Bab 2 Landasan Teori

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab 2 Landasan Teori as PDF for free.

More details

  • Words: 6,249
  • Pages: 35
BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1

Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam buku “Perpajakan” (2003:1) adalah : Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tujukan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum. Sedangkan pengertian pajak menurut P.J.A. Adriani dalam buku “Pegantar Ilmu Hukum Pajak” (1991:2) adalah : Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat di tunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah : 1. Pajak di pungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaanya yang sifatnya dapat di paksakan. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak di pungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. 4. Pajak di peruntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapar surplus, di pergunakan untuk membiayai public investment.

11

2.1.1

Fungsi Pajak Sebagaimana telah di ketahui bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dari berbagai definisi, terlihat adanya dua fungsi pajak yaitu: a.

Fungsi penerimaan (budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang di peruntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Contoh : di masukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri.

b.

Fungsi mengatur (regular) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu di kenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minimum keras sehingga konsumsi minuman keras dapat di tekan. Demikian pula terhadap barang mewah.

2.1.2

Pengelompokan Pajak Pajak dapat di kelompokkan ke dalam beberapa kelompok yaitu: a.

Menurut golongan 1. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat di limpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Sebagai contoh pajak penghasilan (PPh) 2. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat di limpahkan ke pihak lain. Sebagai contoh pajak pertambahan nilai (PPN).

b.

Menurut sifat. Pembagian pajak menurut sifat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:

12

1. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya di cari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari wajib pajak. Contoh: PPh. 2. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaaan diri wajib pajak contoh: PPN dan PPnBM. c.

Menurut Pemungutan. 1. Pajak pusat adalah pajak yang di pungut oleh pemerintah pusat dan di gunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: PPh, PPn, PPnBM, PBB dan bea Materai. 2. Pajak daerah adalah pajak yang di pungut oleh pemerintah daerah dan di gunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh: Pajak reklame dan pajak hiburan.

2.1.3

Tarif Pajak Struktur tarif yang berhubungan dengan pola persentase tarif pajak di kenal dengan empat macam tarif, yaitu: a.

Tarif Pajak Proporcional/sebanding. Tarif pajak proporcional yaitu tarif pajak yang berupa presentase tetap terhadap jumlah berapapun yang menjadi dasar pengenaan pajak. Contoh: di kenakan PPn 10% atas penyerahan Barang kena pajak.

13

b. Tarif Pajak Progresif Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang persentasenya menjadi lebih besar apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaannya semakin besar. Sebagai contoh : Tarif PPh yang berlaku di Indonesia untuk Wajib Pajak Badan yaitu: 1.

Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 tarifnya 10%

2.

Di atas Rp. 50.000.000,00 sampai dengan Rp. 100.000.000,00 tarifnya 15%

3.

Di atas Rp 100.000.000,00 tarifnya 30%

Dengan memperhatikan kenaikan tarifnya, tarif progresif dapat dibagi menjadi: 1. Tarif progresif yaitu kenaikan pajaknya semakin besar 2. Tarif progresif tetap yaitu kenaikan persentasenya tetap 3. Tarif progresif degresif adalah kenaikan persentasenya semakin kecil. c.

Tarif Pajak Degresif Tarif Pajak degresif adalah persentase tarif pajak yang semakin menurun apabila jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak menjadi semakin besar.

d.

Tarif Pajak Tetap Tarif Pajak ini tarif berupa jumlah yang tetap terhadap berapapun jumlah yang menjadi dasar pengenaan pajak.

14

2.2

Subyek Pajak Menurut UU No 7 Tahun 1983 sebagaimana telah di ubah dengan UU No 7 Tahun 1991, UU No 10 Tahun 1994 dan UU No 17 Tahun 2000 pada pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak adalah: 1.

Orang Pribadi dan warisan yang belum terbagi satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2.

Badan

3.

Bentuk Usaha Tetap Subjek Pajak terdiri atas:

1.

Subjek Pajak Dalam Negeri yang terdiri atas: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

2.

Subjek Pajak Luar Negeri adalah: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk badan usaha tetap di Indonesia.

15

b. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak di dirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk badan usaha tetap di Indonesia. Yang tidak termasuk Subjek Pajak adalah: a. Badan perwakilan Negara asing. b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari Negara asing dan orang-orang yang di perbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan dengan syarat : 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut 2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2.3

Objek Pajak Menurut Undang-undang No 17 tahun 2000 pasal 4 ayat (1) yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan

16

ekonomis yang di terima atau di peroleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat di pakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang di terima atau di peroleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali di tentukan lain dalam undang-undang ini; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan 3. Laba usaha 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan dan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal. b. Keuntungan karena di peroleh perseroan, persekutuan, dan lainnya karena pengalihan harga kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha. d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan ke agamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang di tetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

17

hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. 5.

Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah di bebankan sebagai biaya.

6.

Bunga termasuk Premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7.

Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dari dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi

8.

Royalty

9.

