Bl5 Update 1.2.pdf

  • Uploaded by: Ubaidillah Arif
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bl5 Update 1.2.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 8,035
  • Pages: 30
Tahun I Edisi 5 • Maret 2019

derap gembala kebudayaan

DAFTAR ISI Ÿ STEPA 7 10

DLK Penyair Dua Dunia : Sitor Situmorang*

Ÿ CARANGAN 21

Pasca Hujan

Ÿ mBELIK 24 24 25 25 25

Yang Tak Kunjung Tersingkap Minggu Yang Berulang Penantian Dewi Ciptarasa Di Celah Bukit Suatu Pagi Angin dan Hujan Riris Menyatu

Ÿ CAPRES SASTRA 27

Resep Seni adalah Hukum Alam (Soal Seni dan Kehidupan)

Pengurus Buletin Lintang : Dewan Redaktur : Mufakat Omah Puisi | Penanggung Jawab Redaksi : Musyawarah Syahruljud Maulana dan Sobrun Jamil | Editor : Riza Hamdani | Ilustrasi Sampul dan Desain Grafis : Faizal Hidayat, Akhsan Baihaqi, dan Bowo Wijoyo. Buletin Lintang menerima kiriman karya berupa esai, cerpen, puisi, komik strip, catatan film dan teater. Karya dengan format .docx dikirim ke alamat surel : [email protected] Buletin Lintang membuka taman kreativitas bagi pertukaran ide dan gagasan perihal seni, budaya, sosial dan politik. Diharapkan menjadi ruang pemikiran belajar bersama tentang kesusastraan dan kebudayaan serta ikut meramaikan dinamika sastra Indonesia. Buletin Lintang diusahakaan terbit sebulan sekali.

P

anembrama Redaksi

Segala sesuatu yang sudah ditumpahkan dari langit ke bumi oleh Allah dan getaran Muhammad, mesti dipantulkan kembali dengan bahasa cinta. Konon itulah yang dinamakan rasa syukur. Ialah usaha berterima kasih atas segala sesuatu yang telah diberikan Allah kepada setiap makhluk-Nya. Berterima kasih kepada Allah berarti juga berterima kasih kepada kekasih-Nya, Muhammad SAW, yang dipilih sendiri oleh-Nya untuk menjadi pengantar segala informasi tentang-Nya kepada manusia. Tanpa Muhammad, manusia mustahil mengerti '5W + 1H'-nya Allah Swt. Maka, menjadi sedikit tidak sopan kalau salam, syukur, dan cinta tidak kita panjatkan juga kepada Muhammad si 'Manusia Agung' itu.

Konsep syukur menjadi tekanan khusus bagi manusia karena manusia adalah makhluk kemungkinan. Mungkin ingat, mungkin tidak, kepada Sang Sumber Kehidupan. Berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang seluruh hidupnya sudah merupakan ungkapan syukur itu sendiri. Tidak ada kemungkinan lain. Ungkapan syukur pohon jati ialah ketika pohon jati rela menjadi pohon jati dan 'menyerahkan' seluruh bagian tubuhnya untuk kemungkinan-kemungkinan manfaat di dalam kehidupan. Sama seperti sapi yang mengungkapkan syukurnya kepada Tuhan dengan cara tunduk dan taat kepada rancangan takdir Tuhan yang menjadikannya hewan sembelihan dan konsumsinya manusia. Tapi bagaimana dengan manusia? Akal yang diberikan oleh Allah kepada manusia justru memberi peluang bagi manusia untuk bisa lupa kepada-Nya. Tujuh belas kali dalam sehari Allah memerintahkan manusia untuk mengucapkan "Alhamdulillah" adalah satu tanda yang amat tegas mengenai kerentanan ingatan manusia kepada Allah sebagai pihak yang paling berhak atas segala rasa syukur dan pujian. Padahal di balik kerentanan itu terdapat juga peringatan dari-Nya: "Barang siapa lupa kepadaku, akan lupa kepada dirinya sendiri.". Tepat di edisi kelima ini Buletin Lintang berusaha menjadi salah satu 'makhluk' ciptaan-Nya yang tidak 'kebacut' dan lupa sangkan paran supaya juga tidak lupa kepada dirinya. Lintang menjadikan edisi bulan Maret 2019 ini sebagai edisi rasa syukur kepada Allah Swt. dan Muhammad SAW. Rasa syukur yang tidak berangkat dari jumlah edisi yang telah terbit, usia eksistensi, atau jumlah tulisan yang telah dimuatnya. Sebab rasa syukur Lintang berangkat tidak terutama dari ukuran-ukuran material seperti itu, melainkan berangkat dari tajamnya kesadaran tentang sumber keberadaan segala sesuatu di langit dan bumi. Rasa syukur bukanlah 5, 7, 48, atau 2976. Rasa syukur adalah pengetahuan bahwa 5, 7, 48, dan 2976 berawal dari 1. Satu adalah awal dari segala angka dan hitungan. 3

Bulan ini (dan bulan-bulan setelahnya) Lintang berusaha untuk menjadikan Yang Maha Satu sebagai titik berangkat, pangkal ingatan, dan sumber muatan. Lintang coba menyusun hidupnya dengan mengatur ritme langkah di dalam komposisi tadzakkur, tasyakur, tafakkur. (SJ)

4

Selametan Lintang

TASYAKURAN LINTANG

Segala sesuatu yang sudah ditumpahkan dari langit ke bumi oleh Allah dan getaran Muhammad, mesti dipantulkan kembali dengan bahasa cinta

NGAJI DAN SHOLAWAT BARENG ( Tadzakkur, Tasyakur, Tafakkur ) Hari/Tanggal : Rabu, 20 Maret 2019 Waktu : 20:00 WIB Lokasi : Omah Syahrul Jln. Peninggaran Timur 3 (Gg. Nurul Baqa) Rt 003/09 No: 10D. Kebayoran Lama Jakarta Selatan

Narahubung: 0838-0746-7311 (Syahrul)

Stepa (Esai)

DLK

Kata-kata bukanlah kendaraan, ia adalah jalan itu sendiri. Kalimat-kalimat bukanlah bus, ia adalah terminal itu sendiri. Huruf-huruf bukanlah tiket, ia adalah perjalanan itu sendiri. Bahasa bukanlah transpor (komunikasi) untuk bisa sampai, melainkan ia berjalan ke arah perjalanan kemungkinan di jalan variabel faktor pada mulanya. Pada mulanya bahasa adalah berjalan. Dalam perjalanan ketemu para dialog, cakap, dan omong. Ketika di jalan sadar pilihan melintang pergulatan, pergumulan, dan dialektika. Bergegas ia ke terminal kenikmatan perasaan. Ia makan dialog, minum cakap, mengunyah omong, menelan pergulatan, menyesap pergumulan, mencecap dialektika; sebab hal itu merupakan bahasa (aktivitas) kehidupan. Sebelum kita menggali lebih dalam. Mencari lebih jauh. Satu-satunya bekal sebisa saya tawarkan lagi di sini—yang semula saya dapatkan pembelajaran di sana—tentang terminologi ataupun metedologi. Untuk produksi berpikir, bukan konsumsi pikiran. Sebab pikiran itu statis, berpikir itu dinamis. Ada tiga jalinan di antaranya: nyata, fakta, makna. Ketiga hal itu saya pungut dari dunia Sabrang MDP, saat gelaran kenduri cinta, di Jakarta. Sederhananya, pengertian nyata adalah Anda terikat olehnya. Faktanya adalah Anda

memang tersambung. Maknanya adalah Anda merasakan ikatan yang tersambung, bisa juga mengalami ikatan yang terputus, mungkin juga meresapi sambungan yang terikat karena putus, dan seterusnya, kembangkan lagi. Tapi bagaimana pemahaman kita terhadap nyata, fakta, makna ditentukan oleh proses pengolahan masing-masing ke dalam diri, sesekali juga perlu ke luar diri. Tergantung pada apa objek, siapa subjek, bagaimana predikatnya; inilah tiga bahan tak terbatas dan bahasan tak habis-habis ketika menikmati kehidupan. Jadi lebih dulu mana antara pengertian dan pemahaman? Anda sampai pengertian setelah pemahaman, atau berada di pemahaman menyusuri pengertian? Dengan pengantar di atas, siapa membaca akan terbaca apa kepanjangan judul tulisan ini, lazimnya mungkin saling mafhum kalau kita baca di Buletin Lintang itu ada DGK berarti akronim dari “Derap Gembala Kebudayaan”. Tentu, DLK lain soal lagi, tapi keberangkatannya persis memang demikian. Inilah salah satu pelajaran pesona kata yang belum terlihat dan terbaca. Dalam hidup pun begitu, seandainya kita sedia belajar bersama untuk melihat yang tak tampak, mengamati yang tak terbaca. Sebab sudah terlampau sering kita terpesona oleh kilaumengilau yang kelihatan mata, padahal itu awal dari kebutaan. Yang dimaksud DGK (Derap Gembala Kebudayaan) dan DLK (baca: coba rangkailah seperasaanmu) adalah tagline itu sendiri. Tapi apa yang dimaksud tagline tersebut adalah proses pemahaman Anda sendiri yang mengantar pengertian nantinya. Apakah maksud tagline tersebut sama dengan slogan, jargon, moto, semboyan? Kalau tidak setuju, apa bedanya? 7

