INDONESIA: MENGATUR DESENTRALISASI DAN KONFLIK DI SULAWESI SELATAN 18 Juli 2003
ICG Asia Report N°60 Jakarta/Brussels
1
DAFTAR ISI RINGKASAN DAN REKOMENDASI ........................................................................................ i I. INTRODUKSI ...................................................................................................................... 1 II. DESENTRALISASI ............................................................................................................ 2 III. PEMEKARAN ...................................................................................................................... 4 IV. BAHASAN SEJARAH ........................................ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. A. PERATURAN BELANDA, KEMERDEKAAN DAN PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM............................................................................................................ 7 B. PERKEMBANGAN ORDE BARU ............................................................................ 9 V. KONFLIK DI LUWU......................................................................................................... 11 A. PERPECAHAN AWAL.............................................................................................. 11 B. PERPECAHAN UTAMA, 1998 - 2002 ...................................................................... 12 1. 1998 ................................................................................................................... 12 2. 1999 – 2001 ....................................................................................................... 13 3. 2002 ................................................................................................................... 15 VI. PENYEBAB KONFLIK..................................................................................................... 18 A. PERSELISIHAN TANAH .......................................................................................... 18 B. MASALAH SOSIAL .................................................................................................. 20 C. KONTEKS PASCA-SOEHARTO.............................................................................. 22 D. PENGAWASAN DAN PROSES HUKUM ................................................................ 22 VII. DAMPAK PEMEKARAN DAN DESENTRALISASI ....................................................... 25 A. ALASAN PEMEKARAN .......................................................................................... 25 B. APAKAH PEMEKARAN ITU SENDIRI MENGAKIBATKAN KONFLIK........... 27 VIII. DAMPAK DESENTRALISASI TERHADAP MANAJEMEN KONFLIK ................. 29 A. PELAKSANAAN HUKUM ....................................................................................... 30 B. PEMERINTAH DESA DAN LEMBAGA-LEMBAGA LOKAL .............................. 32 C. MEMECAHKAN MASALAH KONFLIK TANAH .................................................. 36 IX. KESIMPULAN ................................................................................................................... 38
LAMPIRAN
A. B. C. D. E.
PETA LUWU ............................................................................................................... 33 DAFTAR ISTILAH DAN AKRONIM ...................................................................... 34 TENTA NG INTERNATIONAL CRISIS GROUP .................................................... 36 LAPORAN ICG DAN BRIEFING PAPERS ............................................................... 37 ANGGOTA PENGURUS ICG ................................................................................... 43
2
ICG Asia Report N°60
18 Juli 2003
INDONESIA: MENGATUR DESENTRALISASI DAN KONFLIK DI SULAWESI SELATAN RINGKASAN DAN REKOMENDASI Apa yang telah menjadi dampak program desentralisasi radikal Indonesia yang telah diluncurkan pada tanggal 1 Januari 2001, tentang pencegahan dan manajemen konflik? Studi kasus tentang kabupaten Luwu di Sulawesi Selatan ini menemukan bahwa hasilnya positif. Tetapi tetap menjadi pertanyaan apakah hasil ini berkesinambungan – dan apakah sukses Luwu bisa ditularkan ke tempat-tempat lain. Indonesia memindahkan kekuasaannya yang luas ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota – tingkat kedua pemerintahan daerah sesudah provinsi – diikuti dengan pemindahan fiskal cukup banyak dari pusat. Peraturan yang mendasari desentralisasi juga memperbolehkan penciptaan kawasan baru dengan cara pemekaran atau penggabungan unit-unit administratif yang eksis. Prakteknya, proses yang dikenal sebagai pemekaran tersebut berarti tidak bergabung tetapi merupakan pemecahan secara administratif dan penciptaan beberapa provinsi baru serta hampir 100 kabupaten baru. Dengan beberapa dari kabupaten itu menggambarkan garis etnis dan meningkatnya ekonomi yang cepat bagi politik daerah, ada ketakutan akan terjadi konflik baru dalam soal tanah, sumber daya atau perbatasan dan adanya politisi lokal yang memanipulasi ketegangan untuk kepentingan personal. Namun begitu, proses desentralisasi juga telah meningkatkan prospek pencegahan dan manajemen konflik yang lebih baik melalui munculnya pemerintahan lokal yang lebih dipercaya.
studi lapangan secara intensif dengan sangat teliti atas daerah rawan konflik yang mengalami pemekaran secara administratif. Luwu, di Sulawesi Selatan, dipilih karena dua alasan. Pertama, karena Luwu dulu merupakan satu kabupaten di tahun 1999, dan kemudian dipecah menjadi empat pada tahun 2003. Kedua, Luwu mempunyai banyak karakteristik yang mencetuskan kekerasan dalam era pascaSoeharto: ketegangan di antara migran dan kelompok penduduk asli; persaingan masalah sumber daya, khususnya tanah dan kandungan mineral; dan kekerasan komunal yang mencolok. Luwu menjadi fokus perhatian nasional pada tahun 1998 ketika kekerasan antar-desa tentang masalah pertikaian tanah, frustrasi karena masalah sosial dan ekonomi terjadi secara berlarut-larut (memuncak pada tahun 1998 ketika harga coklat meningkat), dan kemudian munculnya suasana umum tentang pelanggaran hukum. Paling tidak di Luwu, umumnya pemekaran telah berdampak positif, dan sebagian besar karena pemekaran tersebut membolehkan munculnya bupati yang efektif. Luwu juga diuntungkan dari fakta bahwa identitas etnis di sana terlalu kecil untuk dianggap menjadi basis signifikan bagi mobilisasi politik oleh politisi lokal yang tidak bermoral. Apa yang juga mencegah munculnya konflik adalah adanya penolakan yang sama di antara anggota elit Luwu dari elit provinsi Sulawesi Selatan, dan keinginan sama untuk memisahkan diri dari Sulawesi Selatan untuk membentuk provinsi baru bernama Luwu.
Untuk mengetahui bagaimana harapan dan ketakutan ini mungkin berperan, ICG melakukan 3
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Namun di luar faktor-faktor ini, mungkin bisa ditarik beberapa kesimpulan yang lebih umum tentang desentralisasi dan konflik:
Kurangnya kejelasan hukum menyangkut desentralisasi, disertai dengan keraguan lembaga-lembaga pemerintah dari pemerintah pusat untuk menyerahkan kekuasaan, menghalangi kemampuan pemerintah daerah dalam menghindari konflik secara efektif.
Kesuksesan sebuah kabupaten baru dalam mencegah atau membatasi konflik sebagian besar tergantung pada kapasitas, komitmen dan koneksi bupati.
Ada kontradiksi yang fundamental di antara penguasaan pemerintah pusat atas pengawasan terhadap polisi dan fungsi pengamanan lain, serta tanggungjawab atas hukum dan perintah para bupati berdasarkan undang-undang desentralisasi. Polisi hanya bisa disebar secara efektif untuk menangani konflik bila mereka bertanggungjawab untuk dan didanai oleh pemerintah daerah.
Manajemen efektif atas perstikaian tanah merupakan hal kritis untuk mencegah konflik.
Memperkuat sistem peradilan kriminal merupakan kunci untuk menegakkan dan memelihara perdamaian di antara pihak-pihak dalam suatu konflik. “Penciptaan perdamaian’ melalui upacara tradisional tidaklah cukup.
Page ii
yang bisa mencegah ketegangan dan konflik. 3.
Tentang Pengaturan Keamanan 4.
Perbaiki kapasitas investigasi intelijen dan kriminal di tingkat kabupaten dan tingkatkan personel serta sumber yang tersedia terhadap polisi kecamatan, khususnya di daerah konflik.
5.
Pindahkan otoritas pengawasan dari pusat ke provinsi atau kabupaten, sebagai imbalan bagi bantuan anggaran lokal, sehingga pertanggungjawaban polisi bisa ditingkatkan.
6.
Bentuk ombudsman daerah yang akan bekerja dengan dewan kabupaten untuk mengawasi polisi lokal dan memberi hukuman terhadap jajaran polisi yang melakukan hal-hal yang tidak profesional, tidak kompeten atau tindakan kriminal.
7.
Masukkan pengaturan pembagian beban di antara pemerintah pusat, polisi nasional dan pemerintah daerah ke dalam peraturan yang relevan seperti Undangundang Polisi Nasional (Undang-undang No. 2/2002) dan Undang-undang Desentralisasi (Undang-undang No. 22/1999), dengan penggambaran tanggungjawab yang jelas untuk mengikat mereka.
8.
Latih pejabat polisi penghubung masyarakat dengan suatu pandangan khusus terhadap pencegahan kekerasan yang dilakukan oleh gerombolan.
REKOMENDASI Terhadap Pemerintah Indonesia: Tentang Peraturan Desentralisasi 1.
2.
Pemerintah tetap harus mengatur dan menjalankan urusan tanah di tingkat kabupaten dan menjamin bahwa pemerintah lokal punya kapasitas dan mekanisme bagi pengaturan hukum-ekstra atas kepemilikan tanah dan penyelesaian perselisihan tanah. Membuat amandemen Dekrit Departemen Dalam Negeri No. 64/1999 untuk membuat pemerintahan otonomi desa mampu membuat strategi pembangunan
Menjamin bahwa peraturan yang disampaikan di tingkat kabupaten atau provinsi diteliti dengan cermat oleh pemerintah pusat untuk melindungi migran dari luar daerah terhindar dari masalah diskriminasi.
Tentang Pembentukan Hukum 9.
Jamin proses yang cepat untuk penyelesaian kasus dan pemberian hukuman yang cocok di pengadilan daerah ketika muncul konflik komunal.
10. Sediakan bantuan hukum bagi penduduk desa dalam masalah pertikaian tanah, ii
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page iii
termasuk nasihat paralegal di tingkat desa atau kecamatan dalam urusan status tanah dengan bantuan LSM yang bergerak di bidang bantuan hukum. 11. Jamin bahwa resolusi pertikaian di luar hukum oleh kepala desa atau kepala kecamatan dalam pertikaian tanah yang melibatkan individu disaksikan oleh tokoh masyarakat dan adat (tradisional, sering berdasarkan etnis atau klan) untuk mencegah tantangan berikutnya. 12. Dorong penyelesaian di luar pengadilan yang ditengahi oleh pimpinan pemerintah atau masyarakat daerah, selama ada kompensasi yang adil dan penyelesaian tersebut diakui.
Tentang Pemekaran 13. Permudah proses beban pemekaran di daerah tuan rumah, dengan tidak mengharuskan mereka membantu kawasan baru dalam semua kasus, merumuskan perjanjian pembagian-hasil antara kedua daerah selama transisi, dan memberikan sanksi bila mereka melanggar. 14. Uji kembali dan perketat kriteria pemekaran dengan lebih mengutamakan kelangsungan hidup ekonomi kedua kawasan yang bertikai, demikian pula tentang pertimbangan keamananan.
Jakarta/Brussels, 18 Juli 2003
iii
ICG Asia Report N°60
18 Juli 2003
INDONESIA: MENGATUR DESENTRALISASI DAN KONFLIK DI SULAWESI SELATAN
I.
INTRODUKSI
Proses desentralisasi ‘Besar-besaran’ di Indonesia yang dilancarkan pada bulan Januari 2001 menimbulkan harapan bahwa pemerintah daerahlah yang lebih bisa dipercaya akan meredakan konflik yang memporakporandakan negara di tengah-tengah kejatuhan Presiden Soeharto. Tetapi hal tersebut juga meningkatkan rasa takut akan adanya persaingan sumber daya yang meningkat di tingkat daerah dan munculnya politik yang beridentitas lokal, yang akan memperburuk ketegangan lama sehingga menimbulkan ketegangan baru. Laporan ini merupakan suatu studi kasus atas dampak desentralisasi di daerah rawan konflik di Sulawesi Selatan. Laporan ini meneliti konsekuensi desentralisasi bagi pelaksanaan hukum, manajemen tanah dan pemerintahan daerah. Laporan ini juga menganggap bahwa proses pemecahan secara administratif yang disebut pemekaran bisa menghasilkan sesuatu yang berguna, walaupun sangat tergantung pada kapasitas para pemimpin daerah. Daerah-daerah tersebut terdiri dari bekas kerajaan Luwu di Sulawesi Selatan, yang menjadi fokus perhatian nasional ketika kekerasan antar penduduk desa yang berlarut-larut pecah pada tahun 1998, setelah jatuhnya Presiden Soeharto. Hal ini dicerminkan dalam pers nasional sebagai konflik komunal, yang secara implisit menyebutkan perpecahan antara Kristen-Islam, antara kelompok migran dan penduduk asli. Penyebab-penyebab pokoknya jauh lebih rumit: perselisihan atas kepemilikan tanah, frustrasi sosial dan ekonomi, serta booming cloklat tahun 1998, juga keadaan umum dalam hal pelanggaran hukum.
Pada tahun 1999, ketika konflik Luwu muncul, pemerintahan transisi di bawah Presiden Habibie mencetuskan program desentralisasi yang ambisius, yang menjanjikan pelayanan yang lebih baik, yang akan membuat pemerintah menjadi lebih dekat dengan rakyat. Sebagai bagian dari proses tersebut, Kabupaten Luwu yang membentang luas menjalani proses pemisahan administratif yang dikenal sebagai pemekaran. Kemudian pada bulan April 1999 kabupaten tersebut dibagi menjadi dua, Luwu dan Luwu Utara. Palopo sebagai bekas ibukota kabupaten menjadi kotamadya – sejajar dengan status kabupaten – pada tahun 2002. Pada bulan Januari 2003, Luwu Timur memisahkan diri dari Luwu Utara, sehingga ada empat kabupaten. Keempatnya sekarang bercita-cita untuk memisahkan diri dari Sulawesi Selatan dan membentuk suatu provinsi baru Luwu, berdasarkan kelonggaran di kawasan bekas kerajaan. Desentralisasi dan proses yang terkait atas pemekaran menelurkan dua pertanyaan. Pertama, apakah desentralisasi membuat pencegahan dan manajemen konflik lebih baik karena adanya penyampaian layanan yang lebih baik, khususnya dalam pelaksanaan hukum? Apakah pemerintah daerah yang lebih bisa dipercaya dan partisipasi publik yang lebih besar dalam masalah-masalah lokal sebagai klep pengaman mengarah pada mediasi perselisihan sebelum meledak dalam kekerasan? Ataukah para pemimpin di kabupaten yang baru berkuasa mencari mobilisasi dukungan politik sesuai garis salah yang mengakibatkan konflik yang pernah terjadi? Kedua, apakah pemekaran akan memperburuk ketegangan lama dan menyebabkan ketegangan baru dengan meningkatnya kompetisi masalah sumber daya di antara kabupaten-kabupaten
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
baru? Apakah kompetisi tentang sumber daya seperti PT Inco, pertambangan nikel terbesar kedua di dunia, membuat ketegangan dan kemungkinan konflik di antara Luwu Utara dan Luwu Timur? Sejauh ini, keprihatinan seperti itu belum terealisir di Luwu, terutama karena pola hubungan kekuasaan lokal dan adanya tujuan sama yang lebih besar yang menyatukan keempat kabupaten, yakni pembentukan Provinsi Luwu. Elit politik lokal telah melihat pemekaran sebagai jalan bagi lebih banyak orang untuk menikmati kantor pemerintah, dan mendapat keuntungan transfer pajak dari pusat. Tambahan lagi, beberapa pejabat kabupaten yang baru saja berkuasa telah memberikan prioritas tinggi untuk isu keamanan dan menjalankan kebijakan yang telah membantu memperbaiki aturan umum. Ada lebih banyak unjuk rasa dan pertikaian pada tahun 2002 dibandingkan tahun 1998, tetapi itu merupakan manifestasi partisipasi lokal yang lebih besar dalam pemerintah, dan dilakukan dengan damai. Laporan ini memberi gambaran utama dari hukum otonomi daerah, konteks politik nasional di mana pemekaran telah muncul, dan beberapa konsekuensi negatif yang berhubungan dengan proses ini. Laporan ini menguji sejarah konflik di Luwu dan kebakaran besar antar desa antara tahun 1998 dan 2002, mengidentifikasi tanah, masalah sosial dan pelaksanaan hukum yang lebih menjadi akar penyebab. Laporan ini menaksir tentang sampai seberapa desentralisasi telah mempengaruhi aturan, manajemen tanah dan penampilan lembaga-lembaga daerah dengan minat khusus dalam membangun kapital sosial. Telah terjadi dampak positif dalam jangka pendek karena adanya lebih banyak sumber penghasilan dan otonomi daerah yang lebih besar dalam pencegahan konflik secara umum telah. Namun upaya pemerintah pusat untuk membatasi otoritas kunci di daerah seperti masalah tanah dan peraturan, juga bentuk-bentuk konflik baru masalah tanah yang dilepaskan oleh otonomi daerah, meningkatkan pertanyaan tentang akan seberapa jauh kelanjutan stabilitas di Luwu.
II.
Page 2
DESENTRALISASI
Proses desentralisasi Indonesia yang berdasarkan pada dua undang-undang tahun 1999, dilakukan pada bulan Januari 2001. Proses tersebut mendefinisikan kembali secara radikal tentang peran pemerintah pusat dan daerah dalam mendanai dan menyampaikan jasa publik. Proses ini dijalankan dengan cepat, dengan persiapan yang minimal, yang telah dikenal sebagai pendekatan ‘Big Bang’ terhadap devolusi kekuasaan pemerintah. Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah memindahkan sebagian besar fungsi pemerintah ke kabupaten dan kotamadya, kecuali lima kekuasaan yang tetap berada di pusat, yakni: pertahanan dan keamanan, keadilan, hubungan internasional, urusan moneter dan pajak serta agama. Pusat juga diberi peran khusus dalam halhal lain, yakni: administrasi pemerintahan, perencanaan nasional, saldo pajak, teknologi strategi, standardisasi nasional, dan penggunaan sumber alam. Kotamadya sama artinya dengan kabupaten kalau di kota, yang juga menikmati kekuasaan serta tanggungjawab yang sama. Setiap kotamadya dipimpin oleh seorang walikota, dan mempunyai dewan kotamadya sendiri; kabupaten dipimpin oleh bupati. Melalui laporan ini, ‘kabupaten’ akan digunakan untuk merujuk kabupaten maupun kotamadya. Peran provinsi telah dikurangi menjadi pengaturan pelayanan seluruh provinsi seperti jalan dan infrastruktur fisik, mengatur kerjasama antar-daerah, dan melakukan pelayanan yang diminta oleh pemerintah daerah. Para perencana undang-undang desentralisasi mengurangi peran provinsi untuk menghambat mereka menjadi kuat dan independen – kabupaten dan kotamadya lebih kecil dan lebih mudah untuk dikontrol.1
1
Provinsi-provinsi termasuk Sulawesi telah merupakan pusat daerah kerusuhan pada tahun 1950an, dan militer tidak ingin hal ini berulang. Itu juga sebabnya mengapa desentralisasi di Indonesia nyaris menjadi federalisme dilihat dalam lingkaran konservatif sebagai yang membuka pemisahan-isme (secessionism). Wawancara ICG dengan Ryaas Rashid, mantan 2
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Desa-desa menikmati otonomi yang lebih besar di bawah undang-undang baru, dan tidak lagi di bawah kekuasaan kecamatan. Mereka bisa mencari dana, menarik anggaran mereka sendiri, menjalankan peraturan desa dan memberi pendapat akhir terhadap proyek-proyek eksternal tanpa persetujuan pihak yang lebih tinggi.2 Namun pada prakteknya, kebanyakan desa mengalami kekurangan sumber kuangan dan manusia untuk melaksanakan otonomi ini, sehingga pemerintah kabupaten masih merupakan pemberi kunci pelayanan. Pelaksanaan peraturan no. 25/2000 lebih lanjut mengklarifikasi pemecahan fungsi-fungsi dan otoritas di antara pemerintah pusat, provinsi dan daerah, mendefinisikan area di mana kabupaten bertanggungjawab, tetapi tidak mendefinisikan secara khusus apa fungsi kabupaten di daerahdaerah tersebut.3 Akibatnya, tanggungjawab atas pertambangan, manajemen daerah pantai dan manajemen sumber alam – daerah penghasilan kunci – tetap tidak jelas. Undang-undang No. 25/1999 mengatur bagaimana desentralisasi didanai. Pokoknya, kabupaten mempunyai kekuasaan jauh lebih besar daripada sebelumnya dalam membuat keputusan tentang pembelanjaan pemerintah, tetapi kekuasaan yang kecil untuk meningkatkan penghasilan mereka sendiri.4 Sebagian besar
Menteri Otonomi Daerah dan salah satu pembuat konsep undang-undang desentralisasi, Februari 2003. 2 Bagian Undang-undang No. 22/1999 yang menyoroti pemerintahan desa ada dalam paragraf 93-111. 3 Bidangnya meliputi: kesehatan, pendidikan dan budaya, pertanian, tanah, pekerjaan umum, komunikasi, industri dan perdagangan, investasi modal, lingkungan dan buruh. 4 Undang-undang No. 34/2000 tentang perpajakan daerah membuat kabupaten berhak untuk menaikkan penghasilan lokal dengan memajaki hampir semua hal sepanjang tidak ada duplikasi dengan program pajak pemerintah pusat. Karena pajak yang paling signifikan seperti properti dan pendapatan tetap di bawah kekuasaan pusat (walaupun faktanya kabupatenkabupaten mendapatkan sebagian besar
Page 3
penghasilan datang dari pusat, yang secara kolektif dikenal sebagai Dana Sama Rata (Equalisation Fund). Dana ini terdiri dari dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), yang merupakan bagian penghasilan berdasarkan sumber serta pajak (misalnya bila kabupaten tersebut mempunyai sumber seperti hutan, tambang atau minyak dan gas) dan dari pinjaman.5 Proses tersebut telah berjalan cepat, tanpa sistem pedoman pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang dikembangkan secara penuh, tanpa ada garis jelas tentang kekuasaan di antara tingkat pemerintahan yang berbeda, dan tanpa supervisi dari Jakarta. Sebenarnya hanya dalam semalam 1,9 juta dari 2,2 juta staf pemerintah pusat dipindahkan ke pemerintah daerah tanpa perincian dalam penyampaian jasa.6 Pengeluaran daerah sebagai proporsi dari semua pembelanjaan pemerintah naik dari 17 persen pada tahun 2000 menjadi lebih dari 30 persen pada tahun 2001 dan mungkin akan naik menjadi 45 sampai 50 persen karena fungsi kabupaten, standar pelayanan dan biaya penyampaian pelayanan yang efektif menjadi lebih jelas. Pemindahan fiskal dari pusat berdasarkan pada perkiraan saat ini.7 Dalam keadaan yang berubah yang tidak mungkin terjadi bagi suatu negara yang dulunya sinonim dengan kekuasaan yang sangat sentral, Indonesia
penghasilan dari sebelumnya), banyak kabupaten telah mengambil jalan untuk memberlakukan ‘pajak gangguan’ demi peningkatan penghasilan. 5 DAU merupakan bagian neto minimum 25 persen dari penghasilan total domestik yang diberikan kepada pemerintah daerah. Dari jumlah ini 90 persen disalurkan ke kabupaten dan 10 persen ke provinsi. DAK adalah bantuan dana untuk kebutuhan/kategori khusus keuangan seperti prioritas nasional dan di luar kebijakan pemerintah daerah. Persentasi bagian dari penghasilan sumber daya daerah telah naik secara tetap, sehingga menjadi 80 persen dari kehutanan, perikanan dan pertambangan, 15 persen penghasilan dari gas akan ditahan oleh daerah asal. 6 “Widjajanti I Suharyo, Indonesia’s Fiscal Decentralisation”, Makalah Kerja UNSFIR No. 02/07, Agustus 2002. 7 Ibid. 3
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
dimaksudkan untuk menjadi satu dari negara desentralisasi di dunia – paling tidak di kertas.
Page 4
III. PEMEKARAN Pasal 5 dan 6 dari Undang-undang No. 22/1999 memperbolehkan adanya kawasan baru – kecamatan, kabupaten, kotamadya dan provinsi – dengan memecah atau menyatukan unit administrasi yang ada. Prosedur untuk melakukan hal ini dimulai dalam Peraturan No. 129/2000. Peraturan tersebut menyatakan bahwa tujuan setiap perubahan dalam batas daerah atau dalam status suatu kawasan (dari kecamatan menjadi kabupaten misalnya) seharusnya untuk meningkatkan penyampaian pelayanan, mempercepat demokratisasi, memfasilitasi realisasi potensi kawasan, meningkatkan pelaksanaan hukum, dan meningkatkan komunikasi di antara pusat dan daerah.8 Sampai saat ini, penekanannya hanya pada pemisahan unit-unit yang eksis ke dalam unit yang lebih kecil, dalam suatu proses yang dinamakan pemekaran, yang secara harafiah berarti “berbunga”. Di bawah istilah Peraturan No. 129, advokasi suatu kabupaten baru harus menunjukkan bahwa itu merupakan entitas kelangsungan hidup, dalam hal sumber ekonomi, potensi daerah, jumlah penduduk, geografi, dan kondisi politik serta budaya.9 Mereka juga harus mendapatkan persetujuan dari kedua kabupaten yang ingin memisahkan diri dan pemerintahan provinsial yang relevan, juga dari Menteri Dalam Negeri dan DPR pusat.10 Sampai
8
“Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah”, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.129 Tahun 2000, Bab II (2). 9 “Persyaratan/Kriteria, Indikator, Dan Sub Indikator” terdiri dari tujuh kriteria, sembilan belas indikator dan 43 sub-indikator untuk menentukan kelangsungan hidup calon kabupaten dalam “Cara Penilaian, Pembentukan, Pemekaran, Penghapusan Dan Penggabungan Daerah”, Lampiran, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 129 Tahun 2000. 10 Luwu Utara menjadi kabupaten baru pada bulan April 1999, bahkan sebelum Undangundang No. 22 dan 25 dikeluarkan, dan mendapat keuntungan dari momentum yang dihasilkan dari iklim pro-desentralisasi pada waktu itu. 4
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
saat ini, Jakarta lebih menyibukkan diri dengan prosedur daripada kelangsungan hidup, dan beberapa bupati secara efektif telah menyogok kabupaten yang bersumber daya miskin dalam eksistensi.11 Ketika Peraturan No. 129 disampaikan untuk pertama kalinya, Menteri Dalam Negeri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), yakni lembaga yang didirikan di bawah Dekrit Presiden No. 49/2000, yang meliputi seluruh kementerian yang relevan, yang mengevaluasi seluruh proposal pemekaran dan kemudian membuat konsep rancangan undang-undang yang relevan untuk mendapat persetujuan DPR. Bila DPOD bertindak lamban terhadap proposalproposal tersebut, penasihat kabupaten baru bisa menghimbau pada Komisi II DPR tentang Hukum dan urusan Dalam Negeri untuk menjalankan hak parlemen atas inisiatif dalam mempercepat proses dan memasukkan rancangan undang-undang. Namun pada tahun 2002 dan 2003, para penasihat mulai memanfaatkan keseimbangan perubahan kekuasaan antara eksekutif dan badan pembuat undang-undang, pergi langsung ke dewan dan tidak melalui urusan Dalam Negeri dan DPOD. Walaupun DPOD masih menjalankan penaksiran kandidat daerah secara teknis, hal ini menjadi formal ketika pelamar telah mendapatkan dukungan DPR baik dalam memprakarsai dan mengawasi proses legislatif. Pada giliran persetujuan pemekaran bulan Januari 2003, tujuh belas dari 25 calon kabupaten diuntungkan oleh DPR yang melaksanakan hak inisiatifnya. Sejak Peraturan No. 129 berpengaruh, 57 kabupaten baru dan 18 kotamadya telah menciptakan kenaikan jumlah daerah di Indonesia sebanyak 40 persen yang terjadi antara
Akibatnya, pendaftaran yang lama untuk status kabupaten yang diajukan tahun 1963 ‘diaktifkan kembali’. 11 Catatan gamblang tentang berapa lama kandidat bupati Toja Una-Una telah berusaha, lihat Margot Cohen, “The Great Indonesian Carve-Up”, Far Eastern Economic Review 29 Mei 2003, hlm. 48-51.