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. 11. Keuntungan karena pembebanan utang kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang di tetapkan dengan peraturan Pemerintah. 12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing 13. Selisih laba karena penilaian kembali aktiva 14. Premi asuransi 15. Iuran yang di terima atau di peroleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas 16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum di kenakan pajak. Yang tidak termasuk Objek Pajak adalah bantuan sumbangan, termasuk zakat yang di terima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat

18

yang di bentuk atau di sahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak (Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 UUPPh).

2.4 Penghasilan Kena Pajak (PKP) Sesuai dengan Pasal 6 UU Pajak Penghasilan besarnya PKP bagi wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap di tentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: 1. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaaan atau jasa yang termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi dan tunjangan yang di berikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. 2. Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri di berikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebagaimana di maksud dalam pasal 7 yaitu: a.

Penghasilan Tidak Kena Pajak di berikan sebesar: 1. Rp 2.880.000,00 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi 2. Rp 1.440.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin 3. Rp 2.880.000,00 tambahan untuk seorang istri yang mempunyai penghasilan dari usaha atau dari pekerjaaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga.

19

4. Rp 1.440.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga. b. Penerapan ayat (1) di tentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak. c. Penyesuaian besarnya PTKP sebagaimana di maksud dalam ayat (1) di tetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. Sesuai Pasal 9 ayat (1) huruf g UU PPh yaitu bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT), zakat atas penghasilan yang nyatanyata di bayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang di bentuk atau di sahkan oleh Pemerintah dapat di kurangkan dari PKP. Zakat yang di bayarkan hendaknya benar-benar sesuai dengan ketentuan syari’ah seperti diatas, kemudian nilai tersebut di kurangi atas penghasilan kena pajak. Hal ini berbeda dengan bantuan sumbangan yaitu terhadap penerima bukan sebagai penghasilan sedangkan bagi pemberi tidak boleh di kurangkan sebagai biaya, sedangkan perlakuan atas zakat terhadap si penerima zakat bukan sebagai penghasilan dan bagi si pemberi zakat di kurangkan dari PKP. Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) No 17 Tahun 2000 Yaitu: 1. Tarif pajak yang di terapkan atas penghasilan kena Pajak bagi: a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

20

Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

1. Sampai dengan Rp 25.000.000,00

5%

2. Di atas Rp 25.000.000,00 s/d Rp 50.000.000,00

10%

3. Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00

15%

4. Di atas Rp 100.000.000,00 s/d Rp 200.000.000,00

25%

5. Di atas Rp 200.000.000,00

35%

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut: Lapisan Penghasilan Kena Pajak

Tarif Pajak

1. Sampai dengan Rp 50.000.000,00

10%

2. Di atas Rp 50.000.000,00 s/d Rp 100.000.000,00

15%

3. Di atas Rp 100.000.000,00

30%

Berdasarkan keputusan Menteri Keuangan tentang penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mulai di tetapkan tanggal 29 November 2004, Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa besarnya PTKP sebagaimana di maksud dalam pasal 7 ayat (3) undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali di ubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, di ubah sebagai berikut: 1. Rp 12.000.000,00 untuk diri Wajib Pajak 2. Rp 1.200.000,00 tambahan untuk Wajib Pajak yang Kawin 3. Rp 12.000.000,00 tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya di gabung dengan penghasilan suami

21

4. Rp 1.200.000,00 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga Dengan demikian besarnya PTKP menurut status Wajib Pajak OP sebagaimana tercantum dalam daftar di atas harus di sesuaikan kembali.

2.5 2.5.1

Pengertian Zakat Pengertian dan Tujuan zakat Pada dasarnya pembahasan tentang zakat merupakan satu bagian dari pembahasan hukum Islam. Sebagai bagian dari pembahasan hukum, zakat terfokus pada sah atau tidaknya pemungutan dan penyerahan zakat, boleh atau tidaknya pemungutan dan penyerahan zakat, wajib atau tidak wajibnya sesuatu kekayaan di pungut zakatnya dan sebagainya. Menurut Yusuf Qardawi, jira di tinjau dari segi bahasa, kata zakat merupakan kata dasar (masdar) dari “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sedangkan pengertian zakat dari segi istilah fiqih, zakat merupakan sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT yan diserahkan kepada orang-orang yang berhak. Sementara menurut Undangundang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat Pasal 1 ayat (2), zakat di artikan sebagai harta yang wajib yang di sisihkan oleh seorang muslim atau badan yang di miliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk di berikan kepada yang berhak. Dalam pengertian ini

22

mengandung arti bahwa Allah SWT telah di wajibkan zakat atas harta tertentu dengan jumlah tertentu pula untuk di serahkan kepada orang-orang yang juga tertentu. Jadi sumber dana (pengumpulan) dan distribusi / penggunaan dana yang berkaitan dengan kewajiban zakat harus mengikuti ketetentuan syariah yang telah di gariskan dalam Al-Qur’an dan Hadits nabi Muhammad SAW. Kewajiban membayar zakat tercermin dalam surat At-Taubah ayat 103 yang artinya : “ Ambillah zakat dar sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jira bagi mereka”. Ayat ini jelas bersifat imperatif, artinya menyeru para mustahik untuk mengambil sebagian haknya yang kebetulan di titipkan Allah SAW melalui kaum muzakki. Jika di tinjau dari tujuannya, tujuan zakat ini dapat di kelompokkan menjadi tiga jenis yaitu dari pihak yang wajib membayar zakat, pihak yang menerima zakat dan dari kepentingan masyarakat. Menurut Dr. Abdurachman Qadir secara khusus tujuan ini dapat di uraikan sebagai berikut: a.

