PENDAHULUAN
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana. Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh perdarahan post partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3 peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya. Perdarahan post partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih dari 500 mL setelah persalinan vaginal atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal. Perdarahan dalam jumlah ini dalam waktu kurang dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum primer, dan apabila perdarahan ini terjadi lebih dari 24 jam disebut sebagai perdarahan post partum sekunder. Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
1
A. PERDARAHAN POST PARTUM
I. Definisi Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal1,2,3. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL 2. Perdarahan post partum dibagi menjadi1,2,5: a) Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum hemorrhage) adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III. b) Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage). Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
II. Etiologi Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain1,2: - Atonia uteri - Luka jalan lahir - Retensio plasenta - Gangguan pembekuan darah
2
III. Insidensi Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%5. Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut5: - Atonia uteri 50 – 60 % - Sisa plasenta 23 – 24 % - Retensio plasenta 16 – 17 % - Laserasi jalan lahir 4 – 5 % - Kelainan darah 0,5 – 0,8 % Tabel 1. Penilaian Klinik untuk Menentukan Penyebab Perdarahan Post Partum2 Gejala dan Tanda
Penyulit
Diagnosis Kerja
- Uterus tidak berkontraksi dan Syok lembek.
Bekuan
Perdarahan segera setelah anak serviks lahir
Atonia uteri darah atau
telentang menghambat
pada posisi akan aliran
darah keluar Darah segar mengalir segera Pucat setelah bayi lahir
Lemah
Uterus berkontraksi dan keras
Menggigil
Robekan jalan lahir
Plasenta lengkap Plasenta belum lahir setelah 30 Tali pusat putus akibat Retensio plasenta menit
traksi berlebihan
Perdarahan segera
Inversio uteri akibat
Uterus berkontraksi dan keras
tarikan Perdarahan lanjutan
3
Plasenta atau sebagian selaput Uterus
berkontraksi Retensi
tidak lengkap
tetapi
Perdarahan segera
tidak berkurang
Uterus tidak teraba
Neurogenik syok
Lumen vagina terisi massa
Pucat dan limbung
Tampak
tali
pusat
tinggi
sisa
fundus plasenta
Inversio uteri
(bila
plasenta belum lahir) Sub-involusi uterus
Anemia
Endometritis
atau
Nyeri tekan perut bawah dan Demam
sisa
fragmen
pada uterus
plasenta (terinfeksi
Perdarahan sekunder
atau tidak)
IV. Kriteria Diagnosis1 a) Pemeriksaan fisik: Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus b) Pemeriksaan obstetri Uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir c) Pemeriksaan ginekologi Pemeriksaan ini dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, pada pemeriksaan dapat diketahui kontraksi uterus, adanya luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta V. Pemeriksaan Penunjang1,2,3 a) Pemeriksaan laboratorium 1. Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk1,3.
4
2. Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal3. 3. Pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan2,3. b) Pemeriksaan radiologi 1. Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanyagumpalan darah dan retensi sisa plasenta1,3. 2. USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya1,2,3.
