Cara Sosro Meracik Komunikasi Kamis, 12 Mei 2005
Oleh : Dyah Hasto Palupi
Karena terlalu bersemangat menggarap pasar baru, sebagai pemimpin pasar minuman teh Sosro lupa harus menyegarkan diri dan meningkatkan loyalitas konsumennya yang makin banyak pilihan. Akibatnya, sinyal bahaya itu kini sudah menyala. Lagi-lagi Tora Sudiro memantapkan debutnya. Setelah sukses dalam film Arisan dan dikenal sebagai bintang film ngetop banget, kini ia melaju menjadi bintang iklan sekaligus endorser produk minuman Frestea dari Coca-Cola. Dari iklan yang sedang gencar ditayangkan di layar kaca itu, tampak Frestea benar-benar menjadikan Tora sebagai perwujudan dirinya: muda, terkenal, kasual, berkualitas, dan gaya. Apalagi visual dan slogan citra (tag line)-nya yang menggelitik, Tora sambil berjalan santai minum Frestea dan mengatakan: “Ambil enaknya aja …!” -- sungguh Tora berhasil menggambarkan Frestea terlihat muda, segar dan dinamis. Langkah Frestea yang berani mengontrak Tora sampai Rp 500 juta, kabarnya karena ia kini sangat pede dengan performa produknya. Dalam waktu tiga tahun -- diluncurkan pertengahan 2002 -- ia berhasil meraup pangsa pasar 12% dengan nilai kapitalisasi sekitar Rp 200 miliar (2003). Sebagai pendatang baru, Frestea yakin dapat mengimbangi pemimpin pasar, Teh Botol Sosro yang diwakili Fruit tea, yang sudah eksis lebih dahulu -diluncurkan 16 Maret 1997. Bahkan, pada iklan baru Frestea itu, seperti mengingatkan cara Pepsi menggempur Coca-Cola dengan mengusung tema iklan Generation Next, hingga mendorong pemimpin pasar terkesan tua. Hal sama terlihat pada iklan Frestea yang mendorong Fruit tea menjadi merek tua, sementara dirinya selangkah ke depan dengan bertumpu pada sisi emosional dan gaya hidup. Fruit tea memang dilahirkan oleh produsen tua, PT Sinar Sosro. Dari tangannya, selain Fruit tea yang sudah berumur 8 tahun, lahir pula Teh Botol Sosro yang fenomenal dan sudah eksis 31 tahun. Teh Botol Sosro lahir berawal dari gagasan menjual air teh siap minum dalam kemasan botol dengan merek Teh Botol pada akhir 1969. Merek ini dipakai sengaja mendompleng merek teh seduh Cap Botol yang lebih dulu populer. Tahun 1970, pertama kalinya dibuat desain botol teh. Dua tahun kemudian desain botol diganti lagi. Itu pun ternyata hanya terpakai dua tahun. Bersamaan dengan didirikannya PT Sinar Sosro tahun 1974, dibuat pula desain baru botol Teh Botol Sosro yang bertahan sampai sekarang. Dari awal produk ini diluncurkan, memang sudah menjanjikan. Ia menawarkan kategori baru yang belum pernah ada di Indonesia, bahkan di seluruh dunia: teh siap minum dalam kemasan botol. Dalam istilah Subiakto Priosoedarsono, Presdir Hotline Advertising, dinamai remarkable selling proposition. Kendati risikonya Sosro harus mengedukasi pasar habishabisan sebelum saluran distribusi mau menerimanya, sebagai kategori produk baru, Teh Botol Sosro berpeluang besar diterima pasar. “Saya ingat, saya mengusulkan kepada Pak Tjipto (Soetjipto Sosrodjojo, adik kandung Soegiharto Sosrodjojo (pendiri) yang dikenal sebagai sang inovator -- Red.) untuk memproduksi teh dalam kemasan botol (beling),” ungkap Subiakto yang pada awal 1970-an itu melihat banyak anak sekolah membawa teh botol (beling) dari rumah. “Saya yang menciptakan bentuk botolnya (yang pertama) dan logo teh botol,” cerita Subiakto. Kesadaran akan produk dan pentingnya komunikasi bermula dari sini. Teh Botol Sosro pun perlahan-lahan mengomunikasikan diri. Tahun 1975-an, ia memperkenalkan slogan citra pertamanya: Pelepas dahaga asli. Slogan ini berhasil menarik peminum baru teh botol, sebagai alternatif pelepas dahaga. Walaupun, mulanya banyak konsumen yang menganggap aneh -- teh kok dibotolkan -- ternyata makin lama makin diterima pasar. Penerimaan pasar memberanikan Sosro lebih kencang berkomunikasi. Menggandeng Matari Advertising, biro iklan yang sampai sekarang -- sepanjang umur Sosro -- bersamanya, dibuatlah slogan citra baru: Hari-hari teh botol -- berikut dengan jinggle lagunya yang enak didengar (Hari-hari panas, hari-hari dingin, hari-hari teh botol) tahun 1985-an. Tidak ada data penjualan yang diperoleh untuk mendukung pertumbuhan Teh Botol waktu itu. Hanya dalam sebuah booklet: Tea Hi Story, Soetjipto Sosrodjojo yang sering bertugas sebagai juru bicara berterus terang, Teh Botol yang awalnya ingin mendompleng teh Cap Botol yang waktu itu sedang laris, ternyata jauh lebih laris dari teh Cap Botol. “Semua itu tidak disengaja. Suatu kebetulan belaka: dikemas dalam botol, bermerek Teh Botol. Dan baru satu-satunya di dunia,” tulis Soetjipto.
