8 pitra satvika
(media-ide.com) 8 hari di jerman
hari di jerman
8 hari di jerman
Jakarta- Kuala Lumpur - Amsterdam - Frankfurt - Bonn 1-2 Juni 2009
1
Inilah pertama kalinya, sejak lebih dari satu dekade lalu, aku berkelana jauh ke luar negeri. Eropa memang belum pernah kudatangi. Hal yang sempat membuatku gugup adalah, pengelanaan jauh yang kulakukan hanya seorang diri. Beragam pemikiran berkecamuk, apa yang akan terjadi nanti. Apa yang harus kulakukan jika semua tak berjalan sesuai rencana? Apa yang kulakukan jika aku menghadapi masalah di simpang batas antar-negara? Namun, apapun pikiran yang berkecamuk, aku tetap memutuskan untuk pergi. Kesempatan tak akan datang dua kali. Meski kesempatan ini mewajibkan aku untuk hadir di Global Media Forum selama 3 hari, sebuah perhelatan internasional yang didatangi oleh beragam warga dunia yang erat berhubungan dengan dunia komunikasi dan jurnalisme. Oh ya, kesempatan ini aku dapat karena aku adalah salah seorang pemenang kompetisi The Bobs Award yang diselenggarakan di akhir tahun 2008 kemarin. Dengan berbekal tas pinggang kecil, tas punggung, dan sebuah
8 hari di jerman
koper, aku pun berangkat. Tanpa masalah aku lewati pengecekan bagasi, passport, dan fiskal. Tas koper aku titipkan di bagasi, sementara tas pinggang dan tas punggung aku bawa selalu. Beruntunglah mereka yang sudah memiliki NPWP (nomor pokok wajib pajak), karena akan terbebaskan dari biaya fiskal sebesar Rp. 2.500.000,00. Namun, tetap saja aku harus membayar biaya Rp. 150.000,00 untuk membayar pajak bandara. Aku masih menunggu lama di bandara Jakarta, sebelum akhirnya penerbanganku dipanggil. Kegugupan pun mulai muncul. Kegugupan yang membahagiakan tentunya. Aku habiskan waktu untuk berjalan-jalan di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, sembari memanfaatkan mushola untuk menenangkan diri dari kegugupan. Pesawat KLM Boeing 777-300 yang aku tumpangi pun berangkat tepat waktu. Boarding pukul 18.00, dan berangkat pukul 18.45 menuju Amsterdam, Belanda. Ini sungguh pesawat terbesar yang pernah kutumpangi sebelumnya. Mungkin, aku pernah naik pesawat sebesar ini, tapi rasanya itu sudah pupus dari ingatanku. Memang, terakhir aku berkelana jauh ke luar negeri adalah saat aku duduk di bangku SMP. Saat itu aku pergi bersama adik, ayah, dan ibuku, mengikuti kelompok wisata tur ke Amerika Serikat. Waktu sungguh sudah lama berlalu, ingatanku akan itu sudah tak terlalu membekas. Banyak warga Melayu ikut dalam pesawat ini. Pesawat KLM ini memang akan transit sejenak di Kuala Lumpur. Hal yang cukup mencengangkan, mengapa begitu banyaknya warga Malaysia yang ikut dengan KLM ini? Bukanlah sudah ada Malaysia Airlines atau Air Asia dengan alternatif lebih murah? Usut punya usut, ternyata KLM bekerja sama erat dengan Malaysia Airlines. Tiket yang mereka pegang pun bukanlah tiket KLM berwarna biru langit, melainkan tiket Malaysia Airlines berwarna hijau terang. Aku melihat ada kerja sama branding yang menarik di sini. Melalui tiket berwarna hijau, akan banyak warga dunia yang melihat keberadaan Malaysia Airlines. Saat transit di Kuala Lumpur, aku pun melihat mereka semua yang berangkat dari Kuala Lumpur menggunakan tiket berwarna hijau dengan logo Malayia Airlines. Tentunya, dengan membawa tiket ini ke belahan Eropa, akan banyak warga Eropa lainnya yang
8 hari di jerman
aware akan keberadaan maskapai penerbangan ini. Aku pun duduk di bangku 56E kelas ekonomi. Ada 63 baris yang setiap barisnya berisikan 8-10 orang. Sebelah kiriku, di bangku 56D adalah seorang ibu-ibu, yang kuduga berasal dari Indonesia. Sebelah kananku seorang bapak dari Malaysia. Ia berangkat bersama keluarganya, meski duduknya terpencar-pencar. Sebelah kanan si bapak adalah seorang pemuda dari Indonesia. Makan malam pun disajikan. Tentunya makanan khas Belanda. Daging dan semacam roll dari bahan tepung yang berlapis keju. Si pemuda yang duduk dua bangku di sebelah kananku sempat ragu, apakah daing yang disediakan ini halal atau tidak. Si bapak dari Malaysia menenangkan. Katanya, meski masakan khas Eropa, mereka tetap menggunakan supplier lokal, dari Indonesia. Jadi, kemungkinan besar daging yang digunakan tetap halal. Aku, yang sebelumnya mempertanyakan hal yang sama, akhirnya memutuskan untuk memakan hidangan tersebut. Memang luar biasa enak ( a t a u mungkinkah ini karena aku baru saja merasakan sesuatu yang berbeda?). Saat pesawat transit di Kuala Lumpur, kami para penumpang yang menuju Amsterdam tetap diminta untuk keluar dari pesawat, karena itulah prosedur yang harus dijalankan setiap maskapai selama singgah di bandara Kuala Lumpur. Saat kami keluar dari pesawat, aku sempat mengobrol dengan beberapa orang Indonesia yang ikut di pesawat yang sama. Ternyata kebanyakan dari mereka adalah pelaut. Mereka bekerja di kapal-kapal berbendera luar. Bila saat ini kapal sedang berada di Eropa, maka mereka diminta untuk terbang ke Eropa untuk lalu melanjutkan dinas mereka di dalam kapal, yang entah akan membawa kemana mereka saat i n i . Salah satu orang sempat bercerita kalau ia sudah 12 tahun bekerja seperti ini. Dalam setiap perjalanan kelautannya, ia bisa berkelana selama 2 bulan lamanya, untuk kemudian cuti sejenak,
8 hari di jerman
lalu melanjutkan kembali perjalanannya mengarungi samudra. Aku memperhatikan, orang ini sempat bertelpon panjang dengan kekasihnya, sesaat sebelum pesawat membawa kita berangkat dari Jakarta. Bisa jadi, ia baru akan bertemu kembali dengan kekasihnya 1-2 bulan mendatang, saat perjalanan mengarungi samudranya sampai di tujuan. Aku tak tahu apakah maskapai penerbangan kita secanggih ini, namun yang kulihat di KLM sungguh luar biasa. Setiap penumpang dihadapkan pada sebuah televisi mini yang didudukkan di punggung bangku penumpang di depannya. Aku bisa memilih dengan leluasa film layar lebar yang ingin kunikmati, dari koleksi film terbaru seperti Bride Wars atau Underworld: Rise of the Lycans, hingga koleksi film lama dan klasik. Aku bisa membuat playlist dari puluhan koleksi album dari beragam genre, atau aku cukup mendengarkan alunan radio beragam genre yang masing-masing berisi koleksi putaran lagu tanpa penyiar. Hal yang membuatku terkesima adalah, melalui televisi itu, kita pun bisa pula bermain games. Ada beberapa koleksi games yang bisa kita mainkan sendiri, ataupun kita beradu tanding dengan penumpang lainnya. Remote control televisi berfungsi ganda. Satu sisi untuk mengendalikan menu televisi, sisi sebaliknya difungsikan bak joystick Playstation, lengkap dengan 4 tombol aksi dan keyboard. Hal yang semakin membuatku terkesima adalah terintegrasinya televisi itu dengan kartu kredit. Melalui sisi tepi remote control atau di bagian bawah televisi, kalau mau, aku bisa menggesekkan kartu kreditku. Penjualan goodies dari KLM ditransaksikan secara daring. Oh ya, satu fitur utama yang ditampilkan televisi ini adalah aku bisa mengetahui saat ini posisi pesawat sedang berada di mana,
8 hari di jerman
suhu di luar pesawat, ketinggian pesawat, hingga kecepatan pesawat. Perjalanan panjang selama lebih dari 12 jam memang membutuhkan hiburan yang beragam, dan KLM berupaya memberikan layanan terbaiknya. Satu hal yang disayangkan dari penerbangan ini adalah, banyaknya pramugari dan pramugara senior. Mereka memang sudah lihai karena jam terbang yang tinggi, namun agak kurang menarik di mata, karena sudah termakan usia. Saat penerbangan transit di Kuala Lumpur, ada beberapa pramugari dan pramugara yang berganti. Di antara para pramugari baru, ada seseorang yang menyita perhatian banyak penumpang. Bukan karena ia cukup cantik, tapi karena pramugari itu adalah orang Asia, bernama Chang. Bisa jadi, ini merupakan upaya KLM untuk lebih mendekatkan diri dengan penumpang dari Asia. Mereka bisa melihat wajah yang lebih familiar, daripada melihat pramugari bule Belanda dengan kulit gosong terkena sinar matahari. Ternyata bukan hanya orang Asia yang terpikat. Aku sempat melihat beberapa bule Belanda yang berjalan ke tempat biasanya crew menyiapkan makanan, dan mencoba berkenalan dengannya. Bangku di sebelah kananku, yang sebelumnya diduduki oleh orang Malaysia, kini berganti dengan bule muda dari Belanda. Sebelah kiriku masih tetap si ibu dari Indonesia. Sepanjang jalan, si ibu selalu terbatuk-batuk. Aku hanya berharap si ibu akan baik-baik saja. Si ibu sesekali menyempatkan mengecek kembali tiket dan passport-nya. Aku sempat melihat kalau si ibu ini menempuh perjalanan yang sama persis dengan diriku. Setelah tiba di Amsterdam, si ibu akan melanjutkan perjalanan menuju Frankfurt, Jerman. Aku pun menyempatkan mengobrol dengannya. Aku berharap si ibu ini akan bisa menghilangkan kegugupanku, karena setidaknya, kini aku punya teman. Dari caranya berbicara, aku mulai ragu kalau ia seorang warga negara Indonesia, karena ada beberapa bahasa yang ia tak paham. Ditambah lagi, ia kurang familiar dengan kondisi sekarang di Indonesia. Aku terus melanjutkan obrolan, hingga akhirnya kuketahui kalau si ibu ini terlahir di Jogja, lalu sempat sekolah sejak SD hingga SMP di Jakarta. Setelah SMA, ia pindah ke
8 hari di jerman
Jerman, bersekolah di sana, bekerja di sana, hingga menikah di sana. Bila dihitung sudah lebih dari 30 tahun, ia berada di Jerman. Di usianya yang sudah 60 tahun, ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di negeri Jerman daripada di Indonesia. Kini si ibu menikah dengan seorang Yunani, dan anak-anaknya bersekolah di penjuru Eropa. Si ibu juga bercerita kalau Pemerintah Jermanlah yang akhirnya meminta dia untuk menjadi warga negara Jerman. Pemerintah Jerman melihat kalau si ibu sudah banyak berbakti terhadap masyarakat Jerman, serta menjadi seorang pembayar pajak yang taat. Namun konsekuensinya, ia terpaksa melepas status kewarganegaraan Indonesianya, karena negeri kita ini tidak menerima kewarganegaraan ganda. Setelah berdiskusi panjang dengan suaminya, si ibu pun memutuskan untuk mengambil kesempatan itu. Ia berpikir, semua ayah ibunya di Indonesia kini sudah tidak ada. Semua anaknya bersekolah di Eropa. Dengan memiliki kewarganegaraan Jerman, ia akan lebih leluasa mengunjungi anak-anaknya, karena ia tak perlu mengurus visa setiap kali ia harus berangkat mengunjungi anak-anaknya. Melalui seremoni sederhana di kedutaan, si ibu pun akhirnya mendapat kewarganegaraan Jerman. Pagi hari pun menjelang. Ufuk mentari terus terlihat selama perjalanan. Perjalanan ke Eropa seakan-akan memundurkan waktu. Waktu berasa lambat saat pesawat bergerak ke arah barat, mengikuti arah rotasi bumi. Pramugari KLM kini mulai menyajikan sarapan pagi. Perjalanan pun akhirnya berakhir di Bandara Schipol Amsterdam pukul 5 pagi waktu setempat (atau pukul 10 pagi waktu Jakarta). Kalau kuhitung, sejak pukul 18.00 hari sebelumnya, aku sudah menempuh 16 jam perjalanan. Tidurku pun mulai terasa kacau. Kakiku mulai terasa lelah, padahal perjalanan ini
8 hari di jerman
masih belum usai. Meski masih pukul 5 pagi, langit sudah terlihat biru cerah. Aku pun mulai melangkah ke luar, bersama dengan si ibu di sebelahku. Kami menyusuri belalai panjang melangkah memasuki bandara. Antrian panjang ratusan orang mengumpul di ujung belalai. Pihak imigrasi Belanda melakukan pengecekan awal dan menanyakan satu-persatu passport dan maksud kedatangan. Dengan lancar kujelaskan kalau tujuanku sebenarnya adalah ke Frankfurt, dan Amsterdam hanya untuk singgahan transit.
Aku pun memasuki bandara yang luar biasa luasnya ini. Ribuan orang dari beragam ras dan suku berlalu-lalang, seakan-akan bandara ini menjadi sentra utama perjalanan orang dari seluruh dunia. Bersama si ibu, aku pun berjalan mengarungi lorong-lorong dan ruangan besar yang ada di sepanjang terminal. Bandara Schipol tak berbeda dengan mal, banyak sekali toko perhiasan, suvenir, pakaian, restoran tersebar di seluruh bandara. Si ibu memutuskan untuk berpisah, karena ia ingin mencari parfum di salah satu toko. Aku pun menyusuri beberapa toko, sembari melihat jam. Aku masih punya waktu kurang dari 3 jam sebelum penerbangan
8 hari di jerman
berikutnya ke Frankfurt. Tadinya aku ingin melanjutkan perjalanan menyusuri toko lebih jauh, namun saat aku melihat antrian panjang memasuki pemeriksaan imigrasi di Terminal B, terminal maskapai penerbanganku selanjutnya, aku pun berpikir ulang. Lebih baik aku mengantri terlebih dahulu. Mudah-mudahan saja tak ada masalah berarti.
