Begitu Banyak Uang Receh di Jalanan Begitu banyak uang receh di jalanan. Makanya, jangan salahkan aku kalau hari ini aku mau mengamen. Meski aku bangun agak siang, tapi aku yakin kalau jalalan masih akan ramai sebelum jam 9 pagi. Dan semoga saja, perempatan itu masih padat oleh mobilmobil. Syukur-syukur, kalau mobil-mobil itu kebetulan ditumpangi oleh mereka-mereka yang tidak suka uang receh. Dari jutaan manusia yang menghuni kota Jakarta, banyak diantaranya yang tidak suka uang receh, kurasa. Aku merogoh tas kecil yang biasa diselipkan pada celah dinding yang sudah bolong. Dari dalam tas, aku keluarkan kecrekan yang aku buat sendiri dari kayu, paku dan beberapa keping tutup Fanta. Aku tak perlu merapihkan tempat tidurku. Toh, itu hanyalah tumpukan kardus belaka. Bahkan sepertinya sudah saatnya aku mencari kardus baru yang lebih kering. Karduskardus empuk yang baru saja kutiduri ini, sudah terlalu lapuk dan sedikit basah. Aku tidak mau masuk angin. Karena sekalinya sakit, aku harus sengsara sangat lama. Sementara obat yang layak, rasanya tak mampu aku beli. Aku tak perlu gosok gigi atau mandi sekalipun. Biarlah badanku kotor dan gigiku semakin menguning seperti emas murahan yang ternyata bukan emas, melainkan imitasi. Mungkin orang miskin atau gelandangan seperti aku ini tak perlulah hidup bersih. Kebersihan, kerapihan dan kenyamanan sepertinya seakan menjadi kemewahan bagiku. Tapi walau bagaimanapun, aku butuh makan. Bahkan, perutku pagi ini terasa lapar sekali. Tadi malam, makan malamku direbut secara sepihak oleh Jeki, gelandangan lain yang kurang lebih 3 tahun lebih tua dariku, dengan badannya yang memang terlihat tegap sekali. Dia selalu mengganggu ketenangan kami dengan tingkahnya yang sangat menyebalkan. Seperti yang terjadi tadi malam! Apa dia tidak tahu kalau aku lapar? Tapi, daripada aku harus mencari makanan lagi, aku lebih baik tidur saja! Pagi ini, untungnya, recehan hasil mengamen kemarin masih ada. Aku masih bisa membeli sebungkus nasi pake sayur, tok!! 500 perak!! Sama orang lain harganya mungkin bisa 1000 perak. Tapi buatku spesial! Ibu Gendut memang tahu kalau aku memang tak punya uang. Selesai makan, aku siap menampung uang receh itu. Dengan semangat yang tinggi, aku menghambur ke jalanan dan mulai berbaur dengan teman-teman sekerja, sambil menyapa kanan dan kiri. Setiap lampu itu berubah menjadi merah yang tidak pernah semerah darah, aku bergegas, layaknya orang yang hendak diberi beras. Aku hampiri mobil-mobil yang menderu diam itu. Aku harus bergegas karena begitu banyak yang mengambil jalan untuk mengumpulkan uang receh seperti aku. Tak peduli jika mobil-mobil diam itu menderu marah, menderu bosan dan menderu jengkel. Aku sih tetap berharap bahwa masih akan ada mobil yang menderu pelan dan sedikit merasakan penderitaan, menjadi gelandangan sepertiku. Aku masih terus bergegas karena aku tak mau tertinggal atau kehilangan pelanggan. Kita harus pintar memilih dan mencari peruntungan.
