Sekilas Tentang Masyarakat Betawi Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Cina, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Seorang budak belian perempuan dari Bali. Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa, dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya, bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India. Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa (1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619). Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mulamula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane. Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas. Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya. Orang Tiong Hoa senang main kartu. Lukisan A van Pers dari tahun 40-an abad yang lalu, yang diterbitkan pada tahun 1856 di Den Haag. Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada adat Tionghoa (mis. Penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membentuk kelompok Betawi Ora, mis: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara. Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay- tidak begitu besar jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak diantara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang lebih setengah dari penghuni Kota Batavia. Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku dan bangsa (demikian Lekkerkerker). Gereja Immanuel di Gambir pada pertengahan abad ke 18 Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota. Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi. Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat beberapa rumah seperti ini di daerah Kota Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara lama. Sedangkanjalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan. Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi. Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945), Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang Betawi - dalam arti apapun juga tinggal sebagai minoritas. Pada tahun 1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9 juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta. Walaupun sebetulnya,
’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.**Bapeda http://betawi.blogsome.com/category/sejarah-betawi/
Masakan Arab Betawi Pernah kenal jajanan khas Betawi yang bernama Ali Bagente? Bahkan orang-orang etnis Arab-Betawi pun sudah banyak yang tidak lagi mengenal jajanan ini. Sederhana sekali. Cuma kerak (sisa nasi yang mengeras di pantat kuali ketika menanak) yang dikeringkan, kemudian digoreng, dan disiram kinca (gula merah). Dugaan saya, dulunya si Ali sangat suka jajanan ini dan cinta pada orang yang membuatkan jajanan ini untuknya. Karena itu dia lalu bilang: “Ali bah ente.“ (Ali cinta kamu). Maka, serta-merta orang menyebut jajanan itu dengan nama Ali Bagente. Dasar telinga Betawi! He he he …. Di masa lalu, komunitas Arab-Betawi kebanyakan bermukim di daerah Kebon Pala (kawasan Tanahabang) dan Kebon Nanas (kawasan Jatinegara). Khusus etnis Arab yang berasal dari Pekalongan, ketika pindah ke Jakarta mereka kebanyakan bermukim di daerah Condet Batuampar. Sekarang, karena mulai ’terjepit’ oleh pembangunan, maka banyak warga etnis Arab dari Kebon Pala dan Kebon Nanas yang juga ikut berkumpul di Condet. Menurut seorang warga, hampir 80 persen penduduk Condet sekarang berasal dari keturunan Arab. Tak heran kalau di Condet sekarang kita banyak menemukan masakan Arab. Di Jalan Otto Iskandardinata (Otista), Jakarta Timur, kini hanya tinggal satu rumah makan masakan Arab, yaitu milik pemain sinetron Haji Nazar Amir. Belum lama ini saya diajak teman lama – Mas Harun Musawa dan istrinya, Mbak