Bab I.docx

  • Uploaded by: Atika Andria Resti
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,281
  • Pages: 16
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah tumpuan dan harapan orang tua. Anak jugalah yang akan menjadi penerus bangsa ini. Sedianya, wajib dilindungi maupun diberikan kasih sayang. Namun fakta berbicara lain. Maraknya kasus kekerasan pada anak sejak beberapa tahun ini seolah membalikkan pendapat bahwa anak perlu dilindungi. Begitu banyak anak yang menjadi korban kekerasan keluarga, lingkungan maupun masyarakat dewasa ini. Pasal 28b ayat 2 menyatakan bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminas”. Namun apakah pasal tersebut sudah dilaksanakan dengan benar? Seperti yang kita tahu bahwa Indonesia masih jauh dari kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut. Berbagai jenis kekerasan diterima oleh anak-anak, seperti kekerasan verbal, fisik, mental maupun pelecehan seksual. Ironisnya pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti keluarga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Tentunya ini juga memicu trauma pada anak, misalnya menolak pergi ke sekolah setelah tubuhnya dihajar ole gurunya sendiri. Kondisi ini amatlah memprihatinkan, namun bukan berarti tidak ada penyelesaiannya. Perlu koordinasi yang tepat di lingkungan sekitar anak terutama pada lingkungan keluarga untuk mendidik anak tanpa menggunakan kekerasan, menyeleksi tayangan televisi maupun memberikan perlindungan serta kasih sayang agar anak tersebut tidak menjadi anak yang suka melakukan kekerasan nantinya. Tentunya kita semua tidak ingin negeri ini dipimpin oleh pemimpin bangsa yang tidak menyelesaikan kekerasan terhadap rakyatnya.

B. Rumusan Masalah 1. Apasajakah Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak? 2. Apakah Penyebab Yang Melatarbelakangi Kekerasan Pada Anak? 3. Apasajakah Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia? 4. Bagaimanakah Upaya menanggulangi kekerasan terhadap anak?

5. Bagaimanakah Undang- undang yang mengatur perlindungan anak?

1

C. Tujuan Penulisan Makalah Tujuan penulisan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui tentang Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Anak 2. Untuk mengetahui tentang Penyebab Yang Melatarbelakangi Kekerasan Pada Anak 3. Untuk mengetahui tentang Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia 4. Untuk mengetahui tentang Upaya menanggulangi kekerasan terhadap anak 5. Untuk mengetahui tentang Undang- undang yang mengatur perlindungan anak.

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah kita dapat mengetahui mengenai pengertian anak menurut Undang-undang, mengetahui pengertian kekerasan terhadap anak serta kita dapat mengetahui tentang factor yang memicu kekerasan terhadap anak.

2

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian anak menurut UU Dalam Pasal 1 nomor 2 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, tentang Kesejahteraan anak disebutkan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 menyebutkan dalam pasal 1 nomor 1 bahwa: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun danbelum pernah kawin”. Pengertian anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak tercantum dalam Pasal I butir I UU No. 23/2002 berbunyi: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan”.

Dalam pengertian dan batasan tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal I butir I UU No.23/2002 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi anak, yakni: 

Pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah

statusnya

sudah

kawin

atau tidak. 

Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi, UU No.23/2002 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.

Pengertian dan batasan usia anak dalam UU No. 23/2002, bukan dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa yang masih anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every human being) yang berusia di bawah 18 tahun – selaku subyek hukum dari UU No. 23/2002 – mempunyai hak atas perlindungan dari Negara

yang

diwujudkan

dengan

jaminan

hukum

Hak Dan Kewajiban Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002

3

dalam

UU

No.

23/2002.

Hak Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara. Hak-hak anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 di antaranya adalah: Pasal 4 Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 5 Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Pasal 6 Setiap anak berhak untuk bribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Pasal 7 (1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. (2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 8 Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. Pasal 9 (1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. (2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus. Pasal 10 Setiap anak berhak menyatakan dan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatuhan. 4

Pasal 11 Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Pasal 12 Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

B. Pengertian Kekerasan Terhadap Anak Menurut Para Ahli Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan, cacat/kematian. Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak. Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan merendahkan/meremehkan anak. Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial maupun mental.

