45,7> talk, Corynebacterium parvum dan tetrasiklin Tetrasiklin merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada pleurodesis, harga murah dan mudah didapat dimana-mana. Setelah tidak ada lagi cairan yang keluar masukkanlah tetrasiklin

sebanyak 500 mg yang sudah dilarutkan dalam 20-30 ml larutan garam fisiologis ke dalam rongga pleura, selanjutnya diikuti segera dengan 10 ml larutan garam fisiologis untuk pencucian selang dada t4.5> dan 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi rasa sakit atau dengan memberikan golongan narkotik 1,5-1 jam sebelum dilakukan pleurodesis. Kemudian kateter diklem selama 6 jam, ada juga yang melakukan selama 30 menit dan selama itu postsi penderita diubah-ubah agar tetrasiklin ter t2,4> distribusi di seluruh rongga pleura . Bila dalam 24-48 jam t4,5> cairan tidak keluar lagi selang dada dicabut 5) Pengobatan pembedahan mungkin diperukan untuk : a) Hematoraks terutama setelah traumat5> b) Empiema t5> c) Pleurektomi yaitu mengangkat pleura parietalis; tindakan ini jarang dilakukan kecuali pads efusi pleura yang telah mengalami kegagalan setelah mendapat tindakan WSD, pleurodesis kimiawi, radiasi dan kemoterapi sistemik, penderita dennan prognosis yang buruk atau pada empiema atau hemotoraks yang tak diobati t5>. d) Ligasi duktus torasikus, atau pleuropritoneal shunting yaitu menghubungkan rongga pleura dengan rongga peritoneum sehingga cairan pleura mengalir ke rongga peritoneum. Hal ini dilakukan terutama bila tindakan torakosentesis maupun pleurodesis tidak memberikan hasil yang memuaskan; misalnya tumor atau trauma pads kelenjar getah bening t5 '>. KEPUSTAKAAN 1. Crof J, Douglas A. Respiratory Diseases, 3rd ed, Oxford : Blackwell Scientific Publ, 1981. pp 308-328. 2. Asril Bahar. Penyakit-penyakit pleura. Dalam : Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Jakarta : balai Penerbit FKUI, 1990, hal 785-805. 3. Hinshaw HC, Murray JE. Disorder of the Pleura. In : Disease of the Chest. 4th ed. WB Saunders Co, 1980. pp 833-903. 4. Leahy B, Stretton TB. Pleural Diseases. Medicine International, (Desember) 1982; (22-24) : 1036-1041. 5. Stark JE, Shneerson JM, Higenbottam T, Milstein BB. Manual of the Chest. 1 st ed. London : Churchill Livingstone, 1989 (terjemahan Binarupa Aksara Jakarta) hal. 198-213. 6. Rasmin Rasyid. Pleuritis eksudativa tuberkulosa. MKI 1987; 37(10) : 541-4. 7. Prakash UBS. Malignant pleural effusions, Postgrad Med 1986; 80 : 201-8. 8. Iles PB, Ogilvie C. Pleural aspiration and biopsy. BrMed; 8 March 1980, pp 693-5. 9. Zangelbaum GL, Pare JAP. Clinical procedure and techniques in acute respiratory care. Asian ed. Boston : Little, Brown and Co, 1982; pp 259-68. 10. Ward PCJ. Pleural fluid data. Medical Current 1984; 37-40. 11. Shimokata, Saka H, Murate, Hasegawa Y, Hasegawa T. Cytokine content in pleural effusion, Chest 1991; 99 (5) : 1103-7. 12. Banales L, Pineda PR, Fitzgerald JM, Rubio H, Selam M, Lezaman MS. Adenosin Deaminase in the diagnosis of tuberculous pleural effusions. Chest (February) 1991; 99 (2) : 355-7. 13. Ribera E, Ocana L, Vazquez JMM, Rossell M, Espanol T, Ruaibal A. High level of interferon gamma in tuberculous pleural effusions. Chest 1988; 93 (2) : 388-11.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

97

Benda Asing di Saluran Nafas Sugito, HMM Tarigan, LS Soeroso, RS Parhusip Bagian Ilmu Penyakit Paru, Fakultas Kedokteran Sumatera Utara UPF Paru Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRAK Kasus-kasus terinhalasi benda asing di saluran nafas terutama terjadi pads anak. Untuk menegakkan diagnosis tidaklah begitu sukar, bila kita waspada terhadap gejala-gejala yang timbul dan juga terutama bila pads anamnesis ada batuk-batuk, sesak nafas dan mengi sesudah penderita tersedak ketika makan. Beratnya gejala yang timbul tergantung dari lokalisasi, besar dan jenis benda asing tersebut. Jenis kacang-kacangan menimbulkan gejala peradangan yang hebat, akibat zat-zat yang dikeluarkan, dan dikenal sebagai vegetal atau arachidic bronchitis. Apabila kasus-kasus benda asing ini cepat didiagnosis dan ditanggulangi dengan baik, maka hasilnya juga baik dan kerusakan paru dapat dihindarkan. PENDAHULUAN Benda asing pads saluran nafas adalah suatu hal yang sering juga dijumpai pads anak-anak. Anal( laki-laki terinhalasi benda asing dua kali lebih banyak daripada anak perempuan, dan kira-kira 80% dari penderita adalah anak-anak di bawah umur 4 tahun. Kacang tanah dan kacang kacangan lainnya yang dapat dimakan, merupakan kasus yang terbanyak didapat dan letaknya di bronkhus kanan sedikit lebih banyak daripada di bronkhus kid. GEJALA Gejala klinis yang terjadi tergantung dari letak benda asing tersebut di saluran nafas. Gejala-gejala ini penting untuk diketahui, supaya diagnosis dapat ditegakkan secepatnya untuk mencegah kerusakan saluran nafas yang lebih parah. Terdapat 5 tanda-tanda klinis yang penting yaitu : Wheezy bronchitis (asma) Batuk-batuk, wheeze dan demam adalah gejala yang umum pads penderita terinhalasi benda asing. Diagnosis wheezy 1)

98 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

bronchitis haruslah dipertanyakan lebih dalam pada anak-anak, bila hal ini terjadi tiba-tiba tanpa didahului oleh gejala selesma, atau bila sebelumnya tidak ada serangan seperti ini, atau tidak terdapat riwayat alergi serta bila rhonkhi pada inspirasi dan ekspirasi yang tidak menyeluruh pada kedua paru. 2) Resolusi yang gaga) dari infeksi akut Bila benda asing tidak segera diambil, maka infeksi saluran nafas yang akut terjadi di bagian distal dari obstruksi. Infeksi ini manifestasinya sepertipneumonia,tetapi pada beberapa kasus dapat sebagai infeksi saluran nafas yang tidak spesifik. Resolusi yang lama dan tidak sempuma dari suatu pneumonia, lebih-lebih bila disertai dengan atelektasis paru, harus dicurigai disebabkan oleh benda asing. 3) Batuk khronis yang disertai dengan hemoptisis Batuk khronis atau berulang dengan disertai hemoptisis pada anak-anak tanpa penyakit paru suppurativa yang khronis, sangat mungkin disebabkan oleh benda asing, lebih-lebih bila terdapat juga atelektasis pada segmen atau lobus. Biji rumput-rumputan adalah penyebab utama dari gambaran klinis ini dan biasanya biji-biji ini masuk ke bronchial

tree, sehingga tidak terlihat sewaktu pemeriksaan bronkhoskopi.

4) Batuk khronis disertai dengan gambaran atelektasis Pads anak-anak dengan batuk khronis yang disertai gambaran atelektasis segmen atau lobar, haruslah waspada terhadap adanya benda asing. Bila perbaikan secara klinis maupun radiologis tidak nyata sesudah pengobatan dengan antibiotika dan drainase postural, maka pemeriksaan bronkhoskopi harus dilakukan. 5) Kegagalan pernafasan Beberapa penderita keadaan penyakitnya berlanjvt menyebabkan kegagalan pernafasan akut. Secara anamnestis diperoleh keterangan tentang kegagalan pengobatan infeksi saluran nafas yang akut, di mana terdapat juga benda asing di dalamnya. Pads pemeriksaan radiologis tampak gambaran atelektasis dari salah satu lobus dan adanya hiperinflasi pada paru lainnya. Kegagalan pernafasan terjadi karenaberkurangnya ventilasi secara akut. RADIOLOGI Beberapa bends asing bersifat radio-apaque, tetapi banyak yang tidak. Pads penderita obstruksi bronkhus dapat terlihat adanya gambaran hiper-inflasi atau atelektasis. Walaupun pada pemeriksaan radiologis terdapat gambaran yang normal, tetapi bila terdapat riwayat adanya inhalasi benda asing, maka pemeriksaan brokhoskopi harus dilakukan. Manifestasi terdapatnya benda asing di saluran nafas dapat berbeda-beda seperti yang terlihat pads gambar 1.

Kasus I Seorang anak laki-laki berumur 51/2 tahun dikirim dari Bagian Anak R.S. Pirngadi Medan, dengan keluhan batuk-batuk dan demam. Dari anamnesis diperoleh keterangan bahwa 1 tahun yang lalu os. tertelan sekrup sepeda. Selama 1 tahun ini os. mengeluh batuk dan demam berulang-ulang Berta sesak nafas yang ringan, dan selama ini jugs terus berobat tetapi tidak pernah sembuh. Pemeriksaan dilanjutkan dengan membuat foto thorax, dan terlihat suatu benda asing di bronkhus utama kiri. Juga terdapat atelektasis pada paru kiri lapangan atas dan tengah dan bayangan jantung tentarik ke kiri. Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak adanya obstruksi bronkhus utama kiri oleh jaringan granulasi; Dengan perantaraan scoop bends asing tersebut dapat dikeluarkan dari jaringan granulasi tersebut. Ternyata benda asing tersebut memang sekrup sepeda. Kasus II. Seorang anak laki-laki berumur 2 tahun, dirawat di Bagian Anak RS Pirngadi dengan batuk dan sesak nafas. Batuk dan sesak timbul sesudah os. makan kacang. Pada pemeriksaan juga terdengat wheeze. Dua hari kemudian os. dikirim ke Bagian Paru. Pads pemeriksaan foto thoraks terdapat gambaran emfisema pada paru kanan. Pada pemeriksaan bronkhsokopi tampak edema larings, rima glotis sembab dan tertutup oleh sekret warna putih, demikian juga trakhea penuh dengan sekret putih dan pads bronkhus utama kanan maupun kiri tidak tampak adanya kacang. Kemudian sekret dibersihkan dengan jalan diaspirasi dan os. tampak membaik beberapa hari kemudian. Selama perawatan os. diberikan antibiotika dan kortikosteroid. Kasus III Seorang anak laki-laki berumur 31/2 tahun dikonsulkan dari Bagian THT RS. Pirngadi Medan dengan keluhan sesak nafas. Sesak nafas ini timbul setelah kakak os. memberikan sepotong jambu klutuk. Di Bagian THT telah dilakukan laringoskopi tetapi tak berhasil dikeluarkan. Pads pemeriksaan os. sesak dan terdengar wheeze pada parunya. Terdapat gambaran emfisematous pada paru kanan dalam pemeriksaan foto thoraks. Pads pemeriksaan bronkhoskopi tampak mukosa trakhea dan bronchus hiperaemis dan sedikit edematous. Terlihat adanya benda asing pada bronkhus utama kanan, dan diambil dengan scoop. Benda asing tersebut temyata sepotong jambu klutuk, seperti keterangan yang didapat dari anamnesis. Beberapa hari kemudian penderita berangsur balk.

{

KASUS Dari tahun 1977 - 1982 terdapat 5 kasus anak yang dikirim ke Bagian Paru FK USU/R.S Pirngadi/B.P.4 Medan. Dan basil pemeriksaan didapati basil sebagai berikut :

Kasus IV Seorang anak laki-laki berumur 10 bulan, dikonsulkan dari Bagian Anak RS. Pirngadi ke BagianParu dengan keluhan batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis didapat keterangan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

99

bahwa 2 hari yang lalu os. diberi makan kacang oleh kakaknya, sesudah itu lalu os. batuk dan sesak nafas. Pads pemeriksaan terlihat os. sesak nafas dan terdengar wheeze pada parunya. Pemeriksaan foto thoraks terlihat bayangan emfisematous pada paru kanan, lalu dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi. Tampak trakhea dan bronkhus utama kanan dan dikeluarkan dengan scoop temyata kacang tejin. Beberapa hari kemudian os.berangsur-angsur balk.

Kasus V Seorang anak perempuan berumur 2 tahun dikonsulkan dari Bagian THT RS. Pimgadi Medan ke Bagian Paru. Os. batuk-batuk dan sesak nafas. Dari anamnesis diperoleh keterangan bahwa os. menjadi batuk dan sesak nafas setelah makan kacang dua hari yang lalu. Pads pemeriksaan terlihat os. sesak dan batuk-batuk serta terdengar wheeze pada parunya. Telah dilakukan laringoskopi di Bagian THT tetapi tak berhasil. Pada pemeriksaan foto thoraks terlihat gambaran emfisematous pads kedua paru. Kemudian dilakukan pemeriksaan bronkhoskopi, terlihatlah larynx, trakhea dan bronkhus hiperemis dan oedematous. Pads trakhea terlihat benda asing dan dikeluarkan dengan scoop dan ternyata adalah kacang.

DISKUSI Diagnosis biasanya tidaklah sukar bila si anak segera datang sesudah inhalasi terjadi. Wheeze adalah gejala yang menonjol, di samping batuk dan sesak nafas, di mana corpus alienum menyebabkan obstruksi dan hiperinflasi paru. Haruslah selalu waspada akan adanya benda asing pada saluran nafas anak, bila is dengan tiba-tiba mendapat wheezing, sedangkan sebelumnya tidak pemah menderita asma. , Keterlambatan menegakkan diagnosis, biasanya disebabkan karena dokter tidak waspada terhadap gejala-gejala tersebut, seperti yang dialami oleh penderita I. Hal-hal yang lain adalah bila kejadian inhalasi tidak terlihat oleh orang tua si anak atau si penjaga anak. Keadaan ini meliputi kira-kira 40% kasus yang mengalami keterlambatan diagnosis dan hal ini lebih sering dialami pada anak-anak yang berumur lebih dari 5 tahun, karena pengawasan terhadap si anak memang sudah berkurang. Pads kira-kira 50% dari kasus hal ini disebabkan oleh orang tua si penderita tidak mengambil perhatian yang serius terhadap terjadinya batuk atau tersedak sewaktu anak makan atau adanya makanan dalam mulut si anak. Dan sisanya kira-kira 10%, karena dokter gagal menyatakan adanya benda asing dalam saluran nafas seperti yang dilaporkan oleh orang tua si anak, dan menyatakannya sebagai asma atau infeksi saluran nafas saja. Mengenai ringan atau beratnya gejala, tergantung dari lokalisasi, besar dan jenis benda asing tersebut. Gejala-gejala ini 100

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

semakin berat dan akut bila disertai reaksi peradangan yang disebabkan oleh benda asing itu dan oleh zat-zat yang dikeluarkannya seperti misalnya dari jenis kacang-kacangan dan dikenal sebagai vegetal atau arachidic bronchitis seperti yang terlihat pada kasus IV dan V. Pads kasus I letak dari corpus alienum adalah di bronkhus kiri, sedang pada kasus III dan IV terletak di bronkhus kanan dan pada kasus ke V letak corpus alienum tersebut berada di trachea. Hanya pada kasus ke II tidak dapat ditentukan adanya benda asing tersebut. Berdasarkan anatomi bronkhus, maka bronkhus kiri letaknya lebih datar dibandingkan bronkhus kanan, sehingga kemungkinan tersangkutnya benda asing akan lebih banyak di bronkhus kanan daripada bronkhus kiri. Demikian juga halnya kasus-kasus yang dijumpai di sini. Jenis kacang-kacangan ternyata merupakan kasus yang terbanyak dari benda asing pads saluran nafas, tidak jelas mengapa demikian tetapi kemungkinan adalah karena kegemaran anak-anak akan kacang, sehingga kasus kecelakaannya juga lebih banyak. Apabila kasus-kasus terinhalasi benda asing ini cepat didiagnosis dan dengan penanggulangan yang baik, umumnya mempunyai prognosis yang baik. Keterlambatan diagnosis dan penanggulangan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan yang irreversibel pada paru. KESIMPULAN Telah dibicarakan kasus-kasus benda asing pads saluran nafas dengan penyebab yang berbeda-beda, demikian juga manifestasi kliniknya. Pads kasus pertama penyebabnya adalah sekrup sepeda dan pada kasus keempat dan kelima serta mungkin juga pada kasus ke dua penyebabnya adalah kacang dan pada kasus ketiga penyebabnya adalah jambu klutuk. Pada kasus pertama dengan gejala batuk yang khronis sedangkan kasus yang lainnya adalah dengan gejala yang akut. Keterlambatan diagnosis telah terjadi pada kasus pertama, karena si dokter gagal untuk menyatakan adanya bends asing dalam saluran nafas. Bila dari anamnesis diperoleh keterangan adanya kecelakaan benda asing pada saluran nafas, haruslah dilakukan pemeriksaan foto thoraks dan bronkhoskopi. Beberapa hari kernudian sipenderita berangsur-angsur baik dan dibolehkan pulang. KEPUSTAKAAN 1. Crefton, Douglass. Respiratory diseases 2nd ed, Blackwell, 1975. 379, 387, 695. 2. Hinshaw Diseases of the chest. 3rd ed Saunders - Igaku Shoin, 1969. 232 8. 3. Hinshaw, Murray Diseases of the Chest. 4th Ed. Holt - Saunders, 1980.607, 610-1. 4. Netter, The Ciba Collection. Volume 7. Respiratory system, 1979. 271-3. 5. Nelson Textbook of Pediatrics. loth Ed Saunders, 1975. 6. Williams, Phelan Respiratory illness in children. Blackwell Scient Publ, 1975.252-9.

Update II (Diagnostik)

Penatalaksanaan Malaria Berat Masa Kini Endang Haryanti Gani Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Dalam Sistim Kesehatan Nasional, malaria merupakan penyakit menular yang perlu diperhatikan karena selain menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian yang tinggi, juga sewaktu-waktu dapat menyebabkan wabah. Menurut laporan terakhir WHO, akhir-akhir ini terlihat gambaran penderita malaria yang meningkat, khususnya di negara dunia ke tiga. Setiap tahun diperkirakan 150 juta orang menderita penyakit malaria, 95% disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan Plasmodium viva.e . Infeksi Plasmodium falciparum sering menimbulkan komplikasi malaria berat terutama pads penderita yang non-imun. Malaria falciparum berat merupakan keadaan darurat medik yang perlu penanganan segera karena dengan derajat parasitemia lebih dari 2% akan menimbulkan komplikasi organ (2 . Angka kematian malaria serebral di Indonesia cukup tinggi yaitu berkisar 21,5% – 30,5% 0.4>. Namun di beberapa daerah non-endemik, penyakit malaria sudah hampir dilupakan baik dari segi diagnostik maupun pengobatannya. Komplikasi malaria berat sering disalahtafsirkan sebagai penyakit lain sehingga pengobatan yang tepat sering terlambat. Berbagai usaha telah dilaksanakan dalam menanggulangi penyakit malaria ini, tetapi masih belum berhasil baik. Beberapa kendala umum pads penatalaksanaan penderita malaria antara lain : 1) Kualitas pemeriksaan laboratorium serta kecepatan menegakkan diagnostik malaria kurang memadai. 2) Pengetahuan para dokter dan petugas kesehatan lainnya tentang penatalaksanaan malaria perlu disegarkan kembali. 3) Penyediaan obat-obat malaria khususnya untuk penderita malaria berat perlu mendapat perhatian dalam hal jenis maupun kualitasnya. 4) Kemampuan melakukan ru j ukan penderita malaria sehingga diperoleh ketepatan diagnosis maupun kecepatan pemberian

pengobatan yang tepat. 5) Adanya laporan resistensi di berbagai negara. MANIFESTASI KLINIK Malaria adalah pen yakit infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium yang mempunyai gambaran klinis yang khas : demam periodik, anemia dan splenomegali. Kriteria malaria berat e : Kriteria parasitologis : jika jumlah eritrosit yang mengandung parasit > 5% atau jika ditemukan skizon dalam darah tepi. Kriteria klinis : 1) Anemia berat : Hb < 6 g % atau hematokrit < 18%. 2) Malaria serebral : kesadaran menurun s/d koma, ensefalopati, P. falciparum positif. 3) Kegagalan ginjal : Kreatinin > 3 mg %, urine < 400 ml/ 24 jam. 4) Ikterik : Bilirubin > 3 mg % 5) Hipertermi : Suhu rektal > 39°C 6) Black water fever : Hemoglobinuria 7) Malaria algid : Shock dan hipovolemi 8) Gangguan elektrolit dan cairan 9) Edema paru 10) Hipoglikemi : kakar gula darah < 40 mg % 11) Gangguan perdarahan Bila ditemukan gambaran khas malaria disertai oleh satu atau lebih kriteria klinis di atas maka yang bersangkutan menderita malaria berat. DIAGNOSA BANDING to Pada diagnosis malaria diperlukan anamnesis rinci tentang: asal penderita, apakah dari daerah endemik malaria, riwayat bepergian ke daerah endemik malaria, riwayat pengobatan kuratif Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 101

maupun preventif terhadap malaria. Diagnosis banding malaria serebral : 1) Infeksi otak (meningitis, ensefalitis) Path malaria serebral hasil pemeriksaan cairan serebrospinalis normal dan hasil pemeriksaan Plasmodium falciparum positif. 2) Penyakit pembuluh darah otak (stroke hemoragik/nonhemoragik) Pada malaria serebral, demam timbul sebelum kelainan neurologik, sedangkan pads penderita stroke, demam timbul setelah kelainan neurologik dan biasanya dijumpai lateralisasi. 3) Penyakit endokrin/metabolik (diabetes dan timid) Koma diabetik dapat diketahui dari pemeriksaan gula dash. Koma hipotiroid dan krisis tiroid dapat diketahui dari gejala klinik yang lain. Diagnosis banding malaria biliosa : 1) Hepatitis Penderita hepatitis hampir selalu didahului oleh gejala prodromal dan bila ikterik biasanya demamnya turun, sedangkan pads malaria, ikterus terjadi bersama demam. 2) Kolesistitis Biasanya disertai riwayat kolik, lekositosis dan peningkatan dan alkalifosfatase. 3) Abses hati amubik Hepatomegali tanpa splenomegali, tegang otot rektus karena sangat nyeri, lekositosis berat dengan PMN sangat meningkat tapi monosit tidak, berkeringat sore hari, hemaglutinasi amuba positif dan spesifik, foto sinar-X sangat membantu. Diagnosis banding malaria dengan hipertermia : 1) Sepsis karena bakteri Terjadi lekositosis PMN (Poly morphonuclear) sedang pads malaria biasanya terjadi lekopeni dan monositosis. 2) Typhus abdominalis 3) Virus Misalnya pads DHF, timbul nyeri otot, kurva demam 7 hari berbentuk pelana, nadi pelan, limfadenitis, bercak kulit, lekopenia berat tanpa splenomegali. PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT DAN MALARIA SEREBRAL m A) Pengobatan Spesifik Di sini diperlukan obat anti malaria yang mempunyai Jaya membunuh parasit secara cepat dan bertahan cukup lama di darah untuk dapat menurunkan derajat parasitemia. 1. Kinin HCI Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau dextrosa 5%. Dosis loading 16,7 mg basa/kgbb atau 20 mg bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama; dosis biasa : 8,3 mg basa/kgbb atau 10 mg bentuk garam/kgbb dalam 4 jam pertama. Diteruskan dengan 8,3 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang tiap 8 jam, sampai penderita dapat menelan tablet untuk kemudian diselesaikan pengobatannya per oral sampai hari ketujuh. Dosis maksimal : 2000 mg/24 jam, sampai 13.000 mg selama 7 102

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

hari untuk berat badan 60 kg atau lebih. Kinin HC1 sebaiknya tidak diberikan intramuskuler karena absorpsi yang, tidak menentu dan sering mengakibatkan abses, juga sebaiknya tidak diberikan intravena bolus karena efek toksik pads jantung dan saraf. Apabila harus diberikan IV, caranya diencerkan dengan 30-50 ml. cairan isotonis dan pemberian IV lambat selama 15-20 menit. Dosis loading tidak diberikan kepada penderita yang dalam 48 jam sebelumnya sudah diberi kina; dalam hal ini langsung digunakan dosis biasa. Juga pada penderita gagal hati dan gagal ginjal. 2.

Kinidin glukonat Bila kinin HC1 tidak tersedia, kinidin cukup aman dan efektif sebagai obat anti malaria. Dosis loading 15 mg basa/kgbb dilarutkan dalam cairan isotonis diberikan dalam 4 jam pertama, diteruskan dengan 7,5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, tiap 8 jam dan dilanjutkan per oral setelah penderita sadar. 3.

Klorokuin Diberikan dalam larutan infus 10 ml/kgbb NaCl 0.9% atau dextrosa 5%. Dosis : 5 mg basa/kgbb dalam 4 jam, diulang setiap 1 224 jam sampai mencapai dosis total 25 mg basa/kgbb dalam 3 hari. Pemberian klorokuin secara parenteral tidak dianjurkan karena toksisitasnya. 4.

Amodiakuin Dosis loading 10 mg/kgbb dalam 500 ml cairan, untuk 4 jam. Kemudian 5 mg/kgbb dalam 500 ml cairan/hari selama 3 hari° ) .

5.

Meflokuin (4-kuinolin metanol) Tidak tersedia kemasan parenteral. Diberikan per sonde karena absorpsinya cepat. Dosis : 18-20 mg/kgbb atau 750-1250 mg. dosis tunggal/terbagi. Sebaiknya obat ini dikombinasikan dengan sulfadoksin dan pirimetamin untuk mencegah resistensi. Uji coba kombinasi obat ini di Thailand memberikan cure rate 96% dibandingkan dengan meflokuin sendiri 93% (80 . Meflokuin juga efektif untuk terapi Plasmodium falciparum yang resisten terhadap kinin (R I/R II) dan cross resistensi antara kinin dan meflokuin pads Plasmodium falciparum in vivo sangat rendah( 9). Qinghaosu (artemether oil, artesunate solution) Dipakai pads pengobatan malaria serebral di Cina dan Thailand dengan pemberian per sonde, IM ataupun I.V. Dosis suspensi 1,5 g diberikan dalam 2 hari. Artesunate IV/IM dosis 4 mg/kgbb hari I, dilanjutkan dengan 2 mg/kgbb pads hari ke 2 dan 3("). 6.

7. Halofantrin (9 fenantrenmetanol) Dosis 3 x 250 mg/hari selama 3 hari. B) Tindakan mengatasi komplikasi a) -

Gejala serebral Diberikan antikonvulsan : Diazepam IV 10 mg, intrarektal 0,5-1 mg/kgbb. Paraldehid 0,1 mg/kgbb. Chlorpromazin IV 50-100 mg. Fenobarbital 3,5 mg/kgbb.

Pemakaian Kortikosteroid tidak dian jurkan lagi pada edema serebral sebab deksamethason justru memperpanjang koma, menimbulkan komplikasi pneumonia dan perdarahan gastro intestinal t3 " Heparin tidak dipakai untuk mengatasi koagulasi intravaskular sebab manifestasi perdarahan pada malaria berat disebabkan karena trombositopeni atau penurunan faktor koagulasi. Teori tentang proses koagulasi dan adhesi dengan dinding endothel pembuluh darah belum terbukti. Pada penderita malaria, viskositas darah rendah oleh karena anemi, jadi dextran tidak diperlukan di sini. Selain itu dextran sering menyebabkan reaksi anafilaktik. b) Gangguan fungsi ginjal Sebelum menentukan cara perawatan perlu diketahui terlebih dahulu apakah gejala gangguan fungsi ginjal ini bersifat prerenal atau renal (nekrosis tubuler). Gangguan prerenal terjadi karena dehidrasi > 50% sedangkan gangguan renal karena nekrosis tubuler akut 5-10%. Urin yang lebih pekat (BJ > 1,015) tanpa kelainan mikroskopik menunjukkan hanya terjadi dehidrasi saja. Tatalaksana bertujuan untuk mencegah iskemi dengan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit darah; 1000 ml infus normal saline untuk 8 jam, kalau produksi urin < 200 ml, diberikan lagi cairan 1000 ml/8 jam ditambah furosemid 40-80 ml. Bila produksi urin dalam 16 jam < 200 ml maka kebutuhan cairan dihitung dari jumlah urin + 500 ml cairan/24 jam. Selain normal saline dapat dipakai dextrosa 5%. Pertahankan Kalium plasma < 7 meq./l; lakukan monitor EKG. Batasi protein 20-30 g/hari dan karbohidrat 200 mg/hari. Perhatikan : ureum, kreatinin darah, BJ & volume urin, gejala edema paru dan ukur tekanan darah tiap 30 menit. c) Anemia Berat Bila Hb < 6 g % atau hematokrit < 20% atau jumlah eritrosit < 2 juta/mm 3 diberikan tranfusi darah whole blood 10-20 ml/ kgbb atau packed cell 5-10 ml/kgbb. Diberikan obat anti anemi yaitu asam folat 5 mg selama 3-4 minggu. d) Malaria biliosa Dosis kinin diturunkan 5 mg/kgbb per infus. Bila ikteriknya disebabkan hemolisis intravaskular, kinin diganti dengan klorokuin dengan dosis 5 mg/kgbb. Bila terjadi anoreksia berat diberikan glukosa 10% IV atau makanan sonde. Bila ada hipoprothrombinemia diberi vitamin K 10 mg IV selama 3 hari. Monitoring fungsi hati. Kurangi lemak, diet kaya karbohidrat dan protein. e) Malaria algid Ciri khas : hipotensi, kulit dingin, dilatasi perifer, fungsi jaringan terganggu/rusak karena kekurangan cairan. Tatalaksana bertujuan memperbaiki gangguan hemodinamik: Berikan 11 plasm a atau normal saline+ dextran dalam waktu 1/2 - 1 jam. Bila tidak ada perbaikan tekanan darah, diberikan

lagi 1 (normal saline atau glukosa isotonis dengan tetes lambat, ulangi bila dianggap perlu. Berikan kortikosteroid 100 mg iv atau im setiap 8 jam masa kritis, kemudian ulangi dengan dosis rendah. Bila tensi tidak dapat dinaikkan dengan pemberian steroid dan cairan, dapat dipakai dopamin; bila shock sudah diatasi, pengobatan anti malaria dapat dimulai.

f)

Black water fever Ciri khas : demam menggigil, ikterik, hemoglobinuria. Tatalaksana : Bed rest total dan perawatan intensif. Muntah dan hiccup ditolong dengan menghisap butiran es. • Bila Hb < 6 g % atau jumlah eritrosit < 2 juta/mm 3 maka diberikan 1 1 darah segar/24 jam, kalau perlu diulang. • Hindari penggunaan kinin, bila tidak ada resistensi pakailah klorokuin atau amodiakuin atau Fansidar®. • Diet non protein (maks. 20 g/hari) dan garam dibatasi, berikan glukosa per oral. g)

Edema paru Ciri khas : sesak nafas dan sianosis, batuk-batuk, sputum berbuih/berdarah, ronki basah yang difus. Tatalaksana : Mengurangi beban jantung kanan dengan tidur setengah duduk, furosemid IV dan venaseksi 250 ml darah serta pemberian 02. Pemberian cairan dibatasi. h) Gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa 1. Hiperkalemia Berikan regular insulin 10 unit bersama 50 ml dextrosa 40%; atau 10 ml kalsium glukonat 10% IV pelan-pelan. Alternatif lain berikan resonium A, 15 g/8 jam atau resonium enema 30 g/8 jam. Monitor kalium darah dan gula darah. 2. Hipokalemia Bila serum kalium 3-3,5 mEq/1 diberikan KC1 per infus 25 mEq; Bila serum kalium 2-2,9 mEq/l diberikan KCl per infus 50 mEq.t. Pemberian KC1 jangan melebihi 100 mEq/hari dan tidak diberikan secara IV bolus. 3. Hiponatremia Terjadi pads malaria serebral melalui diare dan muntah atau kemungkinan terjadi SAHAD (sindroma abnormalitas hormon anti diuretik). Menghitung kebutuhan Natrium: BB (kg) x 60% x defisit Na (mEq/1) 1 liter NaCl 0.9% = 154 mEq; 1 g NaCl puyer = 17 mEq 4. Asidosis Bila terjadi acidosis setelah gangguan fungsi ginjal, pemasukan cairan harus dibatasi. Menghitung kebutuhan Natrium bikarbonat : 1/3 BB (kg) x defisit bikarbonat = .......ml 8,4% NaHCO 3 i) Hipoglikemi Bila kadar gula darah kurang dari 40 mg % maka diberikan 50m1 glukosa40% IV, dilanjutkan dengan glukosa 10% per infus selama 4-6 jam. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 103

KEPUSTAKAAN

j)

Hiperparasitemia Exchange tranfusion dilakukan pads penderita dengan parasitemia > 10% dan ada gejala komplikasi berat seperti black water fever, DIC dan memburuknya gejala neurologis. Diperlukan darah segar 5—10 liter.

RINGKASAN Malaria berat biasanya disebabkan infeksi Plasmodium falciparum dengan parasitemia > 5% dan atau disertai komplikasi malaria serebral, anemi berat, ikterik, gagal ginjal akut, udema paru, dan hemoglobinuria. Penatalaksanaan malaria berat tergantung dari komplikasi yang menyertainya. Pertimbangkan diagnosis banding. Pengobatan anti malaria bertujuan untuk mengurangi parasitemia secara cepat. Pemberian kinin per infus merupakan obat pilihan utama. Kinin tidak dipakai pads Black water fever dan dosisnya diturunkan bila ada gagal ginjal dan kelainan fungsi hati. Penanganan yang segera dan tepat merupakan kunci keberhasilan dari pengobatan malaria berat.

1. WHO Regional Publications South East Asian series no. 9. Clinical Management of Acute Malaria, 1990. 2. Soeharyo Hadisaputro, Ketut Ardana, Abdul Djamil. Pole Klinik dan Pengelolaan Malaria Berat di RSU RA Kanini Jepara, Jawa Tengah. Kumpulan makalah simposium malaria, Jakarta, 2 Mei 1991. 3. Hoffman SL, Rustama D, Punyabi NH, et al. High-Dose Dexamethasone in Quinine-Treated Patients with Cerebral Malaria. J Infect Dis 1988. 4. Harianto PN, Alwi Datau E. Presentasi klinik komplikasi dan mortalitas Malaria Serebral di RS Bethesda, Minahasa. Naskah Lengkap Kopapdi VIII di Yogyakarta, 1990. 5. Buku Pedoman Pemberantasan Malaria no. 16. Penatalaksanaan Malaria Beret di RS dan Puskesmas. Dirjen P3M dan PLM, 1991. 6. Harianto PN. Malaria Berat, manifestasi klinik dan penatalaksanaannya. 7. Geoffrey Gill. Modem drug therapy. Malaria. Medicine Digest Asia. (May) 1986; 4(5): 28-34. 8. K. Thimasam, S. Pinichpongse, S. Malikul dkk. Double blind comparative study of Fansimef and Larian for the curative treatment of P. falciparum infections in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Publ Health 1990 (Sept.); 21(3). 9. Harinasuta, Bunnog, Lassere. Southeast Asian J Trop Med Publ Health (Des.) 1990; 21(4). 10. Warrel DA, Looareesuwam S, Warrell MJ et al. Dexamethasone proves deleterious in Cerebral Malaria. N. Engl J. Med. 1982. 11. White NJ, Deborah W, Crawley J, dkk. Comparison of artemether and chloroquine for severe malaria in Gambian children. Lancet 1992; 339.

It is part of the cure to wish to be cured (Seneca)

104

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Perkembangan Teknologi Radiologi dalam Diagnosis Berbagai Penyakit Sahat Sianipar Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRACK Dibicarakan secara singkat mengenai perkembangan teknologi radiologi mulai dari zaman Rontgen sampai masa canggih sekarang ini. Dibicarakan juga mengenai peranan berbagai peralatan radiologi; dengan demikian rujukan ke bagian Radiologi akan dapat lebih mencapai sasaran yang diinginkan, sebab makin tepat suatu rujukan makin dekat kepada diagnose. Catatan khusus diberikan kepada dua alat yang baru untuk pertama kali digunakan di daerah ini. Terakhir dibicarakan alat apa dan tindakan apa yang dapat dilakukan di Medan, khususnya di RSVP H. ADAM MALIK. PENDAHULUAN Pernanan radiologi dalam membantu mendignosis berbagai penyakit sekarang ini sudah merupakan suatukebutuhan; dengan bantuan radiologi berbagai penyakit dapat dijelaskan dan bahkan dapat ditunjukkan. Tulisan ini bermaksud memberi gambaran singkat mengenai perkembangan teknologi radiologi serta aplikasi kliniknya; dengan demikian rujuakn ke bagian radiologi mengenai sesuatu penyakit dapat lebih mencapai sasaran. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI RADIOLOGI Sinar Rontgen ditemukan oleh Wilhelm Conrad Rontgen pads tahun 1895. Sinar tersebut dinamakan sinar X karena waktu itu jenis sinar tersebut belum diketahui. Baru setelah pengetahuan ,mengenai radiofisika makin maju, diketahuilah bahwa sinar tersebut tergolong ke dalam spektrum elektro magnetis. Pada waktu itu pemakaian sinar X di bidang kedokteran masih sangat sederhana baik di bidang diagnostik maupun di bidang terapi. Pada masa itu untuk disiplin ilmu ini digunakan istilah Rontgenologi.

Sekitar pertengahan abad ini teknologi radiologi makin dikembangkan dan dipermodern. Berbagai teknik pemeriksaan pasien ditemukan; sebagian dengan menggunakan bahan kontras, baik yang bersifat intervensional maupun yang bukan. Di samping itu energi lain yang bukan sinar X turut memperkuat barisan radiologi seperti nuclear energy misalnya; pada masa ini mulai dipakai isitilah Radiologi. Masa sekarang adalah masa canggih; di samping pemakaian slat konvensional digunakan alat canggih seperti DSA, CT Scan dan MRI. Sebagian alat dioperasikan dengan bantuan komputer dan dilengkapi dengan berbagai tambahan yang lain seperti video recorder, cinema film dan lain-lain. Di beberapa pusat radiologi, mulai digunakan istilah Radiology/Medical Imaging. Di bawah ini digambarakan secara skematis tindakan-tindakan medis yang dilakukan di bidang radiologi. ERA RONTGENOLOGI – Tindakan medis yang dilakukan masih sangat terbatas. ERA RADIOLOGI I. RADIODIAGNOSTIK Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 105

1. Konvensionla (general) 2. Special procedure — Angiography (general) — Angiocardiography — P.T.C. (Percutaneous Transhepatic Cholangiography) — E.R.C.P. (Endoscopy and Retrograde Cholangio Pancreatography) — Ventriculography Pneumoencephalography — Myelography — Retrograde Pyelography — Lymphography Hysterosalphyngography Bronchography Fistulography 3. Nuclear Medicine II. RADIOTHERAPY Secara garis besar diberikan dengan tiga cara : I 'Sumber sinar dengan obyek mempunyai jarak — Energy rendah — Energy sedang Energy tinggi (Megavoltage) 2). Plesiotheraphy Sumber sinar rapat dengan obyek. Biasanya diberikan radium atau radon dalam tubes atau bentuk jarum. Cara pemberian — Intracavitary — Applikasi — Implantasi 3) Internal therapy Terapi ini menggunakan radioactive isotope yang dilabel dengan persenyawaan tertentu. Energi adalah sinar gamma, partikel beta atau keduanya sekaligus. Diberikan secara parenteral.

RADIOLOGIIMEDICAL IMAGING Pada prinsipnya era ini merupakan kelanjutan dari era radiologi dengan tambahan beberapa peralatan baru disertai berbagai tambahan canggih. I. RADIOLOGI II. U.S.G. III. C.T. SCAN IV. D.S.A. V. NUCLEAR MEDICINE VI. M.R.I. USG dan CT Scan tidak dibicarakan karena alat ini untuk daerah ini sudah cukup dikenal dan pemakaiannyapun sudah cukup lama. Akan dibicarakan secara singkat mengenai DSA dan Nuclear Medicine, sedangkan MRI hanya disinggung sedikit saja.

106 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

D.S.A. (DIGITAL SUBSTRACTION ANGIOGRAPHY) Teknik arterial puncture adalah sama yaitu percutaneous arterial catheterization menurut Seldinger. Alat semuanya dijalankan secara computerized. Dilakukan tahapan acquisition dan processing dan nanti diikuti dengan display. Dengan cara ini dapat dipilih moment opname yang diinginkan dan suatu region of interest dapat digambarkan dan diamati lebih teliti. Sebagai contoh kaliber dari arteri dapat diukur dan angka dapat langsung dibaca. Sistem recording dilakukan dengan cara : — computer memory, — dipindahkan ke film khusus, — video recorder, – cinema film atau – conventional film chager. APLIKASI KLINIK 1) SELECTIVE ARTERIOGRAPHY Arteri-arteri : Renal, Coeliac axis, Mesenterica superior dan inferior dan cabang Arcus Aorta. Arteri kecil-kecil : Mammaria interna, Thyroid axis, Costocervical, intercostal, lumbal dan bahkan arteri yang sangat kecil : bronchial dan adrenal. 2) SUPER SELECTIVE CATHETERIZATION Istilah ini digunakan untuk kateterisasi dari cabang Coeliac axis yaitu aplenoc, hepatic dan gastroduodenal. Tindakan ini sering dilakukan dalam rangka embolisasi. 3) ANGIOCARDIOGRAPHY Ini dilakukan bekerjasama dengan ahli penyakit jantung dan ahli bedah jantung. NUCLEAR MEDICINE IMAGING Sebenarnya bukan hal yang baru. di berbagai negara sudah lama digunakan. Namun untuk daerah ini benar-benar masih barang baru. Alat yang digunakan adalah : ANGER (GAMMA CAMERA SCINTIGRAPHY) Prinsip : Bahan radioaktif yang dilabel dengan persenyawaan tertentu dimasukkan ke dalam rubuh. Pergi ke organ-organ mengikuti aliran darah. Scan dan gamma camera akan menangkap photon yang dipancarkan oleh radionuklid yang ada dalam tubuh. Dirubah jadi light pulse (voltage signal) dan akhirnya menjadi iamge sesuai dengan distribusi radionuklid yang ada dalam tubuh. Dengan bantuan komputer dapat juga dilakukan perhitungan secara matematis dan juga penggambaran grafik. Umumnya digunakan isotop berikut : — Technetium 99 m, – Iodine 123 dan 131, – xenon 133, – Gallium 67 dan 68, – Indium 111 dan 113, – Thallium 201. Labelling : – DPTA (Diethylenetriamine-pentacetic acid) - DMSA (2, 3 - Dimercaptosuccinid acid). APLIKASI KLINIK 1) Cerebrovascular System = Normal Brain Scan

—Radionuclide Angiogram —Static Images Abnormal Brain Scan —Neoplasm —Cerebrovascular Occlusive Disease —Cerebral Death —Inflamatory Disease —Trauma Fungsionla Brain Imaging Cerebrospinal Fluid Imaging – Communicating Hydrocephalus – DSF leaks – Shunt Patency 2) Thyroid and Parathyroid Iodine Uptake Test = Special Test of Thyroid Function — Normal Thyroid Images — Abnormal Images : Ectopic thyroid Thyroid Nodules Multi nodular glands Diffuse Toxic Goiter Thyroiditis Thyroid Ca = I 131 Therapy in Thyroid Disease/Ca. Parathyroid Imaging 3) Cardiovascular System Myocardial Infarct Imaging = Myocardial Perfusion Scintigraphy Thallium Exercise Imaging Spect Thallium Imaging Resting Thallium Scintigraphy = Test of Cardiac Funtion 4) Respiratory System = Pulmonary Embolism = COPD 5) Gastrointestinal System Liver - Spleen Imaging Gastrointestinal Bleeding Hepatobiliary Imaging Gastroesophageal Funtion = Esophageal Transit = Gastroesophageal Reflux Gastric Emptying 6) Skeletal System = Metastasic disease = Primary tumor = Trauma Inflamatory disease 7) Genitourinary System Radionuclide : Tc 99 m Labelling : DTPA, DMSA DSMA : Lambat bersih dari darah. Konsentrasi renal cortex tinggi. Digunakan apabila diingin high resolution image of the

renal cortex. DTPA : Renal perfusion & Imaging Aplikasi Klinik : Anatomy Variant = Intrarenal Mass Vascular Abnormality = Renovascular Hypertension Obstructive Urophathy = Evalution of Renal Transplant 8) Lain-lain : Gallium 67 — Tumor — Inflamatory — Immunosuppressed Patient – Osteomyelitis = Indium labeled leucocytes – Osteomyelitis — Immunosuppressed Patient

MRI (MAGNETIC RESONANCE IMAGING) Ini benar-benar barang baru. Publikasi pertama mengenai M.R.I. path human brain untuk pertama kali diterbitkan pada tahun 1978. Pemakaian pada penderita mulai sekitar tahun 1980. Dengan MRI dapat dilakukan berbagai pemeriksaan dengan ketelitian yang melebihi pemeriksaan yang lain. APA YANG DAPAT DILAKUKAN DI MEDAN Sesuai dengan rencana pemerintah dalam meningkatkan kesehatan Nasional telah dibangun sebuah R.S type A bertempat di J1. Bunga Lau 17 Medan Tuntungan yaitu RSUP H. ADAM MALIK. Sesuai dengan tipenya RS ini diperlengkapi dengan peralatan yang cukup memenuhi syarat. Disamping untuk pelayanan masyarakat RS ini dimaksudkan sebagai RS pendidikan F.K. USU Medan: UPF Radiologi RSUP H. Adam Malik Medan dilengkapi dengan : 1. FLUORORADIOGRAPHY 2. SKULL UNIT 3. UROLOGY UNIT 4. DENTAL UNIT (PANORAMIC) 5. U.S.G. 6. ANGIOCARDIOGRAPHUY UNIT (D.S.A.) 7. C.T. SCAN 8. GAMMA CAMERA 9. X RAY PORTABLE (C ARM DAN NON C ARM) KESIMPULAN Telah dibicarakan secara singkat mengenai perkembangan teknologi radiologi dan peranannya di bidang kedokteran serta apa yang dapat dilaksanakan di Medan. Dibicarakan mengenai peralatan yang baru serta indikasi pemakaiannya.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 107



KEPUSTAKAAN

1. Meredith WJ, Massey JB. Fundamental Physics of Radiology, Bristol : John Wright & Sons 1972. 2. Mettler FS, Guibertcu MJ. Essentials of Nuclear Medicine Imaging, 3rd ed. WB. Saunders Co 1991.

