318112529-laporan-kasus-status-epileptikus.docx

  • Uploaded by: clarissa1010
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 318112529-laporan-kasus-status-epileptikus.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,468
  • Pages: 25
PRESENTASI KASUS NEUROLOGI STATUS EPILEPTIKUS

Disusun Oleh : Gabriella Florencia 07120120103 Pembimbing : dr. Lilie Lalisang, Sp. S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM SILOAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN PERIODE 23 Mei – 25 Juni 2016 TANGERANG

BAB I. LAPORAN KASUS 1.1 IDENTITAS PASIEN Nama Jenis kelamin Usia Status Agama Alamat Pekerjaan No. Rekam medis Tanggal Masuk RS

: Ny. H : Perempuan : 20 tahun : Cerai : Islam : Balaraja : Ibu Rumah Tangga : RSUS 00 – 67 – 58 – XX : 19 Mei 2016

1.2 ANAMNESIS Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ayah pasien, pada: Tanggal : 24 Mei 2016 Tempat : Bangsal Medical Lt. 3, Rumah Sakit Umum Siloam Keluhan Utama Pasien datang dengan keluhan kejang sebanyak 12 kali dalam 1,5 jam Riwayat Penyakit Sekarang Pasien pertama kali kejang 5 tahun SMRS. Pada saat serangan, pasien tampak seperti melamun dan tidak merespon saat diajak bicara. Serangan terjadi  seminggu sekali dengan durasi 3-5 menit tiap kejang. Pasien lalu menjalani pengobatan (lupa nama obat) selama 2,5 tahun dan selama itu pasien bebas kejang. Pasien kemudian berhenti minum obat 2,5 tahun SMRS secara mendadak karena merasa sudah sembuh. Kejang kemudian berulang. Selain episode kejang yang terlihat seperti orang melamun, pasien juga mengalami kejang dengan ciri berbeda. Kejang diawali dengan pandangan kosong seperti melamun lalu diikuti kejang kelojotan seluruh badan dengan mata melotot. Kejang terjadi 1-2 kali seminggu dengan durasi 5-7 menit. Setelah kejang, pasien membutuhkan waktu  15 menit untuk kembali sadar sepenuhnya. Sejak 1 bulan SMRS, frekuensi serangan kejang pasien meningkat hingga 3-4 kali setiap minggu. Di saat yang bersamaan, pasien mulai memperlihatkan disorientasi saat diajak bicara yang semakin lama semakin bertambah parah. Selama 3 hari berturut-turut SMRS, pasien mengalami kejang seperti melamun ataupun yang diikuti dengan kelojotan satu badan, sebanyak  5 kali per hari dengan durasi 5-10 menit. Pada malam hari ketiga, pasien mengalami kejang sebanyak 12 kali dalam 1,5 jam pada saat tidur dengan durasi 5-10 menit setiap

2

kejang, tanpa adanya perbaikan kesadaran di antara kejang. Serangan kejang ini menyebabkan lidah pasien tergigit di bagian pinggir kanan dan kiri. Setelah kejang, pasien terlihat bingung selama  15 menit. Pasien lalu dibawa ke IGD pada pagi harinya. Ayah pasien mengatakan bahwa pasien cenderung kejang jika sedang banyak tekanan. Sebelum setiap kejang, pasien sering merasa sakit kepala sebelum kemudian tidak sadarkan diri, tidak ada penglihatan cahaya atau mencium bau aneh. Pada pasien tidak ada demam, mual, muntah, mengompol atau BAB pada saat kejang. Riwayat Penyakit Dahulu  Pasien memiliki riwayat operasi caesar 3 bulan yang lalu.  Pasien tidak memiliki riwayat otitis media, sinusitis, komplikasi perinatal, 

kejang demam, ataupun siklus menstruasi yang tidak teratur. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan kanker sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga  Tidak ada yang mengalami hal serupa. Riwayat Sosial/Kebiasaan/Pola Hidup  Pasien tidak memiliki kebiasaan

merokok,

minum

alkohol,

dan

penyalahgunaan obat. Riwayat Alergi  Pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan, minuman, maupun obat. 1.3 PEMERIKSAAN FISIK 1.3.1 Status Generalis Keadaan Umum : Tampak sakit sedang Kesadaran : Compos Mentis Tanda Vital Suhu tubuh Tekanan darah Denyut nadi Laju napas

