Bab Ii Pkpa Rs Revisi.docx

  • Uploaded by: ZIRA
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab Ii Pkpa Rs Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 11,156
  • Pages: 56
BAB II TINJAUAN UMUM A. Organisasi Rumah Sakit dan Farmasi Rumah Sakit 1.

Klasifikasi Rumah Sakit Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 serta ketentuan umum yang tertera dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit, menyebutkan bahwa pengertian rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Adapun yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif (Depkes RI, 2009). Jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dibagi menjadi dua, yaitu rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 definisi rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Sebaliknya, rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya (Depkes RI, 2009). Klasifikasi rumah sakit adalah pengelompokan kelas rumah sakit

berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan. Fasilitas adalah segala sesuatu

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim Angkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

5

6

hal yang menyangkut sarana, prasarana maupun alat (baik alat medik maupun alat non medik) yang dibutuhkan oleh rumah sakit dalam memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi pasien (Menkes RI, 2014). Klasifikasi rumah sakit diperlukan untuk memberi kemudahan mengetahui identitas, organisasi, jenis pelayanan yang diberikan, pemilik, dan kapasitas tempat tidur. Agar dapat mengadakan evaluasi yang lebih tepat untuk suatu golongan rumah sakit tertentu, setiap rumah sakit wajib mendapatkan penetapan kelas dari Menteri. Rumah sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya pelayanan medik umum, gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat jalan, rawat inap, operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi, sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen, penyuluhan kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry, ambulance, pemeliharaan sarana rumah sakit serta pengolahan limbah (Menkes RI, 2011). Berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan, rumah sakit umum diklasifikasikan menjadi 4 yaitu : a. Rumah Sakit umum kelas A Rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, 5 (lima) pelayanan spesialis penunjang medik, 12 (dua belas) pelayanan medik spesialis lain dan 13 (tiga belas) pelayanan medik sub spesialis. Jumlah tempat tidur yang dimiliki minimal 400 (empat ratus) buah. Selain itu, rumah sakit umum kelas

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

7

A memiliki sumber daya manusia sedikitnya 37 tenaga medis dan 15 tenaga kefarmasian. b. Rumah Sakit umum kelas B Rumah sakit umum kelas B adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar, 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik, 8 (delapan) pelayanan medik spesialis lainnya dan 2 (dua) pelayanan medik sub spesialis dasar. Jumlah tempat tidur yang dimiliki minimal 200 (dua ratus) buah. Selain itu, rumah sakit umum kelas B memiliki sumber daya manusia sedikitnya 23 tenaga medis dan 13 tenaga kefarmasian. c. Rumah Sakit umum kelas C Rumah sakit umum kelas C adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) pelayanan medik spesialis dasar dan 4 (empat) pelayanan spesialis penunjang medik. Jumlah tempat tidur dimiliki minimal 100 (seratus) buah. Selain itu, rumah sakit umum kelas C memiliki sumber daya manusia sedikitnya 15 tenaga medis dan 8 tenaga kefarmasian. d. Rumah Sakit umum kelas D Rumah sakit kelas D adalah rumah sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) pelayanan medik spesialis dasar. Jumlah tempat tidur yang dimiliki minimal 50 (lima puluh) buah. Selain itu, rumah sakit umum kelas D memiliki sumber daya manusia sedikitnya 6 tenaga medis dan 3 tenaga kefarmasian.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

8

Penetapan klasifikasi rumah sakit umum di atas berdasarkan beberapa unsur yaitu pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarana, administrasi dan manajemen. Sedangkan klasifikasi rumah sakit khusus terdiri dari klasifikasi rumah sakit khusus A, rumah sakit khusus kelas B, dan rumah sakit khusus kelas C. Fasilitas dan kemampuan yang harus dimiliki oleh rumah sakit khusus sekurang-kurangnya meliputi pelayanan medik, pelayanan kefarmasian, pelayanan keperawatan, pelayanan penunjang klinik, pelayanan penunjang non klinik. Selain itu, sumber daya manusia yang terdapat pada rumah sakit khusus mencakup tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga kesehatan lain, dan tenaga non kesehatan. 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit Struktur organisasi adalah suatu susunan dan hubungan antara tiap bagian serta posisi yang ada pada suatu organisasi atau perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasional untuk mencapai tujuan. Struktur organisasi menggambarkan pemisahan kegiatan antara pekerjaan yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas dan fungsi di batasi (Pratiwi dkk, 2015). Menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tahun 2009 pasal 33 tentang Rumah Sakit, struktur organisasi rumah sakit disusun untuk mencapai visi dan misi rumah sakit dengan menjalankan tata kelola perusahaan yang baik dan tata kelola klinis yang baik. Selain itu, dalam UU tersebut juga menyebutkan bahwa setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

9

akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah sakit atau direktur rumah sakit, unsur pelayanan medik, unsur keperawatan, unsur penunjang medik, komite medik, satuan pemeriksaan internal, serta adiministrasi umum dan keuangan (Depkes RI, 2009). Struktur organisasi rumah sakit pada umumnya terdiri atas Badan Pengurus Yayasan, Dewan Pembina, Dewan Penyantun, Badan Penasehat dan Badan Penyelenggara. Badan Penyelenggara terdiri atas Direktur, Wakil Direktur, Komite Medik, Satuan Pengawasan dan Satuan Badan dari Instalasi yang salah satunya adalah Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS). Tergantung pada besarnya rumah sakit, dapat terdiri atas satu sampai empat Wakil Direktur. Wakil Direktur pada umumnya terdiri atas Wakil Direktur Pelayanan Medik, Wakil Direktur Penunjang Medik dan Keperawatan, Wakil Direktur Keuangan dan Administrasi. IFRS merupakan bagian dari jabatan fungsional, sedangkan Staf Medik Fungsional (SMF) berada di bawah koordinasi Komite Medik. SMF terdiri atas Dokter Umum, Dokter Gigi dan Dokter Spesialis dari semua disiplin yang ada disuatu rumah sakit. Komite medik adalah wadah non struktural yang keanggotaannya terdiri atas ketua-ketua SMF (Siregar, 2004). 3. Panitia Farmasi dan Terapi/Komisi Farmasi dan Terapi Tim Farmasi dan Terapi (TFT) Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.72/MenKes/SK/X/2016 adalah unit kerja dalam memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah Sakit mengenai kebijakan penggunaan Obat di Rumah Sakit yang anggotanya terdiri dari Dokter yang mewakili semua spesialisasi yang ada di Rumah Sakit, Apoteker Instalasi

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

10

Farmasi, serta tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan. TFT harus dapat membina hubungan kerja dengan komite lain di dalam Rumah Sakit yang berhubungan/berkaitan dengan penggunaan Obat (Menkes RI, 2016). Ketua TFT dapat diketuai oleh seorang dokter atau seorang apoteker, apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter. TFT harus mengadakan rapat secara teratur, sedikitnya 2 (dua) bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam satu bulan. Rapat TFT dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan TFT, memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi TFT. Adapun tugas dari organisasi TFT antara lain sebagai berikut (Menkes RI, 2016) : a.

Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit.

b.

Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam formularium rumah sakit.

c.

Mengembangkan standar terapi.

d.

Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat.

e.

Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional.

f.

Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki.

g.

Mengkoordinir penatalaksanaan medication error.

h.

Menyebar luaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

11

Keanggotaan Tim Farmasi dan Terapi terdiri dari 8-15 orang. Semua anggota tersebut mempunyai hak suara yang sama. Rumah sakit umum besar (misalnya kelas A dan B) perlu diadakannya suatu struktur organisasi TFT yang terdiri atas keanggotaan inti yang mempunyai hak suara, sebagai suatu tim pengarah dan pengambilan keputusan. Anggota inti ini dibantu oleh berbagai sub panitia yang dipimpin oleh salah seorang anggota inti. Anggota dalam sub panitia adalah Dokter Praktisi Spesialis, Apoteker Spesialis Informasi Obat, Apoteker Spesialis Farmasi Klinik dan berbagai ahli sesuai dengan keahlian yang diperlukan dalam tiap sub panitia (Siregar dan Amalia, 2004). Tim Farmasi Terapi dapat membentuk sub panitia untuk kegiatan tertentu, misalnya sub panitia pemantauan dan pelaporan Reaksi Obat Merugikan (ROM), sub panitia Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), sub panitia pemantauan resistensi antibiotik, subpanitia formulasi dietetik atau juga sub panitia khusus jika perlu. Beberapa sub panitia khusus ini sering kali melibatkan spesialis yang bukan anggota TFT (Siregar dan Amalia, 2004). 4. Akreditasi Rumah Sakit Pengertian Akreditasi Rumah Sakit menurut Permenkes RI No 34 Tahun 2017 tentang Akreditasi Rumah Sakit yaitu pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah dilakukan penilaian bahwa Rumah Sakit telah memenuhi Standar Akreditasi. Tujuan dari pengaturan Akreditasi yaitu meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit dan melindungi keselamatan pasien Rumah Sakit, meningkatkan perlindungan bagi masyarakat, sumber

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

12

daya manusia di Rumah Sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi, mendukung program Pemerintah di bidang kesehatan dan meningkatkan profesionalisme Rumah Sakit Indonesia di mata Internasional (Menkes RI, 2017). Tujuan umum akreditasi yaitu sebagai gambaran rumah sakit di indonesia yang memenuhi standar pelayanan yang ditentukan oleh pemerintah, sehingga mutu pelayanan dapat dipertanggung jawabkan. Tujuan khusus adanya akreditasi rumah sakit adalah agar mendapat pengakuan dan penghargaan kepada rumah sakit, jaminan kepada petugas rumah sakit tentang sarana dan prasarana yang tersedia, serta jaminan kepuasan bagi pelanggan (Menkes RI, 2017). Berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 pasal 40 ayat 1 menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 tahun sekali. Kementerian Kesehatan RI khususnya Jenderal Bina Upaya Kesehatan memilih dan menetapkan sistem akreditasi rumah sakit yang mengacu kepada Joint Commission International (JCI). JCI adalah badan akreditasi non profit yang berpusat di Amerika Serikat dan bertugas menetapkan dan menilai standar performa para pemberi pelayanan kesehatan, sedangkan lembaga independen dalam negeri sebagai pelaksana akreditasi rumah sakit yang bersifat fungsional dan non struktural adalah Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS). Standar Akreditasi Nasional terangkum dalam Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS), sedangkan Standar Akreditasi Internasional terangkum dalam

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

13

Joint Commission International Accreditation Standards for Hospital (Menkes RI, 2012). Menurut Permenkes Nomor 34 Tahun 2017, akreditasi rumah sakit memiliki tujuan, diantaranya yaitu : a.

Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit.

b.

Meningkatkan keselamatan pasien Rumah Sakit.

c.

Meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit dan Rumah Sakit sebagai institusi.

d.

Mendukung program pemerintah di bidang kesehatan (Menkes RI, 2017) Adapun skema proses akreditasi dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut:

RS

KLASIFIKASI/PENETAPAN KELAS -Provinsi : memberikan rekomendasi -Pusat : melakukan penetapan kelas

PERIZINAN -Menkes : RS kelas A, PMA/PMDN (Rekom Dinkes PROV) -Pemda Prov : RS Kelas B (Rekom Dinkes Kab/Kota) -Pemda Kab/Kota : RS kelas C & D (Rekom Dinkes)

REGISTRASI -Pusat : melakukan registrasi -Provinsi : memberikan

AKREDITASI -1 tahun setelah izin penyelenggarakan (Rekom Dinkes Provinsi) -6 tahun setelah izin perpanjangan (Rekom Dinkes Prov

Gambar 1. Skema proses akreditasiRumahSakit (Menkes RI, 2017)

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

14

Menurut Menkes RI (2017) keuntungan adanya akreditasi dalam suatu rumah sakit adalah sebagai berikut : a.

Bagi pasien dan masyarakat yaitu pasien dan masyarakat memperoleh pelayanan sesuai dengan standar yang terukur.

b.

Bagi petugas kesehatan di RS yaitu dapat menimbulkan rasa aman dalam menjalankan tugasnya karena RS memiliki sarana dan prasarana yang telah memenuhi standar.

c.

Bagi RS yaitu sebagai alat untuk negosiasi dengan pihak ketiga, misalnya asuransi, perusahaan dan lain-lain.

d.

Bagi perusahaan asuransi yaitu sebagai acuan untuk memilih dan mengadakan kontrak dengan RS (Menkes RI, 2017). Akreditasi dapat juga digunakan untuk menunjukkan komitmen nyata

sebuah rumah sakit untuk meningkatkan keselamatan dan kualitas asuhan pasien, memastikan bahwa lingkungan pelayanan aman, dan rumah sakit senantiasa berupaya mengurangi resiko bagi para pasien dan staf rumah sakit. Dengan demikian, akreditasi diperlukan sebagai cara efektif untuk mengevaluasi suatu rumah sakit (Menkes RI, 2017). 5.

Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit Standar Pelayanan Kefarmasian yang tertuang dalam aturan Permenkes

No. 72 tahun 2016 adalah tolak ukur yang digunakan sebagia pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Pelayan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi untuk mencapai hasil yang pasti

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

15

sehingga dapat menimgkatkan mutu kehidupan pasien. Standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi dua kegiatan, (Menkes RI, 2017) yaitu: a.

Pengelolaan perencanaan

sediaan

farmasi,

kebutuhan,

alkes,

BMHP,

pengadaan,

meliputi

penerimaan,

pemilihan,

penyimpanan,

pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian, dan administrasi. b.

Pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, peleyanan informasi obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO), monitoring efek samping obat (MESO), evaluasi penggunaan obat (EPO), dispensing sediaan steril, dan pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD). B. Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit Pengelolaan perbekalan farmasi adalah suatu proses yang merupakan

siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan (Menkes RI, 2016). Pengelolaan perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan salah satu manajemen rumah sakit yang penting. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk mengelola

perbekalan

farmasi

yang

efektif

dan

efisien,

menerapkan

farmakoekonomi dalam pelayanan, meningkatkan kompetensi atau kemampuan tenaga farmasi, mewujudkan sistem informasi manajemen yang berdaya guna dan tepat guna, serta melaksanakan pengendalian mutu pelayanan (Menkes RI, 2016). Pengelolaan sediaan farmasi meliputi:

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

16

1.

Seleksi Seleksi merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan

yang terjadi di rumah sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis, menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi sampai menjaga dan memperbaharui standar obat. Penentuan dalam seleksi obat merupakan peran aktif apoteker dan Panitia Farmasi dan Terapi untuk menetapkan kualitas dan efektifitas, serta jaminan purna transaksi pembelian (Menkes RI, 2016). Beberapa hal yang termasuk kriteria dalam seleksi obat adalah : a.

Mempunyai rasio manfaat-risiko yang paling menguntungkan penderita.

b.

Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas.

c.

Praktis dalam penyimpanan.

d.

Praktis dalam penggunaan dan penyerahan.

e.

Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.

f.

Mempunyai rasio manfaat biaya yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tak langsung.

g.

Apabila jenis obat banyak, maka dapat dipilih obat berdasarkan obat pilihan (drug of choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi. Pemilihan obat di rumah sakit merujuk kepada Daftar Obat Essensial

Nasional (DOEN) sesuai dengan kelas rumah sakit masing-masing, Formularium Rumah Sakit, Formularium Nasional, BPJS dan e-catalog. Sedangkan pemilihan alat kesehatan di rumah sakit dapat berdasarkan data pemakaian oleh pemakai, standar ISO, daftar harga alat, daftar alat kesehatan yang dikeluarkan oleh Dirjen

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

17

Binfar dan alat kesehatan, serta spesifikasi yang ditetapkan oleh rumah sakit (Menkes RI, 2016). 2.

Perencanaan Perencanaan perbekalan farmasi adalah salah satu fungsi yang menentukan

dalam proses pengadaan perbekalan farmasi di rumah sakit sedangkan tujuannya adalah untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai dengan pola penyakit dan kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Terdapat tiga macam metode perencanaan yang digunakan (Menkes RI, 2016) : a.

Metode Konsumsi Perhitungan kebutuhan dengan metode konsumsi didasarkan pada data riil

konsumsi perbekalan farmasi periode yang lalu, dengan berbagai penyesuaian dan koreksi. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam rangka menghitung jumlah perbekalan yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: 1) Pengumpulan dan pengelolaan data. 2) Analisa data untuk informasi dan evaluasi. 3) Perhitungan perkiraan kebutuhan perbekalan farmasi. 4) Penyesuaian jumlah kebutuhan perbekalan farmasi dengan alokasi dana. b.

Metode Epidemiologi Perencanaan dengan metode ini dibuat berdasarkan pola penyebaran

penyakit dan pola pengobatan penyakit yang terjadi di rumah sakit periode sebelumnya maupun pola penyakit di sekitar rumah sakit yang diperkirakan akan terjadi. c.

Metode Kombinasi

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

18

Metode ini merupakan gabungan dari metode epidemiologi dan konsumsi. Perencanaan pengadaan barang dibuat berdasarkan pola penyebaran penyakit dan melihat kebutuhan sediaan farmasi periode sebelumnya dan dengan menyesuaikan anggaran yang tersedia. Adapun acuan yang digunakan diantaranya adalah: 1) DOEN, Formularium Rumah Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit (Standard Treatment Guidelines (STG) dan kebijakan setempat yang berlaku. 2) Data catatan medik/rekam medik. 3) Anggaran yang tersedia. 4) Pola penyakit. 5) Sisa Persediaan. 6) Data penggunaan periode yang lalu. 7) Rencana Pengembangan. Cara atau teknik yang dilakukan untuk evaluasi dalam proses perencanaan adalah dengan analisa ABC untuk evaluasi aspek ekonomi, pertimbangan atau kriteria VEN untuk evaluasi aspek medik/terapi, kombinasi ABC dan VEN serta revisi daftar perbekalan farmasi (Depkes RI, 2009). 3.

Pengadaan Pengadaan

merupakan

kegiatan

untuk

merealisasikan

yang

telah

direncanakan dan disetujui, melalui pembelian, produksi/pembuataan sediaan farmasi dan sumbangan/dropping/hibah. Pembelian dan penawaran yang kompet itif (tender) merupakan suatu metode penting untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara mutu dan harga, apabila ada dua atau lebih pemasok, apoteker harus mendasarkan pada kriteria antara lain: mutu produk, reputasi produsen, harga,

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

19

berbagai syarat yang diberikan oleh produsen sendiri, ketepatan waktu dalam pengiriman barang ke rumah sakit, mutu pelayanan pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan dan pengemasan (Menkes RI, 2016). a.