Menggalang jiwa dan semangat saling menunjang dan solidaritas sosial di kalangan masyarakat Islam.

b.

Mendekatkan jarak dan kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat

c.

Menanggulangi pembiayaan yang mungkin timbul sebagai akibat dari berbagai bencana alam dan gejolak sosial

23

d.

Menyediakan suatu dana yang khusus untuk penanggulangan biaya hidup bagi para gelandangan, pengangguran dan tuna sosial lainnya termasuk dana untuk membantu orang-orang yang hendak menikah tetapi mereka tidak memiliki dananya. Tujuan dari zakat tersebut baru dapat di pahami dan di yakini apabila

di dalam jiwa seseorang telah tumbuh nilai-nilai keimanan, kemanusiaan dan keadilan. Jika pemberi zakat hanya melaksanakan kewajibannya, maka setelah membayar zakat selesai urusannya, tidak ada kepeduliannya tentang bagaimana kelanjutan distribusi dana yang di keluarkan tersebut. Penerima zakat yang hanya menganggap zakat sebagai hak otomatis untuk membiayai hidupnya mungkin tidak akan mendorong untuk mengentaskan diri dari kemiskinan.

2.5.2

Macam-macam zakat Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat pasal 11 ayat (2), maka jenis kepemilikan kekayaan yang harus di zakati adalah sebagai berikut: a. Zakat Emas dan Perak Firman Allah SWT mengatakan :”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS.At-Taubah:34).

24

Seorang muslim yang mempunyai emas dan perak senilai 91,92 gram dan kadar zakat 2,5 tiap tahun. Nisab perak senilai 642 gram dan kadar zakatnya 2,5% tiap tahun. b. Zakat Perdagangan dan Perusahaan. Zakat perdagangan disebutkan dalam ayat : “ Hai orang-orang yang beriman, nafkakanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baikbaik.” (QS. Al-baqarah:267). Apabila nilai dagangan telah mencapai sarga emas 91,92 gram atau harga perak 642 gram, maka wajib dikeluarkan zakatnya 5,5% Sabda Rasullah SAW : “Kain-kain yang disediakan untuk dijual, wajib dikeluarkan zakatnya.” (H.R. Al-Hakim). Dari samurah, “ Rasullah SAW memerintahkan kepada kami mengeluarkan zakat barang yang disediakan untuk dijual.” (H.R. Daruquthni dan Abu Daud). Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan. Bedanya dalam zakat perusahaan bersifat kolektif. Pada prinsipnya, kewajiban zakat hanya berlaku pada harta yang berkembang, emas dan perak jira hanya untuk perhiasan (tidak dikembangkan) maka tidak wajib zakat. Termasuk harta yang berkembang di zaman kita adalah gedung-gedung yang di sewakan dan penanaman modal, perusahaan yang memproduksi barang, mobil dan pesawat yang di sewakan dan lain-lain, termasuk modal yang di kembangkan, sementara itu tidak di landasi dengan dalil tersebut di bawah ini:

25

Allah SWT, berfirman : ‘ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS.At-Taubah :103). Begitu pula Rasullah SAW bersabda : “tunaikanlah zakat hartamu.” (H.R. tarmidzi). Jika perkembangan harta adalah penyebab bagi wajibnya zakat maka berlakulah sebuah qaidah: “Hukum itu bergantung pada “illah”nya atau penyebabnya dalam segi ada dan tidaknya.” Jadi, jika dalam suatu harta ada unsur berkembangnya maka wajib zakat, jika tidak…..ya tidak wajib zakat. Dan harta perusahaan adalah harta yang berkembang, berarti Wajib Zakat. c. Zakat Hasil Pertanian Zakat hasil pertanian adalah zakat yang terkait dengan hasil bumi seperti beras, gandul, jagung dan sebagainya. Seperti disebutkan dalam ayat:”Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berubah dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan di sedekahkan kepada fakir miskin).”(QS. Al-An’am:141). Nisabnya di bagi dua macam yaitu: 1. Apabila tanaman itu hidup dari air hujan / sungai (tanpa biaya pengairan) maka zakatnya 10% dari hasil panen. 2. Jika tanaman itu pengairannya dari membeli, maka zakatnya 5% dari hasil panen. d. Zakat Hasil Pertambangan Zakat hasil pertambangan adalah hasil tambang emas atau perak apabila telah sampai nisabnya wajib dikeluarkan zakatnya pada waktu penambangan dilakukan, tanpa harus dimiliki setahun. Hal ini sama dengan

