Buku Btcls.docx

  • Uploaded by: Lea Ranggalawe Wibowo
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buku Btcls.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 18,631
  • Pages: 105
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Materi Medis Teknis Standart Materi medis teknis standart ini merupakan rangkuman yang di sajikan sebagai panduan instrusksional dan di harapkan dapat mudah di merngerti dan mudah di lakukan. Materi tersebut meliputi: cara memberikan bantuan hidup dasar (BHD) atau disebut juga BLS (Basic Life Support), cara memberikan bantuan hidup lanjut atau di sebut juga ALS (Advanced Live Support) penanganan awal kegawat daruratan baik trauma maupun non trauma yang merupakan suatu kesatuan dalam penangan PPGD. Materi ini di harapkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi dokter, perawat, petugas ambulan ataupun orang awam Ketrampilan dasar sangat di perlukan oleh dokter yang harus menangani pasien gawat darurat selama dokter ahli belum ada di tempat. Langkah-langkah melakukan PPGD dimulai dengan melakukan pengenalan kasus kegawat daruratan. Pengenalan keadaan ini meliputi pengenalan awal untuk dapat memberikan pertolongan pertama (early treatment), selanjutnya dilakukan evaluasi awal untuk mengetahui pertolongan lanjutan yang diperlukan. Dokter, perawat, dan mahasiswa harus mampu melakukan resusitasi pada pasien yang mengalami henti jantung dan nafas. Diharapkan para pelaksana PPGD dapat melakukan tindakan yang lebih dini / proaktif, yaitu pengenalan yang cermat agar dapat dilakukan pencegahan memburuknya keadaan pasien sebelum atau sesudah terjadinya henti nafas dan henti jantung. Pencegahan merupakan serangkaian usaha maupun antisipasi yang perlu di pikirkan sebelum memberikan penanganan henti jantung atau henti nafas. Pencegahan akan memberikan hasil yang jauh lebih baik dari pada harus melakukan resusitasi jantung paru. Pencegahan henti nafas atau jantung di kelompokkan sebagai berikut: 1. Pencegahan primer Usaha mengidentifikasi faktor-faktor resiko, serta menghilangkan faktor-faktor tersebut jika memungkinkan. Minimal melakukan monitoring agar faktor tersebut tidak berkembang menjadi pencetus terjadinya henti jantung dan atau henti nafas. 2. Pencegahan Sekunder Melakukan diagnosa dini dan tindakan pada kasus-kasus yang berpotensi mengalami henti jantung atau nafas 3. Pencegahan Tersier

Melakukan resusitasi jantung paru dengat cepat dan tepat untuk mencegah terjadinya kematian maupun kecacatan. Kekurangan kadar oksigen lebih dari 5-7 menit dapat menyebabkan kerusakan otak yang irreversible. Dengan deteksi dini dan melakukan penanganan yang cepat dan tepat di harapkan memberikan hasil yang lebih baik bagi korban. Beberapa kasus gawat darurat adalah sebagai berikut:  Masalah pada jalan nafas (airway)  Masalah pada ventilasi pernfasan (breathing)  Masalah pada sirkulasi darah (circulation) Beberapa masalah tersebut di prioritaskan agar dapat segera mendapatkan penanganan agar kecacatan dan kematian dapat di hindarkan. Agar memudahakn dalam memberikan penanganan pada kasus tersebut, maka digunakan singkatan A-B-C yang mungkin harus dilanjutkan dengan urutan D-E (untuk Bantuan Hidup Lanjut / ALS)

1.2 Prinsip PPGD 1.2.1. Istilah Kasus Gawat Darurat, Perlu pertolongan segera karena ancaman kematian akut Critical ILL Patient,  Immediatelly life threatening  Potentiallylife threatening Kasus Gawat Darurat Emergency Patient Perlu pertolongan segera 1.2.2. Tindakan Dalam PPGD  Siapa saja yang pertama mengetahui (dokter, perawat, awam)  Tindakan pertolongan pertama  BHD (Bantuan Hidup Dasar/Basic Life Support) dan BHL (Bantuan Hidup Lanjut/Advaned Life Support)  Penanganan melibatkan multi disiplin, profesi, dan lintas sektor.  Pendekatan berdasarkan problem dan fungsi-fungsi

 Pengetahuan tambahan (Spesialis) diperlukan untuk kasus rujukan  Kegiatan meliputi - Pra rumah sakit - Intra rumah sakit - Antar rumah sakit

1.3 Kegawatan Definisi Suatu keadaan yang menimpa seseorang yang dapat mengancam jiwa. Sehingga mememrlukan pertolongan cepat, tepat, dan cermat. Bila tidak maka seseorang tersebut dapat mati atau cacat. Prioritas Utama Penyebab Kegawatan Banyak sebab yang dapat mengakibatkan kecacatan maupun kematian dalam waktu yang singkat. Beberapa kegawatan tersebut adalah gangguan jalan nafas dan fungsi nafas, fungsi sirkulasi, fungsi otak dan kesadaran. Penyebab Medik Kegawatan Daruratan Penyakit Infeksi Otak

: Gangguan kesadaran, Gangguan pada organ-organ

Diabetic

: Koma diabetikum

Hepar

: Koma hepatikum

Ginjal

: Koma uremikum

Jantung

: Serangan jantung

Hipertensi

: Serangan otak

Kelemahan Otot

: Tidak dapat bernapas

Obat-obatan Narkotika

: Henti nafas

Anafilaktik

: Schock berat

Penyebab Trauma Trauma kepala

: gangguan kesadaran

Trauma wajah

: gangguan jalas napas

Trauma dada

: perdarahan / shock

Pneumothorak

: Sesak

Patah tulang dada

: Sesak, nyeri

Trauma anggota gerak

: Perdarahan / shock / nyeri

Trauma pada kehamilan

: Bahaya untuk ibu dan bayi

Terbakar

: Sesak, shock

1.4. TRIAGE DEFINISI Pengelompokan korban berdasarkan berat-ringannya trauma / penyakit yang di derita korban, serta tingkat kegawatan korban membutuhkan penanganan. MACAM-MACAM KORBAN - Multiple Korban (Korban Masal) Kejadian atau timbulnya kedaruratan yang mengakibatkan lebih dari satu korban, sehingga harus melibatkan lebih dari satu penolong. Kejadian tersebut bukan di akibatkan oleh bencana - Korban Bencana (Mass Casualty Disasater) Kegawatdaruratan yang memerlukan penerapan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu Sehari-hari dan Bencana (SPGDT-S dan SPGDT-B) Prinsip seleksi korban, berdasarkan 1. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran menit 2. Ancaman jiwa yang dapat mematikan dalam ukuran jam 3. Ruda paksa ringan 4. Sudah meninggal PRIORITAS 1. Biru 2. Merah 3. Kuning 4. Hijau 5. Hitam

PEDOMAN TIM PENOLONG

Pemimpin Triage:  Primary survey  Menentkan prioritas penanganan dan pemindahan  Menentukan pertolongan apa yang harus di berikan Tanggung jawab anggota tim triage  Mencegah kerusakan berlanjut  Triage korban  Melindungi korban Catatan:  Ketika dalam kondisi bencana lebih baik meminta bantuan personel  Utamakan memberikan penanganan pada pasien yang berpotensi selamat  Perlu berfikir kemungkinan kondisi terburuk yang akan terjadi, sehingga kita dapat mempersiapkan dengan baik

1.5

PRIORITAS

DEFINISI Penentuan yang mana harus di dahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat kegawatdaruratan TINGKAT PRIORITAS 1. Prioritas pertama (I, Emergency) Mengancam jiwa / anggota fungsi organ-organ vital Penanganan dan pemindahan bersifat segera 2. Prioritas kedua (II, Urgent) Potensial mengancam jiwa / fungsi organ-organ vital bila tidak segera di tangani dalam waktu singkat Penanganan dan pemnidahan bersifat jangan terlambat 3. Prioritas ketiga (III, Non emergency) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa Tidak perlu segera Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir

PENILAIAN 1. Primary Survey A,B,C, Menghasilkan prioritas I,II,III, dan selanjutnya 2. Secondary Survey Head to toe, menghasilkan prioritas I,II,III dan selanjutnya 3. Monitoring kondisi korban yang memiliki potensi terjadi perubahan:  Airway, Breathing, and Circulation  Derajat kesadaran  Tanda-tanda vital 4. Perubahan prioritas yang di karenakan berubahnya kondisi pasien

PERHATIAN KHUSUS 1. Meningkatnya derajat distress nafas, shock 2. Turunnya kualitas nadi 3. Perubahan derajat kesadaran 4. Koma yang timbul setelah lucid period 5. Timbulnya masalah jalan nafas dan rongga thorak 6. Perubahan hemodinamik / hipotensi secara mendadak, kemungkinan akibat perdarahan internal 7. Luka tembus kepala, dada, perut

Catatan - Perlu adanya team leader serta anggota tim yang telah terdidik dan terlatih - Prioritas, menggambar tingkat bahaya yang mengancam jiwa

PRIORITAS DAN KODE WARNA Prioritas 1, merah 1. Sumbatan jalan nafas / distres nafas 2. Luka tusuk dada 3. Hipotensi / shock 4. Perdaraham pembuluh darah besar 5. Problem kejiwaan yang serius

6. Tangan / kaki yang terpotong 7. Combustio tingkat II > 25% 8. Combustios tingkat III > 25% Prioritas II, KUNING 1. Combustio tingkat II / tingkat III >25% 2. Fraktur pada tulang besar 3. Trauma thorak / abdoment 4. Laserasi luas 5. Trauma bola mata PRIORITAS III, HIJAU 1. Contusio dan laserasi otot ringan 2. Combustio tingkat II < 20 %, kecuali pada daerah muka dan tangan PRIORITAS 0, HITAM 1. Henti jantung yang kritis 2. Trauma kepala yang kritis 3. Radiasi tinggi

1.5.

PRIMARY SURVEY

DEFINISI Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi fungsiorgan vital yang terancam. Pada dasarnya Primary survey adalah life support dan resusitasi segera terhadap kelainan yang mengancam jiwa. Dalam waktu kurang dari 2 menit, penolong mampu menyimpulkan kondisi kegawat daruratan Dinilai dari Airway, breathing, dan circulation. Tindakan yang di berikan oleh penolong diharapkan dapat memperbaiki Dissability, yaitu fungsi kesadaran atau brain dengan tidak mengesampingkan E-Enviroment untuk mecegah hipotermi atau hipertermia dan waspada akan adanya cidera tulang leher pada kasus trauma.

TEKNIK PELAKSANAAN Pertama kali harus dipastikan bahwa kondisi pasien gawat dalam kondisi sadar atau tidak, dengan cara:

 Memanggil korban  Bila tidak ada respon dapat di berikan rangsang nyeri. Memeriksa kesadaran pada tahap primary survey ini disebut sebagai AVPU (dibahas pada bab 5), funsi kesadaran. Tahap berikutnya adalah memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan sistematika A-B-C

A-Airway  Adakah suara nafas  Look, listen, feel  Buka jalan nafas, yakinkan adekuat  Atasi segera, bebaskan jalan nafas  Head tilt, chin lift, jaw thrust, hati-hati pada korban trauma, perhatikan adanya tanda-tanda ciera tulang leher.  Suntion, hisap lendir

B-Breathing Pertukaran nafas adekuat?  Jika tidak ada, lakukan resusitasi  Frekuensi  Kualitas  Teratur atau tidak

C-Circulation Adakah perdarahan?  Eksternal Hentikan segera: dengan bebat tekan pada luka Elevasi Kompres es Tourniquet, hanya pada luka / trauma khusus  Internal Segera kirim, lihat protokol khusus

Shock yang paling sering adalah shock hipovolemi  Perfusi dingin, basah, pucat  Nadi cepat dan lemah  Capillary refill time > 2 detik

D-Kesadaran  Bagaimana kesadaran korban  Trauma kepala Pada korban yang di curigai mengalami cidera tulang leher, pasang collar brace sebelum di rujuk

E-Enviroment Pada pemeriksaan fisik, lepas semua baju dan celana, segerakan selimut kembali untuk mencegah hipotermia. Apabila korban dalam kondisi basah, segera kekringkan dan selimuti dengan selimut kering.

Catatan: Primary survei harus selalu dilaksanakan pada tiap pasien / korban dan dilakukan pada saat itu juga (time saving is life saving) Hindari hal-hal yang dapat mengancam jiwa penolong. Yakinkan bahwa tindakan pertolongan yang diberikan untuk anda

1.6

SECONDARY SURVEY

DEFINISI Mencari perubahan-perubahan fisik anatomis yang dapat berkembang menjadi lebih gawat dan dapat mengancam jiwa apabila tidak segera diatasi. Dilakukan setelah primary survey selesai

PERSIAPAN ALAT  Stotescope,  Tensimeter  Jam analog

 Lampu pemeriksaan,  Gunting,  Thermometer,  Buku catatan  Alat tulis  Pemeriksaan laboratorium bila ada, Hb, foto thorak, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

TEKNIK PELAKSANAAN 1. Head to toe Pemeriksaan menyelurur kondisi korban  Posisi saat ditemukan  Tingkat kesadaran  Sikap umum, keluhan  Ruda paksa, kelainan  Keadaan kulit

2. Periksan kepala dan leher  Rambut dan kulit kepala Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan cedera tulang belakang  Telinga Perlukaan, darah, cairan  Mata Perlukaan pembengkaan, perdarahan, refleks pupil, kondisi kelopak mata, kemerahan perdarahan sclera/alrian antrum anterior, benda asing, pergerakan abnormal  Hidung Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi karena ruda paksa  Mulut Perlukaan, darah, cairan, muntahan benda asing, gigi, bau mulut, dapat membuka mulut atau tidak  Bibir Perlukaan, perdarahan, cyanosis, kering

 Rahang Perlukaan, stabilitas, krepitasi  Kulit Perlukaan, basah / kering, darah, warna goresan-goresan, suhu  Leher Perlukaan, bendungan vena, deviasi trachea, spasme otot, stoma, tag, stabilitas tulang leher. 3. Periksa dada Flailchest, nafas diagfragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan, suara ketuk, suara nafas

4. Periksa perut Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan undulasi

5. Periksa tulang belakang Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme

6. Periksa pelvis / genetalia Perlukaan, nyeri, pembengkaan, krepitasi, priapismus, inkontinensia

7. Periksa ekstermitas atas dan bawah Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan gangguan rasa nyaman, bengkak, denyut nadi, warna luka

Catatan:  Perhatikan tanda-tanda vital  Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu di mulai dengan pertanyaan adakah D-EC-A-P-B-L-S D : Deformitas E : Ekskoriasi C : Contusi A : Abrasi

P : Penetrasi B : Bullae / Burn L : Laserasi S : Swelling / sembab -

Pada dugaan padah tulang, pemeriksaan setiap tahun selalu di mulai dengan pertanyaan: Adakah : P-I-C P : Pain I : Instabilitas C : Crepitasi

BAB 2 RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK 2.1

PENDAHULUAN Istilah Cardiopulmonary Resuscitation (CPR, Eropa) atau Cardiopulmonary Cerebral

Resuscitation (CPCR, isitilah amerika) yang diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagai resusitasi jantung paru otak (RJPO) berarti tidakan Basic Life Support (BLS) dan Advanced Life Support (ALS). Pada kehidupan sehari-hari sering dicampur aduk antara BLS dan CPR. Pada hakekatnya BLS adalah tindakann membebaskan jalan nafas (Airway), memberikan bantuan nafas (Breathing), dan melakukan pijat cantung (CPR). Tindakan ini diharapkan dapat dilanjutkan oleh tenaga ahli dengan pemasangan monitoring ECG, pemberian obat emergency, serta penggunaan defibrilator dan digolongkan sebagai Advanced Life Suppot (ALS). Selama bantuan tenaga ahli atau ambulan belum datang maka BLS tetap harus di lanjutkan. Perlu di ingat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak memiliki cadangan oksigen. Pada keadaan obstruksi total dari jalan nafas atau pasien tidak bernafas maka oksigen dalam paru (Functional Residual Capacity) akan habis dalam 2-3 menit. Apabila sirkulasi juga berhenti 5-7 menit karena jantung yang berhenti berdenyut akan mengakibatkan keruksakan otak yang permanen dan jika pasien tersebut mengalami hipoksimea sebelumnya maka batas waktu tersebut menjadi lebih pendek. BLS harus segera dilakukan, sebelum 5 menit, sebelum jaringan otak terlanjur menjadi rusak dan irreversible Teknik BLS dilakukan tanpa bantuan alat, diajarkan kepada semua orang, bukan hanya kepada tenaga kesehatan. BLS yang dilakukan dengan bantuan alat (jalan nafas buatan, masker atau sungkup muka) disebut Basic Life Suport with Airway Adjunct”. Untuk profesional medis bukan hanya dituntut menguasai BLS namun juga ALS, terutama tenakes di IGD, ambulan, dan unit-unit perawatan intensif. Dalam guidline 2005 CPR, alat defibrilator mode otomatis (AED) dimasukkan dalam materi BLS. Keadaan henti nafas / respiratory arrest tidak selalu disertai dengan henti jantung, sebaliknya henti jantung selalu disertai dengan henti nafas. Gangguan nafas yang terjadi bukan akibat gangguan jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi, misalnya asistol, bradikardi, takikardi ventrikel, febrilasi ventrikel. Penegakkan ada atau tidaknya nafas pada korban dapat di kaji dengan Look-Listen-Feel

Henti jantung / cardiac arrest ditandai dengan tidak terabanya denyut nadi karotis. Pada pasien yang telah terpasang monitoring EKG dan di dapat gambaran asistole pada layar monitor, maka harus selalu di cek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya henti jantung. Henti jantung dapat disebebkan oleh beberapa hal, diantaranya:  Hipoksemia  Gangguan elekrolit (hipokalemia, hiperkalemi, hipomagnesia)  Aritmia  Penekanan mekanik pada jantung (tamponad jantung, tension pneumothoraks)

2.2

TEKNIK RESUSITASI JANTUNG PARU

I. TANPA ALAT  Satu orang penolong Memberikan pijat jantung luar dan pernafasan buatan dengan perbandingan 30:2 dalam 2 menit (5 siklus)  Dua orang penolong Memberikan pijat jantung luar dan pernafasan buatan yang di lakukan oleh masing-masing penolong secara bergantian dengan perbandingan sama dengan 1 penolong yaitu 30:2 dalam 2 menit (7-8) siklus. II. Dengan alat Untuk mencapai hasil RJOP yang lebih baik, pijat jantung tanpa sela maka harus diusahkan sesegera mungkin pemasangan intubasi endotracheal

2.4.1 BLS DEWASA  Satu Penolong 1. Pada korban tidak sadar (periksa dengan tegur sapa, menepuk bahu, lalu di berikan rangsang nyeri / cubit untuk memastikan) 2. Sekaligus atur posisi korban, telentangkalah di atas alat keras dengan cara log roll (meggelindingkan). Hati-hati bila ada kecurigaan patah tulang belakang 3. Berusaha memberikan pertolongan segera dan minta bantuan (berteriak, call for help, dsb) tanpa meninggalkan pasien 4. Periksa apakah pasien bernafas / tidak.

