Aliansi Kebebasan Tuk Jadi Penghuni Naar & Zamharir

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Aliansi Kebebasan Tuk Jadi Penghuni Naar & Zamharir as PDF for free.

More details

  • Words: 3,792
  • Pages: 13
Aliansi Kebebasan jadi Penghuni Naar & Zamharir (sumber: http://www.nahimunkar.com) Bismillaahi aktubu, Pada sebuah acara yang diselenggarakan MUI (Majelis Ulama Indonesia) Bali, di Hotel NIKKI Denpasar tanggal 19 Oktober 2008 lalu, Bambang Santosa Takmir Masjid Baitul Makmur Denpasar mengajukan pertanyaan kepada Eep Sefulloh Fatah (ESF), yang namanya ikut berbanjar bersamasama sejumlah ratusan penandatangan petisi AKKBB beberapa waktu lalu. Ketika itu, Bambang bertanya tentang JIL (Jaringan Islam Liberal) dan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan). ESF kala itu menjelaskan, bahwa ia bukan anggota JIL. Namun, ESF mengakui dirinya ikut menjadi salah satu penandatangan dari iklan (petisi) AKKBB yang dimuat harian KOMPAS. Keterlibatannya, karena diajak oleh seseorang. Meski mengaku tidak ikut merumuskan (materi petisi AKKBB), namun ESF mengakui bahwa ia terlibat diskusi dan kemudian sepakat dengan tiga gagasan pokok di dalam deklarasi itu Gagasan pertama, konstitusi harus dijaga, karena sekali konstitusi dibiarkan dicederai, maka setiap orang akan bergantian melanggar konstitusi tanpa perasaan berdosa apapun. Kedua, kebebasan beragama harus dihargai, sampai kemudian muncul putusan final tentang satu kelompok agama tertentu –yang dengan atas nama hukum maupun politik– keputusan final harus dihargai; maka kebebasan beragama siapapun harus dihargai. Ketiga, tidak dibolehkan siapapun menggunakan cara-cara kekerasan yang tidak beradab untuk melakukan tindakan tertentu yang mereka sebut sebagai menegakkan syariat Islam, sementara pada saat yang sama syariat itu menegaskan betapa kita harus berpolitik dan bertindak secara dewasa, lebih dewasa dari siapapun sehingga kita disebut sebagai rahmat bagi semua alam, bagi sekalian alam. Ketiga gagasan itulah yang disetujui oleh para penandatangan iklan (petisi) AKKBB. Namun kemudian mengalami politisasi akibat peristiwa Monas (01 Juni 2008). Menurut ESF, "… peristiwa Monas itu tidak mewakili saya, peristiwa Monas itu belum mewakili semua kelompok orang yang menandatangani atas nama pribadi-pribadi… Jadi, politisasi itulah yang