Page 5
tahun 1998 dan 2003. Banyak permohonan lain sedang menunggu.12 Proses pemecahan administratif ini telah membuat perasaan antusias maupun khawatir. Bagi beberapa kelompok, pemekaran menawarkan suatu jalan untuk mendapatkan akses kekuatan politik yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Para penasihat kabupaten baru Mamasa di Sulawesi Selatan misalnya, mencatat bahwa anggota kelompok etnis yang dominan di sana, orang Mandar, belum pernah memegang posisi tinggi dalam pemerintahan provinsial Sulawesi Selatan. Mereka ingin menciptakan Mamasa lebih dulu, dan kemudian menggunakannya sebagai batu loncatan untuk menciptakan provinsi Sulawesi Barat sebagai jalan bagi orang Mandar untuk mendapatkan kesempatannya sendiri.13 Proses tersebut memberikan kesempatan kepada orang lain untuk menciptakan kembali batas kerajaan lama atau kesultanan, dan membuat kebanggaan lokal yang membuat para pemimpin yang mungkin muncul lebih daripada sebagai pancang dalam pembangunan daerah mereka sendiri. Salah satu contohnya adalah Toja UnaUna dari Sulawesi Tengah.14 Dalam beberapa kasus, argumentasi tentang efisiensi administratif menjadi yang paling kuat. Pendukung yang menginginkan Pulau Flores
12
Pada tahun 1998 Indonesia mempunyai 292 daerah. Sampai tulisan ini dibuat, Indonesia mempunyai 410 kabupaten; 86 kota kecamatan; dan 33 provinsi, tiga dari provinsi tersebut belum diumumkan secara resmi. Permohonan untuk 27 calon kabupaten ditangguhkan dan diharapkan akan disetujui pada akhir 2003. Untuk studi nasional pemekaran, lihat Fitria Fitrani, Bert Hofman dan Kai Kaiser, “Unity in Diversity? The Creation of New Regions in Indonesia”, tulisan dua mingguan dari kantor Bank Dunia, Jakarta. 13 Wawancara ICG, Makassar, 10 Juni 2002. Pada waktu laporan ini ditulis di pers, kampanye untuk menciptakan Sulawesi Barat nampaknya akan sukses pada akhir 2003. 14 Cohen, “The Great Indonesian Carve-Up”, op. cit. 5
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
menjadi suatu provinsi, terpisah dari provinsi Nusa Tenggara Timur, memperdebatkan bahwa sekarang mereka harus pergi ke ibukota provinsi, Kupang, di Timor Barat, untuk mengikuti ujian menjadi pegawai negeri, mendapatkan tandatangan dan sebagainya, padahal akan jauh lebih mudah melakukan hal-hal tersebut di Flores sendiri. Argumentasi tentang efisiensi juga digunakan oleh pemerintah Megawati untuk membenarkan pemekaran Papua ke dalam tiga provinsi, walaupun alasan sesungguhnya kelihatannya untuk melemahkan kekuatan kelompok prokemerdekaan.15 Ada juga contoh-contoh konsekuensi negatif dari pemekaran, termasuk sumber konflik baru. Konflik Maluku Utara yang pecah pada tahun 1999 sebagian merupakan akibat dari keputusan pemerintah yang telah memisahkan provinsi Maluku menjadi dua.16 Luwu, dengan sejarah pemberontakan dan konflik, sebuah perusahaan tambang internasional besar, penduduk transmigran yang signifikan, dan dekatnya dengan Poso, di mana konflik komunall yang mematikan paling besar di Indonesia telah meledak, berasal dari satu kabupaten dan menjadi empat dalam tiga tahun. Apakah pemekaran akan menyebabkan kompetisi sumber daya, perjuangan keras atas kantor-kantor tingkat kabupaten yang baru, atau perselisihan baru atas tanah dan batas daerah? Akankah pemekaran memainkan peran dalam mengurangi kekerasan atau membuat manajemen yang lebih baik atas beberapa ketegangan yang telah muncul di masa lalu? Atau akankan tidak mempengaruhi sama sekali? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting untuk mengetahui beberapa sumber dari konflik yang telah terjadi.
15
Lihat ICG Indonesia Briefing, Tensions on Flores: Local Symptoms of National Problems, 10 Oktober 2002 dan ICG Indonesia Briefing, Dividing Papua: How Not to Do It, 9 April 2003. 16 ICG Asia Report No.10, Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku, 19 Desember 2000.
Page 6
IV. PEMBAHASAN SEJARAH Pernyataan utama tentang keterkenalan Luwu adalah sebagai kerajaan Bugis tertua di Sulawesi Selatan. Dari pemukiman di Malili (Luwu Timur) dan Malangke (Luwu Utara), kerajaan tersebut tumbuh sampai masa puncak kekuasaan, dari abad empatbelas sampai enambelas, berserak dari daerah pegunungan di baratlaut, berbatasan dengan Sulawesi Tengah, Mamuju dan Toraja di sebelah barat, melewati dataran tengah ke timur menuju Kendari di Sulawesi Tenggara, dan sepanjang garis pantai Teluk Bone ke Siwa.17 Setelah diperluas, kerajaan tersebut menyerap komunitas non-Bugis, membuat Luwu memiliki duabelas kelompok etnis dan sembilan dialek.18 Sekarang orang Luwu mempunyai identifikasi daerah dengan batas kerajaan lama dan identitas yang berakar pada adat – tradisi-tradisi lokal, secara teritorial berakar pada masyarakat. Empat kelompok etnis secara khusus merupakan hal penting bagi sejarah konflik di Luwu: mayoritas orang To’ala (sekitar 50 atau 60 persen) dari lembah tengah termasuk kecamatan Sabang dan Baebunta dan kota kerajaan Palopo serta Malangke; orang Rongkong dan orang Toraja dari baratlaut dan bagian barat pegunungan; dan orang Bugis dari sekitar kabupaten seperti Bone, Soppeng dan Wajo.19 Orang Rongkong dan To’ala menganggap diri mereka sebagai orang Luwu; identifikasi orang
17
Darmawan Ma’sud Raahman, “Identitas Budaya Luwu: Tinjauan Ringkas” dalam Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi, diedit oleh Moh. Ali Fadilah dan Iwan Sumantri, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin ( Makassar 2000). 18 Dalam pengadilan kerajaan Palopo, Malili dan Malangke, satu versi pengadilan menggunakan bahasa Bugis, tetapi untuk mencapai lebih jauh tentang masalah kerajaan digunakan dialek lokal. 19 Sementara mayoritas penduduk pribumi dataran tengah adalah orang To’ala, mereka umumnya diidentifikasikan dengan nama tempat seperti Baebunta atau orang dari Sabbang. Namun karena bahasa daerah dan tanah asal mereka, orang Rongkong dan Toraja tidak memakai nama tempat tinggal mereka. 6
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Toraja lebih rumit.20 Orang Bugis dari kabupaten lain tidak dianggap sebagai orang Luwu, yang menegaskan bahwa etnisitas tidak menentukan kelangsungan hidup dalam pembentukan identitas di Luwu.21 Sekitar 80 persen orang Luwu adalah orang Muslim. Komunitas di daerah pegunungan di sebelah barat, baratlaut dan timur, termasuk orang Toraja dan Pamonan, cenderung untuk menjadi Kristen atau menjalani kepercayaan adat. Orang Rongkong terbagi dalam jumlah sama antara Kristen dan Islam.22 Orang To’ala beragama Islam. Walaupun agama Islam dominan, beberapa kecamatan secara signifikan mempunyai komunitas Kristen, termasuk Sabbang (hampir 50 persen) dan Limbong (50
20
Walaupun Toraja merupakan bagian kerajaan Luwu, secara budaya selalu dianggap sebagai kabupaten oleh orang Luwu. Orang Toraja tidak menghormati Datu (penguasa) Luwu seperti komunitas lain, dan loyalitas mereka di mata orang Luwu dianggap mencurigakan. Ditambah lagi dengan masalah perbedaan agama – mayoritas orang Toraja Kristen – dan kecurigaan bahwa orang Toraja tidak terlalu komit seperti orang Luwu lain selama perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Perasaan bahwa Toraja bukan merupakan bagian Luwu muncul kembali ketika Toraja menjadi kabupaten terpisah pada tahun 1957, dan kecurigaan lama kembali ketika mereka berupaya tapi gagal untuk memasukkan Walenrang ke dalam kabupaten baru sehingga konsekuensinya mereka bisa mengakses Teluk Bone. Wawancara ICG dengan sejarawan lokal dan anggota Komite Provinsi Luwu, Palopi, 29 April 2003. Lihat juga Lahadjdji Patang, Luwu Dalam Pembangunan, C.V. Usaha Makmur Palopo, 1982. 21 Orang Bugis dari kabupaten lain secara kultur dianggap rendah oleh orang Luwu, dan hanya ada sedikit rasa persaudaraan; orang To’ala yang merupakan kelompok dominan di Luwu secara rasia mirip dengan orang Toraja dan berbicara dialek yang mirip, tetapi mereka tidak menganggap diri mereka ada hubungannya dengan orang Toraja, dan tetap ingin dianggap sebagai orang Luwu. 22 Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong, Oktober 2002.
Page 7
sampai 60 persen) di Luwu Utara dan Walenrang (33 persen) serta Lamasi (33 persen) di Luwu.23
A.
KEKUASAAN BELANDA, KEMERDEKAAN DAN PEMBERONTAKAN DARUL ISLAM
Datu dari Luwu yang dianggap keturunan orang hebat, berbagi kekuasaan dengan pimpinan dewan adat dari unsur pokok komunitas etnis yang bertindak sebagai kabinetnya. Kerajaaan tersebut merupakan konfederasi, terdiri dari tiga kabupaten utama dan unit-unit administratif lebih kecil yang sangat menikmati otonomi dan diperintah oleh pemimpin adat dan dewan adat mereka sendiri. Masyarakat Luwu dulunya feodal dan hirarkis. Aturan sosial tetap tidak diubah sepanjang periode pemerintahan kolonial Belanda sampai 1905-1906, ketika pasukan Belanda dikirim ke Sulawesi untuk memaksa para pemimpin lokal untuk menyerahkan otoritas politik ke negara Belanda.24 Luwu tetap berstatus semi-independen sebagai suatu swaprajah atau kerajaan otonomi, terbagi dalam tiga kabupaten atau onderafdeling yakni Makale (di Toraja), Masamba (Luwu Utara) dan Malili (Luwu Timur) sampai tahun 1959. Namun secara meningkat Raja Luwu dan banyak anggota kerajaan tidak menyetujui kebijakan transmigrasi Belanda yang merelokasikan 25.000 orang Jawa antara tahun 1938 dan 1941 ke daerah yang secara relatif berpenduduk langka.25 Mereka juga menolak dominasi pegawai negeri sipil oleh orang Jawa dan orang Kristen Minahasa dari
23
Wawancara ICG dengan pejabat Kantor Statistik Kabupaten Luwu, Oktober 2002; wawancara ICG dengan LSM lokal Lembaga Advokasi Dan Pemberdayaan Rakyat Luwu (Baperlu). Informasi Baperlu berdasarkan pada arsip dari lembaga lain, Kasi Bimas Kristen Protestan Kabupaten Luwu, April 2003. 24 Lorraine Aragon, Fields of the Lord (Hawaii, 2000), hlm. 100. 25 Penduduk Luwu berjumlah kurang dari 400.000 orang; lihat Barbara Harvey, Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989, hlm. 61. 7
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Sulawesi Utara – suatu praktek yang dimulai segera setelah Belanda mulai berkuasa.26 Andi Djemma, penguasa Luwu, memimpin pemberontakan bersenjata di hutan melawan Belanda pada tahun 1946, dan akibatnya dia dipenjara serta dibuang dari Luwu. Namun kemerdekaan Indonesia terbukti menjadi pil pahit bagi banyak orang di Luwu. Soekarno telah menjanjikan Andi Djemma bahwa Luwu akan mendapatkan status wilayah khusus sebagai diakuinya kontribusi mereka terhadap kemerdekaan, dan hal tersebut tidak pernah terjadi.27 Jakarta melanjutkan banyak praktek Belanda yang telah mengasingkan Luwu seperti masalah transmigrasi dan memilih orang Jawa dalam posisi administratif penting.28 Tetapi yang paling penting adalah penolakannya untuk menggabungkan para gerilyawan Sulawesi Selatan yang dipimpin Kahar Muzakkar, seorang asli Luwu, ke dalam brigade tunggal tentara Indonesia. Penolakan mereka membuat Muzakkar dan orang-orangnya memberontak dan memproklamirkan negara Islam Indonesia pada bulan Agustus 1949. Sesudah tahun 1952, ketika Muzakkar membuat kontak dengan pimpinan pemberontak yang dikenal sebagai Darul Islam di Jawa Barat, pemberontak Sulawesi Selatan juga mengambil nama Darul Islam.29 Pemberontak Darul Islam pada mulanya telah menyebarkan dukungan di Sulawesi Selatan dan Tenggara, walaupun lebih disebabkan karena keluhan terhadap Jakarta daripada mendukung negara Islam.30 Dukungan tersebut menguap di
26
Catatan pelayanan sipil paling awal, th. 1909, dikutip dalam ibid. hlm. 54. 27 Wawancara ICG dengan sejarawan lokal Andi Anton Pangerang, Palopo, 25 April 2003. 28 Barbara Harvey, op. cit. chapter 6, hlm. 189210. 29 ICG Indonesia Briefing, Al-Qaeda in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” dalam Indonesia, 8 Agustus 2002, hlm. 4. 30 Orang-orang yang diwawancarai di Luwu terdiri dari aristokrat lokal sampai orang beragama dan pemimpin masyarakat, termasuk anak Kahar Muzakkar, Muzakir Muzakkar, yang mengatakan kepada ICG bahwa Kahar Muzakkar
beberapa tempat karena para menghancurkan daerah tersebut.31
Page 8
pemberontak
Setelah Muzakkar menggabungkan pasukan dengan gerakan Darul Islam, penduduk lokal Rongkong di salah satu basis pasukan Muzakkar (DI/TII) dataran tinggi baratlaut di Limbong dipaksa untuk menjadi Islam, dan banyak yang terbunuh dalam proses tersebut.32 Daerah Pagan dan Regalia yang secara signifikan mempunyai nilai spiritual bagi orang Luwu dirusak. Di seluruh Luwu kebijakan bumi hangus dilancarkan terhadap jalan, sistem irigasi, jembatan dan daerah pertanian. Karena tidak bisa bertani atau hidup tanpa diganggu oleh tentara pemberontak dan tentara pemerintah, maka ribuan orang lari atau direlokasikan oleh pasukan pemerintah, seperti terjadi pada orang Rongkong di Limbong.33 Pada tahun 1954 pasukan pemerintah merelokasikan 9.000 orang Rongkong dari dataran tinggi Limbong di Luwu Utara ke dataran yang sekarang disebut Baebunta-Sabbang, di mana mereka dengan mudah bisa dilindungi. Ratusan orang meninggal pada tahun pertama karena kondisi yang sulit: cuaca yang ekstrim, penyakit dan kurang makan. Kebanyakan tanah di Baebunta merupakan hutan perawan, tetapi di sana juga ada tanah olahan yang ditinggalkan oleh bekas pemiliknya yang telah lari demi mencari keselamatan. Ini tidak merupakan kasus aneh. Pemerintah juga merelokasikan penduduk desa Seriti di bagian selatan Luwu ke kecamatan Lamasi di sebelah utara, di perbatasan dengan
melihat Islam sebagai jalan untuk memobilisir dukungan di Sulawesi Selatan untuk melawan pemerintah Jakarta. Menurut mereka, inilah tujuan mereka, bukan negara Islam. Palopo, 28 April 2003. 31 Kahar Muzakkar tetap menjadi pahlawan bagi banyak orang Sulawesi Selatan sampai saat ini. Pemberontakan berakhir tahun 1965 setelah Muzakkar tertembak mati oleh tentara Indonesia. 32 Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong, Salassa, Luwu Utara, Oktober 2002. 33 Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong pada bulan October 2002, juga dengan sejarawan lokal Muklis Paeni dan Andi Anton, Februari 2003, April 2003. 8
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
yang sekarang disebut Luwu Utara. Pada tahuntahun berikutnya, komunitas yang dimukimkan kembali diperluas, membentuk desa-desa baru dan dianggap sebagai pelanggar batas wilayah lokal oleh penduduk asli To’Lemo di Lamasi.34 Ketidakpastian tentang status tanah belakangan menyebabkan perselisihan dan kekerasan antar desa di kedua daerah. Pemindahan orang ke Luwu ataupun keluar masuk kawasan tersebut, di tahun-tahun belakangan menimbulkan rasa sangat kebingungan mengenai siapa yang merupakan migran dan siapa yang dianggap ‘orang asli’. Secara dministratif Luwu tetap merupakan unit tunggal. Pada tahun 1959, ketika diadakan reorganisasi pemerintah ldaerah, ada kemungkinan bagi Luwu Timur dan Luwu Utara untuk menjadi kabupaten. Tetapi para elit lokal, termasuk para pemimpin politik dan pemimpin adat, bertahan untuk berstatus wilayah khusus dan tidak ingin untuk ‘memecah’ kerajaan Luwu ke dalam kabupaten-kabupaten terpisah. Tambahan lagi pemberontak Darul Islam yang masih berlanjut membuat sibuk pemerintah lokal maupun pusat, sehingga dewan kabupaten Luwu tidak bertindak.35 Pada tahun 1963, dewan kabupaten Luwu dan DPRD Sulawesi Selatan mendukung pembentukan dua kabupaten baru yang ada di Masamba dan Malili dengan alasan memfasilitasi pembangunan ekonomi.36 Tetapi sekali lagi, dengan seluruh perhatian yang ditujukan pada penumpasan pemberontakan, pemerintah pusat gagal untuk menanggapinya. Dengan berakhirnya pemberontakan pada tahun 1965, ide pemekaran Luwu dibangkitkan, kali ini bersamaan dengan proposal untuk sebuah provinsi baru Luwu Besar. Namun ketika bupati Luwu menyerahkan proposal kepada Menteri Dalam Negeri waktu itu, dalam suatu pidato umum selama berkunjung ke Palopo pada tahun
Page 9
1967, baik dia maupun kepala desa kabupaten kemudian dipindahkan ke pos-pos lain.37
B.
PERKEMBANGAN ORDE BARU
Awal pemerintahan Orde Baru Soeharto dimulai tidak lama setelah berakhirnya pemberontakan Darul Islam. Ada tiga segi menonjol pada tahuntahun Soeharto: fokus pada perkembangan ekonomi, membanjirkan migran ke Luwu, dan adanya sistem administratif seragam yang bersifat top-down yang mengecilkan otoritas tradisional. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama pemerintah nasional dan kabupaten, demikian juga di antara elit lokal di Luwu. Pemberontak telah membuat Luwu rusak, miskin dan tidak mampu menolak kebijakan pembangunan pemerintah pusat, termasuk program transmigrasi. Program tersebut memukimkan migran petani, terutama dari Jawa, Bali, Lombok dan Nusa Tenggara Timur, di tempat-tempat yang ditunjuk, khususnya Kecamatan Sukamaju, Mangkutanah, Tomoni dan Bone-Bone di Luwu Timur dan Luwu Utara. Antara tahun 1969 dan 1975, 24.200 migran dimukimkan di daerahdaerah ini.38 Karena pembangunan infrastruktur terpadu, juga karena kesempatan pencapaian personal, penduduk elit lokal memandang transmigrasi lebih positif. Program transmigrasi nasional memacu beberapa pemimpin adat untuk menolong masyarakat mereka sendiri dengan merelokasikan pertanian tradisional Luwu di pelosok dan tempat yang sulit dicapai, ke daerah yang lebih subur di dataran yang memungkinkan, supaya tidak dimasukkan ke dalam program. Namun pemimpin adat yang lain lebih
37
34
Wawancara ICG dengan LSM Luwu, Lembaga Advokasi Pemberdayaan Rakyat Luwu (Baperlu), Palopo, 26 April 2003. 35 Wawancara ICG melalui telepon dengan sejarawan lokal Andi Anton Pangerang, 16 April 2003. 36 Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, Jakarta, Februari 2003.
Ibid. Dalam wawancara berturutan, seorang penasihat untuk pembentukan provinsi Luwu mengatakan kepada ICG bahwa telah dipercayai di Luwu kalau pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menentang bila sampai kehilangan Luwu dan meminta Jakarta menolak proposal tersebut. Palopo, 26 April 2003. 38 Muriel Charras, De La Forêt Malefique A L’Herbe Divine, Editions de la Maison des sciences del’homme (Paris, 1982), hlm. 108-109. 9
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
tertarik untuk membuat keuntungan dan memfokuskan diri pada penjualan tanah kepada orang luar. Banyak kepala desa dan camat, pemimpin adat serta polisi kecamatan dan fungsionaris militer menjual tanah kepada migran lokal (atau migran spontan) dari Sulawesi Selatan, khususnya migran Toraja dan Bugis. Tidak seperti program transmigrasi nasional yang memukimkan kembali para migran ke daerah baru yang ditunjuk, yang jauh dari desa-desa lokal, migrasi spontan tidak mengikuti perencanaan, dan para migran memukimkan diri sendiri di dalam pemukiman atau dekat dengan pemukiman yang ada – ini merupakan salah satu alasan mengapa migran spontan, bukan migran yang disponsori pemerintah menonjol dalam konflik lokal. Pada tahun 1999, pupulasi migran meningkat sampai 25 persen dari penduduk Luwu Utara, 10 persen di antaranya berasal dari daerah mana saja di Sulawesi Selatan. 39
Perubahan dalam ekonomi politik Luwu membawa arus migran baru. Pada bulan Juli 1968, pemerintah Indonesia memberikan kontrak kepada PT Inco (International Nickel of Canada) untuk membangun tambang nikel besar di Soroako, yang sekarang disebut Luwu Timur. Perusahaan tersebut diberi otoritas untuk mengerjakan sekitar enam juta hektar tanah di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Eksplorasi dimulai tahun berikutnya, dan konstruksi jalan, bangunan, bandara dan fasilitas lain dimulai pada awal tahun 1970an, yang memerlukan sejumlah besar tenaga kerja – yang sebagian besar berasal dari luar daerah tersebut.40 Sementara ribuan buruh dilepas setelah pembangunan selesai, mereka yang berasal dari Jawa, Sumatra Barat dan bagian lain Sulawesi tetap tinggal sebagai karyawan tambang atau di bidang jasa dan bisnis yang berkaitan. Pembangunan pertambangan juga diikuti pengambil-alihan tanah secara besarbesaran oleh pemerintah yang meninggalkan bekas luka yang dalam tetapi belum ada reaksi
39
Wawancara ICG dengan kepala humas, Polisi Kecamatan, Januari 2003, dan angka pemberi suara tahun 1999. 40 Kathryn M. Robinson, Stepchildren of Progress: The Political Economy of Development in an Indonesian Mining Town (Albany, 1986), hlm.101-103.
Page 10
atas setiap konflik yang berhubungan dengan tanah yang terjadi di Luwu. Produksi coklat juga mengubah daerah tersebut. Pada tahun 1978, pelayanan perluasan pertanian resmi memilih Palopo sebagai pusat produksi coklat. Hal ini dimengerti oleh orang lokal sampai sekarang sebagai ‘invasi’ orang Bugis dan Toraja, ketika Luwu Utara menjadi pionir daerah penanaman coklat.41 Pada pertengahan 1990an, daerah tersebut telah menyebar ke arah utara ke Sulawesi Pusat dan Utara, dan Luwu Utara menjadi berkurang magnitnya bagi pemukim baru. Pada saat itu harga tanah telah naik secara drastis: ada jalan pintas dari Palopo ke Masamba dan ke arah timur menuju Wotu dan Malili yang sebelumnya merupakan daerah tak terjangkau ke pasar, membuat tanah lebih menarik. Suksesnya coklat sebagai tanaman yang menghasilkan uang kontan juga membuka mata penduduk lokal atas nilai tanah mereka. Pada umumnya, pertanian coklat dilakukan atas inisiatif migran Bugis, tetapi di Luwu Utara, tiga kelompok yang mencapai sukses secara khusus adalah orang Bugis, Toraja dan Rongkong. Pada tahun 1998 ketika harga coklat mencapai tingkat sangat tinggi di pasar dunia, persis ketika nilai tukar rupiah merosot, petani coklat di Luwu Utara melihat harga-harga pertanian mereka meningkat 300 sampai 500 persen hanya dalam waktu semalam.42 Seperti yang diceritakan oleh seorang laki-laki tua Rongkong yang telah dipindahkan dari Limbong ke Sabbang-Baebunta pada tahun 1954 kepada ICG: “Kami menjual apa saja yang kami punyai, bahkan emas, hanya untuk membeli makanan dari orang lokal ketika
41
Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, Januari 2003. Juga lihat Francois Ruf, “From Tree-Crop Planting to Replanting 1997: A New Turning-point in the Sulawesi Cocoa Boom?”, makalah disampaikan dalam workshop ASKINDO/CIRAD, 4 November 1997, Jakarta. 42 Francois Ruf and Yoddang Cirad-Tera, “The Impact Of The Economic Crisis On Indonesia’s Cocoa Sector”, dalam Pantjar Simatung, Sahat Pasaribu, Sjaiful Bahri, Randy Stringer (eds.), Indonesia’s Economic Crisis: Effects on Agriculture and Policy Responses, CASER (Bogor, 1999), hlm. 289. 10
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
kami kelaparan. Sekarang kami mempunyai rumah, motor yang lebih bagus, karena kami bekerja keras setiap hari.”43 Para analis konflik di banyak daerah di Indonesia telah menunjuk pada efek yang mengganggu hukum pemerintahan lokal yang dikeluarkan pada tahun 1974 dan 1979, yang di banyak area membuat para tokoh penguasa tradisional ke tingkat birokrat Orde Baru yang paling rendah. Di Ambon, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan di mana saja, kewajiban untuk mewakili kepentingan Orde Baru (dan mereka yang berada dalam partai Golkar) sering meruntuhkan kekuasaan pimpinan lokal. Luwu tidak dibedakan. Sejarawan lokal Andi Anton Pangerang yang berasal dari suatu keluarga pemimpin adat terkemuka, mengatakan kepada ICG bahwa sistem pemegang jabatan yang ditunjuk pemerintah secara praktis merusak pemerintahan Luwu dan sistem nilai, dan bahwa konflik antar desa tahun 1990an muncul dalam kevakuman budaya dan politik ini.44
Page 11
V.
KONFLIK DI LUWU
A.
AWAL PERPECAHAN
Pada tahun 1970an dan 1980an biasa terjadi konflik di Luwu yang sering melibatkan para migran dan penduduk lokal. Pada tahun 1976, pecahnya pertikaian pertama antara penduduk lokal dan transmigran Jawa muncul di kecamatan Bone-Bone yang berpenduduk padat, walaupun daerah transmigrasi lain yang kurang padat tidak terpengaruh.45 Satu dasawarsa kemudian, terjadi pertikaian antara transmigran spontan Toraja dan Bugis yang bersaing membeli tanah untuk perkebunan coklat.46 Pada tahun 1990an, pecah konflik antara ganggang anak muda di desa-desa yang saling bertetangga, tetapi mereka sangat dilokalisasi, dan sering yang menjadi penyebabnya adalah faktor konsumsi alkohol. 47 Pada tahun 1998 kerusuhan meningkat secara drastis, frekuensi maupun volumenya. Penduduk Luwu mengutip ada sekitar 40 sampai 50 insiden kekerasan antara tahun 1998 dan 2000 dengan 20 kasus pada tahun 2000 sendiri.48 Sebaliknya di antara tahun 1990 dan 1997, hanya ada limabelas pertikaian gang.49 Kekerasan yang dimulai pada tahun 1998 menggambarkan konflik besar yang melibatkan seluruh penduduk desa. Hal ini dicerminkan dalam pers nasional sebagai konflik komunal antara migran Toraja dan penduduk
45
Muriel Charras, op. cit., hlm. 122-127. Wawancara ICG dengan pemimpin adat dari Soroako, April 2003. 47 Pertikaian antar gerombolan sering dicetuskan oleh adanya pertengkaran kecil antar individu, misalnya seorang anak muda di sebuah pesta perkawinan merasa terhina karena makanan dia lebih sedikit, diikuti dengan saling menghina atau ketika di jalan tidak membiarkan orang lain melambung, atau serangan terhadap individu yang tidak sengaja melewati ‘wilayah musuh’. 48 “Luwu Utara Lautan Api”, Kompas, 25 Juni 2000. 49 Wawancara ICG dengan LSM lokal Lembaga Advokasi Dan Pemberdayaan Rakyat Luwu (Baperlu), Palopo, 26 April 2003. 46
43
Wawancara ICG, Oktober 2002. Semua orang yang diwawancarai ICG di Luwu Utara mengumandangkan pandangan ini. Bahkan LSM lokal curiga bahwa dewan adat yang dihidupkan lagi mungkin menjadi tumpangan aristokrat untuk menyetujui bahwa diperlukan pimpinan adat yang otentik. 44
11
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
lokal, yang mengimplikasikan penduduk asli dan juga perpecahan Kristen-Islam. Yang terjadi sebenarnya jauh lebih kompleks: frustrasi tentang tanah, masalah sosial dan ekonomi, penerapan hukum yang lemah yang mengakibatkan vigilantisme dan iklim kebebasan dalam segala hal secara mendadak pada periode pasca-Soeharto, yang merupakan faktor yang jauh lebih penting.