108

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

3. Najean Y. Medicine Nucleaire Ellipses. Paris 1990. 4. Sopha Medical Paris : DSA, CT. Scan and Gamma Camera Operating Manual. 5. Schild 1111. MRI, Berlin : National Druckhaus 1991. 6. Sutton D. A Textbook of Radiology and Imaging, 3rd ed. Churchill Livingstone, 1980. 7. Vorthuisen AI. Ten Years of Cinical MR. Medica Mundi 1991; 35 (2) : 55-62.

Asma Nokturnal Rusli Pelly Subbagian Pulmonologi Bagian I/mu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utaral Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Selama hampir tiga abad sejak asma pertama kali ditemukan, diketahui bahwa penderita asma sering mengalami serangan pada waktu malam hari, sehingga mengganggu tidur penderita. Dan suatu survai diketahui bahwa hampir 90% penderita mengalami gejala noktumal yaitu serangan pada malam hari yang cukup berat sehingga membangunkan penderita dari tidurnya. Banyak ahli menganggapnya sebagai karakteristik penyakit ini dan bahkan mempertanyakan diagnosis asma jika gejala nokturnal ini tidak ada. Asma sesungguhnya dapat disebut penyakit noktumal. Penderita asma nokturnal mempunyai gejala yang khas yaitu terbangun antara jam 3.00 dan jam 5.00 subuh dengan batuk-batuk, wheezing dan sesak nafas dan tidak dapat tidur kembali tanpa bantuan bronkodilator aerosol°. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai prevalensi, patogenesis dan patofisiologi dan pengobatan asma noktumal, EPIDEMIOLOGI Asma noktural inipenting karena kebanyakan kematian disebabkan serangan asma pada malam hari; mengganggu tidur dan dapat mengganggu penampilan pada pagi harinya (2) . Dari survai di Inggris didapati prevalensi asma nokturnal berkisar antara 61% dan 74%; dilaporkan pula 74% penderita yang terbangun satu kali dalam seminggu, 64% penderita terbangun sekurang-kurangnya tiga kali dalam seminggu dan 26% melaporkan terbangun setiap malam o) . Penderita tanpa asma noktumal umumnya mempunyai frekuensi faktor pencetus alergi dan monalergi yang lebih rendah, tetapi tidak ada tanda-tanda yang dominan yang dapat membedakan penderita ini dari penderita yang terbangun tengah malamm° > .

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI A. Variasi diurnal faal paru Variassi diurnal (variasi circadian, ritme circadian) adalah perubahan-perubahan saluran nafas atau bronkhus sepanjang hari sehingga menyebabkan perubahan-perubahan faal .paru dengan keutuhan yang maksimum pads waktu sore hari pk. 16.00 dan penyempitan maksimum pads waktu subuh pk. 4.00. Path orang sehat, foal paru yang maksimal didapati antara pk. 15.00 dan pk. 16.00; duabelas jam kemudian pads pk. 4.00 subuh faal paru turun sampai kepada tingkat terendah (faal pare yang minimal). Perbedaan rata-rataPeakExbiratoryFlowRate (PEFR) yang maksimal dan yang minimal pads orang normal sekitar 8,3%. Sebaliknya pada penderita asma perbedaan PEFR yang maksimal dan minimal adalah 550,9% (49 . jadi pads penderita asma ritme cirdadian ini jauh lebih besar daripada orang normal. Montplaisir dkk mengukur FEV 1 sebelum tidur 67% predicted sedangkan nilai pads waktu serangan noktumal 34,2% predicted d5j. Asma noktumal tidak hanya ditandai oleh obstruksi bronkus yang lebih besar dan hipoksia tetapi juga oleh pertambahan respon otot polos bronkus dan pentbahan reaktivitas bronkus yaitu hiperreaktivitas bronkus yang menyebabkan penunman FEV 1 yang maksimal antara tengah malam dan jam 4.00 subuh( 6). B. Mekanisme Asma Nokturnal 1. Pengaktifan sekresi sel mast oleh alergen Pengaktifan sel mast tidak saja menimbulkan reaksi asma awal dengan obstruksi bronkus tetapi pads beberapa penderita dapat memperbeat serangan asma 6 jam kemudian yang dikenal sebagai reaksi asma lambat. Reaksi asma lambat ini merupakan karakteristik asma kronis. Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa alergen memegang perangan dalam patogenesis Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 109

asma nokturnalc'). David dick memaparkan penderita dengan debu gandum, maka timbul asma akut dan wheezing kambuh kembali malam hari selam aseminggu berikutnya, sungguhpun siang hari faal parunya normal°). Cockrofto) memperlihatkan pemaparan pada dua penderita dengan alergen, terjadi reaksi lambat pads keduanya dan asma nokrutnal timbul malam harinya dan kambuh selama beberapa hari berikutnya. Sesungguhnya para peneliti ini mendapatkan bahwa alergen meningkatkan reaktivitas bronkus, perubahan maksimalnya terjadi pada waktu seranganasma nokturnal dan peningkatan hiperreaktivitas bronkus bertahan bahan walaupun wheezing malam hari telah hilang dan FEV 1 telah kembali normal. Para peneliti ini berkesimpulan bahwa reaktivitas bronkus non spesifik dan meningkat terhadap pemaparan satu antigen yang mengakibatkan respon asma lambat, dapat menyebabkan asma nokturnal. Penyebab asma nokturnal yang rekuren dan persisten ini selalu sukar didapat, bahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang teliti kepada pasien; oleh karena itu penting di ingat bahwa pemaparan tunggal terhadap alergen dapat memulai deretan peristiwa yang menjurus ke pada peningkatan obstruksi dan hiperreaktivitas bronkus. Selanjutnya perubahanperubahan ini dapat bertahan untuk beberapa hari setelah pemaparan antigen tunngal. Selain itu derajat obstruksi akan menjadi lebih berat bila pemaparan antigen terjadi pada malam har' t'). Proses lain yang mendukung reaksi alergi ini adalah kontrol saraf autonom terhadap sekresi sel mast, penurunan kadar katekolamin malam hari dan tingginya tonus saraf simpatis menyokong pelepasan mediator-mediator sel mastm.

Pengaruh pembersih mukosilier Penyumbatan lendir membantu obstruksi bronkus pads penderita asma. Begitu juga retensi sekresi bronkus pads malam hari juga membantu gejala-gejala nokturnal asma yang tidak berat. Dan penelitian diketahui bahwa berkurangnya pembersih mukosilier ini terutama pads malam had 14) Retensi sekresi ini tampaknya dihubungkan dengan tidur dan bukan dengan variasi diurnal. Perlu penelitian lebih lanjut untuk menentkkan apakah fenomena ini lebih berat pada penderita asma dan apakah membantu untuk wheezing malam hari. 3.

4.

Posisi berbaring

Penderita asma yang berbaring dalam posisi telentang akan mengalami gangguan faal paru yang progresif dan PEFR turun 13% selama 2 jam dan 24% selama 4 jam berbaring. Gangguan ini reversibel dan akan kembali normal setelah 1,5 jam. jadi dapat disimpulkan bahwa berbaring dalam posisi telentang untuk jangka waktu yang lama menyebabkan serangan asma nokturnal, walaupun mekanismenya belum jelas" 5.

Refluks gastro-oesophageal Fenomena ini terutama terjadi pada waktu banuan pada orang-orang non asma. Pembersihnya cepat pads siang hati, tetapi pads penderita oesophagitis selalu terjadi rfluks pada malam hari karena aktivitas otot oesophagus berkurang dan pembersihan asam diperlambat. Refluks nokturenal dapat menimbulkan serangan asma dan pengobatan rfluks pada penderita asma dapat memperbaiki pernafasan (' S) 6.

2.

Pengaruh tidur Pengaruh tidur dalam patogenesis asma noktural telah menarik perhatian para peneliti dan hasilnya masih dipertentangkan. Lopes berkesimpulan bahwa pads orang normal, sewaktu tidur terjadi kenaikanresistensi bronkus 230% dibandingkan pads waktu bangun(" ). Perubahan resistensi ini mungkin berhubungan dengan kenaikan tonus otot bronkus bagian alas sehingga menyebabkan bertambahnya kerja pernafasan selama tidur. Jika hal ini terjadi pads penderita asma maka obstruksi bronkus akan menjadi lebih besar lagi. Clark dan Hetzel meneliti variasi diurnal faal paru pads pekerja-pekerja dengan asma dan mendapatkan vanasi diurnal peak flow rate ada hubungannya dengan tidur tapi tidak dengan waktunya t ' Z . Bila pekerja-pekerja mengubah bekerja pada malam hari, maka serangan asma terjadi pads waktu tidur siang hari. Peneliti-peneliti lain mendapatkan hasil yang bertentangan mengenai pengaruh tidur dan pengaruh variasi diurnal atau riime circadian pada malam hari; oleh karena itu ada yang berkesimpulan bahwa pengaruh ritme circadian pads jam 3.00 subuh pada peak expiratory flow rate ialah karena selalu dalam face yang sama dengan waktu tidur, sedangkan tidur tidak menyebabkan asma nokturnal. Kesimpulannya ialah bahwa tidur memegang peranan dalam penyempitan saluran nafas, tetapi bukanlah yang terpenting ( " ).

110

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Pendingin udara (air cooling) Perubahan temperatur dan kandungan uap air karena pertambahan ventilasi dapat menyebabkan serangan asma selama melakukan exercise; hasil penelitian menunjukkan bahwa pendingin udara juga dapat menyebabkan obstruksi bronkus pada malam hari(6>. Ritme circadin hormon dan Tonus vagus Dan penelitian diketahui bahwa asma noktural ada hubungannya dengan rtme circadian hormon dalam darah dan tonus parasimpatis". Mulanya dipikirkan bahwa kortisol dalam darah memegang peranan dalam menyebabkan serangan asma noktural oleh karena vanasi diurnal kadarnya yang terendah didapati antara pk 24.00 dan pk. 1.00, tetapi ternyata peranan kortisol darah tidaklahbesar t16). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa ada hubungan antara perubahan kadar katekolamin pads malam hari bersamaan dengan penurunan PEFR noktural dan penurunan yang terendah didapati pads pk. 4.00m). Selain itu ada pula hubungan terbalik antara keadaan histamin dengan PEFR yaitu bahwa keadaan histamin naik pads pk. 4.00 bersamaan dengan penurunan PEFR oo, dapat disimpulkan bahwa berkurangnya kadar epinephrin plasma pads waktu subuh menyebabkan terjadinya nokturnal wheezing. Epinephrin adalah suatu beta adrenergic agonist yang kuat dan dapat membuat relaksasi otot polos bronkhus; Selain itu 7.

epinephrin dapat pula mencegah pelepasan histamin dan mediator-mediator lain dari sel mast dan selanjutnya dapat mengurangi bronkokonstriksi. jadi perubahan circadian epinephrin dalam darah membangkitkan asma malam hari dengan mengurangi bronkodilatasi dan membantu pelepasan mediator bronkogenik dari sel mast. Ada juga bukti bahwa tonus cholonergik juga meningkat pada malam hari dan menyebabkan asma nokturnal 1t8 . Peningkatan tonus cholinergik itu mungkin juga efek lanjut dari penurunan kadar adrenalin yang menyebabkan berkurangnya inhibisi adrenergik
2. Cochrane GM. Asthma death at night. In : Barnes PJ, Levy J (ed) Nocturnal asthma. London : The Royalk Society of Medicine 1984; 11 : 15. 3. Warwick MT. Epidemiologi of noctural asthma. Am J Med 1988; 85. 4. Hetzel MR, Cark TJH. Comparison of nonnal adn asthmatic circadian rhythm in peal expiratory flow rate. Thorax 1980; 35 : 732-8. 5. Montplaisir J, Walsh J, Mallo JL. Nocturnal asthma feature of attacks, sleep and breathing pattern. Am Rev Respir Dis 1982; 125 : 18-22. 6. Chen WY, Chai H. Airway cooling and nocturnal asthma. Chext 1982; 81 : 675-80. 7. Davies RJ, Green M. Schofield NM. Recurrent nocturnal asthma after exposure to grain dust. Am Respir Dis 1976; 114: 1011-9. 8. Cockrcrof DW, Hoeppner VH, Werner GD. Recurrence nocturnal asthma afterbronchoprovocation with westemred cedar sand : association with acute increase in nonallergy bronchial responsiveness. Clin Allerg 1984; 414 : 61-8. 9. Cervais P, Reinberg A, Cervais L et al. Twebty-four hour rhythm in the bronchial hyperreactivity to house dust in asthmatic. J. Allerg Clin Immunol 1977; 59 : 207-213. 10. Barnes P, Fitzgerald G, Brown M, Dollergy L. Nocturnal asthma and changes in circulating epinephrine, histamin and cortisol. N Engl J Med 1980; 303 : 263-7. 11. Lopes JM, Tabochnik E, Muller NL, Levison H, Bryan AD : Total airway resistance and respiratory muscle activity during sleep. J Appl Physiol 1983; 54 : 773-7. 12. Clark THJ, Hetzel MR. Diurnal variation of asthma. Br J Dis Chest 1977; 71:87-92. 13. Hetzej MR, Clark TJH. Does sleep cause nocturnal asthma ? Thorax 1979; 34 : 749-54. 14. Bateman JRM, Pavia D. Clark SW. The retention of lung secretion during the night in nonnal subject. Uni Sci Mol Med 1978; 55 : 523-527. 15. Popping H. The role of posture, mucociliary clearance and gastrooesophageal reflux in nocturnal asthma. Lung Respir 1988; IV (2) : 9-19. 16. Soutar CA, Costeew J, Ijaduala 0 et al. Nocturnal and morning asthma. Relation to plasma corticosteriod and response to cortisol infusion. Thorax 1975; 30 - 436-440. 17. Barnes PJ, Firzgerald GA, Dollergy CT. Circadian variation in adrenergic responses in asthmatic subjects. Clin Sci 1982; 62 : 349-54. 18. Barnes PJ. Neural control of human airways in healthy and disease. Am RecRespir Dis 1986; 134: 1284-314. 19. Busse WW. Pathogenesis and pathophysiology of nocturnal asthma. Am J Med 1988; 85. 20 Barnes R. Circadin rhythm and airways function. Lung Resp 1988; 5 : 2. 21. Barnes PJ, Greening AP, Neville L, Timmers J, Poole G W. Single dose slow release aminophylline at night prevents nocturnal asthma. Lancet 1982; 1 : 299-30. 22. Prauwels R, van Reuterghem D, van der Straeten M, Johannesson N, Persson OGA. The effect of theophylline and euproflyleneon allergen induced bronchoconstriction. J. Allerg Clin Immunol 1985; 76 : 583-590. 23. de VriesK, Gant 11, booy Noord H, One NGM. Changes during 24 hours in the lung finction and histamin hiperreactivity of the bronchial tree in asthmatic and bronchitis patients. Int Arch allerg Appl Immunol : 20 : 93-101 : 1962.

1. Mc Faden Er, Asthma : A Nocturnal disease. Am. J. Med. 1988; 85.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

111

Metabolit Oksigen Radikal Bebas dan Kerusakan Jaringan Pangaribuan Siregar Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK Oksigen dibutuhkan untuk kehidupan sel, akan tetapi ironisnya oksigen dapat pula menyebabkan kematian sel. Bila jaringan yang mengalami hipoksia diberi perfusi oksigen, dapat menyebabkan terjadinya kerusakan yang lebih berat. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya superoksida (OZ) suatu oksigen radikal bebas yang sangat sitotoksik. Sumber-sumber yang memungkinkan terbentuknya superoksida ini, mekanisme bagaimana superoksida mengadakan perusakan sel Berta beberapa senyawa kimia yang dapat digunakan sebagai scavenger superoksida akan dibicarakan dalam tulisan ini.

PENDAHULUAN Oksigen dibutuhkan oleh tubuh akan tetapi oksigen juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan tubuh. Bila oksigen (0 2) mengalami reduksi univalen maka akan terbentuk superoksida yaitu ion oksigen radikal (OZ) yang sangat sitotoksik (Friedovich, 1975). Superoksida terbentuk apabila Flavin tereduksi (reduced Flavin) mengalami reoksidasi univalen oleh molekul 02. Flavin dalam bentuk FAD (Flavin Adenin Dinukleotida) dan FMN (Flavin Mono Nukleotida) terutama dijumpai sebagai koenzim untuk enzim-enzim erobik dehidrogenase seperti Xanthine dehidrogenase (oksidase). Dalam keadaan jaringan mengalami kekurangan oksigen (hipoksia), maka jumlah Flavin tereduksi akan meningkat. Bila jaringan seperti ini mendapat suplai oksigen yang cukup banyak secara tiba-tiba maka suiperoksida dapat terbentuk dalam jumlah yang cukup banyak untuk menyebabkan terjadinya kerusakan pada jaringan dengan akibat-akibatnya. METABOLISME OKSIGEN (0 2) Oksigen di dalam tubuh diperlukan :

112

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Pada setiap penambahan elektron kepada molekul 0 2 akan dihasilkan senyawa yang sangat reaktif di dalam keberadaan I-i . Penambahan satu elektron pertama kepada molekul 02 akan menyebabkan terbentuknya anion radikal superoksida (O2). Elektron yang kedua akan menghasilkan H 2O2 dan elektron yang ketiga menghasilkan hidroksil radikal (OH*). Biasanya sitokhrom oksidase akan menghalangi senyawa radikal ini dengan mengadakan interaksi dengan molekul-molekul di sekitarnya atau akan dieliminir oleh enzim-enzim pembersih (scavenger enzymes) seperti superoksida dismutase (SOD), katalase atau glutation peroksidase. Dalam keadaan normal oksigen akan bertindak sebagai akseptor terakhir dari elektron pada rantai pemafasan sel (Respiratory Chain) dan bersama-sama dengan 2 H* akan membentuk 1 molekul H 2O. Respiratory Chain (RC) adalah suatu rangkaian (sequence) reaksi enzimatik yang bertujuan untuk mengeliminasi elektron yang ditarik dari suatu zat (substrat). Enzim-enzim yang bertanggungjawab atas terselenggaranya RC adalah enzim dari kelompok dehidrogenase anerobik, dehidrogenase erobik (yang FAD dependent) dan sitokhrom (Gambar 1).

Superoxide dismutase dijumpai pads hampir semua jaringan dan terdapat pada kompartemen-kompartemen sel yang berbedabeda seperti sitosol dan mitokondria. Enzim ini mempunyai fungsi seolah-olah mencegah terjadinya pengaruh merusak dari superoksida yang terbentuk. HIPOKSIA Apabila terjadi iskemi maka jaringan akan mengalami hipoksi. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan

komposisi komponen-komponen yang normal dari sel. Banyak senyawa akan mengalami degradasi, beberapa jenis enzim terganggu fungsinya dan banyak zat berada dalam bentuk tereduksi. Flavin yang dalam keadaan cukup oksigen dapat mengadakan autooksidasi, pads keadaan hipoksia akan tetap berada dalam keadaan tereduksi (FpH2).

Akibat terjadinya hipoksi maka xantin oksidase yang Flavin dependent banyak terdapat dalam bentuk yang tereduksi. Xantjn oksidase berfungsi untuk mengkatalisasi reaksi pemecahan xantin menjadi asam urat. Hipoxantin dan xantin sebagai basil degradasi ATP akan menumpuk. ATP —> ADP —> AMP —> hipoxantin —> xantin Asam lemak akan menumpuk sebagai akibat pemecahan fosfolipida. Kesemua zat ini adalah substrat terhadap oksigen. HIPOKSI DAN REPERFUSI OKSIGEN Hears dkk (1973) menunjukkan bahwa perfusi terhadap jantung yang iskemi dengan cairan anoksik tidak menimbulan kerusakan miokard ataupun gangguan enzimatik selain daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh iskemi itu sendiri; akan tetapi sebaliknya, bila miokard yang iskemi itu diperfusi dengan oksigen maka segera akan terjadi pelepasan enzim yang banyak dan terjadi kerusakan ultrastruktur miokard. Floyd (1984) juga membuktikan bahwa reaksi kimia dan kerusakan jaringan otak tidak akan terjadi hanya oleh iskemi (hipoksi), tetapi bila diberi reperfusi oksigen akan terjadi kerusakan. Reperfusi terhadap miokard yang iskemik juga disertai dengan gangguan fungsional seperti pengembalian yang tidak sempurna aliran darah ke daerah yang terkena infark (Kloner dkk, 1974), perpan jangan waktu an tarakontraksi miokard(Braunwald dkk, 1982) arrythmia (Manning, 1984) atau gangguan fungsi endotel seperti menurunnya permeabilitas pada arteriarteri koroner (Ku dkk, 1982). Penggunaan bahan farmakologik seperti SOD (Ambrosio dkk, 1984), SOD bersama catalase (Jolly dkk, 1984), fluosol (Forman dkk, 1985) atau adenosine (Olafson dkk, 1987) pads saat reperfusi ternyata dapat mengurangi besamya ukuran infark dan ini menunjukkan bahwa kerusakan-kerusakan di atas (selain yang disebabkan oleh iskemi itu sendiri) dapat dipastikan terjadi oleh karena reperfusi oksigen. Jika dalam keadaan hipoksi, diberikan reperfusi oksigen maka secara tiba-tiba banyak sekali Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

113

oksigen yang mengalami reduksi univalen. Hal ini akan menyebabkan terbentuknya superoksida dan metabolit oksigen radikal lainnya. Xantin oksidase yang tereduksi akan mengalami oksidasi univalen dan akan terbentuk superoksida (OZ). Oleh karena pada saat yang bersamaan terdapat juga xantin yang cukup banyak maka oksidasi univalen terhadap xantin oksidase juga akan terus berlangsung dan produksi superoksida terus meningkat (Gambar 2).

Gambar 2. Pembentukan Superoksida

Tubuh tidak dapat mengeliminasi metabolit oksigen radikal tersebut secara sempurna dan terjadilah kerusakan-kerusakan jaringan yang disebabkan oleh metabolit oksigen radikal yang berlebihan itu. MEKANISME TERJADINYA KERUSAKAN OLEH RADIKAL BEBAS Beberapa teori mengenai mekanisme kerusakan oleh oksigen radikal telah dikemukakan oleh pars ahli. Oksigen radikal bebas akan menyebabkan terjadinya degradasi komponen jaringan termasuk kolagen, proteoglycan dan glycosaminoglycan. Sebagai akibatnya hubungan interseluler akan terganggu dan kelompok sel tidak dapat lagi berfungsi dalam suatu kesatuan kerjasama (konsert). Rusaknya jaringan kolagen akan memutuskan hubungan respon kontraksi sel miokard yang mengakibatkan makin beratnya disfungsi jantung. Selain itu kolagenase yang lepas dari lekosit sebagai akibat aktivasi oleh oksigen radikal akan memperburuk keadaan. Kontos (1986) menyebutkan bahwa sekali oksigen radikal terbentuk maka mereka akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh dari membran sel, protein, enzim dan DNA. Kerusakan sel saraf di otak terjadi sebagai akibat terganggunya aktivitas listrik. Kontos juga menyatakan dugaannya bahwa kerusakan endotel pembuluh darah dan otot polosnya disebabkan oleh dilatasi dari arteriol otak dan rusaknya blood-brain barrier. 114

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Menurut Floyd jaringan otak sangat rentah terhadap kerusakan oleh oksigen radikal karena jaringan otak sangat kaya akan asam lemak tidak jenuh (peroxidizable fatty acid) dan sangat sedikit mengandung enzim pelindung (protective enzyme). ?eroksidasi asam lemak merupakan suatu reaksi berantai yang akan menghasilkan radikal bebas (alkyl radical) R* dan ROO* secara terus-menerus yang akan menyebabkan terjadinya peroksidasi selanjutnya. Proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut. > R* + H2O RH + OH* R* + 02 > ROO* ROO* + RH > ROOH + R* Reaksi di atas akan terus berlangsung secara siklus berantai dan baru dapat berakhir apabila dua bush gugus radikal saling berinteraksi membentuk satu ikatan non radikal seperti R*+R* --> RR ROO* + ROO* —> ROOR + 0 2 Oksigen radikal bebas akan menyerang protein jaringan dengan berbagai cam. Salah satu di antaranya adalah dengan mengadakan interaksi dengan gugus tiol (–SH) – yakni suatu gugus yang sangat rentan terhadap gugusan radikal bebas yang menyebabkan terganggunya konformasi protein tersebut. Bila yang terserang adalah enzim maka enzim tersebut akan kehilangan aktivitas katalitiknya, sedangkan bila yang terserang adalah protein yang menyusun struktur membran sel maka aktivitas membran sel akan mengalami gangguan seperti rusaknya reseptor-reseptor pada membran dan berubahnya sifat permeabilitas membran (Gambar 3).

USAHAPENCEGAHAN Zat yang dapat bertindak sebagai pembersih (scavenger) oksigen radikal bebas, telah terbukti dapat mengurangi kerusakan yang diakibatkan oleh oksigen radikal. Dismutase superoksida temyata telah menunjukkan basil yang memuaskan dalam mengurangi besarnya kerusakan jaringan akibat oksigen radikal bebas. Vitamin E, suatu antioksidan juga mempunyai kemampuan untuk bertindak sebagai scavenger, namun untuk dapat mencegah kerusakan jaringan, sebelum terjadinya iskemi diperlukan kadar yang harus cukup tinggi di dalam darah dan di tempat terjadinya kerusakan. Zat-zat yang mengandung gugusan tiol (Sulfhidril = — SH) seperti yang dijumpai pads glutation peroksidase, mempunyai kemampuan untuk memperkecil kerusakan yang disebabkan oleh oksigen radikal bebas. Gugus—SH inidengan segera bereaksi dengan oksigen radikal bebas sehingga mengurangi kesempatannya untuk merusak komponen sel lainnya yang telah disebutkan di atas. 02+—SH >O 2 +S* Gugus —SH ini juga dapat mengganggu peroksidasi terhadap asam lemak sehingga kerusakan jaringan dapat dikurangi. R*+ —SH > RH+S* Senyawa lain yang mengandung —SH yang perlu mendapat perhatian akan kegunaannya sebagai scavenger oksigen radikal dan radikal bebas lainnya, di antaranya adalah N-2-mercaptopro pionylglycine, N-acetylcysteine dan captopril. Pendekatan lain adalah upaya mengurangi penghasilan oksigen radikal bebas, seperti penggunaan allopurinol yang da-

pat menghambat kerja xantin oksidase. Penggunaan allopurinol yang juga memerlukan kadar yang cukup tinggi, akan lebih berguna bila ditujukan kepada jaringan-jaringan yang memang telah tinggi kadar xantin oksidasenya seperti otot jantung (Ginsberg). PENUTUP Telah dibicarakan metabolisme oksigen serta pembentukan oksigen radikal bebas serta akibat-akibat yang dapat ditimbulkan oleh oksigen radikal bebas. Juga telah disinggung beberapa hal yang mungkin dapat mengurangi kerusakan jaringan yang diakibatkan oleh oksigen radikal bebas. Diharapkan tulisan ini dapat memperluas cakrawala ilmu kits semua, terutama para praktisi yang selalu dhadapkan kepada keadaan penderita yang memerlukan terapi reperfusi dengan oksigen. KEPUSTAKAAN 1. Albertus B et al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ Inc. 1983. 2. Harper HA et al. Review of Physiological Chemistry. Los Altos California: Lange Medical Publ. 1985. 3. Lehninger LA. Biochemistry. New York: W.$. Saunders, 1985. 4. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry; 22nd ed. Norwalk: Connecticut: Appleton & Lange, 1990. 5. Mullane KM. Oxygen-derived Free Radicals and Reperfusion injury of the Heart. In: New Frontiers in Cardiovascular Therapy. Sonnenblick EH, Laragh JH, Lesch M (eds.), 1989. 6. Zylke J. (Contr Ed). Studying Oxygen's life-and-death roles if taken or reintroduced into tissue. JAMA SEA 1988; 4(7): 9-11.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 115

Update III (Penyakit Kulit dan Kelamin) Diagnosis dan Penatalaksanaan Dermatofitosis Mansur A Nasution, Kamaliah Muis, Juwono, Tap! S. Niarl Bagian/UPF lima Penyakit Kulit dan Kelamin, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Penyakit infeksi jamur di kulit mempunyai prevalensi tinggi di Indonesia, khususnya Medan, oleh karena negara. kita ber•iklim tropis dan kelembabannya tinggi. Dermatofitosis adalah infeksi jamur superfisial yang disebabkan genus dermatofita, yang dapat mengenai kulit, rambut dan kuku. Manifestasi klinis bervariasi dapat menyerupai penyakit kulit lain sehingga selalu menimbulkan diagnosis yang keliru dan kegagalan dalam penataklaksanaannya. Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan identifikasi laboratorik. Pengobatan dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Pada masa kini banyak pilihan obat untuk mengatasi dermatofitosis, baik dari golongan antifungal konvensional atau antifungal terbaru. Pengobatan yang efektif ada kaitannya dengan daya tahan seseorang, faktor lingkungan dan agen penyebab. DIAGNOSIS Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis dapat dilakukan dari manifestasi klinis, lampu wood dan identifikasi laboratorik. GAMBARAN KLINIS Berdasarkan lokalisasi, dermatofitosis terdiri dari : I) Tinea Kapitis Merupakan infeksi jamur pada kulit kepala dan rambut. Penderita terbanyak anak-anak usia sekolah dan biasanya menghilang setelah pubertas. Penularan dapat melalui hewan peliharaan dan dapat dari manusia ke manusia. Ada tiga bentuk manifestasi klinis : a) Bentuk Gray patch : lesi inflamasi ringan multipel dan bersisik, rambut mudah putus, warna rambut menjadi abu-abu, mudah dicabut dari akarnya, kemudian terjadi alopesia. b) Bentuk Black Dot ringworm : tampak alopesia dengan titik-titik hitam di tengahnya, yang terdiri dari batang rambut 116 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

yang patah tepat pads permukaan kulit atau di bawah permukaan kulit kepala. c) Kerion Selsi : dimulai dengan ruam eritematosa, skuama, papel, disertai rambut yang putus, dapat disertai peradangan akutberupa indurasi yang mengeluarkan pus, keadaan ini disebut sebagai kerion selsi. Pada penyembuhan akan menimbulkan jaringan parut yang menetap. Diagnosis Banding Alopesia areata, dermatitis seboroik, pioderma, psoriasis dan trichotilomania. 2) Tinea Korporis Suatu infeksi jamur pads kulit halus tanpa rambut (glabrous skin) di daerah leher, wajah, lengan dan bokong. Sering dijumpai pads orang dewasa. Manifestasi klinis berupa lesi anuler dengan tepi polisiklis. Pada daerah tepi tampak vesikel-vesikel kecil dengan skuama halus dan aktif. Di sini dijumpai daerah penyembuhan sentral. Rasa gatal bertambah pads waktu berkeringat. Bentuk lain tinea korporis ialah tinea imbrikata. Lesi berupa plakat, polisiklis atau bulat dengan susunan skuama membentuk lingkaran konsentris tersusun seperti atap genting dan menghadap ke sentral. Diagnosis Banding Pitiriasis rosea, psoriasis vulgaris, pemfigus foliaseus dan eksema numuler. 3)

Tinea Kruris Lesi dijumpai pads daerah Bela paha, anogenital dan pubis. Ruam letaknya simetris pada lipatan paha kin dan kanan, berupa makula atau plak yang eritema, pinggir aktif, bentuk polisiklis dengan penyembuhan sentral. Ruam dapat meluas sampai ke skrotum, pubis, bokong dan paha.

Diagnosis Banding

Kandidiasis, eritrasma dan dermatitis seboroika 4)

Tinea Manus et Pedis Predileksi jamur ini pada kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari tangan dan kaki serta daerah interdigitalis. Sering mengenai orang dewasa yang setiap hari memakai sepatu tertutup, orang yang bekerja di tempat basah seperti ibu rumah tangga, petani. Secara klinis dikenal tiga bentuk : a)

Bentuk intertriginosa

Tampak lesi bentuk maserasi, deskuamasi dan erosi, berwama putih dan basah di sela-sela jari. Bila penyakit kronik terlihat fisura (retak-retak) yang nyeri bila tersentuh atau kena air sabun. b)

Bentuk vesikuler akut

Dijumpai vesikel dan bula di bawah kulit terutama pada telapak kaki bagian tengah kemudian meluas. Sering disertai infeksi sekunder, keluhan penderita di sini berupa perasaan gatal dan sakit. c)

IDENTIFIKASI LABORATORIK 1) Pemeriksaan Langsung Sediaan dari bahan kerokan (kulit, rambut dan kuku) dengan larutan KOH 10-30% atau pewamaan Gram. Denganpemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hipa panjang, spora dan artrospora. 2) Pembiakan Tujuan pemeriksaan cara ini untuk mengetahui spesies jamur penyebab, dilakukan bila perlu. Bahan sediaan kerokan ditanam dalam agar Sabouroud dekstrose; untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (misalnya khloramfenikol) ke dalam media tersebut. Perbenihan dieramkan pads suhu 24 - 30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 1 - 3 minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai wama, bentuk, permukaan dan ada atau tidaknya hipa. 3) Histpopatologik Untuk menegakkan diagnosis dermatofitosis, tidakbermakna. 4) Serologik Pemeriksaan cara ini tidak bermanfaat untuk dermatofitosis.

Bentuk hiperkeratotik

Tampak pengelupasan kulit terus-menerus disertai eritama dan hiperkeratosis. Bila hiperkeratosis hebat dapat timbul fisura yang dalam. Daerah yang paling sering dikenai adalah telapak tangan dan kaki. Diagnosis Banding

Dermatitis kontak, pustulosis palmo plantaris, pioderma dan psoriasis pustulosa. Tinea Barbae Predileksi pads daerah jenggot, kumis dan jambang. Sering mengenai orang dewasa yang bekerja sebagai pemerah susu ataupun petani. Ruam berupa papel eritema, skuama dan dapat melebar ke pinggir dengan bentuk polisiklis. Dapat berlanjut menjadi folikulitis; jenggot, kumis atau jambang akan putusputus. 5)

Diagnosis Banding

Sikosis barbae, mikosis dalam dankarbunkel. 6)

Tinea Unguium (Onikomikosis) Infeksi jamur dermatofita pada kuku. Sering mengenai orang dewasa, seining dengan tinea manus dan pedis. Kuku terlihat menjadi rusak dan rapuh serta warnanya menjadi suram. Permukaan menebal, di bawah kuku tampak detritus yang mengandung elemen-elemen jamur. Bila infeksi ringan terlihat bercak-bercak putih dan kasar di permukaan kuku. Diagnosis Banding

Onikodistrofi oleh kandidiasis, onikodistrofi oleh trauma daft psoriasis kuku.

LAMPU WOOD Dinilai fluoresensi warna yang dipantulkan oleh ruam.

PENATALAKSANAAN Pengobatan terhadap dermatofitosis dapat dilakukan dengan cara topikal dan sistemik. Keberhasilan suatu pengobatan tergantung dari faktor predisposisi, faktor penderita dan faktor obat; di sini lain perlu diketahui penyakit infeksi jamur sering kambuh dan mengalami infeksi. Pada masa kini terdapat berbagai macam obat untuk pengobatan dermatofitosis, baik dari golongan konvensional dan antifungal terbaru. Untuk memilih obat yang tepat perlu dipertimbangkan mengenai efektifitas obat, cara kerja, spektrum, efek samping dan segi kosmetik. Bila infeksi ringan cukup diberikan obat topikal kecuali pads infeksi kronis dan luas, di rambut dan kuku diperlukan obat sistemik. Obat Topikal Suatu obat topikal harus memenuhi kriteria : 1) Bersifat antifungal aktif 2) Dapat berpenetrasi ke dalam kulit 3) Bekerja aktif di dalam dan di luar sel 4) Mempunyai daya tahan terhadap hasil-hasil metabolisme 5) Tidal( menimbulkan sensibilisasi Obat topikal ini terdiri dari : 1) Golongan Antifungal Konvensional Obat yang termasuk ini antara lain : — Salep Whitfield — Castelani's paint — Asam Undesilinat Kerja obat-obat ini sebagai keratolitik, antifungal dan antibakteri. Obat-obat ini mempunyai spektum sempit, dan penggunaannya terbatas hanya untuk infeksi di kulit. 2) Golongan Antifungal Terbaru; antara lain : — Tolnaftate,

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 117

Tolsildat, — Haloprogin, — Cyclopirox olamine, — Naftifine, — Imidazole (miconazole, ketokonazole, clortrimazole, econazole, dtl). Obat-obat baru ini mempunyai spektrum luas dan kerjanya fungisidal. Cara pemakaian obat-obat topikal ini dilakukan dengan mengoleskan obat tersebut 1 - 2 kali sehari minimal selama 3 minggu. Obat Sistemik 1) Golongan Antifungal Konvensional • Griseofulvin Telah dipakai untuk mengatasi dermatofitosis sejak 30 tahun. Obat ini berasal dari sejenis penicillium. Kerja obat ini fungistatik. Telah dilaporkan obat ini menimbulkan resistensi terhadap dermatofitosis. Pemberian pads anak-anak 10 - 20 mg/kg bb sehari, pads orang dewasa 500 - 1000 mg sehari atau 330 mg griseofulvin ultra micronized sekali sehari. Obat ini diberikan pads waktu makan dengan diet tinggi lemak untuk mempertinggi absorbsi. 2) Golongan Antifungal Terbaru • Ketoconazole Merupakan antifungal oral pertama yang berspektrum luas untuk mengatasi dermatofitosis. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200 mg sehari pads waktu makan. Lama pemberian tergantung kepada lokalisasi dermatofitosis tersebut. Dosis anal( di atas usia 2 tahun 3,3 - 6,6 mg/kg BB sehari. Merupakan kontraindikasi untuk wanita hamil, kelainan fungsi hati dan hipersensitivitas terhadap ketoconazole. • Golongan Triazole * Itraconazole Obat ini mempunyai daya kerja spektrum luas. Pemberian 100 mg sehari selama 15 hari, efektif untuk tinea corporis dan tinea cruris. Sedang untuk infeksi palmoplantar diberikan 100

118 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

mg sehari selama 30 hari. * Fluconazole Efektif untuk pengobatan terhadap dermatofitosis di kulit. • Terbinafine Obat ini analog dengan naftifine. Efek samping minimal dibandingkan dengan griseofulvin. Pemberian dengan dosis 2 x 250 mg sehari. KESIMPULAN Manifestasi klinis dermatofitosis bervariasi, sehingga sulit dibedakan dengan penyakit kulit lain, hal ini menyebabkan diagnosis keliru dan penatalaksanaan selalu gagal. Diagnosis dermatofitosis dapat ditegakkan melalui manifestasi klinis, lampu Wood dan identifikasi laboratorik. Penatalaksanaan dapat ditempuh dengan cara pengobatan topikal dan oral.

KEPUSTAKAAN 1. Agusni I, Kasansengari SU. Gambaran klinis penyakit-penyakit jamur superfisial pads kulit. Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Dennato Mikologi. Departemen Emu Penyakit Kulit dan kelamin F.K. UNAIR RS Dr, Soetomo Surabaya, 1982. 2. Budimulja U. Penyakit Jamur Kulit dalam Kumpulan makalah Seminar dan Lokakarya Dennatomikosis : Diagnosis dan Penatalaksanaan. Bagian Emu Penyakit Kulit dan Kelamin F.K. U.I. Jakarta, 1992. 3. Harahap M. Pengobatan Dennato mikosis superfisial masa kini. Dalam Kumpulan Makalah Simposium Penyakit Jamur MUKER IDI XI. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS. Dr. Pimgadi Medan, 1987. 4. Jacobs HP, Nall L. Antifungal Drug Therapy. New York : Marcel Dekker, Inc. 1990. 5. Nasution MA. Dennatofitosis ditinjau dari sudut epidemiologi dan penanggulangannya. Dalam : Kumpulan Makalah Simposium PenyakitJamur. MUKER IDI XI. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FK. USU RS Dr. Pimgadi Medan, 1987. 6. Nasution MA. Penyakit kulit karena jamur. Dalam : Harahap M (ed). Penyakit Kulit. Jakarta : P.T. Gramedia. 1990. 7. Rippon JW. Medical Mycology, 2nd ed. London : W.B. Saunders Co. 1982.

