International Standard Serial Number: 0125 – 913X
No. 67, Kardovaskuler
Karya Sriwidodo
Daftar Isi : 2. Editorial 4. English Summary Artikel: 5. Pendekatan Rasional (Epidemiologi) Penderita Gawat Jantung – Budi Susetyo Pikir 15. Tatalaksana Payah Jantung Akut – Iwan N. Boestan, M. Yogiarto, Iswanto P, Anwar S 19. Tatalaksana Gawat Jantung pada Anak – Soebijanto Poerwodibroto 25. Tatalaksana Gawat Darurat Jantung dan Pembuluh Darah dari Segi Bedah Kardiovaskular – Paul Tahalele 36. Penanganan Gawat Danirat Jantung di Luar Rumah Sakit – Jatno Karjono 41. Pengobatan Infark Miokard Akut – Mariani Budisantosa 48. Krisis Hipertensi – Sunoto Pratanu 51. Kegiatan Ilmiah : – Simposium Dimensi Baru Penatalaksanaan Hipertensi, Jakarta 1 Februari 1991 – Kongres Nasional VI Perhimpunan Kardiologi Indonesia (KOPERKI VI), Ujungpandang 3–6 Maret 1991 57. Humor Kedokteran 58. Abstrak 60. Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran
Makin berkurangnya penyakit-penyakit infeksi akan menyebabkan makin pentingnya penyakit penyakit'degeneratif sebagai masalah kesehatan; hal ini tercermin antara lain dari hasil Survai Rumah Tangga yang diadakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahuu 1986 yang lalu; survai tersebut menunjukkan bahwa penyakit kardiovaskuler telah menduduki tempat ke tiga sebagai penyebab kematian di Indonesia. Tidaklah mengherankan apabila masalah kardiovaskuler mendapatkan perhatian yang besar di kalangan kedokteran, dan banyak dibahas dalam berbagai kesempatan; salah satu di antaranya ialah Simposium Tatalaksana Gawat Darurat di bidang Penyakit Jantung yang diadakan oleh bagian Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo – naskah-naskah lengkapnya kami terbitkan dalam edisi Cermin Dunia Kedokteran kali ini. Ditambah dengan berita dari Simposium Dimensi Baru pada Penatalaksanaan Hipertensi yang telah diadakan di Jakarta beberapa waktu yang lalu, dan Kongres Nasional VI Perhimpunan Kardiologi Indonesia, redaksi mengharapkan agar edisi ini berguna bagi para sejawat untuk tetap dapat mengikuti pelbagai perkembangan terakhir di bidang kardiologi, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan para pasien. Selamat membaca. Redaksi
2
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
International Standard Serial Number: 0125 – 913X
REDAKSI KEHORMATAN
KETUA PENGARAH Dr Oen L.H KETUA PENYUNTING Dr Budi Riyanto W PELAKSANA Sriwidodo WS
– Prof. DR. Kusumanto Setyonegoro Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. R.P. Sidabutar
ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Telp. 4892808 NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. Dr. Sudarto Pringgoutomo Guru Besar Ilmu Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
– Prof. DR. B. Chandra Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
– Prof. Dr. R. Budhi Darmojo Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
– Drg. I. Sadrach Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, Jakarta
– DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
PENERBIT Grup PT Kalbe Farma PENCETAK PT Midas Surya Grafindo
REDAKSI KEHORMATAN – DR. B. Setiawan
– Drs. Victor S Ringoringo, SE, MSe.
– Drs. Oka Wangsaputra
– Dr. P.J. Gunadi Budipranoto
– DR. Ranti Atmodjo
– DR. Susy Tejayadi
PETUNJUK UNTUK PENULIS Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidangbidang tersebut. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila telah pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah media sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan-kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelasjelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor
sesuai dengan urutan pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan tertukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/atau Uniform Requirements for Manuseripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh: Basmajian JV, Kirby RL. Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore. London: William and Wilkins, 1984; Hal 174–9. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading microorganisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physiology: Mechanisms of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974; 457-72. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. l990 64 : 7-10. Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk. Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran P.O. Box 3105 Jakarta 10002 Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis. Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.
Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis. Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
3
English Summary MANAGEMENT OF HEART FAILURE Iwan N. Boestan, M. Yogiarto, Iswanto P., Anwar S. Dept.of Cardiology, Faculty of Medicine, Aklangga University, Surabaya.
Acute heart failure is a critical condition which needs prompt decision, special care and management carried out by a cornpetent team of doctors and paramedics. However, the mortality rate is still high. Management strategies are based on the underlying pathophysiology: to Improve tissue oxygenation, to reduce wedge pulmonary pressure and to improve myocardial contractility. Ultimate treatment is aimed at the underlying disease. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 67: 15-8 brw/olh
MANAGEMENT OF CARDIAC EMERGENCIES IN COMMUNITY SETTING Jatno Karyono Dept.of Cardiology, Faculty of Medicine, Alrlangga University, Surabaya.
Coronary heart disease is currently the most important cause of death in many industrialized countries and is becoming more prominent in developing countries such as Indonesia. The high mortality rate of the cases treated outside the hospital prompts the development of management of cardiac emergencies in community setting. This system has been developed in the Soviet Union since 1919, and also in the USA and other industrialized countries since 1960 with its optimal level reached in the 19801es. It consists of prehospital emergency cardiac care with a mobile coronary care unit, supported by specially trained paramedics and doctors; with close monitoring from hospital base. The success rate is variable; it depends on the location of the emergency situations, personnel skill and other factors such as transportation, communication and effectiveness of the techniques used. Indonesia should begin to consider to build this system which Can be incorporated into the, already existing referral system, including the Puskesmas. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 6: 36-40 Brw/olh
4
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
TREATMENT OF ACUTE MYOCARDIAL INFARCTION Mariana Budisantosa Dept. of Cardiology, FacullyofMedicine, Alrlangga University, Surabaya.
Total occlusion of coronary arteries were found in 87% of acute myocardial infarction examined within the first four hours. Occlusion is the result of rupture of an atherosclerotic plaque, followed by platelet adhesion and aggregation forming a thrombus, and secondary vasospasm caused by the release of thromboxane and cathecolamines. As a result, myocardial ischemia occurs, beginning from the endocardium and reach the epicardium within 3 - 6 hours. Therapy should be instituted within the early hours, in order to salvage the ischemic myocard, to reopen the coronary arteries with thrombolytic agents and to anticipate complications. Cermin Dunia Kedokt. 1991; 67: 41-7 brw/olh
Artikel Pendekatan Rasional (Epidemiologi) Penderita Gawat Jantung Budi Susetyo Pikir Laboratorium/UPF Kardiologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
PENDAHULUAN Dalam dekade terakhir ini perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penyakit jantung amat pesat. Begitu pula perkembangan dalam diagnosis dan pengobatan penderita dengan Gawat Jantung yang biasanya melibatkan peralatan-peralatan yang canggih dengan biaya yang mahal dan obat-obatan yang sangat mahal pula.Untuk itu perlu perencanaan yang baik dan pendekatan yang rasional untuk mendapatkan efisiensi yaitu benefit yang setinggi-tingginya dengan cost atau risk yang serendah-rendahnya untuk menghindarkan pemborosan dan menghindarkan penderita dari risiko yang tidak perlu. Masalah penting yang harus diperhatikan ialah fasilitas dan dana yang selalu terbatas. Sebetulnya ada sedikit perbedaan antara cost-benefit analysis dengan cost-effectiveness analysis. Pada cost-benefit analysis, cost dan benefit ditunjukkan dalam nilai uang, sedangkan pada cost-effectiveness analysis, cost dalam nilai uang tetapi effectiveness dalam health benefit. Health benefit tersebut dihitung dalam unit misalnya jumlah yang hidup (diselamatkan), jumlah tahun kehidupan, kualitas hidup, dan sebagainya. Tujuan cost-effectiveness analysis ialah dengan sumber daya dan fasilitas yang ada, mendapatkan health benefit setinggitingginya dengan biaya yang serendah-rendahnya1. ANALISIS PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK (CLINICAL DECISION ANALYSIS/MAKING) PADA PENDERITA GAWAT JANTUNG A. Pembuatan Keputusan Klinik dalam Diagnosis Gawat Jantung Untuk mendapatkan cost-effectiveness yang sebaik-baiknya, dalam pemilihan tes diagnosis harus didahului dengan estimasi
probabilitas dari penyakit (pre-test probability atau prevalensi) dan mengetahui sensitivity dan specificity dari tes tersebut1,2. Hal lain yang perlu diketahui ialah tujuan dari tes diagnosis tersebut; yaitu : 1. Untuk diagnosis konfirmasi, etiologi dan faktor risiko serta berat penyakit. 2. Untuk menentukan manajemen penyaldt. 3. Untuk menentukan prognosis dan stratifikasi faktor risiko. 1. Untuk Diagnosis Penyakit Proses diagnosis membutuhkan dua langkah penting. Langkah pertama ialah membuat hipotesis diagnosis, langkah selanjutnya ialah menyingkirkan penyakit lain dan konfirmasi diagnosis. Proses tersebut dapat diselesaikan dengan memilih tes yang sangat sensitif, sehingga apabila hasil tes negatif (normal) berarti dapat menyingkirkan diagnosis penyakit tersebut; sedangkan untuk konfirmasi dipilih tes yang sangat spesifik, apabila tes positif (abnormal) maka diagnosis pasti dapat ditegakkan2. Pada penderita yang tidak gawat, tes diagnostik biasanya dilakukan secara serial, tetapi pada penderita gawat biasanya dilakukan secara paralel. Untuk cepatnya dipilih satu tes yang sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk memastikan diagnosis3. Setelah dilakukan konfumasi diagnosis, tujuan tes selanjutnya ialah mencari etiologi kalau mungkin, mencari faktor risiko dan menilai berat/komplikasi penyakit'. Menilai berat penyakit atau mencari komplikasi selain untuk manajemen juga untuk menilai prognosis serta stratifikasi risiko3,4. 2. Untuk menentukan Manajemen Penyakit Misalnya pemasangan Baloon-tipped pulmonary catheter
Dibacakan pada: Simposium Tatalaksana Gauat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
5
(Swan-Ganz Catheter) pada penderita Infark Miokard Akut Killip III (payah jantung kid berat) dan IV (shockkardiogenik)4. Pemeriksaan faktor risiko koroner pada penderita Infark Miokard Akut untuk kepentingan pencegahan sekunder3. Pada penderita yang sangat mencurigakan adanya Infqrk Miokard Akut, pengobatan klasik seperti pemberian morfin dan sebagainya tidak usah menunggu diagnosis pasti5, tetapi untuk memberikan pengobatan trombolitik harus konfilmasi dengan elektrokardiogram6. 3. Untuk menentukan Prognosis dan StratiCikasi Risiko Untuk menentukan hal ini pada penderita dengan Infark Miokard Akut dapat melalui pemeriksaan klinik, EKG, enzim CK-MB serial, ekhokardiografi, monitoring hemodinamik, uji latih beban, dan sebagainya4. Pada penderita krisis hipertensi diperiksa faal ginjal7. • Sensitifitas dan Spesifisitas suatu tes Setiap prosedur tes laboratorium dan tes diagnostik mempunyai seperangkat sifat yang menggambarkan informasi yang diharapkan pada penderita dengan dan tanpa penyakit yang dipertanyakan. Tes tersebut dapat memberitahu klinikus 2 pertanyaan penting : 1). Apabila penyakit memang ada, berapa persen tes abnormal (positif), dengan kata lain berapa persen sensitifitasnya. 2). Apabila penyakit memang tidak ada, berapa persen tes normal (negatif), dengan kata lain berapa persen spesifisitasnya. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 1.
Sensitivity
= = = =
a Sensitivity = ––– b
6
true positive, false positive, false negative, true negative,
terdapat penyakit dan tes positf tidak terdapat penyakit tetapi tes positf terdapat penyakit tetapi tes negatif tidak terdapat penyakit dan tes negatif
d Specificity = ––– b+d
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
TP –––– TP+FN
TN Specificity = ––––– FP+TN
Diagnostic Accuracy
=
a+d –––––– a+b+c+d
Diagnostic Accuracy
=
TP + TN –––––––– TP+FP+FN+TN
Sensitifitas ialah berapa persen penderita dengan penyakit tersebut menunjukkan tes positif. Spesifisitas ialah berapa persen penderita tanpa penyakit tersebut menunjukkan pula tes negatif. Tes yang paling ideal ialah selalu positif apabila penyakit ada (sensitifitas 100%) dan selalu negatif apabila tidak didapatkan penyakit (spesifisitas 100%). Tetapi tes yang memiliki sifat demikian ini sangat sedikit. Biasanya makin tinggi sensitifitas justru spesifisitasnya makin menurun, demikian sebaliknya apabila tes makin spesifik malahan tidak sensitif. Yang perlu diperhatikan pula ialah bila tes sama tetapi kriteria diagnosis berubah akan mengubah pula sensitifitas dan spesifisitasnya. Pemakaian kriteria diagnosis yang makin ketat, menyebabkan tes makin spesifik tetapi menjadi kurang sensitif2. • Predictive Value dari suatu tes Tugas seorang klinikus ialah menentukan secara tepat ada tidaknya suatu penyakit, maka pertanyaan yang harus dijawab pula ialah : 1). Apabila tes positif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang ada; disebut sebagai Positive predictive value. 2). Apabila tes ttegatif, berapa persen yang betul-betul penyakitnya memang tidak ada yang disebut sebagai Negative predictive value. Hasil dari positive predictive value maupun negative predictive value sangat tergantung dari probabilitas adanya penyakit sebelum tes yang disebut sebagai Pre-test probability atau prevalensi. Cara mengukur parameter tersebut ialah sebagai berikut2. Tabel 2.
Keterangan a = TP b = FP c = FN d = TN
=
Positive predictive value =
a ––– a+b
Positive predictive value =
TP ––––– TP + FP
Negative predictive value =
d ––– c+d
Negative predictive value =
FN ––––– FN + TN
2. Apabila tes negatif, berapa persen probabilitas adanya penyakit ? Hal ini dapat dilihat pada label sebagai berikut. Tabel 3.
Pre-test probability dan Post-test probability Untuk mengetahui Post-test probability diperlukan pengetahuan mengenai persentase prevalensi atau pre-test probability dari penyakit yang biasanya dapat diperkirakan dari annamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman klinikus.Hal ini penting untuk memilih tes terbaik untuk menentukan diagnosis penyakit secara tepat2. Pre-test probability tersebut disebut juga prevalence (prevalensi). Untuk menentukan pre-test probability tersebut dapat berdasarkan sumber dari 1) kepustakaan medis, 2) data lokal, dan 3) clinical judgment. Prevalensi tersebut sangat mempengaruhi hasil predictive value dari tes. Tes diagnostik sangat berguna bila kemungkinan adanya penyakit sangat rendah atau sangat tinggi3. Ada beberapa cara untuk meningkatkan prevalensi atau pre-test probability tersebut melalui : 1. Proses Rujukan. Penderita nyeri dada yang datang ke ruang gawat jantung lebih banyak kemungkinannya menderita penyakit jantung koroner dibandingkanpenderita demikian yang datang ke Puskesmas. Pemakaian EKG, pemeriksaan enzim CK-MB penderita dengan nyeri dada di ruang gawat jantung tentunya banyak gunanya, sebaliknya pemakaian EKG dan pemeriksaan enzim CK-MB yang berlebihan pada penderita nyeri dada di Puskesmas, tidak banyak manfaatnya. 2. Seleksi Demografi Penderita umur 65 tahun dengan nyeri dada non-spesifik 15 kali lebih besar mempunyai penyakit jantung koroner dibandingkan wanita umur 30 tahun dengan keluhan yang sama. Pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita umur 65 tahun dengan keluhan nyeri dada akan sangat bermanfaat, tetapi pemeriksaan EKG dan enzim CK-MB pada penderita wanita umur 30 tahun dengan nyeri dada mungkin tidak banyak manfaatnya. 3. Gambaran klinik yang spesifik Penderita sesak napas dengan kardiomegali tentunya lebih besar kemungkinannya menderita payah jantung dibandingkan penderita sesak napas tanpa kardiomegali3. Apabila akan melakukan tes diagnosis, pertanyaan yang harus dijawab ialah : 1. Apabila tes positif, berapa persen probabilitas adanya pe-. nyakit ?
B. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PENGOBATAN GAWAT JANTUNG Tiga prinsip penting untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah : 1. Mengetahui tujuan pengobatan : − untuk penyembuhan − untuk paliatif saja − untuk simtomatis (menghilangkan keluhan) saja − dan sebagainya 2. Pilihan pengobatan : − medikal − pembedahan − dan sebagainya 3. Menentukan target pengobatan : − berapa penurunan tekanan darah yang diperkenankan pada penderita hipertensi ? − dan sebagainya8 Untuk membuktikan efektifitas dari suatu obat/tindakan medis yang paling ideal ialah melakukan penelitian acak klinik/ penelitian eksperimental (randomized clinical trial)3,8 Istilah-istilah yang perlu diketahui ialah : Efficacy ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang diberikan pengobatan ini. Effectiveness ialah pengobatan lebih banyak gunanya daripada kerugiannya pada penderita yang ditawarkan pengobatan
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
7
ini. Pengobatan yang tidak efektif dapat disebabkan kurangnya efficacy atau kurang diterima penderita atau keduanya. Efficiency ialah hasil pengobatan berguna ditinjau dari segi biaya, sumber daya dan waktu. Compliance ialah seberapa jauh penderita mengikuti nasihat medis/pengobatan. Relative Effectiveness ialah rasio proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dengan proporsi penderita membaik kelompok kontrol. Population Attributable Effectiveness ialah proporsi penderita yang membaik pada kelompok pengobatan dikurangi proporsi membaik kelompok kontrol. Sebagai contoh : Aspirin pada pencegahan sekunder infark miokard akut. Mortalitas pada plasebo 10,9% sedangkan mortalitas pada kelompok aspirin 8,3%. Atau survival pada kelompok kontrol 89,1% dan kelompok aspirin 91,7%. Relative Effectiveness = 91,7%/89,1% = 1,03/1 --- kecil. Population Attributable Effectiveness = 91,7% - 89,1% = 2,6% berarti 2,6 kehidupan diselamatkan dari 100 penduduk. Karena itu dapat dianjurkan pemakaian aspirin pada masyarakat karena harganya yang murah8. Yang penting diperhatikan pula ialah outcome dari suatu pengobatan yang kadang-kadang memberikan hasil yang berbeda dengan kriteria outcome yang berbedapula. Sebagai contoh coronary by-pass surgery jelas akan memperbaild kualitas hidup penderita, tetapi 5-year survival rate mungkin tidak banyak berbeda dibandingkan dengan pengobatan secara medikal terutama pada penderita dengan stenosis koroner yang tidak terlalu berat8.
Nyeri Dada Akut Penelitian retrospektif pada 536 penderita dengan nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung mendapatkan bahwa 54% del igan Infark Miokard Ākut, 31% dengan Iskhemia Miokard, 3% dengan Perikarditis dan Non-Kardiak pada 12%8. Dari data di atas didapatkan bahwa hampir 46% penderita nyeri dada akut yang masuk ruang gawat jantung tidak memerlukan perawatan ICCU, karena itu pada penderita seperti ini perlu pendekatan yang rasional untuk mencapai costeffectiveness yang sebaikbaiknya. Dalam waktu 24 jam biasanya sudah cukup untuk menentukan penderita terdapat Infark Miokard Akut atau tidak. Penderita yang tak menderita Infark Miokard Akut dikeluarkan dari ICCU2. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PADA INFARK MIOKARD AKUT Sensitifitas dari kebanyakan tes laboratorium pada Infark Miokard Akut pada jam jam pertama sangat rendah dan kebanyakan laboratorium tidak mempunyai fasilitas pemeriksaan
8
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
mioglobin yang sensitif, maka keputusan yang dilakukan di ruang gawat darurat betdasarkan data dari anamnesis yang teliti danpemeriksaan fisik bersama dengan pemeriksaan elektrokardiogram. Yang perlu ditentukan ialah nyeri dada iskhemik atau karena sebab lain. Penderitadengannyerinoniskhemik dimasukkan ruang perawatan biasa, sedangkan penderita dengan nyeri iskhemik dengan kemungkinan besar infark miokard akut dimasukkan ruang gawat darurat2. Pemeriksaan EKG ternyata tidak sensitif, dari penelitian 1118 penderita masuk unit gawat jantung yang terbukti infark miokard akut, hanya 41% menunjukkan gambaran probable acute myocardial infarction pada saat datang9. Setelah elektrokardiografi dilakukan pemeriksaan enzim otot jantūng secara seri. Tidak ada tes atau kombinasi tes yang lebih sensitif dan spesifik dari pēmeriksaan CK-MK (MBCPK) pada 24 jam pertama setelah infark. Setelah 24 jam dari timbulnya nyeri, pemeriksaan LDH total dan LDH isoenzim bila diambil secara betul akan sangat berguna untuk menegakkan diagnosis karena tetap tinggi selama beberapa hari dan mempunyai spesifisitas yang tinggi. Saat yang tepat pengambilan darah untuk pemeriksaan CK-MB ialah pada saat masuk rumah sakit, 12 jam dan 24 jam kemudian2. Pemeriksaan CK-MB selanjutnya mungkin berguna untuk deteksi adanya ekstensi atau infark ulang, tetapi pemeriksaan setiap hari secara rutin pada pasca infark yang tanpa keluhan nilainya rendah. Dari 200 penderita yang diperiksa enzim CKMB setiap had, 35 menunjukkan adanya infark ulang tetapi pada 94% juga disertai nyeri dada, 91% dengan perubahan segmen ST dan gelombang T pada elektrokardiografi. Hanya 1% sajaekstensi infark tidak disertai keluhan. Jadi nampaknya pemeriksaan CKMB setiap hari tidak diperlukan2. Pemeriksaan foto toraks dan ultrasonografi(ekhokardiografi) tidak banyak gunanya pada penderita infark miokard akut tanpa komplikasi10. Tetapi pemeriksaan ekhokardiografi pada penderita dengan gangguan fungsi ventrikel kiri dan adanya bising jantung yang baru akan sangat bermanfaat. Pemeriksaan monitoringhemodinamikdengan kateter Swan-Ganz diperlukan pada penderita dengan payah jantung berat (Killip III) dan shock kardiogenik (Killip IV) yang penting untuk manajemen selanjutnya4 (American College of Physicians, 1989). Pemeriksaan uji latih beban sebelum pulang berguna untuk menilai prognosis dan untuk kepentingan rehabilitasi, tetapi pemeriksaan demikian pada penderita dengan payah jantung kiri yang berat tidak berguna dan berbahaya. Demikian pula pada penderita angina pektoris pasca infark yang tak terkontrol4 (American College of Physicians, 1989). Di bawah ini akan diberikan contoh-contoh : 1. Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard. • Masalah Klinik : Penderita dengan presentasi klinik mencurigakan adanya iskhemia miokard. • Strategi Tes : Periksa elektrokardiogram. Apabila EKG abnormal atau terdapat riwayat angina pektoris atau infark miokard penderita dimasukkan rumah sakit dan diperiksa CK-MB pada
saat datang, 12 jam dan 24 jam setelah masuk rumah sakit. • Rasionalisasi : Apabila keluhan mencurigakan iskhemia miokard dan adanya gambaran baru pada EKG, kemungkinan infark miokard 2096. Apabila EKG menunjukkan elevasi segmen ST atau gelombang Q yang baru, kemungkinan infark miokard besaryaitu 80%. Adanyagambaran EKG yang lain menunjukkan kemungkinan infark miokard sekitar 5-20% apabila terdapat keluhan angina pektoris atau riwayat adanya infark miokard. Begitu penderita masuk rumah sakit cukup diperiksa CK-MB saja secara serial. • Contoh Kasus : Seorang penderita prig umur 45 tahun dengan nyeri dada selama 50 menit. Nyeri substernal dan seperti ditekan benda berat. la pernah menderita infark miokard sebelumnya. Pemeriksaan EKG tidak ada perubahan dibanding sebelumnya (perubahan gelombang T non-spesifik). Kemungkinan infark miokard pada penderita ini 15%. Apabila tidak ada Intermediate Care penderita dimasukkan ruang gawat darurat jantung dan diperiksa CK-MB serial seperti disebutkan diatas. Tes terse-but akan dapat memastikan atau menyingkirkan infark miokard akut2. Tabel 4.
Tes : CK-MB Penyakit
2. Penderita dengan riwayat penyakit menunjukkan kemungkinan infark miokard yang rendah • Masalah Klinik : Penderita dengan anamnesis menunjukkan
kemungkinan infark miokard akut yang rendah. • Strategi Tes Ditentukan apakah perlu diperiksa EKG. Apabila EKG normal tidak diperlukan tes lebih lanjut. Apabila EKG positif kemungkinan infark miokard lebih besar. • Rasionalisasi Beberapa penderita dengan nyeri dada noniskhemik berdasarkan gambaran klinik. Infark miokard dapat disingkirkan secara klinik apabila nyeri tajam atau pleuritik, atau berubah dengan posisi atau nyeri pada palpasi. Pada banyak keadaan lain mungkin diperlukan EKG. Apabila EKG normal tak diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pada keadaan ini cukup follow-up klinik saja. • Contoh Kasus : Seorang pria umur 25 tahun tanpa riwayat keluarga penyakit jantung koroner dini dan tanpa adanya faktor risiko koroner mengeluh nyeri dada (pleuritik) yang mendadak selama 2 jam. Nyeri substernal, tajam dan bertambah dengan posisi torso. Anamnesis dan pemeriksaan klinik tidal( sesuai dengan infark miokard akut. Tidal( perlu dilakukan pemeriksaan EKG apabila tidak dicurigai adauya perikarditis, emboli paru, dsb. 3. Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard 3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil • Masalah Klinik : Penderita dengan keluhan sesuai dengan infark miokard 3 hari sebelum masuk rumah sakit tetapi klinik stabil. • StrategiTes :Penderitadimasukkan rtnnahsakitdan diperiksa EKG. Apabila terdapat gelombang Q atau elevasi segmen ST, kemungkinan infark miokard akut 80%. Enzim LDH dan isoenzim LDH-5 memastikan diagnosis apabila tes positif. Sidikan radionuklir tidak perlu apabila EKG positif. Apabila EKG non-spesifik dan enzim LDH dan isoenzim LDH negatif, Sidikan Radionuklir (TechnetiumPyrophosphate) mungkin membantu memastikan atau menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. • Rasionalisasi Pada penderita seperti ini pemeriksaan CKMB harus dipertimbangkan kembali karena biasanya normal dalam 48-72 jam setelah infark miokard akut. EKG mungkin menolong seperti telah dibicarakan di atas. Enzim LDH dan isoenzim LDH sering abnormal sampai 3 atau beberapa hari setelah infark miokard akut. Apabila hasil positif, dapat dipastikan adanya infark miokard akut karena tes spesifik. Apabila negatif, kemungkinan (probabilitas) infark miokard akut sebelum tes harus dihitung untuk menentukan tes selanjutnya yang berguna. • Contoh Kasus : Seorang pria umur 50 tahun dengan riwayat adanya angina pektoris tetapi tidak ada infark miokard sebelumnya, mengeluh nyeri dada yang lama seperti angina tetapi berakhir lebih 1 jam dan disertai keringat dingin. Nyeri lebih berat dibandingkan angina pektoris sebelumnya. Serangan terjadipada saat berburu karena itu nampaknya tidak begitu gawat. Nyeri terjadi 72 jam yang lalu. Dari anamnesis dicurigai adanya infark miokard akut dan dari pemeriksaan EKG terdapat gelombang Q baru. Kemungkinan infark miokard akut ialah 80%. Apabila tes LDH atau isoenzim
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
9
LDH positif dapat dipastikan adanya infark miokard akut (probabilitas 95%). Apabila tes negatif, probabilitas infark miokard akut tetap tinggi (50%) karena sensitifitas LDH yang berkurang setelah beberapa hari. Sidikan Tc-Pyrophosphate mungkin tidak membantu karena sensitifitasnya sedang saja. Kārena itu diagnosis infark miokard akut tetap dipertimbangkan2. Tabel 5
4. Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB • Masalah Klinik : Penderita dengan nyeri dada iskhemik dan gambaran elektrokardiogram terdapat LBBB. • Strategi Tes : Periksa enzim seperti biasanya. Hanya pada penderita yang datang terlambat setelah keluhan dipertimbangkan pemeriksaan Sidikan Tc-Pyrophosphate. • Rasionalisasi : EKG pada penderita seperti ini tidak spesifik (60-70%). Apabila enzim tidak dapat memastikan Infark Miokard Akut, post-test probability Infark Miokard Akut menjadi 5% (apabila perkiraan pre-test probability 30%, sensitifitas EKG 80% dan spesifisitas EKG 98%). Sidikan nuklir hanya dapat membantu apabila terdapat kelainan abnormal yang fokal-regional. Pada penghitungan dibawah ini dapat dilihat implikasi dari pemeriksaan EKG diikuti pemeriksaan enzim CK-MB2. Kira-kiraduapertigakematian padapenderita dengan infark miokard akut terjadi diluar rumah sakit. Adanya pre hospital emergency care dengan mobile coronary care unit (MCCU) diharapkan memperbaiki prognosis dalam arti survival rate, life
10 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
Tabel 6.
Tes : EKG (LBBB, Q atau perubahan ST)
Tabel 7.
Table of Test Characteristics
Diagnostic Test Electrocardiogram Electrocardiogram Electrocardiogram SGOT LDH LDH lsoenzymes LDH Isoenzymes at 3 day CK Total CK-MB Myoglobin at 6 hours Pyrophosphate Scan (PP) PP Scan, Transmural MI PP Scan, Non Transmural MI
Definition of PositiveTest New Q or ST dep New Q, ST dep, LBBB Any Abnormality Abnormal Abnormal LDH-1 > LDH-2 LDH-1 > LDH-2 Abnormal Abnormal Abnormal Focal Uptake Diffuse Uptake Diffuse Uptake
Saladvity
Specificity
68% 81% 99% 96% 98% 81% 85% 97% 99% 98% 36% 94% 65%
94% 69% 23% 83% 72% 94% 90% 67% 98% 95% 100% 70% 70%
Keterangan : Dikutip dari 2. Tabel 8. Table of Post-Test Predictive Values
didik mereka dalam basic We support dan advanced We support dan dilengkapi dengan defibrilator, ternyata mortalitas tidak berbeda dibandingkan dengan MCCU yang berasal dari rumah sakit. Jadi selain MCCU ada pendekatan lain untuk Prehospital Emergency Care, tetapi belum dihitung mana yang lebih cost effective12. Diperkirakan dengan adanya ICCU mortalitas turun sebesar 21% dibandingkan sebelum ada ICCU13. Tetapi menurut Goldman' penurunan ini hanya sebesar 4% dan sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari ICCU. Untuk menurunkan cost harus dibuat indikasi yang tepat dan mengurangi lama perawatan di ICCU. Penderita yang tak begitu gawat dirawat di intermediate care. Efektifitas pengobatan trombolitik pada penderita Infark Miokard Akut telah dibuktikan dan tidal( diperdebatkan lagi dan sekarang mulai dipakai secara luas. Tetapi tantangan yang sangat penting saat ini ialah agar pengobatan ini dapat dilakukan pada semua atau hampir semua penderita dengan infark miokard akut6. Sebaliknya perlu diperhatikan pula bahwa semua penderita yang diberikan trombolitik, semua juga betul-betul menderita infark miokard akut9. Di Amerika Serikat tahun 1989 terdapat 700.000 penderita dengan infark miokard akut masuk rumah sakit, tetapi hanya 140.000 yang mendapat pengobatan trombolitik6. Dari berbagai penelitian ternyata 13–77% penderita infark miokard akut tidak diberi obat trombolitik karena datang terlambat. Apabila ditambah adanya kontra-iitdikasi jumlah teisebut menjadi lebih besar lagi. Keterlambatan tersebut terdiri 3 komponen yaitu:1) Keter lambatan penderita memintapertolongan dokter, 2) Waktu untuk transportasi yang hilang dan 3) Kelambatan dalam clinical decision making. Pendidikan kepada masyarakat akan dapat me ngurdngiketerlambatan penderita meminta pertalongan dokter14,15 Ada beberapa Masan mengapa tidak semua penderita infark miokard akutdiberi terapi tromboli tik meskipun.tidak adakontra indikasinya, yaitu : 1.
Keterangan : Dikutip dari 2.
expectancy serta kualitas hidup yang baik dan mengurangi komplikasi icelainan neurologik. Bergantung pada siapa yang menolong pertama kali dan peralatan yang ada, survival rate penderita seperti ini sekitar 20-70%n. Tetapi sulit untuk menghitung cost-effectiveness dari MCCU'. Penelitian di Aberdeen pada 1011 penderita dengan serangan jantung menunjukkan 92% melakukan kontak pertama dengan dokter umum. Dengan men-
Dimana trombolitik dapat dilakukan ?