B.
PERPECAHAN UTAMA, 1998 - 2002
Konflik yang meletus antara tahun 1998 dan 2002 terutama terjadi di empat kecamatan: Baebunta, Sabbang dan Malangke di Luwu Utara dan Lamasi di Luwu. Kecamatan ini memiliki karakteristik jelas: desa-desa yang kebanyakan penduduknya adalah migran spontan (terutama orang Toraja atau Bugis), atau penduduk lokal yang dimukimkan kembali (terutama orang Rongkong). Kebanyakan mempunyai dimensi etnis, walaupun faktornya sebenarnya kompleks. Di beberapa kasus, pertikaian yang terjadi melibatkan penduduk lokal melawan pemukim baru, tetapi konflik juga melibatkan kekerasan di antara desa-desa yang berpenduduk asli, dan gerombolan penentang yang sering tidak berhubungan dengan masalah etnis. Sebenarnya beberapa analis lokal sampai pada kesimpulan, bahwa yang terjadi lebih pada kecurigaan penduduk desa tetangga daripada masalah etnisitas atau agama yang bisa menjelaskan pola konflik.50 1.
1998
Kecamatan Baebunta. Pada tanggal 11 September, suatu pertikaian terjadi antara dua orang pengendara motor, satunya penduduk lokal Baebunta dan satunya lagi orang Rongkong dari desa Salassa. Pada malam tanggal 12 September, ratusan anak muda etnis Baebunta yang membawa senapan buatan sendiri yang disebut
50
Wawancara ICG dengan LSM lokal seperti Baperlu dan Wahana Transformasi Dan Informasi Rakyat, juga dengan intelektual seperti sejarawan lokal Andi Anton Pangerang, Palopo, 26 April 2003.
Page 12
papporo, granat dan pisau, turun ke Salassa, dan anak-anak muda lokal Rongkong muncul untuk membela desa mereka.51 Polisi menengahi dan minta orang-orang Rongkong untuk masuk ke rumah masing-masing, tetapi ternyata mereka kemudian diserang lagi oleh orang-orang Baebunta yang kemudian membakar desa tersebut. Polisi betul-betul kewalahan dan minta bantuan melalui radio dari pusat kabupaten di Palopo, 70 kilometer dari situ. Tiga regu polisi dari kantor pusat Luwu dan satu regu dari KODIM 1403 Sawerigading di Palopo yang baru hari berikutnya bisa menguasai keadaan. Khususnya militer bisa menguasai gerombolan, yang membuat kelegaan penduduk desa sehingga mereka memeluk para serdadu dan mulai meneriakkan “Hidup ABRI … hanya militer bisa memperbaiki keadaan … jangan tinggalkan kami…”52 Empat jam kemudian tentara KODIM melepaskan kekuasaan kepada polisi. Tidak ada penahanan, walaupun beberapa perusuh ditahan karena memiliki senjata. Ada empat orang meninggal, 36 terluka, 230 rumah terbakar dan 150 keluarga kehilangan rumah.53 Walaupun targetnya orang Rongkong dari Salassa, namun api juga menghanguskan rumah-rumah milik orang Baebuntan di desa tetangga. Kecamatan Sabbang dan Lamasi. Pada tanggal 24 Oktober, ada pertikaian antar gang dari desa Kalotok, Kecamatan Sabbang, dan gang dari Pongko, Kecamatan Lamasi, setelah ada keributan di antara dua anak muda dua hari sebelumnya. Ratusan anak muda yang bersenjata papporo, pisau, pedang, panah dan lain-lain bertempur di jembatan yang menghubungkan kedua kecamatan. Kedatangan polisi dari Kecamatan Sabbang dan Lamasi yang diperkuat oleh KORAMIL memaksa mereka untuk mundur. Walaupun tidak ada kefatalan, ada
51
“Rusuh di Luwu, Baebunta Jadi Lautan Api”, Pedoman Rakyat, 13 September 2002. Papporo adalah versi lokal basoka yang dibuat dari pipa baja dan dibakar menggunakan amunisi seperti paku, pecahan gelas dan obyek runcing lain. 52 “Sudah 4 Tewas, 36 Luka dan 230 Rumah Dibakar”, Fajar, 15 September 1998. 53 Ibid. 12
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 13
orang-orang yang terluka, dan jalan bebas hambatan Trans-Sulawesi macet total.54
Sappa dan kecamatan, membuat ratusan orang Toraja kabur ke rumah mereka masing-masing.58
Percekcokan yang melibatkan beberapa anak muda di suatu perempatan jalan pada tanggal 16 November meningkat pada minggu-minggu berikutnya, membuat bentrokan di antara lima desa di Sabbang pada tanggal 7 Desember: Dandang, Kalotok, Pompaniki, Kampung Baru dan Mari-Mari.55 Sementara penduduk asli desadesa To’ala hidup di Dandang, empat yang lain merupakan proporsi tinggi pemukim dari Toraja, Bastem dan Rongkong. Dari semua konflik dari tahun 1998 sampai 2002, konflik ini merupakan yang terbesar, dan kehadiran gabungan polisi kabupaten dari Luwu, satu kompi tentara dari Kodim 1403 Sawerigading, dan satu regu Brimob dari Pare-Pare tidak cukup untuk menghindarkan kekerasan. Polisi kabupaten mengatakan bahwa pasukan gabungan polisi-militer yang terdiri paling tidak 500 orang diperlukan untuk mencari senjata ke rumah-rumah di lima desa dan bahwa bantuan serta persyaratan logistik juga diharapkan bila pasukan akan ditempatkan di daerah untuk mencegah keributan lebih lanjut. Ternyata satupun tidak ada yang datang, dan pertikaian secara sporadis terus berlangsung.56
Pecahnya kekerasan di Sabbang dan Lamasi berlanjut terus sampai pertengahan 1999, akibatnya 26 orang meninggal dan 400 rumah rusak.59 Tambahan lagi, ratusan orang Toraja dari Luwu lari ke kabupaten Toraja yang sebagian besar penduduknya Kristen, yang membuat isu konflik etnis, migran versus penduduk lokal, dan membuat dimensi agama juga.60
Koordinasi di antara polisi dan militer juga kurang. Militer tetap menyatakan bahwa mereka tidak bisa menembak perusuh karena tidak ada perintah dari komandan provinsi. Sebaliknya, para perusuh sangat terorganisir dan bahkan menggunakan bahasa kode untuk membedakan antar anggota gang dengan lawan atau dengan pasukan pengaman.57 Mengambil waktu tiga hari bagi pasukan pengaman untuk memperbaiki situasi, dan mereka menyita ratusan senjata dari para perusuh. Tiga orang terbunuh, banyak yang terluka dan 42 rumah terbakar. Rumor bahwa sebentar lagi akan ada serangan dari penduduk asli desa terhadap migran Toraja di desa Padang
54
“Perang Kelompok di Perbatasan Lamasi Sabbang”, Pedoman Rakyat, 25 Oktober 1998. 55 Wawancara ICG, Kampung Baru, Luwu Utara, Oktober 2002. 56 “Perang di Luwu Gunakan 12 Macam Subuhta, Palopo Selatan Diisukan akan Diserang”, Binabaru, 11 Desember 1998. 57 Ibid.
2.
1999 – 2001
Kecamatan Baebunta. Konflik di kecamatan tersebut, yang sekarang menjadi bagian dari kabupaten terbaru Luwu Utara, meledak lagi ketika ada pertikaian antara gang anak-anak muda Rongkong dan Baebunta dari Desa Salassa dan Sabbang pada tanggal 29 Desember 1999. Orang-orang Baebunta dari desa Radda datang untuk membantu teman mereka, dan pertikaian meluas ke Desa Baebunta. Dua orang Baebunta terbunuh, dan sekitar 100 rumah dibakar.61 Apa yang dimulai sebagai pertikaian antara gang anak-anak muda menelan keempat desa. Pasukan gabungan keamanan diminta oleh bupati Luwu Utara dan disahkan oleh polisi dan komando militer daerah untuk menumpas konflik dengan cepat.62 Frekuensi konflik di antara Baebunta dan Salassa membuat Mayor Jenderal Agus Wirahadikusuman, komando militer daerah, datang mendadak di kedua desa pada tanggal 31 Desember 1999. Orang-orang Baebunta mengatakan bahwa konflik akan berhenti bila penduduk etnis Rongkong meninggalkan
58
Ibid. Walaupun telah diidentifikasikan bahwa sumber rumornya adalah kepala desa, tetapi tidak ada tindakan terhadap dia. 59 Di luar konflik besar ini, Desa Dandang dan Kampung Baru terlibat dalam tiga pertikaian lain pada tahun 1998. 60 “Dari Aksi Preman Kristen sampai Golok Orang Gila”, Suara Hidayatullah, Oktober 2000. 61 Wawancara ICG, Oktober 2002. 62 Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, Februari 2003. 13
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Baebunta.63 Walaupun orang Rongkong telah dimukimkan kembali di daerah tersebut sejak tahun 1954, mereka masih dipandang sebagai pengganggu dan perusuh.64 Pada tanggal 25 Agustus 2000 kecamatan tersebut meledak lagi. Suatu perselisihan di sebuah pesta perkawinan di Dusun Tepo melibatkan seorang anak muda dari Dusun Malangkeng, menyebabkan sebuah gang Malangkeng membakar tujuhbelas rumah di Dusun Tepo. Hari berikutnya, sebuah gang dari Tepo membalas dendam dengan membakar duapuluh rumah di Malangkeng.65 Laporan pers tidak menyatakan etnisitas gang yang terlibat. Kecamatan Lamasi dan Malangke Barat. Kecamatan Lamasi yang berbatasan dengan Luwu dan Luwu Utara terbakar antara tanggal 4 dan 5 Januari 2000, 101 rumah rusak dan empat rusak fatal.66 Beberapa hari berikutnya, konflik menyebar ke desa-desa Wara dan Cenning yang berhubungan dengan Kecamatan Malangke Barat, melukai banyak sekali orang dan merusak 143 rumah termasuk rumah adat Toraja, demikian juga tiga rumah doa (baik Islam maupun Kristen). Ribuan orang harus mencari perlindungan di Masamba dan Palopo, pusat pemerintahan Luwu Utara dan Luwu.67 Di kedua kecamatan tersebut, desa-desa yang terkena mempunyai penduduk campuran antara lokal dan migran, dan sebagian besar adalah orang Toraja di Malangke Barat. Pada tanggal 12 Agustus 2001 terjadi pertikaian antara anak-anak muda dari Desa Cenning dan
63
Wawancara ICG, Oktober 2002. Orang-orang Baebunta menyatakan bahwa bila orang Rongkong pergi, tidak ada lagi yang bertikai, dan suasana akan menjadi damai. Orang Rongkong yakin bahwa orang Baebunta menginginkan tanah yang telah mereka tanami selama 50 tahun. 65 “Luwu Utara Lautan Api...”,Kompas, 25 Juni 2002. 66 “Dari Aksi Preman Kristen sampai Golok orang Gila”, Majalah Suara Hidyatullah, Oktober 2000. 67 Ibid. Majalah Suara Hidayatulah, Oktober 2000. 64
Page 14
Waelawi di Malangke Barat. Cenning memiliki banyak penduduk migran Toraja, sementara Waelawi terutama terdiri dari orang asli desa To’ Wara.68 Polisi kecamatan mencoba melerai pertikaian, memberi tembakan peringatan di sebuah rumah di mana mereka percaya bahwa biang keladinya ada disitu, tetapi malahan seorang anak berumur lima tahun terbunuh. Malam itu segerombol orang yang berjumlah 500 membakar kantor polisi di Malangke. Tak lama kemudian, dua regu Brimob dan polisi Luwu Utara muncul untuk menangani situasi. Hubungan antara masyarakat dan polisi tetap jelek sampai polisi-polisi yang terlibat dalam penembakan akhirnya dipecat. Setelah itu masyarakat kemudian membangun kembali kantor polisi..69 Kecamatan Sappa.70 Konflik antara Desa Sappa dan Buntu Karya di Luwu pada tanggal 29 Agustus 2001 yang telah mengakibatkan sembilan orang mati dan 78 rumah hancur bukanlah merupakan yang paling serius di tahun itu, tetapi LSM lokal dan pemimpin masyarakat menceritakan kepada ICG bahwa hal itu menunjukkan bagaimana pihak-pihak yang mempunyai kepentingan terhadap pertikaian tanah bisa mengeksploitir kultur gang untuk mengejar agenda mereka.
68
Orang To’wara terkonsentrasi di bekas pengadilan Kerajaan Palopo dan Malangke, berbicara versi pengadilan Bugis dan menganggap diri mereka secara dekat berhubungan dengan keluarga Raja Luwu. 69 Wawancara ICG dengan anggota dewan Kabupaten Luwu Utara, Jakarta, November 2002. 70 Cerita berikut datang dari berbagai sumber: “Penjelasan Bupati Luwu Tentang Kasus Padang Sappa Dan Langkah Langkah Penangan Yang Telah Dilakukan”; cerita tentang konflik dalam sebuah rapat yang diadakan oleh koran lokal Palopo Pos, dihadiri oleh wartawan, aktivis LSM dan pimpinan masyarakat, Palopo, 26 April 2003; keluarga pimpinan adat yang mewariskan tanah kepada keluarga Andi Syair, Palopo, 27 April 2003, dan direktur LSM Wahana Transformasi dan Informasi Rakyat, yang memainkan peran aktif dalam mengupayakan perdamaian di antara kedua desa, wawancara melalui telpon, 16 Mei 2003. 14
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Di tengah-tengah konflik ada tanah pemerintah yang diduduki oleh pasar kecamatan dan diklaim oleh seorang klan lokal yang dikepalai oleh Andi Syair bin Massiwa. Selama pemberontakan Darul Islam, keluarganya meninggalkan tempat tersebut, tetapi kemudian kembali untuk memperbaiki stabilitas selama Orde baru dan menemukan bahwa pemerintahan kabupaten telah mengambil tanahnya. Pada tahun 1998, konteks politik pasca-Soeharto mendorong untuk mencari ganti rugi dengan cara membawa klaim ke pengadilan kabupaten, yang membela kepentingan itu pada tahun 2001. LSM dan pemimpin masyarakat lokal mengklaim bahwa mantan camat yang ingin mengubah keputusan pengadilan dengan naik banding ke pengadilan provinsi, secara sengaja menabur benih konflik dengan menceritakan kepada pemukim Toraja di tanah yang berdekatan, bahwa klaim Andi Syair tidak akan berhenti pada masalah pasar saja, tetapi juga akan menuntut tanah mereka. Akibatnya, hubungan antara desa Andi Syair, Padang Sappa, dengan desa tetangga Buntu Karya yang sebagian besar penduduknya adalah orang Toraja menjadi tegang. Pada tanggal 1 Agustus, Rais, seorang penduduk lokal dari Buntu Karya, bertikai dengan seorang anggota klan Andi Syair di pasar.71 Keadaan ini mencetuskan pertikaian antar gang dari kedua desa yang membuat kematian Andi Syair. Minggu-minggu berikutnya, pemerintah lokal mengusahakan rekonsiliasi. Kedua penguasa desa dan kecamatan, termasuk polisi dan militernya setuju untuk memecat siapa saja yang mencoba memperburuk situasi. Sayangnya, pemerintah mengeluarkan beberapa insiden berikutnya yang dianggap berbahaya oleh para penduduk desa. Pada tanggal 29 Agustus, Desa Buntu Karya menyerang Padang Sappa. Gerombolan orang tersebut termasuk penduduk lokal, orang Toraja dan preman yang disewa dari Kecamatan Sabbang dan Kabupaten Toraja.72
71
Rais adalah orang lokal, bukan migran Toraja. Sumber ICG percaya bahwa dia bertindak atas nama bekas camat. 72 Wawancara ICG dengan direktur LSM lokal Wahana Transformasi dan Informasi Rakyat, 16 Mei 2003.
Page 15
Ada laporan-laporan yang saling bertanding, yang menyatakan bahwa pada malam penyerangan ada undangan khusus untuk berdoa di mesjid Padang Sappa, yang meminta umat untuk membela diri terhadap penindas, yang menarik sejumlah besar hadirin termasuk banyak orang dari luar. Kepala polisi kecamatan diberitahu bahwa ada suatu penyerangan yang melibatkan kedua desa yang sangat besar, tetapi dia gagal bertindak. Undangan untuk berdoa disebutkan dalam laporan bupati Luwu, tetapi aktivis LSM menyatakan bahwa serangan tersebut direncanakan dengan baik sebelumnya, dan bukan merupakan suatu reaksi terhadap suatu kejadian di mesjid seperti yang disiratkan dalam laporan. Mereka percaya bahwa agama bukan merupakan faktor dalam konflik ini, walaupun dengan berfokus ke situ membelokkan dengan tepat perhatian penduduk lokal, dan menguatkan sangkaan penduduk lokal terhadap orang Toraja. 3.
2002
Kecamatan Malangke. Pada tahun ini nampak kekerasan di Malangke Timur, Luwu Utara, kambuh. Keributan lama antara gang anak muda dari Dusun Buloe, Cappasolo dan Padang di Desa Benteng muncul lagi ketika seorang anggota keluarga Padang yang ternama, ditusuk oleh serombongan empat orang dari Cappasolo pada tanggal 12 Maret.73 Padang dan Buloe mayoritas berpenduduk orang Toraja dan Bastem, sementara Cappasolo terdiri dari penduduk asli desa To’Ware. Camat Malangke langsung memobilisir semua kepala desa dan pimpinan masyarakat untuk mencegah pembalasan-dendam oleh gang anak muda, tetapi dua hari kemudian rumah perkebunan penduduk Desa Cappasolo dibakar sampai habis. Pada tanggal 16 Maret, karena menyadari bahwa situasi semakin buruk, sebuah tim desa gabungan, kecamatan dan pemimpin masyarakat bertemu dengan gang anak-anak muda untuk mendorong mereka menghentikan pertikaian. Para anggota gang tidak mempedulikan karena mereka telah menerima bantuan dari luar desa dan tidak mau ‘kehilangan muka’ dengan cara membatalkan 73
Laporan Kecamatan Malangke untuk Kepala Daerah Luwu Utara no. 045/53/KM, 4 April 2002. 15
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
serangan mereka. Hari itu juga, empat rumah perkebunan dibakar di Cappasolo. Pada pagi hari tanggal 17 Maret, daerah Cappasolo melancarkan serangan balasan dan membakar empat rumah milik penduduk desa Padang dan Buloe. Karena diberi peringatan oleh kepala kecamatan Malangke, sebuah kontingen dari kabupaten Luwu Utara, polisi bersama dengan municipal dan politi kecamatan tiba siang itu dan menahan empat anak muda Cappasolo sementara para pejabat kecamatan Malangke bertemu secara terpisah dengan para pimpinan masyarakat dan kepala dusun dari kedua belah pihak untuk mendengarkan versi mereka masingmasing.74 Antara tanggal 18 dan 20 Maret, polisi melakukan pencarian senjata dan mendirikan pos-pos di daerah tersebut, dan pada tanggal 27 Maret, sebuah tim yang terdiri dari para pemimpin masyarakat, setelah berkonsultasi, membuat persetujuan untuk mengikat ketiga dusun untuk memelihara perdamaian.75 Disetujui bahwa semua orang yang telah pindah harus kembali ke rumah masing-masing, dan mereka yang terlibat dalam konflik harus diserahkan ke pihak yang berwenang, gang-gang anak muda harus menyerahkan senjata mereka, dan bantuan dari luar harus meninggalkan Cappasolo, Buloe dan Padang. Para korban tidak meminta kompensasi, karena dikhawatirkan hal tersebut akan menghidupkan lingkaran kekerasan. Dan lagi, gang-gang anak muda dari masing-masing dusun diminta untuk menyeleksi seorang pemimpin yang bertanggungjawab atas perbuatan anggotanya.76
74
Laporan Polisi Kotamadya no. 300/84/Kesbang – PP kepada Kepala Daerah Luwu Utara, 18 Maret 2002. 75 Dusun merupakan unit lebih kecil dalam desa dan membentuk unit kelompok paling dasar di pedesaan Indonesia. Besarnya dusun bisa bervariasi dari 50 sampai 100 keluarga, dengan pemimpin mereka sendiri yang memberi laporan ke kepala desa. 76 Laporan rapat para pemimpin masyarakat Dusun Cappasolo, Dusun Padang dan Dusun Buloe, lampiran No. 045/53/KM, 4 April 2002.
Page 16
Tiga bulan kemudian, Dusun Cappasolo, Buloe dan Padang berkobar lagi. Penyebab yang jelas adalah kegagalan mematuhi perjanjian perdamaian bulan Maret. Pada tanggal 16 Juni, para pemimpin masyarakat dari Padang yang dikepalai oleh Larampa, kakek dari seorang anak muda yang ditusuk, mengadakan pendekatan kepada mereka yang berasal dari Cappasolo, untuk minta ganti rugi sebesar US$ 1.000 – yang merupakan sesuatu yang dilarang menurut perjanjian, dan pihak Cappasolo menolak. Pada dini hari berikutnya, sementara orang-orang laki Cappasolo memancing, Lababa memimpin serangan bersenjata terhadap desa tersebut, membuat empat orang meninggal, tiga orang luka parah dan 58 rumah rusak. Lebih dari 100 orang minta perlindungan di Palopo.77 Ketika kaum lelaki Cappasolo kembali, mereka membalas dendam dan membakar 80 rumah di Padang dan 30 di Buloe. Hampir 900 orang lari ke kecamatan sekitar seperti Masamba, Baebunta, Sabbang dan Bone-Bone. Kerugian material diperkirakan enambelas milyar rupiah (US$ 1,8 juta).78 Polisi Luwu Utara yang mendapat bantuan dari Luwu segera tiba setelah penyerangan, dan bisa menghalangi pembalasan-dendam, menutup kedua desa dan menahan empat orang. Walaupun polisi sukses menghentikan konflik, situasinya tetap tegang, dan ada rumor bahwa akan ada serangan lebih lanjut. Bupati Luwu Utara mengadakan inspeksi di tempat pada tanggal 19 Juni dan memerintahkan bantuan keamanan.79
77
“Dua Dusun di Luwu Utara Masih Tetap Mencekam”, Koran Tempo, 21 Juni 2002. 78 Menurut laporan Kepala Daerah Luwu Utara No. 100/219/Bina P.B. Bang Wil., 17 Juni 2002 dan Sekretaris Daerah Luwu Utara No. 300/294/Kesbang-PP, 8 Juli 2002. Sebuah LSM lokal, Leskop, mengritik pemerintah lokal yang telah gagal mengambil inventaris kerusakan seminggu setelah kejadian dan memperkirakan bahwa kerugiannya mendekati 3 milyar rupiah (U.S. $400,000). 79 Ini melibatkan 30 pejabat Brimob dari Baebunta, 30 polisi dari Kabupaten Luwu, duapuluh polisi dari Kecamatan Malangke, limabelas pejabat intel dan investigasi kejahatan, juga 30 serdadu dari kodam. Palopo Pos, 21 Juni 2002. 16
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Bukannya melakukan perintah dan penyelidikan, tetapi para personel keamanan hanya ditempatkan di enam pos strategis di sekitarnya untuk menghambat munculnya serangan.80 Meskipun begitu, para penduduk desa dari Cappasolo terus meninggalkan daerah tersebut. Untuk membuat mereka tidak takut, ada sekitar 100 personel keamanan yang tetap tinggal di daerah tersebut pada minggu-minggu berikutnya. Sebagian dari orang-orang yang telah pindah tersebut sedikit-demi sedikit kembali, tetapi hanya sejumlah kecil dan dalam waktu yang lebih pelan dibandingkan sebelumnya.81 Karena hanya empat orang yang telah ditangkap, hal tersebut tidak meyakinkan, karena pelaku-pelaku lain masih berkeliaran.82 Kecamatan Baebunta. Pada tanggal 30 September 2002, pecah konflik lagi di suatu kecamatan, di Dusun Karombing. Pada pertengahan September, mayat orang bernama Ketto dari Tobua telah ditemukan. Orang Tobua percaya bahwa penduduk Desa Karombing bertanggungjawab dan ingin membalas. Sekitar 300 orang menyeberang sungai yang membelah desa dengan perahu dalam suatu serangan fajar, membakar 29 rumah sebelum dikejar kembali ke Tobua, di mana penduduk Desa Karombing membakar delapan rumah sebagai balasannya.83 Dua orang terbunuh, dan tiga orang terluka.84 Menurut kepala polisi Sulawesi Selatan, hal tersebut merupakan konflik antar desa yang langsung antara orang Karombing dan orang Dusun Tobua di Lamasi. Para korban di Karombing dan polisi lokal memandang insiden tersebut cukup berbeda. Lihat saja, penyerang bukan dari Tobua dan memasukkan anggota gang anak muda dari desa-desa di dekat situ, yang
80
“1500 Warga Benteng Mengungsi”, Palopo Pos, 26 Juni 2002. 81 “Situasi Terakhir Kasus Cappasolo”, laporan dari Sekretaris Kabupaten Luwu Utara No. 300/294/Kesbang-PP 8 Juli 2002. 82 “Petugas-Wartawan ‘Kepung’ Wilayah Kerusuhan”, Palopo Pos, 22 Juni 2002. 83 “Luwu Utara Rusuh, 37 Rumah Terbakar, 1 Tewas”, Koran Tempo, 2 Oktober 2002. 84 Laporan Sekretaris Kabupaten Luwu Utara No. 300/378/Kesbang-PP, 5 Oktober 2002.