Manifestasi Klinis Infeksi HIV Namyo O. Hutapea, Mansur A. Nasution, Rosniana R. Rams( Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Bagian Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN CDC melaporkan pada bulan Juni 1981 5 kasus homoseksual di California yang menderita penyakit PCP (Pneumo cystis carinii Pneumonia); selanjutnya pada bulan Juli dilaporkan 26 kasus PCP dan Sarcoma Kaposi pada homoseksual di New York. Pada semua penderita tersebut ternyata dijumpai gangguan respons immuno sellular, terbukti dengan penurunan jumlah set T. (T. helper phenotype) ( '~z3.` 1 Kedua laporan kasus ini merupakan laporan pertama yang dikenal sebagai penderita AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Penyebab sindrom ini ialah jenis Retro virus yang pada mulanya disebut HTLV (Human T-lyrnphotropic Virus Type III). Laporan lain menyatakan bahwa Retro virus yang sama berhubungan dengan AIDS dikenal sebagai LAV (Lymphadenopathy associated Virus) atau ARV (AidsRelated Virus). Sekarang disebut sebagai HIV (Human ImmunoDefciency Virus) h1.Z3.4.51 . Infeksi dapat ditularkan melalui transfusi darah ataupun melalui penetrasi sewaktu mengadakan hubungan seksual 1 ''•'1 Dan aspek epidemiologik, AIDS dijumpai pada laki-laki homoseksual aktif yang melakukan hubungan seksual, anak dari ibu yang terkena infeksi HIV, yang tercemar oleh darah ataupun produk darah, disebabkan pemakaian bersama jarum yang digunakan secara IV atau akibat transfusi darah. Sebanyak 70% penderita AIDS di Amerika Serikat dijumpai pada laki-laki homoseksual ataupun biseksual dan proporsi ini lebih tinggi di Inggrist '"6' 7' 81. Kasus-kasus heteroseksual dijumpai di Afrika Tengah dan Amerika Serikat; sedangkan di Prancis kelompok demikian merupakan 1/3 dari jumlah kasus yang dijumpai. Penularan AIDS di Afrika Tengah tampaknya disebabkan hubungan heteroseksual dengan jumlah yang sama pada pria dan wanita('). Pola penularan menyerupai infeksi virus Hepatitis B yang menyebar melalui darah dan hubungan seksual, dengan demi-

kian AIDS dapat merupakan penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksualo.6.7) Tabel 1.

a

Kelompok-kelompok yang mempunyai risikomemperoleh AIDS ) Kelompok

1. Pria homoseksual 2. Pasangan seksual wanita 3. Anak-anak dari ibu yang terinfeksi 4. Ketagihan obat dengan pemakaian secara IV 5. Hemopillia 6. Penerima transfusi darah 7. Orang-orang asal Haiti 8. Afrika Tengah

Aktivitas yang menyebabkan penularan Pasangan seksual yang banyak, hubungan seksual secara anal. Hubungan seksual melalui vagina dengan pasangan yang telah terinfeksi. Penularan melalui plasenta. Penggunaan jarum secara IV. Unsurdarahyangdiproduksi(FaktorVlH). Darah donor yang telah terinfeksi (biasanya dengan beberapa kali transfusi). Penularan secara homo ataupun heteroseksual. Terutama disebabkan penyebaran secara heteroseksual.

MANIFESTASI KLINIK AIDS merupakan keadaan immunosupresi yang disebabkan retrovirus yang dikenal sebagai HIV. Virus ini menyerang subsistem limfosit darah perifer yaitu sel T helper yang mengatur fungsi sistim immunitas selluler; sel yang telah terinfeksi kehilangan fungsinya dan mati prematur°'' 61 Kekurangan/gangguan imunitas selular menyebabkan seseorang peka terhadap infeksi mikroorganisme oportunistik seperti virus, protozoa dan fungus. Kekurangan imunitas selular dapat menyebabkan timbul kelompok tumor tertentu seperti Sarcoma Kaposi, limpoma non Hodgkin"'' 6•'1 ; akhir-akhir ini muncul penyakit lain dengan spektrum luas yang bukan disebabkan infeksi oportunistik, akan tetapi muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung yang disebabkan infeksi virus. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 119

Yang umum dijumpai adalah PGL (Persistent Generalized Lymphadenopathy); sebagian dari penderita ini (5-25%) akan berkembang menjadi AIDS° .0 . Hubungan antara gangguan prodromal dan munculnya manifestasi AIDS tidak jelas diketahui. Sebagian besar penderita -PGL nampaknya tidak menunjukkan manifestasi AIDS selama observasi 3-4 tahun. Jadi sebenarnya perjalanan penyakit tidak jelas diketahui, terutama disebabkan infeksi ini mengalami masa laten" .6). Infeksi oportunistik merupakan gambaran umum tidak adanya kesanggupan penderita untuk mengatasi infeksi secara normal. Jadi penderita AIDS dapat menderita infeksi virus herpes simpleks dengan ulkus yang persisten, sedangkan pads orang normal lain terbatas dengan ruam berupa vesikel yang segera menghilang U.63 ) Keadaan yang sama akan menyebabkan plak Candidiasis di dalam rongga mulut~' 6 AIDS hams diingat/dipertimbangkan bila seseorang pasien gagal mengatasi infeksi, yang dalam keadaan normal akan segera dapat diatasi"". ~

PERJALANAN INFEKSI HIV Infeksi dapat terjadi akut dengan serokonversi. Setelah melewati masa laten akan timbul PGL (Persistent Generalized Lymphadenopathy) yang diikuti munculnya ARC (AIDS Related Complex) dan akhirnya menjadi AIDS dengan disertai infeksi oportunistik. Tetapi hams diingat bahwa tidak semua penderita AIDS akan didahului oleh manifestasi dini dan banyak penderita PGL atau ARC tidak akan berkembang menjadi AIDS" .6 ) ARC (AIDS Related Complex) ARC ialah infeksi dengan tanda-tanda infeksi HIV tanpa adanya infeksi oportunistik ataupun tumor; diuraikan sebagai kesatuan dari tanda-tanda dengan kelainan laboratorium. Hal penting yang memisahkan pembagian antara PGL dan ARC ialah mengenai perbedaan prognosis antara PGL yang relatif jinak dengan ARC yang mempunyai kemungkinan berkembang menjadi AIDS. Tanda-tandanya berupa lemah sekali, malaise, berat badan turun > 10%, diarhea > 1 bulan, demam, berkeringat waktu malam hari; disertai gejala-gejala Candidiasis rongga mulut, Leukoplakia, PGL, Splenomegali dan Eczema/folliculitis. Kelainan laboratorium yang dijumpai berupa Limfopeni, trombositopenia, T helper menurun Diagnosis ARC ditegakkan cukup bila penderita mempunyai satu tanda dan satu gejala serta satu kelainan laboratorium. Infeksi HIV HIV ternyata menginfeksi .T helper lymphocyte dan mungkin virus terns menerus membentuk tunas pada permukaan set, yang menyebabkan viremi yang persisten" 5.6) Virus dapat diisolasi dari semen dan saliva, daya menginfeksi dari semen mungkin dapat terjadi, sedangkan saliva belum dapat dibuktikan" ). Dianggap bahwa virus ditularkan melalui pemindahan sedikit darah pada waktu hubungan seksual. Perdarahan yang lebih banyak sebagai yang terjadi pada pria 120

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

homoseksual menyebabkan penularan relatif lebih mudah. Penularan dapat terjadi pada hubungan seksual yang aktif dan pasif, walaupun studi epidemiologis menunjukkan risiko yang lebih besar dengan hubungan seksual pasif" .6 7). Infeksi HIV yang terjadi pada istri dari penderita hemophilia ataupun wanita pasangan seksual dari penderita AIDS telah membuktikan bahwa hubungan seksual melalui vagina dapat menularkan virus dari pria kepada wanita" .63). Penularan virus dari wanita ke pria mungkin terjadi secara epidemiologis tetapi belum dapat dibuktikan secara virologis' 7 . •

AIDS Masalah klinis AIDS disebabkan oleh immunodefisiensi selular yang menyebabkan timbul infeksi oportunistik dan tumor°'6) A. Kelainan pare ) Merupakan salah satu manifestasi AIDS, sehingga diperlukan upaya menegakkan diagnosa yang tepat karena merupakan dasar penatalaksanaan penderita AIDS". [ ) PCP (Pneumocystic Carinii Pneumonia) ' PCP merupakan masalah infeksi yang umum pads AIDS dan merupakan diagnosis kemungkinan utama setiap kelainan pam yang berupa infiltrat difus dalam hubungan AIDS. Keluhan penderita biasanya dyspnoe yang bertambah, disertai bentuk tanpa dahak. Lama keluhan dari beberapa minggu hingga beberapa bulan. Variasinya berhubungan erat dengan tingkat imunosupresi dari penderita. Sebagian penderita (± 30%) mempunyai keluhan nyeri pleura di bagian tengah dada dan pads umumnya disertai keluhan ketidaksanggupan menarik napas panjang akibat rasa nyeri dan batuk. Sering disertai demam tingkat rendah dan menonjol pads sore hari serta banyak keringat waktu malam. Pemeriksaan sering tidak menunjukkan kelainan kecuali peningkatan frekuensi pernapasan, akan tetapi stigmata lain dari AIDS hams diperhatikan terutama Candidiasis rongga mulut, Sarcoma kaposi, leukoplakia. Pemeriksaan Rontgen dada menunjukkan karakteristik berupa kelainan perihilar sebagai manifestasi dini; kemudian disusul kelainan berupa gambaran bayangan pada bagian (zona) tengah dan bawah, kadang-kadang disertai kelainan pads daerah supra diafragma pads fase lanjut. Bayangan pads umumnya simetris dan efusi pleura jarang terlihat. Penting diketahui bahwa basil pemeriksaan sinar tembus menunjukkan keadaan yang normal pads tingkat dini PCP. Defisiensi imunitas dapat menunda munculnya respons inflamasi sehingga infeksi pulmonal hanya disertai tanda-tanda yang minimal pads pemeriksaan sinar tembus. Untuk memeriksa serta menegakkan diagnosis PCP, pilihan utama ialah menggunakan FOB (Fibre Optic Bronchoscopy), dengan TBB (Trans Bronchial Biopsy) dari jaringan alveolar. Di samping itu juga BAL (Broncho Alveolar Lavage) dapat digunakan untuk pemeriksaan sitologi terhadap bahan alveolar. Penggunaan FOB dapat menopang diagnosis sebagian besar kasus. Kegagalan melaksanakan bronchoskopi mengakibatkan

kegagalan dalam menegakkan diagnosis AIDS. Diagnosis Diferensial 1) CMV (Cytomegalo Virus)") Umumnya CMV dapat diisolasi dari pare PCP dan juga umum dijumpai pada berbagai organ pada penderita AIDS. CMV dapat merupakan patogen pada paru secara perimer dengan menunjukkan kelainan berupa pneumonia atipikal yang secara klinis tidak dapat dibedakan dari PCP, walaupun anamnestis dijumpai lebih pendek daripada PCP. Pemeriksaan sinar tembus dapat menunjukkan gambaran yang sama walaupun bayangan retikuler yang meluas ke arah perifer paru lebih khas pada CMV. Diagnosis ditegakkan dengan TBB paru untuk pemeriksaan histologis dan BAL dengan hasil pembiakan virus yang positif untuk CMV. 2) Mycobacterium spp° ) Mikobakterium atipikal terutama Mycobacterium avium intra sellular (MAI), bergantung pada distribusi secara geografi. Karenarespons selularsedikit, meskipun organisme sangatbanyak dalam jaringan, tanda-tanda klinis hanya sedikit dan mungkin juga tidak kelihatan kelainan rontgenologis. M. tuberculosis mempunyai tingkat patogen yang tertinggi dan muncul dengan tanda infeksi secara klinis pada penderita AIDS yang dini. 3) Candida albicans") Infeksi candida yang invasif umum terjadi pada AIDS dan terutama mengenai sistim saluran pencernaan. Tetapi ada juga dijumpai pneumonitis candida yang invasif, walaupun sangat jarang, ditandai dengan infeks i akut disertai kelainan yang timbul cepat pada daerah tengah dan bawah. Pemeriksaan rontgenologis juga disertai hipoksia berat. Diagnosis ditegakkan dengan biakan dari BAL dan pemeriksaan sitologis menunjukkan Candida dalam makrofag alveolar. 4) Sarcoma Kaposi (KS)") KS dapat menyerang organ dalam, kecuali otak, KS pada paru disertai dengan kelainan rontgenologis dan hipoksia. Demam tidak begitu sering terjadi pada KS bila dibandingkan dengan PCP, dan pemeriksaan rontgenologis dari paru menunjukkan kelainan unilateral atau nodular dari pada difus. Infiltrat pleura dapat terjadi dengan efusi pleura unilateral. Diagnosis sangat sulit ditegakkan dengan cara TBB, walaupun plak KS pada mukosa bronchial dapat dilihat pada pemeriksaan bronchoskopi. Pemeriksaan efusi pleura harus disertai dengan biopsi pleura untuk melihat kemungkinan adanya KS. Dan pemeriksaan bedah mayat dibuat kesimpulan bahwa KS paru relatif umum dijumpai pada penderita dengan kelainan kulit. B) Kelainan saluran pencernaan t') Berupa infeksi atau tumor non-spesifik. Gejala umumnya berupa diare dan berat badan menurun di mana pun tempat dan jenis infeksi. Tanda klinis mungkin tidak ada ataupun sedikit dan

diagnosis ditegakkan secara mikrobiologik. Masalah diagnosis pads saluran pencemaan penderita AIDS ialah untuk membedakan para penderita dengan gejala ARC yang terdapat di saluran pencernaan, dengan penderita AIDS yang terkena infeksi yang menimbulkan gejala-gejala tersebut. 1) Candida spp ) Umum dijumpai di rongga mulut dan orofaring, merupakan tanda-tanda tingkat prodromal (ARC). Secara klinis, Candidiasis oral dikenal dengan adanya plak pads selaput lendir mulut (selaput ini dapat dipisahkan). Infeksi candida pads AIDS dapat meluas ke esofagus disertai plak candida yang menyebar ke lambung. Hal ini tidak menunjukkan keluhan-keluhan rasa tidak enak pads daerah retrosternal sewaktu meneguk minuman. 2) Cryptosporidiosis t' ) Dapat menyebabkan diare yang tidak dapat diobati dengan cara konvensional dengan anti diare; infeksi ini menyebabkan keadaan menjadi fatal, disertai gejala-gejala yang terus menerus selama berbulan-bulan. 3) Salmonella, Shigella dan Enterobacteria lain[') Salmonella typhimurium sexing merupakan masalah klinis pads AIDS. Bakteri ini merupakan intraselular fakultatif patogen, serta membutuhkan sistim imuno selular yang berfungsi untuk meniadakannya. Pada penderita AIDS, infeksi ringan saja dapat menyebabkan enteritis yang diikuti oleh bakteremi yang dapat menetap serta yang tidak dapat diobati dengan kemoterapi. Infeksi Salmonella atau Shigella yang menyebabkan bakteremi yang menetap biasanya terjadi melalui makanan hasil peternakan yang tidak sempurna dimasak. Walaupun Giardia lamblia dan Entamoeba histolytica merupakan infeksi yang umum pada homoseksual, organisme ini tidak menimbulkan risiko khusus pads penderita AIDS. 4) Keluarga Virus Herpes [") Setelah Candidiasis dalam rongga mulut maka infeksi daerah perianal oleh virus herpes simpleks tipe 2 merupakan infeksi umum pada saluran pencernaan homoseksual penderita AIDS; infeksi herpes simpleks tipe 2 merupakan ulkus yang menetap yang disertai edema di sekitar ulkus pads daerah anal. Dapat terjadi perdarahan yang disertai tenesmus, akan tetapi infeksi herpes virus daerah perianal tidak menyebabkan diare. Infeksi dapat meluas ke kanal anus dan ke dalam rektum. Lesi dapat meluas ke daerah bokong serta memberi gambaran yang tidak khas. t1 5) Infeksi Cytomegalo Virus (CMV) ) CMV memasuki usus besar pads penderita AIDS, menyebabkan kolitis CMV. Infeksi ini menyebabkan diare berulang disertai perdarahan bersama faeses, merasa sakit di abdomen/ merasa perih dan disertai demam. Pemeriksaan sinar tembus menunjukkan dilatasi usus besar. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histologis dan biopsi rektum dengan kolonoskopi, yang menunjukkan masuknya CMV dengan typical inclusion bodies di dalam lapisan otot halus.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi

Khusus No. 80, 1992 121

Biakan CMV dapat positif dan bahan pemeriksaan berupa faeses, urine dan darah. Selama serangan akut dengan infeksi yang berlanjut dapat terjadi diare khronis dan disertai penurunan berat badan dan demam yang rendah serta menetap. CMV dapat menyerang sistim pencemaan bagian atas yang menyebabkan ulserasi pada esofagus. Ulkus dapat hingga 5 cm yang menyebabkan disphagia. 6) Sarcoma Kaposi Saluran pencernaan t') Sarcoma Kaposi pertama sekali dikenal sebagai tumor kulit, tetapi sebenarnya merupakan tumor multifokal yang berasal dari endotel yang dapat dijumpai di mana saja termasuk sistem pencernaan. Sarcoma Kaposi dapat dijumpai pada seluruh bagian alat pencernaan mulai dari mulut hingga anus. Lesi pada alat pencemaan sering dijumpai pads palatum. Kebanyakan lesi KS pads traktus digestivus bersifat tenang, sering berupa nodul pads dinding selaput lendir ataupun berupa plak sarcoma kaposi tanpa ulserasi. Pada sebagian penderita akan timbul infiltrasi pada alat pencemaan, menyebabkan kolik perut yang menimbulkan perasaan nyeri, ulserasi selaput lendir yang disertai perdarahan, striktura usus dan pada kasus berat menyerupai kolitis ulserasi. Sarkoma Kaposi terletak agak lebih dalam pads sub-mukosa di dalam lapisan otot, sehingga dibutuhkan biopsi yang dalam; biopsi superfisial hanya akan menunjukkan tanda peradangan khronis. C) Kelainan susunan saraf pusat (SSP)(') SSP merupakan organ ke tiga terbesar yang mengalami infeksi organisme oportunistik patogen atau tumor pada penderita AIDS. Infeksi yang umum terjadi disebabkan Cryptococcus berupa meningitis dan bila terjadi tidak disertai fotofobia dan kekakuan leher, tetapi selalu disertai demam, sakit kepala dan ataxia. Sebagaimana infeksi lain yang terjadi pads penderita AIDS, tanda penyakit bersifat atipis. Toxoplasmosis pada AIDS merupakan infeksi yang seluruhnya terletak pads SSP yang menyebabkan abses intraserebral pada otak yang disertai tandatanda klinis. Gambaran klinis selanjutnya sering disertai AIDS ensefalopati, suatu keadaan yang menyerupai dimentia presenil yang dapat terjadi pads 40% penderita AIDS yang mapan. Masalah klinis SSP dibagi atas(') : 1. Lesi fokal 2. Lesi difus 3. Lesi pads retina 1) Lesi fokal Pemeriksaan CT scan dapat melihat massa dari lesi disebabkan edema serebral ataupun ensefalitis yang umum terjadi pada penderita AIDS dan biasanya disebabkan abses Toxoplasma gondii. Abses ini dapat multipel yang menunjukkan gejala kelainan traktus piramidalis atau dengan epilepsf fokal maupun umum. Lesi toxoplasmasis tidak selalu disertai dengan rinitis toxoplasma; perlu dibedakan dari B cell limfoma dan Abses kandidal. 122

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

) 2) AIDS Encephalopathy° Pada penderita AIDS yang mapan dapat terjadi tanda-tanda demensia dengan perubahan kepribadian, kehilangan ingatan masa dekat dan masa lalu. Pemeriksaan CT scan menunjukkan atrofi yang jelas pada massa putih dan massa kelabu disertai dilatasi ventrikel. Atrofi berjalan terus dan dapat menyebabkan epilepsi grand mal di samping demensia. Keadaan demikian disebut AIDS encephalopathy, dan tidak ada hubungan dengan infeksi oportunis. Pada sindrom ini dapat diketemukan RNA dan DNA-HIV pada sel otak, sehingga ensefalopati dapat merupakan infeksi virus AIDS primer pada SSP. Infeksi oportunistik SSP kadang-kadang disertai ensefalopati, terutama meningitis yang disebabkan Cryptococcus dan ensefalitis yang disebabkan CMV yang mungkin masih dapat diobati; maka caftan otak harus diperiksa sebelum diagnosis AIDS encephalopathy ditegakkan. Tidak ada pengobatan efektif untuk AE hingga saat ini dan keadaan demikian dapat terjadi di sekitar 40% penderita AIDS. Tidak diketahui apakah pada infeksi HIV asimtomatik akan terjadi ensefalopati setelah jangka waktu yang lama. 3) Lesi retina Lesi fundus merupakan kelainan klinis yang penting pada AIDS. Lesi yang umum ialah : 1) Cotton Wool Spot, merupakan eksudat lembut yang muncul tiba-tiba, menetap selama sekitar 6 minggu dan mungkin dapat dilihat di bagian mana saja pads retina. Lesi ini dapat terjadi pads penderita AIDS yang manapun dan timbul sebelum infeksi oportunis atau tumor. Lesi ini jarang mengganggu ketajaman penglihatan dan bersifat benigna. Patogenesis lesi belum diketahui, tetapi menyerupai keadaan yang dijumpai pada penderita vaskulitis. 2) Tajam penglihatan yang berkurang pads penderita AIDS merupakan indikasi pemeriksaan mata; terbanyak disebabkan retinitis CMV. Infeksi oportunis lain dari retina jarang terjadi, akan tetapi dapat menyebabkan gangguan penglihatan serta perubahan pada retina; misalnya infeksi candida pads retina dapat menyebabkan abses serebral.

D. Manifestasi AIDS pada kulit( l) Manifestasi di kulit terbagi dua : 1. Sarkoma Kaposi 2. Infeksi kulit yang disebabkan imunosupresi Sarkoma Kaposi diperkirakan sebanyak 25% pads penderita AIDS dini, dan sekitar 10% akan timbul setelah infeksi oportunistik. Lesi kulit yang dapat dicatat hingga saat ini tertera pads tabel 2. Sarkoma Kaposi SarkomaKaposi merupakan tumor yang terbanyakdijumpai pada penderita AIDS; walaupun secara primer merupakan tumor kulit, pada penderita AIDS traktus digestivus merupakan tempat yang utama. 1)

Sarkoma Kaposi merupakan tumor yang berasal dari sel endotelial, multifokal. Tumor bersifat invasif lokal dengan efek okupasi ruangan lebih nyata dari invasi. Setiap bagian kulit dapat terlibat. Tumor biasanya berupa lesi berwarna ungu pada kulit dan jaringan subkutis, padat, tidak nyeri, tidak gatal dan umumnya meninggi dari kulit sekitarnya. Lesi dapat berkembang hingga mencapai 1 cm dalam waktu 7–10 hari. Lesi biasanya multipel dan jarang berdiameter lebih 5 cm walaupun lesi dapat menyatu pada masa lanjut. Beberapa lesi dapat berupa makula kecil. Diagnosis ditegakkan berdasarkan biopsi; dapat dijumpai sel berbentuk spindel, intra cellular clefts, serta ektravasasi butir darah merah yang patognomonis untuk Sarkoma Kaposi. Lesi dini mempunyai tanda minimal sehingga diagnosis untuk lesi makula Sarkoma Kaposi sangat suliL 2) Infeksi Kulit a) Herpes simpleks, terutama dengan distribusi perianal, sedangkan HSV peri-oral tidak umum menjadi masalah. b) Herpes (Varisella) Zoster, umumnya dijumpai pads masa prodromal, tidak biasa dijumpai pads AIDS yang mapan.

c) Molluscum Contagiosum, umumnya dijumpai di wajah dan agak sulit memberantasnya, digunakan liq. Nitrogen atau 5% phenol secara lokal; lesi ini tidak membahayakan. d) Infeksi jamur, dapat diobati dengan obat-obat anti jamur. 3) Kelainan non-spesifik Lesi kulit yang menyebar menyebabkan gambaran atipis dan diagnosis sebaiknya ditopang oleh biopsi dari pads hanya secara klinis. Funginemia dari semua kasus dapat menyebabkan lesi kulit, terutama oleh cryptococcusis dan histoplasmosis. Setiap lesi yang atipis pada penderita AIDS harus dibiopsi, bila diagnosis klinis meragukan. Lesi yang non-spesifik di kulit pada penderita AIDS terutama berupa eksema seborrhoik dan follikulitis pada wajah. Eksema timbul pads penderita tanpa menunjukkan pemah menderita penyakit kulit sebelumnya, menyerang wajah dan nyata dengan sisik-sisik yang tebal pads lipatan kulit. Eksema atopi dapat muncul pads penderita yang mempunyai sifat atopi, eksem, atau asthma pads masa kanak-kanak. KEPUSTAKAAN 1. Miller D, Weber J, Green J. The Management of AIDS patients. London: Mac Milian Press Ltd, 1987. 2. Centers for Disease Control. Pneumocystis Carinii Pneumonia. MMWR 1981; 30: 250. 3. Goulieb MS, Scraff R, Schanker MM et al. Pneumocystis Carinii Pneumonia and mucosal candidiasis in previously healthy homosexual man. Evidence of a new acquired Cellular Immuno-deficiency. N. Engl. J. Med 1981; 305: 1425. 4. Masur E, Micheles MA, Green JB et al. An outbreak of community acquired Pneumocystis Carinii pneumonia. Initial manifestation of Cellular Immunodysfunction. N. Engl. Med 1981; 305: 1439. 5. Coffin et al. Human immunodeficiency Viruses. Science 1986; 232: 697. 6. Saerde MA, Volberding PA. The Medical Management of AIDS. Philadelphia, London, Toronto, Sydney: WB Saunders Coy, 1988. 7. Goldert JJ, Blattner WD. The Epidemiology of AIDS and Related Condition. In: AIDS, etiology, diagnosis, treatment and prevention. De vita VT, Hellman. S, Resenberg SA. (eds.). Sydney: JB Lippincott, 1983. 8. Centers for Disease Control. Update on Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). MMWR 1982; 31: 507.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 123

Penatalaksanaan Gejala Duh Tubuh Uretra Mansur A. Nasution, Zulilham Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Duh tubuh uretra (urethral discharge) merupakan suatu simptom berupa keluarnya cairan dari uretra baik mukous ataupun serous. Secara umum duh tubuh uretra ini bisa bersifat fisiologis misalnya pada prostaturia dan spermaturia dan bisa bersifat patologis misalnya pads uretritis gonore dan uretritis non spesifik (uretritis non gonore). Gonore dan uretritis non spesifik keduanya termasuk dalam penyakit menular seksual (PMS) insidensnya meningkat setiap tahun, dan sering dijumpai bersamaan. Penatalaksanaan duh tubuh uretra tergantung pada diagnosis gonore atau uretritis non spesifik. GONORE Secara umum mencakup semua penyakit yang disebabkan oleh infeksi gonokokkus (Neisseria gonorrhoe). ETIOLOGI Bakteri gonokokkus ditemukan oleh Albert Neiser pads tahun 1879 dan baru diumumkan pads tahun 1882. Bentuknya diplokokkus seperti biji kopi dan bersifat gram negatif, tidak tahan lama di udara bebas, cepat mati dalam keadaan kering dan tidak tahan di atas suhu 39°C, dan tidak tahan terhadap desinfektan. Pada tahun 1976 CDC di Amerika Serikat menemukan Neisseria gonore penghasil penisilinase (NGPP) dari penderita gonore yang pernah bertugas di Vietnam dan pads tahun yang sama diketemukan NGPP di Belanda dari seorang pramugari penerbangan yang pernah berkencan dengan seorang Filipina. Pada tahun 1980 Wijaya di Jakarta menemukan kasus NGPP pads satu lokasi pelacuran. Pada tahun 1981 Hutapea bekerja sama dengan State's Serum Institutes Copenhagen melaporkan adanyaNGPP di Medan. Dan pada tahun yang sama Nasution dan 124

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Iswara melaporkan bahwa di Medan 16,7% penyebab gonore adalah NGPP. Pada saat ini lebih dari 50% penderita gonore disebabkan NGPP. GAMBARAN KLINIS Masa tunas sangat singkat, pada pria umumnya bervariasi antara 1 – 5 hari, kadang-kadang lebih lama. Pada wanita sulit ditentukan karena pads umumnya bersifat asimtomatik. Pada pria yang sering adalah uretritis.anterior akuta dengan keluhan berupa rasa gatal dan panas di bagian distal uretra, disuria, polakisuri, dari ujung uretra keluar duh tubuh seromukopurulen yang kadang-kadang disertai darah. Perasaan nyeri waktu ereksi. Pada pemeriksaan tampak orificium uretra eksternum merah dan odematus. Pada wanita keluhan hanya berupa keputihan dan perasaan gatal.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pada sediaan langsung dengan pewarnaan gram akan ditemukan gonokokkus gram negatif intraseluler dan kadang kadang bisa ekstraseluler. Pembiakan (terutama untuk wanita) menggunakan : 1. Media transport (Media Stuart) 2. Media pertumbuhan (Media Thayer Martin) Sedangkan identifikasi NGPP dilakukan dengan tes jodometri atau asidometrik pada koloni yang tumbuh pada pembiakan. DIAGNOSIS Gambaran klinis ditunjang pemeriksaan laboratorium. URETRITIS NON SPESIFIK Uretritis yang penyebanya bukan gonokokkus.

ETIOLOGI 1. Klamidia trakomatis - 30 - 50% 2. Ureaplasma urealitikum - 30 - 50% 3. Trikomonas vaginalis - jarang 4. Kandida albikans - jarang 5. Virus herpes simpleks - jarang 6. Tak diketahui - 20% GAMBARAN KLIMS Masa inkubasi beberapa hari sampai beberapa minggu (1 5 minggu); keluhan hampir serupa dengan uretritis gonore, hanyaduh tubuhnya lebih encerdan kadang-kadang hanya berupa bercak-bercak kuning pada waktu pagi pada celama dalam. PEMERIKSAAN LABORATORIUM : Pemeriksaan langsung, tidak dapat dilakukan kecuali untuk Kandida albikans dan T. vaginalis. Pembiakan (Klamidia dan U. urealitikum) 1) Media transport (Bufer fosfat + fetal calf serum + and biotika) 2) Media pertumbuhan (Mc. Coy). Pemeriksaan secara Elisa Serologis DIAGNOSIS Ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang ditunjang pemeriksaan laboratorium. PENATALAKSANAAN DUH TUBUH Penatalaksanaan duh tubuh uretra adalah dengan memperhatikan fasilitas laboratorium yang ada untuk menemukan penyebabnya : bila penunjang laboratorium baik, maka penatalaksanaan duh tubuh uretra pertama kali ditujukn untuk uretritis gonore, Bilakemudian ternyata ditemukan juga uretritis non gonore maka pengobatannya baru dilaksanakan setelah infeksi gonore diatasi. Akan tetapi bila kita melihat laporan CDC (Centers for Disease Control) 1989 pola penatalaksanaan uretritis gonore mengalami beberapa perubahan-perubahan disebabkan oleh : 1. Tingginya insidens infeksi klamidia bersamaan dengan gonore (25 - 50%). 2. Kesukaran tehnik pemeriksaan klamidia. 3. Makin tingginya insidens NGPP (lebih dari 50%). 4. Makin tingginya gonokokkus yang resisten terhadap tetrasiklin. Mengingat hal tersebut, CDC (1989) menganjurkan agar

pada pengobatan uretritis gonore tidak diberikan lagi penisilin atau derivatnya, dan di samping itu diberikan juga obat untuk UNS (klamidia) secara bersamaan, yaitu Ceftriaxone 250 mg im atau Spektinomycin 2 gr im atau Ciprofloxacin 500 mg oral, ditambah dengan Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari, atau Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari. Standar pengobatan di atas banyak dipakai di Amerika Serikat, Kanada, Skandinavia dan beberapa negara di Eropah, uretra belum ada dan belum seragam. Yang panting obat tersebut murah dan ampuh. Pada pertemuan ilmiah untuk melakukan suatu Standardisasi Diagnostik dan Penatalaksanaan PMS (Jakarta 1990) penatalaksanaan duh tubuh uretra dibagi atas penatalaksanaan terhadap gonore dan U.N.S. Untuk gonore pads rumah-rumah sakit serta Puskesmas masih dipakai Penisilin dengan dosis bervariasi antara 2,4 juta I.U. - 4,8 juta I.U. mendapat penyakit tersebut dari WTS lokal. Sedangkan untuk U.N.S. diberikan : Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari, atau Doksisiklin 2 x 100 mg selama 7 hari. Tetapi kenyataannya, praktek pribadi/swasta lebih banyak menggunakan tiamfenikol; pads saat ini penggunaan paket dosis tiamfenikol perlu diperpanjang : hari I : 2,5 - 3,5 g. dosis tunggal, dilanjutkan hari II - X : 3 x 500 mg. Di Indonesia (1988) uji cobs klinis untuk pengobatan duh tubuh uretra dengan tiamfenikol berhasil baik (lebih dari 90%). Di samping itu kepada penderita dianjurkan : 1. Tidak melakukan kontak seksual 2. Tidak minum alkohol 3. Tidak makan makanan yang dapat mengiritasi selaput lendir uretra seperti kambing dan makanan dari laut. KEPUSTAKAAN 1. WHO. Consultative Group Current treatment in the control of STD (WHO UDT 83. 433). 2. CDC STS treatment guideline, Sept. 1989. 3. S. Daili. Gonore dan penatalaksanaan duh tubuh uretra pada umumnya. Kursus penyegarPMS Bali, 18 Oktober. IUVDT Bangkok 19 Oktober 1987. 4. Nasution MA, Iswara R. PPNG in North Sumatra. IUVDT, Bangkok 19 Oktober 1987. 5. Judanarso J. Infeksi Chlamydia pada genitalia. Simposium PMS, Bali 18 Oktober 1987. 6. Nasution MA, Roesyanto ID, Sutanto LA. Treatment of Urethritis gonorrhoea and non gonorrhoea with thiamphenicol, 8th Regional Conference of Dermatology Bali 16 Ju

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 125

Alergi dan Iritasi Kulit pada Keadaan Sehari-hari Dr. Diana Nasution Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

ABSTRAK Jika dilihat sepintas alergi dan iritasi kulit dapat mirip satu dengan lainnya. Dan sudut dermatologi terdapat perbedaan di antara keduanya yang dapat membantu klta menangani pasien-pasien yang menderita alergi dan iritasi kulit. Dalam makalah ini dibicarakan beberapa contoh alergi dan iritasi kulit yang dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, antara lain : 1. Alergi terhadap perhiasan 2. Reaksi kulit terhadap sabun dan detergensia 3. Kepekaan terhadap sepatu, bahan pengawet, pakaian dan cat rambut. PENDAHULUAN Istilah alergi menunjukkan suatu reaksi yang berubah (alergi) terhadap suatu bahan tertentu (alergen) yang melibatkan sistem imun tubuh; hanya terjadi pads orang-orang tertentu. Iritasi kulit disebabkan oleh suatu bahan dapat terjadi pads setiap orang, tidak melibatkan sistem imun tubuh dan ada beberapa faktor-faktor tertentu yang memegang peranan seperti keadaan permukaan kulit, lamanya bahan bersentuhan dengan kulit, usia pasien, adanya oklusi dan konsentrasi dari bahan. Adakalanya suatu bahan kimiawi mempunyai kedua sifat ini yaitu dapat menyebabkan reaksi alergis dan suatu respons iritasi pads kulit; sebagai contoh : sabun yang berisi zat warns atau parfum sebagai alergen jika disertai dengan mencuci berulang-ulang dapat menyebabkan iritasi kulit. Untuk membedakan reaksi kulit yang alergis dan iritasi kulit dapat dilakukan percobaan tempel. ALERGI TERHADAP PERHIASAN DAN LOGAM LAIN Pads orang-orang tertentu dapat terjadi kelainan kulit setelah mernakai perhiasan tertentu misalnya anting-anting, kalung, jam tangan dan sebagainya. Kemungkinan penyebabnya adalah

126 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

nikel yang banyak terdapat dalam benda-benda logam antara lain jam Langan, perhiasan, jepitan rambut, penggulung rambut, gunting, cincin, mata uang, kepala ikat pinggang, bingkai kaca, mata dan sebagainya. Di Amerika diperkirakan kepekaan terhadap nikel ini mencakup± 10% dari penduduk dan terdapat lebih banyak pads wanita dari pads pria dengan perbandingan 2 : 1. Hal ini disebabkan oleh karena wanita lebih banyak memakai perhiasan dibandingkan dengan pria. Keringat dapat memperhebat dermatitis oleh nikel ini, gejala berupa rasa gatal dan mencucuk dapat timbul 15-20 menit setelah bersentuhan dengan kulit dan gejala-gejala kulit dapat timbul dalam waktu satu jam. Apabila tidak berkeringat, pasien yang sama dapat memakai perhiasan yang mengandung nikel ini untuk beberapa jam tanpa adanya gejala. Diagnosis dermatitis oleh nikel ini amat mudah oleh karena is timbul pada tempat kulit berkontak dengan logam tersebut. Apabila kontak dihilangkan maka gejala pada kulit akan sembuh dalam beberapa hari. Di samping itu untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan uji tempel. Untuk mendeteksi apakah suatu perhiasan berisi nikeldapat dilakukan tes dengan dimetil-glioksim. Di samping itu jika

seorang yang peka terhadap nikel tetap ingin memakai perhiasannya tersebut, disarankan untuk melapisi perhiasan tersebut dengan cat kuku yang berwana netral atau menyemprotkan dengan bahan yang berisi kortikosteroid dan mengharuskan pasien agar memakainya dalam keadaan sekitar yang sejuk untuk menghindari keringat.

panas dan lembab. Penting diperhatikan ialah bahwa sepatu harus dipakai dalam keadaan kering. Alergi terhadap sepatu ini sering mirip dengan gambaran eksema, infeksi jamur dan penyakit kulit yang disebut psoriasis. Terapi yang tepat didapat dengan mengetahui penyebabnya yaitu dengan tes tempel kulit.

REAKSI KULIT TERHADAP BAHAN PENGAWET Reaksi kulit terhadap bahan pengawet yang terdapat di dalam kosmetika dan oba-obat oles, dapat berupa dermatitis (eksema) dengan tanda-tanda kulit kering, bersisik, merah, berlepuh sampai basah atau retak-retaknya kulit. Reaksi bisa ringan atau berat dan biasanya disertai dengan rasa terbakar dan gatal. Reaksi dapat timbul sebagai urtika atau kadang-kadang berupa pembengkakan lokal. Sering terjadi timbulnya reaksi kulit pada pemakaian pertama kali dari obat oles atau kosmetika pada kulit yang terluka atau sedang mengalami iritasi. Sedangkan bahan pengawet makanan dan obat-obatan per-oral dapat menyebabkan reaksi kulit yang bersifat alergis dan dapat menyebabkan terjadinya sensitisasi. Beberapa contoh bahan pengawet di dalam kosmetika atau obat oles kulit : metilparaben, propil paraben, imidazolidinilurea, butil-paraben, quaternium-15, formaldehid, Katon-cG, asam sorbic, Vit. E dan Vit. c. Terdapatnya bahan pengawet pada berbagai macam produkproduk yang dipakai sehari-hari maka sudah tentu amat sulit dihindari. Salah satu cara untuk mengetahui penyebab kelainan kulit oleh pemakaian kosmetika atau obat kulit lainnya yaitu dengan percobaan tempel.

REAKSI KULIT TERHADAP PAKAIAN

REAKSI KULIT TERHADAP SABUN DAN DETERGEN Reaksi kulit terhadap pemakaian sabun dan detergen dapat terjadi berdasarkan iritasi kulit akibat pemakaian yang berlebihan. Terjadinya iritasi kulit oleh pemakaian sabun kemungkinan disebabkan oleh sifat alkalis sabun disertai dengan daya menghapus minyak dari kulit dan sifat iritasi dari asam lemak. Dapat juga terjadi kelainan kulit oleh karena alergi terhadap bahan-bahan yang terdapat di dalam sabun seperti pewangi, zat warna, bahan-bahan antimikroba dan sebagainya. Pernah dilaporkan terjadinya depigmentasi kulit oleh pemakaian sabun yang mengandung fenol. Sabun sebagai iritan utama dapat merupakan faktor yang memperlambat penyembuhan dari eksema pada tangan. Untuk menghindari reaksi iritasi ini, kurangi pemakaian sabun. KEPEKAAN KULIT TERHADAP SEPATU Reaksi akergi kulit terhadap sepatu dapat berasal dari bahan dasarnya yaitu kulit hewan yang telah diproses dengan bahanbahan tertentu seperti cat, bahan pengawet, bahan antimikroba dan anti jamur, khrom, karet, bahan perekat, anti oksodan dan bahan-bahan lainnya. Reaksi kulit terhadap sepatu paling sering terjadi pada mereka yang banyak berkeringat dan pads keadaan sekitar yang

Reaksi kulit terhadap pakaian paling sering terjadi pada pakaian yang terbuat dari bahan dasar yang mudah diregang. Sebagai bahan Penyebab yaitu adanya bahan karet di dalam kain dan bahan-bahan kimiawi lainnya'yang terdapat di dalam karet tersebut, juga serat-serat sintesis yang bersifat elastis. Semua bahan-bahan ini mengandung bahan tambahan yang bersifat sebagai sensitizer dan dapat menyebabkan reaksi alergi pads kulit. REAKSI KULIT TERHDAP CAT RAMBUT Kepekaaan kulit terhadap cat rambut sebagian besar disebabkan oleh bahan kimiawi paraphenilendiamin (PPD) yaitu zat warna dalam pewarna rambut yang permanen. Jika seorang menjadi alergis terhadap PPD, maka is juga peka terhadap bahan-bahan yang secara kimiawi mempunyai ikatan yang sama melalui suatu proses sensitisasi silang. Jadi bila alergis terhadap PPD, maka juga alergis terhadap pewarna dari bahan anilin, Azo yang banyak dipakai untuk memberi warna gelap pads pakaian (hitam, biru,.cokklat dan abu-abu). Juga dapat terjadi kepekaan terhadap obat-obat penghilang rasa seperti prokain, benzokain. Kurang lebih 1/4 dari mereka yang peka terhadap PPD juga peka terhadap prokain dan benzokain. Jadi orang yang peka terhadap PPD jangan lupa memberi tabu dokter gigi anda sehubungan adanya kemungkinan pemakaian anastesi untuk pencabutan gigi. Sebagai ganti prokain dan benzokain dapat dipakai xylocaine dan mepivacaine. Tabir surya yang mengandung PABS dapat juga bereaksi silang dengan PPD, orang yang peka terhadap PPD hendaknya menggunakan tabir surya yang bebas PABA. KESIMPULAN Telah dibicanakan beberapa kemungkinan alergi dan iritasi kulit yang dapat dijumpai dalam keadaan sehari-hari. Untuk menghindarinya perlu pengenalannya. Uji Tempel Kulit banyak membantu dalam hal memperjelas diagnosis.

KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5.

Adams. Occupational skin disease. 2nd ed. Saunders, 1990. Corbett JF. Hair dye toxicity. Berlin : Springer-Verlag, 1990. Groin E. Contact Dermatitis. Edinburgh : Churchill Livingstone, 1980. Fisher A A. contact dermatitis. 3rd ed. Philadelphia : Lea & Febiger, 1986. Maibach H J Gellin GA. Occupational & Industrial Dermatology. Yearbook Medical Publishers, 1982.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 127

Kursus dan Demonstrasi RIP Resusitasi Jantung, Paru, dan Otak Oloan SM Siahaan UPF Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Suniatera Utara Rumah Sakit Umum Pusat Dr Pirngadi Klas A, Medan

PENDAHULUAN Tidak semua penderita yang mengalami cardic arrest diresusitasi, melainkan hanya yang mungkin untuk hidup lama tanpa meninggalkan kelainan-kelainan di otak. Jadi resusitasi ialah usaha mengembalikan fungsi pernafasan dan/atau sirkulasi dan penanganan akibat henti nafas (respiratory arrest) dan/atau henti jantung (cardiac arrest) pads orang, di mana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja kembali. Jadi bukan pada akhir suatu stadium agonal, di mana karena memburuknya keadaan umum, pusat penting dan organ semakin buruk dan akhirnya gagal total; atau pada orang yang pusat di otaknya sudah mengalami kerusakan karena sebab-sebab pernafasan/sirkulasi sehingga tidak ada lagi kemungkinan untuk hidup. Keberhasilan resusitasi dimungkinkan oleh adanya waktu tertentu diantara mati klinis dan mati biologis. Mati klinis terjadi bila dua fungsi penting yaitu pernafasan dan sirkulasi mengalami kegagalan total. Jika keadaan ini tidak cepat ditolong, maka akan terjadi mati biologis yang irreversibel. Setelah tiga menit mati klinis (jadi tanpa oksigenisasi), resusitasi dapat menyembuhkan 75% kasus klinis tanpa gejala sisa. Setelah empat menit persentase menjadi 50% dan setelah lima menit 25%. Maka jelaslah waktu yang sedikit itu harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin. Di camping mati klinis dan biologis dikenal juga istilah mati sosial yaitu keadaan di mana pernafasan dan sirkulasi terjadi spontan atau secara buatan, namun telah mengalami aktifitas kortikal yang abnormal (perubahan EEG), penderita dalam keadaan sopor atau koma tanpa kemungkinan untuk sembuh; jadi dalam keadaan vegetatif. Agar suatu resusitasi berhasil maksimal tentu saja memerlukan operator yang cekatan dan trampil. Waktu satu menit

128

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sangat berguna dan lebih balk memberikan resusitasi pada orang yang "sedang meninggal" daripada yang "telah ineninggal". FASE-FASE RESUSITASI KARDIO PULMONER RKP dibagi, terutama untuk memudahkan latihari dan mengingat, dalam fase dan langkah sebagai berikut : FASE I : Tunjangan hidup dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RKP secara benar. Terdiri dari : A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka. B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat. C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru (KJL), FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan : D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairan. E (EKG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes. F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support). G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologik yang permanen. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan

fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30° — 32°C. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO 2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang.

Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil, - mendorong kepala ke belakang dan kemudian, - buka rahang bawah untuk memudahkan bernapas melalui mulut atau hidung. Penarikan rahang bawah paling bail( dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernapas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernapasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung.

FASE I : TUNJANGAN HIDUP DASAR Adalah prosedur pertolongan darurat, termasuk di dalamnya pengenalan henti jantung (cardiac arrest) dan henti napas (respiratory arrest) dan bagaimana melakukan RKP yang tepat untuk menyelamatkan nyawa sampai korban dapat dibawa atau tunjangan hidup Ian jutan sudah tersedia. Di sini termasuk langkahlangkah ABC dari RKP : A (Airway) : Jalan nafas terbuka. B (Breathing) : Pernapasan, pernapasan buatan RKP. C (Circulation) : Sirkulasi, sirkulasi buatan. Indikasi tunjangan hidup dasar terjadi karena : 1. Henti napas. 2. Henti jantung, yang dapat terjadi karena : a. Kolaps kardiovaskular b. Fibrilasi ventrikel atau c. Asistole ventrikel.

Pernapasan (breathing) : Dalam melakukan pernapasan mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibujari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup napas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pemapasan masih belum adekuat. Pernapasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu diperhatikan : gerakan dada waktu membesar dan mengecil merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi. Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. Teknik mulut hidung kadang-kadang lebih efektif terutama bila mulut korban sukar dibuka, atau luka berat di mulut. Caranya sama dengan mulut ke mulut hanya tiupan dilakukan melalui hidung sedangkan mulut korban ditutup. Sebaliknya, pads tiupan ke hidung, mulut korban dibuka sewaktu ekspirasi karena langitlangit mulut (soft palate) dapat mengakibatkan sumbatan di daerah nasofaring; tiupan diulang satu kali tiap lima detik (Gambar 1 dan 2). Pada penderita yang mendapat laringektomi maka tiupan dapat langsung ke lubang. Di sini tidak perlu penarikan kepala ataupun penarikan rahang bawah, yang perlu .adalah menutup mulut dan hidung penderita waktu meniup agar udara tidak keluar.

Pernapasan buatan Membuka jalan napas dan pemulihan pernapasan adalah dasar pemapasan buatan. Cara mengetahui adanya sumbatan jalan napas dan apne : — Lihat gerakan dada dan perut — dengar dan rasakan aliran udara melalui mulut atau hidung. Pada sumbatan total dengan pernapasan spontan, tidak terasa/ terdengar aliran udara melalui mulut/hidung dan ada kesukaran bernapas dan berlebihan, hingga menggunakan otot pernapasan tambahan, adanya retraksi interkostal, supraklavikula dan ruang suprastemal. Pada sumbatan sebagian dengan pernapasan spontan/buatan, ada bunyi aliran udara, misalnya : snoring (karena sumbatan pada jaringan lunak hipofaring), crowing (karena laringospasme), gurgling (karena benda asing) atau wheezing (karena obstruksi bronkhial). Kegagalan pernapasan (apne) ditandai dengan kurang atau hilangnya usaha bernapas, tidak adanya gerakan dada atau perut bagian atas, dan tidak adanya aliran udara melalui hidung atau mulut. Jalan napas (airway) : Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan napas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini. Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan. Caranya :

Anak dan bayi : Di sini mulut penolong dapat menutup seluruh mulut dan hidung anak dan volume udara yang ditiup lebih kecil. Tiupan untuk anak lebih lembut, pada hayi cukup meniup dengan pipi. Tiupan diulang satu kali tiap tiga detik. Hati-hati waktu menarik kepala bayi ke belakang karena lehemya masih lunak hingga malah dapat menyumbat jalan napas. Bila ada kecurigaan patah tulang leher, pembukaan jalan napas hanya dengan menarik rahang bawah ke depan. Benda asing (foreign bodies) : Penolong tidak perlu mencari benda asing di jalan napas; usaha pertama waktu meniup paru akan menunjukkan adanya sumbatan jalan napas; di sini jalan napas hams segera dibersihkan. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

129

Gambar 1. Metode 1 penolong

Gam bar 3.

dilakukan dengan alat dan petugas yang terlatih. Lambung kembung (gastric distension) : Keadaan ini dapat terjadi pada pernapasan buatan, sering pada anak; disebabkan karena tekanan terlalu besar atau jalan napas tersumbat. Bahayanya adalah regurgitasi, berkurangnya volume paru karena diafragma meninggi dan kemungkinan ruptur garter. Untuk mencegah hal ini, miringkan kepala dan badan korban dan kemudian tekan perut di antara pusat dan iga terbawah.

Gambar 2. Metode 2 penolong

Caranya : Korban dimiringkan, pundak ditopang oleh lutut penolong. Mulut korban dibuka paksa dengan teknik jempol telunjuk disilangkan (Gambar 3)..Kemudian masukkan telunjuk/dengan jari tengah mulai dari pipi ke arah dasar lidah sampai tenggorokan, dengan gerakan menyapu. Ulangi beberapa kali sampai bersih. Bila perlu bantu laringoskop. Bila belum berhasil, atau terjepit di belakang epiglottis, maka segeralah balikkan korban ke arah penolong, dan kemudian berikan pukulan keras ke punggung penderita, lalu coba lagi mengambil dengan tangan. Bila masih gagal, lakukan pungsi krikoiroid dan masukkan pipa endotrakhea ukuran 6 mm untuk dewasa. Prosedur ini sebaiknya 130

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Sirkulasi buatan : Sering disebut juga dengan Kompresi, Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah terhentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat. Sebab-sebab henti jantung : Afiksi dan hipoksi Serangan jantung Syok listrik Obat-obatan Reaksi sensitifitas Transfusi darah Kateterisasi jantung Anestesi. Untuk mencegah mati biologis (cerebral death), pertolongan hams diberikan dalam 3-4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak diduga, maka langkahlangkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernapasan dan sirkulasi buatan. Henti jantung diketahui dari : hilangnya denyut nadi pada arteri besar korban tidak radar •korban tampak seperti mati

– hilangnya gerakan bernapas atau megap-megap. Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan napas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernapas, segera ti up paru korban 3–5 kali, lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : 1.- Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernapasan buatan. 2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepaskan pakaian korban. 3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi. Di rumah sakit dapat juga coba diraba pada a. femoralis dan daerah prekordial untuk merasakan denyut apikal. Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan KJL. Tekanan dilakukan secara ritmis pada bagian bawah tulang dada, tapi tidak di atas prosesus xidofeus (Gambar 4).

penolong. Bila ada 2 orang penolong (Gambar : Salah satu berada di camping korban dan melakukan KJL sedang yang lainnya tetap di arah kepala korban, menarik kepala korban ke belakang dan melakukan pemapasan buatan. KJL untuk 2 orang adalah 60 kali/menit. Bila dilakukan tanpa terputus cara ini dapat mempertahankan aliran darah dan tekanan darah yang adekuat, menghindari kelelahan si penolong, mudah dihitung yaitu 1 kali/detik, dan diperoleh sirkulasi dan ventilasi optimum dengan menyelipkan I tiupan ke pare korban dalam 5 kali kompresi tanpa berhenti (ratio 5 : I). Apabila korban sudah diintubasi, maka peniupan pare lebih mudah dan jumlah kompresi dapat ditingkatkan sampai 60 kali/menit. Bila hanya ada 1 orang (Gambar 6), penolong hams melakukan pemapasan dan sirkulasi buatan dengan ratio 2 : 15. Caranya : 2 kali peniupan pare secara cepat, sesudah 15 kompresi jantung. Karena hams berhenti untuk melakukan peniupan pare maka kecepatan 15 kompresi adalah 80 kompresi/menit (1 kali kompresi dalam detik). Dua kali peniupan pare hams dilakukan dengan cepat, dalam waktu 5 – 6 detik tanpa hams menunggu ekshalasi penuh.

Gambar 4a.

Gambar 4b.

Selama henti jantung, KJL yang dilakukan dengan baik dapat menghasilkan tekanan sistolik sampai 100 mm Hg, tapi diastolik not, dan tekanan rata-rata di a. carotis jarang melebihi 40 mm Hg; aliran darah a. carotis akibat KJL pada penderita henti jantung hanya mencapai sampai dari normal. KJL selalu harus disertai pernapasan buatan.

bih tinggi di bawah tulang dada bawah dan xifoid. Tekanan : Pada bayi 1 – 2 cm, pada tulang dada, anak kecil 2 – 4 cm. Jumlah kompresi : antara 80 – 100 kali/ menit dengan napas buatan secepat mungkin tiap 5 kali kompresi. Penarikan kepala bayi dan anak ke belakang akan mengangkat punggungnya. Jadi bilamelakukan kompresi maka punggung si anak hams diganjal dengan Langan, sedang Langan yang lain melakukan kompresi jantung.

Teknik KJL Agar KJL efektif, tulang dada bagian bawah hams ditekan minimal 3'/ z sampai 5 cm (pada dewasa), dan korban hams diletakkan pada alas yang keras dan datar. Bila korban di tempat tidur, gunakan papan sebagai alas; tetapi jangan tertunda karena menunggu alas. Kompresi hams teratur, lancar (smooth) dan tidak terputus-putus. Karena sirkulasi buatan selalu hams disertai dengan pemapasan buatan, maka lebih baik ada 2 orang penolong. Tapi dapat juga dilakukan den gan 1 orang

Bayi dan anak : Untuk anak kecil hanya dipakai sate Langan, untuk bayi hanya dipakai ujung telunjuk dan jari tengah. Ventrikel bayi dan anak kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan hams dilakukan di bagian tengah tulang dada. Bahaya robeknya hati lebih besar pads anak karena dada lebih lunak dan hati terletak le-

Memeriksa efektifitas KPR Selama melakukan KPR maka reaksi pupil harus diperiksa secara periodik, karena ini adalah petunjuk yang paling balk dari oksigenisasi dan aliran darah yang adekuat terhadap otak. Bila pupil dilatasi tapi masih ada refleks cahaya, maka keadaannya lebih baik. Denyut a. karotis harus diperiksa secara periodik selama KPR untuk mengetahui efektifitas KJL atau kembalinya denyut

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 131

Gambar 4e. Kompresi jantung luar anak

Gambar 4d. Kompresi jantung luar

jantung spontan. Ini harus dilakukan setelah 1 menit KPR dan selanjutnya tiap beberapa menit. Pukulan prekordial (precardial thump) : Dapat dilakukan oleh semua orang bila denyut nadi hilang pada orang dewasa, pada keadaan : 1. Henti jantung yang disaksikan (misalnya sewaktu melakukan Tunjangan Hidup Dasar). 2. Pasien yang dimonitor (misalnya pasien yang mendapat Tunjangan Hidup Lanjutan di ICU). 3. Blok atrioventrikular yang diketahui (pada Tun jangan Hidup Lanjutan). Tidak dianjurkan pada kasus henti jantung yang mungkin sudah mengalami hipoksi atau anoksi, dan pada anak-anak. Dalam melakukan pukulan prekordial, harus diperhatikan : 1. pukulan harus 1 kali saja, keras, cepat pada bagian tengah tulang dada, dipukul dengan bagian bawah kepalan tangan dari setinggi 20 — 30 cm (Gambar 4). 2. pukulan dilakukan dalam jangka waktu 1 menit setelah henti jantung. 3. bila tidak ada respon segera dilakukan Tunjangan Hidup Dasar, pukulan tidak perli diulang. Teknik pada henti jantung yang disaksikan : — tarik kepala korban ke belakang untuk membuka jalan napas sambil meraba a. carotis. bila tidak ada denyut nadi, lakukan pukulan prekordial. - bila korban tidak bernapas, berikan inflasi paru 4 kali dengan cepat. — bila nadi dan pernapasan tidak pulih, segera lakukan RKP. Teknik untuk pasien yang dimonitor : (pada pasien yang tiba-tiba mendapat fibrilasi ventrikel, asistole atau takhikardi ventrikel tanpa denyut nadi). — berikan 1 kali pukulan prekordial.

132

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Gambar 5.

— cepat periksa alat monitor untuk ritme jantung dan sekaligus raba denyut a. carotis. — bila temyata ada fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel disertai hilangnya denyut nadi, lakukan defibrilasi (counter shock) secepat mungkin. – bila denyut tidak ada, tarik kepala ke belakang dan berikan 4 kali inflasi paru secara cepat dan penuh. — raba denyut carotis lagi.

- pemberian cairan intervena. penggunaan alat-alat tambahan, misalnya intubasi endotrakheal airway, ventilator, oksigen dan sebagainya. stabilisasi kondisi penderita. E (electrocardiograph) :

Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricle complexes, dan monitoring. F (fibrillation treatment) :

Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Pemberian obat-obatan : Umumnya diperlukan untuk penderita yang mendapat RKP. Intubasi trakhea dan pemberian 0 tinggi adalah penting untuk mengurangi hipoksemi. Tidak ada bukti bahwa paru akan rusak dengan pemberian 0 konsentrasi tinggi, bila digunakan dalam waktu kurang dari 24 jam. Obat-obatan sebaiknya diberikan intravena agar cepat mencapai sistim kardiovaskular. Pemberian intrakardial hanya terbatas pada epinefrin, pada awal henti jantung sebelum jalan intravena tersedia. Obat-obatan dibagi 2 golongan yaitu : 1. Penting, yaitu : Sodium bikarbonat, Epinephrine, Sulfat Atropin, Lidokain, Morphin sulfat, Kalsium Khlorida; oksigen juga dianggap obat yang penting. 2. Berguna (useful) yaitu obat-obat vasoaktif (Levarterenol), Isoproterenol (Metaraminol), Propranolol dan Korticosteroid. 2

2

Bicarbonas Natricus :

Gambar 6.

bila tidak ada denyut nadi, mulailah RKP. Hal-hal yang harus diperhatikan 1) RKP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun kecuali pada keadaan-keadaan : - kesulitan melakukan intubasi; inipun maksimal 15 detik. - bila ingin naik/turun tangga, jangan lebih dari 15 detik. 2) Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila is sudah stabil. 3) Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati. 4) Di antara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat path sternum, jari-jari jangan menekan iga korban. 5) Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus (50% relaksasi). 6) Perhatikan komplikasi yang mungkin terjadi karena RKP, misalnya : patah tulang dada, terpisahnya iga dan rawan iga, pneumotorik, hematotorak, kontusio paru, robeknya had, lambung, emboli lemak dan sebagainya. .

FASE II : TUNJANGAN HIDUP LANJUTAN Terdiri atas Tunjangan Hidup Dasar, ditambah langkahlangkah : D (drugs) :

Pemberian obat-obatan, dimana termasuk di dalamnya : - pengobatan definitif, termasuk pemberoan obat-obat untuk koreksi asidosis dan memelihara irama jantung dan sirkulasi.

Penting untuk melawan metabolik asidosis. Diberikan iv. dengan dosis awal : 1 mEq/kg BB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat jugs diberikan intrakardial o ). Begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian hams dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila ada fibrilasi ventrikel, maka hams diberikan setelah defribilasi. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang lama. Pada penderita yang dirawat, pemberian sebaiknya berdasarkan basil pemeriksaan gas darah arteri dan pH. Pemberian hams diikuti ventilasi yang efektif untuk mengeluarkan CO 2 dalam darah arteri. Bila pemeriksaan gas darah dan pH tidak tersedia, maka obat ini dapat diberikan nap 10 menit, dengan dosis ' /2 dosis awal. Metabolik alkalosis dan hiperosmolalitas karena kelebihan pemberian hams dihindarkan. Obat ini tidak boleh dipakai sendiri dalam kasus-kasus asistole ventrikel, fibrilasi ventrikel yang persisten. Dalam keadaan ini dosis ulangan epinephrin dan Bicarbonas Natricus hams diberikan selama melakukan KJL dan pemapasan buatan. Pemakaian kombinasi akan mengubah asistole ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel yang kemudian dapat dilakukan defibrilasi. Pemakaian kedua obat selama fibrilasi ventrikel memperbaiki keadaan miokardium dan memudahkan efektifitas defibrilasi. Apinephrine :

Walau dalam percobaan epinephrine dapat menghasilkan fibrilasi ventrikel, tapi kerjanya dalam memperbaiki aktifitas listrik dalam keadaan asistole dan memudahkan defibrilasi dalam fibrilasi ventrikel dapat dibuktikan juga. Epinephrine menambah kontraktilitas miokard, meninggikan tekanan perfusi, menurunkan ambang defribrilasi, dan dalam beberapa kasus memperbaiki kontraktilitas miokard dalam disosiasi elektromekanis. Dosis : ' /2 ml dari larutan 1/1000 dilarutkan dalam 10 ml, atau 5 ml dad larutan 1/1000, hams diberikan iv. setiap 5 menit selama usaha resusitasi. Pemberian intrakardial hanya dilakukan oleh tenaga terlatih, bila terdapat kesulitan dalam memberikan iv. Sulfas Atropin :

Mengurangi tonus vagus, memudahkan konduksi atrioventrikular dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

133

sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. S.A. diindikasikan pada sinus bradikardi (< 60 kalilmenit) bila disertai dengan kontraksi ventrikel prematur atau tekanan sistolik < 90 mm Hg. Juga digunakan pada blok atrioventrikuler derajat tinggi bila disertai dengan bradikardi. Ia tidak berguna pada bradikardi ventrikel ektopik bila aktifitas atrium tidak ada. Dosis yang dianjurkan '/= mg, diberikan iv. sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyit nadi > 60/menit. Dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atriventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. Lidocaine : Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek atriaritmi dengan cara meninggikan ambang stimulasi listrik dart ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bennakna dart kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil. Ia juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang multifokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis : 50 — 100 mg diberikan iv. sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1—3 mg/menit, biasanya tidak lebih dart 4 mg/menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5% larutan (I mghnl). Lidocaine tidak berguna pada keadaan asistole. Morphin Sulfa: Bukan indikasi pada RKP, tapi penting pada kasus-kasus infark miokard untuk mengurangi nyeri dan pads pengobatan edema pare. Untuk mengurangi nyeri pada miokard infark akut, 1 ml (3 mg) sampai 1 '/= ml (4,5 mg) diberikan iv. tiap 5 sampai 30 menit (kalau perlu). Pengalaman menunjukkan bahwa dosis kecil tapi sering menghasilkan efek yang diinginkan dan menghindari depresi pemapasan. Kalsium Khlorida : Menambah kontraktilitas miokard, memperpanjang sistole dan memudahkan perangsangan ventrikel. Pemberian iv. yang terlalu cepat akan menekan pembentukan impuls sinus, hingga dapat terjadi kematian tiba-tiba, terutama pada penderita yang mendapat digitalisasi. Calchlorida berguna pads kolaps kardiovaskular yang berat (karena disosiasi elektromekanis); is dapat berguna memperbaiki ritme listrik dalam kasus asistole dan memudahkan defibrilasi listrik. Dosis kalsium yang dibutuhkan henti jantung darurat sukar ditentukan. Dosis yang dianjurkan adalah 2,5 ml sampai 5 ml dart larutan 10% (3,4 sampai 6,8 mEq Ca). Kalau perlu dapat diberikan iv. sebagai bolus dengan interval 10 menit. Ca-glukonat lebih sukar terionisasi. Bila dipakai, dosisnya adalah 10 ml, dari larutan 10% (4,8 mEq). Dosis besar ulangan dapat meninggikan kadar kalsium darah dengan efek yang merugikan; tidak boleh diberikan bersama dengan Bicarbonas Natricus karena dapat menggumpal. Cara lain pemberian obat-obatan : Bila memberikan obat-obatan secara iv. maka epinephrine (1— 2 mg/l O ml aquadest) atau lidocaine (50 — 100 mg/10 ml aquadest) cukup efektif bila diberikan langsung ke dalam trakhea bronkhus melalui pipa endotrakheal. Untuk obat RKP lain, belum ditemukan cara lain. S.A. 2 mg atau lidocaine 300 mg secara intramuskuler cukup efektif untuk mengontrol disritmia, tapi memerlukan sirkulasi spontan yang adekuat. Obat-obat vasoaklif (levarterenol, metarminol) : Pemberian obat-obatan vasokonstriktor perifer yang kuat mendapat tantangan dart beberapa ahli karena kemungkinan pengurangan aliran darah serebral, jantung dan ginjal. Pilihan vasokonstriktor dan obat-obat inotropik positif belum dapat diterima semua orang, tetapi selama KJL dan periode post resusitasi, tekanan darah hams dipertahankan. Kolaps pembuluh darah perifer,, klinis ditandai dengan hipotensi dan hiIan gnya vasokonstriksi perifer, dapat diatasi levarterenol (Levophed ®) bitartrate dalam konsentrasi 16 mg/ml atau metaraminol bitartrate (Aramine®) dalam konsentrasi 0,4 mg/ml dextrose dalam air secara iv.; metariminol dapat diberikan secara iv. sebagai bolus dengan dosis 2—5 mg tiap 5 — 10 menit. Pemberian kontinu dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dan urine output agar tetap baik. Obat-obat ini adalah vasokonstriktor kuat dan berefek inotropik positif terhadap jantung. Tenttama berguna bila tahanan perifer sistemik rendah.

134

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Isoproterenol Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/ menit (1 — 10 ml larutan dart 1 mg dalam 500 ml dextrose 5%), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untult sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine. Propranolol Suatu beta-adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat dipelihara dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat. Pemakaian hams hati-hati pada penderita dengan COPD dan kegagalan jantung. Kortikosteroid Sekarang lebih disukai Kordikosteroid sintetis (5 mg/kg BB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kg BB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60 -100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi pans seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethasone fosfat 4 — 8 mg tiap 6 jam. Obat-obat lain Diuretik kuat, hipothermia dan controlled hyperventilation akan berguna untuk mencegah edema otak yang mungkin terjadi setelah resusitasi berhasil. Diuretik kuat (furosemid dan ethacrinic acid) dalam dosis 40 -200 mg akan membantu diuresis; hiporosmolalitas akan bertambah berat.

Perlengkapan pembantu dan tehnik-tehnik khusus : Perlengkapan pembantu (tambahan) tidak mutlak perlu untuk RKP. dapat dipakai bila tersedia, tapi oleh tenaga-tenaga terlatih. Tunjangan Hidup Dasar tidak usah menunggu perlengkapan. Perlengkapan pembantu untuk jalan napas dan ventilasi, antara lain : — Oksigen, dipakai secepat mungkin bila ada, karena udara ekspirasi penolong hanya mengandung 16—17% oksigen. Hipoksia akan mengakibatkan metabolisme asisdosis, yang sering menyulitkan pengobatan kimia dan listrik. — Oropharyngeal airway — Stube — Masker — Bag valve mask devices dan bellows — Intubasi endotrakhea : Oksigen paru korban dengan peniupan udara ekhalasi dart penolong sebaiknya menggunakan alat seperti pipa endotrakhea. Peniupan pant yang adekuat membutuhkan tekanan faring yang tinggi; Tekanan ini menekan lambung hingga memudahkan regurgitasi dengan bahaya aspirasi isi lambung ke dalam pans. Indikasi intubasi endotrakhea termasuk : — hentijantung — henti napas — bila penolong tidak bisa meniup korban dengan cara biasa — korban tidak dapat melindungi jalan napasnya sendiri (coma, arefleksia) atau — ventilasi pant yang berkepanjangan. Alat pernapasan buatan mekanis : Jangan memakai alas yang biasa (IPPB, PNPB) karena KJL yang efektif akan menghentikan siklus inflasi terlalu cepat, lebih baik dipakai alat yang time cycled atau yang diatur secara manual (dengan tangan). Alat-alat seperti ini hams : Menghasilkan aliran 100 lhnenit atau lebih dan mempunyai katup pengaman bila tekanan inspirasi mencapai 50 cm H 2O. — Menghasilkan oksigen 100%. — Tetap bekerja baik pada benmacam suhu lingkungan. — Alat penghisap (suction). — Naso gastric tube untuk dekompresi lambung. Alat-alat tambahan untuk sirkulasi buatan : — Papan/alas keras : cukup bila bentkuran panjang dari punggung sampai pinggang korban dan selebar tempat tidur.

Kompresor dada mekanis baik manual/otomatis. Kompresi jantung dalam (Internalcardiac compression) hanya diindikasikan bila JUL tidak efektif. Keadaan-keadaan ini ialah : — Luka tembus ke jantung dan lain-lain luka tembus thorak — tamponade jantung — emfisema berat hingga terdapat barrel chest type — deformitas dada/tulang punggung. Tindakan ini hanya dilakukan oleh dokter yang terlatih, ada perlengkapan dan fasilitas. Caranya : Thorakotomi dilakukan pada sela iga ke 5 kiri, dan kantung perikardium dibuka agar dapat melakukan kompresi jantung langsung secara manual. Tension pneumothorax diatasi dengan menusuk jarum besar di daerah pneumathoraxnya pada ruang interkostal 2,5 cm dari garis tengah, bila tepat segera pasang water seal drainage. -

Electrocardiographic monitoring : Harus segera dilakukan pada semua pasien yang mengalami gejala/kemungkinan serangan atau kolaps yang tiba-tiba. Kebanyakan kematian mendadak setelah infark miokard disebabkan karena gangguan listrik, terutama setelah/beberapa jam setelah kerusakan miokard atau iskhemi berat. Pada saat kritis ini pasien harus dimonitor terus menerus. Walaupun perubahan irama jantung dapat terjadi mendadak, keadaan ini dapat dicegah dengan pengobatan dan early detection. Petugas harus dapat mengenal paling sedikit disritmia ECG sebagai berikut : 1) Cardiac standstill (asistole ventrikel) 2) Bradikardi (denyut kurang dari 60 kali/menit) 3) Beda antara irama supra ventrtkular dan ventrikular 4) Kontraksi ventrikular prematur (frekuensi. multifokal dan R on T) 5) Takhikardi ventrikular 6) Fibrilasi ventrikel 7) Semua derajat blok atrioventrikular 8) Flutter dan fibrilasi atrium. Defibrilasi (defibrillation treatment) Fibrilasi ventrikel terutama terjadi karena insufisiensi koroner, efek samping obat electrocution, hampir tenggelam, kateterisasi jantung pads jantung yang sensitif atau sewaktu usaha resusitasi karena asistole. Pada fibrilasi ventrikel, kerja jantung sulit kembali normal bila tanpa pengobatan defibrilasi. Voltage rendah dapat menimbulkan fibrilasi, sedangkan voltage tinggi yang sesuai dengan dapat mengakhiri fibrilasi. Cam paling efektif untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel adalah electric counter shock; ini dapat dilakukan dengan arus searah (direct current) atau arus bolak-balik (alternating current). Counter shock dengan arus searah lebih efektif pada jantung yang besar, juga pada pasien yang hipothermi. Sebelum melakukan counter shock jantung hams teroksigenisasi baik. Tenaga yang dianjurkan untuk direct external counter shock adalah 20 watt sekon atau lebih pada dewasa dan 100 watt sekon pads anak. Defibrilasi dengan arus bolak-balik pada dewasa perlu 500 – 1000 volt dengan 0,1 – 0,25 detik, juga harus dipakai kabel yang heavy duty untuk mencegah penurunan ampere. Dianjurkan pemakaian energi tinggi karena kegagalan pada counter shock yang pertama akan memperlambat mulainya

sirkulasi spontan. Pemakaian'counter shock energi tinggi dari luar tidak akan mengakibatkan kerusakan jantung atau mengganggu kontraksi spontan. Teknik : oleskan pasta pada elektroda, juga pada kulit, dapat juga digunakan kasa yang dibasahi dengan saline. Letakkan satu elektroda tepat di bawah klavikula kanan, dan elektroda yang kedua di sekitar apex jantung, di bawah puling susu kin. Tekan dengan baik. Orang-orang lain yang membantu resusitasi diminta untuk menghindarkan kontak dengan pasien atau tempat tidumya. Lalu hidupkan defibrilator, pegangan elektroda harus tetap baik. Bila beberapa counter shock gaga] mengakhiri fibrilasi ventrikel, pemberian epinephrine, bikarbonat dan kompresi jantung hams diulang. Bila dipakai defibrilasi anus bolak-balik maka syok yang diberikan secara seri lebih berguna. Pada fibrilasi ventrikel yang intractable, diberikan obat-obat antiaritmi: Lidocaine (Xylocaine®) sekarang lebih disukai, dosis 1 mg/kg 1313 iv, sate dua menit kemudian counter shock diulangi. Obat anti aritmi yang lain adalah Quinidine dan prokainamid, keduanya dosis 1 — 3 mg/kg 1313. Usaha untuk mengakhiri fibrilasi ventrikel harus dilanjutkan sampai berbasil atau bila sudah ada tanda kematian otak. Bberapa penderita berhasil dengan fungsi saraf normal setelah 1—2 jam fibrilasi ventrikel. Bil a fibrilasi ventrikel atau takhikardi ventrikel terjadi ketika pasien sedang dalam monitor (misalnya di ICCU/ICU), maka counter shock dapat dilakukan segera oleh perawat terlatih tanpa hams melakukan pemapasan buatan dan KJL. Setelah fibrilasi, ECG dapat memberi gambaran asostole, abnormal EKG complexes atau EKG normal. KJL hams tetap dilanjutkan selama denyut carotis atau femoralis masih belum ada, tanpa hams melihat gambaran EKG. Pada asistole, RKP disertai dengan pemberian epinephrine atau katekholamine lain dan bikarbonat. Bila ada gambaran EKG complexes tapi disertai hipotensi yang lama atau tidak teraba denyut, dapat diberikan kardiotonica, seperti Kalsium chlorida 500 mgtiap 3 — 5 menit iv. atau Ca. gluconate 10 ml, larutan 10%), dan/atau vasopressor (misalnya Norepinephrin dalam infus) dan obat-obat alkanilisasi.

FASE III : TUNJANGAN HIDUP TERUS MENERUS G (gauge) : Pengukuran-pengukuran : Tindakan selanjutnya ialah melakukan monitoring terus menerus keadaan, terutama yang berhubungan dengan kegawatannya, dan dilakukan pemeriksaan untuk evaluasi dan mencari penyebab keadaan gawat tadi, dan mengobatinya. Monitoring dilakukan terutama untuk menilai fungsi-fungsi pernapasan, peredaran darah dan susunan saraf. H (Head) : Resusttas otak : Tindakan selanjutnya merupakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf akibat cardiac arrest dari kerusakan-kerusakan lebih lanjut, sehingga tercegah kelainan neurologik yang permanen. H (hypothermia) H (humanization) Hams diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia, yang mempunyai perasaan sedih, takut, kesepian, marah dan sebagainya. Oleh karena itu semua tindakan, seperti lazimnya tindakan medik, hendaknya didasarkan perikemanusiaan. I (intensive care) : Dapat dilakukan di ICU (General ICU) yang dapat dibagi menjadi ICU dewasa dan ICU anak, atau dalam Special Care Unit, seperti ICCU, Burn Unit, Neonatal Unit, Renal unit dan sebagainya. RESUSITASI OTAK Dalam prakteknya langkah G-H-I sesuai dengan Brain oriented prolonged life support. Kerusakan otak yang terjadi akibat iskhemi terutama berupa gangguan metabolisme, edema yang bila tidak ditanggulangi dengan balk akan me-

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

135

nyebabkan infark serebri yang menyebabkan kelainan neurologik permanen. Mean arterial pressure (MAP) diusahakan untuk tidak kurang dari 80 mmHg. Tekanan darah dinaikkan untuk waktu singkat (1 — 5) menit antara MAP 110 — 130 mmHg untuk memperoleh reflow promoting melalui penambahan volume darah dengan larutan atau larutan koloid atau infus dopamine. Hipertensi yang terlalu lama hams dicegah karena akan memperburuk keadaan dengan timbulnya vasogenic cerebral edema dan kenaikan tekanan intrakranial. Hipotensi juga hams dihindarkan karena memperburuk no reflow phenomena. CVP dipasang dan diusahakan tidak kurang dari 10 cm H 20. Penderita dilumpuhkan dengan neuro muscular blocker untuk mencegah batuk dan mengedan yang akan meninggikan tekanan intrakranial. Tabung endotrakheal dipasang, pemapasan diatur dengan mesin pemapasan, sehingga terjadi hiperventilasi, pCO 2 dipertahankan antara 23 -35 torr dan PaO 2 di atas 100 torr, dengan memperhatikan kemungkinan terjadinya keracunan oksigen pada paw. 02 90—100% dapat diberikan selama 12 jam kemudian diikuti dengan 50%. pH darah dipertahankan antara 7,3 -7,6 dengan tetap berusaha mencegah pemberian alkali yang berlebihan. Suhu badan dimonitor dan diusahakan tetap normothennis. Hiperthermia akan menyebabkan hipermetabolisme dan menambah edema, suhu badan di atas 41°C dapat menyebabkan kerusakan saraf yang permanen; keadaan ini hams segera diatasi dengan pendinginan pennukaan tubuh dibantu dengan obat-obat vasodilatasi dan depresi hipothalamus, seperti : chlorpromazine, barbiturat dan lain-lain. Kecuali pada bayi kecil, penurunan suhu yang mungkin terjadi tanpa disengaja tidak membutuhkan pengobatan kecuali pencegahan terhadap menggigil dengan antishivering agent. Meskipun hasil penyelidikan masih diragukan, hipothermi sampai suhu badan 32 — 36°C dianggap mengurangi metabolisme otak dan mencegah edema. Hipotermia yang disengaja masih sering dilakukan untuk melindungi otak pada operasi otak. Hematokrit dipertahankan antara 30 — 40%. Hemodilusi ringan lebih disukai daripada hemokonsentrasi untuk memperbaiki mikrosirkulasi. Transport glukosa melalui blood brain barrier sangat mungkin terganggu oleh karena itu infus glukosa, parenteral atau tube feeding harus segera dimulai. Infus yang diberikan dapat berupa glukosa 5 — 10% dalam NaCl 0,25 — 0,5% ditambah dengan kalium, asam amino dan vitamin. Jumlah kalori hams cukup dan kadar glukosa darah boleh dibiarkan agak tinggi, antara 100 — 300 mm% karena kerusakan otak biasanya disebabkan karena kekurangan kalori akibat meningkatnya kebutuhan dan katabolisme. Dexamethason 1 mg/kg diikuti dengan 0,2 mg/kg tiap 6 jam, atau metil prednisolon 5 mg/kg diikuti dengan 1 mg/kg tiap 6 jam. Khasiat steroid dalam mencegah kerusakan otak memang belum dibuktikan, tetapi umumnya dianggap akan terjadi stabilisasi membran, mengusir radikal bebas, mengurangi produksi cairan serebrospinal secara periodik dan meninggikan ambang kejang. EEG diperiksa secara periodik dengan monitor EEG. Kejang yang terjadi, baik yang tampak secara klinis atau pada EEG diberantas dengan barbiturat, dilatin atau diazepam; dapat pula diberikan untuk menurunkan metabolisme tingkat neuron, sekaligus mencegah atau mengurangi terjadinya kejang dan hiperaktifitas EEG karena hipennetabolisme; bila mungkin digunakan EEG khusus dengan sistim komputer yang dapat segera mengetahui kejang serta perubahan derajat kesadaran. Apabila belum tampak perbaikan derajat coma dan secara klinis diduga masih ada edema serebri, dapat dilakukan advanced brain monitoring; tekanan intrakranial dimonitor dengan kateter ventrikel. Apabila terdapat peningkatan tekanan intrakranial dari 15 torr yang dapat mengganggu tekanan perfusi di otak atau diduga keras adanya serebral edema maka langkah yang dapat dilakukan adalah : 1) Dengan kurarisasi yang adekuat pemapasan dibuat lebih hiperventilasi dengan PaCO 2 antara 20 — 25 torr, yang akan menurunkan volume darah intrakranial. 2) Drainase cairan serebro spinalis dengan perlahan-lahan. 3) Osmotherapi, misalnya dengan memberikan infus : a) Mannitol 0,25 – 1 g/kgbb dan apabila dilanjutkan, dengan 0,3 g/kgbb/jam. b) Gliserol 10% (dalam 5% dextrosa atau 0,5% NaCl) diberikan 1 g/kg/2 jam dan dilanjutkan menurut kebutuhan. Gliserol lebih disukai dibandingkan dengan mannitol karena kurang menyebabkan rebound phenomenon. Glukosa hipertonik mempunyai pula sedikit efek osmotherapi. Dextran dan albumin dapat pula mengurangi cairan otak dengan meningkatkan tekanan onkotik. 4) Barbiturat (Thiopental atau Pentobarbital) diberikan iv 1— 3 mg/kgbb dan

136

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

dapat diulang menurut kebutuhan. Pada bayi dan anak kecil dapat diberikan dosis yang lebih tinggi, yaitu 3 — 5 mg/kgbb. Methohexital dan phenobarbital belum dicoba dipergunakan akan tetapi diduga mempunyai efek yang sama dengan obat-obat tadi, yaitu menurunkan metabolisme dengan memperbaiki perfusi, menekan hipermetabolisme karena sekresi katekholamin, mencegah destmksi dinding sel karena sekresi oleh zat-zat kimia radikal yang bebas, secara langsung mengurangi edema intra dan ekstra sellular, memperbaiki metabolisme sel-sel otak sehingga tetap bisa hidup, mencegah dan menekan kejang, hiperaktifitas dan laktoasidosis, menurunkan tekanan intrakranial. Barbiturate loading, yaitu pemberian barbiturat berupa Thiopental dengan dosis tinggi 30 — 50 mg/kgbb, telah dicoba dengan hasil yang memuaskan; akan tetapi ini hams diikuti dengan pengawasan ketat, mengingat bahwa Thiopental dalam dosis biasa bersifat depresi peredaran darah terutama pada jantung yang telah sakit, mengurangi iritabilitas jantung dan menyebabkan hipotensi, aritmi dan henti jantung yang berulang. Bleyaert membuktikan bahwa dengan pemberian Thiopental 90 mg/kgbb pads otak monyet yang sudah mengalami iskhemia selama 15 dan 5 menit, maka dapat terjadi penyembuhan neurologis. Bila pemberian terlambat menjadi 30 — 60 menit sesudah iskhemia, maka terjadi penyembuhan. Bila Thiopental diberikan 120 mg/kgbb, pada 30 — 60 menit sesudah iskhemia, maka dapat juga terjadi penyembuhan neurologis. Kesimpulan Bleyaert, makin cepat pemberian Thiopental dan makin besar dosis maka lebih balk penyembuhan neurologis. Tetapi dosis optimal belum diketahui. Bagaimana mekanismenya masih jelas, mungkin karena penurunan metabolisme oksidasi otak, aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Micheafelderpada percobaanriya dengan monyet, memberikan Thiopental 14 mg/kgbb kemudian 7 mg/kgbb tiap 2 jam dan memperoleh hasil yang sama. 5) Hipoermi (hanya pada anak besar dan orang dewasa) — suhu badan diturunkan sampai 30 — 32°C, pendinginan permukaan tubuh dengan penggunaan selimut khusus yang dialiri cairan dingin dari alat. Dengan cara ini diharapkan terjadi penurunan metabolisme, pengarangan edema dan melindungi aktivitas enzim-enzim menghambat penurunan ATP dan penimbunan asam laktat. Computerized Axial Tomography (CAT Scan) telah banyak digunakan sebagai pengganti arteriografi yang sangat berbahaya pada penderita-penderita dalam keadaan gawat. Dengan cara ini dapat segera diketahui adanya gangguan dalam otak berupa massa seperti hematoma intrakranial atau tumor. Monitoring lainnya yang telah dicoba ialah kateterisasi vena cerebralis dan mengukur kadar zat asam, asam laktat, glukosa dan lain-lain. Selain itu telah dicoba pula untuk mengukur cerebral blood floew, mengukur pH dan asam laktat dari cairan cerebrospinalis, yang hasil-hasilnya belum memuaskan.

AWAL DAN PENGAKHIRAN RKP Resusitasi dilakukan pada infark jantung yang memberikan electric death, serangan Adam Stokes, hipoksia akut, keracunan dan kelebihan obat-obatan, electrocution, vagal reflex, tenggelam dan kecelakaan lain yang kemungkinan hidup lebih lama. Pada acute respiration distress reoksigenasi harus segera dimulai. Bila henti jantung telah berlangsung lebih dari 10 menit, mungkin resusitasi tidak bisa memulihkan penderita ke status SSP sebelum henti jantung; bila ragu saat terjadinya henti jantung, segera saja lakukan RKP. Tidak perlu resusitasi pada stadium terminal suatu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah med is, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskular penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernapasan spontan dan refleks. Keadaan tidak radar yang dalam tanpa pernapasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15 – 30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat mungkin terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RKP yang tepat, termasuk terapi obat.