Sebagian besar penderita terutama di pedesaan tidak dapat mencapai rumah sakit dengan fasilitas trombolitik dengan waktu yang cukup agar pengobatan trombolitik efektif6. Pada penelitian TIMI II (Thrombolytic in Myocardial Infarction) strategi konservatif setelah pemberian tissue-type pla,sminogen activator, heparin intravena dan aspirin sama baiknya dibandingkan dengan strategi dengan tindakan kateterisasi yang invasif. Penderita yang dirawat di rumah sakit rujukan tersier dan rumah sakit umum (daerah) ternyata morbiditas dan mortalitas setelah 1 tahun tak berbeda bennakna, oleh karena itu pengobatan trombolitik dapat dilakukan di rumahsakit daerah tanpa peralatan kateterisasi dart bedah jantung6.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 11
Tabel 9. Potential impact of Thrombolytic Therapy % Reduction in mortality
1st hour 2-3 hours 3-6 hours 6-9 hours 9-12 hours > 12 hours
GISSI
ISIS
51 16 20 13 10 0
45 38 30 25 17 20
Proportion (%) eligible for treatment Perth MONICA project 30 28 17 5 5 15
Keterangan : Dikutip dari14.
Tempat pengobatan trombolitik mungkin dapat diperluas sampai di unit rawat jalan, praktek dokter, ambulans, bahkan mungkin di rumah; tetapi masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun perlu diingat setelah tindakan tersebut, harus cepatdikirim kerumah sakitumum terdekatyang memungkinkan untuk dipindah Ice rumah sakit rujukan tersier apabila keadaan bertambah gawat6. 2.
Siapa yang dapat melakukan pengobatan trombolitik ? Pengobatan trombolitik pertama kali dilakukan di rumah sakit akademik tersier oleh ahli penyakit jantung. Tetapi sekarang trombolitik sebagian besar dikerjakan oleh dokter ahli penyakit dalam maupun dokter keluarga penderita yang mendapatkan penderita dengan infark miokard akut pertama kalinya. Karena itu mereka juga tabu indikasi, kontra-indikasi dan efek sampingnya. Karena pentingnya pengobatan segera dan terbatasnya dokter, yang menjadi pertanyaan ialah apakah paramedic, teknisi yang terlatih juga dapat dan boleh mengerjakan ini ? Di Amerika Serikat hal ini mungkin karena dapat mengirim elektrokardiografi lewat telepon ke rumah sakit terdekat. Yang menentukan indikasi pemberian tetap dokter6. Untuk di Indonesia hal ini rasanya masih jauh dari jangkauan. 3.
Indikasi pengobatan trombolitik Hambatan penting lain pemberian trombolitik ialah ketidakjelasan penderita yang dapat diberi pengobatan trombolitik. Telah disepakati bahwa pengobatan trombolitik berhasil baik apabila diberikan dalam waktu 6 jam sesudah timbulnya infark miokard akut. Masalahnya ialah sering sulit menentukan onset terjadinya infark miokard akut. Pada Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI) II trial digunakan kriteria yang ketat yaitu umur kurang 76 tahun dan nyeri dada kurang 4 jam disertai peningkatan segmen ST pada elektrokardiogram6. Demikian pula pada Gruppoltaliano per lo Studio della Streptochinasi nell Infarcto Miocardico (GISSI) I trial apabila pengobatan trombolisis yang diberikan seteiah 6 jam timbulnya keluhan tidak ada manfaatnya. Namun perlu dicatat bahwa penderita yang diberi terlambat (6-12 jam setelah timbulnya keluhan) tersebut jumlahnya sedikit sehingga nilai kemaknaan dari statistiknya terbatas6. Dari penelitian 321 penderita umur kurang 75 tahun dengan nyeri dada kurang 4 jam (nyeri dada lebih dari 30 menit) dan EKG pada saat datang di ruang gawat jantung terdapat elevasi segmen
12 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
ST atau gelombang Q patologis didapatkan positive predictive value 76% berarti dari 100 penderita dengan data di atas 80% betul-betul infark miokard akut, sedangkan 19% bukan karena infark miokard akut. Berarti bila diberi obat trombolitik, 24% penderita sebetulnya tidak memerlukan obat ini. Apabila dilakukan lagi pembacaan lebih akurat ternyata lebih banyak lagi dengan infark miokard akut (true positive-nya meningkat) sehingga positive predictive value menjadi 88%9. Pada Multicenter Investigation of the Limitation oflnfaret Size (MILLS) hanya 65% penderita dengan nyeri dada dan elevasi segmen ST pada 2 sadapan prekordial terbukti infark miokard akut. Dengan kriteria hampir sama tetapi termasuk juga sadapan inferior, 94,2% penderita GISSI dan 80,3% penderita EMIP terbukti infark miokard akut9. Sedangkan pada penelitian yang bersumber dari masyarakat seperti International Study of Infarct Survival (ISIS) II trial penderita yang diteliti jumlahnya sangat banyak dengan kriteria yang lebih luas, tidak ada batasan umur, pengobatan dapat diberikan sampai 24 jam sesudah timbulnya nyeri dada; ternyata didapatkan hasil yang baik pula dan kombinasi streptokinase dan aspirin dapat menurunkan mortalitas awal dari 13% menjadi 9%. Pengobatan terlambat tetapi hasilnya baik adalah karena penderita tersebut tidak terlambat dalam arti sebenarnya akibat adanya gejala prodromal atau adanya unstable angina pectoris yang mendahului terjadinya infark miokard akut. Kemungkinan kedua ialah membukanya pembuluh darah oleh trombolitik mencegah terjadinya kematian mendadak karena mekanisme selain dari myocardial salvage. Sedangkan keterangan ke tiga mungkin daerah tersebut mempunyai kolateral sehingga tidak sampai terjadi nekrosis meskipun terjadi oklusi totaP.'s. Tetapi perlu diingat dengan kriteria yang longgar tersebut positive predictive value dari infark miokard akut hanya 70%, berarti dari 10 penderita yang diberi obat trombolitik, 3 bukan karena infark miokard1. Pada 2 tabeldibawah ini dapatdilihat cost-effectiveness dari berbagai pengobatan penyakit jantung.
Tabel 10. Cost per Quality-Adjusted year of life for several Standard Modes of Cardiac Therapy Cost (US. 8, 198S) Treat diastolic BP 2 105 mmHg Treat diastolic BP 2 95-104 mmHg Treat hypercholesterolemia (2 265 mg%) with cholestyramine Post-infarction beta-blocker therapy low risk high risk Coronary artery by pass surgery 3 vessel disease, mild angina Left main disease, mild angina Severe angina Keterangan : Dikutip dari1.
15.000 30.000 135.000 20.000 3.500 10.500 10.500 4.700 5.200
Table 11. Cost per year of life gained with Intra coronary Thrombolysis DFL Inferior Myocardial Infarction Anterior Myocardial Infarction Anterior M.I. with ST > 2 mm and < 2 hours from onset
10.000 3.800 1.900
Keterangan : Dikutip dari6.
PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK DISEKSI ANEURISMA AORTA Pada penderita yang diduga menderita diseksi aneurisma aorta, pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada secara serial1,7. Apabila hasil pemeriksaan menyokong, pemeriksaan selanjutnya ialah CT Scan dan untuk diagnosis pasti ialah pemeriksaan angiografi aorta10,17. Dengan adanya ekhokardiografi esofageal pemeriksaan secara noninvasif menjadi lebih akurat18. Tanpa pengobatan, mortalitas tinggi sekali, lebih 25% dalam 24 jam, lebih 50% dalam minggu pertama, lebih 75% dalam 1 bulan dan lebih 90% meninggal dalam 1 tahun. Pengobatan definitif berupa pembedahan pada diseksi proksimal akut, dan medikal pada diseksi aneurisma distal tanpa komplikasi17.
Sesak Napas PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK PAYAH JANTUNG KIRI AKUT Diagnosis payah jantung kiri akut dengan edema paru sering sudah dapat dibuat secara klinik. Tetapi pada fase awal diagnosis sering sulk ditegakkan. Pemeriksaan sederhana yang dapat membantu ialah foto polos dada yang bila mungkin dalam keadaan berdiri atau setengah duduk. Pemeriksaan ekhokardiografi penting untuk menilai fungsi ventrikel kirilebihtepat dan mencari adanya penyakit dasar. Kegunaan lain dari ekhokardiografi ialah untuk mengetahui adanya efusi perikardial19. Pengobatan meliputi : 1. Tindakan non-spesifik : seperti pemberian morfm, oksigen, furosemid, nitrat 2. Mencari dan mengobati faktor presipitasi : seperti takhiaritmia, infeksi, emboli paru, anemia, aktifitas berlebihan, tirotoksikosis, pada penderita yang sudah berpenyakit jantung 3. Mencari dan mengobati penyakit dasar19. PEMBUATAN KEPUTUSAN KLINIK EFUSI PERIKARDIAL Pada penderita yang diduga menderita efusi perikardial, pemeriksaan foto polos dada tak banyak membantu diagnosis. Demikian pula pemeriksaan EKG. Pemeriksaan yang sangat akurat dengan sensitifitas dan spesifisitas mendekati 100% untuk diagnosis konfirmasi (adanya) efusi perikardial ialah ekhokardiografi20,21. Tetapi sayang ekho M-mode dan 2-D untuk menilai gangguan hemodinamik kurang andal, sehingga untuk memastikan diagno-
sis klinis pada tamponade jantung, ekhokardiografi sering kurang banyak membantu22. Sensitifitas dan spesifisitas diastolic collapse pada atrium kanan maupun ventrikel kanan untuk deteksi gangguan hemodinamik (tamponade) sangat bervariasi0. Penilaian diastolic filling dengan ekhodoppler yaitu mengukur variasi kecepatan aliran transvalvular dan isovolumic relaxation time selama pernapasan, mungkin lebih akurat20.22. Perikardiosentesis hanya dikerjakan apabila terdapat tandatanda tamponade dan apabila analisis cairan perikardial dipandang sangat penting untuk menegakkan diagnosis seperti perikarditis bakteri akut, dsb21. Perikardiosentesis dengan tuntunan ekho ternyata cukup aman dibandingkan perikardiosentesis dengan tuntunan EKG23.24.
Krisis Hipertensi Diagnosis krisis hipertensi biasanya tidak sulit. Disebut Hipertensi Gawat (Hypertensive Emergency) apabila terdapat komplikasi target organ yang berat, dan disebut Hipertensi Darurat (Hypertensive Urgency) apabila terdapat kerusakan target organ baru yang ringan. Komplikasi payah jantung kiri akut dan komplikasi sistim saraf pusat dan mungkin juga gagal ginjal akut dapat ditegakkan secara klinik. Pemeriksaan lain yang penting ialah EKG, urinalisis, faal ginjal dan ophtalmoskopi. Pemeriksaan tambahan lain foto polos dada, natrium dan kalium serum, asam urat, profil lemak darah dan gula darah7. Yang juga perlu dicari ialah faktor risiko atau faktor presipitasinya25. Tujuan pengobatan krisis hipertensi ialah memperbaiki/melindungi target-organ. Dipakai obat yang bekerja cepat dengan pilihan obat tergantung kerusakan target-organ. Sedangkan target pengobatan ialah penurunan tekanan darah secepat dan seoptimal mungkin tanpa mengganggu perfusi target-organ. Kecepatan dan besamya penurunan tekanan darah masih merupakan kontroversi dan bersifat individual. B iasanya penurunan tekanan darah sekitar 20-309'o dalam 1 jam pada hipertensi gawat dan dalam 24 jam pada hipertensi darurat7.
Syncope Pendekatan rasional penderita dengan syncope ialah berdasarkan data bahwa prevalensi penderita berisiko tinggi sangat bervariasi sehingga tes yang diperlukan juga bervariasi tergantung dari populasi yang diperiksa. Tes rutin dengan biaya rendah yang dianjurkan ialah darah lengkap, elektrolit serum, BUN, serum kreatinin dan gula darah, meskipun kegunaannya terbatas pada penderita dengan unexplained syncope2. Yang menjadi perdebatan ialah pemilihan tes-tes selanjutnya yang mahal seperti CT--scan, elektroensefalogram, monitoring Holler, pemeriksaan elektrofisiologi, yang diperlukan pada penderita dengan kemungkinan penyakit jantung dan neurologik. Untungnya penderita-penderita seperti itu biasanya sudah dapat diperlārakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Sehingga pemilihan tes selanjutnya lebih mudah2. Dengan pemeriksaan
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 13
non-invasif tersebut ternyata pada 50% penderita penyebabnya tetap tidak dilcetahui. Mortalitas pada cardiac syncope sebesar 20-30%, untuk sebab non-kardiak hanya 5% dan untuk unexplained syncope 10% dalam waktu 1 tahun. Karena itu apabila ada kecurigaan didasari penyakit jantung harus dievaluasi lebih teliti25. Pada beberapa penderita dengan penyakit dasar jantung masih diperlukan pemeriksaan invasif (elektrofisiologi) untuk diagnosis lebih terperinci dan untuk memilih/evaluasi hasil pengobatan". Apabila penderita tid~lc termasuk risiko tinggi, cukup dilakukan fellow-up klinik saja2.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
RINGKASAN Dalam perawatan penderita ada dua hal renting yang harus dikerjakan oleh seorang dokter ialah keputusan untuk membuat diagnosis dengan melakukan serentetan pemeriksaan dan memberikan pengobatan. Dalam melaksanakan hal ini harus diperhatikan cost-effectiveness dalam arti dengan sumber daya (fasilitas dan dana) yang ada dapat mencapai health benefit setinggitingginya dengan biaya serendah-rendahnya. Dalam perawatan penderita gawat pemeriksaan biasanya dilakukan secara paralel, tetapi pada penderita gawat jantung untuk tes yang mahal tetap secara serial. Untuk mempermudah biasanya dipilih satu tes yang sangat sensitif untuk menyingkirkan diagnosis dan satu tes lagi yang sangat spesifik untuk konfirmasi diagnosis (pada IMA CK-MB merupakan tes yang sangat sensitif dan sangatspesifik). Untuk mendapatkan costeffectiveness yang sebaik-baiknya harus diketahui sensitivitas, spesifisitas dari tes dan pre-test probability dari penyakit berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat ditambah pemeriksaan seder-liana (misalnya EKG, dsb). Tujuan diagnosis ialah selain untuk konfirmasi, juga mencari etiologi bila mungkin, mencari faktor risiko dan faktor presipitasi serta mencari komplilcasi/menilai berat penyakit. Pemeriksaan tersebut selain renting untuk manajemen penderita (misalnya pemasangan Swan-Ganz catheter pada IMA), juga penting untuk menilai prognosis dan stratifikasi risiko (klasifrkasi hemodinamik Killip secara klinik maupun invasif pada IMA). Dasar untuk membuat keputusan pengobatan yang rasional ialah 1) tujuan pengobatan (mengatasi aritmia dan membatasi luas infark/reperfusi pada 1MA, memulihkan kerusakan/melindungi target organ pada krisis hipertensi, dsb), 2) pemilihan obat (sebaiknya berdasarkan randomized clinical trial seperti obat trombolitik pada IMA, dsb) dan 3) target pengobatan (sampai seberapa jauh dan seberapa cepat penurunan tekanan darah pada penderita krisis hipertensi, dsb).
9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
16.
17. 18.
19. 20. 21. 22. 23. 24.
KEPUSTAKAAN 1.
Goldman L. Cost-effectiveness strategies in cardiology. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 1680-92.
14 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
25.
Griner PF, PanzerRJ, Greenland P (eds). Clinical Diagnosis and the Laboratory. Logical strategies for common medical problems. Chicago: Year Book Medical Publ, Inc. 1986. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology. The Essentials. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins, 1988. Iskandrian AS, Hakki A-H, Kotler MN, et al. Evaluation of patients with acute myocardial infarction : Which test, for whom and why ? Am Heart 11985; 109: 391-4. Conti CR. Drug therapy of patients with acute myocardial infarction in the era of thrombolysis. Mod Cone Cardiovasc Dis 1989; 58: 19-24. Braunwald E. Optimizing thrombolytic therapy of acute myocardial infarction. Circulation 1990; 82: 1510-13. US Joint National Committee: The 1988 Report of the Joint National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1988; 148: 1023-1038. Sackett DL, Haynes RB, Tugwell P. Clinical Epidemiology. A Basic Science for Clinical Medicine. Boston: Little, Brown and Company, 1985. Lee TH, Weisberg MC, Brand DA, et al. Candidates for Thrombolysis among emergency room patients with Acute Chest Pain. Potential true and false-positive rates. Ann Intern Med 1989; 110: 957-62. WHO Scientific Group. Effective choices for diagnostic imaging in clinical practice. WHO Tech Rep Sea. Geneva: WHO. 1990: 9-37. Geddes IS. Twenty years of prehospital coronary care. Br Heart J 1986; 56: 491-5. Pai GR, Haites NE and Rawles JM. One thousand heart attacks in Grampian: the place of cardiopulmonary resuscitation in general practice. Br Med J 1987; 294: 352-354. Julian DG. The history of Coronary Care Unit. Brit Heart J 1987; 57: 497502. ORourke MF, Thompson PL, and Ballantyne K. Community aspects of Coronary Thrombolysis: Public education and cost effectiveness. In : Julian DG, Kubler W, Norris RM, Swan HJC, Collett and Verstraete M (eds). Thrombolysis in Cardiovascular Disease. New York: Marcel Dekker Inc, 1989: 309-324. Barbash GL Tune dependence of beneficial effects of thrombolysis and prehospital thrombolytic therapy in acute myocardial infarction. In : Julian DG, Kubler W, Norris RM, Swan HJC, Collen, Verstraete M (eds). Thrombolysis in Cardiovascular Disease. New York: Marcel Dekker Inc, 1989: 293-308. Vermeer F, Simoon LM, de Zwaan C, et al. Cost benefit analysis of early thrombolytic treatment with intracoronary Streptokinase. Twelve month follow up report of the randomized multicentre trial conducted by the Interuniversity Cardiology Institute of the Netherlands. Br Heart J 1988; 59: 527-534. Eagle KA, De Sanctis RW. Diseases of the Aorta. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelpia: WB Saunders Co. 1988: 1546-76. Ethel R, Mohr-Kahaly S, Drexler M et al. Transesophageal echocardiographic imaging of the thoracic aorta in aortic dissection. In: No Cikes (ed). Echocardiography in Cardiac Interventions. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 1989: 249-60. Ingram RH Jr, Braunwald E. Pulmonary Edema : Cardiogenic and Noncardiogenic. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 544-60. Burstow DJ, Oh JK, Bailey KR, Seward JB, Tajik AJ. Cardiac Tamponade: characteristic Doppler observations. Mayo Clin Proc 1989; 64: 312-24. Lorell BH and Braunwald E. Pericardial Disease. In: Braunwald E (ed). Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1988: 1484-1534. Kisslo J. Transesophageal echocardiography its role in Clinical Decision Making. Pre-Congress Workshop on Echocardiography. 8th ASEAN Congress of Cardiology. Singapore. 7 Dec 1990. Pop RL. Echocardiography. N Engl J Med 1990; 323: 165-172. Cikes I, Ernst A, Callahan JA et aL.Pericardiocentesis guided by Ultrasound. In: No Cikes (ed). Echocardiography in Cardiac Interventions. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. 1989: 249-60. Manolis AS, Linzer M, Salem D and Estes III AM. Syncope: Current diagnostic evaluation and management. Ann Intern Med 1990; 112: 850863.
Tatalaksana Payah Jantung Akut Iwan N. Boestan, M. Yoglarto; Iswanto P., Anwar S. Laboratorium/UPF Kardiologi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
PENDAHULUAN Payah jantung akut adalah keadaan kegawatan jantung yang menuntut tindakan yang cepat, perawatan dan perhatian khusus baik dari dokter maupun perawat. Payah jantung akut bisa merupakan suatu manifestasi awal dari penyakit jantung akan tetapi mungkin juga merupakan eksaserbasi dari suatu kondisi penyakit jantung yang telah ada. Angka kematian yang disebabkan karena payah jantung akut cukup tinggi. Pemahaman terhadap dasar-da.car fisiologi kardiovaskuler akan sangat menentukan keberhasilan perawatan penderita. Kemajuan dalam bidang penelitian memungkinkan kita lebih mengenal fungsi jantung dan sirkulasi lebih jelas, sedangkan perkembangan teknologi di bidang diagnostik serta sistem pemantauan jantung (monitoring) telah memberikan dimensi-dimensi baru dalam intervensi pengobatan serta perawatan penderita. PATOFISIOLOGI Pada keadaan normal, jantung dapat menyesuaikan diri terhadapkebutuhan yang meningkat sampai 6-10kali lebih besar daripada waktu istirahat. Kelebihan daya ini disebut sebagai daya cadangan jantung. Payah jantung menunjukkan suatu keadaan di mans jantung telah gagal mengatasi beban yang diterimanya. Telah lama diketahui adanya faktor-faktor yang sangat mempengaruhi performance atau kemampuan fungsi jantung sebagai pampa. Faktor-faktor tersebut adalah faktor preload, afterload, kontraksi otot jantung dan frekuensi serta irama jantung. Apabila salah satu faktor tersebut terganggu, akan mengakibatkan gangguan fungsi pompa dari jantung. Namun demikian sewaktu fungsi pompa dari jantung mulai terganggu, tubuh mengadakan
kompensasi reflektoris dalam upayapenyelamatanperfusiorganorgan vital. Dikenal beberapa macam mekanisme kompensasi dalam upaya mempertahankan fungsi pompa jantung, baik yang disebabkan oleh kemerosotan fungsi miokard maupun beban hemodinamik yang berlebihan (misalnya regurgitasi/stenosis aorta, hipertensi). Mekanisme kompensasi yang pertama kali bekerja adalah mekanisme Frank Starling di mana pada prinsipnya kemampuan miokard• bisa dioptimalkan sampai batas tertentu dengan memperpanjang panjang awal otot jantung (filamen actin dan miosin). Apabilā pan jang sarkomer telah melampaui 2.0 um makakemampuan miokard malah akan merosot. Secara hemodinamik keadaan ini ditandai dengan peningkatan tekanan/volume akhir diastolik ventrikel kiri. Selanjutnya mekanisme kompensasi yang kedua akan bekerja dengan terjadinya pelepasan katekolamin oleh saraf simpatis jantung dan medula adrenal sehingga kekuatan kontraksi jantung bertambah. Di samping itu terjadi pula aktivasi sistemsistem neurohormonal lain termasuk di sini sistem renin angiotensin-aldosteron dan vasopressin. Mekanisme-mekanisme tersebut di atas ditambah dengan adanya peningkatan tonus simpatis akan meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik serta memacu retensi garam dan air. Kondisi seperti inilah yang akan mengembalikan tingginya tekanan darah sistemik. Perlu diketahui di sini bahwa sebetulnya pada tahap ini telah terjadi peningkatan faktor afterload serta faktorpreload (retensi cairan) sebagai akibat dari mekanisme kompensasi yang terjadi. Pada tahap awal dari payah jantung, mekanisme-mekanisme kompensasi mungkin masih mampu untuk mempertahankan
Dibacakan pada: Simpasium Tatalaksana Gawat Darwin di bidang Penyakit lantung, Surabaya, 9 Februari 1991
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 15
sirkulasi sesuai dengan kebutuhan. Namun demikian apabila tetap berlangsung terus maka mekanisme kompensasi akan tidak effisien lagi dan selanjutnya gejala-gejala Minis payah jantung akan timbul. Ditinjau dari cepat dan lambatnya gejala klinik yang timbul maka payah jantung dibedakan menjadi akut dan kronik. Payah jantung akut akan terjadi apabila fungsi ventrikel merosot secara 'drastis dan tiba-tiba. Kejadian ini kebanyakan bersifat sekunder misalnya oleh karena infark miokard akut, disfungsi katup akut, krisis hipertensi dan lain-lain. Kondisi akut ini tidak memungkinkan mekanisme kompensasi bisa bekerja efektif sehingga penderita segera jatuh dalam kondisi kongesti paru akut dan disertai penurunan perfusi sistemik. Sedangkan pada payah jantung kronik mungkin mekanisme kompensasi bekerja secara efektif sehingga secara klinik semua keluhan atau gejala merupakan manifestasi dari kongesti sistemik. Dengan memahami konsep-konsep patofisiologi terjadinya payah jantung ini diharapkan pengelolaan serta perawatan penderita menjadi lebih rasional. PENYEBAB PAYAH JANTUNG AKUT Penyakit-penyakit jantung yang mendasari terjadinya payah jantung ini bisa disebabkan karena beban volume atau tekanan yang berlebihan atau adanya abnormalitas dari struktur jantungnya atau oleh karena suatu keadaan yang dikenal sebagai high output state. Tabel 1. Conditions causing heart failure
Kebanyakan kasus payah jantung akut didahului oleh adanya faktor pencetus (Tabel 2). Mengenal faktor penyebab dan faktor pencetus merupakan kunci dari suksesnya pengobatan. GEJALA KLINIK PAYAH JANTUNG AKUT Kemerosotan fungsi ventrikel kiri yang hebat serta mendadak ini akan menyebabkan cepat terjadinya edema paru serta kegagalan sirkulasi. Kejadian inibegitu cepatnya sehingga semua sistem mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif. Edema paru akut ini mungkin merupakan fase akhir dari payah jantung kiri dengan manifestasi klinik berupa : 1. Sesak nafas hebat dan orthopnea
16 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
Tabel 2. Precipitating causes Increased salt intake Inappropriate reduction of a drug regimen Excess exertion or emotion Arrhythmia: Systemic infection Onset of high output states; anemia, hyperthyroidism, pregnancy Pulmonary embolism Increased fluid load Renal failure Myocardial ischemia Cardiac depressants (e.g., disopyramide)
2. 3. 4. 5. 6. 7.
Riak yang berbuih merah Lemah Plicat dan sianosis Hipotensi Berkeringat Kesadaran menurun
DIAGNOSIS Diagnosis payah jantung akut berdasarkan keluhan dan gejala klinik serta pemeriksaan laboratorium. Yang termasuk pemeriksaan laboratorium adalah foto dada, -ekhokardiografi dan elektrokardiografr. PENGELOLAAN Ada tiga cara pendekatan yang harus dilakukan, yaitu : 1. Menghilangkan penyakit yang mendasarinya baik secara medis maupun bedah. 2. Menghilangkan faktor pencetus (anemia, aritmia maupun problem medis lainnya). 3. Mengendalikan keadaan payah jantung dengan memperbaiki fungsi pompa jantung, mengurangi beban jantung dan mengendalikan retensi air dan garam. Idealnya diperlukan pemantauan hemodinamik secara ketat untuk memantapkan diagnosis serta mengevaluasi secara cepat hasil pengobatan. Tindakan pertamadalam pengelolaanpenderita denganpayah jantung akut terutama ditujukan memperbaiki oksigenasi dan selanjutnya menurunkan tekanan pasak paru (pulmonary wedge pressure). Pengobatan suportif 1) Pemberian oksigen Harus diusahakan agar Pa 02 sekitar 60-100 mmHg (saturasi
90-98%). Gunakan kanula hidung atau topeng oksigen, pada kasus gawat kadang-kadang diperlukan mechanical ventilatory support. sahakan agar penderita duduk tegak agar perbaikan perfusi dan ventilasi paru optimal. 2) Tindakan torniquet Usahakan dilakukan secara berganti-ganti. 3) Phlebotomi Tindakan ini jarang dilakukan kecuali kalau betul-betul gawat. Pengobatan medikamentosa 1. Morphin Morphin diberikan dalam upaya menurunkan faktor preload dan afterload di samping itu juga menurunkan sympathetic overdrive serta menghilangkan kecemasan penderita. Diberikan secara intravena dengan dosis 3-10 mg perlahan-lahan. Perhatikan•tanda-tanda depresi pernafasan. Bila ada tandatanda depresi berikan antagonis morphin (naloxone/nalorphin). Konlfa indikasi : penyakit paru berat, kyphoscoliosis, penyakit hati, perdarahan intrakranial, gangguan kesadaran dan miksedema. 2. Aminofilin Terutama sangat berguna bila payah jantung akut disertai dengan bronkhospasme, atau keadaan yang meragukan antara asma kardial dan asma bronkial. Aminofilin mempunyai efek secaralangsung stimulasi miokardium, penurunan tekanan pengisian ventrikel dan sekaligus memperbaild ventilasi paru. Dosis 250-500 mg secara intravena perlahan-lahan ,selama 15-25 menit. Dosis dikurangi pada orang tua, gangguan ginjal dan hepar. Efek samping berupa sakit kepala,flushing, palpitasi, nyeri dada, hipotensi dankejang, dan yang sangat serius adalah aritmia ventrikel. 3. Furosemid Banyak bukti menyatakan furosemid mengurangi afterload dan mengurangi sembab paru dengan memperbaiki pengosongan ventrikel kiri, di samping meningkatkan efek diuresis pada ginjal. Dosis 20-40 mg intravena, selama 2 menit. Diuresis dicapai dalam 10-30 menit dan mencapai puncak dalam 60 menit. Bisa diulang 2 jam kemudian. Kontra indikasi bagi orang yang peka terhadap sulfonamid, wanita hamil dan menyusui. Efek samping hipokalemi, hiperurikemi dan gangguan toleransi glukosa. 4. Obat-obat Inotropik Obat-obat ini meningkatkan kontraktilitas miokard dan mengurangi afterload. Obat inotropik dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu digitalis glikosida, beta adrenergic agonist dan fosfodiesterase inhibitor. a. Digitalis glikosida Akhir-akhir ini kegunaan digitalis pada payah jantung akut dengan irama sinus banyak dipertanyakan. Yang jelas berguna pada payah jantung akut yang disertai dengan fibrilasi atrial
dengan frekuensi ventrikel yang cepat. Kesulitan penggunaan digitalis adalah sempitnya batas antara dosis terapeutik dan dosis toksis. Intoksikasi digitalis sangat berbahaya, mudah timbal pada orang tua, gangguan ginjal, hipokalemi, hipomegnesemi dan iskemi miokard. b. Beta adrenergic agonist Dopamin HC1 dengan dosis 1-2 mcg/bb/menit bekerja pada reseptor dopaminergik ginjal dan meningkatkan aliran di korteks renalis sehingga terjadi efek diuresis. Pada dosis 2-5 mcg/bb/ menit merangsang reseptor beta adrenergik jantung, sehingga meningkatkan curah jantung. Sedangkan pada dosis yang lebih tinggi meningkatkan denyut jantung, menimbulkan aritmi ventrikel dan vasokonstriksi karena rangsangan pada reseptor alfa. Dobutamin mempunyai efek hemodinamik yang lebih baik dan sifat aritmogeniknya lebih kecil. Dosis awal 2-3 mcg/bb/ menit yang ditingkatkan sesuai dengan respons hemodinamik. Pada dosis biasa obat ini tidak mempengaruhi aliran darah ginjal. c. Phosphodiesterase inhibitor Obat golongan ini bekerja melalui hambatan fosfodiesterase F III yang menguraikan cAMP, sehingga cAMP dalam sel meningkat, yang akan meningkatkan sifat inotropik dan sebagai vasodilator. Golongan obat ini yang direkomendasikan adalah amrinone dan diberikan secara parenteral. 5. Vasodilator Penurunan afterload dan preload yang ditimbulkan oleh obat ini akan meningkatkan curah jantung pada penderita payah jantung akut. Sodium nitroprussid dan nitrogliserin berguna pada penderita dengan sembab paru tanpa hipotensi yang berat dan perfusi perifer yang jelek. Sangat bijaksana tidak menggunakan vasodilator bila tekanan darah sistemik rata-rata < 70-80 mmHg. Menurut aktivitasnya, vasodilator dibagi menjadi venodilator dan arteriodilator. Kebanyakan obat vasodilator mempunyai sifat keduanya, di samping obat yang murni venodilator atau arteriodilator. Efek Hemodinamik Vasodilator pada Payah Jantung
Nitropnisid Nitrogliserin Hidralazin Phentolamin Trimetaphan
HR
BP
SVR
LVEDP
CO
– – – ↑↑↑ ↑
↓ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓
↓↓↓ ↓ ↓↓↓ ↓↓↓ ↓↓↓
↓↓ ↓↓↓ ↓ ↓ ↓
↑↑↑ – ↑↑↑ ↑ ↑
Keterangan : HR – heart rate BP – blood pressure SVR – systemic vascular resistance LVEDP – left ventricular end diastolic pressure CO – cardiac output
6. Natrium Bikarbonat Ditujukan untuk koreksi asam basa berupa asidosis metabolik yang sering terjadi pada payah jantung akut. Asidosis
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 17
metabolik yang berat dapat diatasi dengan nātrium bikarbonat. Dosis sukar ditentukalt, banyak formula yang dipakai untuk koreksi gangguan asam basa ini. Salah satunya: NaHCO3 yang dlbutuhkan (mEq) = 0,3 X BB (kg) X Base Excess
Biasanya diberikan setengahnya. Efek samping alkalosis metabolik, hipokalemia, payah jantung kongestip. Pengobatan mekanik a. Assisted Ventilation Alat ini diperlukan pada keadaan hipoksemi berat tanpa hiperkapnea, fungsinya bukan untuk meningkatkan ventilasi alveolar tetapi untuk meningkatkan volume paru yang nantinya membuka alveoli sehingga difusi oksigen meningkat. Bila hipoksemi tidak dapat dikoreksi dengan ventilasi mekanik, digunakan PEEP (Positive End Expiratory Pressure). Ventilasi mulai diperlukan bila pCO2 > 60 mmHg, atau pH darah < 7,2. b. Assisted Circulation Beberapa cara mekanik untuk meningkatkan cardiac output bila tindakan medikamentosa tidak berhasil, yaitu Infra Aortic Balloon Pump = IABP (secara invasif) dan external counterpulsation (non invasif). IABP akan meningkatkan tekanan diastolik aorta sehingga memperbaiki aliran koroner, mengurangi afterload. Digunakan pada syok kardiogenik yang membangkang dan infark miokard akut dengan komplikasi ruptur septum interventrikuler, regurgitasi mitral akut. Kontraindikasi ialah aneurisma aorta disekans, regurgitasi
18 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
aorta, penyakit aorta, penderita dengan kontraindikasi pemberian heparin. RINGKASAN Payah jantung akut adalah keadaan kegawatan jantung yang menuntut tindakan yang cepat, perawatan dan perhatian khusus baik dari dokter māupun perawat. Angka kematian yang disebabkan karena payah jantung akut cukup tinggi. Strategi tatalaaksananya berdasarkan patofisiologi yang mendasarinya: antara lain memperbaiki oksigenasi dan mengurangi tekanan pasak paru serta meningkatkan kontraktilitas miokard. Pengobatan definitif ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya.