C. Faktor faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak : ·

Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.

·

Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu

·

Kemiskinan keluarga (banyak anak). 5

·

Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang.

·

Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah.

·

Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anakanaknya dengan pola yang sama

·

Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan

·

Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak

·

Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.

6

BAB III PEMBAHASAN A. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak 1. Kekerasan Fisik Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal 2. Kekerasan secara Verbal Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri. 3. Kekerasan secara Mental Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit. 4. Pelecehan Seksual Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik. Berikutnya hendak dikemukakan berbagai bentuk kekerasan terhadap anak yang ditetapkan sebagai tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. 7

Seperti dikemukakan di atas, bahwa ada beberapa bentuk kekerasan terhadap anak, yaitu kekerasan fisik, psikis, dan seksual. Bentuk bentuk kekerasan terhadap anak tersebut dijabarkan ke dalam berbagai tindak pidana, seperti diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 89. Berbagai bentuk tindak pidana

B. Penyebab Yang Melatarbelakangi Kekerasan Pada Anak Ada banyak penyebab yang melatarbelakangi kekerasan pada anak, di antaranya: 1. Anak sebagai korban, cenderung lebih bersikap menutup diri, takut dan bersikap pasrah dari pada mencoba melawan, kecuali pada anak yang lebih besar. 2. Adanya anggapan bahwa kekerasan pada anak sering kali masih terbungkus oleh kebiasaan masyarakat yang meletakkan persoalan ini sebagai persoalan intern keluarga dan karenanya tidak layak atau tabu atau aib untuk diekspose keluar secara terbuka, kecuali jika anaknya sudah mengalami kekerasan fisik, psikis atau seksual yang mengenaskan. 3. Adanya paradigma yang salah bahwa anak adalah ”properti” orangtua atau keluarganya, sehingga orangtua ”berhak” memperlakukan apa pun pada anaknya atas nama pendidikan, ”budaya”, budi pekerti, dendam masa lalu, harapan/obsesi, atau menjadikan anak lebih baik dan penurut. 4. Adanya keterbatasan pendidikan dan pemahaman agama yang salah pada orangtua atau keluarga. 5. Adanya anggapan bahwa kekerasan terhadap anak biasanya hanya terjadi pada keluarga menengah bawah atau karena impitan ekonomi. 6. Adanya anggapan bahwa kekerasan pada anak hanya bersifat kasuistis dan dianggap hanya terjadi pada keluarga tertentu yang dianggap bermasalah, baik secara genetik maupun faktor lingkungan. 7. Pelaku kekerasan memiliki masa lalu yang hampir sama pada masa kanak-kanaknya dulu, sehingga menjadi ”role model” pola asuh (parenting skill). Akibatnya, pola asuh yang diterapkan pada anaknya melalui proses imitasi atau modelling yang diperoleh di lingkungan terdekat yang dipercayainya atau terinternalisasi sebagai suatu ”nilai” atau ”budaya” yang dianggap patut dan wajar.

8

8. Kekerasan pada anak sering kali terjadi karena hubungan pasangan suami istri yang tidak seimbang, sehingga anak sering kali menjadi sasaran kemarahan salah satu orangtuanya, untuk melampiaskan dendam atau amarah pada pasangan lainnya. 9. Untuk kekerasan pada anak yang dilakukan oleh anak (bullying), kasus yang sering kali terjadi karena: 

Pengaruh lingkungan atau peer group.



Paparan media, termasuk tayangan media yang tidak sehat, vulgar, satanic, pornografi, serta sarat dengan kekerasan dan konsumerisme.

