Antibakteri

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Antibakteri as PDF for free.

More details

  • Words: 6,820
  • Pages: 24
Vol. 9 No. 1, Maret 2004, hal 209 – 213

Lantaden X R Glikosida dari Daun Lantana camara L. Rumondang Bulan 1) , Soekeni Soedigdo 2) , Sadijah Achmad 2) dan Buchari 2) 1) Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan No. 1, Kampus-USU Medan.

Jl, Bioteknologi

2) Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 40132.

Diterima Maret 2003, disetujui untuk dipublikasikan September 2003

Abstrak Isolasi dan pemurnian senyawa lantaden X R glikosida yaitu suatu senyawa turunan lantaden, dari daun Lantana camara L telah dilakukan. Struktur senyawa ditentukan berdasarkan interpretasi data UV, IR, MS, 1 H dan 13 C-NMR. Senyawa tersebut bersifat sitotoksik terhadap sel leukemia dengan IC 50

L1210

2,23 µ g/mL. Kata Kunci : Lantaden, lantaden X R glikosida, Lantana camara L., sel leukemia L1210 Abstract Isolation and purification of lantadene X R glycoside compound related to lantadene compound, from Lantana camara L . leaves had been done. Structure elucidation was performed by interpretation of spectroscopic data, including UV, IR, MS, 1 H and 13 C-NMR. This compound is cytotoxic against of L1210 leukemic cell with IC 50 of 2.23

µ g/mL. Keywords: Lantadene, lantadene X R glycoside, Lantana camara L., L1210 leukemic cell 1.

Pendahuluan Lantana camara L. adalah tumbuhan perdu dari suku Verbenaceae yang berasal dari Amerika dan terdapat di Indonesia 1,2,3,4) . Tumbuhan tersebut telah lama digunakan sebagai salah satu bahan ramuan obat tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit antara lain untuk pengobatan penyakit kulit, batuk, keracunan dan reumatik 5,6) . Berdasarkan berbagai literatur diketahui bahwa daun L. camara L. mengandung senyawa lantaden, yaitu lantaden A, lantaden B, lantaden C, lantaden D, lantaden A yang tereduksi dan lantaden B yang tereduksi 7,8,9,10,11)

. Senyawa lantaden A dan lantaden B yang dapat menyebabkan keracunan pada domba mengandung gugus yang khas pada struktur kimianya, seperti sistim lingkar, gugus karbonil dan ikatan rangkap yang umumnya terdapat pada senyawa-senyawa yang aktif terhadap sel-sel abnormal seperti sel leukemia L1210, sel P388, sel Walker 256 dan lain-lain 12,13,14,15,16) . Penelitian ini dilakukan untuk mengisolasi, memurnikan dan mengelusidasi struktur senyawa kimia yang terdapat di dalam daun tumbuhan L. camara L., dan menguji aktivitas sitotoksiknya terhadap sel leukemia L1210. Sel leukemia L1210 dipilih karena merupakan sel tumor yang tumbuh cepat dengan persentase sel hidup cukup tinggi dan memiliki tingkat pertumbuhan 100%. Jika suatu zat toksik terhadap sel leukemia L1210, pada umumnya toksik terhadap sel-sel abnormal lainnya. 2.

Bahan dan Metode 2.1 Bahan tumbuhan Daun L. camara L. berbunga merah yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh Soreang, Bandung. Bahan tumbuhan dideterminasi di Bandungense, Departemen Biologi FMIPA ITB dan Herbarium Balitbang Botani Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi, Setelah dibersihkan bahan dikeringkan dan dijadikan serbuk. 2.2 Ekstraksi Sebanyak 50 g serbuk daun kering

dari daerah Herbarium Bogoriense, LIPI Bogor.

L. camara L diekstraksi secara ekstraksi sinambung dengan 500 mL metanol. Kemudian metanolnya diuapkan dengan menggunakan penguap vakum putar pada suhu 50 0 C sehingga diperoleh larutan jenuh metanol. Ekstraksi diulang lagi sehingga bahan tumbuhan yang diekstraksi sebanyak 1 kg. Dari 1 kg serbuk daun kering L. camara L. diperoleh 64,52 g ekstrak kasar. 2.3 Pemisahan Ekstrak kasar di fraksinasi dengan kromatografi kolom menggunakan fasa diam silika gel dan fasa gerak campuran benzen dan etanol (4 : 1 v/v). Hasil dari kromatografi kolom diperoleh 5 fraksi yaitu fraksi A, B, C, D dan E. Kemudian dilakukan uji aktivitas terhadap masing-masing fraksi dengan menggunakan sel leukemia L1210. Dari hasil 209

Fitokimia herba konyal Di Indonesia jenis-jenis Passiflora yang ada lebih dikenal dengan buahnya yang bisa dimakan dan memiliki rasa dan aroma yang lezat ( Passiflora edulis Sims, Passiflora foelidal, Passiflora laurifolia L dan lain-lain). Pemakaian dalam pengobatan hanya sebagai eksfektoran (buah Passiflora foetida L), antelmintik (daun Passiflora lautiflora L) dan obat raja singa serta kencing nanah (daun Passiflora quadrangularis L) (1). Passiflora yang dikenal dengan sebutan "Passion Flower" atau "Mararuja" mempunyai sejarah yang panjang dan beraneka ragam sebagai sedatif alami. Ibu-ibu di Brasilia memanfaatkan keefektifannya yang menenangkan anak-anak hiperaktif dan mempunyai kemampuan membantu mengatasi kekejangan dengan secangkir teh mararuja atau dua gelas jusnya. Mararuja menimbulkan rasa kantuk yang alami "natural sleepiness", tanpa menyebabkan depresi sistem saraf dan karena itu digunakan untuk semua jenis insomnia. Penderita di bawah pengaruhnya akan terpelihara ketenangan dan kemampuan berfikir, berbicara, bergerak, sehingga akhirnya tertidur. Pada penggunaan berlanjut, tidak ada kontraindikasi karena toksik dan adiktif (2). Di Jerman telah dibuat obat atau ekstrak herba Passiflora incarnata L. sebagai sedatif dan perbaikan kardiotonik seperti Plantival, sanadarmin, sedinfant, krauter-dragees dan lain-lain (5) Marga Passiflora yang berkerabat dengan Caricaceae, suku pepaya diketahui mengandung alkaloid, fenol, tanin dan senyawa sianogenik, flavonoid glikosida telah ditemukan pada beberapa jenis Passiflora ini, beberapa diantaranya diidentifikasi sebagai flavonoid dengan ikatan C-glikosida (2, 3, 4). Telaah fitokimia ini dilakukan untuk meneliti kandungan kimia herba Passiflora edulis Sims, yang satu marga dengan Passiflora incarneta L. dan banyak ditemukan di Jawa Barat sehingga hasilnya bisa dikembangkan lebih lanjut. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Botani Tinjauan botani meliputi aspek klasifikasi tumbuhan, nama daerah, ekologi dan penyebaran, morfologi tumbuhan, serta khasiat dan kegunaannya. Klasifikasi Tumbuhan Klasifikasi tumbuhan Passiflora edulis Sims, adalah: Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Anak kelas : Dilleniidae Bangsa : Violales Suku : Passifloraceae Marga : Passiflora Jenis : Passiflora edulis Sims (6) Nama Daerah

