Al Wajiz www.alwajiz.wordpress.com
Situs Elektronika dan Islam
ANTARA JARH MUFASSAR DAN TA’DIL Oleh: Abu Ahmad Abdul Alim Ricki Kurniawan al Mutafaqqih
Jarh wa Ta’dil adalah salah satu cabang ilmu hadits yang dipergunakan ulama untuk menerima atau menolak suatu riwayat hadits dari seseorang. Hal ini juga digunakan ulama untuk menjelaskan kecacatan atau keadilan seseorang. Nah jika kita pernah belajar ilmu Musthalah hadits maka tentunya kita tidak asing dengan kaidah Jarh mufassar muqoddamu ‘ala ta’dil (Jarh terperinci didahulukan dari pada pujian). Namun jika kita belum pernah belajar maka kita akan bingung dan mudah diombang ambingkan oleh pendapat pendapat yang simpang siur tentang hal ini. Berikut ini beberapa keterangan tentang kaidah ini. Ustadz Abdul Qodir Hasan dalam bukunya Ilmu Musthalahul Hadits halaman 468 menerangkan kaidah ini dengan gamblang, mari kita simak bersama: “Apabila seorang rowi dipuji oleh seseorang (Abu Ahmad: Ta’dil), tetapi ada juga yang mencacat dia atau menunjukkan celaannya (Abu Ahmad: Jarh) , maka yang dipakai ialah celaan orang itu, jika celaannya beralasan (Abu Ahmad: Jarh Mufassar). Tentang ini, ulama ulama ada yang membuat suatu kaidah, bunyinya begini: Jarh Muqoddamu ‘Alat Ta’diili (Jarh didahulukan daripada pujian). Contohnya seperti: Ibrahim bin Abi Yahya Abu Ishaq. Imam Syafi’i dan Ibnu Ash bahani menganggap dia sebagai seorang kepercayaan. Tetapi berkata Ibnu Hibban: “Adalah ia berpendirian Qadariyah, dan bermadzhab kepada omongan Jahmiyah, tambahan pula ia pernah berdusta dalam urusan hadits” Syafi’i dan Ibnul Ashbahani memuji dia, sedang Ibnu Hibban menunjukkan celanya. Jadi yang dipakai disini adalah omongan Ibnu Hibban” Syaikh Mahmud Thahhan dalam bukunya Taisir Musthalahul Hadits halaman 123 menerangkan: “8. Berkumpulnya Jarh dan Ta’dil dalam satu rowi tunggal Jika terkumpul jarh dan ta’dil dalam satu rowi. a. Yang shohih dalam masalah ini adalah mendahulukan Jarh jika Jarh itu mufassar (terperinci /beralasan.) b. Dan dikatakan juga bahwa lebih banyaknya jumlah orang yang menta’dil daripada yang menjarh membuat ta’dil lebih didahulukan. Namun ini adalah Dho’if dan tidak resmi/shohih”
Nb: Mohon dikoreksi jika ada terjemahan yang salah dan sampaikan kepada penyusun melalui e-mail atau blog alwajiz.wordpress.com.
1
Al Wajiz www.alwajiz.wordpress.com
Situs Elektronika dan Islam
Dalam kitab Muqoddimah karya Ibnu Sholah (1/21) disebutkan:
“Pembahasan kelima: Jika berkumpul pada seseorang Jarh dan Ta’dil sekaligus maka Jarh didahulukan karena orang yang menta’dil mengabarkan keumuman yang tampak pada dhohir keadaannya saja sedangkan Jarh mengabarkan tentang keadaan batin seseorang yang hal itu tersembunyi dari orang yang menta’dil. Jika jumlah orang yang menta’dil lebih banyak dari pada orang yang menjarh maka ada yang mengatakan ta’dil didahulukan. Namun yang shohih dimana jumhur ulama berada diatas pendapatnya adalah Jarh yang didahulukan ketika kita menyebutkan Jarh itu. Wallahu’alam”
Abu Ahmad: Dari keterangan diatas jelaslah bahwa dua masalah yang harus diperhatikan dalam mendudukkan antara Jarh dan Ta’dil yang telah tetap pada seseorang. Jika jumlah orang yang menjarh dengan Jarh yang beralasan, sama atau kurang dari jumlah orang yang menta’dil maka didahulukan Jarh. Namun jika orang yang menta’dil lebih banyak daripada orang yang menjarh pendapat yang shohih dan sesuai jumhur ulama adalah tetap didahulukan Jarh. Wallahu’alam bish Showab Referensi: Ilmu Mustholah Hadits, karya Ustadz Abdul Qadir Hasan Taisir Mustholahul Hadits, karya Syaikh Mahmud Thahhan Muqoddimah, karya Ibnu Sholah
Nb: Mohon dikoreksi jika ada terjemahan yang salah dan sampaikan kepada penyusun melalui e-mail atau blog alwajiz.wordpress.com.
2