9 - Jurnal Vbl Pipin.docx

  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 9 - Jurnal Vbl Pipin.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,621
  • Pages: 12
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN VIDEO BASED LABORATORY PADA PEMBELAJARAN KONSEPTUAL INTERAKTIF DALAM MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DAN KETERAMPILAN BERPIKIR LOGIS PIPIN DANA PELITA Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas penggunaan video based laboratory (VBL) pada pembelajaran konseptual interaktif dalam meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir logis siswa. Subjek penelitian adalah siswa kelas X pada salah satu SMA Negeri di Kabupaten Sumedang. Metode penelitian yang digunakan berupa quasi experiment dengan randomized control group pretest-posttest design. Kelas eksperimen memperoleh perlakuan pembelajaran konseptual interaktif dengan menggunakan VBL, sedangkan kelas kontrol memperoleh perlakuan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL. Dari hasil perhitungan rata-rata N-gain yang dinormalisasi, diperoleh N-gain pemahaman konsep untuk kelas eksperimen 0,69 dan kelas kontrol 0,58; dan N-gain keterampilan berpikir logis untuk kelas eksperimen 0,67 dan kelas kontrol 0,40. Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata N-gain kelas eksperimen dan kelas kontrol, didapatkan bahwa penggunaan VBL pada pembelajaran konseptual interaktif, secara signifikan lebih efektif dalam meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir logis siswa, dibandingkan dengan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL. Berdasarkan angket, hampir seluruh siswa menyatakan bahwa analisis gerak dengan VBL sangat membantu dalam memperbaiki cara berpikir mereka, sehingga lebih mudah dalam memahami konsep gerak, dan memahami keterkaitan antar konsep yang dinyatakan dalam grafik.

PENDAHULUAN Fisika merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan Alam yang mempelajari gejala dan fenomena alam, serta berusaha untuk mengungkap segala rahasia dan hukum semesta, yang meliputi karakter, gejala dan peristiwa yang dikandungnya. Hal tersebut dibangun melalui sikap ilmiah, proses ilmiah dan produk ilmiah. Sikap ilmiah, seperti peka terhadap lingkungan, rasa ingin tahu, obyektif dan tidak skeptis, mendorong seseorang untuk menemukan persoalan dari suatu obyek atau gejala alam yang ditemuinya. Persoalan ini kemudian menjadi dasar untuk melakukan proses ilmiah, yang terdiri atas proses pengamatan empiris dan penalaran logis. Pengamatan empiris merupakan kegiatan penginderaan atau kegiatan yang menggunakan panca indera untuk menangkap informasi yang terkandung pada obyek atau gejala alam. Informasi-informasi yang diperoleh dari aktivitas pengamatan empiris, kemudian mendasari kegiatan penalaran logis, yaitu berupa aktivitas menggunakan pikiran untuk mengolah dan mengartikan informasi-informasi tersebut sehingga menjadi suatu bentuk produk keilmuan, berupa konsep, prinsip, teori atau hukum. Sehingga keterampilan berpikir sebagai bentuk aktivitas penalaran logis, mutlak perlu diajarkan dan menjadi satu konsekuensi logis dalam pembelajaran fisika.

- 81 -

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

Dalam kegiatan penginderaan, untuk memperoleh data sebenarnya terkait gejala alam, misalnya menyangkut posisi dan waktu gerak benda pada tiap saat, sebagai bahan dalam menganalisis gerak benda sangatlah sulit. Kesulitan mencacah gerak benda tersebut, dikarenakan fenomenanya berjalan dengan cepat, sehingga dengan peralatan manual tidak diperoleh ketelitian yang baik. Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, kesulitan untuk mencacah gerak genda tersebut akhirnya dapat teratasi dengan adanya media pembelajaran untuk pemahaman konsep gerak serta pemahaman grafik yang sekarang populer, yaitu tracker, yang dapat diperoleh secara gratis di alamat www.opensourcephysics.org. Tracker merupakan software yang mampu menganalisis video gerak benda, sehingga dihasilkan rekaman runutan lintasan gerak benda, yang diambil pada setiap waktu dan posisi. Rekaman video diambil dari kondiri riil gerak benda, untuk kemudian diolah menggunakan tracker sehingga kemudian diistilahkan juga sebagai VBL (VBL). Dari hasil analisis diperoleh data gerak benda yang disajikan dalam bentuk table, grafik termasuk bisa terungkap secara langsung persamaan gerak benda tersebut. Menurut Beichner (1999: 101), VBL merupakan alat yang ampuh untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dari salah satu topik yang paling sulit dan penting dalam fisika yaitu gerak, selain itu dapat membantu memperjelas dan membantu mahasiswa mengatasi kesulitan memahami grafik dan memahami pemahaman konsep. Agar dalam pembelajaran benar-benar menggali keterampilan berpikir siswa sehingga bisa memahami konsep-konsep yang terkait, maka harus diciptakan kondisi pembelajaran yang efektif, diantaranya dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yang tepat. Menurut Savinaine dan Scott (2001: 53), salah satu pendekatan pembelajaran yang didesain dengan terfokus pada penanaman konsep adalah pendekatan pembelajaran konseptual interaktif. Sedikit berbeda dengan pendapat di atas, pembelajaran konseptual interaktif yang dikembangkan dalam penelitian ini sesuai dengan Suhandi, dkk. (2008: 36), yaitu memiliki ciri: menekankan pada penanaman konsep terlebih dahulu di awal proses pembelajaran, selalu ada pemantauan tingkat pemahaman konsep dalam proses pembelajaran, menggunakan demonstrasi, sistem kolaborasi dalam kelompok kecil dan mengutamakan interaksi kelas (diskusi). Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran tentang peningkatan pemahaman konsep, pemahaman grafik dan peningkatan keterampilan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif dengan menggunakan VBL dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL, serta mendapatkan gambaran tentang tanggapan siswa terhadap penggunaan VBL. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuasi eksperimen, dengan disain berupa “Control Group Pretest-Posttest Design”, (Syaodih, 2007: 204), . Populasi penelitian adalah siswa kelas X pada salah satu SMA Negeri di Sumedang, yang terdiri dari 8 kelas. Sampel penelitian dipilih satu kelas untuk kelompok eksperimen dan satu kelas kontrol. 82