1
Barangkali yang bisa menjadi indikasi laris manisnya Teh Botol adalah munculnya pemainpemain baru di awal 1980-an yang ingin menikmati lezatnya pasar teh botol. Selain produsen lokal, perusahaan multinasional Coca-Cola datang dengan Hi C, serta Unilever dan Aqua memunculkan Lipton Tea. Akibat banyaknya merek produk teh dalam kemasan botol, terjadi salah kaprah dalam penyebutan. “Teh Botol menjadi generik seperti Kodak, Gillette, dan sebagainya,” tulis Soetjipto. Hal itu pula yang membuat manajemen Sosro ketar-ketir, walaupun ia sudah menjadi pionir sekaligus pemimpin pasar. Apalagi, sepanjang akhir 1980-an hingga awal 1990-an, ia vakum dari kegiatan komunikasi periklanan -bersamaan dengan dilarangnya TVRI menayangkan iklan. Babak baru komunikasi Sosro dimulai lagi tahun 1994, tepat menyongsong 20 tahun kelahiran Sosro. Setelah lama tiarap, ia kembali menghubungi Matari, agensi pertama yang sudah dikenalnya. Ketika datang ke biro iklan itu, objektif Sosro ada dua. Pertama, mengganti nama generik Botol menjadi Sosro. Nama Sosro dipatenkan sebagai merek induk, sekaligus sebagai merek penguat (umbrella brand). Objektif kedua, meremajakan kembali target pasar Teh Botol Sosro yang sebelumnya sangat umum -- penggemarnya cenderung orang dewasa ke arah tua -- menjadi lebih muda. Ada analisis dari manajemen Sosro, kalau dibiarkan begitu saja, generasi penggemar teh Sosro yang fanatik akan habis. “Target pasar ini kalau tidak diremajakan akan habis, sementara yang muda-muda, kalau tidak digarap akan ditangkap oleh Pepsi atau Coca-Cola,” ungkap sumber yang turut dalam penggodokan komunikasi Sosro ''baru''. Satu temuan lagi, bahwa di kalangan anak-anak muda waktu itu, belum ada pilihan tetap sesudah makan -- apakah air putih, teh, softdrink, atau yang lainnya, semua belum jelas. Maka, pada awal November 2004 dibuatlah iklan promo Teh Botol Sosro yang menandai kelahiran kembali komunikasi Sosro. Dalam poster promo pertama yang dibuat dalam rangka menyambut 20 tahun Sosro, dibuka dengan kata-kata lucu: Hai sobat muda, ketemu lagi, yang diikuti headline: Tutup botol ini bernilai ratusan juta rupiah! Untuk ukuran waktu itu, hadiah Sosro memang termasuk istimewa: dua Toyota Starlet, 20 CD Compo Sony, 20 Discman, 200 sepeda Federal, 200 arloji Swatch, dan 2 ribu T-shirt. Setelah melakukan pemanasan promo undian berhadiah (1994), mulai bergulir iklan-iklan tematis Sosro dari tahun ke tahun. Slogan citra Hari-hari teh botol berhasil diubah dengan mulus menjadi Hari-hari Teh Sosro. Tetap meraih pasar anak muda, jinggle teh botol yang sudah diterima khalayak luas itu, diubah lebih manis, tanpa mengubah soul-nya, oleh tim Matari yang baru. “Saya yang membuat liriknya, sementara pengarah musiknya oleh Dotty dan Damai (Two Days),” kenang Bambang Waluyo, yang pernah menjadi pengarah kreatif Sosro di Matari Advertising. Bambang mengaku, sangat terkesan dengan proses kreatif yang dilaluinya ketika membangun merek Teh Botol Sosro waktu itu Ia ditugasi untuk mencegat laju softdrink dan menjadikan Teh Botol Sosro bukan hanya minuman sehari-hari anak-anak muda, melainkan juga minuman