Bayu Wijanarko.pdf

  • Uploaded by: Farhan Mazroer
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bayu Wijanarko.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 27,799
  • Pages: 175
ESTETIKA PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA LAKON AMIR HAMBYAH WINISUDHA SAJIAN MUSLIH SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat sarjana S1 Progam Studi Seni Pedalangan Jurusan Pedalangan

diajukan oleh: Bayu Wijanarko NIM 12123113 Kepada

FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2017

ii

ii

iii

MOTTO Jadilah dirimu sendiri untuk meraih cita-cita yang diinginkan.

PERSEMBAHAN Karya ini penulis persembahkan untuk: Orang Tua Bapak Joko Suyono dan Ibu Sunarti Keluarga Endah Puji Rahayu, Diyan Wijanarti, Dhimas Wijanarko, Abdullah Nasih Ulwan Sahabat-sahabat Panji Paramosastro, Suryadi, R. Muh Lutfy Badaralam, Wahyu Bimantoro, Wikan Dwi Setyaji dan teman-teman pedalangan semua Seniman-seniman Blora Ki Muslih, Ki Gondo Martono, Ki Sutaji dan Bapak Karno

iii

iv

iv

v

ABSTRAK Penelitian berjudul "Estetika Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih" bertujuan mengungkap permasalahan tentang: (1) Bagaimana struktur pertunjukan wayang thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dan (2) Bagaimana garap estetik pertunjukan wayang thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Kedua permasalahan tersebut dikaji menggunakan konsep estetika pedalangan, terutama konsep nuksma dan mungguh yang dikemukakan oleh Sunardi. Selain itu, untuk mengungkapkan struktur pertunjukan wayang thengul Blora dikaji berdasarkan struktur dramatik lakon wayang yang dikemukakan oleh Sumanto. Analisis penelitian ini bersifat deskriptif dengan model analisis kualitatif, yang menggunakan teknik pengumpulan data melalui langkah-langkah observasi, studi pustaka, dan wawancara. Data tentang pertunjukan wayang thengul Blora, dan masyarakat pendukungnya disusun secara sistematik dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Pertama unsur estetik wayang thengul Blora dapat diamati melalui bentuk boneka wayang, garap sabet, catur, dan karawitan pakelirannya. Kedua pertunjukan wayang thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih tersusun dari beberapa adegan yaitu; Jejer Sepisan, Kedhatonan, Budalan, Adegan Selapilih, Perang Gagal, Gara-gara, Adegan Padepokan Gurdi, Adegan Candhakan, Adegan Pamungkas. Ketiga berdasarkan analisis estetika dalam pertunjukan wayang thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih, pencapaian nuksma diwujudkan melalui keberhasilan dalang dalam membangun suasana adegan yang regu, greget, dan prenes. Adapun pencapaian mungguh diindikasikan dari keselarasan rasa antara catur, sabet, dan karawitan pakeliran yang disajikan dalam setiap adegannya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa Muslih menyajikan pergelaran wayang thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha dengan menjiwai dan harmonis, sehingga mendapat tanggapan positif dari penonton wayang di Blora.

v

vi

KATA PENGANTAR Puji syukur Alhamdulillahhirobbil'alamin, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkat, nikmat, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi berjudul "Estetika Pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih". Skripsi ini dapat terselesaikan atas bimbingan, bantuan, dan dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Sunardi, S.Sn., M.Sn, yang sudah membimbing penulis dengan penuh kesabaran. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Muslih dan Bapak Sutaji yang telah meluangkan waktu dan menyampaikan informasi demi tersusunnya skripsi ini. Kepada Dr. Suyanto, S.Kar., M.A, disampaikan terima kasih dan rasa hormat yang mendalam, yang telah meluangkan waktu memberikan motivasi, masukan, dan pembenahan untuk kebaikan skripsi ini. Terimakasih juga kepada Prof. Dr. Hj. Sri Rochana Widyastutieningrum, S.Kar., M.Hum, selaku Rektor Institut Seni Indonesia Surakarta beserta Ibu Soemaryati, S.Kar., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Bapak Sudarsono, S.Kar., M.Si, selaku Ketua Jurusan Pedalangan, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan vi

vii

skripsi ini. Bapak Edy Wahyono, selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan pengarahan, semangat, dan dukungan kepada penulis. Bapak dan ibu dosen Jurusan Pedalangan yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan pengalaman kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Surakarta. Bapakku, ibuku dan semua keluargaku, terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang diberikan.

Para

memberikan

narasumber

informasi

dan

guna

semua

melengkapi

pihak data

yang yang

membantu diperlukan,

penuliskan ucapkan terima kasih. Penulis hanya dapat berdoa semoga Allah SWT membalas semua budi baik Bapak, Ibu dan Saudara semua. Penulis menyadari, terdapat kesalahan dan kekurangan pada diri penulis dalam menyusun skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dalam rangka penyempurnaan skripsi ini sangat diharapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Penulis

vii

viii

DAFTAR ISI ABSTRAK KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR CATATAN UNTUK PEMBACA

v vi viii x xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka E. Landasan Teori F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan

1 4 5 6 8 11 15

BAB II UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA A. Asal-usul Wayang Thengul Blora B. Kehidupan Wayang Thengul Blora C. Unsur Pertunjukan Wayang Thengul Blora 1. Dalang, Profil Muslih dan Kelompok Karawitan 2. Peralatan Pertunjukan a. Boneka Wayang Thengul Blora b. Gawangan c. Larapan d. Kothak e. Keprak dan Cempala f. Blencong g. Gamelan 3. Lakon-lakon Wayang Thengul Blora 4. Masyarakat Penanggap

16 21 24 25 28 28 37 38 39 39 40 41 42 51

BAB III STRUKTUR PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA LAKON AMIR HAMBYAH WINISUDHA SAJIAN MUSLIH A. Struktur Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih 53 1. Struktur Adegan 54 a. Bagian Pathet Nem 54 b. Bagian Pathet Sanga 62 65 c. Bagian Pathet Manyura viii

ix

2. Unsur Garap Pertunjukan a. Catur b. Sabet c. Karawitan Pakeliran 3. Struktur Dramatik Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih a. Alur lakon b. Penokohan c. Setting d. Permasalahan dalam Lakon Wayang e. Tema dan Amanat

71 71 75 76 78 80 88 98 101 104

BAB IV ANALISIS ESTETIK PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA LAKON AMIR HAMBYAH WINISUDHA SAJIAN MUSLIH A. Kajian Estetik Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih 108 1. Jejer 108 2. Kedhatonan 115 3. Budalan 119 4. Adegan Selapilih 122 5. Perang Gagal 125 6. Gara-gara 130 7. Adegan Pedepokan Gurdi 133 8. Adegan Candhakan 138 9. Adegan Pamungkas 141 B. Kualitas Dalang 143 C. Tanggapan Penonton 146 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

151 154

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR NARASUMBER WEBTOGRAFI DISKOGRAFI GLOSARIUM

155 158 159 160 161

Lampiran 1 BIODATA PENULIS

165

ix

x

DAFTAR GAMBAR Gambar 1.

Foto Muslih dan Kasdan pada tahun 1999

23

Gambar 2.

Foto Muslih

26

Gambar 3.

Kepala Boneka Wayang Thengul Blora tokoh Prabu Abdul Muntalib dari depan dan samping

30

Gambar 4.

Badan Wayang Thengul Blora dari depan dan belakang

31

Gambar 5.

Pergelangan lengan wayang thengul Blora dan lengan bagian bawah yang dihubungkan dengan tuding wayang.

32

Gambar 6.

Tangkai sogol wayang thengul Blora

33

Gambar 7.

Sumbu sogol

34

Gambar 8.

Foto wayang thengul Blora tokoh Abdul Muntalib

35

Gambar 9.

Foto wayang thengul Blora tokoh Emban

35

Gambar 10. Gunungan wayang Thengul Blora

36

Gambar 11. Foto larapan atas dan bawah, kotak, simpingan kanan dan simpingan kiri, serta tatanan kelir sebelum pementasan wayang thengul Blora dimulai.

38

Gambar 12. Bedhol Kayon

55

Gambar 13. Jejer Puserbumi

56

Gambar 14. Adegan Kedhatonan

58

Gambar 15. Foto Warok sedang menari

58

Gambar 16. Adegan Selapilih

60

Gambar 17. Blethik dan Blegok dalam adegan gara-gara

63

Gambar 18. Adegan Padepokan Gurdi

64 x

xi

Gambar 19. Adegan Candhakan Keraton Puserbumi

65

Gambar 20. Adegan Candhakan II

67

Gambar 21. Amir Hambyah berhadapan dengan pasukan Selapilih

69

Gambar 22. Adegan Pamungkas

70

xi

xii

CATATAN UNTUK PEMBACA Di dalam tulisan ini untuk mentraskrip musikalnya, penulis menggunakan sistem pencatatan notasi berupa titi-laras kepatihan (Jawa) dan beberapa simbol serta singkatan yang lazim digunakan di kalangan karawitan Jawa. Penggunaan sistem notasi, simbol, dan singkatan tersebut digunakan untuk mempermudah pembaca dalam memahami isi tulisan ini. Berikut notasi kepatihan, simbol, dan singkatan yang dimaksud Notasi Kepatihan q w e r t y u 1 2 3 4 5 6 7 ! @ # g : simbol untuk tabuhan instrumen gong n. : simbol untuk tabuhan instrumen kenong [.] : simbol untuk tanda ulang Gd : singkatan dari kata gendhing Pl.

: singkatan dari kata pelog

Sl.

: singkatan dari kata slendro

xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertunjukan wayang dilihat dari jenisnya terdiri dari wayang kulit, wayang golek, wayang orang, wayang beber, dan wayang klitik. Jenis wayang tersebut yang termasuk wayang kulit di Nusantara antara lain wayang gedog dan wayang purwa di Jawa, wayang parwa di Bali, Wayang Sasak di Lombok, Wayang Banjar di Kalimantan dan Wayang Palembang di Palembang. Kemudian yang termasuk wayang golek adalah Wayang Golek Sunda yang bercerita Ramayana dan Mahabarata, Wayang Golek Menak Jawa dengan cerita kepahlawanan Islam, Wayang Cepak Cirebon yang bercerita tentang Cirebon dan penyebaran agama Islam di Jawa Barat dan lain sebagainya (Pandam Guritno, 1988:12-13). Berdasarkan berbagai jenis wayang yang ada di Nusantara ini, salah satu wayang yang sudah jarang ditemukan adalah Wayang Golek Menak Jawa atau disebut Wayang Thengul. Pada zaman dahulu, wayang golek menak dibuat oleh Sunan Kudus. Dalam satu kotak Wayang Thengul terdapat tujuh puluhan tokoh atau karakter wayang. Wayang Thengul terbuat dari kayu yang memakai kostum beludru dengan hiasan mote dan payet, sedangkan pada bagian bawah Wayang Thengul ini memakai pakaian kain batik dengan corak dan motif yang berbeda-beda. Kemudian 1

2

pada setiap karakter Wayang Thengul juga dipakaikan selendang yang ujung selendangnya ada hiasan payetnya (Wijanarko, 2004:25-26). Pergelaran Wayang Thengul menggunakan kelir oblong, dengan simpingan wajah wayang menghadap ke arah penonton. Simpingan Wayang Thengul terdiri dari beberapa baris yang ditata secara bertingkat. Tingkat pertama terdiri dari tokoh wayang golek yang berukuran kecil, kedua berukuran sedang, dan ketiga tokoh wayang yang berukuran besar (Wijanarko, 2004:26). Saat ini Wayang Thengul hanya berkembang di daerah Blora, Bojonegara, Tuban, dan Yogyakarta. Di Nusantara, wayang golek yang berceritakan Menak tidak hanya berkembang di daerah tersebut, tetapi juga terdapat di Kebumen dan sekitarnya. Akan tetapi, di sana wayang golek menak tidak disebut Wayang Thengul seperti di daerah Blora, Bojonegara, Tuban, dan Yogyakarta. Di dalam penelitian ini penulis berfokus pada Wayang Thengul Blora dengan lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Cerita Wayang Thengul Blora tidak berbeda jauh dengan Wayang Thengul di derah lain yaitu bersumber pada Serat Menak, tetapi Wayang Thengul Blora ini juga bercerita tentang Kerajaan Majapahit, Wali Sanga dan Menak Jinggo. Biasanya Wayang Thengul dipentaskan dalam rangka sedekah desa atau upacara-upacara adat masyarakat Blora (Muslih, wawancara, 19 september 2015).

3

Perabot fisik Wayang Thengul Blora tidak berbeda jauh dengan perabot-perabot Wayang Thengul pada umumnya, antara lain gamelan, gawang kelir, sligi, kayu tancapan, tapakdara, placak, pluntur, lampu, kotak, dan simpingan wayang (Sumanto, 2005:7). Hal yang membedakan perabot Wayang Thengul Blora dengan wayang lainnya adalah tempat tancapan wayangnya yang lazim disebut larapan. Biasanya tempat tancapan wayang berasal dari debog, sedangkan Wayang Thengul Blora memakai kayu yang sudah dilubangi. Cepengan yang dipakai untuk menghidupkan Wayang Thengul berbeda dengan cepengan wayang kulit. Apabila dalam wayang kulit ada cepengan methit, cepengan nglengkeh, cepengan micis, cepengan ngepok, cepengan njagal dan cepengan ngrogoh, dalam Wayang Thengul hanya ada satu cepengan yaitu cepengan ngrogoh. Hal ini karena Wayang Thengul digerakkan menggunakan sogol dari bawah yang tertutup oleh jarik wayang tersebut. Di dalam menyajikan catur Wayang Thengul Blora, dalang juga menggunakan garap-garap catur seperti wayang pada umumnya, antara lain janturan, pocapan dan ginem. Akan tetapi kebanyakan bahasanya tidak menggunakan bahasa kawi seperti wayang kulit, akan tetapi vokabuler bahasanya menggunakan logat bahasa daerah setempat atau bahasa pedesaan masyarakat Blora.

4

Menurut Sutaji, salah satu dalang Wayang Thengul yang berada di Desa Jepang Rejo Kabupaten Blora, perbedaan Wayang Thengul Blora dengan Wayang Thengul di daerah lain terletak pada karawitan pakelirannya. Karawitan Wayang Thengul Blora ini mirip seperti irama khas tayub Blora, berbeda dengan Wayang Thengul di Bojonegara dan Tuban yang mayoritas iringannya memakai gaya metaraman (wawancara, 19 september 2015). Beranjak dari keindahan-keindahan tentang pertunjukan Wayang Thengul tersebut penulis merasa bahwa wayang ini menarik untuk diteliti, terutama yang berkaitan dengan struktur pertunjukan, dan garap estetik pertunjukan Wayang Thengul Blora.

B. Rumusan Masalah Berpijak

dari

latar

belakang

tersebut,

dapat

dirumuskan

permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana struktur pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih? 2. Bagaimana garap estetik pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih?

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan umum untuk mengungkapkan keunikan Wayang Thengul Blora. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: (1) Menjelaskan struktur pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. (2) Menjelaskan garap estetik pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan wacana tentang Wayang Thengul Blora yang sudah langka. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat: (a) bagi peneliti, akan memberikan tambahan

wawasan

dan

pengalaman

ilmiah

dalam

mengkaji

permasalahan tentang pertunjukan Wayang Thengul; (b) bagi lembaga (ISI Surakarta), akan memberikan perbendaharaan dokumentasi wacana tertulis mengenai Wayang Thengul Blora; (c) bagi seniman, penelitian ini memiliki kontribusi untuk munculnya karya seni pertunjukan Wayang Thengul baik berupa Wayang Thengul tradisi maupun inovasi, sehingga memperkaya dunia pedalangan; (d) bagi dalang Wayang Thengul, penelitian ini dapat memberikan dorongan semangat supaya terus melestarikan Wayang Thengul Blora.

6

D. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang Wayang Thengul Blora belum banyak dikaji oleh peneliti. Beberapa tulisan yang sudah ada baru sebatas pada mitos dan informasi

awal

mengenai

Wayang

Thengul.

Adapun

estetika

pertunjukkan Wayang Thengul belum pernah diteliti. Beberapa tulisan mengenai Wayang Thengul antara lain: buku Ceritera Wayang Menak oleh Wijanarko (2004). Buku ini memberikan gambaran tokoh-tokoh dalam cerita menak, sumber-sumber cerita wayang menak dan pagelaran wayang menak, baik wayang kulit maupun wayang golek menak. Meskipun sangat terbatas dan hanya memberikan gambaran secara umum, tetapi buku ini tidak membahas tentang estetika pertunjukan Wayang Thengul. "Keberadaan Wayang Thengul Desa Mulyoagung Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro" tulisan Yenni Friske Setiowulan dalam jurnalnya (2015). Artikel ini berisi deskripsi secara umum Wayang Thengul, keadaan ekonomi, pendidikan, budaya dan geografi desa Mulyoagung dan kegunaan Wayang Thengul di Desa Mulyoagung Kecamatan Balen Kabupaten Bojonegoro. Dalam jurnal ini tidak menyinggung aspek estetika Wayang Thengul sehingga berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan.

7

"Wayang Boneka Wong Agung Jayengrana" disertasi Trisno Santoso (2016), memberikan informasi tambahan mengenai cerita wayang menak dan perjalanan hidup Amir Hambyah atau Wong Agung Jayengrana. Akan tetapi di sini tidak mengemukakan analisis estetika lakon Amir Hambyah, sehingga berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan. "Kehidupan Wayang Golek Menak di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta" yang dikaji Dewanto Sukistono (1996). Tulisan ini berisi keadaan daerah Sentolo, unsur-unsur wayang golek Sentolo, perbandingan wayang golek Sentolo dengan wayang golek lain di Jawa Tengah, perjalanan wayang golek Sentolo dan beberapa faktor kemunduran wayang golek menak Sentolo. Dalam tulisan ini sangat membantu penulis untuk mendapatkan informasi mengenai wayang golek menak, akan tetapi di sini juga tidak menjelaskan analisis estetika Wayang Thengul sehingga berbeda dengan penelitian yang akan penulis lakukan. "Sindhu Harjataryono Dalang Wayang Golek Menak dari Daerah Kebumen Sebuah Biografi" yang disusun oleh Bambang Cahyono (1999), membahas tentang sulukan dan karawitan wayang golek menak dan pada Bab IV menyebutkan lakon-lakon wayang golek menak, sehingga tulisan ini berguna untuk menambah perbendaharaan lakon-lakon Wayang Thengul Blora yang memiliki kesamaan sumber cerita dengan wayang golek menak.

8

"Studi Komparatif Sulukan Wayang Golek Cepak Sajian Sawijoyo dan Suharno" oleh Sarjono Goro Saputro (2015), yang berisi bentuk pertunjukan wayang golek cepak secara umum dan garap-garap sulukan wayang golek cepak oleh dalang Sawijoyo dan Suharno. Dalam tulisan ini tidak menyinggung wayang golek menak atau Wayang Thengul. "Peranan Multimedia Pertunjukan Wayang Golek Ajen Lakon Serat Sarwa Karna oleh Ki dalang Wawan Gunawan" yang disusun oleh Yayat Hadiyat K (2006). Penelitian ini berisi Kemunculan wayang golek ajen, inovasi dalam wayang golek ajen dan peran multimedia dalam pertunjukan wayang golek ajen. Pada seluruh kajian-kajian terdahulu ternyata belum banyak orang yang meneliti tentang Wayang Thengul terutama Wayang Thengul Blora, sehingga masih banyak aspek Wayang Thengul yang perlu diteliti. Dengan demikian penulis akan meneliti studi tentang pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. E. Landasan Teori Wayang Thengul Blora adalah salah satu kesenian wayang golek khas di kabupaten Blora. Meskipun berbentuk wayang golek, tetapi wayang ini mempunyai keunikan yang berbeda dari Wayang Golek Sunda, Kebumen, cepak dan Wayang Thengul dari kota lainnya. Untuk

9

mengkaji tentang keindahan pertunjukan Wayang Thengul Blora ini, penulis menggunakan konsep estetika pedalangan. Untuk mengungkapkan aspek estetik pertunjukannya, dalam mengamati Wayang Thengul tidak dapat dipisahkan dari komponen dasar pembentukan dramatisasi pergelaran yang terbingkai dalam struktur dramatik pakelirannya. Menurut Sumanto struktur dramatik lakon adalah sebuah bangunan teatrikal lakon yang tersusun dari serangkaian adegan yang terjalin baik secara kausalitas maupun linier. Adegan-adegan itu terbentuk dari kesatuan garap unsur pakeliran meliputi catur, sabet dan karawitan pakeliran dengan menghadirkan figur wayang sebagai aktualisasi tokoh-tokoh yang berperan dalam lakon tersebut. Adapun unsur lakon wayang antara lain; alur lakon (jalannya cerita), penokohan (karakterisasi atau perwatakan tokoh-tokoh yang hadir di

dalam

lakon),

setting

(ruang,

waktu

dan

suasana),

konflik

(permasalahan dan penyelesaian), tema dan amanat (2011:28-30). Konsep estetika pedalangan yang penulis pakai dalam penelitian ini adalah konsep dasar estetika yang telah dikemukakan oleh Sunardi (2013) dalam bukunya yang berjudul Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertujukan Wayang. Nuksma mengarah pada ketepatan rasa estetik dalam pergelaran wayang. Hal ini dapat tercapai jika dalang mampu menampilkan pergelarannya dengan, kasarira, krasa, urip dan semu, sehingga tampillah suatu pergelaran wayang yang menarik dan

10

memukau bagi penonton wayang. Mungguh mengandung arti pantes, nalar dan trep yang di dalamnya terdapat jalinan, keutuhan, keselarasan, ketepatan garap pakeliran dengan takaran sosial budaya masyarakat Jawa. Mungguh terbentuk karena adanya motivasi, alasan, maksud, dan tujuan yang tercermin dalam garap pakeliran oleh dalang. Konsep nuksma dan mungguh merupakan pernyataan kualitas estetik tertinggi yang dicapai dalang. Di samping itu konsep nuksma dan mungguh juga menjadi konsep kunci bagi penonton wayang untuk memberikan penilaian yang proporsional terhadap suatu pagelaran (Sunardi, 2013:163). Adapun indikasi nuksma dan mungguh pada garap pakeliran yang disajikan dalang dapat diamati melalui catur, sabet, dan karawitan pakelirannya. Di dalam catur, nuksma dan mungguh diindikasikan dari keselarasan dan kesatuan kata yang membentuk kalimat yang bermakana. Kalimat-kalimat dalam pedalangan biasanya disebut dengan sastra pedalangan, di dalam sastra pedalangan tersebut ditemukan undha usuk basa (tingkatan bahasa), purwakanthi, gaya bahasa dan bahasa khusus lainnya. Undha usuk basa dapat diamati dari ginem wayang yang memiliki perbedaan antara ginem tokoh satu dengan tokoh yang lain. Sedangkan untuk menambah kesan estetik pada janturan, pocapan, ginem, dan cakepan biasanya dalang menggunakan gaya bahasa yang hiperbola, repetisi, personifikasi dan lain sebagainya (Sunardi, 2013:177-178).

11

Di dalam sabet wayang nuksma dan mungguh diindikasikan dari solah wayang, vokabuler gerak, dan penataan tampilan wayang yang sesuai dengan karakter serta suasana peristiwa yang ditampilkan.

Adapun

indikasi nuksma dan mungguh pada karawitan pakeliran adalah terbentuknya suasana greget, prenes, sedhih, dan regu yang dapat memperkuat suasana yang diingkan dalang dalam sajian lakon wayang (Sunardi, 2013:180-181). Adapun keberhasilan rasa estetik nuksma dan mungguh dalam pertunjukan Wayang Thengul dapat diamati dari sajian dalang yang menjiwai catur, sabet dan karawitan yang ditampilkan, sehingga penonton dapat menghayati sajian tersebut dan membuat penilain dari pergelaran yang disajikan (Sunardi, 2013: 343-345). Bertolak dari pemikiran-pemikiran tersebut penulis ingin mengupas keindahan-keindahan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha

sajian

Muslih

menggunakan

konsep-konsep

estetika

pedalangan. F. Metode Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan model analisis kualitatif, yaitu memberikan gambaran secara sistematis dan objektif terhadap Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambayah Winisudha sajian Muslih serta memberikan analisis estetika Wayang Thengul Blora. Untuk

12

mendapatkan data yang tepat dan sesuai dengan data yang diperlukan dalam penelitian, maka teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan langkah-langkah observasi, studi pustaka, wawancara. 1. Observasi Di dalam penelitian

ini, untuk

mendapatkan data peneliti

mangamati rekaman video dan foto yang sudah ada. Pengamatan ini dilakukan peneliti terhadap rekaman audio visual Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Pergelaran tersebut disajikan di Pendapa Balai Desa Kemiri Kecamatan Jepon Kabuten Blora dalam rangka memperingati hari jadi desa. Rekaman audio visual ini menjadi data utama dalam penulisan penelitian ini. Selanjutnya untuk memperkuat data utama dan sebagai data pendukung atau tambahan, penulis juga mengamati rekaman audio visual Wayang Thengul Blora sajian Muslih, akan tetapi dalam lakon-lakon yang berbeda. Seperti lakon "Dumadine Kraton Kohkarib" dan "Menakjingga Gugur". Meskipun hanya sedikit, sekiranya dapat menjadi bahan pendukung untuk mengamati estetika pertunjukan Wayang Thengul Blora dalam lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih yang menjadi sasaran utama dari penelitian ini.

13

2. Studi Pustaka Saat ini sudah jarang sekali ada pertunjukan Wayang Thengul. Oleh karena itu untuk memperkuat penjelasan tentang penelitian Wayang Thengul ini, penulis melakukan pengumpulan data melalui studi pustaka. Dalam studi pustaka penulis mengumpulkan dan mereview berbagai tulisan yang berkaitan dengan Wayang Thengul terutama Wayang Thengul Blora. Disamping itu studi pustaka juga dilakukan pada sumbersumber tertulis mengenai konsep-konsep estetika pedalangan untuk mengetahui implementasinya dalam Wayang Thengul Blora ini. Tulisan ini berupa skripsi, thesis, disertasi, dan buku-buku yang diharapkan dapat menunjuang penelitian. 3. Wawancara Wawancara dilakukan penulis kepada para dalang-dalang dan seniman Blora yang bersangkutan dengan pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Di samping itu wawancara ini juga berfungsi untuk melengkapi data-data yang didapat dari kepustakaan dan audio visual. Narasumber utama dalam wawancara ini adalah dalang yang menyajikan pergelaran Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha yaitu Muslih. Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber lain yang mengetahui proses penggarapan pakeliran

14

Wayang Thengul, seluk beluk Wayang Thengul dan penerapan estetika pedalangan terhadap pagelaran Wayang Thengul Blora. Wawancara dilakukan

secara

mengungkapkan

bebas,

sehingga

ide-idenya

yang

narasumber

berkaitan

dapat

dengan

leluasa

pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan. Selanjutnya jawaban narasumber direkam dan ditulis

dalam

buku

catatan

penelitian,

sehingga

mempermudah

pengecekan. 4. Analisis data Data yang diperoleh kemudian ditunjang dengan tinjauan sumber atau studi pustaka, wawancara dan dokumentasi selanjutnya dianalisis. Dalam tahap ini data kemudian dikelompokkan serta diseleksi sesuai keterkaitannya

dengan

mempermudah

kajian

permasalahan. dan

Hal

pengambilan

ini

dilakukan

kesimpulan

untuk akhir.

Pengelompokkan data tersebut antara lain: a. Tahap reduksi yaitu merangkum, menambah dan mengurangi data untuk mendapatkan gambaran umum tentang pertunjukan Wayang Thengul Blora. Kemudian mengamati video pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih untuk menganalisis struktur adegan dan struktur dramatiknya. Selanjutnya menganalisis garap catur, sabet, dan

15

karawitan pakeliran yang disajikan Muslih menggunakan konsep estetika pedalangan nuksma dan mungguh. b. Penarikan kesimpulan dari semua data yang sudah disusun secara jelas dan sistematis.