Pipin Dana Pelita

Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. I. No.1, 1 Juni 2013

Instrumen penelitian berupa tes, ALPS, angket dan lembar observasi kegiatan pembelajaran. Soal pemahaman konsep dalam bentuk pilihan ganda yang meliputi pemahaman translasi, interpretasi dan ekstrapolasi. Soal keterampilan berpikir logis, digunakan ToLT (Test of Logical Thinking) yang dikembangkan Tobin & Capie (1980). Butir soal ToLT tersebut kemudian diadaptasi ke Bahasa Indonesia. ALPS kit digunakan sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar, baik sebagai media penanaman konsep maupun sebagai alat untuk memonitor pencapaian hasil belajar, terutama yang berkaitan dengan penanaman konsep. Soal-soal dalam ALPS juga berfungsi sebagai tugas kelompok untuk bahan diskusi. Angket digunakan untuk memperoleh data mengenai tanggapan mereka terkait pembelajaran konsep interaktif dengan menggunakan VBL. Pedoman observasi digunakan untuk mengungkap aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran. Untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep dan keterampilan berpikir logis, yang diperoleh melalui pretest dan postest dihitung dengan rumus N-gain yang dikembangkan oleh Hake (1998: 65).

g  g% 

 S post    S pre  Smaks   S pre 

diadaptasi menjadi

 % S post    % S pre  100  % S pre 

Agar memudahkan, kemudian dibuatkan kategorisasi sebagai berikut: untuk g % ≥ 70% termasuk kategori tinggi, 30% ≤ g % < 70% termasuk kategori sedang, dan

g % < 30% termasuk kategori rendah.

Untuk mengetahui keterlaksanaan pembelajaran konseptual interaktif, digunakan lembar observasi kegiatan guru dan siswa. Aktivitas guru yang sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, dan aktivitas siswa yang sesuai dengan harapan (sebagai respon aktivitas guru) kemudian dihitung, dan ditabulasi lalu dibuat persentasenya. Angket digunakan untuk mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran konseptual interaktif menggunakan VBL. Pernyataan-pernyataan disusun berupa pernyataan tertutup tentang tanggapan siswa. Model skala sikap yang digunakan adalah model skala sikap (Likert) dengan empat pilihan jawaban, seperti dikemukakan oleh Arikunto (2008: 76), yaitu SS (Sangat Setuju), S (Setuju), TS (Tidak Setuju) dan STS (Sangat Tidak Setuju). Skala sikap siswa pada tiap butir pernyataan, dihitung, ditabulasi kemudian dibuat persentase. Untuk menghitung persentase hasil angket respon siswa tersebut menggunakan persamaan: % 𝑨𝒍𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒇 𝑱𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏 = ∑ 𝑨𝒍𝒕𝒆𝒓𝒏𝒂𝒕𝒊𝒇 𝑱𝒂𝒘𝒂𝒃𝒂𝒏 𝒙 𝟏𝟎𝟎% Untuk memudahkan dalam menginterpretasi tanggapan 𝑱𝒖𝒎𝒍𝒂𝒉 𝑺𝒂𝒎𝒑𝒆𝒍

tersebut, kemudian dibuat kategorisasi dan deskripsi sebagai berikut: 100% dideskripsikan sebagai seluruh responden; 75%≤J<100% dideskripsikan sebagai hampir seluruh responden; 50%<J<75% dideskripsikan sebagai sebagian besar responden; 50% dideskripsikan sebagaisetengah dari jumlah responden; 25%≤J<50% dideskripsikan sebagai hampir setengahnya dari jumlah responden; 0%<J<25% dideskripsikan sebagai sebagian kecil dari jumlah responden; 0% dideskripsikan sebagai tidak seorang pun dari responden. Pipin Dana Pelita

