Buron Cantik Janji 20 Tahun

  • Uploaded by: Hakiki Akbari
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buron Cantik Janji 20 Tahun as PDF for free.

More details

  • Words: 7,981
  • Pages: 58
BURON CANTIK Seberkas catatan tentang Cinta, Persahabatan, dan Perjalanan Sebuah janji 20 tahun

GITA CINTA Petir itu ? Hilang Nafas dan aroma malam yang berdamping Lelah dan amarah yang bersenyawa Menyanyikan kehancuran untuk yang keberapa kalinya Mendatangkan penyesalan yang terus disesalkan Hilang …. Datang …. Dan katakan rambu mana yang dipatuhi Yang dijalani Yang dipilih Untuk berjalan Mencusuar itu redup Mungkin tak lama akan mati Tapi jangan ? Masih ada yang butuhkan Aku …. Beri arti perjalananku Jangan serukan terlanjur Kaki belum lumpuh Belum rapuh Aku punya tekat, hasrat, niat dan nekat.

28 FEBRUARI Asap merong-rong Hentak kaki, musik dan lampu warna-warni Maskara, sedo, bedak dan alis mata Tubuh bengkak Dada sesak Kepala berjasa menopang raga Air mata, patah asa dan bibir ternganga Jerit histeri dan selapan sosok biri-biri Mimik buram, temaram Meniti hayalan sebuah impian Kesombongan membekukan persingan Demonstran festifal pembawa sial ….. gagal …. Total Sebal, mual, kesal, semakin tebal, semakin kental Disebuah gedung putih mengadu kreasi Mendongak pada delapan batas terali penyesalan Ketika lutut lemas dimimbar pentas Ketika gemetar punggung diatas panggung Melarikan diri dari jerat jelinya mata juri Oh gusti nu maha suci Burak …. Elak dan teriak semakin membengkak Kuyu, layu, sayu dan malu Entah kekhilafan atau kealpaan Pengorbanan Pelajaran Pengalaman Dari sebuah pagelaran Yang memuakan dan mengesankan KISAH SEPASANG INDUK SEMANG Kemelut mengunjungi seluruh ketentraman Dan kadang-kadang kabut ikut melintas di istana yang megah Para budak menjilati telapak kaki tuannya yang tak kunjung bersih

Akankah esok pagi kau akan mengusap mendung yang kian merayap Kemelut nyaris mencabut nyawa robot-robot dunia Mata berubah menjadi senjata Dan berusaha berdiri diatas duri-duri lambang kebodohan Apakah kesabaran bisa menjadi darah daging Atau senyawa yang mengental Kisah sepasang mahluk yang lalai akan amanat Bagai induk semang kehilangan bulunya Hingga pribadi dan harga diri tidak lagi bisa berkhotbah Lebih baik hidup jauh atas nama diri sendiri Dari pada terus merayu emosi Sebenarnya ingin menunaikan bakti Tapi bagaimana jika yang terbaik telah bicara ? DOSA DAN DO’A Dunia sudah tua Dimana sembah sujud disambut curiga Dimana maaf telah lagi tidak lagi murah Untuk pahit dan getirnya senyum Ludah serasa getah Dan setiap saat akan muntah Bersama makanan dan minuman yang selama ini ditelan Dan oendidikan yang belum ada oembuktian Tidaklah semuaalan bersama Sebagai perwujudan segala harapan Kesalahan adalah pelajaran

Bagaimana dapat dikatakan bijaksana jika pelajaran disamakan dengan ganjaran ~~~~ Hasil hambar dari perjuanbgan tidak seimbang Jangan disesalkan Takdir selalu bicara apa adanya

FALS Sore itu dikeramaian metropolitan Imngin menyaksikan aliran jiwa yang menjadi idola Bersama sebelas konco-konco yang bernasib sama Bis kota yang membawa seakan sesak dari nafas-nafas kotor Berjalan pada kepadatan manusia-manusia di dunia yang mabuk Sementara para mata menemukan keganjilan Manusia seperti sampah atau limbah industri yang tak berguna Berduyun-duyun mendekati gerbang sempit sambil memaki menginjak, mendorong, menyerbu, menyopet. Seandainya permata tidak di bawa tentu takkan bingung memegangnya Setelah terjepit diantara amarah yang berbaur Mengumpat, memaki, robot berpangkat dan berbaju hijau Memamerkan wajah yang garang sebagai tanda kuasa dan wibawa Kemudian berhasil dengan sesak dan keringat Masuk di sebuah stadion yang hingar bingar Dengan musik awal yang tak banyak mendapat sambutan Kericuhan terjadi di mana-mana Dan manusia-manusia yang memperagakan keberanian yang berlebihan Mereka tak punya prestasi Mereka tak percaya diri, kalau ada yang mereka bisa selain sensai Berkelahi sambut menyambut Telanjang diatas pagar mendemonstrasikan kebodohan Menaiki tiang bendera yang tinggi Berjalan ditiang tiang atap yang kokoh Membakar, menyerbu Mendobrak pagar besi Memasuki kelas exekutif dengan emosi Kasihan !!!! Dan ketika langit gelap Lampu-lampu dinyalakan, mengawali serentetan pertunjukan akbar Sang idola datang bersama gemuruh musik, tari, lagu dan pusisi Bersama sinat spektakuler yang memancar bersinap berputar-putar Mengakhiri segala sensasi Semua terdiam mengikuti arus pelampiasan emosi Menumpahkan segala gelisah Berteriak, mengeluarkan amarah yang selama ini tersekat Bersorak, memuntahkan segala tuntutan yang lama terpendam Lenyap suara gaduh, lenyap suara berising …. Gelap Dan berpancaran sinar korek api bagai ribuan kunang-kunang Seakan penonton mengikuti seorang kondaktur yang dipuja dan dihormati Yaitu kekaguman Gemuruh datang lagi Memancing untuk mengaktipkan kembali pita-pita suara yang karatan Seakan bersaing siapa yang keras, siapa yang kuat Dalam usaha melupakan sejenak segala beban, segala penderitaan Dada terasa kosong Keluarkan segala resah, lelah, jengah, marah dan gelisah

Sebelum berjalan pulang tinggalkan keramaian

AWAL DARI SEGALA AWAL Berawal dari mata bening penuh harap Dengan ribuan kejujuran yang disajikan Bersama kesetiaan yang digenggam terus dan terus Dan bahagia bila lengan mampu membelai air terjun yang turun deras Kaki mungil berusaha berjalan diatas cadas yang beringas Masih saya percaya bahwa dunia itu seramah dan sepolos wajahnya Lengannya tak bosan meraih buih pada gelombang di tepi pantai Senyum selalu membentuk di bibirnya yang tak mengerti kejamnya dunia Sendiri di tengah gurun panas bersama pasir yang bagai bara pijar si terpa sinar Namun terus jalan ditempuh mengharap ada kerangka kerang yang lebih bagus di tepi sana Lantangnya lugu Cintanya tulus Tak tau bahwa dunia tak kenal lagi kata percaya Percaya adalah suku kata baku yang enggan dipakai karena banyak yang tak mengerti Percaya bagaikan nilai jam murahan yang disangsikan kebenarannya Disela keringat dan lelah yang terus mencambuk rasa cintanya Kepada orang tuanya, saudaranya, teman-teman dan kekasihnya Terus digenggam kepercayaan dan kesetiaan Menginginkan agar cintanya akan saling beriring kesatrian dan wibawa Namun apa yang ditemukannya ? Seuntai cinta yang dilampirkan sepanjang usia belia Secercah gejolak sebagai bekal mencapai gelak tawa yang renyah Redam bersama telapak kakinya yang terkelupas menahan panas Bersama air mata tanpa isak yang turunmenutupi pandangan anganangannya Bersama dahaga yang kering tertahan sampai tawa merengkuk jiwanya Bersama keringat sebagai saksi tubuh yang lelah merintang jarak Bersama kobaran harapan yang padam tersiram air yang teramat dingin Karna sebuah kata penghianatan yang terulang dan terulang Hingga ia bosan Kebosanan yang menjadi phat bagi dendam yang lunak Kemudian, mengeras, membakar, menyala lalu membara Membentuk kobaran dari lidah seekor naga yang tergugah dari istirahat panjangnya Kemudian tertelah dan tersimpan dengan keyakinan suatu waktu akan terjulur walaupun menahan mual dari padanya Menyusun langkah yang memihak pribadi secara mutlak Disuguhkan kepalsuan dengan harapan lingkungan dan manusia tidak mengenalnya Dan terkecoh akan dandanannya Kepada mereka yang tidak punya peran dalam skenario hidupnya Mata berubah tajam Bibir terkatup tertutup dari senyum ramah yang menjamah Telinga berdiri berjaga-jaga d batas pagar penjara Wajah kalu dengan seribu guratan sebagai cacat dari pengembaraan

Mereka-mereka yang dicintai, dikasihi dan disayangnya Dirinya, tuhannya dan sahabatnya.

