ujuan utama dari tulisan ini bukanlah untuk membicarakan sisi negatif atau sisi positif dari budaya global yang ada saat ini yang memerlukan pembahasan terpisah. Titik tekan dari tulisan ini lebih pada isu tentang keseimbangan budaya global dunia dalam kaitannya dengan peran Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Oleh karena itu beberapa hal yang perlu dicermati adalah dampak dari peta keseimbangan budaya global hari ini, bentuk ideal representasi budaya global yang seharusnya muncul, dan sikap masyarakat dunia terhadap peran Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, budaya global yang ada hari ini pada umumnya merujuk kepada budaya-budaya yang berasal dari Amerika. Dengan kata lain, sebagian besar dari wilayah dunia tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap apa yang kita sebut sebagai budaya global. Realita seperti ini tentunya menimbulkan ketidakseimbangan representasi dari budaya global itu sendiri yang dengan perjalanan waktu sangat mungkin untuk menimbulkan benturan dan konflik antar budaya. Perlu kita ingat bahwa dengan karakter globalnya, budaya global hari ini bukan hanya akan dan telah menimbulkan benturan dan konflik antar budaya dalam konteks internasional, tetapi juga dalam konteks suatu entitas budaya nasional. Perbedaaan pandangan antara kaum tua yang dianggap tradisional karena memegang teguh budaya lokal dengan kaum muda yang mengadopsi budaya global adalah salah satu contoh benturan atau konflik budaya yang timbul dalam konteks nasional. Dalam konteks internasional, karakter dari budaya global ini telah menyebabkan kegagalan sebagian orang dalam mengapresiasi ketinggian budaya dan peradaban masa lampau yang dimiliki oleh suatu bangsa. Hancurnya perpustakaan besar di Baghdad yang mempunyai koleksi yang sangat tinggi nilainya dalam perang Teluk II dan tergusurnya situs-situs bersejarah Islam di kota suci Mekah dan Madinah untuk pembangunan tempat-tempat komersial (padahal situs-situs tersebut merupakan milik umat Islam se- dunia) adalah diantara contoh kegagalan tersebut. Di Indonesia, komersialisasi budaya lokal dalam dunia pariwisata sehingga menghilangkan nilai-nilai luhur dari budaya tersebut juga merupakan dampak samping dari budaya global dimana unsur-unsur kepentingan bisnis selalu melekat. Dengan demikian, diantara dampak besar budaya global hari ini adalah timbulnya semacam instabilitas sosial-budaya, terutama di negara-negara yang mempunyai akar budaya yang sangat berbeda dengan akar budaya global hari ini, akibat tidak seimbangnya representasi dari budaya global hari ini yang tidak memberikan pilihan-pilihan yang minim konflik budaya bagi masyarakat dunia yang sangat plural akar budayanya. Sulit kiranya kita berharap akan munculnya suatu peta ideal dari representasi budaya global karena kompleksnya faktor-faktor penentu yang menopang eksistensi suatu budaya global. Yang dimaksudkan dengan peta ideal dari representasi budaya global disini adalah adanya pilihan-pilihan budaya global yang memungkinkan masyarakat dunia untuk tetap mengadopsi budaya global namun dengan kemungkinan benturan budaya yang kecil. Namun demikian, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa dunia telah sangat lama tidak berada dalam situasi dimana kemunculan budaya global yang beragam dimungkinkan. Ditopang dengan kemampuan keuangan, politik, militer, dan dominasi