83

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

Rata-rata N-gain (%)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil observasi kegiatan guru diperoleh informasi bahwa keterlaksanaan kegiatan pembelajaran rata-rata mencapai 93%, pada pertemuan I, II dan III, berturutturut mencapai 93%, 92% dan 93%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Dari hasil observasi kegiatan siswa diperoleh informasi mengenai aktivitas siswa yang sejalan dengan yang diharapkan, rata-rata mencapai 82%, pada pertemuan I, II dan pertemuan III, berturutturut 85%, 80% dan 82%. Dengan demikian terlihat bahwa aktivitas konstruktif yang dilakukan siswa selama pembelajaran pada ketiga pertemuan tersebut sangat baik dan menunjukkan pembelajaran yang berhasil. Dari hasil pemeriksaan terhadap ALPS, diperoleh informasi mengenai pemahaman konsep dan pemahaman grafik siswa sejalan dengan yang diharapkan. Rata-rata penyelesaian ALPS yang dilakukan oleh siswa pada kelas eksperimen mencapai 86% sedangkan pada kelas kontrol mencapai 61%. Pada pertemuan I, II dan III untuk kelas eksperimen mencapai 78%, 88% dan 94%, sedangkan pada kelas kontrol mencapai 44%, 65% dan 75%. Peningkatan rata-rata N-gain pemahaman konsep untuk kelas eksperimen sebesar 69,8% (berkategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 58,4% (berkategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek tranlasi untuk kelas eksperimen sebesar 75,4% (berkategori tinggi) dan kelas kontrol sebesar 65,4% (berkategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek interpretasi untuk kelas eksperimen sebesar 56,1% (berkategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 44,9% (berkategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain untuk aspek ekstrapolasi untuk kelas eksperimen sebesar 65,7% (berkategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 51,9% (berkategori sedang). Untuk mengetahui perolehan rata-rata N-gain pemahaman konsep secara umum dan pada tiap aspeknya, dapat dilihat seperti pada Gambar 1. 80

58.4

69.8

75.9 65.4

65.7 56.1

60

44.9

51.9 kontrol

40

eksperimen

20 0 Paham konsep

Translasi

Interpretasi

Ekstrapolasi

Gambar 1. Persentase rata-rata N-gain pemahaman konsep Berdasarkan hasil uji perbedaan rata-rata N-gain diperoleh bahwa peningkatan pemahaman konsep siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif menggunakan VBL, secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan pemahaman konsep siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL.

84

Pipin Dana Pelita

Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. I. No.1, 1 Juni 2013

Peningkatan rata-rata N-gain keterampilan berpikir logis untuk kelas eksperimen sebesar 67,2% (kategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 41,1% (kategori sedang). Perolehan rata-rata N-Gain keterampilan berpikir logis secara umum dan pada tiap aspeknya, dapat dilihat seperti pada Gambar 2.

81.3

90

71.6

Rata-rata N-gain (%)

80 70

67.2

50

60.9

56.6

60 41.1

45.2

68.6

43.2

38.9

36.4

40 30

kontrol eksperimen

20.2

20 10 0 Berpikir logis

P1

P2

P3

P4

P5

Gambar 2. Persentase rata-rata N-gain keterampilan berpikir logis Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek penalaran proporsional (P1) untuk kelas eksperimen sebesar 56,6% (kategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 45,2% (kategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek pengontrolan variabel (P2) untuk kelas eksperimen sebesar 81,3% (kategori tinggi) dan kelas kontrol sebesar 38,9% (kategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek penalaran probabilitas (P3) untuk kelas eksperimen sebesar 60,9% (kategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 20,2% (kategori rendah). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek penalaran korelasional (P4) untuk kelas eksperimen sebesar 43,2% (kategori sedang) dan kelas kontrol sebesar 36,4% (kategori sedang). Peningkatan rata-rata N-gain pada aspek penalaran kombinatorial (P5) untuk kelas eksperimen sebesar 71,6% (kategori tinggi) dan kelas kontrol sebesar 68,6% (kategori sedang). Dari hasil perhitungan perbedaan rata-rata N-Gain, dengan menggunakan uji t diperoleh bahwa peningkatan keterampilan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif menggunakan VBL, lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan peningkatan keterampilan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL. Berdasarkan tanggapan siswa yang diperoleh melalui angket, diperoleh informasi sebagai berikut: (1) hampir seluruh responden (95%) menyatakan bahwa VBL memperjelas fenomena gerak, sehingga memperbaiki cara berpikir, dan menumbuhkan pemahaman konsep dalam kegiatan pembelajaran; (2) hampir seluruh responden (85%) merasa lebih difasilitasi dalam pembelajaran menggunakan VBL, karena mudah dalam menganalisis gerak benda yang terjadi sehingga memudahkan dalam memahami konsep-konsep gerak benda, serta bisa secara langsung mengetahui persamaan terkait gerak benda tersebut; (3) hampir seluruh responden (98%) merasa lebih difasilitasi dalam pembelajaran menggunakan VBL, karena memudahkan dalam Pipin Dana Pelita

