Artikel Mbak Dyas

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Mbak Dyas as PDF for free.

More details

  • Words: 3,750
  • Pages: 10
FENOMENA FISIKA Informasi Pendidikan & Sains Terkini « Fakta Keberadaan UFO KETERAMPILAN GENERIK SAINS »

Misteri Segi Tiga Bermuda Bagi Anda yang gemar kisah misteri, pasti mengenal Segitiga Bermuda, wilayah laut di selatan Amerika Serikat dengan titik sudut Miami (di Florida), Puerto Rico (Jamaica), dan Bermuda ini, telah berabad-abad menyimpan kisah yang tak terpecahkan. Misteri demi misteri bahkan telah dicatat oleh pengelana samudera macam Christopher Columbus. Sekitar 1492, ketika dirinya akan mengakhiri perjalanan jauhnya menuju dunia barunya, Amerika, Columbus sempat menyaksikan fenomena aneh di wilayah ini. Di tengah suasana laut yang terasa aneh, jarum kompas di kapalnya beberapa kali berubah-ubah. Padahal cuaca saat itu begitu baik. Lebih dari itu, tak jauh dari kapal, pada suatu malam tiba-tiba para awaknya dikejutkan dengan munculnya bola-bola api yang terjun begitu saja ke dalam laut. Mereka juga menyaksikan lintasan cahaya dari arah ufuk yang kemudian menghilang begitu saja. Begitulah Segitiga Bermuda. Di wilayah ini, indera keenam memang seperti dihantui “suasana” yang tak biasa. Namun begitu rombongan Columbus masih terbilang beruntung, karena hanya disuguhi “pertunjukkan”. Lain dengan pelintas-pelintas yang lain. Menurut catatan kebaharian, peristiwa terbesar yang pernah terjadi di wilayah ini adalah lenyapnya sebuah kapal berbendera Inggris, Atalanta, pada 1880. Tanpa jejak secuilpun, kapal yang ditumpangi tiga ratus kadet dan perwira AL Inggris itu raib di sana. Selain Atalanta, Segitiga Bermuda juga telah menelan ratusan kapal lainnya. Di lain kisah, Segitiga Bermuda juga telah membungkam puluhan pesawat yang melintasinya. Peristiwa terbesar yang kemudian terkuak sekitar 1990 lalu adalah raibnya iring-iringan lima Grumman TBF Avenger AL AS yang tengah berpatroli melintas wilayah laut ini pada siang hari 5 Desember 1945. Setelah sekitar dua jam penerbangan komandan penerbangan melapor, bahwa dirinya dan anak buahnya seperti mengalami disorientasi. Beberapa menit kemudian kelima TBF Avenger ini pun raib tanpa sempat memberi sinyal SOS. Anehnya, misteri Avenger tak berujung di situ saja. Ketika sebuah pesawat SAR jenis Martin PBM-3 Mariner dikirim mencarinya, pesawat amfibi gembrot dengan tigabelas awak ini pun ikut-ikutan lenyap. Hilang bak ditelan udara. Keesokan harinya ketika wilayah-wilayah laut yang diduga menjadi tempat kecelakaan keenam pesawat disapu enam pesawat penyelamat pantai dengan 27 awak, tak satu pun serpihan pesawat ditemukan. Ajaib. Tahun demi tahun berlalu. Sekitar 1990, tanpa dinyana seorang peneliti berhasil menemukan onggokan kerangka pesawat di lepas pantai Fort Launderdale, Florida. Betapa terkejutnya orang-orang yang menyaksikan. Karena, ketika dicocok kan, onggokan metal itu ternyata bagian dari kelima TBF Avenger. Hilangnya C-119 Kisah ajaib lainnya adalah

