INFO IPTEK Merokok Tingkatkan Resiko Osteoporosis
Selasa,14 Februari 2006 13:09 Hampir semua orang di muka bumi mempunyai pendapat yang sama tentang kebiasaan merokok, yakni merugikan kesehatan! Namun, lambat laun, pendapat tersebut makin terkikis dan seolah kehilangan 'greget'-nya, atas berbagai efek negatif yang dibeberkannya. Kebiasaan menghisap rokok, seolah menjadi bagian dari hidup, seolah turut menjadi 'vitamin', disamping kebutuhan pokok akan makanan dan minuman. Walau sesungguhnya 'vitamin' yang terkandung dalam sebatang rokok itu adalah racun yang berbahaya bagi tubuh. Bila selama ini masyarakat mengetahui efek rokok menyerang kesehatan organ pernapasan dan reproduksi, ternyata rokok juga bisa mengantarkan Anda pada resiko osteoporosis alias penyakit keropos tulang. Fachry Ambia Tandjung, Ketua Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (Perosi) Jawa Barat, mengatakan, perokok sangat rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon estrogen dalam tubuh berkurang sehingga, susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam menghadapi proses pelapukan. "Rokok juga membuat penghisapnya bisa mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, ya proses pembentukan tulang sulit terjadi. Jadi, langsung tidak langsung, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis," ujarnya.
1
Dia tidak tahu persis seberapa besar kemungkinan perokok terkena penyakit tersebut dibanding yang tidak merokok, karena belum pernah meneliti intensif. Namun, Fachry meyakini sepenuhnya bahwa perokok memiliki risiko terkena lebih tinggi. Mungkin bisa dua kali lipat, katanya. Dia lalu menyodorkan data Puslitbang Gizi Depkes. Dalam data tersebut disebutkan bahwa 27,7% penduduk Sumatra Selatan terkena osteoporosis, berikutnya Jawa Tengah (24,02%), Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara (22,82%), Jawa Timur (21,42%), dan Kalimantan Timur (10,5%). "Selidik punya selidik, daerah-daerah tersebut adalah daerah dengan kultur masyarakat merokok yang kuat. Lihat saja di Yogyakarta dan Jawa Timur. Dari kota hingga pedesaan, laki-lakinya hampir semuanya merokok," ujarnya. Atas dasar itu, dokter di RS Advent Bandung tersebut menilai secara keseluruhan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang rawan terkena osteoporosis, karena menurut pengamatannya, lebih dari separuh penduduk menghisap rokok. Dia bahkan mengatakan, jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih besar dari data terakhir Depkes, yang mematok angka 19,7% dari seluruh penduduk dengan alasan perokok di negeri ini urutan ke-2 dunia setelah China. Fachry menambahkan, saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35, efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur tersebut sudah berhenti. Jadi, apabila tulang Anda lebih mudah ngilu, letih, dan sakit dibanding periode sebelumnya, bisa jadi tubuh anda tengah dimasuki gejala awal penyakit yang telah menimpa lebih 200 juta penduduk dunia tersebut.
2
Selain itu, perokok dalam jumlah kecil memang akan lebih kecil terkena dan yang menghisap banyak akan lebih mudah disergap penyakit silent disease itu. Namun, jangan pernah punya pikiran osteoporosis tidak akan menimpa seseorang yang merokok sebatang sehari. "Itu asumsi yang salah. Sama salahnya dengan asumsi merokok tidak apa-apa asal diimbangi olahraga yang cukup. Mau satu gram sekalipun, nikotin tetaplah nikotin. Membahayakan kesehatan seseorang," ujarnya. Menurut dia, asumsi yang salah di masyarakat juga ada pada mitos suplemen asupan kalsium tinggi yang diklaim bisa mengatasi osteoporosis. Imbas gaya hidup serba instan dan terbujuk bahasa iklan, paparnya, membuat masyarakat kini beranggapan osteoporosis pada perokok bisa teratasi dengan meminum rutin tablet efferfescent atau susu yang kaya kalsium. Padahal, suplemen tersebut tak ubahnya dengan aksesoris mobil yang tanpanya mobil masih tetap bisa berjalan. Dia menegaskan suplemen hanyalah obat tambahan yang komplementatif dan tidak bisa dijadikan solusi efektif mengatasi ancaman penyakit keropos tulang tersebut. Lantas, bagaimana mengatasi osteoporosis bagi perokok? Fachry menjawab singkat: Berhenti total! Tidak merokok sama sekali, menurut dia adalah asumsi paling benar dalam melawan penyakit tersebut. Berhenti merokok, selain membuat estrogen dalam tubuh seseorang tetap beraktivitas juga mengeliminasi risiko kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang mencakup 20%-30% pada pria dan 40%-50% pada wanita. Sebagai orang yang pernah kecanduan merokok, dia sadar berhenti merokok tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, dia menggarisbawahi tentang dua hal penting yang harus diingat perokok yang ingin berhenti, yaitu terus mengingat efek negatif rokok serta memperteguh niat hidup sehat sebagaimana dianjurkan agama.