Nama daerah Passiflora edulis Sims adalah : buah negeri (Jawa), paksi (Sunda), konyal, areuy pasi, buah monyet (1, 7, 8). Jenis Passiflora lain Jenis Passiflora lain yang dikenal di Indonesia antara lain adalah Passiflora foelida L. dengan nama daerah gegombo (Aceh), lemanas (Palembang), remugak (Lampung), kaceprek, pacean, permot, rajutan (Sunda), ceplukan blungsun (Jawa). Passiflora laurifolia L. dengan nama daerah buah susu, markisa leutik (Sunda); Passiflora mixtra L.F. dengan nama daerah tidak diketahui; Passiflora nilida H.B.le. yang tidak memiliki nama daerah, dan Passiflora guandrangularis L. dengan nama daerah markisa (Indonesia), prubis (Palembang), erbis, markusa (Sunda), belewa (Sumatra timur) (1,7). Jenis lain yang ada di dunia adalah Passiflora alata, Passiflora coccinea, Passiflora incarnata, Passiflora ligularis, Passiflora maliformis, Passiflora mollissima dan lain-lain. Morfologi Tumbuhan Passiflora edulis Sims merupakan terna merambat sedikit berkayu kuat tapi berumur pendek (5-7 tahun), dengan panjang lebih dari 15 m. Tangkainya gundul, berakar dan berwarna hijau. Memiliki sulur aksilar, berpilin, bergulung lebih panjang dari daunnya. Daun mempunyai Stipula dan petiolus: stipula lanseolatus, panjang 1 cm, petiolus dengan panjang 2-5 cm, bagian atas beralur, memiliki dua kelenjar bundar pada puncaknya. Daun muda tidak berlobus, selanjutnya jadi bentuk palmatus dengan tiga lobus, dasar daun kordalus: lobus ovalus oblong, 10-15 cm x 12-25 cm, akuminatus, tepinya bergerigi dengan ujung berkelenjar. Bunga tunggal, aksilar, berbau harum, indah, dengan diameter 7,5-10 cm, pedunkulus triangularis, panjang 2-5 cm, dekat apeks, berdaun tiga, braktea ovalus-oblong menjalar, bagian bawah kuning kehijauan, bagian atas putih bagian tepi dengan lebih dari empat kelenjar, apeks dengan bagian seperti dua, lima petal, bebas, putih dan tipis, berselang-seling dengan lobus kaliks. Korong terdiri dari dua barisan terluar berombak, benang tersebar, panjang 2-3 cm berwarna putih dengan dasar ungu, dan tiga barisan lebih dalam berupa papilla pendek berujung ungu. Stamen berjumlah lima, filamen bersatu dalam pipa melingkar ginotor kira-kira 1 cm dan kemudian terbagi dengan luas 1 cm. Antena besar, ovarium ginofor, ovoid, satu lokular dengan tiga plasenta palietal. Stilus berjumlah tiga, horizontal, klavatus, dengan alur longitudinal, panjang 1 cm stigma reniform atau condiform dengan diameter 0,5 cm. Buah bulat atau ovoid, 4-12 cm x 4-7 cm, ungu tua atau kuning jernih eksokarp keras dan tipis, mesokarp kehijauan, endokarp putih. Berbiji banyak berikat pada dinding ovarium, dilengkapi oleh aroma daging buah yang kekuningan atau yang banyak mengandung air yang dapat dimakan; rasanya kuat, biji hitam dan bergigi tiga pada dasarnya (8). Ekologi dan Penyebaran

Terna merambat ini berasal dari selatan dan tumbuh di tepi hutan hujan dan di Asia Tenggara tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan 2000-3000 mm. Di Indonesia Passiflora edulis Sims ini tidak banyak dibudidayakan, tetapi banyak ditemukan di Jawa Barat pada ketinggian antara 1300-1700 m diatas permukaan laut di banyak tempat dan tumbuh liar dalam jumlah besar. Di dalam jurang-jurang gunung Cikuray, Papandayan, dan Malabar permukaan tanah yang luas telah dirimbuni dengan batang-batangnya yang tumbuh saling merapat. Penduduk menganggapnya sebagai tumbuhan hutan dan berpuas hati dengan buah yang didapat mereka kumpulkan di hutan itu. Passiflora ini tumbuh paling baik di Jawa Barat pada 400 kali dan lebih. Perkembangbiakan dengan biji atau stek dan tumbuh cepat. Tumbuhan ini berbunga beberapa kali dalam setahun dan selalu berbuah, yang terbanyak pada bulan Desember, Januari dan Juni (7). Khasiat dan Penggunaan Sampai saat ini yang biasa dimanfaatkan dari Passiflora edulis ini adalah buahnya yang bisa dimakan dalam keadaan segar atau diambil daging buahnya yang bisa dimakan dalam keadaan segar atau diambil daging buahnya dan diawetkan dengan pemanasan atau pendinginan. Jus buah ini memiliki rasa yang unik, kuat dan asam. Jenis produk yang bisa diperoleh antara lain es krim, serat, nektar, jus, konsentrat, perasan, selai dan jelly (8). Di Indonesia Passiflora edulis Sims hanya dimanfaatkan buahnya. Di Brazil selain sebagai makanan juga dimanfaatkan sebagai sedatif. Sedangkan di Peru digunakan sebagai makanan dan untuk infeksi saluran kencing (2). Kandungan Kimia Passaiflora edulis Sims, mengandung flavonoid, alkaloid, niacin, riboflavin, tiamin, asam askorbat, ? - karoten, asam sitrat, asam malat, etil butilat, etil kaproat, n-heksil butirat, n-heksil haproat, kalsium, besi, fosfor, kalium, natrium, pekilin-metil estrase fenolase (2). Tinjauan Kimia Flavonoid Flavonoid merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Semua flavonoid, menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid terdapat dalam berbagai bentuk struktur. Semuanya mengandung atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Semua varian flavonoid saling berkaitan karena alur biosintesis yang sama, yang memasukkan pra zat dari alur sikimat dan alur asetat-malonat. Flavonoid dalam tumbuhan umumnya terikat sebagai glikosida, baik O-glikosida maupun C-glikosida (9, 10).