hilangnya pesawat transpor C-119 Flying Boxcar pada 7 Juni 1965. Pesawat tambun mesin ganda milik AU AS bermuatan kargo ini, hari itu pukul 7.47 lepas landas dari Lanud Homestead. Pesawat dengan 10 awak ini terbang menuju Lapangan Terbang Grand Turk, Bahama, dan diharapkan mendarat pukul 11.23. Pesawat ini sebenarnya hampir menuntaskan perjalanannya. Hal ini diketahui dari kontak radio yang masih terdengar hingga pukul 11. Sesungguhnya memang tak ada yang mencurigakan. Kerusakan teknis juga tak pernah dilaporkan. Tetapi Boxcar tak pernah sampai tujuan. “Dalam kontak radio terakhir tak ada indikasi apa-apa bahwa pesawat tengah mengalami masalah. Namun setelah itu kami kehilangan jejaknya,” begitu ungkap juru bicara Penyelamat Pantai Miami. “Besar kemungkinan pesawat mengalami masalah kendali arah (steering trouble) hingga nyasar ke lain arah,” tambahnya. Seketika itu pula tim SAR terbang menyapu wilayah seluas 100.000 mil persegi yang diduga menjadi tempat kandasnya C-119. Namun hasilnya benar-benar nihil. Sama seperti hilangnya pesawat-pesawat lainnya di wilayah ini, tak satu pun serpihan pesawat atau tubuh manusia ditemukan. “Benar-benar aneh. Sebuah pesawat terbang ke arah selatan Bahama dan hilang begitu saja tanpa jejak,” demikian komentar seorang veteran penerbang Perang Dunia II. Seseorang dari Tim SAR mengatakan, kemungkinan pesawat jatuh di antara Pulau Crooked dan Grand Turk. Bisa karena masalah struktur, ledakan, atau kerusakan mesin. Kalau memang pesawat meledak, kontak radio memang pasti tak akan pernah terjadi, tetapi seharusnya kami bisa menemukan serpihan pecahannya. Begitu pula jika pesawat mengalami kerusakan, mestinya sang pilot bisa melakukan ditching (pendaratan darurat di atas air). Pasalnya, cuaca saat itu dalam keadaan baik. Dalam arti langit cerah, ombak hanya sekitar satu meter, dan angin hanya 15 knot. Analisis selanjutnya memang mengembang kemana-mana. Namun tetap tidak menghasilkan apa-apa. Kasus C-119 Flying Boxcar pun terpendam begitu saja, sampai akhirnya pada tahun 1973 terbit artikel dari International UFO Bureau yang mengingatkan kembali sejumlah orang pada kasus ajaib tersebut. Dalam artikel ini dimuat kesaksian astronot Gemini IV, James McDivitt dan Edward H. White II, yang justru membuat runyam masalah. Rupanya pada saat-saat di sekitar raibnya C-119, dia kebetulan tengah mengamati wilayah di sekitar Karibia. Gemini kebetulan memang sedang mengawang-awang di sana. Menurut catatan NASA, pada 3 sampai 7 Juni 1965 keduanya tengah melakukan eksperimen jalan-jalan ke luar kapsul Gemini dengan perlengkapan yang dirahasiakan. Menurut Divitt, dia melihat sebuah pesawat tak dikenal (UFO) dengan semacam lengan mekanik kedapatan sedang meluncur di atas Karibia. Beberapa menit kemudian Ed White pun menyaksikan obyek lainnya yang serupa. Sejak itulah lalu merebak isu, C-119 diculik UFO. Para ilmuwan pun segera tertarik menguji kesaksian ini. Tak mau percaya begitu saja, mereka mengkonfirmasi obyek yang dilihat kedua astronot dengan satelit-satelit yang ada disekitar Gemini IV. Boleh jadi “kan yang mereka salah lihat ? Maklum saat itu (hingga kini pun), banyak pihak masih menilai sektis terhadap kehadiran UFO. Ketika itu kepada kedua astronot disodori gambar Pegasus 2, satelit raksasa yang memang memiliki antene mirip lengan sepanjang 32 meter dan sejumlah sampah satelit yang ada di sekitar itu. Namun baik dari bentuk dan jarak, mereka menyanggah jika telah salah lihat.

