Case Neuro Caca.docx

  • Uploaded by: Arlita Mirza Dian Prastiwi
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Case Neuro Caca.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,232
  • Pages: 27
LAPORAN KASUS TETANUS

PEMBIMBING : dr. Hj. Perwitasari Bustami, Sp.S dr. Eny Waeningsih, Sp.S, M.Kes

Disusun oleh : Arlita Mirza 1102013043

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI RSUD DR DRADJAT PRAWIRANEGARA

1

2

LAPORAN KASUS

I.

IDENTITAS Nama

: Tn. I

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 48 Tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Kp. Panyaweuyan

Pekerjaan

: Petani

Masuk Rumah Sakit : 5 Maret 2019

II.

ANAMNESIS Anamnesis dilakukan dengan alloanamnesis dan autoanamnesis pada tanggal 5 Maret 2019 sekitar pukul 15.30 WIB  Keluhan Utama

: Kaku pada perut dan punggung sejak 1 hari SMRS

 Keluhan Tambahan

: kaku pada leher, sulit membuka mulut, sulit menelan.

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUD dr. Drajat Prawiranegara Serang diantar oleh keluarganya dengan keluhan kekauan pada perut dan punggung sejak 1 hari SMRS. Kekakuan ini dirasakan terus menerus oleh pasien dan membuat pasien sulit untuk bangun dan berjalan. Keluhan kekakuan ini muncul secara tiba-tiba saat pasien sedang beristirahat. Pasien juga mengatakan bahwa pasien juga tidak dapat membuka mulutnya. Menurut keluarga pasien, 2 hari SMRS pasien sulit menelan, dan kaku pada leher. Kemudian tubuh pasien mengalami kekakuan pada perut dan bagian punggungnya. Satu minggu SMRS, pasien mengalami luka pada punggung kaki kiri karena terkena batang singkong yang tajam. Pasien langsung membersihkan lukanya dengan air, namun tidak segera diobati dan tetap bekerja di kebon singkong dengan kaki masih terluka keesokan harinya. Tiga hari setelah terkena batang singkong luka semakin basah dan terlihat ada nanah di dalamnya, pasien dibawa ke mantri dekat rumahnya untuk membersihkan luka tersebut, namun keesokan harinya kaki pasien bengkak. Oleh keluarga pasien kaki bengkak tersebut hanya dikompres saja. Kemudian perut pasien dan 3

punggungnya terasa kaku 1

hari SMRS dan pasien dibawa ke RSUD dr. Drajat

Prawiranegara Serang. Riwayat imunisasi tetanus tidak diketahui.

Riwayat Pennyakit Dahulu Tidak ada.

Riwayat Pennyakit Keluarga Tidak ada.

III.

PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum

: Sedang

Kesadaran

: Composmentis

Tanda-Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/90 mmHg Nadi

: 132 x/menit

Napas

: 22 x/menit

Suhu

: 36,8oC

Status Generalis Kepala

: Normocephale

Mata

: Edema palpebral (-/-), Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya (+/+), Pupil isokor

THT

: Pembesaran KGB pre/retroauricular (-/-)

Leher

: Pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), tidak ada peningkatan JVP

Thorax

:

Jantung : Inspeksi

: Iktus cordis tidak terlihat, sikatrik (-)

Palpasi

: Iktus cordis teraba

Perkusi

: Batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra, batas jantung kiri pada ICS VI 2 cm lateral linea

midklavikula

sinistra,

batas

pinggang

jantung

pada linea sternalis sinistra 4

Auskultasi Paru

: Inspeksi

: Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-) : Gerakan dada simetris kanan dan kiri

Palpasi

: Fremitus taktil (+/+), fremitus vokal (+/+)

Perkusi

: Sonor pada kedua lapang perifer paru kanan kiri

Auskultas

: Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi basah kasar (-/-), wheezing (-)

Abdomen

: Inspeksi

: Datar

Auskultasi

: Bising usus (+) di seluruh kuadran abdomen

Perkusi

: Timpani pada seluruh kuadran abdomen, batas atas hepar setinggi ICS VI linea midklavikula kanan, batas bawah hepar 7 cm ke arah kaudal dari batas atas hepar, shifting dullness (-)