Kalau setuju, bagaimana persamaannya? Kalau sudah atau belum, atau lebih baik tidak dijawab, silakan saja teserah Anda. Tapi begini, ada pemahaman umum tentang pengertian bahasa adalah alat komunikasi. Logiskah demikian? Alat dan komunikasi itu dua hal yang sama atau berbeda. Mungkin barangkali dua hal yang sama-sama beda, atau dua hal lainnya—yang kita mesti cari sendiri. Bukankah alat itu kan benda, materi, jasad. Komunikasi itu kan gaib, rohani, abstrak. Jadi selama ini pemahaman dan pengertian kita tentang satu suku kata “bahasa”—yang menjadi nama dari Ibu Bahasa kita—itu terasa dekat tapi sejatinya sangat asing. Sesuatu yang dekat dengan keseharian kita seolah tidak menawarkan kedekatan dan pendekatan karena sudah merasa sangat dekat, jadi itu hal biasa. Tidak perlu dibahas. Tidak harus dipelajari. Seandainya kita belum terbiasa melakukan cara berpikir kreatif demikian, tentu akan sedikit mengalami kesulitan ketika meneruskan kepanjangan dari DLK itu apa. Ia akan kita ubah menjadi slogankah? Taglinekah? Motokah? Jargonkah? Semboyankah? Yang mungkin Anda sudah ketahui bersama kan baru pengertian dari definisi slogan, tagline, moto, jargon, semboyan. Meskipun itu terlebih dahulu belum atau bahkan tidak sama sekali Anda melakukan proses pengolahan-penyaringan pemahamannya. Anda hanya menerima bagaimana pengertian yang disampaikan tentang beberapa hal telah dikemukakan oleh pemahaman umum yang terlampau biasa kita temui dan jumpai sekarang ini. Toh, memang selama ini kita belajar tentang pemahaman berangkatnya dari pengertian yang telah melahirkan pemahaman

umum, bukan kesadaran pemahaman tentang akar pemahaman yang kemudian tumbuh sebagai pengertian yang membebaskan itu sendiri. *** Misalkan ada kalimat berbunyi: “Berapa harga aku mencintaimu. Apakah masih ada harga cinta.” Sebelum kita menjawab yang mana seharusnya dan bagaimana semestinya yang slogan, tagline, moto, jargon, semboyan. Alangkah baiknya, kita olah ke dalam diri sendiri dahulu dengan metedologi dan terminologi nyata, fakta, makna. Dari kalimat itu faktanya adalah Anda ditolak oleh seseorang, maknanya adalah Anda merasakan patah hati. Yang mana menurutmu yang nyata? Kalau perjalanan Anda ke luar diri, maka nyatanya adalah sebuah fakta bahwa Anda ditolak oleh seseorang. Sedangkan kalau perjalanan Anda ke dalam diri, maka nyatanya adalah peristiwa makna bahwa Anda merasakan patah hati. Sebagai diri sendiri, mana yang lebih dibutuhkan untuk perkembangan kesiapan hidupmu? Tapi bagaimana jika nyatanya Anda pernah berpacaran oleh seseorang, lalu kemudian faktanya Anda putus dengannya karena alasan yang sama kalimat di atas. Tentu, perkembangan maknanya akan jauh lebih dahsyat ketimbang patah hati. Padahal jelas, nyatanya Anda pernah berpacaran. Faktanya Anda putus dengannya. Lain lagi maknanya jika Anda teringat ucapan kalimat tersebut, karena nyatanya Anda pernah dikutuk dan disalahkan karena mengucapkan kalimat itu kepada seorang perempuan yang baru dikenal. Faktanya adalah Anda pernah mengatakan itu kepada seseorang yang baru dikenal. Nyatanya Anda mengalami 8

dikutuk dan disalahkan. Sehingga makna yang terkembang jauh lebih terasa pahit membekas dan mengesankan kesenduan. Meskipun pengertian antara nyata, fakta, makna sudah dijelaskan di awal. Apakah akan sama demikian jika pertumbuhan pemahaman kita sebermula dari pembibitan pemahaman masing-masing setelah mengalami sendiri. Bahwa fakta yang sama akan mengalami perubahan makna yang jauh berbeda dari sebelumnya. Bahwa makna yang berkembang tidak bisa mengubah apalagi menghapus rekaan fakta yang telah nyata terjadi. Sebab hidup adalah perkembangan makna dan pembelajaraan makna. Tapi ia juga perlu fakta bahwa Anda sedemikian miskin sehingga tidak sanggup membayar berapapun harga aku mencintaimu. Juga membutuhkan nyata bahwa Anda menggugat keadaan romantisistik dengan menyatakan apakah masih ada harga cinta. Dan yang terpenting adalah, bagaimana makna itu berguna sebagai bekal dirimu mengolah kebaikan yang bermanfaat untuk sesama, serta mengelola kekuatan dari melawan diri sendiri.

harus dikemukakan lewat penjelasan. Seandainya kita jujur mau belajar, tentu lain kalau tidak. Dengan begitu, pemahaman dan pengertian kita akan bertemu dengan banyak variabel kemungkinan lain yang hampir atau bahkan mirip satu sama lain. Bahwa DLK bisa saja jadi mode seribu bahasa satu jumlahnya: bahasa iklan, bahasa ekonomi, bahasa produk, bahasa dagang, bahasa pasar, bahasa kreasi. Tergantung bagaimana Anda mengolah DLK menjadi slogan, tagline, jargon, moto, semboyan. Tapi pada inti dan esensialnya, DLK tetaplah DLK itu sendiri. Meskipun sudah dijelaskan bahwa DLK adalah akronim. DLK adalah tagline kreatif. DLK diolah rekreatif sejak berpikir kreatif. DLK adalah produk kreatifitas yang terbentang di jagat kreasi bahasa. DLK yang saya maksud secara utuh dan menyeluruh adalah DLK yang bernama “Darma Lintang Kebulatan”. Silakan tarik garis artinya sendiri. Boleh juga menggores pengertiannya sesuai diri sendiri. Bisa jadi menggurat pemahaman dengan pahatan yang sesuai diri sendiri. Karena siapa membaca akan terbaca. Siapa menggali akan mendalam. Siapa mencari akan meluas.

*** Misal, DLK berarti “Dari Lingkar Kecintaan”. “Apa” nyatanya? “Siapa” faktanya? “Bagaimana” maknanya? Atau mudahnya begini saja: Nyatanya? Faktanya? Maknanya? Kesemuanya itu tawaran kepada dan untuk diri sendiri. Ketiga kata tersebut apakah Slogan? Tagline? Jargon? Moto? Semboyan? Ini akan bisa terjawab, kalau pertanyaan yang sama demikian di awal pembahasan tulisan tadi sudah terjawab. Karena tidak semua hal mesti dijelaskan lewat tulisan. Tidak semua perkara

Apa-siapa-bagaimana saja yang tergabung dalam udara. Udara bisa bergabung dengan polusi. Tapi udara tetap gabung oleh dirinya sendiri. Semoga pembaca dan penulis (maksudnya pengirim tulisan) Lintang adalah orang-orang yang senantiasa terus tergabung oleh udara. Wallahu A'lam.[] 17 Februari 2019

Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311

Penyair Dua Dunia : Sitor Situmorang* Anthony H. Johns -1979

Studi tentang sastra Indonesia modern, sudah terbebani akan aturan pendapat yang dapat diterima. Dalam sistem ortodoksi, generalisasi terlalu sering diterima sebagai pengganti berpikir kritis. Sejarah sastra Indonesia dibagi menjadi beberapa generasi seperti era pra-perang Pujangga Baru (New Poet) , dan Generasi pasca-perang '45. Penulis diberikan label. Amir Hamzah, misalnya, digambarkan sebagai seorang penyair yang religius, membawa hidup seperti akan berakhir, diksi dan gaya tradisional kental akan Melayu; Chairil Anwar sebagai penyair revolusioner ingar-bingar yang menulis dengan dorongan hati. Generalisasi tersebut diuraikan tanpa pemeriksaan. Karena itu, mereka terlihat dihormati dan sesuai, sehingga menghambat pemikiran-pemikiran baru dan menghalangi analisis ulang pada penelitian yang sudah ada atau belum rilis. Puisi modern Indonesia yang tidak diketahui beredar sangat banyak dunia, sebanyak ketika kebenaran dibeberkan di Indonesia maupun di tempat lain. Pertanyaan mendasar dengan berbagai macam kemungkinan jawaban perlu pertimbangan dan perbandingan. Meskipun terlalu panjang-lebar saat disodorkan oleh para kritikus setia yang mengikuti jejak satu sama lain, kita masih kekurangan studi definitif karya setiap penulis Indonesia: kisah tentang asal kulturalnya, sumber inspirasinya, hutang kepada pendahulunya, hubungannya dengan orangorang sezamannya baik sebagai penyair, kepribadiannya atau pemikirannya; pengaruhnya terhadap mereka serta mereka pada dirinya. Kami mengalami jalan buntu tentang estetika penulisan Indonesia modern; kami tidak tahu apa-apa tentang kajian

persajakan (prosodi) di Indonesia, atau apakah dalam menciptakan bahasa mampu menentukan variasi kecepatan dan ritme, memengaruhi suasana hati, atau berpacu pada kekuatan, vitalitas, kelembutan, atau keputusasaan. Kami masih perlu bertanya dengan kriteria apa bahasa puisi dapat dibedakan dengan prosa, dari dimensi mana ia berasal, dan potensinya untuk nada. Kurangnya pembeda dan analisis inilah yang mengarah pada gambaran stereotip tentang sejarah puisi Indonesia, dan tentang kepribadian dan gaya penyair Indonesia. Faktanya, sikap sastra yang diwujudkan dalam Pujangga Baru sebelum perang, bukanlah jaringan yang tidak berbeda; Generasi '45 dalam sebagian besar kasus akan lebih baik digambarkan sebagai generasi '42; Amir Hamzah, terlepas dari pekerjaan awalnya, bukan seorang tradisionalis; jauh dari menjadi seorang penyair yang religius dalam pengertian kata konvensional, sebuah keraguan sama pentingnya dengan elemen karyanya; perkembangan luar biasa atas karyanya selama empat tahun, tidak mengejutkan menjadikan karyanya dimasukkan dalam satu label. Demikian pula gambaran Chairil Anwar sebagai penyair revolusioner, tentang beliau dan puisinya hanya dipandang sebelah mata. Beliau menemukan konsep puisi yang asing bagi Indonesia, yang menarik baginya; ia menerapkannya dengan keras serta hasrat intelektual yang ketat untuk ketepatan dalam penggunaan bahasa. Hasilnya luar biasa, beliau menciptakan cakrawala baru untuk bahasa Indonesia; tetapi ini merupakan produk sampingan; puisinya berisi tentang pengawasan Chairil terhadap dirinya sendiri, bukan kekalahan Belanda, pendudukan Jepang atau 10

revolusi Indonesia berikutnya. Yang terpenting, ia hanyalah satu dari banyak penyair, meskipun ia memiliki peniru, namun orang-orang sezamannya yang terbaik seperti Asrul Sani dan Sitor Situmorang tidak pernah kehilangan identitas dan gaya mereka sendiri karena menyerah pada pengaruhnya; pada kenyataannya mereka mengikuti jalan yang sangat berbeda dari jalan beliau dalam presentasi mereka tentang kesulitan-kesulitan manusia Indonesia pasca-kemerdekaan, jalan yang berbeda mengejar solusi yang berbeda sesuai dengan kepribadian dan emosi mereka. Sitor Situmorang layak diteliti lebih dekat karena beliau merupakan seorang intelektual yang sangat berbakat, seorang penyair juga seniman, telah menulis secara luas tentang sastra Indonesia, budaya dan teater selain puisi, beliau juga menulis beberapa cerita pendek. Dengan pergeseran orientasi baru dari sikap dalam puisi serta seni yang digambarkan sebagai Universal Humanism, membimbing seniman dari 'Generasi' 45 ', ke dalam karya seni yang memaksakan tanggung jawab kepada mereka untuk memajukan kebijakan sosial dan politik tertentu, menjadikan pekerjaannya semakin menarik. Ia seorang Batak, lahir di pulau Samosir pada tahun 1923. Rincian pendidikan awalnya tidak jelas, tetapi seperti Chairil Anwar, ia tampaknya telah memulai aktivitas sastra sesaat setelah pendudukan Jepang, ketika ia mulai bekerja sebagai jurnalis lepas dan kritikus sastra. Dia pertama kali menjadi terkenal pada tahun 1949 sebagai penulis esai, menulis tentang kebermaknaan dan validitas dari istilah 'Generasi' 45 '. Namun, perhatian utama kami di sini ialah tentang pekerjaannya sebagai penyair.Beliau telah menerbitkan empat koleksi: Surat Kertas Hijau (Notes on Green Paper) 1953, Dalam Sajak (In Verse), tanggal tidak diketahui,

Wajah Tak Bernama (A Nameless Face) 1955, dan Zaman Baru (New Era) 1962. Sayangnya, beliau meninggalkan Zaman Baru karena pertimbangan, dimana sulit untuk menentukan urutan puisi-puisi dalam koleksi ini, karena mereka dicetak pada berbagai waktu dan tempat di berbagai majalah sebelum Sitor memilihnya untuk diterbitkan dalam koleksi tersebut. Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa semua puisi yang muncul di Surat Kertas Hijau ditulis sebelum mereka di Dalam Sajak atau Wajah Tak Bernama, atau mereka yang ada di volume berikutnya ditulis setelah yang sebelumnya. Buku-buku ini tidak lengkap tentang karyanya, dan file-file dari berbagai majalah berkala yang sekarang mati atau ditangguhkan mungkin masih menghasilkan perkembangan karya yang cukup penting. Namun dengan pengaturan ini dimungkinkan untuk menguraikan fase dan tema tertentu dalam koleksi puisinya; fase-fase dan tematema yang terlepas dari pertanyaan apa pun tentang manfaat nisbi puisi dengan menetapkan Sitor sebagai penulis penting untuk memahami perkembangan sastra di Indonesia. Chairil Anwar merupakan juru bicara untuk siapa pun kecuali dirinya sendiri, sama berlaku pada Amir Hamzah. Sitor di sisi lain sebagai perwakilan Indonesia yang mencolok antara dua pilihan: rasa memiliki terhadap asal usulnya, tanah Bataknya sendiri, merasa hilang; bahwa partisipasi di Indonesia sebagai identitas geokultural belum matang. Karena Sitor dibesarkan dalam komunitas Kristen Batak yang erat, di mana adat tradisional berfungsi sebagai panduan lengkap untuk kehidupan; di mana setiap orang mengenal orang lain, berbagi minat, kebiasaan, dan nilai sosial yang sama. Dan beliau harus membuat jembatan lebih tajam daripada pisau cukur, lebih halus dari rambut yang mengarah dari desa kecil ini ke mental dan moral intelektual dunia abad ke-20. Dalam esai ini, sebagian diwakili oleh 11

kunjungannya antara tahun 1950-52, ke Belanda, Paris dan Italia, sistem kepercayaan dan moral di mana ia dibesarkan telah menjadi tidak berarti dan tanah air Bataknya jauh secara spiritual serta Paris telah begitu memikatnya sehingga ia terpaut di antara dua dunia, mengetahui bahwa yang satu bukan miliknya, dan tidak yakin dengan makna yang lain. Berikut merupakan bahan dari mana puisi dapat dibuat - berbeda dari yang digunakan oleh Chairil Anwar, tetapi sangat kaya dan penting. Puisi-puisinya secara bertahap meningkatkan keraguan dan kehilangan keyakinan secara khusus, dengan ekspresi menyesal dan merana. Mereka mengingatkan pada suasana hati Thomas Hardy 'The Oxen': ketika Hardy mengingat sebuah legenda ia merasa sebagai anak laki-laki, yang pada tengah malam pada Malam Natal, ada Domba berlutut, dan menyimpulkan: If someone said on Christmas Eve 'Come; see the oxen kneel, In the lonely barton by yonder coomb Our childhood used to know’ I should go with him in the gloom Hoping it might be so. Ada musik melankolis yang sama di Sitor 'Kolam Berenang' (The Swimming Pool), sebuah soneta indah dibangun: dan penderitaan yang meningkat dengan saran dari ambiguitas meskipun nada puisi tidak termasuk ambiguitas. Dalam oktet, adegan ditetapkan sebagai ia terletak di samping , kolam renang dengan anak laki-laki, membayangkan bahwa di tengah refleksi air adalah wajahnya dari mereka yang telah meninggal. Dengan sektet menyajikan kernel pemikirannya:

Lalu si-anak bertanya sendiri Apa kelangit orang pergi Kalau sudah mati nanti Dan karena tahu pasti Aku mengangguk sepi Si anak lantas mengerti Then the child himself asks Whether people pass to the sky Later, when they die And because of certain knowledge I nod bleakly The child at once understands. Terasa ada kemiripan pada bunyi 'Ziarah Dalam Gereja Gunung' (A Visit to A Mountain Church): Dimana aku berada kau ada Bayangan satu-satunya, demikian kurasa, Benarkah kau ada disunyi begini Dikedinginan ruang gereja - sendiri? Dari luar sampai keruangan ini Siut burung yang memuja pagi. Jika aku ada disini, hanyalah aku sendiri Serta dingin udara tak dipanasi mata hari. Amen. Wherever I am, there you are My one and only shadow, so I thought. Yet are You really here in this silence Alone in the cold nave of this church? From without there penetrates the nave The song of birds at morning worship. When I am here I am alone With the chill air unwarmed by the sun. Amen.

12

Hanya Tuhan adalah teman saya, tidak terpisahkan sebagai bayangan yang selalu mengawasi saya; ini adalah rasa pada dua baris pertama. Dan Sitor membuat ziarah ke gereja gunung ini berharap untuk memulihkan keyakinannya. Ia menemukan adanya kekosongan: dari luar menjadi lagu burung di ibadah pagi, ibadah hidup; tetapi di dalam, di mana kehangatan matahari tidak dapat menembus, yang menemani hanyalah dingin. Jadi untuk kematian atas keyakinan, ia menambahkan: Amin. Namun, puisi dengan keraguan, kehilangan keyakinan dan penderitaan yang bersalah ketika meninggalkan moralitas tradisional, sejauh ini yang terbaik ada pada 'Cathedral de Chartres'. Ini bukan puisi panjang, yang terdiri dari delapan serta empat bait baris dan oktet penutup. Namun terlepas dari kompasnya yang kecil, entah bagaimana tema dan pencitraan menyatu bersama dan akordakord besar mulai terdengar dan bergema. Sitor telah mencemarkan Pekan Suci dengan perzinahan, memisahkan dirinya dari rahmat Kristus yang telah ditebus, dan sukacita Paskah. Ada kesedihan penyesalan yang sama seperti pada dua puisi sebelumnya, sedikit efek totalnya meningkat. Ini sebagian karena latar belakang, dan sifat simbolis dari judul 'Katedral Chartres' yang agung, berdiri untuk Kerajaan Allah, komunitas persekutuan Kristen di mana ia dibesarkan dan dari mana ia sekarang dikecualikan. Beliau menciptakan dampaknya oleh penempatan kontras yang terampil, antara dosa, kehilangan, keputusasaan, di satu sisi, seperti terhadap kemurnian salju, harapan dan sejuknya musim semi, misteri penebusan, dan diksi puisi itu diatur dengan luar biasa, menciptakan keagungan ucapan hampir tidak sebanding dengan puisi Indonesia lainnya.

dengan kompak atas semua kerinduan Sitor: Akan bicarakah la dimalam sepi Kala salju jatuh dan burung putih-putih Sekali-sekali ingin menyerah hati Dalam lindungan sembahyang bersih Ah, Tuhan, tak bisa kita lagi bertemu Dalam doa bersama kumpulan umat Will He speak to me in the silent night When the snow is falling and the birds all flaked with white? Sometimes, still, I long to yield To find comfort in the purity of prayer Alas, Lord, never again can we meet In prayer together with your holy people. Ini merupakan salah satu dari beberapa puisi dalam Bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dan membangkitkan suasana, dengan semua asosiasi dan nilai-nilai dari budaya Eropa dan Kristen: menetapkan Sitor sebagai penyair yang luar biasa dengan potensi kejayaan. Kehilangan keyakinan diikuti dengan hilangnya rasa bersalah yang begitu mencolok unsur di 'Cathedral de Chartres'; dan di kelompok berikutnya puisi yang akan dibahas, Sitor menggunakan persetubuhan untuk mengisi kekosongan emosional yang ditinggalkan oleh kehilangan orientasi. 'La Ronde II' misalnya adalah apresiasi sangat sensual dari anatomi perempuan, penuh dengan kelembutan, tapi dirusak oleh kurangnya keseimbangan dan kompensasi. Untuk persetubuhan objek barunya ialah ibadah, yang menarik ia keluar dari kekosongan menggerogoti kehidupan sehari-hari. Dalam 'La Ronde III' ia membahas gundiknya:

Dua bait pertama mengungkapkan 13

Kau dewiku, Penghibur Malam hampa Segala Perbuatan siang Yang sia-sia Kebosanan abadi jadilah lupa Dan badan Hancur nikmat terasa Anda Anda selimut dewi saya malam kosong Dan semua perbuatan sia-sia hari. kebosanan Everlasting menjadi terlupakan Seperti tubuh mencair dalam ekstasi kenikmatan. Sentimentalitas ini radikal, ungkapan ini tak terkendali baik dari hedonisme semata, atau pikiran yang telah kehilangan tambatannya yang tidak mampu mengatasi lagi dengan tekanan keadaan. Yang terakhir ini mungkin keputusan yang lebih adil pada karakter Sitor. Ini hasil pengabaian diri publik disebabkan oleh serangkaian kelemahan dalam kepribadiannya, tetapi meskipun demikian ia jarang meninggalkan sepenuhnya tentang pengertian moral yang menginformasikan hampir semua tulisan Indonesia. Memang, bahkan dalam kelompok ini puisi dengan perasaan bersalah, tidak mampu bersama moral yang teguh; dan 'La Ronde I' diakhiri dengan bait yang mencolok kontras dengan gairah berahi pada tubuh puisi: Meninggi musim hingga ke subuh Jendela dibuka melihat salju jatuh As the season marches on to the dawn The opened window surveys falling snow - putihnya salju dan gigitan dingin murni dari udara musim dingin - seperti dalam 'Cathedral de Chartres' melambangkan kepolosan dunia dan kasih karunia. Hampir sama pedihnya dengan puisi tentang kehilangan kepercayaan, dan menyoroti

upaya Sitor untuk menemukan pelarian dan penghiburan dalam pelukan seorang wanita, sama halnya dengan kehilangan rumah. Ungkapan yang paling mengharukan dari tema ini adalah 'Si anak hilang' (The Lost Son). Seperti gaya balada, dan secara dangkal (ditulis dalam kuatrain) dalam penampilan tradisional. Namun dalam roh dan pemberian diksi sepenuhnya modern. Kapal yang membawa pulang anak yang hilang muncul di seberang danau Samosir sebagai bintik di cakrawala. Desa itu penuh dengan kegembiraan, sang ibu bergegas ke bibir pantai untuk menyambutnya, namun: Si-anak hilang kini kembali Tak seorang dikenalnya lagi Berapa kali panen sudah Apa saja telah terjadi Seluruh desa bertanya tanya Sudah beranak sudah berapa Si-anak hilang berdiam sadja la lebih hendak bertanya The lost son has now returned But recognizes no-one How many harvests have passed What has been happening All the villagers ask and ask Have you children, and how many. The lost son remains silent He would prefer to be the questioner Untuk semua konvensi, pertanyaan rutin, persediaan dalam perdagangan hubungan desa,ia tidak bisa lagi memberikan jawaban. Sebagai gantinya: ... Mengenang lupa Dingin eropa, Musim kotanya 14

... recalling what is forgotten The cold in Europe, the season of its cities.

Singing our longing for the land of our ancestors... A singsing so, a singsing so, a singsing so...

Dan ketika semua tertidur: Dipantai pasir berdesir Gelombang Tahu si-anak tiada Pulang. The waves rippling on the sandy shore Know that the lost son has not returned Tema kehilangan rumah ini memikat banyak penulis Indonesia. Dan melahirkan salah satu novel luar biasa karya Nasjah Djamin berjudul Hilanglah si Anak Hilang - Lost is the Lost Son.

