Artikel Bagus.docx

  • Uploaded by: morris tobing
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Artikel Bagus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 14,956
  • Pages: 51
Haruskah Tuhan Itu Ada? Keberadaan Tuhan adalah sebuah perdebatan sepanjang masa. Dengan berbagai alasan yang dikemukakan, tidak seorangpun sanggup membuktikan bahwa Tuhan benar-benar 100% ada. Sebaliknya, juga tak seorangpun sanggup membuktikan bahwa Tuhan benarbenar 100% tidak ada. Beberapa orang meyakini, bahwa Tuhan hanyalah sosok ciptaan pikiran manusia semata. Sosok fiktif yang dibuat manusia, untuk menjadi tempat berharap (yang semu) dan sebagai “pegangan hidup” supaya keras dan kejamnya kehidupan, bisa dijalani dengan lebih kuat. Dengan kata lain, tuhan hanyalah hsil usaha dari self defense mechanism (mekanisme bertahan hidup) manusia. Namun, apakah memang benar demikian? Bagaimana kalau Tuhan bukanlah sekedar tokoh fiktif buatan imajinasi kreatif manusia? Bagaimana kalau ternyata Dia benar-benar eksis dan keberadaanNya yang melampaui ke’natural’an kita membuat kita sulit untuk melacakNya? Pemikiran tentang Tuhan, mau tidak mau menjadi muncul karena adanya beberapa pertanyaan kehidupan yang entah kenapa, secara naluriah menjadi pertanyaan yang kita ajukan dalam kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah: Darimanakah asal muasal kehidupan? Siapa / apa yang menciptakan kehidupan pertama? Pertanyaan ini sering ditanyakan oleh anak kecil. “Siapa yang bikin Matahari ma?” adalah salah satu pertanyaan alami yang diajukan oleh anak-anak. Tanpa sadar, ada sebuah misteri yang membuat kita penasaran tentang bagaimana semua kehidupan ini berawal. Mau tidak mau, pemikiran tentang Tuhan muncul disini. Penjelasan yang meyakinkan soal teori Big Bang dan teori Evolusi, setelah ditelaah, belumlah cukup untuk menjelaskan asal muasal kehidupan, karena ketika kita merunut terus ke belakang, kita akan menjumpai adanya kebutuhan absolut untuk hadirnya sesosok entity yang kekal untuk menjadi “starter” (pemulai) segala sesuatunya. Tanpa adanya sosok ini, asal mula kehidupan menjadi sulit untuk dijelaskan dengan masuk akal. Karenanya, pemikiran akan adanya Tuhan menjadi menguat dimunculkan. Apa tujuan hidup saya? Untuk apa saya ada di dalam kehidupan ini? Begitu banyak saya jumpai orang yang mempertanyakan tentang makna hidup mereka. Bahkan, setelah sebagian dari mereka memperoleh banyak uang, memiliki harta berlimpah, menikmati kehidupan yang sangat menyenangkan, tetap saja ada waktunya mereka membuka mata di pagi hari, terbangun dengan pertanyaan, “untuk apa ya saya hidup?” Kita bisa saja membuat-buat tujuan hidup kita sendiri. Tapi bukankah itu berarti, sejak semula berarti kita hadir dengan tanpa ada tujuan yang jelas (sampai kita harus membuat sendiri tujuan kita). Dan, segala sesuatu yang hadir tanpa kejelasan tujuan, menunjukkan akan terjadinya sebuah “kebetulan”.

1

Kalau hidup kita hanyalah sebuah kebetulan (accidental) semata, bukankah hidup kita menjadi tidak terlalu bernilai lagi? Memang sesuatu yang kebetulan bisa saja memeriahkan dan menambah manfaat. Tapi, di satu sisi, kehadiran yang kebetulan artinya kehadiran yang tadinya tidak diharapkan. Bisa ada, bisa juga tidak ada. Jika demikian makna hidup kita, maka manusia tidaklah perlu dihargai hidupnya, karena toh mereka hanyalah “makhluk kebetulan” saja, yang tiada bedanya dengan binatang, tanaman, atau bahkan juga dengan batu, pasir, dan debu. Boleh ada, boleh tidak. (Kalau begitu, pembunuhan menjadi hal yang “tidak salah” kan?) Kehadiran Tuhan menjadi urgent dan tak bisa ditawar karena kehadiranNya akan menjadi alasan masuk akal mengenai apa makna kehidupan manusia. Mana yang benar dan mana yang salah? Entah kenapa, manusia selalu berkutat untuk memisahkan apa yang benar dan apa yang salah. Bahkan orang yang paling liberal sedunia sekalipun, masih memiliki pemisahan apa yang benar dan apa yang salah. Misteri soal moralitas ini, membuat kita mau tidak mau harus menghadirkan Tuhan kembali sebagai Sang Peletak “Hukum”. Tanpa adanya Tuhan, maka kebenaran menjadi relatif, yaitu tidak ada yang sungguh-sungguh benar dan salah, semuanya bisa benar, bisa juga salah. Konsep kebenaran relatif (tidak ada yang sungguh-sungguh benar), adalah sebuah pemikiran yang membunuh dirinya sendiri. Karena kalau tidak ada yang sungguh-sungguh benar, maka konsep kebenaran relatif itu sendiri juga tidak sungguh-sungguh benar, karenanya kita tidak perlu mempercayainya bukan? Lagi pula, entah kenapa, di dalam diri kita, terletak sebuah “moral kompas” absolut yang sulit disangkal. Misalnya, tidak seorangpun yang melihat pengkhianatan terhadap dirinya adalah sesuatu yang bisa diterima. Bahkan pengkhianat paling khianat sekalipun, tidak mau dirinya dikhianati. Itu artinya, mereka dalam hati kecilnya pun, sebenarnya masih melihat adanya benar yang sungguh-sungguh benar, meski mereka tidak menghidupinya. Kemana saya setelah mati? Inilah pertanyaan misterius terbesar yang selalu menghantui kita. Beberapa orang meyakini, tidak ada kehidupan setelah kematian. Setelah kita mati, semuanya gelap, hampa, selesai, titik. Jikalau memang demikian, maka apa arti dari semua yang kita lakukan selama kita hidup? Kalau ketika kita mati, hidup selesai begitu saja. Maka, tidak ada bedanya lagi kalau kita menjadi pembunuh atau menjadi penolong semasa kita hidup, karena toh, pada akhirnya, kita semua baik pembunuh maupun penolong, berakhir di garis finish yang sama. Andaikan sebuah pertandingan lari, ada yang berlari kencang, ada yang tidur-tiduran, ada yang sibuk menjegal pelari lain, ada yang bahkan keluar dari arena dan tidak ikut lagi pertandingan, tetapi ketika 2

mereka semua menginjak garis finish, semuanya mendapat hadiah yang sama. Bukankah, menjadi sia-sia bagi si pelari “sungguh-sungguh”? Entah kenapa, hati kita tidak bisa menerima perlakuan seperti ini karena sekali lagi, ini akan menghilangkan seluruh makna dari apa yang kita lakukan selama hidup. Lupakan kehormatan diri, lupakan kebaikan, lupakan integritas, lupakan baik dan buruk, karena pada akhirnya, kita semua berakhir di tempat yang sama. Bayangkan, kalau 4 pertanyaan itu seluruhnya dijawab dengan tanpa memasukkan Tuhan di dalamnya. Awal mula hidup kita hanyalah sebuah kebetulan, hidup kita tidak memiliki makna khusus, tidak ada yang sungguh-sungguh benar dan salah, semuanya relatif, dan pada akhirnya kita semua akan berakhir di tempat yang sama tanpa ada bedanya. Maka, menjawab pertanyaan judul artikel ini, “Haruskah Tuhan itu ada?” Memang bisa saja bagi sebagian orang berkata “tidak harus!” bahkan bisa juga “Bahkan tidak perlu ada!”. Tapi, tanpa eksistensi Tuhan, akan ada banyak missing link yang tak terjelaskan dalam kehidupan ini, dimana Tuhan menjadi “puzzle” paling masuk akal yang bisa melengkapi semua penjelasan kehidupan yang tadinya misterius itu. Notes: Saya tidak membuka ruang debat di blog ini, karena itu kolom artikel hanya saya buka untuk komentarkomentar yang umum. Bagi yang ingin bertanya jawab, bisa langsung mengirim pesan pribadi ke Facebook Messenger saya, atau di Direct Message Instagram saya. Komentar yang menurut saya tidak sesuai dengan kriteria subyektif saya sendiri, tidak akan saya approve

3

Kenapa Tuhan Membiarkan Kejahatan? Pernahkah Anda bertanya dalam hati, “Kalau Tuhan sungguh ada, kenapa Dia mengijinkan ada hal-hal buruk yang terjadi di dunia?” Banyak orang berhenti mempercayai Tuhan karena “kecewa” bahwa kebaikan Tuhan tidaklah cukup untuk menghentikan ketidakbaikan yang sepertinya kian merajalela di dunia. Karena, seharusnya, dalam kemahakuasaanNya, bukankah Dia sanggup melakukan apapun? Bukankah Dia seharusnya sanggup menghilangkan segala kejahatan yang ada? Peristiwa bom di Mesir yang terjadi baru-baru ini, sekali lagi menghentak rasa kemanusiaan kita semua. Di tengah perayaan minggu palem, kematian menjadi nyata dan menimbulkan ketakutan mendalam ketika kenyataan menunjukkan bahwa kejahatan terjadi begitu saja dimana saja dengan mudahnya. Tentu, terbersit pertanyaan, “Dimanakah Tuhan?” RESIKO SEBUAH KASIH Kalau kita menelisik, sebenarnya ujung dari semua variasi tindakan ini terletak pada kehendak bebas atau free will manusia. Kalau Anda masih ragu-ragu tentang apakah manusia memiliki kehendak bebas atau tidak, Anda bisa membaca / berkomentar di tulisan saya“FreeWill: Nyata Atau Ilusi?”. Pada saat Tuhan menciptakan manusia, Dia menciptakannya bukan sebagai robot yang hanya bisa menjalankan program default. Dia menciptakan manusia dengan sebuah special feature bernama kehendak bebas. Sejak manusia diberikan kehendak bebas, maka dengan segera konsekuensinya pun mengikuti, yaitu adanya tindakan baik dan jahat. Manusia bisa memilih untuk taat dan berjalan bersama Tuhan, atau melawan dan meninggalkan Tuhan. Peristiwa buah terlarang di Eden menunjukkan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Pertanyaan berikutnya, “Kalau kehendak bebas menyebabkan munculnya potensi kejahatan, kenapa Tuhan memberikannya untuk manusia?” Disinilah saya menyebutnya sebagai “resiko dari kasih”. Banyak orang Kristen belum memahami bahwa alasan terbesar dari penciptaan manusia adalah Tuhan ingin memiliki relationship yang genuine dengan ciptaanNya, dan Dia memilih manusia sebagai subyek tersebut. Sebuah relationship sejati hanya bisa terjadi ketika kedua belah pihak memiliki inisiatif murni untuk terhubung. Contoh, kalau saya membuat sebuah robot yang sudah saya program untuk setiap pagi ketika ia melihat saya, dia akan berkata “Selamat pagi! Aku mengasihimu!” Saya tidak akan mengklaim bahwa saya memiliki hubungan dekat dengan robot itu. Kenapa? Karena robot itu melakukan apapun atas dasar program yang sudah ditanam dalam dirinya.

4

Tapi, kalau manusia berbeda. Manusia begitu unik dan bisa unpredictable. Itu sebabnya, ketika terjadi ungkapan yang murni yang muncul dari hati dan kehendak bebasnya sendiri, disitulah relationship yang murni terjadi. Tuhan tidak ingin manusia terhubung denganNya karena terprogram. Dia ingin ungkapan penyembahan kita muncul dari kemurnian hati kita yang memang menginginkan berjumpa denganNya. Hubungan seperti inilah yang Tuhan inginkan. Masalahnya, menciptakan manusia dengan kehendak bebas yang bisa mengungkapkan kasih tanpa disuruh dan bisa tak terprediksi, juga menciptakan potensi untuk menusia berbuat sebaliknya. Tapi kenapa Tuhan menempuh resiko itu hanya sekedar untuk punya relationship dengan manusia? Inilah yang disebut dengan kasih. Tanyakan orang tuamu. Ketika mereka memutuskan untuk memiliki anak, apakah mereka yakin 100% bahwa anak mereka akan bertumbuh dewasa menjadi anak yang baik dan membalas budi pada orang tua? Bukankah juga ada potensi untuk anak mereka waktu dewasa nanti menjadi durhaka dan merepotkan orang tua? Kenapa para orang tua ini masih meresikokan diri untuk melahirkan anak-anak mereka tanpa ada jaminan pasti bahwa anak mereka pasti jadi orang baik? Karena kasih orang tua ini terlalu besar kepada si anak, sehingga mereka siap mengambil resiko terlukai, demi peluang kemungkinan untuk bisa mengasihi dan memiliki relationship dengan anaknya. Jadi, meski Tuhan tahu bahwa manusia kelak bisa saja mengakibatkan kekacauan, tetapi karena kasihNya, Dia memutuskan tetap menciptakan manusia dengan memiliki kehendak bebas. Karena Tuhan menginginkan relationship dengan manusia. KENAPA DIA TIDAK MELAKUKAN INTERVENSI? Pertanyaan ini juga pasti muncul setelah menerima penjelasan di atas. Dalam kemahakuasaanNya, Dia bisa saja mengintervensi untuk mencegah keburukan yang merajalela. Ya, tentu saja Dia bisa dan sangat bisa. Tapi, apa yang terjadi kalau Tuhan mengintervensi semua kejahatan dan mengembalikannya kepada kebaikan? Setidaknya ada 2 akibat signifikan dari tindakan itu. Pertama, kita tidak lagi menjadi manusia dengan kehendak bebas karena setiap kali kehendak kita bertentangan dengan Tuhan, Dia langsung mengintervensi dan mengubahnya menjadi kebaikan. Kembali lagi, dengan menghilangkan kehendak bebas, maka akan hilang pula relationship yang murni antara manusia dengan Tuhan. Kedua, dengan adanya intervensi Tuhan yang terus-menerus, manusia tidak akan pernah belajar. Kemanusiaan kita muncul dan menjadi kian tajam karena kita melihat adanya ketidakmanusiawian di

5

sekitar kita. Kita menjadi semakin tahu bagaimana seharusnya kita hidup, dan kita berusaha memperjuangkannya. Untuk makin memperjelas, ijinkan saya menceritakan kebingungan saya beberapa tahun lalu, di kasus yang berbeda tapi sebenarnya mirip. Saya pernah bertanya-tanya, kenapa Yesus harus muncul ratusan tahun setelah bangsa Israel dibebaskan dari Mesir. Kenapa Yesus tidak langsung hadir di zaman Musa saja? Butuh banyak sekali pergantian generasi dan berbagai peristiwa kegagalan Israel untuk mengikuti jalan Tuhan, hingga kemudian Yesus muncul. Belakangan, saya mulai mengerti, karena memang dibutuhkan segitu banyak tahun, segitu banyak peristiwa, dan segitu banyak kegagalan, untuk membuat Israel sadar bahwa mereka memang tidak akan pernah bisa mencapai keselamatan tanpa Juru Selamat. Dengan kedegilan dan kebebalan mereka, dibutuhkan semua ketidak’enak’an itu untuk menyadari pentingnya kehadiran Yesus. Kalau Anda orang tua, Anda akan mengerti, bahwa kadang-kadang, meski Anda melihat anak Anda sedang menghadapi kesulitan, dan sebenarnya Anda bisa-bisa saja menolong mereka, tetapi kadangkala dengan sengaja Anda membiarkan sementara waktu, untuk supaya anak Anda belajar sesuatu. Tapi saya yakin, sebenarnya ketika anak Anda kesulitan, hati Anda tak tega dan Anda “gregetan” untuk segera turun tangan mengintervensi. Tapi, justru karena KASIHlah, Anda menahan diri karena ingin anak Anda belajar dan menjadi lebih baik hidupnya. Jadi, kenapa Tuhan tidak melakukan intervensi? Karena alasan yang sama. DIA MELAKUKAN INTERVENSI KOK… Dan sebenarnya, saya meyakini Tuhan masih melakukan intervensi. Jikalau tidak, mungkin dunia ini sudah lama musnah oleh kejahatan yang dilakukan manusia. Dan dalam banyak peristiwa, saya bisa melihat Tuhan kadang-kadang masih melakukan intervensi dan kita menyebutnya sebagai mukjizat. Hanya saja, memang kita tak pernah bisa memprediksi kapan Tuhan melakukan intervensi dan bagaimana formulanya. Karena kalau mukjizat menjadi treprediksi dan diketahui polanya, ia tidak lagi disebut mukjizat. Sesuatu yang sudah biasa tidak akan lagi disebut luar biasa. Itu sebabnya, intervensi Tuhan jelas masih terjadi walau tanpa sepengetahuan kita dan tak bisa kita prediksi. Misalnya, beberapa kasus kanker yang hilang karena doa, orang-orang yang menjadi sembuh dengan mendadak sampai dokter juga heran (saya memiliki teman yang benar-benar mengalami ini), atau kasuskasus kejahatan yang tergagalkan karena berbagai faktor yang seringkali orang melihatnya sebagai “keberuntungan” atau faktor X.