Nunik – makan di kawasan Condet, Jakarta Timur. Saya diajak ke sebuah rumah bercat hijau tanpa papan nama di Jalan Condet Raya. Memasuki rumah sederhana, tampak beberapa meja rendah untuk makan lesehan (duduk di lantai). Di kartu menu disebut ”Hidangan Khas Jawa Timur”. Tetapi, lho, kok tidak ada rawon? Tulisan itu memang sangat misleading. Pemilik rumah, Thalib Musawa, sebetulnya malah kelahiran Jawa Tengah. “Tetapi, ibu saya dari Banyuwangi,” katanya berkilah. Dan menu makanan yang tercantum di sana semuanya adalah masakan Arab. Gule kacang ijo, misalnya, tentu sebetulnya adalah dalcha. Kami memesan nasi tomat, sop kikil spesial, dan gule merah. Nasi tomatnya mengingatkan saya pada Nasi Kandar ”Pelita” di Penang, Malaysia. Nasi khas masakan Mamak (Muslim India). Tomat direbus, lalu dibuang kulitnya. Air rebusan dan tomatnya dipakai untuk menanak nasi yang dibumbui. Karena itu, rasa asam dari tomatnya terasa nendang banget pada sajian ini. Dalam nasi tomat itu juga saya temukan salam koja (sering disebut juga sebagai daun kari) yang memang banyak dipakai sebagai bumbu masakan Arab. Gule merahnya sangat medok. Sangat bersantan dan berbumbu. Dagingnya empuk. Sop kikilnya berkuah encer, tapi dagingnya empuk – kikil yang masih menempel di kaki kambing. Kalau mau kuah yang kental, harus bilang kaldu kikil ketika memesan. Pada tiap hari Jumat, Thalib juga menyediakan menu khusus yang disebut harisa – bubur daging kambing dengan oatmeal (havermout, bubur gandum). Harisa disajikan dalam mangkuk, dan dibubuhi sesendok mentega di atasnya. (Hmm, minyak samin tentu lebih afdol, ya, mestinya?). Sesendok pertama yang saya cicipi membuat saya langsung berpikir ke corned beef. Havermout-nya basa-basi banget. Yang lebih banyak justru daging kambing yang sudah dimasak lama hingga sangat empuk dan sudah hancur. Sangat machtig! Berbeda dengan bubur kambing a la Pekalongan (pakai beras dan banyak bawang merah) yang pernah saya cicipi di tempat William Wongso. Kata salah seorang tamu lain, kalau mau makan harisa yang paling enak, harus cari di daerah Kwitang. Well, not my cup of tea! Di meja juga tersedia roti untuk sarapan atau cemilan yang disebut roti mariam (kadang-kadang disebut juga sebagai roti konde). Sangat mirip roti canai, tetapi dalam versi
lebih bantat. Dimakan dengan taburan gula halus dan kayu manis – menjadikannya sangat mirip danish roll. Tidak jauh dari rumah makan Thalib Musawa, ada sebuah rumah makan Arab lain yang lebih terkenal. Namanya ”RM Puas”. Jangan salah, ini bukan cabang ”RM Puas” di Pekalongan yang legendaris karena nasi kebulinya yang kondang ke mana-mana. ”Puas” sebenarnya adalah perusahaan jasaboga (catering) merangkap rumah makan yang sudah punya tiga gerai di Jakarta, yaitu di dekat Mesjid As-Sholihin Condet, di belakang RCTI Kebon Jeruk, dan di Jalan Raya Jatiwaringin. Ha, mungkin ketika membaca tulisan ini ada di antara Anda yang sambil bertanyatanya: ke mana gerangan nasi kebuli lezat yang dulu mangkal di Hotel Sriwijaya, Jalan Veteran, Jakarta Pusat? Ya, inilah dia! Shadiq Assegaff, pemiliknya, memang sudah menutup gerai yang di Hotel Sriwijaya dan pindah ke Condet untuk mendekati stakeholdersnya yang banyak bermukim di sana. Hidangan unggulan ”Puas” adalah roti jala dan roti canai. Keduanya bisa dimakan dengan kari kambing (atau ayam) yang bisa bikin lidah berdansa. Tentu saja “Puas” juga punya nasi kebuli (ayam dan kambing) yang banyak disukai orang. Jangan lewatkan sambosa untuk appetizer dan kue srikaya sebagai pencuci mulut. Martabak “Puas” juga punya penggemar luas. Selain versi rumah makan dan restoran, ternyata, di Jakarta juga ada masakan Arab yang dikemas dalam versi gaul. Coba singgah