BAB FAIL Fail adalah isim marfu’ (di baca rafa’) yang disebut fi’il atau syibah fi’ilnya terlebih dahulu, seperti ( جاء خالدkholid telah datang), atau seperti ( زيههد منيههر وجههههZaid itu orang yang bersinar wajahnya). Yang dimaksud syibah fi’il yang merafa’kan failnya adalah isim fa’il, masdar, isim maful, syifah musabbahah, isim tafdil dan isim lainnya. Menurut mazhab basrah, fail tidak boleh didahulukan atas fi;il dan syibhahnya, seperti زيد قائم, dimana kalimat زيهدkedudukannya menjadi فاعهل. Tetapi seharusnya menjadi kalimat زيهد tersebut diatas sebagai مبتدأsedangkan kalimat yang berada sesudahnya sebagai خههبر, dengan perkiraan: زيهد قام ههو. Sementara mazhab kufah membolehkan fa’il didahulukan atas fi’il dan syibahnya, seperti ( الزيدان قامdua zaid telah berdiri). Namun pendapat yang benar adalahmenurut ketentuan kaidah yang digunakan oleh mazhab basroh. فاعلterbagi menjadi dua bagian: 1. اسهم ظههر, yaitu kalimat yang menunjukkan pada ( ذاتpersonal) yang disebutkan secara
langsung, seperti kata زيدpada kalimat جاء زيد 2. اسم ضمير, yaitu فاعلdalam bentuk kata ganti ( )ضميرyang menunjukkan untuk مخاطب,متكلم
dan غائبseperti: ( ضربتُهaku telah memukul), ( ضرتَهkamu telah memukul), ( ضربَهdia telah memukul). Mazhab jumhur arab (ulamak nahwu) telah sepakat bahwa apabila kalimat فاعههل disandarkan pada فاعهل اسهم ظاههرdalam bentuk تثنيهةatau جمهعmaka kalimat فاعهلtersebut wajib dikosongkan dari yang menunjukkan kepada تثنيهةatau جمهع. Oleh jarenanya dia seperti halnya ketika disandarkan kepada fa’il mufrod (tunggal), seperti ( قام الزيدانdua zaid itu telah berdiri) atau seperti ( قام الزيدونzaid-zaid itu telah berdiri. Perlu diketahui, bahwa dalam gramatikal dikenel bentuk stuktur bahasa yang berpola S+P+O. dalam gramatikal arab hal demikian lazimnhya mendahukan predikat atas subyeknya, ( ضرب زيههد خالداzaid telah memukull kholid). Demikian itu, karena pada dasarnya fa’il (subyek) mengikat pada fi’il (predikat) dan tidak dapat dilepaskan dari fi’ilnya, serta fa’il masaih merupakan satu bagian dari fi’ilnya. Maka akhir kalimat fi’il bibaca sukun (mati) ketika bertemu dengan fa’il dhomir mutakallim, atau mukhotob seperti .ُ ضربتهpara pakar nahwu beralasan karena mereka tidak suka menggabungkan empat huruf yang berharokat pada satu kalimat. Maka dengan demikian alas an itu memunculkan bahwa fa’il beserta fi’ilnya menyatu bagaikan satu kalimat. Dan juga pada dasarnya maf’ul bih (objek) itu di akhirkan dari fi’il dan fa’ilnya. namun, kadang maf’ul bih didahulukan atas failnya ketika tidak dikhawatirkanterjadinya iltibas (kekeliruan) antara keduanya, seperti kesamaran dalam I’rabnya dan tidak dijumpai Qarinah (indikasi) yang menjelaskan bahwa maf’ulnya, seperti ضرب موسى عيسى
pendapat tersebut merupakan jumhur. Tetapi sebagian mereka membolehkan mendahulukan maf’ul bih pada kasus ini. Mereka beralasan bahwa orang itu telah punya maksud dari pembicaranya dalam kondisi iltibas, sebagaimana kondisi jelas. Apabila telah dijumpai indikasi yang menjelaskan kedudukan fa’il dari maf’ul, maka boleh mendahukukan maf’ul bih, seperti ( اكهل ال ُك ُمثْري موسهىMusa telah makan buah kumutsra). Dalam hal ini Ibnu Malik menyatakan dalam alfiyah: والصل فى الفاعل أن يتّصل * والصل فى المفعول أن ينفصل Pada dasarnya kalimat fi’il itu bersambung dengan fa’ilnya, dan maf’ul terpisah dari fi’ilnya وآخير المفعول إن لبس حذر * أو أضمر الفاعل غير منحصر Akhirnya posisi maf’ul dari fi’ilnya jika dikhawatirkan terjadi kekeliruan, atau fa’il dalm bentuk dhamir yang dibatasi. Diantara orang arab ada pakat yang menyesuaikanantara fi’il dan fa’il dalam bentuk تثنيههةdan جمهعmaka kalimat fi’il disandarkan kepada fa’il tasniyah atau jama’. Kaidah tersebut kemudian dikenal dengan sebutan lughah akaluni al-baraghits (اكلنههى )البراغيثseperti ungkapan ( حضر المعلمونPara guru laki-laki itu telah hadir). Didalam ungkapan Arab banyak dijumpai bentuk strutur gramatika yang mendahulukan maf’ul bih yang menyimpan dhamir (kata ganti) yang kembali pada failnya, seperti: ( خاف ربّه عمهرUmar takut kepada Tuhannya). Demikian itu jika dhamir yang berada pada maf’ul bih tersebut kembali kepada fa’il yang berada diakhir secara lafazh (muta’akhir lafzhan). Sebenarnya fa’il tersebut dalam perkiraan harus didahulukan atas maf’ulnya, karena pada dasarnya fa’il itu bersambung dengan fi’ilnya. Maka dengan demikian, kedudukan fa’il berada diawal (mutaqaddim rutbatan), sekalipun posisinya berada diakhir secara lafazh. Sementara syadz (cacat) dhamir yang berada pada fa’il diawal kembali kepada maf’ul bih yang diakhirkan dari fa’ilnya, seperti ( زان نوره الشجههرkembangnya telah menghiasi pohon itu). Dhamir ha-nya yang ada pada kalimat nur (fa’il) itu kembali pada kalimat ( الشجرmaf’ul bih). Dikatakan syadz, karena dhamir tersebut kembali pada maf’ul bih yang berada di akhir secara lafadz dan kedudukan (muta’akhir lafzhan wa rutbatan). Masalah ini ditolak oleh jumhur ulama’ nahwu, sekalipun ada sebagian mereka yang membolehkannya, diantaranya Abu ‘Abdillah Ath-Thiwal dari madzhab kuffah dan Abu bin Jinni. By: Agus Rinjani dan maf’ul (bsa uin maliki 07)