i
PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI TOTAL INTRAVENA MENGGUNAKAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA KONSENTRASI EFFECT-SITE 2,5 µG/ML DENGAN 3 µG/ML UNTUK OPERASI LAPAROSKOPI GINEKOLOGI COMPARISON OF TOTAL INTRAVENOUS ANAESTHETIC IMPACT USING TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL ON EFFECT-SITE CONCENTRATION OF 2,5 µG/ML AND 3 µG/ML FOR GYNECOLOGIC LAPAROSCOPIC SURGERY
MUHAMMAD RUM
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
ii
PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI TOTAL INTRAVENA MENGGUNAKAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA KONSENTRASI EFFECT-SITE 2,5 µG/ML DENGAN 3 µG/ML UNTUK OPERASI LAPAROSKOPI GINEKOLOGI
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister dan Penyelesaian Pendidikan Dokter Spesialis 1 Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
Program Studi Biomedik
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD RUM
Kepada
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011
iii
TESIS
PERBANDINGAN PENGARUH ANESTESI TOTAL INTRAVENA MENGGUNAKAN TARGET CONTROLLED INFUSION (TCI) PROPOFOL PADA KONSENTRASI EFFECT-SITE 2,5 µG/ML DENGAN 3 µG/ML UNTUK OPERASI LAPAROSKOPI GINEKOLOGI
Disusun dan diajukan oleh
MUHAMMAD RUM Nomor Pokok P1507209101
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis Pada tanggal 28 Juli 2011 dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui Komisi Penasihat,
____________________________
_________________________________
dr. Syafruddin Gaus,PhD,SpAn-KMN Prof.dr.A.Husni Tanra,PhD,SpAn-KIC-KMN Ketua Anggota
Ketua Program Studi Biomedik,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
__________________________ Prof. dr. Rosdiana Natsir, PhD
______________________ Prof. Dr. Ir. Mursalim, M.Sc
iv
v
PRAKATA
Segala puji dan perasaan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Gagasan yang melatari tajuk permasalahan dalam tesis ini timbul dari hasil pengamatan penulis tentang belum adanya suatu cara yang betul-betul efektif dalam pengelolaan anestesi intravena untuk operasi pada pasien rawat sehari khususnya laparoskopi, dengan adanya alat TCI untuk obat propofol maka diharapkan dapat memberikan suatu cara baru dalam pengelolaan anestesi intravena dengan menggunakan
obat
propofol yang dianggap memiliki sifat obat anestesi intravena yang ideal. Karya tulis ilmiah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak, karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Prof. dr. A. Husni Tanra, PhD, SpAn-KIC-KMN yang selama ini bertindak seperti bapak penulis sendiri, yang telah berjasa membimbing penulis, memberi dorongan dan motivasi selama penulis menimba ilmu di bagian ini, sehingga dapat menyelesaikan pendidikan,
demikian pula kepada dr.
Syafruddin Gaus, PhD. SpAn-KMN. Sebagai ketua komisi penasehat penelitian ini. Terima kasih juga kepada dr. Syafri K. Arif, SpAn-KICKAKV., pembimbing materi yang senantiasa memberi petunjuk, motivasi dan kesempatan yang luas dalam menyelesikan karya ini. Dr.dr. Burhanuddin
Bahar,
MS.,
selaku
pembimbing
metodologi,
dr.
vi
Abd.Wahab,SpAn selaku Kepala Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran Univeritas Hasanuddin Makassar. dr. Muh Ramli, SpAn-KAP-KMN selaku Ketua Program Studi dan seluruh konsulen penulis di Bagian Ilmu Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran UNHAS yang ikut mendukung dan membimbing penulis selama masa studi. Direktur RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan seluruh direktur rumah sakit jejaring yang telah memberi segala fasilitas dalam melakukan praktek Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri. Semua sejawat residen yang selama ini memberi dukungan dan bantuan, terutama mereka yang telah membantu menjalankan penelitian penulis. Kedua orang tua penulis, H. Ahmad Badwi (Alm) dan H. Nadimah Umar, Kedua mertua penulis, Prof. Dr. dr. Muh. Dali Amiruddin, SpKK dan ibu Dyah Sri Sudarwati serta Istri tercinta dr. Rina Previana Amiruddin dan kedua anak penulis atas kesabaran, dukungan dan kasih sayang selama mengikuti pendidikan. Terakhir penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tesis yang tidak dapat kami sebutkan namanya disini.
Makassar,
Agustus 2011
Muhammad Rum
vii
viii
ix
DAFTAR ISI
halaman
PRAKATA
v
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
DAFTAR SINGKATAN
xv
I.
II.
III.
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang
1
B. Rumusan Masalah
6
C. Tujuan Penelitian
7
D. Hipotesis Penelitian
9
E. Manfaat Penelitian
9
TINJAUAN PUSTAKA
10
A. Farmakokinetik
12
B. Farmakokinetik TCI
20
C. Metode Kerja Alat TCI
26
D. Propofol
30
E. Indeks Bispectral (BIS)
37
KERANGKA KONSEP
41
x
IV.
V.
METODE PENELITIAN
42
A. Desain Penelitian
42
B. Tempat dan waktu penelitian
42
C. Populasi dan sampel penelitian
42
D. Perkiraan besar sampel
43
E. Kriteria Inklusi dan eksklusi
43
F. Aspek Etis
44
G. Metode Kerja
44
H. Alur penelitian
47
I. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel
48
J. Definisi operasional
50
K. Kriteria Objektif
53
L. Analisis Data
56
M. Personalia penelitian
56
HASIL PENELITIAN
57
A. Karakteristik dasar
57
B. Variabel Hemodinamik
60
C. Variabel Efek Hipnotik sedatif
64
D. Variabel Dosis Total propofol
66
E.
69
Variabel waktu pemulihan
VI.
PEMBAHASAN
70
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN
77
A. Kesimpulan
77
B. Saran
78
DAFTAR PUSTAKA
79
LAMPIRAN
82
xi
DAFTAR TABEL
nomor
halaman
1. Perbandingan kompartemen jaringan tubuh
14
2. Data farmakokinetik dari propofol
33
3. Data karakteristik dasar sampel penelitian
57
4. Perbandingan Tekanan Arteri Rerata (MAP) pada kedua kelompok 58 5. Perbandingan laju nadi antara kedua kelompok
60
6. Perbandingan nilai BIS antara kedua kelompok
63
7. Data dosis total propofol selama anestesi
65
8. Data waktu pemulihan setelah prosedur anestesi
67
xii
DAFTAR GAMBAR
nomor
halaman
1. Berbagai proses farmakokinetik obat
11
2. Context sensitive half-time dari obat anestesi dan opioid
17
3. Waktu yang dibutuhkan oleh konsentrasi obat di dalam plasma untuk turun pada level yang berhubungan dengan pulih sadar bergantung pada besarnya konsentrasi plasma ketika obat dihentikan
18
4. Perbedaan tiga metode pemberian obat anestesi intravena untuk mencapai level terapeutik yang konstan selama pembedahan
19
5. Model tiga kompartemen dari obat-obat anestesi
21
6. Model
kompartemen effect-site yang menggambarkan hipotesis kompartemen efek menerima input dari kompartemen sentral
23
7. Fase I : Fase sebelum induksi kemudian menentukan target konsentrasi yang diinginkan
27
8. Fase Induksi
27
9. Fase III : Fase keseimbangan atau steady state
28
10. Fase IV : Fase eliminasi dan redistribusi dengan target baru yang ditentukan
28
11. Gambaran dari keseluruhan proses induksi dan maintenance dari TCI
29
12. Struktur Kimia dari propofol
30
13. Korelasi antara nilai dari indeks BIS dengan gambaran klinis selama pemberian obat anestesi
38
14. Grafik perbandingan tekanan arteri rerata (MAP) antara kedua kelompok
61
xiii
nomor
halaman
15. Grafik perbandingan laju jantung antara kedua kelompok
63
16. Grafik perbandingan nilai BIS antara kedua kelompok
66
17. Grafik perbandingan dosis total propofol antara kedua kelompok
67
18. Grafik perbandingan waktu pemulihan antara kedua kelompok
69
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
nomor
halaman
1. Surat persetujuan mengikuti penelitian
82
2. Lembar Pengumpul data dan lembar pengamatan
84
3. Penentuan jumlah sampel berdasarkan tabel Isaac dan Michael
85
4. Parameter yang dikembangkan pada TCI
87
5. Etikal Klirens
88
6. Data Hasil Penelitian
89
xv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan BIS
Arti dan keterangan Bispectral
BMI
Body Mass Index, indeks massa tubuh
dkk.
dan kawan-kawan
EC50
Efektif konsentrasi 50%
EC95
Efektif konsentrasi 95%
EEG
Electroensefalografi
GABA
Gamma Amino Butiric Acid
µg, mg, kg
Satuan bobot mikrogram, milligram, kilogram
IV
Intravena
LBM
Lean Body Mass, Berat Massa Tubuh
LMA
Laryngeal Mask Airway
MAP
Mean Arterial Pressure, tekanan arteri rerata
MCI
Manually controlled infusion
Ml
Satuan volume milliliter
Mnt
Satuan waktu menit
MRI
Magnetic Resonancy Imaging
PCA
Patient Controlled Analgesia
PK
Pharmacokinetik
PONV
Post Operative Nausea and Vomiting
TCI
Target Controlled Infusion
TIVA
Total Intravenous Anestesia
xvi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pemakaian
obat-obat
intravena
untuk
pemeliharaan
anestesi
membutuhkan teknik yang berbeda bila dibandingkan dengan anestesi inhalasi yang memiliki vaporiser yang telah dikalibrasi. Beberapa obat anestesi intravena memiliki profil farmakokinetik yang baik untuk digunakan sebagai obat anestesi intravena total. Beberapa teknik infus manual telah diperkenalkan untuk pemeliharaan anestesi dengan tujuan untuk menjamin konsentrasi obat dalam darah tetap konstan selama anestesi. Akan tetapi, teknik-teknik tersebut memiliki kekurangan dalam hal ketidakmampuan dalam memprediksi perubahan konsentrasi obat dalam darah sebagai respon terhadap perubahan pembedahan dan kebutuhan anestesi (Kenny, 2009). Adanya perkembangan penemuan baru pada obat anestesi intravena kerja singkat dengan profil farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih baik dan adanya pengenalan tentang cara baru dalam sistem pemberiannya telah meningkatkan pengunaan Anestesi intravena total. Sistem yang dibutuhkan adalah sistem yang memungkinkan seorang ahli anestesi dapat merubah kedalaman anestesi dengan mudah sesuai yang dibutuhkan serta sesuai dengan level stimulasi pembedahan setiap waktu seperti ketika
2
menggunakan vaporiser untuk anestesi inhalasi. Sekarang, sistim target controlled infusion telah dikembangkan untuk pemberian propofol dan obat anestesi intravena lainnya. Target controlled infusion
merupakan suatu
sistim infus yang memungkinkan untuk memilih konsentrasi obat yang dibutuhkan dalam darah atau pada effect-site sesuai dengan efek yang diinginkan kemudian mengontrol kedalaman anestesi sesuai dengan target konsentrasi yang diatur melalui komputer dengan menggunakan pompa infus yang terkontrol memakai model farmakokinetik populasi (Sreevastava dkk, 2008). Anestesi intravena total dengan menggunakan target controlled infusion merupakan teknik anestesi yang memberikan kemudahan pada pengendalian kedalaman anestesi, induksi yang cepat, pemulihan yang cepat serta tidak menimbulkan polusi di kamar bedah. Teknik ini memerlukan obat anestesi intravena dengan sifat mula kerja cepat, bekerja singkat (short acting), bertahan secara konstan, tidak mengalami akumulasi, cepat menghilang, dan profil keamanan yang lebar. Diantara obat-obat intravena yang mendekati sifat tersebut adalah propofol dan remifentanil.