85

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

mengamati gerak benda yang fenomenanya berjalan dengan cepat, mengetahui cara memperoleh data secara akurat, cara menyajikan data posisi dan waktunya dari gerak benda, menampilkannya dalam bentuk tabel serta bentuk grafik; (4) hampir seluruh responden (91%) merasa senang menggunakan VBL, karena memudahkan dalam memahami fenomena gerak sehingga sangat membantu dalam pembelajaran, tidak perlu pengetahuan komputer yang tinggi, dan tidak membosankan. Penggunaan VBL pada pembelajaran, didahului dengan melakukan analisis konsep pada materi kinematika gerak lurus. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyusunan alur pembelajaran bagi pencapaian pemahaman konsep dan grafik kinematika gerak lurus. Penggunaan VBL pada pembelajaran konseptual interaktif yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model tutorial yang bertujuan untuk memberikan pemahaman secara tuntas (mastery learning) kepada siswa mengenai materi pelajaran yang dipelajari. Dengan pengambilan video gerak benda, siswa berupaya untuk mendemonstrasikan peristiwa atau proses terjadinya gerak benda tersebut yang kemudian direkam kamera untuk disimpan, di-edit atau dipergunakan sesuai keperluan. Melalui VBL siswa dihadapkan untuk mampu menganalisis fenomena fisis berupa gerak benda yang terjadi. VBL dilengkapi dengan analisis posisi yang interaktif membantu siswa dalam memahami konsep-konsep kinematika gerak lurus kejadiannya yang berjalan sangat cepat, bila dilihat dengan mata secara langsung. Model ini juga memungkinkan siswa untuk belajar mandiri karena VBL yang digunakan dapat dipelajari sendiri di rumah oleh siswa. Penggunaan VBL pada pembelajaran kinematika gerak lurus ini, juga dapat memberikan kesempatan siswa secara aktif untuk menemukan sendiri konsep-konsep yang disajikan baik berupa gambar, maupun berupa data. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Ausubel (Dahar, 1989) bahwa: konsep diperoleh dengan dua cara yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi konsep erat kaitannya dengan perolehan ilmu melalui proses induktif. Dalam proses induktif siswa dilibatkan belajar penemuan. Melalui belajar penemuan, peserta didik akan merasakan suatu yang dipelajarinya akan bertahan lebih lama dibandingkan dengan cara belajar klasik (hafalan). Sementara perolehan konsep melalui asimilasi, erat kaitannya dengan proses deduktif. Dalam proses ini peserta didik memperoleh konsep dengan cara menghubungkan atribut konsep yang sudah dikenalnya dengan gagasan yang relevan yang sudah dalam struktur kognitifnya. Selain itu, dengan adanya beberapa konsep serta keterkaitannya para siswa bisa berupaya untuk memahami keterkaitan antar konsep tersebut, dengan menganalisisnya dan memvisualisasikan baik berupa tabel, grafik, maupun dinyatakan dalam persamaan matematis. VBL mampu mengadaptasi peralatan yang tadinya sulit diperoleh untuk mengukur fenomenanya, berharga mahal, mudah pecah, membahayakan dan aspek ekonomis lainnya serta menyuguhkannya dengan menarik pada siswa sehingga mereka belajar dalam lingkungan yang menyenangkan. Selain itu, visualisasi yang disajikan memungkinkan siswa melakukan navigasi, berinteraksi, berkreasi dan berkomunikasi dengan menghubungkan panca indera mereka dengan antusias sehingga informasi yang masuk ke bank memorinya lebih tahan lama dan mudah untuk dipanggil pada saat informasi tersebut digunakan. Pemrosesan informasi dalam pembentukan konsep 86

