Fikrah Edisi 27: Farid Esack; Membebaskan Kaum Perempuan Pemikir Islam lainnya yang memiliki perhatian terhadap perjuangan kaum perempuan adalah Maulana Farid Esack. Di antara sumbangan pemikirannya adalah mengembangkan pembacaan Alquran secara kritis. Ia memperkenalkan hermenetika pembebasan Alquran dalam masterpice-nya; Quran, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Againts Oppression. Oleh penerbit Mizan buku ini diterjemahkan dengan judul Liberalisme, Pluralisme Membebaskan yang Tertindas. Gagasan di dalamnya merupakan kritik atas pemikiran para pendahulunya yang melihat Alquran justru sebagai pelanggeng praktik penindasan dan ketidakadilan. Esack mengkritik teologi yang berkembang di Afrika Selatan, yang disebutnya sebagai teologi akomodasionis, yaitu teologi yang memberi jalan dan membenarkan terjadinya status quo dengan rasisme, kapitalisme, dan totalitarianisme. Oleh karenanya, ia memperkenalkan pemikiran Islam progresif untuk menyampaikan gagasan teologi pembebasan Alquran, sebuah istilah yang sebenarnya tak terlalu ia sukai. Pemikiran Esack tentang hermeneutika Alquran banyak terinspirasi oleh pemikir Barat seperti Gadamer. Menurutnya, sebuah realitas senantiasa mengandaikan adanya pengarang (author), teks, dan pembaca. Sebuah teks selalu berada dalam konteks ruang dan waktu, dimana teks itu lahir. Menurut Esack, menafsir Alquran dalam konteks penindasan bagi seorang muslim memiliki aspek ganda. Pertama, dia harus memperlihatkan bagaimana tafsiran dan keyakinan tradisional atas suatu ayat berfungsi sebagai ideologi yang melegitimasi ketidakadilan. Kedua, mengakui kesatuan umat manusia, mencari dimensi keagamaan atas situasi ketidakadilan dari ayat dan menggunakannya sebagai motor pembebasan (Farid Esack, 2000: 35). Pengalaman Sebagai Yang Tertindas Refleksi pemikiran Esack dipengaruhi oleh jalan hidupnya yang berliku. Lahir pada tahun 1959, tepatnya di Wymberg pinggiran kota Cape Town Afrika Selatan (Afsel) yang miskin. Esack kecil tumbuh tanpa sang ayah. Bersama lima saudaranya, ia hidup terlunta-lunta di Bonteheuwel, sebuah kawasan pekerja untuk orang hitam dan kulit berwarna yang terletak di Cape Flats Afsel. Tidak jarang mereka harus mencari-cari sisa makanan di kotak sampah, atau meminta-minta belas kasihan tetangganya yang beragama Nasrani. Sejak kecil Esack sudah merasakan perlakuan yang tidak adil atas sebuah kenyataan sosial yang menempatkan kulit putih sebagai penentu kebijakan serta membuat kaum kulit berwarna tergusur dari tanahnya sendiri. Kepahitan hidupnya memuncak ketika tahu ibunya juga menjadi korban perkosaan dan tiga lapis penindasan lainnya: apartheid, patriarki, dan kapitalisme. Pengalaman traumatik ini membentuk pribadinya sehingga membenci peminggiran dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Keberpihakannya semakin mengental setelah ia berada di Pakistan dan menyaksikan penindasan yang dialami perempuan-perempuan muslim Pakistan. Di sini, ia seakan menemukan semangat perjuangan yang sama dengan yang terjadi di negerinya, di mana para warga kulit hitam tertindas. Uniknya, di balik setiap kegetiran hidup itulah dia tetap konsisten untuk menempuh pendidikan. Setiap pengalaman eksistensial dalam hidup Esack inilah yang kemudian jadi latar pemikirannya dalam merumuskan berbagai konsep tentang pembebasan minoritas dan perempuan serta mengembangkan gagasan pluralisme.