Adapun
indikasi penggunaan anestesi intravena total dengan target controlled infusion dapat diterapkan pada prosedur pembedahan yang memerlukan anestesi umum, seperti pada pembedahan rawat jalan, pasien dengan riwayat hipertemia maligna, bedah saraf, prosedur anestesi di luar kamar
3
operasi
dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami mual dan
muntah setelah operasi (Marsaban, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Sneyd (2005) di Inggris, untuk menguji efektifitas
target
controlled
infusion
dalam
pengelolaan
anestesi
dibandingkan dengan anestesi inhalasi yaitu dengan membandingkan antara target controlled infusion propofol/remifentanil dan sevoflurane/remifentanil untuk pemeliharaan anestesi pada operasi elektif bedah saraf menunjukkan bahwa waktu pemulihan dari anestesi serta kepuasan pasien tidak berbeda diantara dua kelompok, kejadian hipotensi dan PONV lebih banyak secara bermakna pada kelompok sevoflurane sementara dari total biaya yang digunakan untuk anestesi sedikit lebih rendah pada kelompok sevofluran. Beberapa penelitian yang membandingkan anestesi intravena total dengan propofol dan fentanil antara target controlled infusion dengan infus kontrol manual dilakukan oleh Lugo dkk (2004) di Meksiko, untuk operasi laparoskopi menunjukkan bahwa pada penggunaan target controlled infusion didapatkan waktu
induksi yang lebih cepat tetapi dosis propofol yang
digunakan lebih banyak, kontrol hemodinamik yang lebih baik, waktu pulih dari anestesi yang lebih singkat serta lebih mudah dan terukur dalam mengontrol kedalaman anestesi dibandingkan dengan menggunakan infus kontrol manual. Silvie P dkk (2002), membandingkan target controlled infusion dan infus kontrol manual untuk tindakan laringoskopi dan bronkoskopi memperlihatkan dengan target controlled infusion lebih sedikit
4
yang bergerak (14,8% vs 44,4%), perubahan hemodinamik lebih baik, episode apnu yang lebih sedikit, asidosis respirasi yang lebih rendah, waktu pemulihan lebih cepat dengan konsumsi propofol yang sebanding antara kedua kelompok. Yeganeh dkk (2006), juga melakukan penelitian yang sama untuk
tindakan
laringoskopi
dan
intubasi
pada
operasi
nonkardiak,
mendapatkan kejadian hipotensi yang lebih sering timbul setelah induksi dan sebelum laringoskopi bila menggunakan infus kontrol manual demikian pula hipertensi
dan
takikardia
setelah
laringoskopi
dibandingkan dengan target controlled infusion.
dan
intubasi
trakea
Sedangkan sistematik
review melalui Cochrane database (2008) terhadap penelitian yang membandingkan efektifitas target controlled infusion dan infus kontrol manual menunjukkan
bahwa
target
controlled
infusion
lebih
efektif
dalam
pemeliharaan anestesi dengan intervensi yang lebih sedikit tetapi dosis propofol yang digunakan lebih banyak. Dari penelitian yang dilakukan oleh Irwin dkk (2002) pada orang kaukasia didapatkan hubungan antara konsentrasi plasma dan effect-site dari propofol yaitu EC50 untuk hilangnya kontak verbal adalah 2,7 µg/mL di effectsite dan 3,9 µg/mL di plasma sedangkan untuk hilangnya respon terhadap stimulus pembedahan atau EC95 pada effect-site 4,5 µg/mL dan di plasma 5,6 µg/mL tanpa pemberian opioid dan obat sedatif lainnya sedangkan penelitian pada orang china oleh Xu dkk (2009), didapatkan EC50 dan EC95 untuk hilangnya kesadaran pada konsentrasi effect-site 2.2 µg/mL dan 3.2 µg/mL
5
sedikit berbeda dengan yang ditemukan oleh Zhong dkk (2005) yaitu 2,5 dan 3,4 µg/mL.
Sedangkan bila sebelumnya diberikan premedikasi target
konsentrasi plasma yang dianjurkan untuk propofol adalah 2-4 µg/mL dan konsentrasi effect-site adalah 1,6-3 µg/mL. Pada awalnya penelitian dengan target controlled infusion menggunakan konsentrasi plasma sebagai konsentrasi target (Marsaban, 2009). Kombinasi propofol dengan opoid dan benzodiasepine diketahui dapat menurunkan
konsentrasi
propofol
pada
effect-site
sehingga
dapat
menurunkan kebutuhan propofol selama induksi dan pemeliharaan anestesi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Olmos dkk (2000) yang meneliti efek pemberian premedikasi dengan midazolam dan fentanil terhadap kebutuhan induksi propofol pada pasien dengan usia antara 20-40 tahun, menemukan pada kelompok tanpa premedikasi konsentrasi effect-site (Ce) propofol 3,3 µg/mL, dengan kombinasi fentanil Ce propofol 2,8 µg/mL, sedangkan kombinasi dengan midazolam dan fentanil didapatkan Ce propofol 1,8 µg/mL dengan waktu induksi yang lebih cepat pula. Penelitian oleh Nora dkk (2009) yang
menggunakan
target
controlled
infusion
propofol-remifentanil
melakukan intubasi pada Ce propofol 2,2 µg/mL dengan interval Ce propofol selama prosedur antara 1,9-2,5 µg/mL. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Kim dkk (2008) mendapatkan EC50 dari propofol tanpa kombinasi dengan opioid yaitu 3,41 µg/mL, sedangkan kombinasi dengan opioid 2,04 µg/mL.
6
Namun di Indonesia belum
ada
data publikasi yang melakukan
penelitian tentang penggunaan target controlled infusion dengan propofol untuk pemeliharaan anestesi. Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin melakukan penelitian perbandingan pengaruh anestesi intravena total menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. Penelitian ini menarik dan memungkinkan untuk dilakukan dengan tersedianya alat-alat pendukung yang dibutuhkan. Disamping itu data dan penelitian mengenai pemakaian target controlled infusion propofol untuk Anestesi intravena total sebagai suatu modalitas dalam pengelolaan dan pemeliharaan anestesi tergolong belum ada di Indonesia.
B. Rumusan Masalah Bagaimana perbandingan efek anestesi intravena total dengan menggunakan target controlled infusion memakai regimen propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk pemeliharaan anestesi pada operasi laparoskopi ginekologi.
7
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Mengevaluasi perbandingan efek anestesi intravena total dengan menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL dalam pemeliharaan anestesi untuk operasi laparoskopi ginekologi. 2. Tujuan Khusus a. Mengukur gambaran hemodinamik (MAP dan laju jantung) selama anestesi yang menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. b. Membandingkan gambaran hemodinamik (MAP dan laju jantung) selama anestesi yang menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. c. Mengukur efek hipnotik sedatif selama anestesi pada operasi laparoskopi ginekologi yang menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL.
8
d. Membandingkan efek hipnotik sedatif selama anestesi pada operasi laparoskopi ginekologi yang menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL. e. Mengukur waktu pemulihan setelah anestesi yang menggunakan target controlled infusion
propofol pada konsentrasi effect-site 2,5
µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. f. Membandingkan
waktu
pemulihan
setelah
anestesi
yang
menggunakan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. g. Menghitung jumlah dosis propofol yang dibutuhkan selama anestesi yang menggunakan target controlled infusion
propofol pada
konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi. h. Membandingkan jumlah dosis propofol selama anestesi dengan menggunakan target controlled infusion
propofol pada konsentrasi
effect-site 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL untuk operasi laparoskopi ginekologi.
9
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan bahwa target controlled infusion dapat menjadi salah satu modalitas dalam pemeliharan anestesi untuk pembedahan yang memerlukan Anestesi intravena total dengan efek samping yang minimal, serta dapat dijadikan sebagai suatu referensi untuk penelitian selanjutnya.
E. Hipotesis
Adapun hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa target controlled infusion memakai regimen propofol pada konsentrasi effectsite 2,5 µg/mL dapat digunakan dengan baik untuk pemeliharaan anestesi pada operasi yang membutuhkan anestesi intravena total.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pemberian obat secara intravena dimulai pada abad ke-17 dimana Wren C. menginjeksikan opium pada seekor anjing dengan menggunakan bulu angsa dan kandung kemih babi, kemudian anjing tersebut menjadi ‘mabuk’. Pada tahun 1930-an, heksobarbital dan pentotal diperkenalkan pada praktek klinis. Pada tahun 1960-an, model dan persamaan-persamaan farmakokinetik untuk infus IV mulai disusun dan pada tahun 1980-an, mulai dikenal sistem infus intravena yang diatur oleh komputer. Pada tahun 1996, diperkenalkan sistem target controlled infusion atau TCI yang pertama yaitu ‘Diprifusor’ (Sivashsubramaniam, 2008). Alat target controlled infusion yang ada sekarang merupakan generasi ketiga yang bisa digunakan untuk semua jenis propofol dan obat opioid yang bisa berfungsi sebagai alat target controlled infusion, pompa suntik manual dan PCA (Marsaban, 2009). Target controlled infusion merupakan pemberian infus yang diatur sedemikian rupa untuk mencapai konsentrasi obat yang ditentukan pada kompartemen tubuh tertentu atau jaringan yang diinginkan. Konsep ini pertama-tama diajukan oleh Kruger Thiemer (1968). Target controlled infusion merupakan suatu sistem infus yang memungkinkan untuk memilih konsentrasi obat dalam darah yang dibutuhkan sesuai dengan efek yang
11
diinginkan kemudian mengontrol kedalaman anestesi sesuai dengan target konsentrasi yang diatur melalui komputer dengan menggunakan pompa infus yang terkontrol memakai model farmakokinetik dan farmakodinamik populasi. Menurut Sikka (2009), Interaksi antara obat dan organisme dibagi dalam dua fase
yaitu
farmakokinetik
dan
farmakodinamik.
Farmakokinetik
akan
menggambarkan apa yang dilakukan tubuh terhadap obat (what the body does to the drug) mulai dari absorpsi sampai eliminasi dari obat tersebut dari dalam tubuh khususnya dalam hubungan antara konsentrasi obat dan waktu. Sedangkan hubungan antara konsentrasi dan respon yang timbul dikenal sebagai proses farmakodinamik yang akan menggambarkan apa yang dilakukan obat terhadap tubuh (what the drug does to the body) atau respon dari reseptor terhadap obat dan mekanisme timbulnya efek dari obat tersebut, sehingga efek yang ditimbulkan oleh obat merupakan kombinasi dari karakteristik farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat terhadap individu. Model-model farmakokinetik dan farmakodinamik secara matematis dapat digunakan dengan mempertimbangkan karakteristik khusus pasien sehingga menghasilkan suatu parameter-parameter yang spesifik untuk memprediksi konsentrasi obat di plasma dan effect-site (Sivashsubramaniam, 2008). Untuk mengetahui bagaimana makanisme kerja dari target controlled infusion maka pengetahuan tentang farmakokinetik obat-obat anestesi intravena utamanya dalam hal hubungan antara dosis dan respon yang ditimbulkan mutlak untuk dipahami sebelumnya.
12
A. Farmakokinetik
Farmakokinetik adalah ilmu tentang hubungan antara dosis obat, konsentrasi obat di jaringan dan waktu pemberiannya yang secara sederhana didefinisikan
sebagai
apa
yang
dilakukan
tubuh
terhadap
obat.
Farmakokinetik didefinisikan melalui empat parameter yaitu absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi (Sikka, 2009). Seluruh proses ini disebut proses farmakokinetik dan berjalan serentak seperti pada gambar berikut ini.
Tempat kerja (Reseptor) Terikat bebas
Depot jaringan Bebas terikat
Sirkulasi Sistemik Absorpsi
Obat bebas Obat terikat
Ekskresi
Metabolit
Biotransformasi
Gambar 1. Berbagai proses farmakokinetik obat (Setiawati A dkk, 2009).
13
Pengetahuan tentang karakteristik farmakokinetik obat-obat injeksi intravena awalnya diketahui dari subyek yang sehat dan pasien dewasa dengan penyakit yang ringan sehingga mungkin berbeda bila diberikan pada pasien dengan penyakit kronik (gangguan fungsi hepar, ginjal dan jantung) dengan variasi umur yang ekstrim, status hidrasi, nutrisi dan massa otot skelet yang berbeda pula. Anestesi dan pembedahan secara relatif mungkin dapat mengubah farmakokinetik dari obat-obat injeksi dibandingkan orang yang sadar karena adanya perubahan pada aliran darah hepar, ginjal, aktivitas enzim hati dan perubahan aliran darah perifer selama pembedahan (Stoelting and Hiller, 2006). Pengetahuan tentang farmakokinetik dari obat-obat injeksi merupakan dasar untuk memilih secara rasional dosis interval atau kontinu selama pemberian anestesi. Beberapa parameter famakokinetik dari obat-obat injeksi yang dapat diukur atau dihitung adalah bioavailabilitas, volume distribusi, klirens, waktu paruh eliminasi, waktu paruh durasi infus (context-sensitive half-time), waktu keseimbangan effect-site dan waktu pemulihan (Sikka 2009).
14
1. Volume distribusi
Volume distribusi adalah estimasi volume dimana suatu obat didistribusikan. Volume distribusi dihitung dengan formula : Vd = dosis obat yang diberikan/konsentrasi obat di plasma.
(1)
Nilainya bergantung pada waktu penghitungannya, apakah nilai dihitung pada waktu nol yaitu setelah pemberian bolus (Vc) atau pada keadaan stabil setelah pemberian infus (Vss). Volume distribusi ini mencerminkan volume nyata dari suatu kompartemen (Sivashsubramaniam, 2008). Setelah absorpsi obat secara sistemik yang merupakan kompartemen sentral, jaringan dengan perfusi yang tinggi (jantung, otak, ginjal, hati) yang merupakan kompartemen perifer akan mendapatkan sejumLah besar obat dari dosis total yang diabsorpsi dimana 75% dari kardiak output dikirimkan pada organ-organ tersebut yang jumlahnya hanya 10% dari total massa tubuh. Perbandingannya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1. Perbandingan kompartemen jaringan tubuh (Sikka, 2009)
Kompartemen
Jaringan kaya pembuluh darah Jaringan otot Jaringan lemak Jaringan kurang pembuluh darah
Massa tubuh (% pada Aliran darah orang dewasa dengan BB (% kardiak 70 kg) output) 10 75 50 20 20
19 5 1
15
Ikatan dengan protein plasma, tingginya derajat ionisasi dan rendahnya kelarutan lemak dari suatu obat akan membatasi distribusi obat ke jaringan (kompartemen perifer) sehingga volume distribusi obat rendah sedangkan obat-obat yang tidak terionisasi, larut dalam lemak lebih mudah didistribusikan ke jaringan (kompartemen perifer) dari sirkulasi (kompartemen sentral) sehingga untuk obat ini volume distribusinya besar dan konsentrasi plasmanya rendah. Akan tetapi penting untuk diketahui bahwa Vd tidak mencerminkan volume anatomi yang mutlak (Stoelting dan Hiller, 2006).