VI. Penatalaksanaan Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum3. a) Resusitasi cairan Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi3. Pada perdarahan post partum diberikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin
5
(NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat3. Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah3. Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada
pemberian
koloid,
maka
cairan
kristaloid
tetap
direkomendasikan3. b) Transfusi Darah Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan
6
klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat3. PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit.3 Tabel 2. Jenis uterotonika dan cara pemberiannya3 Jenis dan Cara
Oksitosin
Ergometrin
Dosis dan cara IV: 20 U dalam 1 pemberian awal
IM
Misoprostol
atau
IV Oral atau rektal
L larutan garam (lambat): 0,2 mg fisiologis
400 mg
dengan
tetesan cepat IM: 10 U Dosis lanjutan
IV: 20 U dalam 1L Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam larutan garam fisiologis
setelah 15 menit
dengan Bila
40 tetes/menit
setelah
dosis
masih awal
diperlukan,
beri
IM/IV setiap 2-4 jam Dosis maksimal Tidak lebih dari 3 Total per hari
L larutan fisiologis
Kontraindikasi
Pemberian
atau hati-hati
secara cepat atau vitium bolus
1
mg
dosis)
(5 Total 1200 mg atau 3 dosis
IV Preeklampsia,
Nyeri kontraksi
kordis, Asma
hipertensi
7
VII. Penyulit1 Penyulit pada kasus perdarahan post partum adalah : a) Syok ireversibel b) DIC VIII. Pencegahan3 Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut: a) Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan. b) Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat c) Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik
IX. Penilaian Klinik derajat syok Tabel 3. Penilaian Klinik untuk Menentukan Derajat Syok3 Volume
Tekanan
Darah Tanda
Kehilangan Darah
(sistolik)
Gejala
500-1.000 mL (10-15%)
1000-1500 (15-25%) 1500-2000 (25-35%) 2000-3000 (35-50%)
dan
Derajat Syok
Palpitasi, Normal
takikardia,
Terkompensasi
pusing mL Penurunan
ringan
(80-100 mm Hg) mL Penurunan
Lemah, takikardia, berkeringat
sedang Gelisah,
(70-80 mm Hg) mL Penurunan (50-70 mm Hg)
Ringan
pucat,
oliguria tajam Pingsan, hipoksia, anuria
Sedang
Berat
8
Berdasarkan etiologinya, perdarahan post partum dapat disebabkan berbagai macam hal, diantaranya adalah atonia uteri, retensio uteri, laserasi jalan lahir dan kelainan darah.
A. ATONIA UTERI
I. Definisi Atonia uteri adalah kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syokhipovolemik3.
II. Etiologi Over distensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko mayor terjadinya atonia uteri. Overdistensi uterus dapat disebabkan oleh kehamilan ganda, janin makrosomia, polihidramnion atau abnormalitas janin (misal hidrosefalus berat), kelainan struktur uterus atau kegagalan untuk melahirkan plasenta atau distensi akibat akumulasi darah di uterus baik sebelum maupun sesudah plasenta lahir3. Lemahnya kontraksi
miometrium merupakan akibat
dari
kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obatan, seperti agen anestesi terhalogenisasi, nitrat, obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan nifedipin. Penyebab lain yaitu
plasenta
letak
rendah,
toksin
bakteri
(korioamnionitis,
endomiometritis, septikemia), hipoksia akibat hipoperfusi pada abruptio plasenta dan hipotermia akibat resusitasi masif. Data terbaru
9
menyebutkan bahwa grandemultiparitas bukan merupakan faktor resiko independen untuk terjadinya perdarahan post partum3. PREDISPOSISI TERHADAP ATONIA UTERI2 1. Grandemultipara. 2. Uterus yang terlalu regang (hidramion, hamil ganda, anak sangat besar/ BB > 4000 gram). 3. Kelainan uterus (uterus bikornis, mioma uteri, bekas operasi). 4. Plasenta previa dan solusio plasenta (perdarahan ante partum). 5. Partus lama 6. Partus presipitatus. 7. Hipertensi dalam kehamilan. 8. Infeksi uterus. 9. Anemia berat. 10. Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus). 11. Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat manual plasenta. 12. Pimpinan kala III yang salah dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas. III. Penatalaksanaan2,3 a) Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri b) Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan perinfus. c) Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini berhasil, dipertahankan selama 24 jam. d) Kompresi bimanual eksternal Menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar. Bila perdarahan berkurang,
10
kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi bimanual internal e) Kompresi bimanual internal Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila perdarahan tetap terjadi , coba kompresi aorta abdominalis f) Kompresi aorta abdominalis Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut,genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis. Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi g) Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin / ergometrin, bisa dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskuler atau langsung pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya. h) Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk penderita yang belum punya anak atau muda sekali) i) Bila tak berhasil, histerektomi adalah langkah terakhir.
