293361_buku Ajar Gastroenterologi Jilid 1 Idai 2009.pdf

  • Uploaded by: sasoy
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 293361_buku Ajar Gastroenterologi Jilid 1 Idai 2009.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 124,997
  • Pages: 404
BUKU AJAR GASTROENTEROLOGIHEPATOLOGI JILID 1

UKK- GASTROENTEROLOGI-HEPATOLOGI IDAI 2009

Sambutan ketua UKK-Gastroenterologi-Hepatologi IDAI

Teman sejawat yang terhormat, Setelah menunggu sekian lama maka akhirnya terbitlah buku ajar gastroenterologi-hepatologi yang kita tunggu tunggu. Mari kita bersama mengucapkan syukur kepada yang maha kuasa, atas berkah dan rahmatnya sehingga kerja para kontributor dan editor menjadi lancar dan sukses. Buku ajar ini merupakan buku rujukan ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak yang nantinya akan dipakai oleh peserta didik spesialis satu dan dua, dokter spesialis anak di Indonesia serta tentunya semua dokter atau siapapun yang membutuhkannya. Buku ajar ini disusun sesuai kesepakatan bersama masyarakat gastroenterologi dan hepatologi anak Indonesia yang terangkum dalam bermacam judul dan berasal dari bermacam macam referensi terbaru baik dari jurnal maupun text book, sehingga keberadaannya merupakan representasi ilmu ilmu gastroenterologi dan hepatologi anak masa kini. Saya sebagai ketua UKK GH 2008-2011 memberikan ucapan selamat dan penghargaan yang setinggi tingginya kepada para kontributor dan editor dengan diterbitkannya buku ajar ini, semoga buku ini bisa dimanfaatkan sebesar besarnya oleh para pengguna. Buku ini tentunya masih jauh dari sempurna, ibarat peribahasa” tiada gading yang tak retak”, tapi saya mengajak kepada teman sejawat sekalian untuk ikut serta memberi saran agar buku ini lebih baik di masa yang akan datang Sekali lagi saya ucapkan selamat atas terbitnya buju ajar ini dan selamat mempergunakan buku ajar ini kepada masyarakat gastroenterologi-hepatologi dan kepada semua dokter anak di Indonesia

Salam, Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D Ketua UKK-GH IDAI (2008-2011)

Pengantar

Setelah menunggu sekian lama, hampir 6 tahun akhirnya terkumpul 21 naskah topik buku ajar gastroenterologi-hepatologi IDAI. Editor telah bekerja keras selama ini mengumpulkan, menyusun, menyunting, dan syukur Alhamdulillah pada akhir tahun 2009 ini bisa diselesaikan buku ajar gastroenterologi-hepatologi jilid pertama. Pada awalnya direncanakan 26 topik, tetapi sampai saat saat terakhir yang mengumpulkan naskah jumlahnya 21. Kekurangan 5 naskah akan diterbitkan dalam buku ajar gastroenterologi-hepatologi jilid 2. Dalam proses penyuntingan terdapat banyak kendala karena beberapa penulis tidak merujuk ke Term Of Reference sehingga formatnya harus disamakan, demikian juga narasi yang harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia yang benar. Gambar gambar banyak yang masih dalam bahasa aslinya sehingga harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karena pengumpulan dan penyuntingan ini berjalan cukup lama maka ada sebagian topic yang sudah harus diubah disesuaikan dengan ilmu2 dan penanganan kasus yang terbaru. Pada kesempatan ini editor ingin menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada para kontributor atau penulis naskah atas jerih payah, waktu yang diluangkan untuk menyusun naskah dan partisipasinya mengirimkan naskahnya ke editor. Selanjutnya editor mohon maaf jika yang tertulis di buku ajar tidak sesuai dengan aslinya dikarenakan penyesuaian dengan hal hal baru, penyesuaian format dari penerbit dan suntingan bahasa. Editor ingin mengucapkan terima kasih kepada Dr Hardiono Pusponegoro, SpAK ( ketua PP IDAI 2002-2005), Dr Sukman Tulus Putra SpAK, FACC, FESC ( ketua PP IDAI 2005-2008) Dr Badriul Hegar, SpAK (ketua PP IDAI 2008-2011), Prof Dr Yati Soenarto, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2002-2005), Prof DR Dr Subijanto MS, SpAK (ketua UKK Gastroenterologi-Hepatologi 2005-2008), Dr Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D (ketua UKK Gastro-Hepatologi 2008-2011) atas ide dan saran sarannya sehingga tercetak buku ajar ini. Editor juga mengucapkan terima kasih kepada tim dr Budi Hartomo dkk yang telah membantu menyempurnakan suntingan bahasa dan format sesuai permintaan penerbit. Editor menyadari bahwa buku ajar ini jauh dari sempurna, tetapi kontributor tentunya sudah berusaha keras untuk membuat sesuai kebutuhan para peserta PPDS maupun teman sejawat dokter spesialis anak. Oleh karena itu editor membuka pintu selebar lebarnya untuk kritik dan saran agar buku ini akan jauh lebih sempurna pada edisi berikutnya. Akhirnya editor mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengurus UKK GH 2008-2011 yang telah mendorong editor untuk bekerja lebih giat sehingga buku ajar jilid 1 ini bisa terbit.

Editor, Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D

Daftar isi Bab Judul 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Keseimbangan cairan dan elektrolit Kegawatdaruratan gastrointestinal Disfagia Anoreksia pada anak Gagal tumbuh pada penyakit gastrointestinal Diare akut Diare kronis dan diare persisten Muntah Sakit perut pada anak Kembung Allergi makanan Konstipasi Inflamatory Bowel Diseases Pankreatitis pada anak Ikterus Hepatitis virus Drug induce hepatitis Penyakit sistemis yang berpengaruh pada hati Hepatitis kronis pada anak Kolestasis intrahepatik pada bayi dan anak Hipertensi porta

halaman

Kontributor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

Dr. Mohammad Juffrie, SpAK, Ph.D Prof DR dr. Pitono Soeparto DR Dr. Reza Ranuh SpAK Dr. Yorva Sayoeti, SpAK Prof DR Dr. I Sudigbia, SpAK Prof Dr. Rusdi Ismail, SpAK Prof DR Dr. Bambang Subagyo, SpAK Dr. Nurtjahjo Budi Santoso, SpAK Prof Dr. Sri Supar Yati Soenarto, SpAK, Ph.D Dr. Badriul Hegar, SpAK Dr. Aswitha Boediarso, SpAK DR Dr.Pramita G. Dwipoerwantoro, SpAK Dr. Liek Djuprie, SpAK Prof DR Dr. Agus Firmansyah, SpAK Dr. Dwi Prasetyo, SpAK Dr. Budi Santosa, SpAK Dr. Iesje Martiza, SpAK Dr. Sjamsul Arief, SpAK,MARS Dr. Ina Rosalina, SpAK, MKes, MHKes Prof Dr. Atan Baas Sinuhaji, SpAK Dr. Nenny Sri Mulyani, SpAK Dr. Julfina Bisanto, SpAK DR Dr. Hanifah Oswari, SpAK

BAB I KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Mohammad Juffrie

Ilustrasi Kasus Seorang anak laki laki berumur 3 tahun masuk di unit gawat darurat dengan keluhan diare cair akut, muntah-muntah, dan panas. Tiga jam sebelum masuk rumah sakit anak tersebut mengalami kejang-kejang selama 5 menit. Kesadaran agak menurun. Dari riwayat yang diceritakan oleh neneknya yang mengantar anak tersebut ditemukan bahwa di rumah anak tersebut sudah menderita diare selama 3 hari, cair, warna kuning, tidak berdarah dan berlendir. Anak tersebut di rumah telah diberi larutan oralit selama diare. Neneknya mencampur 1 bungkus oralit dengan setengah gelas kecil untuk mempermudah memasukkan oralitnya.

Larutan Tubuh Larutan tubuh terbagi menjadi larutan intraselular (CIS) dan larutan ekstraselular (CES). Volume CIS tidak dapat diukur langsung, akan tetapi dapat diukur dengan mengurangkan volume CES dari volume air tubuh total. Jumlah CIS sebanyak 30%-40% dari berat badan. CIS merupakan representasi dari jumlah larutan dari berbagai macam sel di seluruh tubuh, yang tersebar dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda serta mempunyai komposisi yang berbeda. Larutan ekstraselluler. Volume larutan ekstraselluler lebih besar dibanding volume larutan intraselluler pada fetus, tetapi rasio CES dan CIS ini akan berubah setelah umur 9 bulan. CES berkurang secara relatif disebabkan karena pertumbuhan sel jaringan lebih cepat dibanding pertumbuhan jaringan kolagen menjadi jaringan otot. Setelah itu jumlah CES akan bertambah berhubungan dengan bertambahnya berat badan. Pada keadaan hidrasi normal jumlah CES pada anak adalah 20%-25% berat badan yang terbagi dalam larutan plasma 5% berat badan, larutan interstisiel 15% berat badan dan larutan transelluler 1%-3% berat badan. Larutan transelluler terdiri dari larutan di saluran gastrointestinal dan larutan serebrospinal, intraokular, pleural, peritoneal dan larutan sinovial.1,2,3

Komposisi Larutan Tubuh CIS terdiri dari air dan elektrolit yaitu protein ditambah dengan K +, PO4--, Na+, Mg++, HCO3-, dan HHCO3. Elektrolit yang terbanyak adalah K+. Plasma darah terdiri dari protein, Na+, Cl-, HCO3-, K+, Ca++, Mg++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan non-elektrolit. Larutan interstisial terdiri dari Na+, Cl-, HCO3-, K+, Mg++, Ca++, SO4--, HPO4--, HHCO3 dan nonelektrolit. Elektrolit yang terbanyak adalah Na+. Membran sel berfungsi sebagai barrier primer perpindahan zat-zat antara CES dan CIS. Zat-zat yang larut dalam lemak seperti gas (oksigen dan karbon dioksida) bisa langsung memintas membran. Ion-ion seperti Na+ dan K+ berpindah melalui mekanisme transport seperti pompa Na+/K+ yang berlokasi di membran sel. Elektrolit dalam larutan tubuh adalah substansi yang terurai dalam bentuk partikel atau ion misalnya NaCl akan terurai menjadi ion positif Na+, atau ion negatif yaitu Cl-. Karena kekuatan berikatan, keduanya selalu akan bersatu. Distribusi elektrolit di antara kompartemen tubuh dipengaruhi oleh potential listriknya. Walaupun begitu satu kation dapat diganti dengan yang lain, misalnya H+ diganti dengan K+ dan ikatannya HCO3- diganti dengan Cl-.1,2,3,4

Difusi dan Osmosis Difusi adalah pergerakan partikel bermuatan atau tidak bermuatan di sepanjang gradien konsentrasinya. Semua molekul dan ion termasuk air dan larutannya dalam keadaan konstan. Pergerakan partikel ini dipengaruhi oleh energi masing masing yang diperoleh dari konsentrasinya, sehingga akan terjadi gerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Osmosis adalah gerakan air melewati membran semi permeabel. Air akan bergerak dari tempat yang sedikit mengandung partikel ke tempat yang banyak partikelnya. Perpindahan air ini membutuhkan tekanan yang disebut tekanan osmotik. Aktifitas osmotik ini diukur dengan ukuran yang disebut osmol. Aktifitas osmosik larutan diekspresikan dalam bentuk osmolaritas dan osmolalitas. Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 liter larutan (mOsm/L), sedangkan osmolalitas adalah konsentrasi osmolar dalam 1 kg air. Osmolaritas biasa dipakai untuk larutan yang berada di luar tubuh, sedangkan osmolalitas untuk menjelaskan larutan di dalam tubuh. Osmolalitas serum yang ditentukan oleh natrium dan anion yang mengikatnya (klorida dan bikarbonat) mempunyai angka berkisar antara 275 dan 295 mOsm/kg. Tonisitas. Perubahan kandungan air menyebabkan sel menjadi membengkak atau mengkerut. Pengertian tonisitas adalah tekanan atau efek dari tekanan osmotik efektif dari larutan dengan zat terlarut yang tidak permeabel terhadap ukuran sel karena perpindahan air melalui membran sel. Jadi tonisitas diukur dengan zat terlarut yang tidak bisa melalui membran sel misalnya glukosa menyebabkan kekuatan osmotik yang menekan air masuk atau keluar dari sel dan menyebabkan perubahan ukuran sel. Larutan dimana sel-sel tubuh berada didalamnya dapat dibagi menjadi tiga macam jenis osmotiknya yaitu isotonik, hipotonik dan hipertonik tergantung pada apakah dia menyebabkan

sel membengkak atau mengkerut. Sel yang berada pada larutan isotonis apabila larutan itu mempunyai osmolalitas sama seperti CIS (280 mOsm/l) tidak akan membengkak atau mengkerut. Sebagai contoh larutan isotonik adalah larutan NaCl 0,9%. Jika sel berada dalam larutan hipotonik jika larutan itu mempunyai osmolalitas efektif lebih rendah dari CIS, sel akan membengkak karena air masuk ke dalam sel. Apabila sel berada di larutan hipertonis dimana osmolalitas efektif nya lebih besar dari CIS sel akan mengkerut karena air keluar dari sel.1,2,3,4,5

1.

Pertukaran larutan dalam kapiler dan jaringan interstisial. Pertukaran larutan dari vaskular ke interstisial terjadi di semua tingkatan kapiler. Ada 4 kekuatan yang mengatur pertukaran ini yaitu 1) tekanan filtrasi kapiler, yang mendorong air keluar dari kapiler menuju jaringan interstisial; 2) tekanan osmotik koloid kapiler, yang mendorong air kembali ke dalam kapiler; 3) tekanan hidrostatik interstisial sebagai kebalikan gerakan air keluar kapiler; dan 4) tekanan osmotik koloid jaringan yang mendorong menarik air keluar dari kapiler ke jaringan interstisiel. Pada keadaan normal semua air akan bergerak oleh 4 kekuatan tersebut, hanya dalam jumlah sedikit yang tersisa di jaringan interstisial dan akan masuk ke sistem limfatik yang nantinya masuk ke siskulasi darah. Filtrasi kapiler dimaksudkan gerakan air melalui pori-pori kapiler karena faktor mekanis, bukan karena tenaga osmotik. Tekanan filtrasi kapiler kadang disebut juga tekanan hidrostatik kapiler yaitu tekanan yang mendorong air keluar dari kapiler ke dalam jaringan interstisial. Hal tersebut menggambarkan tekanan arteri atau vena, yaitu tahanan prekapiler (arteriol) dan post kapiler (venula). Kenaikan tekanan arteri atau vena menaikkan tekanan kapiler. Penurunan tahanan arteri atau kenaikan tahanan vena akan menaikkan tekanan kapiler dan suatu kenaikan tahanan arteri atau penurunan tahanan vena akan menurunkan tekanan kapiler. Gaya gravitasi meningkatkan tekanan kapiler pada posisi tertentu. Pada orang yang berdiri tegak maka berat darah di sepanjang pembuluh darah menyebabkan kenaikan 1 mmHg untuk setiap 13,6 mm jaraknya dari jantung. Tekanan ini hasil dari berat air oleh karenanya disebut tekanan hidrostatik. Pada orang dewasa yang berdiri tegak, tekanan di vena kaki bisa mencapai 90 mmHg. Tekanan ini kemudian dialihkan ke kapiler. Tekanan osmotik koloid kapiler adalah tekanan osmotik yang berasal dari protein plasma yang terlalu besar melewati pori-pori dinding kapiler. Tekanan osmotik ini berbeda pengertiannya dari tekanan osmotik di membran sel karena elektrolit dan non-elektrolit. Karena protein plasma normal tidak bisa melalui pori-pori kapiler dan konsentrasinya lebih besar di plasma daripada di jaringan interstisial maka inilah yang menarik air kembali ke kapiler. Tekanan larutan interstisiel dan tekanan osmotik koloid jaringan mempengaruhi gerakan air dari dan ke jaringan interstisial.1,2,3,6

2. Edema Adalah bengkak yang disebabkan karena ekspansi volume larutan interstisial. Edema tidak akan tampak sebelum volume mencapai 2,5 l atau 3 l. Mekanisme fisiologi edema adalah: 1)

kenaikan tekanan filtrasi kapiler, 2) penurunan tekanan osmotik koloid kapiler, 3) kenaikan permeabilitas kapiler, 4) obstruksi saluran limfe.1,2

Kenaikan tekanan filtrasi kapiler Jika tekanan filtrasi kapiler naik maka perpindahan larutan vaskular ke dalam jaringan interstisial naik. Faktor-faktor yang menaikkan tekanan kapiler adalah: 1) penurunan tahanan aliran melalui sfingter prekapiler; 2) kenaikan tekanan vena atau tahanan aliran keluar pada sfingter postkapiler, dan distensi kapiler karena meningkatnya volume vaskular.1,2

Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler Protein plasma mengeluarkan kekuatan osmotik yang dibutuhkan untuk menarik kembali cairan ke dalam kapiler dari jaringan interstisial. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin dan fibrinogen. Karena bobot molekul albumin paling rendah maka konsentrasi albumin paling tinggi. Edema disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid kapiler sebagai akibat produksi yang tidak adekuat atau kehilangan tidak normal protein plasma terutama albumin. Protein plasma disintesis di hati. Pada penderita penyakit hati yang berat kegagalan sintesis albumin menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid. Pada kelaparan dan malnutrisi edema terjadi karena ada kebocoran kebutuhan asam amino dalam sintesis protein plasma. Kebocoran protein plasma yang paling sering melalui ginjal seperti pada sindroma nefrotik, kapiler glomerular menjadi permeabel terhadap protein plasma terutama albumin. Kebocoran lain terjadi jika ada kerusakan kulit, sehingga edema terjadi pada fase awal luka bakar akibat cedera kapiler dan kehilangan protein plasma. Karena protein plasma terdapat di seluruh tubuh dan tidak tergantung oleh gravitasi maka edema bisa terjadi dimanamana.1,2

Kenaikan permeabilitas kapiler Jika pori-pori kapiler melebar atau integritas dinding kapiler rusak maka permeabilitas kapiler akan naik. Apabila ini terjadi protein plasma dan partikel aktif osmotik bocor ke dalam jaringan interstisial meningkatkan tekanan osmotik koloid jaringan dan menyebabkan akumulasi larutan interstisiel. Keadaan ini disebabkan oleh luka bakar, bendungan kapiler, radang dan respon immun.1,2

Sumbatan aliran limfe Protein plasma aktif osmotik dan partikel lain yang berat molekulnya besar yang tidak bisa melalui pori-pori membran kapiler maka akan diresorpsi lewat saluran limfe dan masuk ke sirkulasi. Edema yang disebabkan oleh kegagalan aliran limfe disebut limfedema.1,2

3. Akumulasi di tempat ketiga Yang dimaksud dengan hal ini adalah hilangnya atau terjebaknya CES di ruang transelular. Ruang-ruang serous adalah ruang traseluler yang terletak di tempat strategis dimana ada gerakan-gerakan kontinu dari bentuk tubuh, seperti saccum perikardial, cavum peritoneal, dan pleura. Perubahan CES antarkapiler, ruang interstisial dan transelular melalui cara sama di manapun di seluruh tubuh. Cavum serosa sangat dekat dengan sistem drainase limfe.1,2

Kesimbangan Air dan Natrium Perpindahan larutan tubuh antara CES dan CIS terjadi pada membran sel dan tergantung pada pengaturan air dan natrium. Air merupakan 90% sampai 93% dari pelarut CES. Dalam keadaan normal perubahan keseimbangan natrium dan air sering terjadi, dan volume serta osmolalitasnya dipertahankan normal. Konsentrasi Na+ yang mengatur osmolalitas CES, perubahan Na+ biasanya diikuti oleh perubahan secara proporsional volume air. Gangguan keseimbangan Na+ dan air dibagi menjadi 2 kategori: 1) kontraksi isotonis atau ekspansi volume CES dan 2) dilusi hipotonis (hiponatremia) atau konsentrasi hipertonis (hipernatremia) dari natrium yang membawa perubahan pada CES. Kelainan isotonis biasanya dimaksudkan kontraksi produksi kompartemen CES ( defisit volume larutan) atau ekspansi (kelebihan volume larutan) dari larutan vaskular dan interstisial. Kelainan konsentrasi natrium menyebabkan perubahan osmolalitas CES dengan gerakan air dari kompartemen CES ke dalam kompartemen CIS (hiponatrium) atau dari kompartemen CIS ke dalam kompartemen CES (hipernatremia).2,7,8,9

Pengaturan Keseimbangan Natrium dan Larutan 1.

Pengaturan keseimbangan Na+ Na+ adalah kation yang paling rumit dalam tubuh, rata-rata kurang lebih 60 meq/kgBB. Kebanyakan dari Na+ tubuh ada dalam CES (135-145 mEq/l) dan hanya sedikit dalam CES (10-14 mEq/l). Fungsi Na+ terutama mengatur volume CES termasuk kompartemen vaskular. Sebagai kation yang paling banyak dalam CES Na+ dan anion pasangannya (Cl- dan HCO3-) mengatur sebagian besar aktifitas osmotik dalam CES. Karena Na+ adalah bagian dari molekul NaHCO3 maka penting dalam pengaturan keseimbangan asam basa.1,2,9

2. Masuk dan hilangnya Na+ Na+ secara normal masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan. Pemasukan Na+ didapat dari makanan, atau infus natrium atau infus yang lain. Na+ keluar dari tubuh melalui ginjal, saluran cerna dan kulit. Sebagian besar Na+ keluar lewat ginjal. Dengan

fungsi ekskresi dan reabsorpsi Na+ maka kadar Na+ dalam tubuh dipertahankan. Hanya 10% Na+ keluar lewat saluran pencernaan dan kulit.1,2,9

3. Mekanisme regulasi Na+ Ginjal adalah regulator utama Na+. Ginjal akan menyesuaikan terhadap tekanan arteri; jika tekanan arteri turun maka Na+ akan ditingkatkan, jika tekanan arteri naik maka Na+ akan dibuang. Pengaturannya dibawah kendali saraf simpatis dan sistem renin-angitensinaldosteron. Saraf simpatis bertanggung jawab terhadap tekanan arteri dan volume darah dengan cara mengatur filtrasi glomerulus dan Na+. Saraf simpatis juga mengatur reabsorpsi tubular dari Na+ dan pelepasan renin. Sedangkan sistem renin-angitensin-aldosteron beraksi melalui angiotensin II dan aldosteron. Angiotensin II menyebabkan meningkatnya reabsorpsi Na+ dan pembuangan K+.1,2,9

4. Pengaturan larutan Total larutan tubuh bervariasi tergantung jenis kelamin dan berat badan. Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan lemak tubuh. Pada laki-laki larutan tubuh sekitar 60% berat badan pada dewasa muda dan akan turun menjadi 50% setelah dewasa. Pada wanita muda jumlah larutan tubuh 50% berat badan dan akan turun menjadi 40% setelah dewasa. Pada orang gemuk akan terjadi penurunan jumlah larutan tubuh sampai 30%-40% berat badan. Pada bayi larutan tubuh 75%-80% berat badan. Pada bayi prematur lebih besar lagi. Jumlah larutan CES pada bayi relatif lebih banyak dibanding dewasa. Lebih dari separuh larutan tubuh bayi berada di CES. CES yang lebih banyak ini disebabkan metabolisme yang lebih tinggi, area permukaan tubuh yang lebih luas dan struktur ginjal yang belum matur. Karena CES lebih mudah hilang maka bayi lebih mudah hilang larutannya dibanding dewasa.1,2,4

5.

Masuk dan hilangnya larutan Tanpa melihat umur, semua orang sehat membutuhkan 100 cc air setiap 100 kalori untuk proses metabolisme dan membuang sisa-sisa metabolisme. Dengan kata lain jika seseorang mengeluarkan kalori 1800 maka dibutuhkan 1800 cc air untuk keperluan metabolisme. Laju metabolisme (metabolic rate) akan meningkat jika terjadi peningkatan suhu. Setiap kenaikan suhu sebesar 10 C, laju metabolisme akan meningkat sebesar 12%. Sumber air tubuh yang utama adalah dari pemasukan lewat oral dan metabolisme nutrien. Air (termasuk dari larutan dan makanan solid) diabsorbsi dari saluran cerna. Proses metabolisme juga menghasilkan air. Jumlah air dari proses ini bervariasi antara 150 cc 300 cc. Pada umumnya kehilangan larutan yang paling banyak adalah lewat ginjal, kemudian lewat kulit, lewat paru-paru, dan saluran pencernaan. Walaupun pemasukan oral atau parenteral sedikit ginjal tetap memproduksi urin sebagai hasil metabolisme tubuh. Urin yang

bertujuan membuang sisa metabolisme ini disebut output urin obligatori. Kehilangan larutan lewat urin obligatori ini sekitar 300-500 cc/hari. Kehilangan larutan lewat kulit dan paru-paru disebut kehilangan larutan insensibel.1,2,4

6. Mekanisme pengaturan Terdapat 2 mekanisme fisiologis yang mengatur larutan tubuh: haus dan hormon antidiuretik (ADH). Rasa haus terutama mengatur pemasukan larutan, sedangkan ADH mengatur larutan keluar. Kedua mekanisme ini bertanggung jawab terhadap perubahan osmolalitas ekstraselular dan volume.1,2,4

Rasa haus Rasa haus dikendalikan oleh pusat rasa haus di hipotalamus. Terdapat 2 stimuli untuk rasa haus karena benar-benar membutuhkan larutan: 1) dehidrasi selular yang disebabkan oleh kenaikan osmolalitas ekstraselular dan 2) penurunan volume darah yang bisa atau tidak ada hubungannya dengan penurunan serum osmolalitas. Neuron pensensor yang disebut osmoreseptor bertempat di atau dekat pusat haus di hipotalamus. Osmoreseptor berespon terhadap perubahan pada osmolalitas ekstraselular dengan cara memacu sensasi haus. Rasa haus normal muncul jika ada sedikit saja perubahan 1% atau 2% pada osmolalitas serum. Reseptor pada kapiler sangat sensitif terhadap perubahan tekanan darah arteri dan volume darah sentral juga membantu dalam pengaturan rasa haus. Stimulus yang penting ketiga untuk rasa haus adalah angitensin II, yang mana meningkat karena respon terhadap volume aliran darah dan tekanan aliran darah. Mulut kering menyebabkan sensasi rasa haus. Sensasi rasa haus terjadi juga pada orangorang yang bernafas dengan mulut misalnya perokok dan penderita dengan penyakit saluran pernafasan kronis atau sindrom hiperventilasi. Hipodipsia. Hipodipsia menggambarkan penurunan kemampuan rasa haus. Terdapat bukti bahwa haus adalah penurunan pemasukan air, selain kadar osmolalitas dan Na+ yang tinggi. Ketidakmampuan menerima dan berespon terhadap rasa haus biasanya terjadi pada pasien stroke atau gangguan sensorik. Polidipsia. Polidipsia dibagi dalam 3 jenis yaitu: 1) simtomatik atau rasa haus sejati, 2) rasa haus yang tidak tepat atau rasa haus yang salah yang terjadi dimana jumlah larutan tubuh dan osmolalitas serum normal, 3) minum larutan kompulsif. Simtomatik haus muncul jika ada kehilangan larutan tubuh. Diantara penyebab rasa haus yang paling banyak adalah kehilangan larutan akibat diare, muntah, diabetes melitus, dan diabetes insipidus. Haus yang tidak tepat terjadi jika ada gagal ginjal, dan gagal jantung kongestif. Walaupun penyebab rasa haus pada kelompok ini tak jelas tetapi mungkin karena peningkatan kadar angiotensin. Haus dirasakan juga pada orang yang mengalami penurunan aktivitas kelenjar air ludah karena pengaruh obat-obatan misalnya antikolinergik (termasuk atropin).

Polidipsi psikogenik. Poldipsia psikogenik biasanya dialami oleh penderita gangguan jiwa. Keadaan ini disebabkan oleh pemakaian obat antipsikosis yang efeknya meningkatkan kadar ADH.1,2,4

Hormon antidiuretik (ADH) Reabsorpsi air oleh ginjal diatur oleh ADH yang juga dikenal dengan vasopressin. ADH disintesis oleh sel di nukleus supraoptikus dan nukleus paraventrikularis hipotalamus. ADH diangkut di sepanjang akson saraf ke neurohipofisis kemudian dilepas ke sirkulasi. Dengan rasa haus, kadar ADH terkontrol oleh volume dan osmolalitas ekstraselular. Osmoreseptor di hipotalamus merasakan perubahan osmolalitas ekstraselular dan merangsang produksi serta melepas ADH. Sedikit kenaikan osmolalitas serum (1%) sudah cukup untuk melepas ADH. Baroreseptor sensitif terhadap perubahan tekanan darah dan volume darah sentral untuk membantu pengaturan pelepasan ADH. Penurunan volume darah 5%-10% akan menyebabkan kadar ADH maksimal. Seperti mekanisme homeostatis lainnya keadaan akut menyebabkan perubahan yang besar terhadap kadar ADH dibanding keadaan yang kronis. Perubahan dalam waktu yang lama tidak akan mempengaruhi kadar ADH. Keadaan tidak normal akan meningkatkan sintesis dan pelepasan ADH seperti pada nyeri yang hebat, mual, trauma, operasi, zat anestesi dan beberapa narkotik (morfin dan meperidin). Mual adalah rangsangan yang poten untuk sekresi ADH, sehingga menyebabkan kenaikan kadar ADH 10-1000 kali. Nikotin merangsang pelepasan ADH sedangkan alkohol menghambatnya. Dua keadaan yang mengganggu kadar ADH yaitu diabetes insipidus dan sekresi ADH yang tidak tepat. Diabetes insipidus adalah keadaan dimana terjadi defisiensi atau penurunan respon terhadap ADH. Sindrom ADH tidak tepat (syndrome of inappropriate ADH/ SIADH) adalah akibat kegagalan sistem umpan balik negatif yang mengatur pelepasan dan penghambatan ADH.1,2,4,10

7.

Gangguan volume larutan isotonik Gangguan volume larutan isotonik adalah penambahan atau kehilangan CES dengan perubahan perbandingan air dan Na+ yang proporsional.11

Defisit volume larutan isotonik Defisit volume larutan isotonik ditandai dengan penurunan CES, termasuk volume darah sirkulasi. Istilah ini dipakai untuk membedakan defisit larutan dengan perubahan perbandingan air dan Na+ yang tidak proporsional. Keadaan dimana terjadi penurunan volume darah sirkulasi maka disebut hipovolemia.

Penyebab: Defisit volume larutan isotonik apabila air dan elektrolit hilang dengan proporsi isotonik. Keadaan ini hampir selalu terjadi pada keadaan kehilangan larutan tubuh yang disertai penurunan pemasukan larutan. Biasanya terjadi pada kehilangan lewat saluran cerna, poliuria, berkeringat karena panas dan aktifitas fisik. Setiap hari 8-10 liter CES dikeluarkan ke saluran cerna. Sebagian besar diserap kembali di ileum dan kolon proksimal, hanya 150-200 cc setiap hari dikeluarkan bersama feses. Muntah dan diare mengganggu proses reabsorpsi dan pada beberapa keadaan menyebabkan kenaikan sekresi larutan ke dalam saluran cerna. Kehilangan air dan Na+ dapat juga terjadi lewat ginjal. Beberapa penyakit ginjal ditandai dengan pembuangan Na+ karena kegagalan reabsorpsi Na+. Defisit volume larutan juga disebabkan sebagai hasil dari diuresis osmotik atau pemakaian obat-obat diuretik. Glukosa dalam urin mencegah reabsorpsi air di tubulus ginjal menyebabkan hilangnya Na+ dan air. Pada penyakit Addison terjadi kehilangan Na+ dalam urin yang tidak teratur yang menyebabkan kehilangan CES. Kulit sebagai permukaan tempat perubahan panas dan barrier evaporasi mencegah air hilang dari tubuh. Kehilangan air dan Na+ dari permukaan tubuh meningkat pada saat keringat berlebihan atau sebagian besar permukaan kulit rusak. Udara panas dan badan panas meningkatkan pengeluaran keringat. Frekuensi pernafasan dan keringat biasanya meningkat jika suhu tubuh meningkat. Kebakaran juga menyebabkan kehilangan larutan. Defisit volume larutan berdampak pada penurunan volume CES. Manifestasi defisit volume larutan adalah sebagai berikut. Kehilangan berat badan (% berat badan); defisit volume larutan ringan (2%); defisit volume larutan sedang (5%); defisit volume larutan berat (>8%). Tanda tanda mekanisme kompensasinya adalah: meningkatnya rasa haus, meningkatnya ADH: oligouri dan tingginya berat jenis urin. Volume larutan interstisial turun: Turgor jaringan dan kulit turun, membran mukosa kering, mata cekung dan lembek, pada bayi ubun-ubunnya cekung. Volume vaskular turun: Hipotensi postural, nadi lemah dan cepat, isi darah vena menurun, hipotensi dan syok. Penanganan defisit volume larutan adalah mengganti larutan. Biasanya larutan elektrolit isotonik dipakai untuk mengganti larutan. Hipovolemia akut dan syok hipovolemik menyebabkan kerusakan ginjal, oleh karena itu menentukan derajat defisit larutan secara cepat dan adekuat sangat penting untuk penanganan penyebab utama.1,2,4,11

Kelebihan volume larutan isotonik Kelebihan volume larutan adalah perluasan CES isotonik dengan meningkatnya volume vaskular dan interstisial. Walaupun peningkatan volume larutan biasanya hasil dari kondisi penyakit, sebenarnya tidak seluruhnya benar. Misalnya kompensasi cuaca yang panas akan terjadi peningkatan volume CES sebagai mekanisme pengeluaran panas tubuh. Penyebab kelebihan volume larutan isotonik hampir selalu akibat dari meningkatnya kadar Na+ tubuh total yang diikuti oleh peningkatan larutan tubuh secara proporsional. Hal ini bisa terjadi karena pemasukan Na+ yang berlebihan atau pengeluaran Na+ dan air lewat

ginjal yang berkurang, misalnya pada penyakit ginjal, gagal jantung, gagal hati, dan kelebihan kortikosteroid. Gagal jantung akan menyebabkan aliran darah ke ginjal berkurang sehingga dikompensasi dengan peningkatan retensi air dan Na+. Pada gagal hati terjadi gangguan metabolisme aldosteron, gangguan perfusi ginjal, menyebabkan meningkatnya retensi air dan Na+. Kortikosteroid meningkatkan reabsorpsi Na+ oleh ginjal. Manifestasi kelebihan volume larutan isotonik ditandai oleh meningkatnya larutan vaskular dan interstisial. Berat badan akan naik dalam periode waktu yang pendek. Kelebihan volume larutan ringan menyebabkan kenaikan berat badan 2%. Kelebihan volume larutan sedang menyebabkan kenaikan berat badan 5%. Sedangkan kelebihan volume larutan berat menyebabkan kenaikan berat badan >8%. Edema akan terjadi di seluruh tubuh. Nadi akan penuh, vena distensi, dan edema paru disertai nafas pendek, sesak dan batuk. Penanganan kelebihan larutan biasanya dengan membatasi Na+, dan jika perlu diberikan diuretika.1,2,4,11

8. Gangguan keseimbangan konsentrasi Na+ Dalam keadaan normal konsentrasi Na+ berkisar antara 135 sampai 145 mEq/l (135 sampai 145 mmol/l). Nilai Na+ serum ditentukan dengan mEq/l yang berarti konsentrasi atau dilusi dari Na+ dalam air. Karena Na+ adalah anion CES (90%-95%) maka perubahan konsentrasi Na+ serum umumnya diikuti oleh perubahan osmolalitas serum.7,8

Hiponatremia Hiponatremia terjadi apabila konsentrasi Na+ kurang dari 135 mEq/l. Karena efek partikel aktif lainnya terhadap osmolalitas CES seperti glukosa, maka hiponatremia berhubungan dengan tinggi rendahnya tonisitas. Hiponatremia hipertonik (translokasional) adalah keadaan sebagai akibat suatu peralihan osmotik air dari CIS ke CES seperti yang terjadi pada hiperglikemia. Pada keadaan ini Na + di CES menjadi lebih encer karena air pindah keluar dari sel sebagai respon terhadap tekanan osmotik karena hiperglikemia. Hipotonik sejauh ini merupakan keadaan yang sering pada hiponatremia. Ini terjadi karena retensi air dan ditandai dengan penurunan osmolalitas serum. Hiponatremia dilusi bisa terjadi pada keadaan hipervolemik, euvolemik atau hipovolemik. Hiponatremia hipervolemik terjadi jika CES meningkat dan ini terjadi jika diikuti dengan edema seperti pada gagal jantung , sirosis, dan penyakit ginjal berat. Hiponatremia euvolemik terjadi apabila ada retensi air sehingga konsentrasi Na+ turun tetapi tidak disertai peningkatan volume CES. Ini terjadi pada keadaan rasa haus yang tak tepat (SIADH).

Hiponatremia hipovolemik terjadi jika air hilang disertai Na tetapi jumlah Na+ lebih banyak yang hilang, ini terjadi pada keadaan banyak berkeringat pada cuaca panas, muntah dan diare. Penyebab hiponatremia dilusi, pada dewasa adalah karena obat-obatan (diuretika, sehingga kadar ADH naik), penggantian larutan yang tak tepat setelah latihan dan cuaca panas, SIADH, polidipsi pada pasien skizofrenia. Diantara penyebab hiponatremia hipovolemia adalah banyak berkeringat pada cuaca panas, setelah latihan, hiponatremia karena minum lebih banyak air yang tidak mengandung cukup elektrolit. Lavemen juga menyebabkan keadaan di atas. Manifestasi dari hiponatremia hipotonik yaitu: Hasil laboratorium: Na+ serum <135 mEq/l, osmolalitas serum turun, hematokrit turun, nitrogen urea juga turun. Larutan intraselular meningkat; edema pada ujung jari. Hipoosmolalitas dan perpindahan air ke otot, saraf, dan jaringan saluran pencernaan; otot kejang dan lemah, sakit kepala, penurunan perhatian, perubahan sikap, letargi, stupor sampai koma, saluran cerna terganggu, nafsu makan turun, mual, muntah, sakit perut, diare. Penanganan hiponatremia adalah mengatasi masalah dasarnya. Pemberian Na+ lewat oral atau intravena diberikan jika diperlukan.7,8,9

Hipernatremia Suatu keadaan dimana kadar Na+ serum >145 mEq/l, dan osmolalitas lebih besar 295 mOsm/kg. Karena Na+ ini fungsinya sebagai larutan impermeabel maka ia berperan dalam tonisitas dan gerakan air menembus sel membran. Hipernatremia ditandai dengan hipertonisitas dari CES dan hampir selalu menyebabkan dehidrasi selular. Hipernatremia terjadi karena defisit air dibanding dengan kadar Na+ tubuh. Hal ini disebabkan oleh jumlah bersih Na+ atau jumlah bersih air yang hilang. Pemberian Na+ secara cepat tanpa disesuaikan jumlah air yang masuk akan menyebabkan hipernatremia. Hipernatremia juga bisa terjadi apabila timbul kehilangan air lebih banyak dibanding jumlah kehilanagn Na+. Hal ini terjadi pada keadaan peningkatan kehilangan lewat respirasi pada keadaan panas atau latihan yang berat, diare cair, atau saat pemberian makanan lewat pipa lambung dengan sedikit air. Pada keadaan normal defisit larutan akan memacu rasa haus sehinga meningkatkan pemasukan air. Pada hipernatremia terjadi pada bayi atau anak yang rasa hausnya kurang peka sehingga akan kurang minum air. Pada keadaan hipodipsi atau rasa haus yang lemah kebutuhan larutan tidak merangsang pusat haus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah kehilangan larutan CES dan terjadi dehidrasi selular. Gejala dan tanda lebih berat jika ada kenaikan konsentrasi Na+ serum yang tinggi dan terjadi dalam waktu yang cepat. Berat badan akan turun sesuai dengan jumlah air yang hilang. Karena plasma darah 90%-93% air maka konsentrasi sel darah, hematokrit, BUN, akan naik sesuai penurunan air di CES. Rasa haus adalah gejala yang pertama kali muncul, terjadi jika air hilang setara dengan 0.5% air tubuh. Output urin turun dan osmolalitas meningkat karena mekanisme absorpsi air di ginjal. Suhu tubuh sering meningkat dan kulit

menjadi hangat dan memerah. Karena volume vaskular turun maka nadi menjadi cepat dan lemah, tekanan darah turun. Hipernatremia menyebabkan peningkatan osmolalitas serum dan akibatnya air akan keluar dari dalam sel, sehingga kulit dan mukosa menjadi kering, saliva dan air mata menjadi kurang. Mulut menjadi kering dan keras, lidah menjadi tebal dan luka, sulit menelan. Jaringan subkutan memerah. Jika air banyak keluar dari sel saraf maka akan terjadi penurunan refleks, agitasi, sakit kepala, gelisah. Koma dan kejang terjadi pada hipernatremia yang berat. Penanganan hipernatremia terutama ditujukan pada penyebabnya, yaitu penggantian kehilangan larutan (dehidrasi). Penggantian larutan ini bisa oral atau intravena atau duaduanya. Larutan, glukosa dan elektrolit merupakan pilihan yang tepat. Pada dehidrasi berat penggantian larutan diberikan sesuai dengan protokol WHO.7,8,9

Keseimbangan Kalium Kalium adalah kation yang terbanyak kedua di dalam tubuh dan jumlah terbesar di dalam CIS. Kurang lebih 98% kalium tersebut berada di dalam sel-sel tubuh dengan konsentrasi didalam intraseluler 140 sampai 150 mEq/l. Kandungan kalium di dalam CES (3.5 sampai 5.0 mEq/l) sangat rendah. Karena kalium merupakan ion intraselular, maka jumlah penyimpanan kalium berhubungan dengan ukuran tubuh dan massa otot. Sekitar 65% sampai 70% dari kalium berada di dalam otot. Sehingga total kalium di dalam tubuh turun bersamaan dengan perubahan umur terutama sebagai hasil dari berkurangnya massa otot. Sebagai kation intraselular utama, kalium penting untuk beberapa fungsi tubuh. Kalium berkaitan dengan beberapa fungsi tubuh, termasuk menjaga kesempurnaan osmosis sel, keseimbangan asam basa dan kemampuan ginjal untuk memproduksi urin. Kalium diperlukan untuk pertumbuhan dan memberi reaksi kimia yang mengubah karbohidrat menjadi energi, glukosa menjadi glikogen dan asam amino menjadi protein. Kalium juga berperan penting dalam mengatur denyut nadi dan kemampuan untuk merangsang tulang rangka, bagian jantung dan otot halus dengan cara mengatur: (1) selaput potensial yang tidak aktif, (2) keluarnya natrium untuk mengendalikan aliran arus potensial, dan (3) tingkatan repolarisasi. Perubahan kemampuan di saraf dan otot pada umumnya penting untuk jantung, dimana perubahan pada kalium serum dapat menghasilkan ketidakharmonisan yang serius dan kerusakan konduksi. Perubahan konsentrasi kalium serum juga mempengaruhi otot tulang rangka dan otot halus pembuluh darah dan saluran pencernaan. Selaput potensial yang tidak aktif ditentukan dari rasio kalium intraselular terhadap ekstraselular. Penurunan konsentrasi kalium serum mengakibatkan selaput potensial tersebut menjadi lebih bermuatan negatif (hyperpolarization) bergerak menjauhi nilai ambang kejutan. Maka dari itu, diperlukan stimulasi yang besar untuk mencapai nilai ambang dan membuka saluran natrium yang bertanggung jawab atas aktivitas potensial. Kenaikan konsentrasi kalium serum mempunyai efek yang berlawanan, mengakibatkan selaput potensial yang tidak aktif menjadi lebih bermuatan positif (hypopolarized), bergerak mendekati nilai ambang. Ini menyebabkan kenaikan awal kemampuan rangsangan. Aktifitas pembukaan saluran natrium yang mengatur aliran arus saat aktivitas yang efektif juga dipengaruhi oleh

kadar kalium kemudian menyebabkan turunnya rangsangan. Pada hiperkalemia yang berat, saluran natrium menjadi tidak aktif mengakibatkan penurunan rangsangan. Tingkatan repolarisasi juga beragam sesuai dengan kadar kalium serum. Tingkatan repolarisasi lebih cepat pada keadaan hiperkalemia dan lebih lambat pada hipokalemia. Tingkatan repolarisasi tersebut secara klinis sangat penting karena merupakan predisposisi untuk terjadinya defek konduksi dan disritmia jantung.1,2,12,13,14

1.

Pengaturan keseimbangan kalium Pemasukan kalium berasal dari makanan. Pada orang yang sehat, keseimbangan kalium biasanya terpenuhi dari makanan kira-kira 50 sampai 100 mEq setiap hari. Kalium tambahan juga dibutuhkan pada keadaan trauma dan stress. Kehilangan kalium yang paling banyak adalah melalui ginjal. Sekitar 80% sampai 90% dari kalium yang hilang adalah melalui urine, sedangkan yang lainnya hilang melalui feses dan keringat.2,12

2. Mekanisme pengaturan Dalam kondisi normal, konsentrasi kalium di CES berkisar 4,2 mEq/ml. Dibutuhkan pengaturan yang tepat karena banyak fungsi sel sensitif terhadap perubahan yang sangat kecil dari kadar kalium CES. Kenaikan kadar kalium serum sekitar 0,32 sampai 0,4 mEq/l saja bisa menyebabkan disritmia jantung dan kematian. Kadar kalium serum pada dasarnya diatur melalui dua mekanisme: 1) mekanisme ginjal yang mengabsorpsi dan membuang kalium, dan 2) pergeseran transelular kalium antara kompartemen CIS dan CES. Umumnya hal ini berlangsung 6 sampai 8 jam untuk membuang 50% pemasukan kalium. Untuk menghindari kenaikan kadar kalium ekstraselular selama berlangsungnya hal tersebut, kelebihan kalium sementara dipindah ke eritrosit dan sel lain seperti otot, hati, dan tulang.12,13,14

Pengaturan di ginjal Ginjal merupakan rute utama dalam pembuangan kalium. Kalium pertama-tama difiltrasi di dalam glomerulus, diserap lagi di dalam tubulus proksimal bersama dengan air dan natrium dan bersama dengan natrium dan klorida di dalam ansa Henle asenden, kemudian dikeluarkan ke dalam tubulus kortikal untuk dibuang bersama urin. Mekanisme tersebut berfungsi sebagai pengatur kadar kalium di dalam CES. Aldosteron perperan utama dalam pengaturan pembuangan kalium oleh ginjal. Dengan adanya aldosteron, kalium kembali ke aliran darah dan kalium dikeluarkan tubulus untuk dibuang lewat urin. Ada juga sistem pertukaran kalium-hidrogen di dalam tubulus kolektivus ginjal. Ketika kadar kalium serum naik, kalium dibuang ke dalam urin dan hidrogen diserap kembali ke dalam darah, yang kemudian menyebabkan penurunan pH dan terjadi asidosis metabolik. Sebaliknya, jika kadar kalium rendah, kalium diserap kembali dan hidrogen dibuang ke dalam urin menyebabkan alkalosis metabolik.1,2,12,13,14

Pergeseran ekstraselular-intraselular Pergerakan kalium dari CES ke CIS dan sebaliknya, memungkinkan kalium bergerak ke sel tubuh ketika kadarnya dalam serum tinggi, dan bergerak keluar ketika kadar dalam serum rendah. Beberapa faktor yang mengubah distribusi kalium antara CES dan CIS adalah: insulin, stimulus ß-adrenergik, osmolalitas serum dan ketidakteraturan asam basa. Kedua faktor insulin dan ß-adrenergik katekholamin (misalnya adrenalin) meningkatkan masuknya kalium selular. Insulin menaikkan pemasukan kalium selular setelah makan. Kandungan kalium setiap kali makan kurang lebih sebesar 50 mEq, kerja insulin mencegah peningkatan kadar kalium serum ke tingkat yang mengancam kehidupan. Katekholamin, terutama adrenalin, memfasilitasi pergerakan kalium kedalam jaringan otot pada saat stres fisik. Osmolalitas ekstraselular dan pH juga mempengaruhi pergerakan dari kalium antara CIS dan CES. Peningkatan yang tajam osmolalitas serum mengakibatkan kalium bergerak keluar dari sel-sel. Ketika osmolalitas serum naik akibat adanya larutan impermeabel seperti glukosa (tanpa insulin), air meninggalkan sel. Hilangnya air dalam sel menyebabkan kenaikan konsentrasi kalium intraselular yang menyebabkan kalium intraselular keluar dari sel ke dalam CES. Kelainan asam-basa sering diikuti oleh perubahan konsentrasi kalium serum. Hidrogen dan kalium bermuatan positif, dan kedua ion tersebut bergerak secara bebas diantara CIS dan CES. Pada asidosis metabolik, ion hidrogen bergerak ke dalam sel tubuh untuk buffer, hal ini menyebabkan konsentrasi kalium keluar dari sel dan bergerak ke dalam CES. Alkalosis metabolik mempunyai pengaruh yang berlawanan. Olahraga juga dapat menyebabkan pergeseran kalium. Kontraksi otot yang berulang melepaskan kalium ke dalam CES. Walaupun peningkatan biasanya kecil sesuai keadaan latihan. Bahkan pada saat mengepalkan tangan yang mengencang dan mengendor yang berulang-ulang pada saat pengambilan darah dapat menyebabkan kalium keluar dari sel dan meningkatkan kadar kalium serum. 1,2,12,13,14

3. Hipokalemia Hipokalemia apabila kadar kalium serum kurang dari 3.5 mEq/l (3.5 mmol/l). Akibat dari pergeseran transelular, perubahan sementara pada konsentrasi K+ serum kemungkinan terjadi karena pergerakan dari CIS dan CES.15,16 Penyebab Penyebab kekurangan kalium bisa dikelompokkan menjadi 3 kategori: (1) pemasukan kurang, (2) kehilangan melalui ginjal, kulit dan saluran cerna, dan (3) penyebaran kembali antara CIS dan CES. Konsumsi yang tidak mencukupi sering menjadi penyebab hipokalemia. Pemasukan 10 sampai 30 mEq/hari diperlukan untuk mengkompensasi pengeluaran lewat ginjal. Seseorang yang sedang diet kalium akan kehilangan sekitar 5 sampai 15 mEq setiap harinya. Kegagalan pemasukan kalium disebabkan karena kesulitan makan, karena diet, atau makanan yang sedikit mengandung kalium. Kehilangan kalium yang berlebihan dari ginjal terjadi karena diuretika, alkalosis metabolik, penurunan kadar

magnesium , trauma atau stress, dan peningkatan kadar aldosteron. Terapi diuretika, kecuali diuretika dengan kalium adalah penyebab utama hipokalemia. Derajat hipokalemia berhubungan secara langsung dengan dosis diuretika dan lebih tinggi saat banyak mengkonsumsi natrium. Penekanan magnesium menyebabkan pengeluaran kalium melalui ginjal. Defisiensi magnesium sering muncul bersamaan dengan penekanan kalium misalnya pada penyakit diare. Perlu diperhatikan bahwa mengoreksi kekurangan kalium akan gagal pada saat terjadi defisiensi magnesium. Ginjal tidak mempunyai mekanisme homeostatik yang diperlukan untuk mempertahankan kalium pada saat stress atau konsumsi yang tidak mencukupi. Setelah situasi trauma dan stres, kehilangan kalium dalam urin meningkat, terkadang mendekati kadar 150 sampai 200 mEq/l. Ginjal kehilangan kalium dipengaruhi oleh aldosteron dan kortisol. Trauma dan operasi menyebabkan hormon-hormon tersebut meningkat. Aldosteronisme primer, yang disebabkan oleh tumor yang memacu aldosteron pada korteks adrenal, dapat menghasilkan kehilangan banyak kalium dalam urin. Kortisol mengikat reseptor aldosteron dan berefek menyerupai aldosteron untuk mengeluarkan kalium. Meskipun kehilangan kalium dari saluran cerna dan kulit biasanya sedikit, kehilangan ini bisa meningkat saat kondisi tertentu. Saluran cerna merupakan salah satu tempat yang sering menjadi tempat kehilangan kalium akut. Muntah-muntah dan aspirasi saluran cerna memacu terjadinya hipokalemia, sebagian disebabkan oleh kehilangan kalium dan juga karena kehilangan di ginjal yang berhubungan dengan alkalosis metabolik. Diare dan aspirasi gastrointestinal juga menyebabkan kehilangan kalium yang banyak. Evaporasi lewat kulit dan keringat yang banyak akan menyebabkan kehilangan kalium yang banyak juga. Luka bakar dan jenis luka kulit lain meningkatkan hilangnya kalium. Kehilangan yang disebabkan oleh keringat pada seseorang yang sensitif cuaca panas, sebagian dikarenakan oleh pengeluaraan aldosteron yang meningkat saat meningkatnya panas meningkatkan hilangnya kalium lewat urin dan keringat. Karena rasio kalium CIS dan CES tinggi maka aliran kalium dari CES ke CIS mengakibatkan turunnya konsentrasi di serum. Salah satu penyebabnya adalah insulin. Karena insulin meningkatkan gerakan glukosa dan kalium ke dalam sel, pengurangan kalium sering terjadi saat pengobatan ketoasidosis diabetes. Obat agonis reseptor ßadrenergik, seperti pseudoefedrin dan albuterol, memiliki efek yang sama terhadap distribusi kalium.12,13,15,16 Manifestasi Manifestasi hipokalemia adalah efek gangguan potensial membran pada sistem kardiovaskular, neuro-muskular dan gastrointestinal. Tanda dan gejala dari kekurangan kalium jarang terjadi jika kadar serum kalium kurang dari 3.0 mEq/l. Biasanya gejala datang pelan-pelan sehingga sulit terdeteksi. Akibat dari hipokalemia yang paling serius adalah gangguan fungsi kardiovaskular. Hipotensi postural sering terjadi. Kebanyakan orang dengan kadar kalium serum kurang dari 3.0 mEq/l mengalami perubahan elektrokardiografi (EKG), ini sangat spesifik untuk hipokalemia. Perubahan ini meliputi pemanjangan gelombang PR, depresi dari segmen ST, gelombang T yang datar dan tampak gelombang U yang nyata. Meskipun perubahan EKG ini biasanya tidak serius, tetapi ini menyebabkan sinus bradikardi dan disritmia ektopik

ventrikular. Keracunan digitalis dapat terjadi pada orang yang sedang memakai obat ini dan akan menaikkan risiko disritmia ventrikular, khususnya pada orang dengan dasar penyakit jantung. Kalium dan senyawa digitalis akan berikatan dengan pompa Na+/K+ ATPase. Hipokalemia sedang sering terjadi pada kelemasan, kecapekan dan kram otot, khususnya saat olahraga sebagai moderate hypokalemia (konsentrasi kalium serum 3.0 sampai 2.5 mEq/l) yang umum. Paralisis otot pernafasan bisa terjadi pada hipokalemia berat (konsentrasi kalium serum <2.5 mEq/l). Otot kaki, khususnya otot kuadriseps, paling sering terkena. Pada defisiensi kalium kronis bisa terjadi atrofi otot yang menyebabkan kelemahan. Terdapat banyak tanda dan gejala yang berhubungan dengan gangguan fungsi gastrointestinal, termasuk anoreksia, nausea, dan muntah-muntah. Atonia otot polos sistem gastrointestinal dapat menyebabkan sembelit, kembung karena hipokalemia yang disebut ileus paralitik. Saat ada gangguan gastrointestinal maka secara perlahan akan mengganggu pemasukan kalium. Ginjal mempertahankan kadar kalium saat hipokalemia mengganggu kerja ginjal untuk menyaring urin. Sebagai akibatnya, terjadi peningkatan pengeluaran urin dan osmolalitas serum, berat jenis urin turun dan terjadi poliuria, nokturia dan rasa haus. Alkalosis metabolik dan pembuangan klorida dari ginjal adalah gejala dari hipokalemia yang berat.11,15,16 Penanganan Jika memungkinkan, hipokalemia yang disebabkan oleh kekurangan kalium ditangani dengan cara meningkatkan konsumsi makanan dengan kalium yang tinggi. Suplemen kalium secara oral harus diberikan pada anak yang pemasukan kaliumnya tidak mencukupi sehubungan dengan kehilangan kalium, terutama pada anak yang dalam terapi diuretika dan mereka yang mendapatkan digitalis. Kalium dapat diberikan secara intravena apabila pemberian secara oral tidak memungkinkan. Kekurangan magnesium dapat mengganggu pemasukan kalium; sehingga perlu pemberian magnesium. Pemberian kalium dengan infus cepat dapat menyebabkan kematian karena gangguan jantung. Oleh karena itu pemberian intravena harus dalam pengawasan ketat dari dokter.11,15,16 4. Hiperkalemia Hiperkalemia terjadi apabila kadar kalium serum diatas 5.0 mEq/l (5.0 mmol/l). Hiperkalemia jarang terjadi pada orang yang sehat karena badan orang sehat sangat efektif untuk mencegah akumulasi kelebihan kalium di dalam CES.15,16 Akibat Terdapat tiga penyebab utama kelebihan kalium, yaitu: (1) penurunan pengeluaran dari ginjal, (2) pemberian kalium yang cepat, dan (3) pergeseran kalium dari CIS ke CES. Penyebab hiperkalemia yang paling sering adalah turunnya fungsi ginjal. Hiperkalemia kronis selalu berhubungan dengan gagal ginjal. Biasanya glomerular filtration rate (GFR) turun secara sampai kurang dari 10 ml/menit sebelum terjadi hiperkalemia. Beberapa kelainan ginjal, seperti sickle cell nephropathy, nefropati karena logam, nefritis lupus sistemis dapat merusak sekresi kalium di tubulus tanpa menyebabkan gagal ginjal. Asidosis

juga menyebabkan berkurangnya pengeluaran kalium oleh ginjal, sehingga gagal ginjal akut yang disertai dengan asidosis laktat atau ketoasidosis akan meningkatkan risiko hiperkalemia. Koreksi asidosis biasanya akan memperbaiki hiperkalemia. Aldosteron bekerja pada keadaan dimana kadar kalium dan natrium tubulus distal dalam kadar pertukaran sehingga kalium ditingkatkan ekresinya sedangkan natrium direabsorpsi. Sehingga keadaan yang menurunkan aldosteron akan menurunkan ekskresi kalium melalui ginjal seperti pada penyakit Addisson. Kelebihan kalium dapat diakibatkan oleh kelebihan pemasukan kalium secara oral dan intravena. Jika fungsi ginjal dan sistem aldosteron baik maka biasanya pemasukan oral masih bisa di tolerir untuk tidak menyebabkan hiperkalemia. Lain halnya jika pemberian secara intravena, terutama jika pemberian terlalu cepat maka biasanya menyebabkan hiperkalemia yang fatal. Jadi pemberian kalium intravena seharusnya mempertimbangkan fungsi ginjal. Pergeseran kalium dari dalam sel ke CES juga dapat menyebabkan peningkatan kadar kalium serum misalnya pada keadaan luka bakar dan luka parah. Keadaan ini juga akan mengurangi fungsi ginjal sehingga bisa berkembang menjadi hiperkalemia. Hiperkalemia transien dapat disebabkan saat melakukan olahraga yang berat atau kejang, saat sel otot permeabel terhadap kalium.11,15,16 Manifestasi Tanda-tanda dan gejala kelebihan kalium sangat berhubungan dengan gangguan pada eksitabilitas neuromuskular. Manifestasi neuromuskular dari kelebihan kalium biasanya tidak tampak, sampai kadar kalium serum melebihi 6 mEq/l. Gejala pertama yang berhubungan dengan hiperkalemia biasa adalah parestesia. Kemungkinan besar nantinya akan ada keluhan kelemahan otot secara menyeluruh atau dispnea sekunder karena kelemahan otot pernafasan. Akibat yang paling serius dari hiperkalemia ada pada jantung. Saat kadar kalium meningkat, maka gangguan pada konduksi jantung akan terjadi. Perubahan yang cepat mungkin terjadi pada gelombang T yang menyempit, dan pelebaran kompleks QRS. Jika kadar kalium serum terus naik, interval PR menjadi memanjang dan diikuti oleh hilangnya gelombang P. Detak jantung kemungkinan turun. Fibrilasi ventrikular dan cardiac arrest akan terjadi. 11,15,16 Penanganan Penanganan kelebihan kalium bervariasi tergantung beratnya gangguan dan biasanya ditujukan pada penurunan pemasukan atau penyerapan, peningkatan pengeluaran lewat ginjal, dan peningkatan pemasukan ke intraseluler. Penurunan pemasukan bisa dicapai dengan cara mengurangi makanan yang mengandung kalium. Peningkatan pengeluaran kalium sering kali lebih sulit. Pasien dengan gagal ginjal membutuhkan hemodialisis atau dialisis peritoneal untuk mengurangi kadar kalium serum. Sebagian besar cara penanganan ditujukan pada bagaimana memindahkan kalium ke intraselular, misalnya pemberian infus insulin dan glukosa. 11,15,16

Keseimbangan Kalsium dan Magnesium

Kalsium adalah salah satu kation divalen yang utama dalam tubuh. Sekitar 99% dari kalsium tubuh terdapat pada tulang, dimana hal ini memberikan kekuatan dan stabilitas untuk sistem kerangka dan sebagai sumber untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraseluler. Sebagian besar dari kalsium lainnya (sekitar 1%) terdapat dalam sel dan hanya 0.1%-0.2% terdapat di CES. Kalsium serum terdapat dalam tiga bentuk: (1) ikatan protein, (2) kompleks dan (3) terionisasi. Sekitar 40% kalsium serum terikat pada protein plasma (sebagian besar albumin) dan tidak dapat melewati dinding kapiler untuk keluar dari vaskular. Sepuluh (10) % lainnya dalam bentuk kompleks seperti sitrat, fosfat dan sulfat. Bentuk ini tidak terionisasi. Sisanya, 50% dari kalsium serum terdapat dalam bentuk terionisasi. Kalsium yang berbentuk ion-lah yang dapat keluar dari vaskular dan mengambil bagian dalam fungsi selular. Total kadar kalsium serum berfluktuasi tergantung perubahan albumin serum dan pH. Kalsium terionisasi mempunyai beberapa fungsi. Kalsium yang terionisasi tersebut terlibat dalam beberapa reaksi enzimatik; memberi pengaruh pada membran potensial dan rangsangan neuronal; diperlukan untuk kontraksi otot rangka, otot jantung, dan otot polos; ikut pada pelepasan hormon, transmisi saraf dan pembawa pesan kimia lainnya; mempengaruhi kontraksi jantung dan otomatis lewat kanal lambat kalsium; dan penting untuk penggumpalan darah. Penggunaan obat antagonis Ca++ pada kelainan sirkulasi menunjukkan betapa pentingnya ion kalsium dalam fungsi normal jantung dan pembuluh darah. Kalsium dibutuhkan untuk semua langkah koagulasi darah tapi yang terpenting pada dua pertama jalur intrinsik. Karena kemampuannya untuk mengikat kalsium, sitrat sering digunakan untuk mencegah penggumpalan darah yang dipakai untuk transfusi darah.1,2,17,18 1.

Pengaturan kalsium serum Kalsium masuk ke dalam tubuh melalui saluran gastrointestinal, diserap dari usus dibawah pengaruh vitamin D, disimpan di dalam tulang, dan dikeluarkan oleh ginjal. Sumber utama dari kalsium adalah susu dan produk dari susu. Hanya 30% sampai 50% dari kalsium makanan diserap dari duodenum dan jejunum atas; sisanya dikeluarkan melalui feses. Kalsium disaring dalam glomerulus ginjal kemudian secara selektif diserap kembali ke dalam darah. Sekitar 60%-65% kalsium yang tersaring secara pasif diserap kembali di dalam tubulus proksimal didorong oleh penyerapan natrium klorida; 15% sampai 20% diserap kembali di dalam ansa Henle yang tebal, didorong oleh Na+/K+/2Cl- transport; dan 5% sampai 10% diserap kembali di dalam tubulus distal. Tubulus distal adalah tempat pengatur yang penting untuk mengendalikan jumlah kalsium yang dikeluarkan bersama urin. PTH dan mungkin juga vitamin D yang memacu penyerapan kembali kalsium di dalam bagian nefron. Faktor lain yang mungkin mempengaruhi penyerapan kembali kalsium di dalam tubulus distal adalah kadar fosfat dan glukosa serta kadar insulin. Diuretika tiazid, yang berefek di dalam tubulus distal, meningkatkan penyerapan kembali kalsium. Kalsium serum, yang bertanggung jawab terhadap fungsi fisiologis kalsium, langsung ataupun tidak langsung diatur oleh hormon paratiroid (PTH) dan vitamin D. Kalsitonin, hormon yang diproduksi oleh sel C di dalam kelenjar tiroid, diperkirakan bekerja di ginjal dan tulang untuk memindahkan kalsium dari sirkulasi. Pengaturan kalsium serum juga sangat dipengaruhi oleh kadar fosfat dalam serum. Hormon paratiroid, pengatur utama kalsium dan fosfat serum, hormon ini dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid. Respon terhadap penurunan kalsium serum terjadi secara cepat, terjadi

dalam hitungan detik. Fungsi utama PTH adalah menjaga kosentrat kalsium dari ECF. PTH melakukan fungsi tersebut dengan cara memacu pelepasan kalsium dari tulang, peningkatan aktivasi vitamin D yang merangsang kenaikan penyerapan kalsium di dalam intestinal dan merangsang penyerapan oleh ginjal sejalan meningkatnya pengeluaran fosfat. Walaupun vitamin D adalah suatu vitamin, tetapi berfungsi sebagai hormon. Vitamin D3 (bagian aktif dari vitamin D) disintesis di dalam kulit atau diperoleh dari makanan yang kaya dengan vitamin D. Vitamin D3 dihidrosilasi didalam hati dan diubah ke dalam bentuk aktif di dalam ginjal. Peran utama bentuk aktif vitamin D ini untuk meningkatkan penyerapan kalsium dari intestinal. Konsentrasi kalsium dan fosfat di CES diatur sedemikian rupa sehingga kadar kalsium akan turun ketika kadar fosfat tinggi dan sebaliknya. Kadar kalsium serum normal adalah 8,5 sampai 10,5 mg/dl pada orang dewasa, dan kadar fosfat serum adalah 2,5 sampai 4,5 mg/dl pada orang dewasa. Ini diatur sedemikian sehingga produksi kedua konsentrasi tersebut ([Ca2+] x [PO42-]) biasanya dijaga kurang dari 70. Rumatan produksi kalsium-fosfat dalam rentang ini sangat penting untuk mencegah deposisi garam Calsium Fosfat di dalam jaringan lunak, merusak ginjal, pembuluh darah, dan paru-paru. 1,2,17,18,19 2. Hipokalsemia Hipokalsemia terjadi bila kadar kalsium serum dibawah 8,5 mg/dl. Hypokalsemia terjadi dalam berbagai bentuk penyakit kritis dan mempengaruhi sebanyak 70% sampai 90% pasien yang berada didalam unit gawat darurat (ICU).11,20 Penyebab Penyebab hipokalsemia bisa dibagi dalam 3 ketegori: (1) ketidakmampuan mobilisasi kalsium yang disimpan dalam tulang, (2) kehilangan luar biasa kalsium dari ginjal, dan (3) kenaikan ikatan protein atau pengkhelatan (chelation) sedemikian sehingga proporsi yang lebih besar dari kalsium adalah dalam bentuk non-ionisasi. Hipokalsemia maya (pseudo) yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia ini mengakibatkan penurunan pada ikatan protein-kalsium (bukan kalsium terionisasi) dan biasanya terjadi secara asimtomatik. Kekurangan kalsium karena kekurangan makanan berefek pada kemampuan penyimpanan tulang, bukan pada tingkat kalsium ekstraselular. Kalsium serum ada dalam bentuk keseimbangan dinamik dengan kalsium dalam tulang. Kemampuan untuk memobilisasi kalsium dari tulang tergantung pada tingkat kecukupan PTH. Penurunan kadar PTH kemungkinan diakibatkan dari jenis pertama atau kedua dari hipoparatiroidisme. Pengurangan pengeluaran PTH bisa juga terjadi ketika kadar vitamin D meningkat. Kekurangan magnesium mencegah pengeluaran PTH dan merusak kemampuan PTH pada penyerapan tulang. Hipokalsemia bentuk ini sangat sukar untuk diobati dengan penambahan kalsium saja dan membutuhkan koreksi dari kekurangan magnesium. Pengurangan fosfat dapat mengurangi kegagalan kelenjar jaringan. Karena hubungan balik antara kalsium dan fosfat, kadar kalsium serum jatuh saat kadar fosfat pada kegagalan kelenjar jaringan naik. Hipokalemia dan hiperfosfatemia terjadi saat laju filtrasi glomerular turun kurang dari 25 sampai 30 ml/menit (100 sampai 120 ml/menit adalah normal). Hanya kalsium dalam bentuk terionisasi yang dapat meninggalkan kapiler dan ikut serta dalam berbagai fungsi tubuh. Perubahan pH mengubah sebagian dari kalsium yang ada

hanya dalam bentuk ionisasi. pH asam menurunkan ikatan (afinitas) protein terhadap kalsium menyebabkan peningkatan kadar kalsium yang terionisasi sedangkan kadar kalsium serum total tidak berubah. pH alkalis berefek sebaliknya. Sebagai contoh, hiperventilasi cukup untuk menyebabkan alkalosis respiratorik sehingga dapat menyebabkan tetani, karena alkalosis menyebabkan kenaikan ikatan (afinitas) protein terhadap kalsium, sehingga kadar kalsium yang terionisasi berkurang. Asam lemak bebas meningkatkan ikatan (afinitas) albumin terhadap kalsium, sehingga mengakibatkan turunnya kadar kalsium yang terionisasi. Peningkatan kadar asam lemak bebas cukup untuk mengubah ikatan kalsium. Hal ini dapat terjadi pada saat situasi stress yang mengakibatkan peningkatan kadar adrenalin, glukagon, hormon pertumbuhan dan adrenokortikotropin. Hipokalsemia banyak dijumpai pada pasien dengan pankreatitis akut. Radang pada pankreas menyebabkan pelepasan enzim-enzim proteolitik dan enzim-enzim lipolitik. Diperkirakan bahwa ion kalsium bergabung dengan asam lemak bebas yang dikeluarkan oleh liposisis dalam pankreas, membentuk sabun dan menghilangkan kalsium dari peredaran.1,2,11,20 Manifestasi Hipokalsemia dapat dijumpai sebagai kondisi akut atau kronis. Hipokalsemia akut direfleksikan oleh peningkatan ketegangan otot saraf dan kardiovaskular yang menyebabkan penurunan kadar kalsium yang terionisasi. Kalsium yang terionisasi menstabilkan ketegangan saraf otot, membuat sel saraf menjadi tidak sensitif terhadap rangsangan. Rendahnya kadar kalsium yang terionisasi menyebabkan penurunan nilai ambang eksitasi saraf, respon berulang terhadap rangsangan tunggal pada saraf, dan pada kasus ekstrim terjadi aktifitas yang terus menerus. Keparahan manifestasi bergantung pada penyebabnya, kecepatan serangan, yang menyertai gangguan elektrolit, dan pH ekstraselular. Kenaikan ketegangan bisa berwujud sebagai parestesi (kesemutan) di sekitar mulut, tangan dan kaki, dan tetani (kejang; Jawa: keduten) otot muka, tangan dan kaki. Hipokalsemia parah bisa menyebabkan kejang laring, kejang-kejang, dan bahkan kematian. Pengaruh hipokalsemia parah terhadap sistem kardiovaskular meliputi hipotensi, menurunnya isi sekuncup, aritmia kordis (terutama blok kardiak dan fibrilasi jantung), dan kegagalan merespon obat antara lain digitalis, noradrenalin, dan dopamin yang bekerja lewat mekanisme yang diperantarai kalsium. Hipokalsemia kronis sering diikuti dengan manisfestasi skeletal dan perubahan pada kulit. Timbul rasa sakit pada tulang, kekakuan, deformitas dan fraktur. Kulit menjadi kering dan bersisik, kuku menjadi pecah, dan rambut menjadi kering. Keadaan ini sering disertai timbulnya katarak. Seseorang dengan hipokalsemia kronis dapat menderita gangguan otak ringan menyerupai depresi, demensia atau psikosis.1,2,11,20 Diagnosis dan perawatan Uji Chvostek dan Trousseau sangat berguna untuk mengevaluasi peningkatan ketegangan saraf otot dan tetani. Tanda Chvostek dimunculkan dengan cara mengetuk muka tepat di bawah pelipis pada titik dimana saraf wajah muncul. Dengan mengetuk muka pada saraf wajah mengakibatkan kejutan kecil pada bibir, hidung atau wajah apabila hasil tes positif. Sabuk pengukur tekanan darah yang digembungkan digunakan untuk mengetes tanda Troussean. Sabuk pengukur tekanan darah tersebut digembungkan di atas tekanan darah

sistolik selama 3 menit. Kontraksi jari-jari dan tangan (spasmus karpopedal) menandakan adanya tetani. Hipokalsemia akut merupakan situasi darurat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat. Infus yang berisi kalsium diberikan saat tetani atau gejala akut terjadi atau bila ada kemungkinan terjadi tetani karena penurunan kadar kalsium serum. Hipokalsemia kronis diterapi dengan minum kalsium. Satu gelas susu berisi sekitar 300 mg kalsium. Suplemen dengan minum kalsium bisa dilakukan. Pada beberapa kasus pengobatan yang lama mungkin memerlukan penggunaan preparat vitamin D. Bentuk aktif vitamin D mungkin perlu diberikan jika mekanisme dalam hati atau ginjal yang diperlukan untuk aktivasi hormon tidak berjalan.1,2,11,20 3. Hiperkalsemia Hiperkalsemia merepresentasikan konsentrasi total kalsium serum lebih dari 10.5 mg/dl. Kenaikan palsu kadar kalsium bisa berasal dari pengambilan darah yang terlalu lama akibat pembebatan yang terlalu kencang. Kenaikan kadar protein plasma (hiperalbuminemia, hiperglobulinemia) bisa menaikan kadar kalsium serum total.11,20 Penyebab Kelebihan kalsium serum (yaitu hiperkalsemia) terjadi jika pergerakan kalsium menuju sirkulasi mendominasi pengaturan hormonal kalsium dan kemampuan ginjal untuk mengambil kelebihan ion kalsium. Penyebab hiperkalsemia yang umum dan utama adalah peningkatan resorpsi (penyerapan) tulang yang disebabkan oleh neoplasma atau hiperparatiroidisme. Hiperkalsemia merupakan komplikasi umum dari kanker dan terjadi sekitar 10% dari 20% orang yang terkena penyakit pada stadium lanjut. Beberapa tumor ganas termasuk karsinoma paru-paru, telah dihubungkan dengan hiperkalsemia. Beberapa tumor merusak tulang, tetapi beberapa yang lain memproduksi agen humoral yang menstimulasi aktifitas osteoklastik, menaikkan resorpsi tulang, atau menghambat pembentukan tulang. Penyebab yang jarang dari hiperkalsemia adalah imobilisasi yang terlalu lama, kenaikan absorpsi (penyerapan) kalsium dalam intestinum, dan penggunaan vitamin D dosis tinggi. Imobilisasi yang terlalu lama menyebabkan pengurangan mineral pada tulang dan pelepasan kalsium ke pembuluh darah. Absorpsi kalsium dalam intestinum bisa dinaikkan dengan vitamin D dosis berlebih atau sebagai akibat kondisi yang dinamakan sindrom alkali susu. Sindrom alkali susu disebabkan karena konsumsi berlebih kalsium (umumnya dalam bentuk susu) dan antasida yang mudah diserap. Beberapa macam obat bisa menaikkan kadar kalsium. Penggunaan litium untuk mengobati kelainan bipolar menyebabkan hiperkalsemia dan hiperparatiroidisme. Diuretika tiazid menaikkan penyerapan kalsium pada tubulus distalis ginjal. Meskipun diuretika tiazid jarang menyebabkan hiperkalsemia, tetapi bisa membuka peluang hiperkalsemia yang timbul dari penyebab lain seperti penyebab kelainan tulang dan kondisi yang menaikan resorpsi tulang.1,2,11,20 Manifestasi Tanda dan gejala kelebihan kalsium berasal dari 3 sumber: (1) perubahan pada eksitabilitas neural, (2) perubahan pada fungsi otot jantung dan otot polos, dan (3) ginjal ”terbuka” terhadap kalsium dalam kadar tinggi.

Eksitabilitas neural turun pada pasien dengan hiperkalsemia. Kemungkinan akan terjadi penurunan kesadaran, stupor, lemah, dan kekakuan otot. Perubahan tingkah laku mulai dari perubahan kecil pada kepribadian sampai psikosis akut. Jantung merespon kenaikan kadar kalsium dengan meningkatkan kontraktilitas dan disritmia ventrikular. Digitalis menanggapi respon ini. Gejala gastointestinal mencerminkan penurunan aktivitas otot polos, termasuk sembelit, anorexia, mual dan muntah. Komplikasi hiperkalsemia yang lain adalah pankreatitis, yang kejadiannya mungkin berhubungan dengan batu dalam saluran pankreas. Kadar kalsium yang tinggi dalam urin merusak kemampuan ginjal untuk memekatkan urin dengan cara mengintervensi aksi ADH. Ini menyebabkan diuresis garam dan air dan rasa haus meningkat. Hiperkalsiuria juga menjadi pemicu awal pertumbuhan batu ginjal. Hiperkalsemia krisis menggambarkan kenaikan akut kadar kalsium serum. Penyakit maligna dan hiperparatiroidisme adalah penyebab utama hiperkalsemia krisis. Pada hiperkalsemia krisis, poliuria, kehausan yang sangat, deplesi volume, demam, perubahan tingkat kesadaran, azotemia (yaitu sampah nitrogen dalam darah), dan kondisi mental yang terganggu menyertai gejala lain dari kelebihan kalsium. Hiperkalsemia simtomatik berhubungan dengan tingginya tingkat kematian, yang sering disebabkan oleh kegagalan jantung. Pengobatan kelebihan kalsium biasanya ditujukan ke arah rehidrasi dan usaha untuk menaikan pengeluaran kalsium lewat urin dan mencegah pengeluaran kalsium dan pelepasan kalsium dari tulang. Penggantian cairan diperlukan pada keadaan deplesi volume. Ekskresi natrium disertai dengan ekskresi kalsium. Asam pada diuresis dan natrium klorida bisa digunakan untuk menaikkan eliminasi kalsium lewat urin setelah volume CES dipulihkan. Loop diuretic lebih umum digunakan daripada tiazid yang menaikan reabsorpsi kalsium. Penurunan awal kadar kalsium diikuti oleh tindakan untuk mencegah resorpsi tulang. Obat yang biasanya digunakan untuk mencegah mobilisasi kalsium termasuk bisfosfonat, kalsitonin, dan glukokortikoid . Bisfosfonat merupakan golongan obat baru yang bekerja terutama dengan cara mencegah aktivitas osteoklastik. Kalsitonin mencegah aktivitas osteoklastik, sehingga mengurangi resorpsi. Glukokortikoid mencegah resorpsi tulang dan digunakan untuk mengobati hiperkalsemia yang berhubungan dengan kanker.1,2,11,20 4. Keseimbangan magnesium Magnesium merupakan kation intraselular terbanyak kedua. Rata-rata tubuh orang dewasa mengandung sekitar 24 gram magnesium yang terdistribusi di seluruh tubuh. Dari seluruh magnesium sekitar 50%-60% disimpan dalam tulang, 39%-49% berada dalam sel tubuh dan sisa 1% tersebar didalam CES. Sekitar 20%-30% magnesium ekstraselular terikat pada protein, dan hanya sebagian kecil magnesium intraselular (15%-30%) dapat bertukar dengan CES. Kadar normal magnesium dalam serum adalah 1,8-2,7 mg/dl. Fungsi penting magnesium terhadap fungsi keseluruhan tubuh telah diketahui. Magnesium bertindak sebagai kofaktor dalam banyak reaksi enzimatik intraselular, termasuk reaksi transfer gugus fosfat dari ATP (penggunaan ATP). Hal ini disebabkan karena ATP hanya dapat digunakan tubuh bila ATP membentuk senyawa kompleks dengan magnesium menjadi Mg-ATP. Sehingga semua reaksi yang membutuhkan ATP, misalnya replikasi dan transkripsi DNA serta translasi mRNA, tentu memerlukan magnesium. ATP merupakan sumber tenaga metabolisme selular, yang antara lain digunakan untuk menjalankan pompa

5.

natrium-kalium (Na+/K+-ATPase). Bekerjanya pompa natrium-kalium menyebabkan kestabilan membran sel terjaga, konduksi saraf dapat berjalan lancar, transport ion dan zatzat lain ke dalam dan ke luar sel dapat berlangsung, dan proses metabolisme dapat berjalan dengan baik. Magnesium dapat berikatan dengan reseptor kalsium. Diperkirakan bahwa perubahan kadar magnesium akan berpengaruh melalui mekanisme yang diperantarai kalsium. Magnesium mungkin terikat secara kompetitif ke tempat dimana kalsium dapat berikatan, menghasilkan respon yang tepat, dan ini mungkin tidak menimbulkan efek; atau mungkin mengubah distribusi kalsium dengan cara mempengaruhi pergerakannya memintas membran sel.1,2,17,18,19 Pengaturan magnesium Magnesium dikonsumsi melalui makanan, diabsorpsi di usus, dan diekskresi oleh ginjal. Absorpsi di usus tidak diatur dengan ketat, dan sekitar 25%-65% magnesium yang dikonsumsi diabsorpsi. Magnesium terkandung dalam semua sayuran hijau, gandum, kacang, daging dan hasil laut. Magnesium juga terkandung dalam air tanah di Amerika Utara. Ginjal merupakan organ utama pengaturan kadar magnesium. Magnesium merupakan elektrolit unik dimana hanya sekitar 30%-40% dari jumlah yang tersaring direabsorpsi dalam tubulus proksimalis. Jumlah paling banyak, sekitar 50%-70% direabsorpsi di ansa Henle yang tebal. Tubulus distalis mereabsorpsi magnesium dalam jumlah yang sedikit dan merupakan tempat utama pengaturan kadar magnesium. Reabsorpsi magnesium turun jika terjadi peningkatan kadar magnesium dalam serum atau jika distimulasi oleh PTH. Sedangkan hambatan reabsorpsinya dipacu oleh kadar kalsium yang meningkat. Perangsang utama reabsorpsi magnesium dalam ansa Henle yang tebal adalah sistem kotransportasi Na+/K+/2Cl-. Hambatan sistem kotransportasi oleh diuretika menurunkan reabsorpsi magnesium. 1,2,17,18,19

6. Hipomagnesemia Hipomagnesemia adalah kadar magnesium serum yang kurang dari 1,8 mg/dl. Hal ini terjadi pada kondisi dimana konsumsinya terbatas atau peningkatan ekskresi lewat usus dan ginjal. Hipomagnesemia biasanya ditemukan pada keadaan gawat darurat dan pada pasien dengan perawatan kritis.11,17 Penyebab Kekurangan magnesium dapat disebabkan oleh konsumsi yang kurang mencukupi, kehilangan yang terlalu banyak, atau pergerakan antara ruangan CES dan CIS. Dapat juga disebabkan oleh keadaan dimana ada keterbatasan pemasukan, seperti kekurangan gizi, kelaparan, atau perawatan yang lama dengan nutrisi parenteral yang tidak mengandung magnesium. Kondisi lain, seperti diare, malabsorbsi, pemasangan nasogastric tube yang lama, atau pemakaian laksansia, dapat menurunkan penyerapan usus. Kelebihan konsumsi kalsium mengganggu absorpsi magnesium di usus karena adanya kompetisi kedua ion ini pada protein transport yang sama. Penyebab umum kekurangan magnesium yang lain adalah alkoholisme kronis. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan hipomagnesemia pada alkoholisme, yaitu pemasukan yang rendah dan kehilangan dari saluran cerna oleh karena diare.

Walaupun ginjal mampu bertahan terhadap hipermagnesemia, namun ginjal kurang mampu menyimpan magnesium dan mencegah hipomagnesemia. Kehilangan melalui urin meningkat pada ketoasidosis diabetikum, hiperparatiroidisme, dan hiperaldosteronisme. Beberapa obat-obatan meningkatkan ekskresi magnesium lewat ginjal, termasuk diuretika dan obat-obatan yang bersifat nefrotoksik seperti antibiotik aminoglikosida, siklosporin, sisplatin dan amfoterisin B. Hipomagnesemia relatif juga dapat berkembang dalam kondisi dimana terjadi meningkatnya pergerakan magnesium diantara CES dan CIS, termasuk pemberian glukosa secara cepat, larutan parenteral yang mengandung insulin, dan alkalosis. Walaupun bersifat sementara, kondisi ini dapat menyebabkan perubahan fungsi tubuh yang serius.11,17,18,19 Manifestasi Gejala kekurangan magnesium biasanya tidak tampak sampai kadar magnesium serum kurang dari 1 mEq/dl. Hipomagnesemia ditandai dengan peningkatan eksitabilitas saraf otot seperti adanya kelemahan otot dan gemetar. Manifestasi lain yang mungkin terjadi adalah peningkatan refleks tendon, parestesia (kehilangan rasa, rasa kesemutan dan pricking), fasikulasi otot, dan kontraksi tetanik otot. Tanda Chvostek atau Trousseau dapat juga muncul terutama pada keadaan hipokalemia. Karena penurunan kadar magnesium serum akan menaikkan iritasi jaringan saraf maka bisa terjadi kejang. Manifestasi lain yang bisa timbul meliputi ataksia, vertigo disorientasi, depresi dan gejala psikotik. Manfestasi kardiovaskular meliputi takikardia, hipertensi, dan disritmia ventrikular. Kemungkinan terdapat perubahan pada EKG misalnya pelebaran kompleks QRS terlihat pada puncak gelombang T, pemanjangan interval PR, inversi gelombang T dan penampakan gelombang U. Disritmia ventrikular terutama pada penggunaan digitalis, sulit ditangani kecuali bila kadar magnesium dinormalkan. 11,17,18,19 Pengobatan Pengobatan hipomagnesemia adalah dengan pemberian magnesium. Cara pemberian tergantung berat ringannya. Hipomagnesemia simtomatik, sedang dan berat diterapi dengan pemberian magnesium secara parenteral. Pemberian magnesium diberikan sampai beberapa hari untuk mengganti kekurangan kadarnya dalam darah. Pada keadaan kehilangan magnesium kronis melalui saluran pencernaan dan ginjal, pemberian magnesium rumatan sangat diperlukan. Pemberian magnesium pada penderita gagal ginjal harus hati-hati dan perlu dimonitor agar tidak terjadi kelebihan magnesium. 11,17,18,19 7.

Hipermagnesemia Hipermagnesemia adalah keadaan dimana kadar magnesium dalam serum lebih dari 2.7 mg/dl. Karena adanya kemampuan ginjal mengekskresi magnesium cukup baik maka sangat jarang terjadi hipermagnesemia. Terjadinya hipermagnesemia biasanya berhubungan dengan insufisiensi ginjal dan pemakaian magnesium yang berlebihan seperti pemakaian obat-obatan antasida, suplemen mineral, atau laksatif. Pada bayi lebih mudah terjadi karena fungsi ginjal relatif belum sempurna. Hipermagnesemia berefek terhadap fungsi saraf dan jantung, yaitu letargi, hiporefleksia, bingung sampai koma, hipotensi, disritmia, dan cardiac arrest. Tanda dan gejala terjadi hanya jika kadar magnesium lebih dari 4.9 mg/dl. Hipermagnesemia berdampak

mengurangi transmisi neuromuskular, menyebabkan hiporefleksia, kelemahan otot, dan bingung. Hipermagnesemia menurunkan pelepasan asetilkolin pada ujung mioneural dan dapat menyebabkan blokade neuromuskular dan paralisis respirasi. Efek kardiovaskular berhubungan dengan efek penghambatan (blocker) kanal kalsium oleh magnesium. Penghambatan kanal kalsium menyebabkan penurunan tekanan darah dan pada gambaran EKG tampak peningkatan interval PR, pemendekan interval QT, gelombang T tidak normal dan pemanjangan QRS dan PR. Hipotensi disebabkan vasodilatasi; vasodilatasi timbul karena penghambatan kanal kalsium tersebut. Disritmia kardiak bisa terjadi pada hipermagnesemia sedang (>5 -10 mg/dL). Bingung dan koma bisa terjadi pada hipermagnesemia yang berat (> 10 mg/dL). Pada hipermagnesemia sangat berat (> 15 mg/dL) bisa menyebabkan cardiac arrest. Pengobatan hipermagnesemia dilakukan dengan mengurangi pemasukan magnesium. Pemberian kalsium intravena sebagai antagonis magnesium sangat berguna untuk menurunkan hipermagnesemia. Dialisis peritoneal atau hemodialisis bisa dilakukan jika perlu. 11,17,18,19

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

20.

Berne R.M., Levy M. Principles of physiology: 2000 (3rd ed., p. 438). St. Louis: Mosby. Cogan M.G. Fluid and Electrolyte: 1991 (pp. 1, 43, 80-84, 100-111, 112-123,125-130,242-245) Norwalk, CT:Appleton & Lange. Guyton A., Hall J.E. Textbook of medical physiology. 2000 (10th ed., pp. 157-171, 264-278, 322-345, 346-363, 820-826). Philadelphia: W.B.Saunders. Krieger J.N, Sherrad D.J. Practical fluid and electrolytes :1991. (pp. 104-105). Norwalk, CT: Appleton & lange. Stearns R.H., Spital A., Clark E.C. Disorders of water balance. In Kokkp J., Tannen R.L., (Eds). Fluid and Electrolytes: 1996 (3rd ed., pp. 65, 69, 95) Philadelphia: W.B. Saunders. Rose B.D., Post T.W. Clinical physiology of acid-base and electrolyte disorders: 2001 (5th ed., pp. 168-178, 822, 835, 858, 909). New York: McGraw-Hill. Fried L.F., Palevsky P.M. Hyponatremia and hypernatremia. Medical Clinics of North America: 1997,81, 585606. Kugler J.P., Hustead T. Hyponatremia and hypernatremia in erderly. American Family Physician: 2000.61, 3623-3630 Oh M.S., Carroll H.J. Disorders of sodium metabolism: Hypernatremia and hyponatremia. Critical Care Medicine :1992,20, 94-103. Batchell J. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone. Critical Care Clinics of North America: 1994,69, 687-691. Behrman R.E., Kliegman R.M.., Jenson H.B. (). Nelson textbook of pediatrics: 2000, (16th ed., pp. 215-218). Philadelphia: W.B. Saunders. Braxmeyer D.L., Keyes J.L. The pathophysiology of potassium balance. Critical Care Nurse :1996,16 (5), 59-71. Tannen R.L. Potassium disorders. In Kokko J., Tannen R.L. (Eds.), Fluid and electrolytes: 1996, (3rd ed., pp. 116-118). Philadelphia: W.B. Saunders. Whang G., Whang G.G., Ryan M.P. Refractory potassium repletion: A consequence of magnesium deficiency. Archives of Internal Medicine :1992,152 (1), 40-45. Gennari F.J. Hypokalemia. New England Journal of Medicine: 1998,339, 451-458 Zaloga G.F. Hypocalcemia in critically ill patients. Critical Care Medicine:1992,20: 251-261. Swain R., Kaplan-Machlis B. Magnesium for the next millennium. Southern Medical Journal: 1999, 92, 10401046. Toto K., Yucha C.B. Magnesium: Homeostasis, imbalances, and therapeutic uses. Critical Care Nursing Clinicw of North America :1994, 6, 767-778. Workman L. Magnesium and phosphorus: The negelected electrolytes. AACN Clinical Issues :1992, 3, 655-663. Yucha C.B., Toto K.H. Calcium and phosphorous derangement. Critical Care Clinics of North America: 1994,6, 747-765.

BAB II KEGAWATDARURATAN GASTROINTESTINAL Pitono Soeparto & Reza Ranuh

Ilustrasi Kasus Seorang anak perempuan umur 7 tahun dibawa ke UGD karena mengeluh sakit perut yang amat sangat, dan anak tidak bisa berhenti menangis karena sakitnya. Sakit dirasakan pertama kali 1 jam yang lalu dan belum mereda. Saat sakit di rumah sempat BAB 1x, nyeri dan keluar sedikit kotoran campur darah. Dari pemeriksaan fisik anak tampak kesakitan, dinding perut tidak kaku, dan disebelah kiri atas umbilicus dapat diraba massa yang panjang seperti pisang.

Pendahuluan Kegawatdaruratan merupakan hal yang sering terjadi dalam praktik klinis, dan dapat dibagi dalam 2 kelompok utama: bedah dan non bedah.1 1. Kelompok non bedah a. Dehidrasi b. Perdarahan saluran gastrointestinal - Penyakit peptik - Demam berdarah - Demam tifoid - Hipertensi portal - Polip c. Muntah akut d. Nyeri abdominal akut e. Distensi abdomen akut f. Disfagia akut 2. Kelompok bedah a. Obstruksi intestinal - Atresia duodenal - Malrotasi dan volvulus - Anus imperforata - Atresia esofagus dengan atau tanpa fistula b. Defek dinding abdominal - Eksomfalus - Gastroskisis c. Abdomen akut - Apendisitis akut

- Adenitis mesenterik

Dehidrasi Tabel 2.1. Klasifikasi dehidrasi sesuai defisit cairan

Dehidrasi ringan Dehidrasi sedang Dehidrasi berat

% Kehilangan berat badan Bayi Anak besar 5 % ( 50 ml/kg ) 3 % ( 30 ml/kg ) 5 – 10 % ( 50 – 100 ml/kg ) 6 % ( 60 ml/kg ) 10 – 15 % ( 100 – 150 ml/kg ) 9 % ( 90 ml/kg )

Sumber: Huang2

Tabel 2.2. Pemeriksaan laboratorium pada gangguan keseimbangan asam-basa Gangguan Tunggal - Asidosis metabolik - Alkalosis metabolik - Asidosis respiratorik - Alkalosis respiratorik Gangguan Campuran - Asidosis metabolik + asidosis respiratorik - Alkalosis metabolik + asidosis respiratorik - Asidosis metabolik + alkalosis respiratorik - Alkalosis metabolik + alkalosis respiratorik

pH

PCO2

Bikarbonat

   

   

   



, N, 

, N, 

, N, 





, N, 







, N, 

, N, 

Sumber: Quak1

Prinsip Terapi Cairan Pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan untuk memberikan pada penderita: (1) kebutuhan akan rumatan (maintenance) dari cairan dan elektrolit, (2) mengganti kehilangan yang terjadi, dan (3) mencukupi kehilangan abnomal dari cairan yang sedang berlangsung (on going abnormal losses). Perencanaan terapi ketiga komponen ini perlu ditujukan secara individual sehingga tidak ada kebutuhan dasar yang terlewati. Selain itu pemberian terapi cairan perlu dibagi menjadi beberapa tahap yang berurutan yaitu: (1) menjaga perfusi yang cukup, (2) memperbaiki defisit cairan & elektrolit sekaligus memperbaiki gangguan asam-basa, dan (3) mencukupi kebutuhan nutrisi. Pemberian cairan pada penderita dengan dehidrasi berat atau dalam keadaan syok merupakan tindakan kedaruratan medis. Penderita dapat dinilai secara lengkap apabila pemberian cairan sudah dimulai dan penderita dalam keadaan stabil. Dalam perencanaan pemberian terapi cairan, yang penting dipertimbangkan adalah defisit Na+ dan air, perubahan kualitatif dari susunan tubuh yang terjadi akibat hilangnya elektrolit yang terkait dengan air, dan keseimbangan ion kalium dan hidrogen.1,2,3

Pemberian Terapi Cairan1,2,3 Pemberian terapi cairan meliputi pemberian cairan yang ditujukan untuk: Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila ada syok). Mengganti defisit yang terjadi. Rumatan (maintenance)/ untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit yang sedang berlangsung (on going losses). Pelaksanaan pemberian terapi cairan dapat dilakukan secara oral atau parenteral. 1. 2. 3.

Dehidrasi berat Penderita dengan dehidrasi berat, yaitu dehidrasi lebih dari 10% untuk bayi dan lebih dari 9% untuk anak besar serta menunjukkan gangguan organ vital tubuh (somnolen-koma, pernafasan Kussmaul, gangguan dinamika sirkulasi) memerlukan pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral.1,2,3 Terapi rehidrasi parenteral memerlukan 3 tahap: a. Terapi awal (initial therapy) yang bertujuan untuk memperbaiki dinamika sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara re-ekspansi dengan cepat volume cairan ekstraselular. b. Terapi lanjutan yang ditujukan untuk mengganti defisit air dan elektrolit pada kecepatan yang lebih rendah dengan mengganti Na+ mendahului K+. c. Terapi akhir yang ditujukan untuk menjaga/memulihkan status gizi penderita. Terapi awal Tahap ini dimaksudkan untuk mencegah atau mengobati renjatan (syok) dengan secara cepat mengembangkan volume cairan ekstraselular, terutama plasma. Idealnya adalah bahwa seluruh cairan yang diberikan hendaknya tetap berada dalam ruang vaskular.1,2,3 Terapi lanjutan Begitu sirkulasi dapat dipulihkan kembali, terapi cairan berikutnya ditujukan untuk mengoreksi secara menyeluruh sisa defisit air dan Na+ dan mengganti kehilangan abnormal dari cairan yang sedang berjalan (on going losses) serta kehilangan obligatorik. Walaupun pemberian K+ sudah dapat dimulai, namun hal ini tidak esensial, dan biasanya tidak diberikan sebelum 24 jam. Perkecualian dalam hal ini adalah bila didapatkan hipokalemia yang berat dan nyata. Pada saat tercapainya tahap ini, kadang perlu diketahui nilai elektrolit serum sehingga terapi cairan dapat dimodifikasi sesuai dengan kadar Na+ yang ada (isonatremia, hiponatremia, hipernatremia).1,2,3 Terapi akhir (koreksi dari defisiensi nutrisi) Walaupun pada diare terapi cairan parenteral tidak cukup bagi kebutuhan kalori penderita, namun hal ini tidaklah menjadi masalah besar karena hanya menyangkut waktu yang pendek. Apabila penderita telah kembali diberi diet sebagaimana biasanya, segala kekurangan tubuh akan lemak dan protein dapat segera terpenuhi. Itulah mengapa pada pemberian terapi cairan, bila memungkinkan diusahakan agar penderita cepat mendapatkan makanan/ minuman sebagaimana biasanya. Bahkan pada dehidrasi

ringan sedang yang tidak memerlukan terapi cairan parenteral, makan dan minum tetap dapat dilanjutkan (continued feeding).1,2,3 Tabel 2.3. Terapi cairan standar (Iso-hiponatremia) Derajat Dehidrasi Berat 10 % Gagal sirkulasi (Plan C) Sedang 6-9 %

Ringan 5 % (Plan B) Tanpa dehidrasi (Plan A)

Kebutuhan Cairan ± 30 ml/kg/1 jam (±10 tt/kg/menit) ±70 ml/kg/ 3 jam (±5 tt/kg/menit )

±50 ml/kg/ 3 jam (±3-4 tt/kg/menit) ±10-20 ml/kg setiap kali diare

Jenis Cairan Na Cl 0.9% Ringer laktat Asering Na Cl 0.9% Ringer laktat 1/2 darrow KAEN 3 B (>3bln) KAEN 4 B (<3bln) 1/2 darrow atau oralit Oralit atau cairan rumah tangga

Cara/Lama Pemberian IV / 1 jam

I.V. / 3 jam atau I.G. / 3 jam atau Oral 3 jam

I.V. / 3 jam bila oral tidak mungkin atau I.G. / oral Oral sampai diare berhenti

Sumber: Lozner2

Untuk neonatus ( <3 bulan ) Plan C: 30 ml/kg/2 jam, KAEN 4 B Plan B: 70 ml/kg/6 jam, KAEN 4 B Untuk diare dengan penyakit penyerta Plan C: 30 ml/kg/2 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia <3bl). Plan B: 70 ml/kg/6 jam cairan 1/2 darrow, KA-EN 3B (usia >3bl) dan KAEN 4 B (usia <3bl). Untuk dehidrasi hipernatremia Defisit (70 ml) + rumatan (100 ml) + "on going losses" (25 ml) x 2 (hari) = ±400 ml/kg, diberikan dalam waktu 48 jam. Jenis cairan ½ darrow, (KA-EN 3B,). KA-EN 1B: sebagai larutan awal bila status elektrolit pasien belum diketahui. Pada prematur atau bayi baru lahir sebaiknya tidak diberikan lebih dari 100 ml. KA-EN 3A, KA-EN 3B: sebagai larutan rumatan untuk memenuhi kebutuhan harian air dan elektrolit dengan kandungan cukup untuk mengganti ekskresi harian, pada keadaan asupan oral terbatas. KA-EN 4A: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak tanpa mengandung kalium, sehingga dapat diberikan pada pasien dengan kadar kalium serum normal KA-EN 4B: sebagai larutan infus rumatan untuk bayi dan anak usia <3 tahun.

Perdarahan Saluran Gastrointestinal Tabel 2.4. Etiologi Perdarahan GIT Atas Periode Neonatal

Bayi

Pra sekolah

Usia sekolah

Tertelan darah ibu

Gastritis

Tukak stres

Tukak stres

Tukak stres

Esofagitis

Gastritis

Gastritis

Gastritis hemoragis

Tukak stres

Esofagitis

Esofagitis

Diatesis perdarahan

Sind. Mallory Weiss

Sind. Mallory Weiss

Tukak peptik

Benda asing

Stenosis pilorik

Varises esofagus

Malformasi vaskular

Malformasi vaskular

Benda asing

Sind. Weiss

Tertelan darah ibu

Fisura ani

Kolitis infeksi

Kolitis infeksi

Kolitis infeksi

Kolitis infeksi

Fisura ani

Polip

Peny. hemoragis

Kolitis nonspesifik

Polip juvenile

Hemoroid

Divertikulum Meckeli

Intususepsi

Intususepsi

Polip juvenil

Divertikulum Meckeli

Peny.usus beradang

Divertikulum Meckeli

Angiodisplasia

Malformasi vaskular

Mallory

Varises esofagus

GIT Bawah Anak sehat

Alergi susu Duplikasi usus

Alergi susu

Purpura Schőnlein

Henoch

Anak sakit NEC

Duplikasi usus

DIC

Sindrom hemolitik uremik

Intususepsi Volvulus usus tengah (midgut) Kolitis infeksi Sumber: Quak1

Enterokolitis pseudo membranosa

Sindrom hemolitik uremik Enterokolitis pseudo membranosa

Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal (GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah: 1. 2.

Menentukan tempat perdarahan. Memperkirakan jumlah perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.

Perlu diingat bahwa tidak adanya darah dari lambung tidak selalu menyingkirkan perdarahan GIT, karena perdarahan mungkin telah berhenti atau sumber perdarahan mungkin di bagian distal pilorus yang kompeten.4,5

Penampilan Klinis

Melena Hematemesis Hematoskesia Bilas nasogastrik

Darah positif

Perdarahan GIT Atas

Gambar 2.1. Penentuan letak perdarahan (Sumber: Quak1).

Darah negatif

Perdarahan GIT Bawah

Penampilan Klinis

Bilas nasogastrik

Darah positif

Darah negatif

Perdarahan GIT Atas

Perdarahan GIT Bawah

Foto abdominal / USG (tegak dan terlentang)

Obstruksi

Non – Obstruksi

Enema Ba Evaluasi laboratorium

Bedah

-

Gambar 2.2. Pendekatan Klinis Perdarahan GIT Bawah (Sumber: Quak1)

Pembiakan tinja Sken (Scan) Meckel Enema Ba kontras udara Kolonoskopi

Tabel 2.5. Diagnosis diferensial Hematemesis dan Melena

Hematoskesia

Neonatus Tertelan darah ibu

Tertelan darah ibu

Tukak stres

Intoleransi protein

Duplikasi gastritis

Kolitis infeksiosa

Malformasi vaskuler

Enterokolitis nekrotikans

Difisiensi vitamin K

Hirschsprung dengan enterokolitis

Hemofilia

Duplikasi

Purpura idiopatik

trombositopenik

Maternal Penggunaan NSAIDS oleh ibu

Malformasi vaskular Defisiensi vitamin K Hemofilia Purpura trombositopenik idiopatik maternal Penggunaan NSAIDS oleh ibu

Bayi Esofagitis Gastritis

Fisura ani Intususepsi Kolitis infeksius Intoleransi protein susu Divertikulum Meckel Duplikasi Malformasi vascular

Anak Esofagitis

Fisura ani

Gastritis

Kolitis infeksius

Tukak peptik

Polip

Robekan Mallory – Weiss

Hiperplasia noduler limfoid

Varises esofagus

Penyakit usus beradang Purpura Henoch Schőnlein

Intususepsi Divertikulum Meckel Sindrom hemolitik – uremik Remaja Esofagitis

Kolitis infeksiosa

Gastritis

Penyakit usus beradang

Tukak peptik

Fisura ani

Robekan Mallory – Weiss

Polip

Varises esofagus Sumber: Chin6

Laboratorium4,5 1.

Darah lengkap : Perdarahan yang baru terjadi mungkin tidak mengubah hemoglobin atau hematokrit tetapi MCV bisa rendah pada perdarahan kronis berderajat ringan. Peningkatan eosinofil dapat menunjukkan kolitis alergi.

2.

Laju endap darah : Peningkatan KED dapat menandai penyakit usus beradang.

3.

Koagulasi : Profil koagulasi untuk menyingkirkan kelainan perdarahan.

4.

Uji fungsi hepar : Apabila ada tanda hipertensi portal atau penyakit hati kronis.

5.

Tinja encer : Pembiakan tinja dan toksin C. difficile

6.

Uji fungsi renal: Nilai urea yang tinggi merupakan kunci untuk mendiagnosis sindrom uremik hemolitik atau dapat menandakan adanya dehidrasi.

Pencitraan4,7,8 1.

Perdarahan GIT atas: Studi kontras hendaknya jangan dijadikan pemeriksaan awal untuk menyingkirkan esofagitis, gastritis atau tukak peptikum karena kurang sensitif. Endoskopi jauh lebih

sensitif. Studi kontras dapat merupakan indikasi pada pasien dengan disfagia atau odinofagia. USG perlu dilakukan apabila ada penyakit hati. 2.

Hematoskesia: Studi kontras hendaknya jangan merupakan awal evaluasi. Endoskopi lentur lebih baik. Yang menjadi perkecualian adalah adanya kecurigaan intususepsi, dan USG perlu dilakukan (dan apabila sudah pasti, enema barium dilakukan untuk reduksi).

3.

Perdarahan masif tanpa sakit: Meckel scan merupakan prosedur terpilih. Negatif semu dapat disebabkan karena tidak cukup terdapat jaringan lambung, down stream washout dari isotop, gangguan pasokan darah atau teknik yang suboptimal. Ulangan scan Meckel dengan demikian diperlukan untuk mengetahui jenis jaringan lambung.

4.

Perdarahan yang tidak tampak pada saluran GI bawah. Scan sel darah merah yang diberi label teknetium dapat membantu menetapkan lokasi, tetapi memerlukan perdarahan aktif >0.5 ml/menit.

Endoskopi saluran gastrointestinal bagian bawah Indikasi untuk endoskopi saluran gastrointestinal bawah meliputi hematoskesia atau melena sesudah menyingkirkan kemungkinan sumber GIT atas.7

Penanganan 1.

Penanganan umum Penilaian awal pada setiap anak dengan perdarahan GIT perlu dipertajam serta dipercepat. Dua persoalan yang perlu segera diperhatikan adalah: status volume darah pasien dan kecenderungan perdarahan yang akan terus berlangsung. Penampilan anak, status mental, tekanan darah, detak jantung merupakan cermin dari status anak, sedangkan potensi terjadinya perdarahan yang terus berlangsung akan terlihat atau dapat diperkirakan dari riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Stabilisasi awal ditujukan untuk mencegah atau mengatasi hipovolemia dan anemia yang berat. Tujuan pemberian cairan bolus awal adalah untuk perfusi jaringan. Setelah pemberian bolus cairan awal sebanyak 10-20 ml/kg selama 10 menit, lanjutkan bolus secara pelan (titrasi) untuk menjaga tekanan darah dan perfusi jaringan. Pilihan cairan paling baik dapat dilihat berdasarkan kemudahan dan tersedianya cairan. Apabila lebih dari 50-70 ml/kg yang diperlukan dalam waktu 4-6 jam, perlu dipertimbangkan pemantauan invasif untuk memudahkan penanganan cairan. Cairan dan/atau koloid yang sesuai kemudian dapat mulai diberikan. Prosedur diagnostik lanjut, hendaknya dilakukan bila resusitasi yang sesuai sudah tercapai.8,9,10 Tindakan - Letakkan pasien dalam posisi terlentang dengan tungkai dinaikkan. Pada perdarahan yang masif, pasien perlu diletakkan dalam posisi tengkurap untuk mencegah aspirasi.