* 'A singsing so' merupakan chorus dari lagu Batak yang terkenal. Serangkaian kesedihan mengalir melalui larik-larik Sitor, sering dinyatakan dalam istilah intimasi kefanaan. Salah satu yang terbaik dari puisi-puisi ini adalah 'Lapangan Pagi (A Field at Morning). Terlihat indah sekali dalam jangka waktu yang lama, dikembangkan secara bertahap, sehingga seni tidak terwujud sampai bait terakhir. Ini membuka:

Namun hilangnya rumah tidak menyembuhkannya akan kerinduan lebih dari hilangnya kepercayaan yang membebaskannya tentang masalah hati nurani. Dan 'M.S. Bali' adalah sebuah puisi kerinduan, menyajikan gambaran kehidupan pelaut di kapal kargo: bau basi gudang, laut yang monoton , panas yang menjalar tanpa ampun dari matahari; nyamuk malaria merajalela di perairan pantai, kebosanan serta gelisah pada malam hari, dan kerinduan untuk waktu ketika: Senja Pudar akan beralih keemasan Di pagi bening, penghabisan dilaut The dim twilight will change to the gold Of a clear morning on the final sea. Namun sebelum ia datang: Sebelumnya, mari, menebas hutan, lumpur, Berlagu rindu tanah Leluhur... A singsing so,*a singsing so, a singsing so... Until then, let us clear the forest, mud,

Didepan penginapan banyak cemara Ada bunga dan ada lapangan sunyi Di belakang jalan turun ke kali Di belakang sekali jalan besar kekota. My lodging looks out on many pine-trees, There are flowers and a deserted field; Behind it a road leads down to the stream Away behind, the main road to the city. Pernyataan itu ialah soal fakta, irama yang tidak teratur. Apakah menjadi jelas secara bertahap bahwa persepsi pemandangan dan objek berasal dari kesadaran ketika ia bangun dari tidur merasakan pohon-pohon pinus, bungabunga, bermain di ladang, dan catatan jalan menuju sungai, jalan yang menuju ke kota dan awan pagi di sekitar bukit. Namun irama puisi yang kuat: adegan kosong diisi dengan kebisingan dan keributan saat anak-anak bermain, dan kembali ke kekosongan disejajarkan dengan munculnya penyair dari ketidaksadaran dalam jangka waktu terbatas, sensasi yang dibingkai oleh bukit-bukit hijau sejauh mata memandang, dan hilangnya persepsi ini dalam mode tidur. 15

Jam berdentang, menekankan kesunyian yang sekarang cerah ruangan yang terang. Anakanak telah menghilang; hari itu sudah lebih separuhnya; hidup telah berjalan lebih dari separuhnya. Dan inilah yang memberi kekuatan seperti itu ke bait akhir: Aku menggigil. Disudut tak kuduga Ada dingin malam tersisa. I shiver. I had not realised that in the corner there remained vestiges of the chill of night. Malam, melambangkan kematian, tidak pernah hilang dan sekarang maju untuk merebut kembali.Puisi lain dari jenis yang sama adalah 'Pagi' (Morning), pagi hari setelah pesta, di mana satu-satunya peninggalan adalah genangan anggur yang tumpah, seperti darah, dengan warna merah tua pagi hari di dalam mereka. Menggapai sinar pagi di ruang dadaku, Aku yang memandang hari di ufuk naik, menembus hati setajam peluru, kesadaran 'kan mati ditulang berisik. The rays of morning stir within my breast As I gaze at the spreading horizon of a new day, And there penetrates my heart with the sharpness of a bullet The awareness I must die whispering in my bones. Ini bukan satu-satunya puisi di mana Sitor merenungkan misteri waktu dan kepastian kematian. Pertanyaan-pertanyaan ini terlalu ia coba untuk dihindari dengan berlindung dalam pelukan seorang wanita. Tiada kekal tiada fana kali ini Hanya kekinian saat beradu Bernama perempuan

This time there is no past or present Only the immediacy of one moment fused to the next Called Woman. karena ketika dia memikirkannya, waktu membuatnya takut, dan dalam puisi 'Jam' (The Clock) penghitungan tentang waktu kembali bergema, bangkit kembali ke dalam landasan kesadarannya, dan menciptakan dalam dirinya sensasi gelombang pasang kekosongan. Dalam' Anak dan Waktu '(A Child and Time) ia iri pada anak yang sejenak bingung oleh jam dan penghitungan waktu tanpa henti. Tapi si-Anak tak hendak bertanya Sibuk kembali bermain-main Lupa sudah ia kepingin, Tahu hal jam serta tafsirnya. But the child has no desire to ask And busies himself again with play Forgetting that he had wanted To understand time and its meaning. Cukup mengejutkan untuk beralih dari puisi ini ke Zaman Baru (New Era) yang diterbitkan pada tahun 1962. Ini mewakili transfernya kesetiaan yang dirujuk sebelumnya dari Universal Humanism ke dalam seni yang terlibat. Lewatlah sudah romantisme dan introspeksi karakteristik dari bekas puisinya, dan di tempat mereka, kita menemukan perkembangan pesat pada puisi 'Tanah Tumpah Darah' (Fatherland) : - Membangun dalam damai: Dengarlah seruan berabad-abad seperti panggilan burung yang membangun sarangnya - Merdeka, bebas dan sejahtera! Impian dari Rakyat.

16

- Reconstruct in peace! Hark to the call of the centuries like the call of the bird building its nest - Freedom, Liberty and Security Aspirations of the people. Karya terbarunya yang lain ditulis dengan kriteria yang sama, yang memenangkan kemasyhuran tertentu, adalah puisi yang ditulis pada kematian Lumumba. Algojo putih telah beraksi menghabiskan nyawa pejuang Di Kongo sana Komplotan lama diulang! Mati pahlawan hitam Untuk Afrika Merdeka Asia Merdeka, Dunia Merdeka Dibunuh dalam perangkap. The White executioner has shown his mettle Destroying the life of a warrior; There in the Congo the same old conspiracy succeeds again. The Black Warrior has died for a free Africa A free Asia, a free world, Murdered in captivity. Hal tersebut merupakan pemilihan tema yang terjadi dalam puisi Sitor. Saya tidak bisa mengklaim dengan mewakili seluruh manusia, dan saya tidak bisa mengklaim dan memahami sepenuhnya semua yang telah ditulisnya. Namun ini memberikan beberapa gambaran terdiri dari kedudukan puitisnya dan kepribadiannya. Dia secara populer digambarkan sebagai penerus Chairil Anwar. Terlepas dari kenyataan bahwa ia setahun lebih muda dari Chairil, dan menghasilkan sebagian besar puisinya setelah kematian Chairil, saya tidak berpikir untuk menempatkan dirinya

dalam sejarah puisi Indonesia. Beliau sangat berbeda kualitas dari Chairil, puisinya tidak pernah dapat dikacaukan dari Chairil, dan sumber-sumber dari tulisannya sangat berbeda. Chairil misalnya tidak pernah mencari hiburan dalam persetubuhan. Itu tidak lebih menjadi pengalaman; dia tidak berlama-lama di sana, dia menuruti sentimentalitas. Di 'Puncak', puisinya yang paling erotis, ia bisa menganggap pertemuan itu tidak berhasil. Dia tidak pernah menampilkan kelemahan Sitor; dan kami tidak pernah bisa membayangkan dia menulis tentang ziarah ke gereja yang berada di gunung dalam upaya untuk mendapatkan kembali apa yang hilang atau keyakinan yang surut. Iman pada dirinya sendiri ialah milik Chairil, tidak peduli berapa biayanya. Secara formal, ada kontras yang sesuai antara gaya dari dua penulis, meskipun ini juga disebabkan perbedaan suasana hati. Ada kejantanan dan ketegangan di garis Chairil, kecemerlangan dan kehati-hatian yang membedakan mereka dari Sitor - kualitas Chairil yang ia bagikan dengan Amir Hamzah. Bahkan lebih penting Sitor jauh lebih mendalami dalam bentuk bait tradisional, diksi dan suasana hati daerah asalnya daripada Chairil dulu, dan ini menghasilkan preferensi alami untuk bentuk yang lebih tradisional, yaitu Chairil jarang menggunakan,tidak sama sekali. Namun jangan sampai ada kesalahan, Sitor tidak menulis dengan gaya Yamin atau bahkan Sanusi Pane. Dia menulis bait yang lebih modern, tetapi masih menggunakan bentuk-bentuk tradisional, seperti penyair Australia kaliber Alec Hope juga melakukannya. Bahkan, Sitor telah melewati Chairil dalam usahanya mencari bentuk yang menurutnya dibutuhkan; dan setelah menemukan kembali bentuk-bentuk tradisional dari bait Melayu, telah menjadikannya media efektif untuk puisi modern. Peran ini biasanya 17

