BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi akan berwarna merah.1 Secara histologi, konjungtiva terdiri dari lapisan epitelium dan stroma. Sel epitel superfisial nya mengandung sel-sel goblet yang mensekresi mukus. Stroma konjungtiva dibagi menjadi dua yakni lapisan adenoid (superfisial) dan satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid yang dibeberapa tempat menunjukan struktur folikel tanpa sentrum germinativum sedangkan lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambungyang melekat pada lempeng tarsus. Pada pterigium, secara histologi menunjukan adanya proses degenerasi jaringan elastis stroma kolagen disertai jaringan fibrovaskular subepitel.2 Prevalensi pterigium semakin meningkat pada daerah yang mendekati garis khatulistiwa dengan iklim tropis dan subtropis. Di Indonesia, prevalensi pterigium kedua mata ditemukan 3,2%, sedangkan pterigium pada salah satu mata 1,9%. Insiden pterigium tertinggi ditemukan pada kelompok usia > 70 tahun (15,9%) dan terendah pada usia 5-9 tahun (0,03%).3 1
Etiologi pasti dari pterigium belum sepenuhnya diketahui, namun perjalanan penyakit sangat erat kaitannya dengan paparan sinar ultraviolet dalam jangka waktu lama, tingkat kekeringan suatu daerah, proses inflamasi, dan paparan angin serta iritasi mata kronik pada lingkungan kering dan berdebu. Risiko pterigium meningkat pada mereka yang bekerja diluar rumah terutama petani dan nelayan.1,2 Mereka dengan pterigium tidak akan mengeluhkan apa-apa di awal perjalanan penyakit. Seiring berkembangnya lesi, mata akan terasa kering (rasa panas, berair, ataupun gatal dan mengganjal). Dengan semakin besarnya ukuran pterigium, visus pasien akan menurun ketika pterigium tumbuh melewati batas pupil dipermukaan kornea atau akibat astigmatisme kornea akibat fibrosis pada tahap regresif. Diplopia juga dapat timbul akibat terbatasnya gerak okular.2 Penangan kasus pterigium pada fase awal berupa tindakan konservatif berupa edukasi untuk melindungi mata dari faktor resiko pterigium dan menghindari iritasi. Pada keadaan mata merah akibat iritasi pada jaringan pterigium dapat diberikan lubrikans, vasokonstriktor, dan kortikosteroid topikal. Selain itu, jika jaringan telah mengganggu ketajaman penglihatan maka operasi dapat dilakukan. Terdapat berbagai teknik operasi yang dapat dipilih antara lain bare sclera, conjunctival graft, dan amnion membran transplantation.2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Konjungtiva dan Kornea
Gambar 1. Anatomi Mata
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.1,2 Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan posterior tarsus, konjungtiva melipat
3
ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera dan menjadi konjungtiva bulbaris.1,2
Gambar 2. Anatomi Konjungtiva Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbitale dan melipat berkali-kali. Pelipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik. (duktus-duktus kelenjar lakrimalis bermuara ke forniks temporal superior). Kecuali di limbus (tempat kapsul Tenon dan konjungtiva menyatu sejauh 3 mm). Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke kapsul tenon dan sklera di bawahnya.1,2
4
Lipatan konjungtiva bulbaris yang tebal, mudah bergerak dan lunak (plika semilunaris) terletak di kanthus internus dan membentuk kelopak mata ketiga pada beberapa binatang. Struktur epidermoid kecil semacam daging (karunkula) menempel superfisial ke bagian dalam plika semilunaris dan merupakan zona transisi yang mengandung elemen kulit dan membran mukosa.2 Kornea adalah jaringan transparan dan avaskular terletak di bagian sentral dari kutub anterior bola mata yang akan bergabung dengan sklera dan konjungtiva. Kornea akan tampak berbentuk elips bili dilihat dari bagian depan dengan ukuran diameter horisontal 11-12 mm dan diameter vertikal 9-11 mm. Indeks refraksi kornea sebesar 1,376. Radius dari kurvatura kornea sentral sekitar 7,8 mm (6,7-9,4 mm). Kekuatan dioptri karena sebesar 43,25 dioptri atau sekitar 74% dari total kekuatan dioptri mata manusia normal. Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola mata bagian di sebelah depan. Nutrisi kornea diperoleh dari difusi glukosan akuos humor dan difusi oksigen melalui lapisan air mata. Bagian perifer kornea juga mendapat oksigen dari sirkulasi limbal.