- Selanjutnya masukkan kanula intravena ukuran besar. Apabila isian vena (venous filling) buruk, dapat dilakukan venaseksi atau tusuk subklavia segera. - Upayakan flow chart yang baik untuk pemasukan dan pengeluaran. - Lakukan uji laboratoris yang meliputi: golongan darah dan cross match, pemeriksaan darah lengkap, hematokrit, waktu protrombin, waktu tromboplastin parsial, BUN, elektrolit, dan analisis gas darah arterial. - Perbaiki volume intravena dengan larutan kristaloid (garam fisiologis, Ringer laktat) atau plasma 20 ml/kgBB/jam sampai tekanan darah membaik, ditandai dengan hilangnya vasokonstriksi perifer. Larutan koloid seperti albumin atau plasma digunakan apabila terjadi kehilangan darah masif dan berlangsung terus-menerus yang dapat menyebabkan berkurangnya tekanan onkotik plasma sehingga menimbulkan sindrom paru renjatan (shock lung syndrome). Hindarkan ekspansi volume intravaskular yang berlebihan. Sesudah pengembalian volume intravaskular tercapai (yang ditunjukkan oleh tekanan darah, denyut nadi dan aliran urin), penggantian (replacement) selanjutnya perlu dititrasi sesuai dengan kehilangan darah yang berlanjut (continuing blood loss). - Vitamin K 5 – 10 mg diberikan untuk setiap pasien dengan masa protrombin yang berkepanjangan, tanpa membedakan pasien penderita penyakit hati ataupun bukan. - Keputusan pemberian transfusi darah tergantung dari nilai hematokrit sesudah pengembalian volume darah dan ada tidaknya perdarahan yang berlanjut. Transfusi darah dapat diberikan pada pasien dengan perdarahan yang sudah berhenti untuk berjaga-jaga apabila terjadi perdarahan kembali. Pada keadaan ini, transfusi pelan dengan packed cells (10 ml/kgBB) lebih dianjurkan sebagai langkah awal. Pada pasien dengan perdarahan yang berlanjut, transfusi yang terus-menerus merupakan satu-satunya cara untuk merumat kapasitas pengangkut O2 darah hingga mencukupi kebutuhan tubuh. Kecepatan transfusi tergantung dari cepatnya perdarahan. - Komplikasi dari transfusi masif meliputi: hipersitratemia, hipokalsemia, berkurangnya kadar faktor pembekuan, dan trombositemia. Untuk meminimalkan permasalahan ini, pasien perlu diberikan kalsium intravena 0.5 ml/kgBB (10% kalsium glukonat) dan plasma fresh frozen (10 ml/kgBB) sesudah pemberian setiap transfusi 50 ml packed cells apabila diperlukan. Penanganan Perdarahan GIT atas - Bilas nasogastrik dengan garam fisiologis dingin. Pembilasan perlu dilanjutkan sampai kembalinya warna merah muda atau jernih. Pipa perlu tetap terpasang untuk keperluan drainase pasif sesuai gravitasi dan juga untuk menilai ada tidaknya perdarahan dengan cara melakukan isapan dan irigasi pelan setiap 15 menit. Apabila isi lambung jernih setelah dibilas, dan tidak ada perencanaan endoskopi segera, irigasi lambung dilakukan setiap 15 menit selama satu jam dan selanjutnya setiap tiga jam selama 12-24 jam. Apabila kondisi pasien stabil dan cairan lambung kembali jernih, pipa nasogastrik dapat diangkat. Mual dan muntah yang persisten atau adanya ileus merupakan tanda bahwa drainase perlu dilanjutkan.11,12 - Sebagian besar perdarahan varises akan berhenti secara spontan. Vasopresin dahulu dikatakan efektif dalam menurunkan aliran darah dan tekanan melalui sirkulasi portal. Dimulai dengan 0.1 unit/menit dan dinaikkan menjadi 0.05

unit/menit setiap jam sampai mencapai 0.2 unit/menit pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun. Dosis awal vasopresin pada anak kurang dari 12 tahun dan pada remaja berturut-turut adalah 0.3 unit/menit dan 0.4 unit/menit. Vasopresin hendaknya diberikan dalam cairan dekstrosa 5%.5,6,13 Tamponade balon (Sengstaken-Blakemore) dipertimbangkan pada varises lambung atau esofagus yang diagnosisnya ditegakkan melalui endoskopi. Prosedur ini berisiko tinggi. Indikasi untuk tampon balon adalah: 1. Perdarahan masif yang mengancam jiwa 2. Perdarahan yang berkelanjutan walaupun diberikan vasopresin intravena 4-6 jam. Perdarahan Gastrointestinal Bagian Atas Pada Anak dengan Kecurigaan Varises Kanula IV ukuran besar Darah, plasma, beku segar, trombosit, bilas lambung Perdarahan berhenti

Perdarahan tetap

Hct stabil

Hct turun Teruskan resisutisasi

Amati Hct serial Mulai tetes octeotride Endoskopi atas dalam 24 jam

Skleroterapi/ligasi pitas atas indikasi Rencanakan untuk Tx Hepar atas indikasi Konsolidasi skleroterapi sembari menunggu

Pindah ke ICU Perdarahan berhenti

Pertimbangan shunt apabila obstruksi v porta ekstra hepatik

Endoskopi kedaruratan skleroterapi bila mungkin

Perdarahan hebat tetap Tamporade balon Tamporade balon gagal Transplantasi, shunt darurat bila tidak ada donor

Gambar 2.3. Algoritma penatalaksanaan pada anak dengan kecurigaan perdarahan varises usofagus (Sumber:McDiarmid15).

2. Penanganan Spesifik Penyebab perdarahan gastrointestinal bagian atas dari segi penanganan dapat dibagi menjadi perdarahan varises dan nonvarises. Beta–bloker non selektif dianjurkan untuk

mencegah perdarahan varises. Obat vasoaktif, seperti somatostatin, oktreotida dan glupresin dapat digunakan dengan baik pada perdarahan varises maupun nonvarises. Skleroterapi dan ligasi varises dapat digunakan pada anak untuk menghilangkan varises. Cyanoacrylate efektif dan menunjukkan komplikasi terendah yang berhubungan dengan varises lambung. Terdapatnya stigmata perdarahan, seperti perdarahan aktif dan pembuluh darah yang tampak pada tukak merupakan indikasi adanya risiko tinggi dari perdarahan berulang, yang memerlukan hemostasis endoskopik. Inhibitor pompa proton lebih efektif daripada antagonis reseptor H2 dalam menunjang kesembuhan tukak peptikum.4,5,6,15 Penanganan Hipertensi portal - Oktreotida (Octreotide) : Oktreotida adalah suatu analog somatostatin yang aman tanpa efek samping berat. Mekanisme aksinya adalah mengurangi spastik kolateral dan aliran darah hepatik. Begitu dicurigai adanya perdarahan varises, infus oktreotida perlu segera dimulai, dan pada umumnya diberikan terus selama 5 hari. Infus dimulai dengan dosis 1 µg/kgBB iv bolus dilanjutkan dengan infus kontinu dari 1 µg/kgBB/jam, dinaikkan setiap jam apabila perdarahan tidak berkurang sampai 4-5 µg/kgBB/jam dalam infus yang kontinu. Apabila tidak ada perdarahan aktif sesudah 24 jam, dapat diberikan setengah dosis semula setiap 12 jam.16 - Dalam suatu penelitian telah ditunjukkan bahwa skleroterapi berhasil menutup varises esofagus sesudah diberikan secara multipel pada 92 pasien anak . Terapi kombinasi propranolol + skleroterapi ternyata lebih menjanjikan dalam pencegahan perdarahan hipertensif portal.15 - Ligasi varises endoskopik (EVL) EVL lebih efektif daripada skleroterapi dalam menghilangkan varises dan mencegah perdarahan berulang. Portosystemic shunt melalui pembedahan dan akhir2 ini juga nonoperatif transjugular intrahepatic portosystemic shunt, dan transplantasi hepar.17 - Pembedahan Koreksi radikal dari hipertensi portal ekstrahepatik dengan hasil baik dilakukan pada 38,5% pasien.9

Penanganan perdarahan GIT bawah Penanganan definitif dari perdarahan GIT bawah tergantung dari penyebabnya. Pembedahan ditujukan pada perdarahan divertikulum Meckel. Suatu polip berdarah dapat dihilangkan dengan polipektomi secara endoskopik. Malformasi vaskular pada GIT bawah jarang ditemukan dan penanganan bedah dilakukan apabila malformasi ini diketahui sebagai penyebab perdarahan. Ligasi varises endoskopik dinyatakan aman dan merupakan prosedur yang sangat efektif pada anak dengan hipertensi portal, tanpa memandang etiologi.4,8

Penanganan Penyakit Peptikum Terapi utama untuk penyakit tukak adalah supresi produksi asam atau penetralan asam lambung. Menjaga pH lambung diatas 4.0 akan mengaktivasi pepsin dan menunjang penyembuhan. Apabila diagnosis gastritis H. pylori, pengobatan yang diberikan meliputi terapi tripel dengan klaritromisin, inhibitor pompa proton dan metromidazol atau dengan amoksisilin, suatu antagonis reseptor histamin-2 (H-2) dan bismut subsalisilat efektif pada 70%-79 % dari pasien yang diterapi. Kekambuhan terjadi dalam rentang 10%-20 %.11,12 - Antagonis reseptor H-2: simetidin (20-40 mg/hari) dan ranitidin (2-4 mg/kgBB/kali, maksimum 150 mg/kali, 2x sehari) merupakan inhibitor sekresi asam yang kuat. Inhibitor pompa proton seperti omeprazol (0.7-1.4 mg/kgBB/kali, maksimum 40 mg/kali, 1x sehari) dan lansoprazol (0.3-1.5 mg/kgBB/hari) merupakan penghambat sekresi asam lambung yang lebih kuat. - Sukralfat: merupakan kompleks aluminium hidroksida dan sukrosa tersulfasi (sulfated sucrose), yang tidak diabsorsi dalam jumlah banyak. Dosisnya 250 mg q.i.d untuk bayi dan 0,5-1 gram q.i.d untuk anak besar, sebagai bahan barier pada tukak peptikum. - Antasida: aluminium hidroksida bersifat konstipan, sedangkan magnesium hidroksida adalah katartik. Dosisnya 0,5 ml/kgBB/kali, maksimum 20 ml perkali setiap 4 jam.

Demam Berdarah Penanganan D5 Ringer Laktat atau D5 Ringer Asetat 10 – 20 ml/kgBB/jam (pada derajat IV bolus 30 menit)

Baik

Tidak baik

(PCV , nadi stabil produksi urin )

(PCV  , nadi cepat lemah, tekanan nadi < 20 mmHg, produksi urin )

7 ml/kg/1jam

PCV , Hb 

PCV tetap tinggi

5 ml/kg/1 jam

3 ml/kg/1 jam

24 – 48 jam diharapkan sembuh

Darah (10 ml/kg/jam Plasma (10 ml/kg/jam, dapat diulang sesuai dapat diulang 3x dlm 24 jam kebutuhan) Asidosis diperbaiki)

Baik

Baik

Gambar 2.4. Aluran tata laksana pemberian cairan dan plasma/darah pada DBD derajat III dan IV (Sumber: Soegijanto18; Modifikasi Monograf, WHO19).

Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan gastrointestinal seperti hematemesis dan melena diindikasikan pemberian transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk menganti volume massa eritrosit agar menjadi normal.20,21

Demam Tifoid Penanganan Terapi antimikrobia esensial dalam terapi demam tifoid. Sebagian besar regimen antibiotik mempunyai risiko kekambuhan 5% – 20 %. Kloramfenikol (50 mg/kgBB/hari q.i.d per os atau 75 mg/kgBB/hari terbagi dalam 6 jam i.v), ampisilin (200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 – 6 kali perhari), amoksilin (100 mg/kgBB/hari dibagi 3x perhari p.o) dan trimetoprimsulfametoksazol (10 mg TMP dan 50 mg SMZ /kgBB/hari, 2x sehari p.o) memberikan hasil klinis yang baik. Apabila perdarahan intestinal hebat, diperlukan transfusi darah. Intervensi bedah dan antibiotik spektrum luas dianjurkan bila terjadi perforasi. Transfusi trombosit dikemukakan untuk pengobatan trombositopenia yang cukup berat untuk menyebabkan perdarahan intestinal pada pasien yang memerlukan pembedahan.22,23,24

Muntah Akut Penanganan muntah Penanganan penderita dengan muntah ditujukan untuk mengatasi akibat muntah (robekan lokal, gangguan metabolik, gangguan nutrisi, aspirasi), simtomatik untuk mengurangi/menghilangkan gejala muntah dan secara spesifik menghilangkan penyakit penyebab yang mendasarinya.25,26,27

Tabel 2.5. Penanganan farmakologis Kategori fisiologis

Obat

Dosis ( oral )

Efek samping

Antagonis kolinergik

Betanekol

0.1-0.2 mg/kgBB/dosis TID

Antagonis reseptor 5hidroksitriptamin

Cisaprid

0.1-0.3 mg/kg BB/dosis TID

Antagonis reseptor dopamin D2

Metoklopramid (vometrol)

0.1-0.2 mg/kBBg/dosis TID/QID

Domperidon Agonis motilin

Eritromisin

0.3 mg/kgBB/dosis TID/QID 3-6 mg/kgBB/dosis TID

-

Eksaserbasi spasme Aritmia jantung, diare Mengantuk, gelisah, reaksi distonik, gejala ekstrapiramidal Kejang perut ringan Rasa tak enak perut Reaksi alergi ringan Disfungsi hepar

Antagonis reseptor serotonin (5-HT)

Ondansetron untuk kemoterapi & radio terapi. Sumatriptan, amitriptilin untuk muntah siklis

Antagonis reseptor H2

Inhibitor pompa proton

4 mg oral /8 jam selama 5 hari 5 mg /m2 1.V.-15 menit

0.1-1,2 mg/kgBB/24 jam oral dinaikkan sampai 1,5 mg/kgBB/24 jam

Konstipasi, sakit kepala, rasa panas di muka dan epigatrium Kelemahan, kemerahan muka

Simetidin

5-10 mg/kgBB/dosis TID/QID

Sakit kepala, diare

Ranitidin

1-2 mg/kgBB/dosis BID/TID

Sakit kepala, malaise

Famotidin

1-3 mg/kgBB/dosis BID/TID

Omeprazol

0.7-3.0 mg/kgBB/dosis BID/QID

Lansoprazol

Sakit kepala, ruam, diare, hipergastrinemia

Sumber: Milla27

Distensi Abdominal Akut Obstruksi Intestinal Tabel 2.6. Klasifikasi etiologis obstruksi intestinal Obstruksi Sederhana

Obstruksi Fungsional

(Mekanis)

(Pseudo-obstruksi, Ileus)

Intraluminal -

Benda asing Bezoar Fekalit Batu empedu

Ekstraluminal -

Hernia Intususepsi Volvulus Duplikasi

Akut - Pasca bedah - Toksisitas obat - Gangguan keseimbangan elektrolit

Kronis Gangguan pada pleksus mienterikus:

- Parasit - Ileus mekonium - Tumor - Polip

- Stenosis - Adhesi - Kista mesenterium - Sindrom arteria mesenterium superior

- Pasca trauma - Keradangan intraabdominal - Keradangan ekstraabdominal (sepsis)

- Imaturitas saraf (prematur) - Aganglionosis (Hirschsprung) - Neuropati - Konstipasi kronik - Infeksi - Endokrin (diabetes) Gangguan pada otot polos -

Miopati Distrofi otot Infiltratif Endokrin Divertikulum

Sumber: Scott28; Wesson29; Yasbeck30

Penanganan Penanganan obstruksi intestinal meliputi 2 tahap terpisah yaitu resusitasi dan pengobatan definitif yang tahapannya selalu berurutan. Tabel 2.7. Gambaran esensial dari resusitasi -

-

Hentikan semua masukan oral Dekompresi lambung dengan tabung nasogastrik Pasang slang intravena, perbaiki defisit cairan dan elektrolit serta kehilangan yang sedang berjalan Pastikan pengeluaran urin yang cukup Tentukan golongan darah dan uji silang apabila terdapat kemungkinan untuk operasi.

Sumber: Wesson29

Keputusan untuk melakukan pembedahan didasarkan atas pertimbangan klinis dan tidak dapat hanya berdasarkan hasil radiografi atau uji darah semata. Konsekuensi dari penundaan meliputi nekrosis dan perforasi serta reseksi usus dan terjadinya sepsis sistemik. Pembedahan perlu segera dilakukan apabila dicurigai terjadinya strangulasi dengan adanya panas, takikardia, dan peritonitis. Indikasi adanya strangulasi adalah rasa nyeri hebat, tidak menghilang dan menetap, walaupun dilakukan dekompresi. Terapi konservatif atau tanpa pembedahan dapat dicoba untuk 6-12 jam pada obstruksi mekanis sederhana, terutama obstruksi pasca operasi awal atau yang parsial (dalam waktu 3 minggu dari laparatomi sebelumnya) dan pada anak dengan obstruksi usus kecil yang berulang. Operasi dapat ditunda pada obstruksi pilorus atau duodenum asalkan malrotasi dan volvulus dapat disingkirkan. Operasi dapat dihindari seluruhnya pada sebagian besar bayi dengan intususepsi ileokolik asalkan dapat direduksi secara sempurna oleh tekanan udara atau tekanan hidrostatik.31,32,33

Nyeri Abdomen Akut Tabel 2.8. Etiologi nyeri abdomen akut berdasarkan simptom 1.

Neonatus : NEC Perforasi lambung spontan Penyakit Hirschsprung Ileus mekonium Atresia atau stenosis intestinal Perforasi traumatik (kesulitan kelahiran)

2.

3.

Usia sekolah (2 – 13 tahun) Gastroenteritis akut/ sindrom viral Infeksi saluran kemih Apendisitis Trauma Konstipasi Pneumonia Sindrom sickling (vaso-occlusive crysis pada penyakit sickle cell) Pankreatitis Torsio ovari Batu empedu Kolesistitis Purpura Henoch-Schőnlein

4.

Bayi (<2 tahun) Kolik (<3 bulan) Gastroenteritis akut/ sindrom viral Intususepsi Hernia inkarserata Volvulus (malrotasi) Sindrom sickling Intoleransi susu sapi Divertikulum Meckel Remaja Gastroenteritis akut/ sindrom viral Infeksi saluran kemih Apendisitis Trauma Konstipasi Penyakit keradangan pelvis (pelvic inflammatory disease) Pneumonia Mittelschmerz Pankreatitis Kolesistitis Purpura Henoch-Schőnlein

Sumber: Boyle34; Ross35

Gastritis dan Tukak Peptikum Pengobatan primer gastritis dan tukak peptikum sampai saat ini ditujukan kepada supresi asam lambung. Tabel 2.9. Penanganan penyakit peptik pada anak Obat Antagonis reseptor H2 Simetidin Ranitidin Nizatidin Famotidin

Dosis

20-40 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap 6 jam 4-8 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap 8-12 jam 4-8 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap 12 jam 1-2 mg/kgBB/hari sekali atau dua kali sehari, maksimum 40 mg sehari

Inhibitor proton Omeprazol

pompa

Lansoprazol

0,5-3 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap 12 jam 0,3-1,5 mg/kgBB/hari dosis terbagi setiap 12 jam

Sumber: Lake36

Pankreatitis Strategi dalam penanganan pankreatitis akut dilakukan secara spesifik maupun nonspesifik sebagai berikut: 1. Menghilangkan proses yang mengawali terjadinya pankreatitis 2. Menghentikan berlanjutnya proses autodigesti dalam pankreas 3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim-enzim digestif dan substansi lain yang beracun di dalam rongga peritoneal dan/atau sirkulasi. 4. Pembedahan 5. Mengobati komplikasi lokal maupun sistemik Penanganan yang pada saat ini dapat dilakukan adalah mengistirahatkan pankreas yang secara teoritis dapat mencegah atau mengurangi intensitas peradangan, mengurangi gejala dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi. Penderita dipuasakan dan sekresi lambung dikeluarkan melalui isapan nasogastik. Dengan demikian hal ini akan mencegah asam dan nutrien mencapai duodenum yang secara teoritis akan mengurangi stimulasi hormonal bagi sekresi pankreas. Berbagai pendekatan farmakologis dilakukan untuk mengurangi sekresi pankreas namun hasilnya masih banyak dipertanyakan (antasida, antikolinergik, glukagon, vasopresin). Demikian juga halnya obat untuk menstabilkan membran sel (prostaglandin) dan obat seperti somatostatin dan analognya.37,38,39

Torsio testis Penanganan yang optimal adalah eksplorasi bedah. Apabila dilakukan dalam waktu 6 jam setelah torsi, testis yang dapat terselamatkan dapat mencapai 90%. Apabila melebihi 6 jam diperlukan orkidektomi.40

Apendisitis akut Begitu diagnosis apendisitis ditegakkan penanganannya adalah pembedahan (apendektomi). Anak dengan apendisitis tanpa perforasi membutuhkan persiapan prabedah yang minimal dengan cairan intravena dan antibiotik. Walaupun penggunaan antibiotik pada apendisitis tanpa komplikasi masih dipertentangkan, namun antibiotik telah menurunkan kejadian infeksi luka pasca bedah. Apendektomi harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah diagnosis.34,35

Intususepsi

Apabila diagnosis intususepsi telah diperkirakan, langkah pertama adalah resusitasi pasien dengan cairan intravena dan pengosongan lambung dengan pipa nasogastrik. Pilihan penanganan pasien anak dengan intususepsi cukup sederhana; reduksi radiologis (hidrostatik = cairan, pneumatik = udara ) atau laparotomi dengan reduksi operatif atau reseksi. Suatu enema kontras (udara atau radioopak) dibawah panduan fluoroskopi selain sebagai uji diagnostik dapat juga dipakai untuk mereduksi intususepsi.34,36

Peritonitis Antibiotika parenteral seperti sefotaksim dari aminoglikosida (untuk Streptococcus dan Pneumococcus pada peritonitis primer) ataupun ampisilin, dan klindamisin yang dapat mencakup organisme yang mendominasi sumber infeksi (pada peritonitis sekunder seperti E. coli, Klebsiella, dan Bacteriodes) perlu segera diberikan. Pengecatan gram dan pembiakan cairan asites atau cairan peritoneal dapat memberikan indikasi pergantian antibiotika awal yang diberikan. Pembedahan perlu dilakukan untuk memperbaiki perforasi sesudah pasien distabilisasi (resusitasi cairan dan fungsi kardiovaskular) dan diberikan antibiotik.31

Disfagia Rencana terapi perlu dikembangkan berdasarkan konteks kelompok multidisiplin. Pada umumnya rekomendasi terapeutik adalah berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan dengan aman (kemampuan dari pasien untuk mentransfer makanan dari rongga mulut ke dalam usofagus tanpa keliru masuk kedalam larings dan trakea), status nutrisi pasien, adanya refluks gastro-esofageal, dan kenikmatan akan makanan bagi pasien dan orang tuanya. Terapi disfagia biasanya ditujukan pada penyebabnya disertai perawatan suportif.41,42,43,44 1.

Obati penyakit primer bila mungkin a. Kelainan struktur esofageal: dilatasi atau bedah. b. Gangguan neuromuskular sistemik : - Bedah saraf (tumor otak, malformasi Arnold-Chiari) - Pengobatan farmakologis (tetanus, dan sebagainya) c. Dismotilitas esofageal - Dilatasi atau miotomi (untuk sfingter hipertensif atau nonrelaksasi) - Terapi farmakologis: calcium channel blocker, nitrat, antikolinergik, antagonis adrenoseptor, medikasi psikotropik.

2.

Jaminan nutrisi dan proteksi jalan nafas Makanan oral: pelan, berhati, lebih mudah dengan cairan semi padat dan kental - Posisi kepala: fleksi leher untuk melindungi jalan nafas, ekstensi leher mempercepat transit makanan, rotasi kepala. - Nutrisi non-oral: nasogastrik (awas refluks), nasoduodenal, gastrostomi (awas refluks), jejunostomi, nutrisi parenteral. - Sten laringeal (laryngeal stens): untuk pasien yang tidak dapat menangani sekresinya.

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

30. 31.

Quak SM. Gastrointestinal Emergency. In : W Yip Chin Ling, J Tay Sin Hock eds. A Practical manual on Acute Paediatrics. Singapore. 1989: 221 – 242. Huang, Lennox H. Dehydration. eMedicine. Jul 21, 2008. Lozner, Alison Wiley. Pediatrics, Dehydration. eMedicine. Feb 5, 2009. Carvalho ED, Nita MH, et al. Gastro intestinal Bleeding. J Pediatric (Rio J). 2000; (Suppl 1) : S 135-146. Faubian WA, Perrault J. Gastrointestinal Bleeding. In: W Alllan Walker, Pr Durie, Hamilton JR, JA Walker Smith, JB Watkins, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management., 3 rd ed, Ontario. 2000: 164 – 178. Chin S. Gastrointestinal Bleeding in Children an Adolescens, Pediatric Clinical Guidelines. Starship Children’s Hospital. 15. Celinsko – Cedro DM. Teisseyre DM et al. Endoskopic Ligation of Esopagheal Varices for Prophylaxis of First Bleeding in Children an Abdolescent with Portal Hypertension: Peliminary Result of Prospective Study. J Pediatric Surgeon. 2003; 35: 1008 1011. Levy J. Gastrointestinal Bleeding. A Guide to Children’s Digestive an Nutritional Health. 2001; 1-8. Erkan T, Cullu F et al. Management of Portal Hipertension in Children: Arestropective Study with Long term Follw up. Acta Gastrointestinal Belg. 2003; 66 : 213-217. Razumouskii A. Danzhinov BP et al. Radical treatment of Extrahepatic Portal Hypertension in Children Khirurgiia (Mosk). 2003; 7: 17-21. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: effects of hemorrhagic shock on energy metabolism in the mukosa of the antrum, corpus and fundus of the rabbit stomach. Gastroenterology. 1974; 66: 1168. Menguy R, Master YF. Mechanism of stress ulcer: Influence of sodium taurocholate on gastric mucosal energy metabolism during hemorrhagic shock and on mitochondrial respiration and ATPase in gastric mukosa. Dig Dis. 1976; 21: 1001. Rogers EL, Perman JA. Gastrointestinal and Hepatic Failure. In: MC Rogers ed. Textbook of Pediatric Intensive Care, vol 2. Baltimore. 1987: 979-998. Choo KE. Usefulness of the Widal Test in Childhood Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore. 1992: 200. Sokucu S, Suoghu OD et al. Long term Outcome After Sclerotherapy with or without a beta blocker for Variccal Bleding in Childreen. Pediatric int. 2003; 45: 388-394. Eroglu Y, Emerick KM, et al. Octreotide Therapy for Control of Acute Gastrointestinal Bleeding in Children. J Pediatric Gastroenteroal nutr. 2004; 38: 41-47. Woeff M, Hirner A. Current State of Portosystemic Skunt Surgery. Langenbecks Arch Sung 2003; 388: 141-149. Soegijanto S. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue pada Anak. In: Soegijanto ed. Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 41-65. WHO. Dengue Hemorraghic Fever: Diagnosis. Treatment and Control. Genewa. 1986; 7-15. Soegijanto S. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue. Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003, Surabaya. 2004: 27- 32. Syahrurahman A. Beberapa lahan Penelitian Untuk Penanggulangan Demam Berdarah Dengue. Mikrobiologi Klinik Indonesia 1988; 3: 87-89. Elsevier 2004. Infectious Diseases 2. www-idreference.com. Hoe LY. Epidemiology Clinical Features and Treatment of Typhoid Fever in Malaysia. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore. 1992: 84-93. Sarasombath S. Immune Responses in Typhoid Fever. In: T Pang, CL Koh, SD Puthucheary. Eds Typhoid Fever Strategies for the 90’s. Singapore. 1992: 168-175. Dodge JA, Vomiting and Regurgitation. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, vol I. Philadelphia. 1991: 32-41. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting. In: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Philadelphia. 1993: 135-150. Milla PJ. Vomiting: gastroenterologic evaluation. International seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Ontario. 1994; 3: 1-15. Scott RB. Motility Disorders. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins. Pediatric Gastrointestinal Disease, Pathophysiology, Diagnosis, Management, 2nd ed, Vol I St Louis. 1996: 936-954. Wesson DE, Hadock G. Acute Intestinal Obstruction. In. W. Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis Management, Vol I. 2 nd ed, St Louis. 1996: 565 – 574; 555 – 565. Yazbeck S b. Intestinal obstruction in infancy and childhood. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis. 1995: 104-129. Langer JC. Peritonitis. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. 3 rd ed, Ontario. 2000: 450-455.

32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44.

Walker Smith J, Murch S. Surgically correctable lesions of the small intestine. In: J. Walker-Smith, S.Murch eds. Disease of the Small Intestine in Childhood. Oxford. 1999: 329-341. Wyllie R. Intestinal atresia, stenosis and malrotation. In: Behrman RE. Kliegman RM, Jenson HB. eds. Nelson Textbook of Pediatrics, 16 th ed. Philadephia. 2000: 1132-1136. Boyle JT. Abdominal Pain. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker-Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. 3rded. Ontario. 2000: 129-149. Ross AJ. Acute Abdominal Pain. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. I 2nd ed. St. Louis. 1996: 42-44. Lake AM. Chronic Abdominal Pain in Childhood: Diagnosis and Management. American Academy of Family Physician . 1999. Jordan S. Ament M. Pancreatitis in Children and Adults. J. Pediatr. 1977; 91: 211. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In: W. Allan Walker, PR Durie, J. Richard Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology. Diagnosis. Management. Vol. II 2 nd ed. St. Louis. 1996: 1437-1465. Weizmann Z, Durie PR. Acute Pancreatitis in Childhood. J. Pediatr. 1988; 113: 24-29. Knight PJ, Vassy LE. Diagnosis and Treatment of the Acute Scrotum in Children and Adolescent. Ann Surg. 1984; 200: 664. Ergun GA. Evaluation of the patient with dysphagia Current Practice of Medicine. 1999; 2: 2293-2306. Illingworth RS. Sucking and swallowing difficulties in infancy; diagnostic problem of dysphagia. Arch Dis Child. 1969; 44: 655-665. Orenstein SR. Dysphagia and vomiting In: R Wyllie, JS Hyams. eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Philadelphia. 1993: 135-150. Stendal C. Swallowing disorders. Practical Guide to Gastrointestinal Function testing. Oxford. 1997: 27-45.

BAB III DISFAGIA Yorva Sayoeti

Ilustrasi Kasus Astrid, anak perempuan, berumur 8 tahun dikirim ke Feeding Clinic untuk evaluasi makan dan minum. Dia mengalami trauma kepala pada umur 3 tahun dengan komplikasi kuadriplegia. Disamping itu dia juga menderita skoliosis berat yang memerlukan operasi. Sebelum operasi, dilakukan pemeriksaan videofluoroskopi menggunakan barium yang dimodifikasi (modified barium swallow) guna mengevaluasi fase-fase menelannya. Dari aloanamnesis, ibunya mengatakan Astrid membutuhkan waktu lama bila makan, disertai batuk, terdengar suara degukan yang cukup jelas dan menolak makan dengan mengatakan tidak mau makan sambil menggelengkan kepalanya. Pemeriksaan dengan mengamati makan, tampak perlambatan fase oral. Dia perlu beberapa kali menelan untuk mendorong habis semua bolus makanan, sehingga waktu yang diperlukan tiap suapan makan hampir 1 menit. Dia juga menolak makan setelah diberikan beberapa suap. Hasil pemeriksaan videofluoroskopi tampak sejumlah sisa makanan tertahan di dalam faring dan berkurangnya gerakan peristaltik untuk semua jenis tekstur makanan yang diberikan. Tampak sedikit aspirasi (silent trace aspiration). Keadaan ini tidak membaik walaupun telah dilakukan perubahan posisi waktu makan. Dengan demikian disimpulkan Astrid berisiko tinggi terjadi aspirasi bila makan peroral tetap diteruskan. Dua hari kemudian dilakukan operasi. Evaluasi paska operasi menunjukkan proses menelan fase oral maupun fase faringeal masih lambat disertai bunyi degukan, dan masih menolak makan. Bahkan hasrat makannya semakin turun dibandingkan sebelum operasi. Pernafasannya tampak ada hambatan sehingga dilakukan fisioterapi. Tiga hari kemudian Astrid masih menolak makan. Pemantauan selanjutnya berat badan Astrid turun sampai 6 ons. Atas anjuran spesialis gizi ditambahkan Policore ke dalam dietnya untuk meningkatkan kebutuhan kalorinya serta makanan kecil (snack). Kemudian Astrid dipulangkan dan dijadwalkan 2 minggu lagi dievaluasi kembali oleh tim interdisipliner di Feeding Clinic. Dua minggu kemudian tim interdisipliner memutuskan bahwa Astrid harus menjalani gastrostomy (GT) guna menjamin kebutuhan nutrisinya dan mencegah risiko aspirasi. Beberapa minggu setelah dilakukan GT, Astrid dipulangkan dan pada orang tuanya diberikan pedoman agar tetap melakukan stimulasi makan peroral (oral motor stimulation). Dianjurkan memberikan makanan dalam berbagai rasa dan tekstur sedikit demi sedikit guna mengurangi terjadinya aspirasi. Ternyata dengan stimulasi oral ini lama kelamaan dapat disenangi Astrid. Akhirnya kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui makan minum peroral tanpa komplikasi aspirasi dan kesehatannya makin lama makin membaik.

Pendahuluan Kemajuan teknologi kedokteran lebih dari tiga dekade ini memungkinkan banyaknya bayi yang lahir prematur atau berat badan lahir rendah (BBLR) bahkan berat badan lahir sangat rendah (BBLSR) atau dengan sakit gawat, dapat dipertahankan hidupnya. Namun sebagian besar bayi dan anak ini akan menghadapi pula masalah-masalah medis yang cukup bermakna dalam perkembangan selanjutnya. Beberapa diantara bayi ini akan mengalami komplikasi atau cacat di kemudian hari antara lain menderita retardasi mental, serebral palsi, masalah penyakit paru kronis atau gangguan neurologis. Akibat hal tersebut perlu strategi baru untuk mengatasi masalah-masalah ini yang sebelumnya jarang ditemui. Beberapa dari masalah yang paling menonjol adalah yang berhubungan dengan gangguan fungsi gerakan motorik mulut (oralmotor function), gangguan menelan, makan dan atau berkomunikasi. Dengan demikian kemajuan di bidang ilmu dan teknologi kedokteran dalam usaha mempertahankan kehidupan telah menyebabkan pula munculnya masalah baru yang memerlukan pencarian solusinya. Berbeda dengan orang dewasa, bayi dan anak dengan gangguan menelan menjadi masalah yang unik bagi para klinisi. Aspek penatalaksanaan disfagia pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan pada bayi dan anak karena perbedaan struktur anatomi dan maturasi neurologis yang belum sempurna. Bayi dan anak yang menderita gangguan menelan serta gangguan makan minum peroral memerlukan tatalaksana dengan memperhatikan dan mempertimbangkan aspek tumbuh kembang anak, yaitu aspek yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan organ menelan, perkembangan refleks-refleks motorik mulut, serta maturasi perkembangan perilaku makan yang berhubungan erat dengan hubungan orang tua dan anak. Perolehan nutrisi yang adekuat untuk menjamin pertumbuhan somatik dan pengaruh-pengaruh isapan bayi bersifat nonnutritive harus dipertimbangkan dalam usaha pendekatan diagnosis dan terapi penderita dengan gangguan menelan. Selain itu kebanyakan penderita anak dengan gangguan menelan mempunyai kemampuan kognitif yang kurang dan memerlukan terapi oleh beberapa spesialis (interdisciplinary team), terutama anak dengan penyakit sistem saraf pusat yang tatalaksananya sangat rumit.1,2

Definisi Disfagia secara alami didefinisikan berdasarkan sifatnya yaitu kesulitan sewaktu menelan. Sedangkan odinofagia adalah rasa nyeri yang dirasakan sewaktu menelan. Fungsi gerakan motorik mulut (motor-oral function) ialah semua aspek yang mencakup fungsi motorik dan sensorik dari struktur rongga mulut dan faring yang berhubungan dengan proses menelan sampai makanan masuk ke dalam esofagus. Deglutisi (deglutition) adalah kegiatan menelan dan merupakan salah satu proses dalam arti konteks yang luas dari makan. Namun deglutition dalam literatur lebih banyak disebut dengan proses menelan (swallowing) yang didefinisikan sebagai aksi semiotomatik gerakan otot-otot saluran pernafasan dan saluran pencernaan mendorong makanan dari rongga mulut ke dalam lambung.6,10

Kejadian Data epidemiologis mengenai berapa kejadian disfagia yang akurat pada bayi dan anak belum ada, karena disfagia bukan masalah yang berdiri sendiri, namun merupakan keluhan dari berbagai keadaan. Keadaan ini lebih sering terjadi pada bayi-bayi dan anak dengan gangguan yang multikompleks. Faktor predisposisi terjadinya disfagia adalah gangguan sistem saraf pusat atau perifer, penyakit otot, kelainan struktur rongga mulut dan faring. Kelompok lain yang berisiko terjadinya disfagia adalah kelompok yang mengalami disfungsi perkembangan menelan termasuk komplikasinya yaitu bayi prematur yang koordinasi pernafasan dan menelannya belum baik, bayi-bayi yang mengalami kehilangan kemampuan makan peroral yang telah berlangsung lama, serta bayi-bayi dengan penyakit paru kronis.3,5

Etiologi Oleh karena disfagia merupakan keluhan (symptom) maka etiologinya dibagi berdasarkan gangguan-gangguan yang mendasari terjadinya disfagia pada bayi dan anak seperti terlihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Gangguan-gangguan yang dapat menyebabkan disfagia pada bayi dan anak

I. Prematuritas II. Anomali jalan udara dan jalan makanan atas A.

Hidung dan nasofaring 1. Atresia dan stenosis koana 2. Infeksi hidung dan sinus 3. Deviasi septum 4. Tumor B. Rongga mulut dan orofaring 1. Defek lidah dan prosesus alveolaris 2. Bibir terbelah dan palatum terbelah 3. Stenosis dan selaput pada hipofaring 4. Sindrom kraniofasial (spt: Pierre-Robin, Crouzon, Trecher-Collins, Goldenhar) 5. Sindrom Down 6. Sindrom Backwich 7. Ankilo glossi C. Laring 1. Stenosis dan selaput pada laring 2. Laring terbelah 3. Paralisis 4. Laringomalasia III. Defek kongenital laring, trakea dan esofagus A. Celah laringo-trakeo-esofagus B. Fistel trakeo-esofagus, atresia esofagus C. Striktur dan selaput pada esofagus D. Anomali vaskuler 1. Arteri subklavia kanan yang menyimpang

2. Arkus aorta yang kembar 3. Arkus aorta kanan dengan ligamentum kiri IV. Defek anatomi yang didapat A. Trauma 1. Trauma luar seperti bahan kimia (caustic agent) 2. Trauma karena endoskopi dan intubasi V. Defek neurologis A. Penyakit-penyakit susunan saraf pusat 1. Trauma kepala 2. Kerusakan otak oleh karena hipoksia 3. Atrofi korteks, mikrosefali, anensefali 4. Infeksi: meningitis, abses otak 5. Mielomeningokel 6. Palsi serebral 7. Botulisme 8. Infeksi 9. Rabies B. Penyakit sistem saraf perifer 1. Trauma 2. Kongenital C. Penyakit neuromuskular 1. Distrofi muskular miotonik 2. Miestania gravis 3. Sindrom Guillain-Barre 4. Poliomielitis (paralysis bulbaris) 5. Hipotiroid 6. Sindrom floppy infant D. Lain-lain 1. Akalasia 2. Akalasia krikofaringeal 3. Spasme esofageal 4. Esofagitis 5. Disautonomia 6. Paralisis esofagus (atoni) 7. Fistel trakeo-esofagus / atresia esofagus 8. Timus servikal yang menyimpang 9. Disfagia konversi 10. Stenosis pilorus hipertrofi 11. Kelainan jantung bawaan Sumber :Orenstein3

Patogenesis Untuk dapat menjelaskan patogenesis disfagia perlu pemahaman anatomi dan fisiologi menelan secara normal. Proses menelan selain berperan sebagai transport makanan juga berperan memindahkan sekret-sekret dan partikel-partikel dari saluran napas atas mencegah masuknya bahan-bahan asing tersebut ke dalam saluran napas bawah. Proses menelan melibatkan banyak struktur yang fungsinya saling berinteraksi melalui jalan yang sangat rumit. Saluran aerodigestif atas (upper aerodigestive tract) terdiri dari rongga mulut, faring, laring, trakea dan esofagus (Gambar 1a dan 1b). Saluran aerodigestif bawah (lower aerodigestive tract)

terdiri dari paru-paru dan saluran pencernaan bagian bawah (the lower digestive tract) yang dibentuk oleh lambung, usus kecil dan usus besar. Terdapat perbedaan yang bermakna antara anatomi saluran aerodigestif bayi dan dewasa. Rongga mulut bayi waktu istirahat menempatkan lidah lebih kedepan dibanding dewasa. Berbeda dari dewasa, bayi mempunyai bantalan pengisap yang terdiri dari jaringan lemak yang padat, rapi dalam muskulus maseter. Bantalan ini berperan menstabilkan pipi dan akan menghilang saat berumur 4-6 bulan. Selanjutnya besar rongga mulut bayi berkurang karena mandibula relatif lebih kecil dan menyebabkan lidah kelihatan lebih besar dalam rongga mulut. Dekatnya hubungan lidah, palatum mole dan faring dengan laring menyebabkan leher bayi lebih tinggi daripada dewasa yang memudahkan bayi bernafas melalui hidung. Hal ini berkaitan dengan masa umur 3-4 bulan pertama kehidupan bayi, yaitu ketika bayi masih lebih banyak bernafas melalui mulut maupun hidung. Di dalam rongga mulut terdapat sulkus lateral, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan pipi; dan sulkus anterior, yaitu ruang yang terletak di antara mandibula atau maksila dengan otot-otot bibir. Ruang-ruang ini penting artinya pada penderita dengan masalah motorik mulut dengan terbentuknya kantong-kantong yang berisi makanan atau cairan akibat menyangkutnya makanan atau cairan di dalam ruang tersebut. Pada bayi baru lahir faring membentuk suatu lengkungan yang mulus dari nasofaring menurun ke hipofaring. Dalam perkembangan selanjutnya sampai dewasa, lengkung ini berubah membentuk sudut diantara nasofaring dengan orofaring mendekati 90o. Beberapa struktur yang terdapat di dalam rongga mulut, faring, nasofaring, orofaring, hipofaring berperan penting dalam proses kegiatan makan minum. Laring yang terdiri dari struktur yang kompleks mempunyai tiga fungsi utama selain berperan melindungi jalan nafas waktu kegiatan makan minum, juga berperan untuk pernafasan dan pembentukan suara (phonatory).6,7

Gambar 1a. Skema gambar samping dari saluran aerodigestif atas struktur rongga mulut dan faring dapat dlihat begitu juga pintu masuk laring, trakea dan esofagus

Gambar 1b. Dari gambaran samping saluran aerodigestif atas menunjukan batas anatomi nasofaring,orofaring dan hipofaring

1. Frekuensi menelan. Perkiraan frekuensi proses menelan pada anak berkisar 600-1000 kali/hari, pada orang dewasa dapat mencapai sampai 2400 kali/hari. Frekuensi tertingi terjadi sewaktu kegiatan makan dan frekuensi paling kecil adalah selama tidur. Disamping untuk makan, tujuan menelan juga untuk memindahkan air liur dan sekret-sekret mukosa dari rongga mulut, hidung, dan faring. Menurunnya frekuensi menelan, mengakibatkan air liur menetes ke dagu (drooling).

2. Fisiologi menelan Fisiologi proses menelan dibagi dalam 4 fase yaitu : a. b. c. d.

Fase persiapan oral Fase oral Fase faringeal Fase esofageal

Dua fase pertama seluruhnya disadari. Fase faringeal disadari dan tidak disadari. Sedangkan fase esofageal seluruhnya tidak disadari. Urutan-urutan gerakan-gerakan menelan dapat dilihat pada gambar 2. Fase persiapan oral Fase ini terjadi disadari, lamanya bervariasi tergantung dari tekstur makanan. Pada fase ini terjadi manipulasi makanan di dalam mulut membentuk bolus agar dapat dengan mudah ditelan dengan aman. Pada bayi yang masih mengisap cairan, fase ini diselesaikan dalam waktu yang singkat. Pada anak, makanan telah mulai diberikan dengan pengentalan atau tekstur makanan yang digumpalkan sehingga fase persiapan ini diselesaikan selama beberapa detik, karena lebih banyak waktu yang digunakan untuk mengunyah. Biasanya cairan berada di dalam rongga mulut tidak lebih dari 2-3 detik. Bibir harus segera ditutup setelah bahan makanan dan minuman dimasukkan ke dalam mulut agar tidak menetes ke dagu. Beberapa anak mungkin memindah-mindahkan makanan di sekitar mulutnya terlebih dulu sebelum mereka membentuk bolus yang sudah bersatu padu. Kemudian bolus ini dipertahankan di antara lidah dan palatum durum sebelum mulai menelan. Selama fase ini, palatum mole dalam posisi merendah guna membantu mencegah bolus atau cairan masuk ke dalam faring sebelum fase menelan dimulai. Merendahnya palatum mole ini terjadi secara aktif oleh kontraksi otot palatoglosus. Laring dan faring pada fase ini dalam keadaan istirahat, jalan udara tetap terbuka dan pernafasan hidung terus berlangsung sampai menelan dimulai.

Fase oral Fase oral terjadi disadari dengan mulainya mendorong bolus makanan ke posterior dengan lidah dan berakhir dengan terjadinya penelanan. Pada fase ini bagian-bagian fisik bolus diubah oleh aktivitas di dalam rongga mulut termasuk besar, bentuk, volume, pH, temperatur dan konsistensi. Pada awal proses menelan bolus terjadi dengan kontrol kesadaran dan pada akhir proses menelan terjadi secara tidak disadari. Makanan/ cairan minuman yang berada di dalam rongga mulut secara disadari menunjukkan adanya perintah untuk mulainya menelan. Berbeda dengan menelan air liur, proses terjadi secara otomatis pada awal menelan. Aksi memanipulasi bolus atau cairan makanan yang terjadi secara disadari, termasuk meningginya lidah diikuti oleh gerakan langsung ke posterior adalah akibat dari gerakan peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi kontak bolus secara berurutan mulai dari palatum durum, palatum mole yang mendorong bolus masuk ke dalam faring. Peninggian palatum mole yang berhadapan dengan dinding posterior faring menyebabkan bolus masuk ke dalam faring. Bersamaan dengan waktu bolus meninggalkan mulut, nasofaring dalam keadaan tertutup guna mencegah refluks nasofaringeal. Waktu normal yang diperlukan menelan fase oral ini berlangsung kurang dari 1 detik.

Fase faringeal Fase faringeal dimulai dengan terbentuknya keadaan menelan, dengan meningginya palatum mole untuk menutup nasofaring. Fase faringeal terdiri dari kontraksi peristaltik

otot konstriktor faringeal guna mendorong bolus melalui faring yang terjadi secara refleks melibatkan gerakan-gerakan unik yang merupakan suatu urutan proses yang terkoordinasi. Umumnya fase faringeal berlangsung selama hampir 1 detik. Selama menelan, epiglotis berpindah ke bawah, akibat kontraksi sfingter otot intrinsik laring termasuk aritenoid dan epiglotis sehingga menutup selaput suara. Bersamaan dengan itu laring meninggi dan tertarik ke depan menjauh dari jalannya bolus. Tujuan menelan pada fase faringeal adalah untuk transport bolus secara sempurna melalui faring, krikofaring dan sfingter esofagus atas.

Fase esofageal Fase esofageal terdiri dari gelombang peristaltik yang otomatis membawa bolus ke dalam lambung dan mencegah terjadinya risiko refluks esofageal, yaitu masuknya kembali bahan makanan/minuman dari esofagus kembali ke dalam faring. Refluks gastroesofageal juga dicegah oleh kontraksi tonik dari muskulus krikofaringeus. Kadang-kadang masih terjadi refluks dalam jumlah kecil, namun dipandang normal pada bayi-bayi. Gelombanggelombang peristaltik berperan mendorong bolus melalui esofagus dan gastroesophageal junction. Keempat fase menelan ini berlangsung secara terkoordinasi dan berurutan satu sama lain sehingga proses menelan berlangsung efektif dan aman tanpa terjadi komplikasi aspirasi. Persarafan yang terlibat dalam koordinasi proses menelan ini dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 2. Skema dari seorang anak yang menggambarkan fase menelan yang normal.A. Fase oral.B. Fase awal faringeal.C. Bolus bergerak melewati faring. D.Bolus memasuki esofagus E. Bolus didalam esofagus.

Jalur desending supranuklear Kortikal dan subkortikal

Afferen primer Saraf kranial V,VII,IX,X,XII

Fasikulus solitarius Medulla

Traktus nukleus soliterius Dan ventral medial Formasi retikuler Pola sentral generator

Efferen primer Saraf kranial V,VII,IX,X,XII

Nukleus motor Saraf kranial V,VII,IX,X,XII

Pons dan medulla

Gambar 3.Diagram sistem saraf perifer dan sentral untuk menelan sinyal afferen antara lain saraf kranial,kortikal dan jalur subkortikal menuju Nukleus Traktus Solitarius(NTS) dan Ventral Medial Retikular Formation(VMRF)(sist. generator sentral). Sinap saraf efferen dengan Inti motor primer saraf pusat V,VII,IX,X dan XII.

Setiap gangguan yang menyebabkan tidak terkoordinasinya fase-fase menelan ini dengan baik akan menyebabkan gangguan proses menelan atau disfagia.6,7 Patogenesis dan patomekanisme gangguan itu dapat disebabkan oleh: 1. Kelainan anatomi saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas (upper aerodigestive) yang berhubungan dengan proses menelan baik yang dibawa sejak lahir maupun yang didapat seperti agenesis, stenosis, defek anatomis, tekanan mekanik oleh masa tumor, striktur karena trauma fisik maupun bahan kimia. 2. Gangguan neuromuskular baik sentral maupun perifer dari saluran pencernaan dan saluran pernafasan atas yang berhubungan dengan proses menelan baik yang bawaan maupun didapat seperti kelemahan otot-otot rongga mulut dan lidah (oral-motor function) yang mencakup bibir, pipi, lidah, palatum, faring dan laring, esofagus, dan gangguan motilitas esofagus, lambung dan duodenum (kelemahan kontraksi peristaltik). 3. Faktor psikologis misalnya hubungan orang tua dan anak yang tidak harmonis.

Gejala Klinis Gejala klinis disfagia dapat dilihat dengan melakukan pengamatan langsung pada bayi dan anak yang sedang makan minum. Gejala klinis sangat bervariasi tergantung dari etiologi yang mendasari timbulnya gejala disfagia. Selain gejala disfagia secara klinis, gejala penyakit dasarnya dapat ditemukan. Pada pengamatan langsung bayi dan anak waktu makan dapat dilihat gejala kesulitan menelan, disertai gejala lain seperti kesulitan makan, kesukaran mengunyah, kesukaran mengisap, kesulitan menyusu, serta menolak makan dan minum. Mungkin disertai liur yang menetes secara berlebihan atau makanan yang tumpah dari mulut, adanya hambatan/sumbatan, batuk disertai tercekik, tedengar suara degukan, muntah sewaktu makan atau disertai rewel setiap makan. Kadang-kadang mungkin ditemukan gejala-gejala perilaku yang tidak normal waktu makan misalnya dengan mendorong lidah atau rahang, makan hanya mau terhadap makanan tertentu saja, diikuti gejala komplikasi seperti berat badan tidak bertambah sesuai umur (malnutrisisi ringan sampai berat) dan gejala infeksi saluran pernafasan yang berulang atau kronis karena aspirasi. Dengan mengamati gejala klinis yang ada dapat pula diperkirakan lokasi terjadinya gangguan misalnya menelan fase oral atau fase faringeal. Bila penyakit dasarnya karena refluks gastroesofagus tampak bayi muntah tiap habis minum, sedangkan pada anak mungkin memerlukan posisi tertentu waktu makan atau menunjukkan gejala kegelisahan waktu makan.3,4,7

Diagnosis

1. Aloanamnesis Pendekatan diagnosis anak dengan disfagia harus dimulai dengan menanyakan riwayat makannya. Namun untuk mendapatkan riwayat makan yang akurat mungkin mendapat kesulitan karena berbagai alasan. Pertama anak dengan gangguan menelan yang berat sering disertai keterbatasan kemampuan kognitif, yang menyebabkan komunikasi langsung dengan penderita tidak memungkinkan. Karena itu riwayat makan harus didapat langsung dari orang yang terlibat dalam pengasuhan anak seperti orang tua atau pengasuh. Kedua, berdasarkan pengalaman, anak dengan gangguan menelan sering menderita aspirasi tanpa menimbulkan batuk, suatu fenomena yang dikenal dengan silent aspiration. Konsekuensinya sukar memprediksi dengan akurat apakah bahan makanan ditelan semuanya tanpa adanya aspirasi, semata-mata hanya berdasarkan riwayat makannya atau dengan pemeriksaan klinis saja. Riwayat makan anak harus mencakup secara keseluruhan termasuk metode makan yaitu makan menggunakan alat-alat tertentu, bagaimana posisi kepala, leher dan badan selama makan, volume dari makanan yang ditawarkan, volume dari makanan yang ditolerir/yang ditelan, serta konsistensi dari makanan yang ditawarkan dan yang ditolerir. Perlu digali ada tidaknya proses mengunyah, waktu yang digunakan untuk makan, ada tidaknya riwayat selain disfagia disertai odinofagia, ada tidaknya air liur menetes secara berlebihan (yang diduga adanya gangguan menelan fase oral), riwayat adanya hambatan/sumbatan, tercekik dan ada tidaknya suara degukan atau batuk yang berhubungan dengan makan. Apakah keluhan-keluhan ini terjadi sebelum, selama atau setelah menelan, dapat membantu menentukan fase dan lokasi yang dikenai. Keluhan-keluhan yang terjadi sebelum menelan diduga kelainan kontrol oral, namun bila terjadi selama/sewaktu menelan menunjukkan disfungsi fase faringeal. Tersumbat/terhambat dan tercekik setelah menelan dengan lengkap mungkin terdapat gangguan pembersihan faring akibat kelemahan otot-otot menelan dan/atau tidak adanya koordinasi otot-otot atau gangguan dari sfingter esofagus atas. Makan yang berlangsung lebih dari 30 menit harus disadari oleh para klinisi kemungkinan adanya disfagia. Adanya kelemahan mengisap, hilangnya kemampuan makan peroral, kurangnya mengunyah atau makanan disimpan di pipi (pocketing food) mungkin terdapat kelainan pada tingkat oral. Kelainan pada fase faringeal sering menimbulkan gejala hambatan (gagging), batuk, tercekik dan distres pernafasan sewaktu makan. Makan disertai muntah atau dengan melengkungkan badan, tercekik dan lekas marah (irritable) sering terjadi karena kelainan fase esofageal seperti refluks esofagus. Di samping riwayat makan minum, perlu ditanyakan pula penyakit-penyakit yang diderita sebelumnya, misalnya trauma kepala, kelainan bawaan yang telah dikoreksi dengan operasi dan lain sebagainya. Selain riwayat makan, yang sangat perlu ditanyakan adalah evaluasi nutrisinya secara menyeluruh dari anak yang menderita gangguan menelan, karena tujuan akhir secara klinis selain menegakkan diagnosis juga menentukan status nutrisi penderita sekarang. Tentukan kalori dan protein yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan yang optimal, dan perencanaan mendapatkan rute atau cara pemberian makan sementara. Konsultasi dengan dokter ahli gizi anak akan membantu perencanaan program nutrisinya secara konperehensif.3,4 2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada bayi dan anak dengan disfagia harus mencakup secara keseluruhan sebagaimana pemeriksaan yang dilakukan secara rutin pada setiap bayi dan anak sakit. Selain itu pemeriksaan harus mencakup struktur-struktur rongga mulut dan faring. Bila didapat struktur yang abnormal dan/atau diduga ada kelainan di dalam faring, maka perlu dilakukan konsultasi ke spesialis THT. Perlu dicatat ada tidaknya refleks sumbatan/hambatan. Perlu diperhatikan apakah ada kelainan anatomi atau kelainan struktur rongga mulut, misalnya akibat tekanan mekanik oleh tumor, serta adanya kelainan struktur organ-organ yang mempengaruhi proses menelan. Perlu diperiksa adanya kelainan karena trauma fisik maupun trauma bahan kimia (caustic agent) atau tanda-tanda infeksi yang menyebabkan gangguan menelan. Lakukan pemeriksaan status gizi, dan perhatikan ada tidaknya komplikasi seperti malnutrisi atau gejala penyakit paru kronis.3,4

3. Pemeriksaan percobaan makan Hasil diagnostik uji coba makan sangat besar artinya dalam menilai gangguan yang terjadi dan untuk perencanaan tatalaksana selanjutnya. Pengamatan uji coba makan harus bekerja sama dengan spesialis terapi makan, spesialis terapi bicara dan berbahasa (speech-language pathologist) atau dengan occupational therapist. Melalui pengamatan selama uji coba makan dapat diketahui ada tidaknya kemampuan fungsi motor-oral yang sesuai dengan umur. Kemampuan makan/minum peroral ini harus ditinjau secara rinci oleh masingmasing spesialis dari tim pelaksana terapi. Selama uji coba makan/minum peroral perlu dipantau dan dicatat kemungkinan adanya gerakan-gerakan abnormal, seperti memasukkan atau mendorong rahang, mendorong lidah, ada tidaknya refleks tonik menggigit atau refleks cengkeraman rahang. Adanya refleks yang seharusnya sudah menghilang sesuai umur, seperti phasic bite reflex dan suckle feeding reflex yang merupakan refleks primitif, dapat membantu perkiraan kelainan yang mendasarinya. Dengan memperhatikan gerakangerakan rahang, gerakan mengunyah dan kemampuan gerakan-gerakan lidah, dapat dinilai derajat berat ringannya gangguan dan perkiraan komplikasi yang mungkin terjadi akibat disfagia. Pada bayi, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama adanya keluhan disfagia waktu mengisap puting susu ibu/dot susu botol. Tampak bayi menyusu tidak tahan lama, dan puting sangat mudah dipindah-pindah atau dikeluarkan dari mulutnya. Sedikitnya jumlah gelembung udara yang timbul di dalam botol susu selama minum susu botol atau bertambahnya kehilangan cairan disekitar dot dan mulut, menggambarkan kelemahan mengisap. Peningkatan jumlah menelan bolus pada berbagai macam tekstur makanan disertai suara degukan setelah menelan menunjukkan adanya dugaan gangguan motilitas faring. Batuk yang berlebihan selama minum, tercekik, nafas yang cepat, atau adanya hambatan mungkin disebabkan disfagia daerah orofaring. Posisi kepala, leher dan badan selama makan/minum peroral harus dicatat.3,4

4. Pemeriksaan videofluoroskopi Pemeriksaan videofluoroskopi merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengevaluasi bayi dan anak dengan gangguan menelan. Pemeriksaan ini memberikan arti yang terbaik dalam

menentukan anatomi mulut, faring dan esofagus serta dapat memberikan bukti yang sangat objektif ada tidaknya koordinasi yang baik dari fase-fase menelan oral, faringeal, maupun esofageal. Melalui pemeriksaan ini dapat dideteksi episode-episode terjadinya aspirasi serta membantu identifikasi ada tidaknya kontraindikasi pemberian makan/minum peroral. Pemeriksaan videofluoroskopi selain bernilai untuk diagnostik juga berperan dalam merekomendasikan terapi karena dapat menentukan karakteristik bolus makanan yang aman untuk ditelan (besar bolus dan konsistensinya). Selain itu melalui pemeriksaan videofluoroskopi dapat diputuskan perlu tidaknya tindakan medis maupun tindakan bedah dalam tatalaksana penderita. Pemeriksaan videofluoroskopi harus dikerjakan bersama-sama oleh tim, terutama terdiri dari spesialis radiologi, spesialis teknologi radiologi dan spesialis terapi bicara dan berbahasa (speech-language pathologist). Kesimpulan hasil pemeriksaan videofluoroskopi secara rinci biasanya dilaporkan kepada seluruh tim terapi. Sayangnya pemeriksaan ini melibatkan ekspansi radiasi yang sangat banyak. Keluhan-keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan dapat dilihat pada Tabel 3.2.3,4

5. Pemeriksaan diagnostik tambahan Beberapa pemeriksaan menggunakan alat canggih lainnya mungkin diperlukan sebagai tambahan, namun lebih banyak diindikasikan untuk diagnosis dan mengevaluasi penyakit primernya, misalnya pemeriksaan CT scan bila dicurigai adanya tumor, pemeriksaan MRI untuk melihat massa lunak, dan pemeriksaan USG untuk melihat penyempitan lumen. Begitu juga dengan pemeriksaan endoskopi maupun pemeriksaan radiologi yang dilakukan atas indikasi yang jelas.3,4

Tabel 3.2. Keluhan dan gejala klinis yang memerlukan pemeriksaan videofluoroskopi menelan

Kategori

Keluhan-keluhan/gejala

Sewaktu makan

Batuk, sumbatan, air ludah menetes berlebihan, hambatan yang berlebihan, suara degukan yang keras, iritabel. Menolak makan, kesadaran menurun, makan terlalu lama lebih dari 30 menit.

Keadaan paru

Sering atau menderita pnemoni berulang, infeksi saluran pernafasan atas berulang, penyakit paru kronis, infiltrat pada pemeriksaan foto toraks.

Kesehatan umum dan saluran cerna

Sering atau panas yang subfebril berulang, berat badan yang tidak naik. Berat badan yang semakin turun, sering mual, refluks.

Neurologis

Gerakan mulut ang tidak terkoordinasi atau kelemahan, berkurang sensasi mulut.

Struktur

Dugaan adanya fistel trakeoesofagus, paralisis/ paresis selaput suara.

Sumber: Orenstein3

Terapi Terapi gangguan menelan pada bayi dan anak memerlukan perencanaan yang tersendiri, melihat kasus perkasus, karena dasar kelainan yang menyebabkan disfagia pada anak berbedabeda. Perencanaan terapi tergantung dari kelainan yang mendasari timbulnya disfagia, apakah karena kelainan anatomis, perkembangan fungsi motorik dan koordinasi fase-fase menelan yang belum baik, atau gangguan fungsi neuromuskular, dan harus jelas pula jenis defisit neurologis yang terjadi. Sebelum merencanakan terapi harus dilakukan terlebih dulu evaluasi secara menyeluruh penyakit yang mendasari timbulnya disfagia termasuk kronologi perkembangan mental, status fisiologis, status psikologis dan perilaku anak. Kesemuanya itu akan mempengaruhi program terapi, yang selanjutnya akan mempengaruhi pula tumbuh kembang fisik maupun mental anak di kemudian hari. Karena itu, dalam perencanaan terapi pada bayi dan anak dengan disfagia, perlu melibatkan berbagai spesialis ilmu secara tim (interdisciplinary team), karena tujuan terapi bukan hanya terfokus untuk program tercapainya makan/minum yang aman secara oral saja, namun juga mencakup kemampuan berbicara dan berkomunikasi. Harus diingat bahwa anak yang menderita disfagia sering disertai gangguan kognitif (gangguan kemampuan berbicara, berkomunikasi dan gangguan perkembangan emosional) yang memerlukan penatalaksanaan secara adekuat. Berbeda dengan terapi makan/minum, tujuan utama terapi gangguan kognitif adalah melatih fungsi motorik mulut (oral motor treatment) untuk mengembangkan koordinasi gerakan-gerakan mulut, sistem pernafasan dan fonetik agar dapat berkomunikasi dan mendukung berkembangnya emosional anak dan sekaligus tercapainya kemampuan makan peroral. Keberhasilan terapi sangat tergantung dari pengalaman masing-masing para spesialis, karena itu untuk memaksimalkan keberhasilan, pencapaian terapi perlu melibatkan berbagai spesialis dalam satu tim yang biasanya terdiri dari spesialis perkembangan anak atau spesialis neurologi anak, spesialis gizi anak, occupational therapist, dan spesialis untuk perkembangan motorik dan sensorik mulut seperti spesialis patologi berbicara dan berbahasa. Konsultan untuk masalah yang khusus termasuk ahli gastroenterologi, ahli pulmonologi, ahli THT, ahli radiologi, dan psikolog juga diperlukan dalam tim. Prinsip utama terapi bayi dan anak yang menderita disfagia adalah melakukan pelatihan-pelatihan terhadap fungsi sensorik dan motorik mulut sehingga tercapai kemampuan makan peroral yang aman tanpa terjadi komplikasi, sekaligus melatih kemampuan kognitif sehingga tercapai perkembangan komunikasi dan emosional yang normal. Biasanya terapi yang dianjurkan adalah terapi yang berdasarkan kemampuan pasien untuk menelan dengan aman (yaitu transfer makanan dari rongga mulut masuk ke dalam esofagus tanpa masuk ke dalam

laring atau ke dalam trakea). Banyak teknik dilakukan untuk pelatihan makan peroral atau stimulasi oral terutama untuk mengurangi rasa hipersensitivitas, stabilitas posisi tubuh dan mengoptimalkan respon motorik dari mekanisme menelan peroral. Beberapa pilihan cara terapi yang digunakan untuk anak dengan gangguan menelan dapat dilihat pada Tabel 3.3.3,8 Tabel 3.3. Contoh terapi yang digunakan pada anak dengan gangguan fungsi menelan 1.

Modifikasi bolus, modifikasi volume, modifikasi bagian-bagian bolus (misalnya konsistensi bolus) 2. Pengaturan posisi kepala, leher, badan selama kegiatan makan minum 3. Penempatan bolus yang sesuai di dalam rongga mulut 4. Mengontrol stabilisasi rahang. 5. Memodifikasi sensitivitas mulut 6. Meniadakan kebiasaan-kebiasan perilaku makan yang abnormal 7. Sensitisasi/ stimulasi panas 8. Latihan-latihan menelan Resistensi lidah / gerakan-gerakan lidah Adduksi laring 9. Mengadakan gerakan-gerakan protektif seperti prosedur menelan supraglotik (supraglottic swallow procedure) 10. Miotomi krikofaringeal 11. Mengisap makanan menggunakan valved feeding bottle 12. Mengusahakan makan pengganti secara oral dengan cara enteral Sonde lambung (nasogastric feeding) Tabung gastrostomi (tube gastrostomy / surgical or endoscopic

Sumber: Arvedson1

1. Pember ian makan melalui pipa (feeding tube)

Untuk tercapainya kemampuan minum peroral yang efektif dan aman pada bayi dan anak disfagia diperlukan pelatihan-pelatihan khusus yang mencakup kemampuan fungsi sensorik dan motorik mulut. Apabila kemampuan memperoleh kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi melalui pelatihan minum/makan peroral, maka pemenuhan kebutuhan nutrisi sementara perlu diberikan melalui jalur lain menggunakan pipa, baik pipa orogastrik (OG), nasogastrik (NG), nasoduodenal (ND), nasojejunal (NJ) dan pipa gastrostomy (GT). Pilihan pemberian makan melalui GT jarang dilakukan kecuali bila pemberian makan melalui OG dan NG memerlukan waktu lama (beberapa minggu). Pipa OG, adalah pipa yang dipasang melalui rongga mulut, faring, esofagus terus ke dalam lambung. Biasanya pemberian minum melalui pipa ini dilakukan pada bayi prematur, dengan keuntungan tidak menghalangi jalan nafas melalui hidung. Pipa harus diganti secara teratur setiap 3-4 hari. Kerugian cara ini menyebabkan palatum mole tidak dapat menutup secara aktif, mengakibatkan tidak cukupnya terbentuk tekanan di dalam rongga mulut yang diperlukan untuk mengisap dan menelan dengan efisien. Komplikasi yang sering ditemukan adalah muntah, refluks esofagus dan waktu pengosongan lambung yang lambat. Pemberian minum melalui OG dan NG pada bayi selain mengganggu aktivitas mengisap dan menelan, dapat menimbulkan iritasi yang tidak menyenangkan. Pemberian minum/makan melalui ND, dilakukan dengan memasang pipa melalui hidung, faring, esofagus, lambung dan duodenum atau terus melalui jejunum (NJ). Cara ini dilakukan bila terjadi refluks esofagus. Pemasangan pipa ND dan NJ dilakukan dengan bantuan fluoroskopi. Keuntungan pemberian makan minum melalui pipa OG, NG, ND atau NJ hanya bersifat sementara dan pemasangannya tidak memerlukan tindakan bedah maupun anastesi. Kerugian utama cara ini menyebabkan tidak adanya efek stimulasi sensorik maupun

motorik terhadap rongga mulut dan menyebabkan iritasi mukosa hidung dan faring bila digunakan dalam jangka lama. Bayi juga akan merasakan gangguan yang tidak mengenakkan karena insersi pipa pada kulit muka maupun disekitar mulutnya. Pemberian makan minum melalui GT hanya dilakukan sebagai pengganti, bila pemberian makan minum melalui OG, NG, ND maupun NJ memerlukan waktu lama lebih dari 3-6 bulan. Keuntungan pemberian minum makan melalui GT adalah daerah yang mengalami perlakuan terpisah jauh dari mulut sehingga bayi masih dapat berlatih menggunakan sensasi dan motorik mulutnya secara menyenangkan.3,8,9

2. Terapi terhadap fungsi struktur anatomi. Beberapa terapi yang ditujukan terhadap perbaikan fungsi rahang, bibir, pipi, lidah dan palatum dapat dilihat dari tabel 3.4.

Tabel 3.4. Terapi motorik mulut dengan masalah struktur otomatis Struktur Rahang

Struktur

Terapi

Daya dorong

Merangsang mulut dengan jari atau dengan mainan, penyikatan gigi, meletakkan objek yang lembut diantara gigi.

Mencengkeram

Tarikan dalam

ke

Bibir

Tidurkan dengan posisi telungkup, melakukan tarikan di bawah rahang ke arah depan. Latihan menutup rahang.

Tidak stabil Refleks menggigit kaku

Merangsang mulut dengan mainan agar membuka secara berangsur-angsur, stimulasi yang menyenangkan pada muka.

Berikan tekanan pada sendi temporomandibular, stimulasi sensoris, menaruh sendok yang dibalut kasa di antara gigi. yang

Tarikan dalam

ke

Memberikan getaran dengan ketokan jari pada pipi dan lidah, latihan mengontrol rahang.

Gerakan atas terbatas

bibir yang

Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur, melakukan tepukan dan ketokan jari, berikan minuman pakai sedotan.

Pipi

Tonus sensoris kurang

dan yang

Ketokan dan tepukan pada sendi temporomandibular, berikan makanan dalam berbagai tekstur dan temperatur.

Lidah

Daya dorong

Kontrol rahang, latihan membersihkan cairan yang dikentalkan pada bibir, menempatkan makanan disamping gusi, latihan-latihan gerakan lidah ke lateral. Menaruh sendok di tengah-tengah lidah dan menekannya ke

bawah. Tarikan dalam

ke

Tidurkan dengan posisi telungkup, mengetok lidah dari belakang ke arah depan, mendorong dagu ke posisinya waktu berdiri tegak, tepukan di bawah dagu arah ke atas. Berikan makanan dalam berbagai tekstur dan rasa untuk meningkatkan input sensoris.

Hipotoni

Berikan makanan yang jumlahnya dinaikkan sedikit demi sedikit. Mempertahankan posisi kepala tetap di garis tengah, stimulasi bagian lidah yang kurang aktif dengan jari, atau dengan mainan, sikat gigi.

Penyimpangan

Berikan makanan dalam berbagai tekstur, temperatur dan rasa, memberikan getaran pada lidah. Gerakan terbatas Palatum

Refluks nasofaring

Lakukan posisi tegak atau posisi telungkup, mengaktifkan fungsi pipi dan lidah, berikan cairan yang dikentalkan (jika menelannya normal).

Sumber: Arvedson1

3. Stimulasi mengisap dengan menggunakan bahan nonnutritive Istilah nonnutritive sucking adalah semua yang mencakup pengisapan atau mengisap berbagai obyek seperti dot, jari atau mainan. Hal ini berbeda dengan nutritive sucking yaitu mengisap puting yang mengandung cairan (liquid), baik puting susu ibu maupun bentuk puting yang lain. Gerakan-gerakan ritmik yang terjadi pada mulut bayi saat melakukan nonnutritive sucking menunjukkan adanya kemampuan (skill) kesiapan minum peroral. Kemampuan nonnutritive sucking ini dapat digunakan sebagai salah satu cara stimulasi untuk melatih fungsi sensorik dan motorik mulut yang dapat dilakukan dalam berbagai cara sesuai dengan jenis gangguan yang terjadi (Tabel 3.5). Para orang tua maupun pengasuh dapat melaksanakan kegiatan stimulasi ini melalui pelatihan-pelatihan yang telah diberikan oleh para spesialis.3,8

Tabel 3.5. Beberapa cara stimulasi nonnutritive Teknik

Kapan dilakukan

Bagaimana melakukannya

Usapan pada muka

Hipersensitif mulut

Menggunakan telapak tangan atau jari ritmik dari pinggir ke arah mulut dengan kuat tetapi lemah lembut.

Mengusap lidah

Bayi

Meletakkan ujung jari di tengah lidah dan usapkan ke depan

irama

mengisapnya

kurang

dengan tekanan 4-6 kali tiap 1-2 usapan per detik.

Dot atau jari

Bayi daya isap lemah, tidak ada koordinasi, tidak ada keinginan mengisap, kurangnya tonus pipi.

Dot atau jari ditempatkan dalam mulut dan pengasuh harus mempertahankannya bila bayi mendorongnya keluar.

Cotton swab dicelupkan ke dalam air, susu formula atau air susu ibu

Bayi koordinasi mengisap dan menelannya kurang, sekuensial pernafasannya tidak aman waktu minum.

Swab ditempatkan di tengah lidah dengan tekanan ke bawah sampai mengeluarkan sedikit cairan dan diusapkan. Diulangi sampai ditolerir dengan baik dan menyenangkan.

Mengurangi sensoris

Kurangnya kemampuan integrasi sensasi-sensasi

Mengurangi suara-suara gaduh, derajat cahaya, bergoyang sambil berjalan dengan irama tepukan, mengikuti irama musik.

stimulasi

Sumber: Arvedson1

4. Terapi disfagia dengan tindakan bedah Bila memungkinkan terapi ditujukan kepada penyakit primer yang mendasari timbulnya disfagia, misalnya kelainan struktur esofagus dapat dilakukan tindakan dilatasi atau operasi, gangguan neuromuskular karena tumor otak dilakukan operasi tumornya, dan gangguan motilitas esofagus dapat dilakukan tindakan miotomi. Adakalanya tindakan bedah dapat juga dilakukan pada gangguan menelan fase esofageal akibat refluks gastroesofageal berat yang tidak bisa dikontrol dengan terapi konservatif.3

5. Terapi farmakologis Beberapa kelainan yang menyebabkan disfagia dapat diterapi dengan menggunakan obatobatan (Pharmacologic treatment), misalnya disfagia yang disebabkan oleh penyakit tetanus, polimiositis, hipertiroid, miastenia gravis dan lain-lain. Disfagia oleh karena gangguan motilitas esofagus atau refluks esofagus dapat diberi obat-obat prokinetik seperti motilin, cisapride, bethanecol, dan methoclopramide. Bila penyakit primernya infeksi maka diberikan antibiotika yang sesuai.11,12

Prognosis Prognosis tergantung dari penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya disfagia. Berat ringannya penyakit serta kemampuan serta pengalaman tim pelaksana terapi sangat menentukan keberhasilan terapi.

Pecegahan Belum ditemukan cara untuk mencegah terjadinya keluhan disfagia. Usaha pencegahan ditujukan terhadap penyakit primernya yang menyebabkan gangguan neurologis yang selanjutnya menyebabkan pula gangguan fungsi makan dan minum.

Daftar Pustaka 1.

2.

3. 4.

5. 6.

7. 8. 9. 10. 11.

Brodsky L, Arvedson J. Introduction: Rationale for Interdisiplinary Care. Dalam Arvedson and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publishers. 1993: 1-4. Rogers B, Campbell J. Pediatric and Neurodevelopmental Evaluation. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 53-91. Orenstein SR. Dysphagia and Vomiting. Dalam Wyllie R, Hyams JS. penyunting, Pediatric Gastrointestinal Disiase. Pathophysiology, Diagnosis, Management, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 135-150. Tuchman DN. Disorders of Deglutition. Dalam Walker WA, Durie DR, Hamilton JR,Walker Smith JA. Watkins WA, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Patho Physiology-Diagnosis-Management, Toronto, BC Decker Inc. 1991: 359-366. Rossi T. Pediatric Gastroenterology. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, SanDiego, California, Whur Publisher. 1993: 123-156. Arvedson J, Rogers B, Brodsky L. Anatomy, Embryology and Physiology. Dalam: Arvedson and Brodsky, penyunting. Pediatric Swallowing and Feeding Assesment and Management, San Diego, California, Whurr Publisher. 1993: 5-51. Brodsky L, Volk M. The Airway and Swallowing. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding. Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 93-122. Arvedson J. Management of Swallowing Problem. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 327-387. Young C. Nutrition. Dalam Avedson and Brodsky, penyunting. Pediatric and Swallowing and Feeding, Assesment and Management, San Diego, California, Whur Publisher. 1993: 157-208. Dorsey III JT. Prokinetic Agents. Dalam Van Ness MM, Gurney MS, Jones DM, penyunting. Handbook of Gastrointestinal Drug Therapy, 2nd Edit, London, Little Brown and Company. 1995: 319-327. Patel AR, Snape WJ. Prokinetic Agents and Antiemetics. Dalam Wolfe MM, penyunting. Gastrointestinal Pharmacotherapy, Tokyo, W.B. Saunder Company. 1993: 1-24.

BAB IV ANOREKSIA PADA ANAK I. Sudigbia

Ilustrasi Kasus Anak laki-laki berusia 2 tahun dibawa neneknya ke poliklinik karena tidak mau makan, lemah, kurus dan tidak bergairah. Neneknya mengatakan bahwa ibunya bekerja terus seharian dan sering memarahi anak. Ayah si anak merupakan direktur perusahaan yang jarang ketemu dengan anak. Ayah dan ibu anak ini sering bertengkar.

Pendahuluan Masalah kesehatan anak di negara berkembang termasuk Indonesia diantaranya terjadi karena interaksi antara infeksi, diare dan gizi. Pada umumnya penyakit infeksi dan diare merupakan penyakit anak yang selalu diikuti gangguan pertumbuhan, sehingga keduanya selalu membuka peluang timbulnya malnutrisi. Penyakit infeksi pada umumnya menyebabkan berkurangnya masukan nutrien baik karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan (anoreksia), sedangkan keluaran bertambah karena timbulnya demam dan atau pemakaian tenaga karena batuk dan atau/sesak nafas yang menyebabkan meningkatnya katabolisme, sehingga menyebabkan penurunan berat badan. Sedangkan pada diare masukan berkurang karena: (1) turunnya nafsu makan yang disebabkan oleh karena turunnya sekresi asam lambung, (2) mual karena peristaltik usus yang berlebihan, dan (3) berkurangnya asupan makanan karena turunnya jumlah air susu ibu serta persepsi ibu yang ketakutan untuk memberikan makanan kepada anaknya yang masih dalam keadaan diare. Disamping itu jumlah keluaran pada penyakit diare masih meningkat dengan timbulnya penghamburan gizi karena gangguan digesti dan absorbsi. Melihat tinjauan diatas, hal tersebut merupakan kejadian yang dilematis karena kedua penyakit tersebut berdampak pada peningkatan katabolisme, tetapi masukan makanan malah turun karena muntah, mual dan turunnya nafsu makan. Turunnya nafsu makan pada kejadian di atas merupakan masalah yang sangat kompleks karena sangat dipengaruhi oleh interaksi antara kondisi penderita, makanan dan pengasuh yang memberikan makanan, lebih-lebih pada bayi dan balita.1,2,3

Definisi Untuk menegakkan definisi anoreksia pada dasarnya adalah sulit. Umumnya anoreksia diartikan sebagai turunnya atau hilangnya nafsu makan serta tidak tertarik akan makanan untuk menyantapnya. Istilah pseudoanoreksia sering dipergunakan pada manusia atau binatang sebagai kesulitan makan karena tidak mampu untuk mengunyah dan/atau menelan daripada tidak tertarik untuk menyantapnya. Sementara para ahli berpendapat bahwa anoreksia pada bayi adalah hilangnya kemauan untuk makan, jumlah masukan makanan menjadi sangat kurang dan berada di bawah kecukupan gizi, sehingga disertai dengan penurunan berat badan yang bermakna setidaknya-setidaknya dalam waktu satu bulan. Sedangkan menurut Alice Lawrence (2003) gangguan makan pada bayi dan anak sering diikuti gagal tumbuh sehingga anoreksia infantil merupakan gangguan berisiko tinggi. Batasan anoreksia infantil yang diajukannya adalah: 1. Penurunan berat badan yang nyata setidaknya dalam waktu satu bulan 2. Tidak disebabkan gangguan gastrointestinal, obat ataupun kekurangan makanan 3. Timbulnya sebelum umur 6 tahun Apatis atau nafsu makan merupakan komponen sentral dalam kebijakan tentang jumlah dan waktu pemberian makanan bayi. Apatis adalah perasaan sedikit lapar (mild hunger) dalam memilih macam makanan. Lapar sering dihubungkan dengan konsep fisiologis, apatis dihubungkan dengan kultur, sedangkan anoreksia diartikan dengan kehilangan apatis. Manusia merupakan makhluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga latar belakang anoreksia pada manusia sangat kompleks baik secara fisik sebagai penyakit infeksi dan noninfeksi serta aspek psikoemosional dan sosiobudaya sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Pada anak dewasa timbulnya perasaan obsesif untuk menjadi kurus dan kebiasaan membatasi jumlah makan untuk menurunkan berat badan menambah komplisitas timbulnya anoreksia kronika serta anoreksia nervosa dan jenis-jenis lain kesulitan makan pada anak.1,2,4

Patomekanisme Makanan mencerminkan interaksi biologis dan budaya yang berpengaruh positif pada angka kesakitan dan kematian anak. Perubahan makanan cair ke makanan padat pada bayi merupakan fase perkembangan bayi dalam perubahan kematangan sosial dan kultural, bayi harus belajar mengunyah, menelan, dan mencerna berbagai makanan berdasar kultur daerahnya. Sehingga gangguan pertumbuhan dan kekacauan kebiasaan makan sering memberikan dampak yang serius. Lapar ádalah rasa keinginan (intrinsic desire) untuk makan, apatis ádalah keinginan untuk makan sesuatu macam makanan tertentu, sedangkan kepuasan (satiety) atau kenyang ádalah rasa penuh atau terpenuhinya keinginan makan. Apabila beberapa jam tidak makan, lambung yang sedang dalam kondisi kosong akan mengalami kontraksi ritmik dan keras yang terasa kencang serta sakit perut, disebut “suara lapar” atau “kerongcongan” atau hunger pangs.3,4 Apatis sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran, anak akan mau menerima makanan yang biasa diberikan kepadanya, tetapi kadang-kadang akan menolak bila

makanan yang diberikan tidak seperti biasanya, karena terjadi penggantian macam, bentuk, tekstur atau cita rasa makanan secara mendadak. Kondisi perut yang penuh, misalnya dalam 12 jam terakhir berkali-kali makan akan menurunkan apatis. Kadar gula dan asam amino darah serta suhu badan akan berpengaruh pada perasaan lapar, kepuasan dan apatis. Sedangkan perasaan lapar yang berkepanjangan akan menimbulkan kondisi apatis terhadap apatis.1,2,4 Timbulnya anoreksia pada umumnya sangat berhubungan dengan faktor-faktor biopsikososiokultural spiritual. Faktor penyakit sistemik biologis baik sebagai infeksi, noninfeksi dan penyakit keganasan sebagai faktor yang sering melandasi timbulnya anoreksia. Tetapi faktor psikoemosional dan budaya yang berinteraksi dengan lingkungan sangatlah berpengaruh pula. Nafsu makan pada umumnya dikontrol oleh pusat kepuasan yang terletak di hipotalamus medius dan pusat lapar di hipotalamus laterales. Hipotalamus juga mengontrol pusat di bawahnya, terletak di batang otak yang bertanggung jawab untuk salivasi, pengunyahan dan penelanan. Sedangkan pusat di atas hipotalamus bertanggung jawab terhadap apatis. Mekanisme untuk menentukan macam makanan dituntun oleh memori, penglihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan. Sementara itu para ahli juga berpendapat bahwa pusat nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, humoral, baik dalam jaringan otak maupun jaringan lainnya. Faktor neurologis nafsu makan dan perasaan lapar juga timbul karena pengaruh faktor gaster, distensi usus, hormon enterik (insulin dan kolesistokinin), metabolit di hepar (sisa oksidasi energi dari sejumlah jaringan adiposa), pengalaman citarasa dan tekstur makanan.2,4,5 Nakai (1999) mengutarakan bahwa anoreksia dengan penurunan berat badan yang sering menyertai kejadian infeksi mempunyai mekanisme yang belum jelas. Beberapa sitokin termasuk TNF, IL-1, IL-6, IL-8 dan IFN-∂ telah terbukti mempengaruhi timbulnya anoreksia dan kakeksia. Sitokin yang dilepaskan sebagai rekasi terhadap kejadian infeksi/ inflamasi akan berpengaruh secara langsung pada otak sehingga menimbulkan anoreksia. Beberapa hormon mempengaruhi pengaturan nafsu makan, diantaranya adalah corticotropin releasing hormone, kolesistokinin, prostaglandin, glukagon, insulin dan kortikosteroid. Leptin (produk gen) yang terjadi pada proses penumpukan lemak pada jaringan akan memberikan sinyal pada otak melalui neurotransmiter pada hipotalamus akan terjadinya kecukupan masukan kalori sebagai rasa kepuasan.5

Diagnosis Diferensial Karena luasnya keterkaitan kejadian anoreksia, maka banyak ahli membahas bukan anoreksia saja tetapi melalui pendekatan gangguan makan pada anak. Di Amerika Serikat, sebelum diterbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders 4th edit. (DSM IV) American Psychiatric Association (1994), diagnosis gangguan makan pada anak belum pasti dan banyak penulis menyebutkan berbagai macam diagnosis, diantaranya: food refusal, food aversion, food phobia dan problem eaters dan lain-lain. Bagaimanapun juga istilah tersebut tidak mampu untuk membedakan bermacam kelainan gangguan makan pada anak. Kelainan makan pada anak makin bertambah berat dengan timbulnya istilah gagal tumbuh (failure to thrive = FTT) pada anak berumur di bawah 3 tahun yang mengalami kenaikan berat

badan tidak adekuat. Gagal tumbuh dan gangguan makan pada anak sering dianggap sinonim dan tidak selamanya kelainan makan pada anak menyebabkan FTT atau sebaliknya FTT karena kelainan makan. FTT hanya merupakan diagnosis morfologis dan tidak mendeskripsikan tentang proses terjadinya. Diagnosis gangguan makan pada anak menurut proses kejadiannya: (1) organic FTT (FTT) dan (2) nonorganic FTT (NOFTT), dimana NOFTT adalah gagal tumbuh tanpa etiologi medik dan diperkirakan bahwa NOFTT tersebut disebabkan oleh maternal deprivation (kehilangan perhatian ibu).4,7 Blackman (1993) mengetengahkan mekanisme timbulnya gangguan makan pada bayi dapat disebabkan karena adanya faktor-faktor: (1) ketakutan, (2) anoreksia, (3) perkembangan, (4) obstruksi, dan (5) kesakitan.4 Alice Lawrence (2003) membagi mekanisme gangguan makan berdasarkan penemuan Chatoor (1984) sebagai gangguan makan pada bayi dan anak (toodler) yang mengalami kenaikan berat badan tidak adekuat selama satu bulan serta bukan disebabkan kelainan organik dan timbul sebelum umur 6 tahun. Pembagian tersebut adalah: (1) gangguan makan homeostasis (feeding disoder of homeostasis), (2) gangguan makan karena kasih sayang (feeding disorder of attachment) dan (3) gangguan makan karena perpisahan (feeding disorder of separation) atau anoreksia infantil (infantil anorexia). Ketiga macam gangguan makan tersebut dipilah dengan pendekatan tinjauan terhadap interaksi anak dan ibu.2,7 1. Gangguan makan homeostasis: a. Timbulnya pada waktu lahir sampai berumur 3 bulan b. Masukan sedikit dan pola makan tidak teratur c. Waktu makan bayi rewel, mudah capai dan mengantuk d. Gagal tumbuh e. Orang tua ketakutan, depresif serta kurang peka terhadap isyarat bayi 2. Gangguan makan karena kasih sayang: a. Timbulnya antara umur 2 – 8 bulan b. Respons bayi terlambat, kontak mata, senyum, dan lambat mengoceh c. Perkembangan motorik dan kognitif terlambat d. Gagal tumbuh e. Orang tua biasanya menderita depresi, gangguan kepribadian dan psikososial stres sehingga dalam perawatan makan anak terganggu dan tampak kurang kasih sayang. 3. Anoreksia infantil Anoreksia infantil sebagai gangguan makan karena pemisahan atau separasi yang ditandai dengan penolakan makan oleh bayi karena konflik berat antara hubungan ibu dengan anak tentang otonomi, ketergantungan dan pengawasan. Keadaan tersebut muncul setelah anak mampu mengatur dirinya dan membentuk ikatan dengan pengasuh utamanya. a. Timbulnya pada umur 6 bulan – 3 tahun, pada periode perubahan ke tahap kemampuan untuk makan sendiri. b. Penolakan makan oleh bayi, baik karena pergantian macam makanan atau pergantian pengasuh. c. Gagal tumbuh.

d. Perkembangan pada umumnya normal, kecuali pada kasus malnutrisi berat terjadi keterlambatan motorik dan bicara. e. Ibu merasa bahwa nafsu makan (apatis) anaknya rendah, rewel dan selalu minta perhatian serta selalu menolak keinginan ibu. Sedangkan ibu selalu memaksa anaknya untuk makan walaupun dengan disertai memberikan mainan. Penolakan makan tadi tidak disebabkan oleh traumatik fisik ataupun kelainan organik, tetapi hubungan ibu dan anak cenderung kurang lentur karena ibu selalu memaksakan kehendaknya yang disertai marah dan kurang mengikuti keinginan anak. Nampaknya anak dengan anoreksia infantil mengalami kesulitan dalam perkembangan pada tahap periode perpisahan dan otonomi sehingga kemudian akan tumbuh dengan temperamen yang mungkin menyulitkan. 4. Anoreksia nervosa8,9 Anoreksia nervosa adalah kelainan makan yang ditandai dengan keinginan obsesif untuk tetap kurus, sama sekali tidak menghiraukan kebiasaan makan dan penurunan berat badan dan mempunyai dampak yang kuat terhadap perubahan psikologis dan fisiologis. Anoreksia nervosa adalah penyakit yang akan mempengaruhi seluruh sistem organ, terutama kardiovaskular dan sistem endokrin. Anoreksia nervosa sering diikuti oleh komplikasi organ diantaranya adalah pencernaan, ginjal, reproduksi, neurologis, orofasial. Pada umumnya banyak diderita oleh gadis, sex ratio laki-laki : perempuan adalah 1:10, umur tidak terbatas yang dimulai sejak dewasa (adolescent). Riwayat penyakit sangatlah penting untuk keberhasilan rencana pengobatan dan bukan untuk menelaah kelainan makan saja. Aspekaspek penting adalah assesemen medik, yang berfokus pada komplikasi kekurangan nutrisi dan detail mengenai penurunan berat badan. Gejala klinis : a. b. c. d. e. f.

Gejala vital: hipotensi, bradikardi, hipotermia Kulit kering, hiperkarotin, lanugo, akrosianosis Buah dada menyusut Kelenjar paratiroid dan kelenjar submandibular membengkak Keluaran kardiak (komplek QT) memanjang, masa ventrikular berkurang, katup mitral kolaps (Echo) Gejala dilatasi usus sebagai kostipasi dan berkurangnya motilitas usus

Gejala kesehatan mental: Inti dalam penyusunan diagnosis kesehatan mental adalah mencari adanya kelainan emosional dan sikap, penilaian resiko terjadinya bunuh diri, serta menggali konteks psikososial dari gejala-gejala. Penyebab anoreksia nervosa adalah kompleks, meliputi isu biologis, psikologis dan sosial dan lebih ke arah kelainan mental daripada kelainan perkembangan. Sehingga dalam menelaah penyebabnya dapat dikelompokan dalam faktor-faktor predisposing, precipitating dan perpetuating.

a. Predisposing factor (faktor yang memudahkan timbulnya): gadis, risalah dari keluarga dengan personalitas perspektif, gangguan komunikasi dengan emosi negatif, kesulitan memecahkan masalah dan empati yang rendah. b. Precipitating factor (faktor yang sering berhubungan): gadis berumur 10 – 18 tahun dengan gangguan seksualitas, konflik identitas, masalah otonomi kebebasan dan masalah perjodohan dan perkawinan.. c. Perpetuating factor (faktor rumatan): isu emosio-biologis pada fase pemberian makanan pada keadaan malnutrisi atau isu psikologis pendekatan sistem dalam keluarga. Maka secara singkat, diagnosis diferensial anoreksia sebaiknya melalui pendekatan gangguan makan pada anak atau turunnya apatis, sebagai berikut: 1. Kelainan organik a. Penyakit infeksi: i. Sistemik: tifus, proses spesifik ii. Organik: hepatitis, enteritis, tukak lambung b. Non-infeksi : karies, aphtoe, lingua geographica, vertigo 2. Kelainan metabolik: bilirubinemia, uremia, anemia dan rendahnya kadar besi serum 3. Keganasan: lokal maupun sistemik 4. Hubungan anak-ibu (maternal deprivasion) a. Anoreksia homeostasis b. Anoreksia karena kurangnya kasih saying (attachment) c. Anoreksia infantil (infantile anoreksia) 5. Anoreksia nervosa

Penatalaksanaan Anoreksia Anak Penatalaksanaan anoreksia anak lebih mementingkan keberhasilan dalam meningkatkan nafsu makan anak daripada secara teliti mencari penyebabnya.10 Pemeriksaan, baik secara klinis maupun psikologis, selain menentukan penyebab yang multi kompleks juga memeriksa akibat dari anoreksia yang telah berlanjut itu.11, 12 Tahapan penatalaksanaan adalah: 1. Umur (bayi, toodler, anak sekolah, dewasa muda atau dewasa) 2. Hubungan antara anak, orang tua atau pengasuh, dan makanan. 3. Pada anoreksia anak, sangat mutlak untuk melihat hubungan anak dan makanan, baik fisik makanan sebagai macam, citarasa, bentuk dan rupa, juga waktu dan cara penyajian sangatlah penting. Dari pemeriksaan secara klinis dan laboratoris serta penunjang dapat ditelusuri faktor penyebab anoreksia yang kompleks tersebut serta komplikasinya. Pemeriksaan psikologis, psikiatris serta pendekatan sistemik (systemic approach) ibu, bapak, pengasuh dan lingkungan keluarga mutlak dilakukan. 4. Pemeriksaan fisik, laboratoris dan penunjang diperlukan untuk menentukan faktor penyebab, akibat ataupun komplikasi yang terjadi.

Ringkasan

Anoreksia pada umumnya diartikan sebagai berkurangnya nafsu makan (apatis), dan nafsu makan tersebut sebetulnya adalah suatu faktor pengalaman atau pembelajaran yang dikontrol oleh pusat lapar di hipotalamus lateralis dan pusat kepuasan di hipotalamus medialis. Pusat di hipotalamus tadi mengontrol pusat di atasnya yang bertanggung jawab terhadap pusat salivasi, pengunyahan dan penelanan. Disamping itu nafsu makan juga dipengaruhi oleh gabungan faktor-faktor neurologis, metabolik, dan hormonal, diantaranya adalah sitokin, termasuk THF, IL-1, IL-6, IL-8 dan INF-∂. Nafsu makan yang berkurang atau anoreksia sangat dipengaruhi oleh sifat manusia sebagai mahkluk biopsikososiokultural spiritual, sehingga untuk menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya selayaknya melalui pendekatan tersebut. Secara praktis telaah anoreksia dilakukan melalui pendekatan gangguan makan sebagai: 1. Kelainan organik: penyakit infeksi dan non infeksi. 2. Kelainan nonorganik sebagai metabolik, keganasan, dan gangguan psikoemosional sebagai hasil interaksi antara anak dengan orang tua atau pengasuh. Faktor tersebut akan berpengaruh pada perkembangan anak, baik pada periode penyapihan maupun remaja. Penatalaksanaan anoreksia secara umum harus sangat terkait dengan analisis faktor tersebut diatas, diperdalam dengan pemeriksaan yang detil sehingga dapat memberikan tindakan yang menyeluruh.4,6,11

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12.

Abraham S, Jones D. Eating Disorders, The Facts. Oxford University Press. 1992: 47-57. Blackman. Children Who Refuse Food. Comtamporary Pediatric Archive. October. 1993. Chatoor I. Non-organic failure to thrive: A developmental Perspective Pediatric Annals. 1984: 13: 829-834. Harrington DP. Anorexia. http://www.vetmedcenter.com. 2000. Kerwin MLE. Empirically Supported Treatment in Pediatric Psychology. Journal of Pediatric Psychology. 1999; 24(3): 193-214. Kleinman RE. Pediatric Nutrition Handbook. Amer Acad of Ped. 1998: 328–329. Lawrence A. Feeding Disorders of Infant and Toodlers in The Child Advocate. Penn State College of Medicine. 2004. Limburt JDA. Eating Disorders: Anorexia. http://www.eMedicine-Eating Disorders.com. 2003. Maloney MJ. Treament Sequence for Severe Weight loss in anorexia nervosa. Int Journal of Eating Disorders. 1983; 2(2): 53-58. Nakai Y. Plasma Concentrations of Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-alpha) and Soluble TNF Receptors in Patients with Anorexia Nervosa. J Clin Endocrinol Meta. 1999; 84(4): 1226-1228. Robin AL. Treatment of Eating Disorders in Children and Adolescents. Clinical Psychology Review. 1998; 18(4): 421-446. Stoppler, Melissa Conrad. Anorexia Nervosa. www.Medicinenet.com. August 2, 2009.

BAB V GAGAL TUMBUH PADA PENYAKIT GASTROINTESTINAL Rusdi Ismail

Ilustrasi kasus Seorang anak perempuan berkonsultasi pertama kali pada usia 6 bulan. Sejak bayi menderita batuk hilang timbul 2-3 kali sebulan, kadang-kadang nafas berbunyi, terutama di malam hari. Berat badan lahir 3300 g (>persentil 50 standar NCHS), panjang badan 51 cm (>persentil 50). Berat badan sulit sekali naiknya. Saat pemeriksaan awal berat badan hanya 4100 g (< persentil 3), panjang badan 66 cm (pada persentil 25), lingkar kepala 43 cm (>persentil 25). Anak belum bisa tengkurap. Dari lahir diberi ASI, tetapi karena berat badan tidak naik, dibantu susu botol sejak usia 3 bulan. Kadang-kadang anak mengalami gumo. Tidak ada manifestasi atopik lain pada anak. Riwayat reaksi atopik pada ibu dan ayah juga negatif. Berdasarkan observasi refluks sehabis minum, ditegakkan diagnosa klinis: anak menderita batuk berulang yang dipresipitasi refluks gastro-esofageal. Dengan terapi obat prokinetik, pengaturan posisi dan nasihat makanan, pada usia 12 bulan berat badan naik menjadi 8900 g (>persentil 10), panjang badan 74 cm (>persentil 25), lingkar kepala 46 cm (pada persentil 25), dengan berat badan untuk tinggi > persentil 25) dan anak telah kuat merangkak.

Pendahuluan Tumbuh kembang merupakan proses penumbuhan (dimensi fisik) dan pengembangan (dimensi fungsi) potensi genetik menjadi potensi dewasa. Ada tiga kelompok faktor penentu keberhasilan: (1) kecukupan dan keselarasan pasokan nutrien, sebagai bahan baku dan bahan bakar, (2) stimulasi dan interaksi fisik dan psikososial sebagai pemicu dan pemacu spektrum dan arah tumbuh kembang, (3) penyakit yang dapat mengganggu dan merusak struktur dan fungsi, baik secara temporer maupun permanen. Gangguan pada kedua faktor penentu pertama dan dampak buruk faktor penentu ketiga dapat memperlambat atau menghambat proses tumbuh kembang. Jika intensitasnya telah mencapai kriteria tertentu, dinamakan anak menderita gagal tumbuh (GT). Pengaruh ketiga faktor ini lazimnya saling terkait. Misalnya kecukupan gizi mempengaruhi prevalensi penyakit; tingkat rasa aman dan stabilitas emosi mempengaruhi nafsu dan kapasitas makan; dan penyakit tertentu dapat mengubah pola perilaku anak. Dapat dimengerti bahwa penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan GT. Di lain pihak setiap GT, apapun penyebabnya, dapat menimbulkan kelainan struktur dan fungsi saluran pencernaan. Lebih dari itu rehabilitasi gizi lazimnya merupakan pintu masuk dalam

menanggulangi GT. Sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh GT memiliki dimensi gastroenterologi.1,2,3

Definisi GT adalah terhenti atau melambatnya pertumbuhan dan perkembangan secara signifikan. Ada tiga pengertian dalam bahasa Inggris yang bermanfaat untuk dipahami terkait dengan GT (failure to thrive): (1) wasting (diterjemahkan menjadi "kerempeng") mengacu pada keadaan sewaktu, (2) stunting (diterjemahkan menjadi "kerdil") mengacu pada hasil akhir, (3) catching up (diterjemahkan menjadi "kejar tumbuh") mengacu pada pencapaian upaya rehabilitasi. Kaitan ketiga pengertian ini tercermin dalam keadaan berikut: saat GT terjadi anak dapat terlihat "kerempeng". Meski kecepatan tumbuh kembang dapat dipacu kembali menjadi normal, jika "kejar tumbuh" tidak terjadi, anak akan tumbuh menjadi manusia dewasa yang potensinya lebih rendah dari potensi genetiknya dan dalam keadaan ekstrim dapat dikelompokkan sebagai "kerdil". Batasan operasional GT adalah nilai indikator tumbuh kembang yang dipakai berada dalam persentil ketiga atau menurun lebih dari satu kuartil berturut-turut selama dua bulan pada anak usia kurang dari 6 bulan dan tiga bulan pada anak berusia 6 bulan keatas.1,2,3

Kejadian Data kejadian GT, khususnya di Indonesia, sangat terbatas. Kompilasi data yang dilakukan tim WHO menunjukkan bahwa di negara berkembang sekitar 10-80% anak usia 3 tahun dapat dikategorikan kerdil, sedangkan di negara maju hanya di bawah 3% (tabel 10.1).

Tabel 5.1. Prevalensi stunting pada usia 3 tahun Negara

Tahun

Persentase

Etiopia

1982

42

Zambia

1972

44

Nigeria

1980

28

Bolivia

1981

60

Peru

1985

52

Jamaika

1970

9

Bangladesh

1983

79

Indonesia

1977

79

Mesir

1978

37

Pakistan

1984

14

Palestina

1984

17

Filipina

1982

43

1970

57

Papua Guinea

New

Sumber: WHO4

Sebagian besar anak yang kerdil ini nantinya setelah dewasa tidak kelihatan sakit. Ada yang memakai istilah small but healthy. Beberapa studi memperlihatkan disamping lebih pendek, anak yang kerdil kemampuan fisiknya lebih rendah, IQ rata-ratanya lebih rendah, serta kemampuan imunitasnya terbatas. Kinerja mereka juga lebih rendah. Angka kematian mereka jauh lebih tinggi. Jelas bahwa pencapaian potensi dewasa mereka tidak sesuai dengan potensi genetiknya. Satyanarayana dari India menyimpulkan telah terjadi suatu adaptasi biologis sehingga mereka tetap kelihatan sehat tetapi semuanya bergerak dalam skala yang lebih rendah.4,5 Data pada tabel 10.1 menunjukkan 79% anak Indonesia pada usia 3 tahun pada tahun 1977 dikategorikan kerdil. Prosentase ini mungkin terlalu tinggi, antara lain karena standar yang dipakai berdasar data NCHS, yang mungkin terlalu tinggi untuk anak Indonesia. Bagaimanapun kita yakin permasalahan yang dihadapi dunia berkembang sebagaimana diuraikan di atas kita temukan pula di Indonesia. Data dari beberapa negara (gambar 5-1) menunjukkan terdapatnya perbedaan tinggi sekitar 10 cm pada anak usia 7 tahun antara anak dari keluarga mampu dan keluarga miskin. Pada awal milenium ketiga ini sekitar 20% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.5

Gambar 5.1. Tinggi rata-rata anak usia 7 tahun golongan sosial ekonomi tinggi() dan rendah() Brazil

Kostarika Guatemala Haiti

Jamaika Nigeria

India Hongkong

cm 123 50 - persentil 122

119 25 117

115 10 113 5 111

109

Etiologi GT hanyalah kumpulan gejala. Spektrum penyebabnya sangat luas dan saling berinteraksi. Lazimnya dikelompokkan menjadi dua, kelompok non-organik dan kelompok organik. Kelompok non-organik umumnya muncul berupa penyimpangan pola asuh dan/atau interaksi ibu dan anak yang bermuara pada kurangnya pasokan gizi dan penyimpangan stimulasi fisik dan psikososial. Berbagai kelainan pada semua organ dan sistem dapat menimbulkan GT (kelompok penyebab organik), termasuk kelainan gastrointestinal. Untuk membantu sistematika pendekatan diagnostik, kelainan gastrointestinal dapat dipilah mejadi: 1. Kelainan organik atau fungsional yang mengganggu fungsi motorik saluran pencernaan, yang mengakibatkan gangguan pasase makanan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua tingkatan saluran pencernaan, mulai dari palato-gnato skhisis, striktura esofagus, khalasia/akhalasia, refluks, pseudoobstruksi, penyakit Hirsprung, termasuk sindroma usus iritabel dan lain sebagainya. 2. Kelainan organik/fungsional yang menimbulkan gangguan fungsi sekresi dan digesti. Lazimnya berupa kelainan kongenital atau berupa gangguan metabolisme bawaan lahir. Misalnya akhlorhidria, gangguan glikosilasi kongenital, hipobetalipoproteinemia kongenital, dan lain sebagainya. 3. Inflamasi non-infektif dan infeksi spesifik saluran pencernaan. Termasuk penyakit Crohn, penyakit inflamasi kolon, serta infeksi Helicobacter pylori. 4. Lingkaran setan kompleks diare-MEP (malnutrisi energi protein)-infeksi. Di negara maju sebagian besar GT disebabkan kelainan non-organik. Di negara berkembang sebagian besar GT disebabkan oleh kompleks diare-MEP-infeksi. Jauh lebih tingginya kejadian GT/kerdil di negara berkembang, disamping disebabkan besarnya peranan kompleks diareMEP-infeksi, juga disebabkan terlambat dan kurang adekuatnya penanggulangan penyakit organik, misalnya terlambatnya tindakan koreksi pada kelainan jantung bawaan.1,3,6

Patogenesis Baik pada kelainan non-organik maupun pada kelainan organik, kurangnya pasokan gizi dibandingkan dengan kebutuhan merupakan mekanisme utama munculnya GT. Terdapat interaksi timbal balik antara hubungan ibu dan anak. Ibu harus reseptif dan responsif terhadap berbagai bentuk komunikasi anak (tawa, tangis, mimik, celotehan, dsb), termasuk ungkapan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis anak yang mencakup kebutuhan akan makanan, tidur, lingkungan yang higienis dan hangat, proteksi terhadap rasa sakit, trauma dan penyakit. Ibu juga harus reseptif dan responsif dalam berinteraksi secara psikis dan emosional dengan anak agar anak senang dan puas. Kegagalan interaksi ini dapat dalam bentuk kuantitas, sehingga kebutuhan fisiologis dan atau psikologis anak tidak terpenuhi. Dalam kondisi yang ekstrim dinamakan terjadi deprivasi pada anak. Tetapi kegagalan juga dapat terjadi pada ketidakserasian pola kepribadian/perilaku anak dengan perilaku/ekspektasi ibu. Kegagalan interaksi ini dapat menimbulkan anoreksia, rasa tidak aman, ansietas, depresi, menarik diri dan lain sebagainya pada anak. Gangguan proses interaksi dan pola asuh ini dapat menimbulkan berkurangnya pasokan nutrien serta gangguan pola stimulasi yang dapat bermuara pada GT. Kelainan atau penyakit dapat menimbulkan kurangnya makanan yang disediakan, anoreksia, gangguan digesti dan absorpsi, kehilangan nutrien serta meningkatnya kebutuhan. Lebih dari itu defisit dan gangguan stimulasi, baik fisik maupun psikososial tidak hanya berpengaruh pada pola perkembangan fungsi tetapi juga dapat menghambat pertumbuhan fisik. Pada kelainan organik tertentu, meskipun pasokan gizi dan stimulasi cukup, GT dapat muncul. Misalnya akibat defisiensi enzim atau kelainan hormonal. Kelainan enzim atau hormon ini tetap mempunyai dimensi gizi, karena patogenesisnya mencakup gangguan pendayagunaan nutrien tertentu.2,3,7 Penyakit gastrointestinal dapat menimbulkan: (1) gangguan fungsi motorik, baik berupa obstruksi, gangguan propulsi, maupun menurunnya kapasitas tampung, dan (2) gangguan digesti dan absorpsi; yang akhirnya bermuara pada berkurangnya absorpsi nutrien. Patogenesis kompleks diare-MEP-infeksi tercermin dalam konsep yang dikembangkan kelompok kerja Lebenthal (gambar 10.2), dimana kerusakan/atrofi mukosa usus dianggap merupakan titik sentral dari lingkaran setan keadaan patologis yang ditimbulkan diare yang mencakup malabsorpsi, gangguan hormonal, infeksi berulang, tumbuh ganda, absorpsi protein asing yang menimbulkan reaksi alergi, dan gangguan regenerasi vili. Semuanya dapat bermuara pada semakin beratnya MEP. Jika berlanjut dapat berakhir dalam bentuk GT.