ke “Little Baghdad” di daerah Kemang. Kafe yang hanya buka malam ini merupakan salah satu tempat rendezvous favorit para remaja. Kalaupun makanannya tidak hebat-hebat amat, di sini mereka bisa mengisap sheessa – merokok menggunakan pipa air khas Timur Tengah. Di Jakarta ada beberapa restoran yang menghidangkan masakan Arab. Di daerah Petamburan, misalnya, ada ”Sindbad” yang terkenal dengan nasi briyani dan nasi kebuli-nya. Di Jalan Raden Saleh juga ada beberapa restoran yang menyajikan masakan Timur Tengah. Tetapi, bagi warga etnis Arab, restoran-restoran yang saya sebut tadi lebih ’meng-India’. Masakan India memang lebih kaya bumbu dibanding masakan Arab. Ada juga ”Anatolia” di Kemang yang lebih berciri Turki. Bagaimana pula dengan nasi goreng kambing? Ah, kalau kita mengenal masakan peranakan yang merupakan campuran seni masak Indonesia-Tionghoa, mungkin nasgorkam ini termasuk gagrak cara masak silang Indonesia-Arab. Yang dianggap otentik masakan Arab adalah restoran ”Hadramaut” di Jalan Tambak. Hadramaut adalah nama lain dari Yaman (Yemen). Menu ”Hadramaut” sangat sederhana dan straightforward: kambing atau ayam. Kalau siang hanya ada mandhi (kambing atau ayam yang dimasak dalam oven khusus di dalam tanah). Sedang malam harinya cuma ada madbhi (kambing atau ayam panggang/bakar). Kambing atau ayam disajikan bersama nasi berbumbu gurih (semacam nasi kebuli). Dagingnya sangat empuk. Kalaupun ada sayuran, salad yang dihidangkan (harus dipesan khusus) hanya terdiri atas irisan timun dan bawang bombai. Yang unik, di ”Hadramaut” kita bisa makan mengikuti tradisi Arab yang khas. Kalau kita makan berempat, misalnya, nasi dan lauknya akan dihidangkan dalam satu talam besar, dan kita berempat makan ramai-ramai secara komunal dari satu talam yang sama. Jangan lupa memesan kopi yang dahsyat. Nikmat, dah! http://betawi.blogsome.com/category/makanan-khas/
Saling Silang Sejarah Orang Betawi Siapakah orang Betawi? Dari mana asalnya? Kalau Mandra gampang saja menjawabnya: “au ah gelap!” Mahbub Djunaidi si kolomnis ternama asli Betawi pernah mencoba menjawabnya; tapi, ia pun akhirnya menyerah. “Bukan apa-apa bagaimana bisa menjelaskan sedangkan topangan literaur saja tidak ada. Mana ada nenek moyang orang Betawi meninggalkan tulisan? Babad, hikayat—tiada itu. Ada memang kisah sultan Zainul Abidin atau Siti Zubaedah yang saban-saban dipaparkan sahibul hikayat saat pesta sunatan atau perkawinan. Tetapi, isinya penuh rupa-rupa petualangan dan tingkah jin dalam berbagai kaliber.” Begitu alasannya. Sampai kini hanya Ridwan Saidi yang tak lelah-lelah menjawab pertanyaan itu. Sudah tiga buku ditulisnya untuk menjelaskan yaitu “Profil Orang Betawi” (1997), “Warisan Budaya Betawi” (2000) dan “Babad Tanah Betawi” (2002). Tak puas, di beratus forum diskusi Ridwan omong, ikut debat polemik dengan macam-macam peneliti dari dalam dan luar negeri tentang hal yang sama. Menurut Ridwan orang Betawi bukanlah orang “kemarin sore”. Tidak benar jika ada yang mengatakan orang Betawi itu keturunan budak yang didatangkan Kompeni untuk mengisi intramuros alias kota benteng Batavia. Orang-orang Betawi telah ada jauh sebelum J.P. Coen membakar Jayakarta tahun 1619 dan mendirikan di atas reruntuknya kota Batavia. Salakanagara Hingga Kalapa Cikal bakal sejarah orang Betawi dikaitkan Ridwan dengan tokoh bernama Aki Tirem yang hidup di daerah kampung Warakas (Jakarta Utara) pada abad 2. Aki Tirem hidup dari membuat priuk dan saban-saban bajak laut menyatroni tempatnya untuk merampok priuk. Lantaran keteteran sendiri melawan bajak laut maka diputuskan untuk mencari perlindungan dari sebuah kerajaan. Saat itulah Dewawarman seorang berilmu dari India yang menjadi