5. Bila tidak bernafas, buka dan bebaskan jalan nafas : head tilt / chin lift / jaw thurst. 6. Periksa kembali apakah pasien bernafas atau tidak. Dengan posisi look-listen-feel selama 3-5 detik, tentukan pasien bernafas atau tidak 7. Bila tidak bernafas, berikan nafas 2 x, tidak perlu berlebihan, cukup asal membuat dada mengembang 8. Raba denyut karotis 5 – 10 detik 9. Bila nadi karotis tidak teraba, lakukan pijat jantung dari luar 30 x pada titik tumpu tekan jantung, tekan tulang dada sampai turun dengan kedalaman menekan sternum 4 -5 cm. Lakukan dengan kecepatan minimal 100x per menit. Lanjutka pemberian nafas buatan tanpa alat / dengan alat dua kali, tidak perlu berlebihan, cukup asal membuat dada mengembang 10. Lengkapi tiap siklus dengan perbandingan 30 pijatan dan 2 ventilasi 11. Evaluasi denut karotis tiap 2menit. Untuk satu penolong evaluasi dilakukan setiap akhir siklus ke-5 12. Bila denyut nadi karotis belum teraba, lanjutkan RJPO hingga nadi karotis berdenyut.  DUA PENOLONG 1. Langkah 1-10 di atas tetap dilakukan oleh penolong pertama hingga penolong kedua datang 2. Saat penolong pertama memriksa denuyt nadi karotis, penolong kedua mengambil posisi untuk menggantikan pijat jantung. 3. Bila denyut nadi belum teraba, penolong kedua langsung melakukan pijatan. Penolong pertama tidak perlu mendahului pijatan jantung dengan melakukan 2 x tiupan nafas (berbeda dengan guidlines sebelumnya) 4. Lanjutkan siklus pertolongan dengan perbandingan 30 pijat : 2 ventilasi (oleh penolong pertama) 5. Lakukan evaluasi denyut nadi karotis setiap 2 menit atau untuk 2 penolong evaluasi setiap akhir siklus ke 7 atau akhir siklus ke 8

2.4.2 BLS PADA ANAK 1. Langkah 1-8 tetap dilakukan seperti pada BLS Dewasa

2. Untuk pijat jantung, gunakan penekanan dengan 2 jari tengah dan jari manis di atas tulang dada, 1 jari di bawah garis imajinasi antara puting susu. 3. Tekan tulang dada sampai turun kurang lebih sepertiga diameter anteroposterior rongga dada bayi dengan frekuensi minimum 100 kali per menit

BAB 3 AIRWAY MANAAGEMENT Membebaskan jalan nafas adalah tindakan untuk menjamin pertukaran udara secara normal. Korban tidak jatuh dalm kondisi hipoksia maupun hiperkabia. Ada 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat / manual, diagnosis terhadap adanya gangguan jalan naffas dapat diketahui dengan cara Look, Melihat gerakan nafas / pengembangan dada Dan adanya retraksi sela iga Listen Mendengar aliran udara pernafasan

Dilakukan dengan satu gerakan

Feel Merasakan adanya aliran udara pernafasan Kesimpulan LLF: Jalan nafas bebas tanpa sumbatan Jalan nafas tersumbat ringan / sedang / berat Jalan nafas tersumbat total 3.1

MEMBEBASKAN JALAN NAFAS TANPA ALAT

3.1.1 MEMBUKA JALAN NAFAS Dapat dilakukan:  Head-tilt, dorong kepala kebelakang  Chin-lift manouver, tindakan mengangkat dagu  Jaw-thrust manouver, tindakan mengangkat sudut rahang bawah

HEAD TILT Dilakukan bila jalan nafas tertutup oleh pangkal lidah, suara nafas pasien tidak bersih, terdengar suara nafas tambhan berupa “ngorok” / snoring Cara: letakkan 1 telapak di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga lidah tegang akhirnya lidah terangkat ke depan Catatan:

Cara ini sebaiknya tidak di lakukan pada dugaan adanya patah tulang leher

CHIN LIFT Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah depan Cara: Gunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan.

JAW THRUST Walaupun head tilt dan chin lift sudah di lakukan seringkali jalan nafas belum terbuka sempurna, mak teknik jaw thrust ini harus dilakukan Cara: Dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Atau gunakan ibu jari ke dalam mulut dan bersama dengan jari-jari lain dagu ke depan Pada dugaan patah tulang leher yang dilakukan adalah memodifikasi jaw thrust dan fiksasi leher agar tidak ada gerak berlebih. Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan jaw thrust dengan hati-hati dan sebisa mungkin mencegah gerakan leher. Bila jalan nafas tersumbat karena adnaya benda asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari / finger sweep. Kegagalan membuka jalan nafas dengan cara ini perlu di pikirkan hal lain, yaitu adanya sumbatan jalan nafas daerah faring atau adnaya henti nafas / apnea. Bila hal itu terjadi dan pasien menjadi tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila dada tidak tampak mengembang, makan kemungkinan adnya sumbatan pada jlan nafas dan dilakukan heimlich manouver. 3.1.2 MEMBERSIHKAN JALAN NAFAS FINGER SWEEB Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut bagian belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya) yang mengakibatkan tidak terasa hembusan nafas / obstruksi Cara:

Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu kebawah. Bila otot rahang lemas, gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung tangan / kassa untuk membersihkan mengorek / mengait semua benda asing dalam rongga mulut. 3.1.3 MENGATASI SUMBATAN JALAN NAFAS PARSIAL Dapat menggunakan teknik manual thrust:  ABDOMINAL THRUST Untuk penderita sadar dengan sumbatan jalan nafas parsial boleh dilakukan tindakan Abdominal thrust (pada pasien dewasa). Bantu / tahan penderita tetap berdiri atau condong ke depan dengan merangkul dari belakang 1. Lakukan hentakkan mendadak dan keras pada titik silanggaris antar berlikat dan garis punggung tulang belakang (back blows) 2. Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dan gunakan kepalan dua tangan, hentakkan pada ulu hati (abdominal thrust). Ulangi hingga jalan nafas bebas atau hentikan bila korban jatuh tidak sadar dan ganti dengan tindakan RJPO 3. Segera panggil bantuan Ketika korban tidak sadar maka segera lakukan: 1.

Tidurkan korban miring

2.

Lakukan back blow posisi miring

3.

Bila gagal dan korban tetap tidak sadar maka segera telentangkan kembali dan segera lakukan RJPO

4.

Segera panggil bantuan setelah pertolongan pertama di lakukan selama 1 menit

 BACK BLOW PADA BAYI Bayi sadar: 1.

Bila penderita dapat batuk keras, observasi ketat

2.

Bila nfas tidak efektif / henti nafas, lakukan: - Lakukan back blow 5 kali (hentakan keras mendadak pada punggung korban di titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung) - Posisikan tangan kiri berada pada dada bayi dengan dua jari membuka mulut bayi - Kemudian tangan yang satu melakukan hentikan pada punggung

CHEST THRUST Merupakan tindakan untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan parsial akibat benda padat. Biasanya pada korban bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil. Korban sadar: Pada anak lebih dari 1 tahun lakukan chest thrust 5 kali dengan cara tekan tulang dada dengan jari telunjuk dan tengah kurang lebih satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu Korban tidak sadar: 1.

Tidurkan terlentang,

2.

Lakukan chest thrust

3.

Tarik lidah dan lihat adakah benda asing

4.

Berikan pernafasan buatan

5.

Bila jalan nafas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan krikotirotomi jarum

3.2 MEMBERIKAN JALAN NAFAS MENGGUNAKAN ALAT Cara ini dilakukan bila tindakan manual tanpa alat tidak berhasil sempurna. Alat yang digunakan bermacam-macam sesuai dengan jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang intinya bertujuan mempertahankan jalasn nafas agar tetap terbuka

3.2.1 OROFARING, NASOFARING, DAN ENDOTRACHEAL TUBE Jalan nafas buatan di pasang pada korban jika gagal menggunakan cara manual. Orafaring di pasang untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas pada korban tidak sadar. Bila dengan menggunakan Orofaring dan nasofaring belum membuka jalan nafas, maka perlu menggunakan endotracheal tube. Pemasangan endotracheal tube akan menjamin jalan nafas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernafasan

TEKNIK PEMASANGAN OROFARING: 1. Buka mulut pasien dengan menggunakan chin lift /gunakan ibu jari dan telunjuk 2. Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannnya 3. Bersihkan dan basahi agar licin

4. Arahkan lengkungan menghadap ke langit-langit / palatal 5. Masuk saparuh, putar lengkungan mengarah ke bawah lidah 6. Dorong pelan-pelan sampai posisi tepat 7. Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lalu lihat, dengar, dan raba nafas Pada korban bayi masukkan pipa orofaring dengan bantuan spatel sehingga laring dapat terlihat jelas, lengkungan pipa diatur searah dengan lidah. Hal ini dilakukan karena palatum bayi masih lunak dan tonsil masih besar

TEKNIK PEMASANGAN NASOFARING 1. Nilai lubang hidung, septum nasi, ukuran pipa 2. Pakai sarung tangan 3. Beri jelly pada pipa dan kalau perlu tetesi lubang hidung dengan vasokontriktor 4. Hati-hati dengan kelengkungan tube yang menghadap ke arah depan, ujungnya di arahkan ke arah telinga 5. Dorong pelan-pelan hingga seluruhnya masuk, lalu pasang plester Catatan: Perhatikan arah irisan lubang nasofaring, serta arah masuk atau lekukan

PEMASANGAN ENDOTRACHEAL TUBE Persiapan alat intubasi -

Pipas nasofaring atau orogaring

-

Alat sution

-

Kanul dan masker oksigen

-

Ambu bag

-

Pipa endotrakcheal dan stylet

-

Jelly

-

Magill forcep

-

Laringoscope

-

Obat-obatn sedatif I.V

-

Sarung tangan

-

Plester

-

Gunting

-

Bantal kecil tebal 10 cm bila ada

TEKNIK INTUBASI 1.

Gunakan bantal dan pastikan jalan nafas terbuka, hati-hati pada cedera leher

2.

Siapkan endrotacheal tube, periksa balok / cuff, siapkan stylet, dan beri pelumas

3.

Pasang blade dan handle laringoskop, dan pastikan lampu menyala

4.

Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan blad ke sisi kanan mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri

5.

Tekan tulang rawan krikoid, untuk mencegah aspirasi = sellick manouver

6.

Lakukan traksi sumbu panjang laringoskop, hati-hati cedera gigi, gusi, bibir

7.

Lihat adanya pita suara, bila perlu isap lendir / cairan lebih dahulu

8.

Keluarkan stylet dan laringoskop dengan hati-hati

9.

Kembangkan balon / cuff endotracheal tube

10. Pasang pipa orofaring 11. Periksa posisi endotracheal tube apakah masuk dengan benar, cek dengan auskultasi suara pernafasan atau udara yang ditiupkan. 12. Hubungkan dengan pipa oksigen 13. Fiksasi endotracheal tube dengan plester

3.2.2. SUCTIONING Merupakan tindakan membersihkan benda asing berupa cairan dalam jalan nafas menggunakan alat penghisap. Bila terdapat sumbatan jalan nafas karena benda cair yang di tandai dengan terdengar suara tambhan berupa gargling, maka harus dilakukan suctioning. Masuknya suction catheter tidak lebih dari 5 detik TEKNIK SUCTIONING 1.

Alat suction dihubungkan dengan suction catheter

2.

Gunakan sarung tangan bila memungkinkan

3.

Buka mulut pasien, terdangahkan jalan nafas bila perlu

4.

Lakukan suctioning, kurang lebih 5 detik masuk dan tarik

5.

Cuci suction catheter dengan memasukkannya pada air bersih untuk membilas, ulangi lagi bila diperlukan

3.2.3. MEMBERSIHKAN BENDA ASING PADAT Bila pasien tidaksadar dan terdapat sumbatan benda padat di daerah hipofaring yang tidak mungkin untuk dihilangkan dengan sapuan jari, maka gunakanlah alat berikut ini: -

Laringosko

-

Suction

-

Magil forcep

TEKNIK 1.

Buka jalan nafas lurus atau lebar dengan memperbaiki posisi kepala

2.

Gunakan laringoskop dengan tangan kanan

3.

Masukkan blade-laryngoskope pada sudut mulut kanan dan mneyusur tepi lidah sampah apangkal lidah, putar ujung blade perlahan ke tengah dan angkat tangkai laringoskop ke atas depan sehingga terlihat hipofaring dan rima glotis

4.

Gunakan suction untuk mengeluarkan cairan dan gunakan magyl forcep untuk mengeluarkan benda padat

3.2.4. KRIKOTIROTOMI Membuka jalan nafas dengan krikotirotomi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu:  Krikotirotomi jarum Cara ini dilakukan pada kasus pemasangan endotracheal tube tidak mungkin dilakukan. Arahkan jarum pada sudut 30-45 derajat ke arah bawah, jika ke arah atas akan menciderai plica vocalis  Krikotirotomi pembedahan Persiapan alat: - Sarung tangan - Pisau / skalpel no 1 dan 20 - Desinfektan - Anastesi lokal

- Kassa - Kanula tracheostomi no 5-7 - Baju steril - Gunting - Masker - Kaca mata

TEKNIK 1.

Jelaskan pada korban bila korban masih sadar

2.

Pilih ukuran kanula tracheostomi sesuai kebutuhan

3.

Atur posisi pasien - Netral, pasang penyangga leher / collar splint pada pasien tanpa cedera leher - Ekstensi pada kasus cedera leher

4.

Pakai APD (Baju, masker, kaca mata, sarung tangan)

5.

Desinfektan leher, tutup leher dengan kain steril berlubang

6.

Berikan anastesi lokal

7.

Tentukan letak membran krikoid. Insisi pada membran 2 -3 cm menembus sampai rongga trakhea sudut 30-40 derajat ke bawah untuk menghindari cedera pita suara

8.

Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau spekulum / dilatator

9.

Pasang kanula tracheostomi

10. Kembangkan balon / cuff 11. Berikan ventilasi 100% oksigen 12. Cek segera potensi jalan nafas 13. Pasang pita pengikat kanula 14. Cek foto X-ray

Catatan: Boleh pakai jarum besar sebelum insisi menembus membran krikoid sebgai pemandu insisi agar cepat dapat membantu diberikannya oksigen.

Cara Menyiapkan Peralatan Bantu Membuka Jalan Nafas Umum

Masker Orofaring Laringoskop

ETT

Stylet

/ BB Bayi baru

Suction Catheter

Infant

Infant

0 lurus

lahir / 3 Kg

2,5 – 3,0

6 Fr

6 – 8 Fr

6 Fr

8 Fr

6 Fr

8 – 10 Fr

6 Fr

10 Fr

14 Fr

14 Fr

14 Fr

14 Fr

(tanpa cuff)

0 – 6 bulan

Infant

Infant

1 lurus

/ 3,5 kg

3,0 – 3,5 (tanpa cuff)

6- 12 bulan/

Pediatrik

Small

1 lurus

7 Kg

3,0 – 3,5 (tanpa cuff)

1 – 3 tahun

Pediatrik

Small

1 lurus

/ 10-12 Kg

4,0 – 4,5 (tanpa cuff)

4-7 tahun

Pediatrik

Medium

2 lurus / lengkung

/ 16-18 kg

5,0-5,5 (tanpa cuff)

8-10 tahun

Pediatrik /

Medium /

2-3 lurus /

5,5-5,6

/ 24-30 kg

dewasa

large

lengkung

(tanpa cuff)

BAB 4 BREATHING Pengelolaan fungsi pernafasan bertujuan untuk memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara memberikan bantuan nafas agar kebutuhan oksigen tercukupi Diagnosa henti nafas dapat di pastikan apabila tidak terdapat tanda-tanda dari pemeriksaan looklisten-feel, serta telah di lakukan menagement airway, akan tetapi tidak didapatkan adanya pernafasan atau pernafasan yang tidak adekuat Penilaian fungsi pernafasan dapat di bagi menjadi 4, yaitu: 1.

Pernafasan normal Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, menjaga agar fungsi nafas tetap normal

2.

Distress nafas Mempertahankan jalan nafas tetap bebas, memberi tambahan oksigen untuk memnuhi kebutuhan oksigen pada pasien, bila perlu memberi bantu nafas dan mencari penyebabnya

3.

Henti nafas / apneu Mempertahankan jalan nafas tetap bebas dan memberi nafas buatan pada pasien

4.

Henti nafas dan henti jantung Lakukan RJPO

Look-listen-feel bertujuan untuk mengevaluasi pernafasan pasien, yaitu: -

Ada atau henti nafas

-

Frekwensi nafas

-

Ritme nafas

-

Amplitudo

-

Nafas dada atau perut

-

Gerak cuping hidung

-

Ketegangan otot bantu nafas

-

Cekungan antar iga

-

Gerak paradoksial

-

Cyanosis atau tidak Sehingga dari pemriksan tersebut pernfasan pasien dapat di simpulkan, pernfasan ada dan

adekuat, atau pernafasan ada dan tidak adekuat, atau bahkan henti nafas.

4.1 PEMBERIAN NAFAS BUATAN TANPA ALAT Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut ke hidung sebanyak 2 kali ventilasi dan di selingi ekshalasi.

4.2 PEMBERIAN NAFAS BUATAN DENGAN ALAT Memeberikan pernafasan buatan dengan alat dapat dilakukan dengan bantuan pocket mask atau face mask yang di tiup dengan mulut penolong, BVM (Bag Valve Mask) atau ambu bag (self inflating bag), dan jackson rees (non self inflating bag). Pada alat tersebut dapat ditambahkan oksigen dengan aliran (flow) tertentu. Pernafasan buatan atau bantuan nafas yang berkepanjangan diberikan dengan menggunakan alat ventilator mekanik.

4.3 TERAPI OKSIGEN DEFINISI Pemberian tambahan oksigen pada pasien agar kebutuhan tubuh akan oksigen dapat terpenuhi. Pemeberian oksigen sama dengan pemberian obat. Harus tepat indikasi, dosis, waktu, cara pemberian dan waspada efek samping. Pasien tidak sadar dengan terapi masker oksigen sering kali wajah pasien tidak terlihat apabila pasien muntah, maka siapkan suction. Monitoring A-B-C adan aliran oksigen (lpm). Oksigen menyebabkan mukosa kering, pemakaian hummidifier pada pemberian oksigen > 30 menit namun apabila diperlukan flow oksigen yang tinggi 6 lpm, tidak diperlukan hummidfier. Konsentrasi oksigen atau disebut sebgai FiO2 (Fraction Inspired Oxygen) tergantung dari jenis alat dan flow-rate yang diberikan. Kondisi pasien menentukan keperluan alat dan konsentrasi oksigen yang diperlukan. Pada prinsipnya semua keadaan gawat darurat memerlukan tambhan oksigen, paling tidak FiO2 = 60%

TEKNIK PEMBERIAN Terapi oksigen dan bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan berbagai cara dan alat.  Nasal canule  Masker  Masker non rebreathing  Masker rebreathing  Ventilator Untuk kasus henti jantung disertai henti nafas dilakukan resusitasi jantung paru. Kondisi yang memerlukan tambahan oksigen dengan atau tanpa bantuan nafas antara lain: 1.