Ada cukup banyak antrian imigrasi di sini. Ada pos yang khusus memeriksa pengecekan khusus passport Uni Eropa, dan ada pula pos yang memeriksa passport semua negara. Para petugas imigrasi terlihat tinggi dan kekar, dan beberapa wanita yang menjadi petugas berwajah menarik. Satu hal yang menarik perhatian, mereka selalu memprioritaskan pemeriksaan orang-orang yang membawa bayi. Bila ada petugas yang melihat bayi dalam antrian, mereka akan meminta keluarganya untuk maju ke pos dan mendapatkan pemeriksaan lebih awal. Aku pun mulai berdiri di titik dengan papan tergantung di atasnya bertuliskan “15-21 minutes from here.” Wow, cukup panjang juga antriannya. Aku pun berdiri mengantri selama kurang lebih 15 me-
8 hari di jerman
nit sebelum akhirnya bertatapan dengan petugas imigrasi. “What are you doing in Frankfurt?” katanya. “Actually, I’m going to Bonn, to the event Global Media Forum,” kataku. Si petugas mengecek passport dan boarding pass-ku, sembari memastikan foto di passport-ku serupa dengan wajahku. “So, you’re a journalist?” katanya, sambil tersenyum. “Sort of...” jawabku sambil ikut pula tersenyum. Dan aku pun diizikan masuk ke tahapan selanjutnya, pemeriksaan bagasi. Pemeriksaan di sini tentunya lebih ketat daripada di Jakarta. Di sini, aku diminta untuk mengeluarkan notebook dan membuka penutupnya. Aku harus melepas jaket yang kukenakan, tas pinggang, serta ikat pinggang celana, sebelum aku akhirnya diizinkan melewati gerbang pendeteksian logam. Alhamdulillah, semuanya berjalan dengan lancar, dan aku pun mulai memasuki area Terminal B. Sungguh mengejutkan, di sisi ini luasannya tak kalah besar dengan area yang aku masuki sebelumnya. Kembali aku dihadapkan pada suasana mal, dengan begitu banyaknya toko dan restoran di sekitar area, baik di lantai satu maupun dua. Sungguh menarik, pemandangan yang terlihat dari jendela-jendela yang mengelilingi area. Beberapa orang terlihat duduk menikmati kopi di dekat jendela, sembari melihat aktivitas kegiatan lepas landas dan mendaratnya pesawat. Beberapa orang terlihat mengantri di gerai Starbucks, sementara beberapa lainnya menikmati suguhan Burger King di lantai dua. Banyak pula orang yang mendatangi toko buku, mencari-cari buku bacaan menarik untuk menemaninya di pesawat. Aku sempat berjalan-jalan memasuki salah satu toko buku. Melihat-lihat seperti apa sampul muka buku-buku terbitan Jerman. Tampilan ternyata tak berbeda dengan buku impor yang biasa aku temui di Times atau Aksara Jakarta. Tampilan beberapa majalah-
8 hari di jerman
nya pun tak berbeda. Aku hanya tersenyum saat melihat beberapa majalah eksotis lengkap dengan beberapa DVD terbitan Private terpajang di antara majalah-majalah lainnya. Ada pula koran yang (sepertinya) berisikan berita-berita umum, namun menampilkan seorang perempuan tanpa busana di salah satu sudut halaman pertamanya. Seorang perempuan muda terlihat asyik membaca koran ini.
Aku kembali melanjutkan perjalanan menuju terminal tujuanku, Terminal B7, yang ternyata masih jauh dari tempatku berada sekarang. Setelah berjalan sekitar 5 menit, aku pun sampai. Hmm, belum ada petugas yang menjaga. Aku lihat jam, masih ada waktu 40 menit sebelum boarding. Kunyalakan notebook-ku, dan ku berharap-harap semoga ada sinyal wi-fi di sini. Wah, ada! Namun aku kembali kecewa, karena rupanya aku harus membayar 3 Euro per 15 menit. Astaga, mahal sekali! Aku mulai duduk melamun menunggu, sampai akhirnya si ibu, yang tadi bepergian mencari parfum, akhirnya sampai juga. Ia duduk di sebelahku dan mencoba meminta tolong aku untuk menggantikan SIM card miliknya. Awalnya ia masih menggunakan kartu XL,
8 hari di jerman
dan ia ingin mengembalikan SIM card aslinya, dari Vodafone. Duh, sayangnya Nokia yang dipakainya agak aneh. Aku kesulitan membantunya. Dengan sangat menyesal, aku pun mohon maaf karena tak berhasil menggantikan SIM card yang dibutuhkannya. Pembicaraan pun beralih. Ia sempat menanyakan aku prosesi pengajuan visa hingga pembayaran fiskal di bandara. Adiknya yang kini berada di Jakarta, sebenarnya ingin sekali bisa ke Jerman, namun ia memiliki kesulitan. Adiknya sempat membangun usaha dan kini bangkrut. Ia jelas bukanlah seorang yang mampu membayar pajak. Jadi ia merasa tak membutuhkan NPWP. Kini ia kesulitan, karena ia sendiri tak akan mampu membayar fiskal sebesar Rp. 2.500.000,00 kalau ia harus ke luar negeri. Sebagai warga negara yang baik (ehem), aku mencoba meyakinkan si ibu kalau kini tidak susah lagi membuat NPWP. Bahkan, tidak sampai sehari, kartu NPWP sudah bisa didapatkan. Aku juga menceritakan syarat-syarat yang dibutuhkan untuk pengajuan visa ke Jerman. Asalkan, memang ada pihak sponsor yang akan menanggung adiknya selama di Jerman, dan itu bisa dibuktikan melalui surat undangan, hal itu membuat segalanya menjadi lebih mudah. Saat aku menunggu waktu keberangkatan, ada hal yang menurutku lucu. Penerbangan sebelumku ternyata mengalami kelebihan booking. Jumlah orang yang terdaftar dalam pesawat melebihi kapasitasnya. Petugas lalu mengumumkan, kalau mereka mencari sukarelawan yang mau mengalah untuk ikut dalam penerbangan berikutnya yang masih 3 jam lagi. Tentunya, KLM akan mengkompensasinya dengan memberikan voucher makan dan belanja gratis di Bandara Schipol. Tak terasa, waktu pun berlalu dan masa boarding pun tiba. Saat
8 hari di jerman
itu hari mulai terasa terik, meski angin kencang menerpa wajahku, membuat bibirku terasa kering. Kami pun semua memasuki bus yang membawa kami ke pesawat Fokker 100. Pesawat KLM ini tak berbeda dengan pesawat yang biasa aku gunakan saat pe-nerbangan di dalam Indonesia. Pramugarinya pun terlihat muda, sangat berbeda dengan pramugari di penerbanganku sebelumnya. Si ibu yang sebelumnya duduk di sebelahku, kini berpisah tempat duduk dariku. Sebelahku kini seorang remaja muda dari Amerika Latin yang diam saja senpanjang perjalanan. Perutku yang mulai terasa kosong ini mulai meminta untuk diisi. Mudah-mudahan menu sajian dalam pesawat bisa mengurangi kekosongan ini. Hidangan yang disajikan sebenarnya biasa saja, dua buah roti, satu potong roti rasa keju dari kambing, satu potong lagi rasa susu. Mungkin rasa lapar ini membuatku merasakan betapa enaknya roti ini. Setelah perjalanan satu jam, kami pun mendarat di Frankfurt. Bandara yang terasa sepi dibandingkan dengan Schipol Amsterdam. Aku segera mengambil bagasi. Si ibu telah selesai mengambil bagasinya, dan akhirnya berucap selamat tinggal dengan diriku. Aku sempatkan memberikan kartu nama kepadanya, dan berjanji akan memberikan info-info kalau seandainya adiknya butuh bantuan untuk berangkat ke Jerman. Setelah koper dari bagasi kuambil, aku melangkah keluar ruangan. Sepi terlihat di seluruh bandara. Tak banyak orang berjalan kesana-kemari. Aku melihat seseorang dengan papan bertuliskan “Deutsche Welle.” Ini pasti yang berniat menjemputku dan mengantarku ke hotel di Bonn. Perawakan pria ini cukup tegap, kumis pirang terlihat di atas bibir dan anting kecil terlihat di telinga kanannya. Ia tak terlalu lugas dalam berbahasa Inggris. Seseorang berkulit hitam yang kuamati sebelumnya berada dalam satu pesawat denganku berdiri di dekatnya.
8 hari di jerman
Aku mendekati mereka berdua yang sedang mengobrol satu sama lain. Pria berkulit hitam itu mengenalkan dirinya sebagai Damas Missanga dari Tanzania. Ia akan ikut menjadi pembicara dalam diskusi panel hari pertama acara. Ia terlihat melobi si pria berkumis agar bisa ikut dengannya ke Bonn. Rupanya, Damas tidak berada dalam daftar jemputan, namun berharap karena ia pun juga datang untuk acara yang sama, untuk bisa ikut bareng hingga penginapannya di Bonn. Si pria berkumis pirang terlihat berkalikali berbicara dengan lawannya di telepon. Sepertinya ia ragu, apakah Damas boleh ia ajak serta ke Bonn atau tidak. Aku mendekati si pria berkumis, dan menanyakan apakah namaku ada di daftarnya. Setelah kusebutkan namaku, dia ragu. Di dalam daftar, ternyata nama depanku ditulis salah, dan aku dikira sebagai seorang perempuan (huuh). Aku menunjukkan passport sebagai bukti nama dan menunjukkan kalau daftar yang dipegangnya salah ketik. Ia masih belum yakin, dan lalu menanyakan nomor telpon mobile-ku. Ia ternyata mencatat nomor telpon yang kusebutkan sebelumnya ke panitia. Setelah mengecek kalau nomor yang kusebutkan sahih, ia pun akhirnya yakin. Si pria berkumis ini cerita, dalam bahasa Inggris yang tergagap-gagap, kalau ia masih menunggu seorang lagi. Katanya orang itu sudah lama menunggu di bandara, namun di terminal yang berbeda. Namun, setelah menunggu selama sekitar 20 menit, si pria berkumis memutuskan untuk meninggalkannya. Aku dan si pria dari Tanzania akhirnya berjalan menuju tempat parkir, menuju mobil yang akan membawa kami ke Bonn. Perjalanan melalui highway dari Frankfurt ke Bonn ditempuh seki-
8 hari di jerman
tar 1 jam 45 menit. “Jalan tol” (dalam kutip karena seperti jalan tol tapi tidak bayar) ini tak berbeda sebenarnya dengan di Indonesia. Terdiri dari 2-3 lajur, tergantung lokasi. Di Jerman, mobil bergerak di lajur kanan, dan setir berada di sebelah kiri mobil, terbalik dengan Indonesia. Motor dengan cc tinggi ikut melewati jalan ini, meski tak terlalu banyak, dan mereka selalu berjalan di sisi kanan jalan. Truk-truk dan mobil dengan gandengan selalu berada di kanan jalan. Saat lajur menyempit menjadi 2 lajur karena ada perbaikan jalan, semua truk itu tetap antri di lajur kanan, dan membiarkan kendaraan yang lebih cepat melewati mereka melalui lajur kiri.
Akhinya sampailah aku di kota Bonn. Impresiku, kota ini sepi sekali. Mungkin karena si pengemudi melewati jalan yang menghindari tengah kota, aku juga tidak tahu. Aku melihat ke dekat radio. Aku perhatikan di Jerman, mobil dilengkapi dengan petunjuk jalan dan GPS, sehingga mengurangi kemungkinan pengemudi menyasar. Di bawah radio terlihat setumpuk kartu nama. Aku lupa, tapi yang jelas nama si pengemudi, lengkap dengan profesinya, yakni sebagai chaffeur. Wow, berarti orang ini memang profesional di bidang ini. Sebelumnya aku menduga ia hanya supir dari Deutshce Welle yang diminta menjemputku.
8 hari di jerman
Sampailah aku di hotel Karl Kaiser. Rupanya hotel kecil. Hmm, tapi di hadapanku ada Hotel Ibis yang ukurannya tak jauh berbeda dengan Karl Kaiser. Apakah semua hotel di Bonn memang mungil seperti ini? Lucunya, tak ada yang menyambut membukakan pintu saat aku datang. Seperti aku mau masuk rumah, aku harus membunyikan bel terlebih dahulu. Seorang wanita lalu membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk.
Namaku sudah tercatat. Bahkan kamar hotel sudah di-booking hingga aku pulang tanggal 9 Juni 2009. Si wanita memberikan aku kunci berbentuk lingkaran berdiameter 8 cm, terbuat dari kayu yang amat berat. Ada nomor 7 tergrafir dengan warna emas di tengah lingkaran itu. Ia bercerita kalau kunci bisa dititipkan kalau berangkat ke luar hotel, supaya tidak memberatkan. Aku pun naik ke lantai 2 ke arah kamarku. Satu lantai sepertinya hanya ada 10 kamar yang masing-masing berukuran mini. Lorong terlihat gelap, sampai aku berjalan mendekat dan lampu menyala dengan sendirinya. Hmm, efisien pikirku. Di kamar, aku merebahkan badanku sejenak. Kepalaku masih terpenuhi dengan segala kemungkinan yang akan terjadi esok hari. Di meja tersaji minuman botol mineral berukuran 1 liter. Saat kubuka, aku menemukan se-
suatu yang berbeda. ternyata air mineral di Jerman (dan mungkin negeri Eropa lainnya) mengandung soda. Hmm, mungkin ini untuk menjaga peminumnya untuk tidak mudah masuk angin akibat suhu dingin Eropa.
Aku mencoba tidur namun kekacauan waktu ini sungguh menyiksaku. Kepalaku sempat pusing karena perubahan kondisi dan jadwal tidur. Aku pun butuh internet. Lebih dari 20 jam tanpa internet ternyata sungguh menyiksa, setidaknya bagiku. Aku turun ke lobi dan mencoba akses internet. Tidak ada yang gratis memang di Jerman. Internet di lobi hotel harus kubayar 10 Euro per jamnya. Setidaknya ini sedikit lebih murah daripada di Bandara Schipol, yang memaksa menguras 3 Euro per 15 menitnya. Saat aku memakai internet, seorang pemuda masuk ke dalam hotel. Aku mendengar kalau ia ternyata peserta acara Global Media Forum pula. Aku pun berkenalan dengannya. Namanya Denis Kozlov dari Rusia. Ia ternyata pemenang podcaster The BOBs Award tahun lalu, dengan situs Radio Grinch-nya. Aku ingat sore ini ada acara menarik dengan undangan terbatas. Sayangnya aku lupa konfirmasi kebisaanku hadir di lokasi. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak ikut dan mencoba kembali tidur. Agak
8 hari di jerman
sore hari, akan aku pakai untuk berjalan keliling melihat suasana di sekitar hotel. Sore hari jam 18.00 aku manfaatkan untuk berjalan keliling hotel. Saat ini aku masih menduga kalau Bonn ini kota kecil. Aku berjalan berkeliling dan apa yang kulihat membuktikan itu. Aku berjalan menyeberang jalan yang terkadang ada lampu lalu lintas untuk para pejalan kaki dan pengguna sepeda. Kalau pun di persimpangan itu tidak ada lampu, setiap mobil yang berlalu akan selalu menunggu para pejalan kaki melewati jalan terlebih dahulu. Kalau biasanya aku menyeberang di Jakarta, aku harus berhadapan dengan keegoisan para pengendara mobil dan motor, di sini justru sebaliknya. Semua pengendara mobil akan selalu berhenti mempersilakan pejalan kaki terlebih dahulu menyeberang.
Aku berjalan sambil memegang peta Bonn yang kuminta dari hotel, berusaha memahami konteks peta dengan situasi sekitar. Sesekali aku berjalan, sesekali aku berhenti dan memutar-mutar peta. Hingga suatu ketika, ada seorang perempuan Jerman menyapaku. Pertama dalam Bahasa Jerman. Sadar kalau aku tidak mengerti, ia mengulang pertanyaanya dalam
8 hari di jerman
Bahasa Inggris, “Do you need help?” Karena saat itu aku berjalan tanpa tujuan, aku hanya bilang, “No, I just walk around the area. I stay at a hotel near here.” Ia pun lalu kembali berjalan. Wow, ternyata ada yang ramah pula. Aku sempat berjalan melewati taman, melihat anak-anak Jerman bermain-main di deka kolam air mancur. Di taman, seorang perempuan asyik berjemur sambil membaca buku. Di bangku, para orang tua terlihat sambil mengobrol. Yang aku suka, saat aku melewati taman itu, tak ada yang menatap aneh ke diriku. Seakanakan mereka sudah biasa melihat orang berbeda ras berlalu lalang di sini.
