A. Farid Esak Maulana Farid Esack adalah salah satu dari sekian banyak pemikir islam yang letak tempat lahirnya, terletak di Afrika selatan di Wynberg pinggirawn kota Cape town, Sejak kecil Farid Esack sudah bersentuan dengan pruralitas agama , ia adalah orang sangat beragama dan dan sangat perhatian terhadap lingkungan sekitarnya , dan sangat perhatian atas penderitaan yang di alami masyarakat sekitarnya. Dia terlahir atanpa seorang ayah, bersama dengan lima anak yang lain. Dengan modal yang pas-pasan dan bantuan jamaah tabligh, sebuah organisasi yaqng digelutinya sejak kecil namun ia tinggalkan dan melanjutkan sekolah.di jamaah al-ulum al-islamiah, Karachi Pakistan hingga meraih gelar BA dalam bidang hukum islam. Sembilan tahun dia menghabiskan waktunya untuk belajar dalam bidang teologi dan hukum islam di Pakistan. Ia kembali ke Afrika selatan pada tahun 1982. bersama tiga orang sahabat karibnya, Adli Jacob, Ebrahim Rasolol, dan Samiel Manie dari University Of Western Café. Esack membentuk organisasi the call of islam pada 1984 ia menjadi koordinator nasionalnya. Organisasi in berafiliasi kepada Fron Demokrasi Bersatu yang didirikan oleh berbagai lintas agama untuk menentang apartheid. Pada tahun 1989 ia meninggalkan negrinya untuk beljar hermeneutia Qur’an di Inggris dan hermeneutika Injil di Jerman di University Teologische Hochshul, Jerman, Esack menekuni studi Bible selama setahun, adapun di University of Birmingham di Inggris, Esack memperoleh gelar doktornya dalam bidang tafsir. B. Hermeneutika Pembebasan Farid Esack, antara Fazlur Rahman dan Arkoun Hermeneutika yang berasal dari hermeneunim,yang berarti menafsirkan, Maka kata itu secara harfiah dapat di artikan dengan penafsir atau interpretasi. Istilah yunani ini mengingatkan akan tokoh mitodologis yang bernama Hermes, tugas Hermes adalah menyampaika pesan dari dewa kepada manusia, Hermes mampu mengintrpretasikan pada bahasa manusia , oleh karena itu hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau dari ketidaktauan menjadi sebuah pengetahuan yang mendalam. Istilah hermeneutika secara prinsipil mengacu pada interpretasi tekstual dan problem yang mengelilinya, problem hermeneutika berasal dari fakta bahwa ekspresi manusia secara simultan akrab sekaligus asing bagi pembaca. Memperhatikan hal yang nampak paradoks ini jika teks akan dimengerti mempunyai tugas untuk makna teks kedalam sistem nilai dan pengertian-pengertiannya sendiri. Yang diderevikasikan dari kata kerja yunani, hermeneutika didefenisikan sebagai disiplin intelektual yang berkenaan dengan hakikat interpretasi terhadap ekspresi-ekspresi dan praduga-praduga didalamnya. Sebagai suatu aktifitas interpretatif, perhatian utamanya adalah teks tertulis. Di Afrika selatan, renungan terhadap pandangan al-Qur’an soal hubungan dengan penganut agama lain, kerja sama antar agama, dan kesetaraan gender membentuk dimensi yang sadar dan dinamis dalam kerangka praksis liberatif, kebalikannya juga benar oposisi dari mereka yang menyongsong kebungkaman politis. Dalam situasi berkolaborasi dengan ketidak adilan itu. Bila kolaborasi ini tidak begitu kentara maka afinitas dengan wacana ideologis rezim apartheid tampak jelas tunduk pada teologi konserfatif untuk menghindari fitnah dua kekacauan yaitu apartheid daripada komonisme, dan mempertahankan teologi seksis dan eksklosivis, bukannya refleksi terhadap teks al-Qur’an yang teologis komonitarian. Refleksi tentang hermeneutika al-Qur’an berlangsung dalam konteks yang memiliki sejumlah implikasi siknifikan. Ada persaingan nyata antara makna sebagai senjata pembebasan semua kaum tertindas dan termarjinalisasi, dengan pembelaan sistem sosio-ekonomi yang tak adil dibalik kedok teologi apolitis. Inilah yang menjadi sebuah pertimbangan untuk menyatukan dukungan al-Qur’an terhadap teologi. Hermeneutika dalam pandangan Farid Esack yang mana pemikirannya yang selalu di hantui oeh perhatiannya terhadap lingkngannya yang mengalami ketertindasan dan keterbelakangan akibat kekerasan yang di lakukan oleh negaranya. Sehingga dimana pemikirannya terkontaminasi dengan keadaan yang menyulitkan pemikirannya itu, dimana dia harus memahami al-Qur’an haus