Palpasi

: Defans Muscular (+)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, tampak luka pada telapak kaki atas kiri, warna kemerahan, pus (-)

Status Neurologis GCS : 15 (E4M6V5) Pupil :

5

Tanda Rangsang Meningeal Kanan

Kiri

Kaku kuduk

+

+

Brudzinski I

-

-

Laseque

< 70o

< 70o

Kernig

< 135o

< 135o

Brudzinski II

-

-

Status Lokalis (Pemeriksaan khusus) Inspeksi dan Palpasi Trismus (+) 2 cm Defans Muscular (+) Spasme (+) Opisthotonus (+) Rhisus Sardonicus (+) Kuduk kaku (+) Kejang rangsang (+) Kejang spontan (+)

6

Motorik Kanan

Kiri

Ekstremitas atas

5

5

Ekstremitas bawah

5

5

Ekstremitas atas

N

N

Ekstremitas bawah

N

N

Ekstremitas atas

N

N

Ekstremitas bawah

N

N

Biseps

(+)

(+)

Triseps

(+)

(+)

Patella

(+)

(+)

Achilles

(+)

(+)

Hoffman-Tromner

(-)

(-)

Babinski & Babinski Group

(-)

(-)

Kekuatan

Tonus

Trofi

Refleks Fisiologis

Patologis

7

Sensorik Kanan

Kiri

Ekstremitas atas

(+)

(+)

Ekstremitas bawah

(+)

(+)

Ekstremitas atas

(+)

(+)

Ekstremitas bawah

(+)

(+)

Ekstremitas atas

dbn

dbn

Ekstremitas bawah

dbn

dbn

Ekstremitas atas

dbn

dbn

Ekstremitas bawah

dbn

dbn

Raba halus

Nyeri

Suhu

Getar

Gait dan Koordinasi Romberg

Mata Terbuka

Mata Tertutup

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Kanan

Kiri

Disdiadokokinesis

(-)

(-)

Finger to nose

(-)

(-)

Heel to knee

(-)

(-)

Rebound Phenomenon

(-)

(-)

8

Pemeriksaan Saraf Kranial Kanan

Kiri

Normal

Normal

Visus

dbn

dbn

Lapang pandang

Baik

Baik

Warna

Baik

Baik

Funduskopi

dbn

dbn

M. Rektus Medius

Baik

Baik

M. Rektus Inferior

Baik

Baik

M. Rektus Superior

Baik

Baik

M. Obliqus Inferior

Baik

Baik

M. Levator Palpebra

Baik

Baik

V1

Refleks kornea +

Refleks kornea +

V2

Sensasi raba V1,

Sensasi raba V1,

V3

V2, V3 baik

V2, V3 baik

Motorik

Baik

Baik

Sensorik

Baik

Baik

Motorik

Baik

Baik

dbn

dbn

Menggesekan jari

Baik

Baik

Garpu tala

dbn

dbn

N. I N. II

N. III, IV, dan VI

N. V Sensorik

N. VII

N. VIII Vestibularis Cochlearis

9

N. IX dan X Arkus faring

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Refleks muntah

Sulit dinilai

Sulit dinilai

Pengecapan (1/3 posterior

Sulit dinilai

Sulit dinilai

M. Sternocleidomastoideus

Baik

Baik

M. Trapezius

Baik

Baik

Sulit dinilai

Sulit Dinilai

lidah) N. XI

N. XII

IV.

ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG  Hematologi rutin : Hemoglobin, leukosit, hematocrit, trombosit, GDS  Elektrolit darah

: Na, K, Cl

 EKG

V.

DIAGNOSIS  Diagnosis klinis

: Trismus, defans muscular, rhisus sardonicus, opistotonus, kuduk kaku.

 Diagnosis topis

: Neuromuscular junction

 Diagnosis etiologi : Tetanus Grade III

10

Grading Tetanus (1)

Ablett Score

Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett

Grade I (mild)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada penyulit pernapasan, tidak ada spasme, sedikit atau tida ada disfagia. Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang Grade II (moderate) namun singkat, penyulit pernapasan sedang dengan takipneu. Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama Grade III (severe) dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernapasan diserta dengan takipneu, serangan apneu, disfagia berat. Grade IV (very severe) Gejala pada Grade III ditambah gangguan otonom yang berat seringkali menyebabkan “autonomic storm”. Sumber: Cottle, 2011

VI.