bahasa, budaya global hari ini cenderung semakin menghegemoni ketimbang memberikan ruang untuk munculnya pluralitas budaya global. Disamping itu sikap inferior atau minder yang semakin menjangkiti sebagian masyarakat dunia juga menghambat tumbuhnya usaha dan inovasi ke arah munculnya pluralitas budaya global tersebut. Berbagai hal yang terus melanggengkan ketidakseimbangan representasi budaya global ini bukan hanya sangat potensial untuk menimbulkan benturan budaya atau bisa jadi musnahnya identitas budaya lokal suatu bangsa, tetapi juga semakin menutup peluang untuk saling mempelajari dan mengambil manfaat dari kebudayaan dunia yang plural. Alangkah malangnya peradaban manusia jika pada suatu waktu nanti masyarakat dunia tidak lagi bisa saling berbagi dan mengambil manfaat dari pluralitas budaya dunia karena semakin kokohnya hegemoni budaya global hari ini. Oleh karena itu, berbagai upaya yang mungkin untuk dilakukan kearah munculnya keseimbangan dan pluralitas budaya global perlu terus mendapat dukungan. Salah satu upaya yang perlu mendapat dukungan dan pemikiran yang terus menerus adalah upaya merubah sikap dan kebijakan kita terhadap Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Dari segi sikap sudah saatnya terjadi perubahan sikap mental kita sebagai pengguna Bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau sebagai orang-orang yang selama ini secara sadar atau tidak sadar telah mengasosiasikan diri kita dengan budaya penutur asli Bahasa Inggris. Persepsi seperti bahwa cara berbicara atau cara menulis kita dalam bahasa Inggris haruslah seperti cara berbicara atau cara menulis orang Amerika misalnya, sudah tidak lagi relevan dengan kenyataan bahwa bahasa Inggris adalah sebuah bahasa internasional dengan jumlah pengguna bukan native (asli)nya sudah jauh lebih banyak jumlahnya dari pada mereka yang menggunakannya sebagai bahasa pertama. Salah satu akibat dari status Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional adalah perlunya usaha untuk saling memahami dan saling belajar baik secara linguistik ataupun budaya dari semua pengguna Bahasa Inggris, baik yang menggunakannya sebagai bahasa pertama ataupun sebagai bahasa asing. Perubahan sikap mental ini menjadi isu penting karena dengan terus-menerusnya exposure (pengenalan) budaya global hari ini ketengah masyarakat maka secara gradual persepsi, cara berpikir dan akhirnya tindakan-tindakan kita akan semakin jauh dari akar budaya kita sendiri yang sesungguhnya juga memiliki daya dorong untuk mengantarkan kita menjadi orang-orang yang maju. Dengan kata lain, perubahan sikap mental ini diperlukan agar kita tidak terjebak untuk terus-menerus mengadopsi kemajuan dan budaya global (baik yang dianggap positif ataupun negatif) yang ada dewasa ini. Perubahan sikap mental ini diperlukan agar kita bisa menginovasi dan mengkreasi kemajuan, atau minimal bisa mengadaptasikan kemajuan dan budaya global yang ada hari ini dalam koridor budaya lokal yang kita miliki. Oleh karena itu, Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, dengan segala pengaruh yang dimilikinya, seharusnya dijadikan alat untuk mencapai kemajuan yang berbasiskan budaya lokal/nasional, dan bukan sebagai alat untuk semakin mengokohkan hegemoni budaya global hari ini yang dampaknya sudah kita bicarakan diatas.
Dari segi kebijakan, khususnya dalam hal pengajaran Bahasa Inggris, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan kontekstual karena dalam proses pengajaran suatu bahasa asing yang terjadi bukanlah semata-mata pembelajaran bahasa tetapi pada saat yang sama juga terjadi pembelajaran dan transfer nilai-nilai budaya, prinsip hidup, dan pola pikir. Proses pendidikan dan peningkatan kualifikasi guru Bahasa Inggris, buku, dan metodologi pengajaran perlu mendapat muatan-muatan lokal, disamping pengenalan nilai-nilai global/universal. Sikap proporsional tentunya diperlukan dalam hal ini agar proses pengajaran Bahasa Inggris mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya perubahan sikap mental yang mendorong orang untuk mengkreasi, menginovasi, dan mengadaptasi kemajuan.