Fisiologi Kornea Secara umum, fungsi utama kornea merupakan sebagai medium refraksi dan melindungi struktur yang terdapat di intraokular. Fungsi tersebut dapat dijalankan melalui transparansi kornea dan penggantian jaringannya. Transparansi kornea merupakan akibat susunan lamella kornea yang unik avaskularitas, dan keadaan dehidrasi relatif. Glukosa dan zat terlarut 5
melalui transport aktif dan pasif melalui aqueous humour dan difusi kapiler perilimbal. Oksigen didapatkan secara langsung dari udara melalui tear film.1 Sebagian besar lesi kornea, baik superfisial maupun dalam dapat menyebabkan nyeri dan fotofobia karena kornea memiliki banyak serat nyeri. Selain itu, lesi kornea biasanya menyebabkan penglihatan yang blur, terutama bila lokasinya di sentral. Photophobia terjadi akibat kontraksi pada iris yang mengalami peradangan. Dilatasi pada pembuluh darah iris merupakan refleks akibat iritasi ujung saraf kornea. Meskipun demikian, photophobia terjadi secara minimal pada keratitis herpes karena hipestesi yang terjadi. 2.2 Pterigium Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular konjungtiva berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra, bersifat degeneratif dan invasif. Pterigium (L. Pterygion = sayap) adalah suatu proses degeneratif dan hiperplastik dengan fibrovaskular berbentuk segitiga (sayap) yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea antara lain lapisan stroma dan membrana Bowman. Pterigium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. 3-6 Pterigium merupakan konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap.
6
Gambar 3. Pterigium 2.3 Epidemiologi Pterigium merupakan kelainan mata yang umum di banyak bagian dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering dengan prevalensi yang dilaporkan berkisar antara 0,3%-29%. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Studi epidemiologis menemukan adanya asosiasi terhadap paparan sinar matahari yang kronis. Insiden pterigiumcukup tinggi di Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%.3,4 Pasien di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterigium. Prevalensi pterigiummeningkat dengan umur, terutama dekade ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49. Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih
7
resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah.3 Sebuah studi epidemiologis oleh Gazzard dkk melaporkan orang berkulit hitam (usia 40-84 tahun) di Barbados, yang terletak di daerah tropis 13° utara khatulistiwa, memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi (23,4%) sedangkan tingkat prevalensiorang kulit putih di perkotaan (usia 40-101 tahun) Melbourne, Australia kurang dari (1,2%). Prevalensi pterigium orang kulit putih lebih dari 40 tahun di pedesaan Australia (6,7%), dan di perkotaan orang Cina Singapura yang lebih dari 40 memiliki tingkat prevalensi (6.9%). Penelitian ini juga melaporkan orang Indonesia lebih dari 40 tahun, tingkat prevalensinya di Sumatera (16,8%) yakni lebih tinggi daripada semuaras lainnya yang telah dipelajari sebelumnya, kecuali dengan penduduk kulit hitam dari Barbados.7 Pterigium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah. 2.4 Faktor Resiko Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.3,4,7 1. Radiasi ultraviolet Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet yang di absorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. 8
Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting. 2. Faktor Genetik Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigiumdan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. 3. Usia Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia anak-anak. 4. Pekerjaan Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang sering dengan sinar UV. 5. Tempat tinggal Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5 tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300 memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan daerah yang lebih selatan. 6. Infeksi Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor penyebab pterygium. 9
7. Faktor risiko lainnya Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-partikel tertentu seperti asap rokok dan pasir merupakan salah satu faktor risiko terjadinya pterygium. 2.5 Patogenesis Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.3,4,8 Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Pterigium ini biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke meatus nasi inferior.5,6,8 Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV B Merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula 10
pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan biasanya menunjukkan dysplasia. Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena di samping kontak langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari hidung, karena itu pada bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan pterigium dibandingkan dengan bagian temporal.8 Beberapa studi meyebutkan bahwa alasan mengapa pterigium seringkali muncul di daerah nasal berasal dari peran patogenetik cahaya matahari. Cahaya matahari diteruskan ke dalam limbus sklerokorneal setelah dipantulkan oleh dinding nasal lateral, di mana konjungtiva bulbar di daerah nasal inilah yang lebih sering terpapar sinar matahari. Mengingat juga, bulu mata di dekat nasal jauh lebih pendek dibanding bulu mata di daerah temporal. Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas, termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti interleukin-1 (IL-1) 11
bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α) membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth factor binding proteins (IGF-BP). Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium, dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia. Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay. Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium. Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase. Tseng dkk juga berspekulasi bahwa pterigium mungkin dapat terjadi pada daerah yang kekurangan limbal stem cell. Limbal stem cell adalah sumber regenerasi
epitel
kornea.