KEPUSTAKAAN 1. Massie BM, Conway M. Survival of Patients with Congestive Heart Failure: past, present, and future prospects. Circulation. 1987; 75 (suppl IV): IV-11. Cohn JN. Mechanisms in Heart Failure and the Role of AngiotensinConvening Enzyme Inhibition. Am J CardioL 1990; 66: 2D-6D. 2. Hillis WS, Been M. Cardiac Failure In : Cardiovascular update. Insight into Heart Disease. Ed : Jackson Graham, 1984. Update Pub. pp 63-70. Michaelson CR. Congestive Heart Failure. Mosby Company, St LouisToronto, 1983. 3. VD. Werf T. Cardiovascular pathophysiology. Oxford University Press, New York - Toronto, 1980. 4. Dzau VJ, Kloner RA. Heart Failure. In : The Guide to Cardiology, Ed : Kloner RA, John Wiley & Sons, Toronto. 1984, p 377-405. 5. Braunwald E, Sonnenblick EH, Ross J. Mechanisms of Cardiac Contraction and Relaxation. In : Heart Disease. A textbook of Cardiovascular disease. Ed: Braunwald E, WB Saunders Co, Philadelphia. 3rd ed. 1988, pp : 383420.
Tatalaksana Gawat Jantung pada Anak Soebijanto Poerwodlbroto Laboratorium/UPF Ilmu Kesehatan Anak F'akultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
PENDAHULUAN Gawat jantung pada bayi dan anak sering sangat sukar didiagnosis karena banyak penyakit lain menunjukkan gejalagejala yang mirip dengan gawat jantung. Untuk membuat diagnosis yang tepat diperlukan pengetahuan dasar tentang berbagai macam penyakit jantung yang dapat menjadi gawat. Anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang teliti dan sistematik memegang peranan sangat penting untuk menegakkan diagnosis terutama di tempat-tempat dimana tidak didapatkan saran lain selain stetoskop dan tensimeter misalnya di pitskesmas atau di lapangan. Pemeriksaan penunjang yang masih mungkin ada di rumah sakit tipe C : EKG, alat Rontgen dan laboratorium sederhana sangat bermanfaat. Beberapa rumah sakit Tipe B yang memiliki tenaga spesialis mungkin telah dapat melakukan pemeriksaan fonokardiografi dan ekokardiografi yang memang sangat penting untuk membuat diagnosis lebih tepat. Di rumah sakit tipe A (di Jakarta dan Surabaya) selain alatalat tersebut tadi masih dilengkapi dengan alat kateterisasi jantung dan perlengkapan kardiologi nuklir. Meskipun penyakit jantung pada anak sangat bervariasi dari segi anatominya, secara garis besar dapat dibagi atas : 1. Penyakit/kelainn jantung bawaan (terbanyak). 2. Penyakit jantung yang didapat. Kegawatan yang dapat timbul pada anak dengan penyakit jantung yang sangat perlu untuk diketahui terutama adalah : 1. Gagal jantung 2. Disritmi (gangguan irama jantung) 3. Serangan sianosis. Gagal jantung dapat terjadi pada kedua jenis penyakit jantung, baik bawaan maupun didapat. Gangguan irama jantung
bahkan dapat terjadi pada jantung yang anatomik normal, sedangkan serangan sianosis terutama pada kelainan jantung bawaan sianotik (Tetralogi Fallot). GAGAL JANTUNG Gagal jantung merupakan suatu proses yang sangat kompleks sehingga tidak mudah membuat definisi yang sederhana tetapi tepat. Definisi yang sederhana tetapi banyak dianut adalah suatu keadaan di man jantunggagal mempertahankan fungsinya sehingga curah jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan perfusi jaringan tubuh terutama organ-organ vital1,2,3,4. Akibat curah jantung yang menurun, pada gagal jantung yang berat tekanan darah dapat turun sangat rendah sehingga nadi tidak teraba dan tekanan darah tak terukur. Dengan demikian penderita yang ditemukan mempunyai tekanan darah yang rendah, bahkan tak terukur dan nadinya tak teraba, harus diingat juga kemungkinan menderita gagal jantung. Di samping itu terjadi bendungan darah/cairan di dalam sirkulasi paru dan sirkulasi vena sistemik dengan akibat sembab jaringan interstisial paru, jaringan tubuh dart organ-organ. Pemberian cairan pada penderita demikian akan memperburuk keadaan dan bahkan dapat membawa kematian dengan cepat. Tujuan umum pengobatan gagal jantung adalah1,2,3,5,6,7,8,9,10. 1. Meningkatkan performa jantung. 2. Meningkatkan perfusi jaringan dan organ-organ. 3. Mengurangi atau menghilangkan baik bendungan sistim di sirkulasi paru maupun di sistim sirkulasi vena sistemik. 4. Dipertimbangkan tempi bedah terhadap kelainan anatomik kongenital ataupun yang didapat.
Dibacakan pada: Simpasium Tatataksana Gawat Darurpt di bidang Penyakit lantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 19
Gagal jantung dimulai dengan merosotnya kontraktilitas miokard dan ini akan memacu mekanisme kompensasi dimulai dengan takikardi untuk memenuhi curah jantung, disusul oleh hipertrofi miokard dan dilatasi untuk menambah isi sekuncup2,3,4. Apabilakemampuankompensasi initerlampauimakaakantimbul gagal jantung; jantung tidak mampu lagi memenuhi curah jantung yang dibutuhkan. Faktor-faktor yang menentukan curah jantung adalah : 1. Kontraktilitas miokard. 2. Preload ventrikel (volume ventrikel pada akhir diastol). 3. Afterload (tahanan terhadap ejeksi ventrikel kid). 4. Frekuensi denyut jantung. Apabila salah satu faktor tersebut di atas berubah, maka faktor-faktor lainnya akan berubah pula sebagai reaksi kompensasi.
Kausa Berbagai macam kelainan dan penyakit jantung dapat menyebabkan gagal jantung pada anak dan bayi. Penyebab terbanyak adalah kelainan jantung bawaan disusul oleh penyakit infeksi2,3,4. 1. Kelainan jantung bawaan (kongenital) : a. Asianotik b. Sianotik 2. Kelainan jantung didapat : a. Infeksi : – Miokarditis difteri – Miokarditis virus – Karditis rematik b. Disritmia : – Takikardi supraventrikuler – Fibrilasi atrium – Takikardi ventrikuler – AV blok total c. Tamponade jantung. d. Anemi berat. e. Gangguan homeostasis : – Hipoksi miokard – Imbalans asam-basa – Imbalans elektrolit – Hipoglikemi – Hipokalsemi.
Gejala Manifestasi klinik gagal jantung terdiri dari gejala-gejala yang ditimbulkan oleh curah jantung yang turun, bendungan vena sistemik dan vena part. Mula-mula bendungan hanya terdapat intravaskuler baik dalam vena paru maupun vena sistemik. Bila gagal jantung sudah lanjut maka akan terjadi kenaikan tekanan kapiler pembuluh darah paru dan seluruh tubuh. Jika tekanan osmotik sudah melampaui tekanan onkotik akan terjadi pengeluaran cairan ke dalam jaringan interstisial baik dalam part maugun jaringan tubuh dan organ lain. Pada anak besar gejala gagal jantung sama dengan gejala-
20 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
gejata yang didapatkan pada orang dewasa yaitu2,` : 1. Rasa lelah. 2. Dyspnoe d'effort 3. Anoreksia 4. Nyeri perut (akibat hepatomegali) 5. Batuk-batuk 6. Orthopnea 7. CVP meninggi 8. Hepatomegali 9. Sembab. Pada bayi gejala gagal jantung lebih sukar dipastikan karena banyak keadaan yang menunjukkan gejala yang hampir sama3,4,11. Gejala yang biasanya didapatkan pada bayi ialah : – Kesukaran minum, suatu manifestasi dyspnoe d'effort di mana bayi berhenti minum dan menjadi sesak. – Pertumbuhan yang terganggu. – Takipnea, pemafasan cepat yang terjadi waktu minum atau waktu istirahat atau tidur bila gagal jantung cukup berat. – Takikardi. – Ronki paru, manifestasi dari bendungan paru. – Hepatomegali. – Kardiomegali. Manifestasi yang lebih jarang dijumpai adalah : – Edema perifer. – Asites. – Pulsus altemans. – Irma gallop – Vasokonstriksi perifer dengan keringat berlebihan. – Pucat. Yang tidak biasa didapatkan pada bayi ialah : – Efusi perikardial. – Efusi pleura. – Diagnosis banding Yang sering sukar dibedakan dari gagal jantung ialah : 1. Bronkhopneumonia. 2. Bronkhiolitis. 3. Asthma bronkhial. 4. Asfiksi neonatorum. 5. Asidosis. 6. Hipoglikemi neonatorum. 7. Perdarahan otak. 8. Agenesis para. Perawatan dan pengobatan1,9,10,12,13 Penatalaksanaan gagal jantung dapat disusun sebagai berikut : 1. Istirahat, bila perlu diberi sedasi. – Posisi berbaring Semi-Fowler. – Suhu dan kelembaban udara yang sesuai. – Bila perlu diberi oksigen. 2. Diet. – Rendah garam, mudah dicerna, kalori tinggi disesuaikan dengan umur.
– Cairan dibatasi dan harus diawasi terhadap bahaya aspirasi. 3. Pengobatan Pada prinsipnya obat yang diberikan ditujukan untuk memperbaiki kontraktilitas miokard yang merupakan titik tolak terjadinya payah jantung; di samping itu perlu pula diputuskan mata rantai aktivitas sistim yang berperan dalam payah jantung yaitu vasokonstriksi perifer dan bendungan vena. Secara skematik dapat digambarkan sebagai berikut :
pemeriksaan fisik dan EKG. Bila efek terapi sudah tercapai, terlihat berktlrangnya takipnea, takikardi, mengecilnya hati dan berkurangnya edema. Untuk mencapai taraf ini sebagian bayi memerlukan kurang dari dosis standar, sebagian lain membutuhkan lebih dari itu. Kita harus waspada terhadap kemungkinan intoksikasi digitalis dengan tanda-tanda sinus arrest, ST depresi yang mencolok, AV blok parsial atau total pada EKG. Obat inotropik lain seperti katekolamin, norepinefrin, epinefrin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin terutama dipakai pada penderita dengan sindrom low output akut setelah operasi jantung atau keadaan lain di mana obat-obat inotropik lain tidak menolong lagi. Norepinefrin dan epinefrin merupakan stimulator adrenergik alfa dan beta menyebabkan vasokonstriksi, mempunyai sifat kronotropik yang menyebabkan takikardi dan menaikkan konsumsi oksigen oleh miokard. Tabel : Dosis digitalis Route mg/kg
Prem/neont mg/kg
kurang 2 th mg/kg
lebih 2 th
Digoxin (Lanoxin)® Amp. 0.025 mghni Tab: 0.025 mg
iv p.o/i.m
Cedilanid (Lanatosid C®) Amp: 0.2 mg /ml
iv i.m
0.03 - 0.05 maintenance 1/10-1/5 dosis per hari 0.02 - 0.03 maintenance 1/10 - 1/5 dosis per hari
0.02 - 0.05 0.05 - 0.07 maintenance 1/5-1/3 dosis per hari 0.03 0.03 maintenance 1/5 - 1/3 dosis per hari
0.02 - 0.03 0.03 - 0.05 maintenance 1/5-1/3 dosis ' per hari 0.02 0.02 maintenance 1/5 - 1/3 dosis per hari
Preparat
Obat Inotropik Keterangan : * Preload * *
*
:
menghilangkan bendungan vena dengan diuretika dan venodilator. Afterload : Memperbaiki pengosongan ventrikel dengan menurunkan tekanan dinding ventrikel: vasodilator arterial. Kontraktilitas : – Memperbaiki imbalans: pH, pOJ, glukosa darah, kalsium, hemoglobin. – Digitalisasi. – Katekolamin. Tindakan pembedahan, bila pengobatan medikāl tidak berhasil.
Digitalis merupakan obat inotropik yang sampai sekarang masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi gagal jantung pada bayi dan anak. Digitalis di samping menguatkan kontraksi miokard juga menurunkan frekuensi denyut jantung sehingga pengisian ventrikel lebih efektif. Kerugiannya adalah rasio toksik : terapetik yang rendah artinya batas antara dosis terapetik dan dosis toksik sangat kecil sehingga penambahan dosis sedikit saja sudah dapat menimbulkan gejala keracunan berupa gangguan irama jantung yang dapat membawa kematian. Pada umumnya bayi-bayi membutuhkan digitalisasi cepat dalam jangka waktu 12 sampai 24 jam secara im atau iv, artinya pemberian dosis digitalisasi telah lengkap setelah 12 atau 24 jam tergantung pada beratnya gagal jantung. Setelah itu dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan im atau oral. Pemberian dosis digitalisasi terakhir harus had-had oleh karena respons penderita sangat individual; skema dosis yang ada hanya sebagai pedoman saja. Penderita harus diobservasi secara ketat antara lain dengan
Isoproterenol menimbulkan vasodilatasi perifer yang dibutuhkan untuk menurunkan afterload, tetapi menyebabkan kenaikan konsumsi oksigen oleh miokard sehingga tidak lazim dipakai untuk pengobatan payah jantung kecuali bila didapatkan bradikardi yang berarti. Dopamin dalam dosis < 5 mikrogram/kg bb/min. menyebabkan vasodilatasi ginjal dan merangsang diuresis. Dosis lebih besar (8 mikrogram/kg bb/min.) mempunyai efek kronotropik dengan hasil takikardi dan dosis 10 mikrogram/kg bb/min. mulai menimbulkan vasokonstriksi arteriola. Dopamin tidak dianjurkan pada payah jantung kronik yang berat, tetapi biasanya digunakan pada payah, jantung akut setelah operasi jantung atau payah jantung yang menyertai asfiksi neonatal, pada gagal ginjal dan pada renjatan septik maupun kardiogenik. Dobutamin bermanfaat pada pengobatan akut penderita payah jantung dengan curah jantung rendah dan tekanan diastolik yang tinggi. Diuretika Meskipun pemakaian obat inotropik dan vasodilator telah mencapai kemajuan pesat akhir-akhir ini diuretika secara konvensional masih tetap diperlukan untuk menghilangkan/mengu-
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 21
rangi bendungan dengan cara mengeluarkan Na dan cairan. Terdapat beberapa macam obat dengan titik tangkap aktivitas yang berbeda : 1. Pada tubulus distalis : ∗ Klorotiazid ∗ Hidroklorotia.id 2. Pada loop dari Henle : ∗ Asam Etakrinat ∗ Furosemid 3. Pada collecting tubules : ∗ Spironolakton Dosis diuretika : NAMA OBAT
I.V
Kiorotiazid
–
Hidroklorotiazid
–
Asam etakrinat (Edecrine®) Furosemid (Lasix®) Spironolakton (Aldactone®) Triamterin
0.5–1.0 mg/kg/dosis (2–3 x pemberian) 1 mg/kg/dosis 2–3 x sehari (max. 6 mg/kg/dosis) – –
ORAL < 6 bl : 20–30 mg/kg/hr (2–3 x pemberian) > 6 b1: 10–20 mg/kg/hr 2 x sehari 2–3 mg/kg/hr (2–3 pemberian) 25 mg/hr single dose 1–2 mg/kg/dosis 2 x sehari 1.5–3.5 mg/kg/hr 3–4 x pemberian 3 mg/kg/hr 2 x pemberian.
Vasodilator1,5,6,7,8,12 Ada tiga macam vasodilator yaitu : 1. Terutama sebagai venodilator yaitu nitrogliserin dan nitrat. 2. Vasodilator arteriol, contohnya hidralazin dan kaptopril. 3. Efek seimbang pada vena dan arterial misalnya: nitroprusid dan prazosin. 1) Venodilator: Nitrogliserin dan nitrat menyebabkan relaksasi otot polos vena terutama vena besar dan vena berkapasitas besar. Akibatnya bendungan vena sistemik dan paru menurun sehingga sangat berguna mengatasi edema pant pada insufisiensi aorta atau mitral. Di sini venodilator bekerja menurunkan afterload. 2) Vasodilator arteriol: Hidralazin bekerja langsung pada arteriol prekapiler, selain sedikit menyebabkan relaksasi vena dan sedikit meningkatkan kontraktilitas miokard. Dengan relaksasi arteriol, tahanan sistemik menurun sehingga dipakai terutama pada penderita hipertensi. Captopril bekerja dengan menghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE), mencegah terbentuknya angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi sistemik dan retensi Na dan air. 3) Vasodilator vena dan arteriol: Nitroprusid bekerja langsung dengan menimbulkan relaksasi otot polos vena maupun arteria. Dalam bidang pediatri terutama dipakai untuk mengobati hipertensi arterial yang berat dan akhir-akhir ini banyak dipakai pada inak yang menjalani operasi jantung. Pemberian obat ini
22 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
dilakukan intravena dengan pengawasan tekanan darah secara ketat. Prazosin merupakan suatu alpha adrenergic blocking agent post sinaptik pada pemakaian oral dan cocok pada anak yang menderita payah jantung kronik. Obat ini bekerja baik pada arteriol maupun pada vena dengan efek dilatasi dan mempunyai efek samping lebih sedikit daripada hidralazin. Dosis vasodilator NAMA OBAT Nitrogliserin Hidralazin (Apresolin®) Kaptopril (Capoten®)
Nitroprusid Prazosin (Minipres®)
I.V 0.5–20 µglkg/tnen 1,5 µglkg/men%ty atau 0,1–0,5 mg/kg/dosis 4 x sehari –
0,5–8 µg/kg/men –
ORAL – – Neonatus : 0,1–0,4 mg/kg/dosis 4 x sehari Anak besar : 12,5 mg/dosia 2 x salmi dosia 4 x sehari dosia pertama : 5 µg/kg dinaikkan perlahan–lahan (max 25 gag)
INTRACTABLE HEART FAILURE Pertama-tama pengobatan dimulai dengan obat-obat konvensional yaitu digitalis dan diuretik. Bila tidak didapatkan hasil yang memuaskan, harus dipikirkan faktor-faktor : 1. Imbalans elektrolit : alkalosis hipokhloremik, hipokalemi atau hiponatremi. 2. Adanya infeksi yang terselubung : endokarditis bakterial atau pnemonitis. 3. Kelainan yang memberatkan gagal jantung, misalnya aritmi. 4. Digitalisasi yang kurang atau intoksikasi digitalis. 5. Emboli paru-paru. Bila semua faktor tersebut sudah disingkirkan atau diatasi barulah dipertimbangkan operasi terhadap kelainan anatomik yang ada. ARITMI (GANGGUAN IRAMA) JANTUNG Aritmi jantung meskipun jarang terjadi pada anak dapat menimbulkan keadaan gawat. Ada 2 golongan besar gangguan irama jantung yaitu : 1. Gangguan irama dengan frekuensi cepat (takiaritmi). 2. Gangguan irama dengan frekuensi lambat (bradiaritmi). Takiaritmi yang paling sering terjadi pada anak adalah takikardia supraventrikuler paroksismal (Paroxysmal Supraventricular Tachycardia = PS VT). Pada kelainan ini serangan biasanya timbul mendadak dan berakhir mendadak. Frekuensi jantung antara 140/men. sampai 240/men14. Takikardi ini sebagian besar timbulpada Sindroma Wolf-Parkinson White (WPW Syndrome) tetapi dapat juga terjadi pada anak normal tanpa kelainan jantung. Serangan dapat singkat selama beberapa menit, singkat dan timbul berulang-ulang atau berlangsung lama sampai
berhari-hari. Bila serangan singkat biasanya tanpa keluhan atau penderita merasa berdebar-debar. Di luar serangan anak sehat tanpa gejala. Pada waktu serangan bila tanpa komplikasi hanya didapatkan nadi yang sangat cepat dan kadang-kadang sampai tak terhitung. Demikian juga pada auskultasi hanya didapatkan suara jantung yang sangat cepat sehingga sukar dihitung. Bila serangan berlangsung lama dengan frekuensi denyut jantung yang sangat cepat dapat timbul komplikasi gagal jantung dengan segala manifestasinya. Penatalaksanaan PSVT tergantung lamanya serangan dan beratnya komplikasi yang telah timbul's.'s Pada serangan yang singkat dan asimtomatik tidak diperlukan tindakan maupun pengobatan. Pada serangan yang berlangsung lama sebaiknya segera dihentikan, apalagi bila sudah terjadi gagal jantung. Bila bayi atau anak kecil telah jatuh dalam gagal jantung, merupakan suatu kegawatan yang harus segera diatasi. Terapi yang terbaik adalah DC Defibrilasi, konversi dengan memakai alat elektrik yang hanya ada pada rumah sakit tertentu. Obat yang sejak dulu dipakai adalah digoksin, terutama pada bayi atau anal( kecil dengan dosis mendekati dosis toksik. Apabila belum terjadi komplikasi dapat dicoba menimbulkan efek menyelam dengan memasukkan kepala anak ke dalam air es. Beberapa sarjana menganjurkan modifikasi dengan menutupkan kantong plastik berisi air es ke wajah anak. Bila tindakan-tindakan dan digoksin. tak berhasil harus dicurigai kemungkinan sindrom WPW yang mendasarinya. Dalam hal ini dapat terjadi takikardi ventrikuler yang sangat berbahaya. Pada anak besar yang sudah kooperatif tindakan dapat dimulai dengan stimulasi nervus vagus dengan cara : 1. Masase sinus karotikus unilateral. 2. Menekan bola mata pada palpebra superior. 3. Merangsang muntah. 4. Mengejan (dapat diajarkan pada penderita). Bila tindakan ini tidak berhasil dapat diberi digoksin. Obat yang sekarang banyak dipakai dengan hasil baik adalah verapamil yang bekerja memperlambat konduksi pada AV node. Dosis yang dianjurkan 0,1 - 0,2 mg/kg berat badan diberikan pelan-pelan secara intravena selama 30-60 detik. Konversi menjadi irama sinus dapat terjadi dalam 1-2 menit. Bila tidak berhasil obat ini dapat diulang setelah 5 menit pemberian pertama. Oleh karena efek samping verapamil adalah hipotensi atau bradikardi, harus tersedia atropin, isoproterenol dan kalsium klorida untuk mengatasinya bila terjadi. Tindakan terakhir bila semua tak menolong adalah DC Shock. Salah satu contoh bradiaritmi ialah blok atrioventrikuler total - impuls dari atrium tak dapat diteruskan ke ventrikel sehingga atrium dan ventrikel berkontraksi sendiri-sendiri. Keadaan ini banyak didapatkan pada miokarditis difterika yang berat. Gejala yang didapatkan antara lain badan sangat lemah, berkeringat dingin, perut terasa sebah dan kadang-kadang muntah, bila sirkulasi serebral sangat rendah penderita tak sadarkan diri (sindroma Adams-Stokes), nadi sangat lambat sampai di bawah 40-50/men., suara jantung melemah, hati membesar.
Sampai sekarang hasil yang didapat belum memuaskan meskipun telah dicoba berbagai cara. Prognosisnya sangat jelek. Pengobatan dapat dimulai dengan memberi ephedrin, sebagai obat yang paling ringan dengan dosis 50 mg dalam 100 ml Dextrose 5% tetesan pelan-pelan. Bila tidak berhasil diberikan isoproterenol 0,01-0,02 mg/kg bb sebagai bolus dilanjutkan dengan 0,05-0,4 µg/kg bb/menit. Alat pacu jantung temporer dipasang bila pengobatan medikamentosa tidak berhasil memacu ventrikel. Bila ternyata ventrikel bereaksi terhadap pemacuan ini dipertimbangkan pemasangan alat pacu jantung permanen. SERANGAN SIANOSIS Kelainan yang paling sering menimbulkan serangan sianosis adalah Tetralogi Fallot3,11. Pada penderita ini defek khas yang penting adalah VSD dan stenosis pulmonal; dalam hal ini stenosis infundibulum ventrikel kanan (outflow tract ventrikel.kanan). Di samping itu ditemukan overriding aorta dan hipertrofi ventrikel kanan sebagai akibat stenosis pulmonal. Berat ringannya sianosis ditentukan oleh berat ringannya stenosis pulmonal. Makin berat stenosis makin berat sianosisnya. Keadaan gawat pada penderita Tetralogi Fallot yang penting adalah serangan sianosis (= cyanotic attack/cyanotic spell). Bayi yang pada keadaan tenang tampak merah dan mendadak mendapat serangan sianosis harus dicurigai menderita Tetralogi Fallot. Serangan sianosis biasanya datang mendadak setelah bangun tidur, setelah menangis keras, setelah defekasi atau minum. Di an tara serangan anak tampak sehat. Tidak semua anak dengan kelainan ini mendapat serangan sianosis. Patogenesis Penyebab serangan sianosis belum diketahui dengan pasti. Diduga berhubungan dengan meningkatnya tahanan terhadap aliran darah dari ventrikel kanan karena kontraktilitas outflow tract ventrikel kanan yang meningkat atau tahanan perifer yang menurun. Kedua keadaan ini memperbesar shunt dari kanan ke kiri. Sebagai akibatnya pCO2 (tekanan CO2 darah) meningkat dan p02 (tekanan 02 darah) turun. Keadaan ini merangsang pusat pernafasan sehingga timbul hiperpnea (pemafasan cepat). Perawatan dan pengobatan Segera setelah timbul serangan sianosis, penderita bayi harus ditidurkan dengan posisi knee-elbow (menungging) atau anak besar dengan posisi knee chest. Pemberian morfin 0,2 mg/kg bb subkutan dapat segera menghilangkan serangan. 02 100% harus diberikan dan bila timbul asidosis harus segera diatasi dengan Na bikarbonat. Propranolol dengan dosis 0,1 mg/kg bb intravena sebagai bolus dapat diberikan untuk menghilangkan serangan. Untuk mencegah serangan sianosis dapat diberikan propranolol oral 2 mg/kg bb 3 sampai 4 kali sehari, obat ini lebih efektif pada bayi daripada anak lebih besar.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 23
Pembedahan Pembedahan adalah suatu tindakan yang perlu dipertimbangkan. Selama kelainan anatomik masih ada anak selalu diancam oleh gagal jantung atau serangan sianosis. Kasus-kasus yang dapat dibedah tergantung pada kemampuan setempat. Tidak semua macam kelainan jantung dapat dibedah sehingga prognosis juga tergantung pada macam dan beratnya kelainan anatomik jantung.
3. 4. 5. 6. 7.
PROGNOSIS Prognosis tergantung pada kelainan anatomi yang ada dan kelainan hemodin2rnik yang terjadi. Juga kemampuan pusat kardiologi setempat sangat menentukan oleh karena sering diperlukan alat canggih untuk menanganinya dan sebagian besar kelainan jantung kongenital memerlukan pembedahan.
8. 9. 10. 11.
KEPUSTAKAAN 1. 2.
Friedman WF, George BL. New concepts and drugs for congestive heart failure. Pediatr Clin N Am 1984; 31: 1197-1219. Michaelson, CR. Congestive Heart Failure, St. Louis, Toronto: C.V. Mosby Co, 1983.
24 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
12. 13. 14.
Moller JH, Neal WA. Heart Disease in Infancy, New York; Appleton Century Crofts, 1981, p. 366-367. Nadas AS, Fyler DC. Pediatric Cardiology. 3rd ed., Philadelphia, London, Toronto: WB Saunders Co. 1972, p. 262-75. Awan NA, Miller RR, De Maria AN. Efficacy of ambulatory systemic vasodilator therapy with oral prazosin in chronic refractory heart failure. Circulation, 1977; 56: 346. Awan NA, Miller RR, Mason DT. Comparison of effect of nitroprusside and prazosin on left ventricular function and the peripheral circulation in chronic refractory congestive heart failure. Circulation 1978; 57: 152. Awan NA, Needham KE, Evenson MK, Amsterdam EE, Mason DT. Therapeutic application of prazosin in chronic refractory congestive heart failure. Am J Med 1981; 71: 153-160. Cohn JN. Physiologic basis of vasodilator therapy for heart failure. Am J Med 1981; 71: 135-9. Dickerman JD, Lucey JF. Smith's The Critically Ill Child. Diagnosis and Medical Management. 3rd ed. W.B. Saunders Co., 1985. Kaplan S, Gaun WE, Benzing G, Meyer RA, Schwartz DC. Therapeutic advance in pediatric cardiology. Pediatr Clin N Am 1978; 25: 891-907. Jordan SC, Scott O. Heart Disease in Pediatrics, 2nd ed., London: Butterworth & Co., Ltd. 1981, p. 159-69. Roulean IL, Wamica JW, Burgess JH. Prazosin and Congestive Heart Failure: Sh[ort and Long Term Therapy. Am J Med 1981, 71: 147-52. Shirley HC. Pediatric Therapy, Saint Louis: CV Mosby Co., 1975, p. 698710. Dick MH, Campbell RM. Advances in the management of cardiac arrhythmias in children. Pediatr Clin N Am 1984; 31: 1175.