26

ketentuan zakat hasil tanaman yang mengenyangkan. Sabda Rasullah SAW: “Bahwasannya Rasullah SAW telah mengambil sedekah (zakatnya) dari hasil tambang di negeri Qabaliyah.” (H.R. Daud dan Hakim). e. Zakat Hasil Peternakan. Binatang ternak yang wajib di zakati meliputi unta, sapi, kerbau, dan kambing. Syarat wajib zakat atas pemilik binatang tersebut adalah: 1. Islam 2. Merdeka 3. 100% milik sendiri sampai nisab (batas) nya dan telah dimiliki selama setahun. Di jelaskan dalam Hadist, “Tidaklah wajib zakat pada harta seseorang sebelum satu tahun di mikinya.” (H.R Daruquthni). 4. di gembalakan dirumput tanpa beli. Binatang yang di pakai membajak sawah atau menarik gerobak tidak wajib dikenakan zakat. Ditegaskan oleh Nabi SAW: “Tidaklah ada zakat bagi sapi yang di pakai bekerja.” (H.R Abu Daud dan Daruquthni). Nisab binatang-binatang ternak tersebut sebagai berikut: 1. Unta Setiap 40 ekor unta, Zakat yang harus di bayar adalah 1 ekor anak unta yang berumur 2 tahun lebih. Kemudian setiap 50 ekor anak unta yang berumur 3 tahun lebih. Demikian yang tercantum dalam hadist yang di riwayatkan oleh Bukhari.

27

2. Sapi dan Kerbau. Setiap 30 ekor sapi/kerbau, zakat yang harus di bayar adalah 1 ekor anak sapi / kerbau yang berumur 2 tahun lebih. Kemudian setiap 60 ekor anak sapi / kerbau, zakat harus dibayar adalah 2 ekor anak sapi / kerbau yang berumur 1tahun lebih. 3. Kambing Setiap 100 ekor kambing, zakat yang harus di bayar adalah 1 ekor kambing biasa yang berumur 2 tahun lebih. Demikian hadist yang di riwayatkan oleh Ahmad Bukhori dan Nasai. f. Zakat Hasil Profesi Setiap usaha yang bermodalkan kemampuan ada dua macam: 1. Usaha yang hanya tergantung pada kemampuan diri sendiri, seperti dokter, insinyur, pengacara, pelukis dan lain-lain. 2. Usaha yang erat kaitannya bahkan sangat tergantung kepada pemerintah, perusahaan, atau perorangan. Termasuk kategori ini adalah PNS, pekerja pada perusahaan atau bekerja pada perorangan. Memang tidak ada penjelasan baik Al-Quran dan Al-Hadist tentang harta profesi, mungkin karena kondisi waktu itu setiap kegiatan, baik dalam kepemerintahan maupun swasta, persoalan hasil tidak menjadi tujuan, sehingga kalau tidak semuanya melakukan hal tersebut maka bukan untuk mencari penghasilan. Sementara itu, dari Mazdhab Hambali diperoleh penjelasan bahwa profesi sama dengan kasus menyewakan rumah, sebagaimana disebutkan

28

terdahulu, wajib zakat jika pada sampai nishab. Hanya yang menjadi persoalan, apakah ada persyaratan haul (Waktu setahun)? Menurut sebagian ulama tidak disyaratkan haul. Begitu dia menerima gaji dia wajib zakat, tentunya jika tercapai nishab setelah di potong kebutuhan primer dan hutang. Kesimpulannya tidak ada perbedaan antara pekerjaan profesi dengan pekerjaan menyewakan rumah, mobil, pesawat, dan lain-lain, dimana keduanya satu tujuan yaitu sama-sama ingin memperoleh hasil An-Nama (perkembangan harta), bedanya yang satu modalnya berbentuk benda, sedangkan yang lainnya, modalnya adalah kemampuan SDM. g. Zakat Rikaz (Harta Terpendam) Apabila kita menemukan harta terpendam seperti emas dan perak, maka wajib mengeluarkan zakatnya 1/5 (20%). Dari Abu Hurairahra, telah berkata kepada Rasullah SAW : “zakat rikaz seperlima.” (H.R Bukhari dan muslim). Zakat rikaz tidak di syaratkan harus dimilki lebih dulu selama satu tahun. Selain itu menurut Imam Maliki, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad serta pengikut mereka, bahwa nisab tidak menjadi syarat. Hanya Imam syafi’i yang berpendapat harus mencapai nisabnya.

2.5.3

Penerima Zakat Orang-orang yang berhak memperoleh zakat (para mustahik zakat) telah ditentukan Allah SWT dalam firman-Nya : “sesungguhnya zakat-zakat ini hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat,

29

mu’allaf, budak, orang-orang berhutang, jihad fii sabillah dan ibnu sabil.” (QS. At-Taubah”60). Ayat ini membatasi dan mengkhususkan para mustahik zakat hanya pada delapan golongan (ashnaf) saja. Penjelasan ayat tersebut, menurut Imam Syafi’i adalah sebagai berikut: a. Fakir adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai harta. b. Miskin adalah orang yang memiliki pekerjaan, namun penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan. c. Amil adalah panitia yang menerima dan membagi zakat. d. Muallaf adalah: 1. Orang yang baru masuk Islam karena imannya belum teguh. 2. Orang Islam yang berpengaruh pada kaummya dengan harapan agar orang lain dari kaumnya masuk Islam. 3. Orang Islam yang sedang menolak kejahatan dari orang-orang yang anti zakat. e. Riqab adalah budak yang ingin memerdekakan diri dengan membayar uang tebusan. f. Gharimin adalah orang yang banyak hutang, baik untuk diri sendiri maupun untuk mendamaikan orang yang berselisih maupun untuk menjamin hutang orang lain. g. Sabillah adalah untuk kepentingan agama h. Ibnu Sabil adalah musafir yang kehabisan bekal.