SIMPONI PAGI Cinta adalah debaran jantung Cinta adalah desiran hati Cinta adalah adonan yang berbumbu cemburu Cinta adalah anugrah Cinta itu adalah anugrah Cinta itu indah Cinta itu pahit Cinta itu kejam Cinta bisa membuat orang menderita Cinta bisa membuat orang bahagi Cinta bisa membuat orang takut menghampirinya Cinta bisa membuat orang jera Cinta bisa membuat orang gila Tahun yang lalu Pernah ada cinta diantara bangku sekolah yang berjanji menjadi saksi Disana pernah ada tawa yang benar-benar tawa Disana pernah ada bicara diantara mata-mata curiga Disana pernah ada cerita diantara mereka yang tak tau apa-apa Disana, yang tau hanya berdua Tak ada yang mengerti arti dua pasang mata sedang bicara Di jumpa pertama aula SMA Satur Direntetan kisah cerita kelas satu tujuh Diantara pena, buku, bola dan kata-kata Dianatar lukisan Diantara jendela-jendela tanpa tirai Diantara dering telepon yang datang Diantara kepura-puraan, kegelisahan, kebahagiaan dan keacuhan yang terus berpegang Mata, berikan suatu makna kejujuran Mata, berikan apa yang selalu jadi pikiran Berikan suatu dorongan sesaat jadi pikiran Berikan suatu dorongan sesaat sebelum dimulai pertunjukan Berikan arti senyuman diantara nyanyian dan tarian Berikan salam diujung kesuksesan Dan kita tak pernah perduli pada mereka

Ketika bersama di rumah Ketika bersama di sekolah Ketika bersama di pesta Ketika bersama di penataran Ketika bersama di jalan Ketika bersama di swalayan Ketika bersama di sebuah pertunjukan Bercerita dan bercerita Tentang suka duka Tentang keluarga Tentang coklat kesukaan saya Tentang pesawat kesukaannya Tentang binatang kesukaan kami berdua, kura-kura Namun tak ada kebahagiaan tanpa kesedihan Tak ada perjumpaan tanpa perpisahan Di ujung malam, kala terakhir kita berdua berjumpa Tak ada air mata kala aku berkata “cukup cerita kita” Tak ada kata-kata lagi kala jabat tangan erat mulai meregang Memang tak perlu kata-kata karena mata kita takan berdusta Memang tak dapat pungkiri kalau diantara kita ada seorang wanita yang sama-sama kita puja Kita sama-sama terpaku, terancam waktu Diatas pasir dan rumput yang seolah ikut serta dalam suasana Ditempat mengalir air hujan yang membasahi kita saat itu Diantara batang-batang pohon besar yang memagar Dihela hembus angin malam yang dingin Awan hitam bersama malam akhir sebuah kenangan Yang ditandai sederet kata yang kuucapkan Disertai sinar matamu yang menyelami sembariku Biar aku yang pergi tianggalkan kamu Biar cinta yang kutitipkan padamu selamanya Jangan jajaki langkahku Jangan susul aku Jangan antar aku, seperti sedia kala Biar aku sendiri kembali Biarkan aku sendiri nikmati malam ini Hanya satu pintaku

Jangan lupa kalau kita pernah saling menyinta

KISAH BOCAH Tuhan … Bagai sejengkal luas dunia ini bagiku ataukan memang sejengkal luasnya Bocah titipanmu Yang berusaha beranjak dari pojok keterpaksaan dengan tertatih menggenggam secuil kemampuan dan membopong sepedati kepengecutan menghadapi semut berjubah macan Ach … Bocah itu berwajah tua renta dan beruban menghadapi kenyataan mata kuyu menantang rembulan Sayu hampir hilang dijejal kemunafikan kuku panjang hitam mencakar gumpalan awan hingga robek dan berdarah mengotori dunia rawan Tuhan … Masih kau picingkan matamu tuk memandang atau hanya mendamba kemustahilan Bocah pucat berjingkat menuju jerat dan biarkan tubuh tersekat dihinggapi beribu lalat tatkala sekarat hingga penat melaknat Tuhan … masih kau ingat bahwa kau pernah menghadirkan bocah itu ke dunia ? atau hanya iseng memanfaatkan sisa Hei bocah … masih ingatkan kau bahwa kau sedang hidup didunia ? Atau kau anggap ini alam kedua dari neraka mungkin tak lama lagi banjir akan tiba dimusim kemarau ini mungkin samudra akan kering dimusim ini dan mungkin es dikutub selatan akan mencair dizaman ini kemungkinan yang mengambang dialam khayalan kemungkinan yang hanya ada dalam kemungkinan Hei bocah jangan kau bertumpu pada kemungkinan Karna kemungkinan tidak menjamin keyakinan

ARCA PUJANGGA

Hei … Arca pujangga yang maha megah mengintip gempa dengan senyum merekah Sebuah mutiara terenyuh menilik karang ditengah lautan teduh tegak tegar tegap tanpa suara tanpa kata-kata namun cahaya dapat terengkuh juga Aneh Katulistiwapun menyempit karenanya langitpun berlipat karenanya namun sempat pula meniti kerang menculik mutiara Hei acra pujangga … Adakah magnit alam bersenyawa ataukah mukjijat yang mendakwa sejuk menikam ulu hati dengan jemari Do’a mendidih perih menghujam deretan mimpi dan unjuk jari mencibir kerdilnya hati Hei arca pujangga … jelmaan pasukan dewa titisan pangeran terpuja memaksa mutiara berlayar arungi lautan dimata lelah resah tertidur dan mendengkur disudut dunia Hach … Sungguh angkuh tubuh penuh peluh syair tak jua terengkuh Hei arca pujangga … Mutiara kau timang ditepi jurang Mutiara kau timan diujung pedang hingga retak membayang Ternyata … Hukum karna tengah berselang

KUMUH 2x Dentang jam dinding berunyi Aku menelusuri lahan suci Bagai menyayat lapisan kulit ari Aku berjalan diatas aspal kemurnian Ketika air hujan menetas sebelum menguap menjilat dahaga entah karena apa Satu-satunya yang kutau yaitu bayangan jumputan rasa Selapis bayangan dengan berlapis kekaguman Akan pantulan sinar air telaga akan kemurnian yang ada dan akan ksucian lahan yang bersahaja Malam itu kendaraan tua melintas Pamerkan cat tubuhnya yang terkelupas Sombongkan pengalamannya yang tak jelas Dari daerah pengap bising dan berdebu Sejak itu Tiada lagi gema lantang persaudaraan Tiada lagi celah berteduh yang aman Yang ada pandangan kosong penuh makian Dan senyum hambar bersama secercah harapan Oh, telaga suci … Oh, lembah ranum Hancur Luluh Suatu yang tak pernah kubayangi Suatu yang tak pernah kujumpai Akhirnya pergi Karna aku, karna aku Karat lebih lama menghias kulitku Lumut tlah lama menyelimuti tubuhku Itulah alasanku Maafkan aku Aku hanya ingin menggambarkan itulah dunia yang akan kau tuju.