PENATALAKSANAAN  Pemberian imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immune Globulin 3000-6000 unit IM single dose atau dengan pemberian Anti Tetanus Serum 10.000 unit IM yang didahului dengan skin test.  Pemasangan oksigen, NGT, Folley kateter.  Penghisapan oro/nasofaring dalam berkala.  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm.  Pemberian injeksi Metronidazole 3 × 500 mg.  Pemberian injeksi Diazepam 10 mg/hari IV.  Setiap kejang diberikan bolus Diazepam 1 ampul/IV perlahan selama 3-5 menit, dapat diulang setiap 15 menit sampai maksimal 3 kali.  Debridemand luka.  Rawat di ruang khusus untuk menghindari tindakan/perbuatan yang bersifat merangsang (rangsangan cahaya dan suara).  Saat pulang, diberi suntik Tetanus toxoid 0,5 ml (5IU) secara IM.

VII.

PROGNOSIS  Ad vitam

: Dubia ad malam

 Ad functionam

: Dubia ad malam 11

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-kejang otot rangka.1

II. EPIDEMIOLOGI Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat. Di negara berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus. Kematian tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun. Di bagian Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 19992000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003- Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.1 Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.1

III. ETIOLOGI Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada 12

lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit memiliki efek klinis.1

Gambar 1. Clostridium tetani(3,4)

IV. PATOFISIOLOGI Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat. Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara trans-sinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat. Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah vesicle-associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA).

13

Gambar 2. Patofisiologi tetanus(2)

Pada saat interneuron menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, 14

mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.1

Gambar 3. Patofisiologi tetanospasmin(3)

15

V. MANIFESTASI KLINIS Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90% penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan makin berat penyakitnya. Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas rhisus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.1 Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik, visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi sampai beberapa minggu lagi.1

16

Gambar 4. (a) Rhisus sardonicus, (b) trismus(4) Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.1 Pada

keadaan

berat

dapat

timbul

berbagai

komplikasi.

Intensitas

spasme

paroksismalkadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada vertebrathorakalis. Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan thromboemboli.1

17

Gambar 5. Cephalic tetanus(4)

Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett adalah yang paling banyak digunakan. Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score 18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat dengan mortalitas >50%.1

18

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan, berbicara, dan memori. Dukungan psikologis sebaiknya tidak dilupakan.

Gambar 6. Manifestasi klinis tetanus(3) Ablett Score(1) Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett

Grade I (mild)

Trismus ringan sampai sedang, spastisitas umum, tidak ada penyulit pernapasan, tidak ada spasme, sedikit atau tida ada disfagia. Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang Grade II (moderate) namun singkat, penyulit pernapasan sedang dengan takipneu. Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama Grade III (severe) dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernapasan diserta dengan takipneu, serangan apneu, disfagia berat. Grade IV (very severe) Gejala pada Grade III ditambah gangguan otonom yang berat seringkali menyebabkan “autonomic storm”. Sumber: Cottle, 2011

19

Tabel 1. Phillips score(1)

Tabel 2. Dakar score(1)

20

Grading Tetanus

Kriteria 1 : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, dan kekakuan otot tulang belakang. Kriteria 2 : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya. Kriteria 3 : inkubasi antara 7 hari atau kurang. Kriteria 4 : waktu onset adalah 48 jam atau kurang. Kriteria 5 : kenaikan suhu rektal sampai 100oF atau aksila sampai 99oF (=37,6oC)

Dari kriteria di atas, dibuat tingkatan derajat sebagai berikut: Derajat 1 : kasus ringan minimal 1 kriteria K1 atau K2, mortalitas 0%. Derajat 2 : kasus sedang, minimal 2 kriteria (K1+K2), biasanya inkubasi lebih dari 7 hari, onset lebih dari 2 hari, mortalitas 10%. Derajat 3 : kasus berat, adanya minimal 3 kriteria, biasanya inkubasi kurang dari 7 hari, onset kurang dari 2 hari, mortalitas 32%. Derajat 4 : kasus sangat berat, minimal 4 kriteria, mortalitas 60%. Derajat 5 : bila terdapat 5 kriteria, termasuk tetanus neonatorum dan tetanus puerpurium, mortalitas 84%.

