BERKAWAN DENGAN INFLASI (Peran Masyarakat dalam Mengendalikan Inflasi Daerah) Oleh : Ayu Safitri Dalam teori makro masalah makro ekonomi yang selalu dihadapi suatu negara adalah masalah pertumbuhan ekonomi, masalah ketidakstabilan kegiatan ekonomi, masalah pengangguran, masalah kenaikan harga-harga (inflasi), dan masalah neraca perdagangan. Isu perekonomian yang selalu menjadi perhatian penting dari pemerintahan negara-negara di dunia khususnya negara berkembang yaitu Indonesia adalah inflasi. Inflasi merupakan kenaikan harga-harga umum yang berlaku dalam suatu perekonomian dari suatu periode ke periode lainnya. Inflasi merupakan salah satu indikator stabilitas perekonomian. Jika tingkat inflasi rendah dan stabil akan menjadi stimulator pertumbuhan ekonomi. Setiap kali ada gejolak sosial, politik dan ekonomi di dalam maupun di luar negeri masyarakat selalu mengaitkan dengan masalah inflasi (Mankiw, 2006). Di Indonesia inflasi bukanlah hal yang baru, menurut data Bank Indonesia dalam Seri Kebanksentralan No. 22 yang ditulis oleh Suseno dan Siti Astiyah perkembangan inflasi di Indonesia dari tahun 1953 sampai dengan 2008 mengalami fluktuasi. Perkembangan inflasi ini menyiratkan bahwa terdapat berbagai faktor yang menyebabkan inflasi di Indonesia. Faktor-faktor utama tersebut tidak selalu sama selama periode yang berjalan. Selain karena faktor permintaan dan penawaran, infalsi di Indonesia juga dapat disebabkan oleh ekspektasi atau dalam hal ini disebut inflasi ekspektasi. Ekspektasi tersebut terkait dengan ekspektasi masyarakat dalam pembentukan harga dan upah. Ekspektasi dapat bersifat adaptif (backward expectation) maupun ekspektasi berdasarkan informasi dan kebijakan ke depan (forward expectation). Pengendalian inflasi di Indonesia pada umumnya dilakukan melaui dua cara yaitu dengan menggunakan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Sistem pengendalian yang ada pada pemerintah sudah sangat jelas. Namun, ibarat “Ying” dan “Yang” keselarasan kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat sangatlah dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Seringkali, angka inflasi nasional lebih rendah dibanding inflasi daerah. Seperti contoh pada tahun 2010 Angka inflasi nasional yang dipublikasi Biro
Pusat Statistik (BPS) ternyata lebih rendah dibandingkan dengan inflasi di beberapa daerah. Dari 66 kota basis perhitungan, inflasi nasional pada 2010 mencapai 6,96% atau 31% lebih tinggi dari target UU APBN Perubahan 2010. Beberapa kota bahkan tingkat inflasinya lebih jelek lagi seperti Sibolga mencapai 11,8% (123% dari target nasional) dan Mataram 11,1% (110%). Batam, daerah perdagangan bebas sesuai dengan UU 44/2007 yang semestinya tidak mengalami masalah distribusi, ternyata mencatatkan inflasi yang tidak sebagus harapan yaitu 7,4% atau 40% dari target nasional. Dan masih banyak daerah lagi yang tingkal inflasi daerahnya terbilang lebih tinggi dibanding skala nasional. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan pemerintah tidak selamanya bisa menurunkan tingkat inflasi pada skala yang lebih spesifik dalam hal ini skala dalam suatu daerah. Kebijakan moneter dan fiskal yang diterapkan memang mampu menurunkan tingkat inflasi nasional namun tidak halnya dengan inflasi daerah. Masyarakat tentunya memegang peran penting terkait dengan inflasi daerah ini, karena tingkat inflasi yang tinggi akan berdampak pada tingkat kesejahteraan dan kemiskinan pada masyarakat. Penyebab inflasi daerah juga tak lain dan tak bukan berasal dari masyarakat sendiri. Maka pengendalian inflasi bagi masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, salah satu kendala utama dalam pengendalian inflasi bagi masyarakat ini adalah bagaimana cara masyarakat dalam melakukan pengendalian tersebut? Hal ini kemudian akan dibahas dalam paragraf selanjutnya. Dari berbagai studi, tingkat inflasi 3-4 persen pertahun masih dianggap wajar. Data terakhir pada bulan Oktober 2018 angka inflasi di Indonesia menunjukkan angka 3,16 persen yang berarti bahwa Indonesia masih dalam batas wajar. Namun, realita yang dihadapi dalam masyarakat saat ini bahwa masih tingginya harga pangan. Terbukti dalam salah satu artikel presidenRI.go.id bahwa komoditas pangan menjadi penyumbang inflasi yang cukup besar. Upaya pemerintah dalam mengatasi hal ini sudah dilakukan dengan sedemikian rupa seperti memperbaiki sektor pertanian, produksi, dan lain-lain. Namun, peran masyarakat juga sangat dibutuhkan dalam pengendalian inflasi ini. Salah satu penyebab utama dalam inflasi yaitu jumlah permintaan yang tidak seimbang dengan penawaran begitupun sebaliknya. Hal inilah yang dapat