menjawabnya, sehingga teks al-Qur’an haus diangkat, entah dimana al-Quran berbicara tentang keadilan, penindasan, penentangan, perjuangan bersenjata, dan solidaritas antariman, Masyarakat plural, apartheid dan keterbelakangan di Afrika selatan telah menyusun apa yang di sebut dengan hermeneutical circle dalam teologi pembebasan. hermeneutical circle ini secara terus menerus melakukan interpretasi terhadap kitab suci yang dipandu oleh perubahan-perubahan yang berkesinambungan dalam realitas masa kiri, baik individu maupun masyarakat. Persoalan-persoalan yang mendalam dan kaya serta keraguan terhadap situasi yang nyata dan interpretasi yang baru terhadap kitab suci yang juga mendalam dan kaya.inilah yang dinyatakan Segundo. Hal ini menimbulkan perbedaan antara Segundo dan Fazlur rahman secara fundamental hal ini menyangkut keputusan secara sadar untuk memasuki hermeneutical circle didasarkan atas fakta bahwa pilihan politik untuk perubahan adalah unsur intrinsk dari iman. Sementara Rahman menyatakan bahwa metode hermeneutika yang memadai berkaitan khusus dengan aspek-aspek kongnitif dari wahyu, kunci hermeneutika ini adalah iman dan kemauan untuk dibimbing. Tafsir kontemporer memfokuskan pada lingkungan histories wahyu. Sebagai alat paling berharga dalam memahami. Ia mengusulkan alat untuk proses interpretasi yang melibatkan gerakan ganda dari masa kini ke periode al-qur’an dan kembali kemasa kini. Disamping itu bagi Muhammad Arkoun pola penafsiran yang utuh ialah yang melihat keterkaitan dimensi bahasa pemikiran dan sejarah untuk menjalankan penafsiran yang hermeneutis jalan yang ditempuh ialah memilah dan menunjukkan mana teks yang pertama pembentuk dan teks hermeneutik, Arkoun disini ingin mengembalikan pemikiran al-Qur’an terhadap wacana al-Qur’an seperti sedia kala yang terbuka terhadap berbagai pembacaan dan dengan demikian terbuka pula terhadap pemahaman. Arkoun disini juga manawarkan pendekatan hermeutika kontemporer. Ia memandang krisis legitimasi terhadap agama saat ini memaksa para sarjana untuk bicara tentang cara pemikiran yang heuristik. Ia sangat menekankan pendekatan histories-sosiologis-antropologis, tapi juga tidak menolok pendekatan filsafat dan teologi, bahkan ia ingin memperdalam mana islam di praktekkan. Arkoun menyajikan garis-garis pemikiran heuristic fundamental untuk merekaptulasi pengetahuan islam dan menghadapkannya dengan pengetahuan kontemporer garis-garis pengetahuan itu mencakup: Pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui kegunaan yang berubah-ubah, aktivitas, pengalaman, sensasi, observasi, dan lain sebagainya. Setiap kegunaan dikonvensi dalam bentuk tanda dan realitas yang diungkapkan melalui bahasa sebagai sistem tanda. Ini terjadi sebelum interpretasi wahyu. Kitab suci dikomonikasikan melalui bahasa alam yang menggunakan sistem tanda yang mana setiap tanda adalah lokus operasi konvergen yaitu persepsi, ekpresi, interpretasi dan terjemahan yang menandai adanya hubungan antara bahasa dan pikiran. Konsekuensinya bagi pemikiran tradisional tentang wahyu dan bahasa paham kesucian bahasa arab yang dapat dipertahankan dan inti pemikiran islam terwakili sebagai persiapan bahasa dan semantik. Kedua, semua tanda dan simbol adalah produk manusia