2. Klirens
Klirens/bersihan merupakan volume plasma (Vp) yang dibersihkan dari obat dalam unit waktu tertentu untuk menghilangkan obat ini dari dalam tubuh. Klirens = eliminasi x Vp
(2)
bila klirens meningkat, maka waktu paruh akan menurun, sebaliknya bila volume distribusi meningkat, maka waktu paruh juga meningkat (Sikka, 2009). Klirens juga dapat digunakan untuk menggambarkan kecepatan suatu obat berpindah dari kompartemen satu ke kompartemen lain. Obat pertamatama didistribusikan ke kompartemen sentral sebelum didistribusikan ke kompartemen perifer. Bila volume distribusi awal (Vc) dan konsentrasi yang
16
diinginkan untuk memberikan efek terapi (Cp) sudah diketahui, maka dosis awal (loading dose) dapat dihitung untuk mencapai konsentrasi ini (Sivashsubramaniam, 2008). Dosis Awal = Cp x Vc
(3)
Selanjutnya juga dapat digunakan untuk menghitung dosis bolus yang diperlukan untuk meningkatkan konsentrasi obat secara cepat selama pemberian infus kontinu. Dosis bolus = (Cnew – Cactual) x Vc.
(4)
Kecepatan infus untuk mempertahankan keadaan stabil = Cp x klirens (5) Pemberian rejimen infus sederhana tidak mencapai konsentrasi plasma dalam keadaan stabil hingga sekurang-kurangnya lima kali waktu paruh eliminasi. Konsentrasi yang diinginkan dapat dicapai dengan lebih cepat bila dosis bolus diberikan diikuti dengan kecepatan infus tertentu (Sikka, 2009).
3. Waktu paruh eliminasi
Waktu
paruh
eliminasi
adalah
waktu
yang
dibutuhkan
untuk
menurunkan konsentrasi plasma dari obat sebanyak 50% selama fase eliminasi. Untuk eliminasi obat secara lengkap dibutuhkan lima kali waktu paruh eliminasi. Pemberian dosis berulang yang sama dengan dosis awal dengan interval yang lebih sering dibandingkan lima kali waktu paruh
17
eliminasi akan menyebabkan efek akumulasi. Akumulasi obat akan berlanjut sampai kecepatan eliminasi obat sama dengan kecepatan pemberian obat (Reves, 2006). Waktu paruh eliminasi paling sering digunakan untuk menggambarkan karakteristik farmakokinetik dari obat. Akan tetapi waktu paruh eliminasi hanya berguna untuk menggambarkan penghitungan konsentrasi obat dari kompartemen sentral dengan satu model kompartemen dan tidak terlalu tepat untuk menggambarkan
pada model multikompartemen. Waktu paruh
eliminasi saja tidak bisa memberikan pengertian yang jelas tentang kecepatan penurunan konsentrasi plasma obat setelah pemberian obat intravena dihentikan (Anderson dan Kenny, 2003).
4. Waktu paruh durasi Infus (Context sensitive half-time)
Waktu paruh durasi infus dipakai untuk menggambarkan penurunan konsentrasi obat dari persentase yang telah ditentukan sebelumnya (50%, 60%,80%) setelah pemberian kontinu suatu obat intravena dengan durasi tertentu
dihentikan.
Simulasi
model
farmakokinetik
multikompartemen
pengaturan obat yang digunakan untuk menghitung waktu paruh durasi infus pada obat yang diberikan secara kontinu selama anestesi dapat kita lihat pada gambar berikut (Stoelting dan Hiller, 2006).
18
Gambar 2. Context sensitive half-time dari obat anestesi dan opioid (Anderson dan Kenny, 2003). Waktu paruh durasi infus meningkat secara paralel dengan lamanya pemberian obat intravena secara kontinu, bergantung sebagian besar pada kelarutan obat dalam lemak dan efisiensi dari mekanisme klirens obat dari dalam tubuh.
5.
Waktu pemulihan Waktu pemulihan dari obat anestesi intravena bergantung pada
sejauhmana konsentrasi obat dalam plasma dapat turun mencapai level yang setara dengan konsentrasi dimana pasien bisa sadar (Sikka, 2009).
Konsentrasi obat diplasma
19
Infus dihentikan Sedasi berlebihan Batas terapeutik yang ideal
Sadar
Waktu pulih sadar
Gambar 3. Waktu yang dibutuhkan oleh konsentrasi obat di dalam plasma untuk turun pada level yang berhubungan dengan pulih sadar bergantung pada besarnya konsentrasi plasma ketika obat dihentikan (Sikka, 2009).
F. Waktu keseimbangan effect-site Adanya perlambatan antara pemberian obat intravena dan onset dari efek klinik yang timbul menggambarkan waktu yang dibutuhkan untuk mengirimkan obat dari sirkulasi ke tempat kerjanya (otak). Perlambatan itu menunjukkan bukti bahwa plasma bukanlah merupakan tempat kerja dari obat tetapi hanya merupakan suatu rute dari obat untuk mencapai effect-site dan proses biofase. Jika parameter efek obat dapat diukur (memakai electroencephalogram) maka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan antara konsentrasi obat dalam plasma dan efek obat yang timbul dapat diukur. Interval tersebut merupakan waktu keseimbangan effectsite (Stoelting dan Hiller, 2006).
20
B. Farmakokinetik TCI
Model-model farmakokinetik berusaha menggambarkan hubungan antara dosis dan konsentrasi plasma dengan waktu. Model farmakokinetik merupakan model matematis yang dapat digunakan untuk memprediksi profil konsentrasi suatu obat dalam darah setelah dosis bolus atau setelah pemberian infus dengan durasi yang bervariasi. Model-model ini biasanya didasarkan pada pengukuran konsentrasi obat dalam plasma arteri atau vena setelah bolus atau pemberian infus pada sekelompok sukarelawan, menggunakan pendekatan statistik standar dan model perangkat lunak komputer. Perbedaan antara metode bolus, bolus diikuti dengan infus secara kontinu dan target controlled infusion dapat kita lihat pada gambar berikut ini;
Gambar 4. Perbedaan tiga metode pemberian obat anestesi intravena untuk mencapai level terapeutik yang konstan selama pembedahan. Pemberian bolus (garis padat), bolus diikuti infus kontinu (garis titik-titik), pemberian secara CACI/TCI (garis arsir) (Reves, 2006).
21
Menurut Bressan dkk (2009), di dalam target controlled infusion kita menentukan suatu konsentrasi yang diinginkan untuk obat dalam tubuh manusia (target) dan bukan kecepatan infus. Kecepatan yang diperlukan untuk mencapai dan mempertahankan konsentrasi tersebut diperhitungkan oleh
pump
mempergunakan
algoritma
yang
berdasarkan
model
farmakokinetik tiga kompartemen. Suatu model farmakokinetik (model PK) merupakan sebuah model matematika untuk memprediksikan konsentrasi obat dalam tubuh manusia (misalkan: level plasma) setelah diberikan bolus atau suatu infus secara kontinu dengan durasi yang berbeda. Suatu model PK dikembangkan dari pengukuran angka level plasma dari suatu kelompok pasien atau sukarelawan beserta analisa statistik yang berhubungan dengannya. Suatu model PK biasanya merupakan model 2 atau 3 kompartemen yang menunjukkan
volume
dari
kompartemen-kompartemen
tersebut,
menunjukkan kecepatan perubahan di antara kompartemen-kompartemen dan kecepatan eliminasi atau metabolisme obat (Sreevastava, 2006). Farmakokinetik
sebagian
besar
obat-obat
anestesi
biasanya
digambarkan dengan model tiga kompartemen. Penelitian tentang model tiga kompartemen untuk propofol dipublikasikan oleh Marsh dkk pada tahun 1991 yang dapat dilihat pada gambar berikut ini :
22
Pemberian obat IV Kompartemen keseimbangan cepat V2
Kompartemen Sentral V1
Kompartemen keseimbangan lambat V3
Metabolisme atau eliminasi K10
Gambar 5. Model tiga kompartemen dari obat-obat anestesi (Bressan, 2009).
V1 merupakan ruangan awal tempat obat setelah disuntikkan (plasma) sebagai tempat distribusi awal, V2 merupakan organ yang kaya pembuluh darah sehingga terjadi proses distribusi cepat, V3 merupakan organ yang miskin pembuluh darah sehingga terjadi distribusi lambat dan K10 yang menggambarkan kecepatan metabolisme dan eliminasi.
23
Dari model farmakokinetik tersebut disusun suatu algoritma kontrol infus untuk mendapatkan suatu skema pemberian obat dengan regimen dosis yang efisien. Skema ini disebut Regimen Bolus, Eliminasi, Transfer (BET) (Sivashsubramaniam, 2008) yang terdiri atas : a. Dosis bolus yang dihitung untuk memenuhi kompartemen sentral (darah). b. Infus kontinu dengan kecepatan konstan yang sama dengan kecepatan eliminasi untuk menggantikan obat yang mengalami eliminasi dari kompartemen sentral. c. Infus yang mengkompensasi transfer ke jaringan perifer: [kecepatan diturunkan secara eksponensial]. Dari pengamatan klinis yang dilakukan kemudian didapatkan bahwa model tiga kompartemen sering tidak sesuai karena terdapat jeda waktu antara waktu puncak konsentrasi obat di plasma, konsentrasi puncak di tempat aksi (effect-site) dan puncak dari efek klinis obat yang diberikan. Schutler dkk melaporkan bahwa waktu paruh keseimbangan propofol antara darah dan otak adalah kira-kira 3 menit sedangkan Peacock dkk memperlihatkan
pemanjangan
waktu
paruh
keseimbangan
antara
konsentrasi propofol pada arteri dan vena jugular selama induksi anestesi. Untuk menerangkan hal tersebut maka Sheiner dkk, memperkenalkan hipotesis ruangan tempat kerja obat (hypothetical effect compartement) yang
24
dapat dilihat pada gambar, dari hipotesis tersebut maka dikembangkanlah suatu model farmakokinetik dalam suatu bentuk model matematika untuk memprediksi konsentrasi obat setelah pemberian bolus atau infus kontinu dengan durasi waktu yang berbeda (Roberts dan Turners, 2009). Untuk pentargetan effect-site, terdapat korelasi antara farmakokinetik dan farmakodinamik yang diperlukan. Karena kompartemen efek dianggap tidak mempunyai volume dan kecepatan konstan k1e dapat diabaikan dan kecepatan konstan ke0 merupakan parameter yang diperlukan dalam pembentukan
efek
target
controlled
infusion.
Model
farmakokinetik
dimodifikasi sehingga dapat digambarkan pada ilustrasi berikut.
Kompartemen effect-site
Kompartemen keseimbangan cepat
Pemberian obat IV K1e
Ke0
Kompartemen Sentral
Kompartemen keseimbangan lambat
Metabolisme atau eliminasi
Gambar 6. Model kompartemen effect-site menggambarkan hipotesis kompartemen efek menerima input dari kompartemen sentral (Roberts dan Turner, 2009).
25
Target controlled infusion mencapai tingkat efek klinik dan terapeutik dengan tepat dalam waktu secepat mungkin dan terus mempertahankan dalam keadaan stabil. Hal ini dapat dijelaskan melalui hubungan antara dosis dan respon dari obat yang diberikan. Adapun hubungan antara dosis dan respon dari suatu obat dibagi dalam tiga fase (Marsaban, 2009) yaitu : a. Fase farmakokinetik, yang berhubungan dengan dosis dan konsentrasi obat di plasma. b. Fase farmakodinamik, berhubungan dengan konsentrasi obat di efeksite dan efek klinik yang ditimbulkannya. c. Fase gabungan antara farmakokinetik dan farmakodinamik untuk menjaga efek obat dalam keadaan stabil. Farmakokinetik dan farmakodinamik pasien bervariasi menurut usia pasien, curah jantung, penyakit penyerta, pemberian obat-obat lain secara bersamaan, aliran darah hepar, suhu tubuh, berat badan pasien dan berat massa tubuh. Faktor-faktor ini memiliki peranan penting dalam menentukan konsentrasi target. Efek klinik tercapai bila konsentrasi terapetik tercapai ditempat aksi, efek utama obat-obat anestesi intravena adalah sedasi dan hipnosis pada tempat dimana obat-obat ini bekerja, yang berarti otak merupakan tempat kerja obat. Sayangnya, secara klinis tidak mungkin dilakukan pengukuran konsentrasi obat di otak (effect-site). Bahkan bila kita dapat mengukur konsentrasi obat di otak secara langsung, harus diketahui
26
konsentrasi yang tepat pada daerah atau bahkan pada reseptor dimana obat bekerja. Konsentrasi obat di effect-site diprediksi secara matematis berdasarkan model farmakokinetik, yang akan menggambarkan profil konsentrasi obat setelah bolus intravena atau infus secara kontinu. Modelmodel matematika menghasilkan beberapa parameter farmakokinetik seperti volume distribusi dan klirens yang dipakai untuk menghitung dosis awal dan kecepatan infus yang diperlukan untuk mempertahankan konsentrasi obat dalam keadaan stabil (Sikka, 2009).