Flavonoid yang dilaporkan terdapat pada Passifora edulis Sims, adalah 6-C-C6-deo lingkik spiranosil J-3, 4, 5, 7-tetra hidroksiflavon atau disebut juga 6-c-husnovosiluteolin dengan struktur sebagai berikut: gbr1 Gambar 1.1. Struktur kuinovosilukolin (2) Steroid dan Triterpenoid Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis dirumuskan dari hidrokarbon C30 asiklin, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklin dan nisbi rumit, kebanyakan berupa alcohol, aldehida atau asam karbohidrat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk kristal, sering bertitik leleh tinggi dan aktif optik pada umumnya sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Uji yang banyak digunakan adalah reaksi Lieberman-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru. Triterpena dapat dipilih menjadi sekurang-kurangnya empat golongan senyawa: triterpena sebenarnya, steroid, saiconon dan glikosida jantung. Kedua golongan terakhir sebenarnya triterpena atau seteroid yang terdapat sebagai glikosida (10). Passiflora edulis Sims dilaporkan mengandung triterpenoid yang disebut passiflorin atau asam passiflorat dengan struktur sebagai berikut: Gambar 1.2: Struktur asam passiflorat (2) Alkaloid Tidak ada istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi umumnya alkaloid ini mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dengan bahaya yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga digunakan secara luas dalam pengobatan. Alkaloid biasanya tak berwarna, seringkali bersifat aktif optik kebanyakan berbentuk kristal pada suhu kamar. Prazat alkaloid yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya biosintesis kebanyakan asam amino lebih rumit. Secara kimia alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Banyak alkaloid bersifat terpenoid dan beberapa diantaranya dari segi biosintesis merupakan terpenoid termodifikasi alkaloid lain terutama berupa senyawa atomatik dengan gugus basa sebagai rantai samping (10). Passiflora edulis Sims dilaporkan ini dengan alkaloid hormon yang memiliki struktur sebagai berikut: Gambar 13: Struktur harmin (11) Metode Ekstraksi Ekstraksi adalah proses penarikan komponen/zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemikiran metode ekstraksi senyawa bukan atom dipergunakan oleh beberapa faktor, yaitu sifat jaringan tanaman, sifat kandungan zat aktif serta kelarutan dalam pelarut yang digunakan. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non polar dalam senyawa non polar. Secara umum ekstraksi dilakukan secara berturut-turut

mulai dengan pelarut non polar (n-heksan) lalu pelarut yang kepolarannya menengah (diklor metan atau etilasetat) kemudian pelarut yang bersifat polar (metanol atau etanol) (10). Ekstraksi digolongkan ke dalam dua bagian besar berdasarkan bentuk fase yang diekstraksi yaitu ekstraksi cair-cair dan ekstraksi cair padat, ekstraksi cair padat terdiri dari beberapa cara yaitu maserasi, perkolasi dan ekstraksi sinambung. Ekstraksi Sinambung Ekstrasksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet. Pelarut penyair yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan, melewati pipa samping alat Soxhlet dan mengalami pendinginan saat melewati kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian dalam alat Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh bagian linarut tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini berlangsung terus menerus sampai diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki. Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pelarut murni sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-senyawa termolabil (10). Ekstraksi Cair-cair Ekstraksi cair-cair juga diperlukan untuk mengekstraksi senyawa glikosida untuk umumnya polar (aglikon yang berikatan dengan gula monosakarida dan disakarida). Ekstraksi cair-cair untuk glikosida biasanya dilakukan terhadap ekstrak etanol atau metanol awal. Ekstrak awal ini dilarutkan dalam air kemudian diekstraksi dengan etilasetat dan n-butanol. Glikosida terdapat dalam fase etilasetat atau n-butanol. Selain itu ekstraksi cair-cair dilakukan terhadap reaksi awal untuk menghilangkan lemak dan ekstrak tersebut jika bagian tumbuhan yang diekstraksi belum dihilangkan lemaknya pada ekstrak awal. Metode Pemisahan Prinsip dari pemisahan adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari senyawa yaitu kecendrungan dari molekul untuk melarut dalam cairan (kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsirian), kecenderungan molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penserapan). Salah satu cara pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi. Corong G-3 diisi adsorben sampai setinggi 2,5 cm, kemudian diketukketuk dengan batang pengaduk bersalut dilarutkan dalam pelarut organik yang cocok, kemudian

ke dalam larutan ekstrak tersebut ditambahkan adsorben dengan bobot sama dengan bobot ekstrak. Campuran ini digenis sampai homogen, dikeringkan dan dimasukkan ke dalam corong G-3 kemudian diratakan. Permukaan lapisan adsorben ditutup dengan kertas saring. Elusi diawali dengan pelarut non polar dilarutkan dengan kombinasi pelarut dengan polaritas meningkat. Jumlah pelarut yang digunakan setiap kali elusi adalah sebagai berikut: untuk bobot ekstrak sampai lima gram diperlukan 25 ml pelarut, untuk 10-30 g ekstrak diperlukan 50 ml pelarut. Dalam hal ini diameter corong dipilih sedemikian rupa sehingga lapisan ekstrak dipermukaan kolom setipis mungkin dan rata. Masing-masing pelarut dituangkan ke permukaan kolom kemudian dihisapkan pompa vakum. Masing-masing ekstrak ditampung dalam wadah terpisah sehingga menghasilkan sejumlah fraksi (13). Cara lain yang dapat dipakai untuk pemisahan adalah ekstraksi cair-cair, kromatografi kolom, kromatografi lapis tipis dan kromatografi kertas. Metode Isolasi dan Pemurnian Isolasi dan pemurnian dapat dilakukan dengan kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas preparatif dengan pengembangan yang dapat memisahkan komponen paling baik. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau pita (awal), kemudian pelat dimasukkan di dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak). Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) dan selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (14). Keuntungan kromatografi lapis tipis adalah dapat memisahkan senyawa yang sangat berbeda seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintesis, kompleks organik dan anorganik serta ion anorganik dalam waktu singkat menggunakan alat yang tidak terlalu mahal. Metode ini kepekaannya cukup tinggi dengan jumlah cuplikan beberapa mikrogram. Kelebihan metode ini jika dibandingkan dengan kromatografi kertas adalah dapat digunakan pereaksi asam sulfat pekat yang bersifat korosif, kelemahannya adalah harga Rf yang tidak tetap (10, 15). Kromatografi Kertas Preparatif Kromatografi kertas dapat digunakan terutama untuk kandungan tumbuhan yang mudah larut dalam air, satu keuntungan utama kromatografi kertas ialah kemudahan dan kesederhanaannya pada pelaksanaan pemisahan, yaitu hanya pada lembaran kertas saring yang berlaku sebagai medium pemisahan dan penyangga. Untuk kromatografi kertas preparatif diperlukan kertas yang lebih besar dari pada untuk analisis. Keuntungan yaitu beban langan bilangan Rf yang besar sehingga pengukuran Rf merupakan parameter yang berharga dalam memaparkan senyawa tumbuhan baru, kromatografi kertas biasanya melibatkan kromatografi pembagian asam penyerapan (10).