G. Sistematika Penulisan Bab I pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, dan metode penelitian. Bab II Wayang Thengul Blora, yang berisi; Asal usul Wayang Thengul Blora, kehidupan Wayang Thengul Blora, lakon-lakon Wayang Thengul Blora dan unsur pertunjukan Wayang Thengul Blora. Bab III Struktur Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih, yang berisi; Struktur adegan Lakon Amir Hambyah Winisudha pathet nem, pathet sanga dan pathet manyura, unsur garap pertunjukan dan struktur dramatik pertunjukannya. Bab IV Analisis estetik pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dengan kosep estetika pedalangan. yaitu konsep mungguh dan nuksma, kualitas dalang dan tanggapan penonton. Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

16

BAB II UNSUR PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA A. Asal-usul Wayang Thengul Blora Wayang Thengul atau wayang golek adalah wayang yang terbuat dari kayu yang diukir dan dipahat menjadi beberapa bagian: kepala, tangan yang diberi tuding (tongkat kecil). Antara kepala dengan badan wayang dihubungkan melalui sogol atau kayu penghubung yang berfungsi sebagai pegangan dalang untuk memainkan boneka wayang golek. Kemudian boneka wayang tersebut diberi pakaian, sabuk, serta dilengkapi dengan keris dan sampur. Setalah itu wayang tersebut diberi perhiasan berupa gombyok sumping, kalung ulur, dan gelang (Soetarno, 2007:142). Asal-usul Wayang Thengul dapat dirunut berdasarkan makna kata "thengul", "golek" dan "golekan" serta keberadaan sejarah wayang golek di Nusantara. Wayang golek dalam bahasa Jawa terdiri dari dua kata yaitu "wayang" dan "golek". Kata "wayang" berarti wewayanganing aurip yaitu simbol kehidupan manusia yang terstruktur sejak di dalam kandungan, lahir, dewasa, dan sampai manusia itu meninggal (Solichin, dkk.,2016:21). Sedangkan kata "golek" memiliki arti mencari atau "golekan" yang berarti boneka. Dari makna kata gambaran suatu kehidupan dan boneka atau mencari di atas, kata wayang golek dapat diberi makna suatu boneka

16

17

yang menggambarkan kehidupan di dunia, serta dipentaskan seorang dalang berkeliling antar desa untuk mencari sesuatu. Menurut Sri Mulyono kata "golek" dalam bahasa Bali berasal dari kata gulik (berputar), gilik (memutar), golak (mencari sesuatu) dan gulakgulik (membalikkan diri). Adapun dalam bahasa Sunda "golek" berasal dari kata gulak-galek (saling berpelukan), bolek (berkumpul mengitari). Oleh karena itu Sri Mulyono meyimpulkan bahwa nama wayang golek diambil dari bentuk bonekanya yang terbuat dari kayu dan memakai pakaian kain dan

baju

sehingga

perlu

diputar-putar

untuk

menggerakkannya

(1982:154). Menurut Bausastra Jawa yang disusun oleh Balai Bahasa Yogyakarta Wayang Thengul berasal dari kata thengul atau thengulan yang berarti boneka (2011:719). Dari arti kata tersebut dapat ditarik suatu pemahaman bahwa arti kata thengul sama dengan arti kata golek. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Wayang Thengul adalah salah satu wayang golek yang ada di Nusantara. Pendapat lain menyebutkan bahwa Wayang Thengul berasal dari kata methentheng dan methungul yang berarti berat dan muncul. Wayang ini memiliki arti demikian karena Wayang Thengul saat digerakkan memiliki masa yang berat karena terbuat dari kayu, sehingga dalangdalang yang mementaskannya memerlukan tenaga ekstra (Muslih, wawancara, 19 september 2015).

18

Sumber yang menyebutkan mengenai sejarah keberadaan wayang golek yang ada di Nusantara salah satunya adalah menurut M.Ng Atmotjendono yang dikutip Soetrisno menyatakan bahwa pada tahun 1659 seni berkembang di keraton dan di luar keraton. Pada masa tersebut di dalam Keraton Kartasura sedang membangun dan menyempurnakan seni pertunjukan istana. Sedangkan di masyarakat atau di luar keraton banyak seni yang datang dari pesisir salah satunya adalah wayang golek purwa dan wayang golek menak yang datang dari Kudus. Akan tetapi hadirnya wayang golek tersebut membuat para ulama tidak senang karena bentuknya yang menyerupai manusia yang dianggap haram untuk ditiru, oleh sebab itu wayang golek tidak berkembang di daerah Keraton Kertasura dan sekitarnya (1970:3). Sumber tertulis yang mengemukakan munculnya wayang golek adalah Serat Sastramiruda dan Serat Centini. Dapat diketahui dari Serat Sastramiruda yang menyebutkan bahwa: "Ingkang Sinuhun ing Kudus anganggit wayang golek mirit lalakoning wayang purwa, tatabuhané gamelan sléndro, rebab, kendhang, kethuk, kenong, kecèr, egong. Sinengkalan: Wayang Sirna Gumulunging Kisma = 1506" (Kusumadilaga 1930:14). "Sunan Kudus membuat wayang golek, meniru cerita wayang purwa, iringannya gamelan slendro, rebab, kendang, ketuk, kenong, kecer, gong. Pada tahun Jawa 1506 atau 1584 Masehi". Di dalam Serat Centini dikemukakan hal yang sama dengan Sastramiruda, hanya saja dalam Serat Centini berbentuk tembang (tembang

19

salisir) sedangkan dalam Sastramiruda berbentuk gancaran. Dalam Serat Centini menyebutkan bahwa: "Jeng Sunan ing Kudus iyasa wayang golèk saka wreksa, mirit lakon wayang purwa, saléndro gamelanira. Among kenong egong kendhang, kethuk kecèr lawan rebab, nuju sengkalaning warsa, wayang nir gumulunging kisma: 1506"(Kamajaya, 1986:201). "Sunan Kudus membuat wayang golek, meniru cerita wayang purwa, iringannya gamelan slendro, rebab, kendang, ketuk, kenong, kecer, gong. Pada tahun Jawa 1506 atau 1584 Masehi". Di Dalam Serat Sastramiruda tertulis Wayang Sirna Gumulunging Kisma, sedangkan dalam Serat Centini tertulis Wayang Nir Gumulunging Kisma. Jadi menurut Sastramiruda dan Centini, wayang golek muncul pada abad ke XVI atau tahun 1506 Jawa atau 1584 Masehi. Di samping itu, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa wayang golek berasal dari wayang China yang disebut "ko-lei-hi". Hal ini dikarenakan wayang China menggunakan tongkat yang disambungkan ke bagian kepala boneka wayang tersebut untuk menggerakkannya, serta tangan wayang "ko-lei-hi" juga menggunakan tuding. Pada zaman dahulu pertunjukan wayang "ko-lei-hi" dibawa oleh orang-orang China yang beragama Islam ke pantai utara Jawa Timur dan kemudian ditiru oleh orang Jawa dan terciptalah wayang golek yang merupakan wujud lain dari wayang "ko-lei-hi" bagi orang Jawa (Setiodarmoko, 1988:14). Inilah sebabnya di daerah Tuban, Bojonegara, dan Blora berkembang Wayang Thengul yang juga implementasi dari wayang golek.

20

Setelah wayang golek berkembang di Nusantara, pada setiap kota mempunyai penyebutan-penyebutan tersendiri mengenai wayang golek. Di Cirebon, wayang golek disebut wayang golek papak. Kata papak dalam bahasa Cirebon mempunyai arti "sama", maksudnya wayang golek tersebut apabila dilihat bentuk, busana dan mukanya sama dengan manusia. Biasanya wayang golek papak ini disajikan saat upacara khitanan atau pemotongan ujung parji (dipapak), kemudian saat melakukan potong gigi atau gusaran yaitu giginya diratakan (dipapak), serta melakukan potong rambut/diparas (dipapak). Dalam upacaraupacara di atas selalu dipertunjukan wayang golek, oleh karena fungsi ritual pertunjukan tersebut maka wayang golek di Cirebon disebut wayang golek papak (Pekan Wayang V, 1988:3). Di Blora, wayang golek mempunyai sebutan Wayang Thengul. Menurut Sutaji salah seorang dalang Wayang Thengul di Desa Jepang Rejo Kabupaten Blora, asal mula wayang golek di Blora diberi nama Wayang Thengul dikarenakan pada zaman dahulu dalang wayang golek dianggap masyarakat sekitar tidak hanya menguasai seni pedalangan dan karawitan, tetapi juga menguasai segala ilmu. Seperti ilmu pengobatan, ramalan, agama, pertanian, politik, ekonomi dan lain-lain. Sutaji berpendapat bahwa kata thengul berasal dari kata pantheng pangolahé yang artinya sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Hal ini dimaknai orang yang menjadi dalang Wayang Thengul saat itu bukan orang

21

sembarangan, sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk bisa membantu masyarakat dalam segala hal, seperti menyembuhkan penyakit, memimpin ritual, menolong orang kesusahan dan lain sebagainya (wawancara, 29 Maret 2016).

B. Kehidupan Wayang Thengul Blora Pada tahun 1960 sampai 1990-an, kehidupan Wayang Thengul Blora mengalami masa-masa kejayaannya. Dalang Kasdan adalah satu-satunya dalang Wayang Thengul yang ada di Blora waktu itu. Dia adalah putra dari Dalang Kosim yang juga seorang Dalang Wayang Thengul di Blora. Pada tahun tersebut, saat bulan-bulan baik, seperti bulan Dulkaidah, Sapar, Besar,

Mulud

dan

lain

sebagainya,

Kasdan

tidak

pernah

libur

mementaskan Wayang Thengul di daerah Blora. Biasanya Kasdan mementaskan Wayang Thengul untuk memperingati acara pernikahan, khitanan, sedekah desa, nazaran dan lain sebagainya kecuali tingkepan bayi. Karena masyarakat Blora mempunyai kepercayaan saat mereka mementaskan Wayang Thengul dalam rangka thingkepan mereka akan menjadi sial, hal ini diyakini dengan alasan bentuk Wayang Thengul yang tidak mempunyai kaki jadi akan membuat bayi tidak bisa berjalan atau sulit mencapai cita-citanya (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016). Setelah Kasdan meninggal dunia sampai sekarang, dalang Wayang Thengul di Blora hanya tinggal empat orang, yaitu Muslih dari Desa

22

Kemiri Kecamatan Jepon, Joko Murwanto dari Desa Tempur Rejo Kecamatan Boko Rejo, Sutaji dari Desa Jepang Rejo, dan Puji Santoso dari Pelem Doplang (Karno, wawancara, 19 September 2016). Keempat dalang tersebut merupakan murid dari dalang Kasdan. "Dalang-dalang Wayang Thengul sing énék ning Blora iki mas, mbiyén kabéh nyantrik é ning Pak Kasdan. Amarga ya mbiyén dalang Wayang Thengul ning Blora énék é mung iku mas". Dalang-dalang Wayang Thengul yang ada di Blora saat ini dulunya belajar mendalang pada Dalang Kasdan karena pada saat itu dalang Wayang Thengul yang ada di Blora hanya dalang Kasdan saja (Muslih, wawancara, 19 september 2015). Seperti halnya dalang Kasdan, keempat dalang tersebut pada tahun 2000-an

juga

mendapat

banyak

tanggapan

untuk

mementaskan

pertunjukan Wayang Thengul di daerah Blora. Keempat dalang tersebut mendapat tanggapan untuk memperingati pernikahan, khitanan, dan sedekah desa. Dalam pementasannya, perabot fisik yang digunakan keempat dalang tersebut

adalah

perabot fisik Wayang Thengul

peninggalan Kasdan, yang meliputi gamelan, wayang, kotak, dan larapan. Karena banyaknya pementasan Wayang Thengul pada tahun-tahun tersebut akhirnya Sutaji, dalang Wayang Thengul dari Desa Jepang Rejo, membuat Wayang Thengul untuk menambah perbendaharaan boneka Wayang Thengul di Blora. Sampai sekarang Sutaji merupakan satusatunya dalang yang menjadi pengrajin Wayang Thengul di Blora (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016).

23

Gambar 1. Muslih dengan Kasdan pada tahun 1999 (Foto: Koleksi Muslih).

Pada tahun 2010 sampai sekarang (tahun 2016) pementasan Wayang Thengul Blora mulai mengalami kemunduran dan semakin jarang ditemui, kecuali dalam acara yang berkaitan dengan bersih desa dan nadzaran. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi menurunnya jumlah pementasan Wayang Thengul di Blora adalah sebagai berikut:

24

1. Wayang Thengul Blora kalah bersaing dengan pertunjukan wayang kulit, dangdut, campur sari, tayub, kethoprak, dan barongan yang ada di Blora. 2. Berkembangnya agama Islam yang sebagian besar pemeluknya melarang boneka berbentuk manusia dipentaskan dalam suatu pertunjukan. 3. Tidak adanya regenerasi atau sanggar yang mendidik anak-anak untuk belajar Wayang Thengul Blora. 4. Umur dalang-dalang Wayang Thengul Blora yang sudah tua, sehingga menurunkan minat masyarakat untuk melihatnya. 5. Semakin majunya teknologi dan komunikasi yang menyebabkan ideologi pemuda dan orang tua di Blora berbeda, kaum muda beranggapan bahwa Wayang Thengul itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. (Sutaji, wawancara, 29 Maret 2016).

C. Unsur Pertunjukan Wayang Thengul Blora Unsur pertunjukan Wayang Thengul Blora tidak berbeda dengan unsur pertunjukan wayang pada umumnya. Adapun unsur-unsur yang membangun pertunjukan Wayang Thengul Blora antara lain dalang dan kelompok karawitan, peralatan pertunjukan, lakon Wayang Thengul Blora dan masyarakat penanggap Wayang Thengul Blora.

25

1. Dalang dan Kelompok Karawitan Kata dalang mempunyai arti orang yang memainkan wayang atau orang yang bertanggung jawab memimpin jalannya pertunjukan wayang. Di dalam pertunjukan wayang, dalang merupakan tokoh sentral yang bertanggung jawab terhadap seluruh pergelaran yang berlangsung, baik dalam iringan pakeliran, penyaji pergelaran, sebagai sutradara, sebagai pendidik penonton, sebagai penghibur, dan pemimpin artistik. Para seniman dalang menyadari bahwa pertunjukan Wayang Thengul Blora mempunyai teknik sajian khusus. Selain dalang harus menguasai Serat Menak sebagai sumber ceritanya, dalang juga dituntut menguasai sabet, karawitan pakeliran dan sulukan Wayang Thengul Blora. Sampai sekarang dalang Wayang Thengul Blora hanya tersisa empat orang, yaitu Muslih dari Desa Kemiri Kecamatan Jepon, Joko Murwanto dari Desa Tempur Rejo Kecamatan Boko Rejo, Sutaji dari Desa Jepang Rejo dan Puji Santoso dari Pelem Doplang. Hal ini dikarenakan Wayang Thengul yang merupakan seni kerakyatan dan tidak berkembang di keraton membuat Wayang Thengul hanya berkembang di daerah tertentu. Muslih lahir pada tanggal 08 September 1950 di Desa Semampir, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Muslih adalah putra dari Pasangan Suyitna dengan Rokanah. Muslih tidak lahir dari keluarga seniman, akan tetapi karena kegemarannya terhadap seni, dia sejak kecil sudah belajar

26

mengenai seni tradisi dan sering mengikuti lomba kethoprak di Pendapa Kecamatan Jepon dan kegiatan-kegiatan seni lainnya.

Gambar 2. Muslih seorang dalang Wayang Thengul Blora. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2015)

Di Desa Kemiri selain menjadi dalang Wayang Thengul, Muslih juga berprofesi sebagai Modin di Balai Desa Kemiri. Pada tahun 1990-an Muslih belajar mendalang pada Kasdan yang merupakan dalang Wayang Thengul di Blora. Dia belajar mendalang karena mendapat tawaran pentas dari Kepala Desa untuk mengisi acara bersih desa saat itu. "aku i awalé ki mung seneng suluk-suluk pas ning kantor desa mas, lha bareng Pak Lurah ngerti aku mben dina suluk. Aku dikon mancal keprak pas sedekah desa. Bar kuwi aku langsung njaluk warah karo pak dalang Kasdan".

27

Pada awalnya saya hanya sering suluk saat bekerja di kantor Balai Desa mas, dikarenakan Bapak Kepala Desa yang melihat saya suluk setiap hari saat bekerja, kemudian saya diberi tawaran untuk menjadi dalang Wayang Thengul untuk memperingati hari jadi desa. Setelah mendapat tawaran itu, saya mulai belajar mendalang kepada Kasdan (Muslih, 19 September 2015). Pada tahun 2000-an Muslih sering mementaskan pertunjukan Wayang Thengul untuk memperingati upacara pernikahan, khitanan, dan bersih desa di daerah Blora. Saat mendalang Muslih mempunyai julukan Ki Ahmad Muslih Guna Carita, julukan tersebut diberikan Kasdan setelah Muslih diakui sebagai dalang Wayang Thengul Blora oleh masyarakat sekitar. Selama menjadi dalang Muslih selalu menyampaikan ajaranajaran Islam di dalam pertunjukan wayangnya. Misalnya dia menyisipkan ajaran-ajaran islam melalui cakepan gendhing-gendhing dolanan cipataannya antara lain gendhing Sholawat Eling-eling dan Soto Madurak. Adapun

kelompok

karawitan

Wayang

Thengul

Blora

tidak

mempunyai anggota tetap. Setiap akan melakukan pementasan, dalang membuat susunan kelompok karawitan yang baru. Biasanya dalang mengajak orang-orang yang sudah berpengalaman menjadi pengrawit pertunjukan wayang kulit. Pengrawit adalah orang yang bertugas memainkan gamelan. Biasanya pengrawit juga sering dipanggil dengan sebutan penabuh, niyaga dan wirapradangga. Akan tetapi di daerah Blora pengrawit mempunyai panggilan khusus yaitu panjak. Selain panjak, sindhen dan wirasuara juga

28

termasuk di dalam kelompok karawitan Wayang Thengul Blora. Adapun jumlah kelompok karawitan Wayang Thengul Blora pada zaman dahulu adalah 10 orang, akan tetapi untuk menunjang pertunjukan Wayang Thengul sekarang jumlah kelompok karawitan Wayang Thengul Blora sama dengan kelompok karawitan wayang kulit.

2. Peralatan Pertunjukan Alat-alat yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora antara lain boneka wayang, gawangan, larapan, kothak, keprak dan cempala, blencong, dan gamelan.

a. Boneka Wayang Thengul Blora Wayang golek yang ada di Nusantara mempunyai banyak perbedaan bentuk antara daerah satu dengan daerah lainnya. Perbedaan tersebut terdapat pada bentuk muka dan susunan persendian tangan wayang golek. Menurut bentuk persendian tangannya, wayang golek dapat dibedakan menjadi dua, yakni wayang golek dengan persendian bebas dan wayang golek dengan persendian searah. Contoh wayang golek dengan persendian bebas adalah Wayang Thengul Blora, wayang golek Sentolo dari Yogyakarta dan wayang golek Kebumen. Pada wayang golek tersebut tangannya dapat di gerakkan ke semua arah atau bebas. Adapun

29

contoh wayang golek yang memiliki persendian searah adalah wayang golek cepak atau wayang golek sasak, tangan wayang golek ini hanya bisa digerakkan ke depan dan ke belakang. Menurut bentuk mukanya wayang golek dapat dibedakan menjadi dua, yakni wayang golek yang berbentuk wayang purwa dan wayang golek yang berbentuk wadag atau sama dengan manusia aslinya. Dalam perkembangannya, wayang golek purwa hanya berkembang di Jawa Barat, dalam pementasannya wayang ini bercerita tentang kisah Ramayana dan Mahabarata. Sedangkan wayang golek wadag berkembang di daerah Kebumen, Yogyakarta, Blora, Bojonegara, Tuban dan lain sebagainya. Menurut

Bambang Suwarno

(1980:9)

boneka wayang golek

mempunyai bagian-bagian antara lain; kepala, badan, lengan, dan sogol. Demikian juga dengan Wayang Thengul Blora, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 1). Kepala Kepala Wayang Thengul Blora berbentuk menyerupai kepala manusia. Pada bagian bawah kepala wayang ini terhubung dengan leher boneka wayangnya. Leher tersebut berbentuk silinder serta mempunyai bagian atas yang melebar, sedangkan pada bagian bawah leher wayang ini mempunyai lubang yang digunakan untuk dimasuki ujung sogol yang berguna untuk menggerakkan wayang tersebut.

30

Pada bagaian atas kepala boneka Wayang Thengul terdapat hiasan yang disebut irah-irahan. Irah-irahan pada wayang golek ini bisa meniru irah-irahan wayang purwa, wayang gedog, wayang wong, dan kethoprak. Sehingga Wayang Thengul memiliki banyak perbendaharaan irah-irahan.

Gambar 3. Kepala boneka Wayang Thengul Blora tokoh Prabu Abdul Muntalib dari depan dan samping. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

2). Badan Badan Wayang Thengul Blora berbentuk seperti badan manusia nyata yang terdiri dari tiga bagian yang menjadi satu yaitu pinggul, batang, dan bahu. Pinggul wayang golek ini berbentuk menonjol dan bulat, semakin ke atas pinggul ini menjadi badan kemudian semakin ke atas lagi melebar sampai menjadi bahu. Pada bagian bahu wayang ini dibuat melebar kemudian pada bagian tengahnya diberi tali untuk menyambungkan bahu dengan lengan atas. Pada bagian tengah badan Wayang Thengul Blora terdapat lubang yang berguna untuk wadah sogol. Kemudian pada bagian atas badan

31

wayang berfungsi untuk menyangga kepala yang dihubungkan melalui leher wayang menggunakan sogol. Sehingga wayang golek dapat digerakkan memutar dan memanjang oleh dalang.

Gambar 4. Badan Wayang Thengul Blora dari depan dan belakang. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

3). Lengan Lengan Wayang Thengul Blora terdiri dari dua bagian, yaitu lengan atas dan lengan bawah. Lengan atas wayang ini berbentuk silinder yang membuat tangan pada bagian bahu dapat bergerak bebas, kemudian pada bagian bawahnya dipipihkan dengan tujuan mempermudah pengikatan atau dihubungkan dengan lengan bawah. Begitu pula lengan bawah, pada bagian atas lengan bawah dibuat pipih untuk penghubung dengan lengan atas sehingga membentuk siku seperti tangan manusia. Antara lengan atas dan bawah Wayang Thengul dihubungkan dengan tali yang dilapisi malam supaya kuat dan tidak mudah putus.

32

Pada bagian bawah lengan bawah Wayang Thengul Blora terdapat tangan yang diberi tuding. Tuding ini dihubungkan dengan telapak tangan wayang menggunakan tali yang dimasukkan melalui lubang di telapak tangan wayang. Selain digunakan untuk menggerakkan tangan wayang, tuding ini juga berfungsi untuk memainkan sampur ketika Wayang Thengul sedang menari.

Gambar 5. Pergelangan lengan Wayang Thengul Blora dan lengan bagian bawah yang dihubungkan dengan tuding wayang. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

4). Sogol Sogol dalam Wayang Thengul Blora terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah yang disebut tangkai dan bagian atas yang disebut sumbu. Tangkai sogol ini mempunyai bentuk yang sama dengan tangkai cempurit pada wayang kulit. Hanya saja dalam wayang kulit cempuritnya mempunyai bagian-bagian seperti genuk, lengkeh, dan antup, sedangkan pada Wayang Thengul hanya berbentuk lancip di bagian bawah dan menonjol pada bagian tengahnya yang berfungsi sebagai pegangan untuk

33

memainkan Wayang Thengul dan sebagai tumpuan saat wayang ditancapkan dalam larapan.

Gambar 6. Tangkai sogol Wayang Thengul Blora. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

Sumbu sogol dalam Wayang Thengul merupakan satu kesatuan dengan tangkai. Sumbu sogol Wayang Thengul mempunyai bentuk silinder. Sumbu ini dimasukkan ke dalam badan wayang melalui lubang yang ada pada badan wayang sampai melampaui batas atas dari badan Wayang Thengul, kemudian pada bagian ujung sumbu dimasukkan ke kepala wayang melalui leher wayang. Setelah itu sumbu dan leher wayang bergabung dengan erat

sehingga membentuk suatu kesatuan

yang membuat kepala wayang dapat digerakkan memutar dan naik turun.

34

Gambar 7. Sumbu sogol yang dikeluarkan dari badan boneka Wayang Thengul Blora. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

Adapun perabot yang dipakai dalam boneka Wayang Thengul Blora terdiri dari: pakaian (baju, kain dan sabuk), prabot (keris dan sampur), dan perhiasan (gombyok-sumping, anting-anting, dan gelang). Busana tersebut dikenakan sesuai dengan profil tokoh Wayang Thengul Blora. Misalnya, tokoh raja busana yang dipakai adalah mahkota, baju, sampur, keris dengan hiasan gombyok-sumping dan anting-anting. Tokoh satria busana yang dipakai topong, baju, dan sampur. Tokoh emban atau pendamping busana yang dipakai adalah baju berwarna hitam polos.

35

Gambar 8. Wayang Thengul Blora tokoh Abdul Muntalib. (Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

Gambar 9. Wayang Thengul Blora tokoh Emban.

(Foto: Bayu Wijanarko, 22 Juni 2016)

36

Adapun kayon atau gunungan yang dipakai dalam Wayang Thengul Blora berbeda dengan gunungan pada umumnya. Dalam pementasan wayang pada umumnya, boneka gunungan wayang terbuat dari kulit yang dipahat dan diwarnai. Dalam pementasannya gunungan biasanya berjumlah dua yang diletakkan di samping kanan dan samping kiri dalang. Gunungan ini berfungsi sebagai batas antara wayang yang tampil dalam sajian pertunjukan dengan wayang yang berada di dalam simpingan kanan dan simpingan kiri. Akan tetapi hal ini berbeda dengan gunungan Wayang Thengul Blora, gunungan yang dipakai dalam Wayang Thengul Blora tebuat dari bulu burung merak yang ditancapkan ke kayu yang sekaligus menjadi sogol gunungan tersebut.

Gambar 10. Gunungan Wayang Thengul Blora. (Foto: Bayu wijanarko, 22 Juni 2016)

37

Di dalam pementasannya gunungan Wayang Thengul Blora diletakkan di samping kanan dalang. Gunungan menjadi batas antara boneka Wayang Thengul yang tampil di dalam sajian Wayang Thengul dengan boneka wayang yang disimping di sebelah kanan.

Di dalam

pementasan Wayang Thengul Blora hanya terdapat satu gunungan saja, sehingga di sebelah kiri dalang wayang yang tampil dengan wayang yang disimping terkadang berhimpitan. Menurut Bambang Suwarno, selain dapat dilihat dari segi keindahannya, kayon bulu merak juga menjadi simbol penolak balak atau hal-hal yang buruk. Hal ini sama dengan bulu merak yang dipakai tokoh Kresna dalam pertunjukan wayang purwa, Kresna merupakan titisan Wisnu yang dianggap dapat membawa keadilan di seluruh alam semesta. (wawancara, 28 Januari 2017). b. Gawangan Gawangan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora tidak berbeda jauh dengan gawangan pada pertunjukan wayang kulit. Hanya saja di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora tidak menggunakan kelir seperti wayang kulit. Kelir yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Thengul adalah kelir oblong, sehingga penonton bisa melihat pertunjukan Wayang Thengul dari belakang dalang dan dari depan dalang.

38

c. Larapan Larapan adalah tempat untuk tancepan wayang di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora. Fungsi larapan ini sama dengan fungsi gedebog di dalam pertunjukan wayang kulit. Selain untuk tancepan saat pertunjukan berlangsung, larapan juga berfungsi sebagai tempat untuk menata simpingan kanan dan simpingan kiri dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora. Sama dengan pertunjukan wayang pada umumnya, larapan di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora juga ada dua, yaitu larapan atas dan bawah. Posisi tancepan dalam larapan tersebut dapat memperjelas karakter, status sosial, usia, dan silsilah keluarga dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora.

Gambar 11. Larapan atas dan bawah, kotak, simpingan kanan dan simpingan kiri, serta tatanan kelir sebelum pementasan Wayang Thengul Blora dimulai. (Foto: Koleksi Muslih, 2000)

39

d. Kothak Kothak di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora sama dengan kothak dalam pertunjukan wayang pada umumnya. Kothak adalah tempat untuk menyimpan wayang. Kothak terdiri dari dua bagian yaitu tutup kothak dan badan kothak. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora badan kothak diletakkan di samping kiri dalang, kemudian tutup kothak diletakkan di samping kanan dalang. Pada saat pementasan Wayang Thengul Blora berlangsung badan kothak berfungsi sebagai tempat gantungan keprak, tempat ndhodhogan, dan wadah wayang yang sudah tidak tampil lagi.

e. Keprak dan Cempala Keprak adalah alat yang digunakan dalang untuk mengatur pertunjukan wayang, baik mengatur iringan pakeliran, menggambarkan suasana pertunjukan dan bahasa isyarat dalang untuk berkomunikasi dengan kelompok karawitan. Keprak dalam pertunjukan wayang biasanya terbuat dari besi, monel dan perunggu. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora biasanya dalang menggunakan empat keping keprak yang ditata pada kothak, sehingga keempat keprak tersebut menghasilkan suara "crek" seperti wayang kulit gaya Surakarata.