C. Metode kerja alat TCI
Menurut Marsaban (2009), metode kerja dari alat target controlled infusion propofol berdasarkan dua model farmakokinetik yang telah dikembangkan yaitu : 1. Model Marsh sebagai co-variate menggunakan berat badan. 2. Model Schneider sebagai co-variate menggunakan berat badan, tinggi badan, umur dan berat massa tubuh. Model Marsh menggunakan konsentrasi plasma sebagai target kensentrasi sedangkan model schneider memakai konsentrasi plasma dan effect-site sebagai konsentrasi target. Dari penelitian didapatkan bahwa model Schneider akan memprediksi waktu keseimbangan antara plasma dan effectsite yang lebih cepat dibandingkan model Marsh selama induksi, kemudian
27
dengan menggunakan konsentrasi effect-site maka didapatkan onset anestesi yang lebih cepat dan titrasi yang lebih baik dengan level sedasi yang lebih rendah pada target konsentrasi yang sama . Pada pasien dengan berat badan yang normal dan obesitas ringan terjadi perbedaan pada 10 menit pertama setelah kosentrasi target meningkat sedangkan pada obesitas berat perbedaan terjadi selama pemberian infus. Bila pemberian propofol dihentikan, perbedaan yang besar pada estimasi penurunan konsentrasi kembali ditemukan dimana model Schneider memberikan estimasi penurunan konsentrasi yang jauh lebih cepat dibandingkan model Marsh. Secara prinsip maka model Marsh akan memberikan dosis total propofol yang lebih tinggi dibandingkan dengan model Schneider (Barakat dkk, 2007). Apabila menggunakan model schneider maka input data pasien yang dimasukkan kedalam alat target controlled infusion adalah berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan konsentrasi target yang diinginkan. Setelah memasukkan berat badan total, tinggi badan dan jenis kelamin maka parameter tersebut kemudian digunakan untuk menghitung massa tubuh bersih menurut formula berikut ini (Kenny, 2009) : a. Pria
: LBM = 1,1 X BB – 128 X (BB/TB)2
b. Wanita
: LBM = 1,07 X BB – 148 X (BB/TB)2
Adapun aplikasi model farmakokinetik dan farmakodinamik dari Target controlled infusion yang digambarkan dalam model tiga kompartemen dapat kita lihat pada gambar berikut :
28
Gambar 7. Fase I : fase sebelum induksi kemudian menentukan target konsentrasi yang diinginkan (Marsaban, 2009).
Gambar 8. Fase Induksi (Marsaban, 2009).
29
Gambar 9. Fase III :Fase keseimbangan atau steady state (Marsaban, 2009).
Gambar 10. Fase IV : Fase eliminasi dan redistribusi dengan target baru yang ditentukan (Marsaban, 2009).
30
Gambar 11. Gambaran dari keseluruhan proses induksi dan maintenance dari Target controlled infusion (Braun, 2003).
D.
Propofol
Propofol adalah obat yang paling sering digunakan untuk induksi anestesi dan dapat juga digunakan selama pemeliharaan anestesi. Disamping itu propofol umumnya dipilih sebagai obat sedasi diruang operasi maupun untuk prosedur diluar kamar operasi dengan pengawasan ahli anestesi (Eilers, 2009).
31
Gambar 12. Struktur Kimia dari propofol (Reves, 2006).
Propofol (2,6-diisopropylphenol) adalah suatu senyawa alkylphenol dengan efek hipnotik yang secara kimiawi berbeda dari kelompok obat-obat anestesi intravena yang lain. Propofol utamanya dalam bentuk larutan yang tidak larut dalam air dan formulasinya merupakan emulsi yang terdiri atas 10% minyak kacang kedelai, 2,25% gliserol, dan 1,2% lecithin yang komponen utamanya dari kuning telur dalam bentuk fraksi fosfatid. Karena formulasinya yang mendukung untuk perkembangan bakteri maka teknik yang steril sangat dibutuhkan dalam pemberiannya (Eilers, 2009). Beberapa pabrik obat menambahkan ethylenediaminetetraacetic acid (0,05 mg/mL), metabisulfite (0,25 mg/mL) atau benzyl alkohol (0,05 mg/mL) dalam emulsinya untuk memperlambat pertumbuhan bakteri. Larutannya kelihatan seperti putih susu dan sedikit kental dengan pH kira-kira antara 7-8 dengan konsentrasi 1% (10 mg/mL), formula 2% tersedia pada beberapa negara. Karena emulsinya mengandung lechitin dari kuning telur maka pada pasien yang rentan dapat timbul reaksi alergi.
Karena adanya penambahan
32
metabisulfite maka harus hati-hati penggunaannya pada pasien dengan jalan napas yang reaktif (asma) (Sneyd, 2004).
a. Farmakokinetik propofol Propofol dimetabolisme melalui hepar dengan cepat dan luas yang menghasilkan metabolit yang inaktif, larut dalam air dan diekskresikan melalui ginjal. Klirens total dari plasma propofol ternyata lebih besar daripada aliran darah hepar yang menunjukkan adanya eliminasi ekstrahepatik. Metabolisme ekstrahepatik melalui paru dapat mengeliminasi sampai 30% dari dosis bolus propofol yang diberikan. Tingginya klirens plasma propofol dapt menjelaskan tentang pemulihan yang lebih komplit dan perasaan yang lebih baik setelah bangun dibandingkan dengan pentotal (Setiawati dkk, 2009). Transfer propofol dari kompartemen sentral dan pengakhiran efek kerjanya setelah bolus dosis tunggal, utamanya melalui proses redistribusi dari kompartemen organ yang perfusinya tinggi (otak) ke kompartemen jaringan organ yang perfusinya rendah (otot skelet), sama dengan obat anestesi intravena lainnya (Braun, 2003). Tingginya kelarutan lemak dari propofol meyebabkan onset kerjanya hampir sama cepatnya dengan pentotal. Waktu yang dibutuhkan untuk bangun setelah pemberian dosis induksi biasanya berkisar antar 8-10 menit yang merupakan waktu yang dibutuhkan untuk turunnya konsentrasi setelah pemberian dosisi induksi. Hal ini menyebabkan propofol menjadi obat
33
pilihan untuk prosedur ambulatori maupun untuk sedasi diluar kamar operasi (Eilers, 2009). Adapun data farmakokinetik dari propofol dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 2. Data farmakokinetik dari propofol (Eilers, 2009) Obat
Dosis Induksi (mg/kg IV)
Durasi aksi (mnt)
Propofol
1-2,5
3-8
T1/2α (mnt) (mnt) Vdss
2-10
2-4
Protein Binding (%)
Klirens (mL/kg/min)
T1/2β (jam)
97
20-30
4-23
Data diambil dari pasien dewasa. T1/2α waktu paruh distribusi, T1/2β waktu paruh eliminasi, Vdssvolume distribusi pada keadaan stabil.
Metabolisme propofol yang cepat, dihasilkan dari klirens plasma yang efisien dengan redistribusi yang lambat dari kompartemen yang perfusinya lambat ke kompartemen sentral dengan waktu paruh durasi infus (contextsensitive half-time) dan waktu keseimbangan effect-site yang singkat menyebabkan propofol cocok untuk digunakan sebagai obat anestesi intravena secara kontinu (Olmos, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Schneider dkk, menemukan bahwa hilangnya kesadaran ditemukan pada konsentrasi plasma dari propofol adalah 2,4µg/mL pada sukarelawan muda, 1,8µg/mL sukarelawan umur 50 tahun dan 1,2µg/mL pada usia 75 tahun sedangkan di effect-site pada konsentrasi 2,0±0,9 µg/mL (Iwakiri dkk, 2005).
34
Pada
penelitian selanjutnya, didapatkan bahwa waktu paruh
keseimbangan propofol antara darah dan otak adalah kira-kira 3 menit sedangkan penelitian lain memperlihatkan pemanjangan waktu paruh keseimbangan antara konsentrasi propofol arteri dan vena jugular selama induksi anestesi. Berdasarkan dari hal tersebut maka diketahui bahwa plasma bukanlah tempat kerja obat melainkan di effect-site (otak) dimana obat anestesi intravena mempunyai efek sedatif dan hipnotik (Lugo, 2005).
b. Farmakodinamik propofol Mekanisme kerja dari propofol diperkirakan melalui potensiasi terhadap aliran chlorida yang dimediasi melalui reseptor GABAA. Propofol dianggap memiliki efek sedatif-hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABAA. Ketika
reseptor
transmembran
akan
GABAA
meningkat
diaktifkan yang
maka
konduktansi
mengakibatkan
klorida
hiperpolarisasi
membran sel postsinaps dan inhibisi fungsional dari neuron postsinaps (Stoelting and Hiller, 2006). Efek utama propofol pada susunan saraf pusat adalah efek hipnotik dan tidak memiliki sifat analgetik. Propofol dapat menurunkan aliran darah otak (ADO) dan tingkat kebutuhan metabolisme otak terhadap oksigen (CMRO2) sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial (TIK) dan intraokular
(TIO)
seperti
pada
pentotal.
Penelitian
pada
binatang
35
menunjukkan bahwa propofol memiliki kemampuan neuroproteksi selama iskemik fokal pada tingkat yang sama dengan pentotal (Eilers, 2009). Pada sistem kardiovaskular bila dibandingkan dengan obat induksi anestesi yang lain pada dosis yang equianestesi, pada propofol terjadi penurunan tekanan darah sistemik yang lebih nyata. Efek ini dihubungkan dengan vasodilatasi yang lebih dalam akan tetapi efek depresi otot jantung secara langsung masih kontroversial. Vasodilatasi terjadi pada arteri dan vena sehingga akan menurunkan preload dan afterload, efek ini lebih nyata dengan peningkatan umur, pada pasien hipovolemik dan pada pemberian yang cepat. Propofol secara nyata menghambat barorefleks respon yang normal sehingga laju jantung hanya meningkat sedikit yang lebih lanjut dapat menyebabkan eksaserbasi dari efek hipotensi (Setiawati dkk, 2009). Pada sistem respirasi propofol merupakan depresan respirasi yang poten dan umumnya dapat menyebabkan apnu setelah pemberian dosis induksi. Pemberian melalui infus kontinu untuk pemeliharaan dapat mengurangi ventilasi semenit karena penurunan volume tidal dan laju pernapasan dengan efek yang lebih jelas pada volume tidal, disamping itu dapat mengurangi respon ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia. Propofol dapat mengurangi refleks pada jalan napas atas lebih besar dibandingkan pentotal sehingga lebih cocok digunakan pada prosedur instrumentasi jalan napas atas seperti pemasangan LMA. Propofol juga dapat mengurangi insidensi wheezing setelah induksi anestesi dan intubasi pada
36
pasien sehat dan pasien asma bila dibandingkan dengan pentotal. Efek samping
yang
menarik
dan
diinginkan
dari
propofol
adalah
efek
antiemetiknya yang bila diberikan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi lebih efektif bila dibandingkan dengan ondasentron untuk mencegah PONV. Propofol juga tidak memicu kejadian timbulnya hipertermia maligna sehingga bisa digunakan pada pasien-pasien tersebut (Stoelting dan Hiller, 2006). Beberapa hal yang bisa dijadikan ukuran dalam menilai kedalaman anestesi intravena khususnya dalam hubungan dengan konsentrasi obat di dalam darah dan effect-site dapat diamati dari adanya pergerakan, kesadaran, ingatan selama operasi atau respon hemodinamik dari pasien. Selain itu dapat pula digunakan suatu skala interval memakai skala OAAS (observer’s assesment of Alertness/sedation score) yang dikatakan pada beberapa penelitian mempunyai korelasi yang baik dengan nilai BIS (Yeganeh dkk, 2010). Akan tetapi jika ingin mengukur efek anestesi khususnya efek hipnotik secara lebih tepat maka dapat dilakukan pengukuran aktivitas kortikal dengan menggunakan indeks Bispectral
(BIS) dan 95% spectral edge frequency
(SEF95) atau melalui Auditory Evoked Potentials (AEP) (Anderson and Kenny, 2003). Pada penggunaan klinik, nyeri pada saat penyuntikan merupakan keluhan utama dari pemberian propofol pada pasien yang sadar. Hal ini dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi opioid atau pemberian bersama dengan lidokain 1%. Penggunaan propofol yang emulsinya
37
mengandung campuran antara LCT dan MCT dapat juga menurunkan insidensi nyeri (Eilers, 2009).
E. Indeks Bispectral (BIS) Indeks BIS disetujui oleh FDA pada tahun 1996 sebagai alat untuk membantu dalam memantau efek-efek yang ditimbulkan oleh obat-obat anestesi. Pengukuran BIS merupakan kombinasi dari suatu algorotma untuk mengoptimalkan korelasi antara gelombang EEG dan efek klinik dari obat anestesi dan dikuantifikasikan dalam bentuk suatu nilai indeks BIS. BIS dapat digunakan untuk membantu dalam menilai efek dari beberapa obat anestesi dan juga membantu mengurangi penggunaan obat anestesi, utamanya ketika menggunakan beberapa obat anestesi secara bersamaan, disamping itu juga dapat mengurangi kejadian bangun intraoperatif dan mempercepat waktu pemulihan.