Pembelian Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan

perbekalan farmasi. Proses pembelian mempunyai beberapa langkah yang baku dan merupakan siklus yang berjalan terus menerus sesuai dengan kegiatan rumah sakit. Langkah proses pengadaan dimulai dengan review daftar perbekalan farmasi yang akan diadakan, menetukan jumlah masing-masing item yang akan dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima barang, melakukan pembayaran serta penyimpanan kemudian mendistribusikan. Terdapat tiga metode pada proses pembelian (Menkes RI, 2016), yaitu: 1) Tender terbuka Tender terbuka berlaku untuk semua Pedagang Besar Farmasi (PBF), umumnya informasi pembelian melalui website atau pembelian secara epurchasing sehingga terjadi kompetisi masing-masing untuk memenangkan tender, kriteria yang ditetapkan meliputi : a) Kelengkapan Administrasi

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

20

Pedagang Besar Farmasi (PBF) harus memiliki ijin PBF yang masih berlaku, terdapat apoteker penanggung jawab dan memiliki Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). b) Kualitas Obat/Alat Kesehatan Kondisi isi dan kemasan obat/alat kesehatan tidak rusak, terdapat nomor batch, kode produksi dan expired date (ED) minimal 2 tahun.

c) Harga Harga yang lebih murah dari PBF dibutuhkan untuk menekan biaya pembelian obat/alat kesehatan yang dikeluarkan pihak rumah sakit. Pemenang tender yang dikehendaki adalah PBF yang memenuhi ketiga persayaratan tersebut. Setelah ditentukan pemenang kemudian dilakukan pembelian obat/alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Anggaran dana yang diperlukan lebih dari 200 juta perbulan. Penggunaan tender terbuka tidak hanya dilakukan oleh rumah sakit negeri tetapi juga dapat diterapkan oleh rumah sakit swasta. d) Tender tertutup Tender tertutup hampir sama dengan tender terbuka , yaitu kriteria yang ditetapkan, jumlah anggaran pembelian. Perbedaan tender tertutup dengan tender terbuka teletak pada jumlah PBF hanya tertentu saja tidak dibuka secara luas untuk informasi pengadan (tertutup). Tender tertutup

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

21

dilakukan ketika pihak rumah sakit memerlukan obat/alat kesehatan yang spesifik dan hanya dapat diperoleh di PBF tertentu. 2) Pembelian langsung Pembelian langsung sering juga disebut penunjukkan langsung. Pembelian dengan metode ini berbeda dengan metode sebelumnya. Penunjukkan langsung maksudnya, pihak rumah sakit secara khusus menunjuk satu PBF untuk mensuplai persediaan obat/alat kesehatan. Secara umum obat/alat kesehatan yang diperlukan tidak semuanya dimiliki oleh PBF yang lain dan hanya tersedia di PBF tersebut. 3) Produksi Produksi perbekalan farmasi di rumah sakit merupakan kegiatan membuat, merubah bentuk dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril atau mensteril untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kriteria perbekalan farmasi yang diproduksi (Menkes RI, 2016), yaitu: a) Sediaan farmasi dengan formula khusus. b) Sediaan farmasi dengan mutu sesuai standar dengan harga yang lebih murah. c) Sediaan farmasi yang memerlukan pengemasan kembali. d) Sediaan farmasi yang tidak tersedia di pasaran. e) Sediaan farmasi untuk penelitian. f) Sediaan nutrisi parenteral. g) Rekonstitusi sediaan perbekalan farmasi sitostatika. h) Sediaan farmasi yang harus selalu dibuat baru.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

22

4) Sumbangan/dropping/hibah Pengelolaan perbekalan farmasi dari hibah atau sumbangan mengikuti kaidah umum pengelolaan perbekalan farmasi reguler. Perbekalan farmasi yang tersisa dapat dipakai untuk menunjang pelayanan kesehatan disaat situasi normal. Obat-obatan yang diadakan melalui pembelian dipersyaratkan:

4.

a)

Pabrik harus melengkapi Certificate of Analysis(COA)

b)

Barang harus bersumber dari distributor utama.

c)

Expired date minimal 2 tahun.

Penerimaan Penerimaan adalah kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah

diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Tujuan penerimaan untuk menjamin perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah maupun waktu kedatangan. Penerimaan perbekalan farmasi harus dilakukan oleh petugas yang bertanggung jawab. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus terlatih baik dalam tanggung jawab dan tugas mereka, serta harus mengerti sifat penting dari sediaan farmasi, alat kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai(BMHP). Semua sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang diterima harus diperiksa dan disesuaikan dengan spesifikasi pada order pembelian rumah sakit. Semua perbekalan farmasi ditempatkan dalam tempat persediaan, segera setelah diterima, perbekalan farmasi harus segera disimpan di dalam lemari atau tempat yang aman. Perbekalan farmasi yang diterima harus sesuai dengan spesifikasi kontrak yang telah

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

23

ditetapkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerimaan (Menkes RI, 2016): a.

Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya.

5.

b.

Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai certificate of origin.

c.

Sertifikat Analisa Produk.

Penyimpanan Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

72/Menkes/SK/2016, penyimpanan merupakan kegiatan pengaturan sediaan farmasi dan alat kesehatan menurut persyaratan yang ditetapkan, berdasarkan bentuk sediaan dan jenisnya, suhu dan stabilitasnya, mudah tidaknya meledak/terbakar, serta tahan atau tidaknya terhadap cahaya (Menkes RI, 2016). Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan dan alfabetis, dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First in First Out (FIFO) dan disertai sistem informasi yang selalu menjamin ketersediaan perbekalan farmasi sesuai kebutuhan. Penyimpanan sebaiknya dilakukan dengan memperpendek jarak gudang dan pemakai sehingga terjadi efisiensi (Menkes RI, 2016). 6.

Distribusi Distribusi adalah kegiatan mendistribusikan perbekalan farmasi di rumah

sakit untuk pelayanan individu dalam proses terapi bagi pasien rawat inap, rawat jalan serta untuk menunjukan pelayanan medis. Tujuan pendistribusian untuk tersedianya perbekalan farmasi di unit-unit pelayanan secara tapat waktu, tepat

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

24

jenis dan jumlah. Ada beberapa metode yang dapat digunakan oleh Instalasi Farmasi

Rumah

Sakit

dalam

mendistribusikan

perbekalan

farmasi

di

lingkungannya. Adapun metode yang dimaksud antara lain (Menkes RI, 2016) : a.

Unit Dose Dispensing (UDD) Pelayanan distribusi obat dengan UDD merupakan pendistribusian obatobatan melalui resep perorangan yang disiapkan, diberikan/digunakan dan dibayar dalam unit dosis tunggal atau ganda, yang berisi obat dalam jumlah yang telah ditetapkan atau jumlah yang cukup untuk penggunaan satu kali dosis biasa (Menkes RI, 2016).

b.

One Daily Dose Dispensing (ODD) Sistem distribusi ODD adalah sistem distribusi dimana obat disiapkan untuk satu hari pemakaian. Adapun keuntungan dari sistem ODD yaitu mengurangi keterlibatan perawat dalam penyiapan obat, menghindari duplikasi order sediaan farmasi yang berlebihan serta meningkatkan pengendalian dan pemantauan penggunaan obat. Sedangkan kerugian dari sistem ini yaitu membutuhkan jumlah personil farmasi yang banyak.

c.

Ward Floor Stock Sistem distribusi ward floor stock adalah sistem distribusi perbekalan farmasi untuk persediaan di ruang rawat merupakan tanggung jawab perawat ruangan. Setiap ruang rawat harus mempunyai penanggung jawab obat. Perbekalan yang disimpan tidak dalam jumlah besar dan dapat dikontrol secara berkala oleh petugas farmasi (Menkes RI, 2016).

d.

Sistem Resep Perorangan/ Individual Prescription

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

25

Sistem Resep Perorangan merupakan Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,

dan

Bahan

Medis

Habis

Pakai

berdasarkan

Resep

perorangan/pasien rawat jalan dan rawat inap melalui Instalasi Farmasi (Menkes RI, 2016). 7.

Penghapusan Penghapusan merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi

yang tidak terpakai karena kadaluarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar dengan cara membuat usulan penghapusan perbekalan farmasi kepada pihak terkait sesuai dengan prosedur yang berlaku. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus membuat prosedur terdokumentasi untuk mendeteksi kerusakan dan kadaluarsa

perbekalan

farmasi

serta

penanganannya.

Instalasi

Farmasi

RumahSakit (IFRS) harus diberi tahu tentang setiap produk perbekalan farmasi yang rusak, yang ditemukan oleh perawat atau staf medik (Menkes RI, 2016). 8.

Pencatatan dan Pelaporan Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 44 tahun 2009 tentang

Rumah Sakit, dinyatakan bahwa setiap rumah sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan tentang semua kegiatan penyelenggaraan rumah sakit dalam bentuk Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit. Hal ini termasuk pencatatan dan pelaporan perbekalan farmasi di rumah sakit dengan tujuan memudahkan pengelolaan perbekalan farmasi (Depkes RI, 2009).

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

26

C. Sistem Pengendalian Mutu (Audit Internal) pada Instalasi Farmasi Rumah Sakit Menurut Permenkes No. 72 tahun 2016 Pengendalian mutu adalah mekanisme kegiatan pemantauan dan penilaian terhadap pelayanan yang diberikan secara terencana dan sistematis, sehingga dapat diidentifikasi peluang untuk peningkatan mutu serta menyediakan mekanisme tindakan yang diambil. Melalui pengendalian mutu diharapkan dapat terbentuk proses peningkatan mutu pelayanan kefarmasian yang berkesinambungan (Menkes RI, 2016). Pengendalian

mutu

pelayanan

kefarmasian

merupakan

kegiatan

pengawasan, pemeliharaan dan audit terhadap perbekalan farmasi untuk menjamin mutu, mencegah kehilangan, kadaluarsa, rusak dan mencegah ditarik dari peredaran serta keamanannya sesuai dengan Kesehatan, Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K3 RS) yaitu melaksanakan prosedur yang menjamin keselamatan kerja dan lingkungan dan melaksanakan prosedur yang mendukung kerja tim Pengendalian Infeksi Rumah Sakit. Adapun beberapa unsur-unsur Yang Mempengaruhi Mutu Pelayanan yaitu (Menkes RI, 2004) : a. Unsur masukan (input) adalah tenaga atau sumber daya manusia, sarana dan prasarana, ketersediaan dana b. Unsur proses yaitu tindakan yang dilakukan oleh seluruh staf farmasi c. Unsur lingkungan yaitu Kebijakan-kebijakan, organisasi, dan manajemen. Tujuan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian yaitu (Menkes RI, 2004) : a.