dalam proses sosial dan budaya yang tak dapat terpisah dari historistis, karena historistis adalah dimensi dari kebenaran, yaitu kebenaran yang dibentuk oleh alat-alat, konsep-konsep definisi dan postulat yang selalu berubah. Ketiga, keimanan tidak ada pada indepedensi manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak Tuhan, tapi ia dibentuk di ungkapkan dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana. Keempat, sistem legitimasi tradisional yang diwakili pemikiran teologi islam klasik dan yurispundensi islam dan pembendaharan katanya tidak mempunyai relevansi epistemologis. Disiplin-disiplin ini terlalu kompromi dengan bias-bias ideologi yang ditekankan oleh kelas penguasa dan para intelektual tukangnya. Aplikasi gagasan-gagasan Arkoun dapat dilihat pada analisis tentang proses wahyu dan cara teks ditulis menjadi kitab yang otoritatif dan suci. Ia membedakan tiga level firman Allah, pertama, firman Allah sebagai transenden, tak terbatas dan tak dikenal oleh manusia sebagai keseluruhan yang diwahyukan melalui nabi. Kedua, manifestasi histories firman Allah melalui firman Allah melalui nabi-nabi, objektivisme teks dari firman Allah telah terjadi Al-qur’an menjadi mushaf dan kitab ini tersedia bagi orang yang beriman hanya melalui versi tertulis yang terpelihara dalam kanun resmi tertutup. Arkoun menjelaskan proses gerak penurunan wahyu dan gerak mendaki dari komonitas yang
menafsirkan menuju keselamatan sesuai dengan perspektif vertical tentang semua kreasi sebagaimana adanya ditekankan oleh wacana qur’ani. Komunitas yang menafsirkan adalah subjek-actant dari keseluruhan sejarah dunia yang yang diwakili, diinterpretasi dan digunakan dalam sebagai tahapan penyelamatan sesuai dengan sejarah penyelamatan yang dikisahkan Tuhan sebagai bagian dari wahyu yang mendidik. Hubungan individu dengan kitab sebagai firman Allah sama dengan hubungan socialpolitik dengan komonitas yang menafsirkan. C. Kritik Farid Esack Terhadap Fazlur Rahman Dan Arkoun Kritikan yang di lontarkan Farid disini merupakan sebuah penyempurnaan atas apa yang telah di lontarkan keduanya, yaitu Farid Esack melihat ada kekurangan pada dua pendekatan diantara Rahman dan Arkoun, menurutnya pendekatan yang dilakukan Rahman kurang apresiasi atas dari ikompleksifitas tugas hermeneutika dan pluralisme intelektual dan intrinsik di dalamnya. Rahman lebih menyesalkan ketundukan islam pada politik daripada nilai-nilai islam daripada politik nilai-nilai islam sejati yang mengendalikan politik, tanpa mengakui dialektika antara keduanya. Ia terlalu menekankan kriteria kognisi dan praksis. Ketiks Rahman mengklaim enam moral dasaral-Qur’an kesadaran akan tuhan dan keadilan akan sosial ia lupa akan sebab-sebab sebab stuktural dari ketidak adilan itu. Bagi Farid Esack salah satu kelemahan dari Fazlur rahman terletak pada terjadinya ambiguitas. Dalam satu sisi Fazlur Rahman mendukung pemahaman yang bersifat tentative sehingga akan memunculkan subjektifitas dalam penafsiran dan tidak akan mencapai kebenaran yang universal, namun pada sisi lain ia menganut madzhab hermeneutika objektif yang menganggap bahwa arti sebuah proposisi merupakan sebuah kebenaran yang universal jadi salah satu kelemahan metodologis Fazlur Rahman terletak pada kurangnya konsistensi. Sebenarnya anggapan akan adanya ke ambiguitasa itu tidak perlu dipertentangkan.adanya unsur subjektifitas itu tidak harus mereduksi penafsiran yang objektif. Toleransi Fazlur rahman terhadap subjektifitas timbul dari kesadarannya bahwa manusia tidak akan pernah mencapai kesempurnaan dan kebenaran mutlak. Meminjam Kamaruddin hidayat , apa yang disebut dengan teologi dan doktri keagamaan tidak pernah lepas dari ketertiban