Bct 2.docx

  • Uploaded by: Nurhayatul Fadzila
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bct 2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,638
  • Pages: 5
CINTA TAK BERTUAN Pagi itu semuanya masih sama. Kontak mu di handphone ku masih saja beku. Ada apa? Salahkah aku?. Semenjak kau pulang sehabis kegiatan diluar kota, kau berbeda atau perasaanku yang berlebihan?. Tapi tidak, kau memang berubah, suara mu tak lagi ku dengar diujung telepon sebelum ku tidur dan senyummu tak lagi menyambangi rumahku. Bukan begini caranya menyelesaikan masalah, membiarkannya mengambang tanpa kata, tanpa jawaban. Kemudian ku beranikan diriku menyapamu. “Hai. Malam ini kamu sibuk ngga. Kita bisa bertemu sebentar?”. Apakah aku menjadi wanita paling sial? Mempertahankan orang yang salah. Atau justru dia yang menjadi pria yang paling sial? telah Menyia-nyiakan wanita sepertiku. Ataukah justru ada wanita lain dihidupmu?. Sudah tiga jam sejak aku mengirim pesan kepadamu, tapi belum juga ku temukan namamu dikolom notification. Padahal kontakmu aktif beberapa menit yang lalu. Kemudian, ku coba menghubungi nomermu, “iya halo, ada apa?”. Ternyata yang mengangkat telfonku bukan kamu. Tapi adikmu, entah adik keberapa. “hm halo. Ferdi kemana ya dek?” belum sempat adikmu menjawab, dari kejauhan ku dengar suaramu, suara yang sangat khas. “Apaan sih, ngga usah angkat telfon Mimi”. Krek. Aku masih terdiam, telfonku belum juga kau matikan. Aku mendengar percakapanmu dan adikmu. “Dek, lain kali ngga usah angkat telfon mimi lagi, dia itu cuma nyusahin” kemudian kau mematikan telfonku, dan juga mematikan handphone mu. Sebenarnya Ada apa? Mengapa kau memilih menjauh? Aku nyusahin?. Bisakah kau jelaskan letak dimana aku menyusahkanmu? Apakah menanyakan kabar termasuk menyusahkan? Sesulit itukah memberi kabar?. Pertanyaanku masih saja mengambang. Sebagai wanita normal, air mataku jatuh. Ku tak bisa menahannya. Janjimu, janji kita seketika terngiang dikepalaku. Bukankah kita akan menghabiskan waktu dikafe di ujung kota itu? Meminum kopi lengkap dengan iringan music jazz, bercerita betapa membosankannya disekolah dengan hanya memandangi papan tulis, kemudian ketika sore hari kita berjalan sambil sesekali menertawakan muka kita yang kusam karena seharian beraktifitas. Ataukah kau sudah lupa? Atau mungkin jawabannya bisa ku temukan dari temanmu? Atau sekedar menemukan potongan-potongan jawabannya. “Rian, tau ngga Ferdi kemana?”. Tanyaku, kemudian ku ceritakan awal kau mulai menjauh. “kok ferdi ngga pernah ngabarin kamu? Padahal tiap hari dia chat-an sama Naya”. Ternyata, dicerita kita, bukan hanya ada aku dan kamu. Atau bahkan sudah tak ada lagi aku. Ada apa? Salahkah aku? Mengapa tak selesaikan saja cerita ini. Menghadapi kenyataan, mulai menghapus mimpi. Benar, cinta itu kadang sangat menyakitkan.