BUIH Percikan gelombang menjilat impian garis lurus yang membentang menghubungkan sgala hayalan kesan biru yang sejuk meresap ke dalam hati batang pohon terendam menutupi sebagian kisah hidupnya yang lama kapal-kapal laut yang besar kokoh tak bergeming dari gelombang menutupi pulau hijau yang tersembut jauh rumput dan lumpur-lumpur berdesak melengkapi pandangan mata kosong telapan kaki yang berjuntai menyentuh air garam yang datang Cerita tentang anak manusia bersama menaiki tangga kehidupan di tempat yang ramai akan moleknya alam yang tak menuntut sanjungan awan yang berderang mengiringi otak dan syaraf memberi protes kepincangan yang sedemikian kentara para nelayan berjuang menentang ombak yang berlawanan dengan tujuan tampak oleng diombang-ambing dan maju sedikit demi sedikit Perjuangan dalam keadaan damai peperangan dalam keadaan gontai mercusuar berkedip-kedip merah di kali kangit sana memberi isyarat pada kapten-kapten kapal ‘tuk melanjutkan perjalanan Semakin diteliti kenangan semakin lebur bersama jiwa dan bersandar pada sebentuk bidang yang agung saat waktu yang berlalu menumpas rasa ragu dan kisah cerita yang berkiblat pada rasa percaya terus berjalan berdampingan dengan ketidakpastian disaksikan matahari yang rendah bagai hendak jatuh menimpa bumi memancarkan sinar merah keemasan yang menyilaukan sgala angan air tenang di tengah sana seakan menyaksikan apa yang terjadi entah di kala pasang ataupun surut menghabiskan siang dengan mengagumi pantai yang garang pantai menghampar kemilau tembaga yang berkilat memantul di sanubari meyakinkan kekaguman akan hikmah dari abdi kekuasaan Semenyara mata pena terus menari di kertas putih menupahkan kenyataan keanggunan cakrawala tatkala membuktikan kejayaan masa silam dan merintih meratapi cerita lama yang telah menjadi sejarah tanpa penghayatan yang diharapkan Keabadian yang tergambar di permukaan laut yang labil seakan meyakinkan sejuta dusta waktu bulab bertengger cantik diantara awan putih penyanggah bersaing dengan sinar senja sang surya perlahan gelap merambah seakan dibelai oleh tangan putih malaikat kala matahari teridur dan menyembunyikan sinarnya diiringi bulan yang memperagakan keelokannya Bersama kekaguman dan langkah kaki yang pergi diiringi deru dan debu

BATAVIA Gundukan batu berongga gersang hampa menyimpan suatu kata : “Rahasia” dikota tua tertimbun debu dan sampah apa mau dikata merubah atau ikuti realita dikala aku tiba gersang mengambang menembus bola berlapis air mata seakan disera tuk bersedia berenang disana menggapai tuk sampai ketepi sana setelah terhempas temukan sebuah makna sosok-sosok menyimpan suatu kata ; “rahasia” Cihc … jantungku menebal darahku mengental tatap sosok beku tanpa rasa tanpa asa aku tergolek dalam diam kupancing fakta yang terbenam didasar kolam dan berkarat dalam kemunafikan dadaku terbelah dua remuk renyah resah terbang dengan sayap kupu-kupu menerawang meniti kehausan merongrong kealpaan dan mendarat digundukan baru kosong kupatri namaku dirongga angkasa kucoba rubah mendung jadi cerah namun aku tak kuasa semua kekal semua mengukir sebal semua melukis sesal bersama waktu yang bergulir dilatar serupa tanpa beda gundukan batu tua gundukan batu hampa bilamana mengenyam suka

PERI MATI Tonggak besi yang kini keropos Emas murni yang kini berkarat Sisa dari sebuah kejayaan Lunglai menggiring semangat Menghapus cita yang tlah berada dipelupuk mata Hei gunung es … Kuyu merekat wajah Letusan yang membelah jagad raya melebur lahar lalu jengah Akibat corengan jelaga dimuka Oh gusti pangetan … Gerhana sejengkal tlah beranjak walau dunia masih berlipat kelam dan berarak Dan manusia masih bergelimang dosa Tanpa bergeming menoleh pada Yang Esa Sabda setan membelai telinga pamerkan taring yang berlumuran dosa Oh permaisuri kembalilah keistana mutiara bermandikan intan permata Tanpa noda tanpa jelaga menunggang kereta kuda melanglang buana mencabik kejemuan yang mengendap di jiwa Hei gunung es … mencairlah Bukan karna sorot mata bukan karna suasana namun karna percik cahaya lentera mengusik cendawan yang bahagia Hei permaisuri kembalilah ke surga bersama para nabi bersama bidadari menelan senyum yang terpatri bersama dahaga yang tak terasa Oh permaisuri bahagialah seraya menyiram bibit-bibit suka ria tumbuh, berakar lalu berunga dan peluh membasuh mega dengan hasrat tuk cerahnya dunia

KECAM I Mencela dia, mencerca dia, mencaci dia itu hakmu itu urusanmu Aku hanya bisa dengan tanpa komentar Dalam diri tidak dalam hati Tapi … jangan sekali-kali kau coba memanjakan aku karena penilaianmu dia sahabatku Apapun dia, bagaimanapun dia dia tetap sahabatku Sungguh, setengah mati aku memuja dia Sekali lagi Jangan kau tanya kenapa aku memuja dia Jangan kau protes kenapa aku memuja dia Jangan kau usik hubunganku dengan dia Aku tak suka Sungguh aku tak suka Itu urusanku Kau tak tau apa-apa Dan kau tak perlu tau apa-apa

KECAM II Diam !!!! kataku Kata-kata junjunganku Kau tak turut maka hancur seluruh Bukan penjelasan tapi keadaan Aku muak pada keadaan saat itu Maka aku diam Aku hanya memamerkan penyesalan Pada simpati yang kuberikan Ingat ! emosi jangan dibuat kebanggaan Karena keadaan akibat emosi adalah memuakan Aku diam saat itu Karena aku berusaha berdiri dijalanku Aku bangga akan pedomanku dan hati nuraniku

KUNCI DIRI Tutuplah Angin malam tak begitu ramah Kuncilah … Manusia sirik dimana-mana rapat rapih hingga rata seluruh rasa hingga terselubung seluruh permukaan nyaman aman jangan ada yang masuk dengan kunci ta’ asli Banyak harta karun yang ta’ patut dijamah Lari … atau cukup beri senyum pura-pura simpati Sambil ambil langkah Kesamping atau mundur teratur Kemudian tutup muka dengan cadar Tutup mata dengan kaca Tutup hati dengan kepalan tangan Lalu tunjukan Inilah kepribadian Dalam kemunafikan Dan inilah yang benar-benar pribadi Pada manusia-manusia tersayang

PICIK Pertama mata pena bulatnya Pertama kegelisahan melanda Takut jika misteri itu terbukti Oleh saksi …. Pada mula aku mampu tertawa Tawa yang lebih mirip sebuah dengus Usaha tuk membuang kekesalan Masa lalu Hilanglah Enyahlah Minggat dari diari hatiku yang tamat oleh ceritamu Masih sempat kukatakan selamat jalan Atau hanya sekedar ucapan ? Tidak, diriku adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupku itu alasanku

AWAL DARI MEMORI Disaat gerhana reda petir menyambar menjanjikan hujan yang lebat Banjir memenuhi ruang sanubari gelap mencairkan keegoisan Apakah yang gelap menyimpan kejujuran Kejujuran yang benar-benar kejujuran Suatu hal yang baru terlimpah sebagai bibit ketentraman seakan ambruk menindih tebing hati meluncur menatap tatapan keagungan Disaat gerhana reda gemuruh gelak memekakkan telinga tersembul bara terkena dimuka Karena tak punya bekal apa-apa.

ANTARA KENANGAN, KEADAAN DAN KENYATAAN Terang menjelang menyusul malam mencabik daging berdarah dan luka dan rebah sejajar keputusasaan yang mendalam dan sadar akan kekhilafan perasaan penunjuk jalan seakan redup seakan kuncup dalam debar jantung yang mengguncang dunia memancing datangnya bencana hingga runtuh hingga hati tersentuh Sanubari yang tertipu Rasa dan asa yang tlah tertumpah …. ruah Tercecar sepanjang kekaguman dan kasih sayang Jurang adalah penghalang Tiada saat tuk menerjang tiada waktu yang terluang menopang seonggok kehancuran dan melirik ke bahagiaan disisi raga disini disatu batas areal terpaksa menjinjing sekeranjang keramah tamahan pada mata … tanpa dosa tanpa curiga hanya satu yang aku tak tahu aku atau kamu yang berdosa.

