Perkembangan teknologi demikian pesatnya saat ini, awam menyebutnya sebagai era HiTech sering pula masyarakat menyebutnya NewTech, begitupun dengan Information & Communication Technology (ICT) atau Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berkembang dengan cepatnya, kadang kita belum mengetahui sistem yang baru, sudah muncul lagi sistem yang lebih baru. Tentunya sebagai konsekuensi logis dari era globalisasi dan liberalisasi yang dipicu dan dipengaruhi oleh perubahan teknologi yang kontinyu dan sangat cepat tersebut, maka dunia bisnis dihadapkan pada suatu persaingan yang sangat tajam. Kita coba perhatikan fenomena sektor bisnis yang berada dikota kota besar di Indonesia dan para aktornya yang juga mengenal teknologi. Fakta membuktikan secara umum yang terjadi, bahwa teknologi belum bisa menjadi andalan dalam meningkatkan taraf perbaikan usaha/bisnis, dimana hal ini terjadi di berbagai sektor usaha atau bisnis yang ada. Teknologi di kalangan bisnis masih sebatas berfungsi sekedar pelengkap kerja dan bantuan komunikasi ataupun informasi. Berbagai pendapat dan pandangan, bahwa dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi yang murah dan tersedia dimana mana akan menurunkan biaya transaksi dalam hubungan pasar, maka dari itu berkurang pulalah dorongan untuk mengembangkan susunan kepemimpinan yang hierarkis. Dengan perkembangan internet misalnya, tidak hanya sebagai teknologi komunikasi baru, melainkan juga sebagai pelopor bentuk organisasi yang sama sekali baru dan tidak hierarki, yang tentunya sesuai dengan tuntutan perekonomian saat ini yang begitu kompleks dan padat informasi. Boleh jadi pendapat tersebut diatas cocok dari sisi kesuksesan penerapan teknologi modern, namun pastinya di negara negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dlsb, yang notabene transformasi teknologinya benar benar sudah masuk ke sendi sendi bisnis masyarakat, bahkan sampai ke para petani desa. Tentu lain hal dengan di Indonesia, fakta obyektif di lapangan bahwa masyarakat kita memang baru mengenal teknologi sebagai perangkat yang layak untuk di konsumsi, bukan sebagai infrastruktur dan pilar utama yang dijadikan kebutuhan dalam kelangsungan bisnis. KONVENSIONAL TANPA TEKNOLOGI Nuansa konvensional ini bisa dirasakan dan dibuktikan dari fakta obyektif di lapangan bahwa orang Indonesia bisa menjalankan bisnisnya tanpa teknologi, kalaupun bisa beli teknologi masih sebatas untuk pelengkap kerja saja, bahkan tak jarang pula hanya untuk gagah gagahan (gaya) dan asesoris belaka, kita belum bisa menjiwai benar bahwa teknologi adalah kebutuhan dan lahan utama untuk setiap business project. Kita ketahui bersama bahwa dunia bisnis nasional saat ini adalah dunia bisnis konvensional dan tradisional, yang nampaknya baru akan mulai masuk ke wilayah adaptasi dengan kemutakhiran teknologi. Adaptasi new technology bagi masyarakat membutuhkan prinsip, penjiwaan dan pemahaman yang cerdas, tanggap serta cepat sebagaimana kecepatan perubahan dan perkembangan teknologi itu sendiri. Tanpa prinsip seperti itu, masyarakat hanya akan menjadi konsumen sejati.
