PRESENTASI KASUS ERUPSI OBAT FIXTUM
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh: Arnita Anindira 20174011138
Diajukan kepada: Dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK
BAGIAN KULIT DAN KELAMIN RSUD KRT SETJONEGORO WONOSOBO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2019
LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS ERUPSI OBAT FIXTUM
Telah dipresentasikan pada tanggal: 04 Februari 2019
Oleh: Arnita Anindira 20174011138
Disahkan dan disetujui oleh: Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
Dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK
ii
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum wr wb Segala puji syukur bagi Allah SWT, atas segala karunia dan nikmat-Nya yang telah diberikan. Alhamdulillah, dengan penuh mengucap rasa syukur, penulis dapat menyelesaikan Presentasi Kasus ini sebagai syarat kepaniteraan klinik program pendidikan profesi di bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin dengan judul: “Erupsi Obat Fixtum” Penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. dr. H. Aris Budiarso, Sp.KK, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Kulit dan Kelamin sekaligus pembimbing dalam mengerjakan presentasi kasus di RSUD KRT Setjonegoro Wonsobo yang telah berkenan memberikan bantuan, pengarahan, dan bimbingan dari awal sampai selesainya penulisan Presentasi Kasus ini. 2. Perawat bagian Klinik Kulit dan Kelamin yang telah berkenan membantu berjalannya Kepaniteraan Klinik bagian Ilmu Kulit dan Kelamin. 3. Teman-teman coass atas dukungan dan kerjasamanya. Semoga pengalaman dalam membuat presentasi kasus ini dapat memberikan hikmah bagi semuua pihak. Mengingat penyusunan presentasi kasus ini masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga sehingga menjadi acuan untuk penulisan presentasi kasus selanjutnya. Wassalamu’alaikum wr wrb Wonosobo, 3 Februari 2019 Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................ ii KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii DAFTAR ISI.......................................................................................................................iv BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 BAB II. STATUS PASIEN................................................................................................. 4 BAB III. PEMBAHASAN .................................................................................................. 7 BAB IV. KESIMPULAN ................................................................................................. 10 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11
iv
BAB I PENDAHULUAN
Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun tidak disertai keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat adalah zat yang digunakan untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan pengobatan. (Budianti, 2018). Secara umum, erupsi obat terjadi sekitar 2-3% pada orang yang mengonsumsi obat. Bentuk yang paling sering terjadi adalah erupsi morbiliformis yakni sebanyak 95% dari seluruh erupsi obat yang terjadi. (Shiohara, 2018). Fixed drug eruption (FDE) atau erupsi obat fikstum (EOF) adalah salah satu bentuk erupsi obat alergik yang memiliki ciri khas lesi berulang pada tempat yang sama setelah pajanan obat penyebab (Budianti, 2018). Erupsi obat fikstum terjadi sekitar 14-22% dari keseluruhan erupsi obat. Erupsi obat fikstum dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan di berbagai usia (Shiohara, 2018). Mekanisme yang mendasari terjadi EOF adalah hipersensitivitas tipe IV yang diperantarai oleh imunitas selular (limfosit T). Patomekanisme pengenalan obat oleh sel T dapat melalui dua konsep, yakni konsep hapten/ prohapten dan konsep pharmalogical interaction (Budianti, 2018). Beberapa jenis obat yang sering menyebabkan terjadinya EOF adalah obatobatan analgesik, muscle relaxants, sedatif, anti konvulsan, dan antibiotik (Butler, 2018). Dari sebuah studi didapatkan obat yang paling sering menyebabkan erupsi
1
obat fikstum adalah Kotrimoksazol. Obat-obatan lain yang sering menyebabkan erupsi
obat
fikstum