Gambar 5-2. Lingkaran setan kompleks diare–MEP–infeksi. Malabsorpsi nutrien

Infeksi dan tumbuh ganda

Malnutrisi energi protein Kerusakan mukosa usus berlanjut

Gangguan regenerasi vili

Insufisiensi hormon enterik Absorpsi protein asing

Lazimnya munculnya kompleks diare-MEP-infeksi dipicu oleh munculnya diare atau infeksi tertentu, misalnya morbili. Sebagian besar GT menimbulkan kurang gizi, sehingga apapun etiologinya, khususnya di negara berkembang, GT yang disebabkan kelainan organik atau non-organik dapat diperberat oleh kompleks diare-MEP-infeksi.2,3,7

Manifestasi Klinis Anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Melalui pengukuran antropometrik dan diplot pada grafik tumbuh kembang yang sesuai, anak yang kelihatan kecil ini dapat dipilah menjadi MEP, pendek atau dismorfi. Temuan MEP mungkin disertai gejala terkait, misalnya: edema, rambut jarang mudah dicabut, lemak subkutan menipis, distrofi otot, dan lain sebagainya. MEP tentu dapat disertai dengan gejala spesifik defisiensi mikronutien, misalnya gejala avitaminosis. Lebih lanjut manifestasi MEP dapat disertai dengan gejala yang terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Pendek atau dismorfi dapat ditemukan pada kelainan metabolik/neuroendokrin. Tentu dapat pula ditemukan kelainan lain sesuai faktor penyebab. Anak dapat kelihatan gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Temuan ini lazimnya berkaitan dengan latar belakang psikososial ibu yang tercermin dalam pola asuh serta pola interaksi ibu dan anak. Gejala penyebab organik bervariasi sesuai jenisnya. Gejala yang terkait kelainan gastrointestinal dapat didentifikasi secara sistematis melalui penelusuran gejala terkait yaitu makan/menelan, defekasi, muntah, diare, sakit perut dan lain sebagainya.1,7

Diagnosis

Petunjuk atau kecurigaan klinis bahwa kita mungkin berhadapan dengan GT adalah anak kelihatan lebih "kecil" dari semestinya. Sebagai tindak lanjut ada tiga aspek diagnostik yang harus ditegakkan. Pertama, menetapkan apakah telah terjadi GT, untuk memacu kita melakukan langkah penanggulangan dan pencegahan agar "kejar tumbuh" dapat menjadi maksimal dan risiko terjadinya "kerdil" menjadi minimal. Kedua, mengelaborasi permasalahan klinis yang dihadapi anak sehingga langkah pemulihan dan rehabilitasi dapat direncanakan. Ketiga, menetapkan faktor penyebab sehingga disamping terapi kausal, langkah pencegahan dan promotif dapat direncanakan.8 Diagnosis GT ditegakkan berdasarkan pengukuran antropometrik. Indikator utama yang dipakai adalah umur, berat dan panjang/tinggi. Dengan membandingkannya dengan nilai standar (lazim dipakai data NCHS) diterjemahkan menjadi tiga indikator: berat untuk umur, tinggi untuk umur dan berat untuk tinggi. Indikator berat untuk tinggi lebih mencerminkan keadaan patologis sewaktu, sehingga lebih lazim dipakai sebagai dasar diagnosis GT. Nilai yang didapat diplot dalam grafik pertumbuhan. Ada dua cara membuat acuan kurva baku pertumbuhan: (1) berdasarkan simpangan dari mean, kurva baku atas = mean + 2SD, diikuti mean + 1SD, mean, mean - 1SD dan kurva paling bawah mean - 2SD, (2) berdasarkan persentil dimana kurve paling atas = sentil 97, diikuti sentil 75, sentil 50, sentil 25 dan sentil 3. Anak dengan kurva pertumbuhan berdasarkan berat untuk tinggi, berada di bawah sentil 3 atau mean - 2SD, atau kurva pertumbuhannya turun melewati dua garis baku kurva pertumbuhan berturut-turut selama dua bulan pada anak berusia kurang dari 6 bulan, atau berturut-turut 3 bulan pada anak usia 6 bulan atau lebih dianggap telah menderita GT. Berdasarkan kriteria di atas diagnosis GT membutuhkan pengamatan longitudinal. Tetapi secara klinis kita dapat menegakkan diagnosis GT berdasarkan riwayat sehingga berdasarkan pengamatan retrospektif dapat diperkirakan telah terjadi hambatan pertumbuhan yang telah berlangsung lama, sehingga dapat diperkirakan telah memenuhi kriteria diagnostik di atas. Indikator tinggi untuk umur dan berat untuk umur tetap bermanfaat untuk dianalisis untuk lebih memahami proses gangguan pertumbuhan yang terjadi serta faktor penyebabnya. Pemahaman akan lebih rinci jika dibantu dengan pengukuran lingkar kepala, tebal lemak subkutan, serta proporsi bagian tubuh. Indikator perkembangan fungsi, meskipun tidak dipakai untuk menegakkan diagnosis GT karena lebih bersifat kualitatif tetap harus dinilai, misalnya dengan memakai standar DDST. Keberhasilan penanggulangan dinilai tidak hanya melalui perbaikan indikator antropometrik, tetapi juga melalui indikator fungsi.6,8 Kondisi klinis anak sangat tergantung pada faktor penyebab dan penyakit penyerta yang harus dielaborasi gejalanya dan ditegakkan permasalahan yang ditimbulkannya. Kita harus mengelaborasi sampai di mana telah terjadi gangguan fungsi vital serta muncul keadaan yang membahayakan kehidupan seperti hipoglikema atau hipotermia sehingga langkah resusitasi dan stabilisasi dapat segera dilakukan. Nafsu makan, kemampuan makan dan kemampuan pencernaan anak harus dinilai sehingga langkah rehabilitasi gizi dapat dimulai. Kedaruratan serta gangguan makan ini umumnya terkait dengan kompleks diare-MEP-infeksi. Bagi kita di negara berkembang penting untuk mengelaborasi sampai di mana kompleks diare-MEP-infeksi

telah berkembang, termasuk sampai di mana manifestasi defisiensi mikronutrien menjadi masalah. Lebih lanjut perlu ditelusuri penyakit penyerta yang masih aktif serta permasalahan klinis yang ditimbulkannya. Kemungkinan gangguan pola asuh dan interaksi ibu dan anak sebagai penyebab GT dapat diduga melalui perilaku anak; kita dapat berhadapan dengan anak yang gelisah, iritabel dan banyak menangis, atau sebaliknya pasif dan diam. Berdasarkan pengalaman di negara maju, deskripsi dan kepastian terjadinya deprivasi, pengacuhan dan penyimpangan pola asuh anak, sulit untuk dielaborasi dan ditegakkan diagnosisnya melalui wawancara/pengamatan di tempat praktik dokter anak. Peranan faktor ini dapat dibuktikan secara eks-juvantifus dengan merawat anak di rumah sakit, dalam arti kata mengalihkan pengasuhan anak dari ibu ke petugas kesehatan. Melalui langkah rehabilitasi gizi intensif disertai dengan asuhan yang atentif dan hangat, biasanya pemulihan dengan cepat terjadi. Diagnosis penyimpangan perilaku ibu lazimnya membutuhkan penilaian psikologis oleh ahlinya.8,9 Faktor penyebab organik non-gastrointestinal ada yang dengan mudah diidentifikasi misalnya kelainan jantung bawaan, tetapi ada juga yang membutuhkan kejelian karena jarang ditemukan serta membutuhkan pemeriksaan yang lebih rumit misalnya kelainan endokrin atau penyakit metabolik. Diagnosis kelainan organik gastrointestinal dapat dikenal melalui penelusuran gejala utama kelainan gastrointestinal seperti gangguan menelan, muntah, nyeri abdomen, diare serta konstipasi. Temuan gejala menjuruskan kita untuk memikirkan sampai di mana terjadi kelainan fungsi motorik, fungsi digesti dan/atau fungsi absorpsi. Kepastian diagnosis fungsional, serta kelainan struktur yang mendasarinya tentu harus didukung dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Lebih lanjut ditelusuri diagnosis kausal kelainan yang ditemukan. Referensi pelaksanaan rangkaian proses ini tentu harus mengacu pada keseluruhan isi buku ajar ini.6,8

Terapi Spektrum terapi GT sangat bervariasi sesuai perbedaan penyebab, keberadaan penyakit penyerta, spektrum keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan yang berlangsung, derajat MEP, serta gangguan pola asuh dan interaksi ibu-anak. Tetapi secara umum rehabilitasi gizi merupakan langkah awal terapi yang dapat dijadikan pintu masuk untuk melaksanakan penanggulangan secara menyeluruh.10 Pola penanggulangan MEP yang telah dikembangkan dapat dijadikan sebagai acuan perencanaan rehabilitasi gizi, melalui pendekatan 4 tahap: fase penyelamatan, fase penyesuaian, fase pemulihan dan fase pembinaan. Pada fase penyelamatan dilaksanakan resusitasi dan stabilisasi gangguan fungsi vital misalnya mengatasi syok/dehidrasi berat serta menanggulangi komplikasi misalnya hipotermia atau hipoglikemia. Pada fase penyesuaian, melalui pemberian makanan bertahap jumlah dan komposisinya, kita membiasakan kembali anak untuk makan dalam jumlah dan volume yang besar serta memilih makanan secara selektif sesuai dengan kapasitas pencernaan anak. Pada fase

penyesuaian kita juga harus memulai penanganan terfokus terhadap defisiensi mikronutrien serta mengobati penyakit penyerta. Terapi kausal juga dapat dimulai atau dapat menunggu sampai keadaan umum anak lebih baik yaitu pada fase berikutnya. Penyakit penyerta dan penyakit yang mendasari GT tentu harus ditanggulangi sesuai dengan standar yang berlaku. Pada fase pemulihan kita memberikan makanan berimbang dengan prosentase kalori 120% - 200% dari perhitungan kebutuhan berdasarkan berat badan. Sasaran kita adalah mengupayakan kejar tumbuh maksimal. Langkah penyelamatan dan penyesuaian lazimnya dilakukan di rumah sakit. Fase pemulihan dan pembinaan dilakukan melalui rawat jalan. Kita harus memberikan nasihat gizi yang operasional, yang secara wajar diperkirakan dapat dilaksanakan ibu di rumah. Misalnya bagi keluarga mampu kita dapat menganjurkan pemakaian formula nutrisi lengkap dengan kalori 1 kkal/ml. Sebagai alternatif bagi yang kurang mampu kita dapat menerapkan konsep "multi-mixed" dari Cameron, di mana berdasarkan ketersediaan dan keterjangkauan bahan makanan lokal, ibu diajarkan untuk menyusun menu berdasarkan kombinasi bahan yang ada, berdasarkan pengayaan bahan pokok (beras) dengan pilihan cerdik sumber protein lokal disertai pemanfaatan minyak untuk meningkatkan kalori. Pada fase pembinaan dilaksanaan langkah promotif dan preventif agar GT tidak muncul kembali. Telah dibuktikan, peningkatan stimulasi fisik dan psiko sosial akan meningkatkan keberhasilan upaya promotif secara keseluruhan.7,8,10 Keberhasilan rehabilitasi gizi membuka peluang bagi penyaji untuk memberikan konseling pada ibu. Jika dilaksanakan secara bijak tanpa sikap menuding dan menggurui, lazimnya dapat memperbaiki pola asuh anak serta peningkatan interaksi ibu dan anak.

Prognosis Perkembangan longitudinal indikator antropometrik seorang anak dinyatakan dalam persentil terhadap nilai standar, lazimnya berada pada track tertentu. Anak yang menderita GT track pertumbuhannya akan menurun. Meskipun GT berhasil ditanggulangi, jika GT berlangsung lama atau berat, track pertumbuhan anak dapat menetap pada jalur yang lebih rendah. Penurunan permanen track ini hanya terjadi pada GT usia muda, di bawah usia 5 tahun. Untuk itu kita harus memberikan perhatian khusus agar GT pada usia muda ini dapat dicegah atau ditanggulangi sedini dan seadekuat mungkin. Jika track menetap pada jalur di bawah 3 persentil (mean-2SD) anak akan menjadi dewasa sebagai orang kerdil. Secara umum dapat dikatakan, jika terjadi penurunan track pertumbuhan secara permanen, berarti proses penumbuh-kembangan potensi genetik menjadi potensi dewasa kurang berhasil.11 Sepenuhnya disadari, penurunan track pertumbuhan, akan disertai penurunan optimasi perkembangan, baik fisiologis maupun psikososial. Penurunan kedua dimensi tumbuh kembang ini akan menurunkan pula kesempatan anak nantinya untuk hidup secara produktif dan kompetitif setelah dewasa. Telah diketahui pertumbuhan dan perkembangan normal suatu organ dan sistemnya yang terkait tidak berlangsung secara linier. Terdapat waktu puncak (sesuai umur anak) tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda untuk berbagai organ dan sistem organ. GT

yang terjadi pada saat suatu organ atau sistem organ sedang berada pada puncak pertumbuhan dan perkembangan akan menimbulkan gangguan dan defisit yang lebih menonjol pada organ atau sistem organ tersebut. Sehingga sesuai dengan waktu puncak tumbuh kembang otak, GT yang lazimnya muncul pada usia bayi akan sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang otak serta potensi intelektual anak nantinya setelah dewasa.2,10,11 Keberhasilan kejar tumbuh disamping ditentukan oleh kedinian dan intensitas penanggulangan GT, tentu juga ditentukan sampai di mana faktor penyebab dapat di sembuhkan. GT yang datang dengan kelainan fungsi vital apalagi kalau disertai gangguan pencernaan yang berat dengan angka kematian kasus yang cukup tinggi, pada masa dahulu dapat mencapai 30% - 50%. Tetapi dengan acuan penanganan MEP berat yang dikembangkan WHO yang juga telah diadopsi di Indonesia, dimana melalui pemahaman tentang gangguan keseimbangan elektrolit, gangguan sistem kardivaskuler, serta berbagai dimensi defisiensi nutrien, telah disusun langkah stabilisasi dan pemulihan yang sesuai sehingga angka kematian kasus dapat ditekan mendekati 10%. GT yang telah mencapai fase pemulihan lazimnya angka kematian kasusnya sangat rendah.2,3

Pencegahan Untuk kita di negara berkembang, dimana sebagian besar GT muncul dalam bentuk kompleks diare-MEP-infeksi, langkah pencegahannya sejalan dengan upaya pencegahan diare. Di samping menekan kejadian diare, kita harus melaksanakan penanggulangan tepat guna agar diare tidak berlanjut dan dampak gizinya dapat ditekan menjadi seminimal mungkin. Identifikasi faktor risiko dan gejala dini deprivasi, pengacuhan anak dan penyimpangan interaksi ibu dan anak dilanjutkan dengan pembinaan yang tepat dapat menekan kejadian GT non-organik. Meskipun penanggulangannya secara tuntas membutuhkan disiplin lain, permasalahan harus diidentifikasi oleh dokter anak. Langkah lain yang layak untuk dilaksanakan adalah mengidentifikasi penyakit organik termasuk kelainan gastrointestinal sedini mungkin, melakukan langkah korektif dan penanggulangan lainnya seadekuat mungkin, disertai dengan bimbingan gizi dan pola asuh yang baik agar kemungkinan munculnya GT dapat ditekan menjadi seminimal mungkin.3,11

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.

American Academy of Pediatrics. Failure to thrive (pediatric undernutrition). In: Kleinman RE, ed. Pediatric Nutrition Handbook. 5th ed. Elk Grove Village, IL: American Academy of Pediatrics. 2003: 443-457. Frank DA, Zeisel SH. Failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Dec 1988; 35(6): 1187-206. Zenel JA Jr. Failure to thrive: a general pediatrician's perspective. Pediatr Rev. 1997; 18: 371-378. Sherry B. Epidemiology of inadequate growth. In: Kessler DB, Dawson P, eds. Failure to thrive and pediatric undernutrition: a transdisciplinary approach. Baltimore: Brookes. 1999: 19-36.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

WHO. Failure To Thrive : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95 (2005). Levy Y, Levy A, Zangen T, et al. Diagnostic clues for identification of nonorganic vs organic causes of food refusal and poor feeding. J Pediatr Gastroenterol Nutr. Mar 2009; 48(3): 355-62. Wright CM. Identification and management of failure to thrive: a community perspective. Arch Dis Child. 2000; 82: 5-9. Hay WW. Current pediatric diagnosis and treatment. 15th ed. Norwalk, Conn.: Appleton & Lange. 2001: 250. Sills RH. Failure to thrive. The role of clinical and laboratory evaluation. Am J Dis Child. Oct 1978; 132(10): 9679. Maggioni A, Lifshitz F. Nutritional management of failure to thrive. Pediatr Clin North Am. Aug 1995; 42(4): 791-810. Reif S, Beler B, Villa Y. Long-term follow-up and outcome of infants with non-organic failure to thrive. Isr J Med Sci. Aug 1995; 31(8): 483-9.

BAB VI DIARE AKUT Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso

Ilustrasi Kasus Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung, turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.

Pendahuluan Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa.1,2,3 Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh karena rata – rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.4 Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak.5

Definisi

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada seorang anak buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.6,7,8

Epidemiologi Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak, terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.2,5,9

Cara Penularan dan Faktor Risiko Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).10,11,12 Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.8,11,13

1.

Faktor umur Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya

kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.1,4,14

2. Infeksi asimtomatik Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain.7,14,15

3. Faktor musim Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung meningkat pada musim hujan.3,14,16

4. Epidemi dan pandemi Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia. Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1 menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.2,14,17

Etiologi Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus yang datang disarana

kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi. Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit. Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan inflammatory.1,2,8 Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.3,4,18 Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah sebagai berikut :

Golongan Bakteri : 1. Aeromonas 2. Bacillus cereus 3. Campylobacter jejuni 4. Clostridium perfringens 5. Clostridium defficile 6. Escherichia coli 7. Plesiomonas shigeloides Golongan Virus :

8. Salmonella 9. Shigella 10. Staphylococcus aureus 11. Vibrio cholera 12. Vibrio parahaemolyticus 13. Yersinia enterocolitica

1. Astrovirus 2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 3. Enteric adenovirus 4. Coronavirus Golongan Parasit :

5. 6. 7. 8.

1. 2. 3. 4.

Balantidium coli Blastocystis homonis Cryptosporidium parvum Entamoeba histolytica

Rotavirus Norwalk virus Herpes simplex virus * Cytomegalovirus *

5. Giardia lamblia 6. Isospora belli 7. Strongyloides stercoralis 8. Trichuris trichiura

Sumber = Nelson Textbook of Pediatric3

* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised

Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu: Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan Cryptosporidium. Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada

usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare. Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”, walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk. Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna. Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama laktosa. Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko alergi makanan.6,8,10,13 Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.7, 10, 12 Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain : Kesulitan makan Defek Anatomis -

Malrotasi

- Penyakit Hirchsprung - Short Bowel Syndrome - Atrofi mikrovilli - Stricture Malabsorpsi - Defisiensi disakaridase - Malabsorpsi glukosa – galaktosa - Cystic fibrosis - Cholestosis - Penyakit Celiac Endokrinopati - Thyrotoksikosis - Penyakit Addison - Sindroma Adrenogenital Keracunan makanan - Logam Berat - Mushrooms Neoplasma - Neuroblastoma - Phaeochromocytoma - Sindroma Zollinger Ellison Lain -lain : -

Infeksi non gastrointestinal Alergi susu sapi Penyakit Crohn Defisiensi imun Colitis ulserosa Gangguan motilitas usus Pellagra

Sumber : Nelson Textbook of Pediatric3

Anatomi dan Patofisiologi Diare19,20,21,22,23,24,25

Anatomi a. Gaster Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu : cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah sel penghasil mukus dan sel penghasil gastrin. Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, mencampur, menggilas dan melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan ke dalam duodenum. Sekresi gaster terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus. Asam hidroklorid (HCl) Merupakan produksi sel tunggal dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal. Pada bayi baru lahir, HCl diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak timbul sampai usia 1 bulan. Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal. Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Sarafsaraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi kalium. Gastrin Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang. Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE. Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan

perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan perlambatan pengosongan lambung. Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak usus, menurunkan keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam oleh sel parietal. Pepsinogen Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus gaster memproduksi 4 proteinase acidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau C, captensin D dan captensin A. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan beta adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat dengan propanolol, tidak oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh atropin dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP. Faktor intrinsik Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan 11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai 30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis. Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada usia 3 bulan.

Lipase gaster Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.4

Mukus gaster

Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.

b. Usus halus Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan tunggal sel kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali lebih luas dengan adanya vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas pada masing-masing regio usus halus. Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan lebih sedikit; menyerupai bentuk jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi lebih kecil dan lebih meruncing di ileum. Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) yang merupakan tempat proliferasi enterosit dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan tight junction antara jejunum dan ileum, tight junction ini berperan penting dalam regulasi permeabilitas epitel dengan melakukan kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.

Sel goblet Merupakan sel penghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak didapatkan pada gaster dan duodenum.

Sel kripta Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral, dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel plasma.

Sel Paneth Terdapat di basis kripte. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet

belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus. Sel enteroendokrin Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon, enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin. Sel M Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.4,25

c.

Usus besar Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus. Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi, sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada usus halus. Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian bawah kripta yang berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya akan dilepaskan dari permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklus pembaharuan sel ini berlangsung 3 sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh sarung fibroblas dalam lamina propria, mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron dengan migrasi sel epitel. Jumlah total sel terbanyak pada kripta kolon desenden, menurun secara progresif di sepanjang kolon transversum dan kolon desenden dan meningkat lagi pada sekum.

Mekanisme Diare1,4,6,7,10,11,12,13,15,18,26,27 Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi. Terdapat beberapa pembagian diare: 1. 2.

3.

Pembagian diare menurut etiologi Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan a. Absorbsi b. Gangguan sekresi. Pembagian diare menurut lamanya diare a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari. b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.

c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi. Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal: Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.

1.

Gangguan absorpsi atau diare osmotik. Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue, atau karena: a. b. c.

mengkonsumsi magnesium hidroksida defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas. Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum, sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan memberikan dampak yang sama.

2. Malabsoprsi umum. Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel (yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman, seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E. coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan mengakibatkan diare osmotik. Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan

karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose, pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH, setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase, menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik Hiperplasia kripta. Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretagogues Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta asam lemak rantai panjang. Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-. Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam empedu, lemak.

Blood-Borne Secretagogues. Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju, diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang

menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk jarang.5 Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam keadaan normal.

4. Diare akibat gangguan peristaltik Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai penyakit lain.

5.

Diare inflamasi Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan. Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik. Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction, menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk. 2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi chlorida yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik protein tight junction, V cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction, sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

6. Diare terkait imunologi Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV. Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada

Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen. Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin tersebut akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan. Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Manifestasi Klinis Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.1,6,9 Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.4,8,11 Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain : vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia, hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot (C. botulinum).3,4,12 Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh, contoh:

Tabel 6.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait Manifestasi

Enteropatogen terkait

Reactive arthritis

Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium difficile

Guillain Barre Syndrome

Camphylobacter

Glomerulonephritis

Shigella, Camphylobacter, Salmonella

IgA nephropathy

Camphylobacter

Erythema nodusum

Yersinia, Camphylobacter, Salmonella

Hemolytic

Camphylobacter, Yersinia

anemia

Hemolytic Uremic Syndrome

S. dysentrie, E. coli

Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics3

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.. Nyeri perut yang lebih hebat dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya usus besar.14, 15, 17 Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium. Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat penting.11, 16, 18

Tabel 16.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab Gejala klinik

Rotavirus

Shigella

Salmonella

ETEC

EIEC

Kolera

Masa tunas

17-72 jam

24-48 jam

6-72 jam

6-72 jam

6-72 jam

48-72 jam

++

-

++

-

Sering

+

-

Sering

-

Tenesmus kramp

Kramp

Panas Mual muntah Nyeri perut

+ Sering

++ Jarang

Tenesmus

Tenesmus kramp

Tenesmus kolik

-

Nyeri kepala

+ -

Lamanya sakit Sifat tinja

+

-

-

> 7 hari

3-7 hari

5-7 hari

-

Variasi 2-3 hari

3 hari

Volume Sedikit

Sedikit

Sedang

>10x/hr

Sering

Banyak

Sering

Banyak

5-10x/hr

Lembek

Lembek

Sering

Lembek

Terusmenerus

Cair

Sering

Kadang

Cair

+

Cair

-



Busuk

-

Tidak

-

Langu

Merahhijau

Kehijauan

+

Merahhijau

Amis khas

Frekuensi Konsistensi Darah Bau Warna

Leukosit

Kuning hijau

Lain-lain

Anorexia

+ Kejang 

+ Sepsis 

Sedikit

Tak berwarna Meteorismus

Infeksi sistemik

Seperti air cucian beras 

Sumber : Sunoto 199117

Diagnosis 1.

Anamnesis Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat imunisasinya.3, 10, 12

2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi: kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-

ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah. Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.1, 3, 10 Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 16.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003 Simptom

Minimal atau tanpa dehidrasi kehilangan BB < 3%

Dehidrasi Ringan Sedang, Kehilangan BB 3 % - 9 %

Kesadaran

Baik

Normal, lelah, gelisah, irritable

Apathis, letargi, tidak sadar

Denyut jantung

Normal

Normal - meningkat

Takikardi, bradikardia pada kasus berat

Kualitas nadi

Normal

Normal – melemah

Lemah, kecil, tidak teraba

Pernapasan

Normal

Normal – cepat

Dalam

Mata

Normal

Sedikit cowong

Sangat cowong

Air mata

Ada

Berkurang

Tidak ada

Basah

Kering

Sangat kering

Cubitan kulit

Segera kembali

Kembali < 2 detik

Kembali > 2 detik

Capillary refill

Normal

Memanjang

Memanjang, minimal

Extremitas

Hangat

Dingin

Dingin, mottled, sianotik

Kencing

Normal

Berkurang

Minimal

Mulut lidah

dan

Dehidrasi Berat Kehilangan BB > 9%

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian 1. Lihat : keadaan

A

umum

B

Baik, sadar

C

* Gelisah, rewel

* Lesu, lunglai atau

mata

tidak sadar

air mata mulut dan lidah rasa haus

Normal

Cekung

Ada

Tidak ada

Basah

Kering

Minum biasa tidak haus

Sangat dan

cekung

kering Sangat kering

* Haus, ingin

* Malas atau

minum banyak

minum

tidak bisa minum 2. Periksa : turgor kulit

Kembali cepat

* Kembali lambat

* Kembali sangat lambat

3. Hasil pemeriksaan :

Tanpa dehidrasi

Dehidrasi ringan / sedang Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain

4. Terapi :

Rencana Terapi A

Rencana Terapi B

Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda * ditambah 1 atau lebih tanda lain Rencana Terapi C

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan – Maurice King (1974) Bagian tubuh yang diperiksa

Nilai untuk gejala yang ditemukan 0

1 cengeng,

2

Keadaan umum

Sehat

Gelisah, ngantuk

apatis,

Mengigau, koma atau syok

Kekenyalan kulit

Normal

Sedikit kurang

Sangat kurang

Mata

Normal

Sedikit cekung

Sangat cekung

Ubun-ubun besar

Normal

Sedikit cekung

Sangat cekung

Mulut

Normal

Kering

Kering & sianosis

Denyut mnt

nadi/

Kuat < 120

Sedang (120-140)

Lemah > 140

Sumber : Sunoto 199117

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian dijumlahkan. Nilai: 0 – 2 = Ringan

3 – 6 = Sedang

7 – 12 = Berat

3. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut : Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes kepekaan terhadap antibiotika. Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika. Tinja : Pemeriksaan makroskopik: Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan Strongyloides.2,7,17

Tabel 16.6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen Test Laboratorium

Organisme diduga / identifikasi

Mikroskopik : Lekosit pada tinja

Invasive atau bakteri yang memproduksi sitotoksin

Trophozoit, kista, oocysts, spora

G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, I. belli, Cyclospora

Rhabditiform lava

Stongyloides

Spiral atau basil gram (-) berbentuk S

Camphylobacter jejuni

Kultur tinja: Standard

E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter jejuni

Spesial

Y. enterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C. difficile, E. coli, O 157 : H 7

Enzym imunoassay atau latex aglutinasi

Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile

Serotyping

E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC

Latex aglutinasi setelah broth enrichment

Salmonella, Shigella

Test yang dilakukan di laboratorium riset

Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR untuk genus yang virulen

Sumber: Suparto10

Pemeriksaan mikroskopik: Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C. difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P. shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S. typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal. Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis

dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati. Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised. Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus, Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium pendahuluan.9, 10, 18

Terapi Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.28,29,30 Memperbaiki kondisi usus dan menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.

Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut ASI dan makanan tetap diteruskan Antibiotik selektif Nasihat kepada orang tua Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru

lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya hipernatremia. Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.31, 32, 33

Tabel 16.7. Komposisi Oralit Baru Oralit Baru Osmolaritas Rendah

Mmol/liter

Natrium

75

Klorida

65

Glucose, anhydrous

75

Kalium

20

Sitrat

10

Total Osmolaritas

245

Sumber: WHO 200633

Ketentuan pemberian oralit formula baru: a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24 jam. c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai berikut: Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan harus dibuang. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut. Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan anak. Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang dikeluarkan.

Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler, adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak: Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari Anak di atas umur 6 bulan

: 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare. Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.34, 35, 36 ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan menandakan fase kesembuhan.37 Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera. Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan permeabilitas membrane terhadap antibiotik.38 Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang, makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3 hari.28, 29

Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi : 1. 2. 3. 4.

Terapi cairan dan elektrolit Terapi diit Terapi non spesifik dengan antidiare Terapi spesifik dengan antimikroba

Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral hanya untuk kasus dehidrasi berat.28, 29, 30

1.

Pengobatan diare tanpa dehidrasi TRO (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya. Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5 tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400 ml setiap BAB. Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1 sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas, asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah

hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringansedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan – sedang.28, 29, 30

2. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang : TRO (Terapi Rehidrasi Oral) Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat, perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu : untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200 ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan memantau tanda-tanda dehidrasi. Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah hilang dapat diberikan lagi. Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral, oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20 ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik adalah pemberian cairan parenteral.28, 29, 30

3. Pengobatan diare dehidrasi berat TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral) Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral. Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam (untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam

pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB. Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.28, 29, 30

4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO) Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa 111 (2%). Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan dengan kehilangan natrium bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V. cholera > 90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare infeksi. Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit, berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan anak non kolera. Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi. Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002 WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan 75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera, meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan indikasinya.31, 32, 39

5.

CRO baru Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat

direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera. Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan pilihan utama dari sebagian besar klinisi. Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA. Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.3, 32, 34,

6. Seng (Zinc) Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius. Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari, dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.40, 41, 42

7.

Pemberian makanan selama diare Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh. Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima. Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya, pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi

dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap selama 2 – 3 hari. Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat, misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.43, 44, 45

8. Pemberian makanan setelah diare Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4, 43

9. Terapi medikamentosa29, 30, 38 Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika, antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2 – 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk pengobatan diare akut.

Antibiotik Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh dengan antibiotika. Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera, Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.

Tabel 16.8. Antibiotik pada diare Penyebab Kolera

Shigella dysentery

Antibiotik Pilihan

Alternatif

Tetracycline

Erythromycin

12,5 mg/kgBB

12,5 mg/kgBB

4x sehari selama 3 hari

4x sehari selama 3 hari

Ciprofloxacin

Pivmecillinam

15 mg/kgBB

20 mg/kgBB

2x sehari selama 3 hari

4x sehari selama 5 hari Ceftriaxone 50-100 mg/kgBB 1x sehari IM selama 2-5 hari

Amoebiasis

Metronidazole 10 mg/kgBB 3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus berat)

Giardiasis

Metronidazole 5 mg/kg 3x sehari selama 5 hari

Sumber : WHO 200633

Obat antidiare Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah : Adsorben (Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada anak.

Antimotilitas (Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii, paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan diare.

Bismuth subsalicylate Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare. Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk menggunakan obat ini pada anak dengan diare.

Obat-obat lain : Anti muntah. Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi. Cardiac stimulan Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang. Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak pernah diindikasikan.

Darah atau plasma

Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.

Steroid Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.

Komplikasi1,3,12,46 Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya membutuhkan pengobatan khusus. Gangguan Elektrolit Hipernatremia Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan. Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara terbaik dan paling aman. Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline – 5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10 ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak jantung.

Hipokalemia Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5 mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam. Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam, kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB). Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah diare berhenti.

Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum, kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.25, 30 Kejang Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena : hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia, kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.

Pencegahan Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:

1.

Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare. Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral. Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini. Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi: a. b. c. d. e. f.

2.

Pemberian ASI yang benar. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI. Penggunaan air bersih yang cukup. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan sebelum makan. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga. Membuang tinja bayi yang benar.

Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ). Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat mengurangi resiko diare antara lain: a. b. c.

Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak. Imunisasi campak.

Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam pencegahan diare.47

Probiotik Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition) pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari 39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P. dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus lebih jarang menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.

Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru pada komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama pada anakanak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/anak/thn dengan p = 0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik. D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama dengan antibiotika mengurangi resiko”Antibiotic Associated Diaorrhea”. Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan imunomodulasi. Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan aman. Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.48, 49

Prebiotik Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal yang menguntungkan kesehatan. Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang minum ASI. Data menunjukan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan penurunan angka kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya menunjukkan adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih pendek masa diarenya dibanding placebo48. Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu menunggu penelitian-penelitian selanjutnya. 49,50

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused by rotavirus disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9:565-572. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6. Widayana IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di era otonomi dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 45-54. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada perkembangan morfologid, biokimiawi, dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992;13-20. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 65-73. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah kedokteran FK Unair. 1999:1-36. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R. Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular. 1990. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industriliazed countries : compliance with guidelines for treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33:531-5. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit saluran cerna di era otonomi.Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 17-27. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections diseases. 2002; 4:183-94. Vanderhoof JA. Diarrhe. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:187-95. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food poisoning in Feigin RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious diseases 4 Ed WB Saunders Co. 1998; 1:567-94. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P. First report from the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6): 988-955. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.jci.orig. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round: Melbourne. 2007. Sunoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. 1991; I:448-66. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan penyakit menular langsung dan oralit formula baru. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 91-7. Antonsun DL. Anatomy and physiology of the small and large intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 479-91. Berkes J, Viswanathan VK, Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects on tight junction barrier, ion transport, and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.com/ Burke V. Mechanisms of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6. Desjeux JF. Transport water and ions. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 312-18. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds. Buku ajar fisiologi kedokteran. EGC. 1997: 55-69. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 405-11. Weaver LT. Anatomy and embryology. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 405-11. Brueton MJ. Immunology of the gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002;135-49. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996; 97: 1-20. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children : oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 1992; 41 (RR-16) : 1-20.

30. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among child ; oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16. 31. Guarino A et al. Oral rehydration toward a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 2 – 12. 32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children : systematic review. BMJ. 2001; 325: 81-5. 33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006. 34. Altaf Waseef MD. Zinc Supplementaion in Oral Rehydration Solution : Experimental Assesment and Mechanisms of Action. Journal of the American College of Nutrition. Orlando. 2001. 35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and mortality in Bangladeshi children : Community randomized trial. BMJ. 2002; 325:1-7. 36. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the effect of Oral Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007. 37. Sandhu BK. Practical guidelines for the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 36-9. 38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101. 39. Duggan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prevents subsequent unscheduled follow up visits. Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33. 40. Bao Bin. Zinc Modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol Endocrinol Metab. Michigan. 2003. 41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995; 333: 839-44. 42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea and pneumonia. BMJ 1999 : 1521 – 3. 43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional management of acute diarrhea : an appraisal of the alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2: 119-125. 44. Sandhu BK. Rationale for early feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 136. 45. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other senior health workers Child Health / WHO. CDR 95 (1995). 46. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005. 47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat. 48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the Medical Sciences.2007;39:47-53. 49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants : A commentary by ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004 : 38 : 365 – 74. 50. Szajewska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children : A systematic review of published randomized, double blind, placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 17 – 25.

BAB VII DIARE KRONIS DAN DIARE PERSISTEN Yati Soenarto

Ilustrasi Kasus Anak perempuan usia 23 bulan dengan keluhan BAB cair kurang lebih 5 kali sehari dan sudah berlangsung selama 15 hari. Diare dimulai dengan tinja cair tanpa darah/lendir, demam, muntah 2-3X/hari, oralit yang diberikan selalu dimuntahkan, sehingga dirawat oleh karena dehidrasi berat. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu tubuh 37,8°C, status gizi baik, anak didiagnosis diare cair akut dengan dehidrasi berat. Anak diperbolehkan pulang setelah dirawat 2 hari, dikarenakan sudah tidak dehidrasi, tidak muntah, tidak demam, walaupun BAB masih 3-4 kali, lembek. Ibu juga sudah dapat melakukan semua penanganan yang akan dilakukan di rumah, apabila diare belum sembuh. Ibu juga sudah diberi penjelasan tentang penyakitnya dan memahaminya. Sepuluh hari kemudian, Ibu datang kembali dengan keluhan diare belum sembuh, berak lebih sering, cair, berbau asam, berbuih, sampai “berengan” kulit sekitar anus berwarna merah. Selama 10 hari di rumah setelah kunjungan pertama, setiap kali diberi minum susu, anak diare, kembung, kadang-kadang muntah. Apabila susu dihentikan, gejala-gejala membaik, oleh karena itu ibu menghentikan susu dan mengurangi makan. Pemeriksaan fisik menunjukkan anak tidak demam, tidak ada tanda-tanda dehidrasi, tetapi mata kelihatan lebih cowong. Berat badan berada di persentil 3 kurva BB//TB, padahal sebelum kena serangan diare, berat badan & tinggi badan anak normal.

Pertanyaan 1. Diagnosis apa yang paling mungkin pada anak ini? 2. Bagaimana anda mengkonfirmasi diagnosis tersebut? 3. Bagaimana tatalaksana pasien ini?

Pendahuluan Diare merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas anak di dunia yang menyebabkan 1,6-2,5 juta kematian pada anak tiap tahunnya, serta merupakan 1/5 dari seluruh penyebab kematian. Survei Kesehatan Rumah Tangga di Indonesia menunjukkan penurunan angka kematian bayi akibat diare dari 15,5% (1986) menjadi 13,95% (1995). Penurunan angka kematian akibat diare juga didapatkan pada kelompok balita berdasarkan survei serupa, yaitu 40% (1972), menjadi 16% (1986) dan 7,5% (2001).1,2

Penurunan mortalitas ini merupakan salah satu wujud keberhasilan ORS (Oral Rehydration Salt) untuk manajemen diare. Akan tetapi, penurunan angka mortalitas akibat diare tidak sebanding dengan penurunan angka morbiditasnya. Studi meta-analisis yang dilakukan oleh Kosek et al. menunjukkan bahwa angka kejadian diare akut cenderung tetap dari tahun ke tahun. Di negara berkembang setiap anak mengalami rata-rata tiga episode diare akut tiap tahunnya, sedangkan di Indonesia sebesar 1,3 kali per tahun. Berdasarkan Survei Kesehatan Nasional yang dilakukan tahun 2003-2004 dilaporkan prevalensi diare pada anak sebesar 11%.2,3 Di Indonesia penurunan angka mortalitas yang signifikan terjadi sejak tahun 1970-an saat ORS mulai dimasyarakatkan. Akan tetapi, manfaat manajemen ORS ini kurang terlihat pada diare persisten sehingga angka kematian akibat diare ini cenderung tetap.2, 4

Definisi Definisi diare adalah peningkatan pengeluaran tinja dengan konsistensi lebih lunak atau lebih cair dari biasanya, dan terjadi paling sedikit 3 kali dalam 24 jam. Dalam referensi lain disebutkan bahwa definisi diare untuk bayi dan anak-anak adalah pengeluaran tinja >10 g/kg/24 jam, sedangkan rata-rata pengeluaran tinja normal pada bayi sebesar 5-10 g/kg/24 jam. Diare umumnya dibagi menjadi diare akut dan diare yang berkepanjangan (kronis dan/atau persisten). Diare kronis dan diare persisten seringkali dianggap suatu kondisi yang sama.5,6 Ghishan menyebutkan diare kronis sebagai suatu episode diare lebih dari 2 minggu, sedangkan kondisi serupa yang disertai berat badan menurun atau sukar naik oleh WalkerSmith et al. didefinisikan sebagai diare persisten.5,6 Di lain pihak, dasar etiologi diare kronis yang berbeda diungkapkan oleh Bhutta dan oleh The American Gastroenterological Association. Definisi diare kronis menurut Bhutta adalah episode diare lebih dari dua minggu, sebagian besar disebabkan diare akut berkepanjangan akibat infeksi, sedangkan definisi menurut The American Gastroenterological Association adalah episode diare yang berlangsung lebih dari 4 minggu, oleh etiologi non-infeksi serta memerlukan pemeriksaan lebih lanjut.5,6 Bervariasinya definisi ini pada dasarnya disebabkan perbedaan kejadian diare kronis dan persisten di negara berkembang dan negara maju, dimana infeksi merupakan latar belakang tertinggi di negara berkembang, sedangkan penyebab non-infeksi lebih banyak didapatkan di negara maju. Demikian juga porsi serta prioritas penelitian maupun pembahasan lebih didominasi permasalahan diare non infeksi, antara lain karena dalam tatalaksananya, diare bentuk ini lebih banyak membutuhkan biaya.5 Akan sangat membantu apabila terdapat suatu definisi standar sehingga dapat dilakukan pembandingan antar studi serta pembuatan rekomendasi pengobatan. Di lingkungan masyarakat gastrohepatologi anak di Indonesia digunakan pengertian bahwa ada 2 jenis diare yang berlangsung ≥14 hari, yaitu diare persisten yang mempunyai dasar etiologi infeksi, serta diare kronis yang mempunyai dasar etiologi non-infeksi. Untuk selanjutnya batasan tersebut yang akan dipakai dalam bab Diare Kronis dan Diare Persisten ini.4,7

Kejadian

Diare persisten/kronis mencakup 3-20% dari seluruh episode diare pada balita. Insidensi diare persisten di beberapa negara berkembang berkisar antara 7-15% setiap tahun dan menyebabkan kematian sebesar 36-54% dari keseluruhan kematian akibat diare. Hal ini menunjukkan bahwa diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di dunia. Meskipun penelitian epidemiologis mengenai diare persisten masih terbatas, sebuah studi komunitas di Bangladesh menunjukkan bahwa secara keseluruhan angka kejadian diare persisten masih belum menurun secara bermakna dalam rentang tahun 1980-1992. Di Indonesia, prevalensi diare persisten/kronis sebesar 0,1%, dengan angka kejadian tertinggi pada anak-anak berusia 6-11 bulan.2,9,10,11

Grafik 7.1. Insidensi Diare di Beberapa Negara Berkembang

hari

hari

hari

hari

Sumber: Bhutta7

Etiologi Sesuai dengan definisi yang digunakan dalam bab ini, terdapat perbedaan etiologi antara diare persisten dan diare kronis. Diare berkepanjangan dapat disebabkan berbagai macam kondisi. Di negara maju sebagian besar membahas penyebab non infeksi, umumnya meliputi intoleransi protein susu sapi/kedelai (pada anak usia <6 bulan, tinja sering disertai dengan darah); celiac disease (gluten-sensitive enteropathy), dan cystic fibrosis. Namun, perhatian

global seringkali tertuju pada diare berkepanjangan yang bermula dari diare akut akibat infeksi saluran cerna. Diare jenis ini banyak terjadi di negara-negara berkembang. Tabel 7.1 menunjukkan enteropatogen penyebab diare di Surabaya dari tahun 1984 hingga 1993, berdasarkan durasi diare. Sayangnya publikasi lain dari studi semacam ini di Indonesia tidak dapat diperoleh.4,12,13

Tabel 7.1. Enteropatogen penyebab diare di Surabaya (1984-1993) Etiologi Rotavirus

Diare Akut (<7 hari) 116

Diare berkepanjangan n.d

V.cholera

78

21(11.9%) 16 (9%)

Salmonella sp.

86

2 7-15 hari 81

E.coli

102

14

Campylobacter j.

Diare Kronis n.d. >15 hari -

16

2

-

Entamoeba histolytica

-

16

12 (6.8%)

Staphylococcus aureus

-

11

7 (4%)

Shigella

7

1

-

Pseudomonas

-

1

-

Salmonella typhi

-

1

3 (1.7%)

Morganella morgagni

-

-

3 (1.7%)

Klebsiella

-

-

1 (0.5%)

Enterobacter

-

-

1 (0.5%)

Aeromonas

4

n.d

n.d

Klebsiella oxytocia

5

-

-

Infeksi campuran

54

13

12 (6.8%) 76 (100%)

Sumber : Soeparto4

Patogenesis Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Pertemuan Commonwealth Association of Pediatric Gastrointestinal and Nutrition (CAPGAN) menghasilkan suatu konsep patogenesis diare kronis yang menjelaskan bahwa paparan berbagai faktor predisposisi, baik infeksi maupun non-infeksi akan menyebabkan rangkaian proses yang pada akhirnya memicu kerusakan mukosa usus dan mengakibatkan diare kronis. Seringkali diare kronis dan diare persisten tidak dapat dipisahkan, sehingga beberapa referensi hanya menggunakan salah satu istilah untuk menerangkan kedua jenis diare tersebut. Meskipun sebenarnya definisi diare persisten dan diare kronis berbeda, namun, kedua jenis diare tersebut lebih sering dianggap sebagai diare oleh karena infeksi. 14,15,16

Gambar 7.1. Konsep Patogenesis Diare Persisten dan Kronis

Sumber: Sullivan14

Gambar 7.2. Alur perjalanan diare akut menjadi diare persisten

Penurunan status imun

Interkuren infeksi

Alergi makanan

Faktor predisposisi utama

Kemiskinan Penyapihan dini Terapi puasa Organisme patogen

Kerusakan mukosa

malnutrisi

Insufisiensi pankreas

Kolonisasi kuman Di usus halus

Diare kronis

Malabsorbsi asam empedu

Diare infeksius

Pengobatan diare Yang tidak optimal dan terlambat

Malnutrisi sejak awal

Difisiensi imun

Infeksi dan diare yang berulang

Malnutrisi mikronutrien mis. Zinc dan vit A

Diare berkepanjangan

Diare persisten dan enteropati

Sumber: Bhutta7

Gambar 7.2. menunjukkan perjalanan diare akut menjadi diare persisten. Dijelaskan bahwa faktor seperti malnutrisi, defisiensi imun, defisiensi mikronutrient, dan ketidaktepatan terapi diare menjadi faktor risiko terjadinya diare berkepanjangan (prolonged diarrhea). Pada akhirnya prolonged diarrhea akan menjadi diare persisten yang memiliki konsekuensi enteropati dan malabsorpsi nutrisi lebih lanjut.7 Dua faktor utama mekanisme diare kronis adalah (1) faktor intralumen dan (2) faktor mukosal. Faktor intralumen berkaitan dengan proses pencernaan dalam lumen, termasuk gangguan pankreas, hepar dan brush border membrane. Faktor mukosal adalah faktor yang mempengaruhi pencernaan dan penyerapan, sehingga berhubungan dengan segala proses yang mengakibatkan perubahan integritas membran mukosa usus, ataupun gangguan pada fungsi transport protein. Perubahan integritas membran mukosa usus dapat disebabkan oleh proses akibat infeksi maupun non-infeksi, seperti alergi susu sapi dan intoleransi laktosa. Gangguan fungsi transport protein misalnya disebabkan gangguan penukar ion Natrium-Hidrogen dan Klorida-Bikarbonat.14,17 Secara umum patofisiologi diare kronis/persisten digambarkan secara jelas oleh Ghishan, dengan membagi menjadi lima mekanisme: (1) sekretoris, (2) osmotik, (3) mutasi protein transport membran apikal, (4) pengurangan luas permukaan anatomi, dan (5) perubahan motilitas usus.5

1. Sekretoris Pada diare sekretoris, terjadi peningkatan sekresi Cl- secara aktif dari sel kripta akibat mediator intraseluler seperti cAMP, cGMP, dan Ca2+. Mediator tersebut juga mencegah terjadinya perangkaian antara Na+ dan Cl- pada sel vili usus. Hal ini berakibat cairan tidak dapat terserap dan terjadi pengeluaran cairan secara masif ke lumen usus. Diare dengan mekanisme ini memiliki tanda khas yaitu volume tinja yang banyak (>200ml/24jam), konsistensi tinja yang sangat cair, konsenstrasi Na+ dan Cl- >70mEq, dan tidak berespon terhadap penghentian makanan. Contoh penyebab diare sekretoris adalah Vibrio cholerae di mana bakteri mengeluarkan toksin yang mengaktivasi cAMP dengan mekanisme yang telah disebutkan sebelumnya.5

2. Osmotik Diare dengan mekanisme osmotik bermanifestasi ketika terjadi kegagalan proses pencernaan dan/atau penyerapan nutrien dalam usus halus sehingga zat tersebut akan langsung memasuki colon. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan osmotik di lumen usus sehingga menarik cairan ke dalam lumen usus. Absorpsi usus tidak hanya tergantung pada faktor keutuhan epitel saja, tetapi juga pada kecukupan waktu yang diperlukan dalam proses pencernaan dan kontak dengan epitel. Perubahan waktu transit usus, terutama bila disertai dengan penurunan waktu transit usus yang menyeluruh, akan menimbulkan gangguan absorbsi nutrien. Contoh klasik dari jenis diare ini adalah diare akibat intoleransi laktosa. Absennya enzim laktase karena berbagai sebab baik infeksi maupun non infeksi, yang didapat (sekunder) maupun bawaan (primer), menyebabkan laktosa terbawa ke usus besar dalam keadaan tidak terserap. Karbohidrat yang tidak terserap ini kemungkinan akan difermentasi oleh mikroflora sehingga terbentuk laktat dan asam laktat. Kondisi ini menimbulkan tanda dan gejala khas yaitu pH<5, bereaksi positif terhadap substansi reduksi, dan berhenti dengan penghentian konsumsi makanan yang memicu diare.5

3. Mutasi protein transport Mutasi protein CLD (Congenital Chloride Diarrhea) yang mengatur pertukaran ion Cl/HCO3- pada sel brush border apical usus ileo-colon, berdampak pada gangguan absorpsi Cl- dan menyebabkan HCO3- tidak dapat tersekresi. Hal ini berlanjut pada alkalosis metabolik dan pengasaman isi usus yang kemudian mengganggu proses absorpsi Na+. Kadar Cl- dan Na+ yang tinggi di dalam usus memicu terjadinya diare dengan mekanisme osmotik. Pada kelainan ini, anak mengalami diare cair sejak prenatal dengan konsekuensi polihidramnion, kelahiran prematur dan gangguan tumbuh kembang. Kadar klorida serum rendah, sedangkan kadar klorida di tinja tinggi. Kelainan ini telah dilaporkan di berbagai daerah di dunia seperti Amerika Serikat, Kanada, hampir seluruh negara di Eropa, Timur Tengah, Jepang dan Vietnam. Selain mutasi pada penukar Cl-/HCO3-, didapat juga mutasi pada penukar Na+/H+ dan Na+–protein pengangkut asam empedu.5,18

4. Pengurangan luas permukaan anatomi usus

Oleh karena berbagai gangguan pada usus, pada kondisi-kondisi tertentu seperti necrotizing enterocolitis, volvulus, atresia intestinal, penyakit Crohn dan lain-lain, diperlukan pembedahan, bahkan pemotongan bagian usus yang kemudian menyebabkan short bowel syndrome. Diare dengan patogenesis ini ditandai dengan kehilangan cairan dan elektrolit yang masif, serta malabsorbsi makro dan mikronutrien.5,15

5. Perubahan pada gerakan usus Hipomotilitas usus akibat berbagai kondisi seperti malnutrisi, skleroderma, obstruksi usus dan diabetes mellitus, mengakibatkan pertumbuhan bakteri berlebih di usus. Pertumbuhan bakteri yang berlebihan menyebabkan dekonjugasi garam empedu yang berdampak meningkatnya jumlah cAMP intraseluler, seperti pada mekanisme diare sekretorik. Perubahan gerakan usus pada diabetes mellitus terjadi akibat neuropati saraf otonom, misalnya saraf adrenergik, yang pada kondisi normal berperan sebagai antisekretori dan/atau proabsorbtif cairan usus, sehingga gangguan pada fungsi saraf ini memicu terjadinya diare.5

Manifestasi Klinis (Komplikasi) Roy et al (2006) mengungkapkan bahwa anak dengan diare persisten lebih banyak menunjukkan manifestasi diare cair dibandingkan diare disentriform. Selain itu, malnutrisi merupakan gambaran umum anak-anak dengan diare persisten. Studi kohort di Amerika menunjukkan bahwa gejala penurunan nafsu makan, muntah, demam, adanya lendir dalam tinja, dan gejala-gejala flu, lebih banyak ditemukan pada diare persisten dibandingkan diare akut. Gejala lain yang mungkin timbul tidak khas, karena sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya.10,,16

Diagnosis Evaluasi pada pasien dengan diare kronis/persisten meliputi: 1. Anamnesis Anamnesis harus dapat menggali secara jelas perjalanan penyakit diare, antara lain berapa lama diare sudah berlangsung dan frekuensi berak. Selain itu anamnesis juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko penyebab diare, antara lain riwayat pemberian makanan atau susu, ada tidaknya darah dalam tinja anak, riwayat pemberian obat dan adanya penyakit sistemik.15,19

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada diare kronis/persisten harus mencakup perhatian khusus pada penilaian status dehidrasi, status gizi, dan status perkembangan anak.4

3. Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan darah Pemeriksaan darah standar meliputi pemeriksaan hitung darah lengkap, elektrolit, ureum darah, tes fungsi hati, vitamin B12, folat, kalsium, feritin, laju enap darah, dan protein C-reaktif. b. Pemeriksaan tinja Pemeriksaan tinja spesifik antara lain meliputi tes enzim pankreas, seperti tes fecal elastase, untuk kasus yang diduga sebagai insufisiensi pankreas. pH tinja <5 atau adanya subtansi yang mereduksi pada pemeriksaan tinja, membantu mengarahkan kemungkinan intoleransi laktosa dengan mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Kultur tinja diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi protozoa, seperti giardiasis, dan amebiasis yang banyak dikaitkan dengan kejadian diare persisten.4,19

Terapi Manajemen diare persisten harus dilakukan secara bertahap dengan meliputi:

1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi Pada tahap ini, perlu dilakukan penilaian status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya. Diare persisten seringkali disertai gangguan elektrolit sehingga perlu dilakukan koreksi elektrolit, khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis. Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sistemik sebelum hasil kultur diperoleh.20

2. Pemberian nutrisi a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis Kebutuhan energi dan protein pada diare persisten/kronis berturut-turut sebesar 100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari, sehingga diperlukan asupan yang mengandung energi 1 kcal/g. Pilihan terapi nutrisi dapat meliputi: diet elemental, diet berbahan dasar susu, dan diet berbahan dasar ayam. i. Diet elemental Komponen-komponen yang terkandung dalam diet elemental terdiri atas asam amino kristalin atau protein hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai panjang atau sedang. Kelemahan diet elemental ini adalah harganya mahal. Selain itu, rasanya yang tidak enak membuat diet ini sulit diterima oleh anak-anak sehingga membutuhkan pemasangan pipa nasogastrik untuk

mendapatkan hasil maksimal. Oleh karena itu, diet elemental mayoritas hanya digunakan di negara maju.21 ii. Diet berbahan dasar susu Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI. ASI memiliki keunggulan dalam mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI, pada susu non-ASI sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) namun mudah diserap oleh sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung lebih cepat dibandingkan susu non-ASI, sehingga lambung cepat kembali ke kondisi pH rendah, dengan demikian dapat mencegah invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga membantu mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena mengandung epidermial growth factors.22 iii. Diet berbahan dasar daging ayam Keunggulan makanan berbahan dasar ayam antara lain bebas laktosa, hipoosmolar, dan lebih murah. Sejumlah studi telah menunjukkan bahwa pemberian diet berbahan dasar unggas pada diare persisten memberikan hasil perbaikan yang signifikan. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Gizi Masyarakat FK UGM dengan single blind, randomized-controlled trial menunjukkan durasi diare yang lebih pendek secara bermakna pada anak dengan diare yang mendapat bubur ayam dibandingkan yang mendapat bubur tempe (1,92±0,66 vs 2,64±0,89, p 0,034). Namun demikian, mengingat harga bubur refeeding ayam empat kali lebih tinggi daripada bubur refeeding tempe, penggunaan bubur tempe dapat menjadi pilihan tatalaksana diare pada situasi keterbatasan kondisi ekonomi.21,23

b. Pemberian mikronutrien Defisiensi zinc, vitamin A dan besi pada diare persisten/kronis diakibatkan asupan nutrisi yang tidak adekuat dan pembuangan mikronutrien melalui defekasi. Suplementasi multivitamin dan mineral harus diberikan minimal dua RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu. Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram, zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc untuk anak berusia ≤ 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14 hari.22 Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare persisten sebesar 42%. 24,25

c. Probiotik Gaon et al. (2003) mengungkapkan bahwa pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan

durasi muntah yang menyertai. Meta-analisis yang dilakukan Johnston et al. (2006) menunjukkan bahwa pemberian probiotik dapat mencegah terjadinya antibioticassociated diarrhea.26,27

d. Tempe Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti diare setelah 2,39 ± 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (rata-rata 2,94 ± 0,33 hari). Sebuah studi uji klinis randomized controlled double-blind yang dilakukan oleh Soenarto et al (1997) menunjukkan bahwa formula yang berbahan dasar tempe dapat mempersingkat durasi diare akut serta mempercepat pertambahan berat badan setelah menderita satu episode diare akut.15

3. Terapi Farmakologis Terapi antibiotik rutin tidak direkomendasikan karena terbukti tidak efektif. Antibiotik diberikan hanya jika terdapat tanda-tanda infeksi, baik infeksi intestinal maupun ekstraintestinal. Jika dalam tinja didapatkan darah, segera diberikan antibiotik yang sensitif untuk shigellosis. Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella. Jika dicurigai penyebab adalah infeksi lainnya, antibiotik disesuaikan dengan hasil biakan tinja dan sensitivitas.20,28,29

4. Follow up Follow up diperlukan untuk memantau tumbuh kembang anak sekaligus memantau perkembangan hasil terapi. Anak-anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi diare persisten membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut untuk menyingkirkan kemungkinan intractable diarrhea, yaitu diare yang berlangsung ≥ 2 minggu dimana 50% kebutuhan cairan anak harus diberikan dalam bentuk intravena. Diare ini banyak ditemukan di negara maju, dan berhubungan dengan kelainan genetik. Kegagalan manajemen nutrisi ditandai dengan adanya peningkatan frekuensi berak dan diikuti kembalinya tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam waktu 7 hari. Gambar 7.3 menjelaskan alur tata laksana diare persisten/kronis.7,21

Gambar 7.3. Diagram Manajemen Diare Persisten

Diare persisten {diare »14 hari disertai malnutrisi} Diagnosis, resusitasi dan stabilisasi awal •Intravena atau rehidrasi oral {cairan rehidrasi oral} •Atasi gangguan elektrolit •Pelacakan dan pengobatan infeksi sistemik

ASI diteruskan Mengurangi asupan laktosa dengan: Diet susu sereal (umumnya berbahan dasar beras) Atau mengganti susu dengan yogurt Suplemen mikronutrien (zink, vit A, folat)

sembuh

Pemantauan pertumbuhan

Diare berlanjut atau berulang Berat badan tidak naik Pelacakan ulang untuk penyebab infeksi Terapi diet sekunder Ayam dan diet elemental Diarre berlanjut dan dehidrasi Pelacakan ualng untuk menyingkirkan Diare intraktable pada bayi Hiperalimentasi intravena

Sumber: Bhutta7

Faktor Risiko dan Pencegahan Malnutrisi, defisiensi mikronutrien dan defisiensi status imun pasca infeksi atau trauma menyebabkan terlambatnya perbaikan mukosa usus, sehingga menjadi kontribusi utama terjadinya diare persisten.16

Tabel 7.2. Faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten Faktor bayi

-

Faktor maternal

- Ibu berusia muda dengan pengalaman yang terbatas dalam merawat bayi - Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun bayi. - Pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan pendamping ASI. - Pengenalan susu non-ASI - Penggunaan botol susu

Pemberian susu pada bayi Riwayat infeksi sebelumnya Penggunaan obat sebelumnya

Bayi berusia <12 bulan Berat badan lahir rendah (<2500 gram) Bayi atau anak dengan malnutrisi Anak-anak dengan gangguan imunitas Riwayat infeksi saluran nafas

- Riwayat diare akut dalam waktu dekat (khususnya pada bayi <12 bulan) - Riwayat diare persisten sebelumnya. - Obat antidiare, karena berhubungan dengan menurunnya motilitas gastrointestinal. - Antimikroba, termasuk antibiotik dan anti-parasit.

Sumber: WHO11

Kelompok penderita diare persisten terbanyak adalah kelompok usia < 12 bulan. Hal ini didukung dengan studi Fraser et al (1998) yang mengemukakan bahwa kejadian diare persisten paling banyak pada anak usia ≤ 3 bulan. Studi yang dilakukan di Bangladesh menunjukkan bahwa rata-rata usia anak penderita diare persisten adalah 10,7 bulan. Baqui et al (1993) menyatakan bahwa kelompok usia terbanyak penderita diare persisten adalah usia kurang dari 1 tahun.30,31 Kejadian diare persisten sangat terkait dengan pemberian ASI dan makanan. Penderita diare persisten rata-rata mendapatkan ASI eksklusif 2,5 bulan lebih singkat dibandingkan

kelompok kontrol. Penundaan pemberian ASI pertama pada awal kelahiran juga merupakan salah satu faktor risiko diare peristen. Pemberian makanan pendamping terlalu dini meningkatkan risiko kontaminasi sehingga insidensi diare persisten semakin tinggi. Oleh karena itu, pencegahan terhadap kejadian diare persisten meliputi pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, pemberian makanan tambahan yang higienis, dan manajemen yang tepat pada diare akut sehingga kejadian diare tidak berkepanjangan. Manajemen diare akut yang tepat meliputi pemberian ORS, manajemen nutrisi dan suplementasi zinc.29,32

Diare Persisten pada Kondisi Khusus 1. Diare persisten pada Infeksi HIV Diare persisten merupakan salah satu menifestasi klinis yang banyak dijumpai pada penderita HIV. Studi di Zaire menunjukkan bahwa insidensi diare persisten lima kali lebih tinggi pada anak-anak dengan status HIV seropositif. Faktor penting yang meningkatkan kerentanan anak-anak dengan HIV terhadap kejadian diare persisten adalah jumlah episode diare akut sebelumnya. Setiap episode diare akut pada pasien HIV meningkatkan risiko 1,5 kali untuk terjadinya diare persisten. Parthasarathy (2006) mengemukakan bahwa skrining yang dilakukan di India menunjukkan 4,1% anak dengan diare persisten berstatus HIV seropositif.9,33,34 Meskipun patogenesis virus HIV dalam menyebabkan diare pada anak-anak belum diketahui secara jelas, diduga kejadian diare persisten pada kasus HIV terkait dengan perubahan status imunitas. Pada infeksi HIV, terjadi penurunan kadar CD4, IgA sekretorik dan peningkatan CD8 lamina propria. Perubahan keadaan ini memacu pertumbuhan bakteri.35,36 Berbagai patogen dari kelompok virus, bakteri dan parasit dapat menyebabkan diare persisten pada HIV. Attili et al (2006) menyebutkan bahwa parasit yang terbanyak dijumpai pada penderita HIV dengan diare persisten adalah Entamoeba histolytica (17,1%). Insidensi infeksi oportunistik ini meningkat pada keadaan kadar CD4 yang rendah. Schmidt (1997) mengemukakan bahwa microsporodia adalah parasit terbanyak penyebab diare persisten pada HIV. Parasit ini menyebabkan pemendekan dan pengurangan luas permukaan villi usus, meskipun kondisi ini juga didapatkan pada pasien-pasien HIV tanpa gejala diare persisten. Selain itu, insidensi defisiensi laktase lebih tinggi pada pasien HIV dengan infeksi microsporidiasis. Grohmann et al (1993) menyatakan bahwa Astrovirus, Picobirnavirus, Calicivirus, dan Adenovirus adalah enterovirus terbanyak pada HIV dengan diare.13,35,36

2. Diare persisten pada keganasan Beberapa tumor dapat menghasilkan hormon yang secara langsung menstimulus sekresi usus dan menyebabkan diare. Ada pula tumor yang dapat menyebabkan gangguan pada absorpsi nutrien dan berdampak pada diare. Pada pancreatic cholera, terbentuk neoplasma sel endokrin pada pankreas yang menghasilkan suatu neurotransmitter dan memicu terjadinya sekresi berlebihan di usus. Pada sindrom carcinoid, terbentuk tumor carcinoid yang mensekresi serotonin, bradikinin, prostaglandin dan substansi P yang kesemuanya

menstimulus proses sekresi di usus. Karsinoma meduller tiroid menghasilkan kalsitonin yang menstimulus sekresi di usus, menyebabkan sekitar 30% penderita karsinoma tersebut mengalami diare. Pada sindroma Zollinger-Ellison (gastrinoma), peningkatan produksi asam lambung yang disebabkan tumor penghasil gastrin dapat mengganggu enzim pencernaan dan menyebabkan presipitasi asam empedu sehingga menyebabkan malabsorpsi zat nutrien. Pada diare jenis ini, tinja memiliki pH yang rendah.36,38 Diare pada keganasan juga berhubungan dengan efek samping kemoterapi. Kemoterapi menyebabkan peradangan membran mukosa traktus gastrointestinal (mukositis). Agenagen kemoterapi yang sering berkaitan dengan diare adalah 5-Fluorouracil dan Irinotecan. 5-Fluorouracil menginduksi diare melalui peningkatan rasio jumlah kripta terhadap villi, sehingga meningkatkan sekresi cairan ke lumen usus.39

Diare persisten dan kronis menjadi suatu masalah kesehatan yang mempengaruhi tingkat kematian anak di Indonesia dan dunia. Patogenesis diare kronis melibatkan berbagai faktor yang sangat kompleks. Hubungan antara diare persisten dengan malnutrisi bagaikan lingkaran setan yang memerlukan penanganan yang integratif dan bertahap sehingga terapi yang dibutuhkan tidak hanya terapi medikamentosa akan tetapi dibutuhkan pula terapi nutrisi yang optimal.

Daftar Pustaka 1.

Black RE, Morris SS, Bryce J. Where and why are 10 million children dying every year? Lancet. 2003; 361: 22362234. 2. MoH I. Indonesia: demographic and health survey. Jakarta: Government of Indonesia. 2003. 3. Kosek M, Bern C, Guerrant RL. The global burden of diarrhoeal disease, as estimated from studies published between 1992 and 2000. Bulletin of the World Health Organization. 2003; 81(3). 4. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IGM RG. Gangguan Absorpsi-Sekresi; Sindroma Diare. Seri Gramik: Gastroenterologi Anak Edisi 2. 1999. 5. Ghishan RE. Chronic Diarrhea. In Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition. WB Saunders, Philadelphia. 2007. 6. Walker-Smith J, Barnard J, Bhutta Z et al. Chronic diarrhea and malabsorption (including short gut syndrome): Working Group Report of the First World Congress of Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition. Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 33 (supplement). 7. Bhutta ZA. Persistent diarrhea in developing countries. Ann Nestle. 2006; 64: 39-47. 8. Kandun, IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia Tahun 2008. Makalah dipresentasikan dalam Annual Scientific Meeting Dies Natalis FK UGM ke-62 dan HUT RSUP Dr. Sardjito ke-26, Simposium Diare Rotavirus di Indonesia: Tantangan dan Harapan. 6 Maret 2008. 9. Parthasarathy P, Mittal SK, Sharma VK. Prevalence of Pediatric HIV in New Delhi. [Indian J Pediatr. 2006; 73(3): 205-7. 10. Roy RR, Roy E, Sultana S, Kawser CA. Epidemiology and Clinical Characteristics of Children with Persistent Diarrhea. Journal of Bangladesh College Physicians and Surgeons. 2006; 24: 3: 105-9. 11. WHO. Persistent diarrhoea in children in developing countries: memorandum from a WHO meeting. Bull World Health Organ. 1988; 66: 709-17. 12. Thomas ED, Fortes A, Green C, Howdel P, Long R, Playford R, Sherriden M, Stevens R, Vallorie R, Walter J, Eddison GM, Heal P, Brighden D. Guidelines For The Investigation Of Chronic Diarrhoea 2nd Ed. GAD. 2003; 52: V1-V15.

13. Grohmann GS, Roger GW, Perreira HG, Monroe SS, Hightower AW, Weber R, Brian RT. Enteric Viruses And Diarrhoea In HIV Infected Patient. 1993; 329: 14-20. 14. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. J Clin Invest. 2003; 111(7): 931-943. 15. Soenarto, SY. Diarrhea Case Management: Using Research Findings Directly For Case Management And Teaching In A Teaching Hospital In Yogyakakarta, Indonesia. Amsterdam. 1997. 16. Sullivan PB. Studies of the Small Intestine in Persistent Diarrhea and Malnutrition: The Gambian Experience, Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 2002; 34: S11-S13. 17. El Mouzan MI. Chronic diarrhea in children: Part II. Clinical Approach and Management. Saudi J Gastroenterol. 1995; 1: 81-6. 18. Kere J, Lohi H, Hoglund P. Genetic disorder of membrane transport: III. Congenital Chloride Diarrhea. Am J Physiol (Gastrointest Liver Physiol.39). 1999; 276: 7-13. 19. Kandun IN. Situasi dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pengendalian Penyakit Diare di Indonesia. Dalam Kumpulan Makalah Kongres Nasional II Badan Koordinasi Gastroenterologi Anak Indonesia. Departemen Kesehatan RI. 2003. 20. Patwari AK, Anand VK, Aneja S, Sharma D. Persistent Diarrhea: Management in a Diarrhea Treatment Unit, Indian Pediatric Journal. 1995; 32: 277-84. 21. Bhutta ZA, Hendricks KM. Nutritional Management of Persistent Diarrhea in Childhood: A Perspective from the Developing World. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition, [Review]. 1996; 22: 17-37. 22. WHO. Persistent Diarrhea and Breastfeeding. WHO. Geneva. 1997. 23. Budiwiarti, YE. Pengaruh Pemberian Bubur Refeeding Tempe Terhadap Diare pada Anak Diare Akut Usia 6-24 Bulan di RS Dr. Cipto Mangunkusumo, FK UGM. 2005. 24. Bhutta ZA, Bird M, Black RE, Brown KH, Gardner JM, Hidayat A, Khatun F, Martorell R, Ninh NX, Penny ME, Rosado JL, Roy SK, Ruel M, Sazawal S, Shankar A (The Zinc Investigator Collaborative Group). Therapeutic effects of oral zinc in acute and persistent diarrhea in children in developing countries: pooled analysis of randomized controlled trials. Am J Clin Nutr. 2000; 72: 1516-22. 25. WHO. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines for the Management of Common Illnesses with Limited Resources. WHO Press, Switzerland. 2006. 26. Gaon D, Garcia H, Winter L, Rodriguez N, Quintas R, Gonzales SN, Oliver G. Effect of Lactobacilles Strain And Saccharomices Boulardie On Persistent Diarrhoea In Children. MEDICINA. 2003; 63: 293-298. 27. Johnston DC, Supina AL, Ospina M, Vohla S. Probiotic For The Prevention Of Pediatric Antibiotic Associated Diarrhoea. [Review Online]: Cochrain Database Of Systematic Review. 2008, Issue 1. 28. Sudigbia I. Pencegahan dan Pengelolaan Diare Kronis. Dalam Sudigbia I, Harijono R, dan Sumantri A: Naskah Lengkap PB IKA Penyakit Gastroenterologi. 1987. 29. The Treatment of Diarrhoea: A Manual for Physicians and Other Senior Health Workers. WHO. 2005. 30. Baqui AH, Sack RB, Black RE, Chowdhury HR, Yunus M, Siddique AK. Cell-Mediated Immune deficiency and Malnutrition are Independent Risk Factors for Persistent Diarrhea in Bangladesh Children. Am J Clin Nutr. 1993; 58: 543-548. 31. Fraser D, Dagan R, Porat N, El-On J, Alkrinawi S, Deckelbaum RJ, Abraham D, Naggan L. Persistent Diarrhea in a Cohort of Israeli Bedouin Infants: Role of Enteric Pathogens and Family and Environmental Factors. JID. 1998; 178: 1081-8. 32. Badruddin SH, Islam A, Hendricks KM, Bhutta ZA, Shaikh S, Snyder JD, Molla AM. Dietary risk factors associated with acute and persistent diarrhea in children in Karachi, Pakistan. Am J Clin Nutr. 1991; 54: 745-9. 33. Thea DM, St.Louis ME, Atido U, Kanjinga K, Kembo B, Matondo M, Tshiamala T, Kamenga C, Davachi F, Brown C, Rand WM, Keusch GT. A Prospective Study of Diarrhea and HIV-1 Infection among 429 Zairian Infants. N Engl J Med., 1993; 329: 1696-1702. 34. Winter H. Gastrointestinal Tract Function and Malnutrition In HIV Infected Children. J. Nutr. 1996; 126: 2620s2622s. 35. Attili SVS, Gulati AK, Varma DV, Rai M, Sundar S. Diarrhea, CD4 counts and enteric infections in a hospitalbased cohort of HIV-infected patients around Varanasi, India. BMC Infectious Diseases. 2006: 6: 39. 36. Galal OM. Persistent diarrhea as an emerging child health problem. Saudi J Gastroenterol. 1997; 3: 34-40. 37. Schmidt W, Schneider T, Heize W, Schultz D, Weinke T, Ignatius R, Owen EY, Zeitz, Reichen T, Ulrich R. Mucosal Absorbtion In Microsporidiasis. AIDS. 1997; 11: 1589-1594. 38. Vernacchio L, Zina RM, Mitchell AA, Lesko SM, Laut AG, Achesson DWK. Characteristic Of Persistent Diarrhoea In A Community Based Cohort, Community Of Young US Children. Journal Of Pediatric Gastroenterology And Nutrition. 2006; 43: 52-58. 39. Wisinski K, Benson III A. Chemoterapy-Induced Mucositis: Focusing on Diarrhea. J Support Oncol. 2007; 5: 270-271.

BAB VIII MUNTAH Badriul Hegar

Ilustrasi kasus Bayi berumur 9 bulan, selalu rewel dan menolak bila diberikan minum/makan sejak berumur 4 bulan. Berbagai jenis susu formula dan makanan padat telah dicoba diberikan kepadanya tetapi tetap tidak memperlihatkan perubahan. Sejak lahir, bayi sering ‘gumoh’ dan sejak umur 4 bulan kenaikan berat badan hanya 100-150 gram perbulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi sadar, berat badan 6.600 gram, panjang badan 72 cm (BB/TB<70%), dan tanda vital dalam batas normal. Jantung dan paru tidak ada kelainan, perut lemas, bising usus normal, dan ekstremitas menunjukkan perfusi perifer baik. Pemeriksaan laboratorium rutin memperlihatkan gambaran anemia mikrositik hipokromik. Adanya regurgitasi sejak lahir yang disertai gejala klinis menolak minum/makan, rewel setiap diberi makan, kenaikan berat badan yang tidak optimal, dan gambaran anemia mikrositik hipokromik perlu dipikirkan adanya refluks gastroesofagus patologis (gastroesofagitis refluks). Untuk membuktikan diagnosis tersebut dilakukan pemantauan pH esofagus (pH-metri) dan endoskopi. Nilai indeks refluks (IR) pH-metri pada pasien ini sebesar 12%. Nilai IR di atas 10% sangat mendukung gejala klinis dan merupakan indikasi kuat untuk dilakukan endoskopi. Gambaran erosi pada sepertiga distal esofagus (endoskopi) dan esofagitis derajat 2 (histopatologi) pada pasien ini menegakkan diagnosis gastroesofagitis refluks. Pasien mendapat terapi parental reassurance, thickening milk, posisi supine 450-600, dan obat: cisaprid 3 x 1,25 mg dan ranitidin 2 x 15 mg yang dievaluasi setiap 1-2 bulan tergantung perbaikan klinis, gambaran endoskopi dan histopatologi.

Pendahuluan Saluran pencernaan dapat diibaratkan sebagai sekelompok organ berbentuk corong yang saling berhubungan dan membentuk satu tabung yang dilapisi oleh otot; mulai dari rongga mulut sampai ke anus. Berdasarkan perbedaan diameter dan fungsi karakteristik yang dimilikinya, saluran tersebut dapat dibedakan menjadi esofagus, lambung, usus halus, usus besar (kolon), rektum, dan anus. Hati dan limpa merupakan organ lain yang ikut berperan dalam proses pencernaan dengan mensekresi cairannya ke dalam saluran cerna. Salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak akibat adanya gangguan pada saluran cerna adalah muntah. Keadaan ini dapat merupakan menifestasi klinis dari satu keadaan yang tidak berbahaya, tetapi dapat pula sebagai tanda dari suatu penyakit ‘serius’. Muntah bukan merupakan satu penyakit melainkan merupakan salah satu manifestasi klinis

dari suatu penyakit. Oleh karena itu, pendekatan diagnosis dan tata laksana muntah sangat bervariasi bergantung kepada dugaan penyebabnya.1,2,3 Dua organ saluran pencernaan yang paling terlibat pada proses muntah adalah esofagus dan lambung. Oleh karena itu, pemahaman anatomi dan fisiologi kedua organ tersebut sangat penting.

Fisiologi Menelan Proses menelan sendiri telah terjadi pada saat janin. Menelan akan menimbulkan suatu gerakan peristaltik yang dimulai dari farings, selanjutnya melalui otot serat lintang dan otot polos esofagus dan berakhir pada kardia lambung. Pada awal menelan, sfingter esofagus atas (SEA) mengalami relaksasi yang menyebabkan makanan/minuman dapat masuk ke dalam esofagus. Sfingter esofagus atas merupakan bagian penting karena berfungsi mencegah regurgitasi dari esofagus ke dalam rongga mulut dan larings. Epitel skuamosa yang melapisi SEA berfungsi sebagai proteksi terhadap bahan makanan kasar. Begitu makanan/minuman masuk ke dalam esofagus, SEA segera menutup dan terjadi gerakan peristaltik esofagus. Sfingter esofagus bawah (SEB) juga mengalami relaksasi pada saat proses menelan berlangsung dan terus terbuka sampai gerakan peristaltik mencapai SEB. Selanjutnya, SEB berkontraksi kembali sampai mencapai tekanan pada saat istirahat. Gerakan peristaltik tersebut disebut sebagai peristaltik primer yang akan menurun pada saat tidur. Pada saat menelan terdapat pula peristaltik sekunder yang bertujuan mendorong bahan refluks kembali ke dalam lambung. Peristaltik sekunder juga dapat terjadi bila terdapat makanan di dalam esofagus yang tidak terdorong oleh peristaltik primer ke dalam lambung. Nervus vagus berperan dalam proses menelan dengan mengatur gerakan otot rongga mulut, farings, serta kontraksi otot serat lintang dan otot polos. Pada saat menelan, tekanan SEB menurun sehingga mirip dengan tekanan lambung.4,5,6 Beberapa keadaan dapat mempengaruhi kompetensi otot SEB, antara lain lengkung diafragma terutama pada saat tekanan intraabdomal meningkat, faktor hormonal, obat, dan makanan. Motilin, protein, dan prokinetik meningkatkan tekanan SEB, sedangkan progesteron, sekretin, kolesistokinin, lemak, alkohol, cokelat, dan berbagai obat (benzodiazepin, teofilin, atropin) menurunkan tekanan SEB.7,8,9 Lambung terdiri atas fundus, korpus, antrum, dan pilorus yang mempunyai fungsi berbeda1. Motilitas lambung merupakan aktivitas otot polos yang mendapat persarafan dari saraf intrinsik (nervus vagus) dan ekstinsik (pleksus mienterikus). Berdasarkan fungsinya sebagai organ yang berperan dalam motilitas, lambung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu bagian proksimal (fundus dan 1/3 proksimal korpus) dan bagian distal (2/3 distal korpus, antrum, dan pilorus).10,11,12 Dalam keadaan istirahat terdapat gerakan siklus gastrointestinal yang dikenal dengan migrating motor complex (MMC). Pada keadaan ini, sebagian otot polos bagian proksimal lambung dalam keadaan kontraksi sedangkan bagian distal relaksasi. Respons terhadap proses menelan, bagian proksimal akan mengalami relaksasi sehingga dapat mengakomodasi makanan yang masuk ke dalam lambung. Pada saat relaksasi terjadi peningkatan tekanan intralumen

fundus yang berperan dalam pengosongan lambung dari bahan makanan yang berbentuk cair, sedangkan gerakan peristaltik antrum berperan penting dalam pengosongan lambung dari bahan makanan berbentuk padat. Bagian distal lambung memegang peran penting dalam mixing dan emptying.10,11,12 Saluran cerna juga mendapat persarafan intrinsik dari sistem saraf enterik yang terdapat pada lapisan muskularis (pleksus mienterikus) dan submukosa (pleksus Meissner). Nervus vagus menggunakan pleksus mienterikus sebagai relay neurons. Dari berbagai neurotransmiter yang ada, asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting dalam aktivitas motorik saluran cerna. Aktivitas motorik saluran cerna terutama diatur oleh sistem saraf enterik. Sistem saraf enterik dapat menerima impuls aferen secara langsung dari saluran cerna dan memberikan respons langsung tanpa keterlibatan nervus vagus. Oleh karena itu, sistem saraf enterik disebut sebagai ‘otak kecil’ saluran cerna.10,11,12

Definisi Secara klinis, kadangkala sulit dibedakan antara muntah, refluks gastroesofagus (RGE), dan regurgitasi. Muntah didefinisikan sebagai dikeluarkannya isi lambung melalui mulut secara ekspulsif melalui mulut dengan bantuan kontraksi otot-otot perut. Usaha untuk mengeluarkan isi lambung akan terlihat sebagai kontraksi otot perut. Sedangkan, RGE didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke dalam esofagus tanpa terlihat adanya usaha dari anak, dapat disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian bawah, posisi abnormal sambungan esofagus dengan kardia, atau pengosongan isi lambung yang padat. Apabila bahan dari lambung tersebut dikeluarkan melalui mulut, maka keadaan ini disebut sebagai regurgitasi.6,10 Regurgitasi terjadi akibat gerakan antiperistaltik esofagus. Sedangkan ruminasi yaitu pengeluaran makanan secara sadar untuk dikunyah kemudian ditelan kembali.1,2,7

Patogenesis Muntah berada di bawah kendali sistem saraf pusat dan 2 daerah di medula oblongata, yaitu nukleus soliter dan formasi retikular lateral yang dikenal sebagai pusat muntah. Pusat muntah di medula diaktifkan oleh impuls yang berasal dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berada di dasar ventrikel IV. Chemoreceptor trigger zone merupakan tempat berkumpulnya impuls aferen yang berasal dari bahan endogen/eksogen atau impuls dari saluran cerna atau tempat lainnya yang dihantarkan melalui nervus vagus. Pada CTZ juga dtemukan berbagai neurotransmiter, reseptor, dan enzim. Reseptor terhadap dopamin ditemukan pada daerah ini.1,13 Proses muntah sendiri mempunyai 3 tahap, yaitu nausea, retching, dan emesis. Nausea merupakan sensasi psikis yang disebabkan oleh berbagai stimulus baik pada organ visera, labirin, atau emosi. Fase ini ditandai oleh adanya rasa ingin muntah pada perut atau

kerongkongan dan sering disertai berbagai gejala otonom seperti bertambahnya produksi air liur, berkeringat, pucat, takikardia, atau anoreksia. Pada saat nausea, gerakan peristaltik aktif berhenti dan terjadi penurunan kurvatura mayor lambung bagian bawah secara mendadak. Tekanan pada fundus dan korpus menurun, sedangkan kontraksi di daerah antrum sampai pars desendens duodenum meningkat. Bulbus duodenum menjadi distensi sehingga dapat menyebabkan refluks duodenogaster. Selain itu juga terjadi peristaltik retrograd mulai dari jejunum sampai ke lambung. Adanya refluks duodenogaster tersebut menerangkan bahwa muntah yang bercampur empedu tidak selalu disebabkan obstruksi usus. Fase ini tidak selalu berlanjut ke fase retching dan emesis. Muntah yang disebabkan oleh tekanan intrakranial meninggi dan obstruksi usus tidak memperlihatkan gejala nausea.1,13 Pada fase retching terjadi inspirasi dengan gerakan otot napas spasmodik yang diikuti dengan penutupan glottis. Keadaan ini menyebabkan tekanan intratoraks negatif dan pada saat yang sama terjadi pula konstraksi otot perut dan diafragma. Fundus mengalami dilatasi, sedangkan antrum dan pilorus mengalami kontraksi. Sfingter esofagus bagian bawah membuka tetapi sfingter bagian atas masih menutup. Fase retching-pun dapat terjadi tanpa harus diikuti oleh fase emesis.1,13 Fase emesis ditandai dengan adanya isi lambung yang dikeluarkan melalui mulut. Pada keadaan ini terjadi relaksasi diafragma, perubahan tekanan intratoraks dari negatif menjadi positif, dan relaksasi sfingter esofagus bagian atas yang mungkin disebabkan oleh peningkatan tekanan intralumal esofagus.1,13

Etiologi Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi dan tergantung dari usia. Beberapa keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti gangguan pada lambung atau usus (infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada telinga bagian dalam (dizziness dan motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat (trauma, infeksi), atau akibat makan yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus merupakan penyebab muntah pada bayi. Beberapa penyebab muntah yang sering ditemukan pada anak berdasarkan lokasi kelainan dan usia dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.

Tabel 8.1. Penyebab muntah pada neonatus Saluran cerna Obstruksi

Non-obstruksi

Atresia esofagus

Gastroenteritis

Stenosis pilorus

NEC

M. Hirschsprung

Kalasia

Luar cerna SSP TIK meninggi Meningitis Efusi subdural Hidrosefalus

Non-organik

Organ lain Sepsis

Iritasi C. amnion

Insuf. ginjal

Teknik minum

Inf. saluran kemih

Obat

Malrotasi usus

Hiperplasia

Iritasi as.lambung

adrenal

Hernia hiatus

Inborn

Ileus mekonium

error

metab.

Laktobezoar Sumber : Dodge1

Tabel 8.2. Penyebab muntah pada bayi Saluran cerna Obstruksi

Luar saluran cerna

Non-obstruksi

SSP

Non-organik

Organ lain

Stenosis pilorus

RGE

Meningitis

Inf. saluran napas

Teknik makan

Antral web

Intoleransi

Ensefalitis

Inf. saluran kemih

Erofagi

TIK meninggi

Otitis media

Motion sicknes

Hepatitis

Obat

laktosa

Intususepsi

CMPSE

Volvulus

Gastroenteritis

Insufisiensi adrenal

NEC

Gangguan metabolik

Sumber : Dodge1

Tabel 8.3. Penyebab muntah pada anak Saluran cerna Obstruksi Intususepsi Obstruksi usus

Non-obstruksi Gastroenteritis Apendisitis

Akalasia

Gastritis

Striktur (ingesti bahan

Ulkus peptikum

kaustik)

Luar saluran cerna

Keracunan makan

SSP TIK meninggi Infeksi SSP Hidrosefalus

Non-organik

Organ lain Inf. saluran napas

Psikogenik

Inf. saluran kemih

Menarik

Otitis media Henoch-Schonlein Torsio testis

perhatian Motion sicknes Obat

Sumber : Dodge1

Oleh karena begitu besarnya variasi penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan muntah pada anak, maka pengenalan keluhan dan gejala klinis yang spesifik dari masingmasing penyakit tersebut sangat diperlukan oleh seorang dokter sebagai langkah awal melakukan pendekatan diagnosis. Langkah awal yang tepat akan memberikan keakuratan diagnosis yang cepat. Pada BAB ini tidak akan dibahas secara rinci penyebab muntah tersebut, tetapi akan diuraikan pendekatan diagnosis secara umum.1,9,14

Manifestasi Klinis Muntah pada anak biasanya merupakan suatu petanda adanya infeksi. Muntah pada seorang anak yang mengalami infeksi biasanya disertai oleh gejala lainnya seperti demam, mual, sakit perut, atau diare. Keadaan ini biasanya akan berhenti dalam waktu 6-48 jam. Apabila muntah terus berlangsung perlu dipikirkan adanya suatu keadaan yang lebih serius. Anak mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi dehidrasi, terutama apabila disertai diare. Infeksi virus merupakan penyebab terbanyak diantara patogen lainnya. Muntah yang disertai demam lebih sering disebabkan oleh infeksi bakteri dibanding virus atau parasit. Adanya penyakit peptikum perlu dipikirkan bila muntah terjadi segera setelah makan, sedangkan muntah yang disebabkan oleh keracunan makanan biasanya terjadi 1-8 jam setelah makan. Muntah akibat food borne disease seperti Salmonella memerlukan waktu yang lebih lama untuk menimbulkan gejala klinis karena diperlukan waktu untuk inkubasi. Kandidiasis oral sering pula sebagai penyebab muntah pada bayi.1,3,15 Muntah proyektil non-bilious berulang pada bayi dapat merupakan tanda obstruksi saluran cerna, misalnya stenosis pilorus. Stenosis pilorus sering ditemukan pada minggu kedua setelah lahir, walaupun sangat jarang dapat pula ditemukan sejak lahir. Muntah persisten pada neonatus yang terjadi pada malam hari perlu dipikirkan kemungkinan adanya hernia hiatus. Penyakit pankreatitis jarang ditemukan pada anak. Penyebab tersering kelainan ini adalah infeksi virus, obat-obatan, dan trauma. Selain muntah, anak memperlihatkan gejala sakit perut di daerah epigastrium dan perut sebelah kiri atas yang kadang-kadang menyerupai gastritis tetapi tidak memperlihatkan perbaikan setelah diberi obat antagonis reseptor H2.1,16,17 Satu hal penting yang juga harus dipahami pada seorang anak yang mengalami muntah adalah menentukan adanya kelainan yang memerlukan tindakan bedah segera. Kelainan ini umumnya digolongkan ke dalam kelompok penyakit perut akut. Ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai petanda kecurigaan terhadap kelainan tersebut, yaitu (1) nyeri perut yang timbul mendahului muntah dan/atau berlangsung selama lebih dari 3 jam, (2) muntah bercampur empedu, dan (3) distensi perut. Volvulus pada neonatus memperlihatkan muntah berwarna hijau yang timbul pada hari-hari pertama kehidupan dan selanjutnya diikuti tanda

obstruksi saluran cerna letak tinggi dan peritonitis. Muntah ditemukan pada 90% anak dengan volvulus, sedangkan sakit perut pada 80% anak.1,18 Muntah dapat pula disebabkan oleh kelainan di luar saluran cerna seperti infeksi saluran napas atau saluran kemih. Beberapa obat dapat pula sebagai pencetus muntah pada anak seperti histamin, fenitoin, (obat anti epilepsi), kemoterapi, aspirin, dan beberapa antibiotika. Muntah setelah trauma kepala yang ringan ditemukan pada 15% anak dan sebagian besar mempunyai riwayat sakit kepala berulang dan motion sickness.3 Oleh karena itu, muntah pada trauma kepala ringan lebih dihubungkan dengan adanya faktor intrinsik individual. Muntah akibat kelainan fungsional biasanya ditemukan pada anak berusia 2-7 tahun dengan disertai keluhan migrain, motion sickness, dan gangguan saluran cerna fungsional lainnya (sakit perut, gangguan defekasi). Saat keluhan, adanya gangguan tingkah perilaku seperti anoreksia atau bulimia nervosa perlu dipikirkan adanya kelainan psikiatri. Secara garis besar pendekatan diagnosis muntah pada anak dapat dirangkum sebagai berikut: -

tegakkan/singkirkan penyakit infeksi sebagai penyebab muntah (misalnya otitis media, diare, infeksi intrakranial, infeksi saluran kemih atau napas, sepsis, atau hepatitis) tegakkan/singkirkan kelainan organik saluran cerna (misalnya atresia esofagus, RGE, stenosis pilorus, M. Hirschsprung, penyakit peptikum) cari kemungkinan adanya masalah dalam makanan (misalnya intoleransi laktosa, alergi makanan, kebanyakan makan, teknik pemberian makan/minum yang salah) cari kemungkinan adanya pengaruh obat-obatan, kelainan psikologi, dan kelainan metabolik.1,9

Diagnosis16,19,20,21,22,23 Pendekatan untuk identifikasi masalah sangat penting, yang meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Usia dan jenis kelamin Tentukan terlebih dahulu apa yang dihadapi: muntah/yang lain Bagaimana keadaan gizi anak Adakah faktor predisposisi Apakah ada penyakit yang menyerang anak secara interkuren Bagaimana bentuk (isi) muntahan, apakah seperti susu/makanan asal (tanda isi dari esofagus), atau telah merupakan susu yang telah menggumpal (isi lambung) atau mengandung empedu (isi duodenum), atau adakah darah 7. Apakah saat muntah berhubungan dengan saat makan/minum 8. Apakah perubahan posisi tubuh mempengaruhi muntah 9. Informasi diet: kualitas, kuantitas, dan frekuensi makan (terutama untuk anak kecil) 10. Bagaimana teknik pemberian minum 11. Bagaimana kondisi psikososial di rumah Pemeriksaan penunjang dilaksanakan untuk membantu pendekatan diagnosis. Jenis pemeriksaan yang dipilih sesuai dengan dugaan diagnosis berdasarkan anamnesis dan manifestasi klinis. Pemeriksaan penunjang dapat berupa pemeriksaan darah, radiologis dengan

atau tanpa kontras, ultrasonografi, endoskopi, pemantauan pH esofagus (pH-metri), uji hidrogen napas, biopsi mukosa saluran cerna.16,19,23 Muntah hijau pada neonatus baik yang disertai atau tidak disertai distensi abdomen dapat merupakan petanda awal obstruksi saluran cerna. Pipa nasogastrik harus segera dipasang untuk dekompresi lambung. Pemeriksaan foto polos perut yang memperlihatkan dilatasi usus dan air-fluid levels menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna yang memerlukan tindakan bedah. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan kontras dapat membedakan adanya atresia duodeni, malrotasi midgut, volvulus, atresia jejunum, atau ileus yang merupakan penyebab obstruksi saluran cerna paling sering pada neonatus.7,16,19 Kecurigaan klinis adanya stenosis pilorus dapat dibuktikan dengan pemeriksaan barium meal atau ultrasonografi yang memperlihatkan gambaran khas. Adanya refluks gastroesofagus (RGE) dapat dibuktikan dengan pemantauan pH esofagus selama 24 jam (pH-metri). Indeks refluks di atas 5% menunjukkan adanya RGE patologis. Esofagitis dan penyakit peptikum (erosi, ulkus) dapat dibuktikan dengan pemeriksaan endoskopi dan biopsi mukosa saluran cerna. Kecurigaan terhadap intoleransi laktosa dan overgrowth bacteria dibuktikan dengan pemeriksaan uji hidrogen napas. Peningkatan kadar H2 napas diatas 20 ppm pada menit ke 60120 setelah minum larutan laktosa menunjukkan adanya malabsorpsi laktosa, sedangkan peningkatan pada menit ke-30 menunjukkan overgrowth bacteria. Pemeriksaan darah perifer dan urin diperlukan untuk melihat kemungkinan adanya infeksi yang mendasari keluhan tersebut, sedangkan pemeriksaan analisis gas darah dan elektrolit dilakukan bila diduga telah terjadi komplikasi gangguan metabolik atau sebaliknya adanya kecurigaan gangguan metabolik yang mendasari keluhan tersebut.16,19,22

Terapi Terapi utama muntah ditujukan untuk mencari dan mengatasi penyebabnya, sedangkan terapi suportif diperlukan untuk mencegah keadaan yang lebih buruk dan mengatasi komplikasi yang telah terjadi. Beberapa petunjuk di bawah ini dapat dipakai sebagai terapi awal muntah pada anak, yaitu: -

Apabila tidak ada obstruksi saluran cerna, muntah biasanya akan berhenti dalam waktu 6-48 jam. Atasi dan cegah dehidrasi serta gangguan keseimbangan elekrolit. Anak diistirahatkan (sebaiknya di tempat tidur) sampai merasa lebih enak atau tidak ada muntah lagi selama 6 jam. Hentikan obat-obatan yang diduga dapat mengiritasi lambung dan membuat muntah bertambah (misalnya aspirin, asetosal, kortikosteroid, antibiotik golongan makrolid). Hindarkan makanan padat pada 6 jam pertama dan berikan rasa nyaman pada anak selama periode ini (misalnya dengan menurunkan suhu tubuh). Berikan makanan yang mudah dicerna sehingga membantu proses penyembuhan saluran cerna yang mengalami gangguan. Berikan minuman manis seperti jus buah (kecuali jeruk dan anggur karena terlalu asam), sirup, atau madu (untuk anak di atas 1 tahun) secara bertahap setiap 15-20 menit

-

-

-

-

sebanyak 1-2 sendok teh. Cairan lain yang dapat pula diberikan antara lain kaldu ayam, atau oralit. Setelah 1 jam pertama dapat diberikan minuman dengan jumlah yang lebih banyak (2-4 sendok teh setiap 15-20 menit) secara bertahap dan ditingkatkan 2 kali setiap 1 jam. Apabila terjadi muntah kembali, berikan minuman dalam jumlah lebih sedikit. Pemberian minum ad libitum pada anak terutama bayi mempunyai risiko terjadi muntah yang berulang. Setelah 3 jam tidak mengalami muntah, dapat diberikan minuman melalui gelas (anak) atau botol (bayi) dengan jumlah yang ditingkatkan secara bertahap pula. Setelah 6 jam tidak mengalami muntah, bayi dapat diberikan buah pisang, sereal, dan jus apel, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat diberikan roti, krakers, madu, sup ayam, kentang atau nasi. Jenis dan jumlah makanan juga diberikan secara bertahap. Diet normal biasanya dapat diberikan setelah 24 jam. Hindarkan aktivitas setelah makan. Obat anti muntah diberikan bila memang benar-benar diperlukan. Pemberian obatobatan ini harus mempertimbangkan keuntungan dan kerugiannya. Obat diberikan bila anak menolak minum setelah muntah atau muntah telah berlangsung lebih dari 24 jam. Pemantauan lebih teliti perlu diberikan bila ditemukan keadaan sebagai berikut: muntah tetap berlangsung selama 12 jam (untuk bayi) dan 24 jam (untuk anak), muntah disertai diare, disertai gangguan neurologis, letargi, tanda dehidrasi dan sakit perut, gangguan pernapasan, atau isi muntah berwarna kehijauan.19,23,24

Obat anti muntah tidak digunakan secara rutin pada anak, tetapi hanya pada anak yang menolak minum setelah muntah atau muntah berlangsung lebih dari 24 jam sehingga dikhawatirkan keadaan tersebut akan menimbulkan komplikasi baik berupa dehidrasi maupun gangguan keseimbangan elektrolit dan gas darah. Obat anti muntah dapat langsung diberikan pada kasus yang mendapat kemoterapi atau radioterapi. Hal yang paling penting adalah harus diyakini bahwa tidak ada obstruksi saluran cerna.23,25 Berbagai jenis obat dilaporkan sebagai obat anti muntah seperti golongan antagonis reseptor dopamin, antikolenergik, antihistamin, dan antagonis reseptor serotonin. Pemilihan golongan obat tersebut bergantung dari patofisiologi muntah yang terjadi. Pada motion sicknes terjadi gangguan sistem vestibular, maka golongan antikolinergik (misalnya skopolamin) merupakan obat pilihan. Golongan antihistamin (hyoscine hydrobromide, prometazin) yang bekerja pada ’pusat muntah’ juga dapat digunakan pada keadaan tersebut. Golongan antagonis reseptor serotonin (ondansetron) yang bekerja pada CTZ sangat efektif pada kasus yang mendapat kemoterapi dan radioterapi.25 Gangguan pada saluran cerna seperti yang terjadi pada infeksi, golongan antagonis reseptor dopamin yang bekerja pada pusat (CTZ) dan perifer (saluran cerna) merupakan obat pilihan. Dari golongan tersebut, metoklopramid dan domperidon merupakan jenis obat yang banyak digunakan sebagai antimuntah. Metoklopramid mempunyai efek menghambat reseptor dopamin di CTZ, sehingga mengurangi nausea dan muntah. Berbagai gejala seperti ansietas, tremor, distonia dan diskenesis pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan obat ini.26,27

Domperidon banyak digunakan sebagai obat anti muntah karena efeknya yang positif dan efek sampingnya kecil (0.5%). Obat ini selain menghambat reseptor dopamin di CTZ, juga pada reseptor dopamin perifer (saluran cerna). Efek positif yang diperlihatkan setelah pemberian domperidon, antara lain meningkatkan tekanan SEB, meningkatkan kontraktilitas lambung, memperbaiki koordinasi antroduodenum, dan mempercepat pengosongan lambung. Domperidon mempunyai bioavailabilitas yang rendah karena dimetabolisme secara cepat di dinding usus dan hati. Domperidon dapat ditoleransi lebih baik dan mempunyai efek samping ekstrapiramidal yang lebih kecil dibanding metoklopramid karena berkemampuan kecil menembus sawar darah otak. Dosis yang dianjurkan pada anak adalah 0,2 -0,4 mg/kgBB/hari peroral.28

Komplikasi Kehilangan cairan dan elektrolit, aspirasi isi lambung, malnutrisi dan gagal tumbuh, sindrom Mallory-Weiss (robekan pada epitel gastroesophageal junction akibat muntah yang berulang), sindrom Boerhave (ruptur esofagus), dan esofagitis peptikum.1,9

Pencegahan Pencegahan yang dimaksud di sini adalah pencegahan terjadinya komplikasi akibat muntah, seperti gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (dehidrasi, asidosis/alkalosis metabolik, hipokalemia, hiponatremia), aspirasi, gangguan nutrisi, esofagitis peptikum, dan sindrom Mallory-Weiss. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan mengikuti petunjuk tata laksana muntah pada anak seperti yang diuraikan sebelumnya17,29

Kesimpulan Muntah merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering diperlihatkan oleh seorang anak yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan maupun di luar saluran pencernaan. Penyebab muntah pada anak sangat bervariasi, oleh karena itu pengenalan manifestasi klinis spesifik dari masing-masing penyakit yang sering sebagai penyebab muntah perlu dipahami oleh seorang dokter. Pendekatan diagnosis yang tepat dan cepat akan menimbulkan penatalaksanaan yang optimal. Penggunaan obat anti muntah bukan merupakan pilihan utama pada kasus muntah, tetapi pada beberapa keadaan, obat anti muntah yang efektif dan aman sangat diperlukan.

Daftar pustaka 1.

Dodge JA. Vomiting and regurgitation. In: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker Smith JA, Watkins JB, eds. Pediatric gastrointestinal diseases, 2nd ed. Philadelphia: BC Decker. 1991: 32-44.

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Fennig S. Cyclic vomiting syndrome. Jounal of pediatric gastroenterology and nutrition. 1999. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diseases of gastrointestinal tract. In: Roy CC, Silverman A, Alagille D, eds. Pediatric clinical gastroenterology, 1st ed. St Louis: Mosby. 1998: 20-30. Biancani P, Zabinski M, Kerstein M, Behar J. Lower esophageal sphincter mechanics: Anatomic and physiologic relationships of the esophagogastric junction of cat. Gastroenterology. 1982; 82: 468-75. Penagini R, Bartesaghi B, Bianchi PA. Effect of cold stress on postprandial lower esophageal sphincter competence and gastrooesophageal reflux in healthy subjects. Dig Dis Sci. 1992; 37: 1200-5. Pope CE. A dynamic test of sphincter strength: Its application to the lower esophageal sphincter. Gastroenterology. 1967; 52: 779-86. Hegar B, Vandenplas Y. Gastro-esophageal reflux in infancy. J. Gastroenterol Hepatol. 1999: 14:13-9. Jan Nissl RN. Bloody or yellow or green liquid (bile) in vomit in children. Healthwise. 2007. Tomomasa T, Kuroume T. Developmental physiology. In : Hyman PE, Lorenzo CD eds. Pediatric gastrointestinal motility disorders, 1st ed. New York : Academy Profesional Information Services. 1994: 1-7. Kumar D. Gross morphology of the gastrointestinal tract. In: Kumar D, Gustavsson eds. Gastrointestinal motility, 1st ed. London: John Wiley & Sons. 1988: 3-8. Li Buk. Cyclic vomiting syndrome: A pediatric Rorschach. J pediatr gastroenterol nutr. 1993. Stendal C. Anatomy of the digestive system. In: Stendal C. ed. Practical guide to gastrointestinal function testing. 1st ed. London: Blackwell Science. 1997: 1-14. Weisbrodt NW. Swallowing. In: Johnson LR, ed. Gastrointestinal physiology. Mosby, Missouri. 1985: 23-31. Dignan F, Symon DNK, Abu Arafeh I, Russel G. The prognosis of cyclical vomiting syndrome. Archives of disease in childhood. 2001. Kimura K, Loening BV. Billious vomiting in the newborn: Rapid diagnosis of intestinal obstruction. Am Fam Physician. 2008; 61: 2791-8. Dinkevich E, Ozuah PO, Adam HM. Pyloric stenosis. Pediatric in review. 2007; 21: 1-3. Lerner A, BranskiD, Lebenthal E. Pancreatic diseases in children. Pediatr Clin North America. 2006; 43: 125-34. Peitz HG. Volvulus in childhood. Radiology. 1997; 37: 439-45. Davies AEM, Sandhu BK. Diagnosis and treatment of gastro-oesophageal reflux. Arch Dis Child. 2005; 73: 82-6. Forbes D. Differential diagnosis of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993. Hegar B, Buller HA. Breath hydrogen test in lactose malabsorption. Paediatr Indones. 1995; 35: 161-71. Hegar B, Vandenplas Y. Electrogastrography in delayed gastric emptying. Paediatr Indones. 1998; 38: 181-90. VandenplasY, Hegar B. Diagnosis and treatment of gastroesophageal reflux diseases in infant and children. J Gastroenterol Hepatol. 2008; 15: 593-603. Fleisher DR. Management of cyclic vomiting syndrome. J pediatr gastroenterol nutr. 1993. The Italian group for antiemetic research. Dexamethasone alone or in combination with ondansetron for the prevention or delayed nausea and vomiting induced by chemotherapy. N Eng J Med. 2007; 342: 1554-9. Batts KF, Munter DW. Metoclopramide toxicity in an infant. Pediatr Emerg care. 1998; 14(1): 39-41. Ganzini L, Casey DE, Hoffman WF, McCall AL. The prevalence of metoclopramide induced tardive dyskinesia and acute extrapyramidal movement disorders. Arch Intern Med. 2003; 153: 1469-75. Vandenplas Y, Hegar B, Salvatore S, Hauser B. Pharmacotherapy of gastrooesophageal reflux disease in children: focus in safety. Expert Opin Drug Saf. 2002; I(4): 355-64. Weber AR, Hyman PE, Cuuhiara S, Fleisher DR, Hyams JS, Milla PJ, Staiano A. Childhood functional gastrointestinal disorders. Gut. 1999; 45(suppl II): 60-8.

BAB IX SAKIT PERUT PADA ANAK Aswitha Boediarso

Ilustrasi kasus Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun 9 bulan dibawa ke Poliklinik anak dengan keluhan utama sakit perut berulang sejak 1 tahun yang lalu. Sakit dirasakan hampir setiap hari di daerah ulu hati yang tidak menjalar. Sakit perut dapat disertai dengan mual atau muntah. Pasien dilahirkan cukup bulan, spontan, ditolong dokter dan langsung menangis. Berat lahir 3.000 gram dan panjang badan saat lahir 49 cm. Riwayat imunisasi dasar lengkap. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan terkesan normal. Riwayat makanan menunjukkan kualitas dan kuantitasnya terkesan cukup. Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada pemeriksaan fisik didapatkan seorang anak lelaki dengan berat badan 19,5 kg dan tinggi badan 117 cm. Keadaan umum baik, sadar, tidak terlihat pucat maupun sesak nafas. Laju denyut jantung sama dengan laju denyut nadi 100 x/menit, laju napas 28 x/menit dan suhu 36.7oC. Bunyi jantung I – II normal, tidak ada bising maupun irama derap. Gerakan nafas simetris, suara nafas vesikular, tidak didapatkan adanya ronki maupun mengi. Perut teraba lemas, turgor cukup dan didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium. Hati dan limpa tidak teraba, tidak teraba massa, dan bising usus terdengar normal. Alat gerak teraba hangat dengan perfusi perifer baik. Saat itu ditegakkan diagnosis sakit perut berulang yang diduga disebabkan oleh gastritis yang dipikirkan akibat infeksi H. pylori. Pasien kemudian mendapat terapi ranitidin 2 x 50 mg. Hasil pemeriksaan penunjang darah tepi memperlihatkan kadar hemoglobin 12,8 g/dl, leukosit 6100/μl, trombosit 315.000/μl, hematokrit 36 vol%, hitung jenis (%): eosinofil 1, batang 0, segmen 53, limfosit 45, dan monosit 1. Pada pemeriksaan serologi IgG anti H. pylori diperoleh hasil negatif. Selanjutnya direncanakan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan endoskopi memperlihatkan gambaran hiperemis pada 1/3 distal mukosa esofagus dan bagian antrum mukosa lambung, sedangkan mukosa duodenum normal. Pada pemeriksaan patologi anatomi dari jaringan biopsi didapatkan gambaran gastritis kronis atrofi aktif dengan H. pylori positif serta tidak ditemukan gambaran keganasan. Pasien kemudian mendapat terapi omeprazol 2 x 10 mg, amoksisilin 2 x 500 mg dan klaritromisin 2 x 250 mg selama 1 minggu. Pada saat kontrol di Poliklinik Anak satu minggu kemudian, tidak didapatkan lagi keluhan sakit perut berulang. Evaluasi hasil eradikasi H. pylori pada satu bulan pasca terapi

dengan melakukan endoskopi ulang memberikan hasil gambaran mukosa esofagus dan lambung normal, sedangkan hasil patologi anatomi jaringan biopsi memberikan gambaran gastritis kronik nonaktif dengan atrofi ringan serta H. pylori negatif.

Pendahuluan1,2,3 Sakit perut pada bayi dan anak merupakan gejala umum dan sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Tidak semua sakit perut berpangkal dari lesi yang ada dalam abdomen, tetapi mungkin pula dari daerah di luar abdomen. Sebagian kasus yang disebabkan oleh gangguan organ datang dalam keadaan akut dan memerlukan pembedahan. Oleh karena itu tindakan pertama dalam menangani sakit perut ialah menentukan apakah penyakit tersebut membutuhkan tindakan bedah segera atau tidak. Disamping sakit perut akut dikenal pula sakit perut berulang. Adapun yang dimaksud dengan sakit perut berulang pada anak ialah serangan sakit perut yang berulang sekurang-kurangnya 3 kali dalam jangka waktu 3 bulan dan mengakibatkan aktivitas sehari-hari terganggu1. Sakit perut berulang biasanya terjadi pada anak yang berusia antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi terbanyak pada usia 5-10 tahun. Sakit perut berulang dilaporkan terjadi pada 10-12% anak usia sekolah di negara maju. Studi epidemiologis di Asia, juga melaporkan prevalensi yg sama. Sebagian besar studi menyebutkan wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria. Sakit perut berulang merupakan gejala yang paling sering dialami oleh anak-anak di seluruh dunia dan menyebabkan tingginya tingkat absensi anak di sekolah serta penggunaan sumber daya kesehatan. Kondisi yang tidak kunjung membaik dan mengganggu menimbulkan ketidakpastian diagnosis, kronisitas dan tingginya kecemasan orangtua. Hal inilah yang menyebabkan manajemen oleh dokter umum maupun spesialis anak menjadi sangat sulit, menghabiskan banyak waktu dan mahal.