Pada anak atau pads keadaan istimewa, resusitasi harus dilanjutkan lebih lama. Tanda prognostik yang baik ialah cepat kembalinya refleks mata dan traktus respiratorius bagian atas. Bila sirkulasi telah spontan dan tekanan darah lebih dari 60 ton, kompresi jantung dapat dihentikan; ulangi KJL bila perlu. Kemajuan-kemajuan di bidang resusitasi telah memberi berbagai definisi kematian : 1) Mati Klinis : hilangnya peredaran darah dan gerakan pernapasan disertai hentinya aktivitas korteks serebri, tapi bersifat sementara dan reversibel. 2) Mati biologic : peredaran darah dan pernapasan dapat dipertahankan secara spontan atau buatan, tetapi kegiatan korteks serebri tidak dapat dikembalikan dan bersifat irriversibel. 3) Mati sosial : peredaran darah dan pernapasan dapat dipertahankan secara spontan/buatan, aktivitas korteks serebri masih ada tapi abnormal, kesadaran penderita menurun/koma, dalam keadaan vegetatif yang tidak mungkin dikembalikan. KESIMPULAN Bagian anestesi suatu rumah sakit atau fakultas kedokteran yang mendidik calon ahli anesthesiologi dapat dipakai sebagai pusat pendidikan resusitasi bagi para dokter dan paramedik. Tenaga medik dapat efektif melakukan resusitasi bila telah berpartisipasi dalam suatu kursus yang mencakup praktek pada manikin dan terlatih dalam pemeliharaan jalan napas dan ventilasi buatan pads pasien-pasien yang dibius di bawah supervisi ahli anesthesiologi. Kota-kota besar memerlukan adanya emergency unit dengan jaringan yang luas, yang dapat mengambil tindakan lebih awal dalam resusitasi dan usaha-usaha menolong

kehidupan di tempat kejadian, selama transportasi dan di rumah sakit. KEPUSTAKAAN 1. Snow JC. Manual of Anesthesia. Boston, Tokyo: Little, Brown and Co. 2nd ed. Igaku Shoin Ltd, 1980. 2. Lee JA, Atkinson RS. A Synopsis of Anesthesia, ELBS and Birstol: John Wright & Sons Ltd, 7th ed, 1975. 3. Catron DG. The Anesthesiologist Hand Book. Baltimore, London, Tokyo: University Park Press, 1977. 4. Brooks SM. Basic facts of Body Water and Ions. New York: Springer Publ Co Inc, 2nd ed, 1977. 5. Wylie WD, Chusvhill-David son HC. A practice of Anesthesia. 7th ed. WB Saunders Co, 1960. 6. Collins WJ. Principle of Anesthesiology, 2nd ed. Philadelphia: Lee & Febinger, 1976. 7. Donovan JEO, Galbally. Manual of Intensive Care, Dep Resuscitation, Sint Vincent Hiospital, Melbourne Australia. 8. Nunn JF. Applied Respiratory Physiology with special reference to Anesthesia, 3th ed. London: Butterworth & Co, 1972. 9. Wood-Smith FC, Fickers MD, Stewart HC. Drugs in Anesthesia Practice, 4th ed. London & Bonston: Butterworth, 1973. 10. Goundsonzian NG, Agop Kermanian MD. Physiology for Anesthesiology, 3th ed. Appleton Century Crofts, 1977. 11. Safar. Cardio Pulmonary Resuscitation. 12. Standards for Cardio Pulmonary Resuscitation (CPR) and Emergency Cardiac Care (ECG), Suppl JAMA (Feb) 1974; 227(7). 13. Sunatrio. Resusitasi Kardio Pulmoner, Medika 1978; 4(8): 335-45. 14. Kasim YA. Cardio Pulmonary Cerebral Resuscitation pads anak. Critical care pediatrics. Berita Klinik IDAI 1980; 6(1). 15. Lichtiger M, Moya F. CPR, Introduction to the practice of Anesthesia, 2nd ed. 520. 16. Bleyaert AL et al. Thiopental amelioration of brain damage after global ischemia in monkeys, Anesthesiology 1978; 49: 390-8. 17. Michenfelder YD et al. Cerebral protection by barbiturate anesthesia, Arch Neurol 1978; 33: 345-50. 18. Kurikulum Inti Pendidikan Dokter Indonesia (KIPDI) tahun 1984.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

137

Makalah Lain Pengiriman dan Pengelolaan Jaringan untuk Diagnosis Penyakit secara Histopatologik Joko, S. Lukito, H. Soekimin, Delyuzar, T. Kemala Intan Laboratorium Patologi-Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Minat para klinisi untuk memeriksakan jaringan baik yang diperoleh dengan cara biopsi atau operasi semakin meningkat. Pengelolaan jaringan tersebut umumnya sudah memadai, namun masih ada jaringan yang pengelolaannya tidak memadai sehingga bahan tersebut tidak sempurna sampai ke laboratorium patologi. Data yang lengkap, pengelolaan jaringan yang baik akan sangat membantu menegakkan diagnosis oleh laboratorium patologi. Informasi yang kurang, sediaan yang tidak adekuat dan pengelolaan jaringan yang tidak baik akan memberikan basil yang kurang sempurna dari Patologi-Anatomi. Maksud dari tulisan ini mengemukakan beberapa faktor yang perlu menjadi perhatian para klinisi pengelolaan spesimen/ sediaan biopsi atau operasi. PENGIRIMAN FORMULIR Formulir permintaan pemeriksaan Patologi-Anatomi berisi identitas penderita yaitu nama, kelamin, umur, serta alamat. Lokasi jaringan dan cara jaringan diambil misalnya biopsi, operasi, kerokan, insisi, oleh karena lokasi yang berbeda akan membuat interpretasi yang berbeda pula. Kesimpulan dan saran dan Patologi juga akan berbeda apabila bahan tersebut diambil secara biopsi dengan suatu operasi radikal, misalnya mastektomi, atau pengangkatan uterus beserta adnexanya. Keterangan klinik pemeriksaan penunjang laboratorium, foto, USG, dan diagnosis sementara sangat diperlukan untuk melengkapi data yang akurat sehingga membantu diagnosis patologinya. Misalnya kelainan tulang hendaknya disertai dengan foto rontgen dari tulang tersebut. Untuk menentukan apakah batas sayatan operasi telah bebas dan tumor, hendaknya klinisi membuat tanda-tanda mana bagian atas, bawah, kiri, kanan permukaan atau dasar dari tumor 138

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

dengan menggunakan sutra, cat gut atau tinta cina. Terutama untuk lambung, usus, mana yang bagian anal dan mana bagian kaudal; ovarium kanan atau kiri. PENGIRIMAN SPESIMEN Bahan operasi dan biopsi sebaiknya seluruhnya dikirim ke laboratorium Patologi atau dipilih bagian yang paling representatif. Apabilaklinisi ingin membandingkan diagnosis yang dibuat oleh laboratorium Patologi bersangkutan, klinisi dapat meminta kembali bahan tersebut setelah selesai diperiksa maupun slide mikroskopiknya, baik untuk diperiksakan ke laboratorium lain atau sebagai kenang-kenangan pasien. Beberapa cara pengiriman : 1) Bahan operasi dari usus, sebaiknya kotorannya dicuci dahulu dan ikatannya dibuka, juga kalau jaringannya banyak mengandung darah oleh karena akan menghalangi bahan fiksasi ke jaringan sehingga jaringan akan cepat lisis. 2) Apabila bahan terlalu besar maka jaringan tersebut harus dipotong lameller dengan jarak 4 — 5 mm tapi bagian bawahnya tidak sampai lepas agar dapat direkonstruksi kembali. 3) Bila uterus yang dikirim maka pemotongan lameller harus sesuai dengan porosnya. 4) Apabila yang dikirim berupa kista misalnya dari thyroid atau testis, dapat dikeluarkan dahulu isinya dan dicatat cairan yang dibuang mengenai warna, banyak dan konsistensinya. 5) Jaringan yang banyak dan besar sebaiknya bagian bawahnya diganjal dengan kain kasa supaya jaringan tidak melekat dengan dasar botol sehingga fiksasi tidak dapat masuk ke dalam jaringan. Namun apabila tidak mungkin dikirim maka dapat dilakukan beberapa pemotongan sample yang dapat mewakili organ tersebut. Setelah bahan operasi dimasukkan ke dalam botol (stoples) kaca, atau plastik sebaiknya tutup botol dilak atau ditutup dengan

plaster supaya bahan fiksatif tidak tumpah di jalan. Jangan lupa memberikan label yang ditulisi identitas pasien dan nama bahan yang dikirim agar tidak tertukar dengan bahan lain. FIKSASI Maksud dan tujuan fiksasi adalah mempertahankan morfologi jaringan atau scl tubuh seperti dalam keadaan hidup; sehingga untuk mencapai maksud tersebut bahan fiksasi harus dapat: 1) Menghentikan proses enzimatik sel tubuh secepatnya untuk mencegah autolisis; autolisis adalah pengrusakan sel sendiri sesudah terjadi kematian sel, disebabkan oleh kerja enzim yang terdapat di dalam sel itu sendiri. Autolisis ini dapatdihambatdengan mendinginkan jaringan dalam ternperatur di bawah 0°C atau dalam udara panas lebih dari 57°C, namun dalam suhu kamar akan dipercepat. Selain autolisis, kerusakan jaringan dapat terjadi akibat bakteri, baik disebabkan oleh bakteri yang ada (septikemi) ataupun bakteri komensial. 2) Mengkoagulasi protein jaringan sehingga menjadikan sel insoluble yang mencegah masuk atau keluarnya zat-zat dalam sel. 3) Membuat jaringan mudah diwarnai. Jaringan harus dimasukkan ke dalam larutan fiksasi secepat mungkin setelah diambil dari tubuh, apalagi bila organ tersebut mudah membusuk misalnya otak, hati, paru, usus dan organ dalam lainnya; jangan ditunggu sampai operasi selesai. Daya penetrasi larutan fiksasi juga terbatas. Formalin akan menembus jaringan sedalam 2—2,5 cm dalam waktu 24 jam. Sedang jaringan lunak lebih cepat dan lebih dalam penetrasinya. Oleh karena itu bila jaringan cukup besar maka jaringan ini harus dipotong lameller dengan jarak 4—5 cm, tapi bagian bawahnya tidak sampai dipotong lepas agar dapat direkonstruksi kembali. Banyaknya larutan fiksasi minimal jaringan dapat berenang di dalamnya dan yang ideal jumlah larutan 10 x besar jaringan. Bahan fiksasi 1) Formaldehid Formaldehid adalah suatu gas yang larut dalam air. Larutan ini bersifat asam dan tersedia dalam bentuk formaldehid 40% atau formalin, namun dengan konsentrasi ini tidak dapat dipakai untuk fiksasi karena terlalu cepat mengeraskan jaringan. Sebagai larutan fiksasi harus dicampurkan dalam air biasa atau larutan garam fisiologis, dengan perbandingan 1 bagian formalin dengan 9 bagian pelarut menjadi formal saline 10% atau lebih dikenal dengan formalin 10%. Untuk penyimpanan dalam jumlah besar dan waktu yang lama maka formal saline 10% harus diberi garam buffer atau magnesium atau kalsium karbonat supaya tidak terjadi pembentukan endapan asam formik. Formalin mempunyai bau yang tidak enak dan dapat mengiritasim kulit, selaput lendir dan mata. Oleh karena itu dianjurkan memakai sarung tangan dengan udara terbuka waktu kita sedang mengelola materi berformalin. 2) Alkohol Merupakan larutan dengan daya dehidrasi yang kuat dan

menyebabkan pengerasan dan pcngerutan jaringan. Alkohol dapat mengkoagulasi protein dan.presipitasi glukogen dan melarutkan lemak. Fungsi alkohol yang utama adalah sebagai bahan fiksasi sediaan sitologi namun dalam keadaan terpaksa dapat digunakan sebagai fiksasi sediaan histopatologi. Hal ini disebabkan daya tembus alkohol yang kurang baik oleh karena jaringan cepat menjadi keras dan mengkerut sehingga sediaan sukar dipulas. BEBERAPA CARA PENGIRIMAN 1)

Fiksasi basah (Wet fixation) Maksud dari fiksasi basah adalah sediaan segar yang baru saja diperoleh segera dicelupkan ke dalam fiksasi selama 30–40 menit. Kemudian dikirim ke laboratorium Patologi-Anatomi serta botol perendamnya. Untuk mengatasi risiko pengiriman yang sulit dengan botol yang berisi cairan yang mungkin tumpah, maka setelah sediaan tersebut difiksasi selama 30 menit, dikeluarkan dari cairan dan dikeringkan di udara kamar. Setelah kering sediaan dapat dimasukkan ke dalam tabung atau di dalam karton yang telah disiapkan. Bahan fiksasi sebaiknya digunakan alkohol yang mudah didapat. Fiksasi yang mula-mula digunakan adalah campuran larutan diethylether (ether) dan ethanol ethyl alkohol 95% dalam perbandingan satu banding satu tapi karena ether dapat menimbulkan bahaya dan bau yang merangsang sekarang jarang dipakai. Alkohol (ethanol) 95% selalu tersedia di Puskesmas, R.S. ataupun Praktek swasta, merupakan cairan fiksatif yang ideal. Sedang methanol; isopropanol, propanol dan alkohol denaturasi juga dapat dipakai sebagai alternatif ke dua. Pengerutan methanol lebih kecil dibanding dengan ethanol. Oleh karena itu methanol 100% mempunyai pengaruh yang sama seperti ethanol 95%. Isopropanol lebih banyak menyebabkan pengerutan dibandingkan dengan methanol dan ethanol maka dianjurkan isopropanol 80% untuk bahan pengganti ethanol 95%. Alkohol denaturasi adalah campuran ethanol methanol dan isopropanol dan perbandingan 90:5:5 dan dilarutkan sampai 95%. 2)

Fiksasi pelapis (coating fixative) Zat-zat ini adalah campuran dari alkohol basa yang memfiksasi sel-sel dan bahan seperti lilin yang membentuk lapisan pelindung yang tipis di atas sel. a) Aerosol yang dipakai dengan cara menyemprotkannya pada sediaan. Hair spray dengan kadar alkohol tinggi dan tidak mengandung inolin atau bahan minyak lain dapat digunakan sebagai bahan pengganti, namun hasilnya tidak begitu memuaskan.. b) Liquid basa diteteskan di atas sediaan sesegera mungkin. Larutan polietilen glikol (carbonat 1540) adalah fiksasi pelapis yang dapat dipersiapkan di laboratorium. c) Mempersiapkan preparat sitologi yang lain. 1.

Dahak (sputum)

Pengambilan sputum yang terbaik apabila malam hari sebelumnya diberikan ekspektoran; pagi hari penderita disuruh tank nafas dalam-dalam kemudian membatukkannya secara kuat Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 139

expulsif supaya kita dapatkan sekret bronchus. Apabila diperkirakan dapat diperiksa dengan segera maka sputum tidak perlu difiksasi. Kemudian dipilih sputum yang berdarah atau padat; kalau tidak ada yang kental maka cairan sputum sebagian dihisap airnya dengan kertas absorban dan dihapus ke-objek glass dan difiksasi dengan alkohol 95%. Apabila jarak laboratorium jauh maka sputum dimasukkan dalam tempat penampung yang sudah diisi terlebih dahulu dengan alkohol 50-70%. Jangan dipergunakan alkohol 95% karena dapat mengakibatkan terjadinya pengerasan jaringan. Sputum tidak perlu dicentrifuge dan pengambilan yang terbaik pada waktu pagi hari selama 3 hari berturut-turut. 2. Smear bronchus cairan pleura dan cairan ascites Objek glass harus dipersiapkan terlebih dahulu dengan memberikan lapisan albumin (Mayer 's albumin) atau putih telur di atas objek glass dan dikeringkan di udara kamar. Cairan yang diperoleh dari bronchoskopi atau bronchial brushing dan bronchial washing kita centrifuge selama 10 menit dengan kecepatan 800 rpm dan endapannya dioleskan ke objek glass yang sudah diberi albumin dan langsung dicelupkan ke dalam alkohol 95%. Apabila laboratorium jauh maka untuk fiksasi cairan ini ditambah dengan 50% ethyl alkohol dalam jumlah yang sama. 3. Smear lambung Sel-sel dari lambung dan duodenum amat mudah mengalami proses enzimatik yang akan merusak set. Sebelum intubasi dilakukan maka sudah dipersiapkan botol yang mengandung 95% etil alkohol 1/4 sampai 1/3 volume botol. Botol tersebut diletakkan dalam batu es di satu tempat, temperatur yang rendah akan menghalangi proses enzimatik. 4. Smear urine Untuk pemeriksaan sitologi urine tidak diambil urine pertama pagi hari oleh karena penimbunan garam pada malam hari Bagan Pemotongan Organ Uterus

dapat mengkristal dan merusak sel epitel. Sampel terbaik diperoleh mid stream dan setelah dilakukan dehidrasi. Dehidrasi dapat dilakukan dengan pemberian air minum 2 sampai 3 gelas dalam 2 jam, kemudian penderita disuruh lari-lari atau loncat-loncat di tempat. Kemudian urine dicentrifuge, sebaiknya ditambahkan 1–2 Mayer' s albumin selama 15 menit, dengan kecepatan 1500 rpm. Apabila laboratorium jauh maka pada urine dapat ditambahkan 50% ethyl alkohol dalam jumlah yang sama. 5. Cairan cerebrospinal Cairan yang diperoleh secara pinksi sebanyak 2–3 ml langsung dioleskan di atas objek glass yang sudah diberi albumin. Apabila laboratorium jauh maka cairan ini dapat difiksasi dengan etil alkohol 50% dalam jumlah yang sama. KEPUSTAKAAN 1. Drury RAB, Wellington EA. Carlton's Histological Technique. 4th Ed. New York: Oxford University Press, 1967. 2. Farmer ER, Hodd AF. Pathology of the Skin. Prentice Hall International Inc. 1990. 3. Hopps HC. Principle of Pathology, 2nd Ed. New York: Appleton -Century Croft. 1964. 4. Koss LG. Diagnostic Cytology and its Histopatologic Basic. 3rd Ed. Philadelphia: Lippicott, 1979. 5. Lubis HMDN. Peranan Perawat dalam mempersiapkan sediaan Patologi. Naskah lengkap penataran Perawat. Medan. 6. Tambunan G. Penuntun biopsi aspirasi. Jarum halus, Aspek klinik dan sitologi neoplasma. Jakarta: Penerbit HIPOKRATES, 1990.

140

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Toxoplasmosis dan Infertilitas Maria Irene Tobing Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Berdasarkan beberapa laporan, penyakit toxoplasmosis tersebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia antara lain ditemukan di Sumatera Utara, khususnya di Medan. Banyak keluarga di Indonesia memelihara kucing dan anjing sampai puluhan ekor. Salah satu risikonya ialah mendapat Zoonosis berupa bermacam kuman antara lain protozoa penyebab disentri dan toxoplasmosis. Toxoplasmosis telah lama diketahui sebagai penyebab utama kelainan kongenital pada bayi–toxoplasmosis kongenital, abortus, lahir mati dan prematuritas serta toxoplasmosis akuasita pada orang dewasa. Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi oleh kuman TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes Simplex) pada wanita, yang biasanya menyebabkan infeksi sub klinis (silent infection), dapat menyebabkan kemandulan (interfilitas); 70% wanita infertil ternyata terinfeksi oleh kuman TORCH. Hal tersebut termasuk salah satu kendala pembangunan manusia Indonesia seutuhnya sebagai perwujudan sumber daya manusia yang berkualitas baik dan pembinaan keluarga kecil bahagia dengan dua anal( yang berkualitas baik. Untuk mencapai hal ini maka diperlukan suatu persiapan yang mantap, dimulai sebelum pernikahan serta perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam, sehingga dapat diadakan pencegahan, deteksi dini dan pengobatan secepatnya. Toxoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii sebagai penyakit zoonosis yaitu infeksi pada manusia dan binatang. Toxoplasma gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia), pertama kali ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika Utara (Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux pada tahun 1908. Tabun 1928 Toxoplasma gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellani, Yanku, kemudian oleh Torres, dan mengklasifikasikan parasit tersebut

sebagai suatu "encefalon". Hospes definitif adalah kucing dan Filidae, dan hospes perantaranya adalah manusia dan mamalia lainnya serta beberapa jenis burung. MORFOLOGI DAN DAUR HIDUP Toxoplasma gondii mempunyai tiga bentuk, yaitu : 1) Ookista, dibentuk dalam mukosa usus kucing melalui gameto-gametogoni (reproduksi seksual), dikeluarkan melalui tinja, dan di tanah akan membentuk dua sporakista dan masingmasing membentuk 4 sporozoid. Ookista menjadi matang dalam 1 – 5 hari menjadi sporozoid infektif. Seekor kucing mengeluarkan 10 juta ookista/hari dalam 2 minggu. Ookista mati dalam suhu 45–50°C atau dikeringkan, dicampur formalin, amonia atau larutan iodium. 2) Takizoit (tachyzoid trofozoit yang membelah cepat). Bentuk ini ditemukan pada infeksi akut. Trofozoit ini dibebaskan dari ookista dan kista ke aliran darah dan masuk ke berbagai organ di tubuh dan akan menjadi : 3) Kista, yang terbentuk dalam jaringan tubuh hospes perantara, berisi bradizoit (trofozoit yang membelah perlahan), jadi tidak dibentuk stadium seksual tetapi stadium istirahat (kista). Kista ditemukan pada infeksi menahun terutama di otak, otot skeletal dan otot jantung dan dapat menetap seumur hidup. Di otak kista berbentuk lonjong atau bulat, di otot mengikuti bentuk sel otot. Trofozoid dan kista jaringan terdapat di semua binatang hospes perantara dan pada kucing sebagai hospes definitif (complete host). Trofozoid berbentuk serupa bulan sabit dengan satu ujung yang runcing dan ujung lain yang agak membulat. Panjangnya 4–8 u dan mempunyai satu inti yang letaknya kira-kira di tengah. Trofozoid berkembang biak dalam sel secara endodiogoni. Bila sel penuh dengan trofozoid, maka sel akan pecah, trofozoid memenuhi sel-sel di sekitarnya atau difagositosis oleh makrofag, Cermin Dunia Kedokeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 141 i

sel tersebut dinamakan pseudokista dan dapat ditemukan dalam waktu lama. Kista dibentuk di dalam sel hospes bila trofozoid yang membelah telah membentuk dinding. Ukuran kista berbeda-beda, yang kecil mengandung beberapa organisme, yang besar 200 u mengandung kira-kira 3000 organisme. TRANSMISI PENYAKIT (CARA INFEKSI) a) Toxoplasmosis kongenital, transmisi Toxoplasma gondii ke janin in utero melalui plasenta, bila ibunya mendapat infeksi primer waktu hamil. b) Toxoplasmosis akuisita; infeksi terjadi bila makan daging mentah atau kurang matang (sate), kalau daging tersebut mengandung kista atau trofozoid Toxoplasma gondii. c) Infeksi di laboratorium binatang percobaan yang mengandung Toxoplasma gondii, melalui jarum suntik dan alat laboratorium lain yang terkontaminasi. Wanita hamil tidak dianjurkan bekerja di lingkungan yang mengandung Toxoplasma gondii hidup. Pernah dilaporkan adanya infeksi dengan Toxoplasma gondii waktu mengerjakan autopsi. Walaupun infeksi dengan Toxoplasma gondii banyak ditemukan pada manusia dan berbagai spesies mamalia lainnya, tetapi hanya kucing dan binatang sejenisnya (Felidae) yang dapat mengeluarkan ookista melalui tinjanya. Transmisi melalui bentuk ookista menyerahkan infeksi Toxoplasma gondii pada orang yang tidak senang makan daging atau terjadi pada binatang herbivora. Serangga, moluska dan cacing tanah dapat berperan sebagai transport host. PATOGENESIS Invasi kista atau ookista terjadi di usus; parasit memasuki sel atau difagositosis, berkembang biak dalam sel dan menyebabkan sel hospes pecah dan menyerang sel-sel lain. Dengan adanya parasit di dalam makrofag dan limfosit, maka penyebaran secara hematogen dan limfogen ke seluruh tubuh mudah terjadi. Trofozoid dapat menyerang semua organ dan jaringan tubuh hospes (manusia) yaitu semua sel yang berinti termasuk garnet, bahkan zygote sehingga terjadi kegagalan fertilisasi. Kistadibentuk j ika sudah ada kekebalan dan dapat ditemukan di berbagai alat dan jaringan, mungkin untuk seumur hidup. Kerusakan yang terjadi pada jaringan tubuh, tergantung pada : 1. Umur; pada bayi kerusakannya lebih berat dari orang dewasa 2. Virulensi strain Toxoplasma 3. Jumlah parasit 4. Organ yang diserang. Lesi susunan saraf pusat (S SP) dan mata biasanya lebih berat dan permanen, oleh karena jaringan ini tidak mempunyai kemampuan untuk ber-regenerasi. Kelainan SSP berupa nekrosis yang disertai dengankalsifikasi; penyumbatanakuaduktus Sylviikarena ependimitis mengakibatkan hidrosefalus pada bayi. Pada infeksi akut retina terdapat reaksi radang fokal dengan 142

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

edema dan infiltrasi leukosit dan menyebabkan kerusakan fokal; pads proses penyembuhan terjadi sikatriks dengan atrofi retina dan koroid disertai pigmentasi. ASPEK KLINIS 1) Toxoplasmosis akuisita a) Toxoplasmosis akuisita pada orang sehat asimptomatis, biasanya sembuh sempurna; dapat dijumpai non febrile disseminated lymphadenopathy yang menyerupai infeksi mononukleosis; gejala berat seperti ensefalitis, miokarditis dan pneumonia jarang terjadi. b) Toxoplasmosis akuisita pada orang menderita immunodefisiensi; keadaan ini menyebabkan penyakit menjadi berat dan fatal, disebabkan oleh infeksi primer atau reakti vasi infeksi laten. 2)

Toxoplasmosis Kongenital Terjadi akibat masuknya Toxoplasma melewati sawar plasenta pada 20—30% wanita hamil dengan infeksi primer. Ada 4 bentuk : a) Neonatus dilahirkan dengan gejala b) Gejala timbul dalam minggu atau bulan-bulan pertama c) Gejala sisa atau relaps penyakit yang tidak terdiagnosis selama anak dan remaja d) Infeksi subklinis°. Kuman TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus, Herpes simplex virus) merupakan salah satu penyebab Penyakit Radang Panggul (PRP) pada wanita; wanita dengan PRP tanpa keluhan disebut subklinis, tetapi akibat yang ditimbulkan adalah kemandulan (infertilitas). Pengalaman di Makmal Terpadu Immunoendokrinologi FK-UI pada tahun 1989—1990 membuktikan bahwa hampir 70% wanita infertil, terutama infertil sekunder ternyata terinfeksi dengan kuman TORCH. Banyak wanita infertil tidak mempunyai keluhan, tidak mempunyai riwayat infeksi, tetapi pada pemeriksaan laboratorium terdapat positif terinfeksi kuman TORCH, sehingga diperkirakan bahwa banyak kasus infeksi subklinis berlalu tanpa terdiagnosis. Perlu diduga adanya infeksi subklinis, bila : a. Dijumpai adanya penyumbatan/perlengketan tuba, meskipun tidak ada riwayat infeksi. b. Riwayat kehamilan ektopik. c. Ditemukan perlengketan genitalia interna pada saat laparaskopi maupun laparatomi. d. Wanita dengan fluor vagina mukopurulen tanpa keluhan PRP. Wanita yang seksual aktif. Wanita yang sistitis berulang. Wanita dengan riwayat adneksitis. DIAGNOSIS 1. Pemeriksaan trofozoit langsung. 2. Isolasi parasit. 3. Pemeriksaan fetus. 4. Histologis.

5. Serologis — Sabin Feldman Dye Test - Indirect Fluorescent Antibody Test (IFA) - 1gM Fluorescent Antibody - Indirect Haemaglutination Test Complement Fixation Test — Toxoplasmin Skin Test, Agglutination Test ELISA (IgM Enzym Linked Immunosorbent Assay) — Double Sandwich IgM ELISA. — 1gM Immunosorbent Agglutination Assay (IgM ISAGA). Serodiagnostik ini adalah kombinasi cara DS IgM ELISA dan Direct Agglutination Test; false positive tidak dijumpai, lebih sensitif dan lebih spesifik daripada IgM IFA Test. Metode ini yang dianjurkan akhir-akhir ini. Diagnosis kuman TORCH Biasanya dipakai serodiagnosis cara Double Sandwich IgM ELISA. Metode yang dipakai adalah dengan teknik Imuno ELISA, dengan teknik sandwich untuk IgG dan teknik antibody captur untuk IgM. Penilaian reaksi IgG untuk menilai tanda infeksi lampau, sedangkan reaksi IgM untuk menilai tanda infeksi baru atau reaktivasi. Antibodi IgG akan berada dalam waktu cukup lama, sampai bertahun-tahun. Banyak yang menganggap bahwa bila IgG meningkat terus, wanita tersebut sudah kebal dan tidak perlu diberikan pengobatan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya benar. IgG yang meningkat menunjukkan dalam tubuh manusia ada kuman, kuman tersebut tersembunyi di dalam sel (terkapsul). TERAPI Indikasi pengobatan : - Wanita hamil dengan infeksi aktif - Toxoplasmosis kongenital, simptomatik atau asimptomatik — Toxoplasmosis dengan immunodefisiensi - Toxoplasmosis yang mendapat terapi immunosupresi - Toxoplasmosis dengan neoplasma, kelainan vaskuler kolagen, atau transplantasi organ — Wanita dengan silent infection oleh kuman TORCH. Obat-obat yang digunakan : 1. Pyrimethamine 2. Sulfonamide : Sulfadiazine/Trisulfa 3. Kombinasi 1 dan 2

4. 5.

Sulfamethoxazole — Trimethoprim Spiramycin.

PENCEGAHAN Pencegahan infeksi pads wanita hamil karena hampir 90% wanita yang terinfeksi selama kehamilan tidak merasa sakit. Diagnosis berdasarkan pcmeriksaan serologis. Pencegahan infeksi pada fetus dilakukan dengan pengobatan kepada wan ita ham ii yang baru mendapat infeksi dengan harapan akan mencegah penyebaran infeksi ke fetus. Pengobatan dengan Spiramycin hampir 60% menurunkan frekuensi transmisi Toxoplasma, tapi tidak mengubah perjalanan infeksi. Pemeriksaan atas wanita hamil. Sebaiknya semua wanita menjelang hamil diperiksa, atau segera setelah kehamilan 10—12 minggu. Wanita seronegatif akan di test lagi pada kehamilan 20—22 minggu untuk mengetahui infeksi akut, dan test ke tiga dilakukan dekat atau waktu aterm untuk mengetahui semua wanita yang mendapat infeksi primer selama kehamilan. PENGOBATAN Menggunakan kombinasi imuno terapi dan zat anti mikroba. Sebagai imunomodulator dipakai isoprinosin atau levamisol; antimikrobal — Idindamisin atau spiramisin, sedangkan antivirus adalah asiklovir. Pengobatan dengan antimikrobal dapat juga dengan Pirimethamin dan Sulfadiazin atau Trisulfa.

EPIDEMIOLOGI Toxoplasma gondii tersebar luas di seluruh dunia, tetapi variasi serokonversi adalah sesuai dengan geografi dan kebiasaan makan. Secara alami ditemukan pada herbivora, omnivora dan karnivora, termasuk semua mamalia dan beberapa jenis burung. Hospes definitif kucing dan Filidae mengeluarkan ookista melalui tinja. Jumlah kucing mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi zat anti Toxoplasma gondii di daerah tersebut. Pada daerah yang tidak ditemukan kucing, tidak ditemukan infeksi toxoplasma pads manusia dan binatang Iainnya. Di Irian Jaya . kelihatan adanya korelasi tersebut; Di daerah yang tidak ditemukan kucing prevalensinya 2% sedangkan yang ada kucing 14 — 34%(3 ).

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

143

Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada umumnya meningkat dengan umur dan lebih tinggi di daerah rendah dengan iklim tropik daripada di pegunungan dan negeri dingin. Prevalensi di Perancis tinggi, mungkin disebabkan kebiasaan setempat memakan daging kurang matang. Survai mengenai zat anti menunjukkan bahwa 20 — 80% dari berbagai golongan penduduk telah mendapat infeksi Toxoplasma. Di Daerah tropis, insiden infeksi yang paling tinggi pada anak-anak dengan sumber penularan utama tanah yang terkontaminasi dengan ookista sekitar rumah. Contohnya di Costa Rica 30% anak-anak telah mendapat infeksi sebelum umur 5 tahun. Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii pada binatang di Indonesia adalah : pada kucing = 35—73%, babi 11—36%, kambing 11—61% dan anjing 75% serta ternak lain kurang dari 10%. Di Indonesia prevalensi zat anti Toxoplasma gondii yang positif pada manusia berkisar antara 2%. Pada orang Eskimo 1% dan di El Salvador, Amerika Tengah 90%. Paris 87%, Perancis 55%, USA 30%, Jepang 25%, Singapura 25%, Jakarta 10—12,5%. Prevalensi pada babi di Jakarta 28%, kucing 72,7%, anjing 75,6% 0). Kejadian pertama infeksi pada ibu/matemal selama kehamilan ditaksir 6 per 1000 kehamilan di USA. Pada studi perspektif diperkirakan 44 infeksi per 1000 kehamilan selama40 minggu. Lebih kurang 45% wanita hamil dengan infeksi akuisita tanpa pengobatan akan melahirkan bayi dengan infeksi kongenital. Keadaan Toxoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti : kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hospes perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memindahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah. Makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk Toxoplasma gondii; transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat mengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista matang dalam 1—5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Transmisi ini memungkinkan infeksi Toxoplasma gondii pada orang yang tidak senang makan daging (kurang matang) atau terjadi pada binatang herbivora. PROBLEM DAN PEMECAHANNYA Infeksi toxoplasma pada manusia di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tersebut di atas. Permasalahan timbul apabila daur hidup Toxoplasma gondii tidak terputus oleh adanya pola hidup yang terbuka antara manusia dengan kucing dan binatang lain serta kehidupan budaya setempat. Toxoplasmosis pada manusia dewasa bukanlah penyakit yang berakibat fatal, malah sering asimptomatik atau infeksi subklinis yang hanya diketahui dari pemeriksaan darah terhadap zat anti Toxoplasma gondii (IgG), tetapi akibatnya terutama pada wanita atau hewan betina sangat besar. Wanita hamil yang terkena infeksi primer pada kehamilan 144 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

trimester I & II akan melahirkan anak dengan Toxoplasma kongenital yang fatal; sedangkan jika pads trimester-III akan menimbulkan kelainan kongenital, misalnya hidrosefalus, karioretinitis, konvulsi dan kalsifikasi serebral (sindrome sabin). Tidak jarang kelainan timbul setelah beberapa minggu/bulan kemudian. Kira-kira 60% bayi yang terinfeksi toxoplasma in-utero akan lahir tanpa gejala( s ). Bayi terinfeksi lainnya mungkin abortus atau lahir mati atau prematur. Kimball menyatakan adanya hubungan Toxoplasmosis menahun dengan abortus sporadis, tidak dengan abortus habitualis. Prevalensi Toxoplasma kongenital adalah satu dari 3000 — 4000 kelahiran, tetapi dapat juga 4—6 dalam 100 kelahiran. Prevalensi zat anti Toxoplasma gondii positif terdapat hampir di seluruh propinsi di Indonesia (lihat tabel 1) dengan basil antara 2% — (51—63)%. Tabel 1.

= Gambaran Toxoplasma gondii pada manusia di Indonesia( )

No.

Daerah penelitian

Jumlah (orang)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Surabaya Keresek Yogyakarta Jakarta Lindu Palu Sumatera Utara Kalimantan Barat Boyolali Kalimantan Selatan Sulawesi Utara Obano (Irian Jaya)

– 90 484 1.166 969 188

Titer positif

Penelitian Yamamato et al. Clarke et al. Clarke etal. Partono et al. Clarke etal. Cross et al. Cross et al. Cross etal. Cross etal. Durfee et al. Cross et al. Gandahusada

(1970) (1973a) (19736) (1975) (1975a) (1975a) (1975b) (1975b) (1975b) (1976) (1976) (1980)

1 : 256 1:32 1:32 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256 1 : 256

Toxoplasmosis merupakan penyebab nomor 2 kebutaan pada anak-anak. Toxoplasmosis akuisita dapat ditemukan pada orang sehat dengan gejala yang sedikit/asimptomatik atau kadang dengan gejala ringan berupa non febrile disseminated lymphadenophathy, tetapi bisa juga gejala berat seperti encephalitis, myocarditis dan pneumonia. Toxoplasmosis akuisita pada penderita immunodefisiensi (AIDS) akan manifes dengan gejala-gejala encephalitis, khorioretinitis, myocarditis, pneumonia yang lebih berat, bahkan bisa terjadi infeksi menyeluruh dengan akibat fatal. Kira-kira 30% dari penderita Toxoplasmosis zat anti positif dan menderita AIDS menyebabkan gejala ensefalitis yang manifes berkembang jadi berat karena reaktivasi dari infeksi laten; dan kira-kira 25% pasien AIDS di Berlin, Brussels dan Paris dan 5—10% pasien di USA mempunyai gejala ensefalitis toxoplasmitik. Toxoplasmosis juga bertambah berat, jika pasien mendapat transplantasi organ, umpamanya hati yang telah terinfeksi atau terjadi reaktivasi infeksi laten (penerima transplantasi sum-sum tulang). Akhir-akhir ini dilaporkan bahwa infeksi subklinis/ asimptomatik yang disebabkan oleh kuman TORCH (Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes Simplexe

virus) menyebabkan infertilitas (kemandulan) pads seorang wanita. TORCH menyerang garnet bahkan zygote sehingga menyebabkan kegagalan fertilisasi m . Pengalaman di makmal terpadu Immunoendokrinologi FK UI tahun 1989—1990 membuktikan, bahwa hampir 70% wanita infertil tidak memiliki keluhan, tidak mempunyai riwayat infeksi, tetapi pads pemeriksaan laboratorium positif terinfeksi dengan TORCH, sehingga dipikirkan bahwa banyak kasus infeksi-subklinis berlalu tanpa terdiagnosis. Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pada wanita hamil pemelihara kucing atau kebiasaan makan daging setengah matang menunjukkan bahwa titer IgG ibu tinggi. Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pada penyakit mata di Jakarta, ditemukan prevalensi tertinggi pada khorioretinitis (60%) dan penyakit mata lainnya 17%. Kazdan mengatakan bahwa penyebab ureitis terbanyak disebabkan Toxoplasmosis kongenital. Penelitian zat anti Toxoplasma gondii pads anak hidrosefalus menemukan 10,6% zat anti yang positif 1 : 256 (Gandahusada S, Mahjuddin, 1981) dan penelitian Syahril Pasaribu terhadap kasus hidrosefalus menemukan titer zat anti IgG 1: 200 pads masing-masing kasus o >. Penelitian titer zat anti Toxoplasma gondii pads anak gangguan perkembangan (0 — 12 tahun) (retardasi mental, sindroma Down, cerebral palsy), kejang, kelainan mata, tidak akan mendapat basil yang diharapkan, karena pemeriksaan sering sudah terlambat, karena sebaiknya anak diperiksa sebelum umur 1 tahun, sedangkan untuk diagnosis pasti dibutuhkan penilaian dari kurva-titer untuk melihat kenaikan titer yang jelas. Mengingat Indonesia adalah negara tropic, akan mempermudah perkembangan penyakit parasiter seperti Toxoplasmosis(9 ). Prevalensi pads laki-laki lebih besar daripada wanita, seperti di Irian Jaya laki-laki 31,6% dan di Palu 13%. Hal ini disebabkan kehidupan sosio-budaya di daerah tersebut, laki-laki sering berada di luar, sering berburu dan lebih dekat berhubungan dengan ternak, selain kebiasaan memakan daging setengah matang. Prevalensi zat anti Toxoplasma pads orang Cina 7% dan orang pribumi Indonesia 18% <10>. Di Bag. IKA RSPM, penelitian atas paramedis dan dokter wanita menunjukkan 61,58% dengan titer IgG positif dan 1,92% dengan titer IgM positif tt> Melihat hal-hal tersebut di atas, perlu diadakan tindakantindakan pencegahan selain pengobatan yang telah ada : a) Deteksi dini • Skrining pads wanita hamil, yaitu memeriksa titer zat anti Toxoplasma yang mulai hamil, dan diulang 2—3 minggu kemudian pads wanita yang seronegatif. Sebaiknya dilakukan pads wanita sebelum hamil. • Dianjurkan agar calon suami-isteri menjalani pemeriksaan serodiagnosis sebelum pernikahan. • Setiap wanita infertil primer/sekunder dengan gejala infeksi-infeksi subklinis, sebaiknya dilakukan serodiagnosis terhadap Toxoplasmosis, kuman TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalo virus dan Herpes simplex virus).

• Melakukan diagnosis prenatal, seperti memeriksa darah fetus langsung terhadap kontaminasi darah ibu, mengisolasi parasit dengan mengokulasi darah fetus pads tikus (mice); ataupun pemeriksaan serologic dari IgM (Immunosorbent assay) dan IgG (dye test), ultrasound examination, dan lain-lain. • Memeriksa titer zat anti Toxoplasma IgG pads anak beberapa kali dalam tahun pertama dan memeriksa IgM pads neonatus. Biasanya IgG yang diperiksa karena lebih mudah dan murah, sedangkan IgM hanya dilihat pads bulan-bulan pertama saja dan lebih mahal dan sukar ditemukan (hanya 25%). • Setiap bayi dengan gejala meningoensefalitis yang disertai gejala sepsis, hepatomegali, ikterus dan sebagainya, harus diperiksa titer antibodi Toxoplasma. • Tiap anak atau orang dewasa dengan immunodefisiensi oleh obat imunodepresi, kortikosteroid jangka panjang ataupun penyakit AIDS, harus diperiksa terhadap Toxoplasma untuk mendeteksi timbulnya reaktivasi infeksi kronik. b)

Pencegahan Terutama pada wanita hamil. • Memelihara kebersihan lingkungan dan kucing binatang peliharaan. • Jangan terlalu banyak memelihara binatang terutamakucing dan lakukan vaksinasi yang teratur. • Wanita hamil jangan berdekatan dengan kucing. • Memasak daging sampai cukup matang (70°C). • Mencuci dengan baik semua makanan yang tidak dimasak. • Mencuci tangan sebelum makan dan setelah memegang daging mentah pada waktu memasak. • Memakai sarung tangan jika berkebun. • Mencegah kontaminasi lalat dan lipas pads makanan. • Karena binatang reservoir banyak tersebar di seluruh Indonesia maka perlu diadakan penelitian prevalensi reservoir penyebarannya. c) Pengobatan • Wanita hamil dengan infeksi aktif. • Toxoplasmosis kongenital (dengan atau tanpa gejala pads bayi). • Pasien immunodefisiensi dengan Toxoplasmosis. • Wanita dengan infeksi kuman TORCH (silent infection). • Bayi dengan IgG yang meningkaL KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Lazuardi S et al. Toxoplasmosis Kongenital MKI (Agu.) 1989; 39(8): 464-72. Baziad Ali. Penyakit Radang Panggul (PRP). FK-UI Jakarta, Mei 1991. Soh Chin Thack. Congenital Toxoplasmosis, Simposium Masalah Zoonosis & Gastroenteritis yang disebabkan Parasit, Medan, Feb. 1991. Juwono R. Perkembangan diagnostik dan Indikasi pengobatan Toxoplasmosis, Naskah lengkap KOPAPDI VII, Ujung Pandang, 1987. Couvrer J, Desmonts G et al. Prophylaxis of Congenital toxoplasmosis, Effects of Spiramycin on placental infection, J Antimicrob Chemotherap 1988; 22: 193-200. Lumongga S. Kebutaan pada anak. Ophthalmol. Indon. 1985; 9: 16-20. Tjokronegoro A. Berbagai aspek lmunologis pads sistem reproduksi wanita, Kuliah Utama PTP-VII, POGI, Surabaya. Pasaribu S. Toxoplasmosis Kongenital. Simposium Masalah Zoonosis dan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 145

9. 10.

Gastroenteritis yang disebabkan Parasit, Medan, 16 Febr. 1991. Adhyatma. Kebijaksanaan Penyakit Parasiter di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 1990: 1-4. Partono F, Cross JH. Toxoplasmosis antibodies in Indonesia and Chinese Medical Students in Jakarta, Southeast Asian J. Trop. Med. Pub. Hlth.1975;

146

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,

6: 472-476. Lubis CP et al. Pemeriksaan Toxoplasmosis pada paramedis dan dokter wanita di Lab. IKA FK-USU, KONIKA-VII, Jakarta, 1987. 12. Salma Ma'ruf. Toxoplasmosis di Indonesia, Maj Parasitol Indon vol. 3, Edisi khusus, 1990. 11.

Beberapa Aspek Deteksi Dini Karsinoma Paru Luhur Soeroso, Gani W Tambunan Bagian Pulmonologi dan Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr. Pirngadi, Medan

ABSTRAK Karsinoma paru yang dijuluki penyakit moderen semakin meningkat. Sebagian besar tumor ini ditemukan pads stadium lanjut. Karsinoma paru erat hubungannya dengan merokok dan polusi udara. Pengenalan klinis yang cermat disertai pemeriksaan radiologis, bronkhoskopi sekaligus sitologi brush dan biopsi, merupakan cara yang biasa dipergunakan untuk menemukan tumor ini sedini mungkin. Tumor yang letaknya di perifer dan sulit dicapai bronkhoskop, altematif alat diagnostik terbaik adalah biopsi aspirasi transtorakal. apabila dengan cara ini gagal untuk memperoleh spesimen, pilihan lain adalah biopsi dengan teknik mediastigostomi dan torakotomi. Pada kasus yang diduga karsinoma paru dengan pembengkakan kelenjar getah bening supraklavikuler, biopsi aspirasi sering merupakan kunci diganostik di camping menentukan stadium tumor.