diantaranya
tetrasiklin,
metamizole,
fenilbutazone,
paracetamol, asam asetilsalisilat, asam mefenamat, dan metronidazole (Mahboob & Haroon, 1998). Erupsi obat fikstum yang disebabkan oleh dimenhidrinat jarang terjadi. Dari beberapa studi yang dilaksanakan tahun 1966-2011 hanya terdapat 5 kasus tercatat mengenai erupsi obat fikstum yang disebabkan dimenhidrinat terkonfirmasi melalui oral challenge test ataupun patch test (Giatrakou, 2011). Manifestasi klinis EOF berupa makula atau plak eritema berbatas tegas, terasa gatal atau panas, dengan disertai atau tidak disertai vesikel maupun bula. Pada umumnya lesi akan muncul dalam 30 menit hingga 8 jam setelah pemberian obat, rerata waktu dari pemberian obat hingga munculnya gejala adalah 2 jam. Lesi sering muncul pada area bibir, genital, dan area ekstremitas terutama bagian telapak tangan dan telapak kaki. Kemudian lesi akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama menghilang bahkan menetap. Gejala sistemik seperti demam, biasanya tidak ada. Adanya erupsi yang difus pada seluruh badan menyerupai Sindroma Steven Johnson, namun keterlibatan mukosa pada erupsi obat fikstum lebih ringan ataupun tidak ditemukan. Secara histopatologi lesi akan memiliki gambaran infiltrate likenoid yang dominan akan limfosit dan adanya inkontinensia pigmen (Lockwood, 2018). Diagnosis EOF ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Namun jika diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa patch test ataupun oral challenge test untuk mengetahui obat penyebab erupsi pada pasien 2
dengan riwayat konsumsi obat multipel. Dapat pula dilakukan pemeriksaan histopatologi dari lesi yang ada (Budianti, 2018). Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab. Resolusi akan terjadi secara cepat setelah 1-2 minggu penghentian pemberian obat penyebab erupsi. Pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal (Budianti, 2018).
3
BAB II LAPORAN KASUS
Pada Minggu, 27 Januari 2018 seorang perempuan berusia 61 tahun diantar oleh keluarganya ke IGD RSUD KRT Setjonegoro mengeluhkan nyeri pada mulut serta kedua telapak tangan. Sekitar 4 hari yang lalu, pasien mengeluhkan terasa perih di rongga mulut, muncul luka-luka kemerahan seperti sariawan di dalam mulut, semakin bertambah banyak, hingga sulit untuk membuka mulut. Saat itu pula muncul kemerahan di kedua telapak tangan, seperti benjolan berisi air, dan terasa nyeri. Sehari sebelumnya pasien sempat merasakan bibir terasa tebal dan panas. Enam hari yang lalu, pasien mengonsumsi beberapa obat yakni Paracetamol, Dimenhidrinat, GG (Gliceryl Guaicolate), dan Antasid yang didapat dari Puskesmas untuk mengobati keluhannya berupa demam, mual, batuk, dan pilek. Namun dua hari setelahnya, pasien merasakan keluhan seperti di atas. Kemudian konsumsi obat tetap diteruskan hingga dua hari ke depan. Keluhan dirasakan semakin bertambah berat, sehingga pasien berhenti mengonsumsi obat tersebut. Pasien kembali berobat ke Puskesmas dan dirujuk ke IGD RSUD KRT Setjonegoro. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pasien tidak mengingat riwayat minum obat serupa sebelumnya. Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi namun tidak rutin berobat. Pasien mengaku memiliki alergi
4
terhadap makanan laut. Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami keluhan serupa, riwayat alergi disangkal. Pasien sehari-hari bekerja di sawah sebagai petani. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien baik dan kompos mentis. Didapatkan tekanan darah 158/87 mmHg sementara tanda vital lain dalam batas normal. Dari pemeriksaan UKK ditemukan pada palmar dextra dan sinistra terdapat bula multiple, ukuran numular, bentuk bulat, batas tegas, tepi regular, distribusi regional, sekitarnya terdapat eritem. Pada palpasi teraba sama hangat dengan area sekitarnya. Di area bibir dan rongga mulut tampak makula eritema, bentuk tak beraturan, batas tak tegas, terpi irregular, distribusi regional, di atas makula terdapat erosi mukosa di sepanjang bibir bagian dalam. Lesi di dalam rongga mulut sulit untuk dievaluasi karena keadaan pasien sulit untuk membuka mulut.