“Sekali lagi saya tegaskan, dengan menyebut UFO “kan tak berarti saya menunjuk pesawat ruang angkasa dari planet lain. Pengertian UFO sangat universal. Bahwa jika saya melihat pesawat yang menurut penilaian saya tak saya kenal, tidakkah layak jika saya menyebutnya sebagai UFO?” sergah Divitt. Begitulah kasus C-119 Flying Boxcar yang tak pernah terpecahkan hingga kini. Diantara kapal atau pesawat yang raib di wilayah Segitiga Bermuda kisahnya memang senantiasa sama. Terjadi ketika cuaca sedang baik, tak ada masalah teknis, kontak radio berjalan biasa, tetapi si pelintas tiba-tiba menghilang begitu saja. Tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Banyak teori kemudian dihubung-hubungkan dengan segala kejadian di sana. Ada yang menyebut teori pelengkungan waktu, medan gravitasi terbalik, abrasi atmosfer, dan ada juga teori anomali magnetik-gravitasi. Selain itu ada juga yang mengaitkannya dengan fenomena gampa laut, serangan gelombang tidal, hingga lubang hitam (black-hole) yang hanya terjadi di angkasa luar sana. Aneh-aneh memang analisanya, namun tetap saja tak ada satu pun yang bisa menjelaskannya. Masukan ini dipos pada 12 November 2009 18:00 dan disimpan pada Artikel Sains . Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Baik komentar maupun ping saat ini ditutup.

http://fisika21.wordpress.com/2009/11/12/misteri-segi-tiga-bermuda/#more-334

FENOMENA FISIKA Informasi Pendidikan & Sains Terkini « PLANET NIBIRU : Penyebab Kiamat 2012? SKENARIO AKHIR ALAM SEMESTA »

BLACK HOLE : Adakah White Hole? Karl Gebhardt dari Universitas Texas di Austin, Amerika Serikat berhasil mengamati lubang hitam (black hole) supermasif yang terletak relatif dekat dengan galaksi raksasa M87, berjarak 50 juta tahun cahaya. Namun demikian, wacana mengenai keberadaan lubang hitam dalam fisika astronomi sudah berlangsung lama.

Gambaran simulasi black hole Berdasarkan pada fisika modern, Einstein sebagai penggagas teori relativitas umum mempostulatkan bahwa gravitasi merupakan akibat dari perubahan arah/pelengkungan ruang dan waktu. Oleh karena itu gravitasi merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari ruang dan waktu. Gambar ruang dan waktu yang disebabkan oleh suatu benda Einstein membuat gagasan yang benar-benar revolusioner dengan pernyataannya bahwa gaya gravitasi tidaklah bersifat seperti gaya-gaya yang lain. Suatu massa tidak menciptakan sebuah medan gaya di sekitarnya yang akan menyebabkan percepatan massa yang lain, namun massa akan mengubah struktur ruang dan waktu di sekitarnya. Oleh karena itu jika dalam teori Newton kita akan mengatakan bahwa bumi selalu ditarik oleh matahari karena gaya gravitasinya. Namun dalam teori relativitas umum kita akan mengatakan bahwa matahari telah mempengaruhi struktur ruang dan waktu di sekitarnya sehingga bumi bergerak bebas melintasi sebuah garis geodesik dalam lengkungan ruang dan waktu. Cahaya/foton sebagaimana halnya benda material lainnya tentunya akan bergerak mengikuti lengkungan ruang dan waktu ini sehingga pada benda yang sangat besar dan berat akan terjadi perbelokan cahaya. Menurut teori relativitas umum, struktur ruang dan waktu ditentukan oleh distribusi massa dan secara prinsip dapat diperoleh dari serangkaian persamaan diferensial teori relativitas umum. Pada penerapan persamaan diferensial ini kita akan menemukan suatu titik yang mengalami singularitas dimana radius ruang dan waktu (R) cenderung menjadi nol sehingga kurva ruang dan waktunya (1/R) menjadi tidak terhingga. Note: Istilah singularitas disini digunakan dalam perhitungan matematis dimana pada suatu titik objek matematika tidak terdefinisikan. Sebagai contoh f(x) = 1/x akan memiliki titik singularitas pada x = 0 karena pada x = 0, nilai f(x) menjadi tidak terhingga.