Menghilangkan kinerja pelayanan yang substantar

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

27

b.

Terciptanya pelayanan farmasi yang menjamin efektifitas obat dan keamanan pasien

c.

Meningkatkan efesiensi pelayanan

d.

Meningkatkan mutu obat yang diproduksi di rumah

e.

sakit sesuai CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)

f.

Meningkatkan kepuasan pelanggan

g.

Menurunkan keluhan pelanggan atau unit kerja terkait Kegiatan pengendalian mutu pelayanan kefarmasian meliputi (Menkes RI,

2016): e. Perencanaan, yaitu menyusun rencana kerja, cara monitoring dan evaluasi untuk peningkatan mutu sesuai target yang ditetapkan. f. Pelaksanaan, yaitu monitoring dan evaluasi capaian pelaksanaan rencana kerja (membandingkan antara capaian dengan rencana kerja) dan memberikan umpan balik terhadap hasil capaian. g. Tindakan hasil monitoring dan evaluasi, yaitu melakukan perbaikan kualitas pelayanan sesuai targett yang ditetapkan dan meningkatkan kualitas pelayanan jika capaian sudah memuaskan. Indikator adalah suatu alat atau tolak ukur untuk mengukur pencapaian standar yang telah ditetapkan yang hasilnya menunjuk pada ukuran kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan. Indikator dibedakan menjadi indikator persyaratan minimal yang digunakan untuk mengukur terpenuhi tidaknya standar masukan, proses, dan lingkungan, sedangkan indikator penampilan minimal

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

28

ditetapkan untuk mengukur tercapai tidaknya standar penampilan minimal pelayanan yang diselenggarakan (Menkes RI, 2016). Pelaksanaan pengendalian mutu pelayan kefarmasian dilakukan melalui kegiatan monitoring dan evaluasi yang harus dilaksanakan oleh instalasi farmasi sendiri atau dilakukan dilakukan oleh tim audit internal. Monitoring dan evaluasi merupakan suatu pengamatan dan penilaian secara terencana, sistematis, dan terorganisisr sebagai umpan balik perbaikan sistem dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan.Monitoring dan evaluasi harus dilaksanakan terhadap seluruh proses tata kelola sediaan farmasi, alkes, dan BMHP sesuai ketentuan yang belaku (Menkes RI, 2016). Evaluasi mutu pelayanan merupakan proses pengukuran dan penilaian atas semua kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit yang dilakukan secara berkala. Kualitas pelayanan itu sendiri meliputi teknis pelayanan, proses pelayanan, tatacara atau standar prosedur operasional dan waktu tunggu untuk mendapatkan pelayanan. Berdasarkan waktu pelaksanaan evaluasi, dibagi tiga jenis program evaluasi yang meliputi : a. Prospektif

merupakan

program

yang

dijalankan

sebelum

pelayanan

dilaksanakan contohnya yaitu pembuatan standar, perijinan. b. Konkuren

yaitu

program

dijalankan

bersamaan

dengan

pelayanan

dilaksanakan contohnya memantau kegiatan konseling apoteker, dan peracikan resep oleh Asisten Apoteker c. Retrospektif yaitu program pengendalian yang dijalankan setelah pelayanan dilaksanakan contohnya survei konsumen, laporan mutasi barang.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

29

Metode evaluasi yang digunakan terdiri dari (Menkes RI, 2016) : a. Audit (Pengawasan) Dilakukan terhadap proses hasil kegiatan apakah telah memenuhi standar. b. Review (Penilaian) Melakukan penilaian terhadap pelayanan yang telah diberikan, penggunaan sumber daya, dan menilai kesesuaian terhadap penulisan resep. c. Survei Bertujuan untuk mengukur kepuasan pasien, dapat dilakukan dengan angket atau wawancara langsung. d. Observasi Pemanatauan terhadap kecepatan pelayanan, misalnya lama tidaknya antrian, ketepatan penyerahan obat, dan lain-lain. D. Peran Fungsional Apoteker di Rumah Sakit Pengertian apoteker menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker, sedangkan pengertian apoteker yang dinyatakan pada Permenkes RI Nomor 377 tahun 2009 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional apoteker dan angka kreditnya yaitu apoteker merupakan jabatan yang mempunyai ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk, melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada unit pelayanan kesehatan yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil dengan hak dan kewajiban yang diberikan secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Hal tersebut dipertegas dalam Permenkes Nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kefarmasian

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

30

yang menyatakan bahwa seorang apoteker memiliki kewenangan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian (Depkes RI, 2009). Adapun disebutkan dalam Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di rumah sakit mengenai kegiatan pelayanan farmasi klinik di rumah sakit, diantaranya yaitu (Menkes RI, 2016) : 1.

Pengkajian dan Pelayanan Resep Pengkajian resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat,

bila ditemukan masalah terkait obat harus dikonsultasikan kepada dokter penulis resep. Apoteker harus melakukan pengkajian resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan. Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP termasuk peracikan obat, pemeriksaan penyerahan disertai pemberian informasi untuk mencegah medication error (Menkes RI, 2016). 2.

Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan

informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan, riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam medik/pencatatan penggunaan obat pasien. 3.

Rekonsiliasi Obat Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan

dengan obat yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) seperti obat tidak diberikan,

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

31

duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi obat. Kesalahan pengobatan (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari rumah sakit ke layanan kesehatan primer dan sebaliknya. 4.

Pelayanan Informasi Obat (PIO) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan

pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif yang dilakukan oleh apoteker kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar rumah sakit. 5.

Konseling Konseling obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait

terapi obat dari apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya. Konseling untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap di semua fasilitas kesehatan dapat dilakukan atas inisitatif apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keluarganya. Pemberian konseling yang efektif memerlukan kepercayaan pasien dan/atau keluarga terhadap apoteker. 6.

Visite Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan

Apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan reaksi obat yang tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kesehatan lainnya. 7.

Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

32

Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. 8.

Monitoring Efek Samping Obat (MESO) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan

setiap respon terhadap obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi. 9.

Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) Evaluasi Penggunaan Obat (EPO) merupakan program evaluasi penggunaan

obat yang terstruktur dan berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif (Menkes RI, 2016). 10. Dispensing Sediaan Steril Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing sediaan steril meliput : a.

IV admixture Pelayanan kefarmasian yang diminta dari farmasi rumah sakit lebih

ditekankan pada pasien rawat inap, dimana pemberian pelayanan kefarmasian paripurna akan menggeser threat of compounding untuk meracik obat-obat yang lebih sophisticated, misalnya merekonstruksi macam-macam IVadmixture. Hal ini ditujukan dalam rangka mendukung pengobatan yang rasional, efektif, efisien, dan selalu memperhatikan 4 tepat dan 1 waspada

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

33

(tepat pasien, tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, dan waspada terhadap efek samping obat), sehingga memperoleh output peningkatan mutu pelayanan yang signifikan dan meningkatkan peran serta farmasis. IV-admixture

atau

pencampuran

obat-obat

suntik

adalah

proses

pencampuran obat steril ke dalam larutan intravena steril untuk menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk penggunaan intravena (IV). Ruang lingkup dari IV-admixture adalah pelarutan serbuk steril, menyiapkan suntikan IV sederhana (tunggal), serta menyiapkan suntikan IV kompleks. Keuntungan IV-admixture adalah terjaminnya sterilitas produk, terkontrolnya kompatibilitas obat, serta terjaminnya kondisi penyimpanan yang optimum sebelum dan sesudah pengoplosan.

b.

Penyiapan TPN (Total Parenteral Nutrition) Nutrisi parenteral lengkap merupakan pemberian nutrisi dasar bagi

penderita secar intravena, untuk meningkatkan sintesis dan perkembangan jaringan. Nutrisi parenteral diberikan jika kebutuhan nutrisi tidak dapat terpenuhi melalui rute enteral. Tujuan pelayanan nutrisi parenteral lengkap adalah menyediakan dan mengadakan sediaan nutrisi parenteral sesuai dengan kebutuhan nutrisi penderita tertentu (Siregar dan Amalia, 2004). Apoteker merupakan bagian dari tim multidisiplin (terdiri atas kepala bagian medik dan residen bedah, ahli gizi klinis dan apoteker), yang memberikan pelayanan penuh dalam pemantauan dan konsultasi kepada dokter penulis resep tentang hal yang berkaitan dengan larutan nutrisi parenteral.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

34

Apoteker bertanggung jawab dalam pemantauan penderita yang mendapatkan dukungan nutrisi, memberi rekomendasi modifikasi larutan parenteral secara tepat, melakukan koordinasi order baru atau perubahan order, memberi masukan kepada dokter tentang ketersediaan larutan intravena, melakukan pengkajian dan evaluasi produk baru, serta pemeliharaan seluruh peralatan yang digunakan. Selain itu, apoteker berpartisipasi dalam mengadakan pendidikan ‫״‬in service‫ ״‬dan berpartisipasi dalam kegiatan penelitian yang terus menerus (Siregar dan Amalia, 2004). c.