6

Bayangkan, bisa saja sebenarnya hari ini Anda tertabrak mobil yang menyetir ugal-ugalan, tetapi mungkin kemarin malam Tuhan sudah melakukan “intervensi” dengan membuat si supir mengalami sakit perut karena terlalu banyak makan makanan pedas yang dibawakan oleh saudaranya yang datang dari jauh. Sehingga pagi ini dia batal pergi dan Anda menjalani Anda dengan baik-baik saja. Mukjizat mungkin sedang terjadi pada saat Anda membaca tulisan ini dan mungkin saja Tuhan baru melakukan intervensi mencegah hal buruk dalam hidup Anda terjadi. Tapi, karena itu semua terjadinya di belakang layar dan Anda tidak menyadarinya sama sekali, Anda akan menganggapnya sebagai sebuah hari yang biasa saja. Jadi, menyimpulkan semuanya. Kehadiran kejahatan dan hal-hal buruk di tengah-tengah kita, tidak dengan serta merta meniadakan Tuhan dan tidak berarti Tuhan juga jahat karena membiarkan itu terjadi. Bagaimanapun, kehidupan ini adalah misteri yang takkan pernah terselesaikan.

7

Boikot Starbucks! Cukup mengherankan ketika topik “Starbucks dan LGBT” menjadi mencuat hari-hari ini, karena sebenarnya, (kalau saya tidak salah ingat), sudah agak lama Starbucks dengan jelas menunjukkan posisi mereka sebagai pendukung LGBT. Dan sebenarnya bukan cuma Starbucks, tapi cukup banyak perusahaan papan atas internasional yang (meski tidak selalu dalam bentuk pernyataan resmi) sebenarnya menunjukkan “perilaku mendukung” kepada LGBT. Sebut saja misalnya Disney. Meski bukan program resmi dari Disney, tetapi mereka dengan senang hati “membiarkan” adanya Disney Gay Days dimana hari itu puluhan ribu kaum gay berkumpul untuk merayakan komunitas mereka di sebuah tempat yang “penuh keajaiban” macam Disneyland. (Namanya juga “bisnis”, asalkan menguntungkan, LGBT juga fine-fine aja bagi mereka!) Bagaimana dengan merk sepatu Nike yang mengeluarkan edisi khusus “BeTrue” dengan desain pelangi di saat momentum maraknya LGBT mulai berkembang dan diakui? Dan, bahkan, mulai berkembang budaya perayaan diakuinya pernikahan sesama jenis di Amerika dalam bentuk digelarnya diskon-diskon khusus bagi pasangan gay ketika mereka membeli barang di berbagai department store, kafe, restoran, dan tempat-tempat lainnya. Teman saya Andy Zain, yang kebetulan dalam perjalanan ke Amerika yang bertepatan dengan perayaan legitimasi pernikahan sesama jenis, menggambarkan suasananya mirip seperti “Jakarta Great Sale”, tapi khusus bagi para pasangan gay. Nyaris semua outlet memberikan diskon khusus bagi pasangan gay. Jadi bagaimana? Kalau kita hidup disana, perlukah kita memboikot semua tenant, toko, dan produk yang ikut-ikutan memberikan diskon khusus gay? (itu artinya, kita memboikot 80% dari barang yang biasanya kita beli). Perlukah kita berhenti mengunjungi Disneyland dan melarang semua orang yang kita kenal untuk berkunjung kesana? Bagaimana dengan Facebook yang jelas-jelas menyatakan dukungannya kepada pernikahan sesama jenis melalui dibuatnya Profile Picture pelangi (yang akhirnya dipakai dimana-mana)? Perlukah kita semua berhenti memakai Facebook sebagai bentuk boikot? Lalu bagaimana juga dengan CEO Microsoft, Satya Nadella yang jelas menyatakan dukungannya kepada kaum gay? Dan bagaimana dengan CEO Apple, Tim Cook, yang sudah secara public menyatakan bahwa dirinya adalah gay? ( bahkan Bill Gates, Sundar Pichai – Android, dan Mark Zuckerberg, Bill Clinton, dan Richard Branson – Virgin Air, menyatakan encouragemet atas pengakuan Tim). Dengan demikian, jelas sekali kedua pemimpin eksekutif itu akan membangun budaya perusahaan yang “kondusif” bagi LGBT dan kalau punya kesempatan, mungkin mereka akan mengarahkan perusahaan mereka untuk mendukung LGBT (apalagi kalau ada keuntungan bisnisnya).

8

Jadi, perlukah kita berhenti memakai Windows dan semua produk Apple? APA POSISI SAYA? Saya orang Kristen. Saya memperhitungkan diri saya sebagai orang yang peduli dengan moralitas dan kerohanian. Saya termasuk salah satu pemimpin strategis dalam sebuah gereja. Saya sudah 23 tahun melayani. Dan ya, sampai hari ini ada beberapa orang gay yang saya muridkan dan konselingi. Saya jelas berada di posisi yang tidak bersetuju 100% dengan pernikahan sesama jenis. Walaupun relationship sesama jenis sering mengatakan bahwa dasar mereka adalah kasih (dan itu sangat alkitabiah! Bukankah Allah adalah kasih? Jadi kenapa kalau ada orang saling mengasihi kok dilaranglarang? – begitulah argumen umum yang sering diajukan). Tapi pertanyaannya, adakah hubungan gay yang tidak melibatkan kegiatan atau nafsu seksual di dalamnya? Ketika kegiatan seksual dilakukan oleh sesama jenis, jelas ini sesuatu yang tidak benar. Dari desain (maaf) alat kelamin saja, sudah jelas tidak ada kesesuaian, jika aktifitas seksual dilakukan oleh sesama jenis. Lalu kodrat “beranak cucu” juga bisa hanya bisa terjadi melalui pria dan wanita. Bayangkan kalau sejak awal semuanya adalah pasangan sesama jenis. Bukankah manusia akan punah secepat-cepatnya? Maksud saya menyampaikan ini bukanlah apa-apa, hanya ingin menunjukkan bahwa “kodrat” dan desain awalnya saja, sudah jelas-jelas terlihat. Lalu, asmara dan kasih adalah dua hal yang berbeda. 1 Yohanes 4:8 menyatakan bahwa Allah adalah AGAPE. Saya yakin Anda pasti sudah memahami bahwa Agape adalah bentuk kasih yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan asmara yang adalah “Eros”. Bahkan, kasih pertemanan yang umumnya adalah “Philea atau Filio” saja, levelnya masih berbeda dengandibawah Agape. Jadi, menyamakan hubungan “kasih” antar sesama jenis dengan Agape Allah adalah sebuah konsep pembenaran yang tidak pada tempatnya. TAPI, saya tidak pernah sekalipun berpikir untuk memboikot, apalagi menyerukan pemboikotan terhadap (misalnya) Starbucks atau apapun dan siapapun. Mengapa? SATU. Pemboikotan bukan hanya tidak akan memberikan pengaruh perubahan, tetapi lebih dari itu, semakin menjauhkan teman-teman LGBT dari kasih yang sesungguhnya. Meski Anda seorang gembala dengan jemaat 1 juta orang sekalipun, dan bersama-sama memboikot Starbucks, Facebook, Disneyland, Nike, Microsoft, dan Apple, Anda pikir akan membawa perubahan dengan berhentinya perilaku hubungan sesama jenis? Justru, itu seperti menyiram bensin ke dalam api. Mereka akan semakin berusaha membuktikan bahwa mereka layak diterima dan diperlakukan seperti orang lain pada umumnya.

9

Dan lebih dari itu, pemboikotan melukai para teman LGBT. Seperti yang berulang-ulang selalu saya katakan dalam sesi debat, ngobrol, dan diskusi saya dengan Ivan Podiman, gereja dipanggil untuk menjadi PEWARTA KASIH di bumi, BUKAN sebagai hakim. Kita baru akan ikut menghakimi NANTI setelah Yesus sang Hakim Agung menjemput dan “mengubah” kita sempurna (bukan sekarang!). Saat ini, kita dipanggil untuk menceritakan kepada sebanyak mungkin orang betapa Tuhan mengasihi manusia sedalam apapun kejatuhan mereka. Dan betapa inginnya Tuhan memiliki relationship Agape dengan mereka. Termasuk dengan teman-teman LGBT! DUA. Saya membedakan antara kaum gay dengan aktifitas gay. Begini, kalau ada orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seks “non konservatif”, misalnya dengan melakukan hubungan seks ramai-ramai dengan berapa orang sekaligus. Apakah kemudian kita harus langsung meng”exclude” dan condemn orang itu? Memang benar apa yang dia lakukan itu mungkin salah. Tapi, sadarkah Anda bahwa perjalanan hidup masa lalu orang itu bisa saja mengantarkan dia menjadi seperti itu. Dan tidak mudah baginya untuk “melawan” kecenderungan yang muncul itu. Contoh lebih “ringan”. Orang yang sudah kecanduan pornografi berat selama bertahun-tahun. Tidak mudah untuknya dalam 1 malam tiba-tiba berubah dan selesai dengan semuanya dan memastikan tidak akan pernah lagi muncul godaan untuk melihat pornografi lagi. Bahkan, saya mengenal ada banyak mantan pecandu pornografi yang berjuang seumur hidupnya melawan kecenderungannya. Perjuangannya berlangsung sampai akhir hidupnya. Saya memandang teman-teman LGBT juga begitu. Ada sebuah proses tertentu yang membuat mereka memiliki kecenderungan itu. Dan, tidak mudah bagi mereka untuk dalam 1 malam berhenti dan tiba-tiba tidak lagi memiliki dorongan homoseksual. Kalau Anda pernah menemani proses pertumbuhan kerohanian seorang gay, Anda akan tahu betul bagaimana beratnya perjuangan mereka melawan “diri mereka sendiri”. Orang-orang seperti ini layak ditemani. Layak dikasihi. Layak didukung, dan layak di”belong”. Setiap orang itu memiliki “perjuangan seumur hidup” mereka masing-masing. Hanya lantaran ini berkaitan dengan homoseksual, bukan berarti ini menjadi lebih “najis” atau menjadi lebih hina. Dan hei, bahkan mungkin mereka tidak pernah ingin atau memilih untuk menjadi seperti itu. Lalu, apakah itu artinya saya mentoleransi perilaku (seksual) gay? Belajar dari Yesus, makin kesini saya makin menyadari. Yesus dalam semua pelayanannya, selalu melakukan proses 3B: Belong – Belief – Behaviour.

10

Yang Yesus lakukan adalah mengasihi dan menerima (Belong) pribadi orang yang berdosa. Barulah Dia kemudian membangun hubungan untuk mengubah Beliefs mereka melalui hubungan dan pengajaran. Dengan demikian perubahan Behaviour hanyalah akibat yang akan dituai kemudian. Tapi kita orang Kristen, seringkali menerapkan proses terbalik: Behaviour – Belief – Belong. Kita menyeleksi orang dari perilaku mereka dan dari keyakinan mereka, ketika keduanya berbeda dengan kita, maka kita tidak mau mem”belong” mereka. Saya yakin sepenuhnya, orang yang sudah berjumpa dengan Agape Tuhan, TIDAK MUNGKIN TIDAK berubah! Tugas kita cuma memperkenalkan dan menuntun orang untuk berjumpa dengan Agape itu, dan Agape itu sendirilah yang akan mengerjakan proses perubahannya. Bukan kita. Sayangnya, kita selalu punya sikap “God Wannabe”. Kita yang menentukan standar-standar dan berpikir kitalah yang akan mengubah orang menjadi lebih benar dan kudus. (Lha wong, mengubah diri-sendiri aja sudah sulit sekali, kok ingin mengubah orang lain?) Itu sebabnya, saya yakin, bukanlah bagian saya untuk mengutuki, mengintervensi, maupun memboikot semua aktifitas gay. Bagian saya adalah bagaimana teman-teman LGBT ini bisa berjumpa dengan Agape, sebuah kasih yang levelnya berbeda sekali dengan apa yang mereka dapatkan melalui relationship LGBT mereka. Sebuah kasih yang tak ada habis-habisnya dan melampaui akal budi kita untuk mencernanya. Sebuah kasih yang takkan pernah kita sangka ada di dunia ini. Sampai mereka menyadari bahwa “kasih” LGBT mereka tidaklah sampai separuh dari kasih Agape yang mereka jumpai ini. Inilah yang membuat banyak orang berubah hidupnya. Saya meninggalkan banyak dosa dan kebiasaan lama saya bukan karena apa-apa, lantaran karena saya berjumpa dengan kasih Agape di saat saya sedang berdosa-berdosanya. Mirip seperti Matius yang diajak Tuhan menjadi muridNya, justru ketika dia sedang di rumah cukai, menghitung uang hasil perasannya. Mirip seperti Paulus yang dijumpai Agape dalam perjalanannya hendak menganiaya jemaat. Mirip seperti wanita pelacur yang berjumpa Agape justru ketika dia mau dirajam karena tertangkap basah berzinah habis-habisan. Apakah Anda masih yakin bahwa kasih Agape ini sanggup memberikan perubahan kepada siapapun? Seringkali, kita mulai sibuk menggunakan cara-cara kita sendiri dan penilaian/pemikiran kita sendiri dalam “meluruskan” dunia yang bengkok ini. Kenapa? Karena kita tidak yakin dan tidak lagi percaya bahwa kasih Tuhan sanggup mengubah kehidupan orang lain. Sampai-sampai kita harus “turun tangan” sendiri membela kebenaran melalui cara-cara pemboikotan dan sejenisnya. Daripada sibuk melakukan semua itu, bukankah sebaiknya energi kita dialokasikan untuk menceritakan kasih super dahsyat ini?