11
Bagan 1. Penilaian Klinik Atonia Uteri2
12
B. RETENSIO PLASENTA
I. Definisi Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir2. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan oleh gangguan kontraksi uterus4. II. Klasifikasi2 Retensio plasenta terdiri dari beberapa jenis, antara lain2: a) Plasenta adhesive adalah plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih dalam, sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separsi fisiologis. b) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai sebagian lapisan miometrium sampai ke serosa c) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/melewati lapisan miometrium d) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus e) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
13
Tabel 4. Gambaran dan dugaan penyebab retensio plasenta2 Separasi / akreta Plasenta
Gejala
Plasenta akreta
parsial
inkarserata
Kenyal
Keras
Cukup
Tinggi fundus Sepusat
2 jari bawah pusat
Sepusat
Bentuk uterus
Diskoid
Agak globuler
Diskoid
Perdarahan
Sedang-banyak
Sedang
Sedikit/tidak ada
Tali pusat
Terjulur sebagian
Terjulur
Tidak terjulur
Ostium uteri
Terbuka
Konstriksi
Terbuka
Separasi
Lepas sebagian
Sudah lepas
Melekat
Konsistensi uterus
plasenta Syok
seluruhnya Sering
Jarang
Jarang sekali
III. Penatalaksanaan2 Retensio plasenta dengan separasi parsial a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat. c) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal (sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri) d) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan e) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
14
f) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g supositoria / oral) g) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok neurogenik Plasenta inkarserata a) Tentukan diagnosis kerja melalui anamnesis, gejala klinik dan pemeriksaan b) Siapkan
peralatan
dan
bahan
yang
dibutuhkan
untuk
menghilangkan konstriksi serviks dan melahirkan plasenta c) Pilih fluethane atau eter untuk konstriksi serviks yang kuat, siapkan infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per menit untuk mengantisipasi gangguan kontraksi yang diakibatkan bahan anestesi tersebut d) Bila prosedur anestesi tidak tersedia dan serviks dapat dilalui cunam ovum, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta. Untuk prosedur ini berikan analgesik (Tramadol 100 mg IV atau Pethidine 50 mg IV) dan sedatif (Diazepam 5 mg IV) pada tabung suntik yang terpisah Sisa Plasenta a) Penemuan secara dini, hanya dimungkinkan dengan melakukan pemeriksaan kelengkapan plasenta setelah dilahirkan. Pada kasus sisa plasenta dengan perdarahan pasca persalinan lanjut, sebagian besar pasien akan kembali lagi ke tempat bersalin dengan keluhan perdarahan setelah beberapa hari pulang ke rumah dan subinvolusi uterus b) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dosis awal 1 g IV dilanjutkan 3 x 1 g oral dikombinasi dengan metronidazol 1 g supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral c) Lakukan
eksplorasi
digital
(bila
serviks
terbuka)
dan
mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya
15
dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuretase d) Bila kadar Hb < 8 g/dL berikan transfusi darah. Bila kadar Hb > 8 g/dL, berikan sulfas ferosus 600 mg/hari selama 10 hari Plasenta akreta Tanda penting untuk diagnosis pada pemeriksaan luar adalah ikutnya fundus atau korpus bila tali pusat ditarik. Pada pemeriksaan dalam sulit ditentukan tepi plasenta karena implantasi yang dalam. Upaya yang dapat dilakukan pada fasilitas kesehatan dasar adalah menentukan diagnosis, stabilisasi pasien dan rujuk ke rumah sakit rujukan karena kasus ini memerlukan tindakan operatif.