Patofisiologi Sakit perut berasal dari 7 sumber: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Distensi viseral Iskemia Radang intraabdominal Kelainan pada dinding abdomen Kelainan ekstraabdominal Kelainan metabolik Kelainan pada susunan saraf Traktus gastrointestinal dan organ di sekitarnya berdasarkan vaskularisasi dan persarafannya secara embriologi berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Orofaring, esofagus, gaster, sebagian duodenum, pankreas, hati, kandung empedu dan limpa berasal dari foregut. Duodenum bagian distal, jejunum, ileum, apendiks, kolon asenden serta sebagian kolon

transversum berasal dari midgut. Kolon transversum bagian distal, kolon desenden, sigmoid dan rektum berasal dari hindgut. Rangsang sakit dari ketiga segmen tersebut dapat tercermin dari letak sakit perut di bagian atas, tengah dan bawah. Peritoneum berasal dari mesoderm. Peritoneum terdiri dari dua lapis, yaitu peritoneum viseralis dan peritoneum parietalis. Peritoneum viseralis dipersarafi bilateral oleh sistem saraf otonom (simpatis dan para simpatis), sedangkan peritoneum parietalis oleh saraf somatis dari medula spinalis. Rasa sakit dari peritoneum viseralis dirasakan di garis tengah perut. Rasa sakit dari peritoneum parietalis terlokalisasi dengan baik, dirasakan di daerah organ itu berada dan sakitnya bertambah bila digerakkan (perut ditekan atau penderita disuruh batuk). Sakitnya dirasakan seperti disayat pisau atau ditusuk-tusuk. Reseptor rasa sakit di dalam traktus digestivus terletak pada saraf yang tidak bermielin yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini disebut sebagai serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa sakit lebih luas dan lebih lama dari rasa sakit yang dihantarkan oleh serabut saraf A yang terdapat di kulit, otot dan peritoneum parietalis. Reseptor nyeri pada perut terbatas di submukosa, lapisan muskularis dan serosa dari organ di abdomen. Serabut C ini bersama dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan paravertebra dan memasuki ganglia akar dorsal. Impuls aferen akan melewati medula spinalis pada traktus spinotalamikus lateralis menuju ke talamus, kemudian ke konteks serebri. Impuls aferen dari visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan hebat ambang nyeri pada jaringan yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal dan berbatas tidak jelas serta sulit dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas (lambung, duodenum, pankreas, hati dan sistem empedu) mencapai medula spinalis pada segmen thorakalis 6, 7, 8 serta dirasakan di daerah epigastrium. Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari ligamentum Treitz sampai fleksura hepatika memasuki segmen th 9 dan 10, dirasakan di sekitar umbilikus. Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih dan traktus genitalis perempuan, impuls nyeri mencapai segmen th 11 dan 12 serta segmen lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah suprapubik dan kadang-kadang menjalar ke labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke peritoneum parietalis maka impuls nyeri dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks spinalis segmentalis dan sakit dirasakan di daerah dimana organ itu berada. Penyebab metabolik seperti pada keracunan timah dan porfirin belum jelas patofisiologi dan patogenesisnya.4,5,6 Patofisiologi sakit perut berulang yang fungsional (tidak berhubungan dengan kelainan organik) masih sulit dimengerti. Diperkirakan ada hubungan antara sakit perut berulang fungsional dengan penurunan ambang rangsang nyeri. Berbagai faktor psikologis dapat berperan sebagai mediator atau moderator dari sakit perut berulang fungsional. Tabel 9.1. Mediator dan moderator dari sakit perut berulang fungsional PSIKOLOGIS

Faktor stres

FISIOLOGIS Intoleransi

Depresi

laktosa

Ikatan keluarga

Dismotilitas usus

Operant conditioning

Konstipasi

Somatisasi

Ketidakstabilan otonom

Sumber: Barr7

Juga diketahui bahwa terdapat hubungan yang kuat antara sakit perut berulang fungsional dengan tipe kepribadian tertentu, yaitu sering cemas/gelisah, dan selalu ingin sempurna. Pada anggota keluarga lainnya juga sering ditemukan kelainan psikosimatik seperti migrain dan kolon iritabel.2,7,8

Patogenesis9,10,11 Mekanisme timbulnya sakit perut adalah: 1.

Gangguan vaskular Emboli/trombosis, ruptur, oklusi akibat torsi atau penekanan. Kejadian ini misalnya terjadi pada putaran kista ovarium dan jepitan usus pada invaginasi.

2.

Peradangan Peradangan organ dalam rongga peritoneal menimbulkan rasa sakit bila proses peradangan telah mengenai peritoneum parietalis. Mekanismenya seperti pada peradangan pada umumnya, yang disalurkan melalui persarafan somatik. Rasa sakit ini dirasakan setempat atau di seluruh perut tergantung pada peritoneum yang meradang, menetap dan bertambah bila terdapat gerakan peritoneum yang meradang (batuk, penekanan pada abdomen).

3.

Gangguan pasase/obstruksi organ yang berbentuk pembuluh, baik yang terdapat dalam rongga peritoneal ataupun di retroperitoneal Organ-organ tersebut ialah saluran pencernaan, saluran empedu, saluran pankreas dan saluran kemih. Bila pasase dalam saluran-saluran tersebut terganggu, baik total maupun parsial, akan timbul rasa sakit akibat tekanan intralumen yang meninggi di bagian proksimal sumbatan. Sakit dirasakan hilang timbul atau terus menerus dengan puncakpuncak nyeri yang hebat (kolik).

4.

Penarikan, peregangan dan pembentangan peritoneum viseralis Misalnya pada pembengkakan hati dan ginjal.

Di dalam praktik, keempat penyebab timbulnya rasa sakit jarang ditemukan sendirisendiri, tetapi umumnya merupakan proses campuran.

Etiologi10,12,13 Etiologi sakit perut akut biasanya dibagi menurut usia ataupun menurut perlunya tindakan bedah atau tidak. Pada tabel 2 dan 3 dapat terlihat etiologi sakit perut akut menurut umur dan perlu tidaknya tindakan bedah. Etiologi sakit perut akut pada neonatus dapat terlihat pada tabel berikut.

Tabel 9.2. Penyebab utama sakit perut akut menurut umur, yang memerlukan tindakan bedah Bayi/anak di bawah usia 2 tahun Abdomen : - Perforasi tukak lambung - Obstruksi usus : intususepsi, volvulus dan malrotasi Luar abdomen : - Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi - Apendisitis dan enterokolitis nekrotikan Anak di atas usia 2 tahun -

Abdomen: Obstruksi - Obstruksi usus akibat perlekatan atau volvulus dan malrotasi - Perforasi akibat obstruksi usus Peradangan - Apendisitis - Peritonitis primer - Peritonitis akibat perforasi divertikulum Meckeli - Perforasi ulkus duodeni atau perforasi akibat demam tifoid - Divertikulitis Meckeli - Kolesistitis dengan/tanpa batu empedu - Megakolon toksik dengan perforasi Trauma - Ruptura limpa, buli-buli atau organ visera yang lain - Hematoma subserosa Pendarahan - Pendarahan ke dalam kista ovarium Di daerah Tropis - Perforasi yang berhubungan dengan askariasis, strongiloidiasis, perforasi abses amuba Luar abdomen: -

-

Torsio testis Hernia inguinalis dengan strangulasi dan inkarserasi

Sumber : Ulshen17

Tabel 9.3. Penyebab non-bedah sakit perut akut Bayi/anak di bawah usia 2 tahun Abdomen: Infeksi intestinal: Salmonella, Shigella, Campylobacter, dll Luar abdomen: Pneumonia Infeksi traktus urinarius Anak di atas usia 2 tahun Abdomen: a.

b.

c.

Intestinal: -

Infeksi: Salmonella, Shigella, Yersinia enterocolitica

-

Keracunan makanan: toksin Staphylococcus, dan lain-lain

-

Penyakit Crohn

- Obstipasi

-

Kolitis ulseratif anaemia

-

-

Kolitis amuba

-

Purpura Henoch-Schonlein mekonium

Sickle

- Adenitis mesenterika -

Hati dan percabangan bilier -

Hepatitis A dan B, mononukleosis infeksiosa

-

Kolelitiasis

Pankreas Pankreatitis akut: infeksi, trauma, akibat lesi bilier, idiopatik

d.

e.

f.

Renal -

Infeksi traktus urinarius

-

Batu

-

Nefritis

Metabolik -

Porfiria

-

Hiperlipidemia

-

Ketoasidosis diabetik

-

Familial mediterranean fever

Ginekologis Salpingitis

Luar abdomen: -

Pneumonia

-

Limfadenitis inguinalis

-

Osteomielitis (vertebra, pelvis)

-

Hematomata otot abdomen

-

Herpes Zoster

cell

Ileus

-

Kompresi saraf spinal

Sumber : Ulshen17

Tabel 9.4. Penyebab sakit perut akut pada neonatus 1.

Malrotasi dengan volvulus midgut Mekonium peritonitis Perforasi viskus

2.

Enterokolitis nekrotikans Apendisitis Ileus mekonium

3.

Enterokolitis o.k. Hirschsprung Pielonefritis Trauma lahir Torsio ovarium Intususepsi Hernia inkarserata

Sumber : Ulshen17

Manifestasi Klinik Pada bayi dan anak manifestasi klinik sakit perut tergantung pada umur penderita. Pegangan yang dipakai untuk mengatakan seorang bayi atau anak sakit perut adalah sebagai berikut:

0 – 3 bulan

Umumnya digambarkan dengan adanya muntah

3 bulan – 2 tahun

Muntah, tiba-tiba menjerit, menangis tanpa adanya trauma yang dapat menerangkannya

2 tahun – 5 tahun

Dapat mengatakan sakit perut tetapi lokalisasi belum tepat

> 5 tahun

Dapat menerangkan sifat dan lokalisasi sakit perut

Anak dengan sakit perut akut biasanya terlihat sangat sakit, menangis, keringat dingin, dengan posisi meringkuk atau membungkuk seperti ingin melindungi perutnya dengan memendekkan otot rektus abdominalis. Disamping sakit perut kadang-kadang ada pula gejalagejala lainnya yang menyertai seperti nausea, muntah, anoreksia, diare dan panas.8,13,14

Pendekatan Diagnosis4,8,14,15,16 Pemeriksaan yang terbaik ialah pada waktu ada serangan meliputi: 1.

Anamnesis Usia Pada usia tertentu insiden sakit perut akut yang memerlukan tindakan bedah cukup tinggi. Misalnya: 6 bulan – 3 tahun: Intususepsi 5 tahun – 14 tahun: apendisitis Jenis Kelamin Rasa sakit a. Lokalisasi Sakit yang disebabkan gangguan saluran pencernaan bagian atas biasanya dirasakan di daerah epigastrium. Gangguan di ileum distal dan appendiks dirasakan di daerah perut kanan bawah. Rasa sakit yang disebabkan oleh infeksi usus lokalisasinya sukar ditentukan. Perubahan lokalisasi sakit perlu ditanyakan pada anak. Bila rasa sakit mula-mula ada di daerah periumbilikus dan kemudian pindah ke daerah perut kanan bawah, ini adalah tanda apendisitis, b. Sifat dan faktor yang menambah/ mengurangi rasa sakit Sakit yang berasal dari spasme otot polos (usus, traktus urinarius, traktus biliaris) biasanya berupa kolik yang sukar ditentukan lokalisasinya dengan tepat dan tidak dipengaruhi oleh adanya batuk atau penekanan abdomen. Sakit yang berasal dari iritasi peritoneum akan terasa menetap di tempat iritasi dan menghebat bila penderita batuk atau ditekan perutnya. Apakah sakit menetap, bertambah hebat atau berkurang dan adakah faktor-faktor yang dapat menambah atau mempengaruhi rasa sakit. Adakah penyebaran rasa sakit. c. Lama sakit dan pernahkah timbul rasa sakit seperti ini sebelumnya. Bila sakit perut berlangsung lebih dari 24 jam perlu perhatian serius. d. Gejala yang mengiringi: anoreksia, muntah, diare dan panas. Muntah yang berwarna kuning atau hijau merupakan tanda adanya obstruksi usus, begitu pula muntah yang berlangsung 12 – 24 jam atau lebih memerlukan perhatian serius Pola defekasi: - diare, obstipasi - darah dalam tinja Pola kencing

Siklus Haid Gejala/ gangguan traktus respiratorius Trauma: trauma tumpul dapat menyebabkan hematoma subserosa

2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus lengkap dari kepala sampai ujung kaki walaupun titik beratnya pada abdomen. Perhatikan keadaan umum anak dan posisi anak waktu berjalan atau waktu tidur di tempat periksa. Apakah anak masih dapat berlompat-lompat. Jika ia terbaring diam dan kesakitan bila diubah posisinya maka hal ini mungkin adalah tanda abdomen akut. Pemeriksaan pada abdomen harus dilakukan pada posisi anak yang santai dan dicari/dilihat/dilakukan: -

Asimetri perut

-

Bentuk perut (buncit, skapoid)

-

Gambaran usus

-

Nyeri terlokalisasi

-

Massa (tumor), cairan ascites

-

Ketegangan dinding perut

-

Nyeri tekan

-

Rebound tenderness

-

Bising usus di seluruh perut

-

Colok dubur: - darah (?)

-

Pemeriksaan ginekologi: atas indikasi

Perlu dicari tanda-tanda kedaruratan perut, yaitu: - Dinding abdomen yang kaku - Defens muskular - Nyeri tekan - Rebound tenderness Keempat tanda ini merupakan tanda peritonitis

Pada pemeriksaan di luar abdomen, dicari kemungkinan adanya: - Hernia inguinalis strangulata atau inkarserata

- Pneumonia - Ruam di kulit (kaki dan bokong) Pada neonatus tanda abdomen akut perlu dipikirkan bila ditemukan tanda-tanda seperti pada Tabel 9.5.

Tabel 9.5. Gejala abdomen akut pada neonatus Muntah empedu Distensi abdomen Nyeri tekan di abdomen Massa pada abdomen Obstipasi Feeding intolerance Omfalitis Edema dinding abdomen Menangis (mengangkat kaki) Iritabel Letargi Darah dalam tinja Hernia inguinalis Panas atau hipotermia Sumber : Ulshen17

Tabel 9.6. Gejala klinis beberapa penyakit dengan sakit perut akut pada anak

Penyakit

Pankreatitis

Perjala nan penyak it Akut

Lokalisasi

Epigastrium, kiri atas

Penjalaran

Punggung

Kualitas sakit

Stabil tajam

Gejala yang mengiringi

Nausea, muntah, nyeri tekan

Obstruksi usus

Akut Periumbilikus Punggung atau - perut bawah perlahan -lahan

Silih berganti kolik - tidak sakit

Distensi, obstipasi, muntah, bising usus, proksimal obstruksi 

Apendisitis

Akut

Periumbilikus Punggung/ kanan pelvis bawah (retrosekal)

Tajam, menetap

Nausea, muntah, nyeri tekan lokal, panas

Intususepsi

Akut

Periumbilikus --– perut bawah

Kolik (kram) dengan periode tidak sakit

Hematochezia

Urolitiasis

Akut

Punggung (unilateral)

Lipat paha

Tajam, intermiten, kram (kolik)

Hematuria

Infeksi traktus urinarius

Akut

Punggung

Kandung kencing

Tumpul  tajam

Panas, nyeri tekan kostokondral, disuria, sering kencing

Sumber : Ulshen17

3.

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Harus diingat dalam membuat diagnosis pada anak dengan sakit perut akut, anamnesis dan pemeriksaan fisik memegang peranan penting, sedangkan pemeriksaan laboratorium dan penunjang hanya membantu. Tergantung dari hasil anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik, maka dapat dipilih pemeriksaan laboratorium dan penunjang di bawah ini yang diperlukan untuk dapat membuat diagnosis dan kalau perlu dikonsultasikan ke dokter bedah. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang tersebut adalah: -

Darah perifer lengkap Urin Test fungsi hati Amilase/ lipase darah Biakan darah Tinja  parasit (?), bakteri (?), darah (?) Foto toraks Foto polos abdomen atau dengan kontras barium USG CT-scan abdomen

Tata Laksana Apabila seorang anak menderita sakit perut akut, maka yang penting dilakukan adalah menentukan apakah penyakitnya memerlukan tindakan bedah atau tidak. Kalau kita sudah dapat membuat keputusan bahwa anak itu tidak memerlukan tindakan bedah, maka kita harus

mencari penyebab sakit perut dan diberikan pengobatan sesuai etiologinya. Terapi simtomatis perlu juga diberikan seperti istirahat serta pengawasan cairan dan diet.12,17

Sakit Perut Berulang Batasan sakit perut berulang (SPB) menurut Apley adalah serangan sakit perut yang timbul sekurang-kurangnya tiga kali dalam jangka waktu tiga bulan berturut-turut dan mengakibatkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Pada beberapa anak, sakit yang timbul bisa terjadi setiap hari dan pada beberapa anak lainnya timbul secara episodik. Sakit perut berulang, biasanya terjadi pada anak berusia antara 4 sampai 14 tahun, sedangkan frekuensi tertinggi pada usia 5 – 10 tahun dan turun setelah usia itu. Anak perempuan cenderung lebih sering menderita sakit ini dibandingkan anak laki-laki (perempuan : laki-laki = 5 : 3). Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang terdapat pada 5%-10% kasus sedangkan 90%-95% kasus disebabkan kelainan fungsional saluran cerna. Dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan alat-alat kedokteran diagnostik, maka diperkirakan makin banyak kelainan organik yang dapat ditemukan. Pada anak dibawah usia 4 tahun kelainan organik saluran pencernaan merupakan penyebab yang terbanyak.1,5,11,18

Etiologi Beberapa ahli mencoba mengelompokkan penyebab SPB ke dalam beberapa golongan. Konsep pertama yaitu konsep klasik membagi sakit perut berulang ke dalam dua golongan, organik dan psikogenik (fungsional atau psikosomatik). Pada anak di bawah umur 2 tahun, gejalanya sering dikaitkan dengan penyebab organik; namun pada anak yang lebih besar hanya 10% kasus yang disebabkan oleh penyebab organik. Pendekatan diagnostik yang dilakukan adalah dengan mencari dulu penyebab organik, apabila tidak ditemukan baru dipikirkan kemungkinan penyebab psikogenik. Cara pendekatan seperti ini memerlukan waktu dan biaya yang besar. Barr mengajukan konsep kedua yang agak berbeda. Sakit perut berulang digolongkan atas 3 kelompok, yaitu: organik, disfungsional dan psikogenik. Nyeri organik disebabkan oleh suatu penyakit, misalnya infeksi saluran kemih. Nyeri disfungsional disebabkan oleh berbagai variasi fisiologi normal dan dibagi dalam 2 kategori, yaitu sindrom nyeri spesifik (mekanisme penyebab nyerinya diketahui, misalnya defisiensi laktase dan kontipasi) dan sindrom nyeri nonspesifik (mekanisme penyebab nyeri tidak jelas atau tidak diketahui). Nyeri psikogenik disebabkan oleh tekanan emosional atau psikososial tanpa adanya kelainan organik. Konsep ketiga diajukan oleh Levine dan Rappaport yang menekankan adanya penyebab multifaktorial. Sakit perut berulang merupakan resultan dari 4 faktor, yaitu: (1) predisposisi somatik, disfungsi atau penyakit, (2) kebiasaan dan cara hidup, (3) watak dan pola respons, dan (4) lingkungan dan peristiwa pencetus. Faktor-faktor tersebut berperan meningkatkan atau meredakan rasa sakit. Dengan demikian dapat diterangkan mengapa beberapa anak menderita

konstipasi tanpa sakit perut berulang. Demikian pula halnya dengan kondisi psikososial yang buruk akan menimbulkan sakit perut berulang pada anak tertentu, tetapi tidak pada anak yang lain (Gambar 9.1.).5,7,19

KEBIASAAN DAN CARA HIDUP

PREDEPOSISI SOMATIK, DISFUNGSI, PENYAKIT

SAKIT PERUT TIDAK SAKIT PERUT

WATAK POLA RESPON

LINGKUNGAN DAN PERISTIWA PENCETUS

Gambar 9.1. Konsep yang menggambarkan peran penyebab multifaktorial pada sakit perut berulang

Penyebab sakit perut berulang yang terbanyak adalah faktor psikofisiologi, sedangkan kelainan organik sebagai penyebab sakit perut berulang dahulu hanya dilaporkan pada 5%-10% kasus, namun sekarang mencapai 30%-40%. Van der Meer dkk (1993) menemukan 42% kelainan organik pada 106 anak usia diatas 5 tahun yang mengalami keluhan sakit perut berulang, yaitu malabsorpsi laktosa (15%), duodenitis/gastritis (13%), infeksi H. pylori (7%), refluks gastroesofageal (4%) dan alergi makanan (3%). Pada garis besarnya kelainan organik penyebab sakit perut berulang dapat dibagi intraabdominal dan ekstraabdominal. Penyebab intraabdominal diklasifikasikan menurut penyebab dari dalam saluran cerna, ginjal dan lain-lain. Kelainan organik sebagai penyebab sakit perut dapat dilihat pada Tabel 9.7. Persepsi tentang sakit perut berulang adalah sumasi dari masukan sensorik, emosi, dan kognitif. Kornu dorsalis medulla spinalis mengatur konduksi impuls dari reseptor nosiseptif perifer ke medulla spinalis dan otak, dan perasaan nyeri selanjutnya dipengaruhi oleh pusat kognitif dan pusat emosi. Nyeri perifer kronis dapat menyebabkan naiknya aktivitas saraf di pusat-pusat SSS yang lebih tinggi sehingga menyebabkan nyeri terus-menerus. Stres psikososial dapat mempengaruhi intensitas dan kualitas nyeri melalui mekanisme ini. Perbedaan dalam sensasi viseral dapat juga menyebabkan perbedaan dalam persepsi nyeri. Respons anak terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh stres, jenis kepribadian, dan dukungan perilaku sakit dalam keluarga.7,10,12,20

Manifestasi Klinis Keluhan sakit perut berulang sering ditemukan pada usia 4 – 14 tahun, dengan frekuensi tertinggi pada usia 5 – 10 tahun. Pada anak di atas usia 9 tahun keluhan lebih sering ditemukan

pada anak perempuan daripada anak laki-laki (1,5:1). Manifestasi klinis yang diperlihatkan bervariasi cukup luas, baik dalam hal frekuensi, waktu, intensitas, lokasi maupun gejala yang mengikuti. Keluhan mual, berkeringat dingin, muntah, pusing, pucat dan palpitasi sering menyertai sakit perut berulang. Serangan biasanya berlangsung kurang dari 1 jam dan diselingi periode bebas serangan. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik dapat dilihat pada tabel 8. Etiologi sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik mempunyai tanda peringatan (alarm symptoms) seperti yang terlihat pada Tabel 9.9.5,6,8,21

Tabel 9.7. Beberapa penyebab organik sakit perut berulang Intraabdominal Saluran cerna

Di luar saluran cerna

Ekstraabdomi nal

Lain-lain

Maltorasi

Hati, limpa, pankreas

Hematologi

Keracunan timbal

Duplikasi

Pankreatitis kronis

Leukemia

Porfiria

Gastritis

Kolelitiasis

Limfoma

Epilepsi perut

Hernia inguinalis

Kolesistitis

Migrain

Volvulus

Hepatitis

Sickle cell anemia

Ulkus peptikum

Splenomegali masif

Kolitis ulseratif Malabsorbsi laktosa

Saluran kemih dan kandungan

Refluks gastroesofagal

Pielonefritis

Helicobacter pylori Apendisitis kronis Divertikulum Meckeli Tuberkulosis abdomen Peritonitis Konstipasi kronis Bezoar Askariasis Sumber : Ulshen17

Hidronefrosis Batu ginjal Infeksi di daerah pelvis Dismenore Kista ovarium Endometriosis Kehamilan ektopik

Talasemia Purpura HenochSchönlein

Hiperlipidemia Edema angioneurotik

Tabel 9.8. Gejala klinis sakit perut berulang yang klasik Paroksismal Daerah perilumbilikus atau suprapubis Nyeri berlangsung <1 jam Nyeri tidak menjalar, kram atau tajam, tidak membangunkan anak pada malam hari Nyeri tidak berhubungan dengan makanan, aktifitas, dan kebiasaan buang air besar Mengganggu aktifvitas Di antara 2 episode terdapat masa bebas gejala Pemeriksaan fisik normal, kecuali kadang-kadang sakit perut di bagian kiri bawah Nilai hasil pemeriksaan laboratorium normal Sumber : Ulshen17

Tabel 9.9. Alarm symptoms sakit perut berulang yang disebabkan oleh kelainan organik Nyeri terlokalisir, jauh dari umbilikus Nyeri menjalar (punggung, bahu, ekstremitas bawah) Nyeri sampai membangunkan anak pada malam hari Nyeri timbul tiba-tiba Disertai muntah berulang terutama muntah kehijauan Disertai gangguan inkontinensia)

motilitas

(diare,

obstipasi,

Disertai perdarahan saluran cerna Terdapat disuria Berhubungan dengan menstruasi Terdapat gangguan tumbuh kembang Terdapat gejala sistemik: demam, nafsu makan turun Terjadi pada usia <4 tahun

Terdapat organomegali Terdapat pembengkakan, kemerahan dan hangat pada sendi Kelainan perirektal: fisura, ulserasi Sumber : Ulshen17

Pendekatan Diagnosis Untuk membuat diagnosis diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan penunjang.

1.

Anamnesis5,15,21 Usia Sakit perut berulang biasanya terjadi pada usia 4 – 14 tahun. Rasa sakit: meliputi lokalisasi, sifat dan faktor yang menambah/mengurangi rasa sakit, waktu timbulnya, frekuensi dan gejala yang mengiringi. Pola makan: banyak mengkonsumsi susu atau produk susu Pola defekasi: obstipasi, diare Pola kencing Siklus haid Akibat sakit perut pada anak a. Apakah terdapat kemunduran kesehatan pada anak tersebut? b. Bagaimana nafsu makan anak? Gejala/gangguan traktus respiratorius Gangguan muskuloskeletal Aspek psikososial Trauma Penyakit yang pernah diderita dalam keluarga Adakah diantara keluarga yang menderita cystic fibrosis, pankreatitis, ulkus peptikum, kolon iritabel? Adakah faktor stres dalam keluarga?

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik harus lengkap. Dari hasil pemeriksaan fisik kita dapat mengetahui apakah penyebab sakit perut berulang tersebut merupakan kelainan organik atau bukan, dengan memperhatikan adanya tanda peringatan (alarm symptoms) seperti pada tabel 9.9.5,6,8,21

3. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang Pemeriksaan ini dibagi atas 3 tahap, yaitu: Tahap 1. Dilakukan pada seluruh anak dengan sakit perut berulang Tahap 2. Dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 ditemukan kelainan atau bila didapatkan beberapa tanda peringatan seperti yang tertera pada tabel 9 atau bila tidak memenuhi kriteria gejala klinis sakit perut berulang klasik Tahap 3. Dilakukan bila masih diperlukan (tabel 9.10)

Tabel 9.10. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang sakit perut berulang Tahap 1

Darah tepi lengkap Laju endap darah Biokimia darah (ureum, kreatinin, transaminase, kolesterol, trigliserida, protein total, kalsium dan fosfor) Urin Biakan urin dan tinja (termasuk parasit) Uji serologis untuk Helicobacter pylori Foto polos abdomen USG abdomen

Tahap 2

Uji hidrogen nafas dengan laktosa Amilase urin dan darah Test benzidin Gastroskopi

Tahap 3

Enema barium Voiding cystourethrogram EEG

Porifirin dalam darah dan urin Kolonoskopi CTscan abdomen, dsb Sumber : Ulshen17/*

Pada gambar 9.2 dapat dilihat ringkasan pendekatan diagnosis secara sistemik pada anak dengan sakit perut berulang.

Sakit perut berulang dengan gejala klinis klasik (kemungkinan kelainan organik tak ada)

Sakit perut berulang dengan “tanda peringatan” kelainan organik

ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK ( Penunjang tahap I )

Normal

D / Kelainan fungsional

Evaluasi Periodik

Pertimbangkan kelainan organik bila timbul “tanda peringatan”

Abnormal

Penunjang Tahap 2

D / K e l a i n a n

Tak ditemukan kelainan organik

Penunjang Tahap 3

o r g a n i k

Kelainan organik ditemukan

Pengobatan medis/bedah

Gambar 9.2. Pendekatan diagnosis sakit perut berulang

Terapi Pengobatan diberikan sesuai etiologi. Pada sakit perut berulang fungsional pengobatan ditujukan kepada penderita dan keluarganya, bukan hanya mengobati gejala. Secara khusus, mereka membutuhkan ketentraman bahwa tidak ada bukti adanya kelainan dasar yang serius. Tujuan pengobatan ialah memberikan rasa aman serta edukasi kepada penderita dan keluarga sehingga kehidupan keluarga menjadi normal kembali dan dapat mengatasi rasa sakit sehingga efeknya terhadap aktivitas sehari-hari dapat menjadi seminimal mungkin (Tabel 9.11). Kadang-kadang diperlukan pula konsultasi ke psikolog dan/atau psikiater anak. Pemberian obat seperti antispasmodik, antikolinergik, antikonvulsan dan antidepresan tidak bermanfaat.4,7,18,20

Tabel 9.11. Ringkasan pengobatan sakit perut berulang fungsional -

-

Menyakinkan bahwa penyakitnya ringan Menerangkan masalah berdasarkan pada temuan positif maupun negatif Menemukan stres dan kecemasan yang mencetuskan rasa sakit Mengidentifikasi pengaruh keluarga/sosial yang mencetuskan sakit Menghindari gejala sakit yang berkepanjangan dan mengembalikan anak dalam kehidupan normal Tatalaksana penyebab yang didapat: kurangi laktosa, diet tinggi serat, dll Follow-up teratur untuk mengetahui perubahan gejala, meningkatkan rasa percaya diri dan mendorong keluarga serta anak untuk mengatasi masalahnya Hasil pengobatan jangan dipakai untuk membuat diagnosis

Sumber : Ulshen17

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Apley J. The child with abdominal pains; 2nd ed. London : Blackwell Scientific Publ. 1975: 3-54. Halimun EM. Sakit perut pada anak. Dalam Kumpulan naskah Kursus Penyegar Ilmu Bedah Anak II. 5-6 September 1980; Batu Malang. 1980: 7-11. Roy CC, Silverman A, Alagille D. Functional recurrent abdominal pain. Dalam: Pediatric clinical gastroenterology; 4th ed Toronto ; Mosby. 1995: 522-37. Hyam JS, Hyman PE. Recurrent abdominal pain and the biopsychososial model of medical practice. J Pediatr. 1998; 133: 473-8. Levine MD, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain in school children: The loneliness of the long distance physician. Pediatr Clin North Am. 1984; 31: 696-8. Mc Collough M, Sharieff GQ. Abdominal Pain in Children. Pediatric Clinics of North America. 2006. Barr RG. Abdominal pain in the female adolescent. Pediatr Rev. 1983; 4: 281-9.

8.

Van der Meer SB. Chronic recurrent abdominal pain in school children. Tidjschr Kindergeneeskd. 1993; 61: 6975. 9. Buller HA. Recurrent abdominal pain in children. Kuliah tamu Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. 2000. 10. Hatch EI, Sawin R. The acute abdomen. Dalam: Wyllie R, Hyams JS, penyunting. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia: Saunders. 1993: 209-19. 11. Walker Smith JA, Hamilton JR, Walker WA. Acute abdominal pain. Dalam Practical Paediatric Gastroenterology. London: Butterworths. 1983: 21-9. 12. Mews CF, Sinatra FR. Abdominal Pain. Dalam: Wyllie R, Hyams JS. Penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, Diagnosis, Management. Edisi pertama. Philadelphia : WB Saunders. 1993: 177-86. 13. Thiesen PN. Recurrent abdominal pain. Pediatrics in review. 2002; 23: 39-46. 14. Oberlander TF, Rappaport LA. Recurrent abdominal pain : Evaluation and Management. Dalam: Recurrent abdominal pain. International Seminars in Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 1994; 3 Number 2:2-9. 15. Di Lorenzo C, Colleti RB, Lehnman HP, Boyle JT, Gerson WT, Hyams JS, Squires RH Jr, Walker LS, Kanda PT. Chronic Abdominal Pain In Children: a Technical Report of the American Academy of Pediatrics and the North American Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. 2005. 16. Leung A, Sigalet D. Acute Abdominal pain in children. American Academy of family physician.2003. 17. Ulshen M. Major Symptoms and Signs of Digestive Tract Disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke lima belas. Philadelphia: Saunders, 1996: 1032-7. 18. Loening-Baucire V, Swidsinski A. Constipation as cause of acute abdominal pain in children. University of Iowa. 2007. 19. Khan, Seema. Functional abdominal pain in children. American college of gastroenterology. 2009. 20. Devarayana NM, Rajindrajith S, De-Silva H. Recurrent Abdominal Pain in children. Dept of physiology, faculty of medicine, Univ Kelaniya, Srilanka. 2009. 21. Firmansyah A. Aspek diagnostik sakit perut berulang. Maj Kedok Indones 1991; 9:525-8.

BAB X KEMBUNG Pramita G. Dwipoerwantoro

Ilustrasi Kasus Anak lelaki usia 6 tahun, dirujuk oleh poliklinik Bedah Anak dengan keterangan kembung selama 3 minggu terakhir dan telah dievaluasi tidak ada kelainan bedah yang mendasari. Awalnya pasien menderita diare akut. Saat ini keluhan BAB seperti bubur, kadang disertai lendir dan darah, dengan frekuensi 4-6 kali perhari dan kadang disertai demam. Anak mengeluh kadang sakit perut, nafsu makan yang berkurang, sering bersendawa dan perut cepat kenyang. Berat badan sebelum sakit 18 kg.Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 16 kg, tanda vital baik dan tidak ditemukan tanda dehidrasi. Perut tampak kembung, perkusi timpani, tidak teraba pembesaran organ ataupun massa, bising usus normal. Otot ekstremitas tampak hipotrofi. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal. Hasil pemeriksaan penunjang di poliklinik Bedah Anak menunjukkan kadar hemoglobin yang rendah dan leukositosis dengan hitung jenis segmenter. Laju endap darah meningkat. Hasil barium meal follow-through dalam batas normal. a. Apakah diagnosis kerja dan diagnosis banding pada anak ini? b. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang diperlukan! c. Jelaskan tatalaksana kasus ini! Kasus ini merupakan contoh klasik kasus kembung yang sering dijumpai di klinik rawat jalan. Diare akut yang melanjut menjadi persisten (lebih dari 14 hari dan kemungkinan penyebabnya adalah infeksi), pada kasus ini ditandai dengan frekuensi serta konsistensi tinja yang abnormal disertai lendir dan darah. Keluhan kembung yang dominan pada kasus ini kemungkinan penyebabnya suatu bakteri tumbuh lampau dan perlu disingkirkan penyebab yang lain seperti sindrom malabsorpsi (intoleransi laktosa). Tampaknya gangguan gizi juga telah terjadi pada kasus ini karena masukan energi berkurang akibat anoreksia, sakit perut, dan malabsorpsi. Anemia yang terjadi pada kasus ini dapat sebagai akibat masukan nutrisi yang kurang dan kehilangan melalui usus (perdarahan yang menyertai diare). Pemeriksaan lanjutan yang diperlukan adalah pemeriksaan pH dan reduksi tinja untuk membuktikan ada tidaknya intoleransi laktosa, pemeriksaan steatokrit untuk membuktikan derajat malabsorpsi lemak yang terjadi, serta biakan tinja terhadap bakteri aerob dan anaerob. Uji hidrogen napas (UHN) menggunakan laktosa dapat mendeteksi adanya bakteri tumbuh lampau ataupun malabsorpsi laktosa. Kolonoskopi dapat melihat lebih jauh

kerusakan mukosa kolon yang terjadi secara makroskopik. Selanjutnya perlu dilakukan biopsi jaringan untuk melihat kelainan secara mikroskopik. Tatalaksana untuk kasus ini adalah pemberian metronidazole selama 1 minggu sambil menunggu hasil biakan tinja dan resistensi. Disamping suplementasi vitamin yang larut dalam lemak, perlu pemberian nutrisi yang adekuat. Makanan cair dengan bahan dasar yang mudah dicerna (bebas laktosa, mengandung glukosa polimer dan asam lemak rantai sedang) dan berkalori tinggi (1 cc = 1 kalori) dapat diberikan pada minggu pertama, sampai keluhan gastrointestinal berkurang, sebelum akhirnya mengkonsumsi makanan biasa 1500 kalori.

Pendahuluan Kembung merupakan salah satu kondisi yang sering dikeluhkan oleh orang tua untuk membawa anaknya berobat. Penyebab terjadinya kembung non-bedah tersering adalah intoleransi laktosa, bakteri tumbuh lampau dan gangguan fungsional saluran cerna (antara lain dispepsia, irritable bowel syndrome/IBS). Berikut ini akan diuraikan penyebab kembung akibat intoleransi laktosa dan bakteri tumbuh lampau. Penyebab kembung yang lain akan diuraikan terpisah pada bab tersendiri.

Intoleransi Laktosa Susu merupakan sumber nutrien esensial terutama untuk bayi baru lahir dan anak yang sedang tumbuh dan berkembang karena mengandung komponen yang diperlukan pada diet yang sehat, antara lain karbohidrat, lemak, protein dan mineral. Laktosa adalah komponen karbohidrat dalam susu yang akan dihidrolisis di usus halus (paling banyak di jejunum) oleh enzim laktase menjadi glukosa dan galaktosa yang mudah diserap.1,2,3

1. Defisiensi Intoleransi laktosa merupakan sindrom klinis (sakit perut, diare, flatus dan kembung) yang terjadi setelah mengkonsumsi 2 gram laktosa per-kg berat badan, maksimum 50 gram, dalam 20% larutan (dosis uji toleransi standar terhadap laktosa). Jika terjadi peninggian maksimum kadar glukosa darah tidak lebih dari 20 mg/dl setelah uji toleransi terhadap laktosa, maka keadaan ini disebut malabsorpsi laktosa.1,3,4

2. Kejadian Scrimshaw dan Murray (1988) serta Sahi (1994) melaporkan prevalensi maldigesti laktosa secara global. Prevalensi lebih dari 50% terdapat di negara-negara Amerika Selatan, Afrika dan Asia dan mencapai hampir 100% di beberapa negara Asia. Di Amerika Serikat prevalensi intoleransi laktosa adalah 15% untuk populasi kulit putih, 53% di antara populasi Meksiko-Amerika dan 80% pada populasi kulit hitam. Di negara Eropa prevalensinya

bervariasi antara 2% di Skandinavia sampai 70% di Sisilia. Prevalensi di negara Australia dan Selandia Baru adalah 6% dan 9%.5,6

3. Etiologi Intoleransi laktosa dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu primer (genetik), sekunder, dan bawaan. Disebut primer bila sindrom klinis yang timbul tanpa riwayat atau penyakit saluran cerna yang mendasari. Jika didapatkan penyakit saluran cerna maka diklasifikasikan sebagai intoleransi laktosa sekunder. Keduanya paling sering dijumpai di klinik. Intoleransi laktosa bawaan sangat jarang dijumpai dan biasanya bermanifestasi sejak lahir. Gambaran histologis mukosa saluran pencernaan biasanya normal akan tetapi aktivitas enzim laktase di brush-border sangat rendah atau tidak ada sama sekali.3,7,8

4. Patogenesis Pada negara dimana populasi hipolaktasia primer cukup tinggi, seperti di negara Indonesia, maka aktivitas enzim laktase akan berkurang mulai usia 2-3 tahun. Sebaliknya di Finlandia onset kebanyakan terjadi pada masa dewasa muda.5,8,9 Mekanisme tinja cair yang terjadi adalah akibat karbohidrat yang tidak diabsorpsi dengan baik, sehingga terjadi beban osmotik yang meningkat, menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit. Dilatasi usus halus yang terjadi akibat proses osmosis tersebut, akan menginduksi percepatan waktu singgah di usus halus dan hal ini sesuai dengan derajat maldigesti. Waktu singgah yang cepat ini akan menyebabkan proses hidrolisis akan berkurang, karena berkurangnya waktu kontak antara laktosa dan enzim laktase yang tersisa.6,10,11 Gejala perut kembung (distensi abdomen) dan rasa sakit (cramp) yang terjadi berasal dari modifikasi keadaan usus halus dan kolon, seperti waktu singgah dan komposisi flora usus dan hal tersebut mempengaruhi derajat beratnya gejala. Gejala malabsorpsi laktosa bervariasi di antara individu. Jika laktosa dikonsumsi dalam jumlah sedikit tetapi dalam jangka waktu yang lama oleh individu yang intoleransi laktosa, maka flora usus akan beradaptasi terhadap beban laktosa tersebut, sehingga gejala yang timbul akibat gas dan asam di kolon akan berkurang atau hilang.12,13

5. Manifestasi Klinis Aktivitas enzim laktase yang mulai berkurang pada usia 2-3 tahun (pada intoleransi laktosa primer), biasanya akan memberikan gejala setelah usia lebih dari 6 tahun, dan hal ini tergantung dari kecepatan penurunan enzim laktase di usus maupun asupan laktosa pada diet. Gejala klinis intoleransi laktosa dapat berupa kembung, sakit perut dan flatus yang terjadi sekitar 1 jam setelah mengkonsumsi susu sapi atau produk susu sapi. Tinja cair disertai flatus yang berlebihan dan rasa mules dapat terjadi beberapa jam kemudian.1,10,13 Pada pemeriksaan fisik jarang disertai gangguan tumbuh (gagal tumbuh atau malnutrisi). Sakit perut yang tidak spesifik dan tidak terfokus biasanya tidak memberikan rasa sakit yang

bermakna pada palpasi dan biasanya hanya dijumpai keadaan kembung pada perut. Peningkatan bising usus (borborygmi) sering terdengar pada saat palpasi ataupun auskultasi di daerah perut.3,13,14

6. Diagnosis Malabsorpsi laktosa dapat didiagnosis berdasarkan kombinasi manifestasi klinis dan uji diagnostik antara lain uji toleransi laktosa, uji hidrogen napas (breath hydrogen test) dan pengukuran enzim laktase melalui biopsi usus halus. Cara lain adalah pemeriksaan pH (asam) dan reduksi tinja (>0,5%). Tetapi cara ini tidak dianjurkan untuk penelitian karena uji ini dinyatakan valid bila pengukuran dilakukan setelah laktosa dikonsumsi, waktu singgah usus harus cepat, tinja dalam keadaan segar dan pemeriksaan dilakukan sesegera mungkin, serta degradasi laktosa dalam kolon oleh bakteri tidak komplit.15,16 Pengukuran kadar laktase secara langsung dibandingkan dengan sukrase melalui biopsi jejunum jarang dilakukan karena merupakan pemeriksaan yang invasif. Hal ini sulit diterapkan terutama untuk pasien klinik.2,4 Pemeriksaan secara tidak langsung yang sering dilakukan adalah pemeriksaan glukosa darah serial (setiap 2 jam) setelah mengkonsumsi laktosa secara oral (2 g per-kg berat badan, maksimum 50 g laktosa). Jika kadar gula darah tidak meningkat lebih dari 20 mg/dl, maka diagnosis malabsorpsi laktosa dapat ditegakkan.12,14 Pemeriksaan yang sederhana dan tidak invasif adalah uji hidrogen napas. Dosis laktosa yang dibutuhkan adalah 2 g laktosa per-kg berat badan dan maksimum 50 g dalam 20% larutan dalam air. Setelah puasa sejak malam hari (4 jam pada bayi kecil), dilakukan uji hidrogen napas dengan cara mengukur udara ekshalasi sebelum mengkonsumsi laktosa dan pada interval 30 menit setelah konsumsi laktosa sampai total 2-3 jam. Produksi hidrogen yang diekskresikan melalui udara napas merupakan hasil fermentasi laktosa yang tidak dapat dicerna oleh bakteri dalam kolon. Pada 30 menit pertama bila terjadi peningkatan <10 ppm dibandingkan nilai basal dianggap normal, sedangkan peningkatan antara 10-20 ppm dianggap bermakna bila disertai gejala. Nilai peningkatan >20 ppm dianggap malabsorpsi laktosa. Uji hidrogen napas dapat memberikan hasil yang negatif palsu bila sebelumnya mendapat antibiotik atau bakteri kolon tidak memproduksi hidrogen (sekitar 1% dari populasi).15,16

7. Terapi Terapi malabsorpsi laktosa tergantung dari usia anak. Pada anak berusia kurang dari 5 tahun, malabsorpsi laktosa yang dibuktikan oleh uji hidrogen napas, menunjukkan kerusakan usus halus bila terjadi pasca gastroenteritis. Walaupun demikian beberapa penelitian menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari kelompok ini yang memerlukan susu formula rendah laktosa, karena penggantian epitel yang rusak tersebut sangat cepat dan tidak semua infeksi usus akan menyebabkan kerusakan mukosa. Selain itu pada bayi berusia kurang dari 6 bulan sebaiknya diberikan susu formula normal setelah rehidrasi tercapai. Pada diare persisten sebaiknya upaya pemberian rendah laktosa dengan cara

mencampur susu dengan sereal/susu fermentasi daripada dengan air. Pada anak yang berusia lebih dari 5 tahun, malabsorpsi laktosa dapat akibat kadar enzim laktase yang rendah ataupun karena mukosa usus yang rusak pasca gastroenteritis.17,18 Jika reduksi ataupun restriksi laktosa dibutuhkan maka perlu substitusi alternatif sumber nutrien untuk menghindarkan berkurangnya asupan energi dan protein (seperti live-culture yoghurt) serta kebutuhan kalsium perlu diperhitungkan dalam dietnya. Suplementasi kalsium dapat berupa kalsium glukonat cair (untuk bayi dan anak) atau kalsium karbonat (untuk anak yang lebih besar). Produk lain yang mengandung kalsium antara lain adalah ikan, sayuran dan kacang-kacangan.19,20 Terapi lain adalah substitusi enzim laktase yang berasal dari ragi yang dapat berupa preparat tetes (dengan cara menambahkan pada produk susu sapi) ataupun tablet kunyah (yang dikonsumsi sebelum mencerna makanan yang mengandung laktosa).8

8. Prognosis Pada umumnya prognosis intoleransi laktosa cukup baik. Karena penyebab kelainan bawaan sangat jarang terjadi maka diagnosis alergi protein susu sapi pada bayi perlu dipertimbangkan bila terjadi gejala intoleransi terhadap susu sapi atau produk susu sapi yang dikonsumsi.1,3

9. Pencegahan Untuk mengurangi bertambah buruknya gejala intoleransi laktosa maka perlu dicermati untuk menghindarkan susu sapi atau produk susu sapi dalam diet. Kegagalan dalam mengenali “intoleransi laktosa yang sementara” pada bayi maupun anak dapat menyebabkan keluhan diare kronik dan kembung, sehingga mengganggu masukan makanan yang adekuat. Hal ini merupakan pemicu terjadinya gangguan pertumbuhan pada bayi dan anak.2,3

Bakteri Tumbuh Lampau Pada saat lahir usus halus dalam keadaan steril, segera setelah persalinan, organisme yang tertelan melalui mulut mulai membuat kolonisasi di saluran cerna. Lambung maupun usus halus tidak mengandung bakteri dalam jumlah yang bermakna seperti halnya usus besar (kolon) yang normalnya mengandung 1010 organisme per mililiter (tabel 1). Mikroflora kolon baru akan berproliferasi di usus halus bila mekanisme klirens di usus halus terganggu, contohnya pada kondisi stasis.21,22

Tabel 11.1. Flora normal usus di saluran cerna normal

Usus halus proksimal < 106 organisme per-mililiter Bakteri aerob, dominasi flora mulut Streptococcus, Lactobacillus, Neisseria Usus halus distal >109 organisme per-mililiter Sejumlah besar bakteri anaerob dan bakteri anaerob fakultatif Bacteroides, Escherichia coli, Bifidobacterium Kolon < 1010 organisme per-mililiter Bakteri anaerob dan anaerob fakultatif Bacteroides, E. Coli, Bifidobacterium, Clostridium Sumber: Crabbe22

1. Definisi

Sindrom klinis yang terjadi mempunyai sebutan bermacam-macam, di antaranya adalah stagnant loop, blind loop, contaminated small bowel, small bowel stasis dan small bowel bacterial overgrowth syndrome (sindrom bakteri tumbuh lampau di usus halus). Karakteristik sindrom ini selain kembung adalah (1) kolonisasi abnormal usus halus oleh organisme yang biasanya berada di kolon, (2) steatorrhea, dan (3) anemia.21,23,24

2. Kejadian

Kondisi usus halus yang steril tergantung dari sejumlah faktor yang mengurangi kandungan jumlah kuman serta mencegah kolonisasi kuman. Faktor antibakteri ini dapat berupa sistem imun tubuh ataupun non-imun. Yang termasuk faktor non-imun adalah asam lambung, gerakan peristaltik usus, enzim pencernaan, mukus, katup ileo-sekal dan kandungan bakteri.25,26 Faktor imunitas tubuh terhadap bakteri usus sejak awal kehidupan diperankan oleh antibodi dengan cara mengendalikan kolonisasi bakteri dan penetrasi mukosa oleh bakteri ataupun produk bakteri. Kehilangan kemampuan untuk produksi imunoglobulin (hipogamaglobulinemia) dan defisiensi sIgA sering menyebabkan kolonisasi parasit tertentu seperti Giardia lamblia. Imunoglobulin G spesifik dan IgA mempercepat eliminasi parasit usus seperti Giardia dan nematoda. Bakteri tumbuh lampau sering dijumpai pada

pasien dengan anemia pernisiosa dan pasien dengan hipogamaglobulinemia disertai akhlorhidria.27,28

3. Etiologi

Beberapa faktor predisposisi terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dikategorikan menjadi 4 kelompok yaitu (1) kelainan anatomis (divertikula, duplikasi, striktur, stenosis, web, blind loop), (2) gangguan motilitas usus (pseudoobstruction, hilangnya fungsi migratory motor complexes/MMC menyebabkan stasis akibat terganggunya fungsi peristaltik, neuropati otonom pada diabetes, penyakit vaskular kolagen pada skleroderma), (3) adanya lesi yang menyebabkan peningkatan jumlah bakteri usus halus bagian proksimal (akhlorhidria, fistula, dan hilangnya katup ileosekal), dan (4) defisiensi imun pejamu (immunodeficiency, malnutrisi, dan prematuritas). Etiologi faktor risiko terjadinya bakteri tumbuh lampau sering tumpang tindih. Pada negara yang belum berkembang sangat sulit memisahkan apakah kondisi tersebut akibat buruknya higiene perorangan atau akibat malnutrisi. Bayi dengan sindrom usus pendek sering disertai komplikasi bakteri tumbuh lampau, akibat multi faktor.21,24,29

4. Patofisiologi

Jumlah bakteri intralumen usus yang berlebihan akan menyebabkan perubahan sekresi dan produksi metabolit, enzim serta toksin intralumen yang akan merusak mukosa dan selanjutnya akan diabsorpsi. Dampak lanjut terhadap pejamu dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu efek intralumen, efek terhadap mukosa dan efek sistemik (Tabel 11.2).21,24,25

Tabel 11.2. Bakteri intra-lumen: efek pada pejamu Efek Intralumen

Efek Terhadap Mukosa

Efek Sistemik

Dekonjugasi garam empedu

Hilangnya disakaridase

11α-hidroksilase

Kerusakan enterosit

Deplesi garam empedu

Inflamasi

Malabsorpsi lemak

Hilang protein

Pembentukan kompleks imun

Malabsorpsi vitamin B12

Perdarahan

Vaskulitis kulit

Fermentasi asam lemak rantai pendek Pelepasan protease, toksin Sumber: Lichtman29

Absorpsi toksin bakteri, antigen Inflamasi hati

Poliarteritis

Efek patologis akan maksimal bila bakteri tumbuh lampau menempati usus halus bagian proksimal. Bakteri anaerob intralumen, terutama yang berasal dari tinja, memiliki enzim yang akan mendekonjugasi garam empedu dan mengubah asam kolat dan kenodeoksikolat menjadi asam deoksikolat dan litokolat. Hasil akhirnya adalah menurunkan konsentrasi garam empedu di duodenum dan jejunum, menyebabkan trigeliserid dan kolesterol tidak dihidrolisis menjadi misel (campuran asam lemak dan mono serta digliserid) dan garam empedu, melainkan akan banyak terbentuk emulsi yang berbentuk kristal dan tidak larut dalam air. Akibat lebih lanjut akan terjadi maldigesti lemak dan malabsorpsi trigliserid serta vitamin yang larut dalam lemak, dan selanjutnya terjadi malabsorpsi lemak. Bakteri intralumen terutama Bacteroides dan coliform juga menggunakan B12 sehingga merupakan kompetitor dan menyebabkan malabsorpsi vitamin B12.30,31,32 Bakteri yang jumlahnya berlebihan tersebut akan memproduksi enzim dan metabolit yang dapat merusak mukosa usus. Sebagai akibatnya aktivitas enzim disakaridase akan berkurang akibat lesi mukosa setempat (patchy) yang menyebabkan atrofi vili dan respon inflamasi subepitel. Penelitian pada bayi menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara intoleransi karbohidrat dan bakteri tumbuh lampau. Selain hal tersebut akan terjadi hilang protein (hipo-proteinemia) dan anemia akibat kehilangan darah kronik.33,34 Produk bakteri dan antigen akan diserap melalui mukosa yang rusak menyebabkan efek sistemik. Penelitian Riordan dan kawan-kawan menunjukkan bahwa bakteri tumbuh lampau di usus halus menyebabkan peningkatan permeabilitas usus pada manusia, sedangkan penelitian lain pada tikus menunjukkan bahwa terjadi peningkatan absorpsi polimer bakteri (peptidoglikan) pada keadaan bakteri tumbuh lampau di usus halus.35

5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis (Tabel 11.3) dapat terjadi pada sepertiga pasien, dan variasi gejala dapat ringan sampai berat bahkan menjadi kronis. Gejala yang berat sesuai dengan letak bakteri tumbuh lampau pada usus halus proksimal, sedangkan makin ke distal maka manifestasi gejala makin ringan. Gejala sistemik biasanya terjadi setelah operasi pintas (bypass) usus.29,36 Selain gejala klinis pada Tabel 11.3, dapat terjadi maldigesti lemak, karbohidrat dan protein, serta kehilangan protein endogen melalui usus. Sakit perut yang terjadi adalah akibat intoleransi karbohidrat sekunder. Defisiensi vitamin jarang terdeteksi secara klinis. Defisiensi vitamin B12 dapat dicegah karena terdapatnya cadangan kobalamin yang adekuat dalam tubuh. Anemia defisiensi besi dapat terjadi karena kehilangan besi melalui usus. Asam folat serum akan meningkat karena bakteri tersebut pun memproduksi vitamin K dan asam folat. Pneumoperitoneum dan asites dilaporkan dapat terjadi sekunder akibat bakteri tumbuh lampau.25,33,37

Tabel 11.3. Manifestasi klinik bakteri tumbuh lampau di usus halus Gejala Klasik

Gejala Lain

Diare kronis

Berat badan menurun

Steatorea

Perawakan pendek

Anemia

Sakit perut

Sistemik

Enteropati protein

hilang

Artritis Hipoalbuminemia Tenosinovitis Osteomalasia Ruam vesikulopustular Rabun senja Eritema nodosum Ataksia Fenomena Raynaud Nefritis Hepatitis Steatosis hati Sumber: Lichtman29

6. Diagnosis

Anamnesis yang cermat merupakan hal yang penting untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk mendiagnosis keadaan yang mendasari terjadinya bakteri tumbuh lampau. Riwayat operasi daerah perut sebelumnya perlu ditanyakan karena bakteri tumbuh lampau di usus halus merupakan komplikasi jangka panjang akibat perubahan motilitas atau akibat stasis yang terjadi pada perubahan anatomik tersebut. Pemeriksaan barium meal dengan follow-through dapat mendeteksi adanya striktur usus, divertikel, dan perlambatan waktu singgah. Walaupun demikian hasil pemeriksaan barium meal yang normal tidak dapat mengeksklusi adanya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang secara klinis bermakna.21,24,25 Adanya bakteri anaerob di cairan usus halus bagian proksimal yang bukan merupakan flora normal mulut, perut maupun usus halus proksimal dan jumlahnya lebih dari 106 koloni merupakan baku emas uji diagnostik pada bakteri tumbuh lampau. Misalnya ditemukan spesies Bacteroides. Karena sangat sulit melakukan biakan bakteri anaerob, maka ditemukannya bakteri anaerob fakultatif, seperti strain E. coli, lebih dari 106 koloni pada biakan tersebut dapat merupakan bukti adanya kolonisasi bakteri anaerob.32,33 Pengukuran H2 napas merupakan pemeriksaan noninvasif yang dapat digunakan pada anak ataupun bayi. Sel mamalia tidak memproduksi H2, sedangkan mikroflora kolon komensal pada umumnya memproduksi H2. Hidrogen yang diproduksi tersebut akan diabsorpsi dan didistribusikan ke seluruh tubuh dan akhirnya dikeluarkan lewat udara napas. Konsumsi karbohidrat yang tidak diserap, seperti laktulosa, akan menyebabkan peningkatan kadar H 2 yang dihasilkan yang berkorelasi dengan adanya bakteri tumbuh lampau.15,16

Peningkatan bermakna kadar konjugat asam 5-aminosalisilat ursodeoksikolat monofosfat (5-ASA-UDCA monophosphat) di urin pada bakteri tumbuh lampau di usus halus merupakan pemeriksaan noninvasif yang menjanjikan dan masih dalam tahap penelitian.26

Tabel 11.4. Uji diagnostik bakteri tumbuh lampau di usus halus Uji Tapis

Uji Diagnostik

Pewarnaan Sudan untuk lemak dalam tinja

Invasif

Pengukuran lemak dalam tinja tampung 72 jam

Aspirasi duodenum

Uji Schilling terhadap faktor intrinsik Barium meal dengan follow-through

Biakan Bakteri aerob Bakteri anaerob Eksklusi enteropatogen diketahui

yg

telah

Garam empedu dekonjugasi Asam lemak rantai pendek Noninvasif Indikanuria Asam empedu serum Uji hidrogen napas Sumber: Lichtman29

7. Terapi

Tatalaksana bakteri tumbuh lampau di usus halus dapat dibagi 3 yaitu koreksi penyakit yang mendasari, pemberian antibiotik dan terapi suportif. Penyebab terjadinya bakteri tumbuh lampau di usus halus multi faktor dan sebagian besar dapat dikoreksi secara bedah. Oleh sebab itu evaluasi ke arah penyebab kasus bedah harus dilakukan dengan cermat. Gejala akut penyakit Crohn, sebagai penyakit yang mendasari, bila diberikan steroid akan memperbaiki keadaan. Pemberian cisaprid untuk gangguan motilitas pada pseudoobstruksi usus dilaporkan efektif.21,24,29 Pemilihan jenis antibiotik berdasarkan efektivitasnya terhadap Bacteroides. Pilihan yang utama adalah metronidazol dan dapat diberikan selama 2 sampai 4 minggu. Bila terjadi kekambuhan dapat diberikan antibiotik dengan spektrum luas, seperti trimetoprimsulfametoksazol atau gentamisin. Kloramfenikol dan linkomisin sebaiknya digunakan bila terhadap antibiotik yang lain telah resisten. Penggunaan probiotik merupakan alternatif terapi yang saat ini dilaporkan cukup efektif untuk terapi bakteri tumbuh lampau.32,38

Terapi suportif terutama untuk mencegah komplikasi metabolik dan defisit nutrien. Pemberian nutrisi dengan bahan dasar yang mudah dicerna dan rendah lemak (mengandung asam lemak rantai sedang), sangat diperlukan untuk menjaga tumbuh kembang yang normal. Pemberian suplementasi vitamin yang larut dalam lemak perlu untuk mencegah komplikasi rabun senja, osteomalasia, ataupun kelainan neurologis.19,20

8. Prognosis

Prognosis tergantung dari penyakit yang mendasari dan respon terhadap terapi.

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Büller HA, Grand RJ. Lactose intolerance. Annu Rev Med. 1990; 41: 141-8. Committee on Nutrition of American Academy of Pediatrics. The practical significance of lactose intolerance in children. Pediatrics. 1978; 62: 240-5. Frye RE. Lactose intolerance. eMedicine [serial online] 2002 December 27 [disitasi 2004 Januari 29]:[9 screens]. Diunduh dari: URL:http://www.emedicine.com/ ped/ topic1270.htm. Rings EHHM, Grand RJ, Büller HA. Lactose intolerance and lactase deficiency in children. Curr Opin Pediatrics. 1994; 6: 562-7. Sahi T, LaunialaK, Laitinen H. Hypolactasia in a fixed cohort of young Finnish adult, a follow up study. Scand J Gastroenterol. 1983; 18: 865-70. Scrimshaw NS, Murray EB. Prevalence of lactose maldigestion. Am J Clin Nutr. 1988; 48 Suppl: 1086-98. Sahi T. Genetics and epidemiology of adult-type hypolactasia. Scand J Gastroenterol. 1994; 29(Suppl 202): 7-20. Vesa TH, Marteau P, Korpela R. Lactose intolerance. J Am Coll Nutr. 2000; 19Suppl: 165-75. Arola H. Diagnosis of hypolactasia and lactose malabsorption. Scand J Gastroenterol. 1994; 29: 26-35. Burke V, Anderson CM. Sugar intolerance as a cause of protracted diarrhea following surgery of the gastrointestinal tract in neonates. Austr Pediatr J. 1986; 2: 219-27. Christopher NL, Bayless TM. Role of the small bowel and colon in lactose-induced diarrhea. Gastroenterology. 1971; 60: 845-52. Gracey M, Burke V, Oshin A, Barker J, Glasgow EF. Bacteria, bile salts and intestinal monosaccharide malabsorption. Gut. 1971; 12: 683-92. Ladas S, Papanikos J, Arapakis G. Lactose malabsorption in Greek adults: correlation of small bowel transit time with the severity of lactose intolerance. Gut. 1982; 23: 968-73. Launiala K. The effect of unabsorbed sucrose and mannitol on the small intestine flow rate and mean transit time. Scand J Gastroenterol. 1968; 3: 665-71. Hyams JS, Stafford RJ, Grand RJ, Watkins JB. Correlation of lactose breath hydrogen test, intestinal morphology, and lactase activity in young children. J Pediatr. 1980; 97: 609-12. Levitt MD, Hirsch P, Fetzer CA, Sheahan M, Levine AS. H2 excretion after ingestion of complex carbohydrate. Gastroenterology. 1987; 92: 383-9. Chew F, Penna FJ, Peret Filho LA, Quan C, Lopes MC, Mota Jac, et al. Is dilution of cow’s milk formula necessary for dietary management of acute diarrhea in infants aged less than 6 months? Lancet. 1993 341: 194-7. Penny ME, Brown KH. Lactose feeding during persistent diarrhea. Acta Paediatr. 1992; 381: 133-8. Gregorio GV, Rogacion JM, Gabriel EP, Santos-Ocampo PD. Nutritional intervention in acute diarrhea: Is lactose free formula essential? Southeast Asian J Trop Med Public Health. 1992; 23: 235-45. Lifschitz CH, Schulman RJ. Nutritional therapy for infants with diarrhea. Nutr Rev. 1990; 8: 329-38. Bjorneklett A, Fausa O, Midvedt T. Bacterial overgrowth in jejunal and ileal disease. Scand J Gastroenterol. 1983; 18: 289-98. Crabbe PA, Bazin H, Eyssen H, Heremans JF. The normal microbial flora as a major stimulus for proliferation of plasma cell synthesizing IgA in the gut. Int Arch Allergy. 1968; 34: 362-75. Hyman PE, Uc A, Hoon A, Dilorenzo C. Antroduodenal motility in children with chronic intestinal pseudoobstruction. J Pediatr. 1988; 112: 899-905. Donaldson RM. Small bowel bacterial overgrowth. Adv Intern Med. 1970; 16: 191-212. King CE, Toskes PP. Small intestinal bacterial overgrowth. Gastroenterology. 1979; 76: 1035-55.

26. Konishi T, Takashi M, Ohta S. Basic study on 5-(7-hydroxi-3-O-phosphonocholy) aminosalicylic acid for the evaluation of microbial overgrowth. Biol Pharm Bull. 1997; 20: 370-5. 27. Dolby JR, et al. Bacterial colonization and nitrite concentration in the achlorhydric stomachs of patients with primary hypogamaglobulinemia or classical pernicious anemia. Scand J Gastroenterol. 1984; 19: 105-10. 28. Kaplan BS, Uni S, Aikawa M, Mahmud AA. Effector mechanism of host resistance in murine giardiasis: specific IgG and IgA cell-mediated toxicity. J Immunol. 1985; 134: 1975-81. 29. Lichtman SN. Bacterial overgrowth. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB. Pediatric Gastrointestinal Disease 3rd ed. Canada: BC Decker. 2000: 569-82. 30. Hill Mj, Drasar BS. Degradation of bile salts by human intestinal bacteria. Gut. 1986; 9: 22-7. 31. Long SS, Swenson RM. Development of anaerobic fecal flora in healthy newborn infants. J Pediatr. 1977; 91: 298301. 32. Riepe SP, Goldstein J, Alpers DH. Effect of secreted Bacteroides proteases on human intestinal brush borders hydrolases. J Clin Invest. 1980; 66: 314-22. 33. Giannella RA, Toskes PP. Gastrointestinal bleeding and iron absorption in the experimental blind loop syndrome. Am J Clin Nutr. 1976; 29: 754-7. 34. King CE, Toskes PP. Protein-losing enteropathy in the human and experimental rat blind loop syndrome. Gastroenterology. 1972; 80: 504-9. 35. Riordan Sm, McIver CJ, Thomas DH, Duncombe VM, Bolin JD, Thomas MC. Luminal bacteria and smallintestinal permeability. Scand J Gastroenterol. 1997; 32: 556-63. 36. Klinkhoff AV, Stein HB, Schlappner OL, Boyko WB. Postgastrectomy blind loop syndrome and the arthritisdermatitis syndrome. Arthritis Rheum. 1985; 28: 214-7. 37. Raju GS, Rao SSC, Lu C. Pneumoperitoneum and ascites secondary to bacterial overgrowth. J Clin Gastroenterol. 1997; 25: 688-90. 38. Stotzer P-O, Blomberg L, Conway PL, Henriksson A, Abrahamsson H. Probiotic treatment of small intestinal bacterial overgrowth by Lactobacillus fermentum KLD. Scand J Infect Dis. 1996; 28: 615-9.

BAB XI ALERGI MAKANAN (FOOD ALLERGY) Liek Djuprie & Pitono Soeparto

Ilustrasi Kasus Seorang anak berusia 7 bulan dibawa ke poliklinik karena kulit badannya merah dan gatal sejak 2 hari yang lalu. Di rumah anak juga diare dan muntah. Anak sering mengeluh sakit perut pada malam hari, sakitnya agak lama, sakit sekali, tetapi hilang timbul. Dari pemeriksaan fisik didapatkan lesi kulit urtika di dada, leher, mulut, dan tungkai atas dan bawah. Anak diare cair tanpa lendir dan darah. Beberapa hari terakhir anak minum susu formula yang sebelumnya tidak pernah minum. Dari keluarga, diketahui bahwa ibunya penderita asma dan ayahnya sering gatal-gatal yang tidak jelas sebabnya.

Pendahuluan Angka kejadian alergi terhadap makanan tampaknya semakin meningkat. Alergi makanan dapat mengakibatkan terganggunya kualitas hidup dari penderita maupun keluarganya. Alergi makanan juga sering menyebabkan dokter anak kerepotan dalam menentukan diagnosis dan memberi penanganan. Enam hingga delapan persen anak berusia kurang dari 3 tahun pernah mengalami alergi makanan. Beberapa penelitian di masyarakat menunjukkan bahwa prevalensi alergi susu sapi terjadi pada 1,9-3,9 % anak kecil, alergi telur terjadi pada 2,6 % hingga anak berusia 2,5 tahun, kacang-kacangan pada 0,4%-0,6% pada anak usia kurang dari 18 tahun.1,2

Definisi Alergi makanan didefinisikan sebagai suatu reaksi terhadap protein makanan yang merugikan, yang disebabkan oleh suatu hipersensitivitas imun, yaitu suatu interaksi antara sedikitnya satu protein makanan dengan satu atau lebih mekanisme imun, tidak terbatas hanya pada IgE. Sebenarnya reaksi merugikan terhadap makanan merupakan suatu istilah umum yang dipakai untuk menggambarkan suatu respons klinis abnormal sesudah makan makanan atau bahan-bahan tambahannya. Dengan demikian reaksi merugikan terhadap makanan dapat ditimbulkan dari suatu alergi atau idiosinkrasi atau suatu respons metabolik, farmakologis atau toksik terhadap protein makanan, bahan tambahannya atau kontaminan makanan.1,3,4

Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat berupa reaksi toksik atau nontoksik. Reaksi toksik tidak berhubungan dengan sensitivitas individual tetapi dapat terjadi pada semua orang yang makan dalam jumlah yang cukup makanan yang mengandung pewarna, atau pada keracunan makanan yang mengandung toksin bakteri. Sebaliknya, kejadian reaksi nontoksik terhadap makanan tergantung dari kerentanan perorangan dan dapat terjadi dengan perantaraan imun (yaitu alergi atau hipersensitivitas makanan) atau tanpa perantaraan imun (yaitu intoleransi makanan). Alergi makanan biasanya diperantarai antibodi IgE yang tertuju pada protein makanan spesifik, akan tetapi mekanisme imunologis lain terutama pada usus dapat pula berperan.5,6

Epidemiologi Akhir-akhir ini survei epidemiologi menunjukkan kenyataan adanya kenaikan fenomena alergi yang cepat. Di negara berkembang, fenomena ini merupakan penyakit kronis yang paling sering dijumpai dan mencapai sekitar 15% dan 30% dari seluruh populasi. Pada bayi dan anak kecil, prevalensi alergi makanan diperkirakan terjadi sekitar 2%-3%. Faktor-faktor yang mempengaruhi prevalensi alergi makanan pada berbagai populasi memberikan perhatian mengenai dasar genetik dan lingkungan dari kenaikan penyakit atopik pada anak. Di Asia Tenggara terdapat variasi yang sangat tinggi mengenai budaya, ras dan makanan yang mungkin dapat berpengaruh terhadap prevalensi alergi makanan. Di Australia, telur (3,2%), susu sapi (2%) dan kacang tanah (1,9%) merupakan alergen makanan yang paling sering dijumpai pada anak hingga berusia 2 tahun. Di Asia, prevalensi alergi makanan tidak banyak diketahui. Terdapat pandangan umum bahwa alergi nasi tidak umum dijumpai, sebaliknya alergi terhadap kerang-kerangan lebih sering dijumpai di Filipina dan Singapura yang merupakan bagian dari makanan sejak bayi usia dini. Berbeda dengan insidensi hipersensitivitas terhadap kacang tanah di Malaysia, Jepang dan Filipina yang rendah, di Indonesia dan Australia insidensi alergi terhadap bahan makanan tersebut relatif tinggi.. Di Amerika Serikat, hingga sepertiga rumah tangga menyatakan bahwa salah satu keluarganya pernah mengalami reaksi makanan yang merugikan, tetapi prevalensinya pada anak-anak hanya 6%-8%.7,8 Sejumlah gangguan hipersensitivitas pada anak telah dikemukakan, termasuk sindrom alergi oral, anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE), enterokolitis karena protein makanan, sindroma malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif terhadap protein susu sapi), gastro-enteropati eosinofilik alergik, kolik, refluks gastroesofageal. Di Skandinavia dengan kriteria ketat didapatkan prevalensi alergi susu sapi sebesar 1,9 %, sedangkan Hill (1999) melaporkan adanya insidens alergi susu sapi sebesar 2-7,5 % pada kurun usia bayi sampai 1 tahun. Di Surabaya kejadian enteropati sensitif protein susu sapi (cow’s milk protein sensitive enteropathy=CMPSE) pada penderita yang menunjukkan diare kronik dilaporkan sebesar 72,9 %. Diagnosa CMPSE di Surabaya dilakukan dengan tantangan susu (milk challenge) dan ditegakkan dengan biopsi usus.7,9,10

Perjalanan Alami Perjalanan alami dari alergi makanan pada anak kecil baik yang diperantarai IgE maupun yang tanpa diperantarai IgE menunjukkan adanya toleransi yang timbul sejalan dengan perjalanan waktu .

Kebanyakan anak akan terbebas dari alergi terhadap susu, telor, terigu dan kedelai dan hal ini biasanya berhubungan dengan resolusi atau kemajuan dari penyakitnya. Sekitar 1-3 tahun dengan diet eliminasi yang ketat diperkirakan dapat memperpendek waktu kesembuhan. Namun, pasien-pasien yang alergi terhadap kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang memiliki kemungkinan yang lebih banyak untuk tidak dapat terbebas dari reaktivitas klinis dan sensitivitas hingga usia dewasa. Peningkatan kadar IgE spesifik makanan dapat merupakan suatu indikasi berkurangnya kemungkinan terjadi toleransi dalam tahun-tahun berikutnya dari usia anak.6,11,12

Klinis Reaksi yang merugikan terhadap makanan dapat merupakan masalah, terutama pada bayi dan anak, serta dapat memberikan spektrum yang luas dari reaksi-reaksi klinis seperti gejala pada kulit, gastrointestinal, serta gejala lainnya.13 Kompleks gejala alergi makanan yang umum dari dermatitis atopik, kolik, refluks esofageal dengan esofagitis pada bayi dapat disebabkan oleh reaksi terhadap makanan yang merugikan baik secara langsung atau melalui susu ibu. Adanya hipotesa bahwa terdapat suatu periode intoleransi protein makanan dimana hal ini merupakan bagian dari perkembangan anak normal yaitu suatu periode untuk mendapatkan toleransi imunologis terhadap protein makanan. Selama periode perkiraan intoleransi protein makanan ini, bayi dapat tidak menunjukkan gejala atau menujukkan gejala sementara yang ringan atau bahkan gejala yang berat yang memerlukan diagnosis dan penanganan dietetik yang berkepanjangan. Konsepkonsep ini ditunjang oleh observasi-observasi yang menunjukkan adanya sensitisasi IgE yang bersifat sementara terhadap makanan pada bayi yang asimptomatik, adanya intoleransi terhadap protein makanan yang bersifat sementara pada bayi dengan kolik yang seringkali menghilang dalam 3 bulan usia bayi, adanya kenyataan bahwa alergi terhadap susu sapi pada umumnya membaik dalam waktu 2 bulan usia bayi, dan adanya fakta bahwa intoleransi pada beberapa protein makanan membutuhkan dukungan nutrisi yang berkepanjangan.8,14,15 Pada bayi-bayi muda, kulit dan saluran gastrointestinal merupakan organ target yang paling umum terkena, sedangkan gejala-gejala respiratorik sangat jarang tampak.16 Spektrum hipersensitivitas makanan: 1. Gejala-gejala kulit meliputi: - Pruritus - Urtikaria - Eksema 2. Gejala-gejala gastrointestinal meliputi: - Sindrom alergi oral - Anafilaksis gastrointestinal (dengan perantara IgE) - Enterokolitis karena protein makanan - Kolitis karena makanan - Sindrom malabsorpsi (termasuk penyakit celiac, enteropati sensitif protein susu sapi/ cow’s milk protein sensitive enteropathy).

- Gastroenteropati eosinofilik alergik - Kolik pada bayi - Refluks gastroesofageal 3. Gejala-gejala respiratorik 4. Asma 5. Rhinitis alergika Sicherer (1999) membagi penyakit alergi makanan dalam gangguan yang diperantarai IgE dan yang tidak diperantarai IgE sebagai berikut (lihat tabel 11.1): Tabel 11.1. Alergi makanan: Organ target dan gangguannya Dengan perantara IgE

Organ Target Kulit

Gastrointestinal

Respiratorik

Multisistem

- Urtikaria dan angioedema - Dermatitis atopik - Sindrom alergi oral - “Anafilaksis” gastrointestinal - Gastroenteritis eosinofilik alergik -

Asma Rinitis alergik Anafilaksis yang dipicu makanan Anafilaksis yang berhubungan dengan makanan, anafilaksis yang dipicu “exercise”

Tanpa perantara IgE -

Dermatitis atopik Dermatitis herpetiformis Proktokolitis Enterokolitis Gastroenteritis eosinofilik alergik Sindrom enteropatia Penyakit Celiac

-

Sindrom Heiner

Sumber: Sicherer2

Pembagian sindrom utama alergi susu sapi menurut Hill (1996)6 antara lain: 1. Penderita-penderita dengan kemungkinan besar menderita alergi susu sapi (cow’s milk allergy : CMA). a. Reaksi tipe anafilaktik b. Reaksi tipe gastrointestinal akut 2. Penderita-penderita dengan kemungkinan sedang (moderat) menderita CMA: a. Ekzema kronik pada bayi b. Kolik infantil c. Diare kronik (Enteropati sensitif terhadap protein susu sapi = cow’s milk protein sensitive enteropathy: CMPSE) d. Sembab (gastroenteropati eosinofilik: eosinophilic gastroenteropathy) e. Diare berdarah (kolitis karena makanan=food induced colitis) 3. Penderita-penderita dengan kemungkinan kecil menderita CMA a. Rinitis kronik b. Otitis media berulang c. Batuk berulang termasuk asma

Kompleksnya sistem imun gastrointestinal dan adanya fakta bahwa saluran gastrointestinal merupakan tempat pertama yang menghadapi sejumlah besar alergen makanan, sehingga tidaklah mengherankan apabila berbagai ragam gangguan hipersensitivitas gastrointestinal dapat timbul.17 Atas dasar ini Workshop on the Classification of Gastrointestinal Disease of Infants and Children Nopember 1988 membagi hipersensitivitas gastrointestinal menjadi: a. Eksklusif dengan perantara IgE b. Sebagian dengan perantara IgE c. Eksklusif dengan perantara sel Tanpa memandang mekanisme imunologis yang terkait, gejala hipersensitivitas GI biasanya mirip sifatnya satu dengan lainnya, akan tetapi berbeda dalam waktu awal penyakit, berat serta persistensinya. Gambar 11.1. Gangguan hipersensitivitas GI IgE - Hipersensitivitas GI Seketika -Sindrom alergi oral

Non-IgE - Esofagitis eosinofilik - Gastritis eosinofilik alergik - Gastroenteritis eosinofilik alergik

- Enterokolitis protein makanan alergik - Proktitis protein makanan - Enteropati protein makanan

Sumber: Sampson17

1. Dengan perantara IgE Reaksi tipe anafilaktik Anafilaksis merujuk pada reaksi multi organ yang dramatik yang berhubungan dengan hipersensitivitas yang diperantarai IgE. Makanan yang utama penyebab anafilaksis adalah kacang tanah, kacang pohon (mente) dan kerang-kerangan.1 Anafilaksis akibat makanan yang dipacu latihan (exercise) timbul dalam dua bentuk: (1) anafilaksis timbul bila latihan dilakukan menyusul pemberian makanan tertentu yang sensitivitasnya diketahui diperantarai IgE atau (2) yang lebih jarang adalah yang terjadi sesudah makan sembarang makanan. Makanan-makanan yang terlibat bersama dengan latihan atau latihan tanpa makanan makanan tidak menimbulkan gejala.18 Reaksi timbul cepat dalam hitungan menit namun dapat juga terjadi hingga 1 jam setelah meminum susu. Gejala syok anafilaktik dapat timbul apabila jumlah susu yang diminum besar, sedangkan susu dalam jumlah kecil memberikan gejala urtikaria perioral, urtikaria umum, angioedema, eksem berulang, rinore, nafas bunyi, stridor, batuk dan muntah. Kebanyakan penderita menunjukkan hasil tes tusuk kulit (skinprick test) yang positif kuat terhadap ekstrak susu sapi.13

Sindrom alergi oral (oral allergy syndrome : OAS)

Dalam dekade terakhir prevalensi dari OAS makin meningkat, hal ini mungkin disebabkan karena bertambahnya kewaspadaan akan adanya penyakit ini. OAS merupakan bentuk alergi kontak, alergi yang terbatas pada orofarings dan jarang mengenai organ target lainnya. Aktivasi dari sel mast yang diperantarai IgE lokal memicu permulaan yang cepat dari pruritus, rasa pedih dan angioedema dari bibir, lidah dan tenggorok, terkadang muncul rasa gatal ditelinga, tenggorok sehingga seakan tercekik, atau keduanya. Gejala tersebut biasanya bersifat sementara dan pada umumnya berhubungan dengan memakan berbagai buah segar dan sayur-sayuran. Pasien alergi terhadap “Ragweed” (sejenis buah) dapat mengalami OAS sesudah kontak dengan berbagai jenis semangka segar dan pisang.14,15

2. Dengan perantara campuran IgE dan non IgE Yang termsuk dalam kelompok ini adalah: - Esofagitis eosinofilik - Gastritis eosinofilik - Gastroenteritis eosinofilik Gambaran hipersensitivitas ini ditandai dengan infiltrasi eosinofilik dari dinding esofagus, lambung, usus dengan eosinofil, hiperplasia zona basal, perpanjangan papiler, tidak adanya vaskulitis dan eosinofilia perifer pada 50% dari pasien. Infiltrasi eosinofil dapat mengenai lapisan mukosa, otot dan serosa dari lambung dan usus kecil. Gejala klinis berkorelasi dengan luasnya infiltrasi dinding usus. Infiltrasi eosinofilik dari lapisan otot dapat menyebabkan penebalan dan kekakuan dinding usus yang memicu gejala obstruksi, sedangkan infiltrasi daerah serosa menyebabkan asites yang mengandung eosinofil. Walaupun demikian imunopatogenesis yang mendasari penyakit ini tetap tidak diketahui dengan jelas.19,20

Esofagitis eosinofilik alergik Esofagitis eosinofilik alergik didapatkan paling sering selama masa bayi hingga masa remaja dalam bentuk refluks kronik (refluks gastroesofageal), emesis intermiten, penolakan makanan, nyeri abdomen, disfagia, iritabilitas, gangguan tidur dan tidak responsif terhadap pengobatan refluks konvensional. Formula susu terutama soya dan juga susu sapi dikatakan banyak terlibat dalam kejadian refluks gastrointestinal. Refluks gastroesofageal (gastro esophageal reflux: GER) menggambarkan keluarnya secara involunter isi gaster diatas sfingter esofagus bawah. Refluks gastroesofageal merupakan keadaan yang biasa pada usia bayi dan dikatakan patologis apabila hal tersebut menyebabkan esofagitis, gagal tumbuh atau gejala respiratori (GERD: gastroesophageal reflux disease). Kebanyakan gejala akan menghilang pada saat usia bayi 12-18 bulan. Tangisan yang tidak henti-hentinya pada bayi sering terjadi dan karena banyaknya prevalensi regurgitasi pada bayi-bayi muda, sering dihubungkan

dengan GER dan esofagitis. Namun hal ini kemudian ternyata lebih merupakan asosiasi dari pada hubungan kausal antara tangisan persisten (distres yang persisten) dan GER. GER secara tradisional dipandang sebagai gangguan motilitas primer. Namun akhirakhir ini, suatu bentuk sekunder karena intoleransi terhadap protein makanan telah pula dikemukakan kedua bentuk ini seringkali sulit dibedakan pada anak kecil karena tumpang tindih secara klinis. Esofagitis secara histologi ditandai oleh hiperplasia basal, perpanjangan dari papila dan terdapatnya suatu campuran infiltrat keradangan dari neutrofil dan eosinofil. Umumnya diperkirakan bahwa esofagitis merupakan efek langsung dari jejas peptik karena paparan asam yang berkepanjangan pada esofagus distal. Eosinofil esofageal telah digunakan sebagai tanda spesifik dari esofagitis refluks.12,14,21

Kolik infantil terdiri dari paroksisma tangisan atau kerewelan tanpa sebab yang jelas yang terjadi pada 15-40% bayi berusia 4 bulan pertama. Kolik yang berhubungan dengan muntah dikatakan mempunyai kaitan dengan refluks gastroesofageal (GER). Hal ini diperkirakan primer penyebabnya karena suatu gangguan motilitas, namun akhir-akhir ini dikemukakan suatu bentuk sekunder yang disebabkan karena intoleransi protein makanan. Periode dari intoleransi protein makanan merupakan suatu bagian dari perkembangan normal sistem imun karena pada periode ini bayi dan anak kecil banyak menghadapi protein makanan yang umum dikonsumsi bayi dan anak kecil. Terdapat pendapat bahwa kolik infantil berhubungan baik dengan interaksi (perilaku) orang tua-anak yang terganggu maupun dengan reaksi hipersensitivitas protein makanan (alergi) dengan kemungkinan salah satu atau keduanya dapat manifes pada seseorang anak yang mempunyai predisposisi gangguan motilitas usus. Dikemukakan hipotesa bahwa pada bayi dengan kolik terdapat intoleransi terhadap protein makanan yang transien yang mempunyai asosiasi dengan gangguan motilitas usus primer pada minggu-minggu pertama usia bayi dan hal ini dapat menimbulkan distres yang kemudian menetap, suatu hasil dari pola perilaku dan gangguan sekunder dalam interaksi orang tua-bayi.12,14,21

Gastritis eosinofilik alergik Gastritis eosinofilik alergik terdapat juga lebih banyak sepanjang masa bayi sampai remaja. Biasanya menunjukkan gejala-gejala muntah sesudah makan, nyeri abdomen, anoreksia, perut rasa penuh, hematemesis, gagal tumbuh dan obstruksi jalan keluar lambung (jarang stenosis pilorik).4,20, Gastroenteritis eosinofilik alergik Gastroenteritis eosinofilik alergik dapat terjadi pada setiap usia dan muncul dengan gejala sama seperti esofagitis, gastritis atau keduanya. Gejala yang paling mencolok adalah

berkurangnya berat badan dan gagal tumbuh. Hingga 50% dari pasien adalah atopik dan pada sebagian kecil pasien diperkirakan karena reaksi yang diperantarai IgE yang dipicu makanan. Yang mencolok pada penyakit ini adalah gejala enteropati dengan kehilangan protein (protein losing enteropathy) terlihat dengan adanya sembab perifer, asites, malabsorpsi dan anemia kekurangan besi karena kehilangan darah melalui usus dan terkadang hanya disertai gejala gastrointestinal lainnya yang minimal (muntah, diare). Timbulnya penyakit ini biasanya lambat, biasanya terdapat riwayat atopi dalam keluarga dan tidak responsif terhadap eliminasi diet. Kemungkinan adanya alergen ganda (multiple allergens) termasuk inhalans berperan dalam gangguan ini.15,20,22 3. Gangguan hipersensitivitas dengan perantara non-IgE. Enterokolitis protein makanan Merupakan gangguan hipersensitivitas yang paling sering terjadi pada bayi usia beberapa bulan dengan gejala yang berupa iritabilitas, muntah yang masif serta diare yang tak jarang menyebabkan dehidrasi. Muntah biasanya terjadi 1-3 jam sesudah makan. Pada paparan yang terus menerus dapat menyebabkan diare berdarah, anemia, distensi abdomen dan gagal tumbuh. Rektosigmoidoskopi pada kolitis menunjukkan eritema dan aftae pada mukosa sedang secara histologis tampak adanya infiltrasi eosinofilik dan ulserasi fokal. Kebanyakan dari gangguan ini disebabkan karena susu sapi (milk induced colitis), sebagian kecil mungkin oleh antigen yang terkandung ASI (breast milk induced benign proctitis) ataupun oleh protein soya. Tinja sering mengandung darah yang samar, neutrofil polimorfonuklear dan eosinofil serta kristal charcot-Leyden. Uji tusuk kulit (skin prick test) biasanya negatif. Spesimen biopsi jejunum menunjukkan vili yang datar, sembab dan peningkatan limfosit, eosinofil dan sel mast. Sel-sel mast yang mengandung IgM dan IgA didapatkan dalam jumlah yang meningkat. Walaupun mekanisme imunopatogenik masih perlu diteliti, studi terbaru menunjukkan adanya sekresi dari TNF-α dan sel-sel mononuklear lokal yang berperan dalam diare sekretori dan hipotensi.3,19 Proktitis protein makanan Gangguan ini khas terlihat pada beberapa bulan setelah kelahiran berupa tinja dengan bercak darah pada bayi-bayi yang tampak sehat. Sekitar 60% dari kasus adalah bayi yang mendapatkan ASI, sedangkan selebihnya adalah bayi yang mendapatkan susu sapi atau formula soya. Kehilangan darah bersifat sedang akan tetapi kadang dapat menimbulkan anemi. Hipoalbuminemia dan eosinofilia perifer jarang terjadi.3,4 Enteropati protein makanan Gangguan ini sering terlihat pada bayi usia beberapa bulan setelah lahir dengan gejala diare (tidak jarang steatorea), kenaikan berat badan yang kurang memuaskan, distensi abdomen dan malabsorpsi, terkadang juga ditemukan anemia, sembab dan hipoproteinemia. Enteropati sensitif protein susu sapi merupakan penyebab utama sindroma ini, walaupun terdapat pula asosiasi dengan soya, telor, gandum, nasi, ayam dan ikan pada anak yang lebih besar. Pada biopsi usus tampak atrofi vilus yang tidak merata disertai infiltrat seluler yang khas untuk gangguan ini. Pada enteropati susu sapi, didapatkan IgA dan IgG serum yang meningkat.

Prototipe dari intoleransi makanan yang bersifat sementara adalah enteropati sensitif terhadap protein susu sapi (cow’s milk sensitive enteropathy=CMPSE, cow’s milk induced enteropathy) yang biasanya menghilang sesudah anak berusia 2-3 tahun. Reaksi ini biasanya tidak bersifat seketika. Terdapat pula kasus-kasus alergi susu sapi dengan disertai malabsorpsi tetapi tanpa adanya enteropati. Hal ini menyebabkan bahwa diagnosa dengan cara biopsi saja tidaklah cukup. Didapatkannya enteropati yang tidak merata pada biopsi usus belumlah merupakan tanda patognomonik untuk menjelaskan etiologinya. Peran gastroenteritis akut sebagai predisposisi terjadinya alergi susu sapi belum jelas. Defisiensi disakaridase sekunder pada alergi susu sapi dapat disebabkan karena kerusakan vilimikro pada permukaan enterosit. Enteropati yang terjadi pada alergi susu sapi bersifat transien dan reversibel sesudah eliminasi susu sapi.10,23 Tabel 11.2. CMPSE di Surabaya Usia (bulan) CMPSE (-) CMPSE (+)

0-6 5 13

7-12 3 13

≥ 13 2 1

Jumlah 10 27 (72,9%)

Sumber: Soeparto10

Penyakit celiac Merupakan enteropati protein makanan dengan ciri khas lebih luasnya kerusakan vili absorptif dan hiperplasia kripta yang menimbulkan malabsorpsi, diare kronik, steatore, distensi abdomen, flatulens, dan penurunan berat badan atau kegagalan tumbuh. Tidak jarang dapat juga diketemukan ulserasi oral dan gejala ekstrapiramidal lain sekunder karena malabsorpsi. Pasien dengan penyakit celiac sensitif terhadap gliadin, suatu bagian yang larut alkohol dari gluten yang didapatkan a.l pada gandum, “oat” , “rye” dan “barley”. Penyakit celiac berhubungan dengan HLA-DQ2 (dan DQ8) haplotype dan sekitar 90% dari pasien yang mengingesti gliadin mempunyai antibodi IgA anti gliadin dan antiendomisium. Pada biopsi terlihat adanya atrofi vilus total dan infiltrat seluler yang ekstensif. Prevalensi dan penyakit celiac diperkirakan antara 1:3700 dan 1:300. Di Indonesia kejadian penyakit celiac belum pernah dilaporkan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa penyakit celiac dapat beragam mulai dari sindroma malabsorpsi yang berat sampai yang tidak tampak (subklinis). Ingesti biji-bijian yang mengandung gluten secara terus menerus mempunyai hubungan dengan peningkatan risiko terjadinya keganasan, terutama limfoma sel T. Studi histopatologi menunjukkan bahwa limfosit–limfosit, sebagian besar CD8+ fenotipe sitotoksik/ supresor banyak berada dalam ruang intra epitelial, dan sel-sel T/α meningkat dalam mukosa jejunum dan darah perifer. Penemuan terakhir lain mengemukakan bahwa penyakit celiac berhubungan dengan kenaikan aktivitas mukosal dari transglutaminase jaringan (tTGase) terhadap protein spesifik yang terikat glutamin.3,4,7 Konstipasi kronis Konstipasi kronis terdapat pada 68% dari penderita anak yang mengalami hipersensitivitas terhadap susu sapi.

Konstipasi kronik merupakan suatu gejala yang diberi batasan dari segi kesulitan selama defekasi, interval-interval yang panjang antar buang air besar (BAB), penampang dan kekerasan tinja. Gejala ditandai dengan gerakan BAB yang nyeri atau mengejan saat BAB, tinja yang keras, frekuensi BAB kurang dari 3x/minggu selama paling kurang 30 hari, dengan atau tanpa “soiling”. Konstipasi adalah salah satu gejala dari intoleransi susu sapi. Uji-uji imunologik menunjukkan bahwa konstipasi merupakan manifestasi dari alergi susu sapi yang sering terjadi dengan perantaraan IgE. Selain itu karena tingginya frekuensi fisura berat pada anak yang timbul kembali setelah pemberian susu sapi dan sebelum permulaan konstipasi, maka hipotesisnya adalah bahwa nyeri selama BAB dapat menyebabkan retensi, tinja didalam rektum sehingga memperberat konstipasi.23

Penyakit usus beradang (Inflammatory bowel disease=IBD) Peran hipertensitivitas terhadap makanan dalam IBD (penyakit Crohn dan colitis ulserosa) tetap spekulatif, walaupun diet elemental menunjukkan kemajuan dalam resolusi dari gejala yang ada.3 Reaksi tipe gastrointestinal akut Gejala-gejala meliputi pucat, kolik, nyeri abdomen dan muntah disusul dengan diare serta terkadang kolaps yang terjadi beberapa jam sesudah minum susu sapi dalam jumlah yang cukup besar (30-240 ml). Gejala muntah didahului oleh tingkah anak yang rewel dan mudah terangsang. Gejala timbul dengan lambat, diare berlangsung beberapa jam tanpa muntah. Pada bayi-bayi muda, muntah tidak selalu terjadi segera, dan pada beberapa bayi diantaranya, muntah pada awalnya berupa muntah yang intermiten serta disertai gejala kegagalan pertumbuhan. Pada anak-anak dengan dermatitis atopik dan alergi makanan, ingesti alergen makanan memicu desensitisasi parsial dari sel-sel mast, menimbulkan reaksi subklinis. Pada umumnya anak-anak ini pertama kali terlihat mempunyai keluhan anoreksi. Kenaikan berat badan yang kurang ideal dan nyeri abdomen yang berulang, namun integritas dinding usus menunjukkan adanya malabsorpsi. Kebanyakan penderita menunjukkan uji kulit negatif terhadap ekstrak susu dan secara serologis tidak menunjukkan hipersensitivitas IgE terhadap susu sapi. Penderita-penderita dengan gejala yang timbul lambat biasanya pada pemberian susu yang berulang-ulang akan menimbulkan episode-episode gastroenteritis atau intoleransi laktosa yang berulang.15,23

Diagnosis Diagnosis alergi makanan berdasarkan: -

Riwayat medis Pemeriksaan fisik Pemeriksaan laboratories Eliminasi diet Tantangan makanan oral

- Uji diagnostik lain Evaluasi awal dimulai dengan anamnesis riwayat medis dan pemeriksaan fisis yang mendalam, pertimbangan diagnosis banding, termasuk gangguan metabolik, abnormalitas anatomik, keganasan, insufisiensi pankreatik, reaksi merugikan terhadap makanan yang non-imunologik dan gangguan-gangguan lainnya yang dapat memberikan gejala yang serupa. Reaksi alergik terhadap bahan-bahan selain makanan (misal bulu binatang, jamur, debu) harus pula dipertimbangkan.24

1. Riwayat medis Riwayat medis dari alergi makanan kebanyakan adalah bertumpu pada daya ingat pasien mengenai peristiwa-peristiwa disekitar timbulnya gejala dan pada umumnya sangat subyektif. Hanya sekitar 40% dari riwayat medis yang didapatkan dari pasien/ orang tua pasien dapat diklarifikasi. Konsekuensinya adalah bahwa dokter harus membedakan antara gangguan yang disebabkan hipersensitivitas makanan dengan etiologi lain seperti tertera pada tabel 11.3.

Tabel 11.3. Bahan-bahan/keadaan yang dapat memberikan gejala mirip gangguan hipersensitivitas makanan 1.

2.

3.

4.

Gastrointestinal : muntah dan atau diare - Abnormalitas struktural (missal: Hernia heatal, Stenosis pilorik) - Defisiensi ensim: primer vs sekunder (misal Laktase, Galaktosemia) - Keganasan - Lain-lain (mis. Fibrosis kistik, tukak peptic) Kontaminasi dan bahan tambahan - Bahan penyedap dan pengawet - Bahan warna - Toksin - Bahan yang berhubungan dengan ikan laut - Organisme infeksi - Antigen jamur - Kontaminan asidental (logam berat , pestisida, antibiotik) Bahan-bahan farmakologik - Kofein (kopi, “soft drink”) - Theobromin (coklat, teh) - Histamin (ikan) - Triptamina (format) - Serotonin (tomat, banana) - Tiramin (keju) - Alkaloid glikosidal (kentang) - Alkohol Reaksi psikologik

Sumber: Sampson24

Dapat dikatakan bahwa setiap protein makanan mampu menyebabkan suatu reaksi; namun, hanya sejumlah kecil dari makanan terkait dengan 90% lebih reaksi makanan yang merugikan,serta sebagian besar pasien sensitif terhadap kurang dari 3 makanan. Pada anakanak, makanan yang paling banyak menyebabkan reaksi adalah telor, susu, kacang tanah, soya, terigu, kacang-kacangan pohon, ikan dan kerang. Tanda dan gejala dari reaksi alergik makanan yang berhubungan dengan berbagai organ target dapat dilihat dalam Tabel 11.4. Tabel 11.4. Tanda & gejala rekasi alergik makanan dalam berbagai organ target Kulit

-

Urtikaria/angioedema Kemerahan Bercak pruritis eritematus Dermatitis atopi Gastrointestinal

-

Pruritus dengan/atau pembengkakan bibir, lidah atau mukosa oral Mual Nyeri abdomen atau kolik Muntah atau refluks Diare Respiratorik

-

Hidung tersumbat Rinore Bersin Sembab larings, disfonia Nafas bunyi/batuk beruntun Kardiovaskuler

-

Hipotensi/renjatan Pusing Lain-lain :

-

Nyeri punggung

Sumber: Sampson24

Hal yang perlu diperhatikan adalah:  Saat terjadi reaksi  Makanan yang dicurigai sebagai penyebab reaksi - Jenis makanan - Kurun waktu antara makan-makanan yang dicurigai dan timbulnya gejala - Apakah makan makanan yang dicurigai memberikan gejala yang sama pada waktu lain. - Apakah faktor-faktor lain (latihan, alkohol) diperlukan dalam mencetuskan gejala - Lama waktu sejak terjadinya reaksi terakhir terhadap makanan Pada gangguan yang kronik yang dipicu alergi makanan, riwayat medis mempunyai ketepatan prediksi yang lemah, berbeda dengan gangguan yang bersifat akut.24

2. Pemeriksaan fisik Selama pemeriksaan fisik perhatian diarahkan ke sistem kulit, gastrointestinal dan respiratorik dan ke arah deteksi adanya gambaran atopi yang umum didapatkan pada pasien yang mengalami reaksi-reaksi yang diperantarai IgE. Status gizi umum dari pasien dan setiap tanda fisik dari gangguan non alergik yang mendasarinya perlu dicatat.15,24

3. Pemeriksaan laboratorium Selama riwayat medis dan pemeriksaan fisik, perlu ditentukan apakah temuan-temuan pada pasien merupakan implikasi alergi makanan. Apakah mekanisme yang diperantarai IgE ataukah yang tidak diperantarai IgE yang paling mungkin terlibat. Sejumlah penelitian laboratorium mungkin berguna dalam menentukan makanan spesifik yang terkait dengan reaksi yang diperantarai IgE akan tetapi terbatas nilainya dalam reaksi yang tidak diperantarai IgE.

Uji kulit (skin test) Apabila dicurigai adanya reaksi dengan perantara IgE, maka uji tusuk kulit (prick/puncture skin test = PST) dan RAST merupakan metode yang berguna untuk menetapkan apakah pasien mempunyai antibodi IgE terhadap sesuatu makanan yang spesifik. Uji-uji ini dapat menunjukkan adanya IgE alergen-spesifik, tetapi tidak dapat menetapkan diagnosis dari alergi makanan klinis.17,25

Uji serologi Karena banyaknya mekanisme imun yang terlibat dalam patogenesis alergi, berbagai uji imunologis yang berbeda sering digunakan dalam mengindentifikasi reaksi alergik walaupun hanya sebagian kecil saja dari uji ini yang benar-benar dapat dipakai dalam menunjang diagnosis alergi.24

Uji RAST RAST dan esai in vitro yang serupa, termasuk ELISA untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik makanan dapat dipakai pula untuk menapis (screen) pasien-pasien yang dicurigai menderita alergi makanan dengan perantara IgE. Uji-uji ini pada umumnya dianggap kurang sensitif dibandingkan uji klinis, tetapi suatu studi menunjukkan bahwa RAST mempunyai kesamaan sensitivitas dan spesivisitas dengan uji kulit apabila mencapai skor 3 atau lebih. Dalam penapisan awal untuk alergi makanan yang diperantarai IgE, sering dilakukan penapisan (skrining) sensitivitas makanan yang dicurigai dan kemudian diperoleh tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan kecenderungan reaktivitas kliniknya. Tingginya

antibodi IgE awal dapat dipakai sebagai angka rujukan untuk memonitor sensitivitas spesifiknya.17

RIFT (Red Cell Immunosorbent Fluorescent Technique) Antibodi IgG serum spesifik terhadap suatu antigen makanan yang sering ditemukan lebih merupakan indikasi dari adanya suatu paparan dibandingkan sensitisasi. Dengan cara semikuantitatif untuk IgG susu sapi (ELISA atau RIFT dapat dibedakan antara penderitapenderita dengan CMA dengan yang sehat). Uji ini terutama berguna bagi reaksi alergi pertengahan (intermediate) dan lambat (late reactors) dan tidak berguna reaksi bagi cepat (immediate reaction). Pada penderita-penderita ini terdapat kecenderungan untuk terjadinya reaksi gastrointestinal.24,26

Pemeriksaan kompleks imun dalam sirkulasi (Circulating immune complex), pengikatan Clq (Clq binding). Kompleks imun yang mengandung antigen makanan dan antibodi yang beredar dalam serum telah diteliti dalam penggunaannya untuk diagnosis alergi makanan. Walaupun terdapat berbagai macam cara pemeriksaan (RIA dengan dimodifikasi, Clq binding), namun hasil yang didapatkan cukup memberi harapan terutama dalam mengidentifikasi mekanisme hipersensitivitas tipe III. Akan tetapi masih diperlukan data-data dari berbagai penelitian untuk menetapkan cara pemeriksaan tersebut dalam diagnosis alergi makanan.17,24,26

Uji histamin plasma, uji pelepasan histamin basofil Pemeriksaan histamin plasma dan pemeriksaan histamin sesudah inkubasi leukosit basofil dengan antigen yang merupakan mediator yang dikeluarkan pada reaksi cepat (immediate reactors) dipakai pula dalam upaya diagnostik alergi makanan. Teknik yang digunakan banyak menyita waktu dan biaya. Akhir-akhir ini didapatkan cara/uji degranulasi basofil yang lebih sederhana, namun masih memerlukan konfirmasi lebih lanjut. Uji pelepasan histamin basofil (basophil histamine release=BHR) dan uji pelepasan histamin sel mast pada umumnya hanya dilakukan untuk tujuan penelitian.24,26

Uji inhibisi migrasi leukosit (Leucocyte Migration Inhibition test=LIF test) Mekanisme imun dengan perantara sel (cell mediated immune mechanism) dengan pengeluaran limfosit yang tersensitisasi antigen makanan yang spesifik, yaitu faktor inhibisi migrasi leukosit (leucocyte migration inhibiting factor=LIF) telah dicoba untuk dipakai sebagai cara diagnostik alergi makanan. Disamping hasil-hasil yang dikatakan

menggembirakan, terdapat banyak pula hasil-hasil yang positif palsu karena masalahmasalah teknis, selain itu harganyapun mahal.24

4. Diet eliminasi alergen diagnostik Begitu sesuatu makanan tertentu dicurigai sebagai penyebab alergi makanan, dimulailah suatu diet eliminasi dalam upaya mendukung diagnosis. Keberhasilan dengan cara ini membutuhkan eksklusi dari alergen atau alergen-alergen dalam diet eliminasi, kemampuan pasien untuk menjaga dietnya bebas dari segala bentuk alergen yang dituju dan tidak adanya faktor-faktor yang mungkin akan memperberat gejala selama masa penelitian. Apabila semua faktor pengganggu disingkirkan, tidak adanya suatu respon terhadap diet eliminasi secara esensial akan mengeksklusi makanan yang dieliminasi sebagai penyebab dari gangguan alergi. Namun, pada beberapa alergi makanan gastrointestinal (misal esofagitis eosinofilik alergik dan gastroenteritis) penyebab yang dimungkinkan adalah alergi makanan multipel sehingga suatu diet elemental mungkin diperlukan dalam menegakkan diagnosis. Apabila gejala penyakit menghilang dengan diet eliminasi, dalam memastikan diagnosis perlu dilakukan, uji tantangan makanan (food challenge). Pada alergi makanan gastrointestinal, diagnosis akan menjadi pasti apabila endoskopi dan biopsi menunjukkan perbaikan patologis sesudah 6-8 minggu dengan diet eliminasi.2,27 5. Uji tantangan makanan oral (food challenge) Uji tantangan makanan oral dapat dilakukan apabila terdapat kecurigaan terhadap sesuatu jenis makanan yang menyebabkan gejala alergi makanan. Uji tantangan juga diperlukan dalam menilai kesembuhan alergi. Uji tantangan makanan seyogyanya tidak dilakukan apabila terdapat riwayat reaksi alergi makanan berat yang jelas dalam kaitannya dengan adanya antibodi terhadap makanan yang dicurigai. Uji tantangan makanan dapat dilakukan secara terbuka (pasien dan dokter mengetahui isi makanan yang diujikan), secara pembutaan tunggal (single blind, pasien tidak mengetahui, tetapi dokter mengetahui isi makanan tantangan). Atau secara pembutaan ganda dengan kontrol plasebo (“double-blind and placebo controlled” atau DBPCFC, baik pasien maupun dokter tidak mengetahui isi makanan tantangan). DBPCFC dianggap sebagai “baku emas” dalam diagnosis dari alergi makanan. Sicherer (1999), melakukan dua kali tantangan setiap hari, satu kali berisikan antigen makanan yang diuji dan yang satu lagi berisikan plasebo. Setiap tantangan dievaluasi dan diskor dengan menggunakan lembar gejala yang baku. Tantangan yang negatif selalu perlu dipastikan dengan pemberian secara terbuka makanan yang lebih besar porsinya. Pasien juga diamati kemungkinan terjadinya reaksi lambat. Apabila dicurigai hanya beberapa makanan saja, tantangan dengan pembutaan tunggal atau tantangan terbuka dapat dilakukan untuk menapis (screen) reaktivitasnya.2,,28 Uji tantangan dilakukan pada bayi dalam keadaan puasa, dimulai dengan dosis yang sekiranya tidak memicu gejala (25-500 mg dalam makanan yang diliofili = lyophilized food). Pada reaksi yang dicurigai dengan perantara IgE, dosis pada umumnya dapat digandakan setiap 15-60 menit. Namun apabila pasien menunjukkan reaksi yang lebih lambat, diperlukan waktu interval yang lebih lama. Begitu pasien dapat mentoleransi 10 gram “lyophilized food” yang dibutakan dalam kapsul atau cairan (ekuivalen dengan putih telor

satu butir telor atau satu gelas susu dari 4-oz), maka reaktivitas klinik pada umumnya dapat disingkirkan.2 Pasien dengan tingkat IgE spesifik-alergen makanan dalam serum yang melebihi 95% dari nilai prediksi dapat dianggap reaktif dan tantangan makanan oral tidak diperlukan. Pasien dengan tingkat IgE kurang dari 95% nilai prediktif mungkin reaktif tetapi memerlukan suatu uji tantangan makanan untuk memastikan diagnosis. Terkait dengan hal tersebut, data-data terakhir menunjukkan bahwa pemantauan nilai IgE spesifik alergen mungkin berguna dalam prediksi apabila tantangan-tantangan selanjutnya (follow up) cenderung menjadi negatif (apabila pasien “outgrow” alergi makanannya). Penapisan awal alergi makanan dengan perantara IgE seringkali merupakan penapisan bagi sensitivitas makanan untuk kemudian ditentukan tingkat IgE spesifik makanan untuk menentukan reaktivitas kliniknya. Tingkat awal antibodi IgE dapat dipakai sebagai titik rujukan dalam memantau sensitivitas spesifik.2,20 6. Uji diagnostik lain Pada gangguan alergi makanan tanpa perantara IgE, walaupun hasil-hasil dari sejumlah uji laboratori non-spesifik mungkin abnormal ,tidak ada uji laboratorium yang menunjukkan identitas makanan penyebabnya. Eosinofilia darah perifer dapat ditemukan pada 50% dari pasien dengan gastroenteritis eosinofilik atau suatu peningkatan dari jumlah neutrofil dengan “left shift” sering dijumpai pada pasien enterokolitis yang dipicu makanan yang baru mengalami reaksi alergik. Eosinofil dapat ditemukan dalam tinja pasien dengan enterokolitis dan proktokolitis eosinofilik yang dipicu protein makanan. Antibodi IgG spesifik-antigen makanan pada umumnya meningkat pada pasien dengan alergi makanan yang mengenai usus, tetapi spesifisitasnya secara khas mencerminkan jenis makanan yang dimakan tidak indikatif untuk patogenesis yang spesifik dari makanan yang terkait. Untuk kebanyakan dari alergi gastrointestinal, histologi dari bahan biopsi sering memperkuat diagnosis tetapi tidak menunjukkan makanan mana yang merupakan penyebab dari reaksi.20,27

Tabel 11.5. Elemen-elemen yang menunjukkan adanya alergi makanan sebagai penyebab penyakit gastrointestinal. 1. 2. 3. 4.

