Pertikaian Yang Terjadi Antara Israel Dan Palestina Tidak Lepas Dari Persoalan Agama

  • Uploaded by: Achas
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pertikaian Yang Terjadi Antara Israel Dan Palestina Tidak Lepas Dari Persoalan Agama as PDF for free.

More details

  • Words: 1,278
  • Pages: 7
Pertikaian yang terjadi antara Israel dan Palestina tidak lepas dari persoalan agama. Baitul Maqdis (Bait Allah) di Yerusalem yang sekarang telah dibangun menjadi Masjidil Aqsa menjadi rebutan antara Palestina dan Israel yang mengganggap Baitul Maqdis sebagai tempat tersuci keduanya. Demikian diungkapkan Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Umar Anggara Jenie, dalam seminar "Yahudi dalam Al-Quran dan Realitas Sejarah" di Jakarta, Rabu (4/2). "Israel berkata 'tak ada Israel tanpa Yerusalem sebagai ibu kota dan tidak ada Yerusalem tanpa Haikal’. Sedangkan Palestina berkata, ‘tidak ada Palestina tanpa Yerusalem sebagai ibu kota dan tidak ada Yerusalem tanpa Masjidil Aqsa,” terang Umar. Direktur Pusat Studi Al-Quran (PSQ), Quraish Shihab, menyatakan, persoalan ini menjadi begitu pelik karena menyangkut inti dari masing-masing agama, Islam dan Yahudi. "Konflik Israel-Palestina mungkin bisa berhenti tetapi hanya sementara, nanti bisa muncul kembali," kata Quraish yang mendapat gelar doktor di Al-Azhar, Kairo, Mesir. Ada beberapa peluang untuk menekan Israel agar mau damai, antara lain dengan cara-cara militer dan diplomatik. Menurut Umar, secara militer, Palestina pasti kalah kuat. Sementara secara diplomatik juga kalah lihai dengan Israel. Namun, yang paling mungkin adalah bersatunya negara-negara Arab untuk menekan Israel secara diplomatis. "Kita berharap, dengan agresi ini negara-negara Arab yang selama ini terpecah dapat bersatu untuk menolong Palestina," harap Umar. "Kita (Islam) tidak pernah membenci ras atau orangnya. Yang kita benci adalah kelakuannya. Karena dalam Al-Quran dikatakan ‘Janganlah karena kebencian pada satu kaum, kamu berbuat tidak adil pada yang lain," tambah Quraish.

Konflik Palestina dan Israel berakar pada perebutan bangunan suci atau Baitul Maqdis di Yerusalem, yang oleh umat Palestina (Islam) disebut Masjid Aqsha, sedangkan Israel menyebutnya Bait Allah. Demikian dikatakan, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Umar Anggara Jenie, di Jakarta, Rabu (4/2). Umar secara tegas mengatakan bahwa Baitul Maqdis adalah milik umat Muslim. "Pewaris yang sah tidak lain adalah Ummat Islam di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, sebagaimana terbukti dalam sejarah," kata Umar dalam seminar "Yahudi dalam Al-Quran dan Realitas Sejarah". Menurut sejarah, Baitul Maqdis telah dibangun para nabi sebelum Nabi Daud. "Namun baru pada zaman Nabi Sulaiman dibangun dengan megah pada 970-930 SM. Bangunan suci itu terkenal dengan sebutan Haykal i Sulaiman," kata Umar. Haykal Sulaiman tersebut, kata Umar, dihancurkan tahun 538 SM oleh Persia, lalu dibangun Haykal Sulaiman II. "Tetapi bangunan ini pun rata dengan tanah oleh serangan Kekaisaran Romawi pada tahun 70 M," ungkap Umar. Pada tahun 636 M dimulailah pembangunan Masjid Aqsha di reruntuhan Haykal Sulaiman. "Adalah Allah SWT sendiri, yang memperingatkan hamba-Nya Muhammad SAW, akan bangunan suci Sulaiman itu. Allah SWT menamai bangunan suci itu dengan Al Masjidil Aqsha, yang berarti Masjid yang Jauh," tutur Umar. Sekalipun demikian, Umar mengungkapkan kekhawatirannya, sekarang masjid tersebut masih berada di tangan umat Muslim, tetapi Kota Suci Yerusalem sejak tahun 1967 telah dikuasai oleh Zionis yang masih menginginkan dibangunnya kembali Haykal Sulaiman ke III di tempat Masjid Aqsha berdiri.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Nafi' Atieh Mehdawi mengatakan, penyelesaian yang paling memungkinkan untuk konflik Israel-Palestina adalah membagi wilayah untuk dua negara. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada pihak yang mampu mendorong penyelesaian ke arah tersebut. Hal itu dikatakan Mehdawi saat berbicara dalam diskusi "Konflik Israel-Palestina, Perang Sampai Kapan?" di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta, Kamis (22/1). "Unsur pembagian negara, yang mungkin akan menjadi penyelesaian terbaik. Tapi, siapa yang akan mendorong ini terjadi? Bahkan, Obama pun belum bisa mendorong untuk menciptakan solusi ini. Ini harapan dan doa kita bersama," ujar Mehdawi. Usulan ini, dikatakan Mehdawi, pernah disampaikan Palestina. Selain itu, satu usulan yang pernah dilontarkan adalah Israel dan Palestina hidup bersama dalam satu negara. "Tapi usulan ini tidak disukai kaum Yahudi dan kaum zionis. Mereka tidak mau di Israel ada orang yang beragama selain Yahudi," lanjut dia. Tiga hal penting yang harus dibicarakan dalam penyelesaian konflik Palestina dipaparkan Mehdawi. Pertama, mengenai perbatasan mana yang mau digunakan. Bagi Israel, pembicaraan selalu mengarah pada perbatasan yang disepakati setelah Perang Enam Hari yang terjadi tahun 1967. Kedua, soal pengungsi. "Bagaimana nasib empat juta pengungsi Palestina yang tergusur sejak perang 1948? Israel tidak mau menerima empat juta pengungsi itu. Mereka lebih suka menambah imigran Yahudi ke Israel," kata Mehdawi. Ketiga, pembicaraan mengenai ibu kota. Ia melontarkan, ada usulan agar Jerusalem menjadi ibu kota bersama Israel dan Palestina. Mehdawi mengingatkan, melihat konflik dua negara ini, jangan terjebak pada konflik antar-agama Islam dan Yahudi. "Slogan bahwa Palestina negara Islam adalah omong kosong. Di Palestina ada 3 agama, Islam, Kristen, dan Yahudi. Dengan konsep pemikiran seperti inilah, kita bisa melihat persoalan ini dengan jernih. Konflik ini bisa sederhana, tapi kita sering tersesat dengan bumbu-bumbu dari konflik yang sebenarnya terjadi," ujar Mehdawi.