Tatalaksana Gawat Darurat Jantung dan Pembuluh Darah dari segi Bedah Kardiovaskular Paul Tahalele Seksi Bedak Thorax Kardiovaskular Laboratoriuntl UPF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Soetomo, Surabaya
PENDAHULUAN Pengelolaan keadaan gawat-daruratpada kelainan-kelainan jantung dan pembuluh darah memerlukan tindakan yang cepat dan tepat agar dapat membantu menyelamatkan penderita, Pada umumnya penderita-penderita tersebut dalam keadaankritiS dan di ambang kematian dengan batas keselamatan yang sangat kecil1. Penentuan diagnosis dengan alat-alat elektronik dan laboratorium sangat membantu menegakkan diagnosis pasti, tetapi prinsip-prinsip pemeriksaan dan diagnosis klinik merupakan hal yang sangat penting, yang tidak boleh diabaikan terutama dalam menghadapi kasus-kasus daruratpada berbagai kelainan jantung dan pembuluh darah. Para dokter harus mengetahui indikasi pembedahan jantung - pembuluh darah, kapan dan bagaimana seorang penderita dengan kelainan jantung pērlu mendapat pēmbedahan jantung secara darurat. Jika kelainankelainan terse-but masih dapat diobati dengan cara bukan bedah atau dipersiapkan secara elektif, maka pembedahan darurat dapat ditunda sampai terdapat indikasi yang jelas2. Sejarah pembedahan jantung dimulai sejak tahun 1880-an, justru didahului oleh pembedahan jantung darurat akibat trauma tajam yang melukai jantung oleh Williams dengan sukses menjahit luka tembus jantung di Chicago, Amerilca Serilcat. Sedangkan Rehn, (1897) melaporkan hal yang serupa di Frankfurt, Jerman Barat dan sejak itu para ahli bedah di Jerman berani menjamah dan menjahit jantung yang luka, yang sebelumnya merupakan hal yang "tabu". Pada 1963, Powell dan De Canco untuk pertama kali berhasil menutup PDA pada bayi prematur secara darurat melalui jalan operasi jantung tertutup. Selanjutnya penanganan bedah darurat secara terbuka pada kelainan-kelainan jantung
mencapai kemajuan setelah ditemukan dan digunakan mesin jantung paru secara klinis pada tahun 1956 oleh John Gibbon4. Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai kelainan-kelainan jantung dan pembuluh darah yang memerlukan tindakan bedah darurat, juga indikasi serta waktu yang tepat untuk menentukan tindakan yang optimal. Secara garis besar, pembedahan darurat pada kelainankelainan jantung dan pembuluh darah dibagi menurut kausanya, yaitu : 1. Karena trauma. 2. Karena bukan trauma, yang dikategorikan menurut waktu penanganannya atau prioritas : 2.1. Gawat Darurat. 2.2. Elektif Darurat. KELAINAN JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH AKIBAT TRAUMA 1. Trauma Tajam 2. Trauma Tumpul Trauma tajam pada jantung biasanya mengakibatkan ruptur dinding jantung (RA, LA, RV, LV) termasuk pembuluh darah (koroner,aorta,pulmonalis,vena Cava), atau sekat jantung (ASD, VSD), atau ruptur katup jantung (mitral, aorta); sedangkan trauma tumpul biasanya mengakibatkan kerusakan yang lebih parah (kontusio miokard) dari pada trauma tajam dan memberikan prognosis lebih buruk5. Angka morbiditas dan mortalitas akibat trauma jantung dapat diturunkan dengan tindakan pembedahan yang agresif berupa thorakotomi akut dan kardiorapi, yang menggantikan
Dibacakan pada: Simpasium Tatalakrana Gawat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 25
sikap konservatif dengan atau tanpa didahului tindakan perikardiosentesis6,7,8,9,10. Wilson, (1975) mengemukakan bahwa sekitar 50% kasus hidup dari korban luka tusuk jantung yang dapat mencapai rumah sakit, tetapi untuk korban luka tembak hanya 10-50% yang hidup'. Bodai, (1983) menyatakan bahwa angka kematian kasus-kasus sebelum mencapai RS berkisar antara 38-83%6. Keberhasilan pengelolaan trauma tembus jantung ditentukan oleh 3 faktor' 1: Pertama, tindakan pertolongan pertama di tempat kejadian. Kedua, transportasi yang cepat dan adekuat ke rumah sakit dengan fasilitas bedah tlloraks kardiovaskular. Ketiga, tindakan pengobatan definitif di rumah saki'. ∗ Tindakan Pertolongan Pertama di Tempat Kejadian Karena adanya perdarahan atau karena jeritan kesakitan dan/atau korban langsung jatuh tidak sadarkan diri, biasanya masyarakat awam di sekitamya menjadi takut dan panik; atau menjadi berani untuk melakukan pertolongan pertama yang keliru, seperti : – memberi minum – melakukan pijat jantung luar – Tnencabut benda yang tertancap di tubuh korban – melaporkan kejadian tersebut kepada petugas, sehingga menunda waktu pengiriman Tindakan yang tepat adalah segera mengirim penderita ke RS terdekat yang mempunyai dokter ahli bedah dan ahli bius yang siap 24 jam11. ∗ Transportasi ke Rumah Sakit secara Cepat dan Akurat Setiap kendaraan dapat dipakai asalkan cepat; tidak mutlak dengan ambulans. Penderita diletakkan terbaring lurus, jangan ditekuk atau tertekuk dan bila ada fasilitas resusitasi caftan mulailah segera memasang infus dan berikan cairan Ringer Laktat/Garam Fisiologis dengan tetesan cepat11. Jangan melakukan pijat jantung luar dan pernafasan buatan karena akan memperburuk kondisi penderita11,12. Tidak kalah penting peranan komunikasi radio medik, mendahului transportasi penderita ke RS yang dituju. ∗ Tindakan Definitif di Rumah Sakit Kelambatan penanganan trauma tembus jantung pembuluh darah besar akan berakibat fatal1, sehingga diperlukan ketegasan tindakan berdasarkan pemeriksaan klinis yang diatur melalui protokol pengelolaan yang sederhana11. Prinsip-prinsip dasar penanganan trauma tembus jantung7,10,11,13,14. – resusitasi cairan dan transfusi darah – transportasi yang adekuat – diagnosis secara cepat dan tepat – pemeriksaan tambahan (Foto Polos Thoraks, Laboratorium dll) – tindakan thorakotomi akut dan kardiorapi, kalau perlu didahului tindakan perikardiosentesis sebagai tindakan darurat (live-saver). Bila menghadapi kasus-kasus kritis maka tindakan thorakotomi akut dapat dikerjakan bersamaan dengan resusitasi cairan
26 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
dengan mengabaikan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan dan laboratorium. Pemeriksaan Foto Polos Thoraks sebagai diagnostik tambahan merupakan suatu pitfall bila dilakukan pada keadaan hemodinamik tidak stabil karena akan menunda tindakan definitif dan berakibat fatal1,12. Diagnosis adanya luka pada jantung akibat suatu trauma ditegakkan berdasarkan1,9,12,15 : – terdapat jejas/luka tembus masuk rongga thoraks yang letaknya di daerah antara garis klavikularis media kanan dan garis aksilaris anterior kiri, – disertai perdarahan hebat atau shock berat, – atau disertai tanda-tanda tamponade jantung, – atau disertai hematothoraks berat (jumlah darah lebih dari 800 ml). Tamponade jantung memberikan gambaranklinis trias Beck, yang berupa : hipotensi, distensi vena di leher dan suara jantung yang melemah. Tetapi tanda tersebut tidak harus lengkap1,6. Wilson melaporkan hanya 41% dari 63 kasus tamponade jantung akibat luka tusuk jantung yang menunjukkan tandatanda trias Beck lengkap'. Setelah diagnosis ditegakkan, maka tindakan selanjutnya berupa : 1. Atasi tamponade jantung; dapat dengan cara perikardiosentesis atau thorakotomi langsung. 2. Kontrol perdarahan. – untuk perlukaan ventrikel, dilakukan teknik penempatan ujung jari pada luka tersebut, sedangkan cara lain dengan menempatkan kateter Foley dengan balon yang dikembangkan sedikit ke dalam lubang pada jantung serta dilakukan traksi ringan. – untuk perlukaan atrium, kontrol perdarahan dilakukan dengan Klem Vaskular Atrarunatis7,11,15,17. 3. Kardiorapi;untuk perlukaan ventrikel dilakukan dengan jahitan secara mattress dan menggunakan pledget atau dapat diganti dengan fascia-otot. Sedangkan untukperlukaan atrium dijahit secara jelujur. Pada keadaan tertentu dapat dipakai mesin jantung paru seperti pada operasi Bypass Koroner7,11. Tindakan agresif berupa Thorakotomi akut mempunyai beberapa keuntungan5,9,11 : 1. Lokasi luka dapat diketahui dengan pasti. 2. Dapat dilakukan perbaikan secara adekuat. 3. Sering didapat bekuan darah yang tak mungkin dikeluarkan dengan cara aspirasi perikardiosentesis. 4. Dapat mencegah timbulnya perdarahan sekunder. 5. Mengurangi risiko komplikasi kerusakan miokard atau perlukaan arteri koronaria saat dilakukan perikardiosentesis. 6. Dapat membersihkan sisa darah dalam rongga perikard yang dapat memberikankomplikasi seperti : efusi perikard khronis, perikarditis adhesiva atau sindroma konstriktiva. Evaluasi Pasca Bedah Bila keadaan pasca bedah telah stabil, maka perlu dilakukan evaluasi pasca bedah dengan pemeriksaan-pemeriksaan khusus kardiologi, seperti : rekaman jantung, ekhokardiografr, kate-
terisasi jantung, angiografi (termasuk angiografi koroner). Halhal yang perlu dipikirkan adalah adanya sindrom perikarditis, endokarditis, defek septum (ASD, VSD), iskemi miokard, gangguan irama/konduksi (intrakardial), ruptura muskulus papillaris, daun katup dan adanya aneurisma ventrikel5,11. Tindakan selanjutnya tergantung pada jenis kerusakan sisa dan indikasi pembedahannya agar dapat dipersiapkan sebaikbaiknya termasuk penggunaan sirkulasi ekstra korporal atau bedah jantung terbuka. Pengalaman di Surabaya Selama periode 5 tahun (Januari 1985 s/d Desember 1989) telah dirawat 12 penderita dengan trauma tembus jantung di RSUD Dr. Soetomo (10 kasus), RS Adi Husada (1 kasus), RS Katolik (1 kasus) : seluruhnya laki-laki (100%); sebagian besar (11 kasus) mengenai usia produktif (20-43 tahun); etiologi terbesar adalah trauma tajam karena tusukan senjata tajam 9 kasus (74,8%), tertembus peluru senapan angin 1 kasus (8,3%), terflank fragmen tulang kosta yang patah 1 kasus (8,3%) dan 1 kasus (8,3%) akibat trauma tumpul yang menyebabkan ruptur dinding ventrikel Icarian. Evaluasi pasca bedah ditemukan embolisasi peluru senapan angin ke a. poplitea kid 1 kasus (8,3%), ikterus 2 kasus (16,6%), VSD 1 kasus (8,3%), dan meninggal dunia 1 kasus (8,3%), Survival rate 91,7% (11 kasus) serta 10 kasus (83,3%) telah kembali bekerja11,15. KELAINAN JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH BUKAN AKIBAT TRAUMA Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Bawaan4,16,18,19 Kegagalan jantung selama bulan pertama kehidupan; menurut usianya digolongkan menjadi18 : 1. Pada saat lahir. – Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS). 2. Usia 1-7 hari. – Patent Ductus Arteriosus (PDA). – Total Anomalous Pulmonary Venous Connection (TAPVC). – Transposition of the Great Arteries (TGA). 3. Usia 7-11 hari. – Aortic Stenosis. – Pulmonary Stenosis. – Coarctation. 4. Usia 14-30 hari. – Ventricular Septal Defect (VSD). – Atrio Ventricular Canal (AV Canal).
meninggal dalam usia 1 minggu. Pemeriksaan Tambahan – EKG. – Foto Polos Thorax; tampak kardiomegali sedang dengan peningkatan aliran darah pulmoner. – 2-D Echocardiography, tampak ventrikel kanan beserta katup trikuspid yang besar dan ventrikel kid, katup mitral dan aorta asendens tampak kecil/tidak tampak. – Kateterisasi jantung serta cineangiography, dilakukan atas indikasi untuk keperluan koreksi anatomi. Pengobatan Bila terdapat ductus arteriosus, diusahakan tetap terbuka dengan prostaglandin E1. Operasi tahap I bersifat paliatif, berupa menghubungkan ventrikel kanan ke aorta, paling ideal dengan cara melebarkan aorta asendens; bila mungkin juga mempertahankan tetapi membatasi aliran darah ke paru dan dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan. Operasi tahap II bersifat definitif, dilakukan pada bulan ke 6-24 bila bayi tersebut dapat hidup; berupa menciptakan hubungan langsung antara atrium kanan ke arteri pulmonalis dan menghubun gkan vena pulmonalis ke katup trikuspid. Prognosis Angka kematian pada operasi tahap pertama berkisar antara 50-91% dan operasi tahap kedua 18-82%4. Patent Ductus Arteriosus (PDA) PDA merupakan suatu hubungan terbuka antara aorta thoracalis descendens bagian atas dengan bagian proksimal arteri Alur Pengelolaan Penderita PDA pada Bayi Prematur
Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS)4 Kondisi yang lebih banyak terjadi adalah atresia katup aorta bersama-sama aorta ascendens yang hipoplastik; tetapi bila disertai atresia/hipoplasi katup mitral, hipoplasi ventrikel kiri dan septum interventrikularis yang utuh, disebut Hypoplastic Left Heart Syndrome (HLHS). Diagnosis Klinik Bayi baru lahir dengan tanda-tanda sianosis, distres napas dan takikardi. Kemudian terjadi kegagalan jantung kongestif dan
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 27
pulmonalis kiri (persisten). Dengan tingginya angka kejadian prolonged patency dari discuss arteriosus pada bayi prematur (usia kehamilan kurang dari 36 minggu), maka perlu diambil langkah-langkah penanganan definitif yang menguntungkan. Walaupun masih terdapat kontroversi dalam pengobatan PDA pada bayi prematur, peranan dokter ahli bedah adalah terutama bila terapi konservatif dengan obat-obatan tidak memberikan hasil. Fakta lain menyebutkan bahwa PDA pada bayi prematur 80% dapat menutup spontan4, sehingga pemilihan penderita harus lebih selektif. Indikasi operasi berdasarkan : – Gejala-gejala klinik berupa distres napas. – CTR bertambah. – PDA yang besar, yang dibuktikan dengan pemeriksaan echokardiografi. Diagnosis Klinik Diagnosis berdasarkan tanda-tanda kegagalan jantung kongestif berupa takipnea, takikardi dan bayi menjadi rewel, disertai adanya continuous murmur yang pada mulanya berupa murmur sistolik. Pemeriksaan Tambahan Foto Polos Thoraks, menunjukkan tanda-tanda peningkatan PulmonaryVascular Pattern disertaikardiomegali (CTR> 50%). 2-D Echocardiography, mendapatkan rasio antara atrium kiri dan aorta lebih besar atau sama dengan 1,5; menunjukkan shunt yang besar. Pengalaman di Surabaya20 : Selama 3 tahun terakhir (1988-1990) telah dilakukan ligasi duktus pada 4 bayi prematur dengan hasil : 2 bayi meninggal karena kegagalan napas dan seorang lagi meninggal karena perdarahan gastrointestinal (survival rate 25%). Sebagian besar datang dalam keadaan terlambat, sehingga mortalitas cukup tinggi. Prognosis Menurut kepustakaan angka kematian PDA pada bayi-bayi prematurlebih tinggi pada bayi-bayi dengan beratbadan < 1,5 kg dan angka kematian pada penderita yang dioperasi lebih kecil dari pada yang diterapi konservatif (11% vs 23%). Total Anomalous Pulmonary Venous Connection (TAPVC)4 TAPVC adalah kelainan jantung bawaan berupa tidak terdapat hubungan langsung antara vena pulmonalis dan atrium kiri; semua vena pulmonalis bermuara ke atrium Icarian. Penderita TAPVC dapat hidup setelah kelahiran karena terdapatnya ASD atau foramen ovale yang tetap terbuka. Menurut lokasinya TAPVC dibagi dalam 4 tipe : 1. Suprakardiak (45%) 2. Kardiak (25%) 3. Infrakardiak (25%) 4. Bentuk campuran ( 5%) Diagnosis Klinik Bayi-bayi dengan TAPVC pada umumnya memberikan ge-
28 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
jala klinik yang serius dan kritis pada beberapa minggu pertama atau bulan pertama kelahiran. Kecurigaan TAPVC timbul bila ada gejala-gejala takipnea yang tidak bisa diterangkan sebabnya dan merupakan gejala utama. Sebagai diagnosis diferensial pada 2 minggu pertama adalah pneumonia yang difus dan retcnsi cairan fetal di paru; di samping itu perlu dipikirkan aspirasi mekonium serta miokarditis. Pemeriksaan Tambahan – Foto Polos Thoraks. – 2-D Echocardiography, cukup akurat untuk menentukan diagnosis morfologinya. – Kateterisasi jantung dan angiokardiografi, merupakan diagnostik definitif. Pengobatan Koreksi anatomis dikerjakan dengan bantuan sirkulasi ekstrakorporal (cardiopulmonary bypass) dan total circulatory arrest dengan hipotermi yang dalam (18°-20°C). Secara rutin harus mencari dan menutup PDA, walaupun pra bedah tidak terdiagnosis. Prognosis Angka kematian di rumah sakit setelah koreksi operasi TAPVC dalam tahun pertama berkisar 11-25%4. Transposition of the Great Arteries (TGA)4,16,19 TGA adalah kelainan jantung bawaan di mana aorta keluar dari ventrikel kanan dan arteri pulmonalis keluar dari ventrikel kiri (ventriculoarterial discordant connection). Kelainan ini dapatbersamaan dengan kelainan jantung yang lain seperti PDA, VSD, kelainan katup mitral/trikuspid, koarktasio aorta, LVOTO. Insidens TGA : 7-8% dari semua kelainan jantung bawaan. Bayi dengan TGA yang dapat bertahan hidup sampai 1 bulan : 55%, 6 bulan : 15% dan 1 tahun hanya 10%16. Diagnosis Klinik Keluhan dan gejalaklinik tergantung dari derajat mixing dari kedua sistim pembuluh darah aorta dan a. pulmonalis serta besarnya aliran darah ke paru. Bila mixing tersebut kecil, maka saturasi 02 rendah dan memberikan gejala hipoksia berat. Sianosis akan bertambah bila ada pengurangan aliran darah ke paru seperti LVOTO atau kelainan pembuluh paru. Sianosis akan tampak pada 50% bayi pada jam pertamakelahiran hidup dan 90% dalam hari pertama, terutama pada bayi tanpa VSD; tetapi biasanya terdapat foramen ovale yang terbuka atau ASD. Pemeriksaan Tambahan – Foto Polos Thoraks, untuk TGA tanpa VSD, akan terlihat gambaran bayangan jantung berbentuk telur dengan penyempitan pada mediastinum superior dan mild pulmonary plethora. – 2-D Echocardiography, dapat memberikan diagnosis definitif. – Kateterisasi jantung dan sineangiografi; pemeriksaan ini dilakukan sebelum tindakan bedah dengan mengukur semua tekanan dan saturasi O2, untuk mengetahui kelainan-kelainan intrakardiak.
Pengobatan Pada minggu pertama kelahiran dilakukan tindakan darurat pertama yaitu BAS (Balloon Atrial Septostomy) dengan cara membuat ASD melalui kateter transkutan. Tindakan penyelamatan ini memberikan angka survival 89% pada usia 3 bulan pertama. Tahap berikutnya dapat direncanakan secara elektif : koreksi total, tergantung kelainan anatomi yang bersamaan. 1. Banding a.pulmonalis, untuk TGA dengan VSD yang besar. 2. Operasi Rastelli, untuk TGA dengan VSD dan LVOTO. 3. Operasi Switch Over, pada umumnya dilakukan pada usia 1 bulan dengan bantuan sirkulasi ekstrakorporal, circulatory arrest dan hipotermi yang dalam (18-20°C). Termasuk melakukan re-implantasi arteri koronaria. 4. Operasi Atrial Switch menurut Senning atau Mustard. Aortic Stenosis4 Stenosis katup aorta bawaan adalah obstruksi pada katup akibat penebalan; merupakan 5% dari kasus-kasus dengan penyakit jantung bawaan. Pada bayi dengan stenosis katup aorta yang berat dilakukan operasi darurat pada saat diagnosis ditegakkan, karena hampir selalu dan cepat menyebabkan Icegagalan jantung kongestif dan bayi tersebut meninggal dunia dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu setelah lahir. Pemeriksaan Tambahan – EKG dan Foto Polos Thoraks. – 2-D Echocardiography bersama-sama dengan fonokardiografi untuk menganalisis besarnya ventrikel kiri dan carotid upstroke. – Kateterisasi jantung dan angiografi, merupakan diagnostik definitif. Perbedaan tekanan lebih dari 75 mmHg atau luas permukaan katup kurang dari 0,5 cm2 menunjukkan stenosis berat. Kegagalan ventrikel kiri ditandai dengan kenaikan LVEDP. Pengobatan Pada bayi dengan gejala klinis yang sangat kritis, dilakukan operasi valvotomi terbuka dengan bantuan mesin jantung-paru atau percutaneus balloon valvotomy. Pulmonary stenosis tanpa VSD4 Di sini hanya dibatasi pada stenosis katup pulmonal dengan atau tanpa stenosis pada infundibulum; disebut stenosis pulmonal yang simple dan merupakan 10% dari semua kasus penyakit jantung bawaan. Diagnosis Klinik Pada neonatus menyebabkan keadaan kritis,iritabel, takipnea, dan hipoksia berat dengan adanyaRight to Left Shunt pada posisi atrial. Bila septum interatrial utuh, tidak ada sianosis. Selain menyebabkan kegagalan jantung berat terdapat pula murmur sistolik dan sering disertai thrill. Pemeriksaan Tambahan – EKG dan Foto Polos Thoraks
– 2-D Echocardiography, hampir pasti memberikan diagnosis. – Kateterisasi jantung dan sineangiografi, memberikan diagnosis definitif. Pengobatan Gejala klinik pada neonatus adalah tidak umum terjadi, tetapi bila ada maka prognosisnya sangat jelek apabila tidak diterapi. Tindakan pertolongan pertama dengan mempertahankan tetap terbukanya duktus arteriosus dengan suntikan Prostaglandin El (PGE1) secara i.v. 0,05 - 0,4 ug/kg BB/menit. Selanjutnya dilakukan valvotomi tērbuka dengan bantuan mesin jantung paru, atau percutaneus balloon valvotomy. Koarktasio Aorta4 Koarktasio aorta merupakan penyempitan klasik dari aorta thorakalis desendens pada tempat menempelnya ductus arteriosus, disertai perbedaan tekanan di daerah tersebut. Merupakan 5-8% dari kelainan jantung bawaan. Menurut posisinya terhadap ductus, terdapat 3 tipe koarktasio aorta : 1. Preductal, 2. Juctaductal dan 3. Postductal. Diagnosis Klinik Pada neonatus gejala klinik timbul berupa kegagalan jantung kongestif. Pada bayi tersebut tampak takipnea dan problem makan disertai irama gallop serta murmur sistolik di sepanjang tepi kiri sternum. Tidak teraba pulsasi a. femoralis dan mungkin timbul tanda-tanda hipertensi (sangat jarang pada neonatus). Pada neonatus dengan koarktasio aorta murni, 5% akan berkembang ke arah kegagalan jantung kongestif yang membandang pada minggu pertama kelahiran dan mungkin akan meninggal bila tidak diopeiasi. Pemeriksaan Tambahan – 2-D Echocardiography – Kateterisasi jantung dan terutama memberikan diagnosis pasti.
aortografi,
akan
Pengobatan – Tindakan pertolongan pertama pada neonatus yang dalam keadaan kritis yaitu mempertahankan tetap terbukanya ductus dengan suntikan Prostaglandin El secara i.v. – Dapat pula dikerjakan balloon angioplasty, walaupun masih kontroversi4. – Selanjutnya tindakan bedah darurat atas indikasi lebarnya lumen kurang dari 50% yaitu melebarkan koarktasio aorta dengan PATCH melalui insisi thorakotomi kiri. Ventricular Septal Defect (VSD)4 VSD merupakan sebuah atau beberapa lubang pada septum interventrikularis. VSD tidak hanya merupakan lesi primer tetapi dapat merupakan bagian dari lesi yang lain seperti Tetralogi Fallot, AV Canal Defect, TGA, Truncus Arteriosus, Tricuspid Atresia dan lain-lain. Diagnosis Klinik Bayi dengan VSD yang besar dapat memberikan gejala gagal jantung yang membandang pada beberapa bulan pertama
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 29
kehidupan, disertai ketidakmampuan untuk makan, sweating dan edema pulmonal kronik. Pemeriksaan Tambahan – EKG dan Foto Polos Thoraks. – 2-D Echocardiography. – Kateterisasi jantung, merupakan diagnostik pasti. Pengobatan Pada VSD besar yang disertai kelainan jantung yang lain (seperti TGA), maka dilakukan banding pada a. pulmonalis melalui insisi thorakotomi kiri anterolateral (tekanan di sebelah distal a. pulmonalis harus turun kurang dari 50% tekanan darah sistemik); Pulmonary Banding adalah suatu tindakan operasi paliatif. Indikasi Banding pada neonatus dengan VSD primer adalah . ∗ Terdapat gagal jantung yang berat pada septum Swisscheese. ∗ Bersamaan dengan koarktasio aorta yang berat dan gagal jantung yang berat dalam 2 bulan pertama kehidupan. Selanjutnya dilakukan penutupan VSD dengan bantuan mesin jantung paru, bila terdapat gagal jantung yang beratdan membandang disertai tanda-tanda kegagalan napas. Kelainan Jantung dan Pembuluh Darah Yang Didapat Kegagalan Jantung Kongestif Intermiten disertai Syncope Dan kepentingan bedah kardiovaskular terdapat 2 jenis kelainan jantung yang memberikan tanda-tanda klinik di atas, yang ditandai adanya masa intra atrial, yaitu18 : 1. Myxoma jantung. 2. Mitral stenosis dengan thrombus. Myxoma jantune4,21 Pada umumnya tidak memberikan keluhan yang spesifik, tetapi bila masa tumor menimbulkan obstruksi aliran darah atau emboli tumor ke perifer atau ke paru akan memberikan gejala Minis yang jelas seperti dispnea, edema, asites, murmur karena stenosis atau inkompetensi katup jantung, tanda-tanda emboli dan aritmia serta sinkope. Mitral stenosis dengan thrombus Selain myxoma, maka masa intraatrial yang lain adalah mitral, stenosis dengan ball valve thrombus4,18 Pemeriksaan Tambahan – Ekhokardiografi, pemeriksaan secara non-invasif yang dapat dengan tepat mendiagnosis letak masa intra atrial. – Kateterisasi jantung dan angiografi merupakan pcmcriksaan invasif yang berisiko tinggi akan terjadi emboli tumor atau thrombus. Pengobatan Pengangkatan masa intraatrial dilakukan melalui operasi jantung terbuka dengan tehnik NO TOUCH dan trauma yang minimal pada bagian-bagian jantung sehingga mengurangi le-
30 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
pasnya masa tumor. Untuk myxoma, dilakukan eksisi sampai pada tempat melekatnya tangkai tumor di septum interatrialis; sedangkan untuk Mitral Stenosis dengan trombus, selain mengeluarkan trombus juga dilakukan kommisurotomi katup atau pergantian katup. Pengalaman di Surabaya Telah dilakukan 4 operasi pengangkatan myxoma yang letaknya di atrium kid (1) dan atrium kanan (3) selama 4 tahun terakhir (1987-1990) dengan hasil baik; tidak ada tanda-tanda kekambuhan. Diagnostik ke empat kasus tersebut cukup dilakukan dengan pemeriksaan ekhokardiografi non invasif21. Aneurisma Dissecans16,21 Istilah dissecting aneurysm sebenarnya merupakan istilah yang salah, karena aneurismanya sendiri tidak ditemukan saat pembedahan akut. Keadaan yang sebenarnya adalah terjadi suatu pembelahan diri dinding aorta, terutama di tunika media. "Aneurisma" ini disebabkan oleh kombinasi kelainan tunika media aorta dan hipertensi. Macam-macam tipe Aneurisma Dissecans2l Tergantung dari lokasi asalnya dan eksistensinya ke arah distal, maka De Bakey membagi aneurisma dissecans menjadi 3 tipe : • Tipe I : Aneurisma dissecans dimulai dari aorta ascendens dekat katup aorta, menyebar ke distal sampai arteri iliaca communis. • Tipe II : Aneurisma dissecans dimulai dan letaknya terbatas pada aorta ascendens. Tipe ini biasanya terjadi pada sindroma Marfan. • Tipe III : Aneurisma dissecans dimulai pada daerah isthmus arcus aorta, sebelah distal dari arteri subclavia. Letaknya dapat terbatas' (tipe III 1) atau menyebar ke arah distal sampai di bawah diafragma (tipe III 2). Gejala Klinik Manifestasi gejala klinik dibedakan dalam 4 bagian : 1. Gejala-gejala di daerah thoraks. 2. Gejala-gejala di daerah abdominal-renal. 3. Gejala-gejala dari obstruksi arteri-perifer. 4. Gejala-gejala neurologis. Nyeri hebat mendadak di daerah retrosternal atau di punggung; harus dibedakan dengan nyeri akibat infark miokard yang bersifat gradual (periksa EKG dan enzym transamine). Nyeri ini disertai tanda-tanda shock dan hipotensi atau bila letaknya terbatas terdapat tanda-tanda hipertensi. Pada auskultasi, terdengar murmur diastolik pada posisi aorta karena terdapat insufisiensi katup aorta. Timbul gejala-gejala akut abdomen karena iskemi usus akibat pembuntuan arteri mesenterika superior, juga disertai kegagalan ginjal (periksa BUN, kreatinin) akibat kompresi arteri rcnalis. Gejala-gejala obstruksi arteri perifer tergantung lokasi tcrjadinya, dapat di extremitas superior maupun extremitas inferior. Sedangkan gejala-gejala neurologis yang diakibatkan
oleh iskemi otak, medulla spinalis atau saraf perifer tergantung dari arteri yang terkena. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan : – Foto Polos Thoraks, terdapat pelebaran mediastinum dan efusi pleura. – EKG, sulit dibedakan dengan infark miokard tetapi sering tampak gambaran hipertrofi ventrikel kiri akibat hipertensi yang ada sebelumnya. – Aortografi, menunjukkan gambaran lumen ganda pada aorta. Pengobatan Prognosis penyakit ini buruk. Progresivitas dan hasil pengobatan tergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya antara lain : usia penderita, lokasi tempat asalnya terjadi, hipertensi atau keadaan jantungnya sendiri. Pengobatan konservatif berupa pemberian obat-obatan untuk mengontrol hipertensi dan memperbaiki kontraktilitas ventrikel kin sehingga dapat menghentikan proses dissecans dan eksanguinasi. Indikasi pembedahan ditegakkan berdasarkan adanya aneurismadissecans yang berkelanjutan, nyeri yang menetap, hematoma mediastinum yang terus membesar, adanya murmur diastolik pada aorta, tanda-tanda efusi perikardial atau terkenanya arteri perifer. Prinsip pembedahan adalah melakukan eksisi dan rekonstruksi bagian aorta yang terkena beserta cabang-cabangnya, termasuk juga pergantian katup aorta dan reimplantasi pembuluh koroner pada protesa aorta. Penyakit Jantung Koroner4,16,18 Penyempitan pembuluh darah koroner oleh proses atherosklerotik atau thrombus akan menyebabkan infark miokard dengan segala komplikasinya seperti ruptur jantung (terjadi tamponade jantung akut), ruptur septum interventrikularis (terjadi VSD "buatan"), ruptur m. papillaris (terjadi regurgitasi katup mitral akut), gangguan konduksi jantung (aritmi, bradikardi,AVblock), hipotensi atau iskemi yang berulang (unstable angina pectoris). Walaupun banyak terdapat kontroversi dalam pengobatan penyakit jantung koroner serta komplikasi-komplikasi yang terjadi, bedah kardiovaskular masih diperlukan terutama pada komplikasi akut yang membutuhkan tindakaabedah darurat. Ruptur Jantung Ruptur jantung memberikan gejala klinik berupa tamponade jantung akut, dan merupakan penyebab kematian mendadak yang ketiga setelah syok kardiogenik dan aritmi sebagai akibat dari infark miokard akut. Angka kejadian ruptur jantung akibat infark miokard akut berkisar 4-24%; biasanya terjadi pada hari pertama sampai hari ke 12. Bila terjadi setelah 14 hari, perlu dipikirkan adanya perdarahan dari pecahnya aneurisma palsu. Pengobatan Lihat keterangan tentang tamponade jantung
VSD dan Regurgitasi Mitral Akut Kemunduran hemodinamik pada infark miokard akut yang berjalan cepat dan sering mendadak berupa edema paru dan hipotesi dapat disebabkan oleh terjadinya VSD maupun regurgitasi mitral akut. Kira-kira 1% kematian oleh karena infark miokard akut disebabkan oleh terjadinya VSD akut. 50% dari kasus-kasus VSD maupun regurgitasi mitral akut terjadi dalam waktu 48 jam setelah serangan nyeri dada, sedangkan yang terjadi dalam minggu pertama lebih dari 95%16 Diagnosis Klinik Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan : – Gejala klinik, rekaman EKG. – Pengukuran tekanan oksigen jantung kanan dengan kateter Swan Ganz. – Pemeriksaan non-invasif dengan radionuklid dan ekhokardiografi. – Pemeriksaan invasif berupa kateterisasi jantung, sekaligus untuk mengetahui pembuluh koroner dan performance ventrikel kiri. Pengobatan Walaupun secara medikal dapat dilakukan pengobatan selama beberapa hari atau minggu sampai terjadi penyembuhan dari kerusakan miokard, akhir-akhir ini pengobatan cenderung ke arah koreksi bedah secara elektif darurat (urgent) segera setelah diagnosis ditegakkan. Koreksi bedah berupa penutupan VSD dengan patch dan penggantian katup mitral untuk regurgitasi mitral akut. Sebelum pembedahan sebaiknya dilakukan pemasangan balon intraaortik untuk mempertahankan kestabilan hemodinamik. Unstable Angina Pectoris16 Definisi klasik : 1. Nyeri dada membandang, tidak hilang bila diterapi secara konvensional termasuk nitrat, tetapi hilang bila diberi opiat dosis tinggi. 2. Gelombang T dan ST abnormal, dapat sementara atau menetap. 3. Umumnya pemeriksaan enzim jantung normal. Diagnosis Klinik Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan : – Gejala klinik dan rekaman EKG. – Ekhokardiografi. – Angiografi koroner dan ventrikulografi. Pengobatan Walaupun terdapat kontroversi antara terapi medikal dan bedah bypass koroner darurat, dan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua terapi tersebut dalam hal angka mortalitas (3% vs 5%), terapi bedah darurat atau elektif darurat tetap harus dipertimbangkan terutama untuk penderita-penderita yang tidak ada respons terhadap terapi medikal. Keuntungan lain dari
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 31
tindakan bedah adalah hilangnya angina pektoris. Beberapa klinik cenderung lebih mempertahankan kestabilan hemodinamik beberapa hari sebelum operasi dilakukan dengan pemasangan balon intraaortik16.
pada ruptur aneurisma ventrikel kiri akibat infark miokard akut. Ruptur aneurisma ventrikel kiri biasanya fatal dan memberikan gejala hemoperikard akut yang masif. Adapun penyebab lain ruptur jantung adalah : endokarditis infektif, abses miokard, disekasi aneurisma sinus valsava.