GALAU I Waktu dulu Masa lalu Pernah ada seribu bungan mengembang ditaman gersang Selama dua musim Hujan dan kemarau Entah apa yang di rasa Ternyata bunga itu tetap bercahaya Warna itu tetap ceria Dalam hari ke hari Dalam minggu ke minggu Dan bulan ke bulan Datang Kemudian hilang Dari rotasi mata yang tengah mencari Dibelakang pintu atau dibalik hati Disebuah memori dalam diari terkunci Terisolasi Rapih Di musim ini Di musim kemarin Atau dimusim nanti Kala tak hanya seribu bunga yang kan bersemi Kala mata pena menari dilembar pertama diari Ach … Ternyata hujan tak datang lagi dimusim ini Entah itu nanti

GALAU II Genderang mencekik telinga Putus asa terajut menjadi jumpuyan kehancuran Angin Menghembus helai ceria Menyayat rentetan kisah cinta Angin Tlah teriup Tlah … membawa irisan hati Tlah membawa satu janji Untuk selamanya Angin … Bertiuplah Pergilah menuju cita dan tujuanmu Pergilah menggondol sekeranjang harapan Jangan lupakan Mahkota bunga kering Menunggu saat selamanya berbaring Entah kapan Menyandang irisan Terkurung dipeti ukiran

AKSI DINI Rebah … Tengadah rentangkan jemari pafa ilahi Tenggelam membisu mengekang nafsu Dua …. Jera …. Tapi …. ! Ach, belenggu mencekik rajutan nyali Rentetan kendala ditelapak kaki Dipermukaan kulit ari Nyeri …. Sesaat kuingat wajah malaikat Membengkak jantung membendung suara serak Gemetar … Menarik rairsleting pintu mereka Menabung dosa Bangga menggenggam le,baran kemasiatan Pada manusia jelmaan setan

CELOTEHAN MANUSIA Manusia Masih adakah darah murni yang mengalir dari sebuah jantung Dan berikan sedekah bagi manusia Tuhan … Denganceloteh manusia Mana yang kau pilih tuk kabulkan Mana ? Sempurna ? Memang Tidak ada Dunia dan kiamat yang ditunggu Katakan kuasa-Mu adalah satu

DALAM PENCARIAN Jubah suci semata kaki Kerudung putih Dan kaus kaki Aku menjinjing kitab ilahi Dan satu lagi Hadist nabi Aku belum menikmati apa yang dicari Ketika mau ta’ mau harus berhenti Entah esok hari Entah lusa nanti Pasti

CAKRABUANA 2 Lorong yang berujung ruang Bersih … rapih Coba berjalan tuk sampai tujuan Lelah memang Tapi pagi tidak terlalu pagi Masih diiringi bekal tuk percaya diri Yakini Wajah dalam kisah darah Dalam tabiat bejat Tapi kudengar tegar Diam … Entah dungu … lugu … atau malah ta’ tau Terakhir di lembaga pemasyarakatan Hach …. Selamat jalan kawan Selamat telan hukuman Jalan !!? Didepan memang ta’ aman Tapi suatu makna mengatakan ada Dan harapan selalu siap tersedia. DIBALIK KATA Seperti rasa yang lalu Kali ini Memang membawaku Menjadi ratu pribadiku Kalau mungkin benar Akan kukatakan tidak Hanya satu suka Saat mencoba lupa segalanya TELAGA BENING Bau busuk, karung dan karpet basah Dipojok gudang pabrik sampah Dan batu berserak melukai telapak Kucoba menyelami telaga bening Matamu Dan kubawa aroma tujuh rupa bunga Tuk ku sebar di pagar kuburmu

KESADARAN

Keringat mengalir ditepi semangat air mata bersimbah dipucuk harapan Helai daun kering terayun terlentang dimuka dunia Mengecoh kenyataan walau sia-sia tercampak dari kelemah lembutan Oh dewi Lupakan … tinggalkan Tapakkan langkahmu yang tengah terayun titipkan cintamu diujung khayalmu titipkan khayalmu diujung mimpimu Runcingan kuku jarimu tancapkan pada sebongkah keputus asaan Pergilah … pinjamlah sayap burung garuda Bahagialah Pancangkan spanduk kemenangan coret momentum itu dengan tintamu petiklah bunga nirwana pasang dipojok Figura Entah milik siapa Rentangkan lagi harapan Senyumlah …. Terimalah keelokan anugrah

SESAL KEMUDIAN, SESAL BOSAN

Angin menghembus mengusir redup mataku Walau sejenak Piaskan cahaya yang menggantung dimataku Walau tlah beranjak Sutas dambaan melayang Terbang menghilang dikerat kebengisan sang senyuman disayat pandangan sang pujaan berdiri bertegur digerbang kehancuran Bertekat membawa langkah langkah-langkah yang terarah namun melewati kubu-kubu berdarah Pada forum perang yang tak pernah musnah Hingga sesal Semakin tebal Semakin kental Semakin mencerca diri. BETAWI Ibu kota …. Disana pertama kali aku mencium bau dunia Disana aku pernah bahagia Disana pula aku kehilangan asa Terus … kataku Jajaki sela-sela rel kereta Untuk sementara atau selamanya Jalan … pekiku Ada air mata dikantung selanaku Kubawa dan kubawa sampai kesana DURHAKA Durhaka …. kantong suara guru agama Dosa, …. teriak salah satu dari mereka Apa ia ? aku bertanya Siapa yang salah ? aku atau mereka Aku cinta pada mereka Aku muak pada mereka Aku minggat dari mereka Hingga kini aku mengembara Pergi dari mereka Kelak aku kembali dengan kepala bermahkota Tunggulah aku di muka gapura

KEMBALI Kuda besi kendaraannku

Aku rindu … Antar aku Jemput aku Bawa aku Kembali ke kotaku Disini bising Aku asing Kuda besi kendaraanku Kosongkan sebuah kursi istimewa untukku Biarkan aku duduk di situ Kemudian kendorkan tali kekangmu Kita kembali Di sini ? aku ta’ perduli

GUA GILA DAN LENTERA Tetes embun sejuk memperingati kedatangan Senja yang temaram menuntut arah melangkah Sejenak terperangah Lalu menjadi musim busuk akan terkendali Jerit histeri yang sulit untuk dilunasi Kembali pada kriteria pribadi menuju yang terbaik Meninggalkan puing masa lalu yang berkumuran ludah Tercabik, keras menyesali masa kanak-kanak yang berlalu cepat Ketika lentera menyibak dinding-dinding gua yang gelap Penuh serangga, lumut, batu-batu dan misteri yang enggan terungkap Hanya sebuah celah untuk masuk dari liang tertutup Oleh batu besar mengganjal mulut gua yang terangnga Entah sengaja atau bencana Yang jelas gua itu kini berusaha beradaptasi dengan sinar surya Agar didalamnya tercermin tanda-tanda kehidupan Namun lentera tetap menerangi dasar gua Tidak redup, terus menyala Sehingga trerlihatlan apa yang pernah terjadi disana Ada kerangka manusia yang tergeletak ta’ berdaya Ada sebilah pedang yang tergenggan diantara tulang-tulang jairnya Ada harta karun disana Emas, intan, permata, berlian dan sebagainya Ada tulisan yang terukir berupa pesan di dinding gua “Sungguh kejam kau gua, memang aku tak mampu manaklukanmu, tapi suatu saat akan datang seseorang yang mampu menerobos kegelapanmu. Dan kau akan takluk di sirnanya yang ta’ pernah redup. Hei manusia pembawa lentera. Jagalah baik-baik gua ini. Ia akan rela memberi harta karun miliknya. Jangan sampai ada lagi manusia seperti aku yang merambah pesona alaminya.” Waktu bergeser jauh dari peristiwa ini dan gua kini terpelihara Tapi apakah gua itu akan tau maksud si pembawa lentera Sedangkan mereka hidup dalam takdir yang berbeda Dapatkah gua itu terus terlindung bagi pesona alaminya Sedangkan mereka tak punya bahasa untuk berterus terang apa adanya lalu apa predikat sang gua ? Walau ia ta mampu bicara, sedikitnya keyakinan dapat melapisi segala keragu-raguan Seandainya dapat syair dikumandangkan pada lembah dan jagat raya Tentu si pembawa lentera pun akan mendengar yang diharapkannya Seandainya lentera itu menerangi wajah di pembawa Tentu akan terlihat apa yang tersirat Biar …. Biar kiamat yang menghancurkan keduanya Tak perlu tebing tegar, tak perlu air segar Sepintas terlihat seperti meruntuhkan sebuah zaman yang hilang Namun segala harapan pun ikut terimbun karang Sampai suatu saat ada yang benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi ?