Defisiensi
limbal
stem
cell
menyebabkan 12
konjungtivalisasi kornea dari segala arah. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi inflamasi kronis, kerusakan membran pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar UV terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.
13
Gambar 4. Patogenesis Pterigium
2.6 Gambaran Klinis dan Klasifikasi Pterigium Pterigium lebih sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah. Bisa unilateral atau bilateral. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Pterigium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara bersamaan walaupun pterigium di daerah temporal jarang ditemukan. Kedua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. Perluasan pterigium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur.3-7 Secara klinis pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker's line).
14
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head) dan cap. Bagian segitiga yang meninggi pada pterigiumdengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apex dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas pinggir pterigium.8
Gambar 5. (A) Cap: Biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast, menginvasi dan menghancurkan lapisan bowman pada kornea. (B) Whitish: Setelah cap, lapisan vaskuler tipis yang menginvasi kornea. (C) Badan: Bagian yang mobile dan lembut, area yang vesikuler pada konjungtiva bulbi, area paling ujung. Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu:8 1. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterigium). 2. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
15
Pada fase awal pterigium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. Gangguan terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. Kadang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. Pembagian lain pterigium yaitu :8 1. Tipe I: meluas kurang 2 mm dari kornea. Stoker's line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat. 2. Tipe II: menutupi kornea sampai 4 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. 3. Tipe III: mengenai kornea lebih 4 mm dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata. Pterigium juga dapat dibagi ke dalam 4 derajat, yaitu: 1. Derajat 1: jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea. 2. Derajat 2: jika sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. 3. Derajat 3: sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm) 16
4. Derajat 4: pertumbuhan pterigium melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
Gambar 6. Derajat Pterigium 2.7 Diagnosis -
Anamnesis Pasien dengan pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai dari tanpa
gejala
sampai
dengan
gejala
kemerahan
yang
signifikan,
pembengkakan, gatal, iritasi, dan penglihatan kabur berhubungan dengan elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.3,4 Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali pada intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia. -
Pemeriksaan fisik 17
Suatu pterigium dapat tampak sebagai salah satu dari berbagai perubahan fibrovaskular pada permukaan konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal, serta di lokasi lainnya. -
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di sebabkan oleh pterigium.8
2.8 Diagnosis Banding Pterigium harus dibedakan dari pseudopterigium. Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva bulbar yang melekat pada kornea. Hal ini terbentuk karena adhesi dari konjungtiva bulbar dengan ulkus kornea marjinal. Hal ini biasanya terjadi pada luka bakar akibat zat kimia pada mata.8 1)
Pinguekula Penebalan terbatas pada konjungtiva bulbi, berbentuk nodul yang berwarna kekuningan pada konjungtiva bulbi di daerah nasal atau temporal limbus. Tampak seperti penumpukan lemak bisa karena iritasi ataupun karena kualitas air mata yang kurang baik. Pada umumnya tidak diperlukan terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.
18
Gambar 7. Pinguekula (panah abu-abu) merupakan lesi di limbus sklerokorneal yang berbeda dengan pterigium, di mana tidak tumbuh mencapai permukaan kornea. 2) Pseudopterigium Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan pseudopterigium yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea. Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan dari ulkuskornea,
dimana
konjungtiva
tertarik
dan
menutupi
kornea.
Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissure palpebra seperti halnya pada pterigium. Pada pseudopterigium juga dapat diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada pterigium tidak. Pada 19
pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea. Selain pseudo pterigium, pterigium dapat pula didiagnosis banding dengan pannus dan kista dermoid.