Riwayat reaksi alergik atau serupa alergi terhadap makanan Eksklusi dari penyebab-penyebab anatomis, metabolik atau infeksi Penemuan patologik konsisten dengan penyebab alergik (biasanya eosinofilia) Konfirmasi adanya hubungan ingesti dari protein makanan spesifik dan gejala melalui tantangan-tantangan atau paparan berulang 5. Bukti adanya antibodi spesifik dalam tatanan penyakit-penyakit 6. Kegagalan dalam merespons pengobatan, metabolik atau infeksius 7. Perbaikan dalam gejala-gejala dengan eliminasi diet penyebab gangguan (protein makanan) 8. Respons klinis terhadap pengobatan dari keradangan inflamasi (kortikosteroid) 9. Kesamaan sindrom klinis baik yang terbukti ataupun diperkirakan karena mekanisme imunologik 10. Tidak adanya penjelasan untuk reaksi yang menyerupai alergi secara klinis

Sumber: Wesley28

Gambar 11.2. Skema Umum bagi Evaluasi Peran Alergi Makanan Gastrointestinal

Evaluasi Indikatif (Tabel 11.1, 11.2,) 11.3 Riwayat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium spesifik (Tabel )11.4) Kemungkinan alergi Makanan Diet eliminasi

Penyebab lain teridentifikasi, tidak konsisten dengan alergi makanan

Stop, bukan alergi makanan

Tidak ada perbaikan

Tidak berhubungan dengan alergi makanan

(Tabel 11.5) Perbaikan

Diet rumatan Pertimbangkan pemberian kembali makanan spesifik dan/atau tantangan secara formal (Tabel 11.6) Tantangan positif, gejala timbul kembali

Makanan dapat ditoleransi/tantangan dilewati

Teruskan eksklusi makanan, Pertimbangkan reevaluasi berkala

Tambah makanan pada diet

Tabel 11.6. Faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan alergi makanan sebagai kausa penyakit gastrointestinal.   

Usia pasien muda (< 3 th.) Riwayat reaksi akut yang diperkirakan karena makanan tertentu Penyakit atopik yang menyertai Dermatitis atopik (lezema) Reaksi alergi makanan akut Asma Riwayat keluarga dengan penyakit atopic

Sumber: Sampson15

Tabel 11.7. Jenis diet eliminasi A.

B.

C.

Eliminasi dari salah satu atau beberapa makanan yang berhubungan dengan gejala - Berguna untuk reaksi akut, makanan positif IgE atau makanan dengan kecurigaan tinggi Diet oligoantigenik-makanan yang terspesifikasi yang diperkenankan dalam diet yang diseleksi bagi yang umumnya mengandung risiko rendah - Berguna bila sejumlah besar makanan ada hubungannya dengan gejala - Dapat menghasilkan hasil yang negatif semu apabila makanan yang sebenarnya tidak dieliminasi Diet elemental-formula hipoalergenik (yaitu formula berdasar asam amino) digunakan sebagai nutrisi total, dapat berisikan beberapa bahan padat yang “aman” - Berguna apabila sejumlah besar makanan dicurigai - Kepatuhan yang rendah dari bayi

Sumber: Wesley28

Tabel 11. 8. Modalitas untuk tantangan makanan oral a. Jenis tantangan - Tantangan terbuka (protein makanan diberikan dalam bentuk sebenarnya) berguna untuk skrining reaktivitas, mempunyai tingkat tertinggi dari bias (positif semu). - Pembutaan tunggal (bahan makanan di sembunyikan dalam kapsul atau makanan lain) berguna untuk skrining reaktivitas, kurang biasnya, lebih memerlukan banyak tenaga. - Pembutaan ganda, plasebo terkontrol (DBPCFC) - menghilangkan bias, paling menyita tenaga, penting bagi penelitian. b. Pemberian tantangan - Saat tantangan berdasar perorangan, tergantung dari riwayat (akut/subakut atau kronik). - Pembagian dosis - kuantitas secara perorangan berdasar riwayat sebelumnya. - Pasien positif IgE : 8-10 gram secara bertahap dinaikkan dan dibagi dalam dosis selama lebih dari 90 menit, disusul dengan porsi yang lebih besar seperti halnya makan biasa 3 jam kemudian. c. Pengawasan/Pengobatan - Memonitor gejala gastrointestinal (juga pernafasan, kulit dalam beberapa kasus). - Analisis tinja seperti yang diindikasikan. - Biopsi pada beberapa kasus (enteropati, eosinofilia). - Pengobatan darurat seperti yang ditentukan (epinefrin, antihistamin, cairan

-

intravena, kortikosteroid dsb). Persediaan khusus dalam hal sindrom enterokolitis.

Sumber: Sicherer2

Tabel 11.9. Bagaimana hidup dengan allergi makanan 1. 2. 3. 4.

Hindari makanan penyebab allergi Pantang/eliminasi 1-2 tahun kadang membaik Eliminasi  challenge, hati-hati Beberapa allergi kacang tanah, kacang pohon ( mente, koro ), ikan, kerang-kerangan, dapat berlangsung lama sekali 5. Penyandang harus sangat berhati-hati dalam memakan makanan yang tidak dikenal ( bahan dan bumbu-bumbunya ) 6. Untuk yang bereaksi hebat (anaphylactic shock) perlu dibawa obat-obat untuk pertolongan keadaan yang mengancam jiwa(epinephire dan carticolesterol). Pemakaian gelang atau kalung pemberitahuan keadaan dan pertolongan perlu dianjurkan. 7. Tidak ada obat(drug) yang dapat menyembuhkan / mengobati allergi makanan Sumber: Wesley28

Pengobatan 1. Eliminasi Protein Makanan Begitu diagnosis dari hipersensitivitas makanan ditegakkan, terapi yang terbukti paling baik adalah eliminasi dengan ketat dari alergen yang dicurigai. Dalam memberikan diet eliminasi terapeutik perlu pertimbangan-pertimbangan yang sama seperti halnya dengan obat, keduanya dapat menyebabkan efek-efek samping. Diet eliminasi dapat menyebabkan malnutrisi dan/atau gangguan-gangguan makan, terutama bila menyangkut sejumlah besar makanan dan/atau digunakan untuk waktu yang lama. Reaktivitas klinik terhadap alergen makanan pada umumnya adalah sangat spesifik, dan pasien jarang bereaksi dengan lebih dari 1 family botanis atau spesies binatang. Dengan demikian, eliminasi diet terapeutik janganlah didasarkan pada eksklusi dari family makanan (food families) tetapi hendaknya berdasar pada makanan individual yang terbukti menginduksi gejala alergik. Pada pasien-pasien yang terindentifikasi alergi terhadap makanan multipel, harus mendapatkan penanganan dari ahli diet yang mengetahui dengan benar mengenai eksklusi makanan serta harus berpengalaman menangani pasien-pasien yang alergi terhadap makanan. Eliminasi protein makanan merupakan pekerjaan yang sulit dilaksanakan. Pasien dan orang tua pasien harus menyadari bahwa protein makanan, berbeda dengan gula atau lemak, merupakan bahan yang dihilangkan. Bahan protein yang tersembunyi dapat pula menimbulkan masalah. Anak-anak kecil akan terbebas dari sensitivitasnya terhadap makanan alergenik yang umum (telor, gandum, soya) dalam b eberapa tahun, terutama dengan menghindari makanan yang potensial memberikan reaksi alergi makanan.

Tantangan makanan untuk diagnostik secara serial dapat membantu dalam penanganan anak yang alergi terhadap makanan. Dilain pihak, sensitivitas terhadap beberapa makanan tertentu seperti kacang tanah, kacang pohon, ikan dan kerang-kerangan, jarang yang menghilang, dan sensitivitasnya dapat bertahan hingga usia dewasa.2,24,27

2. Imunoterapi Imunoterapi telah dicoba dalam pengobatan gangguan-gangguan alergi yang dipicu makanan. Dua pendekatan yang sedang ditelusuri yaitu pendekatan menyangkut mutasi dari epitope yang mengikat IgE pada protein kacang dan yang melibatkan penggunaan DNA protein kacang yang dikodekan dalam vektor plasmid. Pendekatan ini diharapkan berhasil dalam upaya “desensitisasi” pada pasien dengan alergi makanan.2,6

3. Humanized anti IgE antibody therapy Strategi yang lebih global yang mungkin berguna dalam pengobatan alergi makanan yang diperantarai IgE adalah penggunaan terapi antibodi anti IgE. Bentuk pengobatan ini mempunyai keuntungan dalam mengobati sensitivitas terhadap protein makanan multipel tanpa memandang spesifisitas alergennya.2,6

4. Probiotik Pada saat ini probiotik, LGG terbukti merupakan organisme yang sangat bermanfaat untuk alergi makanan maupun pencegahannya. Bakteri probiotik tertentu dapat mengurangi produksi pro inflamatory cytokines, sehingga probiotik bermanfaat tidak hanya untuk food (gut) allergy saja, namun berguna juga untuk inflamatory bowel disease, seperti ulceratif colitis dan crohn disease. Penelitian untuk probiotik jenis lain masih sedang dilakukan.2,29

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Pascual CY, Crespo JF, Perez PG, Esteban MM. Food allergy and intolerance in children and adolescent, an update. Eur J. Clin Nutr. 2000; 54: SI pp 575-578. Sicherer SH, Sampson HA. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: Pathophysiology, epidemiology, diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 104: S 114-22. Justinich CJ. Update in gastrointestinal allergic diseases. Curr. Op in Pediatr. 2000; 12: 456-459. Stern M. Gastrointestinal Allergy. In: W Allan Walker, PR Durie, JR Hamilton, JA Walker Smith, JB Watkins eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. Philadelphia, BC Decker Inc. 1991; 1: 557-574. Sampson HA, Mendelson LM, Rosen JP. Fatal and near fatal anaphylaxis reactions to food in children and adolescent. N Engl J Med. 1992; 327: 380-4. Weier DM. Immunology Churchiel Livingstone. 1983. Hill DJ, Hosking CS, Heine RG. Clinical spectrum of food allergy in children in Australia and South Eeast Asia: Indentification and targets for treatment. Ann Med. 1999; 31: 272-281. Sicherer SH. Manifestations of Food Allergy: Evaluation and Management. American Academy of Family Phys. 1999: pp. 1-12.

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.

28. 29.

Bock SA, Atkins FM. Patterns of food hypersensitivity during sixteen years of double-blind, placebo controlled food challenges. J Pediatr. 1990; 117: 561-567. Soeparto P, Djupri LS, Noerasid H. Cow’s milk sensitive enteropathy, Kongres Nasional I KOPGI-KOPEGI Jakarta. 1981. Bock SA. The natural history of food sensitivity. J Allergy Clin Immunol. 1982; 69: 173-7. Iacono G, Carroccio A, Cavataio F. Gastroesophageal reflux and cow’s milk allergy in infants: a prospective study. J Allergy Clin Immunol. 1996; 97: 822-827. Bruijnzeel-Koomen C, Ortolani C, Aas K, Bindslev-Jensen C, Bjorksten B, Moneret D. Adverse reaction to food allergy. 1995; 50: 623-635. Orenstein SR. Gastroesophageal reflux. Curr probl Pediatr. 1992; 21: 193-241. Sampson HA, Mc Caskillc CC. Food hypersensitivity and atopic dermatitis: evaluation of 113 patients. J Pediatr. 1985; 107: 699-675. Wesley Burks A. The spectrum of food hypersensitivity: Where does it end? Editorials. J Pediatr 1998; 133: 1756. Sampson HA, Albergo R. Comparison of result of skin test, RAST and double-blind, placebo controlled food challenges in children with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol. 1989; 74: 26-33. Romano A, Di Fonso M, Ginffreda F, Quaretino D. Diagnositic work-up foor food dependent, exercise induced anaphylaxis. Allergy. 1995; 50: 817-24. Seidman E. Immune homeostasis and the gut. In: CC Roy, A Silverman, D Alagille eds. Pediatric Clinical Gastroenterology, 4th ed. St Louis , Mosby. 1995; 12: 388-416. Winter HS, Madara JL, Stafford RJ, Grand RJ, QuinlanJE, Goldman H. Intraepithelial eosinophils: a new diagnostik criterion for reflux esophagitis. Gastroenterology 1982; 83: 818-823. Motta MEFA. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. International Pediatrics. 2001; 16: 66-72. Bunser O, Araya M. Damage and repair of small intestinal mucosa in acute and chronic diarrhoea. In: E Lebenthal ed. Chronic diarrhoea in infancy. New York. 1984: 31-55. Iacono G, Cavataio F, Montalto G. Intolerance of cow’s milk and chronic constipation in children. N Engl J Med. 1998; 339: 1100-4. Sampson HA. Food allergy part 2: Diagnosis and management. J Allergy Clin Immunol. 1999; 103: 981-989. Bock SA, Lee WY, Remigro L, Holst A, May CD. Appraisal of skin tests with food extracts for diagnosis of food hypersensitivity. Clin Allergy. 1978; 8: 559-564. Romagnani S. Induction of Th1 dan Th2 response: a key role for the “natural” immune response? Immunol Today. 1992; 13: 379-318. Hill D, Hasking CS. Clinical management: Food allergy in Paediatric Clinical Practice. In: KM Hendricks, W Allan Walker eds. International Seminars in Paediatric Gastroenterology and Nutrition. Decker Periodicals Inc. 1992. pp. 2-7. Host A, Koletzko B, Dreborg S, Muraro A, Wahn U et al. Dietary products used in infants for treatment and prevention of food allergy. Arch Dis Child. 1999; 81: 80-84. Jon A, Vanderhoof, MD & Rosemary J. Young, RN, MS. In The role of probiotic in the management of patients with food allergy. Ann allergy, asthma, immunology. 2000; 3: 99-103.

BAB XII KONSTIPASI PADA ANAK Agus Firmansyah

Ilustrasi kasus Seorang anak lelaki berusia 6 tahun dibawa oleh orangtuanya ke rumah sakit karena mengalami sembelit sejak 6 bulan yang lalu. Buang air besarnya jarang, sekali tiap 10 hari. Tinjanya berbentuk pelet dan keras. Kadang-kadang disertai darah dalam tinjanya. Nafsu makan turun dan badan bertambah kurus. Tampak anak selalu berusaha menahan buang air besarnya. Anak tampak ketakutan bila mulai ingin buang air besar. Perut tampak membuncit dan teraba ada masa tinja yang keras pada perabaan abdomen. Pada pemeriksaan colok dubur anak merasa kesakitan dan rektum teraba dilatasi dengan banyaknya tinja yang keras.

Pendahuluan Pola defekasi yang normal umumnya dipandang sebagai pertanda anak sehat. Terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan bayi, orang tua sangat menaruh perhatian pada frekuensi defekasi dan karakteristik tinjanya. Adanya penyimpangan dari yang dianggap normal pada anak, merangsang orang tua untuk membawa anaknya ke dokter. Pada umumnya orang tua khawatir bahwa tinja anaknya terlalu besar, terlalu keras, nyeri waktu berhajat atau defekasinya terlalu jarang. Kenyataannya, konstipasi memang merupakan masalah yang biasa ditemukan pada anak. Pada awalnya penyebab konstipasi mungkin sederhana saja, misalnya kurangnya konsumsi serat, tetapi karena tidak ditangani secara memadai perjalanan kliniknya menjadi kronis, yang membuat frustrasi anak, orangtua dan juga dokter yang merawatnya. Di lain pihak, terdapat kasus-kasus konstipasi akut yang memerlukan diagnosis etiologi segera karena memerlukan tindakan yang segera pula. Ringkasnya, ada kasus konstipasi ringan tetapi memerlukan penanganan yang adekuat, ada kasus yang memerlukan diagnosis etiologi dan tindakan segera dan ada pula kasus konstipasi kronis yang memerlukan kesabaran dan penanganan yang cermat. Tulisan ini menjelaskan secara ringkas mengenai pendekatan diagnosis dan tatalaksana konstipasi pada anak, dengan perhatian khusus pada konstipasi fungsional yang sering ditemukan pada anak.

Definisi

Dalam kepustakaan belum ada kesepakatan mengenai batasan konstipasi. Rogers mendefinisikan konstipasi sebagai kesulitan melakukan defekasi atau berkurangnya frekuensi defekasi tanpa melihat apakah tinjanya keras atau tidak.1 Lewis dan Muir menambahkan bahwa kesulitan defekasi yang terjadi menimbulkan nyeri dan distress pada anak2, sedangkan Abel mengatakan konstipasi sebagai perubahan dalam frekuensi dan konsistensi dibandingkan dengan pola defekasi individu yang bersangkutan, yaitu frekuensi berhajat lebih jarang dan konsistensi tinja lebih keras dari biasanya.3 Definisi lain adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per minggu. Steffen dan Loening-Baucke mengatakan konstipasi sebagai buang air besar kurang dari 3 kali per minggu atau riwayat buang air besar dengan tinja yang banyak dan keras.4 Penulis sendiri berpendapat bahwa konstipasi adalah ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya, dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak disertai enkopresis (kecepirit).

Epidemiologi Sekitar 3 persen kunjungan ke dokter anak dan 10%-15% kasus yang ditangani ahli gastroenterologi anak merupakan kasus konstipasi kronis. Sebagian besar (90%-95%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional, hanya 5%-10% yang mempunyai penyebab organik.3,5

Etiologi dan Patofisiologi Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali per hari sampai tiga kali per minggu. Frekuensi defekasi pada anak bervariasi menurut umur. Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering berhajat dibandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Pada umur 2 tahun, frekuensi rerata defekasi menurun menjadi dua kali per hari.6,7,8 Frekuensi defekasi normal pada anak terlihat pada Tabel 12.1.

Tabel 12.1. Frekuensi normal defekasi pada anak Umur

Defekasi/minggu

Defekasi/hari

ASI

5-40

2,9

Formula

5-28

2,0

6-12 bulan

5-28

1,8

1-3 tahun

4-21

1,4

0-3 bulan

>3 tahun

3-14

1,0

Sumber: Weaver7

Proses normal defekasi diawali dengan teregangnya dinding rektum. Regangan tersebut menimbulkan refleks relaksasi dari sfingter anus interna yang akan direspons dengan kontraksi sfingter anus eksterna. Upaya menahan tinja ini tetap dipertahankan sampai individu mencapai toilet. Untuk proses defekasi, sfingter anus eksterna dan muskulus puborektalis mengadakan relaksasi sedemikian rupa sehingga sudut antara kanal anus dan rektum terbuka, membentuk jalan lurus bagi tinja untuk keluar melalui anus. Kemudian dengan mengejan, yaitu meningkatnya tekanan abdomen dan kontraksi rektum, akan mendorong tinja keluar melalui anus. Pada keadaan normal, epitel sensorik di daerah anus-rektum memberitahu individu mengenai sifat tinja, apakah padat, cair, gas, atau kombinasi ketiganya.9,10 Kolon berfungsi menyimpan dan mengeringkan tinja cair yang diterimanya dari ileum. Makan atau minum merupakan stimulus terjadinya kontraksi kolon (refleks gastrokolik) yang diperantarai oleh neuropeptida pada sistem saraf usus dan koneksi saraf visera. Kandungan nutrisi tinja cair dari ileum yang masuk ke kolon akan menentukan frekuensi dan konsistensi tinja. Kurangnya asupan serat (dietary fiber) sebagai kerangka tinja (stool bulking), kurang minum dan meningkatnya kehilangan cairan merupakan faktor penyebab konstipasi. Berat tinja berkaitan dengan asupan serat makanan. Tinja yang besar akan dievakuasi lebih sering. Waktu singgah melalui saluran pencernaan lebih cepat bila mengkonsumsi banyak serat. Waktu singgah pada bayi berusia 1-3 bulan adalah 8,5 jam. Waktu singgah meningkat dengan bertambahnya usia, dan pada dewasa berkisar antara 30 sampai 48 jam. Berkurangnya aktivitas fisik pada individu yang sebelumnya aktif merupakan predisposisi konstipasi, misalnya pada keadaan sakit, pascabedah, kecelakaan atau gaya hidup bermalas-malasan. Stres dan perubahan aktivitas rutin sehari-hari dapat mengubah frekuensi defekasi, seperti liburan, berkemah, masuk sekolah kembali setelah liburan, ketersediaan toilet dan masalah psikososial, dapat menyebabkan konstipasi.10,11,19 Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah menahan defekasi akibat pengalaman nyeri pada defekasi sebelumnya, biasanya disertai fisura ani. Orangtua sering memberitahu adanya riwayat darah dalam tinja, popok atau toilet. Pengalaman nyeri berhajat ini dipercaya menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja (retensi tinja) yang berulang akan meregangkan rektum dan kemudian kolon sigmoid yang menampung bolus tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala. Seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja yang keras dan besar menjadi lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, menimbulkan rasa sakit dan kemudian retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung: tinja keras-nyeri waktu berhajat-retensi tinja-tinja makin banyak-reabsorpsi airtinja makin keras dan makin besar-nyeri waktu berhajat-dan seterusnya.13,14 Bila konstipasi menjadi kronik, massa tinja berada di rektum, kolon sigmoid, dan kolon desenden dan bahkan di seluruh kolon. Enkopresis atau kebocoran (tidak disengaja; involuntary) tinja cair atau lembek di sekitar massa tinja merupakan masalah yang mendorong orangtua membawa anaknya ke dokter. Distensi tinja kronis sebagai akibat retensi tinja menyebabkan menurunnya kemampuan sensor terhadap volume tinja, yang sebetulnya

merupakan panggilan atau rangsangan untuk berhajat. Temuan terbanyak pada pemeriksaan manometri anak dengan konstipasi kronis adalah meningkatnya ambang rangsang sensasi rektum. Dengan pengobatan jangka panjang, sensasi rektum dapat menjadi normal kembali. Namun pada sebagian kasus yang sembuh, sensasi rektum tetap abnormal dan hal ini menjelaskan mengapa konstipasi dan enkopresis mudah kambuh.4,5 Kontraksi puborektalis paradoksal merupakan temuan yang biasa pada pemeriksaan manometri anorektum pada anak dengan konstipasi kronis. Kontraksi puborektalis paradoksal didefinisikan sebagai kurangnya kontraksi sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis selama upaya defekasi, bahkan sebaliknya terjadi relaksasi. Anak dengan kontraksi abnormal sfingter ani eksterna dan muskulus puborektalis selama latihan defekasi (toilet training) juga mengalami kesulitan mengevakuasi balon berisi air (model tinja tiruan) dan lebih sering mengalami kegagalan terapi.9 Pada sekitar 5%-10% bayi dan anak, konstipasi dapat disebabkan kelainan anatomis, neurologis, atau penyebab lain yang akan dibahas dalam paragraf tentang diagnosis banding.5

Gejala dan Tanda Klinis Konstipasi Kronis Pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi. Bila konstipasi menjadi kronik, jumlah defekasi per hari atau per minggu mungkin bukan indikator terpercaya untuk konstipasi pada seorang anak. Biasanya, pola defekasi yang jarang terdapat pada awal proses, yang mungkin terjadi beberapa bulan atau tahun sebelum pasien menemui dokter. Dengan terjadinya retensi tinja, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti nyeri dan distensi abdomen, yang sering hilang sesudah defekasi. Penting dicatat adanya riwayat tinja yang keras dan/atau tinja yang sangat besar yang mungkin menyumbat saluran toilet. Kecepirit diantara tinja yang keras sering salah didiagnosis sebagai diare. Seorang anak yang mengalami konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan, yang akan mengalami perbaikan bila konstipasinya diobati. Upaya menahan tinja dapat disalahtafsirkan sebagai upaya mengejan untuk defekasi. Berbagai posisi tubuh, menyilangkan kedua kaki, menarik kaki kanan dan kiri bergantian ke depan dan belakang (seperti berdansa) merupakan manuver menahan tinja dan kadangkala prilaku tersebut menyerupai kejang.5,15,16 Inkontinensia urin dan infeksi saluran kemih seringkali berkaitan dengan konstipasi pada anak. Kadangkala, retensi urin, megakistik, dan refluks vesikoureter ditemukan pada anak dengan konstipasi kronis.17 Pada pemeriksaan klinis didapatkan distensi abdomen dengan bising usus normal, meningkat atau berkurang. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium. Fisura ani serta ampula rekti yang besar dan lebar merupakan tanda penting pada konstipasi.4,18,19 Pemeriksaan fisik yang penting (selain pemeriksaan rutin) dilakukan pada anak dengan konstipasi dapat dilihat pada Tabel 12.2 dan temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dan fungsional dapat dilihat pada Tabel 12.3.

Tabel 12.2. Pemeriksaan fisik pada anak dengan konstipasi Abdomen Distensi Hati dan limpa Massa tinja Inspeksi anus Posisi Adanya tinja di sekitar anus atau celana Eritema sekitar anus Skin tags Fisura ani Colok dubur Kedutan anus Tonus anus Massa tinja Adanya tinja Konsistensi Adakah massa lain Tinja menyemprot bila jari dicabut Darah dalam tinja Punggung dan spina Lesung Berkas rambut Neurologi -

Tonus Kekuatan Refleks kremaster Refleks tendon

Sumber: Steffen4

Tabel 12.3. Temuan pada pemeriksaan fisik yang membedakan konstipasi organik dari fungsional -

Gagal tumbuh Distensi abdomen Hilangnya lengkung lumbosakral Pilonidal dimple covered by a tuft hair Kelainan pigmentasi di garis tengah spina (lumbosakral) Agenesis sakrum Bokong datar Letak anus di depan Patulous anus Ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen Tinja menyemprot bila telunjuk dicabut pada pemeriksaan colok dubur Darah dalam tinja Hilangnya kedutan anus Hilangnya reflek kremaster

-

Tonus dan kekuatan otot ekstremitas bawah turun

- Hilang atau menurunnya fase relaksasi refleks tendon ekstremitas bawah Sumber: Steffen4

Diagnosis Langkah pertama yang penting dilakukan adalah menyingkirkan kemungkinan pseudokonstipasi. Pseudokonstipasi merujuk pada keluhan orang tua bahwa anaknya menderita konstipasi padahal tidak ada konstipasi. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai konsistensi tinja dan frekuensi defekasi. Pada pemeriksaan fisik, palpasi abdomen yang cermat dan colok dubur perlu dilakukan. Banyak orang tua mengeluh bayinya sering menggeliat, wajahnya memerah, dan tampak mengejan kesakitan waktu berhajat. Semua itu normal dan bukan pertanda adanya konstipasi. Bila tinja anak lunak dan pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, maka tidak ada konstipasi berapa kalipun frekuensi defekasi. Orang tua merasa anaknya memiliki masalah defekasi bila tidak melihat anaknya defekasi dalam sehari. Oleh karena itu, sebelum memikirkan berbagai etiologi konstipasi, penting sekali mengidentifikasi kasus pseudokonstipasi dan memberi edukasi kepada orang tua mengenai hal ini.5,15 Bila memang terdapat konstipasi, langkah berikut adalah membedakan apakah konstipasi berlangsung akut atau kronis. Dikatakan konstipasi akut bila keluhan berlangsung kurang dari 1-4 minggu dan konstipasi kronis bila keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan.4,5 Penyebab konstipasi akut yang paling sering terlihat pada Tabel 12.4, tetapi perlu dipikirkan kelainan yang mengancam kehidupan, seperi obstruksi usus, dehidrasi dan botulisme infantil. Penyebab tersering konstipasi akut adalah infeksi virus. Infeksi virus dapat menyebabkan ileus nonspesifik dan berkurangnya frekuensi defekasi. Anak juga mengalami anoreksia serta kehilangan banyak cairan melalui saluran nafas dan demam.4,20

Tabel 12.4. Penyebab tersering konstipasi pada anak -

-

Fungsional Fisura ani Infeksi virus dengan ileus Diet Obat

Sumber: Steffen4

Obat juga sering menyebabkan efek samping berupa konstipasi akut, seperti antasida, antikolinergik, antikonvulsan, antidepresan, diuretika, preparat besi, relaksan otot, narkotika dan psikotropika. Bila meresepkan obat, dokter harus mengantisipasi konstipasi sebagai efek samping. Sebagian besar obat yang dapat menyebabkan konstipasi terlihat pada Tabel 12.5. Daftar yang ringkas ini dapat dipakai sebagai acuan umum. Beberapa sirup antasida dapat menimbulkan konstipasi. Obat antikolinergik yang digunakan untuk pengobatan inkontinensia

urin akibat neurogenic bladder pada pasien dengan defek medula spinalis seperti meningomiokel, adalah oksibutinin klorida. Konstipasi mungkin merupakan efek samping yang bermakna pada anak yang diobati untuk disritmia jantung, depresi, kejang, dan sejumlah penyakit lain. Pada sebagian kasus, terapi dapat dilajutkan dengan menangani konstipasi yang terjadi dengan pelunak tinja atau supositoria dan enema. Kecuali pada anak dengan diet ketogenik untuk kejang intraktabel. Dalam hal ini, konsultasi pada ahli gizi mungkin dapat membantu.4,16,19

Tabel 12.5. Obat yang menyebabkan konstipasi -

-

Anestesi, analgesik narkotik, opiat Antikolinergik dan simpatomimetik Antikonvulsan dan diet ketogenik Antimotilitas Antipsikotik, antidepresan Barium untuk pemeriksaan radiologis Penghambat kanal kalsium (misal verapamil), antidisritmia Mineral: aluminium, kalsium, besi, timbal, merkuri, arsen, bismuth Antiinflamasi non-steroid

Sumber: Steffen4

Bila diet anak berubah mereka juga dapat mengalami episode konstipasi akut. Hal ini terjadi misalnya pada waktu liburan. Bila diet mengandung banyak susu atau rendah buah dan sayuran, kemungkinan penyebab konstipasi adalah faktor diet. Dalam hal ini, modifikasi diet lebih diutamakan daripada laksatif. Perubahan diet dari ASI ke formula pada bayi atau dari formula ke susu penuh (fullcream) pada anak usia 1 tahun dapat menimbulkan konstipasi pada beberapa bayi/anak.13,21 Pada konstipasi kronis keluhan berlangsung lebih dari 1 bulan. Konstipasi kronis biasanya fungsional, tetapi perlu dipertimbangkan adanya penyakit Hirschsprung karena berpotensi menimbulkan komplikasi yang serius.15,22 Petunjuk penting lain dalam diagnosis banding adalah umur pada saat awitan gejala timbul. Bila dalam anamnesis didapatkan bahwa gejala timbul sejak lahir, kemungkinan penyebab anatomis seperti penyakit Hirschsprung harus dipikirkan. Bila awitan gejala timbul pada saat usia toilet training (>2 tahun) kemungkinan besar penyebabnya fungsional.22 Walaupun lebih dari 90% konstipasi pada anak tergolong konstipasi fungsional, pada beberapa anak etiololginya mungkin multifaktorial. Bila terapi logis tidak efektif atau bila konstipasi terjadi pada masa neonatus atau bayi, eksplorasi untuk mencari penyebab lain harus dilakukan. Meski masa awitan manifestasi berbagai penyebab konstipasi dapat saling tumpangtindih, pengelompokan penyebab berdasarkan umur terlihat pada Tabel 12.6.

Tabel 12.6. Penyebab konstipasi berdasarkan umur

Neonatus/Bayi Meconium plug Penyakit Hirschsprung Fibrosis kistik Malformasi anorektal bawaan, termasuk anus imperforata, stenosis ani, anal band Chronic idiopathic intestinal pseudo-obstruction Endokrin: hipotiroid Alergi susu sapi Metabolik: diabetes insipidus, renal tubular asidosis Retensi tinja Perubahan diet Toddler dan umur 2-4 tahun Fisura ani, retensi tinja Toilet refusal Alergi susu sapi Penyakit Hirschsprung segmen pendek Penyakit saraf: sentral atau muskular dengan hipotoni Medula spinalis: meningomielokel, tumor, tethered cord Usia sekolah Retensi tinja Ketersediaan toilet terbatas Keterbatasan kemampuan mengenali rangsang fisiologis Preokupasi dengan kegiatan lain Tethered cord Adolesen Irritabel bowel syndrome Jejas medulla spinalis (kecelakaan, trauma) Diet Anoreksia Kehamilan Laxative abuse Segala usia -

Efek samping obat, perubahan diet, paska operasi Riwayat operasi anal-rektum Retensi tinja dan enkoporesis akibat distensi tinja kronis Perubahan aktivitas fisik, dehidrasi Hipotiroid

Sumber: Steffen4

Komplikasi Nyeri perut atau rektum dan enkoporesis merupakan komplikasi primer konstipasi pada anak. Komplikasi lain dapat dilihat pada Tabel 12.7. Tabel 12.7. Komplikasi konstipasi kronis pada anak 

Nyeri: anus atau abdomen

      

Fisura ani Enkopresis Enuresis Infeksi saluran kemih/obstruksi ureter Prolaps rektum Ulkus soliter Sindrom stasis Bakteri tumbuh lampau Fermentasi karbohidrat, maldigesti Dekonjugasi asam empedu - Steatorea

Sumber: Young20

Enuresis dilaporkan terjadi pada lebih dari 40% anak dengan enkoporesis. Pada beberapa kasus, enuresis menghilang bila massa tinja dievakuasi sehingga memungkinkan kandung kemih mengembang. Komplikasi urologis penting lainnya adalah dilatasi kolon distal, sehingga berperan dalam meningkatkan frekuensi infeksi saluran kemih dan obstruksi ureter kiri. Dilatasi kolon distal dapat mengurangi tonus kolon yang menyebabkan terjadinya invaginasi, yang dapat bermanifestasi sebagai prolaps rekti setelah defekasi. Prolaps kolon ringan tetapi berlangsung lama akan menciptakan suatu ulkus iskemik pada dinding mukosa rektum (ulkus soliter) yang secara klinis tampak sebagai tinja berlendir dan berdarah apapun konsistensi tinjanya. Iritasi difus pada kolon akibat tinja yang amat keras bahkan dapat menyebabkan protein-losing enteropathy. Sindrom stasis terutama terlihat pada pseodo-obstruksi. Stigma sosial yang berkaitan dengan sering kentut dan kecepirit yang menimbulkan bau tidak sedap dapat mempengaruhi anak. Sebagian besar anak dengan enkoporesis kronis akan menyangkal bila ditanya tentang masalah enkoporesisnya dan bahkan sering menyembunyikan celana dalamnya yang kena kecepirit.4,5,22,23

Pemeriksaan Penunjang Beberapa pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus-kasus tertentu yang diduga mempunyai penyebab organik.21,25 1. Pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam kolon. Pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau bila pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja. 2. Pemeriksaan enema barium untuk mencari penyebab organik seperti Morbus Hirschsprung dan obstruksi usus. 3. Biopsi hisap rektum untuk melihat ada tidaknya ganglion pada mukosa rektum secara histopatologis untuk memastikan adanya penyakit Hirschsprung. 4. Pemeriksaan manometri untuk menilai motilitas kolon. 5. Pemeriksaan lain-lain untuk mencari penyebab organik lain, seperti hipotiroidisme, ultrasonografi abdomen, MRI, dll.

Tatalaksana Konstipasi Fungsional Tatalaksana meliputi edukasi orangtua, evakuasi tinja, terapi rumatan, modifikasi prilaku, obat dan konsultasi.

1. Evakuasi tinja (disimpaction) Fecal impaction adalah massa tinja (skibala) yang teraba pada palpasi regio abdomen bawah, rektum yang dilatasi dan penuh dengan tinja yang ditemukan pada pemeriksaan colok dubur atau tinja yang berlebihan dalam kolon yang terlihat pada foto abdomen. Evakuasi skibala ini perlu dilakukan sebelum terapi rumatan. Evakuasi tinja dapat dilakukan dengan obat oral atau rektal. Program evakuasi tinja biasanya dilakukan selama 2-5 hari sampai terjadi evakuasi tinja secara lengkap/sempurna. Bila menggunakan obat per oral, dapat digunakan mineral oil (parafin liquid) dengan dosis 15-30 ml/tahun umur (maksimum 240 ml sehari) kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) 20 ml/kg/jam (maksimum 1000 ml/jam) diberikan dengan pipa nasogastrik selama 4 jam per hari. Evakuasi tinja dengan obat per rektum dapat menggunakan enema fosfat hipertonik (3 ml/kg 2 kali sehari maksimum 6 kali enema), enema garam fisiologis (600-1000 ml) atau 120 ml mineral oil. Pada bayi digunakan supositoria/enema gliserin 2-5 ml.26,27

2. Terapi rumatan Segera setelah berhasil melakukan evakuasi tinja, terapi ditujukan untuk mencegah kekambuhan. Terapi rumatan meliputi intervensi diet, modifikasi perilaku dan pemberian laksatif untuk menjamin interval defekasi yang normal dengan evakuasi tinja yang sempurna. Anak dianjurkan untuk banyak minum dan mengkonsumsi karbohidrat dan serat. Buahbuahan seperti pepaya, semangka, bengkuang dan melon banyak mengandung serat dan air sehingga dapat digunakan untuk melunakkan tinja. Serat dan sorbitol banyak terkandung dalam buah prune, pear dan apel, sehingga dapat dikonsumsi dalam bentuk jus untuk meningkatkan frekuensi defekasi dan melunakkan tinja. Komponen penting dalam terapi rumatan adalah modifikasi perilaku dan toilet training. Segera setelah makan pagi dan malam, anak dianjurkan untuk buang air besar. Tidak perlu terlalu terburu-buru, yang akan membuat anak makin tertekan, tetapi berilah waktu 10-15 menit bagi anak untuk buang air besar. Bila dilakukan secara teratur akan mengembangkan reflek gastrokolik pada anak. Dianjurkan membuat catatan harian yang mencatat kejadian defekasi dan konsistensi tinja. Sistem pemberian hadiah dapat diterapkan bila anak berhasil melakukan defekasi. Bila dengan cara di atas tidak berhasil, mungkin perlu dikonsulkan ke ahli psikiatri anak.

Obat umumnya masih diperlukan pada terapi rumatan. Laktulosa (larutan 70%) dapat diberikan dengan dosis 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Sorbitol (larutan 70%) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian. Mineral oil (parafin liquid) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak dianjurkan untuk anak dibawah 1 tahun. Larutan magnesium hidroksida (400mg/5 ml) diberikan 1-3 ml/kgBB/hari, tetapi tidak diberikan pada bayi dan anak dengan gangguan ginjal. Bila respon terapi belum memadai, mungkin perlu ditambahkan cisapride dengan dosis 0,2 mg/kgBB/kali untuk 3-4 kali perhari selama 4-5 minggu. Terapi rumatan mungkin diperlukan selama beberapa bulan. Bila defekasi telah normal, terapi rumatan dapat dikurangi untuk kemudian dihentikan. Pengamatan masih perlu dilakukan karena angka kekambuhan tinggi, dan pada pengamatan jangka panjang banyak anak yang masih memerlukan terapi rumatan sampai adolesen.26,28,29

3. Evidence-based medicine dan konstipasi Seiring dengan perhatian yang serius terhadap evidence-based medicine, berikut tertera beberapa rekomendasi berdasarkan pada bukti-bukti penelitian dan kategori kualitas buktinya.4,5,30,31

Rekomendasi umum -

-

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat merupakan bagian penting dari evaluasi komprehensif bayi atau anak dengan konstipasi (III). Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap dan cermat ternyata cukup untuk mendiagnosis konstipasi fungsional pada banyak kasus (III). Uji darah samar dalam tinja dianjurkan pada semua bayi dengan konstipasi dan pada anak dengan konstipasi yang juga mengalami sakit perut, gagal tumbuh, diare atau riwayat keluarga menderita polip atau kanker kolorektal (III). Pada kasus tertentu, pemeriksaan foto polos abdomen, bila diinterpretasi dengan benar, dapat bermanfaat dalam mendiagnosis fecal impaction (II-2). Biopsi rektum dengan pemeriksaan histopatologis dan manometri rektum merupakan satu-satunya cara yang akurat untuk menyingkirkan penyakit Hirschsprung (II-1). Pada kasus tertentu, pengukuran waktu singgah dengan petanda radioopak dapat menentukan apakah terdapat konstipasi (II-3).

Rekomendasi untuk bayi -

Pada bayi, evakuasi feses dapat dilakukan dengan supositoria gliserin. Enema harus dihindari (II-3). Pada bayi, jus yang mengandung sorbitol, seperti jus prune, pear dan apel, dapat mengurangi konstipasi (II-3). Barley malt extract, corn syrup, latulosa atau sorbitol (laksatif osmotik) dapat digunakan sebagai pelunak tinja (III).

-

Mineral oil (parafin) dan laksatif stimulan tidak dianjurkan pada bayi (III).

Rekomendasi untuk anak -

Pada anak, evakuasi tinja dapat dilakukan dengan pengobatan peroral atau rektal, termasuk enema (II-3). Pada anak, diet seimbang yang mengandung whole grains, buah dan sayuran dianjurkan sebagai bagian pengobatan konstipasi (III). Pemakaian obat-obatan dikombinasikan dengan modifikasi perilaku dapat mengurangi waktu remisi pada anak dengan konstipasi fungsional (I). Mineral oil (pelicin) dan magnesium hidroksida, laktulosa dan sorbitol (laksatif osmotik) merupakan obat yang aman dan efektif (I). Terapi emergensi dengan pemberian laksatif stimulan dapat dilakukan pada kasus-kasus tertentu (II-3). Senna dan bisakodil (laksatif stimulan) dapat bermanfaat pada kasus tertentu yang sulit ditangani (II-1). Cisapride telah terbukti bermanfaat sebagai laksatif pada beberapa penelitian (walaupun tidak semua) dan dapat digunakan pada kasus tertentu (I). Larutan elektrolit polietilen glikol (PEG), diberikan dalam dosis rendah dalam waktu lama, mungkin merupakan alternatif pengobatan efektif pada konstipasi yang sulit diatasi (III).

Catatan: Kategori kualitas bukti adalah sebagai berikut: I

Bukti diperoleh dari minimal satu penelitian RCT

II-1

Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol tanpa randomisasi

II-2 Bukti diperoleh dari penelitian kohort atau kasus-kontrol, terutama pada dari 1 senter atau pusat penelitian II-3

lebih

Bukti penelitian dari laporan kasus berkala dan multipel dengan atau tanpa intervensi

III Pendapat ahli yang didasarkan pada pengalaman klinis, penelitian deskriptif, atau laporan komite ahli

Kesimpulan Konstipasi sering ditemukan pada anak, baik yang akut maupun kronis. Sebagian besar (90%) konstipasi pada anak merupakan konstipasi fungsional. Pada sebagian besar kasus, anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sudah cukup memadai untuk penatalaksanaan anak

dengan konstipasi. Pada sebagian kecil kasus, yang diduga penyebabnya organik, beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Pengobatan konstipasi terdiri dari evakuasi tinja bila terjadi skibala dan dilanjutkan dengan terapi rumatan yang terdiri dari obat, modifikasi perilaku, edukasi pada orangtua dan konsultasi. Terapi memerlukan waktu lama (berbulan-bulan) dan memerlukan kerjasama yang baik dengan orangtua. Prognosis umumnya baik sepanjang orangtua dan anak dapat mengikuti program terapi dengan baik.

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

22. 23. 24. 25.

Abel E. Managing constipation in a pediatric patient: It is more than a simple problem. Clin Excell Nurs Pract. 2001; 5: 211-7. Lewis C, Muir J. A collaborative approach in the management of childhood constipation. Health Visitor. 1996; 69: 424-6. Rogers J. Childhood constipation and the incidence of hospitalization. Nursing Standard. 1997; 12: 40-2. Steffen R, Loening-Baucke V. Constipation and encopresis. In: Wylie RW, Hyams JS, editors. Pediatric gastrointestinal diseases. Pathophysiology, diagnosis, management. Saunders, Philadelphia. 1999: 43-50. Abi-Hanna A, Lake AM. Constipation and encopresis in childhood. Pediatr Rev. 1998; 19: 1-17. Drossman DA, Sandler RS, McKee DC, et al. Bowel patterns among subjects nor seeking health care. Gastroenterology. 1982; 83: 529-34. Weaver LT, Ewing G, Taylor LC. The bowel habit of young children. Arch Dis Child. 1984; 59: 649-52. Weaver LT, Steiner H. The bowel habit of milk-fed infants. JPGN. 1988; 7: 568-71. Stefen R, Schroeder TK. Paradoxical puborectalis contraction in children. Dis Colon Rectum. 1992; 35: 1193-4. Whitehead WE, Schuster MM. Anorectal physiology and pathophysiology. Am J Gastroenterol. 1987; 82: 48797. Burkitt DP, Walker ARP, Painter NS. Effect of dietary fiber on stools and transit-times, and its role in the causation of disease. Lancet 1972; 2: 1408-12. Muller-Lissner SA. Effect of wheat bran on weight of stool and gastrointestinal transit time: a metaanalysis. BMJ. 1988; 296: 615-7. Borowitz SM, Cox DJ, Tam A, et al. Precipitants of constipation during early childhood. J Am Board Fam Pract. 2003; 16: 213-8. Preston DM, Lennard-Jones JE. Anismus in chronic constipation. Dig Dis Sci. 1985; 30: 413-8. Firmansyah A. Konstipasi pada anak. Sari Pediatri. 1994; 2: 51-6. Loening-Baucke V. Chronic constipation in children. Gastroenterology. 1993; 105: 1557-64. Loening-Baucke V. Urinary incontinence and urinary tract infection and their resolution with treatment of chronic constipation of childhood. Pediatrics. 1997; 100: 228-32. Ludwig S. Constipation. In: Fleisher GR, Ludwig S, editors. Textbook of Pediatric Emergency Medicine. Baltimore: Williams & Wilkins. 1988: 118-22. Rubin G, Dale A. Chronic constipation in children. BMJ. 2006; 333: 1051-5. Young R. Pediatric constipation. Gastroenterol Nursing. 1996; 19: 88-93. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, Croffie JM. Clinical Practice Guideline. Evaluation and treatment of constipation in infants and children: Recommendations of the North American Socierty for Pesdiatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition. JPGN. 2006; 43: e1-e13. Dodge JA. Functional disorders of the gastrointesrtinal tract. In: Gracey M, Burke V, editors. Pediatric Gastroenterology and Hepatology. Oxford: Blackwell. 1993: p.880-9. Loening-Baucke V. Sensitivity of the sigmoid colon and rectum in children treated for chronic constipation. JPGN. 1984; 3: 454-9. Meunir P, Marechal JM, De Beaujeu MJ. Rectoanal pressure and rectal sensitivity studies in chronic childhood constipation. Gastroenterology. 1979; 77: 330-6. Focht III DR, Baker RC, Heubi JE, Moyer MS. Variability in the management of childhood constipation. Clin Pediat. 2006; 45: 251-6.

26. Baker SS, Liptak GS, Colletti RB, et al. Constipation in infants and children: evaluation and treatment. A medical position statement of the North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. JPGN. 1999; 29: 615-26. 27. Tobias N, Mason D, Lutkenhoff M, Stoops M, Ferguson D. Management principle of organic causes of childhood constipation. J Pediat Health Care. 2008; 22: 12-23. 28. Loening-Baucke V. Factors determining outcome in children with chronic constipation and fecal soiling. Gut. 1989; 30: 999-1006. 29. Taitz LS, Water JKH, Urwin OM, et al. Factors associated with outcome in management of defecation disorders. Arch Dis Chil. 1986; 61: 472-77. 30. DiPalma JA. Current treatment options for chronic constipation. Rev Gastroenterol Dis. 2004; 4: 34-42. 31. Roy CC, Silverman A, Alagile D. Pediatric clinical gastroenterology. Mosby, St Louis. 1994.

BAB XIII INFLAMMATORY BOWEL DISEASES Dwi Prasetyo

Ilustrasi Kasus Seorang anak berusia 9 tahun dibawa ke poliklinik karena diare yang tidak sembuh-sembuh. Diare dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Mulanya diarenya cair tanpa lendir, tanpa darah. Lama kelamaan muncul lendir dan darah. Anak juga sering mengeluh sakit perut, yang juga dirasakan sejak 6 bulan yang lalu. Sakit perut dirasakan baik saat BAB maupun saat tidak BAB. Sakit perut ini telah menyebabkan anak berkali-kali tidak masuk sekolah. Badan anak semakin lama semakin kurus. Dari pemeriksaan fisik didapatkan anak tampak lemah dan kurus, nyeri tekan di perut bagian kanan dan kiri. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan angka leukosit yang meningkat. Pada pemeriksaan tinja didapatkan darah dan lendir. Anak tinggal bersama kedua orangtuanya di lingkungan industri. Paman si anak juga sering sakit perut dan diare yang telah dirasakan bertahun-tahun dan sering menyebabkan sang paman datang ke dokter.

Pendahuluan Inflamatory bowel disease (IBD) adalah istilah umum yang digunakan untuk membedakan dua kelainan yang berhubungan dengan proses inflamasi di saluran pencernaan, yaitu: Penyakit Crohn (PC) dan Kolitis Ulserativa (KU). Kelainan ini harus dibedakan dengan penyakit-penyakit lain yang mempunyai gejala klinis dan laboratoris yang hampir sama, seperti infeksi, alergi dan neoplasma. Oleh karena IBD juga mempunyai manifestasi ekstraintestinal, maka sebagai klinikus harus mampu mengenal gejala klinis dengan baik, hal ini penting untuk dapat mengatasi masalah yang bisa ditimbulkan seperti keterlambatan pertumbuhan, artritis, hepatitis dan anemia.1

Definisi Kolitis ulserativa adalah proses peradangan yang mukosanya relatif homogen, dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon proksimal. Abses kripta sering ditemukan. Inflamasi yang terbatas pada rektum didapatkan pada 10% pasien, dinamakan proktitis ulserativa, 30% kasus didapatkan pada kolon bagian kiri dan sekitar 40%-50% didapatkan pada seluruh kolon, dinamakan pankolitis.2 Penyakit Crohn adalah proses peradangan kronis transmural yang dapat ditemukan di salah satu bagian dari saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Pada awalnya ulkus terjadi superfisial termasuk folikel limfoid (aphthous lesion), kemudian inflamasi dapat menyebar secara bertahap ke dalam lapisan submukosa, muskularis dan serosa. Peradangan transmural dapat menyebabkan fistula. Granuloma sebagai gejala yang patognomonik untuk PC, hanya ditemukan pada sebagian kecil pasien. Proses inflamasi yang ditemukan di ileum terminalis berkisar 30% kasus, sedangkan yang disertai ileum dan kolon sekitar 60%, dan yang terbatas pada kolon 10%-20%. Inflamasi gastroduodenal didapatkan 30%-40%.3

Epidemiologi dan Genetik IBD didapatkan sama pada laki-laki dan perempuan, umumnya pada orang kulit putih, di belahan bumi utara lebih banyak daripada selatan, daerah urban lebih sering daripada rural dan sering ditemukan pada keturunan Yahudi. PC banyak terjadi pada pasien dengan Turner syndrome, Hermansky-Pudlak syndrome dan Glycogen storage disease type IB. Salah satu faktor resiko yang berperan penting untuk terjadinya IBD adalah adanya hubungan keluarga yang menderita pada tingkat pertama. Kemungkinannya mencapai 10%-25%. Diduga tempat kelainannya adalah pada kromosom 6 dan 16. Faktor lain yang juga berperan adalah reseptor komplemen, adhesi sel mikrobakterial, fungsi limfosit B, adhesi leukosit dan reseptor interleukin-4 (IL-4). Perinuclear antineutrophil antibody (pANCA) ditemukan sekitar 70% pada penderita KU, dan 6% pada penderita PC.1,4

Patogenesis Penyebab pasti dari IBD belum diketahui secara pasti, serta mempunyai perjalanan klinik yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronis. Kemungkinan genetik telah diketahui sebagai faktor predisposisi IBD, yang dapat terlihat bahwa terjadinya IBD adalah pada etnik tertentu dan bersifat familial. Kebanyakan peneliti mempertimbangkan kemungkinan akibat suatu infeksi, tetapi sampai saat ini tidak ada infeksi spesifik yang berhubungan dengan IBD. Beberapa bakteri, termasuk Salmonella, Shigella, Campylobacter dan Yersinia dapat menyebabkan inflamasi intestinal akut, tetapi secara histopatologis biasanya dapat dibedakan dengan IBD kronis. Tidak ada bukti yang menunjang bahwa Mycobacterium paratuberculosis berperan dalam patogenesis PC. Hal ini berbeda dengan pendapat pada beberapa tahun yang lalu. Diduga infeksi virus campak dapat menyebabkan vaskulitis granulomatosa yang berperan penting pada patogenesis PC. IBD jarang terjadi pada anak yang mengalami gangguan koagulasi bawaan seperti hemofilia dan penyakit Von Willebrand. Patogenesis dan PC dan KU dibahas lebih rinci dalam bab masing-masing.5,6

Tabel 13.1. Perbedaan antara KU dan PC Lokasi penyakit

Kolitis Ulserativa

Penyakit Crohn

Sal cerna atas

0%

20%

Ileum

0%

19%

Ileum dan kolon

Backwash ileitis

52%

Kolon

90% (predominan distal)

Rektum Perianal Radiologi

Sigmoidoskopi

pada

kolon

9% (predominan proksimal)

pada

kolon

+100%

50%

Jarang

25%

Continuous involment, forehortening, loss of haustra, irregular mucosal margins, normal terminal ileum

Segmental involvement, skip regions, mural thickening, stenotic separate loops, abnormal terminal ileum

Hemorrhagic continuous pseudopolyps

mucosa, diffuse inflammation,

Patchy involvement, skip regions, relative rectal sparing, focal aphtae, linear ulcers

Mucosal and submucosal inflammation, cryptitis, crypt abscess, distortion of architecture

Transmural inflammation, noncaseating granulomas, prominent lymphoid tissue, preserved goblet cells, fibrosis

Histologi Sumber: Jackson & Grand6

PENYAKIT CROHN Penyakit ini terutama terjadi pada dewasa muda, ditandai dengan inflamasi subakut atau kronis. Ulserasi yang terjadi pada mukosa berhubungan dengan adanya disproporsi reaksi jaringan ikat pada dinding usus, suatu proses yang sering mengakibatkan stenosis usus dan berhubungan dengan pembentukan fistula yang multipel. Sejak pertama kali dikenal sebagai ileitis nontuberkulosa pada tahun 1813 dengan karakteristik yang unik sebagai chronic inflammatory disease, yaitu regional ileitis, oleh Crohn, Ginzburg dan Oppenheimer pada tahun 1932. PC kemudian menjadi lebih heterogen termasuk dalam perubahan anatomi dan histologinya. PC dapat mengenai bagian manapun dari saluran pencernaan, tidak hanya regional dan gambaran histologisnya tidak harus ada gambaran granulomatosa. Pada anak-anak, PC sama dengan yang terjadi pada dewasa, kecuali dalam hal pengaruh terhadap pertumbuhan dan pematangan pada anak dan remaja.

Sekarang telah diketahui bahwa PC adalah suatu penyakit kronis, transmural dan proses inflamasinya dapat mengenai berbagai segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai anus, tetapi tidak secara kontinyu. Usus besar adalah sebagai tempat utama yaitu 90% kasus, terutama terjadi pada ileum distal (70%) dan biasanya kombinasi dengan kolitis, yaitu ileokolitis (50%). PC yang mengenai mulut, esofagus dan gaster frekuensinya jarang dan biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain. Secara klinis sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon terhadap terapi dan cenderung untuk berulang dan berakhir dengan tindakan operasi.3,5

Epidemiologi Studi epidemologi penyakit inflamasi saluran cerna pada anak-anak sangat terbatas. Insidensi PC di Skandinavia adalah 5,3 per 100.000 populasi, dengan insidensi spesifik pada usia 15-19 tahun, yaitu 16,0 per 100.000 dan untuk umur kurang dari 15 tahun 2,5 per 100.000. Di Skotlandia, insidensi PC pada anak kurang dari 16 tahun pada tahun 1983 adalah 2,3 per 100.000. Prevalensi PC pada saat itu diperkirakan sekitar 9,5 per 100.000 anak, sedangkan survei oleh British Pediatric Gastroenterelogy Group, prevalensi PC adalah 11 per 100.000 anak berusia diatas 18 tahun. Walaupun insidensi PC pada kebanyakan populasi di negara barat meningkat tajam dari tahun 1950 sampai 1980, tetapi pada penelitian terbaru memperlihatkan adanya penurunan kasus baru. PC lebih banyak terjadi pada orang berkulit putih, mengenai pria dan wanita sama banyak. Sekitar 25% kasus baru PC terjadi pada usia <20 tahun. Puncak insidensi PC muncul pada dekade 2 dan 3 kehidupan, kurang dari 5% kasus anak terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Suatu penelitian di Stockholm, Swedia pada tahun 1990-2001 didapatkan adanya peningkatan insidensi PC. Pada tahun 1990-1992 insidensinya 1,7 dan meningkat menjadi 8,4 per 100.000 pada tahun 1999-2001. PC ini terjadi lebih banyak terjadi pada orang Yahudi dan dari populasi Yahudi ini PC umumnya mengenai keluarga asli Eropa tengah dari pada asli Polandia dan Rusia. Pada studi dari Amerika Serikat, PC muncul lebih sering di belahan utara daripada belahan selatan, seperti perbandingan daerah urban dan rural.3,7

Etiologi Walaupun telah dilakukan investigasi yang intensif, etiologi PC (dan juga KU) masih belum diketahui secara pasti. Diduga ada predisposisi genetik pada IBD, karena penyakit ini cenderung lebih banyak terjadi pada keluarga tingkat pertama. Hipotesis tambahan menyatakan bahwa agen infeksius, toksin lingkungan, regulasi imun abnormal, faktor diet, abnormalitas endokrin dan faktor psikologis mungkin secara bersama menyebabkan IBD.3,5

Observasi Genetik Hubungan antara faktor familial dan IBD telah diketahui secara luas. Pada saat diagnosis ditegakkan, baik pada KU maupun PC ditemukan adanya hubungan famili pada

tingkat pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus PC ditemukan 17-35 kali dibandingkan dengan populasi umum. Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik untuk KU maupun PC. Walaupun demikian diduga bahwa Human Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW 5 mungkin berperan dalam perkembangan PC. Telah diduga bahwa predisposisi IBD adalah diwariskan, tapi faktor lain (lingkungan, infeksi dan imunologi) juga terlibat dalam patogenesisnya.1,5

Infeksi Pada awalnya PC diduga disebabkan oleh infeksi, karena banyaknya kesamaan dengan tuberkulosis usus. Dugaan ini telah menetapkan infeksi Mycobacterium ke dalam patogenesis PC. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis, maupun kultur dan pemeriksaan imunologis tidak menyokong peran Mycobacterium pada PC. Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile, Escherichia coli) dapat menyebabkan PC atau KU, tidak satupun yang dapat diisolasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD. L-form bakteri diduga sebagai penyebab dari PC. Tidak ada bukti kejadian yang telah dilaporkan bahwa virus atau Chlamydia sebagai faktor etiologi PC dan secara serologis pun tidak menyokong.1,3

Mekanisme Imunologi Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam patogenesis IBD. Bukti yang menyokong berdasarkan pada gambaran histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit terhadap terapi imunosupresif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh faktor imunologi dan berbagai pemeriksaan laboratorium. Dilaporkan bahwa sel T CD 4 dan sistem imun yang kompeten berperan penting dalam patogenesis PC. Penyembuhan jaringan yang terinfiltrasi oleh limfosit, sel plasma, makrofag dan sel-sel inflamatorik lain mempengaruhi sistem imun untuk berkembang menjadi inflamasi saluran pencernaan. Sel limfoid merupakan ¼ jumlah sel yang ada dalam saluran pencernaan dan GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) merupakan komponen utama dari sistem imun tubuh. GALT diorganisasikan oleh beberapa komponen penghubung, termasuk Peyer’s patch, sel limfosit lamina propia dan sel lymph intraepitel. Sistem limfoid ini secara tetap distimulasi oleh makanan dan antigen mikroba. Sel M dalam folikel limfoid Peyer’s patch, tampak sebagai bagian utama dari masuknya antigen. Walaupun tidak spesifik untuk PC, lesi aphtous atau ulserasi epitel dapat merupakan gejala awal PC. Kemungkinan bahwa adanya defek dalam antigen processing atau imunoregulasi dapat menyebabkan suatu inflamasi yang kronis. Keadaan ini termasuk stimulasi kronis dan proliferasi limfosit, pelepasan sitokin, pengambilan neutrofil dan sel efektor lain serta kerusakan jaringan. Hipotesis lain menyatakan bahwa kerusakan intestinal pada PC dilatarbelakangi oleh respons autoimun. Hipotesis ini telah disokong dengan ditemukannya antibodi pada sel epitel intestinal.1,2,3

Alergi dan Diet Stimulasi sistem imun saluran pencernaan oleh antigen dietetik merupakan faktor potensial untuk terjadinya PC. Berdasarkan data yang dilaporkan, reaksi imun yang diperantarai lg-E mungkin berperan penting. Antibodi serum dari protein susu sapi ditemukan lebih tinggi pada penderita PC daripada KU maupun kontrol dan diduga terjadi karena peningkatan ambilan dari antigen dietetik atau peningkatan respon imunologis. Pemberian ASI dapat menurunkan ambilan makromolekular oleh saluran cerna imatur, telah ditemukan dalam satu studi efek proteksi terhadap perkembangan PC. Pada penelitian lain yang lebih besar dan melibatkan hampir 500 anak dengan IBD dari beberapa negara, tidak ditemukan hubungan antara perkembangan penyakit dan frekuensi pemberian ASI atau faktor diet yang lain.1,3

Faktor Psikologis Faktor emosional telah lama dipikirkan menjadi hal penting dalam patogenesis IBD, tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat yang dapat diperlihatkan dan adanya stres pada kehidupan yang terjadi sebelum onset penyakit adalah tidak biasa pada IBD daripada kontrol. Sebagai tambahan, tidak didapatkan kejadian stres atau depresi yang dapat mempresipitasi eksaserbasi penyakit. Walaupun tidak secara langsung menyebabkan PC, tetapi telah diyakini bahwa perubahan status emosional dapat mempengaruhi sistem imun dan selanjutnya dapat mempengaruhi aktifitas penyakit.1,3

Patologi 1. Gambaran makroskopis Gambaran makroskopis pada usus ditandai dengan penebalan dinding sebagai hasil edema transmural dan inflamasi kronis. Penebalan mural sering dihubungkan dengan penyempitan lumen yang dapat menyebabkan obstruksi. Mesenterium menebal dengan edema, indurasi lemak berpindah ke permukaan serosa usus, kelenjar limfe mesenterium kadang juga ikut membesar. Pada mukosa usus dapat terjadi lesi-lesi kecil, yang dapat bergabung menjadi besar tak beraturan atau ulkus yang dalam. Inflamasi usus dan ulkus dapat konfluens, tetapi yang lebih karakteristik adalah adanya titik-titik kecil dengan skip areas dan bahkan secara mikroskopis seperti pada mukosa normal. Gambaran cobblestone pada batas permukaan dapat terjadi sebagai hasil dari perluasan linier dan ulserasi mukosa yang berhubungan dengan regenerasi dan hiperplasi. Produksi beberapa sitokin pada jaringan yang inflamasi dapat berperan sebagai stimulus untuk sintesis kolagen. Intestinal loop dapat menjadi lebih tebal karena inflamasi pada serosa dan mesenterium. Fistula-fistula dapat muncul ketika inflamasi pada transmural usus meluas melalui serosa ke dalam struktur yang lebih luas, seperti dinding abdomen, saluran kemih, vagina atau perineum. Kadang-kadang saluran fistula dapat berakhir sebagai massa inflamasi (flegmon) yang meluas ke saluran cerna dan bagian-bagian saluran cerna seperti mesenterium, kelenjar limfe dan kadang sebagai rongga abses yang bersifat kronis aktif.3,4,6 2. Gambaran mikroskopis Temuan dari pemeriksaan histologis PC tergantung pada berapa lama penyakit sudah berlangsung. Walaupun demikian, gambaran klasik lesi PC adalah enterokolitis transmural. Pada awal penyakit dapat bermanifestasi sebagai lesi aphthoid superfisial dari mukosa, biasanya berada di atas folikel limfoid. Granuloma sering terdapat pada stadium awal. Sesuai dengan perjalanan penyakit, ulkus mukosa dapat menjadi konfluens. Dalam perkembangannya ulkus pada mukosa dapat meluas menjadi konfluen dan menghasilkan ulkus yang luas dan dalam. Inflamasi ini secara karakteristik menyebar ke submukosa dan ditandai dengan edema, dilatasi limfatik, dan deposisi kolagen. Terakhir adalah kemungkinan adanya obliterasi submukosa, yang mengakibatkan striktur, obstruksi atau keduanya. Ulserasi fisura yang dalam ke bagian muskularis propria sering terjadi dan merupakan gambaran yang khas untuk PC, walaupun tidak terdapat granuloma. Abses kripta dan pengeluaran sel goblet umum terlihat tapi bukan sebagai tanda utama KU. Metaplasia pilorik dan hiperplasia neuronal sering terdapat pada pemeriksaan histologis, tetapi tidak spesifik. Walaupun didapatkan gambaran histologis yang klasik pada PC, granuloma dapat tidak ditemukan pada 40% kasus bedah yang direseksi dan 60%-80% dari biopsi mukosa. Granuloma dapat ditemukan pada lapisan manapun dari dinding usus, tetapi kebanyakan terdapat pada submukosa superfisial. Granuloma tersebut dapat pula tampak pada struktur ekstraintestinal seperti kelenjar limfe mesenterium dan peritoneum.3,4,6

3. Distribusi anatomi Gambaran anatomi gastrointestinal pada anak dan dewasa dengan PC adalah berdasarkan gambaran radiologis. Sekarang telah diketahui bahwa pemeriksaan endoskopi dan histologi dapat menemukan suatu inflamasi meskipun secara radiografi saluran cerna masih normal. Pada pemeriksaan radiografi, daerah yang paling banyak terkena adalah ileum terminalis (50%-60%) dan berbagai bagian dari kolon, terutama pada kolon asenden. Sekitar 30%-35% terdapat hanya pada usus kecil, dan 10%-15% penderita terbatas pada usus besar, sedangkan yang mengenai esofagus, gaster atau duodenum kurang dari 5%.3,4,6

4. Patofisiologi dari gejala intestinal Terdapat inflamasi aktif pada usus besar dan usus kecil mengakibatkan sejumlah perubahan fisiologis yang berakhir dengan diare, perdarahan saluran cerna dan nyeri perut. Perluasan ke jejunum dan ileum dapat menyebabkan malabsorpsi. Malabsorpsi asam lemak pada kolon mengganggu absorbsi air dan elektolit. Fungsi abnormal ileum terminalis dapat menyebabkan hilangnya asam empedu dengan penurunan konsentrasi asam empedu dalam lumen usus dan menambah berat steatorrhea, sedangkan penurunan garam empedu juga secara signifikan menurunkan absorpsi elektrolit dalam kolon. Pertumbuhan bakteri berlebih pada usus kecil berhubungan dengan obstruksi dan stasis atau fistula enteroenterik yang dapat menyebabkan kerusakan pada mukosa dan dekonjugasi asam empedu, serta menyebabkan gejala yang lebih buruk. Fungsi normal kolon adalah untuk absorbsi sejumlah besar cairan dan elektrolit, dimana absorbsi cairan dan elektrolit tersebut secara signifikan akan turun pada kolitis. Mediator inflamasi seperti prostaglandin dan leukotrien, dapat mengubah permeabilitas saluran cerna dan transport elektrolit. Penyakit pada mukosa yang meluas dapat mengakibatkan eksudasi protein serum dan perdarahan. Nyeri abdomen diakibatkan oleh distensi usus, biasanya berhubungan dengan obstruksi, inflamasi atau iritasi dari serosa akibat inflamasi transmural. Motilitas saluran cerna yang abnormal akibat distensi perut dapat menyebabkan kram pada perut.3,4,6

Manifestasi Klinik Gambaran klinis PC pada anak dan remaja dapat dilihat pada Tabel 13.2. Yang menonjol adalah gejala nyeri abdomen dan diare.

Tabel 13.2. Gambaran klinis dari 325 anak dengan PC Gejala

%

Nyeri perut

75

Diare

65

Berat badan turun

65

Retardasi pertumbuhan

25

Mual/ muntah

25

Pendarahan rektal

20

Penyakit perirektal

15

Manifestasi ektraintestinal

25

Sumber: Wylie & Hyams7

Bentuk dari nyeri perut bervariasi tergantung pada daerah usus mana yang terkena. Ketidaknyamanan pada daerah perut kanan bawah biasanya pada kelainan ileum terminalis dan sekum yang bisa diperiksa dengan palpasi. Nyeri pada daerah umbilikal biasanya karena kelainan kolon atau kelainan usus yang difus. Nyeri perut terdapat pada 70% anak-anak yang mempunyai kelainan gastroduodenal. Odinofagia dan disfagia terdapat pada PC yang mengenai esofagus. Biasanya nyeri perut akibat PC bersifat persisten dan sering membuat anak terbangun dari tidurnya. Nyeri perut ini biasanya memburuk bila makan dan bila kolon terlibat maka akan bertambah sakit pada saat defekasi. Diare terdapat pada dua pertiga anak dan bila anak terbangun pada malam hari karena diare maka hal ini adalah suatu keadaan yang selalu patologis. Perdarahan biasanya setelah ada ulserasi pada dinding usus dan melibatkan pembuluh darah besar. Demam terdapat pada 50% pasien, sering disertai mual-muntah, anoreksia dan kehilangan berat badan. Kadang sebelum diagnosis PC ditegakkan, ditemukan inflamasi perirektal seperti fisura dan fistel yang memberikan gambaran hemoroid atau kondiloma perianal.3,7

Manifestasi Ekstraintestinal Gejala klinis di luar saluran pencernaan sering didapatkan pada PC.3,8 1. Persendian Artralgia dan artritis didapatkan sampai 15% pada anak dengan PC dan mungkin dapat timbul beberapa tahun sebelum gejala pada saluran pencernaan muncul. Pada umumnya terjadi pada persendian besar di kaki. Artritis umumnya tidak menyebabkan kelainan bentuk, bersifat sementara dan asimetrik. Ankilosing spondilitis ditemukan sekitar 2%-6%, biasanya berhubungan dengan HLA-B27. 2. Muskuloskeletal Mialgia sering dilaporkan, terutama bila mendapat kortikosteroid dosis tinggi. Miositis granulomatosa, miopati dan dermatomiositis juga pernah dilaporkan. 3. Kulit Manifestasi pada kulit didapatkan lebih kurang 1%-4%, dapat berupa eritema nodosum, pioderma gangrenosa, epidermolisis bulosa akuisita, poliartritis nodosa dan PC metastatik.

4. Mukosa mulut Sariawan sering ditemukan pada anak dengan PC, meskipun tidak begitu sakit tetapi membuat keadaan menjadi tidak nyaman. 5. Kelainan mata Hampir 10% pasien mempunyai komplikasi pada mata, termasuk iritis, episkleritis, uveitis dan pseudotumor orbital. Katarak subkapsular posterior didapatkan pada pemakaian kortikosteroid dalam jangka lama. 6. Vaskular Manifestasi vascular antara lain trombositosis, peningkatan fibrinogen, faktor V dan faktor VIII, serta penurunan antithrombin III. Komplikasi vaskular yang lain misalnya trombosis vena, emboli pulmonal dan penyakit neurovaskular dengan kejang dan ensefalopati. Juga didapatkan vaskulitis pada aorta dan arteri subklavia. 7. Ginjal Obstruksi ureteral dan hidronefrosis dapat ditemukan pada kasus inflamasi ileokolon, gejala lain yang ditemukan adalah fistula enterovesikel, infeksi perivesikal, abses perinefrik dan nefrolitiasis.

8. Hepatobiliaris Didapatkan abnormalitas hati dan sistem biliaris termasuk fatty liver, perikolangitis, skelerosing kolangitis, hepatitis kronis, sirosis, granuloma hepatik, abses hati, kolelitiasis, kolesistitis granulomatosa dan kolesistitis akalkulosa. Steatosis hepatis sering ditemukan pada anak dengan malnutrisi dan lebih buruk bila mendapat terapi kortikosteroid

Komplikasi Gastrointestinal3,7 1. Pendarahan Perdarahan masif pada saluran pencernaan didapatkan lebih kurang 1%. Perdarahan ini disebabkan karena ulserasi pembuluh darah besar. 2. Obstruksi Obstruksi saluran pencernaan terjadi sekunder akibat peradangan dinding usus yang berat dengan atau tanpa flegmon atau abses. Striktur biasanya berhubungan dengan inflamasi yang kronis atau akibat operasi sebelumnya. Hal lain yang dapat menyebabkan obstruksi, tetapi jarang adalah giant pseudopolyposis, gallstone ileus dan karsinoma. Obstruksi letak rendah yang kronis dapat menyebabkan bakteri tumbuh lampau. 3. Perforasi Perforasi jarang terjadi pada PC, bila didapatkan biasanya pada daerah ileum, meskipun demikian dapat juga terjadi di bagian lain dari saluran cerna. 4. Abses

Inflamasi usus transmural yang disertai fistula dan perforasi dapat menyebabkan abses, dapat berupa abses enteroperitoneal, interloop, intramesenterik, retroperitoneal-ileopsoas, hepatik, splenik atau subdiafragmatika. 5. Fistula Fistula sering terjadi pada PC, terutama pada daerah perianal dan perirektal, dapat juga terjadi pada enteroenterik, enterovesikal, enterovaginal dan enterokutaneus. 6. Megakolon toksik Frekuensinya pada anak-anak belum diketahui, tetapi sangat rendah, sedangkan pada dewasa didapatkan 2%-11%. 7. Karsinoma Kemungkinan karsinoma usus pada penderita PC lebih kurang 20 kali lebih besar dari populasi normal. 8. Malnutrisi Penyebab malnutrisi biasanya multifaktorial, termasuk intake diet yang suboptimal, pengeluaran gastrointestinal yang bertambah, malabsorpsi dan peningkatan kebutuhan akibat proses inflamasi. Anoreksia adalah tanda penting. Anak-anak tidak makan karena takut nyeri abdomen atau buang air besar yang bertambah banyak. Inflamasi mukosa mengakibatkan hilangnya unsur-unsur sel dan hematochezia, serta dapat terjadi proteinlossing enteropathy dan anemia defisiensi besi. Malabsorpsi komponen-komponen makanan dapat terlihat pada PC. Malabsorpsi lemak bisa terjadi karena: a. Berkurangnya bile acid pool sekunder akibat malabsorpsi asam empedu dari penyakit ileum atau akibat reseksi ileum. b. Meluasnya penyakit pada mukosa usus halus. c. Pertumbuhan berlebih bakteria pada daerah usus proksimal. Malabsorbsi laktosa terjadi pada 30% anak dengan PC. Hipoalbuminemia sering ditemukan. Dapat terjadi pula defisiensi besi, asam folat, vitamin B 12, asam nikotinat, vitamin D, vitamin K, kalsium, magnesium dan seng.

Increased Need

Sub-optimal Intake

Malabsoption

Increased GI Losses

MALNUTRITION

GROWTH FAILURE Corticosteroids Gambar 13.1. Faktor-faktor yang berperan untuk terjadinya malnutrisi dan gagal tumbuh pada anak dan remaja dengan IBD. (Wylie & Hyams, 1993)7

9. Gagal Tumbuh Gangguan pertumbuhan pada anak dengan PC adalah akibat rendahnya nutrisi yang berlangsung lama. Idealnya dilakukan pengukuran secara serial dengan interval 6-12 bulan untuk mengukur kecepatan pertumbuhan, kemudian dibuat perbandingan dengan nilai normal yang diharapkan untuk kecepatan pertumbuhan terhadap umur dan jenis kelamin. Pada anak dengan PC yang terdapat gangguan pertumbuhan, didapatkan kadar insulin-like growth factor 1 (IGF –1, disebut juga somatomedine C) yang rendah, sedangkan kadar growth hormone biasanya normal. Dosis terapi kortikosteroid yang tinggi dan lama secara signifikan berhubungan dengan gangguan kecepatan pertumbuhan.3,7

Gangguan Psikologis Perhatian yang mendalam telah dilakukan terhadap implikasi psikologis pada anak-anak dan dewasa dengan IBD. Gangguan yang sering ditemukan adalah depresi, yang dapat timbul pada saat diagnosis atau dalam perjalanan penyakitnya.7

Diagnosis Diagnosis PC ditegakkan berdasarkaan kombinasi pemeriksaan klinis dan laboratorium seperti pemeriksaan radiologi, endoskopi dan histologi. Karena pemeriksaan fisik melibatkan berbagai sistem di luar saluran pencernaan, diagnosis kadang-kadang menjadi terlambat beberapa bulan hingga beberapa tahun sebelum diagnosis yang tepat ditegakkan.

1. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksan fisik seorang anak tersangka PC sebaiknya dilakukan pemeriksaan abdomen secara berhati-hati dengan memperhatikan kekenyalan, kepadatan atau massa. Pemeriksaan yang lembut dilakukan untuk mendapatkan tanda-tanda iritasi peritoneal.

Sebaiknya dilakukan inspeksi yang teliti pada daerah perirektal dan perineum. Adanya stomatitis, clubbing, artritis, eritema nodosum, atau pioderma gangrenosa mengarah pada IBD. Tinggi dan berat saat pemeriksaan harus dicatat dan dibandingkan dengan tinggi dan berat sebelumnya untuk melihat perubahannya.2,6,7

2. Pemeriksaan laboratorium Dalam menilai seorang anak atau remaja dengan tersangka PC seringkali perlu dilakukan beberapa pemeriksaaan hematologi dan biokimia untuk keperluan skrining sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan yang lebih mahal dan invasif. Kelainan yang sering ditemukan adalah anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%), Hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac-positif stool (35%). Meskipun trombositosis sering terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal. Anemia yang paling sering ditemukan terjadi sekunder karena defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar Fe serum dan feritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada defisiensi folat atau vitamin B12 . Kadar seng, magnesium, kalsium dan fosfor dalam serum bisa rendah pada pasien dengan kekurangan nutrisi. Kadar aminotransferase serum abnormal pada kira-kira 10% pasien ketika didiagnosis. Breath hydrogen test yang digunakan untuk memeriksa malaborpsi laktosa dapat membantu dalam pengelolaan makanan. Pemeriksaan yang teliti terhadap spesimen feses yang multipel sebaiknya dilakukan untuk bakteri usus patogen dan parasit. Alfa-1 antitripsin feses, meskipun tidak biasa dilakukan, abnormal pada hampir 90% kasus. Urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan piuria atau infeksi yang berhubungan dengan fistula enterovesikal.2,6,7

3. Pemeriksaan radiologi Pada seluruh kasus dengan tersangka IBD, pemeriksaan radiologi gastrointestinal dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis, mengetahui penyebaran penyakit, dan membantu membedakan PC dan KU. Pada penderita dengan suspek kolitis akut yang berat, barium enema harus ditunda karena mempunyai risiko terjadinya perforasi atau megakolon toksik. Meskipun barium mempunyai sejarah sebagai pemeriksaan primer untuk memeriksa penyakit kolon, kedudukannya tergeser oleh pemeriksaan kolonoskopi dimana telah memberikan andil besar dalam pemeriksaan anak. Bila memungkinkan double contrass (air-barium) enema lebih baik dibandingkan pemeriksaan single contrass dalam melihat detail mukosa. Fluoroskopi yang teliti dilakukan untuk mengidentifikasi adanya irregularitas, nodularitas (coblestoned), penebalan lengkungan usus seperti area stenosis (string sign), ulkus yang dalam dan fistula. Nodularitas ileal sering ditemukan pada PC dan mungkin sulit dibedakan dengan nodular lymphoid hyperplasia (NLH). Meskipun NLH biasanya mempunyai diameter 3 milimeter atau kurang, inflamasi, edema, fibrosis dan spasme memberikan gambaran seperti massa dan menyebabkan kesulitan membedakannya dari limfoma. Adanya massa yang kenyal di kuadran kanan bawah pasien PC menggambarkan sebuah flegmon inflamasi atau abses. Pemeriksaan USG memperlihatkan penebalan dinding usus.

CT-scan membantu menggambarkan perluasan ekstramural dari peradangan dengan fistulasi, abses abdomen dan pelvis. Pemeriksaan radioisotop dengan memberi label pada leukosit dengan indium-111 (In-111) telah digunakan pada pasien dewasa untuk mengidentifikasi keterlibatan segmen usus, diantaranya mengidentifikasi abses. Pada anak, skintigrafi In-111 kurang sensitif dan spesifik dibandingkan kolonoskopi dan biopsi untuk mendeteksi IBD pada kolon karena indium mempunyai waktu paruh yang panjang (3 hari).2,6,7 4. Pemeriksaan endoskopi dan histologi Pemeriksaan endoskopi dan histologi pada saluran pencernaan sangat bernilai untuk mendiagnosis PC dan membedakannya dari KU. Ditemukannya rektum dan kolon sigmoid yang normal pada sigmoidoskopi fleksibel dan biopsi pada pasien dengan diare berdarah persisten dapat menyingkirkan diagnosis KU. Kultur kuman patogen yang negatif menguatkan dugaan adanya PC. Ditemukannya secara fokal atau segmental gambaran histologis adanya fisura, sinus, sarcoid-like granuloma atau ulserasi pada ileum terminalis menunjang diagnosis PC. Kemampuan untuk menampilkan biopsi ileum terminalis selama kolonoskopi menambah sensitifitas prosedur ini dalam membantu menegakkan diagnosis PC. Granuloma ditemukan kurang lebih hampir 1 dari 3 kasus dengan biopsi endoskopi pada kolon dan lebih banyak ditemukan dengan biopsi multipel. Fosfo-soda enema dan bisakodil supositoria dapat menyebabkan perubahan inflamasi nonspesifik pada mukosa rektum, sehingga sebaiknya dihindari penggunaannya pada pasien yang akan menjalani pemeriksaan sigmoidoskopi. Esofagogastroduodenoskopi dan biopsi lebih sensitif daripada pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi PC pada saluran pencernaan atas.2,6,7

Diferensial Diagnosis Berbagai variasi gambaran PC memberikan diagnosis diferensial yang banyak. Nyeri pada kuadran kanan bawah memberi kesan apendisitis, infeksi (Campylobacter, Yersinia), neoplasma (khususnya limfoma), penyakit pada ovarium, intususepsi, adenitis mesenterika dan divertikulum Meckel. Nyeri periumbilikal kronis atau nyeri perut pada epigastrium sering dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, konstipasi, intoleransi laktosa, penyakit lambung atau kelainan saluran kemih. Jika ditemukan diare berdarah maka hal ini lebih mengarah pada infeksi, hemolytic uremic syndrome, Henoch-Schonlein purpura dan ischemic bowel. Adanya diare cair yang kronis dipertimbangkan sebagai irritable bowel syndrome, intoleransi laktosa, giardiasis atau pemakaian sorbitol yang berlebihan. Inflamasi perirektal, fisura atau tags mungkin diduga sebagai infeksi streptokokus pada perianal, hemorrhoid dan kondiloma. Perawakan pendek dan keterlambatan perkembangan pubertas seringkali diperiksa untuk menentukan apakah penyakitnya merupakan kelainan endokrin sebelum diputuskan sebagai PC. Anoreksia dan penurunan berat badan dapat dikacaukan dengan anoreksia nervosa. Demikian juga gejala persendian yang persisten dan terutama artritis panggul sering diduga sebagai juvenile rheumatoid arthritis jika tidak terdapat keluhan gastrointestinal. Pada PC perlu dipertimbangkan hepatitis kronis bila didapatkan gangguan hati.3,6,7

Terapi Sampai saat ini belum ada terapi secara kuratif untuk PC, terapi yang ada hanya untuk menghilangkan gejala dan komplikasinya. Terapi PC dapat dibagi 4 kategori dasar, yaitu farmakologis, nutrisi, bedah dan psikologis. Masing-masing mempunyai keterbatasan dan biasanya diberikan secara kombinasi. Suatu penelitian di Inggris menyatakan bahwa terapi IBD sangat kompleks, sehingga The British Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition merekomendasikan untuk terapi anak dengan IBD sebaiknya ditangani oleh unit gastroenterologi anak.3,6,7,8

1. Farmakologis Beberapa kombinasi terapi dapat efektif dan menyebabkan remisi dari PC. Setelah tercapai keadaan remisi maka dosis dapat diturunkan secara bertahap. Jadwal, dosis, dan indikasi dapat dilihat pada Tabel 13.3.

Kortikosteroid Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa kortikosteroid secara signifikan efektif menyebabkan remisi pada pasien PC, baik pada usus halus maupun usus besar. Mekanismenya adalah menghambat reaksi imun yang diperantarai netrofil dan monosit dengan cara menghambat produksi leukotrien dan prostaglandin. Bila remisi telah tercapai, dosis diturunkan secara bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Absorbsi prednison kurang baik, dan beberapa pasien pada awalnya membutuhkan pemberian secara parenteral. Walaupun beberapa pasien memerlukan perawatan di rumah sakit dan mendapat kortikosteroid secara parenteral, tetapi belum ada penelitian yang menyatakan bahwa pemberian secara parenteral lebih baik daripada pemberian secara oral. Pemberian kortikosteroid harus berhati-hati pada pasien PC dengan sepsis intraabdominal, karena dengan dosis yang tinggi dapat menghilangkan gejala infeksi intraabdominal atau bahkan gejala perforasi (masking effect). Efek samping pemberian yang lama dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, katarak subkapsular posterior dan glaukoma, juga nekrosis aseptik kaput femoris, kolaps vertebra, hipertensi dan depresi. Dapat juga efek samping kosmetik, seperti akne, facial puffines, hirsutisme dan striae. Dengan cara pemberian selang sehari (0,2-0,5mg/kgBB), efek samping dapat dikurangi.

Sulfasalazin Obat ini hanya efektif untuk PC pada usus halus. Obat terbaru golongan ini (aminosalicylic acid/ASA) yaitu 5-ASA adalah yang sering digunakan, tetapi belum direkomendasikan untuk anak-anak. Banyak peneliti menggunakan 5-ASA enema (mesalamin) yang efektif untuk pengobatan penyakit pada kolon bagian distal. Efek antiinflamasi dari sulfasalazin

adalah menurunkan sintesis prostaglandin dan leukotrien dengan menghambat jalur siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme asam arakhidonat. Efek samping pada awalnya adalah mual, nyeri perut dan sakit kepala, sedangkan bila telah berlangsung lama dapat menyebabkan rash hipersensitif, depresi sumsum tulang, pankreatitis dan infertilitas pada laki-laki yang reversibel.

Antibiotika Antibiotika spektrum luas sering dibutuhkan untuk mengobati abses intraabdominal yang merupakan salah satu manifestasi PC. Kombinasi 3 macam obat sering digunakan, yaitu ampisilin, gentamisin dan metronidazol. Pertimbangan menggunakan metronidazol biasanya pada daerah kolon (perirektal). Mekanismenya masih belum jelas, tapi diduga karena efeknya terhadap bakteri anaerob. Efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan jangka panjang (4-11 bulan) adalah neuropati perifer, yang bersifat reversibel.

Imunosupresif Azatioprin dan 6-merkaptopurin, digunakan pada pasien yang telah mengalami ketergantungan kortikosteroid dosis tinggi. Dengan obat ini, dapat menghilangkan gejala dengan prosentase keberhasilan 75%, diikuti dengan penurunan dosis kortikosteroid. Kebanyakan pasien mengalami perbaikan setelah pengobatan selama 3-4 bulan. Efek sampingnya berupa pankreatitis, depresi sumsum tulang, reaksi alergi dan drug induced hepatitis. 6-merkaptopurin juga digunakan pada kasus perirektal yang berat atau adanya fistula internal, serta sebelum panproktokolektomi dan ileostomi pada pasien dengan gejala yang intractable atau PC berat.

Tabel 13.3. Terapi Farmakologis PC Obat Prednison

Dosis Harian 1-2mg/kgbb 1-2x/hr, maks 4060mg

Sulfasalazin

30-50mg/kgbb

Indikasi

Keterangan

Kelainan pada usus halus dan usus besar

Remisi tercapai, turunkan 5 mg per minggu kemudian stop.

Kelainan pd usus besar

Pada pasien alergi atau intoleran, dianjurkan menggunakan 5-ASA

Kelainan perirektal atau pada kolon

Menggunakan panjang

2-3x/hr, maks 3 g Metronidazol

15-20mg/kgbb 2-3x/hr, maks 1,5g

jangka

6Merkaptopurin atau azatioprin

1-2mg/kg

Penyakit berat

2x/hr, maks 100mg

Toksisitas kortikosteroid

Efeknya bln

setelah

3-6

Membutuhkan monitoring ketat

Sumber: Wylie & Hyams7

2. Nutrisi Penderita PC terjadi mengalami defisiensi makronutrien maupun mikronutrien, sehingga peran terapi nutrisi menjadi sangat penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan, tinggi badan, growth velocity, data antropometrik dan kadar protein serum. Defisiensi mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium, magnesium dan seng) diterapi secara spesifik.6,8 Terapi nutrisi dibagi menjadi 3 bagian, yaitu terapi primer, terapi tambahan dan persiapan preoperatif. Terapi primer. Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa masa remisi pasien PC aktif yang mendapat terapi diet elemental sama dengan yang mendapat kortikosteroid, tetapi pada penelitian akhir-akhir ini didapatkan peningkatan dan lebih cepat terjadinya remisi pada pasien yang mendapat terapi kortikosteroid dan sulfasalazin dibandingkan dengan yang hanya mendapatkan nutrisi enteral dengan diet oligopeptida. Pemberian nutrisi parenteral tidak lebih efektif untuk remisi daripada diet elemental. Telah diketahui bahwa diet elemental dapat menurunkan inflamasi intestinal dengan menurunkan stimuli antigen ke saluran pencernaan. Kadang-kadang anak dengan PC yang disertai gangguan pertumbuhan, tetapi gejala pada saluran cernanya minimal dapat diterapi hanya dengan diet elemental jangka panjang tanpa disertai obat-obatan.

Terapi tambahan Dukungan nutrisi yang intensif dapat digunakan sebagai terapi tambahan terhadap terapi farmakologis dalam beberapa keadaan klinis. Pada pasien dengan PC berat dan disertai malnutrisi, nutrisi parenteral total berguna untuk meningkatkan simpanan protein tubuh.

Terapi preoperatif Perbaikan suatu defisiensi nutrisi mutlak dibutuhkan untuk persiapan operasi yang besar pada pasien PC.

3. Bedah

Lebih kurang 50%-70% anak atau dewasa dengan PC membutuhkan tindakan bedah dalam 10-15 tahun setelah diagnosis ditegakkan. Indikasi untuk tindakan bedah dapat dilihat pada tabel 4. Paling sering dilakukan tindakan bedah bila gejalanya masih menetap, meskipun telah mendapat terapi farmakologis. Pasien dengan penyakit pada ileum lebih cenderung mengalami obstruksi dan membutuhkan tindakan bedah daripada bila terjadi di kolon. Reseksi bukan merupakan terapi kuratif, sehingga pasien dan keluarganya harus diberi inform concent yang jelas tentang resiko kemungkinan rekurensi. Lebih kurang 80% anakanak dengan reseksi ileum terminalis atau ileosaekal secara klinis membaik 4 tahun setelah tindakan bedah. Rekurensi setelah panproktokolektomi dan ileostomi tergantung keadaan saat operasi, bila operasi untuk ileokolitis maka rekurensinya 70% dalam 5-10 tahun, sedangkan bila hanya kolitis rekurensinya 15%.6,8

Tabel 13.4. Indikasi Tindakan bedah pada PC 1. Gagal setelah terapi medikamentosa Gejala klinis menetap Toksisitas akibat kortikosteroid Social invalidism

2. Obstruksi akut atau kronis Gastroduodenal Usus halus Usus besar

3. Perdarahan Lesi usus halus Lesi usus besar Kolitis megakolon

fulminan

dengan

4. Perforasi Bebas Tertutup, disertai abses

5. Fistula Intractable perirectal disease Enteroenterik Enterokutaneus Enterovesikal Enterovaginal

ataupun

tanpa

toksik

6. Retardasi pertumbuhan 7. Karsinoma 8. Uropati obstruktif Sumber: Wylie & Hyams7

9. Psikiatri

Sangat penting untuk memonitor secara psikologis dan sosial akibat dari IBD. Sering kita dapatkan keadaan gangguan psikologis, terutama depresi. Oleh karena itu penanganannya harus secara tim, termasuk anak tersebut dan keluarganya. Anak-anak harus diajak untuk membicarakan aktifitasnya yang sesuai dengan kemampuannya, karena sering kali pada saat mencapai masa remaja masih belum dapat mandiri.6

Prognosis PC merupakan penyakit kronik dengan periode eksaserbasi dan remisi, hanya 1% pasien yang mengalami satu kali relaps setelah diagnosis dan terapi awal. Pada umumnya pasien dengan ileokolitis mempunyai respon yang buruk terhadap terapi medikamentosa dan memerlukan tindakan bedah bila dibandingkan dengan yang hanya terbatas pada usus halus. Suatu penelitian melaporkan, lebih dari 40% eksaserbasi pada anak-anak berhubungan dengan adanya infeksi virus sebelumnya, terutama virus Epstein-Barr atau adenovirus. Infeksi virus menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh, sehingga memudahkan terjadinya eksaserbasi. Mortalitas PC berbeda pada beberapa penelitian, bervariasi dari 0 sampai 2 kali lipat dari populasi normal. Kematian akibat PC pada anak-anak sangat jarang.1,3

KOLITIS ULSERATIVA Lebih dari seabad sejak Wilks dan Moxon memperkenalkan KU sebagai IBD idiopatik yang meliputi mukosa kolon dan rektum. Langkah besar telah dibuat untuk memahami gambaran patologi klinik, riwayat alamiah dan komplikasi penyakit. KU biasanya terjadi pada populasi muda, lebih kurang 20% didiagnosis sebelum umur 20 tahun. Peningkatan dalam akurasi diagnosis seperti juga perbaikan terapi medis dan bedah telah meningkatkan perhatian pada anak dengan KU.2

Epidemiologi Terdapat perbedaan insidensi di tiap negara. KU paling sering terjadi di Amerika Utara, Skandinavia dan Eropa, dimana terjadi peningkatan frekuensi di daerah selatan Eropa dan beberapa negara yang sedang berkembang di benua lain. Laporan insidensi bervariasi antara 2 sampai 14 per 100.000 populasi, dengan umur insidensi spesifik pada 10 hingga 19 tahun.

Dibandingkan dengan PC insidensi KU stabil atau menurun di beberapa negara, seperti Inggris, Denmark, Finlandia dan Swedia. Prevalensi KU berkisar antara 6 hingga 100 pasien per 100.000 tergantung pada tempat yang disurvei. Seluruh laporan memperkirakan prevalensi KU di Eropa Utara dan Amerika menjadi 50 hingga 75 per 100.000, penyakit ini sama terjadi pada laki-laki dan perempuan. KU jarang terjadi pada anak di bawah 5 tahun, meskipun onset pada bayi pernah dilaporkan. Onsetnya pada anak-anak dan dewasa muda paling sering muncul antara usia 15 dan 25 tahun, dan lebih banyak terjadi pada ras kulit putih, khususnya Yahudi. KU bisa bersifat familial (diwariskan), dan telah diketahui dengan baik, dengan kejadian berkisar dari 5%-29%. Diturunkan pada tingkat pertama lebih tinggi daripada tingkat dua atau tiga dengan adanya riwayat KU pada keluarga. Studi pada anak kembar memperlihatkan bahwa kejadian PC (44%) lebih tinggi daripada KU (6,3%). Beberapa faktor lingkungan seperti merokok, pil kontrasepsi dan fakror makanan merupakan faktor risiko terjadinya KU.2,5

Etiologi Etiologi KU masih belum diketahui dengan pasti, walaupun telah banyak penelitian yang dilakukan. Beberapa teori telah diajukan seperti faktor genetik, perubahan imunitas, infeksi, alergi, diet dan faktor psikologis.1,2,5

1. Pengaruh genetik Studi epidemiologi yang memperlihatkan peningkatan prevalensi KU dalam keluarga tingkat pertama mendukung bahwa faktor genetik memberikan kontribusi pada patogenesisnya. Adanya kaitan dengan sistem major histocompatibility antigen (MHA) belum dapat dipastikan, karena berbagai studi dari beberapa negara memperlihatkan clustering haplotipe-haplotipe yang berkaitan dengan etnis dan geografi dari penyakit secara spesifik. Telah ditemukan adanya kaitan antara KU dengan HLA-B5 dan HLA-DR-2 di Jepang, dengan HLA-A2, BW35, dan BW40 pada Yahudi Ashkenazi di Israel, dan dengan HLA-A11 di Belanda. Sebaliknya hubungan antara HLA-B27 dengan ankylosing spondylitis dan kolitis tampak menjadi lebih universal.

2. Imunitas Antineutrophil cytoplasmic antibodies pada pasien dengan KU telah diidentifikasi dengan jelas dan terdapat pada mayoritas pasien KU tetapi tidak pada PC. Sebuah penelitian yang membandingkan spesifisitas antineutrophil cytoplasmic antibodies dari KU dengan peradangan usus lainnya menunjukkan bahwa antibodi tersebut sensitif dan spesifik terhadap KU hingga sebesar 60% dan 94%. Antibodi ini juga berhubungan dengan kolangitis skerosing. Peranan spesifik antineutrophil antibodies dalam patogenesis KU masih belum jelas.

3. Infeksi Sampai sekarang tidak terdapat bukti yang kuat yang mendukung bahwa infeksi bertanggung jawab secara langsung dalam patogenesis KU. Beberapa agen infeksi telah diselidiki, termasuk beberapa bakteri dan virus.

4. Alergi dan diet Alergi terhadap antigen dalam diet adalah salah satu diantara teori awal yang menjelaskan penyebab KU. Alergi protein susu sapi telah secara luas dipelajari dan menyokong teori di atas, salah satu penelitian memperlihatkan adanya perbaikan gejala ketika penderita diberi diet bebas susu dan relaps jika diberi lagi. Masalah pemberian makan dini pada bayi dan penyapihan dini masih menjadi perdebatan, apakah merupakan presipitasi terjadinya KU. Beberapa studi mengenai hal ini masih kontroversial.

5. Faktor psikologi Hubungan antara faktor psikologis dengan KU masih merupakan tanda tanya pada beberapa dekade, beberapa laporan ada yang menyatakan berhubungan dan sebagian lagi menyatakan tidak.

Patologi 1. Gambaran makroskopis Gambaran makroskopis KU bervariasi tergantung pada berat dan lamanya penyakit, umumnya hanya mengenai kolon dan rektum, dan jarang meluas ke ileum terminalis. Daerah yang terkena adalah kelanjutan dari rektum proksimal disertai mukosa yang abnormal. Pada fase awal kerusakan mukosa terlihat adanya peningkatan aliran darah permukaan yang memberikan gambaran eritem yang difus. Dengan meningkatnya proses inflamasi, arsitektur vaskular rusak; menyebabkan edema yang dikenal sebagai granularity. Karena adanya peningkatan inflamasi dan perluasan abses kripta, batas mukosa menjadi tidak jelas, sehingga menyebabkan pengelupasan daerah superfisial menjadi ulserasi dan meyebabkan perdarahan spontan. Pada kerusakan yang progresif, abses kripta ruptur dan bersatu pada dasar kripta, kemudian membelah daerah superfisial mukosa dan muskularis mukosa, selanjutnya menjadi besar, datar dan menjadi ulkus mukosa yang dipisahkan oleh daerah inflamasi nonulserasi yang tampak sebagai nodular, polipoid atau pseudopolip filamentosa. Mucosal bridge terbentuk dari gabungan satu polip dengan yang lainnya. Karena KU adalah penyakit yang mengenai mukosa, maka serosa biasanya tampak normal, tetapi dapat terlihat berbagai tingkatan hiperemia. Inflamasi yang aktif dapat menembus dinding kolon dan menyebabkan abses perikolik yang kecil. Pada keadaan remisi, vaskular dan ulkus sembuh tetapi pseudopolip menjadi fibrosis dan terjadi penebalan dinding.2,5,6

2. Gambaran mikroskopis Secara histologi KU akut ditandai oleh inflamasi dalam kripta, tidak adanya sel goblet dan adanya inflamasi kronis pada lamina propria. Gambaran histologis awal adalah adanya edema pada lamina propria dan kongesti pembuluh darah mukosa, disertai dengan kumpulan sel polimorfonuklear pada lamina propria dekat dengan dasar kripta. Pada KU yang akut didapatkan kumpulan dari limfosit, eosinofil dan sel mast pada lamina propria, sehingga dapat membantu untuk meyingkirkan diagnosis kolitis oleh sebab yang lain. Infiltrasi neutrofil yang berasal dari penumpukan kecil dalam epitel kripta (Cryptitis) menginvasi lumen kripta (Crypt abcess). Sejalan dengan perkembangan penyakit, abses menyebar pada kripta yang lain dan membesar, dan timbul ulserasi mukosa. Epitel kripta memperlihatkan penurunan jumlah sel penghasil mukosa yang menggambarkan tingkat inflamasi akut, sedangkan penurunan jumlah sel goblet dalam kripta menggambarkan tingkat yang lebih lanjut. Lesi pada KU umumnya terbatas pada mukosa meskipun pada kasus yang berat dapat meluas pada submukosa, bahkan bisa sampai ke seluruh lapisan termasuk serosa. Penyembuhan proses inflamasi mempunyai gambaran yang bervariasi. Pada proses penyembuhan umumnya, mucin pada bagian superfisial kripta meningkat kembali ke keadaan normal. Regenerasi kripta dapat menyebabkan pemendekan muskularis mukosa, meskipun pada permukaan tampak relatif normal. KU memperlihatkan distorsi arsitektur dari mukosa dengan Paneth’s cell metaplasia, enteroendocrine cell hyperplasia, dan sedikit infiltrasi limfoid, tetapi tanpa infiltrasi neutrofil, kriptitis, abses kripta atau kerusakan epitel.2,5,6

Gambaran kinis Kebanyakan pasien anak dengan diagnosis KU terjadi pada saat remaja. Gejala yang terpenting adalah diare. Dari 125 anak yang didiagnosis KU terdapat gejala diare (93%), perdarahan rektal atau nyeri perut (86%), kelemahan (67%), penurunan berat badan (51%), mual dan muntah (42%), serta demam (37%). Setengah dari anak dan remaja mempunyai onset yang insidious disertai demam intermiten yang tidak begitu tinggi disertai diare ringan dan pendarahan rektal, dan hampir selalu disertai nyeri perut ringan tanpa kehilangan berat badan atau hipoalbuminemia. Pada kasus yang lebih berat, didapatkan pada 1/3 pasien dengan diare berdarah, tenesmus, demam ringan, penurunan berat badan dan anemia ringan. Kasus fulminan terjadi pada 10% anak, dengan tinja berdarah lebih dari 6 kali per hari, demam, penurunan berat badan dan takikardi. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hipoproteinemia, anemia, leukositosis, dan trombositosis. Keadaan yang ekstrim adalah megakolon toksik yang ditandai dengan distensi abdomen, demam dan takikardi. Tanda lainnya adalah hipotensi, dehidrasi dan perubahan status mental.2,7,8

Diagnosis

Diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, endoskopi, radiografi dengan barium dan histopatologi.6,7,8

1. Pemeriksaan laboratorium Penderita KU pada anak 50% memiliki anemia hipokromik, peningkatan laju endap darah atau trombositosis. Hipoalbuminemia banyak terdapat pada pasien dengan KU berat dan biasanya berhubungan dengan kerusakan mukosa. Pada pemeriksaan tinja didapatkan leukosit dan darah. Pemeriksaan mikrobiologi dari feses diperlukan untuk mencari adanya telur, parasit, bakteri patogen, dan toksin Clostridium difficile.

2. Endoskopi Walaupun banyak perbedaan pada pemeriksaan klinis dan radiologi yang ditemukan pada KU, PC dan kolitis yang lain, tetapi kadang-kadang diagnosisnya tidak mudah. Pemeriksaan endoskopi pada mukosa kolon secara visualisasi langsung dapat membantu menegakkan diagnosis. Secara endoskopi, manifestasi dini dari luka di kolon adalah bertambahnya aliran darah pada mukosa sehingga terjadi eritema difusa. Hilangnya gambaran vaskular normal menghasilkan gambaran mukosa granular, dimana terjadi pembengkakan mukosa karena edema. Ulserasi kecil pada permukaan yang disertai kerusakan mukosa menyebabkan pendarahan spontan. Ulkus kecil bisa menjadi ulserasi yang luas, dan tidak pernah dikelilingi oleh mukosa normal tetapi selalu dikelilingi dengan peradangan. Ulkus pada PC, khas didapatkan di submukosa, pada endoskopi tampak berupa ulkus aphthosa pada area mukosa yang normal. Pengerasan yang disebabkan oleh inflamasi submukosa adalah patognomonik untuk PC. Pengerasan yang berat dapat dikacaukan dengan bentuk pseudopolip; pseudopolip umumnya tinggi dan ramping, serta mukosa yang berdekatan biasanya flat. Walaupun tidak spesifik, secara endoskopi ada gambaran yang membedakan antara kolitis akibat infeksi dengan IBD, yaitu adanya eksudat kekuningan yang sebagian menutupi permukaan mukosa, tak ada ulserasi dan mukosa yang hiperemis. Kolonoskopi atau sigmoidoskopi dipakai untuk membuat diagnosis yang spesifik, dilanjutkan dengan pemeriksaan biopsi.

3. Radiografi Gambaran radiologi abdomen pada penyakit ringan-sedang biasanya normal, sedangkan pada kolitis yang berat terdapat thumbprinting akibat adanya edema mukosa, dilatasi abnormal dari kolon (lebih 8 cm) atau keduanya.

Barium enema dapat menunjukkan keadaan yang abnormal. Penggunaan double contrass lebih baik karena lebih sensitif. Pada awalnya ditemukan gambaran granular menyerupai pasir halus atau kasar, sedangkan pada keadaan lanjut, ulserasi menjadi lebih dalam dan menembus submukosa sehingga memberi gambaran usus yang iregular. Lesi polipoid bisa dikenali dan biasanya berbentuk pseudopolip. Bila penyakit menjadi kronis, haustra akan hilang secara progresif dari kolon kiri ke saekum dan suatu saat kolon menjadi pendek dan menyerupai stove pipe yang sempit. Pemeriksaan USG berkorelasi dengan radiografi dan endoskopi tapi tidak menolong dalam membuat diagnosis diferensial.

Diagnosis Diferensial Tanda yang predominan dari KU pada anak adalah diare, perdarahan rektal dan nyeri perut. Sedangkan kolitis infeksiosa disebabkan oleh Salmonella, Shigella, Campylobacter, Yersinia, enterohemorrhagic E. coli, Aeromonas atau Entamoeba dan dapat memberikan gejala yang sama dengan KU dan dapat dibedakan dengan kultur feses. Diare berdarah dari sindroma hemolitik uremik dapat menyerupai KU. Kolitis akibat C. difficile mungkin bisa menyerupai KU, dan identifikasi toksin pada tinja dan adanya pseudomembran pada pemeriksaan endoskopi menolong dalam penegakkan diagnosis. Bila gejala kolitis menetap atau relaps walaupun terapi untuk kolitis infeksiosa telah dilakukan, maka diagnosis dari KU harus dipikirkan. Irritable bowel syndrome dapat disertai diare dan nyeri perut, tapi tanpa pendarahan rektal. Pada pemeriksaan fisik normal, laboratorium, dan proktosigmoidoskopi dapat menyingkirkan diagnosis KU. Kolitis alergi umumnya timbul pada bayi, sedangkan pada anak yang lebih besar kolitis eosinofilik dapat mirip dengan KU.1,2

Manifestasi Ekstraintestinal Komplikasi sistemik dari IBD dapat terjadi pada hampir setiap organ tubuh. Manifestasi ekstraintestinal dapat mendahului, menyertai atau mengikuti. Patogenesis dari gejala-gejala tersebut masih belum jelas.1,2,8

1. Muskuloskeletal Artralgia dan artiritis monoartikular persendian besar adalah gejala terbanyak dari manifestasi ekstraintestinal KU. Lebih kurang pada 10% anak, artritis bersifat migratorik dan asimetrik pada sendi besar ekstremitas bawah. Kemerahan umumnya berhubungan dengan IBD aktif, tetapi deformitas sendi jarang terjadi. Ankilosing spondilitis terjadi pada 6% penderita dan memiliki progresifitas pada penyakit spinal.

2. Dermatologis

Eritema nodosum dengan gambaran kemerahan, menonjol, tegas, nodul kecil dari 1 sampai beberapa sentimeter, biasanya terdapat pada permukaan ekstensor ekstremitas atas dan bawah. Frekuensinya lebih banyak (<5%) daripada pioderma gangrenosa (<1%) pada pasien dengan KU. Pioderma gangrenosa merupakan lesi ulseratif kutan yang klasik pada KU tapi terdapat juga pada PC. Kebanyakan pasien dengan pioderma gangrenosa mempunyai pankolitis.

3. Hepatobiliaris Laporan insidensi masalah hepatobiliaris bervariasi antara 5%-10%, hubungannya masih belum jelas. Lesi hepatobiliaris yang dilaporkan antara lain adalah perlemakan hati, perikolangitis, sklerosing kolangitis, sirosis dan hepatitis kronis. Infiltrasi lemak bersifat makrovesikular, nonspesifik, reversibel dan tidak pernah menjadi kelainan yang permanen. Perikolangitis sering ditemukan pada spesimen biopsi dari IBD. Insidensi sirosis pada KU berkisar 1%-5%, sedangkan hepatitis kronis masih belum diketahui dengan pasti. Sklerosing kolangitis primer adalah suatu sindroma kolestasis kronik yang ditandai adanya inflamasi fibrotik duktus biliaris, berakibat timbulnya obliterasi duktus biliaris, sirosis dan gagal hati, yang terjadi pada lebih kurang 4% dari IBD, terutama KU.

4. Hematologi Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi yang paling sering ditemukan sebagai akibat dari kehilangan darah melalui saluran cerna. Pada pasien yang mendapat sulfasalazin dapat terjadi anemia makrositik. Hal ini berhubungan dengan malabsorbsi folat atau anemia hemolitik, tetapi jarang terjadi.