kemudian menyebabkan seolah-olah semua orang yang ikut tanda tangan adalah mereka yang sepaham dengan mereka yang artikulatif." Pasca peristiwa Monas, sejumlah tokoh dengan mengatasnamakan AKKBB memberikan komentar terhadap aksi pemukulan FPI pada peristiwa Monas. Menurut ESF "Saya tidak sepaham dengan semua yang mereka katakan." Dari penjelasan ESF di atas, terkesan adanya manipulasi: sejumlah orang dibuat tertarik dengan ketiga gagasan di atas, sehingga mau menandatangani petisi AKKBB. Namun, mereka sama sekali tidak menduga adanya aksi kekerasan sebagaimana terjadi di Monas pada tanggal 01 Juni 2008 lalu. Kalau itu yang terjadi, mengapa orang-orang seperti ESF tidak memprotes anasir AKKBB yang merubah rute, sehingga berpapasan dengan massa FPI yang sedang berdemo dengan tema berbeda. Pertanyaan lain, mengapa orang-orang seperti ESF tidak meng-counter komentar-komentar tokoh AKKBB seperti –antara lain– Syafi'i Ma'arif yang memberikan kesan begitu negatif terhadap FPI, seolah-olah kesalahan utama peristiwa Monas adalah akibat FPI dan Laskar Islam? Padahal, bila korlap AKKBB kala itu mematuhi rute yang telah disepakati bersama (antara AKKBB dengan pihak kepolisian), niscaya bentrokan itu tidak akan terjadi. Mengapa anggota AKKBB seperti ESF tidak memprotes anggota AKKBB lainnya yang menggunakan kata-kata kasar untuk dilekatkan kepada Islam, agama ESF sendiri? Sebagaimana diberitakan Hidayatullah. com, Saidiman korlap aksi AKKBB mendukung Ahmadiyah, mengeluarkan umpatan, ketika bentrokan terjadi. Ketika itu, Saidiman yang juga merupakan aktivis komunitas utan kayu itu mengeluarkan sumpah serapahnya, "Dasar binatang-binatang. Islam anjing, orang Islam anjing…" Menurut 'laporan' Anwar Bachtiar, selain Guntur Romli, Saidiman termasuk yang babak belur ketika terjadi bentrokan antara massa FPI dengan AKKBB di Monas. Ketika peristiwa Monas itu masuk ke tahapan persidangan, "… Saidiman sepanjang persidangan FPI sejak sidang pertama selalu melontarkam hinaan terhadap Islam dan FPI," tulis Anwar Bachtiar pada sebuah milis. Ternyata, kebencian Saidiman kepada Islam diungkapkannya juga di sebuah milis. Saidiman yang juga ketua Forum Muda Paramadina ini, pada milis tersebut kerap menuturkan keburukan Islam dan Rasul-Nya. Namun, secara formal ia mengaku masih Islam. Nah, inilah contoh nyata dari sosok neo-

komunis muda yang sedang menyembunyikan identitas aslinya dengan cara berlindung di balik baju Islam. Seraya terus mengenakan baju Islam, ia terus menjelek-jelekkan Islam. ESF juga menyarankan agar umat Islam tidak perlu menganggap AKKBB atau JIL sebagai bagian pemecah belah umat, namun lebih baik mereka diajak untuk menguatkan umat. Karena, menurut ESF, "… tidak mungkin di Indonesia ini umat Islam diperkuat sambil mengabaikan keragaman yang begitu rupa sudah terbangun, itu namanya ahistoris dalam istilah ilmu sosial, mengabaikan sejarah, mengabaikan fakta." Menurut ESF pula, "Jadi menurut saya yang terpenting adalah bersikap inklusif dengan ketegasan tertentu yang kita yakini, jangan bersikap eksklusif dengan ketegasan yang kita yakini. Jadi inklusifisme itulah yang menurut saya yang terpenting." Pernyataan ESF justru yang mengabaikan fakta, bahkan memutar balikkan fakta. Umat Islam tidak pernah memusuhi AKKBB, karena kenal saja tidak. AKKBB yang merupakan massa cair, yang datang tiba-tiba, out of the blue, sekonyong-konyong tampil arogan di berbagai media massa melalui pemasangan iklan berjudul MARI PERTAHANKAN INDONESIA KITA! Selain berisi dukungan terhadap Ahmadiyah, iklan AKKBB itu jelas-jelas mengandung pesan yang provokatif dan insinuatif: Indonesia menjamin tiap warga bebas beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi. Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-Indonesia- an kita. Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat. Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut Ahmadiyah yang sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai dengan umat lain. Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara Indonesia, Pancasila, mengabaikan konstitusi, dan menghancurkan sendi kebersamaan kita. Kami menyerukan, agar pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-Indonesia- an itu. Marilah Kita jaga republik kita. Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.

