MAKALAH AIK 2
“ ETIKA ILMUAN TERHADAP KONSEP AL-QUR’AN”
Kelas Keperawatan c / 2016
Program study ilmu keperawatan Fakultas ilmu kesehatan Universitas muhammadiyah gorontalo 2016/2017
KATA PENGANTAR
ِالر ِحي ِْم ِِ الر ْح َم ِِ ــــــــــــــــــم ِِ بِ ْس َّ ن َّ للا Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Etika Ilmuan Menurut Konsep Al Qur’an”. Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.
Gorontalo,
Mei 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................... i DAFTAR ISI................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................1 1.1 Latar Belakang .........................................................................................................1 1.2 Tujuan ......................................................................................................................1 BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................................2 2.1 Konsep Ilmu Menurut Al Qur’an .............................................................................2 2.2 Koleransi Antara Al-Qur’an Dan Ilmu Pengetahuan ...............................................4 2.3 Etika Dalam Pengembangan Ilmu ...........................................................................5 BAB III PENUTUP .......................................................................................................9 3.1 Kesimpulan ..............................................................................................................9 3.2 Saran ........................................................................................................................9 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................10
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam sejarah kehidupan manusia ilmu telah menjadi aktor utama dalam membangun peradaban manusia sampai akhirnya dapat berbentuk peradaban semegah saat ini. Ilmu telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, kehadiran ilmu telah merubah wajah dunia dari periode kuno sampai periode kontemporer. Alhasil, dengan kemajuan ilmu manusia dapat memberantas penyakit, memakai alat transportasi, membangun sarana irigasi, membangun sarana pemukiman, menikmati kemudahan komunikasi jarah jauh dan lain sebagainya. Islam adalah satu-satunya agama di dunia yang sangat (bahkan paling) empatik dalam mendorong umatnya untuk menuntut ilmu, bahkan Al-Qur’an itu sendiri merupakan sumber ilmu dan sumber insfirasi berbagai disiplin ilmu pengetahuan sains dan teknelogi. Betapa tidak, Al-Qur’an sendiri mengandung banyak konsep-konsep sains, ilmu pengetahuan dan teknelogi serta pujian terhadap orang-orang yang berilmu. Dalam Q.S. Al-Mujadalah 58/11 Allah berfirman, “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Selain Al-Qur’an, Hadits-hadits Nabi juga sangat banyak yang mendorong dan menekankan, bahkan mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Sebgaimana sabda beliau.
) البر عبد ابن رواه( ومسلمة مسلم كل على فريضة العلم طلب “Menuntut ilmu itu suatu kewajiban kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan” Hadits ini memberikan dorongan yang sangat kuat bagi kaum muslimin untuk belajar mencari ilmu sebanyak-banyaknya, baik ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum, karena suatu perintah kewajiban tentunya harus dilaksanakan, dan berdosa hukumnya jika tidak dikerjakan. Lebih lanjut Rasulullah mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu sepanjang hayatnya, tanpa di batasi usia, ruang, waktu dan tempat sebagaimana sabdanya “Tuntutlah ilmu dari buayan sampai liang lahat)”. Dan “Tuntutlah ilmu sekalipun ke negeri Cina”. Dorongan dari al-Qur’an dan perintah dari Rasul tersebut telah diperaktekkan oleh generasi Islam pada masa abad pertengahan (abad ke 7-13 M). Hal ini terbukti dengan banykanya ilmuan-ilmuan Muslim tampil kepentas dunia ilmu pengetahuan, sains dan teknelogi, seperti Al-Farabi, Al-Kindi, Ibnu Sina, Ikhwanusshafa, Ibn Miskwaih, Nasiruddin al-Thusi, Ibn rusyd, Imam al-Ghazali, Al-Biruni, Fakhrudin ar-Razy, Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan lain-lain. 1.2 Tujuan Agar mahasiswa mengetahui bagaimana itu Etika Ilmuan Menurut Konsep Al-Qur’an
BAB II LANDASA TEORI 2.1 Konsep Ilmu Menurut Al-Qur’an 1. Pengertian dan Keutamaan Ilmu Ilmu adalah isim masdar dari ‘alima yang berarti mengetahui, mengenal, merasakan, dan menyakini. Secara istilah, ilmu ialah dihasilkannya gambaran atau bentuk sesuatu dalam akal. Kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alqur’an, dan digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Jadi dalam batasan ini faktor kejelasan merupakan bagian penting dari ilmu. Dari segi maknanya, pengertian ilmu sepanjang terbaca dalam pustaka menunjuk sekurang-kurangnya pada tiga hal, yakni pengetahuan, aktivitas, dan metode. Diantara para filosof dari berbagai aliran terdapat pemahaman umum bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. Jadi, pada umumnya ilmu diartikan sebagai sejenis dengan pengetahuan, akan tetapi tidak semua pengetahuan dapat diartikan sebagai ilmu. Karena mungkin saja pengetahuan tersebut tidak berdasarkan pada metode ilmiah. Para ulama menyimpulkan bahwa menuntut ilmu adalah wajib, sesuai dengan jenis ilmu yang akan dituntut. Inilah hukum dasar menuntut ilmu, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang telah diriwayatkan oleh Anas bin Malik :
مسلم كل على فريضة العلم طلب Artinya: “Menunut ilmu hukumnya wajib bagi orang islam (HR. Ibnu Majjah) Peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sehingga tidaklah sama antara orang yang berpengetahuan dan orang yang tidak berpengetahuan.