40

Cempala adalah alat yang digunakan dalang untuk ndhodhog kotak. Dhodhogan dalam pertunjukan wayang mempunyai fungsi yang sama dengan keprakan. Biasanya dalam penggunaannya dhodhogan dan keprakan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah.

f. Blencong Blencong adalah lampu yang digunakan untuk menerangi panggung pergelaran wayang. Penggunaan blencong dalam pementasan Wayang Thengul Blora ada dua jenis, yaitu blencong bagian atas dan blencong bagian bawah. Blencong bagian atas dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora berfungsi sebagai penerang di dalam pertunjukan, blencong ini menggambarkan matahari yang menyinari bumi dan kehidupannya. Sedangkan blencong pada bagian bawah berfungsi sebagai pantulan cahaya yang membuat Wayang Thengul Blora terkesan lebih hidup. Blencong pada bagian bawah ini sama dengan lampu sorot yang digunakan untuk tata cahaya di dalam pertunjukan wayang golek pada umumnya.

41

g. Gamelan Gamelan di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora terdiri dari dua jenis yaitu gemalan yang digunakan untuk pementasan biasa dan gamelan yang digunakan untuk pementasan dalam rangka upacara adat. Seperti pertunjukan wayang pada umumnya, perabot fisik dalam pertunjukan Wayang Thengul juga menggunakan gamelan untuk mengiringi

penyajiannya.

menggunakan

Pementasan

Wayang

Thengul

biasanya

seperangkat gamelan berlaras slendro dan pelog seperti

gamelan pada pertunjukan wayang kulit umumnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menunjang kesuksesan pementasan Wayang Thengul dan memuaskan hati penonton. Tetapi saat Wayang Thengul difungsikan masyarakat Blora sebagi upacara nadzaran, perangkat gamelan yang dipakai berbeda dengan pementasan Wayang Thengul pada

umumnya.

Adapun

ricikan

gamelan

yang

dipakai

dalam

pertunjukan Wayang Thengul sebagai upacara nadzaran masyarakat Blora adalah sebagai berikut: a. Bonang barung slendro b. Gambang c. Kempul ji (1) slendro d. Kendang Ciblon e. Saron barung berjumlah 9 bilah

42

3. Lakon-lakon Wayang Thengul Blora Berdasarkan sumber ceritanya, wayang golek dapat digolongkan menjadi beberapa bagian antara lain: 1. Wayang golek purwa, yaitu wayang golek yang pementasannya mengambil cerita Ramayana dan Mahabarata. Adapaun boneka wayangnya juga meniru wayang purwa hanya saja dibuat menjadi tiga dimensi. 2. Wayang golek menak, adalah wayang golek yang lakon-lakon pementasannya bersumber pada Serat Menak. Tokoh utamanya adalah Amir Hambyah atau Wong Agung Jayengrana. 3. Wayang golek gedog, yaitu wayang golek yang sumber ceritanya bersumber pada cerita Panji, yakni sekitar pencarian Sekartaji dan Panji Asmarabangun. 4. Wayang golek babad, adalah wayang golek yang sumber cerita mengambil cerita-cerita babad. Seperti Babad Majapahit antara lain: Jaransari-jaranpurnama,

Damarwulan,

Perang

Bubad,

Menakjingga,

Roromendut dan sebagainya. Kemudian Babad Cirebon antara lain: Sayembara Nyi Mas Gandasari, Pangeran Langlang Busana, Jaka Wasiat, Sela Rasa dan sebagainya. Dan Babad Siyung Wanara anatar lain: Lutung Kasarung, Sangkuriang, Silih Wangi dan sebagainya (Soetarno, 2007:148).

43

Di dalam pergelaran Wayang Thengul biasanya para dalang berlomba-lomba untuk membuat lakon-lakon tambahan atau lakon carangan dengan inovasinya. Hal ini dikarenakan antara masyarakat satu dengan yang lainnya mempunyai lakon-lakon favorit yang mereka gemari sendiri-sendiri. Adapun lakon-lakon yang digemari masyarakat antara lain: Lakon Diponegara, Untung Surapati, Trunajaya, Sejarah Kerajaan Majapahit, Wali Sanga, dan Amir Hambyah (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016). Akan tetapi sumber utama lakon Wayang Thengul adalah Serat Menak, karena Wayang Thengul juga termasuk dalam wayang golek tepatnya wayang golek menak. Pada zaman dahulu Serat Menak berasal dari Kitab "Qissa i Emr Hamza"

yaitu sebuah karya sastra Persia, pada zaman pemerintahan

Sultan Agung Al Rasyid (766-809). Di Nusantara kitab sastra tersebut terkenal dengan nama "Hikayat Amir Hamzah". Kemudian hikayat tersebut dipadukan dengan cerita Panji di Jawa dan akhirnya menjadi Serat Menak (Wijanarko, 2004:16). Serat Menak ditranskrip ke dalam bahasa Jawa oleh Ki Carik Narawita atau sumber lain ada yang mengatakan Ki Carik Napada pada tahun 1717 M. Ia menyalin babon yang sudah ada atas perintah Kanjeng Ratu Mas Balitar, Permaisuri Sunan Pakubuwana I atau Pangeran Puger di Kraton Kertasura. Selanjutnya Serat Menak digubah oleh Kyai Yasadipura I dan II (1729-1802) dengan bahasa yang sangat indah (Soetarno, 2007:149).

44

Cerita Menak berawal dari kisah Nabi Muhammad SAW yang bertanya kepada pamannya Abbas tentang riwayat kepahlawanan Amir Hambyah atau yang biasa disebut Wong Agung Jayengrana. Tokoh Amir Hambyah adalah seseorang yang gagah, berani dalam menyebarkan agama Islam.

Di dalam

perjalanannya,

Amir

Hambyah

banyak

menaklukkan raja kafir dan membuat putri-putri raja jatuh cinta karena kegagahannya. Hal ini sesuai dengan prinsip orang Jawa yaitu mbedhah kutha mboyong putri yang artinya menaklukkan negeri musuh dan menikahi wanitanya (Soetarno, 2007:149). Raden Ngabehi Yasadipura I dan Raden Ngabehi Yasadipura II atau Raden Ngabehi Ranggawarsita telah menggubah Serat Menak kedalam tembang berbahasa Jawa yang ditulis dengan aksara Jawa. Balai Pustaka mencatat pada tahun 1925, serat tersebut terdiri dari 48 Jilid dan tiap jilidnya terdiri dari 78 halaman, serta tiap halaman terdiri dari 22 baris. Adapun pembagian-pembagian episode dalam Serat Menak tersebut antara lain: 1. Menak Lare; berisi tentang Prabu Sarehas dari Medayin yang bertapa didasar laut sampai Wong Agung Jayengrana pulang setelah menggempur negara Serandil. 2. Menak Jobin; berisi penyerbuan Wong Agung Jayengrana terhadap negara Yunani sampai takluknya negeri Kuparman, yang saat itu dipimpin oleh Parbu Nurham.

45

3. Menak Kajun; menceritakan kisah Wong Agung Jayengrana yang bertahta di negeri Kuparman sampai dengan kisah runtuhnya negara Kuwari yang saat itu di bawah pemerintahan Prabu Kemar. 4. Menak Cina; mengkisahkan Prabu Hong Tete raja negeri Cina pada saat itu yang sedang sedih karena memikirkan anaknya, sampai kembalinya Wong Agung Jayengrana dari negara Cina. 5. Menak Malibari; cerita buku ini adalah kisah tentang Dewi Sudarawreti dan kisah Arya Maktal ke negeri Kusni atau Malibari sampai dengan perkawinan Raden Rustamaji anak dari Wong Agung Jayengrana dengan Dewi Marpinjun. 6. Menak Ngambar Kustup; bercerita tentang Prabu Syahsiyah yang menyerahkan putrinya ke negeri Kuparman dan kisah Prabu Nusirwan yang masuk Islam. 7. Menak Kalakodrat; berisi tentang ketentraman negara Medayin sampai runtuhnya negeri Kalakodrat. 8. Menak Gulangge; berisi tentang keberadaan Wong Agung Jayengrana di negara Kalakodrat sampai runtuhnya negari Rokam. 9. Menak Jamintoran; menceritakan menghilangnya pangeran Kelan atau Kaelaini dan cerita Umarmaya pulang dari negeri Jamintoran. 10. Menak Jaminabar; mengkisahkan tentang keberangkatan Wong Agung Jayengrana menyerbu Prabu Rabus Samawati Wal Arli, sampai ia kembali ke negeri Rokam.

46

11. Menak Talsamat; Buku ini bercerita tentang kisah Wong Agung Jayengrana yang menuntut ilmu kepada Parbu Gulanggale, sampai dengan Prabu Jayengrana pulang ke Madinah dan menjadi sahabat Nabi Muhammad. Menurut Balai Pustaka Serat Menak terdiri dari 24 bagian dan 44 jilid. Pembagian tersebut antara lain; 1. Menak Sarehas, yang berjumlah 1 jilid; menceritakan asal mula Serat Adam atau Kadam Makna, sampai lahirnya Amir Hambyah atau Wong Agung Jayengrana atau Wong Agung Menak putra Adipati Mekah atau Arya Dulmuntalip (Abdul Muntalip), yang merupakan cucu Hasim seorang keturunan Nabi Ibrahim dari bangsa Ismail. 2. Menak lare, yang berjumlah 4 jilid; berisi tentang kisah Wong Agung yang mulai memperlihatkan kemampuan dan kesaktiannya untuk mengalahkan para kesatria dan para raja. 3. Menak Serandil, yang berjumlah 1 jilid; bercerita tentang Amir Hambyah yang mendapat tugas Prabu Nusirwan untuk menaklukkan Lamdahur di Serandil. 4. Menak Sulup, yang berjumlah 2 jilid; mengkisahkan Wong Agung Menak yang menaklukkan Negara Yunani, Ngerum, dan Mesir. Akan tetapi setelah itu Wong Agung Jayengrana tertangkap oleh musuh kemudian dipenjarakan di Pulau Sulub, di bawah kekuasaan Mesir.

47

5. Menak Ngajrak, yang berjumlah 1 jilid; berisi tentang pernikahan Wong Agung Menak dengan putri raja jin dari negeri jin atau di Ngajrak. 6. Menak Demis, yang berjumlah 1 jilid; mengkisahkan Prabu Nusirwan yang mengungsi di Negeri Demis, yang kemudian negeri tersebut diserbu oleh Wong Agung Menak. 7. Menak Kaos, yang berjumlah 1 jilid; bercerita tentang Wong Agung yang berhasil menaklukkan Prabu Jobin dari Negeri Kaos dan kisah permaisuri Wong Agung yang bernama Dewi Muningar yang melahirkan putra laki-laki dari Wong Agung Menak, kemudian putra itu diberi nama Kobat Sarehas. 8. Menak Kuristam, yang berjumlah 1 jilid; menceritakan perjalanan Wong Agung Jayengrana yang berhasil mengalahkan Prabu Bahman, Raja Negara Kuristam, yang selanjutnya Wong Agung Menak membangun kerajaan di Kuparman. 9. Menak Biraji, yang berjumlah 1 jilid; mengkisahkan Wong Agung yang bermusuhan dengan Raja di Biraji Prabu Aspandriya. 10. Menak Kanin, yang berjumlah 1 jilid; bercerita tentang Wong Agung yang diculik dan dilukai oleh Raja Kuristan Prabu Bahman, tetapi setelah itu Wong Agung dapat diselamatkan oleh Kalisahak, kuda Nabi Ishak dan dibawa ke suatu desa yang kemudian disembuhkan oleh Sahsiar sampai sembuh.

48

11. Menak Gandrung, yang berjumlah 1 jilid; yang berisi kematian Dewi Muningar dalam peperangan yang membuat Wong Agung putus cinta seperti orang gila. 12. Menak Kanjun, yang berjumlah 1 jilid; menceritakan kisah Wong Agung Jayengrana yang berhasil mengalahkan Raja Kanjun dan memperistri Retna Sudarawreti yang merupakan adik Prabu Kanjun, putri Prabu Perid dari Negara Prang Akik. 13. Menak Kandhabumi, yang berjumlah 1 jilid; berisi tentang kisah perkawinan Wong Agung dengan adik Dewi Muningar yang bernama Dewi Marpinjun. 14. Menak Kuwari, yang berjumlah 1 jilid; bercerita tentang penyerangan Wong Agung ke negara Kuwari yang ada di bawah pemerintahan Prabu Kemar. 15. Menak Cina, yang berjumlah 5 jilid; mengkisahkan perjalanan putri Cina anak dari Prabu Hong Te Te yang melamar Wong Agung, akan tetpai lamaran tersebut ditolak dan akhirnya putri Cina tersebut meninggal. 16. Menak Malebari, yang berjumlah 5 jilid; menceritakan perkawinan putra Wong Agung dengan putra Prabu Bawadiman dari negara Malebari. 17. Menak Purwakanda, yang berjumlah 3 jilid; berisi tentang cerita Wong Agung yang menyerang negara Purwakanda pada pemerintahan

49

Prabu Suryakanda. Kemudian Wong Agung juga menyerang negara Mutadarawi yang dipimpin oleh Prabu Samasrawi, serta menyerbu negera Ngambar pada pemerintahan Prabu Matari Akbar. 18. Menak Kustub, yang berjumlah 2 jilid; bercerita tentang keruntuhan negara Kustub yang disebabkan oleh para raja yang berpihak ke Wong Agung. 19. Menak Kalakodrat, yang berjumlah 2 jilid; isi ceritanya adalah terbunuhnya Patih Bestak, anak Patih Aklas Wajir yang dibunuh oleh Umarmaya, teman Wong Agung. 20. Menak Soragan, yang berjumlah 2 jilid; bercerita tentang penyerangan Wong

Agung

ke

Negeri

Soragan

yang

berada

di

bawah

kepemimpinan Prabu Gaji Mandalikur Huktur. 21. Menak Jamintoran, yang berjumlah 3 jilid; berisi tentang kisah Pangeran Kelan yang akan memperistri Dewi Julu Sulasikin, anak Prabu Sadar Salam dari kerajaan Jamintoran. 22. Menak Jaminambar, yang berjumlah 3 jilid; menceritakan tentang penyerangan Wong Agung terhadap negara Jaminambar yang diperintah oleh Prabu Rabu Samawati. Negara itu diserang karena Rajanya menganggap dirinya Tuhan. 23. Menak Talsamat, yang berjumlah 1 jilid; mengkisahkan perjalanan Wong Agung yang menyerbu Negara Mukabumi, Pildani yang diperintah oleh Prabu Nurjab, serta peperangan Wong Agung ke

50

negara Talsamat yang menjadi pusat ilmu hitam atau perdukunan. Setalah itu Wong Agung pulang ke Madinah untuk menjadi pengikut Muhammad. 24. Menak Lanak, yang berjumlah 3 jilid; isi ceritanya ialah tentang peperangan Nabi Muhammad dengan Raja Negeri Lakat bernama Prabu Dawil Kusen dan Prabu Jenggi dari negara Ngabesah. Pada saat itu Wong Agung gugur di dalam medan pertempuran. Kemudian Dewi Kuraisin, anak Wong Agung dan Dewi Mayawati, anak dari Prabu Tamimasar diperistri oleh Bagenda Ngali Murtala (seorang senopati Nabi Muhammad). Perkawinan tersebut dianugrahi seorang anak yang bernama Muhammad Kanapiah atau Hanapiah, yang menjadi raja di negeri Ngajrak (Wijanarko, 2004:17-21). Di dalam pergelaran Wayang Thengul Blora, lakon-lakon yang sering disajikan adalah kisah Amir Hambyah yang bersumber dari Serat Menak Sarehas sampai Menak Talsamat, di dalam lakon tersebut diceritakan kisah kelahiran Amir Hambyah sampai Amir Hambyah mengalami masamasa kejayaannya. Adapun lakon-lakon yang jarang dipentaskan di dalam pergelaran Wayang Thengul adalah lakon yang ada pada Serat Menak Lanak, hal ini dikarenakan isi dari Menak Lanak yang mengkisahkan kematian Amir Hambyah dianggap tabu oleh masyarakat Blora untuk disajikan. Hal ini seperti lakon Bratayuda dalam pergelaran wayang

51

purwa yang juga memiliki nilai kesakralan dalam pementasaanya (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016). Lakon lain yang sering dipentaskan dalam pergelaran Wayang Thengul Blora adalah lakon Diponegara, Untung Surapati, Trunajaya, Sejarah kerajaan Majapahit, Wali Sanga dan kisah-kisah kepahlawanan Indonesia lainnya. Selain lakon tersebut sangat diminati masyarakat, para dalang Wayang Thengul juga ingin memperkenalkan kisah-kisah kepahlawanan kepada

para

pemuda

untuk

mengenang

jasa

mereka

sekaligus

menumbuhkan rasa nasionalisme kepada para pemuda. Akan tetapi dari sekian lakon tersebut, dalam pementasaan lakon Wayang Thengul Blora biasanya disesuaikan dengan kepentingan pertunjukannya. Misalnya, dalam upacara pernikahan lakon yang biasa disajikan bertemakan lakon raben seperti lakon Amir Hambyah Krama.

Upacara bersih desa dan

upacara hari kemerdekaan lakon yang biasanya disajikan adalah Diponegara, Untung Surapati, Trunajaya dan Amir Hambyah Winisudha. Adapun lakon yang disajikan dalam upacara nadzaran adalah Pak Culeng (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016).

4. Masyarakat Penanggap Wayang Thengul Blora Di daerah Blora sekarang ini pementasan Wayang Thengul Blora sudah jarang ditemui. Akan tetapi sebagian masyarakat Blora masih menggunakan pertunjukan Wayang Thengul untuk memperingati

52

upacara adat. Di samping itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Blora juga pernah mementaskan pertunjukan wayang Blora dalam rangka menyambut wisatawan asing yang berkunjung di Kabupaten Blora. Pada saat itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menggelar pementasan Wayang Thengul Blora dengan lakon "Dumadine Dina Pitu" dengan dalang Sutaji dari Jipangrejo (Sutaji, wawancara, 29 Maret 2016).

53

BAB III STRUKTUR PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA LAKON AMIR HAMBYAH WINISUDHA SAJIAN MUSLIH A. Struktur Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih 1. Struktur Adegan Pendeskripsian pertunjukan wayang merupakan cara menulis hasil pengamatan ke dalam bentuk kalimat. Pendeskripsian ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu (1) mendeskripsikan pengamatan apa adanya; dan (2) pendeskripsian pengamatan yang telah diberi tafsir (Soetarno, Sunardi, dan Sudarsono, 2007:165). Pada sub bab ini penulis mendeskripsikan pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dengan disertai tafsiran dan rincian objek yang diamati. Menurut Groenandael di dalam bukunya yang berjudul Dalang Dibalik Wayang mengemukakan bahwa bangunan lakon pakeliran semalam, dalam suatu adegan lakon dapat dibagi ke dalam tiga babak selamanya selalu sama (1987:326). Pembagian tersebut antara lain pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Begitu pula dengan Wayang

53

54

Thengul Blora, dalam pergelarannya Wayang Thengul Blora terdiri dari tiga pathet yaitu; pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.

a. Bagian Pathet nem 1). Jejer Pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih diawali dengan Ompak Saron yang dilanjutkan dalang dengan ndhodhog kothak satu kali dan njejak keprak satu kali, sehingga berbunyi "ndhok jek". Setelah Gendhing Krucilan berbunyi, dalang menarikan atau menggerakkan kayon. Setelah selesai tarian, kayon kemudian tancep pada larapan samping kanan. Setelah itu tampillah para emban sambil menari-nari. Selesai menari, emban ditancapkan di larapan tengah sambil menyembah Raja. Setelah itu tampillah tokoh Raja dengan menari juga, setelah raja ditancapkan barulah abdi-abdi kerajaan masuk keruang persidangan.

55

Gambar 12. Sabet bedol kayon bulu merak pada pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha).

Pada jejer negara Puserbumi atau Guparman atau negara Mekah ini, tokoh yang tampil antara lain: Prabu Abdul Muntalib, Patih Tambijaya atau Tambi Sumilir, Tumenggung Abdul Manap, dan tiga Emban. Setelah semua wayang tampil dan tancep kemudian gamelan disirep. Sirepan gamelan tersebut diisi dengan janturan atau narasi yang menggambarkan kondisi Kerajaan Puserbumi. Janturan tersebut diakhiri dengan simbol dalang ndhodhog kothak satu kali. Setelah gendhing wudar (tempo tabuhan gamelan menjadi normal atau agak cepat dan keras dibandingkan dengan waktu sirep) kemudian dalang ngombang sampai gendhing suwuk.

56

Gambar 13. Jejer Puserbumi. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih)

Setelah gendhing suwuk dalang melantunkan suluk pathet nem wantah dan ada-ada girisa seperti wayang kulit gaya Surakarta, hanya saja cengkoknya berbeda. Kemudian pembicaraan dimulai dengan bage binage. Setelah itu Raja membahas tentang putranya yang bernama Amir Hambyah dan putra Patih Tambijaya yang bernama Umar. Mereka berdua berguru kepada Lukman Hakim di Padepokan Gurdi. Prabu Abdul

Muntalib

cemas

karena

usianya

sudah

mulai

tua

dan

membutuhkan pengganti, sedangkan ia sendiri tidak tahu putranya Amir Hambyah sudah selesai berguru atau belum. Pembicaraan ini terpotong

57

dengan kehadiran Tumenggung Manabdul dari Negara Yaman. Dia datang ke Puserbumi untuk meminta bantuan sandang, pangan, dan pasukan karena pada saat itu Negara Yaman sedang dilanda bencana. Setelah mendengar berita tersebut, akhirnya Prabu Abdul Muntalib memerintahkan Patih Tambi Jaya untuk membubarkan barisan kemudian mempersiapkan pasukan, sandang, dan pangan untuk dikirim ke Negara Yaman. Sedangkan Prabu Abdul Muntalib akan ke tempat ibadah untuk mendoakan perjalanan abdi Puserbumi supaya selamat sampai tujuan dan mendoakan Negara Yaman supaya bangkit kembali.

2). Kedhatonan Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Limbuk, Cangik dan empat emban kerajaan. Tokoh tersebut tampil sambil menari-nari dan diiringi gendhing sholawat eling-eling karya Muslih. Iringan ini memperkuat nuansa Islami dalam pergelaran Wayang Thengul Blora sajian Muslih. Di dalam adegan ini dalang membahas persoalan tentang agama, mulai dari persolan mengaji, hidup mati, minuman keras dan lain lain. Di samping itu, dalam adegan ini juga digunakan untuk menghibur masyarakat dengan cara menyajikan gendhing-gendhing permintaan masyarakat. Uniknya saat lagu-lagu dolanan tersebut dimainkan ada sekumpulan orang yang menari di belakang pengrawit. Orang-orang ini biasanya disebut warok. Hal ini bertujuan untuk memeriahkan suasana

58

dan memang menjadi ciri khas dari Wayang Thengul Blora (Muslih, wawancara, 29 Maret 2016).

Gambar 14. Adegan kedhatonan dan Muslih yang sedang menari menghibur penonton bersamaan diiringi dengan gendhing dolanan dalam adegan tersebut. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih)

Gambar 15. Warok yang merupakan pendukung pergelaran Wayang Thengul Blora sedang menari diiringi lagu dolanan disaat adegan kedhatonan. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

59

3). Budhalan Adegan ini menceritakan tentang persiapan para prajurit Puserbumi yang akan pergi ke Yaman untuk memberi bantuan. Tokoh-tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Tumenggung Abdul Manap, Patih Tambijaya dan para prajurit Puserbumi. Tokoh-tokoh tersebut tampil bergantian, saat tampil setiap tokoh menari lalu ditancapkan pada larapan. Pada saat ditancapkan setiap tokoh melakukan gerakan capeng, ngawe wadya kemudian dientas. Setelah dientas tokoh tadi ditampilkan lagi untuk melakukan tarian dengan sekaran yang berbeda, begitu seterusnya diulang-ulang sampai dengan tokoh yang terakhir.

4). Adegan Selapilih Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe, dan Surabajul. Setelah semua tokoh ditancapkan di larapan, dalang melagukan suluk ada-ada slendro nem. Adegan ini membicarakan tentang perintah Prabu Maktal Raja di Kerajaan Selapilih untuk menyerang Kerajaan Puserbumi. Akan tetapi sebelum berangkat ke kerajaan Puserbumi, tiba-tiba Patih Panigaslawa melihat barisan pasukan Puserbumi yang melewati wilayah Selapilih. Dengan cekatan Patih Panigaslawa memerintahkan pasukan Selapilih untuk segera membentuk barisan dan menghadang pasukan Puserbumi.

60

Gambar 16. Adegan Selapilih, Patih Panigaslawa berhadapan dengan Tumenggung Sandhanglawe, Surabajul, dan Gusra. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

5). Perang Gagal Pasukan Selapilih yang dipimpin Patih Panigaslawa akhirnya menghadang perjalanan pasukan Puserbumi yang hendak menuju ke Yaman. Tokoh yang tampil adalah Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe dan Surabajul berada di sebelah kiri, berhadapan dengan Tumenggung Abdul Manap yang berada di sebelah kanan. Patih Panigaslawa memaksa pasukan Puserbumi untuk menyerahkan harta benda yang mereka bawa, disamping itu Patih Panigaslawa juga mengutarakan perintah Prabu Maktal yang ingin menguasai negara Puserbumi, sehingga para pasuka Puserbumi diminta menyerahkan diri.

61

Setelah Tumenggung Abdul Manap mengetahui tujuan Prabu Maktal dan akan dirampas barang bawaannya, akhirnya dia marah dan terjadilah peperangan antara pasukan Selapilih melawan pasukan Puserbumi. Patih Panigaslawa menyerang Tumenggung Abdul Manap akan tetapi serangan tersebut dapat ditangkis oleh Tumenggung Abdul Manap kemudian Patih Panigaslawa dilemparkan ke kiri. Setelah itu giliran Tumenggung Sandhanglawe yang menyerang Tumenggung Abdul Manap, akan tetapi serangan tersebut juga dapat dipatahkan dan akhirnya Tumenggung Sandhanglawe terkena pukulan Tumenggung Abdul Manap hingga terpental. Tidak berbeda dengan serangan Surabajul yang juga ditahan oleh Tumenggung Abdul Manap yang kemudian Surabajul ditendang ke kiri oleh Abdul Manap. Peperangan pertama adalah Abdul Manap melawan Tumenggung Sandhanglawe, peperangan yang terjadi sangatlah sengit. Dalam perang ini Abdul Manap dapat mengalahkan Tumenggung Sandhanglawe. Setelah itu majulah Patih Panigaslawa ke medan pertempuran melawan Tumenggung Abdul Manap. Pertempuran yang terjadi sangat berimbang, akan tetapi Patih Panigaslawa belum bisa mengalahkan Abdul Manap. Mengetahui kesaktian Abdul Manap, Patih Panigaslawa melapor pada Prabu Maktal. Setelah mengetahui pasukannya dikalahkan, akhirnya Prabu Maktal turun tangan untuk berperang melawan pasukan Selapilih. Prabu Maktal langsung muncul dalam medan perang kemudian

62

menyerang Tumenggung Abdul Manap habis-habisan. Melihat kejadian tersebut, Patih Tambijaya maju ke medan pertempuran untuk membantu Tumenggung Abdul Manap, akan tetapi kekuatan mereka belum cukup dan tetap dikalahkan oleh Prabu Maktal. Akhirnya pasukan Puserbumi terpaksa mundur, kemudian Prabu Maktal beserta pasukan Selapilih terus mengejar

pasukan

Puserbumi.