Aku berputar-putar melihat ritme kehidupan sore kota ini. Beberapa restoran mengeluarkan kursi dan meja, menyiapkan tempat untuk mereka yang suka makan di tepi jalan, menikmati suasana kota. Aku harus mencari sesuatu untuk aku makan malam. Aku menjauhi tempat yang menjual daging, karena khawatir mengandung babi. Yang paling aman tentunya adalah roti. Aku berputarputar blok sembari mempelajari peta yang sebelumnya aku minta dari hotel. Aku berhasil menemukan toko roti tradisional. Ah, aku bisa dapat makan malam. Roti khas Eropa berukuran besar-besar
8 hari di jerman
memang bisa membuat seseorang kenyang. Aku juga menemukan toko swalayan kecil, tempat aku kemudian membeli minuman soda. Aku sengaja belanja untuk menukar uang kertasku agar aku bisa pula mendapat koin. Aku pun kembali ke hotel untuk mandi dan beristirahat. Aku makan roti yang kubeli dan segera beranjak ke tempat tidur. Acara televisi tidak ada yang menarik. Kalaupun ada film Hollywood, semuanya di-dub dalam bahasa Jerman. Aku matikan televisi dan berusaha untuk tidur nyenyak hingga esok pagi.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum) Hari Pertama 3 Juni 2009
2
Hari ini hari pertama Global Media Forum (GMF). Registrasi akan dimulai pukul 9.30, dan acara baru akan dibuka pukul 11. Lokasi acara di World Conference Center (WCC) Bonn. Sesuai petunjuk yang diberikan panitia, Rochsana Soraya, aku harus berangkat ke sana menggunakan subway nomor 16 yang menuju Bad Godesberg. Untuk itu aku harus terlebih dahulu berjalan ke stasiun subway terdekat, Bonn West atau stasiun besar, yang sedikit lebih jauh, Bonn Haubtbahnhof (Hbf). Terus terang membaca peta dan berjalan-jalan kemarin untuk menentukan orientasi masih membingungkan. Aku putuskan untuk sarapan saja lebih dahulu. Sarapan di hotel tentunya harus berhati-hati, karena banyaknya makanan daging yang mengandung babi. Aku memilih yang aman saja, roti dan omelette. Saat sarapan, aku bertemu dengan Denis kembali. Ia kemarin malam sempat datang ke acara undangan makan malam, dan sempat bertemu dengan beberapa orang menarik. Tadinya aku berharap bisa berangkat bersama dengan dia ke WCC, namun ternyata ia diminta untuk datang lebih cepat oleh Soraya. Ada wawancara dengan media, katanya. Baiklah, setelah sarapan, aku memutuskan untuk berjalan saja.
8 hari di jerman
Aku rasa, setelah melihat peta tempatnya tidak terlalu jauh. Aku pun mulai menyusuri jalan. Wow, ternyata udara pagi pukul 9.00 pagi luar biasa dingin. Aku tak menyangka sampai sedingin ini, karena sore kemarin udaranya cukup membuatku nyaman. Angin kering membawa udara dingin, membuat bibirku cepat terasa kering. Aku terus berjalan, dan dengan sok jagonya menebak-nebak mengikuti anjuran peta yang kudapat dari hotel kemarin. Akhirnya sampailah aku di titik yang membingungkan. Saat itu ada seseorang lewat dengan sepeda. Aku coba tanya bagaimana caranya aku bisa mencapai WCC. Si bule yang berasal dari Köln ini berkata, kalau sebaiknya aku menggunakan subway saja. Ia menunjukkan arah ke Bonn Hbf (yang rupanya sudah terlihat dari situ). Ah, akhirnya, keputusanku untuk berjalan kaki ke WCC dibatalkan. Aku memutuskan untuk menggunakan subway saja. Aku berjalan turun mengikuti panah subway yang mengarah ke Bad Godesberg. Aku mencoba memahami jadwal kereta yang tertempel di papan. Ternyata yang mengarah ke lokasi WCC tak hanya subway nomor 16, tapi masih ada 3 nomor lainnya. Aku nanti harus turun di stasiun Haussallee/Museumsmeile. Pertanyaannya, dimanakah aku membeli tiket? Dan bagaimana caranya? Memang sih katanya semua peserta GMF bebas menggunakan subway dan bus selama acara berlangsung. Cuma sekarang kan aku belum registrasi ulang, dan aku belum memegang tandanya. Aku memperhatikan setiap orang yang masuk ke salah satu kereta subway. Hmm, kenapa mereka tidak memberikan tiket atau memberikan tanda-tanda membayar. Apakah tidak dicek di atas kereta? Sudahlah, akhirnya aku mengambil resiko. Aku masuk saja saat subway nomor 16 datang. Duduk dan memperhatikan. Hmm, ternyata saat masuk ada orang yang mendekati semacam mesin ATM, dan memasukkan koin. Sial, aku tak punya koin. Kembalian dari belanja sore kemarin tidak banyak, dan aku tidak yakin apakah bisa dipakai untuk membayar tiket. Jadi aku mencoba duduk tenang, tanpa membayar tiket (Indonesia banget ya?). Kami melewati stasiun Juridicum, Eundesrechnungshof, Museum Koening, hingga akhirnya sampai di stasiun tujuan, Haussallee/
8 hari di jerman
Museumsmeile. Tak sulit menemukan WCC, karena panah petunjuk yang rupanya telah siap disediakan panitia. Aku berjalan melewati jalan yang diperbaiki, rumah-rumah hunian, hingga akhirnya aku melihat 2 gedung, gedung kantor penyelenggara, Deutsche Welle (DW) dan WCC Bonn. Di hadapan WCC sendiri, terlihat pembangunan yang belum selesai. Mau tahu apa bedanya perhelatan internasional yang diselenggarakan Indonesia dengan Jerman? Kalau Indonesia, semua serba rapih, bersih, meski itu kerapihan dan kebersihan palsu, karena biasanya sebelum penyelenggaraan acara, tempat yang diadakan itu tak pernah dirawat. Di Bonn, Jerman ini, penyelenggara jujur apa adanya. Mereka seperti menunjukkan Jerman ya seperti ini. Daerah yang kulewati menuju Bonn cukup bersih, meski ada beberapa sedikit sampah di beberapa sudut, yang juga tidak terlalu mengganggu. Aku yakin, kalau aku datang lagi setelah acara usai, suasana seperti ini masih tetap serupa. Aku segera registrasi di GMF. Ternyata aku masuk dalam kategori press. Hahaha. Aku menerima sebuah tas sanggul warna kuning dengan dokumen acara GMF di dalamnya. Aku juga mendapatkan badge yang memungkin-kanku untuk menggunakan transportasi publik di Bonn dengan gratis selama 3 hari. Masih ada waktu lama sebelum acara dimulai. Aku mengkontak Yuniman Farid, kontakku di Bonn, yang lalu mengundangku ke DW. Di DW, aku berkenalan dengan Rizki dan Ayu yang menjadi penyiar di redaksi Indonesia. Bahkan Ayu langsung mewawacara aku untuk topik “blogger dan resolusi konflik.” Radio DW ini diputar dalam gelombang SW untuk menjangkau pendengar Indonesia di beragam tempat di dunia. Seharinya siaran hanya 1 jam di siang hari dan 1 jam di malam hari, bergantian dengan redaksi negara-negara lainnya.
8 hari di jerman
Rekaman siaran Radio Deutsche Welle denganku bisa didengar di http://www.dw-world.de/dw/article/0,,4303186,00.html
Pukul 11.00 aku kembali ke seminar dan kembali berjumpa dengan Denis. Aku juga berkenalan dengan Nancy Watzman yang juga menjadi finalis Best Weblog English Language. Acara seminar besar awal dibuka di Plenary Chamber, ruang yang mirip dengan ruang sidang besar daripada ruang seminar. Aku melihat banyak sekali orang dari beragam bangsa datang di acara ini. Banyak yang berkulit hitam dari Afrika. Salah satu pembuka acara seminar pun seorang jurnalis dari China. Internet pun tersedia gratis di sini. Akhirnya, aku bisa secara paralel mendengarkan seminar sembari mengerjakan hutang pekerjaanku yang tersisa.
Gedung yang dipakai sungguh megah. Bangku yang digunakan sungguh ergonomis, enak untuk duduk cukup lama tanpa harus merasa mengantuk. Aku bertanya-tanya, kalau ini gedung untuk konferensi internasional, untuk apa ada lambang negara Jerman berukuran raksasa di depan gedung? Rupanya gedung ini pernah
8 hari di jerman
dipakai oleh parlemen Jerman. Saat itu, tembok Berlin belum runtuh, dan ibukota Jerman Barat masih di Bonn. Tatkala gedung ini selesai dibangun, tembok Berlin runtuh dan Jerman bersatu. Ibukota pindah ke Berlin, menyisakan bangunan parlemen yang tak terpakai. Kini bangunan ini dipakai untuk beragm konferensi internasional, mengingat lokasi gedung yang juga dekat dengan gedung United Nations. Makan siang yang disediakan di GMF ternyata aman. Mungkin mereka sudah mengantisipasi banyaknya orang yang tak makan babi di acara ini. Di hari pertama ini, makan siang yang disediakan salah satunya adalah nasi dengan ketjap manis (sebenarnya sih nasi goreng), meski masih kalah enak dengan nasi goreng Indonesia.
Aku berkenalan pula dengan Andrey Skipalskyi, seorang jurnalis Internews Network dari Ukrainia. Saat Andrey bertemu de-ngan Denis, pembicaraan lokal pun terjadi (dengan menggunakan bahasa Rusia), maklum negara mereka bertetangga. Aku sempat berkenalan pula dengan Thomas Weiss, seorang mahasiswa dari Köln. Ia saat ini sedang melakukan studi pengaruh game terhadap perilaku
8 hari di jerman
pemainnya. Tak berbeda dengan di Indonesia, game Counter Strike masih dianggap populer di Jerman, dan cukup banyak (meski tak sebanyak di Indonesia) yang memanfaatkan game sebagai ajang kompetisi dan meraih hadiah. Di sesi berikutnya, aku menghadiri workshop “How can technologies and information be leveraged to manage crisis better?” yang dibawakan oleh ICT4Peace yang berada di gedung Wasserwerk, tak jauh dari lokasi gedung utama. Isinya ternyata cukup membosankan. Akhirnya aku habiskan waktu untuk berinternet saja.
?
Lucunya, aku sempat memperhatikan seorang perempuan yang duduk di belakangku sedang menulis di kertas kecil. Yang tak kusangka, ia lalu memberikan kertas itu kepadaku. Aku terkejut saat membaca yang tertulis, “Hallo, sepertinya kita pernah bertemu di Goethe Institute, Jakarta ya?” Aku melirik balik, dan bilang nanti setelah workshop kita cerita-cerita ya. Pikiranku pun bertanyatanya, siapa dia? Sekitar 45 menit berikutnya, workshop berakhir, dan aku lalu banyak berbicara dengan perempuan yang mengenalkan dirinya sebagai Sabine Müller. Ia ternyata pernah berada di Jakarta dan Bandung selama beberapa tahun, bekerja sebagai penerjemah dan pengajar di beberapa tempat. Salah satunya, di Goethe Institute Jakarta dan Bandung. Meski ia cukup fasih berbahasa Indonesia, kami masih lebih nyaman berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris. Ia bercerita betapa melelahkannya hidup di Jakarta. Katanya, kalau sudah merasakan membaca buku dengan nyaman di taman-taman di Jerman, aku pasti sudah tak ingin kembali lagi ke Jakarta. Hahaha, sepertinya yang diucapkannya benar, karena memang itu kenyataannya. Kami lalu melanjutkan mengobrol sembari coffee break, sebelum akhirnya kami berpisah menuju workshop pilihan kami masingmasing. Aku memasuki ruang utama tempat acara dibuka tadi pagi, di Plenary Chamber, untuk mengikuti workshop “The young generation: is anyone watching, anyone listening?” Pesertanya cukup menarik, dan tema yang dibawakan cukup tidak membuatku mengantuk sore itu. Meski sesekali waktu aku pakai untuk meman-
8 hari di jerman
faatkan akses internet gratis, namun tak membuatku benar-benar mengalihkan perhatian akan topik diskusi. Sekitar pukul 18.30 semua peserta GMF diundang untuk makan malam sembari naik kapal menyusuri Sungai Rhine. Aku, Denis, dan Nancy yang sempat bertemu lagi sore itu sempat ragu, apakah kapal ini besar? Mampukah menampung ratusan peserta di dalamnya? Ataukah ini hanya bersifat undangan terbatas yang memprioritaskan pendaftar lebih dulu untuk ikut di dalamnya? Sempat kami bertanya ke pusat informasi, yang akhirnya menyampaikan, kalau semua peserta diundang untuk bertamasya di atas kapal. Kami pun melangkah ke luar gedung, mengikuti panah petunjuk yang mengarahkan semua peserta ke tepian Sungai Rhine. Sungai yang sangat lebar ini memang membelah kota Jerman, dan menjadi salah satu atraksi wisata menarik Jerman. Di dekat dok kecil telah terparkir sebuah perahu besar dan mewah, 3 lantai. Wow, aku tak menyangka perahu yang membawa kita sebesar ini. Kalau seukuran ini, wajar saja kalau 500 orang bisa masuk di dalamnya.
8 hari di jerman
Sejenak kami berfoto-foto di tepian sungai dengan latar belakang perahu (sekedar sebagai bukti saja), lalu antri masuk ke dalam perahu. Ada tempat penitipan barang-barang, agar kami tidak terbebani bawaan selama berada di dalam kapal. Aku tersenyum saat memberikan tas punggung dan tas sanggul GMF untuk kutitipkan. Mereka menuliskan nomor di secarik kertas dan memberikannya kepada kami. Hahaha, ternyata di tengah-tengah banyaknya mesin automat di seluruh kota Jerman, penitipan barang seperti ini masih ada yang mereka lakukan secara manual. Aku naik ke lantai dua dan melihat sederetan meja-meja kecil di seluruh lantai. Semua orang terlihat berkumpul di setiap meja dan mengenalkan dirinya masing-masing. Makanan kecil dan minum disajikan oleh beberapa pelayan yang berjalan berputar mengelilingi lantai. Aku menemukan Denis dan Nancy yang duduk di salah satu meja, dan memutuskan untuk duduk di sana. Denis sempat bertemu dengan Rochsana Soraya, panitia dari DW yang mengontakku sebelumnya, dan menanyakan apakah aku sudah sempat bertemu dengannya. Aku dan Nancy belum pernah bertemu. Denis lalu berjanji mencarikan dan akan meminta Rochsana untuk duduk di meja yang sama dengan kami. Tak berapa lama, ada 2 orang lainnya yang bergabung di meja kami. Seorang dari Selandia Baru bernama Dr. James Thomas, dan seorang pebisnis di area mobile, Stephen Skrodzki. Stephen sempat menjadi nara sumber di salah satu diskusi panel sore tadi dan ia banyak bercerita tentang bisnis mobile di Jerman. Ia saat ini menggarap mobile TV, yang diakuinya mengalami penurunan pasar di Jerman. Perusahaannya kini sedang riset beberapa model bisnis mobile lain sebagai alternatifnya. James (atau Jim) orang yang cukup unik. Ia bercerita kalau ia ada-
8 hari di jerman
lah seorang pengacara, sekaligus pebisnis di Makau. Denis bertanya, kenapa Jim mengenakan bros salib di jasnya. Jim bercerita kalau ia adalah seorang pendeta, meski tidak mengikuti aliran gereja tertentu. Ia mengikuti alirannya sendiri, dan pendapatnya sendiri. Dari omongannya, aku tak bisa memutuskan, apakah ia seorang yang sebesar yang ia katakan, ataukah ia hanya berbohong belaka. Namun setidaknya, ia punya gaya obrolan yang asyik. Akhirnya Rochsana datang dan kami semua pun berkenalan. Aku tak menyangka ia semuda itu. Kusangka ia berusia sekitar 40-an tahun, kalau dari yang kutangkap dari bahasanya di surat. Namun ternyata ia seorang yang terlihat muda, meski ternyata usianya sudah 34 tahun. Makan malam prasmanan yang sebelumnya dilarang untuk disentuh, kini boleh kami ambil. Menu makan malam yang luar biasa enak, dari daging sapi muda (veal) hingga salmon yang rasanya luar biasa enak. Cukup kenyang kami semua makan sambil tetap mengobrol. Tak terasa kapal sudah bergerak maju menyusur ke selatan Jerman, melawan arah arus sungai.