PENDAHULUAN Kanker pare merupakan penyakit modern dan universal. Sebelum perang dunia ke dua karsinoma paru jarang dijumpai. Setelah perang dunia ke dua (1950) karsinoma pare semakin meningkat terutama pads pria. Di negara maju, di antara penyakit kanker, karsinoma paru merupakan penyebab kematian terbanyak pads pria, sedang pads wanita merupakan urutan ke tiga setelah karsinoma buah dada dan kolorektal. Di Indonesia, karsinoma paru semakin meningkat dan sebagian besar menimbulkan kematian. Insiden karsinoma paru berhubungan erat dengan perokok, polusi udara dan

adanya cacat paru. Pengamatan klinis yang cermat dan pemeriksaan radiologik yang teliti dan dilanjutkan dengan pemeriksaan bronkhoskopi sekaligus biopsi ataupun sitologi brush merupakan cara yang optimal untuk diagnosis karsinoma paru. Cara ini diperkirakan dapat menemukan karsinoma sedini mungkin. Kemajuan teknologi diagnostik dan terapetik diharapkan dapat meningkatkan angka harapan hidup pasien. Pada makalah ini dikemukakan berbagai aspek yang berkaitan dengan diagnosis dini karsinoma paru.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

147

ETIOLOGI Terjadinya karsinoma paru berkaitan erat dengan rokok, polusi udara dan adanya cacat pads paru. Lebih kurang 80% pasien karinoma paru diperkirakan karena rokok. Tar yang dihasilkan rokok merupakan bahan karsinogenik, melengket pada mukosa saluran nafas dan dalam waktu yang lama menimbulkan perubahan sel epitel : silia epitel menghilang, sel cadangan hiperplasia dan mengalami metaplasia sel skuamos. Lambat laun sel epitel berubah dalam bentuk displasia dan kemudian menjadi karsinoma dalam bentuk berbagai tipe histopatologi. Polusi udara atau perubahan lingkungan juga dikenal sebagai faktor penyebab karsinoma para. Buruh yang bekerja di pabrik asbes, nikel dan tambang, insiden karsinoma paru meningkat. Cacat di paru misalnya parut karena kaverne yang menyembuh merupakan tempat yang potensial timbul karsinoma. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI Dalam penanganan paru, tipe histopatologi penting diketahui, sebab ada kaitannya dengan aspek klinis yaitu terapi dan prognosis. Klasifikasi histopatologi yang diajukan oleh WHO dan WP-L (Working Party Lung Cancer System), pada dasarnya sama : 1. Karsinoma sel skuamos 2. Karsinoma sel kecil 3. Karsinoma sel besar 4. Adenokarsinoma Karsinoma sel skuamos lebih banyak di daerah hilus dan erat kaitannya dengan rokok. Karsinoma sel kecil sifatnya agresif, akan tetapi lebih peka terhadap radioterapi ataupun khemoterapi. Adenokarsinoma lebih banyak di daerah perifer dan sering asimtomatik. MANIFESTASI KLINIK Sebagian besar karsinoma paru ditemukan pads stadium lanjut dengan simtom bervariasi. Penemuan dalam kondisi asimtomatik sangat menguntungkan dari segi penanganan dan prognosis. SIMTOM Simtom karsinoma paru tergantung pads letak tumor, karakter biologis dan tingkatpertumbuhan/penyebaran tumor. Batuk iritatif merupakan simtom permulaan, terutama tumor yang terletak di daerah hilus. Batuk sering campur darah. Sesak nafas dengan nafas nyaring (wheezing) dapat terjadi karena obstruksi bronkhus berkaliber besar. Serangan pneumonitis disertai demam dapat terjadi selama beberapa minggu. Rasa sakit di dada merupakan manifestasi atelektasis karena obstruksi total. Kira-kira 25% karsinoma paru asimtomatik dan ditemukan secara kebetulan. Sebagian besar merupakan adenokarsinoma yang letaknya di perifer. Penyumbatan bronkhioli tidak menimbulkan simtom. Akan tetapi bila tumor meluas sentrifugal akan timbul efusi pleura dengan gejala sesak nafas dan sakit.

148

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Massa tumor yang terletak di apeks pare, dapat menekan atau invasi ke pleksus brakhialis dengan simtom sakit pads bahu, lengan dan sindrom Horner yang melibatkan saraf simpatikus. Karsinoma ini disebut Pancoast's tumor dan gejala yang timbul disebut sindrom Pancoast. Bila tumor mengalami metastasis, timbul gejala klinik yang bervariasi tergantung pada organ yang terlibat seperti hati, tulang dan susunan saraf pusat dengan gejala neurologik. DIAGNOSIS Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diarahkan pads manifestasi klinik dapat memberi petunjuk kemungkinan karsinoma para. PEMERIKSAAN FISIK Pada pemeriksaan fisik, jari tangan berbentuk tabuh, bentuk dinding toraks berubah dan trakhea mengalami deviasi. Kadang-kadang tumor di daerah perifer meluas pads dinding toraks dan muncul berupa penonjolan. Pembesaran kelenjar getah bening di leher dan aksila merupakan manifestasi metastasis karsinoma paru dan dalam keadaan tertentu merupakan kunci untuk diagnostik tumor. Adanya suara nafas nyaring mirip asma bronkhial merupakan simtom karsinoma para. Pada stadium lanjut, muncul gejala klinik lebih berat : suara parau, sindrom Homer, sindrom vena cava, sindrom Pancoast dan gejala neurologik. RADIOLOGI Pemeriksaan fluoroskopi atau foto paru merupakan alat diagnostik menentukan. Perselubungan di paru sering misdiagnosis dengan proses spesifik tuberkulosis paru. Bila pengobatan spesifik selama 4-8 minggu tidak membawa perbaikan, sebaiknya dipikirkan kemungkinan karsinoma paru. Perselubungan disertai kalsifikasi lebih banyak disebabkan kelainan jinak. Pada kasus yang meragukan dianjurkan pemeriksaan CT Scan. BRONKHOSKOPI Tumor yang letaknya di bronkhus merupakan indikasi untuk bronkhoskopi. Dengan mempergunakan seperangkat alat bronkhoskop fiberoptik, perubahan mukosa bronkhus dapat dievaluasi berupa benjolan atau gumpalan daging. Dalam waktu yang bersamaan dilakukan sitologi brush dan biopsi pads massa tumor untuk diagnosis dan identifikasi tipe karsinoma. Tumor yang letaknya di bronkhus kaliber besar atau sedang, pemeriksaan bronkhoskopi tidak banyak menemukan kesulitan. Akan tetapi bila tumor terletak di perifer, ujung bronkhoskop sulit mencapai massa tumor,pada kasus demikian, altematif paling balk adalah biopsi aspirasi jarum halus transtorakal. BIOPSI ASPIRASI TRANSTORAKAL Metode biopsi aspirasi transtorakal merupakan salah satu

altematif untuk diagnosis karsinoma paru terutama yang letaknya di perifer. Prosedur dan teknik sederhana dengan akurasi diagnostik tinggi. Dengan ban tuan fluoroskopposisi tumordalam rongga dada dapat ditentukan dan insersi jarum tidak sulit dilakukan. Kemajuan teknologi radiologi, memungkinkan biopsi aspirasi lebih mudah dilakukan dengan tuntunan fluoroskopTV. Pada kasus yang riskan, sering didahului pemeriksaan Cf Scan dan kemudian insersi jarum dapat dilakukan sampai mencapai sasaran yang tepat. Pada kasus demikian terdapat kerjasama yang baik antara radiologist dan patologist. Apabila pada palpasi kelenjar getah bening teraba nodul besaratau kecil di supraklavikuler, biopsi aspirasi sangat berguna untuk menentukan kemungkinan ada metastasis karsinoma paru. Pada kasus tertentu, di mana bronkhoskopi atau biopsi aspirasi transtorakal sulit dilakukan, biopsi aspirasi kelenjar getah bening ini merupakan kunci diagnostik. MEDIASTINOSTOMI DAN TORAKOTOMI Kedua metode ini dilakukan untuk biopsi massa tumor, apabila bronkhoskopi atau biopsi aspirasi gagal memperoleh spesimen. Stadium Sebelum pengobatan biasa ditentukan stadium berdagarkan

sistem TNM. Klasifikasi stadium sistem TNM yang sering dipakai adalah menurut AJC (American Joint Cancer for Staging) sbb. : Stadium occult : TxNoMo Stadium I T1NoMo, T1N1Mo, T2NoMo Stadium II : T2N1Mo Stadium III : T3 dengan setiap N dan M N2 dengan setiap T dan M Ml dengan setiap T dan N. KEPUSTAKAAN 1. Alsagaff YH. Pendekatan baru dari diagnosa dan klasifiikasi kanker para. Suatu penelitian eksperimental komparatif mumi. Disertasi memperoleh gelar Doktor. Universitas Airlangga, Surabaya 1988. 2. Greco FA, Hande KR. Lung Cancer : management progress and prospect. Lederle Laboratorium, 1982. 3. Hakim T. Peranan bedah pada penatalaksanaan nodul pant soliter. Kanker dan penatalaksanaannya. Naskah Muktamar Nasional III Perhimpunan Ahli Bedah Tumor Indonesia, Jakarta 1987 : 49-58. 4. Malberger E, Lemberg S. Transthoracic fine needle aspiration biopsy cytology. A study from 221 cases. Acta Cytol 1981; 25 : 675-7. 5. Tambunan GW. Penuntun Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Aspek klinik dan Sitologi Neoplasma. Penerbit Jakarta : Hipokrates, 1990. 6. Tambunan GW. Karsinoma paru. Dalam : Diagnosis dan Tatalaksana Sepuluh Jenis Kanker Terbannyak di Indonesia. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1991 : 126-148.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,1992 14 9

Laboratorium Diagnostik Malaria Masa Kini Makmur Husaini Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

PENDAHULUAN Penyakit malaria sudah dikenal lebih seabad yang lalu. Banyak hal yang sudah terungkap akan tetapi masih banyak yang masih perlu mendapat perhatian karena masih banyak negara yang belum terbebas dari penyakit ini. Banyak hal yang belum terungkap baik tentang parasitologi, klinik, terapi, epidemiologi dan juga diagnostiknya. Penemuan parasit Plasmodium yang beredar pada darah tepi hingga saat ini masih merupakan diagnosis pasti yang tak terbantahkan. Akan tetapi untuk memastikan bahwa seseorang tidak mengandung parasit ini dalam darahnya akan menjadi sukar karena mungkin parasit sedikit sekali beredar di darah tepi atau dalam jaringan hati atau tidak jarang juga tidak dijumpai parasit karena kekurangan dalam teknik pemeriksaan, pewamaan dan juga teknisi pemeriksa kurang trampil. Sejak awal abad ini pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan adanya Plasmodia pads darah tepi sudah menggunakan Metode Giemsa yang sensitifitas dan spesifisitasnya cukup baik sehingga masih terus dipakai sampai scat ini. Akhir-akhir ini banyak penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan metode pemeriksaan laboratorium diagnostik malaria yang lebili baik dari yang sudah ada. Hingga saat ini masih terus diteliti metode-metode baru yang sesuai, lebih peka, lebih mudah pelaksanaannya dan lebih murah. Kemajuan yang pekat dari imunologi dan bioteknologi juga menyumbangkan keikutsertaannya dalam laboratorium diagnostik malaria yang pada mulanya adalah merupakan usaha untuk menemukan vaksin terhadap malaria.

menjadi 5 -15% tergantung pada keperluannya. a. Pewarnaan cepat sediaan darah tebal : — Larutan Giemsa pengenceran 15% atau 3 tetes stock solution untuk 1 ml buffer pH 6.6 — 6.8. — Pewarnaan selama 5 — 10 menit. — Cuci dan keringkan untuk dilihat di bawah mikroskop.

LABORATORIUM DIAGNOSTIK MALARIA

3) J.S.B. Staining Metode ini menggunakan dua larutan pewarna yang dilakukan berurutan seperti penggunaan Field 's staining. Larutan I berisi Polychromed methylene blue dan disodium hydrogen

1)

Metode Giemsa Metoda ini menggunakan pewarnaan Giemsa yang klasik. Dipakai larutan Giemsa pekat (stock solution) yang diencerkan 150 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

b. Pewarnaan standard sediaan darah tebal : — Larutan Giemsa 5% atau dengan 1 tetes stock solution untuk 1 ml buffer pH 7.1. — Pewarnaan selama 45 menit. — Cuci dan keringkan. c. Pewarnaan standard sediaan darah tipis — Fiksasi dilakukan dengan metanol. — Larutan Giemsa 5% atau 1 tetes stock solution untuk 1 ml buffer pH 7.1. — Pewarnaan selama 30 menit. — Cuci dan keringkan. 2)

Field's staining Pewarnaan ini menggunakan 2 jenis larutan yang pewarnaannya berlangsung cepat. Larutan Field A mengandung methylene blue dan Azure blue dalam buffer. Larutan Field B mengandung eosin dalam buffer. Dilakukan dengan mencelupkan sediaan darah tersebut pads larutan B selama 10 — 30 detik, kemudian mencucinya dengan air dan berikutnya dicelupkan pada larutan A selama 3 — 5 detik, dicuci dan dikeringkan. Pewarnaan ini berlangsung cepat dan sering dipergunakan di lapangan pada waktu survai.

phosphate (Na2HPO4). Larutan II bcrupa larutan eosin dalam

air. Cara kerja : – Slide apusan darah dicelupkan ke dalam larutan II selama 1 – 2 detik. Dicuci dcngan air pH 6.2 – 6.6. Dicelupkan pada larutan I sclama 40 – 45 detik. Dicuci dcngan air buffer pH 6.2 – 6.6 3 – 4 kali. 4) Wright's staining Metode ini menggunakan Wright 's solution tanpa pengenceran. Kerjanya mudah, tetapi kurang baik untuk pewarnaan Plasmodium. 5) QBC System (Quantitative Buffy Coat analysis system) Alat dan pewarnaan dengan Acridine Orange diperkenalkan tahun 1983 untuk pemeriksaan darah putih, kern udian dikembangkan pads tahun 1988 untuk pemeriksaan parasit darah dan juga untuk malaria. Tahun 1989 Perrone menggunakan peralatan fluoresens sederhana menggantikan alat fluoresens yang biasa. Kepekaan dan spesifisitasnya mengimbangi metode konvensional Giemsa dan lebih unggul dalam penggunaan waktu dan mudah kerjanya (Jataporn 1990). Cara kerja : - Digunakan pipa kapiler yang biasa untuk pemeriksaan hematokrit yang sebelumnya dilapisi dengan pewarna Acridine Orange. – Pipa ditutup dengan lempeng plastik sesuai besar pipa dan diberi penutup ujung pipa. - Sediaan disentrifuse selama 5 menit. - Sediaan diperiksa di bawah mikroskop fluoresens; eritrosit yang mengandung parasit akan kelihatan berfluoresens karena mengambil pewarna. 6)

Immunodiagnosis Path dasarnya penggunaan imunologi untuk diagnosis adalah menemukan antibodi spesifik malaria ataupun menemukan antigen malaria, yang larut dalam darah. a)

Untuk mendeteksi antibodi : Untuk melengkapi reaksi antigen-antibodi, dipakai antigen yang sudah diketahui, yang biasanya diperoleh dari darah penderita yang sudah diketahui mengandung parasit, darah monyet yang sudah dijangkiti dengan plasmodium, atau parasit dari hasil kultur yang terus menerus. Teknik yang dipakai antara lain : – Indirect Fluorescence Antibody (IFA). — Indirect Haemagglutination (IHA). — Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA).

— Radio-immune Assay. — Schizont-infected Cell Agglutination Test (SICA). b) Untuk mendeteksi antigen : Dipergunakan metode pengembangan antibodi spesifik dengan latar belakang antigen yang ada di darah dengan cara bioteknologi hibridoma, DNA probe, dan lain-lain. PEMILIHAN METODE PEMERIKSAAN Banyak metode pcmcriksaan laboratorium untuk diagnostik malaria yang tclah diperkenalkan dan digunakan. Untuk hal ini tergantung pada kebutuhan apa hasil dari diagnosis itu dipergunakan. Umumnya hasil dari pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis dipergunakan untuk keperluan : 1. Menentukan pengobatan terhadap penderita 2. Penclitian Epidemiologi 3. Penclitian Parasitologi 4. Penclitian Imunologi. Untuk keperluan pengobatan dan perawatan biasanya dibutuhkan hasil yang cepat dan dapat segera diberikan pengobatan; untuk kasus-kasus di klinik yang jumlahnya tidak banyak dapat digunakan metode Giemsa. Untuk keperluan penclitian epidemiologi yang biasanya melibatkan banyak sampel darah dan umumnya hasilnya tidak dibutuhkan segera, dapat dipakai metode Field's staining atau QBC system. Penelitian parasitologi biasanya bersama dengan penelitian epidemiologi. Pada penelitian imunologi tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan vaksin malaria, pads pemeriksaan imunologi yang diperiksa adalah antigen terlarut maupun antibodi yang kadangkadang munculnya dalam darah penderita agak terlambat mengikuti proses pembentukannya, walaupun kepekaan cara hibridoma dapat mendeteksi 1 parasit dalam 1.000.000 eritrosit. KEPUSTAKAAN 1. Bruce Chwau LI. DNA probes for malaria diagnosis. Lancet 1984; 1: 795. 2. Cohen S, Warren KS. Immunology of Parasitic Infections, 2nd ed. Blackwell, 1982. 460 — 465. 3. Craig. Faust's Tect book of Parasitology. 4. Jaturapom Pomsilapatip et al. Detection of Plasmodia in acridine orange stained capillary tubes (The QBC System), Southeast Asian J Trop Med Public Health vol 21 no 4 December 1990; 21(4): 34—540. 5. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria. 7. Pemeriksaan parasit malaria secara mikroskopis. 1983. 6. Dep Kes RI, Dit Jen PPM PLP. Malaria, 9. Test resistensi in vivo dan in vitro Plasmodiumfalciparwn, 1983. 7. Thomas T Ho. A rapid and simple method for diagnosis of malaria utilizing the QBC Malaria test, Proc. Simposium Malaria, Jakarta, 1991.

Cermin Dunia Kedoiaeran, Edisi Khusus No. 80, 1992

151

Simposium Satelit : CorouaryHeart Disease Update Patofisiologi dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner T. Bahry Anwar, Sutomo Kasiman Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, Indonesia

PENDAHULUAN Penyakit jantung koroner adalah suatu penyakit jantung yang disebabkan karena kelainan pembuluh darah koroner. Salah satu penyebab utamanya adalah aterosklerosis koroner yaitu r proses penimbunan lemak dan jaringan fibrin, gangguan fungsi dan struktur pembuluh darah yang mengakibatkan berkurang nya aliran darah ke miokard. Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya aterosklerosis adalah kolesterol darah yang meninggi, diet, hipertensi, merokok, diabetes melitus, obesitas, jeniskelamin, umur, kurang latihan dan keturunan. PATOGENESIS ATEROSKLEROSIS Menurut kelompok studi WHO (1958), aterosiderosis adalah suatu kombinasi perubahan tunika intima pembuluh darah arteri yang bervariasi, yang terdiri dari penimbunan setempat lemak, kompleks karbohidrat, darah dan produk darah, jaringan fibrosa, penimbunan kalsium bersama-sama dengan perubahan tunika media. Seperti diketahui struktur normal dinding arteri terdiri dari tunika intima, tunika media dan tunika adventisia. Pada proses aterosklerosis prinsipnya yang terlibat adalah tunika intima walaupun perubahan sekunder dapat juga dijumpai pads tunika media. Tiga tipe lesi aterosklerosis klasik yang dapat dijumpai adalah garis lemak, plak fibrosa dan lesi kompleks. Garis lemak ditandai oleh penimbunan lemak setempat, sejumlah kecil sel otot polos intima dan tidak menyebabkan obstruksi ataupun gejala. Garis lemak ini bersifat reversibel dan dapat menjadi plak fibrosa. Plak fibrosa adalah lesi yang karakteristik, nampak keputihan dan menonjol ke dalam lumen arteri. Plak fibrosa dapat berkembang menjadi lesi kompleks yaitu plak fibrosa yang berubah karena adanya perdarahan, fibrosis dan kalsifikasi, ulserasi ataupun trombosis. Sifat khan lesi ini adalah kalsifikasi dan sering dihubungkan dengan kejadian oklusi. 152

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Aterosklerosis merupakan spektrum dari reaksi arteri akibat beberapa faktor yang mempengaruhi dinding pembuluh darah dan menyebabkan kelainan melalui mekanisme yang berbeda pada subyek yang berbeda bahkan tempat yang berbeda pads subyek yang sama. Teori dan mekanisme terbentuknya aterosklerosis : 1. Mekanisme Infiltrasi Lipid Teori ini menerangkan bahwa plasma protein termasuk LDL dan VLDL secara kontinu masuk ke dalam pembuluh darah melalui endotel. LDL yang berlebihan akan tertimbun di dalam dinding arteri. Produk dari metabolisme lipoprotein ini terutama kolesterol bebas; kolesterol bebas dan kolesterol ester akan menyebabkan reaksi fibrokalsifikasi. Permeabilitas Tunika Intima dan Kerusakan Sel Endotel Perubahan permeabilitas tunika intima terhadap lipoprotein dan kerusakan sel endotel merupakan faktor penting terbentuknya aterosklerosis. Dari percobaan diketahui bahwa kerusakan endotel dapat disebabkan oleh panas, dingin, mekanik (kateter) yang mempercepat proses aterosklerosis pads keadaan hiperkolesterolemi. Kerusakan endotel ataupun perubahan permeabilitas juga dapat terjadi akibat aglutinasi platelet yang melepaskan vasoaktif amin, dari area yang mengalami stres hemodinamik, hipertensi dan kompleks antigen-antibodi.

2.

Mekanisme Trombogenik Perkembangan lebih lan jut proses aterosklerostik dapat menyebabkan oklusi total yang erat hubungannya dengan ruptur plak, agregasi platelet, terbentuknya trombus serta vasospasme koroner. Ruptur plak akan menyebabkan pelepasan ATP dan ADP dari sel-sel yang rusak. ATP dan ADP mengaktifkan platelet sehingga terjadi adesi. Platelet kemudian melepaskan 3.

tromboksan A2 dan terutama ADP yang mengaktifkan platelet di sekitarnya untuk beragregasi dan membentuk gumpalan trombus (Gambar 1). 4.

Mekanisme Hemodinamik Mekanisme ini menerangkan hubungan lokalisasi dan pembentukan aterosklerosis. Plak ateroma terutama sering didapatkan di daerah percabangan pembuluh darah. Pada pembuluh darah koroner, ateroma lebih jelas pads bagian proksimal dari tiga cabang utama epikardial arteri koronaria yang jelas bergerak pads setiap denyut jantung. Arteri penderita hipertensi menunjukkan peningkatan permeabilitas terhadap molekul lipoprotein. Faktor mekanis ini dapat mempengaruhi perubahan tunika intima dan merangsang pembentukan mikro-trombi.

Perdarahan Kapiler Teori Wintemitz (1938) menerangkan bahwa lipid pads lesi aterosklerotik berasal dari perdarahan berulang pads plak akibat ruptur kapiler lumen pembuluh darah maupun vasa vasorum. Walaupun mekanisme ini tidak ada hubungannya dengan permulaan pembentukan lipid akan tetapi mekanisme ini dapat menambah penimbunan lipid dan fibrosis pads plak yang sudah terbentuk. Paterson menjelaskan bahwa frekuensi dan adanya perdarahan kapiler dalam plak merupakan mekanisme untuk terjadinya obstruksi akut arteri koroner.

PATOFISIOLOGI PENYAKIT JANTUNG KORONER Fase penyakit jantung koroner dapat diketahui berdasarkan hubungan antara gejala klinis dengan patologi endotelium yang dapat dilihat secara angioskopi. Pada permulaan penyakit akan tampak lapisan lemak pads permukaan pembuluh darah. Bila lesi melebar akan menyebabkan obstruksi parsial oleh plak yang permukaannya licin. Bila plak bertambah besar aliran koroner akan berkurang dan menyebabkan angina stabil. Beberapa plak akan mengalami ulserasi dan menyebabkan kumpulan platelet pads tempat tersebut. Kumpulan platelet tersebut akan mengakibatkan lepasnya vasokonstriktor koroner secara periodik dari aliran darah dan menyebabkan angina yang laju (accelerated angina) yaitu bentuk peralihan dari angina stabil ke angina tak stabil. Bila emboli yang lepas cukup besar akan menyebabkan kematian yang mendadak. Kumpulan platelet yang menempel dapat membentuk trombus kecil. Bila trombus cukup besar dan menyebabkan obstruksi total akan menjadi infark miokard. Setelah terjadi infark, trombus akan lisis oleh proses endogen. Ulserasi endotelium menyembuh dalam beberapa minggu. Proses penyembuhan kadang-kadang tidak seluruhnya sempurna, seringkali trombus yang tersisa membentuk sumbatan dalam pembuluh darah sehingga timbul kembali angina stabil. Plak tersebut dapat ruptur kembali, dan seterusnya.

5.

6.

Migrasi Lipofag (Makrofag) Teori ini diperkuat oleh Leary; penimbunan kolesterol pads arteri adalah akibat lipofag yang beredar dalam darah melakukan penetrasi pads tunika intima. Sel ini diduga melakukan penetrasi ke dalam endotelium atau melekat pads permukaan sehingga menutupi endotelium.

Jadi mekanisme pencetus yang mengubah status seorang penderita dengan gejala klinis stabil menjadi gawat seperti infark miokard akut sangat berhubungan erat dengan patogenesis aterosklerosis, agregasi platelet,trombosis intra koroner serta vasospasme koroner. Maka bagi penderita penyakit koroner dengan aliran darah koroner terganggu, penanganan utamanya adalah revaskularisasi dan reperfusi, baik secara mekanik maupun medikamentosa. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80,1992 153

dengan nitrat. Serangan yang khas biasanya berlangsung 20 — 30 menit. Bila lama biasanya suatu serangan infark miokard. D. Gejala Penyerta Kecemasan, keringat dingin dan sesak nafas dapat menyertai angina. Kadang-kadang rasa sesak merupakan satusatunya gejala tanpa adanya angina. E. Faktor Pencetus Aktifitas fisik, udara dingin, perubahan suhu yang mendadak, rasa cemas dan emosional, merokok, makan, kegiatan sanggama. F.

Faktor Pembebas Sakit karena latihan biasanya hilang segera dengan istirahat. Respon terhadap nitrogliserin sublingual biasanya menguatkan diagnosis angina pektoris. Faktor pembebas lainnya adalah pijat sinus karotis, menahan nafas dan tindakan Valsava.

PENGENALAN DAN PENATALAKSANAAN PENYAKIT JANTUNG KORONER Iskemi miokard akibat aterosklerosis koroner dapatdiketahui pads sebagian besar penderita karena menyebabkan rasa tak enak di dada atau sakit dada yang disebut angina pektoris. Angina pektoris adalah rasa sakit iskemik sebagai akibat dari iskemi miokard yang terjadi sementara dan dirasakan penderita sebagai sakit dada. Beberapa ciri rasa sakit angina yang sangat berguna untuk menegakkan diagnosis : A. Lokalisasi Sakit dada biasanya dirasakan maksimal di daerah midsternal, tetapi dapat saja di lain tempat antara rahang dan epigastrium. Penjalaran rasa sakit dapat ke lengan dan pergelangan kiri, leher, punggung, lengan dan pergelangan kanan dan rahang bawah. B. Sifat Sakit yang terlokalisasi baik bukanlah angina pektoris. Rasa sakit biasanya difus, dan dapat digambarkan dengan tangan terkepal atau tangan terbuka yang menekan dada. Istilah yang dipakai adalah rasa sakit, rasa tertekan, rasa ketat, rasa berat dan rasa diremas; kadang-kadang angina hanya terasa seperti masuk angin. Rasa terbakar, rasa diiris dan rasa tajam biasanya menunjukkan sakit dada yang lebih superfisial dan tidak khas untuk sakit iskemik. C. Lamanya Angina biasanya singkat; biasanya karena penderita berusaha menghindari faktor pencetus atau mengatasi serangan 154

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Dalam klinik dikenal berbagai jenis angina, tetapi untuk kepentingan penatalaksanaan semuanya dibagi dalam 2 kelompok besar saja, yaitu angina pektoris stabil dan angina pektoris tidak stabil. Khusus mengenai angina yang baru timbul seringkali dikelompokkan dalam first onset angina. Untuk angina jenis ini perlu observasi sekurang-kurangnya 24 jam untuk memastikan apakah masuk kelompok angina pektoris stabil atau angina pektoris tidak stabil. A. ANGINA PEKTORIS STABIL Definisi Angina pektoris stabil adalah rasa sakit iskemik yang dicetuskan oleh aktifitas tanpa perubahan dalam frekuensi, intensitas dan lamanya angina maupun faktor-faktor pencetusnya dalam 30 hari terakhir. Klasifikasi 1) Aktifitas sehari-hari tidak menimbulkan angina Angina baru timbul pads aktifitas berat, tergesa-gesa cepat atau berkepanjangan. 2) Aktifitas sehari-hari terganggu sedikit Angina timbul waktu jalan atau naik tangga dengan cepat, jalan mendaki, jalan atau naik tangga setelah makan atau di hawa dingin, jalan melawan angin atau selagi stres/emosi, berjalan lebih dari 2 blok (± 400 m) dan naik tangga satu tingkat pads kecepatan dan kondisi normal. 3) Aktifitas sehari-hari sangat terganggu Angina dapat timbul setelah jalan 2 blok atau naik tangga satu tingkat pada kecepatan dan kondisi normal. 4) Tidak mampu melakukan aktifitas apapun tanpa angina Angina dapat timbul sewaktu istirahat. Diagnosis 1) Riwayat sakit dada yang khas angina. 2) Adanya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemi sewaktu sakit dada. Tindakan 1) Umum/non-farmakologis Pengendalian faktor-faktor risiko dan menghindari faktor-

faktor pencetus. 2) Farmakologis Pemberian obat-obat nitrat, betabloker maupun antagonis kalsium. 3) Stratifikasi : sires test Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan thalium 201 atau angiografi. 4) Indikasi angiografi koroner - Angina kelas III - IV Umur di bawah 40 tahun Hasil stress test menunjukkan prognosis yang kurang baik - Angina dengan aritmia yang diduga karena iskemia. 7) Intervensi Tergantung pada basil angiografi koroner, dapat dilakukan revaskularisasi berupa angioplasti koroner atau bedah pintas koroner. 8) Indikasi PTCA Absolut : Lesi diskret pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner Re-stenosis yang berulang Relatif : Stenosis proksimal pada 3 pembuluh darah koroner Lesi kompleks bila teknis memungkinkan 7) Indikasi CABG : - Penyakit left main branch Penyakit 3 pembuluh darah koroner yang ekstensif PTCA secara teknis tidak memungkinkan PTCA yang gagal. B.

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL Definisi Angina pektoris tidak stabil adalah suatu sindrom klinik dari rasa sakit iskemik yang mencakup suatu spektrum yang Was dari berbagai presentasi klinis dengan perburukan pola gejala angina tanpa bukti adanya nekrosis miokard. Terminologi Preinfarction angina, preinfarction syndrome, impending myocardial infarction, Prinzmetal 's angina, variant angina, status anginosus, intermediate coronary thrombosis, acute coronary insufficiency, crescendo angina, accelerated angina, progressive angina, unstable angina. Ciri-ciri 1) Adanya peningkatan frekuensi, intensitas dan lamanya angina dengan atau berkurangnya respon terhadap nitrat. 2) Timbul sewaktu istirahat atau sewaktu melakukan aktivitas ringan. Yang termasuk angina pektoris tidak stabil adalah new onset angina, progressive/crescendo angina, variant (Prinzmetal) angina, post-infarction angina tidak terkontrol dalam 24-28 jam; lakukan angiografi, bila perlu dipasang IAPB (Infra Aortic Balloon Pump) terlebih dahulu. Diagnosis 1) Adanya riwayat sakit dada yang khas angina sesuai dengan

ciri-ciri di atas. 2) Ditemukannya perubahan EKG yang sesuai dengan iskemia pada waktu sakit. Tindakan umum a) Tirah baring di CVCU sampai angina terkontrol atau bebas angina 24 jam. b) Oksigen 2-4 liter permenit. c) Pasang iv line (Dextrose 5%/NaCl 0,9%). d) Atasi rasa sakit dengan - Nitrat sublingual, dilanjutkan oral nitrat; bila belum terkontrol dilanjutkan dengan - Nitrogliserin iv dititrasi mulai dari 5 ug per menit ditingkatkan 5 ug setiap 5 menit sampai rasa sakit hilang (rata-rata 100 ug) atau Isosorbid dinitrat: masukkan 20 mg dan 80 ml dextrose 5% ke dalam buret mikrodrip. Jalankan/titrasi infus sampai rasa sakit hilang lalu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 2 mg/perjam. Bila sakit timbul lagi, titrasi infus lagi sampai rasa sakit hilang, lalu teruskan dengan dosis pemeliharaan 4 mg/jam dan seterusnya. e) Tranquilizer ringan seperti diazepam 5 mg/8 jam. 1) Beta bloker merupakan pilihan pertama bila tidak ada kontraindikasi. 3)

Indikasi Angiografi koroner - Angina yang refrakter terhadap pengobatan - Angina pasta infark 4) Intervensi angioplasti koroner atau bedah pintas koroner sesuai indikasi. 5) Indikasi PTCA - Indikasi pada 1 atau 2 pembuluh darah koroner Re-stenosis yang berulang. 6) Indikasi CABG - Penyakit left main branch Penyakit 3 pembuluh darah koroner PTCA secara teknis tidak mungkin PTCA yang gagal. C. INFARK MIOKARD AKUT Ciri-ciri 1) Adanya nyeri dada khas yaitu nyeri dada yang berat dan menetap sekurang-kurangnya 20 menit lamanya. 2) Nyeri dada khas adalah rasa sakit atau tertindih, terjepit, terbakar atau kualitas sejenis dengan lokasi retrostemal atau prekordial dengan atau tanpa penjalaran ke leher, bahu, lengan atau punggung. Juga dapat disertai tanda-tanda aktivasi sistem saraf otonom berupa pucat, keringat dan vasokonsriksi perifer. Penderita biasanya ada dalam rasa takut. Bila sarana pemeriksaan lebih lanjut tidak tersedia sudah dapat langsung dirujuk. Diagnosis 1) Rasa sakit dada yang khas untuk iskemi miokard. 2) Kelainan EKG yang khas yaitu berupa elevasi segmen ST atau perubahan gelombang T (T tinggi) hiperakut atau T inversi Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 1 55

dalam. 3) Kenaikan kadar enzim jantung. Tindakan 1) Tenangkan penderita. 2) Usahakan untuk dirawat di ruang intensif koroner. 3) Berikan nitrat sublingual. 4) Berikan oksigen. 5) Pasang kanula intravena. 6) Aspirin oral 150 - 300 mg. 7) Diazepam 5 mg iv; bila perlu diberi morfin 2,5-5 mg iv atau petidin 25-50 mg. bila nyeri hebat atau belum hilang dengan nitrat. Bila nadi lambat jangan diberikan morfin. 8) Bila ada defibrilator dekatkan pads penderita. 9) Rekaman EKG dan pemeriksaan lazim diulangi setelah 12-24 jam. 10) Pemberian trombolisis bila nyeri baru berlangsung 6 jam atau bila nyeri dada menetap. Dasar kerja trombolisis adalah melarutkan trombolisis akut yang terjadi di pembuluh darah. Trombolisis generasi pertama adalah streptokinase dan urokinase sedangkan generasi ke dua "adalah tPA (tissue plasminogen activator, APSAC (anisolated plasminogen activation complex) dan prourokinase. Trombolisis dapat diberikan segera tanpa menunggu basil pemeriksaan lazim, bila ada riwayat khas dan elevasi segmen ST bermakna pads 2 sadapan atau lebih. Dosis streptokinase diberikan 1.5 juta unit dalam larutan NaCl 0,9% sampai 100 ml dan diinfus selama 1 jam dengan mikrodrip, dan sebaiknya diberikan hidrokortison 100 mg iv sebelum pemberian streptokinase, dilanjutkan dengan heparinisasi setelah pemberian streptokinase. Penyulitnya adalah hipotensi, perdarahan dan reaksi alergi akut. Kontra indikasi pemberian trombolisis adalah terutama yang barn menjalani pembedahan, pendarahan cerebral dan gastro intestinal, hipertensi yang tidak terkontrol. Tissue Plasminogen Activator (rt-PA) diberikan sebagai bert'kut: 10 mg. bolus tunggal, 50 mg. diinfus selama 1 jam dan sisanya 40 mg. diberikan selama 2 jam. Jumlah total 100 mg. Pemberian APSAC 30 mikro bolus dalam 5 menit. 11) Beta bloker secara iv seperti atenolol dan metoprolol bila diberikan secara dini dapat menurunkan mortalitas dengan mencegah perluasan infark, mencegah ruptur dalam 24 jam per-

tama; tetapi tidak boleh diberikan pads bradikardi, hipotensi gagal jantung dan alma. 12) Pengobatan dan tindakan terhadap penyulit seperti aritmia (fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, aritmi supraventrikuler, sinus bradikardi, blok atrioventrikuler), gagal jantung, nyeri dada berkepanjangan atau berulang, perikarditis. 13) Lama perawatan biasanya 10-40 hari; dengan trombolisis biasanya lebih singkat, edukasi penderita mengenai aktiftas dan rehabilitasi,penanggulangan faktor risiko, Cara-cara penggunaan obat. Pengobatan waktu pulang yang standard adalah aspirin dan beta bloker. RINGKASAN Pengenalan dasar patofisiologi penyakit jantung koroner perlu bagi klinikus karena berhubungan dengan penatalaksanaannya. Pada dasarnya patofisiologi yang terjadi pads penyakit jantung koroner adalah interaksi antara elemen darah, dinding pembuluh darah dan substansi vasoaktif. Mekanisme pencetus kegawatan iskemik miokard berhubungan erat dengan robeknya plak, agregasi platelet, pembentukan trombus Berta spasme koroner. Tiga aspek penatalaksanaan yang perlu dipertimbangkan adalah menghambat agregasi platelet, menghambat pembentukan trombus dan vasodilatasi.

KEPUSTAKAAN 1. Forrester JS, Hickey A, Litvock F, Greendest W. Angioplasty. In: Cardiology Update, New York: Elsevier, 1990. 2. Gribbin B. Angina Pectoris in Cardiovascular Disease, Singapore: PG International, 1988. 3. Helfant RH. Stable Angina Pectoris, Circulation 1989; 82, Suppl. (3). 4. Hurst WJ. The Heart, Arteries and Veins. Mc Craw Hill-Co, 1990. 5. Joseph SA. Importance of the pharmacological profile of thrombolytic agents: Clinical Practice. Am J Cardiol 1991; 67 (3E): 7. 6. Lie KI, Becker AE. Classification of Angina. In: What is Angina? Symposium in the Hague, Netherlands 1981, AB Hassle Swedia 1983. 7. Netter FH, Heart Vol 5, The Ciba Collection of Medical Blustrations, New York: Ciba, 1981. 8. Angina Pektoris. POKJA, Bagian Kardiologi FKUI, 1991. 9. Ross R. The pathogenesis of atherosclerosis: Past, present and future. Circulation 1985; 72 B. 10. Shah PK, Forrester IS. Pathophysiology of acute coronary syndromes, Am J Cardio 1991; 68: 16C 23C.

It is not what you eat that causes ulcers, it is what 's eating you It is not workthat kills men, it is worry

156 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Penggunaan Antagonis Kalsium dalam Penatalaksanaan Penyakit Jantung Koroner Sutomo Kasiman, T. Bahry Anwar, T. Renardi Haroen Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Antagonis kalsium yang relatif sudah lama dikenal penggunaannya sebenarnya sudah menjalani masa pengembangan yang cukup panjang. Berbagai penelitian/percobaan yang telah dilakukan antara lain sejak 1882, kira-kira 100 tahun yang lalu oleh Sidney Ringer telah menunjukkan peranan ion Ca" terhadap kontraksi miokard. Bukti-bukti lain menyusul dalam dua dekade ini mengenai pengaruh bahan-bahan obat terhadap peran ion Ca" ini seperti telah ditunjukkan oleh Prof. Albrecht Fleckenstein 1964 yang telah memberikan sumbangannya dalam pengembangan antagonis kalsium dalam klinik. Kita belum lupa bahwa pengenalan konsep reseptor alfa dan beta adrenergik yang diawali oleh Raymond Ahlquist, pembagian subdivisi dari kedua reseptor di atas, konsep reseptor histamin H1 & H2 disusul dengan pengembangan obat-obat yang selektif dan bahkan spesifik yang bekerja pads reseptor-reseptor tersebut. Obat-obat tersebut di atas secara dramatis menunjukkan efek farmakologis yang positif. Pada dua dekade lalu kita melihat obat-obat penghambat beta yang banyak dipakai, mula-mula sekali digunakan untuk an tihipertensi dan stable anginapectoris, dan dalam beberapa tahun berikutnya, digunakan untuk berbagai spektrum penyakit. Pada dekade ini, dengan meningkatnya pengetahuan tentang mekanisme kontraksi dan relaksasi dari obat jantung, maka kita lebih mengetahui kaitan ion Ca" dalam proses tersebut. Dan riwayat di atas tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sejak tahun 1980 obat-obat antagonis kalsium ini sudah masuk dalam golongan obat-obat kardiovaskular. Misalnya nifedipin yang dibicarakan kali ini pads selesainya studi pertamapada tahun 1971, barn menunjukkan efek anti angina saja. Selain dari penggunaan kardiovaskular, berbagai penelitian sedang dijalankan terhadap penggunaan lain dari antagonis kalsium ini.

Bila dihadapkan pads hasil penelitian ilmiah, seringkali seorang dokter berada pads situasi yang agak sulit, karena bagaimanapun yang dihadapinya adalah bagaimana mengobati penderita. Klinisi ini hams melakukan dulu berbagai pemeriksaan mendalam dan atas dasar inilah is membuat kesimpulan klinis. Tetapi sering kali juga is dihadapkan pads keadaan dimana hams segera mengambil keputusan tanpa pemeriksaan yang lengkap. Untuk hal kedua inilah barangkali patut selalu diulang masalah konsep dasar beberapabahan obat yang banyak diteliti pada masa ini. ISTILAH Berbagai nama diberikan untuk kelompok antagonis kalsium ini; dimulai dengan Calcium antagonist, Calcium channel blockers, Calcium blocking agents, Calcium influx blockers, Calcium entry blockers ataupun slow channel blockers. PERANAN Ca" ION PADA JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH Fungsi optimumh jantung dan pembuluh darah tergantung dari sesuainya jumlah kalsium dalam sel miokard dan pembuluh darah. Sewaktu depolarisasi, peningkatan membran potensial yang tiba-tiba berhubungan dengan lewatnya Na' dan Ca" ke dalam sel. Ion Ca" berasal dari ruang ekstra seluler atau dari tempat penyimpanannya di dalam membran. Influx dari ion Ca" ini lebih lambat daripada ion Na' dan melalui saluran khusus Ca Channels. Sebagian besar ion Ca" yang masuk ke dalam sel (mediator kalsium) langsung ke terminal cistern dari sarcoplasmic reticulum. Banyaknya ion Ca" yang dilepaskan ke dalam sel sesuai dengan banyaknya ion Ca±' yang masuk ke membran sel tetapi sedikit lebih tinggi. Peningkatan ion Ca" intraseluler ini panting karena kontraksi terjadi

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 157

apabila konsentrasi Ca** mencapai 10' mole. Sebelumnya kita melihat bahwa satuan fungsionil dari sistim kontraksi miokard adalah sarkomer. Pada tiap sarkomer terdapat protein kontraktil yang tersusun berupa filamen tebal dan tipis yang dikenal sebagai myosin dan actin. Pada waktu kontraksi filamen actin bergeser ke dekat filamen myosin; perpindahan ini tergantung dari suatu interaksi biokemis. Untuk hal tersebut dibutuhkan suatu jembatan penghubung antara actin dan myosin. Energi yang dibutuhkan untuk itu dilepaskan pads waktu hidrolisis ATP. Untuk hal tersebut dibutuhkan pula ATP-ase yang terletak pads molekul myosin. Induksi ion Ca** guna aktivasi dari ATP-ase myosin ini secara langsung dan sangat kompleks, termasuk di dalamnya interaksi antara ion Ca** dengan regulator protein yaitu troponin dan tropomyosin; bila kalsium kurang, regulator protein ini akan mencegah aktivasi ATP-ase myosin oleh actin. Bila jumlah Ca** cukup efek penghambatan dari troponin dan tropomyosin ini terhalang dan actin mengaktivasi enzim ini. Dengan cukupnya ATP untuk dihidrolisis, ATP-ase myosin diaktivasi dan dengan adanya berbagai co-faktor seperti Mg*', maka pertukaran dari diastole ke sistole tergantung sekali pads adanya Ca** ion yang bebas di dalam sel di atas kadar ambang tertentu. Ion Ca** yang tersedia di dalam sel tidak saja mengubah sistole ke diastole dan sebaliknya, tetapi juga bertanggung jawab terhadap kuatnya kontraksi miokard. Pemecahan ATP untuk energi kontraksi bergantung pads konsentrasi ion Ca**. Ion Ca** ini dengan demikian mengatur proses pemecahan ATP, terutama metabolisme kerja oksidasi, juga jumlah oksigen yang dibutuhkan. Dengan meningkatnya kebutuhan oksigen, maka Ca intrasel dan juga kontraksi bertambah. Sebaliknya, pads insuffisiensi koroner, suplai oksigen berkurang karena aliran darah kurang; dengan demikian pengurangan kebutuhan oksigen dengan mengurangi Ca intraseluler merupakan hal yang penting. KONTRAKSI MIOKARD Dengan antagonis kalsium hal tersebut terdahulu dapat dicapai dengan cara menghambat influx Ca** melalui membran. Selain itu antagonis kalsium ini melindungi sel miokard dari penumpukan Ca** dan dengan sendirinya mencegah peningkatan kebutuhan oksigen sewaktu exercise hal ini merupakan tambahan risiko pads penderita insuffisiensi koroner. KERJA ANTAGONIS KALSIUM Kerja utama antagonis kalsium adalah vasodilatasi arteriolar, efek inotropik-chronotropik negatif pads jantung, dan mempengaruhi konduksi atrioventrikular (tabel 1). Antagonis kalsium dapat juga menghambat agregasi platelet (Greer et al. 1986, Atkinson M.J. 1989) tetapi penggunaan klinisnya belum begitu jelas benar. ANTAGONIS KALSIUM DAN ISKEMI MIOKARD Antagonis kalsium mempunyai cara yang kompleks sejauh yang dibicarakan mengenai pengurangan ischemic-reperfusioninduced injury : 158 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

1) Karena obat-obat ini adalah dilator koroner, is dapat memperbaiki suplai oksigen pads daerah yang cedera, serta memulai mengeluarkan H* dan produk samping lainnya dari glikolisis anerobik. 2) Obat ini mempunyai efek energy-sparing karena: a) mendilatasi pembuluh perifer, b) mengurangi kontraktilitas, dan c) dengan phenylalkilamine dan benzothiazepine mereka mengurangi frekuensi denyut jantung. 3) Mengurangi kehilangan adenosine precursors (de Jong et al, 1982). 4) Mempunyai efek protektif langsung pads sel endotel. 5) Melambatkan pelepasan enzim lisosom. (Ichihara et al, 1987). 6) Inhibisi agregasi platelet (Ikeda et al, 1981). 7) Mengurangi reperfusion induced arrhythmia. 8) Menguatkan efek protektif langsung pada sarcolemma (Daly et al, 1985). 9) Melambatkan akumulasi Ca** selama postischemic reperfusion : a. Bila digunakan sebagai profilaksis b. Lamanya serangan ischemic tidal lebih dari 60 menit. 10) Mempunyai efek protektif pads mitochondria (Nayler et al, 1980). PEMBULUH KORONER Pada sel otot polos pembuluh darah koroner penghambatan influx Ca** pads transmembran oleh antagonis kalsium mengurangi tonus pembuluh darah. Dengan demikian antagonis kalsium ini mendilatasi bukan saja arteriol tetapi juga pembuluh epikardial yang besar. Hal ini telah ditunjukkan oleh peneliti terdahulu pads model-model percobaan. Perlu diperhatikan pula bahwa bukan hanya arteriol yang dilatasi tetapi juga dibutuhkan dilatasi dari pembuluh koroner utama, karena bila pembuluh yang lebih besar tidak turut dilatasi akan terjadi suatu pengurangan aliran ke daerah iskhemi yang menyebabkan kekurangan oksigen yang lebih banyak (steal phenomenon). Beberapa antagonis kalsium mempunyai efek tersebut di atas sehingga sangat berguna untuk pengobatan spasme koroner. PEMBULUH PERIFER Pada otot polos pembuluh darah perifer antagonis kalsium mengurangi tonus pembuluh darah dan menimbulkan vasodilatasi. Akibat kurangnya tahanan pembuluh perifer, secara tidak langsung mempengaruhi pengurangan kebutuhan oksigen dengan mengurangi afterload dan secara langsung pads hipertensi menurunkan tekanan darah.