: 36.4 oC : 110/70 mmHg : 90 kali/menit : 20 kali/menit

3

Bagian tubuh Kepala

Normocephali

Mata

Visus dalam batas normal

THT

Luka pada lidah bagian lateral (+)

Leher

Bruit (-)

Thorax Paru Jantung Abdomen Punggung Ekstremitas 1.3.2

Hasil pemeriksaan

Thorax dalam batas normal Vesikuler seluruh lapang paru, Rhonki -/S1/S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-) Bising usus (+), Nyeri tekan (-) Dalam batas normal Dalam batas normal, CTR < 2 detik

Status Neurologis GCS : E4 M6 V4 Tanda rangsang meningeal Kaku kuduk :Tanda laseq : >70o / >70o Tanda kerniq : >135o / >135o Brudzinski I :Brudzinski II :-

Saraf Kranial Nervus I Nervus II  

Visus Lapang pandang



Warna



Fundus

Kanan Tidak dilakukan

Kiri Tidak dilakukan

Normal

Normal

Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Tidak dapat dinilai

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

4

Nervus III, IV, VI      

Sikap bola mata Pupil = Isokhor RCL RCTL Nistagmus Pergerakan bola mata

Ortoforia

Ortoforia

Bulat, 2-3 mm

Bulat , 2-3 mm

+

+

+

+

-

-

Simetris

Simetris

Normotonus

Normotonus

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Normal

Normal

Normal

Normal

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Normal

Normal

Nervus V 





Motorik Inspeksi Palpasi Membuka mulut Gerakan rahang Sensorik Sensibilitas V1 Sensibilitas V2 Sensibilitas V3 Reflex Kornea

Nervus VII  

Sikap mulut istirahat Angkat alis, kerut dahi,

 

tutup

dengan kuat Kembung pipi Menyeringai

mata

5

Nervus VIII Nervus cochlearis 

Suara gesekan jari

Nervus vestibularis  

Nistagmus Berdiri dengan satu



kaki Mata Tertutup Mata Terbuka Berdiri dengan dua

 

kaki Mata Tertutup Mata Terbuka Berjalan tandem Fukuda stepping test

Past pointing test

Normal

Normal

-

-

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Tidak dilakukan

Simetris

Simetris

Ditengah

Ditengah

-

-

-

-

Tidak Dilakukan

Tidak Dilakukan

Nervus IX, X    

Arkus faring Uvula Disfoni Disfagi

Reflex faring Nervus XI 

M.

Normal

Normal



Sternocleidomastoid M. Trapezius

Normal

Normal

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Normal

Normal

Normal

Normal

Nervus XII Sikap lidah dalam mulut     

Deviasi Atrofi Fasikulasi Tremor Menjulurkan lidah

Kekuatan lidah

6

Normal

Normal

MOTORIK Inspeksi

:

Eutrofi Eutrofi Eutrofi Eutrofi

Fasikulasi Palpasi

: - /

-

: Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

Kekuatan Motorik

:

4444 4444 4444 4444

Gerakan Involunter

:-/-

REFLEKS Refleks Fisiologis

:

Biceps Triceps KPR APR

Kana

Kiri

n ++ ++ ++ ++

++ ++ ++ ++

Refleks Patologis Babinski Chaddock Oppenheim Gordon Hoffman Trommer Schaffer Rossolimo Mendel Beethrew

: Kanan -

Kiri 7

SENSORIK

: Kanan

Ekstremitas Atas Raba Nyeri Posisi Sendi Suhu Getar Ekstremitas Bawah Raba Nyeri Posisi Sendi Suhu Getar

Kiri

(+) (+) tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan

(+) (+) tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan

(+) (+) tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan

(+) (+) tidak dilakukan tidak dilakukan tidak dilakukan

KOORDINASI Tes Tunjuk – Hidung Tes Tumit – Lutut Disdiadokokinesis

: Tidak dapat dinilai : Tidak dapat dinilai : Tidak dapat dinilai

OTONOM Miksi Defekasi Sekresi keringat

: Normal : Normal : Normal

FUNGSI LUHUR MMSE Orientasi Registrasi Atensi dan Kalkulasi Bahasa Proyeksi gambar Total Intepretasi