Penanganan Sediaan Sitostatika Bahan sitotoksik adalah zat/obat yang merusak dan membunuh sel normal

dan sel kanker, serta digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor malignan. Istilah sitotoksik biasa digunakan untuk setiap zat yang mungkin genotoksik, mutagenik, onkogenik, teratogenik dan sifat berbahaya lainnya. Oleh karena itu, penggunaan obat sitotoksik membutuhkan penanganan khusus untuk menjamin keamanan, keselamatan penderita, perawat, profesional kesehatan dan orang lain yang tidak menderita sakit. Tujuan penanganan bahan sitotoksik/berbahaya adalah untuk menjamin penanganannya yang tepat dan aman di rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2004). Tanggung jawab apoteker rumah sakit mengenai obat-obat sitostatika antara lain mengadakan dan menerapkan kebijakan dan prosedur penanganan, penyiapan obat sebelum digunakan, serta pemusnahan yang bertujuan untuk melindungi penderita, petugas pemberi obat, semua orang yang mungkin dapat terpapar dan lingkungan sekitar. Apoteker juga bertanggung jawab memberi

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

35

pelatihan bagi personel yang menangani sediaan obat berbahaya/sitostatika, membuat program jaminan mutu penanganan menyeluruh, serta menyiapkan informasi tentang bahan berbahaya kepada profesional kesehatan dan penderita (Siregar dan Amalia, 2004). 11. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil pemeriksaan kadar obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari apoteker kepada dokter. Pengertian dari farmasi klinis itu sendiri merupakan praktek kefarmasian yang berorientasi lebih kepada pasien daripada orientasi kepada produk. Farmasi klinik dapat didefinisikan sebagai suatu keahlian profesional dalam bidang kesehatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan keamanan, kerasionalan dan ketepatan penggunaan terapi obat untuk penderita melalui penerapan pengetahuan dan fungsi spesialisasi dari apoteker. Tujuan utama pelayanan farmasi klinik adalah meningkatkan keuntungan terapi obat dan mengoreksi kekurangan yang terdeteksi dalam proses penggunaan obat. Oleh karena itu, misi farmasi klinik adalah meningkatkan dan memastikan kerasionalan, kemanfaatan, dan keamanan terapi obat (Siregar dan Amalia, 2004). Selain kegiatan pelayanan farmasi klinik yang telah disebutkan diatas, terdapat beberapa pelayanan farmasi klinis lainnya yang dilakukan didalam rumah sakit. Secara garis besar ruang lingkup fungsi farmasi klinis (Aslam dkk, 2003) adalah sebagai berikut: a.

Pemantauan terapi obat.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

36

b.

Kesiapan untuk membantu setelah lepas jam kerja “siap panggil‟ (on-call).

c.

Konsultan keliling (mengunjungi pasien untuk konseling).

d.

Berpatisipasi dalam Panitia Farmasi dan Terapi.

e.

Ikut

aktif

dalam

penyusunan

formularium

untuk

merasionalkan

penggunaan obat, memajukan peresepan yang efektif dari segi biaya (costeffective prescribing), mengatur tambahan obat baru dan merumuskan pedoman bagi dokter. f.

Memberi masukan/saran kepada dokter klinis.

g.

Memberikan informasi tentang pemakaian obat secara finansial.

h.

Ikut menyusun kebijakan penulisan resep.

i.

Ikut aktif dalam pengendalian infeksi, melalui kegiatan pemberian informasi obat, pemantauan penggunaan obat, dan penyusunan pedoman penggunaan antibiotik.

j.

Tim Nutrisi Parenteral Total.

k.

Tim kemoterapi.

l.

Pemantauan kadar obat terapeutik (Therapeutic Drug Monitoring/ TDM).

m. Pencatatan riwayat pengobatan pasien. n.

Pengembangan alur dan pelayanan pengobatan sendiri (Self-Medication Scheme).

o.

Pemantauan efek samping obat.

p.

Promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan, pencegahan penyakit dan perlindungan kesehatan.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

37

Pelaksanaan farmasi klinis merupakan hal yang relatif baru dan menjadi tantangan yang sangat menarik di Rumah Sakit Indonesia bagi tenaga farmasis. Hal penting lain yang tidak dapat diabaikan dalam memulai pelayanan farmasi klinis yaitu jalinan komunikasi yang intensif dan saling mempercayai antar tenaga kesehatan yang terlibat serta dukungan pimpinan rumah sakit (Aslam dkk, 2003). Kriteria penetapan prioritas untuk farmasi klinik di suatu rumah sakit perlu diterapkan untuk memulai pelayanan farmasi klinik (Siregar dan Amalia, 2004) diantaranya adalah: a.

Pelayanan yang langsung mempengaruhi penulisan serta penggunaan obat yang paling tepat dan rasional.

b.

Pelayanan yang langsung meningkatkan keamanan dan kepatuhan penderita.

c.

Pelayanan prioritas segera dapat dilakukan tanpa penambahan biaya yang besar.

d.

Permintaan kesehatan lainnya.

Sesuai dengan kriteria tersebut, prioritas pelayanan farmasi klinik yang perlu dilakukan Apoteker menurut Siregar dan Amalia (2003) antara lain : a.

Pelayanan farmasi klinik dalam Panitia Farmasi dan Terapi (PFT).

b.

Pelayanan farmasi klinik dalam sistem formularium.

c.

Pelayanan farmasi klinik dalam proses penggunaan obat.

d.

Pelayanan farmasi klinik dalam sistem distribusi obat berorientasi pada penderita.

e.

Pelayanan farmasi klinik dalam konsultasi dan pelayanan informasi obat.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

38

f.

Pelayanan farmasi klinik dalam pengkajian dan pemantauan terapi obat.

g.

Pelayanan farmasi klinik dalam program Evaluasi Penggunaan Obat (EPO).

h.

Pelayanan farmasi klinik dalam program edukasi dan program pelatihan “in service” tentang obat bagi profesional kesehatan.

i.

Pelayanan farmasi klinik dalam edukasi dan konseling penderita. Pengaruh yang dapat diperoleh dengan terselenggarakannya pelayanan

farmasi klinis di rumah sakit (Siregar dan Amalia, 2003), antara lain : a.

Relasi yang baik antar tim kesehatan (dokter, perawat, dan farmasis)

b.

Menjamin penerapan pengobatan berbasis bukti (Evidence Based Medicine).

c.

Perbaikan perawatan pasien dengan pelayanan yang terstandar dan konsisten.

d.

Mempromosikan praktek dengan biaya yang efektif.

e.

Memperluas kualitas peresepan.

f.

Menjamin keamanan pemberian obat.

g.

Memperbaiki khasiat dan meminimalkan toksisitas terapi obat.

h.

Meningkatkan kepuasan pasien.

Upaya penting untuk

meningkatkan mutu pelayanan IFRS adalah

menyempurnakan produksi, pengembangan dan pelayanan farmasi klinik. Penerapan farmasi klinik yang berasaskan komunikasi, konseling dan konsultasi akan sangat meningkatkan mutu pelayanan IFRS tersebut. Mutu pelayanan harus dilakukan melalui cara yang sistematik. Mutu dapat dicapai sedikit demi sedikit,

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

39

proses demi proses dibawah pengawasan menyeluruh dari sistem manajemen mutu total pelayanan farmasi (Siregar dan Amalia, 2003). Keberhasilan dalam memulai dan mengembangkan farmasi klinis di Rumah Sakit pada tingkat makro maupun mikro sangat tergantung oleh daya dukung dan kemampuan mengintegrasikan antar kegiatan yang tidak akan terwujud dalam waktu singkat. Semua aspek pelayanan farmasi klinis juga tidak dapat dilaksanakan sekaligus atau secara serentak. Pengembangan akan terjadi secara perlahan-lahan sesuai dengan sumber yang ada, prioritas yang dipilih dan juga pengalaman (Aslam dkk, 2003). E. Central Sterile Supply Departement (CSSD) 1.

Pengertian Central Sterile Supply Department (CSSD) atau Instalasi Pusat Pelayanan

Sterilisasi merupakan satu unit atau departemen dari rumah sakit yang menyelenggarakan proses pencucian, pengemasan, sterilisasi terhadap semua alat atau bahan yang membutuhkan kondisi steril. Penanggung jawab CSSD ini adalah seorang apoteker. Berdirinya CSSD di rumah sakit dilatarbelakangi oleh: a. Besarnya angka kematian akibat infeksi nosokomial. b. Kuman mudah menyebar, mengkontaminasi benda dan menginfeksi manusia di lingkungan rumah sakit. c. Merupakan salah satu pendukung jaminan mutu pelayanan rumah sakit, maka peran dan fungsi CSSD sangat penting (Depkes RI, 2009). Rumah sakit sebagai institusi penyedia pelayanan kesehatan berupaya untuk mencegah risiko terjadinya infeksi bagi pasien dan petugas rumah sakit.Salah satu

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

40

indikator keberhasilan dalam pelayanan rumah sakit adalah rendahnya angka infeksi nosokomial di rumah sakit Pengendalian infeksi di rumah sakit dilakukan untuk meminimalkan angka infeksi nosocomial (Depkes RI, 2009) Lokasi CSSD sebaiknya berdekatan dengan ruangan pemakai alat steril terbesar dengan pemilihan lokasi seperti ini maka selain meningkatkan pengendalian infeksi dengan meminimalkan resiko kontaminasi silang, serta meminimalkan lalu lintas transportasi alat steril. Fungsi utama CSSD adalah menyiapkan alat-alat steril untuk keperluan perawatan pasien di rumah sakit. Secara lebih rinci fungsinya adalah menerima, memproses, mensterilkan, menyimpan serta mendistribusikan peralatan medis ke berbagai ruangan di rumah sakit untuk kepentingan perawatan pasien. Alur aktivitas fungsional CSSD meliputi pembilasan, pembersihan/dekontaminasi, pengeringan, inspeksi dan pengemasan, memberi label, sterilisasi, sampai proses distribusi (Depkes RI, 2009). 2.