C. Contoh Kasus Kekerasan Terhadap Anak Di Indonesia 1. Kekerasan disebabkan frustasi ekonomi

Ekonomi menjadi alasan penyebab terjadinya kekerasan pada anak. Rasa kefrustasian ekonomi sering menyebabkan orangtua dengan sadar melampiaskan apa yang dirasakannya kepada anak. Bukan hanya kekerasan biasa, bahkan bisa sampai berujung kematian. Kanja Isabel Putri, balita berumur 4 tahun ini diketahui meninggal dunia pada 4 Maret 2017 di Kampung Cikeas, Desa Nagrak, Kecamatan Gunungputri, Kabupaten Bogor. JJ (23) ayah tiri dan DY (20) ibu adalah orangtua yang tega menganiaya anaknya yang masih balita. Luka memar di kepala, dagu sobek dan lebam bahkan kaki melepuh adalah penderitaan yang dialami hingga korban meninggal. Padahal dua bulan sebelumnya, telah terjadi pembunuhan anak oleh orangtua kandung. Melihat kasus ini, peran masyarakat di sekitar juga sangat dipertanyakan. Bagaimana bisa masyarakat sekitar tidak peduli terhadap keselamatan anak-anak di lingkungannya.

9

2. Diperkosa kemudian dibunuh

Pada 28 April 2017, Suci, anak berusia 6 tahun ditemukan sudah tidak bernyawa oleh warga. Korban ditemukan di hutan kecil tidak jauh dari Sekolah Dasar Negeri 25 Sawang, Aceh Utara. Setelah mendapatkan informasi dan ditelusuri, korban meninggal akibat hendak mencoba melawan ketika diperkosa. Korban dicekik oleh pelaku hingga mengakibatkannya meninggal. Yang mengejutkan, pelaku ternyata adalah anak berusia 13 tahun berinisial M yang tinggal sekampung dengan korban. Dan parahnya, setelah membunuh korban, anak yang berhadapan dengan hukum ini sempat menunaikan shalat Jumat dan ikut mengevakuasi korban bersama dengan warga lain ke rumah duka. Bayangkan Ma, anak di bawah umur meninggal karena dibunuh oleh anak yang juga masih di bawah umur. Rasanya, tidak masuk akal. Bagaimana mungkin anak 13 tahun bisa melakukan hal seperti itu.

3. Kekerasan seksual oleh orang yang memahami Undang-Undang Perlindungan Anak

Warga Kalimantan Timur digemparkan oleh kasus pencabulan yang dilakukan oleh PDW. PDW (21) adalah seorang aktivis yang mengerti Undang-Undang Perlindungan Anak.

10

Dia adalah ketua Green Generation Indonesia, pernah menjabat sebagai ketua Forum Anak Balikpapan dan juga pernah menjadi fasilitator di organisasi anak. Tetapi sangat disayangkan, dia yang sangat mengerti tentang hal ini malahan dia juga yang beraksi. PDW sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Polda Kalimantan Timur sepekan sejak 25 November 2017. Dalam kasus ini, ada sembilan orang korban yang disebutkan oleh polisi. Di mana seluruh korban adalah laki-laki berusia 12-17 tahun. Namun, pihak kuasa hukum PDW berdalih bahwa enam orang korban didasari atas rasa suka sama suka. Dalam Undang-Undang Pelindungan Anak disebutkan bahwa tidak ada istilah suka sama suka dalam interaksi seksual dengan anak di bawah umur.

4. Disekap di hotel oleh ayah tiri

Lagi-lagi, kekerasaan pada anak terjadi. Kali ini balita laki-laki berusia 4 tahun yang menjadi sasarannya. Penghuni kamar lainnya beserta pegawai hotel menemukan korban pada 16 Februari 2018. Korban ditemukan dalam keadaan disekap di kamar nomor 11 Hotel Wismantara di Jalan RM Said, Solo. Korban berinisial P itu ditemukan dalam kondisi kaki dan tangan terikat, serta tubuh penuh luka. Ternyata pelaku penyekapan adalah Dedi (ayah tiri) dan Iwan (adik Dedi). Berdasarkan pengakuan, korban diikat selama 3 hari dan tak diberi makan. Disekap dengan alasan korban dianggap nakal dan akan merusak kamar hotelnya itu. Saat ini, Kapolsek Banjarsari telah menetakan Dedi dan Iwan sebagai tersangka atas penganiayaan korban. Polisi menjerat kakak beradik ini dengan pasal 77 UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 11