Gambar 1. Pemeriksaan Fisik pada Mulut dan Telapak Tangan
5
Hasil pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya eosinopenia dan limfopenia, sementara kadar monosit meningkat. Hasil lainnya dalam batas normal, termasuk GDS, fungsi hepar dan fungsi ginjal. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan erupsi obat fikstum, sementara obat yang menjadi penyebab dari erupsi obat ini adalah dimenhidrinat. Sebagai diagnosis banding adalah Sindrom Steven Johnson. Kemudian pasien menghentikan pengobatan dengan dimenhidrinat dan mendapatkan terapi Infus RL II/24 jam, injeksi Metilprednisolon 125mg/8 jam, Cetirizine 2x10 mg, Paracetamol 3x500 mg, Omeprazole 1x20 mg, dan betadine gargle (povidone iodine solution) 3 dd garg. Pasien dirawat inap selama dua hari kemudian diizinkan pulang dalam keadaan membaik. Saat pulang pasien mendapatkan obat berupa metilprednisolon 3x8 mg, azitromisin 1x500 mg, omeprazole 1x20 mg, dan paracetamol 3x500 mg.
6
BAB III PEMBAHASAN
Diagnosis EOF ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Keluhan berupa luka-luka seperti sariawan di rongga mulut dan kemerahan seperti benjolan berisi air di kedua telapak tangan merupakan suatu manifestasi klinis peradangan pada kulit dan mukosa sebagai respon imunologis maupun non imunologis. Adanya riwayat medikasi sebelum munculnya keluhan menjadi hal yang penting. Hal tersebut mengarahkan pada suatu keadaan erupsi obat alergik. Ketika pasien tetap mengonsumsi obat, keluhan dirasakan semakin memberat di area yang sama. Hal ini sesuai dengan erupsi obat fikstum dimana pajanan berulang akan menimbulkan lesi pada tempat yang sama dan menambah jumlah lesi di area tersebut. Pada kasus ini pasien sudah mulai mengeluhkan bibir terasa tebal dan panas sehari setelah mengonsumsi obat. Pada EOF munculnya gejala biasanya terjadi 30 menit hingga 8 jam setelah mengonsumsi obat. Pada pemeriksaan fisik ditemukan UKK pada palmar dextra dan sinistra terdapat bula multiple, berbatas tegas, disertai eritem di area sekitarnya dan adanya makula eritema yang di atasnya terdapat erosi mukosa bibir bagian dalam. Penemuan tersebut sesuai dengan manifestasi klinis erupsi obat fikstum karena berupa makula eritema, dapat disertai dengan bula berbatas tegas, dimana area mulut dan telapak tangan merupakan lokasi tersering munculnya lesi. Pada pemeriksaan penunjang darah rutin ditemukan eosinopenia dan limfositpenia menunjukkan adanya proses inflamasi. 7
Dalam kasus ini sebagai penyebab adalah dimenhidrinat yang diberikan sebagai antiemetik, bekerja dengan memblok reseptor H1. Untuk memastikan obat penyebab dari EOF ini lebih baik apabila dilakukan oral challenge test ataupun dengan patch test, terlebih untuk kasus dengan riwayat pengobatan beberapa obat. Namun pada pemeriksaan dengan patch test akan sering menimbulkan hasil negatif. Penatalaksanaan pada pasien ini yang utama adalah menghentikan dan menghindari penggunaan obat yang menjadi penyebab EOF. Kemudian dapat diberikan terapi simptomatis. Pada kasus ini pasien diberikan terapi Infus RL II/24 jam untuk memenuhi kebutuhan cairan tubuh, injeksi metilprednisolon (125mg/8 jam) merupakan kortikosteroid sebagai imunosupressor untuk menekan adanya inflamasi dimana pemberian secara intravena dapat menimbulkan efek terapeutik yang lebih cepat dan baik, Cetirizine (2x10 mg) merupakan antihistamin antagonis reseptor H-1 generasi kedua namun memiliki efek sedatif yang lebih dibandingkan dengan generasi kedua lainnya, paracetamol 3x500 mg merupakan