PEMBANGKIT DAN PENGHANTARAN RANGSANG Pengertian tentang proses elektrofisiologi pads saat eksitasi sel sangat penting untuk memahami bagaimana terjadinya aritmia dan bagaimana obat-obat anti aritmia bekerja. Dalam struktur jantung terdapat dua jenis action potential yang masing-masing berbeda peranannya, termasuk di dalamnya kecepatan konduksi dan kuatnya potensi rangsang. Hal tersebut tergantung dari arus ion yang berbeda yang mungkin juga mempergunakan channel yang berbeda pula (fast and slow channels) pads sel membran sehingga menghasilkan fast and slow response action potential juga. Fast response action potential terutama sekali dibawa oleh ion Na'; hanya tampak pads sel dengan resting potential yang tinggi, sedang slow response action potential, tergantung sekali pads ion Ca", timbul hanya pads sel dengan resting potential yang rendah. Secara fisiologis sistem Na yang cepat ini bertanggung jawab terhadap eksitasi dari miokard atrial dan ventrikel serta juga sistem konduksi interventrikel. Pada sel SA dan AV node influks kalsium yang lambat ini adalah yang menentukan kecepatan konduksi rangsang. Keadaan inilah yang memungkinkan adanya antiaritmia spesifik dari jenis-jenis antagonis kalsium. Pada keadaan tertentu ion Ca" juga memainkan peranan penting dalam pengembangan potensial aksi pads Purkinye Fibre yang dapat menimbulkan berbagai aritmia (extra systole, reentry tachycardia). Dalam hal ini antagonis kalsium menghambat influx Ca" yang lambat sehingga dapat menekan slow response action potential. JENIS-JENIS ANTAGONIS KALSIUM Telah disebut bahwa obat-obat kardiovaskular pads tahun 1990-an ini telah memasukkan antagonis kalsium di dalam deretannya sebagai satu kelas tersendiri. Sebagaimana dengan perkembangan berbagai jenis obat-obatan, keadaannya menjadi makin kompleks. Kita bukan saja membahas berbagai makalah mengenai hal ini tetapi juga menyangkut struktur kimiawi bahan ini; space filling models, sesuai dengan kelompoknya obatobatan ini memberikan efek tertentu yang sama, tetapi kenyataan bahwa secara kualitatif dan kuantitatif masing-masing berbeda. Di Amerika Serikat beberapa jenis kelompok ini yang diterima untuk dipasarkan yaitu Nifedipine, Verapamil, Diltiazem, Felodipine, Nicardipine dan lain-lain. Obat-obat ini dipergunakan untuk pengobatan variant (spasme) angina pectoris, dan juga stable angina. Selain ini verapamil telah diizinkan secara parenteral untuk dipakai pads supraventricular arrythmia. Pemasaran obat ini tentulah setelah melihat data klinis kuantitatif. Secara eksperimental obat-obat ini telah digunakan untuk berbagai efek sebagaimana dapat kita lihat kemungkinan penggunaan pada Tabel 2. INDIKASI PEMAKAIAN KLIMS Pada tabel 2 ditunjukkan indikasi klinik dari penggunaan antagonis kalsium yang sudah kita kenal berdasar kerja dari antagonis kalsium yang telah diuraikan di alas. Pengobatan hipertensi merupakan kegunaan utama saat ini dari antagonis

kalsium sebagaimana halnya vasodilator, tetapi kali ini kita melihat manfaatnya pads penyakit jantung koroner sebagaimana dibicarakan di atas tadi. Peningkatan kalsium intraseluler merupakan hal yang bertanggung jawab terhadap terjadinya kerusakan miokard yang mengalami iskhemi (Katz dan Reuter, 1979). Selain itu semua kelompok antagonis kalsium: dihydropyridine, papaverine, dan diltiazem dipergunakan:juga pads sindrom iskhemi miokard (angina Prinzmetal, unstable angina, dan chronic stable angina). Beberapa aritmi jantung dapat diatasi dengan verapamil dan obat-obat verapamil-like tetapi tidak oleh dihydropyridine secara umum (Singh et al 1983). Antagonis kalsium dipergunakan juga pads hipertrofi jantung (Lida et al 1983) tetapi pengalaman klinis di bidang ini sangat terbatas. PENUTUP Banyak alasan mengapa antagonis kalsium dipergunakan pads penyakit jantung koroner. Obat ini bersifat hemat energi, melambatkan masuknya Ca", mengurangi kelebihan noradrenalin, merupakan dilator koroner, menghambat agregasi platelet, dan melindungi integritas mikrovaskular. Berbicara mengenai sifat-sifat ini semua, tampaknya antagonis kalsium mampu untuk menghambat proses kerusakan akibat iskemi; hasilnya adalah : adalah : a. mengurangi luasnya infark; dan b.. memanjangkan waktu bagi intervensi lainnya - termasuk penggunaan trombolitik; dan angioplasti - dapat dilaksanakan.

KEPUSTAKAAN 1. Fleckenstein A. History of calcium antagonists. Circ Res 1983; (suppl. 1): 3-16. 2. Greer IA, Walker JJ, McLaren M, Calder AA, Forbes CD. Inhibition of whole blood platelet aggregation by nicardipine, and synergism with prostacyclin in vitro. Thromb Res. 1986; 41: 509-18. 3. Russi EW, Ahmad T. Calcium and calcium antagonists in airway disease. A Review. Chest 1984; 86: 475-82. 4. Singh BN, Nadamanee K, Baky SH. Calcium antagonist: Clinical use in the treatment of arrythmias. Drugs 1983; 25: 125-53.

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 159

5.

6.

7.

Willis AL, Nagel B, Churchill V. et al. Antiatherosclerotic effects of nicardipine and nifedipine in cholesterol-fed rabbits. Atherosclerosis 1985; 5: 250-5. Sorkin, EM, Clissold SP, Brogden RN. Nifedipine: A review of its pharmacodynamic and pharmacokinetic properties, and therapeutic efficacy in ischemic heart disease, hypertension and related cardiovascular disorders. Drugs 1985; 30: 182-274. Sutomo Kasiman. Penggunaan antagonis kalsium secara klinis. Naskah Simposium Kalsium Antagonis. Medan, 19 Nop. 1984.

160

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

8. Lichtlen PR. The role of calcium antagonists in the treatment of coronary artery disease. Naskah Simposium Kalsium Antagonis. Medan 19 Nop. 1984. 9. Atkinson MJ (ed). Calcium Antagonists and Atherosclerosis. 4th International Symposium on Calcium Antagonists. Round table discussion. Florence 25 May 1989. 10. Nayler WG (Ed). Calcium Antagonists. Academic Press 1988. 11. Omae T, Zanchetti A (Eds). How should elderly hypertensive patients be treated? Tokyo: Springer Verlag, 1989.

Simposium Satelit : Pola Makan Untuk Mencegah Kegemukan Interkonversi Zat-zat Kimia di dalam Tubuh Pangaribuan Siregar Bagian Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Dr Pirngadi, Medan

ABSTRAK Tubuh memperoleh energi/kalori dari makanan yang dimakan. Untuk menjaga agar jangan terjadi defisiensi ataupun gangguan kesehatan lainnya, makanan yang dimakan haruslah sesuai dengan kebutuhan tubuh baik dalam jumlah kalori maupun komposisi zatnya. Kelebihan kalori yang terdapat dalam makanan yang dimakan, terutama makanan yang dominan karbohidratnya dapat menyebabkan terjadinya kegemukan, sedangkan makanan yang mengandung kadar lemak yang tinggi sering menimbulkan berbagai kelainan kardiovaskuler. Interkonversi antar zat-zat kimia di dalam tubuh yang berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas akan dibicarakan dalam makalah ini.

PENDAHULUAN Tubuh memerlukan nutrien yang cukup untuk menyediakan keperluan energi yang dibutuhkan sehari-hari. Nutrien terdiri dari hidrat arang, lemak dan protein dalam proporsi yang bervariasi. Berat badan yang konstan dalam keadaan kebutuhan energi yang tidak terganggu, menunjukkan di dalam nutrien terdapat cukup energi. Pada keadaan energi yang setimbang (energy equilibrium), pemas ukan energi harus samadengan penggunaannya. Energi yang dibutuhkan oleh tubuh sangat tergantung pada kecepatan metabolisme basal, efek termoginik, aktivitas fisik serta suhu sekitar. Kebutuhan tubuh akan energi rata-rata dapat dilihat pada tabel 1. KEBUTUHAN BAHAN MAKANAN Kebutuhan hidrat arang Glukosa adalah hidrat arang spesifik yang dibutuhkan oleh

jaringan, akan tetapi jumlahnya di dalam nutrien tidak mencukupi kebutuhan. Namun hidrat arang lain seperti amilum, glikogen, fruktosa, sakarosa dan galaktosa yang terdapat dalam nutrien dapat diobah menjadi glukosa, baik melalui proses pencernaan ataupun sesudah berada di dalam hati. Glukosa juga dapat dibentuk di dalam tubuh dari gliserol yang berasal dari lemak dan asam-asam amino glikogenik yang berasal dari protein melalui proses glukoneogenesis. Kebutuhan minimal hidratarang perhari dalam nutrien untuk mencegah agar tidak terjadi ketosis dan kehilangan protein otot tubuh, adalah 50 – 100 g. Kebutuhan serat Serat dalam nutrien dibutuhkan untuk menahan air dan memperbesar volume sewaktu makanan bergerak sepanjang saluran cerna. Nutrien yang banyak mengandung serat yang tidak larut dapat mencegah terjadinya divertikulosis, kanker usus besar, penyakit kardiovaskuler, hemoroid dan diabetes mellitus; sedangkan nutrien yang mengandung banyak serat yang larut akan Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 161

i

Tabel 1.Kebutuhan kalori menurut beratbadan (BB) dan aktivitas*) Golongan Umur (tahun)

Kebutuhan Kalori

Laki-laki : remaja, dewasa 10 – 12 13–15 16–19 20–39 40 – 49 50 – 59 60–69 70+

2600 0.97MxA 1.02MxA 1.00Mx A 0.95 M x A 0.90 M x A 0.80Mx A 0.70MxA

Wanita : remaja, dewasa 10 - 12 13–15 16-19 20-39 40-49 50–59 60–69 70+

2350 1.13FxA 1.05FxA 1.00Fx A 0.95FxA 0.90FxA 0.80Fx A 0.70FxA

Anak-anak : <1 1 –3 4–6 7-9

1090 1360 1830 2190

Keterangan : M = BB x46 kalori = kebutuhan kalori laki-laki pads BB tersebut. F = BB x 40 kalori = kebutuhan kalori wanita pada BB tersebut. A = indeks aktivitas : ringan = 0.90, sedang = 1.00 dan aktif = 1.17 *) Sumber : FAO/WHO 1973; Energy and Protein Requirements No. 52/522 FAO Rome

memperlambat pengosongan lambung dan menyebabkan perlambatan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan. Kebutuhan lemak Selain untuk memperbaiki rasa makanan, lemak mempunyai dua fungsi esensial; yaitu pertama bertindak sebagai pembawa (vehicle) vitamin-vitamin yang larut dalam lemak dan ke dua, sebagai pemasok asam lemak esensial - asam linoleat, asam linolenat dan asam arakidonat (polyunsaturated fatty acid) yaitu asam lemak yang tidak dapat disintesis di dalam tubuh. Lemak dalam nutrien yang mengandung kadar asam lemak tidak jenuh yang tinggi merupakan faktor utama dalam menurunkan kadar kolesterol darah dan dikatakan mempunyai arti penting dalam mencegah penyakit jantung koroner. Nutrien dengan kadar lemak terutama dengan kadar asam lemak jenuh yang tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, kanker payudara dan kanker usus besar. Kebutuhan protein Protein dibutuhkan sebagai sumber nitrogen dan asam amino. Semua protein yang terkandung dalam nutrien diabsorbsi sebagai asam amino. Ada 20 jenis asam amino, (9 di antaranya tidak dapat disintesis oleh tubuh) yang dibutuhkan untuk sintesis protein 162

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

tertentu dan senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen, seperti purin, pirimidin dan hem. Pada umumnya, energi yang dibutuhkan olch tubuh hanya sekitar 12% raja yang berasal dari protein. Kebutuhan vitamin dan mineral Vitamin dan mineral adalah nutrien yang dibutuhkan hanya dalam jumlah yang sangat kecil, akan tetapi mempunyai peran yang penting dalam proses metabolisme. Sebagian besar vitamin dan seluruh mineral harus diperoleh dari makanan. Nutrien yang dikonsumsi haruslah sesuai dengan kebutuhan tubuh untuk dapat mencegah terjadinya penyakit defisiensi dan gangguan kesehatan. Ketidaktahuan dan keadaan ekonomi yang jelck merupakan penyebab utama kegagalan pemenuhan kebutuhan nutrien yang wajar. Di pihak lain beberapa penyakit tertentu string pula disebabkan oleh karena kelebihan pemasukan nutrien ke dalam tubuh. Kegemukan (obesitas), disebabkan oleh karena kelebihan pemasukan energi dan sering disertai dengan gejala Diabetes Mellitus yang non-insulin dependen. Atcrosklerosis dan penyakit jantung koroner string disebabkan oleh makanan yang mengandung kadar lemak dan asam lemak jenuh yang tinggi; kanker payudara, kanker usus besar, kanker prostat berhubungan erat dengan pemasukan makanan yang tinggi kadar lemaknya. Hipertensidan penyakit-penyaki t serebrovaskuler berkaitan dengan pemasukan garam dan mineral yang terlalu tinggi. INTERKONVERSI BAHAN NUTRIEN Bahan makanan yang diabsorbsi dari usus akan mengalami metabolisme untuk menghasilkan energi dan zat-zat lain yang dibutuhkan oleh tubuh. Glukosa Glukosa akan dimetabolisir melalui proses glikolisis dan berlanjut ke Tri Carboxylic Acid (TCA) Cycle untuk menghasilkan energi dan zat-zat lainnya yang dibutuhkan. Dalam proses glikolisis akan terbentuk hasil antara seperti Gliseraldehida-3-fosfat, asam piruvat dan dihidroksi-asetonfosfat. Di dalam TCA Cycle terbentuk hasil antara seperti asetilco-A, asam sitrat dan oksaloasetat. Zat-zat antara ini akan menjadi penghubung antara metabolisme glukosa dengan metabolisme asam lemak (Gambar 1). Dari Gambar 1 terlihat bahwa bila konsumsi hidrat arang berlebihan dibandingkan dengan pemakaian energi di dalam tubuh maka kelebihan tersebut dapat disalurkan ke jalur lipogenesis untuk disimpan dalam bentuk lemak. Bila keadaan seperti ini torus berlanjut maka terjadilah kelebihan berat badan (obesitas). Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa binatang percobaan dengan cepat menjadi gemuk apabila diberi diit makanan yang kandungan karbohidratnya dominan. Hal ini membuktikan di dalam tubuh betapa mudahnya karbohidrat dikonversi menjadi lemak. Proses lipogenesis di dalam tubuh bahkan akan menjadi lebih cepat apabila karbohidrat yang dikonsumsi adalah saka-

rosa, oleh karma fruktosa (sebagai hasi I hidrol i sis sakarosa) akan membypass titik kontrol proses glikolisis yaitu fosfofruktokinase (yang merupakan "rate limiting enzyme') (Cambar 2). Jadi status nutrien adalah faktor utama yang mengatur kecepatan proses lipogenesis di dalam tubuh. Kecepatan lipogenesis akan menjadi tinggi bila diit mengandung karbohidrat yang tinggi dan sebaliknya lipogenesis akan menjadi lambat bila diit mengandung karbohidrat yang rendah, kadar lemak yang tinggi atau bila ada defisiensi insulin (misalnya pada Diabetes Mellitus). Asam lemak Lemak yang terdapat dalam makanan diabsorbsi dalam

bentuk asam lemak, gliserol, atau gliserida. Asam lemak dan gliserol akan menempuh jalur metabolismenya masing-masing. Proses lipolisis di jaringan adiposa juga akan menyebabkan dibebaskannya asam lemak ke dalam darah. Kedua hal tersebut di atas akan menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak di dalam darah dan ini akan menyebabkan proses lipogenesis terham bat. Path proses metabolisme asam lemak, selain energi akan dihasilkan zat antara asetil-co-A dalam jumlah yang cukup besar melalui oksidasi beta. Jika asam lemak banyak dimetabolisir untuk memenuhi jumlah energi yang dibutuhkan tubuh maka kadar asetil-co-A akan sangat meningkat di dalam tubuh. Keadaan ini memungkinkan terjadinya pembentukan zat-zat lain yang

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

163

ammoniak (NH 3) dan zat antara yang jenisnya cukup banyak). Ammoniak adalah zat yang sangat sitotoksik terutama terhadap jaringan otak sehingga harus segera dinetralisir menjadi ureum di hepar, untuk kemudian diekskresikan melalui ginjal. Kelebihan pemasukan protein melalui makanan jelas akan memperberat kerja dari hdpar dan ginjal (Gatnbar 3).

PENUTUP Tclah dibahas tentang kebutuhan energi tubuh dan kaitannya dengan komposisi zat di dalam makanan. Juga dibicarakan interkonversi antara zat-zat di dalam tubuh melalui proses metabolisme serta kemungkinan-kemungkinan terjadinya gangguan kesetimbangan susunan zat-zat kimia tubuh yang dapat menyebabkan keadaan yang abnormal. Dianjurkan untuk pencegahan agar tidak terjadi keadaan yang abnormal di dalam tubuh untuk menjaga keseimbangan komposisi bahan-bahan yang terdapat dalam makanan yang dimakan.

KEPUSTAKAAN

bahan bakunya adalah asetil-co-A di antaranya adalah kolesterol serta hormon-hormon steroid. Asam amino Asam-asam amino yang diabsorbsi dari usus akan mengalami metabolisme menurut jalur metabolismenya masingmasing. Dari proses metabolisme asam amino ini akan dihasilkan

164

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

1. Albertus Bet al. Molecular Biology of the Cell. New York: Garland Publ. Inc, 1983. 2. Bagian Gizi R.S. Cipto Mangunkusumo dan Persatuan Ahli Gizi Indonesia. Penuntun Diit. Jakarta: P.T. Gramedia, 1980. 3. Grundy SM. Cholesterol and Coronary Heart Disease, Future Directions; JAMA (SEA) 1991; 7(4): 47-53. 4. Harper HA. Review of Physiological Chemistry; Lange Medical Publ. California: Los Altos, 1985. 5. Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW. Harpers Biochemistry; Norwalk; Connecticut: Appleton & Lange, 1990.

Semiloka : Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap Hesty RPO Sitompul Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia, Cabang Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Tujuan operasional Gerakan Keluarga Berencana Nasional di Indonesia adalah untuk mewujudkan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, serta untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk yang lebih diutamakan pads pengembangan sumber dayamanusia.Untuk mencapai tujuan tersebutdiselenggarakanlah antara lain pelayanan kontrasepsi yang lebih diarahkan pads metoda kontrasepsi yang bersifat jangka panjang dan mantap, yakni IUD, susuk, dan kontrasepsi mantap. Ketiga metoda kontrasepsi ini dikenal dengan nama Metoda Kontrasepsi Efektif Terpilih (MKET). Oleh karena kedudukan yang khas, maka dalam kegiatankegiatan kontap, PKMI telah menggariskan kebijakan pokok yang meliputi : a) Menghindari keresahan masyarakat. b) Mengutamakan azas sukarela. c) Mengutamakan mutu pelayanan. d) Mendukung kebijakan penduduk tanpa pertumbuhan. Kebijakan yang mengutamakan mutu pelayanan dianggap penting dengan maksud untuk lebih memasyarakatkan pelayanan kontap. Sebagai suatu tindak pembedahan walaupun hanya pembedahan minor, kontap selalu berhadapan dengan pelbagai risiko. Risiko ini dapat diperkecil jika pelayanan kontap dilaksanakan dengan mutu yang baik. Pada tahap awal, pengertian mutu pelayanan lebih dititik beratkan pads aspek klinik, seperti ketrampilan dan kemampuan operator, efek samping minimal, tersedianya fasilitas kesehatan yang lengkap, dan lain-lain. Pelbagai kegiatan telah dilaksanakan oleh PKMI dalam rangka upaya meningkatkan mutu pelayanan, misalnya penyediaan konseling, program pemantauan mutu, dan lain-lain. Asumsi yang dianut adalah bahwa dengan baiknya mutu pelayanan, maka kontap akan lebih memasyarakat.

PENGERTIAN TENTANG PELAYANAN KONTAP YANG BERMUTU Telah sama diketahui bahwa salah satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi mantap adalah yang menyangkut mutu pelayanan kontrasepsi mantap tersebut. Setidak-tidaknya ada empat peranan mutu terhadap pelayanan dalam kontrasepsi mantap yakni : 1) Mengurangi terjadi risiko. Kontrasepsi mantap memang berbeda dengan pelbagai cara kontrasepsi lainnya yang dikenal. Sebagai suatu tindakan pembedahan, kontrasepsi mantap memang mempunyai risiko tertentu yakni berupa akibat sampingan dan ataupun komplikasi yang muncul karena tindakan pembedahan yang dilakukan. Akibat yang tidak diinginkan ini, hanya dapat dihindari jika pelayanan kontrasepsi mantap diselenggarakan dengan mutu yang tinggi. 2) Mencegah timbulnya penyesalan. Hal lainnya yang membedakan kontrasepsi mantap dengan pelbagai cara kontrasepsi lainnya ialah bahwa cara kontrasepsi mantap tidak memungkinkan suatu pasangan untuk mempunyai keturunan lagi. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari, maka pelayanan hams dapat menjelaskan dengan lengkap segala hal tentang kontrasepsi mantap. Ini berarti pelayanan kontrasepsi mantap hams diselenggarakan dengan mutu yang tinggi dalam arti harus terdapat pelayanan konseling di dalamnya. 3) Mencegah timbulnya tantangan Karena masih ditemukannya sebagian anggota masyarakat yang belum dapat menerimanya, cara kontrasepsi mantap belum masuk dalam program KeluargaBerencanaNasional. Agarkelompok yang belum dapat menerima ini tidak sampai menentang, haruslah dapat dibuktikan bahwa kontrasepsi mantap tersebut adalah cara yang aman, tidak berbahaya dan disenangi oleh Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 165

masyarakat. Ini berarti pelayanan kontrasepsi mantap tersebut hams pula diselenggarakan dengan mutu yang tinggi. 4) Meningkatkan penerimaan masyarakat Hal lainnya yang penting dari mutu pelayanan kontrasepsi mantap ini adalah yang menyangkut penerimaan masyarakat terhadap pelayanan kontrasepsi mantap. Apabila dapat dibuktikan pelayanan kontrasepsi mantap adalah pelayanan yang baik, aman, mudah, praktis dan disenangi oleh masyarakat, dapatlah diharapkan makin meningkatnya penerimaan masyarakat terhadap kontrasepsi mantap. Apabila keadaan yang membantu ini dapat diwujudkan, maka pads gilirannya akan membantu mempercepat tercapainya tujuan Program Keluarga Berencana di tanah air. Untuk dapat menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan tersebut, banyak hal yang hams diupayakan. Secara sederhana pelbagai upaya tersebut dapat dibedakan atas lima macam yakni: 1) Tenaga pelaksana Upaya pertama yang harus dilaksanakan untuk dapat menyelenggarakan pelayanan yang bermutu ialah yang menyangkut tenaga pelaksananya. Untuk ini ditetapkanlah bahwa pelayanan kontrasepsi mantap hanya boleh diselenggarakan oleh tenaga pelaksana yang telah mendapatkan latihan. Latihan yang seperti ini diselenggarakan oleh PKMI melalui sebelas Pusdiklitbangnya yang tersebar di seluruh Indonesia. 2) Sarana kerja Upaya ke dua yang hams dilaksanakan ialah yang menyangkut sarana kerja. Disebutkan bahwa pelayanan kontrasepsi mantap hanya boleh diselenggarakan oleh suatu fasilitas yang memiliki sarana yang memadai. Untuk memenuhi persyaratan ini, kepada setiap fasilitas kesehatan yang akan menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi mantap mungkin dapat diberi bantuan renovasi, penambahan peralatan medis dan peralatan non medis. 3) Tata cara Agar mutu pelayanan dapat dipelihara, maka tata cars pelayanan haruslah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Ada dua macam tata cara pelayanan non medis termasuk pelayanan konseling. Untuk ini pelbagai hal telah diupayakan, mulai dari melatih tenaga pelaksana, melengkapkan sarana kerja serta menyediakan pelbagai buku panduan yang dibagikan kepada semua pihak yang menyelenggarakan pelayanan kontrasepsi mantap. 4) Rujukan Hal lainnya yang diupayakan untuk dapat menjamin mutu pelayanan adalah yang menyangkut rujukan. Maksudnya ialah untuk mendukung.pelayanan sehingga jika kebetulan terjadi halhal yang tidak diinginkan, akan dapat segera diatasi. 5) Pemantauan Upaya ke lima yang dilakukan adalah menyangkut pemantauan pelayanan kontrasepsi mantap yang diselenggarakan. Dengan adanya pemantauan ini dapatlah diharapkan, di satu pihak dilakukannya pelbagai upaya pencegahan, dan di pihak lain, dilakukan pula upaya peningkatan sehingga pelayanan kontrasepsi mantap tetap berada dalam mutu yang tinggi. 166

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Ke lima upaya pokok ini saling berkaitan dan mempengaruhi yang kesemuanya harusdilaksanakan untuk dapat menjamin penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi mantap yang bermutu. Unsur-unsur kunci yang terdapat pads pengertian ini adalah : 1. Pilihan metoda kontrasepsi 2. Kemudahan pelayanan 3. Informasi yang diberikan kepada calon akseptor 4. Kesesuaian tindakan dengan standar yang telah disepakati 5. Hubungan internasional dengan akse p tor 6. Pengayoman. Indikator yang mencakupkeenam unsurkunci yang dimaksud dalam pengertian di atas : a) Pilihan metoda kontrasepsi — Tersedianya berbagai metoda kontrasepsi — Koordinasi antara pelaksana gerakan KB Nasional — Tersedianya kontap pria dan wanita — Tersedianya fasilitas rujukan — Tersedianya informasi yang cukup tentang pelayanan KB. b) Kemudahan pelayanan — Biaya yang terjangkau oleh akseptor — Jarak ke fasilitas pelayanan yang terjangkau — Pelayanan yang teratur — Prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit/lama. c) Informasi yang diberikan kepada calon akseptor — Calon akseptor memahami bahwa pads pokoknya kontap adalah permanen. — Calon akseptor memahami tentang cara, manfaat dan risiko kontap, serta tentang perawatan pra/pasca tindakan. — Akseptor serta pasangannya mengerti dan menandatangani informed consent. d) Kualitas tindakan — Operator mendapat sertifikat dari Pusdiklitbang PKMI — Prosedur dilaksanakan sesuai panduan PKMI Jumlah kunjungan karena komplikasi terekam dengan lengkap — Morbiditas dan mortalitas terekam dengan lengkap — Tingkat kegagalan diketahui. e) Hubungan internal dengan akseptor — Akseptor menyatakan kepuasannya Keluhan akseptor — Rumor negatif tentang pelayanan kontap Rujukan calon akseptor dari akseptor yang puas. f) Pengayoman — Jumlah kunjungan tindak lanjut — Laporan tentang semua komplikasi — Pengobatan/rujukan komplikasi — Upaya mengatasi masalah/komplikasi. Khusus dalam pelayanan kontap, mutu pelayanan dikatakan baik bila memenuhi faktor-faktor tersebut di bawah ini. 1. Indikator mutu pelayanan Untuk menentukan indikator mutu pelayanan kontrasepsi mantap tidaklah mudah. Sebagai penanganan, ada beberapa indikator yang dapat dipergunakan yakni : a) Jumlah kasus dengan keluhan

Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mempunyai mutu pelayanan yang baik, jika fasilitas tersebut tidak mempunyai kasus dengan keluhan. Ke dalam pengertian keluhan yang dimaksud di sini termasuk keluhan subjektif yang ada kaitannya dengan pelayanan kontrasepsi mantap yang dialami oleh kasus tersebut. Angkakasus dengan keluhan tersebut dapatdihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :

b)

Jumlah kasus yang tidak dapat diselesaikan Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mempunyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pernah mengalami kasus tindakan tubektomi dan vasektomi yang tidak berhasil diselesaikan. Adapun yang dimaksud dengan kasus yang tidak dapat diselesaikan di sini ialah kasus-kasus yang karena satu dan lain hal menyebabkan dokter tidak dapat menyelesaikan pembedahan tubektomi dan vasektomi yang sedang dilakukan. Angka kasus yang tidak dapat diselesaikan tersebut dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :

Jumlah kasus dengan akibat sampingan/komplikasi Suatu fasilitas pelayanan kontap disebut mempunyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pernah mengalami kasus dengan akibat sampingan/komplikasi. Adapun yang dimaksud dengan akibat sampingan/komplikasi di sini ialah setiap kelainan dan atau gangguan yang dialami oleh penderita sebagai akibat pelayanan kontrasepsi mantap yang dialaminya. Sebenarnyaakibatsampingan/komplikasidapatterjadi setiap waktu, namun dalam pelayanan kontrasepsi mantap yang dipentingkan ialah akibat sampingan/komplikasi yang timbul dalam waktu 24 hari terhitung dari saat pembedahan. Tergantung dari berat ringannya, akibat sampingan/komplikasi secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni : 1) Akibat sampingan/komplikasi berat Disebut sebagai akibat sampingan/komplikasi berat jika kasus yang mengalami akibat sampingan/komplikasi tersebut membutuhkan perawatan tinggal. 2) Akibat sampingan/komplikasi ringan Disebut sebagai akibat sampingan/komplikasi ringan jika kasus yang mengalami akibat sampingan/komplikasi tersebut tidak membutuhkan perawatan tinggal. Angka akibat sampingan/komplikasi dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut : c)

d) Jumlah kasus dengan kegagalan Suatu fasilitas pelayanan kontap disebut mempunyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pernah mengalami kasus dengan kegagalan. Adapun yang dimaksud dengan kegagalan di sini ialah berfungsinya kembali sistem reproduksi sehingga pasangan yang mengikuti cara kontrasepsi mantap tersebut mempunyai keturunan lagi. Sebenamya kegagalan yang seperti ini dapat segera diketahui jika setelah pembedahan dilakukan pemeriksaan keadaan saluran telur dan atau mani. Dalam praktek hal ini jarang dilakukan, atau mungkin ada kelainan khusus pada saluran, sehingga kegagalan tidak cepat diketahui. Angka kegagalan dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :

Tentang angka kegagalan ini ada dua pendapat yang ditemukan. Pada negara-negara yang telah maju angka kegagalan ini dimasukkan ke dalam angka komplikasi sedangkan pads negara-negara yang sedang berkembang angka kegagalan ini dipisahkan dari angka komplikasi. Dimasukkan atau tidaknya angka kegagalan ke dalam angka komplikasi erat hubungannya dengan kemampuan menemukan kegagalan tersebut sedini mungkin yakni dalam waktu 42 hari setelah tindakan pembedahan. Pada negara yang telah maju kemampuan untuk menemukan tersebut dimiliki dan karena itulah angka kegagalan dimasukkan ke dalam angka komplikasi, sedangkan pada negara yang sedang berkembang, kemampuan yang dimiliki amat terbatas dan karena itulah angka kegagalan dipisahkan dari angka komplikasi. e) Jumlah kasus dengan kematian Suatu fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap disebut mempunyai mutu pelayanan yang baik jika fasilitas tersebut tidak pemah mengalami kasus dengan kematian. Pada dasarnya kematian adalah akibat lanjut atau sama dengan komplikasi berat. Kematian yang dimaksudkan di sini adalah yang ada hubungannya dengan pelayanan kontrasepsi mantap dan yang terjadi dalam waktu 42 hari setelah tindakan dilakukan. Angka kematian dapat dihitung dengan mempergunakan rumus sebagai berikut :

Dari lima indikator yang dikenal ini, yang sering dipergunakan dalam praktek sehari-hari hanya empat saja yakni jumlah Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 167



kasus yang tidak dapat diselesaikan, jumlah kasus dengan efek sampingan/komplikasi, jumlah kasus dengan kegagalan serta jumlah kasus dengan kematian. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu pelayanan Baik atau tidaknya mutu pelayanan kontrasepsi mantap yang diselenggarakan oleh fasilitas pelayanan kontrasepsi mantap, dipengaruhi oleh pelbagai faktor. Pelbagai faktor yang dimaksud secara umum dapat dibedakan atas tiga macam yakni : a. Tenaga pelaksana Hal pertama yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah yang menyangkut tenaga pelaksana. Baik tidaknya mutu pelayanan sangat ditentukan oleh terlatih atau tidaknya tenaga pelaksana yang menyelenggarakan pelayanan tersebut. Standar yang berlaku ialah setiap fasilitas pelayanan sekurang-kurangnya memiliki 1 orang dokter (umum, ahli kebidanan & kandungan, ahli bedah) dan dua orang paramedik yang telah mendapatkan latihan khusus dalam bidang kontrasepsi mantap dan secara khusus ditugaskan mengelola program kontrasepsi mantap. b. Sarana kerja Hal ke dua yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah menyangkut sarana kerja yang dimiliki. Baik atau tidaknya mutu pelayanan sangat ditentukan pula oleh sarana kerja yang dimaksud. Sarana tersebut secara umum dapat dibedakan atas dua macam yakni sarana medis dan sarana non medis. Kumpulkan data tentang kelengkapan tersebut terutama yang menyangkut sarana pertolongan pertama dan fasilitas penunjangnya. Selanjutnya kumpulkan pula data tentang cara menggunakan serta cara merawatnya. Adanya suatu sarana belum berarti menjamin baiknya mutu pelayanan, kecuali jika sarana tersebut dapat dipergunakan secara tepat dan benar. c. Tata cara Hal ke tiga yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah yang menyangkut tata cara pelayanan yang diselenggarakan; baik atau tidak mutu pelayanan sangat ditentukan pula oleh tata cara pelayanan ini. Secara umum tata cara pelayanan yang perlu diperhatikan dapat dibedakan atas 5 macam yakni : 1) Tata cara pelayanan konseling Apakah pelayanan konseling ada atau tidak. Jika ada apakah dilaksanakan secara benar. Bagaimana tentang informed consent apakah diisi secara benar dan lengkap. 2) Tata cara pelayanan pra-bedah Apakah anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium telah dilakukan secara benar. Apakah antisepsis telah dilakukan secara benar. Apakah diberikan nasehat pra-bedah. 3) Tata cara pembedahan Apakah pembedahan dilakukan secara benar, bagaimana aspek antisepsis selama pembedahan. Bagaimana premedikasi dan anestesinya. Bagaimana pula dokter dan paramedisnya. 4) Tata cara pelayanan pasca bedah Apakah pelayanan pasca bedah dilakukan secara benar. Apakah diberikan nasehat pasca bedah. 5) Tata cara pelayanan kunjungan ulang 168

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

Apakah ada pelayanan kunjungan ulang. Apakah pelayanan yang diberikan telah benar. Sekalipun ketiga faktor ini sama pentingnya, namun jika diketahui bahwa pelayanan tersebut pada dasarnya adalah suatu upaya yang dilakukan oleh manusia, jelaslah bahwa yang terpenting adalah yang menyangkut tenaga pelaksananya yakni dokter serta paramedis yang menyelenggarakan pelayanan kontap tersebut. Bertitik tolak dari keadaan yang seperti ini, segeralah mudah dipahami bahwa untuk dapat menjamin mutu pelayanan yang baik, persiapan yang menyangkut tenaga pelaksana haruslah dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya. Ditinjau dari sudut manajemen, program pemantauan ini sekalipun dapat berdiri sendiri, namun secara keseluruhan merupakan bagian dari program kontrasepsi mantap. Dengan perkataan lain, program pemantauan kontrasepsi mantap merupakan sub-sistem dari sistem program kontrasepsi mantap. Suatu program kontrasepsi mantap (sistem) yang tidak memiliki program pemantauan (sub-sistem), tidaklah dapat disebutkan sebagai suatu program (sistem) yang baik. FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT Berdasarkan pengertian dan indikator-indikator yang diuraikan di atas, serta informasi yang diperoleh mengenai situasi nyata yang ada di Pusdiklitbang dan fasilitas pelayanan kontap saat ini, maka lokakarya mencoba mengidentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan kontap saat ini di Indonesia, baik faktor-faktor pendukung, maupun faktor-faktor yang menghambat. Di bawah ini faktor-faktor tersebut diuraikan secara singkat sebagai berikut : KEBIJAKAN/DUKUNGAN POLITIS Faktor Pendukung

Faktor Penghambat

— Pemerintah menyediakan dana untuk kontap – Sikap agamawan membaik - PKMI merekomendasikan anestesi lokal - Dukungan terhadap tim mobil

— Jumlah akseptor masih sedikit (Vasektomi) – Tingginya alih tugas di kalangan dokter penyedia pelayanan kontap – Banyak ex-trainee tidak melaksanakan pelayanan – Koordinasi kurang - Kontap belum masuk program resmi Pemerintah – Cara seleksi talon trainee — Beban kerja Puskesmas

SUMBER DAYA Faktor Pendukung

Faktor Penghambat

– Fasilitas pelayanan sudah direnovasi dan dilengkapi - Berbagai panduan sudah tersedia

– Tidak ada tenaga purnawaktu untuk kontap di fasilitas pelayanan – Penyegaran kurang



— PKMI sudah mempunyai

cabang di seluruh Indonesia

— Maintenance kurang - Pengisian rekam medik kurang

PENGELOLAAN Faktor Pendukung

Faktor Penghambat

- Banyak tenaga telah dilatih, program pemantauan dan supervisi sudah ada - Sistem pencatat/pelaporan kontap sudah ada

- Tidak ada jadwal khusus untuk pelayanan kontap - Jumlah kasus untuk latihan dan mempertahankan ketrampilan kurang — Rumor negatif — Reimbursement terlambat - Fasilitas kurang dimanfaatkan - Panduan tidak dilaksanakan dengan bail( - Rekam medik tidak diisi sebagaimana mestinya.

PELATIHAN Faktor Pendukung

Faktor Penghambat

- Sudah ada 11 Pusdiklitbang - Sudah ada panduan diklat - Pelatihan konselor ada - Jumlah yang dilatih cukup banyak

- Kurikulum tidak dilaksanakan twat azas - Prosedur standar tidak dilaksanakan - Pemeriksaan pratindakan tidak memadai - Prosedur antiseptik tidak dipenuhi - Masih ada mortalitas - Morbiditas cukup tinggi - Tingkat kegagalan - Keluhan akseptor — Ex-trainee kurang mampu/ kurang percaya diri - Konselor kurang berfungsi sebagaimana harusnya - Teknik bervariasi - Rekam medik tidak diisi sebagaimana harusnya - Metodologi pelatihan kurang relevan - Bahanpelatihan,buku,audio visual tidak ada.

Kerjasama petugas lapangan dengan konselor Identifikasi dini komplikasi yang mengancam nyawa. Pelatihan untuk paramedik Nasehat pasca tindakan Kemampuan dalam memberikan anestesi lokal Teknik antiseptik yang betul Identifikasi komplikasi yang mengancam nyawa Membina hubungan interpersonal dengan akseptor Sikap positif dalam masalah pencatatan dan pelaporan. c) Pelatihan untuk dokter Pemeriksaan pra tindakan Mengutamakan anestesi lokal Teknik antiseptik yang betul Penanganan kedaruratan Membina hubungan interpersonal dengan akseptor. d) Pelatihan untuk pelatih Metodologi yang relevan untuk pelatihan Presentasi dengan video/film Melatih teknik yang sesuai dengan panduan Metodologi untuk kunjungan setempat dan pemantauan. e) Pelatihan tindak lanjut di fasilitas setempat Mengenal masalah pads setiap aspek pelayanan - Observasi teknik antiseptik dan tindak bedah Jika perlu retraining Mengembangkan langkah-langkah untuk meningkatkan mutu. f) Rekomendasi untuk Pusdiklitbang - Penyusunan standar pre dan post test Kerjasama dan koordinasi lebih baik dengan BKKBN dan Departemen Kesehatan dalam masalah-masalah pelatihan, onsite training, dan pengawasan. b) -

Untuk segala surat-menyurat, pergunakan Alamat lengkap Anda dengan mencantumkan Kode Pos ke alamat kami : CERMIN DUNIA KEDOKTERAN P.O. Box 3105, JAKARTA 10002

PENUTUP Untuk mencapai hasil yang memuaskan seperti apa yang telah diuraikan di atas, perlu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan para pelaksana pemberi pelayanan kontap sebagai berikut : a) Pelatihan untuk petugas lapangan - Memperbaiki identifikasi dan seleksi calon akseptor Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 169

g) Rekomendasi lain – Kebijakan nasional yang menekankan perlunya memberikan pelayanan yang bermutu di samping tujuan kuantitatif. - Perlu pelatihan penyegaran untuk para ex-trainee yang aktif - Koordinasi yang lebih baik antara petugas lapangan dan konselor. – Perlu penelitian tentang seberapa besar ex-trainee yang sesungguhnya melakukan pelayanan kontap. – Melakukan penelitian operasional untuk meningkatkan efisiensi pelatihan kontap tanpa mengorbankan kualitas. – Meninjau kembali kriteria sertifikat seorang trainee, termasuk tentang jumlah minimum tindakan yang dilakukan selama dan pasca pelatihan. Meninjau kembali kurikulum pelatihan. Memperbaiki dan membakukan pelaporan tentang komplikasi berat dan kematian, dan menganalisa kasus-kasus ter -

170 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sebut. – Menjelaskan peran Pusdiklitbang dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan. – Memperbaiki prosedur pemilihan calon trainee, sehingga hanya mereka yang akan melaksanakan pelayanan yang diberi prioritas untuk dilatih.