menantunya dimintanya mendirikan kerajaan dan raja. Pada tahun 130 berdirilah kerajaan pertama di Jawa yang namanya Salakanagara. Salakanagara nagara menurut Ridwan berasal ari bahasa Kawi salaka yang artinya perak. Secara etimologis kemudian Salakanagara itu dikaitkan Ridwan dengan laporan ahli geografi Yunani bernama Claudius Ptolomeus pada tahun 160 dalam buku Geografia yang menyebut bandar di daerah Iabadiou (Jawa) bernama Argyre yang artinya perak. Dikaitkan pula dengan laporan dari Cina zaman Dinasti Han yang pada tahun 132 mengabarkan tentang kedatangan utusan Raja Ye Tiau bernama Tiao Pien. Ye Tiau ditafsirkan sebagai Jawa dan Tiau Pien sebagai Dewawarman. Termasuk dalam hal ini yang disebut Slametmulyana sebagai Kerajaan Holotan yang merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara dalam bukunya Dari Holotan sampai Jayakarta adalah Salakanagara. Soal letak Salakanagara, Ridwan menunjuk kepada daerah Condet. Alasannya karena di Condet salak tumbuh subur dan banyak sekali nama-nama tempat yang bermakna sejarah, seperti Bale Kambang dan Batu Ampar. Bale Kambang adalah pasangrahan raja dan Batu Ampar adalah batu besar tempat sesaji diletakkan. Di Condet juga terdapat makam kuno yang disebut penduduk Kramat Growak dan makam Ki Balung Tunggal yang ditafsirkan Ridwan adalah tokoh dari zaman kerajaan pelanjut Salakanagara yaitu Kerajaan Kalapa. Tokoh ini menurut Ridwan adalah pemimpin pasukan yang tetap melakukan peperangan walaupun tulangnya tinggal sepotong maka lantaran itu dijuluki Ki Balung Tunggal. Setelah menunjuk bukti secara geografis, Ridwan pun melengkapi teorinya tentang cikal bakal sejarah orang Betawi dengan sejarah perkembangan bahasa dan budaya Melayu
agar dapat semakin terlihat batas antara orang Betawi dengan orang Sunda. Ia pergi ke abad 10. Saat terjadi persaingan antara wong Melayu yaitu Kerajaan Sriwijaya dengan wong Jawa yang tak lain adalah Kerajaan Kediri. Persaingan ini kemudian menjadi perang dan membawa Cina ikut campur sebagai penengah karena perniagaan mereka terganggu. Perdamaian tercapai, kendali lautan dibagi dua, sebelah timur mulai dari Cimanuk dikendalikan Sriwijaya, sebelah timur mulai dari Kediri dikendalikan Kediri. Artinya pelabuhan Kalapa termasuk kendali Sriwijaya. Sriwijaya kemudian meminta mitranya yaitu Syailendra di Jawa Tengah untuk membantu mengawasi perairan teritorial Sriwijaya di Jawa bagian barat. Tetapi ternyata Syailendara abai maka Sriwijaya mendatangkan migran suku Melayu Kalimantan bagian barat ke Kalapa. Pada periode itulah terjadi persebaran bahasa Melayu di Kerajaan Kalapa yang pada gilirannya – karena gelombang imigrasi itu lebih besar ketimbang pemukin awal – bahasa Melayu yang mereka bawa mengalahkan bahasa Sunda Kawi sebagai lingua franca di Kerajaan Kalapa. Ridwan mencontohkan, orang “pulo”, yaitu orang yang berdiam di Kepulauan Seribu, menyebut musim di mana angin bertiup sangat kencang dan membahayakan nelayan dengan “musim barat” (bahasa Melayu), bukan “musim kulon” (bahasa Sunda). Orang-orang di desa pinggiran Jakarta mengatakan “milir”, “ke hilir” dan “orang hilir” (bahasa Melayu Kalimantan bagian barat) untuk mengatakan “ke kota” dan “orang kota”. Studi Lance Castles Agar timbangan tidak berat sebelah maka perlulah disini dikemukakan pula sosialorigin alias asal-usul sejarah orang Betawi yang ditulis Lance Castles, meskipun telaah peneliti Australia ini banyak bikin berang orang Betawi, tetapi sampai sekarang hanya itulah yang dianggap sebagai jawaban paling memuaskan (kalau tidak bisa disebut accepted history) oleh banyak pihak, terutama para akademisi. Pada April 1967 di majalah Indonesia terbitan Cornell University, Amerika, Castles