Marilah kita kembalikan persatuan kita. Bagaimana mungkin umat Islam bisa mengajak mereka menjadi bagian yang layak untuk memperkuat Islam, lha wong mereka merasa lebih kuat dan menganggap umat Islam lebih lemah dari mereka. Apalagi, AKKBB hanyalah massa cair (bukan institusi yang solid), yang sebagian (besar?) dari mereka yang jumlahnya ratusan itu mau menandatangani petisi AKKBB setelah melalui tahapan manipulasi. Sosok AKKBB selain tidak jelas, juga tidak konsisten. Kalau mereka membela Ahmadiyah dengan dalih kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengapa mereka tidak membela Sandrina Malakiano yang dilarang tampil membacakan berita di Metro TV, setelah ia memutuskan berjilbab? Apalagi, kini Sandrina sudah menjadi istri ESF. Bukankah berjilbab merupakan kebebasan beragama dan berkeyakinan? Di teve swasta lain, wanita berjilbab tidak dilarang tampil membacakan berita, sebagaimana terjadi di Metro TV. Padahal, Metro TV selama ini menjadi media ekspresi para liberalis, sekularis, pluralis, inklusifis, yang juga pendukung AKKBB. Siapa yang sesungguhnya memulai permusuhan? Eep Membela Ulil ESF selain membela AKKBB, ia juga condong membela Ulil Abshar Abdalla, dedengkot JIL. Menurut ESF pula, JIL sebetulnya tidak homogen, terdiri dari 3 kelompok. Kelompok pertama, adalah mereka yang memiliki basis pendidikan Islam yang kuat, kemudian mengalami liberalisasi pemikiran. Dari liberalisasi pemikiran itulah yang mendorong mereka berinisiatif untuk melakukan "ijtihad" yang mereka sebut Islam Liberal. Ulil menurut ESF, masuk ke dalam kelompok pertama ini. Oleh karena itu ESF berpendapat, orang seperti Ulil tidak perlu didemo, jangan pula dibunuh. Tetapi, undanglah dia ke sebuah forum, sehingga dia bisa menjelaskan kaidah-kaidah fikih yang dia yakini, tentang apa yang dia katakan dan tulis. Bahkan ESF lebih menginginkan agar orang seperti Ulil itu disandingkan dengan sosok lain yang menentangnya yang kira-kira tatarannya serupa. Karena, menurut ESF, "… orang seperti Ulil bisa diajak diskusi dalam konteks semacam itu. Jadi anda harus menghormati orang seperti Ulil dalam kapasitasnya, jangan disamakan dengan dua kelompok yang lain."

Kelompok kedua, sebagaimana dijelaskan ESF, adalah mereka yang tidak memiliki basis pendidikan Islam yang kuat, tetapi mengalami kemajuan yang luar biasa di dalam liberalisasi pemikiran, sekulerisasi dan seterusnya. Kebetulan, identitasnya sebagai cendekiawan muslim secara formal sudah terbentuk, sehingga masyarakat melihatnya bisa masuk ke dalam barisan Jaringan Islam Liberal juga. Terhadap mereka yang masuk ke dalam kelompok kedua ini, menurut ESF, jangan ajak mereka berdiskusi tentang Fikih Islam Liberal, karena mereka tidak menguasai hal itu. Jangan pula ajak mereka berdiskusi tentang Teologi Islam, karena mereka tidak menguasai hal itu. Sesungguhnya, yang mereka kuasai adalah pemikiran-pemikiran sekuler, teori-teori sosial dan konsepkonsep sosial yang kemudian dibumbui sedikit demi sedikit dengan gagasan-gagasan Islam yang dikenalnya. Kelompok ketiga, menurut ESF, adalah anggota Jaringan Islam Liberal yang tidak memiliki persentuhan apapun dengan Islam dalam pengertian praktek, ritual dan seterusnya. Karena, keislaman mereka adalah keislaman yang formal (untuk memenuhi kolom identitas pada KTP), dan betul-betul orang Liberal. Terhadap kelompok yang ketiga ini, tidak mungkin diajak diskusi tentang Islam Liberal. Kepada mereka, diskusi yang cocok adalah tentang Liberalisme pada umumnya. Namun dalam prakteknya, mereka menggunakan cara pandang Islam Liberal. Begitu penjelasan ESF. Bila untuk kelompok pertama ESF memberi contoh pada figur Ulil, namun untuk dua kelompok lainnya dia tidak menyebutkan contoh yang mewakili kelompok-kelompok tersebut. Menyudahi penjelasannya tentang JIL, ESF memberi saran, akan lebih baik dan lebih positif bila kalangan Islam untuk mengajak berdiskusi dengan orang-orang JIL dari kelompok pertama, ketimbang dua kelompok lainnya. Karena, "… dari situ kita bisa belajar. Ijtihad sekalipun salah, kan sudah berpahala; dan orang seperti inilah justru dihargai melakukan itu." Dari penjelasan ESF soal JIL dan Ulil, kita bisa merasakan ada perubahan 'paradigma' pada diri ESF. Meski bukan anggota JIL, namun ESF nampaknya mendukung Ulil dan JIL. Bahkan ESF meminta kita untuk menghormati Ulil.