Entah kapan masyarakat atau mereka para konsumen itu akan benar benar menikmati new technology untuk sebuah perkembangan dari usaha / bisnis. Atau justru hanya akan terus menerus dan sekedar menikmati sebagai bagian gaya hidup belaka?. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kalangan menengah kita suka mengkonsumsi new technology, agar tidak dianggap gaptek, bahkan para eksekutif yang sudah memakai perangkat canggih itu pun tidak sepenuhnya mampu menggunakan fasilitas yang mereka punyai. Ketika kita mencoba menelisik lebih jauh lagi, suatu kondisi yang sangat memperihatinkan juga terjadi pada perusahaan perusahaan besar di negeri ini, dimana mereka mengkonsumsi new technologi dengan perangkat canggihnya, namun sama sekali tidak bermanfaat untuk meningkatkan revenue atau pendapatan. Hal ini pula rupanya sebagai penyebab terjadinya banyak kasus yang menunjukkan bahwa belanja teknologi pada perusahaan perusahaan tersebut justru menjadi beban. Kenyataan lain yang nampaknya memperkuat hal ini ketika kita menyaksikan berbagai instansi pemerintah, BUMN, BUMD, dll termasuk pemerintah daerah yang gemar belanja teknologi, terutama Komputer dan Internet. Justifikasi dan target penerapan teknologinya memang jelas, yaitu untuk meningkatkan kinerja dan pelayanan kepada masyarakat, namun fakta membuktikan kinerja pemerintahan dari hari ke hari tidak meningkat. Namun dengan jujur dan bangga harus kita akui bahwa ada satu dua daerah sangat berprestasi dalam kinerja dan pelayanannya kepada masyarakat. Dan itupun bukan karena penerapan new technology yang optimal, melainkan lebih pada kebijakan dan kebajikan kepemimpinan yang diterapkan kepala daerah. New Technology kemudian hanya menjadi barang konsumsi yang setelah puas dibeli lalu dimanfaatkan sesuka mereka, perkara kinerja tidak meningkat, itu menjadi urusan di luar teknologi. . PEMANFATAN TEKNOLOGI YANG REALISTIS Dari sekian ratus juta masyarakat Indonesia termasuk didalamnya kalangan pelaku bisnis, yang sudah mengenal, menggunakan serta menguasai new technology, persentasenya masih cukup kecil. Boleh jadi hanya 10% saja, mungkin paling banter seputaran 10% sampai dengan 15%. Kita bisa melihat contoh yang realistis dalam masyarakat dan sektor pertanian Indonesia, sudah sampai sejauh mana sentuhan teknologi didalamnya. Di setiap desa dan perkampungan, kegiatan ekonomi tani sudah berlangsung sejak zaman baheula. Tapi wajah pertanian tanpa sandingan teknologi tepat guna niscaya hanyalah fenomena keterpurukan dan kemiskinan yang kita saksikan, itulah sektor riil Indonesia, termasuk sektor maritim dan sektor sektor lainnya, yang konon para intelektual dan pemangku kebijakannya sudah mengenal teknologi. Itu semua masih dalam impian saja. Untuk menjadikan teknologi bukan sekedar alat, atau bahkan memperalat kehidupan manusia, seyogyanya kita harus menyadari hubungan antara manusia dan teknologi itu sendiri. Para ahli teknologi meyakini bahwa teknologi tidak bisa dilihat sebagai entitas yang terpisah dari realitas hidup manusia. Teknologi bisa ada dalam tubuh manusia (teknologi pangan, teknologi kedokteran dll), teknologi bisa berada di lingkungan kita (telepon, faksimil, komputer, satelit
dll), bahkan teknologi bisa menjadi ruangan/tempat yang nyaman dan sejuk (ruangan ber-AC), inilah relasi mutual sebagai realitas yang ada. Suatu kenyataan yang juga harus kita lihat secara jeli, bahwa sains, teknologi dan kultur sudah bercampur aduk dalam kesatuan entitas, dan berdasarkan hal tersebut kemudian kondisi obyektif ini merekomendasikan pelaku bisnis di era teknologi modern ini harus mampu menangkap esensi hubungan. Tanpa kemampuan dan kejernihan melihat realitas ini, niscaya perkembangan bisnis baik gerak perusahaan maupun gerak kepemimpinan dan inisiatif tidak akan mencapai sasaran yang diharapkan, paling hanya akan berjalan tanpa arah tujuan yang jelas.