Gambar singularitas Stephen Hawking mengatakan; “pada saat awal dan akhir alam semesta ini, ukuran total alam semesta akan menjadi semakin menciut dan menjadi nol dan dengan massa yang menjadi tidak terhingga dan dengan demikian membuat kelengkungan ruang dan waktu menjadi tak terhingga (terjadi singularitas). Pada saat ini hukum-hukum sains dan kemampuan kita untuk memprediksi masa depan akan terhenti”.

Apakah konsep singularitas dalam teori relativitas umum ini merupakan penjelasan dari adanya fenomena lubang hitam / black hole? Andaikan teori ini benar, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Stephen Hawking sudah seharusnya terdapat lawan dari lubang hitam / black hole, yaitu lubang putih / white hole yang merupakan titik singularitas dimana alam semesta ini terlahir. (Dari beberapa sumber) Masukan ini dipos pada 16 November 2009 09:57 dan disimpan pada Artikel Sains . Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Baik komentar maupun ping saat ini ditutup.

Warna-warni Pelangi Pelangi merupakan salah satu pemandangan indah yang jarang kita lihat. Jika dilihat, bentuk pelangi seperti busur di langit biru yang muncul karena pembiasan dari sinar matahari ketika hujan Kira-kira di mana ya pelangi bisa terlihat? Biasanya pelangi bisa dilihat di daerah pegunungan atau ketika mendung atau ketika hujan baru berhenti turun. Pelangi merupakan satu-satunya gelombang elektromagnetik yang dapat kita lihat. Ia terdiri dari beberapa spektrum warna. Teman-teman bisa menyebutkan warna apa sajakah yang bisa kita lihat pada pelangi tersebut? Ya, benar, di antara warna tersebut adalah merah, kuning, hijau, biru, jingga, ungu dan sebenarnya ada warna-warna lain yang tidak dapat kita lihat langsung dengan mata. Warna merah memiliki panjang gelombang paling besar, sedangkan violet memiliki panjang gelombang terkecil.

Bagaimana pelangi terbentuk ? Coba kita amati ketika sinar matahari mengenai cermin siku-siku atau tepi prisma gelas, atau permukaan buih sabun, kita melihat berbagai warna dalam cahaya. Apa yang terjadi adalah cahaya putih dibiaskan menjadi berbagai panjang gelombang cahaya yang terlihat oleh mata kita sebagai merah, jingga, kuning, hijau, biru, dan ungu. Panjang gelombang cahaya ini membentuk pita garis-garis paralel, tiap warna bernuansa dengan warna di sebelahnya. Pita ini disebut "spektrum". Di dalam spektrum, garis merah selalu berada pada salah satu ujung dan biri serta ungu disisi lain, dan ini ditentukan oleh perbedaan panjang gelombang. Ketika kita melihat pelangi, sama saja dengan ketika kita melihat spektrum. Bahkan, pelangi adalah spketrum melengkung besar yang disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari. Ketika cahaya matahari melewati tetesan air, ia membias seperti ketika melalui prisma kaca. Jadi didalam tetesan air, kita sudah mendapatkan warna yang berbeda memanjang dari satu sisi ke sisi tetesan air lainnya. Beberapa dari cahaya berwarna ini kemudian dipantulkan dari sisi yang jauh pada tetesan air, kembali dan keluar lagi dari tetesan air. Cahaya keluar kembali dari tetesan air kearah yang berbeda, tergantung pada warnanya. Dan ketika kita melihat warna-warna ini pada pelangi, kita akan melihatnya tersusun dengan merah di paling atas dan ungu di paling bawah pelangi. Pelangi hanya dapat dilihat saat hujan bersamaan dengan matahari bersinar, tapi dari sisi yang berlawanan dengan si pengamat. Posisi kita harus berada diantara matahari dan tetesan air dengan matahari dibekalang kita. Matahari, mata kita dan pusat busur pelangi harus berada dalam satu garis lurus.