menjadi kunci peran masyarakat dalam pengendalia inflasi. Masyarakat sebagai konsumen terbesar dalam suatu negara harus bijak dalam berbelanja sehingga akan menekan laju permintaan terhadap suatu barang. Seperti dalam artikel www.satuharapan.com bahwa peran masyarakat dalam laju inflasi cukup sederhana, yakni lewat sikap bijak dalam berbelanja atau membeli sesuai kebutuhan, hal tersebut dikatakan oleh Ketua Tim Asesmen Bank Indonesia Wilayah V Jateng dan DIY Budi Trisnanto ketika mengikuti rapat koordinasi ekonomi, keuangan dan industri daerah (Ekuinda) di Gedung Setda Kudus, Juli 2014. Seringkali pedagang menaikkan harga dengan faktor spekulasi bahwa ketika permintaan akan suatu barang naik maka harga yang ditetapkan juga akan naik sehingga disinilah kunci dari kenaikan harga dalam hal ini inflasi. Sehingga ketika masyarakat bijak dalam berbelanja dan membeli sesuai kebutuhan, pedagang akan lebih cermat ketika ingin menaikkan harga sehingga salah satu faktor dari pemicu kenaikan inflasi dapat dihindari. Selain itu seringkali terdapat pedagang yang “jahil” yaitu pedagang yang menetapkan harga barang dagangan diatas ketentuan HET (Harga Eceran Tertinggi) hal ini perlu ditangani dari pedagang. Budaya jujur sangat penting diterapkan dalam hal ini mengingat kenaikan harga merupakan pemicu inflasi yang paling utama. Seperti yang disebutkan oleh Sekdaprov Sulawesi Utara Edwin Silangen bahwa “Kita diharapkan dapat terus menjaga ketersediaan pangan serta mengajak para pedagang untuk turut membantu dalam upaya pengendalian harga pangan di pasaran, diantaranya dengan tidak menetapkan harga di atas HET jika pangan tersebut sudah ditetapkan HET-nya”. Disinilah peran TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) dalam menghimbau pedagang agar melakukan transaksi dan penetapan harga sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Selain itu dari sisi pedagang lagi yaitu dengan mengutamakan menjual produk lokal atau pangan lokal khususnya bahan-bahan pangan yang menjadi pemicu utama kenaikan inflasi atau yang rentan terpengaruh oleh kenaikan harga. Tidak hanya itu, penimbunan bahan pokok juga tentunya harus dihindari sehingga tidak terjadi kenaikan harga yang sangat signifikan dalam pasar. Juga yang paling penting adalah menjaga kerjasama yang baik antar pelaku usaha/pedagang dengan
TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) sehingga program-program dari pemerintah dapat berjalan sesuai dengan semestinya dan yang terpenting adalah inflasi daerah dapat dikendalikan. Hal selanjutnya dapat meningkatkan peran masyarakat selain dari pedagang adalah juga dari pembeli atau konsumen yaitu dengan mengurangi belanja produk impor dan mengganti dengan berbelanja produk dalam negeri. Dengan berbelanja produk dalam negeri membuat usaha dalam negeri lebih berkembang dan membuat produsen mengurangi pemasokan bahan dari luar negeri atau impor. Ketika impor lebih tinggi juga akan mengakibatkan pada ketidakseimbangan neraca perdagangan dan akan berakibat pada defisit negara. Sehingga belanja produk dalam negeri sangat disarankan selain untuk pengendalian dan pencegahan tingkat inflasi yang melonjak juga membantu produk dalam negeri berkembang serta membantu pertumbuhan ekonomi negara. Dari semua hal-hal yang menyangkut peran masyarakat dalam pengendalian inflasi yang telah disebutkan sebelumnya hal yang tidak kalah penting adalah menerapkan hidup berhemat dan sehat. Dimulai dengan langkah kecil seperti menanam cabai dan bumbu-bumbu dapur sendiri di rumah, karena sesuai data tahun 2016 cabai merah mengambil andil terbesar dalam inflasi (menurut data BPS tahun 2016). Selain itu, menurut data BPS dalam tabel Andil Komoditas Terhadap Inflasi tahun 2016 dan 2017, Administred price atau harga yang diatur pemerintah mengalami kenaikan yang cukup besar. Pengaruh kenaikan listrik secara bertahap, biaya perpanjangan STNK, dan bahan bakar memiliki andil kuat dalam inflasi 2017. Hal yang dapat dilakukan masyarakat adalah dengan lebih sering menggunakan kendaraan umum yang telah disediakan oleh pemerintah, mengehemat penggunaan listrik di siang hari. Rokok juga berperan menjadi andil komoditas terhadap inflasi nomor 2 pada tahun 2016 sehingga kita sebagai masyarakat hendaknya mengurangi konsumsi rokok selain karena pengaruh inflasi, rokok juga telah umum diketahui dapat mengganggu dan merusak kesehatan tubuh. Dengan melakukan upaya-upaya yang telah disebutkan di atas seperti jujur dalam menetapkan harga sesuai ketentuan, menjual dan membeli produk dalam negeri, dan menerapkan hidup hemat dan sehat akan dapat membantu pemerintah
dalam pengendalian inflasi. Seperti kata Sigit Priawan Djokosoetono, Direktur PT Blue Bird Tbk “Jika musuh terlalu kuat, jadikan ia sebagai sekutu atau kawan” dengan mengenal lebih jauh mengenai inflasi, kita sebagai masyarakat dapat mencegah inflasi yang diluar kontrol sehingga kita dapat berkawan dengan inflasi maksud dari berkawan dengan inflasi ini adalah menjaga tingkat inflasi tetap dalam batas wajar, tidak terlalu rendah karena ekonomi akan menjadi “lesu” dan tidak terlalu tinggi karena akan membuat ekonomi kacau (kemiskinan, daya beli menurun, pendapatan rill menurun, dan lain-lain). Maka dari itu cegah inflasi yang terlalu tinggi dengan tidak melawannya namun berkawan dengannya.