Metode Karakterisasi Isolat Isolat murni yang diperoleh ditentukan dahulu golongannya dengan cara kromatografi lapis tipis atau kromatografi kertas dan kemudian diklasifikasi menggunakan pereaksi penampak bercak yang sesuai. Selanjutnya isolat dikarakterisasi secara spektrofotometri ulatraviolet dan spektofotometri infa merah untuk flavonoid dipakai pereaksi geser. Spektrofotometri Ultraviolet Spektrofotometri ultraviolet adalah pengukuran absorpsi radiasi elektromagnetik suatu senyawa di daerah ultraviolet (200-350 nm). Gugusan atom mengabsorpsi sinar ultraviolet adalah gugus kromofor yang mempunyai ikatan kovalen tak jenuh. Absorpsi radiasi dipengaruhi oleh organ gugus fungsi lain dalam molekul gugus tersebut adalah gugus auksokrom. Bila gugus auksokrom diikat oleh gugus kromofor maka intensitas absorpsi radiasi akan meningkat. Alat spektrofotometri ultraviolet terdiri atas sumber radiasi, monokromotor, wadah sampel, detektor dan rekorder. Sumber radiasi untuk pengukuran di daerah ultraviolet adalah lampu deuterium. Monokromotor berpungsi untuk memperoleh radiasi monokromatis dari sumber radiasi polikromatis. Sampel yang akan dianalisis ditempatkan dalam suatu selatan kuvet berbentuk kotak persegi panjang atau silinder kemudian kuvet ini ditempatkan dalam wadah sampel yang terdapat pada alat spektrofotometer. Detektor berfungsi sebagai petunjuk adanya radiasi yang ditransmisikan oleh sampel dan mengukur intensitas radiasi tersebut. Rekorder dapat menggambarkan secara otomatis kurva serapan pada kertas rekorder. Pelarut yang biasa digunakan dalam spektrofotometer ultraviolet adalah etanol 95% karena kebanyakan senyawa larut dalam pelarut ini. Pelarut lain yang dapat dipakai adalah air, metanol, n-heksan, eter minyak bumi dan eter (10). Spektroskopi serapan ultraviolet dan serapan tampak merupakan cara yang paling berguna untuk menganalisis flavonoid. Cara ini digunakan untuk membantu mengidentifikasi jenis flavonoid dan memecahkan pola oksigenasi. Disamping itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas pada inti flavonoid dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan diamati pergeseran puncak serapan yang terjadi sehingga secara tidak langsung cara ini berguna untuk memecahkan kedudukan gula atau metil yang berikat pada salah satu gugus hidroksi fenol. Spektrum flavonoid biasanya ditentukan dalam pelarut metanol atau etanol, meskipun perlu diingat bahwa spektrum yang dihasilkan dalam etanol kurang memuaskan (9). Spektrofotometri Infra merah Rahasia alam banyak mengandung molekul organik yang menunjukkan absorpsi infra merah. Spektrofotometri infra merah sangat sesuai untuk identifikasi gugus fungsi dalam molekul. Dalam hal pengkonformasian struktur suatu zat, spektrum infra merah sering digunakan yaitu dengan membersihkan spektrum zat yang dianalisis dengan spektrum zat pembanding.

Spektrum infra merah senyawa tumbuhan dapat diukur dengan spektrofotometer infra merah yang terekam secara otomatis dalam bentuk larutan, bentuk gerusan dalam minyak nujol atau dalam bentuk padatan dicampur dengan kalium bromida. Banyak gugus fungsi dapat diidentifikasikan dengan menggunakan frekuensi getaran yang terlihat mengakibatkan spektrofotometri infra merah merupakan cara paling sederhana dan diandalkan untuk menentukan golongan senyawa (10). Pemeriksaan Mikroskopik Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk kering dan sayatan melintang herba seger dengan menggunakan mikroskop. Pelarut yang digunakan adalah air dan kloralhidrat. Penetapan Kadar Abu Total Dua sampai tiga gram serbuk yang telah digerus ditimbang dan dimasukkan ke dalam krus platina atau silikat yang telah dipijar dan ditata, kemudian diratakan. Harus dipisahkan perlahanlahan sampai orang habis, pemisahan dilakuan pada suhu 450o C kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap simplisia yang telah dikeringkan di udara. Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL air selama lima menit, bagian yang tidak larut asam disaring dengan penyaring kaca masir atau kertas saring bebas abu lalu dicuci dengan air panas dan dipijar hingga bobot tetap dalam arus yang telah dipijar dan ditata. Kadar abu tidak larut asam dihitung dalam b/b persen terhadap bahan yang telah dikeringkan. Penetapan Kadar Abu Larut Air Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 mL air selama lima menit. Bagian yang tidak larut disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring bebas abu dipijarkan sampai bobot tetap. Kadar sesuai dengan jumlah abu yang larut dalam air dihitung dalam persen b/b terhadap bahan kering. Penetapan Kadar Sari Larut Air Serbuk dikeringkan di udara kemudian dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL air kloroform menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali dikocok selama enam jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian saring, filtrat sejumlah 20 ml diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditata, residu dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut air dihitung dalam persen sari yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Penetapan Kadar Sari Larut Etanol