Bagaimana umat Islam mau menghormati Ulil, sementara Ulil tidak menghormati ulama. Ulil memposisikan dirinya sebagai mujtahid yang segar sembari memposisikan ulama-ulama saleh berada dalam kubang kejumudan. Begitu juga dengan umat Islam yang mengikutinya. Perlu diketahui pula oleh ESF, pemikiran 'progresif' atau 'pluralis' atau 'inklusif' gaya Ulil, bukan baru beberapa tahun belakangan ini saja muncul dari para 'pembaharu' pemikiran Islam di Indonesia. Bahkan, gaya seperti itu, sudah ada sejak awal-awal perkembangan Islam. Ibnu Arabi hanyalah salah satu contoh di antaranya. Dan pendapat-pendapatny a banyak dikutip oleh orang-orang seperti Ulil dan orang-orang sebelumnya, seperti Harun Nasution, Mukti Ali, Nurcholish Madjid, dan sebagainya. Ibnu Arabi bagi mereka adalah seorang mujathid. Sementara para ulama memvonisnya sebagai kafir, mulhid atau murtad. Oleh karena itu, tidak selayaknya ESF memposisikan Ulil sedemikian tinggi, seolah-olah Ulil adalah 'ulama' otentik yang pemikiran atau ijtihadnya dapat memberi pencerahan kepada kita semua termasuk para ulama. Bisa saja ESF sebagai sarjana politik begitu terkesima dengan argumenargumen Ulil, karena ia berada di ranah yang tidak sepenuhnya dia kuasai. Dari sini, tidak bisa disalahkan bila ada yang berkesimpulan, bahwa ESF masuk ke dalam kategori kedua, pada pengelompokkan yang dibuatnya sendiri berkenaan dengan JIL di atas. Meski secara formal ia tidak (atau belum) menjadi bagian dari JIL, namun sepertinya ia sudah berada dalam millah yang sama dengan komunitas JIL. Bahaya ungkapan Eep Ada ungkapan-ungkapan Eep yang berbahaya di antaranya: 1. MUI yang telah berfatwa Juli 2005 tentang haramnya faham sepilis (sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme) –yang di antara dedengkotnya adalah Ulil— malah Eep menyarankan agar MUI menghormati Ulil. Ini sama dengan membiarkan MUI pusat mengeluarkan fatwanya, namun Eep cukup menggerilya MUI daerah seperti yang ia lakukan terhadap MUI Bali itu. 2. Eep menganjurkan bersikap inklusif, dengan menagatakan: "Jadi menurut saya yang terpenting adalah bersikap inklusif dengan ketegasan tertentu yang kita yakini, jangan bersikap eksklusif dengan ketegasan yang kita yakini." Perkataannya itu berbahaya, karena inklusivisme itu adalah faham