Tugas CSSD Tugas utama pusat sterilisasi adalah : a.

Menyiapkan peralatan medis untuk perawatan pasien

b.

Melakukan proses sterilisasi alat/bahan

c.

Mendistribusikan alat-alat yang dibutuhkan oleh ruangan perawatan, kamar operasi maupun ruangan lainnya

d.

Berpartisipasi dalam pemilihan peralatan dan bahan yang aman dan efektif serta bermutu

e.

Mempertahankan stock inventory yang memadai untuk keperluan

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

41

perawatan pasien f.

Mempertahanakan standar yang telah ditetapkan

g.

Mendokumentasikan setiap aktivitas pembersihan, disinfeksi maupun sterilisasi sebagai bagian dari program upaya pengendalian mutu

h.

Melakukan penelitian terhadap hasil sterilisasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian infeksi bersama dengan panitia pengendalian infeksi nosokomial

i.

Memberikan penyuluhan tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah sterilisasi

j.

Menyelenggarakan pendidikan dan pengembangan staf instalasi pusat sterilisasi baik yang bersifat intern dan ekstern

k. 3.

Mengevaluasi hasil sterilisasi (Depkes RI, 2009).

Tujuan CSSD a.

Membantu unit lain di rumah sakit yang membutuhkan kondisi steril, untuk mencegah terjadinya infeksi.

b.

Menurunkan angka kejadian infeksi dan membantu mencegah serta menanggulangi infeksi nosokomial.

c.

Efisiensi tenaga medis/paramedik untuk kegiatan yang berorientasi padapelayanan terhadap pasien.

d.

Menyediakan dan menjamin kualitas hasil sterilisasi terhadap produk yang dihasilkan(Depkes RI, 2009).

4.

Struktur organisasi CSSD

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

42

Instalasi pusat sterilisasi dipimpin oleh seorang kepala instalasi (dalam jabatan fungsional) dan bertanggung jawab langsung kepada wakil direktur penunjang medik. Hal-hal yang perlu dilaksanakan agar instalasi pusat sterilisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya adalah perlunya pembagian pekerjaan dalam jabatan fungsional. Besar kecilnya instalasi ditetapkan berdasarkan beban kerja yang selanjutnya dijabarkan dalam jenis/kegiatan pekerjaan dan volume pekerjaan. Profesionalisme/keahlian adalah serangkaian yang tersusun secara hirarki, oleh sebab itu kepala instalasi pusat sterilisasi adalah seorang yang profesional dalam bidangnya. Adapun contoh struktur organisasi CSSD dapat dilihat pada gambar 2. Penanggunjawab Administrasi Kepala Instalasi

Sub Instalasi Dekontaminasi

Sub Instalasi Operasional atau produksi

Sub Instansi Quality Control dan Diklat

Sub Instalasi Pemeliharaan Sarana dan Peralatan, K3

Sub Instalasi Distribusi

Gambar 2. Struktur organisasi CSSD

Kualifikasi tenaga yang bekerja di pusat sterilisasi dibedakan sesuai dengan kapasitas tugas dan tanggung jawabnya, yang dibagi atas tenaga manajer dan teknis pelayanan sterilisasi. Tugas kepala instalasi pusat sterilisasi adalah : a.

Mengarahkan semua aktifitas staf yang berkaitan dengan suplai alat medis steril bagi perawatan pasien dirumah sakit.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

43

b.

Mengikuti

perkembangan

ilmu

pengetahuan,

ketrampilan

dan

pengembangan diri/personel lainnya. c.

Menentukan metode yang efektif bagi penyiapan dan penanganan alat/bahan steril.

d.

Bertanggung jawab agar staf mengerti akan prosedur dan penggunaan mesin sterilisasi secara benar.

e.

Memastikan bahwa teknik aseptik diterapkan pada saat penyiapan dan penanganan alat steril baik yang sekali pakai atau pemakaian ulang.

f.

Kerjasama dengan unit lain dirumah sakit dan melakukan koordinasi yang bersifat intern/ekstern.

g.

Dapat menjalankan pekerjaan baik dengan perintah langsung maupun tidak langsung.

h.

Dapat mengerjakan pekerjaan rutin/berulang-ulang yang membosankan.

i.

Dapat menerima tekanan kerja dan kadang-kadang lembur.

j.

Memakai pelindung seperti masker penutup kepala, sendal khusus dan sarung tangan.

k.

Memelihara peralatan CSSD, alat dan bahan steril.

Ketersediaan ruangan CSSD yang memadai merupakan suatu keharusan untuk keefisienan dan keoptimalan fungsi kerja CSSD, Ruangan CSSD dibagi menjadi 5 bagian untuk menghindari terjadinya kontaminasi silang dari ruang kotor ke ruang bersih (Depkes RI, 2009). a.

Ruang Dekontaminasi Ruangan dekontaminasi merupakan tempat untuk melakukan proses

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

44

penerimaan barang kotor, melakukan dekontaminasi dan pembersihan. Ruang dekontaminasi harus direncanakan, dipelihara, dan dikontrol untuk mendukung efisiensi proses dekontaminasi dan untuk melindungi pekerja dari benda-benda yang dapat menyebabkan infeksi, racun dan hal-hal berbahaya lainnya. Sistem ventilasi harus didesain sedemikian rupa sehingga udara di ruang dekontaminasi harus : 1) Dihisap keluar atau ke sistem sirkulasi udara yang mempunyai filter. 2) Tekanan udara harus negatif tidak mengkontaminasi udara ruangan lainnya. 3) Tidak dianjurkan menggunakan kipas angin (Depkes RI, 2009). b.

Ruang pengemasan alat Pengemasan dan penyimpanan alat/barang bersih yang dilakukan pada

ruang ini dianjurkan ada tempat penyimpanan tertutup. c.

Ruang produksi dan prossesing Ruangan produksi dan prossesing merupakan ruangan untuk melakukukan

pemeriksaan pada linen, dilipat, dan dikemas untuk persiapan sterilisasi. Selain linen, pada daerah ini dipersiapkan pula bahan-bahan seperti kain kasa, cottonswab, dan lain-lain. d.

Ruang sterilisasi Ruang sterilisasi merupakan tempat dimana proses sterilisasi dilakukan.

Jenis sterilisasi etilen oksida sebaiknya dibuatkan ruang khusus yang terpisah tetapi masih dalam satu unit pusat sterilisasi dan dilengkapi exhaust. e.

Ruang penyimpanan barang steril.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

45

Ruang ini sebaiknya dekat dengan ruang sterilisasi.Apabila digunakan mesin sterilisasi dua pintu, maka pintu belakang langsung berhubungan dengan ruang penyimpanan. Dinding dan lantai ruangan terbuat dari bahan yang halus, kuat sehingga mudah dibersihkan, alat steril disimpan pada jarak 19 – 24 cm dari lantai dan minimum 43 cm dari langit-langit serta 5 cm dari dinding serta diupayakan untuk menghindari terjadinya penumpukan debu pada kemasan, serta alat-alat steril tidak disimpan dekat wastafel atau saluran pipa lainnya. Akses ke ruang penyimpanan steril dilakukan oleh petugas pusat sterilisasi yang terlatih, bebas dari penyakit menular dan menggunakan pakaian yang sesuai dengan persyaratan (Depkes RI, 2009). 5.

Aktivitas Fungsional CSSD Alur aktivitas fungsional CSSD secara umum dapat digambarkan sebagai berikut : a.

Menerima bahan, meliputi : 1) Barang/linen/bahan perbekalan baru dari instalasi farmasi yang perlu di sterilisasi. 2) Instrumen dan linen yang akan digunakan ulang (reuse). Mensortir, menghitung dan mencatat volume serta jenis bahan, barang dan instrumen yang diserahkan oleh ruang/unit Instalasi Rumah Sakit Umum (Depkes RI, 2009).

b.