3
Selain berhenti merokok, dokter Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, Dicky Mulyadi, menyarankan agar masyarakat rajin bergerak, mengonsumi makanan bergizi dalam takaran seimbang, rutin berolahraga, serta membiasakan terkena sinar matahari pagi dan sore. Khusus olahraga, bagi yang masih mampu, sangat dianjurkan melakukan olahraga jenis contact sports seperti sepakbola, basket, voli, dan sebagainya. Bila fisik dirasa tidak mampu lagi, maka lakukan olahraga berenang, jalan pagi, dan senam ringan. Sementara untuk konsumsi makanan bergizi, dianjurkan memakan kalsium yang terkandung dalam produk susu, buah-buahan, sayuran, telur, belut, dan ikan. (sudarto). (www.ristek.go.id)
4
Sedihnya Menjadi Perokok PASIF Oleh Kompas Cyber Media
Benda kecil berbahan utama tembakau ini menyenangkan bagi sebagian orang, tetapi menyebalkan bagi sebagian lainnya. Benda yang disebut rokok itu bisa membuat orang yang mengisapnya merasa tenang dan percaya diri-begitulah pengakuan sebagian perokok-namun sebaliknya bagi mereka yang terpaksa mengisap asapnya, meskipun bukan perokok. Kelompok terakhir itu disebut sebagai perokok pasif. Artinya, mereka tidak merokok tetapi harus turut merasakan akibat buruk dari rokok yang dibakar. Para perokok pasif ini bisa dikatakan tak punya pilihan, selain harus turut "menelan" asap rokok yang dinikmati para perokok. Padahal, menurut Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), asap rokok yang terpaksa diisap perokok pasif kandungan bahan kimianya lebih tinggi dibandingkan dengan asap rokok utama. Hal ini disebabkan tembakau terbakar pada temperatur lebih rendah ketika rokok sedang diisap. Ini membuat pembakaran menjadi kurang lengkap dan mengeluarkan banyak bahan kimia. "Asap rokok mengandung sekitar 4.000 bahan kimia, 43 di antaranya jelas-jelas bersifat karsinogen. Pengaruh asap rokok pada perokok pasif itu tiga kali lebih buruk daripada debu batu bara," kata Tjandra Yoga Aditama seperti ditulisnya pada buletin Rokok & Masalahnya. WHO, badan kesehatan PBB, katanya, bahkan memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini terpaksa mengisap udara yang terpolusi asap rokok. Ironisnya, hal itu justru terjadi lebih banyak di dalam rumah mereka sendiri.
5
Di Indonesia, perokok relatif bebas mengisap rokok di mana saja. Kawasan bebas rokok di negeri ini masih amat minim, itu pun sangat mungkin dilanggar karena sanksinya bisa dikatakan tidak ada. Padahal, kalau seseorang merokok, itu berarti dia hanya mengisap asap rokoknya sekitar 15 persen saja, sementara yang 85 persen lainnya dilepaskannya untuk diisap para perokok pasif. "Ada beberapa penyakit yang bisa timbul �hanya� karena mereka menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru," ujar Tjandra yang juga Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. SEBAGIAN perokok tak bisa memahami-apalagi diharapkan untuk bertoleransi-pada ketidaknyamanan perokok pasif yang terpaksa mengisap asap rokok. Perokok pasif harus mencium bau bakaran tembakau sampai merasa sesak napas. Bahkan, pada sebagian perokok pasif yang sensitif akan langsung terbatuk-batuk saat itu juga. Menurut Tjandra Yoga Aditama, penelitian yang pernah dilakukan di Amerika Serikat (AS) menunjukkan kematian akibat asap rokok pada perokok pasif lebih tinggi dibandingkan dengan kematian sebab polusi udara lainnya. Risiko terjadinya kanker paru di kalangan perokok pasif yang tinggal serumah atau sekantor dengan perokok lebih tinggi daripada mereka yang tinggal bersama non-perokok. "Kemungkinan terjadinya kanker paru pada perempuan yang suaminya perokok sekitar 20 sampai 30 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang pasangannya tidak merokok," dia menambahkan. Di China bahkan disebutkan bahwa penyakit jantung koroner pada perempuan yang suaminya perokok sekitar 24 persen lebih tinggi dibandingkan dengan yang suaminya tidak merokok. Angka ini meningkat sampai 85 persen bila perempuan itu juga menjadi perokok pasif di tempat kerjanya.
6
Tjandra Yoga Aditama menambahkan, sekitar 75 persen perokok yang mencoba berhenti ternyata gagal mewujudkan keinginannya itu. "Mereka biasanya mampu berhenti merokok untuk beberapa waktu, namun toh akhirnya kembali lagi menjadi perokok," cetusnya. Dalam buletin Rokok & Masalahnya disebutkan, perokok yang berhenti merokok selama dua jam, maka nikotin mulai meninggalkan tubuhnya. Ketika dia berhenti merokok selama enam jam, itu berarti menurunkan denyut nadi dan tekanan darah yang berangsur menuju pada keadaan ekuilibrium. Ketika orang itu berhenti merokok selama 12 jam, maka CO (karbon monoksida) mulai meninggalkan tubuhnya. "Bila dia berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang," kata Tjandra. Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. "Angka-angka itu hanya gambaran umum, karena hal ini juga amat tergantung pada lama dan banyaknya rokok yang diisap masing-masing orang," lanjutnya. Tjandra Yoga Aditama menambahkan, kemungkinan menjadi perokok pada anak-anak akan lebih tinggi pada orangtua yang satu atau keduanya perokok. "Di Amerika, remaja perokok lima kali lebih banyak pada mereka yang orangtuanya perokok dibandingkan dengan orangtua yang tidak merokok." Rokok & Masalahnya juga menyebutkan beberapa efek rokok terhadap tubuh yang jarang
dipublikasikan,
seperti
menurunkan
sistem
kekebalan
tubuh
hingga
mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih mudah terkena
7
osteoporosis,
mengurangi
jumlah
dan kelainan
bentuk
sperma, serta
lebih
berkemungkinan terkena kanker. Merokok tak hanya membuat penikmatnya tidak sehat, tetapi juga merugikan keluarga dan kerabat sendiri. Kalau sudah begini, masihkah rokok pantas untuk dipertahankan? (ARN/CP). (www.depkes.go.id)
8