Sumbatan jalan nafas

2.

Henti nafas

3.

Nyeri jantung

4.

Nyeri dada

5.

Trauma thorak

6.

Tenggelam

7.

Hipoventilasi, nafas < 10x/menit

8.

Distres nafas

9.

Hiperthermia

10. Shock 11. Stroke (CVA) 12. Keracunan 13. Pasien tidak sadar

PERSIAPAN ALAT -

Nasal canul

-

Face mask

-

Rebreathing mask

-

Non rebreathing mask

-

Venturi mask

-

Bag valve mask

-

Flow meter, regulator

-

Oksigen

JENIS ALAT

KONSENTRASI ALAT

ALIRAN OKSIGEN

Nasal canul

24%-32%

2-4 lpm

Simple Face mask

40-60%

6-8 lpm

Rebreathing mask

60-80%

8-10 lpm

Non rebreathing mask

80-100%

8-10 lpm

Venturi

24-50%

4-10 lpm

Bag Valve Mask Tanpa oksigen

21%

Dengan oksigen

40-60%

8-10 lpm

reservior

100%

8-10 lpm

4.4 PERALATAN PEMBERIAN OKSIGEN DALAM BREATHING MANAGEMENT Berbagai komponen peralatan yang diperlukan untuk memberikan oksigen, baik yang fixed, mobile maupun portable unit KOMPONEN: 1.

SILINDER OKSIGEN TEKANAN 200 PSI UKURAN

VOLUME

KONSTANTE

DURASI

Kecil

300

0.16

29 menit

Sedang

650

0.28

50 menit

Besar

3000

2.56

4 jam 41 menit

Perhitungan lama pemakaian (Tekanan pada manometer – 200) x konstante = Menit Kecepatan aliran

2.

REGULATOR TEKANAN  Menurunkan tekanan dari dalam tangki  Jarum manometer menunjukkan sisa tekanan dalam tangki  Atur flow meter untuk folw-rate (0-15 lpm)

3.

Humidifier

Untuk kelembapan oksigen

4.

Alat penghisap  Membersihkan jalan nafas dari darah, muntahan, lendir  Dihidupkan dengan listrik, manual, vacum atau gas  Fixed / portable

Catatan: - Jangan bekerja di area emergency tanpa perlengkapan oksigen yang lengkap dan berfungsi baik - Jangan melakukan suction flow oksigen > 15 detik - Dilarang menggunakan minyak / pelumas pada alat-alat oksigen - Dilarang merokok dan menyalakan api dekat area oksigen - Jangan simpan oksigen pada > 125 derajat F - Gunakan sambungan regular / valve yang tepat - Tutup kran rapat-rapat jika tidak digunakan - Silinder tidak jauh - Pilih posisi yang tepat saat menghubungkan katup - Pastikan masih terdapat oksigen - Periksa dan pelihara alat yang sedang dalam perbaikan - USP (United States Pharmacopeia)

4.5 VENTILALATOR MEKANIK Penggunaan alat bantu ventilator atau respirator merupakan upaya bantuan hidup lanjut dengan pemberian nafas buatan.

JENIS VENTILATOR 1.

Type: pressure limit Ventilator jenis ini, mesin akan berhenti memberikan oksigen bila tekanan dalam sirkuit

mencapai batas yang ditentukan. Misalnya: ventilator bannet PR-2, Bird Mask 7/8. Penggunaan yang ditujukan pada pasien dengan compliance paru dan dinding thoraks yang normal, penderita koma, penderita sadar tetapi tidak kooperatif dan pada penggunaan ventilator yang tidak terlalu lama 2.

Type: volume limit Ventilator akan bekerja memberikan volume yang telah ditentukan. Misalnya ventilator

MA-1. Penggunaan lebih ditujukan pada pasien dengan gagal nafas karena kelainan patologi paru. 3.

Flow type Ventilaltor dengan menggunakan penentuan Tidal Volume pada pasien setting awal

meliputi penentuan volume, frekuensi pernafasan, dan rasio inspirasi-ekspirasi. Misalnya : MRT, CP-2000, servo 900. Penggunaan jenis ini dapat untuk semua kasus yang memerlukan bantuan nafas. Pemasangan alat bantu nafas (ventilator) memerlukan dukungan alat, obat, keterampilan dan keahlian yang memadai. Bukan tindakan yang sederhana, perlu observasi yang terus menerus.

CONTOH JENIS MODE DASAR VENTILATOR: a) Pernapasan spontan / spontaneous ventilation b) IPPV / Intermittent Positive Presure Ventilation c) CPPV / Continous postive presure Ventilation d) IMV / Intermittent Mandatory Ventilation e) SIMV / Syncronized Intermetten Mandatory Ventilation f)

PS-IMV / Pressure Support Intermitten Mandatory Ventilation

g) CMV / Controlled Mandatory Ventilation h) PCV / Presure Controlled Ventilation Mode yang relatif baru, dengan basic presure controlled adalah BIPAP atau DUOPAP

INDIKASI PENGGUNAAN VENTILATLOR a)

Henti nafas / apneu

b) Gagal nafas akut, bila dari pemeriksaan analisa gas darah didapatkan pH < 7,35 dan PaO2 menurun atau < 50, serta PaCo2 meningkat atau > 50 c)

Kecendrungan mengalami gagal nafas / impending respiratory failure. Klinis: sesak, gelisah, eksitasi, tampak lelah berkeringat, nafas dalam dan cepat, takikardi, aritmia, tekanan darah tidak stabil, asidosis

d) Hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian terapi oksigen biasa e)

Penyakit neuromuskuler

f)

Diperlukan PEEP (Postive End Expiratory Pressure)

TEKNIK SETTING AWAL VENTILALTOR 1.

Pilih mode ventilator IPPV / Assisted atau Controlled Ventilation, CPPV, IMV

2.

Periksa Humdifier dan heater

3.

Atur FiO2 mulai dengan 100% oksigen agar saturasi oksigen > 92%

4.

Pilih tidal volume 8-10 cc / kg BB. Untuk pasien gagal ginjal akut dan kelainan meuromuskuler biasanya dipilih tidal volume 10-12 cc / kgBB.

5.

Tentukan frekuensi nafas / RR 12-14 x / menit (dewasa)

6.

Harus dicoba terlebih dahulu pada manekin sebelum digunakan oleh pasien

7.

Bila terdapat kesulitan bisa konsultasi kepada yang lebih ahli

INDIKATOR Pada evaluasi setelah pemasangan ventilator, penilaian dikatakan baik bila didapat perbaikan pada sistem pernafasan dan sirkulasi serta penderita tenang, tidak melawan alat. Bila dapat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah didapatkan nilah pH, PO2 dan PCO2 normal / mendekati normal dan pasien tenang dengan hemodinamik yang stabil. Bila hasilnya kurang baik dapat di lakukan beberapa hal: 1.

Untuk memperbaiki PaO2 yang terlalu tinggi, turunkan FiO2. Sebaliknya bila PaO2 rendah naikkkan FiO2 atau menaikkan PEEP / memanipulasi katup PEEP

2.

PaCO2 yang terlalu tinggi dapat diturunkan dengan meningkatkan tidal volume, akan tetapi dapat pula dengan menaikkan frekuensi pernafasan / RR sampai 20-24 kali/menit

3.

Konsultasi dengan ahlinya, diharapkan dapat dipenuhi target PaO2 diatas 70 mmHg dan PaCO2 antara 35-45 mmHg dan mungkin diperlukan penggunaan PEEP, misalnya PEEP 530 cm H2O untuk perbaikan hipoksemia dan mencegah toksisitas oksigen atau penggunaan 5-10 cm H2O dapat dipilih untuk mencegah kolpas alveoli paru.

BAB 5 CIRCULATION MANAGEMENT Kasus gangguan sirkulasi yang paling banyak dijumpai di UGD adalah shock, aritmia jantung, dan henting jantung. Diagnosis shock secara cepat dapat di tegakkan dengan tidak teraba atau melemahnya nadi radialis / nadi karotis, pasien tampak pucat, perabaan pada ekstremitas teraba dingin, basah, dan pucat, serta memanjangnya waktu pengisian kaliper, capilary refill time > 2 detik. Sedangkan diagnosisi henti jantung ditegallan dengan tidak adanya denyut nadi karotis selama 5-10 detik. Henti jantung dapat disebabkan karena kelainya jantung / primer dan kelainan jantung di luar jantung (skuder) yang harus segera dikoreksi.

5.1 SHOCK Shock adalah sindroma yang ditandai dengan keadaan umum yang lemah, pucat, kulit yang dingin dan basah, denyut nadi meninggkat, vena perifer tak mempan, produksi urine menurun dan kesadaran menurun. Tekanan darah sistolik lazimnya kurang dari 90 mmHg atau menurunnya lebih dari 50 mmHg di bawah tekanan darah semula. Masalah utama penurunan perfungsi (aliran darah) yang efektif dan gangguan penyampaian oksigen ke jaringan Keadaan shock menandakan bahwa mekanisme hemodinamik dan tranpor oksigen lumpuh. Jangan menjadi rusak karena tidak mendapat oksigen yang cukup untuk metabolisme aerobic. Jika sel melakukan metabolisme anaerobic maka akan dihasilkan asam laktat yang merugikan. Makin tinggi kadar asam, makin tinggi resiko mati

TINDAKAN : 1.

AIRWAY DAN BREATHING, jaga dan pertahankan jalan nafas tetab bes a, beri suplement

2.

Posiskan pasien pada dalam posisi yaitu mengangkat kedua tungkai ke kebih tinggi dari jantung

3.

Pasang cairan infus kritstalodi berupa Ringer Laktat atau larutan garam fail. Pada pemasangan pasien dewasa menggunakan jalur vena di lakukan dengan pilihan menggunakan jarum besar > 16 G

4.

Bila pasien shock aribat pakibat perdararan, lakukan penghentian sumber perdarahan yang tampak dari luar dengan melakukan penekanan,

5.2 MENGHENTIKAN PERDARAHAN

5.3 PEMASANGAN KATETER VENA Persiapan alat: -

Jarum infus ,

-

Jalur infus

-

Obat antiseptik

-

Plester

-

Kassa

TEKNIK: 1.

Pilih vena daerah lengan atas / antikubital, Ante kubital

2.

Bersihkan degan caira aira anti septik

3.

Isi jalur infus dengan cara infus / hindarkan gelembung udara

4.

Buat bendungan venah , bersihkan jarum intravensi, alirkan cairan infus.

Catatan: -

Pada pasien trauma dengan fraktor tulang extermitas, maka pemasangan jalur intravena tidak dilakukan pada bagian distal trauma tersebut

-

Bagi petugas medis terlatih dan terampil dapat dilakukan pemasangan jalur intravena, pada vena sublavia / vena jugularis untuk itu harus diketahui komplikasinya

-

Pada pasien anak dengan kesulitan melakukan pemasangan jalur intravena dapat dilakukan segera pada jalur intraosseus di tuberositas tibia.

JALUR INTRA-OSSEUS Terutama pada bayi dan anak-anak PERSIAPAN ALAT -

Jarum tulang / ukuran no.15-18

-

Kassa

-

Spuit

-

Antiseptik

-

Anastesi lokal

-

Sarung tangan

-

Jarum infus

-

Infus set

-

Cairan infus

TEKNIK 1. Baringkan pasien, pasang bantal di bawah sendi lutu pasien 2. Bersihkan daerah tibia anterior dengan antiseptik, berikan anastesi lokal 3. Masukkan jarum pada tibia proksimal (1-2 cm dibawah tuberositas tibia) dengan sudut 45-60 derajat ke arah bawah / distal defngan teknik pemasangan sekrup 4. Lakukan pengisapan spuit untuk memastikan jarum sudah masuk sumsum tulang tibia 5. Pasang jalur infus dan masukkan cairan

Catatan: Pada pasien dengan shock, perhatikan beberapa hal berikut ini sebelum dilakukan pemasangan jalur intravena: a.

Karakteristik dan jenis shock

b.

Pada shock hipovolemik terutama karena perdarahan dan dehirasi

5.5 JENIS-JENIS SHOCK a) SHOCK HIPOVOLEMIK PENYEBAB:  Dehidrasi -

Muntah, diare yang sering

-

Peritonitis

 Luka bakar -

Derjat II & III

-

Luas luka bakar > 30%

 Perdarahan -

Trauma disertai perdarahan

-

Perdarahan post partum, KET, dll

PEMERIKSAAN  Perubahan perfusi perifer -

Ektremitas: dingin, basah, dan pucat

-

Capillary Refill Time > 2 detik

 Takikardi  Takipneu  Penurunan tekanan darah  Penurunan produksi urine  Tampak pucat, lemah, apatis  Kesadaran menurun

TINDAKAN: Pemasangan 2 jalur intravena dengan jarum ukuran besar dan di berikan terapi cairan kristaloid. KLASIFIKASI

KLINIS

PENGELOLAAN

Dehidrasi ringan:

- Nadi sedikit meningkat

Penggantian volume cairan

Kehilangan cairan tubuh

- Selaput lendir kering

yang hilang dengan cairan

5% dari BB

kristaloid (NaCl 0.9 %) atau Ringer Laktat / Acetat

Dehidrasi sedang:

- Nadi cepat

Penggantian volume cairan

Kehilangan cairan tubuh

- Hipotensi

yang hilang dengan cairan

8% dari BB

- Selaput

lendir

kering

sangat kristaloid (NaCl 0.9 %) atau Ringer Laktat / Acetat

- Oligouria - Lesu - Lemas Dehidrasi berat:

- Nadi sangat cepat

Penggantian volume cairan

Kehilangan cairan > 10%

- Nadi sulit diraba

yang hilang dengan cairan

dari BB tubuh

- Hipotensi

- Anuria

kristaloid (NaCl 0.9 %) atau

- Selaput lendir pecah

Ringer Laktat / Acetat

- Kesadaran menurun

PERDARAHAN Perdarahan dalam jumlah besar, melebihi 15% volume darah yang beredar , akan menyebabkan perubahan-perubahan fungsi tubuh seseorang. Makin banyak perdarahan, makin berat kerusakan yang terjadi, maka risiko untuk meninggal juga meningkat. Perdarahan yang banyak dapat mengakibatkan shock. 1 jam pertama masa shock sering disebut “the golden hour”. Dalam periode ini time saving is life saving. Pertolongan harus cepat diberikan, yakni menghentikan sumber perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan transfusi. Prognosis pasien ditentukan oleh kecepatan mengatasi shock tersebut. Hipoksia sampai anoksia di jaringan akibat shock menyebabkan kematian sel. Jika sel yang mati mencapai jumlah kritis (critical mass of cells), maka akan terjadi gagal organ dan kematian. Perdarahan menyebabkan: a)

Kehilangan volume intravaskuler sehingga perfusi darah dan jumlah oksigen menurun

b) Kehilangan eritrosit dan hemoglobin sehingga kapasitas transpor oksigen perunit volume darah menurun Tubuh memiliki Estimated Blood Volume 65-75 mL/kg, untuk mempermudah dibuat ratarata EBV: 70 mL/kg. Jika pasien kehilangan darah sampai 15 mL/kg (20% EBV). Terjadilah perubahan hemodinamik: a)

Takikardi

b) Kontraksi miokard meningkat c)

Vasokontriksi di daerah arterial dan vena

d) Tensi dalam batas normal e)

Nadi lemah Reaksi takikardi, vasokontriksi memeras darah dari cadangan vena (75% volume sirkulasi

berada di vena) kembali ke sirkulasi efektif. Vasokontriksi arterial membagi secara slektif aliran darah untuk otak dan jantung dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokontriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik. Sehingga mengakibatkan

terjadinya translokasi kuman didalam usus menembus mukosa usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik, memicu terjadinya sepsis.

PRINSIP PENANGANAN Penggantian volume yang hilang untuk mempertahankan kecukupan oksigenasi jaringan, akibat cukup volume maka hemodinamik terjaga. Untuk perdarahan dengan shock kelas III-IV selain diberikan kristaloid sebaiknya disiapkan transfusi darah segera setelah sumber perdarahan dihentikan. Sambil menunggu datangnya darah yang tidak selalu dengan mudah didapatkan atau teratasinya sumber perdarahan, dapat diberikan cairan golongan plasma substitute / koloid.

TRAUMA Dipergunakan untuk memperhitungkan seberapa banya jumlah perdarahan (EBL) dengan melihat gejala klinis yang ada KLASIFIKASI

KLINIS

PENGELOLAAN

 Hipotensi postural

Kelas I:

Tidak

Kehilangan volume darah  < Takikardi <100 x/menit

perlu

penggantian

volume

15% EBV  Takipneu

Kelas II:

Penggantain volume darah

Kehilangan volume darah  Takikardi (100-120x/menit)  Penurunan nadi

15-30% EBV

yang hilang dengan cairan kristaloid, sejumlah 2-4 kali

 Produksi urin menurun (20- darah yang hilang 30 cc/jam)  Takipneu (30-40x/menit)

Penggantain volume darah

Kehilangan volume darah  Takikardi (>120x/menit)

yang hilang dengan cairan

Kelas III:

 Produksi urin menurun (5-15 kristaloid dan darah

30-40% EBV

cc/jam)  Perubahan status mental / confused Kelas IV

 Takipneu (>35 x/menit)

Penggantain volume darah

 Takikardi (>140 x/menit)

yang hilang dengan cairan

 Perfusi

jaringan

pucat, kristaloid dan darah

dingin, basah  Perubahan status mental

Catatan: EBV

(Estimated

Blood

Volume) 70 cc / kg BB

Cairan koloid memiliki tekanan onkotik mirip plasma dan tinggal dalam pembuluh darah lebih lama. Dengan pemberian koloid maka deficit PV (Plasma Volume) dan tekanan darah akan kembali normal lebih cepat. Ada dua macam cairan koloid yaitu derivat plasma protein (albumin, Plasma Protein Faction) dan bahan sintetik yakni Plasma Subtitute (dulu disebut sebagai plasma expander). Pada waktu terjadi kondisi hipovolemia sebenarnya tubuh juga melakukan kompensasi dengan pergeseran cairan dari ISF (Interstitial Fluid) ke PV atau IVF (Intra Vascular Fluid) yang disebut sebagai transcapillary refill, sebagai usaha untuk mengganti deficit PV. Proses ini dimulai 1-2 jam setelah perdarahan, dengan kecepatan 90-120 ml/jam dan akan selesai dalam 12-72 jam. Mekanisme kompensasi lambat lainnya adalah peningkatan kadar hormone eritropoetin yang merangsang pelepasan retikulosit ke aliran darah perifer. Jumlah eritrosit muda mencapai puncaknya pada hari kesepuluh. Jika kadar besi dan sintesa protein cukup, maka setelah 4-8 minggu jumlah eritrosit dan hemoglobin akan kembali normal. Perdarahan merangsang peningkatan sintesa protein plasma di hati. Albumin plasma kembali normal dalam waktu 3 sampai 4 hari. CATATAN 1. Menilai respons pada penggantian volume adalah penting. Bila respons minimal kemungkinan adanya sumber perdarahan aktif harus dihentikan, hentikan perdarahan luar yang tampak (misalnya ada ekstremitas), segera lakukan pemeriksaan golongan darah dan cross matched, konsultasi dengan ahli bedah 2. Pada perdarahan hebat maka dianjurkan bila memungkinkan dan mampu melakukan, dilakukan pemasangan monitoring vena sentral (CVP) 3. Penggantian darah dapat digunakan darah lengkap (whole blood) atau komponen darah (packed red cell) bahkan apabila perdarahan massif dan kesulitan mendapatkan golongan darah yang sesuai dapat digunakan Universal Donor (PRC – O). pada keadaan terpaksa memakai PRC-O maka apabila sebelum 2 minggu masih memerlukan transfuse untuk sementara tetap mengunakan PRC-O. 4. Harus di ingat bahwa jangan berikan transfuse darah dalam keadaan dignin karena akan memperburuk keadaan (hipotermia, acidosis). Untuk mencegah hipotermia berikan kristaloid yang dihangatkan. Dan pada penggantian darah ini tidak diperlukan penambahan kalsium (penambahan kalsium akan membahayakan).

