Analisis_poskolonialisme_dan_orientalism.docx

  • Uploaded by: elsanataya
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Analisis_poskolonialisme_dan_orientalism.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,642
  • Pages: 9
UAS MEDIA & BUDAYA “Analisis Poskolonialisme dan Orientalisme dalam Film Java Heat”

Oleh : Thomas N.S Benmetan

NRP : 51412121

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Surabaya

2014

Analisis Poskolonialisme dan Orientalisme dalam Film Java Heat

Pendahuluan Pemahaman kaum penjajah bahwa bekas negara jajahan adalah kaum yang termarginalkan selalu disisipkan dalam berbagai cara. Bentuk penjajahan yang dilakukan bukanlah dengan cara fisik, namun kekuasaan kolonial dipertahankan dan direproduksi melalui disiplin ilmu, teks, dan wacana yang berbeda (Said, 1979). Secara tidak sadar, kaum terjajah (yang sebenarnya sudah merdeka secara de facto dan de jure) ikut tunduk dalam bentuk jajahan kaum imperial, bahkan bertekuk lutut dan berpihak pada mereka. Hegemoni “barat” dan “timur” menjadi alat untuk memposisikan siapa yang berada dalam posisi dominan dan siapa yang berada dalam posisi subordinat. Sisipan paham penjajahan terhadap dunia timur yang umumnya dilakukan saat ini adalah melalui berbagai macam produk media, salah satunya adalah film. Film sebagai salah satu media yang di anggap efektif dalam penyampaian pesan atau maksud dan tujuan tertentu dari pembuatnya dijadikan sebagai objek media kolonialisasi oleh kaum imperialis, walaupun tidak semuanya (Loomba, 2003). Lewat film, orang – orang dunia timur dikendalikan oleh kaum barat

Universitas Kristen Petra

tanpa pernah menyadari apa dan bagaimana bentuk pengendalian (penjajahan) yang dilakukan terhadap mereka, dan Indonesia merupakan salah satu contoh yang paling gampang untuk menggambarkan bagaimana terjadinya penjajahan lewat media yang dilakukan oleh barat. Berbagai macam film dibuat oleh pihak asing, sebut saja The Fall (2006), Eat, Pray & Love (2010), The Raid (2012), The Raid II (2014) The Philosophers (2013) dan masih banyak lagi film yang memuat unsur – unsur ke-Indonesiaan, baik itu lokasi syuting, aktor/aktris pemeran, musik pengiring dan sebagainya. . Salah satu film yang cukup kental dengan nuansa Indonesia adalah Java Heat (2013), sebuah film garapan Margate House dari Amerika Serikat yang mengambil latar tanah Jawa sebagai inti dari cerita ini. Secara singkat film “Java Heat” bercerita tentang sebuah tim rahasia dari Amerika Serikat yang bekerjasama dengan polisi Indonesia. Mereka berusaha menangkap sindikat internasional pelaku penculikan putri Sultan Jogjakarta dan pencuri perhiasan milik keraton. Mengambil lokasi syuting di Jogjakarta dan sekitarnya, film ini berusaha mempertemukan dua budaya yaitu Amerika (barat) dan Indonesia (timur) yang ceritanya ditengahi dengan intrik-intrik dalam keindahan bangunan istana tua, candi-candi dalam labirin terowongan bawah tanah dan dunia kriminal di sebuah kota di tengah-tengah Pulau Jawa. Dikutip dari cineplex.com, film “Java Heat” sejatinya merupakan perwujudan kolaborasi budaya barat dan timur untuk menunjukkan dan memberikan sudut pandang yang berbeda tentang Indonesia. Connor Allyn, sang sutradara yang sebelumnya telah menggarap beberapa film Indonesia seperti Trilogi Merah Putih dan tinggal di Indonesia selama 4 tahun ingin memberikan fakta yang menarik tentang kebudayaan Jawa yang lembut dan keharmonisan antara umat beragama. Ia ingin menyajikan suatu pandangan bahwa umat Islam di Indonesia tidak seperti yang telihat di mata dunia. Orang – orang Indonesia tentunya bangga akan hal ini. Betapa tidak, selain mengangkat budaya Jawa ke mata dunia, film ini juga menempatkan beberapa artis asli Indonesia sebagai pemeran utama dalam film ini. Atiqah Hasiolan, Aryo Bayu, Rio Dewanto serta beberapa bintang top tanah air memegang peran yang cukup besar dalam film ini. Sebuah kebanggaan besar bagi orang Indonesia ketika melihat mereka mampu bersanding dan beradu akting dengan bintang – bintang kelas dunia seperti Kellan Lutz dan Mickey Rourke.

