Bab Iii.docx

  • Uploaded by: Annisa Suherman
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Iii.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,819
  • Pages: 11
BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis Definisi Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.

(1)

Penyakit ini biasanya mengenai paru,tetapi

mungkin menyerang semua organ atau jaringan ditubuh. Biasanya bagian tengah granuloma tuberkular mengalami nekrosis pengkijuan. (8) Etiologi Mikobakterium adalah organisme berbentuk batang langsing yang tahan asam yaitu mengandung banyak lemak kompleks dan mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen dan sulit didekolorisasi.

(8)

M. Tuberkulosis adalah bakteri aerob

obligat, oleh karena itu, kompleks M.Tb sering ditemukan di lobus paru bagian atas. Basil tuberkel sulit ditemukan dibagian tengah lesi pengkijuan besar karena terdapat anaerobiosis, dan pH rendah. Laju pertumbuhan bakteri ini cukup lambat, sekitar 15-20 jam, dengan bentuk saprofit cenderung tumbuh lebih cepat, berkembang biak pada suhu 22-23o C. (8,9) M.Tb merupakan organisme patogen maupun saprofit yang berukuran 0,3x2 sampai 4mm, ukuran ini lebih kecil daripada sel darah merah. (1) Bakteri ini tidak dapat diklasifikasikan sebagai bakteri gram positif maupun gram negatif karena bakteri tersebut tidak memiliki ciri-ciri kimia dari keduanya. Meskipun demikian, bakteri tersebut mengandung peptidoglycan pada dinding selnya. Pada dinding selnya juga terkandung lemak kompleks yang tersusun dari 3 komponen utama yaitu mycolic acids, cord factor, wax-D. (9)

Mekanisme Penularan Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan telah mempermudah proses penularan dan berperan dalam peningkatan jumlah kasus TB. (10) Infeksi TB kebanyakan terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang 10

terinfeksi. Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil, gumpalan basil yang lebih besar cenderung akan tertahan di saluran hidung dan cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. (1) Berdasarkan surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, cara penularan M.Tb adalah sebagai berikut :  Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.  Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam batuk, percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.  Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.  Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.  Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.  Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. (11)

Faktor Resiko Seseorang dapat tertular M.Tb dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur. Sekitar 75% pasien TB paru di Indonesia menderita TB paru pada usia produktif ekonomis yaitu 15-50 tahun.

(11)

Pasien berusia lanjut dan mengidap

penyakit imunosupresif berat mungkin kehilangan sensitivitas mereka terhadap basil tuberkel sehingga dapat menderita Tuberkulosis paru lebih dari sekali. (8) Selain dari faktor usia, faktor resiko tertular TB paru juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Anak usia dibawah 5 tahun beresiko tinggi tertular TB paru bila mereka tinggal bersama orang dewasa penderita TB paru aktif. Resiko ini 11

semakin meningkat bila ventilasi rumah dan keadaan rumah atau lingkungan yang buruk. Jumlah manusia yang tinggal dalam satu rumah juga beresiko meningkatkan penularan M.Tb. (12) Resiko penularan :  Resiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan yang lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.  Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yag berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1% berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahunnya.  ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.  Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. (11) Risiko menjadi sakit TB :  Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB  Dengan ARTI 1% diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi dan 10% diantaranya (100) orang aka menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.  Faktor yang mempengaruhi kemungkinan sesorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). (11) Sebuah penelitian yang dilakukan di India bagian Selatan menemukan bahwa faktor resiko munculnya TB paru disebabkan adanya faktor penyakit penyerta seperti Diabetes Melitus (DM) (30,9%),HIV (10,6%) dan pola hidup yang tidak sehat seperti merokok (16,9%), peminum alkohol (12,6%). Frekuensi penderita lebih banyak ditemukan pada pria dibandingkan wanita dengan perbandingan berkisar 3,7 : 1. (13)