Aku lalu minta izin ke yang lain, ingin ke dek kapal paling atas, untuk menikmati suasana sungai. Udara dingin menusuk tulang, angin basah mengenai pakaianku. Namun ini pemandangan yang tak akan bisa kulupakan. Belum tentu seumur hidup aku bisa kembali ke sini, dan menikmati pemandangan ini lagi. Aku menikmati angin dingin yang menerpa tubuhku. Kedua tangan aku masukkan ke saku jaket, sementara udara dingin berhembus dari mulutku. Aku menatap ke tepian sungai melihat rumah-rumah dan banyaknya kastil di lereng-lereng tepi sungai. Hari masih cukup terang, sehingga aku bisa melihat jelas semuanya. Udara pun cerah, tak ada tanda-tanda akan hujan. Aku melihat dek kapal penuh dengan para peserta lainnya. Beberapa terlihat berlindung di bawah tenda dimana banyak makanan dan minuman tersaji di sana. Mereka menikmati udara dingin sambil tetap mengobrol dengan rekanrekan yang baru dikenalnya. Aku memutuskan untuk menikmati udara ini sendiri. Aku abaikan semua dingin yang menusuk, mencoba mengingat-ingat apa yang kulihat, membenamkannya dalam memoriku yang terdalam. Lama-lama aku tak tahan akan dingin yang menusuk. Aku kembali turun dan melihat acara panggung yang kini sudah dimulai. Musik dansa berayun, dinyanyikan oleh kelompok band Goodfellas. Para peserta tua muda, beragam suku bangsa dan ras bercampur meramaikan lantai dansa. Hari pun mulai gelap. Aku sempatkan untuk naik ke dek atas lagi untuk menikmati senja di Sungai Rhine. Kapal pun sudah membalikkan arahnya kembali menuju tempat keberangkatan. Saat berangkat, kapal membutuhkan 2 jam untuk mencapai tujuan, dan hanya membutuhkan 1 jam untuk kembali. Arus sungai dari selatan ke utara sungguh membantu laju cepatnya kapal. Kami pun sampai di tempat semula sekitar pukul 21.00. Beberapa penumpang pulang, sementara musik di panggung masih terus mengalun. Sekitar pukul 22.00, aku masih mengobrol dengan Denis dan Andrey, hingga akhirnya memutuskan untuk kembali ke hotel. Khawatir kalau kami tidak bisa mendapatkan angkutan kembali ke hotel.
8 hari di jerman
Kami melangkah ke luar kapal dan langsung terhajar oleh angin malam yang luar biasa dingin. Kami berjalan mendekati kantor DW, yang untungnya, masih ada bus menunggu untuk mengantar kami hingga Bonn Hbf. Perjalanan tak terlalu lama, hingga kami turun di stasiun utama Bonn. Aku lalu sempat berkenalan dengan 3 orang lain yang rupanya menginap di hotel yang sama dengan aku dan Denis. Seorang pemuda dari Mesir, Ahmad, yang rupanya juga pemenang The BOBs Award, lalu Rosana Hermann dari Brazil, juga pemenang The BOBs Award, serta seorang perempuan dari Iran (kalau tidak salah). Nah, yang ini aku lupa sama sekali namanya. Maaf. Kami semua berjalan kaki dari Bonn Hbf menuju Hotel Karl Kaiser. Saat menyusuri jalan ini, aku mulai sedikit paham alur arah yang tadi pagi sempat membuatku menyasar. Sekitar 20 menit kami berjalan sambil mengobrol, hingga tiba di hotel. Kami berjanji besok pagi untuk sarapan sekitar pukul 8.00 sebelum berangkat ke WCC Bonn.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum) Hari Kedua 4 Juni 2009
3
Pagi ini aku mulai tidur nyenyak. Tidak seperti malam sebelumnya akibat gangguan jetlag. Sekitar pukul 8.00 aku sudah siap, dan turun untuk sarapan. Menu sarapan hotel masih sama seperti kemarin, dan aku pun makan sarapan serupa. Di tempat ini, aku melihat Denis, dan tak berapa lama pun Ahmad datang. Kami semua sarapan bersama. Sekitar 15 menit berikutnya, kami berangkat bersama menuju Bonn WCC. Mereka berdua kemarin sempat berangkat dari stasiun Bonn West, stasiun subway yang lebih dekat dengan hotel daripada stasiun utama Bonn Hbf. Aku mengikut ke arah mana mereka pergi. Mereka berdua berjalan sambil berdebat tentang vegetarian. Haha, si Ahmad ternyata vegetarian sejak beberapa bulan belakangan ini. Aku mengikuti dari belakang sambil sesekali memfoto bangunan yang kami lewati. Sekitar 20 menit berikutnya, kami telah sampai di WCC, dan kami semua sempat bertemu dengan Rochsana. Ia mengingatkan kami untuk berkumpul pukul 16.30 untuk rehearsal acara seremoni penyerahan The BOBs Award. Kami masuk ke workshop yang sesuai dengan pilihan kami masing-
8 hari di jerman
masing, sementara Ahmad bilang, kalau dia akan kabur ke kota saja jalan-jalan. Haha, bukannya aku tak tertarik, tapi aku masih punya banyak waktu di Jerman. Jadi, kuputuskan untuk jalan-jalan nanti saja setelah acara benar-benar usai. Aku mengikuti acara di Plenary Chamber, tentang “Traditional media vs. web media – friends or foes?” Bahasannya menarik, tentang bagaimana menyikapi perkembangan media yang terjadi kini, terutama setelah masuknya media-media baru seperti SMS, blog, jejaring sosial, dll. Meski menarik, aku tetap memanfaatkan waktu pagi ini untuk secara paralel mengecek email selama kegiatan workshop berlangsung (maklum, nggak tahan kalau nggak pakai internet).
Setelah coffee break, aku melanjutkan workshop yang dipandu oleh MediaStorm, tentang “Stories you don’t forget – multimedia storytelling meets crisis prevention” masih di ruangan Plenary Chamber. Perusahaan MediaStorm ini memang lihai dalam menceritakan ulang dan menekankannya pada pesan-pesan tertentu. Hanya dengan memanfaatkan cerita dan potongan dokumentasi video, tim yang hanya beranggotakan 8 orang ini bisa menyajikan film yang bisa menggugah perasaan penontonnya. Makan siang kali ini tak seheboh hari sebelumnya, meski tetap
8 hari di jerman
enak. Aku mulai memperhatikan suatu pola. Mereka sama sekali tidak pernah menyajikan menu yang mengandung babi. Bisa jadi panitia sadar karena peserta Global Media Forum (GMF) ini banyak pula yang beragama Islam.
Di workshop berikutnya, aku mengikuti “Citizen journalism and freedom of speech” dengan pembicara dari beberapa blogger pemenang The BOBs Award. Dari ulasan mereka tentang perkembangan blog di negara masing-masing, aku mulai merasa, hidup di Indonesia jauh lebih beruntung. Mereka yang di Afrika masih agak sulit mengakses internet, dan lebih banyak memanfaatkan SMS dan MMS untuk publikasi konten. Blogger cantik dari Iran (yang tak mau namanya dipublikasikan oleh media) mengaku blog yang dibangunnya bersama dengan 50 perempuan lainnya mendapat kecaman dari Pemerintah. Saat ini bahkan ada 3 blogger yang dita-han. Blogger bernama Yoro dari Afrika Selatan yang memenangkan Best Weblog French Language tidak terlalu menghadapi hambatan, namun memang iklim menulis blog di negerinya masih mulai dibangun. Yang mungkin tidak mendapatkan masalah adalah Nancy Watzman dari Amerika Serikat yang blognya membahas tentang partai politik.
8 hari di jerman
Acara ini selesai lebih cepat daripada jadwal. Saat aku keluar, aku sempat bertemu dengan Rosana dan Denis. Saat itu ada seorang pegawai Deutsche Welle (DW) bernama Carlos yang berasal dari Brazil. Ia dan Rosana seperti sudah kenal sejak lama. Aku dan Denis lalu diajak untuk berjalan-jalan ke gedung DW. Tentunya kami mau saja, daripada harus menunggu tanpa ada kegiatan. Kami bertiga pun diajak berkeliling dalam gedung DW dan diajak berkenalan dengan para tim redaksi DW yang berasal dari Brazil. Rosana, Carlos, dan para tim redaksi lainnya pun terlihat saling mengobrol dalam Bahasa Portugis, sementara aku dan Denis hanya jadi pengamat dan senyumsenyum saja. Denis mengeluarkan kameranya dan merekam aksi obrolan yang tidak ia mengerti itu. Mumpung aku di DW, aku segera mengkontak Yuniman, karena ia pun diminta untuk datang pada acara rehearsal seremoni yang akan diadakan sebentar lagi. Sekitar pukul 16.30 kami semua sudah berkumpul. Akhirnya, semua pemenang bisa berkenalan satu sama lain, termasuk dengan para panitia penyelenggara The BOBs Award. Setiap perwakilan pemenang kategori bahasa didampingi seorang dari DW yang berasal dari negara berbahasa serupa. Aku sempat berbicara dengan ketua panitia The BOBs Award, Gabriel dan asisten utamanya, Petra (yang wajah dan rambutnya mengingatkanku akan selebriti Heather Graham, meski tentu ia tak secantik si selebriti). Kami semua diajak berkumpul di salah satu ruang di lantai atas. Sambil menikmati makanan kecil, kami semua di-brief akan proses seremoni. Seorang perempuan yang akan membawakan acara nanti menyempatkan mengobrol satu persatu dengan kami, mencoba mendapatkan gambaran blog apa yang kami buat. Ia juga mengkonfirmasi kami akan pertanyaan apa yang nanti akan ia ajukan.
8 hari di jerman
Setelah itu kami turun ke ruang Plenary Chamber tempat akan berlangsungnya penganugrahan. Saat itu ruang yang sebelumnya dipakai untuk workshop sudah kosong, pesertanya sudah rehat coffee break. Ruangan itu kami pakai untuk rehearsal kasar peng-anugrahan. Show director menentukan proses urutan penerimaan piagam, dan titik tempat kami akan berdiri dan berbicara. Setelah itu kami diminta untuk duduk dekat panggung, di bangku-bangku yang sudah ditandai oleh nama kami masingmasing. Aku agak khawatir akan Bahasa Inggrisku yang masih acak adut ini. Untuk menghindari kegugupanku nanti berbicara, aku mencoretcoret di telapak tangan kiriku, tentang kalimat yang akan kuucapkan. Aku terus mengulang-ulang kalimat itu. Denis yang kebetulan duduk di sebelahku hanya tertawa melihat aku menulis kebetan di telapak tanganku. Ia cuma mengingatkanku untuk tidak melambaikan tangan saja. Haha. Masih ada beberapa saat sebelum acara resmi dimulai. Aku mengeluarkan beragam pembatas buku dan gantungan kunci bergambar wayang yang aku bawa dari Jakarta. Aku bagikan ke setiap pemenang, sebagai tanda kenang-kenangan dariku. Umumnya, mereka merasa senang akan pemberian hadiah ini. Hmm, apa memang sudah jadi kekhasan orang Indonesia untuk kemana-mana membawakan oleh-oleh ya? Haha, karena satu pun dari mereka tak ada yang memikirkan untuk membawa kenangan dari negara mereka untuk orang lainnya. Kamera aku titipkan ke Yuniman, agar ia bisa mendokumentasikan foto saat aku menerima penghargaan. Setelah beberapa saat, video yang menampilkan cuplikan gambar dari blogku pun ditampilkan di layar, kemudian namaku pun dipanggil. Aku berjalan ke arah panggung dan menerima piagam dari kaca yang cukup berat.
8 hari di jerman
Pikiranku hanya satu, bagaimana nanti membawa ini kembali ke Jakarta ya? Pikiran itu segera hilang saat si pembawa acara menanyakan apa isi blogku. Ia juga menanyakan katanya aku sedang membuat buku ya? Ia juga menanyakan relevansi buku ini dengan konten tulisan yang kubuat di blogku. Setelah semua dipanggil dan mendapatkan piagam, acara pun berakhir dengan kami berfotofoto bersama. Sayang untuk beberapa blogger yang tak bisa hadir, karena alasan pribadi dan alasan dilarangnya mereka keluar dari negara mereka masing-masing. Acara hari itu pun berakhir, dan semua peserta seminar diminta untuk datang ke gedung DW untuk menghadiri perjamuan makan malam bersama-sama di sana. Ada untungnya juga acara penganugrahan piagam The BOBs Award ini, karena semakin memudahkan aku untuk berkenalan dengan orang-orang lainnya. Mereka malah yang mendatangiku untuk mengobrol banyak tentang kondisi blog di Indonesia. Ada Katsumi Sawada, seorang jurnalis dari koran Mainichi. Ia dulu sempat datang ke Indonesia saat kerusuhan tahun 1998, dan meliput kejatuhan Suharto. Kami banyak mengobrol tentang kondisi blog di negara masing-masing. Tepatnya sih, ia lebih ingin tahu
8 hari di jerman
bagaimana aktivitas daring para penduduk di Indonesia, dan sudah sampai sejauh apa. Ada lagi seorang redaktur dari Jerman, Christian Mihr, yang sering memberi pelatihan jurnalistik ke negara-negara Timur Tengah. Ia akan menjadi pembawa acara di salah satu topik besok. Aku berjanji akan datang, karena topik yang dibahasnya erat hubungannya dengan dunia blog. Ia juga banyak bertanya tentang perkembangan dunia blog di Indonesia, dan hambatan apa yang dihadapi para blogger dan jurnalis warga lainnya. Aku sempat bertemu dengan 2 orang lainnya yang berasal dari redaksi Indonesia, dan berkenalan dengan anak Yuniman, si Mewan, bayi berusia 13 bulan yang rupanya senang makan apa saja yang tersaji. Acara masih berlangsung lama, namun aku memutuskan untuk pulang ke hotel lebih cepat dan beristirahat. Aku berjalan menuju stasiun subway, turun di stasiun Bonn West (tempat aku berangkat tadi pagi), dan melanjutkan berjalan kaki hingga hotel. Malam ini malam terakhirku di hotel, dan aku masih ada sisa waktu pemakaian internet yang pernah kubayar saat pertama kali aku menginap. Malam ini kesempatan terakhir untuk menghabiskannya. Sisa waktu 45 menit aku habiskan untuk berinternet di lobi hotel, sebelum kemudian mataku mulai mengantuk, dan aku memutuskan untuk tidur.