SERABUT TUA

Serabut tua Namun kau mampu menggerogoti dada Diantara barak-barak yang kering dan gersang Kau beri pupuk pada berbagai macam kemunafikan Dipundakmu terpancang pangkat yang berdesakan Tapi dihati kita kau tak lebih dari tikus sawah yang memuakan Hei serabut tua Pamerkan usia yang berguling diantara kepura-puraanmu Kejenuhan Kebosanan Kemungkaran dan kemurkaan Yang kau hidangkan di pinggan bertatah berlian Kau sediakan dengan sendok garpu ditangan Siap mencacah dan mencabik sanubari manusia yang berutak yang berusaha bertindak menjunjung hasrat dari sebuah perlindungan yang lebih tepat dikatakan ‘ tahanan yang menjerat Hei serabut tua Wiabwamu membawa dera untuk unjuk rasa Disiplinmu mengundang kita angkat gada Pada ubun-ubun yang renta Kau banggakan sebuah spanduk “dilarang masuk” Kau gembar gemborkan kodok kedisiplinan Kau acungkan baik-an tata tertib Yang memancing berekrutnya kulit dahi kita Panas dada kita dan dendam yang membara di hati kita

SINGA MALANG Singa malang Aman pendukungmu Mana pengabjungmu Kau tutup kekurangan dengan kesombonganmu Kecewa ? Mungkin kata itu yang paling pantas untuk kau sandang Cinta ? itu ta’ ada Kau tak tau apa itu cinta Apa guna cinta Pada kami Singa malang Suksesmu sudah tertutup kain kafan Kini tinggal kehgancuran Harus … harus kau hadapi Jangan kau hindari apalagi menutupi Singa malang Bahuku masih kuat untuk menopang tubuhku Tak perlu kau pikirkan itu Atau bahkan aku tak butuh kau pikirkan itu Langit itu terlalu cerah untuk hujan Ia terlalu egois untuk ikut serta dalam kesedihan Mari rentangkan tangan Mari rengganggkan genggaman Kita punya jalan walau setapak Kita punya tujuan walau hanya sepetak Kita perlu pedoman Mari kita berjalan pada masing-masing pedoman juga aku Walau aku tau aku punya kau dan semua Tapi aku tidak dituntut untuk mengingat semua Dari aku yang mungkin kau anggap jelmaan setan Atau dari aku yang tidak pernah minta untuk dilahirkan PERTEMUAN Percik hujan di jendela bis kota Pergi dari dua manusia satu aroma Untuk sementara atau selamanya Dan para kuli menjulurkan lidah Menyamai aku dengan boneka sawah Sirih neneknya atau lainnya Ada dua wajah satu darah Daki, oli dari dahi kek kaki Pucat pasi diantara mata dan hati

SORE IBU KOTA Sore ibu kota Panorama kuli yang berjas dan berdasi Pemegang kelewang Mengumpat si pembuang Ach … masih saja taj ramah Kendati berjuta dermawan telah sombongkan jasa Panas !!! Kenapa bisa berbesa Sedang matahari kita sama Bus kota yang mengantar copet ke tempat kerja Dirikan dan mengaku tak berdosa Satu saja air mata Belum cukup untuk makan anak bini di rumah Rumah ? Ach … hanya gubuk di pojok jembatan Dibawah tempat meuncurnya roda sedan-sedan dari si pembuang Menuju kantor yang semakin menjulang Dengan pencakar langit yang benar-benar sangar mencakar Sebetis besar atau si dada kekar Yang hanya bisa beli ubi buat si bayi yang tidak mengerti Macetnya lift karena kurang oli atau spekulasi disebuah penjara kelas tinggi Sabar … dunia masih tau diri Walau kuli tak sama dengan menteri

BURON CANTIK Buron cantik Semua polisi dan detektif akan akui kalau kau cantik Tapi hanya itu yang kau sandang sebagai senjata Kau tak punya harta Buron cilik Berapa banyak biaya tuk keluarkan kau dari penjara Namun kau anggap itu istana Sebab disana kau dapat bertahta bak raja Kau gila Buron tengik Kau curi kedua cinta Kau rampok hak saudara Kau rampas hari bahagia Kau bawa keistana Kau gila Buron cantik Kau cantik Keluarlah dari istana Kuberikan kunci borgolmu Kubuka pintu kerangkengmu Genggam tanganku Diluar banyak musush-musuhmu Gantungkan tubuhmu dibahuku Aku saudaramu SRIGALA MALANG Srigala malang Tanganmu patah setahun yang lalu Bersama rontoknya bulu tubuhmu Jangan kira lidahmu mampu bersihi keringatku Ludahmu yang melumuri lukaku Hingga tak sembuh Tak bosan kusesali itu Srigala malang Belangku jelas mengkaitiku bertambahnya siaku Sangarmu mempertebal cela diwajahmu Lihat pundakku Lihat mataku Lihat dengkul dan sikuku Tak ada yang sujud didepanmu Srigala malang Matahari hampir tenggelam Apakah tlah mampu kau sinari bumi Atau kau terhalang awan yang tidak main kompromi Untuk itu salahmu atau takdir tuhanmu Tulang itu ? aku tak punya ilmu Srigala malang Dulu kau punya banyak bangkai untuk makan anakmu Dulu kau punya banyak tulang yang kau kubur di tempatmu Aku tak perlu itu, aku tak butuh itu Berikan pada anakmu yang besar namun masih menyusu Aku punya taring sendiri, aku punya otak sendiri, aku punya tenaga sendiri Dan di sekitarku banyak sekali mangsa-mangsa Tek sulit untuk ubah menjadi bangkai Untuk sarapanku hari ini atau esok pagi

DENGAR SOBAT Kamu dengar saudaraku sobat Kamu tau apa yang selalu ada diotakku diceritaku diceriaku Entah apa yang ingin ku sembahkan untukmu Ketika aku dengar kembali suaramu Sobat Biarkan kepalaku rebah dibahumu Biarkan kututup mataku dibalik dadamu Biarkan aku sembunyi di ketiakmu merangkul bersandar ditubuhmu biarkan … Hanya itulah cara untuk adukan resahku Tuk hilangkan gundahku Karena aku tak sanggup bicara Aku tak sanggup berkata Aku tak sanggup cerita Biarkan sobat Hanya itulah cara tuk rengkuh kebahagiaannku Tuk sadarkan aku Kalau aku tidak sendiri Seperti yang sering ku hampiri Ku jalani Sobat Kembali aku bersaksi Aku sayang kamu Dan kita saling mengerti Diantara perbedaan yang menghimpit diamana-mana Dan kita saling oercaya Diantara kemunafikan yang pasti ada Mungkin untuk harga diri.