Pipin Dana Pelita

Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. I. No.1, 1 Juni 2013

tersebut akan mudah dipanggil apabila tersimpan dalam memori jangka panjang terutama dalam bentuk gambar (Matlin, 1994:209). Keunggulan pembelajaran menggunakan VBL diantaranya berupa: (1) pembelajaran berpusat pada siswa; (2) aktivitas siswa dapat terkontrol; (3) siswa mendapat fasilitas untuk mengulang jika diperlukan, dalam pengulangan tersebut siswa bebas mengembangkan kreativitasnya; (4) tercipta iklim belajar yang efektif bagi siswa yang lambat (slow learner), tetapi juga dapat memacu efektivitas belajar bagi siswa yang lebih cepat (fast learner); (5) siswa memegang secara langsung terhadap benda atau alat ukur yang sebenarnya, sehingga terdapat beberapa kemampuan motorik yang terasah dengan sempurna, yang pada akhirnya membentuk kompetensi yang lebih baik, matang dan mapan dalam diri siswa; (6) evalusi yang dibuat melalui ALPS kit dapat lebih memotivasi siswa dalam menjawab setiap soal yang diberikan, karena relatif langsung terkait dengan gejala-gejala yang diamati; (6) siswa dapat menggali informasi lain terkait perubahan-perubahan variabel tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya maupun bagi lingkungan; (7) harganya cukup ekonomis, dapat dapat dipakai berulang-ulang tanpa mengurangi kualitas peralatan tersebut, sehingga tidak perlu kalibrasi, ruang penyimpanan, terkena kotor, karat dan lain-lain. Kelemahan dari pembelajaran dengan menggunakan VBL pada topik kinematika gerak lurus, diantaranya berupa: (1) diperlukan waktu khusus sebelum pembelajaran untuk melatih siswa dalam menyiapkan dan menggunakan peralatan berupa kamera, alat ukur panjang serta mengatur gerak benda agar sesuai dengan yang diharapkan; (2) diperlukan waktu khusus sebelum pembelajaran untuk melatih siswa dalam menyiapkan file-file yang dipergunakan dalam menganalisis, berupa file pendukung berupa software Java, video converter, tracker serta cara mengunakan trackernya; (3) ketika menganalisis gerak benda, ketepatan penentuan posisi benda sangat berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh, bilamana mengerjakan analisis tersebut terburu-buru, bisa menyebabkan hasil analisis yang diperoleh menjadi kung tepat; (4) ukuran benda terlalu besar atau terlalu kecil dapat menyulitkan ketika menganalisis posisi, selain itu kurang kontrasnya warna benda terhadap backround yang digunakan juga bisa mempengaruhi ketelitian ketika menganalisis; (5) beberapa siswa belum terbiasa belajar mandiri dan masih tergantung dengan apa yang diberikan oleh guru; (6) ketersediaan kamera digital di sekolah masih kurang memadai; (7) ketersediaan komputer di sekolah terkadang berbarengan dengan kegiatan mata pelajaran lain, yaitu teknologi informasi dan komunkasi; (8) terdapat tipe kamera digital yang terkadang kurang/tidak kompatibel dengan system operasi yang digunakan, sehingga hasil rekamannya tidak dapat dikonvert ke dalam bentuk mov dan tidak dapat dianalisis menggunakan tracker; (9) penyimpanan data-data tracker oleh siswa pada komputer sekolah, terkadang terkena infeksi virus yang menyebabkan beberapa file yang digunakan menjadi tidak terbaca bahkan rusak. Adanya peningkatan pemahaman konsep dan grafik tersebut merupakan implikasi dari pembelajaran menggunakan VBL yang memberikan motivasi yang lebih tinggi terhadap siswa, karena biasanya komputer selalu dikaitkan dengan kesenangan, permainan, kreativitas dan mandiri. Selain itu, ketika dalam pengambilan gambar gerak benda, siswa dengan senang hati menjadi model yang terpotret. Hal tersebut baik secara langsung membangkitkan minat siswa untuk memulai mempersiapkan file-file gerak benda yang akan dianalisis. Peningkatan pemahaman konsep tersebut, Pipin Dana Pelita