Sehingga BIS dapat
digunakan selama proses induksi,
pemeliharaan dan pemulihan anestesi. Akan tetapi menjadikan BIS sebagai satu-satunya monitoring yang dapat dipercaya untuk manejemen anestesi intraoperatif tidak direkomendasikan karena terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi penilaian dari BIS diantaranya artefak dan kualitas signal yang jelek. Beberapa hal yang potensial dapat menimbulkan artefak adalah kontak dengan kulit yang jelek (impedansi tinggi), aktivitas atau kekakuan otot, pergerakan kepala dan badan, pergerakan bola mata yang terus menerus, penempatan sensor yang tidak adekuat dan adanya
38
gangguan dari signal listrik yang berlebihan. Interpretasi juga harus hati-hati bila digunakan kombinasi beberapa obat anestesi seperti ketamin, N2O atau opioid, pasien yang diketahui terdapat gangguan neurologis dan pasien yang mendapatkan pengobatan dengan obat-obat psikoaktif (Kelley, 2007). Adapun hubungan antara nilai dari indeks BIS dengan gambaran klinis dari tingkat sedasi dan anestesi dari suatu obat anestesi dapat kita lihat pada gambar berikut :
39
Gambar 13. Korelasi antara nilai dari indeks BIS dengan gambaran klinis selama pemberian obat anestesi (Kelley, 2007).
40
Gabungan proses farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat anestesi intravena dapat digambarkan pada skema berikut ini :
Dosis obat
Distribusi Metabolisme Ekskresi
Konsentrasi plasma
Konsentrasi biofase Keadaan fungsional jaringan dan Mekanisme homeostatik
Farmakokinetik
Kondisi fisiologik Kondisi patologik Faktor genetik Interaksi obat Toleransi
Interaksi reseptor obat Farmakodinamik Effectuation
Efek klinik
Efek Hemodinamik Efek Sedasi
41
BAB III
KERANGKA KONSEP
Umur BMI Jenis Pembedahan Jenis Anestesi ASA PS Lama Pembedahan Dosis Fentanil
Konsentrasi effect-site 2,5µg/mL
Hemo dinamik
PD
Efek hipnotik sedatif
PK Plasma
Obat
Target
Biofase Transpor
Signal
Ikatan Aktivasi
Efek Atau Respon
Waktu pemulihan
Konsentrasi effect-site 3µg/mL
Dosis total
Variabel kendali
Hubungan antara variabel kendali dengan variabel antara
Variabel antara
Hubungan antara variabel antara dengan variabel bebas
Variabel bebas
Hubungan antara variabel bebas dengan variabel antara
Variabel tergantung
Hubungan antara variabel antara dengan variabel tergantung
42
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan desain penelitian eksperimental yang bersifat uji klinis acak tersamar tunggal. B. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di instalasi bedah pusat RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit jejaringnya, mulai dari bulan Januari 2011 hingga jumlah sampel terpenuhi. C. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi penelitian Populasi penelitian ini adalah pasien wanita dewasa yang akan menjalani operasi laparoskopi ginekologi dengan anestesi total intravena memakai target controlled infusion propofol, berumur 20 sampai 50 tahun, yang dilakukan di kamar bedah RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan rumah sakit jejaringnya selama masa penelitian.
43
2. Sampel penelitian Sampel adalah sebagian populasi yang memenuhi kriteria penelitian dan telah menandatangani surat persetujuan terlibat dalam penelitian. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara single blind. D. Perkiraan Besar Sampel Dengan menggunakan bantuan tabel Isaac Michael dengan N=45 didapatkan jumlah sampel n=40 pasien yang terbagi menjadi 20 orang pada tiap kelompok, dengan taraf kesalahan 5% (α = 0,05). E. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 1. Kriteria inklusi a. Setuju terlibat dalam penelitian. b. Umur 20-50 tahun. c. BMI < 30 d. PS ASA I-II. e. Lama pembedahan ≤ 2 jam f. Ada persetujuan dari dokter primer yang merawat
44
2. Kriteria eksklusi a. Alergi terhadap obat penelitian b. Terdapat
gangguan
respirasi,
kardiovaskular,
neurologis,
metabolik, ginjal dan hati c. Terdapat kesulitan intubasi d. Riwayat alkohol dan ketergantungan obat-obatan F. Ijin Penelitian dan Persetujuan Etik Sebelum penelitian dilaksanakan, peneliti meminta persetujuan etik (ethical clearance) dari Komisi Etik Penelitian Biomedis pada manusia Fakultas
Kedoteran
Universitas Hasanuddin. Semua penderita
yang
memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan secara lisan dan menandatangani lembar persetujuan untuk ikut dalam penelitian secara sukarela. Bila karena suatu alasan maka pasien berhak mengundurkan diri dari penelitian ini. G. Metode Kerja 1. Alokasi subyek Subyek dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari : a. Kelompok I : Mendapatkan anestesi umum dengan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL mulai dari induksi sampai pemeliharan anestesi.
45
b. Kelompok II : Mendapatkan anestesi umum dengan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 3 µg/mL mulai dari induksi sampai pemeliharaan anestesi. 2. Cara penelitian Penderita yang akan menjalani pembedahan dengan laparoskopi dan masuk kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan tinggi badan, berat badan, tekanan darah, denyut nadi dan frekuensi napas. Semua pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan tindakan operasi. Randomisasi dilakukan 1 jam sebelum operasi, di ruang persiapan kamar operasi dilakukan pemasangan kateter intravena sambil dilakukan koreksi cairan puasa dengan larutan kristaloid ringer laktat. Di kamar operasi dilakukan pemasangan lead EKG, pengukur tekanan darah non-invasif, kapnometer, monitor BIS dan saturasi O2,
kemudian diberikan premedikasi dengan ranitidin 50 mg,
ondansentron 4 mg, midazolam 30 µg/KgBB dan fentanil 2 µg/KgBB. Sebelum induksi pasien diberikan pernapasan dengan oksigen 100% melalui sungkup muka selama 3 menit, data berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan model farmakokinetik yang akan digunakan, dimasukkan pada alat target controlled infusion kemudian induksi dilakukan dengan alat target controlled infusion propofol 5 menit setelah dilakukan premedikasi, pada kelompok I dengan konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dan pada kelompok II dengan konsentrasi effect-site 3 µg/mL dengan menggunakan model farmakokinetik dari Schneider sampai hilangnya kesadaran berupa hilangnya
46
refleks bulu mata dan kontak verbal, intubasi dilakukan jika nilai BIS antara 40-60, untuk fasilitas intubasi menggunakan pelumpuh otot atracurium 0,5 mg/KgBB yang dilakukan setelah tercapai kondisi steady-state. Konsentrasi effect-site dipertahankan selama anestesi pada kedua kelompok dan analgetik intraoperasi diberikan fentanil 2 µg/KgBB/jam secara kontinu lewat syringe pompa. MAP dan laju jantung dicatat sebelum induksi, sebelum dan setelah intubasi kemudian dalam interval 5 menit selama pemeliharan anestesi. Semua kejadian penting yang timbul, termasuk semua episode anestesi yang tidak adekuat dicatat selama operasi. Fentanil dihentikan pada akhir operasi. Bila terdapat tanda-tanda fungsi neuromuskuler yang tidak adekuat maka dilakukan reversal dengan menggunakan neostigmin 50 µg/KgBB dan sulfas atropin 20 µg/KgBB intravena dan diberikan oksigen 100% sampai respirasi spontannya adekuat. Jika end-tidal CO2 kurang dari 45, tidal volume lebih dari 7 mL/KgBB,
laju pernapasan lebih dari 12
kali/menit dan mampu angkat kepala selama 3 detik maka ekstubasi dilakukan. Pemberian propofol dihentikan pada akhir operasi dan saat itu dinyatakan sebagi titik awal dari waktu pemulihan pasien. Untuk mengetahui pasien sudah terbangun maka pasien diminta untuk membuka mata setelah dikonfirmasi dengan nilai BIS lebih dari 80.
47
H. Alur Penelitian
Pasien yang sesuai dengan kriteria penelitian
Dilakukan pemilihan sampel secara random
Premedikasi ranitidin, ondansentron, midazolam, fentanil Input data BB,TB,Umur, Jenis Kelamin Konsentrasi effect-site 2,5 ug/mL
Induksi Propofol
Konsentrasi effect-site 3 ug/mL
Pelumpuh otot dengan atrakurium 0,5 mg/KgBB
BIS 40-60
Intubasi endotrakeal
Konsentrasi effect-site propofol 2,5 ug/mL
Pemeliharaan anestesi Fentanil 2 µg/KgBB/jam/sp Atracurium 0,1 mg/KgBB
Konsentrasi effect-site propofol 3 ug/mL
Waktu Pemulihan
Ekstubasi
Pasien di RR
Pengumpulan dan analisis data
hasil penelitian
48
I. Identifikasi Variabel dan Klasifikasi Variabel 1. Identifikasi variabel Variabel-variabel pada penelitian ini adalah : a. Kosentrasi propofol pada effect-site 2,5 µg/mL b. Konsentrasi propofol pada effect-site 3 µg/mL c. Konsentrasi obat di plasma d. Tekanan arteri rerata (MAP) e. Laju Jantung f. Efek hipnotik sedatif g. Waktu pemulihan h. Dosis total propofol yang digunakan i.
Umur
j. BMI k. Jenis pembedahan l.
Jenis anestesi
m. Status fisik ASA n. Lama pembedahan o. Dosis fentanil
49
2. Klasifikasi variabel a. Berdasarkan jenis data dan skala pengukuran. Yaitu: 1. Data kategorikal : jenis pembedahan, jenis anestesi dan status fisik ASA 2. Data numerik : konsentrasi propofol pada efek site, konsentrasi obat di plasma, tekanan arteri rerata (MAP), laju jantung, efek hipnotik sedatif, waktu pemulihan, dosis total propofol yang digunakan, umur, berat badan, tinggi badan, BMI, dosis fentanil dan lama pembedahan. b. Berdasarkan peran atau fungsi dan kedudukannya. Yaitu : 1. Variabel bebas adalah a. Konsentrasi propofol pada effect-site 2,5 µg/mL b. Konsentrasi propofol pada effect-site 3 µg/mL 2. Variabel tergantung adalah a. Tekanan arteri rerata (MAP) b. Laju jantung c. Efek hipnotik sedatif d. Waktu pemulihan e. Dosis total propofol yang digunakan
50
3. Variabel Kendali adalah a. Umur b. BMI c. Jenis pembedahan d. Jenis anestesi e. Status fisik ASA f. Lama pembedahan g. Dosis fentanil 4. Variabel Antara adalah a. Konsentrasi obat di plasma b. Konsentrasi proses biofase dari obat c. Kensentrasi di tempat target J. Definisi Operasional Variabel 1. Konsentrasi propofol pada effect-site 2,5 µg/mL Konsentrasi propofol 2,5 µg/mL di effect-site yang dihitung berdasarkan persamaan farmakokinetik oleh mesin TCI berdasarkan paramater-parameter yang telah ditentukan dengan menggunakan model Schneider.
51
2. Konsentrasi effect-site 3 µg/mL Konsentrasi
propofol
3
µg/mL
di
effect-site
yang
dihitung
berdasarkan persamaan farmakokinetik oleh mesin TCI berdasarkan paramater-parameter yang telah ditentukan dengan menggunakan model Schneider. 3. Konsentrasi plasma dari obat Besarnya konsentrasi plasma dari obat yang ditentukan oleh mesin TCI 4. Tekanan arteri rerata (MAP) Diukur
dengan
menggunakan
tensimeter
elektrik
Dragger.
Pengukuran dilakukan sebelum induksi, sebelum dan setelah intubasi, dan setiap 5 menit selama pemeliharaan anestesi 5. Laju jantung Diukur dengan menggunakan monitor elektrik Dragger. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan pengukuran tekanan darah pada waktu induksi, intubasi dan pemeliharaan anestesi. 6. Efek hipnotik sedatif Diukur dengan menggunakan monitor BIS (bispectral indeks). Pengukuran dilakukan pada saat induksi, intubasi, pemeliharaan anestesi dan ekstubasi pasien. 7. Waktu pemulihan Diukur dengan menggunakan stopwatch mulai dari saat propofol dihentikan sampai nilai BIS >80.
52
8. Dosis total propofol yang digunakan Banyaknya propofol yang digunakan mulai dari saat induksi sampai operasi selesai. 9. Umur Dihitung berdasarkan tahun kelahiran yang tercantum dalam status pasien dan dikonfirmasi kembali kepada pasien. 10. BMI Ditentukan
oleh
mesin
target
controlled
infusion
dengan
menggunakan data berat badan dan tinggi badan pasien. Berat badan diukur dengan timbangan injak merek camry dan tinggi badan diukur dengan alat pengukur tinggi badan standar. 11. Dosis fentanil Besarnya dosis fentanil yang digunakan mulai dari saat premedikasi sampai operasi selesai 12. Jenis pembedahan Jenis
pembedahan
adalah
semua
jenis
operasi
laparoskopi
ginekologik yang dilakukan di instalasi bedah pusat 13. Jenis anestesi Jenis operasi yang menggunakan anestesi total intravena dengan TCI propofol.