Page 17
berkumpul di Tobua sebelum menyeberang ke Karombing.85 Kedua, serangan tersebut jelas direncanakan, karena rumah-rumah tertentu di Karombing yang mempunyai tanda khusus dikecualikan. 86 Tomoh, pemimpin klan Bugis di mana beberapa korban berasal dari sana, mengatakan bahwa para pemuda lokal dari Karombing ikut melakukan penyerangan, dan para anggota kelompok yang terlibat sering berkumpul untuk minum di rumahrumah yang telah dilewati.87 Dia juga menuduh bahwa pemilih salah satu perahu yang digunakan dalam serangan adalah orang asli Karombing yang sekarang tinggal di Malangke Barat dan telah menjadi pemimpin gang dalam konflik Cappasolo-Padang pada bulan Juni 2002. Tomoh juga mengungkapkan bahwa gang anak muda yang sama yang sebagian besar orang lokal, telah mencuri coklat dari tanahnya dan bahwa dia telah melaporkan mereka kepada polisi tapi tidak ada tindakan yang berarti. Dia telah mengatur supaya para personel Brimob tidur di rumahnya untuk mengejar pencuri pada saat yang hampir bersamaan ketika mayat Ketto ditemukan. Hal ini meningkatkan ketidakpopuleran dia di antara penduduk lokal di Karombing, dan rumor bahwa dia bertanggungjawab atas kematian Ketto tersebar. Serangan terhadap Karombing terjadi beberapa hari setelah personel Brimob meninggalkan desa. Tomoh yakin bahwa gang anak muda mencoba memaksa dia dan klannya untuk pergi dari Karombing. Kepala polisi kecamatan setuju akan pendapat itu.88
85
Wawancara ICG dengan kepala polisi kecamatan, Oktober 2002. 86 Botol-botol plastik yang dicat hitam digantungkan dari atap rumah-rumah. 87 Wawancara ICG, Oktober 2002. 88 Walaupun sekelompok migran Bugis tertentu menjadi target, penduduk asli desa di Karombing juga kehilangan rumah-rumah mereka dalam serangan – salah satu sebab mengapa baik penduduk asli maupun komunitas migran akhirnya menolak serangan karena keadaan itu. 17
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
VI. PENYEBAB KONFLIK Ada perbedaan besar antara persepsi nasional dan lokal tentang konflik-konflik yang terjadi dari tahun 1998 sampai 2002. Pada tahun 2000, ketika masalah Maluku dan Poso mencapai puncaknya, media Indonesia cenderung untuk mengatakan bahwa setiap ledakan konflik melibatkan kelompok etnis yang berbeda, sebagai penyebab ketegangan etnis dan agama yang tidak pernah berakhir. Serangan mematikan oleh orang Dayak terhadap orang Madura di Kalimantan Tengah pada tahun 2001 menguatkan tendensi ini.89 Tetapi di Luwu penduduk lebih memfokuskan diri pada masalah perselisihan tanah, masalah sosial, lembaga yang lemah dan kurangnya pelaksanaan hukum. Mereka menolak masalah primordial keagamaan atau kebencian etnis dikatakan sebagai penyebab, karena konflikkonflik mereka melibatkan para partisipan kelompok etnis dan agama yang sama. Mereka merasa pertikaian tanah yang sebenarnya merupakan penyebab. Mereka menekankan bahwa makin besar jumlah migran Toraja yang terlibat dalam konflik antar desa dibandingkan dengan migran Bugis, disebabkan karena adanya kompetisi masalah tanah dan agama: kebanyakan orang Toraja adalah petani, sementara sejumlah besar migran Bugis adalah pedagang.90
A.
PERTIKAIAN TANAH
Pertikaian masalah tanah mulai muncul ke permukaan pada tahun 1990an. Orang Rongkong yang dimukimkan kembali selama pemberontakan Darul Islam, juga sebagai migran spontan (orang Toraja dan Bugis) yang menanam hasil pertanian seperti coklat di akhir tahun 1970an, mulai menikmati hasil pekerjaan mereka, dan tanah yang dulunya dianggap tidak berharga, sekarang dilihat sebagai sangat
Page 18
bernilai. Anak-anak penduduk lokal yang telah menjual tanah mereka secara kecil-kecilan mulai menentang penjualan. Tidak adanya sertifikat tanah atau akte penjualan, dan perantaraan yang tidak jujur yang dilakukan oleh kepala desa yang menjual tanah yang bukan merupakan hak mereka, membuat kepemilikan yang lebih rumit lagi. Hampir semua kepemilikan tanah penduduk Luwu, menurut hukum adat dibuktikan dengan tanda alam seperti pohon atau tanda-tanda lain; kehadiran tanaman pangan tradisional seperti sagu; atau saksi tentang fakta bahwa tanah yang dipertanyakan diolah sebelum tahun 1960, tahun di mana Undang-undang Agraria Indonesia mengatur kepemilikan tanah mulai berpengaruh. Para transmigran yang tiba di Luwu sebagai bagian program pemerintah dari tahun 1969 dan seterusnya mendapatkan sertifikat tanah, tetapi mereka yang dimukimkan kembali sebagai akibat pemberontakan Darul Islam tidak mendapatkannya. Para transmigran tersebut mendapatkan sertifikat untuk tanah mereka, dan itu sebabnya mengapa mereka tidak menonjol di sebagian besar konflik. Khususnya orang Rongkong sering diperlakukan secara tidak adil, di beberapa kasus mereka harus membayar tanah yang telah mereka bayar dari pemilik lokal atau membayar kompensasi berkali-kali.91 Frustrasi yang terjadi karena pertikaian tanah membuat insiden yang nampak kecil menjadi konfrontasi besar. Hal ini sering melibatkan anak-anak pemilik lokal yang menjual tanah mereka tanpa mendokumentasikan penjualan dan dari pembeli yang tidak mengikuti prosedur hukum, karena mereka menginginkan transaksi cepat atau karena tidak tahu. Pertikaian antara anak-anak muda Rongkong dan Baebunta di Luwu Utara sering diawali dengan penghinaan: orang Baebunta akan menuduh orang Rongkong yang suka bicara tajam, yang menganggap orang lokal malas, dan hidup dari memeras orang lain. Akibat dari insiden-insiden ini, perasaan tidak aman di Kecamatan Baebunta dan Sabbang sangat tinggi selama tahun 1990an, sehingga
89
Untuk analisis kerusuhan komunal di Kalimantan, lihat ICG Asia Report No. 19, Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, 27 Juni 2001. 90 Wawancara per telpon tentang isu tanah di Luwu Utara, 27 Mei 2003.
91
Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong, juga dengan kepala Desa Baebunta yang merupakan penduduk asli. 18
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
penduduk tidak bisa tidur nyenyak dan takut pergi ke ladangnya. Masalah juga meningkat karena batas lokal di Luwu berubah selama dasawarsa terakhir. Kecamatan Baebunta merupakan suatu contoh. Sebelumnya terdiri dari empat desa yakni Salassa, Tarobok, Kariango dan Lassa, kemudian menjadi dua desa yakni Salassa dan Baebunta pada tahun 1980an. Hal ini menyebabkan pembentukan desa dan dusun kecil baru, demikian juga ‘lenyapnya’ yang lama, yang membuat ketidakjelasan atas batas dan lokasi bidang tanah dengan persis. Kepala polisi kecamatan yakin bahwa konflik di Karombing, Kecamatan Baebunta pada tahun 2002 merupakan akibat dari hal ini.92 Kecamatan Sabbang, Lamasi dan Malangke juga telah menjadi rawan konflik. Kecamatankecamatan ini berada di perbatasan yang memisahkan Luwu dari Luwu Utara, dan di sana sudah ada pertikaian-pertikaian tentang lokasi yang jelas serta kepemilikan tanah dengan tuduhan pengambilan tanah atau ‘berkurangnya’ tanah karena adanya garis batas baru.93 Perlu diperhatikan bahwa semua konflik yang berhubungan dengan masalah tanah dari tahun 1998 sampai tahun 2002 melibatkan transaksi di antara individu, misalnya penduduk asli yang dimukimkan kembali dengan migran ‘spontan’ di satu pihak, dan penduduk desa lokal di lain pihak. Pertikaian tanah yang lain di Luwu yang tidak ada sangkut pautnya dengan konflik di atas melibatkan konsesi terhadap perusahaan swasta atau pengambil-alihan untuk tujuan komersial yang mengadu penduduk desa dengan aktor-aktor berbeda yakni perusahaan swasta, pemerintah lokal, polisi dan pemimpin adat.
Page 19
Pada tahun 1974, 68 orang dari Soroako yang sekarang disebut Luwu Timur, yang tanahnya diambil pemerintah dan disewakan kepada PT Inco, perusahaan pertambangan, gagal mendapatkan bagian kompensasi mereka yang telah dibayarkan PT Inco kepada pemerintah daerah. Kasus tersebut makin memburuk selama 28 tahun dan baru diselesaikan pada tahun 2002.94 Penduduk Desa Wewangriu dan Pongkeru di Kecamatan Malili, Luwu Timur, memperebutkan izin perkebunan PT Latunrung Cacao (HGU No. 15/HGU/1989), mengklaim bahwa perusahaan tersebut telah gagal memberikan kompensasi kepada para petani yang bidang tanahnya berada dalam konsesi asli 999,8 hektar, dan yang secara ilegal menduduki 3.000 hektar termasuk aset para petani di area seperti kolam ikan. PT Latunrung mengatakan bahwa sudah ada perjanjian yang ditandatangani untuk membuktikan bahwa mereka telah memberikan kompensasi kepada para petani, tetapi mereka menolak, menyatakan bahwa perusahaan tersebut kong-kalingkong dengan bekas kepala desa untuk merekayasa perjanjian.95 Para petani telah menolak kepala desa dan polisi kecamatan Malili yang melakukan intimidasi atas nama PT Latunrung.96 Di Desa Barammamase, Kecamatan Walenrang, Luwu, suatu perselisihan segi tiga tentang status bekas kebun karet telah terjadi di antara pemerintah kabupaten, pemimpin adat Bulo dan para petani yang telah mengerjakan tanah. Para pemimpin adat Bulo mengklaim bahwa tanah tersebut milik klan mereka; pemerintah kabupaten menolak klaim mereka karena raja
94
92
Wawancara ICG, Oktober 2002. Seorang mantan Komisi A DPRD yang berurusan dengan pengamanan dan pemerintah mengatakan bahwa kesalahmengertian publik tentang yang dimaksud dengan batas-batas administratif untuk kepemilikan tanah (tidak ada lain) mungkin digunakan dalam pertikaian tanah dan konsekuensi pemekaran yang tak terduga. 93
Wawancara ICG, Oktober 2002, dengan aktivis LSM Soroako, Andi Baso, yang telah melakukan kampanye untuk mendapatkan kompensasi dan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat yang terkena dampak aktivitas PT Inco sejak tahun 1974. 95 Lihat “PT Latunrung Dituding Kuasai Lahan Masyarakat”, 19 Juni 2002, Palopo Pos dan “Absen Rapat Dijadikan Bukti Persetujuan”, 28 Oktober 2002, Palopo Pos. 96 “Datang Terima Wang Gantirugi, Ditangkap Polisi”, 29 Oktober 2002, Palopo Pos. 19
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Luwu terakhir menyerahkan tanah kepada pemerintah kabupaten pada tahun 1997 (20/DEPAL /VIII/1997, 27 Agustus 1997), dan mereka telah memutuskan untuk membangun sebuah sirkuit balap di tempat tersebut untuk membuat penghasilan lokal. Para petani Barammamase menentang pembangunan sirkuit dan menyatakan bahwa mereka menerima persetujuan dari kepala desa untuk mengerjakan tanah pada tahun 1980 karena perkebunan telah tidak produktif. Mereka didukung oleh pemerintahan provinsial Sulawesi Selatan bahwa penduduk desa yang tak bertanah bisa mengolah tanah yang menganggur, dan dengan keputusan bupati Luwu, Khamrul Kasim pada tahun 1999, maka mereka bisa melanjutkan bekerja di tanah mereka (SK No. 590/80/Tata Pem).97 Pertikaian makin meruncing pada tahun 2002, ketika penduduk Desa Barammamase merusak 90 persen konstruksi jalan, dan menyatakan bahwa para kontraktor telah melanggar, bahwa mereka belum diajak bicara tentang pembangunan sirkuit sehubungan dengan undang-undang otonomi daerah, dan bahwa ladang mereka telah rusak.98 Untuk membuat keadaan lebih kacau, fungsionaris pemerintah daerah telah menandai tanah di area lain di tempat tersebut untuk dijual.99 Penduduk Desa Battang, Kecamatan Telluwanua dan Palopo telah sukses menekan pemerintah kabupaten untuk tidak menyetujui pembaharuan izin PT Hasil Bumi Indonesia, dengan alasan bahwa konsesi tersebut telah melanggar batas tanah adat yang dilindungi dan tanah penduduk desa yang telah lari selama pemberontakan Darul Islam.100 Mereka menambahkan bahwa
Page 20
perusahaan tersebut belum memberikan kontribusi kepada desa dengan cara apapun sejak mereka mendapat konsesi pada tahun 1972, dan telah melanggar perizinanya dengan mengubah tanaman dari cengkeh (seperti yang disebutkan dalam izin) menjadi coklat dan vanila. Namun begitu, karena izin disetujui oleh pemerintah pusat, bupati Luwu mengklaim bahwa keputusan kementerian Dalam Negeri perlu sebelum PT HBI bisa dipaksa untuk membebaskan tanah. Sementara itu, perusahaan tersebut telah menuntut pemerintah kabupaten ke pengadilan provinsi karena tidak menyetujui pembaharuan izin mereka. Situasi tersebut potensial untuk meledak, dan juga bisa menyebabkan konflik antar-etnis lebih lanjut karena PT HBI adalah milik orang Toraja, dan karyawannya orangorang Toraja, dan penduduk lokal mengklaim bahwa para preman Toraja telah disewa untuk mengintimidasi mereka.101 Akhirnya, pertikaian telah meningkat karena para kepala desa mengalokasikan tanah milik orangorang desa yang dipindahkan selama pemberontakan Darul Islam dalam proyek transmigrasi yang dimulai tahun 1969. Pemilik aslinya kembali pada tahun 1970an ketika Luwu stabil, dan menemukan tanah mereka telah diduduki. Jenis pertikaian seperti ini jarang, dan ICG hanya diberitahu satu kasus: di Luwu Utara, Desa Lara, Kecamatan Baebunta.102
B.
MASALAH-MASALAH SOSIAL
Faktor sosial yang paling umum dikutip oleh penduduk Luwu yang menjelaskan bahwa pertikaian tersebut holiganisme, dan iri hati antara migran yang sukses secara ekonomi dan para petani yang dimukimkan kembali di satu pihak, dengan petani lokal di pihak lain.
97
Lihat “Petani Barammamase Unjuk Rasa”, 28 Februari 2003, Palopo Pos dan “Tanah Adat Diserahkan ke Pemkab”, Palopo Pos, 18 Juni 2002. 98 “Petani Bongkar Arena Road Race”, 29 Mei 2002, Palopo Pos. 99 “PPBM Siap Perang Pertahankan Hak”, 11 Oktober 2002, Palopo Pos. 100 Lihat “Warga Battang Berontak”, 8 Agustus 2002, Palopo Pos; “Pemkab Luwu tak Perpanjang Kontrak HGU”, 9 September 2002,
Palopo Pos; “Ratusan Warga Battang Hadang Hakim PTUN,” 1 Maret 2003, Palopo Pos. 101 Wawancara dengan direktur LSM Wahana, 15 Mei 2003. 102 Wawancara ICG dengan kantor pertanahan lokal, LSM lokal, Oktober 2002. Dikonfirmasikan oleh bupati Luwu Utara, Februari 2003. 20
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Cerita para penduduk lokal tentang konflik menekankan kultur gang berdasarkan loyalitas desa dan dikobarkan oleh dendam turun-temurun yang dinyalakan oleh pertikaian baru sekecil apapun.103 Besarnya Luwu dan sulitnya dicapai masih berarti bahwa gang-gang yang tahu daerah bisa menguasai keadaan terhadap kehadiran polisi yang berjumlah kecil. LSM-LSM lokal menekankan bahwa pengangguran anak muda serta kekurangan pekerjaan, tidak adanya ‘jembatan’ organisasi lokal yang bisa memperkenalkan integrasi di antara desa dan masyarakat yang berbeda, dan tersedianya alkohol merupakan masalah besar dalam daerah yang punya kecenderungan konflik. Faktor penting lainnya yang diutarakan penduduk Luwu Utara adalah fakta tentang migran yang direlokasikan dan migran spontan yang ekonominya lebih baik dibandingkan petani lokal. Mereka khususnya menanam coklat di akhir tahun 1970an dan mendapatkan harga tertinggi sedasawarsa kemudian, dibandingkan dengan penduduk lokal yang tetap pada hasil tani tradisional seperti beras dan pohon buah-buahan. Khususnya tentang harga beras, telah ditentukan oleh pemerintah yang berarti rendah bagi petani lokal. Sulit menunjuk mengapa para petani lokal belum sukses. Benar bahwa para migran spontan seperti orang Toraja dan orang Bugis yang datang ke Luwu Utara dari akhir tahun 1970an ke depan mampu membeli tanah lebih luas karena mereka punya modal lebih besar (didapatkan dengan cara menjual tanah mereka di Toraja atau Bone/Soppeng yang lebih mahal dibandingkan tanah di Luwu).
Page 21
bahwa mereka adalah petani yang kurang bersungguh-sungguh, hanya mengunjungi tanah mereka sekali seminggu, dibandingkan orang Rongkong, Bugis dan Toraja yang bekerja di tanah mereka setiap hari.104 Penyebab yang lebih banyak diceritakan mungkin adalah kurangnya pengetahuan. Dibandingkan dengan kebanyakan petani asli, para migran mendapat informasi lebih baik tentang jenis tanaman pangan dan metode pengolahan. Pendidikan bagi petani lokal mungkin bisa menuju pada pengurangan ketegangan antara kelompok yang berbeda secara ekonomis dan merupakan salah satu prioritas pemerintah kabupaten.105 Permulaan krisis moneter Asia pada tahun 19971998 yang secara umum telah membuat efek sangat buruk bagi Indonesia mempunyai efek terbalik bagi Luwu, dan hal itu merupakan pencetus konflik. Seperti dikatakan di atas, ketika harga coklat mencapai tingkat tinggi di pasar dunia, secara astronomi berarti merupakan penghasilan tinggi bagi petani coklat Indonesia karena nilai tukar rupiah.106 Untuk pertama kali khususnya di Luwu Utara, petani coklat yang sukses – orang Rongkong, Bugis dan Toraja – mampu membangun rumah-rumah batu dan membeli sepeda motor serta barang-barang mewah lain. Kemiskinan ‘emas coklat’ Luwu pada tahun 1998 juga mendorong penduduk lokal yang telah menjual tanah mereka serta pergi di tahun-tahun sebelumnya karena berpikir bahwa tanah mereka tidak berharga untuk kembali, dan mereka sekarang menginginkan bagian dari kekayaan.107 Akibat dari faktor-faktor ini maka kecemburuan sosial dan pertikaian tanah meningkat.
Walaupun orang Rongkong tidak kaya secara kontan, punya tanah lebih kecil, tetapi masih tetap sejahtera. Penduduk lokal sendiri mengakui 104
103
Misalnya seorang aktivis LSM lokal yang telah bekerja dengan gerombolan anak muda dan terbiasa dengan konflik tahun 1998, mengatakan kepada ICG bahwa permusuhan antar desa Dandang dan Kampung Baru di Kecamatan Sabbang dimulai sejak tahun 1981, ketika sebuah mobil milik penduduk lokal Dandang yang tertabrak tidak dikompensasi dengan cukup oleh penduduk Kampung Baru yang dianggap bertanggungjawab.
Wawancara telpon ICG dengan seorang aktivis penduduk asli Masamba, Luwu Utara, Maret 2003. 105 Anggaran Luwu Utara untuk tahun 2000, 2001 and 2002. 106 Francois Ruf, “L’avenir Des Cultures Perennes En Indonesie: Cacao Et Clou De Girofle Apres La Tempête Monetaire”, Revue Tiers Monde no. 162, April-Juni 2000. 107 “Emas Coklat” adalah nama yang diberikan untuk coklat ketika coklat menjadi komoditi yang sangat berharga pada tahun 1998. 21
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Faktor yang memberi kontribusi terhadap kecemburuan sosial adalah perasaan hirarki sosial interna yang berhubungan dengan jaman kerajaan. Kecamatan Sabbang dan Baebunta merupakan unit administrasi tunggal ketika Luwu merupakan kerajaan, dan tetap demikian sampai tahun 1980an, sehingga ikatan di antara kedua komunitas kuat. Baebunta merupakan kabupaten utama di dalam federasi kerajaan kuno Luwu, dan Malangke merupakan salah satu pengadilan kerajaan Luwu. Akibatnya, komunitas lokal di daerah-daerah ini punya perasaan terangkat atas kepentingan sosial mereka, dan memandang rendah kepada orang-orang pegunungan Rongkong dari baratlaut, mereka secara sosial dianggap rendah dan terkebelakang. Demikian juga sikap mereka kepada orang pegunungan Toraja yang Kristen yang dianggap rendah karena ketagihan mereka atas judi, yang sering membuat mereka berstatus budak di masa lalu. Karena orang Toraja makan babi dan minum alkohol, hal tersebut lebih jauh dianggap bahwa mereka berselera primitif. Khususnya sukses ekonomi atas kelompok-kelompok ini sulit membuat penduduk lokal Baebunta-Sabbang dan Malangke bertahan. Banyak juga yang mengeluh tentang peternakan babi orang Toraja yang membuat harga tanah menjadi lebih rendah karena orang Islam tidak akan membeli lingkungan tersebut. Masalah ini menjadi lebih rumit lagi karena kandang babi biasanya berada di pinggir sungai yang membuat polusi sumber air minum orang Islam di bagian hilir, yang tidak disetujui penduduk lokal.108
C.
KONTEKS PASCA-SOEHARTO
Atmosfir periode langsung pasca-Soeharto mungkin juga telah meningkatkan ketegangan. Orang melihat unjuk rasa, kerusuhan dan konflik di televisi nasional setiap hari, dan ini mungkin telah membuat gang-gang anak muda lokal lebih
108
Di Palopo, peternakan babi dianggap sebagai masalah sosial besar, sementara di Luwu Utara, kecemburuan sosial terhadap kesuksesan migran merupakan faktor lebih besar.
Page 22
berani lagi.109 Setelah tahun 1999-2000, konflik di sekitar Poso, demikian juga di Maluku membuat perasaan orang lebih tidak aman, lebih mungkin percaya rumor tentang serangan besar dan lebih mungkin mempersenjatai diri. Ada rumor individu yang muncul di Luwu, bahwa ada sejumlah besar uang yang dituduhkan telah dibayarkan oleh para jenderal di jakarta yang ingin menciptakan kerusuhan etnis di Luwu, untuk memperbaiki citra Orde Baru atau untuk menekankan pentingnya militer sebagai penjamin keamanan.110 Konsekuensi kerusuhan daerah yang signifikan adalah siapnya ketersediaan senjata selundupan dari kabupaten-kabupaten tetangga sebelum orang lokal belajar dengan meniru untuk membuat sendiri.111 Pada tahun 1999, pasukan pengaman yang terlalu banyak dibandingkan dengan pasukan kabupaten dan daerah dikerahkan untuk menjaga batas antara Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, sehingga hanya sejumlah kecil yang harus mengurus konflik antar-desa yang dianggap kurang serius.112
D.
PENGAWASAN DAN PROSES HUKUM
Pengawasan yang buruk telah menjadi masalah yang tak terpecahkan di Luwu. Para pemimpin masyarakat lokal dan LSM tetap gagal untuk
109
Wawancara ICG dengan Wakil Kepala DPRD Luwu Utara, Oktober 2002, diulangi pernyataannya oleh pimpinan LSM dan komunitas lokal yang diwawancarai di Palopo, Luwu, antara bulan April dan Mei 2003. 110 Beberapa intelektual dan pimpinan masyarakat yang diwawancarai oleh ICG percaya bahwa serentetan konflik komunal yang melanda seluruh Indonesia pasca-Soeharto direkayasa dari Jakarta, dan bahwa Luwu merupakan percobaan pertama. Ketika Luwu gagal meledak seperti yang dimaui, perhatian berpindah ke Ambon dan Poso. 111 Senjata diselundupkan ke Luwu dari Poso dan Toraja. Bengkel di Luwu merakit versi senjata Papporo yang lebih mematikan dan menjualnya dengan harga yang bisa dicapai oleh orang Indonesia (misalnya US.$10 –$50). 112 Wawancara ICG Januari 2003. 22
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
menghadapi kekerasan gang ketika mereka muncul pertama kali pada tahun 1990an yang membuat jalan bagi konflik yang lebih serius dari tahun 1998.113 Selama perayaan Hari Kemerdekaan di bulan Agustus 1999, Drs. H.M. Luthfi A. Mutty, pejabat bupati Luwu Utara, secara personal harus melucuti senjata orangorang yang muncul dengan senjata papporo dan pisau, sementara polisi yang bertugas tidak berbuat apa-apa dan bahkan gagal mencegah orang-orang tersebut lari. Polisi mengklaim bahwa jumlah mereka terlalu sedikit (walaupun sudah jelas bukan satu) dan perlu otoritas dari kepala polisi kabupaten di Palopo yang jaraknya 70 km untuk bertindak.114 Ketika dewan kabupaten lokal secara berturutturut memilih Luthfi sebagai bupati Luwu Utara pada bulan Desember 1999, prioritas pertamanya adalah pengamanan publik. Setelah kejadian serangan bulan Maret dan Juni 2002 di Cappasolo-Padang, Luthfi dikritik dalam pers lokal oleh gubernur Sulawesi Selatan, juga oleh LSM lokal karena tidak mencegah konflik.115 Dia melihat kekerasan tersebut sebagai akibat kegagalan polisi mengadakan penahanan di tempat kejadian, yang membuat serangan balas dendam oleh penduduk desa dan menyerang balik dengan mengatakan bahwa ada batas atas apa yang dia bisa lakukan karena dia tidak punya otoritas terhadap polisi lokal. Hal ini menggarisbawahi permasalahan utama di seluruh Indonesia: keamanan, termasuk pengawasan, tetap pada fungsi pemerintah sentral di bawah hukum desentralisasi, walaupun bupati bertanggungjawab atas hukum dan peraturan.
113
Ketika ICG menanyakan kepada kelompok agama, pimpinan adat dan juga aktivis LSM untuk menggolongkan penyebab konflik di Luwu, pengawasan yang jelek dan kurangnya kepercayaan pada lembaga hukum dan politik menjadi urutan teratas, 26 to 28 April 2003. 114 Wawancara ICG, Februari 2003. 115 “LSM Kecam Bupati Lutra”, Palopo Pos, 24 Juni 2002.
Page 23
Opini buruk atas polisi lokal juga dikatakan oleh sektor-sektor lain masyarakat Luwu.116 Kepala hubungan masyarakat di Polisi Kotamadya Luwu mengatakan, bahwa dari semua aturan yang diambil untuk mencegah atau menyelesaikan konflik, penyelidikan polisi pada umumnya merupakan yang paling lemah.117 Hal ini disebabkan karena para saksi tidak tampil atau polisi gagal melakukan penahanan bahkan ketika mereka telah punya nama-nama orang yang dicurigai. Bagian intel dan penyelidikan kriminal dari polisi lokal lemah, karena kabupatenkabupaten tidak diberi otoritas, personel atau peralatan untuk menghadapi kerusuhan atau untuk melakukan investigasi kejahatan dan harus melalui rantai komando ke tingkat provinsi atau nasional.118 Kurangnya kapasitas di tingkat kecamatan secara khusus mencolok. Dalam kerusuhan CappasoloPadang, otoritas kecamatan memberi banyak peringatan bahwa konfliknya besar. Dalam serangan bulan Juni permintaan kompensasi dalam pelanggaran jelas atas perjanjian perdamaian terjadi hanya dua hari setelah personel keamanan telah ditarik dari pos-pos yang telah diberi peringatan. Malahan kepala polisi kabupaten mengirimkan bawahannya ke pertemuan di mana permintaan dibuat dan tidak mempedulikan. Demikian juga, penemuan mayat Ketto dan rumor selanjutnya atas identitas pembunuhnya seharusnya sudah membuat polisi
116
Wawancara ICG dengan para kepala desa, pimpinan masyarakat dan kepala humas, Polisi Kecamatan Luwu Utara, Oktober 2002. 117 Ini termasuk menempatkan lebih banyak polisi di batas desa ketika ada insiden, investigasi polisi, pemerintah daerah mengidentifikasi akar permasalahan dan memperbaiki (misalnya masalah tanah, kenakalan remaja), juga melibatkan pimpinan masyarakat serta pimpinan agama dalam pelaksanaan pembangunan kepercayaan di antara rakyat. Wawancara ICG dengan kepala humas, Polisi Kotamadya, Oktober 2002. 118 Hal ini pelan-pelan berubah karena adanya reformasi polisi nasional yang menjadi faktor dalam desentralisasi. Wawancara ICG dengan konsultan Persekutuan untuk Pemerintah tentang reformasi polisi, Maret 2003. 23
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
berjaga-jaga terhadap adanya kerusuhan yang potensial di Karombing pada bulan September 2002 yang menunjukkan pola kekerasan yang telah terbentuk.119 Polisi lokal sering kurang dana, kurang peralatan dan terlalu banyak tugas.120 Di kecamatan Baebunta/Sabbang yang merupakan titik api konflik, 23 polisi dengan dua sepeda motor bertanggungjawab terhadap 46 desa, dan banyak yang tidak bisa ditemui di jalan. Anggaran polisi nasional hanya menutupi 60 persen biaya operasional total dan tidak memasukkan biaya personel di lapangan.121 Pemerintah lokal dan penduduk desa sendiri harus membantu makanan dan pengeluaran lain mereka, kadang-kadang membuat kompromi agar polisi bisa netral di daerah konflik.