5.5.2 SHOCK ANAFILAKTIK PENYEBAB Reaksi anafilaktik berat

DIAGNOSA Tanda-tanda shock (penurunan perfusi perifer dan penurunan tekanan darah yang tiba-tiba) dengan riwayat adanya alergi (makanan atau hal-hal lain) atau riwayat setelah pemberian obat-obatan.

TINDAKAN A- airway. Pertahankan jalan nafas tetap bebas. Call For Help. B- breathing. Beri oksigen bila ada, kalua perlu nafas dibantu. C- circulation. Raba karotis, posisi shock, pasang infus kristaloid (RL). Berikan epinefrin (adrenalin) subcutan atau intra muskuler dengan dosis sesuai dengan gejala klinis yang tampak (0.25 mg, 0.5 mg atau 1 mg = 1 ampul (bila ternyata jantung tidak berdenyut).

5.5.3 SHOCK SEPTIK PENYEBAB Karena proses infeksi berlanjut DIAGNOSA a. Fase dini tanda klinis hangat, vasodilatasi. b. Fase lanjut tanda klinis dingin, vasokonstriksi TINDAKAN Ditujukan agar tekanan sistolik >90 – 100 mmHg (Mean Arterial Pressure / MAP = 60 mmHg) 

Tindakan awal. Infus cairan kristaloid, RL, Pemberian antibiotic, membuang sumber infeksi (pembedahan).



Tindakan lanjut. Penggunaan cairan koloid KaEn HE Me 3, lebih baik dengan diberikan vasopressor (dopamine atau dikombinasi dengan Noradrenalin).

5.5.4 SHOCK KARDIOGENIK PENYEBAB Dapat terjadi pada keadaan-keadaan antara lain: 

Kontusio jantung



Tamponade jantung



Tension pneumotorarks, dibahas tersendiri dalam Bab. 5.5.5.

Pada versi lain pembagian jenis shock, ada yang membagi bahwa shock karidogenik hanya untuk gangguan yang disebabkan karena gangguan pada fungsi miokard. Missal: decomp cordis, trauma langsung pada jantung, kontusio jantung. Tamponade jantung dan tension pneumotoraks dikelompokkan dalam shock obstructive (shock karena obstruksi mekanik. DIAGNOSA 

Hipotensi disertai gangguan irama jantung



Mungkin terdapat peninggian tekanan vena jugularis (JVP)



Lakukan pemriksaan fisik pendukung pada tamponade jantung (bunyi jantung menjauh atau redup), pada tension pneumotoraks (hipersonor dan pergeseran letak trakea)

TINDAKAN 

Pemasangan jalur intravena dan pemberian infus kristaloid (hati-hati dengan jumlah cairan).



Pada aritmia mungkin diperlukan obat-obat inotropik.



Perikardiosentesis untuk tamponade jantung dengan monitoring EKG



Pemasangan jarum torakostomi pada tension pneumotoraks di ICS II-Mid Clavicular Line untuk mengurangi udara dalam rongga pleura (dekompresi)

5.6. TENSION PNEUMOTORAKS DEKOMPRESI / TORAKOSTOMI DENGAN JARUM Needle

thoracotomy

dengan

tehnik

spuit

yang

diisi

aquadest

Materi ini akan diperdalam dalam diskusi dan skill station, peragaan bagaimana diagnostic secara fisik dan bagaimana melakukan dekompresi. ALAT

1. Jarum berkatetr no. 14-16 (untuk bayi jarum bersayap no. 23). 2. Antiseptik, anastesi local (bila memungkinkan).

Gambar hal 70

TINDAKAN 1. Pasang masker oksigen paling tidak FiO2 60%. 2. Siapkan pasien, sudah terpasang jalur intravena. 3. Antiseptic daerah intercostal II daerah midclavicular. 4. Tusukkan jarum di tepi atas costa II sampai terdengar keluarnya aliran udara. Biasanya gangguan pernapasan dan kardiovaskuler akan membaik dengan cepat. Selanjutnya pasien dikonsultasikan dan disiapkan untuk pemasangan pipa torakostomi (chest tube). 5. Tahap-tahap tindakan tersebut harus dilakukan dengan cepat.

PEMASANGAN NEEDLE THORACOSYNTHESIS Gambar hal 71 Gambar hal 71 Gambar hal 71 Gambar hal 72 Gambar hal 72

5.7.TAMPONADE JANTUNG PERIKARDIOSENTESIS

Alat: 1. Jarum perikardiosentesis dan kawat penuntun (guide wire). 2. Aligator klip. 3. Semprit suntik. 4. Kasa dan plester. 5. Obat anastesi lokal dan sedative. 6. Obat antiseptic.

7. Oksigen suplemen. 8. EKG monitor. 9. Pulse oksimetri.

Gambar hal 73 Tindakan: 1. Siapkan pasien, berikan sedasi bila perlu. 2. Pasang jalur intravena. 3. Pasang oksigen, monitor EKG dan Pulse Oksimeter. 4. Pakai sarung tangan. 5. Bersihkan dengan antiseptic pad adaerah epigastrium dan sekitarnya. 6. Anestesi local di infiltrasi pada subxiphoid. 7. Masukkan jarum subxiphoid tepi kiri dengan sudut 45 derajat menuju arah ujung bawah scapula kiri, bersamaan dengan masuknya jarum dilakukan aspirasi semprit. 8. Lakukan monitorisng EKG untuk mencegah masuknya jarum ke rongga jantung (bila terjadi perubahan irama jantung, berarti jantung menusuk jantung). 9. Dengan mengurangi cairan 50 cc, maka jantung akan berfungsi dengan baik. 10. Cairan dalam siringe periksa untuk analisa di laboratorium. 11. Kawat penuntun masukkan melalui jarum tersebut, kemudian jarumnya dicabut dan masukkan kateter dengan tuntunan kawat penuntun tersebut, cabut kawat penuntun. 12. Pertahankan posisi kateter pericardial dengan plester.

BAB 6 D: DISABILITY (EVALUSI NEUROGENIK) 6.1.

PENDAHULUAN

Kita mengetahui bahwa berat massa jaringan otak hanya 2% - 3% dari massa tubuh, namun menerima 20% dari curah jantung (cardiac utput), yaitu 50-60 cc/ 100gr jaringan otak/ menit. Bila cairan otak turun misalnya karena perdarahan hebat, shock, menjadi 18 cc/ 100 gram jaringan otak/ menit (menurun sampai 70-80% normal) akan menyebabkan perubahan biokimia sel dan membrane yang menyebabkan perubahan fungsi otak yang menetap. Pada keadaan dimana karena berbagai sebab jantung berhenti (cariac arrest) berarti sirkulasi darah ke seluruh tubuh berhenti, terjadi hiposia yang berlanjut di tingkat sel. Selama aliran darah keotak berhenti terjadi keadaan iskhemik dan dalam waktu 2-3 menit maka sumberenergi otak hanya tersisa sekitar 10%. Tanpa bantuan resusitasi maka oksigen otak dengan cepat menurun hingga nol (anoksia) dan sel otak hanya mampu bertahan 5-7 menit melalui pemanfaatan metabolism anaerob dari glucose endogen, glikogen dan keton bodies. Hal ini yang mendasari bahwa pada kondisi gawat darurat, emergency, jiwa terancam kematian, maka tindakan yang dilakukan harus cepat, tepat dan cermat dalam ukuran menit dengan sistimatika Airway – Breathinh – Circulation. Time saving is life saving. KEadaan tersebut sangat berlainan dengan yang dialami pada kebanyakan sel jaringan tubuh, misalnya jaringan otot yang masih dapat “tetap hidup” tanpa oksigen (anoksia) selama beberapa menit dan kadang-kadang sampai selama 30 menit. Selama masa tersebut, jaringan sel mendapat energinya melalui proses metabolism anaerobic. Dalam keadaan istirahat metabolism otak kira-kira sebesar 15% dari seluruh metabolisme yang terjadi atau kira-kira sebanyak 7.5% kali metabolism rata-rata dalam tubuh yang istirahat dengan mengkonsumsi oksigen untuk 3.5 – 4 ml O2/ 100 gr/ menit. Sangat dimaklumi apabila kemampuan jaringan otak melangsungkan metabolism an-aerobik sangat kecil (5-7 menit) selama aliran darah berhenti. Salah satu penyebabnya adalah karena selain laju metabolism sel otak (neuron) yang tinggi juga disebabkan karena jumlah glikogen yang diperlukan untuk metabolisme anaerob yang terseimpan dalam sel otak sangat sedikit atau dapat dikatakan tidak ada. Dengan kata lain lebih banyak energi yang dibutuhkan oleh setiap sel otak daripada yang dibutuhkan oleh jaringan lain. 6.2.

TUJUAN

Menilai derajat angguan fungsi otak dan kesadaran baik akibat trauma kepala ataupun akibat gangguan lain yang menyebabkan sirkulasi darah ke otak terganggu sehingga terjadi penurunan kesadaran. 6.3.

DIAGNOSA

Diagnosa dapat dilakukan dengan cara: a. Secara cepat pada saat awal pemeriksaan pasien yaitu pada survey primer, dengan metode AVPU. b. Secara teliti dilakukan pada awal survey sekunder atau akhir survey primer, dengan metoda GCS. 6.3.1. MENILAI DERAJAT KESADARAN DENGAN METODA AVPU Dilakukan pada waktu pemeriksaan pertama (survey primer). Kontak pertama petugas kesehatan dengan pasien. Saat akan memeriksa pasien pertama kali yang harus dilakukan walaupun pasien dalam keadaan memejamkan mata adalah tegur sapa: “Bapak/ Ibu namanya siapa?” dan seterusnya baru kemudian memeriksa pasien. Alert: awake. Pada manusia normal, sehat Verbal stimulation: responds to Verbal command Kesadaran menurun, tampak mengantuk namun terbangun dengan memuka mata ketika namanya dipanggil. Contoh: kondisi pre-shock, misalnya akibat perdarahan. Pain stimulation: responds to Pain Kesadaran menurun,tampak mengantuk, tidak terbangun ketika namanya dipanggil dan baru terbangun dengan membuka mata atau menggerakkan anggota tubuhnya ketika dicubit atau disakiti. Contoh: kondisi shock. Unresponsive Tidak ada respon dengan rangsangan apapun. Kesadaran sangat menurun, tampak sangat mengantuk, lemas, lemah, tidak terbangun dengan membuka mata ketika namanya dipanggil dan bahkan tidak bereaksi apapun ketika dicubit atau disakiti bagian tubuhnya. Lanjutkan dengan penilaian ukuran serta reaksi pupil.

Contoh: kondisi shock berat

6.3.2. MENILAI DERAJAT KESADARAN DENGAN METODA GCS GCS: Glasgow Coma Scale – Score

Pada trauma atau trauma kepala penilaian kesadaran secara teliti digunakan metode Penilaian Derajat Skala Koma dari Glasgow University. Dampak langsung dari trauma kepala adalah keadaan yang disebut sebagai edema otak, tekanan intra cranial naik (cidera otak primer). Cidera ini dengan mudah akan berkembang menjadi lebih berat (cidera otak sekunder) karena factor-faktor antara lain kondisi hipoksia, hiperkarbia, hypovolemia, batuk, mengejan, dan semua peningkatan tekanan intra thorax atau intra abdomen. Pada dasarnya GCS adalah menilai derajat cedera kepala dan menilai GCS berulang sangat berguna untuk meramal prognosis. Jika akan memutuskan suatu tindakan pada pasien tersebut, tetapkan harga yang jika salah, tetapi tidak merugikan: 

Kalua GCS rendah berakibat kita harus melakukan tindakan invasive, berikan nilai rendah.



Kalua GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar upaya medik jadi maksimal dan bersemangat.

GCS diukur jika pasien: tidak dibawah efek sedative, pelumpuh otot, narkotik, alkohol, tidak hipotermia hipotensi, shock, hipoksia. Diukur apabila survey primer sudah tuntas.

PENILAIAN Penilaian GCS meliputi respons mata, bicara dan gerak. Pemeriksaan dilakukan dengan memberi rangsang nyeri yang dilakukan dengan cara menekan keras pada kuku jari tangan pasien. Skor total maksimal 15, dengan perincian E – Eye responses (4), V – Verbal responses (5), M – Motoric responses (6) pada sisi yang paling kuat. Perkecualian penilain pada kondisi: 

Mata bengkak E = x



Intubasi V = x



Paraplegia M = x dan bedakan keadaan tidak bicara atau tidak ada kontak karena tidak sadar (general dysfunction) atau aphasia (local dysfunction)

E – Score (kemampuan membuka mata/ eye opening responses) Nilai 4 : Membuka mata spontan (normal). 3 : Dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta. 2 : Membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri. 1 : Tak membuka mata walaupun dirangsang. V – Score (memberikan respon jawaban secara verbal/ verbal responses) Nilai 5 : Memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban dengan baik dan benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (nama, umur, dll) 4 : Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti bingung (confused conversation). 3 : Memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawaban hanya berupa kata-kata yang tak jelas (inappropriate words) 2 : Memberikan jawaban berupa suara yang tak jelas bukan merupakan kata (incomprehensible sounds). 1 : Tak memberikan jawaban berupa suara apapun. M – Score (menilai respon motoric ekstremitas/ motor responses) Nilai 6 : Dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan 5 : Dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (localized pain). 4 : Respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal). 3 : Respon gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas. 2 : Respon berupa gerak ekstensi. 1 : Taka da respon berupa gerak.

TINDAKAN Pada penderita tidak sadar. 1. Pada dasarnya ditunjukan pada optimalisasi aliran darah sistemik dan aliran darah otak (perfusi otak) dengan cara mencegah hipotensi, hipoksia, hiperkarbia, dan mencegah kenaikan tekanan intracranial. Semua tindakan jaringan jangan menyebabkan

kenaikan

tekanan

intracranial.

Semua

tindakan

jangan

menyebabkan kenaikan tekanan intracranial, misal: tindakan suctioning 2. Sistematika A – B – C 3. Do no further harm (jangan menambah cidera) 4. Pada trauma kepala baring kepala lebih tinggi 15o - 300 (Anti-Trendelenburg) 5. Cari penyebab i. Trauma. ii. Hipoksia hypercarbia misalnya pada kasus tidak sadar kemudian tersedak. iii. Pengaruh obat sedatif, overdosis narkotik, amfetamin, ketamin, alkohol. 6. Diabetes, uremia, dsb

BAB 7 DRUG MANAGEMENT (PENGGUNAAN OBAT GAWAT DARURAT) 7.1.

TUJUAN PEMBELAARAN UMUM Mengenal, memahami dan mampu memilih dan menggunakan obat darurat yang diperlukan untuk resusitasi jantung paru otak (RJPO)

7.2.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1. Mengenal obat-obat darurat Adrenalin, Amiodaron, Lidocain, dan Sulfas Atropin 2. Dapat menyiapkan, memberikan dengan benar sesuai dengan macam, dosis serta cara pemberian

Obat-obatan tersebut harusdiberikan melalui jalur intravena kecuali Adrenalin dapat juga diberikan intratracheal atau transtrakheal dengan dosis 3 – 10x dosis intra vena (Guidelines CPR 2005); juga untuk Lidokain dan Sulfas Atropin.

KLASIFIKASI: Intervensi obat-obatan Klas I : Pilihan no. 1: indikasi/ dapat diterima: berguna dan efektif. Klas II-A: Bukti-bukti klinis mendukung data efektifitasnya. Klas II-B: Tidak didukung bukti-bukti klinis:mungkin menolong, tidak berbahaya Klas III

7.3.

: Tidak didukung data-data klinis, mungkin berbahaya

JENIS OBAT 7.3.1. OBAT UNTUK CPR/ RJPO 1. EPINEPHRINE atau ADRENALINE Kategori: Klas I Adrenaline bekerja pada adrenergic reseptor

Alfa Vasokontriksi (menciptakan diastolic > tinggi)

Betha Merangsang kontraksi jantung Memperbaiki perfusi koroner

Pemberian ini dimaksudkan merangsang reseptor adrenergic dan meningkatkan aliran darah otak dan jantung. -

Efek alfa-adrenergik diperlukan saat henti sirkulasi untuk penyediaan cadangan oksigen otot jantung.

-

Efek betha-adrenergik diperlukan saat sudah mulai ada kontraksi jantung spontan.

EPINEPHRINE WHY 

Meningkatkan o Resistensi vaskuler sistemik o Tekanan darah sistolik dan diastolic o Aktivasi gelombang listrik di dalam miokardium o Aliran darah ke serebral dan koroner



Meningkatkan o Kekuatan kontraksi miokard o Kebutuhan oksigen miokard o Automaticity

WHEN 

Henti jantung karena asystole, PEA, EMD



Henti jantung karena pulseless VT atau VF yang tidak respon dengan DCshock.



Bradikardia simtomatis

HOW 

1 mg IV, ulangi setiap 3 – 5 menit, tidak ada dosis maksimal



Dapat diberikan lewat endotracheal tube atau disuntikkan transtracheal melalui membrane crycothyroidea dengan dosis 3 – 10 kali dosis intra – venous, diencerkan dengan aqua menjadi 10 cc (Guidelines CPR 2005).



Preparat: 1 mg dalam 1 ampul.



Tidak ada kontra indikasi untuk adrenalin pada henti jantung (cardiac arrest)



Henti jantung dan bradikardia simtomatik yang diikuti hipotensi diberikan continuous infusion, 30 mg Epinephrine HCL ditambahkan kedala 250 mL/ jam dan dititrasi sampai efek hemodinamik yang diinginkan.



Pada

kasus

Anafilaktik:

Subcutaneous: 0.3 – 0.5 mg. WATCH OUT 

Auto-oksidasi



Memperburuk iskemia miokard



Merangsang ventricular ectopy, muudah terjadi aritmia jantung



Menyebabkan hipertensi pada pasien yang tidak henti jantung.

2. AMIODARONE WHY 

Efektif untuk supraventricular arrhythmia, ventricular arrhythmia



Ventricular rate control



Kardioversi farmakologik



Mengubah konduksi yang melalui accessory pathway.