:0 :3 :0 :8 :1 : 12 : terdapat gangguan kognitif berat

1.4 RESUME Pasien perempuan, 20 tahun, datang dengan keluhan kejang umum sebanyak 12 kali dalam 1,5 jam dengan durasi 5-10 menit setiap kejang, tanpa adanya perbaikan kesadaran di antara kejang. Pasien membutuhkan sekitar 15 menit untuk sadar sepenuhnya. Pasien memiliki riwayat kejang tipe absence sejak 5 tahun SMRS dan tonik klonik sejak 2,5 tahun SMRS dan memiliki riwayat pengobatan yang tidak teratur.

8

Pada pemeriksaan fisik ditemukan general weakness, luka pada lidah bagian lateral, dan penurunan fungsi luhur yang didapat dari pemeriksaan MMSE dengan hasil 12 (gangguan kognitif berat). 1.5 DIAGNOSIS Klinis Topis Etiologi Patologi

: Status epileptikus, general weakness, gangguan kognitif berat : Korteks hemisfer serebri bilateral : Idiopatik : Hipersinkronisasi impuls elektrik pada korteks

1.6 DIAGNOSIS KERJA Status epileptikus idiopatik tipe konvulsan 1.7 DIAGNOSIS BANDING Status epileptikus et causa metabolik Kejang psikogenik 1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan darah lengkap

9

Examination HEMATOLOGY Full Blood Count Hb Ht Eritrosit (RBC) White blood cell (WBC) Differential Count Basophil Eosinophil Band neutrophil Segmented neutrophil Lymphocyte Monocyte Platelet Count ESR MCV, MCH, MCHC MCV/VER MCH/HER MCHC/KHER BIOCHEMISTRY SGOT/ SGPT SGOT (AST) SGPT (ALT) Ureum Creatinine Creatinine eGFR Blood Glucose POCT Electrolyte (Na, K, Cl) Sodium (Na) Potasium (K) Chloride (Cl)

Reference Value

Unit

19/05/16

11.70-15.50 35.00-47.00 3.80-5.20 3.60-11.00

g/dL % 10⌃6/ μL 1000/uL

14.00 42.30 4.80 10.52

0-1 1-3 2-6 50-70 25-40 2-8 150.00-440.00 0-20

% % % % % % 1000/uL mm/ hours

0 3 3 70 25 7 440 20

80.00-100.00 26.00-34.00 32.00-36.00

fL pg g/dL

88.10 29.20 33.10

5-34 0-55 <50.00

U/L U/L mg/dL

16 14 21.0

0.5-1.1 ≥60 <200.0

mg/dL ml/mnt/1.73 m⌃2 mg/dL

0.62 130.4 101

137-145 3.6-5.0 98-107

mmol/ L mmol/ L mmol/ L

145 3.6 103

10

Electroencephalogram Klasifikasi

: Abnormal III (Bangun, Tidur)

1. Gelombang tajam, regional bifrontal 2. Perlambatan intermittent, regional bifrontal 3. Perlambatan intermittent, regional fronto-temporal kiri 4. Perlambatan intermittent, regional fronto-sentral kanan 5. Perlambatan intermittent, menyeluruh Kesan: Gambaran EEG saat ini menunjukkan adanya fokus epileptogenik pada kedua daerah frontal. Selain itu didapatkan disfungsi kortikal pada daerah temporal kiri, sentral kanan, dan menyeluruh. Ds CT cranial/ head screening non contrast.