yang berbahaya bagi Islam. Apa itu inklusivisme? Berikut ini penjelasan dari pihak mereka sendiri: Yang dikembangkan dalam Islam Liberal adalah inklusivisme dan pluralisme. Inklusivisme itu menegaskan, kebenaran setiap agama harus terbuka. Perasaan soliter sebagai penghuni tunggal pulau kebenaran cukup dihindari oleh faksi inklusif ini. Menurutnya, tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Tapi, paradigma ini tetap tidak kedap kritik. Oleh paradigma pluralis, ia dianggap membaca agama lain dengan kacamata agamanya sendiri. Sedang paradigma plural (pluralisme) : Setiap agama adalah jalan keselamatan. Perbedaan agama satu dengan yang lain, hanyalah masalah teknis, tidak prinsipil. Pandangan Plural ini tidak hanya berhenti pada sikap terbuka, melainkan juga sikap paralelisme. Yaitu sikap yang memandang semua agama sebagai jalan-jalan yang sejajar. Dengan itu, klaim kristianitas bahwa ia adalah satusatunya jalan (paradigma eksklusif) atau yang melengkapi jalan yang lain (paradigma inklusif) harus ditolak demi alasan-alasan teologis dan fenomenologis (Rahman: 1996). Dari Islam yang tercatat sebagai tokoh pluralis adalah Gus Dur, Fazlurrahman (guru Nurcholish Madjid, Syafi'I Ma'arif dll di Chicago Amerika, pen), Masdar F Mas'udi, dan Djohan Effendi. (Abdul Moqsith Ghazali, Mahasiswa Pascasarjana IAIN Jakarta, Media Indonesia, Jum'at 26 Mei 2000, hal 8). (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan, Pustaka Al-Kautsar, Jakrta, cetakan pertama, 2001, hal 116-117). Inklusivisme itu menganggap ada kebenaran pada agama lain yang tidak kita anut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan pada agama yang kita anut. Itu jelas meragukan benarnya Islam, maka di situlah rusaknya keislaman seseorang ketika sudah meragukan benarnya Islam; berarti dia telah keluar dari Islam alias murtad. Bagaimana bisa terjadi, MUI Bali ini kok mengundang orang untuk diangsu (diambil) ilmunya, padahal anjuran darinya justru mengandung masalah yang sangat berbahaya bagi Islam. Menganggap ijtihad itu lanjutan dari liberalisasi, hingga Eep mengatakan: "Dari liberalisasi pemikiran itulah yang mendorong mereka berinisiatif untuk melakukan "ijtihad" yang mereka sebut Islam Liberal." Lalu dia tumpangi alasan yang karena konteksnya adalah memuji orang liberal, maka jelas ungkapan berikutnya ini adalah ngawur-ngawuran: Ijtihad sekalipun salah, kan sudah berpahala; dan orang seperti inilah justru dihargai melakukan itu." Yang perlu ditanyakan, sebenarnya Eep ini mengerti tentang ijtihad atau tidak? Kalau tidak, kenapa bicara di hadapan ulama, dan kalau

mengerti, kenapa sangat ngawur? Ijtihad menurut bahasa adalah berasal dari kata jahada (‫ )جهد‬yang artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Kata ijtihad ini tidak dipergunakan kecuali pada hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Seperti dalam kalimat: ‫إجتهد في حمل حجر الرخا‬ Dia bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga untuk mengangkat batu penggilingan. Kata ijtihad ini tidak boleh dipergunakan seperti pada kalimat: ‫إجتهد في حمل خردلة‬ Dia mencurahkan tenaga untuk mengangkat sebuah biji sawi. [1] Ijtihad menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Imam AsSyaukani adalah: ِ‫س ِت ْنبَاط‬ ْ‫ل‬ ِ ‫طرِيقِ ا‬ َ ‫عمَلِي ِب‬ َ ّ‫عي‬ ِ ْ‫شر‬ َ ‫ح ْك ٍم‬ ُ ِ‫َبذْلُ ا ْل ُوسْ ِع فِي نِيل‬ Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara' yang bersifat 'amali/ praktis dengan jalan istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).[2] Definisi itu kemudian dijelaskan oleh As-Syaukani: a. Badzlul wus'i (mencurahkan kemampuan), ini mengecualikan hukumhukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan arti badzlul wus'i adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya. b. Hukum syara' itu mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh.