12

Patogenesis Tuberkulosis Paru Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Tiga ribu droplet nuclei akan dikeluarkan oleh pasien TB dengan BTA (+) yang sedang batuk. Satu droplet nuclei mengandung 3 basil tuberkulosis. Ukuran basil tuberkulosis yang kecil (<5µm), kuman yang ada dalam droplet nuclei yang terhirup, dapat menembus sistem mukosilier saluran napas sehingga dapat mencapai dan bersarang di bronkus dan alveoli. Oleh karena itu, paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. (9,10) Patogenesis tuberkulosis pada individu yang belum pernah terpajan berpusat pada pembentukan imunitas seluler yang menimbulkan resistensi terhadap organisme dan menyebabkan terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkular. Gambaran patologik tuberkulosis, seperti granuloma perkijuan dan kavitasi, terjadi akibat hipersensitivitas jaringan yang destruktif yang merupakan bagian penting dari respon imun pejamu. (8) Patogenesis awal dimulai dengan penyemaian M.Tb pada daerah posterior apex paru. (14) Rangkaian terjadinya tuberkulosis paru primer dimulai dari inhalasi strain

virulen MTB

dan memuncak

pada

terbentuknya

imunitas

dan

hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler timbul sekitar 3 minggu setelah infeksi awal. Antigen mikobakterium yang telah diproses kemudian disajikan dalam konteks histokompatibilitas mayor kelas 2 (MHC-II) oleh makrofag ke sel TH0 CD4+ yang dibawah pengaruh IL-12 akan menjadi TH1 dan mengeluarkan IFN- yang kemudian mengaktifkan makrofag sehingga dapat mengeluarkan berbagai mediator yang penting dalam melawan M.Tb. (8) Tuberkulosis paru secara progresif akan menurunkan mediator tipe 1 (IFN, TNFα dan IL-2), tipe 2 (IL-4) dan tipe 17 (IL-17A dan IL-17F). Penurunan mediator-mediator inilah yang berperan dalam munculnya patogenesis TB paru aktif. Penelitian yang dilakukan Kumar et al menunjukkan bahwa ada kaitan antara TB paru aktif dengan defisit sitokin type 1, type 2, dan type 17. (15) Bila kuman menetap dijaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang pneumonia kecil atau lebih sering dikenal dengan fokus Ghon. Sarang primer ini

13

bisa terjadi dibagian manapun pada paru, apabila mengenai pleura maka bisa menjadi efusi pleura. Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening (limfangitis lokal) diikuti dengan pembesaran pada kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional) yang keduanya akan membentuk kompleks primer atau kompleks Ghon. Semua proses diatas memakan waktu 3-8 minggu. (10) Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :  Sembuh tanpa meninggalkan cacat pada parenkim paru  Sembuh dengan meninggalkan sedikit garis-garis fibrotik  Berkomplikasi dan menyebar secara perkontinuitatum, bronkogen, limfogen, dan hematogen. (10)

Klasifikasi Tuberkulosis Paru Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, terdapat beberapa klasifikasi TB paru, yaitu (16): 1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA) a. Tuberkulosis paru BTA (+), yaitu  Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif  Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif

dan

kelainan

radiologi

menunjukkan

gambaran

tuberkulosis aktif.  Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif. b. Tuberkulosis paru BTA (-), yaitu:  Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

klinis

dan

kelainan

radiologis

menunjukkan

tuberkulosis aktif.  Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.Tb positif. 2. Berdasarkan tipe pasien Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

14

a. Kasus baru Yaitu pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. c. Kasus defaulted atau drop out Yaitu pasien yang telah menjalani pengobatan ≥1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal Yaitu pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. e. Kasus kronik Yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan kategori 2 dan dengan pengawasan yang baik. f. Kasus bekas TB  Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung.  Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi. WHO 1991 membagi TB berdasarkan terapi menjadi 4 kategori, yaitu (10): 1. Kategori I, ditujukan terhadap:  Kasus baru dengan sputum positif  Kasus baru dengan bentuk TB berat

15

2. Kategori II, ditujukan terhadap:  Kasus kambuh  Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3. Kategori III, ditujukan terhadap:  Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas  Kasus BTA ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I 4. Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik Manifestasi Klinis Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah (10,16): Demam. Biasanya subfebril menyerupai influenza tetapi kadang-kadang bisa mencapai 40-41oC. Serangan demam dapat hilang timbul sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Batuk/Batuk Darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk ini terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dengan batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan lanjut adalah batuk darah karena adanya pembuluh darah yang pecah pada saat terjadinya batuk. Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru mulai) belum dirasakan sesak napas. Sesak napas baru akan ditemukan saat infiltrasinya sudah mencapai setengah paru-paru. Nyeri dada. Nyeri dada timbul bisa infiltrasi radang sudah mencapai ke pleura sehingga terjadi gesekan kedua pleura saat pasien bernapas. Malaise. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia (tidak ada nafsu makan), badan makin kurus, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur. Diagnosis Menurut American Thoracic and Society dan WHO diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah dengan menemukan kuman M.Tb dalam sputum atau 16