11

Telah dilakukan pemeriksaan DSCT kepala tanpa kontras, potongan axial, dengan hasil sbb: Tampak lesi hipodens pada kapsula interna cruz posterior kiri Perifer cortical sulci dan gyri dalam batas normal Sistem ventrikel dan sisterna baik Tak tampak midline shift Tak tampak pendarahan intracerebral dan epi/subdural dan subarachnoid Infra tentorial, tidak tampak lesi pada pons, cerebellum dan daerah CPA 12

Tak tampak kelainan pada supra dan parasellar Bulbus okuli, n.optikus dan mm.recti bilateral tak tampak kelainan Sinus paranasalis dan mastoid dalam batas normal Tulang-tulang kranial intak Deviasi septum nasi ke kanan Concha nasalis inferior kiri menebal Kesan: Lacunar infark lama pada kapsula interna cruz posterior kiri Rhinitis kronik Deviasi septum nasi ke kanan X-Ray Thorax Kedua sinus costophrenicus dan diafragma normal. Cor

: CTR < 50%

Aorta

: Baik Hilus, pleura dan mediastinum baik.

Pulmo

: Corakan bronkhovaskular paru normal Tak tampak infiltrat pada kedua parenkim paru

Tulang-tulang dada baik Kesan: Cor dan pulmo tak tampak kelainan EKG 19/05/16 10:18

13

1.9 TERAPI  Asam valproat (Depakote) 250 mg 3ddI  Asam folat 1mg 1ddI 1.10 PROGNOSIS Ad vitam Ad functionam Ad sanationam

: bonam : dubia ad bonam : dubia ad malam

14

BAB II. ANALISA KASUS 2.1 Analisa kasus Diagnosis kerja kasus pasien ini adalah status epileptikus idiopatik tipe konvulsif. Pertimbangan diagnosisnya sebagai berikut: 1. 2.

Pasien memiliki riwayat kejang berulang dengan durasi lebih dari 5 menit Pasien memiliki riwayat kejang berulang tanpa adanya perbaikan

3. 4. 5.

kesadaran di antara kejang Pasien tidak memiliki aura yang prominen Pasien pernah didiagnosis epilepsi Pada EEG ditemukan adanya fokus epileptogenik pada kedua daerah frontal. Selain itu didapatkan disfungsi kortikal pada daerah temporal kiri,

6.

sentral kanan, dan menyeluruh. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan metabolik yang

7.

melatarbelakangi kejang Pada pemeriksaan status neurologis tidak ditemukan adanya defisit neurologis

15

2.2 Tinjauan pustaka Definisi Kejang Kejang adalah gangguan neurologis sementara yang dihasilkan oleh aktivitas elektrik neuronal yang abnormal, tiba-tiba, dan berlebihan (hypersynchronous) pada korteks serebri.1 Epilepsi Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epileptik yang terus menerus, dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Sedangkan bangkitan epileptik sendiri adalah tanda dan gejala yang timbul sesaat akibat aktivitas neuron di otak yang berlebihan dan abnormal.2 Definisi operasional epilepsi mencakup:2 1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam. 2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan (minimal 60%) bila terdapat 2 bangkitan tanpa profokasi/ bangkitanrefleks (misalkan bangkitan pertama yang terjadi 1 bulan setelah kejadian stroke, bangkitan pertama pada anak yang disertai lesi structural dan discharge epileptiform). 3. Sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi. Status Epileptikus Status epileptikus (SE) merupakan kondisi yang diakibatkan oleh kegagalan mekanisme yang bertanggung jawab untuk terminasi kejang atau mekanisme yang bertanggung jawab untuk menginisiasi kejang, yang menyebabkan kejang yang berkepanjangan dan abnormal (setelah titik waktu t1). Kondisi ini memiliki konsekuensi jangka panjang (setelah titik waktu t2), termasuk kematian neuronal, cidera neuronal, dan alterasi dari jaringan neuronal, tergantung dari tipe dan durasi kejang. Pada SE konvulsif, t1 ialah 5 menit dan t2 ialah 30 menit.3 Klasifikasi Kejang 16