Universitas Kristen Petra

Analisis Film “Java Heat” akan dianalisis berdasarkan dikotomi oposisi biner yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Konsep dikotomi dalam oposisi biner sebagai konsep awal dalam teori poskolonial mendasarkan atas dua hal yang berlawanan, dan dalam film “Java Heat” kali ini, bentuk dari oposisi biner antara barat dan timur adalah sebagai berikut :

Dikotomi oposisi biner Timur (Indonesia)

Barat (Amerika Serikat)

Tradisional

Modern

Lemah

Kuat

Religius

Liberal

Pribumi

Asing

Diperintah

Memerintah

Objek

Subjek

Konservatif

Moderat

The other

The self

Universitas Kristen Petra

Potongan gambar diatas menunjukkan gaya berpakaian Jake Travers ketika datang ke acara Keraton Jawa. Kemeja, jas dan dasi yang digunakannya jelas berbeda dengan seluruh undangan yang ada di pesta itu yang menggunakan pakaian adat Jawa. Konstruksi identitas kultural ada pada film ini menunjukkan bagaimana Jake Travers dengan budaya barat memaknai posisi “dominan” di dunia timur. secara tidak langsung, muncul penggambaran bahwa modernitas (yang dicerminkan lewat cara berpakaian) adalah milik orang barat, sedangkan tradisional tetaplah milik orang timur. Masyarakat modern tidak perlu mengikuti traidisi berpakaian orang – orang yang masih tradisional Satu lagi yang menarik dalam film itu adalah bahwa minuman yang disajikan adalah wine. Adalah sebuah paradoks ketika melihat acara keraton yang kental dengan unsur budaya namun menyajikan wine untuk para undangan. Mungkin sederhana, namun hal ini seolah mau menunjukkan bahwa masyarakat timur yang tradisional tidak bisa menyajikan minuman yang layak untuk sebuah pesta, maka itu digunakanlah wine dalam acara ini. Secara tidak langsung timbul asumsi bahwa penggunaan minuman selain wine dalam pesta adalah sesuatu yang tradisional, karena itu kaum timur berusaha me-modern-kan kebiasaan mereka, yaitu menggunakan wine sebagai hidangan untuk tamu.

Gayatri Spivak dalam bukunya Can the Subaltern Speak? mengungkapkan bahwa kaum subaltern akan selalu tersisih karena penjajahan dilanjutkan dengan masyarakat terjajah yang mewarisi pemikiran kolonial (penjajah). Hal ini juga direpresentasikan dalam “Java Heat.” Konteks lemah dan kuat bukan hanya dalam bentuk fisik, tetapi mengenai lemah secara pola

Universitas Kristen Petra

pikir. Diceritakan bahwa dalam film itu seorang teroris bernama Achmed (Mike Muliardo) bisa dengan mudah dimanfaatkan oleh Malik (Mickey Rourke) dengan iming – iming bahwa perbuatan ia menculik putri Sultan Jogjakarta adalah salah satu bentuk jihad. Ideologi dominasi muncul dengan penggambaran lemahnya cara berpikir orang Indonesia dibanding pemikiran orang barat. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada warisan pemikiran kolonial dari pemikiran orang Indonesia, digerakkan oleh kaum barat dengan iming – iming yang berlandaskan agama. Dalam sebuah dialog antara Jake dan Hashim, Jake melontarkan kalimat yang berbunyi, “because when we’re talking to you, we not sure who we were talking to.” merujuk pada kisah film ini, yaitu FBI yang ingin mencari jejak seorang teroris di Indonesia, pernyataan tersebut membentuk kontruksi identitas kultural bahwa Indonesia adalah Islam dan Indonesia adalah teroris.

Kaum barat masih saja menunjukkan dominasinya atas kaum timur dalam

penggambaran sosok Malik dan Hashim. Dua orang berbeda ras berbeda profesi ini memiliki satu kesamaan. Mereka sama – sama tidak bisa terlepas dari kebiasaan merokok. Penggambara seperti itu seolah mau menunjukkan bahwa di dunia barat para perokok adalah kaum – kaum penjahat dan mafia, sedang di Indonesia (timur) para perokok adalah orang – orang dengan jabatan yang cukup baik. dunia timur dipandang rendah, dengan memposisikan perilaku merokok seorang aparat negara setara dengan mafia. Hegemoni seperti inilah yang tanpa kita sadari membentuk sebuah pandangan bahwa bagi kaum barat, posisi seorang aparat negara di Indonesia tidak lebih tinggi dari penjahat.

