PENERAPAN KONSEP MODEL KEPERAWATAN JIWA: TERAPI SUPORTIF DALAM PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN JIWA MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Keperawatan Jiwa yang dibimbing Bapak Eddy Sudjarwo dan Ibu Dyah Widodo
Oleh Kelompok 7 Yolanda Fany Z. J.
(1601100045)
Eka Kartika Astri H.
(1601100046)
Ahmad Arif Fahruddin
(1601100050)
Nanda Eka Retnani
(1601100051)
Azizati Jamilah
(16011000
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG JURUSAN KEPERAWATAN Februari 2018
2
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya atas selesainya makalah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa yang berjudul Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. 2. 3. Pihak yang membantu Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak diharapkan untuk kesempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semua pihak.
Malang , Februari 2018
Penulis
3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Salah satu jenis gangguan jiwa berat adalah skizofernia. Skizofernia merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk fungsi berpikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku yang dapat diterima secara rasional (Stuart & Laraia, 2005 dalam Anjas, 2011). Gejala skizofernia dibagi dalam kategori utama : gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif sering tampak di awal dan terdiri dari waham, halusinasi, dan perilaku aneh.Sedangkan, gejala negatif skizofernia meliputi afek tumpul dan datar, menarik diri dari masyarakat, tidak ada kontak mata, tidak
mampu
berhubungan
dengan
orang
lain.
Gejala
negatif
ini
menyebabkan klien mengaami angguan fungsi sosial dan isolasi sosial (Videbeck, 2008 dalam Anjas, 2011). Kesehatan jiwa masih menjadi salah satu permasalahan kesehatan yang signifikan di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut data WHO (2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia. Di Indonesia, dengan
berbagai
faktor
biologis,
psikologis
dan
sosial
dengan
keanekaragaman penduduk; maka jumlah kasus gangguan jiwa terus bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan produktivitas manusia untuk jangka panjang (Kemenkes RI, 2016). Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk (Kemenkes RI, 2016).
4
Dapat dilihat dari prevalensi tersebut, maka ada beberapa faktor penyebab gangguan jiwa khususnya skizofernia yaitu meliputi faktor genetic atau keturunan, lingkungan seperti stress akibat tekanan yang disebabkan oleh lingkungan, psikologis seperti ketidakmampuan dalam pemecahan masalah secara internal dan supranatural seperti kerasukan jin atau belajar ilmu-ilmu ghaib (Iin, 2016). Dari gejala negatif pada penderita skizofernia salah satunya merupakan isolasi sosial yang merupakan salah satu cara untuk menghindar dari orang lain agar pengalaman yang tidak menyenangkan dalam berhubungan dengan orang lain tidak terulang lagi. Klien mengalami isolasi sosial sebesar 72% dari kasus skizofernia, hal ini dapat disimpulkan bahwa 72 % klien mengalami masalah isolasi sosial sebagai akibat dari kerusakam kognitif dan afektif (Maramis, 2006 dalam Anjas, 2011) Klien dengan masalah isolasi sosial mengalami penurunan fungsi kognitif, sehingga disamping program ketrampilan sosial yang dilatih pada klien, klien juga membutuhkan suport sistem baik dari dalam maupun dari luar keluarga. Peran keluarga tidak dapat dipisahkan dalam perawatan pada klien dengan masalah isolasi sosial. Penanganan utama kasus isolasi sosial adalah psikofarmakologi. Antipsikotik dapat menyembuhkan pasien skizofernia, namun beberapa klien lainnya mengalami kekambuhan dan memiliki gejala negatif yang menetap sehingga perlu upaya untuk mengatasinya. Dengan demikian maka untuk mencegah kekambuhan dan meningkatkan fungsi kemampuan yang dimiliki oleh klien tidak cukup hanya pemberian antipsikotik saja, namun diperlukan terapi lain yang mendukung tingkat kesembuhan klien. Salah satu terapi yang bisa diberikan adalah terapi suportif yang dikembangkan
oleh
Lawrence
Rockland
(1989)
dengan
istilah
Psychodynamically Oriented Psychotherapy (POST), namun adapula istilah lain yang diperkenalkan yaitu Supportive Analytic Therapy (SAT) (Rockland, 1989 dalam Anjas, 2011). Penelitian tentang pengaruh terapi suportif terhadap klien Schizophrenia dilakukan Klingberg dkk, (2010) diungkapkan dalam penelitiannya bahwa terapi suportif digunakan sebagai terapi
5
pendukung agar dapat mengendalikan elemen-elemen non spesifik dari kontak terapi. Hasil psikoterapi secara umumnya terdiri atas dampak-dampak spesifik dan non spesifik. Dampak non spesifik adalah dukungan emosional, perhatian terapis, pendengar yang empati, optimasi aplikasi dan hasil lain yang terkait dengan setiap keberhasilan hubungan interpersonal yang terapeutik (Anjas, 2011).
1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep teori konsep model keperawatan jiwa terapi suportif? 2. Bagaimana aplikasi penerapan konsep model terapi suportif keperawatan jiwa dalam pelaksanaan asuhan keperawatan jiwa? 3. Bagaimana kelebihan dan kelemahan konsep model terapi suportif
keperawatan
jiwa
dalam
pelaksanaan
asuhan
keperawatan jiwa?
1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui konsep teori konsep model keperawatan jiwa terapi suportif. 2. Untuk mengetahui aplikasi penerapan konsep model terapi suportif
keperawatan
jiwa
dalam
pelaksanaan
asuhan
keperawatan jiwa. 3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan konsep model terapi suportif
keperawatan
keperawatan jiwa.
jiwa
dalam
pelaksanaan
asuhan