Cara sama dengan penetapan kadar air larut air tetapi digunakan pelarut etanol 95%. Penetapan Kadar Air Penetapan kadar air dilakukan dengan cara penyulingan menurut prosedur yang direkomendasikan oleh "World Health Organization" (WHO), ke dalam labu yang tidak dicuci dengan air dan telah dikeringkan, tuangkan 200 mL toluen dan dua ml air. Kemudian disuling selama dua jam, setelah itu dibiarkan dingin selama 30 menit dan volume air dibaca dengan ketatapan 0,05 mL. Sejumlah 25 gram serbuk dimasukkan ke dalam labu lalu dipanaskan secara perlahan-lahan selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, kecepatan penyulingan mulai diatur lebih kurang dua tetes tiap detik, sehingga sebagian besar air tersuling. Kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga empat tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dicuci dengan toluen penyulingan dilarutkan selama lima menit. Tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar dan diusahakan tidak ada air yang melekat pada tabung penerima. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca kadar air dihitung dalam persen (%).n1 = volume air hasil penyulingan pertama (mL); n = volume air hasil penyulingan kedua (mL) (17). Penetapan Susut Pengeringan Susut pengeringan adalah kadar bagian suatu zat yang menguap. Penetapannya adalah sebagai berikut: sebanyak satu sampai dua gram bahan ditimbang dalam krus porselen bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan tidak ditata. Bahan dalam harus diratakan hingga merupakan bagian setebal 5-10 mm, kemudian dimasukkan ke dalam lemari pengering, tutup dibuka, dikeringkan berserta tutup harus pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Krus harus segera ditutup jika lemari pengering dibuka, krus dimasukan ke dalam eksikator dan dibiarkan menjadi dingin sama dengan temperatur kamar. Pemeriksaan Kualitatif Beberapa Unsur Anorganik Pemeriksaan ini dilakukan terhadap ekstrak serbuk simplisia dalam air babas mineral dengan spektrometer serapan atom. Unsur-unsur kimia yang ditentukan adalah kinin, natrium, kalsium, magnesium, besi, tembaga dan seng. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan terhadap adanya alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, kuinon, steroid dan triterpenoid. Alkaloid Sebanyak dua gram serbuk bahan dilembabkan dalam amnonia 25%, lalu digerus dalam mortir. Kemudian ditambah 20 mL kloroform dan digerus kuat-kuat. Campuran disaring dan difiltrat digunakan untuk percobaan (larutan A). Larutan A diteteskan pada kertas saring dan kemudian diberi pereaksi drageadorff. Warna jingga yang timbul pada kertas saring menunjukkan alkaloid positif.

Larutan A diekstraksi dua kali dengan asam klorida 10% untuk larutan (larutan B). Masingmasing 5 mL larutan B dalam tabung reaksi diuji dengan pereaksi Mayer positif bila endapan putih yang terbentuk bertahan selama 15 menit. Dan positif pada uji dengan pereaksi dragendorff bila terbentuk endapan merah bata yang bertahan selama 15 menit. Flavonoid Sebanyak satu gram bahan ditambah 100 mL air panas, didihkan selama 15 menit, kemudian disaring. Filtrat (larutan C) juga digunakan untuk percobaan saponin, tanin dan kuinon. Larutan C sebanyak lima ml ditambah serbuk magnesium, dua ml alkohol, asam klorida (1:1) dan amil alkohol, dikocok kuat-kuat dan kemudian dibiarkan memisah. Saponin Sebanyak 10 mL larutan C dalam tabung reaksi dikocok vertikal selama 10 detik, kemudian didihkan selama 10 menit. Tanin Sebanyak masing-masing lima ml larutan C dimasukkan ke dalam dua tabung reaksi. Tabung pertama ditambah dengan larutan besi (14) klorida 1% akan menunjukkan warna hijau violet bila bahan mengandung tanin. Tabung kedua ditambah dengan larutan glatin akan menunjukkan warna hijau violet bila bahan mengandung tanin. Untuk membedakan tanin kahekat dan tanin galat, larutan C ditambah dengan pereaksi Steasny L formaldehid 3%-asam klorida (2:1) dan dipanaskan dalam panas air 90oC. Terbentuknya filtrat dipisahkan dan dijenuhkan dengan natrium asetat. Pada penambahan larutan besi (III) klorida 1% akan terbentuk warna biru tinta atau hitam menunjukkan adanya tanin galat. Kuinon Ke dalam lima ml larutan C ditambahkan beberapa bekas larutan natrium hidroksida IN. Sterol/Terpenoid Sebanyak satu gram serbuk bahan dimaserasi dengan 20 ml eter selama dua jam kemudian disaring. Filtrat sebanyak lima ml diuapkan dalam cawan penguap. Ke dalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat anhidrat, kemudian ditambahkan satu tetes asam sulfat pekat. Ekstraksi dan Pemeriksaan Ekstrak Ekstraksi dilakukan untuk menarik komponen kimia dalam simplisia. Metode ekstraksi yang digunakan adalah ekstraksi sinambung dengan alat soxhlet berturut-turut menggunakan pelarut nheksan, etil asetat dan etanol. Ekstrak n-heksan selanjutnya diperiksa dengan kromatografi lapis tipis dengan pengembang nheksan; etil asetat (8:2) dan penampak bercak asam sulfat 10% dalam metanol.

Ekstrak n-heksan, etil asetat dan etanol juga diperiksa kandungan flavonoidnya dengan kromatografi kertas dua dimensi, dengan pengembang pertama t-butanol; asam asetat; air (3:1:1) dan pengembang kedua asam asetat 15% dengan penampak bercah uap amonia dan alumunium (III) klorida 5% dalam etanol UV366. Ekstrak n-heksan menunjukkan hasil negatif, sedangkan ekstrak etil asetat memberikan enam bercak dengan fluonensi biru muda, kuning terang, hijau muda dan kuning kehijauan. Ekstrak etanol memberikan dua becak berfluoresensi biru dan kuning kehijauan. Fraksinasi dan Pemeriksaan Fraksi Ekstrak n-heksan Fraksinasi ekstrak n-heksan dilakukan dengan kromatografi cair vakum dengan pelarut berturutturut dari non polar sampai polar yang diperoleh dari campuran n-heksan - etol asetat dalam berbagai perbandingan. Hasil dipantau dengan kromatografi lapis tipis silika gel GF254. Pengembang n-heksan, etil asetat (8:2) dan diamati di bawah sinar ultraviolet. Kemudian penampak bercak asam sulfat 10% dalam metanol dan digosongkan. Pola kromatografi yang diperoleh menunjukkan adanya bercak kuning yang terpisah cukup baik dari fraksi n-heksan; etil asetat (9:1) (8:2) dan (7:3) yang berwarna biru ungu setelah disemprot. Ekstrak Etil Asetat Ekstrak etil asetat difraksinasi dengan metode Charanx-Paris sehingga diperoleh fraksi eter (F1), fraksi etil asetat (F2), fraksin-butanol (F3) dan fraksi air (F4). Tiap-tiap fraksi diperiksa dengan kromatografi kertas, pengembang n-butanol: asam asetat: air (4:1:5) dan asam asetat 5% dengan penampak bercak uap amoniak dan alumunium (III) klorida 5% dalam etanol dibawah UV366. Isolasi, Pemurnian dan Karakterisasi Isolat Senyawa dari Ekstrak n-heksan Fraksi n-heksan: etil asetat (9:1) memberikan jumlah bercak sedikit sehingga dipilih untuk dipisahkan lebih lanjut. Pemisahan dilakukan dengan kromatografi lapis tipis preparatif, pengembang n-heksan: etil asetat (19:1) dan diperoleh enam pita. Dari keenam pita ini, ternyata pita berwarna kuning yang memberikan warna biru ungu dengan asam sulfat 10% yang diharapkan telah murni harus dipreparatif lagi karena pada saat diperiksa dengan UV254 terlihat pemadaman diatas dan dibawah pita tersebut. Pita kuning ini kemudian dipreparatif lagi dengan pengembang n-heksan: etil asetat (7:3) hasilnya dikromatografi lapis tipis dua dimensi dengan pengembang pertama n-heksan: etil asetat (7:3) dan pengembang kedua n-heksan dihasilkan satu becak berwarna kuning yang menjadi biru ungu dengan asam sulfat 10%. Ko-kromatografi dengan pembanding ?-karoten memberikan Rf yang hampir sama. Isolat A ini kemudian diukur dengan spektrofotometer ultraviolet dan diperoleh data dengan dua puncak pada 448 dan 472 nm dalam pelarut n-heksan. Spektrum infra merah isolat ini menunjukkan kemiripan dengan ?karoten pustaka (19). Senyawa dari Ekstrak Etilasetat Fraksi F2 yang memunculkan frekuensi paling kuat dipreparatif dengan kertas whatman 3 dan pengembang asam asetat 15%. Kelima isolat hasil preparatif kemudian diperiksa dengan kromatografi kertas dua dimensi dengan pengembang pertama n-butanol: asam asetat: air (4:1:5),