Gambar diatas menjadi contoh bahwa pribumi akan selalu diperintah, dan asing akan selalu memerintah. Para perempuan dengan pakaian adat lengkap, menjadi penari untuk

Universitas Kristen Petra

menghibur tuannya. Lebih menyedihkan lagi, penari – penari tersebut ditempatkan di dalam kamar pribadi Malik. Hal ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap budaya timur tidak lebih jauh dari kamar tidur. Para pembut film ini mungkin ingin menunjukkan indahnya budaya Indonesia, tetapi yang ada pada contoh diatas menunjukkan bahwa penggambaran mereka tentang Indonesia dengan kacamata barat malah semakin mengukuhkan dominasi kaum barat akan kaum timur. Posisi barat sebagai subjek dan timur sebagai objek juga secara gamblang digambarkan dalam film ini. Disadari atau tidak, film ini menunjukkan bagaimana barat diagung – agungkan sedangkan timur dikesampingkan bahkan oleh orang timur itu sendiri. hal tersebut dilakukan bahkan dalam setiap aspek, sekecil apapun itu. Contohnya adalah pada adegan di rumah Hashim. Seperti umumnya tradisi orang Indonesia, seorang anak selalu memberi salam kepada orang tua ketika hendak pergi ke sekolah. Dalam suasana Hashim dan Jake sedang makan pagi, anak – anak Hashim pergi ke sekolah dengan memberikan salam kepada Jake, bukan Hashim yang adalah ayah mereka.

Universitas Kristen Petra

Penempatan seperti ini memberikan cara pandang dan asumsi dari kaum barat bahwa kapanpun, dimanapun, pada saat apapun, kaum barat akan selalu berada pada strata yang lebih tinggi dari kaum timur, sehingga barat akan lebih dihargai dan dihormati.

Mungkin terlihat mulia, bagaimana seorang barat yang sudah beberapa lama tinggal di Indonesia mau memperkenalkan Indonesia ke mata dunia, mau mengangkat Indonesia naik ke satu tingkat yang lebih tinggi bahwa negara ini dengan kebudayaannya beragam juga bisa diperhitungkan dunia. Tapi apakah hal itu memang benar – benar sesuai dengan kenyataannya? Dalam analisis kali ini ditunjukkan bahwa sebenarnya dalam film ini masih terasa unsur poskolonialisme, dimana hegemoni yang kuat antara kaum barat terhadap kaum timur sangat terasa. “Java Heat” masih terikat pada konsep orientalisme yang diungkapkan Edward Said bahwa orientalisme adalah salah satu gaya dari kaum barat untuk mendominasi, membentuk dan bahkan mengendalikan kaum timur. Orientalisme bukan lagi sebuah kajian akademis yang netral, tapi juga dimotifi oleh hasrat politik prasangka. Motivasi kaum kolonial untuk menguasai masih diaplikasikan dalam bentuk penjajahan secara ideologis. Hal inilah yang terjadi pada film “Java Heat.” Secara umum, film ini merupakan manifestasi dari pandangan seorang Connor Allyn dengan kacamata barat menilai, menganalisa, lalu membentuk pandangan dia tentang Indonesia. Bertolak kepada pandangan Said, bisa disimpulkan bahwa “Java Heat” adalah salah satu bentuk orientalisme. Sudah tentu, sebagai suatu bentuk orientalisme, tidak semua orang menyadari bahwa film ini adalah salah satu bentuk eksploitasi kebudayaan Indonesia di mata dunia barat, yang secara tidak langsung tetap menempatkan Indonesia sebagai negara bekas jajahan dengan posisi rendah dibanding negara – negara barat. Dunia timur tidak akan pernah bisa setara atau bahkan lebih tinggi dari dunia barat, tetap akan dijajah dan dikendalikan oleh barat dengan cara apapun.

Universitas Kristen Petra

Daftar referensi : Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme (terj). Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003. “Java Heat Kisah Apik Kolaborasi Budaya Timur Dan Barat – Review – CINEMA 21.N.p., n.d. Web. 10 Dec. 2014.” Said, Edward W. Orientalism. New York: Vintage, 1979. Print. Spivak, Gayatri. Spivak In Other Words. 1st ed. Vol. 1. New York & London: Routledge Classic, 1998. Print. Morton, Stephen. Gayatri Spivak : Ethic, Subalternity and Critique of Poscolonial Reason. Penerjemah Wiwin Indiarti. Jogjakarta: Pararaton, 2008. Print.

Universitas Kristen Petra

More Documents from "elsanataya"