5. Vaskular Tromboemboli yang terjadi pada IBD, lebih kurang 1,3%, terdiri dari trombosis vena yang dalam, emboli paru, trombosis arteri dan vaskulitis serebral. Penyebab trombosis ini belum diketahui, meskipun telah ditemukan adanya bekuan yang abnormal. 6. Okular Uveitis asimtomatik pernah dilaporkan pada anak dengan IBD. Kelainan yang lain adalah episkleritis, katarak, keratopati, ulserasi kornea marginal dan retinopati. Katarak subkapsular dapat terjadi akibat pemakaian kortikosteroid dosis tinggi dan lama.

7. Ginjal Kalkuli ginjal terjadi lebih kurang 5% pada KU. Faktor litogenik mungkin berperan seperti dehidrasi yang berlangsung lama, oliguria, menurunnya absorbsi air dan infeksi.

8. Gagal tumbuh Retardasi pertumbuhan pada KU lebih jarang daripada PC. Gagal tumbuh yang berat pada anak terjadi pada lebih kurang 2%. Motil dkk, meneliti gagal tumbuh yang terjadi pada KU 19% dan PC 56%.

Komplikasi1,2,6 1. Perdarahan Perdarahan rektum merupakan tanda yang sering didapat pada KU. Perdarahan hebat jarang terjadi, insidensinya lebih kurang 3%. Penderita ini terlihat sakit berat dengan perdarahan yang tiba-tiba sehingga memerlukan transfusi darah segera. Berbeda dengan PC, kebanyakan didapat pada satu lokasi perdarahan yang tidak dapat diidentifikasi dan hanya terlihat pada tempat erosi yang luas. Kebanyakan kasus ini diterapi secara konservatif.

2. Perforasi Perforasi bebas pada kolon merupakan komplikasi serius pada KU, karena sering berakibat peritonitis umum yang fatal pada 75% penderita yang dilaporkan pada tahun 1964. Hal ini sering terjadi megakolon toksik atau kolitis yang berat, tetapi dapat juga terjadi pada kasus yang sedang. Kebanyakan perforasi terjadi pada kolon sebelah kiri dan melibatkan berbagai lokasi. Gejala perforasi adalah nyeri perut yang menyeluruh, distensi, kaku dan tidak ada bising usus. Terapi kortikosteroid dosis tinggi dapat menutupi gejala perforasi dan pada penderita yang mendapat terapi ini harus dilakukan pemeriksaan foto abdomen untuk mendeteksi adanya udara bebas. Hal ini merupakan indikasi untuk dilakukan kolektomi emergensi.

3. Striktur Striktur kolon sebagai komplikasi kronis KU dapat terjadi kapan saja. Berdasarkan pengamatan Edwards dan Truelove, sepertiganya terjadi dalam 5 tahun pertama dari onset penyakit, kebanyakan pada umur 5-25 tahun. Goulston dan McGovern menemukan striktur pada 12% kasus operasi yang dipantau dari penderita dengan kondisi berat, kronik dan penyakit yang berlanjut. Gambaran histologis tidak menunjukkan fibrosis yang berat tetapi didapatkan hipertrofi dan penebalan lapisan muskularis mukosa. Striktur banyak ditemukan di rektum dan sigmoid, tetapi dapat juga ditemukan pada seluruh bagian kolon. Umumnya panjang striktur 2-3 cm, tetapi yang terpanjang adalah 15-30 cm. Penanganan penderita dengan striktur kolon biasanya dengan tindakan bedah. Ditemukannya striktur secara otomatis meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma dan lesi-lesi ini harus diperiksa dengan kolonoskopi dan biopsi untuk menyingkirkan

kemungkinan keganasan. Pemeriksaan ini mungkin tidak dapat membedakan jinak dari keganasan striktur, terutama pada penderita yang telah mengidap KU selama 7-10 tahun.

4. Megakolon toksik Megakolon toksik adalah suatu dilatasi kolon akut yang merupakan komplikasi yang jarang terjadi, tetapi sangat berbahaya. Insidensinya pada KU sekitar 3%-5%. Megakolon toksik bukan hanya merupakan komplikasi dari KU, tetapi kondisi ini dapat juga timbul pada PC atau akibat infeksi. Pada suatu penelitian, dari 615 penderita PC didapatkan toksik megakolon berkisar 3,7%. Jika kejadian PC dibatasi hanya pada kolon, insidensi megakolon toksik 11%. Beberapa faktor predisposisi terjadinya megakolon toksik adalah lama penyakit tidak kurang dari 5 tahun, pankolitis, derajat beratnya penyakit, penggunaan opiat atau anti kolinergik, penggunaan barium enema dan kolonoskopi. Patofisiologinya belum dimengerti sepenuhnya. Hasil temuan patologinya adalah inflamasi berat transmural dengan destruksi otot dan inflamasi serosa. Pada lapisan otot terjadi inflamasi dan infiltrasi sel menembus sampai ke lapisan terdalam dari dinding kolon, sehingga terjadi gangguan fungsi otot polos, dengan manifestasi tidak adanya peristaltik dan dilatasi kolon. Fungsi pertahanan kolon rusak, terjadi peritonitis lokal, kebocoran toksin, pelepasan antigen bakteri dan akhirnya toksemia sistemik. Kriteria untuk mendiagnosis megakolon toksik ada dua, yaitu: (1) dilatasi kolon harus terlihat secara klinis (distensi abdomen atau tanda peritoneal) atau secara radiografis (segmental atau distensi total kolon), dan (2) adanya tanda toksisitas seperti demam, takikardi, leukositosis, dan anemia. Tanda yang lain adalah dehidrasi, perubahan status mental, gangguan keseimbangan elektrolit, hipoalbuminemia dan hipotensi. Penanganan megakolon toksik termasuk pengobatan inisial dan mempertimbangkan kemungkinan tindakan bedah. Megakolon toksik harus diantisipasi pada setiap kasus IBD khususnya pada penderita dengan pankolitis berat, serangan pertama kolitis atau riwayat megakolon toksik. Jika kolitis berat tidak berespon dalam 2-3 hari, penderita harus dirawat di rumah sakit. Penderita harus lebih diperhatikan adanya distensi abdomen, kejadian toksis, atau adanya sejumlah udara dalam abdomen. Secara radiografis pengembangan selalu segmental dengan lokasi tersering adalah kolon transversum dan fleksura lienalis. Gambaran lain adalah hilangnya haustrasi/lekukan. Ulserasi dinding kolon dapat terlihat. Pada penelitian Fazio rata-rata garis tengah kolon pada dilatasi maksimun adalah 9,2 cm dengan range 5-16 cm.

5. Karsinoma Penderita KU mempunyai resiko karsinoma kolon. Pada suatu penelitian jangka panjang penderita KU, setelah satu dekade mempunyai risiko kanker 0,5%-1%. Resiko terjadinya karsinoma kolon pada penderita KU sekitar 15% dibandingkan dengan 5% pada populasi umum. Angka kejadian karsinoma kolon pada penderita di bawah 21 tahun bervariasi 9%-

20% pada rentang 20 tahun. Penderita paling muda dengan karsinoma kolon adalah 16 tahun dan stadium awal karsinoma terjadi 11 tahun setelah diagnosis tegak. Karsinoma kolorektal yang muncul dengan latar belakang KU adalah adenokarsinoma. Berbeda dengan adenokarsinoma lain, karsinoma kolorektal lebih infiltratif dan kurang eksofilik. Tumor ini biasanya datar atau sedikit menonjol dan tidak lebih tinggi dari polip adenomatosa, tetapi timbul secara langsung dari mukosa yang datar dan kemudian menyebar melalui kolon.

Terapi Tujuan terapi KU adalah penyembuhan inflamasi kolon, mencegah terjadinya eksaserbasi dan komplikasi. Berbagai macam terapi dapat diberikan untuk KU, namun tidak satupun yang memberikan hasil yang memuaskan.2,6,7,8 1. Sulfasalazin Sulfasalazin (SASP) adalah obat yang dikembangkan oleh Svartz lebih dari 4 dekade terakhir untuk mengobati reumatoid artritis. SASP kurang diabsorbsi di lambung dan usus halus, setelah pemberian peroral hanya 10% yang berada dalam sirkulasi sistemik. SASP terutama dimetabolisme di kolon menjadi sulfapiridin (SP) dan 5-aminosalicylic acid (5-ASA) oleh bakteri anaerob dengan bantuan enzim azo-reduktase. SP dalam jumlah besar diabsorbsi dan kemudian dimetabolisme di hati melalui proses asetilasi, glukuronidasi dan hidroksilasi. Proses eliminasi terutama melalui jalur asetilasi. Dibandingkan dengan SP, 5ASA tidak sepenuhnya diabsorpsi di kolon, yang dapat dilihat dengan rendahnya kadar 5ASA pada serum dan urin. Mekanisme pasti SP dan metabolitnya masih belum diketahui. SP dan 5-ASA menunjukkan beberapa mekanisme kerja pada metabolisme eikosanoid dan folat, motilitas leukosit dan bakteri flora usus. Mekanisme kerja ini menghambat sintesis prostaglandin dan leukotrien, serta menurunkan aktivitas kemotaktik peptida bakteri, sehingga mencegah pengambilan limfosit dan netrofil, dan memperkuat respon inflamasi. SP dan 5-ASA tampaknya dapat menekan platelet activating factor. Pada penelitian SP terdahulu, dengan dosis 4-6 gram perhari pada KU ringan dan sedang memberikan hasil yang baik, namun terapi dosis tunggal untuk KU akut berat belum diteliti. Setelah terjadi remisi, pengobatan diteruskan selama setahun dengan dosis 2 gram perhari untuk mempertahankan remisi dan mencegah relaps. Dosis tinggi 4 gram perhari, menurunkan relaps pada orang dewasa, tetapi memberikan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Penelitian pada anak tentang efikasi SASP belum ada. Beberapa peneliti merekomendasikan dosis 40-60 mg/kgBB/hari bersama dengan makanan, dengan dosis maksimum 2-4 gram/hari. Untuk mengurangi efek samping (seperti yang terlihat pada Tabel 13.5) pemberian dimulai dengan dosis 25 mg/kgBB/hari selama 7-10 hari. Sekitar 15%-30% penderita yang mendapat SASP timbul satu efek samping. Tabel 13.5. Efek samping SASP Hipersensitivitas Demam Ruam (rash) Artritis

Perikarditis Pleuritis Pankreatitis Hepatitis Anemia autoimun Diare berdarah Kolitis akut Reversibel Oligospermia Berkaitan dengan absorbsi folat Anemia megaloblastik Berkaitan dengan dosis Dispepsia Nyeri kepala Anoreksia Mialgia Atralgia Sumber: Wylie & Hyams7

2. Aminosalisilat Hipotesis tentang toksisitas SASP menyebabkan berkembangnya zat ASA baru untuk pengobatan KU dan PC. Obat baru ini baik topikal maupun sistemik dapat memperluas jangkauan terapi IBD. 3. Formula 5-ASA oral Tiga mekanisme dari 5-ASA: (1) ikatan molekul pembawa dengan 5-ASA, (2) pH dependent, obat ini merupakan delayed-release acrylic coating, dan (3) time-dependent-slow release. 4. Derivat asam aminosalisilat topikal Preparat mesalamin topikal telah diteliti untuk terapi kolitis distal dan proktosigmoiditis, diberikan dalam bentuk enema atau supositoria. Enema mesalamin (4 gram) lebih baik dibandingkan plasebo atau hidrokortison topikal (100 mg) untuk terapi KU distal aktif, yang berlangsung selama 2-6 minggu. 5-ASA supositoria (500 mg) juga mempunyai efek yang lebih baik daripada plesebo untuk terapi proktosigmoiditis aktif.

5. Kortikosteroid Kortikosteroid sangat berguna untuk terapi IBD, terutama efek antiinflamasinya. Bioavailabilitas sistemiknya sangat baik, dalam darah berikatan dengan globulin (trascortin) dan albumin. Peningkatan dosis dan hipoalbuminemia akan menyebabkan ikatannya berkurang dan akan meningkatkan toksisitas. Peran kortikosteroid adalah mengontrol sintesis imunomodulasi protein. Pada tingkat selular, glukokortikoid berikatan dengan reseptor spesifik dalam sitosol dari sel nukleus. Pada KU, prednisolon menginduksi sintesis inhibitor fospolipase A dan siklooksigenase, sehingga menghambat produksi eikosanoid pada mukosa kolon.

Obat topikal baru seperti budesonid mempunyai potensi 15 kali predsinolon dan lebih kurang 100 kali hidrokortison.

6. Imunosupresif 6-Merkaptopurin dan Azatioprin 6-Merkaptopurin (6-MP) adalah analog purin yang berperan mengintervensi sintesis asam nukleat. Azatioprin bekerja dengan menurunkan inaktivasi 6-MP. Meskipun mekanisme kerjanya belum diketahui dengan pasti, tetapi telah diketahui bahwa keduanya menurunkan toksisitas limfosit dan menekan amplifikasi dari cell-mediated immunity. Siklosporin A Siklosporin adalah supresor dari cell-mediated immunity. Bekerja menghambat produksi limfokin dari helper T cells (gamma interferon and IL-2), dengan menghambat T celldependent B cell activation and expantion of helper and cytotoxic T cell subsets and by promoting antigen-specific suprresors T cells. Penggunaan siklosporin pada KU masih terbatas. Pada kasus proktokolitis pada orang dewasa yang mendapat siklosporin 12 mg/kgBB, menunjukkan perbaikan secara klinis dan histologis setelah terapi selama 6 minggu. Metotreksat Metotreksat adalah suatu antagonis asam folat. Suatu penelitian melaporkan efektifitas penggunaan metotreksat 25 mg perminggu secara intramuskular pada 21 pasien KU atau PC yang refrakter. Lima dari 7 pasien KU menunjukkan perbaikan klinis. Penggunaan masih sangat terbatas oleh karena efek samping jangka panjang, seperti pneumonitis dan fibrosis hepar. 7. Terapi suportif Nutrisi Nutrisi parenteral pada pasien KU masih belum dapat diprediksi dan umumnya tidak terjadi remisi jangka panjang. Werlin dan Grand melaporkan 14 remaja dengan kolitis berat yang mendapat nutrisi parenteral pada awalnya mengalami perbaikan, tetapi hanya satu pasien yang dapat mempertahankan remisinya setelah 2 tahun. Nutrisi parenteral tidak direkomendasikan sebagai terapi primer untuk KU.

8. Antimikrobia Metronidazol bekerja mempertahankan remisi dari KU tanpa komplikasi. Sedangkan pada KU yang berat, pemakaian metronidazol secara tunggal maupun kombinasi dengan kortikosteroid tidak berespon dengan baik.

9. Tindakan bedah Kebanyakan pasien dengan KU adalah ringan sampai sedang, yang dapat dikelola dengan hanya terapi medikamentosa. Lebih kurang 5%-10% membutuhkan tindakan bedah segera, oleh karena tidak berespon dengan terapi medikamentosa atau keadaan yang mengancam jiwa akibat komplikasi (misalnya: perdarahan, perforasi atau megakolon toksik). Tabel 6. Indikasi untuk tindakan bedah Akut Kegagalan terapi medikamentosa Perdarahan Perforasi Toksik megakolon Elektif Penyakit yang kronis Ketergantungan streroid yang kronis Keganasan atau displasia tingkat tinggi Sumber: Wylie & Hyams7

Prognosis Kematian akibat KU pada anak sangat jarang. Kebanyakan penyebab kematian tidak berhubungan atau tidak diketahui dan sebagian kecil akibat komplikasi operatif atau karsinoma kolon. Lebih kurang 20% KU pada anak mempunyai kualitas hidup yang baik (gangguan motilitas kurang dari 3 kali, sekolah seperti biasa). Hanya sebagian kecil (6%) yang tidak dapat mengikuti sekolah regular, nyeri perut, dan diare. Tidak ada perbedaan aktivitas antara yang dioperasi dan tidak. Anak dan remaja dengan KU harus diamati secara terus menerus. Harus dikenali tentang relaps, komplikasi, dan memberi dukungan serta edukasi kepada pasien. Masa transisi dari remaja ke dewasa muda adalah masa yang kritis dari segi psikologis, pasien harus mengerti betul tentang penyakitnya dan untuk kontrol selanjutnya dianjurkan ke ahli gastroenterologi dewasa.1,2

Daftar Pustaka 1. 2. 3.

Hyams JS. Inflammatory Bowel Disease. Pediatr Rev. 2000; 21. No 9. Kirschner BS. Ulcerative Colitis In Children. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 235-254. Kornbluth A, Sachar DB and Solomon P. Crohn’s Disease. Small and Large Intestine. 1708-1734.

4. 5. 6. 7. 8.

Hildebrand H, Finkel Y, Grahnquist L, Lindholm J, Ekbom A, Askling J. Changing pattern of paediatric inflammatory bowel disease in northern Stockholm 1990-2001. Gut 2003; 52: 1432-1434. Fiocchi C. Inflamatory Bowel Disease. Etiology and Pathogenesis. Gastroenterology, Vol 115, No1. 1998. Jackson WD, Grand RJ. Crohn’s Disease. In: Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management, Vol 1. Philadelphia: BC Decker Inc. 1991: 592-618. Wyllie R, Hyams JS. Pediatric Gastrointestinal Disease. Pathophysiology, diagnosis, management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1993: 742-787. Sawchenko A, Lynn R and Sandhu BK. Variations in initial assessment and management of inflammatory disease across Great Britain and Ireland. Arch Dis Child. 2003; 88: 990-994.

BAB XIV PANKREATITIS PADA ANAK Budi Santosa

Ilustrasi Kasus Anak laki-laki, 5 tahun, 19 kg, 1 hari mendadak perut sakit dan sering muntah, tidak mau makan karena perutnya bertambah sakit, panas subfebril. Kesan umum sadar, kurang aktif, sering menangis sambil memegang perutnya, tidak ada ikterus. Jantung dan paru tidak ada kelainan. Pemeriksaan abdomen datar, terdapat ketegangan dan nyeri tekan di daerah sekitar umbilicus. Hati dan limpa sukar diperiksa karena anak menangis menahan sakit serta perut yang tegang. Diagnosis sementara adalah observasi nyeri perut akut dengan diagnosis banding gastritis akut, apendisitis akut dan pankreatitis akut. Pengobatan sementara adalah tahan makan dan minum dan diberikan cairan dan elektrolit parenteral serta diberikan prokinetik agonis reseptor kolinergik (metoclopramide) secara intravena dan antasid. Pemeriksaan penunjang dan konsultasi darah rutin, hematokrit, trombosit, elektrolit (K+, Na+, Ca2+), kadar amilase serum meningkat (510 U/l) dan lipase serum meningkat (460 U/l) serta kesan dari bagian bedah anak tidak ada apendisitis, sementara diberikan pengobatan konservatif. Hasil pemeriksaan USG tampak pankreas hipoekoik, bentuk dan struktur berubah, duktus pankreatikus sedikit melebar. Hari kedua keadaan umum anak lebih baik, tidak ada keluhan sakit perut, diperbolehkan minum air putih tanpa gula. Hari ke tiga amilase serum menurun (120 U/l), lipase serum juga menurun (150 U/l) mulai diberikan intake peroral dengan makanan lunak rendah serat dengan porsi kecil frekuensi lebih sering. Anak dapat menerima makanan tersebut tanpa kesakitan. Selanjutnya keadaan bertambah baik dan dinyatakan sembuh, sehingga anak diperbolehkan pulang.

Pendahuluan Pankreatitis adalah inflamasi pada pankreas yang ditandai dengan gambaran klinis berupa nyeri perut di daerah epigastrium yang disertai dengan peningkatan kadar enzim-enzim pankreas yaitu amilase dan lipase. Pankreas merupakan kelenjar besar di belakang lambung dan dekat duodenum. Duodenum adalah bagian proksimal dari usus halus. Pankreas mensekresi enzim pencernaan ke dalam usus halus melalui duktus pankreatikus. Enzim-enzim tersebut membantu pencernaan lemak, protein dan karbohidrat dari makanan. Pankreas juga melepaskan hormon insulin dan glukagon. Hormon tersebut membantu tubuh dalam menggunakan glukosa dari makanan untuk menghasilkan tenaga.1,2,3

Hati Saluran Empedu Kandung Empedu Duodenum

Empedu

Saluran Pankreas

Gambar 14.1. Pankreas dengan duktus pankreatikus dan duktus billiaris

Klasifikasi dan Definisi Klasifikasi klinis pankreatitis menurut Second International Symposium di Marseille pada tahun 1984 adalah pankreatitis akut dan kronik. Sebagian klasifikasi yang digunakan di klinik adalah pankreatitis akut dan kronik. Pankreatitis akut adalah suatu sindroma klinik yang ditandai nyeri perut akut yang dihubungkan dengan peningkatan enzim pankreas pada darah atau urin. Secara morfologis lesi dapat dikelompokkan sebagai ringan dan/atau berat. Pada bentuk yang lebih ringan, nekrosis lemak peripankreatik dan edem interstitiel. Pada bentuk berat didapatkan nekrosis lemak peripankreatik dan intrapankreatik atau tanpa nekrosis parenkimal dan ada perdarahan. Proses dapat difus atau terlokalisir dan kadang-kadang korelasi antara etiologi dan patologi klinik kurang. Klasifikasi lain dari pankreatitis adalah akut, kronik, nekrotik, hemorhagik dan herediter yang dapat dibedakan secara klinis, radiologis dan pemeriksaan histologis jaringan pankreas. 2,3

Kejadian dan Epidemiologi Sulit untuk memperkirakan prevalensi dan kejadian pankreatitis yang sesungguhnya pada anak-anak karena sebagian besar referensi hanya melaporkan kasus individual ataupun sekelompok kecil penderita. Pankreatitis lebih jarang dijumpai pada anak-anak bila dibandingkan dengan orang dewasa, mungkin karena sering tidak terdiagnosis sehingga memerlukan kecurigaan yang tinggi dari para dokter. Pankreatitis akut merupakan kelainan pankreas yang paling sering pada anak-anak, sedangkan fibrosis kistik menempati urutan kedua.3,4

Pankreatitis Akut Pankreatitis akut pada anak jarang menyebabkan nyeri perut sehingga sering menyulitkan penegakan diagnosis pada kelompok umur tersebut. Perjalanan klinisnya bervariasi mulai dari serangan ringan, self limited, tidak disertai komplikasi, sampai dengan serangan berat dengan komplikasi fatal. Kadang-kadang pankreatitis akut terjadi secara tibatiba dan berlangsung cepat dengan ciri khas nyeri perut yang berat yang sering dikelirukan dengan ileus. Pankreatitis akut sering memberikan patogenesis yang tersamar sehingga untuk menegakkan diagnosis diperlukan berbagai prosedur diagnostik. Dengan kemajuan sarana diagnosis dan kemajuan terapi seperti sekarang morbiditas dan mortalitas berkurang.2,3,5

1. Patogenesis Penyebab pankreatitis bervariasi. Perbedaan mekanisme tiap penyebab tidak jelas. Secara umum dapat diterima bahwa pankreatitis akut disebabkan oleh aktivitas zimogen pankreas yang tidak wajar terhadap enzim aktif di dalam parenkim pankreas yang mengakibatkan autodigesti jaringan pankreas.. Patogenesis pankreatitis akut banyak yang belum diketahui. Beberapa mekanisme yang dapat memicu terjadinya inflamasi pankreas meliputi meningkatnya permeabilitas duktus pankreatikus, overstimulasi kelenjar, obstruksi pada aliran pankreas dan abnormalitas metabolik (misalnya hiperkalsemia dan hipertrigliseridemia).

Hipotesis pertama patogenesis pankreatitis diajukan oleh Opie (1901) yang menekankan pada potensi faktor mekanik. yaitu adanya obstruksi pada atau dekat dengan ampulla Vateri akan menyebabkan refluks empedu ke dalam duktus pankreatikus yang mengakibatkan aktivasi zimogen dalam duktus dan sebagai akibatnya terjadi kerusakan pankreas. Tetapi hipotesis pertama tidak dapat dibuktikan pada percobaan binatang.

Hipotesis kedua yaitu adanya hipertensi duktus pankreatikus (sebagai akibat obstruksi) akan meningkatkan permeabilitas duktus yang mendorong terjadinya kebocoran sekresi pankreas dengan aktivasi enzim digesti usus dan sebagai akibatnya terjadinya kerusakan sel asinar. Hipotesis yang kedua ini dapat dibuktikan dengan beberapa macam percobaan pada binatang.

Ada yang mengemukakan bahwa kelenjar eksokrin pankreas mengaktifkan proenzim pankreas yang disebabkan beberapa faktor induksi seperti trauma, iskemia, toksin,

infeksi, dan lain-lain. Aktivasi zimogen, terutama tripsin, dapat mengaktifkan enzim lain yang mengakibatkan autodigesti pankreas dan jaringan sekitarnya. Proses lokal menyebar ke ruang peripankreas dengan pengeluaran substansi di atas yang bersifat toksik ke rongga peritoneal dan secara sistematis menyebabkan komplikasi dan kegagalan multiorgan. INDUCTION PROCESS

PANCREATIC INJURY SHOCK VASCULAR DAMAGE ENZYME ACTIVATION

RELEASE OF ACTIVE ENZYMES

PANCREATIC TISSUE

PERIPANCREATIC TISSUE

INFLAMATION SPLENIC VEIN THROMBOSIS EDEMA SPLENIC INFARCT HEMORRHAGE RETROPERITONEAL ABSCESS NECROSIS

PERITONEAL CAVITY PERITONITIS INTESTINAL NECROSIS ASCITES FAT NECROSIS BLEEDING

SYSTEMIC CIRCULATION SHOCK CARCIAC FAILURE RESP DISTRESS RENAL FAILURE VASCULAR DAMAGE

Gambar 14.2. Mekanisme Patogenesis Pankreatitis Akut

Fosfolipase A dan elastase yang diaktifkan oleh tripsin bertanggung jawab terjadinya nekrosis jaringan pada pankreatitis akut. Sel-sel asini pankreas yang rusak akibat aktivasi zimogen akan menarik sel-sel inflamasi dan mengatifkan trombosit serta sistem komplemen yang menyebabkan pelepasan sitokin-sitokin (seperti tumor necrosis factor-alpha, interleukin-1, nitrat oksida (nitric oxide) dan platelet activating factor). Radikal bebas oksigen mempunyai peran pada perkembangan inflamasi pada pankreatitis akut, sedangkan substansi-substansi vasoaktif (histamin, kinin, kalikrein) peran utamanya meningkatkan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan transudasi eksudat. Substansi-substansi tersebut merusak kelenjar secara langsung, menyebabkan edema, iskemia, nekrosis dan hilangnya jaringan kelenjar.

Activation Cascade

Local Effects

Trypsinogen

Enterokinase or Autoactivation Inactivation by pancreatic trypsin inhibitor

Trypsin

Edema, necrosis and hemorrhage

Proenzyme

Activated Enzyme

Chymotrypsinogen Proelastase Procarboxypeptidase Procolipase Prophospholipase

Chymotrypsin Elastase Carboxypeptidase Colipase Phospholipase

Edema, necrosis and hemorrhage Vessel wall damage and hemorrhage Edema and necrosis Fat necrosis (with lipase and bile acids) Cell wall damage (with bile acids)

Gambar 14.3. Aktivasi Enzim-enzim Pankreas

Pada keadaan normal terdapat beberapa mekanisme protektif mencegah pengaruh aktivitas enzim-enzim pankreas yang prematur. Enzim-enzim proteolitik (tripsin, kimotripsin, karboksipeptidase dan elastase) disintesis dan disimpan dalam bentuk tidak aktif. Sintesis dan penyimpanan zimogen terjadi pada pH 6,2 yang akan meminimalkan autokatalisis tripsin dalam organela. Adanya granula zimogen, jaringan pankreas, getah pankreas dan serum mempunyai potensi sebagai inhibitor protease.2,3,4

Etiologi Penyebab pankreatitis akut pada kelompok umur anak-anak sangat bervariasi. Tetapi sebagian besar diantaranya patofisiologinya belum terbukti, sehingga tidak memiliki hubungan kausatif. Berbeda pada orang dewasa, 80% penyebab pankreatitis akut adalah penyakit saluran empedu dan alkoholisme. Sedangkan pada anak-anak pada umumnya disebabkan infeksi, trauma, penggunaan obat, kelainan bawaan (pankreas divisum), penyakit metabolik dan sistemik dan kondisi herediter dan idiopatik.1,3,4

Tabel 14.1. Etiologi Pankreatitis Akut pada Anak OBAT dan TOKSIN

OBSTRUKSI

Alkohol

Penyakit ampula

Overdosis parasetamol

Askariasis

Azathioprinase

Malformasi saluran empedu

Simetidin

Kolelithiasis mikrolithiasis dan

kortikosteroid

Koledokolithiasis (batu atau

DDC

sludge)

DDI

Chlonorchis

Enalapril

Duplication cyst

Eritromisin

Komplikasi ERCP

Estrogen

Pankreas divisum

Furosemid

Kelainan duktus pankreatikus

6-Merkaptopurin

Pasca bedah

Mesalamin

Disfungsi sfingter Oddi

Metildopa

Tumor

Pentamidine Sulfonamid

PENYAKIT SISTEMIK

Sulindak

Defisiensi alfa-1-antitripsin

Tetrasiklin

Tumor otak

Tiazid

Penyakit kolagen pembuluh darah

Asam valproat

Fibrosis kistik

Bisa (laba-laba, kalajengking)

Diabetes mellitus

Vinkristin

Trauma kepala Hemokromatosis

PANKREATITIS HERIDITER

Sindrom hemolitik uramik

Hereditary pancreatitis gene

Hiperlipidemia: tipe I, IV, V

Cystic fibrosis gene

Hiperparatiroidisme

SPINK 1 gene

Penyakit Kawasaki Malnutrisi

INFEKSI

Organic acidemia

Askariasis

Periartesis nodosa

Coxsackie B virus

Ulkus peptikum

Epstein-Barr virus

Gagal ginjal

Hepatitis A, B

Lupus eritematosus sistemik

Influenza A. B

Tranplantasi sumsum tulang, jantung, hati, ginjal, pankreas

Leptospirosis Malaria

Vaskulitis

Measles Mumps Mycoplasma Rubella Rubeola Raye syndrome: varicella, inluenza B

TRAUMA Trauma tumpul Kombusio Child abuse Trauma bedah Total body cast

Sumber: Weizman3

Manifestasi Klinik Pankreatitis akut mempunyai spektrum yang luas baik gejala maupun komplikasinya. Tanda klinis yang utama adalah nyeri perut, yang paling sering terjadi pada daerah epigastrium, nyeri lain pada kuadran kanan atas atau bawah atau peri umbilikal. Nyeri ini biasanya timbulnya mendadak dapat bertahap, intensitas mencapai maksimum setelah beberapa jam, biasanya menusuk, menetap dan memanjang. Nyeri berlangsung secara bermakna dari beberapa jam sampai 2 minggu, dengan rata-rata lamanya 4 hari. Penjalaran nyeri jarang tampak pada anak-anak mungkin menyebar ke punggung, perut bagian tengahbawah dan atas dan dapat terjadi pada dada bagian bawah depan. Gejala lain yang sering meliputi anoreksia, nausea, dan muntah yang menetap. Pemberian makan akan memperberat nyeri dan muntah. Kira-kira 70% kasus terdapat nyeri yang dihubungkan dengan muntah dan 10% muntah empedu.

Riwayat trauma abdomen paling sering dihubungkan dengan kejadian pankreatitis, riwayat paparan penyakit infeksi atau intake obat harus dicari. Riwayat pankreatitis pada keluarga, kelainan-kelainan metabolik dan sistemik. Demam biasanya subfebril. Pada pemeriksaan fisik pada anak tampak kesakitan, iritabel atau tenang. Pemeriksaan fisik yang teliti dapat memberikan petunjuk yang lebih banyak untuk membedakan pankreatitis dengan sebab-sebab nyeri perut akut lainnya yang sering terjadi pada anak-anak. Yang sering didapatkan pada pemeriksaan fisik adalah ketegangan daerah epigastrium dan penemuan ini sering tampak dengan bising usus yang lemah atau hilang. Pada sepertiga kasus terdapat perut yang membesar (distension) yang timbul setelah 2 sampai 3 hari. Secara sistemik, sering dalam waktu beberapa jam setelah lesi awal, dapat timbul demam subfebril ( biasanya kurang dari 38.50C), hipotensi, takikardi, hipoksia dan sindroma kebocoran kapiler pada kasus-kasus yang berat. Pada kasus pankreatitis hemorhagik yang berat, penderita tampak sakit berat, dengan nausea dan muntah yang berat serta nyeri perut. Diskolorisasi kebiruan tampak di sekitar umbilikus (Cullen’s sign) atau di sekitar panggul (Gray-Turner’s sign). Kedua tanda tersebut bukan merupakan tanda patognomonis pankreatitis akut karena disebabkan darah yg merembes sehingga menimbulkan ekimosis. Tanda fisik lain pankreatitis akut adalah ketidakseringnya dan ketidaktetapan dalam kejadian yang umumnya tidak spesifik yang meliputi koma, efusi pleura, distress pernafasan, asites, ikterus, adanya massa abdomen, melena dan hematemesis.1,2,5 Tabel 14.2. Gambaran klinis Pankreatitis akut GEJALA Nyeri perut Anoreksia Nausea Vomitus Koma (jarang) Dispneu (jarang) TANDA Ketegangan daerah epigastrium (localized epigastric tenderness) Kekakuan dinding perut (abdominal wall rigidity) Ketegangan yang kambuh (rebound tenderness) Distensi perut Bising usus lemah atau tidak ada

Hipotensi dan syok Panas subfebril Efusi pleura Asites Oliguria/anuria Distres pernafasan Gray-Turner’s sign Cullen’s sign Sumber: Weizman3

Diagnosis Diagnosis sulit ditegakkan kecuali bila indeks kecurigaan pada manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik menetap tidak hilang timbul. Gabungan dari tanda dan gejala klinis dengan kelainan biokimiawi yang menunjang dan teknik pencitraan (imaging) dapat melengkapi kepastian diagnosis. Tidak ada tes tunggal diagnostik untuk pankreatitis akut, dan konfirmasi histologis inflamasi pankreas jarang tersedia. Beberapa tes dapat menyesatkan karena kurangnya spesifisitas. Kadang-kadang diagnosis hanya dibuat dengan kepastian pada saat laparatomi atau otopsi.2,3,4

1. Pemeriksaan laboratorium Tes laboratorium nonspesifik Kelainan laboratorium sangat bervariasi pada pankreatitis akut dewasa, tetapi data pada anak-anak jarang didapatkan. Pemeriksaan darah lengkap dengan peningkatan sel darah putih sering terjadi pada pankreatitis akut, sering dengan peningkatan bentuk batang dan laju endap darah sering meningkat ringan. Pada keadaan berat menunjukkan hemokonsentrasi. Kerusakan pada sel-sel endokrin ditunjukkan dengan hiperglikemia transien yang dijumpai pada 15-25% dari kasus. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan glukagon sedangkan insulinnya menurun. Hipokalsemia tejadi pada 15% kasus. Peningkatan secara transien fosfatase alkali dan aminotranferase serum dengan disertai hiperbilirubinemia. Peningkatan nilai laktat dehidrogenase serum, azotemia, hipoalbuminemia dan hipoksemia menunjukkan beratnya penyakit.

Tes laboratorium spesifik Amilase serum

Amilase serum masih merupakan tes yang paling sering digunakan pada pankreatitis akut, meskipun memililki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah yaitu 75%-92% dan 20%-60%, karena peningkatan amilase serum dapat terjadi pada penyakit nonpankreas dan pada pankreatitis akut (Tabel 2) dapat dijumpai kadar amilase serum yang normal. Peningkatan 3-6 kali diatas nilai normal spesifisitasnya meningkat tetapi sensitivitasnya menurun. Peningkatan amilase serum terjadi dalam 2-12 jam setelah lesi pankreas dan memuncak pada 12-72 jam setelah onset dan masih meningkat untuk 2-5 hari. Tidak ada korelasi antara beratnya pankreatitis dan peningkatan amilase serum.

Tabel 14.3. Diagnosis diferensial hiperamilase KELAINAN PANKREAS Pankreatitis akut atau kronik Komplikasi pankreatitis (pseudokista, asites, abses) Facititious pancreatitis KELAINAN KELENJAR LUDAH Parotitis (mumps, Staphylococus aureus, CMV, HIV, EBV) Sialadenitis (kalkuli, radiasi) Gangguan makan (anoreksia nervosa) Penyakit saluran empedu (anoreksia nervosa, bulimia nervosa)

KELAINAN INTRA ABDOMEN Perforasi ulkus peptikum Peritonitis Obstruksi usus Apendisitis PENYAKIT SISTEMIK Asidosis metabolik (syok ) Insufisiensi ginjal & transplantasi Kombusio Kehamilan Obat (morfin)

Trauma kepala Cardiopulmonary bypass Sumber: Werlin5

Amilase urine Peningkatan kadar amilase urine dapat berada 24 jam setelah normalisasi serum

Rasio klirens kreatin / amylase urine Peningkatan rasio terdapat pada pankreatitis. Tetapi tes ini tidak spesifik, tidak menambah informasi diagnostik.

Isoamilase serum Pada keadaan normal 60% dari serum amilase adalah saliva dan tersimpan di pankreas.Walaupun pada pankreatitis akut sebagian besar dari amilase serum berasal dari pankreas, keadaan abdomen lainnya meningkatkan isoenzim isoamilase. Sekarang sudah tersedia bermacam-macam teknik untuk mengukur isoform dari amilase yaitu dengan elektroforesis, ion exchange chromatography dan yang terbaru dengan teknik radioimmunoassay dengan menggunakan antibodi monoklonal. Isoamilase lebih sensitif dan spesifik daripada amilase total.

Lipase serum Nilai lipase serum biasanya meningkat pada pankreatitis akut dan masih meningkat lebih lama dibanding nilai amilase serum. Kadar lipase serum memiliki sensitivitas klinis 86%-100% dan spesifisitas klinis 50%-99%. Dengan meningkatkan batas lebih dari 3 kali dari batas atas normal, sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 100% dan spesifisitas hingga 99%. Walaupun masih ada kontroversi hal tersebut. Kadar lipase serum mulai meningkat dalam 4-8 jam setelah gejala, memuncak pada 24 jam dan menurun setelah 8-14 hari. Derajat peningkatan amilase dan lipase serum tidak mencerminkan keparahan penyakit pankreasnya. Dengan menggabungkan penentuan kadar amilase serum dan lipase serum secara bersama-sama sensitivitas diagnosis pankreatitis meningkat hingga 94 %.

Tripsin imunoreaktif serum

Sumber tripsin pada manusia hanya pada pankreas. Tripsin imunoreaktif total pada serum meningkat lebih awal dibanding amilase serum pada pankreatitis akut. Sensitivitasnya lebih tinggi dibanding lipase dan isoamilase pankreas dengan spesifisitas yang sama.

Ribonuklease Konsentrasi ribonuklease pada serum rendah. Ribonuklease pankreas dapat dibedakan secara imunologis dari sumber ribonuklease lainnya. Peningkatan ribonuklease pankreas pada serum dianggap sebagai indikasi adanya nekrosis pankreas.

Elastase-1 pankreas Diukur dengan radioimmunoassay. Pada pankreatitis akut menunjukkan sensitivitas lebih tinggi daripada lipase, amilase total maupun tripsin terutama selama stadium akhir dari panyakit.

Fosfolipase A2 Merupakan enzim prediktif yang lain. Mempunyai peran kunci pada patogenesis awal dari pankreatitis akut.

Analisis bikarbonat dan enzim yang berasal dari cairan pankreas Pemeriksaan ini ditetapkan sebagai baku emas untuk mengevaluasi fungsi pankreas secara langsung. Analisis bikarbonat dan enzim-enzim yang berasal dari cairan pankreas yang dikeluarkan setelah stimulasi dengan sekretin dan pankreozimin (SPT) secara intravena. Bila dilakukan secara benar sensitivitas dan spesifisitas berkisar 90%-100%. Pemeriksaan ini langsung karena mengambil sampel langsung dari duktus pankreatikus bukan secara tidak langsung (dari serum). Tetapi karena prosedur pemeriksaan ini sifatnya invasif, kompleks, mahal dan hanya dilakukan di pusat kesehatan tertentu, sehingga tidak dapat dilakukan secara rutin.

2. Pencitraan Foto polos abdomen Menunjukkan adanya ileus dengan dilatasi kolon, sentinel loop (distensi bagian usus halus dekat dengan pankreas), batas psoas yang kabur atau halo yang radiolusen di sekitar ginjal kiri. Pemeriksaan radiologis ini nilai diagnostiknya terbatas. Tetapi sebaiknya setiap anak yang menderita nyeri perut akut harus dilakukan prosedur ini karena dapat menyingkirkan kegawatan abdomen yang lain seperti perforasi atau appendikolith yang memberikan kesan sebagai apendisitis.

Foto dada Dilakukan pada semua kasus yang diperkirakan untuk menentukan terkenanya diafragma atau komplikasi paru pada pankreatitis akut, seperti infiltrat, edema paru dan efusi pleura.

Seri barium saluran pencernaan atas Pemeriksaan ini jarang memberikan informasi yang berguna dan sudah ditinggalkan diganti pencitraan alternatif lain (ultrasonografi) dan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography).

Ultrasonografi Ultrasonografi abdomen merupakan prosedur yang paling sering digunakan pada penderita yang dicurigai menderita pankreatitis akut. Pada pankreatitis akut akan didapatkan penurunan ekogenitas, peningkatan ukuran pankreas, perubahan ekostruktur & bentuk serta adanya pelebaran duktus pankreatikus. Terdapat hipoekogenitas pankreas pada 40 % kasus pankreatitis akut. Laporan dari Swischuk dan Hayden menunjukkan bahwa pada pankreatitis akut secara sonografi biasanya normal tetapi ruang pararenal-nya hiperekoik selama inflamasi.

Computerized Tomography (CT) dari Abdomen Dilakukan bila hasil USG tidak memuaskan atau membutuhkan gambaran anatomi lebih baik. CT dengan kontras merupakan metode pencitraan pilihan dalam menggambarkan pankreas (perubahan ukuran, tekstur), evaluasi beratnya dan mendeteksi komplikasi pankreatitis akut seperti pseudokista, abses, kalsifikasi, pembesaran duktus, edema peripankreatik, eksudat peritoneal dan distensi usus.

Magnetic Resonance Imaging (MRI) Sebagai alternatif CT-scan. Ternyata tidak lebih bermanfaat dibanding CT-scan.

Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP) Merupakan prosedur invasif. Berguna untuk mengevaluasi komplikasi pasca trauma atau pasca pankreatitis, deteksi kelainan anatomi yang berhubungan dengan pankreatitis akut dan penelitian duktus pankreatikus pada pankreatitis relaps kronik atau pankreatitis herediter. ERCP selain untuk prosedur diagnosis juga dapat digunakan untuk prosedur pengobatan seperti sfingterotomi, pemasangan stent, pengambilan batu, dilatasi dengan balon. Kontraindikasi ERCP meliputi pankreatitis akut tidak menyembuh dan pembentukan abses dan pseudokista sebagai kontraindikasi relatif.

Komplikasi Komplikasi dapat bersifat lokal maupun sistemik yang dapat terjadi sebagai komplikasi awal atau lanjut. Selama minggu pertama perawatan komplikasi potensial adalah gagal organ multi sistem terutama sistem pulmonar, kardiovaskular, dan renal. Pada minggu kedua sakit, jaringan nekrotik pankreas atau peripankreas terinfeksi dapat diobservasi. Keduanya dapat dibedakan oleh sonografi atau aspirasi perkutan yang dipandu CT. Komplikasi lanjut terjadi sesudah minggu kedua sakit dan termasuk timbulnya pseudokista dan abses. Kejadian pseudokista pankreas sering terjadi, sehingga bila hiperamilase berlanjut sesudah 4 minggu mungkin diperlukan tindakan pembedahan.2,4

Tatalaksana Pengobatan yang utama bersifat suportif yang meliputi menghilangkan rasa nyeri dan memperbaiki homeostasis metabolik dengan cara hidrasi yang adekuat dengan pemberian cairan intravena atau koloid untuk menjaga volume intravaskular. Dengan mempertimbangkan keseimbangan cairan, elektrolit dan mineral untuk perbaikan dan pemeliharan. Kadang-kadang memerlukan tindakan agresif untuk mencegah syok, kegagalan respirasi dan katabolisme protein3. Pada sebagian besar pankreatitis akut bersifat self limited dalam beberapa hari.1,3 Menghilangkan nyeri dengan opiat (morfin) akan memperburuk gejala karena meningkatkan spasme sfingter Oddi. Meperidin sebagai agonis reseptor opiat murni yang merupakan pilihan analgesik untuk pankreatitis akut karena hanya menyebabkan sedikit peningkatan tekanan intrabiliaris. Sebagai alternatif penggantinya yaitu pentazosin yang merupakan campuran analgesik opiat dengan obat yang mempunyai peran antagonis-agonis.

Strategi pengobatan spesifik dan nonspesifik selanjutnya meliputi: 1. Menghilangkan proses yang mengawali (misalnya obat atau toksin) 2. Menghentikan melanjutnya proses autodigesti dalam pankreas 3. Menghambat dan/atau menghilangkan enzim pencernaan dan bahan toksik lain dalam kavum peritoneal dan atau sirkulasi 4. Mengobati komplikasi lokal dan sistemik 5. Pembedahan Pemasangan pipa nasogastrik sangat berguna bagi penderita dengan muntah berat atau ileus. Perlu dipuasakan (tidak diberikan diet peroral) dan pengisapan sekresi lambung dapat menimalkan sekresi pankreas sehingga membuat pankreas dalam keadaan istirahat. Setelah 3 hari hanya diberikan cairan intravena bila dan belum dapat diberikan nutrisi peroral harus diberikan nutrisi parenteral untuk mencegah katabolisme protein. Mencegah asam dan nutrisi mencapai duodenum, secara teori meminimalkan hormon dalam menstimulasi sekresi pankreas. Setelah pengisapan dapat diberikan simetidin sebagai substitusi akan mengurangi keasaman duodenum, hal ini penting untuk mencegah stress ulcer, terutama bila terjadi perdarahan saluran pencernaan. Pemberian obat untuk mengurangi keasaman atau mengurangi aliran pankreas (mengistirahatkan pankreas) yang meliputi penghambat reseptor H2 (H2 blocker), atropin, kalsitonin, glukagon, somatostatin dan fluorourasil tidak mengubah perjalanan penyakit. Pemberian inhibitor enzim seperti aprotinin (trasylol) secara invitro merupakan inhibitor kuat terhadap tripsin, kimotripsin, kalikrein, plasmin dan trombin. Ternyata pada uji klinik aprotinin tidak memberikan kegunaan pada terapi pankreatitis akut. Telah dicoba pula inhibitor enzim lain FOY (gabexate mesilate) dengan hasil tidak berbeda. Lavage peritoneal selama 7 hari menurunkan mortalitas yang disebabkan oleh pembentukan abses pankreas tanpa mempengaruhi mortalitas secara keseluruhan. Pemberian antibiotika untuk penderita yang menunjukkan tanda klinis yang kuat adanya infeksi sekunder atau untuk mencegah komplikasi sepsis. Pemberian ampisilin tidak dapat mengubah perjalanan penyakit. Pada penelitian terbaru antibiotika yang digunakan adalah imipenem, ternyata berhasil mengurangi kejadian sepsis pankreas pada pankreatitis nekrotik. Dalam praktik klinik anak yang menderita pankreatitis akut dilakukan penghentian intake oral, pengisapan nasogastrik, resusitasi cairan, monitoring ketat vena sentral, output urin, gas darah, parameter kalsium serum, glukosa, elektrolit dan lemak. Meperidin: 1-2 mg/kgBB im atau iv. Antibiotik diberikan segera jika diduga atau terbukti ada infeksi. Nutrisi parenteral total jika dilakukan puasa. Diet oral dimulai dengan diet elemental rendah lemak jika terjadi perbaikan klinis, sebagai indikatornya kadar amilase serum normal.3,4 Indikasi tindakan bedah pankreatitis akut ialah: 1. Diagnosis pankreatitis yang tidak pasti (pada anak kebanyakan diagnosis preoperatif adalah apendisitis akut) 2. Obstruksi yang menyebabkan dekompresi pada duktus pankreatikus utama atau duktus biliaris komunis (bawaan atau didapat)

3. Koreksi komplikasi abdomen (misalnya kista atau abses) 4. Debridemen jaringan nekrotik

Prognosis Prognosis bervariasi tergantung keadaan klinis pankreatitis akut pada anak. Pankreatitis akut pada anak tanpa komplikasi akan membaik dan sembuh setelah 2-5 hari. Kriteria Ranson meliputi 11 faktor risiko untuk membantu memperkirakan prognosis beratnya penyakit meliputi lima faktor pertama yang dinilai pada waktu datang (peningkatan umur, leukositosis, hiperglikemia, kadar laktat dehidrogenase dan aspartat aminotransferase) dan enam faktor lainnya dievaluasi dalam 48 jam (penurunan hematokrit, azotemia, hipokalsemia, hipoksemia, asidosis dam kehilangan cairan). Kriteria ini telah dimodifikasi selama beberapa tahun dan disebut juga sebagai kriteria Glasgow atau Imrie. Akhir-akhir ini indeks prognostik yang lebih kompleks disebut APACHE II (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Score). Indeks ini berdasarkan pada 12 variabel fisologis, usia penderita dan riwayat penyakit organ utama. APACHE II ini lebih sensitif dan lebih spesifik dibanding kriteria sebelumnya. Tap peritoneal tidak mempunyai kelebihan dalam memprediksi beratnya penyakit sedangkan CT perlu studi lebih lanjut. Masih banyak parameter seperti methemalbumin, ribonuklease, antiprotease, komplemen, dan C-reactive protein telah digunakan sebagai prediktor keparahan pankreatitis akut. Masih ada 2 marker yaitu peptid tripsinogen yang diaktifkan dan elastase granulositik yang dianggap mampu memprediksi parahnya penyakit . Data mortalitas pada anak jarang dijumpai dan pernah dilaporkan 13 dari 61 kasus (21%) pankreatitis akut meninggal.3,4,5

Pankreatitis Herediter Pankreatitis herediter didefinisikan sebagai serangan pankreatitis berulang (rekuren) pada masa anak yang terjadi pada keluarga dua atau tiga generasi atau lebih tanpa diketahui factor predisposisinya. Keadaan ini diturunkan secara dominan.autosom dengan penetrasi yang tidak lengkapl. Pada umumnya fungsi dan morfologi pankreas kembali normal diantara serangan akut. Gejala sering dimulai sejak dekade pertama tetapi serangan pertamanya biasanya ringan. Meskipun terjadi penyembuhan spontan dalam 4-7 hari setiap serangan, episodenya semakin progresif. Pankreatitis herediter merupakan salah satu penyebab pankreatitis kronis.1,2

Pankreatitis Kronis Penyebabnya pada umumnya pankreatitis herediter atau kelainan bawaan duktus pankreatikus dan duktus biliaris. Karena pankreatitis rekuren, enzim pencernaan merusak pankreas dan jaringan sekitarnya sehingga menimbulkan jaringan parut. Perubahan

morfologis inilah yang mengakibatkan terjadinya pankreatitis kronis. Apabila terjadi sumbatan kalsifikasi protein pada duktus pankreatikus, maka menunjukkan penyakit yang sudah lanjut. Kemungkinan pada keadaan ini fungsi eksokrin dan endokrin dapat hilang secara irreversibel. Diagnosis pankreatitis kronik tergantung penilaian fungsi pankreas dan temuan klinis maupun radiologis. Dengan uji noninvasif yaitu uji-uji pengukuran enzim pankreatik serum (amilase, lipase dan tripsin imunoreaktif) dan pemeriksaan lemak dan pemeriksaan enzim pankreatik pada tinja, mempunyai nilai prediktif sangat buruk sehingga tidak dapat mengeksklusi pankreatitis kronis dengan meyakinkan. Dengan pengukuran enzim pankreatik elastase I pada tinja versus uji sekretin-pankreozimin mempunyai sensitivitas 100% dan spesifisitas 96%. Memang sebagai baku emas untuk menentukan adanya insufisiensi pankreas adalah dengan memberikan kolesistokinin atau sekretin secara intravena, kemudian mengambil cairan dari duktus pankreatikus dan diukur output bikarbonat dan ensim pankreatik-nya. Hasil pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas antara 90%-100% dalam mendiagnosis pankreatitis kronis. Prosedur pemeriksaan ini bersifat invasif karena membutuhkan intubasi endoskopik atau oroduodenal, penempatan kateter duodenal yang akurat dan pengambilan semua sampel sekresi duodenal. Kesulitan pelaksanaan dan intepretasi sehingga hanya dapat dilakukan di pusat (center) kesehatan yang lengkap.3,4,5

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.

Pietzak MM, Thomas W. Pancreatitis in childhood. Amarican Academy of Pediatrics. 2000: 2. Robertson MA, Durie PR. Pancreatitis. In Walker A, Durie PR, Hamilton JR, et al, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease. St Louis, WB Saunders, 2 nd. 1996: 1436-1465. Weizman Z. Acute Pancreatitis. In Wyllie R and Hyam JS, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease, Philadelphia, WB Saunders. 1993: 873-879. Lerner A, Branski D, Lebenthal E. Pancreatic Disease In Children. Pediatric Clinics of North America. 1996; 43.1: 125-156. Werlin SL. Exocrine Pancreas. In Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB. Nelson Text Book of Pediatrics, Philadelphia, WB saunders 17 th Edit. 2004: 1298-1303.

BAB XV IKTERUS Iesje Martiza

Ilustrasi Kasus N, seorang bayi laki-laki lahir di Rumah Saki dari seorang ibu G1P0A0 yang merasa hamil cukup bulan, letak kepala, lahir spontan, tak langsung menangis, ditolong dokter. Sejak kurang lebih 22 jam setelah lahir, penderita tampak kuning/ikterik kramer I, yang semakin lama semakin bertambah. Selama perawatan, pada akhir hari pertama penderita diberikan terapi sinar dengan bilirubin total 13,45 mg/dl dan pada hari keempat penderita bertambah kuning dengan bilirubin total 18,7 mg/dl, dilakukan transfusi ganti dan dilanjutkan terapi sinar sampai hari kesembilan. Kemudian pada hari kesepuluh penderita pulang dalam keadaan baik.

Pendahuluan Peningkatan kadar biliribun serum (hiperbilirubinemia) merupakan masalah yang sering dijumpai pada minggu pertama kehidupan. Keadaan ini dapat merupakan kejadian sesaat yang dapat hilang spontan. Sebaliknya, hiperbilirubinemia dapat juga merupakan hal yang serius, bahkan mengancam jiwa. Sebagian besar bayi cukup bulan yang kembali ke rumah sakit dalam minggu pertama kehidupan berhubungan dengan keadaan hiperbilirubinemia. Dengan kondisi perawatan yang memulangkan neonatus secara dini, dapat meningkatkan risiko terjadinya kernikterus pada bayi cukup bulan apabila dipulangkan dalam 48 jam setelah lahir. Alpay dan kawan-kawan melaporkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara penurunan lama tinggal dan risiko kembali ke rumah sakit, dan penyebab utama kembalinya ke rumah sakit selama periode awal neonatus adalah hiperbilirubinemia. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan kadar bilirubin serum dapat bersifat toksik terhadap bayi baru lahir.1,2 Bab ini dimulai dengan ulasan tentang metabolisme bilirubin perinatal, berikut penilaian, penyebab, toksisitas dan terapi kernikterus neonatorum.

Definisi Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >2 mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin >5 mg/dl.3

Metabolisme Bilirubin Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase dan heme bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme bilirubin terdiri dari tahapan: 1. Transport bilirubin Bilirubin dibentuk dari degradasi zat yang mengandung heme. Pembentukan bilirubin dimulai dengan memutuskan cincin tetrapirol protoheme (protoporfirin IX) sehingga terbentuklah tetrapirol rantai lurus (biliverdin). Enzim yang pertama kali terlibat dalam pembentukan bilirubin adalah mikrosomal heme-oksigenase. Telah diketahui ada 2 bentuk utama heme-oksigenase: yang pertama terdapat di dalam hepar dan lien; yang kedua terdapat di dalam otak dan testis. Heme-oksigenase menyebabkan reduksi besi porfirin (Fe3+ menjadi Fe2+) dan hidroksilasi karbon α-methine, dimana karbon α ini dioksidasi dari cincin tetrapirol sehingga menghasilkan karbon monoksida. Pemotongan ini membuka struktur cincin dan berhubungan dengan oksigenasi kedua atom karbon di kedua ujung rantai. Αtom karbon yang dipotong, diekskresi sebagai karbon monoksida yang juga merupakan neurotransmiter. Besi yang dilepas oleh heme-oksigenase dapat digunakan kembali oleh tubuh. Hasil akhir tetrapirol rantai lurus adalah biliverdin IXα. Stereospesifisitas enzim yang menyebabkan pemutusan hampir pasti terdapat pada αkarbon tetrapirol. Hal ini berbeda dari hasil yang didapatkan pada oksidasi kimiawi in vitro, di mana pemutusan dapat terjadi di antara keempat atom karbon (α, β, γ, δ) yang menghubungkan keempat cincin pirol dan menghasilkan jumlah isomer α, β, γ dan δ yang sama. In utero, bilirubin IXβ merupakan pigmen empedu yang pertama kali ditemukan, dan dapat ditemukan di empedu atau mekonium pada usia kehamilan 15 minggu. Sejumlah kecil bilirubin IXβ juga ditemukan pada empedu orang dewasa. Kemudian, atom karbon sentral pada biliverdin IXα direduksi dari methine menjadi kelompok methilene, membentuk bilirubin IXα, yang diselesaikan oleh enzim biliverdin reduktase sitosolik. Kedekatan enzim ini menyebabkan sangat sedikitnya biliverdin yang dapat ditemukan di sirkulasi. Pembentukan bilirubin dapat dinilai dengan mengukur produksi karbon monoksida. Pembentukan ini menunjukkan rata-rata produksi bilirubin pada bayi matur sehat = 6-8 mg/kg BB/hari, dan pada orang dewasa sehat = 3-4 mg/kg BB/hari. Pada mamalia, ± 80% bilirubin yang diproduksi setiap hari berasal dari hemoglobin. Pemecahan heme hepatik dan renal tampaknya berperan pada 20% sisanya, menunjukkan begitu cepat turn over protein heme. Walaupun tidak diketahui dengan pasti, turn over mioglobin heme sangatlah lambat sehingga tidak signifikan. Katabolisme hemoglobin terutama berasal dari sekuestrasi eritrosit pada akhir masa hidupnya (120 hari pada orang dewasa, 90 hari pada bayi, dan 5060 hari pada tikus). Sejumlah kecil fraksi hemoglobin yang baru disintesis, didegradasi dalam sumsum tulang. Proses ini yang disebut sebagai eritropoesis yang tidak efektif, biasanya terdapat kurang dari 3% dari produksi bilirubin harian, tetapi dapat meningkat pada orang-orang dengan hemoglobinopati, defisiensi vitamin, dan keracunan logam berat. Bayi menghasilkan lebih banyak bilirubin perkilogram berat badannya, karena jumlah eritrosit mereka lebih banyak, dan umur hidup eritrositnya lebih pendek. Walaupun sudah lama bilirubin dianggap sebagai produk sisa katabolisme heme, ternyata ada data yang

menduga bahwa hiperbilirubinemia ringan mempunyai manfaat yang baik karena bilirubin mempunyai kapasitas antioksidan dan berperan sebagai pemusnah radikal bebas. Bilirubin sukar larut dalam air, sehingga memerlukan biotransformasi supaya dapat diekskresi dari tubuh. Sifat bilirubin yang sukar larut ini berhubungan dengan struktur bilirubin. Dibandingkan dengan bentuk rantai lurus, bilirubin cenderung terikat dengan hidrogen. Hal ini terjadi karena atom karbon jenuh yang terletak di tengah memungkinkan kedua belah molekul bilirubin berputar sedemikian rupa sehingga pirol nitrogen dan laktam oksigen dari sisi yang satu membentuk ikatan hidrogen dengan kelompok karboksil asam propionat pada sisi yang lain, sehingga menghalangi sisi asam propionat yang polar dan membuat bilirubin menjadi lipofilik dan sangat tidak polar. Ikatan rangkap C=C pada posisi C4-C5 dan C15-C16 dapat membentuk 2 konfigurasi yang berbeda (mirip dengan “cis” dan “trans”) tergantung apakah atom-atom itu terletak pada sisi ikatan rangkap yang sama atau berseberangan (Z = zusammen = together; E = entgegen = opposito). Bentuk alami bilirubin (4Z,15Z-bilirubin IXα) dapat berupa salah satu dari ketiga struktur yang ada. Pengetahuan stereokimia ini penting untuk dapat memahami fototerapi. Ikatan hidrogen pada bilirubin membuatnya menjadi sangat hidrofobik dan tidak larut dalam media air. Sifat bilirubin yang sukar larut dalam air ini menyebabkan diperlukannya molekul karier untuk transport bilirubin dari tempatnya diproduksi di dalam sistem retikuloendotelial ke dalam hati untuk diekskresi. Molekul karier yang dimaksud adalah albumin. Setiap molekul albumin mampu mengikat 1 molekul bilirubin (Ka = 7.107/M). Artinya, pada kadar bilirubin serum yang normal, semua bilirubin yang dibawa ke dalam hati berikatan dengan albumin, dengan sejumlah kecil bilirubin bebas yang berdifusi ke jaringan lain. Selain itu, albumin juga merupakan karier untuk zat lainnya, misalnya xenobiotik dan asam lemak. Perlu diingat bahwa daya ikat albumin berbeda-beda untuk setiap spesies. Rata-rata konsentrasi albumin serum pada bayi baru lahir cukup bulan adalah 3 sampai 3,5 g/dl, albumin dapat mengikat bilirubin pada konsentrasi maksimum sekitar 450 M/h (25-30 mg/dl). Dikatakan bahwa albumin pada neonatus mempunyai afinitas yang kurang terhadap bilirubin bila dibandingkan dengan albumin pada orang dewasa. Bilirubin yang bebas dapat masuk ke dalam otak dan merusak jaringan saraf.1,3,4

2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati Struktur hati sudah disesuaikan sedemikian rupa untuk uptake bilirubin. Aliran darah yang melalui sinusoid lebih lambat daripada aliran darah yang melewati kapiler, karena aliran darah ini lebih berasal dari tekanan vena dibandingkan tekanan arterial. Bilirubin yang terikat albumin dengan mudah mengalir dari plasma ke dalam space of Disse di antara endotelium dan hepatosit, karena lapisan endotelial sinusoid hati tidak mempunyai lamina basalis yang terdapat pada sistem kapiler organ lainnya. Celah-celah pada endotelium memungkinkan kontak langsung dengan membran plasma hepatosit. Gambar di bawah (gambar 15.1) menunjukkan ilustrasi skematik hepatosit dengan metabolisme bilirubin. Pertama, bilirubin dipisahkan dari albumin yang mengikatnya dan memasuki hepatosit melalui membran reseptor karier sehingga lebih mudah memasuki hepatosit. Telah diketahui media transport yang membawa anion organik memasuki

hepatosit, termasuk bilirubin, bromsulfophthalein (BSP) dan indocyanine green (ICG), walaupun baru-baru ini telah diketahui bahwa bilirubin juga dapat melewati membran dengan difusi pasif sederhana. Bukti yang ada menunjukkan bahwa bilirubin, BSP, dan ICG memakai karier reseptor hepatosit yang sama, karena akan terjadi inhibisi kompetititf jika diberikan bersamaan. Hal ini tidak dapat dijelaskan oleh metabolisme intrahepatik, karena anion-anion ini ditangani secara berbeda oleh hepatosit: bilirubin berikatan dengan asam glukoronat di dalam mikrosomal, BSP berikatan dengan glutation di dalam sitosol, dan ICG langsung diekskresi tanpa mengalami biotranformasi. Data dari hepatosit tikus menunjukkan bahwa anion binding receptor carrier merupakan suatu protein dimer dengan berat molekul 55.000. Penelitian antibodi memperkuat dugaan lokasi di membran plasma dan menunjukkan penghentian uptake. Untuk mengangkut bilirubin ke dalam hepatosit diperlukan karier, karena ikatan protein di dalam hepatosit berbeda dari yang di luar. Di luar hepatosit, bilirubin terikat albumin (dengan afinitas ± 1.108, konsentrasi 0,6 mM). Di dalam hepatosit, bilirubin terikat glutation S-transferase (GST), yang dikenal sebagai ligandin atau protein Y (afinitas = 1.106, konsentrasi = 0,04 mM). GST merupakan kelompok protein yang mempunyai fungsi baik sebagai enzim, maupun sebagai intracellular binding protein, misalnya untuk bilirubin. Carrier mediated uptake membantu meningkatkan gradien konsentrasi uptake bilirubin, untuk mengatasi perbedaan afinitas antara albumin dan GST. GST merupakan cadangan intraselular bilirubin yang penting dan mengurangi refluks dari hepatosit kembali ke plasma.1,3,4

Gambar 15.1 Skema metabolisme Bilirubin pada janin, neonatus dan orang Dewasa

PRODUKSI SISTEM RETIKULOENDOTHELIAL

PENGAMBILAN, KONJUGASI DAN SEKRESI HEPATOSIT

MEMBRAN PLASMA

PRODUKSI HEME 80% HEMOGLOBIN 20% HEMOPROTEIN & SISA ERITROPOESIS

TRANSPOR SIRKULASI

RETIKULUM ENDOPLASMA

SITOSOL

SITOSOL

MEMBRAN KANALIKULI APIKAL

UDPG

UDPGA

UDPGA

P

HEME CO + Fe

UDPNAG

HEME OKSIGENASE

UGT1A1

cMOAT

GST-BG

cMOAT-BG

BG

GST

BILIVERDIN R-B

BILIRUBIN REDUKTASE B

GST

R

B

B UDP

E-Albumin

GST-B

R

NDPase

U

PPi

Albumin BILE BMG

PENGAMBILAN MATERNAL PLASENTA

B

PRODUKSI UROBILINOID INTESTINUM DEWASA

DEKONJUGASI INTESTINUM JANIN & NEONATUS

Albumin

B-Albumin

BDG

B-Albumin

β-Glucoronidase

+H+

B

Urobilinogen BAKTERI

REABSORBSI SIRKULASI

KONJUGASI MATERNAL, DLL EKSKRESI TERAKHIR

-H+

EKSKRESI FESES

Urobilin C. RAMOSUM E. COLI

Keterangan : R, membran carrier; GST, glutation S-transferase (ligandin); UDPG, uridin diphosphat glukose; UDPGA, uridin diphosphat glukoronic acid; UDPNAG, uridin diphosphat N-asetyl glukosamin; P, permease; UGT1A1, bilirubin glukoronosyltransferase; NDPase, nukleoside diphosphatase; PPi, inorganik pyrophosphat, BDG/BMG, bilirubin di atau monoglukoronidase; cMOAT, tansporter anion organik kanalikuler multispesifik; BG, bilirubin glukoronidase.

3. Konjugasi Di dalam hepatosit, bilirubin berkonjugasi dengan asam glukoronat. Proses ini terjadi di dalam retikulum endoplasma (mikrosom). Sebagai donor asam glukoronat adalah uridine diphosphate glucoronic acid (UDP-GA). Hasil konjugasinya adalah ester dengan atau tanpa rantai samping asam propionat pada cincin B dan C pirol bilirubin. Enzim yang bertanggung jawab untuk esterifikasi ini adalah bilirubin uridine diphosphate glucuronasyltransferase (BUGT). BUGT berbeda dari isoform glucuronosyltransferase lainnya, yang mengkatalisis konjugasi tiroksin, steroid, asam empedu dan xenobiotik.

BUGT terdapat di bagian lipid membran mikrosomal dan gangguan pada lemak ini, secara in vitro mempengaruhi pengukuran aktivitas BUGT. Karena BUGT terdapat di bagian dalam retikulum endoplasma, keberadaan enzim permease diduga untuk mempercepat transport UDP-GA dari sitosol menyeberangi lapisan lemak retikulum endoplasma. Karena kadar uridine diphosphate glucose lebih tinggi di dalam sitosol, diduga UDP-GA merupakan donor konjugasi bilirubin. Uridine diphosphate N-asetil glukosamin dianggap sebagai regulator alami BUGT karena secara in vitro, ia dapat meningkatkan aktivitas BUGT 3x dengan mempengaruhi kecepatan transporter UDP-GA permease. Setelah terjadi konjugasi dengan asam glukoronat, uridin difosfat dapat dikonversi menjadi uridin dan pirofosfat anorganik oleh nukleosida difosfatase, yang juga terdapat di dalam retikulum endoplasma dan mencegah terjadinya reaksi simpang. Isoform spesifik yang bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin adalah UGT1A1 (nama dagang = HUG-Brl, EC.2.4.1.17), yang merupakan bagian dari enzim uridine diphosphate glycosyltransferase, yang diikuti kompleks gen UGT pada kromosom 2. Gen UGT, mengkode beberapa isoform, dan memiliki struktur kompleks yang terdiri dari 4 ekson yang umum dan 13 ekson variabel yang mengkode isoform yang berbeda-beda. Pada tahun 1997, paling sedikit 30 UGT, alelle mutan yang berbeda-beda telah dianggap sebagai penyebab Sindroma Gilbert (GS) dan Sindroma Crigler-Najjar I dan II. UGT1A1 mengkatalisis bilirubin monoglukuronidase dan bilirubin diglukoronidase (Gb. 15.1). Sejumlah kecil bilirubin (15%) juga diekskresikan bersamaan dengan sangat sedikit bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi lainnya (misalnya glukosa, xilosa dan diester). Pada bayi, karena aktivitas UGT1A1 rendah, empedu mengandung lebih sedikit bilirubin diglukoronida dan lebih banyak bilirubin monoglukoronida daripada orang dewasa.1,3,4

4. Sekresi bilirubin terkonjugasi Setelah berkonjugasi, bilirubin diekskresi dengan melawan gradien konsentrasi hepatosit melalui membran kanalikuli ke dalam empedu. Data dari penelitian pada hati tikus menunjukkan bahwa transport bilirubin diglukoronida melalui membran kanalikuli dengan menggunakan karier, elektrogenik, dan distimulasi oleh HCO3. Data serupa juga menunjukkan bahwa bilirubin glukoronida dibawa melewati membran kanalikuli baik oleh ATP dan membran potensial, sistem tergantung transport. Transporter tergantung ATP yang bertanggungjawab terhadap pasase bilirubin glukoronida dari hepatosit melalui membran kanalikuli adalah transporter anion organik kanalikuli multispesifik (CMOAT), yang merupakan transporter yang terikat ATP dan homolog dengan proterin 2 multidrug resistance. Sebelumnya, CMOAT dianggap sebagai transporter anion organik non-asam empedu, pompa glutathione S-conjugate dan pompa leukotrien. Mutasi genetik yang mengubah ATP binding cassette transporter ini termasuk penyakit cystic fibrosis, hiperinsulinemia, adrenoleukodistrofi, multidrug resistance dan Sindroma Dubin-Johnson. Mekanisme ini dapat dipenuhi dengan meningkatkan jumlah bilirubin dan bilirubin terkonjugasi. Banyak anion organik lainnya (misalnya: BSP, ICG), juga menggunakan mekanisme ekskresi membran kanalikuli yang sama. Infus BSP dan ICG secara simultan mengurangi ekskresi maksimal bilirubin, demikian juga sebaliknya, mekanisme ekskresi kanalikuli untuk bilirubin dan BSP berbeda dengan yang untuk garam empedu. Ekskresi bilier untuk

bilirubin terkonjugasi dan BSP, berkurang pada pasien-pasien dengan sindroma DubinJohnson walaupun ekskresi garam empedu tidak terpengaruh. Ekskresi garam empedu dan bilirubin terkonjugasi oleh membran kanalikuli bukannya tidak terpengaruh sama sekali, karena pemberian garam empedu meningkatkan ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi. Efek serupa tampak pada pemberian fenobarbital. Sebaliknya, ekskresi maksimal bilirubin terkonjugasi dapat berkurang pada pemberian zat-zat kolestatik, misalnya estrogen dan steroid anabolik. Dalam keadaan normal, ada bukti yang menunjukkan bahwa bilirubin terkonjugasi yang seimbang menyeberangi membran sinusoid hepatosit, sehingga dalam sirkulasi dapat ditemukan sejumlah kecil bilirubin terkonjugasi. Jika terjadi gangguan glukuronidase hepatik bilirubin (misalnya pada neonatus), jumlah bilirubin terkonjugasi di dalam serum berkurang. Data yang ada menunjukkan bahwa pada neonatus cukup bulan terdapat peningkatan kadar bilirubin dikonjugat dalam serum (0,55 ± 0,25% pada umur 2-4 hari, sampai 1,62 ± 0,99% pada umur 9-13 hari), yang konsisten dengan maturasi glukuronidasi bilirubin. Sebaliknya, pada bayi prematur dengan usia kehamilan kurang dari 33 minggu, kadar bilirubin diconjugates-nya sangat rendah, yang menunjukkan adanya gangguan maturasi proses glukoronidasi. Dalam banyak keadaan patologis, bilirubin mono dan diglukuronida tidak diekskresi cukup cepat dari hepatosit untuk mencegah refluks ke sirkulasi. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi serum menyebabkan transesterifikasi bilirubin glukuronida dengan kelompok amino dalam albumin, menghasilkan ikatan kovalen antara albumin dan bilirubin. Produk ini terbentuk secara spontan, dan dikenal sebagai bilirubin delta, atau bilirubin-albumin. Reaksi nonenzimatik serupa juga ditemukan antara albumin dan beberapa obat. Bilirubin delta tidak terbentuk pada hiperbilirubinemia kecuali jika terdapat peningkatan fraksi bilirubin terkonjugasi. Baik bilirubin delta maupun bilirubin terkonjugasi bereaksi langsung yang menjelaskan suatu keadaan yang telah lama membingungkan para klinikus. Berdasarkan keempat tahapan tersebut, ikterus dapat terjadi karena: 1. 2. 3. 4. 5.

Pembentukan bilirubin yang berlebihan Defek pengambilan bilirubin oleh sel hati Defek konjugasi bilirubin Penurunan ekskresi bilirubin Campuran; peningkatan kadar bilirubin terjadi karena prosuksi yang berlebihan dan sekresi yang menurun Gangguan berupa pembentukan bilirubin yang berlebihan, defek pengambilan dan konjugasi bilirubin menghasilkan peningkatan bilirubin indirek. Penurunan ekskresi bilirubin akan menyebabkan peningkatan kadar bilirubin direk atau disebut kolestasis, sedangkan bila mekanismenya bersifat campuran, terjadi peningkatan bilirubin direk maupun indirek.1,3,4

5.

Sirkulasi enterohepatik Jika bilirubin terkonjugasi memasuki lumen usus (Gb. 15.1), ada beberapa kemungkinan terjadinya metabolisme lebih lanjut. Pada orang dewasa, flora normal akan

menghidrogenasi karbon ikatan rangkap dalam bilirubin untuk menghasilkan urobilinogen (Gb. 15.4). Oksidasi atom karbon tengah menghasilkan urobilin. Karena adanya sejumlah besar ikatan tak jenuh di dalam bilirubin, maka ada banyak bentuk reduksi dan oksidasi dari ikatan-ikatan ini. Keluarga besar reduksi-oksidasi hasil bilirubin ini dikenal sebagai urobilinoid, diekskresikan ke dalam feses. Bakteri yang paling penting dalam peranannya memproduksi urobilinoid adalah Clostridium ramosum, yang bekerja sama dengan Escherichia coli. Konversi bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid penting untuk menghalangi absorpsi bilirubin di intestinal yang dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Neonatus hanya sedikit memiliki flora intestinal, sehingga lebih banyak mengabsorpsi bilirubin dari intestinum. Perbedaan antara ekskresi pigmen empedu pada orang dewasa dan pada neonatus, dibandingkan dalam Gb. 15.2 dan 15.3. Di dalam intestinum, bilirubin terkonjugasi juga dapat bertindak sebagai substrat, baik untuk bakterial maupun untuk β-glukuronidase jaringan endogen. Enzim ini menghidrolisis asam glukoronat dari bilirubin glukuronida. Bilirubin tak terkonjugasi yang diproduksi, diabsorbsi lebih cepat dari intestinum. Pada fetus, β-glukuronidase sudah terdeteksi pada usia kehamilan 12 minggu dan diyakini mempunyai peranan penting dalam mempercepat absorpsi bilirubin intestinum, yang memungkinkan bilirubin dikeluarkan melalui plasenta. Setelah lahir, peningkatan kadar βglukuronidase intestinal dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Kemampuan β-glukuronidase jaringan endogen untuk men-dekonjugasi bilirubin glukuronida telah dibuktikan pada hewan-hewan yang steril. ASI dapat mengandung banyak β-glukuronidase, dan hal ini sudah diduga merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan tingginya kadar jaundice pada bayi-bayi yang mendapat ASI.1,3,4

Gambar 15.2. Gambaran ekskresi empedu pada orang dewasa, dengan menggunakan Larutan Khromatografi High Performance

Gambar 15.3. Gambaran ekskresi empedu pada bayi baru lahir, dengan menggunakan Larutan Khromatografi High Performance

Penyerapan (436 nm)

Penyerapan (436 nm) Waktu retensi (mnt)

Waktu retensi (mnt)

Gambar 15.4. Reduksi dan oksidasi bilirubin menjadi sebuah kelompok yang mempunyai kesamaan komposisi yaitu urobilinoid.

6. Penilaian jaundice Jaundice dan ikterus, keduanya menunjuk kepada keadaan diskolorasi kuning pada jaringan (kulit, sklera, dan lain-lain), yang disebabkan oleh deposisi bilirubin. Jaundice berasal dari bahasa Perancis: jaune, yang berarti kuning. Ikterus berasal dari bahasa Yunani: ikteros. Jaundice merupakan tanda adanya hiperbilirubinemia (misalnya kadar total bilirubin serum lebih dari 1,4 mg/dl setelah usia 6 bulan; 1 mg/dl = 17 μM). Derajat kuning berhubungan dengan kadar bilirubin serum dan jumlah deposisi bilirubin dalam jaringan ekstravaskuler. Hiperkarotenemia dapat menyebabkan kulit berwarna kuning, tetapi sklera akan tetap berwarna putih. Ada banyak keadaan yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Beberapa dari keadaan ini begitu umumnya sehingga disebut fisiologis. Sebaliknya jaundice dapat merupakan tanda hemolisis, infeksi, ataupun gagal hati. Pengukuran kadar total bilirubin serum menunjukkan beratnya jaundice. Pengukuran semacam ini sangat sering dilakukan pada neonatus, dan ada penelitian yang menunjukkan bahwa pengukuran ini dilakukan minimal satu kali dari 61% neonatus cukup bulan. Dua komponen bilirubin total serum dapat diukur secara rutin di laboratorium klinik, yaitu bilirubin terkonjugasi (disebut juga sebagai bilirubin direk, karena pada test van den Bergh, pewarnaan dapat langsung terjadi tanpa penambahan metanol), dan bilirubin tak terkonjugasi (yang disebut juga sebagai bilirubin indirek). Walaupun penggunaan kata direk dan indirek sama dengan bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi, tetapi sekarang telah diketahui bahwa hal itu tidaklah benar-benar tepat, karena fraksi bilirubin direk

terdiri dari baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin delta. Peningkatan kadar bilirubin yang manapun dapat menimbulkan jaundice. Metode laboratoris otomatis yang dulu digunakan untuk mengukur kadar bilirubin serum telah direvisi dimana-mana. Prosedur Jendrassik-Grof merupakan metode terpilih untuk mengukur bilirubin total, walaupun prosedur ini juga mempunyai masalah. Jika kadar total bilirubin serum tinggi, fraksi direk yang sebenarnya tidak meningkat dapat tampak seolaholah meningkat. Tiga metode yang lebih baru yang telah dikembangkan dapat menentukan macam-macam fraksi bilirubin (tak terkonjugsi, monokonjugasi, dikonjugasi, dan bilirubin yang terikat albumin atau bilirubin delta) dengan lebih akurat: yaitu dengan high performance liquid chromatography (HPLC), multilayered slides dan bilirubin oksidase. Analisis HPLC memang yang terbaik, tetapi terlalu mahal dan memerlukan waktu yang terlalu banyak untuk laboratorium klinik. Analisis HPLC untuk serum bayi normal pada 4 hari pertama kehidupan menunjukkan bahwa kadar bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi meningkat secara paralel dengan fraksi terkonjugasi hanya 1,2-1,6% dari pigmen total (3,6% pada orang dewasa). Walaupun kadar absolut bilirubin terkonjugasi 2-6 x lebih tinggi pada neonatus, hanya 20% dari bilirubin terkonjugasi yang merupakan dikonjugasi. Data HPLC yang sensitif ini konsisten dengan peningkatan produksi bilirubin dan defisiensi relatif glukuronidasi yang ditemukan pada neonatus. Saat ini sudah tersedia teknik analisis dengan multilayered slides otomatis yang sudah digunakan di beberapa laboratorium klinis. Hal ini memungkinkan pengukuran fraksi bilirubin terkonjugasi dan tak terkonjugasi spesifik tanpa pengaruh bilirubin delta. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi merupakan indikator dini kolestasis bilier dibanding bilirubin direk, karena lamanya waktu paruh bilirubin delta. Analisis terbaru dan perbandingan metode bilirubin oksidase dengan metode sebelumnya untuk menentukan bilirubin total serum menyimpulkan bahwa penentuan kadar bilirubin total serum pada neonatus tidak dapat menggunakan metode ini. Masih ada perdebatan tentang keakuratan kadar bilirubin serum dari vena dibandingkan kapiler. Maxele telah membuat literatur tentang kernikterus, fototerapi, dan exchange transfusion berdasarkan pengukuran kadar bilirubin kapiler. Metode noninvasif untuk mengukur kadar jaundice sudah diterapkan pada neonatus, misalnya dengan menggunakan jaundicemeter yang memakai reflectance spectrophotometry untuk mengukur warna kulit. Jaundicemeter diletakkan di kulit dengan perlahan-lahan, dan memberikan hasil berupa “indeks jaundice”. Sejumlah penelitian sudah menunjukkan korelasi yang tinggi (r>0,9) antara indeks jaundice dan kadar bilirubin serum. Di pasaran, jaundicemeter sudah dijual dengan beberapa variasi interinstrumen untuk pengukuran berulang. Lebih jauh lagi, dalam suatu penelitian telah tampak bahwa baik indeks jaundice pada usia 24 jam, dan ratio peningkatan indeks jaundice selama 24 jam pertama perkilogram berat badan, berguna untuk memperkirakan timbulnya hiperbilirubinemia. Jaundicemeter telah dianjurkan sebagai sarana skrining yang berguna. Sebagai tambahan, beberapa orang menyatakan bahwa warna kuning pada kulit merupakan indikator risiko yang lebih baik untuk menilai kerusakan otak akibat bilirubin dibandingkan kadar bilirubin serum. Metode yang lebih manual untuk menilai jaundice adalah dengan

menggunakan plexiglas color chart yang ditekan ke hidung bayi, ternyata berguna dan lebih murah daripada jaundicemeter dalam penilaian jaundice. Saat ini telah dikembangkan metode noninvasif yang lebih baru, yang dapat membaca bilirubin serum dalam satuan miligram perdesiliter dan efektif terhadap semua warna kulit dan usia kehamilan.1,3,4

Neonatal Jaundice Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami peningkatan kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya kadar bilirubin serum, kulit menjadi lebih jaundice dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki. Kramer menemukan kadar bilirubin indirek serum sebagai perkembangan jaundice, kepala dan leher = 4-8 mg/dl, tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl, tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl, lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl, telapak tangan dan telapak kaki jika >15 mg/dl, walaupun demikian jika kadar bilirubin >15 mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan kulit secara hati-hati dengan jari dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice. Kombinasi analisis pada beberapa penelitian besar yang melibatkan ribuan bayi berusia 1 minggu menunjukan bahwa moderate jaundice (kadar bilirubin <12 mg/dl) tampak pada sekitar 12% bayi-bayi yang mendapatkan ASI dan 4% bayi yang mendapat PASI, severe jaundice (kadar bilirubin >15 mg/dl) tampak pada 2% bayi yang mendapatkan ASI dan 0,3% bayi yang mendapat PASI. Terjadi pergeseran dimana lama rawat ibu setelah melahirkan lebih singkat. Dua dekade yang lalu, para ibu dan bayi dirawat di rumah sakit lebih dari 1 minggu setelah kelahiran normal tanpa komplikasi selama perawatan. Selama di rumah sakit, jaundice dinilai setiap hari oleh para dokter dan perawat sehingga dapat didiagnosis dan diterapi, sesuai dengan kegawatan tingginya kadar bilirubin baru-baru ini, dengan kenaikan biaya kesehatan yang begitu tinggi dan adanya organisasi pelayanan kesehatan untuk mengurangi biaya ini, lama perawatan menjadi 2 hari untuk kelahiran spontan dan 4 malam untuk kelahiran secara sectio caesaria. Banyak orang yakin bahwa dalam dekade berikutnya, lama perawatan akan menjadi 6-12 jam setelah melahirkan. Pada beberapa penelitian besar ditemukan bahwa bayi-bayi yang terlalu cepat dibawa pulang (<30 jam) berisiko tinggi untuk dirawat kembali di rumah sakit karena jaundice yang timbul dalam 1 bulan pertama.2,5 Bayi yang baru lahir yang segara dibawa pulang, di rumah mengalami hiperbilirubinemia (30-40 mg/dl) dan menjadi kernikterus. Walaupun ASI hari pertama post partum memiliki keuntungan-keuntungan, salah satu kerugian adalah risiko yang berhubungan dengan diagnosis severe hiperbilirubinemia yang terlambat. The American Academy of Pediatrics telah merekomendasikan bahwa bayi-bayi yang dibawa pulang sebelum berumur 48 jam, perlu difollow up dalam 48 jam setelah pulang. Banyak dokter yang tidak mengikuti rekomendasi ini walaupun pengaruh serius rawat inap yang singkat berpengaruh pada jaundice neonatus. Jaundice dapat disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin, penurunan ekskresi

bilirubin, atau kombinasi mekanisme ini. Gb. 15.5 menampilkan satu pendekatan klinik untuk menilai diagnosis ini. Pendekatan lain pun telah dipublikasikan. Walaupun Newman dan kawan-kawan menemukan bahwa perolehan pengukuran bilirubin direk jarang menolong karena spesifisitasnya rendah, lainnya menganjurkannya. Pengukuran kadar bilirubin terkonjugasi dini sebagai uji skrining populasi yang dapat menegakkan diagnosis dini penyakit hati pada neonatus. Buyhani dan kawan-kawan menganjurkan pengukuran bilirubin universal untuk mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko menderita severe hiperbilirubinemia sebagai dasar untuk pengukuran kadar bilirubin total serum spesifik sebelum bayi dibawa pulang. Walaupun ada banyak penyebab neonatal jaundice, tetapi masih ada penyebab yang tidak dapat diidentifikasi pada ½ dari 447 bayi yang dievaluasi selama penelitian ini. Batasan jaundice fisiologis telah digunakan untuk menerangkan jaundice yang sering ditemukan pada neonatus yang betul-betul normal. Tetapi jaundice fisiologis merupakan hasil dari beberapa faktor termasuk peningkatan produksi bilirubin dan penurunan ekskresinya. Jaundice harus dianggap sebagai tanda penyakit dan tidak secara rutin dianggap fisiologis. Karakteristik spesifik neonatal jaundice harus dianggap tidak normal sampai terbukti sebaliknya, termasuk yang timbul sebelum usia 36 jam, persisten selama 10 hari, berhubungan dengan kadar bilirubin serum >12 mg/dl dalam waktu kapanpun, dan peningkatan fraksi bilirubin direk (>2mg/dl atau 30% dari bilirubin serum total), dalam waktu kapanpun.5,6

Gambar 15.5. Pendekatan klinis ikterus neonatus

IKTERUS NEONATUS DI BAWAH UMBILIKUS

TOTAL BILIRUBIN

IKTERUS PATOLOGIS

IKTERUS FISIOLOGIS

OBSERVASI BILIRUBIN DIREK

PERTIMBANGKAN PERIKSA ULANG BILIRUBIN TOTAL

HIPERBILIRUBINEMIA DIREK

CARI PENYEBAB DI

HIPERBILIRUBINEMIA INDIREK

SKRINING PENYAKIT HEMOLITIK

TEKSBOOK DAN EVALUASI

PADA BAYI BARU LAHIR (COOMB’S TEST, GOL DARAH)

COOMB’S TES NEGATIF

COOMB’S TES POSITIF

DX : ISOIMMUNISASI HEMOGLOBIN ATAU HEMATOKRIT - Rh - ABO - KELL, dll RENDAH ATAU NORMAL

TINGGI

ANGKA RETIKULOSIT

DX : POLISITEMIA - TRANSFUSI MATERNAL-FETAL - TWIN-TWIN TRANSFUSI - KETERLAMBATAN KLEM TALI PUSAT - HIPOKSIA INTRAUTERIN - TINGGAL DI TEMPAT TINGGI - PENYAKIT IBU (misal, DM) - KECIL MASA KEHAMILAN

NORMAL

MORFOLOGI SEL DARAH MERAH

TINGGI

DX : - PERDARAHAN EKTRAVASKULER DI JARINGAN TUBUH - KENAIKKAN SIRKULASI ENTERO HEPATAL

ABNORMAL

- GANGGUAN METABOLIK - PENGARUH HORMON ATAU OBAT-OBATAN

TIDAK SPESIFIK

DX : - ABNORMALITAS ERITROSIT - HEMOGLOBINOPATI

DIAGNOSTIK

DX : - SFEROSITOSIS - ELLIPTOSITOSIS

- DEFISIENSI ENZIM

- STOMATOSITOSIS

- HEMOLISIS

- PIKNOSITOSIS

- DIC

Ada sejumlah faktor epidemiologis yang berhubungan dengan neonatal jaundice yang telah diulas. Beberapa faktor yang berhubungan dengan peningkatan kadar bilirubin neonatus adalah jenis kelamin laki-laki, berat lahir rendah, prematuritas, etnis tertentu (Oriental, Indian Amerika, Yunani), obat-obatan pada ibu (misalnya oksitosin. Prometasin, obat yang mengandung Hidroklorida, ketuban pecah dini, penurunan berat badan setelah lahir yang cepat, keterlambatan pasase mekonium, pemberian ASI dan infeksi neonatus. Proses kelahiran dengan ekstraksi vakum meningkatkan resiko sefalhematom dan neonatal jaundice. Data yang ada menunjukan bahwa pankuronium berhubungan dengan peningkatan risiko hiperbilirubinemia. Ada hubungan yang jelas antara kadar bilirubin serum tali pusat dengan hiperbilirubinemia. Kadar bilirubin ibu saat melahirkan dan gradien bilirubin transplasenta juga mempunyai korelasi positif dengan konsentrasi bilirubin serum neonatus. Faktor lain yang berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin neonatus, termasuk ibu perokok, ras kulit hitam dan obat-obat tertentu yang diberikan kepada ibu (termasuk fenobarbital).2,5,6

1.

Peningkatan produksi bilirubin Penyebab tersering jaundice dini adalah inkompabilitas golongan darah fetus - ibu dengan akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi untuk melawannya (sensitisasi ibu). Antibodi ini (IgG) melewati barier plasenta ke dalam sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit fetal. Pada inkompatibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis antibodi mengambil tempat dalam sistem retikuloendothelial fetus. Pada inkompabilitas ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement-mediated dan biasanya tidak seberat pada Rh disease, (misalnya Kell). Walaupun hemolisis berkaitan dengan peningkatan kadar bilirubin tak terkonjugasi, fraksi bilirubin terkonjugasi juga dapat meningkat. Inkompabilitas Rh biasanya baru muncul pada kehamilan kedua. Pemeriksaan golongan darah sebelum kelahiran dan serial testing ibu-ibu dengan Rh negatif untuk pemeriksaan antibodi Rh memberikan informasi penting sebagai pedoman penanganan intrauterin. Jika antibodi Rh ibu timbul selama kehamilan, pengukuran-pengukuran yang dapat membantu termasuk amniosintesis serial (dengan pengukuran bilirubin), USG fetus, tranfusi intrauterin dan partus prematurus. Terapi profilaksis anti-D γ-globulin merupakan yang paling membantu untuk mencegah sensitisasi Rh. Bayi yang baru lahir dengan inkompabilitas Rh, tampak pucat, hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam umur beberapa jam. Jika masalahnya berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata (hidrops fetalis). Hasil pemeriksaan laboratoriumnya adalah retikulositosis, anemia, Coombs’s test (+) dan peningkatan kadar bilirubin serum yang cepat. Exchange transfusions merupakan terapi penting untuk bayi-bayi dengan kasus berat. Inkompabilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic disease terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan golongan

darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A atau B. Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12 mg/dl pada umur 3 hari adalah tipikal. Abnormalitas laboratorium termasuk retikulositosis (>10%) dan Coombs’s test yang (+) lemah, walaupun kadang-kadang (-). Antibodi anti A dan anti B dapat tampak pada serum sang bayi jika diperiksa pada umur beberapa hari sebelum antibodi ini menghilang dengan cepat, sferositosis merupakan gambaran tersering yang ditemukan pada sediaan apus darah tepi dari inkompabilitas ABO. Darah ekstravaskular di dalam tubuh dapat dimetabolisme dengan cepat menjadi bilirubin oleh makrofag jaringan. Contoh peningkatan produksi bilirubin termasuk sefal hematom, ekimosis, petechie dan hemorhagis, walaupun diagnosisnya seringkali dapat ditegakkan dengan pemeriksaan fisik. Perdarahan intrakranial, intestinal maupun pulmonal juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Hal yang serupa juga terjadi jika darah tertelan, yang akan dikonversi menjadi bilirubin oleh heme-oksigenase epitel intestinum. Tes Apt dapat digunakan untuk membedakan darah ibu atau darah fetus karena adanya perbedaan resistensi alkali antara Hb fetus dengan Hb orang dewasa. Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel darah merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan eritrosit dengan kecepatan normal. Beberapa mekanisme dapat menyebabkan polisitemia neonatus (yang biasanya didefinisikan sebagai PCV >65%), seperti yang diulas oleh Danish. Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi perdarahan dari sirkulasi maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal-fetal transfusion) atau karena keterlambatan penjepitan tali pusat. Twin-to-twin transfusion juga dapat menyebabkan polisitemia. Serupa juga hipoksia intrauterine dan penyakit-penyakit pada ibu seperti diabetes melitus dapat menyebabkan polisitemia neonatus. Terapi untuk polisitemia simtomatik adalah partial exchange-tranfusion, sedangkan untuk terapi polisitemia yang asimtomatik masih kontroversial. Jumlah abnormalitas spesifik yang berhubungan dengan eritrosit dapat menyebabkan neonatal jaundice, termasuk hemoglobinopati, defek membrane eritrosit dan enzim. Sferositosis herediter bukan merupakan masalah neonatal, tetapi krisis hemolitik dapat timbul dan tampak sebagai peningkatan kadar bilirubin dan penurunan hematokrit. Adanya riwayat keluarga dengan sferositosis, anemia atau penyakit batu empedu pada usia <40 tahun, membantu menegakkan diagnosis ini. Karakteristik sferositosis yang tampak pada apusan darah tepi tidak mungkin dapat dibedakan dari yang terjadi pada hemolitik ABO. Anemia hemolitik lainnya yang berhubungan dengan neonatal jaundice termasuk hemolisis akibat obat-obatan, defisiensi enzim-enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase, dll) dan hemolisis yang diinduksi oleh vitamin A dan bakteri. Talasemia α dapat mengakibatkan hemolisis berat dan hidrops fetalis letal. Talasemia α juga dapat tampak sebagai hemolisis dan hiperbilirubin neonatal berat. Ovalositosis pada orang-orang Asia Tengggara berhubungan dengan hiperbilirubinemia berat. Obat-obatan atau zat dapat melewati plasenta ke dalam fetus atau melalui ASI. Induksi partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan neonatal jaundice. Ada hubungan yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice pada bayi atau ibu yang mendapatkan oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin like - action dan oksitosin

memacu transport elektrolit dan air seperti pembengkakan eritrosit dan peningkatan fragilitas osmotik dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada permulaan pemberian oksitosin dan 4 jam berikutnya dapat mencegah hiperbilirubinemia ini.2,5,6

2. Penurunan ekskresi bilirubin Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang penting pada neonatal jaundice. Neonatal berisiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium, intestinal mengandung akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam jumlah yang signifikan. Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (misalnya penyakit Hirschsprung, ileus mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia. Pasase dini mekonium tampak berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih rendah. Hal ini dapat dipicu dengan pengukuran-pengukuran suhu rektal selama periode neonatal. Sirkulasi enterohepatik bilirubin dapat dihambat dengan pemberian secara parenteral zat-zat yang mengikat bilirubin seperti agar, charcoal, dan kolestiramin. Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Bayi-bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan bayi-bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari hiperbilirubinemia tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan. Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai breast-feeding jaundice untuk membedakan dari breast-milk jaundice yang berhubungan dengan kurangnya intake ASI. Mungkin ada overlapping antara keadaan-keadaan ini dan jaundice fisiologis. Laporan terbaru yang menghubungkan breast-milk-jaundice dan neonatal jaundice dengan steroid-pregnane 3,20-diol dalam sampel susu belum terbukti dari penelitian terbaru dengan sampel yang lebih besar dan metode yang lebih sensitif. Diduga sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu dengan glukoronidase atau zat lain di dalam ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase hepatik. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI antara lain intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil tranferase oleh suatu faktor dalam susu yang tidak dapat diidentifikasi. Lascari menyatakan bahwa bayi sehat yang mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi, mempunyai kadar Hb, retikulosit dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas golongan darah dan tanpa kelainan lain pada pemeriksaan fisik, dianggap mengalami early breast-feeding jaundice. Karena tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik untuk menegakkan diagnosa breastmilk jaundice, maka penting untuk menyingkirkan penyebab-penyebab jaundice yang dapat diobati sebelum menghubungkan hiperbilirubinemia dengan ASI. Beberapa bayi dengan breast-milk jaundice menunjukan peningkatan kadar asam empedu, menandakan

adanya disfungsi hati ringan atau kolestasis walaupun pada umumnya ini bukanlah masalah. Marsele dan Gifford menyarankan untuk menunggu sampai kadar bilirubin serum mencapai 15 mg/dl sebelum evaluasi pada bayi sehat yang mendapat ASI. Beberapa inborn error of metabolism dapat tampak sebagai neonatal hiperbilirubina, mungkin yang lebih impresif adalah sindroma Crigler-Najjar atau jaundice nonhemolitik kongenital, yang ditandai dengan defisiensi bilirubin glukoronil transferase hepatik herediter. Tanpa kemampuan mengkonjugasi dan mengikat bilirubin, bayi-bayi ini akan tampak jaundice dalam usia beberapa hari walaupun tes fungsi hatinya normal, jika tidak diterapi kadar bilirubin serum dapat mencapai 25-35 mg/dl, dan berisiko untuk menjadi kernikterus. Ada 3 tipe Sindroma Crigler- Najjar. Tipe I dan II dibedakan dengan terapi fenobarbital, tipe I tidak memberikan respon terhadap terapi ini dan tidak terdapat jumlah bilirubin yang terkonjugasi yang signifikan di dalam empedu. Pasien-pasien tipe I membutuhkan terapi seumur hidup dengan fototerapi nokturnal dan pencegahan sirkulasi enterohepatik. Pada tipe II atau sindrom Arias, fenobarbital menyebabkan ekskresi bilirubin mono dan diglukoronida. Walaupun hal ini berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum, jaundice tetap ada secara signifikan ( 15 mg/dl) yang akhir-akhir ini disebut tipe III, tidak seperti tipe I dalam hal tidak ada ekskresi bilirubin glukoronida, tetapi pasien-pasien tipe II mengekskresi bilirubin mono dan diglukoronida terkonjugasi. Walaupun tidak separah Sindroma Crigler-Najjar, GS juga berhubungan dengan meningkatnya neonatal jaundice. Beberapa hormon dapat menyebabkan timbulnya hiperbilirubinemia neonatal tak terkonjugasi, pasien-pasien dengan hipotiroidisme kongenital dapat mempunyai kadar bilirubin serum >12 mg/dl. Prolonged jaundice tampak pada sepertiga bayi dengan hipotiroidisme kongenital; serupa juga dengan itu, hipopituitarisme dan anensefali berhubungan dengan jaundice akibat tiroksin yang tidak adekuat, yang diperlukan untuk klirens bilirubin hepatik. Obat-obatan tertentu berpengaruh terhadap metabolisme bilirubin dan menyebabkan hiperbilirubinemia atau pergeseran bilirubin dari albumin. Penempatan ini meningkatkan risiko kernikterus dan dapat disebabkan oleh sulfonamid, moxalactam, dan seftriakson. Pankuronium bromida dan kloralhidrat dikatakan merupakan penyebab neonatal hiperbilirubinemia. Bayi dari ibu diabetes berisiko mempunyai kadar bilirubin yang lebih tinggi dan mempunyai risiko hiperbilirubinemia yang lebih tinggi dibandingkan neonatus normal. Pasien-pasien ini menunjukan korelasi yang yang positif antara bilirubin total dan hematokrit yang menandakan polisitemia. Alasan potensial lain untuk hiperbilirubinemia termasuk prematuritas, defisiensi glukoronidase (akibat hipoglikemia) dan perfusi hati yang buruk (baik akibat distress pernafasan, sirkulasi fetal persisten, maupun kardiomiopati). Sindroma Lucey-Driscoll ditandai dengan adanya riwayat neonatal hiperbilirubinemia dalam keluarga, dimana ada hambatan in vitro glukoronil transferase baik oleh serum ibu maupun bayi. Dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh hormon-hormon kehamilan. Seringkali prematuritas berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada masa neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik jelas menurun pada bayi prematur atau naik sejak usia kehamilan 30 minggu sampai mencapai kadar dewasa pada 14 minggu setelah lahir. Sebagai tambahan, mungkin ada defisiensi uptake maupun

sekresi. Klirens bilirubin meningkat cepat setelah lahir. Hipoperfusi hati dapat menyebabkan neonatal jaundice. Perfusi hati yang inadekuat dapat mengganggu uptake dan metabolisme bilirubin hepatosit. Penyebabnya dapat berupa duktus venosus paten (misalnya dengan sindroma distres pernafasan), gagal jantung kongestif dan trombosis vena porta penyakit-penyakit hati spesifik juga dapat menyebabkan neonatal jaundice.2,5,6

3. Peningkatan produksi dan penurunan sekresi bilirubin Pada penyakit-penyakit neonatus dengan jaundice akibat peningkatan produksi dan penurunan ekskresi bilirubin, baik bilirubin terkonjugasi maupun bilirubin tak terkonjugasi dapat meningkat. Sepsis bakterialis meningkatkan produksi bilirubin dengan meyebabkan hemolisis eritrosit akibat hemolisis yang dihasilkan oleh kuman.2

4.

Toksisitas neonatal jaundice Kernikterus (kern = nucleus, icterus = kuning) merupakan temuan neuropatologis yang berhubungan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi berat dan dinamakan demikian karena timbulnya warna kuning pada beberapa tempat di otak, misalnya ganglia basalis, cerebelum, dan nuclei di dasar ventrikel ke IV. Manifestasi klinis yang berhubungan dengan kernikterus disebut bilirubin ensefalopati, termasuk gangguan refleks Moro, opistotonus, hipotonia, vomitus, high-pitch cry, hiperpireksia, kejang, setting sun sign, krisis okulogirik, dan kematian. Manifestasi jangka panjang berupa spastisitas, koreoatetosis, dan tuli sensorineural. Bentuk ringan bilirubin ensefalopati termasuk disfungsi kognitif dan gangguan belajar. Pada anak laki-laki 17 tahun mempunyai risiko IQ<85 lebih tinggi pada mereka yang sewaktu bayinya adalah bayi cukup bulan yang kadar bilirubinnya >20 mg/dl. Walaupun periode neonatal merupakan waktu paling sering timbulnya kerusakan otak akibat bilirubin, efek neurotoksisitas bilirubin juga tampak pada sindroma Crigler-Najjar tipe I. Kadar absolut bilirubin serum bukanlah prediktor yang baik untuk menentukan risiko severe neonatal jaundice. Tetapi sudah lama diketahui bahwa kernikterus berhubungan dengan keadaan bilirubin >30 mg/dl dan jarang terjadi jika <20 mg/dl. Pada suatu penelitian, 90% pasien yang mempunyai kadar bilirubin >35 mg/dl akan meninggal, menjadi cerebral palsy atau retardasi fisik. Sebaliknya tidak ada retardasi perkembangan yang ditemukan pada 129 orang bayi dengan kadar bilirubin <20 mg/dl. Kadar albumin merupakan variabel yang penting karena afinitasnya yang tinggi dengan bilirubin. Obatobatan dan anion organik juga mengikat albumin dan dapat menggeser bilirubin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin bebas yang dapat berdifusi ke dalam sel dan menyebabkan toksisitas. Contoh yang paling sering dalam hal ini adalah kernikterus yang muncul dengan kadar bilirubin yang rendah jika pada bayi-bayi prematur diberikan sulfisoksazol. Bilirubin yang dipicu oleh obat merupakan risiko ensefalopati bilirubin pada bayi cukup bulan apabila kadar bilirubin meningkat >20 mg/dl, walaupun demikian bilirubin total serum bukan merupakan faktor terpenting yang berhubungan dengan risiko. Saat ini ada beberapa pemeriksaan ( saturasi albumin, kapasitas ikat bilirubin atau bilirubin bebas) yang lebih membantu dalam mengidentifikasi bayi-bayi yang berisiko untuk terkena bilirubin

ensefalopati. Pendekatan lain bertujuan untuk mengukur perubahan–perubahan dini pada SSP yang disebabkan oleh bilirubin bisa dinilai dengan brainstem auditory evoked potentials (BAEPs). Abnormalitas pada BAEP akan tampak pada bayi dengan jaundice dan akan membaik setelah exchange transfusion. Data menunjukan bahwa hiperbilirubinemia derajat sedang (SD = 14,3  2,8 mg/dl) mempengaruhi BAEPs. Tampak gambaran komponen spesifik Brazelton Neonatal Behavioral Assessment Scale, dan karakteristik tangisan. Data dari penelitian pada tikus Gunn menunjukkan bahwa perbedaan gelombang binaural (perbedaan antara 2 monoaural gelombang BAEP dan binaural BAEP) merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi toksisitas bilirubin. Evoked potential somatosensoris yang melalui ganglia basalis, suatu tempat yang sering terpengaruh kernikterus, juga menunjukan abnormalitas pada jaundice dan dianggap sebagai cara lain untuk mengawasi pengaruh bilirubin pada SSP. Tetapi, saat ini baik BAEP maupun evoked potential somatosensoris bukan merupakan pengukuran rutin untuk menilai potensi toksisitas bilirubin. 5.