11

TIGA. Tindakan pemboikotan, bagi saya adalah sebuah kebodohan. Kenapa? Tidakkah Anda pikir dibalik perusahaan itu ada banyak sekali orang non-LGBT yang menggantungkan hidupnya disana? Lalu, Anda mendoakan supaya perusahaan ini tutup melalui pemboikotan? Akan kemanakah mayoritas non-LGBT itu? Anda mau menyediakan lapangan kerja sepadan untuk mereka? “Siapa suruh mereka kerja di perusahaan yang tidak Alkitabiah?” Lho, bukankah kita ini seperti domba yang DIUTUS di tengah serigala? Bukankah kita disuruh PERGI ke seluruh ujung dunia? Bukankah kita ini GARAM dan TERANG di tengah dunia yang hambar dan gelap? Kalau kita ramai-ramai bekerja di perusahaan yang semuanya isinya orang Kristen, kenapa nggak bikin gereja aja sekalian? Bukankah justru kitalah yang seharusnya membawa perubahan? Dan, yakinkah Anda bahwa Tuhan juga menyerukan pemboikotan? Menegakkan kebenaran, tanpa menegakkan kasih, adalah sama fatalnya seperti menegakkan kasih tanpa menegakkan kebenaran. Maksud saya adalah, jika memang Anda geram dengan makin maraknya perkembangan LGBT dimanamana, masih ada banyak tindakan lain (yang lebih efektif) yang bisa dilakukan daripada hanya sekedar memboikot dan melarang-larang. Jika memang kita adalah kepala dan bukan ekor, cobalah bikin coffee shop tandingan yang lebih hebat dan mendunia, atau bikin aplikasi social media yang lebih sangar dari Facebook, atau buat perusahaan teknologi yang menyaingi Apple dan Microsoft, dan tunjukkan culture Kerajaan Allah melalui semua bisnis itu! Ah… PR kita memang masih banyak yah? Jadi, daripada sibuk berkoar-koar seperti “tetangga” kita itu… Mendingan kita perhatikan hidup kita dulu dengan seksama, adakah kita menjadi batu sandungan sampai Injil (kasihTuhan) tidak bisa diterima? Adakah kita sudah berkarya dengan benar sehingga punya exposure yang equal untuk menyuarakan sebuah culture tertentu? Adakah kita sudah menjadi gereja seperti yang Yesus lakukan selama di bumi? Kalau belum… why don’t we just shut our mouth, and start doing something (really) useful for His Kingdom?

12

ORANG KRISTEN ITU BODOH?

Seorang kenalan saya, menahan dirinya untuk menjadi Kristen, hanya karena satu alasan: dia tidak mau diidentikkan sebagai orang bodoh. Padahal, dia sulit menyangkali kesupranaturalan dan ketuhanan Yesus dan banyak keraguan intelektualnya yang dengan mudah dijawab secara masuk akal. Tapi tetap saja, ketika semua argumen sudah dikemukakan, pada akhirnya, salah satu yang membuat dia enggan untuk menyerahkan hidupnya kepada Kristus adalah karena dia takut akan berubah menjadi seperti orang-orang Kristen yang dia anggap (kebanyakan dari mereka) bodoh. Darimana kesimpulan itu dia dapat? Sejak kecil, dia tumbuh dengan dikelilingi oleh dunia kekristenan yang kental. “Jangan nonton Pokemon, nanti kamu dikuasai roh jahat”. “Jangan nonton harry potter, nanti kamu kena mantra”. “Jangan bawabawa kalung itu, di dalamnya mengandung kuasa gelap”. Awalnya, kalimat-kalimat ini yang mengusiknya ketika dia masih kecil. Ketika kemudian ia sudah dewasa. Pendidikan tinggi dan pengalaman hidupnya bersentuhan dengan banyak orang intelektual, menegaskan bahwa apa yang diajarkan kepadanya sangatlah absurd dan merupakan pembodohan baginya. Dari sekedar urusan pokemon dan harry potter, keraguan mulai berpindah pada hal-hal yang semakin mendalam seperti: pernikahan kristen adalah hal yang konyol. Sex before marriage hanyalah mitos bodoh untuk menakut-nakuti anak muda. Doa adalah sebuah tindakan menghibur diri yang kerdil. Tuhan hanyalah ilusi buatan pikiran manusia. Dan semua ini semakin diperkuat dengan perilaku banyak sekali orang kristen, pelayan Tuhan, hingga pendeta dan pemimpin gereja, yang munafik, menyangkali ajaran mereka sendiri, dan tidak ada kebenaran sama sekali dalam perilaku mereka. Membuat orang-orang intelek seperti kenalan saya ini, semakin yakin bahwa semua ajaran Kekristenan hanyalah sebuah bentuk doktrinasi yang dipakai sebagai “alat sihir” untuk memperbudak jemaat agar mengikuti kemauan oknum-oknum pendeta atau pemimpin gereja. Dengan demikian, menjadi “Kristen” jelas akan membuat para generasi intelek ini menggolongkan dirinya kepada sekumpulan orang “bodoh” yang mau-maunya diperbudak oleh otoritas rohani yang jelas-jelas tidak rohani. Mereka kian terheran-heran ketika orang tua mereka dengan polosnya mau mengikuti begitu saja arahan “supranatural” yang tidak masuk akal dari otoritas rohani mereka. Dan dengan segera, situasi ini meluncur kepada kesimpulan absolut bahwa kekristenan hanyalah permainan manusia belaka dimana sebenarnya tidak ada Tuhan di dalamnya. Dan sebagai orang “pintar”, jelaslah kita menolak dibodoh-bodohi oleh semua hal “mistis” ini.

13

BENARKAH KEKRISTENAN ADALAH KEBODOHAN? Izinkan saya menjelaskannya satu-persatu. PERTAMA, Apa yang disebut dengan bodoh? Bagi kita, masyarakat modern, melihat orang di suku pedalaman yang hidup telanjang, kita mungkin menyebut mereka “bodoh” dan bingung kok bisa-bisanya mereka hidup seperti itu. Tapi, bagi mereka bisa saja kita yang bodoh. Cuaca sudah panas, kenapa kok mau-maunya hidup diselimuti pakaian yang malah menambah panas. Bagi kita yang belum “in to” dengan Kekristenan, memang bisa jadi semua ajaran kekristenan adalah kebodohan. Sama seperti bagi orang Kristen mungkin orang-orang yang terlalu logis, kristis, dan mengagungkan intelektualitas, justru adalah yang bodoh. Bukankah ini yang terjadi pada Paulus? Dulu dia merasa pengikut Kristus itu bodoh karena dia merasa sebagai kaum intelektual sekaligus rohanilah yang paling benar. Dia menguasai semua taurat dengan sempurna. Tapi, setelah dia menjadi pengikut Kristus, semua “kesempurnaan” dia yang semula, malah dianggapnya sampah dan dulu apa yang dia anggap kebodohan, malah kini dia anggap yang mulia. Anda tidak bisa serta merta membodoh-bodohkan orang begitu saja. Misalnya, ada orang yang hobi banget main game, lalu kita anggap dia bodoh hanya karena kita tidak suka main game. Ada orang suka otomotif dan kita anggap bodoh hanya karena kita tidak menganggap penting otomotif. Ada yang suka fashion “blink-blink” dan “nabrak” lalu kita sebut bodoh hanya karena selera fashion kita beda. Ada orang yang cinta mati drama korea dan kita sebut bodoh hanya karena kita penggemar NatGeo dan Discovery channel. Dalam beberapa kasus, kita cenderung “membodohkan” seseorang karena perbedaan “selera” dan “stand point” yang seringkali banyak melibatkan unsur emosional pribadi kita (meski kemudian didukung oleh argumen-argumen logis sebagai alat pembenaran dari opini emosional kita). Jika yang dimaksud “bodoh” adalah soal cara berpikir dan bernalar, maka berarti yang salah kan “orangnya” bukan “kekristenannya”? Dalam semua agama, bahkan dalam semua “kelompok” belief, selalu punya orang-orang “bodohnya” masing-masing kan? Kalau soal adanya oknum yang menyalahgunakan ajaran kristen untuk melakukan pembodohan, bukankah ada juga yang menggunakan science juga untuk melakukan pembodohan? Memang, seolah ada indikasi, dengan mengajarkan prinsip-prinsip kekristenan, kita sedang mengajari orang untuk punya cara berpikir yang tidak masuk akal dan “bodoh”. Namun, sebagai orang yang mempelajari kekristenan secara sungguh-sungguh, saya justru menemukan, sejak saya semakin mendalami kebenaran Alkitab, saya justru semakin terlatih untuk memakai nalar, berpikir kritis, dan 14

semakin terbiasa untuk menemukan kebenaran dalam koridor yang “masuk akal” sehingga iman saya justru semakin lebih diperkuat dari sebelumnya. Jadi, saya cukup bingung kalau masih ada orang yang menuduh menjadi orang Kristen adalah sama dengan menjadi orang bodoh. KEDUA, Tidak semua yang masuk akal itu harus logis. Saya beri contoh. Kenapa ada orang tua yang tetap mau menolong anaknya walaupun anaknya sudah berkali-kali kurang ajar? Jawabannya, karena mereka orang tuanya, mereka mengasihi anaknya. Masuk akal kan? Tapi apakah logis? Tidak logis untuk menolong orang yang sudah jelas merugikan dan tidak ada jaminan bahwa dia akan berubah. Bahkan meskipun itu anak, tetap saja tidak logis. Tapi menjadi masuk akal ketika kita melihat dari view orang tua-anak. Tidak semua yang masuk akal itu logis. Kekristenan sangatlah masuk akal, walaupun tidak selalu logis. Ada banyak hal dalam kekristenan yang mungkin tidak masuk di logika kita, tetapi sesungguhnya kalau view kita diperluas, kita bisa mengetahui bahwa semuanya masuk akal. Jika Anda tidak bisa menemukan dimana masuk akalnya kekristenan, saya akan terlalu panjang untuk menjelaskannya. Tapi saya bersedia untuk ngobrol dengan Anda kalau memang Anda penasaran dengan ini. KETIGA, Cara pendeta/gembala/pengkotbah atau orang tua dalam menyampaikan kekristenan seringkali terbatas. Mereka mungkin tidak memiliki wilayah berpikir yang sama dengan kita karena background dan generasi maupun budaya yang sudah berbeda. Mungkin mereka banyak bicara berdasar pengalaman pribadi dan bagi kita itu sulit diterima karena terkesan subyektif. Namun bukan berarti kekristenan tidak bisa dijelaskan dan dipahami dengan modern. Semuanya hanyalah masalah bahasa dan penyampaian saja. Saya bisa menunjukkan orang-orang “pintar” dan “intelektual” yang mencintai Tuhan secara radikal. Kekristenan tidak selalu identik dengan pembodohan maupun kebodohan. KEEMPAT, Memang prinsip kekristenan berbeda dengan prinsip dunia pada umumnya. Bahkan ada banyak prinsip yang berkebalikan. Misalnya, bagi dunia umum, kita memegang teguh prinsip: “lihat dulu baru percaya”.

15

Dalam kekristenan, sebaliknya, kita malah “percaya dulu baru lihat”. Dan kita menyebut ini iman. Tapi, kalau dipikir-pikir, bukankah banyak kejadian dalam hidup kita, yang tanpa sadar kita kerjakan dengan “iman” ini? Misalnya, melahirkan anak. Siapa yang sudah bisa melihat masa depan bahwa anaknya pasti jadi orang baik? Yakin tidak akan durhaka? Tapi toh tetap saja anaknya dilahirkan? Bukankah ini percaya dulu, baru melihat? Dan kalau sampai Kita menyebut ini sebagai sebuah kebodohan, maka kita benar-benar tidak tahu diri. Kenapa begitu? Karena berkat “kebodohan” itulah kita bisa ada sekarang dan menjadi seintelektual ini. Andaikan orang tua kita pintar, penuh perhitungan, dan “intelektual” seperti standar kebanyakan orang “cerdas”, bisa jadi mereka takkan mau punya anak dan kita takkan pernah eksis. “Kebodohan” merekalah yang menghidupkan kita. Dan kini, dengan “kepintaran” kita, malah kita menuduh mereka bodoh. Apa maksud saya menuliskan semua ini? Saya mencoba membukakan kepada Anda, meski tampaknya banyak sekali prinsip-prinsip kekristenan yang kelihatan bodoh dan terbalik dengan cara kerja dunia ini, tapi kalau ditelaah baik-baik, justru sebenarnya banyak dari prinsip itu tidak sebodoh kelihatannya dan malah itulah prinsip-prinsip yang menjaga kita tetap hidup sampai hari ini. Jadi sebelum kita mengambil kesimpulan bahwa kekristenan adalah kebodohan dan orang Kristen adalah orang-orang bodoh, sebaiknya, cobalah menyelidiki lebih dulu dengan bijaksana, karena janganjangan, di balik “kepintaran otak” yang kita bangga-banggakan itu, kita justru sedang mempertunjukkan kebodohan kita secara intelek. Well, so far, i’m proud to be a christian.

16

Para Pengamen Dalam Gereja

“Penyembahan sejati tidak lahir dari ketakutan maupun kerakusan…” Kejadian 1:1, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi.” Alkitab memulai tulisannya dengan kalimat ini. Pertanyaannya, apa yang ada sebelum itu? Sebelum Tuhan menciptakan langit, bumi, dan manusia, apa yang ada? Kekekalan. Tuhan yang berdiam dalam kekekalan. Saya tidak ingin membahas soal kekekalan dalam artikel ini. Tetapi, yang jelas, tak seorang manusiapun mengetahui seperti apa rasanya hidup dalam kekekalan karena semua yang ada di dunia ini hidup dalam kerangka kefanaan. Tapi, yang jelas, sebelum kita ada. Tuhan sudah lebih dulu ada. Pertanyaannya, kenapa Tuhan tidak membiarkan saja keadaan “kekekalan” itu terus berlangsung tanpa kehadiran kita? Kenapa Tuhan lebih memilih meng’ada’kan kita ketimbang membiarkan ketiadaan langit, bumi, dan manusia. Kenapa Dia lebih memilih manusia ada, ketimbang tidak ada? Padahal, saya sangat percaya, di dalam kekekalanNya, Tuhan tidak kekurangan suatu apapun. Perasaan Tuhan tidak kurang, sehingga Dia harus mengisinya dengan manusia. Ada atau tiadanya manusia, sebenarnya tidak pernah mengurangi ataupun menambahi Tuhan. Di dalam kekekalannya, Tuhan sudah sempurna adanya. Lalu, apa yang membuatNya memilih untuk menjadikan manusia? Saya bukan Tuhan, saya tidak pernah akan tahu sepenuhnya apa alasan Dia untuk menjadikan kita. Tetapi, sejauh apa yang saya pelajari dalam Alkitab. Saya hanya menemukan satu alasan saja: karena kasih. Tuhan tidak menciptakan manusia untuk bekerja padaNya. Tuhan tidak menciptakan manusia untuk melakukan sesuatu bagi Dia. Yang saya pahami, tujuan awal Tuhan menciptakan manusia adalah untuk menikmati persekutuan denganNya. Tuhan memang tidak membutuhkannya, tapi Dia ingin tetap melakukannya. Tuhan tidak berkewajiban, tapi Dia berkehendak. Bahkan, secara ekstrim, saya bisa berkata, Tuhan tidak menciptakan manusia untuk “menyembah” Dia (kalau definisi menyembah adalah menyanyi dan memuji Dia). Seperti kata-kata Rick Warren, Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi obyek sasaran kasihNya. Untuk berkasih-kasihan denganNya dalam sebuah persekutuan yang abadi. 17

Kenapa Dia melakukan itu? Tanyakanlah kepadaNya di Surga nanti. Menanyakan pertanyaan itu seperti bertanya kepada pasangan suami istri yang sudah kakek nenek, “kenapa kamu bersedia hidup bersamanya sampai tua dan mati?”, jawabannya cuma karena kasih yang dinyatakan melalui “persekutuan” perkawinan. Wajibkah? Tidak. Haruskah? Tidak. Bisakah tidak dilakukan? Bisa. Tapi mereka tetap ingin melakukannya karena kasih diantara mereka. APA PENTINGNYA SEMUA INI? Jika kita memahami hakikat dasar ini, kita akan mulai memahami bahwa kekristenan bukanlah berbicara soal agama dan sepaket aturan boleh tak boleh. Jika kita memahami esensi ini, kita akan mulai mengerti bahwa Tuhan bukanlah berhala yang diberi sesajen untuk mengeluarkan “berkat”. Sayangnya, terlalu banyak orang Kristen yang menganggap Tuhan demikian. Seolah seperti mesin permainan Time Zone, yang menyala ketika kita memasukkan koin (doa, kolekte, dan semua ritual kita). Seolah Tuhan seperti Jin Lampu yang muncul mengabulkan semua permintaan kita ketika kita mengusap-usap kediamanNya (dengan nyanyian, uang, dan pelayanan kita). Andaikan, semua orang Kristen memahami bahwa semua yang kita lakukan, adalah bentuk persekutuan kita denganNya. Sebuah bentuk hubungan “berkasih-kasih’an” denganNya. Andaikan kita melakukan semua kekristenan kita dengan pemahaman ini, maka semuanya akan menjadi berbeda. Kita takkan lagi menjadikan ibadah hari minggu sebuah tempat liturgis untuk melepaskan (maaf) “hajat” agamawi kita dan keluar dari gedung gereja dengan kelegaan karena baru saja menyelesaikan “tuntutan” agama. Sebaliknya, ibadah minggu menjadi sesuatu yang kita syukuri dan nikmati karena selama seminggu sekali, kita bisa bersama-sama dengan saudara yang lain berjumpa dengan Tuhan secara korporat. Ini menjadi semacam sebuah ajang “hang out” rame-rame antara kita, saudara seiman, dan Tuhan sendiri. Dan, pemahaman seperti ini akan mencegah kita semua untuk menjadikan gereja sebagai tempat kita untuk “mengamen”. Tanpa berniat sama sekali untuk mengecilkan profesi pengamen, tetapi analogi ini sangatlah tepat untuk menggambarkan kebanyakan gaya hidup kekristenan kita. Kita datang kepada Tuhan dalam doa, nyanyian, dan pelayanan dengan tangan menengadah sambil “menodong” agar Tuhan memberikan sesuatu sebagai imbalannya. Bukankah kita sedang mengamen di rumahNya? Pengamen tidak menyanyikan lagu karena punya hubungan dekat dengan Anda. Kekasihlah yang melakukan itu. Anak yang melakukan itu. Sahabat yang melakukan itu. Pengamen tidak. Pengamen menyanyikan lagu untuk menagih imbalan dari Anda.