http://www.e-smartschool.com/pnu/001/PNU0010017.asp

Keajaiban Siklus Matahari 21 Maret 2009 in Artikel Sains | Tags: matahari, siklus oleh lucky girl pada Pebruari 15, 2009, 05:37:00 MATAHARI dalam perjalanan evolusinya sebagai sebuah bintang menunjukkan sifat-sifat dinamis, baik di lapisan luar (fotosfer, kromosfer, korona) maupun lapisan dalam. Salah satu keajaiban perilaku evolusi matahari adalah fenomena siklus aktivitas 11 tahun. Siklus merupakan perulangan peristiwa yang biasa terjadi di alam. Siang berganti malam, akibat rotasi bumi pada porosnya. Musim silih berganti akibat kemiringan poros rotasi bumi terhadap bidang orbitnya mengitari matahari (ekuator bumi membentuk sudut 23,5 derajat terhadap bidang ekliptika). Dan matahari ternyata juga memiliki siklus aktivitas. Berbagai

perioda siklus matahari telah diidentifikasi, baik dalam jangka puluhan maupun ratusan tahun. Salah satu yang mudah diamati adalah siklus aktivitas 11 tahun. Fenomena ini bahkan sudah diketahui oleh para pengamat matahari sejak abad ke-17, mengingat metoda yang digunakan sangatlah sederhana, yaitu menghitung jumlah bintik secara rutin setiap hari. Adalah seorang Galileo Galilei yang membuat terobosan besar dalam sejarah pengamatan astronomi. Setelah merampungkan teleskop buatan sendiri tahun 1610, salah satu benda langit yang menjadi sasaran adalah matahari. Ia takjub lantaran permukaan matahari dihiasi bintik-bintik hitam secara acak dan berkelompok. Bila diamati dari hari ke hari ternyata jumlah bintik dalam suatu kelompok berubah, demikian pula jumlah kelompok bintik secara keseluruhan. Sayangnya, Galileo tidak melakukan observasi setiap hari dalam kurun waktu panjang. Karena itu ia bukanlah penemu salah satu misteri akbar yang menjadi bagian dari evolusi Matahari, yaitu pemunculan bintik mengikuti suatu pola tertentu atau siklus. Entah secara kebetulan, dalam kurun waktu tahun 1645 – 1715, pemunculan bintik sangat sedikit. Rentang waktu matahari dalam kondisi ‘tidak aktif’ ini disebut sebagai Mauder Minimum. Hal ini pula yang mungkin menyebabkan fenomena siklus aktivitas matahari tidak diketahui sebelum tahun 1715. Satu hal yang menarik, aktivitas matahari minimum itu ternyata menyebabkan suhu seluruh muka bumi sangat dingin sepanjang tahun. Sungai di kawasan lintang rendah yang biasanya tidak membeku pun jadi beku, dan salju menutupi di berbagai belahan dunia. Tak berlebihan bila masa itu disebut Little Ice Age. Ada bukti-bukti abad es ini pernah terjadi jauh di masa lampau. Akankah bumi mengalami abad es kembali di masa yang akan datang? Pemahaman perilaku siklus matahari diharapkan dapat menjawab teka-teki ini. Siklus Matahari Pengamatan matahari secara sistematis mulai dilakukan di Observatorium Zurich tahun 1749, atau lebih dari seabad setelah pengamatan Galileo. Selama berpuluh-puluh tahun observatorium ini menjadi pelopor dalam pengamatan Matahari. Dari ketekunan dan jerih payah selama puluhan tahun ini, akhirnya terungkap pemunculan bintik mengikuti suatu siklus dengan perioda sekira 11 tahun. Meski fenomena itu sudah diketahui ratusan tahun silam, perilaku atau sifat-sifat siklus aktivitas matahari 11 tahun masih merupakan topik penelitian yang relevan dilakukan oleh para peneliti pada saat ini. Entah dalam upaya untuk memahami fisika matahari maupun mengaji pengaruhnya bagi lingkungan tata surya. Khususnya, pengaruh aktivitas itu terhadap lingkungan bumi, yang lebih pupuler dengan sebutan cuaca antariksa (space weather). Satu abad kemudian, yaitu tahun 1849, observatorium lainnya (Royal Greenwich Observatory, Inggris) memulai pengamatan Matahari secara rutin. Dengan demikian, data dari kedua observatorium tersebut saling melengkapi. Ada kalanya sebuah observatorium tidak mungkin melakukan pengamatan karena kondisi cuaca ataupun teleskop dalam perawatan. Siklus 11 tahun aktivitas matahari merupakan suatu keajaiban alam. Bagaimana sebenarnya proses pembangkitan siklus 11 tahun itu, hingga kini masih menjadi topik penelitian menarik bagi para ahli. Dari berbagai studi yang telah dilakukan, terungkap pembangkitan siklus itu berkaitan dengan proses internal matahari. Terjadi pada suatu lapisan di bawah fotosfer yang disebut lapisan konvektif. Lapisan konvektif mempunyai ketebalan sekira 30 dari jari-jari matahari. Namun, lapisan ini memunyai peranan penting dalam proses penjalaran energi yang dibangkitkan oleh inti matahari sebelum dipancarkan keluar dari fotosfer. Di antara inti dan lapisan konvektif terdapat lapisan radiatif. Satusatunya teori yang bisa menjelaskan fenomena siklus 11 tahun secara tepat adalah teori “Dinamo Matahari” (Solar Dynamo). Seorang pakar bidang ini, Prof. Hirokazu Yoshimura