8 hari di jerman
Bonn
(Deutsche Welle Global Media Forum) Hari Ketiga 5 Juni 2009
4
Wah, ini hari terakhir seminar, dan ini artinya hari terakhirku pula di hotel ini. Aku harus pindah mulai siang ini, kecuali kalau aku mau membayarnya sendiri. Aku mulai mengepak barangku, mengaturnya kembali agar muat dalam koper yang kubawa. Beberapa t-shirt batik dan syal serta taplak meja bertekstur batik yang kubawa dari Jakarta dan hendak kubagikan ke beberapa orang kukemas dalam tas punggungku. Rencananya, malam ini aku akan mulai menginap di rumah Yuniman. Untuk itu, koper harus aku bawa sekarang dan kutitipkan di kantor DW hingga masa seminar berakhir. Aku sarapan sendiri. Mungkin yang lainnya belum bangun. Kemudian aku naik kembali, meneruskan mengepak, lalu segera turun ke lobi, check out. Aku menitipkan sementara koper, untuk kembali ke ruang sarapan. Ah, ada Rosana, Ahmad, dan Denis. Kami bercerita tentang rencana kami selanjutnya setelah acara ini berakhir. Rosana masih akan menginap di hotel ini sehari lagi. Ahmad akan pindah ke hotel Ibis di seberang jalan, sementara Denis akan dijemput oleh temannya untuk pergi ke kota lain. Mereka juga memutuskan untuk memakai waktu hari ini untuk berjalan-jalan ke pusat kota Bonn dan belanja. Takut kalau aku tak bisa bertemu dengan mereka kembali, aku putuskan untuk membagikan t-shirt
8 hari di jerman
batik yang kubawa ke Denis dan Ahmad. Kami pun berpisah. Mereka ke kota, sementara aku menyeret koperku berjalan menuju terminal subway Bonn West untuk kemudian berangkat ke lokasi seminar. Saat menuju WCC, aku melihat banyak peserta yang sudah menyeret kopernya dan menitipkannya di lokasi acara. Aku berjalan ke gedung Deutsche Welle (DW) dan kebetulan berpapasan dengan Yuniman di pintu masuk. Yuniman meminta koperku untuk ia taruh ke kantor. Katanya, istrinya, Lara Vincent akan datang nanti siang ke kantor. Koper bisa langsung dititipkan di mobil istrinya nanti siang. Aku tak perlu merasa khawatir. Aku tiba telat di WCC. Acara sudah dimulai. Aku langsung memasuki workshop “Suppressed website – will censors lose the race.” Karena telat, aku tak terlalu menyimak tema yang dibawakan. Intinya sebetulnya, bagaimana tekanan-tekanan yang muncul pada beberapa situs/blog dan mungkinkan isi situs/blog itu disensor/diregulasi oleh pihak berwenang. Saat coffee break, aku berkenalan dengan seorang pemuda dari Cina. Namanya Ya Lin Wang, yang ternyata bekerja di kantor United Nations, tak jauh dari gedung DW. Bahasa dan dialeknya sungguh bagus dan mudah dipahami. Berbeda dengan beberapa orang dari Jepang dan Cina yang pernah aku temui sebelum-sebelum ini. Ia belum lama bekerja di sana, dan sepertinya sangat menyukai pekerjaannya. Saat itu, waktunya memasuki sesi workshop terakhir. Aku mencaricari Rochsana, si panitia dari DW sejak tadi namun sialnya baru ketemu saat sesi berikutnya akan dimulai. Setelah menunggunya sibuk melayani si blogger dari Iran (yang kehilangan rekannya), aku pun berkesempatan mengobrol dengannya. Aku memberikannya sebuah syal dan taplak meja batik yang memang kusiapkan dari Jakarta untuknya. Ia menerimanya dengan senang hati. Untunglah. Aku lanjut kembali segera memasuki workshop yang memang kutunggu-tunggu. Di acara yang dipandu oleh Richard Mihr (yang
8 hari di jerman
sempat kutemui di hari sebelumnya), aku mengikuti workshop berjudul “Bypassing cencorship through blogging? The blogosphere in Russia” yang membahas tentang kondisi blogosfer di Rusia dan Jerman dan pengaruhnya terhadap perkembangan politik. Sebenarnya ini topik yang menarik kalau saja si pembicara dari Rusia bisa presentasi dengan lebih baik.
Di akhir sesi, aku sempat bertanya apakah politisi baik di Rusia dan Jerman sudah terjun langsung berdiskusi melalui blog atau forum, dan apakah upayanya ini berhasil menarik minat generasi muda? Dalam hal ini, di Rusia ternyata lebih maju. Politisinya aktif dan blog yang mereka tulis cukup banyak menarik minat pembaca anak muda, sementara di Jerman masih sebatas mencoba aktif di beragam social media meski belum bisa mengukur hasil yang didapatkan. Acara workshop berakhir, dan semua peserta diminta kembali ke Plenary Chamber untuk mengikuti pidato penutupan. Pidato yang menurutku basa basi ini agak membosankan. Agak aneh, karena pidato yang bersifat kesimpulan ini sepertinya sudah dituliskan jauh hari sebelum kegiatan Global Media Forum (GMF) ini berlangsung.
8 hari di jerman
Acara ditutup dengan makan siang bersama di Art and Exhibition Hall, sekitar 10 menit berjalan kaki dari WCC. Ada informasi baru kalau katanya para peserta bisa mengikuti tur tambahan berjalanjalan ke sebuah tempat wisata, namun dikenakan biaya 49 Euro. Wow, menarik sih, tapi mahal sekali. Lebih baik aku tak ikut. Kalau memang bagus, aku pikir aku bisa pergi ke sana esok sendiri, dengan biaya yang tentunya lebih murah.
Saat berjalan ke lokasi aku sempat berkenalan dengan Peter Bihr. Ia sempat menjadi notulen di workshop yang terakhir kuhadiri. Ia saat ini sedang menggarap kampanye daring untuk salah satu partai politik di Jerman. Ia bertanya-tanya tentang bagaimana para politisi di Indonesia berkampanye. Aku lalu bercerita tentang hal yang serupa terjadi di Jerman, banyak calon presiden yang memanfaatkan blog dan Facebook untuk berkampanye. Aku juga bercerita kalau mereka tidak hanya melakukan itu. Mereka, atas undangan para blogger dan partisipan di ranah daring, bahkan sempat bertemu dan berdiskusi langsung di tempat yang netral. Peter hanya berucap, “Wow, mereka mau? Itu ide yang bagus. Nanti akan coba diadakan serupa pula di sini.” Aku kembali berpikir, wah, berarti kalau terkait dengan blog dan masyarakat
8 hari di jerman
daring di Indonesia, kita jauh lebih beruntung dan maju dibanding negara seperti Jerman sekalipun. Tempat makan siang kali ini tidak terlalu besar, dan antriannya terlihat panjang. Aku hanya mengambil minum. Saat bertemu dengan Ahmad, ia mengajakku untuk melihat museum terlebih dahulu. Lokasinya memang tak jauh dari tempat jamuan makan. Saat itu sedang ada pameran karya Amadeo Modigliani, seorang artis klasik tenar yang karya aslinya tersebar di beragam museum di berbagai negara.
Aku sendiri tak mengenal Modigliani, sampai akhirnya aku melihat karyanya yang familiar. Oh, yang ini, kataku dalam hati. Tak sadar, kuhabiskan waktu hampir 1 jam lamanya mengamati semua karyanya di museum. Keren-keren. Bahkan, Ahmad akhirnya meninggalkanku karena aku terlalu asyik menikmati lukisan, pahatan, dan sketsa karya Modigliani ini. Sekembalinya aku ke tempat makan, antrian sudah berkurang, dan menupun sudah berkurang. Aku makan yang tersisa dan berdi-
8 hari di jerman
ri di dekat Nancy dan Rochsana yang asyik mengobrol bersama. Nancy rupanya sudah menyempatkan diri belanja dan mampir ke Beethoven Haus di tengah kota. Ia menunjukkan kaos oleh-oleh untuk suami dan kedua anaknya. Waktu pun menunjukkan pukul 15.00 dan akhirnya kami semua pun harus berpisah. Nancy rupanya masih akan mengikuti tur tambahan, karena kesempatannya di Jerman pun hanya tinggal sore ini. Ia harus kembali ke Amerika Serikat esok pagi. Aku mengirimkan SMS ke Yuniman, menanyakan pukul berapa ia pulang. Rupanya ia masih akan lama di kantor. Baiklah, kalau begitu aku habiskan waktu sore ini dengan berjalan-jalan memasuki museum lainnya di sekitar sini. Aku mampir sejenak ke Kuntz Museum dan takjub melihat air mancur yang menetes dari atas. Tetesan ini turun dengan kecepatan yang berbeda-beda, dan membentuk kata-kata sambutan dalam Bahasa Jerman. Aku membayar 2 Euro untuk bisa memasuki isi pameran, yang rupanya berisi pameran seni instalasi yang membosankan.
Aku melanjutkan berjalan-jalan ke arah manapun tanpa tujuan. Rupanya sudut kota sekitar DW dan WCC ini merupakan area kantor yang tak banyak bisa dilihat. Aku lalu berbalik arah, dan ber-
8 hari di jerman
jalan menuju Sungai Rhine, tempat kapal wisata membawa peserta seminar 2 hari sebelumnya. Aku duduk dan memfoto beragam aktivitas yang terjadi di sana. Banyak sekali warga yang memanfaatkan tepian Sungai Rhine yang tertata ini untuk olahraga jogging, sementara banyak sekali kapal kecil dan besar berlayar melewai sungai. Ada yang mengangkut mobil, ada yang merupakan kapal pesiar yang setiap penumpangnya bebas ikut, dengan membayar tentunya.
Setelah cukup bosan menatap sungai, aku memutuskan untuk menunggu Yuniman saja di kantor DW. Di kantornya, aku meminjam salah satu komputer untuk mengecek email. Aku langsung bingung setelah melihat keyboard yang dipakai. Standar Jerman memang berbeda. Yang terlihat langsung adalah posisi huruf Y dan Z yang terbalik. Lalu aku perhatikan lebih detil lagi, ternyata semua posisi tanda baca pada posisi yang berbeda semua. Ada pula tambahan beberapa karakter yang bisa diaktifkan bila aku menekan tombol Alt-kanan terlebih dahulu. Ada perbedaan fungsi antara Alt-kiri dan Alt-kanan pada keyboard Jerman. Yuniman sempat mengenalkanku dengan kepala redaksinya, Hendra Pasuhuk. Sambil menunggu Yuniman selesai dengan pekerjaannya, aku pun mengobrol panjang lebar dengan Hendra. Dari-
8 hari di jerman
nya, aku ketahui kalau ternyata biaya telekomunikasi di Jerman itu masih mahal. Operatornya tidak terlalu getol dalam bersaing. Bahkan, hampir tidak ada tempat wi-fi gratis yang disediakan oleh operator, kecuali kalau pembiayaannya disponsori oleh pihak lain. Biaya telepon masih tergolong tinggi, meski biaya internet untuk rumah tangga bisa dikatakan sangat murah. Makanya, banyak warga Jerman yang lalu memanfaatkan internet untuk bertelepon dan video. Hendra juga bercerita tentang seluk beluk DW, bagaimana munculnya redaksi Indonesia dan berita seperti apa yang biasanya mereka bawakan. Umumnya DW redaksi Indonesia lebih banyak menceritakan berita-berita luar negeri, dengan sumber berita dari kantor berita DW sendiri. Hendra juga bercerita kalau DW siaran Indonesia hanya bisa didengarkan di gelombang SW, dan hanya siaran 2 jam dalam sehari, 1 jam di siang hari dan 1 jam di malam hari. Semua siaran sudah direkam, dan operator siar hanya memutar hasil akhir yang sudah di-mix. Setiap harinya, staf DW Indonesia mencari bahan, dan menyusun rundown acara untuk siaran di hari itu. Secara paralel, anggota staf yang sama pula mengisi rubrik Bahasa Indonesia di situs utama DW. Sekitar pukul 18.00, Yuniman sudah selesai dengan tugasnya, dan bersama dengan 2 rekan lainnya, Ayu dan (duh maaf, aku lupa namanya), kami keluar dari DW. Kami tidak langsung pulang. Rencananya, Yuniman beserta 2 rekannya itu akan mengunjungi seorang rekan lainnya yang baru saja melahirkan bayi. Aku ikut saja, sekaligus melihat-lihat jalan Bonn. Kami semua berangkat menggunakan mobil pribadi temannya Ayu. Kami berjalan memasuki pinggiran kota Bonn, melewati hamparan rumput hijau, rumah-rumah kecil, hingga sampai kompleks perumahan yang dimaksud. Rekan yang dijenguk ini bernama Vidi, dengan bayinya yang masih berusia 1 bulan bernama David. Suami Vidi, orang Jerman, bernama Daniel, saat itu belum tiba di rumah. Guyonan Ayu dan temannya, nama David diambil dari gabungan kedua nama orang tuanya, Da-niel dan Vid-i. Tak lama kemudian, rekan dari DW lainnya, Rizki, yang aku sempat kenalan di saat kunjungan pertamaku ke DW, datang. Lalu, istri Yuniman, Lara
8 hari di jerman
dan anak mereka, Mewan, datang pula. Lara Vincent, istri Yuniman ternyata seorang perempuan atraktif berkebangsaan Prancis. Suasana pun ramai, apalagi ditambah kehadiran 2 anak kecil di rumah sempit itu. Sungguh, rumah di Jerman memang kecil-kecil. Sewanya per bulan cukup mahal, bisa sampai 500 Euro per bulannya. Sekitar pukul 19.00, kami pun pulang. Ayu, Rizki pulang diantar temannya, sementara aku ikut Yuniman yang pulang bersama istrinya dan Mewan. Rumah Yuniman juga agak jauh dari luar kota, tapi katanya kalau dengan bus cuma butuh waktu 20 menit hingga pusat kota. Aku percaya saja, toh seharusnya transportasi di sini sangat baik dan tepat waktu, berbeda dengan di Jakarta. Rumah Yuniman lebih besar daripada rumah Vidi. Dua lantai. Lantai bawah penuh dengan mainan Mewan yang tersebar di lantai. Satu set komputer terlihat di ruangan itu dengan pagar pembatas. Lucunya, biasanya pagar ini dipakai untuk menjaga agar bayi tidak keluar dari batas. Namun di sini, pagar itu dipakai untuk mengelilingi komputer, agar si bayi tidak bisa mendekat ke komputer. Dapur penuh dengan beragam sayur dan toples. Piring tempat makan kucing peliharaan mereka terlihat di lantai dapur. Kamar mandi kecil yang terdapat di bawah hanya digunakan untuk toilet dan wastafel. Di lantai atas terdapat 2 kamar tidur. Satu untuk Yuniman dan Lara. Satu biasanya untuk tamu, namun kadang Mewan ditidurkan sendiri di kamar itu. Kamar mandi dengan bathtub juga berada di lantai dua. Isi kamar mandi penuh dengan perlengkapan mandi Mewan. Huhu, begini rasanya kalau punya banyak barang namun ruangan terbatas. Masih ada tangga menuju besmen, yang katanya langsung mengarah ke tempat parkir mobil. Berbeda dengan rumah atau apartemen Jerman lainnya yang memiliki satu pintu masuk untuk seluruh unit, rumah Yuniman memiliki pintu masuk sendiri. Aku mulai memikirkan rencana esok, memastikan apakah Christin, si blogger yang kini berada di Belanda jadi bisa datang ke Jerman esok hari. Akhirnya, Christin pun mengkonfirmasi kalau kita bisa
8 hari di jerman
8 hari di jerman
bertemu dan berjalan-jalan di kota Düsseldorf. Ah, akhirnya ada yang bisa menemaniku berjalan-jalan esok hari. Malamnya, saat Mewan sudah tidur benar, Yuniman hendak berangkat ke supermarket. Aku pun ikut, untuk membeli minum dan cokelat untuk bekalku berjalan-jalan esok hari. Supermarket terkenal di Jerman adalah Rewe, yang menjangkau pasar di kota hingga tepian kota. Hanya Yuniman mengingatkan kalau belanja di Rewe, pembeli harus menyiapkan kantong sendiri. Berbeda dengan di Indonesia, tas plastik untuk kantung belanja di sini dijual, dan tidak gratis. Harganya 0.10 Euro. Huh, plastik pun harus ada tanda barcode-nya. Malam itu aku tidur di ruang tamu, setelah menikmati makan malam sederhana bersama dengan Yuniman dan Lara. Aku tak lupa men-charge batere handycam, kamera, dan telpon, agar aku bisa mendokumentasikan lengkap seluruh perjalananku esok hari.
8 hari di jerman
Düsseldorf 6 Juni 2009
5
Hari ini aku berjanji untuk berjumpa dengan seorang blogger Jogja yang kini merantau di Rotterdam, Belanda. Namanya Christin. Kami berjanji untuk bertemu di kota Düsseldorf, tepatnya di stasiun pusatnya, Düsseldorf Hbf. Christin sudah berangkat sejak pagi dengan menggunakan kereta ICE dari Belanda. Biayanya yang cukup mahal, sempat membuatnya ragu, apakah ia bisa ke Düsseldorf atau tidak. Entah apapun pemikirannya, akhirnya ia tetap memutuskan untuk berangkat. Aku bersyukur karenanya. Setelah mengarungi perjalanan dengan kereta lintas negara selama kurang lebih 3 jam, Christin pun tiba lebih dahulu di Düsseldorf pada pukul 10.30. Aku baru bisa berangkat dari rumah Yuniman setelah pukul 8.30. Haha, ini dikarenakan aku tidak diizinkan mandi sampai Mewan, si bayi, terbangun lebih dahulu. Setelah Mewan bangun, aku pun mandi, dan segera berpamitan. Ada 2 alternatif nomor bus dari rumah Yuniman di jalan Hallestrasse no. 56 menuju pusat kota Bonn, yakni bus nomor 608 dan 609. Nomor 608 bisa aku naiki dari halte dekat rumah (nama haltenya, Fahrenheitstrausse), sementara nomor 609 harus dari halte yang lebih jauh, sekitar 200 meter dari rumah (nama haltenya Hallestrasse). Nomor 608 akan berangkat pada pukul 8.57.