30

2.6

Sejarah Pengelolaan Zakat, Infak dan Shadaqah di Indonesia Berikut ini sekilas sejarah perjalanan umat Islam dan pemerintah dalam upaya pengembangan, pengelolaan, dan pemberdayaan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS) di Indonesia menurut Departemen Agama RI Bagian Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf (2002:284), Yaitu : 1. Pada zaman penjajahan Belanda, agama (termasuk masalah zakat), diatur dalam Ordanantie pemerintah Hindia Belanda Nomor 6200 tanggal 28 februari 1905. Dalam pengaturan ini pada dasarnya pemerintah tidak mencampuri bahkan menyerahkan kepada umat Islam dan bentuk pelaksanannya sesuai ajaran Islam. 2. Hampir dalam pola yang sama, pada tanggal 8 Desember 1951, Kementrian Agama mengeluarkan surat edaran tentang pelaksanaan zakat fitrah Nomor A/VII/1367 yang isinya antara lain:”Kementrian Agama dengan zakat fitrah ini tidak mencapuri dalam soal pemungutan dan atau pembagiannya”.Pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama hanya: a. Menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya. b. Melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagian dari hasil pungutan tadi berlangsung menurut hukum agama. 3. Pada tahun 1964, Kementrian Agama menyusun RUU tentang pelaksanaan zakat dan RPPPUU (Rencana Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) tentang pelaksanaan pengumpulan dan

31

pembagian serta pembentukan Baitul Maal. Akan tetapi waktu itu RUU belum sempat di ajukan kepada DPR dan RPPPUU belum di ajukan kepada presiden. 4. Pada tahun 1967 disusun pula RUU tentang zakat yang di ajukan kepada pimpinan DPRGR dengan surat Menteri Agama Nomor MA/095/1967 tanggal 5 juli 1967. Dalam Surat Menteri Agama antara lain disebutkan: “Mengenai rancangan undang-undang zakat pada prinsipnya, oleh karena materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi agama Islam, maka di atur ataupun tidak diatur dengan undang-undang, ketentuan hukum Islam tersebut harus berlaku bagi umat Islam, dalam hal mana pemerintah wajib membantunya. Namun demikian pemerintah berkewajiban moril untuk meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya di atur dalam undang-undang.” 5

Sementara itu Menteri Agama juga mengirimkan RUU tentang zakat tersebut kepada Menteri Sosial dan Menteri Keuangan, dengan surat Nomor MA/099/67 tanggal 14 juli 1967. Menteri Social diharapkan memberikan

saran

dan

tanggapan,

karena

itu

menurut

hukum

penggunaanya juga untuk kepentingan dan tujuan social. Dan hal yang sama juga di harapkan kepada Menteri Keuangan karena Departemen Keuangan mempunyai pengalaman dan wewenang dalam bidang pemungutan. Menteri Keuangan menjawab dengan surat Nomor D.15-1-525, agar masalah zakat ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama.

32

6. Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional. Pada tahun yang sama dikeluarkan PMA Nomor 5 Tahun 1968 tentang ini berstatus Yayasan dan bersifat semi resmi. PMA Nomor 4 Tahun 1968 dan PMA Nomor 5 Tahun 1968 mempunyai kaitan yang sangat erat. Baitul Maal itulah yang menampung dan menerima zakat yang di setorkan oleh Badan Amil Zakat seperti di maksud dalam PMA Nomor 4 Tahun 1968. 7. Belum berselang lama pelaksanaan PMA Nomor 4 Tahun 1968 dan PMA Nomor 5 tahun 1968 tersebut di atas, keluarlah anjuran presiden dalam peringatan Isra’ dan Mi’raj tanggal 26 oktober 1968 di Istana Negara tentang Pelaksanaan Zakat. Selanjutnya di ikuti dengan Surat Perintah Presiden RI Nomor 07/PRIN/10/1968 tanggal 31 oktober 1968, dan penugasan seruan kepada Mayjen TNI Alamsyah Ratuprawiranegara, Kol. H.Drs.Azwar Hamid dan Kol. Ali Affandi untuk membantu dalam pelaksanaan seruan Presiden pada peringatan Isra’ dan Mi’raj tersebut. Seruan dan dorongan Presiden tentang zakat kembali di kumandangkan dalam sambutan beliau pada salta Idul Fitri 21 Desember 1968 di halaman Istana Negara. 8.

Sehubungan dengan anjuran dan surat perintah tersebut maka dengan instruksi Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1969 di tetapkan penundaan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama Nomor 4 dan 5 Tahun 1968.