dari Departemen Astronomi, Universitas Tokyo, telah melakukan studi intensif proses dinamo matahari melalui simulasi 3D menggunakan komputer. Begitu ketatnya menjaga kerahasiaan penelitian yang tengah dilakukan, laboratorium tempat ia bekerja senantiasa tertutup rapat. Salah seorang staf Matahari Watukosek-LAPAN, Maspul Aini Kambry, boleh jadi satu-satunya orang Indonesia yang sering berdiskusi di dalam laboratoriumnya ketika ia mengambil program doktor. Melalui kerja sama penelitian, mereka berhasil membuktikan adanya siklus 55 tahun (55 years grand cycle) berdasarkan hasil simulasi dinamo matahari, yang dikonfirmasi melalui analisis observasi bintik menggunakan data dari National Astronomical Observatory of Japan (NAOJ). Penemuan yang dituangkan dalam tesis doktor M.A. Kambry, sempat diekspos salah satu koran terkemuka Jepang, Yomiuri Shimbun, setelah dipresentasikan dalam suatu simposium astronomi (tenmon gakkai) di Jepang, 13 tahun silam http://wathan89.wordpress.com/2009/03/21/keajaiban-siklus-matahari/

Menangkap Komponen Gerak Rotasi Gempa Bumi dengan Ring Laser November 30, 2007, 7:48 am Diarsipkan di bawah: Artikel sains | Tag: Komponen Gerak Rotasi Gempa Bumi Oleh Wiwit Suryanto Selama ini kita mungkin telah mengenal seismometer sebagai alat untuk mencatat gerakan tanah akibat getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Dengan alat ini maka semua komponen gerak translasi (arah-x, y, dan z) di permukaan tanah dimana alat tersebut dipasang, dapat diukur. Dengan bantuan alat ini pula, para seismolog dapat menentukan kapan, dimana dan berapa besar energi gempa bumi yang telah terjadi. Lebih jauh, mereka dapat menduga struktur perlapisan di bawah permukaan bumi, bahkan sampai ke Inti bumi. Namun demikian, secara fisika, masih ada satu komponen lagi yang luput dari pengamatan para seismolog, yaitu komponen gerak rotasi. Tidak diamatinya komponen gerak yang satu ini, bukan karena ketidak-sadaran mereka akan adanya gerak rotasi akibat gempa bumi, namun lebih pada kesulitan di dalam mengukur komponen komponen ini. Apalagi dari simulasi yang telah dilakukan sekitar tahun 80-an, dengan asumsi yang sederhana, komponen gerak rotasi ini dipercaya mempunyai harga yang kecil sehingga tidak begitu signifikan untuk diukur, selain menyebabkan pengukurannya menjadi semakin sulit. Secara terpisah, ternyata para peneliti di bidang earthquake engineer justru menganggap komponen gerak rotasi ini sangat penting. Mereka menduga bahwa komponen ini, meskipun dengan amplitudo yang kecil, dapat menyebabkan kerusakan struktur bangunan. Hal ini terutama untuk bangunan dengan bentuk memanjang seperti jembatan atau saluran pipa-pipa. Untuk itu, meskipun tanpa bantuan alat yang dapat mengukur gerak rotasi ini secara langsung, mereka bisa mendapatkan komponen gerak rotasi ini dengan cara merekam komponen gerak translasi di beberapa lokasi sekaligus. Secara matematis, dalam batas-batas tertentu, kita memang dapat menurunkan komponen gerak rotasi dari pengamatan gerak translasi di beberapa titik lokasi pengukuran sekaligus (seismic array).