yang bisa diminum kapan pun. Maka, dibuatlah TVC baru dengan jinggle yang syairnya baru pula, berbunyi: Hari selalu berganti, panas dingin ku tak peduli. Siang malam selalu oke, hari-hari Teh Botol Sosro. Iklan TV versi day to day yang dibuat Maret 1995 dalam berbagai latar musik ini -- yang paling ngetop latar musik Samba -- seingat Bambang mendapat sambutan hangat. Permintaan Teh Botol Sosro meledak, dan awareness iklannya sangat tinggi. Survei yang dilakukan PT Surindo Utama Januari 1996 memperlihatkan, awareness Sosro mencapai 93%, Lipton 17%, 2 Tang 13%, dan Hi-C 2%. Ketika responden ditanyai versi iklan Sosro yang mana yang diingat, maka versi day to day paling banyak diingat (73%), diikuti iklan kemerdekaan Indonesia 50 tahun (26%), iklan versi pantai (25%), dan sisanya iklan ultah 25 tahun Sosro (10%). Ada perubahan peta pasar minuman teh botol di tahun 1995-96. Kala itu lahir Tekita dari perut PT Pepsi-Cola dan Grup Salim. Kehadirannya cukup mengguncangkan karena didukung oleh perusahaan besar, punya diferensiasi kuat -- isi 300 ml, sementara Teh Botol Sosro cuma 220 ml -- serta punya modal besar. Diakui atau tidak, kehadiran Tekita pasti bertujuan menggerogoti Teh Botol Sosro yang sudah menguasai 70% lebih pangsa pasar minuman teh dalam botol. Rupanya Sosro punya cara “berbeda” menjawab tantangan pasar. Ia tidak mengutak-atik Teh Botol Sosro yang dianggap sudah bagus dan aman di pasar. Yang dilakukannya adalah membuat merek baru: S-tee yang kemasan botolnya lebih besar, seperti halnya Tekita.
2
“S-tee dibuat sebagai fighting brand Sosro menghadapi Tekita,” ujar Bambang Bhakti, mantan profesional PT Multi Bintang Indonesia dan Coca-Cola. Menurutnya, Sosro pantang terlibat pertempuran langsung. Ia lebih suka mencarikan arena permainan baru bagi pesaing-pesaingnya. Itu sebabnya, S-tee pun tidak diproduksi besar-besaran. Ia hanya ditugasi menggempur produk pesaing (Tekita) di tempat-tempat tertentu, yakni: Jabotabek, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Yang justru dilakukan Sosro sebagai bentuk pertahanan dan perlawanannya adalah mengembangkan komunikasi baru, dengan mengedepankan slogan sebagai payungnya merek: Aslinya teh, tahun 1996. Menurut Bambang Waluyo yang kini Wakil Pengarah Kreatif (Associate Creative Director) Tactic Communications, pada masa itu gempuran pesaing memang luar biasa. Teh Botol Sosro dihajar dari kiri dan kanan. Hampir semua pesaing makin cerdik berkomunikasi dan merangkai kata-kata. Tekita, umpamanya, menawarkan slogan: Tekita adalah teh kami. Kejadian ini membuat Sosro harus mengatakan, biarpun banyak merek teh botol bermunculan, yang asli adalah mereknya, Teh Botol Sosro. “Tujuannya adalah mengatakan, bolehlah semua berbisnis teh, tapi Sosro benar-benar jual yang asli,” ungkap Bambang Di satu sisi, munculnya merek-merek baru membuat Sosro harus waspada, tapi di sisi lain mengajarkan Sosro untuk membangun portofolio merek yang solid. Hal itu diwujudkan dengan kemudian meluncurkan Fruit tea (16 Maret 1997) yang kini memiliki 9 rasa dalam kemasan genggam, dan tiga rasa dalam botol. “Fruit tea jelas ingin