Ba53476f-3d3e-4d0a-847c-e0715a0d91b4

  • Uploaded by: Lyke Bem Neni
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ba53476f-3d3e-4d0a-847c-e0715a0d91b4 as PDF for free.

More details

  • Words: 927
  • Pages: 3
Konsep Berduka (Grieving) Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran. Respons klien selama fase berduka meliputi : 1.

Perilaku bersedih,(Breavent) yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat menimbulkan masalah kesehatan. 2. Berkabung,(Mourning) yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan kebiasaan. NANDA merumuskan dua tipe dari berduka yaitu, Berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan yang actual ataupun yang dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek dan ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, kesalahan atau kekacauan.

1. 2. 3. 4.

Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas berduka yang memudahkan penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan. Herper (1987) merancang tugas dalam akronim “TEAR” sebagai berikut : T- untuk menerima realita dari kehilangan. E- mengalami kepedihan akibat kehilangan A- menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang hilang. R- memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang baru. Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi prioritas. Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang menjadi prioritas.

Engel’s Theori Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. a) Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas atau pergi tanpa tujuan. Mencoba untu membutakan perasaan, mungkin karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan. Biasanya seseorang dapat menerima secara intelektual, tetapi menolak secara emosional. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias istirahat, insomnia, dan kelelahan. b) Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan kehilangan secara nyata/actual dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan

c)

d)

e)

bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah sakit, perawat, dan lain-lain. Menyalahkan diri sendiri dan menangis adalah cara yang tipikal sebagai individu yang terikat dengan kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu regresi yang tidak tertolong atau seperti seorang anak. Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan keinginannya untuk menghargai akan seseorang yang meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung, misalnya pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai dengan perasaan yang hampa atau kosong, karena kehilangan. Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang ynag bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak memiliki harapan dimasa yang akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negative dan permusuhan terhadap almarhum. Bias merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya perhatiannya dan perilakunya yang tidak mengenakkan dimasa lalu terhadap almarhum. Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui atau disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau depresi tidak lagi diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada seseorang, yang mulai mengatur kehidupannya kembali dengan meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke yang lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual. Kesadaran baru telah berkembang. Fase berduka menurut Martocchio (1985) Meskipun proses kesedihan memiliki rangkaian yang dapat diprediksi dan mempunyai gejala-gejala yang khusus, tidak ada dua orang yang mengalami kemajuan melaluinya dalam jangka waktu yang sama dan metode yang sama. Seseorang mengalami kemajuan kemudian kemunduran sampai akhirnya kehilangan itu terselesaikan kembali.Martocchio (1985). Menggambarkan 5 phase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan. Durasi kesedihan berfariasi dan bergantung pada factor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus-menerus dari kesedihan biasanya reda dalam waktu 6-16 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3 hingga 5 tahun.sering dikatakan “sekali berduka, selamanya berduka” masih dianggap benar.Untuk mengharapkan klien untuk bias membuat kemajuan waktu yang ditetapkan adalah salah, tidak tepat dan mungkin membahayakan.

Teori Rando Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori: 1. Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya) 2. Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut. 3. Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.

Duka Cita yang Tidak Teratasi 1. Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri yang rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol. 2. Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan panic, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus- karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang bermakna. 3. Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses duka cita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis pimer.

Pustaka 1.Potter.Perry ; Fundamental of nursing, Edisi 7 ;

More Documents from "Lyke Bem Neni"