Bagan : Alur Pengelolaan Penderita IMA
Diagnosis klinik Yang akut memberikan gejala klinik berupa sesak napas, anemia dan tanda-tanda trias beck. Yang subakut atau kronik, memberikan gejala klinik yang tidak spesifik seperti : nausea karena bendungan di abdominal (intestinal dan hepatik), meningkatnya tekanan vena di leher, kepala dan abdomen, tanda-tanda sesak napas, nyeri dada, panas badan, menggigil, hipotensi, pulsus paradoksal, hepatomegali sampai edema tungkai1-16 Pemeriksaan Tambahan a) EKG, menunjukkan sinus takikardi, low voltage, gelombang ST dan T yang abnormal nonspesifik. b) Foto polos thoraks, menunjukkan pembesaran bayangan jantung, gambaran globuler atau trianguler dan kadang-kadang disertai gambaran efusi pleura. c) Ekhokardiografi, merupakan suatu cara pemeriksaan klinik yang dapat dipercaya dan tidak mengganggu penderita. d) Pemeriksaan hemodinamiksepertiCVP,PAwedgepressure, intraarterial pressure,LVDP dan diagnosis pasti ditegakkan bila tekanan intraperikard dapat diukur melalui perikardiosentesis atau punksi percobaan perikard. KONDISI KHUSUS Tamponade jantung Tamponade jantung merupakan suatu kondisi kelainan hemodinamik akibat bertambahnya timbunan cairan atau darah di dalam kantong perikard yang ditandai dengan kenaikan tekanan cairan perikard16 Etiologi Setiap penyebab efusi perikard dapat mengakibatkan tamponade jantung dan ini bervariasi baik dari faktor-faktor medikal maupun bedah. 1. Trauma (Faktor Bedah) Dapat berupa trauma tajam atau tumpul yang mengenai dinding thoraks seperti senjata tajam, luka tembak, kecelakaan lalu lintas. Termasuk juga trauma iatrogenik berupa perforasi jantung atau ruptur arteri koroner akibat tindakan diagnostik dan terapi seperti elektrode pacemaker, kateterisasi jantung, angioplasti koroner, perikardiosentesis atau sebagai komplikasi pasca bedah jantung terbuka/tertutup. Kondisi di atas biasanya menyebabkan tamponade jantung akut dan digolongkan ke dalam faktor bedah. 2. Bukan Trauma (Faktor Medikal) Terdapat 6 jenis penyebab medikal : neoplasma, uremik, rheumatik, hemorrhagik, infeksi dan idiopatik. Hemoperikard karena faktor Bukan Trauma sering disebabkan oleh Pengobatan Antikoagulan dan juga dapat terjadi
32 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
Pengobatan • Drainase perikard, dapat melalui perikardiosentesis atau tindakan drainase terbuka melalui jalan subxyphoid. Sebagai pedoman observasi dan tindakan klinik : ∗ pasang 2 buah infus cairan fisiologis atau siapkan tranfusi darah ∗ pada saat drainase perhatikan warna dan jumlah cairan yang keluar, bila cairan yang keluar berupa darah segar melebihi 800 cc atau berturut-turut selama 2 jam pertama keluar 300 cc perjam, maka segera siapkan operasi darurat ∗ bila yang keluar cairan kehitaman atau serohemorrhagis atau serous, drainase diteruskan dan dianalisis. • Thorakotomi atau sternotomi, dengan atau tanpa bantuan mesin jantung paru : ∗ tutup bagian yang ruptur ∗ reseksi aneurisma ventrikel kiri ∗ bypass pembuluh koroner. Internal Bleeding4,5,16,21 Etiologi Terjadinya timbunan darah dalam rongga thoraks atau abdomen akibat ruptur aneurisma aorta thorakalis atau abdominalis secara akut. Diagnosis klinik – Rasa nyeri hebat di rongga thoraks atau abdomen
– Tanda shock hemorhagis dengan anemia berat – Teraba atau tidak teraba denyutan di atas masa di tengah dinding abdomen, menjalar ke arah lateral dan terjadi hematoma sekunder di daerah retroperitoneal. Pemeriksaan Tambahan – Foto Polos Thoraks, tampak gambaran suram (hematothoraks) di sebelah kiri dan dapat dibuktikan dengan punksi percobaan. – USG, merupakan suatu cara diagnostik yang dapat dipercaya dan tidak invasif. – Aortografi, merupakan suatu cara pemeriksaan invasif dan memberikan kepastian diagnosis. Pengobatan Operasi darurat dengan jalan melakukan reseksi aneurisma dilanjutkan rekonstruksi dengan graft secara interposisi atau menutup bagian yang ruptur dan dilakukan graft secara bypass. Emboli Arteri Emboli Arteri Perifer Emboli arteri merupakan salah satu faktor penyebab terbanyak dari obstruksi arteri akut21. Embolus yang terjadi dapat berupa udara, lemak, benda asing, sel-sel tumor dan trombose yang terbentuk di jantung kiri karena penyakit katup mitral atau penyakit jantung koroner dengan komplikasi infark miokard, aneurisma ventrikel fibrilasi atrial; atau berasal dari trombose di dinding aneuristna aorta thorakalis dan aneurisma aorta abdominalis. Trombus yang terbentuk di jantung kiri merupakan penyebab emboli arteri perifer yang terbanyak (lebih dari 95%)21. Distribusi usia dan jenis kelamin Emboli arteri banyak terjadi pada wanita (wanita vs pria hampir 2:1), sebagian besar (60%) terjadi pada usia antara 5070 tahun dan sangat jarang pada usia di bawah 20 tahun. Lokalisasi Paling sering emboli arteri berhenti pada a. femoralis, kemudian menyusul a. iliaka, a. poplitea, bifurkasi aorta dan jarang pada lengan, tungkai bawah, otak. Gejala klinis Timbul tiba-tiba dan jelas menimbulkan tanda-tanda iskemi jaringan atau organ yang terkena. Bila mengenai ekstremitas memberikan gambaran klinik yang karakteristik menurut pola 6"P" dari Pratt, (1954)21 - (Tabel 1). Tabel 1. Gambaran klinik 6"P" dari Pratt 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pain Paleness Paraesthesia Pulselessness Paralysis Prostration
= = = = = =
nyeri pucat kesemutan denyut nadi hilang lumpuh shock
Diagnosis ditegakkan berdasarkan : 1. Gejala klinis, terutama adanya gejala 6 P. 2. Pemeriksaan fisik tentang asal emboli seperti auskultasi jantung, adakah murmur pada posisi mitral atau fibrilasi atrial. 3. Pemeriksaan tambahan : EKG, Ekhokardiografi, arteriografi, oscillography atau Doppler. Khusus pemeriksaan arteriografi pada kasus emboli arteri ekstremitas tidak mutlak dilakukan bila gambaran klinik sudah jelas. Pengobatan Tindakan operasi darurat berupa embolektomi dengan Fogarty Catheter dan pembiusan lokal akan berhasil reversibel bila waktu terjadinya emboliktrang dari 8-12 jam. Bila lebih dari 12 jam dan sudah terdapat gambaranfacies marmorata di kulit, maka tindakan embolektomi hanya untuk mengurangi tingginya amputasi. Emboli Arteri Pulmonalis Emboli arteri pulmonalis atau emboli paru merupakan keadaan yang umum terjadi sebagai komplikasi dari penderita yang lama berbaring di rumah sakit. Di Barat keadaan ini banyak terdapat, misalnya di Amerikā Serikat menurut perkiraan terdapat 150.000 penderita pertahun dengan emboli paru yang fatal sedangkan kasus yang tidak fatal sejumlah 600.00 pertahun, di Indonesia tidak ada data. Angka kematian cukup tinggi, sekitar 18-38%16. Etiologi Penderita dengan risiko tinggi mendapatkan emboli paru adalah : 1. Penyakit jantung, terutama kegagalan jantung kongestif. 2. Trauma, terutama patah tulang pelvis. 3. Kondisi pasca bedah. 4. COPD. 5. Penyakit-penyakit keganasan. 6. Kondisi-kondisi tertentu sebagai faktor predisposisi antara lain : usia lanjut, kegemukan, masa kehamilan, obatobatkontrasepsi oral; didahului dengan thrombophlebitis atau Deep Vein Thrombosis (DVT). Diagnosis Klinik Terdapat 3 masalah utama dalam menegakkan diagnosis klinik : 1. Emboli paru, dapat terjadi dengan keluhan dan gejala yang minimal dan bisa dikelirukan dengan kelainan-kelainan kardiopulmonal lain, seperti : kegagalan jantung kongestif, pneumonia dan atelektasis. 2. Pemeriksaan laboratorium umumnya tidak memberikan hasil yang spesifik. 3. Pemeriksaan spesifik yang lebih akurat tidak selalu tersedia, seperti ventilation - perfusion lung scanning dan selective pulmonary angiography. Keluhan dan gejala klinik yang timbul tergantung dari cara terjadinya emboli paru, dapat berupa salah satu dari ketiga
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 33
sindrom klinik ini : 1. Infark paru, dengan gejala akut dari nyeri pleuritik, dispnea, hemoptisis, pleural friction rub. 2. Cor pulmonal akut, dengan dispnea yang tiba-tiba terjadi, sianosis, kegagalan jantung kanan, hipotensi. 3. Dispnea yang tidak diketahui penyebabnya. Menurut data National Institutes of Health, keluhan dan gejala klinik yang sering terjadi adalah : dispnea (81%), chest pain (72%),apprehension (59%), batuk (54%), hemoptisis (34%), sinkop (14%)16 Pemeriksaan Tambahan – Laboratorium; jumlah lekosit, SGOT, LDH, bilirubin, FDPs, analisis cairan pleura. Pemeriksaan ini untuk membedakan dengan pneumonia dan infark miokard akut. − Foto Polos Thoraks, pemeriksaan ini tidak spesifik dan hampir tidak memberikan arti. − EKG, memberikan gambaran tidak spesifik. − Pengukuran tekanan oksigen arterial (PO2); PO2 rendah terdapat pada emboli paru yang luas. − Lung Scanning, tergantung dari kondisi perfusi dan ventilasi paru. − Angiografi pulmonal selektif, cara ini merupakan pemeriksaan standar yang bernilai untuk mendiagnosis emboli paru dan sebagai informasi untuk pengobatan. − Plethysmography, untukmengetahui adanya Deep Vein Thrombosis (DVT) di tungkai, karena sebagian besar penderita emboli paru yang masif bersumber dari trombosis di venavena profunda tungkai (lebih dari 90%)16 Pengobatan 1. Heparinisasi. 2. Antikoagulan oral (sodium warfarin bekerja sebagai antagonis vitamin K). 3. Terapi trombolitik (streptokinase dan urokinase). 4. Terapi bedah, terdapat 2 jenis tindakan : a) Mencegah terjadinya emboli paru dengan menghambat aliran vena cava inferior. Tindakan ini harus didasarkan kepastian diagnosis bahwa sumber emboli paru berasal dari sistim vena profunda di tungkai penderita. Vena Cava Inferior Interruption dilakukan bila terdapat kontraindikasi terapi antikoagulan, adanya kekambuhan, thrombophlebitis septik dengan emboli di daerah pelvis, emboli paru yang hampir fatal dan tindakan embolektomi pulmonal pada emboli paru yang masif. b) Embolektomipulmonaldenganbantuansirkulasiekstrakorporal (mesin jantung paru) dilakukan bila terapi medikāl telah maksimal (oksigen, isoproterenol, heparin atau terapi thrombolitik) tetapi tidak berhasil didalam waktu 1 jam. Tindakan embolektomi harus didahului pemeriksaan angiografi pulmonal. Suatu kesalahan besar bila mempertahankan terapi medikal sampai keadaan penderita buruk, baru kemudian dicoba embolektomi. Bila indikasi telah ditetapkan maka angka survival berkisar antara 35-50%.
34 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
RINGKASAN Tatalaksana gawat darurat jantung dan pembuluh darah dari segi bedah kardiovaskular mutlak diperlukan dalam mengelola penderita-penderita gawat dengan kelainan jantung/pembuluh darah di suatu klinik agar mencapai angka morbiditas maupun mortalitas yang rendah. Karena permasalahannya sangat kompleks, maka diperlukan kerja sama yang baik antar disiplin secara terpadu dan perlu didukung oleh fasilitas yang memadai, sehingga penderita mendapat kepastian pengobatan melalui tahapan waktu dan prioritasnya. Pada umumnya penderita-penderita gawat dengan kelainankelainan jantung/pembuluh darah mempunyai batas keselamatan yang sempit, sehingga perlu dilakukan pengelolaan yang tepat dan cepat atas dasar indikasi dan diagnosis yang tepat pula. Pembedahan darurat pada kelainan-kelainan jantung/pembuluh darah dibagi menurut sebabnya : karena trauma dan bukan trauma, yang dapat dikategorikan lagi menurut prioritasnya; gawat darurat atau elektif darurat. Jenis trauma dapat berupa perlukaan oleh senjata tajam, peluru senapan, kecelakaan lalu lintas. Sedangkan sebab-sebab bukan trauma meliputi penyakit jantung bawaan yang menyebabkan gagal jantung pada bulan pertama kehidupan (HLHS, PDA, TGA, TAPVC, VSD, AVCanal), penyakit jantung didapat yang menyebabkan kegagalan jantung kongestif intermiten (myxoma jantung, mitral stenosis dengan trombus), penyakit jantung koroner (komplikasi aritmia, komplikasi hemodinamika seperti pada VSD akut/regurgitasi mitral akut/ruptur jantung akut, unstable angina pectoris). Penanganan kondisi khusus (tamponade jantung, internal bleeding, emboli arteri) memerlukan urutan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan tambahan secara terinci dan jelas sehingga hasil pengobatan dapat lebih optimal. KEPUSTAKAAN 1.
Wilson RF et al. Cardiac Injuries in Management of Trauma. Pitfals and Practice. Philadelphia: L & F Pbl. 1975: 323-35. 2. Puruhito. Bedah Jantung Darurat. Simposium Gawat Darurat Jantung. Surabaya. 1986. 3. Rehn L Ueber Penetriren der Herzwunden and Herznaht. Arch Klinik Chirurgie 1897; 55: 315. 4. Kirklin JW, Barrat-Boyes BG. Cardiac Trauma in Cardiac Surgery 1st ed. New York: W. Medical Publications. 1986: 1387-1392. 5. Borne J. Management of Emergencies in Thoracic Surgery, 2nd ed, New York: Meredith Co. 1972. 6. Bodai BI et al. Emergency Thoracotomy in the management of trauma, JAMA 1983; 249: 1891-6. 7. Evans J et al. Principles for the management of penetrating cardiac wounds. Ann Surgery 1979; 189: 777-84. 8. Feliciano DV et al. A 1-year experience with 456 vascular and cardiac injuries. Ann Surg 1984; 199: 717-724. 9. Puruhito. Pengantar Tindakan Bedah Akut pada Thorax. Edisi ketiga. Surabaya: Airlangga University Press. 1983. 10. Symbas PN et al. Penetrating cardiac wounds. J Thorax Cardiovasc Surg 1973; 66: 526-32. 11. Tahalele P, Puruhito. Strategi dasar penanganan luka tusuk jantung. Warta IKABI - Majalah Ilmu Bedah Surabaya 1990; 4: 8-25. 12. Tahalele P, Puruhito. Luka tusuk pada jantung. Laporan Kasus dan Pitfall. Warta IKABI - Majalah Ilmu Bedah Surabaya 1988; 1: 13-18.
13. Steichen FM et al. A grade approach to the management of penetrating wounds of the heart. Arch Surg 1974; 103: 574-80. 14. Zakharia AT. Thoracic battle injuries in the Lebanon war. Review of the Early Operative Approach in 1,992 Patients, Ann Thorax Surg 1985; 40: 209-12. 15. Tahalele P. Pengelolaan luka tusuk jantung. Warta IKABI - Majalah Ilmu Bedah Surabaya 1989; 2: 145-53. 16. Scheinman MM. Cardiac Emergencies, 1st ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1984.
17. Mashiko K. Surgical treatment for cardiac injuries. Japan Ann Thorax Surg 1987; 7: 7-12. 18. Cohn LH, Doty DB, Mc Elvein RB. Decision Making in Cardiothoracic Surgery. 1st ed. B.C. Toronto: Decker Inc. 1987. 19. Schumacher G, Buehlmeyer K. Diagnostik Angeborener Herz fehler. 1 Auflage, Perimed F. Vlg., Erlangen, 1980. 20. Beteng N, Tahalele P, Basuki S, Puruhito. PDA pada bayi prematur. Warta IKABI - Majalah Ilmu Bedah Surabaya, 1990; 3: 287-92. 21. Iswanto J, Basuki S, Puruhito, Tahalele P. Myxoma Jantung. Laporan kasus. PIT ke V IKABI, Solo, 1988.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 35
Penanganan Gawat Darurat Jantung di Luar Rumah Sakit Jatno Karjono Laboratorium/UPFI ImuPenyakit JantungFakultasKedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
PENDAHULUAN Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan pembunuh nomor satu di negara-negara Barat sejak tahun enam puluhan. Sebagian besar dari kematian-kematian tersebut belum tersentuh oleh pertolongan dokter secara adekuat: dan optimal. Penyebab kematian yang terbanyak adalah karena gangguan irama baik takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel atau cardiac arrest. Berdasarkan fakta-fakta di atas maka pada tahun 1960 Kouwenhoven mengkampanyekan efektifitas pijat jantung luar untuk menolong kasus-kasus tersebut dan temyata memberikan hasil yang menakjubkan. Berdasarkan pengalaman di atas maka dimulailah gagasan untuk menjangkau para penderita yang mendapat serangan di luar rumah sakit.Teknik pijat jantung luar yang selanjutnya dikenal sebagai resusitasi jantung terus berkembang hingga tahun delapan puluhan, mencapai perkembangan yang optimal disertai dengan berkembangnya pertolongan di luar rumah sakit (Mobile Coronary Care Unit – MCCU). Pelayanan gawat darurat terus berkembang sehingga menghasilkan suatu sistem pertolongan lokal, regional dan nasional yang melibatkan berbagai disiplin. Peranan tenaga pelaksana di lapangan, pengetahuan tentang basic We support (BLS), transportasi berikut ambulance system, pengetahuan tentang advance cardiac life support (ACLS) dan komunikasi baik telepon maupun radio sangat menentukan tingkat keberhasilan tindakan tersebut. Di Indonesia sejauh ini telah menunjukkan tingkat kemajuan yang menggembirakan kendati jauh dari optimal, karena kita sudah dapat melayani keadaan musibah masal meskipun untuk mati mendadak karena serangan jantung baru ada di kota-kota tertentu. Dibacakan pada: Simpasiurn Tatalaksana Gawat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
36 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
Di dalam makalah ini akan diperkenalkan cara - sistem pertolongan gawat darurat jantung di luar rumah sakit sebelum pasien mencapai rumah saldt. EPIDEMIOLOGI SERANGAN JANTUNG Insidensi infark miokard di Amerika pada tahun 1981 adalah : Total incidence 1.500.000 Survivals 850.000 Deaths 650.000 Dari data di atas, ternyata kendati sistem telah berjalan baik kematian yang terjadi di luar rumah sakit masih mencapai lebih dari 50%. Pada beberapa tahun terakhir insidensi infark miokard ini semakin meningkat, begitu pula kematian yang terjadi. Masalah yang ada sama saja yaitu masalah cardiac arrest dan gangguan irama yang gawat baik takikardi ventrikel maupun fibrilasi ventrikel. Yang lebih menyedihkan adalah 2/3 dari kematian itu terjadi di luar rumah sakit dan sebagian besar terjadi pada jamjam pertama serangan. Di samping itu dari suatu penelitian dikatakan pada sebagian besar kasus terjadi keterlambatan sampai di rumah sakit sekitar dua setengah jam, sehingga usaha pertolongan di luar rumah sakit menjadi sangat panting. PERKEMBANGAN PELAYANAN MEDIS DI LUAR RUMAH SAKIT Di Uni Soviet sistem pertolongan medis di luar rumah sakit sebenarnya telah dimulai sejak 1919, namun di Amerika sendiri baru berkembang dengan pesat pada tahun 1960. Perkembangan
dan penyempurnaan meliputi pelbagai usaha untuk mencapai tingkat hasil guna yang optimal. Perkembangan tersebut meliputi : – peraturan mengenai penggunaan- "ambulance" – latihan bagi para personil – perbaikan sistem komunikasi – penyuluhan dan pendidikan pada masyarakat Triad dari perawatan medis gawat darurat adalah resusitasi, perawatan darurat untuk kondisi life threatening .dan intensive care baik prehospital maupun di rumah sakit. Perawatan prehospital terutama meliputi pemberian IV line dan resusitasi dengan masalah utama cardiac arrest sekunder karena infark miokard. Semula dalam prehospital care team, ini harus ada dokterkhusus namun timbul masalah mahalnyabiaya yang harus dikeluarkan, maka akhirnya timbul perkembanganbaru mengenai ketenagaan ini dengan melibatkan tenaga teknisi kedokteran dan paramedis. Latihan untuk paramedis ini ada dua kategori yaitu 500 dan 1600 jam. Sedangkan untuk tenaga teknisi kedokteran lebih lama lagi dengan pembatasan-pembatasan tindakan yang boleh dikerjakan. Tingkat I (Teknisi Kedokteran), boleh melakukan : – menilai (assessment) penderitā – perawatan luka – pemberian terapi oksigen – resusitasi jantung-paru (CPR) dasar Tingkat II : – advance dengan waktu training yang lebih lama – boleh memasang IV line – memberi obat-obatan khusus – monitor - defibrilator Namun perlu dijelaskan semua tindakan baik tingkat I atau II harus mengikuti petunjuk dari Rumah Sakit Basis yang akan menangani penderita lebih lanjut. Bila personil yang bekerja di lapangan berasal dari paramedis yang telah terlatih, maka tindakan yang dilakukan tidak terlalu tergantung pada rumah sakit basis - induk. Teknisi kedokteran maupun paramedis yang telah mendapatkan latihan khusus perlu mendapat pengawasan secara berkala, ujian ulang berkala di bidang BLS (Basic Life Support), ACLS (Advance Cardiac Life Support) dengan penekanan pada analisis irama jantung agar tindakan yang dilakukan di lapangan lebih cepat dan tepat serta memudahkan instruksi dari rumah sakit basis. Setiap memasukkan penderita yang mengalami resusitasi dari luar rumah sakit, pihak rumah sakit induk harus melakukan evaluasi secara keseluruhan sistem yang telah disepakati. Dalam perkembangan lebih lanjut ternyata kemampuan para peserta team di luar rumah sakit meningkat pada para sukarelawan dan petugas pcmadam kebakaran, namun hanya terbatas pada BLS; persiapan ACLS dilakukan setelah datangnya team dari tingkat yang semestinya. Pelayanan di luar rumah sakit pada perawatan gawat darurat medis jantung khususnya, melibatkan tiga komponen (Bagan 1). 1) Masyarakat awam harus mengerti sistem pelayanan gawat
Bagan 1. Basic components of prehospital emergency medical care
darurat yang ada, berikut cara-cara untuk meminta pertolongan menurut kesepakatan yang telah ditentukan. Masyarakat harus mampu mengenal tanda-tanda dini dari bahaya yang dapat mengakibatkan terjadinya keadaan gawat darurat dari penyakitnya. Harus dilakukan penyuluhan pada masyarakat agar memahami sistem gawat darurat yang ada berikut alur penggunaannya, masalah transportasi dan masalah resusitasi agar tidak terjadi salah pengertian mengingat angkakeberhasilanresusitasi sendiri tidak 100%, biayanya mahal dan bukan tanpa komplikasi. 2) Pre-Hospital team harus cepat tanggap terhadap permasalahan yang ada dan menentukan sistem, siapa yang boleh memanggil team. 3) Hospital team harus selalu mengevaluasi dan mendidikpre hospital team dan masyarakat awam. Evaluasi dan sistem pendidikan harus sesederhana mungkin namun memenuhi standar minimal dan kalau dapat dibentuk format yang sama untuk tingkat lokal-regional maupun nasional. Evaluasi biasanya berkisar pada jalan napas, pernapasan dan sirkulasi (BLS), dan ACLS yang disesuaikan dengan tingkatnya. Dari bagan 1 jelas bahwa baik.masyarakat, team Hospital maupun Pre-Hospital berhubungan sebagai segitiga sama sisi yang berperanan samabesar dalam keberhasilan tindakan. Skema tersebut menunjukkan betapa pentingnya faktor pendidikan baik masyarakat maupun petugas dan faktor komunikasi. MASALAH KOMUNIKASI DAN PRE HOSPITAL CARE Masalah komunikasi amat penting, mengingat waktu sangat menentukan tingkatkeberhasilan pertolongan. Suatuprehospital care yang mapan biasanya memiliki pos-pos tetap perwilayah seperti yang diterapkan pada PMK dan seharusnya mempunyai nomor khusus untuk seluruh negeri, di Amerika biasanya memakai nomor telepon 911. Begitu ada permintaan, team yang terdiri dari teknisi kedokteran atau paramedis segera meluncur, selanjutnya dilakukan komunikasi radio dengan rumah sakit basis. Pada daerah - distrik yang mampu biasanya tersedia telemetri, sehingga rumah sakit basis dapat memantau situasi yang terjadi; namun sarana ini sangat mahal. Bila dipandang perlu team BLS dapat memanggil team ALS dengan terus melakukan komunikasi radio dengan rumah sakit basis. Semua tindakan-tindakan yang dilakukan di lapangan hendaknya sudah merupakan standar baku dan bila ada
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 37
keadaan klinik yang menyimpang dari biasanya segera melakukan komunikasi dengan rumah sakit basis. Jadi untuk tindakan ACLS yang advance harus berkomunikasi dengan rumah sakit. Skema berikut adalah sistem komunikasi yang dianjurkan dan berikutnya adalah obat-obat yang diperlukan pada prosedur ACLS di samping monitor defibrilator dan peralatan advance lainnya. Bagan 2. Sistem Komunikasi Pelayanan Medis di Luar Rumah Sakit
Tabel : ALS Medications Basic Medications Dextrose 50% Naloxone Sodium bicarbonate Epinephrine Lidocane Atropine Sulfate Syrup of Ipecac Furosemide
Additional Medications Calcium chloride Diazepam Diphenhydramine Digoxin Dopamine Isoproterenol Metaraminol Morphine Sulfate Nitroglycerin tablets
TRANSPORTASI PENDERITA Setelah keadaan penderita stabil dengan tindakan BLS ataupun ALS, maka penderita ditransfer ke Rumah Sakit Basis untuk tindakan lebih lanjut. Transportasi dianjurkan dengan kendaraan yang cukup besar dan lapang untuk melakukan prosedur ACLS bila di perjalanan terjadi episode ulang cardiac arrest, gangguan irama yang gawat seperti takikardi maupun fibrilasi ventrikel. Disitii komunikasi dengan rumah sakit basis harus terus dilakukan. Perlu diketahui bahwa bila terjadi halhal di atas, resusitasi hanya boleh berhenti paling lama 30 detik bila ingin mendrapatkan hasil yang optimal.
38 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
SUPERVISI TINDAKAN DI LAPANGAN Setiap tindakan di lapangan, sesampainya di rumah sakit akan dievaluasi dengan teliti baik mengenai pengetahuan maupun ketrampilan dari Para anggota team yang selanjutnya dilaporkan pada supervisor medis dari team tersebut, yang biasanya seorang dokter ahli jantung. Tugassupervisor tindakan medis di lapangan ini, di samping mengevaluasi laporan dari Rumah Sakit Basis juga bertugas : 1. menilai aplikasi program dan masalah sertifikasi 2. masalah pertanggungjawaban 3. supervisi tenaga team baik yang teknisi kedokteran maupun paramedik dengan standar nasional yang telah baku 4. menyiapkan keperluan obat dan peralatan 5. evaluasi tahunan bagi pemegang lisensi 6. evaluasi protokol pengobatan 7. kerja sama dengan kedokteran masyarakat dan lingkungan 8. kelengkapan data-data yang dilakukan 9. pengembangan sistem pelayanan gawat darurat. Bila telah menjadi anggotateam makapengetahuan mengenai analisis irama jantung harus sama, baik teknisi kedokteran maupun bagi paramedis mengingat gangguan irama adalah titik awal bagi tindakan berikutnya. Bagi team yang dilengkapi dengan telemetri hal ini lebih memudahkan namun sarana ini canggih, mahal dan pengoperasiannya sangat kompleks. KEBERHASILAN TINDAKAN LAPANGAN Sangat sulit menilai keberhasilan tindakan di lapangan, karena kondisi tiap daerah sangat berbeda baik perangkat keras maupun perangkatlunaknya. Keterbatasan tenaga di suatu daerah dan sistem transportasi sangat mempengaruhi hasil yang didapatkan. Beberapa hal yang dikatakan menghambat atau mengurangi keberhasilan tindakan di lapangan ini adalah : 1. Keterlambatan memanggil sistem-team BLS-ACLS karena konsultasi di antara orang awam sehingga sering penderita tidak segera menghubungi sistem gawat-darurat; biasanya diskusi dulu antar keluarga, tanya kanan kid, mencari obat sendiri barn bila tidak kuat, pergi ke dokter. 2. Keterlambatan pada team sendiri, baik karena faktor team maupun faktor lalu lintas. 3. Hambatan pada sistem transportasi terutama kemacetan lalu limas. 4. Keterlambatan penderita mengenal gejala atau tanda bahaya; terutama bagi penderita baru. 5. Hambatan pada konsultasi-diskusi sesama awam dan ketidak mengertian māsyarakat akan sistem yang ada sehingga penderita datang ke praktek dokter, antri, diperiksa, dibuatkan suratdan selanjutnyabaru pergi kerumah sakit. Hasil tindakan ini sangat bervariasi, dalam kepustakaan dilaporkan sekitar 10-20%. Kendati tingkat keberhasilannya sangat bervariasi, team pelayanan di lapangan dikatakan dapat meningkatkan survival dan mentuvnkan komplikasi syok kardiogenik dan aritmi. Keberhasilan sangat tergantung pada :
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sistem BLS-ACLS yang ada Pendidikan pada masyarakat Transportasi Kecepatan team.bergerak/tanggap Tersedianya tenaga terampil dan alai canggih Cepatnya penderita masuk ke dalam jaringan/sistim perawatan gawat darurat. Dikatakan bahwa keberhasilan bervariasi 10-20%, namun laporan lain mengatakan pada suatu daerah dengan team yang bagus akan meningkatkan prognosis, team paramedis ada yang melaporkan tingkat keberhasilan sekitar 19-34%. Selanjutnya penderita yang mengalami pertolongan di luar rumah sakit berhasil ke luar hidup dari rumah sakit bervariasi sekitar 7-17%. Dibanding dengan penderita yang tanparesusitasi prehospital yaitu sebesar 75%, sedangkan prognosis terhadap keseluruhan penderita sebesar 60%. BIAYA TINDAKAN DI LAPANGAN Sangat sulit menilai biaya suatu tindakan di lapangan. Bila diukur dengan hukum ekonomi barangkali sangat tidak efisien, namun bila berpijak pada keselamatan nyawa yang tentunya tidak dapat dinilai dengan hukum ekonomi maka sistem ini cukup memberi harapan bagi para penderita kandidat mati mendadak. Sebagai contoh di Amerikapada tahun 1985 pemah dihitung dengan hasil sebagai berikut : Untuk satu MCCU dilaporkan memerlukan $ 19.000 untuk setiap usaha tindakan penyelamatan di luar biaya ambulans. Penelitian lain melaporkan biaya per satu tindakan penyelamatan mencapai $ 77.000 dan perawatan berikutnya memerlukan biaya $ 38.000 per tahun kehidupan bila tindakan tersebut berhasil. Biaya di alas masih belum terhitung biaya latihan bagi para petugas. Analisis biaya tersebut meliputi respons terhadap waktu untuk team,prognosis/hasil yang didapat, kualitas hidup, gangguan neurologis dan kadang-kadang ada yang menghitung sampai biaya rehabilitasi.