menggarap anak-anak muda,” Bambang Bhakti memastikan. Setahun kemudian, September 1998, lahir teh celup Sosro yang mulai diiklankan secara gencar. Lahirnya produk-produk baru ini menginspirasi Sosro untuk membuat payung korporat yang lebih sahih, yakni: Ahlinya teh. Format payung korporat ini diluncurkan tahun 1997, dan menandai keinginan Sosro berkembang lebih besar. Ide yang muncul bahwa Sosro adalah ahlinya teh, sehingga Sosro berhak meluncurkan produk-produk lain yang berbasis teh: permen, kopi, air mineral, dan sebagainya. Baik slogan citra Aslinya teh maupun tema korporat Ahlinya teh – keduanya masih digunakan sampai sekarang. Tidak jarang, dalam rangkaian iklannya, muncul pesan komunikasi: Asli dari sang ahli, yang bertujuan memperkuat positioning. Dan payung korporat ini digunakan untuk seluruh kampanye komunikasi produk-produk Sosro. Upaya komunikasi Teh Botol Sosro sendiri, yang pasarnya cenderung stagnan di awal 2000-an agak dikendurkan, sementara ia memberikan kesempatan kepada adiknya, terutama Fruit tea untuk mengembangkan diri. Tentu, penyebabnya adalah lahirnya Frestea yang menggebrak di 2002 Simon Jonatan, CEO Brandmaker, menilai, dalam mengomunikasikan Fruit tea, Sosro terlihat ragu-ragu memperkenalkan teh dengan rasa buah itu. Padahal, dari berbagai segi, banyak hal yang bisa disampaikan dan menjadi keunggulan kompetitif Fruit tea. Pertama, kemasan genggam (tetrawedge) adalah kemasan pertama di dunia yang diperkenalkan Tetra Pak (Swedia) untuk Sosro dan diekspor ke luar negeri. Kedua, varian rasa yang unik, mulai jambu, strowberi, leci, hingga 9 rasa yang lain, merupakan keunggulan Fruit tea yang tak dimiliki merek lain. Ketiga, harga jual yang mahal di awal peluncuran Rp 2.000/bungkus, bisa menempatkan Fruit tea sebagai minuman teh premium. Berbagai keunggulan ini tidak digali lebih intens oleh Sosro. Padahal, menurut Simon, dengan kampanye komunikasi Sosro yang begitu-begitu saja, sudah terjadi pertumbuhan pasar lebih dari 10%, melebihi pertumbuhan industri yang mencapai 6%-7%. Apalagi jika komunikasinya digarap lebih baik, pasti ada lonjakan yang berarti. Kehadiran Frestea yang didukung oleh perusahaan multinasional, diyakini Simon, bakal mengubah peta pasar minuman teh dalam kemasan. Buktinya, Frestea, menurut data AC Nielsen terus mengalami lonjakan pertumbuhan. Data 2003, ia tumbuh 12%. Bagaimanapun, Teh Botol Sosro sudah sangat tua, sementara konsumen baru sudah disergap oleh Fruit tea dan Frestea. Apa yang kemudian dilakukan Teh Botol Sosro? Yang pasti, ia mengubah tag line menjadi: Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro. Kampanye baru yang dibuat tahun 2002, terlihat berbeda dan menggeser objek target pasar: bukan lagi remaja, tapi keluarga. Menurut Bambang Waluyo, pergeseran komunikasi Sosro adalah wajar, karena mungkin adanya pergeseran segmen audiens. “Saya melihat, setting-nya keluarga (restoran), ada anak-anak dan bapak ibu, sementara remajanya berkurang,” ujar Bambang yang tidak terlibat lagi dalam proses kreatif. Ia menduga, remaja difokuskan ke Fruit tea dan Sosro dikembalikan ke keluarga, untuk segala umur.