Gambar 8. Pseudopterigium yang tumbuh dari kuadran inferior nasal konjungtiva bulbar
20
3) Ocular Surface Squamous Neoplasm Ocular Surface Squamous Neoplasm atau OSSN merupakan dysplasia, pre-invasif dan lesi epitel squamous malignan dari seluruh spectrum konjunctiva dan kornea. OSSN biasanya tampak seperti lesi conjunctiva yang meninggi yang terlihat dekat limbus, berwarna putih keabuan dengan karakteristik berkas dari pembuluh darah pada fissure intra palpebral. Biasanya pasien datang diikuti dengan gejala mata merah, irigasi dan sensasi benda asing.
Gambar 9. OSSN yang searah dengan limbal Pterigium
Pseudopterigium
Pinguekula
OSSN
Reaksi tubuh Iritasi atau penyembuhan dari Sebab
Proses degeneratif
Dispalsia epitel kualitas higienitas
luka bakar, GO,
sel squamous air yang kurang.
difteri, dll.
21
Tidak dapat Dapat dimasukkan dimasukkan
Sonde
-
-
Tidak
Tidak
dibawahnya dibawahnya Kekambuhan
Residif
Tidak
Usia
Dewasa
Anak-anak
Dewasa dan anakDewasa anak Subkonjungtiva Lokasi
Bisa terjadi
Terbatas pada
Di sekitar daerah
darimana saja
konjuntiva bulbi
limbus
yang dapat mencapai kornea
2.9 Penatalaksanaan1,5,8 Pasien dengan pterigium dapat hanya diobervasi kecuali lesi menunjukkan pertumbuhan menuju pusat kornea atau pasien menunjukkan gejala kemerahan yang signifikan, ketidaknyamanan, atau perubahan dalam fungsi visual. 2.9.1 Terapi Konservatif Pengobatan konservatif pada pterigium terdiri dari topical lubricating drops atau air mata buatan (misalnya, refresh tears, gen teal drops), serta sesekali penggunaan jangka pendek tetes mata kortiko steroid topikal antiinflamasi (misalnya, PredForte1%) bila gejala lebih intens. Selain itu, penggunaan kacamata anti-UV disarankan untuk mengurangi paparan radiasi ultraviolet lebih lanjut. 22
2.9.2 Terapi Pembedahan Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk, menurut Ziegler: -
Mengganggu visus
-
Mengganggu pergerakan bola mata
-
Berkembang progresif
-
Mendahului suatu operasi intraokuler
-
Kosmetik Penghilangan pterigium melibatkan bedah eksisi pada apex, collum dan
corpus dari pterigium. Corpus dan dasar pterigium tersebut dibedah dengan gunting konjungtiva, sedangkan apeks dan collum pterigium yang telah menyerang kornea
sering dihilangkan
dengan
pisau bedah.
Dilakukan
usaha
untuk
mengidentifikasi bidang diseksi, yang memfasilitasi penghilangan pterigium sekaligus mempertahankan permukaan halus kornea yang mendasarinya. Lapisan stroma yang tersisa mungkin dapat dirapikan dengan pisau.7
Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan pterigium dan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Kekambuhan pterigium merupakan pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskuler konjungtiva ke kornea pada bekas pembedahan. Pterigium dinyatakan kambuh apabila setelah dilakukan operasi pengangkatan ditemukan pertumbuhan kembali jaringan pterigium yang disertai pertumbuhan kembali neovaskularisasi yang menjalar
23
kearah kornea. Jangka waktu terjadinya kekambuhan pada berbagai studi disebutkan antara 1-2 bulan sesudah pengangkatan. Ada beberapa teknik operasi yang dilakukan pada eksisi pterigium, pada dasarnya tindakan operasi yang dilakukan dengan dua cara yaitu, mengangkat pterigium dengan membiarkan luka bekas pterigium terbuka (Bare sclera), dan mengangkat pterigium kemudian luka pterigium ditutup dengan graft (transplantasi). Masing-masing teknik operasi yang ada memiliki kelebihan dan kekurangan. Idealnya operasi tersebut haruslah simpel, cepat, tingkat komplikasi dapat diterima, tingkat rekurennya rendah dan bagus secara kosmetik. Sayangnya belum ada teknik yang memenuhi semua kriteria tersebut. Berbagai teknik bedah yang digunakan saat ini untuk pengelolaan pterigium: 1. Bare sclera: tidak ada jahitan, bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan permukaan sklera di depan insersio tendon rektus, menyisakan area sklera yang terkena. (teknik ini sudah tidak dapat diterima karena tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75% dan hal ini tidak direkomendasikan). 2. Simple closure: menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka, dimana teknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relatif kecil. 3. Sliding flap: dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
24
4. Rotational flap: dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. 5. Conjungtival graft: suatu free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan. (misalnya Tisseel VH, Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).