ب أُولُو يَتَذَ َّك ُر ِإنَّ َما َيعلَ ُمونَ لَ َوالَّذِينَ يَعلَ ُمونَ الَّذِينَ َيست َ ِوي هَل قُل ِ األَل َبا
Artinya : "Katakanlah :"Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran." (Az-Zumar:9) Allah SWT juga berfirman:
ُ العَ ِز َ ُيز ُه َو إِ َّل إِلَهَ َل بِال ِقس ِط قَائِ ًما ال ِعل ِم َوأُولُو َوال َم ََلئِ َكةُ ُه َو إِ َّل إِلَهَ َل أَنَّهُ للا َش ِهد ال َح ِكي ُم (عمران آل: 18)
Artinya: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (QS. Ali Imran: 18). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa yang menyatakan tiada yang berhak disembah selain Allah adalah dzat Allah sendiri, lalu para malaikat dan para ahli ilmu. Diletakkannya para ahli ilmu pada urutan ke-3 adalah sebuah pengakuan Allah SWT, atas kemualian dan keutamaan para mereka. Dalam ayat lain Allah berfirman:
ُ َّ َّ ُ َِخ ِبير تَع َملونَ ِب َما َوللاُ دَ َر َجات ال ِعل َم أوتُوا َوالذِينَ ِمن ُكم آ َمنُوا الذِينَ للاُ َيرفَع (المجادلة: 11)
Artinya: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mujadilah: 11) Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa derajat para ahli ilmu dan orang mukmin yang lain sejauh 700 derajat. Satu derajat sejauh perjalanan 500 tahun. 2. Pandangan Ulama tentang Pentingnya Ilmu Imam As-Syafi’i mengatakan:
بِال ِعل ِم فَعَلَي ِه اْل ِخ َرة َ أ َ َرادَ َو َمن بِال ِعل ِم فَعَلَي ِه الدُّنيَا أ َ َرادَ َمن Artinya: “Barang siapa menghendaki (kebaikan) dunia, maka hendaknya ia menggunakan ilmu, dan barang siapa menghendaki kebaikan akhirat, maka hendaknya menggunakan ilmu. Ali bin Abi Thalib berkata kepada Kumail:“Wahai Kumail, ilmu itu lebih utama dari pada harta karena ilmu itu menjagamu, sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu adalah hakim, sedang harta adalah yang dihakimi. Harta menjadi berkurang jika dibelanjakan, sedangkan ilmu akan berkembang dengan diajarkan kepada orang lain”. 3. Tujuan Menuntut Ilmu a) Memperbaiki Diri Allah SWT Berfirman : “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. AlAnkabut : 69) Antara tujuan utama kita dalam menuntut ilmu adalah agar dapat memperbaiki diri. Memperbaiki diri bermaksud berusaha bersungguh-sungguh untuk menambah ilmu pengetahuan serta membawa ibadah dan juga taraf kehidupan ke tempat yang lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan menuntut ilmu kita secara tidak langsung bukan saja mendapat petunjuk, malah dipimpin ke jalan yang lurus.