c. Demikian pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqoha', walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad. d. Dengan jalan istinbath itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar berijtihad menurut istilah. Sebagian ahli ushul menambah definisi itu dengan kata-kata faqih (seorang ahli fiqh), maka jadinya "pencurahan kemapuan oleh seorang faqih". Itu mesti dalam hal ini, karena pencurahan kemampuan oleh yang bukan faqih (ahli fiqh) itu bukan dinamakan ijtihad menurut istilah.[3] Apakah mungkin disebut ijtihad, kalau dedengkot JIL (Jaringan Islam Liberal), Ulil Abshar Abdalla, dalam wawancara dengan Majalah Gatra mengatakan: · "Misalnya, perlindungan akal diwujudkan dalam bentuk pelarangan minuman keras (khamar). Jadi, haramnya khamar ini bersifat sekunder dan kontekstual. Karena itu, vodka di Rusia bisa jadi dihalalkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin._ (Gatra.Com, Majalah Gatra, 21/12 2002). Ungkapan Ulil Abshar Abdalla itu merusak pemahaman Islam. Bukan sekadar beda penafsiran. Karena, hukum Islam hanya dilakukan secara sekunder dan tergantung situasi. Ini di samping menghalalkan yang haram, masih pula akan menjadikan rusaknya pemahaman Islam. Hingga akan bisa orang berkata, berzina di daerah-daerah yang dingin itu bisa dibolehkan, karena situasi di daerah itu sangat dingin. Betapa rusaknya pemahaman itu. Apakah ocehan yang merusak pemahaman Islam itu dapat disebut ijtihad? Dan apakah Ulil dengan ocehannya yang merusak Islam itu malah mendapat pahala satu seperti dikemukakan Eep? 4. Menyuruh menghormati Ulil berarti menyuruh pula menghormati para pendahulunya di antaranya Nurcholish Madjid yang mengaku mengutip Ibnu Arabi yang mengatakan bahwa iblis kelak masuk surga dan surganya tertinggi. Nurcholish Madjid, dosen di IAIN Jakarta, pendiri Yayasan Wakaf Paramadina dan rector Universitas Paramadina Mulya Jakarta. Pada saat naskah ini ditulis (kemudian diterbitkan jadi buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ada Pemurtadan di IAIN, 2005), dia baru saja pulang dari perawatan di rumah sakit di Singapur ke rumah sakit pula di Pondok Indah Jakarta. Setelah hatinya dicangkok dengan hati orang Cina Komunis asli negeri Cina Tiongkok di Cina, dia harus dirawat di Singapur. Pencangkokan