Menurut Etiologinya Menurut etiologinya, kejang dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:4 1. Epilepsi idiopatik, yaitu epilepsi yang terjadi karena adanya faktor genetik dimana tidak ditemukan abnormalitas neuroanatomik maupun neuropatologik. 2. Epilepsi simtomatik, yaitu epilepsi yang disebabkan oleh keadaan yang terkait dengan abnormalitas anatomik dan patologik yang signifikan, yang menunjukkan adanya penyakit yang melatarbeakangi. 3. Epilepsi yang diprovokasi, dimana faktor sistemik dan lingkungan yang spesifik merupakan penyebab predominan dari kejang, dan tidak ditemukan perubahan neuroanatomik ataupun neuropatologik, namun dapat disebabkan oleh kelainan genetik. 4. Epilepsi kriptogenik, dimana kondisi yang melatarbelakangi kejang belum diketahui. Menurut Manifestasi Klinisnya1 Menurut manifestasi klinisnya, kejang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Kejang Umum Pada kejang umum, seluruh bagian otak terlibat. o Tonik-klonik Pada kejang umum tonik-klonik, terjadi kehilangan kesadaran, biasanya tanpa aura atau gejala peringatan lain. Walaupun ada gejala peringatan, biasanya gejala terebut tidak spesifik. Kejang umu tonikklonik dibagi menjadi beberapa fase: i. Fase tonik – manifestasi awal ialah hilangnya kesadaran dan kontraksi tonik dari otot-otot tungkai selama 10-30 detik, ditandai dengan fleksi pada awalnya, lalu ekstensi khususnya pada punggung dan leher. Kontraksi tonik pada otot-otot pernapasan dapat menghasilkan vokalisasi pada ekspirasi dan sianosis. Kontraksi dari otot mastikasi dapat menyebabkan trauma lidah. ii. Fase klonik – fase tonik diikuti oleh fase klonik (kontraksi dan relaksasi oto secara bergantian) dimana sentakan tungkai terjadi secara simetris dan berlangsung selama 30-60 detik atau lebih. Setelah fase tonik berakhir, usaha pernapasan kembali normal dan sianosis akan menghilang. Mulut dapat berbusa. Seiring waktu, sentakan menjadi lebih jarang, sampai akhirnya semua

17

pergerakan hilang dan otot-otot menjadi flaksid. Relaksasi spinkter dan kontraksi otot detrusor dapat menyebabkan inkontinensia urin. iii. Pemulihan – setelah pasien kembali sadar, ditemukan adanya kebingungan post iktal dan seringkali sakit kepala. Pemulihan orientasi sepenuhnya biasanya tercapai setelah 10-30 menit atau bahkan lebih pada pasien dengan status eileptikus. Pemeriksaan fisik pada keadaan post iktal biasanya dalam batas normal pada epilepsi idiopatik atau kejang akibat metabolik, kecuali refleks babinski dapat positif. iv. Status epileptikus – merupakan emergensi medis karena dapat menyebabkan kerusakan permanen pada otak akibat hiperpireksia, kolaps sirkulasi, kerusakan neuronal eksitotoksik. o Absence  Tipikal Pada kejang absence tipikal ditemukan adanya gangguan kesadaran, komponen klonik ringan, komponen tonik dan atonik, automatisme, dan komponen otonomik. Pada kejang ini 

biasanya pasin terlihat seperti melamun. Atipikal Kejang absence atipikal mirip dengan kejang absence tipikal namun perupahan pada tonus otot lebih menonjol dibanding pada kejang absence tipikal. Durasi biasanya lebih lama dan



memiliki onset dan resolusi yang gradual. Absence dengan fitur khusus  Absence Mioklonik  Mioklonik Kelopak Mata

o Klonik Kejang klonik ditandai dengan adanya sentakan klonik yang repetitif, disertai dengan hilangnya kesadaran. Tidak ditemukan fase tonik sebelumnya. o Tonik Kejang tonik ditandai dengan adanya kontraksi otot yang berkelanjutan yang dapat menyebabkan fiksasi dari tungkai dan muskulatur aksial pada fleksi maupun ekstensi disertai dengan hilangnya kesadaran. o Atonik Kejang atonik diakibatkan oleh hilangnya tonus postural, terkadang setelah sentakan mioklonik, menyebabkan jatuh atau drop attack. Hal ini sering dijumpai pada gangguan seperti Sindroma Lennox-Gastaut. 18