Adapun

tujuan

mundur

pasukan

Puserbumi mundur adalah kembali ke Kerajaan Puserbumi untuk melaporkan keadaan tersebut kepada Prabu Abdul Muntalib dan mencari bantuan untuk mengalahkan Prabu Maktal beserta pasukan Selapilih.

b. Bagian Pathet sanga 1). Gara-gara Setelah perang gagal selesai dan gamelan suwuk, Muslih ndhodhog kothak satu kali untuk memulai suluk pathetan sanga wantah. Suluk ini berfungsi untuk memindahkan irama gamelan dari pathet nem ke pathet sanga. Di dalam melantunkan suluk ini cakepan yang dipakai Muslih sama dengan cakepan suluk pathet sanga wantah dalam pertunjukan wayang purwa, hanya saja dalam penyajiannya Muslih mempunyai cengkok yang berbeda. Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Blethik dan Blegok. Adegan ini berada di daerah Padepokan Gurdi atau tempat Amir

63

Hambyah menuntut ilmu kepada Lukman Hakim. Di dalam adegan ini tokoh Blethik dan Blegok berdebat tentang agama. Materi yang disampaikan adalah keutamaan berpuasa sunah. Setelah itu dalam adegan ini hanya diisi dengan gendhing-gendhing dolanan. Seperti pada adegan kedhatonan, di dalam adegan ini juga terdapat warok (orang-orang yang menari-nari di belakang pengrawit saat lagu dolanan dibunyikan).

Gambar 17. Blethik dan Blegok dalam adegan gara-gara (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

2). Padepokan Gurdi Setelah selesai bersendau gurau, kemudian Blethik dan Blegok pergi untuk menemui Amir Hambyah yang sudah selesai berguru kepada Lukman Hakim. Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Amir

64

Hambyah, Kyai Gambuh, Blethik, dan Blegok. Amir Hambyah berada dalam tancepan mati diikuti Kyai Gambuh di sebelah kanan, kemudian Blethik dan Blegok datang dari kiri nyembah kemudian tancep. Setelah wayang tancep semua iringan disirep untuk janturan. Selesai janturan dalang ndhodhog kothak satu kali untuk tanda tempo iringan menjadi udar atau normal kembali. Setelah gamelan suwuk, tanpa suluk pembicaraan dalam adegan ini dimulai dengan bage-binage. Kemudian Amir Hambyah mengajak pamong (pengikutnya) pulang ke negara Puserbumi, karena pada saat itu Amir Hambyah mempunyai firasat burut tentang tempat kelahirannya tersebut. Tanpa basa basi Amir Hambyah di entas ke kiri, kemudian Kyai Gambuh, Blethik, dan Blegok mengikuti sambil menarinari.

Gambar 18. Adegan Padepokan Gurdi, Amir Hambyah berhadapan dengan Kyai Gambuh, Blethik dan Blegok (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

65

3. Bagian Pathet manyura 1) Adegan Candakan Keraton Puserbumi Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap yang kalah perang melawan prajurit Selapilih akhirnya mundur sampai di Kerajaan Puserbumi. Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Prabu Abdul Muntalib, Patih Tambijaya, dan Tumenggung Abdup Manap. Prabu Abdul Muntalib dalam keadaan tancepan mati kemudian dikagetkan dengan kedatangan Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap dari samping kiri, setelah menyembah Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap tancep di depan Prabu Abdul Muntalib.

Gambar 19. Adegan Candakan Keraton Puserbumi. Prabu Abdul Muntalib berhadapan dengan para prajurit kerajaan Puserbumi (Repro: VCD lakon Amir HambyahWinisuda)

66

Iringan suwuk dan diteruskan dengan ada-ada manyura sebagai pergantian iringan dari pathet sanga ke pathet manyura. Pada saat itu Prabu Abdul Muntalib memegang dadanya yang menggambarkan sangat terkejut dengan kedatangan Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap yang seharusnya pergi ke Yaman. Akhirnya Patih Tambijaya pun menjelaskan bahwa sebenarnya mereka kembali karena diserang oleh pasukan Selapilih. Mengetahui hal tersebut Prabu Abdul Muntalib langsung memerintahkan seluruh pasukan untuk siap siaga dan segera pergi untuk menemui Patih Panigaslawa dan pasukan Selapilih, sedangkan Patih Tambijaya meminta ijin kepada Prabu Abdul Muntalib untuk menemui Amir Hambyah dengan tujuan meminta bantuan kepada Amir Hambyah untuk melindungi Kerajaan Puserbumi. Prabu Abdul Muntalib dientas ke kiri dan diikuti oleh Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap. 2) Adegan Candakan II Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe dan para prajurit Selapilih telah sampai di benteng Kerajaan Puserbumi. Tokoh-tokoh tersebut tancep pada larapan di sebelah kiri, kemudian Prabu Abdul Muntalib datang dari kanan. Setelah iringan suwuk dalang neter kothak untuk memulai suluk ada-ada menyura. Kemudian terjadilah percekcokan antara Prabu Abdul Muntalib dengan Patih Panigaslawa.

Patih

67

Panigaslawa yang ngotot ingin menjajah Kerajaan Puserbumi akhirnya membuat Prabu Abdul Muntalib marah sehingga terjadilah peperangan.

Gambar 20. Prabu Abdul Muntalib diikuti abdi keraton Puserbumi berhadapan dengan Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe. (VCD: Repro lakon Amir Hambyah Winisudha)

Patih Panigaslawa maju memukul Prabu Abdul Muntalib, akan tetapi pukulan tersebut dapat ditangkis kemudian Patih Panigaslawa ditarik dan dipukul balik oleh Prabu Abdul Muntalib sampai terpental ke kiri. Tumenggung Sandhanglawe cancut kemudian maju menyerang Prabu Abdul Muntalib, akan tetapi serangan Tumenggung Sandhanglawe juga dapat ditangkis dengan mudah oleh Prabu Abdul Muntalib sehingga Tumenggung Sandhanglawe terkena tendangan Prabu Abdul Muntalib

68

sampai terlempar ke samping kiri. Peperangan antara Prabu Abdul Muntalib dengan pasukan Selapilih sangatlah sengit, sampai akhirnya Prabu Abdul Muntalib dihujani oleh tembakkan panah dari pasukan Selapilih sampai babak belur. Pada saat itu, Patih Tambijaya yang mencari Amir Hambyah, belum sampai keluar dari kerajaan dirinya sudah melihat Amir Hambyah datang ke kerajaan Puserbumi. Amir Hambyah yang sudah sampai di Kerajaan Puserbumi dari perjalanannya. Ketika itu ia langsung marah saat melihat ayahnya sedang diserang habis-habisan oleh pasukan Selapilih, tanpa berpikir panjang Amir Hambyah langsung menolong Prabu Abdul Muntalib. Kemudian Amir Hambyah tancep di larapan sebelah kanan berhadapan dengan Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe. Lalu terjadilah perbincangan antara Amir Hambyah dengan Patih Panigaslawa, akan tetapi setelah Patih Panigaslawa mengetahui identitas Amir Hambbyah yang merupakan anak dari Prabu Abdul Muntalib akhirnya Patih Panigaslawa langsung berniat membunuhnya sekaligus merebut kekuasaan Kerajaan Puserbumi. Pertempuran antara Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe beserta pasukan Selapilih melawan Amir Hambyah sudah tidak dapat dihindari

lagi.

Pertempuran

berjalan

dengan

sangat

sengit

dan

mengerikan, Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe yang bertubi-tubi menyerang Amir Hambyah akan tetapi serangannya tersebut

69

tidak ada yang berhasil mengenainya. Bahkan setelah Amir Hambyah dikeroyok dan dihujani panah oleh pasukan Selapilih pun Amir Hambyah tidak gentar dan semakin gigih dalam peperangan. Pada saat itu Amir Hambyah memejamkan mata dan meminta izin kepada Tuhan untuk mengeluarkan ajian andalannya. Oleh kuasa Tuhan muncullah kekuatan yang hebat dari tubuh Amir Hambyah, kekuatan tersebut digambarkan oleh dalang melalui kayon yang keluar dari tubuh Amir Hambyah menuju pasukan Selapilih. Akhirnya semua pasukan Selapilih yang terkena ajian tersebut terpental sampai jauh dan sudah tidak bisa berkutik lagi. Amir Hambyah pun kembali ke dalam istana untuk menemuai Ayahnya.

Gambar 21. Amir Hambyah berhadapan dengan pasukan Selapilih. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

70

3) Adegan Pamungkas

Gambar 22. Adegan Pamungkas saat Amir Hambyah akan diwisuda menjadi Raja di Puserbumi oleh Prabu Abdul Muntalib. (Repro: VCD lakon Amir Hambyah Winisudha)

Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Prabu Abdul Muntalib, Amir Hambyah, Patih Tambijaya, dan Tumenggung Abdul Manap. Prabu Abdul Munntalib tancep di sebelah kanan, saat Amir Hambyah datang Prabu Abdul Mantalip langsung memeluk putranya dengan bangga. Kemudian Amir Hambyah nyembah dan tancep sebelah kiri depan Prabu Abdul Muntalib. Setelah itu diikuti dengan Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap, mereka menyembah Prabu Abdul Muntalib setelah itu tancep di sebelah kiri tepatnya di belakang Amir Hambyah.

71

Prabu Abdul Muntalib sangat bangga dengan Amir Hambyah karena sudah membebaskan Kerajaan Puserbumi dari serangan Kerajaan Selapilih. Di samping itu, Amir Hambyah juga sudah selesai menuntut ilmu di Padepokan Gurdi pada gurunya yang bernama Lukman Hakim. Oleh karena itu sudah sepantasnya kalau Prabu Abdul Muntalib menyerahkan tahta kerajaan Puserbumi kepada Amir Hambyah. Mulai saat itu Prabu Abdul Muntalib mengesahkan Amir Hambyah sebagai Raja Puserbumi disaksikan oleh seluruh abdi kerajaan. Amir Hambyah yang menjadi Raja berjuluk Prabu Amir Hambyah atau Wong Agung Jayengrana, Wong Agung Menak dan Jayenglaga.

2. Unsur Garap Pertunjukan Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora, unsur garap pakeliran yang disajikan tidak berbeda jauh dengan pakeliran pada umumnya, yaitu terdiri dari catur, sabet dan karawitan pakelirannya.

a. Catur Catur yaitu semua bentuk bahasa yang digunakan dalang dalam pertunjukan wayang (Bambang Murtiyoso, 1981:6). Menurut pakeliran gaya Surakarta catur dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu janturan, pocapan dan ginem. Janturan adalah wacana dalang dalam pertunjukan wayang yang mendeskripsikan suasana adegan yang sedang berlangsung dengan

72

diiringi sirepan gendhing. Pocapan adalah pendeskripsian dalang dalam pertunjukan wayang yang berisi peristiwa yang telah, sedang dan akan terjadi dengan diiringi grimingan gender atau tanpa diiringi karawitan pakeliran. Adapun ginem yaitu ucapan dalang dalam pertunjukan wayang yang sedang memerankan dialog tokoh wayang sesuai dengan karakter dan suasana adegan. Contoh janturan dalam pertunjukan Wayang Thengul adalah sebagai berikut Pambukaning piatur kula sinambi ungeling gendhing. Kula mriki ngaturi priksa menawi lepat nyuwun pangapura. Amiwiti inggih menika Wayang Thengul utawi wayang golek ing laladan Blora. Buk manawa sira padha bisa tak kuwa nuruti printahe Gusti Kang Maha Kuasa bakal kabokean ing antarane bumi lan langit ndamel suasana ayem tentren ora ana alangan setunggal menapa Swuh rep data pitana hanenggih negari pundita kang kaeka adi dasa purwa. Eka marang sawiji adi linuweh dasa sepuluh purwa wiwitan. Senajan kathah negari kang anggana raras nanging ora kaya negara Puserbumi, inggih negari Guparman, ya negari Mekah al Mukaramah. Mila kawastana negara Puserbumi, puser menika under, bumi menika jagad, dados menika negara kang dadi underaning jagad. Negari Puserbumi kenging dipun wastani negari kang panjang pungjung, pasir wukir, gemah ripah baldatun toyyibatun baldatun nggofur. Sinten ta ingkang jumeneng nata wonten negari Guparman ya Mekah al Mukaramah. Inggih menika Prabu Abdul Muntalib ingkang kahadep dening para abdi. Ri kalenggahan menika Prabu Abdul Muntalib nembe judeg ing nggalih ngraosaken kawontenan negari Puserbumi kang kataman mendhung ngendhanu. saha mikiraken ingkang putra Amir Hambyah ingkang taksih geguru ing Gurdi ingkang dipun pandegani dening Lukman ingkang sampun bentur tapane. Ing pangajab ingkang putra Amir Hambyah saget nggentosi ingkang rama pun Prabu Abdul Muntalib. Mila sampun dangu denira miyos nanging dereng imbal wacana kalian ingkang seba (Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD No. 1).

73

(Pembukaan pertunjukan wayang sajian saya pada malam ini diiringi gendhing. Saya disini akan membeberkan sebuah cerita, apabila ada kesalahan saya mohon maaf yang sebesarbesarnya. saya mulai cerita tentang pertunjukan Wayang Thengul Blora. Barang siapa yang bisa mentaati semua perintah Tuhan Yang Maha Esa niscaya dia mendapatkan ketenangan lahir dan batin. Dalam hening aku berdoa, negara mana yang kaeka adi dasa purwa. eka berarti satu, adi hebat, dasa sepuluh, purwa yang awalan. Tidak ada negara lain yang seperti itu kecuali negara Puserbumi atau negara Guparman atau Negara Mekah. Bisa disebut negara Puserbumi karena memang di sana menjadi pusat atau kiblat dari seluruh dunia. Sungguh negara yang luas, yang dipenuhi pasir dan pegunungan-pegunungan serta negara yang sangat makmur dan tentram. siapakah yang memegang tahta kerajaan Puserbumi, dialah yang bergelar Prabu Abdul Muntalib yang sedang duduk disinggasana berhadapan dengan abdi kerajaan. Saat ini Prabu Abdul Muntalib sedang kebingungan mekirkan masalah yang mengguncang kerajaan dan memikirkan generasi penerus Negara Puserbumi). Janturan di atas merupakan janturan jejer Kerajaan Puserbumi lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Janturan tersebut berisi kalimat pembuka dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora, tempat adegan berlangsung, keadaan negara, nama raja yang berkuasa dan tokoh-tokoh wayang yang tampil dalam adegan jejer. Contoh pocapan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah sebagai berikut Bismillahirahmanirahim, wauta babaring pasèwakan negari Puserbumi, tansah èling marang purbanè Gusti kang akarya jagad (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 1). (dengan menyebut nama Tuhan yang maha pengasih dan maha penyayang, selesainya persidangan Negara Puserbumi, selalu ingat terhadap perintah Tuhan yang menguasai alam semesta).

74

Pocapan tersebut merupakan pocapan untuk mengakhiri adegan jejer Negara Puserbumi. Di dalam pocapan tersebut dalang memberikan kode kepada pengrawit untuk meminta gendhing Sholawat Eling-eling sebagai gendhing bedhol jejer. Contoh ginem dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah sebagai berikut: ABDUL MUNTALIB : Ya Fattah, Ya Rojah, Ibrahim Kalifatonah,Sun waspadakake kaya Kakang Patih Tambijaya. TAMBIJAYA : Inggih Gusti, kula ingkang marak seba. Mboten kentun kula ngaturaken sembah pangabekti mugi konjuk ing sahandaping pepada paduka. ABDUL MUNTALIB : Inggih dhawah sami-sami, amung pudyastutiningsun panjenengan ingkang wajib nampi Kakang. TAMBIJAYA : Nuwun inggih, kula tampi tangan kalih, kula kalungaken wonten ing jangga mugia dados jimat paripih. (Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD No. 1) ABDUL MUNTALIB : Wahai Tuhanku, Saya lihat ini seperti Kakak Patih Tambijaya. TAMBIJAYA : Iya Gusti, saya yang hadir dalam persidangan. Tidak lupa saya memberikan pengabdian kepada engkau. ABDUL MUNTALIB : Iya sama-sama, tidak lupa doaku terimalah Kakang. TAMBIJAYA : Iya terimakasih. Saya terima tangan dua, saya kalungkan pada leher semoga menjadi jimat yang manjur.

75

Ginem di atas merupakan sebagian ginem bage-binage dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih pada adegan jejer Negara Puserbumi.

b. Sabet Sabet merupakan segala gerak wayang di dalam kelir, mulai dari cara memegang wayang atau cepengan, wayang tampil, solah, tancep dan entasentasan. Cara memegang wayang di dalam pertunjukan wayang ada empat yaitu: (1) methit merupakan teknik cepengan dengan cara memegang cempurit wayang pada bagian antup, (2) ngepok yaitu teknik cepengan wayang dengan cara memegang cempurit wayang pada bagian picisan, (3) njagal adalah teknik memegang wayang dengan cara memegang cempurit bagian genuk atas sampai kulit wayang. (4) Ngrogoh merupakan teknik cepengan wayang dengan cara memasukan tangan dalang ke atas cempurit wayang, seperti saat adegan Baladewa naik gajah (Sunardi, 2013:85-86). Di dalam Wayang Thengul teknik cepengan ngrogoh inilah yang dipakai dalam pertunjukanya. Hal ini dikarenakan cempurit atau sogol yang dipakai dalang untuk memegang Wayang Thengul berada di dalam badan wayang. Adapun cara Wayang Thengul Blora tampil tidak berbeda jauh dengan kebanyakan wayang pada umumnya. Di dalam pertunjukan

76

Wayang Thengul Blora saat wayang tampil biasanya wayang muncul dari pojok kanan atas atau pojok kiri atas kemudian wayang turun dengan perkiraan kaki wayang berada di larapan. Setelah wayang tampil kemudian Wayang Thengul Blora melakukan gerakan (solah). Solah pada pertunjukan Wayang Thengul Blora berpacu pada gerakan tari-tarian wayang orang, antara lain gerakan cancut, ngawe, seblak sampur, angkat kaki dan lain sebagainya. c. Karawitan Pakeliran Karawitan pakeliran adalah semua bunyi vokal maupun instrumental yang dipergunakan untuk menghidupkan suasana dalam pertunjukan wayang (Bambang Murtiyoso, 1981:9). Di dalam pertunjukan Wayang Thengul unsur karawitan pakelirannya tidak berbeda jauh dengan pertunjukan wayang pada umumnya, antara lain gendhing, tembang, sulukan, kombangan, dhodhogan dan keprakan. Sulukan

adalah

vokal

yang

dibawakan

oleh

dalang

untuk

mendukung suasana tertentu di dalam pakeliran. Adapun jenis-jenis sulukan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora antara lain pathetan, sendhon dan ada-ada. Pathetan adalah sulukan yang mendukung suasana wibawa, tenang, mantap dan lega. Di dalam penyajiannya pathetan diiringi rebab, gambang, suling dan pada bagian tertentu disertai kempul, gong dan kenong. Sendhon adalah sulukan yang mempunyai kesan rasa susah dan

77

haru. Ada-ada yaitu jenis sulukan yang memberikan kesan rasa tegang, greget dan sereng. Di dalam penyajiannya, ada-ada diiringi dengan gender, kempul, gong dan disertai keprakan dan dhodhogan. Kombangan adalah vokal dalang yang dibawakan pada saat gendhing berbunyi dengan nada dan lagu menyesuaikan jalannya gendhing. Selain kombangan di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora juga terdapat tembang. Tembang merupakan lagu vokal dalang, pesindhen atau penggerong yang ada digunakan dalam suatu adegan tertentu. Di dalam penyajiannya sebuah tembang dapat dilantunkan melalui vokal saja dan dapat juga disertai dengan intrumen gamelan. Adapun salah satu contoh tembang di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah Sholawat Eling-eling yang digunakan Muslih untuk iringan bedholan jejer Puserbumi dalam lakon Amir Hambyah Winisudha Eling-eling sira manungsa Lanang wadon pada ngamalna ngaji Mumpung durung ketekanan Malaikat juru pati Luweh lara luweh susah Rasane wong aneng kubur Papakane kalajengking, klabang geni, ula geni, gada geni, rante geni Cawisane wong kang dosa Gumampang dhawuh pangeran Luweh mulya luweh mukti Rasane wong aneng syuwarga Papakane widadari, kasur babut kari ngenggoni (Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD No. 2). Ingalah wahai manusia Baik pria ataupun wanita ayolah semuanya mengaji Sebelum dijemput oleh

78

Malaikat pencabut nyawa Lebih sakit lebih susah Keadaan di dalam kuburan Di sana ada kalajengking, klabang berapi, ular berapi, gada berapi dan ratai api Semua itu hukuman buat orang yang banyak dosa Yang tidak pernah melaksanakan perintah Tuhan Lebih muliya dan lebih nyaman Keadaan didalam surga Disana dilayani oleh bidadari dan ditempatkan pada tempat yang serba nyaman 3. Struktur Dramatik Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih Sebelum membahas struktur pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Penulis akan memaparkan sekilas mengenai lakon dan struktur terlebih dahulu. Di dalam dunia drama dan teater ada beberapa tokoh yang mengemukakan tentang pengertian lakon, antara lain: 1. Riris K. Sarumpaet menjelaskan, lakon adalah kisah yang didramatisasi dan ditulis untuk dipertunjukan di atas pentas oleh sejumlah pemain (1977:35). 2. Panuti Sujiman mengatakan, lakon ialah karangan drama yang ditulis untuk dipentaskan. Lakon merupakan istilah lain dari drama (1984:46). Pendapat di atas menyimpulkan bahwa lakon juga merupakan bagian dari sebuah drama. Akan tetapi dalam lakon wayang tidak semua lakon ditulis seperti dalam lakon drama dan teater, karena pada awal mulanya cerita wayang tersebar melalui oral atau lisan. Dalang-dalang yang menyajikan lakon wayang pada umumnya hanya mengandalkan

79

daya ingat masing-masing. Menurut Bausastra Jawa yang disusun oleh Balai Bahasa Yogyakarta, kata lakon merupakan bahasa Jawa yang berasal dari kata "laku" mendapat akhiran "an" yang kemudian vokal "a" dan "u" luluh menjadi lakon lakon yang berarti perjalanan cerita (2011:415). Struktur di dalam ilmu kesusastraan adalah komponen utama dan merupakan prinsip kesatuan lakuan dalam drama. Paul M. Levvit juga mengemukakan penjelasan tentang struktur dalam bukunya yang berjudul A Structural Approach to The The Analisis of Drama yang dikutip oleh Soedira Satoto mengatakan bahwa adegan-adegan di dalam lakon merupakan bangunan unsur-unsur yang tersusun ke dalam satu kesatuan. Tegasnya struktur adalah tempat, hubungan, atau fungsi dari adeganadegan di dalam peristiwa yang berada dalam keseluruhan lakon (Soediro Satoto, 1985:14). Di dalam struktur drama atau lakon mempunyai unsur-unsur penting yang membina di dalamnya. Unsur-unsur tersebut antara lain tema dan amanat, alur atau plot, penokohan atau karakterisasi, dan tikaian atau konflik. Louise G. Stevens juga mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Introduction to Drama yang telah dikutip oleh Soediro Satoto menjelaskan bahwa, di samping unsur alur (plot) dan penokohan (karakterisasi, perwatakan) unsur latar atau setting juga sangat penting karena berpengaruh terhadap kejadian-kejadian yang dapat mempengaruhi mood atau suasana dalam sebuah lakon (1985:15).

80

Menurut Sumanto struktur dramatik lakon adalah sebuah bangunan teatrikal lakon yang tersusun dari serangkaian adegan yang terjalin baik secara kausalitas maupun linier. Adegan-adegan itu membentuk dari kesatuan garap unsur pakeliran meliputi catur, sabet dan karawitan pakeliran dengan menghadirkan figur wayang sebagai aktualisasi tokohtokoh yang berperan dalam lakon tersebut (2011:28). Adapun unsur lakon wayang menurut Sumanto adalah sebagai berikut; alur lakon (jalannya cerita), penokohan (karakterisasi atau perwatakan tokoh-tokoh yang hadir di dalam lakon), setting (ruang, waktu dan suasana), konflik (permasalahan dan penyelesaian), tema dan amanat (2011:30).

a. Alur Lakon Alur lakon wayang merupakan abstraksi dari jalinan kejadiankejadian di dalam lakon baik yang dibentuk berdasarkan kaidah sebab akibat maupun yang linier. Di dalam alur lakon wayang mengandung tokoh-tokoh wayang, setting, permasalahan konflik dan penyelesaian, sehingga semua unsur tersebut membentuk suatu ketergantungan antar alur lakon wayang dengan perwatakan tokoh-tokohnya (Sumanto, 2011:54).

81

Di dalam dunia pedalangan biasanya alur lakon tidak dikenali, di dalam tradisi pedalangan lebih mengenal sebutan balungan lakon atau bangunan lakon. Antara alur lakon dengan balungan lakon memilki karakteristik yang berbeda. Najawirangka menyebutkan istilah "balungan" hanya berupa ringkasan cerita wayang (1958:1). Demikian juga dengan Sarwanto yang menjelaskan bahwa balungan lakon adalah urutan adegan dan peristiwa yang terjadi dalam seluruh lakon (2008:173). Hal ini berbeda dengan alur lakon yang di dalamnya memuat ruang, waktu, tempat, suasana, tokoh-tokoh, permasalahan, konflik, dan penyelesaian. Adapun alur lakon Amir Hambyah Winisudha dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih adalah sebagai berikut 1) Jejer Puserbumi Tokoh: Prabu Abdul Muntalib, Patih Tambijaya, Tumenggung Abdul Manap, Tumenggung Manabdul dan emban. Prabu Abdul Muntalib yang dihadap Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap sedang membicarakan tahta penerus Kerajaan Puserbumi. Orang yang dijagokan menjadi calon penerus raja di Kerajaan Puserbumi adalah putra Prabu Abdul Muntalib yang bernama Amir Hambyah. Akan tetapi pada saat itu Prabu Abdul Muntalib dan para abdi kerajaan belum tahu kapan Amir Hambyah akan kembali dari Padepokan Gurdi tempat dia menuntut ilmu.

82

Pada saat pembicaraan masih berlangsung datanglah Tumenggung Manabdul dari Kerajaan Yaman. Dia datang untuk meminta bantuan sandang dan pangan karena Negara Yaman sedang dilanda musibah pagebluk.

Pada

saat

itu

Prabu

Abdul

Muntalib

menghentikan

pembicaraan tentang calon penerus kerajaan dan memerintahkan para wadya Puserbumi pergi ke negara Yaman dan membantu mereka. Setelah itu pasewakan akhirnya dibubarkan. Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap pergi keluar dan Prabu Abdul Muntalib masuk dalam tempat peribadatan. 2) Budhalan Tokoh: Patih Tambijaya, Tumenggung Abdul Manab dan Rampokan (Prajurid). Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap keluar memanggil para pasukan Kerajaan Puserbumi. Para pasukan Puserbumi disuruh membawa makanan dan pakaian, kemudian mereka berbaris dan pergi menuju Kerajaan Yaman. 3) Adegan Selapilih Tokoh: Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe, Surabajul Patih Panigaslawa menerima perintah Prabu Maktal Raja di kerajaan Selapilih. Karena sifatnya yang sombong Prabu Maktal ingin mengusai seluruh dunia, kemudian dia memerintahkan para pasukan Selapilih untuk menyerang dan menaklukan Kerajaan Puserbumi. Oleh karena itu

83

Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe segera membentuk barisan dan berangkat menuju kerajaan Puserbumi. 4) Perang Gagal Tokoh: Patih Tambijaya, Tumenggung Abdul Manap, Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe. Patih Tambijaya dan Temenggung Abdul Manap bersama pasukan Puserbumi yang sedang berada di dalam perjalanan menuju Negara Yaman.

Bertemu

Sandhanglawe

dengan

bersama

Patih

pasukan

Panigaslawa Selapilih

dan

yang

Tumenggung

sedang

menuju

Puserbumi. Setelah mengetahui niat Prabu Maktal yang ingin menguasai negara Puserbumi, akhirnya terjadilah peperangan antara pasukan Puserbumi dan pasukan Selapilih. Di dalam peperangan ini pasukan puserbumi mengalami kekalahan kemudian mundur dari perjalanan ke Yaman berubah menjadi kembali ke Kerajaan Puserbumi. 5) Padepokan Gurdi Tokoh: Amir Hambyah, Kyai Gambuh, Blethik dan Blegok Amir Hambyah merasa gelisah, dia mempunyai firasat buruk tentang negara Puserbumi. Kemudian dia bertanya kepada Kyai Gambuh untuk mendapatkan solusinya. Kyai Gambuh memberi saran kepada Amir

Hambyah

untuk

pulang

ke

Negara

kemungkinan di sana sedang terjadi masalah besar.