Gambar 10. Tindakan Operatif pada Pterigium
Konjungtival limbal graft diperkenalkan oleh Kenyon et al pada tahun 1985. Graft diambil dari konjungtiva bulbi superior pada mata yang sama untuk menutup area bare sclera. Konjungtiva bulbi superior umumnya 25
memiliki resiko paparan iritasi kronis paling kecil sehingga dipilih sebagai graft. Angka kekambuhan dilaporkan 5,3% pada 57 pasien (41 pterigium rekuren, 16 pterigium primer) dengan rerata follow up 24 bulan. Teknik transplantasi konjungtiva-limbus autograft yang sering digunakan adalah teknik jahitan dengan vicryl 8,0 atau dengan nylon 10,0. Graft konjungtiva dapat menimbulkan komplikasi minor seperti edema graft, dellen korneosklera. Komplikasi berat berupa astigmat kornea, hematoma, granuloma kapsul tenon, nekrosis graft dan disinsersi muskulus ekstraokular. Kekurangan teknik ini berupa waktu operasi relatif lebih lama dan rasa tidak nyaman setelah tindakan. Prosedur conjunctival limbal graft adalah sebagai berikut: - Dilakukan eksisi pterigium seperti pada teknik bare sclera - Bola mata diposisikan lirik ke bawah sehingga terlihat konjungtiva bulbi superior - Blunt scissor Wescott digunakan untuk insisi konjungtiva bulbi superior, undermind dengan diseksi tumpul dan sisakan kapsul tenon. - Donor graft dibuat setipis mungkin sehingga terjadi sedikit pengerutan pada saat penyembuhan. Konjungtiva donor dibiarkan terbuka. - Pegang graft dengan forceps tumpul, tempatkan pada area resipien, jahit dengan vicryl 8,0 atau nylon 10,0 - Berikan tetes mata kombinasi antibiotika dan steroid selama 4-6 minggu untuk mengatasi inflamasi. 2.10 Komplikasi5,8 26
Komplikasi
pterigium
meliputi
distorsi
dan/atau
pengurangan
penglihatan sentral, kemerahan, iritasi, jaringan parut/skar pada konjungtiva dan kornea serta keterlibatan yang luas dari otot-otot ekstraokuler dapat membatasi motilitas okular dan berkontribusi terhadap terjadinya diplopia. Pada pasien yang belum menjalani bedah eksisi, jaringan parut dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Pada pasien dengan pterigium yang sebelumnya telah menjalani eksisi bedah, jaringan parut atau disinsertion dari otot rektus medial adalah penyebab paling umum dari diplopia. Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Sclera dan atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk ditangani. Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi. Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts konjungtiva/limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada kesempatan langka, degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah pterigium yang ada dapat terjadi. 2.11 Prognosis Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 48 jam post operasi dapat beraktivitas kembali.3,4,8
27
Rekurensi pterigium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3 – 6 bulan pertama setelah operasi.3,4,8 Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterigium seperti terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.