16
Bagan 2. Penilaian Klinik Plasenta Akreta2
17
C. RUPTURE PERINEUM
I. Definisi Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.6
II. Tanda dan gejala Gejala yang selalu ada yaitu perdarahan segera, darah segar mengalir segera setelah bayi lahir, kontraksi uterus baik, keadaan plasenta baik.7 III. Etiologi6 a) Episiotomi yang terlalu lebar b) Robekan servik yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti, meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi dengan baik. perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan servik uteri. c) Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum tidak sering dijumpai. Mungkin ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan speculum. d) Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
18
perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu panggul bawah dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkum ferensia suboksipitobregmatika Laserasi pada traktus genitalia sebaiknya dicurigai, ketika terjadi perdarahan yang berlangsung lama yang menyertai kontraksi uterus yang kuat. Hampir 90% wanita mengalami robekan jalan lahir saat persalinan pervaginam, dan robekan paling sering terjadi di daerah perineum. Adapun robekan pada perineum dapat dibagi menjadi 4 derajat, yakni : Derajat 1 : laserasi epitel vagina/laserasi pada kulit perineum saja Derajat 2 : melibatkan kerusakan pada otot-otot perineum, tetapi tidak melibatkan kerusakan sfingter ani Derajat 3 : kerusakan pada sfingter ani 3a : robekan <50% sfingter ani eksterna 3b : robekan >50% sfingter ani eksterna 3c : robekan juga meliputi sfingter ani interna Robekan stadium tiga disertai robekan epitel anus
D. PLASENTA RESTAN
I. Definisi Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah.6
II. Tanda dan Gejala a) Gejala yang selalu ada yaitu plasenta atau sebagian selaput (mengandung pembuluh darah) tidak lengkap dan perdarahan segera
19
b) Gejala yang kadang-kadang timbul yaitu uterus berkontraksi baik tetapi tinggi fundus tidak berkurang.8 III. Etiologi6 a) Kesalahan penatalaksanaan kala tiga b) Potongan-potongan placenta yang ketinggalan tanpa diketahui c) Jaringan yang melekat dengan kuat IV. Penatalaksanaan6 a) Berikan antibiotika karena perdarahan juga merupakan gejala metritis. Antibiotika yang dipilih adalah ampisilin dengan dosis awal 1 G intravena dilanjutkan dengan 3 x 1 G oral dikombinasi dengan metronidazole 1 G supositoria dilanjutkan 3 x 500 mg oral. b) Dengan dipayungi antibiotika tersebut, lakukan eksplorasi digital (bila serviks terbuka) dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan. Bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrumen, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan AVM atau D&K. c) Bila kadar Hb < 8 gr% berikan tranfusi darah. Bila kadar HB
8
gr %, berikan Sulfas Ferosus 600 mg/hari selama 10 hari.
E. INVERSIO UTERI
Inversio uteri merupakan keadaan dimana fundus uteri masuk ke dalam kavum uteri, dapat secara mendadak atau terjadi perlahan. Inversio uteri ini hanya terjadi 0,05% pada persalinan.9 Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Peristiwa ini jarang sekali ditemukan, terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Sebab inversio uteri yang tersering adalah kesalahan dalam memimpin kala III, yaitu menekan fundus uteri terlalu
20