Menjelang siang hari, perempatan itu mulai sepi, sementara para pengamen jalanan sepertinya tak pernah berkurang, malah justru bertambah banyak, saat demi saat. Ada yang membawa gitar, kecrekan, gendang atau hanya sekedar bermodalkan tepukan tangan yang membuat sebal para penumpang dalam mobil itu. Aku lantas mulai keliling. Aku harus keliling!! Tak bisa aku terus di sini. Rezeki itu harus dikejar dan antrian mengamen di perempatan ini panjang sekali. Tak ada pilihan lain selain menyerbu metromini yang tidak terlalu penuh dan berkoar-koar di dalamnya. Sepanjang pengetahuanku, aku bernyanyi dengan segala kemampuanku dan itu sudah sebaik-baiknya. Tetapi dasar manusia tak tahu diri!! Masih saja ada orang yang melihatku dengan tatapan yang sinis sekali. Aku seakan-akan telah mengganggu mereka dengan sangat hebat sekali. Apa benar begitu? Mungkin juga dan aku memang tidak tahu. Tapi aku hanya berusaha, tuan!! Maaf kalau memang aku menjadi duri terus menerus dalam hari-harimu yang lelah!! Aku hanya mau menampung recehan-recehan itu untuk makan, bukan untuk membeli kemewahan. Nantilah, kalau memang uang receh itu masih menyisakan sekeping dua keping untuk belajar berdendang, aku akan belajar, biar laguku tak pernah sumbang lagi! Lantas, begitulah terus kerjaanku di jalanan. Demi uang receh yang memang banyak sekali bertebaran di jalanan. Menjelang sore, aku kembali ke lampu merah dan menjelang tengah malam, aku pulang dengan kotoran di badan yang setebal kaosku sendiri dan tentunya, gundukan uang receh yang menunggu untuk segera kuhitung. Kalau kurasa-rasa, hari ini kantong lusuh ini sedikit lebih berat dibandingkan dengan kemarin. Semoga saja, isinya bukanlah batu yang disisipkan dalam tasku untuk sekedar iseng. ……………………………… Aku terbangun pagi ini dan aku begitu terkejut dan sedih ketika kudapati suaraku ternyata parau dan serak. Aku tidak bisa menyanyi hari ini. Aku bahkan tak bisa berkata ‘selamat pagi, kucing-kucing lapar!’ dengan suara yang lantang dan keras, sebagaimana aku biasa lakukan di hampir setiap pagi. Aku tidak bisa menyanyi hari ini. Aku juga tidak mau memaksakan diri bercuap-cuap dengan suara pas-pasan yang justru akan membuat orang-orang kesal. Tugasku adalah menghibur mereka, sehingga otomatis, uang receh yang kuterima pun memang layak. Dan itu tidak dengan suara yang sedang jelek begini. Tapi aku juga tahu bahwa begitu banyak uang receh di jalanan. Aku tidak boleh diam begitu saja, menyesali nasib. Jakarta selalu datang dengan pagi yang luar biasa. Luar biasa yang menyenangkan maupun luar biasa yang mencengangkan dan hadir sebagai berita buruk.
Aku rogoh lagi tas kecil itu. Kali ini, bukan kecrekan yang aku keluarkan, melainkan sebuah payung lipat yang masih terawat kondisinya. Sebelum melangkah pergi, aku berdo’a dalam hati, semoga hari ini hujan cukup lebat. Ya….semoga saja!! Dalam langkah-langkah kecilku, aku teringat bahwa aku belum makan pagi ini. Penghasilan hari kemarin agak lumayan sehingga tidak ada salahnya kalau aku makan lauk hari ini. Kenyang setelah makan lauk, aku melangkah pasti menuju pertigaan kecil yang tanpa lampu merah itu. Hari ini aku mau jadi polisi cepek, bantuin mobil-mobil di jalan besar untuk masuk ke dalam jalanan yang lebih kecil dan begitu juga sebaliknya. Mobil yang mau berputar pun dipersilahkan mencoba putaran ini, dan aku akan mencoba membantu demi sekeping uang receh. Memang hasil recehan itu seakan tak seberapa, mengingat hasil yang tak terlalu banyak itu masih harus dibagi oleh sekian banyak orang yang menunggui pertigaan ini. Belum lagi, uang jatah preman yang pasti harus disisihkan dari receh-receh itu. Maka dari itulah, aku bawa payung. Seandainya hujan nanti turun, aku bisa langsung menyerbu supermarket itu dan menawarkan jasa payung agar kepala mereka tak basah terkena percikan air hujan yang bisa membuat