o Mioklonik Kejang mioklonik ditandai dengan kontraksi shocklike yang tiba-tiba dan cepat yang dapat terlokalisir pada beberapa otot atau satu atau dua tungkai.  Mioklonik  Mioklonik-atonik  Mioklonik-tonik 2. Kejang Parsial Kejang parsial terjadi saat serangan kejang terjadi di satu area di otak. o Kejang parsial sederhana Kejang parsial sederhana diawali dengan fenomena motorik, sensorik dan otonomik, tergantung dari regio korteks yang berperan. Gejala otonomik dapat berupa pucat, flushing, berkeringat, piloereksi, dilatasi pupil, muntah, borborygmi, atau hipersalivasi. Gejala psikis termasuk distorsi dari memori (deja vu), forced thinking, defisit kognitif, gangguan afek, halusinasi dan ilusi. Kejang parsial sederhana tidak disertai hilangnya kesadaran kecuali jika kejang sekunder umum terjadi. Pada post iktal, dapat ditemukan defisit neurologis seperti hemiparesis (Todd paralysis) yang dapat berlangsung selama 30 menit sampai 36 jam dan mengindikasikan adanya lesi otak fokal yang melatarbelakangi kejang. o Kejang parsial kompleks Pada kejang parsial kompleks ditemukan adanya gangguan kesadaran, tanggapan, atau memori. Discharge biasanya dihasilkan dari lobus temporal atau frontal medial namun dapat dari tempat lain. Episode biasanya didahului dengan aura. Sensasi epigastrik adalah yang paling sering. Kejang biasanya berlangsung selama 1-3 menit. Manifestasi motorik dari kejang parsial kompleks ditandai dengan aktivitas motorik involunter yang terkoordinasi yang disebut dengan automatisme. Gerakan yang paling sering dijumpai ialah gerakan orobukolingual, fasial, leher, atau tangan. o Kejang umum sekunder 3. Kejang Tanpa Penyebab yang Diketahui  Spasme epileptik  Lain-lain Klasifikasi Status Epileptikus5

19

Berdasarkan manifestasi klinis, status epileptikus dibagi menjadi status epileptikus konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik yang berlangsung lebih dari 5 menit) dan non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik, biasanya perubahan perilaku dan mental yang menetap selama lebih dari 30 menit). 1. SE Umum Konvulsif Tipe ini adalah yang paling sering dan berbahaya. Umum merujuk pada aktivitas elektrik berlebih yang abnormal pada korteks dan konvulsif merujuk pada aktivitas motorik pada bangkitan. Dikatakan SE Umum Konvulsif saat bangkitan umum tonik-klonik berlangsung lebih dari 5 menit. 2. SE Nonkonvulsif o SE Absans Pada gambaran klinis, ditemukan perubahan pada tingkat kesadaran secara jelas. Kebanyakan pasien tidak komatose namun lethargic dan bingung, disertai dengan penurunan spontanitas dan bicara yang lambat. Dapat terjadi automatisme. o SE Parsial Kompleks Tipe ini jarang ditemukan. SE kompleks parsial yang berasal dari korteks limbik menyebabkan gejala seperti melamun, tidak responsif, automatisme, anxietas, gejala abdomen, deja vu, stupor. Automatisme lebih terlihat dibanding pada SE absans, Anxietas, agresi, ketakutan dan iritabilitas umum ditemukan pada SE parsial kompleks. 3. SE Parsial Sederhana SE parsial sederhana terdiri dari kejang yang terlokalisir pada area korteks serebri yang terbatas dan tidak menyebabkan alterasi kesadaran. SE parsial sederhana dapat berasal dari regio manapun pada korteks. Saat korteks motor terpengaruh, kondisi tersebut dinamakan epilepsi parsialis kontinua (EPC), dimana ditemukan twitching fokal yang repetitif, ritmik dan unilateral pada tungkai dan/atau wajah. Pasien status epileptikus yang tidak merespon dengan regimen terapi standar termasuk dalam kategori status epileptikus refrakter (RSE). Patofisiologi Pada status epileptikus, ditemukan adanya kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi saat rangsangan bangkitan kejang yang dimediasi oleh neurotransmiter-neurotransmiter eksitatori seperti glutamat, aspartat