Konsep pemikirannya seakan mendapat tempat persemaian dalam organisasi The Call of Islam yang giat mengkampanyekan ide-ide pembebasan dan penghargaan atas kemajemukan bagi kaum minoritas dan perempuan. Di organisasi ini, Esack mematangkan konsep teologisnya, hingga jadi sebuah gagasan yang praktis dalam kenyataan. Di sinilah ia ditempa menjadi intelektual organik, seorang sosok yang lahir dari lingkungan nyata. Alquran dan Relasi Lelaki-Perempuan Menurut Esack, tradisi teologi Islam dan kehidupan kultural masyarakat muslim dekat dengan berbagai bentuk praktik ketidakadilan gender. Mulai dari bentuk-bentuk misogini hingga bentuk paternalistik. Kenyataan ini seringkali memperlihatkan ambiguitas umat Islam dalam menafsir Alquran dan Hadis. Di kalangan kaum tradisional sendiri misalnya, terdapat ketakutan yang berlebihan ketika memberikan perlakuan yang baik kepada perempuan. Selain karena pengaruh hegemoni tafsir mainstream tentang perempuan, hal ini juga dipengaruhi kultur patriarkal yang telah lama berurat akar di dalam masyarakat Islam. Melihat kenyataan ini, sebagai seorang muslim, Esack mengaku bertanggungjawab atas dua hal kepada perempuan. Pertama, ia bertanggungjawab untuk memohon maaf (call for forgiveness); kedua, ia bertanggungjawab untuk memusatkan gagasan pembebasan dan keadilan dalam gagasan teologinya (to centre liberalism). Secara kritis, Esack melihat tiga istilah yang biasanya jadi sumber perbedaan dalam menginterpretasikan teks-teks tentang relasi lelaki-perempuan, yaitu kata Qiwamah, As-Shalihat walQanitat, dan Al-Nasyizat. Bagaimana setiap kelompok agama menafsir masing-masing terminologi itu? Apakah mereka memiliki pandangan berbeda terhadap masing-masing kata itu? Esack tidak bermaksud memperlihatkan ketegangan di antara berbagai kelompok ini. Ia hanya ingin memperlihatkan, tafsir terhadap istilah-istilah tersebut akan sangat dipengaruhi oleh perbedaan pendapat pada masing-masing kelompok. Esack meyakini, keadilan dalam relasi lelaki-perempuan bersumber dari ajaran Alquran. Sehingga, dalam konteks ini Esack menawarkan empat pendekatan. Pertama, pendekatan kepada Tuhan. Alquran secara tegas mengajarkan keesaan Allah bagi para pemeluknya adalah cita untuk mencapai ketenangan dalam hidup. Keyakinan terhadap tauhid pada Tuhan akan berarti ketika seorang muslim memperlihatkan keprihatinan terhadap praktik-praktik yang sarat dengan ketidakadilan. Kedua, pendekatan terhadap dimensi kemanusiaan. Alquran menggariskan spririt Allah meliputi seluruh ciptaannya dan diberinya kesucian yang abadi (Qs. 15: 29, 17: 22; 70, 21: 91). Manusia dan seluruh ciptaannya merupakan pancaran dari cahaya suci Ilahi. Karenanya tiap realitas yang merupakan pancaran dari hal yang suci, maka realitas itu suci pula sifatnya. Begitulah status manusia, tidak terkecuali laki-laki atau perempuan. Ketiga, pendekatan terhadap teks dan wahyu. Corak sosio-linguistik dan sosio-kultural dari wahyu Alquran terwakili dalam isi, gaya, tujuan, dan bahasa kitab suci itu sendiri. Kenyataan ini pula yang kemudian membedakan ayat-ayat yang turun di Makkah dan Madinah. Proses pewahyuan, bahasa, dan isinya di satu sisi, berkait erat dengan masyarakat yang menerimanya di sisi yang lain. Alquran dan proses pewahyuannya turun sebagai jawaban terhadap masyarakat tertentu. Selain itu, Penafsiran spirit moral dan hukum dalam Alquran sangatlah membutuhkan pemahaman tentang konteksnya. Keempat, pendekatan terhadap tafsir. Firman Tuhan selalu hadir dalam ruang pencarian. Dan setiap manusia ditantang untuk menginterpretasi firman Tuhan itu. Tidak ada tafsir yang tanpa identitas, dan tidak ada penafsir yang lepas dari identitasnya. Demikian juga tidak ada teks yang lepas dari konteks yang melingkupinya. Dalam hal ini, Esack ingin menegaskan, seseorang ketika membaca ayat-ayat yang terkait dengan relasi lelaki-perempuan, sangat perlu melakukan tafsir ulang dalam berbagai konteksnya.