subjektif. Penafsiran dan pemahaman perlu di lakukan secara terus menerus secara objektif dan mengguakan metodologi yang di anggap mememnuhi syarat dan dapat diterima secara intelektual dan keagamaan. Dengan demikian ajaran al-qur’an akan menemukan dinamika yang sebenarnya dalam kehidupan yang terus berjalan. Namun kadangkala unsur subjektifitas pemikirannya terlalu tampak. Menurut esack Fazlur rahman dalam menafsirkan al-quran selalu menyesuaikan dengan ketaqwaan dan keadilan yang merupakan titik perhatiannya, dan melalui ijtihadnya ia mengaplikasikan prinsip wahyu yang progresif agar sesuai dengan tema itu. Dalam satu sisi pandangan farid esack itu mengandung sebuah kebenaran, hal itu dapatdilihat dari penolakan terhadap fazlur rahman tentang konsep syafaat. Sementara itu kritik farid esack terhadap Arkoun lebih ditujukan pada pendapatnya yang menyatakan bahwa pengetahuan sebagai lapisan otoritas diterima dan dihargai, pengetahuan terlepas dari ideologi, mampu menjelaskan formasi dan menguasai pengaruhnya, menurut esack, pengetahuan sebagaiman alat sosial lainnya, disamping dapat netral. Sebagaimanahermeneutika membutuhkan partisiansip secara sadar ataupun tidak. Ternyata farid esack dini ingin menutupi kekurangan-kekurangan rahman dan Arkoun, dengan menawarkan hermeneutika pembebasan nya. Ia yakin bahwa tugas muslim dalam memahami al-qur’an dalam kontek penindasan ada dua hal yaitu: Pertama, untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan tentang fungsi teks sebagai idiologi dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil untuk mengakui kesatuan umat manusia dalam menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidak adilan dari teks maupun mempergunakannya untuk melakukan pembebasan, misalnya hubungan tuhan dengan orang lapar dan ekploitasi. Dimensi teologis ini secara simultan membentuk dan dibentuk oleh aktifitas islamisis dalam perjuangan membentuk keadilan dan kebebasan.
Untuk mencari dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi sosio ekonomi tertentu dan menyorotinya membuka kemungkinan bagi kita untuk menekankan penghargaan atas teks-teks tertentu secara selektif dan arbitler, dan mengeluarkan teks-teks lainnya. Esack melihat ada tiga unsur intrink dalam proses memahami teks: pertama, masuk dalam pikiran pengarang, dalam kasus al-qur’an Tuhan dipandang sebagai pengarang. Muslim perlu masuk kedalam pemikiran sang pengarang. Dalam tradisi mistik dalam al-qur’an terdapat metodologi kesalehan yang dikombinasikan dengan keilmuan untuk melahirkan makna. Oleh karena itu, Tuhan berperan langsung dalam proses pemahaman teks dan menjadikan Muhammad sebagai kunci dalam melahirkan makna. Kedua, penafsir adalah binatang yang dengan banyak beban, partisipasi aktif sang penafsir dalam melahirkan makna darinya dan tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima dan menafsir, dan makna adalah selalu persial. Setiap penafsir memasuki penafsir memasuki proses interpretasi dengan prapemahaman tentang persoalan yang dikemukakan oleh teks. Ketiga, penafsir tidak lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi masa lalu adalah masa kini. Siapapun yang menggunakan bahasa memikul pra pemahaman yang sebagian sadar dan yang sebagian tidak sadar akan sejarah dan tradisi sejarah tersebut. D. Kunci-Kunci Hermeneutika Pembebasan Dalam merefleksikan kunci-kunci hermeneutik yang muncul dari pergulatan Afrika selatan dengan pembebasan dan al-qur’an. Meskipun seorang sadar akan pentingnya hermeneutika dan dengannya memahami al-qur’an, ia masih tidak mampu menjawab ketakutan yang dicemaskan keilmuan tradisional. Dengan demikian Esack memberikan seperangkat panduan-panduan yang ia sebut dengan Kunci-Kunci