87

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

dimungkinkan terjadi mulai dari penyiapan peralatan yang digunakan untuk melakukan demonstrasi gerak benda, ketika pengambilan gambar, ketika menganalisis posisi dan waktu gerak benda, memperoleh data berupa tabel, memperoleh grafik dan melihat persamaan yang disajikan oleh software tracker. Menurut Beichner (1999:101), ketika penyiapan peralatan untuk melakukan demonstrasi, sebenarnya siswa mulai menghubungkan adanya konsep waktu, konsep jarak, perpindahan, konsep kecepatan dan penambahan atau pengurangan kecepatan. Mereka menyiapkan standar ukuran yang akan digunakan sebagai skala besaran panjang, yang nantinya dapat dijadikan sebagai satuan dasar bagi besaran panjang pada benda yang akan dianalisis. Dengan adanya hal tersebut, mereka sudah meyakini bahwa untuk mengukur panjang digunakan standar tersebut, sehingga satuanya dapat dikalibrasi sesuai dengan ukuran sesungguhnya. Berikutnya terkait dengan alat untuk mengukur besaran waktu, mereka tidak mengukur secara langsung, tetapi mereka menggunakan standar banyak frame yang akan dianalisis, dimana dalam satu detik terdapat sejumlah frame yang kemudian dapat dijadikan sebagai patokan waktu. Dengan demonstrasi tersebut, mereka juga mengetahui persis perlunya standar yang digunakan sebagai acuan gerak benda, misalnya dimulai dari ujung rel kiri (sebagai titik acuan) sampai dengan ujung rel sebelah kanan. Berikutnya ketika melakukan analisis posisi dengan menggunakan tracker, para siswa melihat adanya jarak yang dilewati benda dalam tempo yang sama, dimana untuk benda yang kelajuannya bertambah mereka melihat bahwa jarak yang dialami benda lebih jauh dari sebelumnya, dan untuk benda yang mengalami pengurangan kelajuan, mereka melihat bahwa jarak yang ditempuh benda lebih pendek. Dari hasil analisis tersebut mereka menyadari bahwa terdapat perubahan kecepatan pada gerak benda yang kemudian dapat menghubungkannya dengan konsep percepatan, dan lebih lanjutnya mencocokkannya dengan karakteristik gerak lurus berubah beraturan. Sedangkan pada benda yang melakukan gerak lurus beraturan, siswa mendapatkan bahwa untuk tiap selang waktu tertentu, jarak yang ditempuh benda selalu sama dalam setiap saat, sehingga mereka dapat berkesimpulan bahwa jarak yang ditempuh benda dalam tiap saat besarnya sama, dan kemudian menyadari bahwa gerak tersebut kemudian diistilahkan dengan gerak lurus beraturan. Sewaktu siswa menganalisis dengan menggunakan tracker, sebenarnya siswa mentranslasi posisi dan waktu gerak benda menggunakan tracker, dimana hasil dari translasi tersebut, kemudian divisualisasikan dalam bentuk data tabel ataupun data grafik. Kesempatan untuk melakukan translasi gerak dengan menggunakan tracker tersebut berlangsung terus selama siswa menganalisis gak benda. Banyaknya frekuensi menganalisis tersebut, dimungkinkan menjadi penyebab siswa lebih paham dengan aspek translasi dibandingkan dengan aspek pemahaman lainnya. Untuk aspek interpretasi mereka sebenarnya melihat, baik ketika melakkukan demonstrasi maupun ketika melakukan analisis, dimana mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri, bahwa benda melaju lebih cepat atau lebih lambat dibandingkan dengan sebelumnya. Selain itu, mereka juga bisa memprediksi, kapan benda akan diam atau aan melaju dengan lebih cepat/lebih lambat. Hal tersebut, jelas merupakan saran yang sangat menunjang kepada siswa sehingga bisa mengekstrapolasi gerak benda tersebut.

