Tulisan Kritis Konstruktif
AKU DAN KAUMKU Ditulis dalam Rangka Memperingati Hari Kartini ke 130
Oleh :
ARRUM CHYNTIA YULIYANTI
PALANGKARAYA – INDONESIA APRIL 2009
Wanita di dunia diibaratkan sebagai hawa, yang selalu mendampingi adam. Pesona wanita bagai bui yang tercipta diantara gemuruh ombak. Wanita adalah sosok yang menggunakan 9 perasaan dan 1 akal, melengkapi kaum adam, yang sebaliknya memiliki 9 akal dan 1 perasaan. Keberadaannya saling mengisi dan melengkapi. Saling mengerti dan saling mengasihi. Wanita tidak diciptakan dari kepala karena bukan untuk dijadikan atasan. Tidak diciptakan dari kaki karena bukan untuk dijadikan alas, tetapi diciptakan dari tulang rusuk untuk dijadikan pendamping, dekat dengan hati supaya dicintai. Begitulah kiranya hakikat wanita dari pandangan umum. Hakikat wanita tidak hanya dipandang dari beberapa sudut, namun kita juga menilik dari berbagai sisi. Wanita dan laki-laki memiliki kodrat yang sama dengan tanggung jawab dan peran yang berbeda. Laki-laki yang diciptakan memiliki tenaga yang lebih kuat dan pikiran logika yang jernih sehingga mungkin diutamakan menjadi pemimpin di muka bumi. Sedangkan wanita yang lemah lembut, penyayang, ditakdirkan untuk menjadi malaikat bagi keluarga dan penyeimbang pikiran serta visi dari kaum laki-laki. Wanita memiliki peranan penting di berbagai bidang, sebut saja dia sebagai ratu di istana keluarganya, yang selalu mendampingi suami, menjadi pengurus rumah tangga agar semuanya dapat berjalan harmonis. Bayangkan saja dia juga harus menjadi ibu yang adil bagi anak-anaknya. Bagi wanita yang bekerja dan memiliki karier, dia harus merangkap sebagai pekerja keras yang harus memeras keringat dan
menambah pemasukan di keluarganya, tapi di satu sisi dia juga harus pintar-pintar meluangkan waktu agar anak-anaknya bisa merasakan kasih sayang dan perhatian, serta keberadaan seorang ibu. Adakalanya terkadang seorang wanita harus merangkap menjadi single parent karena suami yang berada jauh dari mereka, atau suaminya yang telah dulu berpulang ke rahmatullah. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh dan peran seoranng wanita dalam urusan profesi, rumah tangga dan menumbangkan pendapat yang mengatakan bahwa wanita itu makhluk lemah. Kerasnya perjuangan wanita jaman dulu juga dapat dilihat dari perjuangan R.A Kartini. “Hidup itu akan indah dan berbahagia apabila dalam kegelapan kita melihat cahaya terang”. Sepotong kalimat yang diucapkan R.A Kartini semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga emansipasi. Ketika pada usia 12 tahun dia berpikir untuk mulai berubah dan melanjutkan pendidikan, keluarganya menentang keinginannya, hingga ia menjalani masa pingitan pada usia itu. Hidupnya ibarat burung dalam sangkar emas. Keluarganya yang berpendapat bahwa mereka yang pantas bekerja adalah mereka dari kaum adam, dan memegang teguh adat lama, tidak menyetujui keinginan Kartini yang menghendaki perubahan. Kartini hanya bisa mencurahkan cita-cita perjuangannya dalam bentuk surat. Ia rajin menulis surat kepada teman-temannya di Belanda. Isinya mengandung cita-cita yang luhur, terutama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia. Berkat surat-surat ini, tahun 1903 didirikan Sekolah Kartini
Pertama di Semarang. Dan di usia 25 tahun, R.A Kartini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Perjuangan R.A Kartini tidak serta merta didapatkan begitu saja, butuh
proses
dan
perjalanan
panjang
dalam
menapakinya.
Ketidaksetujuan keluarga ditambah celaan sebagai penentang adat dan tradisi datang selama proses menuju perubahan. Namun R.A Kartini tidak berhenti, ia tetap dengan pendiriannya untuk melawan kebiasaan atau adat yang kuno dan kolot. Ia ingin agar wanita Indonesia setara dengan pria, memiliki hak bukan hanya kewajiban dan juga bisa sejajar dengan wanita-wanita dari Negara lain. Di era globalisasi seperti sekarang ini sudah tentu wanita juga ikut mengambil andil dalam pembangunan, ikut mengambil setengah bagian dari kepemimpinan. Karena bukan masalah kuat atau lemah yang dijadikan ukuran, tetapi pikiran yang matang serta jiwa luhur yang mengandung ketulusan. Meskipun masih belum dapat dipungkiri bahwa pikiran kolot masih mendominasi budaya dan pemikiran mengenai hakikat wanita di Negara kita. Satu kata, pria lebih kuat daripada wanita. Pendapat itu ada baiknya kita singkirkan jauh-jauh, karena hanya menghambat perkembangan wanita dalam mengeksplor diri mereka masing-masing. Coba kita berkaca pada Negara-negara maju dan
berkembang,
Negara
Filipina
misalnya
yang
mencapai
kegemilangan ketika masa jabatan Gloria Macapagal Arroyo, bukankah dia juga seorang wanita? Tapi mengapa dia sukses dalam membina rakyatnya?