risiko penyakit jantung koroner di masyarakat, nampaknya kita harus mulai mengantisipasi, setidak-tidaknya mencoba membuat pola bentuk pelayanan tersebut. Sebenarnya kita telah memiliki perangkat keras yaitu seperti Puskesmas yang barangkali terdapat hampir di semua kecamatan, kemudian juga rumah sakit yang ada di setiap kabupaten-kota madya. Kita memiliki Rumah Sakit tipe-A untuk top-referral; Jaringan Radio Medik yang diprioritaskan untuk penanganan konsultasi medis dan musibhh masal telah beroperasi dengan baik, jadi sebenarnya tinggal dipersiapkan perangkat lunaknya; hanya hambatan terbesar barangkali dana untuk penyediaan peralatan khusus untuk proyek tersebut yang pada umumnya harganya mahal, perlu tenaga khusus dan masalah ketenagaan. Idealnya dibuat suatu percontohan untuk skala kecil, Surabaya misalnya dengan sekian Rumah Sakit yang ada seharusnya harus sudah mempunyai sarana yang memadai atau mendekati ideal untuk masalah Prehospital Care tersebut. RINGKASAN Penyakit Jantung Koroner merupalcan pembunuh nomor satu di negara-negara industri, yang nampaknya juga mulai muncul di negara-negara berkembang termasuk negara kita. Kematian di luar Rumah Sakit yang tinggi di negara industri melahirkan cara baru penanganan gawat darurat jantung di luar rumah sakit. Di Rusia sistem penanganan ini telah dimulai sejak 1919, di Amerika dan negara-negara industri lainnya dikembangkan secara intensif sejak tahun 1960 yang mencapai optimal pada tahun delapanpuluhan. Prehospital emergency cardiac care dengan MCCU, maupun team teknisi kedokteran dan paramedis yang mendapat latihan khusus di bidang Basic Life
"PRE HOSPITAL CARE" DI INDONESIA Sejauh yang kami pelajari dari kepustakaan belum ada metode/cara khusus penanganan Gawat DaruratJantung di Indonesia. Yang ada saat ini barangkali baru bentuk/mencoba membuat bentuk pelayanan seperti adanya MCCU di beberapa kota besar di Indonesia. Bentuk yang baku belum ada, yang ada ialah pola penanganan gawat darurat pada umumnya yang dititik beratkan pada masalah musibah masal, seperti gempa bumi atau lain-lain yang berkaitan dengan banyaknya masa yang terlibat. Apakah perlu memiliki team pre-hospital ? Bila melihat pola penyakit yang ada sekarang, barangkali; adanya bentuk pelayanan khusus di lapangan untuk penderita jantung sampai ke tingkat Puskesmas masih perlu dipertanyakan. Namun bila melihat laju perkembangan ekonomi dan semakin banyaknya populasi usia lanjut, pola kehidupan yang berubah, termasukpolakonsumsi makanan, meningkatnyaberbagai faktor
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 39
Support dan Advance Life Support dengan pengontrolan Rumah Sakit Basis/Induk temyata cukup efektif menurunkan kematian maupun mengurangi komplikasi dan kematian dari infark m iokard akut yang terjadi di luar rumah sakit. Tingkatkeberhasilan sangatbervariasi tergantung pada lokasi daerah, keadaan tenaga yang ada, penguasaan Basic maupun Advance Cardiac Life Support oleh team yang bekerja di lapangan. Keberhasilan juga ditentukan oleh sarana lain seperti komunikasi, transportasi dan cepatnya penderita masuk ke dalam jaringan pelayanan gawat-darurat. Biaya pelayanan di lapangan ini cukup mahal, namun dari hasil yang terlihat seperti turunnya kematian, menurunnya komplikasi yang terjadi, tampaknya sarana ini perlu dipertimbangkan di negara kita. Meningkatnya laju pembangunan di bidang ekonomi akan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, umur rata-rata meningkat sehingga cepat atau lambat di negara kita penyakit inipun akan menjadi masalah kesehatan. Teknisi kesehatan dan paramedis perlu mengenal CPR, syukur dapat melakukannya, begitu pula dokter-dokter Puskesmas dianjurkan menguasai BLS-ACLS karena mereka adalah ujung tombak
40 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
pelaksana di masyarakat.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
American Heart Association. Text book of Advanced Cardiac Life Support. Texas: AHA. 1983. Carveth SW et aL Advanced Cardiac Life Support. JAMA 1976; 235: 2311-5. Charles J et aL Prehospital Care of the Critically ill In: Shoemaker WC, Thompson WL, Holbrook (eds). Text book of Critical Care. New York: WB Saunders Company. 1984: 43-48. Goble AJ et al. Mortality reduction in a Coronary Care Unit. Br Med J 1966; 1:1005. Hanashiro PK, Wilson JR. Cardiopulmonary Resuscitation. A Current Perspective. Med Clin North Am 1988; 70: 729-49. Standard for CPR and Emergency Cardiac Care. JAMA 1974; 227 (suppl) 833-68. Sharkey SW et al. An analysis of time delays preceding thrombolysis for acute myocardial infarction. JAMA 1990; 639: 49-53. Schlant RC. Thrombolytic therapy of patients with acute myocardial infarction (Editorial). JAMA 1990; 639: 7-9. Tobin MJ. Respiratory monitoring concepts in emergency and critical care medicine. JAMA 1990; 639: 49-57.
Pengobatan Infark Miokard Akut Marlani Budisantosa Laboratorium UPF Ilmu Penyakit Jantung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
PENDAHULUAN Di negara-negara maju Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah sebab kematian utama, di Indonesia merupakan sebab kematian nomor tiga. Walaupun angka kematian dalam 25 tahun terakhir turun 47%, kematian akibat PJK masih tetap tinggi. Mortalitas dan morbiditas pada PJK umumnya dan pada Infark Miokard Akut (IMA) khususnya ditentukan oleh luasnya infark dan jumlah serta beratnya lesi aterosklerotik di arteriarteri koronaria. Tiga proses memegang peranan penting dalam terjadinya trombus di arteria kronaria yang menyebabkan IMA ialah adanya atherosclerotic plaque, adhesi dan agregasi trombosit, dan vasospasme. Pengobatan IMA ditujukan pada ketiga proses ini. KEMAJUAN DALAM PENGOBATAN IMA Sejak diketahui bahwa IMA disebabkān oleh trombosis koroner pada tahun 1912, pengobatan sampai tahun 1960 terutama bersifat paliatif dan tidak banyak berubah kecuali diajukan terapi anti koagulansia dan diskusi pemakaian digitalis dan lamanya tirah baring untuk penderita-penderita IMA. Pada akhir tahuntahun 1950-an setelah diketahui bahwa aritmia adalah sebab utama dari kematian, Coronary Care Unit (CCU) tumbuh dengan sarana-sarana untuk memantau irama dan obatobat untuk mengobati aritmia dan pada tahun-tahun 1960-an, diperkenalkan direct current defibrillator dan closed chest cardio pulmonary resuscitation (CPR) yang dapat menurunkan angka kematian dini dari 30% menjadi 15%. Pemantauan hemodinamilc pada penderita-penderita IMA dan diicetahuinya hipovolemia sebagai sebab shock yang dapat dikoreksi pada
sejumlah penderita juga diperkenalkan pada tahun-tahun 1960an dan pengobatan dengan counter pulsation memperbaiki survival pada beberapa penderita IMA yang disertai payah jantung. Pada akhir tahun-tahun 1960-an CPR lebih diperluas pemakaiannya baik oleh tenaga-tenaga medis maupun non-medis dan pada tahun 1967 Pantridge pertama-tama menggunakan Mobile Coro-nary Care Units (MCCU) untuk secepat mungkin memberikan terapi yang adekuat. Pada tahun-tahun 1970-andigunakan cara-cara farmakologis untuk presetvasi miokard dengan cara memperbaiki penyediaan bahan nutrisi pada miokard melalui difusi interstisial dengan hialuronidase atau cairan glukosa-insulin-potassium dan/atau menurunkan kebutuhan'oksigen miokard dengan beta-adrenergic blockers dan obat-obat yang menurunkan pre load dan after-load. Namun intervensi farmabiologis tidak begitu berhasil dalam menyelamatkan miokard yang iskemik. Kemajuan besar tercapai dengan dilakukannya reperfusi dini melalui Coronary Artery Bypass Surgery (CABS). De Wood dkk(1) membuktikan bahwa ada trombus di arteri koronaria pada permulaan IMA dan trombus ini dapat mengalami lisis spontan pada jam jam pertama sesudah IMA pada beberapa penderita. Reperfusi dengan pembedahan berupa trombektomi dan CABS dilakukan di beberapa tempat di AS, tetapi karena diperlukan laboratorium kateterisasi jantung dan alat-alat yang canggih, cara pengobatan ini tidak bisa diterapkan secara umum. Pada tahun 1976 Chazov dkk. (dikutip dari 2) melaporkan hasil pemberian fibrinolisis intrakoroner pada IMA. Rentrop dkkt3) melakukan percutaneous transluminal coronary angioplasty (PTCA) yaitu reperfusi dilakukan dengan suatu balloon catheter, membuka arteri yang stenotik secara meka-
Dibacakan pada: Simposium Tatalaksana Gawat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 41
nis,disusul dengan pemberian obat-obat trombolitik intrakoroner. Diketahui bahwa ada batasan waktu untuk mengadakan lisis dari trombus dalam upaya menghidupkan miokard. Gruppo Italiano per lo Studio della streptochinase nell Infarto Miocardico (GISSI) trial(4) merupakan penelitian besar pertama dengan trombolisis intravena secara dini,menandakan pemulaan era dari penggunaan rutin obat-obat trombolitik pada penderita-penderita IMA dalam stadium dini. Obat-obat trombolitik generasi ke dua yang ditemukan dan digunakan kemudian bekerjanya lebih clotspecific sehingga lebih aman dan lebih efektif. Generasi ke tiga, dapat lebih memperbaiki keamanan dan 8fektifitasya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa penderita-penderita IMA yang berhasil diperfusi dengan terapi trombolitik pada jam-jam pertama menunjukkan perbaikan survival dan perbaikan fungsi ventrikel. PETUNJUK-PETUNJUK PENGOBATAN IMA FASE DINI(2) Petunjuk-petunjuk yang diberikan dapat dimodifikasi berdasarkan keadaan klinis dan kebutuhan individuil dari penderita. Peranan Penyuluhan Penderita Pada Pengobatan Dini Pengobatan IMA hanya bisa optimal bila penderitanya mencari pengobatan segera setelah terjadi serangan. Pengobatan IMA, tennasuk terapi trombolitik sangat efektif bila diberikan dalam stadium dini. Pengobatan untuk penyulit-penyulit gawat dari IMA, tennasuk fibrilasi ventrikel dan shock kardiogenik jelas baru dapat diberikan sesudah penderita di bawah pengawasan medis waktu penyulit-penyulit ini terjadi. Oleh karena itu penyuluhan masyarakat, khususnya pada penderita dengan risiko tinggi mendapat IMA (penderita dengan hipertensi dan diabetes) mengenai gejala-gejala IMA dan caracara untuk mendapat perawatan darurat adalah sangat penting. Unit Gawat Darurat Evaluasi penderita di lapangan harus cepat dan rujukan ke nimah sakit terdekat yang dilengkapi dengan fasilitas perawatan penderita IMA harus segera dilaksanakan. Penderita gawat, misalnya dengan cardiac arrest, episode-episode takhiaritmi ventrikel, bradikardi yang berat atau dalam kadaan shock, sedapat mungkin dirujuk ke nunah sakit yang mempunyai laboratorium kateterisasi jantung dan saran untuk melakukan bedah jantung, bila hal ini tidak memerlukan waktu trasnportasi yang lama. Pada Unit Darurat RS, diagnosis IMA harus dapat dibuat dengan cepat. Segera setelah penderita tiba, dilakukan pemantauan EKG, dibuat EKG lengkap dan gejala vital diperiksa berulang-ulang. Pemeriksaan oleh seorang dokter harus dapat dilakukan dalam waktu beberapa menit setelah penderita tiba. Bila diagnosis IMA jelas, terapi permulaan termasuk terapi trombolitik harus segera diberikan oleh dokter yang bersangkutan. Bila diagnosis IMA meragukan, perlu konsultasi segera dengan kardiologist atau internist.Konsultasi dengan dokter pribadi/ keluatga dari penderita tidak dibenarkan karena akan memakan
42 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
waktu lama dan menyebabkan penundaan pemberian terapi. Di luar kota-kota besar, penderita IMA sering mendapat pengobatan pertama di RS dengan sarana-sarana terbatas dan oleh dokter-dokkter yang tidak telatih di bidang acute cardiac care. Dalam keadaan demikian perlu diusahakan konsultasi segera per tilpon dengan dokter-dokter ahli disusul dengan pengiriman penderita ke RS yang mempuyai sarana dan tenaga yang lengkap. Pemberian terapi trombolitik seharusnya dapat diberikan di rumah sakit kecil sebelum mengirim penderita. Oksigen Oksigen harus diberikan pada semua penderita dengan IMA terutama pada jam jam pertama, juga selama transportasi ke RS. Hipoksemi terjadi pada sebagian penderita pada permulaan IMA. Penyebabnya tidak jelas, mungkin karena gangguan ventilasi-perfusi. Pada penderita dengan payah jantung kongestif, edema paru dan penyulit-penyulit mekanis dari IMA, hipoksemi lebih berat. Untuk mengatasi hipoksemi yang berat sering diperlukan intubasi endotrakheal dan ventilasi mekanis. Nitrogliserin Sejak lebih dari 100 tahun nitrogliserin dipakai untuk menghilangkan nyeri dada akibat iskemi miokard pada penderitapenderita dengan PJK. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi epicardial conductance arteries, meningkatkan peredaran darah kolateral ke miokard yang iskemik dan menurunkan preload ventrikel kiri. Nitrogliserin dapat diberikan sublingual. Bila tekanan darah penderita <90 mmHg, nitrogliserin hanya boleh diberikan bila penderita dirawat di RS dan telah dipasang infus sebagai lifeline. Pada penderita dengan bradikadi atau takhikardi berat yang disertai hipotensi, pemberian nitrogliserin tidak dianjurkan. Setelah pemberian nitrogliserin sublingual, nadi dari. tekanan darah perlu dipantau selama beberapa menit. Nitrogliserin dapat juga diberikan secara transdermal. Pemberian nitrogliserin intravena pada stadium dini IMA dapat mencegah perluasan infark dan menurunkan insidensi dari takhikardi dan fibrilasi ventrikel. Analisis dari 10 penelitian menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 10-30%. Indikasi untuk pemberian intravena adalah nyeri iskhemik dan payah jantung atau edema paru pada IMA. Pemberian dimulai dengan bolus 15 ug'disusul pump-controlled infusion 5-10 ug/menit. Bila diperlukan dosis dapat ditambah dengan 5-10 ug/menit tiap 5-10 menit. Selama pemberian infus, tekanan darah dan nadi dipantau. Infus, dihentikan bila gejala kilinis hilang, tekanan sistolik turun >10% pada penderita normotensi dan >30% pada penderita hipertensi atau terjadi takhikardia (kenaikan >10 denyut/menit). Kerugian dari nitrogliserin adalah sakit kepala yang cukup sering terjadi. Nitrogliserin dapat juga memperberat hipoksemi dan menyebabkan hipotensi yang akan menambah iskhemi miokard. Bila terjadi hipotensi, selain penghentian infus, juga dilakukan elevasi kaki, pemberian cairan secara cepat dan pemberian atropin. Nitrogliserin paling berguna pada infark anterior;pada infark inferior dan infark ventrikel kanan sebaiknya tidak diberikan
nitrogliserin. Analgesia Analgesia harus diberikan segera pada penderita IMA yang kesakitan tanpa menunggu hasil terapi anti iskemia. Morfin adalah obat pilihan, diberikan intravena 2-5 mg, boleh diulang bila diperlukan. Morfin bekerja sentral di otak, menghambat sympathetic efferent discharge sehingga terjadi dilatasi vena dan arteri, dengan akibat preload, afterload dan kebutuhan oksigen miokard menurun.Hilangnya rasa nyeri menyebabkan penurunan kadar katekolamin dalam darah dan penurunan insidensi aritmi. Morfm dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardi tetapi jarang terjadi. Bila hal ini terjadi, pemberian cairan dan atropin intravena selain menaikkan tungkai, akan memperbaiki hemodinamik. Pada penderita dengan penyakit paru menahun dapat terjadi depresi pernapasan yang akan menambah hipoksemi. Atropin Indikasi pemberian atropin pada IMA adalah : 1. Sinus bradikardi dengan gejala-gejala cardiac output yang rendah dan hipoperfusi perifer atau dengan premature ventricular contractions yang multipel. 2. IMA inferior dengan AV block 2° degree-type I yang disertai keluhan. 3. Bradikardi dan hipotensi setelah pemberian nitrogliserin. 4. Mual dan muntah setelah pemberian morfm. 5. Asistol. Atropin diberikan intravena 0.5 mg dan dapat diulang tiap 5 menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg. Efek maksimal terjadi dalam waktu 3 menit. Setelah pemberian nadi perlu dipantau karena dapat terjadi sinus takhikardi yang akan menambah iskemi miokard. Takhikadi dan fibrilasi ventrikel jarang terjadi. Pemberian atropin intravena <0,5 mg atau cara pemberian yang lain dapat memberi efek paradoksal (bradikardi dan hambatan konduksi AV). Lidokain Lidokain adalah obat pilihan untuk premature ventricular contractions (PVC), takhikardi dan fibrilasi ventrikel. Iskemi menurunkn nilai ambang untuk fibrilasi ventrikel dan dalam keadaan ini PVC dapat mencetuskan terjadinya fibrilasi ventrikel. Tetapi fibrilasi ventrikel tidak selalu didahului PVC. Dui penelitian-penelitian dengan lidokainpada IMA diketahui bahwa insidensi takhikardi dan fibrilasi ventrikel menurun meskipun mortalitas keseluruhan tidak menurun. Indikasi untuk pemberian lidokain pada IMA : 1. PVC yang multipel (> 6/menit) – R on T – Multifokal – 3 berturut-turut 2. IMA dengan takhikardi fibrilasi ventrikel bersama-sama dengan defibrilasi dan cardio pulmonary resuscitation. Lidokain diberikan intravena, bolus 1 mg/kg berat badan (tidak boleh melebihi 100 mg), disusul dengan infusion-drip 20-
50 ug/kg/min (1- 3,5 mg/min untuk penderita dengan berat badan 70 kg). Bila tetap ada PVC diberi bolus ulang sebesar 0,5 mg/kg berat badan 8-10 menit setelah bolus pertama. Bila bolus hanya diberikan satu kali, pemberian bolus ulang sering diperlukan setelah 30-120 menit untuk mempertahankan kadar terapeutik. Waktu paruh dari lidokain pada IMA adalah > 4 jam, pada IMA dengan payah jantung > 20 jam. Waktu paruh juga memanjang pada pemberian selama 24-48 jam. Reaksi toksik dapat berupa gejala-gejala susunan saraf pusat seperti mual, ngantuk, pusing, bingung, rasa tebal di lidah dan bibir, bicara yang lambat dan tidak jelas, juga dapat berupa gejala-gejala kardiovaskuler seperti bradikardi sinus arrest dan hipotensi. Untuk mencegah reaksi toksik perlu diperhatikan : 1. Dosis harus didacarkan atas berat badan bersih. 2. Dosis diturunkan pada umur > 70 tahun, payah jatung kongestif, shock kardiogenik, gapgguan faalhati, gangguan faal ginjal yang berat, disfungsi neurologis dan pemberian jangka panjang. 3. Pengukuran kadar dalam darah, bila diberikan untuk jangka panjang atau bila ada gejala-gejala neurologis. Pemberian lidokain profilaktik pada IMA masih kontroversial. Pada penderita-penderita muda dengan IMA < 6 jam pemberian profilaktik dapat dipertimbangkan. Pemberian pada penderita > 70 tahun tidak dianjurkan mengingat reaksi toksik lebih sering terjadi pada penderita usia ini. Kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikej menurun setelah 6 jam pertama, oleh karena itu pemberian profilaktik setelah 6 jam jugatidak dian jurkan. Dosis untuk pemberian profilaktik adalah intravena 0,5 -1,0 mg/kg berat badan tiap 5 menit sampai tercapai 200-300 mg, disusul pemberian infus 2 mg/menit selama 12-24 jam, pemberian dapatditeruskan bilaadaindikasi. Analisis dari 14 peneli ti-an acak dengan lidokain profilaktik pada penderitapenderita dengan kemungkinan IMA menunjukkan bahwa dengan terapi terjadi penurunan insidensi fibrilasi ventrikel sebesar 33%, tetapi mortalitas tidak jelas menurun(5). "Beta-Blockers" Pada IMA Tujuan pemberian beta-blockers pada jam-jam pertama IMA adalah untuk mengurangi luas infark dan menurunkan mortalitas. Dari penelitian-penelitian diketahui bahwa luas infark tidak tetap dalam jam-jam pertama dan bila beta-blockers diberikan dalam waktu ini, sebagian dari miokard yang iskemik dapat diselamatkan. Beta-blockers menurunkan kebutuhan oksigen miokard melalui penurunan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, dan menambah aliran darah koroner dari epikardium ke daerah endokardium yang lebih iskhemik. Indikasi untuk pemberian beta-blockers intravena dalam jam jam pertama IMA adalah : 1) Reflex tachycardia dan hipertensi sistolik (termasuk mereka yang telah medapat terapi trombolitik) dan tidak ada gejalagejala payah jantung dan kontra indikasi lain untuk betablockers. 2) Nyeri iskhemik yang terus-menerus atau yang berulang,
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 43
atau takhiaritmi, misalnya fibrilasi atrium yang disertai frekuensi denyut ventrikel yang tinggi dan tidak ada kontraindikasi untuk beta-blockers. Kurang lebih 30 penelitian dengan beta-blockers intravena pada fase dini IMA disusul dengan pemberian oral menunjukkan mortalitas yang menurun, terutama mortalitas hari pertama. Beberapa macam beta-blockers telah dicoba, hasilnya t}dak banyak berbeda. Beta-blockers dengan efek pēndek lebih menguntungkan dan sebaiknya dipakai beta-blockers yang tidak mempunyai intrinsic symphatetic activity. Kontra indikasi untuk beta-blockers adalah : 1) Frekuensi denyut jantung < 60/menit, 2) Tekanan sistolik < 100 mmHg, 3) Payah jantung kiri yang berat, 4) Hipoperfusi perifer, 5) Gangguan konduksi AV, 6) Penyakit paru obstruktif menahun yang berat. Kontraindikasi relatif adalah : 1) Riwayat asma bronkial, 2) Sedang memakai calcium channel blockers (verapamil dan diltiazem), 3) Penyakit vaskuler perifer yang berat, 4) Diabetes mellitus - insulin dependent yang sukar diregulasi. "Calcium Channel Blockers" Verapamil, nifedipin dan diltiazem mengurangi masuknya kalsium ke dalam sel dan pelepasan ion kalsium dari sarcoplasmic reticulum. Obat-obat ini mempengaruhi proses-proses yang membutuhkan kalsium, termasuk otomatisitas SA node, konduksi AV-node, eksitasi-kontraksi otot jantung dan pembuluh darah dengan akibat perubahan frekuensi denyut jantung, hemodinamik, kontraksi dan relaksasi miokard aliran darah koroner. Maka diperkirakan obat-obat ini akan berguna untuk penderitapenderita dengan IMA(6). Namun penelitian dengan nifedipin dan dengan verapamil pada IMA yang telah dilaporkan tidak menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas. Maka disimpulkan bahwa nifedipin dan verapamil tidak berguna pada sebagian besar penderita IMA. Diltiazem Reinfarction Study Groupr') menunjukkan bahwa diltiazem 90 mg tiap 6 jam yang diberikan 24-72 jam setelah terjadinya non-Q IMA dapat mencegah reinfark dini dan angina berulang dini. Penelitian ini tidak meneliti efek diltiazem terhadap luas infark dan sampelnya kurang besar untuk menunjukkan penurunan mortalitas. Penelitian dengan diltiazem jangka panjang pada penderita-penderita dengan IMA-Q dan non-Q IMA tidak menunjukkan penurun insidensi reinfark. Pada penderita-penderita dengan payah jantung diltiazem justru menaikkan mortalitas. Pemberian diltiazem rutin pada penderita-penderita IMA dengan fungsi ventrikel kid yang masih baik belum terbukti berguna. Terapi antikoagulansia dan antitrombotik Terapi ini diberikan pada IMA dengan tujuan mencegah terjadinya :
44 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
1) 2) 3) 4) 5)
Trombus di vena dan emboli paru Emboli arteri Re-infark dini dan perluasan infark Re-oklusi pasca terapi trombolitik yang berhasil Re-infark jangka panjang.
1) Insidensi trombosis vena pada IMA berkisar antara 17-38%, 50% terjadi dalam waktu 3 hari. Insidensi meningkat pada IMA yang luas, IMA yang disertai payah jantung atau shock kardiogenik dan padausia> 70 tahun. Heparin diberikan subkutan 5000 IU tiap 12 jam selama 24-48 jam pada penderita dengan risiko tinggi, dan bila perlu diteruskan selama perawatan di rumah sakit. 2) Insidensi trombus mural pada IMA adalah sekitar 20%, pada IMA anterior 40% dan pada IMA anterior yang luas, 60%. Insidensi emboli uteri adalah berturut-turut 2%, 4% dan 6% terjadi selama 2-3 bulan pertama, paling sering dalam 10 hari pertama. Heparin harus diberikan segera setelah penderita dengan IMA yang luas masuk di rumah sakit dan tidak menunggu sampai terjadi trombus mural yang terdiagnosis dengan ekokardiografi. Heparin diberikan subkutan atau intravena 12.500IU dap 12 jam selama 10 hari dengan pemantauan APTT yang harus dipertahankan 1,2 - 2x normal. Bila kemudian pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan trombus mural atau akinesi di apex yang luas,terapi antikoagulan diteruskan dengan pemberiankoumadinoral selama paling sedildt 3 bulan. Dosis ditentukan oleh prothrombin time yang harus dipertahankan 1.3 - 1.5 x normal. 3) Re-infark dini dan perluasan infark terjadi pada 14 - 30%. Lebih dari > 50% di antaranya terjadi dalam waktu 10 hari pertama, sisanya antara hari 10-18. Pada akhir tahun 1960-an dilakukan penelitian besar dengan antikoagulan (heparin disusul dengan antikoagulan oral) selama sate bulan. Re-infark dan mortalitas cenderung menurun pada kelompok yang diberi antikoagulan. Pada ISIS-2 trial, aspirin yang diberikan segera setelah penderita dirawat di rumah saldt dapat menurunkan insidensi re-infark dini sebesar 49% dan mortalitas 5 minggu sebesar 23%. Dosis yang dianjurkan adalah 160-325 mg sehari dan diberikan untuk jangka panjang. Analisis darisemuapenelitian acak dengan antikoagulan pada IMA menunjukkan mortalitas turun dengan 21% dan reinfark turun dengan 30%. Maka antikoagulan dianjurkan pada semua penderita yang tidak mempunyai kontra indikasi. 4) Re-oklusi pasca terapi trombolitik terjadi pada 8% dalam 24 jam pertama dan 10-20% selama perawatan di rumah sakit. Untuk mencegah re-oklusi heparin diberikan bersama-sama atau segera setelah terapi trombolisis selama 24-72 jam (APTT dipertahankan 1.5 - 2 x normal) dan aspirin 160 mg/sehari diberikan segera setelah penderita dirawat di rumah sakit dan diteruskan untuk jangka panjang. 5) Untuk mencegah IMA jangka panjang dianjurkan aspirin dengan atau tanpa dipiridamol selama paling sedikit 2 tahun. Kesimpulan dari terapi andtrombosis pada IMA adalah sebagai berikut : Heparin 5000 IU subkutan dap 12 jam selama 48
jam, diberikan bila penderita dapat ambulasi cepat untuk semua penderita IMA yang tidak mendapat terapi trombolitik. Pada penderita dengan IMA anterior yang luas diberikan dosis 12.500 IU tiap 12 jam selama 10 hari, disusul dengan pemberian antikoagulan oral selama 3 bulan. Apirin 160-325 mg/sehari dib .rikan untuk prevensi re-infark dini dan jangka panjang. Terapi intervensi pada IMA(8-11) Pada pertengahan dan akhir tahun 1970-an dimulai reperfusion era. Dasar-dasar dari terapi perfusi adalah : 1) Pada hampir semua penderita IMA disebabkan oleh oklusi di arteria koronaria. Oklusi terjadi karena kombinasi dari adanya atherosclerotic plaque, thrombosis dan vasokonstriksi. De Wood dkk(5) menunjukkan bahwa oklusi total didapatkan pada 87% penderita IMA yang diperiksa dalam 4 jam pertama dan pada 60% setelah 6 jam, mungkin oleh karena terjadi lisis spontan. Insidensi dari obstruksi total lebih rendah pada "non-Q IMA" . Sebagai akibat obstruksi total terjadi secara cepa t iskhem ia miokard, terutama di subendokardium yang menjalar ke epikardium dalam waktu 3 jam. 2) Mortalitas berhubungan langsung dengan luasnya infark, karena luasnya infark menentukan fungsi ventrikel kiri. 3) Intervensi dalam jam jam pertama dengan tujuan reperfusi dapat mencegah perluasan infark sehingga dapat mengurangi terjadinya disfungsi ventrikel, baik global maupun regional. Dengan demikian memperbaiki survival jangka pendek dan panjang. Reperfusi juga mengurang insidensi aritmi ventrikuler yang maligna. Namun reprefusi sering dipandang sebagai pedang bermata dua, karena memudahkan terjadinya iskhemi yang berulang, dapat menyebabkan aritmi reperfusion dan perfusion injury dengan akibat re-oklusi. Cara-cara melakukan reperfusi: 1. Obat-ōbat trombolitik 2. Percutaneous coronary angioplasty (PTCA) 3. Coronary artery bypass surgery (CABS) Terapi trombolitik Tujuan: 1) Men"cair"kan trombus di arteria koronaria, sehingga lumen arteri terbuka (beberapa menit - beberapa hari) 2) Memperbaiki fungsi ventrikel kiri (beberapa hari) 3) Murunkan mortalitas. Obat-obat yang tersedia adalah dari generasi pertama streptokinase dan urokinase; dari generasi ke dua adalah recombinant tissue-type plasminogen activator (ft-PA), anisolated plasminogen streptokinsae activator (APSAC) dan dari generasi ke tiga sedang dalam penelitian. Streptokinase adalah obat trombolitik prototipe yang diberikan intravena 1,5 juta U selama 1 jam. Streptokinase tidak selektif terhadap fibrin dan bekerja secara tidak langsung pada plasminogen, merubah plasminogen menjadi bentuk aktif yang mempunyai khasiat proteolitik. Streptokinase berasal dari kuman dan sebagai protein asing streptokinase adalah antigenik dan membentuk antibodi dalam beberapa hari setelah pemberian. Strep
tokinase lebih efektif pada trombus yang baru (< 3 jam). rt-PA dipakai sejak 1983 dan sudah dipakai secara luas, rtPA selektif terhadap fibrin, lebih mengaktifasi plasminogen yang terikat pada fibrin di bekuan darah (clot), sehingga trombolisis koroner terjadi tanpa fibrinogenolisis yang berat. rtPA diberikan dengan dosis 100 mg intravena (10 mg diberikan sebagai bolus, 50 mg dengan infus selama 1 jam dan sisa 40 mgdengan infus selama 2 jam). APSAC diberikan intravena sebagai bolus dalam waktu 5 menit, tetapi seperti streptokinase APSAC mempunyai efek antigenik. Efek trombolitik dari streptokinase dan rt-PA diteliti pada TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction) trial. Patency dan reperfusion rate pada streptokinase adalah 45% dan pada rt-PA 70%. European Cooperative Study mendapatkan angkaangka 55% dan 70% untuk streptokinase dan rt-PA. Insidensi dan beratnya komplikasi perdarahan untuk streptokinase dan rtPA adalah kurang lebih sama. Efek streptokinase dan rt-PA terhadap fungsi ventrikel kin diteliti pada 3 penelitian acak. Fungsi ventrikel kiri yang diperiksa dengan cara contrast angiography atau radionuclide angiography membaik pada kelompok streptokinase dan rt-PA. Pada TIMII trial tidak didapatkan perbedaan efek terhadap perbaikan fungsi ventrikel kiri dari streptokinase dan rt-PA. Efek terhadap mortalitas dapat dilihat pada Tabel 1(5). GISSI trial dilaporkan pada tahun 1986: selama 18 bulan hampir 12.000 penderita mendapat streptokinase antara 0-24 jam setelah terjadi IMA. Terjadi penurunan mortalitas sebesar 18%. Pada penderita yang mendapat terapi dalam waktu 1 jam penurunan mortalitas 47%, setelah 6 jam streptokinase tidak menurunkan mortalitas. Pada ISIS II trial 17.189 penderita di 16 negara mendapat streptokinase atau aspirin atau streptokinase + aspirin atau tidak mendapatkan kedua-duanya (double placebo). Mortalitas 35 hari pada kelompok double placebo adalah 12,8%, pada kelompok aspirin 10,6%, pada kelompok streptokinase 10,0% dan pada kelompok yang mendapat streptokinase + aspirin 7,8%. Kriteria untuk terapi trombolitik adalah: 1) penderita-penderita < 70 tahun; 2) nyeri dada yang khas; 3) pada ECG didapatkan elevasi ST> 0.1 mV di 2 sadapan yang beturut-turut; 4) serangan terjadi < 6 jam. Terapi trombolitik dipertimbangkan bila nyeri dada terjadi antara 6-24 jam, nyeri dada masih ada atau hilangtimbul atau umur 70-75 tahun. Kontraindikasi absolut untuk terapi trombolitik adalah: 1. perdarahan yang aktif 2. kemungkinan ada diseksi aorta 3. telah dilakukan cardiopulmonary resuscitation selama >10 menit atau CPR yang traumatik 4. trauma kepala yang baru atau neoplasma intrakranial 5. diabetic hemorrhagic retinopathy 6. alergi terhadap obat trombolitik 7. kehamilan 8. tekanan darah > 200/120 mmHg 9. riwayat CVA hemorhagik 10. trauma atau pembedahan < 2 minggu, yang dapat menjadi
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 45
sumber perdarahan baru. Kontraindikasi relatif adalah : 1. trauma atau pembedahan 2-4 minggu 2. riwayat hipertensi berat dengan/tanpa terapi 3. tukak lambung yang aktif 4. riwayat CVA 5. diatesa hemoragik yang diketahui atau pemakaian anti koagulansia 6. gangguan fungsi hati yang berat 7. pernah mendapat streptokinase atau APS AC (terutama dalam waktu 6-9 bulan). Komplikasi utama adalah perdarahan. Pada pemberian streptokinase 1,5 jutaU,dilaporkanterjadipe,rdarahanotakpada 1-10/ 1000 penderita, perdarahan di traktus gastro-intestinal pada 5% dan perdarahan di traktus urogenital pada 5%. Perdarahan paling sering terjadi pada tempat pungsi di kulit. Perdarahan otak pada n-PA tergantung dari dosis. Pada pemberian 100 mg perdarahan otak terjadi pada 5-10/1000 penderita, yang meningkat menjadi 15-20/1000 penderita dengan dosis 150 mg. Re-oklusi pasca terapi trombolitik terjadi pada 8% dalam waktu 24 jam dan pada 10-20% selama perawatan di rumah sakit. Insidensi dari re-stenosis tergantung dari residual stenosis 90 menit setelah terapi diberikan. Besarnya residual sienosis berhubungan dengan cukup tidaknya terapi trombolitik. Residual thrombus menyebabkan stenosis yang merubah rheologi aliran darah. Selain itu residual thrombus sangat memudahkan terbentuknya trombus baru melalui deposisi trombosit. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan adhesi dan agregasi trombosit dengan pelepasan thromboxan A2 dan serotonin dengan akibat vasokonstriksi, dan terjadi re-oklusi. Untuk mengurangi residual thrombus dan mencegah terjadinya re-oklusi diberikan: 1) Heparin intravena 5000 IU bersama-sama atau setelah terapi trombolitik, disusul dengan pemberian per infus 600-8001U/jam selama beberapa hari dengan pemantauan dari active partial thromboplastin time (APTT) yang harus dipertahankan 1,2 - 2 x normal; 2) Aspirin oral 160 mg diberikan segera setelah penderita masuk di rumah sakit dan diteruskan untuk jangka waktu panjang. Pada mereka yang tidak tahan aspirin diberikan koumadin oral setelah heparin dihentikan dan diteruskan untuk jangka panjang. Heparin, aspirin dan koumadin dapat memperbesar risiko perdarahan; 3) Nitrogliserin intravena selama 12 hari. "Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty (PTCA)" PTCA sebagai terapi pertama pada IMA dilakukan pada penderita-penderita yang memenuhi kriteria untuk terapi trombolitik, tetapi ada kontra-indikasinya dan hanya dapat dilakukan di rumah sakit yang mempunyai fasilitas untuk melakukan kateterisasi jantung dengan segera oleh tenaga ahli yang berpengalaman. Keuntungan dari PTCA sebagai terapi pertama adalah terhindar dari risiko terapi trombolitik, rekanalisasi terjadi pada 85-95% dan kemungkinan insidensi re-stenosis lebih kecil. Tetapi dibandingkan dengan terapi trombolitik dengan terapi trombolitik PTCA lebih rumit logistiknya, lebih mahal dan kurang praktis.