8 hari di jerman
Aku segera bergegas ke halte Fahrenheitstrausse. Bus pun datang tepat waktu. Bodohnya aku, aku menunggu di halte yang salah. Aku menunggu di sisi seberang. Aku kira bus ke Bonn lewat di hadapanku, padahal bus itu lewat di sisi seberang jalan. Yuniman sempat berkata, bus akan datang setiap 30 menit. Aku khawatir, kalau aku menunggu bus 608, aku takut ketinggalan kereta yang akan membawaku ke Düsseldorf. Aku segera berlari-lari kecil ke halte Hallestrasse. Udara dingin keluar dari mulutku. Bawaanku sengaja kuperingan. Aku hanya membawa handycam dan kamera SLR-ku. Namun udara pegunungan yang tipis dan dingin cukup cepat membuatku kehabisan nafas. Setibanya di halte, kupastikan lagi. Kali ini kutanya langsung dengan seorang ibu yang menunggu di sini, dan untunglah kali ini benar. Setelah 10 menit menunggu, bus 609 pun datang. Ini pertama kalinya aku menggunakan bus di Bonn dengan membayar. Sebelumnya, badge pemberian Global Media Forum yang menjadi alat sakti pembayaran. Bus membawaku ke pusat kota Bonn melewati serangkaian ladang, rumah-rumah apartemen. Pemandangan yang bersih kemanapun mata memandang. Coretan grafiti cukup banyak terlihat di berbagai sudut jalan, namun tak menghilangkan kesan menariknya kota Bonn. Sekitar 20 menit kemudian bus pun berhenti di pusat kota. Aku sempat mencari-cari lokasi stasiun kereta utama. Dua hari lalu aku memang sempat berada di sini, hanya saja saat itu malam hari dan semua sudah sepi tanpa kehidupan. Stasiun kereta Bonn Hbf terlihat padat. Banyak orang beragam usia menunggu kereta yang akan lewat. Beragam kereta dengan berbagai kelas lewat stasiun ini. Semua terjadwal tepat waktu (atau kalau pun terlambat, hanya selisih 2-3 menit). Aku harus menemukan tempat membeli tiket terlebih dahulu. Yuniman mengatakan ada loket orang yang menjual tiket. Sejenak ku berputar namun tak melihat sedikit pun tanda tempat penjualan tiket. Aku mendekati sepasang suami istri yang berada cukup dekat de-
8 hari di jerman
nganku. Aku menduga, sepertinya si suami bisa berbahasa Inggris lancar. Saat kutanyakan tempat membeli tiket, si suami hanya bilang sembari menunjuk automat. Semua tiket serba otomatis. Aku berjalan mendekati automat. Aku mulai bingung, karena petunjuk yang tertempel di mesin itu menggunakan Bahasa Jerman. Aku kembali celingak-celinguk, lalu aku melihat 2 orang pemuda Jerman yang sedang membeli tiket di automat sebelah. Langsung saja kumintakan tolong untuk membantuku memahami automat. Ternyata aku cukup memasukkan kode tujuan keberangkatan, masukkan uang (menerima kertas dan koin) ke slot automat, dan voila, tiket tujuan pun keluar. Perjalanan dari Bonn Hbf menuju Düsseldorf Hbf mengabiskan 14.4 Euro. Dengan sabar ku menunggu hingga jam mendekati pukul 10.00. Kereta Rhine Express (RE) yang kutunggu pun akhirnya tiba. Kereta RE berwarna merah ini merupakan kereta kelas termurah di Jerman. Lantainya terbagi menjadi 2 tingkat. Aku pun memilih untuk duduk di lantai atas. Posisi bangku tak berbeda dengan kereta di Indonesia, hanya bedanya, bangku kereta ini lebih ergonomis dan nyaman untuk diduduki. Perjalanan selama 1 jam melewati beberapa stasiun kereta. Salah satu yang besar adalah stasiun Köln Hbf. Banyak penumpang turun dan naik di stasiun ini. Akhirnya jam 11.03 sampailah kereta di Düsseldorf. Telat 3 menit dari jadwal seharusnya. Christin sempat meng-SMS kalau ia sudah tiba sejak pukul 10.30 dan ia akan menunggu di jalur kereta kedatanganku. Aku pun keluar bersama banyak orang lainnya. Stasiun Düsseldorf Hbf sungguh besar sekali, melebihi ukuran stasiun Bonn Hbf (yang sebenarnya pun sudah besar). Banyak kereta regional dan antar-
8 hari di jerman
negara melintas di stasiun ini. Bahkan kereta yang ditumpangi Christin pun, yang menghubungi Belanda dan Jerman, singgah di stasiun ini. Sempat aku mencari Christin kesana kemari, hingga akhirnya ia yang menemukanku. Wow, ternyata ia lebih pendek daripada yang kuduga (haha, maaf lho). Tapi orangnya asyik. Ramah, baik, sayangnya gila shopping. Kami lalu berjalan ke luar stasiun menuju kota Düsseldorf. Christin ternyata pernah ke kota ini sekali, makanya ia tak terlalu kehilangan orientasi saat memasuki kota ini.
Kota Düsseldorf sungguh berbeda dengan Bonn. Sangat ramai. Ke mana mata memandang, yang terlihat pertokoan besar. Dari brand besar seperti Levi’s, H&M, Zara, atau Esprit. Untung aku bukanlah tukang belanja. Kasihan Christin, mentalnya diuji coba di kota ini. Matanya tidak tahan menatap beragam diskon dari 10-20% yang muncul di setiap toko. Ia berulang kali mencoba menghindar, dan mengajak terus berlalu sebelum godaan itu berhasil menyerangnya. Kami membiarkan langkah kaki membawa kami berjalan memasuki mal-mal kecil, plaza dengan patung indah, hingga beberapa
8 hari di jerman
gereja tua. Suasana hiruk pikuk orang, kendaraan, trem, terlihat di banyak persimpangan jalan. Beberapa galian konstruksi juga terlihat, dibatasi oleh pagar yang tertata rapih memisahkannya dengan keramaian orang berlalu lalang.
8 hari di jerman
Saat itu sudah mendekati siang hari, dan perut kami pun lapar. Aku sendiri tak sempat sarapan tadi pagi, sementara Christin hanya makan sepotong roti. Christin memberikan pilihan, makan di Pizza Hut, McDonald’s atau Subway? Subway, aku bertanya, apakah itu? Kami memutuskan untuk makan di Subway. Christin sudah bebe-rapa kali makan di sini, sementara aku belum pernah mencoba. Di Subway, kami bisa membuat sandwich sendiri. Dari awal memilih roti, keju, daging, sayur, hingga saus. Porsinya cukup besar dan mengenyangkan untuk makan siang. Di sini, soft drink bebas diambil, tanpa ada batasan porsi. Saat makan siang ini, aku dan Christin banyak bertukar cerita tentang temanteman di Plurk dan beragam kejadian yang terjadi belakangan ini. Setengah jam kami sempat berbicara, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Beberapa orang terlihat mencoba meraih penghasilan dengan beratraksi. Ada sekelompok pengamen yang memainkan alat musik dengan irama indah. Kata Christin, alunan organ elektronik dari salah satu pemain mengingatkannya akan organ gereja. Ada pula pemain “pantomim” yang mengecat seluruh tubuhnya dengan warna hitam, dan beraksi bak patung. Ada pula aksi penggalangan dana, yang mempertunjukkan 2 orang di panggung beradu cepat di atas sepeda statis. Saat itu juga ada beberapa kelompok orang yang mengenakan kostum seragam, sepertinya ada kompetisi lomba kostum. Aku sempat lihat sekelompok pemuda yang berdandan punk dan gothic. Ada lagi sekelompok yang mengenakan kaos merah dengan kertas tertempel di dadanya, seperti Gerombolan Siberat, musuh si Paman Gober di karakter Disney. Ada pula sekelompok pemuda yang mengenakan kaos warna-warni ala Hawaii. Aku dan Christin sempat tertawa karena salah satu orang mengenakan kaos dengan gambar David Hasselhoff sebagai bagian dari coraknya.
8 hari di jerman
Sampailah kami di salah satu sentrum kota. Gedung tua dan patung menghiasi area itu. Tak jauh dari situ, ada lorong masuk menuju tempat penjualan suvenir. Beragam jenis suvenir khas Düsseldorf dan Jerman dijual di sini. Agak aneh melihat penjualnya. Si bapak berkacamata ini mengenakan jas formal hitam lengkap dengan dasi merah. Sesuatu yang amat janggal untuk seorang penjual suvenir. Saat membeli barang pun, ia sendiri yang membungkus dan mengurus pembayaran di kasir.
Saat itu cuaca sungguh tak mendukung. Mendung dan akhirnya diikuti oleh hujan rintik-rintik. Suhu saat itu mungkin sekitar 17°C. Bukan air hujan yang menyiksa, namun angin kering dingin yang mengikutinya yang membuat banyak orang menepi dan berteduh. Beberapa toko menyediakan coffee shop yang laris dihampiri orang untuk berteduh. Meski hujan dan angin cukup kencang, aku dan Christin meneruskan perjalanan. Christin mengeluarkan payungnya, dan kami pun meneruskan perjalanan. Kami semakin mendekati Sungai Rhine yang membelah kota Jerman. Banyak rumah makan dan pertokoan berada di sekitar sini. Beberapa turis terlihat berfoto-foto sembari mendengarkan cerita dari pemandunya. Dari sudut kami berjalan,
8 hari di jerman
menara tinggi, yang menjadi ikon kota Düsseldorf terlihat jelas. Sayangnya langit masih mendung dan dingin semakin menusuk. Akhirnya kami memutuskan untuk menghangatkan diri. Kami kembali berjalan ke pusat kota, mencari Dunkin’ Donuts. Christin sepertinya kangen sekali akan donat karena ternyata tak ada Dunkin’ Donuts sama sekali di negeri Belanda. Toko terlihat kecil dengan meja dan kursi terbatas. Setelah kami membeli masing-masing sebuah donat dan minuman, kami berjalan ke belakang. Ternyata, toko ini memiliki besmen, dan di besmen inilah sofa-sofa khas Dunkin’ Donuts disediakan. Oh ya, minuman hot chocolate Dunkin’ Donuts di Jerman sama enaknya dengan di Indonesia, hanya disajikan dalam cup yang berbeda.
Cukup lama kami berteduh. Kembali lagi kami bercerita karena memang saat inilah kopdar kami yang pertama kali. Sebagai catatan, aku belum pernah bertemu dengan Christin sebelumnya. Hanya canda dan selepetan yang terjadi di dalam Plurk-lah yang membuat kami berasa pernah kenal sebelumnya. Saat kami keluar dari Dunkin’ Donuts sekitar 1 jam berikutnya, hujan masih terus mengguyur dan angin kencang kering masih
8 hari di jerman
terus bertiup. Payung Christin pun tak tahan pula menahan goyahan angin. Salah satu rusuk payung terlepas dan rusak. Untunglah masih bisa memadai untuk kami pakai berteduh. Kami kembali berputar-putar kota tanpa arah. Sempat terhenti di depan toko yang sepenuhnya menjual cokelat dengan desain bungkus yang indah-indah. Terlalu mahal, menurut kami. Setelah berusaha menjauh dari toko-toko berdiskon, akhirnya niat Christin pupus juga. Ia mengajak untuk masuk melihat-lihat. Memang, ada beberapa sepatu yang dijual dengan cukup murah, dari 10-20 Euro. Untuk ukuran Jerman, nilai ini bisa dibilang sangat murah. Untuk sekedar bayangan, nilai 10 Euro identik dengan membeli 5 botol Fanta berukuran 1 liter. Jadi, nilai 10 Euro bagi orang Jerman tak berbeda dengan kita membelanjakan uang sekitar Rp. 35.000,00 di negara kita. Setelah puas berjalan-jalan dan tak ada hal menarik yang bisa kami lihat lagi, kami pun kembali ke Düsseldorf Bhf. Kami mencari kereta yang dalam waktu dekat bisa membawa kami pulang ke kota masing-masing. Untunglah, selang waktu keberangkatan kereta yang digunakan Christin dan aku tak berbeda jauh. Hanya berbeda 10 menit. Aku mengantar Christin ke peron (glaisse) keberangkatannya. Setelah melepas keberangkatannya, aku menuju peron keberangkatanku, untuk menaiki kereta Rhine Express, kereta yang sebelumnya membawaku ke kota Düsseldorf. Saat kereta datang, kini aku memilih untuk duduk di tingkat bawah. Setelah aku duduk, seorang perempuan Jerman dengan anjing rottweiler-nya duduk di hadapanku. Wow, ternyata selain sepeda, anjing pun diizinkan untuk masuk kereta kelas ini. Di tengah-tengah perjalanan menuju Köln Hbf, si perempuan mengeluarkan handuk bersih dari tasnya. Handuk itu ternyata untuk alas si anjing tidur di lantai (heh?).
8 hari di jerman
Kereta pun berhenti sejenak di Köln, dan bersama dengan banyak penumpang lainnya, si perempuan dan anjingnya keluar. Bangkunya yang kosong kini diisi oleh seorang perempuan cantik berambut hitam. Hmm, cantik bisa jadi karena makeup-nya yang pas. Ia asyik mendengarkan musik dari MP3 player-nya. Sekitar jam 19.00 aku pun sampai di Bonn Hbf, dan kembali melanjutkan perjalanan pulang ke Fahrenheitstrausse dengan bus nomor 609. Setengah jam kemudian, sampailah kembali aku di rumah Yuniman, Lara, dan anaknya Mewan. Setelah sejenak menunggu Lara pulang, dan menemani si Mewan beristirahat di kamarnya, kami pun makan malam sederhana. Sekedar pizza yang dibeli di Rewe Supermarket dan dihangatkan. Ternyata udara Eropa tidak membuat orang makan banyak, seperti kita di Indonesia. Terima kasih untuk Christin yang telah menemaniku selama sehari ini. Semoga dirimu selamat hingga rumahmu di Rotterdam.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Brühl 7 Juni 2009
6
Hari ini hari Minggu, dan berbeda dengan di Indonesia, hari Minggu hampir semua pertokoan tutup. Tadinya aku berencana untuk ke pusat kota Bonn untuk mencari-cari suvenir kembali, sekaligus melihat festival balon udara yang diadakan di tepi Sungai Rhine, tak jauh dari kantor Deutsche Welle. Namun mendengar kalau pertokoan tutup, niatku untuk pergi pun urung kulakukan. Yuniman dan Lara mengajakku untuk berjalan-jalan ke daerah Brühl, yang berada di antara kota Bonn dan Köln. Kami semua bersama Mewan, bayi mereka yang masih berusia 13 bulan, menggunakan mobil VW Touran mereka dan menempuh perjalanan melalui highway sejauh 20 kilometer ke arah barat laut. Di daerah Brühl ini terdapat bangunan lama peninggalan abad ke-16, Augustusburg, yang dulu dimiliki oleh salah seorang bangsawan dari Köln. Di hadapan bangunan ini terbentang taman indah yang luas luar biasa. Air mancur terlihat dari tengah-tengah taman,
8 hari di jerman
dengan banyak bebek berenang di kolam-kolamnya. Banyak orang menikmati keindahan taman ini. Anak-anak kecil berlarian di tengah-tengah pola tanaman yang mirip labirin. Salah seorang ayah terlihat duduk dalam keteduhan pohon mengamati kedua anaknya berlarian kesana kemari. Para orang tua berjalan di keteduhan pohon-pohon yang berjajar lurus di kiri dan kanan taman. Beberapa orang bahkan memanfaatkan taman besar ini untuk jogging berkeliling. Yuniman berkata, kalau warga Jerman suka sekali mendatangi taman-taman seperti ini setiap hari Sabtu dan Minggu. Satu hal yang kurang hanyalah tak adanya sinar matahari. Hanya awan mendung, meski masih terang, membayangi perjalanan kami menyusuri taman.