hati itu mengharuskan Nurcholish disuntik untuk mengurangi daya tolak tubuh atas hati cangkokan baru itu. Namun akibatnya kekebalan tubuhnya harus dikurangi, maka ususnya terkena infeksi, dan harus dirawat di RS Singapur, selama 6 bulan. Kemudian pulang ke Indonesia bukan pulang ke rumah tetapi ke rumah sakit pula yaitu di Pondok Indah Jakarta, 17 Februari 2005, dengan harus selalu pakai masker, dan ditangani 6 dokter spesialis. Nurcholish Madjid dulu (1970) mencoba mengemukakan gagasan "pembaharuan" dan mengecam dengan keras konsep negara Islam sebagai berikut: "Dari tinjauan yang lebih prinsipil, konsep "Negara Islam" adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara agama dan negara. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi yang dimensinya adalah rasional dan kolektif, sedangkan agama adalah aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi."[4] Pada tahun 1970 Nurcholish Madjid melontarkan gagasan "Pembaharuan Pemikiran Islam". Gagasannya itu memperoleh tanggapan dari Abdul Kadir Djaelani, Ismail Hasan Meutarreum dan Endang Saifuddin Anshari. Sebagai jawaban terhadap tanggapan itu Madjid mengulangi gagasannya itu dengan judul "Sekali lagi tentang Sekularisasi". Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1972, Madjid memberikan ceramah di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, dengan judul "Menyegarkan Faham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia". Salah satu kekeliruan yang sangat mendasar dari Nurcholish Madjid ialah pemahamannya tentang istilah "sekularisasi". Ia menghubungkan sekularisasi dengan tauhid, sehingga timbul kesan "seolah-olah Islam memerintahkan sekularisasi dalam arti tauhid".[5] Di samping itu Nurcholish mengemukakan bahwa Iblis kelak akan masuk surga. Ungkapannya yang sangat bertentangan dengan Islam itu ia katakan 23 Januari 1987 di pengajian Paramadina yang ia pimpin di Jakarta. Saat itu ada pertanyaan dari peserta pengajian, Lukman Hakim, berbunyi: "Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?" Dr. Nurcholish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: "Iblis kelak akan masuk surga, bahkan di tempat yang tertinggi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni." Nurcholis juga mengatakan, "Kalau seandainya saudara membaca, dan lebih banyak membaca mungkin saudara menjadi Ibnu Arabi. Sebab apa? Sebab Ibnu Arabi antara lain yang mengatakan bahwa kalau ada makhluk Tuhan yang paling tinggi surganya, itu Iblis. Jadi sebetulnya pertanyaan anda itu

permulaan dari satu tingkat iman yang paling tinggi sekali. Tapi harus membaca banyak."[6] Itulah ungkapan pembela Iblis. Padahal Iblis jelas kafir, dan yang kafir itu menurut QS Al-Bayyinah ayat 6 tempatnya di dalam neraka jahannam selama-lamanya. 34)َ‫ن مِنَ ا ْلكَا ِفرِين‬ َ ‫س َتكْ َبرَ َوكَا‬ ْ ‫سجَدُوا ِإلّ ِإبْلِيسَ َأبَى وَا‬ َ ‫ل َدمَ َف‬ ِ ‫جدُوا‬ ُ‫س‬ ْ ‫ل ِئكَ ِة ا‬ َ َ‫)وَِإ ْذ قُ ْلنَا لِ ْلم‬ Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir. (QS Albaqarah: 34). 6)ِ‫ن فِيهَا أُوَل ِئكَ ُه ْم شَرّ ا ْل َب ِريّة‬ َ ‫ج َه ّنمَ خَاِلدِي‬ َ ‫ش ِركِينَ فِي نَا ِر‬ ْ ‫ن كَ َفرُوا مِنْ أَهْلِ ا ْل ِكتَابِ وَا ْل ُم‬ َ ‫)ِإنّ اّلذِي‬ Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. (QS Al-Bayyinah/ 98: 6). (Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2005). Iblis jelas kafir, bahkan menyeret manusia kepada kekafiran. Sedang orangorang kafir tempatnya di neraka selama-lamanya menurut Al-Qur'an. Namun Nurcholish malah menganggap iblis kelak akan masuk surga dan surganya tertinggi. Itu bukan sekadar aneh tetapi sangat menyesatkan dan menjerumuskan. Namun kenapa orang macam itu dan penerusnya agar dihormati? Eep dan arus orang liberal Selama ini ESF memang terlanjur diposisikan sebagai 'cendekiawan muslim' oleh Harian Republika. Namun realitas politik nampaknya membuat ESF harus merubah positioning, merubah paradigma, supaya dapat diterima oleh seluruh kalangan, demi karir politik yang lebih cerah. Perubahan seperti ini bukan saja terjadi pada ESF. Sebelumnya, Syafi'i Ma'arif juga melakukan hal yang sama. Namun ia kehabisan waktu. Perubahan positioning dan paradigmanya menjadi pluralis terjadi ketika usianya sudah semakin uzur, sehingga tidak memberikan output yang signifikan. Bila Nurcholish sempat menjadi anggota MPR beberapa periode, dan Gus Dur pernah menjadi anggota MPR bahkan pernah menjabat sebagai presiden Indonesia selama dua tahun, maka Syafi'i Ma'arif sama sekali