88

Pipin Dana Pelita

Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. I. No.1, 1 Juni 2013

Dari hasil analisis dengan menggunakan tracker, siswa mendapatkan data dalam bentuk tabel dan data dalam bentuk grafik. Siswa menyadari bahwa gerak yang mereka amati menghasilkan data seperti yang disajikan pada tabel ataupun dalam grafik. Dengan melihat grafik dan mengingat kembali kapan benda mulai bergerak, kapan diam, dan kapan dipercepat/diperlambat, ingatan mereka tergugah sehingga memunculkan kesan pada diri siswa, misalnya: mulai dari titik A sampai dengan titik B, benda benda bergerak, namun gerakannya semakin cepat. Mereka melihat hal tersebut dengan meningkatnya besaran jarak untuk selang waktu yang sama. Dan mereka juga menjadi memahami, bahwa pada grafik s=f(t) untuk sebuah benda yang menghasilan garis mendatar dapat disimpulkan bahwa benda tersebut tidak melakukan gerak lurus (diam), dan sebaliknya untuk garis yang miring ke kiri atau miring ke kanan mereka berkesimpulan bahwa benda tersebut bergerak menjauhi atau mendekati titik acuan. Adanya peningkatan keterampilan berpikir logis yang lebih tinggi pada siswa kelas eksperimen dapat kita sadari sesuai dengan pendapat Poespoprodjo (Roslina, 1997:28) yang mengemukakan bahwa berpikir merupakan kegiatan akal untuk mengolah pengtahuan yang telah diterima melalui panca indera dan ditujukan untuk mencapai suatu kebenaran. Sewaktu melakukan demonstrasi serta menganalisis gerak benda, siswa sebenarnya sedang menambah pengalaman dengan berpikir secara sistematis dalam upaya penyusunan jalan pikiran yang terarah, berdasarkan kaidahkaidah pembenaran secara objektif, untuk mencari hakikat pengertian dari objek yang dipelajari. Hal tersebut sejalan dengan Brotosiswoyo (Roslina, 1997:28) yang mengungkapkan bahwa dalam melakukan inferensi logika, siswa sebenarnya mempertanyakan apa saja konsekuensi logis yang dapat ditarik berdasaran gejalagejala yang teramati. Konsekuensi logis yang muncul tersebut harus dapat dierjemahkan kembali dalam bentuk ungkapan-ungkapan rill sebagai gejala atau perilaku alam baru yang dapat teramati dan terukur. Jika hasil pengamatan gejala atau perilaku tersebut benar, maka bertambahlah khasana siswa tentang gejala dan perilaku alam yang dapat dirangkum dalam pemahamannya. Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan VBL memberikan pengalaman yang berguna bagi siswa dalam mengembangkan kemahiran berpikir, mengarah pada pola pikir yang biasa dilakukan ilmuwan. Pola pikir tersebut yaitu ketika menghadapi suatu gejala alam yang mengusik rasa ingin tahunya, dia akan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala tersebut. Setiap pertanyaan dibuat dugaan jawaban atau penjelasannya. Dan selanjutnya memikirkan bagaimana menguji setiap jawaban tersebut dengan merancang percobaan, dan memprediksi gejala yang akan terjadi jika rancangan tersebut direalisasikan. Berkenaan dengan proses berpikir, Piaget (Setyabudhi, 1991: 37) mengemukakan empat faktor yang menunjang perkembangan berpikir anak dari satu tahap ke tahap selanjutnya, yaitu (a) kematangan, (b) pengalaman, (c) transmisi sosial, dan (d) keseimbangan atau pengaturan diri. Sejalan dengan itu, terjadinya perubahan struktur pikiran merupakan produk perubahan skema (skemata) sebagai hasil dari mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan secara intelektual. Seperti dikemukakan oleh Wadsworth (Setyabudhi, 1991: 52), skemata dapat dipandang sebagai kumpulan konsep-kosep atau Pipin Dana Pelita

89

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

kategori-kategori. Skemata ini berkembang, semasa kecil seorang anak hanya memiliki beberapa skemata saja, dan setelah dewasa skema ini secara perlahan-lahan menjadi lebih luas, kompleks karena adanya stimulus-stimulus yang dialaminya, yang kemudian diorganisasi dalam pikirannya. Makin mampu seseorang membedakan stimulus satu dengan lainnya, makin banyak skematanya. Dengan demikian skemata merupakan struktur kognitif yang berubah dan berkembang. Proses yang menyebabkan perubahan ini adalah asimilasi dan akomodasi seperti skemata model interaksi Piaget. Asimilasi merupakan suatu proses kognitif, dimana seseorang mengintegrasikan stimulus atau persepsi ke dalam skemata atau prilaku yang telah ada. Misalnya seorang anak belum memiliki skemata tentang percepatan, tetapi ia telah mengetahui tentang kecepatan. Waktu anak itu dihadapkan dengan benda yang bertambah cepat dalam geraknya, maka stimulus kecepatan akan diolah dalam pikirannya, dicocok-cocokkan dengan skemata-skemata yang telah ada dalam struktur mentalnya. Mungkin yang terdekat dengan karakteristik stimulus ini adalah kecepatan, maka percepatan dikatakannya sebagai kecepatan yang berubah pada selang waktu tertentu (stimulus percepatan diasimilasikan ke dalam skemata kecepatan). Jika oleh guru kemudian dijelaskan bahwa percepatan itu merupakan perubahan kecepatan dalam selang waktu tertentu, maka terbentuklah skemata percepatan pada struktur pikiran anak tersebut. Hal ini kemudian disebut sebagai akomodasi. Dengan demikian akomodasi merupakan proses kognitif yang menyangkut terbentuknya skemata baru dan berubahnya skemata lama. Pada hakekatnya, akomodasi menyebabkan perubahan atau pengembangan skemata. Sebelum terjadi akomodasi pada saat menerima stimulus baru, struktur mentalnya menjadi goyah untuk sementara. Bersamaan dengan terjadinya proses akomodasi, maka struktur mental tersebut menjadi stabil lagi. Begitu ada stimulus baru lagi, stimulus mental kembali goyah, begitu seterusnya proses asimilasi dan akomodasi terjadi secara terus-menerus. Dengan demikian, asimilasi bersama-sama dengan akomodasi secara terkoordinasi dan terintegrasi menjadi penyebab adaptasi dan perkembangan struktur intelektual. Dalam adaptasi terhadap lingkungan, individu berusaha untuk mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Stabil dalam arti keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Keserasian antara asimilasi dan akomodasi oleh Piaget disebut keseimbangan (equilibrium). Dengan adanya keseimbangan ini, maka efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan lingkungan dapat terjamin. Dengan kata lain, terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dan eksternal. Sesuai dengan uraian di atas, berkenaan dengan penggunaan VBL dalam pembelajaran konseptual interaktif, secara perlahan-lahan mengubah skemata siswa dari kondisi awal yang terdeteksi melalui tes awal dan kemudian mengalami perkembangan skemata yang terkondisikan selama kegiatan pembelajaran, sehingga diperoleh keseimbangan baru, yang terdeteksi melalui test akhir. Sejalan dengan pemahaman konsep, terjadinya perubahan skemata dalam berpikir siswa merupakan hal dasar penyebabnya. Terjadinya asimilasi dan akomodasi serta keseimbangan baru merupakan langkah-langkah berpikir yang dilakukan siswa dalam memperoleh pemahaman yang lebih dalam dan lebih luas dari pemahaman sebelumnya, sehingga ketika diberi persoalan sejenis, siswa bisa mencocokkan pemikiran barunya dengan 90