5. Ibu kandung tahu anaknya disiksa ibu angkat

Beberapa pekan lalu, netizen dihebohkan dengan video seorang anak laki-laki berinisial B. Dalam video itu, B masih mengenakan seragam sekolah saat diperiksa oleh gurunya. Korban terlihat mengalami banyak luka di sekujur tubuhnya. Bisa dilihat ada beberapa luka lebam dan bekas melepuh karena air panas. Setelah ditelusuri, korban dianiaya oleh ibu angkatnya di Cileungsi, Bogor. Mirisnya, ibu kandung (bekerja di Manado) yang menitipkan korban pada ibu angkat mengetahui penganiayaan tersebut dan malahan membiarkannya. Selama kurang lebih setahun dititipkan pada ibu angkatnya itu, ibu kandung korban sama sekali tidak memberikan nafkah atau menjenguk korban. Juru Bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono pada 04 Februari 2018 menjelaskan bahwa itu merupakan tindak penelantaran. Pelaku dapat dijerat pasal berlapis tentang perlindungan anak dan penelantaran dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. 5 contoh kasus kekerasan pada anak yang disajikan oleh Popmama.com bukan bertujuan untuk memberikan contoh yang tidak baik pada Mama. Kasus di atas diharapkan dapat membuat Mama sadar sehingga lebih menyayangi dan melindungi anak Mama.

12

D. Upaya menanggulangi kekerasan terhadap anak Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan terhadap anak yaitu: a. Pendidikan dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup Tindakan kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhadap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan. b. Keluarga Yang Hangat Dan Demokratis Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point. Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. c. Membangun Komunikasi Yang Efektif Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Untuk menghindari kekerasan terhadap anak maka diperlukan anggota keluarga yang saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif d. Mengintegrasikan isuh hak anak kedalam peraturan perundang- undangan, kebijakan,program dan kegiatan sampai dengan penganggaran sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi sehingga menjadi responsive terhadap hak anak. 13

E. Undang- undang yang mengatur perlindungan anak Sebagai Negara hukum, Indonesia memiliki beberapa peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan anak yang terdiri dari: 1. Undang- undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak 2. Undang- undang nomor 11 tahun 2012 tentang system peradilan pidana anak 3. Peraturan presiden nomor 18 tahun 2014 tentang perlindungan anak dan pemberdayaan anak dan perempuan dalam konflik sosial

14

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak sengaja melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-undang ini juga dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan yang sama dan jaminan perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak yang menderita cacat baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb. Undang-undang No.23 tahun 2002 juga menjelaskan mengenai hak asuh anak yang terkait dengan pengalihan hak asuh anak, perwalian yang diperlukan karena ketidakmampuan orang tua berhubungan dengan hukum, pengangkatan anak yang sangat memperhatikan kepentingan anak, serta penyelenggaraan perlindungan dalam hal agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan perlindungan khusus.

B. Saran Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan dan merealisasikan isi undangundang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.

15

DAFTAR PUSTAKA

Hadisuprapto,

Paulus,

(5

Oktober

1996)

Masalah

Perlindungan

Hukum

Bagi

Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan Anak”, Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000 Rani, (5 Oktober 1996) Makalah “ Masalah perlindungan anak “ , Arief, Barda Nawawi, (1998) Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. https://www.popmama.com/kid/4-5-years-old/kchintiana/penanganan-anak-dengan-kelainanbawaan/full

16

Related Documents

Bab
April 2020 88
Bab
June 2020 76
Bab
July 2020 76
Bab
May 2020 82
Bab I - Bab Iii.docx
December 2019 87
Bab I - Bab Ii.docx
April 2020 72

More Documents from "Putri Putry"