WHEN 

Cardiac arrest karena VT atau VF.



VT dengan hemodinamik yang stabil.



Takikardia QRS lebar yang tak pasti sumbernya.



Polymorphic

VT

Terapi tambahan setelah electrical cardioversion pada PSVT yang refrakter (II a) 

Kardioversi farmakologis untuk AF (II a).



Atrial Tachycardia (II b).



Ventricular rate control pada rapid atrial arrhythmia pada pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk atau pada pasien dengan konduksi accessory pathway (setelah defibrilasi dan epinefrin)

HOW In cardiac arrest due to pulseless VT or VF: 

Dosis awal 300 mg, bolus, diencerkan dalam 20 – 30 ml saline atau D5%. Diulangi, 150 mg untuk recurrent VT/ VF dan diteruskan dengan infus 900 mg/ 24 jam (guidelines 2005)

Arhythmia 

Dosis awal: 150 mg, jika perlu, untuk recurrent or persistent VT/ VF.



Diikuti dengan 1 mg/ min infus (6 jam)



Kemudian 0,5 mg/ min



Max. dosis sehari: 2 gram

WATCH OUT 

Hypotension



Bradicardia



Heart Block

3. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE Efek: Menekan aktifitas ektopik ventrikel Menekan/ menurunkan eksitabilitas otot jantung dan sistem konduksi jantung.

Indikasi: -

Arhythmia: Premature ventrikel contraction (PVC) yang multiple, multifocal, dan salvo R on T.

-

Cardiac Arrest VF/ VT-pulseless termasuk kategori II-a, merupakan pilihan kedua setelah amiodaron.

WHY 

Menekan aritmia ventrikel dengan menurunkan otomatisitas



Menghentikan ventricular arhythmia re-entant



Meningkatkan ambang fibrilasi

WHEN 

Pulseles VT dan VF yang refrakter, pilihan kedua setelah Amiodarone.



Pasien dengan resiko terjadinya aritmia ventrikel yang maligna.



Ventricular ectopy, wide complex tachycardias, ventricular tachycardia dan VF.



Tak direkomendasikan lagi untuk pemberian pencegahan rutin pada pasien dengan IMA.

HOW 

Dosis awal: 1,0 – 1,5 mg/ kg IV bolus.



Via ETT: 2 – 2,5 x IV dose.



Bolus

kedua:

0,5



7,5

mg/

kg

every

5’



10’

(bila masih tetap ada aritmia), sampai total: 3 mg/ kg 1 jam pertama) 

Kemudian continuous IV infusion: 2 – 4 mg/ min (pada sirkulasi spontan).

WATCH OUT 

Perubahan neurologis.



Depresi miokard & sirkulasi.



Alergi

4. LIDOCAINE atau xylocaine ATAU LIGNOCAINE WHY 

Non-adrenergic peripheral vasoconstrictor



Half-life 10 – 20 menit (lebih lama dari epinephrine)



Selama CPR meningkatkan perfusi coroner, tekanan darah, aliran darah ke organ vital.

WHY 

Shock-refractory VF (II-b)

WHY 

40 U, IV single dose, 1 kali saja



Klas II-b pada cardiac arrest karena asistol

5. SULFAS ATROPIN Digunakan untuk bradikardia (denyut nadi < 60x/ menit) dan asistol yang dimaksud untuk menurunkan tonus vagal dan memperbaiki sistim konduksi atrioventricular. Kelas II-a: pada bradikardia Kelas II-b: pada asistol, PEA, EMD. WHY



Obat parasimpatolitik



Meningkatkan otomatisitas SA node maupun AV node melalui aksi vagolitik.

WHEN 

Terapi awal untuk bradikardia dengan symptom



In 1st degree AV block, Mobitz type I AV block



Pada 3rd degree block: termasuk klas IIb dan siap cardiac pacing



Pada brady-asystolic cardiac arrest: mematahkan stimulasi vagal yang berlebihan.

HOW 

Tanpa henti jantung: 0,5 – 1 mg, IV. Diulangi dalam interval 5 menit.



Bila melalui ETT/ trans tracheal: 3 mg dalam spuit 10 cc.



Brady-asystolic cardiac arrest: 1 mg IV. Diulangi dalam interval 5 menit.

WATCH OUT 

Menginduksi takikardia.



Diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan infark miokard.



Dosis

berlebihan

dapat

menyebabkan:

anti-cholinergic

syndrome:

delirium, takikardia, flushing, kulit terasa panas, pandangan kabur.

7.3.2. OBAT UNTUK PERBAIKAN SIRKULASI 1. DOBUTAMINE 2nd drug pada bradikardia (setelah sulfas atropine). Pada kondisi hypovolemia digunakan setelah tercapai kondisi normovolemia atau deficit volume Intravascular diatasi. Khasiat bersifat “dose dependent”, tergantung pada dosis. Pada dosis 5 – 10 ug (dosis inotropik), merangsang efek alfa dan beta adrenergic sehingga kontraktilitas miokard, curah jantung (cardiac output) dan tekanan darah meningkat. Dosis 10 – 15 ug (efek vasopressor). Dosis: Rendah

WHY

: 1 – 5 mcg/ Kg.BB/ menit (1 – 5 gamma)

Medium

: 5 – 10 mcg/ Kg.BB/ menit (5 – 10 gamma)

Tinggi

: 10 – 20 mcg/ Kg.BB/ menit (10 – 20 gamma)



Dosis rendah (1 – 2 ug/ kg/ min): merangsang reseptor dopaminergic menyebabkan vasodilatasi serebral, renal dan mesenteric, tapi menyebabkan meningkatnya tonus vena.



Dosis 2 – 10 ug/ kg/ min: meningkatkan curah jantung dan sedikit meningkatkan resistensi vaskuler sistemik.



Dosis lebih dari 10 ug/ kg/ min: vasokontriksi renal, arteri perifer, mesenteric, venous. Menyebabkan meningkatnya SVR-Systemic Vascular Resistance, PVR-Peripheral Vascular Resistance dan preload.

WHEN 

Hipotensi tanpa ada hypovolemia.



Bradikardia simtomatik dengan hipotensi, atau setelah kembalinya sirkulasi spontan setelah CPR.

HOW 

Dosis infus awal: 1 – 5 microgram/ kg/ min, dapat ditingkatkan hingga tekanan darah dan produksi urine membaik.



Rentang dosis: 5 – 20 microgram/ kg/ min



Sebaiknya gunakan infusion pump agar laju infus stabil.

WATCH OUT 

Meningkatkan laju jantung, dapat pula menyebabkan kongesti paru dan perburukan curah jantung.



Mual, muntah, terutama pada dosis tinggi.



Nekrosis jaringan bila terjadi ekstravasasi.



Menjadi tak aktif pada keadaan basa; jangan dicampur dengan sodium bicarbonate.

2. ADENOSINE 1st drug untuk PSVT (Paroximal Supra Ventricular Tachycardia) WHY 

Memperlambat konduksi melalui AV node.



Menghentikan jalur re-entri di AV node



Mengembalikan ke irama sinus pada pasien dengan PSVT



Respon farmakologinya singkat.

WHEN 

Menghentikan SVT yang melibatkanjalur re-entri AV node.

HOW 

Dosis awal: 6 mg bolus cepat dalam 1 – 3” diikuti flush cepat normal saline.



Dosis ulangan: 12 mg, jika tak berespon dalam 1 – 2 menit



Teofilin menyebabkan kurang sensitif.

WATCH OUT 

Flushing, dyspnea, chest pain (biasanya hilang dalam 1 – 2 menit)



Transient bradycardia dan ventricular ectopy



Tak terlalu berpengaruh pada hemodinamik.

3. VERAPAMIL WHY 

Menghambat aktifitas slow channel otot jantung dan otot polos vaskuler.



Memperlambat konduksi dan memperpanjang masa refrakter AV node.



Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan atrial fibrillation.



Efek inotropic negatif dan kronotropik negatif yang potent.

WHEN 

Menghentikan SVT dengan berefek langsung pada AV node.



Memperlambat respon ventrikel pada atrial flutter dan fibrillation.

HOW 

Dosis awal: 2,5 – mg bolus selama 1 – 2 menit, perlahan.



Dosis ulangan: 5 – 10 mg dalam 15 – 30 menit setelah dosis awal.



5 mg bolus, tiap menit, sampai berespon atau dosis total 30 mg.

WATCH OUT 

Atrial flutter / fibrillation dengan sindrom WPW.



VT, dapat menyebabkan hipotensi atau VF.



Hypotension, A-V block

4. SODIUM BIKARBONAT

Kelas I

: Pada hyperkalemia.

Kelas II-A

: Pada bicarbonate responsive acidosis

Kelas II-B

: Prolonged resuscitation dengan ventilasi yang efektif.

Kelas III

: hypoxic lactic acidosis (cardiac arrest dan CPR tanpa

intubasi)

SODIUM BIKARBONAT WHY 

Buffer agent.



Menghasilkan CO2, selama CPR bila transport CO2 ke dan dari paru berkurang

HOW 

1 mEq/ kg, IV bolus, sebagai dosis awal.



Berikan setengahnya tiap 10”



Periksa status asam basa dengan analisa gas darah.



Dapat diberikan dengan infus, menggunakan NaHCO3 5%.

WATCH OUT 

Perhatikan PCO2



Inotropik negatif



Hypernatremia dan perosmolality



Dengan infus menggunakan NaHCO3 5 %

7.3.3. LAIN - LAIN 1. MORPHINE SULPHATE WHY 

Mengurangi kecemasan, sakit, dan iskemia.



Meningkatkan venous capacitance.



Menurunkan systemic vascular resistance.



Menurunkan kebutuhan oksigen, iskemia, dan luas infark.

WHEN 

Sakit dan cemas karena IMA.



Acute cardiogenic pulmonary edema.

HOW 

1 – 3 mg, bisa diberikan tiap 5 menit.



GOAL: menghilangkan sakit.

WATCH OUT 

Depresi nafas.



Antidote, bila narcosis berlebihan: Naloxone (0,4 – 0,8 mg).



Hipotensi, perubahan laju jantung.

2. MORPHINE SULPHATE WHY 

Mengurangi sakit karena iskemia.



Venodilatasi, mengurangi aliran darah balik ke jantung/ pre-load dan konsumsi oksigen.



Meningkatkan aliran kolateral di jantung.



Dilatasi arteri koroner.

WHEN 

Nyeri dada iskemia, angina pektoris tak stabil.



Edema paruakut (systolic > 100)



Dipakai rutin pada IMA

HOW 

Sublingual: 0,3 – 0,4 mg, diulang tiap 5 menit.



Spray inhaler, ulang tiap 5 menit.



IV infusion: 10 – 20 ug/ menit; dinaikkan 5 – 10 ug/ menit tiap 5 – 10 menit.



GOAL: menghilangkan nyeri dan menurunkan tekanan darah.

WATCH OUT 

Hati-hati bila systolic < 90 mmHg.



Turunkan MAP sampai 10% pada pasien normotensi, 30% pada pasien hipertensi.



Sakit kepala, tekanan darah turun, syncope, takikardia.



Infark ventrikel kanan.

7.3.4. PADA ANAK-ANAK Obat-obatan pada anak-anak harus memperhatikan dosis. 1. Epinephrine 

Dosis 0,01 mg/ kg.BB dapat diulang 3 – 5menit dengan dosis 0,01 mg/ kg.BB IV (1:1000).

2. Atropine 

Dosis 0,02 mg/ kg.BB (minimal 0,1 mg) dapat diulang dengan dosis 2 kali tetapi maksimal 1 mg.

3. Lidocaine (Lignocaine, Xylocaine) 

Dosis 1 mg/ kg.BB IV.

4. Natrium Bicarbonat 

Dosis 1 mEq/ kg.BB IV.

5. Kalsium Klorida 

Dosis 20 – 25 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.

6. Kalsium Glukonas 

Dosis 60 – 100 mg/ kg.BB IV pelan-pelan.

BAB

8

DEFIBRILATION (PENGGUNAAN KHUSUS)

8.1.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Mengenal, menyiapkan dan mampu menggunakan defibrilator 8.2.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

Dapat menyiapkan dan mengunakan defibrilator 8.3.

ALAT



Devibrilator/ cardioverter.



Obat-obat sedative, jelly (pelumas).



Alat untuk memberikan oksigen tambahan.



EKG monitor.



Pulse oksimetri (bila ada).



Alat-alat resusitasi



Infus (IV catheter)



Suction

Gambar hal 89 Trolley emergency

8.4.

Gambar hal 89 Defibrilator Monophasic

INDIKASI a. Defibrilasi unsynchronized cardioversion. 1. Fibrilasi ventrikel 2. Takikardia ventrikel tanpa denyut (pulseless ventricular tachycardia). b. Defibrilasi synchronized cardioversion. 1. Pada takikardia ventricular yang stabil 2. Pada takikardia supraventricular tidak stabil dan sulit dikelola dengan obat-obatan.

8.5.

TEKNIK DEFIBRILAOT PADA CARDIAC ARREST (DC SHOCK) 1. Oles dulu paddles dengan jelly ECG tipis rata, baru kemudian:

2. Switch ON Pasang paddles pada posisi apex dan parasternal (boleh tebalik) 3. Tempelkan di dada, baru:

Gambar hal 90



Charge 360 joules (Unsynchronized)



Ucapkan dengan keras: Awas semua lepas dari pasien! o Nafas buatan berhenti dulu o Bawah bebas,

Gambar hal 90

o Samping bebas,

Paddles di apex dan para sternal dibawah clavicula dextra Ditekan dengan kekuatan 10 kg

o Atas bebas, o Saya bebas! (stand clear!!!) 4. Shock!! (tekan dua tombol paddles bersamaan) 5. lepas

paddles

dari

dada,

segera

pijat

jantung

lagi.

Tanpa harus melihat dulu hasil DC-shock tersebut. 6. Setelah 2 menit baru di-evaluasi, raba lagi/ baca lagi monitor EKG Pada cardiac arrest dengan irama jantung jenis shockable rhythm: o Digunakan DC shock dengan mode: unsynchronized. o Defibrilator monophasic: single shock 360 joule untuk setiap shock. o Defibrilator bi-phasic: single shock 150 joule – 200 joules. o Bila tetap VF/ VT, defibrilasi dilakukan berulang setiap 2 menit yang harus segera diikuti dengan pijat jantung. o Urutan: CPR – Drug – DC Shock, CPR – Drug – DC – Shock, dst. o Epinephrine 1 mg dimasukkan apabila setelah DC shock ke dua irama masih tetap VF atau VT. Pemberian berikutnya berupa dosis ulangan 1 mg setiap 3 – 5 menit tanpa ada batas maksimum. o Lidocaine atau amiodarone dapat diberikan apabila setelah pemberian 3 shock pertama, irama tetap VT/ VF.

8.6.

TEKNIK DEFIBRILATOR UNTUK CARDIOVERSION

Defibrilasi synchronized untuk kardioversi pada takikardia ventricular yang stabil (teraba nadi karotis) atau takikardia supraventricular tidak stabil yang membandel dikelola dengan obat-obatan. 1. Tentukan irama jantung. 2. Siapkan defibrillator. 3. Sambungkan elektroda monitor. 4. Pasang cairan infus. 5. Berikan O2 kanula nasal/ masker. 6. Monitor pulse oksimetri dan EKG. 7. Pilih synchronized. 8. Tentukan dosis energi. 9. Letakkan pedal di dada (dengan tekanan ± 10 kg) 10. Jauhkan penolong dari tempat tidur pasien. 11. Tekan tombol charge, tungu sampai pengisian selesai (ditandai suara alarm). 12. Tekan tombol defibrillator setelah memeriksa keadaan, tidak ada penolong yang menempel ke pasien/ tempat tidur. 13. Nilai kembali gambaran EKG. 14. Dapat diulang bila usaha pertama gagal. Pada dasarnya sama dengan tindakan defibrilasi pada cardiac arrest hanya pada cardiac arrest semua tindakan misalnya pasang IV line, intubasi, dll; tidak boleh menghentikan aktivitas CPR (pijat jantung nafas buatan). Komplikasi penggunaan defibrillator: 

Luka bakar bila jelly (pelumas yang digunakan) tidak cukup atau kontak yang kurang antara paddle dengan dinding dada.



Shock

listrik

(Shock

Terjadinya sengatan listrik oleh karena kebocoran arus listrik.

Gambar hal 92

Gambar hal 92

Electric)

8.7.

ALGORITMA VF dan pulseless VT

CARDIAC ARREST Monitor/ alat belum siap

CPR 30 : 2 2 menit

Raba Carotis

Tidak Ada Lihat EKG

Ada

ROSC

Pertahankan jalan nafas bebas tetap beri oksigen Raba Arteri Radialis Lihat EKG – ukur tensi nadi Pertahankan infus Hipotensi: beri inotropic Terapi Aritmia Koreksi Eektrolit & cairan Observasi di ICU Waspada CA berulang

Shockable

Unshockable

Shockable

Unshockable

Single Shock 360 J CPR 30 : 2 (2 menit)

CPR 30 : 2 (2 menit) Adrenaline

Lihat manajemen VT/ VF

Manajemen Asistole

Adrenaline: 1 mg IV Dapat diulang setiap 3 – 5 menit, tidak ada batas maksimal

8.8.

DEFIBRILATION STRATEGY VF/ Pulseless VT

-

-

NO

-

-

A single shock (II) Biphasic 150 – 200 joules Monophasic 360 joules Adrenaline CPR 30 : 2

NO

-

-

A single shock (III) Biphasic 150 – 200 joules Monophasic 360 joules CPR 30 : 2

NO

-

-

Amiodarone 300 mg or Lidocaine 1 mg/ kg A single shock (IV) Biphasic 150 – 200 joules Monophasic 360 joules CPR 30 : 2

A single shock (I) Biphasic 150 – 200 joules Monophasic 360 joules CPR 30 : 2

Check EKG Check Pulse

YES

2 Minutes, 30 : 2

ROSC

Check EKG Check Pulse

YES

2 Minutes, 30 : 2

ROSC

Check EKG Check Pulse

YES

Adrenaline: 1 mg IV Repeated every 3 – 5 minutes -

-

ROSC

A single shock (IV) Biphasic 150 – 200 joules Monophasic 360 joules CPR 30 : 2

dan seterusnya

BAB 9 E: ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG) 9.1.TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Mampu mengetahui gambaran EKG yang mengancam jiwa 9.2.TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1. Mengetahui tatacara [erekaman EKG 2. Mengetahui gambaran EKG yang dapat mengancam jiwa 9.3.DIAGNOSA Mengetahui gambaran EKG normal Membaca EKG harus dimulai dengan: 1. Gambaran EKG tersebut laik dibaca/ tidak. 2. Tentukan frekuensi jantung. 3. Tentukan ada/ tidaknya gelombang P 4. Tentukan interval PR. 5. Tentukan komplek QRS. 6. Aksis 7. Lihat kelainan yang ada, misalnya: -

Tanda-tanda hipertrofi.

-

Tanda-tanda infark miokard.