Page 24
bulan di penjara.123 Tidak hanya hukuman ringan tersebut yang gagal dilaksanakan sebagai pencegah, tetapi hal tersebut juga menjadi sumber keluhan lebih lanjut bagi kelompok yang terluka dan menghidupkan terus menerus lingkaran kekerasan. Seperti masalah pengawasan, keadilan tetap merupakan fungsi pemerintah pusat di bawah desentralisasi. Manajemen konflik yang sukses di daerah mensyaratkan usaha lebih besar dari pemerintah pusat dan Menteri Kehakiman dalam memberikan sumber daya manusia yang mencukupi dalam pengadilan kabupaten, dan mengirimkan tanda yang memadai melalui hukuman yang menegaskan bahwa merusak kehidupan dan properti merupakan kejahatan serius.
Para pemimpin komunitas Rongkong sebenarnya menuduh polisi atas serangan di Desa Salassa pada tahun 1998. Mereka mengatakan serangan tersebut muncul hanya setelah polisi tersebut memerintahkan anak-anak muda Rongkong supaya mundur dari posisi pertahanan mereka di mulut desa. Sentimen serupa juga dikesankan oleh penduduk Cappasolo yang merasa bahwa polisi cenderung membela penduduk Desa Padang.122 Hukuman yang tidak memadai menambah pengawasan yang makin buruk. Serangan olah para pemimpin gang Cappasolo-Padang menerima hukuman hanya enam bulan di penjara. Dari empatpuluh dua orang yang ditahan karena konflik yang terjadi antara tahun 1998 dan 2000: empat orang dilepaskan karena kurangnya bukti, dan sisanya dihukum antara dua dan lima
119
Menurut kepala polisi kecamatan, hal ini merupakan pengetahuan umum bahwa Palopo Pos memuat cerita yang mengidentifikasi Tomoh sebagai orang yang telah melakukan kejahatan tanpa ada bukti sama sekali, Oktober 2002. 120 Wawancara ICG dengan kepala humas, Polisi Kotamadya Luwu Utara, Oktober 2002. 121 Adrianus Meliala, “Local Colours for Indonesian National Police” dalam Policing and Society, vol. 12, no. 2, 2002. 122 Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong, Januari 2003.
123
Wawancara ICG dengan LSM Palopo, Baperlu, April 2003. Staf Baperlu memberikan angka berdasarkan laporan mereka sendiri. 24
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
VII. DAMPAK PEMEKARAN DAN DESENTRALISASI Di tengah semua masalah yang dihadapi, secara administratif Luwu menghadapi proses pemekaran. Luwu Utara diciptakan pada tahun 1999, Palopo tahun 2002 dan Luwu Timur tahun 2003. Seandainya ada, apa pengaruhnya proses tersebut terhadap konflik, dan bila ada konflik baru, apakah akan menyerah? Berkenaan dengan sebab-sebab konflik yang telah lewat, ada kekhawatiran dan harapan. Kekhawatirannya adalah bahwa kandidat yang akan bekerja di pemerintah daerah mungkin memainkan ketegangan yang ada di antara desadesa, dan semua implikasi etnis dan migran versus penduduk lokal untuk memobilisir dukungan populer seperti yang terjadi di Kalimantan Tengah dan Poso.124 Masalah batas pemekaran telah menjadi faktor kunci pecahnya konflik di Maluku Utara; dengan memberi ketegangan masalah tanah di Luwu, apakah pemekaran lebih jauh akan mengobarkan konflik? Di pihak harapan, ada kemungkinan bahwa tujuan awal pemekaran akan membuat pemerintah lebih dekat dengan rakyat, sehingga sebenarnya dapat meningkatkan manajemen konflik di Luwu. Penciptaan Luwu Utara dan Timur juga meningkatkan momok konflik baru: akankah ada kompetisi di antara mereka yang mendapatkan pekerjaan baru dan mereka yang tetap menguasai area lebih kecil, dan akankah ada perjuangan yang mematikan yang menyangkut masalah sumber daya, khususnya mengenai keuntungan dari PT Inco? Sebenarnya pemekaran terbukti mempunyai efek positif yang luas, karena naiknya transfer fiskal dari Jakarta ke kabupaten-kabupaten baru, dan akan ada
Page 25
lebih banyak posisi resmi karena jumlah pemerintah lokal naik dari satu pada tahun 1998 menjadi empat pada tahun 2003.
A.
ALASAN PEMEKARAN
Alasan utama untuk membenarkan adanya pemekaran di Luwu adalah besarnya area, tetapi pembangunan ekonomi dan prospek transfer dari pemerintah pusat juga penting. Kabupaten Luwu asli meliputi lebih dari sepertiga provinsi Sulawesi Selatan dan berpenduduk 812.497 orang.125 Selain besarnya, ketidakdataran dan diversitas tanah membuat sulit untuk dilewati. Bahkan dengan pembentukan Luwu Utara pada bulan April 1999, makan waktu lebih dari sehari untuk pergi dari kabupaten Luwu Utara, Masamba, ke pemukiman penduduk di Towuti, kecamatan paling timur. Kalau Luwu Utara membenarkan pembentukannya berdasarkan pada penduduk tidak lagi harus ke Palopo hanya untuk pelayanan dasar, rakyat di bagian timur Luwu Utara menggunakan argumen yang sama untuk mengkampanyekan kabupaten mereka sendiri, yang dibentuk pada bulan Januari 2003. Bagi banyak orang luar, penghasilan perusahaan tambang PT Inco nampaknya merupakan faktor jelas dibandingkan masalah peningkatan efisiensi pemerintah. Ketika Luwu dibagi menjadi dua, Luwu Utara memperoleh pertambangan, tetapi itu di bagian timur kabupaten; kampanye pembentukan Luwu Timur yang sukses mempunyai arti bahwa penghasilan tambang akan masuk ke sana. Luwu Timur telah menanggung eksploitasi ekonomi dan lingkungan yang terberat tetapi kurang menerima bagiannya untuk dana pengembangan masyarakat selama Orde baru berkuasa, ketika PT Inco kurang dianggap sebagai korporasi penduduk yang baik.126 Penduduknya merasa bahwa mereka
125 124
Untuk analisis tentang Poso, lihat Lorraine V. Aragon, “Communal Violence in Poso, Central Sulawesi: Where People Eat Fish and Fish Eat People”, Indonesia 72, Oktober 2001, hlm. 4578.
Angka diambil dari Luwu Dalam Angka 1998, Badan Pusat Statistik Luwu. 126 PT Inco seperti Indonesia, telah mengalami reformasi sejak tahun 1998 dan berharap bisa melakukan peran lebih aktif dalam pembangunan tiga kecamatan Malili, Nuha dan Towuti, yang 25
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
sudah ditinggalkan dan ingin memajukan pembangunan yang mengambil tempat di Luwu Utara setelah menjadi kakbupaten pada tahun 1999. Faktor lain yang membuat Luwu Timur berkampanye untuk menjadi kabupaten adalah kepemimpinan efektif bupati Luwu Utara, yang akhirnya bisa menyelesaikan masalah lama tentang tanah dengan PT Inco.127 Dia menjamin bahwa kesalahan pemerintahan lama pada tahun 1974 diakui dan memberikan sertifikat tanah kepada 62 keluarga yang belum menerima kompensasi.128 Para pemimpin masyarakat lokal terkesan dan percaya bahwa daripada memilih bupati dari mana saja, mereka harus punya wakil mereka sendiri untuk menyampaikan kepentingan mereka, termasuk menjamin transfer 20 persen bagian pemerintah pusat di PT Inco kepada pemerintah kabupaten Luwu Timur. 129 Bukan berarti bahwa tidak ada keberatan di Luwu Utara untuk kehilangan penghasilan dari PT Inco. Tetapi pejabat Luwu Utara berhati-hati menanggapinya. Pada tahun 2002, mereka hanya menerima 20 persen penghasilan dari sumber penghasilan lokal, dari situ royalti dan pajak dari
telah terkena dampak tertinggi oleh aktivitasnya. Para pejabat humas PT Inco menceritakan kepada ICG bahwa perusahaan tersebut telah memberi dana Pembangunan Masyarakat bagi masyarakat lokal di ketiga kecamatan tersebut. Masingmasing kecamatan mendapatkan sekitar US.$100. 000 setahun, dan keputusan atas bagaimana uangnya harus dibelanjakan diputuskan bersama oleh para pemimpin masyarakat, pemimpin desa dan pemerintah kecamatan. Dana tersebut diaudit dan dikelola sesuai seleksi proyek, tidak meniru tanggungjawab pemerintah daerah seperti pembangunan jalan atau penerangan jalan. Sebelum tahun 2000 dana Pengembangan Masyarakat masuk ke pemerintah pusat dan tetap berada di sana. 127 Lihat di atas. 128 Wawancara ICG dengan Andi Baso, Soroako Oktober 2002. 129 Wawancara ICG dengan Andi Baso, Soroako, Oktober 2002.
Page 26
PT Inco mencapai 90 persen, atau 16 persen dari keseluruhan anggaran. Jauh lebih penting lagi adanya alokasi dari pemerintah pusat (DAU = Dana Alokasi Umum) yang mendekati 60 persen penghasilan kabupaten. 90 persen pemerintah kabupaten menerima kurang dari 10 persen penghasilan dari sumber mereka sendiri seperti pajak dan denda. Hanya 10 persen pemerintah kabupaten mendapatkan lebih dari 30 persen pendapatan mereka dari sumber alam, yakni kabupaten di daerah kaya seperti Riau, Kalimantan, Aceh dan Papua. Alokasi DAU memberi kontribusi 90 persen atau lebih dari penghasilan pemerintah kabupaten sampai sekitar setengah dari seluruh kabupaten.130 Argumentasi di atas seharusnya tidak menimbulkan kesimpulan bahwa pemerintahan yang harmonis di seluruh Luwu atau bahwa semua orang mengakui legitimasi pemekaran. Ada unjuk rasa menentang Palopo menjadi kecamatan pada tahun 2001. Di Luwu Utara, unjuk rasa menentang pemekaran Luwu Timur dimulai pada awal tahun 2001 ketika Luwu Utara membuat keputusan untuk menyetujuinya, dan berlanjut sampai pertengahan 2002. Dengan adanya delapan kecamatan yang menyetujui pemecahan dan sebelas menentang, bupati Luwu Utara mengalami dilema. Dia menunda selama satu tahun, dan menggunakan waktu tersebut untuk menjelaskan di setiap pertemuan umum tentang mengapa keputusan Luwu Timur sah, untuk menjamin rakyat bahwa Luwu Utara tidak akan bangkrut dalam semalam. Ini merupakan kepedulian oposan yang tidak semata-mata menentang pemekaran, tetapi terutama khawatir tentang apa yang terjadi sebelum Luwu Utara membangun infrastruktur fisik mereka. Ketika para pemimpin lokal dari Luwu Utara dan Timur akhirnya merencanakan pemakaran, mereka secara informal setuju untuk membagi penghasilan. Bupati Luwu Utara bingung: bila dia menyampaikan kepada rakyat tentang persetujuan tersebut, dia bisa menghadapi protes dari oposan yang khawatir tentang kehilangan penghasilan. Tetapi persetujuan itu tidak mengikat, dan itu sebabnya ada bahayanya.
130
Ringkasan APBD Luwu Utara Tahun Anggaran tahun 2002). 26
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Seperti yang dia katakan kepada ICG, “Bila saya mengatakan kepada rakyat bahwa Luwu Timur akan membagi royalti dari Inco sampai tahun 2005 tetapi pada waktu itu Luwu Timur mengingkari, rakyat akan marah dan membuat kerusuhan antar daerah”. Dia merasa pemerintah pusat seharusnya membentuk istilah pembagian hasil dalam pasal yang legal dan memasukkan Luwu Timu.131 Kemudian bila Luwu Timur mengingkari, maka harus ada sangsi yang mengikutinya. Setelah setahun ‘men-sosialisasikan’ ide tersebut dan mendapatkan persetujuan lebih besar, bupati menandatangani instruksi untuk menuju proses ke tingkat selanjutnya. Namun penundaan tersebut membuat kesalah-mengertian yang lain. Karena Luwu Timur takut bahwa permohonannya hanya akan diproses setelah pemilu tahun 2004, kemudian pergi ke Jakarta pada bulan Juni 2002 untuk mendorong Komisi Dua melakukan hak inisiatifnya dan untuk mengunjungi Malili.132 Pada saat yang bersamaan bupati Luwu Utara telah menyisihkan US$ 8.000 dalam anggaran tahun 2002 untuk membayar DPOD (Dewan Pertanahan Otonomi Daerah) guna melaksanakan penaksiran mereka sendiri.133 Akibatnya, daerah membayar dobel untuk mendapatkan hasil yang sama. Pemerintah Luwu Utara angkat bahu terhadap adanya unjuk rasa, dan mengatakan bahwa mereka salah mengerti atas keuangan kabupaten, selain itu mereka juga terbiasa dengan era pascaSoeharto. Tidak ada demonstrasi di Luwu Utara sejak Juni 2002.
B.
APAKAH PEMEKARAN ITU SENDIRI MENCIPTAKAN KONFLIK?
Seperti dikatakan di atas, oposisi terhadap pemekaran di Luwu hanya sebentar dan tidak membuat konflik. Ada beberapa kemungkinan mengapa Luwu tidak melakukan cara seperti
131
Undang-undang No. 7/2003. Menurut sumber-sumber ICG, Pembentukan Komite Luwu Timur telah mempersiapkan dana perjuangan sebesar US $ 10.000. 133 Wawancara ICG, Februari 2002. 132
Page 27
Poso, Kalimantan Tengah atau Maluku Utara. Pertama, para kandidat yang berlomba untuk masuk ke kantor daerah tergantung pada perlindungan bos-bos partai politik lokal yang semua merupakan pemimpin adat terkemuka, bukan kepopuleran berdasarkan desa. Para pemimpin adat ini tidak akan menyetujui taktik atau usaha yang bersifat memecah-belah semacam ini untuk melemahkan pengaruh mereka dengan himbauan langsung kepada elektorat. Identitas etnis di Luwu juga terlalu terbagi untuk menjadi basis signifikan bagi mobilisasi yang populer. Seperti dikatakan di atas, konflik dilokalisir dan tidak cenderung menyebar keluar desa. Kebanyakan politisi dan fungsionaris di Luwu tidak mendapat dukungan akar rumput yang kuat, sementara di sana ada rivalitas antara elit politik, dan hal ini belum memprovokasi konflik di tingkat desa.134 Argumentasi bahwa pemekaran akan menimbulkan konflik di antara kabupaten di Luwu juga ditolak secara lokal karena mereka melihatnya sebagai bagian proyek yang lebih besar, yakni Provinsi Luwu. Dengan tiga kabupaten dan satu kecamatan, Luwu telah mencapai salah satu persyaratan utama. Setiap rivalitas di Luwu amat kecil dibandingkan penolakan elit politik di kabupaten Sulawesi Selatan, Makasar.135 Luwu kurang terwakili dalam birokrasi provinsi, dan tidak ada orang dari sana pernah menjabat. Marginalisasi ini yang lebih sulit diatasi, karena Luwu membuat kontribusi lebih tinggi ke provinsi daripada ke kabupaten lain di Sulawesi Selatan, karena adanya penghasilan dari PT Inco. Tambahan lagi Makassar memperoleh reputasinya sebagai salah satu pusat pelabuhan perdagangan. Tidak ada
134
Ada rivalitas antara bupati Luwu, Khamrul Kasim dan Luwu Utara Luthfi Mutty. Sumbersumber ICG mengatakan bahwa Luthfi mengambil staf terbaik Khamrul ketika Kabupaten Luwu Utara dibentuk, tetapi tidak ada reaksi. 135 Ini merupakan opini bupati Luwu Utara yang telah meninggalkan Luwu sementara menjabat sebagai administrator dan pergi ke Jakarta untuk menjalin jaringan di sana, karena dipercaya bahwa Jakarta lebih mudah dimasuki orang Luwu daripada orang Makassar. 27
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
hasil tani seperti coklat dan kelapa sawit yang diproduksi Luwu.136 Luwu merasa mendapatkan hanya sedikit padahal telah mempromosikan Makassar. Pertikaian terakhir antara Luwu dan Makassar adalah tentang realokasi retribusi air yang dibayarkan oleh PT Inco, yang mungkin juga telah meyakinkan Luwu bahwa secara ekonomis mereka akan lebih baik membentuk provinsi mereka sendiri. Sebuah undang-undang baru (Undang-undang No. 34/2000) memperbolehkan provinsi – untuk meningkatkan redistribusi penghasilan yang dikumpulkan secara lokal – untuk memutuskan masalah pemisahan retribusi air yang sebelumnya dibayarkan penuh oleh PT Inco ke Luwu Utara. Provinsi tersebut telah memutuskan untuk menahan 30 persen dan 70 persen untuk kabupaten-kabupaten di Sulawesi Selatan. Luwu Utara sebagai kabupaten yang bisa mempunyai penghasilan sendiri mendapatkan 80 persen dari itu; sisanya akan membagi yang tersisa 20 persen. Luwu Utara bertahan untuk kehilangan 45 persen sumber penghasilan lokal utama mereka.137
136
Penghasilan lokal Luwu hanya merupakan kedua terbesar setelah Makassar di Sulawesi Selatan, itu tidak berarti prestasi bagi daerah pedesaan. 137 Luwu Utara sedang melobi pemerintah pusat untuk membuat amandemen Undang-undang No. 34/2000 dan mencabut Peraturan Provinsi Sulawesi Selatan No. 3/2002 tentang pajak air. Mereka memperdebatkan bahwa tidak ada alasan yang diberikan terhadap perubahan status eksploitasi permukaan dan air tanah dari suatu pajak daerah (Undang-undang No. 18/1997) sampai ke provinsi. Juga diperdebatkan bahwa danau dan sungai yang dipersoalkan terletak di Luwu Utara dan tidak menyeberangi daerahdaerah lain. Dalam konteks ini, otoritas ada pada kabupaten dan tidak pada provinsi sesuai dengan Undang-undang No. 22/1999 dan Peraturan 25/2000. Akhirnya, juga dipersoalkan bahwa Peraturan Provinsi Sulawesi Selatan No. 3/2002 melanggar implementasi peraturan No. 65/2001, yang menetapkan bahwa penghasilan kabupaten harus diambil 70 persen dari pajak dan tidak mengatakan apa-apa tentang pembagian ini
Page 28
Kemarahan yang disebabkan oleh hal tersebut besar sekali. Jelas bahwa satu-satunya redistribusi nyata yang sedang terjadi telah masuk ke koper provinsi, dan, daerah-daerah komplain bahwa mereka hampir tidak melihatnya.138 Luwu Utara dibuat marah karena redistribusi penghasilan di dalam provinsi sedang didanai dari bagiannya atas retribusi air yang jelas merupakan tanggungjawab provinsi, bukan tanggungjawab kabupaten. Kegagalan provinsi untuk berkonsultasi dengan Luwu Utara dalam memutuskan tentang bagaimana penghasilan akan dibagi juga menghidupkan kembali ketidakpercayaan lama atas birokrasi Makassar. Hal ini, ditambah prospek penahanan penghasilan yang didapatkan secara lokal di Luwu, mungkin menjadi suatu motif yang lebih kuat bagi pembentukan provinsi di masa depan. Dalam kasus Luwu, akan lebih akurat mengatakan bahwa konflik yang lalu telah mempengaruhi kampanyenya untuk mendapatkan status provinsial. Rencana awalnya adalah untuk menciptakan Luwu Raya, sesuai garis bekas kerajaan Luwu, tetapi opini terbagi secara tajam atas apakah akan memasukkan kabupaten Toraja atau tidak. Mayoritas penduduk Toraja beragama Kristen, dan jelas hal tersebut akan mengubah keseimbangan agama Luwu yang saat ini 80 persen Islam. Para ilmuwan memperdebatkan
kepada kabupaten lain. Tentu saja bagian Luwu Utara atas retribusi air akan diberikan ke Luwu Timur. Untuk lebih rinci tentang petisi Luwu Utara, lihat DPRD Kabupaten Luwu Utara 170/156/DPRD-LU/IV/2003, “Permohonan Revisi UU 34/2000: PP Baru sebagai pengganti PP No 65/2001, Perbaikan/Penyempurnaan Perda Sulsel”, 9 April 2003. 138 Menurut Undang-undang No. 22/1999, provinsi berurusan dengan isu yang meliputi provinsi seperti epidemik, masalah antarkabupaten dan setiap fungsi yang tidak bisa dilakukan oleh kabupaten. Luwu mengeluh bahwa Makassar bahkan belum memberi kontribusi pada jalan-jalan antar-kabupaten yang jelas berada dalam remitnya. Tidak ada gunanya dikatakan bahwa belum pernah ada epidemik di Luwu. 28
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
apakah Toraja dulu cukup lama menjadi bagian kerajaan untuk dipertimbangkan sebagai benarbenar bagian dari Luwu. Opini satu lagi adalah bahwa karena orang-orang Toraja menonjol dalam banyak konflik di Luwu, jadi dengan memasukkannya ke provinsi hanya akan meningkatkan konflik. Juga ada kepedulian bahwa bila Toraja menjadi bagian Luwu, maka kompetisi politik dan ekonomi dengan orang Toraja akan membuat mobilisasi agama dan etnis, yang saat ini tidak merupakan masalah. Ketakutan ini telah terjadi – poll yang dilakukan di semua BPD (Badan Perwakilan Desa) di Luwu membuat 95 persen pilihan provinsi Luwu di masa depan tanpa memasukkan Toraja.139 Berdasarkan hasil ini, rencana Luwu Raya telah ditinggalkan dan mereka memili Provinsi Luwu, dan pelaku kampanye yakin bahwa provinsi tersebut akan terbentuk sebelum pemilu tahun 2004.140
139
Wawancara ICG dengan kepala cabang Kabupaten Luwu dari Komite Provinsi Luwu, Palopo, 28 April 2003. 140 Pada saat laporan ini dimuat pers, keempat kabupaten telah menulis persetujuan dari semua pimpinan dan kelompok masyarakat dari seluruh kecamatan. Seluruh kabupaten juga sedang berencana untuk mengkoordinasikan sebuah deklasari dukungan publik bagi Provinsi Luwu yang secara simultan terjadi di seluruh Luwu. Persetujuan provinsial diharapkan akan terjadi pada bulan Juli atau Agustus 2003. Gubernur Sulawesi Selatan saat ini berjanji mendukung dari belakang, sebagai balasan dukungan Luwu atas dirinya sebagai kandidat. Para pelaku kampanye berharap proposal tersebut akan tiba di depan anggota DPR yang sekarang, yang para anggotanya telah mendukung proposal pemekaran secara umum, dan sengaja sebelum akhir tahun 2003 atau paling tidak sebelum ada pergantian DPR hasil pemilu tahun 2004.
Page 29
VIII. PENGARUH DESENTRASILASI TERHADAP MANAJEMEN KONFLIK Desentralisasi telah mempunyai dampak positif dalam mengurangi konflik di Luwu Utara, untuk itu khususnya terima kasih pada kemitraan yang efektif antara bupati yang luar biasa kuat, Luthfi A. Mutty, dan dewan kabupaten yang dipimpin oleh Andi Hasan serta wakilnya Andi Rahmawati. Fakta bahwa ketiganya termasuk dalam klan adat terkemuka dengan tradisi kuat dalam kepemimpinan lokal telah berakibat dalam sinergi yang jarang dalam pemerintah daerah. Luthfi adalah teknokrat yang efektif, sementara Andi Hasan dan Andi Rahmawati punya jaringan yang mencakup seluruh Luwu, yang ditarik dari adat, dan juga sebagai pemimpin masyarakat yang memfasilitasi implementasi kebijakan.141 Dari penunjukannya oleh Menteri Dalam Negeri sebagai pejabat bupati pada bulan April 1999, dan bahkan sesudah pemilihannya oleh dewan kabupaten pada bulan Desember 1999, Luthfi telah mempunyai komitmen terhadap pembentukan kembali aturan publik dan penciptaan pekerjaan, serta proyek infrastruktur yang bertujuan pada peningkatan kondisi sosioekonomi, dan memperbaiki lembaga sosial tradisional yang melemah selama tahun-tahun kekuasaan Soeharto. Undang-undang No. 22/1999 mendukung upayanya, tetapi kebijakan yang dia lembagakan tidak merupakan konsekuensi otomatis pada peraturan. Sukses yang jelas atas Luwu Utara menunjukkan bahwa desentralisasi bisa mengurangi konflik bila para pemimpin lokal bangkit untuk mengatasinya. Namun perlu dicatat bahwa walaupun bupati Luwu tidak dianggap sebaik itu, kecermatan pembuat peraturan di kabupaten yang dihormati,
141
Luthfi dulu menjadi anggota tim yang membuat konsep undang-undang desentralisasi saat ini (Tim 7), dan secara ideologi komit atas suksesnya otonomi daerah. Andi Hasan bisa mencari garis silsilah ke zaman raja Luwu, dan Andi Rahmawati juga berasal dari keluarga adat terkemuka; mereka berdua komit untuk memperbaiki Luwu ke masa jayanya ketika masih merupakan kerajaan utama di Sulawesi Selatan. 29
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
demikian juga adanya tekanan publik yang diorganisir oleh LSM memberikan pengaruh yang sangat diperlukan.142 Dengan tidak adanya kepemimpinan eksekutif yang efektif dan informatif, desentralisasi nampaknya berjalan paling baik di mana ada keseimbangan kekuasaan yang berarti di antara cabang-cabang eksekutif dan legislatif, juga antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah.
A.
PELAKSANAAN HUKUM
Salah satu tindakan pertama Luthfi sebagai bupati adalah mencari polres kabupaten di Masamba dengan cara meminta kepada kepala kepolisian provinsial dan melobi kepala kepolisian negara RI serta komisi DPR yang relevan di Jakarta.143 Dalam interim, dia berhasil membentuk gabungan pasukan polisi-militer provinsi sekitar 100 personel yang ditempatkan di Masamba dengan tanggungan kabupaten mulai Desember 1999. Pada bulan April 2000, komando kabupaten sementara Luwu Utara mengoperasikan 150 polisi dan pengambilan keputusan dilakukan dari Masamba, tidak di Palopo yang berjarak 70 km. Pada bulan Februari 2003, Luwu Utara telah mempunyai polres sendiri dengan pasukan sebesar 350 personel, termasuk bagian penyelidikan kriminal (sebelas detektif) dan sebuah platon yang bereaksi cepat (69 personel) yang terlatih untuk mencapai dan mengetahui
Page 30
daerah konflik sebelum ada bantuan yang bisa dimobilisir.144 Luthfi juga meminta Jakarta untuk menempatkan satu pleton Brimob di Kecamatan Baebunta pada tahun 2000.145 Menurut kepala Desa Baebunta, hal ini membuat dukungan lokal yang sangat besar, dibuktikan dengan adanya donasi tiga hektar tanah adat di Baebunta untuk pembangunan barak-barak.146 Baik orang Rongkong maupun penduduk desa mengatakan kepada ICG bahwa mereka yakin Brimob dapat dimobilisir lebih cepat bila ada kerusuhan dan lebih cepat mengantisipasi kekerasan yang potensial dibandingkan polisi lokal. 147 Sumber-sumber ICG di Luwu Utara mengatakan bahwa baik bantuan polisi maupun militer telah lebih efektif sejak tahun 2000 – mereka tiba di tempat lebih cepat, mematahkan serangan lebih meyakinkan, dan bertindak untuk memperbaiki koordinasi antar-pelayanan. Banyak orang desa bicara dengan bangga atas kesiapan mereka untuk menyerang gerombolan bila perusuh gagal merespon peringatan, tidak seperti pasukan keamanan pada kekerasan yang terjadi tahun 1998.148 Sementara ini tidak merupakan cara mengontrol gerombolan yang efektif, kegagalan untuk mengatasi gerombolan pengacau dengan cepat telah meyakinkan orang lokal bahwa hanya
144
142
Menurut sumber-sumber ICG, Luthfi dan Khamrul Kasim berlomba untuk menjadi bupati Luwu pada bulan Januari 1999. Luthfi ditunjuk sebagai pejabat sementara dan kemudian menjadi bupati Luwu Utara, sebagian besar pelayanan sipil Luwu diminta ditempatkan di Luwu Utara, karena mereka lebih suka bekerja dengannya. Ada juga dugaan korupsi dalam pemerintah kabupaten Luwu, khususnya melalui pertikaian tanah Barammase. Wawancara ICG dengan LSM lokal, 27 April 2003. 143 Proses di Jakarta makan waktu lebih lama, karena itu aplikasi status sementara di tingkat provinsi (proses yang lebih cepat) menjadi pengganti darurat. Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, Februari 2003.