mereka sakit. Kepalaku, badanku, tak apa bila kena hujan. Sekujur badanku sudah kebal. Terlalu kebal malah. Meski tetap, ada satu hal yang kujaga, yaitu sebagaimanapun hujan deras menimpaku, aku harus mampu bertahan agar tidak sakit. Aku baru peduli kalau aku sakit karena kalau aku sakit, aku nanti mau makan apa. Tidak ada orang di luar sana yang peduli padaku bahkan ketika aku sakit. Orang-orang sepertinya tidak akan merasa kehilangan meski aku mati. Aku tak mau mati!! Aku masih ingin tertawa bersama dunia!! Namun hingga menjelang siang ini, terik panas malah semakin terlihat menguasai selimut atas jakarta atau daerah sekitarku ini. Sementara sebagai polisi cepek, seribu rupiah saja aku belum dapat. Padahal Bang Yoni sebentara lagi bakalan nagih uang makan siang. Kalau begitu jadinya, aku nanti mau makan apa? Untunglah, selepas siang ini mobil-mobil semakin banyak dan setiap aku tawarkan bantuanku, aku selalu mencoba untuk tersenyum sehingga mereka pun terkadang tersenyum padaku sambil, tentu saja, memberi duit receh. Oh, ya!! Sambil menunggu hujan yang biasanya baru muncul menjelang sore, kamu semua mungkin mau mendengar sedikit ceritaku yang kurang lebih menceritakan kenapa aku bisa beranggapan bahwa begitu banyak uang receh di jalanan. Saat itu, usiaku belum genap 9 tahun. Aku sudah menggelandang juga waktu itu tapi belum serajin sekarang. Aku lebih sering bermain dan bercanda.
Hari itu, kebetulan ada seorang lelaki yang secara tiba-tiba, ketika pagi itu belumlah beranjak siang, dan ketika aku sedang duduk membisu di pojokan pelataran parkir, memberikan sesuatu yang dibungkus koran. Aku baru membukanya ketika lelaki itu sudah berlalu. Isinya ternyata satu setel baju, lengkap dengan celananya. Buru-buru saja aku mandi di pancuran kecil, dekat tempat pembuangan sampah. Aku ganti baju kumalku dengan baju baru yang sudah tidak baru lagi, tapi masih bagus kok untuk aku pakai. Setelah rapi, aku pulang ke kardusku dan kusimpan baju lamaku. Aku berniat untuk jalan-jalan ke Plaza hari ini. Mumpung baju ini belum dekil oleh daki, keringat dan debudebu jalanan. Kalau sudah sekali saja aku pakai, sudah kecil kemungkinannya baju itu bersih kembali. Pertama, aku tidak punya waktu untuk mencuci. Kedua, lagipula sabun cuci kini sudah terlalu mahal. Hari itu terasa indah sekali dan beberapa saat sebelum aku pulang, terjadi satu hal yang tak akan pernah aku lupakan. Setelah puas berjalan-jalan, aku melangkah hendak pulang dan melewati pintu kasir. Saat itu, ada seorang ibu-ibu muda yang baru saja menerima uang kembalian dari wanita yang menghitung-hitung di depan mesin itu. Aku terperangah ketika dia dengan sengaja membuang uang receh itu dari sisa kembalian. Dia membuangnya ke lantai tanpa menyentuh sedikitpun untuk lalu memasukkan kembalian uang kertas itu ke dalam dompetnya. Aku kontan saja bergegas mendekati dan memungutinya, satu per satu. Aku tak peduli dengan orang-orang yang menatap aneh ke arahku. Yang penting, recehan itu kini milikku. Empat keping seratusan dan satu keping lima puluhan. Eh…ternyata hujan sudah mulai turun. Lebih baik aku memulai kerjaku hari ini sebagai ojek payung. ……………………… Begitu banyak uang receh di jalanan, tapi apa boleh buat jika ternyata hari ini aku malah sakit dan terbujur lemas di kardus yang semakin basah ini. Mungkin aku terlalu capek kemarin. Atau mungkin, hujan itu terlalu lama mengguyurku sehingga selama berjam-jam aku kuyup oleh air kiriman langit. Hujan itu ternyata telah menyibukkan hariku hingga jauh di malam hari. Aku tiada berhenti dan memang tak mau berhenti untuk meraup recehan itu. Siapa juga mau melewatkan kesempatan emas ini? Semua orang juga tahu kalau menjadi ojek payung itu cukup menggiurkan. Orang rela merogoh selembar uang monyet itu. Kan lumayan buat ngelunasin setoran hari ini. Syukur-syukur kalau bisa nabung!!