VI. DIAGNOSIS Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifi sitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi.1 Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan rabies.1 21

VII DIAGNOSIS BANDING 

Strychnine poisoning.



Neuroleptic malignant syndrome.



Trismus dengan infeksi gigi.



Fraktur mandibular dengan gambaran klinis trismus.



Stiff-person syndrome (sangat jarang, sering dihubungkan dengan autoantibodi yang menyerang asam glutamate dekarboksilase dan gangguan autoimun lainya, terutama diabetes melitus tipe 1)



Rabies.5

VIII PENATALAKSANAAN Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis. Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme 7 Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus. Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular, sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000 IU(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary 22

aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara pemberiannya yaitu 20.000 IU antitoksin dimasukkan ke dalam 200 ml cairan NaCl fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus selesai dalam 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 IU) diberikan secara intramuskular pada daerah sekitar luka. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan 1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin yang belum memasuki sistem saraf 8 Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka. Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis) dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida, Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka. Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik8. Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Diazepam Antikonvulsan seperti fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena. Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani7. 23

Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping. Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis. Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium sulfat dan baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda Chvostek dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg diberikan selama 20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis motorneuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara langsung mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam beberapa kasus dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi Dantrolene belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak penelitian melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot yang tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen blokade neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat kardiostabil 6. Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia merupakan manifestasi utama. Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama 24

menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan termasuk klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis α2-adrenergik yang menurunkan aliran simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi multimodal tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan katekolamin dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap katekolamin. Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma harus dimonitor selama pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon paratiroid. Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi9. Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan

25

IX PROGNOSIS Penilaian prognosis merupakan salah satu komponen terpenting untuk melihat risiko mortalitas. Phillip score dan Dakar score telah diakui >40 tahun untuk menilai prognosis pasien tetanus. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah muncul gejala klinis pertama (9).

Faktor prognostik

Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus Skor 1

Skor 0

Masa inkubasi

< 7 hari

≥ 7 hari atau tidak diketahui

Periode onset

< 2 hari

≥ 2 hari

Tempat masuk

Umbilikus, luka bakar, uterus, fraktur terbuka, luka operasi, injeksi intramuskular

Penyebab lain dan penyebab yang tidak diketahui

Spasme

Ada

Tidak ada

Demam Takikardia

> 38.4oC

< 38.4oC

Dewasa > 120 kali/menit

Dewasa < 120 kali/menit

Neonatus > 150 kali/menit

Neonatus < 150 kali/menit

Sumber: Ogunrin, 2003.

Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut: 

Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%



Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%



Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%



Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Bauman RW. 2012. Bacterial Diseases of the Nervous System. In: Microbiology with diseases by body system 3rd edtion. USA: Pearson. pp. 607-11 2. Gorelick PB, Testai FD, Hankey GJ, et al. 2014. Tetanus. In: Hankey’s second edition clinical neurology. USA: CRC press. pp 441-3. 3. Harvey RA, Champe PC, Fihser BD. 2007. Clostridia. In: Microbiology 2nd edition. USA: Lippincot Williams and Wilkins. pp 155-6. 4. Hinfey PB. Tetanus. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview, 5. Laksmi NKS. 2014. Penatalaksanaan tetanus. CDK-22 vol 41 (22): 823-27. 8.

Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of Postgraduate Medicine. 2016;11(1):46-61.

6. Reddy P, Bleck TP. 2010. Clostirium tetani (tetanus). In: Mandell, douglas, and bennett’s principles and practice of infectious diseases 7th edition. USA: Elseviers. pp 3091-95 9.

Ross SE. Prophylaxis Against Tetanus in Wound Management. (Online). http://www.facs.org/trauma/publications/tetanus.pdf.

27

Related Documents

Neuro Case
June 2020 5
Case Neuro Caca.docx
June 2020 13
Neuro
November 2019 50
Neuro
April 2020 31
Neuro
June 2020 29

More Documents from ""

Surat Cuti Koas.docx
June 2020 16
Cover Case Caca.docx
June 2020 14
Case Neuro Caca.docx
June 2020 13
Cover Case Caca.docx
June 2020 15
Referat Ocd Caca.docx
June 2020 13
Status Ujian Caca.docx
June 2020 17