20

dan asetilkolin melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme inhibitorinya tidak efektif.6 Status epileptikus diawali dengan terjadinya fosfolirasi protein yang menyebabkan terbuka dan tertutupnya gerbang-gerbang ion, pelepasan neurotransmiter dan modulator, dan desensitisasi resptor pada beberapa detik pertama. Setelah beberapa menit, terjadi receptor trafficking akibat perpindahan reseptor GABA-A pada membran sinaptik menuju ke endosom, dan perpindahan reseptor glutamat dari endosom ke membran sinaptik. Proses ini menyebabkan perubahan drastis terhadap jumlah reseptor inhibitorik dan eksitatorik pada synaptic cleft. Setelah beberapa jam, terjadi perubahan maladaptif pada modulator neuropeptida, menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Pada saat bersamaan, reseptor NMDA bergerak menuju membran sinaptik membentuk reseptor eksitatori tambahan, menyebabkan eksitabilitas meningkat saat kejang terjadi. 6 Kerusakan neuronal terjadi akibat stimulasi neuronal NMDA terus menerus yang berujung pada apoptosis. Ketika neuron mengalami depolarisasi, ion Mg2+ memblok channel keluar, sehingga terjadi kelebihan ion Na+ dan Ca2+ di dalam sel, mengakibatkan sel dalam keadaan sitotoksik, menyebabkan kerusakan sel neuron, lysis sel, dan kematian sel. Kerusakan sel neuron akibat proses ini mungkin reversibel jika status epileptikus dihentikan dalam jam pertama. 6 Reseptor GABA-A yang mengalami endositosis hanya reseptor yang terdapat pada intrasinaptik, sedangkan reseptor GABA-A ekstrasinaptik tidak. Hal inilah yang dimanfaatkan dalam pengobatan status epileptikus dengan cara menstimulasi reseptor GABA-A ekstrasinaptik. 6 Patofisiologi status epileptikus terbagi menjadi 2 fase, yaitu:7,8 1. Fase I (0-30 menit) – mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi: o Pelepasan adrenalin dan noradrenalin o Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme o Hipertensi, hiperpireksia o Hiperventilasi, takikardia, asidosis laktat 2. Fase II (>30 menit) – mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi: o Kegagalan autoregulasi serebral/ edema otak o Depresi pernafasan o Disritmia jantung, hipotensi o Hipoglikemia, hiponatremia o Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC Tata Laksana Status Epileptikus9 21

1. Fase stabilisasi (0-5 menit) meliputi primary survey, standar penanganan pertama untuk kejang, penilaian dan monitor tanda vital. 2. Fase terapi inisial (5-20 menit) saat jelas bahwa bangkitan memerlukan intervensi medis. Pilihan obat ialah obat-obat golongan benzodiazepine. 3. Fase terapi kedua (20-40 menit) dimana respon dari terapi sudah terlihat. Jika tidak merespon, dapat digunakan fosphenytoin, asam valproat dan levetiracetam. 4. Fase terapi ketiga (40+ menit)

22

23

Tata Laksana Epilepsi

24

REFERENSI 1. Simon R, Greenberg D, Aminoff M. Clinical neurology. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2009. 2. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair; 2014. 3. Trinka E e. A definition and classification of status epilepticus--Report of the ILAE Task Force on Classification of Status Epilepticus. - PubMed - NCBI [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2016 [cited 14 June 2016]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26336950 4. Shorvon S. The etiologic classification of epilepsy. Epilepsia. 2011;52(6):1052-1057. 5. Status Epilepticus: Practice Essentials, Background, Pathophysiology [Internet]. Emedicine.medscape.com. 2016 [cited 14 June 2016]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview#a3 6. deGroot J. Signalling in the nervous system. In :Correlative Neuroanatomy. 21st edition.Connecticut:Appleton and Lange;1996.p.18-24 7. Turner C. Epilepsy. In: Neurology Crash course. 2nd edition.Philadelphia:Mosby Elsevier:2006.p.95-100 8. Manno M.E. New Management Strategies in the Treatment of Status Epilepticus. In.Symposium on Seizures: Mayo Foundation for Medical Education and Research:2003.p.508-518 9. New Guideline for Treatment of Prolonged Seizures in Children and Adults | American Epilepsy Society [Internet]. Aesnet.org. 2016 [cited 14 June 2016]. Available from: https://www.aesnet.org/about_aes/press_releases/guidelines2016

25

More Documents from "clarissa1010"