Seharian pikiranku ku bawa berkelana, sekedar mengingat masa-masa saat kita bersama. Hingga aku menyadari, apakah ujungnya hanya ini? Setelah dua tahun kita menghabiskan waktu bersama, kau akhirnya pergi tanpa kejelasan. Kau pergi, memilihnya. Libur panjang sudah dimulai. Lusa aku akan ke luar kota, entah hatiku akan tetap sama atau aku harus memaksa melupakan. Pikiranku terlalu sibuk menyiapkan keperluan ke luar kota. Hingga keesokan harinya, kau menghubungiku. Meminta bertemu ditempat biasa, malam ini. Kau belum tau, aku telah mengetahui kedekatanmu dengan Naya. Mungkin malam ini semuanya akan lebih jelas. Malam harinya, ku biarkan semuanya biasa-biasa saja, tak ku ucap sepatah katapun tentang Naya. “Aku minta maaf, akhir-akhir ini jarang ngasih kabar, aku lagi sibuk”. Setelah itu semuanya kembali normal,sekiranya senyummu kembali hanya untukku. Setelah pertemuan itu, ku kira semuanya akan kembali baik-baik saja. Namun setibaku dirumah, ku tinggalkan handphone ku didalam kamar, ku pikir kita sudah kembali seperti biasa. Aku berbincang didepan rumah dengan nenek. Bercerita tentang masa depan dan mimpi-mimpi apa yang hendak ku capai. Malam itu aku sangat bahagia. Setelah kembali ke kamar, ku dapati namamu tertera di kolom notification, dua pesan belum dibaca, 25 menit yang lalu. “Mim, Mungkin kita sampai sini saja. Aku tak bisa memaksakan hatiku, hatiku tak lagi untukmu. Terimakasih sudah menemaniku melewati dua tahun ini. Maaf jika aku belum bisa buat kamu bahagia” “Mim? Jangan marah ya” Maksudnya apa? Kau minta putus? Sejam yang lalu kita bertemu, bertatap muka, semuanya masih sama. Ternyata benar, Naya telah mengambil alih peranku dihidupmu. Setelah dua tahun, dan kau akhirnya benar-benar pergi. Dugaan ku ternyata salah, malam itu senyummu memang untukku, tapi untuk terakhir kalinya. Aku tak suka bahasa pesan singkat. Terkesan datar, maka ku coba menelfonmu. “Halo di, ada apa?” suara ku jelas, sedang menangis. “Mim, maaf. Tapi kita udah ngga bisa sama-sama lagi. Jangan nangis.” Suaramu juga sangat menyentuh, buat hatiku kembali luluh. Mengapa begitu mudah kau mengakhirinya hanya karena ada sosok yang baru? Takkah kau tau betapa aku menjaga hati, kemudian akhirnya kau sakiti. Malam itu, terakhir kalinya ku dengar suaramu. Kau sungguh-sungguh pergi, membiarkan cintaku tak lagi bertuan. Ku paksakan diriku terlelap dengan rasa dan pikiran yang tak menentu. Esok pagi aku sudah harus ke bandara. Semoga sekembaliku rasanya telah hilang. Sebelumnya kau sudah tau, aku akan berlibur ke luar kota. Tak ada reaksi berarti yang kau berikan setelah ku katakan aku akan pergi. Pagi harinya semua sudah siap, aku ingin pamit pada mu tapi rasanya terlalu berlebihan. Sudahlah, saatnya pergi dan (memaksa) melupakan. “Perhatian, para penumpang pesawat Lion dengan nomor penerbangan J118 tujuan Surabaya dipersilahkan naik ke pesawat udara melalui pintu A12”

Penerbangan kali ini rasanya berat, entah hatiku yang ingin tetap tinggal atau bayanganmu yang sulit ku lepaskan. Tak ada ucapan selamat tinggal, bahkan sapaan singkat. Kau sempurna menghilang. Sesampainya ditujuan, ternyata tempat belajarku mengharuskan mengumpul handphone dan akan dikembalikan ketika akan pulang nanti, itu berarti aku tak memegang handphone dalam waktu satu bulan. Rasanya bahagia, bukankah akan membantu proses melupakannya?. Dan benar saja, hari-hariku berbeda terasa bahagia. Hingga satu bulan tak terasa, handphone dikembalikan. Kenapa ingatanku kembali lagi, bukankah satu bulan ini pikiranku sudah teralihkan. “Hai” “Hai” Setelah handphone ku nyala, ku dapati dua pesan dan satu panggilan tak terjawab, darimu. Harus ku jawab apa ini. Bukankah semuanya sudah berakhir. “ya?” Dan begitulah, entah sebulan terakhir ini kau ada apa dan sedang apa. Mengapa ku rasa dirimu kembali datang? Bukankah kau yang menyudahi duluan? Lantas datang kembali? Tak akan semudah itu. Hari-hari kau mengirimkanku pesan, sebenarnya mau kamu apa. Menyesalkah kamu? “Mim, maaf ya. Aku menyesal, tidak seharusnya aku menyia-nyiakanmu. Bisa ga aku perbaiki kesalahan aku yang kemaren?” Matahari bahkan belum terbit, adzan subuh baru saja dikumandangkan. Sepagi ini kau mengirimkanku pesan. Padahal dahulu, jika bukan aku yang memulai, obrolan tak akan pernah ada. Sepagi ini kau meminta maaf, menyesal lantas meminta kembali. Aku sudah bersusah payah melupakan, takkan ku buat kau kembali dengan mudahnya. Meski sepotong hatiku masih ingin bersamamu. Setahun, sudah setahun aku mencoba melupa, mencaci ternyata diriku selemah ini. Patah hatiku yang pertama, oleh cinta pertama. Aku terpuruk, dan kau sempurna menghilang dari hidupku. Beberapa bulan yang lalu ku tau, kau sudah resmi menjalin hubungan dengannya. Aku menyadari, aku yang salah. Aku menggenggammu terlalu erat. Layaknya pasir, semakin kau menggenggamnya erat, pasirnya akan jatuh. Aku hanya tak ingin kau pergi, tapi akhirnya terjadi juga. Tak banyak ku ketahui tentang hubunganmu dengannya dan aku tak mau tahu. Ku mulai membuka diri, menyadari mimpiku masih banyak, jalanku masih sangat panjang. Hingga suatu hari, aku mencoba menjalin hubungan baru. Ia bukan orang baru, ia temanku namanya Alif. Sehari, duahari, ternyata cara ku salah. Melupakanmu seharusnya tak perlu mengorbankan perasaan orang lain. Ia mencintaiku, tapi hatiku masih untukmu. Hingga, sebelum melangkah terlalu jauh dan rasa sakit akan semakin menghujam, ku akhir hubunganku dengannya. Ia tak bisa banyak menuntut, karena ia tau, dulu seberapa aku berjuang untuk dirimu. Lagi pula tak mungkin teman menjadi kekasih, ketika hubungan berakhir aku akan kehilangan teman dan juga kekasih. Maka dari itu, ku putuskan mengakhiri semuanya.