Puserbumi,

karena

84

6) Puserbumi Tokoh: Prabu Abdul Muntalib, Patih Tambijaya, Tumenggung Abdul

Manap,

Prabu

Maktal,

Patih

Panigaslawa,

Tumenggung

Sandhanglawe, Amir Hambyah, Kyai Gambuh, Blethik, dan Blegok. Patih Tambijaya yang mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan pasukan Selapilih akhirnya melapor kepada Prabu Abdul Muntalib, dengan cekatan akhirnya Prabu Abdul Muntalib bergegas pergi menemui Patih Panigaslawa beserta pasukan Selapilih yang telah sampai di kerajaan Puserbumi. Karena tujuan Prabu Maktal yang ingin menguasai negara Puserbumi, akhirnya konflik antara pasukan Selapilih dan Puserbumi tidak bisa diselesaikan selain melalui peperangan. Peperangan yang terjadi sangatlah sengit, para pasukan hambir berimbang kekuatan. Akan tetapi di dalam peperangan ini Prabu Abdul Muntalib beserta pasukan Puserbumi masih juga mengalami kekalahan, sampai akhirnya datanglah Amir Hambyah yang bisa mengalahkan pasukan Selapilih. Amir Hambyah yang sudah menyelamatkan negara Puserbumi akhirnya disahkan menjadi Raja kerajaan Puserbumi dengan julukan Wong Agung Jayengrana. Di dalam alur, urutan-urutan kejadian yang diceritakan disebut dengan struktur alur. Menurut William Henry Hudson yang dikutip oleh

85

Soediro Satoto struktur lakon terdiri dari; eksposisi, konflik, komplikasi, krisis, resolusi dan keputusan. 1) Eksposisi adalah pengenalan cerita kepada penonton supaya penonton mendapatkan gambaran-gambaran awal mengenai cerita yang dipentaskan dengan tujuan penonton mampu mengahayati cerita tersebut. 2) Konflik ialah urutan kejadian dalam cerita atau lakon yang berisi permasalahan pertama yang dialami oleh tokoh cerita. 3) Komplikasi yaitu urutan kisah dalam cerita atau lakon yang berisi timbulnya masalah baru atau merumitnya masalah yang dialami oleh pelaku cerita. 4) Krisis adalah urutan dalam serangkaian peristiwa lakon saat mengalami puncak masalah. Biasanya dalam konflik tokoh sudah memikirkan jalan keluarnya. 5) Resolusi yaitu tahap dalam cerita lakon saat persoalan yang dialami tokoh mulai memperoleh peleraian. 6) Keputusan adalah urutan rangkaian cerita dalam lakon saat persoalan telah mendapat penyelesaian (Soediro Satoto 1985:21-22). Adapun analisis struktur alur menurut William Henry Hudson dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Mushlik adalah sebagai berikut

86

1) Eksposisi Eksposisi dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Mushlik ditunjukkan saat adegan jejer dimulai. Dari tari-tarian para Emban, kedatangan Raja dan Abdi Kerajaan merupakan pengenalan awal mengenai cerita yang disajikan. Di samping itu dalang juga

memperjelas suasana cerita melalui janturan Negara

Puserbumi. 2) Konflik Konflik dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Mushlik adalah (1) keadaan Raja Puserbumi Prabu Abdul Muntalib yang sudah beranjak tua usianya sehingga dia membutuhkan penerus. (2) Adanya utusan dari negara Yaman, bahwa negara tersebut sedang dilanda masalah sehingga meminta bantuan kepada negara Puserbumi. Keingginan dari Prabu Maktal Raja dari Kerajaan Selapilih untuk menguasai Kerajaan Puserbumi. 3) Komplikasi Komplikasi dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah

Winisudha

sajian

Mushlik

adalah

bertemunya

pasukan

Puserbumi saat mereka melakukan perjalanan menuju Yaman untuk memberi bantuan dengan pasukan Selapilih yang dipimpin oleh Patih Panigaslawa. Dalam pertemuan tersebut terjadilah kerusuhan yang berakhir dengan peperangan antara pasuka Puserbumi dan Pasukan

87

Selapilih. Pada awal peperangan pasukan Puserbumi dapat mengalahkan pasukan Selapilih, akan tetapi setelah Prabu Maktal turun tangan dalam pertempuran, akhirnya Pasukan Puaserbumi kalah dalam peperangan. Setelah itu

pasukan Puserbumi mundur atau kembali ke Kerajaan

Puserbumi untuk meminta bantun, sehingga menimbulkan masalah baru yang lebih rumit. 4) Krisis Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah sajian Mushlik krisis dalam adegan ini terjadi saat pasukan Selapilih sampai di Kerajaan Puserbumi. Pada waktu yang sama Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap menghadap kepada Prabu Abdul Muntalib. Melihat keadaan tersebut Prabu Abdul Muntalib sangatlah bingung dan resah, kemudian dia memutuskan untuk pergi menemui pasukan Selapilih didampingi dengan seluruh pasukan Puserbumi dan mengutus Patih Tambijaya untuk mencari Amir Hambyah yang bertujuan untuk membantu keadaan Kerajaan Puserbumi. Akan tetapi Prabu Abdul Muntalib sendiri tidak dapat melawan kekuatan pasukan Selapilih yang kemudian membuat keadaan semakin sulit dan tegang. 5) Resolusi Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Mushlik, resolusinya diceritakan setelah Prabu Abdul

88

Muntalib kalah melawan pasukan Selapilih dan datanglah Amir Hambyah. Setelah itu Amir Hambyah lah yang berhasil mengalahkan pasukan Selapilih dan mengusir mereka dari kerajaan Puserbumi. 6) Keputusan Keputusan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah sajian Mushlik yaitu diangkatnya Amir Hambyah sebagai Raja Puserbumi yang kemudian diberi julukan Wong agung Menak atau Wong Agung Jayengrana. Amir Hambyah diangkat menjadi raja karena jasanya yang telah berhasil mengalahkan pasukan Selapilih yang ingin menjajah Kerajaan Puserbumi. Di samping itu Amir Hambyah juga anak dari Prabu Abdul Muntalib raja dari kerajaan Puserbumi yang sudah memasuki lanjut usia. Jadi sudah pantas kalau Amir Hambyah yang meneruskan menjadi Raja Keraton Puserbumi. Berdasarkan uraian pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pertunjukan tersebut mempunyai alur maju, karena peristiwanya beruntut dan mempunyai kesinambungan secara kronologis dari awal sampai akhir pertunjukan.

b. Penokohan Penokohan di dalam dunia drama biasanya disebut dengan perwatakan atau karakterisasi. Menurut Soediro Satoto penokohan adalah

89

proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak dalam suatu pementasan lakon (1985:24). Berbeda dengan dunia drama, di dalam dunia pedalangan pengkarakteran tokoh wayang merupakan usaha seniman dalang dalam rangka membangun citra atau gambaran tokohtokoh wayang agar menjadi hidup, berkepribadian dan berwatak, sehingga memiliki sifat-sifat dan karakter tertentu (Sumanto, 2011:57). Penokohan di dalam dunia pedalangan tidak bisa bersifat bebas seperti pada dunia drama dan teater. Biasanya penokohan di dalam dunia pedalangan sudah terpola dan mentradisi, hal ini disebabkan karena di dalam dunia pedalangan cerita-ceritanya memiliki sumber acuan yang sama seperti, Mahabarata, Ramayana, Lokapala, Serat Menak dan lain sebagainya. Di samping itu cerita pedalangan juga berlanjut dan mempunyai hubungan dengan cerita yang lainya. Di dalam memerankan tokoh wayang, dalang harus mampu menjiwai karakter yang diperankan dengan tujuan menciptakan citra tokoh tersebut. Akan tetapi secara esensi seorang dalang mempunyai kebebasan menafsirkan penokohan wayang sesuai denga citra, bayangan dan harapannya agar sesuai zamannya. Oleh karena itu tidak mustahil jika seorang dalang merubah pencitraan tokoh-tokoh wayang sesuai dengan bayangan, harapan dan cita-citanya. Menurut Sumanto penokohan yang ada di dalam suatu lakon wayang dapat diamati melaui; (1) penampilan fisik (2) penampilan non

90

fisik (3) pemikiran, perasaan dan kehendaknya (4) ujaran atau ucapan (5) Tindakan atau perilakunya (6) Benda pendukung (2011:61). Penokohan wayang yang tergambar melalui penampilan fisik biasanya tercermin di dalam busana wayang, baik yang terlihat langsung di dalam pertunjukan dan busana yang diungkapkan dalang melaui narasi pertunjukan wayang seperti ginem, janturan, pocapan. Akan tetapi tidak hanya penampilan fisik saja yang dapat dalang ungkapkan melalui narasi, di dalam pertunjukan wayang penampilan non fisik yang menggambarkan watak tokoh wayang juga dapat diungkapkan melaui narasi. Misalnya melaui ginem, janturan dan pocapan wayang yang berhubungan dengan kesaktian, pambegan dan pandangan hidup tokoh tersebut. Hampir semua penokohan di dalam pertunjukan wayang dapat tercermin melalui narasi wayang, di samping penampilan fisik dan penampilan non fisik, narasi juga dapat mengungkapkan pemikiran, perasaan, kehendak dan ucapan tokoh wayang. Akan tetapi di dalam mengamati perilaku tokoh wayang, biasanya lebih sering tercermin melaui sabet atau gerakan tokoh tersebut di dalam pertunjukan. Adapun benda lain yang dapat membangun penokohan dalam dunia pedalangan adalah kendaraan (tumpakan) dan pusaka tokoh tersebut.

Kendaraan

di

dalam

penokohan

lakon

wayang

dapat

mendukung karakter tokoh yang bersangkutan, bahwa tokoh yang

91

bersangkutan mempunyai kewibawaan, kesaktian dan kelebihan yang berbeda dengan tokoh lainnya. Begitu halnya dengan pusaka tokoh wayang, kehadiran pusaka bersama dengan tokoh wayang tidak hanya sebagai senjata saja tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pertahanan, penyerangan dan kekuatan supra natural yang dimiliki tokoh tersebut. Menurut Sumanto untuk mengetahui jenis penokohan dalam lakon wayang (terutama lakon wayang konvensional) dapat menggunakan konsep jenis-jenis penokahan dalam dunia drama (2011:83). Adapun jenis penokohan dalam dunia drama adalah sebagai berikut 1. Tokoh Protagonis adalah tokoh utama yang merupakan pusat cerita atau lakon. 2. Tokoh Antagonis yaitu tokoh yang bermusuhan dengan tokoh utama dan biasanya menimbulkan konflik atau pertikaian. 3. Tokoh Tritagonis adalah tokoh yang berperan sebagai penengah atau pelerai anatara protagonis dengan antagonis. 4. Tokoh Peran Pembantu yaitu tokoh yang tidak terlibat langsung dalam pertikaian akan tetapi dia dia diperlukan untuk menyelesaikan cerita tersebut (Soediro Satoto 1985:25). Berdasarkan

pemaparan

tokoh

tersebut,

penokohan

dalam

pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih adalah sebagai berikut

92

1) Tokoh Protagonis a) Amir Hambyah Amir Hambyah dapat dijadikan tokoh utama dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Walaupun tokoh tersebut hanya tampil pada pertengahan dan pada akhirakhir pertunjukan, akan tetapi nama Amir Hambyah sudah mulai diperbincangkan sejak pertunjukan baru dimulai atau pada saat jejer. Di samping itu nama Amir Hambyah juga digunakan sebagai judul lakon pertunjukan Wayang Thengul ini. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih, Amir Hambyah berjasa mengalahkan pasukan Selapilih dan menyelamatkan Prabu Abdul Muntalib dari serbuan musuh, Kerajaan Puserbumi dan rakyat Puserbumi dari penjajahan prajurit Selapilih yang dipimpin Patih Panigaslawa. Sehingga berkat jasanya tersebut Amir Hambyah diangkat menjadi raja di Kerajaan Puserbumi. Dari peran-peran yang ditampilkan tokoh Amir Hambyah dapat disimpulkan bahwa dirinya merupakan tokoh yang mempunyai karakter cerdas, kuat, berani, suka menolong dan bijaksana, sehingga dirinya menjadi tokoh central atau penting dan merupakan tokoh protagonis dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih.

93

2) Tokoh Antagonis a) Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe Kedua

tokoh

tersebut

merupakan

tokoh

antagonis

dalam

pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih karena tokoh tersebut adalah tokoh yang selalu menimbulkan masalah dalam pertunjukan. Meskipun mereka melakukan kekacaun karena diperintah oleh Prabu Maktal akan tetapi tokoh tersebutlah yang selalu tampil untuk membuat onar. Adapun masalah-masalah yang mereka buat adalah (1) menghalangi perjalanan pasukan Puserbumi mengirim bantuan ke Kerajaan Yaman. (2) berusaha menjajah Kerajaan Puserbumi (3) melakukan serangan membabibuta terhadap Tumenggung Abdul Manap, Patih Tambijaya dan Prabu Abdul Muntalib. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh tersebut mempunyai karakter serakah dan kejam.

3) Tokoh Tritagonis a) Kyai Gambuh Kyai Gambuh dapat dijadikan tokoh tritagonis karena dia berperan sebagai penasihat, pamong atau pengikut Amir Hambyah. Kyai Gambuh merupakan tokoh lokal yang hanya terdapat dalam pertunjukan Wayang

94

Thengul Blora. Pada pertunjukan wayang pada umumnya, Kyai Gambuh ini sama dengan tokoh Semar yang berperan sebagai pamong para kesatria. Pada adegan Padepokan Gurdi pada saat Amir Hambyah mempunnyai firasat buruk dan sebelum Amir Hambyah pulang ke Puserbumi, Kyai Gambuh memberi wejangan atau nasihat kepada Amir Hambyah untuk selalu berhati-hati dalam bertindak. Kyai Gambuh selalu berusaha memberi nasihat kalau suatu masalah haruslah diselesaikan dengan kepala dingin. Dengan demikian tokoh Kyai Gambuh berperan sebagai tokoh tritagonis dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hamyah Winisudha sajian Muslih.

b) Patih Tambijaya Patih Tambijaya dapat berperan sebagai tokoh Tritagonis, karena selalu menaati perintah Raja Puserbumi dan ikut memerangi pasukan Selapilih. Di samping itu, sikap bijaksananya terlihat dalam adegan candhakan saat pasukan Selapilih telah mengepung Kerajaan Puserbumi. Prabu Abdul Muntalib langsung memutuskan untuk menemui pasukan Selapilih tersebut dengan tujuan menyerang balik mereka. Akan tetapi keputusan tersebut dirasa kurang tepat oleh Patih Tambijaya, oleh karena itu dia berpendapat alangkah baiknya apabila ada salah satu abdi kerajaan Puserbumi yang mencari Amir Hambyah dengan tujuan meminta

95

bantuan untuk melindungi Kerajaan Puserbumi. Pendapat tersebut diterima baik oleh Prabu Abdul Muntalib, sehingga Sang Raja memutuskan pergi menemui pasukan Selapilih bersama Tumenggung Abdul Manap, sedangkan Patih Tambijaya diutus mencari Amir Hambyah.

c) Prabu Abdul Muntalib Prabu Abdul Muntalib merupakan tokoh yang mempunyai sikap bijaksana, perhatian, tanggung jawab dan berani dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Karakternya tersebut terlihat saat dia mengirimkan bala bantuan kepada Kerajaan Yaman yang sedang dilanda bencana. Sikap keberaniannya terlihat saat Prabu Abdul Muntalib pergi berperang melawan pasukan Selapilih yang menyerang kerajaan Puserbumi. Sebagai raja yang bertanggung jawab dan berani Prabu Abdul Muntalib mencoba mengalahkan pasukan Selapilih dan melindungi kerajaan Puserbumi meskipun para abdi kerajaan sudah dikalahkan oleh pasukan Selapilih.

d) Tumenggung Abdul Manap Tokoh ini dapat dikatakan tokoh tritagonis di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih

96

karena tokoh ini hampir selalu hadir dari awal pertunjukan sampai dengan akhir pertunjukan. Tumenggung Abdul Manap adalah seorang Abdi kerajaan Puserbumi yang setia kepada rajanya. Dia memegang peran penting dalam adegan budalan, perang gagal dan adegan candhakan pada pathet manyura. Dia merupakan tokoh yang berani dan tanggung jawab, terbukti saat dia melaksanakan perintah raja dan berperang melawan prajurit Selapilih walaupun mengalami kekalahan. 4) Tokoh Pembantu a) Limbuk dan Cangik Limbuk dan Cangik merupakan tokoh pembantu dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. Tidak hanya terbatas pada Wayang Thengul Blora saja, akan tetapi pada pertunjukan wayang pada umunya tokoh Limbuk dan Cangik juga menjadi tokoh pembantu dalam pergelarannya. Tokoh ini memberikan hiburan kepada penonton sekaligus memberikan nasihat-nasihat islami kepada penikmat pertunjukan Wayang Thengul. Kedua tokoh ini berperan sebagai emban dalam sebuah adegan kedhatonan. Karena pembahasan dalam adegan ini tidak sesuai dengan alur cerita lakon yang disajikan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua tokoh

97

tersebut termasuk tokoh pembantu dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih.

b) Blethik dan Blegok Selain Limbuk dan Cangik, Blethik dan Blegok juga merupakan tokoh pembantu dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih. Blethik dan Blegok adalah tokoh lokal yang hanya terdapat di pertunjukan Wayang Thengul Blora. Kedua tokoh ini merupakan pamong atau pengikut Amir Hambyah. Di dalam pertunjukan wayang purwa kedua tokoh ini sama dengan Petruk dan Bagong yang selalu mengikuti seorang satriya dalam pertunjukan wayang purwa. Tokoh Blethik dan Blegok tampil dalam adegan gara-gara dan adegan pada Padepokan Gurdi tempat Amir Hambyah menuntut ilmu kepada Lukaman Hakim. Kedua tokoh ini berfungsi memberi hiburan berupa humor-humor yang segar kepada penonton baik dalam adegan gara-gara maupun dalam adegan yang lain yang menampilkan tokoh ini.

c) Tumenggung Manabdul Tokoh ini merupakan Tumenggung di Kerajaan Yaman. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih Tumenggung Manabdul datang ke negara Puserbumi untuk meminta bantuan karena pada saat itu negara Yaman sedang dilanda

98

bencana. Dari tindakannya tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh ini mempunyai karakter amanah dan bertanggung jawab. Hal ini terbukti karena dia melaksanakan perintahnya sebagai Tumenggung yaitu menjalankan perintah rajanya untuk meminta bantuan ke Puserbumi.

c. Setting Latar atau setting adalah ruang dan waktu terjadinya peristiwa. Setting di dalam lakon tidak sama dengan panggung, akan tetapi panggung merupakan perwujudan (visualisasi) dari setting. Di dalam setting ada tiga aspek penting yaitu aspek ruang, aspek waktu dan aspek suasana (Soediro Satoto, 1985:26-27). Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih setting yang dapat dianalisis hanyalah tempat (aspek ruang) dan suasana adegan. Adapun rinciannya antara lain 1) Jejer Puserbumi, tempat adegannya adalah Setinggil Kerajaan Puserbumi. Suasana dalam jejer santai (terungkap melalui sulukan pathet nem wantah yang bersifat regu), bimbang (saat membahas keadaan Amir Hambyah dan membahas penerus kerajaan Puserbumi), kaget dan sedih (mengetahui adanya bencana yang melanda Kerajaan Yaman).

99

2) Adegan Kedhatonan, tempat dalam adegan tersebut adalah kedhaton Kerajaan Puserbumi. Di dalam adegan ini suasananya adalah merdeka dan santai. hal tersebut digambarkan melaui humorhumor yang ditampilkan dalang dan lagu-lagu dolanan yang disajikan untuk menghibur penonton. 3) Budhalan, tempatnya adalah Kerajaan Puserbumi tepatnya tidak diketahui karena tidak diperjelas dalam pertunjukan. Adapun suasana dalam adegan ini adalah semangat. 4) Adegan Selapilih, tempatnya adalah Kerajaan Selapilih. Suasana dalam adegan ini adalah tegang terbukti sebelum antawacana adegan ini diawali dengan ada-ada slendro nem. 5) Adegan Perang Gagal, tempat dalam adegan ini tidak diketahui secara pasti. Di dalam pertunjukan hanya dijelaskan kalau perang gagal ini terjadi di tengah perjalanan pasukan Puserbumi dan di tengah perjalanan pasukan Selapilih. Adapun suasana dalam adegan ini yaitu tegang, gaduh dan lucu. Suasana ini terbentuk karena adegan ini diawali dengan ada-ada dan kegaduhan terjadi karena peperangan kedua pasukan, serta lucu yang terbentuk karena adanya perang gecul. 6) Adegan Gara-gara, tempatnya berada di Padepokan Gurdi karena Blethik dan

Blegok merupakan pengikut Amir Hambyah yang

sedang menuntut ilmu di sana. Adapun suasana dalam adegan ini

100

adalah santai dan lucu karena dalang menyajikan humor yang segar dan lagu-lagu dolanan. 7) Adegan Padepokan Gurdi, tempat adegan tersebut adalah Padepokan Gurdi, adapun suasana pada saat itu terlihat cemas atau was was. Hal ini dapat dicermati melalui firasat buruk yang dirasakan Amir Hambyah mengenai keadaan Kerajaan Puserbumi. 8) Adegan Candakan I, tempat adegan ini adalah Keraton Puserbumi. Suasana dalam adegan ini adalah tegang, menakutkan dan gelisah. Suasana tersebut terbentuk karena pada saat itu Kerajaan Puserbumi dikepung oleh pasukan Selapilih. 9) Adegan Candakan II, tempat berada di luar benteng Kerajaan Puserbumi. Suasana pada saat itu adalah tegang dan gaduh, karena pada saat itu terjadi pertempuran antara Prabu Abdul Muntalib beserta pasukan Puserbumi melawan Patih Panigaslawa dan Tumenggung Sandhanglawe beserta pasukan Selapilih. 10) Adegan Pamungkas, tempat adegan ini adalah Keraton Puserbumi. Di dalam adegan ini suasananya adalah gembira, sakral dan resmi, karena dalam adegan tersebut Amir Hambyah dinobatkan menjadi Raja di Kerajaan Puserbumi setelah mengalahkan pasukan Selapilih.

101

d. Permasalahan dalam Lakon Wayang Permasalahan di dalam pakeliran khususnya dalam lakon wayang biasanya juga disebut dengan permasalahan lakon. Permasalahan lakon adalah sesuatu yang menjadi timbulnya konflik. Sering juga disebut dengan underaning lelakon yang artinya sesuatu yang sangat mendasar sebagai penyebab terjadinya peristiwa lakon dan konflik. Berhubungan dengan itu ada tiga jenis dalam lakon wayang: (1) permasalahan pokok, (2) permasalahan pendukung (3) permasalahan pelengkap (Sumanto, 2011:126). Permasalahan pokok atau permasalahan utama di dalam dunia pedalangan biasanya disebut "permasalahan gawan lakon". Permasalahan ini disebut permasalahan utama karena merupakan permasalahan yang menjadi issu sentral dalam lakon. Kemudian permasalahan ini juga disebut sebagai gawan lakon karena permasalahan ini terkait erat dengan lakon sejak awal hingga akhir cerita (Sumanto, 2011:126). Adapun permasalahan utama dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih adalah keserakahan Prabu Maktal yang ingin menguasai kerajaan Puserbumi dan seluruh dunia. Permasalahan pendukung yaitu permasalahan yang terkait secara tidak langsung dengan permasalahan pokok lakon. Fungsi dari permasalahan ini adalah mendukung terjadinya permalahan pokok atau

102

memantapkan keberadaan permasalahan utama (Sumanto, 2011:127). Adapun permasalahan pendukung dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih adalah keberadaan Amir Hambyah di Padepokan Gurdi, sehingga membuat pasukan Selapilih

bisa

menembus

pertahanan

kerajaan

Puserbumi

dan

mengalahkan Prabu Abdul Muntalib. Sumanto mengatakan permasalahan pelengkap ialah permasalahan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan permasalahan pokok, akan tetapi membuat lakon semakin lengkap. Meskipun demikian tanpa permasalahan pelengkap ini kemantapan lakon tidak akan berkurang (2011:128). Adapun permasalahan pelengkap dalam

pergelaran Wayang

Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih adalah timbulnya kekacauan atau paceklik di Negara Yaman yang meminta bantuan ke negara Puserbumi sehingga Prabu Abdul Muntalib mengutus Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap untuk pergi menuju negara Yaman yang kemudian bertemu dengan pasukan Selapilih di tengah

perjalanan.

Andaikata

tidak

ada

permasalahan

tersebut

kemantapan lakon Amir Hambyah Winisudha tidak akan berkurang dan permasalahan tersebut dapat diganti dengan permasalahan yang lain sesuai kreativitas dalang. Di dalam permasalahan lakon wayang biasanya terdapat konflik dan penyelesaian konflik dalam lakon wayang. Konflik dalam lakon wayang adalah suatu ekspresi pertikaian antara individu tokoh wayang dengan

103

individu tokoh wayang lain, individu tokoh wayang dengan kelompok atau kelompok tokoh wayang dengan kelompok tokoh wayang yang lain, yang

salah

satu

pihak

berusaha

mengalahkan,

menyingkirkan,

mengahancurkan atau membuat tidak berdaya karena berbagai alasan (Sumanto, 2011:142). Pada pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha konflik yang dialami adalah konflik antara individu dengan kelompok dan konflik antar kelompok. Konflik individu dengan kelompok pada pertunjukan tersebut adalah keinginan Prabu Maktal untuk menguasai kerajaan Puserbumi sehingga memicu konflik antar kelompok yaitu peprangan antara kerajaan Selapilih dan kerajaan Puserbumi. Penyelesaian konflik dalam lakon wayang dapat dilakukan dengan cara: keputusan seorang tokoh yang kemudian disetujui dan diikuti kelompok lain secara suka rela maupun terpaksa; kemenangan pada satu pihak yang kalah mati, kalah kemudian berubah wujud, dan kalah yang kemudian pergi karena malu; masing-masing pihak merasa berhasil; dan timbulnya kesadaran dari salah satu pihak atau dari kedua belah pihak. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih, tahap penyelesaian konfliknya adalah kekalahan dari salah satu pihak, yaitu kekalahan pasukan Prabu Maktal atau prajurit Selapilih yang dikalahkan oleh Amir Hambyah, setelah itu terbentuklah penyelesaian konflik timbulnya suatu keputusan yaitu diangkatnya Amir

104

Hambyah sebagai raja Puserbumi dengan julukan Wong Agung Jayengrana.

e. Tema dan Amanat Tema menurut Soedira Satoto adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam sebuah karya sastra baik yang terungkap ataupun tidak (1985:15). Di dalam sebuah karya sastra tema berfungsi sebagai dasar suatu cerita atau pemeranan serta pangkal tolak pengarang untuk memaparkan karya yang diciptakan (Aminudin, 1997:81). Penentuan

tema

dari

pertunjukan

lakon

wayang

hanyalah

merupakan interpretasi dari pengamat berdasarkan pengamatan terhadap pertunjukan lakon wayang. Hal ini dikarenakan tema setiap lakon wayang berbeda-beda tergantung dari sudut pandang masing-masing. Adapun tema dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah sajian Muslih yaitu tentang kepahlawanan. Tema ini tergambar melalui

perjuangan

Prabu

Abdul

Muntalib,

Patih

Tambijaya,

Tumenggung Abdul Manap dan Amir Hambyah yang berjuang mempertahankan negara dari serangan pasukan Selapilih yang ingin menjajah Kerajaan Puserbumi. Panuti Sujiman mengatakan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca lewat karyanya (19:5). Adapun pengertian amanat lakon wayang adalah pesan yang ingin disampaikan

105

dalang atau penyusun naskah kepada penonton atau pengahayat melalui karya lakon pakeliran tersebut (Sumanto, 2011:149). Di dalam pertunjukan wayang biasanya amanat yang terkandung di dalamnya disampaikan secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan wayang adalah sebuah karya yang mengandung nilai-nilai simbolis. Oleh karena itu dalam penyajian suatu pertunjukan wayang meskipun yang disajikan memiliki lakon yang sama akan tetapi pasti akan memiliki perbedaan nilai dan sanggit. Hal ini tergantung dalang yang menyajikan dan penonton yang menikmatinya, karena dalam pertunjukan wayang seorang dalang dan penonton pasti memiliki latar belakang sosial budaya yang berbeda-beda. Adapun amanat yang terkandung dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih yaitu a. Berpartisipasilah untuk membantu seseorang atau suatu daerah yang sedang dilanda bencana atau musibah. b. Mengajarkan penonton untuk berjiwa nasionalis. Sampai warga negara itu berani mengorbankan hidup dan matinya demi tanah kelahirannya. c. Memberi gambaran bahwa kebenaran pasti dapat menghancurkan kesalahan. Seperti ungkapan Jawa sapa kang salah mesthi bakal sèlèh yang artinya siapa yang salah maka dialah yang akan menerima kekalahan.