18

Jika Anda berpikir, semua aktifitas agama Anda menjadi sebuah “suapan” atau “kompensasi” agar Tuhan memberkati Anda atau memberi Anda mukjizat, maka Anda sedang menyamakan Tuhan selevel dengan berhala. Penyembahan sejati tak pernah lahir dari kerakusan. Penyembahan tak ada hubungannya dengan apa yang akan Anda terima, karena ini berbicara soal apa yang Anda beri untuk Tuhan.

KETIKA SANG PEMBERI LEBIH PENTING DARI PEMBERIAN 3 Orang muda bernama Sadrakh, Mesakh, Abednego. Mereka sedang terancam di hadapan dapur api yang menyala. Dalam kengerian yang diperhadapkan kepada mereka, Raja yang berkuasa saat itu memaksa mereka untuk menyembah kepadanya dan meninggalkan Tuhan. Manusia selalu memaksa manusia lain untuk menyembah dirinya dengan jalan ditakut-takuti. Tuhan tak mau melakukan cara itu, karena penyembahan sejati tidak lahir dari ketakutan. Penyembahan yang lahir dari rasa takut bukanlah penyembahan, itu adalah keterpaksaan dan keputusasaan. Tuhan mengharapkan hubungan kasih, dan kasih takkan pernah melibatkan ketakutan. Kalimat fenomenal yang kemudian diucapkan oleh ketiga orang itu adalah: Lalu Sadrakh, Mesakh dan Abednego menjawab raja Nebukadnezar: “Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu. – Daniel 3:16-18 Inilah hakikat penyembahan. Ketiga anak muda itu tak memikirkan apakah Tuhannya sanggup menyelamatkan mereka. Mereka tak sedetikpun berpikir mukjizat apa yang akan Tuhan kerjakan untuk mereka, atau berkat apa yang akan terjadi dalam hidup mereka ketika mereka taat kepadaNya. Mereka menyembah Dia murni karena kasih mereka sungguh tak tergantikan oleh apapun, bahkan oleh nyawa mereka sendiri sekalipun. Ketiga orang muda menginginkan Tuhan melebihi menginginkan pertolonganNya. Suatu hari, Tuhan Allah berhadapan dengan Musa. Tuhan berkata bahwa mulai hari itu, Dia tidak ingin lagi berjalan bersama dengan bangsa Israel. Tetapi, sebagai gantinya, Tuhan memerintahkan malaikatNya untuk berjalan bersama bangsa Israel untuk memenuhi SEMUA kebutuhan mereka. Kalau dipikir-pikir. Apa yang akan berubah? Dengan penyertaan malaikat Tuhan, rasanya hampir takkan ada yang berubah. Kemenangan tetap diberikan, berkat melimpah tetap disediakan, perlindungan tetap diperoleh, dan semua kebaikan tetap terjadi. Tak ada yang berubah, kecuali Tuhan sudah tidak beserta. 19

Tapi, Musa menjawab: “Berkatalah Musa kepada-Nya: “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” -Kel 33:15 Bagi Musa, ketiadaan Tuhan memberikan perbedaan atas segalanya. Bagi Musa, berjalan bersama Tuhan, lebih besar artinya daripada segala berkat dan mukjizat yang akan dia peroleh. Sungguh menyedihkan, melihat orang Kristen berlomba-lomba mengejar berkat dan mukjizat lebih dari mengejar Tuhan sang pemberi berkat itu sendiri. Kita menjadi begitu fasih bersikap seperti pengamen kepada Dia (bahkan tak jarang seperti debt collector yang menagih janji dalam doa). Dalam perjalanan saya 23 tahun menjadi orang Kristen, kini saya kian menjadi sederhana dan paham. Bahwa bukan persembahan yang Dia inginkan. Bahkan, sebenarnya, bukan pula penyembahan. Melainkan penyembahnya. Tuhan saja memandang kita (sang pemberi) lebih penting dari apa pemberian kita kepadaNya. Apakah Anda juga menginginkan pribadiNya lebih dari berkat dan pertolonganNya? Jangan datang lagi kepadaNya dengan membawa request list Anda. Datanglah kepadaNya seperti Anda datang kepada seorang kekasih. Siap member segalanya untuk Dia dan siap berkasih-kasih’an denganNya. Itulah yang diinginkanNya lebih dari semuanya. Untuk itulah kita diciptakan sejak semula. “Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan, dan menyukai pengenalan akan Allah, lebih dari pada korban-korban bakaran.” Hosea 6:6

20

Stop (Ritual) Perpuluhan! Perpuluhan sudah menjadi pro dan kontra sejak saya menerima Yesus sebagai Tuhan pada tahun 1994. Namun, sekarang ini, topik perpuluhan kian ramai diperdebatkan. Dan menariknya, menurut riset Barna Group (yang sayangnya, dilakukan di Amerika), tren orang dalam memberikan perpuluhan kian menurun. Terutama, di kalangan generasi muda. Meski Indonesia tidak memiliki survey semacam ini, tapi saya yakin sekali tren ini juga berlangsung dalam kehidupan kekristenan di gereja-gereja Indonesia. Terbukti, banyaknya “sanggahan” dan “protes” soal perpuluhan yang muncul dari generasi milenial (setidaknya, di timeline Facebook saya). Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi soal perpuluhan ini? Marilah kita bedah perlahan-lahan. Saya mungkin akan menuliskan ini agak panjang, tapi, tolong bertahanlah bersama saya dalam artikel ini. ASAL MUASAL PERPULUHAN Dengan mengetahui permulaannya, kita akan memahami apa tujuannya. Pertama kali, tindakan melakukan perpuluhan ini, tercatat di Kejadian 14:20, ketika Abraham memberikan 1/10 dari seluruh hartanya kepada Iman Melkisedek (yang seringkali dianggap simbolisasi dari Yesus Kristus – atau bahkan sebagian ahli menyatakan bahwa Melkisedek adalah Yesus sendiri). Abraham melakukan ini sebagai bentuk ucapan syukurnya kepada Tuhan karena kemenangan yang dia alami dan karena dia berhasil mendapatkan Lot kembali. Tindakan Abraham ini BUKANLAH ritual, karena tidak pernah ada hukum atau aturan yang mengharuskan Abraham melakukan itu. Murni ini dilakukan sebagai ekspresi penyembahan ucapan syukurnya kepada Tuhan. Mengapa jumlahnya 1/10? Saya tidak tahu. Lalu, berikutnya, kita akan mulai menjumpai perpuluhan mulai “diformalkan” menjadi sebuah hukum di Bilangan 18:21, dimana perpuluhan harus dilakukan oleh seluruh bangsa Israel (kecuali suku Lewi) dengan tujuan untuk memelihara kehidupan para suku Lewi yang memberikan diri sepenuhnya untuk melayani kemah Tuhan. Konsep ini yang kemudian diadopsi gereja, dimana perpuluhan diberikan kepada “hamba Tuhan” atau pendeta yang melayani sepenuh waktu, karena para pelayan sepenuh waktu itu dianggap seperti suku Lewi yang memberi semua waktunya untuk pelayanan, sehingga jemaat (yang dalam hal ini dianggap seperti bangsa Israel), memberikan 1/10 penghasilan mereka untuk menghidupi para pelayan sepenuh waktu ini.

21

Sejak perpuluhan menjadi bagian dari hukum taurat, maka perpuluhan juga menjadi bagian dari gaya hidup turun-temurun yang terus dilakukan oleh bangsa Israel (yahudi). TUJUAN PERPULUHAN DALAM TAURAT Apa tujuan perpuluhan dimasukkan dalam hukum taurat Musa? Untuk memahami sepenuhnya, sebaiknya Anda membaca artikel saya “Hukum Taurat: Dibuang Aja!”. Disitu secara jelas, saya menuliskan bahwa tujuan SEMUA taurat diberikan BUKANLAH soal keselamatan. Melainkan, taurat diberikan sebagai “prolog” dari injil. Taurat diberikan untuk “mengawal” Israel kepada Injil. Dan taurat diberikan untuk melatih gaya hidup Ilahi seperti yang diharapkan Tuhan. Artinya, perpuluhan dijadikan hukum, untuk MELATIH bangsa Israel memiliki kesadaran dan gaya hidup selalu bersyukur kepada Tuhan, selalu mengingat bahwa semua yang mereka miliki adalah kasih karunia dan pemberian Tuhan, dan selalu sadar bahwa Tuhanlah pemilik segalanya. Untuk memiliki sebuah kesadaran tertentu, manusia itu perlu dilatih melalui sebuah tindakan disiplin. Contoh, kalau saya melakukan konseling atau coaching pernikahan bagi pasangan-pasangan tertentu, untuk membuat mereka setiap saat sadar bahwa istri/suami kita itu mencintainya sepenuh hati, saya meminta mereka tiap hari menuliskan 3 hal terbaik yang dilakukan oleh pasangannya kepadanya. Ini bukan soal aturannya, ini soal apa tujuan di balik aturan itu. Tuhan menjadikan perpuluhan sebagai sebuah hukum agar Israel selalu memiliki kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka. Mengapa ada hukuman dan berkat ketika melakukan atau melanggar hukum taurat? Dimana-mana untuk membentuk sebuah kultur, diperlukan disiplin. Mengapa penduduk Jakarta suka membuang sampah seenaknya? Karena hukuman tidak ditegakkan. Demi supaya bangsa Israel benarbenar memiliki gaya hidup yang selalu sadar akan kedaulatan Tuhan, itu sebabnya, hukum taurat diberikan (termasuk perpuluhan di dalamnya). Kalau Anda memahami 2 background sejarah munculnya perpuluhan, dan apa tujuan di balik adanya perpuluhan, apakah ada yang salah dari semuanya ini? Apakah ada yang perlu di”complain”? Kalau ada orang Kristen yang mengungkapkan rasa syukurnya melalui perpuluhan, lalu kita “goblokgoblok’an” dia, siapa sesungguhnya yang “goblok”? Kalau kita mengetahui ada sebuah disiplin, bahkan, katakanlah, ada sebuah “program” dan “aturan” yang kita tahu persis itu menuntun kita untuk memiliki gaya hidup yang terus-menerus sadar dengan Tuhan. Apa salahnya kalau kita melakukannya?

22

Makanya, kekristenan itu berbicara relationship with God with understanding. Semua yang kita lakukan, haruslah lahir karena pengenalan dan kedekatan kita denganNya, dan dengan pengertian/pemahaman/kesadaran. Bukan sekedar melakukan karena disuruh atau karena semua orang melakukannya. Tentu saja, soal angka 1/10, saya yakin itu bukanlah standar yang harus dibakukan. Jika memang kesanggupan kita untuk “melatih” disiplin ini baru bisa dimulai dari angka 5%, tentu Tuhan tidak akan keberatan menerimanya. Mengapa Tuhan memberikan angka 1/10 kepada Israel, karena saya yakin itu adalah angka yang sanggup dipenuhi oleh bangsa Israel. Lagian, dari sekian orang yang mem”protes” soal perpuluhan, mayoritas justru adalah orang-orang yang mampu untuk memberikan 1/10 itu. Saya menjumpai banyak orang yang sanggup makan mewah, nonton, dan beli fashion rutin, tapi kemudian mengaku tidak sanggup melakukan “penyembahan” dalam bentuk perpuluhan. Bukankah kita sedang menipu Tuhan? Melihat perpuluhan tidak boleh melihatnya sebagai sebuah RITUAL. Ketika kita melihatnya sebagai sebuah aturan, sebagai sebuah liturgy, dan sebagai sebuah hukum “boleh-tidak boleh”, maka kita menjadi agamawi seperti orang farisi. Perpuluhan berbicara soal penyembahan. Sebuah ekspresi yang muncul karena hubungan kita dengan Tuhan. Seperti yang dilakukan Abraham. Kalau Anda baru saja mengalami sebuah kemenangan besar dan Anda bahkan tidak terdorong sedikitpun untuk mengekspresikan ucapan syukur Anda, maka ada yang salah dengan Anda. Apakah harus dalam bentuk perpuluhan? Tentu tidak, tetapi juga tidak salah kan kalau ada yang mengekspresikannya dalam bentuk itu? Apalagi, kalau kita tahu persis bahwa ini sebuah disiplin yang bagus untuk dibangun. Banyak orang melatih anaknya untuk menabung, untuk berlatih investasi, dan untuk berlatih mengelola uang. Kita repot-repot bikin aturan “celengan”, bikin aturan “amplop”, bikin aturan “bonus”, dan lainlain demi mengajari dia mengelola uang. Bagaimana kalau perpuluhan juga bisa melatih dia untuk selalu sadar dan ingat, bahwa Tuhanlah yang memberi segalanya dan bahwa kita harus selalu bersyukur kepada Tuhan? Tidak maukah anak Anda memiliki kualitas seperti ini? Lalu, apa salahnya mengajarkan perpuluhan (with understanding) ini kepadanya? Apa salahnya pendeta dan gembala mengajarkan perpuluhan (with understanding) ini kepada jemaatnya? Oke, saya tahu, Anda sudah mulai menganggap saya sebagai “pembela perpuluhan”. Tahan dulu, izinkan saya selesaikan semuanya.