Melaksanakan proses dekontaminasi, penyimpanan dan distribusi. Proses tersebut meliputi :

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

46

1) Perendaman/pembilasan : Perendaman/pembilasan alat-alat yang telah digunakan tidak dilakukan di ruang perawatan. 2) Pencucian/pembersihan : Semua alat-alat yang dipakai ulang harus dilakukan

pencucian/pembersihan

sebelum

dilakukan

proses

disinfeksi dan sterilisasi. 3) Pengeringan : Proses dilakukan hingga benar-benar kering. 4) Inspeksi dan pengemasan : Setiap alat bongkar pasang harus diperiksa kelengkapannya, sementara untuk bahan linen harus diperhatikan densitas maksimumnya. Tujuan dari pengemasan adalah menjaga keamanan bahan agar tetap dalam kondisi steril. 5) Memberi label : Setiap kemasan harus memiliki label yang menjelaskan isi dari kemasan, cara sterilisasi, tanggal sterilisasi dan kadaluarsa proses sterilisasi. 6) Sterilisasi : Sebaiknya diberikan tanggung jawab kepada staf yang telah terlatih. 7) Penyimpanan : Harus diatur secara baik dengan memperhatikan tempat atau kondisi penyimpanan yang baik. 8) Distribusi : Dapat dilakukan dengan berbagai macam cara system distribusi tegantung masing-masing rumah sakit dengan jalan menyerahkan

dan

mencatat

pengambilan

barang

steril

oleh

ruang/unit/Instalasi Rumah Sakit Umum yang membutuhkan. Kegiatan utama aktivitas CSSD adalah dekontaminasi instrumen dan linen baik yang bekas pakai maupun yang baru serta bahan perbekalan baru.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

47

Dekontaminasi

merupakan

proses

mengurangi

jumlah

pencemar

mikroorganisme atau substansi lain yang berbahaya baik secara fisik atau kimia sehingga aman untuk penanganan lebih lanjut. Proses dekontaminasi meliputi

proses

perendaman/pembilasan,

pencucian/pembersihan,

pengeringan sampai dengan proses sterilisasi itu sendiri. Barang/bahan yang di dekontaminasi di CSSD seperti instrumen kedokteran, sarung tangan, kasa/pembalut, linen, kapas (Depkes RI, 2009). Sistem ini merupakan salah satu upaya atau program pengendalian infeksi di rumah sakit, dimana merupakan suatu keharusan untuk melindungi pasien dari keterjangkitan infeksi. Adapun alur kegiatan dalam CSSD secara garis besar dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Alur kegiatan CSSD

6.

Prinsip Dasar Operasional

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

48

Instalasi merupakan sarana penunjang, adapun besar kecilnya instalasi ditetapkan berdasarkan beban kerja dan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh pegawai pada instalasi yang bersangkutan dalam jabatan fungsional. Instalasi pusat sterilisasi dalam tugas pokok sehari-hari membantu unit-unit lain yang menggunakan instrumen, linen dan bahan lain yang membutuhkan kondisi steril. Mengingat peran rumah sakit dan jenis kegiatan serta volume pekerjaan pada instalasi pusat sterilisasi demikian besar, maka hendaknya rumah sakit mempunyai pusat sterilisasi tersendiri, dengan pertimbangan sebagai berikut :

a.

Kecepatan Pelayanan. Diharapkan pelayanan penyediaan barang-barang steril yang diberikan oleh

pusat sterilisasi menjadi lebih cepat sampai kepada unit pemakainya, dengan mutu yang dapat dipertanggung jawabkan dan memperpendek jalur birokrasi yang ada. b.

Pengendalian Infeksi Nosokomial. Bersama-sama dengan tim pengendalian infeksi nosokomial rumah sakit

dapat mengoptimalkan kerjasama dalam memantau produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi, memberikan masukan dan arahan pada pemakai dilapangan dalam mengatasi atau menurunkan angka kejadian infeksi di rumah sakit. c.

Perkembangan Ilmu dan Teknologi. Dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi, maka kompleksitas peralatan medis dan teknis medis memerlukan prosedur

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

49

sterilisasi yang optimal sehingga keseluruhan proses menghasilkan kualitas sterilisasi terjamin. d.

Pendekatan Mutu. Produk-produk yang dihasilkan oleh pusat sterilisasi harus melalui proses

yang ketat sampai menjadi produk yang steril. Setiap proses sterilisasi berjalan selalu dilengkapi dengan indikator kimia, biologi dan fisika. Secara berkala setiap tiga bulan dilakukan tes mikrobiologi. Diharapkan dengan kontrol yang ketat, produk yang dihasilkan akan terjamin kualitas sterilisasinya, yang pada akhirnya dapat menekan angka kejadian infeksi di rumah sakit. e.

Efisien dan Efektif. Pengelolaan pusat sterilisasi yang profesional, diharapkan mampu

menyediakan produk steril yang dapat dipertanggung jawabkan dengan menekan biaya operasional seminimal mungkin, mencegah terjadinya duplikasi proses sterilisasi dan memperpendek jalur birokrasi, dengan demikian dapat meningkatkan kecepatan pelayanan dalam distribusi barang steril (Depkes RI, 2009). F. Penanganan Limbah Rumah Sakit 1.

Pengelolaan Limbah/Sampah Klinik Limbah/sampah klinik adalah limbah yang berasal dari pelayanan medis,

perawatan, farmasi atau yang sejenis, dan limbah yang dihasilkan di rumah sakit pada saat dilakukan perawatan/pengobatan atau penelitian. Berdasarkan potensi bahaya yang terkandung dalam limbah klinis, menurut Kepmenkes tahun 2015 maka limbah dapat digolongkan sebagai berikut:

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

50

a.

Limbah benda tajam, seperti pecahan peralatan gelas. Contohnya: alat suntik, jarum bekas dan termometer.

b.

Limbah infeksius, seperti spesimen laboratorium, bekas balutan dan jaringan busuk.

c.

Limbah jaringan tubuh, contohnya sisa amputasi dan plasenta.

d.

Limbah sitostatika, seperti sisa obat kemoterapi.

e.

Limbah farmasi.

f.

Limbah kimia dari laboratorium.

g.

Limbah radioaktif.

h.

Limbah plastik, bekas kemasan obat, barang cairan infus, spuit dan perlak. Menurut Menkes RI tahun 2015 limbah/sampah klinik tersebut akan

ditampung dan ditangani. Prosesnya terdiri dari tahapan sebagai berikut : a.

Pemisahan dan pengurangan Pemilihan dan reduksi volume limbah klinik hendaknya mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut: 1) Kelancaran penanganan dan penampungan limbah. 2) Pengurangan jumlah limbah yang memerlukan perlakuan khusus, yaitu pemisahan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dan non B3. 3) Sedapat mungkin menggunakan bahan kimia non B3. 4) Pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis limbah. Reduksi volume limbah klinik dilakukan dengan insenerasi. Insenerasi yaitu proses menggunakan suhu tinggi untuk mengurangi isi dan berat sampah.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

51

Alat yang digunakan disebut incinerator. Menurut Menkes RI tahun 2015 incenerator terbagi menjadi 4 jenis yaitu : 1) Incenerator kamar ganda merupakan incenerator dengan suhu tinggi untuk membakar sampah infeksius. 2) Incenerator kamar tunggal merupakan incenerator suhu tinggi tetapi lebih murah dan digunakan jika incenerator kamar ganda tidak tersedia. 3) Oven pengering berputar merupakan incenerator suhu tinggi untuk menghancurkan bahan-bahan sitostatika dan bahan kimia yang tahan panas. 4) Incenerator tong/bata merupakan incenerator yang beroperasi dengan suhu lebih rendah dan kurang efektif. Menurut (Menkes RI, 2015) limbah/sampah yang tidak boleh diinsenerasi, yaitu: 1) Wadah bertekanan gas (kaleng sembur, aerosol). 2) Sampah kimia reaktif dalam jumlah besar. 3) Sampah garam perak dan radioaktif. 4) Plastik yang mengandung polivinil klorida (plastik pembungkus darah, selang iv, dan spuit). 5) Sampah yang banyak mengandung air raksa. b.

Penampungan Sarana penampungan limbah harus memadai, diletakkan pada tempat yang

aman dan hygienis. c.

Standarisasi kantong dan kontainer pembuangan limbah

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

52

Standar lain yang harus dipenuhi yaitu kantong dan kontainer limbah medis menyangkut penggunaan label yang sesuai dengan kategori limbah. Detail warna dan label pada wadah limbah medis dapat dilihat pada tabel 1. Standarisasi warna kantong yang digunakan untuk membuang sampah diperlukan guna mengurangi kesalahan dalam pemisahan sampah. Standar kantong, penggunaan kode, dan label limbah medis ini berfungsi untuk memilah-milah limbah di seluruh rumah sakit sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di tempat sumbernya. Macam standarisasi warna kantong yaitu : 1) Sampah infeksius menggunakan kantong berwarna kuning dengan simbol biohazard yang berwarna hitam. 2) Sampah sitostatika menggunakan kantong berwarna ungu dengan simbol cell dan telophase. 3) Sampah radioaktif menggunakan kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif. Standarisasi kantong dan kontainer pembuangan limbah dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Standarisasi Kantongdan Kontainer Pembuangan Limbah

2.

Pengelolaan Limbah Sitostatika

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

53

Limbah sitostatika adalah limbah yang berasal dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan dan pemberian obat sitostatika untuk terapi kanker yang mempunyai kemampuan membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup. Persyaratan pengelolaan limbah sitostatika (Menkes RI, 2015) adalah : a.

Limbah tidak boleh dibuang dengan penimbunan (landfill) atau ke saluran limbah umum.

b.

Pembuangan yang dianjurkan adalah dikembalikan ke distributornya, dibakar dengan insenerator suhu tinggi atau dengan cara degradasi kimia.

c.

Suhu yang digunakan untuk membakar dengan incenerator adalah 1.200°C.

d.

Apabila menggunakan incenerator pirolitik dengan dua tungku pembakaran, suhu dan waktu yang diatur pada tungku pertama adalah 1200°C dengan waktu minimal 2 detik, kemudian tungku kedua harus dilengkapi dengan penyaring debu dan diatur dengan suhu 1000°C dengan waktu minimal 5 detik.

e.

Incenerator juga harus dilengkapi dengan peralatan pembersih gas dan rotary kiln yang didesain untuk dekomposisi panas limbah kimiawi yang beroperasi baik diatas suhu 850°C.

f.

Sampah ini dipisahkan dan dimasukkan oleh masing-masing unit kedalam kantong plastik berwarna ungu yang diikat rapat dengan tulisan “sampah sitotoksik/sitostatika”.

3.