106

BAB IV ANALISIS ESTETIK PERTUNJUKAN WAYANG THENGUL BLORA LAKON AMIR HAMBYAH WINISUDHA SAJIAN MUSLIH Istilah estetika pada awalnya berasal dari bahasa Yunani yaitu berawal dari kata aesthesis yang berarti persepsi, pengalaman, perasaan ataupun pemandangan. Kata aesthesis pertama kali digunakan oleh Baumgarten untuk menunjuk cabang dari ilmu filsafat yang berurusan dengan seni dan keindahan dalam bingkai pengetahuan. Pada masa Kant, pengetahuan tentang seni tidak lagi berpayung pada Logika dan Etika, akan tetapi tetap mempertahankan istilah Estetika. Setelah itu, Estetika dinyatakan sebagai cabang ilmu filsafat yang berurusan dengan keindahan seni, baik menurut realitasnya dalam karya seni dan menurut pengalaman subyektif tentang karya seni (Hartoko, 1984:15-16). Di

dalam

dunia

pedalangan,

agar

pertunjukan

wayang

menimbulkan pengalaman estetis, seorang dalang harus mempunyai keterampilan teknis dan memahami pengetahuan mengenai seluk beluk dunia pedalangan. Keterampilan teknis tersebut meliputi: lakon, janturan, pocapan, ginem, pathetan, ada-ada, sekar, sendhon, dhodhogan, keprakan, gendhing, dan sabet adalah sarana yang harus ada untuk mewujudkan pertunjukan wayang yang estetis. Pengetahuan pedalangan yang terdiri dari pengetahuan teknis pakeliran, sejarah pedalangan, pengetahuan 105 106

107

wayang, filsafat wayang dan sebagainya memberikan kemantapan bagi dalang untuk menciptakan pertunjukan wayang yang berkualitas (Nojowirongko, 1960:8). Berdasarkan uraian tersebut estetika pedalangan adalah totalitas keindahan pertunjukan wayang yang terdiri dari garap artistik dan garap estetik yang disajikan secara utuh yang selanjutnya menimbulkan kesan estetik bagi para penghayat wayang (Sunardi, 2013:24). Adapun sebagian konsep estetika pedalangan antara lain nuksma dan mungguh yang telah diungkapkan oleh Sunardi. Nuksma merupakan konsep estetika pedalangan yang mengarah kepada ketepatan rasa dalam pertunjukan wayang. Rasa tersebut antara lain kasarira, krasa, urip ataupun semu. Sedangkan mungguh adalah keselarasan pertunjukan wayang yang telah memenuhi kriteria pantes, nalar dan trep (Sunardi, 2013:164). Di dalam pergelaran wayang, kesan estetis yang disampaikan dalang dapat diwujudkan melalui unsur garap pakeliran yang ditampilkan, antara lain meliputi garap catur, garap sabet dan garap karawitan pakelirannya. Sehingga untuk menganalisis aspek estetik pada sajian pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dapat diamati dari unsur garap pakeliran tiap-tiap adegannya.

108

A. Kajian Estetik Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha Sajian Muslih 1. Jejer Analisis estetika pada jejer Negara Puserbumi lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dapat diamati melalui garap catur, sabet dan karawitan pakeliran yang disajikan Muslih. Pada adegan pertama (jejer) dalam lakon Amir Hambyah Winisudha ini nuansa rasa yang berkesan adalah rasa regu sebagai kesan rasa estetik yang dominan. Kesan rasa regu yang pertama kali muncul di dalam pertunjukan dapat dirasakan berdasarkan janturan jejer Negara Puserbumi yang disajikan Muslih. Adapun janturan jejer Negara Puserbumi sajian Muslih adalah sebagai berikut. Pambukaning piatur kula sinambi ungeling gendhing. Kula mriki ngaturi priksa menawi lepat nyuwun pangapura. Amiwiti inggih menika Wayang Thengul utawi wayang golek ing laladan Blora. Buk manawa sira padha bisa tak kuwa nuruti printahe gusti kang maha kuasa bakal kabokean ing antarane bumi lan langit ndamel suasana ayem tentren ora ana alangan setunggal menapa. Swuh rep data pitana hanenggih negari pundita kang kaeka adi dasa purwa. eka marang sawiji adi linuweh dasa sepuluh purwa wiwitan. Senajan kathah negari kang anggana raras nanging ora kaya negara Puserbumi, inggih negari Guparman, ya negari mekah al mukaramah. Mila kawastana negara puserbumi, puser menika under, bumi menika jagad, dados menika negara kang dadi underaning jagad. Negari puserbumi kenging dipun wastani negari kang panjang pungjung, pasir wukir, gemah ripah baldatun toyyibatun baldatun nggofur. Sinten ta ingkang jumeneng nata wonten negari guparman ya mekah al mukaramah. Inggih menika Prabu Abdul Muntalib ingkang kahadep dening para abdi. Ri kalenggahan menika Prabu Abdul

109

Muntalib nembe judeg ing nggalih ngraosaken kawontenan negari Puserbumi kang kataman mendhung ngendhanu. saha mikiraken ingkang putra Amir Hambyah ingkang taksih geguru ing Gurdi ingkang dipun pandegani dening lukman ingkang sampun bentur tapane. Ing pangajab ingkang putra Amir Hambyah saget nggentosi ingkang rama pun Prabu abdul Muntalib. Mila sampun dangu denira miyos nanging dereng imbal wacana kalian ingkang seba (Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD No. 1). (Pembukaan pertunjukan wayang sajian saya pada malam ini diiringi gendhing. Saya disini akan membeberkan sebuah cerita, apabila ada kesalahan saya mohon maaf yang sebesarbesarnya. saya mulai cerita tentang pertunjukan Wayang Thengul Blora. Barang siapa yang bisa mentaati semua perintah Tuhan Yang Maha Esa niscaya dia mendapatkan ketenangan lahir dan batin. Dalam hening aku berdoa, negara mana yang kaeka adi dasa purwa. eka berarti satu, adi hebat, dasa sepuluh, purwa yang awalan. Tidak ada negara lain yang seperti itu kecuali negara Puserbumi atau negara Guparman atau Negara Mekah. Bisa disebut negara Puserbumi karena memang di sana menjadi pusat atau kiblat dari seluruh dunia. Sungguh negara yang luas, yang dipenuhi pasir dan pegunungan-pegunungan serta negara yang sangat makmur dan tentram. siapakah yang memegang tahta kerajaan Puserbumi, dialah yang bergelar Prabu Abdul Muntalib yang sedang duduk disinggasana berhadapan dengan abdi kerajaan. Saat ini Prabu Abdul Muntalib sedang kebingungan mekirkan masalah yang mengguncang kerajaan dan memikirkan generasi penerus Negara Puserbumi). Narasi janturan ini adalah janturan pada pertunjukan Wayang Thengul Blora versi Muslih. Penempatan kata-kata mantera dan berkomunikasi dengan penonton pada awal janturan merupakan salah satu corak khas dari Muslih. Rasa regu dalam janturan jejer dapat disampaikan Muslih melalui intonasi janturan yang stabil, pemenggalan kalimat yang jelas, tekanan perkata dan keselarasan sesuai dengan nada

110

gamelan. Janturan jejer lakon Amir Hambyah Windisudha disajikan Muslih dengan menerapkan bahasa dan sastra khas Wayang Thengul Blora. Bahasa tersebut merupakan bahasa pedalangan, yang terdiri dari basa krama, krama inggil, basa ngoko dan basa kawi yang dicampur dengan bahasa dialek masyarakat Blora. Pada bagian awal janturan

dalang membacakan mantra yang

diwujudkan dengan pilihan kata dan keindahan sastra. Untaian kata "swuh rep data pitana" yang berarti "dalam keheningan sang dalang sedang berdoa" mempunyai makna positif yang bertujuan meminta kepada Tuhan untuk keselamatan dan kelancaran pergelaran. Adapun rasa regu dan khidmat juga muncul saat Muslih melafalkan kata tersebut dengan panjang "swuuuuuh rep- datapitana" kemudian berhenti sejenak dan disambung tempo datar. Nuksma pada janturan ini diindikasikan oleh kemampuan dalang dalam

menjiwai

suasana

yang

menggambarkan

kondisi

Negara

Puserbumi. Dengan bekal pengalaman jiwa terhadap suatu negara, Muslih dapat mengungkapkan janturan jejer yang berisi suasana dan gambaran Negara Puserbumi seolah-olah berada pada negara yang dibicarakan. Pada sajian janturan jejer ini seolah-olah Muslih melihat, merasakan dan mengikuti persidangan Kerajaan Puserbumi, sehingga dapat dikatakan janturan dalam pertunjukan tersebut sudah kasarira atau mendarah daging dalam hati dalang. Adapun mungguh dalam janturan ini

111

adalah menyatunya narasi yang disajikan Muslih dengan sirepan gendhing jejer. Kesan rasa regu juga dapat dinikmati dari ginem tokoh Prabu Abdul Muntalib dan Patih Tambijaya. Gerak tokoh raja yang berwibawa dan gerak tokoh patih yang formal dan mantap diiringi dengan dhodhogan singgetan, disertai teknik penyuaraan dengan nada yang cenderung rendah membuat suasana dalam ginem jejer menjadi regu dan agung. Pada analisis sabet wayang, dapat diamati berdasarkan teknik menggerakkan wayang. Dalam pertunjukan wayang garap sabet meliputi cepengan, tancepan, wayang tampil, solah, dan entas-entasan. Di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora, jenis cepengan yang dipakai adalah cepengan ngrogoh. Hal ini dikarenakan cempurit Wayang Thengul atau sogol berapa di dalam jarik, sehingga tangan dalang yang menggerakkan menjadi tidak terlihat. Pada jejer lakon Amir Hambyah Winisudha solah wayang dimulai dari bedhol kayon. Solah kayon dibangun dari kesatuan gerak naik turun, bergetar, ke kiri dan ke kanan dengan jeda dan tempo yang sedang, setalah itu kayon ditancapkan pada larapan di sebelah kanan. Bedhol kayon mempunyai makna digelarnya dunia pewayangan, ketika kayon

dicabut,

digetarkan

dan

digerakkan

ke

kiri

dan

kanan

menggambarkan dimulainya detak kehidupan dalam pertunjukan wayang.

112

Solah Emban diekspresikan melalui tarian mengikuti irama gendhing dengan tempo lamban dan lemah gemulai sesuai dengan bentuk, karakter dan suasan adegan. Hal ini merupakan tarian tradisi untuk menyambut kedatangan raja. Setelah itu tokoh raja tampil disertai dengan solah menari dengan tempo dan tekanan sedang. Sebagai tokoh raja yang mempunyai karakter gagah, Abdul Muntalib mempunyai varian gerak menari disertai gejrugan kemudian tancep pada larapan sebelah kanan sebagai gambaran duduk di singgasana. Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap sebagai abdi raja menggunakan gerakan laku dhodhok dan sembahan sebagai lambang menghormati raja dan etika orang berjalan di dalam istana untuk menghadap raja. Nuksma pada sabet wayang diperlihatkan dalang melalui ketepatan ekspresi gerak tokoh wayang secara hidup dan menjiwai sesuai karakter tokoh wayang tersebut. Rasa estetik muncul ketika dalang menyolahkan wayang melalui gerakan,

bedhol kayon, tarian emban, tarian raja, laku

dhodhok, dan tancepan. Semua solah wayang telah kasarira dalam diri dalang sehingga ia bisa menjiwa karakter Abdul Muntalib, Tambijaya, Abdul Manap dan para emban secara hidup. Mungguh pada sabet jejer Puserbumi diterangkan berdasarkan pola perpaduan yang harmonis antara tokoh wayang, peristiwa adegan dan gendhing yang mengiringi. Semua solah wayang yang sesuai dengan irama gendhing dan suara kendhang membuat

113

sabet Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha dalam adegan jejer menyatu, sehingga membentuk keutuhan rasa estetik yang nyawiji. Adapun garap karawitan pakeliran dalam adegan jejer Puserbumi terdiri dari dhodhogan, keprakan, kombangan, sulukan dan iringan pakeliran. Dalam pembukaan pergelaran Wayang Thengul Blora, dalang tidak memulai dengan dhodhog kotak lima kali sebagai tanda persiapan kepada pengrawit bahwa wayang akan dimulai, akan tetapi dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora pembukan pertunjukan dimulai dengan buka cacahan saron yang disambut dalang dengan ndhodhog kothak satu kali dan mancal keprak satu kali sehingga berbunyi "ndok jek". Hal ini merupakan sasmita untuk meminta gendhing krucilan yang biasanya digunakan untuk solah kayon. Kesan rasa estetik sigrak muncul saat gendhing baru terdengar. Kombinasi solah kayon, kerprakan dan kinthilan saron yang membuat kesan rasa estetik ini muncul. Akan tetapi setelah gendhing melamban kesan rasa estetik yang berada di dalam gendhing tersebut berubah menjadi regu dan agung. Setelah gendhing suwuk, dalang mulai dhodhog kothak satu kali sebagai tanda akan dimulainya sulukan. Sulukan yang digunakan dalam adegan jejer terdiri dari Sulukan Pathet nem Wantah, Ada-ada Girisa, dan Pathet nem Jugag. Akan tetapi tulisan ini membatasi pembahasan pada suluk Pathet nem Wantah sebagai salah satu ragam sulukan yang dilantunkan Muslih dalam jejer Negara Puserbumi. Adapun sulukannya sebagai berikut.

114

Suluk Pathet nem Wantah 3

3

3

3 z3c. z2c.

z1x2x3x.c.

leng leng ram-ya ning ka - ang z2x.x3c5 5 z5c. 5 5 z3x.x5x.c. z6x.x.x5x.x3x.x.x5x3x2x.x.c. Sa -

sang ka ku - me - nyar

O

6 6 z6c. 6 6 z6x5c. z6x.x.x5x.x3x.x.x.x3x5x6x.x.c.

z!x5x.c.

Mang - reng - ga

ru-ming pu -

2

z2c. z1x.xyx.x1x2x.x.c.

2

2 2

mang-kin tan-pa 3

z2x.x3x5c. zyx.x.c. mas - lir

O

si - ring

z5x.xx3x5x6c. 2

ha - lep

ri

2

z2x1x.c. z2x.x.c.

ni - kang u - mah z2x.x3x5c.

2

2

z2x1c. zyx.x.xtx.x.c.

mur - bweng lang - it

O

2 2 2 2 z2x.c. z1x.x2x.x.c. z1x.x.x.c. z2x.x.x1xyx.x1xyxtxex.x.c. te - kyan sar-wa ma - nik

O

O

(Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD No. 1) Suluk pathet nem wantah yang diekspresikan Muslih mempertebal kesan rasa estetik regu dan agung di dalam adegan jejer Puserbumi. Peristiwa persidangan Kerajaan Puserbumi yang agung dan khidmat selaras dengan sulukan ini, komposisi tabuhan gamelan, gender, rebab dan gambang disertai pelantunan sulukan dengan tempo yang lamban semakin

115

menambah kesan rasa estetik regu, agung dan khidmad pada jalannya persidangan. Nuksma pada sulukan Pathet nem Wantah ditimbulkan dari daya batin dalang yang menjelmakan rasa regu dan agung melalui alur musikal dan makna cakepan. Pada saat melantunkan sulukan ini, perasaan dalang menyatu dalam rasa regu dan agung yang dirangsang dari kepekaannya menangkap fenomena suasana persidangan. Adapun mungguh pada sulukan Pathet nem Wantah ini tercapai karena dalang mampu menyusun dan menyelaraskan antara cakepan dan suara gender, rebab dan gambang sehingga membuat suatu keutuhan lagu sulukan.

2. Kedhatonan Di dalam adegan kedhatonan Muslih tidak menampilkan seluruh unsur garap pakeliran, ia hanya menyajikan sabet, ginem, dan karawitan pakeliran. Di dalam adegan ini kesan rasa yang dominan adalah prenes bebas dan gecul. Rasa prenes pada adegan ini pertama kali muncul saat dalang menampilkan tokoh Limbuk dan Cangik yang diiringi gendhing sholawat pepéléng ciptaan Muslih. Kedua tokoh tersebut tampil dari sebelah kanan sambil menari, di dalam garap sabet tepatnya pada solah wayang, Muslih menampilkan tarian Cangik dan Limbuk dengan sekaran sabet tarian gecul yang membuat penonton tertawa. Misalnya seperti sekaran tarian Cangik yang sedikit centhil dan sekaran tarian Limbuk yang temponya sangat

116

cepat dan disertai gejrugan membuat sabet wayang pada adegan ini menjadi urip. Tancepan adegan kedhatonan Puserbumi mempunyai komposisi Cangik di sebelah kanan larapan menghadap ke kiri dan Limbuk berada di sebelah kiri larapan menghadap ke kanan. Komposisi tancepan tersebut mempunyai pola keseimbangan antara gawang kanan dan kiri. Secara teknik, komposisi tancepan memperhatikan jarak posisi tancap antara tokoh Cangik dan tokoh Limbuk. Jarak tancap memiliki maksud agar perbedaan boneka wayang dapat terlihat jelas. Dalam adegan kedhatonan ini kedua tokoh Cangik dan Limbuk sama-sama ditonjolkan dengan seimbang. Nuksma pada sabet adegan kedhatonan Puserbumi terwujud saat Muslih dapat menggerakkan boneka Wayang Thengul sesuai dengan karakter dan bentuk boneka wayang tersebut sehingga terlihat kesan rasa nyawiji antara solah dan karawitan pakeliran yang mengiringi solah boneka wayang tersebut sehingga membuat gerak wayang menjadi hidup dan membentuk satu kesatuan kesan estetik yang prenes gecul. Cangik yang berukuran wayang kecil digerakkan dengan centil sedangkan Limbuk yang mempunyai bentuk boneka lebih besar digerakkan dengan ritme cepat dan kasar. Mungguh pada sabet adegan ini dapat tercapai karena ekspresi tancepan dibentuk berdasarkan keselarasan komposisi tancepan yang seimbang antara gawang kanan dan kiri, sehingga kedua tokoh sama-

117

sama menonjol dan menimbulkan kesan rasa yang bebas pada adegan kedhatonan Puserbumi. Rasa prenes gecul dan bebas juga terlihat dari ginem dalam adegan kedahatonan Puserbumi. Dari banyak ginem dalang di dalam adegan ini, tulisan ini hanya membatasi pada ginem dalang dengan sindhen sebagai bagian ginem yang dilakukan Muslih pada adegan kedhatonan Puserbumi. Adapun percakapan tersebut adalah sebagai berikut CANGIK SINDHEN CANGIK SINDHEN CANGIK SINDHEN CANGIK SINDHEN CANGIK SINDHEN

CANGIK CANGIK SINDHEN CANGIK

: Mbak yu. : Dalem Bu Cangik. : Kuwi panganané ndang dirahapi, gak sah pekewuh. Mengko tekan omah getun, ning omah gak énék lo kuwi. Apa ya bengi-bengi ijèk pasa? : Mboten ug Bu Cangik. : Lha ya ngunu, sing dimaksud pasa kuwi nahan hawa napsu saka terbité sengéngé nganti tekan angslupé sengéngé kuwi. : Lha ingkang mbatalne pasa niku napa mawon Bu Cangik. : Sing mbatalné ya mangan, ngombe, maén. pokoké sing élék-élék kuwi mbatalne pasa. Klebu kumpul suami istri ki ya mbatalné pasa lo. : lha berarti nag kumpul e mboten kalih bojoné niku mboten napa-napa Bu Cangik? : tegesé piyé? : Wau sajaré rak kumpul suami istri niku saget mbatalne pasa. Tegese nek kumpule niku mboten kalih suami napa istriné, napa kalih tanggané ngeten mboten batal no. : Wo jagad dewa bahtara! (Muslih, Amir Hambyah Winisudha, VCD. No 2). : Mbak Sindhen. : Iya Bu Cangik. : Itu makanannya buruan dimakan, gak usah malu-malu. Nanti kalau sampai rumah menyesal lo. Soalnya dirumah tidak ada

118

SINDHEN CANGIK

: :

SINDHEN

:

CANGIK

:

SINDHEN

:

CANGIK SINDHEN

: :

CANGIK

:

makanan seperti ini. Apakah malam hari begini kamu masih berpuasa? Tidak Bu Cangik. Iya benar, yang namaya puasa itu meanahan hawa napsu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya matahari. Terus apa saja yang membatalkan puasa itu Bu Cangik. yang membatalkan puasa itu antara lain makan, minum, berjudi dan hal-hal yang negative lainnya. Termasuk kumpul suami istri itu juga membatalkan puasa. Berarti kalau kumpulnya tidak dengan pasangannya tidak batal Bu Cangik? Maksudnya gimana? Katanya tadi kumpul suami istri itu dapat membatalkan puasa. Jadi kalau kumpulnya bukan dengan suami atau istrinya, misalnya sama tegangganya puasanya tidak batal kan? Buset dah.

Ginem tokoh Cangik dalam adegan kedhatonan Puserbumi dapat diekspresikan oleh dalang dengan hidup dan menjiwai sesuai dengan karakter dan figur tokoh. Rasa estetik prenes mardika (bebas) terlihat saat dalang berkomunikasi dengan sindhen melalui tokoh Cangik. Di samping itu, rasa gecul juga muncul setelah dalang mengucapkan ginem di atas, hal tersebut dapat diamati ketika melakukan perbincangan di atas suara tertawa penonton terdengar sangat jelas. Nuksma dan mungguh dalam adegan ini dapat diekspresikan Muslih melalui penggambaran karakter dan figur tokoh Cangik melalui ginem, komunikasi dalang yang dilakukan dengan sindhen dan penggunaan

119

bahasa yang merakyat yang dapat menimbulkan kesan rasa prenes mardika dan gecul. Adapun karawitan pakeliran yang disajikan Muslih dalam adegan kedhatonan Puserbumi kebanyakan adalah gendhing-gendhing dolanan.

3. Adegan Budhalan Adegan Budhalan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih tidak menggunakan adegan paseban jawi terlebih dahulu. Di dalam adegan ini dalang tidak menampilkan seluruh unsur garap pakeliran, Muslih hanya menampilkan unsur garap sabet dan karawitan pakelirannya saja. Kesan rasa estetik yang dominan dalam adegan ini adalah rasa greget. Kesan rasa greget pertama kali muncul ketika karawitan pakeliran berbunyi. Dalang memberikan sasmita kepada pengrawit seperi berikut "Wauta, budaling para wadya Puserbumi katon kumricik swarane" (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 2) (Adapun, suara berangkatnya pasukan Puserbumi seperti air yang kemricik). Sasmita tersebut berisi pocapan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih, dari pocapan tersebut dalang berkomunikasi dengan pengrawit sebagai tanda untuk meminta gendhing yang akan dipakai dalam adegan budhalan. Muslih menyuarakan pocapan tersebut dengan penekanan suara yang tegas, setelah pocapan

120

selesai kemudian dalang ndhodhog kothak dengan dhodhogan rangkep sebagai tanda akhir sasmita gendhing. Adapun karawitan pakeliran yang dipakai dalang dalam adegan ini adalah Lancaran Ricik-ricik Slendro Manyura. Adapun notasinya adalah sebagai berikut !632 532g1 y123 56!g6 Lancaran Rici-ricik Slendro Manyura yang dipakai Muslih dalam adegan budhalan Puserbumi ini, biasanya juga sering ditampilkan dalam pertunjukan wayang kulit. Sebelum sabet di dalam adegan budhalan ditampilkan lancaran Ricik-ricik sudah membangun rasa estetik greget prenes di dalam pakeliran, sehingga iringan ini dapat nglambari sabetan yang akan ditampilkan. Unsur garap sabet wayang di dalam adegan ini dapat diamati dari wayang tampil, solah, tancepan, dan entas-entasan. Saat wayang tampil perbedaan gejrukan dari tokoh satu dengan yang lain sangat jelas, gejrukan ini disajikan dalang berdasarkan watak dan ukuran wayang. Wayang yang pertama tampil adalah Patih Tambijaya, setelah tampil dari kanan kemudian Patih Tambijaya melakukan solah ulap-ulap dan ngawe wadya atau memanggil para prajurit kemudian tancep. Posisi tancepan wayang berada di tengah gawang dan berada pada larapan bagian atas dengan keadaan wayang berdiri. Komposisi tancepan seperti itu adalah komposisi tancepan yang seimbang, artinya keberadaan gawangan kanan dan kiri berada dalam posisi yang seimbang. Saat berada pada posisi tancep, Patih

121

Tambijaya melakukan solah capeng, seblak sampur dan trap jamang (membenahi jamang). Makna dari gerakan tersebut adalah gerakan tokoh untuk mempersiapkan diri memimpin pasukan Puserbumi menuju negara Yaman. Setelah selesai solah kemudian wayang dibedhol lalu dientas ke samping kiri. Setelah itu wayang dengan tokoh yang sama tampil sekali lagi untuk menari dengan sekaran tarian yang berbeda-beda. Nuksma pada adegan budhalan pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih adalah menyatunya solah wayang dengan karawitan pakeliran atau gendhing yang digunakan, sehingga membuat solah wayang menjadi urip. Kesan rasa urip juga ditunjung oleh kasariranya tokoh-tokoh yang tampil di dalam diri dalang, sehingga dalang mampu menjiwai setiap karakter yang ditampilkan dalam adegan budhalan ini. Mungguh dalam adegan ini adalah pemilihan karawitan pakeliran yang pas dengan suasana adegan. Di dalam pergelaran wayang, adegan budhalan mempunyai kesan rasa greget. Pemilihan lancaran Ricik-ricik Slendro Manyura sebagai karawitan pakelirannya adalah sesuatu yang pantes dan trep, karena lancaran Ricik-ricik juga mempunyai kesan rasa estetik greget prenes yang cocok dan selaras dengan adegan budhalan. Di samping itu sabet wayang dalam adegan ini juga sesuai nalar. Misalnya gerakangerakan wayang tampil, ulat-ulat, ngawe wadya, capeng, trap jamang, dan seblak sampur, semua gerakan-gerakan tersebut sama dengan gerakan

122

wayang orang sehingga membuat sabet Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih dalam adegan ini menjadi hidup dan dapat diterima dengan akal sehat.

4. Adegan Selapilih Tokoh yang tampil di dalam adegan ini adalah Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe dan Surabajul. Di dalam adegan ini komposisi tancepan yang disajikan adalah tancepan seimbang tidak setara. Tancepan seimbang yaitu tancepan yang penampilan visualnya berimbang, baik besar kecil tokoh dan bentuk tokoh yang imbang antara gawang kanan dan gawang kiri (Sutarno, Sunardi, Sudarsono, 2007:130). Keseimbangan dalam tancepan adegan ini terletak pada posisi Patih Panigaslawa yang berada di gawang kanan larapan atas dan Tumenggung Sandhanglawe yang berada di gawang kiri larapan atas, adapun ketidak setaraan tancepan ini adalah keberadaan posisi Surabajul di gawang kiri larapan bawah. Keberadaan Surabajul membuat komposisi tidak setara karena ada satu tokoh di kanan gawang dan ada dua tokoh di samping kiri gawang, serta adanya posisi tokoh yang berada di atas dan di bawah larapan. Kesan rasa greget di dalam adegan ini diperlihatkan dalang dengan posisi tancepan badan tokoh yang tegak dan dimantapkan dengan ada-ada Pucung slendro manyura. Rasa greget dalam sulukan ada-ada Pucung slendro

123

manyura yang digunakan dalam adegan ini juga diperkuat dalang dengan dhodhogan geter atau nitir dengan suara yang mengalir "dhogdhogdhog...". Adapun sulukan Pucung yang disajikan Muslih adalah sebagai berikut Ada-ada Pucung 6

6

5

z3c.

!

!

!

@

6

6

5

z3x5x3x.c.

Ba-pak pu-cung cang-kem-mu ma-rep man-du - wur ! @

6

3

2

z1c.

Sa-ba-mu ing sen-dhang 1

2

1 2

2

1

z2x1c. z6c.

En-cok-an-mu lam-bung ke - ring y

1

2

3

2 2

1

y

1

3

z1c. z2x.c. y...