28
BAB III STATUS PASIEN
3.1. Identitas Nama
: Ny. NMS
Umur
:
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Hindu
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Belanga Kintamani
Tanggal periksa
: 2 November 2018
No. RM
: 279398
Cara Pembayaran
: BPJS
42 tahun
3.2. Anamnesis 3.2.1. Keluhan utama
: Mata kiri seperti ada benda asing
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien mengeluh mata kirinya seperti sakit dan ada yang mengganjal sejak 6 bulan terakhir serta ada sesuatu seperti selaput yang tumbuh semakin tebal pada tepi matanya. Keluhan semakin terasa sejak 1 bulan terakhir. Keluhan sampai mengganggu penglihatan. Kadang mata menjadi mudah merah, berair,
29
silau, dan gatal. Adanya kotoran mata yang tidak normal disangkal, Keluhan bertambah berat ketika pasien beraktivitas
3.2.3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sakit serupa
: disangkal
Riwayat kencing manis
: negatif
Riwayat hipertensi
: negatif
Riwayat trauma
: negatif
Riwayat mata merah
: positif
Riwayat operasi mata
: disangkal
Riwayat benjolan di mata
: disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
3.2.4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat hipertensi
: disangkal
Riwayat penyakit serupa dengan pasien: positif Riwayat kencing manis
: disangkal
Riwayat benjolan di mata
: disangkal
Riwayat infeksi / iritasi mata
: disangkal
30
3.2.5. Kesimpulan Anamnesis OD
OS
Proses
-
Inflamasi
Lokalisasi
-
Konjungtiva
Sebab
-
Belum diketahui
Perjalanan
-
Kronis
Komplikasi
-
-
3.3. Pemeriksaan Fisik 3.3.1 Kesan umum Keadaan umum baik E4V5M6, gizi kesan cukup T = 140/80 mmHg N = 82x/menit RR = 18x/menit S= 36,50C
3.3.2 Pemeriksaan subyektif
OD
OS
Visus sentralis jauh
20/25
20/25
Pinhole
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Refraksi
non refraksi
non refraksi
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak ada
tidak ada
Visus Perifer Konfrontasi test 3.3.3 Pemeriksaan Obyektif 1. Sekitar mata Tanda radang
31
Luka
tidak ada
tidak ada
Parut
tidak ada
tidak ada
Kelainan warna
tidak ada
tidak ada
Kelainan bentuk
tidak ada
tidak ada
Warna
hitam
hitam
Tumbuhnya
normal
normal
sawo matang
sawo matang
dalam batas normal
dalam batas normal
2. Supercilium
Kulit Geraknya
3. Pasangan Bola Mata dalam Orbita Heteroforia
tidak ada
tidak ada
Strabismus
tidak ada
tidak ada
Pseudostrabismus
tidak ada
tidak ada
Exophtalmus
tidak ada
tidak ada
Enophtalmus
tidak ada
tidak ada
Anopthalmus
tidak ada
tidak ada
Mikrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Makrophtalmus
tidak ada
tidak ada
Ptisis bulbi
tidak ada
tidak ada
Atrofi bulbi
tidak ada
tidak ada
Buftalmus
tidak ada
tidak ada
Megalokornea
tidak ada
tidak ada
4. Ukuran bola mata
32
5. Gerakan Bola Mata Temporal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
Temporal
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal superior
dalam batas normal
dalam batas normal
Nasal inferior
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
dalam batas normal
6. Kelopak Mata Gerakannya Lebar rima Blefarokalasis
10 mm
10 mm
tidak ada
tidak ada
Tepi kelopak mata Oedem
tidak ada
tidak ada
Margo intermarginalis
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Entropion
tidak ada
tidak ada
Ekstropion
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
7. Sekitar saccus lakrimalis
8. Sekitar Glandula lakrimalis Odem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada 33
9. Tekanan Intra Okuler Palpasi
kesan normal
kesan normal
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Pterigium
tidak ada
ada
Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada
Injeksi konjungtiva
tidak ada
tidak ada
Tonometer Schiotz 10. Konjungtiva Konjungtiva palpebra
Konjungtiva Fornix
Konjungtiva Bulbi
Caruncula dan Plika Semilunaris Oedem
tidak ada
tidak ada
Hiperemis
tidak ada
tidak ada
Sikatrik
tidak ada
tidak ada 34
11. Sklera Warna
putih
putih
tidak ada
tidak ada
Ukuran
12 mm
12 mm
Limbus
jernih
jernih
Permukaan
rata, mengkilat
jaringan fibrorash
Sensibilitas
normal
normal
Keratoskop (Placido)
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Fluoresin Test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Arcus senilis