Penanganan jaundice neonatorum Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke rumah sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah menentukan penyebabnya. Terlepas dari penyebabnya, peningkatan fraksi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum dapat menyebabkan kernikterus seperti yang telah dibahas sebelumnya. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-langkah penanganan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat yang mengikat albumin dan menggeser bilirubin sehingga menyebabkan kernikterus. Walupun sudah diketahui bahwa sulfonamid merupakan zat yang paling dapat menggeser bilirubin, obat-obat yang lebih baru misalnya seftriakson juga kuat menggeser bilirubin, sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain fototerapi, exchange tranfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim. Pilihan-pilihan terapi ini masih terus diteliti. Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal dari lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti biasanya. Perubahan rotasi 18 di sekitar ikatan rangkap antara cincin A-B atau C-D, merubah konfigurasi Z yang normal menjadi konfigurasi E 4Z,15 E. Bilirubin di-reisomerisasi secara spontan menjadi bilirubin alami, lebih penting lagi struktur cincin ketujuh dapat dibentuk antara cincin A dan B dan menghasilkan hemirubin dan siklobilirubin. Sekarang terlihat bahwa pembentukan hemirubin terjadi melalui intermediate isomer 4E,15Z; kedua perubahan mempengaruhi ikatan hidrogen internal dalam bilirubin alami, dengan menambahkan kelompok asam propionat akan menjadi isomer E yang lebih polar dan hemirubin dapat langsung diekskresi ke dalam empedu. Tampaknya, hemirubin merupakan cara utama eliminasi bilirubin dengan fototerapi. Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru super, tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun warna putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Saat ini sudah tersedia fototerapi baru menggunakan woven fiberoptic pads, yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah supaya

bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Saat ini fototerapi banyak dilakukan di rumah, suatu praktek yang dianjurkan oleh American Academy of Pediatrics. Selain komplikasi yang telah diketahui, fototerapi sudah digunakan secara luas dan secara umum dianggap aman. Walaupun fototerapi memang mempengaruhi cardiac output dan aliran darah ke organ lain (misalnya, meningkatkan aliran darah ke otak), dan dapat dihubungkan dengan pembukaan duktus arteriosus, efek ini secara umum bukanlah masalah pada bayi yang ekstrim prematur (berat badan lahir kurang dari 800 gram). Prolonged fototherapy dan rendahnya kadar bilirubin serum (9,4 mg/dl) dikatakan berhubungan dengan kebutaan. Hal ini dapat berkaitan dengan efek langsung sinar pada mata imatur yang tidak dilindungi atau penurunan proteksi antioksidan akibat rendahnya kadar biliribin serum. Fototerapi sebaiknya tidak dilakukan tanpa sebelumnya dilakukan evaluasi diagnostik penyebab jaundice. Walaupun sudah dianjurkan agar posisi bayi diubah tiap 6 jam selama mendapat fototerapi, tetapi ada data dari suatu penelitian bahwa perubahan posisi tidak berpengaruh terhadap kadar bilirubin serum. Suatu penelitian yang melibatkan 164 bayi (beberapa di antaranya dengan jaundice hemolitik) yang mendapat fototerapi selama 121 jam tidak mengalami rebound hyperbilirubinemia. Hal serupa juga juga didapatkan pada 163 bayi matur dengan jaundice nonhemolitik yang mendapat fototerapi selama 54-65 jam. Bayi-bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah < 14-15 mg/dL, sehingga bayi dapat dipulangkan tanpa perlu mengamati “rebound”. Exchange tranfusion merupakan metode tercepat untuk menurunkan konsentrasi bilirubin serum. Indikasi exchange tranfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum. Pada penyakit hemolitik neonatal, indikasi tranfusi antara lain adalah anemia (hematokrit <45%), direct Coombs’s test (+), dan kadar bilirubin darah umbilikus >4 mg/dl, peningkatan kadar bilirubin serum >1 mg/dl/jam selama lebih dari 6 jam, anemia progresif dan kecepatan peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl/jam. Kadang-kadang exchange tranfusion untuk kasus hemolisis dapat dihindari dengan menggunakan imunoglobulin intravena dosis tinggi. Indikasi exchange tranfusion atas hiperbilirubinemia sendiri adalah: (1) kadar bilirubin >15 mg/dl selama lebih dari 48 jam, (2) indeks saturasi salisilat >8,0 dan HABA binding <50% pada 2x pengambilan berjarak 4 jam, (3) rasio kadar bilirubin total serum (mg/dl) dibanding kadar protein total serum (g/dl) >3,7, dan (4) rasio kadar bilirubin serum dibanding kadar protein total serum >0,7. Walaupun banyak risiko exchange tranfusion yang telah dijabarkan, angka mortalitasnya masih rendah (<0,6%) jika dilakukan dengan benar. Ada sejumlah pendekatan farmakologis untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian parenteral. Zat-zat yang dapat mengikat bilirubin dalam intestinum dan mencegah resorbsi zat-zat ini antara lain adalah agar, kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin akan terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yanng sering dan stimulasi rektal berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian bilirubin oksidase parenteral, suatu enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan produk lainnya, merupakan cara

lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat ini masih diuji coba. Pendekatan eksperimental lain menggunakan bilirubin oksidase intravena. Karena aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa induksi BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada neonatus dapat dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu sebelum melahirkan, bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram) memberikan respons terhadap terapi fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan kebutuhan fototerapi. Pada periode pasca natal, penggunaan fenobarbital pada neonatus juga mempunyai efek penurunan bilirubin yang sama. Klofibrat sebagai terapi farmakologi yang sederhana dan non toksik. Yang dapat menginduksi BUGT , di Perancis digunakan untuk mencegah dan mengobati neonatal jaundice. Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2 jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8-10x per 24 jam. Ada hubungan yang jelas antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan nyata dengan frekuensi pasase mekonium. Kadar bilirubin serum berapa yang memerlukan penghentian ASI masih kontroversial antara 14-20 mg/dl. Jika pemberian ASI dihentikan, pemberian PASI dapat dimulai selama 24-48 jam, atau ASI dan PASI diberikan selang seling. Belum ada penelitian yang menunjukan efektivitas dari segi biaya tentang susu formula dan efeknya untuk menurunkan jaundice, walaupun dua penelitian yang terpisah menunjukan bahwa bayibayi yang hanya diberi susu formula dengan hidrolisat kasein akan mengalami jaundice yang lebih ringan dibanding bayi yang mendapat susu formula biasa. Pemberian ASI yang dipanaskan juga dikatakan dapat menurunkan kadar bilirubin serum. Penurunan kadar bilirubin serum 2-5 mg/dl sesuai dengan diagnosis breast-milk jaundice. Jadi pemberian ASI dapat dilanjutkan, karena walaupun kadar bilirubin serum dapat meningkat selama beberapa hari, tetapi akan turun lagi secara bertahap. Jika pemberian ASI dilanjutkan lagi, penting untuk memberikan ASI dengan menggunakan pompa payudara. Pada suatu penelitian, penghentian ASI selama 50 jam (selama pemberian susu formula) tampak mempunyai efek penurunan bilirubin yang sesuai dengan pemberian fototerapi. Penghentian ASI selama 24-48 jam berhasil menurunkan kadar bilirubin serum dan menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81-87 bayi jaundice. Pemberian susu formula pada bayi-bayi Asia menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum yang lebih besar daripada bayi-bayi yang mendapat ASI. Konseling yang cermat dan pemberian dukungan dapat mencegah penghentian ASI sementara supaya tidak dihentikan selamanya. Pendekatan alternatif untuk mengatasi neonatal hiperbilirubinemia adalah dengan menahan enzim pertama yang bertanggungjawab terhadap produksi bilirubin adalah heme oksigenase. Sn-protoporfirin telah sukses digunakan pada terapi eksperimental jaundice pada neonatal jaundice dengan inkompatibilitas ABO. Penanganan neonatal jaundice dengan penghambatan heme oksigenase saat ini masih dalam tahap eksperimen, walaupun penelitian klinik tampaknya menjanjikan. Sebagai tambahan, untuk menghambat produksi

bilirubin, metaloporfirin merupakan fotosensitizer yang dapat mempercepat destruksi bilirubin oleh cahaya, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan. Sekarang CO dianggap merupakan neurotransmiter yang signifikan dan penghambatan aktivitas heme oksigenase pada awal kehidupan bukanlah merupakan proses yang tidak berbahaya. Pemikiran besar tentang metaloporfirin masih memerlukan penelitian jangka panjang untuk mengetahui keamanannya. Tetapi percobaan lain untuk hiperbilirubinemia neonatal adalah hemoperfusion. Penelitian tentang metode ini telah menjalankan hemoperfusion dengan ion-exchange, bilirubin oksidase dan sorben. Hemoperfusi sodium bezoat-augmented memberikan hasil yang memuaskan pada anjing.2,5,7

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Alpay F, Sarici SU, Tosuncuk HD. The value of first day bilirubin measurement in predecling the development of significant hyperbilirubinemia in healthy term newborn. Pediatrics 2000; 106(2): e16. Gourley GR. Neonatal jaundice and disorders of bilirubin metabolism. Dalam: Suchi FY, Sokol RJ, Belistreri WF, penyunting. Liver disease in children. Edisi ke-2. Lippincott; Williams & Wilkins: 2001: h.275-314. Maisels NY. Gifford K, Antle CE, Leib GR. Jaundice in the healthy newborn infant: A New Approach to an old problem. Pediatrics 1988; 31: 505-11. Robert EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Disease of the liver and biliary system in children. Foreword by Sherlock DS. London; Blackwell Science: 1999: h.11-45. Gartner LM. Neonatal jaundice. Pediatrics in Review 1994; 11: 422-32. Maisels NY. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam Klaus MH, Fanaroff AA, penyunting. Cure of the high risk neonate. Edisi ke-5. Philadelphia; WB Saunders: 2001: h.324-61. Schwartz NW. Jaundice. Clinical handbook of pediatrics. Baltimore; William & Wilkins: 1999: h.420-8.

BAB XVI HEPATITIS VIRUS Sjamsul Arief

Ilustrasi Kasus Seorang anak laki-laki usia 5 tahun, dibawa ke poliklinik karena demam yang sudah berlangsung selama 3 hari dan badan terasa lemah. Dari pemeriksaan fisik, anak tampak lemah, perut sakit, demam, dan nyeri kepala. Badan dan sklera tampak kuning. Batas bawah hepar teraba 5 cm bawah arkus kosta, dan nyeri tekan. Di lingkungan rumahnya pernah ada tetangganya yang sakit serupa dan sedang dirawat di rumah sakit. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan SGOT, SGPT meningkat dan fosfatase alkali meningkat.

Pendahuluan Hepatitis adalah proses terjadinya inflamasi dan atau nekrosis jaringan hati yang dapat disebabkan oleh infeksi, obat-obatan, toksin, gangguan metabolik, maupun kelainan autoimun. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri, maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Pada makalah ini hanya diuraikan tentang hepatitis virus. Hepatitis virus masih merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun negara maju.1,2 Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi sistemik dimana hati merupakan organ target utama dengan kerusakan yang berupa inflamasi dan/atau nekrosis hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononuklear. Dengan kemajuan di bidang biologi molekular, saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus menjadi lebih baik. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan kematian. Kecuali virus hepatitis G yang memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis atau timbulnya karsinoma hepatoselular. Virus hepatitis A, C, D, E, dan G adalah virus RNA sedang virus hepatitis B adalah virus DNA. Virus hepatitis A dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B, D, dan C dapat menyebabkan infeksi kronis.1,3,4

Diagnosis Banding

Dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati, harus diingat adanya virus lain yang memberikan gejala hepatitis sebagai salah satu komponen dari gejala sistemik. Virus herpes simpleks (HSV), virus sitomegalo (CMV), virus Epstein-Barr, varicella, rubella, adenovirus, enterovirus, arbovirus, dan HIV dapat memberi gejala hepatitis walaupun bukan merupakan virus hepatotropik. Selain itu usia penderita memegang peranan penting dalam menentukan kemungkinan penyebab penyakit hati. Pada usia neonatus, ikterus fisiologis, neonatal hepatitis, penyakit hemolitik, dan sepsis memberikan gejala menyerupai hepatitis. Sedangkan kelainan metabolik seperti fruktosemia, tirosinemia, defisiensi alfa-1-antitripsin, maupun kelainan anatomis seperti atresia biliaris dan kista duktus koledokus, memberikan gejala klinis hepatitis. Pada bayi dan anak, infeksi malaria, leptospirosis, bruselosis, infeksi berat pada keganasan, batu empedu, dan sindroma hemolitik-uremik juga memberikan gejala hepatitis. Sindroma Reye dapat meyerupai gejala gagal hati fulminan. Obat-obatan seperti asetaminofen, isoniazid, asam valproat, dan halotan juga dapat memberikan gejala hepatitis.1,3,4

Daftar pustaka 1. 2. 3.

Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease. B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991:857-874. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999:827-70.

4.

Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004:1324-32.

HEPATITIS A Pendahuluan Hepatitis A merupakan penyakit self-limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup. Insidensi tinggi banyak didapatkan di negara berkembang seperti Asia, Afrika, Mediterania, dan Amerika Selatan dimana anak yang berusia sampai 5 tahun mengalami infeksi virus hepatitis A (HAV) dalam bentuk subklinis sehingga lebih dari 75% memiliki anti HAV (+).1,4,7 Pada anak yang terinfeksi HAV, hanya 30% yang menunjukkan gejala klinis (simtomatis), sedangkan 70% adalah subklinis (asimtomatis). Bentuk klasik yang meliputi 80% penderita simtomatis biasanya akut dan sembuh dalam waktu 8 minggu, tetapi dapat terjadi bentuk yang berbeda yakni protracted, relapsing, fulminant, cholestatic, autoimmune trigger, dan manifestasi ekstrahepatik seperti gagal ginjal akut, hemolisis yang sering terjadi pada penderita defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), efusi pleural dan perikardial, gangguan neurologis, vaskulitis, dan artritis. Manifestasi ekstrahepatik timbul karena adanya kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.1,2,3,4 Sejarah Tahun 1820-1879: lebih dari 50 epidemi hepatitis terutama saat peperangan terjadi di Eropa, mungkin disebabkan oleh hepatits A. Tahun 1912: Cockayne memberi nama hepatitis infeksiosa untuk penyakit kuning yang menular. Tahun 1923: Blummer membuat ringkasan tentang penyakit ini dari evaluasi kasus epidemi jaundice di Amerika Selatan. Tahun 1950-1970: Krugman meneliti pola epidomiologi untuk tujuan pencegahan. Tahun 1973: virus hepatitis A terlihat pada mikroskop elektron.

Virologi HAV adalah virus RNA 27-nm nonenvelop, termasuk genus Hepatovirus, famili Picornavirus. Genom terdiri atas 5’NTR-P1-P2-P3-3’NTR. VHA bersifat termostabil, tahan asam, dan tahan terhadap empedu sehingga efisien dalam transmisi fekal oral. Terdapat 4 genotipe tapi hanya 1 serotipe. Kerusakan hepar yang terjadi disebabkan karena mekanisme imun yang diperantarai sel-T. Infeksi HAV tidak menyebabkan terjadinya hepatitis kronis atau persisten. Infeksi HAV menginduksi proteksi jangka panjang terhadap re-infeksi. Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan. Transmisi HAV pada manusia melalui rute fekal-oral. Virus yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV

matur yg sudah bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses.5,6,7,8

Epidemiologi Di negara berkembang dimana HAV masih endemis seperti Afrika, Amerika Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara, paparan terhadap HAV hampir mencapai 100% pada anak berusia 10 tahun. Di Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35%-45% pada usia 5 tahun, dan mencapai lebih dari 90% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Penelitian seroprevalensi di Yogyakarta tahun 1997 menunjukkan 30-65% dari umur 4 tahun sampai 37 tahun (juffrie et al). Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang diduga berasal dari pedangan kaki lima yang berada sekitar kampus (harikus ). Di negara maju prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua daripada negara berkembang. Adanya perbaikan sanitasi lingkungan akan mengubah epidemiologi hepatitis A sehingga kasus infeksi bergeser dari usia muda pada usia yang lebih tua, diikuti konsekuensi timbulnya gejala klinis. Infeksi pada anak menunjukkan gejala klinis ringan atau subklinis, sedangkan infeksi pada dewasa memberi gejala yang lebih berat. Walaupun jumlah infeksi pada dewasa berkurang tetapi kasus hepatitis A akut yang manifes maupun berat, dan kadang-kadang fulminan lebih sering dijumpai.9,10

Patogenesis HAV masuk ke hati dari saluran pencernaan melalui aliran darah, menuju hepatosit, dan melakukan replikasi di hepatosit yang melibatkan RNA-dependent polymerase. Proses replikasi ini tidak terjadi di organ lain. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa HAV diikat oleh imunoglobulin A (IgA) spesifik pada mukosa saluran pencernaan yang bertindak sebagai mediator antara HAV dengan hepatosit melalui reseptor asialoglikoprotein pada hepatosit. Selain IgA, fibronectin dan alfa-2-makroglobulin juga dapat mengikat HAV. Dari hepar HAV dieliminasi melalui sinusoid, kanalikuli, masuk ke dalam usus sebelum timbulnya gejala klinis maupun laboratoris. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum sepenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Tubuh mengeliminasi HAV dengan melibatkan proses netralisasi oleh IgM dan IgG, hambatan replikasi oleh interferon, dan apoptosis oleh sel T sitotoksik (cytotoxic T lymphocyte/ CTL).2,11,12,13

Gejala klinis Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, tidak mau makan, dan nyeri perut. Pada bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, dan jarang terjadi ikterus (30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%) simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu : 1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (rata-rata 28 hari). 2. Masa prodromal, terjadi selama 4 hari sampai 1 minggu atau lebih. Gejalanya adalah fatigue, malaise, nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah

3.

4.

kanan atas, demam (biasanya < 39o C), merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat. Fase penyembuhan, ikterik menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4 minggu setelah onset.

Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya petanda viremia persisten maupun penyakit kronis.3,6,11,12,14,15,16 Terdapat 5 macam gejala klinis: 1. Hepatitis A klasik. Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu sebelum jaundice. Sekitar 80% dari penderita yang simtomatis mengalami jenis klasik ini. IgG antiHAV pada bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah terjadinya relaps. 2. Hepatitis A relaps. Terjadi pada 4%-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah sebelumnya dinyatakan sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama. 3. Hepatitis A kolestatik. Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar AST, ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum tetap tinggi. 4. Hepatitis A protracted. Pada bentuk protracted (8.5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari. Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis, periportal fibrosis, dan lobular hepatitis. 5. Hepatitis A fulminan. Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian. Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu protrombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala. Penderita berusia tua yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko tinggi untuk terjadinya bentuk fulminan ini.

Diagnosis Diagnosis hepatitis A dibuat berdasarkan hasil pemeriksaan IgM anti-HAV. Antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi HAV dan bertahan dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan IgG anti-HAV dapat dideteksi 5-6 minggu setelah terinfeksi, bertahan sampai beberapa dekade, memberi proteksi terhadap HAV seumur hidup. RNA HAV dapat dideteksi dalam cairan tubuh

dan serum menggunakan polymerase chain reaction (PCR) tetapi biayanya mahal dan biasanya hanya dilakukan untuk penelitian. Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai 5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat beratnya penyakit maupun prognosisnya. Pemanjangan waktu (masa) protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan. Biopsi hati tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis hepatitis A.17,18,19,20

Pengobatan Tidak ada pengobatan anti-virus spesifik untuk HAV. Infeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan, tetapi 13% penderita memerlukan rawat inap, dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.4,20,21,22,23 Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi waktu protrombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah: (1) pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik, (2) umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun, dan (3) kadar bilirubin serum lebih dari 17 mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi ensefalopati lebih dari 7 hari.19,21,22,23,24,25 Anti-HAV (IgG)

Simtomatis

Infeksi

Anti-HAV (IgM)

Fekal HAV

0

4

8

12

16

20

Gambar 16.1. Pola respons terhadap infeksi HAV.

Pencegahan Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang

dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene makananminuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (samapai dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi. Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG), dan imunisasi aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).15,16,22 Imunisasi pasif Indikasi pemberian imunisasi pasif: 1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita. 2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita atau keluarganya menderita hepatitis A. 3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A. 4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk anak dibawah 2 tahun. Dosis 0,02 ml/kgBB untuk perlindungan selama 3 bulan, dan 0,06 ml/kg untuk perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular dan tidak boleh diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles, mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenisitas vaksin. Imunogenesitas vaksin HAV tidak terpengaruh oleh pemberian IG yang bersama-sama.7,26,27,28 Tabel 16.1. Dosis imunoglobulin yang dianjurkan pada saat, sebelum dan setelah paparan. Kejadian Sebelum paparan Saat paparan Sesudah paparan

Lama perlindungan dalam bulan Jangka pendek (1-2)

Dosis IG (ml/kgBB) 0.02

Jangka panjang (3-5) -

0.06 0.02

Sumber: Snyder19

Imunisasi aktif Vaksin yang beredar saat ini adalah HavrixTM (Smith Kline Beecham) dan VaqtaTM (Merck), AvaximeTM (Avantis Pasteur). Semuanya berasal dari inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. HavrixTM mengandung preservatif (2-phenoxyethanol) sedangkan VaqtaTM tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia ini.7,26,27,28 Tabel 16.2. Dosis HavrixTM yang dianjurkan Umur anak (Tahun) 2-18

Dosis (EL.U) 720

Volume (mL) 0.5

Jumlah dosis 2

Waktu dalam bulan 0.6-12

>18

1440

Sumber:

1.0

2

0.6-12

Snyder19

Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik ratarata anti-HAV pada VaqtaTM lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/l pada HavrixTM dan 10 mIU/l pada VaqtaTM mempunyai nilai protektif. Kadar protektif antibodi mencapai 88% dan 99% pada HavrixTM dan 95% dan 100% pada VaqtaTM pada bulan ke-1 dan ke-7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah imunisasi. Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma GuillainBarre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi. Indikasi imunisasi aktif: 1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai tinggi. 2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic outbreak. 3. Homoseksual. 4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan ini yang mengidap hepatitis C kronis. 5. Peneliti HAV. 6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah transplantasi hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat. 7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX. Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita, maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi oleh status imunologi dalam masyarakat. Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telah mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.7,26,27,28

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.

Dienstag JL. Hepatitis A. In: Bircher J, Benhamou JP, Rizetto M, et al, Eds. Oxford Textbook of Clinical Hepatology 2nd ed. Oxford University Press. 1999: 1-15. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005. Tong MJ, El-Farra NS, and Grew MI. Clinical manifestation of hepatitis A: recent experience in community teaching hospital. J Infect Dis. 1995: S15-S18. Vallbracht A, Maier K, Stierhof YD, et al. Liver-derived cytotoxic T cell in hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 1989; 160: 209-217. Citation.

5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.

Inman RD, Hodge M, Johnston ME, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with relapsing hepatitis A virus infection. Ann. Intern. Med. 1986; 105: 700-703. Citation. Kemmer NM, Mikovsky EP. Infection of the Liver, Hepatitis A. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 1-11. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Hepatitis A virus infection and the interferon system. J Infect Dis. 1985; 152: 211-213. Citation. Weitz M, Siegl G. Structure and molecular virology of hepatitis A. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 21-34. Dentinger CM, Heinrich NL, Bell BP, et al. A prevalence study of hepatitis A virus infection in a migran community: Is hepatitis A vaccine indicated. J Pediatr. 2001; 138: 705-9. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Han Y, Hillman M, Oren R, et al. Vasculitis and cryoglobulinemia associated with persisting cholestatic hepatitis A virus infection. Am J Gastroenterol. 1990; 85: 585-587. Citation. Koff R. Hepatitis A. Lancet. 2000; 341: 1643-1649. Margolis HS, Nainan OV. Identification of virus components in circulating immune complexes isolated during hepatitis A virus infection. Hepatology. 1990; 11: 31-37. Citation. Jacobson IM, Nath BJ, and Dienstag JL. Relapsing viral hepatitis type A. J Med Virol. 1985; 16: 163-169. Lemon SM, Binn LN. Serum neutralizing antibody response to hepatitis A virus. J Infect Dis. 1983; 148: 10331039. Citation. Sherlock S. Disease of the liver; 10nd ed. Oxford: Blackwell Scientific Publications. 1999: 1-15. Feinstone SM, Kapikian AZ, Purcell RH. Hepatitis A: Detection by immune electron microscopy of a virus like antigen associated with acute illness. Science. 1973; 182: 1026. Citation. Glikson M, Galin E, Oven R. Relapsing hepatitis A. Review of 14 cases and literature survey. Medicine. 1992; 71: 14-23. Abstract. Snyder JD, Pickering LK. Viral hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson textbook of pediatrics, 16th ed, W.B. Saunders Co. 2000: 768-75. Sulaiman HA, Junitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan penerbitan IDI. 1995: 1-15. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10. Keeffe EB. Clinical reviews: Is hepatitis A more severe in patient with chronic hepatitis B and other chronic liver diseases. Am J Gastro. 1995; 90: 201-05. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease. 2006. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Children’s National Medical Center, Washington, DC, USA. 2009. Valbracht A, Gabriel P, Zahn J, et al. Cell-mediated cytotoxicity and hepatitis A virus infection. Hepatology. 1986; 6: 1308-1314. Abstract. Dotzauer A, Gebhardt U, Bieback K, et al. Hepatitis A Virus-Specific Immunoglobulin A Mediates Infection of Hepatocytes with Hepatitis A Virus via the Asialoglycoprotein Receptor. J Virol. 2000; 74: 10950-10957. Lemon SM. Type A Viral Hepatitis. In: Prieto J, Rodes J, Shafritz DA. Hepato Biliary Diseases. Berlin Springer Verlag. 1992: 495-510. Stapleton JT, Lange DK, LeDuc JW, et al. The role of secretory immunity in hepatitis A virus infection. J Infect Dis. 1991; 163: 7-11. Citation.

HEPATITIS B Pendahuluan Pada tahun 1965, Blumberg dan rekan-rekannya di Philadelphia menemukan antibodi pada darah penderita hemofilia yang bereaksi terhadap antigen pada serum dari orang Aborigin Australia. Antigen ini ditemukan pada penderita hepatitis virus dan dinamai antigen Australia yang sekarang telah diketahui sebagai HBsAg.

Virologi Virus hepatitis B (HBV) manusia (human HBV) termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan pada marmut, tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nukleotida dengan diameter 42 nm dan dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat yang membentuk hepatitis B surface antigen (HBsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HBcAg) yang membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus. Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HBeAg). Antigen ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal, pankreas, dan terutama hati. HBeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya infeksi.1,2,3,4,5,6,7 Telah ditemukan beberapa genotip dan serotip antigen berdasar pada subdeterminan HBsAg. Grup “a” paling banyak terdapat pada semua isolat, dan antibodi terhadap determinan “a” ini memberi kekebalan terhadap semua serotipe HBV. Subdeterminan yang lain adalah d, y, w dan r sehingga 4 determinan utama mencakup adw, adr, ayw, dan ayr. Selain 4 subdeterminan tersebut, mutasi jangka lama juga menghasilkan 9 subtipe minor. Terdapat 7 genotipe yaitu A-G. Pembagian genotip dan serotip ini penting karena masing-masing mempunyai distribusi geografi tertentu; seperti genotip B dan C banyak didapat di Asia, A dan D di Eropa dan India, E di Afrika, F di Amerika Tengah dan Selatan, serta G di Prancis dan Amerika Utara. Genotip B dan C banyak terdapat di daerah dengan endemisitas tinggi seperti Asia, dimana penularan secara vertikal atau perinatal memegang peranan penting. Sebaliknya genotip A, D, E, F, dan G banyak terdapat di daerah dengan transmisi horisontal.1,2,3,4,5,6,7 Tabel 16.3. Daerah distribusi genotip dan serotip HBV. Genoti p A B C D E F G ?

Serotip

Daerah dominan

adw2, ayw1 adw2, ayw1 adw2, adrq+, adrq-, ayr ayw2, ayw3 ayw4 adw4q-, adw2, ayw4 adw2 Ayr

Eropa Utara, Amerika Serikat, Afrika Tengah Taiwan, Jepang, Indonesia, Cina, Vietnam Asia Tengah, Taiwan, Korea, Cina, Jepang, Polinesia, Vietnam Daerah Mediterania, India Afrika Barat Amerika Tengah dan Selatan, Polinesia Prancis, Amerika Serikat Kalimantan

Sumber: Magnius7

Epidemiologi WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000. Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HBsAg 0,2%-

0,5% dan anti-HBs 4%-6%), prevalensi sedang (HBsAg 2%-7% dan anti-HBs 20%-55%), dan prevalensi tinggi (HBsAg 7%-20% dan anti-HBs 70%-95%). Di negara maju seperti Inggris, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HBsAg bervariasi antara 0,1%-0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%. Pada daerah dengan endemisitas tinggi infeksi sering terjadi pada usia dini, ditularkan secara vertikal dari ibu ke anak maupun horisontal diantara anak kecil. Sebagai contoh di daerah pedesaan Senegal (Afrika Barat) angka infeksi mencapai 25% populasi pada umur 2 tahun, 50% pada umur 7 tahun, dan 80% pada umur 15 tahun. Sedangkan pada daerah dengan endemisitas sedang-tinggi antara 8%-20% infeksi terjadi pada umur yang lebih tua, ditularkan secara horisontal pada masa anak dengan kontak erat seperti penggunaan sikat gigi, pisau cukur atau berciuman, dan kontak seksual pada dewasa muda. Sebaliknya pada daerah dengan prevalensi rendah penularan secara horisontal terjadi oleh penyalahgunaan obat, penggunaan instrumen yang tidak steril pada klinik gigi, tusuk jarum, tindik daun telinga, dan tatu (tatoo). Di Indonesia pada penelitian terhadap donor darah di beberapa kota besar didapatkan angka prevalensi antara 2,5%-36,2%.8,9,10 Pada ibu yang melahirkan dengan HBeAg positif, bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%, sedangkan bila hanya HBsAg yang positif maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan imunoprofilaksis. Sembilan puluh persen bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronis. Penularan vertikal dapat terjadi pada masa intrauterin maupun pada saat kelahiran dan masa perinatal. HBV tidak selalu didapatkan dalam air susu ibu, namun yang dikawatirkan adalah luka pada puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV. Bayi dari ibu pengidap HBV yang mendapat ASI dan belum menerima imunoprofilaksis mempunyai risiko tertular hampir sama besar dengan bayi yang minum susu formula (PASI).8,9,10

Patogenesis Di Indonesia, jalur penularan infeksi VHB (virus hepatitis B) yang terbanyak adalah secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) maternal-neonatal atau horisontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual, iatrogenik, penggunaan jarum suntik bersama). HBV dapat dideteksi pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum. Infeksi terjadi apabila seseorang mendapat paparan terhadap cairan tubuh orang yang terinfeksi melalui kulit atau mukosa. Bayi dari ibu dengan HBsAg positif berisiko terinfeksi HBV, akan tetapi infeksi HBV paling sering terjadi pada bayi dengan ibu HBeAg positif atau menderita hepatitis B akut pada trimester ketiga kehamilan. Faktor-faktor yang berkaitan langsung dengan keadaan HBsAg positif pada bayi, antara lain : 1. Titer HBsAg ibu 2. Status HBeAg ibu (hampir 90% bayi yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif menderita hepatitis B kronis; sedangkan bayi dari ibu dengan HBeAg negatif karier memiliki risiko sebesar 20%) 3. DNA HBV positif pada serum ibu

4. HBsAg positif pada darah plasenta 5. Saudara kandung dengan HBsAg positif 98% transmisi terjadi pada saat proses kelahiran, diduga melalui ingesti darah maternal oleh bayi pada saat proses kelahiran. Meskipun demikian, transmisi virus dapat terjadi in utero melalui kebocoran transplasenta (2%). HBeAg dapat menembus plasenta dari ibu ke fetus. Belum ditemukan bukti bahwa menyusui merupakan salah satu rute transmisi HBV. Bayi yang terinfeksi HBV dari ibu dengan HBsAg positif tidak akan menunjukkan manifestasi infeksi HBV secara serologis sampai berumur 1-3 bulan. Meskipun infeksi HBV perinatal memiliki manifestasi klinis yang minimal, akan tetapi 90% bayi dengan HBsAg positif akan menderita hepatitis kronis atau keadaan karier kronis. Hal ini diduga disebabkan karena sistem imun bayi yang belum matur. Hepatitis fulminan dapat terjadi pada transmisi perinatal ini, meskipun jarang terjadi (1-2%). Bayi yang terinfeksi juga memiliki risiko tinggi menderita hepatitis B kronis, sirosis, dan karsinoma hepatoseluler. Risiko terinfeksi HBV tidak hanya pada periode perinatal saja, namun bayi yang rentan berisiko terinfeksi HBV dari anggota keluarga yang lain. Infeksi posnatal dapat terjadi di lingkungan dimana banyak dijumpai karier HBsAg dan rendahnya vaksinasi. Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat respons imunologis. Pada hepatosit yang terinfeksi oleh HBV melalui mekanisme imunitas selular terjadi eksposisi antigen virus, yaitu HBcAg dan HbeAg, pada permukaan sel yang bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral (neutralizing antibody). Mekanisme imunologis juga berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HBsAg dapat menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan sindroma Guillain-Barre.11,12,13,14,15,16,17 Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis; sehingga HBcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi kronis. Infeksi HBV dibawah umur 3 tahun lebih sering menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi diatas umur 3 tahun.11,12,13,14,15,16,17

Gejala Klinis 1.

Hepatitis akut Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat. Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 68 minggu. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST

sebelum timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura, makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat 8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi pada infeksi neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa, 25% anak, dan 80% bayi.1,2,14,15,18 2. Hepatitis kronis Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau HBsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20 kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit, tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun, sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun. Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1,14,15,18,19 3. Gagal hati fulminan Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut simtomatik. Gagal hati fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan nekrosis jaringan hati yang luas.3,4,14,15,20 4. Pengidap Sehat Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1) membaik (anti-HBe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas 30 tahun sebesar 1%, dan (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.3,8,14,15,21

Diagnosis Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis. Pada saat ini DNA HBV, HBsAg, HBeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat kerusakan sel hati yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang menjadi hepatitis kronis.3,5,13,16,21,22

Tabel 16.4. Penanda serologis infeksi HBV. Antigen

Interpretasi

Bentuk klinis

HBsAg

Sedang infeksi

Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis

HBeAg

Proses replikasi dan sangat menular

Hepatitis akut, hepatitis kronis

Resolusi infeksi

Kekebalan

Anti-HBc total

Sedang infeksi atau pernah infeksi

Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis, kekebalan

IgM anti-HBc

Infeksi akut atau infeksi kronis yang kambuh

Hepatitis akut, hepatitis kronis

Penurunan aktivitas replikasi

Penanda kronis, kekebalan

Infeksi HBV

Hepatitis akut, hepatitis kronis, penanda kronis

Replikasi aktif dan sangat menular

Hepatitis akut, hepatitis kronis

Antibodi Anti-HBs

Anti-Hbe Pemeriksaan Molekular PCR DNA HBV Hibridisasi DNA HBV

Sumber: Rizetto21

HBeAg

Anti-HBe

Infektif Anti-HBs Simptomatis Anti-HBc

Gambar 16.2. Pola respons terhadap infeksi akut HBV.

Pengobata n

Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan Minggu 0 8 16 24 32 40 52 sembuh dan sebagian kecil menjadi kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal, atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan replikasi aktif (ditandai dengan HBeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik terhadap pengobatan.1,13,18,22,23 HBsAg

1.

Interferon alfa Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-2b) adalah pengobatan standar untuk penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati, koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HBeAg dan DNA HBV) serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon adalah neutropenia, trombositopenia, ganguan jiwa, adiksi terhadap alkohol, dan penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 secara subkutan tiga kali dalam seminggu, diberikan selama 16 minggu.18,24 Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis, nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi antiinterferon, hipertiroidisme, hipotiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura

trombositopenik. Efek hematologis berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit, infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi, kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.18,24 Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu selama pengobatan. Pemeriksaan HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai, selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang, depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10%40% penderita memerlukan pengurangan dosis, dan 5%-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat, kejang, gagal jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.18,24 Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46% penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-HBe dan 8% dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada tahun pertama setelah pengobatan.18,24 2. Analog nukleosida Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan analog nukleosida yang menghambat replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi perbaikan gambaran histologis pada 52%-67% kasus, sedangkan hilangnya HBeAg dan timbulnya anti-HBe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki skor Child-Pugh. Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi pre-core HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis 3 mg/kgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara interferon dengan lamivudine tidak lebih baik dibanding pengobatan dengan lamivudine saja.25,26,27,28

Pencegahan Indonesia termasuk negara dengan endemisitas sedang-tinggi maka. Semua orang di Indonesia mempunyai kemungkinan untuk tertular. Saat ini program imunisasi masal HBV dilakukan di 130 dari 216 negara, tetapi pada negara berkembang cakupan imunisasi masih terbatas karena permasalahan dana. Vaksin pertama yang beredar sejak tahun 1981 adalah derivat plasma. Vaksin jenis ini relatif murah, diproduksi dengan cara konsentrasi, pemurnian, dan pemrosesan kimiawi HBsAg yang diisolasi dari plasma karier HBV. Vaksin ini mempunyai imunogenisitas dan efikasi perlindungan yang sangat baik. Vaksin HBV rekombinan pertama diperkenalkan pada tahun 1986 dan yang kedua pada tahun 1989. Saat ini ada 10 produk vaksin rekombinan.20,29,30 Prioritas utama vaksinasi adalah bayi, anak, kelompok berisiko tinggi (misalnya kontak erat dengan pengidap), petugas laboratorium, petugas rumah sakit (terutama unit hemodialisis), dan penderita penyakit darah. 20,29,30 Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu yang melahirkan dengan HBsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIG dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIG saja tanpa vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka nilai titer antibodi juga turun. Lebih tua umur, serokonvensi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot. 20,29,30 1.

Uji saring sebelum vaksinasi Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0.1%-20% dengan antiHBc positif dan 80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru lahir dengan risiko rendah (ibu HBsAg negatif saat melahirkan) dan anakanak di luar Asia atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring, dan imunisasi dapat diselesaikan dalam waktu 6-18 bulan.31,32,33,34

2. Pemeriksaan paska vaksinasi Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi. Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HBsAg positif yang telah divaksinasi sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.31,32,33,34 3. Penanganan nonresponder Untuk para nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs-nya tidak

muncul atau anti-HBs-nya kurang dari 10 mIU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HBsAg, (2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide, (3) pemberian kombinasi HBsAg dengan HBcAg, atau (4) transfer limfosit dari responder. Untuk penderita dengan dialisis yang respon imunologisnya sangat rendah halhal tersebut diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya para penderita penyakit ginjal diberi vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani dialisis. 31,32,33,34

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

20. 21. 22. 23. 24.

Befeler AS, Di Bisceglie AM. Infections of the liver, hepatitis B. Infect Dis Clin North Am. 2000; 14: 617-32. Blumberg BS, Alter HJ, Visnich S. A “new” antigen in leukemia sera. JAMA. 1965; 191: 541-6. Citation. Dudley FJ, Fox RA, Sherlock S. Celluler immunity and hepatitis associated, Australia antigen liver disease. Lancet. 1972; 1: 723-26. Citation. Guidotti LG, Chisari FV. Noncytolytic control of viral infection by the innate and addactive immun response. Annu Rev Immunol. 2001; 19: 65-91. Abstract. Hoofnagle JH, Di Bisceglie AM. The treatment of chronic viral hepatitis. N Engl J Med. 1997; 336: 347-56. Citation. Liu CJ, Kao JH, Chen PJ, et al. Molecular epidemiology of hepatitis B viral serotypes and genotypes in Taiwan. J Biomed Sci. 2002; 9: 166-70. Magnius LO, Norder H. Subtypes, genotypes and molecular epidemiology of the hepatitis B virus as reflected by sequence variability of the S-gen. Intervirology. 1995; 38: 24-34. Gupta S, Shafritz DA. Viral hepatitis B and D in Prieto J, Rodes J, Shafritz DA: Hepatobiliary disease. SpringerVerlag Berlin 1st ed. 1992: 528-71. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Stevens CE, Toy PT, Tong MJ, et al. Perinatal hepatitis B virus transmission in the United States. Prevention by passive-active immunization. JAMA. 1985; 253: 1740-45. Abstract. Jacyna MR, Thomas HC. Pathogenesis and treatment of chronic infection in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scintific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 185-205. Jung MC, Paper GR. Immunology of hepatitis B infection. Lancet Infect Dis. 2002; 2: 43-50. Kao JH, Chen DS. Global control of hepatitis B virus infection. Lancet Inf Dis. 2002; 2: 395-403. Koff RS. Viral hepatitis in Walker Durie, Hamilton, Walker Smith, Watkins: Pediatric Gastrointestinal Disease. B.C. Decker Inc. Philadelphia 1st. 1991: 857-874. Koff RS. Vaccines and Hepatitis B. Clin Liver Dis. 1999; 3: 417-28. Lee WM. Medical progress: Hepatitis B virus infection. N Engl J Med. 1997; 337: 1733-45. Citation. Okamoto H, Tsuda F, Sakugawa H, et al. Typing hepatitis B virus by homology in nucleotide sequence: comparison of surface antigen subtypes. J Gen Virol. 1988; 69: 2575-83. Abstract. Margolis HS. Hepatitis B virus infection. Bull WHO. 1998; 76: 152-3. Citation. McMahon BJ, Alward WL, Hall DB, et al. Acute hepatitis B virus infection: Relation of age to the clinical expression of disease and subsequence development of the carrier state. J Infect Dis. 1985: 151: 599-603. Abstract. Miller RH. Proteolytic self cleavage of hepatitis B virus core protein may generate serum e antigen. Science. 1987; 236: 722-25. Citation. Rizzetto M. Viral hepatitis in Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 876-96. Sulaiman A, Julitasari. Virus hepatitis A sampai E di Indonesia. Yayasan Penerbitan IDI. Jakarta. Cetakan pertama. 1995: 19-20. Stevens CE, Neurath RA, Beasley RP, et al. HBeAg and anti-HBe detection by radioimmunoassay: correlation with vertical transmission of hepatitis B virus in Taiwan. J Med Virol. 1979; 3: 237-41. Abstract. Perrillo RP, Schiff ER, Davis GL, et al. A randomized, controlled trial of interferon alfa-2b alone and after prednisone withdrawal for the treatment of chronic hepatitis B. The Hepatitis Interventional Therapy Group. N Engl J Med. 1990; 323: 295-301. Citation.

25. Dienstag J, Schiff E, Wright T, et al. Lamivudine as initial treatment for chronic hepatitis B in the United States. N Engl J Med. 1999; 341: 1256-63. 26. Jonas NM, Kelley DA, Mizerski J, et al. Clinical trial of lamivudine in children with chronic hepatitis B. N Engl J Med. 2002; 346: 1706-1713. 27. Mutinger D, Naoumov N, Honkoop P, et al. Combination alfa-interferon and lamivudine therapy for alfainterferon resistant chronic hepatitis B infection: Results of pilot study. J Hepatol. 1998; 28: 923-29. Abstract. 28. Villeneuve J, Condreay L, Willem B, et al. Lamivudine treatment for decompensated cirrhosis resulting from chronic hepatitis B. Hepatology. 2000; 31: 207-10. 29. Fattovich G, Brollo L, Giustina G, et al. Natural history and prognostic factors for chronic hepatitis type B. Gut. 1991; 32: 294-98. Abstract. 30. Zuckerman AJ, Zuckerman JN, Harrison TJ. Prevention and control hepatitis B in Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 219-26. 31. Anonymous. General recommendation on immunization. Recombination of the advisory committe on immunization practices (ACIP) and the American Academy of Family Physicians (AAFP). MMWR. 2002; 51: 135. 32. Chisari FV. Cytotoxic T cells and viral hepatitis. J Clin Invest. 1997; 99: 1472-7. Citation. 33. International Task Force on hepatitis B Immunization, Field strategies for the control of hepatitis B in areas of intermediate and high prevalence. April 1988. 34. Pilot J, Poynard T, Elias A, et al. Weak immunogenecity of the pre-S2 sequence and lack of circumventing effect on the responsiveness to the hepatitis B virus vaccine. Vaccine. 1995; 13: 289. Citation.

HEPATITIS C Pendahuluan Virus Hepatitis C (HCV), pada dekade tahun 1970-an dikenal sebagai penyebab kasus Hepatitis Non A Non B (NANB) yang merupakan sebagian besar atau lebih dari 90% kejadian Hepatitis paska transfusi. Saat ini Virus Hepatitis C merupakan salah satu penyebab utama penyakit hati kronis. Hanya sekitar 20%-30% penderita yang terinfeksi Virus hepatitis C sembuh setelah fase akut. Fase kronis penyakit HCV ini ditandai dengan gejala klinis yang minimal dan apabila timbul, gejala tersebut ringan dan tidak spesifik seperti rasa lelah, lemah, mual, nafsu makan turun, dan mialgia.1,2,3 Pada tahun 1987 Chiron Corperation Emmerville CA, USA bersama dengan Centre for Desease Control (CDC) berhasil melakukan cloning genom virus hepatitis C. Choo (1987) dan Quo (1989) berhasil menemukan teknik pemeriksaan anti–HCV, yaitu suatu uji yang sensitif dan spesifik terhadap antibodi virus pada penderita hepatitis NANB.4,5 Kemudian secara berturut-turut ditemukan susunan nukleotida yang lengkap dari genom HCV oleh Choo dkk (1991) dan Han dkk (1991), yaitu isolat HCV– dan HCV–H di Amerika Serikat. Kato dkk (1990) menemukan isolat HCV–J, Takamizawa dkk (1991) menemukan isolat HCV–BK, Okamoto dkk (1990) menemukan isolat HCV–J4 dan HCV–J6 dari Jepang, Kremsdorf dkk (1991) menemukan isolat HCV–E1 dari Perancis, Fuch dkk (1991) menemukan isolat HCV– GM 1 dan 2 dari Jerman, sedangkan Chen dkk (1991) menemukan isolat HCV–T3 dari Taiwan.6,7 Sampai saat ini telah ditemukan 6 genotip HCV. Masing-masing genotip mempunyai beberapa subtipe, dan masing-masing subtipe mempunyai banyak isolat. Aspek medis dari infeksi HCV terutama adalah resiko terjadinya sirosis hati dan keganasan oleh karena perjalanan penyakitnya adalah infeksi kronis.7,8

Virologi HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30–60 nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame (ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.1,6,9,10,11 RNA HCV terdiri atas bagian-bagian : 1. 2. 3. 4. 5.

5’ noncoding region Gen yang mengkode core protein Gen yang mengkode envelope protein Gen yang mengkode protein nonstruktural (NS1 sampai NS5) 3’ noncoding region

Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan persentase kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat kesamaan susunan nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah diketahui. Apabila kesamaan susunan nukleotida terjadi antara 75%–86% maka yang ditemukan adalah subtipe baru. Tetapi apabila persamaan urutan nukleotida lebih dari 88%, maka yang ditemukan adalah isolat baru. Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya. 1,2,4,8,12

Akibat dari heterogenitas tersebut adalah : 1. 2. 3. 4. 5.

HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah seperti pada genotipe 1 dan 4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik terhadap tipe.

Terdapat variasi yang signifikan secara regional dari distribusi genotip; Genotip 1, 2, dan 3 tesebar di seluruh dunia, genotipe 4 terutama ditemukan di Mesir dan Zaire, genotipe 5 di Afrika Selatan dan genotipe 6 banyak ditemukan di Asia. Subtipe HCV–1a dan HCV-1b banyak ditemukan di USA dan Jepang walaupun tipe yang lain juga ada di kedua negara tersebut. Di Belanda HCV-1b merupakan subtipe yang dominan. Di daratan Eropa pada umumnya yang dominan adalah subtipe 1a dan 1b. HCV group 3 dan group 1 banyak dijumpai di Skotlandia. Di

Surabaya subtipe 1b lebih dominan daripada subtipe yang lain diikuti subtipe 2a. Telah ditemukan subtipe baru yaitu HCV–1d yang belum pernah dijumpai sebelumnya. Di Jakarta ditemukan isolat baru yang termasuk dalam subtipe 2e dan 2f serta 10a dan 11a.2,5,10,13,14

Epidemiologi 1.

Prevalensi Survey epidemiologi memperkirakan terdapatnya 170 juta pengidap HCV kronis di seluruh dunia. Prevalensi infeksi kronis pada dewasa bervariasi antara 0,5%-25%. Di Amerika Serikat seroprevalensi infeksi HCV adalah 1,8% dari seluruh populasi. Untuk anak dibawah usia 12 tahun, seroprevalensinya adalah 0,2%, dan untuk usia 12–18 tahun seroprevalensi sebesar 0,4%. Di Jepang seroprevalensi HCV adalah 1.3% untuk seluruh populasi; sampai usia 20 tahun jumlah carrier rendah dan meningkat sesuai pertambahan umur. Sebelum skrining dengan cara pemeriksaan serologis terhadap anti HCV, insidensi hepatitis paska transfusi adalah 5%-16%; dengan pemeriksaan C100-3 assay, insidensinya turun menjadi 2%-3%.15,16,17,18 Dengan perbaikan skrining melalui penambahan pemeriksaan anti NS-3, maka 99% darah donor pengidap HCV dapat diketahui. Di Mesir prevalensi HCV pada seluruh populasi adalah 14% dan pada donor darah sebesar 14,5%; pada penelitian Abdel Azis dkk di delta sungai Nil didapat angka 25%. Di Arab Saudi, Bank Darah Ryad mendapat angka seropositif sebesar 26,2%. Di Perancis jumlah pengidap kronis antara 50.000 sampai 600.000 dari total 60.000.000 penduduk. Di Italia prevalensi anti HCV dilaporkan sebesar 3,2% untuk seluruh populasi dari umur 12-65 tahun, tetapi hanya 0,2% pada anak-anak. 15,16,17,18 Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan 1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 1,3%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar 1,0%, dan Banjarmasin 1,0%.18 Angka tersebut akan sangat berbeda apabila kelompok yang diteliti merupakan kelompok yang lebih khusus, misalnya: penderita yang mendapat hemodialisis berulang sebesar 76,3%, penderita hepatitis kronis sebesar 80,4%, dan penderita talasemia pada anak yang mendapat transfusi berulang sebesar 21,4%. Sedangkan penderita karsinoma hepatoselular mempunyai prevalensi anti HCV sebesar 64,7%.15,17,19 Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan pada mereka yang sering mengalami direct percutaneous exposure seperti pada pengguna obat bius dengan suntikan dan penderita yang mendapat transfusi berulang (antara 60%–90%). Angka yang sedang didapatkan pada penderita hemodialisis (20%) dan harga yang rendah didapat pada inapparent parenteral atau paparan terhadap mukosa seperti kelakuan seksual yang berisiko tinggi, kontak seksual maupun keluarga dari penderita (1%-10%).15,17,19

2. Penularan Epidemiologi virus hepatitis C (HCV) masih belum jelas karena lebih dari separuh jumlah pengidap kronis tidak diketahui dengan jelas dari mana sumber infeksinya. Walaupun dapat mengenai seluruh golongan umur, tetapi infeksi pada anak relatif sangat jarang terjadi.

Distribusi yang berkaitan erat dengan umur ini, berhubungan erat dengan cara penularannya. Penularan melalui tranfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisis, tertusuk jarum suntik, tatu, dan hubungan seksual, lebih banyak terjadi pada orang dewasa daripada anak-anak. Penularan melalui kontak keluarga adalah rendah. Transmisi vertikal saat ini merupakan cara penularan yang paling sering dijumpai pada anak.Dibawah ini diuraikan cara penularan virus hepatitis C.20,21

Pemaparan terhadap darah dan produk yang berasal dari darah. Cara penularan paling efisien adalah dengan pemaparan langsung kerusakan kulit dengan darah penderita HCV, misalnya transfusi darah yang terinfeksi HCV dan produkproduknya, transplantasi organ dari donor pengidap kronis HCV, dan pengguna obat bius dengan suntikan intravena. Di Amerika Serikat sebelum tahun 1986 kejadian hepatitis C paska transfusi berkisar 5% sampai 13%. Dari tahun 1986 sampai 1990, dengan adanya larangan bagi golongan berisiko tinggi untuk menjadi donor dan dilakukannya pemeriksaan LFT pada donor, angka tersebut turun menjadi 1,5%. Dengan adanya pemeriksaan anti HCV untuk skrining donor, angka kejadian hepatitis C paska transfusi menjadi 1,0% pada awalnya dan akhirnya menjadi <0,1%. Apabila dengan cara ini masih terjadi infeksi hepatitis C paska transfusi, hal ini mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan pemeriksaan anti HCV generasi kedua untuk mendeteksi anti HCV pada penderita yang berada dalam masa antara mulai terjadinya infeksi sampai timbulnya anti HCV (antara 4-6 minggu). Pada tahun 1994 di Amerika Serikat terjadi outbreak infeksi HCV yang disebabkan oleh intravenous immunoglobulin. Hal serupa juga terjadi di Eropa. Pada saat ini, semua produk imunoglobulin dengan standard RNA HCV negatif saja yang boleh beredar di Amerika Serikat. Cara yang paling aman dalam pencegahan penularan melalui tranfusi darah adalah memeriksan sampel darah dengan uji anti HCV sebelum diberikan kepada penderita.3,22,23

Penularan melalui hubungan seksual Diantara pasangan seksual pengidap HCV kronis yang tidak mempunyai risiko lain untuk terjadinya infeksi, rata-rata prevalensi anti HCV adalah 5% (antara 0%-15%). Ada studi yang mendapatkan hasil bahwa pasangan wanita dari pria pengidap HCV lebih banyak tertular dibanding apabila yang menderita pengidap kronis adalah wanitanya.Penularan infeksi HCV juga meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan hubungan seksual dan tidak digunakannya kondom. Diago melaporkan angka 11,4% penularan dari pasangan seksual pengidap HCV kronis. Kihara mendapatkan prevalensi yang lebih tinggi pada wanita pelacur yaitu 11% dibandingkan masyarakat umum.

Di Indonesia belum diketahui secara jelas cara penyebaran infeksi HCV, apakah kontak erat dapat merupakan penyebab penularan selain transfusi darah, jarum suntik pada pengguna obat bius secara intra vena, dan hubungan seksual. Sumarto pada penelitian di daerah rural Tengger tidak mendapatkan anti HCV positif dari 103 orang yang diteliti.12,20,21

Penularan vertikal dari ibu ke bayi Penularan (transmisi) vertikal HCV dari ibu kepada bayinya relatif lebih jarang terjadi daripada penularan vertikal HBV, karena titer HCV secara umum lebih rendah daripada HBV. Penularan vertikal HCV dapat terjadi pada proses kelahiran, baik pervaginam maupun operasi. Pecahnya ketuban lebih dari 6 jam merupakan faktor risiko terjadinya penularan HCV. 24,25 Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV positif, didapatkan angka 5% (antara 3%6%). Dengan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi adanya RNA HCV tidak memberi angka yang lebih tinggi. Bila Ibu menderita infeksi HIV bersama dengan infeksi HCV, maka kemungkinan tertular bagi bayi yang lahir akan lebih besar yaitu 14% (antara 5%-36%) daripada Ibu yang hanya menderita infeksi HCV saja. Dihipotesiskan bahwa Ibu yang mengidap infeksi HIV mengalami penurunan daya imunitas sehingga mengalami viral load dari HCV yang lebih tinggi menyebabkan mudahnya penularan secara vertikal. Tingginya titer RNA HCV mempunyai peranan penting terhadap terjadinya penularan. Pada Ibu dengan anti HCV positif, tetapi RNA HCV negatif tidak ditemukan viremia pada bayinya dan tidak perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV. Ohto dkk mendapatkan bahwa Ibu dengan titer RNA HCV sebesar 106/ml akan menularkan infeksi kepada bayinya. Disamping tingginya titer RNA HCV, genotip juga diduga mempunyai peranan dalam penularan vertikal dari ibu ke bayi. Zucati dkk mendapatkan dalam penelitiannya bahwa hanya Ibu yang terinfeksi HCV ber-genotip Ib dan 3a yang menularkan infeksi HCV terhadap bayinya. Genotip 3a dan 1b mempunyai virulensi tinggi dan kurang responsif terhadap pengobatan dengan interferon. Kemungkinan penularan inutero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru lahir. Tetapi viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila seorang bayi dicurigai tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15 bulan dimana antibodi ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan fungsi hati juga penting pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir; tetapi bila terjadi peningkatan hasil uji fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi tersebut tertular secara perinatal. Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan, apabila bayi berumur 3 bulan sampai 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak terjadi penularan secara perinatal.24,25,26,27 Penularan infeksi HCV melalui air susu ibu (ASI) belum pernah dilaporkan walaupun anti HCV dan RNA HCV juga ditemukan pada ASI. Angka penularan HCV dari bayi yang minum ASI sama dengan bayi yang minum susu botol, sehingga infeksi HCV pada ibu bukan

merupakan kontraindikasi untuk pemberian ASI. Kemungkinan adanya RNA HCV pada ASI adalah karena terjadinya lecet puting susu sehingga terjadi occult hemorrhage.28 Kemungkinan rendahnya penularan infeksi HCV melalui ASI dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. 2. 3.

Jumlah RNA HCV pada ASI sangat rendah sehingga tidak terjadi infeksi Mungkin jumlah yang kecil tersebut dapat dinetralisir pada saluran cerna Mukosa saluran cerna yang intak mencegah penularan melalui oral

Penularan dalam anggota keluarga Yang dimaksud di sini adalah adanya anggota keluarga yang menderita infeksi HCV kronis melalui penularan dengan atau tanpa hubungan seksual. Tanpa adanya faktor risiko yang lain, nilai yang didapat berkisar antara 0% sampai 11% dengan harga rata-rata 4%. Penularan dari penderita anak kepada saudaranya adalah rendah. Vignente mendapat angka tidak adanya penularan pada 56 saudara dari 44 penderita anak. Camarero dkk hanya mendapat 1 orang tertular dari 80 anggota keluarga 27 anak penderita infeksi kronis HCV. Rosenthal mendapat 0% dari 103 anggota keluarga 26 penderita talasemia dengan infeksi HCV. Di Surabaya, Widawati mendapatkan angka penularan 2,06% pada 97 anggota keluarga dari 34 penderita hepatitis C kronis. Sedangkan Arief mendapatkan angka 0% dari 28 anggota keluarga 6 anak penderita talasemia yang menderita hepatitis C kronis.29,30

Patogenesis HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi dan menghambat replikasi intraselular melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang penderita terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang menyebabkan efikasi dari antibodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons imun antivirus dengan cara infeksi langsung pada sel limfoid dan mengganggu produksi interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek sitopatik dengan ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang. Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip yang lain. Mekanisme sitotoksisitas yang diperantarai sel (cell mediated cytotoxicity) diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas I dan core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga dihubungkan dengan gangguan imunologis seperti krioglobulinemia, vaskulitis, glomerulonefritis, artritis, dan tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan

pembentukan kompleks imun dari IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin juga menimbulkan limfoma.31,32,33

Gambaran Klinis Infeksi HCV 1.

Hepatitis C akut. Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat. Perkiraan masa inkubasi sekitar 7 minggu yakni antara 2–30 minggu. Anak maupun dewasa yang terkena infeksi biasanya tidak menunjukkan gejala dan apabila ada, gejalanya tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus. Pada pemeriksaan LFT, harga ALT dapat meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi terhadap HCV (anti HCV) mungkin belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa minggu atau bulan setelah terjadinya infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV, infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan.1,2,4,6,7,11

2. Hepatitis C kronis Tidak kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme mengenai mengapa virus masih tetap ada atau persisten setelah infeksi akut belum diketahui. Data menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat. Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatal-gatal dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala ekstrahepaik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal, paru, dan sistem saraf. Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal. Kadar bilirubin dan fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut.1,2,4,6,7,11 3. Sirosis hati Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervarisi antara 20%-30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya progresifitas penyakit yaitu: 1. 2. 3.

Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi Laki-laki Derajat fibrosis pada saat biopsi awal

4. 5. 6. 7. 8. 9.

Status imunologi Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV Infeksi genotip 1 Adanya quasi-species Overload besi Konsumsi alkohol

Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai terjadinya dekompensasi. Fattovich dkk mendapatkan dari 384 penderita sirosis kompensasi, survival ratenya mencapai 96%, 91%, dan 79% untuk waktu 3, 5, dan 10 tahun. Niederau dkk melalui studi prospektif terhadap 838 penderita hepatitis C kronis mendapatkan bahwa apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5-year survival rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati. Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6 bulan perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.1,2,4,6,7,11 4. Karsinoma hepatoselular Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan sirosis. Resiko terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C kronis diperkirakan sekitar 1%-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai timbulnya karsinoma hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun. DiBisceglie memperkirakan bahwa antara 1,9%6,7% penderita sirosis HCV berkembang menjadi HCC setelah 10 tahun.2,6,7,34,35

Diagnosis Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu: 1.

Uji saring Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.

2. Uji konfirmasi Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun perbaikan pemeriksaan serologis EIA generasi ketiga dapat menyamai atau tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada donor darah. Uji konfirmasi ini meliputi :

a. b. c.

Recombinant immunoblot assay ( RIBA–1, RIBA-2, RIBA-3 ) Deteksi virologis Biopsi hati

Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obatobat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2 golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular.9,36,37,38 Pemeriksaan serologis Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari antigen HCV. Juga disebut sebagai diagnosis serologis untuk menemukan adanya IgG anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA). EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural (C-100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara protein struktural yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33 c dan NS-4 yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat menemukan 95% penderita infeksi HCV. Disamping itu generasi kedua dapat menemukan timbulnya serokonversi anti HCV dengan lebih cepat yaitu antara 4–6 minggu paska infeksi. Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV dari daerah core tidak timbul pada semua penderita hepatitis C akut, tetapi tetap ada pada penderita hepatitis C kronis. Chey menemukan adanya IgM anti HCV pada 50% penderita infeksi kronis. Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia, sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan viremia yang rendah. EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan protein rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat menyebabkan hasil positif palsu. Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA (recombinat immunoblot assay) yang melakukan deteksi antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang diikat lapisan nitroselulosa. Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya karena menggunakan antigen yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam pembacaan hasil. RIBA 3 merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang meragukan (Indeterminate). Chien dkk berusaha meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan anti HCV dengan menambahkan epitop dari daerah E1–E2 dengan cara menggabungkan semua epitop yang imunodominan dari 7 daerah genom HCV, yang dinamakan single multiple epitope fusion antigen (MEFA, MEFA-6) yaitu protein dari daerah core, E1-E2, NS-2, NS-3, NS-4, dan NS-5. Hasilnya adalah sensitivitasnya sesuai dengan EIA generasi ketiga. Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, di mana

antibodi terhadap antigen-c belum terbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV; sensitivitasnya mendekati pemeriksaan RNA HCV.34,35,37,39 Pemeriksaan molekular Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis molekular. Ada 4 cara diagnosis molekuler terhadap HCV : 1. 2. 3. 4.

Polymerase chain reaction (PCR) Nucleic acid sequence based amplification (NASBAtm) Ligase chain reaction (LCR) Branched DNA assay (b DNA assay)

PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification. Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya kontaminasi.10,33,39

Pengobatan40,41,42,43,44,45,46,47,48 Tujuan pengobatan adalah mengeliminasi virus dan mencegah progresivitas penyakit menjadi sirosis maupun karsinoma hepatoselular. Saat ini rekomendasi dari FDA adalah pengobatan dengan kombinasi interferon dan ribafirin. Tabel 16.5. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis. Indikasi

Kontraindikasi pada Interferon

Kontraindikasi pada Ribavirin

Peningkatan AST/LST

Depresi berat

Anemia (Hgb <11 g/dl)

Ditemukan HCV-RNA

Dekompensasi hati

Tidak tahan anemia

Fibrosi portal atau inflamasi pada biopsi hati

Pengguna alkohol

Penyakit jantung koroner

Pengguna obat-obatan

Kehamilan

Penyakit autoimun

Tidak tahan kontrasepsi

Penyakit penyerta berat

Penyakit vaskular perifer

Diabetes berat

Gagal ginjal

Hipertensi berat

Gout

Sumber: Farrel41

Sampai saat ini belum ada laporan yang memadai untuk pengobatan infeksi HCV akut pada anak. Sedangkan pada infeksi kronis ada beberapa laporan tetapi tidak berskala besar, bukan penelitian multisenter, dan bukan uji klinis. Dari laporan-laporan tersebut didapatkan sustained virologic responce berkisar 33%45%. Hasil ini ternyata lebih besar daripada respon pada orang dewasa. Kemungkinan penyebabnya adalah: (1) penyakit masih pada stadium awal, (2) tidak ada faktor yang memperberat penyakit, dan (3) dosis interferon relatif lebih tinggi. Atau mungkin karena penelitiannya dalam ruang lingkup yang sempit dan bukan uji klinis sehingga terjadi artefak statistik. Dosis interferon adalah 3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu. Dosis ribavirin adalah 8, 12, atau 15 mg/kg BB per hari. Pada penderita hepatitis C kronis yang mengalami ko-infeksi dengan HIV, konsentrasi virus lebih tinggi dan gambaran histologis cenderung lebih progresif; maka pemberian pegylated interferon bersama ribavirin diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih baik. Tabel 16.6. Evaluasi Pada Pengobatan Hepatitis C kronis. Pilihan terapi

Obat

Penjelasan

Interferon tunggal Interferon alfa-2a

Roferon-A

Dosis dapat ditingkatkan/ diperpanjang. Induksi.

Interferon alfa-2b

Intron-A

Interferon alfa-n1

Wellferon, lymphoblastoid IFN

Interferon beta Interferon alfacon-1

Infergen, Consensus IFN

Ribavirin tunggal

Rebetol

Respon biologis dan histologis (+), respon virologis (-)

Kombinasi Interferon and Ribavirin

Rebetron

Sustained response rates sekitar 40%. Terapi utama.

Pegylated interferon alfa-2a

Symmetrel

Masih diteliti, hasil lebih baik

Amantadin;rimantadin

Flumadin

Dalam penelitian

Recombinant interleukins

IL-2, IL-10, IL-12

Dalam penelitian, hasil lebih baik

Ursodeoxycholic acid (UDCA)

Ursodiol

Kurang baik

Phlebotomy

Actigall

Hasil diperdebatkan

Thymosin alpha-1

(TA1)

Kurang memuaskan

Nonsteroidal

NSAIDs

Kurang baik

Sumber: Farrel41

Pencegahan 1,2,4,5 Tidak seperti HAV atau HBV, dimana imunglobulin memainkan peranan penting dalam profilaksis primer, pada HCV belum ditemukan jenis imunoglobulin yang efektif untuk pencegahan post exposure. Pembuatan vaksin juga terhambat karena tingginya derajat diversitas genetik. Sehingga pencegahan dititikberatkan pada : 1. 2.

Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ. Uji saring terhadap individu yang berada pada daerah dengan prevalensi HCV yang tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut. 3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh. Individu-individu yang seharusnya menjalani tes uji saring HCV adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pengguna obat terlarang dengan suntikan Penerima darah dan produknya Penderita dialisis kronis Individu dengan ALT yang terus menerus meningkat Petugas kesehatan yang pernah kontak dengan darah yang terinfeksi HCV Bayi yang lahir dari ibu penderita HCV

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Cheney CP, Chopra S, Graham C. Infection of the Liver. Hepatitis C. Inf Dis Clin N Am. 2000; 14: 633-67. Tapia MS. Viral Hepatitis C in Prieto J, Riodes J, et al: Hepato Biliary Disease. Springer verlag. Berlin, 1st Ed. 1992: 573-609. Untario MC. Pengaruh transfusi terhadap kejadian hepatitis C pada penderita anak Thalasemia di RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Karya Akhir Spesialisasi Ilmu Kesehatan Anak FK Unair. Surabaya. 1992. Albert A, Bartolotti F, Bircher J, et al. Clin Hepatology, Oxfort Univ Press, 2nd ed. 1999: 903-22. Esomi M, Shikata T. Hepatitis virus C and Liver Desease. Patologi International. 1994; 44: 85-95. Houghton M, Han J, Kuo G, et al. Viral hepatitis, scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone 1st ed. 1993: 229-40. Okamoto H, Kurai K, Okada SI, et al. Full length sequence at a hepatitis c virus genome having poor honology to reported isolates comparition study of four distinct genotype. Virology. 1992; 188: 331–41. Simmonds P, Holmes EC, Cha TA, et al. Classification of Hepatitis C virus into six major genotype and a series of subtypes by philogenetic analysisi of the NS-5 region J. Gen. Virol. 1993; 74: 2391-99. Cohen J. The scientific challenge of hepatitis C. Science. 1999; 285: 26-30. Handayani R, Hotta H, Soemarto R, et al. Genotype virus hepatitis C di Surabaya, Surabaya, Simposium Nasional hepatitis C September. 1994: 51-62. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Diversity of hepatitis c sequences. simposium liver disease in the tropical area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 13-20. Soemarto R, Handayani R, Soetjipto, et al. Anti HCV pada beberapa kelompok masyarakat. Simposium Liver Desease in The Tropical Area, TDRC Airlangga Univ. Surabaya. 1995: 37-43.

13. 14.

Halsey NA, Abramson JS. Comitte in infections diseases hepatitis c virus infection. Pediatr. 1998; 101: 481-85. Tokita H, Okamato H, Inzuka H, et al. Hepatitis C Virus Variant from Jakarta, Indonesia clasifiable intronovel genotypes in the second (2e and 2f), teenth (10a) and eleventh (11a) genetic groups. J. Gen virol. 1996; 77: 293301. 15. Bortolotti F, Resti M, Giochimo R, et al. Changing epidemiologic patterm of chronic hepatitis C virus infection in Italian children. J. Pediatr. 1998; 133 :378-81. 16. Deaffic S, Buffort L, Paynand T, et al. Modelling the hepatitis C virus epidemic in France. Hepatology. 1999; 29: 1596-1601. 17. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. 18. Sulaiman HA. Epidemiologi dan tinjauan klinis hepatitis c simposium nasional hepatitis C. Surabaya. 1994: 2133. 19. Soetjipto, Handayani R, Lusida MI, et al. Differential prevalence of Hepatitis C virus subtypes in healthy blood donors, patients on maintenance hemodialysis and patients with hepatocellular carcinoma in Surabaya, Indonesia. J Clin Microbiology. 1996: 2875–80. 20. Giacchino R, Tasso L, Timitilli A, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus infection: usefullness of viremia detection in HIV-sero negative hepatitis C virus-seropositive mothers. J Pediatr. 1998; 132: 167-169. 21. Thaler MM, Kee Pork C, Landess DV, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus. The Lancet. 1991; 338: 1718. 22. Aach RD, Yonitovian RA, Hack M. Neonatal and pediatric post transfusion hepatitis C: A look back and a look forward. Pediatrics. 2000; 105: 836-42. 23. Rosenthal E, Hazari A, Segal D, et al. Lack of transmission of hepatitis C virus is very close family contacts of patients undergoing multiple transfussion for thalassemia. J Ped Gastroenterol. 1999; 29: 101-3. 24. Pipan C, Amici S, Astomi G, et al. Vertical transmission of hepatitis C virus in low-risk pregnant women. Eur J Clin Microbiol Infect Dis. 1996; 15: 116–20. Citation. 25. Weystal R, Wideel A, Manson AS, et al. Mother to infant transmission of hepatitis C Virus. Annals of Int. med. 1992; 117: 887-90. 26. Ohto H, Terrazoma S, Sasaki N, et al. Transmisssion of hepatitis C virus from mother to infants. NEJM. 1994; 330: 744-50. 27. Zuccatti GV, Ribero ML, Giovanni M, et al. Effect of hepatitis C genotype on mother to infant transmission virus. J Pediatr. 1995; 127: 278-280. 28. Hsunglien HS, Hong Kao J, Yuan Hsu H, et al. Absence of infection in brest fed infant born to Hepatitis C virusinfected mothers. J Pediatr. 1995; 126: 589-91. 29. Arief S. Penularan virus Hepatitis C (HCV) pada anggota keluarga. Bull. Ilmu Kesehatan Anak FK. Unair. 1998; 2: 18-23. 30. Widawati S, Adi P. Soetjipto, Lusida MI. Penularan HCV pada keluarga. Buletin PGI-PPHI-PEGI. Surabaya. 1994; 1: 35-39. 31. Bortolotti F, Resti M, Giacebrino R, et al. Hepatitis C virus infection and related liver disease in children of mother with antibodies to the virus. J Pediatr. 1997; 130: 990-93. 32. Nelson DR. The immuno pathogenesis of hepatitis c virus infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 931-53. 33. Prince AM, Shata MT. Immuno Prophylaxis of Hepatitis C Virus Infection. Clin In Liver Dis. 2001; 5: 1091-1103. 34. Moyern LA, Mast EE, Alter MJ. Hepatitis C: Routine serologic testing and diagnosis. Am Fam Phys. 1999; 59: 79-88. 35. Roth WK, Zeuzem S. Serological and molecular diagnosis of Hepatitis C Virus infection in Darmadii S. Serologic marker in the diagnosis of viral hepatitis. Seminar on viral hepatitis up date. TDC. Airlangga Univ. Surabaya. 1998: 31-50. 36. Brown D, Dusheiko G. Diagnosis of HCV in Zuckerman AI, Thomas HC: Viral hepatitis, scientific basic and clinical management. Churchill livingstone London, 1st Ed. 1993: 283-301. 37. Chien DY, Arcangel P, Thelby AM, et al. Use of a polypeptide for diagnosis of HCV infection. J Clin Microbiol. 1999; 37: 1393-97. 38. Morishima C, Greth DR. Clinical use of hepatitis C virus test for diagnosis and monitoring during therapy. Clin in Liver Dis. 1999; 3: 717-46. 39. Aoyagi K, Ohue C, Ilda K, et al. Development of a simple and highly serotive enzyme immuno assay for hepatitis C virus core antigen. J Clin Microbiol. 1999; 37: 1802-08. 40. Cotler SJ, Jensen DM. Treatment of hepatitis C virus and HIV Co-infection. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1045-61. 41. Farrel GC. Management of hepatitis C draft working party reports from asia pasific concensus on prevensen and management of chronic hepatitis C and B. Black well Pty, Kyoto Japan. 1999: 4i-Viii.

42. 43. 44. 45. 46. 47.

48.

Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10. Jonas MM. Challenges in the treatment of hepatitis C in children. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 1063-71. Kekez AJ. Treatment of viral hepatitis in children. Acta medica Croatia. 2005. Marcellin P, Martinat M, Boyer N, et al. Treatment of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 1999; 3: 843-53. Sathiyasekara M. Management of viral hepatitis in children. National conference of pediatric infectious disease. 2006. Schneider ZS, Mohan P. Treatment of Viral Hepatitis in Children. Children’s National Medical Center, Washington, DC, USA. 2009. Shad JA, Mc Hutchison JG: Current and future therapies of hepatitis C. Clin in Liver Dis. 2001; 5: 335-60.

HEPATITIS D Pendahuluan Virus hepatitis delta (HDV) ditemukan pertama kali oleh Rizzetto dkk di Italia pada tahun 1977 dengan menemukan adanya antigen hepatitis delta pada sediaan biopsi hati. Pemeriksaan serologis untuk mendiagnosis HDV baru dikembangkan pada tahun 1980. Virus hepatitis D (HDV) merupakan virus terkecil, tidak dapat menyebabkan infeksi bila tidak bersamaan dengan infeksi HBV, dan ditemukan pertama kali sebagai inti antigen pada sel hati dari penderita yang terinfeksi HBV. Dahulu HDV dianggap sebagai bagian dari HBV, namun ternyata merupakan suatu virus RNA lain yang tidak dapat memproduksi protein penutup sehingga bagian luar dari virus ini ditutup oleh antigen permukaan dari HBV (HBsAg) dan selalu dihubungkan dengan gejala klinis yang berat.1,2,3

Virologi HDV adalah virus RNA berdiameter 36 mm. Lapisan luarnya adalah HBsAg yang membungkus genom RNA dan antigen delta. Genom ini terdiri dari 1700 nukleotida rantai tunggal sirkular dengan kandungan G dan C yang tinggi (60%). HDAg adalah protein yang dikode oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul 27000 kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV. Replikasi dari HDV terjadi di dalam inti sel hati dengan cara yang sama seperti virus lain walaupun mekanisme transkripsi RNA-HDV belum jelas. Cara interaksi antara HDAg dengan HBsAg masih belum jelas.1,3,4,5

Epidemiologi Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Infeksi HDV terjadi di seluruh dunia dengan prevalensi tinggi di Amerika Selatan, Afrika Barat, Timur Tengah, Mediterania, dan beberapa pulau di Kepulauan Pasifik. Masa inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). HDV adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral.

Penularan biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan prevalensi tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral. Sedangkan di daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih sering terjadi terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita penyakit darah, dan infeksi nosokomial.6,7,8

Patogenesis Oleh karena dibungkus HBsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati kemungkinan besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat. Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas. Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik). Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak memberikan efek yang menguntungkan. Terdapat beberapa auto-antibodi pada serum penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak jelas.9,10,11 Gambar 16.3. Perubahan serologis dan biokimia pada koinfeksi HDV.4

Ikterus

Gejala

ALT Anti-HBs

Anti-HDV

HDV-RNA

HBsAg

0

1

2

3

4

IgM Anti-HDV

5

6

12

24

Gambar 16.4. Perubahan

Gejala Anti-HDV

serologis dan biokimia pada superinfeks i HDV.4

IgM Anti-HDV

ALT

Gambara n klinis

HDV-RNA

Gam baran klinis infeksi HBsAg HDV tergantun g pada 0 1 2 3 4 5 6 1 2 3 4 5 6 mekanism e infeksi. Pada koinfeksi gejala klinis hepatitis akut lebih berat daripada gejala klinis HBV saja. Namun untuk menjadi hepatitis kronis kemungkinannya adalah rendah. Pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis fulminan lebih tinggi. Pada anak yang menderita gagal hati fulminan harus dipikirkan kemungkinan infeksi HDV.11,12

Koinfeksi

Superinfeksi

Fulminan

Sembuh

Kronis

Kronis

Sembuh

Fulminan

2%-20%

90%-95%

2%-7%

70 -90%

5%-10%

10%-20%

Sirosis 70%-80% Karsinoma

Gambar 16.5. Kemungkinan akibat dari infeksi HDV.

Terdapat bentuk gejala klinis yang khusus berupa ikterus yang diikuti dengan panas mendadak, hematemesis, dan gejala gagal hati fulminan. Terjadi terutama di daerah lembah sungai Amazon, Amerika Selatan dan disebut sebagai hepatitis Labrea, black fever atau hepatitis santa marta.1

Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan adanya IgM anti HDV yang timbul sekitar 2-4 minggu setelah infeksi secara koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi, menggunakan metoda RIA atau Elisa. HDAg dapat ditemukan pada sel hati menggunakan pengecatan khusus immunoflourescence. HDAg juga terdapat pada serum penderita menggunakan metode analisis Western blot. RNA HDV hapatik dan RNA HDV serum dapat ditemukan dengan cara Northren blot, Hibridisasi Insitu. Metoda PCR juga dapat digunakan untuk mencari HDV RNA.11,13

Pengobatan Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi respons

positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka pemberian interferon diteruskan sampai HBsAg hilang dari serum.12,14,15

Pencegahan Belum ditemukan vaksin terhadap HDV, namun karena replikasi HDV tidak dapat terjadi tanpa adanya infeksi HBV maka imunisasi terhadap HBV juga mencegah terjadinya infeksi HDV.5,10

Daftar pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

14.

15.

Buitrago B, Popper H, Hadler SC, et al. Specific histological features of Santa Marta hepatitis: a severe form of hepatitis delta virus in Northern South America. Hepatology. 1986; 6: 1285-91. Citation. Conjeevaram HS, Di Bisceglie AM. Natural history of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ. Monjardino J, Lai MMC. Sructure and molecular virology of hepatitis D virus. In Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 329-40. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis. In Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32. Taylor JM, Manson W, Summers J, et al. Replication of human hepatitis delta virus in primary culture and woodchuck hepatocytes. J Virol. 1988; 62: 2981-85. Di Bisceglie AM. Epidemiology and diagnosis of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 351-61. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Rizzetto M, Ponzzetto A, Forzani I. Epidemiology of hepatitis delta virus: overview in Gerin JL, Purcell RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss New York. 1991: 1-20. Citation. Bonino F, Brunetto MR, Negro F. Factors influencing the natural course of HDV hepatitis in: Gerin JL, Purcel RH, Rizzetto M. The hepatitis delta virus. Wiley-Liss, New York. 1991: 137-46. Citation. Negro F, Rizzetto M. Pathobiology of hepatitis delta virus. In: Hollinger FB, Lemon SN, Margolis HS. Viral hepatitis and liver disease. Williams and Wilkins, Baltimore. 1991: 477-80. Smedile A. Infection with HBV associated delta antigen in HBsAg carriers. Gastroenterology. 1981; 81: 992-7. Citation. Rizzetto M, Rosina F. Treatment of hepatitis D virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 363-69. Rizzetto M, Canese MJ, Arico S, et al. Immunoflorescence detection of a new antigen-antibody system (delta/anti-delta) associated to hepatitis B virus in liver and in serum of HBsAg carriers. Gut. 1977; 18: 9971003. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10. Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1 st ed. 1993: 341-49.

HEPATITIS E Pendahuluan Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik (ET-NANB). Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun 1955 di mana terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis hepatitis ini secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B (HBV).1,2,3

Virologi Virus hepatitis E mempunyai berdiameter 32-34 nm, berbentuk sferis dan merupakan partikel yang tidak mempunyai penutup. Merupakan virus RNA yang terdiri dari 7500 pasangan nukleotida rantai tunggal.1,2

Epidemiologi Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgiz, Uni Soviet pada tahun 1955-1956 yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda sampai usia pertengahan. Juga terjadi di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 20000 dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita 2000 orang.4,5

Patogenesis HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologisnya menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus hepatitis lain yaitu pembengkaan sel hati, digenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PNM pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan stasis empedu pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.1,2,3,6

Gambaran klinis Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya 2-9 minggu. Bentuk subklinisnya tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang manifes dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia dan ALT dicapai setelah 3 minggu sejak mulai timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi pada kelompok anak

muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk kronis. 1,2,3,6,7

Diagnosis1,2,3 1. 2. 3. 4.

Diagnosis hepatitis E akut ditentukan dengan cara: Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking assay. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu timbulnya gejala klinis. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja.

Pencegahan Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV. Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor untuk mencegah infeksi HEV.3,8 Daftar pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8.

Bradley DW, Krawczynski K, Purdy MA. Hepatitis E virus. In: Zuckerman AJ, Thomas HC. Viral Hepatitis scientific basis and clinical management. Churchill Livingstone London 1st ed. 1993: 373-89. Krawczynski K. Hepatitis E. In: Bircher J, Benhamou JP, McIntyre N, Rizzetto M, Rodes J: Oxford Text Book of Clinical Hepatology. Oxford Univ Press New York 2nd ed. 1999: 922-26. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Viswanathan R. Infectious hepatitis in Delhi (1955-56): a critical study; epidemiology. Indian Journal of Medical Research. 1957; 45: 1-30. Citation. Bradley DW, Andjaparidze A, Cook EH, et al. Aetological agent of enterically transmitted non-A, non-B hepatitis. J Gen Virol. 1988; 69:731-38. Citation. Khuroo MS. Incidence and severity of viral hepatitis in pregnancy. Am J Med. 1981; 70: 252-55. Heller S, Valencia-Mayoral P. Treatment of viral hepatitis in children. Archives of Medical Research. 2007; 38(6): 702-10.

HEPATITIS G Pendahuluan Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada sekelompok penderita hepatitis paska transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non-A-E. Pada tahun 1996 ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non-A-E yang dinamakan dengan virus hepatitis

G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.1,2,3

Virologi Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri atas 9400 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviridae, ditularkan secara parenteral.3

Epidemiologi HGV/ virus GB-C adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita penyakit darah yang mengalami transfusi berulang. Juga pengguna obat secara intravena. Cara lain adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta. Prevalensi HGV/ virus GB-C pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5%-10%. Tingginya prevalensi HGV/VGB-C di daerah tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadar ALT serum normal.

Patogenesis Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi tidak didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas normal. Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa infeksi HGV menyebabkan gejala klinis. Ditemukannya HGV/ virus GB-C pada limfosit dianggap bahwa virus ini mempunyai sifat biologis seperti virus Epstein-Barr atau CMV.6,7,8

Gambaran klinis Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C.1,2,8

Diagnosis Diagnosis HGV/ virus GB-C berdasarkan ditemukanya virus RNA dengan cara RT-PCR. Cara lain adalah metode branched DNA. Antibodi terhadap protein E2 secara ELISA dapat ditemukan pada fase kesembuhan atau infeksi lampau.1,2,8

Pencegahan Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi HGV/ virus GB-C.

Daftar pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Alter HJ, Bradley DW. Non-A, non-B hepatitis unrelated to the hepatitis C virus (non-ABC). Seminar in liver disease. 1995; 15: 110-20. Alter MJ, Gallager M, Morris TT, et al. Acute non-A-E hepatitis in the United States and the role of hepatitis G virus infection. Sentinel counties viral hepatitis study team. N Engl J Med. 1997; 336: 741-46. Leary TP. Sequence and genomic organization of GBV-C: a novel member of the flaviviridae associated with human non-A-E hepatitis. J Med Virol. 1996; 48: 60-7. Hadziyannis S, Hess G. Epidemiology and natural history course of G/GBV-C infection. In Zuckerman A and Thomas H. Viral Hepatitis. 2nd ed. Livingstones, in press. Citation. Leach CT, Koo FC, Hilsenbeck SG, Jenson HB. The epidemiology of viral hepatitis in children. J infectious disease. 1999; 180(2): 509-13. Karayiannis P. Hepatitis G virus infection. Clinical characteristics and response to interferon. J Viral Hepatitis. 1997; 4: 37-44. Citation. Snyder JD, Pickering LK. Viral Hepatitis in Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB: Nelson textbook of pediatrics. Saunders. Philadelphia 17th ed. 2004: 1324-32. Deinhardt F, Holmes AW, Capps PB, et al. Studies on the transmission of disease of human viral hepatitis to marmoset monkeys. Transmission of disease, serial passage and description of liver lesions. J Exper Med. 1967; 125: 673-87.

BAB XVII DRUG INDUCED HEPATITIS Ina Rosalina

Ilustrasi Kasus Seorang anak laki-laki berusia 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sakit perut, lemas dan muntah-muntah. Dari pemeriksaan fisik ditemukan badan kuning, sklera kuning, anak tampak sakit, lemah, dan kurus. Teraba limfonodi di leher kiri, kecil. Auskultasi paru terdengar ronkhi. Pemeriksaan jantung dalam batas normal. Anak sedang dalam terapi TB paru primer dengan INH, rifampin, dan pirazinamida. Sekarang sedang menjalani terapi bulan ke 3. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan GOT dan GPT meningkat, sedangkan fosfatase alkali normal.

Pendahuluan Hati merupakan organ lintas pertama dari obat yang diabsorpsi dari mukosa lambung dan mukosa usus halus sebelum mencapai bagian tubuh lainnya. Obat akan mengalami biotransformasi oleh hati. Fungsi tersebut akan mengakibatkan hati mempunyai risiko tinggi untuk mengalami intoksikasi oleh obat-obatan. Biotransformasi mempunyai dua tahap, pertama disebut tahap aktivasi dan kedua disebut tahap detoksifikasi. Obat-obat hepatotoksik pada proses keseimbangan ini sangat kritis sehingga penggunaannya harus hati-hati.1,2 Sherlock (1993) melaporkan sekitar 2% dari semua kasus ikterus yang dirawat adalah disebabkan oleh penggunaan obat. Sekitar seperempat kasus kegagalan hati fulminan di Amerika Serikat berhubungan dengan pemakaian obat serta 4 dari 23 kasus hepatitis kronis aktif. Pasien dengan penyakit hati perlu ditelusuri riwayat pemakaian obat-obatan sejak tiga bulan terakhir termasuk dosis, rute pemberian, lama serta kombinasi dari obat tersebut. Kerusakan hati yang ditimbulkan oleh obat-obat hepatotoksik secara histopatologi beraneka ragam, namun ada 2 bentuk yang sering yaitu bentuk hepatitik dan bentuk kholestatik. Kedua bentuk ini dapat terjadi bersamaan pada satu jenis obat pada orang yang sama.3 Pada tulisan ini akan dibahas metabolisme obat dan mekanisme kerusakan hati oleh obat hepatotoksik serta obat-obat yang sering digunakan dalam terapi yang dapat menyebabkan kerusakan hati khususnya bentuk hepatitik, gambaran klinis, pengobatan serta prognosisnya.

Metabolisme Obat di Hati Metabolisme obat oleh hati atau biotransformasi terjadi dalam mikrosom sel melalui sistem enzim yang sangat komplek. Perubahan ini terjadi melalui 2 tahap yaitu aktivasi dan detoksifikasi. Tahap pertama terjadi oksidasi, reduksi dan penambahan gugus hidroksil sedangkan pada tahap kedua atau tahap konjugasi terjadi metabolisme bahan yang menjadi lebih polar sehingga mudah lebih larut dalam air yang kemudian dikeluarkan dari tubuh melalui traktus urinarius dan sistem bilier.

Dikatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi metabolisme obat di mikrosom hati antara lain adalah: (1) penurunan aktivitas sesuai dengan pertambahan umur (2) kurang gizi (3) terjadinya kompetisi dalam metabolisme obat pada penggunaan obat kombinasi, dan (4) pada penderita penyakit hati.3,4,5

Gambar 17.1. Metabolisme tahap I dan tahap II

Tahap I Bahan Obat

Tahap II Bentuk antara

Detoksifikasi

Katalisator:

Katalisator:

Kompleks enzim sitokrom P-450

Sulfotransferase Glukuroniltrasferase Glutationtransferase

Pada hepatotoksik hal ini perlu berhati-hati karenaAsetiltransferase berada dalam keseimbangan yang kritis. Epoxidhidrolase

Gambar 17.2. Metabolisme Obat Di Hati

obat

Obat

Aktifasi metabolit

Metabolik nontoksik

Membentuk makromolekul

Sitotoksik

Nekrosis

Mutagen

Karsinogenik

Teratogenik

Antigen

Fenomena imunologis

Pada tahap I metabolisme obat hepatotoksik disamping dapat menjadi bahan aktif juga dapat berubah menjadi bahan kimia lain yang selanjutnya merupakan bahan toksik.

Mekanisme Kerusakan Hati Mekanisme terjadinya nekrosis sel hati yang disebabkan oleh obat-obatan hepatotoksik tidak diketahui secara pasti namun ada 7 dasar terjadinya kerusakan hati tersebut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Berhubungan langsung atas proses metabolisme di hati (kholestasis) Kerusakan sel hati oleh efek toksik obat (nekrosis) Kerusakan sel hati akibat reaksi imunologi Karsinogenik/ mutagenik Berhubungan dengan aliran darah ke hati Transmisi oleh infeksi Penyakit hati sebelumnya

Menurut Roberts (1991) setiap obat berbeda mekanismenya sedangkan menurut Colon (1990) kerusakan hati oleh obat hepatotoksik pada dosis terapi kemungkinan besar disebabkan faktor kepekaan terhadap obat (idiosinkrasi).6,7 Mekanisme ini dapat diklasifikasikan atas 2 tipe yaitu: (1) yang dapat diramalkan (biasanya tergantung dosis), dan (2) yang tidak bisa diramalkan atau idiosinkrasi (biasanya tidak tergantung dosis), Kelainan idiosinkrasi terjadi akibat reaksi imunologis dengan gejala dan tanda yang tampak di luar hati seperti ruam, nyeri sendi dan eosinofilia. Pada anak kelainan yang tidak tergantung dosis ini (idiosinkrasi) jarang ditemui, namun perlu juga diperhatikan karena timbulnya kelainan ini tidak dapat diduga sebelumnya.6,7

Secara histopatologis kerusakan yang terjadi pada bentuk hepatitik sulit dibedakan dengan hepatitis virus. Kerusakan tersebut dapat berupa nekrosis fokal atau masif dari sel hati. Hal ini tergantung pada patogenesis (toksik/ idiosinkrasi) masing-masing obat. Pada kasus toksik biasanya kerusakan pada satu wilayah namun pada idiosinkrasi nekrosis yang terjadi merata di beberapa wilayah (masif). Gambaran nekrosis pada kasus toksik yang lebih utama adalah neutrofil dan sedikit eosinofil. Pada nekrosis masif yang disebabkan faktor idiosinkrasi yang terlihat adalah sel mononuklear dan ditandai dengan meningkatnya eosinofil.6,8

Gejala yang Timbul Gejala yang muncul adalah: - Ikterus - Lelah - Nafsu makan turun - Nausea (mual) - Vomitus (muntah) - Abdominal pain (nyeri perut) - Diare - Urin seperti air teh Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan peningkatan tes fungsi hati dan hepatomegali.4,6

Bentuk Kelainan Hati dan Obat-obat yang Menyebabkan Kelainan Hati Bentuk kelainan hati yang mungkin terjadi karena obat hepatotoksik dapat dikategorikan seperti terlihat pada tabel 17.1 dibawah ini.

Tabel 17.1. Kategori hepatotoksik dan bentuk kelainan Tipe

Kelainan

AST/ALT

AP

Kolesterol

I

Nekrosis sel hati

+4

+1

N/-

Hepatitis-like

II

Steatosis

+2

+1

N/-

Asimtomatik

+3

+2

Obstruksi, dosis

+1

N/+

Kolestasis: III

- Hepatoselul ar - Kanalikuli

+1

+1

Keterangan

tergantung

IV

Kelainan vaskular

+1

+1

N/+

Trombotik

V

Fibrosis

+1

+1

N/-

Hipertensi sirosis

VI

Granulomatosa

+1

+1

N

VII

Neoplasma

Bervariasi

portal

dan

Asimtomatik Jarang pada anak

Keterangan : (+) meningkat, (-) turun, N= normal Sumber: Farrel3

Obat-obat yang tergolong hepatotoksik dapat dilihat dalam tabel 17.2 berikut yang disusun menurut abjad, namun pada makalah ini yang dibahas secara khusus adalah obat-obat yang banyak dipakai dan sering menyebabkan kelainan hati pada anak.

Tabel 17.2. Daftar obat hepatotoksik Nama obat

Kelainan

Nama obat

Kelainan

Asetaminofen

I,III

Isoniazid

I

Asetohexamin

I

Ketokonazol

I

Allopurinol

I,IV

Levodopa

I

Aminocaprooic acid

I

Marijuana

I

Amiodaron

I,V

Melarsoprol

I

Amithiozine

I,V

Mephenitoin

I,III

Ampicilin

I

Meprobamat

I,III,V

Androgen

III

Mercatopurin

I

Amitriptilin

I

Methotrexate

I,VI

Anabolic steroid

III,VII

Methoxyflurane

I

Antimony potasium

I

Methyldopa

I

Arsenic

V

Mithramycin

III

Aspirin

I,II

Nafcilin

I

Azothioprin

I,IV

Nicotinic acid

III,VI

BCG

I,V

Nialamide

I

Benoxaprofen

I,III

Nitrofurantoin

I,III

Benzyl alkohol

I,III

Noertiptylin

I

Carbamazepin

I,III,V

Oxacyllin

I

Carbason

I

Oxyphenacetin

I,III

Carisoprodol

I

Papaverine

I

Cephalothin

I

Paraaminosalicilic-a

I

Chlorambucil

I,III,V

Penicillin

I

Chloramphenicol

I

Phenacemide

I

Chloroform

I

Phenazopyridin

I

Chlorothiazid

I,III

Phenelzin

I,III

Chlorpromazin

III

Phenobarbital

I,VI

Chlorpropamide

I,III

Phenothiazin

I

Chlorthalidone

I,III

Phenilbutazon

VI

Cimetidine

III

Probenezid

VI

Cinchopen

I

Procainamide

III

Clidamycin

I

Procarbasin

III

Clometacin

I,III

Prochlorperazin

III

Coumarin

I

Promethasin

I,III

Cyclopospamide

I

Prophoxypen

I

Cyclopropane

I

Propilthiourasil

I

Dantrolene

I

Pyrazinamid

I

Dapsone

I

Quinacrin

I

Demecolcine

III

Quinidine

I

Diazepam

I,III

Ranitidin

I

Diphenilhidantoin

I

Rifampicin

I

Disopyramin

III

Stilbamidin

I,III

Disulfiram

I

Streptomycin

I,III

Enflurane

I

Sulfa

I

Erythomycin

I,III

Sulindac

III

Estrogen

I,II,III

Tapazol

I

Ecthlorvynol

III

Testosteron

III,V

Ethionamide

I

Tetrasiklin

III

Ethotion

I

Thiabendazol

III

Fluroxene

I

Thioguanin

I,V

Gold

I

Thioridazin

I,III

Griseovulvine

III

Ticrinafen

I,III,V

Halotan

I

Tolbutamid

I

Hycantone

I

Totalparenteral nutrisi

I

Imipramin

III

Triaclyoleoandromycin

I

Indometasin

I

Trifluoferazin

I

Iodine

I

Trimeprazin

III

Iodipamide

I

Trimethadion

I,VII

Iopanoic acid

I

Trimetoprinsulfameto

I,II,III

Iproniazid

I

Urethan

I

Isocarboxazid

I

Valproat zoxazolamin

Sumber: Farrel3

Aspirin Hepatotoksik bergantung dengan dosis dan biasanya terjadi pada pemberian dosis tinggi pada artritis rematoid juvenil. Roberts (1991) melaporkan 10% kasus anak dengan demam rematik akut yang mendapat aspirin. Pada anak perempuan lebih sering daripada laki-laki. Hepatotoksik karena aspirin ditandai oleh kadar aspirin dalam serum yang melebihi 25 mg/dl dan sering meningkatkan kadar enzim transaminase. Kadar aspartat aminotransferase dan/atau alanin aminotranferase meningkat dan timbul eosinofilia. Adanya bentuk kelainan seperti hepatitis; anoreksia, mual, muntah dan nyeri perut dan hepatomegali. Pada kasus overdosis dan progresif terjadi ikterus dan pada biopsi terlihat infiltrasi sel mononuklear dan sel-sel nekrosis. Dengan mikrosop elektron terlihat mitokondria edem.3,6

Asetaminofen Asetaminofen (parasetamol) merupakan derivat para-amino-fenol yang mempunyai efek antipiretik dan analgetik, sering dipakai untuk anak. Hepatotoksik dapat terjadi dengan pemberian dosis tinggi sehingga dapat menimbulkan kerusakan hati. Kerusakan hati akibat asetaminofen disebabkan oleh suatu metabolitnya N-acetyl-pbenzoquinoneimine (NAPQI) yang sangat reaktif. Pada keadaan normal produk reaktif ini dengan cepat berikatan dengan glutation di hati sehingga menjadi bahan yang tidak toksik. Akan tetapi pada keadaan kelebihan dosis produksi NAPQI yang bertambah dan tidak sebanding dengan kadar glutation, NAPQI berikatan membentuk makromolekul dengan sel hati yang mengakibat nekrosis sel hati. Dosis toksik terjadi bila pemakaiannya lebih dari 160 mg/kgBB/hari. Namun pada individu yang sama, dosis toksik dapat terjadi pada pemakaian dalam batas dosis terapi. Hal ini berhubungan dengan menurunnya kadar glutation pada keadaan kelaparan dan kurang gizi dan juga dapat terjadi pada penggunaan alkohol. Dikatakan bahwa pada anak berusia di bawah 12 tahun, sifat hepatotoksik dari asetaminofen berkurang jika dibandingkan dengan anak yang lebih besar. Hal ini disebabkan karena kadar sitokrom P-450 yang rendah sehingga metabolisme asetaminofen juga berkurang.6,9

Gambar 17.3. Metabolisme asetaminofen

glukuronidasi Asetaminofen

Senyawa nontoksik sulfa si katalisator:

Bentuk tak stabil

kompleks enzim sitokrom P450

Bentuk toksik (NAPQI) glutation Bentuk makromolekul dengan sel hati Senyawa nontoksik

Nekrosis sel hati

Isoniazid Isoniazid menyebabkan kira-kira 7% kelainan hati pada anak. Hal ini jarang terjadi pada bayi dan insiden akan meningkat dengan bertambahnya usia. Dikatakan bahwa INH dapat menyebabkan hepatitis pada pemakainan lama. Kira-kira 10%-20% kasus akan mengalami gangguan fungsi hati pada pemakaian lama dengan dosis 10 mg/kgBB/hari sedangkan dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari angka ini akan turun hingga 2%. Efek toksik obat ini disebabkan oleh metabolisme asetilat menjadi asetil isoniazid dan asetil hidralazin.6,9

Gambar 17.4. Metabolisme isoniazid (INH)

Isoniazid

Asetil-isoniazid

Asetil hidralazin katalisator:

Acylating agent

kompleks enzim sitokrom P450

Nekrosis sel hati

Menurut Sherlock (1993) hal tersebut di atas kemungkinan disebabkan reaksi imunologi namun tidak dijumpai adanya manifestasi alergi. Kombinasi isoniazid dengan obat seperti rifampisin, obat anestesi dan alkohol menambah risiko terjadinya toksisitas. Peningkatan kadar transaminase dalam serum sering didapatkan dalam 8 minggu pertama pengobatan dengan isoniazid secara terus-menerus. Hal ini biasanya tanpa gejala, oleh karena itu pemeriksaan transaminase serum sebagai monitor perlu sebelum dimulai dan 4 minggu berikutnya setelah pengobatan dengan isoniazid. Bila didapatkan hasil yang meningkat maka pemeriksaan ditingkatkan menjadi setiap minggu dan bila cenderung meningkat hingga akan menimbulkan terjadinya resiko maka pengobatan harus dihentikan.2,10 Rifampisin

Rifampisin dieksresi melalui saluran empedu. Obat ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, baik terkonjugasi maupun yang tak terkonjugasi. Rifampisin biasanya dikombinasikan dengan INH untuk digunakan pada penderita tuberkulosis, dan keduanya bersifat hepatotoksik. Mekanismenya tidak diketahui, kemungkinan melalui induksi enzim.2,6

Metotreksat Efek hepatotoksik dari metotreksat sama seperti pada dewasa dimana pada dosis rendah dan pemakaian lama biasanya menyebabkan kelainan berupa steatosis dan fibrosis. Tetapi pada pemakaian dosis tinggi pada pengobatan kanker dapat mengakibatkan hepatitis akut. Mekanisme hepatotoksik metotreksat tidak diketahui. Sangat berhubungan dengan dosis dan lama pemakaian.2,6

Kloramfenikol Kloramfenikol dalam beberapa kasus dilaporkan dapat menyebabkan ikterus yang berhubungan dengan nekrosis sel hati. Mekanisme terjadinya tidak jelas, tetapi dikatakan kerusakan sel hati bersamaan dengan terjadinya kerusakan sumsum tulang.2,6

Halotan Mekanisme kerusakan hati akibat halotan tidak jelas, namun ada yang berpendapat bahwa hal ini disebabkan oleh faktor alergi. Penggunaan halotan berulang kali dapat menyebabkan kerusakan hati yang bersifat alergi berupa nekrosis sel hati yang letaknya sentrolobular. Hal ini sesuai dengan konsep yang mengatakan bahwa mekanisme terjadinya kerusakan hati tersebut berkaitan dengan hipersensitivitas, hipoksia dan pembentukan hapten. Hepatitis oleh karena halotan biasanya terjadi setelah 1-2 minggu setelah penggunaan (post operasi) dan umumnya pada pemakaian yang berulang dalam 3 bulan. Kejadian pada anak jarang, diperkirakan sekitar 1:82.000 anak yang mendapat anastesi dengan halotan. Menurut Dukes (1985) ada 2 gambaran kerusakan hati karena halotan; (1) yang sering terjadi yaitu adanya peningkatan kadar enzim aminotransferase serum yang ringan sampai sedang dengan gejala hepatitis ringan. Kedua gambaran nekrosis hati meluas sehingga dapat menimbulkan kematian. Pada keadaan seperti ini dilaporkan angka kematian mencapai 14% bahkan sampai 71%. Insiden tipe berat ini diperkirakan berkisar antara 1:6000 sampai 1:20.000. perbandingan antara laki dan perempuan 2:1.2,6,9

Ampisilin Nekrosis sel hati akibat ampisilin telah dilaporkan pada 1 kasus, terjadi setelah 15 hari pengobatan dengan ditandai adanya ruam dan eosinofilia dan berakhir fatal.2

Upaya Diagnosis Drug Induced Hepatitis

Ikterus atau gejala Kerusakan hati lain

Adanya penggunaan obat-obatan

Anamnesis :

Riwayat pemakaian obat-obatan Riwayat transfusi Riwayat kontak hepatitis

Pemeriksaan fisik: ikterus,hepatomegali,asites,spider naevi, Periksa: total bilirubin, bilirubin erithema palmar, rash (ruam) direk SGOT/SGPT, fosfatase alkali GGT, albumin, globulin, PTT Differential count (eosinofil) Kolestasis

Hepatoselular

Singkirkan: Kelainan ekstra hepatal sal.empedu (USG)

Singkirkan hepatitis virus, mononukleosis infesiosa,TORCH

Supected DRUG INDUCED HEPATITIS

Pengobatan

Pada drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus. Umumnya sembuh spontan bila obat dihentikan. Seperti halnya hepatitis virus, pengobatan drug induced hepatitis berupa simtomatis dan suportif. Penggunaan kortikosteroid diperlukan pada drug induced hepatitis yang berat yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif, tetapi masih kontroversial. Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.3,4

Prognosis Umumnya prognosisnya baik, tetapi pada nekrosis hati yang masif sering berakibat kegagalan hati sehingga prognosis menjadi buruk.

Ringkasan Telah dibahas tentang hepatitis yang disebabkan obat-obatan (drug induce hepatitis). Hati berfungsi dalam biotransformasi obat dalam mikrosom sel melalui sistem enzim yang sangat kompleks dan mengubah bentuk antara menjadi bentuk tidak toksik yang mudah larut dalam air sehingga dapat diekskresi keluar tubuh. Sehubungan dengan fungsi tersebut, pada obat-obat tertentu (hepatotoksik) hati berisiko mengalami kerusakan yang tergantung dari jenis obatnya. Mekanisme terjadinya kerusakan tersebut belum diketahui dengan pasti, namun ada yang berpendapat bahwa secara garis besar mekanisme tersebut adalah: (1) yang berhubungan langsung dengan obat (dosis dan lama pemberian) dan (2) reaksi imunologi. Dalam pengobatan drug induced hepatitis tidak ada terapi khusus (sama halnya dengan hepatitis virus), Cukup dengan penghentian penggunaan obat dan terapi suportif dan simtomatis. Pada kasus yang berat perlu dipertimbangkan transplantasi hati untuk memperpanjang harapan hidup.2,3,4

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Gryborski J, Waklker WA. Gastrointestinal Problem in the Infant; edisi ke-2 Philadelphia: WB Sounders Co. 1983; 337-43. Sherlock S, Dooley J. Disease of the Liver and Biliary System; ed.ke-9. London: Blackwell Scientific Publication. 1993; 322-51. Farrel GC. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Bayless TM, eds. Current Therapy in Gastroenterology and Liver Disease; edisi ke-3. Philadelphia ; BC Decker. 1990; 460-4. Ockner RK. Drug Induced Liver Disease. Dalam: Zakim D, Boyer TD. Textbook of Liver Disease. Philadelphia; WB Sounders Company. 1982; 691-5. Stricker BH, Spoelstra P. Drug Induced Hepatic Injury; Vol 1. Amsterdam: Elsevier Science Publishing. 1985. Roberts EA, Spielberg SP. Drug-Induced Hepatotoxic Children. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, eds. Pediatric Gastrointestinal Disease; ed.ke-3, Philadelphia: B.C.Decker. 1991; 898-912. Colon AR. Textbook of Pediatric Hepatology; Edisi ke-2. Chicago; Year Book Medical Publishers. 1990; 65-77.

8. 9. 10.

Zimmerman HJ, Maddre WC. Toxic and drug-Induced hepatitis. dalam: Schiff L, Schiff ER, eds. Diseases of the liver. Philadelphia: lippincot Company. 1993: 707-83. Poley JR. Effects of Drug on the Liver. Dalam;Gracey M, Burke V,eds. Pediatric Gastroenterology and Hepatology; edisi ke-3. London Blackwell Scientific Publication. 1993; 726-30. Olson KR. Poisoning & Drug Overdose; edisi ke-2. USA; Appleton & Lange. 1994.

BAB XVIII PENYAKIT SISTEMIK YANG BERPENGARUH PADA HATI Atan Baas Sinuhaji

Ilustrasi kasus Seorang anak laki-laki berumur 3 tahun dirawat di rumah sakit dengan keluhan demam yang sudah berlangsung selama 3 minggu, pembengkakan perut (hepatomegali) dan penurunan berat badan. Kadang-kadang disertai muntah setelah makan dan episode batuk. Ibu anak mengatakan anaknya sehat sebelum masuk rumah sakit. Lima belas hari sebelum dirawat, anak demam tinggi disertai batuk kering, muntah setelah batuk, sakit perut setelah makan, nafsu makan turun dan tinja lembek. Volume urin normal, tetapi ibu mencatat warna urin lebih gelap dari biasanya. Dalam masa 2 minggu, berat badan anak turun sampai 1 kg. Sebelas hari sebelum dirawat, anak tersebut berobat ke dokter anak dan didiagnosis dengan sindroma viral. Karena anak kelihatan sehat, anak berobat jalan dan berobat sebanyak 2 kali yaitu 7 hari dan 2 hari sebelum dirawat, dengan keluhan yang sama. Pada kunjungan terakhir ke dokter tersebut, teraba hati membesar 5 cm di bawah arkus kosta kanan. Foto toraks menunjukkan infiltrat di kedua paru. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya hiponatremia (127 mEq/l) disertai peningkatan hasil pemeriksaan biokimia hati (bilirubin total serum = 1.5 mg%; aminotransferase aspartat = 130 U/ml; aminotransferase alanin = 159 U/ml; fosfatase alkalin = 650 IU/L; kolesterol = 414 mg/dl; dehidrogenase laktat = 513 U/mL). Bilirubin (+) pada pemeriksaan urin. Riwayat penyakit serius sebelumnya tidak ada. Juga tidak didapatkan riwayat alergi sebelumnya. Imunisasi sesuai dengan usia. Lahir spontan, cukup bulan. Tidak ada riwayat keringat malam, sakit sendi, ruam pada kulit atau penyakit-penyakit kronis lainnya. Tidak

ada riwayat memelihara binatang di rumah, memakan obat-obatan, kontak terhadap bahan kimia ataupun bepergian sebelum sakit. Kontak dengan penderita tuberkulosis disangkal, walaupun kakeknya penderita batuk kronis yang produktif dan perokok berat. Tetangga menderita bronkitis. O.s adalah anak kedua dari 3 bersaudara. Orang tua dan saudara-saudaranya kelihatan sehat dan berasal dari keluarga ekonomi menengah. Pada pemeriksaan anak kelihatan kurus tetapi sehat dan aktif. Tidak ada tanda-tanda distres pernafasan akut. Ikterus (-). Berat badan =16.1 kg (75th percentile) dan tinggi badan = 102 cm (95th percentile). Temperatur = 40.5 oC. Denyut nadi = 132 x/menit, frekuensi pernafasan 18 x/menit. Pemeriksaan fisik lain didapatkan normal, kecuali hepar membesar simetris 5 cm di bawah arkus kosta kanan, permukaan rata dengan tepi yang tajam. Lien dan ginjal tidak teraba. Tidak ada pembesaran kelenjar limfe. Pemeriksaan funduskopi dan neurologi tidak ada kelainan. Hasil laboratorium darah sewaktu masuk rumah sakit menunjukkan: Hb = 10,7 g%; leukosit 7300/mm3; hitung jenis: E =0/B=0/batang = 12%/ segmen = 53%/ limfosit = 31%/ monosit = 2%/ limfosit atipikal = 2%; laju endap darah = 43 mm/jam; bilirubin total = 1.6 mg%; dehidrogenase laktat = 421 U/l; transpeptidase gamma glutamil = 424 U/l; aminotransferase aspartat = 99 U/l, aminotransferase alanin =94 U/l, amilase= 35 Somogyi U/l. Natrium = 125 mEq/l; Kalium = 4 mEq/l: Klorida = 9.6 mEq/l; CO2 = 23 mEq/l). Hasil urinalisis : trace bilirubin (+). Pemeriksaan tinja: tidak dijumpai telur cacing, parasit lain atau lekosit. Kultur urin, darah dan tinja yang dilakukan beberapa kali setelah 2 hari dirawat hasil (-). Hasil pemeriksaan serologi terhadap sitomegalovirus, virus Hepatitis A dan B juga negatif. Pemberian 5 TU intradermal purified protein derivative (PPD): tidak ada reaksi (anergi). Kadar serum imunoglobulin: normal. Hasil pemeriksaan foto toraks menunjukkan noduler retikular yang difus di kedua paru/miliary pattern tanpa pembesaran kelenjar hilus. Ultrasonografi abdomen menunjukkan: pembesaran hepar dengan parenkim yang homogen tanpa lesi fokal. Lien dan pankreas normal. Kandung empedu normal tanpa distensi saluran biliaris intrahepatik ataupun pembesaran kelenjar retroperitoneal. Kedua ginjal membesar yang diduga karena penyakit infiltrasi. Kandung kemih normal tanpa ada massa. Hasil pungsi sumsum tulang menunjukkan gambaran hiperselular yang didominasi sel plasma, eosinofil dan kompleks hematofagositik. Gambaran ini sekunder oleh infeksi bakteri (tidak ada tanda - tanda keganasan). Pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan bilasan lambung selama 3 hari berturut– turut. Pada bilasan hari ke-3 dijumpai basil tahan asam. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal menunjukkan tanda–tanda meningitis serosa. Selama perawatan O.s tetap demam tinggi dan pada minggu pertama perawatan dijumpai distres pernafasan. Dengan restriksi cairan, hiponatremia membaik. Diduga hiponatremia terjadi oleh karena SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of Anti Diuretic Hormone). Diagnosis klinis ditegakkan dengan tuberkulosis milier disertai komplikasi hepatitis tuberkulosis, meningitis tuberkulosis, renal tuberkulosis disertai

SIADH. Pada penderita dengan infeksi susunan saraf pusat dan tuberkulosis paru sering terjadi SIADH. Penyebab lain SIADH dapat dilihat pada tabel 1. Hasil ini didukung dengan pemeriksaan biopsi paru dimana dijumpai granuloma pengkejuan yang multipel dengan basil tahan asam. Empat minggu setelah dirawat hasil kultur cairan serebrospinal, urin, bilasan lambung dan jaringan paru menunjukkan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Sayangnya pemeriksaan biopsi hepar tidak dilakukan karena masa tromboplastin parsial yang memanjang. Kasus ini merupakan rujukan ke Bagian Anak The John Hopkin’s Hospital, Baltimore USA dan menjadi bahan konferensi klinik. Anak laki–laki berumur 3 tahun dengan keluhan demam tanpa diketahui sebabnya, hepatomegali dan penurunan berat badan (BB). Selain hepatomegali, keluhan lain seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya dan penurunan berat badan, tidak spesifik untuk kelainan hepar. Setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan, termasuk menyingkirkan penyebab kelainan hepar primer dan drug induced liver disease, ternyata kelainan hepar ini (hepatomegali disertai kelainan hasil pemeriksaan laboratorium) sekunder akibat infeksi/kelainan sistemik (tuberkulosis).