pengembang kedua asam asetat 15%. Isolat B, B2 dan B4, menunjukkan bercak tunggal, sedangkan isolat B3 dan B5, menunjukkan dua bercak isolat B2 yang berfrekuensi kuning terang dan isolat B4 yang berfrekuensi kuning muda dipilih untuk dikarakterisasi lebih lanjut dengan spektrofotometri ultraviolet. Hasil spektrofotometri ultraviolet isolat B2 dalam metanol memberikan dua puncak utama pada panjang gelombang 269 dan sekitar 320-340 nm. Penambahan natrium hidroksida 2 M memberikan pergeseran pita sekitar 53-73 nm dan pembentukan pita pada panjang gelombang 328 nm, dan tidak ada perubahan setelah lima menit. Penambahan alumunium (III) klorida dan asam klorida hanya menurunkan intensitas, sedangkan penambahan natrium asetat dan asam borat hanya sedikit menaikkan intensitas. Isolat B4 dengan spektrofotometer ultraviolet menghasilkan dua puncak utama pada 267 dan 340 nm. Penambahan natrium hidroksida 2 M menunjukkan pergeseran 6 nm pada pita n dan 55 nm pada pita 1. Sedangkan penambahan alumunium (III) klorida dan asam klorida serta natrium asetat dan asam borat tidak memungkinkan pergeseran berarti. Analisis glikosida terhadap isolat B2 dan B4 dilakukan dengan cara hidrolisis asam, yaitu dengan melarutkan isolat dalam 5 ml asam klorida 2 N: metanol (1:1) dan dipanaskan pada pemanas air selama 60 menit kemudian diuapkan sampai kering. Sisa dilarutkan sempurna dalam sesedikit mungkin pelarut metanol : air (1:1) dan dikromatografi dan kertas whatman 1. Pengembang asetat 15%, penampak bercak alumunium (III) klorida disamping bahan awal untuk mencegah terjadinya hidrolisis (9) diperoleh data bahwa isolat B2 mengalami hidrolisis dilanjutkan dengan Rf yang lebih kecil daripada sebelum hidrolisis. Bercak yang berfluoresensi kuning terang sebelum hidrolisis menjadi samar setelah hidrolisis. Sedangkan isolat B4 tidak mengalami perubahan. Isi hidrolisis kedua isolat kemudian dikromatografi dengan pengembang Isolat B2M menghasilkan becak kuning redup dan isolat B4 hanya bercak coklat redup. Untuk analisis lebih hemat, gula dan aglikan dipisahkan dengan cara menguapkan larutan etanol: air sampai volumenya tinggal sedikit dan dilakukan ekstraksi beberapa kali dengan etil asetat (dengan cara mengocok kuat-kuat dalam tabung reaksi) aglikon berada dalam fraksi etil asetat dan gula dalam fraksi air. Gula dalam fraksi air ini ditentukan jenisnya dengan kromatografi kertas dengan pengembang n-butanol: asam asetat: air (4:1:5) dan penampak bercak ? naftol, gula pembanding glukosa, galaktosa, ramnosa, xilosa dan arabinosa (9). Diperoleh data bahwa jenis gula pada isolat B2 adalah ramnosa dengan gula isolat B4 tidak dapat dipecahkan. Masingmasing isolat juga diperiksa dengan pereaksi Molisch, isolat B2 dan B4 memberikan cincin merahnya pada perbatasan air dan asam sulfat tetapi pada violet B4 agak tipis. DAFTAR PUSTAKA 1. Kasahara, S. and S. Hemmi, "Medicinal Herb Index in Indonesia", PT. Eisai Indonesia, Jakarta, 1995, 48. 2. Lutomshi, J., et al, "Pharmacochemical Investigation on Raw Materials of Passiflora Edulis Forma Flavicarpa" , Planta Med., 27 (3), 1975,222,-225. 3. Bruneton, J., "Pharmacognosy Phtochemistry Medical Plants" , Technique & DocumentationLavoister. 4. Duke, J.A., "Handbook of Medicinal Herb" , CRC Press Inc., Boca Raton, 1985, 347, 362. 5. Wichtl, M., "Herbal Drugs and Phytopharmaceutical" , Medpharm Sientific Publ., Stuttgart, 1994, 363365. 6. Basuki, U.A., "Sistemik Tumbuhan Tinggi", Pusat Antar Universitas, Bidang Ilmu Hayati, ITB, Bandung, 1991, 89 dan 266-268. 7. Heyne, K., "Tumbuhan Berguna Indonesia" , Jil. II, terjemahan Badan Litbang Kehutanan Jakarta, Yayasan Santana Warna Jaya, Jakarta, 1987, 1456-1459. 8. Verheij, E.W.M and R.E. Coronel (Eds.), "Plant Resources of South East Asia, Edible Fruits and Nuts" , Prosea Foundation, Bogor, 1991/1992, 244-248. 9. Markham. K.R., "Cara Mengindentifikasi