23

PERPULUHAN DALAM PERJANJIAN BARU? Nah, Yesus sama sekali tidak menyinggung soal perpuluhan. Bahkan gereja mula-mula yang dibangun oleh para rasul juga “tampak” tidak melakukannya. Tapi BUKAN BERARTI MEREKA BERHENTI MEMBERI. Baik kepada sesama, maupun yang disetor kepada “rumah Tuhan” (kaki rasul-rasul). Bahkan, karena cinta mula-mula mereka yang dahsyat, pemberian mereka menjadi lebih radikal daripada sekedar 1/10. Mereka membawa gaya hidup memberi kepada “the next level”. Bukan lagi dibatasi oleh angka yang sekedar 10%, tapi sesuka hati mereka. Dan hebatnya, yang disebut “Sesuka hati” itu terjemahannya adalah: “seberapa dalam kasihmu kepada Tuhan!” Begini… Pemberian itu adalah ekspresi kedalaman cinta. Semakin dalam cinta Anda, semakin radikal pemberian Anda. Yesus memberi nyawa dan kemuliaanNya, karena cintaNya kepada Anda. Suami-istri memberi seluruh hidup mereka untuk pasangannya karena mereka mencintai. Bohong besar, kalau Anda mengaku mencintai Tuhan tetapi Anda tidak melakukan pemberian. “Saya memberi kok. Saya memberi waktu dan tenaga saya! Kenapa pemberian harus selalu diidentikkan uang?” Good question. Saya mencintai istri saya Vonny Cicilia Thamrin. Kalau saya sanggup memberikan hidup saya, apalagi uang saya. Dia minta dibelikan apapun, saya akan berikan uang saya untuknya. Bahkan, andai kata, semua uang di rekening dia minta, saya berikan juga kepadanya. Karena saya begitu mencintainya. Kalau sampai, saya saya tidak bisa memberikan uang saya kepadanya, itu artinya saya lebih mencintai uang saya ketimbang dia. Kalau sampai Anda begitu berat memberikan uang Anda kepada Tuhan, jangan-jangan karena Anda lebih mencintai uang Anda daripada mencintai Tuhan. Banyak orang mengajak berdebat soal teologia perpuluhan dan membahas ini-itu. Sudahlah, bukannya saya tidak suka berpikir dan berargumentasi. Tapi, kalau kita memandang kekristenan hanya sekedar “the knowledge about God”, kita akan terjebak soal boleh-tak boleh. Mempelajari Alkitab itu bukan untuk “knowledge achievement”, tapi untuk membuat kita makin mencintai Tuhan dan makin ingin bersekutu denganNya. Kalau perdebatan Alkitab tidak membuat kita sejengkal saja menjadi lebih dekat dengan Tuhan, Anda sedang menuhankan intelektual Anda! Kekristenan bukan soal pengetahuan tentang Tuhan. Kekristenan adalah tentang Tuhan itu sendiri. Bukan tentang ritual, melainkan soal relationship. Dalam sebuah relationship semuanya ditentukan oleh kedalaman relationship itu sendiri, bukan oleh aturan manusia.

24

Berapa kali Anda harus cium pasangan Anda? Apakah harus bergandengan tangan saat jalan bersama? Perlukah punya rekening bersama? Sudahlah, kedalaman hubungan Anda dengan pasangan Anda akan menjawab semua pertanyaan itu. Begitu pula dengan perpuluhan. Haruskah perpuluhan? Berapa besarnya? Seberapa sering? Kedalaman relationship Anda dengan Tuhan, harusnya bisa menjawabnya. PRAKTEK SIHIR DALAM GEREJA Inilah bagian serunya. Saya paham sekali, kegelisahan banyak orang adalah karena melihat adanya “sihir” yang sedang terjadi di dalam gereja. Banyak oknum menggunakan perpuluhan sebagai “alat sihir” untuk menakut-nakuti dan menggiring jemaat agar bisa memperkaya diri-sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ini bukanlah tidak ada. Banyak dan dimana-mana, malah. Saya juga adalah orang yang tidak bersetuju dengan semua ini. Saya juga tidak setuju menggunakan metode “menakut-nakuti” dan “mengiming-imingi” agar jemaat melakukan perpuluhan. Karena penyembahan sejati tidak pernah lahir dari ketakutan. Ritual lahir dari ketakutan. Penyembahan sejati juga tidak pernah lahir dari kerakusan. Penyembahan berhalalah yang lahir dari kerakusan. Itu sebabnya, mengajarkan perpuluhan melalui metode ketakutan dan kerakusan, justru merusak arti perpuluhan itu sendiri dan menghina Tuhan. Tuhan tidak butuh uang kita. Tuhan tidak butuh harta kita sama sekali. Dia hanya ingin persekutan dengan kita. Perpuluhan hanyalah “alat latih” agar kita terus tersadarkan akan persekutuan kita dengan Tuhan. Makanya, bagi mereka yang kecewa dan tidak setuju dengan praktek (ritual) perpuluhan sebagai “alat sihir”, menurut saya itu bukanlah alasan untuk Anda berhenti memberi. Bahkan jika, Anda sanggup lebih dari 1/10, dan jika itu memang lahir karena kasih Anda kepada Tuhan. Kenapa tidak? Pemberian sebagai ekspresi penyembahan, harusnya tidak boleh berhenti karena alasan manusia. Sangatlah tidak fair untuk Tuhan, kalau gara-gara manusia lain, kita berhenti “menyembah” Dia bukan? Lagian, kalau gereja Anda bisa mengelola dengan benar setiap uang perpuluhan yang ada dan Anda bisa melihat bagaimana dampak dari pemberian Anda itu ternyata menolong orang lain “terhubung” dengan kebaikan Tuhan. Kenapa Anda harus menahan-nahan?

25

HARUSKAH DIBERIKAN KEPADA GEREJA? Pertanyaan ini cukup sensitif untuk dijawab, karenanya, saya tidak ingin mengungkap jawabannya di ruang public ini. Jika Anda tertarik, Anda bisa berkomunikasi dengan saya lewat jalur pribadi di social media saya (inbox message). LAST WORDS Sebagai penutup. Menjadi orang Kristen jangan berfokus pada bentuk ekspresinya. Fokuslah kepada kedalaman hubungan denganNya. Jika Anda terlalu fokus pada bentuk luar, Anda akan menjadi seperti orang farisi yang agamawi. Itu sebabnya Yesus menegur mereka bahwa “kamu indah di luar tapi busuk di dalam”. Semua taurat dimaksudkan untuk melatih, menuntun, dan menggiring orang untuk memiliki persekutuan denganNya. Kalau Anda benar-benar memiliki relationship yang dalam dengan Tuhan, tidak ada yang terlalu berat untuk dilakukan. Tapi, kalau Anda fokus pada hukum, aturan, dan liturgi, Anda akan sibuk menjadi hakim yang sok membenarkan dan menyalahkan orang lain. Agama itu mematikan, tetapi Tuhan menghidupkan.

26

Tim Musik Atau Tim Penyembah?

Tim Penyembahan atau Worship Team, adalah sebuah spot pelayanan yang unik dalam dunia gereja. Mereka sangat lekat sekali dengan musik, dan musik sendiri sangatlah lekat dengan kekristenan. Jika Anda pernah bertanya-tanya kenapa sampai ada pelayanan musik di dalam gereja, jawabannya ada DISINI. Namun, seperti yang saya tulis dalam artikel“Musisi vs Penyembah”, telah terjadi ke’salah kaprah’an bahwa tim penyembahan disamakan dengan tim musik. Jika Anda belum mengetahui apa bedanya musisi dan penyembah, maka dengan cepat kita bisa terjebak kepada pemahaman bahwa sebuah tim penyembahan adalah sebuah tim musik (versi rohani). Tetapi, jika Anda sudah mengerti bahwa penyembah dan musisi adalah hal yang berbeda, maka begitu pula tim penyembah bukanlah tim musik. Sebutan “tim penyembahan” adalah sekumpulan para penyembah yang mengekspresikan penyembahan mereka kepada Tuhan melalui musik dan menolong jemaat untuk mengimpartasikan dan menginspirasikan semangat seorang penyembah, agar jemaat juga terdorong mengekspresikan penyembahan mereka kepada Tuhan. Jadi, tugas utama sebuah “tim penyembahan” sebenarnya bukanlah mempertontonkan sebuah komposisi musik. Tugas utama mereka adalah menggunakan media musik untuk (1) mengekspresikan penyembahan dan pengalaman spiritual mereka kepada Tuhan, dan (2) menolong jemaat untuk terinspirasi dan tergerak melakukan hal yang sama. Sedangkan sebuah tim musik berbeda. Tugas utama tim musik adalah menunjukkan dan mempertontonkan sebuah komposisi musical yang bisa menghibur dan menyentuh pendengarnya. Itu sebabnya platform untuk tim musik adalah konser, yaitu sebuah platform untuk menunjukkan semua kemampuan mereka dan membuat penonton terfokus kepada apa yang mereka tampilkan. Tim penyembah memiliki platform yang berbeda, platform mereka adalah ibadah. Fokus mereka bukanlah menampilkan kemampuan, tetapi menggunakan kemampuan mereka untuk mengarahkan semua orang kepada Tuhan. Panggung yang mereka injak adalah sebuah mezbah persembahan dimana semua yang mereka lakukan akan diberikan dan diarahkan kepada Tuhan (yang disembah). Untuk lebih membuat kita paham, cobalah Anda lihat perbandingan sederhana berikut ini: Saya sering menyebut “tim penyembahan” adalah tim cermin. Mereka haruslah memantulkan refleksi dari Tuhan agar jemaat terinspirasi untuk “melihat” dan berinteraksi dengan Tuhan ketika mereka melihat kita melayani. “Tim penyembahan” juga adalah tim yang bertugas untuk memantulkan semua ekspresi jemaat (kekaguman, antusiasme, penghormatan, ekspresi hati) kepada Tuhan. “Tim penyembahan” hanyalah fasilitator/perantara/mediator/katalisator untuk orang menyadari kehadiran, kebaikan, dan kekuatan Tuhan melalui media musik.

27

Ketika kita menjadi salah kaprah dengan hanya menganggap bahwa identitas kita adalah tim musik, maka kita akan terjebak untuk menjadi show off, “pamer”, dan tanpa sadar mengarahkan ekspresi jemaat kepada diri kita sendiri. Kita juga bisa terjebak untuk terlalu berfokus kepada “musikalitas” sampai-sampai musik yang kita mainkan terlalu rumit dan sulit untuk melibatkan jemaat, sehingga akhirnya jemaat hanya “menonton” dan terpukau akan kehebatan musik dan skill yang kita pertunjukkan. Dengan demikian, kita sedang men’distraksi fokus jemaat kepada diri kita sendiri. Marilah kita terus mengingat, kita bukanlah tim musik. Kita adalah para penyembah yang bersatu untuk mengekspresikan penyembahan kita melalui media musik, dan menolong sebanyak mungkin orang menyadari kehadiran, kebaikan, dan kuasa Tuhan, melalu penyembahan musikal yang kita ekspresikan.

28

MUSISI vs PENYEMBAH Hari-hari ini, kata “worship”, dalam dunia kekristenan, menjadi lekat sekali dengan musik. Terutama dalam gereja-gereja modern, kata “menyembah” dengan cepat bisa diasosiasikan kepada kegiatan memberikan nyanyian untuk Tuhan. Itu sebabnya, kita mengenal pula sebuah jenis pelayanan yang disebut dengan pelayanan penyembahan yang berisi orang-orang yang melayani Tuhan melalui musik dan nyanyian. Musik, adalah sesuatu yang unik dan khusus. Mengapa Tuhan begitu meng’istimewa’kan musik? Saya akan membahas hal ini di artikel lain karena akan cukup panjang untuk menguraikan betapa berkuasanya musik dalam menyentuh jiwa manusia dan bagaimana Tuhan bisa memakai musik sebagai senjata rahasia Tuhan. Tapi dalam artikel ini, saya ingin lebih membahas mengenai ke”salah kaprah”an dalam penyembahan dan musik itu sendiri. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. – Yohanes 4:23 – Ketika Yesus membahas tentang para “penyembah”, Dia tidak pernah secara khusus menunjuk kepada hal-hal yang berkaitan dengan musik (bahkan konteks ayat tersebut sama sekali tidak melibatkan musik). Disinilah kita harus memahami bahwa worshippers tidak berkaitan secara tunggal hanya dengan musik karena sesungguhnya, semua orang yang memberi diri untuk mengikut Yesus, adalah para God Worshippers, yaitu penyembah-penyembah Tuhan. Maka, munculnya istilah “pelayanan penyembahan” yang erat sekali berkaitan dengan musik memang bisa menimbulkan kerancuan. Seolah-olah, penyembahan yang utama hanya bisa dilakukan melalui nyanyian dan lagu, dan para pelayan penyembahan haruslah para musisi. Padahal, penyembahan adalah sikap hati yang diekspresikan melalui tindakan kita, apapun bentuk tindakannya. MUSISI vs PENYEMBAH Itu sebabnya, saya menyebut bahwa para gembala adalah penyembah yang mengekspresikan penyembahannya melalui tindakan penggembalaannya. Para pengajar adalah penyembah yang mengekspresikan penyembahannya melalui ajaran-ajarannya. Para usher adalah penyembah yang mengekspresikan penyembahannya melalui tindakan welcoming people. Para akuntan bahkan, adalah para penyembah yang mengekspresikan penyembahannya melalui tindakan akuntingnya! Dan semua orang Kristen, apapun profesinya, usianya, jabatannya, dan status pelayanannya, adalah para penyembah Tuhan yang bisa saja mengekspresikan penyembahan mereka melalui berbagai tindakan dalam hidup mereka. Penyembahan sejak awal tidak pernah secara dominan dimonopoli oleh musik dan lagu. 29

Lalu siapakah orang-orang yang disebut dengan para “pelayan penyembahan” ini? Ya mereka adalah para penyembah Tuhan yang diberikan talenta sebagai musisi dan mampu mengekspresikan penyembahan melalui musik, lagu, dan nyanyian. Walaupun musik itu sendiri memiliki tempat yang spesial dalam kekristenan, tapi bukan berarti para penyembah yang menggunakan musik selalu lebih spesial daripada para penyembah yang berekspresi lewat senyum dan sapaan (para usher). Tentu saja saya tidak mau terlalu “kepo” untuk kemudian mengusulkan mengganti nama divisi pelayanan “tim worship” hanya karena pemaparan yang saya sampaikan. Yang penting bukanlah di nama dan sebutan, yang jauh lebih penting adalah memahami bahwa penyembahan adalah sebuah ekspresi dari para penyembah untuk yang disembah. Apapun ekspresinya asalkan itu lahir dari hati si penyembah, maka itu menjadi bernilai bagi yang disembah. Suatu hari, istri saya membagikan pewahyuan yang ia dapat dari Tuhan. Dia pernah bertahun-tahun terlibat dalam pelayanan tari. Suatu hari dia bercerita bahwa Tuhan ingin dia menjadi seorang “penyembah yang menari” BUKAN “penari yang menyembah”. Apa bedanya? Jelas berbeda. Seorang penyembah yang menari adalah orang yang memposisikan dirinya terutama sebagai seorang penyembah. Tarian adalah bentuk ekspresi penyembahannya. Sebaliknya, seorang penari yang menyembah adalah orang yang memposisikan dirinya terutama sebagai seorang penari. Penyembahan menjadi ekspresi dari dirinya yang adalah penari. Banyak sekali (nyaris sulit dihitung lagi), para “pelayan penyembahan” yang memposisikan diri sebagai MUSISI YANG MENYEMBAH ketimbang PENYEMBAH YANG BEREKSPRESI LEWAT MUSIK. Kondisi ini membuat para “pelayan penyembahan” sangat membanggakan status musisi mereka dan seringkali “mengagungkan” ke’musisi’an mereka ketimbang mengambil posisi sebagai penyembah. Apakah Anda familiar dengan pernyataan, “kita ini musisi… orangnya nyleneh…”, “kita ini orang otak kanan, gak bisa banyak dikasih aturan-aturan” atau kalimat-kalimat semacam: “seniman itu susah diatur… Nggak bisa terlalu dikekang…” atau “yang namanya musisi itu bebas, jangan terlalu dibikin ribet…” atau “seniman itu kalo lagi nggak mood, nggak akan bisa jalan…” Darimana lahir semua pernyataan dan “keluhan” ini? Semua muncul karena kita terlalu memposisikan diri lebih berat sebagai musisi ketimbang sebagai penyembah Tuhan. Karena jelas sekali, seorang penyembah Tuhan adalah orang yang men’submit’kan dirinya TOTAL kepada (Tuhan) yang disembah. Apapun keinginan yang disembah (Tuhan), akan dan harus kita lakukan, karena kita adalah penyembahNya. Artinya, jika Tuhan ingin kita menjadi disiplin, tidak peduli kita musisi, pengusaha, pengangguran, atau siapapun, kita harus submit kepada Dia. Jika Tuhan ingin kita rendah hati, tidak peduli kita seniman atau

30

programmer, kita harus submit kepada Dia. Jika Tuhan ingin kita berada dalam sebuah covering otoritas dan komunitas, tidak peduli siapapun kita, seharusnya kita bisa submit kepada Dia dan FirmanNya! Firman Tuhan berlaku bagi semua orang. Firman Tuhan tidak punya pengecualian untuk seniman, orang otak kanan, dan musisi. Firman Tuhan memiliki garis yang jelas. Hanya karena kita seniman, bukan berarti kita bisa mendapat “dispensasi” dari disiplin-disiplin rohani. Namun, ketika kita lebih menganggap diri kita sebagai musisi ketimbang sebagai penyembah Tuhan, disitulah kita merasa seharusnya ada “dispensasi khusus” bagi kita para musisi. Pada saat Tuhan memanggil kita, semua status kita adalah satu, yaitu PENYEMBAH TUHAN. Musisi, pengusaha, pengkotbah, pengajar, dan berbagai status lainnya hanyalah MEDIA EKSPRESI PENYEMBAHAN kita, bukanlah status utama kita. Itu sebabnya, orang yang memahami identitas dirinya sebagai penyembah, akan mustahil menjadi “songong”, keras kepala, tidak bisa diatur, atau melakukan hal-hal lain yang tidak merefleksikan dirinya sebagai penyembah Tuhan. Dalam artikel ini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk mengecilkan arti profesi musisi apalagi mendiskreditkan profesi musisi. Seperti yang saya bilang, musik adalah sesuatu yang spesial dalam kekristenan dan musisi adalah orang-orang yang mendapat kehormatan khusus untuk memegang sebuah senjata rahasia bernama musik. Namun, sekali lagi identitas kita sesungguhnya bukanlah musisi, kita adalah para penyembah Tuhan yang submit kepada Tuhan yang kita sembah. Maka, apapun yang kita lakukan seharusnya menunjukkan dan mencerminkan ke’submit’an kita kepada Tuhan dan firmanNya. Dengan demikian, orang akan melihat kita sebagai penyembah yang bermusik, bukan sebaliknya. Sekali lagi, Tuhan mencari PENYEMBAH-PENYEMBAH yang benar.