Karena
walaupun
dia
perempuan,
dia
memiliki
rasa
kepedulian terhadap sekitar, dan juga ditunjung oleh skill kepemimpinan
yang juga baik. Sayang sekali bila wanita yang sebenarnya memiliki skill yang baik, mampu, dan bertanggung jawab hanya terkalahkan oleh satu sanggahan yang menyatakan bahwa pemimpin dimana-mana harus diutamakan laki-laki, lalu kapan wanita berbakat yang memiliki jiwa pemimpin dapat diberi kesempatan untuk mengeksplor diri dan membuktikan bahwa mereka mampu? Terlebih lagi menurut survey, pemimpin yang memberlakukan kediktatoran atau keotoriteran dalam kepemimpinannya didominasi oleh kaum pria, ambil saja contoh Adolf Hitler atau Benito Mussolini. Karena mereka menganggap bahwa tangan pria, kekuasaan pria, kekuatan pria adalah segalanya yang dapat mematahkan siapapun yang menghalangi kemauan mereka. Mereka mengganggap bahwa pendapat mereka yang paling benar. Bahwa keinginan mereka dari kaum adam yang paling pantas dituruti dan dipatuhi. Ini menunjukkan betapa masih labilnya jiwa seorang laki-laki, emosional para kaum adam yang sangat membutuhkan
figur
seorang
penyeimbang
dalam
pemikiran
dan
sebagai penggerak hati mereka, yaitu wanita. Sekuat apapun seorang pria, sebesar apapun kekuasaan pria, mereka masih membutuhkan kasih sayang dan kelembutan hati seorang wanita yang mampu membimbing setiap jalan mereka, saling mendukung dan mengingatkan dalam kebenaran. Mungkin itu juga adalah hakikat kita sebagai makhluk sosial yang juga tidak bisa lepas dari peranan satu sama lain, yang jelas semua manusia diciptakan memiliki kekuatan dan kekurangan itu bukan untuk saling beradu fisik, atau paham, bukan untuk saling menjatuhkan, tapi untuk saling melengkapi. Bukankah Negara Indonesia adalah
negara
demokratis?
Negara
Indonesia
bukan
hutan
yang
memberlakukan hukum rimba, mereka yang kuat merekalah yang menang. Namun seiring berjalannya waktu, citra wanita mulai dirusak akibat media western yang sangat gencar mengkampanyekan budaya barat. Wanita mulai berpakaian minim, dan perilaku mereka adakalanya bertentangan dengan adat timur. Seringkali kita jumpai wanita di negara kita yang merokok, wanita yang terciduk aparat keamanan akibat perilaku mereka yang di luar batas norma sebagai seorang wanita, bahkan melihat video yang memamerkan kemolekan tubuh wanita, atau beredar juga majalah yang mengumbar aurat. Lagi-lagi wanita yang dirugikan dan mungkin hal-hal itulah yang membuat wanita dilecehkan, dilemahkan, dan dipandang sebelah mata. Padahal jika kita mau menilik lagi, seperti yang sudah disebutkan di atas, dari golongan islam, Rasullullah bahkan susah payah menjunjung harkat martabat wanita pada masa jahiliyah, atau R.A Kartini yang sampai gugur masih berupaya mencari celah agar kaum wanita dapat merasakan angin kebebasan dan menyuarakan aspirasinya, “kami kaum wanita! Kami bukan kaum lemah!” mungkin kata-kata itu yang masih terngiang di telinga orang-orang yang masih hidup. Janganlah sampai para kaum wanita menjadi budak kapitalisme atau budak dari dirinya sendiri. Tunjukkan
bahwa
kaum
wanita
mampu,
kaum
wanita
sebagai
penggerak/motor dari berbagai pembangunan di negara kita tercinta Indonesia, hindarkan pula sifat-sifat penyimpangan yang membuat kaum wanita dipandang sebelah mata.