3
Selain memperkenalkan tema baru Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro, Teh Botol Sosro juga menggencarkan program promosi. Salah satunya yang terkenal program promosi Struk Rezeki Teh Botol. Kegiatan yang dilangsungkan September 2004 ini, menurut manajemen Sosro merupakan bentuk lain strategi kampanye dengan target audiens konsumen Teh Botol Sosro. “Program ini bertujuan mengapresiasi konsumen dengan undian berhadiah,” katanya. Apa pun namanya, Simon menilai, bahwa apa yang dilakukan Teh Botol Sosro selama ini sekadar mengakuisisi konsumen. “Sosro terus mencari market share, tanpa ia melakukan edukasi pasar,” kritik Simon. “Sepantasnya, sebagai pemimpin pasar, Sosro berbuat seperti Aqua yang tetap melakukan edukasi pasar dengan sangat baik,” lanjut Simon, yang justru melihat yang banyak mendidik peminum teh adalah Sariwangi (Unilever). Apa yang terjadi, lewat kampanye komunikasi dari tahun ke tahun, Sosro hanya berorientasi memperbesar pasar. Bahkan, promo-promo yang dilakukan, juga memperkuat tujuan mendongkrak penjualan. Menurut Simon, seharusnya Sosro melakukan turning buyer into believer. Bahwa Sosro harus bisa menjadikan pembeli percaya kepadanya. Sebab, loyalitas konsumen tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dengan ketatnya persaingan saat ini, peminum Sosro berisiko mudah diakuisisi merek yang lain Maka tidak mengherankan, strategi pemasaran Sosro saat ini cenderung pada penguasaan channel. Sosro, misalnya, menjalin kerja sama dengan resto dan food court untuk penjualan produknya. Ia melakukan co-bundling di beberapa resto terkenal, seperti KFC, Hoka-Hoka Bento, Bakmi GM, dan lainnya. “Cara semacam itu sebenarnya melanggar aturan,” komentar Simon. Pasalnya, secara tidak langsung, Teh Botol Sosro melakukan monopoli. “Dan yang lebih penting lagi, cara itu sebenarnya tidak bisa mengangkat ekuitas merek Sosro, justru membuat orang tidak suka kepadanya,” Simon menambahkan. Walaupun Simon mengkritik pedas langkah komunikasi Sosro yang menurutnya “berbahaya”, di sisi lain ia mengakui, secara merek, Sosro berhasil mengukuhkan diri sebagai merek lokal yang melegenda. Pujian ini diamini Subiakto, yang menurutnya, hanya sedikit merek lokal yang mampu membangun ekuitasnya dengan baik. “Sosro bisa masuk di dalamnya,” kata Subiakto. Elwin Mok, Pengarah Kreatif XCR menilai, keunggulan komunikasi Teh Botol Sosro adalah kemampuannya memakai pernyataan yang sangat riil dalam masyarakat. “Suasananya down to earth dan pendekatannya sangat lokal,” ujarnya memuji slogan terakhir Teh Botol Sosro: Apa pun makanannya, minumnya Teh Botol Sosro. Menurut Elwin, yang menguntungkan Sosro, secara riil ia memang pemimpin pasar. Sebelum jargon itu ada, di lapangan memang demikian kenyataannya. “Sehingga kekuatan jargon ini bisa menerjemahkan apa yang benar-benar terjadi di dunia nyata. Dan itu semakin memperkuat merek dia,” ujarnya. Dr. Ir. H. Ujang Sumarwan, Msc., pakar perilaku konsumen dan Direktur Akademis Magister Manajemen Agrobisnis IPB membenarkan. Menurutnya, ekuitas merek Sosro saat ini sangat baik. “Itu dicirikan dengan penguasaan pasar dan popularitasnya,” kata Ujang. Namun, lanjutnya, masih dibutuhkan waktu lebih lama lagi untuk membuktikan merek ini melegenda. Yang terpenting bagi Sosro, Ujang menyarankan, selain membangun merek, harus juga terus melakukan regenerasi. “Kalau luput menggarap konsumen generasi muda, akan diisi merek lain. Berbahaya,” ucapnya. Dan yang tak kalah penting adalah memahami perkembangan zaman, termasuk kepedulian masyarakat terhadap kesehatan. Konsumen akan mencari tahu, apakah yang dikonsumsinya ini benar-ebnar aman. “Kalau konsumen menemukan sesuatu di luar dugaan, habislah bisnis dia,” Ujang menegaskan. Perlu diperhatikan juga oleh Sosro, masyarakat Indonesia ke depan akan semakin makmur. Suatu saat akan banyak kalangan konsumen yang mulai memperhatikan kelebihan kalori. Mereka akan mengurangi konsumsi gula, sehingga orang akan mulai meninggalkan minum teh yang manis. Nah, tidak perlukah Sosro membuat produk baru?
Sumber : http://www.swa.co.id/swamajalah/sajian/details.php?cid=1&id=2662
4