53
14. Status fisik ASA Penilaian status fisik untuk menilai resiko anestesi dan pembedahan yang dikeluarkan oleh American Society of Anestesiology. 15. Lama pembedahan Mulai dilakukan insisi kulit sampai jahitan terakhir kulit. K. Kriteria Obyektif 1. Konsentrasi obat pada effect-site Ditentukan pada mesin TCI dinyatakan dalam µg/mL. 2. Tekanan arteri rerata (MAP) Dinyatakan dalam satuan mmhg. a. Meningkat bila terjadi peningkatan >20% dari tekanan arteri rerata awal b. Menurun bila terjadi penurunan >20% dari tekanan arteri rerata awal c. Normal bila peningkatan dan penurunan <20% dari tekanan arteri rerata awal. 3. Laju jantung Dinyatakan dalam kali/menit. a. Meningkat bila terjadi peningkatan >20 kali/menit dari laju jantung awal b. Menurun bila terjadi penurunan >20 kali/menit dari laju jantung awal c. Normal bila peningkatan dan penurunan laju nadi <20 kali/menit dari laju jantung awal
54
4. Waktu pemulihan Dinyatakan dalam satuan menit. 5. Dosis total propofol yang digunakan Dinyatakan dalam satuan mg. 6. Umur Dinyatakan dalam tahun. 7. BMI Berat badan dinyatakan dalam satuan kg, tinggi badan dalam satuan cm dan BMI dinyatakan dalam satuan Kg/cm2. 8. Status fisik ASA Skor yang digunakan yaitu : a. PS 1 : Pasien Sehat b. PS 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan c. PS 3 : Pasien dengan kelainan sistemik sedang sampai berat namun tidak menyebabkan berkurangnya kapasitas hidup d. PS 4 : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa e. PS 5 : Pasien kritis yang tidak ada harapan untuk hidup f.
PS 6 : Cangkok organ
9. Lama pembedahan Menggunakan satuan menit.
55
10. Nilai BIS Menggunakan skala 1-100 dengan nilai interpretasi sebagai berikut : a. 81 – 100 Sadar, berespon terhadap suara normal b. 61 – 80 sedasi sedang sampai ringan berespon dengan suara yang keras atau dengan dorongan dan guncangan yang ringan. c. 40 – 60 Fase anestesi umum d. 21 – 39 Fase anestesi yang dalam e. 11 – 20 Burst supression 0 – 10 EEG mendatar
f.
11. Dosis fentanil Menggunakan satuan µg. L. Pengolahan dan analisa data Data yang diperoleh diolah dan hasilnya disajikan dalam bentuk narasi, tabel dan grafik. Analisis statistik menggunakan metode SPSS 17 for windows
dengan
independent
T-test.
Bila
simpangan
baku
sangat
beragam,data diuji dengan uji non-parametrik (Mann-whitney U, Wilcoxon sign dan friedman test). Tingkat kepercayan 95% dan dianggap bermakna bila p<0,05.
56
M. Jadwal penelitian Penelitian dilakukan pada periode Januari 2011- Mei 2011 1. Persiapan
: 2 minggu
2. Pelaksanaan penelitian
: 16 minggu
3. Analisa dan peyusunan data
: 2 minggu
4. Pelaporan
: 1 minggu
N. Personalia Penelitian Pelaksana
: dr. Muhammad Rum
Pembimbing materi
: dr. Syafri K. Arif, SpAn,KIC,KAKV.
Pembimbing Metodologi
: Dr. dr. Burhanuddin Bahar, MS
Pembantu pelaksana
: Peserta PPDS Anestesiologi Unhas Perawat
RSUP
dr.
Wahidin
Makassar dan RS jejaring
Sudirohosodo
57
BAB V
Hasil Penelitian
A. Karakteristik Dasar Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dengan mengikutsertakan 40 pasien sebagai sampel penelitian yang dibagi menjadi 2 kelompok dengan 20 sampel pada tiap kelompok. Kelompok I mendapatkan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dan kelompok II dengan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 3 µg/mL mulai dari induksi sampai pemeliharaan anestesi. Tabel 3. Data karakteristik dasar sampel penelitian Karakteristik
Kelompok TCI propofol konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL
Kelompok TCI propofol konsentrasi effect-site 3 µg/mL
Nilai p*
Rerata
Min – Max
Rerata
Min - Max
Umur
34,5 (5,88)
21 – 45
34,4 (6,3)
25 – 47
P=0,818
BMI
23,87 (2,1)
19.8 – 30
23,38 (2,2)
19,5 – 27,5
P=0,449
Lama pembedahan
85,5 (17,5)
50 – 120
88,5 (19,4)
45 – 120
P=0,438
Dosis fentanil (µg)
273 (59,5)
150 – 450
278,5 (62,3)
175 – 450
P=0,925
* diuji dengan Independent t-test, dinyatakan bermakna bila probabilitas (nilai P) kurang dari 0,05.
58
Dari tabel 1 terlihat bahwa pasien yang diikutsertakan dalam penelitian ini berusia sekitar 21 hingga 47 tahun, dengan indeks masa tubuh pasien berada pada kisaran antara 19,8 sampai 30 Kg/cm2. Lama pembedahan pada kedua kelompok berkisar antara 45 sampai 120 menit dengan dosis total fentanil yang digunakan selama prosedur berlangsung antara 150-450 µg. Setelah membandingkan rerata kedua kelompok dengan Independent ttest, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam hal umur, indeks masa tubuh, lama pembedahan dan dosis total fentanil yang digunakan selama prosedur pembedahan.
59
B. Variabel Hemodinamik 1. Variabel tekanan arteri rerata (MAP) Tabel 4. Perbandingan Tekanan Arteri Rerata (MAP) antara kedua kelompok
Waktu observasi sblm induksi Sblm intubasi
Stlh intubasi menit Ke-5 menit Ke-10 menit Ke-15 menit Ke-20 menit Ke-25 menit Ke-30 menit Ke-35 menit Ke-40 menit Ke-45 menit Ke-50 menit Ke-55 menit Ke-60 menit Ke-65 menit Ke-70 menit Ke-75 menit Ke-80 menit Ke-85 menit Ke-90 menit Ke-95 menit Ke-100 menit Ke-105 menit Ke-110 menit Ke-115 menit Ke-120
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 2,5 µg/mL Rerata Min – Max p# 97 84,3 93,8 83,7 88,2 95,15 97,85 98,9 99,35 98,55 98,55 97,8 97,8 96 95 94,22 94 93,3 95,25 95,9 96,2 93,4 97,75 101,5 97 109 102
89 79 85 78 80 82 84 80 79 82 84 79 85 82 84 78 86 81 80 82 88 86 88 96 86 109 102
-
102 92 108 90 105 110 110 112 110 109 108 110 110 104 105 105 106 105 105 110 110 108 106 107 108 109 102
0,00 0,00 0,00 0,02 0,00 0,00 0,01 0,29 0,15 0,80 0,04 0,04 0,06 0,15 0,08 0,08 0,10 0,58 0,53 0,04 0,41 0,42 0,65 0,65
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 3 µg/mL Rerata Min – Max p#
Nilai p*
97,1 85,2 91,1 88,7 90,6 97,45 98,25 99,85 100,5 100,65 100,45 100,9 102 100,73 101,42 99,6 100,25 99,7 100,2 99,3 98,4 95,9 96,4 95,6 92,5 90 92
0,946 0,693 0,892 0,119 0,170 0,795 0,693 0,514 0,849 0,266 0,523 0,188 0,038 0,061 0,047 0,053 0,035 0,015 0,119 0,273 0,384 0,288 0,705 0,329 1.000 1,000 1,000
* diuji dengan Mann-Whitney U Test # diuji dengan Wilcoxon sign dan Friedman test
90 75 73 78 82 85 84 84 85 84 83 84 94 93 90 90 87 89 92 90 88 87 86 91 90 90 92
-
105 113 105 110 112 108 110 112 115 116 115 119 118 116 119 119 120 111 111 113 110 103 105 100 95 90 92
0,00 0,03 0,09 0,23 0,00 0,17 0,05 0,12 0,30 0,62 0,90 0,74 0,14 0,84 0,11 0,93 0,45 0,30 0,17 0,13 0,86 0,10 0,10 0,18
60
Gambar 14. Grafik perbandingan tekanan arteri rerata (MAP) antara kedua kelompok
61
2. Variabel laju jantung Tabel 5. Perbandingan laju jantung antara kedua kelompok
Waktu observasi sblm induksi Sblm intubasi Stlh intubasi menit Ke-5 menit Ke-10 menit Ke-15 menit Ke-20 menit Ke-25 menit Ke-30 menit Ke-35 menit Ke-40 menit Ke-45 menit Ke-50 menit Ke-55 menit Ke-60 menit Ke-65 menit Ke-70 menit Ke-75 menit Ke-80 menit Ke-85 menit Ke-90 menit Ke-95 menit Ke-100 menit Ke-105 menit Ke-110 menit Ke-115 menit Ke-120
Kelompok TCI propofol konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL Rerata Min – Max p# 78.45 70.05 77.60 70.90 70.60 71.40 71.30 71.20 71.40 71.75 71.85 71.95 70.90 69.89 69.16 69.67 69.06 69.67 70.42 70.17 69.09 67.78 68.00 68.00 68.50 76.00 66.00
66 50 51 62 65 67 63 60 61 60 62 64 63 60 62 66 60 60 62 62 63 60 60 61 64 76 66
-
105 86 87 77 84 86 81 86 88 87 87 89 82 75 75 76 80 77 77 76 73 72 73 75 73 76 66
Kelompok TCI propofol konsentrasi effect-site 3 µg/mL Rerata Min – Max P#
0,00 0,00 0,03 0,35 0,11 0,86 0,93 0,62 0,56 0,98 0,98 0,59 0,41 0,17 0,85 0,87 0,56 0,65 0,77 0,11 0,16 0,56 0,18 0,65
* diuji dengan Mann-Whitney U Test, # diuji dengan Wilcoxon sign dan Friedman test
83.35 73.40 76.50 71.65 74.35 75.40 75.55 74.70 75.85 74.35 74.05 73.35 73.68 72.63 73.32 71.00 70.19 71.20 70.23 69.85 70.62 71.00 71.71 69.00 68.00 69.00 67.00
72 60 55 62 63 64 60 60 60 60 60 60 62 62 60 60 60 61 60 61 64 62 63 68 67 69 67
- 110 - 99 - 99 - 88 - 100 - 88 - 86 - 88 - 90 - 85 - 86 - 87 - 87 - 86 - 89 - 83 - 87 - 82 - 81 - 79 - 81 - 78 - 77 - 70 - 69 - 69 67
0,00 0,04 0,00 0,12 0,09 0,83 0,29 0,17 0,04 0,45 0,20 0,84 0,04 0,01 0,60 0,13 0,12 0,72 0,72 0,26 0,07 0,52 0,49 0,15
Nilai p* 0,66 0,247 0,384 0,806 0,078 0,041 0,09 0,013 0,104 0,140 0,336 0,162 0,162 0.266 0,046 0,529 0,563 0,632 0,869 0,848 0,503 0,110 0,181 1,000 1,000 1,000 1,000
62
Gambar 15. Grafik perbandingan laju jantung antara kedua kelompok
63
Dari data hemodinamik tekanan arteri rerata
pada masing-masing
kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan bermakna secara statistik perubahan tekanan arteri rerata setelah induksi dan intubasi sampai menit ke 30 pada kelompok 2,5 µg/mL serta sampai menit ke 10 pada kelompok 3 µg/mL, namun perubahan itu secara klinis belum melebihi 20% dari tekanan arteri rerata awal dari pasien. Perubahan hemodinamik pada tekanan arteri rerata pada kedua kelompok tersebut mulai induksi, laringoskopi intubasi sampai pemeliharan anestesi secara statistik tidak berbeda bermakna kecuali pada menit ke 50, 60, 70 dan 75 dimana perbedaan itu secara klinis timbul pada fase pemeliharaan anestesi. Perbandingan laju jantung pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik perubahan laju jantung setelah induksi dan intubasi sampai menit ke 5 pemeliharan anestesi
pada kedua kelompok dan pada menit ke-35, 55 dan 60 pada
kelompok 3 µg/mL namun perubahan itu secara klinis masih berada dalam kisaran laju jantung yang normal. Perbandingan laju jantung antara kedua kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik setelah induksi, intubasi dan pemeliharaan anestesi kecuali pada menit ke15, 25 dan 60 yang timbul pada masa pemeliharaan anestesi.