b) Mensyukuri nikmat Allah yang Maha Agung Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu pengetahuan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman; dan mereka berdua bersyukur dengan berkata: "Segala puji tertentu bagi Allah yang dengan limpah karuniaNya memberi kami kelebihan mengatasi kebanyakan hamba-hambaNya yang beriman". (QS. An-Naml : 15) Walaupun ayat berkenaan tentang ilmu yang diberikan kepada Nabi Daud a.s dan Nabi Sulaiman a.s, namun lafaznya umum. Antara nikmat terbesar yang dikurniakan kepada manusia adalah nikmat akal untuk belajar dan memahami ilmu dalam menjalani kehidupan di dunia dan persediaan untuk akhirat. Maka antara tujuan kita dalam usaha menuntut ilmu adalah sebagai tanda syukur atas segala macam nikmatNya. Dengan ilmulah kita mengenal cara melaksanakan ibadah dan kategorinya, dengan ilmu kita mengenal kebaikan dan kejahatan, dan dengan ilmu juga kita mengetahui tentang dunia dan akhirat. Maka wajiblah kita bersyukur atas nikmat yang tak terhingga ini, yaitu nikmat akal dan ilmu pengetahuan. 2.2 Koleransi Antara Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Allah SWT. telah menganugrahkan akal kepada manusia, suatu anugrah yang sangat berharga, yang tidak diberikan kepada makhluk lain, sehingga umat manusia mampu berpikir kritis dan logis. Agama Islam datang dengan sifat kemuliaan sekaligus mengaktifkan kerja akal serta menuntunnya kearah pemikiran Islam yang rahmatan lil’alamin. Artinya bahwa Islam menempatkan akal sebagai perangkat untuk memperkuat basis pengetahuan tentang keislaman seseorang sehingga ia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mampu membuat pilihan yang terbaik bagi dirinya, orang lain, masyarakat, lingkungan, agama dan bangsanya. Membahas hubungan antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat adakah Al qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang di berikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan social. Dalam Al qur’an ditemukan kata-kata “ilmu” dalam berbagai bentuknya yang terulang sebanyak 854 kali. Disamping itu, banyak pula ayat-ayat Al qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan . Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagian nya telah diketahui oleh masyarakat arab ketika itu. Namun apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.
Dalam dalam penafsiran ilmiah terhadap ayat-ayat Al qur’an, membawa kita kepada, paling tidak, tiga hal pula hal yang perlu di garisbawahi, yaitu : 1. Bahasa Disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al qur’an dibutuhkan pengetahuan bahasa arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubngan ayat tadi. 2. Konteks antara kata atau ayat Memahami pengertian suatu kata dalam sdalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata dalam redaksi ayat tadi. 3. Sifat penemuan ilmiah Seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi oleh banyak factor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamannya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al qur’an dapat berbeda-beda. 2.3 Etika Dalam Pengembangan Ilmu Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Karena itu ilmu sebagai masyarakat, karena ilmu didukung dan dikembangkan oleh masyarakat yang mematuhi kaedah-kaedah tertentu. Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia tidak menimbulkan dampak negatif. Berkaitan dengan etika pengembangan ilmu ini, Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah mengemukakan bahwa ada tujuh moralitas ilmu yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuan, yaitu: 1) Rasa tanggung jawab di hadapan Allah Sebab ulama merupakan pewaris para anbiya. Tidak ada pangkat yang lebih tinggi daripada pangkat kenabian dan tidak ada derajat yang ketinggiannya melebihi para pewaris pangkat itu. “Pada hari kiamat nanti, kaki manusia tidak akan bergerak sebelum ditanya kepadanya empat masalah: tentang umurnya untuk apa dipergunakannya, tentang masa mudanya untuk apa dihabiskanya, tentang
hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan untuk apa serta tentang ilmunya, apa yang telah dilakukannya denga ilmunya itu”. Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Ath-Thabrani, dengan isnad shahih dan dengan lapadznya, termaktub dalam Kitab At-Targhib, hadits nomor 1564. Semakin luas penguasaan akan ilmu oleh seorang ulama/ilmuwan, maka semakin berat tanggung jawabnya. 2) Amanat Ilmiah Sifat amanah merupakan kemestian iman termasuk ke dalam moralitas ilmu, tak ada iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah. Dalam memberikan kriteria orang beriman Allah menjelaskan dalam firman-Nya:
(٨) ََوالَّذِينَ ُهم أل َمانَاتِ ِهم َو َعه ِد ِهم َراعُون Artinya: “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Q.S. Al-Mukminun: 8) 3) Tawadhu Salah satu moralitas yang harus dimiliki oleh ilmuan iaah tawadhu. Orang yang benar berilmu tidak akan diperalat oleh ketertipuan dan tidak akan diperbudak oleh perasaan ‘ujub mengagumi diri sendiri, karena dia yakin bahwa ilmu itu adalah laksana lautan yang tidak bertepi yang tidak ada seorang pun yang akan berhasil mencapai pantainya. Maha benar Allah dengan firman-Nya:
(٨٥) الرو ُح ِمن أَم ِر َربِِّي َو َما أُو ِتيتُم ِمنَ ال ِعل ِم ِإل قَ ِليَل ُّ الروحِ قُ ِل ُّ ع ِن َ َو َيسأَلُون ََك Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. Al-Isra: 85) 4) Izzah Perasaan mulia yang merupakan fadhillah paling spesifik bagi kaum muslimin secara umum. Allah berfirman:
سو ِل ِه ُ ع ُّز ِمن َها األذَ َّل َو ِ ََّلِلِ ال ِع َّزة ُ َو ِل َر َ َيقُولُونَ لَئِن َر َجعنَا ِإلَى ال َمدِينَ ِة لَيُخ ِر َج َّن األ َ( َو ِلل ُمؤ ِمنِينَ َولَ ِك َّن ال ُمنَافِ ِقينَ ل يَعلَ ُمون٨) Artinya: “Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya."
Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (Q.S. Al-Munafiqun: 8) 5) Mengutamakan Ilmu Salah satu moralitas yang orisinil dalam Islam adalah menerapkan ilmu dalam pengertian bahwa ada keterkaitan antara ilmu dan iradah. Kehancuran kebanyakan manusia adalah karena mereka berilmu, tetapi tidak mengamalkan ilmu itu atau mengamalkan sesuatu yang ertolak belakang dengan apa yang mereka ketahui, seperti dokter yang mengetahui bahayanya suatu makanan atau minuman bagi dirinya tetapi tetap juga dia menikmatinya karena mengikuti hawa nafsu atau tradisi. Seorang moralis yang memandang sesuatu perbuatan tetapi dia sendiri ikut melakukannya dan bergelimang dengan kehinaan itu. Jenis ilmu yang hanya teoritis seperti ini tidak diridhai dalam Islam. Menggambarkan hal ini Rasulullah bersabda: “Dunia ini diperuntukkan bagi empat kelompok orang, yaitu: Seorang hamba yang diberi rezeki oleh Allah berupa harta dan ilmu yang dengan rezeki itu dia bertaqwa kepada Allah, menyambung silaturrahmi dan mengetahui bahwa disitu Allah mempunyai hak. Orang ini menempati posisi peringkat teratas. Seorang hamba yang diberi rezeki berupa ilmu, tetapi tidak diberi harta. Dia mempunyai niat yang benar dan berkata: “kalau aku diberi harta aku akan mengamalkan perbuatan si Fulan. Dengan niatnya itu dia mendapat pahala yang sama dengan yang pertama. Seorang
haba
yang
diberiharta
tetapi
tidak
diberi
ilmu.