31

Ngapain Ada Pelayanan Musik di Gereja? Pelayanan musik dalam gereja, atau yang lebih familiar disebut dengan pelayanan “Praise & Worship” (P&W), adalah sebuah pelayanan yang unik. Terlepas dari apa denominasi gerejanya, tidak bisa disangkali bahwa musik, lagu, dan nyanyian adalah bagian penting dalam kekristenan. Hari ini, pelayanan musik dalam gereja telah berkembang beriringan dengan perkembangan musik itu sendiri. Perdebatan muncul disana-sini lantaran banyak yang menganggap musik “modern” tidak seharusnya dibawa ke dalam gereja. Namun, di satu sisi, banyak pula yang berargumentasi bahwa musik bagaikan bahasa, dengan adanya perbedaan generasi, maka tentu ada perbedaan dalam “berbahasa”. Terlepas dari pro kontra ini, sebenarnya tujuan saya menulis artikel ini justru bukan membahas topik itu. Saya malah ingin lebih menekankan kepada bagaimana budaya dan “gaya” bermusik “modern” yang banyak kali telah mereduksi atau bahkan membelokkan tujuan kenapa pelayanan musik ada di dalam gereja. Selama 20 tahun, sejak tahun 1994 saya sudah terlibat dalam pelayanan musik. Selama tahun-tahun ini saya banyak mengamati, mengalami, dan berproses di dalam pelayanan ini. Dan perjalanan itu telah memunculkan sebuah keyakinan kuat, bahwa Tuhan memang menggunakan musik sebagai salah satu alat yang berkuasa dalam Dia berbicara maupun menjamah umatNya. (hal ini sering saya sampaikan di seminar-seminar untuk pemusik gereja baik melalui alasan-alasan “supranatural” maupun alasan-alasan ilmiah). Karena itu, saya meyakini sebuah hal yang menurut saya sangat absolut, yaitu: dalam sebuah pelayanan musik, atau sebuah sesi “ibadah musik”, seharusnya orang semakin sadar dengan kehadiran dan kualitas-kualitas Tuhan,sehingga kemudian mereka menanggapi/meresponi kehadiran dan kualitaskualitas Tuhan tersebut. Contoh, ketika kita menyanyikan atau memainkan sebuah lagu, kita berharap melalu lagu dan nyanyian tersebut, jemaat menjadi sadar bahwa Tuhan hadir dan lebih dari itu, jemaat menjadi “tersadarkan” dengan kebaikanNya, kesetiaanNya, kuasaNya, kasihNya, kemurahanNya, dan semua kualitaskualitasNya. Pada saat jemaat sadar, maka dengan sendirinya, mereka akan tergerak untuk menanggapi dan meresponi kehadiran Tuhan, entah itu melalui pujian mereka, doa mereka, ucapan syukur mereka, gerakan mereka, komitmen perubahan mereka, dan apapun yang mereka lakukan sebagai bentuk ekspresi menanggapi kehadiran Tuhan. Maka dari sinilah saya yakin bahwa 2 hal ini adalah esensi pelayanan musik di dalam gereja, yaitu membuat orang sadar akan kehadiran Tuhan dan mendorong mereka untuk meresponi kehadiran Tuhan itu. (berkali-kali dulu saya mengalami bahwa sebuah sesi “penyembahan musikal” bisa membuat orang yang sama sekali tidak percaya Tuhan, tiba-tiba merasakan bahwa Tuhan hadir dan dia meresponinya dengan pertobatannya – saya yakin Anda juga pernah melihat atau bahkan mengalaminya sendiri!)

32

Sehingga apapun bentuk musik, aransemen, cara bernyanyi, dan liturgisnya, bagi saya tidak lagi menjadi masalah SEPANJANG itu membuat jemaat mengalami kehadiran Tuhan dan membuat mereka menanggapi kehadiran Tuhan tersebut. Masalah akan muncul ketika para pelayan musik justru tanpa sadar (atau dengan sangat sadar) menggeser kehadiran Tuhan dengan kehadiran mereka. Alih-alih membuat jemaat merasakan kehadiran Tuhan dan menanggapi Tuhan, justru jemaat malah lebih merasakan kehadiran sang “musisi” dan menanggapi mereka. Hal yang paling sederhana adalah, ketika jemaat bertepuk tangan, untuk siapakah mereka melakukannya? Apakah mereka melakukannya karena menanggapi bahwa Tuhan sudah melakukan hal luar biasa untuk hidup mereka? Atau menanggapi betapa bagusnya suara sang penyanyi? Atau menanggapi “liturgi formal” yang diwajibkan manusia? Tuhan adalah pemilik gereja dan umatNya, maka Dialah yang harus menjadi pusat dari semua aktifitas penyembahan kita, termasuk dalam sesi “penyembahan musikal” kita. Itu sebabnya, siapapun kita, yang bergerak di dalam pelayanan musik, sudah menjadi kewajiban untuk kita terus-menerus “aware” dan mengingatkan diri kita sendiri, bahwa kehadiran Tuhanlah yang harus menjadi fokus utama dari semua yang kita lakukan. Kesadaran inilah yang saya sebut dengan “State of Worship”. Dalam semua yang kita kerjakan, kita harus berada dalam “state of worship”. Dengan demikianlah pelayanan musik akan benar-benar kembali menjadi kepunyaan Tuhan dan menjadi alat Tuhan yang berkuasa untuk memanifestasikan kehadiranNya dan kualitas-kualitasNya.

33

Gay Marriage: My Personal Opinion

5 hal sebelum Anda membaca tulisan saya ini: 1. Ini adalah tulisan terpanjang di blog saya, so be prepared… 2. Ini adalah opini pribadi yang tidak mewakili organisasi / intitusi gereja apapun 3. Ini tidak ditulis sebagai respon terhadap seseorang / kelompok khusus, ini murni respon terhadap opini publik 4. Ini bukan sebuah serangan, ini sebuah publikasi pemikiran, bacalah dengan “santai” 5. Anda berhak tidak setuju, dan saya sangat terbuka terhadap point of view yang berbeda FOR THE FIRST… Lady Gaga berujar, “we were born this way” Kalimat ini dengan segera seolah-olah seperti “menyadarkan” banyak orang (termasuk para kaum gay), bahwa menjadi gay bukanlah sebuah pilihan, melainkan memang merupakan “nasib” yang harus mereka terima, syukuri, dan jalani dengan sukacita. Masalah-masalah modern yang berkembang di sepanjang kehidupan kita, memang selalu menantang kita untuk membuktikan apakah kekristenan benar-benar masih relevan dan bisa menjawab perkembangan zaman. Namun, ujian terhadap kekristenan tidak pernah seberat seperti hari-hari ini. Perkembangan teknologi, semakin liberalnya pemikiran masyarakat, semakin menyatunya dunia global dalam sebuah budaya yang “linear”, benar-benar mulai memisahkan orang-orang Kristen menjadi kubukubu yang saling bertentangan, dan ini membingungkan banyak orang Kristen lainnya. Tadinya, sungguh saya tidak ingin berkomentar secara publiK mengenai ini. Namun, menyimak semua perdebatan yang terjadi di dunia sosial media mengenai pengesahan gay marriage yang terjadi di Amerika, menggelitik saya dan membuat saya “gatal” untuk juga ikut berkomentar. Namun, saya mengambil waktu untuk tidak segera ikut terjun berkomentar, tanpa melakukan sebuah pemikiran-pemikiran panjang dan mencoba memahami alasan kedua belah pihak, yaitu pihak yang dengan lemah lembut dan penuh kasih menerima kaum gay apa adanya karena kita semua sama berdosanya dan Yesus menerima semua pendosa. Maupun pihak yang dengan tegas menyatakan gay marriage adalah dosa dan kesesatan, seperti Yesus yang dengan tegas menyatakan dosa di depan khalayak ramai. Well, inilah pendapat pribadi saya…

34

GAY MARRIAGE BUKANLAH RANCANGAN TUHAN Dalam hal ini, saya berpegang pada alkitab yang kita yakini bersama dengan sepenuhnya, bahwa alkitab adalah firman Tuhan yang tidak terkorupsi dan relevan hingga akhir zaman. Telah jelas sejak awal (dalam kitab Kejadian)Tuhan menciptakan pernikahan adalah untuk pria dan wanita. Tanpa perlu menjelaskan panjang lebar, telah jelas dari sisi mental, emosional, peran dan fungsi, hingga sisi fisik, tanda-tandanya telah sangat jelas bahwa pria dipasangkan dengan wanita. Ini sama jelasnya dengan kaki diciptakan untuk berjalan. Bagaimana kalau ada orang yang memilih berjalan dengan tangan di sepanjang hidupnya? Sederhana, segala sesuatu yang dipakai TIDAK SESUAI dengan tujuan originalnya, akan memunculkan “kerusakan”. Bagaimana kalau saya memang lahir dengan “gen” untuk berjalan dengan tangan? Saya memang dilahirkan dari sananya begitu! Untuk bagian ini, saya akan berpendapat nanti di bagian akhir. Selain itu, Roma 1 juga dengan jelas menyatakan bahwa Tuhan menganggap kegiatan seksual sesama jenis adalah sebuah kesesatan (penyimpangan, kesalahan, ke”tidaknormal”an). Dan sekali lagi, segala sesuatu yang tidak normal, memicu munculnya kerusakan. Maka kesimpulan saya, aktifitas seksual sesama jenis adalah dosa di mata Tuhan. Karena nyaris tak mungkin terjadi gay marriage atau gay relationship, tanpa ada aktifitas seksual di dalamnya, maka saya berasumsi gay relationship maupun gay marriage, berpotensi besar melahirkan dosa. Menyatakan dosa bukan berarti sebuah kebencian dan penuduhan. Dalam banyak kasus, justru kita mengingatkan dan “menyadarkan” seseorang atas sebuah kesalahan karena kita mengasihi orang tersebut. Maka sikap hati saya ketika saya berpendapat bahwa gay relationship atau gay marriage adalah sebuah ketidakbenaran, adalah karena saya menginginkan mereka mengalami kasih Kristus yang sanggup mengubah mereka menjadi ciptaan baru di dalam Tuhan. BUKANKAH KITA SEMUA PENDOSA? Ya, saya setuju itu! Roma 6 dengan gamblang mengingatkan bahwa semua manusia sudah kehilangan kemuliaannya karena dosa. Memang homoseksual sama dan setara berdosanya dengan menggosip, kecanduan makan babi sampai tak bisa mengontrol diri, terikat game online, berbohong, dan dosa-dosa lainnya yang tampaknya ringan. Itu sebabnya, saya secara pribadi sebenarnya tidak pernah menganggap kaum gay sebagai kaum terkutuk atau kaum yang lebih “tidak kudus” dibandingkan saya. Karena kalau kita mengutuki mereka, sama saja seperti mengutuki kita sendiri. Namun, menyatakan pendapat kita, bahwa kita tidak setuju keputusan Amerika untuk mengesahkan gay marriage, tidak bisa serta merta dianggap melakukan tindakan menghakimi. Seringkali, ketika kita melihat seseorang menyatakan ketidaksetujuan terhadap sebuah dosa, dengan segera orang berkomentar “jangan menghakimi bro… kita juga pendosa… Yesus aja menerima semua pendosa…”.

35

Membahas soal gay marriage, berbeda dengan membahas soal pribadi gay. Sama seperti membahas kegiatan pembunuhan dengan membahas pembunuhnya. Jika seseorang berkoar-koar tentang gay marriage, maka yang dibahas bukanlah pribadi gay’nya, namun aktifitas gay marriage’nya. Lain soal, jika seseorang berkomentar, “semua orang gay pantas masuk neraka”, jika itu yang terjadi, sayapun juga dengan tegas menyatakan tidak setuju dengan itu karena hanya Tuhan yang bisa menghakimi seseorang untuk masuk neraka atau surga. Dan actually, tak seorangpun sebenarnya pantas masuk neraka, karena sejak awal manusia diciptakan bukan dengan kepantasan untuk tinggal di neraka. Mereka memiliki kepantasan untuk tinggal di Taman Eden. Itu sebabnya pernyataan, “Yesus membenci dosa, bukan pendosa” adalah sebuah kalimat yang saya yakini benar. Karena itu pula, saya berani menyatakan bahwa Yesus jelas mengasihi dan mau menerima kaum gay tapi Dia tidak menginginkan mereka hidup dalam kondisi “itu” selamanya, apalagi sampai melakukan gay marriage. Sama seperti Yesus mengasihi dan mau menerima pelacur, pemungut cukai, pembunuh, kriminal, orang miskin, namun Yesus memuridkan dan “mengubah” mereka menjadi pribadi yang berbeda dan meninggalkan semua kehidupan masa lalu mereka. Penerimaan Yesus selalu berujung perubahan, bukan berujung pada legalisasi untuk terus hidup dalam dosa. Kasih karunia Tuhan begitu luasnya hingga sanggup menampung orang dengan dosa sebesar apapun dan segelap apapun (seperti yang digambarkan John Newton dalam lagunya “Amazing Grace). Namun, kasih karunia Tuhan juga begitu kuatnya dan kudusnya untuk sanggup mengubah masa lalu seseorang dan mentransformasi dalam sebuah kelahiran baru untuk menjadi sebuah pribadi yang berbeda dengan sebelumnya. Itu sebabnya, saya sepenuhnya yakin bahwa kasih karunia Tuhan itu TRANSFORMING, bukan TOLERATING. Kasih karunia Tuhan itu PROGRESIF, bukan PASIF. Kasih karunia Tuhan itu MEMPERBAHARUI, bukan MENGIJINKAN. Kasih karunia Tuhan adalah sebuah EXIT DOOR, bukan sebuah PERMISI. Kasih karunia Tuhan secara otomatis mendorong dan memampukan kita untuk meninggalkan dosa, bukan memberikan rasa aman untuk tetap tinggal di dalam dosa. Maka, mengijinkan seseorang tetap tinggal dalam dosa dengan alasan kasih karunia Tuhan, sebenarnya adalah sebuah alasan yang sangat kontradiktif karena sifat dari kasih karunia itu sendiri yang secara otomatis memampukan kita untuk lepas dari dosa. Menerima keadaan untuk seseorang tetap tinggal dalam dosa dan semakin nyaman untuk berdosa dengan alasan kasih karunia Tuhan yang menerima apa adanya, sebenarnya justru menentang kasih karunia itu sendiri, mengingat salah satu ciri khas utama dan kekuatan unik dari kasih karunia Tuhan yang terletak pada “efek perubahan hidup”nya. Lihatlah semua orang di alkitab yang sudah berjumpa dengan kasih karunia Tuhan, tidak ada yang tidak berubah! Maka, ya, kita semua sama berdosanya. Ya, kita semua tidak berhak saling menghakimi dosa