NSAIDs yang dapat berperan sebagai anti inflamasi dan analgesik, omeprazole 1x20 mg merupakan PPI (proton pump inhibitor) untuk menekan sekresi asam lambung mengingat pasien sebelumnya memiliki riwayat pengobatan gastritis dan beberapa obat lain bersifat iritatif terhadap lambung, serta betadine gargle (povidone iodine solution) 3 dd garg merupakan antiseptik yang digunakan untuk berkumur guna eradikasi kuman di dalam rongga mulut. Pasien dirawat inap selama dua hari kemudian diizinkan pulang dalam keadaan membaik. Saat pulang pasien mendapatkan obat berupa metilprednisolon 3x8 mg yang kini diberikan dalam bentuk oral, omeprazole 1x20 mg, paracetamol 3x500 mg, dan azitromisin 1x500
8
mg merupakan suatu antibiotik golongan makrolid yang aktifitasnya terhadap bakteri Gram positif sedikit lebih lemah dibanding eritromisin, tetapi lebih aktif terhadap bakteri Gram negatif seperti Hemophilus influenzae. Pasien dengan EOF dapat membaik spontan secara cepat setelah 1-2 minggu penghentian pemberian obat penyebab EOF. Pemberian terapi simptomatis dapat memberikan kenyamanan untuk pasien dan mempercepat proses resolusi. Namun pada pasien dengan EOF seringkali terjadi komplikasi berupa hiperpigmentasi yang dapat bersifat lambat menghilang. Mengenai alerginya terhadap obat tertentu lebih baik dijelaskan langsung kepada pasien & keluarga serta dituliskan dalam riwayat kartu pengobatan, agar di masa mendatang dapat menghindari penggunaan obat tersebut.
9
BAB IV KESIMPULAN Fixed drug eruption (FDE) atau erupsi obat fikstum (EOF) adalah salah satu bentuk erupsi obat alergik yang memiliki ciri khas lesi berulang pada tempat yang sama setelah pajanan obat penyebab. Diagnosis EOF ditegakkan berdasarkan anamnesa adanya riwayat penggunaan obat sebelum timbulnya lesi dan gambaran klinik yang ditemukan. Manifestasi klinis EOF berupa makula atau plak eritema berbatas tegas, terasa gatal atau panas, dengan disertai atau tidak disertai vesikel maupun bula. Kemudian lesi akan meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama menghilang bahkan menetap. Penatalaksanaan yang dipakai adalah dengan pengobatan kausal berupa mengetahui dan menghindari terpaparnya kembali dengan obat-obatan penyebab dan pengobatan simptomatis berupa pemberian obat-obatan secara sistemis seperti kortikosteroid dan antihistamin maupun secara topikal. EOF bukan merupakan kasus yang mengancam jiwa dimana akan sembuh bila obat penyebab dapat diketahui dan disingkirkan. Namun demikian dilihat dari sudut pandang kosmetik sangat mengganggu dan menimbulkan perasaan tidak nyaman. Jika tidak diterapi secara kausal maka dapat bertambah parah dengan adanya penambahan jumlah lesi.
10
DAFTAR PUSTAKA
Budianti, W. (2018). Erupsi Obat Alergik. Dalam S. Menaldi, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin (hal. 190-195). Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Butler, D. (2018, 06 07). Fixed Drug Eruption. Diambil kembali dari Medscape: http:reference.medscape.com./article/1336702 Giatrakou, S. (2011). Fixed drug eruption caused by dimenhydrinate. Journal of American Academy of Dermatology. Lockwood, S. (2018). Cutaneous Reactions to Drugs. Dalam D. Khan, & A. Banerji, Drug Allergy Testing (hal. 53-72). Elsevier. Mahboob, A., & Haroon, T. (1998). Drugs causing fixed eruptions: a study of 450 cases. Internasional Journal of Dermatology. Shiohara, T. (2018, 02 13). Fixed Drug Eruption. Dipetik 02 03, 2019, dari Uptodate: https://www.uptodate.com/contents/fixed-drug-eruption
11