mengumumkan penelitiannya menyangkut asal-usul orang Betawi. Hasil penelitian yang berjudul “The Ethnic Profile of Jakarta” menyebutkan bahwa orang Betawi terbentuk pada sekitar pertengahan abad 19 sebagai hasil proses peleburan dari berbagai kelompok etnis yang menjadi budak di Batavia. Secara singkat sketsa sejarah terjadinya orang Betawi menurut Castles dapat ditelusuri dari, pertama daghregister, yaitu catatan harian tahun 1673 yang dibuat Belanda yang berdiam di dalam kota benteng Batavia. Kedua, Catatan Thomas Stanford Raffles dalam History of Java pada tahun 1815. Keriga, catatan penduduk pada Encyclopaedia van Nederlandsch Indie tahun 1893 dan keempat sensus penduduk yang dibuat pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1930. Oleh karena klasifikasi penduduk dalam keempat catatan itu relatif sama, maka ketiganya dapat diperbandingkan, untuk memberikan gambaran perubahan komposisi etnis di Jakarta sejak awal abad 19 hingga awal abad 20. Sebagai hasil rekonstruksi, angka-angka tersebut mungkin tidak mencerminkan situasi yang sebenarnya, namun menurut Castles hanya itulah data sejarah yang tersedia yang relatif meyakinkan. Dari perbandingan dapatlah diketahui bahwa selama sekitar satu abad, beberapa kelompok etnis seperti Bali, Bugis, Makasar, Sumbawa, dan sebagainya tidak tercatat lagi sebagai kelompok etnis Jakarta. Sedangkan jumlah orang Jawa dan Sunda meningkat pesat, yang berarti migrasi cukup besar di dari Jawa, dan mungkin estimasi kelompok etnis Sunda di masa lalu di daerah sekitar Batavia terlalu rendah. Sebaliknya muncul kelompok etnis baru yang disebut “Batavians” (Betawi) dalam jumlah besar yaitu 418.900 orang. Jadi secara umum dapatlah dikatakan bahwa kehadiran orang Betawi merupakan buah dari kebijakan kependudukan yang secara sengaja dan sistematis diterapkan oleh VOC. Bukti Arkeologis
Sepuluh tahun setelah pengumuman hasil penelitian Lance Castles, arkeolog Uka Tjandarasasmita mengemukakan monografinya Jakarta Raya dan Sekitarnya Dari Zaman Prasejarah Hingga Kerajaan Pajajaran (1977). Uka memang tidak menyebut monografinya untuk menangkis tesis Castles, tetapi secara arkeologis telah memberikan bukti-bukti yang kuat dan ilmiah tentang sejarah penghuni Jakarta dan sekitarnya dari masa sebelum Tarumanagara di abad 5. Dikemukakan bahwa paling tidak sejak zaman neolitikhum atau batu baru (3500 – 3000 tahun yang lalu) daerah Jakarta dan sekitarnya dimana terdapat aliran-aliran sungai besar seperti Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, Citarum pada tempat-tempat tertentu sudah didiami oleh masyarakat manusia. Beberapa tempat yang diyakini itu berpenghuni manusia itu antara lain Cengkareng, Sunter, Cilincing, Kebon Sirih, Tanah Abang, Rawa Belong, Sukabumi, Kebon Nanas, Jatinegara, Cawang, Cililitan, Kramat Jati, Condet, Pasar Minggu, Pondok Gede, Tanjung Barat, Lenteng Agung, Kelapa Dua, Cipete, Pasar Jumat, Karang Tengah, Ciputat, Pondok Cabe, Cipayung, dan Serpong. Jadi menyebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Dari alat-alat yang ditemukan di situs-situs itu, seperti kapak, beliung, pahat, pacul yang sudah diumpam halus dan memakai gagang dari kayu, disimpulkan bahwa masyarakat manusia itu sudah mengenal pertanian (mungkin semacam perladangan) dan peternakan. Bahkan juga mungkin telah mengenal struktur organisasi kemasyarakatan yang teratur. Seberapa Penting Keturunan Akhirnya, sebelum menutup tulisan ini perlu pula dikemukakan pertanyaan, yang terlepas dari polemik soal asal muasal orang Betawi. Sesungguhnya seberapa pentingkah keturunan itu bagi orang Betawi? Mengutip penelitian Ninuk Kleden, maka tiga yang dianggap terpenting dalam fase kehidupan