Aku tidak menyangka badanku akan panas dingin begini. Biasanya, aku bisa lolos dari sakit. Aku selalu mampu bertahan. Ah, mungkin memang sekarang sudah saatnya. Aku lalu teringat bahwa aku sebenarnya masih bisa mengais uang receh itu. Aku benarbenar tidak mau kehilangan recehan-recehan itu. Mereka sahabatku. Bukankah sahabat selalu membuatmu riang dan tersenyum? Dan aku tersenyum karena recehan itu. Tersenyum karena aku masih bisa menyambung hidup. Aku tahu bahwa ini adalah jalan yang paling hina dan paling aku benci untuk aku lakukan. Tapi aku terpaksa agar recehan itu tidak terbuang percuma dan menguap ke angkasa sehingga melahirkan hujan batu. Aku harus memberikan tempat berteduh bagi recehan itu. Harus dan sangat harus!! Kemudian dengan mata yang sangat sembab dan badan yang ngilu serta panas dingin yang menyiksa, aku bangkit terbangun. Aku buka bajuku dan sekali lagi aku rogoh tas kecilku dan aku cari di dalamnya koleksi bajuku yang paling kotor, dekil dan bau. Aha!! Ini dia! Dan langsung saja kukenakan tanpa bertanya dua kali, atau tanpa ba bi bu. Sayang sekali, disini tidak ada cermin hingga aku tidak tahu bagaimana tampangku sekarang. Dengan badan yang berat sekali untuk kubawa berjalan, aku melangkah keluar dari gubukku. Ah, aku bahkan belum sempat mencari kardus yang baru. Semoga saja hari ini aku dapat satu yang bagus. Jangan-jangan, gara-gara kardus ini sudah lembab sehingga aku sakit. Mudah-mudahan saja aku cukup kuat untuk mencari kardus yang kering itu. Aku terus langkahkan kaki meski sakit menggerogotiku. Aku paham betul bahwa begitu banyak uang receh di jalanan. Daripada aku harus tidur terpekur tak berdaya di kardus kumalku, lebih baik aku tidur di jalanan atau di jembatan penyebrangan dan mengharapkan belas kasih orang-orang yang lewat untuk melemparkan recehannya. Aku tak punya mangkok untuk menampung recehan itu. Aku cukup mencari gelas Aqua kosong untuk kujadikan penadah recehan. Dalam hati, aku tersenyum. Yang kulakukan hanyalah tidur-tiduran dan sesekali meringis. Aku telah menang!! Recehan itu tak akan jauh dariku!! Kesinilah receh-receh!! Datanglah pada Papa!! Ha..ha..ha.. Aku sama-sama mengistirahatkan badanku, baik di kardus kumalku maupun di jembatan penyebrangan ini. Tempat yang sama-sama kotor dan kumuh. Tapi di jembatan ini, recehreceh itu telah menantiku. Aku, tentu saja, tidak akan membiarkan sahabatku sendirian. Jadilah pengemis, aku, hari ini. Nantilah kalau aku sudah punya cukup uang, aku akan beli obat. Nanti jugalah aku ceritakan semuanya karena sejujurnya, masih banyak yang aku lakukan untuk mengumpulkan recehan itu. Hari ini, aku terlalu lelah untuk bercerita lagipula badanku semakin tidak enak begini.
Tapi sebagai perkenalan, ada baiknya kalau aku perkenalkan singkat siapa aku ini. Namaku Didit. Tapi orang-orang memanggilku pitak. Umurku 12 tahun. Badanku kurus kering, hitam dan rambutku lurus kemerahan karena terbakar matahari. Kalau kamu punya kesempatan, tolong carilah aku!! Akan kuceritakan semuanya!! Aku biasa menggunakan baju merah dan celana panjang hitam. Aku biasa ditemukan di lampu merah, pertigaan padat, jembatan penyebrangan, metromini, terminal, pinggir kali..ah..pokoknya di jalananlah!! Tolong carilah aku dan lemparkanlah recehanmu padaku!! Begitu banyak uang receh di jalanan dan kalau salah satunya adalah dari kocekmu, aku tiada pernah sungkan untuk menerimanya.