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengukuran dengan teknik array ini memerlukan kehati-hatian yang tinggi karena sangat dipengaruhi oleh tingkat gangguan (nois) di masing-masing titik pengukuran. Dengan demikian, pengukuran gerka rotasi secara langsung dengan menggunakan sensor rotasi merupakan alternatif terbaik untuk bisa mendapatkan hasil pengukuran yang akurat. Sampai saat ini, sensor gerak rotasi yang dianggap memiliki tingkat akurasi yang tinggi adalah ring laser. Prinsip kerja ring laser Sebetulnya ring laser bukan merupakan alat yang baru ditemukan. Sejak tahun 60- an, alat ini sudah digunakan untuk keperluan navigasi terutama pada pesawat komersial maupun militer dan kapal laut. Ring laser bekerja berdasarkan prinsip Sagnac, sesuai dengan nama ilmuwan perancis G. Sagnac yang malakukan eksperiment ini (Gambar 1) pertama kali pada tahun 1913. Sinar laser dipancarkan dalam dua arah perambatan yang saling berlawanan, yang satu searah dengan jarum jam dan yang lain berlawanan arah jarum jam. Oleh sebuah detektor, kedua gelombag tersebut ditangkap dan di kombinasikan. Jika alat ini tidak mengalami gerak rotasi, maka panjang lintasan gelombangnya akan sama sehingga akan menghasilkan output berupa interferensi yang destruktif. Gambar 1. Prinsip kerja alat ring laser yang terdiri dari pemancar laser, yang memancarkan laser pada dua arah yang belawana dan detektor untuk mengkombinasikan sinar laser dari kedua arah rambat tersebut. Jika alat tersebut mengalami rotasi, maka panjang lintasan gelombangnya akan berbeda, menghasilkan perbedaan fase sehingga menimbulkan fenomena layangan gelombang. Frekwensi layangan gelombangnya (beating frequency) ini akan sebanding dengan gerak rotasinya, dimensi dari instrumen ini (keliling ring laser, luas penampang ring laser) dan panjang gelombang sinar laser yang digunakan. Semakin besar keliling ring lasernya, semakin sensitif alat ini dapat menangkap gerak rotasi. Ring laser terbesar yang telah beroperasi berada di negara bagian Bayern, Jerman dan mempunyai dimensi panjang dan lebar 4 m x 4 m. Dengan dimensi sebesar itu, alat tersebut mampu mengukur gerak rotasi dengan ketelitian 7,3 x 10-14 radian per detik. Sebagai gambaran saja, gempa bumi yang terjadi tanggal 26 Mei 2006 di Yogyakarta kemarin (Magnitudo 6.3), seandainya diukur dengan sensor rotasi di Jakarta yang berjarak sekitar 500 km, akan mempunyai amplitudo sebesar 10-8 radian per detik. Apa yang bisa kita peroleh dengan mengukur gerak rotasi Prototipe pertama ring laser untuk aplikasi geofisika dibuat pada tahun 1990 di Universitas Catenbury Cristchurch New Zeeland. Alat ini kemudian diberi nama C-1. Ring laser ini mempunyai luas penampang 0,75 m2, yang pada mulanya digunakan untuk mengukur parameter-paramenter dalam gerak rotasi bumi (sudut rotasi bumi, panjang hari, gerak kutub bumi, dan fenomena gerak presisi dan nutasi). Secara konvensional, parameterparameter tersebut biasanya diamati dengan menggunakan teknik radio astronomi, seperti VLBI (Very Long Baseline Interferometry). Studi mengenai aplikasi ring laser khusus dalam bidang seismologi dimulai sekitar tahun 1997, dengan munculnya beberapa laporan hasil pengamatan gerak rotasi akibat gempa bumi di beberapa jurnal geofisika. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah ”Apa sih manfaat diketahuinya gerak rotasi ini?”.