IBU CANTIK

Tuhan Suara itu datang lagi Kau tau aliran darahku bagai listrik tegangan tinggi Rasa takutku menjalar Melingkar tubuhku Mengikat tubuhku Yang tak pernah terikat Yang liar di dalam sangkar Saat mulai kerja sangat telinga Meniti jawaban Dari pertanyaan atau pernyataan Dari saran Seorang ibu cantik yang baik Teramat baik Untuk anaknya tercinta Dan saat itu aku berada di pojok Posisi yang selalu ku umpat dan ku maki Menentang kepala tanpa kuasa maafkan Mungkin wajahku ta’ cantik tapi sungguh Gelap tak kan memakanmu Kalau dihatimu telah terpancar cahaya ta' apa Karna wajah adalah acsesoris hidup ta’ perlu cantik Hanya untuk pengenal bagi mereka yang tidak kenal

Mediomart’2001

Aroundmart’2001

Rasa ini masih ada disini

Ingin sekali kuisampaikan

Kujaga dalam-dalam

Dan sunggu ingin aku dengan

Suatu hari pasti

Yang jujur, yang tulus

Aku lebih dewasa menghadapi

Dari kamu

Do’aku

Sulit sekali rasanya yakin itu hadir

Masih saja seperti dulu

Dan sungguh semua itu menggangguku

Dan kucoba selesaikan sendiri Semua ini

Saat ini aku sangat-sangat mengerti Karna saat ini aku rasakan sekali

Tuhanku

Begitu dalam …

Anugrahmu kan kupuja selalu Walau aku masih belum tau

Pernah aku coba untuk pergi sesaat

Bagaimana mensyukurinya

Untuk pastikan

Tuhanku – Maafkan aku

Semua berjalan sesuai layaknya Tak perlu dikhawatirkan

Banyak hal yang ingin kutanya

Tolong, beri aku tanda

Sampai saat ini

Kalau aku tidak salah …

Aku belum menemukan kata-kata Aroundmart’2001

Aroundmart/2001

Cukup lama untuk menguji diri

Cinta adalah deskripsi emosional

Mengunci diri

dari senyawa kimia yang bereaksi

Dari kemungkinan kesalahan

didalam tubuh dan menghasilkan ebergi

Cukup waktu untuk sadar diri Aku masih manusia, biasa Persis seperti jutaan, yang lainnya Satu hal yang masih melegakan Aku sudah berusaha Bagaimana ku tahu Bahwa semua ini masih dalam ambang yang dapat dimengerti ? Jika jawabannya tidak demikian Satu hal yang harus diyakini Aku tidak cukup berusaha , ternyata … PESAN TEMAN Terimakasih yang murni yang tulus

Trimakasih atas energi ini …

Dengan kelantangan Tidak seperti biasa Ketika embun malam menyapa Hentikan cerita buta Bersama cemara yang tertawa Mencerca kulit muka Yang tipis teramat tipis Untuk hawa dingin, bukan main Maafkan Mungkin banyak janji yang tak ditepati Teriakan, warna darah itu merah dan hitam jika t’lah tertikam hanya satu pintaku Jangan kau kotori simpati tidak ada yang bisa bersihi ALONE Sendiri kadang jadi surga jadi prahara kala muka menghadap kaca dan mata tak dapat berdusta ketika mulai bibir mencibir banyak yang bisa bawa kita ke penjara hidup dan dunia dungu yang dipelajri dihayati untuk mengunci sampai mati

JAKARTA TUA Enam belas tahun yang lalu Ketika bayi kecil lahir terakhir Menghirup bau dunia yang kotor disini, di betawi

Sumber keacuhan yang menjadi pribadi Yang dipuja manudia kecil tuk cari kerja Yang jadi impian sepanjang malam Yang tidak punya bukti Yang tidak punya keyakinan Yach … hanya hayalan yang dihidangkan Hawa debu perusak paru-paru Hawa yang tak ramah seramah garis-garis desa Seramah sawah Seramah gunung Seramah awan Atau apa saja yang mungkin kita lupa Dan bayi kecil itu menselik Pada bocah yang melahirkannya Dan tetap menjadi bocah walau sudah ubanan Bayi itu sudah remaja Tapi dia masih bertanya pada dirinya Siapa mama saya yang sebenarnya ? Adakah mereka berdusta ?

DARA GILA TAK BERNYAWA Sesaat rindu berpacu Harus laksana bongkah permata Tebing runcing tertawa nyaring Hach … Masih redup mataku Belum dapat cerita tentang dara gila Takbernyawa ….

KEDATANGAN Satu-satu ku sapu saat itu Aku hanya terpaku Inilah sajian sebuah kedatangan kepulanganmu Inikah ? Bibirku tak sudi bicara Mereka terlalu rendah dimataku Telinga mereka terlalu kotor untuk jalan masuk suaraku biadab Aku bejad Dari sudtnya …. bukan dari sudtku Aku agung pada posisiku Gema takbiran tak ubah bagai syair yang tak merdu Seru lebaran tak ubah bagai saat yang akhirnya berlalu Masih haruskah mereka kuberi penghormatan Aku tak punya waktu Aku sibuk membersihkan sisa makanan di gigiku itu lebih berarti Daripada berdesak diantara manusia-manusia gila Dan terhimpit diantara kebodohanku suatu kesombong jariku lima Dijariku teruang seribu akal Mereka tak perlu tau Mereka tak pantas tau Aku ratu bagi diriku Satu yang kubawa sebagai identitasku Mamaku masih ada diurutan terbawah kartu keluarga

BENARKAH ? Asa itu tlah patah Kalaupun diperbaiki, itu takkan sempurna Dan alat atau hasrat untuk memperbaiki itu tidak ada Atau tidak perlu ada Sebab usaha itu mungkin akan percuma Akan sia-sia Disana aku mencari asa Tapi disana tak ada, disana langka Selama ini aku selalu berusaha Dan sekarang aku takkan lagi berusaha Aku akan terus mencari, bukan disana tapi dimana saja Ditempat aku mulai bisa bicara tentang dunia

DO’A Tuhan … debu itu semakin tebal Melapisi bola mataku Menyumpal hidung dan telingaku Membungkam mulutku Tuhan … Datanglah dihatiku Dan pergilah dijiwaku Aku bosan dengan gema takdirmu Tuhan … Sepuluh hari … Kala jiwa dikejar dan dituntut oleh kesombongan Kala pembuktian hanya sekedar bukti Yang mungkin malah merugikan Tuhan … Malam ini, esok, lusa dan nanti Hari ini, esok, lusa dan nanti Sunguh … ku mohon pada-Mu beri aku kekuatan Jalan terang Agar aku tetap memujamu sebagai Allah tuhanku satu

TEMBANG MALAM Disekitar celah dikeasingan gudang kemunafikan Dihampir semua raga yang tertidur Pulas Dan mengigau ungkapan mimpi Yang mungkin hanya sesaat dan sekejap Kemudian terjaga Dan sadar kalau semua sudah ta’ ada Tinggalkan kita Tinggalkan harapan kita Sementara mata masih lelah Dan luka masih menganga Coba beli obat merah diapotik yang entah dimana Diujung sana Atau bahkan tak ada Dan ketika ternyata malam semakin tua hampir dini Yah … kita ta’ lagi mendnegar Coba hadapi bahwa selamanya malam akan gelap Dan akan terang ketika ada pagi dan matahari Yang datang tanpa janji Tanpa kompromi

MASA DULU, MASA LALU Seorang bocah berlari kecil di pematang sawah dadanya telanjang Dan wajahnya memancarkan seribu kejujuran Matanya bersinar dan mulutnya berteriak menyebut “ayah” Seorang bocah dengan manja meletakan kepala dalam dekapan bapaknya Jika malam turun merentangkan sayapnua yang gelap Si bocah tidur dalam usapan kidung ibunda tercinta Dan roh-roh jahat tak berani menjamah ketentramannya Malampun lewat tanpa daya Si bocah terbangun Dan melihat fajar datang menghampirinya Masa kanak-kanak adalah masa yang paling indah Indah bagai bunga-bunga ditaman sari Indah bagaikan tinggal diistana mimpi Masa kanak-kanak mengalir bebas dan merdeka Seperti sungai didaerah pegunungan Mengalir dengan tenang jujur dan suci MEMO Lihat seekor kucing hitam, dia belajar mencakar dari induknya Seekor macan belajar meraung dari siapa ? Manusia tidak menjadi besar dengan sendirinya DUA SAUDARA Kita takkan pernah bisa melupakan Kita pernah bersama-sama hidup dalam rahim yang sama Kita pernah menghirup udara segar yang sama Kita pernah makan jenis makanan yang sama Kita pernah minum air susu yang sama Kita pernah menyusupkan kepada pada laki-laki yang sama Kita pernah bermain-main di halaman rumah ini Kita pernah bersenda gurau bersama orang tua kita Kita pernah bertengkar dan saling memaki sampai suatu saat ibu datang untuk melerai Kita memang btakkan pernah bisa melupakan RUMAH DAMAI Rumah yang damai Ialah rumah dimana penghuninya dapat hidup dengan tentran dan damai Ci bapak menghormati istrinya Si ibu mempersembahkan segalanya untuk keluarga Rumah yang damai Ialah rumah dimana anak-anak dapat bernafas dengan hangat Mereka hidup rukun saling membelai Tak ada yang sok kuasa Tak ada yang merasa kurang terhormat Rumah yang damai Ialah dimana keluarga dapat hidup bersama dan bersaudara tanpa merasa dikurangi haknya Mereka dapat makan dan minum dengan tenang Mereka dapat tidur bersama mimpinya masing-masing Mereka dapat bekerja tertib tanpa harus tidak merasa merdeka Rumah yang damai Ialah rumah yang diidamkan setiap orang SURAT BUAT SOBAT