Jadi tidak lagi ada pendapat yang merendahkan kaum wanita, tidak ada lagi anggapan bahwa kaum adam yang lebih pantas menjadi pemimpin, tidak ada lagi anggapan yang merasa bahwa kaum adam lebih dipentingkan. Karena segala sesuatunya telah digariskan oleh Allah SWT, semua yang ada di bumi berjalan dalam garis edar masingmasing. Seperti bulan yang setia mendampingi bumi, atau seperti susunan sistem tata surya. Bumi keluar dari orbitnya, maka seluruh sistem tata surya akan hancur. Begitu pula hubungan antara pria dan wanita harus saling menjaga, mengingatkan, dan melengkapi. Wanita membutuhkan pria untuk menjadi imam mereka, panutan mereka, dan sebaliknya pria membutuhkan wanita untuk sebagai pendamping dalam kemaslahatan rumah tangga mereka. Sampai hari ini sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya mereka itu dari kalangan Wanita Karir yang sukses, punya prestasi, punya background pendidikan yang tinggi. Dan mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih “terpasung/ tidak memiliki hak setara dengan laki-laki/perempuan yang tertindas”. Masalah yang terus-menerus tentang emansipasi sebenarnya bukan karena laki-laki menjadikan wanita sebagai objek, melainkan karena perempuan sendiri yang berlaku demikian. Selalu berteriak akan persamaan hak. Dalam parlemen di Indonesia ada sekelompok pejuang
perempuan yang meminta “quota” 30% dalam keanggotaan legislatif, minta daftar nama perempuan di taruh di barisan atas dalam pemilihan. Bahkan iklan tentang ini banyak diekspos di televisi. Ini justru sangat bertentangan dengan perjuangan feminisme. Sebab kalau meminta “quota” artinya kaum perempuan ini yakin tidak mampu bersaing secara normal/fair dengan laki-laki dalam dunia politik, sehingga perlu “quota”. Apabila para aktivis perempuan ini yakin betul bahwa kaum kemampuan
perempuan
sejajar
dengan
laki-laki
mengapa
tidak
bersaing secara fair saja. Iklan tersebut menggambarkan unsur pemaksaan dan mengarah kepada sifat KKN. Sehingga kemudian kita mendapati bahwa iklan tersebut merupakan sebuah ironisme dari perjuangan perempuan yang selama ini digembar-gemborkan. Sebenarnya di Indonesia, kesetaraan gender sudah sangat baik, lihat saja Megawati, beliau seorang perempuan yang menjadi Presiden, sebuah sukses dalam peraihan karir yang paling tinggi di negeri ini. Ada Rini Suwandi seorang professional handal yang menjabat sebagai menteri Perdagangan. Sangat mengherankan bahwa kaum feminis Indonesia tidak merasa terwakili oleh prestasi yang diraih mereka ini. Dilain sisi ada banyak sekali wanita karir di Indonesia yang merangkap menjadi ibu tetapi sukses dalam pekerjaannya. Profil-profil tersebut sudah menggambarkan bahwa perempuan mempunyai andil hebat dalam politik dan perekonomian Negara Indonesia. Di negara Islam pun kita menjumpai banyak perempuan yang memegang kendali politik tertinggi contohnya Benazir Butto pernah menjabat sebagai Perdana Meteri di Pakistan, Shirin Ebadi perempuan
Iran dengan kepribadian luar biasa memenangkan hadiah Nobel 2003. Chandrika
Bandaranaike
Kumaratunga
presiden
Srilanka.
Dua
perempuan pintar di Philipina Cory Aquino & Gloria Arroyo. Di belahan dunia lain juga kita kenal Margareth Tacher, Madeleine Albright, dan Madonna perempuan genius dengan kepribadian yang kontraversial dan sangat sukses. Di masa lalu kita mengenal Evita Peron dan masih banyak lagi. Selamat, kaum perempuan! Bahwa kaum perempuan mampu membuktikan bahwa potensi karir dan intelektual antara perempuan dan laki-laki adalah setara. Lalu apa lagi yang harus diperjuangkan?
Sampai
kapan
kaum
perempuan
berjuang
untuk
kesetaraan gender? Saya rasa jawabannya gampang saja “sampai pada saat mereka tidak teriak-teriak lagi soal kesetaraan gender”. Masalah kesetaraan gender yang gencar didengungkan kaum perempuan itu akan selalu ada jika kaum perempuan tidak pernah merasa bahwa laki-laki adalah “mitra” melainkan sebagai pesaing dan musuh. Tapi ada satu fakta lagi yang cukup menggelikan. Sebagian kaum hawa sering berkata “Ladies First” jika ingin didahulukan untuk melakukan hal yang disukainya. Mereka kedengarannya seperti ingin dimanjakan dan kurang berjuang. Padahal saat ada pekerjaan berat yang dilakukan, mereka-mereka ini selalu menyuruh kaum adam untuk melakukannya
lebih
dahulu.
Apakah
menginginkan kesetaraan gender juga?
tipe
wanita
seperti
ini