Aku bersama keluarga Yuniman berjalan menyusuri taman hingga ke ujung terjauh. Sesekali kujepretkan kamera SLR-ku, mengintai sudut-sudut menarik yang terlihat di sepanjang taman. Kami melewati batas taman, dan memasuki jalan bertanah. Kiri kanan terlihat hutan rindang, dengan kicauan bunyi burung terdengar. Aku asyik melihat Mewan yang kini sedang belajar berjalan. Ia dituntun Yuniman dengan selendang, dan dibiarkan berjalan ke arah manapun yang ia suka. Sekitar 20 menit kemudian, kami pun kembali ke arah bangunan
8 hari di jerman
Augustusburg. Di dekat bangunan besar itu, kebetulan sedang ada acara musik. Bangunan yang ditentukan sebagai bangunan historis oleh UNESCO ini hari ini banyak sekali dikunjungi orang. Malam nanti sepertinya akan ada pertunjukan, karena aku sempat melihat 4 pasang pria dan wanita yang mengenakan kostum abad-16, lengkap dari rambut hingga seluruh pakaian yang menutupinya. Mereka terlihat bersiap-siap sejenak, sebelum akhirnya mereka berjalan memasuki bangunan.
Waktu menjelang siang, dan kami semua pun lapar. Katering yang tersedia cukup unik. Sebuah mobil yang sudah disulap untuk dijadikan tempat penyedia kopi, dengan di sebelahnya tersedia meja saji dan panggangan. Yang menakjubkan, di dekat antrian tersedia monitor Macintosh besar yang menampilkan foto-foto sajian dari katering itu. Harga makanan antara 4-5 Euro, dengan beragam jenis daging (yang tentunya kebanyakan babi). Aku terpaksa memilih menu makanan yang tak seberapa kenyang, yakni sosis ayam dan roti. Nggak masalah bagiku. Awan mendung tiba-tiba menebal, dan langit mulai menggelap. Tak lama hujan rintik-rintik pun turun, meski suhu tak berbeda jauh. Kami semua memutuskan untuk masuk ke dalam Augustusburg, dan menikmati museum di dalamnya. Setiap orang wajib
8 hari di jerman
membayar 5 Euro. Kami harus menunggu sekitar 10 menit sebelum pemandu wisata mengantar kami semua menikmati isi museum. Sayangnya, semua cerita dibawakan dalam bahasa Jerman. Untungnya, aku sempat meminjam petunjuk urutan tur dalam bahasa Inggris. Setidaknya, aku tidak benar-benar merasa bodoh mengikuti tur ini.
Di dalam tur ini, kami semua tak diperbolehkan melakukan dokumentasi foto atau video. Aku mengikuti saran itu, hingga akhirnya kami semua memasuki ruangan yang sungguh-sungguh menakjubkan. Kami memasuki tangga besar ke lantai dua. Semua dindingnya setinggi 4 lantai dihiasi oleh dekorasi patung dan ukiran. Langit-langitnya dihiasi oleh lukisan yang memberikan ilusi kalau langit-langit itu berbentuk bundar. Sungguh luar biasa. Katanya (setidaknya kata Lara yang mencoba menerjemahkan), lukisan menakjubkan di langit-langit ini hanya dikerjakan dalam waktu 2 minggu.
8 hari di jerman
Sepertinya malam ini akan ada konser di ruangan ini. Sebuah grand piano terlihat di atas mezzanine tangga dengan 2 orang sedang berdiskusi dan berlatih. Di hadapannya, di lantai bawah, telah berjejer puluhan kursi untuk mereka yang nanti akan menikmati konser. Terus terang saja, mataku gatal kalau hal menakjubkan ini tak boleh aku dokumentasikan. Akhirnya, aku menyalakan kamera dari telepon selulerku, lalu dengan sembunyi-sembunyi aku sempatkan untuk foto dan rekam video ruangan itu (maaf ya, nggak apa-apa kan? Maklum, aku kan turis asing). Terus terang aku kagum dengan peserta dalam kelompok yang mengikuti tur ini. Ada lebih dari 40 orang dari anak kecil hingga kakek dan nenek. Mereka antusias sekali mendengarkan cerita dari si pemandu. Bahkan, para anak kecil tak malu untuk mengangkat tangan dan spontan mengajukan pertanyaan. Si pemandu pun terlihat menanggapi setiap pertanyaan mereka dengan serius, meski ada pertanyaan yang terdengar konyol. Tanya jawab seperti ini rupanya sudah membudaya di negeri ini. Sesuatu yang sukar terlihat di negeriku. Setelah satu jam mengelilingi isi bangunan, kami keluar dan mendapati hujan rintik masih terus turun. Kami pun berjalan kaki pulang menuju tempat parkir sambil berlari kecil dalam hujan. Kasihan Mewan. Ia ditutupi jaket tebal, sementara ibunya yang menggendongnya berlari lebih dulu menuju mobil. Rencananya, setelah kami dari Brühl ini, kami ingin menyaksikan festival balon udara di tepi Sungai Rhein, tak jauh dari gedung Deutsche Welle. Namun, melihat kondisi cuaca yang tak menguntungkan, sepertinya acara balon udara tak akan bisa terwujud. Kami pun akhirnya memutuskan untuk kembali pulang saja, dan
8 hari di jerman
menikmati sore di rumah. Hujan masih terus turun rintik-rintik, bahkan hingga kami tiba di rumah. Malam harinya, Lara memasakkan suatu menu baru yang belum pernah kucoba sebelumnya. Agak sedikit aneh di mulut, tapi cukup enak. Ia memanggang masakan seperti lasagna, tapi berisikan asparagus (yang masih panjang dan belum dipotongpotong), sejenis gandum, hati ayam, dan telur. Ini kami makan beserta kripik kentang. Katanya, asparagus hanya tumbuh sekitar bulan Mei dan Juni, dan orang Jerman gemar membuat beragam jenis masakan dengan memanfaatkan asparagus. Menu selanjutnya adalah burger berisi sayuran. Uh, meski nggak terlalu berselera, tapi rasanya lumayan enak. Satu hari lagi yang menyenangkan di Jerman. Kesempatanku di negeri ini tinggal satu setengah hari lagi, karena lusa aku sudah akan berangkat pulang ke Jakarta. Rencananya, besok aku akan berjalan-jalan ke Köln, menikmati suasana kotanya sendirian. Besok hari Senin, dan Yuniman tentunya harus masuk kerja. Lara sendiri akan menyibukkan diri dengan menyiapkan materi ajar, karena ia harus mengajar hari Selasa. Baiklah, kini aku tidur dahulu Selamat malam!
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Köln - Bonn 8 Juni 2009
7
Hari Senin, dan tentunya semua warga bekerja hari ini, termasuk Yuniman. Hari ini Lara, istrinya tak bekerja, tapi ia harus menyiapkan bahan untuk mengajar esok hari. Lara memang pengajar Bahasa Prancis di Jerman. Ia dulu juga sempat mengajar di Universitas Brawijaya Malang, dan CCF Jakarta. Jam 8 lewat, Yuniman sudah berangkat. Ia membawa Mewan sekalian ke sekolah. Wow, baru 13 bulan sudah dibawa ke sekolah? Sebenarnya lebih ke tempat penitipan anak sekaligus tempat belajar. Sehari ini, Mewan dititipkan ke sekolah selama 3 jam. Siangnya, Mewan akan dijemput oleh Lara. Seperti rencana awal, aku akan berangkat ke Köln hari ini, untuk melihat gereja katedral (dom) yang legendaris itu. Aku sempat melihat fotonya sebelumnya, dan sepertinya luar biasa. Aku berangkat menggunakan bus 609. Kali ini tak salah lagi seperti 2 hari sebelumnya. Setibanya di stasiun kereta Bonn Haubtbahnhof (Hbf), aku langsung membeli tiket ke Köln. Total perjalanan membutuhkan 2.40 Euro untuk bus dan 6.50 Euro untuk kereta Rhine Express (RE). Setengah jam waktu yang dibutuhkan,
8 hari di jerman
sebelum tiba di stasiun utama Köln Hbf. Sesampainya di Köln Hbf, aku langsung keluar stasiun. Tak menyangka, kalau ternyata katedral besar yang dimaksud langsung tepat di depan stasiun. Wow, sungguh luar biasa. Jauh lebih besar dari bayanganku sebelumnya. Tak ada katedral lain yang pernah kulihat, baik di Jakarta maupun di Düsseldorf kemarin yang bisa menandingi ini. Entah bagaimana para pembangunnya di masa lalu bisa mewujudkan bangunan semegah ini, penuh dengan detil ukiran, patung, ornamen hingga puncak menaranya yang mencapai lebih dari 150 meter. Langit saat itu sungguh cerah, warna biru dengan beberapa awan berlalu. Kuberharap hari ini akan bisa cerah hingga sore hari, tak seperti 2 hari sebelumnya. Berbeda dengan gereja lainnya, bangunan historis sekaligus menjadi marka kota Köln ini, juga difungsikan sebagai tempat kunjungan wisata. Layaknya sebuah museum, ada pula pemandu yang
8 hari di jerman
menjelaskan setiap ruang, ukiran, gambar, patung, di dinding dan lantai gereja itu. Aku menengadahkan kepala dan berdecak kagum betapa tingginya langit-langit gereja ini. Kurva-kurva pendukung struktur bangunan terlihat masif menjaga beban menara selama lebih dari 4 abad lamanya. Beberapa bagian terlihat sedang direstorasi demi menjaga fisik gereja agar tetap menyerupai kondisi aslinya. Banyak sekali sudut menarik untuk kufoto di ruangan ini. Tak habis-habisnya kujepretkan SLR dan handycam-ku. Semua sudut kujalani, dan kuambil gambarnya. Ada ratusan orang berdatangan masuk ke dalam gereja ini. Karena saat ini sedang tak ada ibadah, banyak dari mereka yang murni memanfaatkannya untuk berwisata. Mereka juga asyik berfoto, menjepretkan kameranya ke berbagai arah.
Kupuaskan berada dalam gereja, hingga tanpa sadar lebih dari 1 jam aku berada di dalamnya. Aku keluar dan melihat betapa banyaknya orang lalu lalang di plaza luas yang berada di sekitar gereja. Udara cukup dingin, meski tak sedingin 2 hari sebelumnya. Banyak orang mengenakan jaket dan sweater. Lokasi plaza yang luas memang mengundang orang untuk melakukan aktivitas
8 hari di jerman
sosial. Beragam orang dari beragam usia dan ras terlihat mengobrol di banyak tempat. Ada yang sambil duduk minum kopi di depan hotel di seberang gereja. Ada pula yang ramai-ramai duduk di tangga undakan menuju gereja. Tangganya sangat luas, sehingga tak mengganggu orang yang berlalu lalang di sekitarnya. Aku lalu berjalan menyusuri luar gereja hingga menemukan tanda toilet dan gerbang masuk ke menara. Sebelum ke menara, aku mampir toilet dulu. Di sini bayar juga. Bedanya dengan Jakarta, pembayaran toilet menggunakan automat koin 0.50 Euro, dan aku baru bisa masuk ke dalam toilet. Aku menuju gerbang ke menara. Dengan membayar tiket 2.50 Euro dan buku panduan seharga 0.50 Euro, aku beranjak menaiki tangga. Aku tadi lupa menanyakan, sampai ketinggian berapa aku bisa naik. Aku ingin tahu juga berapa anak tangga yang harus kudaki. Ah sudahlah, langsung saja aku naik. Awalnya aku masih sangat semangat. Tangga berputar dengan hanya lebar 1 meter ini terasa sempit, karena sesekali aku berhadapan dengan banyak orang yang turun. Huh, lama-lama kaki mulai terasa pegal. Paha mulai semakin berat aku angkat. Mau tidak mau aku harus berhenti sejenak. Sampai titik tertentu ada coak dengan pintu tertutup, memungkinkan aku untuk beristirahat sejenak. Akhirnya aku sampai di titik pencapaian pertama di ketinggian sekitar 50 meter. Di sinilah bel gereja biasa dibunyikan. Aku tak bisa membayangkan zaman dahulu, mereka yang harus membunyikan bel setiap jamnya, harus kuat mendaki tangga tadi. Setelah puas mendokumentasikan, sekaligus beristirahat, aku kembali mendaki tangga
8 hari di jerman
selanjutnya. Terus, terus, hingga naik di ketinggian sekitar 80 meter. Udara dingin mulai terasa. Aku sampai di pelataran dengan dinding berbentuk lingkaran. Bangku batu menempel di dinding itu. Beberapa orang terlihat beristirahat. Aku melihat tangga buatan baru yang mengarah terus ke puncak menara. Setelah sedikit merenggangkan kaki, aku lanjut menaiki tangga baru itu. Di sekitar ketinggian 90 meter, tangga itu berakhir. Aku keluar dan berjalan mengikuti arah yang ditunjuk. Setelah sedikit naik tangga, aku pun akhirnya sampai di tempat tertinggi yang bisa dilewati manusia, di ketinggian 97.5 meter. Dari sini, aku bisa melihat seluruh kota Köln. Aku mencoba membayangkan kondisi asli bangunan. Saat itu pasti tak ada pagar tinggi pelindung yang membatasi mata orang dengan kota. Hmm, dengan angin sekencang ini, tidak bisa kubayangkan, betapa beraninya orang-orang masa lalu berjalan-jalan di tempat ini. Amat disayangkan, keindahan menara gereja ini dirusak oleh banyak ta-ngan jahil. Banyak sekali graffiti atau coret-coretan di batu dinding menara ini. Malah, kalau kuamati, hampir semua dinding
8 hari di jerman
menuju menara penuh dengan coret-coretan. Seakan-akan yang mencoret ingin membuktikan dirinya, kalau ia pernah hadir di lokasi itu. Banyak yang mencantumkan tanggal mereka datang ke menara itu. Setelah puas mendokumentasikan dengan foto dan video, aku pun beranjak turun. Tentunya, turun tidak menjadi masalah. Kaki tak terasa capai turun. Hanya harus berhati-hati dan mata harus tetap fokus. Turun terus melalui tangga berputar selama lebih dari 90 meter bisa membuat disorientasi pandangan.
Aku memandang kembali gereja hebat ini dari luar, lalu melanjutkan perjalanan menyusuri kota Köln. Aku baru menyadari, rupanya kota-kota di Jerman memang seperti ini. Setiap keluar dari stasiun utama, akan ada plaza utama. Mereka menyebutnya sentrum. Di sekitar sentrum ini terdapat banyak pertokoan yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Kota Köln pun demikian, penuh dengan tempat belanja yang diarahkan melalui suatu jalur lebar. Kiri kanan penuh dengan pertokoan dan ribuan orang lalu lalang di dalamnya. Tempa wisata belanja ini dikenal dengan sebutan Schildergasse.