kuat dan menarik tali pusat pada plasenta yang belum terlepas dari insersinya. Menurut perkembangannya inversio uteri dibagi dalam beberapa tingkat7: 1) Fundus uteri menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari ruang tersebut 2) Korpus uteri yang terbalik sudah masuk ke dalam vagina 3) Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak di luar vagina. Gejala-gejala inversio uteri pada permulaan tidak selalu jelas. Akan tetapi, apabila kelainan itu sejak awal tumbuh dengan cepat, seringkali timbul rasa nyeri yang keras dan bisa menyebabkan syok.7 Pada inversio uteri ini, uterus harus segera direposisi secepatnya. Reposisi dapat dilakukan dengan metode Johnson, yakni pegang tonjolan fundus uteri dengan telapak tangan, dan jar-jari mengarahkan ke fornik posterior. Saat uterus sudah kembali masuk, berikan uterotonik untuk meningkatkan tonus uteri dan mencegah agar tidak terulang. Jika cara ini tidak berhasil, atau kontraksi servix meningkat maka dapat diberikan magnesium sulfat, terbutalin, nitroglyserin, atau general anestesi agar relaksasi uterus cukup sehingga dapat dilakukan manipulasi. Jika dengan cara ini tetap mengalami kegagalan, maka perlu tindakan operasi untuk mengembalikan uterus.10
21
Gambar 4. Reposisi uterus pada inversio uteri
22
Tabel 5. Perdarahan postpartum10 Diagnosa
Penyulit
Gejala dan tanda
penyebab
Uterus tidak berkontraksi Syok dan lembek
Bekuan
Atonia uteri darah
pada
Perdarahan segera setelah serviks atau pada posisi bayi lahir
terlentang
akan
menghambat aliran darah keluar Darah
segar
mengalir Pucat
segera setelah anak lahir Uterus
berkontraksi
Lemah
Robekan jalan lahir
dan Mengigil
keras Plasenta lengkap Plasenta belum lahir setelah Tali pusat putus
Retensio
30 menit
plasenta
Inversio uteri
Perdarahan segera, uterus Perdarahan lanjutan berkontraksi dan keras Plasenta
atau
sebagian Uterus berkontraksi tetapi Tertinggalnya
selaput tidak lengkap
tinggi fundus uteri tidak sebagian
Perdarahan segera
berkurang
Uterus tidak teraba
Neurogenik syok, pucat Inversio uteri
Lumen vagina terisi massa
dan limbung
plasenta
23
Bagan 3. Algoritma perdarahan postpartum2
24
Adapun strategi yang dapat digunakan untuk meminimalisir efek perdarahan postpartum adalah :10 1. Mengidentifikasi
dan
koreksi
anemia
sebelum
proses
persalinan
berlangsung 2. Mengurangi
kebiasaan
tindakan
episiotomy,
karena
episiotomy
meningkatkan sobekan sphincter ani dan kehilangan darah 3. Memeriksa kembali tanda vital ibu dan pengeluaran pervaginam sebelum mengakhiri proses persalinan. 4. Tindakan preventif terbaik adalah dengan menejemen aktif kala III 5. Profilaksis dengan pemberian oksitosin mengurangi kejadian perdarahan post partum. Pemberian oksitosin setelah kelahiran plasenta juga dapat membantu mengurangi kejadian perdarahan postpartum. 6. Oksitosin adalah terapi pilihan pertama untuk mencegah perdarahan postpartum karena lebih efektif dari alkaloid ergot dan prostaglandin, selain itu oksitosin memiliki efek samping yang lebih sedikit.
25
DAFTAR PUSTAKA 1. Komite Medik RSUP dr. Sardjito, 2000, Perdarahan Post Partum dalam Standar Pelayanan Medis RSUP dr. Sardjito, Yogyakarta: Penerbit Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2. Saifuddin, A. B., Adriaansz, G., Wiknjosastro, G., H., Waspodo, G. (ed), 2002, Perdarahan Setelah Bayi Lahir dalam Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 3. Smith, J. R., Brennan, B. G., 2004, Postpartum Hemorrhage, http://www.emedicine.com
4. Rayburn, W. F., Carey, J. C., 2001, Obstetri & Ginekologi, Jakarta: Penerbit Widya Medika. 5. Mochtar, R., Lutan, D. (ed),1998, Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi, Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 6. Prawihardjo, Sarwono. Buku Pedoman Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.2014. 7. Wiknjosastro, Hanifa dkk. Ilmu Bedah Kebidanan . Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo. 2014. 8. Widyastuti, Aminah. Safe Motherhood : Modul Hemoragi Postpartum Materi Pendidikan Kebidanan. Jakarta : EGC. 2002. 9. Manuaba, I.B.G, I.A. Chandra Manuaba, dan I.B.G Fajar Manuaba. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2007 10. Anderson J, etches D. Prevention and Management of Postpartum Hemorrhage. Am Fam Physician. 2007 Mar 15; 75(6): 875-82
26