64
C. Variabel Efek Hipnotik Sedatif Tabel 6. Perbandingan Nilai BIS (Bispectral Indeks) antara kedua kelompok Waktu observasi
sblm induksi Sblm intubasi Stlh intubasi menit Ke-5 menit Ke-10 menit Ke-15 menit Ke-20 menit Ke-25 menit Ke-30 menit Ke-35 menit Ke-40 menit Ke-45 menit Ke-50 menit Ke-55 menit Ke-60 menit Ke-65 menit Ke-70 menit Ke-75 menit Ke-80 menit Ke-85 menit Ke-90 menit Ke-95 menit Ke-100 menit Ke-105 menit Ke-110 menit Ke-115 menit Ke-120 * #
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 2,5 µg/mL Rerata Min – Max p# 90.50 45.35 48.35 45.95 45.65 46.25 46.30 47.15 47.05 47.55 47.65 47.85 47.35 47.68 47.79 47.56 47.59 47.20 46.58 47.17 47.73 48.56 47.75 41.00 45.50 49.00 46.00
86 40 43 40 40 42 42 40 40 42 41 40 40 43 41 40 42 41 40 43 41 40 42 40 45 49 46
-
98 47 59 49 49 50 51 52 51 52 51 52 52 51 52 53 52 51 51 50 52 56 52 42 46 49 46
0,00 0,00 0,03 0,43 0,09 0,86 0,26 0,79 0,22 0,77 0,36 0,80 0,73 0,39 0,97 0,21 0,46 0,64 0,55 0,38 0,38 0,06 0,18 0,18
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 3 µg/mL Rerata Min – Max p# 90.50 42.75 44.25 41.95 42.60 41.50 41.65 41.05 42.00 42.20 42.85 42.85 42.58 41.47 42.63 41.94 42.50 42.67 42.15 43.23 42.46 41.50 42.86 43.80 41.50 45.00 42.00
diuji dengan Mann-Whitney U Test, diuji dengan Wilcoxon sign dan Friedman test,
81 40 39 38 40 37 38 36 37 37 39 40 39 37 39 39 40 40 38 40 40 39 40 41 40 45 42
-
98 50 56 50 49 46 50 48 52 49 51 50 50 46 52 50 48 47 48 51 49 46 48 52 43 45 42
0,00 0,00 0,00 0,44 0,02 0,75 0,40 0,07 0,33 0,43 0,95 0,63 0,14 0,28 0,94 0,52 0,33 0,26 0,42 0,65 0,26 0,16 0,78 0,65
Nilai p* 0,88 0,001 0,00 0,00 0,002 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,001 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,002 0,011 0,001 0,002 0,042 0,381 0,333 1,000 1,000
65
Gambar 16. Grafik perbandingan Nilai BIS pada kedua kelompok selama prosedur anestesi
66
Tingkat sedasi
ditunjukkan dengan nilai BIS yang diukur dengan
monitor bispectral index pada kedua kelompok perlakuan, menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna dari nilai BIS sebelum induksi akan tetapi setelah induksi sampai pemeliharaan anestesi menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik yang diketahui dari nilai BIS yang lebih rendah pada kelompok 3 µg/mL. Dimana pada kelompok 3 µg/mL jumlah sampel yang memasuki tingkat sedasi yang dalam dengan nilai BIS antara 30-39 lebih banyak daripada kelompok 2,5 µg/mL yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi effect-site yang digunakan maka efek sedasi yang ditimbulkan semakin dalam. D. Variabel dosis total propofol Tabel 7. Data dosis total propofol selama anestesi pada kedua kelompok
Variabel Dosis total (mg) *
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 2,5 µg/mL
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 3 µg/mL
Rerata
Min – Max
Rerata
Min - Max
570,5
400-750
637,45
420-1000
diuji dengan Mann-Whitney U Test.
Nilai p* 0,213
67
Dosis Total Propofol (mg) 637.45
Dosis (mg)
640 620
p = 0.213
600 580
570.5
560 540 520 Propofol 2,5 µg/ml Propofol 2,5 mcg/ml
Propofol 3,0 µg/ml Propofol 3,0 mcg/ml
Gambar 17. Grafik perbandingan dosis total propofol antara kedua kelompok (p>0,05 diuji dengan Mann-Whtney U Test)
Perbandingan dosis total propofol yang digunakan selama prosedur anestesi secara statistik tidak bermakna. Akan tetapi secara klinis didapatkan konsumsi propofol yang lebih tinggi pada kelompok 3 µg/mL dengan perbedaan sekitar 60-100 mg setiap jam dengan tingkat sedasi lebih dalam yang ditunjukkan dengan nilai BIS yang lebih rendah dibandingkan dengan target controlled infusion propofol pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL.
68
E. Variabel waktu pemulihan setelah anestesi Tabel 6. Data waktu pemulihan setelah prosedur anestesi
Variabel
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 2,5 µg/mL
Waktu pemulihan (mnt) *
Kelompok TCI Propofol Konsentrasi Effect-site 3 µg/mL
Rerata
Min – Max
Rerata
Min - Max
8,45
7-10
10,25
8-13
Nilai p* 0,000
diuji dengan Mann-Whitney U Test,
Waktu Pemulihan (Menit) Propofol Propofol3,0 3,0mcg/ml µg/ml
p = 0,00 Propofol Propofol2,5 2,5mcg/ml µg/ml
0
2
4
6
8
10
12
Waktu (menit)
Gambar 18. Grafik perbandingan waktu pemulihan antara kedua kelompok (p<0,05 diuji dengan Mann-Whitney U Test)
69
Perbandingan waktu pemulihan setelah prosedur anestesi selesai sampai pasien dapat buka mata dengan nilai BIS lebih dari 80, terdapat perbedaan bermakna secara statistik diantara kedua kelompok, yang secara klinis ditunjukkan oleh waktu pemulihan pada kelompok 3 µg/mL lebih lama rata-rata 2-3 menit dibandingkan kelompok 2,5 µg/mL tetapi secara klinis tidak berbeda secara bermakna.
70
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini kami membandingkan bagaimana pengaruh anestesi total intravena dengan menggunakan target controlled infusion dengan
menggunakan
propofol.
Adapun
model
farmakokinetik
yang
digunakan adalah model Schnider yang telah disebutkan dapat memprediksi waktu
keseimbangan
effect-site
yang
lebih
cepat
di
dalam
darah
dibandingkan dengan model Marsh pada saat induksi anestesi, lebih baik dalam mengontrol kedalaman anestesi dan dapat mengurangi konsumsi propofol selama prosedur anestesi (Barakat dkk., 2007). Kami menggunakan konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL yang dibandingkan dengan konsentrasi effect-site 3 µg/mL dengan melihat bagaimana pengaruh hemodinamik yang ditimbulkan
sesuai
dengan
level
sedasi
yang
diinginkan
dengan
menggunakan monitor BIS (bispectral indeks) kemudian membandingkan konsumsi propofol dan waktu pemulihan diantara kedua kelompok setelah prosedur anestesi selesai. Dari hasil penelitian yang didapatkan menunjukkan terjadinya perubahan hemodinamik yang terjadi pada kedua kelompok baik tekanan arteri rerata maupun laju jantung setelah induksi dan setelah laringoskopi intubasi. Namun perubahan tekanan arteri rerata dan laju jantung pasien
71
belum melebihi 20% dari pengukuran awal, penurunan tekanan arteri rerata dan laju jantung setelah induksi merupakan pengaruh langsung propofol terhadap otot polos pembuluh darah yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga akan menurunkan preload dan afterload jantung disamping itu penurunan laju jantung disebabkan oleh penghambatan barorefleks yang normal oleh propofol yang sinergis dengan penggunaan opioid fentanil. Penurunan tekanan arteri rerata yang tidak melebihi 20% dari pengukuran awal pada penggunaaan target controlled infusion ini karena dosis bolus yang diberikan tidak sebesar pemberian dengan teknik manual kemudian setelah tercapai keseimbangan antara konsentrasi plasma dan effect-site maka alat TCI akan mempertahankan konsentrasi tersebut dengan memberikan dosis pemeliharaan sehingga kedalaman anestesi terjaga, disamping itu pemberian dosis fentanil 2 µg/Kgbb sebelum induksi pada penelitian ini cukup memberikan analgesia yang kuat dan menunggu waktu yang tepat sampai obat pelumpuh otot bekerja secara optimal sebelum melakukan laringoskopi intubasi menyebabkan perubahan hemodinamik yang timbul saat dilakukan laringoskopi dan intubasi tidak melebihi 20% dari pengukuran hemodinamik awal dengan respon somatik (pergerakan, keluar airmata, bucking) yang minimal. Terjadinya peningkatan tekanan arteri rerata pada pemeliharaan anestesi selama prosedur berlangsung timbul setelah insuflasi gas CO2 ke kavum abdomen dan pasien diposisikan trendelenburg untuk laparoskopi ginekologi ini.
72
Akan tetapi, tingkat sedasi yang diukur dari nilai BIS selama prosedur induksi, laringoskopi dan intubasi, menunjukkan nilai yang lebih rendah pada konsentrasi effect-site 3 µg/mL dibandingkan pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL yang menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi effect-site yang digunakan
semakin
kemungkinan
dalam
efek
sedasi
yang
dihasilkan
sehingga
timbulnya kesadaran selama prosedur laringoskopi dan
intubasi dilakukan lebih rendah, dengan demikian akan mengurangi terjadinya perubahan hemodinamik yang berlebihan selama prosedur laringoskopi dan intubasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menggunakan TCI propofol untuk prosedur laringoskopi dan intubasi yang dilakukan oleh Lugo dkk. (2005), untuk operasi laparoskopi dimana perubahan tekanan arteri rerata tidak melebihi 20% dari tekanan arteri rerata sebelum induksi, laringoskopi dan intubasi, demikian pula dengan perubahan laju jantung yang tidak melebihi 10% dari laju jantung awal dengan tingkat kedalaman
anestesi
yang
semakin
baik
dengan
semakin
tingginya
konsentrasi effect-site yang digunakan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Yeganeh dkk. (2006), dengan perubahan tekanan arteri rerata kurang dari 10% dan laju jantung kurang dari 5% dibandingkan sebelum induksi, laringoskopi dan intubasi dilaksanakan. Penelitian lain oleh Olmos dkk. (2000), dengan menggunakan TCI propofol untuk induksi dan intubasi
menunjukkan perubahan hemodinamik berupa tekanan darah
sistolik dan diastolik serta laju jantung sekitar 13% ±6%. Sementara itu
73
penelitian yang dilakukan oleh Passot dkk. (2002), untuk prosedur laringoskopi dan bronkoskopi juga menunjukkan perubahan tekanan arteri rerata setelah induksi turun 8,9%±1,2% dan setelah intubasi naik 6,8%±1,4% dengan menggunakan TCI propofol. Nilai BIS yang lebih rendah untuk konsentrasi effect-site 3 µg/mL pada saat induksi dan intubasi menunjukkan bahwa untuk prosedur induksi dan intubasi lebih baik menggunakan konsentrasi yang lebih tinggi supaya lebih cepat tercapai keseimbangan antara konsentrasi plasma dan effect-site dengan level sedasi yang cukup untuk mencegah timbulnya kesadaran yang akan mengurangi efek hemodinamik timbul pada saat prosedur laringoskopi dan intubasi. Sedangkan untuk prosedur pemeliharaan anestesi konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL menunjukkan tingkat sedasi yang
lebih tinggi tetapi
masih dalam batas yang sesuai untuk prosedur anestesi umum. Informasi mengenai
tingkat
sedasi
yang
diperoleh
dari
monitor
BIS
yang
dikombinasikan dengan parameter-parameter lain dan tanda-tanda klinis yang muncul selama prosedur berlangsung akan membuat kita dapat mengatur keseimbangan pemberian antara obat hipnotik sedatif dan analgetik (Kathryn and Mathew, 2008). Dengan demikian dapat dilakukan titrasi obat hipnotik sedatif berdasarkan kebutuhan individu sehingga akan mengurangi
insidensi
kekurangan
atau
kelebihan
dosis
obat,
yang
selanjutnya dapat memberikan petunjuk untuk melakukan intervensi selama prosedur anestesi berlangsung seperti pemberian obat hipnotik, analgetik
74
dan obat vasoaktif yang lebih rasional. Dengan pemakaian monitor BIS telah disebutkan dapat mengurangi penggunaan obat anestesi, bangun lebih cepat dan masa pemulihan yang lebih singkat setelah prosedur anestesi selesai. Sebuah metaanalisis dengan subyek sebanyak 1580 pasien dari 11 penelitian menunjukkan bahwa dengan penggunaan monitor BIS dapat mengurangi kebutuhan obat anestesi sampai 19%, mengurangi insidensi mual dan muntah, dan mengurangi lama tinggal di ruang pemulihan pada pasien rawat jalan akan tetapi terdapat peningkatan biaya karena pemakaian elektroda BIS (Pavlin dkk., 2005). Disamping itu monitor BIS hanya dapat mengukur tingkat hipnotik sedatif dari pasien dan tidak dapat memprediksi secara pasti kapan pasien bergerak atau
respon hemodinamik terhadap
suatu stimulus nyeri yang ditimbulkan karena respon ataupun proses pembedahan sehingga harus dikombinasikan dengan alat yang dapat memonitor tingkat nyeri dan efektifitas dari obat pelumpuh otot yang digunakan selama pemeliharaan anestesi (Kathryn and Mathew, 2008). Adapun tingkat konsumsi propofol selama prosedur anestesi pada penelitian iini menunjukkan terdapat perbedaan sekitar 60-100 mg setiap jam yang lebih tinggi pada konsentrasi effect-site 3 µg/mL dengan tingkat sedasi yang lebih rendah pula. Pada penelitian sebelumnya dikatakan bahwa dengan teknik TCI ini penggunaan propofol jauh lebih banyak dibandingkan teknik infus manual, akan tetapi dengan penggunaan monitor BIS dan penggunaan
konsentrasi
effect-site
sebagai
target
konsentrasi
serta
75
kombinasi
dengan analgetik opiod dan golongan benzodiasepin ternyata
dapat menurunkan kebutuhan propofol selama prosedur anestesi (Olmos, 2000). Dengan menggunakan konsentrasi yang lebih rendah maka konsumsi propofol lebih sedikit dan waktu pemulihan menjadi lebih singkat pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dibandingkan konsentrasi effect-site 3 µg/mL. Waktu pemulihan dari anestesi yang ditandai dengan nilai BIS lebih dari 80 dimana pasien dapat buka mata dengan panggilan suara yang normal tidak jauh berbeda antara kelompok konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL dan 3,0 µg/mL meskipun perbedaan itu bermakna secara statistik. Hal yang sama didapatkan pula oleh Lugo dkk. (2005), dengan waktu pemulihan 7,2±2,7 menit dengan menggunakan konsentrasi effect-site propofol 3-3,5 µg/mL dengan perbedaan lebih dari 5 menit bila menggunakan teknik infus manual. Waktu pemulihan dari efek sedasi obat anestesi bergantung pada seberapa besar konsentrasi obat tersebut pada tempat kerjanya dan di dalam darah ketika infus obat secara kontinu dihentikan. Dengan menggunakan alat TCI ini, maka waktu pemulihan dapat dihitung sehingga kita dapat memprediksi waktu yang dibutuhkan supaya pasien dapat buka mata dengan nilai BIS lebih dari 80. Terdapat kekurangan dalam penelitian karena tidak menggunakan TOF untuk melihat bagaimana pengaruh pelumpuh otot terhadap tingkat sedasi dan masa pemulihan secara lebih obyektif, disamping itu pemberian
76
analgetik opioid intravena tidak dapat menekan secara keseluruhan respon nyeri yang timbul selama pembedahan dilakukan. Sistem yang digunakan pada penelitian ini masih menggunakan sistem open loop sedangkan yang terbaru telah dikembangkan sistem closed loop.