jaringan paru secara biakan. Namun tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum positif karena kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak dapat membatukkan sputumnya dengan baik. Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis karena keterbatasan fasilitas medis. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopis sudah cukup memastikan diagnosa TB paru. (10) Seseorang yang dicurigai menderita TB paru harus dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan fisik, tes tuberkulin Mantoux, foto toraks, dan pemeriksaan bakteriologi atau histologi. Tes tuberkulin harus dilakukan pada semua orang yang dicurigai TB klinis aktif, namun nilai tes tersebut dibatasi oleh reaksi negatif palsu, khususnya pada seseorang dengan imunosupresif (misal TB dengan infeksi HIV). Berdasarkan CDC, kasus TB diperkuat dengan kultur bakteriologi organisme M.Tb yang positif. (1) Diagnosis cepat TB (rapid diagnosis TB) adalah diagnosis cepat MTB kurang dari 1 jam. Diagnosis laboratorium TB secara tradisional didasarkan pada apusan mikroskopis, kultur dan identifikasi fenotipe. Meskipun metode tercepat, termudah, dan termurah yang tersedia adalah pewarnaan tahan asam namun sensitifitasnya

yang

rendah

(45-80%

kultur

positif)

telah

membatasi

penggunaannya terutama di daerah dengan insidens TB rendah dan pada bentuk ekstra-pulmoner TB serta pada pasien terinfeksi HIV. Pemeriksaan apus memiliki spesifisitas yang baik tetapi nilai prediktif positif yang rendah (5-80%) didaerah dengan insidens tinggi M.non-TB. Teknik kultur masih dianggap sebagai metode rujukan karena identifikasi dan sensitifitas lebih baik dibanding pemeriksaan BTA. (17)

Pemeriksaan Sputum Basil Tahan Asam (BTA) Pemeriksaan sputum penting karena dengan ditemukannya kuman BTA, diagnosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000 kuman dalam 1 mL sputum. (10)

17

Konversi/perubahan skala BTA merupakan indikasi adanya perbaikan pada pengobatan TB paru. Pemeriksaan sputum dilakukan 2 bulan setelah pemberian OAT dan 1 bulan terakhir sebelum pengobatan total selesai. Tujuannya adalah untuk mengevaluasi apakah terdapat perbaikan pada proses pengobatan. Kegagalan konversi sputum BTA pada 2 bulan awal pengobatan merupakan indikasi dini adanya kegagalan pengobatan TB paru dan bisa jadi acuan dalam mendeteksi adanya MDR-TB pada kasus baru. (18) Skala/grade

BTA

menurut

International

Union

Association

Lung

Tuberculosis Disease (IUALTD) (19) :  Negatif (0) : BTA tidak ditemukan dalam 100-300 lapangan pandang.  Sconty (±) : BTA antara 1-9 batang pada 100 lapangan pandang, dilaporkan jumlah yang ditemukan saja (tulis sconty).  Positif 1 (1+) : BTA 10-99/100 lapangan pandang.  Positif 2 (2+) : 1-10 BTA/lapangan pandang dan diamati ±50 lapangan pandang.  Positif 3 (3+) : > 10 BTA/lapangan pandang dan diamati ±20 lapangan pandang.

Pengaruh Rokok Pada TB Paru Rokok telah menunjukan dampak yang luas terhadap mekanisme kekebalan inangnya. Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan yang merugikan dengan cara menyapu partikel keluar dalam lapisan mukus, memfagositosis juga merekrut sel imun lain. Merokok secara langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut mengakibatkan supresi epitel pernapasan. (4) Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar sel epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan demikian memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan inflamasi dan kerusakan jaringan. Serupa dengan ini, merokok berpengaruh terhadap kemampuan makrofagalveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis 18

serta mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik (DCs) dan sel natural killer (NK) sehingga meningkatkan resiko, keparahan dan durasi infeksi. (4) Nikotin yang terkandung dalam asap rokok mempunyai efek pada sistem imun tubuh karena nikotin menghambat produksi IL-1β, IL-2, IL-6, IL-12, IL-18, TNFα, dan IFN-. Nikotin juga dapat menghambat sinyal sel T dan respon sel T terhadap adanya antigen. Nikotin sangat berpotensi menghambat respon apoptosis. (20)