Sebelum kita dapat membaca EKG, maka kita perlu mengetahui bagaimana cara yang benar untuk merekam EKG pada pasien sehingga diharapkan hasil rekaman EKG tersebut dapat dibaca dengan benar pula. Setelah kita dapat merekam EKG dengan benar, kita juga harus bisa membaca EKG yang normal terlebih dahulu sebelum kita dapat membaca EKG yang tidak normal. 9.4.PEMBACAAN EKG Gambar hal 95 Kertas EKG a. Kotak-kotak pada garis ventrikel-horizontal interval 1 mm. b. Garis horizontal menyatakan waktu 1 mm = 0,04” dan 5 mm. c. garis vertical menyatakan voltage 10 mm = mV 1. Syarat membaca EKG

a. Ada data identitas nama, umur, tanggal. b. Ada kalibrasi. c. Kabel tak terbalik (gelombang P di lead I (+) dan di aVR (-) 2. Cara membaca EKG a. Tentukan apakah irama sinus (lihat gelombang P). Disebut irama sinus bila terdapat gelombang P normal yang diikuti gelombang QRS kompleks. Gelombang P normal: bila tinggi amplitudo <2,5 mm dan panjang gelombang < 0,12 detik b. Tentukan rate/ frekuensi denyut jantung. Cara menghitung rate. Hitung RR – interval (ventricular – rate) atau PP – interval (atrial – rate) ada berapa kotak besar. Hitung

300 = 𝑅𝑎𝑡𝑒 (𝑓𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔) 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟

c. Cara membaca axis axis QRS/ ventrikel 1. Normal

: -30o s/d +90o

2. Kanan

: +90o s/d +180o

3. Kiri

: -30o s/d -90o

9.5.ANATOMI EKG DAN INTERPRETASINYA Gambar hal 97

a. Gelombang P 

Menyatakan aktivitas depolarisasi atrium.



Jelas terbaca pada lead I, II, III, aVF.



Normal gelombang P: lebar: < 0,12 dan tinggi: <1,5 mm.

Selalu memberikan gambaran gelombang (+) pada I dan II dan gambaran gelombang (-) pada aVR. b. Gelombang kompleks QRS 

Merupakan aktivitas depolarisasi ventrikel diawali.



Gelombang Q di I, V5, V6.



Gelombang R di V1, V2.



Lebar Gelombang 0,07 – 0,10 mm

c. Penilaian Segmen Penilaian segmen: awal P – awal QRS. 

Isoelektrik



Perlambatan impuls di AV node



0,12 – 0,20 mm

d. RST = ST segmen 

Mulai titik S sampai awal gelombang T.



Biasanya isoelektrik.



Prekordial: -0,5  -2,0

9.6.MEREKAM EKG 1. Penderita harus berbaring, rileks. 2. Kontak electrode dan kulit harus baik. 3. Alat EKG layak untuk digunakan (1 mV  1 cm deflexi). 4. Hindari arus bolak-balik (penderita dengan alat). 5. Hindari kontak dengan elektroda lain. Pemasangan Lead: secara rutin 12 lead a. I, II, III b. AVR, Avl, aVF c. V 1 – 6 Gambar hal 98 Gambar hal 98 Gambar hal 99

1. Unipolar lead: Wilson 

Extremitas (limb leads) aVR, aVL, Avf.



Precordial/ chest lead: V



Esophageal leads



Intracardiac leads

2. Bipolar leads: Eindhoven 

I



II : LL – RA



III : LL – RA

: Perbedaan LA – RA

I

II

+

= II

III

+ +

I III

9.7.CONTOH GAMBARAN EKG YANG ABNORMAL Setelah kita dapat mengetahui EKG yang normal, barulah kita dapat membaca hasil rekaman EKG yang tidak normal. Ada banyak macam gambaran EKG yang abnormal. Disini mempelajari terutama gambaran EKG yang mengancam jiwa. Gambaran EKG yang dapat mengancam jiwa dapat disebabkan oleh: 1. Adanya gangguan pembentukan impuls pada SA Node, Atrium, AV Node, Ventrikel. 2. Adanya gangguan sistem konduksi pada SA Node, AV Block, Bundle Branch Block. 3. Adanya gangguan keseimbangan elektrolit 

Hipo/ Hiperkalemia



Hipomagnesia



Hipo/ Hiperkalemia

4. Adanya pengaruh obat-obatan (digitalis) Contoh-contoh: Kelainan Irama Jantung 1. Takikardia: 

Supraventrikular takikardia



Ventrikular takikardia



Bradikardia

Gambar hal 100

2. Infark Terdapat segmen ST elevasi bentuk cembung. Gambar hal 101 Selama infark miokard akut, perubahan gambaran EKG melalui 3 fase -

Gelombang T elevasi, diikuti dengan gelombang T-inversi (gambar A dan B)

-

ST segmen elevasi (gambar C)

-

Terlihat gelombang Q (gambar D)

Gambar hal 101 3. Hipertrofi: 

Ventrikel kanan

: - Axis ke kanan. - Persisten S di V5 & V6.



Ventrikel kiri

: - Axis ke kiri. - S di V1 atau V2 ditambah R di V5 dan V6



Atrium kiri

: - P mitral di II, III, Avr - Bifasik P di V1



Atrium Kanan

: - P pulmonal di I, II, aVf - Bifasik P di V1

TINDAKAN 

Pada PVC multiple, multifocal, salvo R on T diberikan Lidocaine.



Pada VF/ VT tanpa nadi dilakukan DC shock unsynchronized, RJPO.



Pada SVT dengan hemodinamik stabil baik diberikan obat (verapamil, beta blocker, digitalis, adenosine).



Pada SVT tidak stabil diberikan Cardioversion (DC shock synchronized)



Pada asistol diberikan adrenalin, pijat jantung nafas buatan.



Pada bradikardi dan AV block diberikan atropine, pacu jantung.

BAB 10 KOMUNIKASI PELAYANAN GAWAT DARURAT DAN RUJUKAN 10.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Mampu melakukan komunikasi medik rujukan dan transportasi penderita gawat darurat.

10.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1. Memahami masalah komunikasi medik rujukan. 2. Mampu membantu merencanakan persiapan pra rujukan dan transportasi. 3. Mampu merujuk penderita gawat darurat.

10.3. TUJUAN SISTEM KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN GAWAT DARURAT A. Latar Belakang a. Kondisi geografis dan teknis. 

Indonesia negara kepulauan.



Belum semua daerah: -

Dilengkapi sarana komunikasi memadai

-

Sarana transportasi memadai.

Fasilitas komunikasi belum memadai di semua tempat. b. Pada bencana alam/ buatan manusia perangkat telepon rawan lumpuh. B. Peran dan Tujuan Pemanfaatan Peningkatan mutu dan pemerataanan Tradisional: 

Pada musibah masal/ bencana informasi/tergantung “nasib”.



Transfer [enderita lewat suara konsultasi, jawaban lambat.

C. Komunikasi Pelayanan Gawat Darurat a. Pelayanan gawat darurat sehari-hari 

Indikasi rujukan lebih tepat sasaran.



Persiapan pra rujukan lebih baik, informasi pasca rujukan segera.



Tambahan pengetahuan langsung.



Diskusi jarak jauh pra dan pasca transfer pasien.



Konsultasi jarak jauh.

b. Penanganan musibah/ bencana 

Early warning lebih cepat.



Mobilisasi – koordinasi multi level – multi sector lebih baik.



Kuliah jarak jauh.

c. Pemecah rasa terisolasi 

Bagi daerah tanpa fasilitas telepon



Rasa aman bagi petugas

10.4. PEMANFAATAN KOMUNIKASI UNTUK RUJUKAN A. RUJUKAN Tidak semua penderita yang dating dapat diatasi sendiri. Untuk itu perlu dirujuk ketempat lain yang lebih lengkap dan mampu. Cara tradisional yang selama ini dilakukan dengan surat pengantar dan tidak didahului komunikasi dengan rumah sakit tujuan. Kerugian dari cara ini adalah: 1. Rumah sakit tujuan tidak siap untuk menerimapenderita. 2. Stabilitas pra rujukan belum tentu sesuai dengan kebutuhan, sangat tergantung kemampuan tenaga setempat sendiri tanpa ada koreksi kekurangan segera. 3. Bila terjadi penyulit selama rujukan, tidak ada sistem pendukung bagi pengantar rujukan. 4. Pasca rujukan tidak ada penegasan apakah indikasi dan diagnose pra rujukan sudah benar/ kurang benar. Kesemuanyamenghilangkan kesempatan bersama yang sangat baik guna memberikan pengalaman lebih untuk menghadapi kasus yang sama pada waktu mendatang. Dari pengalaman RSU Dr. Soetomo sejak pengembangan Pusat Komunikasi Medik 1984 lalu, hendaknya hal-hal sebagai berikut: 1. Pra rujukan lakukan komunikasi untuk diskusi 

Keseragaman cara evaluasi penderita



Ketepatan indikasi medik rujukan (kecuali atas pertimbangan non-medik



Tindakan stabilisasi lain yang mungkin masih diperlukan transportasi



Diskusi masalah potensial yang mungkin terjadi selama transportasi dan persiapan tindakan pencegahan yang dianggap perlu.

2. Selama rujukan 

Tetap ditetapkan tempat ain yang mungkin dapat membantu kesulitan selama perjalanan.

3. Pasca rujukan 

Diskusi ketepatan diagnosa pra rujukan.



Pelajaran/ pengalaman lain yang didapat selama penanganan kasus sulit.

B. Musibah Massal/ Bencana Pada musibah massal/ bencana akan jatuh korban dengan jumlah yang melebihi kemampuan tersedia. Untuk itu diperlukan sarana komunikasi dan pengendalian kegiatan semua fasilitas medik yang dapat dimobilisasi agar tercapai efisiensi dan efektivitas pertolongan ditengah keterbatasan tenaga, sarana dan pendukung lainnya. Sistem komunikasi apapun perangkat keras yang dipakai mutlak diperlukan untuk menunjang keperluan ini. Agar dapat berfungsi secara optimal sistem ini harus telah tergelar sebelum terjadinya musibah/ bencana sekaligus agar dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat mengaktifasi sistem pertolongan musibah massal/ bencana dalam waktu singkat.

10.5. PEMANFAATAN KOMUNIKASI UNTUK RUJUKAN A. Jenis Jaringan Sistem Komunikasi Pelayanan Gawat Darurat Sesuai Keperluan Pelayanan 

Aspek intra sector (sesuai jarring rujukan medik &kesehatan) atau antar ptretugas kesehatan (sistem tertutup)



Aspek lintas sector (local) i.

Hubungan dengan masyarakat (sistem terbuka)

ii.

Hubungan dengan instalasi tertentu (sistem penunjang) POLRI PEMDA Militer Instansi lainnya

B. Bentuk Jaringan Intra Kesehatan a. Lingkar intra puskesmas dan Pustu, Polindes, Ambulans

b. Lingkar intra Kabupaten 

Antar Puskesmas



Puskesmas – RSU / Dinkes Kabupaten

c. Lingkar intra Provinsi 

RSU / Dinkes Kabupaten – RSU / Dinkes Provinsi

d. Lintas Provinsi 

Antar pusat rujukan



Pada bencana

C. Aspek Muatan a. Pada keadaan darurat baik perorangan maupun massal / bencana 

Rujukan gawat darurat perorangan & massal / bencana



Rujukan sehari-hari non darurat / transfer penderita



Rujukan kesehatan / pelaporan KLB

b. Kegawatan tak terjadi tiap saat namun kesiagaan untuk kedaruratan harus tetap tinggi tiap saat, untuk itu sistem komunikasi harus tetap siaga pada keadaan normal c. Rujukan program 

Penurunan IMR – MMR



JPS



Rawan gizi, dll

d. Rujukan alat Contoh: perbaikan teknis alat medis e. Rujukan kedinasan biasa Supaya antar petugas saing kenal, sistem komunikasi siaga tiap saat D. ASPEK TEKNIS Perangkat Keras 

Telepon -



Utama pada daerah berkembang

Radio -

Utama pada daerah terpencil

-

Cadangan umum pada semua tingkat untuk keadaan khusus

-

Mutlak perlu dipunyai oleh pusat-pusat rujukan daerah

-

Pemilihan jenis perangkat kesesuaian titik yang dihubungkan

Perangkat Lunak -

Jejaring intra kesehatan & peran masing-masing

-

Pusat komunikasi (communication centre) pada pusat rujukan 24 jam

-

Tatalaksana komunikasi dan metoda pelaporan, log book

-

Kontrol station local, regional dan tata bicara untuk radio

-

Code

system

dan

formulir

khusus

untuk

berita

melalui

radio

(penjelasan berita, kurangi kemungkinan penyadapan berita) E. PENGEMBANGAN TEKNIS Telepon -

Fax

-

Handphone (sangat tergantung RBS)

-

Internet / email

-

Teleconference

-

Telepon

satelit

/

low

/

middle

/

(operasional mahal, sekitar $ 10 / menit Radio -

Pocket radio (fax by radio)

10.6. KEMAMPUAN SDM DAN PENGEMBANGANNYA A. Sosialisasi sistem dan manfaatnya 





Pada pengambil keputusan 

Kebijakan pengembangan



Kebijakan pemanfaatan sehari-hari

Pengguna tingkat unit kerja 

Puskesmas



Rumah sakit

Tingkat provinsi 



Dinkes, kanwil, pemda

Tingkat nasional

geostationer

earth

orbital



Crisis center

B. Penentuan kemampuan tenaga operator -

Penguasaan sistem / perangkat lunak dan pelaporannya

-

Sistem rujukan

-

Teknis komunikasi khususnya radio

-

Penguasaan teknis operasional perangkat keras

C. Penetuan kurikulum pelatihan dan pelaksanaanya adalah sesuai kebutuhan pelayanan D. Perlunya daerah percontohan / model pengembangan

10.7. SISTEM KOMUNIKASI PELAYANAN GAWAT DARURAT SURABAYA A. Network Surabaya dan Jatim 

Intrasektor



Lintas sektor

B. Perangkat keras Telepon 

Pelayanan umum (118)



Internal

PABX

Rumah

Sakit

Integrasi teleconference equipment / ISDN line dengan operator Radio 

Jaringan umum VHF band (local Surabaya dan sekitarnya)



Jaringan dinas / tertutup VHF band multi canal (regional Jatim) HF band multi canal (nasional)



Lintas sector (Jasa marga – POLRI)

C. Perangkat lunak 

Protokol komunikasi bagi operator jaga



Log book



Darurat sehari-hari



Darurat massal / bencana



Evaluasi kegiatan (data berita, partisipasi net call, rujukan / KLB, emergency ambulance call dan lain-lain)

D. Operasionalisasi Eskalasi kegiatan “Siaga Sepanjang Waktu” berdasar: a. Net call 3 kali sehari b. Berita administrasi dan kedinasan Eskalasi – I a. Kedaruratan harian b. KLB c. Ambulans gawat darurat Surabaya Konsep dasar: - Koordinasi - Regionalisasi - Standarisasi (Karjadi W – 1997) Eskalasi – II a. Pelayanan gawat darurat musibah massal b. Pelayanan gawat darurat bencana E. Sumber Daya Manusia Operasi 24 jam Tiap shift 2 orang, total tenaga 8 orang Kurikulum pelatihan kemampuan perorangan Kualifikasi: 

Penguasaan teknis operator radio dan telepon



Mampu BLS plus



Mampu sebagai paramedic ambulans

F. Pusat Komunikasi Medik RSUD Dr. Soetomo Adanya pusat koordinasi pengendalian medik di Lantai III IRD RSUD Dr. Soetomo kamar 313 (Radio Medik) -

Publik information centre

-

Koordinasi intra Rumah Sakit

-

Koordinasi antar Rumah Sakit

-

Pengendali pelayanan ambulans gawat darurat Surabaya dan sekitarnya

-

Siaga musibah massal / bencana dan pengendali pada kegiatan pertolongannya

-

Pengendali utama sektor medik pada:



Operasi ketupat (lebaran)



Operasi lilin (tahun baru)



Sekaligus sebagai kesempatan “latihan basah”

G. Contoh PON XV (sebagai contoh adaptasi sistem darurat harian dan penanganan bencana) Area tersebar di 10 kabupaten, berjarak 200 x 200 km meliputi 8000 atlet dan official. Rawan kecelakaan olahraga di daerah Batu dan Karangkates Malang (180 km dari Surabaya) dan rawat keributan dan konflik Antisipasi: Model ekskalasi kegiatan dan team penangkal Lapis 1

: Tim kesehatan PON

Lapis 2

: Tim kesehatan penanggulangan medik Musibah massal (TKPM3 Jatim)

Lapis 3

: Tim gerak cepat penanggulangan bencana (TKPM3 plus Kesling, P2M, dan lain-lain)

Koordinasi terpusat lewat Puskodalmedkes di Surabaya Telepon

: 031-5501233, 5501244

Radio; ORARI

: dial 718

Dinas VHF

: Kaal 1 dan 4

Dinas HF

: 5.407 & 5405,6 USB 15.802,5 USB

Pola Operasi Pos Lapangan: Pokes di Wisma Pokes di Lapangan pertandingan Pos Depan Puskesmas/

Rumah

Sakit

terdekat

milik

(mobilisasi & koordinasi oleh Dinkes Prov. & PERSI Jatim) Pos Belakang RS terlengkap di daerah terdekat atau ditarik ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya

siapapun

Siaga ambulans cadangan dikendalikan terpusat lewat Posko Kes Kabupaten dan Puskodalmed/ Puskodalmedkes PON XV, koordinasi ketat dengan bidang keamanan 

Puskodalmed harian menjadi Puskodalmedkes PON X



Sistem komunikasi tergelar penuh 24 jam, keharusan pelaporan semua kasus, dimonitor khusus, dibicarakan tiap jam 20.00



Perangkat keras apapun yang ada sesuai yang dimiliki saat itu, Puskodalmed menyesuaikan.

Termonitor langsung ditangani 1885 kasus termasuk korban keributan kecil saat pembukaan dan saat pertandingan, harus masuk Rumah Sakit 65 kasus

10.8. PENUTUP 1. Sistem komunikasi pelayanan gawat darurat mutlak diperlukan untuk menunjang kelancaran pelayanan gawat darurat baik harian maupun musibah/ bencana. 2. Rujukan hendaknya didahului dengan komunikasi para rujukan selanjutnya bila perlu selama rujukan dimonitor dan diakhiri dengan komunikasi pasca rujukan guna memberikan pengalaman belajar Bersama dalam penanganan kasus sulit. 3. SKPGD dengan radio komunikasi khususnya daerah terpencil dan daerah bencana merupakan kebutuhan dasar. 4. Perlu tindak lanjut pengembangan SDM dan perangkat keras radio yang telah ada secara terpadu (termasuk alokasi frekuensi ex Parpostel), demikian pula adanya Pusat Komunikasi di pusat rujukan guna memudahkan masuknya permuintaan bantuan darurat baik untuk kedaruratan harian maupun musibah/ bencana.

BAB 11 TRANSPORTASI MENGANGKAT DAN MENGANGKUT 11.1.

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Mengetahui dan mampu menggunakan alat-alat transportasi penderita gawa darurat

11.2.

TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1. Mengetahui cara transportasi tanpa alat 2. Mengetahui cara transportasi dengan alat 3. Mengetahui cara memindahkan pasien dengan curiga cedera leher

11.3.

DEFINISI Suatu proses usaha memindahkan dari suatu tempat ke tempat lain tanpa ataupun mempergunakan bantuan alat. Tergantung situasi dan kondisi lapangan.

11.4.

ATURAN DALAM PEMINDAHAN KORBAN 1. Pemindahan korban dilakukan apabila diperlukan betul dan tidak membahayakan penolong. 2. Terangkan secara jelas pada korban apa yang akan dilakukan agar korban dapat kooperatif. 3. Libatkan penolong lain. Yakinkan penolong lain mengerti apa yang akan dikerjakan. 4. Pertolongan pemindahan korban di bawah satu komando agar dapat dikerjakan Bersama. 5. Pakailah cara mengangkat korban dengan Teknik yang benar agar tidak membuat cedera punggung penolong.

11.5.

PERLENGKAPAN Yang perlu diperhatikan: perlengkapan seharusnya lengkap dan cukup serta diletakkan di suatu tempat yang mudah dicapai dan mudah di bawa. Perlengkapan dasar 1. Tempat/ kotak tidak tembus air. 2. Bebagai ukuran pembalut dengan perkiraan jumlah 20 gulung. 3. 6-10 lembar kasa steril berukuran medium/ sedang. 4. 2 lembar kasa steril berukuran besar/ lebar. 5. 2 lembar kasa steril berukran lebih besar.

6. 6 lembar pembalut segitiga. 7. 6 peniti. 8. Beberapa sarung tangan steril. Perlengkapan tambahan 1. 2 gulung pembalut elastis. 2. Gunting. 3. Klem/ pinset. 4. Kapas. 5. Desinfektan. 6. Plester perekat. 7. Alat tulis & label / tag. 8. Perlengkapan untuk universal precaution. a. Kaca mata. b. Topi dan masker. c. Sarung tangan. d. Baju pelindung dari bahan plastic (tidak tembus cairan). 9. Selimut, alas dari plastic/ karet, lampu dengan baterai.

11.6.

TEKNIK Proses pemindahan dilakukan oleh satu penolong, dua penolong, atau lebih tanpa menggunakan alat-alat bantu. 1. Oleh satu penolong: dipapah, diseret, ditimang, digendong di punggung. 2. Oleh

dua

penolong:

dapat

dilakukan

dengan

cara

a. Dua tangan menyangga paha korban dan dua tangan lain menyangga punggung korban. b. Satu penolong mengangkat korban dari arah punggung korban sedangkan penolong yang lain menyangga tungkai korban. 3. Oleh tiga penolong dapat dilakukan dengan cara korban diangkat Bersama-sama dengan kondisi korban terbaring.

KONDISI KORBAN

SATU PENOLONG

DUA PENOLONG

Sadar mampu berjalan

Cara Human Crutch

Cara Human Crutch

Sadar tidak mampu berjalan

Cara piggyback atau cradle Cara two-handed seat atau untuk kasus dengan berat fore-and-aft carry badan ringan cara drag

Tidak sadar

11.6.1.

Cara cradle atau drag

Cara fore-and-aft carry

TANPA ALAT

11.6.1.1. TENAGA PENOLONG SATU ORANG a. Teknik menyangga penolong (Human Crutch & Drag Methode) Cara Human Crutch Dipapah dengan dirangkul dari samping, bila dimungkinkan berikan alat bantu jalan sebagai penopang atau penguat (alat bantu ekstra). 1. Berdiri disamping pasien di sisi yang cedera atau yang lemah, rangkulkan satu lengan pasien pada leher penolong yang lain dari arah belakang menggait pinggang pasien. 2. Tahan kaki penolong yang berdekatan dengan pasien untuk mendampingi pasien, sedang kaki penolong yang jauh dari pasien maju setapak demi setapak. 3. Bergeraklah pelan-pelan maju. 4. Selanjutnya tarik pelan-pelan gulungan yang ada di arah kepala agar terbuka mengalasi tubuh pasien bagian atas sedang gulungan yang ada di kaki Tarik ke bawah agar terbuka mengalasi tubuh pasien bagian bawah. Seundukan kedua tongkat masing masing di kiri dan kanan tepi kanvas yang sudah di lipat dan di jahit. 5. Angkat dan angkut pasien hati-hati.

Cara Drag (DDrag = diseret) 1. Jongkoklah di belakang pasien bantu pasien sedikit/ setengah duduk. Atur kedua lengan pasien menyilang dadanya.

2. Susupkan kedua lengan penolong di bawah ketiak kiri dan kanan pasien dan gapai serta pegang kedua pergelangan tangan pasien. 3. Secara hati-hati Tarik/ seret tubuh pasien kebelakang sembari penolong berjalan jongkok ke belakang. 4. Bila pasien kebetulan memakai jaket buka semua kancingnya, balik bagian belakang jaketnya, Tarik dan seret hati-hati bagian belakang. Gambar hal 116 Human Crutch Gambar hal 116 Drag Methode b. Teknik Menggendong dan Membopong Cradle (cradle = dibopong) dan Pick-A-Back Cara-cara ini tidak digunakan pada pasien dengan cedera pundak, kepala, dan leher Gambar hal 116 Cradle = dibopong

Gambar hal 116 PICK-A-BACK Cara cradle 1. Jongkoklah di belakang pasien letakkan satu lengan penolong merangkul di bawah punggung pasien sedikit di atas pinggang 2. Letakkan lengan yang lain di bawah paha pasien tepat di pelipatan lutut. Berdirilah pelan-pelan dan bersamaan mengangkut pasien.

Cara PICK-A-BACK 1. Jongkoklah di depan pasien dengan punggung menghadap pasien. Anjurkan pasien meletakkan kedua lengannya merangkul di atas pundak penolong. Bila dimungkinkan kedua tangannya saling berpegangan di depan pada penolong.

2. Gapai dan peganglah paha pasien, pelan-pelan angkat ke atas menempel pada punggung penolong.

11.6.1.2. TENAGA PENOLONG 2 ORANG a. CARA THE TWO HAND SEAT Ditandu dengan kedua lengan penolong Gambar hal 117 Kedua lengan penolong yang menerobos di bawah lipatan lutut pasien, saling bergandengan dan mengait dengan cara saling memegang pergelangan tangan. Gambar hal 117 Pasien didudukkan 1. Kedua penolong jongkok dan saling berhadapan di samping kiri dan kanan pasien lengan kanan penolong kiri dan lengan kiri penolong kanan saling menyilang di belakang punggung pasien. Menggapai dan menarik ikat pinggang pasien. 2. Kedua lengan penolong yang menerobos di bawah pelipatan lutut pasien, saling bergandengan dan mengait dengan cara saling memegang perfelangan tangan. 3. Makin mendekatlah para penolong. 4. Tahan dana tur punggung penolong tegap. Angkatlah pasien pelan-pelan bergerak ke atas

b. CARA THE FORE AND AFT CARRY Jongkoklah dibelakang pasien 1. Dudukkan pasien. Kedua lengan menyilang di dada. Rangkul dari belakang dengan menyusupkan kedua lengan penolong di bawah ketiak pasien setinggi dada pasien. 2. Pegang pergelangan tangan kiri pasienoleh tangan kanan penolong dan pergelangan tangan kanan pasien oleh tangan kiri penolong. 3. Penolong yang lain jongkok di samping pasien setinggi lutut pasien dan mencoba mengangkat kedua paha pasien.

4. Bekerjalah secara koordinatif. Pertahankan punggung tegap. Angkat pelanpelan. Gambar hal 118 Gambar hal 119

11.6.2.

DENGAN ALAT

Proses pemindahan dapat dilakukan oleh dua-empat penolong dengan menggunakan alatalat bantu: 

Dengan menggunakan kursi kayu.



Dengan menggunakan kayu / usungan. -

Dari bahan kayu atau bamboo.

-

Dari bahan kayu, kanvas, kain tebal, atau selimut.

-

Dari bahan logam



Dengan menggunakan usungan beroda atau tempat tidur beroda.



Dapat menggunakan kendaraan berupa -

Motor

-

Mobil, Ambulans.

-

Pesawat terbang, Helikopter

Cara-cara memindahkan korban akan di tunjukkan langsung pada pelatihan praktek.

11.6.2.1. TENAGA PENOLONG 2 ORANG Dengan kursi Gambar hal 120

11.6.2.2. MEMAKAI TANDU/ STRETCHER Gambar 120 Mengangkat yang aman Diperlukan otot otot yang kuat antara lain: Otot-otot paha, otot-otot pinggul dan otot bahu. Ikuti cara-cara berikut: 1. Piker masak-masak sebelum mengangkat/ konsentrasi.

2. Berdiri sedekat mungkin dengan pasienatau alat-alat angkat. 3. Pusatkan kekuatan pada lutut. 4. Atur punggung tegak namun tidak kaku. 5. Gunakan kaki untuk menopang tenaga yang diperlukan. 6. Selanjutnya bergeraklah secara halus, tahanlah sipasien atau alat angkut kea rah penolong.

11.6.2.3. MEMINDAHKAN PASIEN DENGAN KURSI BERODA Persiapan: 1. Siapkan kursi, cek cukup/ kuat bagi berat pasien. 2. Pastikan kursi tidak cacat/ tidak rusak. 3. Dudukan pasien diatas kursi roda, yakin aman, pergunakan sabuk pengaman Satu penolong menahan-membantu di belakang kursi, sedang penolong lain meyakinkan duduk pasien sudah aman. 1. Yakinkan pada pasien apa yang harus dilakukan. 2. Yakinkan bahwa pasien sudah pada posisi yang aman. 3. Miringkan ke belakang pelan dan hati-hati. 4. Dorong kursi pelan dan hati-hati kedepan dengan kecepatan. 5. Jaga hati-hati keseimbangan kursi Apabila medan yang harus di tempuh ternyata harus menuruni atau menaiki anak tangga maka kerjakan cara Down Step berikut: 1. Berdirilah di belakang kursi beroda pasien, di anak tangga yang tertinggi dimana saudara berada. Penolong yang lain berdiri beberapa anak tangga ke bawah menghadap ke kursi pasien. 2. Dorong pelan-pelan kursi kedepan hingga roda kedepan hingga roda dekat dengan tepian anak tang. Penolong kedua berjongkok didepan nya dan menggait serta mengangkat pegangan kursi dengan pasien yang ada di bagian kaki pasien. 3. Penolong kedua mengangkat kursi sembari memberikan aba-aba untuk Bersama-sama menganggkat pegangan kursi dengan pasien nya. Aba-aba dilanjutkan untuk kemudian menuruni atau menaiki tangga.

11.6.3.

MENGUSUNG KORBAN DENGAN SELIMUT 

Letakkan selimut terbuka diatas lantai.



Gulung salah satu sisi selimut.



Geser seluruh selimut mendekat pasien dengan sisi tergulung menempel pasien.



Gelindingkan pasien hati-hati dan bersamaan ke atas selimut. Tarik sisi selimut yang tergulung dan buka sedikit-sedikit.



Selanjutnya terlentangkan kembali posisi pasien.



Gulung tepi selimut yang masih terbuka kearah pasien.



Terakhir posisi pasen terletak di atas selimut yang kedua sisinya tergulung, di sisi kiri dan kanan pasien.



Angkat pasien Bersama-sama dengan memegang gulung selimut.

MENYELIMUTI PASIEN DI ATAS USUNGAN Dengan selembar selimut 

Letakkan selembar selimut terbuka diatas usungan, atur dengan arah diagonal, pojok atas dan bawah selimut di arah kepala dan kaki dari usungan sedang pojok kiri dan kanan selimut terbuka di sisi kiri dan kanan usungan.



Baringkan pasien di atas selimut tersebut.



Lipat ujung pojok bawah selimut menutup kaki pasien.



Lipat sisi pojok kanan selimut menutup tubuh pasien dan selipkan ujung pojok kanan selimut tersebut di bawah tubuh pasien. Selanjutnya lipat sisi pojok kiri selimut menutup di atasnya. Begitu pula ujung pojok kiri selimut di bawah tubuh pasien.



Terakhir ujung pojok atas selimut atur sedemikian rupa secara rapi menutup kepala pasien.

Dengan dua lembar selimut 

Letakkan satu selimut terbuka lebar melintang di atas usungan, sedangkan selimut yang lain terbuka membujur di atas selimut pertama.



Lipat kedua sisi kiri dan kanan selimut ke dua arah tengah.



Baringkan pasien di atas selimut kedua.



Tutup kedua tungkai pasien dengan tepu bawah ujung selimut kedua.



Ambil tepi kanan selimut pertama. Selimutkan pada pasien, selipkan sisa tepinya di bawah tubuh pasien sisi kiri selanjutnya ambil tepi kiri selimut pertama menyelimuti tubuh pasien selipkan sisa tepinya di bawah tubuh pasien sisi kanan.



11.6.4.

Atur sisi tepi selimut kedua di arah kepala agar menutup kepala pasien dengan rapi.

TANDU (STRETCHER)

STRETCHER – USUNGAN, ALAT ANGKAT DAN ANGKUT Sebelum digunakan selalu harus diperiksa lebih dahulu: apakah cukup kuat tidak robek. Yakin dapat digunakan untuk mengangkut seberat pasien. Bila akan digunakan untuk pasien terangkan sejelasnya pada pasien. Yakin ada tali pengaman agar pasien tidak jatuh.

CARA MEMBAWA STRETCHER Peraturan umum membawa pasien dengan usungan kepala pasien arah belakang kecuali halhal tertentu: 1. Korban dengan kerusakan tungkai berat, hipotermia, menuruni tangga atau bukit. 2. Pada pasien stroke trauma kepala, letak kepala harus lebih tinggi dari letak kaki. Setiap pengangkat siap pada keempat sudut. Apabila hanya ada 3 pengangkat, maka 2 pengangkat di bagian kepala sedang yang satu di bagian kaki. Masing-masing pengangkat jongkok dan menggapai masing-masing pegangan dengan kokoh. Gambar hal 123 Di bawah komando salah satu pengangkat di bagian kepala, keempat pengangkat bersamaan berdiri sambal mengangkat usungan (stretcher). Komando berikutnya pengangkat bergerak maju perlahan-lahan. Dengan posisi tubuh dekat dengan usungan. Selanjutnya untuk menurunkan usunfan dengan satu komando keempat pengangkat berhenti dan selanjutnya bersamaan merunduk sambal menurunkan usungan.

PEMBAGIAN UMUM JENIS STRETCHER 1. Tandu Sederhana 2. Tandu Rescue 3. Tandu Ambulans 4. Orthopaedics Stretcher

5. Tandu Alas Keras

STRETCHER STANDARD Dikenal the Furley stretcher terbuat dari selembar kanvas atau plastic yang dibatasi dan melekat pada sebilah tongkat kiri dan kanan dengan kaki pendek di kedua ujung tongkat tersebut. Kedua tongkat tersebut saling dihubungkan oleh engsel pengait. The until folding stretcher. Seperti the furley stretcher namun lebih ringan dan lebih padat – ringkas bila dilipat. Gambar hal 124 Cara membuka THE FURLEY STRETCHER Rebahkan gulingan stretcher terbaring pada satu sisi tongkatnya, lepaskan semua tali pengikatnya. Regangkan

kedua

tongkat

pembatas

kanvas

dan

buka

engsel

pengaitnya.

Kedua engsel pengait telah terbuka kedua tongkat pembatas kanvas telah teregang jadilah sekarang usungan dari bahan kanvas. Cara menutup THE FURLEY STRETCHER Lepas

dan

kendorkan

kedua

tongkat

pembatas

engsel

pengati

tersebut

dapat

kedua

tongkat

didekatkan

pebatas

sehingga

tepi

kanvas.

kanvas

melipat.

makin dekatkan kedua tongkat tersebut hingga saling berimpit. Lipat dan gulungkan kanvasnya menutup kedua tongkat pembatas tersebut. Selanjutnya ikat dengan tali.

Gambar hal 125 STRETCHER KHUSUS 1. The Rescue Stretcher The Rescue Stretcher dirancang untuk memindahkan korban dari tempat-tempat yang sulit dicapai. Hanya digunakan oleh penolong-penolong terlatih. Gambar hal 126 2. Trolley Cot (Tandu Ambulan) Trolley Cot umumnya digunakan dan diletakkan dalam ambulans. Digunakan oleh petugas terlatih. Dapat diubah-ubah bentuknya, dapat terbuka datar maupun terlipat seperti posisi kursi.

Gambar hal 126 Gambar hal 127 3. Orthopaedics Stretcher Disebut juga scoop stretcher usungan ini dapat dipisahkan menjadi dua bagian kiri dan kanan sebagai sayap kiri dan kanan. Dengan di kedua ujung atas dan bawah ada pengunci. Bila kedua sayap kiri dan kanan tersebut didekatkan pengunci mengait sehingga menjadi satu kesatuan merupakan usungan yang kokoh. Gambar hal 127 Cara menggunakan SCOOP STRETCHER Pusatkan kedua sayap usungan dengan membuka kuncinya di bagian ujung atas dan bawah. Dekatkan masing-masing sayap di sisi kiri dan kanan pasien dengan arah pengunci atas di kepala pengunci bawah di kaki. Geser hati-hati kedua sayap usungan tersebut makin mendekat makin menyusup punggung pasien dengan alas pasien. Setelah posisi tepat, dekatkan kedua pengunci atas dan bawah. Kunci dengan tepat. Angkat dan angkutlah pasien dengan hati-hati

4. Tandu Alas Keras/ LONG SPINE BOARD Gambar hal 128

5. Canvas Poles Stretcher Usungan dari bahan kanvas dengan dua tongkatnya kiri dan kanan untuk penguat. Sering digunakan untuk mengangkut pasien ke ambulan. Cara menggunakan 1. Letakkan kanvas tebuka lebar diatas lantai. Lipat atau gulungkan kedua sisi tepi kanvas ke arah tengah. Kedua lipatan tersebut bertemu di tengah kanvas. 2. Penolong lain mengngkat tubuh pasien hati-hati setinggi ±2 ½ cm tepat pada bagian pinggul selundupkan gulungan kanvas tadi menyusup di bawahnya.

11.7.

AMBULANS

Gambar hal 129 HEAD CLEARANCE TINGGI

Gambar hal 129 Atap ambulans harus tinggi agar kita dapat bekerja di dalamnya.

Gambar hal 129 Gambar hal 129 Gambar hal 129 Gambar hal 129

11.8.

LOG ROLL

Log roll berasal dari kata log (balok kayu dan roll (berguling), jadi log roll adalah cara memindahkan atau memiringkan pasien dengan prinsip kegarisan.log roll digunakan terutama untuk memindahlan pasien dengan kecurigaan patah tulang leher, dengan harapan tidak memperparah cedera yang dialami. Kita harus mencurigai paien mengalamipatah tulang leher apabila didapatkan tanda-tanda sbagai berikut: 

Adanya jejas di atas clavicula



Trauma yang mengakibatkan korban tidak sadar



Multiple trauma



Trauma dengan kecepatan tinggi



Adanya deficit neurologis, misalnya parastesi, hemiparese sampai hemiplegia.