36

satu sama lain. Ya, kita semua butuh kasih karunia Tuhan. Kasih karunia yang membawa perubahan hidup, bukan kasih karunia yang melegalkan untuk tetap hidup dalam keadaan berdosa. Maka, pesan kasih karunia yang mengubahkan inilah yang perlu kita serukan. Bukan pesan kasih karunia yang “mendukung & mengijinkan” untuk tetap tinggal dalam dosa. Saya tahu, saya tidak lebih suci dari orang lainnya. Saya sama berdosanya dengan yang lain. Karena itulah saya datang kepada Yesus dan membutuhkan Dia. Ada perbedaan antara orang yang ingin meninggalkan dosa, dengan orang yang tetap ingin tinggal dalam dosa. “SAYA MENDUKUNG KAUM GAY, BUKAN GAY MARRIAGE!” Dunia media sosial terbelah ketika beberapa orang Kristen, pendeta, atau institusi gereja menyatakan dukungan mereka terhadap gay marriage. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa “dukungan ini adalah bentuk bahwa kami menerima kaum gay apa adanya dan ingin kaum gay melihat bahwa kekristenan menerima mereka, sehingga ada potensi mereka bisa berubah melalui penerimaan ini.” Mari kita mundur sejenak. (andaikan), pemerintah Amerika menyatakan bahwa pemerkosaan adalah sebuah tindakan yang legal dan tidak melanggar hukum dan boleh dilakukan siapa saja. Apakah lalu kita akan memasang foto “rainbow flag” di sosial media kita sebagai bentuk bahwa “kita menerima para pemerkosa apa adanya, dan berharap dengan adanya penerimaan ini mereka akan makin merasakan kasih Kristus dan berharap mereka akan berubah karena dukungan ini”? Lalu, ketika teman kita berkomentar, “kok kamu mendukung legalisasi pemerkosaan sih?” Apakah kita akan menjawab, “jangan menghakimi bro, kita semua pendosa, kalau kamu nggak pernah bikin dosa, silahkan lempar batu pertama kali!” Atau mungkin dengan jawaban, “saya tidak mendukung pemerkosaannya, saya mendukung dan bersimpati untuk pemerkosanya”? Ketika kita memasang rainbow flag namun tidak mendukung gay marriage, itu seperti berkata, “hey it’s ok to be gay, as long you don’t do the gay marriage or the sexual activities with your gay partner”, atau semacam, “it’s ok untuk jadi pemerkosa, asalkan kamu tidak memperkosa seseorang”, atau ini juga mirip seperti berkata kepada orang yang sudah berada di dalam kolam renang, “hai nggak apa-apa pakai baju renang, asal kamu nggak berenang”. Lagian, mengapa kita memasang rainbow flag untuk simpati kita kepada kaum gay, tapi tidak melakukannya untuk kaum-kaum yang lain (such as pembunuh, pemerkosa, korupsi, teroris, dan sebagainya?). Bukankah semua dosa sama saja? Bukankah pembunuh cs juga kaum yang perlu tahu bahwa Yesus juga mengasihi dan mau menerima mereka? Apa yang membuat kaum gay menjadi lebih spesial dalam menerima “belas kasihan” dibandingkan pendosa yang lain? Bukankah para pelaku kejahatan serius lebih layak untuk mendapatkan simpati dan penerimaan kita agar mereka lebih mudah merasakan kasih Kristus? “Ah, membandingkan gay marriage dengan pemerkosaan, pembunuhan, teroris, dll, terlalu berat sebelah! Tidak segitunya, kali!” (ok, memang sepertinya saya terlalu ekstrim). 37

Ok then, (anggap saja), pemerintah Amerika melegalkan untuk masyarakatnya berbohong or bergosip dan mengesahkan dalam undang-undang untuk berbohong dan menggosip diperbolehkan serta dilindungi secara hukum. Apakah kemudian, kita juga akan sekali lagi memasang rainbow flag sebagai bentuk dukungan dan penerimaan terhadap para pembohong dan penggosip? Jika memang, semua dosa sama saja, bukankah seharusnya perlakuan kita juga harus sama semuanya? Mengapa kita meng”anak emas”kan urusan gay marriage ini? “Karena kaum gay banyak menerima penganiayaan mental dan mereka hidup dalam ketakutan berekspresi” Saya tidak tahu apakah dosa termasuk dalam kategori “berekspresi” atau tidak. Anggap saja saya kemana-mana menunjukkan kemesuman dan ke”porno”an sebagai sebuah bentuk ekspresi pribadi. Apakah Anda bisa menerimanya sebagai sebuah ekspresi? Beberapa orang bahkan bilang pornografi adalah sebagai sebuah ekspresi seni, what do you think? Bagaimana ketika sebuah dosa dibungkus dengan keindahan seni untuk berekspresi? Apabila seseorang membunuh orang lainnya sambil berkata “inilah ekspresi pribadi saya”. Bisakah Anda menerimanya? Bila seseorang terus-menerus berbohong dan berkata “inilah cara saya berekspresi”. Bisakah Anda menerimanya? Bagaimanapun, membunuh dan berbohong itu ada “seni”nya tersendiri lho. Bagi sebagian orang, mereka bisa memakainya sebagai cara untuk mengekspresikan dirinya. Seperti statement yang sering saya dengar, “dosa adalah dosa. Dosa bukanlah masalah”, apalagi ekspresi. Menyukai musik rock, itu adalah ekspresi. Mengecat rambut warna pink, ya itu masih merupakan sebuah ekspresi. Gay marriage? Anda yakin itu sebuah ekspresi? Kalaupun itu sebuah ekspresi, haruskah semua hal boleh diekspresikan? Tidak semua kebaikan adalah sebuah kebenaran. Tidak semua tindakan humanisme adalah sebuah kebenaran. Ya, Yesus adalah humanis sejati. Tapi ingat, humanisme dalam diri Yesus hanyalah efek samping dari hidup dalam “transforming grace”. Bukan sebaliknya. Yesus sama sekali tidak mengejar untuk menjadi pribadi yang humanis. Dia mengejar untuk menjadi pribadi yang membawa kasih karunia. Meski Dia sangat mengasihi semua pendosa, namun tidak sekalipun Dia menyatakan dukungan atas legalisasi perbuatan dosa. Mengasihi tidak selalu setara dengan mendukung. Ada kalanya, mengasihi justru terwujud dalam bentuk tidak mendukung. Maka, kekristenan sebenarnya tidak berfokus kepada menjadi gerakan humanis. Kekristenan berbicara tentang perubahan hidup yang diakibatkan oleh kasih karunia Tuhan. Kalau hanya sekedar perbuatan baik, semua aliran dan ajaran menunjukkan itu. Tapi perubahan hidup yang nyata dan signifikan? Hanya Kristus yang sanggup mengerjakannya. Harusnya itulah yang kita suarakan lebih keras. “Ini bukan soal dukungan, ini soal penerimaan tanpa syarat, seperti yang Yesus lakukan…”

38

Ya, saya setuju. Penerimaan adalah pendorong terjadinya pemulihan. Penerimaan adalah bagian tak terpisahkan dari Kasih Kristus yang harus kita tunjukkan kepada dunia. Tapi, kadangkala konsep penerimaan kita berbeda-beda. Bagi saya, penerimaan Kristus itu seperti penerimaan seorang ayah kepada anaknya. Seorang ayah yang benar, apapun yang terjadi dengan anaknya, dia tidak pernah menolak anaknya. Meski anaknya bandel dan bermain api, sang ayah tidak pernah “memecatnya” sebagai anak. Sang ayah tetap menerima anak itu apa adanya. Tapi, sebagai ayah yang benar, dia tidak akan membiarkan anaknya terus-menerus bermain api. Sang ayah TIDAK MENGIJINKAN anak itu nyaman untuk terus bermain api karena itu membahayakan dia, bukan karena sang ayah minta semua perintahnya dituruti. Pikiran sang ayah adalah MENGAMANKAN dia. Begitu pula dengan Kristus, Dia tidak ingin kita tinggal dalam dosa karena dosa merusak hidup kita. Dia memang menerima kita apa adanya, namun Dia tidak bisa membiarkan kita tinggal dalam dosa. Sementara, penerimaan yang diharapkan oleh dunia adalah “Kalau kamu memang benar-benar menerimaku apa adanya, kamu harus membiarkan aku melakukan apapun yang aku suka”. Itu bukanlah penerimaan, itu adalah sebuah kondisi “menyerah”. Jika kita memang menerima pendosa, justru kita tidak bisa membiarkan mereka menikmati dan larut untuk hidup dalam dosa. Justru ketika kita membiar-biarkan mereka, sesungguhnya kita sudah menyerah atas mereka dan “melepas”kan mereka, bukan menerima mereka. Itu sebabnya, penerimaan tidak selalu berarti sebuah persetujuan. Seorang ayah tidak selalu menyetujui kemauan anaknya, namun bukan berarti ayah itu berhenti menerima anaknya dengan sepenuh hati. Justru karena penerimaan sang ayah yang utuh itulah, dia men”tega”kan dirinya untuk tidak selalu menyetujui semua keinginan anaknya. “SAYA DILAHIRKAN SEPERTI INI” Sama seperti kita lahir sebagai orang asia, berkulit kuning, rambut lurus, bermata belok, begitu pula saya dilahirkan sebagai seorang gay. Setidaknya, itulah yang diyakini kebanyakan orang yang mendukung gay marriage. Sekali lagi, sudut pandang saya, aktifitas seksual sesama jenis adalah sebuah tindakan dosa. Jika Anda berkata, seseorang lahir dengan gen untuk menjadi begitu. Maka, Anda sama saja dengan menyetujui bahwa ada orang yang lahir dengan gen sebagai pembunuh, gen sebagai tukang tipu, gen sebagai pemerkosa, dan gen sebagai koruptor. Jika Anda menyetujui pernyataan di atas, maka kita harusnya melegalkan semua aktifitas apapun, entah itu aktifitas baik maupun aktifitas “dosa”, atas nama gen. Karena, bagaimana kalau pemerkosa berkata “saya memang dilahirkan begini, ini bukan pilihan hidup saya”, bagaimana kalau koruptor berkata “saya memang sudah dari sananya begini, saya nggak memilih untuk jadi begini”. Atau bagaimana kalau pembunuh berkata, “saya memang sudah memiliki gen pembunuh, bukan mau saya jadi pembunuh”.

39

Saya bukan peneliti. tapi saya penasaran, berapa banyak orang yang sejak lahir, dalam keadaan keluarga yang harmonis, baik-baik saja, tidak pernah ada terjadi penyimpangan mental, emosional, spiritual, maupun fisik dalam pola asuh orang tua. Berada dalam lingkungan sosial, ekonomi, dan moral yang sempurna, yang lalu sejak lahir sudah memiliki kecenderungan kuat untuk menjadi gay? Karena (setidaknya saya pribadi), beberapa kali berjumpa dengan orang yang sekarang menjadi gay, sebelumnya sama sekali straight. Atau, saya juga mengetahui cukup banyak orang yang menjadi gay karena lingkungan, pola asuh, dan masa lalu yang “traumatis”. Amat sangat jarang sekali, orang yang lahir dan besar dari lingkungan yang sangat “sehat”, sejak awal menunjukkan kecenderungan gay. Kalaupun ada, jumlahnya amat sangat kecil, dan itupun harus sekali lagi diteliti, benarkah secara sosial, mental, emosional, finansial, dan fisik, tidak pernah terjadi hal-hal yang traumatis? Setelah 8 tahun mempelajari tentang perilaku emosional manusia, saya menyadari bahwa manusia bisa melakukan apa saja (secara unconsciously), hanya demi bertahan hidup. Bahkan hardware otak kita, begitu canggihnya, bisa memerintahkan tubuh kita untuk melakukan atau menjadi nyaris apa saja demi bertahan hidup dari ancaman-ancaman yang ada (baik ancaman fisik, mental, maupun emosional). Sedikit kejadian traumatis (yang bagi orang lain belum tentu traumatis), bisa mengubah seseorang menjadi pribadi yang sangat berbeda. Bukan tidak mungkin pula, menjadi gay adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup terhadap “sesuatu” yang pernah terjadi.

Cobalah membaca salah satu referensi ini, siapa tahu menambah sudut pandang kita: http://www.trueorigin.org/gaygene01.php Kalau toh iya, ada yang namanya “gen gay”. Maka saya (secara pribadi) meyakini, karena semua manusia sudah “terinfeksi” dosalah yang memungkinkan itu terjadi (bukan karena Tuhan merancangkan sejak awal seperti yang dibilang Lady Gaga). Itu sebabnya, saya sungguh sangat yakin KELAHIRAN BARU dalam kasih karunia Kristus, sanggup menjadi jawaban. Maka, sebagai penutup dari semua tulisan panjang saya ini, saya hanya ingin menyampaikan, harusnya pesan bahwa ada PEMBAHARUAN, EXIT DOOR, DAN PEMULIHAN di dalam kasih karunia Tuhanlah yang harusnya lebih banyak dan keras kita sampaikan. Bukan pesan mengenai mendukung atau tidak mendukungnya. Karena mendukung atau tidak mendukung gay marriage, tidak banyak membawa perubahan apapun bagi kaum gay. Ketika kita tidak mendukung, kaum gay makin memusuhi kita. Ketika kita mendukung, kaum gay makin PD untuk tinggal dalam homoseksualitas mereka. Marilah fokus kita tidak teralihkan untuk menjadi “orang baik” atau menjadi aktifis humanis. Fokus kita sama seperti Kristus, meneriakkan adanya JALAN KELUAR dari dosa di dalam kasih karunia melalui karya salibNya. 40

Saya pribadi, sekarang lebih banyak berdoa dan merenungkan, kalau ada pendosa datang ke gereja, atau berjumpa dengan kita, masihkah kuasa Kristus ada di tengah-tengah kita untuk membawa perubahan hidup bagi mereka?

41

Hukum Taurat Dibuang Aja!

MAY 17, 2016 JOSUAWAHYUDI

Share on FacebookShare on TwitterShare on Linkedin

Banyak orang berpikir, perjanjian baru sudah menyelesaikan hukum taurat sehingga hukum taurat sudah bisa diabaikan.

Pemikiran ini tentu tidak sepenuhnya salah karena memang kedatangan Yesus adalah untuk menggenapi dan “memenuhi” hukum taurat yang gagal dijalankan oleh manusia. Sekali untuk selamanya, Yesus menyelesaikan tuntutan taurat untuk manusia.

Lalu, apakah itu artinya taurat sudah menjadi barang usang yang perlu kita buang?

Marilah kita memikirkan beberapa hal.

Pertama, kalau taurat sudah bisa diabaikan, bukankah itu berarti ada banyak bagian dari perjanjian lama yang seharusnya kita buang saja dan tak perlu lagi dimasukkan ke dalam Alkitab? Bukankah kita sudah tak perlu lagi membaca bagian-bagian yang sudah “usang” dan “tak berguna”?

Padahal, Yesus dan para rasul sebagai pelaku perjanjian baru dan penggenap taurat, berkotbah dengan mengutip taurat dan kitab para nabi. Perjanjian baru terbentuk melalui perjanjian lama. Itu sebabnya, kita tidak boleh membuat pemisahan antara perjanjian lama dan baru, keduanya adalah sebuah rangkaian rencana Tuhan yang “bercerita” tentang misi penyelamatan di dalam Yesus Kristus.