9. Pada 21 Mei 1969 keluarlah Keppres Nomor 44 Tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Zakat yang diketuai oleh Menko Kesra

33

K.H. Idham Chalid. Dengan seruan / edaran Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1969, di serukan agar mengirimkan hasil pengumpulan uang zakat kepada Jenderal Soeharto Presiden RI melalui rekening Giro Pos Nomor A.10.00. 10. Pada tanggal 17 Februari 1982, dengan Akte Notaris Nomor 29 lahirlah Badan yang bernama Yayasan Amal Muslim Pancasila yang diketuai oleh Bapak Soeharto, selaku pribadi. Anggaran dasar Yayasan ini tercantum dalam lembaga Berita Negara RI tanggal 26 Februari 1982, Nomor 17. Diantara dana Yayasan ini di peroleh dari sumbanngan sukarela anggota KORPRI. Berdasarkan Keputusan KORPRI Nomor Kep.04/Raker/1982 tangggal 27 November 1982, jumlah sumbangan sebesar: a. Golongan IV sebesar Rp 1.000,00 / anggota per bulan b. Golongan III sebesar Rp 500,00 / anggota per bulan c. Golongan II sebesar Rp 100,00 / anggota per bulan d. Golongan I sebesar Rp 50,00 / anggota per bulan. 11. Pada tahun 1984, telah pula dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2/19884 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq seribu Rupiah yang diadakan khusus selama bulan Ramadhan. Pelaksanaannya di atur dalam keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Sedangkan penggunaannya diatur dalam Radiogram Menteri Agama Nomor 16/1986 tanggal 13 Juni 1986. 12. Pada tanggal 12 Desember 1989 telah di keluarkan Intruksi Menteri Agama Nomor 16/1989, tentang Pembinaan Zakat, Infak dan Shadaqah,

34

Instruksi Menteri Agama tersebut menetapkan semua jajaran Departemen Agama (Kanwil, Kandepag dan KUA Kecamatan) membantu lembagalembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan zakat, infak dan shadaqah agar menggunakan uang hasil pengelolaannya untuk kegiatan pendidikan Islam dan lain-lain. 13. Pada tahun 1991 juga telah di keluarkan Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI Nomor 29 dan 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah. Keputusan Bersama tersebut di tindak lanjuti dengan Instruksi Menteri Agama RI Nomor 5 Tahun 1991 tentang pedoman Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqah di samping itu juga ada Instruksi Menteri Dalam Negeri RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infak, dan Shadaqah. 14. Yang terakhir maka sebagai penyempurnaan dan peningkatan pengelolaan zakat, maka pada tahun 1999 telah disahkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat. Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang tersebut Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan sebagai petunjuk teknis telah dikeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan haji Nomor D/291 Tahun 2000, tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Di samping itu juga telah di keluarkan Undang-undang nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-undang

35

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang diantaranya mengatur tentang pembayaran zakat yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak. Menurut Budiman (SIMPONAS I : Sistem ekonomi Islam : P3EIFEUI: yogyakarta : 13-14 Maret 2002): Pada awalnya sebelum Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan dana ZIS di Indonesia dilakukan oleh Badan Amil Zakat Infak dan Shadaqah ( BAZIS). Badan tersebut merupakan suatu lembaga semi pemerintah dalam lingkungan pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta yang bertugas melaksanakan pengumpulan dan pembagian zakat berdasarkan syariat Islam. BAZIS di dirikan oleh pemerintah DKI Jakarta pada tanggal 5 Desember 1968 dengan surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor Cb-14/8/18/68. Badan ini dibentuk berdasarkan syariat Islam dan beroperasi dalam wilayah DKI Jakarta. BAZIS di mulai dari tingkat daerah/propinsi, wilayah kabupaten/kotamadya, kecamatan, sampai ke kelurahan. Tugas pokok badan ini adalah melaksanakan pembagian bagi yang berhak menerima zakat tersebut diikuti oleh daerah yang lain termasuk oleh daerah Jawa Barat pada tahun 1974. Setelah Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat lahir yang diikuti dengan keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan zakat, Presiden RI Ibu Hj. Megawati Soekarnoputri meresmikan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) pada awal Desember

36

2001 atau bertepatan dengan peringatan Nuzulul Qur’an pada 17 Ramadhan 1422 H. BAZNAS dibentuk berdasarkan SK Presiden Nomor 8 Tahun 2001, yang terdiri dari dewan pertimbangan, komisi pengawas dan badan pelaksana. Dari hasil survei yang dilakukan oleh TIM PIRAC (Publik Interest Research and Advocacy Center) terhadap 1837 responden yang beragama Islam di 11 koa besar di Indonesia pada tahun 2000 yang meliputi Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, Padang, Denpasar, Manado, Makassar, Pontianak dan Balikpapan, menunjukkan bahwa tingkat zakat masyarakat yang disurvei menunjukkan angka yang tinggi sebagai

muzakki,

dengan

rata-rata

nilai

94% menyatakan dirinya zakat

sebesar

Rp

124.200,00/muzakki/tahun, dengan nilai berkisar antara Rp 44.000,00/Rp 339.000,00/tahun. Untuk mengoptimalkan potensi dana ZIS di Indonesia, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang terdiri dari: 1. Undang-undang Dasar 1945, pasal 29. 2. Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. 3. Undang-undang RI No 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga Undangundang No 7 Tahun 1983 tentang pajak Penghasilan 4. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999 tentang pelaksanaan Undang-undang No 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat yang telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003.

