Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft 2004 biasawae.com
Carut Marut Tentangmu Sumber : Berbagai Sumber
!
"
Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft 2004 biasawae.com Selamat pagi, Pagi ini begitu bening dengan senyummu di pelupuk mata. Ternyata masih saja terus kurindukan senyummu. Mendekapmu adalah kenikmatan ketika energiku serasa mengalir deras. Bukan, bukan gairah yang meletup-letup, tapi mungkin cuma berupa getar carut marut seluruh perasaan kita pada saat itu. Barangkali kamu pun seperti itu sayang. Kemarin hampir sepanjang waktu aku seperti selalu tercium baumu. Parfum dan semua yang menguap dari tubuhmu. Apa yang akan kita lakukan setelah ini? Pertanyaan itu menderu-deru sepanjang waktu sampai saat ini, tanpa bisa kita jawab sempurna. Jika di satu waktu kita tahu bahwa tibalah segera saatnya kita segera merenggangkan genggaman tangan. Kita tak bisa bertahan dengan cara seperti ini. Jakarta sudah mengubah kita jadi semacam ini. Kota yang dulu di masa remaja tak pernah kita inginkan jadi tempat bernaung, sudah menyedot kita begitu kuat. Lihtlah hasilnya, bukan saja kediriian kita yang ikut terbawa, bahkan seluruh sumsum rasa dan cara berpikir kita pun menjadi begitu rumit. Dari masa lalu, kita tak lagi terlihat sederhana. Memandang diri kita sendiri saat ini dari masa lalu, akan membuat kita tampak begitu konyol dan egois. Cinta tak nampak bagai misteri sebenarnya, kita hanya terlalu naif memahaminya dengan penggal-penggal emosi dan kesadaran kita. Aku berangkat dari cita-cita, dari semua yang aku letakkan di atas idealisme dan harapan akan kesempurnaan. Juga ketika kudengar ceritamu, barangkali kamu pun tak jauh dari bayangan kanak-kanak kita yang sederhana dan selalu gembira. Beginilah kita jadinya. Aku belum mampu beranjak dari bibirmu yang terasa seperti buah plum ketika kusentuh. Kita sama-sama terpesona, bukan oleh apa yang ada pada diri kita. Yang dulu pernah begitu jauh dari angan-angan jadi begitu dekat. Dan entah energi darimana, membuatmu begitu hangat dan lekat. Sayangku, bukankah ternyata semua jadi tak sesederhana yang kita bayangkan? Kita mainkan sesuatu yang begitu indah di gigir jurang, sedikit saja sebuah batu terlepas, kita akan terjatuh. Tapi dengarlah, suara musik di lantai dansa seperti tak henti menggema di ruang hati kita. Aku tak sabar menyeretmu ke sana, dan kamu pun meliuk sempurna dalam nada. Aduh, apa yang terlintas di pikiran kita saat itu? Hujan menderas di jendela ketika senja mulai mengendap, dan tiba-tiba kita terhenyak. Bersisian kita menatap kejauhan, menatap lampu ruang yang meredup. Begitu ingin rasanya kubentangkan sayapku merengkuhmu lagi, membawamu terbang jauh dari deru Jakarta, jauh tinggi ke langit-langit mimpi masa kecil kita. Bibirmu begitu penuh ketika
Koleksi Artikel dari Biasawae Community Copyleft 2004 biasawae.com kusentuh, kali ini seperti sudah kita tanggalkan keluh ragu di belakang kesadaran kita. Hanya ada kita, berdua.Ada kalanya mimpi berlangsung hampir sempurna, seolah nyata. Atau bahkan kenyataan seolah bagai mimpi. Hampir tak ada beda, karena kita sama-sama tidak bisa memilihnya. Begitu ingin rasanya kita bermimpi indah, tapi toh kemudian kita hanya terbangun pagi tanpa apapun yang tersisa di kepala. Seluruh pengalaman itu kemudian kita larikan ke bawah sadar. Lalu ada kalanya "deja vu!", kita menemukannya lagi dalam mimpi yang lain, atau bahkan dunia nyata (apalah bedanya), sesuatu yang berkaitan dengan yang pernah kita alami. Malam selalu menarik karena penuh rahasia. Meski seluruh rahasia hanyalah milikNya, tapi kita diberi anugrah rasa sedih atau bahagia. Bahagia kadang begitu sulit digapai. Anehnya, orang bijak berujar, bahwa bahagia akan mendekat ketika kita mampu membunuh keinginan. Keinginan bukanlah dosa, karena Allah memberi hak kita untuk bekerja mewujudkannya, tapi kemudian hasilnya adalah sepenuhnya keputusannya. Ini berlaku untuk semua hal yang indah dan berharga. Juga cinta. Karena Dia bekerja dengan cinta, maka kita seolah ada. Kemudian kita seolah ada, jelas bukan karena kita berpikir seperti yang diucapkan Descartes. Kita tak pernah ada. Semuanya mutlak hanya Dia. Tugas kita hanyalah menafsir gerak daun jatuh, menafsir tiap embun yang menitik di lembaran daunnya. Akan selalu ada kata yang terlepas dari suasana. Sebab bukankah pada tiap tangkap selalu mungkin ada pula yang terlepas dari dekap? Ah, dengan konyolnya saat ini aku masih saja menyimpan harap pada apa yang kamu anggap tak akan pernah mungkin. Tidak apa, seperti kata seorang penyair, "kita tak memilih acara, pada angin runcing dan warna musim kau juga akan terbiasa, nasib telah begitu tertib..." Jakarta, Juni 2001 Semoga kurnia Allah atas senyum manismu