Angka dari Polres Luwu Utara, Kabupaten Luwu Utara. 145 Perusahaan tersebut saat ini terdiri dari 121 orang. Angka dari Markas Brimob Baebunta, Luwu Utara. 146 Wawancara ICG, Oktober 2002. 147 Wawancara ICG dengan kepala Desa Baebunta, juga dengan orang-orang Rongkong dan Baebunta, Oktober 2002. Sampai saat ini, Brimob dianggap netral dan efektif oleh publik, tetapi konflik baru di Karombing di mana duapuluh personel Brimob bertindak sebagai pengaman swasta untuk seorang penduduk desa bisa mengubah persepsi bila hal seperti itu diteruskan. 148 Bupati Luwu Utara dan penasihat kabupaten dari Luwu Utara, Luwu dan Palopo mengaitkan hal ini pada kebijakan Mayor Jenderal Agus Wirahadikusuman yang menjabat Pangdam Sulawesi Selatan saat itu. 30
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
kekerasan yang bersifat menekan serangan.
pembalasan
bisa
Walaupun begitu Luthfi belum sukses untuk membuat polisi lebih dipercaya oleh pemerintah lokal. Devolusi kekuasaan seharusnya memberi otonomi lebih besar kepada komandan polisi di tingkat provinsial dan kabupaten untuk membuat keputusan, walaupun pemerintah pusat tetap memegang kekuasaan terakhir. (Ini dikenal sebagai ‘dekonsentrasi’, bukan desentralisasi.) Dalam kasus-kasus yang dikategorisasikan sebagai pelanggaran umum misalnya, komandan polisi daerah harus mendapat otoritas untuk menembak atau memadamkan demonstrasi dalam cara apapun yang mereka anggap cocok, tanpa menunggu perintah.149 Pada bulan Juli 2002, komandan polisi nasional dan Menteri Dalam Negeri menandatangani sebuah MOU (Memorandum of Understanding) dalam koordinasi dan kerjasama antara polisi dan pemerintah daerah dalam isu publik. Pemerintah kabupaten dibiarkan untuk mengatur persetujuan mereka sendiri, dengan biaya pemeliharaan aturan publik dibagi antara pusat dan daerah, tetapi tidak menyebut kesalahan pemerintah lokal terhadap polisi daerah.150 Sebuah undang-undang polisi nasional yang dikeluarkan pada tahun 2002 memperbolehkan biaya operasional polisi diatasi oleh sumber-sumber lain, bukan dari anggaran negara, dan jelas dari MOU bahwa pemerintah lokal merupakan sumber utama dana.
Page 31
fasilitas publik; mengatur lalu-lintas; membantu pengaturan daerah yang berhubungan dengan inspeksi izin bangunan, hak guna tanah, izin kehutanan, dan surat-surat identitas; memberantas judi, toko minuman keras yang tidak berizin, prostitusi dan narkoba. Di samping itu, polisi kabupaten menjalan pelatihan polisi kotamadya dan kecamatan.152 Sementara Luthfi cepat dalam menandatangani perjanjian karena dia menginginkan gambaran tanggungjawab polisi yang akan relevan bagi kebutuhan keamanan Luwu Utara, dia juga mencatat beberapa hal. Ternyata perjanjian tersebut hanya sah untuk setahun dan akan harus dinegosiasi kembali, yang memungkinkan bahwa selama waktu-waktu stabilitas atau hambatan finansial nampak, dewan kabupaten mungkin tidak melihat perlunya ada alokasi anggaran. Perjanjian tersebut juga tidak menyebut tentang target pelaksanaan, persyaratan pelaporan tentang penggunaan uang, atau mekanisme dalam mendisiplinkan tindakan yang tidak profesional atau tindak kejahatan. Dengan demikian pemerintah kabupaten mendapatkan tanggungjawab baru dan beban keuangan lebih besar tanpa kekuasaan untuk membuat supaya polisi lebih dipercaya.153 Namun sampai sekarang kebijakan kepala polisi kabupaten yang ‘keras terhadap pengacau’ yang diterapkan pada bulan Februari 2003 telah populer. Polisi kabupaten telah
152
Pada bulan Maret 2003, Luthfi menjadi salah satu bupati pertama yang melakukan persetujuan dengan polisi kabupaten di bawah MOU.151 MOU meliputi pemadaman konflik, pertengkaran antar gang dan unjuk rasa yang kacau; menjaga
149
“Empowering Police Under Autonomy”, The Jakarta Post, 2 Maret 2001. 150 Lihat Pasal 5 (3) dan Pasal 7, Kesepakatan Bersama Menteri Dalam Negeri Dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 119/1527/SJ Tahun 2002; No. POL: B/2300/VII/2002, 17 Juli 2002. 151 Perjanjian Kerjasama Pemerintah Kabupaten Luwu Utara dan Kepolisian Resort Luwu Utara Nomor: 100/54/Bina P.B. Bangwil. N0. POL: B/18/II/2003/Taud. 1 Maret 2003.
Polisi kotamadya menjalankan peraturan daerah dan bertanggungjawab pada bupati. 153 Suatu contoh jelas perlawanan semacam kelihatan dalam pidato Sekjen Polri di hadapan Akademi Polisi tentang dampak otonomi daerah dalam masalah pengawasan. Di situ dia menyatakan cukup jelas bahwa kepala pemerintah daerah sama sekali tidak punya wewenang terhadap polisi daerah, walaupun dia bertanggungjawab penuh untuk keamanan publik. Bahkan, pemerintah daerah harus membiayai setiap kekurangan anggaran operasional yang dihadapi polisi daerah. “Hubungan Dan Kependudukan Polri Di Era Otonomi Daerah”, 3 September 2000. Sejak itu pidato ini telah menjadi kurikulum akademi polisi dan sulit menyelaraskan hubungan yang lebih seimbang antara polisi daerah dan pemerintah daerah. 31
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
menuliskan daftar penjahat Luwu Utara yang paling dicari dan memberikan periode pengampunan kepada mereka untuk menyerahkan diri atau akan ditembak di tempat. Sampai saat ini sudah ada 26 orang penjahat ditangkap.154
B.
PEMERINTAHAN DESA DAN LEMBAGA LOKAL
Desentralisasi mungkin juga membantu manajemen konflik, dengan memberikan kesempatan untuk membangun kembali struktur otoritas tradisional yang melemah atau rusak selama Soeharto berkuasa, yang pernah berfungsi sebagai jalan untuk menguatkan ikatan sosial atau dengan mendorong pelaku masyarakat sipil baru. Para pimpinan masyarakat, pejabat pemerintah lokal, politisi dan LSM yang diwawancarai oleh ICG semua percaya bahwa penyebab utama konflik di Luwu adalah hilangnya identitas dan modal sosial yang melekatkan hubungan antar keluarga, klan, desa dan komunitas adat.155 Namun opini tersebut sangat terpecah, di mana lembaga-lembaga bisa membuat perbedaan. Sementara elit lokal memilih lembaga adat atau lembaga tradisional, LSM dan beberapa pemimpin agama merasa bahwa lembaga tradisional semacam itu tidak mudah memberikan kepedulian dan tantangan
Page 32
yang dihadapi para petani dan orang muda. Mereka percaya bahwa pemimpin adat tidak lagi mendapat penghormatan seperti masa lalu.156 Seperti di daerah lain di Indonesia, Luwu melihat otoritas kepempimpinan lokal mereka terkikis oleh Undang-undang Pemerintah Daerah tahun 1974 dan Undang-undang Pemerintah Desa tahun 1979, yang membuat meningkatnya kekuasaan dari Jakarta melalui pelayanan sipil nasional yang menuntut kesesuaian tetapi tidak berakar dalam komunitas lokal. Ketika Soeharto lengser, struktur ini roboh, membuat vakum di mana pelanggaran hukum tumbuh subur. Luthfi dan kepemimpinan dewan Kabupaten Luwu Utara mengatakan kepada ICG bahwa mereka mencoba membangun kembali kepemimpinan kisi-kisi adat, agama dan pemimpin pemerintah, khususnya di tingkat desa.157 Dalam memperkuat pemerintahan desa, Luthfi telah melakukan sesuatu yang berbahaya dengan mendekatkan spirit Undang-undang No. 22/1999 dan tidak mempedulikan penerapan peraturan yang akan mengurangi kekuasaan pemerintahan desa. Keputusan Menteri No. 64/1999 berupaya menstandardisir pemerintahan desa dan menuntut setiap kabupaten mengeluarkan tigabelas peraturan daerah tentang masalah desa, yang secara efektif membatasi otonomi desa. Dia hanya tidak mempedulikan petunjuk, dan yakin bahwa orang
154
Wawancara ICG dengan wakil bupati Luwu Utara, 27 April 2003. 155 Masyarakat adat didefinisikan di Congress of Archipelagic Customary Societies di Jakarta pada bulan Maret 1999 sebagai ‘kelompok sosial yang mempunyai keturunan berdasarkan generasi di kawasan geografis khusus dan mempunyai sistem nilai, pemerintah, ekonomi, hukum adat, budaya dan teritori sendiri’. Para pemimpin adat akan memberi nasihat, menjadi mediator dan memberi sanksi kepada anggota masyarakat. Perbedaan mereka berdasarkan lokasi, bukan etnisitas, itu sebabnya walaupun Luwu dulu adalah kerajaan Bugis, penduduk asli Luwu mengidentifikasikan diri mereka sendiri sebagai orang Luwu, dan membedakan diri dari etnis Bugis lain di Sulawesi Selatan. Semua kelompok adat di Luwu tidak bermasalah membedakan antara orang Luwu asli dengan migran Bugis dari daerah lain di Sulawesi Selatan.
156
Wawancara ICG dengan gang anak muda Luwu pada bulan Oktober 2000 dan dengan LSM lokal serta pimpinan agama di Palopo, 28 April 2003. 157 Walaupun Undang-undang Otonomi Daerah No. 22 memindahkan hampir seluruh kekuasaannya ke daerah, Bab XI mendefinisikan kekuasaan dan kewajiban desa, yang merupakan ‘daerah otonomi’ terkecil. Sebuah desa bisa mencari dana, mengeluarkan peraturan dan anggaran desa tanpa persetujuan kewenangan yang lebih tinggi. Desa bisa merefleksikan adat mereka sendiri dalam lembaga pemerintah dan peraturan desa. Desa bisa mempunyai pemilihan dewan desa secara langsung untuk memeriksa keseimbangan kepala desa. Kepala desa harus membuat laporan yang bertanggungjawab kepada desa setiap tahun. 32
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
desa bisa menemukan solusi atas masalah mereka sendiri.158 Sampai saat ini keyakinannya nampak dikuatkan. Desa Baebunta dan Salassa, yang merupakan daerah rusuh sebelumnya, sudah tidak mengalami kerusuhan sejak pemilihan kepala desa pada tahun 2000, yang membuat manajemen konflik sebagai program mereka. Sementara faktor-faktor lain seperti kelelahan pasca-konflik dan kehadiran Brimob di sekitar Baebunta mungkin juga membuat berkurangnya kekerasan, orang-orang Desa Rongkong yang pada umumnya merupakan target serangan menceritakan kepada ICG bahwa kepala desa baru lebih efektif dibandingkan yang sebelumnya.159 Kedua kepala desa telah berfokus pada penyelesaian pertikaian tanah dan memperbaiki hubungan antara kelompok etnis yang berbeda di desa yang sama, dan di antara desa-desa di sekitarnya melalui proyek kerja gabungan dan olahraga.160 Kedua kepala desa juga dihormati (dan ditakuti) oleh gang anak muda lokal – ini merupakan alasan satu lagi mengapa mereka dipilih.161 Misalnya sejak dia terpilih pada tahun 2000, kepala Desa Baebunta mengatakan bahwa dia telah menjembatani 100 pertikaian tanah dan
Page 33
secara sukses menyelesaikan paling tidak 90.162 Ketika usaha mediasinya gagal, kasus-kasus tersebut dibawa ke pengadilan, walaupun proses ini makan waktu lebih lama dan hanya beberapa yang telah diselesaikan. LSM lokal dan organisasi agama juga telah menjadi pembangun-masyarakat yang lebih aktif sejak tahun 2000, walau upaya mereka sewaktuwaktu telah kontroversial. Menyadari bahwa tidak ada organisasi antar-agama yang menjembatani komunitas Islam, Kristen dan Hindu di Luwu, dan bahwa kelompok-kelompok agama berbeda itu makin lama makin terisolir, para pemimpin agama senior membentuk Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) pada tahun 2000, di mana problem sosial atau konflik potensial antara penganutnya bisa ditengahi.163 Salah satu tindakan mereka adalah mengeluarkan manifesto yang diposkan ke seluruh Luwu, yang menyatakan perang terhadap alkohol, perjudian, obat terlarang, prostitusi dan VCD porno, yang dipandang sebagai akar semua setan sosial, termasuk konflik. Manifesto tersebut memberikan waktu lima hari kepada penyedia maupun konsumen untuk menghentikan semua kegiatan terkait, kalau gagal maka regu polisi anti-susila dan polisi akan bertindak dengan ketat.164 Pada waktunya hal ini membuat vigilantisme dan sejumlah besar serangan oleh
158
Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, Februari 2003. 159 Wawancara ICG dengan pimpinan masyarakat Rongkong di Salassa dan Baebunta, Oktober 2002. 160 Wawancara ICG dengan kepala Desa Baebunta, Oktober 2002. Luwu Utara telah mendorong orang desa untuk menerapkan proyek infrastruktur mereka sendiri, biasanya memperbaiki jalan, jembatan, irigasi desa, dll. Proyek-proyek tersebut didanai sendiri oleh mereka dengan menyediakan tenaga dan material. Desa Baebunta dan Salassa telah memilih pembangunan fasilitas rekreasi sebagai proyek mereka. Lihat “Rekapitulasi: Inventarisasi Proyek Swadaya Murni Masyarakat Tahun 2002 19 Kecamatan Se Kabupaten Luwu Utara, Pemkab Luwu Utara”. 161 Wawancara ICG dengan kepala humas, Polisi Kotamadya Luwu Utara dan pimpinan masyarakat di Salassa dan Baebunta.
162
Sementara ICG tidak bisa menguji angka ini (yang akan melibatkan rapat seluruh desa untuk mengetahui siapa yang akan mendapat untung dari layanan kepala desa), pimpinan masyarakat di kedua desa dan kepala humas Polisi Kotamadya memberi konfirmasi bahwa pemegang jabatan telah lebih pro-aktif daripada kepala desa sebelumnya dalam menjadi penengah pertikaian tanah. 163 Contoh-contohnya meliputi khotbah dalam sessi doa dan mencek orang gereja ekstrim yang mungkin menghasut, wawancara ICG dengan Sekretaris Jendral, 26 April 2003. 164 Maklumat Bumi Sawerigading, 3 Desember 2000. Polisi dan bupati Luwu mendukung tujuan umum manifesto, tetapi tidak melayani ancaman ‘aksi tegas’ FKAUB secara serius – ini merupakan bukti lebih lanjut tentang kegagalan mengantisipasi penyebab konflik. 33
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
orang Islam terhadap orang Toraja yang dipergoki minum di tempat umum.165 Sejak itu FKAUB telah menarik kembali manifestonya dan mengakui bahwa ada masalah dalam implementasinya. Menurut para pejabat pemerintah lokal dan orang-orang LSM di Luwu Utara, Jemaah Tabligh, yakni sekelompok orang beragama Islam, telah merehabilitir anggota gang dengan sukses.166 Pendekatannya yang tidak agresif dan toleran telah diterima dengan baik oleh kalangan non Muslim juga. Liberalisasi politik di Indonesia, juga desentralisasi pembuatan keputusan di tingkat kabupaten telah melihat berkembangnya LSM di seluruh negara, termasuk Luwu.167 Sementara beberapa LSM bertanding untuk mendapatkan proyek pemerintah kabupaten, LSM minoritas telah berfokus terutama dalam mendukung para petani dalam masalah pertikaian tanah menentang perusahaan swasta dan pemerintah daerah.168 Ini telah membuat kesadaran orang desa tentang undang-undang otonomi daerah, pelayanan yang berhak mereka dapatkan dan bagaimana mengorganisir mereka sendiri untuk membela hak-
165
Wawancara ICG dengan LSM lokal, 27 April 2003. 166 Gang anak muda yang meminta uang dari pengendara motor telah berkurang, dan kalau ada pertengkaran di antara mereka maka pengikut Jemaah Tabligh bisa menenangkan situasi, wawancara ICG, 26, 27 April 2003. 167 Sebelum reformasi tahun 1998, ada kurang dari sepuluh LSM di Luwu. Sekarang ada 90 LSM, termasuk LSM lokal dan cabang LSM nasional 168 Proyek kabupaten terutama merupakan Jaringan Pengamanan Sosial yang mendistribusikan uang dan makanan kepada rakyat miskin. LSM-LSM yang terlibat dalam pertikaian tanah di Luwu termasuk: Sekretariat Bina Desa Jakarta, Jaringan Peduli Petani Sulawesi, Wahana Transformasi dan Informasi Rakyat, Lembaga Pemerhati dan Pemberdayaan Masyarakat, Lembaga Konsultasi Masyarakat, Baperlu, Lembaga Bantuan Hukum Palopo, Lembaga Belantara Indonesia, Yayasan Mutiara Indonesia and Lembaga Supremasi Hukum.
Page 34
hak mereka meningkat. LSM telah menjadi penggerak sosial yang paling berpengaruh di Luwu, bisa mengorganisir demonstrasi yang melibatkan ratusan petani dan orang desa. Salah satu aspek positif dari advokasi LSM adalah bersatunya komunitas penduduk asli dan migran, dengan menekankan tujuan yang sama dan membangun organisasi di tingkat desa yang melibatkan kedua pihak. Sebelum muncul organisasi yang dipimpin LSM seperti itu di Desa Barammamase di Palopo pada tahun 2000, ada serangan-serangan antar-gang yang melibatkan anak-anak muda pribumi dan penduduk Bastem. LSM juga menyatakan kesuksesan mereka dalam mereformasi banyak anggota gang dan menyalurkan energi mereka dalam menyelesaikan masalah tanah dengan melegitimasi kegiatan yang terorganisir.169 Di sisi negatif, menekan pemerintah kabupaten untuk bertindak melalui pengorganisasian pendudukan tanah, atau balas dendam melawan kekerasan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta dalam pertikaian tanah melalui tindakan sabotase, bisa juga dilihat sebagai mendorong penduduk desa mengambil tindakan hukum sendiri.170 Mempertahankan lembaga adat merupakan isu sulit. Luthfi percaya bahwa masyarakat adat dan pemimpinnya tidak akan muncul dalam satu malam setelah beberapa dasawarsa tidak aktif, dan bahwa proses penghidupan kembali tersebut seharusnya tidak tergesa-gesa. Pada saat yang sama, dia memberikan dukungan di area-area semacam itu sebagai pelatihan pimpinan adat dan mensponsori peristiwa tradisional seperti upacara pembersihan tanda-tanda kebesaran adat. Andi
169
Wawancara ICG dengan Wahana, bekas anggota gang anak muda dan Dewan Petani Barammamase, 27 April 2003, Palopo. 170 Petani Barammamase merusak jalan sirkuit balap mobil yang sedang dibangun di atas tanah sengketa; lihat “Petani Bongkar Arena Road Race”, Palopo Pos, 29 Mei 2002. Petani yang terlibat dalam aksi duduk dalam persengketaan dengan PT Lanurung di Malili, Luwu Timur, dipenjara selama beberapa bulan sebelum kasus mereka dibatalkan karena tidak cukup bukti, lihat “PT Latunrung Dinilai Melanggar HGU”, Palopo Pos, 29 November 2002. 34
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Rahmawati, wakil kepala dewan Kabupaten Luwu Utara, telah mengadopsi pendekatan yang jauh lebih pro-aktif, mengidentifikasi para pemimpin adat yang masih dihormati oleh masyarakat mereka untuk berpihak bagi pemilihan di dewan desa (BPD), sehingga mereka bisa memainkan peran pejabat dalam pemerintahan desa. Namun tetap ada pertanyaan, apakah lembaga adat akan membantu atau menghalangi manajemen dan pencegahan konflik. Walaupun Luthfi dan yang lain melihat kebangkitan kembali mereka penting untuk merenda bersama masalah sosial yang mulai berantakan, penggunaan mereka dalam resolusi konflik bisa mengabadikan lingkaran kekerasan. Pendukung ‘pembuat perdamaian’ adat telah mengajukan dua argumen. Pertama, karena lembaga-lembaga seperti itu adalah asli, perjanjian atau janji yang dilakukan melalui bantuan dewan adat akan lebih mengikat daripada mereka yang dijembatani oleh pemerintahan desa, kecamatan atau kabupaten. Yang kedua, mereka bisa membantu membentuk persamaan antara pendekatan keamanan dan pendekatan kultural bagi resolusi konflik. Penasihat pengawasan masyarakat menghimbau peningkatan partisipasi lokal dalam menjalankan hukum dan peraturan dan mendorong ‘aspek simbiosis dan prosedur hukum yang lebih luas dengan hukum adat lokal atau hukum adat”.171 Dengan menggarisbawahi tentang gembargembor lembaga adat sebagai alat resolusi konflik, hal itu merupakan himbauan nostalgia terhadap versi ideal di masa lampau ketika Luwu merupakan kerajaan paling berkuasa di Sulawesi Selatan, di mana tidak ada konflik komunal. Perbandingan senada terhadap masa lalu yang tenang dan damai dengan masa sekarang yang banyak konflik sering membuat tuduhan pengacau terhadap migran sebagai orang asing di
171
Adrianus Meliala, “Local Colours for Indonesian National Police”, dalam Policing and Society, vol. 12 no. 2, 2002.
Page 35
Luwu, juga tuduhan bahwa mereka telah merusak cara hidup dan mereka seharusnya pergi.172 Tetapi di Luwu, lembaga adat lemah atau tidak eksis, dan tidak jelas apakah mereka betul mempunyai otoritas lebih besar daripada lembagalembaga yang eksis seperti polisi. Orang-orang yang skeptis mengatakan bahwa mengaktifkan lembaga adat akan membuat pelaksanaan hukum tidak jalan.173 Juga ada kecurigaan bahwa argumentasi semacam itu lebih berarti untuk membiarkan para elit tradisional dan aristokratik mendapatkan kembali kekuasaan mereka yang telah hilang 60 tahun lalu dalam periode persis setelah pasca-kemerdekaan, daripada untuk mengatasi konflik.174 Argumentasi yang paling kuat melawan penggunaan adat adalah bahwa hal itu telah dicoba dengan hasil yang kurang meyakinkan. Pada bulan Desember 1998, setelah pecahnya kekerasan pertama antara orang Rongkong dan Baebuntan, para pemimpin masyarakat dari kedua pihak meminta untuk dilakukan upacara perdamaian secara tradisional oleh seluruh dewan adat di istana kerajaan Palopo dan harus diharidi oleh gubernur, komandan militer dan kepala polisi. Namun hal tersebut tidak mencegah kerusuhan yang terjadi secara berturut-turut. Para pemimpin adat mengatakan kepada ICG bahwa perdamaian gagal karena pelanggaran perjanjian yang secara berturutturut yang dilakukan oleh para provokator tidak dihukum oleh penguasa lokal, yang menyebabkan gagalnya perjanjian.175
172
Lihat komentar Baharman Supri, Koordinator Fortal Luwu (LSM lokal) dalam “Tak Perlu Upaya Damai, Utamakan Proses Hukum”, Palopo Pos, 21 Juni 2002. 173 Lihat Koran Tempo, 2 Oktober 2002, di mana kepala faksi TNI/Polri dari DPRD Luwu Utara dan wakil kepala Provinsi Sulawesi Selatan, keduanya mengusulkan bahwa konflik yang berulang kali terjadi adalah lebih karena masalah pelaksanaan hukum dan perlu pendekatan lain. 174 Wawancara ICG dengan aktivis LSM lokal, Oktober 2002. 175 Wawancara ICG dengan anggota dewan adat, Palopo, 26 April 2003. 35
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Pada bulan Februari 2000, komandan militer daerah di bawah Mayjen Agus Wirahadikusumah melancarkan dua operasi yakni Operasi Sipakatau dan Bhakti TNI Sikamasei, yang berupaya untuk mengkombinasikan pelaksanaan hukum dengan adat.176 Tahap pertama merupakan pencarian senjata secara intensif selama dua minggu, diikuti oleh dua bulan kegiatan yang dilaksanakan oleh lembagalembaga adat untuk memperkuat kohesi masyarakat. Tahap terakhir, setiap orang dihimbau untuk tetap harmoni secara sosial menurut adat, tetapi demikian pasukan militer regional ditarik maka konflik langsung terjadi lagi. Pada bulan Maret 2002, penguasa kecamatan dan desa mengusahakan rekonsiliasi adat karena adanya insiden Cappasolo-Padang, tetapi mereka gagal untuk mencegah serangan yang terjadi dua bulan kemudian oleh pihakpihak yang sama. Luthfi yang telah dikritik karena tidak memperkenalkan perdamaian secara tradisional dalam mengatasi konflik, sangat percaya bahwa tidak akan bisa ada perdamaian sebelum ada pelaksanaan hukum yang efektif. “Bagaimana akan bisa ada rekonsiliasi kalau preman yang memimpin serangan masih bebas?”, tanyanya. Dia juga tidak mendukung upacara perdamaian yang dilakukan pemerintah. Malahan dia yakin bahwa hanya bila polisi menahan mereka yang bertanggungjawab atas konflik maka lingkaran serangan balik tidak akan terjadi, dan kemudian membiarkan penduduk desa mengorganisir rekonsiliasi mereka sendiri, dan perjanjian damai tersebut tidak akan ada gunanya.177 Tekanan terhadap pengawasan masyarakat seharusnya tetap ada dalam agenda reformasi polisi. Kemampuan lembaga adat atau hukum untuk menjamin keamanan seharusnya bisa didapatkan secara realistis dengan jalan memberikan informasi yang memadai tentang masalah hukum, dan tidak menyimpang dari prioritas seperti masalah investigasi kejahatan, penahanan dan penghukuman yang sukses.
C.