46 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
PTCA setelah terapi trombolik dapat dilakukan : 1) Segera setelah terapi tombolitik untuk mempebaiki reperfusi. Namun pada 3 penelitian besar (TIMI-I trial, European Cooperative Study dan TIMI IIA trial) temyata bahwa mortalitas meningkat bila PTCA dilakukan segera pasca terapi trombolitik. 2) 48-72 jam pasca terapi trombolitilc (delayed PTCA). Dilakukan pada mereka dengan residual stenosis yang berat. Pala TIMI II trial tidak didapatkan keuntungan dari delayed PT CA pada sebagian besar dari penderita yang tidak mempunyai iskemi spontan atau waktu latihan. 3) Elektif pasca terapi trombolitik, dilakukan pada penderita dengan angina walaupun telah diberi terapi maksimal atau dengan iskemi miokard pada pemeriksaan uji latih beban jantung sebelum penderita keluar dari rumah sakit. "Coronary Artery Bypass Surgery (CABS)" CABS dapat dilakukan pada IMA. De Wood dkk. (dikutip dari 9) melaporkan mortalitas pasca CABS di rumah sakit sebesar 3,1% untuk non-Q IMA dan 5,2% untuk "Q-IMA". Mortalitas jangka panjang tergantung dari waktu antara terjadinya nyeri dada dan berhasilnya reperfusi. Pada penderita-penderita yang berhasil di reperfusi dalam waktu 6 jam, mortalitas di rumah sakit 3.8% dan survival 10 tahun 83%, sedangkan untuk mereka dengan reperfusi setelah 6 jam angka-angka adalah 8% dan 66%. Hanya ada satu penelitian acak dengan CABS atau terapi medis pada 68 penderita IMA('2), mortalitas 3 bulan dengan CABS adalah 2.9% dibandingkan dengan 20.6% pada kelompok dengan terapi medis. Walaupun CABS rupanya berguna pada pengobatan IMA CABS lebh jarang dilakukan dibandingkan dengan PTCA primer. RINGKASAN De Wood dkk. membuktikan bahwa oklusi total di arteria koronaria terdapat pada 87%penderita dengan IMA yang diperiksa dalam waktu 4 jam pertama.Oklusi total adalah hasil dari atherosclerotic plaque yang mengalami ruptur, disusul dengan adhesi dan agregasi trombosit yang membentuk trombus dan vasospasme koroner sekunder oleh pelepasan thromboxan dan katekolamin . Akibat dari oklusi adalah terjadinya iskemi miokard yang sebagai gelombang mulai dari endokardium dan dalam 36 jam mencapai epikardium. Berdasarkan patogenesis, terapi IMA harus dimulai dalam jam jam pertama, ditujukan pada : 1) Miokard yang iskhemik dengart pemberian oksigen, nitrogliserin, morfm, beta-blockers. 2) Oklusi di arteria koronaria, dengan reperfusi yaitu melarutkan lisis trombus atau secara mekanis dengan suatu balloon catheter (percutaneous transluminal coronary angioplasty PTCA) atau dengan pembedahan melakukan coronary artery bypass surgery (CABS). Terapi trombolitik dengan pemberian sterptokinase atau n-PA intravena adalah terapi pilihan untuk penderita-penderita umur < 70 tahun, infark terjadi <6 jam, nyeri dada yang khas tan pada 2 sadapan EKG yang berurutan didapatkan elevasi ST 0.1 mV dan tidak ada kontra-indikasi untuk terapi trombolitik. Adanya re-oklusi pasca terapi trombolitik
Table 1.
Selected Controlled Trialss of Thrombolytic Therapy Short-term mortality Treatment (%)
Control (%)
Follow-up interval (days)
% Reduction
GISSI (SK)
11.712
10.7
13.0
21
18
ISIS 2 (SK +/- aspirin)
17.187
9.1
11.8
35
23
% Reduction in subgroups by time to treatment 6-12 hours - 3 3-6 hours -17 0-3 hours - 23 < 1 hours - 47 12-24 hours - 19 4-12 hours -13 < 4 hours - 32 < 1 hours - 42
ASSET (rt-PA)
5.011
7.2
9.8
30
26
3-5 hours - 24 < 3 hours - 26
Eur Coop (rt PA + aspirin)
721
2.8
5.7
14
51*
3-5 hours - 8 < 3 hours - 82
AIMS (APSAC)
1.004
6.4
12.2
30
47
4-6 hours - 52 < 4 hours - 41
Fr p = 0,06 - secondary end point. tPreliminary report. These trials of thrombolytic therapy are presented to show differences in entry criteria as reflected in control-related mortality rate. This table should not be used to compare treatment-related mortality rates among trials. AIMS: APSAC Intervention Mortality Study, APSAC: anisoylated plasminogen streptokinase activator complex; ASSET: Angio-Scandinavian Study of Early Thrombolys; Eur Coop, European Cooperative Study; GISSI, Gruppo Italian per lo Studio della Streptochinasi nell'nfarto Miocardico; ISIS 2 Second International Study of Infarct Survival; n-PA, recombinant tissue-type plasminogen activator; SK. streptokinase; +/-, with or without.
yang terjadi pada 15-20%, dapat dikurangi dengan pemberian antikoagulansia dan aspirin. PICA primer pada IMA dilakukan pada penderita yang memenuhi kriteria untuk terapi trombolitik, tetapi terdapat kontra-indikasi untuk terapi tersebut. CABS rupanya berguna untuk terapi IMA, tetapi harus dilakukan dalam waktu 3-6 jam setelah serangan dan memerlukan fasliitas yang canggih dan tenaga ahli yang berpengalaman. 3) Penyulit-penyulit IMA. Atropin untuk bradikardi yang disertai hipotensi atau yang disertai PVC; lidokain untuk terapi atau prevensi dari PVC. KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
De Wood MA, Spores J, Motske R et at. Prevalence of total coronary occlusion during'the early hours of transmural infarction. N Engls Med. 1980; 303 : 97-102. ACC/AHA Guidelines for the early management of patients with acute myocardial infarction. Circulation 1990; 82 : 664-707. Rentrop P, Blanke H. Karsch KR, Kaiser H, Kostering H, Leitzk. Selective
intracoronary thrombolysis in acute myocardial infarction and unstable angina pectoris. Circulation 1981; 63 : 307-317. 4. Gruppo Italian per lo Studio dells Streptochinasnell "Infarco Miocardico (GISSI). Effectiveness of intravenous thrombolytic treatment in acute myocardial infarction. Lancet 1986; 1 : 397-402. 5. Mac Mahon S, Coiling R, Peto R, Koster RW, Jusuf S. Effects of prophylactic lidocaine in suspected acute myocardial infarction. An overview of results from the randomized controlled trials. JAMA 1988; 260 :.1910-6. 6. Salim Jusuf. The use of beta adrenergic blocking agents, IV nitrates. and calcium channel blocking atgents following acute myocardial infarction. Chest 1988; 93 : 255-85. 7. Sholnick AE, Frishnan WH. Calcium channel blockers in myocardial infarction. Arch Intern Med 1989; 149: 1669-75. 8. Genton RE, Sobel BE. Early intervention for interruption of acute myocardial infection. Modem Concepts of Cardiovasc Dig. 1987; 56 : 35-41. 9. Ellis SG. Interventions in acute myocardial infarction. Circulation. 1990; 81 (Suppl IV) : IV43 -1V50). 10. Chesebro JH, Badimon L, Fuster V. New approaches to treatment of myocardial infarction. Am J Cardiol 1990; 65 : 12c-19c. 11. Caiurs IA, Collins R, Fuster V, Passaman ER. Coronary thrombolysis. Chest 1989; 95 : 735-875. 12. Koshal A, Beaulands DS, Davies RA, Nair RC, Keon WI. Urgent surgical reperfusion in acute evolving myocardial infarction. A randomized controlled study. Circulation 1988; 78 (suppl I) 1171 - I178.
A good surgen must have an eagle's eye, a lion's heart and a lady's hand.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 47
Krisis Hipertensi Sunoto Pratanu Laboratorium/UPFIImu Penyakit Jantung Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/ RSUD Dr. Sutomo, Surabaya
BATASAN-BATASAN Pemakaian istilah-istilah untuk hipertensi yang gawat sering tidak seragam. Dalam makalah ini dicoba untuk memakai istilahistilah dan batasan-batasan yang paling umum dipakai pada saat ini. Krisis hipertensi ialah. keadaan klinik yang gawat yang disebabkan karena tekanan darah yang meningkat, biasanya tekanan diastolik 140 mmHg atau lebih, disertai kegagalan/kerusakan target organ. Yang dimaksud target organ disini ialah : otak, mata (retina), ginjal, jantung, dan pembuluh darah. Batas tekanan darah untuk timbulnya krisis hipertensi, bisa lebih rendah dari 140 mmHg, misalnya 130 atau 120 mmHg. Hal ini terutama tergantung dari cepatnya kenaikan tekanan darah. Menurut tingkat kegawatannya, krisis hipertensi dibagi menjadi : 1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency) 2. Hipertensi darurat (hypertensive urgency). Hipertensi gawat ialah keadaan klinik yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam waktu kurang dari satu jam. Hipertensi darurat ialah keadaan klinik yang memerlukan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. Jelas, bahwa tak ada batas yang tajam antara hipertensi gawat dan hipertensi darurat, karena tergantung pada penilaian klinik. Istilah hipertensi maligna (malignant hypertension atau accelerated malignant hypertension atau accelerated hypertension, sering dipakai untuk hipertensi darurat. BENTUK-BENTUK KRISIS HIPERTENSI Pada umumnya, krisis hipertensi timbul atas dasar adanya hipertensi sebelumnya, baik primer maupun sekunder. Selain Dibacakan pada: Simpasiwn Tatalaksana Cawat Darurat di bidang Penyakit Jantung, Surabaya, 9 Pebruari 1991
48 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
tingginya tekanan diastolik, kecepatan meningkatnya tekanan darah memegang peranan penting dalam timbulnya krisis hipertensi. Macam-macam bentuk krisis hipertensi ialah : A. Hipertensi gawat : 1. Serebrovaskuler : – Ensefalopati hipertensi – Perdarahan intraserebral – Perdarahan subarachnoid\ – Infark otak trombotik dengan hipertensi berat – Hipertensi maligna (beberapa kasus) 2. Kardiovaskuler : – Diseksi aorta – Payah jantung kiri akut – Insufisiensi koroner akut – Pasca bedah koroner 3. Lain-lain : – Katekholamin yang berlebihan : ∗ Krisis pheochromocytoma ∗ Interaksi dengan monoamine oxidase inhibitor – Trauma kepala – Perdarahan pasca bedah vaskuler – Epistaksis berat. B. Hipertensi darurat 1. Hipertensi maligna 2. Penghentian obat anti-hipertensi secara mendadak 3. Pembedahan : – Hipertensi berat pada penderita yang memerlukan operasi segera – Hipertensi pasca bedah
– Hipertensi berat pasca transplantasi ginjal 4. Luka bakar yang berat PATOFISIOLOGI Tekanan darah yang sangat tinggi, terutama yang meningkat dalam waktu singkat, menyebabkan gangguan/kerusakan gawat pada target organ. Jantung a) Kenaikan tekanan darah menyebabkan peningkatanpreload pada ventrikel kiri, sehingga terjadi payah jantung sering dalam bentuk edema paru. b) Pada penderita yang sebelumnya sudah mempunyai gangguan sirkulasi koroner, maka peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan insufisiensi koroner akut. Hal ini disebabkan karena meningkatnya preload menyebabkan kebutuhan oksigen oleh miokard meningkat, sehingga terjadi iskemia miokard yang akut. Pembuluh darah a) Pada arteri kecil dan arteriol terjadi nekrosis fibrinoid, yang berperan penting dalam timbulnya kerusakan target organ. b) Penyulit berbahaya yang terjadi pada aorta ialah diseksi aorta (istilah lama: aneurisma disekans). Di sini terjadi robekan pada intima aorta yang disertai masuknya darah kedalam dinding aorta sehingga intima terlepas dari dindingnya. Retina Kelainan retina merupakan penyulit penting pada krisis hipertensi. Pada umumnya terjadi eksudat, perdarahan, dan papil bentung yang bisa menyebabkan kebutaan. Ginjal Pada ginjal bisa terjadi kerusakan progresip karena atrofi iskemik dari nefron. Hal ini disebabkan karena nekrosis fibrinoid arteriol dan proliferasi sel-sel intima pada arteri interlobular. Akibatnya ialah menurunnya GFR dan aliran darah ginjal. Otak a) Ensefalopati hipertensi Biasanya ensefalopati hipertensi disertai kelainan retina yang berat. Gejala-gejala ensefalopati seperti nyeri kepala hebat, muntah, konvulsi, stupor, dan koma disebabkankarena spasme pembuluh darah otak dan edema otak. Terdapat pula dilatasi arteri-arteri otak dan nekrosis fibrinoid dari arteriol yang luas. Dilatasi arteri ini disebabkan gagalnya sistem otoregulasi sirkulasi otak, sehingga aliran darah otak meningkat dan menyebabkan edema otak. b) Perdarahan otak Perdarahan otak biasanya disebabkankarena tekanan darah yang tinggi dan disertai adanya mikroaneurisma pembuluh darah otak. PENGOBATAN KRISIS HIPERTENSI Dasar pengobatan Seperti keadaan klinik gawat yang lain, penderita dengan krisis hipertensi sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Pengobatan krisis hipertensi dapat dibagi : 1. Penurunan tekanan darah Pada dasarnya penurunan tekanan darah harus dilakukan
secepat mungkin tetapi seaman mungkin. Tingkat tekanan darah yang akan dicapai tak boleh terlalu rendah, karena akan menyebabkan hipoperfusi target organ. Untuk menentukan tingkat tekanan darah yang diinginkan, perlu ditinjau kasus demi kasus. Terutama untuk penderita yang tua, tekanan darah perlu dipertahankan pada tingkat yang agak tinggi. Juga penderita dengan hipertensi khronis yang disertai insufisiensi serebral, tekanan darah tak boleh terlalu rendah. Sebagai pegangan, tekanan darah dapat diturunkan mencapai tekanan darah sebelum terjadinya krisis. 2. Pengobatan target organ Meskipun penurunan tekanan darah yang tepat sudah memperbaiki fungsi target organ, pada umumnya masih diperlukan pengobatan dan pengelolaan khusus untuk mengatasi kelainan target organ yang terganggu. Misalnya pada krisis hipertensi dengan payah jantung kiri akut, diperlukan pengelolaan khusus termasuk pemberian diuretik, pemakaian obat-obat yang menurunkan preload dan afterload. Pada krisis hipertensi yang disertai gagal gin jal akut, diperlukan pengelolaan kl?usus untuk ginjalnya, yang kadangkadang memerlukan hemodialisis. 3. Pengelolaan khusus Beberapa bentuk krisis hipertensi memerlukan pengelolaan khusus, terutama yang berhubungan dengan etiologinya, misalnya eklampsia gravidarum. OBAT-OBAT ANTI HIPERTENSI Untuk menurunkan tekanan darah pada krisis hipertensi, diperlukan obat-obat anti hipertensi yang khusus. Obat-obat anti hipertensi yang dapat dipakai untuk krisis hipertensi ialah yang mempunyai sifat-sifat : bekerja cepat, efektif, aman dengan sedikit efek samping. Karena banyak penderita dengan krisis hipertensi mengalami gangguan kesadaran, maka obatobat parenteral lebih disukai. Untuk penderita yang masih sadar, dapat dipakai obalrobat oral. Obat yang dapat diberikan sublingual dapat berguna pada krisis hipertensi, karena masih dapat diberikan pada penderita yang kesadarannya terganggu. Obat-obat yang dapat dipakai untuk krisis hipertensi ialah : 1. Obat-obat parenteral (Tabel 1) 2. Obat-obat oral (Tabel 2) 3. Obat-obat sublingual Salah satu obat sublingual yang dianggap efektif untuk menurunkan tekanan darah pada krisis hipertensi ialah nifedipin. Dosis yang dianjurkan ialah 10-20 mg. Efek awal terlihat setelah 5 menit, efek maksimum 15 menit. Pemberian sublingual bekerja lebih cepat daripada oral, yang memerlukan 20 menit untuk efek awal, dan efek maksimum 30 menit. PEMILIHAN OBAT-OBAT ANTI HIPERTENSI Untuk berbagai bentuk krisis hipertensi, diperlukan obatobat khusus sesuai dengan manifestasi klinik dari krisis. Untuk penurunan tekanan darah yang cepat, dipakai obat-obat paren-
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 49
Tabel 1. Obat parenteral yang dapat digunakan pada krisis hipertensi Efek (min) al
Obat
Deals
Vasodilator: Sodium
0.5-10 mcglltghnin
angers
nttroprusid Nitrogliserin
infus 5-100 mcg/min
2-5
Diazoxid
infus 50-150 mg, IV bo-
1-2
Hidralazin
Adrenergic inhibitor: Phentolamin Trimetaphan Labetalol
Metikbpa Klanidin
Tabel 2.
his, diulang, atau 15-30 mg/min infus 10-20 mg IV 10-50 mg IM 20-30 pektoris 5-15 IV
Nausea, muntah,
10
twitching, intoksikasi thiosianat, methemoglobinemia Nyeri Impala, muntah, takikardi, methenoglobinemia Hipotensi, takikardi angina pektoris Takikardi, nyeri ke-
1-2
pals, muntah, angina Takikardi, hipotensi
1-4/min, infus
1-5
20-80 mg IV bolus,
5 - 10
10 min, 2 mg/men infus 250-500 mg infus 150 mEq N atau IM
Efek samping
30 - 60 10
ortostatik. Parese usus dan kandung kemih, hipotensi ortostatik, pandangan kabur, mulut kering. Bronkhokonstriksi, AV-block, hipotensi oitostatik Mengantuk Mengantuk, mulut kering, konstipasi
Obat oral yang dapat digunakan pada krisis hipertensi
Obat Kaptopril Klonidin Minoksidil Nifedipin Prazosin
Dosis (mg)
Frekuensi
25 0.1 - 0.2 2.5 - 5 10 2-5
menurut keperluan tiap jam menurut keperluan ulangi setelah 2-3 jam ulangi setelah 30 menit menurut keperluan
teral yang bekerja cepat. Bila penderita masih sadar, dapat dipakai obat-obat oral. Untuk beberapa bentuk krisis hipertensi, pilihan obat dalam garis besarnya dianjurkan sbb.: a. Ensefalopati hipertensif Untuk ini dianjurkan obat-obat golongan vasodilator, sehingga tidak menurunkan curah jantung. Obat-obat yang menyebabkan mengantuk sebaiknya dihindari karena dapat mengganggu evaluasi klinik penderita. b. Payah jantung akut Untuk ini dipakai diuretik dan vasodilator. Bila keadaan sangat mendesak, sebaiknya dipakai nitroprusid. Bila penderita masih sadar dan keadaan klinik tidak terlalu gawat, kaptopril ialah obat pilihan. c. Perdarahan intrakranial Meskipun penurunan tekanan darah sangat diperlukan, hal ini haius dilakukan dengan sangat hati-hati, karena penurunan
50 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
tekanan darah yang terlalu drastis akan menyebabkan hipoperfusi otak. Pada umumnya dipakai obat-obat golongan vasodilator, sehingga curah jantung tidak menurun. d. Insufisiensi koroner akut Kenaikan tekanan darah pada umumnya meningkatkan kebutuhan oksigen untuk miokard. Pada penderita yang sebelumnya sudah mempunyai kelainan jantung aterosklerotik, kenaikan tekanan darah yang cepat dapat menyebabkan insufisiensi koroner akut. Obatpilihan ialah nifedipin yang dapat diberikan sublingual. Penyekat beta dapat ditambahkan sebagai obat anti hipertensi dan juga untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokard. Juga preparat nitrat dapat ditambahkan. e. Diseksi aorta Untuk mengurangi diseksi dengan segera, tekanan darah perlu diturunkan agak cepat. Obat-obat golongan vasodilator sebaiknya tidak dipakai karena menaildcan curah jantung, yang akan menambah kekuatan diseksi. Yang dianjurkan ialah penyekat beta atau obat-obat golongan inhibitor adrenergik. f. Pheochomocytoma dan krisis hipertensi karena MAO inhibitor Dalam hal ini penyebab hipertensi ialah meningkatnya peredaran katekholamin; sehingga obat yang terbaik ialah phentolamin yang merupakan penyekat alfa adrenergik. Selain itu, dapat dipakai juga nitroprusid dan penyekat beta. g. Eklampsia gravidarum Untuk menurunkan tekanan darah, yang sering dianjurkan ialah hidralazin. Juga klonidin dapat dipakai. RINGKASAN Telah dibicarakan pengertian krisis hipertensi, hipertensi gawat, hipertensi darurat, macam-macam bentuk krisis hipertensi dan dasar-dasar pengobatannya. Dibicarakan pula obat-obat anti hipertensi yang bisa dipakai untuk krisis hipertensi, yang bisa diberikan parenteral, oral, maupun sublingual.
KEPUSTAKAAN 1. 2. 3.
4. 5. 6. 7. 8.
Anarekar SN, Johnston CI. Management of acute hypertensive crisis with clonidine. Med J Aust 1974; 1: 829-31. Kaplan N. Systemic Hypertension : mechanism and diagnosis. Therapy. In: Braunwald, E (ed.) Heart Disease. A textbook of Cardiovascular Medicine. 3th Ed. New York: WB Saunders Company. 1988: 819-83. William GH, Braunwald E. Hypertensive vascular disease. In: Braunwald E, Isselbacher KJ, Petersdorf RG et al (eds.) Harrison's Principles of Internal Medicine, 11th ed. New York: McGraw-Hill Book Company. 1987: 1024-36. Houston G, Mark C. Treatment of hypertensive urgencies and emergencies with nifedipine. Am Heart J 1986; 111: 963-9. Monsalve MB et al. Intravenous clonidine in treatment of exaggerated hypertension and hypertensive emergency. Curr Ter Res 1980; 27. Savi L et al. A new therapy for hypertensive emergencies : Intravenous captopril, A preliminary report. Curr Ther Res 1990; 47 (June). Sokolow M et al. Clinical Cardiology, 4th ed. Palo Alto: Lange medical pubL 1986: 209-7. US Joint National Committee : The 1988 Report of the Joint National Committee on Detection. Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1988; 148: 1023-37.
Kegiatan llmiah
Simposium Dimensi Baru Penatalaksanaan Hipertensi Jakarta 1 Februari 1991
Masalah hipertensi memang merupakan sesuatu yang tak habisnya dibahas; hal tersebut adalah karena kosnep patogenesis dan penatalaksanaan yang terus menerus berubah, di samping potensinya untuk menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting di masa-masa mendatang, pada saat penyakit infeksi sudah dapat ditangani dengan obat-obatan yang mutakhir, di samping peningkatan derajat kesehatan dan sanitasi lingkungan. Simposium Dimensi Baru Penatalaksanaan Hipertensi yang diselengarakan oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia di Jakarta belum lama berselang membahas hipetensi dalam kaitannya dengan faktor-faktor risiko seperti lipid plasma, resistensi insulin dan merokok sekaligus mengetengahkan konsep penanganan baru dengan obat penyekat alfa selektif-doxazosin. DR. T. Santoso dari Subbagian Kardiologi bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM mengetengahkan dimensi baru penatalaksanaan penyakit jantung koroner yang erat kaitannya dengan hipertensi, selain dari faktor-faktor risiko lainnya seperti hiperlipidemi, kadar kolesterol–HDL yang rendah, intoleransi giukosa, obesitas, merokok, kurangnya aktivitas fisik dan stres. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa hipertensi meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK) tiga kali lipat, sedangkan hipertensi dan hiperkolesterolemi meningkatkan risiko ini menjadi 9 kali, dan akan menjadi 16 kali lipat bila selain dari adanya faktor-faktor risiko di atas, orang tersebut juga merokok. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan melalui suatu keadaan resistensi insulin dan hiperinsulinemi sebagai kompensasinya, sehingga perlu diperhatikan dalam pemilihan obat-obat antihipertensi. Diuretika diketahui dapat menyebabkan hipokalemi, hiperglikemi, hiperurikemi dan gangguan profil lemak darah; efek samping metabolik ini dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya aritmi, kematian mendadak dan PJK. Selain itu, karena
hipertrofi ventrikel kiri juga inerupakan faktor risiko PJK, perlu dipilih obat yang tidak mempengaruhi ventrikel kiri, bahkan bila mungkin menyebabkan regresi hipertrofi yang telah terjadi; hal tersebut dapat dicapaidengan penggunaan obat penyekat alfa seperti doxazosin. Kaitan pengobatan hipertensi dengan gambaran lipid plasma dibahas oleh Imam Parsudi A. di Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Diponegoro, Semarang. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa tiazid menaikkan kadar VLDL dan trigliserid, sedikit menaikkan kadar kolesterol total dan LDL dan hampir tidak mempengaruhi kadar HDL. Penyekat beta menaikkan kadartrigliseriddan VLDL, tidakmempengaruhikadarkolesterol total dan LDL, dan menurunkan kadar HDL. Obat-obat lain seperti antagonis kalsium, ACE-inhibitor dan obat-obat yang bekerja sentral tidak mempunyai efek bermakna terhadap lipid plasma; sedangkan obat yang tergolong dalam penyekat alfa selektif akhir-akhir ini diketahui dapat memperbaiki profil lipid plasma berupa penurunan kadar trigliserid dan kolesterol total, dan peningkatan kadar HDL. Efek perbaikan profil lipid plasma tersebut diduga melalui beberapa mekanisme : 1. Menurunkan sintesis kolesterol di hepar melalui hambatan aktivitas HMG-CoA reduktase. 2. Menaikkan clearance plasma LDL melalui aktivasi reseptor LDL sehingga kadar LDL plasma turun. 3. Menaikkan clearance plasma trigliserid melalui aktivasi lipoprotein lipase. 4. Menafkkan sintesis VLDL di hepar sehingga kadar trigliserid turun. Suatu konsep baru yang masih berkembang ialah resistensi insulin dan kaitannya dengan hipertensi dan penyakit jantung
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 51
koroner. Topik ini dibicarakan oleh dr. Slamet Suyono dari Subbagian Metabolik-Endokrin, Bagian Penyakit Dalam FKUI/ RSCM, Jakarta. Penelitian menunjukkan bahwa pada hipertensi, efektivitas insulin untuk meng'ambil' glukosa dari darah telah berkurang, akibatnya kadar glukosa darah meningkat, yang akan merangsang produksi insulin sehingga terjadi hiperinsulinemi. Terdapat empat mekanisme yang diduga berperan : 1. Peningkatan kadar insulin berjalan bersamaan dengan peningkatan kadar katekolamin; hal ini baru diamati pada tikus percobaan. 2. Insulin meningkatkan reabsorpsi air dan natrium di ginjal. 3. Insulin meningkatkan pertukaran ion H+ dan Na+ sehingga menimbulkan dua hal; pertama tertimbuilnya Na dan Ca di dalam sel sehingga merangsang sel-sel yang sensitif terhadap norepinefrin dan angiotensin II; yang ke dua ialah menyebabkan alkalosis relatif yang dalam jangka panjang meningkatkan sintesis dan proliferasi sel sehingga menyebabkan hipertrofi dinding pembuluh darah. 4. Insulin menyebabkan perubahan komposisi otot, termasuk otot pembuluh darah. Aspek lain yang ikut dibahas oleh Jose Roesma dari Subbagian Ginjal dan Hipertensi, Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/ RSCM ialah merokok dan kaitannya dengan hipertensi. Asap rokok diketahui mengandung tidak kurang daril 4000 jenis bahan kimia yang merugikan kesehatan, baik bagi si perokok (perokok aktit) maupun orang-orang di sekitarnya (perokok pasif).Seorang yang menghisap rokok, denyut jantungnya akan meningkat sampai 30% setelah 10 menit, tekanan sistolik naik 10% dan diastoliknya naik 7%.Secarakronis,pengaruhnya belum diketahui dengan jelas, tetapi dari penelitian epidemiologik diketahui bahwa kalangan perokok menderita komplikasi kardiovaskuler 2–3 kali lebih sering bila dibandingkan dengan bukan perokok. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam penggunaan antihipertensi pada perokok ialah : 1. Diuretik – di samping meningkatkan kadar lemak darah, juga dapat menyebabkan hipokalemi, akibatnya lebih mudah terserang ventricular extrasystole (VES) karena nikotin juga berperan merangsang sistim saraf simpatis. 2. Penyekatbeta–penelitian jangkapanjang menunjukkan efektivitas yang rendah, diduga karena adanya vasokonstriksi perifer akibat nikotin. 3. Vasodilator – cukup rasional untuk digunakan karena dapat mencegah vasokonstriksi akibat nikotin, juga tidak mengubah profil lemak darah. Vasodilator yang diajukan dan dibahas oleh Arini Setiawati di Bagian Farmakologi FKUI pada simposium ini ialah doxazosin suatu penyekat alfa-1 yang dikembangkan dariprazosin-penyekat alfa pertama yang bekerj a selektif pada reseptor an-1 dan efektif untuk pengobatan hipertensi jangka panjang. Doxazosin menurunkan tekanan darah melalui penurunan resistensi perifer tanpa meningkatkan frekuensi denyut jantung; curah jantung tetap atau sedikit meningkat akibat konstriksi vena melalui reseptor alfa-2 yang terdapat di vena.Selain itu, penyekat alfa-1 mempunyai efek menguntungkan terhadap lipid plasma,
52 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
yaitu menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserid serta meningkatkan kadar HDL-kolesterol. Pengalaman penggunaannya di Inggris terhadap 4027 pendeita hipertensi ringan atau sedang menunjukkan bahwa 9,3% mengalami efek samping dan 5,8% menghentikan pengobatan. Efek samping yang sering terjadi ialah pusing (5,8%), nyeri kepala (4%), rasa lelah (2,5%) yang kebanyakan disebabkan oleh efek obat terhadap refleks kardiovaskuler pada perubahan posisi tubuh. Dengan semakin banyaknya obat antihipertensi yang dikembangkan, pilihan menjadi semakin beragam. RP. Sidabutar dari Subbagian Ginjal dan Hipertensi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM mengingatkan bahwa tujuan pokok pengobatan hipertensi tetap tidak berubah, yaitu mencegah pemendekan umur penderitanya, ditambah dengan usaha agar kualitas hidupnya tetap baik; akan lebih baik lagi bila pengobatan tersebut juga bisa mencegah/menghilangkan aterosklerosis. Pedoman pengobatan hipertensi, tergantung pada berat-ringannya, dapat dilakukan menurut rekomendasi WHO (tabel 1) dan tabel 2. Sedangkan kemungkinan efek samping yang harus dipertimbangkan dalam pemberian obat antihipertensi dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 1.