dikaitkan dengan Amir Hamzah; namun pandangan populer ini tidak sepenuhnya dapat dipertahankan; karena jika kita mengecualikan puisi Amir yang paling awal, itu jelas bahwa beberapa puisinya yang paling efektif ditulis secara bebas, atau dalam bentuk tipuannya sendiri. Sitor adalah penyair Indonesia yang penting, dan mungkin hebat. Namun sejauh ini jangkauannya terbatas; musik melankolis dari syairnya cenderung pucat; ia tidak memiliki vitalitas intelektual, kapasitas untuk melepaskan diri, atau segala bentuk ironi dengan beban tersendiri. Dalam hal ini dia menunjukkan dirinya lebih rendah daripada Chairil sebagai penyair jauh lebih terpisah, jauh lebih mementingkan ketepatan intelektual dan verbal daripada Sitor. Namun kami tetap menghadapi masalah: mengapa karya terbaru Sitor secara artistik tidak berhasil? Tragedi Lumumba dan Kongo misalnya terletak pada hati nurani semua umat manusia. Itu bagus untuk sebuah puisi, namun karakter Sitor tidak layak untuk itu. Pramudya Ananta Toer telah menarik perbedaan antara menulis di mana faktor-faktor politik adalah penentu pada tingkat awal, rasa komitmen yang mendalam yang mencakup seluruh kehidupan dan mengilhami setiap kalimat tanpa harus gencar, perlu merasa keharusan untuk memberitakan fakta bahwa ia bernafas. Dan ini justru menjadi masalah. Puisi terbaru Sitor tidak intim, hanya ditetapkan untuk menyatakan bahwa ia masih bernafas. Lalu apa yang salah? Apakah Sitor, yang kita sanjung, kita percayai akan mampu menerima sentimen populer, atau adakah penjelasan kegagalan luar biasa atas bakat ini? Sebelumnya saya menyebut kurangnya kekuatan Sitor, ketidakmampuannya untuk

memikul tanggung jawab sebagai penyair dan juru bicara generasinya. Trauma kunjungannya ke Eropa, hilangnya kepercayaan agamanya, hilangnya rasa memiliki dalam komunitas Batak, kehilangan yang hanya menambah kerinduan untuk menjadi miliknya, telah menyebabkan kepribadiannya memuncak melebihi kapasitasnya. Mungkin jawabannya adalah seperti yang diungkapkan Teeuw, bahwa dia bukan lagi seorang Batak, tetapi kesadaran Indonesia-nya belum cukup untuk mengisi kekosongan, dan ini adalah penyebab hilangnya keberaniannya. Pertanyaan tentang gagasan Indonesia ini sebagai konsep dan fokus kesetiaan budaya adalah pusat sebagai sebuah bangsa. Sitor, dalam pandangan saya, telah melemparkan dirinya dengan putus asa pada tambatan psikologis baru: seorang pria yang terjebak dalam hujan tropis mencari perlindungan di sebuah rumah yang tidak lengkap dari kekurangan, di antara fasilitas lainnya, atapnya. Untuk seperangkat nilai umum Indonesia masih baru; kerangka sedang dibangun, tetapi bangunannya masih jauh. Mungkin ini alasan mengapa penyair Indonesia yang paling mencolok sampai saat ini telah menemukan kekuatan mereka sebagai manusia dalam konteks apa yang dulu disebut Universal Humanism. Runtuhnya Sitor hanya berfungsi untuk menyoroti kualitas umum bagi individu yang berbeda seperti Amir Hamzah dan Chairil Anwar: keberanian yang mendalam dan konsistensi pribadi. Ketika Amir Hamzah melepaskan kekasihnya yang orang Jawa dan kembali ke Sumatra untuk menikahi seorang putri, ia berhenti menulis; dia tidak menulis puisi untuk mempelai perempuannya; Chairil tidak pernah goyah atas pengabdiannya pada puisi sebagai jalan hidupnya. Beliau menghabiskan hidup sebagai sampah, dan menerima kepahitan tanpa keluhan. Bahkan kematian pun beliau hadapi dengan keberanian yang tabah tak tergoyahkan. 18

Amir dan Chairil sama-sama orang asing berhadapan dengan budaya daerah mereka, tetapi cukup kuat untuk tidak membutuhkan mediasi tentang kesadaran nasionalisme sebelum mereka dapat berbicara dalam aksen kesedihan manusia modern tanpa mengorbankan integritas visi puitis mereka. Sitor tidak memiliki kekuatan ini, dan karena itu pria yang lebih rendah dan penyair yang lebih rendah. Tetapi tragedi pribadinya harus dipahami dalam terang yang tepat seperti halnya seorang pria yang terjebak di antara dua dunia, korban dari tekanan psikologis dan sosial

yang luar biasa yang menjadi bagian dari kehidupan di Indonesia saat ini.

* First published in Westerly's November, 1966, pp. 28-39. *Dari buku: Cultural Options and the Role of Tradition “A Collection of Essay on Modern Indonesian and Malaysian Literature”. Anthony H. Johns, terbitan The Australian National University Press antara tahun 1065-1991

Setyowati Wulandari, biasa dipanggil Wulan. Sekarang menjadi pekerja kantoran didaerah pelosok dan penerjemah lepas

Carangan (Cerita Pendek)

Pasca Hujan A

ir perlahan-lahan turun dari langit membasahi bumi. Gerimis. Tak sampai satu menit kemudian hujan mulai turun cukup deras. Menurut Halim, hujan adalah bentuk perkawinan cinta antara langit dan bumi. Semakin memuncak nafsu cinta langit kepada bumi, semakin deras pula hujan yang turun. Dan semakin besar kasih sayang bumi kepada langit, semakin tinggi pula pohon menjulang untuk mencium langit. Di momen-momen semacam itu, biasanya dipergunakan oleh Halim untuk bermeditasi. Merenungi segala kebobrokan dirinya. Kepalanya dipenuhi oleh milyaran garis yang saling menghubungkan antara kebaikan dan keburukannya. Jiwanya meguru kepada sasmita aji, yang terus mengalirkan ketulusan pada manusia, meski tanahnya dieksploitasi, walau alamnya dihancur leburkan. “Ancur!,” teriak Halim. Kawan-kawan yang menginap di rumahnya terkesiap. “Ini orang-orang sekarang kok bisa-bisanya ancur gini nih, yang tanggung jawab siapa?” Lanjutnya sambil mulai berjalan mondar-mandir. “Sik sebentar, Lim. Kalem, kalem… Du--” Belum selesai kawannya berbicara, Halim memotongnya dengan mimik wajah marah, seperti habis diceko'i dua botol ciu oplosan, “Nggak bisa! Kalem itu pekerjaan orang-orang yang pasrah pada keadaan, meski sedang hancur sekalipun. Ini jelas nggak bisa dibiarkan!”

Hujan di luar pelan-pelan mulai redup. Sementara hujan lain, yang ada di dalam ruangan seluas tiga kali empat gepok koran itu, makin tak terkendali. Memang sudah biasa Halim seperti ini. Dari kelahirannya dulu sampai masa senjanya sekarang, tak ada satu perubahan sikap yang ditunjukkannya. Semacam ada siklus yang sudah menempel pada takdirnya, selalu saja setelah merenung, marah, lantas kemudian, secara tiba-tiba, tertidur pulas. Sikapnya di luar kebiasaan, memang. 'Khariqul Adah. Kalau ia ada di zaman sebelum lahirnya Muhammad, mungkin bisa dikatakan kalau dia itu Nabi. Seminimal-minimalnya ya wali, lah. Ah, tapi mana mungkin ada nabi atau wali yang seperti itu. “Diamput! Kemana perginya anak-anak zaman yang mustinya bertanggung jawab atas semua kelaliman ini. Atau jangan-jangan mereka sudah musnah dilindas dan ditikam perbuatannya sendiri, lantas kemudian berdalih sambil menuding orang lain telah memusnahkannya? Ha? Begitu?” Arah bicaranya terus menerus kabur. “Oh, I know I know. Pasti ini salah zamannya, kenapa musti melahirkan anak-anak durhaka yang justru menjadi malapetaka bagi dirinya sendiri? Iya tho?” Kawan-kawan Halim linglung. Mereka saling bertatapan wajah. “Huahaha. Sudahlah. Ngaku saja, tho!”