(-)
(-)
Isi
jernih
jernih
Kedalaman
dalam
dalam
coklat
coklat
spongious
spongious
bulat
bulat
tidak ada
tidak ada
Ukuran
3 mm
3 mm
Bentuk
bulat
bulat
Tempat
sentral
sentral
Penonjolan 12. Kornea
13. Kamera Okuli Anterior
14. Iris Warna Gambaran Bentuk Sinekia Anterior 15. Pupil
35
Reflek direk
(+)
(+)
Reflek indirek
(+)
(+)
Reflek konvergensi
baik
baik
Ada/tidak
ada
ada
Kejernihan
jernih
jernih
Letak
sentral
sentral
16. Lensa
Shadow test
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
tidak dilakukan
17. Corpus vitreum Kejernihan
36
3.4. Pemeriksaan Penunjang
Gambar 11. Hasil Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu
Gambar 12. Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap 37
3.5. Kesimpulan Pemeriksaan OD
OS
20/25
20/25
tidak dilakukan
tidak dilakukan
Sekitar mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Supercilium
dalam batas normal
dalam batas normal
Pasangan bola mata dalam
dalam batas normal
dalam batas normal
Ukuran bola mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Gerakan bola mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Kelopak mata
dalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar saccus lakrimalis
dalam batas normal
dalam batas normal
Sekitar glandula lakrimalis
dalam batas normal
dalam batas normal
kesan normal
kesan normal
dalam batas normal
dalam batas normal
Sklera
putih
Putih
Kornea
dalam batas normal
jaringan fibrorash dengan
Visus Sentralis Jauh Pinhole
orbita
Tekanan Intra Okuler Konjunctiva bulbi
puncak di kornea Camera oculi anterior
dalam batas normal
dalam batas normal
Iris
dalam batas normal
dalam batas normal
Pupil
dalam batas normal
dalam batas normal
Lensa
dalam batas normal
dalam batas normal
38
tidak dilakukan
Corpus vitreum
tidak dilakukan
3.6 Gambar
Gambar 13. Okuli Sinistra 3.7. Diagnosis Banding OS Pterigium OS Pinguekula OS Pseudopterigium 3.8. Diagnosis OS Pterigium Derajat 3 3.9. Terapi Pro Ekstirpasi pterigium
39
3.10. PROGNOSIS OD
OS
Ad vitam
bonam
bonam
Ad sanam
bonam
bonam
Ad kosmetikum
bonam
bonam
Ad fungsionam
bonam
bonam
40
BAB IV PENUTUP Pterigium merupakan salah satu kelainan pada mata yang sering terjadi di Indonesia. Hal ini di karenakan oleh letak geografis Indonesia yang berada di sekitar garis ekuator sehingga mendapatkan paparan sinar UV yang diduga merupakan salah satu faktor penyebab dari pterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas laki-laki lebih banyak di luar ruangan serta adanya faktor degeneratif sehingga pasien yang berusia lebih dari 40 tahun cenderung terkena pterigium. Penderita
dengan
pterigium
dapat
tidak
menunjukkan
gejala
apapun
(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya. Pasien dengan pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang mengalami iritasi. Pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi penderita seperti adanya gangguan penglihatan. Pembedahan ini pun hasilnya juga kurang maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar UV.
41
42
DAFTAR PUSTAKA 1.
Riordan, Paul. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika. 2002.
2.
Schwab, Ivan & Chandler R. Dawson. Konjungtiva. Dalam: Daniel G. Vaughan, Taylor Asbury, Paul Riordan-Eva. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Penerbit Widya Medika.2002.
3.
Laszuarni. Prevalensi Pterigium Di Kabupaten Langkat (Tesis). Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK USU. 2009.
4.
Pigamintha Dimar. Prevalensi Pterigium Di Sekitar Universitas Sumatera Utara (Karya Tulis Ilmiah). Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2011.
5.
Nana, Wijana. Konjungtiva. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: EGC. 1996. Hal: 40-2.
6.
Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.
7.
Gazzard G, Saw Ms, Et Al. “Pterigium In Indonesia: Prevalence, Severity, And Risk Factors”. Br J Ophthalmol. 2002; 86: 1341–46.
8.
Pterygium. Diunduh dari http://www.repository.usu.ac.id
9.
Perhimpunan Dokter Spesialis Mata. Ilmu Penyakit Mata Untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: CV. Sagung Seto; 2002.
43
44