8 hari di jerman
Di beberapa titik, terlihat pengamen. Seperti di Düsseldorf, pengamen di sini agak berbeda. Ada yang mengecat dirinya bak prajurit Romawi. Ada yang bermain band bersama beberapa orang, dengan musik tradisional. Ada pula yang menyanyi lagu-lagu pop. Yang paling unik, ada yang menyajikan musik duet antara pemain biola dan permainan orgel yang diputar. Mereka terus bermain, sementara orang menikmati atraksi mereka. Sesekali ada yang memberikan sumbangan uang di kaleng atau kain di hadapan mereka. Perutku mulai terasa lapar. Aku ingin makan Subway lagi, tapi tak melihat satupun restoran itu di sekitar sentrum ini. Akhirnya kuputuskan untuk makan Chicken Crispy dari Burger King. Setelah cukup kenyang, aku kembali melanjutkan perjalanan menyusuri kota Köln, hingga cukup jauh keluar dari sentrum. Aku sempat kehilangan arah kembali. Namun setelah menemukan orientasi yang tepat, aku pun berhasil kembali ke plaza depan gereja. Sejenak aku duduk mengistirahatkan kaki yang terasa mau copot. Aku lepaskan sepatu dan kupijat-pijat telapak kakiku. Setelah sedikit enak, aku pasang sepatuku,
8 hari di jerman
dan berjalan. Duh, ternyata sakit di telapak kakiku mulai terasa. Aku menduga pasti bantalan telunjuk kakiku membengkak, akibat berjalan terlalu lama. Aku menahan sakit di kedua telapak kakiku dan melanjutkan perjalanan. Masih ada waktu sekitar 30 menit sebelum kereta terdekat yang membawaku ke Bonn datang. Aku berjalan ke toko informasi dan suvenir di dekat gereja, untuk mencari oleh-oleh unik untuk keluargaku. Tak berapa lama, aku pun sudah berada di kereta kembali, pulang menuju Bonn.
Sekitar pukul 16.00 aku tiba kembali di Bonn. Ah, pikirku, masih sore. Lebih baik aku habiskan waktu untuk lebih banyak berputarputar di dalam kota Bonn. Toh, semenjak aku di sini, aku malah belum pernah merasakan keramaian pusat kota Bonn. Ternyata, aku salah duga. Awalnya kukira Bonn adalah kota sepi. Kenyataannya, pusat kota Bonn sungguh ramai, sangat kontras dengan tempat awalku menginap 3 hari lalu. Selama hampir 2 jam kuhabiskan waktu menyusuri sentrum Bonn yang saat ini penuh dengan orang berjualan buah-buahan. Aku juga menyempatkan mampir melewati gedung universitas dengan
8 hari di jerman
lapangan luas di hadapannya. Lapangan ini dibiarkan tumbuh rumput dan bunga-bunga putih kecil bermunculan di beragam tempat. Orang-orang terlihat asyik mengobrol, beristirahat, membaca buku, dan berjemur di tengah lapangan. Musik mengalun terdengar di salah satu sudut lapangan tempat banyak remaja berkumpul.
Aku berjalan mendekati Sungai Rhine. Sekali lagi kunikmati keindahan sungai itu dari tepian promenade yang tertata rapih dan indah di sepanjang sungai. Beberapa rumah makan terlihat memanfaatkan promenade untuk berjualan. Aku juga melihat beberapa pos tiket orang untuk naik kapal menyusuri sungai. Terlihat banyak orang tua duduk di tepian promenade. Beberapa di antaranya sedang menunggu kapal datang untuk membawa mereka wisata sepanjang sungai. Dari kemarin aku ingin masuk ke museum Beethoven Haus, atau rumah asli Bethooven. Kali ini aku sempatkan berjalan-jalan mencari lokasi yang dimaksud. Meski kaki pegal dan sakit, aku segera melupakannya karena masih banyak hal menarik yang harus kulihat. Aku berhasil menemukan rumah yang dimaksud pukul 17.30 lewat. Petugas mengingatkan waktuku hanya kurang dari 30 menit untuk kunjungan, sebelum museum tutup pukul 18.00.
8 hari di jerman
Rumah tua yang direnovasi ini sepertinya masih menggunakan lantai papan kayu asli. Denyitan kayu setiap kali aku melangkah memberi kesan betapa tuanya rumah ini. Isi pameran ternyata tidak terlalu menarik (Lara kemarin sebenarnya sudah mengingatkan). Hanya foto-foto dan dokumen tua dengan penjelasan berbahasa Jerman. Ada pula biola, piano, dan lemari yang dulu dipakai Beethoven. Tepat pukul 18.00, aku keluar dari museum. Kini, aku sudah puas. Aku memutuskan untuk kembali ke Bonn Hbf, untuk menunggu bus 609 atau 608 untuk kembali ke Fahrenheitstrausse. Kalau bisa sih, aku lebih memilih untuk naik 609, agar aku tak perlu berjalan terlalu jauh lagi ke rumah. Kakiku sudah sakit luar biasa. Aku hanya membayangkan betapa enaknya air hangat membasuh kakiku, menghilangkan rasa lelahku. Sesampai di rumah, hanya ada Lara yang kini sedang menyuapi Mewan. Aku pun masuk, dan langsung kuberikan mainan yang tadi kubelikan di Köln. Lara dan Mewan ternyata menyukai mainan ini. Alhamdulillah. Agak malam, Yuniman pun pulang. Setelah mereka menidurkan
8 hari di jerman
Mewan, kami pun makan malam. Kata Yuniman, ini menu dari Hongaria. Nasi campur daging yang dimasak dengan sedikit pedas. Penyajian dan warnanya mirip dengan daging bumbu asam yang biasa dimasak di Jakarta. Hanya saja, ini lebih enak. Maklum, aku tidak terlalu suka bumbu asam. Besok pagi, aku berencana untuk tetap di rumah. Merapihkan semua oleh-oleh dan pakaian. Semoga saja bagasiku tak berlebihan. Pukul 12.00 aku sudah harus berada di Bonn Hbf untuk melanjutkan perjalan dengan kereta ke bandara udara Frankfurt. Semoga saja esok hari, segala sesuatunya berjalan dengan lancar.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
Bonn - Frankfurt - Amsterdam Kuala Lumpur - Jakarta 9-10 Juni 2009
8
Hari Selasa, dan ini hari terakhirku di Jerman. Siang ini aku harus berangkat kembali ke Jakarta. Aku tak berencana kemana-mana hari ini. Lebih baik aku mengemas barang-barang yang akan kubawa kembali ke Jakarta. Sarapan pagi ini cukup sederhana. Masih ada sisa roti yang dibelikan Lara kemarin pagi. Roti khas Eropa bercampur dengan beragam selai itu pun kuhabiskan. Aku sempatkan waktu bermain-main dengan Mewan. Anak yang lucu dan menyenangkan. Yuniman memintaku menulis/menggambar sesuatu di buku kenangan Mewan. Rupanya semua teman dan saudara Yuniman dan Lara menyumbang sesuatu di buku ini. Wah, senang sekali. Aku berpikir-pikir dahulu, apa yang akan aku sumbangkan. Akhirnya, dengan beragam pensil warna yang disediakan, aku menuliskan kata-kata ini di salah satu lembaran kosong (tentunya dilengkapi dengan lucu-lucuan ornamen di sekitar tulisan). Mewan a morning blights a sunshine brights
8 hari di jerman
there’s come a sight where a boy learns to flight he wears bright shining color with toys that match his color he pushes around a car as he starts to walk afar he laughs a lot he cries a little he babbles “Da. Da.. Da..” and eats much Good lovely Mewan Inspiring things will come New things to be discovered I hope you have a happy long life Aku mengepak semua barangku, agak was-was kalau berat koperku menjadi lebih dari 20 kg, terutama karena tambahan beban tas dan buku dari acara Global Media Forum (GMF). Ternyata benar, beratnya jauh melebihi dari 20 kg. Waduh, mau tidak mau, tas dan buku yang cukup berat dari GMF itu harus kujinjing sendiri, tak bisa kumasukkan dalam koper. Ya sudah, tidak apa-apa. Aku ikut iseng mengecek berat badanku. Hmm, timbangan ini benar tidak ya? Kok di sini beratku bertambah hingga 5 kg. Hahaha, makanan Eropa dan berjalan panjang di berbagai kota rupanya cocok untuk membuatku naik beban. Yuniman telah berangkat ke kantor sejak pagi. Aku berencana berangkat naik bus jam 11.00, namun ternyata Lara dan Mewan berniat untuk mengantarku hingga Bonn Hbf dengan mobilnya. Lara menyetir, sementara Mewan didudukkan di car seat sendiri di belakang. Tak berapa lama kami berjalan, ia menangis. Mungkin karena tak ada sesuatu mainan yang dipegang. Sayangnya di mobil, tak ada sama sekali yang bisa dimainkan, hingga akhirnya Lara ingat akan kacamata yang ia simpan di dashboard-nya. Aku berikan kacamata itu ke Mewan untuk ia mainkan. Tangisannya pun berhenti.
8 hari di jerman
Mobil diparkir di universitas tempat Lara nanti siang mengajar. Rupanya ia bebas parkir di situ tanpa berbayar. Kami lalu lanjut ke Bonn Hbf dengan berjalan kaki, lebih dari 500 meter, melewati taman universitas yang luar biasa luas. Area ini sempat aku lewati saat kemarin sore aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di Bonn. Aku mendorong Mewan, sementara Lara menarik koperku. Duh, perempuan Eropa tangguh-tangguh ya. Berjalan jauh-jauh sembari menyeret koper dengan berat 25 kg. Jalannya jauh lebih cepat daripada aku lagi.
Satu hal lagi yang menyenangkan di Jerman. Banyak “makhluk beroda” di sini, dari sepeda, kereta dorong, kursi roda, hingga koper. Itulah makanya ramp antara jalan ke trotoar wajib ada di negeri ini. Aku hampir tak perlu mengangkat koper berat, karena selalu gampang kutarik kesana kemari. Mewan pun tetap merasa nyaman dalam kereta bayinya, saat kudorong melintasi jalan, taman, hingga stasiun. Aku cerita automat tempat kemarin-kemarin aku membeli tiket. Lara ternyata malah belum pernah menggunakannya. Ia bersama Yuniman selalu mencari aman dengan membelinya di pusat infor-
8 hari di jerman
masi tiket. Aku pun akhirnya mengikuti Lara hingga pusat informasi, tempat akhirnya aku membeli tiket kereta IC ke Frankfurt Flughaven. Kereta IC adalah kereta lintas antar kota dengan harga sedikit lebih mahal daripada RE (Rhein Express). Aku beli tiket ini karena yang paling murah dan tanpa aku perlu transit di stasiun lain. Harganya 35 Euro. Aku lalu membeli sandwich untuk pengganjal makan siang, meski Lara sudah menitipkan beberapa makanan untuk menemaniku di jalan. Mewan dan Lara pun ikut membeli sandwich. Aku memilih sandwich berisi telur dan tomat, hihi, karena lainnya berisikan daging babi (bacon). Rasanya enak dan cukup mengenyangkan. Lara dan Mewan mengantar aku ke peron (glaisse) 3, dan menemani hingga kereta IC datang. Akhirnya, aku berpisah dan mengucapkan selamat jalan untuk keduanya. Aku pun naik kereta. Perjalanan selama 1 jam 45 menit ini tidak membuatku bosan. Banyak sekali yang bisa kulihat di kiri kanan jendela. Aku manfaatkan handycam untuk membantuku mengingat akan memori menyenangkan ini. Akhirnya sampailah aku di bandara Frankfurt yang terintegrasi dengan ragam jenis transportasi lainnya. Aku naik ke dua lantai di atasnya dan langsung masuk di Terminal 1. Aku harus naik sky train atau bus untuk berpindah ke Terminal 2. Karena saat itu bus sudah tersedia, buslah yang akhirnya menjadi pilihan. Aku masih punya banyak waktu untuk check-in, karena penerbanganku masih lebih dari 1 jam lagi. Pengurus tiket akhirnya menawarkan penerbangan ke Amsterdam lebih cepat, yang langsung saja aku terima. Lebih baik aku menunggu terkatung-katung di
8 hari di jerman
Amsterdam daripada di bandara Frankfurt yang sepi ini. Aku duduk di bangku 11F yang ternyata berada persis di sebelah pintu darurat. Seperti peraturan penerbangan lainnya, pramugari menanyakan apakah aku sanggup mengoperasikan pintu ini bila terjadi keadaan darurat. Tentu saja, meski aku berharap itu tak akan terjadi, kataku sambil tertawa. Pukul 17.30 aku sampai di Bandara Schipol Amsterdam. Aku ingat betapa luasnya bandara ini sewaktu keberangkatanku minggu lalu. Tentu saja, aku sudah tidak segugup dulu, karena keberangkatan keluar Eropa jauh lebih mudah daripada memasukinya. Pemeriksaan passport pun tidak menunjukkan masalah. Waktu boarding masih 19.40. Wah, masih lama. Aku putuskan untuk naik ke lantai dua, berjalan-jalan sampai akhirnya aku melihat bangku nyaman. Ternyata, banyak pula orang yang memanfaatkan tempat ini untuk menunggu penerbangan berikutnya. Mereka menghabiskan waktu dengan tiduran, membaca buku, atau mendengarkan musik. Aku pun ikut duduk dan beristirahat di sana dengan nyaman. Waktu boarding tinggal setengah jam lagi, dan perutku mulai berasa lapar. Aku berkeliling lantai dua yang penuh dengan tempat makan. Paling aman untuk kumakan paling hanya McDonald’s. Aku makan sejenak. Oh ya, kalau makan di Eropa, ada sedikit kebiasaan berbeda. Aku harus langsung membereskan yang kumakan dan membuangnya sendiri di tempat yang telah disediakan. Aku lalu berjalan menuju Terminal E24, yang ternyata masih jauh dari situ. Aku sampai tepat saat waktu boarding. Semua penumpang masih harus melewati pengecekan terakhir, sebelum berang-
8 hari di jerman
kat terbang 1 jam berikutnya. Pengalaman terbang pulang dengan KLM tak berbeda dengan saat aku berangkat. Pesawat yang digunakan masih Boeing 777-300, persis sama dengan yang aku gunakan waktu keberangkatan. Bedanya, kali ini jauh lebih banyak orang Indonesia dan Malaysia yang berada di pesawat. Aku duduk di bangku 30E yang ternyata berada di barisan paling depan bagian ketiga dari pesawat. Televisi mini tak lagi berada di bangku persis di hadapanku (karena depanku tak ada bangku). Televisi mini itu harus kukeluarkan sendiri dari bawah pegangan bangku dengan menekan satu tombol tertentu. Pilihan menu makan malam dan sarapan masih khas Eropa. KLM rupanya juga melakukan pendekatan dengan budaya lokal. Setelah kami transit dari Kuala Lumpur, terdengar pe-
8 hari di jerman
tunjuk penerbangan dan pendaratan yang menggunakan rekaman suara perempuan menggunakan Bahasa Indonesia. Makan sore yang disediakan pun khas Indonesia, bakmi dengan lauk ayam dengan bumbu yang agak pedas. Akhirnya sampailah sekitar pukul 18.00 kami semua di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Melalui pemeriksaan imigrasi (yang ternyata tidak terlalu ketat, dibandingkan di Schipol Amsterdam), aku sampai kembali di bumi Indonesia. Pemeriksaan bea cukai pun sepertinya hanya sekedar formalitas saja. Kami diminta mengisi sebuah formulir. Untuk yang membeli barang lebih dari $250, membawa obat-obatan, rokok, kaset/video, atau uang senilai lebih dari Rp. 100.000.000,00 harus terlebih dahulu mengurus bea cukai. Aku sendiri tak merasa membawa salah satu dari itu, jadi langsung saja keluar setelah menyerahkan formulir yang dimaksud. Namun aku yakin, kalau aku membawa dan berbohong pun, sepertinya tak akan ketahuan. Sesampai di luar, ternyata ayah, ibu, dan keponakanku menjemput. Kami pun berjalan ke tempat parkir. Sesaat itu pula langsung aku merasakan “kekacauan” kota Jakarta yang tak kutemui di Jerman. Mobil susul menyusul, klakson, tak kepedulian pada mereka yang berjalan kaki, terlihat langsung saat aku berjalan keluar menuju tempat parkir. Namun, apapun yang terjadi, ini tetap bumi Indonesia. Sekangenkangennya aku akan “keteraturan” di negeri orang, tak ada yang bisa menghilangkan rasa cintaku akan negeriku sendiri.
8 hari di jerman
8 hari di jerman
8 hari di jerman pitra satvika
(media-ide.com)
© 2009
8 hari di jerman