21

Tiba-tiba dari luar terdengar semacam musik yang cukup aneh. Seperti lagunya Eagles yang berjudul Hotel California. Tetapi agak berbeda. Setelah ditelusuri, ternyata itu merupakan versi reversed-nya. Liriknya berbunyi, “Yes, Satan organized his own religion.”

tak jelas dari mana sumbernya. Hingga tanpa sadar, Halim sudah tertidur pulas di atas lantai kamarnya. Satu detik kemudian keadaan kembali normal, seolah peristiwa tadi hilang bersamaan dengan langit yang kembali cerah.

Kawan-kawan Halim kaget bukan kepalang. Mereka terus mencermati musik yang

Azka Elfaatih, Tukang bikin tulisan biasa saja bernuansa Serampangan.

Yogya, 10 Maret 2018

mBelik (Puisi)

Puisi – puisi Astrajingga Asmasubrata : MINGGU YANG BERULANG /1/

YANG TAK KUNJUNG TERSINGKAP ini rinduku semata sawang yang suwung ini cintaku seucap yang melengkapi senyap tak akan ada lagi setelah ini cuma hujan kecil yang kikuk mengabarkan gigil tidak, jangan mencari! bekas pelukku masih ada di mantel itu pakailah sebab yang ganjil dapat digenapkan kata si petualang, pergi menjadikan seseorang lebih gamblang menyuluh bayang yang tak pernah tunak diregang: aku adalah seketika yang kemunculannya ditandai dengan bimbang dan ragu; lebih berpeluang dibuang ketimbang dikenang (sorowajan, 2019)

Pagi belum jauh dari cangkir kopimu, dan yang terdengar cuma sayup hujan. Minggu seperti ranjang tua terbalut selimut tebal. Patahan sayap laron di pintu mengabarkan kesuwungan yang liyan pada tatap matamu. Tak ada Bapa, tak ada sabda juga penebusan dosa. Waktu yang tersangkut di tembok kusam itu mendetakkan sunyi lubuk duli sanubari; Segalanya adalah rindu. Menunggu atau ditunggu, kau tahu: Minggu bernaung dalam tangkupan telapak tanganmu. /2/ Kau tersenyum melihat seekor kupu-kupu menghinggapi bunga plastik di atas meja, sementara jemarimu terus mengusap debu di selembar foto keluarga. Kau tahu, semua yang berwatak haru akan harum jua dengan pelukan ibu yang hangat seperti Minggu. Kau menunduk. Matahari kian meninggi dan percik hujan di kaca perlahan lenyap, malih menjadi kultus sabda; Hosea 6:3. Dan di seberang jalan, Yohanes pemandu pun berseru: "Itulah anak domba yang dulu nyaris hilang!". Minggu yang berulang baru saja menemukan hatimu. (sorowajan, 2019)

Astrajingga Asmasubrata, Buku puisi yang telah terbit: Ritus Khayali (2016), Miryam Dan Bayangan Dari Yang Berlalu (2017), Instalasi: Pandangan Yang Miring (2018)

Puisi – Puisi Widya Prana Rini :

Penantian Dewi Ciptarasa

Di Celah Bukit Suatu Pagi

Krendadaha, jiwaku masih lesu Seusai menanam beringin di taman sore itu Kuputuskan sebuah perjalanan menuju belantara Mengeja gelap, membelai belukar Memburu jiwaku sendiri,

Matahari mekar di antara kelopak gunung Pinus-pinus menyaksikan usia, Setelah azan subuh memanah sunyi

Di aliran Merawu dan Serayu Kularung risau di urat kali Harapanku sampai pada kulitmu Menjelma getar getir, giring langkahmu Juga di bongkah batu kujatuhkan mantra Sebagai tanda Diceruk manakah dirimu? Aku menjadi daun yang berharap Jatuh di aliran jiwamu, membuatku ingin terus mengembara Aku yang menyemai biji kerinduanku sendiri, Menyuburkan pertanyaan-pertanyaan tentang pertapaanmu Kuperam doa agar matang buah kedikdayaan, yang mampu menyibakan kabut Hingga tampak pendar rembulan yang tak henti kupandang Di tengah rasa dingin dan gelap yang mengepungku, Di depan bongkah bara Setelah unggun meredup Aku duduk bersama penantian Merajut kesetiaan dan kepercayaan Blitar, 12 Oktober 2018

Di celah bukit suatu pagi Laki-laki Wanayasa, mencangkul mengisi catatan rapi Buku harian di ladang harapan Bersama perempuannya Mereka berdiri menabur cinta, Menyelipkan tasbih melalui biji-bijian Doa-doa berjatuhan dalam lubang penantian, Dipupuk, disemai, dan dirindukan Tanah ladang perguruan 2015

Angin dan Hujan Riris Menyatu Angin dan hujan riris melewati urat pohon Seketika tanah lumer menjadi lumpur Air yang berlayar menuju lautan Gemuruh, memanggil rindu Masih di lautan biru tak kutemukan parang hatimu Dibalik sepi bunga tanjung tak usai mekar Dibalik sunyi tembang sinom bernyanyi lirih Senandung-senandung yang digelombangkan Angin, hujan riris Memanggil rindu Lewat kharisma telah engkau singkapkan Aku memikirkan kata-kata Dan merenungkan luka-luka Ada rindu dalam kesunyian Ada rindu dalam kedamaian Ada rindu dalam kehilangan 2018

Widya Prana Rini, Lahir di Banjarnegara, 8 Januari 1991. Alamat Desa Pesantren, Wanayasa, Banjarnegara, Jateng. Alumni Pascasarjana Universitas Gadjah Mada 2017, jurusan Ilmu Sastra. Aktif dalam komunitas sastra Jejak Imaji (diskusi sastra dan ilustator Antologi puisi) di Yogyakarya. Saat ini, sedang mengajar di salah satu universitas swasta di Blitar prodi Pend. Bahasa Indonesia. Memiliki kecintaan terhadap sastra dan seni rupa. [email protected]. Hp.082395006075

Capres Sastra

(Catatan Apresiasi Sastra)

Resep Seni adalah Hukum Alam (Soal Seni dan Kehidupan) Pikiran—Kejujuran Tubuh—Hati Seni-senian pikiran dalam kepenulisan seolah dianggap pendapat yang kita sebut mewakili realita. Pendapat tentang ini dan itu sendiri sering kita cari, curi, dan caranya kita gunakan sebagai banteng pikiran. Padahal, dengan cara pikiran demikian berarti kita sering tertipu. Sejatinya kita jarang punya pendapat karena pikiran terlampau menikmati 'konsumsi pikiran', sehingga belum terlatih untuk 'produksi berpikir', di samping itu juga, karena pikiran sering menutupi kejujuran dengan sejumlah pembenaran argumentasiasumsi-spekulasi; sebagai topeng-topeng. Maka pikiran yang belum mengenal kejujuran sering menipu, yang ditipu tak lain adalah dirinya sendiri. Kalau saja pikiran sedia kawin dengan cinta, wujudnya adalah kemanusiaan. Pikiran adalah makhluk sentimental. Karena itu, ia melibatkan perasaan yang bernaung di hati. Supaya ia mengenal cinta. Sebab seandainya tidak, maka pikiran cenderung memuntahkan apa saja tanpa pertimbangan akal. Bahkan sesuatu yang tidak masuk akal oleh pikiran sekalipun bukanlah murni olahan akal, melainkan keduanya telah saling membaur tanpa adanya ketersentuhan hati. Ada juga pikiran yang selalu tertarik menjelaskan kenyataan dengan akal yang memakai topeng kejujuran. Contohnya banyak tersebar di lini masa media sosial; seperti facebook, twitter, dan instagram. Topeng kejujuran itu dikenakan seseorang untuk

mengaktifasi 'pikiran perang' sebagai tonggak akal—yang menyempit limitasi pengetahuan informasinya—lantaran hati merasa dikecewakan oleh kenyataan yang tidak sesuai ideal pikirannya. Itulah mengapa topeng kejujuran fanatik demikian sering mengubah dunia maya dan kenyataan hidup sehari-hari menjadi arena 'perang pikiran' yang tidak lagi mengajak akal dan melibatkan hati. Tidak ada lagi nalar dan logika setiap pembenaran. Maka tak mengherankan jika sekarang semakin marak terjadi 'perang pikiran' daripada 'pikiran perang'. Paket-paket 'perang pikiran' begitu mudah dijajakan: dengan tanpa logika dapat kerusuhan, dengan tanpa nalar dapat ujaran kebencian, dengan tanpa hati dapat memperpanjang konflik, dengan tanpa akal dapat menambah masalah, dengan tanpa cinta dapat apa saja yang dikehendakinya. Sedangkan, paket 'pikiran perang' hanya menyediakan topeng kejujuran—yang siapa saja—boleh memakainya sebagai pelindung yang mewakili realitas. Maksudnya, mengungkapkan sesuatu dengan kebulatan pikiran dan pikiran yang seutuhnya itu meliputi ketepatan logika, kelengkapan nalar, keterbukaan akal, keteguhan hati, dan kesetiaan cinta. Sebab manusia adalah makhluk kemungkinan, bukan kepastian. Itulah mengapa topeng kejujuran perlu juga kita kenakan agar supaya kita menemukan diri yang sejati, diri yang sebenarnya dan diri yang seutuhnya. Lengkap dengan segala perlengkapan dan patuh terhadap kebulatan penuh. 27