77
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Tidak terdapat perubahan hemodinamik yang bermakna selama prosedur anestesi pada penggunaan target controlled infusion konsentrasi effectsite 2,5 µg/mL dengan 3 µg/mL 2. Terdapat perbedaan tingkat sedasi selama prosedur anestesi dengan nilai BIS rata-rata 42,75 dan 44,25 sebelum dan setelah intubasi serta 4145 selama pemeliharaan anestesi pada konsentrasi effect-site 3 µg/mL yang lebih rendah dibandingkan nilai BIS rata-rata 45,35 dan 48,35 sebelum dan setelah intubasi serta 45-49 pada konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL. 3. Jumlah dosis propofol yang digunakan pada target controlled infusion propofol konsentrasi effect-site 2,5 µg/mL lebih sedikit dibandingkan konsentrasi effect-site propofol 3 µg/mL 4. Waktu pemulihan setelah anestesi lebih singkat pada target controlled infusion
propofol
konsentrasi
effect-site
konsentrasi effect-site propofol 3 µg/mL.
2,5
µg/mL
dibandingkan
78
B. Saran
1. Untuk prosedur induksi dan laringoskopi intubasi lebih baik menggunakan target controlled infusion propofol konsentrasi effect-site 3 µg/mL, sedangkan untuk pemeliharaan anestesi digunakan konsentrasi effectsite propofol 2,5 µg/mL 2. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan TOF untuk menilai efek dari obat pelumpuh otot serta kombinasi dengan teknik anestesi yang dapat mengurangi respon nyeri selama pembedahan seperti epidural anestesi untuk meminimalkan respon stres selama pembedahan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, KJ. Kenny, GNC. 2003. Total Intravenous Anesthesia (TIVA) II : Pharmacodynamics of Intravenous Anaesthetics. Royal Col J of Anaesth. 43 : 831-34. Astrazeneca 1999. Target Controlled Infusion, Target Controlled Infusion in Anesthesia Practice, UK. Barakat, A.R., Sutcliffe, N., Schwab, M. 2007. Effect-site Concentration during Propofol TCI Sedation: a Comparison of Sedation Score with two Pharmakokinetics Models. Anesthesia. 62 : 661 - 666. Braun. 2003. A New Approach to Improved Anesthesia Optimised Solution for TIVA. B braun melsungen, Jerman. Bressan, N., Moreira, A.P., Amorin, P. etal. 2009. Target Controlled Infusion Algorithms for Anesthesia : Theory vs Practical Implementation. IEEE Minnessota, USA. 6234-37. Eilers, H. 2009. Intravenous Anesthetics. dalam Stoelting RK, Miller RD eds. Basic of Anesthesia. 5th ed. Churchill Livingstone Elsevier, Philadelphia. Iwakiri, H., Nishihara, N., Nagata O., etal. 2005. Individual Effect-site Concentrations of Propofol are Similar at Loss of Consciousness and at Awakening. Anesth Analg. 100 : 107 – 110. Kathryn, E., Matthew, C. 2008. Ambulatory Surgery, Anesthesiology Problemoriented Patient Management. 6th ed. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Kelley, S.D. 2007. Using the Bispectral Indeks during Anesthesia. Monitoring Consciousness, Aspect Medical System. USA. Kenny, G.N.C. 2009. Drug Administration with Target Controlled Infusion Systems and Future Applications. Glasgow University Press, UK. Kim, J.Y., Park, S.Y., Park, S.K., etal. 2010. Titration of the Plasma Effect-site Equilibrium Rate Constant of Propofol; a Link Method of ‘concentrationprobability-time’. Korean J Anesthesiol. 58 : 231 – 38. Kim, W.Y., Kang, H.T., Lee, S.E., etal. 2008. The EC50 of Propofol for Loss of Response to Command during Remifentanil/Propofol Anesthesia. Korean J Anesthesiol. 54 : 16 – 20.
80
Leslie, K., Clavisi, O., Hargrove, J. 2008. Target-Controlled Infusion versus Manually-Controlled Infusion of Propofol for General Anesthesia or Sedation in Adults. IARS J. 107 : 2089. Liu, S.H., Wei, W., Ding, G.N., etal. 2009. Relationship between Depth of Anesthesia and Effect-site Concentration of Propofol during Induction with the TargetControlled Infusion Technique in Elderly Patients. Chinese med J. 122 : 935-940. Lugo, G., Esquivel, V., Guiterrez, H. et al. 2005. Total Intravenous Anesthesia with Propofol and Fentanyl : a Comparison of Target-controlled versus Manual Controlled Infusion Sistem. Rev Mexica Anestesiologia, 28 : 20 - 26. Marsaban, A. 2009. Target-controlled infusion Farmakokinetik dan Farmakodinamik, Makalah disajikan dalam acara KPPIA, Jakarta 16-20 Juli. Nora, S.F., Pimentel, M., Zimerman, L. etal. 2009. Total Intravenous Anesthesia with Target-Iontrolled Infusion of Remifentanil and Propofol for Ablation of Atrial Fibrilation. Rev Brasiliera Anestesiologia. 59 : 738 - 40 Olmos, M., Ballester, J.A., Vidarte, M.A. 2000. The Combined Effect of Age and Premedication on the Propofol Requirements for Induction by TargetControlled Infusion. Anesth Analg. 90 : 1157 - 1161. Passot, S., Servin, F., Allary, R., etal. 2002. Target-Controlled versus ManuallyControlled Infusion of Propofol for Direct Laryngoskopi and Bronchoscopy. Anesth Analg. 94 : 1212 -16. Pavlin, J.D., Souter, K.J., Hong, J.Y. 2005. Effects of Bispectral Index Monitoring on Recovery from Surgical Anesthesia in 1,580 Patients from an Academic Medical Center. Anesthesiology. 102 : 566 - 573 Reves, J.G. 2006. Nonvolatile Anesthetic Agents. dalam : Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, eds. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill : New York. Roberts F, Turner F. 2009. Pharmakokinetics and Anesthesia. dalam : Update in Anesthesia. 1st ed. UK. Setiawati A, Suyatna FD, Gan S. 2009. Pengantar Farmakologi. Dalam: Gunawan SG, Setiabudi R, Elisabeth editors. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5, BP FKUI : Jakarta. Sivashsubramaniam, S. 2008. Target Controlled Infusion (TCI) in Anaesthetic Practice, (Online). Stoke : UK. 1-7.( http://www.frca.co.uk diakses 20
oktober 2010).
81
Sikka, P.K. 2009. Basic Pharmacologic Principles. dalam : Stoelting RK, Miller RD eds. Basic of Anesthesia. 5th ed. Churchill Livingstone Elsevier : Philadelphia. Sneyd, J.R. 2004. Recent Advance in Intravenous Anesthesia. Br J Anaesth. 93 : 726-730. Sneyd,
J.R., Andrews, C.J.H., Tsubokawa, T. 2005. Comparison of Propofol/Remifentanil and Sevoflurane/Remifentanil for Maintenance of Anesthesia for Elective Intracranial Surgery. Br J Anaesth. 94 : 778 - 783.
Sreevastava, D.K., Upadhayaya, Mohan, C.V.R. 2008. Automated Target Controlled Infusion Systems : Future of total intravenous anesthesia. MJAFI. 64 : 261 262. Stoelting, R.K., Hiller, S.C. 2006. Pharmakokinetics and Pharmacodinamics of Injected and Inhaled Drugs. dalam : Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins : Philadelphia. Stoelting, R.K., Hiller, S.C. 2006. Nonbarbiturate Intravenous Anesthetic Drugs. dalam : Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins : Phildelphia. Yeganeh, N., Roshani, B. 2006. A Bispectral Index Guided Comparison of TargetControlled versus Manually-Controlled Infusion of Propofol and Remifentanil for Attenuation of Pressor Respons to Laryngoscopy and Tracheal Intubation in Non Cardiac Surgery. JRMS. 11 : 302 - 308. Yeganeh, N., Roshani, B., Almasi, A., etal. 2010. Corelation between Bispectral Index and Predicted Effect-site Concentration of Propofol in Different Levels of Target Controlled Propofol Induced Sedation in Healthy Volunteers. Arch Iran Med. 13 : 126 – 134.
82
LAMPIRAN 1
NASKAH PENJELASAN KEPADA SUBYEK UNTUK PERSETUJUAN
Selamat siang Bapak/Ibu/Saudara(i).
Bagaimana keadaannya Bapak/Ibu/Saudara(i)? Kenalkan nama saya dr. Muhammad Rum, saya adalah dokter anestesi. Pembiusan yang akan Bapak/Ibu jalani untuk operasi laparoskopi ini adalah pembiusan umum atau seluruh badan. Dengan menggunakan alat TCI untuk memasukkan obat anestesi kedalam tubuh lewat infus intravena. Konsekuensi yang terjadi selama operasi adalah anestesi bisa dangkal atau dalam yang bisa diatasi dengan menambah atau mengurangi dosis obat selama operasi berlangsung. Keuntungan pemberian obat anestesi propofol dengan menggunakan alat ini adalah konsentrasi obatnya lebih terukur, kedalaman anestesi bisa dipertahankan dengan lebih mudah, waktu pemulihan lebih cepat, dosis obat yang diberikan lebih terukur dan efek mual muntah yang lebih sedikit. Efek samping berupa anestesi dangkal atau terlalu dalam dapat terjadi. Bila terjadi konsentrasi obat dapat dinaikkan dan diturunkan sesuai kebutuhan pembedahan. Penelitian ini akan dilaksanakan selama 3 bulan dan bertujuan untuk menilai bagaimana penggunaan alat TCI memakai obat propofol selama operasi laparoskopi sehingga efek samping akibat pemakaian secara manual atau mengunakan gas anestesi dapat dihindari. Jika setuju, maka Bapak/Ibu/Saudara(i) akan mendapatkan pengawasan ketat selama prosedur tersebut berlangsung dan semua biaya untuk tindakan
dan bahan yang
digunakan dalam penelitian ini ditanggung sepenuhnya oleh saya selaku peneliti. Semua data-data mulai dari identitas sampai hasil penelitian akan dijamin kerahasiannya. Namun bila Bapak/Ibu/Saudara(i) tidak bersedia ikut
83
dalam penelitian ini atau mungkin mengundurkan diri dari penelitian ini, kami tidak
akan
memaksakannya
dan
tetap
akan
diberikan
pelayanan
sebagaimana mestinya sesuai dengan standar pelayanan medis yang ada. Dan bila ada sesuatu perselisihan selama rangkaian penelitian ini, bapak/ibu/saudara(i) bersama saya selaku peneliti dapat melakukan musyawarah untuk mencari jalan terbaik dalam menangani perselisihan tersebut. Jika ada yang belum dimengerti dipersilahkan untuk bertanya.
Terima kasih,
dr. Muhammad Rum Alamat : Jl Kartini 1A Makassar HP : 085242125352
84
Lampiran 2 LEMBAR PENGUMPUL DATA Data Pribadi Pasien
Nama pasien
:
BB
:
Kg
Umur
:
TB
:
cm
Pendidikan
:
BMI
:
Kg/m2
Alamat
:
No.Sampel
:
Pekerjaan
:
No Rekam Medis
:
thn
Data Klinis 1. Diagnosis MRS
:
2. ASA PS
:
3. Mulai Anestesi
:
4. Mulai Operasi
:
5. Selesai Operasi
:
85
LEMBAR PENGAMATAN Konsentrasi effect site =
µg/ml
Waktu MAP Nadi BIS Sebelum induksi Setelah induksi Setelah intubasi Pemeliharaan Anestesi(menit) 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 105 110 115 120 Waktu Pemulihan Dosis propofol
:
menit :
mg
86
Lampiran 3
87
Lampiran 4 Paramater yang telah dikembangkan pada TCI untuk propofol dan remifentanil