orang Betawi adalah khitanan, kawinan,, dan kematian. Berlatar kultur seperti itu, tentunya orang Betawi sedikit sekali punya konsentrasi untuk mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan kelahiran. Adat hidupnya yang banyak bertopang pada agama Islam lebih mengajarkan untuk lebih mengingat-ingat hari kematian. Wajar jika orang Betawi menganggap adat berulang tahun itu tak penting. Itu adat kafir karena datangnya dari Kumpeni yaitu sebutan mereka untuk VOC (Verenigde Oost-indiesche Compagnie). Dalam konteks itulah adalah wajar jika Mandra spontan menjawab “au ah gelap” soal asal muasal orang Betawi. Kapan lahir dan keturunan siapa tak persoalan bagi orang Betawi. Apakah sejarah yang disertai polemik itu tepat atau ngelantur? Tak soal. Sekali lagi, seperti kata Mahbub Djunaidi, bagaimana mengkritisi sedangkan topangan literatur tiada. Orang Betawi bukanlah orang Jawa yang walau banyak bohong masih sempat meninggalkan sejarahnya dalam babad. Motto hidup orang Betawi yang ingin senang terus, membuat mereka tak ambil pusing soal polemik asal muasal itu. Mereka terima saja ketika pemerintah Jakarta menetapkan baginya hari ulang tahun, 22 Juni. Tepat atau tidak, benar atau bohong hari ulang tahun itu bagi orang Betawi tidak jadi soal, karena sesama satu kesatuan entitas nasional jangankan benarnya, bohongnya pun mesti percaya. Hidup sekali dan sudah susah koq dibikin susah-susah dengan segala versi itu. Boleh jadi sikap ini karena mereka awam sejarah, atau malah sebaliknya, sejarah itu diragukan kebenarannya. Orang Betawi memang polos dan jenaka. Bagi mereka kwalitas manusia itu tidak ditentukan oleh kapan lahir dan dari keturunan siapa, melainkan isi kepala dan prilakunya. Ya, memang keturunan itu bukan apa-apa dan tidak 100% dominan. Taruhlah orang Betawi itu keturunan Baginda Raja Salakanagara yang hebat, Ki Balung Tunggal yang sakti atau cuma budak yang hina, tetapi yang penting siapakah orang Betawi itu sekarang. Antara kebesaran Baginda Raja Salakanagara, kesaktian Ki Balung Tunggal dan kehinaan budak Kumpeni dengan orang Betawi sekarang tidak ada
hubungannya sama sekali. Tak perlu cerewet dengan kisah asal muasal keturunan. Lebih penting adalah orang Betawi sekarang mesti belajar dan bekerja keras untuk jadi berkwalitas macam raja-raja besar dan jangan jatuh hina ditindas bagai budak tak berharga. Kwalitas tak jatuh dari keturunan, dan tidak juga dari langit. Tetapi tentang siapakah orang Betawi, dari mana asalnya, pendek kata sejarahnya orang Betawi mesti dicarikan jawaban. Memang kwalitas tak jatuh dari keturunan, tetapi pertanyaan sejarah itu bukan berarti mesti diremehkan dan tidak harus dicari jawabannya. Sebisanya mesti dijawab, sebab itu menyangkut sejauh mana sebetulnya kita bersungguhsungguh dengan sejarah. Sejarah yang lebih adil, yang bisa menjadi sumber inspirasi dan pedoman yang menuntun masyarakat pendukungnya sekarang belajar serta mengetahui serta mengerti seraya bekerja keras untuk mencapai arah kemana mereka mesti menuju. Dalam konteks itu saling silang tentang sejarah asal usul orang Betawi menjadi penting dan perlu disyukuri sebagai tanda bahwa arah mencari sejarah yang adil tengah berjalan, dan disana sejarah sebagai gambaran masa lalu yang adalah pula merupakan berita pikiran atau discourse, yang menuntut adanya proses dialogis telah terjadi dan tinggal kini orang Betawi mengambil hikmahnya dari setiap historiografi atau penulisan sejarah yang terlibat dalam polemik itu untuk menjawab keprihatinan dan kegelisahan sosial-kultural mereka yang harus bertanggungjawab memajukan kehidupan manusia Betawi sekaligus manusia Indonesia.[JJ Rizal] http://www.kampungbetawi.com/sohibul.php