Prap-teng wis-ma si pu-cung mun-tah gu-wa - ya

E

(Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 2) Jika diamati dari cakepannya, sulukan ini menunjukkan bahwa dalang kurang memperhatikan makna bahasa untuk mendukung rasa greget yang ada pada sulukan ada-ada. Cakepan tersebut mempunyai arti: "Bapak pucung mulutmu menghadap ke atas, perginya ke mata air, hinggapnya di pinggang kiri, sampai di rumah si pucung memuntahkan air". Cakepan ini tidak sesuai dengan kondisi adegan yang disajikan Muslih, karena cakepan tersebut menjelaskan tentang klenthing untuk mencari air. Penggunaan

cakepan

seadaanya

sudah

menggejala

dalam

tradisi

pedalangan gaya pesisiran atau pedesaan. Para dalang pedesaan

124

kebanyakan hanya mementingkan alur musikal sulukan daripada makna verbal dari cakepan sulukan yang mereka gunakan. Meskipun cakepan sulukan yang disajikan Muslih kurang sesuai dengan kondisi adegan, akan tetapi penggunaan tekanan suara yang kuat dan penggunaan dhodhogan nitir serta keselarasan antara vokal dalang dan tabuhan gender membuat ekspresi sulukan ada-ada pucung tersebut berkulitas dan mencapai kesan rasa greget yang pas dengan suasana adegan Selapilih. Adapun di dalam ginem adegan ini, Muslih juga menggunakan dhodhogan geter sebagai penunjang rasa greget dalam adegan ini. Rasa greget menjadi kesan rasa estetik yang muncul di dalam ginem karena pembahasan di dalam ginem menjadi konflik utama dalam lakon Amir Hambyah Winisudha. Dalam ginem ini, Patih Panigaslawa membahas rencana Prabu Maktal yang ingin menguasai seluruh dunia dan perintah Prabu Maktal untuk menjajah negara Puserbumi. Dalam penyajiannya, Muslih menyajikan ginem dalam adegan ini dengan nada yang tegas dan pilah. Setelah selesai ginem para wadya Selapilih dibedhol dan dientas kekiri diiringi dengan gendhing sampak. Nuksma pada adegan ini ditunjukan melalui kesan rasa greget yang diekspresikan dalang. Suasana batin Prabu Maktal yang serakah telah manjing dalam diri dalang, sehingga membuat dalang menjiwai tancepan dan ginem tokoh punggawa Selapilih yang kemudian menjadikan adegan

125

sabrang dalam lakon tersebut menjadi hidup. Adapun mungguh diketahui dari keselarasan antara komposisi tancepan dengan tokoh wayang, sulukan, ginem, dhodhogan dan gendhing sampak yang semua mempertebal kesan rasa estetik greget dalam adegan tersebut.

5. Perang Gagal Adegan perang gagal dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih merupakan peperangan antara parajurit Puserbumi melawan prajurit Selapilih. Pada adegan ini konsep tancepan yang dipakai dalang adalah tancepan kontras, yaitu tancepan yang dilihat dari jumlah tokoh yang tampil antara gawang kanan dan gawang kiri tidak seimbang (Soetarno, Sunardi, Sudarsono, 2007:131). Tokoh yang tampil dalam adegan ini adalah Tumenggung Abdul Manap berada di gawang kanan atas berhadapan dengan Patih Panigaslawa, Tumenggung Sandhanglawe dan Surabajul di gawang kiri. Suasana dalam adegan ini adalah greget tegang, hal ini dapat diamati dari pola tancepan yang berhadapan dan dimantapkan dengan sulukan ada-ada greget saut slendro nem. Adapun sulukan ada-adanya adalah sebagai berikut 6

6 6

6

6

6

6

6

6

Ri-sak-sa-na sang nin-dya man-tri 3

3

3

3

3

2

z5c. z3x.c. 2

[email protected]. [email protected]!c6

126

Pi-nang-gih won-ten ing pa - la - gan O 5

5

5

5

5 z3c2 3

z5c. z3x.c.

Sa-mi pan-ca ba-kah ing pa - la - gan

2

zyx.x.c.

E

(Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 2)

Sulukan tersebut dapat dijelaskan melalui makna cakepan dan alur musikalnya untuk mendukung adegan perang gagal. Ditinjau

dari

cakepannya, sulukan tersebut menggambarkan pertemuan antar prajurit di sebuah medan peperangan. Sulukan ini dapat diterjemahkan secara bebas, yaitu: “saat para pemimpi prajurit, bertemu di medan pertempuran, kemudian mereka saling berperang di medan pertempuran”. Adapun secara musikal, kesan rasa greget pada sulukan ini muncul karena didukung oleh dhodhogan geter dan pelantunan suara dalang yang agak cepat disertai penggunaan tekanan suara. Selain dibentuk oleh sulukan, rasa greget tegang di dalam adegan ini juga dibentuk dalam penyajian ginem wayang. Adapun ginem wayang dalam adegan perang gagal adalah sebagai berikut PANIGASLAWA ABDUL MANAP

: Heh! Kisanak aja mbacutake laku : Sapa iki wani ngaglah aneng tengahing dalan. PANIGASLAWA : Aku Patih Panigaslawa, abdine Prabu Maktal ing Selapilih SANDHANGLAWE : Aku Tumenggung Sandhanglawe SURABAJUL : Aku Surabajul ABDUL MANAP : Apa sedyamu ngaglah aneng tengahe dalan? PANIGASLAWA : Arep njaluk apa kang mbok gawa. Sapa sira sakdurunge tumekan pati?

127

ABDUL MANAP

: Aku Tumenggung Abdul Manap saka keraton Puserbumi, aku arep asok glondhong marang negara Yaman. PaANIGASLAWA : Jiahahahaa, sisan gawene, bandhanmu lan kraton Puserbumi bakal di kukup dadi duweke Prabu Maktal. ABDUL MANAP : Sedumuk bathuk senyari bumi! PANIGASLAWA : Lena pangendamu tak sabetake bantala tutuk nyawamu! (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 2) : Heh kamu, berhentilah! : Siapa kamu beraninya menghadang perjalanan kami PANIGASLAWA : Saya Patih Panigaslawa, bawahan dari Raja Maktal di Selapilih SANDHANGLAWE : Saya Tumenggung Sandhanglawe SURABAJUL : Saya Surabajul ABDUL MANAP : Apa tujuanmu menghadang perjalanan kami PANIGASLAWA : Mau merampas barang bawaanmu, Sebelum kubunuh siapa kamu ABDUL MANAP : Saya Tumenggung Abdul Manap dari kerajaan Puserbumi, saya akan memberikan bantuan ke negara Yaman PANIGASLAWA : Jiahahaha, Semua barang bawaanmu dan kerajaan Puserbumi akan segera dijajah dan dikuasi oleh Prabu Maktal ABDUL MANAP : Tidak akan kubiarkan, akan saya perjuangkan sampai titik darah terakhir PANIGASLAWA : salah menghindari seranganku, saya banting ke tanah hilang nyawamu. PANIGASLAWA ABDUL MANAP

Ginem dalam adegan ini berisi tantang-tantangan antara prajurit Selapilih dan prajurit Puserbumi. Dari aspek bahasa dalang memilih pilihan kata yang tepat untuk mengeskpresikan suasana batin masingmasing tokoh. Rasa greget tegang dapat tercapai dalam adegan ini, karena

128

dalang sudah

menjiwai masing-masing karakter, sehingga dapat

menyajikannya dengan pilah dan disertai tekanan. Di samping itu, dalam penyajiannya untuk memantapkan kesan rasa greget yang dibutuhkan dalang juga menggunakan dhodhogan geter setelah ginem satu tokoh selesai. Adapun karawitan pakeliran yang disajikan dalang dalam adegan ini adalah Srepeg Krucilan. Notasi dari Srepeg Krucilan adalah sebagai berikut g6 !653 53!6 !653 53!6 !653 3565 656! 5612 6356 532g1 [ 2353 5321 2121 2121 2353 3565 321g2 6532 6532 35!6 !621 3563 5653 6521 321g6 !612 y123 !612 y123 !653 3565 656! 5612 6356 532g1 ] suwuk !612 635g6 (Muslih, Amir Hambyah Winisudah VCD No. 2) Di dalam penyajian pada awal notasi iringan bertempo cepat, akan tetapi setelah notasi g6 !653 53!6 !653 53!6 !653 3565 tempo iringan berubah menjadi pelan ditandai dengan suara kendang OODI yang berbunyi “tok tok dang tak”. Setelah tempo iringan menjadi pelan kemudian sebelum perperang masing-masing tokoh wayang menari terlebih dahulu. Kesan rasa greget yang muncul dalam iringan srepeg krucilan ini muncul karena didukung oleh suara kendhang dan kinthilan saron yang mendominasi sajian iringan tersebut. Di samping itu, rasa greget juga dimantapkan oleh suara sisiran

129

dan gejogan keprak yang disajikan dalang. Suara sisiran keprak saat wayang diam dan suara gejokan keprak yang disertai solah wayang memukul, menendang tokoh wayang yang lain membuat sabet wayang dalam adegan perang gagal menjadi hidup. Nuksma dalam adegan ini adalah tercapainya kesan rasa greget dalam adegan perang gagal. Kesan rasa greget ini dapat tercapai karena sulukan, ginem, karawitan pakeliran dan sabet yang disajikan Muslih dalam adegan ini sudah kasarira dalam dirinya, sehingga dia dapat menjiwai penyajiannya dan membuat adegan tersebut menjadi hidup. Adapun mungguh dalam adegan ini adalah keselarasan rasa greget antara sulukan, ginem, dan karawitan pakeliran yang disajikan Muslih dalam adegan perang gagal.

6. Gara-gara Adegan gara-gara dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora disajikan Muslih setelah perpindahan pathet, yaitu dari pathet nem ke pathet sanga. Seperti pertunjukan wayang pada umumnya, Muslih menggunakan sulukan Pathet sanga Wantah sebagai sasmita atau tanda perpindahan pathet dalam sajian pergelarannya. Adapun sulukan Pathet sanga Wantah yang disajikan Muslih adalah sebagai berikut. 2 2 2 z2x.c.

2 z2c. 2 2 2

2

2

2

2

2

3

z1c.

130

sang sa-ya da-lu a-ra-ras a-byor kang ling-tang ku-me - dap 2

z3x.x2x.c1

tis - tis

1

1

1

1

1

1

so-nya te-ngah we -ngi

1 1 1 1 1 z1x.x.x1x.x.x.xyx1x.x.c. z2x3x5x.x3x5x.x.c. [email protected]. lum-rang gan-da-ning pus - pi - ta 2 2 2 2 z2c. z2x3x.x2x1x.x.c.

O

O

z2x.x.x1x2x1c.

ka-reng gwa-ning pu - dya ni

-

2

z3x2x.c. z1xx.x.c.

2

2

2

2

z2c.

sang dwi - ja -wa - ra 2

2

2

2

2

lir swa-ra-ning ma - du

ra

z1x.x.x1xyx.x.c.

mbre - nge - ngeng

O 2.12..

O

1.y. ztx.x.c. brang ta (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 3)

Sulukan pathet sanga wantah di atas dapat dijelaskan melalui cakepan dan alur musikalnya. Menurut cakepannya, sulukan tersebut menjelaskan suasana regu pada pertengahan malam hari. Rasa regu ditunjukan melalui cakepan sulukan yang memaparkan banyaknya bintang yang bersinar berkedap kedip, tercium harumnya kembang serta terdengarnya suara hewan malam yang berdering telah membangun kesan rasa regu dalam sulukan tersebut. Kesan rasa regu juga dimantapkan oleh alur musikal sulukan pathet sanga wantah yang disajikan Muslih. Suara dalang yang tenang dan tempo yang lamban disertai tabuhan gender, rebab, gambang dan gong selaras dengan cakepan sulukan tersebut yang kemudian membuat satu kesatuan rasa regu yang khidmat.

131

Suluk pathet sangan wantah yang disajikan Muslih tersebut disertai tancepan kayon bulu merak yang tegak ke atas. Hal ini menggambarkan posisi matahari dalam pertunjukan tersebut berada pada pertengahan langit atau pertunjukan telah berjalan separuh adegan. Setelah kayon ditancapkan kembali di samping kanan gawang, dalam pertunjukan wayang pada umumnya, setelah memasuki pathet sanga dalang akan menampilkan tokoh Gareng, Petruk, Bagong sebagai tokoh yang mengisi adegan gara-gara. Akan tetapi dalam pergelaran Wayang Thengul Blora tokoh-tokoh tersebut tidak tampil. Tokoh yang tampil dalam adegan garagara di dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah Blethik dan Blegok. Tancepan pada adegan gara-gara ini adalah Blethik berada di sebelah kanan berhadapan dengan Blegok berada di sebelah kiri. Tancepan ini merupakan tancepan seimbang, hal ini dikarenakan adanya kesimbangan jumlah tokoh antara gawang kanan dan gawang kiri pada adegan tersebut. Pada tancepan adegan gara-gara, Blethik ditempatkan di sebelah kanan karena dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora Blethik merupakan kakak dari Blegok. Di dalam adegan ini, Muslih hanya menyajikan humor-humor dan gendhing-gendhing dolanan untuk menghibur penonton, seperti orek-orek, caping gunung dan slendhang biru. Nuksma dalam adegan ini adalah kasariranya cakepan sulukan pathet sanga wantah dan alur musikal di dalam diri Muslih, sehingga dalang

132

dapat menyajikan sulukan tersebut dengan penuh penghayatan serta berhasil menyampaikan kesan rasa regu khidmat yang ada pada sulukan tersebut. Mungguh pada adegan gara-gara sajian Muslih yaitu keselarasan antara tempo suara dalang dan iringan karawitan yang melantunkan sulukan pathet sanga wantah sehingga membuat satu kesatuan rasa regu yang utuh dan tidak dapat dipisahkan. Di samping itu, tancepan tokoh Blethik yang berada di sebalah kanan Blegok juga trep dan pantes karena Blethik lebih tua dari Blegok. 7. Adegan Padepokan Gurdi Pada adegan ini, karawitan pakeliran yang digunakan Muslih untuk mengiringi adegan ini adalah Ladrang Pangkur Lamba Slendro Sanga. Muslih menggunakan ginem tokoh Blethik pada adegan gara-gara sebagai sasmita atau kode kepada para panjak untuk meminta gendhing tersebut. Adapun ginemnya adalah sebagai berikut BLETHIK : Kripik gedhang kripik tela, sithik e dhang penting rata. wis ayo dhi enggal-enggal sowan ndara bagus Amir Hambyah, mula ayo dipethikake sekar ingkang pepungkuran. (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No.4) BLETHIK : Kripik pisang kripik tela, sedikit saja yang penting rata. Ayo kita pergi menjemput Raden Amir Hambyah. Oleh karena itu ayo dipetikkan bunyi yang saling membelakangi.

133

Kata pepungkuran yang berada pada akhir ginem merupakan sasmita atau tanda bahwa gendhing yang digunakan dalam adegan tersebut adalah Pangkur. Karena adegan ini berada dalam wilayah pathet sangan, sehingga gendhing yang dipakai adalah Ladrang Pangkur Lamba Slendro Sanga. Adapun notasi dari gendhing tersebut adalah sebagai berikut Buka : .2.1 .2.1 2211 .6.g5 [ 2126 2165 6521 3216 2321 5321 321y 216g5 Ciblon [ .2.1 .2.6 .2.1 .6.5 66.. 556! @!52 .1.6 ...2 5321 2132 5321 56@! 521y .2.1 .y.gt ] lik .2.1s2 3s56s!.s2g1 ..!. 3212 ..23 5635 !!.. 3216 2153 6532 ..23 5235 !656 5321 5621 521y .2.1 .y.g5 ] (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 4)

Pada saat jalannya gendhing Pangkur memasuki irama ciblon, Blethik dan Blegok menari-nari kemudian dientas ke gawang kanan. Setelah itu tampil Amir Hambyah dengan posisi tancepan mati kemudian disusul Kyai Gambuh, Blethik dan Blegok. Dalam penyajian gendhing Pangkur ini, karawitan pakeliran nglambari dalam adegan padepokan Gurdi sajian Muslih. Hal ini dikarenakan semua solah wayang seperti terstruktur dalam pola karawitan pakeliran tersebut. Adapun tancepan yang disajikan dalang dalam adegan ini adalah tancepan seimbang. Keseimbangan tancepan ditunjukan dari jumlah tokoh

134

yang seimbang antara gawang kanan dan gawang kiri. Pada adegan ini gawang kanan tancep tokoh Amir Hambyah dan Blegok, sedangkan di gawang kiri tancep tokoh Kyai Gambuh dan Blethik yang berhadapan dengan Amir Hambyah. Kesan rasa estetik yang dominan dalam adegan ini adalah sedhih emeng. Hal ini dapat diamati berdasarkan makna janturan dan ginem yang disajikan Muslih dalam adegan Padhepokan Guparman. Adapun narasi janturan yang disajikan Muslih adalah sebagai berikut Sabetbyar katalika wau, genti ingkang winursita. Tunggal kandhane seje caritane. Lah ta punika wonten ing salebeting padhepokan Gurdi. Sinten ta ingkang lenggah, satuhu menika ingkang putra nalendra Puserbumi satriya bagus endah ing warna ingkang kasebat Raden Amir Hambyah. Satriya bagus warnane yen amor wong cendhek tan kedhuwuren yen ta amor wong dhuwur tan kecendeken. Sarwa gendhes luwes wiragane sarta solah wibawane hamantesi. Saking kaendahane Raden bagus, kencar-kencar suryane prasasat dadi mustikaning jagad. Kaadhep sedaya rowang abdi Kyai Gambuh, Karya Dadi lan Karya Dadak alias Blethik lan Blegok. pepaking sedaya abdi tansah hangantu-antu dhawuhing sang raden bagus. Mulat semu beneh kalian padatan menapa ingkang dipun penggalih kalian Raden Bagus Amir Hambyah. Amung mangu-mangu ing galih, ewuh aya ing pambudi hangraosake suasana ing Puserbumi nembe rame ing praja. Ngantos dinten menika dereng seba dhateng Prabu Abdul Muntalib nggih ramanipun. Mila prapting gati badhe kumecap ing lesan. (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 4) Bergantinya adegan dalam pergelaran ini. Bertempat di Padepokan Gurdi. Siapa yang duduk, yaitu anak dari raja Puserbumi satria gagah yang bernama Raden Amir Hambyah. Satria yang mempunyai fisik sampurna, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Di samping itu dia juga mempunyai kepribadian yang baik. Dari keindahan budinya sampai dia mempunyai sinar bagaikan orang yang paling bijaksana di dunia. Berhadapan dengan pengikutnya yaitu Kyai Gambuh, Karya Dadi dan Karya Dadak alias Blethik dan Blegok.

135

Berkumpulnya semua abdi hanya untuk menunggu perintah dari Amir Hambyah. Terlihat berbeda dari hari-hari biasanya sepertinya Amir Hambyah sedang memikirkan sesuatu. Dia sedang bingung dan gundah merasakan keadaan negara Puserbumi yang sedang dalam tidak stabil. Sampai saat itu Amir Hambyah belum bisa bertemu dengan ayahnya. Sehingga apa yang menjadi beban pikirannya akan segera diutarakan. Kesan rasa estetik yang muncul dalam Janturan Padepokan Guparman yang disajikan Muslih tersebut dapat diamati berdasarkan makna kata dan intonasi penyuaraannya. Kesan rasa estetik yang dominan dalam janturan tersebut adalah bingung. Hal ini dapat diamati dari kata-kata "mangu-mangu ing galih, ewuh aya ing pambudi hangraosake suasana ing Puserbumi nembe rame ing praja" yang menggambarkan suasana batin tokoh Amir Hambyah yang sedang gundah karena memikirkan keadaan Negara Puserbumi. Di samping itu penyajian janturan dengan tempo lamban disertai sirepan gendhing mempertebal rasa gundah yang diungkapkan dalang melalui cakepan janturan adegan tersebut. Selain dari janturan tersebut, kesan rasa estetik yang muncul dalam adegan ini juga dapat diamati dari ginem wayangnya. Adapun setelah bage-binage, ginem yang menggambarkan suasana adegan ini adalah sebagai berikut GAMBUH

: E thole, aja padha gegojekan iki ndara wis ngagem busanan kaprajuritan sajak beneh karo padatan. AMIR HAMBYAH : Mula kaya mangkono Kakang Gambuh, Blethik lan kowe Blegok BLETHIK : Kula ndara BLEGOK : Kula den

136

AMIR HAMBYAH : Aja padha kepenak aneng kene, sebab rasaku iki dina praja Puserbumi lagi rame. Akeh senopati kang kepengen ngrebut palungguhane ingkang rama. Mula aja nganti pegat ing kaprayitnan. Aku bakal miterang apa kang dadi perkarane GAMBUH : E inggih, kula derekaken. (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 4) GAMBUH

: E anak-anakku, jangan bercanda terus. Ini Pangeran sudah memakai baju perang sepertinya ada yang tidak beres. AMIR HAMBYAH : Iya Kakang Gambuh, Blethik dan Blegok BLETHIK : Iya ada apa tuan? BLEGOK : Ada apa Raden? AMIR HAMBYAH : Jangan bersantai di sini, karena aku mempunyai firasat buruk tentang kerajaan Puserbumi. Sepertinya banyak senopati yang ingin merebut kekuasaan negara Puserbumi dari Parbu Abdul Muntalib. Jadi jangan sampai lengah, aku akan pergi ke Puserbumi untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya. GAMBUH : Baiklah, mari saya antarkan. Kesan rasa yang muncul dalam ginem tersebut dapat diamati dari makna katanya. Di dalam ginem tadi dijelaskan bahwa Amir Hambyah mempunyai firasat buruk tentang keadaan Kerajaan Puserbumi, yang akan dijajah oleh banyak senopati. Sehingga Amir Hambyah pergi ke Puserbumi untuk memastikan keadaan yang sebenarnya. Dari kata tersebut dapat disimpulkan bahwa ginem dalam adegan Padepokan Gurdi sajian Muslih mempunyai kesan rasa mangu atau emeng. Nuksma dalam adegan Padepokan Gurdi sajian Muslih memenuhi kriteria krasa. Krasa adalah semua yang disampaikan dalang dapat

137

dirasakan oleh dalang dan penonton wayang (Sunardi, 2013:161). Krasa yang dimaksud dalam adegan ini adalah rasa gundah yang menjadi kesan rasa dominan dalam adegan ini dapat disampaikan dalang dan diterima penonton melalui makna kata janturan dan ginem yang disajikan. Mungguh dalam adegan ini adalah pola tancepan yang disajikan Muslih telah memenuhi kriteria pantes dan trep. Pantes dalam adegan ini adalah penempatan tokoh yang pas pada posisinya, seperti posisi Amir Hambyah berada di samping kanan berhadapan dengan Kyai Gambuh dan Blethik, sedangkan posisi Blegok ditempatkan di belakang Amir Hambyah dengan tujuan tancepan pada adegan tersebut menjadi seimbang. Adapun trep pada adegan ini adalah solah Kyai Gambuh, Blethik dan Blegok yang selaras di lambari oleh iringan Pangkur saat irama karawitan pakeliran menjadi ciblon.

8. Adegan Candhakan Adegan Candakan dalam lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih menyajikan beberapa adegan, yaitu adegan di Keraton Puserbumi dan adegan pertemuan Prabu Abdul Muntalib dengan pasukan Selapilih. Adegan candhakan ini berada dalam wilayah pathet manyura. Di dalam pertunjukan wayang pathet manyura merupakan waktu yang digunakan dalang untuk menyelesaikan masalah. Di dalam pergelarannya Muslih menggunakan sulukan Ada-ada Manyura sebagai sasmita atau kode kepada

138

panjak bahwa dalam pertunjukan tersebut mengalami perpindahan pathet, dari pathet sanga ke pathet manyura. Adapun ada-ada tersebut adalah sebagai berikut 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 z5c6 Lu-mak-sa-na ngam-prang wa-dya se-la-pi-lih na-gri 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 z1c2 Ka-la wi-dag-sa san-dhang la-we ka-la pa-ti ara-ne z6x5x3x.x5x3x2x.c. z@[email protected]. O 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 z1c2 z6x.x5x3x2x.c. sa-mya ne-ne-ka a-neng Pra-ja Pu-ser-bu-mi O 6356 3 5 6 z6c. 6 6 6 6 5 z3c. 3 3 3 3 3 3 z2c. z1x.c. z2x.c. ing wu-sa-na sa-mi re-re-bu-tan ju-mi-lir pa-tih ne-ga-ra O (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 4)

Sulukan Ada-ada manyura yang disajikan Muslih mempunyai kesan rasa greget. Rasa greget dalam sulukan dibentuk berdasarkan dhodhogan, keprakan dan genderan yang mengiringi jalannya sajian sulukan tersebut. Adapun keunikan dari sulukan tersebut yaitu terletak pada cekepan terakhir sulukan yang diiringi dengan balungan demung dan kinthilan saron. Diamati dari cakepannya, sulukan tersebut termasuk dalam karangan dalang yang tidak terdapat dalam tembang dan kekawin. Makna dari cakepan sulukan tersebut menjelaskan tentang pasukan Selapilih yang dipimpin oleh Patih Sandhanglawe yang menyerbu kerajaan Puserbumi. Di dalam penyajiannya, sulukan ini sudah kasarira dalam diri dalang sehingga dalang dapat menyajikannya selaras dengan irama karawitan gender, demung, saron dan gong.

139

Pada adegan ini Muslih banyak menyajikan unsur garap pertunjukan melaui sabet terutama pada solah wayang. Dalam hal sabet, Muslih termasuk dalang yang terampil, karena dia cekatan dalam menata wayang atau dalam bahasa pedalangan sering disebut dengan kata "cak cek". Akan tetapi terkadang dia kurang berhati-hati karena ada kepala boneka wayang yang tercopot saat wayang dientas. Karawitan pakeliran yang digunakan dalam adegan ini adalah sampak slendro manyura seperti sampak pada pakeliran wayang kulit pada umumnya. Penggunaan iringan sampak manyura dalam adegan ini membuat kesan rasa greget dalam adegan candakan ini menjadi semakin mantap, karena sampak juga mempunyai keselarasan rasa dengan sulukan ada-ada slendro manyura yang digunakan pada awal pathet manyura.