KEPUSTAKAAN 1. Panduan Pendidikan & Pelatihan Kontap; PKMI; Agustus 1985. 2. Panduan Pendayagunaan Petugas Lini Lapangan dalam Meningkatkan Pelayanan Kontrasepsi Mantap; PKMI; 1989. 3. Panduan Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap; PKMI; Mei 1991. 4. Kumpulan Makalah Seminar Program Menjaga Mutu Pelayanan MKET; PKMI; September 1991.

Pemantauan Aspek Non Medik Pelayanan Kontrasepsi Mantap Radja Malem Kaban Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia Cabang Sumatera Utara, Medan

PENDAHULUAN Dalam sistim pelayanan kontrasepsi mantap, salah satu unsur yang penting untuk mempertahankan atau bahkan meningkatkan mutu pelayanan ialah pemantauan pelaksanaan sistim pelayanan itu sendiri. Ada tiga hal pokok dalam sistim tersebut, yaitu : 1) Pelaksanaan pelayanan di klinik kontrasepsi mantap. 2) Pelayanan rujukan. 3) Masalah pembiayaan termasuk pembayaran dana bantuan pelayanan (reimbursement). Alur pelayanan di klinik kontrasepsi mantap dapat digambarkan seperti bagan 1. Penerimaan dan Pendaftaran Pelayanan Konseling Pelayanan screening Prabedah (termasuk pemeriksaan laboratorik) Persiapan Prabedah

Pelayanan Pembedahan

Pelayanan Pascabedah Pelayanan Kunjungan Ulang

Bagan 1. Alur pelayanan kontrasepsi mantap di klinik kontrasepsi mantap

Dalam setiap bagian dari alur pelayanan kontrasepsi mantap tersebut tiga macam faktor yang menentukan mute pelayanan dan harus dipantau ialah faktor : tenaga pelaksana sarana tata-cara pelayanan. Secara keseluruhan sistim pelayanan kontrasepsi mantap mencakup dua aspek, yaitu aspek medik dan non medik. Jikalau kita akan melakukan pemantauan salah satu atau kedua aspek tersebut, maka setiap bagian dari alur pelayanan kontrasepsi mantap harus dikaji mana yang termasuk aspek non medik dan mana yang bukan, mencakup faktor tenaga pelaksan, sarana kerja, dan tata-cara pelayanan. Selanjutnya untuk menentukan mutu dari masing-masing faktor, sebelumnya harus ditentukan terlebih dahulu kriteria standar, dan hal ini harus diketahui dan dipahami oleh petugas pemantau. PENERIMAAN DAN PENDAFTARAN a) Tenaga Harus ada tenaga administrasi terlatih yang dapat melaksanakan pekerjaan penerimaan dan pendaftaran calon peserta kontrasepsi mantap, serta mencatat dan melaporkan pelayanan kontrasepsi mantap. Tenaga ini tidak harus tenaga khusus, karena dapat pula dirangkap oleh tenaga paramedik pendamping dokter. b)

Sarana kerja Sarana kerja tempat penerimaan dan pendaftaran meliputi : 1) ruang tunggu, lengkap dengan kursi tunggu dan alat peraga tentang kontrasepsi mantap termasuk poster, leaflet, flipchart dan lain-lain. 2) ruang pendaftaran lengkap dengan meja, kursi, lemari kartu, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 171

dan kartu status kontrasepsi mantap. c)

Tata-cara pelayanan Petugas harus memahami tata-cara pelayanan mulai dari saat calon akseptor datang, manfaat alat peraga, cara mengajukan pertanyaan, menjelaskan, mencatat ke dalam status, jenis status, cara penyimpanan status, dan cara membuat laporan. PELAYANAN KONSELING a)

Tenaga Harus ada tenaga konselor yang terlatih untuk menyelenggarakan pelayanan konseling kontrasepsi mantap. b)

Sarana kerja Sarana kerja pelayanan konseling meliputi : 1) Ruang khusus untuk pelayanan konseling, yang diatur dengan menjamin privacy, suasana nyaman dan sejuk, lingkungannya tidak terlalu gaduh, jauh dari suara yang dapat mengganggu, dan dihindari adanya orang lain yang keluarmasuk ruangan tersebut. 2) Meja dan kursi. 3) Alat peraga untuk digunakan dalam pelayanan konseling termasuk poster, leaflet, flipchart, dan sebagainya. 4) Formulir permohonan dan persetujuan pelayanan kontrasepsi mantap. c)

Tata-cara pelayanan Petugas harus memahami tata-cara pelayanan konseling mencakup : saat pelayanan konseling (prabedah/pasca bedah), tujuan konseling, pelaksanaan dan teknik konseling dan pelaporan Berta rujukan konseling. PELAYANAN PRABEDAH Pengertian pelayanan prabedah termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorik. Sebenarnya dalam pelayanan prabedah aspek medis lebih menonjol daripada aspek nonmedik, namun beberapa sarana kerja termasuk dalam aspek nonmedik, misalnya seperti : 1) Ruang (kamar) periksa 2) Meja tulis dan kursi untuk tugas pencatatan 3) Lemari reagen 4) Leaflet nasehat prabedah. PERSIAPAN PRABEDAH DAN PELAYANAN PEMBEDAHAN Dalam persiapan prabedah dan pelayanan pembedahan, lebih menonjol aspek medik daripada aspek nonmedik. Beberapa sarana kerja yang termasuk aspek nonmedik ialah : 1) Ruang ganti pakaian untuk dokter, paramedik, dan calon peserta kontrasepsi mantap. 2) Lemari pakaian dan gantungan pakaian. 3) Sepatu/sandal untuk operasi. 4) Tempat/ruangan untuk alat sterilisator/autoclave. 5) Lemari obat. 6) Lemari obat alai-alat.

172

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

PELAYANAN PASCABEDAH Aspek medis juga lebih menonjol dalam pelayanan pascabedah daripada aspek nonmedik. Beberapa sarana kerja yang termasuk aspek nonmedik ialah : 1) Ruangan pascabedah lengkap dengan tempat tidur. 2) Leaflet nasehat pascabedah untuk peserta kontrasepsi mantap. 3) Formulir rujukan. PELAYANAN KUNJUNGAN ULANG Pelayanan kunjungan ulang juga lebih menekankan aspek medik. Sarana kerja berupa kamar periksa dapat menggunakan kamar periksa pelayanan prabedah asal alur pasien dapat diatur agar tidak bercampur dengan pemeriksaan prabedah. Demikian Pula kartu status, meja, kursi, dan alat-alat lainnya pada umumnya tidak memerlukan sarana khusus. PELAYANAN RUJUKAN Aspek nonmedik dalam pelayanan rujukan lebih banyak ditekankan pads masalah tata-cara pelayanan daripada masalah tenaga dan sarana kerja. Faktor sarana kerja yang mungkin berperan ialah masalah transportasi dan pembiayaan.

TEKNIK PEMANTAUAN DI LAPANGAN Memahami kriteria standar yang mencakup masalah tenaga, sarana kerja dan tata-cara pelayanan kiranya belum cukup bagi petugas pemantau untuk dapat melakukan tugas pemantauan dengan baik seperti yang diharapkan. Masalah berikutnya ialah bagaimana cara pemantauan itu dilakukan di lapangan. Teknik pemantauan di lapangan menjadi amat penting terutama untuk memantau tata-cara pelayanan, sehingga dapat diketahui hal-hal yang menyimpang dari prosedur standar. Hal ini tidak selalu mudah dilakukan oleh petugas pemantau karena beberapa alasan, seperti : • Yang dipantau pada umumnya petugas medik (dokter atau paramedik) yang dapat dikatakan satu profesi dengan petugas pemantau. • Petugas pemantau pada umumnya seorang dokter (petugas medik) yang usianya Bering tidak berbeda jauh dengan yang dipantau. • Oleh karena pemantau dan yang dipantau berasal dari profesi yang sama, dapat timbul asumsi bahwa untuk hal-hal medik tertentu tidak perlu dipantau karena dianggap sudah lazim, jadi asumsinya petugas yang dipantau pasti sudah mahir akan hal itu, padahal belum tentu benar. • Oleh karena alasan-alasan tersebut di alas, dapat timbul perasaan enggan dalam diri pemantau untuk melakukan tugasnya dengan benar karena rasa tidak enak untuk menunjuk kesalahankesalahan yang dilakukan oleh yang dipantau. Selain itu, memang teknik-teknik pemantau di lapangan tidak selalu dimiliki oleh petugas pemantau. Dalam prinsip, petugas pemantau harus beranggapan bahwa

yang dipantau itu tidak melakukan tata-cara pelayanan dengan balk, sampai terbukti bahwa dia melakukannya dengan baik. Untuk pembuktian, tidak cukup hanya dengan tanya-jawab atau mendengarkan uraian saja, namun harus dili hat sendiri bagaimana petugas yang dipantau itu melakukannya termasuk melihat sendiri alat-alat maupun catatan-catatan yang ditulis dalam kartu status dan laporan (dapat dilakukan secara random/acak). Kejelian pemantau sangat diperlukan. Contoh: seorang petugas yang dimilikinya selalu digunakan untuk sterilisasi alat-alat. Dalam pemantauan harus dilihat apakah benar pada bagian luar dasar autoclave terdapat bagian-bagian yang hangus. PENUTUP Dalam melaksanakan pemantauan di lapangan selain mencatat masalah tenaga pelaksana, maka data yang harus dicatat

ialah tentang : 1) Kelengkapan sarana 2) Cara menggunakan sarana 3) Cara merawat sarana yang harus dilaksanakan secara tepat dan benar. Kalau diingat bahwa tujuan pemantauan itu ialah untuk mempertahankan bahkan meningkatkan muiu, maka perasaan enggan dalam dui petugas pemantau seharusnya dihilangkan. Pemantauan memang untuk mencari kesalahan, menunjukkan kesalahan itu, tetapi untuk diperbaiki. Masalahnya ialah bagaimana pemantauan itu dilakukan, bagaimana kesalahan itu diberitahukan tanpa menimbulkan rasa tidak enak bagi yang dipantau, sehingga bersama-sama dapat dicari alternatif penyelesaian masalah, dan akhirnya tujuan pemantauan tercapai.

It is not doing the thing we like that makes fife happy, it is the learning to like the thing we have to do

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 173

Pencegahan Infeksi pada Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih ( MKET) Maciste Lumbanraja '

Perkumpulan Kontrasepsi Mantap Indonesia, C abang Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK Sebagaimana diketahui pelayanan KB masa kini sudah bertambah luas dan salah satu penyebabnya adalah makin diterimanya metode kontrasepsi oleh keluarga dan masyarakat umumnya. Di antara beberapa jenis metode kontrasepsi yang tersedia pada saat ini, MKET Metode Kontrasepsi Efektif Terpilih) adalah kontrasepsi yang dianggap efektif, murah, ( mudah didapat. Termasuk MKET adalah AKDR, Norplant dan Kontrasepsi Mantap wanita (Tubektomi) dan pria (Vasektomi). Namun demikian, agar kontrasepsi tersebut tidak menjadi bumerang pads masa yang akan datang, perlu dijaga dan ditingkatkan mutu pelayanan kontrasepsi tersebut. Khususnya jika ditinjau upaya yang ditujukan terhadap pelayanan kontrasepsi mantap (tubektomi dan vasektomi) peranan menjaga mutu tersebut amatlah penting. Penyebabnya bukan saja karena cara kontap merupakan tindakan pembedahan dan karena itu dapat mengundang munculnya risiko, tetapi juga karena memang cara kontap yang dimaksud sampai saat ini belum dapat diterima oleh sebagian anggota masyarakat. Dengan demikian apabila pelayanan kontap dilaksanakan tanpa memperhatikan aspek mutu, mudah diperkirakan akan munculnya pelbagai persoalan. Salah satu faktor penting untuk menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kontrasepsi adalah pencegahan infeksi. Dahulu perhatian hanya ditujukan kepada infeksi pasca bedah. Sekarang perlu perhatian pencegahan infeksi antara akseptor, akseptor petugas dan sebaliknya, mikro organisme, jasad penyebab infeksi termasuk bak1.c. i (kuman), virus, fungus (jamur) dan parasit. Dibicarakan cara-cara pencegahan infeksi, siklus transmisi penyakit, tujuan pencegahan infeksi pada KB, jenis-jenis antiseptik dan penerapannya pads pelayanan KB khususnya MKET. PENDAHULUAN Pelayanan KB bertambah luas, oleh karena itu perlu menjaga dan meningkatkan mutu. Salah satu faktor penting ialah pencegahan infeksi. Dahuluperhatian hanyaditujukan pada infeksi pasca bedah; 174

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

sekarang, perlu perhatian pencegahan infeksi antara akseptor, akseptor-petugas dan sebaliknya. Untuk itu dibicarakan pengetahuan dasar penyebaran infeksi, dan pencegahannya pada pelayanan KB.

DEFINISI-DEFINISI Mikro organisme; jasad penyebab infeksi termasuk : bakteri (kuman), virus, fungus (jamur), parasit. Bakteri, guna pencegahannya dibagi atas : - vegetatif (mis. stafilokok) - miko bakteri (tuberkulosa) - endospora (tetanus, gangren). Protective barrier (perisai pencegahan) dapat bersifat fisis, mekanis, kimiawi. Mencegah infeksi dari : - akseptor - akseptor — petugas - akseptor, dan sebaliknya. Asepsis/teknik asepsis - Usaha-usaha untuk mencegah mikroorganisme masuk ke dalam tubuh. - Mengurangi/menghilangkan mikroorganisme pada animate (kulit, jaringan tubuh) dan inanimate objects (instrumen). Antisepsis - Pencegahan infeksi dengan mematikan/mencegah turnbuhnya mikroorganisme path animate. Dekontaminasi - Proses membuat inanimate/instrumen menjadi lebih aman dikelola oleh petugas. Cleaning/Pembersihan — Proses pembersihan animate dan inanimate dari kotoran (darah, cairan tubuh, tanah atau debu). Disinfeksi - Proses menghilangkan sebagian besar mikroorganisme dari inanimate. High level disinfection (HLD) dengan air mendidih atau zat kimia menghilangkan semua kuman kecuali endospora. Sterilisasi - Proses mematikan semua mikroorganisme termasuk endospora pada inanimate objects. Disease transmission circle

Untuk pencegahan, perlu memotong lingkaran

TUJUAN Pencegahan infeksi path KB ditujukan untuk mengurangi infeksi yang menyebabkan antara lain : • infeksi luka • abses abdominal atau skrotal • gangren, tetanus • penyebaran virus.

Menggunakan protective barrier adalah cara efektif untuk mencegah penularan penyakit termasuk : a. cuci tangan b. memakai sarung tangan c. cairan antiseptik d. dekontaminasi, cleaning, disinfeksi, sterilisasi. ad.a) Cuci tangan perlu pads saat sebelum memeriksa akseptor, sebelum memakai sarung tangan, sesudah tangan terkontaminasi (darah, cairan tubuh), sesudah lepas sarung tangan. Mikroorganisme tumbuh path air yang tidak mengalir, oleh karena itu cuci tangan dengan air bersih yang mengalir, jangan cuci dengan air dalam baskom, walaupun diberi cairan antiseptik, gunakan alcoholic handrub dan keringkan dengan lap yang bersih keying. ad.b) Sarong tangan - HLD dapat dipakai untuk VT, IUD. Steril dipakai untuk operasi, minilap, norplant, vasektomi. Sarong yang tebal bersih untuk membersihkan instrumen. ad.c) Antisepsis Path IUD, Norplant, Minilap, vasektomi perlu : - cuci tangan, sarung tangan - bersihkan kulit akseptor dengan antiseptik. Antiseptik jangan dipakai untuk disinfeksi instrumen, kecuali alcohol dan jodium yang disinfeksi. Macam-macam antiseptik : Alkohol 60% - 90% Cetrimide, chlorhexidin (Savlon®) Choorhexidin Gluconate (Hibiscrub®) - Parachlorometaxylenol (Dettol®) Hexachlorophen (pHisohex®) Iodines (tincture, lugol) Ioduphors (Betadine®). Alkohol solusi untuk cuci tangan (alcoholic handscrub) dibuat sebagai berikut : Alkohol (60% - 90%) 100 ml + Glycerin, sorbitol 2 ml tiga kali dipakai 3 — 5 ml. ad.d) Pengelolaan instrumen Dasar pencegahan infeksi : - buang alat-alat disposable Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 175

— dekontaminasi cleaning — sterilisasi atau HLD Dekontaminasi Chloride 0,5% 10 mm Cuci & Cleaning HLD

Sterihsasi t

Autodlave

Dry Heat

Boil

Chemical

121 °C (250°F)

170°C

20 min

rendam 20 min

20 min tak dibungkus 30 min dibungkus

60 min

PENCEGAHAN INFEKSI PADA PEMASANGAN DAN PENGELUARAN AKDR LATAR BELAKANG Sebagaimana diketahui, banyak akseptor AKDR yang drop out karena infeksi; dari data yang ada ternyata ± 20% pemakai AKDR mengalami infeksi. Salah satu penyebabnya adalah pemasangan AKDR yang tidak steril. Potensi timbulnya infeksi pads pemakai AKDR dapat meningkat terutama di daerah dengan prevalensi infeksi STD seperti gonorea dan khlamidia tinggi. Namun demikian dengan proses pencegahan infeksi yang baik dan dianjurkan, petugas kesehatan dapat mengurangi risiko timbulnya infeksi pasca pemasangan AKRD dan bahaya penularan infeksi, bahkan penularan hepatitis B atau AIDS kepada akseptor, pembantu petugas kesehatan atau petugas kesehatan sendiri. Dengan proses pencegahan infeksi yang sederhana, praktis dan feasible semua fasilitas kesehatan dapat melakukan pencegahan infeksi pads pemakai AKDR, walaupun tanpa otokiaf atau sterilisator. Fasilitas kesehatan (klinik) demikian tidak perlu menyediakan instrumen dan sarung tangan steril, cukup dengan HLD (boiling). CUCI TANGAN DAN SARUNG TANGAN 1) Cuci tangan dilkukan sebelum : • memeriksa/kontak langsung dengan akseptor • memakai sarung tangan steril/HLD untuk pemasangan dan pengeluaran AKDR. 2) Cuci tangan dilakukan sesudah : • tangan terkontaminasi; misalnya memegang objek termasuk instrumn yang telah terkontaminasi dengan mikroorganisme, atau menyentuh selaput lendir, darah dan cairan tubuh (sekresi dan ekskresi). • menanggalkan sarung tangan. 176 Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

3) Sepasang sarung tangan dipakai untuk setiap akseptor untuk mencegah kontaminasi silang. Sarung tangan yang digunakan : • Dok'ter/Bidan : waktu melakukan periksa dalam atau pemasangan dan pengeluaran AKDR, dapat dipakai sarung tangan yang bersih yang disuci hamakan secara HLD (tidak perlu sarung tangan steril). • Staf pembersihan : cukup menggunakan sarung tangan tebal untuk membersihkan instrumen dan alat pembedahan lainnya serta semua permukaan yang terkontaminasi. Untuk mengurangi risiko transmisi penyakit dari instrumen, sarung tangan dan alat-alat lain yang terkontaminasi, lakukanlah pembersihan sebagai berikut : Bersihkan sisa-sisa kotoran dan dekontaminasi Cuci dan pembilasan Suci hama secara HLD atau — Sterilisasi. Contoh pemasangan AKDR (Cu-T) di klinik di mana tidak tersedia sarung tangan steril kecuali secara HLD dan tidak ada pembantu : 1) Sebelum memakai sarung tangan bukalah sebagian pembungkus AKDR pads pangkalnya. 2) Pakai sarung Langan, desinfeksi vulva, masukkan spekulum ke dalam vagina, sucihama vagina dan serviks 2—3 kali. 3) Pasang tenakulum pads serviks depan, lakukan sondage untuk mengetahui ukuran dan posisi uterus. 4) Masih di dalam pembungkus masukkan sebagian pendorong AKDR ke dalam insertor. 5) Dengan ibu jari dan telunjuk kiri pada kedua ujung sayap AKDR, bengkokkan sayap AKDR sampai bertemu pads kedua ujungnya. 6) Insertor ditarik sedikit, sambilmengangkat ujungnya, ujung sayap AKDR yang bersatu tadi masuk ke dalam insertor. 7) Cocokkan jarak antara cincin insertor dengan ujung insertor sesuai dengan ukuran uterus dengan cara mendorong insertor melalui cincin yang terfiksir. 8) Masukkan AKDR ke dalam uterus sesuai dengan posisi uterus. 9) Buka tenakulum dan spekulum ' USAHA-USAHA PENCEGAHAN INFEKSI PADA INSERSI AKDR Untuk mengurangi risiko timbulnya infeksi pasca pemasangan AKDR, hams diusahakan suatu lingkungan yang bebas infeksi antara lain : 1) Keluarkan calon akseptor yang dalam anamnesis dan pemeriksaan fisik mempunyai risiko STD (Sexually Transmitted Disease). 2) Cucilah tangan dengan air sabun sebelum dan sesudah pemasangan. 3) Bila mungkin suruhlah calon akseptor membersihkan alat genitalia sebelum periksa dalam untuk staining. 4) Pakailah instrumen dan sarung tangan yang disucihama secara HLD atau steril.

5) Desinfeksi vagina dan serviks dengan larutan antiseptik sebelum pemasangan AKDR. 6) Pasangkan AKDR ke dalam insertor di dalam bungkusan yang steril. 7) Gunakan teknik insersi no touch untuk mengurangi risiko kontaminasi uterus. 8) Buanglah bahan-bahan kotor (train kasa, kapas dan sarung tangan disposable) sesudah pemasangan AKDR. 9) Dekontaminasi instrumen dan alat-alat lainnya yang dapat dipakai kembali segera setelah pemasangan AKDR. USAHA-USAHA PENCEGAHAN INFEKSI PADA PENGELUARAN AKDR Walaupun jarang menyebabkan infeksi panggul, pengeluaran AKDR hams dilakukan sebagaimana pencegahan infeksi pada pemasangannya. Untuk mengurangi risiko terhadap dokter dan pembantunya pads saat pengeluaran AKDR, beberapa petunjuk di bawah ini : 1) Cuci tangan dengan air sabun/antiseptik sebelum dan sesudah setiap prosedur. 2) Kalau mungkin, akseptor diminta membersihkan alat genitalia sebelum periksa dalam. 3) Gunakanlah instrumen dan sarung tangan (sepasang) yang bersih dan sucihama secara HLD atau steril. 4) Desinfeksi dengan antiseptik serviks dan vagina sebelum prosedur. 5) Buanglah bahan-bahan kotor (kasa, kapas dan sarung tangan disposable) ke dalam tempat/kontener yang disediakan. 6) Dekontaminasi instrumen dan alat-alat lain segera setelah selesai dipakai.

PENCEGAHAN INFEKSIPADAPEMBE DAHAN MINILAP DAN LAPAROSKOPI LATAR BELAKANG Ribuan bahkan ratusan ribu prosedur kontap minilap dan laparoskopi telah dilakukan tanpa komplikasi infeksi yang serius. Namun demikian infeksi yang sangat berbahaya selalu mengancam dan dapat terjadi pads kedua prosedur tersebut, termasuk tetanus, gangren dan sepsis. Infeksi lainnya yang biasa terjadi namun tidak begitu berbahaya termasuk infeksi luka pembedahan yang ringan. Oleh karena tetanus dan gangren disebabkan oleh bakteri berspora, maka perlengkapan instrumen dan alat-alat pembedahan hams dalam keadaan steril, karena sterilisasi adalah satu-satunya cara yang dapat membunuh endospora bakteri. Bila fasilitas sterilisasi tidak tersedia, high level desinfection (HLD) dengan merebus adalah suatu alternatif. SUMBER INFEKSI Sumber infeksi mungkin berasal dari : 1. Teknik pembedahan yang salah. 2. Alat-alat pembedahan yang tidak sucihama. 3. Cuci tangan/scrubbing yang tidak sempurna dan sarung

tangan yang bocor. 4. Kamar bedah, fasilitas cuci tangan dan persediaan air bersih yang tidak memadai. 5. Akseptor/penderita. 6. Team bedah dan staf kamar bedah lainnya. PENCEGAHAN INFEKSI Teknik asepsis : 1) Teknik pembedahan yang baik. 2) Mengurangi risiko timbulnya infeksi melalui alat-alat pembedahan, sarung tangan dan peralatan lainnya; setelah selesai pembedahan peralatan-peralatan tersebut harus didekontaminasi, dibersihkan dan disterilkan atau direbus (HLD). Penting diingat : 1) Di samping sterilisasi alat-alat atau merebus (HLD), pembersihan untuk mengeluarkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan organik dari perlengkapan pembedahan adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi risiko timbulnya infeksi tetanus dan gangren. 2) Staf kamar bedah yang diduga infeksius atau mengalami lesi atau luka di daerah terbuka (muka, lengan dan tangan) sebaiknya tidak diikutsertakan dalam pembedahan atau berada dalam kamar bedah. Cuci tangan/scrubbing dan sarung tangan Cuci tangan yang sempuma dan memakai sarung tangan yang baik adalah kunci untuk memperkecil risiko infeksi terhadap akseptor, staf kamar bedah dan team pembedahan. Cuci tangan mungkin suatu tindakan sederhana yang paling penting dalam pencegahan infeksi. Menggosok semua permukaan tangan yang dilumuri dengan air sabun atau antiseptik akan mengeluarkan bahkan membunuh banyak organisme. Cuci tangan dilakukan : Sebelum : memeriksa/kontak langsung dengan akseptor/penderita – memasang sarung tangan steril Sesudah : — memegang objek termasuk alat-alat bedah yang mungkin telah terkontaminasi dengan mikroorganisme. — menyentuh selaput lendir, darah atau cairan tubuh lainnya (cairan sekresi atau ekskresi). – menanggalkan sarung tangan, karena mungkin saja sarung tangan telah mengalami kebocoran kecil yang tidak tampak dengan mata telanjang. Scrubbing (Surgical handscrub) : – Petugas operasi (dokter, paramedik dan teknisi) harus membersihkan tangan (scrub) selama 3–5 menit dengan antiseptik (Betadine®, Savlon® dan lain sebagainya). – Bila hanya sabun dan air yang tersedia, dianjurkan untuk menggunakan alkohol (60—90%) untuk pembilasan. — Setelah memakai topi dan masker penutup mulut, scrubbing dilakukan sebelum menggunakan gaun operasi dan sarung tangan. Idealnya setiap operator dan asisten harus cuci tangan/ scrubbing sebelum setiap pembedahan. Apabila jumlah pasien Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 177

yang dilayani banyak, scrubbing yang terlalu sering mungkin akan menyebabkan iritasi pads lengan; dalam hal ini dianjurkan scrubbing sekali dalam 1 jam atau setelah 4—5 kasus, untuk mencegah rekolonisasi mikroorganisme pads kulit. — Scrubbing juga dianjurkan sesudah melakukan pembedahan kasus yang diduga terinfeksi sebelum meninggalkan kamar bedah dengan algsan apapun atau bila sarung tangan bocor. Sarung tangan : 1) Pakailah sarung tangan (disposable atau tidak) yang disucihamakan secara HLD pads saat pemasangan elevator uterus. 2) Pakailah sepasang sarung tangan steril pada waktu pembedahan (bila sterilisator tidak tersedia, cukup secara HLD). 3) Pakailah sepasang sarung tangan yang bersih dan tebal untuk membersihkan instrumen, alat-alat pembedahan lainnya dan barang-barang lainnya yang terkontaminasi. 4) Jangan menggunakan sarung tangan yang bocor/robek. Memproses instrumen, sarung tangan dan alat-alat pembedahan lainnya yang sudah terpakai. 1) Selesai pembedahan, sarung tangan masih terpasang, buanglah semua bahan-bahan yang terkontaminasi (kain kasa, kapas dan lain-lain) ke dalam kantong plastik tertutup atau kontener tertutup. 2) Instrumen dan sarung tangan yang telah mengalami kontak langsung dengan darah dan cairan tubuh harus langsung dibersihkan (dekontaminasi) dengan larutan desinfektan (larutan chlorine 0,5%). Dekontaminasi laparoskop, cumber cahayafibre optic dengan kain lap lembut yang dicelupkan ke dalam larutan alkohol 60% — 90% untuk mengeluarkan sisa-sisa darah dan bahan-bahan organik lainnya. 3) Meja operasi, standar instrumen dan standar lampu yang mungkin telah terkontaminasi dengan cairan tubuh hams dibersihkan (dekontaminasi) dulu sebelum dipakai. 4) Bersihkanlah benar-benar semua instrumen, wrung tangan dan kain-kain operasi dengan air sabun/detergen sebelum disterilkan. 5) Akhirnya instrumen, sarung tangan dan kain-kain operasi harus disterilkan. Bila fasilitas sterilisasi tidak tersedia, semua peralatan tersebut disucihamakan secara HLD (boiling). Sterilisasi, suatu proses yang dapat membunuh semua mikroorganisme termasuk endospora bakteri, adalah cara yang dianjurkan untuk mensucihamakan instrumen dan alat-alat pembedahan lainnya yang berhubungan langsung dengan aliran darah dan jaringan di bawah kulit. Kamar bedah Lokasi kamar bedah sebaiknya tersendiri dengan pintupintu yang dapat dikunci dan jauh dari keramaian/lalu lintas di klinik atau rumah sakit. 1) Mempunyai cukup penerangan. 2) Lantai/ubin yang mudah dibersihkan. 3) Dijaga agar bebas dari debu dan serangga. 4) Air-condition kalau mungkin. 5) Mempunyai fasilitas cuci tangan dengan persediaan air bersih. 6) Mempunyai kamar tukar pakaian yang dekat dengan kamar 178

Cermin Dunia Kedo/aeran, Edisi Khusus No. 80, 1992

bedah tanpa melalui area lalu lintas yang ramai atau terkontaminasi tinggi seperti : bangsal dan kamar terapi. 7) Kontener-kontener tertutup atau kantongan plastik tempat pembuangan bahan-bahan/sampah yang terkontaminasi, harus tersedia. Mengurangi risiko kontaminasi di dalam kamar bedah : 1) Menjaga seminimal mungkin lalu lintas dan jumlah orang selama pembedahan. 2) Pintu tertutup untuk menjaga masuknya orang-orang yang tidak berkepentingan, mengurangi lalu lintas orang dan aliran udara. 3) Alat-alat bedah yang bersih dan kotor disimpan terpisah. 4) Akseptor/penderita masuk kamar bedah dan meja operasi tanpa melalui tempat instrumen yang bersih atau steril disiapkan atau disimpan. Persiapan prabedah untuk akseptor/penderita Oleh karena kulit tidak dapat disterilkan, pembersihan prabedah atas daerah operasi dengan larutan antiseptik dapat mengurangi mikroorganisme dari kulit akseptor yang dapat menimbulkan kontaminasi dan akhirnya infeksi. 1) Calon akseptor mandi sebelum pembedahan. Bila hal ini tidak mungkin, sebelum memasuki kamar bedah, seorang staf membersihkan kulit daerah operasi dengan air sabun. 2) Rambut kulit perut dan pubes tidak perlu dicukur kecuali mengganggu daerah operasi. Bila perlu, cukurlah rambut segera sebelum pembedahan untuk mengurangi waktu pertumbuhan bakteri pada kulit. 3) Sapukan antiseptik (ump. larutan Betadine®) di atas daerah operasi mulai dari tengah dan bergerak ke samping perut. Pakaian/baju operasi untuk akseptor staf kamar bedah Kamar bedah harus selalu bersih, akseptor dan staf kamar bedah hams memakai pakaian yang bersih. 1) Akseptor harus memakai pakaian/gaun yang bersih. 2) Staf kamar bedah termasuk staf pembersihan harus ganti baju/gaun yang bersih, topi dan masker sebelum memasuki kamar bedah. 3) Masker harus menutupi hidung dan mulut dan harus diganti baru kalau basah. 4) Topi harus menutupi semua rambut. 5) Sepatu harus ditutupi atau diganti dengan sepatu yang khusus dipakai dalam kamar bedah. Beberapa nasehat untuk pencegahan infeksi Prabedah: 1) Pilihlah calon akseptor yang kecil risikonya untuk infeksi dan perlekatan/peradangan panggul, dan tidak kurang gizi dan terlalu gemuk. 2) Bila mungkin calon akseptor disuruh mandi dan membersihkan alat genitalia dan dinding perut sebelum memasuki kamar bedah. 3) Sebelum memasang elevator uterus atau manipulator, serviks dan vagina dibersihkan dengan antiseptik beberapa kali. Bila antiseptik (Betadine®) yang digunakan, biarkan 1—2 menit untuk memberi waktu kepada jodium yang bebas dan waktu kontak untuk membunuh mikroorganisme.

4) Cuci tangan/scrubbing yang sempurna dengan larutan antiseptik dan air sebelum setiap pembedahan. 5) Bersihkanlah dinding perut dengan larutan antiseptik pada daerah operasi, khususnya daerah umbilikus. Staf pembedahan : 1) Jagalah agar lalu lintas dan jumlah orang berada dalam kamar bedah seminimal mungkin. 2) Pakailah pakaian yang khusus untuk kamar bedah. 3) Gunakanlah instrumen, sarung tangan dan peralatan bedah lainnya yang bersih, steril atau HLD. 4) Pilihlah teknik pembedahan yang baik dengan trauma jaringan dan perdarahan seminimal mungkin. Pasca bedah : 1) Buanglah semua bahan-bahan yang terkontaminasi (train kasa, kapas sarung tangan disposable) ke dalam kontener yang tertutup rapat. 2) Bersihkan (dekontaminasi) semua instrumen dan peralatan lainnya segera setelah siap dipakai atau sebelum disterilkan. 3) Bersihkan (dekontaminasi) meja operasi, standarinstrumen, dan lampu dan semua permukaan yang terkontaminasi selama pembedahan. 4) Cucilah tangan sesudah menanggalkan sarung tangan. Memelihara lingkungan kamar bedah yang aman Mempertahankan lingkungan yang aman, bebas infeksi adalah suatu proses yang membutuhkan latihan yang berkelanjutan dari staf kamar bedah dengan supervisi yang baik. Dengan mengingat persyaratan dan perlakuan yang telah ditetapkan, semua jenis infeksi pasca bedah termasuk penularan HBV dan HIV dapat dicegah. Namun demikian persyaratan dan perlakuan tersebut di atas harus diterapkan tanpa pamrih sebelum, sedang dan sesudah setiap prosedur pembedahan. Kelemahan satu titik pada hal-hal yang rutin dapat menimbulkan bahaya pads prosedur selanjutnya.

PENCEGAHAN INFEKSI PADA KONTAP PRIA VASEKTOMI Di berbagai negara di dunia vasektomi semakin populer dan meningkat jumlahnya sebagai kontrasepsi mantap. Setiap tahun jumlah akseptor vasektomi terus meningkat dan aman. Namun demikian, bila prosedur pembedahannya tidak benar, infeksi yang berbahaya bahkan mengancam jiwa akseptor seperti tetanus, gangren, dan sepsis skrotal serta abdominal dapat saja terjadi. Untuk mencegah hal-hal tersebut, teknik aseptik yang balk termasuk teknik pembedahan yang benar dapat mengurangi risiko transmisi penyakit yang mungkin berasal dari instrumen, sarung tangan dan peralatan lainnya yang tidak sucihama sebelumnya. Oleh karena itu semua peralatan tersebut harus didekontaminasi, dibersihkan dan disterilkan atau HLD sebelum dan sesudah setiap pembedahan. Proses pencegahan infeksi pads kontap vasektomi lama seperti yang dilakukan kontap wanita minilap dan laparoskopi, termasuk :

1. 2. 3. 4.

Cuci tangan/scrub dan sarung tangan. Memproses instrumen, sarung tangan dan peralatan lainnya. Persyaratan kamar bedah yang baik. Dan lain-lain.

SELEKSI KASUS/AKSEPTOR Untuk mengurangi risiko komplikasi pasca bedah, penyakit kulit/scrotum atau sexually transmitted disease seperti gonorea dan chlamidia harus diobati dulu sebelum vasektomi. Penyakitpenyakit lain yang dapat mempersulit pembedahan dan meningkatkan risiko timbulnya infeksi antara lain : 1) Varikokel yang luas 2) Hernia inguinalis 3) Filariasis 4) Bekas luka/keloid 5) Bekas pembedahan skrotum 6) Massa intraskrotal 7) Anemia berat 8) Penyakit darah/kelainan sistim perdarahan 9) Diabetes mellitus (harus terkontrol sebelum operasi) 10) Penyakit jantung.

PERSIAPAN PRABEDAH UNTUK AKSEPTOR Pembersihan kulit scrotum dengan larutan antiseptik akan mengurangi jumlah mikroorganisme kulit yang dapat mengakibatkan kontaminasi pada . luka operasi dan menimbulkan infeksi. 1. Calon akseptor mandi dahulu dan memakai pakaian yang longgar sebelum ke klinik. Bersihkan daerah operasi scrotum, penis dan lipat paha dengan air sabun sebelum memasuki kamar . operasi. 2. Bersihkan dan scrub daerah operasi dengan larutan antiseptik yang tersedia (umpama Betadine®) mulai dari Langan dengan gerakan sirkuler. Biankan 2 menit. TEKMK PEMBEDAHAN Gunakanlah teknik pembedahan yang dapat mengurangi risiko infeksi : insisi kecil anestesi lokal yang cukup manipulasi janingan yang hati-hati – hemostasis – perhatikan teknik aseptik. Salah satu komplikasi yang mu,,gkin terjadi adalah hematoma scrotum akibat hemostasis yang tidak baik, balk pads pembedahan "satu insisi" atau "2 insisi". Untuk mengurangi risiko ini kini telah dikembangkan "vasektomi tanpa pisau" (VTP) yang pertama-tama dikembangkan di RRC. PENCEGAHAN INFEKSI PASCA BEDAH Serupa dengan prosedur kontap wanita lainnya.

Cermin Dunia Kedolaeran, Edisi Khusus No. 80, 1992 179

PENCEGAHAN INFEKSI PADA PEMASANGAN DAN PENGELUARAN NORPLANT LATAR BELAKANG Dengan diterimanya sistem Implant kontrasepsi Norplant di Amerika Serikat dan 17 negara lainnya, diharapkan penggunaan Norplant akan sangat meningkat dalam beberapa tahun mendatang. Kini, dari hasil-hasil trial yang dilaporkan, masalah infeksi hanya terbatas pada infeksi ringan kurang dari 1%, dan jarang terjadi abses yang sampai menjadi penyebab pengeluaran norplant. Walaupun pemasangan dan pengeluaran norplant subdermal suatu pembedahan ringan, namun teknik aseptik dan teknik pembedahan yang baik dapat mencegah meningkatnya infeksi pada daerah insersi norplant. Infeksi yang terjadi, walaupun ringan adalah penyebab utama penularan virus hepatitis B dan AIDS kepada akseptor, petugas kesehatan dan staf klinik, terutama petugas pembersihan. Untuk mengurangi risiko tersebut, bahan-bahan yang terkontaminasi darah harus dibuang di tempat yang telah ditentukan, dan semua instrumen, sarung tangan dan peralatan lainnya harus didekontaminasi, dibersihkan dan disterilkan atau secara HLD (High Level Desinfection). Disamping sterilisasi/HLD instrumen dan alat-alat bedah lainnya, pembersihan kulit lengan akseptor juga tidak kalah pentingnya untuk mencegah infeksi dan mengurangi risiko timbulnya infeksi tetanus dan gangren. Cara-cara cuci tangan, pemasangan sarung tangan, pembersihan instrumen dan peralatan lainnya serupa dengan prosedur yang dilakukan pada pembedahan kontap dan pemasangan AKDR. Persiapan prabedah untuk akseptor : 1) Sebelum memasuki kamar bedah lengan dan tangan akseptor dibersihkan dengan air sabun (lebih balk larutan antiseptik), kemudian dibilas dan dikeringkan dengan handuk bersih. 2) Akseptor dapat memakai bajunya sendiri asalkan bersih. 3) Daerah operasi dibilas dengan antiseptik yang tersedia umpama Betadine® secara sirkuler mulai dari tengah, biarkan selama 2 menit karena Betadine® bekerjanya lambat. Untuk mencegah infeksi pada saat pemasangan dan pengeluaran Norplant, lakukanlah urutan-urutan langkah berikut : Insersi implant Persiapan :

1) Cuci tangan dengan air sabun. 2) Meja operasi dan support lengan ditutup dengan kain bersih. 3) Tidurkan akseptor dengan lengan di alas, direntangkan di alas meja/support lengan. 4) Bersihkan dan bilas lengan akseptor. Persiapan daerah insersi :

1)

180

Letakkan sepotong kain bersih yang kering di bawah lengan

Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992

akseptor. 2) Bersihkan daerah operasi dengan salah satu larutan antiseptik berikut : Jodium 2–3% diikuti dengan alkohol 60–90% – Betadine® – Alkohol 60–90% – 4% chlorhexidine (Hibitane®) Savlon® atau antiseptik lain yang tersedia di klinik. 3) Dengan menggunakan kapas atau kain kasa yang telah dicelupkan ke dalam larutan antiseptik, daerah operasi disapu mulai dari tengah dan bergerak ke arah luar dengan gerakan sirkuler. Daerah insersi terbaik adalah bagian medial lengan alas kira-kira 6–8 cm di was lipatan siku. Insersi yang aseptik :

1) Siapkan tempat instrumen. Bukalah pembungkusnya tanpa menyentuhnya. 2) Dengan hati-hati bukalah kantongan berisi kapsul Norplant. Jangan sampai implant jatuh di alas pembungkus instrumen, karena kontak dengan kapas atau kain dapat menyebabkan implant lebih reaktif, lebih peka sehingga menyebabkan adhesi dan keloid karena partikel-partikel kecil dari kapas akan melekat pada kapsul silastik. 3) Pakailah sarung tangan yang disucihamakan secara HLD tanpa mengandung talkum. 4) Insersi 6 kapsul Norplant. Sewaktu memasukkan trokar, tidak boleh menyentuh bagian trokar yang masuk ke dalam bawah kulit. 5) Setelah insersi, sapukanlah sedikit larutan antiseptik di atas daerah insersi. 6) Bila infeksi terjadi, rawatlah luka operasi dengan pengobatan yang sesuai. 7) Bila terjadi abses (dengan atau tanpa tanda-tanda ekspulsi implant), keluarkanlah semua implants. Pengeluaran implant Semua urutan-urutan langkah sama dengan pemasangan Implant. Pemeliharaan trokar Trokar yang digunakan untuk insersi Norplant harus dijaga selalu tajam untuk mengurangi risiko infeksi yang disebabkan oleh trauma jaringan. 1) Periksalah trokar setiap 10 insersi. 2) Bila tumpul, asahlah dengan batu pengasah yang halus. 3) Hindarkan pengasahan yang berlebihan agar ujungnya tidak rusak. 4) Mungkin setelah 100 insersi, trokar harus diganti, bukan lagi diasah. KEPUSTAKAAN 1. Infection Prevention for Family Planning Service Programs. JHPIEGO Publ 1991. 2. Panduan Program Menjaga Mutu Pelayanan Kontrasepsi Mantap PKMI, Mei 1991.

Related Documents