Seandainya kita mau belajar kejujuran, maka pikiran sebaiknya berguru kepada tubuh. Kentut adalah salah satu contoh kejujuran tubuh, tapi pikiran sering menyangkal dan mengingkari bahwa aku tidak kentut, karena kentut masih bisa ditahan. Usaha pikiran membantah kentut sebagai suatu hal yang remeh itu masuk akal atau tidak masuk akal? Kejujuran atau menipu? Jawabannya ada pada hukum alam. Kentut bukanlah sesuatu yang remeh. Artinya sesuatu yang mesti keluar. Toh, bukankah lebih baik demikian? Sebab kentut bukan hanya yang keluar bunyi dan bau-bauan dari dubur. Kentut, menurut kentut sendiri, ialah kentut yang membebaskan. Dari tiga jenis kentut yaitu kentut dubur, kentut pikiran, dan kentut hati. Ketika kentut dari dubur berhasil keluar, maka kentut pikiran menjadi lega, dan kentut hati merasa tenang. Dalam kentut, tiga hal itu saling terkait dan berkaitan. Itulah mengapa tubuh bisa menyatakan keadaan dirinya tanpa pertolongan bahasa dan bantuan pikiran. Kejujuran tubuh adalah kejujuran alam yang tak bisa dijangkau pikiran dengan atau melalui bahasa. Kejujuran tubuh melalui kentut merupakan salah satu tanda seni dari mencipta; ada paham orisinalitas serta nilai otentik yang terkandung. Contoh lain kejujuran tubuh misalnya letih-mengantuk-tidur, lelah-lapar-makan, lesu-terbaring-sakit, dan seterusnya, tapi kita tahu bahwa pikiran selalu lebih cepat beberapa langkah dan punya seribu satu cara pikiran yang seolah sanggup membantah dan menampik bahwa “aku tidak letih, aku tidak lapar, aku tidak sakit.” Perlu juga diketahui, bahwa ada banyak

kejujuran tubuh yang tidak mungkin disangkal oleh pikiran. Salah satunya jantung yang merdeka, ia terikat langsung dengan Sang Pencipta Kehidupan. Juga ada rambut yang mulai beruban, ia termasuk dalam syariat Allah. Adalagi tubuh yang kian ringkih serta kulit yang mulai keriput, ia sedang mengalami kemesraan proses menua oleh waktu yang dikehendakiNya. Tubuh adalah salah satu contoh kejujuran. Kejujuran sejatinya sakit saat sehat, dan sehat saat sakit. Dalam kejujuran ada penyakit, ada pembusukan, ada hukuman, ada ketidakberdayaan, ada kebodohan, dan masih banyak lagi lainnya. Kejujuran itu mengerikan. Ketakutan pada kejujuran menjadi salah satu contoh terjadinya penolakan kepada tubuh sepanjang usia peradaban. Mengapa pikiran mesti berguru kepada tubuh? Sebab pikiran cuma alat, jangan mau digenggam pikiran, tapi kitalah yang menggenggam pikiran. Upaya mengendalikannya adalah mengawinkan pikiran dengan hati. Dengan begitu pikiran terpatri setia hati, tak lain didasari cinta. Dengan begitu pikiran bisa saling mesra akal, supaya keseimbangan pada kejujuran tubuh antara hawa dan nafsu terjaga. Pikiran mesti belajar ke dalam tubuh yang mengandung kejujuran dahulu sebelum mengarungi banyak hal di luar tubuh yang kita tidak tahu itu kejujuran ataukah ketakutan. Seni “Hadir” dan Hukum Alam “Mengalir” Ada sebuah gurauan khas yang mengingatkan kita pada inti kelakar dan esensi humor yang terkandung dalam ungkapan: “berseni-seni itu seperti orang berak…” Kentut dan berak adalah aliran hukum 28

alam dalam kejujuran tubuh. Kalau dalam kentut, ada paham orisinalitas dan nilai otentik. Sedang saat berak, tercermin inti kelakar dan esensi humor. Keduanya tanda hadirnya resep seni. Sebagaimana obyek, dengan alat kamera atau inderawi, kita memotret dengan memori otak, mata dan hati. Hal itu boleh jadi atau tergantung pada cara pandang, sudut pandang, gaya pandang, resolusi pandang, jarak pandang, dan pandangan lainnya. Yang kita hasilkan hanyalah kemungkinan-kemungkinan, sampai menentukan dari arah mana 'kesan visual' yang kuat untuk mewakili pokok sebuah cerita. Resep seni, maksud judul tulisan di atas, memang tidak menggambarkan proses hukum alam secara keseluruhan. Melainkan hanyalah menyiratkan sebuah hukum alam. Artinya, orang baru akan buang hajat ketika ia makan sesuatu. Atau bisa juga secara pengalaman umum di waktu pagi, ketika ia meminum kopi. Kedua hal itu dapat dipastikan. Tentu melewati proses pencernaan terlebih dahulu. Dalam konteks demikian, tiap pengembaraan pengalaman hidup seseorang perlu diendapkan dalam batin, melalui tahap pengolahan kontemplasi, kemudian dihayati untuk kemudian “dimuntahkan” sebagai wujud ekspresi seni. Dalam hukum alam, ungkapan kejujuran akan sesuatu yang tampak keindahan, seringkali mengundang bahaya. Seperti halnya, hewan yang terlihat indah bisa jadi memiliki racun yang melumpuhkan, atau

bunga yang terlihat cantik bisa juga mengandung racun yang mematikan. Tentu lain soal jika kita hanya mengamati kelahiran kupukupu. Pada mulanya adalah ulat yang—menurut kejujuran tubuhnya—berarti menakutkan, mengerikan, atau mungkin menjijikan. Namun setelah mengalami proses metamorfosis menjadi kepompong, Sang Pelukis Agung mengguratkan kuasnya di atas kanvas sebagai sosok yang elok, cantik, dan indah pesonanya. Dengan kata lain, dalam berseni-seni maka bentuk yang “keluar” tentunya tidak sama dengan apa yang dimakan. Kalau sama berarti ada suatu hal yang tidak beres, mungkin pencernaannya. Kehidupan manusia dan seni adalah lumbung pengalaman bagi aneka peristiwa, pengamatan akan kejadian, perasaan pada simpati dan empati, dan penelitian sepanjang hidup. Pada hakikatnya, nanti bakal mengasah ketajaman, kejelian, serta kepekaan dalam memang sesuatu, dan lebih dari itu, menumbuhkan pemahaman yang melibatkan apresiasi keindahan secara total dan intens terhadap berbagai subjek atau peristiwa dalam kehidupan. *Persembahan Tasyakuran Buletin Lintang 17 Maret 2019

Syahruljud Maulana, anggota Omah Puisi dan aktif membidani buletin Lintang, tinggal di Jakarta. Penikmat dongengan ini bisa dihubungi melalui WA : 0838-0746-7311

Related Documents

Bl5 Update 1.2.pdf
May 2020 4
Update
November 2019 61
Update
November 2019 48
Update
April 2020 27
Update
April 2020 33

More Documents from "Flametree"

Red Queen.pdf
May 2020 6
Bl5 Update 1.2.pdf
May 2020 4
Data Uu Anak,.docx
May 2020 17
Lecture 1
June 2020 32
Skpl-oo.doc
November 2019 6
Lapsemprakjs.docx
November 2019 6