Pipin Dana Pelita

Spektrum, Jurnal Pendidikan Vol. I. No.1, 1 Juni 2013

konsep-konsep yang lebih sesuai dengan pola berpikir para ilmuwan yang mengemukakan konsep dan menuangkan penggunaan konsep tersebut. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa: Peningkatan pemahaman konsep pada siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif menggunakan VBL secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL. Peningkatan rata-rata N-gain tertinggi pada aspek translasi, dan peningkatan rata-rata N-gain terendah pada aspek interpretasi. Peningkatan keterampilan berpikir logis siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif menggunakan VBL secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konseptual interaktif tanpa menggunakan VBL. Peningkatan rata-rata N-gain- tertinggi pada aspek pengontrolan variabel dan peningkatan rata-rata N-gain terendah pada aspek penalaran korelasional. Hampir seluruh siswa menyatakan bahwa penggunaan VBL pada pembelajaran konseptual interaktif materi kinematika gerak lurus, memperjelas fenomena gerak, sehingga memperbaiki cara berpikir, dan menumbuhkan pemahaman konsep. Selain itu siswa merasa lebih difasilitasi untuk mengetahui cara memperoleh data secara akurat, cara menyajikan data posisi dan waktunya dari gerak benda, menampilkannya dalam bentuk table dan bentuk grafik serta bisa secara langsung mengetahui persamaan terkait gerak benda tersebut. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi.(2008). Prosedur Penelitian; suatu pendekatan praktik. Jakarta : Rineka Cipta. Beinchner, Robert J. And David S. Abbott. (1999). Video Based Labs for Introductory Physics Coursees-Analyzing and Graphing Motion on Video. JCST, November 1999. Bryan, J. (2004). Video analysis software and the investigation of the conservation of mechanical energy. Contemporary Issues in Technology and Teacher Education, 4(3), 284-298 Dahar, R.W. (1989). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Hake, R.R. 1998. Interactive Engagement versus tradition method: A six thousandstudents survey of mechanics tes data for introductory physics course. Am J.Physic 66,(1),64-74 Matlin. (2003). Cognition. New York : Mc Graw Hill. Fifth Edition Rahim, Utu & Hasnawati. (2007). Perbandingan Hasil Tes Keterampilan Penalaran Formal Mahasiswa Sebelum dan Sesudah Perkuliahan Pengantar Dasar Matematika. Jurnal Penelitian MIPA FKIP Unhalu. Vol 6 (1), 12-18. Roslina. (1997). Proses Berpikir Logis dan Penguasaan Konsep melalui Pembelajaran dengan Pendekatan Cotextual Teaching and Learning. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Savinaine, A and Scott, P., (2001). Using The Force Concept Inventory to Monitor Student Learning and to Plan teachingPhysics Education. 37 (1) 53-58

Pipin Dana Pelita

91

Efektivitas Penggunaan Video Based Laboratory pada Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Keterampilan Berpikir Logis

Setyabudi. (2000). Kemampuan Berpikir Formal dalam Menguasai Konsep Fisika Bidang Arus Listrik se-Arah Pada Siswa Jurusan Elektronika STM Pembangunan Bandung. Tesis SPs UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suhandi, A., dkk. (2009). Efektivitas Penggunaan Media Simulasi Virtual pada Pedekatan Pembelajaran Konseptual Interaktif dalam Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Meminimakan Miskonsepsi. Laporan Penelitian. Syaodih Sukmadinata, Nana. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Karya. Tobin, K. & Capie, W. (1984). The test of logical thinking: Development and applications. The South East Asian Journal for Research in Science Education. 7(1), 5-9

92

Pipin Dana Pelita

Related Documents

9 - Jurnal Vbl Pipin.docx
October 2019 3
Jurnal 9.pdf
May 2020 6
Jurnal Praktikum M 9
June 2020 18
Jurnal
December 2019 93