Dia
membelanjakan hartanya secara sembarangan dan tidk takut akan Tuhanya, tidak menyambung silaturrahmi dan tidak megetahui bahwa pada hartanya itu ada hak Allah. Orang seperti ini menempati posisi peringkat yang paling hina. Seorang hamba yang tidak diberi harta dan juga tidak diberi ilmu oleh Allah tetapi dia berkata: “Sekiranya aku diberi harta aku akan mengerjakan pekerjaan si Fulan. Dengan niatnya ini dia mendapatkan
pahala yang sama dengan si Fulan.” (Hadits Riwayat Ahmad dan AtTirmidzi, At-Targhib hadits nomor 20)
6) Menyebarkan ilmu Menyebarkan ilmu adalah moralitas yag harus dimiliki oleh para ilmuwan/ulama, mereka berkewajiban agar ilmu tersebar dan bermanfaat bagi masyarakat. Ilmu yang disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan, sama halnya dengan harta yang ditimbun. Ketika Haji Wada’ diakhir khutbah Rasulullah SAW berpesan: “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.” (Hadits Muttafaq ‘Alaihi). Abu Hurairah meriwayatkan dari Rasulullah SAW: “Barangsiapa yang ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya, lalu dia menyembunyikannya, ada hari kiamat dia dibelenggu dengan belenggu dari apai neraka.” (Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Hibban, Ibnu Majah, AtTirmidzi, Al-Naihaqi dan Al-Hakim) 7) Hak Cipta dan Penerbit Mengenai hak cipta dan penerbit digambarkan bahwa kehidupan para ilmuan tidak semudah kehidupan orang lain pada umumnya, karena menuntut kesungguhan yang khusus mlebihi orang lan, seorang ilmuwan pengarang memerlukan perpustakaan yang kaya dengan referensi penting dan juga memerlukan pembantu yang menolongnya untuk menukil, mengkliping dan sebaginya dan memerlukan pula orang yang mendapat menopang khidupa keluarganya. Tanpa semua itu tidak mungkin seorang pengarang akan menghasilkan suatu karya ilmiah yang berbobot. Di samping itu, jika suatu karya ilmiah telah diterbitkan kadang-kadang pengarang masih memerlukan lagi untuk mengadakan koreksi dan perbaikan-perbaikan, semua ini memerlukan tenaga dan biaya. Oleh karena itu, jika dia sebagai pemilik suatu karya ilmiah maka dialah yang berhak mendapatkan sesuatu berkenan dengan karya ilmiahnya. Tetapi perlu diingat dan dipertegas satu hal, bahwa jangan sampai penerbit dan pengarang mengeksploitasi para pembaca dengan menaikkan harga buku-buku dengan harga yang tidak seimbang dengan daya beli pembaca atau pendapatan yang diperoleh pembaca. Jika terjadi yang demikian maka hal itu tidak dibenarkan oleh syara’.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Dari pembahasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa hakikat ilmu pengetahuan dalam Al qur’an adalah rangkaian aktivitas manusia dengan prosedur ilmiah baik melalui pengamatan, penalaran maupun intuisi sehingga menghasilkan pengetahuan yang sistematis mengenai alam seisinya serta mengandung nilai-nilai logika, etika, estetika, hikmah, rahmah, dan hidayah bagi kehidupan manusia. Ilmu adalah sesuatu yang mulia yang wajib dicari oleh setiap manusia. Disamping itu manusia memliki naluri yang selalu haus akan ilmu pengetahuan. Dua keinginan yang tidak akan pernah puas, yaitu keinginan menuntut ilmu dan keinginan menuntut harta. Persoalan yang mendasar dalam etika keilmuan adalah bahwa penerapan ilmu pengetahuan selalu memerlukan pertimbangan dari segi etis yang berpengaruh pada pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Sehingga dalam pengembangannya para ilmuwan harus memperhatikan dan menjaga martabat manusia dan kelestarian lingkungan. juga diperlukan, kedewasaan yang sesungguhnya dari manusia untuk menentukan mana yang baik dan buruk bagi kehidupannya.
3.2 Saran Diharapkan setelah memperlajari materi, mahasiswa dapat menerapkan hal-hal yang sudah dibahas pada makalah ini dalam kehidupan sehari-hari. Dan diharapkan agar mahasiswa selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an, karena seperti di jelaskan sebelumnya bahwa Al-Qur’an merupakan sumber dari segala macam Ilmu Pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA http://harunnoorrosyid.blogspot.co.id/2012/08/etika-dalam-pengembangan-ilmu.html https://abdwahidhoriz.wordpress.com/2012/05/02/aksiologi-dalam-perspektif-islam-dan-umum2/ https://alqurandanterjemahan.wordpress.com/2010/08/24/surah-al-anbiya-dan-terjemahan/ http://www.kumpulanmakalah.com/2015/11/pertimbangan-etika-agama-dalam-aplikasi.html http://www.islamicstudies.info/tafheem.php?sura=21&verse=30