Satu langkah lagi Satu jalan pasti Satu dinar tertinggal didalam gua Didalam surga Biar cinta tertanam Tertimbun tanah dan terbenam Biar cinta tetap hidup Tetap bersemi dalam ilusi Datanglah hujan Pengusik kemarau panjang Perombak kegalauan Datanglah Bawalah senyummu Sambutlah senyumku Rengkulah jemariku Bawa aku menuju tujuanmu

UNTUK KAMU Ada kepahitan yang tertinggal Ada air zam-zam yang bersimbah Ada satu kata kagungan Untuk kamu Hanya untuk kamu Ada gejolak tertahan dalam benak Ada derap jengah menuntun langkah Untuk kamu Yach … untuk kamu Untuk satu utuh dalam sembah nyata Dalam makna

MUSIM SEMI

Setahun yang lalu Pernah ku coba melangkah Dititian tempatku membawa ilmu Diantara buku dan bangku Aku terpaku Cari lagi !!! seru temanku Hach …aku tak punya rasa Aku tak punya BAJINGAN !!!! Ternyata landak berbulu domba Ternyata sinar itu pantulan kebejatan Oh gusti Bencana itu melimpah lagi Ternyata bukan hanya kebodohan Tapi kedunguan yang meraja perasaan Oh gusti Malapetaka apa lagi Genjaran apa lagi Siksaan apa lagi Yang kau babankan dibatok kepalaku Oh gusti Maafkan dosa hambamu ini KODRAT Buku-buku diatas kepala Hukum-hukum yang menjaga dipintu gerbang Bisu Aku sendiri termangun Puncak teramat tinggi Jauh menebus awan merdu

TRAUMA Soneta jelita mengembang sementara Terlalu merdu untuk dihindari Alam nyata mengapa Ulurkan jalan Lepaskan angan Air mata terbawa Ceriita tertunda Atau binasa Masalah musim yang kian merajam Merah padam dendam Amanat pelak erat Merangkum mimpi yang mati Tapak kaki pecah berdarah Jiwa tak rela Nyawa unjuk rasa Kaki tetap melangkah Walau lelah AREAL BENGAL Banyak sekali yang mesti diiringi dengan senyum Segar atau hambar Ketika hati mulai penuh terisi jenuh Seakan dunia mengizinkan lepasnya jiwa Kuku-kuku yang panjang menentang Melawan liku-liku yang berintang Dan selaput mata menebal Menutup cerita yang mungkin terlaksana Sesma manusia yang saling asing

PERGI !!! Laut semakin jauh Langit jauh Matahari terik menyala sejengkal kepala Kemana kaki hendak lari Tubuh panas, hangat Kering Sebelum semua terjadi Sebelum bencana terjadi Pergi !!! Atau mati SYAIR SEORANG KUSIR, MAHIR ??? Bisikan syair pujangga ketelinga Janjikan pesona muluk alam surga Tinggalkan bahana Bahagia atau kecewa II Curi soneta di jalan raya Lantunkan di jiwa perjaka Dusta atau dosa Yang jelas malam merambah malam Gelap semakin terasa Dan hati protes akan keadaan

PERJALANA SEMU DAN PENCARIAN TAK TENTU

Jalan hidup yang menjalar tak wajar Perbaiki kehausan yang telah menfonis takdir Seandainya pagi tidak teramat pagi Mungkin banyak mimpi yang diingkari Tidak ditepati Ingin ku langkah lurus bersama arus Namun sampan tenang menentang Dan sungai yang sempit tidak kuasa mengizinkan Cuaca tidak menginginkan Pernajalan yang semu Atau pencarian yang tak tentu SALING BERSAING ORANG-ORANG ASING Saat berajut do’a Gelombang mengembang diantara samudra Saling bersaing antara aku dan mereka Orang-orang asing Kucoba berpaling Karena ketentuan tlah menjadi panutan Tempuh masa Padahal jiwa kecewa

JALAN I

JALAN II

Kabut pagi merayang

Perioda bertambah

Kelam sisa malam

Usia berambah

Bulan yang terseok diusir mentari

Rasa semakin peka

Terang berbayang malang

Cinta semakin nyata

Masih keras tak menumpas

Hari-hari terlewati untuk pergi

Lewati renungan suci Lewati kenangan diri Menjadi dewa Jagad raya

JALAN III

PULANG

Sebatang tubuh terbuang

Rindu ramai cerita semu

jauh

Rindu teratai seakan beku

Dan tubuh seadanya

Rimbun bambu yang rancu

Dan hidup tak sewajarnya

Aku terbayang

Rasa yang tercampur tak rata

Aku tak ingi pulang

Dan semua hilangkan pesona Senyum yang urung Pergi adalah jalan satu-satunya Bersama keyakinan yang beranjak dari dirinya Pahit Dan kupatahkan

YANG KALAH YANG MENGALAH Sebuah ngarai berkelok Secercah do’a mati Sehadap, Sekibat Seujung kaki berhimpit Tinggi Diantara rimbunan pepohonan Diladang atau di hutan Dipelosok dan Kembali pada awal kota-kota Terucap dikala geliat Kembali aku terancam kalah Biarkan aku mengalah sebelum kalah

PRINSIP Sangsi adalah racun diri Percaya adalah racun diri Curiga adalah senjata diri Waspada adalah mahkota diri Kesegala menyebar Kesegala bersandar Apa yang mampu sebagai penawar ? Kejujuran dan keyakinan PERTANYAAN DAN PERNYATAAN PANJANG Siku diantara siku Marah mengalah Dapat sendiri beri arti Hidup yang lantang berang Adalah ilmu dilahan baru ?

JENUH Langit terang Menghembus gelombang pembawa rakit Menyerah dermaga sepi Menyerah pasrah Pada cuaca tambatan nasibnya Secercah mercusuar disudut bukit Dari ilusi sebuah mata hati buta Bagai bilar mata sang singa lapar Hingga berdentang lonceng gereja Bersyarat saat ujung nyawa Beri tanda saat lapar dan ngantuk !!! YANG HILANG Lembah longsor tertindih sebuah bulan Jatuh dari angkasa terjembab menangkis Tembok raksasa retak terbelah kampak Menyimak rahasia Ngarai yang kering dimusim hujan Kini mejadi sebuah kota besar megah berlambangkan senyum menari, meliuk-liuk dipermukaan laut akhirnya tenggelam

ISYARAT

Temaram menghias wajah Mencetak dendam Dan satu janji Tak ditepati Jangan beri aku harapan seonggok mutiara Jangan bawa aku ke puncak nirwana Sungguh Sungguh banyak kendala Sungguh maha bahaya Menjagal Mendikte dosa Menjanjikan terkuaknya pintu neraka Dan berkata “selamat tiba: SATU PERMAINAN Tiang-tiang terpaku kaku Bagai dihektaran gurun batu Kusapu jendela hati seorang terkasih Bersih …. Kutinggal jejak dilatar berlumpur Sepi untukku sungi untukmu Kulewati gerbong-gerbong kebusukan Yang penuh tumpukan peti mati rongsokan Hingga sesak Hingga bangkai berdesak-desak Yang bertataj nama-nama kabur para mayat Bila namaku terpahat

MANA ASA ? Ruas-ruas punggungku pegal Lorong ini panjang sekali padahal aku sudah lari tersengal gelap … pengap … berontak dari belenggu yang menjebak dajn lari mencari kalau-kalau ada cahaya matahari ach … hanya ada rumput dan lumut nafasku semakin beringas perutku kering Aku lapar !, gema suaraku nanar Binatang !! decak lidah yang haus darah aha …ada segumpal daging diujung sana Aku memburunya, tapi sayang hanya fatamorgana RINDU SATU ANTARA LAGU Lebat rimbun rindu bercermin Sesaat penat mencekat Menanti dahaga tersapu rata Tiada waktu Riada saat Tiada tempo Yang ada hanya renggangan kejemuan Yang ada hanya lambaian ketamakan Derap langkah air mata Terkias angin dan keringat Jera memandang binatang Tiada terhalang Tiada terhadang Namun ia tetap hilang

TITIPAN Tabah uang mulai dikapal Hanya dikapal Acuh yang lama dilakoni Bagai bunuh diri Tunggu dulu Sedikit tarik langkahmu Titipkan kerdip matamu Sebagai janji Untuk bukan diingari Sungguh takkan hilang Takkan kutinggalkan seperti biasa KOREKSI Kembali koreksi Adakah yang berarti Yang jelas bukan dari pribadi Tapi kau masih yakin Percaya adalah pertama Waspada kedua Apa yang ketiga ?