1. 2. 3. 4.
5.
Pegangan Penanganan Hipertensi Ringan menurut Rekomendasl WHO (1989)
Tekanan Darah Diastolik (MD) 90 -104 mm Hg diukur 3 X pada 2 kali kunjungan. Diulangi lagi 2 kunjungan berikut dalam 2 minggu. 4 Minggu kemudian : bila TTD < 90 mmHg, pantau tiap 3 bulan selama 1 tahun. bila TTD 90 -104 mmHg, berikan pengobatan nonfannakologik. 3 Bulan kemudian : bila TTD 90 – 94 mmHg, perketat usaha nonfarmakologilt, bila TTD 95 -99 mmHg dan ada FaktorRisikopertimbangkan pemberian OAH, bila TTD > 100 mmHg, berikan OAH. 3 Bulan kemudian : bila TTD 90 – 94 mmHg dan tak ada faktor risiko, teruskan usaha nonfannakologik, bila ada faktor risiko, pertimbangkan OAH, bila TTD 95 – 99 mmHg, beri OAH ada atau tidak ada faktor risiko.
Tabel 2.
Beberapa Kombinasi OAH Yang Sering Dipergunakan pada Hipertensi Sedang – Herat. Obat awal Diuretik
Bloker Beta Nifedipin/Diltiazem Inhibitor ACE
Obat tambahan Bloker Beta Inhibitor ACE Antagortis Kalsium Bloker Alfa 1 Diuretik Nifedipin, Diltiazem Bloker Beta Inhibitor ACE Bloker Alfa 1 Diuretik Bloker Beta Antagonios Kalsium Bloker Alfa 1
Tabel 3. BeberapaSifat OAH dalam Kaitan Individualisasi Pengobatan.
Hiperlipidemia Hiperglikemia Kerja flail( LVH Hiperurikemia Faal trombosit AII Katekolamin Kalium Magnesium Cepat aliran darah Viskositas darah
Diuretik
Agonis A Sentral
Bloker Beta + ISA
Blokes. Beta – ISA
Vasodilator
Bloker Alfa
Inhibitor ACE
Antagonis Kalsium
R R 0 O/R R R R R R R 0 R
U 0 0 U 0 0 U U 0 0 U 0
R R R ? R U 0 R R U ? ?
R (U/R) R 0 O/? R ? U R R U U U
0 0 0 R 0 ? R. R 0 0 U U
U 0 0 U/O 0 ? 0 0 0 0 O/R U
U/O 0 0 U 0 U U U 0 0 7 7
U 0 0 U 0 U 0 0 0 0 7 ?
Keterangan : U = rnenguntungkan; R = merugikan; O = tidak ada pengaruh; ? = tidak je[as.
A man is rich according to what he is and not according to what he has (Henri Ward Beecher)
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 53
Kegiatan llmiah
Kongres Nasional VI Perhimpunan Kardiologi Indonesia KOPERKI VI Ujungpandang 3 - 6 Maret 1991 Denganmakinberkurangnyapenyakit-penyakitinfeksi, maka kelainan degeneratif dan sistemik mulai muncul sebagai masalah kesehatan masyarakat; dan yang paling menonjol di antaranya adalah penyakit jantung dan pembuluh darah. Tidaklah mengherankan bila masalah seputar penyakit tersebut akhir-akhir ini menjadi topik bahasan yang banyak dibicarakan. Salah satu di antaranya ialah di Kongres Nasional VI Perhimpunan Kardiologi Indonesia yang baru-baru iniberlangsung di Ujungpandang pada tangal 3-6 Maret 1991. Kongres yang berjalan selama empat hari tersebut diisi dengan berbagai kuliah tamu, simposium dan makalah lain yang kesemuanya membahas penyakit-penyakit jantung dengan berbagai aspeknya, termasuk masalah pendidikan dan penempatan tenaga ahli jantung di Indonesia. Simposium mengenai Gagal Jantung antara lain mengetengahkan masalah pengobatan dini yang dibahas oleh T. Santoso dari Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, Jakarta. Dia berpendapat bahwa secara klinis pengobatan gagal jantung diharapkan dapat memperbaiki mutu kehidupan, antara lain dengan memperbaiki toleransi aktivitas fisik,dan sekaligus memperpanjang harapan hidup penderitanya. Tujuan tersebut dapat dicapai bila kegagalan miokardium dan kegagalan sirkulasi akibat gangguan sistim neurohumoral dapat diperbaiki; untuk itu dapat digunakan obāt-obat yang bersifat inotropik positif, diuretik, vasodilator atau modulator neurohumoral seperti ACE inhibitors, alpha-blockers atau beta-blockers. Di antara obat-obat tersebut, dalam penggunaan jangka panjang, hanya vasodilator dan ACE inhibitors yang telah terbukti dapat memperpanjang harapan hidup penderita. Untuk gagal jantung yang ringan, kaptopril-sejenis ACE inhibitor-dapat mencegah progresivitas penyakit,di samping mengurangi kebutuhan/dosis diuretik. Dede Kusmana dari Bagian Kardiologi FKUI-RS Harapan Kita membahas aspek patofisiologi gagal jantung dan pengaruh hormonal, yaitu peranan renin, angiotensin dan aldosteron. Kegagalan kerja
54 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
jantung akan menurunkan curah jantung sehingga tekanan darah juga turun; keadaan ini merangsang aktivitas simpatis berupa peningkatan produksi katekolamin yang akan menyebabkan vasokonstriksi. Vasokonstriksi ini dalam jangka pendek memang menguntungkan, tetapi bila berlangsung lama akan menaikkan tahanan tepi yang berarti menambah beban jantung untuk mendorong aliran darah di organ-organ. Mekanisme kompensasi ini harus selalu dipertimbangkan dalam setiap usaha mengatasi gagal jantung. Pembahasan atas Penyakit Arteri Koroner antara lain dilakukan oleh David T. Kelly dari Sydney, Australia yang membahas kembali patogenesis aterosklerosis. Dia berpendapat bahwa pengobatan angina pektoris pertamatama ditujukan pada pencegahan aterosklerosis, selain itu juga diharapkan dapat mencegah agregasi trombosit yang dapat mencetuskan terjadinya trombosis; dan yang ketiga adalah mencegah vasospasme.Akan lebih baik lagi bila kebutuhan oksigen miokard juga dapat ditekan, sehingga dapat bermanfaat pada angina kronik yang stabil. Pengobatan angina pektoris meliputi medikamentosa menggunakan obat-obat nitrat, beta-blockers, antagonis kalsium, dan operatif berupa angioplasti atau pembedahan pintas. Nifedipin adalah salah satu obat yang dapat digunakan karena telah terbukti mempunyai efek vasodilatasi koroner. Unstable angina dibahas oleh Harry Suryapranata dari Rotterdam, Belanda. Dia berpendapat bahwa unstable angina, infark miokard akut dan sudden death didasari oleh patogenesis yang sama, yaitu kelainan aterosklerotik di arteria koronaria. Atas dasar gejalanya, unstable angina dibagi atas tiga jenis, yaitu: • Angina progresif - angina yang baru dan berkembang makin berat dengan gambaran klinik yang memburuk; dapat juga dijumpai pada pasien angina kronik yang stabil. • Angina at rest- serangan-serangan nyeri dada berulang di saat istirahat yang berkaitan dengan perubahan kompleks ST-T pada EKG yang reversibel, tanpa tanda-tanda klinis maupun
enzimatis yang menunjukkan perburukan nekrosis miokard. • Early postinfarction angina– pasien yang menderita angina dalam 30 hari setelah infark atau yang dicetuskan oleh aktivitas fisik ringan. Pasien-pasien yang termasuk dalam golongan angina progresif mempunyai prognosis yang relatif lebih baik dan umumnya bereaksi baik terhadap pengobatan, pada beberapa kasus perlu dipertimbangkan tindakan operasirevaskularisasi. Sedangkan padapasien yang mempunyai gejala angina-at-rest dan early postinfarction angina, prognosisnya lebih burukS terutama bila tidak responsif terhadap pengobatan farmakologik yang dapat berupa beta-blockers, nitrat atau antagonis kalsium; pasienpasien ini perlu mempertimbangkan tindakan operatif sebagai salah satu alternatif. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan ialah percutaneus transluminal coronary angioplasty (PTCA); tindakan ini mempunyai angka sukses yang berkisar antara 70% sampai 92%; mortalitas perioperasi berkisar antara 1,8% sampai 7,7% dan kejadian infark miokard perioperasi berkisar antara 1% sampai 16,7%. PTCA telah terbukti efektif pada unstable angina dan early postinfarction angina; meskipun demikian angka sukses pada unstable angina tetap lebih rendah daripada kasus stable angina;hal ini antara lain disebabkan oleh perbedaan patofisiologi yang menyebabkan variasi klinis dan risiko komplikasi yang lebih besar. Selain itu PTCA dapat merangsang terjadinya trombosis intrakoroner dan iskemi miokard, hal ini diamati terutama pada percobaan binatang karena menyebabkan kerusakan endotel, penumpukan trombosit dan vasokonstriksi lokal, sehingga perlu diwaspadai juga pada manusia. Terapi tambahan berupa pemberian trombolitik juga dapat menentukan efektivitas pengobatan; dalam hal ini harus diperhatikan kemungkinan komplikasi perdarahan. Cara ini juga digunakan untuk mengatasi oklusi akut selama PTCA. Penggunaannya sebagai pengobatan pencegahan harus mempertimbangkan komplikasi perdarahan dan adanya kenyataan bahwa hanya kurang dari 10% pasien unstahle angina akan mengalami komplikasi akut. Selama ini PTCA telah terbukti bermanfaat untuk penderita angina-at-rest, baik yang refrakter maupun yang menerima obat, dan pada penderita early posticfarction angina; meskipun demikian masih terdapat kemungkinan timbul komplikasi yang berkaitan dengan aktivitas trombosit, fibrin, tromboksan A dan pembentukan trombus. Uji klinis yang ada selama ini berkenaan dengan kasuskasus sederhana – single-vessel disease dengan fungsi ventrikel kiri yang masih baik, sehingga masih harus dibuktikan manfaatnya pada kasus-kasus yang lebih kompleks. Suatu studi epidemiologik penyakit jantung iskemik yang menarik dikemukakan oleh D. Jakovl jevic dari Jugoslavia. Dia mengnraikan MONICA (Multinational Monitoring of Trends and Determinants of Cardiovascular Diseases) Project – suatu studi WHO yang ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit pembuluh darah – terutama penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler.dan hipertensi dalam masyarakat. Strategi utama dari WHO Cardiovascular Disease Program adalah:
– Pencegahan melalui pengembangan dan penerapan strategi secara nasional. – Pencegahan sejak usia dini. – Cara-cara pencegahan yang terintegrasi dengan program penyakit tidak menular lain karena adanya faktor-faktor risiko yang sama dan cara-cara pencegahan yang serupa. Metode ini telah dijalankan di Novi Sad, Jugoslavia sejak tahun 1979 dan menunjukkan hasil berupa penurunan baik morbiditas maupun mortalitas akibat penyakit-penyakit jantung iskemik. Infark miokard akut turun dari 453 kasus di tahun 1983 menjadi 385 di tahun 1989 – suatu penurunan sebesar 11%, sedangkan mortalitasnya turun lebih besar, yaitu 32% selama periode yang sama. Kasus stroke juga menurun 7% – dari 453 kasus menjadi 422 kasus, sedangkan mortalitasnya turun dari 67,1% menjadi 42,2% – suatu penurunan sebesar 41% selama tahun 1983 -1989. Selain itu faktor-faktorrisiko jugaberkurang, tekanan darah rata-rata menurun, demikian juga dengan kadar kolesterol rata-rata. Hasil yang menggembirakan ini adalah akibat dari program intervensi aktif yang meliputi deteksi dini dan mengurangi faktor risiko, diagnosis dan pengobatan yang lebih cepat dan baik, dan pendidikan kesehatan untuk masyarakat luas. Semua usaha tersebut memerlukan biaya yang tidak lebih besar dari 1% biaya total kesehatan setempat karena semuanya diintegrasikan ke dalam aktivitas sehari-hari mereka. Program MONICA tersebut telah pula dijalankan di Jakarta, bekerja sama dengan Pusat Kesehatan Jantung Nasional/RS Jantung Harapan Kita, Departemen Kesehatan RI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Dinas Kesehatan DKI Jakarta dan Lembaga Penelitian Universitas Indonesia dan Universitas Diponegoro. Survai dasar yang dilakukan atas 2073 responden di tiga kecamatan di Jakarta Selatan menemukan 57 (2,7%) kasus infark miokard lama: 7 (12,3%) di daerah anterolateral, 30 (52,6%) di posterior/inferior dan 20 (35,1%) di anterior. Empat orang (7%) pemah dirawat di rumahsakit karena penyakit jantung, satu di antaranya dengan anamnesis infark miokard. Kasus-kasus tersebut terdiri dari 40 (70%) pria dan 27 (30%) wanita, sedangkan faktor risiko yang ditemukan ialah merokok (28–49,1%), hipertensi (15%–26,3%), hiperkolesterolemi (12–21%), kurang/ tidak berolahraga (30%–52,6%) dan hiperglikemi (7%–12,2%). Masalah hiperkolesterolemi ini diteliti secara khusus, dan ternyata kadar kolesterol lebih dari 250 mg% ditemukan pada 13,7% populasi. Kadar kolesterol rata-rata pada populasi tersebut ialah 203 ± 43 mg%, trigliserid 142 ± 86 mg%, kadar HDL 51,8 ± 18 mg%. Kongres ini juga membahas masalah kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit jantung dan pembuluh darah yang dikaitkan dengan program pendidikan dan penempatan dokter ahli jantung dan pembuluh darah di rumahsakit-rumah sakit di Indonesia. R. Sjamsuhidajat dari Konsorsium Ilmu-Ilmu Kesehatan menyoroti hal tersebut dari segi pelayanan holistik pada masyarakat; di masa perkembangan spesialisasi ilmu kedokteran
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 55
ke arah pendalaman satu sistim atau salah satu/beberapa organ tubuh, komitmen tentang pengertian yang menyeluruh terhadap biologi manusia (comprehension of the total human biology) harus tetap dipertahankan.
56 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
Setelah berlangsung selama empat hari,kongres ditutup dengan acara tour ke Tana Toraja selama dua had yang diisi pula dengan Simposium Pascakongres mengenai berbagai perkembangan terapi beberapa penyakit jantung. Brw
HUMOR ILMU KEDOKTERAN SUDAH BOLEH Ditengah-tengah presentasi kasus yang menegangkan di ruang konperensi Unit Bedah, tiba-tiba terdengar bunyi flatus diikuti bau H2S yang menusuk hidung. Seorang ahli bedah senior yang kebetulan menjadi moderator segera bertanya, "Siapa yang berbunyi tadi?" Semua peserta terdiam. Senior itu melanjutkan, 'Baiklah, kalau tidak ada yang mengaku tidak apa-apa. Sebetulnya saya hanya ingin mengatakan bahwa dia sudah 'boleh minum sedikit-sedikit, karena peristaltiknya mulai pulih!>, Imtikkhnanik Yogyakarta
PERNAH Dokter : "Apakah Bapak pernah menderita sakit gula?" Pasien : "Belum Dok!" Dokter : "Apakah di antara keluarga Bapak ada yang menderita sakit gula?" Pasien : "Tidak ada, tapi ... anu Dok!" Dokter : "Apa?" Pasien : "Ayah saya dulu direktur pabrik gula!" Hardi C. Yogyakarta
MELATIH OTAK Seorang dokter yang profesor selalu berpesan kepada para mahasiswanya, bahwa otak harus selalu dilatih supaya ingatan menjadi baik. Kemudian beliaii mendemonstrasikan kemampuan daya ingatnya dengan menyebutkan semua jumlah anak tangga di seluruh ruangan kampus. Kemampuan daya ingat beliau membuat para mahasiswa kagum. Selang setengah tahun kemudian baru ketahuan bahwa sebenarnya beliau itu penglihatannya sudah rabun sehingga untuk memasuki ruangan beliau perlu hapal jumlah anak tangganya supaya tidak salah melangkah ! Hendro Artho Puskesmas Sidoharjo, Wonogiri KAPOK Si Johny membawa anak anjingnya ke dokter hewan karena kesal melihat hewan itu berak di mana-mana di dalam rumah. Oleh dokter ia diberi bubuk lada untuk dibawa pulang dan ditaburkan di tempat anjing itu berak. Lalu dipesan agar si Johny kembali 5 hari lagi untuk menilai kemajuanan jingnya. Lima hari kemudian ia datang lagi membawa anjing kesayangannya kembali ke dokter. "Bagaimana hasilnya?" tanya dokter. "Bagus sekali dokter. Bahkan sudah 5 hari ini ia tidak berani berak sama sekali, pada hal obatnya baru sekali dipakai" jawab si Johny. "Lho, kok manjur amat? Bagaimana cara pakainya? tanya dokter. "Sesuai petunjuk dokter, bubuk lada saya taburkan pada tempat beraknya" jawab si Johny sambil menunjuk ke anus anjingnya. R Setiabudy Jakarta ADA APA ? Dalam kamar perawatan lantai empat seorang dokter sedang menunggui empat pasien sakit gila yang sedang tiduran. Tiba-tiba seorang pasien menuju jendela, melihat ke luar dan kembali ke tempat tidurnya sambil senyum dan menutup dirinya dengan selimut. Pasien kedua juga berbuat serupa, demikian juga pasien ke tiga dan ke empat. Dokternya yang sejak tadi memperhatikan, penasaran ingin tahu dan melihat ke luar jendela, ternyata di luar tidak ada apa-apa. Dokter jadi ikut senyum-senyum juga dan . . terus ke luar ruangan ! Juvelin Jakarta
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 57
ABSTRAK PENGARUH KOLESTEROL TERHADAP PENYAKIT JANTUNG KORONER Meta-analisis yang dilakukan atas percobaan-percobaan yang ditujukan untuk menurunkan kejadian penyakit jantung koroner melalui penurunan kadar kolesterol darah ternyata tidak menghasilkan kesimpulan yang pasti. Percobaan-percobaan tersebut melibatkan 24.847 peserta dan kira-kira 119.000 person-years. Penurunan kadar kolesterol pada kelompok percobaan rata-rata sebesar 10%, menghasilkan angka mortalitas total sebesar 4,74%, dibandingkan dengan pada kelompok kontrol sebesar 4,50% - perbedaan yang tidak bermakna. Mortalitas akibat penyakit jantung koroner adalah 1,59% pada kelompok kontrol dan 1,36% pada kelompok percobaan; angka mortalitas akibat kanker masing-masing sebesar 0;66% dan 0,95%, dan angka mortalitas bukan akibat penyakit masing-masing sebesar 0,3% dan 0,53%. Penurunan angka kematian akibat penyakit jantung koroner di kalangan kelompok percobaan (sebanyak 28 per 1000) ditutup oleh kenaikan angka kematian akibat sebab lain (kecelakaan, bunuh diri sebesar 29 per 1000). BMI 1990; 301 : 309-14 Hk
ASAM FOLAT DAN SKIZOFRENIA Definisi asam folat (kadar folat eritrosit < 200 ug/1) diderita oleh 41(33%) dari 123 pasien kelainan ppsikiatrik akut (depresi mayoratau skizofrenia). Mereka diikutsertakan dalam percobaan butaganda menggunakan 15 mg metilfolat/ hari selama 6 bulan, di luar pengobatan psikotropiknya. Ternyata setelah enam bulan, kelompok folat menunjukkan perbaikan yang lebih nyata, seperti yang diukur melalui clinical rating scale, Hamilton depressidninventory maupun Beck depression
58 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
self-rating scale. Penemuan ini menyokong hipotesis tentang adanya gangguan proses metilasi dalam Susunan saraf di kalangan pasien mental. Lancet 1990; 336 : 392-5 Hk
GEJALA HIPOTENSI Untuk mengetahui korelasi antara tekanan darah dengan keluhan subyektif seperti rasalellah, nyeri kepala dan rasa berdebar, sekelompok peneliti di Inggris telah memeriksa 7383 orang dewasa. Ternyata mereka menemukan bahwa tekanan sistolik berkaitan positif/memperkuat keluhan nyeri kepala dan rasa berdebar, sebaliknya berkaitan negatif dengan rasa lelah dan pingsan. Meskipun hipotensi sistemik berkaitan dengan rasa lelah yang persisten, mereka tidak menganjurkan intervensi khusus karena efeknya yang mengutungkan dari segi mortalitas. BMJ 1990; 301 : 362-5 Hk
DIAGNOSTIK PSEUDOSEIZURE Pseudoseizure merupakan masalah yang sering dijumpai dalam usaha diagnostik epilepsi; angka kejadiannya berkisar antara 5-20% pada pasien epilepsi yang berobat jalan. 20-30% di antaranya diderita bersamaan dengan serangan epilepsi, umumnya terjadi di kalangan wanita (75-80%) dan berkisar pada usia 15-35 tahun (83%). Untuk mengatasinya, para peneliti di Indianapolis, Amerika Serikat, menganjurkan pendekatan diagnostik yang terdiri dui kepsatian diagnosis melalui rekaman video-EEG dengan kriteria: adanya waking alpha rhythm, kejadian yang nonparoksismal/nonstereotipik, kejadian motorik yang atipikal dan EEG yang normal sepanjang hari. Neurology 1990; 40 : 756-9 Brw
RISIKO KEJANG BERULANG Pengamatan selama 30 bulan dilakukan aas 283 anak dengan serangan spontan pertama first unprovoked seizure). Ternyata 101 (30%) mengalami serangan ulangandalam periode tersebut. Risikoberulangpadapenelitian ini ialah 26% pada 12 bulan, 36% pada 24 bulan, 40% pada 36 bulan dan 42% padsa 48 bulan. Risiko kumulatif pada 47 anak dengan remote symptomatic first seizure adalah sebesar 37%, 53% dan 60% pada 12, 24 dan 36 bulan, dibandingkan dengan 24%, 33% dan 36% di kalangan anak dengan idiopathic seizure. Faktor prediksi yang terkuat di kalangan idiopaahic seizure ialah adanya kelainan EEG. EEG yang abnormal memberikan risiko sebesar 41%, 54% dan 56% pada 12, 24 dan 36 bulan, sedangkan pada EEG yang normal, risikonya hanya 15%, 23% dan 26% untuk jangka waktu yang sama. Riwayat keluarga hanya berpengaruh padakasuskasus idiopatik dengan EEG abnormal. Pediatric 1990; 85(6) : 1076-85 Brw
RISIKO KEJANG BERULANG Penelitian telah dilakukan atas 208 orang yang menderita serangan spontan (unprovoked seizure). Selama 4 tahun, serangan telah berulang pada 64 orang. Risiko berulangnya serangan tersebut diperkirakan sebesar 14%, 29% dan 34% pada 1, 3 dan 5 tahun setelah serangan pertama. Riwayat gangguan neorologik sebelumnya (trauma kepala, CVD, infeksi SSP, retarasi mental/cerebral palsy) meningkatkan risiko hingga 2 1/2 kali lebih besar, dan di antara kasus-kasus idiopatik, adanya saudara kandung yang menderita epilepsi, adanya gelombang paku-ombak umum pada EEG dan riwayat serangan yang akut, meningkatkan risiko berulangnya serang-
ABSTRAK an; sedangkan pada kasus.;dēngan riwayat status epileptikus, serangan simtomatik sebelumnya dan paresis Todd juga meningkatkan risiko. Tergantung pada gambaran klinis, risiko berulang pada 5 tahun berkisar antara 23-80%, dan ternyata pengobatan antikonvulsan tidak mempengaruhi angka risiko tersebut. Neurology 1990; 40 : 1163-70 Brw
EFEK SAMPING ANTIKONVULSAN Limabelas pasien epilepsi parsial kompleks diobati dengan karbamazepin, fenobarbital dan fenitoin secarabergantiganti setiap 3 bulan untuk mengetahui efek pengobatan terhadap hasil evaivasi neuropsikologik. Mereka dievaluasi dengan berbagai instrumen, a.1. forward and backward digit span, Selective Reminding Test, Digit Symbol dari WAIS-R, Finger Tapping dan Choice Reaction Time. Hasilnya menunjukkan bahwa ketiga jenis pengobatan memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna; perbedaan yang bermakna hanya didapatkan alas pasien dengan fenobarbital pada tes Digit Symbol. Para peneliti menyimpulkan bahwa efek kognitif dari antikonvulsan yang diteliti sangat ringan. Neurology 1990; 40 : 391-4 Brw
FAKTOR RISIKO PENYAKIT JANTUNG KORONER Untuk menyelidiki pengaruh kadar lipoprotein(a) serum terhadap penyakit jantung koroner, 776 pria diukur kadar lipoprotein(a) serumnya di tahun 1983 84 dan 6 tahun kemudian. Dalam masa 6 tahun tersebut, 26 pria menderita infark miokard atau meninggal akibat penyakit jantung koroner.
Ternyata 26 pria tersebut mempunyai kadar lipoprotein(a) yang lebih tinggi (rata-rata 277,7 mg/1) dibandingkan dengan yang tetap sehat (rata-rata 172,7 m/l). Pria dengan kadar lipoprotein(a) lebih dari 365 mg/I mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita kelainan jantung koroner daripada pria yang kadar lipoprotein(a) nya kurang dari 365 mg/1. Analisis statistik menunjukkan bahwa lipoprotein(a) serum secara tersendiri meningkatkan risiko infark miokard, atau kematian akibat penyakit jantung koroner.
Para sukarelawan diminta untuk melihat berturut-turutlukisan-lukisan berwarna dan tidak berwarna secara bergantian; ternyata ditemukan daerahdaerah otak tertentu yang aliran darahnya meningkatdi saatmelihatwarna; daerahdaerah tersebut terletak di girus linguale dan girus fusiformis, dengan bagian di hemisfer kiri lebih dominan daripada bagian yang di hemisfer kanan, tidak tergantung apakah orangnya kidal atau tidak. Nature 1989; 340: 386-9 OLH
BMJ 1990;301:1248-51 Hk
PENGARUH MEROKOK TERHADAP KADAR KAFEIN DARAH Telah lama diamati bahwa para perokok umumnya minum lebih banyak kopi daripada bukan perokok. Ternyata hal tersebut dapat diterangkan secara farmakologik, karena rokok mempercepat penguraian kafein dalam tubuh, sehingga para perokok perlu lebih banyak minum kopi untuk mendapatkan efek farmakologi yang diinginkan. Bila perokok tersebut berhenti merokok, maka kecepatan penguraian kafein juga ikut berkurang; bila hal ini tidak disadari, maka risiko mendapat serangan jantung akan meningkat. BMJ 1989; 298: 1075-6 OLH
PUSAT MELIHAT WARNA DI OTAK Dengan pemeriksaan PET-scan (positron-emitted-tomographyscan) atas sukarelawan, para peneliti telah menduga adanya pusat melihat wama di otak.
PENGARUH KOPI TERHADAP RISIKO KARDIOVASKULER Sejumlah 45.589 pria berusia 40-75 tahun tanpa riwayat gangguan kardiovaskuler diteliti untuk mengetahui hubungan antara konsumsi kafein dengan risiko infark miokard. Selama 2 tahun pengamatan, 221 menderita infark miokard atau meninggal dunia akibat penyakit jantung koroner, 136 mengalami pembedahan koroner dan 54 terserang stroke. Dari analisis data, relative-risk untuk pria' yang minum 4 cangkir kopi atau lebih terhadap semua penyakit kardiovaskuler ialah 1.04. Peningkatan konsumsi kopi tidak berkaitan dengan peningkatan risiko kardiovaskuler, sedangkari peningkatacr konsumsi kopi decaffeinated justru berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit jantung koroner (relative risk 1.63, 99% confidence interval 1.02 - 2.60). Penemuan ini setidak-tidaknya menyangkal pendapat bahwa konsumsi kopi atau kafein meningkatkanrisikopenyakit jantung koroner atau stroke. N Engl. J Med 1990; 323:1026-32 Hk
* Para pembaca yang berminat mendapatkan naskah lengkapnya - da/am jum/ah terbatas - dapal diminta melalui alama! redaksi.
Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991 59
Ruang Penyegar dan Penambah Ilmu Kedokteran Dapatkah saudara menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini? 1. Keadaan yang mendasari terjadinya payah jantung adalah sebagai berikut, kecuali: a) Insufisiensi katup aorta. b) Insufisiensi katup mitral. c) Stenosis mitral. d) Hipovolemi. e) Anemi. 2. Gejala klinik yang bukan merupakan tanda payah jantung ialah : a) Ortopnea. b) Hipotensi. c) Bradikardi. d) Kesadaran menurun. e) Sianosis. 3. Efek samping pemberian aminofilin yang harus diperhatikan ialah : a) Asistol. b) Arit_rni. c) Hipertensi. d) Hipotensi. e) Semua benar. 4. Obat yang tidak digunakan pada payah jantung : a) Morfm. b) Digitalis. c) Efedrin. d) Aminofilin. e) Furosemid. 5. Gejala gagal jantung pada bayi adalah sebagai berikut, kecuali : a) Kesulitan minum. b) Takikardip c) Hepatogemali. d) Splenomegali. e) Efusi pleura. 6. Gejala gagal jantung pada bayi/anak perlu dibedakan dari gejala penyakit-penyakit di bawah ini, kecuali : a) Bronkopneumoni. b) Asthma bronkial.
60 Cermin Dunia Kedokteran No. 67, 1991
c) Asfiksi neonatorum. d) Tetanus neonatorum. e) Hipoglikemi. 7. Gagal jantung yang diderita bayi sesaat setelah dilahirkan, biasanya disebabkan oleh : a) Hypoplastic Left Heart Syndrome. b) Ventricular Septal Defect. c) Patent Ductus Arteriosus. d) Aortic Stenosis. e) Pulmonary Stenosis. 8. Obat-obat dasar yang tidakharus tersedia pada team resusitasi lapangan : a) Adrenalin. b) Lidokain. c) Fenobarbital. d) Furosemid. e) Digoksin. 9. Faktor yang mengurangi keberhasilan tindakan di lapangan ialah : a) Hambatan lalulintas. b) Gejala tidak segera dikenali. c) Terlambat menghubungi rumahsakit. d) Semua benar. e) Semua salah. 10. Kontraindikasi pemberian obat penyekat beta adalah sebagai berikut, kecuali : a) Frekuensi denyut jantung lebih dari 100 kali/menit: b) Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg. c) Gangguan konduksi AV. d) Penyakit obstruktif paru. e) Riwayat asma bronkial.