Pengelolaan Limbah Cair Limbah berbentuk cair yang tidak dikelola dengan baik bisa menimbulkan

bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

54

Sebagai upaya pencegahan timbulnya pencemaran lingkungan dan bahaya yang diakibatkan oleh limbah, maka harus ada pengelolaan secara khusus terhadap limbah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi sifat bahayanya. Selain itu perlu diusahakan metode pengelolaan yang ramah lingkungan serta pengawasan yang benar dan cermat oleh berbagai pihak (Menkes RI, 2011). Fasilitas pelayanan kesehatan sebagai institusi yang bersifat sosial ekonomis mempunyai fungsi dan tugas untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara paripurna. Kegiatan pada fasilitas pelayanan kesehatan selain memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya juga menimbulkan dampak negatif berupa pencemaran akibat pembuangan limbahnya tanpa melalui proses pengolahan yang benar sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan secara menyeluruh (Menkes RI, 2011). Semakin meningkatnya jumlah fasilitas pelayanan kesehatan akan mengakibatkan semakin meningkatnya potensi pencemaran lingkungan, karena kegiatan pembuangan limbah khususnya air limbah akan memberikan kontribusi terhadap penurunan tingkat kesehatan manusia. Untuk menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman dan berkelanjutan maka harus dilaksanakan upaya-upaya pengendalian pencemaran lingkungan pada fasilitas pelayanan kesehatan dan dengan dasar tersebut, maka fasilitas pelayanan kesehatan diwajibkan menyediakan instalasi pengolahan air limbah atau limbah cair (Menkes RI, 2011). Salah satu sistem Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang telah banyak digunakan pada beberapa fasilitas pelayanan kesehatan adalah IPAL

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

55

dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Untuk mengoptimalkan operasi dan pemeliharaan sistem pengolahan tersebut adalah optimalisasi desain IPAL dan atau peningkatan kapabilitas operator IPAL dengan memperdalam pemahaman tentang dasar proses pengolahan air limbah dengan sistem tersebut (Menkes RI, 2011). Air limbah adalah seluruh air buangan yang berasal dari hasil proses kegiatan sarana pelayanan kesehatan yang meliputi air limbah domestik (air buangan kamar mandi, dapur, air bekas cucian pakaian), air limbah klinis (air limbah yang berasal dari kegiatan klinis rumah sakit, misalnya air bekas cucian luka, cucian darah dan lain-lain), air limbah laboratorium dan lainnya. Prosentase terbesar air limbah adalah limbah domestik sedangkan sisanya adalah limbah yang terkontaminasi oleh infectious agent kultur mikroorganisme, darah, dan buangan pasien pengidap penyakit infeksi (Menkes RI, 2011). Air limbah yang berasal dari buangan domestik maupun buangan limbah cair klinis umumnya mengandung senyawa pencemar organik yang cukup tinggi dan diolah dengan proses pengolahan secara biologis. Air limbah yang berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat yang apabila dialirkan ke dalam proses pengolahan secara biologis dapat mengganggu proses pengolahannya sehingga perlu dilakukan pengolahan awal secara kimia-fisika, selanjutnya air olahannya dialirkan ke instalasi pengolahan air limbah. Skema proses pengolahan limbah cair pada fasilitas pelayanan kesehatan secara umum dapat dilihat pada Gambar 4.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

56

Gambar 4.Skema pengolahan limbah cair pada fasilitas pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2011)

Skema proses pengolahan limbah cair dijelaskan sebagai berikut: a.

Pengolahan air limbah laboratorium dilakukan dengan cara dipisahkan dan ditampung kemudian diolah secara kimia-fisika, selanjutnya air olahannya dialirkan bersama-sama dengan air limbah yang lain.

b.

Limbah cair pelarut yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) antara lain kloroform, antiseptik, asam dan lain-lain, obat/bahan kimia kadaluarsa dan lain-lain dilakukan dengan cara dikirim ke tempat pengolahan limbah B3.

c.

Khusus dari laundry sebaiknya diberikan pre-treatment perendaman (basin) untuk mereduksi detergen dengan cara pembuatan bak pre-treatment atau dengan mixing langsung dalam mesin cuci.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

57

d.

Air limbah dari ruang isolasi sebaiknya didesinfeksi terlebih dahulu dengan proses klorinasi.

Proses pengolahan air limbah adalah sebagai berikut: a.

Pengolahan air limbah dengan proses biologis Proses pengolahan air limbah khususnya yang mengandung polutan

senyawa organik, teknologi yang digunakan sebagian besar menggunakan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan senyawa polutan organik tersebut. Proses pengolahan air limbah dengan aktivitas mikro-organisme biasa disebut “proses biologis”. Proses pengolahan air limbah secara biologis dapat dilakukan pada kondisi aerobik (dengan udara), kondisi anaerobik (tanpa udara) atau kombinasi anaerobik dan aerobik. Secara garis besar pengolahan air limbah secara biologis dapat dibagi menjadi tiga yakni proses biologis dengan biakan tersuspensi (suspended culture), proses biologis dengan biakan melekat (attached culture) dan prosespengolahan dengan sistem kolam yaitu menampung air limbah pada suatu kolam yang luas dengan waktu tinggal yang cukup lama sehingga dengan aktivitas mikroorganisme yang tumbuh secara alami, senyawa polutan yang ada dalam air akan terurai. Pemilihan teknologi pengelolaan air limbah dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain : jumlah air yang diolah, kualitas air hasil olahan yang diharapkan, kemudahan dalam pengolahannya, ketersediaan lahan dan sumber energi, serta biaya operasi dan perawatan. b.

Pengolahan air limbah dengan proses biofilter tercelup

1) Proses biofilter anaerob

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

58

Proses pengolahan air limbah dengan proses biofilm atau biofilter tercelup dilakukan dengan cara mengalirkan air limbah ke dalam reaktor biologis yang di dalamnya diisi dengan media penyangga untuk pengembangbiakan mikroorganisme, untuk proses anaerobik dilakukan tanpa pemberian udara atau oksigen. 2) Proses biofilter aerob Beban pengolahan pada proses aerob lebih rendah dibandingkan proses anaerob sehingga prosesnya ditempatkan sesudah proses anaerob. Pada proses aerob hasil pengolahan dari proses anaerob yang masih mengandung zat organik dan nutrisi diubah menjadi hidrogen maupun karbon dioksida oleh sel bakteri dalam kondisi cukup oksigen. Proses tersebut menyebabkan terjadinya penghilangan substrat organik dalam air dan penguraian senyawa amoniak. 3) Proses Biofilter Anaerob-Aerob Proses ini dilakukan dengan cara menggabungkan proses biofilter anaerob dan proses biofilter aerob sehingga dapat dihasilkan air olahan dengan kualitas yang baik dengan menggunakan konsumsi energi yang lebih rendah. Proses ini dapat dilihat pada gambar 5 sebagai berikut :

Gambar 5. Proses biofilter anaerob-aerob (Menkes RI, 2011)

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

59

Setelah limbah diolah, maka hasil pengolahan limbah tersebut perlu dimonitoring dan di evaluasi. Monitoring kualitas air limbah (Menkes RI, 2011) harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.

Menggunakan laboratorium lingkungan rujukan (diakui BPLHD/Dinas LH/Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten).

b.

Sampel dikirim ke laboratorium, yang terdiri dari sampel air limbah influen dan efluen yang masing-masing sebanyak 2 liter.

c.

Menggunakan parameter standar limbah rumah sakit secara nasional atau yang berlaku di daerah setempat.

d.

Frekuensi sampling dan analisis minimal 1 kali/bulan.

e.

Baku mutu air limbah mengacu pada baku mutu nasional. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit disebutkan bahwa syarat standar

pengelolaan limbah di rumah sakit meliputi : a.

Baku mutu limbah cair yang dianggap aman bagi kesehatan merupakan ambang batas yang ditolerir dan diukur dengan indikator. Indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Baku Mutu Limbah CairRumahSakit

No.

Parameter

Standar

1.

BOD (Biochemical Oxygen Demand)

< 30 mg/l

2.

COD (Chemical Oxygen Demand)

< 80 mg/l

3.

TSS (Total Suspended Solid)

< 30 mg/l

4.

PH

6-9

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

60

b.

Pengolahan limbah padat infeksius adalah sampah padat akibat proses pelayanan yang mengandung bahan-bahan tercemar, jasad renik yang dapat menularkan penyakit/ dan atau dapat mencederai, antara lain: sisa jarum suntik, sisa ampul, kasa bekas, sisa jaringan ini harus dikelola sesuai dengan aturan dan pedoman yang berlaku artinya limbah padat infeksius tersebut dibakar di incenerator. Pelaksanaan evaluasi kinerja IPAL sistem anaerobik-aerobik biofilter

(Menkes RI, 2011) meliputi: a.

Membandingkan kualitas air limbah dengan baku mutu air limbah.

b.

Membandingkan kondisi sistem IPAL dengan standar teknis/kriteria desain IPAL.

c.

Membandingkan kondisi dan fungsi peralatan IPAL dengan data teknis yang tercantum dalam manual alat.

d.

Analisis kecenderungan atas fluktuasi debit, efisiensi, beban cemaran dan satuan produksi air limbah.

Laporan PKPA Bidang Rumah Sakit, Mahasiswa PSPA Fakultas Farmasi Universitas Wahid HasyimAngkatan XIII di Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga, 3 September – 31 Oktober 2018

Related Documents

Bab Ii Pkpa Rs Revisi.docx
December 2019 2
Pkpa
May 2020 16
Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs Rs
December 2019 49
Bab 3 Rs Annisa.docx
April 2020 5
Bab Ii
November 2019 85

More Documents from ""

Bab Ii Pkpa Rs Revisi.docx
December 2019 2