37

5. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000 tentang pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Untuk mengakomodasi umat Islam yang membayar zakat dan pajak.

2.7

Bentuk Kelembagaan Pengelolaan Zakat di Indonesia Keberadaan organisasi pengelola zakat di Indonesia diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, Keputusan Menteri Agama Nomor 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU Nomor 38 Tahun 1999 dan keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Dalam UU Nomor 38 Tahun 1999 bahwa dalam pengurusan pengelolaan untuk penerimaan, pengumpulan, penyaluran dan pemanfaatan zakat secara berdaya guna dan berhasil guna dilakukan oleh para Badan Amil Zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Menurut Hafidhuddin (2002 : 127), seseorang yang di tunjuk sebagai amil zakat atau pengelolaan zakat, harus memilki beberapa persyaratan sebagai berikut: 1. Beragama Islam 2. Mukallaf yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap menerima tanggung jawab mengurus urusan umat. 3. Memiliki sifat amanah dan jujur

38

4. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat kepada masyarakat. 5. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. 6. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Di Indonesia berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581 Tahun 1999, Lembaga amil zakat harus memiliki persyaratan teknis, antara lain (Hafidhuddin:2002:130): a. Berbadan Hukum b. Memiliki data muzakki dan mustahik c. Memiliki program kerja yang jelas d. Memiliki pembukuan yang baik e. Melampirkan surat Pernyataan bersedia diaudit Berikut ini penjelasan mengenai lembaga pengelola zakat di Indonesia menurut Departemen Agama RI Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf (2003:15): 1. Badan Amil Zakat. Badan Amil Zakat (BAZ) adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan Zakat sesuai dengan ketentuan agama. BAZ yang dibentuk di daerah disebut Badan Amil Zakat Daerah disingkat BAZDA yang terdiri dari BAZDA Kabupaten/Kota dan BAZDA Kecamatan.

39

a. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Badan amil Zakat Nasional berkedudukan di Jakarta sebagai ibukota negara. Pengurus BAZNAS diangkat dengan Keputusan Presiden atas usul Menteri Agama. Kepengurusan BAZNAS terdiri atas Dewan Pertimbangan dan Komisi Pengawas yang masing-masing terdiri dari seorang ketua, seorang wakil ketua, seorang sekretaris, seorang wakil sekretaris dan sebanyakbanyaknya sepuluh orang anggota. Badan pelaksana terdiri dari seorang ketua, dua orang wakil ketua, seorang sekretaris, dua orang sekretaris, seorang bendahara dan seorang wakil bendahara, serta dilengkapi Divisi Pengumpulan, Divisi Pendayagunaan dan Divisi Pengembangan. Dalam melaksanakan program dan kegiatannya, BAZNAS dipandu oleh visi dan misi yang dibuatnya. Visi yang hendak dicapai BAZNAS adalah: 1. Menjadi lembaga pengumpul dan penyalur zakat yang dapat membantu membangkitkan ekonomi umat. 2. Mengangkat harkat umat Islam untuk senantiasa membayar zakat secara benar guna mensucikan hartanya. 3. Mengangkat derajat kaum miskin untuk segera terlepas dari kesulitan hidupnya. Misi yang akan diemban BAZNAS adalah: 1. Meningkatkan pengumpulan dana 2. Mendistribusikan dana secara merata dan profesional 3. Memudahkan pelayanan pembayaran dan penyaluran 4. Memperkenalkan pegelolaan zakat dengan teknologi modern

40

5. Mengembangkan manajemen modern dalam pengelolaan zakat 6. Merubah mustahik menjadi muzakki BAZNAS melakukan pengumpulan zakat melalui: 1. Instansi Pemerintah Tingkat Pusat yaitu di Kantor Pusat departemen dan Kementrian Negara. 2. Kantor Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yaitu di kedutaan Besar dan konsulat Jenderal Republik Indonesia di mancanegara. 3. Kantor Pusat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jakarta 4. Perusahaan Swasta Nasional dan Perusahaan Asing milik orang muslim berskala nasional yang beroperasi diJakarta dan berada dibawah koordinasi Kamar Dagang dan Industri. Selain itu BAZNAS juga menerima zakat dari para muzakki yang tidak menyalurkan zakatnya melalui Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) tertentu, Muzakki tersebut dapat melakukan penyetoran dana zakatnya langsung kerekening BAZNAS atau langsung mendatangi counter BAZNAS dengan menggunakan Bukti Setoran Zakat (BSZ) yang telah di siapkan oleh BAZNAS. Dalam pelaksanaan distribusi dana ZIS, BAZNAS memprioritaskan pada kebutuhan mustahik di wilayah kerja UPZ yang melakukan penyetoran, Bersifat hibah atau pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan umat BAZNAS juga dapat menyalurkan dana ZIS ke seluruh tanah air dengan memperhatikan kondisi dan tuntunan keadaan setempat. Untuk itu BAZNAS

41

melaksanakan Kerjasama Operasional (KSO) dengan berbagai lembaga pengelola zakat di tanah air. b. Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) dibentuk setiap propinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Pengurus BAZDA provinsi diangkat dengan surat Keputusan Gubernur atas usul Kepala Kantor Wilayah Departemen

Agama

Setempat.