Log roll dilakukan dengan 4 orang penolong, dimana 1 orang bertanggung jawab atas airway dan breathing pasien sekaigus menjadi pemimpin. Tiga orang lainnya berada di samping pasien dengan tangan saling bersilangan sehingga apabila satu orang bergerak maka yang lain akan bergerak juga. Semua tindakan harus dengan aba-aba orang pertama sehingga pasien tetap dalam posisi kesegarisan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memiringkan pasien, antara lain:



Bila terdapat patah tulang yang belum dibidai maka memiringkan pasien kearah yang sakit, seolah-olah kita menggunakan lantai sebagai bidai.



Bila terdapat patah tulang yang sudah di bidai, miringkan pasien kea rah yang sehat.



Bila terdapat patah tulang di kedua sisi dan belum di bidai, miringkan pasien kea rah yang lebih parah.



Bila terdapat patah tulang di kedua sisi dan sudah di bidai, miringkan pasien kea rah yang lebih sehat.

Setelah pasien dimiringkan maka penolong kedua sampai keempat secara bergantian memeriksa bagian punggung pasien (back check) untuk melihat apakah ada DECAP-BLSPIC. LOG ROLL Gambar hal 131 Gambar hal 131 Gambar hal 131 Gambar hal 131 Gambar hal 131 Gambar hal 131 11.9.

TRANSPORTASI UNTUK KORBAN YANG DIDUGA PATAH TULANG LEHER Gambar hal 132 Fungsi dapat digantikan dengan bantal pasir Gambar hal 132 Head immobilizer Gambar hal 132 Gambar hal 132 Gambar hal 132 Gambar hal 132 Diberi bantal pasir dikanan kiri kepala dan dagu serta dahi diikat/ diplester

11.10. TEKNIK MELEPASKAN HELM Gambar hal 133

Gambar hal 133 Gambar hal 133 Gambar hal 133 Gambar hal 133 Gambar hal 133 11.11. UNTUK DUGAAN PATAH TULANG LEHER Pada korban yang terperangkap di mobil Gambar hal 134 Gambar hal 134 Gambar hal 134 Gambar hal 134 Gambar hal 134 Gambar hal 134 Gambar hal 135 Gambar hal 135 Gambar hal 135 Gambar hal 135 Gambar hal 135 Gambar hal 135 Gambar hal 135

11.12. IMMOBILISASI TULANG PANJANG Prinsip: pasien harus dilakukan pembalutan dan pembidaian, baru setelah itu dilakukan transportasi atau di rujuk. Contoh: Patah tulang lutut

BAB 12 PEMBALUTAN DAN PEMBIDAIAN

12.1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Mampu melakukan pembebatan dan pembidaian pasien yang benar

12.2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS 1. Mengerti arti bebat, bidai 2. Mengenal jenis/ macam bebat, bidai 3. Mengerti fungsi dan kegunaan bebat, bidai 4. Mampu melakukan pembebatan dan pembidaian dan transportasi pasien dengan benar

12.3. DEFINISI DAN TUJUAN PEMBALUTAN Pembalutan adalah penutupan suatu bagian tubuh yang cedera dengan bahan tertentu dengan tujuan tertentu TUJUAN PEMBALUTAN Tujuan pembalutan meliputi satu atau lebih hal-hal berikut: 1. Menahan sesuatu seperti: 

Menahan penutup luka



Menahan pita traksi kulit



Menahan bidai



Menahan bagian tubuh yang cedera dari gerakan dan geseran (sebagai splint)



Menahan rambut kepala di tempat

2. Memberikan tekanan, seperti terhadap: 

Kecenderungan timbulnya perdarahan atau hematom



Adanya ruang mati (dead space)



Membantu mengatasi perdarahan

3. Melindungi bagian tubuh yang cedera. 4. Memberikan support terhadap bagian tubuh yang cedera. 5. Melindungi bagian tubuh yang cedera sehingga mengurangi infeksi

12.4. PRINSIP DAN SYARAT PEMBALUTAN PRINSIP-PRINSIP PEMBALUTAN 1. Balutan harus rapat rapi jangan terlalu erat karena dapat mengganggu sirkulasi 2. Jangan terlalu kendor sehingga mudah bergeser atau lepas 3. Ujung-ujung jari dibiarkan terbuka untuk mengetahui adanya gangguan sirkulasi 4. Bila ada keluhan balutan erat hendaknya sedikit dilonggarkan tapi tetap rapat, kemudian evaluasi keadaan sirkulasi

SYARAT-SYARAT PEMBALUTAN 1. Mengetahui tujuan yang akan dikerjakan mengetahui seberapa batas fungsi bagian tubuh dikehendaki dengan balutan. 2. Tersedia bahan-bahan memadai sesuai dengan tujuan pembalutan, bentuk, dan besarnya bagian tubuh yang akan di balut. Pembalutan harus menutup seluruh luka. Untuk pembalutan steril, jika bahan steril kurang posisikan bahan steril di luka sisanya tutup dengan yang tidak steril. 3. Terangkan dengan jelas apa yang akan dilakukan terhadap korban. 4. Usahakan korban nyaman posisinya, duduknya, baringnya. 5. Tahan dan bantu bagian yang cedera. 6. Apabila korban terbaring terlentang lewatkan bebat pada bagian-bagian tubuh korban yang tidak menempel pada alas, misalnya: sebatas bagian kaki, lutut, pinggang dan leher. 7. Balutkan bebat secara tepat tidak teralu ketat sehingga mengganggu aliran darah. Bila pasien mengeluh sakit anggap balutan terlalu ketat. 8. Usahakan ujung-ujung jari tangan atau kaki terlihat, tidak tertutup bebat agar dapat dipantau aliran darah kesana. 9. Usahakan simpul bebat tidak mengganggu. Secara teratur lakukan pemeriksaan terhadap aliran darah pada bagian bawah bebat kendorkan bila perlu.

Bebat untuk mencegah gerak pada tungkai yang cedera 1. Letakkan sesuatu yang lunak, potongan untuk mengganjal, misalnya: handuk, baju yang dilipat, kapas diantarakedua tungkai atau antara lengan dengan tubuh.

2. Pasang bebat, membalut tungkau hindari bagian-bagian yagn cedera. 3. Usahakan simpul bebat tidak menyebabkan kerusakan lebih parah. 4. Setiap pemasangan bebat periksa aliran darah ke bagian yang dibebat tiap 10 menit

Cara memeriksa aliran darah pasca pembebatan Pemeriksaan delalu dilakukan dengan memeriksa ujung-ujung jari tangan atau kaki tiap 10 menit. Sebagai akibat pemasangan bebat yang terlalu ketat: Tanda-tanda dini 1. Bengkak dan terbendung 2. Kulit berwarna biru terlihat gambaran pembuluh darah 3. Rasa cekot-cekot Tanda-tanda lanjut 1. Kulit pucat memutih seperti lilin, dingin, rasa tebal 2. Rasa nyeri di bagian dalam 3. Jari-jari tangan/ kaki tak mampu bergerak Bila terlihat tanda-tanda tersebut segera kendorkan bebat dan pasang ulang jangan terlalu ketat Ukuran bebat 1. Untuk jari-jari 2,5 cm 2. Untuk tangan 5 cm 3. Untuk lengan 7,5 – 10 cm 4. Untuk tungkai 10 – 15 cm

12.5. MACAM-MACAM BAHAN PEMBALUTAN 1. PEMBALUT SEGITIGA (MITELLA) Terbuat dari kain tipis, lemas, kuat biasanya berwarna putih. Bentuk segitiga sama kaki-tegak lurus dengan panjang kaki-kakinya 90 cm – 100 cm (40 inchi). Cara memakainya bisa dilebarkan atau dilipat-lipat sehingga berbentuk dasi (cravat) atau seperti kain pramuka. Terdapat 3 macam pembalut segitiga: a. Segitiga biasa

Gambar hal 140 b. Segitiga platenga c. Segitiga funga Penggunaanya bisa untuk pembalut biasa, tourniquet, penahan bidai atau penyangga (sling). Lebih seding digunakan untuk tujuan PPGD. Sedangkan di Rumah Sakit sering dipakai untuk menutup kepala yang sedang diobati atau untuk menahan rambut pada operasi daerah kepala atau leher. Cara mengukur mitela dalam fungsi menahan rambut, yaitu dari pangkal hidung sampai dengan belakang kepala (occipital)

2. PEMBALUT BENTUK PITA Pembalut bentuk pita ada bermacam-macam: a. Pembalut Kasa Gulung 

Biasanya untuk pembalut luka sederhana atau pembalut gips



Pembalut kasa bertajin dipakai bila diperlukan pembalut yang kaku dan kuat misalnya untuk penutup kepala, bidai, pembalut gips (saat ini jarang dipakai)



Di samping itu bisa juga dibuat dari kain katun atau kain flannel, dan seringkali dipakai untuk tujuan PPGD. Gambar hal 141

b. Pembalut Elastic 

Tersedia di took dengan ukuran 4 dan 6 inchi



Bisa di pakai untuk berbagai tujuan: penahanan, penekanan, pelindung dan penyanggah, sehingga pemakaiannya sangat luas. Gambar hal 141

c. Pembalut Tricot Terdiri dari kain seperti kain kasa sehingga agak elastic bagian tengahnya diisi kapas sehingga berbentuk bulat panjang. Tersedia di tokok dengan ukuran: 2, 4, 6, dan 19 inchi. Pemakaiannya sebagai bebat, tekan, penahan, penyangga, dan pelindung. d. Pembalut Cepat

Tersedia steril dalam bungkus, terdiri dari penutup luka dan beserta pembalut diluarnya. Sangat berguna pada PPGD (untuk luka kecil). Sering dipakai sebagai peralatan tantara. e. Pembalut Martin Terbuat dari karet, pada ujungnya dilekatkan pita kain. Dipakaiuntuk balutan keras (tourniquet), dan balutan setengah keras. f. Pembalut Gips Menggunakan pembalut kasa yang dibubuhi bubuk gips. Saat ini tersedia di tokok pembalut gips yang siap pakai. g. Lain-lain Stocking elastic, terbuat dari bahan elastic dengan tekanan tertentu. Yang lain misalnya baju elastic. Butterfly, terbuat dari plester kecil untuk merapatkan lukaluka kecil tanpa jahitan.

3. PLESTER Terdiri dari pita berperekat, dipergunakan untuk: 1. Melekatkan kasa penutup luka. 2. Membuat traksi kulit. 3. Untuk fiksasi. 4. Untuk adaptasi, mendekatkan tepi-tepi luka lama yang sudah bersih. Saat ini telah tersedia lembaran/ anyaman berperekat yang tahan air (hypafix) untuk melekatkan penutup luka secara berkeliling dengan sedikit penekanan da nagak kedap air. 12.6. TEKNIK PEMBEBATAN Pembalut Segitiga 1. Untuk kepala a. “Capitum Pravum Triangulare” (triangle of head or scalp) Untuk pembungkus kepala/ penahan rambut Gambar hal 143 Gambar hal 143 b. “Fascia Nodosa”

Untuk fiksasi cedera tulang/ sendi pada wajah Untuk pembalut mata/ telinga/ perdarahan temporal. Balutan ini tidak boleh diaplikasikan pada pasien yang pernah tidak sadar selama cedera dan curiga patah tulang wajah. Gambar hal 143 Gambar hal 143 2. Untuk pembalut sendi bahu, sendi panggul 3. Untuk pembalut punggung/ dada, penyangga buah dada 4. Untuk pembalut sendi siku/ lutut/ tumit/ pergelangan tangan Gambar hal 144 Gambar hal 144 5. Untuk pembalut tangan/ kaki Gambar hal 144 Gambar hal 144 6. Untuk penyangga lengan/ bahu (arm sling). Gambar hal 144 Gambar hal 144 7. Penggunaan segitiga funda (Funda Maxillae, F.Nasi, F.Frontis, F.Vertics, F.Occipitis, F.Calcanei) 8. Penggunaan segitiga platenga (Penyangga/ penekan buah dada, pembalut perut/ bokong) Pembalut Pita 1. Untuk kepala dan wajah. a. Fascia Galenica, Mitra Hippocratis (F.Capitalis) b. Fascia Nodosa, Fascia Sagittalis c. Monoculus/Binoculus, balut teringa cara korner 2. Untuk anggota badan berbentuk bulat panjang. a. Balutan biasa berulang (dolabra currens)  Untuk bagian tubuh yang penampang melintang sama Untuk leher, telinga, tungkai

b. Balutan pucuk, rebung (dolabra revens)  Untuk bagian tubuh yang penampang melintang tidak sama Untuk lengan, tungkai Gambar hal 145 Gambar hal 145 3. Untuk anggota badan berbentuk lonjong. a. Dolabra reversa b. Balut belit ular (dolabra repens) 4. Untuk persendian. a. Balut silang (Spica, figure og eight) b. Balut penyu (Testudo: inversa/reversa) Dolabra Currens Humeri (Ascendens) Dolabra Reversa Humeri (Ascendens) Testudo Cubiti Inversa Spice Manus Descendens Spica Policis Ascendens Spica Humeri Ascendens Spice Trochanterri Descendens (Spice Glute/ Inquinalis Descendens) Spica Pedis Spica Bigiti Spica Hallucis 5. Beberapa metode lain-lain. a. Stella Pectoris, Stella Dorsi Untuk menutup dan menekan luka di dada dan punggung. Stella Dorsi dapat dipakai untuk fraktur clavicula (cara lain dengan Ransel Verband) b. Suspensorium Mamae (simple/duplex) dari Van Eden Untuk menyangga buah dada yang sakit/ sehabis operasi. Bisa untuk balut penekan dengan sedikit modifikasi. c. Balutan Penarikan/ Traksi Kulit

Sesudah plester diletakkan pada sisi tungkai, luarnya dibalut dengan balutan elastic dolabra currens pada betis dan paha, sedangkan pada lutut memakai testudo reversa. 12.7. DEFINISI DAN SYARAT PEMBIDAIAN Bidai adalah dipakai untuk mempertahankan kedudukan atau letak tulang yang patah. Alat penunjang berupa sepotong tongkat, bilah papan, tidak mudah bengkok ataupun patah, bila dipergunakan akan berfungsi untuk mempertahankan, menjamin tidak mudah bergerak sehingga kondisi patah tulang tidak makin parah.

SYARAT-SYARAT BIDAI 

Ukuran meliputi lebar dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan



Panjang bidai diusahakan melampaui dua sendi yang membatasi bagian yang mengalami patah tulang. Usahakan bidai dengan lapisan empuk agar tidak membuat sakit.



Bidai harus dapat mempertahankan kedudukan dua sendi tulang yang patah.



Bidai tidak boleh terlalu kencang atau ketat.

Perhatian 

Pada saat pemasangan bidai ingat nyeri dapat lebih menghambat, dapat menyebabkan shock



Pada saat pemasangan bidai yang kurang hati-hati dapat mengakibatkan patah tulang makin parah

Kain segitiga untuk menyangga anggota badan atas Cara memasang bidai bagian atas Bidai untuk lengan bawah 3 buah kain segitiga untuk fiksasi patah tulang iga Bidai/ fiksasi untuk cerai sendi bahu Bidai untuk jari tangan yang patah Bidai untuk patah tulang sendi lutut Bidai untuk patah tulang paha Fiksasi patah tulang punggung dapat dengan: a. Papan keras

Gambar hal 147 b. Long Spine Board Gambar hal 147 Short Board (untuk evakuasi korban di dalam mobil dan dicurigai patah tulang punggung/ leher)

12.8. PENUTUP LUKA Definisi Alat penunjang berupa lembaran tipis kedap dan tidak mudah robek bila dipergunakan. Berfungsi menutup, menekan, dan membalut sehingga luka, perdarahan tidak makin memburuk.

Penutup Luka Dimaksudkan untuk: 

Membantu mengatasi perdarahan



Melindungi dan mengurangi resiko infeksi

Bebat Dimaksudkan untuk: 

Menekan langsung pada luka untuk mengatasi perdarahan



Mempertahankan penutup luka, bidai dan memberikan tekanan



Membatasi pembengkakan



Menunjang cedera



Mengurangi pergerakan

Macam-macam penutup luka 

Kassa steril



Kassa berisi kapas



Kain atau kertas tissue



Plester berisi kasa

Syarat umum memasang penutup luka 

Harus menutup seluruh luas luka



Letakkan langsung tepat dari ats luka, jangan menggeser dari tepi luka



Bila tertembus darah, jangan dilepas namun tambahkan penutup luka lain di atasnya

12.9. PENCEGAHAN INFEKSI 

Gunakan sarung tangan



Gunakan pelindung/ baju tak tembus air



Bila dimungkinkan, cuci tangan lebih dahulu



Jangan sentuh luka



Jangan sentuh penutup luka yang akan digunakan



Usahakan tidak banyak bicara bersin batuk didepan luka



Bila tidak ada sarung tangan o Anjurkan korban merawat sendiri dengan dipandu o Gunakan kantong plastic o Cuci tangan betul-betul bersih setelah merawat luka



Bersihkan sesuatu setelah perawatan selesai



Gunakan larutan pemutih/ kaporit – 8 gram dalam 10 liter air pada cairan atau darah korban yang tercecer di lantai ataupun pada alat-alat



Buang barang-barang tajam bekas pakai pada tempat pembuangan khusus (kotak kuning) yang tidak tembus barang tajamsetelah dilakukan klorinisasi



Buang barang-barang bekas pakai tidak tajam, misalnya: kassa, sarung tangan pada kantong plastic (kuning), ikat rapat-rapat dan dihancurkan / dibakar

12.10. KOMPRES DINGIN Dengan mendinginkan bagian cedera misalnya memar atau terkilir dapat mengurangi pembengkakan dan rasa nyeri. Untuk hal ini dapat digunakan kompres es, kapas dingin atau meletakkan bagian yang cedera di bawah aliran dingin. Dapat pula digunakan buah atau sayur dingin yang telah dibungkus dengan selembar kain sebelumnya.

Meletakkan padding dingin Rendam selembar flannel atau handuk ke dalam air dingin. Peras pelan-pelan dam letakkan hati-hati diatas bagian yang cedera.

Rendam ulang tiap 3-5 menit agar padding tetap dingin. Lakukan pendinginan ini selama kuarng lebih 20 menit.

Meletakkan kompres es Isikan potongan es batu kecil-kecil atau yang telah diremukkan ke dalam kantong platik. Selanjutnya ikat dan bungkus dengan selembar kain atau pembalut. Pegang dan pertahankan kompres es tersebut menutup di bagian yang cedera. Lakukan dalam 10-15 menit. Ulangi bila masih diperlukan.

Related Documents

Buku-buku
November 2019 64
Buku-buku
June 2020 49
Buku
June 2020 35
Buku
May 2020 52

More Documents from ""

Febi Sarwinda.docx
December 2019 0
Buku Btcls.docx
December 2019 4
Bab I.docx
November 2019 4
Lp Ileus.docx
December 2019 1
9b. Trauma Dan Fraktur.ppt
December 2019 3