Page 36
MENGATUR KONFLIK TANAH
Desentralisasi belum menyampaikan masalah seperti konflik yang berhubungan dengan tanah. Dengan memberikan otoritas kepada kabupaten tentang administrasi tanah, Undang-undang No. 22 mungkin tidak bisa membuat solusi kreatif terhadap masalah lokal. Misalnya bupati Luwu Utara percaya bahwa program sertifikasi tanah seluruh kabupaten diperlukan untuk mengatur status penduduk lokal yang dimukimkan kembali, dan migran spontan yang membeli tanah tanpa sertifikat. Dekrit Presiden No. 103/2001 tetap menahan administrasi tanah di bawah kekuasaan pemerintah pusat melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) sampai 31 Mei 2003. Namun sebuah dekrit baru yang dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2003 akhirnya telah menempatkan masalah tanah di bawah kekuasaan bupati. BPN telah mendorong supaya dekrit lama diperpanjang, karena dukungan peraturan dan penerapan peraturan yang diperlukan untuk desentralisasi belum siap.178 BPN menyatakan bahwa ada catatan, keahlian dan bahkan Proyek Agraria Nasionalnya sendiri, yang dikenal sebagai PRONA, untuk mensubsidi sertifikat bagi mereka yang tidak mampu membayar, sehingga tidak ada kebutuhan bagi kabupaten untuk mendirikan kantor tanahnya sendiri. Bupati Luwu Utara menanggapi hal itu, bahwa dalam sepuluh tahun program PRONA belum mencapai 10 persen targetnya, dan bahwa bila pemerintah kabupaten mengatur tanah maka akan ada kepercayaan yang lebih besar.179 Karena kemunduran ini, lebih banyak lagi perselisihan tanah yang muncul sebagai akibat hukum otonomi daerah. Pusat ini mengubah status hak ulayat atau hak mengakses tanah menurut hukum adat, yang memasukkan bidang tanah tandus yang belum dialokasikan, dan daerah hutan yang telah digunakan oleh penduduk lokal untuk mengumpulkan kayu dan sumber hutan lain. Tanah hak ulayat telah
178
176
Ibid. Majalah Suara Hidayatullah Oktober 2000. 177 Wawancara ICG, Maret 2003.
Surat dari kepala BPN, “Penjelasan Mengenai Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang Pertanahan”, Jakarta, 9 Mei 2003. 179 Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, 26 Mei 2003. 36
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
dideklarasikan sebagai tanah negara di bawah Undang-undang Agraria tahun 1960, dan tanah seperti itu dianggap untuk keperluan negara seperti untuk program transmigrasi dan kehutanan/konsesi perkebunan. Undang-undang No. 22 yang memberikan kebebasan pemerintah desa untuk menerapkan hukum adat untuk mengatur manajemen tanah, bisa menyebabkan pertikaian atas status bidang yang luas ini. Hal tersebut sangat bersangkutan dengan Luwu, di mana sebagian besar tanah dikategorisasikan sebagai tanah negara yang telah disetujui oleh kepala desa dan kecamatan untuk dijual kepada para migran. Ketidakpastian karena status legalnya mungkin juga mendorong kejahatan individual untuk menganggap diri mereka sebagai pemimpin adat dan menjual tanah yang diklaim sebagai tanah adat, atau mendorong pembeli untuk bekerjasama dengan pemimpin adat yang asli, sehingga mereka bisa menegaskan bahwa mereka punya kekuasaan untuk memperolehnya. Bupati Luwu Utara percaya bahwa solusi satu-satunya adalah membuat pemetaan tanah dengan berkonsultasi dengan semua pihak yang relevan untuk mencapai persetujuan bersama atas sistem klasifikasi dan kemudian mendidik publik. Namun demikian, hal tersebut lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dalam pertikaian PT Latunrung, pemerintah Luwu Utara telah membentuk suatu komite khusus untuk melihat kasus tersebut dan mengatakan bahwa dokumen perusahaan beres, tetapi tidak dalam posisi yang tepat untuk menilai keaslian mereka. Badan Pertanahan Nasional (BPN) Luwu membuat tanggapan serupa. Penduduk desa kemudian merasa dibenarkan menguasai tanah, yang menyebabkan adanya konfrontasi dengan polisi Kecamatan Malili. Respon bupati adalah bahwa LSM-LSM telah menghasut penduduk desa dan seharusnya mereka justru mendapatkan nasihat hukum.180 Dia merasa bahwa pertikaian tersebut seharusnya dibawa ke pengadilan dan bukan merupakan urusan pemerintah daerah.
180
Wawancara ICG dengan bupati Luwu Utara, 15 Mei 2003.
Page 37
Pertikaian tanah di Battang dan Barammamase membuktikan adanya kekeraskepalaan, karena opini hukum terbagi berdasarkan status tanah adat. Dalam pertikaian yang terjadi belakangan, ada tiga posisi hukum. Yang pertama menyatakan bahwa di bawah Dekrit Presiden No. 32/1979 semua tanah swaprajah berada di bawah kekuasaan negara, dikuatkan oleh raja terakhir Luwu yang menyerahkan kepada pemerintah kabupaten pada tahun 1997. Yang kedua mengakui bahwa tanah yang diklaim oleh pemimpin adat Bulo adalah pribadi dan bahwa raja Luwu tidak berhak menyerahkan. Ketiga, berdasarkan pada pasal hukum sipil, mengakui hak pengguna saat ini.181 Dalam kasus Battang, pemerintah kabupaten telah menolak memperbaharui konsesi PT HBI, tetapi manajemen perusahaan telah berhasil mendapatkan sertifikat tanah dari BPN atas tanah milik penduduk desa yang lari selama pemberontakan Darul Islam, jadi tempat tersebut masih diduduki. Bila hukum tanah itu sendiri sulit untuk dikemudikan, maka ada juga kebingungan besar tentang siapa yang mempunyai kekuasaan terakhir dalam memutuskan masalah tanah. Undang-undang Otonomi Daerah No. 22/1999 memperbolehkan penduduk desa untuk menolak proyek-proyek dari luar bila mereka tidak memberi kontribusi pada masalah kemiskinan telah desa dan penduduknya.182 LSM menggunakan ketetapan ini dalam mengadvokasi hak-hak para petani dan penduduk desa, yang telah meningkatkan jumlah perselisihan yang berhubungan dengan tanah sejak tahun 2001. Salah satu contohnya adalah penolakan penduduk desa Barammamase di Luwu atas rencana kabupaten membuat jalan sirkuit mobil.183 Ketetapan ini juga membuat konsesi yang diberikan oleh lembaga
181
Lihat Palopo Pos, “Teori Hukum Akui Pemkab”, 28 Juni 2002, “Tujuh Tomakaka Dukung Aksi Protes”, 21 Juni 2002 dan “Petani Penggarap Bergolak”, 24 Juni 2002. Pasal 529, disebut artikel bezetter, berhubungan dengan mempunyai sesuatu yang bukan milik seseorang. 182 Undang-undang Otonomi Daerah No. 22, Bab XI, para. 00. 183 Wawancara ICG dengan direktur LSM Wahana, 26 Mei 2003. 37
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
provinsi dan nasional dipertanyakan, dan tidak bisa dibayangkan bahwa usaha untuk ‘membeli’ dewan desa dan pemerintah akan mengadu kelompok propembangunan melawan kelompok anti184 pembangunan di tingkat desa.
Page 38
IX. KESIMPULAN Pengalaman Luwu mengindikasikan bahwa undang-undang otonomi daerah baru bisa meredakan konflik melalui kepemimpinan lokal yang kuat, kebijakan penerapan undang-undang yang efektif, dan manajemen tanah yang lebih baik. Sebaliknya ketakutan yang mungkin memperburuk konflik jenis lama atau memprovokasi konflik baru yang disebabkan karena kompetisi ekonomi dan politik yang meningkat di pemerintahan daerah, pemekaran telah diartikan sebagai lebih banyak transfer fiskal dari pusat dan lebih banyak pekerjaan tersedia karena jumlah pemerintah lokal meningkat. Tetapi ketika desentralisasi tidak selesai, sering bisa menghalangi usaha terbaik pemerintah lokal. Ini khususnya benar sehubungan dengan polisi nasional dan lembaga sektoral seperti Badan Pertanahan Nasional, di mana kepercayaan terhadap pemerintah lokal dipertanyakan. Proses yang berhubungan dengan pengadilan juga tak terjangkau oleh undang-undang desentralisasi saat ini, walaupun perannya krusial dalam resolusi dan pencegahan konflik. Undangundang tanah harus lebih mudah dikemudikan, dan harus ada kepercayaan yang lebih besar dalam proses pengadilan yang lebih baik, supaya penduduk desa terus mencari solusi ekstrahukum. Adanya lebih banyak sumber bagi pengawasan di tingkat kabupaten jelas akan membantu, tetapi hal ini harus diikuti dengan pembaharuan undang-undang secara luas (dan pengonsepan kembali undang-undang yang dibuat secara buruk) untuk membantu pemerintah daerah dalam melakukan pelayanan yang lebih baik. Supaya desentralisasi penguasa Indonesia peraturan yang ada pembaharuan nasional bidang kunci.
184
Ibid.
bisa meredakan konflik, perlu menyempurnakan dan mengkoordinasikan yang terkait dalam empat
Kekuasaan Daerah vs. Jakarta. Menteri Dalam Negeri telah mengindikasikan bahwa Undangundang No. 22/1999 dan 25/1999 serta pelaksanaan peraturan yang terkait mungkin 38
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
perlu direvisi, tetapi mereka masih belum jelas dalam hal obyek, cakupan dan mungkin juga arah perubahannya. Semua undang-undang yang mempengaruhi daerah harus diajukan, diperdebatkan dan disampaikan dalam proses terbuka yang melibatkan daerah tersebut, dan lebih baik melalui Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan DPD setelah pemilu tahun 2004 mungkin memperbaiki ketidakseimbangan antara Jakarta dan daerah, tetapi isyaratnya tidak baik. Kekuasaan DPD seperti yang dipertimbangkan dalam rancangan undang-undang termasuk pengajuan rancangan undang-undang kepada DPR yang berhubungan dengan otonomi daerah, pemecahan dan penggabungan daerah, manajemen sumber alam dan sumber-sumber ekonomi lain, dan rancangan undang-undang yang berhubungan dengan keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah sedang menunggu persetujuan presiden. DPD juga akan berpartisipasi dalam diskusi tentang rancangan undang-undang ini. Undang-undang yang disampaikan kepada presiden oleh DPR membuat DPD kurang berkuasa dibandingkan lembaga tersebut, sehingga mereka akan dilibatkan hanya pada taraf awal diskusi peraturan yang berhubungan dengan daerah, tanpa kekuasaan atau veto terhadap keputusan DPR. Ini tidak menguntungkan karena banyak masalah yang dihadapi di daerah yang merefleksikan kekurangan mereka dalam tawar-menawar kekuasaan secara kolektif untuk mengikutsertakan pemerintah dalam menentukan undang-undang atau kebijakan daerah. Pemerintah pusat seharusnya membatalkan semua arah yang menghambat pemerintah daerah dalam melaksanaan kekuasaan mereka secara penuh, khususnya dalam hal manajemen tanah dan masalah-masalah desa. Pemerintah desa bisa memutuskan yang paling baik tentang bagaimana mengatur kepemilikan tanah secara ekstrahukum, dan menentukan status negara seperti menentang tanah adat. Demikian juga pemerintah desa yang responsif terhadap kebutuhan lokal dan memformulasikan strategi pembangunan mereka sendiri bisa mencegah ketegangan dan konflik secara lebih baik daripada cara pemerintah desa standar yang
Page 39
ditentukan di Jakarta. Keputusan Menteri No. 64/1999 harus dibatalkan. Pemerintah pusat seharusnya juga menahan diri dalam mendapatkan redistribusi penghasilan dengan cara mentarget langsung penghasilan lokal (mis. Undang-undang No. 34/2000). Tidak hanya karena tidak efektif, tetapi juga berarti mencabut sumber penghasilan lokal utama mereka, menaikkan semua kemungkinan untuk mengutip lebih banyak ‘pajak gangguan’ untuk memperbaiki defisit. Redistribusi penghasilan paling baik dipengaruhi melalui Penyamaan Dana (Equalisation Fund) – dan khususnya DAU (Dana Alokasi Umum). Pemerintah pusat seharusnya berfokus pada mendapatkan keseimbangan dari Equalisation Fund mereka yang merupakan sumber yang menyolok seperti yang terjadi sekarang, di mana kawasan terkaya juga mendapat DAU tertinggi. Pengawasan. Pengawasan efektif merupakan garis pertahanan pertama dalam konflik internal, tetapi dengan adanya lebih banyak polisi belum tentu berarti pengawasan menjadi lebih baik. Polisi harus dilihat sebagai orang yang netral, kompeten dan terpercaya bila ada orang yang diperlakukan tidak berdasarkan hukum. Mereka juga harus mengadaptasi kondisi lokal. Untuk mendapatkan kepercayaan dari penduduk lokal, polisi perlu meningkatkan kapasitas investigasi intel dan kriminal di tingkat kabupaten, sehingga mereka bisa mencegah konflik dan meningkatkan pertahanan kalau ada kerusuhan. Juga harus ada lebih banyak personel dan sumber daya bagi polisi kecamatan, khususnya di area yang rawan konflik. Sebagai balasan karena adanya dukungan anggaran lokal, polisi kabupaten perlu memberikan laporan yang dapat dipercaya kepada dewan kabupaten yang menjelaskan tentang bagaimana uang tersebut telah digunakan dan apa yang telah dicapai. Membuat adanya seorang ombudsman daerah yang akan bekerja dengan dewan kabupaten untuk mengawasi polisi lokal dan menerapkan sanksi terhadap tindakan tidak profesional, tidak kompetan atau tindakan kriminal, juga bisa menjadi ukuran penting dalam pembinaan kepercayaan.
39
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Polisi dan masyarakat Luwu harus mengakui adanya kultur gang yang sungguh berbahaya dan tidak menganggap hanya sebagai kenakalan remaja. Sudah ada indikasi yang mengkhawatirkan bahwa gang-gang tersebut bukanlah gang spontan seperti yang biasa dipercaya, dan bahwa ada orang yang membayar yang menggunakan kultur gang anak muda sebagai dalih agenda lain, seperti mengganggu atau menyingkirkan masyarakat untuk ‘menyelesaikan’ pertikaian tanah. Dengan menanggapi kondisi lokal seperti dalam contoh ini, bisa dimasukkan pelatihan pejabat polisi yang menjadi penghubung dengan masyarakat, yang akan berupaya mereformasi anggota gang dan mengumpulkan informasi tentang aktivitas gang. Proses Legal. Perusakan kehidupan dan properti merupakan kejahatan serius yang harus direfleksikan dalam tuntutan dan hukuman. Dengan adanya peningkatan jumlah kasus pertikaian tanah sebagai akibat otonomi daerah dan otonomi desa pada khususnya, penduduk desa akan memerlukan bantuan hukum lebih besar dalam menekankan klaim mereka terhadap pemerintah lokal atau perusahaan swasta. Dengan hanya menggantungkan pada kelompok advokasi LSM mungkin akan mengakibatkan tindakan ekstra hukum yang bisa memperburuk konflik. Pemerintah lokal seharusnya menyediakan bantuan hukum kepada penduduk desa dalam masalah pertikaian tanah, dan tidak hanya mengharapkan bahwa mereka mempunyai akses ke pengadilan. Bantuan hukum LSM mungkin merupakan sebuah jawaban. Untuk membuat optimis sumber dan pengalaman hukum, disarankan bagi pengacara bantuan hukum untuk mempunyai spesialisasi dalam kasus pertikaian tanah di Luwu dan menjadi ‘ahli’ isu tanah lokal.
Page 40
Dengan adanya ketidakmenentuan di sekitar status tanah adat dan tidak mampunya pengadilan Indonesia secara umum, pemerintah daerah dan pemimpin masyarakat seharusnya mendorong lebih banyak penyelesaian di luar hukum, sejauh ada imbalan yang adil dan sejauh penyelesaian tersebut diakui. Mekanisme yang cocok terhadap kondisi lokal perlu diadopsi, sehingga perjanjianperjanjian tersebut mengikat. Hal ini mungkin melibatkan para pemimpin masyarakat dan pemimpin adat sebagai saksi dalam pertikaian tanah di antara individu, untuk mencegah tantangan di tahun-tahun mendatang seperti yang telah terjadi di masa lalu. Hal ini mungkin menjadi cara yang kurang mengarah ke konflik dalam berurusan dengan pertikaian tanah dibandingkan pendekatan hukum yang menekankan pada hak pihak yang dirugikan. Pemekaran. Tidak semua daerah yang memisahkan diri dimotivasi oleh keinginan untuk tetap memegang sumber alam lokal yang tidak ingin mereka bagi dengan daerah yang lebih luas. Tetapi bahkan pemisahan yang damai bisa menyebabkan ketegangan, dan seharusnya dicegah dengan perjanjian pembagian hasil. Pemerintah pusat bisa mengurangi beban proses pemekaran dengan tidak meminta daerah tuan rumah mendukung daerah baru dalam semua kasus, meresmikan perjanjian pembagian hasil antara kedua daerah selama transisi, dan memberlakukan sanksi bila mereka melanggarnya. Secara alternatif pemerintah pusat seharusnya menentukan moratorium pemekaran terbatas sampai daerah tuan rumah betul-betul mapan dan dalam posisi lebih baik untuk mendukung daerah yang memisahkan diri.
Bantuan hukum LSM dan pemerintah daerah seharusnya menyediakan nasihat paralegal di tingkat desa atau kecamatan tentang status klaim tanah, sebelum penduduk desa pergi ke pengacara. Advokasi LSM yang bekerja di tingkat desa bisa mengontak paralegal yang dilatih dalam hal isu tanah untuk menasihati penduduk desa sebelum mengambil tindakan lebih lanjut.
40
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 41
Lebih baik kriteria pemekaran diteliti kembali dan diketatkan dengan lebih mementingkan kelangsungan hidup ekonomi dari kedua daerah, baik daerah tuan rumah maupun daerah yang memisahkan diri, juga mempertimbangkan masalah keamanan. Alternatif tersebut akan merupakan disolusi dan reintegrasi daerah yang memisahkan diri dengan bekas tuan rumah mereka selama lima tahun ke depan – kerangka waktu di mana daerah baru telah menunjukkan kelangsungan hidup mereka. Lebih baik pemerintah pusat menunda masalah pembentukan daerah dan menghindarkan ketegangan masalah fiskal sampai ekonomi Indonesia yang runyam menjadi lebih baik. Setelah itu kemudian baru berfokus untuk membantu kabupaten dan kecamatan yang ada sekarang, sambil menilai Undang-undang No. 22/1999 dan 25/1999 dengan suatu pandangan yang bertujuan melicinkan ketidak-konsistenan serta memberikan lebih banyak penerapan pedoman dan peraturan yang lebih rinci.
Jakarta/Brussels, 18 Juli 2003
41
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
LAMPIRAN A PETA LUWU
Page 42
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 43
LAMPIRAN B DAFTAR ISTILAH INDONESIA TERMS DAN AKRONIM
adat:
custom, tradition
APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah): regional budget bezetter article:
article 529 of the civil code relating to possession of an object that one does not own.
BPN (Badan Pertanahan Nasional):
National Land Affairs Agency
budaya:
culture
bupati:
district head
camat:
sub-district chief
daerah:
region
DAU (Dana Alokasi Umum):
general allocation funds
DAK (Dana Alokasi Khusus):
special allocation funds
datu’:
a traditional title for a local ruler
desa:
village
DPD (Dewan Pimpinan Daerah):
Council of Regional Representatives
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat):
House of People’s Representatives
DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah):
Regional Legislative Council
DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah): Regional Autonomy Review Commission dusun:
sub-unit of a village.
FKAUB (Forum Komunikasi Antar Umat Beragama):
Inter-Faith Communication Forum
hak ulayat:
the right of access to land under customary (adat) law
hukum adat:
customary law
jaringan pengamanan sosial:
social safety network
kabupaten:
district (sometimes called regency)
kasi bimas kristen protestan:
division head, public guidance division for christian (protestant)
kedatuan:
small kingdom, akin to a sultanate
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
kepala kepolisian negara RI:
chief of national police
Kepmen (Keputusan Menteri):
Ministerial Decision
kotamadya:
municipality, equivalent to a district
Menteri Dalam Negeri:
Minister of Home Affairs
otonomi daerah:
regional autonomy
papporo:
a homemade gun
pemekaran:
process of administrative fragmentation
pemberontakan:
rebellion
penilaian:
assessment
Peraturan Pemerintah RI:
Indonesian Government Regulation
persyaratan:
Page 44
conditions
PRONA:
national agrarian project
rusuh/kerusuhan:
riot, unrest
swadaya:
self-supporting
unjuk rasa:
demonstration
walikota:
mayor
44
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 45
LAMPIRAN C TENTANG INTERNATIONAL CRISIS GROUP
The International Crisis Group (ICG) adalah suatu organisasi independen, nir-laba, dan multinasional, yang mempunyai 90 anggota di lima benua, bekerja berdasarkan analisis lapangan dan advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik yang mengakibatkan kematian. Pendekatan ICG berdasarkan pada penelitian lapangan. Tim analis politik ditempatkan di dalam atau dekat dengan negara-negara yang berisiko mengalami kerusuhan, eskalasi atau kambuh dalam konflik kekerasan. Berdasarkan pada informasi dan taksiran dari lapangan, ICG mengeluarkan laporan analitis yang berisi rekomendasi praktis yang bertarget pada kunci pengambil keputusan skala internasional. Laporan-laporan ICG beserta makalah-makalah briefingnya didistribusikan secara luas melalui email dan kopi yang dicetak kepada para pejabat di kementerian luar negeri serta organisasi internasional, dan secara umum serta pada waktu yang bersamaan tersedia melalui Internet ICG yakni www.crisisweb.org. ICG bekerja sama erat dengan pemerintah dan mereka yang mempengaruhi pemerintah, termasuk media, untuk menyoroti analisa krisisnya dan untuk mengumpulkan dukungan bagi resep kebijakannya. Lembaga ICG – yang terdiri dari tokoh-tokoh terkenal di bidang politik, diplomasi, bisnis dan media – terlibat langsung dalam membantu membawa laporan serta rekomendasi ICG untuk mendapatkan perhatian dari pembuat kebijakan senior di seluruh dunia. ICG telah diketuai oleh bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisari; dan Presiden ICG serta Ketua eksekutifnya sejak Januari 2000 adalah bekas Menlu Australia, Gareth Evans.
DC, New York serta Paris, serta sebuah kantor penghubung media di London. Saat ini, organisasi ICG beroperasi di sebelas kantor cabang (di Amman, Beograd, Bogota, Islamabad, Jakarta, Nairobi, Osh, Pristina, Sarajevo, Sierra Leone dan Skopje), dengan para analis yang bekerja di lebih dari 30 negara yang mempunyai krisis serta wilayah di seluruh empat benua. Di Afrika, seluruh negara termasuk Burrundi, Rwanda, Republik Demokrasi Kongo, Sierra Leone-Liberia-Guinea, Somalia, Sudan serta Zimbabwe; di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Uzbekistan, Pakistan, Afganistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Kosovo, Mesedonia, Montenegro serta Serbia; di Timur Tengah, seluruh wilayah dari Afrika Utara sampai Iran, dan di Amerika Latin, Kolombia. ICG mendapatkan dana dari pemerintahpemerintah, yayasan karitas, perusahaan serta donor individu. Pemerintah berikut inilah yang saat ini memberikan bantuan dana: Australia, Austria, Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss dan Taiwan, Turki, Inggris serta Amerika Serikat. Pedonor ICG serta sektor swasta termasuk Atlantic Philanthropies, Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation Inc., John D. & Catherine T. MacArthur Foundation, John Merck Fund, Charles Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Ruben & Elisabeth Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish Community Endowment Fund and the United States Institute of Peace.