Pengangkatan

pengurus

BAZDA

kabupaten/kota dengan Surat Keputusan Camat atas usul Kepala Kantor Urusan Agama setempat. Dalam Silahturahmi dan Rakornas tersebut telah diberikan arahan-arahan tentang pelaksanaan tugas pengelolaan Zakat di daerah, antara lain oleh Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sosial dan Menteri Agama. Dalam hal penyaluran dan pendayahgunaan zakat, BAZDA menyalurkan dana ZIS ke seluruh daerah yang bersangkutan disesuaikan dengan kondisi lokasi sasaran. Penyaluran di lakukan dengan mendahulukan mustahik di daerah lain jika BAZDA tertentu memperoleh dana zakat berlebih dan ada mustahik didaerah lain yang sangat mendesak untuk dibantu karena terjadi keadaan darurat seperti bencana alam, pengungsian akibat konflik atau rawan pangan dengan berkoordinasi dengan BAZNAS dan BAZDA setempat.

2. Lembaga Amil Zakat

42

Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya di bentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dlindungi oleh pemerintah. Kegiatan LAZ mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan dana zakat dari masyarakat. LAZ selain berkedudukan di tingkat pusat, juga ada yang berkedudukan di tingkat provinsi. LAZ Tingkat pusat dibentuk oleh Ormas Islam Yayasan atau lembaga Swadaya Masyarakat yang bertaraf nasional dan beroperasi secara nasional, dikukuhkan oleh Gubernur Propinsi setempat. LAZ yang telah dikukuhkan memiliki kewajiban sebagai baerikut: a. Segera melakukan kegiatan sesuai dengan program kerja yang telah dibuat b. Menyusun laporan temasuk laporan keuangan c. Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa. d. Menyerahkan laporan kepada pemerintah. Setiap

LAZ

dapat

melaksanakan

penyaluran

ZIS

yang

dikumpulkannya kepada mustahik yang menjadi sasaran pembinaan dari organisasi atau institusi yang membentuk LAZ tersebut dan tidak terikat pada wilayah tertentu, tetapi dapat juga menyalurkan dana ZIS kepada mustahik di luar sasaran pembinaan terutama dalam keadaan darurat seperti apabila terjadi bencana alam, bancana kebakaran, pengungsian, keadaan rawan pangan dan sebagainya.

43

Dalam melaksanakan kegiatannya, LAZ bersifat otonom dan independent, namun di harapkan dapat berkoordinasi dengan pemerintah dan sesama LAZ lainnya, terutama yang berada di wilayah yang sama agar terjadi sinergisme dalam penyaluran ZIS dalam upaya perbaikan ekonomi, pemerataan kesejahteraan dan pemberdayaan umat. LAZ yang telah beroperasi dan telah dikukuhkan Pemerintah sebanyak 14 lembaga yang dapat dijadikan contoh dalam pendirian dan pengelolaan lembaga amil zakat karena umumnya telah memiliki visi, misi dan program kerja. Berikut ini tabel yang mengambarkan perkembangan LAZIS sejak pertengahan 1990-an, yaitu terbukti mampu menggalang dana ZIS secara baik antara Rp 2,5-Rp 15 miliar/tahun: Tabel 2.1 Perolehan Dana ZIS Lembaga Amil Zakat Institusi 1. Yayasan Dompet Dhuafa Rebublika 2. Yayasan Dana Sosial Al-Falah 3. Yayasan Daarut Tauhid 4. Dompet Sosial Umul Qura 5. Pos Keadilan Peduli Ummat 6. Baitul Maal Muamalat Total

Nilai (Rp) / Tahun 15 miliar 3,5 miliar 4,5 miliar 2,5 miliar 3 miliar 4,2 miliar 31,7 miliar

Sumber : Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC),2002.

2.8

Kerangka Pemikiran Untuk dapat mempermudah penulis dalam melakukan penelitian, maka pada gambar 2.10 berikut ini adalah kerangka pemikiran skripsi yang menggambarkan permasalahan penelitian pada Lembaga Amil Zakat Nasional

44

Pos Keadilan Peduli Ummat (LAZNAS PKPU) hingga proses pemecahannya penelitian ini menggunakan metode deskriptif.

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Lembaga Amil Zakat

Bukti Setor Zakat (BSZ)

Undang-Undang Nomor 38 tentang Pengelolaan Zakat

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan

Pengelolaan Zakat

Perhitungan Zakat yang Dapat mengurangi Penghasilan Kena Pajak

Sistem Pengelolaan Zakat dan Perpajakan

45

Related Documents