Secara singkat, dengan diketahuinya gerak rotasi ini, kita dapat melakukan studi mengenai parameter gelombang seismik (gelombang gempa) dengan lebih ekonomis. Mengapa demikian? Karena selama ini, untuk dapat mengetahui parameter gelombang seperti kecepatan gelombang gempa, arah rambatan gelombang dari sumber gempa, serta kecepatan gelombang gempa sebagai fungsi dari frekuensi gelombangnya, kita perlu memasang beberapa (puluh) sensor translasi (seismometer) dalam radius beberapa kilometer. Tentu saja hal ini memerlukan biaya yang sangat besar. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk perawatan. Sementara dengan mengunakan sensor rotasi ini, kita hanya perlu komplemen satu buah sensor translasi di tempat yang sama, untuk bisa tahu parameter-parameter diatas. Saat ini sedang dilakukan studi yang intensif untuk menjajagi kemungkinan diaplikasikannya gerak rotasi ini untuk memperbaiki pemahaman kita tentang proses rupture di dalam patahan yang menyebabkan terjadinya gempa bumi. Perspektif di Indonesia Indonesia yang mempunyai kwantitas dan kualitas kegempaan yang tidak kalah dari Jepang maupun Amerika Serikat, namun dari segi instrumentasi dan prasarana pendukung serta infrastruktur sangat tertinggal jauh, sebenarnya dapat memetik manfaat dari ring laser ini. Dengan alat ini, kita dapat menghemat jumlah seismometer yang harus dipasang untuk bisa mengetahui parameter gelombang gempa yang telah terjadi. Hanya saja kendala yang ada saat ini adalah belum tersedianya ring laser ini di pasaran. Namun penulis yakin, banyak ahli fisika di Indonesia yang mampu untuk melakukan studi dan mengembangkan alat ring laser ini. Tentu saja hal ini bisa dilakukan jika pemerintah mendukung upaya-upaya untuk memahami fenomena gempa di Indonesia dalam rangka meminimalisir jumlah korban jiwa maupun kerugian materiil lainnya. Penulis masih ingat betul pernyataan salah seorang pejabat pemerintah kita pasca bencana Tsunami tahun 2004 kemarin, yang mengatakan bahwa ”Berapapun biaya yang diperlukan untuk merehabilitasi Aceh, pemerintah akan menyediakan!”. Dalam kaitannya dengan hal ini, penulis memimpikan juga sebuah pernyataan lain ”Berapapun biaya yang diperlukan untuk riset dibidang gempa ini, pemerintah akan menyediakan!”. Semoga saja hal tersebut bukan hanya sekedar mimpi. Amin. Wiwit Suryanto. Staff pengajar Program Sudi Geofisika FMIPA UGM Yogyakarta. E-mail: [email protected]; [email protected] http://iwanps.wordpress.com/2007/11/30/menangkap-komponen-gerak-rotasi-gempabumi-dengan-ring-laser/

Related Documents

Artikel Mbak Dyas
June 2020 19
Mbak Nita.docx
June 2020 16
Mbak Devin.docx
July 2020 17
Mbak Yuli
November 2019 25
Mbak Sri Uks.pptx
December 2019 19
Artikel
April 2020 61