Alkitab yang salah satu perannya sebagai sebuah dokumentasi, membuat pemisahan PL dan PB BUKAN untuk membuat kita berpikir bahwa keduanya adalah berbeda, melainkan untuk memudahkan kita memilah masa sebelum kedatangan Yesus dan masa kedatangan serta setelah Yesus. Penggunaan kata “lama” dan “baru” memang bisa menimbulkan kesalahpahaman. 42

ALASAN TAURAT DIBERIKAN

Kedua, mengapa Tuhan memberikan taurat? Mengapa Yesus tidak langsung muncul saja sejak awal? Memahami tujuan taurat akan membuat kita memahami bagaimana posisi taurat sesungguhnya di dalam injil itu sendiri. Percaya tak percaya, taurat sebenarnya adalah bagian dari sebuah misi injil.

Alasan pertama mengapa taurat diberikan adalah: Israel merupakan bangsa yang sudah hidup dalam perbudakan selama 400 tahun. Itu artinya selama kurang lebih 5 generasi sudah berganti.

Adakah diantara Anda yang masih mengetahui riwayat mengenai nenek moyang yang 5 tingkat diatas Anda? Di zaman sekarang yang memiliki kecanggihan dokumentasi saja, kita mungkin nyaris (atau bahkan tidak sama sekali) memiliki dokumen atau “jejak” apapun soal siapa nenek moyang 5 tingkat di atas kita. Apalagi di zaman Musa dimana dokumentasi begitu sulit.

Memang, bangsa Israel punya tradisi untuk terus menceritakan sejarah mereka secara turun-temurun. Dan memang, bangsa Israel termasuk penjaga tradisi yang kuat. Namun, sebagai generasi muda dan baru, bukankah kita sering mempertanyakan tradisi turun-temurun, menganggap itu percuma, dan walaupun kita melakukannya, tapi hati kita sudah tidak ‘buy in’ lagi dengan tradisi itu.

Nah, bayangkan, generasi kelima ini sudah mengalami pelunturan tradisi dan sejarah, sementara kenyataan dunia yang mereka lihat sejak kecil adalah budaya Mesir. Cara hidup, pemikiran, dan semua hal tentang Mesir mempengaruhi mereka. Bahkan Musa sendiri dididik penuh dengan ke’Mesir’an!

Pages: 1 2 3 4

CHRISTIAN LIFE, PERSONAL INSIGHT. PERMALINK.

43

Post navigation

Sebuah Pertanyaan? →

Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *

Comment

Name *

Email *

Website

My Achievements

You must be logged in to view earned achievements

Categories

Categories Select Category Apologetics Christian Life Church Emotional Financial Leadership LSD & Relationship Movievational My Personal Insight Practical Truth Uncategorized Wisdom Cartoon

Quotient Experience Worship

44

My Account Recover Password My Classes Cart

Josua Iwan Wahyudi. All rights reserved.

Unite Themepowered by WordPress.



Leverage Your Faith Level!

Toggle navigation



Hukum Taurat Dibuang Aja!

MAY 17, 2016 JOSUAWAHYUDI

Share on FacebookShare on TwitterShare on Linkedin

Apa yang akan terjadi ketika tiba-tiba bangsa Israel yang sudah ‘Mesir minded’ ini menjadi bebas dan boleh menentukan cara hidup mereka sendiri? Kecenderungannya, mereka akan bergaya-gaya Mesir atau malah jadi liar semau-maunya sendiri. Padahal, budaya Mesir memiliki banyak representasi hal-hal yang dibenci oleh Tuhan.

Tuhan mau, bangsa Israel, umat kepunyaanNya, memiliki budaya yang berbeda. Itu sebabnya, taurat bukan cuma bicara 10 perintah Allah. Taurat juga bicara lebih dari 600 aturan yang mendetail dan mengatur hampir semua hal.

45

Mengapa sampai sedetail itu? Mengapa Tuhan se’perfeksionis itu? Karena bangsa Israel have no idea how to live! Mereka sama sekali start from zero, itu sebabnya Tuhan membuatkan sebuah manual book bagaimana harus membangun sebuah society yang tertib dan ilahi dalam kultur dan nilai-nilai Tuhan.

Jadi, Anda harus paham bahwa taurat bukanlah “prototype” awal dari cara Tuhan membenarkan manusia. Sama sekali bukan. Sejak peristiwa Eden, pada momen yang sama dengan kejatuhan manusia, Tuhan sudah langsung memiliki project penyelamatan yang pasti dan fix, yaitu melalui kematian Yesus.

Itu sebabnya, Tuhan mengatakan kepada ular dan Hawa bahwa keturunan Hawa ( kata “keturunan” memakai kata tunggal maskulin, yang artinya seorang keturunan pria, bukannya keturunan-keturunan) akan menginjak kepala ular (kepala ular melambangkan rencana iblis untuk menjauhkan manusia dari Tuhan) dan ular akan meremukkan tumit keturunan itu.

Jadi, taurat bukanlah rencana penyelamatan versi beta, atau uji coba ‘trial version’ rencana penyelamatan manusia.

Dari sini kita beranjak ke alasan kedua kenapa taurat diberikan, yaitu untuk “mengawal” dan “mengurung” bangsa Israel agar mereka tidak berpindah fokus kemana-mana, tetap berpandang kepada Tuhan Allah, sampai waktu kegenapan ketika Yesus datang.

“mengurung” disini juga berarti untuk menyingkapkan kepada manusia betapa manusia tidak akan sanggup menjadi benar melalui usahanya sendiri. Korban bakaran tahunan dalam taurat akan mengingatkan bahwa dosa dan kesalahan manusia tidak bisa dihapus secara permanen, tetap menempel meski tahun lalu sudah “disucikan”.

“mengurung” disini adalah untuk menunjukkan bahwa perbuatan baik manusia akan selalu gagal, dosa sepenuhnya berkuasa atas nafsu dan kehendak manusia, dan dibutuhkan sebuah korban yang sempurna yang datangnya bukan dari dunia ini. Jadi, taurat justru menjadi “prolog” misi penyelamatan. Taurat menjadi “sekuel” pertama yang akan menjelaskan kenapa Yesus perlu turun ke dunia.

Dan mengapa sampai butuh berabad-abad sejak taurat diberikan sampai Yesus datang? Menurut saya, Tuhan yang Maha Tahu, mengetahui bahwa jumlah waktu itulah yang dibutuhkan untuk membuat 46

bangsa Israel mengerti bahwa manusia benar-benar sudah dikuasai dosa, bahwa usaha untuk hidup benar dengan usaha sendiri adalah mustahil, dan bahwa satu-satunya harapan hanyalah mesias.

Kadang-kadang, mengapa kita tidak langsung menolong anak kita yang sedang kesulitan, padahal sebenarnya kita bisa saja langsung memberikan bantuan. Terkadang, kita ingin anak kita belajar bahwa dia terbatas, bahwa dia membutuhkan ayah/ibunya, bahwa usahanya akan sia-sia, dan kita ingin dia menghargai pertolongan yang akan kita berikan nantinya.

Taurat bukanlah rencana pengganti yang gagal atau sebuah rencana awal yang ternyata tak berhasil. Justru taurat adalah bagian awal dari injil itu sendiri!

Itu sebabnya Yesus begitu “boh wat” ketika melihat orang farisi. Karena, seharusnya, orang yang hidup dalam taurat, tahu betul bahwa taurat tidak bisa menyelamatkan dan malah menyingkap kelemahan manusia. Seharusnya, orang yang hidup dalam taurat yang akan paling merasa butuh Yesus. Tapi kenyataannya, malah mereka yang paling menolak Yesus.

Pages: 1 2 3 4

CHRISTIAN LIFE, PERSONAL INSIGHT. PERMALINK.

Post navigation

Sebuah Pertanyaan? →

Leave a Reply

Your email address will not be published.Required fields are marked *

Comment 47

Name *

Email *

Website

My Achievements

You must be logged in to view earned achievements

Categories

Categories Select Category Apologetics Christian Life Church Emotional Financial Leadership LSD & Relationship Movievational My Personal Insight Practical Truth Uncategorized Wisdom Cartoon

Quotient Experience Worship

My Account Recover Password My Classes Cart

Josua Iwan Wahyudi. All rights reserved.

Unite Themepowered by WordPress.



Leverage Your Faith Level!

Toggle navigation

48

Hukum Taurat Dibuang Aja! Jadi, jika sekarang kita memahami bahwa “sekuel” dan prolog dari taurat memang sudah usai dan kita sudah memasuki era kasih karunia di dalam Kristus. Tapi, itu bukan berarti bahwa taurat TIDAK ADA GUNANYA bagi kita! Ambil sebagai contoh. Taurat melarang bangsa Israel memakan babi. Ingat, taurat diberikan salah satunya untuk mengatur cara hidup bangsa Israel agar mereka memiliki cara hidup terbaik, termasuk dalam hal kuliner dan kesehatan. Dunia health food sudah sangat jelas sekali menunjukkan bahwa babi memberikan efek yang buruk untuk kesehatan. Itu sebabnya, taurat menulisnya. Ketika orang Kristen makan babi berlebihan dan berkata “kita kan sudah hidup di perjanjian baru bro..” Itu adalah kalimat yang nggak nyambung (nggak ada hubungannya!). Dari awal sebenarnya cuma ada 1 perjanjian, yaitu perjanjian penyelamatan manusia melalui Yesus. Taurat berada dalam bagian dari perjanjian itu. Larangan makan babi diberikan BUKAN berkaitan dengan keselamatan masuk surga atau tidak. Larangan babi diberikan untuk alasan kesehatan dan lifestyle! Sekaligus larangan itu diberikan untuk menunjukkan bahwa meski kita sudah disiplin tidak makan babi, tetap kita tak bisa masuk surga, itu sebabnya kita butuh Yesus. Lalu, kenapa ada hukuman-hukuman untuk pelanggaran taurat? Jika memang taurat untuk lifestyle, kenapa mesti memakai hukuman bahkan sampai hukuman mati? Sederhana, kalau Anda ingin membangun sebuah kultur di rumah Anda, dan Anda ingin anak Anda memiliki kultur itu, bukankah Anda akan menerapkan disiplin agar semua orang “terbiasa” dengan kultur yang dibangun? Bukankah disiplin itu “mengawal” dan “mengurung” anggota keluarga Anda agar berfokus pada budaya yang ingin dibangun? Di perusahaan saja, kalau ingin membangun budaya on time, pasti ada disiplin bagi mereka yang terlambat bukan? Dan kadangkala, adanya hukuman keras diperlukan untuk mengajarkan bahwa semua pelanggaran ada konsekuensinya. Disinilah sekali lagi taurat “mengurung” bangsa Israel, untuk membuat mereka mengerti bahwa dosa konsekuensinya adalah maut dan parahnya, tidak ada usaha apapun yang bisa dilakukan manusia untuk terhindar dari konsekuensi dosa. Bangsa Israel terus “dikurung” dengan taurat, diingatkan berkali-kali melalui berbagai ritual tahunan dan simbol-simbol aturan yang ada, agar mereka benar-benar mengerti ketika Yesus datang nanti, itulah masa kelepasan mereka atas konsekuensi dosa.

49

Jadi, menurut saya, taurat masih layak dipelajari dan bahkan sebagian dari taurat masih sangat perlu untuk dipraktekkan. Bukan dalam rangka dibenarkan di hadapan Tuhan, melainkan untuk mengetahui lifestyle yang diberikan Tuhan dan hikmat dibaliknya. “Lho taurat kan cuma buat orang Yahudi, kita bukaaaaan…” Well, agak nggak nyambung juga kalimat ini sebenarnya. Bangsa Israel (atau yahudi) pada masa itu adalah satu-satunya bangsa “pilihan Allah”. Kalau bangsa itu adalah pilihan, pastinya Tuhan tidak sembarangan memberikan kultur dan lifestyle bukan? Bisa jadi, itu adalah kultur terbaik. Itu sebabnya, meski kita bukan orang yahudi, tidak ada salahnya untuk mempelajari dan mempraktekkan beberapa hal dalam taurat yang memang benar-benar membawa kebaikan untuk hidup kita. Ambil contoh. salah satu aturan taurat untuk seorang wanita yang pendarahan tidak boleh ambil bagian dalam ritual keagamaan, atau bahkan ada kondisi tertentu dimana mereka tidak boleh ada dalam pertemuan sosial. Banyak orang salah paham ini sebagai diskriminasi terhadap perempuan atau sebuah syarat kekudusan. Penggunaan kata “najis” bukan untuk melabel bahwa wanita itu “hina” pada saat mens. Cobalah Anda bayangkan. Pada masa itu, belum ada pembalut wanita yang anti bakteri. Bagaimana cara mereka “menahan” pendarahan? Dan kita semua tahu bahwa mens adalah “darah kotor” yang memang mengandung banyak bakteri berbahaya. Aturan agar wanita pendarahan tidak terlalu banyak bersentuhan dengan masyarakat adalah lebih kepada unsur kesehatan. Begitu pula dengan aturan wanita yang selesai pendarahannya harus mencuci diri bersih-bersih membersihkan “kenajisan”nya. Yang dimaksud kenajisan bukan berbicara wanita itu penuh dengan kehinaan, melainkan berbicara adanya kandungan bakteri dan penyakit yang bisa saja menulari membawa hal tak baik untuk orang lain. Mengapa dikaitkan dengan ritual keagamaan? sebagai simbol bahwa darah yang keluar dari tubuh artinya kematian. Darah adalah pembawa kehidupan dan hanya bisa “hidup” selama berada dalam tubuh. ketika darah keluar dari tubuh, kehidupan yang termuat dalam darah itu menjadi mati. Sama seperti manusia yang terlepas keluar dari hadirat Tuhan akan berakhir pada kebinasaan. Sekali lagi, taurat diberikan untuk lifestyle dan “mengurung” dengan berbagai simbolisasi untuk membuat bangsa Israel makin paham pentingnya kehadiran Mesias. Dan, soal makanan “haram”, seorang praktisi kesehatan pernah berkata, “kalau seorang hamba Tuhan, setiap kali melihat makanan tak sehat, tidak bisa menahan nafsunya dan tak mampu mengendalikan dirinya, apa bedanya dengan orang yang ke pelacuran karena tak bisa menahan nafsunya?” Kata-katanya sungguh benar. Walaupun Anda mungkin merasa “lho nafsu seksual kok disamakan sama nafsu makan…” Bukankah nafsu berbicara mengenai keinginan daging? Ketika kita tidak bisa menguasai keinginan daging (dalam hal apapun), maka sebenarnya kita sedang hidup dalam kedagingan.

50

anak muda tak bisa menahan diri kecanduan game, orang tak bisa menahan nafsu seksual ke pelacuran, pelayan Tuhan tak bisa menahan nafsu berkuasa dan berambisi untuk tahta, orang tak bisa menahan nafsu mengejar uang dan mulai melakukan apapun, dan orang tak bisa menahan nafsu tiap kali melihat makanan tertentu dan menjadi “kalap” melampiaskan kenikmatan lidah. Apakah ada beda yang signifikan? Saya berharap tulisan ini membuat kita menjadi orang Kristen yang lebih dewasa, yang tidak melecehkan taurat sambil tertawa-tawa mempraktekkan hidup dikuasai nafsu dalam konteks “kasih karunia”. Taurat adalah bagian dari kasih karunia itu sendiri.

51

Related Documents

Artikel
April 2020 61
Artikel
June 2020 55
Artikel
July 2020 41
Artikel
November 2019 56
Artikel
April 2020 44
Artikel
November 2019 61

More Documents from ""

Khotbah Mama.docx
November 2019 22
Artikel Bagus.docx
November 2019 18
Cara Berkhotbah.docx
June 2020 10
Profile Morris.docx
November 2019 11
Deep+love+report.pdf
November 2019 9