Sudah dua tahun sejak kita tak lagi menjalin hubungan. Sebelumnya dua tahun penuh kebahagiaan akhirnya berganti dua tahun penuh penyesalan. Aku menyesal? Tidak juga. Kau cukup beriku mimpi. Hingga akhirnya, ku coba mencari peran penggantimu. Ia datang, sosok dari masa lalu yang dulu belum sempat memulai tapi entah kenapa berakhir. Bayangmu tentu sulit ku hapuskan. Tapi ia beriku ruang, aku mulai melupakanmu. Kau tetap ada tapi bukan lagi dihatiku. Namanya kak Gibran, bukan orang baru. Ia hadir tepat sebulan setelah dulu kita menjalin hubungan. “Hai, Mimi kan?” Pesan singkat dari nomor tidak diketahui, setelah ku lihat foto profilnya ternyata Kak Gibran. “iya, kenapa kak?” “udah lama ya kita ga chatan. Sekarang SMA dimana?” Hingga, aku mulai terbuka. Ku coba menjalin hubungan dengannya. Hari-hariku berbeda, ia ternyata berbeda dari dugaanku. Dia sangat perhatian dan aku tak ingin melepaskannya. Saat itu aku masih kelas satu SMA dan dia telah kelas tiga SMA, kita beda SMA dan aku tentunya khawatir. “Aku lagi neduh, disini ujannya gede” “Hati-hati, dua minggu lagikan kakak UN” “Eh pengen cerita, aku abis SMA pengennya daftar Tentara, tapi ayahku nyuruh kuliah aja, ga usah daftar Tentara” Benar, dia sudah akan ujian. Sebentar lagi akan masuk perguruan tinggi. Aku semakin khawatir, apakah rasa sakit ku akan kembali terulang meski dengan orang yang berbeda?. Aku memang terlalu memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Hingga seminggu sebelum ujian, aku memutuskan hubungan kita. Alasannya mudah saja, agar kau fokus UN. Ku tau, kau tak sepenuhnya setuju. “Aku udah UN nih, kita bisa ketemu ga?” Tepat jam 12 siang dihari terakhir kau UN, kau mengirimiku pesan singkat. Tapi, aku sedang dalam perjalanan, besok aku sudah kembali sekolah. Tentunya kita tak bisa bertemu. Kau pasti kecewa, tapi kita tak bisa menyalahkan siapa-siapa. Meski hubungan kita sudah berakhir, kau rajin mengirimiku pesan sekedar menanyakan kabar bahkan bercerita tentang mimpi. “Aku tunggu, sampai kau sudah lulus SMA kecuali kau sudah mendapat penggantiku” Pesan terakhirmu sebelum sekolah kembali dimulai. Aku masih ragu, orang sepertimu tak mungkin bisa menunggu begitu lamanya, tapi benar, setahun setelah kita putus, kau belum juga mencari pengganti.Namun ditahun kedua, kau menghilang dan aku memutuskan kembali dengannya, cinta pertamaku. Entah itu keputusan yang benar atau salah, menerimanya kembali dihidupku. Ia ternyata sudah berubah. Kita kembali seperti sediakala. hingga suatu malam

“Kamu balikan? Selamat ya” Pesan singkat dari kak Gibran, sudah sangat larut malam. Kak Gibran yang dahulu hilang, kemudian datang dan seakan-akan aku yang sepenuhnya berkhianat. Aku tak bisa berbicara banyak, aku memang salah. Saat kau menghilang, aku tak mencari malah memilih pergi. Bagaimana kalau ku akhiri saja cerita tentangnya dan tentangmu?

Related Documents


More Documents from "Khang Nguyen"