9. Adegan Pamungkas Kesan estetik dari Adegan Pamungkas dalam lakon Amir Hambyah Winisudha dapat diamati dari unsur catur, sabet, dan karawitan pakeliran. Unsur catur dalam adegan ini digambarkan dalang menggunakan ginem wayang. Adapun ginem dalam adegan ini adalah sebagai berikut. ABDUL MUNTALIB : Syukur sekethi jumurung ngger putra wong bagus, ya mung jalaran awakmu ngger kabeh para wadya Selapilih wis kendhang ora bakal balik marang Puserbumi

140

TAMBIJAYA

: Inggih Sinuwun, ingkang saget mbengkas sukerta aneng Praja Puserbumi nggih namung putra paduka ABDUL MUNTALIB : Ya yen pancen mangkono, ora ana siji apa loro, tak tetepake wisudha putraningsun Amir Hambyah dadi lurahing tamtama aneng praja Puserbumi, jejuluk Wong Agung Jayengrana. (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD No. 4) ABDUL MUNTALIB : Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat dirimu Amir Hambyah pasukan Selapilih dapat diusir dari negara Puserbumi. TAMBIJAYA : Iya sang raja, hanya Amir Hambyah seorang yang bisa menyingkirkan marabahaya yang ada di Puserbumi ABDUL MUNTALIB : Baiklah kalau seperti itu, tidak ada dua raja dalam satu negara. Oleh karena itu mulai hari ini Amir Hambyah, kamu saya sahkan menjadi raja di Puserbumi dengan julukan Wong Agung Jayengrana. Ginem wayang dalam adegan ini mempunyai kesan rasa senang dan bahagia, karena dalam ginem adegan ini mencurahkan perasaan Prabu Abdul Muntalib yang sudah lama tidak bertemu anaknya dan kebanggaan seorang ayah karena anaknya sudah berhasil menyelamatkan tanah kelahirannya. Di samping itu, kesan rasa senang dan bahagia juga dimantapkan melalui unsur sabet wayang saat Prabu Abdul Muntalib memeluk Amir Hambyah. Setelah itu untuk memperkuat kesan rasa saat Amir Hambyah diwisuda menjadi raja, Muslih ndhodhog kothak tiga kali dengan bunyi "dhogdhogdhog" yang disambut dengan bunyi kendhang

141

"dlang" sebagai sasmita untuk meminta iringan sampak sebagai penguat suasana tersebut. Di dalam adegan ini pola tancepan yang disajikan Muslih adalah tancepan kontas. Tancepan kontras adalah tancepan wayang yang jumlah tokoh, ukuran tokoh dan bentuk tokoh tidak seimbang antara gawang kiri dan kanan (Sutarno, Sunardi, Sudarsono, 2007:131). Di dalam adegan ini tancepan menjadi kontras karena ada satu tokoh di gawang kanan dan tiga tokoh di gawang kiri. Adapun tokoh yang tancep di gawang kanan adalah Prabu Abdul Muntalib, kemudian yang tancep di gawang kiri adalah Amir Hambyah, Patih Tambijaya dan Tumenggung Abdul Manap. Nuksma dalam adegan ini tampak dari dramatisasi bertemunya Prabu Abdul Muntalib dengan Amir Hambyah yang membentuk suasana bangga dan bahagia yang dibangun dengan ketepatan ginem tokoh. Mungguh dalam adegan ini adalah penggunaan pola tancepan yang pas dan pemilihan karawitan pakeliran yang sesuai dengan suasana pakeliran yang disajikan. B. Kualitas Dalang Dalang adalah pelaku utama dalam pertunjukan wayang. Dalang merupakan orang yang bertindak sebagai pemain boneka wayang dalam pertunjukan wayang. Di dalam pergelaran wayang, dalang bertanggung jawab terhadap seluruh jalannya pementasan, ia berperan sebagai penyaji,

142

pemimpin karawitan pakeliran, sutradara, juru pendidik, dan penghibur. Menurut Sutarno ada empat jenis dalang, anatara lain: 1. Dalang apik; yaitu dalang yang dalam penyajian pakelirannya sangat memperhatikan kaidah-kaidah pedalangan serta mengutamakan nilai estetis. 2. Dalang wasis; yaitu dalang yang dalam menyampaikan lakon wayang sangat

mengutamakan

aspek dramatikal dan

garap karakteristik

tokohnya, sehingga pakelirannya terasa hidup dan menarik. 3. Dalang pinter; adalah dalang yang menyajikan pakeliran wayang dengan sangat intens menyampaikan pesan moral, spiritual dan kritik sosial. 4. Dalang sabet; ialah dalang yang menyajikan lakon wayang sangat menonjolkan kemampuan sabetnya atau ketrampilan gerak wayang (Soetarno, Sunardi, Sudarsono 2007:38-39). Dari empat jenis dalang tersebut, dilihat dari pergelaran Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha, Muslih termasuk ke dalam kategori dalang pinter. Hal ini dikarenakan di dalam pementasan lakon tersebut Muslih sering kali menyisipkan pesan-pesan spiritual dan moral kepada penonton. Contoh pesan spiritual dalam janturan jejer Puserbumi. "...Mbok manawa sira padha bisa dak akon nuruti printahe Gusti kang maha kuasa bakal kabokean ing antarane bumi lan langit ndamel suasana ayem tentren ora ana alangan setunggal menapa...". (Muslih, Amir Hambyah Winisudha VCD NO. 1).

143

(...Barang siapa yang bisa mentaati semua perintah Tuhan Yang Maha Esa niscaya dia mendapatkan ketenangan lahir dan batin...) Di samping sebagai dalang pinter, Muslih juga mempunyai kemampuan sebagai dalang cucut dan renggep. Dia dikatakan cucut karena di dalam menyajikan pertunjukan wayang Muslih selalu membuat humor yang sehat. Tidak terbatas pada adegan-adegan yang bebas seperti limbukan dan gara-gara, Muslih juga sering menyisipkan ginem gecul di setiap adegan dalam menyajikan pakelirannya. Muslih sebagai dalang renggep karena ia selalu bersemangat, hidup dan tidak kendor dalam menyajikan adegan satu dengan adegan yang lainnya sehingga membuat satu sesatuan yang utuh dan berkaitan. Adapun gaya pakeliran yang disajikan Muslih adalah pakeliran gaya kerakyatan atau pesisiran. Pedalangan gaya kerakyatan merupakan tradisi pedalangan yang diwariskan secara turun menurun dari nenek moyang selama berabad-abad

secara lisan.

Di

dalam

lingkungan

tradisi

pedalangan gaya kerakyatan, para dalang memiliki gayanya sendirisendiri yang ditentukan oleh tradisi keluarga dan tradisi daerah setempat, sehingga setiap daerah mempunyai gayanya sendiri-sendiri (Gronendael, 1897:114-115). Gaya kerakyatan pada pakeliran Muslih dapat diamati dari catur dan karawitan pakelirannya. Gaya catur Muslih yang kerakyatan dapat diamati dari janturan, pocapan dan ginem yang sering memakai idealek bahasa Jawa

144

Blora. Meskipun kebanyakan pertunjukan wayang menggunakan bahasa Jawa, akan tetapi gaya bahasa daerah yang berbeda akan mempengaruhi pilihan kata dan sastra pedalangan menjadikan sajian pakeliran menjadi berbeda sesuai kondisi lingkungan dan budayanya. Gaya pesisiran dalam pertunjukan wayang sajian Muslih, juga diperkuat dari pemakaian gendhing-gendhing yang tidak lazim seperti pakeliran pada umumnya. Banyaknya vokabuler gendhing asing seperti Soto Madurak dan Sholawat Eling-eling ciptaan Muslih yang hanya diketahui masyarakat sekitar, serta pemakian gendhing walang kekek sebagai iringan karawitan pakeliran dalam adegan perang gagal merupakan hal yang tidak wajar di dalam pakeliran gaya lain terutama gaya keraton.

C. Tanggapan Penonton Tanggapan penonton atau penghayat seni pedalangan merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai kesuksesan dalam sebuah pertunjukan wayang. Di dalam pertunjukan wayang penonton dapat terbagi dalam beberapa kelompok, antara lain kelompok budayawan, kelompok seniman, kelompok pekerja, kelompok terpelajar dan kelompok pemuda. Di dalam melihat atau mengahayati sebuah pertunjukan wayang, masing-masing kelompok tersebut mempunyai sudut pandang

145

masing-masing. Misalnya, ada sebagian kelompok yang ingin melihat hiburannya saja, kemudian ada yang ingin mengerti alur cerita dan ada yang ingin memperoleh pengalaman estetisnya. Adapun

syarat-syarat

yang

harus

dimiliki

penonton

atau

pengahayat untuk menilai pertunjukan wayang antara lain: (1) penonton atau pengahayat harus memiliki latar belakang budaya yang luas, terutama budaya Jawa; (2) memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas mengenai seni pertunjukan wayang; (3) memiliki kepekaan rasa estetik mendalam

terhadap

sajian

wayang;

(4)

memiliki

kemauan

dan

keterlatihan untuk selalu mengamati pertunjukan wayang (Sunardi, 2012:630). Tanggapan penonton mengenai pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih, penulis pilihkan informan yang melihat langsung pergelaran Wayang Thengul tersebut. Dengan harapan informan tidak hanya mengetahui isi dan jalannya sajian tetapi juga mengamati situasi dan suasana saat pertunjukan berlangsung. Adapun informan tersebut antara lain; Puji Santoso, Hartono, dan Wahyu Bimantoro. Berikut adalah pemaparan narasumber dan pengahayat pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih.

1. Sutaji

146

Sutaji adalah dalang Wayang Thengul dari Jepang Rejo Kabupaten Blora. Selain sebagai dalang Wayang Thengul, Sutaji juga menjadi pengrajin Wayang Thengul. Dia merupakan teman seperguruan Muslih saat belajar mendalang Wayang Thengul kepada Kasdan. Berikut adalah tanggapan Sutaji dalam mengkritik pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih. wayangane Muslih ki rame tur lucu mas, ning dheweke iku kurang dunung. Kurang dununge piye? dheweke ki nek ndalang nggladrah, noleh ngiwa noleh nengen malah joget barang... nek suluk karo gendhing ya sithik akeh wes mambu solo mas, Jenenge dhalang ndesa e ya ngunu kae mas (Sutaji, wawancara 12 September 2016). (pergelaran Wayang Thengul yang disajikan Muslih itu meriah dan lucu mas, tetapi dia kurang memahami etika mendalang. Dalam pertunjukannya Muslih sering menoleh kiri, menoleh ke kanan dan bahkan menari dalam posisi duduk... Di dalam menggarap suluk dan gendhing Muslih sudah terpengaruh oleh pakeliran wayang kulit gaya Surakarta, namanya juga dalang dari desa pasti ingin meniru sesuatu yang dari keraton mas. Menurut pemaparan Sutaji dapat ditarik kesimpulan bahwa pertunjukan

Wayang

Thengul

Blora

sajian

Muslih

mempunyai

keunggulan dalam hal antawacana sehingga kesan pertunjukannya menjadi meriah dan lucu. Akan tetapi Muslih juga mempunyai kekurangan yaitu rongeh. Rongeh adalah salah satu cacat dalang yang bersikap tidak tenang, seringkali menoleh kanan, menoleh kiri atau ke belakang dan bahkan seringkali berbicara kepada penonton (Sutarno, 2007:43).

147

2. Hartono Hartono adalah seorang dalang wayang kulit yang berdomisili satu desa dengan Muslih. Di daerah sekitanya, Hartono mendapat julukan Ki Gondo Martono. Di samping menjadi dalang, dia juga aktif mengajari anak-anak ilmu pedalangan dan karawitan di sanggar Yudistira. Hartono merupakan satu-satunya seniman dari Desa Kemiri yang pernah belajar mendalang di Solo, karena Hartono merupakan alumnus konservatori. Pada masa kejayaan Kasdan sebagai dalang Wayang Thengul, Hartono sering berperan sebagai panjak. Biasanya dia memainkan intrumen rebab dalam pertunjukan tersebut. Adapun tanggapan Hartono tentang pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih adalah sebagai berikut; wayangane Pak Modin kuwi mas, nek prekawis sabet kalih suanten ngeten nggih biasa, ning nek suluk ngeten cengkoke benten kaliah Solo... wayangane ki semu mas... Nek gendhinge niku biasane sing kerep metu nggih krucilan nika, dados sarone niku kinthilan terus ngetenika le mas... (Hartono, wawancara 12 September 2016). pertunjukan wayang sajian Pak Modin itu mas, kalau dari garap sabet dan suluknya itu biasa. Akan tetapi cengkok dalam suluknya unik berbeda dengan suluk dalam pertunjukan wayang kulit gaya Surakarta... Keunikan yang dimiliki Muslih itu semu mas... Kalau dalam penggarapan karawitan pakeliran biasanya yang digunakan adalah iringan krucilan, yang mempunyai ciri khas kinthilan saron dalam penyajiannya. Hartono

menjelaskan

dalam

tanggapannya

tersebut

bahwa

pergelaran Wayang Thengul sajian Muslih merupakan pakeliran kerakyatan. Hal ini dijelaskannya melalui cengkok suluk Muslih yang unik

148

dan penggunaaan iringan krucilan sebagai karawitan pakelirannya. Adapun ciri khas Muslih dalam mendalang adalah semu. Semu yang dimaksud Hartono adalah semua ungkapan-ungkapan yang disampaikan Muslih dalam pakelirannya baik catur ataupun sabet mempunyai kesan humor yang segar.

3. Wahyu Bimantoro Wahyu Bimantoro adalah seorang dalang remaja yang bertempat tinggal berdampingan dari

Desa Kemiri tempat Muslih tinggal. Dia

tinggal di Desa Klampok Kecamatan Jiken Kabupaten Blora. Bima belajar seni pedalangan di sanggar Yudhistira sejak umur 12 tahun. Di sanggar tersebut Bima tidak hanya belajar dari Hartono pemilik sanggar saja, akan tetapi terkadang Muslih juga datang ke sanggar tersebut untuk memberikan ilmu-ilmu pedalangan kerakyatan. Pada saat wawancara ini dilakukan Wahyu Bimantoro masih menempuh pendidik Sekolah Mengah Kejuruan kelas 3, Adapun pemaparannya dalam pergelaran Wayang Thengul Blora sajian Muslih adalah sebagai berikut ya Wayang Thengul yang disajikan Bapak Moden Kemiri, yang dipentaskan di Balaidesa dulu sangat menarik mas. Terbukti banyak masyarakat yang suka.. Keunikan wayangan Pak Muslih, ya terdapat pada kelucuan sajiannya dan banyaknya nasehat-nasehat islami yang disampaikan... Kalau masalah iringan, biasanya Pak Muslih menyajikan iringan-iringan klasik... (Wahyu Bimantoro, 13 September 2016).

149

Wahyu Bimantoro memberikan tanggapan bahwa Wayang Thengul Blora yang disajikan Muslih sangat menarik. Ketertarikan tersebut dipengaruhi oleh sajian Muslih yang sering menampilkan humor-humor segar dan banyak menyisipkan nasehat-nasehat islami di setiap adegannya. Menurut Bima, Muslih merupakan dalang yang lucu dan peka terhadap kritik sosial.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha sajian Muslih, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Wayang Thengul berasal dari kata "thengul" atau "thengulan" yang mempunyai arti boneka. Selain kata "thengul" atau

150

"thengulan", kata "golek" dalam bahasa Jawa juga mempunyai arti kata boneka. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Wayang Thengul merupakan salah satu jenis wayang golek yang ada di Indonesia. Adapun sumber yang menjelaskan tentang keberadaan wayang golek adalah Serat Sastramiruda dan Serat Centhini. Di dalam Serat Sastramiruda tertulis kata "Wayang Sirna Gumulunging Kisma", sedangkan dalam serat Centhini tertulis "Wayang Nir Gumulunging Kisma". Jadi menurut Sastramiruda dan Centhini, wayang golek muncul pada abad ke XVI atau tahun 1506 Jawa atau 1584 Masehi. Setelah berkembang wayang golek di Nusantara mempunyai banyak penyebutan antara lain wayang golek papak atau cepak di Cirebon, Wayang Thengul di Blora dan lain-lain. Kehidupan Wayang Thengul Blora sekarang ini mengalami penurunan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) Wayang Thengul kalah bersaing dengan wayang kulit, (2) berkembangnya agama Islam yang sebagian besar melarang pemeluknya mempertunjukan 151

boneka berbentuk manusia, (3) tidak adanya regenerasi atau sanggar yang mendidik anak-anak untuk belajar Wayang Thengul Blora, (4) semakin majunya teknologi yang memberikan bermacam-macam hiburan kepada masyarakat. Di kabupaten Blora, dalang Wayang Thengul hanya tinggal empat orang, yaitu Muslih dari Desa Kemiri Kecamatan Jepon, Joko Murwanto dari Desa Tempur Rejo Kecamatan Boko Rejo, Sutaji dari Desa Jepang Rejo dan Puji Santoso dari Desa Pelem Doplang.

151

Seperti pertunjukan wayang pada umunya, pertunjukan Wayang Thengul Blora juga terdiri dari beberapa unsur antara lain dalang, panjak, peralatan pertunjukan dan lakon wayang. Panjak dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah orang yang memainkan gamelan. Panjak dalam Wayang Thengul Blora sama dengan pengrawit, penabuh, niyaga dan wirapradangga dalam pertunjukan wayang kulit. Perabot-perabot yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora adalah (1) Boneka Wayang Thengul Blora, (2) Gawangan, (3) Larapan, (4) Kothak (5) Keprak dan cempala (6) Blencong (7) Gamelan. Adapun lakon baku dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora biasanya bersumber pada Serat Menak. Akan tetapi dalam pertunjukan pada umumnya, ada lakon-lakon lain yang sering dipentaskan dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora antara lain kisah Amir Hambyah, lakon

Diponegara,

Untung

Surapati,

Trunajaya,

sejarah

kerajaan

Majapahit, Wali Sanga dan kisah-kisah kepahlawanan Indonesia lainnya. Analisis estetik pertunjukan Wayang Thengul Blora lakon Amir Hambyah Winisudha mencakup aspek estetik dalam pertunjukan dan keunikan sajian Muslih. Adapun nuksma dalam sajian lakon Amir Hambyah Winisudha diwujudkan melalui keberhasilan Muslih dalam membangun suasana adegan yang regu, greget dan prenes. Hal ini diindikasikan dari cara dalang menyajikan pergelarannya melalui catur dan sabet wayang dengan ekspresif dan menjiwai. Mungguh dalam sajian lakon Amir

152

Hambyah Winisudha diindikasikan dari keselarasan rasa antara catur, sabet dan karawitan pakeliran yang disajikan dalam setiap adegannya. Di samping itu, nuksma dan mungguh juga terbentuk dari segitiga estetika yaitu indah, baik, dan benar. Keindahan catur wayang dapat diamati dari aspek olah sastra, unggah-ungguh basa, undha usuk basa, dan moral. Kemudian keindahan sabet terbentuk dari gerak-gerak wayang yang sesuai nalar, pantes, trep dan hidup. Sedangkan keindahan karawitan pakeliran terbentuk dari cakepan-cakepan gendhing yang mengandung nilainilai kebaikan dan kebenaran, serta kesesuaian rasa gendhing dengan adegan yang disajikan. Misalnya nilai kebaikan dan kebenaran yang disajikan Muslih melalui catur wayang, seperti bage-binage yang mengandung makna tentang sopan santun dan etika kepada seseorang. Kemudian keindahan dari sajiannya dimantapkan melalui sabet dengan gerakan laku dhodhog dan sembah yang disertai iringan karawitan yang membuat solah wayang menjadi hidup.

B. Saran Setelah melakukan penelitian dan analisis terhadap pertunjukan Wayang Thengul Blora sajian Muslih, dapat disampaikan saran bagi semua pihak, yaitu:

153

1. Perlu dibentuknya sanggar Wayang Thengul sebagai sarana regenerasi dalang Wayang Thengul kepada generasi muda. 2. Penelitian tentang Wayang Thengul Blora ini masih jauh dari kelengkapan, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih mendalam dengan sudut kajian yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA Aminudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru. Balai Bahasa Jogja. 2011. Kamus bahasa Jawa (Bausatra Jawa). Yogyakarta: Kanisius. Cahyono, Bambang. 1999. "Sindhu Harjataryono Dalang Wayang Golek Menak dari Daerah Kebumen Sebuah Biografi". Skripsi. Sekolah Tinggi Seni Indonesi, Surakarta. Goro Saputro, Sarjono. 2015. "Studi Komparatif Sulukan Wayang Golek Cepak Sajian Sawijoyo dan Suharno". Sekrepsi, Institut Seni Indonesia, Surakarta.

154

Guritno, Pandam. 1988. Wayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). Hadiyat K, Yayat. 2006. "Peranan Multimedia Pertunjukan Wayang Golek Ajen Dalam Lakon Serat Sarwa Karna oleh Ki dalang wawan Gunawan". Thesis, Institus Seni Indonesia, Surakarta. Hartoko, Dick. 1984. Manusia dan Seni. Yogyakarta: Yayasan Kanisius. Kamajaya. 1986. Serat Centhini (Suluk Tambangraras). Yogyakarta: Yayasan Centhini. Kusumadilaga, K.P.A. 1930. Pakem Sastramiriuda. Sala: De Bliksem. __________. 1981. Serat Sastramiruda. Dialih bahasakan oleh Kamajaya dan dialih akasarakan oleh Sudibyo Z. Hadisutjipto. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud. Mulyono, Sri. 1989. Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta: Haji Masagung. Murtiyoso, Bambang. 1981. Pengetahuan Pedalangan. Surakarta: Sub Bagian Proyek ASKI. Najawirangka, M. Ng. Atmatjendana. 1958. Serat Tuntunan Pedalangan. Ringkesan Lampahan Ringgit 20 Warni. Jilid V. Jogjakarta: Djawatan Kebudayaan, Kementrian P.P dan K. __________. 1960. Serat Tuntunan Pedalangan Tjaking Pakeliran Lampahan Irawan Rabi. Yogyakarta: Tjabang Bagian bahasa Jogjakarta 155 Djawatan Kebudayaan Depertemen P.P dan K. Pekan Wayang V, 1988 "Wayang Cepak/Papak". Makalah dalam Rangka Sarasehan Dalang pada Pekan Wayang V di Jakarta. Santoso, Trisno. 2016. "Wayang Boneka Wong Agung Jayengrana". Disertasi, Institut Seni Indonesia, Surakarta. Sarumpaet. Riris K. 1977. Istilah Drama dan Teater. Jakarta: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Sarwanto. 2008. Pertunjukan Wayang Kulit Purwa dalam Ritual Bersih Desa, Kajian Fungsi dan Makna. Surakarta: Pascasarjana, ISI Press, dan CV. Cendrawasih.

155

Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan PengkajianKebudayaan Nusantara. Setiodarmoko, W. "Wayang Golek Kebumen", dalam Gatra No.17, 1988, P.16. Soetarno, Sudarsono, Sunardi. 2007. Estetika Pedalangan. Surakarta: Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dan Cendrawasih. Solichin, Suyanto, dkk. 2016. Filsafat Wayang Sistematis. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENA WANGI). Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Ed. Jakarta: PT. Gramedia. Sukistono, Dewanto. 1996. "Kehidupan Wayang Golek Menak di Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta". Skripsi. Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Surakarta. Sumanto. 2011. "Pengetahuan Lakon II". Bahan Ajar. Institut Seni Indonesia, Surakarta. Sunardi. "Nuksma dan mungguh; Estetika pertunjukkan Wayang Purwa Gaya Surakarta". Disertasi, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2012. __________. 2013. Nuksma dan Mungguh: Konsep Dasar Estetika Pertunjukan wayang. Surakarta: ISI Press. Sutrisno.R. 1970. "Wayang Kayu di Indonesia". Makalah Sarasehan. Suwarno, Bambang. 1980. "Pembuatan Wayang Golek Menak Putihan". Surakarta: Proyek Pengembangan IKI Sub Proyek ASKI Surakarta. Van Gronendael, Victoria M. Clara. Dalang Di Balik Wayang. Jakarta: Grafiti Press, 1987. Wijanarko. 2004. Cerita Wayang Menak. Solo: Amigo.

156

DAFTAR NARASUMBER Dr. Bambang Suwarno, S.Kar., M.Hum. (66 tahun), dalang, kreator wayang. Sangkrah, Pasar Kliwon, Surakarta. Ki Gondo Martono (69 tahun), dalang wayang kulit. Kemiri, Jepon, Blora. Ki Muslih (66 tahun), dalang Wayang Thengul. Kemiri, Jepon, Blora. Ki Sutaji (65 Tahun), dalang dan pengrajin Wayang Thengul. Jepang Rejo, Blora. Wahyu Bimantoro (18 Tahun), dalang remaja. Klampok, Jiken, Blora.

157

WEBTOGRAFI

158

file:///D:/documen/skripsi/data/KEBERADAAN%20WAYANG%20T HENGUL%20DESA%20MULYOAGUNG%20KECAMATAN% 20BALEN%20KABUPATEN%20BOJONEGORO%20%20Documents.htm http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub= PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=63913

158

159

DISKOGRAFI Muslih. "Pertunjukan Wayang Thengul Blora Lakon Amir Hambyah Winisudha," DVD rekaman pentas dalam rangka sedekah desa di Desa Kemiri, Kecamatan Jepon, Kabupaten Blora. Koleksi Muslih.

159

GLOSARIUM

160

Ada-ada

: salah satu bentuk nyayian dalang yang berfungsi untuk memberikan penguawatan suasana tegang, marah, semangat, dan tegas.

Adegan

: babak atau penampilan wayang di kelir dengan iringan gendhing tertentu.

Antawacana

: batas ucapan; perbedaan warna suara dan lagu kalimat masing-masing tokoh wayang.

Banyol

: humor dalam pertunjukan wayang.

Bedhol

: mencabut wayang dari larapan atau debog.

160

Blencong

: lampu yang digunakan untuk menyinari pertunjukan wayang.

Budhalan

: berangkatnya pasukan dari suatu kerajaan.

Cancut

: salah satu vokabuler menggambarkan tokoh pakaian.

Céngkok

: (1) gaya yang berlaku pada wilayah tertentu; (2) pola dasar lagu yang telah memiliki satu kesatuan musikal; di dalamnya terdapat luk, wilet, dan gregel.

Dhodhogan

: bunyi pukulan kothak wayang yang dipukul menggunakan kayu pemukul (disebut cempala) untuk membangun suasana tertentu.

Entas

: keluarnya wayang.

Garap

: rangkaian kegiatan yang dilakukan dalang bersama dengan pengrawit, wirasuara, dan swarawati yang terdiri 161 dari catur, sabet, dan karawitan pakeliran untuk mencapai suasana dan kualitas sajian yang diinginkan dalang.

Gara-gara

: salah satu adegan wayang yang menampilkan figur Punakawan atau dalam Wayang Thengul Blethik dan Blegok dengan tujuan bersendau-gurau

Gawang

: kayu yang dirangkai berbentuk persegi panjang sebagai tempat pertunjukan wayang.

Ginem

: dialog antar tokoh.

Janturan

: adegan atau babak suatu penampilan wayang di kelir dengan diiringi gendhing tertentu.

wayang

dari

gerak sedang

wayang yang mengencangkan

panggung

pertunjukan

161

Kedhatonan

: suatu adegan yang menampilkan tokoh Cangik dan Limbuk pada pertunjukan wayang.

Kelir

: arena tempat wayang tampil dalam pertunjukan wayang.

Keprak

: lempengan logam yang disusun sedemikian rupa dan digantungkan pada bibir kothak wayang, digunakan untuk memberi isyarat dan membangun suasana tertentu pada pakeliran.

Kothak

: peti yang berbentuk kotak persegi panjang yang digunakan untuk menyimpan wayang dan menjadi tempat menggantungkan keprak.

Lakon

: (1) tokoh sentral dalam cerita wayang; (2) judul cerita wayang; (3) alur cerita dalam pertunjukan wayang.

Larapan

: tempat untuk menancapkan wayang dalam pertunjukan Wayang Thengul Blora, seperti fungsi debog pada pertunjukan wayang kulit.

Punakawan

: sekelompok abdi yang mengikuti kesatriya, meliputi Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong dalam wayang kulit. Sedangkan dalam Wayang Thengul Blora meliputi Kyai Gambuh, Blethik, dan Blegok.

Paseban njawi

: suatu adegan dalam pakeliran yang tampil sebelum budhalan pada pathet nem.

Pocapan

: narasi dalang untuk menggambarkan peristiwa atau suasana tertentu yang disertai grimingan gender.

Sabet

: semua gerak wayang dalam pertunjukan wayang.

Seseg

: percepatan irama dalam suatu gendhing.

162

Sirep

: gendhing yang berbunyi secara lirih dan instrumen yang berbunyi hanya beberapa saja, seperti: gender, rebab, kendhang, kethuk, kenong, kempul, dan slenthem.

Singgetan

: pemberian batas untuk memisahkan dari suatu suasana satu ke suasana lainnya.

Sogol

: tangkai untuk memegang wayang golek atau Wayang Thengul

Solah

: gerak-gerik suatu tokoh wayang dalam pertunjukan wayang.

Sulukan

: lagu yang dilantunkan dalang dengan tujuan untuk membangun suasana tertentu.

Suwuk

: berhentinya suatu gendhing.

Suwuk tamban : berhentinya suatu gendhing dengan irama lambat. Suwuk gropak

: berhentinya suatu gendhing dengan irama cepat.

Tancepan

: tertancapnya tangkai gapit wayang pada debog atau larapan, yang disesuaikan dengan posisi, kedudukan, dan suasana batin tokoh dalam suatu adegan.

Tancep Kayon

: tertancapnya figur kayon ditengah gawang yang menandakan berakhirnya suatu pertunjukan wayang.

Udar

: gendhing berbunyi keras dengan tempo irama normal kembali setelah sirep.

163

BIODATA

Nama

: Bayu Wijanarko

Tempat, Tgl. Lahir

: Sragen, 4 Maret 1995

NIM

: 12123113

Alamat

: Padas RT 15, Padas, Tanon, Sragen.

Agama

: Islam

No. Telp

: 08975090508

Riwayat Pendidikan

: MIN Jono (2000-2006) MTs N Tanon (2006-2009) MAN 1 Sragen (2009-2012)

Pengalaman Berorganisasi

: UKM Catur ISI Surakarta

165

Related Documents

Bayu
June 2020 17
Bayu Wijanarko.pdf
June 2020 18
Bayu Stan Resume Pph
May 2020 15

More Documents from "Rika Ikaa"