Flavonoid" , terjemahan K. Radmawinata, Penerbit ITB, Bandung, 1988, 1117. 10. Harborne. I.B., "Metode Fitokimia" , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1987, 69-94, 142-158, 234-238. 11. Buckingham. J., et al (eds), "Dictionary of Natural Product", Chapman and Hall, London, 1994, 1352, 3863, 4453. 12. Bombardelli. E., et al., "Passiflorine a new Glycoside from Passiflora Edulis" , Phytochemistry 14, 1975, 2661-2665. 13. Soediro. I., dkk., "Kromatograf i Cepat Sebagai Cara Fraksinasi Ekstrak Tanaman", Acta Pharmaceutica Indonesia, XI (1), 1986, 28-30. 14. Stahl, E., "Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopik", terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1985, 3-18. 15. Gritten, R.J., J.M. Bobbit, and A.E. Schwarling, "Pengantar Kromatografi" , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, penerbit ITB, Bandung, 1991, 5-9. 16. Ditjen POM, Depkes RI, "Cara Pembuatan Simplisia" , Depkes RI, Jakarta, 1985, 26. 17. Ditjen POM Depkes RI, "Materia Medica Indonesia", Jil.V, Depkes RI, Jakarta, 1989, 51-541. 18. Farnsworth. N.R., "Biological and Phytochemical Screaning of Plants" , J. Pharm, SCI., 55 (3), 1996, 243-65. 19. Pouchert, C.J., "The Aldrich Library of Infrated Spectra" , 2nd ed., Aldrich Chemical co. Inc., Milwaukee, 1978, 37. 20. Fleming, I. and H.D. William, "Spectoscope Methods in Organic Chemistry" , Mc Graw Hill Book, London, 1989, 29-36. 21. Mabry, T.J., K.R. Marhham and M.B. Thomas, "The Systematic Identification of Flavonoid" , Springer-Verlog Inc., New York, 1970, 43-45, 55, 71, 98, 99. 22. Depkes RI, "Farmakope Indonesia" , ed 3, Depkes RI, Jakarta, 1976, 807, 817, 840.

UJI AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottonii) TERHADAP BAKTERI Escherichia coli DAN Bacillus cereus Yoppi Iskandar, Dewi Rusmiati, Rini Rusma Dewi Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang 45363 ABSTRAK Telah dilakukan penelitian uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol rumput laut (Eucheuma cottonii). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak rumput laut memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) terhadap bakteri Bacillus cereus adalah 0,1% dan terhadap Escherichia coli adalah 0,5% Kata kunci : Aktivitas antibakteri, Euchema cottonii, Bacillus cereus, Escherichia coli. ANTIBACTERIAL ACTIVITY OF ETHANOL EXTRACT OF SEAWEED (Eucheuma cottonii) ON Bacillus cereus AND Escherichia coli ABSTRACT An antibacterial activity research of ethanol extract of seaweed (Eucheuma cottonii) on Bacillus cereus and Escherichia coli was carried out. The result showed that ethanol extract had antibacterial activity with a minimum inhibitory concentration of ethanol extract agains Bacillus cereus was 0,1% and against Escherichia coli was 0,5%. Key words : antibacterial activity, Euchema cottonii, Bacillus cereus, Escherichia coli. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara maritim dengan lebih dari 70% permukaan buminya didominasi oleh lautan (bahari). Bahan alam bahari banyak dimanfaatkan dalam bidang pertanian (pangan), industri, kesehatan, dan lingkungan yang umumnya bersumber dari organisme hayati. Banyak senyawa aktif yang diisolasi dari bahan alam bahari seringkali dapat menimbulkan efek mencolok terhadap organisme lain dalam masyarakat organisme bahari, menarik perhatian peneliti. Senyawa aktif tersebut dapat berupa bioaktif atau pun biotoksin (Soediro, 1998). Eucheuma cottonii diketahui sebagai alga merah (Rhodophyceae) yang ditemukan di bawah air surut rata-rata. Alga ini mempunyai talus yang keras, silindris dan berdaging (Romimohtarto dan Juwana, 1999). Sejak 2700 SM Eucheuma cottonii telah digunakan oleh bangsa Cina sebagai bahan sayuran, obat-obatan dan kosmetik, sedangkan di Indonesia digunakan sebagai bahan sayuran, kue, manisan dan obat-obatan (Indriani dan Suminarsih, 2003). Menurut penelitian Eucheuma cottonii memiliki kandungan kimia karagenan dan senyawa fenol, terutama flavonoid (Suptijah, 2003). Karagenan, senyawa polisakarida yang dihasilkan dari beberapa jenis alga merah memiliki sifat antimikroba, antiinflamasi, antipiretik, antikoagulan dan aktivitas biologis

lainnya. Dimana telah diteliti aktivitas antibakteri pada karagenan yang dihasilkan oleh alga merah jenis Condrus crispus. Selain karegenan yang merupakan senyawa metabolit primer rumput laut tersebut diperkirakan senyawa metabolit sekundernya juga dapat menghasilkan aktivitas antibakteri (Shanmugam & Mody, 2002). Berdasarkan permasalah di atas, maka dilakukan penelitian aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli dan Bacillus cereus yang diharapkan dapat memberikan informasi dan bukti ilmiah untuk mengembangkan obat baru dari bahan alam bahari. ALAT, BAHAN DAN METODE PENELITIAN Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium fitokimia dan mikrobiologi, seperangkat alat Soxhlet (Bibby sterilin LTD STONE RE 200B), seperangkat alat penguap vakum putar (RE111 BUCHI 461), oven, volum pipet, mikro pipet dan tip pipet, ose, pinset, perforator, otoklaf, dan timbangan. Bahan Bahan yang digunakan simplisia rumput laut, etanol, air suling, metanol, Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Escherichia coli ATCC 11778, Bacillus cereus ATCC 25922, tetrasiklin, KCl, susu, larutan gula dan NaCl. Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Sampel dikumpulkan dari pesisir laut Cidaun Cianjur tanpa memperhatikan umur tanaman, kemudian dideterminasi di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Sampel yang diambil merupakan sampel segar dari seluruh bagian tanaman kemudian dibersihkan, dikeringkan di bawah sinar matahari langsung dan diserbukkan. Pembuatan Larutan Sampel Serbuk kering rumput laut diekstraksi dengan metode sokletasi menggunakan pelarut etanol 95% sampai tetesan terakhir tidak berwarna. Ekstrak dipekatkan dengan penguap vakum putar pada suhu 34-400C dan dilanjutkan dengan pemanas air hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental diencerkan hingga diperoleh ekstrak uji dengan konsentrasi 50, 40, 30, 20, 10 dan 5% b/v. Pengujian Aktivitas Antibakteri Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut : 1. Penyiapan Alat dan Bahan Sebelum dilakukan pengujian aktivitas antibakteri, terlebih dahulu dilakukan sterilisasi alat dan bahan yang akan digunakan dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 1210C. 2. Pembuatan Media Media pembenihan NA dibuat dengan cara melarutkan 23 gram NA ke dalam 1 L air suling kemudian dipanaskan hingga larut. Media NB dibuat dengan cara yang sama yaitu dengan melarutkan 8 gram NB ke dalam 1 L air suling dan dipanaskan hingga larut. Kedua media tersebut disterilkan