BUNDA DAN SURGA Seandainya ia mengenal aku sebagaimana ia kenal bentuk hidungnya Seandainya ia mengerti aku sabagaimana ia mengerti perutnya yang lapar Seandainya ia tak lupa kalau bayinya diberi nama Hermila Dan seandainya ia tau kalau aku cinta dia Mungkin waktu terasa bagai suara nyanyian merdu diradio itu Mungkin bisa tertawa dengan giginya yang terlihat semua Mungkin dapat kusembah telapak kakinya yang bergambar sura

JALAN AKHIR

Banyak cabang yang berjuntai Banyak jalan yang memaksa kita untuk memilih mamastikan Dan tempatku bersama mereka semua memang takan pernah sempurna Tempat yang tak jauh dari kuburan Hanya saja, jalan untuk kesana gelap gulita Hanya Allah SWT yang mengetahuinya Tetapi liang-liang lahat sudah gelap gulita Dan kita semua tengah berjalan disana dan kesana Setiap saat ada kemungkinan Setiap saat habis harapan Saat telapak telah sampai disalah satu lubang Tuk tutuo dan ditaburi bermacam-macam bunga Agar busuknya jasad tak ada yang merasa

LHO !!! Pagi buta Aksara Kasihan … Mengapa buta ? Ach .. itu urusan mereka Yang punya Kita hanya merasa Meraba Bodoh Tidak usah di pikirkan

HAMBA

Magrib Ada adzan ditelinga Ada panggilan di batin seekor manusia Tidak berguna Menjadi berharga Tuhan Si kuku beri peluang cekal-Mu Mohon sorot matamu Dan raka’at yang berlalu tanop khusyu Dan syahadat yang tidak terdengar mata hati sekalipun Dan do’a disela telapak tanganku Tengasah mohon anugrah Tuhan … Masihkan telinga-Mu dengan teriakku Masihkan Kau kenal aku hamba-Mu Dikala otak dan hati yang melarikan diri Dari takdir yang berdiri Yang tegak disuratan ilahi Jalani Atau maka kau jilat tubuh busukmu Rongga mulutmu yang penuh sampah Isi batin yang bersarang binatang Bersihi Dengan kerja bakti Atau dengan kesadaran Akan kebodohan Dan ekalpaan Yang tak menjamin kelegaan Melainkan kesesatan Setan !!

PENYESALAN Benar katamu

73 cabang terlalu banyak Kita masuk yang mana Yang mendapat rahmat atau yang sesat Tapi bukankah sama aliran itu bermula dari satu muara Dan berakhir di masing-masing pusara Menunggu apa yang selama ini diburu Surga atau neraka

DARI SOBAT TENTANG SOBAT Sama sekali tadi Selamat pagi Ach ! Kenapa ? Karna hampir saja tumpah Semua Namun masih ada sisa-sisa Yang terjaga Waspada Karna mereka punya mata Ketika ada yang menghalang terbang Tapi mengapa terbang Bersama warna awan yang pias Yang tidak mengerti perannya Apa-apa … Biar Selamat jalan sayang Terlambat datang Ketika hari tlah petang Ketika matahari hampir bersatu dengan bumi Selamat jalan sayang Jkuhargai Kuhormati Karna aku tak bisa lari Tak akan lari Walau wajah dibalik topeng arjuna itu berbahaya Walau aku akan takut karenanya Takut ia lari jika ia tahu kalau wajahnya ternyata berarti

DATA KITA Lagi sebuah hal yang total Kesetiaan memang tidak punya jaminan Air mata mengalir di anak sungai yang tlah tersedia Mungkin bicara soal hati sudah tak berguna Apalagi bau-bau busuk sudah tercium dari borok bocah Apakah keyakinan dapat berjalan terus tanoa kebenaran ? Masih ada giliran, Tapi antrian sudah berderet panjang Sementara kata pilih sudah jauh dari nominasi Berilah suatu yang pasti, bukan imitasi atau fantasi Apa adanya, memang sulit menyalar di pagar harga diri Hak yang sudah tak tau diri Sadarkah bahwa jiwa adalah satu Dan lebih baik kalau bersatu tapi tidak untuk jadi atu Sepertinya telingan dibuat tuli hanya oleh sekilas desah Pantangan lebih harus dipegang Demi citra sebagai apa manusia Dongengan malam memang suka diundang ke alam mimpi Terbuai oleh lamunan yang jauh, panjang dan tidak berarti BOLA-BOLA DAN BULU-BULU MATA Bola hitam yang dalam Jatuh aku dalam permainan Bukan, tapi ketentraman hilir mudik melewati tubuh-tubuh limbung Mayat-mayat kaku yang hanya menunggu sesuatu Hujan melewati daerah yang dicengkeram mendung Turun ….. deras … dingin …. Bulu mata yang terbuka Teduh aku pada rimbunnya Ya, memang terlindung diantara banyak yang tak dimengerti Tapi berusaha disadari Ada yang lebih harus kita sadari Semoga hujan tak terus turun lagi

NILAI

Moleknya dunia beserta variasinya Banyak yang lupa dan buta Banyak yang tidak tau apa-apa Banyak yang hanya mengekor saja Kesombongan yang menjadi hiasan di pemrukaan badan Atau kesadaran yang kurang ditancapkan Sedih memang …. Bagi mereka yang mati kata hatinya Bagi mereka yang tak punya kendali Bagu mereka yang bodoh COBA LAGI Secarik janji terucap Lembar demi lembar Sepasang mata berbibar menahan bahagia Untuk apa ? Satu, dua dan tiga Terulang dan terulang lagi Untuk apa ? Sebatas pandang serasa sempit Seulas senyum serasa umpan tuk terjepit pada kenyataan Mengerikan … Pergi … dan tuntunlah kakimu menuju tujuanmu Tapi, disini sunyi Hanya suara kangkrik yang mekekakan Anugrah kusambut dalam diri Tapi tidak dalam hati Senyum itu mentah Mata itu tak pernah cerah Seperti nyata Biarlah Kucoba sampai terlimpah anugrah Yang benar-benar nyata

COBA LAGI II Segumpal bara membakar tubuh berkeringat Memancing bergolaknya darah tarekat Satu … satu Menyusul mengukir namanya dinisan permata Kenapa ? Karena cinta Cinta …. Apa itu cinta Sederet gigi gemeretak menahan dendam Mencekik alur mimpi yang sempat terhenti Dari buaian ….. (kosong !!!!!!) Mata, buaian Dusta, Kabut … mendung dan hujan Tanah longsor terkikis butiran air tajam Menerkam … Menghujam Hingga gersang Hingga kering Dari ta’ punya apa yang bernama “Cinta” Tandus … Dan tak ada rasa dan asa yang bertahta Putus asa … Renda katulistiwa hampir sempurna Rentang buana mencibir kerdilnya jiwa Kembalilah pada dunia Lihat …. Masih ada rentetan kisah asmara

Related Documents

Cantik
December 2019 48
Cantik
November 2019 41
Janji Kaya
May 2020 28

More Documents from ""