belum pernah mendapat giliran seperti Nurcholish dan Gus Dur. Ia keburu kedaluwarsa (expired). Sedangkan, ESF, karena usianya masih relatif 'belia' kemungkinan bernasib seperti Syafi'i Ma'arif memang agak jauh. Tapi, setidaknya ESF bisa belajar dari pengalaman Amien Rais. Sosok yang menjadi motor penggerak reformasi, dan diposisikan sebagai fundamentalis Islam yang berbahaya. Namun dalam perjalanan waktu, ia merubah positioning dan paradigmanya. Hasilnya? Partai yang dipimpinnya tidak diterima kalangan luas. Oleh kalangan Islam ia dianggap sudah menjauh, namun oleh kalangan sekularis-sepilis dan non Muslim, ia diangap masih terlalu fundamentalis. Akibatnya, positioning Amien Rais ibarat bergantung di antara langit dan bumi. Dari pengelompokkan yang dipaparkan ESF, maka semakin mudah dipahami, bahwa Ulil tidak saja telah dijadikan icon bagi kelompok kedua, yaitu mereka yang cenderung kepada pemikiran sekular, enggan terhadap agama; juga menjadi sosok yang sangat bermanfaat bagi mereka yang punya kecenderungan atheis atau penganut neo-komunisme (komunitas JIL dari kelompok ketiga sebagaimana digambarkan ESF). Penganut komunisme baru memang tidak berani tampil apa adanya, karena dengan mudah akan dikenali dan dilibas oleh kekuatan Islam. Selain merasa aman berada di dalam JIL, para kader komunis baru ini sebagian lainnya masuk ke perguruan tinggi Islam seperti IAIN atau UIN, untuk mengacakacak Islam dari dalam, melakukan pembusukan ideologi dengan dalih liberalisasi dan pembaharuan pemikiran Islam. Selain masuk ke dalam Perguruan Tinggi Islam, mereka juga menyusup ke dalam ormas Islam, dengan tampil sebagai generasi muda Islam yang melawan kejumudan berpikir, mengusung liberalisme, dan inklusifisme. Ciri-ciri mereka sebenarnya mudah dikenali. Yaitu, mereka secara formal ber-KTP Islam namun sehari-harinya selalu menghujat Islam, bahkan Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, menista Islam dan Rasul-Nya. Tulisan-tulisan mereka tersebar di berbagai milis, blog dan sebagainya, juga bisa didapati di Kompas, Jawa Pos, dan sekutunya. Kalau aparat keamanan kerap mengatakan agar selalau mewaspadai bahaya laten komunis, kedengarannya basi dan klise, namun kenyataannya bahaya laten itu masih eksis. Mereka ada di Utan Kayu, ada di Kompas, ada di Jawa Pos ada di AKKBB, dan sebagainya.

Mudah-mudahan ESF tidak terlanjur menjadi bagian dari anasir bahaya laten itu. Semoga saja demikian. (haji/tede) Assalaamu manit taba’al huda (Semoga kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dari segala aib bagi manusia bagi yang mengikuti petunjuk). Assalaamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh (Semoga kedamaian, kesejahteraan dan keselamatan dari segala aib bagi manusia, dan kasih sayang dari Allah dan keberkahan dari-Nya agar dicurahkan kepada kalian).

Related Documents