Atelektasis Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Atelektasis timbul karena alveoli menjadi kurang berkembang atau tidak berkembang.(1) Terdapat dua penyebab utama kolaps, yaitu atelektasis absorpsi sekunder dari obtruksi bronkus atau bronkiolus, dan atelektasis yang disebabkan oleh penekanan. Pada atelektasis absorpsi, obstruksi saluran napas menghambat masuknya udara ke dalam alveolus yang terletak distal terhadap sumbatan. Udara yang terdapat di dalam alveolus tersebut diabsorpsi sedikit demi sedikit ke dalam aliran darah dan alveolus kolaps. Atelektasis absorpsi dapat disebabkan oleh obstruksi bronkus intrinsik atau ekstrinsik. Obstruksi bronkus intrinsik paling sering disebabkan oleh sekret atau eksudat yang tertahan. Tekanan ekstrinsik pada bronkus biasanya disebabkan oleh neoplasma, pembesaran kelenjar getah bening, aneurisma atau jaringan parut.(1) Mekanisme pertahanan fisiologik yang bekerja mempertahankan sterilitas saluran napas bawah berperan dalam mencegah atelektasis dengan menghalangi terjadinya sumbatan atau obstruksi. Mekanisme-mekanisme yang berperan adalah kerja gabungan dari “tangga berjalan silia” yang dibantu oleh batuk untuk memindahkan partikel-partikel dan bakteri yang berbahaya ke dalam faring posterior, tempat bakteri atau partikel tersebut ditelan atau dikeluarkan. Mekanisme lain

yang mencegah

atelektasis

adalah ventilasi

kolateral.

Penyelidikan-penyelidikan eksperimental mengenai ventilasi kolateral yang

19

dilakukan baru-baru ini dan menjadi sumber perdebatan selama 50 tahun terakhir, telah memastikan bahwa udara dapat lewat dari asinus paru yang satu ke asinus paru lainnya tanpa melewati saluran napas biasa. Sekarang sudah jelas bahwa terdapat pori-pori kecil yang disebut pori-pori Kohn yang ditemukan pada tahun 873, terletak di antara alveolus, yang memberikan jalan untuk ventilasi kolateral.(1) Pada ventilasi aktif, hanya inspirasi dalam yang dapat membuka pori-pori Kohn dan menimbulkan ventilasi kolateral ke dalam alveolus di sebelahnya yang mengalami penyumbatan. Dengan demikian, kolaps akibat absorpsi gas-gas dalam alveolus yang tersumbat dapat dicegah. Selama ekspirasi, pori-pori Kohn menutup, akibatnya tekanan di dalam alveolus meningkat sehingga membantu pengeluaran sumbat mukus. Bahkan dapat dihasilkan gaya ekspirasi yang lebih besar, yaitu sesudah bernapas dalam, glotis tertutup dan kemudian terbuka tibatiba pada proses batuk normal. Sebaliknya, pori-pori Kohn tetap tertutup selama inspirasi dangkal sehingga tidak terjadi ventilasi kolateral menuju alveolus yang tersumbat dan tekanan yang memadai untuk mengeluarkan sumbat mukus tidak akan tercapai. Absorpsi gas-gas alveolus ke dalam aliran darah akan berlangsung terus menerus dan mengakibatkan kolaps alveolus. Maka tempat yang kosong itu sedikit demi sedikit akan terisi cairan edema.(1) Perlu ditekankan pentingnya batuk, latihan bernapas dalam dan aktivitas lainnya untuk mencegah atelektasis, terutama pada mereka yang cenderung menderita atelektasis. Hal ini khususnya pada kasus pascabedah, pasien yang harus tirah baring atau pada pasien yang lemah, karena atelektasis sering terjadi pada kelompok ini. Atelektasis pada dasar paru sering muncul pada mereka yang pernapasannya dangkal karena nyeri, lemah atau peregangan abdominal. Sekret yang tertahan dapat menyebabkan pneumonia atau atelektasis yang lebih luas.(1) Atelektasis tekanan dapat disebabkan oleh tekanan ekstrinsik pada semua bagian paru atau bagian dari paru sehingga mendorong udara ke luar dan mengakibatkan kolaps. Sebab-sebab yang paling sering adalah efusi pleura, pneumothoraks atau peregangan abdominal yang menyebabkan diafragma terdorong ke atas.(1)

20

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"