LEAFLET CONSERVATION NEWS FOR NEF STUDENT IN INDONESIA edisi APRIL 2009
PERDAGANGAN KARBON DARI LAUT Menjelang pertemuan World Ocean Conference di Manado, 11
15.05.2009, mencuat
usulan perdagangan karbon bersumber dari lautan. Menteri Kehutanan dan Perikanan mengklaim bahwa laut dan pantai Indonesia mampu menyerap karbon 66,9 juta ton per tahun dan karbon dioksida (CO2) 245,6 juta per tahun (Kompas, 11/04). Pemerintah meyakini dengan mengusung gagasan ini di WOC akan mendapatkan keuntungan dari negara-negara penghasil emisi atas jasa serapan lautnya terhadap karbon. Jika demikian, negara-negara maju tetap leluasa melepaskan emisi karbonnya. Kini pertanyaannya, apakah laut sebagai penyerap karbon atau pelepas karbon ? Kalangan ilmuwan kelautan dunia masih berdebat soal apakah laut menyerap atau melepas karbon. Sampai saat ini pendapat ilmuwan terpolarisasi atas tiga kelompok.
Pertama, kelompok olmuwan teoritis yang mengacu pada teori pertukaran karbon di alam. Mereka meyakini, di dalam lautan yang luasnya ¾ permukaan bumi hidup fitoplankton yang berfotosintesis sehingga menyerap karbon dioksida dari atmosfer. Tesis ini mendasari teori, lautan adalah reservoir raksasa penyerap karbon. Mereka menduga laut mampu menyerap 6 peta gram setara dengan 6.000 juta ton karbon per tahun dari CO2 atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil (JGOFS,2000). Padahal, perairan laut tropis, subtropis, ataupun daerah kutub memiliki karakteristik berbeda secara oseanografis.
Kedua, kelompok ilmuwan yang belum bisa memastikan apakah lautan dan sumberdayanya sebagai penyerap atau pelepas karbon. Pasalnya, semua hasil penelitian memosisikan laut sebagai pelepas karbon (carbon sources) ke atmosfer, kecuali Laut Utara, Atlantik Utara, dan Samudra bagian Selatan. Hasil penelitian ilmuwan diperairan lintang 20º
40º memosisikan perairan Atlantik Utara dan Samudra bagian Selatan
mampu
menyerap
CO2
melalui
proses
pompa
fisis
ataupun
biologis
yang
mengendalikan siklus karbonat di lautan (JGOFS,2000). Hal ini amat berbeda dengan hasil penelitian tekanan parsial CO2 oleh ilmuwan Jepang di pantai Barat Sumatera (+ 16 atm
+27 atm), perairan Selatan Selat Lombok, dan
Selat Makassar sampai Laut Sulawesi (+ 4 atm-+20 atm), serta Laut Jawa ; ternyata positif sebagai sumber karbon (Koropitan,2008). Ada tiga parameter yang memosisikan laut sebagai penyerap atau pelepas karbon, yaitu (a) tekanan parsial CO2 (pCO2), (b) suhu permukaan laut, dan (c) kandungan karbon anorganik (disolved inorganic carbon) penyubur pertumbuhan plankton di laut.
Ketiga, kelompok ilmuwan ortodoks, meyakini teori pertukaran karbon di alam dan khawatir ancaman perubahan iklim global. Bisa direkayasa bagaimana lautan mampu untuk menyerap karbon. Penelitian ilmiah di Samudra Pasifik Utara, Sub-Artik, Pasifik Khatulistiwa, dan wilayah Samudra bagian Selatan yang memiliki konsentrasi nutrien tinggi, kandungan klorofilnya rendah (high nutrient
low chlorophyll). Hal ini
membingungkan. Kondisi ini mengindikasikan kegiatan biologis (fotosintesis) rendah. Padahal semua perairan itu mencakup 30% perairan laut global. Maka muncul tesis ; ada pengaruh faktor pembatas yang mempengaruhi aktifitas biologis fitoplankton, selain nitrat, fosfat, dan silikat. Kesimpulan dalam hal ini jatuh pada besi (Fe). Terkait hal ini, maka para ilmuwan melakukan uji coba penyuburan besi dengan cara membenamkan ratusan ton besi di perairan laut selatan agar merangsang pertumbuhan fitoplankton (SOIREE,1999). Sebelumnya diujicobakan di Pasifik Khatulistiwa sebelah Timur (IronEx I, 1993 dan IronEx II, 1995). Hasilnya, (i) terjadi peningkatan pertumbuhan fitoplanktom, (ii) terjadi peningkatan penyerapan CO2 atmosfer di yakni sel-sel fitoplankton yang kecil menjadi diatom besar yang cepat tenggelam. Maka merujuk penelitian ilmuwan, mustahil menerapkan Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) ala Protokol Kyoto di laut untuk mengatasi perubahan iklim dengan alasan-alasan berikut. Pertama, pelbagai penelitian di lautan yang ingin mengetahui lautan sebagai carbon sink masih kontroversial. Kedua, penelitian lautan tropis menunjukan
lebih
condong
sebagai
carbon
sources
ketimbang
carbon
sink
(Koropitan). Ketiga, percobaan fertilisasi besi di lautan hasilnya kurang memuaskan. Karena, hanya menyuburkan kawasan lokasi eksperimen dan gagal total pada tahun
2009. Percobaan ini oleh PBB diminta dihentikan karena prosesnya menggunakan radioaktif Torium233 dan Uranium238 (Soetrisno, 2009).
Keempat, hasil penelitian terumbu karang belum terbukti sebagai penyerap karbon. Hal ini amat berbahaya bagi Indonesia karena mendeklarasikan kawasan CTI (Coral Triangle Initiative) sebagai kawasan konservasi laut. Itu karena semata-mata akan berujung pada penggusuran dan pencabutan hak-hal nelayan tradisional untuk mengakses sumber daya. Parahnya, premis ini diamini kalang intelektual/akademis yang mencari keuntungan di balik penderitaan nelayan.
Kelima, kolaborasi antara pengambil kebijakan, kalangan intelektual/akademisi pragmatis-oportunis dari perguruan tinggi dan multinational corporation, lembaga keuangan
internasional,
serta
lembaga
konservasi
internasional
sebaiknya
Lebih baik meminta negara industri maju menghentikan industrinya yang memproduksi emisi karbon.
Keenam, Indonesia seharusnya memastikan terlebih dahulu apakah perairannya, 5,8 juta kilometer persegi ini sebagai penyerap karbon atau emisi karbon.
Muhammad Karim (Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban)
Secretariat NEF Ssholarship Program Indonesia LEMBAR INDONESIA Pondok Uringin Permai Delta Zamrud, 20 Telp/Fax : +62218462893 Email :
[email protected]