terlebih dahulu sebelum digunakan. 3. Penyediaan Bakteri Uji Bakteri uji ditanamkan di atas permukaan agar miring yang telah memadat dalam tabung dan diinkubasikan selama 18-24 jam pada suhu 370C. 4. Penyediaan Suspensi Bakteri Bakteri disuspensikan menggunakan media NB yang telah steril kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam pada suhu 370C. 5. Pengujian Aktivitas Antibakteri Ekstrak ditimbang dan dilarutkan dalam metanol hingga didapat konsentrasi yang diinginkan. Sebanyak 0,2 mL suspensi bakteri dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan agar steril sejumlah 20 mL. Cawan digoyang-goyangkan dengan gerakan memutar agar bakteri dan agar tercampur secara homogen selanjutnya dibiarkan hingga memadat. Setelah memadat, dibuat lubang-lubang pada agar yang telah bercampur bakteri tersebut menggunakan perforator. Kemudian dimasukkan larutan ekstrak yang akan diuji beserta kontrol negatifnya ke dalam lubang-lubang tersebut. Penetapan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum Setelah diketahui bahwa ekstrak memiliki aktivitas antibakteri, dilakukan penetapan konsentrasi hambat minimum dari ekstrak tersebut untuk mengetahui kadar terendah dari sampel ekstrak yang masih memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji. Metode penetapan yang dilakukan adalah dengan metode agar padat. Sampel ekstrak dibuat dengan berbagai konsentrasi mulai dari yang besar hingga yang kecil yaitu 4%, 3%, 2%, 1%, 0,5%, 0,25%, 0,1% dan 0,05%. HASIL DAN PEMBAHASAN Metode ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet ini dipilih selain berdasarkan pustaka juga karena ekstrak yang diperoleh dengan menggunakan metode ini hasilnya lebih banyak dibandingkan dengan metode maserasi. Di samping itu, diperkirakan senyawa yang terdapat dalam rumput laut ini bersifat stabil terhadap pemanasan. Masing-masing ekstrak cair yang diperoleh dari hasil sokletasi dicampurkan terlebih dahulu baru kemudian dipekatkan. Dengan cara perhitungan tersebut diperoleh nilai rendemen ekstrak sebesar 0,8764%. Pengujian dilakukan menggunakan metode difusi agar dengan berbagai konsentrasi larutan ekstrak. Berdasarkan hasil pengujian (tabel 1), ekstrak etanol dari rumput laut memiliki aktivitas antibakteri. Tabel 1. Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak terhadap bakteri uji Hasil uji aktivitas antibakteri Konsentrasi Ekstrak terhadap Bacillus cereus Escherichia coli Kontrol negatif - 50% + + 40% + + 30% + + 20% + + 10% + +

5% + + Keterangan : kontrol negatif = metanol + = memberikan aktivitas - = tidak memberikan aktivitas

Penetapan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Ekstrak dilakukan dengan membuat larutan ekstrak dengan konsentrasi 4%, 3%, 2%, 1%, 0,5%, 0,25%, 0,1%, dan 0,05%. Hasilnya ditunjukkan seperti pada tabel 2. Tabel 2. Hasil penetapan konsentrasi hambat minimum ekstrak Hasil uji aktivitas antibakteri Konsentrasi Ekstrak terhadap Bacillus cereus Escherichia coli 4%++ 3%++ 2%++ 1%++ 0,5 % + + 0,25 % + 0,1 % + 0,05 % - Keterangan: + = memberikan aktivitas antibakteri - = tidak memberikan aktivitas antibakteri Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa ekstrak rumput laut lebih poten terhadap Bacillus cereus dibandingkan terhadap Escherichia coli. Hal ini dapat dilihat dari harga KHM-nya masing-masing, yaitu untuk Bacillus cereus sebesar 0,1% dan Escherichia coli sebesar 0,5%. Semakin kecil harga KHM menunjukkan bahan uji semakin poten. Adanya perbedaan hambatan pertumbuhan B. cereus dan E. coli kemungkinan disebabkan oleh perbedaan komponen penyusun dinding sel antara bakteri gram positif dan gram negatif. Dinding sel bakteri gram positif seperti B. cereus banyak mengandung teikoat dan asam teikoronat dan ada beberapa bakteri gram positif mengandung molekul polisakarida, sedangkan dinding sel bakteri gram negatif berisi tiga komponen yaitu lipoprotein membran terluar yang mengandung molekul protein yang disebut porin dan lipopolisakarida. Porin pada membran terluar dinding sel bakteri gram negatif tersebut bersifat hidrofilik. Kemungkinan porin yang terkandung pada membran terluar tersebut menyebabkan molekul-molekul komponen ekstrak lebih sukar masuk ke dalam sel bakteri. Hal ini disebabkan oleh perbedaan sifat dari porin dan komponen ekstrak, dimana porin bersifat hidrofilik sedangkan ekstrak bersifat hidrofobik. Perbedaan dinding sel antara bakteri gram positif dan gram negatif dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Perbedaan penyusunan dinding sel* Gram positif Gram negatif Ketebalan 15 sampai 23 nm 10 sampai 15 nm Variasi asam amino Sedikit Beberapa Asam amino aromatik dan

yang mengandung belerang Tidak ada Ada Lipid Rendah 2-4% Tinggi 15-20% Asam teikoat Ada Tidak ada * Gupta, 1990.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa ekstrak etanol rumput laut mempunyai aktivitas terhadap bakteri Escherichia coli dan Bacillus cereus. Konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak terhadap bakteri uji Escherichia coli adalah 0,5% dan terhadap Bacillus cereus 0,1%. DAFTAR PUSTAKA Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1112-1115. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 10-12. Gupta S., (1990), Mikrobiologi Dasar, diterjemahkan oleh Julius ES., edisi 3, Peberbit Binarupa Aksara. Indriani, Heti., dan Emi Sumiarsih. 2003. Rumput Laut (Budi Daya, Pengolahan dan Pemasaran). Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 4-8, 11-12. Romimuhtarto, K., dan Sri Juwana. 1999. Biologi Laut. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. Hal. 410. Shanmugam, M. dan K.H. Mody. 2000. Heparinoid-active Sulphated Polisaccharides from Marine Algae as Potential Blood Anticoagulant Agents. Marine Algae & Marine Environment Discipline. Central Salt & Marine Chemicals Research Institute. Bhavnagar, 364002, India. http://wwwias.ac.in/cuusci/dec252000/1672.pdf,05/04/05,10:19. Soediro, Iwang. 1998. Warta Tumbuhan Obat Indonesia. Produk Alam Bahari dan Pemanfaatannya. Volume 4, Nomor 1. Jakarta: Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia. Suptijah, Pipih. 2003. Rumput Laut: Prospek dan Tantangannya. http://members.tripoid.com/~ugm2/mti101.htm,28/03/05,21:10:08.

Related Documents