Hermeneutik. Esak tidak cukup naïf untuk meyakini bahwa ketentuan-ketentun yang ada pada kuncikunci ini akan berujung pada perdebatan. Teologi pembebasan yang diyakini esack adalah salah satu upaya untuk melepaskan agama dari stuktur sosial, politik dan keagamaan yang menuntut kepatuhan mutlak, menuju kearah kebebasan semua manusia dari segala bentuk ketidak adilan dan ketertindasan termasuk dalam hal etnis, gender, kelas dan agama. Teologi pembebasan berusaha untuk meraih hal ini leewat kolaborasi dan kerja sama dengan mereka yang mencari pembebasan social dan ekonomi, sebuah teologi islam merujuk inpirasinya dari alqur’andan perjuangan semua nabi. Hal itu dilakukan dengan memahami qur’an dan keteladanan para nabi dalam suatu proses refleksi teologis bersama dan berkesinambungan demi sepenuhnya peningkatan praksis pembebasan. Kunci-kunci ini tidak bisa diurutkan berdasarkan prioritas kesemuanya saling keterkaitan bagi esack, pada prinsipnya teologi tidak bisa dipisahkan dari ideologi yang merupakan spirit bagi kehidupan duniawi, seperti halnya teks tidak bisa dipisahkan dari konteks.Dua kunci pertama yang di tawarkan esack yaitu taqwa dan tauhid yang ditujukan pada pembangunan moral dan doktrinal untuk menguji kunci-kunci lain, yang mana keduanya merupakan lensa teologis untuk membaca al-qur’an secara umum. Taqwa dalam pengertian Qur’an bahwa seseorang bertanggung jawab kepada Tuhan atas segala tindakannya ini juga menunjukkan akan kesalehan seseorang yang ditimbulkan oleh corak kesadaran akan tuhan tersebut, kesadaran akan tuhan akan mengakui ketidak mampuan individu dan kesementaraan hidup, taqwalah yang bertindak sebagai penghalang untuk menggunakan al-qur’an sebagai sebuah teks yang melegitimasi setiap sikap yang memperturutkan sikap kemauan diri sendiri. Taqwa juga berfungsi sebsgai membangkitkan integritas dan kekuatan karakter yang mencegah ambiguitas beragama dan reaksi penundukan politik, taqwalah yang mendorong penafsir yang terlibat dengan perjuangan keadilan untuk juga memulai suatu proses intropeksi, suatu proses dimana yang berkelanjutan tatkala para aktivis dalam sebuah perjuangan memiliki waktu yang tidak banyak. Ini yang pada gilirannya menyangkutkan penafsir yang terlibat kedalam suatu proses dialektis dari tranformasi personal dan sosio-politis, perubahan yang yang harus terjadi pada sang penafsir dengan
takwanya bukan hanya stuktur yang yang tidak adil yang meyakinkan kita bahwa tatanan yang kita kritik tidak bisa mengatur hidup kita. Al-quran juga menegaskan perlunya suatu komonitas yang atau individu untuk melengkapi diri dengan taqwa demi melanjutkan misi dari nabi pada tranformasi dan pembebasan, menurut al-quran komitmen kepada makhluk tuhan merupakan komitmen terhadap tuhan itu sendiri, namun bukan berarti keduanya memiliki dimensi yang sama , taqwa menurut kaum yang berada di daerah Afrika selatan adalah perjuangan untuk tetap teguh pada komitmen ini semua dimensinya. Kedua tauhid, banyak ayat al-qur’an yang menyatakan langsung ataupun tidak langsung berbicara tentang keesaan tuhan ini , dan tauhd dianggap sebagai fondasi pusat dan akhir dari segala tradisi. Keyakinan bahwa tahid merupakan sebuah jantung bagi pandangan sosio politik yang komprehensif, meski tak sepenuhnya baru telah berkembang pesat pada http://www.blogger.com/posts.g? blogID=4343823044543563796dekade terakhir khususnya pada beberapa aliran ideoligis di Iran yang mencetuskan revolusi 1979 . Tauhid yang digunakan sebagai pandangan hidup oleh penduduk Afrika selatan yang menentang baik pemisahan agama dan politik maupun apartheid sebagai ideologi. Dalam kontek ini tauhid di pandang sebagai sumber ideologis dan kerangka acuan yang bersifat sakral.