Duta Besar Palestina untuk Indonesia Fariz Nafi' Atieh Mehdawi mengatakan, penyelesaian yang paling memungkinkan untuk konflik Israel-Palestina adalah membagi wilayah untuk dua negara. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada pihak yang mampu mendorong penyelesaian ke arah tersebut. Hal itu dikatakan Mehdawi saat berbicara dalam diskusi "Konflik Israel-Palestina, Perang Sampai Kapan?" di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta, Kamis (22/1). "Unsur pembagian negara, yang mungkin akan menjadi penyelesaian terbaik. Tapi, siapa yang akan mendorong ini terjadi? Bahkan, Obama pun belum bisa mendorong untuk menciptakan solusi ini. Ini harapan dan doa kita bersama," ujar Mehdawi. Usulan ini, dikatakan Mehdawi, pernah disampaikan Palestina. Selain itu, satu usulan yang pernah dilontarkan adalah Israel dan Palestina hidup bersama dalam satu negara. "Tapi usulan ini tidak disukai kaum Yahudi dan kaum zionis. Mereka tidak mau di Israel ada orang yang beragama selain Yahudi," lanjut dia. Tiga hal penting yang harus dibicarakan dalam penyelesaian konflik Palestina dipaparkan Mehdawi. Pertama, mengenai perbatasan mana yang mau digunakan. Bagi Israel, pembicaraan selalu mengarah pada perbatasan yang disepakati setelah Perang Enam Hari yang terjadi tahun 1967. Kedua, soal pengungsi. "Bagaimana nasib empat juta pengungsi Palestina yang tergusur sejak perang 1948? Israel tidak mau menerima empat juta pengungsi itu. Mereka lebih suka menambah imigran Yahudi ke Israel," kata Mehdawi. Ketiga, pembicaraan mengenai ibu kota. Ia melontarkan, ada usulan agar Jerusalem menjadi ibu kota bersama Israel dan Palestina. Mehdawi mengingatkan, melihat konflik dua negara ini, jangan terjebak pada konflik antar-agama Islam dan Yahudi. "Slogan bahwa Palestina negara Islam adalah omong kosong. Di Palestina ada 3 agama, Islam, Kristen, dan Yahudi. Dengan konsep pemikiran seperti inilah, kita bisa melihat persoalan ini dengan jernih. Konflik ini bisa sederhana, tapi kita sering tersesat dengan bumbu-bumbu dari konflik yang sebenarnya terjadi," ujar Mehdawi.

Meski perundingan gencatan senjata masih berjalan alot saat ini, dalam waktu dekat gempuran tentara Israel ke Jalur Gaza diyakini akan segera berakhir. Setidaknya untuk sementara waktu. "Sebab, Februari mereka (Israel) kan mengadakan Pemilu," tutur Prof Anak Agung Banyu Perwita, pengamat Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Khatolik Parahyangan. Lebih lanjut ia mengatakan, motivasi Israel menyerang Hamas di Jalur Gaza tidak semata-mata untuk menghentikan serangan roket sporadis dari Hamas. Dari sekian banyak faktor, ada tiga opsi utama yang mengemuka. "Pertama, serangan militer terbatas. Kedua, untuk menggulingkan Hamas, atau dua-duanya bermain sekaligus," ucapnya. Diakuinya, agresi militer Israel ini tidak terlepas dari persoalan politis. Ia berpandangan, Perserikatan Bangsa-Bangsa sulit efektif mengatasi krisis di tempat ini. Konflik ini hanya bisa dilesaikan lewat forum regional, khususnya oleh Liga Arab atau Organisasi Konferensi Islam (OKI). "Konflik di Gaza kan sebetulnya sebuah segitiga antara Israel, Iran, dan Suriah. Iran dukung Hamas, Suriah ke Hisbullah. Jadi, sebetulnya Hamas dan Hisbullah adalah proxy (aktor perantara). Mereka saling adu pengaruh, nuklir, dan sebagainya. Jadi, kalau mau beres, ya diselesaikanlah di sini ini (segitiga)," paparnya saat ditemui di sela-sela Dies Natalis Unpar ke 54. Terkait terpilihnya Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat yang disebut-sebut bakal membawa angin perubahan global, ia mengatakan, gebrakan Obama bakal menjadi hal yang ditunggu-tunggu. "Yang jadi pertanyannya, berani tidak Obama melakukan embargo senjata ke Israel? Mengikuti sanksi-sanksi lainnya misal ekonomi?" ucapnya.

PALESTINA VS ISRAEL TUGAS MANDIRI D I S U S U N OLEH: NAMA

: ABUTALIB

NO. STAMBUK: A.440 07 737

Related Documents


More Documents from "CandraDewiMzk"