Kantor pusat internasional ICG terletak di Brussel, dengan kantor-kantor advokasi di Washington
Further information about ICG can be obtained from our website: www.crisisweb.org
Juli 2003
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 46
46
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 47
LAMPIRAN D LAPORAN DAN URIAN ICG
AFRIKA ALGERIA∗∗ The Algerian Crisis: Not Over Yet, Africa Report N°24, 20 Oktober 2000 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) The Civil Concord: A Peace Initiative Wasted, Africa Report N°31, 9 Juli 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Algeria’s Economy: A Vicious Circle of Oil and Violence, Africa Report N°36, 26 Oktober 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) ANGOLA Dealing with Savimbi’s Ghost: The Security and Humanitarian Challenges in Angola, Africa Report N°58, 26 Februari 2003 Angola’s Choice: Reform Or Regress, Africa Report N°61, 7 April 2003 BURUNDI The Mandela Effect: Evaluation and Perspectives of the Peace Process in Burundi, Africa Report N°21, 18 April 2000 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Unblocking Burundi’s Peace Process: Political Parties, Political Prisoners, and Freedom of the Press, Africa Briefing, 22 Juni 2000 Burundi: The Issues at Stake. Political Parties, Freedom of the Press and Political Prisoners, Africa Report N°23, 12 Juli 2000 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Burundi Peace Process: Tough Challenges Ahead, Africa Briefing, 27 Agustus 2000
∗
Dikeluarkan sejak Januari 2000. Proyek Algeria tersebut dipindahkan ke Program Timur Tengah dan Afrika Utara pada bulan Januari 2002. ∗∗
Burundi: Neither War, nor Peace, Africa Report N°25, 1 Desember 2000 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Burundi: Breaking the Deadlock, The Urgent Need for a New Negotiating Framework, Africa Report N°29, 14 Mei 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Burundi: 100 Days to put the Peace Process back on Track, Africa Report N°33, 14 Agustus 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Burundi: After Six Months of Transition: Continuing the War or Winning the Peace, Africa Report N°46, 24 Mei 2002 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) The Burundi Rebellion and the Ceasefire Negotiations, Africa Briefing, 6 Agustus 2002 A Framework For Responsible Aid To Burundi, Africa Report N°57, 21 Februari 2003 REPUBLIK DEMOKRATIK KONGO Scramble for the Congo: Anatomy of an Ugly War, Africa Report N°26, 20 Desember 2000 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) From Kabila to Kabila: Prospects for Peace in the Congo, Africa Report N°27, 16 Maret 2001 Disarmament in the Congo: Investing in Conflict Prevention, Africa Briefing, 12 Juni 2001 The Inter-Congolese Dialogue: Political Negotiation or Game of Bluff? Africa Report N°37, 16 November 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Disarmament in the Congo: Jump-Starting DDRRR to Prevent Further War, Africa Report N°38, 14 Desember 2001 Storm Clouds Over Sun City: The Urgent Need To Recast The Congolese Peace Process, Africa Report N°38, 14 May 2002 (also available in French) The Kivus: The Forgotten Crucible of the Congo Conflict, Africa Report N°56, 24 Januari 2003 Rwandan Hutu Rebels in the Congo: a New Approach to Disarmament and Reintegration. Africa Report N°63, 23 Mei 2003
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Congo Crisis: Military Intervention in Ituri, Africa Report N°64, 13 Juni 2003 RWANDA Uganda and Rwanda: Friends or Enemies? Africa Report N°15, 4 Mei 2000 International Criminal Tribunal for Rwanda: Justice Delayed, Africa Report N°30, 7 Juni 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) “Consensual Democracy” in Post Genocide Rwanda: Evaluating the March 2001 District Elections, Africa Report N°34, 9 Oktober 2001 Rwanda/Uganda: a Dangerous War of Nerves, Africa Briefing, 21 Desember 2001 The International Criminal Tribunal for Rwanda: The Countdown, Africa Report N°50, 1 Agustus 2002 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) Rwanda At The End of the Transition: A Necessary Political Liberalisation, Africa Report N°53, 13 November 2002 (juga tersedia dalam bahasa Perancis) SOMALIA Somalia: Countering Terrorism in a Failed State, Africa Report N°45, 23 Mei 2002 Salvaging Somalia’s Chance For Peace, Africa Briefing, 9 Desember 2002 Negotiating a Blueprint for Peace in Somalia, Africa Report N°59, 6 Maret 2003 SUDAN God, Oil & Country: Changing the Logic of War in Sudan, Africa Report N°39, 28 Januari 2002 Capturing the Moment: Sudan's Peace Process in the Balance, Africa Report N°42, 3 April 2002 Dialogue or Destruction? Organising for Peace as the War in Sudan Escalates, Africa Report N°48, 27 Juni 2002 Sudan’s Best Chance For Peace: How Not To Lose It, Africa Report N°51, 17 September 2002 Ending Starvation as a Weapon of War in Sudan, Africa Report N°54, 14 November 2002 Power and Wealth Sharing: Make or Break Time in Sudan’s Peace Process, Africa Report N°55, 18 Desember 2002
Page 48
Sudan’s Oilfields Burn Again: Brinkmanship Endangers The Peace Process, Africa Briefing, 10 February 2003 Sudan’s Other Wars, Africa Briefing, 25 Juni 2003 Sudan Endgame Africa Report N°65, 7 Juli 2003 AFRIKA BARAT Sierra Leone: Time for a New Military and Political Strategy, Africa Report N°28, 11 April 2001 Sierra Leone: Managing Uncertainty, Africa Report N°35, 24 Oktober 2001 Sierra Leone: Ripe For Elections? Africa Briefing, 19 December 2001 Liberia: The Key to Ending Regional Instability, Africa Report N°43, 24 April 2002 Sierra Leone After Elections: Politics as Usual? Africa Report N°49, 12 Juli 2002 Liberia: Unravelling, Africa Briefing, 19 Agustus 2002 Sierra Leone’s Truth and Reconciliation Commission: A Fresh Start?, Africa Briefing, 20 Desember 2002 Tackling Liberia: The Eye of the Regional Storm, Africa Report, 30 April 2003 ZIMBABWE Zimbabwe: At the Crossroads, Africa Report N°22, 10 Juli 2000 Zimbabwe: Three Months after the Elections, Africa Briefing, 25 September 2000 Zimbabwe in Crisis: Finding a way Forward, Africa Report N°32, 13 Juli 2001 Zimbabwe: Time for International Action, Africa Briefing, 12 Oktober 2001 Zimbabwe’s Election: The Stakes for Southern Africa, Africa Briefing, 11 Januari 2002 All Bark and No Bite: The International Response to Zimbabwe’s Crisis, Africa Report N°40, 25 Januari 2002 Zimbabwe at the Crossroads: Transition or Conflict? Africa Report N°41, 22 Maret 2002 Zimbabwe: What Next? Africa Report N° 47, 14 Juni 2002
48
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Zimbabwe: The Politics of National Liberation and International Division, Africa Report N°52, 17 Oktober 2002 Zimbabwe: Danger and Opportunity, Africa Report N°60, 10 Maret 2003 Decision Time in Zimbabwe Africa Briefing, 8 Juli 2003 ASIA AFGHANISTAN/ASIA SELATAN Afghanistan and Central Asia: Priorities for Reconstruction and Development, Asia Report N°26, 27 November 2001 Pakistan: The Dangers of Conventional Wisdom, Pakistan Briefing, 12 Maret 2002 Securing Afghanistan: The Need for More International Action, Afghanistan Briefing, 15 Maret 2002 The Loya Jirga: One Small Step Forward? Afghanistan & Pakistan Briefing, 16 Mei 2002 Kashmir: Confrontation and Miscalculation, Asia Report N°35, 11 Juli 2002 Pakistan: Madrasas, Extremism and the Military, Asia Report N°36, 29 Juli 2002 The Afghan Transitional Administration: Prospects and Perils, Afghanistan Briefing, 30 Juli 2002 Pakistan: Transition to Democracy?, Asia Report N°40, 3 October 2002 Kashmir: The View From Srinagar, Asia Report N°41, 21 November 2002 Afghanistan: Judicial Reform and Transitional Justice, Asia Report N°45, 28 Januari 2003 Afghanistan: Women and Reconstruction, Asia Report N°48. 14 Maret 2003 Pakistan: The Mullahs and the Military, Asia Report N°49, 20 Maret 2003 Nepal Backgrounder: Ceasefire – Soft Landing or Strategic Pause?, Asia Report N°50, 10 April 2003 Afghanistan’s Flawed Constitutional Process. Asia Report N°56, 12 Juni 2003
Page 49
Nepal: Obstacles to Peace Asia Report N°57, 17 Juni 2003 KAMBODIA Cambodia: The Elusive Peace Dividend, Asia Report N°8, 11 Agustus 2000 ASIA TENGAH Central Asia: Crisis Conditions in Three States, Asia Report N°7, 7 Agustus 2000 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Recent Violence in Central Asia: Causes and Consequences, Central Asia Briefing, 18 Oktober 2000 Islamist Mobilisation and Regional Security, Asia Report N°14, 1 Maret 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Incubators of Conflict: Central Asia’s Localised Poverty and Social Unrest, Asia Report N°16, 8 Juni 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Central Asia: Fault Lines in the New Security Map, Asia Report N°20, 4 Juli 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Uzbekistan at Ten – Repression and Instability, Asia Report N°21, 21 Agustus 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Kyrgyzstan at Ten: Trouble in the “Island of Democracy”, Asia Report N°22, 28 Agustus 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Central Asian Perspectives on the 11 September and the Afghan Crisis, Central Asia Briefing, 28 September 2001 (juga tersedia dalam bahasa Perancis dan Rusia) Central Asia: Drugs and Conflict, Asia Report N°25, 26 November 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Afghanistan and Central Asia: Priorities for Reconstruction and Development, Asia Report N°26, 27 November 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Tajikistan: An Uncertain Peace, Asia Report N°30, 24 Desember 2001 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) The IMU and the Hizb-ut-Tahrir: Implications of the Afghanistan Campaign, Central Asia Briefing, 30 Januari 2002 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) 49
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Central Asia: Border Disputes and Conflict Potential, Asia Report N°33, 4 April 2002 Central Asia: Water and Conflict, Asia Report N°34, 30 Mei 2002 Kyrgyzstan’s Political Crisis: An Exit Strategy, Asia Report N°37, 20 August 2002 The OSCE in Central Asia: A New Strategy, Asia Report N°38, 11 September 2002 Central Asia: The Politics of Police Reform, Asia Report N°42, 10 Desember 2002 Cracks in the Marble: Turkmenistan’s Failing Dictatorship, Asia Report N°44, 17 Januari 2003 Uzbekistan’s Reform Program: Illusion or Reality?, Asia Report N°46, 18 Februari 2003 (juga tersedia dalam bahasa Rusia) Tajikistan: A Roadmap for Development, Asia Report N°51, 24 April 2003 Central Asia: A Last Chance for Change, Asia Briefing Paper, 29 April 2003 Radical Islam in Central Asia: Responding to Hizb ut-Tahrir Asia Report N°58, 30 Juni 2003 Central Asia: Islam and the State Asia Report N°59, 10 Juli 2003 INDONESIA Indonesia’s Crisis: Chronic but not Acute, Asia Report N°6, 31 Mei 2000 Indonesia’s Maluku Crisis: The Issues, Indonesia Briefing, 19 Juli 2000 Indonesia: Keeping the Military Under Control, Asia Report N°9, 5 September 2000 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Aceh: Escalating Tension, Indonesia Briefing, 7 Desember 2000 Indonesia: Overcoming Murder and Chaos in Maluku, Asia Report N°10, 19 Desember 2000 Indonesia: Impunity Versus Accountability for Gross Human Rights Violations, Asia Report N°12, 2 Februari 2001 Indonesia: National Police Reform, Asia Report N°13, 20 Februari 2001 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Indonesia's Presidential Crisis, Indonesia Briefing, 21 Februari 2001 Bad Debt: The Politics of Financial Reform in Indonesia, Asia Report N°15, 13 Maret 2001
Page 50
Indonesia’s Presidential Crisis: The Second Round, Indonesia Briefing, 21 Mei 2001 Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, Asia Report N°17, 12 Juni 2001 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Aceh: Can Autonomy Stem the Conflict? Asia Report N°18, 27 Juni 2001 Communal Violence in Indonesia: Lessons from Kalimantan, Asia Report N°19, 27 Junei2001 Indonesian-U.S. Military Ties, Indonesia Briefing, 18 Juli 2001 The Megawati Presidency, Indonesia Briefing, 10 September 2001 Indonesia: Ending Repression in Irian Jaya, Asia Report N°23, 20 September 2001 Indonesia: Violence and Radical Muslims, Indonesia Briefing, 10 Oktober 2001 Indonesia: Next Steps in Military Reform, Asia Report N°24, 11 October 2001 Indonesia: Natural Resources and Law Enforcement, Asia Report N°29, 20 Desember 2001 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Indonesia: The Search for Peace in Maluku, Asia Report N°31, 8 Februari 2002 Aceh: Slim Chance for Peace, Indonesia Briefing, 27 Maret 2002 Indonesia: The Implications of the Timor Trials, Indonesia Briefing, 8 Mei 2002 Resuming U.S.-Indonesia Military Ties, Indonesia Briefing, 21 Mei 2002 Al-Qaeda in Southeast Asia: The case of the “Ngruki Network” in Indonesia, Indonesia Briefing, 8 Agustus 2002 Indonesia: Resources And Conflict In Papua, Asia Report N°39, 13 September 2002 Tensions on Flores: Local Symptoms of National Problems, Indonesia Briefing, 10 Oktober 2002 Impact of the Bali Bombings, Indonesia Briefing, 24 Oktober 2002 Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates, Asia Report N°43, 11 Desember 2002 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Aceh: A Fragile Peace, Asia Report N°47, 27 Februari 2003 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) 50
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Dividing Papua: How Not To Do It, Asia Briefing Paper, 9 April 2003 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) Aceh: Why The Military Option Still Won’t Work Indonesia Briefing Paper, 9 Mei 2003 (juga tersedia dalam bahasa Indonesia) MYANMAR Burma/Myanmar: How Strong is the Military Regime? Asia Report N°11, 21 Desember 2000 Myanmar: The Role of Civil Society, Asia Report N°27, 6 Desember 2001 Myanmar: The Military Regime’s View of the World, Asia Report N°28, 7 Desember 2001 Myanmar: The Politics of Humanitarian Aid, Asia Report N°32, 2 April 2002 Myanmar: The HIV/AIDS Crisis, Myanmar Briefing, 2 April 2002 Myanmar: The Future of the Armed Forces, Asia Briefing, 27 September 2002 Myanmar Backgrounder: Ethnic Minority Politics, Asia Report N°52, 7 Mei 2003 TAIWAN STRAIT Taiwan Strait I: What’s Left of ‘One China’? Asia Report N°53, 6 Juni 2003 Taiwan Strait II: The Risk of War, Asia Report N°54, 6 Juni 2003 Taiwan Strait III: The Chance of Peace, Asia Report N°55, 6 Juni 2003 EROPA ALBANIA Albania: State of the Nation, Balkans Report N°87, 1 Maret 2000 Albania’s Local Elections, A test of Stability and Democracy, Balkans Briefing, 25 Agustus 2000 Albania: The State of the Nation 2001, Balkans Report Nº111, 25 Mei 2001 Albania’s Parliamentary Elections 2001, Balkans Briefing, 23 Agustus 2001 Albania: State of the Nation 2003, Balkans Report N°140, 11 Maret 2003 BOSNIA Denied Justice: Individuals Lost in a Legal Maze, Balkans Report N°86, 23 Februari 2000
Page 51
European Vs. Bosnian Human Rights Standards, Handbook Overview, 14 April 2000 Reunifying Mostar: Opportunities for Progress, Balkans Report N°90, 19 April 2000 Bosnia’s Municipal Elections 2000: Winners and Losers, Balkans Report N°91, 28 April 2000 Bosnia’s Refugee Logjam Breaks: Is the International Community Ready? Balkans Report N°95, 31 Mei 2000 War Criminals in Bosnia’s Republika Srpska, Balkans Report N°103, 2 November 2000 Bosnia’s November Elections: Dayton Stumbles, Balkans Report N°104, 18 Desember 2000 Turning Strife to Advantage: A Blueprint to Integrate the Croats in Bosnia and Herzegovina, Balkans Report N°106, 15 Maret 2001 No Early Exit: NATO’s Continuing Challenge in Bosnia, Balkans Report N°110, 22 Mei 2001 Bosnia's Precarious Economy: Still Not Open For Business; Balkans Report N°115, 7 Agustus 2001 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) The Wages of Sin: Confronting Bosnia’s Republika Srpska, Balkans Report N°118, 8 Oktober 2001 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) Bosnia: Reshaping the International Machinery, Balkans Report N°121, 29 November 2001 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) Courting Disaster: The Misrule of Law in Bosnia & Herzegovina, Balkans Report N°127, 26 Maret 2002 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) Implementing Equality: The "Constituent Peoples" Decision in Bosnia & Herzegovina, Balkans Report N°128, 16 April 2002 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) Policing the Police in Bosnia: A Further Reform Agenda, Balkans Report N°130, 10 Mei 2002 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) Bosnia's Alliance for (Smallish) Change, Balkans Report N°132, 2 Agustus 2002 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) The Continuing Challenge Of Refugee Return In Bosnia & Herzegovina, Balkans Report N°137, 13 Desember 2002 (juga tersedia dalam bahasa Bosnia) 51
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Bosnia’s BRCKO: Getting In, Getting On And Getting Out, Balkans Report N°144, 2 Juni 2003 KROASIA Facing Up to War Crimes, Balkans Briefing, 16 Oktober 2001 A Half-Hearted Welcome: Refugee Return to Croatia, Balkans Report N°138, 13 Desember 2002 (juga tersedia dalam bahasa Serbo-Croat) KOSOVO Kosovo Albanians in Serbian Prisons: Kosovo’s Unfinished Business, Balkans Report N°85, 26 Januari 2000 What Happened to the KLA? Balkans Report N°88, 3 Maret 2000 Kosovo’s Linchpin: Overcoming Division in Mitrovica, Balkans Report N°96, 31 Mei 2000 Reality Demands: Documenting Violations of International Humanitarian Law in Kosovo 1999, Balkans Report, 27 Juni 2000 Elections in Kosovo: Moving Toward Democracy? Balkans Report N°97, 7 Juli 2000 Kosovo Report Card, Balkans Report N°100, 28 Agustus 2000 Reaction in Kosovo to Kostunica’s Victory, Balkans Briefing, 10 Oktober 2000 Religion in Kosovo, Balkans Report N°105, 31 Januari 2001 Kosovo: Landmark Election, Balkans Report N°120, 21 November 2001 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan Serbo-Croat) Kosovo: A Strategy for Economic Development, Balkans Report N°123, 19 Desember 2001 (juga tersedia dalam bahasa Serbo-Croat) A Kosovo Roadmap: I. Addressing Final Status, Balkans Report N°124, 28 Februari 2002 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan Serbo-Croat) A Kosovo Roadmap: II. Internal Benchmarks, Balkans Report N°125, 1 Maret 2002 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan Serbo-Croat) UNMIK’s Kosovo Albatross: Tackling Division in Mitrovica, Balkans Report N°131, 3 Juni 2002 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan SerboCroat) Finding the Balance: The Scales of Justice in Kosovo, Balkans Report N°134, 12 September 2002
Page 52
Return to Uncertainty: Kosovo’s Internally Displaced and The Return Process, Balkans Report N°139, 13 Desember 2002 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan Serbo-Croat) Kosovo’s Ethnic Dilemma: The Need for a Civic Contract ICG Balkans Report N°143, 28 Mei 2003 (juga tersedia dalam bahasa Albania dan Serbo-Croat) MASEDONIA Macedonia’s Ethnic Albanians: Bridging the Gulf, Balkans Report N°98, 2 Agustus 2000 Macedonia Government Expects Setback in Local Elections, Balkans Briefing, 4 September 2000 The Macedonian Question: Reform or Rebellion, Balkans Report N°109, 5 April 2001 Macedonia: The Last Chance for Peace, Balkans Report N°113, 20 Juni 2001 Macedonia: Still Sliding, Balkans Briefing, 27 July 2001 Macedonia: War on Hold, Balkans Briefing, 15 Agustus 2001 Macedonia: Filling the Security Vacuum, Balkans Briefing, 8 September 2001 Macedonia’s Name: Why the Dispute Matters and How to Resolve It, Balkans Report N°122, 10 Desember 2001 (juga tersedia dalam bahasa Serbo-Croat) Macedonia’s Public Secret: How Corruption Drags The Country Down, Balkans Report N°133, 14 Agustus 2002 (juga tersedia dalam bahasa Masedonia) Moving Macedonia Toward Self-Sufficiency: A New Security Approach for NATO and the EU, Balkans Report N°135, 15 November 2002 (juga tersedia dalam bahasa Masedonia) MONTENEGRO Montenegro: In the Shadow of the Volcano, Balkans Report N°89, 21 Maret 2000 Montenegro’s Socialist People’s Party: A Loyal Opposition? Balkans Report N°92, 28 April 2000 Montenegro’s Local Elections: Testing the National Temperature, Background Briefing, 26 Mei 2000 Montenegro: Which way Next? Balkans Briefing, 30 November 2000 52
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Montenegro: Settling for Independence? Balkans Report N°107, 28 Maret 2001 Montenegro: Time to Decide, a Pre-Election Briefing, Balkans Briefing, 18 April 2001 Montenegro: Resolving the Independence Deadlock, Balkans Report N°114, 1 Agustus 2001 Still Buying Time: Montenegro, Serbia and the European Union, Balkans Report N°129, 7 Mei 2002 (juga tersedia dalam bahasa Serbia) A Marriage of Inconvenience: Montenegro 2003, Balkans Report N°142, 16 April 2003 SERBIA Serbia’s Embattled Opposition, Balkans Report N°94, 30 Mei 2000 Serbia’s Grain Trade: Milosevic’s Hidden Cash Crop, Balkans Report N°93, 5 Juni 2000 Serbia: The Milosevic Regime on the Eve of the September Elections, Balkans Report N°99, 17 Agustus 2000 Current Legal Status of the Republic of Yugoslavia (FRY) and of Serbia and Montenegro, Balkans Report N°101, 19 September 2000 Yugoslavia’s Presidential Election: The Serbian People’s Moment of Truth, Balkans Report N°102, 19 September 2000 Sanctions against the Federal Republic of Yugoslavia, Balkans Briefing, 10 October 2000 Serbia on the Eve of the December Elections, Balkans Briefing, 20 Desember 2000 A Fair Exchange: Aid to Yugoslavia for Regional Stability, Balkans Report N°112, 15 Juni 2001 Peace in Presevo: Quick Fix or Long-Term Solution? Balkans Report N°116, 10 Agustus 2001 Serbia’s Transition: Reforms Under Siege, Balkans Report N°117, 21 September 2001 (juga tersedia dalam bahasa Serbo-Croat) Belgrade’s Lagging Reform: Cause for International Concern, Balkans Report N°126, 7 Maret 2002 (juga tersedia dalam bahasa SerboCroat) Serbia: Military Intervention Threatens Democratic Reform, Balkans Briefing, 28 Maret 2002 (juga tersedia dalam bahasa Serbo-Croat)
Page 53
Fighting To Control Yugoslavia’s Military, Balkans Briefing, 12 Juli 2002 Arming Saddam: The Yugoslav Connection, Balkans Report N°136, 3 Desember 2002 Serbia After Djindjic, Balkans Report N°141, 18 Maret 2003 Serbian Reform Stalls Again Balkans Report N°145, 17 Juli 2003 REGIONAL REPORTS After Milosevic: A Practical Agenda for Lasting Balkans Peace, Balkans Report N°108, 26 April 2001 Milosevic in The Hague: What it Means for Yugoslavia and the Region, Balkans Briefing, 6 Juli 2001 Bin Laden and the Balkans: The Politics of Anti-Terrorism, Balkans Report N°119, 9 November 2001 Thessaloniki and After I: The EU’s Balkan Agenda Europe Briefing, Juni 20 2003. Thessaloniki and After II: The EU and Bosnia Europe Briefing, Juni 20 2003. Thessaloniki and After III: The EU, Serbia, Montenegro and Kosovo, Europe Briefing, 20 Juni 2003 AMERIKA LATIN Colombia's Elusive Quest for Peace, Latin America Report N°1, 26 Maret 2002 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol) The 10 March 2002 Parliamentary Elections in Colombia, Latin America Briefing, 17 April 2002 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol) The Stakes in the Presidential Election in Colombia, Latin America Briefing, 22 Mei 2002 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol) Colombia: The Prospects for Peace with the ELN, Latin America Report N°2, 4 Oktober 2002 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol) Colombia: Will Uribe’s Honeymoon Last?, Latin America Briefing, 19 Desember 2002 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol) Colombia and its Neighbours: The Tentacles of Instability, Latin America Report N°3, 8 April 2003 (juga tersedia dalam bahasa Spanyol dan Portugis) 53
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Colombia’s Humanitarian Crisis Latin America Report N°4, 9 Juli 2003 TIMUR TENGAH DAN AFRIKA UTARA A Time to Lead: The International Community and the Israeli-Palestinian Conflict, Middle East Report N°1, 10 April 2002 Middle East Endgame I: Getting to a Comprehensive Arab-Israeli Peace Settlement, Middle East Report N°2, 16 Juli 2002 Middle East Endgame II: How a Comprehensive Israeli-Palestinian Settlement Would Look, Middle East Report N°3; 16 Juli 2002 Middle East Endgame III: Israel, Syria and Lebanon – How Comprehensive Peace Settlements Would Look, Middle East Report N°4, 16 Juli 2002 Iran: The Struggle for the Revolution´s Soul, Middle East Report N°5, 5 Agustus 2002 Yemen: Coping with Terrorism and Violence in a Fragile State, Middle East Report N°8, 8 Januari 2003 Yemen: Indigenous Violence and International Terror in a Fragile State, Middle East Report N°8, 8 Januari 2003 Radical Islam In Iraqi Kurdistan: The Mouse That Roared?, Middle East Briefing, 7 Februari 2003 Red Alert In Jordan: Recurrent Unrest In Maan, Middle East Briefing, 19 Februari 2003 Iraq Policy Briefing: Is There An Alternative To War?, Middle East Report N°9, 24 Februari 2003 War In Iraq: What’s Next For The Kurds? Middle East Report N°10, 19 Maret 2003 War In Iraq: Political Challenges After The Conflict, Middle East Report N°11, 25 Maret 2003 War In Iraq: Managing Humanitarian Relief, Middle East Report N°12, 27 Maret 2003 Islamic Social Welfare Activism In The Occupied Palestinian Territories: A Legitimate Target?, Middle East Report N°13, 2 April 2003 A Middle East Roadmap To Where?, Middle East Report N°14, 2 Mei 2003 Baghdad: A Race Against the Clock. Middle East Briefing, 11 Juni 2003
Page 54
ALGERIA∗ Diminishing Returns: Algeria’s 2002 Legislative Elections, Middle East Briefing, 24 Juni 2002 Algeria: Unrest and Impasse in Kabylia ICG Middle East/North Africa Report N°15, 10 Juni 2003 (juga tersedia dalam bahasa Perancis)
LAPORAN-LAPORAN HIV/AIDS HIV/AIDS as a Security Issue, Issues Report N°1, 19 Juni 2001 Myanmar: The HIV/AIDS Crisis, Myanmar Briefing, 2 April 2002 EU The European Humanitarian Aid Office (ECHO): Crisis Response in the Grey Lane, Issues Briefing, 26 Juni 2001 EU Crisis Response Capability: Institutions and Processes for Conflict Prevention and Management, Issues Report N°2, 26 Juni 2001 EU Crisis Response Capabilities: An Update, Issues Briefing, 29 April 2002
∗
Proyek Algeria tersebut dipindahkan dari Program Afrika ke Program Timur Tengah dan Afrika Utara pada bulan Januari 2002. 54
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Page 55
LAMPIRAN E ANGGOTA DEWAN ICG
Martti Ahtisaari, Ketua Mantan Presiden Finlandia Maria Livanos Cattaui, Wakil Ketua Sekeretaris Jenderal Kamar Dagang Internasional Stephen Solarz, Wakil Ketua Mantan Anggota Konggres AS Gareth Evans, Presiden & CEO Mantan Menlu Australia S. Daniel Abraham Ketua Pusat Perdamaian Timur Tengah dan Koperasi Ekonomi AS . Morton Abramowitz Mantan Asisten Sekretaris Negara AS dan Dutabesar Turki Kenneth Adelman Mantan Dutabesar AS dan Direktor Badan Pengawasan dan Pelucutan Senjata Richard Allen Mantan Penasihat Keamanan Nasional untuk Presiden AS Saud Nasir Al-Sabah Mantan Dutabesar Kuwait untuk Inggris dan AS; bekas Menteri Penerangan dan Minyak Louise Arbour Hakim Pengadilan Tinggi, Kanada; Bekas Kepala Jaksa, Tribunal Kriminal Internasional untuk bekas Yugoslavia Oscar Arias Sanchez Mantan Presiden Kosta Rika; Pemenang Nobel 1987 Ersin Arioglu Ketua Yapi Merkezi Group, Turki Emma Bonino Anggota Parlemen Eropa; mantan Komisaris Eropa Zbigniew Brzezinski Mantan Penasihat Keamanan Nasional untuk Presiden AS Cheryl Carolus
Mantan Komisaris Tinggi Afrika Selatan untuk Inggris; mantan Sekretaris Jenderal ANC Jorge G. Castañeda Mantan Menteri Luar Negeri Meksiko Victor Chu Ketua First Eastern Investment Group, Hong Kong Wesley Clark Mantan Komandan Sekutu Tertinggi NATO Eropa Uffe Ellemann-Jensen Mantan Menteri Luar Negeri Denmark Ruth Dreifuss Mantan Presiden Swiss
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Mark Eyskens Mantan Perdana Menteri Belgia Marika Fahlen Mantan Dutabesar Swedia untuk Masalah Kemanusiaan; Direktur Mobilisasi dan Informasi Strategis Sosial , UNAIDS Yoichi Funabashi Ketua Koresponden Diplomatik & Kolumnis, The Asahi Shimbun, Jepang Bronislaw Geremek Mantan Menteri Luar Negeri Polandia I.K.Gujral Mantan Perdana menteri India Carla Hills Mantan Sekretaris Perumahan. Mantan Perwakilan Perdagangan AS Asma Jahangir Special Rapporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions PBB; Pengacara Pengadilan Tinggi, mantan Ketua Komisi HAM Pakistan Ellen Johnson Sirleaf Penasihat Senior Modern Africa Fund Managers; mantan Menteri Keuangan Liberia dan Direktor Biro Regional UNDP untuk Afrika Mikhail Khodorkovsky Ketua dan Pejabat Eksekutif Perusahaan Minyak YUKOS, Rusia Wim Kok Mantan Perdana Menteri Belanda Elliott F. Kulick Ketua Pegasus International AS Joanne Leedom-Ackerman Novelis dan wartawan, AS Todung Mulya Lubis Pengacara Hak Asasi Manusia dan penulis, Indonesia Barbara McDougall Mantan Menteri Luar Negeri untuk Masalah Eksternal. Kanada Mo Mowlam Mantan Menteri Luar Negeri Irlandia Utara, Inggris Ayo Obe Presiden, Civil Liberties Organisation, Nigeria Christine Ockrent
Page 56
Wartawan dan penulis, Perancis Friedbert Pflüger Juru Bicara Kebijakan Luar Negeri Kelompok Parlemen CDU/CSU di Jerman Bundestag Surin Pitsuwan Mantan Menteri Luar Negeri, Thailand
Indonesia: Managing Decentralisation and Conflict in South Sulawesi ICG Asia Report N°60, 18 July 2003
Itamar Rabinovich Presidef Tel Aviv University; mantan Dutabesar Israel untuk AS dan Kepala Negosiator dengan Siria Fidel V. Ramos Mantan Presiden Filipina Mohamed Sahnoun Penasihat Khusus untuk PBB, Sekjen pada Afrika Salim A. Salim Mantan Perdana Menteri Tanzania; mantan Sekretaris Jenderal Organisasi Kesatuan Afrika Douglas Schoen Founding Partner of Penn, Schoen & Berland Associates, U.S. William Shawcross Wartawan dan penulis, Inggris George Soros Ketua, Open Society Institute Eduardo Stein Mantan Menteri Luar Negeri Guatemala Pär Stenbäck Mantan Menteri Luar Negeri Finlandia
Page 57
Thorvald Stoltenberg Mantan Menteri Luar Negeri Norwegia William O. Taylor Ketua Emeritus, The Boston Globe, AS. Ed van Thijn Mantan Menteri Dalam Negeri Belanda, mantan Walikota Amsterdam Simone Veil Mantan Presiden Parlemen Eropa; mantan Menteri Kesehatan Perancis Shirley Williams Mantan Menteri Pendidikan dan Ilmu; Anggota House of Lords, Inggris Jaushieh Joseph Wu Wakil Sekretaris Jenderal untuk Presiden Taiwan Grigory Yavlinsky Ketua Partai Yabloko dan Duma faction, Rusia Uta Zapf Ketua the German Bundestag Subcommittee on Disarmament, Arms Control and Nonproliferation