Tabel 18.1. Penyebab Utama Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH) 1. Ektopik Oat cell lung carcinoma Karsinoma pancreas Timoma Penyakit Hodgkin Tumor karsinoid 2. Eutopik - Pulmoner a. Pneumonia b. Tuberkulosis c. Gagal nafas akut - Susunan saraf a. Trauma b. Meningitis c. Abses d. Ensefalitis e. Vascular accident 3. Iatrogenik Drug induced, misalnya: a. Karbamazepin b. Klofibrat c. Inhibitor oksidase monoamin d. Sulfonilurea (klorpropamid) Sumber: Schwimmer1

Pendahuluan Hepar merupakan organ parenkim terbesar dalam tubuh manusia, yang menerima hampir ¼ dari curah jantung dan memerlukan hampir 1/5 dari konsumsi oksigen dalam keadaan istirahat. Di samping itu hepar memegang peranan fungsi metabolik yang esensial (seperti mempertahankan kadar protein dan glukosa plasma tetap normal, sintesis empedu dan lainlain), biotransformasi xenobiotik (obat, food additives, pollutant dan lain-lain) dan respon imunologis. Hepar sendiri merupakan organ tubuh selanjutnya yang pertama sekali kontak dengan nutrien dan xenobiotik (maupun mikroorganisme) yang masuk secara enteral melalui vena porta; sedangkan bila bahan-bahan tersebut/mikroorganisme masuk melalui rute parenteral juga akan mencapai hati melalui arteri hepatika. Bahan-bahan tersebut/mikroorganisme yang masuk melalui vena porta maupun arteri hepatika akan bertemu di sinusoidal. Untuk sampai ke hepatosit, bahan tersebut/mikroorganisme harus melalui barier yang terdapat di dinding sinusoid (sel endotel, sel Kupffer dan sel stelat = sel Ito). Sel Kupffer berfungsi sebagai makrofag sedangkan sel stelate (sel Ito) berfungsi untuk penyimpanan lemak dan vitamin A (lihat gambar 18.1).2,3

X

Gambar 18.1. Hubungan antara arteri hepatika, vena porta, sinusoid dan hepatosit

Arteri hepatika V.centralis

SINUSOID V. porta

V.hepatika

LINTASAN PARASELULER Kanalikuli Sel endotel, Sel Kupffer,

LINTASAN TRANSELULER

Sel Ito RONGGA DISSE HEPATOSIT

X Saluran empedu yang lebih besar

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, (ukuran hepar, fungsi metabolik dan biotransformasi, posisi sentral dalam sirkulasi/saluran cerna dan respon imunologis), tidak dapat disangkal lagi bahwa hepar merupakan organ tubuh yang secara insidental sangat rentan dipengaruhi oleh penyakit/kelainan sistemik. Yang dimaksud dengan hepar di sini adalah hepar dan saluran empedu (hepatobilier). Karena itu dapat didefinisikan penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati adalah kelainan hepar (baik klinis, laboratorium dan histologi) yang sekunder terjadi oleh karena penyakit/kelainan sistemik yang primernya di luar hati. Penyakit/kelainan sistemik adalah penyakit/kelainan yang mempengaruhi tubuh secara keseluruhan.1,3,4 Dalam tulisan ini akan diuraikan secara umum mengenai kejadian, etiologi, patogenesis, manifestasi, diagnosis, terapi, prognosis dan pencegahan kelainan hepar sekunder yang disebabkan oleh penyakit/kelainan sistemik. Juga akan dipaparkan beberapa penyakit/kelainan di luar hepar yang menyebabkan kelainan hepar. Penyakit yang diuraikan hanya menggambarkan hepar sangat mudah terkena oleh berbagai penyakit/kelainan sistemik. Drug induced liver diseases tidak akan diuraikan dalam tulisan ini.

Kejadian dan Etiologi Data mengenai penyakit sistemik yang berpengaruh pada hepar, belum jelas dipublikasikan. Hanya dikatakan, bukan tidak jarang. Pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total, insidens dilaporkan mencapai 30%. Bayi prematur yang mendapat nutrisi

parenteral total lebih dari 90 hari bahkan mencapai 100%. Insidensi kelainan hepar pada bayi prematur yang mendapat nutrisi parenteral total dipengaruhi oleh umur bayi, lamanya mendapat nutrisi parenteral total dan penyakit-penyakit lain yang menyertai. Penyakit sistemik yang berpengaruh pada hati dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok infeksi dan non-infeksi. Infeksi dapat dibagi atas infeksi akut yang sering berhubungan dengan sepsis dan infeksi kronis yang menyebabkan hepatitis granulomatosa (lihat tabel 18.2).1,5

Tabel 18.2. Penyebab Penyakit Sistemik yang Berpengaruh pada Hati I.

Penyakit infeksi a. Penyakit infeksi akut/sehubungan dengan sepsis (Streptokokkus, Stapilokokkus, Gonokokkus, Salmonella, dan lain-lain) b. Penyakit infeksi kronis/sehubungan dengan hepatitis granulomatosa) 1. Virus - Sitomegalovirus - Mononucleosis 2. Bakteri - Aktinomikosis - Histoplasmosis - Bruselosis - Tularemia - Listerosis - Nokardiosis 3. Mycobacterium: M.tuberculosis 4. Parasit - Askariasis - Strongiloidiasis - Toksoplasmosis 5. Fungal - Aspergillosis - Kandidiasis - Kriptokokkosis 6. Lain-lain - Q fever - Sifilis

II. Non-infeksi a. Gagal jantung b. Gangguan hematologi - Hemoglobinopati - Gangguan koagulasi - Keganasan - Transplantasi sumsum tulang c. Penyakit kolagen vaskular - Eritomatosis lupus sistemik - Artritis rematoid - Penyakit Sjogren - Skleroderma (sklerosis sistemik disseminata)

d.

e. f.

g.

h. i.

- Rematoid polimialgia Gangguan endokrin - Hipertiroidisme - hipotiroidisme Gangguan susunan saraf Gangguan gizi - Nutrisi parenteral total - Jejunoileal bypass - Obesitas Inflammatory bowel disease - Kolitis ulseratif - Penyakit Crohn Disfungsi hepar nefrogenik - Sindroma Stauffer Lain-lain. - Sarkoidosis - Amiloidosis

Sumber : O’Brien6

Patogenesis Walaupun patogenesis terjadinya kerusakan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/kelainan sistemik belum begitu jelas dalam beberapa hal, namun mekanisme terjadinya kelainan hepatobiliaris (baik infeksi maupun non-infeksi) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Invasi langsung parenkim hati oleh mikoorganisme melalui darah/limfe. Kerusakan hepatobiliaris karena produk mikroorganisme dengan bantuan mediator proinflamasi (seperti tumor necrosis factor, platelet activating factor, dll). Kerusakan hepatosit karena penumpukan bahan-bahan baik hasil metabolisme atau proses peradangan (amiloidosis hepatik, kelainan hepar pada hemoglobinopati). Kerusakan hepatosit karena anoksia dan penekanan (misal: kelainan hepar karena gagal jantung). Gangguan nutrisi (baik kekurangan/kelebihan nutrien atau efek pemuasaan), misalnya: kelainan hati pada nutrisi parenteral total. Kerusakan hepar karena hiperpireksia (misal: kelainan hepar pada infeksi susunan saraf pusat).

Tidak ditemukannya mikroorganisme pada parenkim hepar, tidak menyingkirkan kemungkinan kerusakan hepar oleh infeksi. Harus diingat bahwa salah satu fungsi hepar adalah pertahanan imunologis tubuh. Darah akan dibersihkan dari bahan-bahan patogen dengan bantuan fagositosis dari sel Kupffer. Kemungkinan mikroorganisme yang dimakan sel Kupffer menimbulkan cedera hepatobiliaris dan selanjutnya mengalami disolusi. Meskipun pada beberapa kasus toksin tidak ditemukan dalam sirkulasi, namun produk dari mikroorganisme tersebut terbukti menyebabkan kerusakan hepar. Selain itu harus dipertimbangkan peranan efek nonspesifik seperti malnutrisi, anoksia dan hiperpireksia pada kerusakan hepatosit oleh karena infeksi.3,7,8

Manifestasi klinis Manifestasi klinis kelainan hepatobiliaris sekunder oleh karena penyakit/kelainan sistemik merupakan gabungan gejala kelainan hepatobiliaris primer dan gejala penyakit yang mendasarinya (seperti sesak, gejala bendungan venosa pada gagal jantung). Sering kali manifestasi kelainan hepatobiliaris lebih menonjol daripada penyakit primer yang mendasarinya. Manifestasi penyakit ini sering tidak spesifik seperti mudah letih, anoreksia, penurunan berat badan, demam, dll. Dapat ditemukan gejala klinis seperti hepatomegali, ikterus, edema, perdarahan, ensefalopatia, dll. Ensefalopati diperberat dengan adanya gangguan sirkulasi dan hipoglikemia. Demikian juga ikterus diperberat dengan adanya hemolisis. Gejala ini bisa ringan hingga membahayakan kehidupan. Namun gejala klinis ini tidak ada yang signifikan untuk kelainan hepatobiliaris sekunder. Kelainan hasil pemeriksaan laboratorium/biokimia hepar berupa peningkatan kadar aminotransferase serum yang merupakan refleksi dari gangguan integritas hepatosit dan membran sinusoidal. Peninggian kadar bilirubin, fosfatase alkali dan transpeptidase gamma glutamil serum, menggambarkan adanya gangguan sekresi empedu. Pemanjangan masa protrombin (terutama bila tetap memanjang setelah pemberian vitamin K) dan penurunan kadar albumin serum menunjukkan adanya gangguan kapasitas biosintesis hepar oleh karena proses akut ataupun kronis. Manifestasi kelainan laboratorium ini juga tidak ada yang spesifik untuk kelainan hepatobiliaris sekunder. Abnormalitas dari biokimia hati tidak absolut menggambarkan derajat kerusakan hati.7,8 Gambaran histologik hepar tidak spesifik. Kadang-kadang dijumpai bercak-bercak radang di daerah porta, tetapi daerah porta ini juga bisa normal. Dapat dijumpai nekrosis setempat disertai hiperplasi sel Kupffer ataupun steatosis yang meluas. Gambaran ini disebut hepatitis reaktif. Tergantung dari lama/beratnya penyakit dan daya tahan tubuh penderita, nekrosis tersebut bisa meluas sehingga terjadi disfungsi hati yang berat. Daerah nekrosis ini diganti dengan jaringan ikat dan diikuti pembentukan nodul (sirosis hepatis). Adanya gambaran granuloma hepar merupakan manifestasi radang kronis akibat penyakit sistemik di luar hepar.9

Diagnosis Adanya gejala kelainan hati (baik klinis atau laboratorium) harus dipikirkan apakah gangguan hati tersebut merupakan kelainan hati primer atau sekunder karena penyakit/kelainan sistemik ataupun obat-obatan yang digunakan. Baik untuk pengobatan penyakit hati primer maupun penyakit/kelainan sistemik (drug induced liver disease). Kecurigaan terhadap penyakit hepar primer dapat dibuat berdasarkan perjalanan/gejala klinis dan didukung pemeriksaan biokimia hati. Pada keadaan ini penyebab viral, autoimmun dan gangguan metabolisme harus dipertimbangkan. Pemeriksaan serologi terhadap penyebab infeksi yang sering (seperti virus Hepatitis A, virus Hepatitis B, virus Hepatitis C, sitomegalovirus dan virus Epstein-Barr) harus dilakukan. Juga pemeriksaan serologi untuk hepatitis autoimmun (antinuclear antibody dan smooth muscle antibody). Gangguan metabolik seperti penyakit Wilson dan defisiensi antitripsin alfa-1 juga harus dipertimbangkan.

Pemeriksaan tambahan seperti ultrasonografi dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kolelitiasis, kolesistitis ataupun massa di hepar (kista, tumor).3,10 Untuk menyingkirkan kemungkinan drug induced liver disease, diperlukan kecurigaan yang tinggi terhadap pemakaian obat-obatan, karena tidak ada tes diagnosis dengan gambaran patologis yang spesifik. Bila diduga dose dependent hepatotoxic drug (seperti aspirin dan asetaminofen), kadar obat tersebut dalam darah harus diperiksa. Adanya manifestasi kelainan hati (klinis dan laboratoris) disertai gejala penyakit/ kelainan sistemik, dipertimbangkan sebagai kelainan hepatobiliaris sekunder. Hepatopati kongestif dicurigai bila ada pembesaran hepar ataupun abnormalitas biokimia hepar disertai gejala-gejala gagal jantung (sesak, bendungan venosa, dll). Pada amiloidosis hepatik yang terjadi akibat amiloidosis sistemik, dijumpai penumpukan amiloid di parenkim hati. Walaupun demikian, biopsi hepar tidak dianjurkan pada amiloidosis sistemik yang diduga menderita amiloidosis hepatik karena dikhawatirkan terjadinya perdarahan masif dari hepar yang diinfiltrasi amiloid. Biopsi hati hanya dianjurkan kalau amiloidosis sistemik tidak jelas dengan catatan masa pembekuan, jumlah trombosit dalam batas normal dan tidak ada riwayat perdarahan. Biopsi hepar pada hepatopati kongestif juga tidak dianjurkan. Umumnya biopsi hepar dilakukan kalau ada kelainan hati tetapi gejala/tanda penyakit sistemik tidak jelas.3,10,11

Pengobatan, Prognosis dan Pencegahan Tidak ada pengobatan spesifik untuk kelainan hepatobiliaris sekunder karena penyakit/kelainan sistemik. Pengobatan ditujukan pada penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya. Abnormalitas biokimia hepar akan kembali normal setelah penyakit/kelainan sistemik mengalami penyembuhan. Bila ada kolestasis, perdarahan ataupun ensefalopati hepatik (gagal hati), maka pengobatan terhadap gangguan ini sama seperti bila gangguan ini disebabkan kelainan hepatobilier primer. Misalnya, pemberian vitamin A, D, E, dan K, urseodeoksikolat, dll pada kolestasis.8,12 Prognosis sangat tergantung dari penyakit/kelainan sistemik yang menyebabkannya. Penderita amiloidosis sistemik umumnya memiliki prognosis buruk dengan median survival kurang dari 2 tahun. Umumnya penderita meninggal karena kelainan jantung atau ginjal, jarang karena kelainan hepar. Walaupun pada beberapa kasus dilaporkan bahwa pemberian mefalan dan prednison bermanfaat. Pengobatan sistemik amiloidosis dengan kemoterapi tidak dianjurkan. Mortalitas penderita hepatitis iskemik (shock liver), (yang merupakan komplikasi gagal jantung kiri akut), mencapai 40-50% tetapi tidak ada korelasi dengan abnormalitas biokimia hepar. Adanya sirosis kardiak yang merupakan komplikasi hepatopati kongestif, tidak mempengaruhi prognosis. Pada penderita yang meninggal karena gagal jantung kongestif/gagal jantung kanan, sirosis kardiak dijumpai pada 4%-10% kasus. Bila penyakit berlangsung progresif yang ditandai dengan penurunan kesadaran, gangguan pembekuan yang tidak bisa dikoreksi dan penurunan kadar aminotransferase alanin yang disertai peningkatan kadar bilirubin serum, maka merupakan indikator prognosis yang buruk. Pada keadaan ini dapat dipertimbangkan transplantasi hepar.

Adanya infeksi sistemik pada penderita penyakit hepar kronis akan mencetuskan eksaserbasi. Karena itu mencegah penyakit yang menimbulkan gangguan hepar kronis (misal Hepatitis B) mungkin bermanfaat untuk mengurangi beratnya kelainan hepatobiliaris karena infeksi. Sama seperti pengobatan, tidak ada pencegahan spesifik penyakit hepatobiliaris karena penyakit/kelainan sistemik. Mengingat tingginya angka kejadian tuberkulosis di Indonesia, adanya hepatitis tuberkulosis harus diwaspadai. Imunisasi BCG akan mencegah/mengurangi hepatitis tuberkulosis yang merupakan komplikasi tuberkulosis primer.3,12 Pembatasan lamanya pemberian nutrisi parenteral akan mencegah kelainan hepar yang diakibatkan oleh nutrisi parenteral total. Pemberian makanan secara enteral harus secepat mungkin dilakukan walaupun dalam jumlah sedikit, untuk merangsang sekresi empedu. Bila ada gangguan biokimia hepar, nutrisi parenteral total harus dihentikan. Pemberian kolesistokinin dilaporkan memberikan hasil, karena merangsang aliran empedu dan menghambat kolestasis.13

Beberapa Penyakit Sistemik yang Mempengaruhi Hepar 1.

Kelainan hepar pada amiloidosis sistemik Amiloidosis adalah penyakit yang ditandai dengan penumpukan amiloid (serabut protein amorf dan tidak larut) di berbagai jaringan tubuh (amiloidosis sistemik). Penumpukan ini bila diwarnai dengan merah Congo menimbulkan gambaran materi eosinofilik yang homogen. Penumpukan amiloid ini menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi gangguan fungsi dan pembesaran organ seperti ginjal, jantung, hati dan lien. Terdapat hampir 20%-100% keterlibatan hepar (amiloidosis hepatik) pada penderita amiloidosis sistemik. Dikenal berbagai tipe amiloidosis sistemik: amiloidosis primer, amiloidosis sekunder, amiloidosis familial, amiloidosis sehubungan dengan penuaan (misalnya penyakit Alzheimer) dan amiloidosis yang berhubungan dengan dialisis. Namun hampir 90% dari amiloidosis tersebut adalah amiloidosis primer dan amiloidosis sekunder. Pada penderita amiloidosis primer dijumpai penumpukan amiloid yang terdiri dari imunoglobulin rantai pendek, tipe AL (amyloid light chain). Amiloidosis primer ini berhubungan dengan mieloma multipel, sedangkan amiloidosis sekunder atau amiloidosis reaktif dijumpai pada penderita Mediteranean familial fever dan penyakit radang kronis (seperti artritis reumatoid juvenilis, artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, inflammatory bowel disease, dll). Amiloidosis primer jarang dijumpai pada anak. Yang sering dijumpai adalah amiloidosis sekunder. Umumnya dijumpai pada usia lebih dari 15 tahun. Protein amiloid A (AA) merupakan amiloid yang dijumpai pada amiloidosis sekunder. Protein amiloid A ini merupakan reaktan fase akut sebagai respons terhadap infeksi kronis. Amiloidosis sekunder dicurigai bila ada penyakit radang kronis yang disertai dengan hepatomegali dan proteinuria.1,3,6

2. Kelainan hepar pada gagal jantung Gagal jantung dapat menyebabkan kelainan hepar karena adanya bendungan venosa hepatik dan curah jantung yang berkurang. Bendungan venosa hepatik disebabkan oleh peningkatan tekanan atrium kanan sekunder terhadap gagal jantung kanan, sedangkan curah jantung yang berkurang disebabkan oleh gagal jantung kiri. Masing-masing gejala klinis, biokimia dan gambaran histologis hepar akibat kedua hal ini berbeda, tetapi dipengaruhi oleh keseimbangan antara disfungsi jantung kanan dan jantung kiri. Berkurangnya curah jantung akut sekunder terhadap gagal jantung kiri akut menyebabkan hepatitis iskemia (shock liver). Dua pertiga dari aliran darah ke hepar berasal dari vena porta yang kaya akan nutrien, hormon dan enzim yang berasal dari saluran pencernaan. Sisanya berasal dari arteri hepatika yang kaya akan oksigen. Karena itu daerah periportal mendapat darah yang kaya akan nutrien, oksigen, hormon dan enzim untuk pernafasan sel. Sedangkan daerah perisentral mendapat darah yang miskin akan substrat-substrat tersebut dan oksigen. Bila ada gangguan sirkulasi akut, maka yang pertama kali menderita adalah daerah perisentral. Area perisentral akan nekrosis tanpa adanya inflamasi. Karena itu penamaan hepatitis iskemik tidaklah tepat. Nekrosis hepatik menyebabkan ikterus, asidosis laktat, peningkatan kadar aminotransferase serum, pemanjangan masa protrombin dan hipoglikemia. Manifestasi hepatitis iskemik lebih banyak bersifat laboratoris. Peningkatan kadar aminotransferase serum dan dehidrogenase laktat >25 kali di atas nilai normal dalam 1-3 hari setelah episode hipotensi sistemik akan diikuti nilai normal dalam 7-10 hari bila gagal jantung sembuh. Tekanan atrium kanan yang meningkat akibat gagal jantung kanan menyebabkan kongesti venosa hepatik (hepatopati kongestif). Akibatnya terjadi distensi sinusoidal sentrizonal. Distensi menyebabkan asites dan gejala hipertensi porta lainnya. Distensi juga akan mengganggu difusi oksigen ke hepatosit sentrolobuler (hipoksia), sehingga terjadi perdarahan, atrofi karena tekanan, dan nekrosis hepatosit. Ikterus dan pembesaran yang disertai nyeri hepar akan dijumpai. Nekrosis hepatoselular tidak absolut berkorelasi dengan beratnya gagal jantung. Perdarahan menyebabkan area sentrolobular yang berwarna merah yang kontras dengan area midzonal dan periportal yang berwarna pucat/normal. Pada irisan hepar, gambaran ini disebut nutmeg appearance. Bila kongestif berat dan berlangsung lama, anyaman retikulin di sekitar vena sentralis akan kolaps, dan jaringan ikat dan retikulin yang kolaps akan meluas dari satu vena sentralis ke vena sentralis lainnya. Jaringan ikat yang menghubungkan vena sentralis yang berdekatan membentuk reverse lobulation, ini merupakan gambaran yang unik dari sirosis kardiak. Pembentukan nodul yang lebih luas jarang dijumpai pada sirosis kardiak, karena penderita umumnya meninggal lebih awal akibat gagal jantung. Sirosis kardiak tidak akan menyebabkan hipertensi porta yang berat seperti pecahnya varises esophagus. Stigmata penyakit hepar kronis seperti eritema palmaris, spider angioma dan caput medusae jarang dijumpai. Pemeriksaan laboratorium tidak dapat membedakan sirosis kardiak dengan hepatopati kongestif nonsirosis. Hubungan masing-masing area lobulus hepar dapat dilihat pada gambar 18.2.1,3,6

Asinus Hepar (Rappaport)

Zone 1 (Periportal)

Zone 2 (Midzonal)

Portal triad

Zone 3 (Perisentral/Sentrizonal) V.sentralis

Perilobular

Sentrolobular

Lobulus hepar klasik (Kiernan)

Gambar 18.2. Hubungan masing-masing area menurut asinus hepar dari Rappaport (pusat di triade portal) dan lobulus hepar klasik dari Kiernan (pusat di vena sentralis).

3. Kelainan hati pada sepsis Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang disebabkan infeksi (bakteremia + respons inflamasi sistemik). Respons inflamasi sistemik dapat juga disebabkan oleh noninfeksi (sepsis like illness). Sepsis dapat menyebabkan kelainan hepatobiliaris dan organisme penyebab yang paling sering adalah Escheria coli, Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeroginosa.

Diduga, endotoksin bakteri merangsang sel retikuloendotelial hepar (sel Kupffer) untuk melepaskan mediator inflamasi. Agen proinflamatorik seperti sitokin (tumor necrosis factor, interleukin 1 dan 8) dan leukotrien merangsang kemotaksis, peningkatan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos vaskular. Permeabilitas vaskular yang meninggi menyebabkan ekstravasasi plasma sehingga terjadi edema periduktular yang mengakibatkan kolestasis. Kontraksi pembuluh darah menyebabkan hipoperfusi sehingga terjadi iskemia (lihat gambar 18.3). Suatu penelitian eksperimental pada gagal hati fulminan menunjukkan bahwa pemberian antagonis reseptor leukotrien menyebabkan berkurangnya kerusakan hepatosit.

Endotoksin sirkulasi

Lepasnya agen proinflamasi dari Sel Kupffer

Kemotaksis

Lepasnya oksidan

Permeabilitas vaskular meningkat

Ekstravasasi plasma

protease dari lekosit Edema periduktular

Kolestasis Gambar 18.3. Patogenesis kelainan hepatobiliaris pada sepsis

Kontraksi vaskular

Hipoperfusi

Biopsi hepar menunjukkan kolestasis intrahepatik, sedikit/tanpa nekrosis hepatosit, hiperplasia sel Kupffer, dan inflamasi portal. Gejala klinis bisa ringan dan sukar dibedakan dari penyebab kolestasis lainnya. Terdapat peningkatan kadar bilirubin (terutama bilirubin terkonjugasi), fosfatase alkali dan aminotransferase serum. Sepsis juga dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tanpa kolestasis. Namun yang dominan adalah gejala sepsis. Abnormalitas biokimia hepar, dijumpai 2-4 hari setelah onset infeksi sistemik dan kembali normal dengan pengobatan infeksi primer yang sesuai. Abnormalitas biokimia hepar ini hanya sedikit mempengaruhi prognosis. Prognosis sangat bergantung pada penyakit yang mendasarinya. Ultrasonografi dipertimbangkan untuk penyebab lain dari obstruksi saluran empedu dan kolelitiasis.1,3,6

4. Kelainan hepar pada nutrisi parenteral total Kelainan hepar akibat nutrisi parenteral total tergantung pada umur penderita dan lamanya mendapat nutrisi parenteral total. Pada bayi, kolestasis merupakan gejala dominan sedangkan pada anak yang lebih tua dan dewasa terjadi steatosis dan steatohepatitis. Kedua golongan ini menyebabkan timbulnya lumpur empedu dan kolelitiasis, dan juga berakhir dengan end stage liver disease (sirosis hepatis). Gambaran histologis kelainan hepar bervariasi dan tidak spesifik. Area porta edematosa dan kolestasis diperberat dengan terbentuknya jaringan ikat. Bila proses berlanjut, terbentuklah fibrosis yang menghubungkan satu area porta dengan area porta lainnya disertai proliferasi saluran empedu. Hampir semua menunjukkan gambaran perikolangitis yang diinfiltrasi granulosit dan sel mononuklear. Berdasarkan perjalanan penyakit, manifestasi kelainan hepar karena nutrisi parenteral total dapat dibagi atas gejala awal dan gejala lambat. Gejala awal yang merupakan manifestasi kolestasis, umumnya dijumpai 2-3 minggu setelah pemberian nutrisi parenteral total yang ditandai dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi, fosfatase alkali, dan transpeptidase gamma glutamil dalam serum. Bila pada saat ini nutrisi parenteral total dihentikan, hasil pemeriksaan biokimia hepar kembali normal dan tidak akan dijumpai gejala lambat. Berlanjutnya pemberian nutrisi parenteral total akan menyebabkan terjadinya kerusakan hepar permanen, misalnya fibrosis dan sirosis hepatis. Patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total, kemungkinan multifaktorial. Saluran pencernaan sangat erat hubungannya dengan hepar baik secara anatomi maupun fisiologi. Makanan dalam saluran pencernaan merangsang sekresi hormon pencernaan seperti kolesistokinin, pankreozimin, sekretin, enteroglukagon, dll. Kolesistokinin dan pankreozimin merangsang kontraksi kandung empedu, sekretin merangsang sekresi empedu, sedangkan enteroglukagon mempengaruhi ambilan asam empedu oleh hepatosit. Tidak adanya makanan dalam saluran pencernaan (starvasi enteral) merupakan faktor penting dalam patogenesis kelainan hepar pada nutrisi parenteral total. Pada bayi, keadaan ini diperberat dengan adanya imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu. Pengaturan aliran empedu tergantung dari ambilan asam empedu oleh hepatosit, proses dalam hepatosit, dan sekresi kenalikular.1,3,6

Akibat-akibat imaturitas sirkulasi enterohepatik asam empedu dapat dilihat pada tabel 18.3.

Tabel 18.3. Imaturitas Sirkulasi Enterohepatik Asam Empedu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Peningkatan kadar asam empedu serum. Penurunan ambilan asam empedu oleh hepatosit. Gangguan pengikatan dan transport asam empedu di hepatosit. Gangguan jalur metabolik asam empedu (konjugasi dan sulfasi) Gangguan sintesis asam empedu. Penurunan pool asam empedu. Penurunan aliran empedu. Penurunan kadar asam empedu dalam usus. Penurunan reabsorpsi asam empedu dalam ileum.

Sumber: O’Brien6

Tidak adanya makanan dalam lumen saluran pencernaan (pada bayi diperberat dengan imaturitas sirkulasi enterohepatik), mengurangi aliran dan pembentukan empedu, karena tidak ada stimuli sekresi kolesistokinin - pankreozimin, sekretin, dan enteroglukagon. Hal ini menyebabkan terjadinya kolestasis dengan segala akibatnya. Sedikit atau tidak adanya asam empedu dalam lumen usus menyebabkan penurunan sirkulasi enterohepatik asam empedu. Ini mengakibatkan pool asam empedu berkurang (hampir 95% asam empedu yang terdapat dalam pool asam empedu berasal dari sirkulasi enterohepatik, sedangkan sisanya berasal dari sintesis dalam hepatosit). Perubahan pool asam empedu ini menyebabkan lumpur empedu dan batu empedu (kombinasi kolesterol dan bilirubin). Isi kandung empedu bersifat kental dan kering. Enteral starvation menyebabkan over growth bakteri terutama bakteri anaerob (misalnya Bacteroides), mengakibatkan terbentuknya asam litokolat (bersifat toksik bagi hepar). Asam litokolat dijumpai pada serum bayi yang mengalami kolestasis sehubungan dengan nutrisi parenteral total. Harus pula dipertimbangkan kemungkinan adanya ketidakseimbangan nutrien dalam larutan nutrisi parenteral, misalnya defisiensi taurin, defisiensi karnitin, dan kelebihan asam amino. Taurin dan karnitin bukan merupakan asam amino esensial tetapi taurin dibutuhkan dalam proses konjugasi asam empedu primer. Sedangkan karnitin diperlukan untuk oksidasi asam lemak. Penderita yang mendapat larutan nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang tinggi, memiliki kadar bilirubin terkonjugasi dalam serum yang lebih tinggi daripada penderita yang mendapat larutan nutrisi parenteral dengan kadar asam amino yang rendah. Asam amino mungkin menghambat pembentukan asam empedu. Adanya kontaminasi larutan nutrisi parenteral juga harus dipikirkan (misalnya natrium bisulfat, produk foto oksidan, aluminium, dll) sebagai penyebab kolestasis.1,3,6

Daftar Pustaka 1.

2. 3. 4. 5. 6.

7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Schwimmer J, Balisteri WF. Liver disease associated with systemic disorders. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: WB Saunders. 2004. h. 1333-5. Ganong WF. Review of medical physiology. Edisi ke-21. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2003. h. 483-516. Beath SV. The liver disease in systemic illness. Dalam: Kelly DAA, penyunting. Edisi pertama. Oxford: Blackwell Science ltd. 1999. h. 213-27. Klatskin G. Hepatitis associated with systemic infection. Dalam: Schiff L, penyunting. Disease of the liver. Philadelphia: J.B.Lippincot Co. h. 395-419. Dickson RC. The liver in systemic disease. Dalam: O’Grady JG, Lake JR, Howde PD, penyunting. Comprehensive clinical hepatology. London: Mosby. 2000. h. 3202-12. O’Brien CB. Systemic condition affecting the liver. Dalam: Parker WA, Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management. Volume 2. Philadelphia: BC.Decker Inc. 1991. h.1081-86. Markel H. Fever unknown origin, weight loss, and hepatomegaly in a 3-year-old boy. J Pediatr. 1988; 112(2): 308-13. Holdaway IM. Inappropriate secretion of ADH. Pathogenesis work-up and management. Medical Progress. 1988; 15(6). Junqueira LC, Carneiro J, Kelley RO. Basic histology. Edisi ke-8. London: Prentice-Hall International Inc. 1995. h. 301-24. Cello JP, Grendell JH. The liver systemic condition. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A textbook of liver disease. Volume 2. Edisi ke-2. Philadelphia: WB Saunders Co. 1990. h.1411-35. Farel MK, Bucuvalas JC. Systemic disease and the liver. Dalam: Suchy FJ, penyunting. St.Louis: Mosby. 1994. h. 580-97. Grendell JH. The liver in systemic disease. Dalam: Friedman LS, Keeffe EB, Maddrey WC. Handbook of liver disease. Philadelphia: Churchill-Livingstone. 1998. h. 305-13. Fischer RL. Hepatobiliary abnormalities with total parenteral nutrition. Gastroenterol Clin North Am. 1989; September: 645-66.

BAB XIX HEPATITIS KRONIS PADA ANAK Nenny Sri Mulyani

Ilustrasi Kasus Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dengan ALL dalam terapi. Pada saat kortikosteroid dihentikan anak tersebut menderita hepatitis fulminan dan meninggal tanpa transplantasi hati. Riwayat pada keluarga yang penting: ibu HBsAg positif, adiknya yang berusia 11 tahun terdiagnosis sirosis hepatis karena hepatitis B dan meninggal karena muntah darah dan syok yang tidak tertangani. Lima orang saudaranya HBsAg positif.

Pendahuluan Manifestasi klinis hepatitis kronis sangat bervariasi, dari yang tidak bergejala, yang bergejala nyata dengan tanda klinis penyakit hati yang jelas, hingga yang sudah menunjukkan komplikasi berupa karsinoma hepatoselular. Contoh jelasnya adalah hepatitis B tanpa gejala, dimana manifestasi sirosis baru tampak jauh setelah sirosis itu sendiri terjadi. Oleh sebab itu, banyak penderita datang dalam keadaan fase lanjut. Akan tetapi pada keadaan tertentu, misalnya penyakit hati metabolik autoimun, sudah dapat diprediksi bahwa perjalanan penyakit akan menjadi kronis.1,2

Definisi Hepatitis kronis didefinisikan sebagai peradangan kronis hati tanpa tanda perbaikan yang berlangsung selama enam bulan atau lebih.3

Angka Kejadian Prevalensi hepatitis kronis pada anak secara nyata tidak pernah dilaporkan.

Etiologi

Penyebab hepatitis kronis yang penting pada anak adalah sebagai berikut: hepatitis autoimun, penyakit hati metabolik misalnya defisiensi α1 antitripsin, tirosinemia, galaktosemia, penyakit Wilson, beberapa tipe glycogen storage disease (terutama tipe IV), hepatitis virus B dan D, dan sindroma Alagille.3,4

Patogenesis Akan dibahas beberapa contoh patogenesis hepatitis kronis dilihat dari beberapa penyebab penting: 1.

Hepatitis autoimun Penyebab penyakit hati autoimun adalah multifaktorial. Terdapat 2 tipe hepatitis autoimun berdasarkan antibodi yang terdeteksi saat diagnosis, yaitu: (1) hepatitis autoimun tipe I yang memiliki anti-smooth muscle antibody (SMA) atau antinuclear antibody (ANA), dan (2) hepatitis autoimun tipe II yang memiliki anti-liver kidney microsome antibody (LKM1) atau anti-liver cytosol type 1 antibody (LC1). Faktor-faktor yang terlibat dalam patogenesis hepatitis autoimun dapat dibagi menjadi empat grup yaitu penyebab genetik, usia dan jenis kelamin, sistem imun, serta faktor lingkungan.2,5

Faktor genetik. Telah dilaporkan adanya kasus hepatitis autoimun yang bersifat familial. Pada sebuah studi di Eropa prevalensi haplotipe HLA A1-B8-DR3 dan HLA A1-B8-DR3-DR52a secara signifikan lebih tinggi pada anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 daripada populasi kontrol. Pada populasi anak dengan hepatitis autoimun tipe 1 di Amerika Selatan ditemukan hubungan yang kuat dengan haplotipe HLA DRB1*1301-DQB1*0603; sedangkan keberadaan alel DRB1*07 meningkat secara signifikan pada hepatitis autoimun tipe II. Sesuai perannya sebagai molekul yang mempresentasikan antigen, alel-alel HLA, kemungkinan berperan juga dalam munculnya atau resistennya individu terhadap penyakit ini.

Faktor umur dan jenis kelamin Puncak insidensi hepatitis autoimun adalah pada kelompok umur prepubertas, dengan prevalensi terbanyak pada perempuan. Beberapa bukti secara tidak langsung menunjukkan bahwa estradiol berperan pada patogenesis penyakit ini. Perempuan prepubertas memiliki kadar estradiol yang lebih tinggi daripada laki-laki prepubertas. Karena estradiol berefek pada proliferasi dan fungsi limfosit perifer, perubahan kadar estradiol dapat menimbulkan ketidakseimbangan antara faktor pemicu dan penghambat imunitas, sehingga memberi kontribusi terhadap agresivitas penyakit ini pada masa pubertas. Remisi spontan penyakit ini telah diamati selama paruh kedua masa kehamilan. Pada periode ini faktor imunosupresif trofoblast menghambat proliferasi sel T dan aktivitas sel NK.

Respons imun Autoantibodi dapat menyebabkan manifestasi hepatitis autoimun apabila terdapat autoantigen pada membran hepatosit. Sitokrom P450 2D6 adalah antigen yang dapat dikenali oleh LKM1, tetapi perannya dalam hepatitis autoimun masih diperdebatkan.

2. Penyakit Wilson Adanya mutasi gen pada kromosom 13 yang mengkode ATPase tipe P menyebabkan gangguan ekskresi tembaga di saluran biliaris sehingga terjadi akumulasi progresif tembaga di hati, dan pada akhirnya berakibat kerusakan hati. Hal ini juga menyebabkan penumpukan tembaga di organ lain sehingga manifestasi klinisnya bervariasi. Kelainan pertama yang terjadi adalah penumpukan tembaga di hati yang terjadi pada awal kehidupan. Umumnya, pada dekade 1 atau 2 kehidupan deposit tembaga di hati sudah berlebih, sehingga akhirnya tembaga keluar dari hati menuju organ lain melalui sirkulasi darah. Pada saat tersebut kadar tembaga di hati turun, sebaliknya kadar tembaga di organ lain seperti otak, ginjal, mata dll meningkat sehingga terjadi gangguan neurologi, gangguan mata, ginjal, dll.2,4

3. Defisiensi α1 antitripsin Ada beberapa teori yang menjelaskan patogenesis kerusakan sel hati pada defisiensi α1 antitripsin. Teori umum yang diterima adalah teori akumulasi. Teori ini menyatakan bahwa kerusakan hati terjadi akibat akumulasi protein mutan dari α1 antitripsin di sistem retikuloendotelial sel hati. Akumulasi tersebut menyebabkan pembentukan polimer protein unik, aktivasi autofagi, kerusakan mitokondria, stres pada retikulum endoplasmikum, serta aktivasi kaspase yang menyebabkan kerusakan hepatoselular.6.7

4. Hepatitis B kronis Perjalanan penyakit hepatitis B tergantung pada replikasi virus pada hepatosit yang berkelanjutan serta status imunologi penderita. Virus tidak langsung berefek sitopatik dan progresivitas hepatitis kronik tergantung pada respon imun hospes. Perjalanan infeksi akut virus hepatitis B yang akhirnya menjadi hepatitis kronis disebabkan oleh respon imun selular yang buruk dalam mengeliminasi virus hepatitis. Pada respon imun selular yang adekuat, hepatosit yang terinfeksi akan dilisiskan oleh sel T sitotoksik, namun jika tidak adekuat maka virus akan berproliferasi dengan fungsi hati yang normal. Perjalanan penyakit hepatitis B kronis mencerminkan interaksi dinamis antara hospes dan virus. Interaksi tersebut terkait dengan keadaan imun hospes, yang tergambar dari manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B yang berbeda pada anak bila dibandingkan dengan dewasa. Manifestasi klinis infeksi virus hepatitis B pada anak sangat tergantung

pada umur terjadinya infeksi. Kenyataan bahwa hampir 90% infeksi hepatitis B terjadi pada saat bayi, dan 40%-70% sebelum umur tiga tahun menunjukkan bahwa belum sempurnanya sistem imun anak erat kaitannya dengan kejadian infeksi. Pada anak, perjalanan penyakit hepatitis B dapat disertai gejala maupun tanpa gejala. Ini menyulitkan dalam penentuan durasi yang diperlukan hepatitis B kronik untuk akhirnya menjadi sirosis hepatis. Terdapat beberapa kasus sirosis hepatis yang terdiagnosis pada anak usia 3-6 tahun dan bayi.8,9 Sebagian kecil hepatitis kronis pada anak didahului adanya suatu periode akut infeksi virus hepatits B. Periode akut ini terjadi karena sistem imun bereaksi dan menimbulkan respon imun terhadap virus. Sistem imun bereaksi terhadap infeksi virus hepatitis B melalui innate immunity dan adaptive immunity, yang terdiri dari imunitas seluler maupun imunitas humoral. Innate immunity bereaksi pertama kali dalam usaha menghadapi infeksi virus hepatitis B. Mekanisme imun ini dicetuskan sendiri oleh hepatosit yang terinfeksi dengan mensekresi interferon (IFN) alfa dan beta yang akan menghambat replikasi virus dan selanjutnya mengaktifkan sel NK (natural killer). Mekanisme respon imun selular merupakan mekanisme imun spesifik terhadap virus hepatitis B. Respon imun ini juga banyak terlibat dalam cedera hepatosit melalui cara-cara antara lain sebagai berikut: a. Ekspresi MHC (HLA) kelas I terhadap HBcAg atau HBeAg pada membran hepatosit yang terinfeksi oleh virus hepatitis B disertai dengan produksi sitokin berupa interferonά untuk menghambat sintesis protein virus dan melindungi hepatosit yang lain. b. Terjadi efek sitopatik langsung akibat ekspresi dari HBcAg pada hepatosit terinfeksi, melalui ekspresi liver specific antigen pada membran yang antigenik dan menjadi sasaran dari sel T sitotoksik. c. Terjadi proses kenaikan kadar HBsAg yang cukup tinggi dan terjadi eradikasi yang tidak efisien terhadap HBsAg yang beredar. Kronisitas hepatitis B tergantung dari proses eradikasi virus dari hepatosit melalui mekanisme imunitas selular dengan perantara sel T sitotoksik. Jika sel T sitotoksik tidak berhasil menghancurkan semua hepatosit maka proses akan berkepanjangan dan menjadi kronis. Ini dapat disebabkan kegagalan lisis hepatosit yang terinfeksi.1,8,9

Gambar 19.1. Mekanisme respon imun selular terhadap infeksi virus hepatits B

Ekspansi

Aktivasi,

Klonal Antibodi

Diferensiasi

Virus masuk

Hepatosit

Lisis

Ekspansi Klonal (Sel Th1 atau Th2)

Fase Imunoaktif Toleran

DNA

ALT

Fase Inaktif

Sembuh

5-10 %

Infeksi Akut

Infeksi

Kanker Hati

30 %

Sirosis

khronik

Transplantasi

Mati

Hati

23 % dalam 5 tahun Dekompensasi > 90 % anak-anak

Hati

< 5 % dewasa

Hepatitis kronis umumnya berlangsung bertahun-tahun, selama waktu tersebut penderita melewati beberapa fase dari hepatits kronis, diantaranya sebagai berikut: 1. Fase Imunotoleran Fase imunotoleran terjadi pada umur muda dan biasanya berlangsung selama 10-30 tahun setelah masa infeksi perinatal dengan status HBeAg positif, dengan kadar HBV DNA 2 x 104–2 x 108 IU/ml dan kadar ALT yang persisten normal 2. Fase imunoaktif Fase imunoaktif ditandai dengan status HBeAg positif atau negatif, status kadar HBV DNA 2 x 103–2 x 107 IU/ml, dan level ALT yang meningkat secara persisten, pada fase ini pasien bisa simtomatik. 3. Fase non-replikatif Fase non-replikatif terkait dengan karier HBsAG negatif, selama serokonversi karena proses spontan atau karena pengobatan, terjadi kondisi karier HBsAG negatif dengan status HBeAg negatif. Fase ini ditandai dengan kadar HBV DNA <2 x 103 IU/ml (sering tidak terdeteksi), dengan ALT normal atau sedikit meningkat. 4. Fase residual

Virus hepatitis B pada fase ini berintegrasi dan bereplikasi di dalam hepatosit. Proses berlangsung tanpa onkogenesis langsung dari virus yang bisa berakibat menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular. Pada fase ini terjadi reaktivasi hepatitis dan kadangkadang disertai dengan dekompensasi hati.

Perjalanan Infeksi virus hepatits B menjadi kronik dapat berlangsung lama, kira-kira selama 30 tahun. Beberapa penderita hepatits B kronis pada akhirnya akan menderita karsinoma hepatoselular. Kejadian ini terutama terjadi pada laki-laki dengan sirosis yang terinfeksi virus hepatits B pada masa awal anak-anak. Sekitar 60%-90% pasien karsinoma hepatoselular memiliki latar belakang sirosis hepatis namun hanya sekitar 5% dari kasus sirosis hepatis yang berkembang menjadi kasus karsinoma hepatoselular. Hampir sekitar 80% kasus kanker hati di dunia disebabkan oleh virus hepatitis B.1,8,9

Manifestasi Klinis Manifestasi hepatitis kronis persisten biasanya tidak jelas atau tanpa gejala. Penderita mengeluhkan sesuatu yang tidak khas seperti kelelahan, nafsu makan memburuk, intoleransi lemak serta rasa tak nyaman di daerah hati. Pemeriksaan fisik bisa saja normal atau terdapat ikterus yang ringan sampai sedang, hati dapat besar (hepatomegali) atau mengecil, bisa didapatkan nyeri tekan, eritema palmaris, spider vascular dan splenomegali. Hepatitis kronis karena autoimun menunjukkan gejala dan tanda yang melibatkan organ lain seperti terdapatnya artritis, vaskulitis, nefritis, tiroiditis, anemia hemolitik dan terdapatnya ruam.2,4 Penyakit Wilson sama dengan etiologi yang lain akan menunjukan gejala dan tanda hepatitis kronis seperti hepatomegali asimtomatik dengan atau tanpa splenomegali, hipertensi portal, asites, edema, perdarahan varises esofagus, atau efek yang timbul oleh kelainan fungsi hati seperti pubertas terlambat, amenorea, dan gangguan pembekuan darah. Penderita anak awalnya lebih menunjukkan penyakit hati kronis, seiring bertambahnya umur manifestasi ekstrahepatik lebih dominan antara lain tremor, disartria, distonia, deteriorasi di sekolah atau perubahan perilaku.3,4 Penderita dengan defisiensi α1 antitripsin manifestasi penyakitnya bervariasi. Kolestasis dan hepatomegali dapat ditemukan pada minggu pertama kehidupan namun ikterik biasanya menghilang pada umur 2-4 bulan. Penyakit akan berlanjut menjadi hepatitis kronis dan sirosis. Anak yang lebih besar akan lebih menunjukkan gejala dan tanda karena sirosis dan komplikasinya seperti hipertensi portal.6,7 Hepatitis B kronis dapat berkembang menjadi sirosis dan karsinoma hepatoselular sehingga manifestasi klinisnya sesuai manifestasi klinis sirosis yang terkompensasi ataupun yang dekompensata, dan karsinoma hepatoselular.1,8

Diagnosis Hepatitis kronis diketahui secara kebetulan pada saat pemeriksaan AST, ALT ataupun apabila ditemukan tanda-tanda stigmata penyakit hati kronis. Diagnosis etiologi ditegakkan dengan upaya-upaya anamnesis dan pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk masingmasing penyebab. .

1.

Hepatitis autoimun Adanya hepatitis kronis dan manifestasi sistemik lain seperti atralgia, akne, amenorrhea adalah khas pada hepatitis autoimun. Diagnosis ditegakkan dengan adanya tanda di atas ditambah ANA positif , SMA positif, dan LKMA positif.2,4

2. Penyakit Wilson Diagnosis penyakit Wilson ditegakkan dengan adanya manifestasi klinis dari penyakit hepar dan manifestasi ekstrahepatik seperti gangguan neurologis serta adanya penurunan kadar seruloplasmin dalam serum kurang dari 20 mg/dl (nilai normal: 23- 43 mg/dl), tetapi pada keadaan akut fulminan kadar tembaga sangat meningkat karena nekrosis hati hepar yang masif yang mengeluarkan banyak tembaga, peningkatan ekskresi tembaga di urin dalam 24 jam (lebih dari 190 μg/d), adanya cincin Kayser-Fleischer di iris, tembaga pada hepar lebih dari 250 μg/g (normalnya < 20 μg/g pada jaringan basah). Adanya tandatanda anemia hemolitik, bilirubin yang sangat meningkat dan fosfatase alkali yang rendah adalah khas untuk penyakit Wilson akut.3,4

3. Defisiensi α1 antitripsin. Diagnosis ini ditegakkan dengan adanya kadar α1 antitripsin serum <50–80 mg/dl, ditemukan fenotip spesifik (Pi ZZ, SZ), deteksi deposit dari diastase-resistant glycoprotein di periporta hepatosit, biopsi hati menunjukkan bukti adanya penyakit hati dan riwayat keluarga adanya penyakit paru atau hati pada usia muda.6,7

4.

Hepatitis B kronis Untuk menetapkan diagnosis hepatitis B kronis digunakan kriteria diagnostik yang mencakup antara lain: - Status HbsAg positif selama lebih dari enam bulan - Pada pemeriksaan serologi didapatkan kadar HBV DNA di serum 20,000 IU/ml (100.000 kopi/ml) atau batas terendah 2.000-20.000 IU/ml (10.000-100.000 kopi/ml)

- Kenaikan kadar AST /ALT di dalam serum yang persisten atau intermiten - Pada biopsi hati terlihat gambaran hepatitis kronis dengan nekrosis dan inflamasi sedang sampai berat Penderita hepatitis B kronis dikatakan sebagai karier HBsAg inaktif jika memenuhi kriteria berikut: (1) status HBsAg menetap lebih dari enam bulan, (2) HBeAg negatif dengan antiHBe positif, (3) kadar HBV DNA dalam serum 2.000 IU/ml, dan (3) kadar ALT/AST dalam serum dan biopsi hati persisten normal. Seseorang dikatakan sembuh dari hepatitis B jika adanya riwayat hepatits akut atau kronik, status anti HBc positif dengan atau tanpa anti HBs, HBsAg negatif, HBV DNA tidak terdeteksi di serum dan kadar AST/ALT serum normal. Biopsi hati dilakukan untuk menentukan tingkat keparahan (grade) dan stadium dari penyakit (stage).1,8,9

Tabel 19.1. Parameter laboratorium dan penanda imunologi pada hepatitis B. Petanda imunologi

akut

Kronik

Pernah terinfeksi

HBsAg

+

+

-

HBeAg

awal + kemudian -

+/-

-

anti-HBs

-

-

+

IgM anti-HBc

+

-

-

IgG anti-HBc

+

+

+

anti-HBe

awal - kemudian +

+

+

HBV DNA

awal + kemudian -

+

-

ALT

sangat ↑

↑ ringan-moderat

normal

Sumber: Ganem8

Penatalaksanaan Dalam melakukan tatalaksana harus selalu disesuaikan dengan EBM yang selalu dilakukan up date.

1.

Hepatitis autoimun Tujuan terapi hepatitis autoimun adalah mengurangi dan menghilangkan peradangan hati dengan efek samping minimal. Golongan kortikosteroid prednison bisa digunakan dengan

dosis awal of 1–2 mg/kgBB/hari, dan dilanjutkan sampai nilai transaminase kembali sampai kurang dari 2 kali batas atas normal. Dosis diturunkan sampai 0,2–0,3 mg/kgBB/hari untuk pemeliharaan. Obat-obatan imunosupresif seperti azatioprin digunakan jika tidak ada respon terhadap pengobatan steroid.2,4

2. Penyakit Wilson Terapi pada penyakit Wilson adalah pemberian copper chelating agents seperti penisilamin atau trientin dan pemantauan ekskresi tembaga dalam urin. Jika ekskresi tembaga urin menurun maka bisa diberikan garam seng. Terapi yang adekuat juga dilakukan untuk mencegah gangguan sistem saraf yang lebih lanjut.3,4

3. Defisiensi α1 antitripsin Sampai saat ini belum ada terapi untuk penyakit ini. Penatalaksanaan dilakukan secara suportif untuk mengurangi derajat kerusakan hati. Tranplantasi hati adalah salah satu metode kuratif saat ini. Di masa depan mungkin bisa dilakukan terapi gen.6,7

4. Hepatitis B kronis Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan hepatitis kronis khususnya hepatitis B kronis bertujuan mengeradikasi virus dari dalam tubuh atau mengurangi tingkat replikasi virus dan terjadinya penyembuhan penyakit hati yang ditandai dengan menghilangnya HBsAg, HBeAg, DNA polimerase dan HBV DNA dan juga perubahan kadar SGOT dan SGPT dalam batas normal. Tujuan utama adalah mencegah hepatitis kronis berkembang menjadi sirosis hepatis, gagal hati dan karsinoma hepatoselular. Tujuan lain hanya untuk memperbaiki derajat penyakit, dengan menghilangkan gejala klinik, memperbaiki hasil laboratorium seperti SGOT, SGPT dan fungsi hati. Secara garis besar terdapat tiga macam obat yang digunakan dalam pengobatan terhadap hepatitis B kronik. Obat-obatan bekerja dengan cara mencegah proses replikasi virus hepatitis B. Obat-obat yang digunakan antara lain interferon alfa dan obat-obatan antiviral, seperti lamivudin dan adefovir.10,11

-

Interferon alfa Interferon alfa bekerja sebagai antivirus, antiproliferatif dan imunomodulator. Interferon alfa diindikasikan pada anak yang berusia lebih dari 2 tahun dengan status HBeAg positif dan HBV DNA positif serta kadar ALT setidaknya dua kali lipat batas normal. Pemberian interferon alfa pada anak kurang dari 2 tahun bisa menyebabkan retardasi pertumbuhan. Beberapa ahli tidak mendapatkan retardasi pertumbuhan yang

signifikan pada anak berusia dibawah 2 tahun yang diterapi dengan interferon alfa. Dosis yang digunakan adalah 5 MU/m2 dengan dosis maksimum 10 MU secara intramuskular atau subkutan 3 kali seminggu selama 4 sampai 6 bulan. Keberhasilan terapi ditandai dengan kadar HBV DNA yang rendah dalam serum. Sekarang telah tersedia Pegylated Interferon alfa yang lebih mudah pemberiannya.10,11 Efek samping interferon alfa antara lain influenza-like illness yang ditandai dengan demam, menggigil, sakit kepala, badan lemah dan nyeri otot. Efek samping yang lain adalah lesu, anoreksia, kehilangan berat badan dan kerontokan rambut. Interferon alfa bisa berefek mielosupresif, tetapi netropenia (1000/mm3) dan trombositopenia (50,000/mm3) yang signifikan sangat jarang terjadi.11,12

- Lamivudin Obat lain yang digunakan antara lain adalah lamivudin, suatu agen antivirus yang bekerja pada DNA polimerase virus. Lamivudin diindikasikan pada penderita yang tidak berespons terhadap interferon atau kontraindikasi untuk terapi interferon. Dosis yang digunakan adalah 3 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 100 mg/hari selama 1 tahun yang sama efektif dengan terapi satu seri interferon alfa. Pada umumnya lamivudin bisa ditoleransi dengan baik oleh anak, tetapi beberapa ahli mendapatkan trombositopenia yang diinduksi oleh lamivudin. Resistensi lamivudin berkaitan dengan adanya covalently closed circular (ccc) HBV DNA pada sekitar 14%-32% penderita dengan HBeAg positif setelah terapi lamivudin selama setahun.13,14

- Adefovir Obat antiviral lain yang direkomendasikan FDA dan telah digunakan di Amerika dan Eropa adalah adefovir, suatu analog adenosin monofosfat yang bekerja pada enzim reverse trancriptase dan DNA polymerase serta menyebabkan terminasi rantai DNA virus. Penggunaan adefovir telah direkomendasikan untuk penderita hepatitis B kronis dewasa dengan dosis 10 mg per hari.10,11

Parameter laboratorium yang digunakan dalam menentukan respon terhadap terapi medikamentosa antara lain normalisasi kadar ALT di dalam serum, penurunan kadar DNA HBV, hilangnya HBeAg dengan atau tanpa adanya anti HBe dan terjadi perbaikan pada gambaran histologis hati.11,12 Beberapa keadaan perlu dilakukan pemantauan, terutama pada keadaan: - Hepatitis B kronis dengan HBeAg positif, HBV DNA >100.000 kopi/ml dan ALT normal dilakukan tes ALT setiap 3-6 bulan, jika ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes dilakukan setiap 1-3 bulan, jika ALT naik sampai >2 kali batas normal pertimbangkan untuk dilakukan biopsi hati.

- Hepatitis B kronis dengan status karier HBsAg inaktif dilakukan tes ALT setiap 6-12 bulan, jika kadar ALT >1-2 kali batas atas nilai normal tes HBV DNA dan lakukan skrining karsinoma hepatoselular pada populasi yang berisiko. Preventif Upaya preventif dilakukan dengan imunisasi aktif pada populasi yang berisiko untuk memotong jalur transmisi. Sasaran utama adalah bayi baru lahir yang divaksinasi segera setelah lahir dalam waktu 12 jam pertama kehidupan

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

EASL International Consensus Conference on Hepatitis B. Geneva, Switzerland, Journal of Hepatology volume 38. 2002: page 533–540. Lok, Anna S. F. and McMahon, Brian J. Chronic Hepatitis B. Hepatology, Vol. 45, No. 2. 2007. Behrman, Richard E. et al. Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. Elsevier, Philadelpia. 2004. Kliegman, Robert M; Marcdante, Karen J.; Jenson Hal B.; Berhman, Richard E. Nelson Essentials of Pediatrics fifth edition, Elsevier Saunders, Philadelphia. 2006. Suchy, Frederick J, Sokol, Ronald J., Balistreri, William F. (eds.) Liver Disease in Children. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins. 2004. Perlmutter,David H. Alpha-1-antitrypsin deficiency: diagnosis and treatment. Clinical Liver Disease. 2004; (8) 839-859. Teckman, Jeffrey H.; Lindblad,Douglas. Alpha-1-Antitrypsin Deficiency: Diagnosis, Pathophysiology and Management. Current Gastroenterology Reports. 2006; 8:14-20. Ganem, Don; Prince Alfred M. Hepatitis B Virus Infection, Natural History and Clinical Consequences. New England Journal of Medicine. 2004; 350: 1118-1129. Hepatitis B. Geneva, World Health Organization, WHO. Available at http:// www.who.int/csr/disease/hepatitis/HepatitisB_whocdscsrlyo2002_2.pdf. 2002. Management of hepatitis B and HIV coinfection, Clinical Protocol for the WHO European region. Geneva, World Health Organisation, WHO. Available at www.euro.who.int/document/SHA/e90840_chapter_7.pdf. 2005. Liberek, Anna; Luczak Graeyna; Gora-Gebka Magdalena; Landowski Piotr. Management of Chronis Hepatitis B in Children. Journal of Hepatitis B Annual, volume 3. 2006; page 106-127. Medical Management of Chronis hepatitis B and Chronic Hepatitis C. IDU HIV Prevention CDC. Available at http://www.cdc.gov/idu. 2002. Jonas, Maureen M et al. Clinical Trial of lamivudine in Children with Chronic Hepatitis B. New England Journal of Medicine. 2002; 346: 1706-1713. Liberek Anna, arska-Popławska Anna Szafl, Korzon Maria, Łuczak Grażyna, Góra-Gębka Magdalena, ŁośRycharska Ewa, Bako Wanda, Czerwionka-Szafl arska Mieczysława. Lamivudine therapy for children with chronic hepatitis B. World Journal of Gastroenterology. 2006; 12(15): 2412-2416.

BAB XX KOLESTASIS INTRAHEPATIK PADA BAYI DAN ANAK Julfina Bisanto

Ilustrasi kasus K, anak laki-laki berusia 44 hari, kuning pada mata dan sklera sejak berumur 1 bulan. Panas tidak terlalu tinggi, naik turun sejak berusia 2 minggu. Air seni berwarna seperti teh, tinja kuning pucat. Berat lahir 3700 gram. Pada pemeriksaan fisik didapatkan berat badan 5,5 kg (P 75-90 NCHS) lingkar kepala 37 cm (N), tampak ikterik, hati teraba 4 cm di bawah arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus xipoideus (membesar), tepi tajam, konsistensi kenyal, permukaan rata. Limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 10,5 g/dl, leukosit 12.000/ul, bilirubin direk 8,16 mg/dl, bilirubin indirek 4,04 mg/dl, ALT 201U/l (N:10-41U/l), AST 305 U/l (N:11-41U/l), GGT 129 U/l (N= 11-50 U/l), masa protrombin 12” (N), kolesterol 229 mg/dL. Urinalisis: protein (-), bilirubin (+3), leukosit 2-3/lpb. Kultur urine: Enterobacter aerogenes >105 CFU (Colony Forming Unit). USG abdomen 2 fase, didapatkan hepatomegali yang homogen, kandung empedu yang berkontraksi. Kesimpulan biopsi hati adalah suatu hepatitis neonatal dengan kemungkinan bersama atau menjadi atresia biliaris tidak dapat diabaikan karena ditemukan kolestasis intrasel dan intrakanal, duktulus agak bertambah, portal agak melebar, hematopoesis ekstramedular mencolok. Diagnosis yang ditegakkan pada anak ini adalah kolestasis intrahepatik akibat infeksi saluran kemih. Terapi yang diberikan adalah antibiotika yang sensitif, ursodeoksikolat, vitamin A, D, E, K. Fungsi hati membaik dalam 2 bulan.

Pendahuluan Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular, adalah sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan/atau aliran empedu yang terjadi di dalam hati. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama kehidupan dan disebut pula sebagai sindrom hepatitis neonatal. Keadaan ini mengakibatkan akumulasi, retensi, serta regurgitasi bahanbahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati. Penumpukan bahan yang harus diekskresikan oleh hati tersebut akan merusak sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari lamanya kolestasis berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis tersebut.1,2,3

Secara klinis, kolestasis ditandai dengan adanya ikterus, tinja berwarna pucat atau akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya pruritus, gagal tumbuh, dan lain-lain akibat dari penumpukan zat-zat yang seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.1,4,5 Penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih besar karena hati bayi yang masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi, kelainan genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai patofisiologi dan patogenesis kolestasis ini pada tingkat molekular serta perubahan dalam tes diagnostik masih terus terjadi secara berkesinambungan.2,3,6 Selanjutnya akan dibahas berbagai aspek mengenai kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dan kolestasis intrahepatik pada anak secara umum termasuk etiologi, patogenesis, manifestasi klinis dan komplikasinya, diagnosis, tatalaksana serta prognosisnya dan secara khusus pada beberapa penyakit dengan singkat.1,4,7

Faktor predisposisi terjadinya kolestasis intrahepatik pada neonatus Bayi baru lahir mengalami suatu periode kolestasis relatif (disebut juga kolestasis fisiologis) tanpa menderita sesuatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara lain karena pada periode tersebut ukuran pool asam empedu masih kecil, ambilan serta transportasi asam empedu belum efisien (tabel 1) sehingga bayi tersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis akibat berbagai keadaan/penyakit.5,8,9 Tabel 20.1. Faktor predisposisi neonatus untuk menderita kolestasis intrahepatik. Konsentrasi asam empedu serum basal tinggi. Ambilan asam empedu oleh hepatosit serta transportasinya belum efisien. Konjugasi, sulfatisasi, serta glukuronidasi asam empedu masih sedikit. Adanya asam empedu abnormal (atipik). Ukuran bile acid pool kecil. Sekresi asam empedu kurang. Konsentrasi asam empedu di lumen usus masih rendah. Reabsorpsi asam empedu di ileum masih sedikit. Sumber: Arce1

Patogenesis kolestasis intrahepatik10,11,12 Kolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan atau sekresi asam empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme transportasinya di dalam hati. Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter pada membran hepatosit dan sel epitel duktus biliaris (kolangiosit) dan pada struktur serta integritas fungsi aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan/ penyakit yang mempengaruhi fungsi normal tersebut akan menimbulkan kolestasis. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein- NCTP) pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada membran tersebut akan

2. 3.

4. 5.

berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada penggunaan estrogen atau akibat endotoksin. Berkurangnya transport intraselular karena perubahan keseimbangan kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu atipik di kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati. Keadaan ini dapat terjadi akibat penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen perikanalikulus atau berkurangnya transporter MDR 3 akibat pemakaian androgen, atau pengaruh endotoksin. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan empedu akibat lesi pada tight junction, misalnya pada pemakaian estrogen. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.4,5,10

Etiologi Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik, endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik seperti tercantum pada tabel 2 untuk bayi dan tabel 3 untuk anak. Biasanya dalam klinik, sukar untuk membedakan bermacam-macam etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal seperti tercantum di dalam tabel 2 tersebut, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel sebagai “idiopatik”. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini makin berkurang dengan kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta pemeriksaan biokimia yang canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan infeksi traktus urinarius merupakan penyebab yang paling sering.13,14 Tabel 20.2. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada bayi dan upaya diagnostiknya Penyakit 1. Infeksi *Infeksi congenital - Toksoplasma - Rubella - Cytomegalovirus - Herpes simpleks - Sifilis - Human herpesvirus-6, herpes zoster - Hepatits B - Hepatitis C - Human immunodeficiency virus - Parvovirus B19 - Syncytial giant cell hepatitis * Infeksi lain - Tuberkulosis - Sepsis - Sepsis virus enterik (echoviruses, Coxsackie A dan B, adenovirus) 2. Kelainan genetik Trisomi 18 (21), cat eye syndrome Penyakit Byler 3. Kelainan endokrin - Hipopituitarism (displasia septo-optik) - Hipotiroidism

Strategi Diagnostik Utama

IgM-anti toksoplasma IgM-anti rubella Kultur virus urin, IgM-anti CMV Mikroskop elektron/ kultur virus vesikel STS, VDRL, FTA-ABS, Ro Tulang panjang Serologi HBsAg, IgM-antiHBc, HBV-DNA HCV-RNA (RT-PCR) Anti-HIV, immunoglobulin, CD4 IgM antibody Giant cell hepatitis pada biopsi hati Mantoux, radiologi toraks Kultur darah Serologik, kultur virus cairan likuor

Kariotip GGT, tes genetik Kortisol, TSH ↓, T4↓ TSH↑, T4↓, free T4↓, T3↓

4. Paucity duktus biliaris - Sindrom Alagille - Paucity duktus non sindromik 5. Kelainan struktur - Carolli disease 6. Kelainan metabolik - Def. alfa 1 antitripsin - Fibrosis kistik - Galaktosemia - Tirosinemia -

Fruktosemia herediter Glycogen storage disease tipe IV Niemann-Pick Tipe A Niemann-Pick tipe C

- Penyakit Wolman - Kel.sintesis as.empedu primer - Sindrom Zellweger 7. Imunologik - L.E. neonatal - Hepatitis neonatal dengan AHA 8. Toksik - TPN - Obat

Ekokardiogram, embriotokson “butterfly vertebrae” Paucity pada biopsi

posterior,

USG, kolangiografi Kadar alfa 1 antitripsin serum, tipe PI Sweat chloride, immunoreactive trypsin Galaktose 1-6 phospate uridyltransferase Tirosin serum, methionin, AFP, suksinilaseton urin Biopsi hati: mik.elektron, aktivitas enzim Biopsi hati Aspirasi sum –sum tulang, spingomielinase Storage cells pada aspirasi sum-sum tulang, hati; biopsi rektum Radiologi kel.adrenal As.empedu urin Gambaran very long chain fatty acid Antibodi anti-Ro (bayi dan ibu) Coombs’ test, giant cell hepatitis Riwayat TPN obat

Sumber: Chang15

Tabel 20.3. Diagnosis diferensial kolestasis intrahepatik pada anak yang lebih besar. Infeksi virus akut (terutama HVA) Kelainan yang diturunkan: penyakit Wilson, fibrosis kistik Keganasan: leukemia, limfoma, tumor hati Bahan toksik: obat/ jamur Infeksi parasit: leptospirosis, skistosomiasis Idiopatik/ lesi sekunder: hepatitis kronik, kolitis ulserativa, artritis reumatoid, Obesitas Sumber: Chang15

Angka kejadian Angka kejadian kolestasis pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal dapat mencapai 1 dari 2500 kelahiran hidup. Mieli–Vergani dkk, (dikutip dari Suchy) melaporkan, kolestasis intrahepatik pada bayi sebanyak 675 (62%) dari 1086 bayi dengan kolestasis yang dirujuk ke RS King’s College selama 20 tahun (1970-1990). Hepatitis neonatal idiopatik merupakan penyebab tersering (49%) dengan perkiraan angka kejadian sebanyak 1 dari 5.000 kelahiran hidup. Penyebab kedua terbanyak yang dilaporkan oleh penulis yang sama adalah defisiensi -1antitripsin (28%) yang memang banyak dilaporkan pada ras kulit putih, dengan angka kejadian diperkirakan sebanyak 1 dari 20.000 kelahiran hidup. Tetapi tidak demikian halnya dengan di Asia yang dilaporkan oleh Chang, tidak ada satupun defisiensi -1-antitripsin diantara 300 kolestasis pada bayi.14,16

Di Subdivisi Hepatologi Anak FKUI/RSCM, dalam kurun waktu 2 tahun (2002-2003) telah dirawat sebanyak 119 (73,5%) kasus kolestasis intrahepatik dari 162 kasus kolestasis pada bayi.17

Manifestasi klinis dan komplikasi11,17,18,19 Tanpa memandang etiologinya yang sangat beragam, sindrom klinik yang timbul akibat kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal, maupun kolestasis intrahepatik pada anak berawal dari gejala ikterus, urin berwarna lebih gelap, dan tinja mungkin berwarna lebih pucat atau fluktuatif sampai dempul (akholik) tergantung pola minum/makan, lamanya kolestasis berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Urin yang lebih gelap ini pada bayi mungkin tidak terlampau nyata karena volume urine yang relatif banyak. Ikterus pada bayi biasanya merupakan ikterus fisiologis yang melanjut, dan pada sebagian kecil timbul pada umur 5-8 minggu, bahkan pada beberapa kasus timbul pada umur bayi yang lebih lanjut. Pada sindrom hepatitis neonatal, penderita mungkin kecil untuk masa kehamilan terutama pada sindrom Alagille, kelainan metabolik serta infeksi intrauterin, mungkin mengalami gagal tumbuh dan kesukaran minum. Mungkin pula terlihat rupa dismorfik pada trisomi 18, 21, sindrom Alagille, sindrom Zellweger (sindrom serebrohepatorenal) atau infeksi kongenital. Hipoglikemia dapat ditemukan pada penyakit metabolik, hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat. Ascites jarang ditemukan kecuali pada penyakit metabolik. Bising jantung dan kelainan neurologis dihubungkan dengan sindrom kongenital yang spesifik. Perdarahan mungkin ditemukan akibat defisiensi vitamin K atau trombositopenia. Gejala klinik serta manifestasi laboratoris lainnya adalah gejala klinik serta kelainan laboratoris penyakit yang menjadi penyebab kolestasis tersebut serta tergantung pula pada lamanya kolestasis berlangsung, dan juga luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan hepatomegali dan pada 40%-60% kasus juga ditemukan splenomegali. Mekanisme terjadinya gejala klinik serta kelainan pemeriksaan laboratorium pada kolestasis adalah keadaan sebagai berikut: 1. Berkurangnya garam empedu yang masuk ke usus sehingga mengakibatkan malabsorpsi lemak dan vitamin yang larut di dalamnya, dan juga diare. Warna tinja menjadi lebih pucat sampai dempul, dan urobilinogen urin berkurang atau tidak ada. Perubahan warna tinja serta urobilinogen urin ini, sejalan dengan jenis serta beratnya hambatan empedu tersebut dan berkorelasi pula dengan lamanya kolestasis yang berlangsung, serta luasnya kerusakan hati yang sudah terjadi. Pada kolestasis kronis, anak akan menderita malnutrisi dan retardasi pertumbuhan serta gejala defisiensi vitamin yang larut dalam lemak yaitu defisiensi vitamin A berupa kulit menebal dan rabun senja. Defisiensi vitamin A ini terjadi pada 35%-69% kolestasis kronis. Defisiensi vitamin D yang berupa osteopenia ditemukan pada 66% kolestasis kronis bila tidak mendapat suplementasi vitamin D. Defisiensi vitamin E yang berupa degenerasi neuromuskular, dan anemia hemolitik ditemukan pada 49%-77% bila tidak mendapat suplementasi vitamin tersebut. Defisiensi vitamin K dapat terjadi pada 25% kasus yang tidak mendapat suplementasi dan dapat mengakibatkan hipoprotrombinemia yang mungkin menunjukkan gejala perdarahan. 2. Penumpukan komponen empedu dalam darah yang mengakibatkan terjadinya ikterus, pruritus, xantomatosis dan hiperkolesterolemia. Kerusakan sel hati terjadi akibat penumpukan komponen empedu terutama asam empedu primer dan sekunder, serta

mineral, misalnya cuprum (Cu/ tembaga), yang bersifat hepatotoksik. Pada kolestasis kronik, kelainan hati menjadi progresif, dan selanjutnya terjadi sirosis biliaris dengan berbagai komplikasinya. Beberapa gejala klinik lain yang dapat memberikan petunjuk penyebab kolestasis pada bayi dapat dilihat pada tabel 20.4. Tabel 20.4. Gejala klinik pada beberapa penyebab kolestasis intrahepatik pada bayi Penyebab Infeksi CMV Infeksi Toksoplasma Infeksi Rubella Infeksi Herpes Infeksi Sifilis Galaktosemia Trisomi 21,18,13 Sindrom Alagille

Gejala klinik Mikrosefali, kalsifikasi ventrikuler, tuli saraf, korioretinitis, ventrikulomegali Hidrosefalus, mikrosefali, kalsifikasi intrakranial, korioretinitis, retardasi psikomotor Katarak, petekie, tuli saraf, mikrosefali, kelainan jantung, korioretinitis Rash, keratokonjungtivitis, ensefalitis Rinitis, rash, kelainan tulang Muntah, FTT, perdarahan kulit, sepsis, katarak. Anomali kongenital multipel Dismorfik, embriotokson, kelainan jantung, vertebra

Sumber: Boyer11

Diagnosis Diagnosis kolestasis intrahepatik dibuat berdasarkan: 1. Gejala klinik Dari anamnesis mungkin terdapat riwayat kolestasis pada saudara kandung, bila penyebabnya kelainan genetik atau metabolik. Demikian pula mengenai riwayat morbiditas selama kehamilan (infeksi TORCH, hepatitis B serta infeksi lainnya) dan riwayat kelahiran (adanya infeksi intrapartum, berat lahir), morbiditas perinatal, riwayat pemberian nutrisi parenteral, tranfusi serta penggunaan obat hepatotoksik yang mungkin ada bila keadaan tersebut merupakan penyebab kolestasis pada bayi tersebut. Gejala muntah dan riwayat hipoglikemia, mungkin ada bila penyebabnya sepsis, galaktosemia, intoleransi fruktosa atau tirosinemia.9,14,20 Keadaan umum penderita kolestasis intrahepatik pada bayi biasanya tampak sakit berat terutama akibat infeksi kongenital dan mungkin disertai dengan kelainan non hepatik lain seperti katarak, kalsifikasi intrakranial, wajah dismorfik, hipotoni atau gejala perinatal lainnya.21,22 2. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan laboratorium rutin dan khusus14,23 - Kadar bilirubin direk darah meningkat 1,5 mg/dl tanpa peningkatan kadar bilirubin indirek atau peningkatan 15% bilirubin total. Dalam urin ditemukan bilirubin. - Aminotransferase serum seringkali meningkat 2-4 x nilai normal; bila lebih tinggi memberi petunjuk adanya proses infeksi. ALT dan AST merupakan tes yang paling sering dilakukan untuk mengetahui adanya kerusakan hepatoseluler karena tes ini spesifik untuk mendeteksi adanya nekrosis hepatosit, akan tetapi tidak spesifik.

-

-

-

-

-

-

-

-

Dibandingkan dengan ALT, AST lebih spesifik untuk mendeteksi adanya penyakit hati karena kadar di jaringan lain relatif lebih rendah dibandingkan kadar di hati. Fosfatase alkali mungkin normal atau agak meningkat. Bila kadarnya lebih tinggi, lebih mengarah pada atresia biliaris atau ricketsia. Peningkatan abnormal enzim ini tidak dapat membedakan kolestasis ekstrahepatik dengan intrahepatik. Gamma-glutamyl transpeptidase (GGT) mungkin meningkat. GGT merupakan enzim yang dapat ditemukan pada epitel duktuli biliaris dan hepatosit hati. Aktivitasnya dapat ditemukan pada pankreas, lien, otak, mammae dan intestinum dengan kadar tertinggi pada tubulus renal. Karena enzim ini dapat ditemukan pada banyak jaringan, peningkatannya tidak spesifik mengindikasikan adanya penyakit hati. Bila fosfatase alkali tinggi dan GGT rendah (<100 U/l), mungkin suatu kolestasis familial progresif Byler atau gangguan sintesis garam empedu. Albumin biasanya masih normal pada awal perjalanan penyakit, tetapi akan menjadi rendah bila kelainan hati sudah berlanjut atau pada penyakit prenatal yang berat. Albumin merupakan protein utama serum yang hanya disintesis di reticulum endoplasma hepatosit dengan half life dalam serum sekitar 20 hari. Fungsi utamanya adalah untuk mempertahankan tekanan koloid osmotic intravascular dan sebagai pembawa (carrier) berbagai komponen dalam serum, termasuk bilirubin, ion-ion inorganic (contohnya kalsium), serta obat-obatan. Penurunan kadar albumin serum dapat disebabkan karena penurunan produksi akibat penyakit parenkim hati. Kadar albumin serum sering digunakan sebagai indicator utama kapasitas sintesis yang masih tersisa pada penyakit hati. Karena albumin memiliki half life yang panjang, kadar albumin serum yang rendah sering digunakan sebagai indikator adanya penyakit hati kronis. Masa protrombin biasanya normal tetapi mungkin memanjang yang dapat dikoreksi dengan vitamin K parenteral, kecuali bila telah terjadi gagal hati. Kolesterol biasanya masih dalam batas normal pada 4 bulan pertama. Hati merupakan tempat sintesis dan metabolism utama lipid dan lipoprotein sehingga apabila terdapat gangguan pada hati akan terjadi abnormalitas kadar lipid dan lipoprotein serum serta munculnya lipoprotein yang normalnya tidak ada pada individu sehat (contohnya Lipoprotein X). Bila ditemukan hipoglikemia harus dicurigai adanya kelainan metabolik, endokrin atau kelainan hati lanjut. Dengan pemeriksaan khusus yaitu spektrometri terhadap urin penderita, dapat dideteksi kelainan metabolisme asam empedu seperti defisiensi 3--hidroksisteroid dehidrogenase/ isomerase yang bermanifestasi sebagai penyakit hati yang berat. Pemeriksaan khusus serologis untuk mendeteksi infeksi toksoplasma, rubella, cytomegalovirus dan herpes (TORCH), hepatitis B (pemeriksaan pada bayi dan ibu), kultur darah dan urin, serta kadar -1-antitripsin dan fenotipenya sebaiknya dikerjakan. Untuk pemeriksaan khusus lainnya seperti hormon tiroid, asam amino dalam serum dan urin, zat reduktor di urin, galaktose-1 fosfat uridil transferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas indikasi, yaitu bila ada gejala klinik lainnya yang mendukung ke arah penyakit-penyakit tersebut. Kelainan oftalmologis yang berupa korioretinitis mungkin ditemukan pada infeksi cytomegalovirus, toksoplasmosis dan rubella, embriotokson posterior pada sindrom Alagille, dan katarak pada galaktosemia atau cherryed spot pada lipid storage disease.

Pencitraan4,24,25,26 - Ultrasonografi: dilakukan setelah penderita dipuasakan minimal 4 jam dan diulang kembali setelah bayi minum (sebaiknya dikerjakan pada semua penderita kolestasis, karena tekniknya sederhana, relatif tidak mahal, noninvasif, serta tanpa sedasi). Pada kolestasis intrahepatik, kandung empedu terlihat waktu puasa dan mengecil pada ulangan pemeriksaan sesudah bayi minum. Akurasi diagnostik pemeriksaan ultrasonografi ini untuk kasus kolestasis hanya 80%. USG dapat menunjukkan ukuran dan keadaan hati dan kandung empedu, mendeteksi adanya obstruksi pada system bilier oleh batu maupun endapan, ascites, dan menentukan adanya dilatasi obstruktif atau kistik pada system bilier. Pada saat puasa, kandung empedu bayi normal pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga akan dengan mudah dilihat dengan USG. Setelah diberi minum, kandung empedu akan berkontraksi sehingga ukuran kandung empedu akan mengecil. Pada atresia biliaris, saat puasa kandung empedu dapat tidak terlihat. Hal ini kemungkinan disebabkan adanya gangguan patensi duktus hepatikus dan duktus hepatis komunis sehingga terjadi gangguan aliran empedu dari hati ke saluran empedu ekstrahepatik. Pada keadaan ini, USG setelah minum tidak diperlukan lagi. - Skintigrafi pada kolestasis intrahepatik (hepatoselular) menunjukkan ambilan kontras oleh hati yang terlambat tetapi ada ekskresi ke dalam usus. Dua hal yang harus dicatat pada pemeriksaan skintigrafi adalah realibilitas yang berkurang bila kadar bilirubin direk sangat tinggi (>20 mg/dl) dan false positive dan negatifnya sebesar 10%. Karena pemeriksaan ini memakan waktu yang banyak, maka tidak banyak para ahli yang menggunakannya pada evaluasi diagnostik kolestasis. Biopsi hati Biopsi hati dianggap sebagai cara yang paling dapat dipercaya untuk membuat diagnosis bayi dengan kolestasis. Akurasi diagnosis mencapai 95%-96,8% bila dibaca oleh ahli patologi yang berpengalaman.8,11,18 Pada hasil biopsi yang representatif, paling sedikit harus dapat diperlihatkan 5 portal tracts. Gambaran histopatologis hepatitis neonatal adalah perubahan arsitektur lobulus yang mencolok, nekrosis hepatoselular fokal, pembentukan pseudoroset, ada giant cells dengan balloning pada sitoplasma. Disamping itu, pada kolestasis intrahepatik ini, lebih banyak terlihat fokus hematopoesis ekstramoduler, deposit hemosiderin pada sel hati dan sel Kupffer, inflamasi intralobular dan hiperplasia sel Kupffer.7,18,27 Selanjutnya ahli patologi dapat pula menentukan apakah ada penyakit Wilson, glycogen storage disease, neonatal iron storage diseases, fibrosis hati kongenital maupun defisiensi -1-antitripsin.12 Adakalanya diperlukan biopsi ulang untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika penyakitnya yang dapat menolong memastikan diagnosis.5,28

Beberapa Etiologi Kolestasis Intrahepatik pada Bayi 1.

Infeksi Toksoplasmosis, rubella, sitomegalovirus, herpes simpleks (TORCH)15,29 Infeksi kongenital ini memberikan beberapa gambaran klinik yang serupa, yaitu kuning, hepatosplenomegali, pneumonitis, petekie atau purpura dan kecenderungan untuk prematur atau pertumbuhan intrauterin yang terhambat.

-

-

-

-

Toksoplasmosis: toksoplasmosis kongenital jarang terjadi. Gambaran klinik lainnya adalah kelainan yang nyata dari sistem saraf pusat berupa hidrosefalus, mikrosefalus, kalsifikasi intrakranial, kejang, nistagmus dan tanda tekanan intrakranial yang meningkat serta kelainan mata berupa korioretinitis. Gambaran biopsi hati menunjukkan hepatitis nonspesifik atau fibrosis portal dengan proliferasi duktulus biliaris. Terapi spiramisin dapat mencegah progresivitas kelainan hati dan susunan saraf pusat. Prognosis tergantung dari luasnya kelainan mata dan neurologis yang terjadi. Rubella: infeksi kongenital rubella saat ini jarang terjadi karena ada imunisasi untuk penyakit ini. Gejala klinik lainnya adalah anemia, trombositopenia, kelainan jantung kongenital (PDA atau stenosis arteri pulmonal), katarak, korioretinitis, retardasi mental dan tuli neurosensorik. Gambaran histologis hati menunjukkan hepatitis giant cells yang tipikal. Penyakit ini mungkin self limited atau berlanjut menjadi sirosis Sitomegalovirus. Sitomegalovirus adalah penyebab infeksi kongenital yang paling banyak, dan terjadi pada 1%-2% neonatus, tetapi sebagian besar asimtomatik. Yang bergejala, selain gejala yang dicantumkan di atas mungkin pula ada asites; tetapi jarang menimbulkan gagal hati akut. Gejala lainnya adalah gejala susunan saraf sentral berupa mikrosefali, kalsifikasi intrakranial dan korioretinitis. Tuli neurosensorik yang progresif serta cerebral palsy mungkin baru terlihat kemudian. Diagnosis pasti memerlukan pemeriksaan kultur virus dalam 4 minggu pertama. Pemeriksaan serologis dan klinis dapat menunjang adanya infeksi sitomegalovirus, tetapi tidak dapat membedakan antara infeksi kongenital dan infeksi postnatal dini. Pada sebagian besar anak yang terinfeksi sitomegalovirus, gejalanya ringan dan sembuh sempurna tetapi pernah dilaporkan terjadinya fibrosis, sirosis dan hipertensi portal nonsirotik. Yang menjadi problem menetap biasanya adalah kelainan perkembangan neurologis yang mungkin atau sudah terjadi. Herpes simpleks. Pada neonatus, infeksi virus ini (tipe 1 atau 2, terutama tipe 2) dapat menimbulkan kelainan multisistem yang sangat berat termasuk gejala ensefalitis, hepatitis berat atau gagal hati fulminan. Pada biopsi hati dapat dilihat area nekrosis dengan inklusi virus dalam sel hepatosit yang masih utuh. Pada kerokan lesi vesikel ditemukan virus herpes simpleks tetapi pada neonatus mungkin tidak ditemukan lesi herpes yang khas pada kulit, mulut, maupun mata.

Sifilis Sifilis kongenital saat ini jarang terjadi di negara maju. Gejala yang timbul juga mengenai multisistem termasuk retardasi perkembangan intrauterin dan selanjutnya gagal tumbuh, anemia berat dan trombositopenia, sindrom nefrotik, periostitis, nasal discharge, rash pada kulit, limfadenopati difus dan hepatomegali. Kuning mungkin sudah terlihat dalam 24 jam pertama. Pada beberapa bayi mungkin sama sekali tidak kuning, tetapi ada rash yang khas pada telapak tangan dan kaki atau hanya ada demam dengan hepatomegali yang menyolok. Gejala susunan saraf pusat terjadi pada sampai 30% kasus. Pemeriksaan histologis hati memperlihatkan Treponema pada jaringan hati. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologis termasuk tes VDRL dan antibodi antitreponema. Pemeriksaan radiologis tulang panjang mungkin memperlihatkan kelainan radiologis yang khas dalam 24 jam pertama dan menolong membuat diagnosis secepatnya.30,31 Varisela

Varisela mungkin terjadi pada neonatus bila ibu terinfeksi dalam 2 minggu sebelum melahirkan. Gejalanya cenderung lebih berat pada bayi prematur dan ringan pada bayi cukup bulan yang berumur lebih dari 10 hari. Manifestasi yang timbul dini serta infeksi yang terjadi selama masa kehamilan dapat berakibat fatal. Gejala klinisnya berupa kuning, kelainan kulit yang luas dan keterlibatan multisistem terutama pneumonia dan kelainan parenkim hati pada kasus yang fatal.1,15 Sepsis virus enterik (Echovirus, Coxsackie virus, Adenovirus) Virus enterik dapat mengakibatkan infeksi virus sistemik pada neonatus dengan gambaran klinis yang mencolok berupa hepatitis berat dengan gagal hati akut. Transmisi vertikal yang terjadi sesaat sebelum lahir, mengakibatkan gejala yang lebih berat pada bayi. Sebagian besar sepsis virus enterik terjadi pada umur 1-5 minggu. Bayi menjadi letargi dan kuning disertai kadar aminotransferase yang sangat tinggi, koagulopati hebat dan biasanya juga disertai meningitis. Selain Echovirus dan virus Coxsackie A atau B, Adenoviruse juga dapat menimbulkan gejala klinik yang serupa, hanya miokarditis dan gagal jantung lebih condong akibat infeksi virus Coxsackie.28 Infeksi bakteri di luar hati Gejala kuning dan meningkatnya kadar bilirubin direk darah mungkin terjadi pula pada infeksi lokal di luar hepar misalnya infeksi traktus urinarius15 atau sepsis (streptokokus, stafilokokus atau kuman Gram negatif).32 Tuberkulosis Tuberkulosis kongenital jarang terjadi, tetapi pada beberapa tahun terakhir akibat meningkatnya prevalensi tuberkulosis pada ibu usia subur, maka tuberkulosis pada bayi menjadi lebih sering terjadi. Neonatus mungkin terinfeksi melalui cairan amnion atau sekret serviks yang terinfeksi pada saat lahir. Diagnosis tuberkulosis pada neonatus dibuat, bila ada salah satu gejala berikut: lesi pada minggu pertama kehidupan, kompleks hepatik primer atau granuloma kaseosa di hati, infeksi tuberkulosis pada plasenta atau genitalia ibu, dan tidak ada infeksi postnatal. Hepatomegali sering ditemukan, tetapi kuning jarang terjadi dan bila ada merupakan tanda beratnya penyakit. Gejala lainnya yang sering adalah distres pernafasan, kesukaran minum, dan demam. Mortalitas mencapai 30%.26 2. Hepatitis neonatal idiopatik Etiologi kolestasis pada bayi yang terjadi dalam 3 bulan pertama tidak dapat ditemukan pada 25% kasus dan kelompok bayi ini disebut hepatitis neonatal idiopatik yang cenderung merupakan bayi prematur atau kecil untuk masa kehamilan yang mungkin merefleksikan kelainan genetik atau infeksi intrauterin. Pada 5%-15% kasus, lebih dari 1 anak dalam keluarga menderita penyakit yang sama. Pada biopsi hati dapat ditemukan giant cell transformation luas dengan inflamasi, tetapi duktus bilier biasanya normal.7,16,18 3. Sindrom Alagille (bile duct paucity syndrome)2,6,33 Sindrom Alagille (syndromic duct paucity, sindrom Watson-Miller, displasia arteriohepatik) adalah suatu kelainan genetik dengan transmisi dominan autosom, tetapi dengan manifestasi klinis yang sangat bervariasi. Sindrom ini dihubungkan dengan mutasi

yang terjadi pada gen Jagged-1 (JAG 1) pada kromosom 20p. Mutasi ditemukan pada 70% kasus dan diturunkan pada 30%-50% kasus. Gambaran klinis utamanya adalah: - Kolestasis yang sangat hebat hingga mengakibatkan tinja berwarna dempul dan disertai pruritus. - Raut muka khas berupa kening yang lebar, mata dalam, hipertelorism ringan, dan dagu yang lancip. Raut muka ini mungkin belum terlihat pada bulan pertama. - Kelainan tulang berupa bentuk tulang belakang yang seperti butterfly akibat kegagalan fusi bagian anterior vertebra. Mungkin pula terlihat jarak interpedikular pada daerah lumbal yang berkurang, ada spina bifida okulta, falangs distal melengkung dan ulna yang pendek. - Kelainan mata yang terjadi dapat sangat beragam. Yang paling sering dan memerlukan pemeriksaan dengan slit-light adalah embriotokson posterior dan Schwalbe’s line yang abnormal. - Kelainan jantung dapat berupa stenosis arteri pulmonal, tetralogi Fallot, stenosis katup pulmonal, stenosis aorta, dan ASD. Beratnya kelainan jantung bervariasi. - Gagal tumbuh yang dihubungkan dengan retardasi intrauterin. Malnutrisi berat ditemukan pada 50% penderita yang mungkin merupakan bagian dari sindrom Alagille atau sekunder terjadi akibat malabsorpsi atau refluks gastroesofageal. Gejala minor lain yang mungkin ada adalah: - kelainan ginjal, misalnya kelainan struktur dan defek fungsi pemekatan urin - pubertas yang terlambat atau hipogonadism - suara atau tangis abnormal - retardasi mental, kesulitan belajar, dan kelakuan antisosial - kelainan vaskular termasuk moya-moya disease - kelainan neurologis misalnya neuropati perifer akibat defisiensi vitamin E karena kolestasis kronis hebat - hipotiroidisme dan insufisiensi pankreas - infeksi paru rekuren akibat refluks gastroesofageal sekunder atau pneumonia aspirasi - xanthomata akibat hiperkolesterolemia Diagnosis dibuat berdasarkan hasil biopsi hati yang memperlihatkan paucity duktus biliaris dengan paling sedikit 3 dari kelainan utama (kelainan raut muka, mata, vertebra, ginjal dan jantung). Pada biopsi hati terlihat jumlah duktus biliaris berkurang yaitu rasionya terhadap portal-tract 0,9 (N: 0,9 – 1,8). Sindrom ini dapat berkembang menjadi sirosis biliaris pada 15% – 20% kasus. Prognosis tergantung dari organ yang terlibat. Estimasi mortalitas secara umum adalah 20% - 25% akibat kelainan jantung, infeksi berulang atau kelainan hati tahap lanjut. 4. Progressive familial intrahepatic cholestasis4,34 Penyakit Byler (PFIC-1: progressive familial intrahepatic cholestasis type 1) Pada penyakit Byler, peningkatan kadar bilirubin direk yang beragam terjadi pada 3-6 bulan pertama disertai hepatomegali, retardasi pertumbuhan, diare persisten, pankreatitis dan tanda defisiensi berat vitamin yang larut dalam lemak termasuk ricketsia. Pruritus merupakan salah satu problem yang mencolok dan refrakter terhadap sebagian besar

pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai GGT dan kolesterol normal tetapi konsentrasi total asam empedu serum meningkat. Biopsi hati memperlihatkan inflamasi ringan dengan bile plug di kanalikulus biliaris dengan pemeriksaan rutin serta gambaran granular yang khas dengan mikroskop elektron. Mungkin pula ditemukan small duct paucity.11 Pada penyakit Byler ini terdapat mutasi di kromosom 18q21-22. PFIC- 2 Pada PFIC-2 ini, mutasi terjadi pada kromosom 2q24. Gejalanya sama dengan PFIC-1, hanya tidak ada diare serta pankreatitis. PFIC-3 PFIC-3 adalah jenis lain dari PFIC yang mempunyai kadar GGT yang meningkat. Kuning kurang mencolok dibandingkan pruritus dan sistem biliaris dalam batas normal pada pemeriksaan pencitraan. Pada semua tipe PFIC, diversi biliaris dapat menghilangkan pruritus bila dikerjakan sebelum terjadi fibrosis hati yang bermakna. 5.

Injuri (jejas) toksik Penyebab injuri toksik yang paling sering menimbulkan kolestasis pada bayi adalah nutrisi parenteral total. Kolestasis progresif yang terjadi pada bayi yang mendapat nutrisi parenteral total timbul terutama pada bayi dalam keadaan kritis dan lebih sering pada bayi prematur karena mekanisme pembentukan empedunya masih belum berkembang. Tergantung dari umur kehamilan, profil asam empedu fetal mungkin menetap yaitu lebih banyaknya asam empedu litokolat yang dibentuk daripada bayi yang lebih besar. Asam litokolat bersifat toksik. Keadaan puasa akan mengganggu sirkulasi enterohepatik, mengurangi sekresi hormon-hormon intestinal yang diperlukan untuk fungsi normal hepatobiliaris, dan mempermudah berkembangnya bakteri tumbuh lampau di usus halus yang berpotensi membentuk endotoksin atau mengubah asam empedu menjadi lebih toksik. Mungkin pula terjadi translokasi bakteri. Semua mekanisme ini dipersulit lagi oleh faktor sistemik seperti hipoksia atau hipoperfusi, infeksi lokal atau sistemik dan obat-obat yang digunakan. Defisiensi nutrisi spesifik mungkin pula berpengaruh, misalnya: tidak adanya taurin, asam lemak esensial, karnitin dan antioksidan seperti vitamin E, selenium dan glutation. Kolestasis yang terjadi mungkin sangat hebat sehingga menyerupai obstruksi traktus biliaris ekstrahepatik dengan tinja berwarna dempul dan GGT serta aminotransferase yang meningkat. Pada biopsi hati didapatkan kolestasis dengan nekrosis hepatoselular, lipofusin yang berlebihan, infiltrasi lemak, transformasi giant cells ringan, infiltrasi inflamasi daerah portal, beberapa proliferasi duktulus biliaris dengan atau tanpa fibrosis porta. Dengan mikroskop elektron, dapat diperlihatkan kristal kolesterol dalam sel hepatosit.5,27

Tatalaksana1,21 Tujuan tatalaksana kolestasis intrahepatik adalah: 1. Memperbaiki aliran empedu dengan cara: a. Mengobati etiologi kolestasis dengan medikamentosa pada kolestasis hepatoselular yang dapat diobati seperti terlihat pada tabel. 5 untuk beberapa kelainan tertentu. b. Menstimulasi aliran empedu dengan:

- Fenobarbital: bermanfaat sebagai antipruritus dan dapat mengurangi kuning. Mekanisme kerjanya yaitu meningkatkan aliran empedu dengan cara menginduksi enzim UDP-glukuronil transferase, sitokrom P-450 dan Na+K+ATP-ase. Tetapi pada bayi jarang dipakai karena efek sedasinya dan mengganggu metabolisme beberapa obat diantaranya vitamin D, sehingga dapat mengeksaserbasi ricketsia. Dosis: 3-10 mg/kgBB/hari dibagi dalam dua dosis. - Asam ursodeoksikolat: asam empedu tersier yang mempunyai sifat lebih hidrofilik serta tidak hepatotoksik bila dibandingkan dengan asam empedu primer serta sekunder sehingga merupakan competitive binding terhadap asam empedu toksik. Selain itu asam ursodeoksikolat ini merupakan suplemen empedu untuk absorpsi lemak. Khasiat lainnya adalah sebagai hepatoprotektor karena antara lain dapat menstabilkan dan melindungi membran sel hati serta sebagai bile flow inducer karena meningkatkan regulasi sintesis dan aktivitas transporter pada membran sel hati. Dosis: 10-20 mg/kgBB/hari. Efek samping : diare, hepatotoksik. - Kolestiramin dapat menyerap asam empedu yang toksik sehingga juga akan menghilangkan gatal. Kolestiramin dapat mengikat asam empedu di lumen usus sehingga dapat menghalangi sirkulasi enterohepatik asam empedu serta meningkatkan ekskresinya. Selain itu, kolestiramin dapat menurunkan umpan balik negative ke hati, memacu konversi kolesterol menjadi bile acids like cholic acid yang berperan sebagai koleretik. Kolestiramin biasanya digunakan pada manajemen jangka panjang kolestasis intrahepatal dan hiperkolesterolemia. Dosis: 0,25-0,5 g/kgBB/hari. Efek samping: konstipasi, steatorrhea, asidosis metabolik hiperkloremik. - Rifampisin: dapat meningkatkan aktivitas mikrosom serta menghambat ambilan asam empedu oleh sel hati dan mengubah metabolismenya, sehingga dapat menghilangkan gatal pada  50% kasus. Efek sampingnya adalah trombositopenia dan hepatotoksisitas yang terjadi pada 5%-10% kasus. Dosis: 5 -10 mg/kgBB/hari. Tabel 20.5. Tatalaksana spesifik pada beberapa penyebab sindrom hepatitis neonatal Penyebab Infeksi - Toksoplasma - Sitomegalovirus - Herpes simpleks - Sifilis - Sepsis/infeksi bakteri lain - Tuberkulosis Toksik - Nutrisi parenteral total Sumber : Suchy26

2. Nutrisi32

Tatalaksana spesifik Spiramisin Gancyclovir, bila berat Acyclovir Penicillin Antibiotik yang sesuai OAT ( 4 jenis tanpa ethambutol) Asupan oral, ursodeoksikolat

metronidazol,

Kekurangan Energi Protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis (terjadi pada lebih dari 60% pasien). Steatorrhea sering terjadi pada bayi dengan kolestasis. Penurunan ekskresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal, solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Maka pada bayi dengan kolestasis diperlukan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan. Karena itu untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi digunakan formula spesial dengan jumlah kalori 120%-150% dari kebutuhan normal serta vitamin, mineral dan trace element: a. Formula MCT (medium chain triglyceride) karena relatif lebih larut dalam air sehingga tidak memerlukan garam empedu untuk absorpsi dan menghindarkan makanan yang banyak mengandung cuprum (tembaga). b. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 125% kebutuhan bayi normal sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein :2-3 gr/kgBB/ hari. c. Vitamin yang larut dalam lemak: - A : 5000-25000 U/hari - D3 : Calcitriol: 0,05 –0,2 ug/kgBB/hari - E : 25-50 IU/kgBB/hari - K : Kl 2,5-5 mg/2-7x/minggu d. Mineral dan trace element: Ca, P, Mn, Zn, Selenium, Fe. 3. Terapi komplikasi yang sudah terjadi misalnya hiperlipidema/xantelasma dengan kolestipol dan pada gagal hati serta pruritus yang tidak teratasi adalah transplantasi hati.8 4. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama untuk penderita dengan kelainan hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati.8

Prognosis Tergantung penyakit dasar, prognosis umumnya baik yaitu 60% sembuh pada kasus sindrom hepatitis neonatal yang sporadik, sementara pada kasus yang bersifat familial, prognosisnya buruk (60% meninggal). Prognosis hepatitis neonatal idiopatik biasanya baik dengan mortalitas sebesar 13%-25%. Prediktor untuk prognosis yang buruk adalah: kuning hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten dan terdapatnya inflamasi hebat pada hasil biopsi hati.

Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7.

Desmet VJ, Callea F. Cholestatic syndromes of infancy and childhood. Dalam: Zakim D, Boyer TD, penyunting. Hepatology. A Textbook of liver disease; edisi ke-2. Philadelphia: Saunders. 1990: 1355-95. Haber BA, Lake AM. Cholestatic jaundice in the newborn. Clins Perinatology 1990; 17: 483-506. Sellinger M, Boyer JL. Physiology of bile secretion and cholestasis. Dalam: Popper H, Schaffner F, penyunting. Progress in Liver Disease; Vol IX. New York: Saunders. 1990: 237-59. Mews C, Sinarta FR. Cholestasis in infancy. Pediatr Rev. 1994; 15: 233-40. Roberts EA. The jaundiced baby. Dalam: Kelly DA, penyunting. Diseases of the liver and biliary system in children, edisi ke-1. Oxford: Blackwell Science. 1999: 11-45. Moyer MS, Balistreri WF. Prolonged neonatal obstructive jaundice. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR et al, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease. Pathophysiology, diagnosis, management; edisi ke-1. Philadelphia: Decker. 1991: 835-48. Shah HA, Spivak W. Neonatal cholestasis. New approaches to diagnostic evaluation and therapy. Pediatr Clin North Am. 1994; 41: 943-66.

8. 9. 10. 11. 12.

13. 14. 15.

16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32.

33. 34.

Arce DA, Costa H, Schwarz SM. Hepatobiliary disease in children. Clinics in Family Practice. 2000; 2: 1-36. Mowat AP. Hepatitis and cholestasis in infancy: intrahepatic disorders. Dalam: Mowat AP, penyunting. Liver disorders in childhood, edisi ke-3. Oxford: Butterworth-Heinemann. 1994: 43-78. Bolder U, Ton-Nu HT, Schteingart CD, Frick E, Hofmann AF. Hepatocyte transport of bile acids and organic anions in endotoxemic rats: Impaired uptake and secretion. Gastroenterology. 1997; 112: 214-25. Boyer JL. Bile secretion models, mechanisms, and malfunctions. A perspective on the development of modern cellular and molecular concepts of bile secretion and cholestasis. J Gastroenterol. 1996; 3: 475-81. Erlinger S. Pathophysiology of cholestasis. Dalam: Lentze M, Reichen J, penyunting. Paediatric cholestasis. Novel approaches to treatment. Proceeding of the 63th Falk Symposium. October 9-10 1991. London: Kluwer. 1992: 49-54. D’Agata ID, Balistreri WF. Evaluation of liver disease in the pediatric patient. Pediatr Rev. 1999; 20: 376- 89. Mieli-Vergani G, Howard ER, Mowat AP. Liver disease in infancy: a 20 year perspective. Gut. 1991; 8(suppl): 123-8. Chang MH. Differential diagnosis of cholestasis in infancy. Dalam: Suharyono, Firmansyah A, Syarif BH, penyunting. Asian Pan Pacific society for paediatric gastroenterology and nutrition. Coordinating Working Unit of Gastroenterology Indonesian Society of Paediatricians; December 16-19, 1996; Jakarta: IDAI. 1996: 213-24. Schwoebel A, Gennaro S. Neonatal Hyperbilirubinemia. J Perinat Neonat Nurs. 2006; 20: 103-7. Bisanto J, Jong DM, Oswari H, Purnamawati SP. Gambaran kolestasis pada bayi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam. 12-14 Juli 2004. Karpen SJ. Mechanisms of Bile Formation and Cholestasis. In: Suchy FJ, Sokol RJ, Balisteri W, eds. Liver Disease in Children. 3rd ed. New York: Cambridge University Press. 2007. Sherlock S, Dooley J. Cholestasis. Dalam: Sherlock S, Dooley J, penyunting. Disease of the liver and biliary system; edisi ke-10. London Blackwell Science. 1997: 217-37. Trauner M, Meier PJ, Boyer JL. Molecular pathogenesis of cholestasis. N Eng J Med. 1998; 339: 1217-27. Kennedy MS, Balistreri WF. Pediatric liver disease. Hyperbilirubinemia. Dalam: Friedman LS, Keffe EB, penyunting. Handbook of liver disease, edisi ke-1. Edinburgh: Churchill Livingstone. 1998: 316-20. Sinha CK, Davenport M. Biliary Atresia. 2008; 13: 49-56. Bisanto J, Putra IA, Hadinegoro SR. Clinical and laboratory manifestations of cholestasis in infancy. In Press. Sera J, Ikeda S, Akadi M. Ultrasonographic studies for the diagnosis of infantile cholestatic disease. Dalam: Ohi R, penyunting. Proceeding of the 4th International symposium on biliary atresia. Sendai. 1986: 106-9. Venigalla S, Gourley GR. Neonatal Cholestasis. J Ar Neonat For. 2005; 2: 27-34. Suchy FJ. Approach to the infant with cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams  Wilkins. 2001: 187-94. Phillips MJ, Suchy FJ. Mechanism and morphology of cholestasis. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: Lippincott Williams  Wilkins. 2001: 23-38. Whitington P, Emerick KM. Cholestasis. eMed J, April 11,2003. Diunduh dari http://www. emedicine.com/ped/topic 383.htm. Diakses 26 Februari 2004. Zallen, GS, Bliss DW, Curran TJ. Biliary Atresia. Pediatr in Rev. 2006; 27: 243-48. Oswari H, Harijadi, Bisanto J, Purnamawati SP. Kolestasis intrahepatik pada bayi dengan infeksi saluran kemih. Abstrak PIT IKA II, IDAI, Batam, 12-14 Juli 2004. Whitington PF. Chronic cholestasis of infancy. Pediatr Clin North Am. 1996; 43: 1-26. Feranchak AP, Ramirez RO, Sokol RJ. Medical and nutritional Management of cholestasis. Dalam: Suchy FJ,Sokol RJ, Balistreri WF, penyunting. Liver disease in children; edisi ke-2. Philadelphia: LippincottWilliams  Wilkins. 200: 195-238. Piccoli DA, Spinner NB. Alagille Syndrome and the Jagged 1 Gene.Semin Liver Dis. 2001; 21: 525-34. Bull LN, Carlton,VE, Stricker NL et al. Genetic and morphological findings in progressive familial intrahepatic cholestasis (Byler disease PFIC-1 and Byler syndrome) evidence for heterogeneity. Hepatology. 1997; 26: 155-64.

BAB XXI HIPERTENSI PORTA Hanifah Oswari

Ilustrasi kasus Seorang anak lelaki, 4 tahun, dirawat untuk pertama kalinya di Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada tanggal 18 Agustus 2003 dengan keluhan utama hematemesis dan melena sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Sejak 8 bulan sebelumnya perut terlihat membesar. Dua bulan sebelumnya pasien juga mengalami hematemesis melena 1 kali. Keluhan ini hanya berlangsung 1 hari dan menghilang tanpa diobati. Sejak 1 bulan lalu, perut pasien terlihat makin membesar dan pasien terlihat pucat. Orang tua membawa pasien berobat ke dokter spesialis anak dan dianjurkan untuk berobat ke RS. Sejak lahir pasien tidak pernah kuning, tidak ada riwayat infeksi tali pusat ataupun dirawat saat neonatus. Urin tidak pernah berwarna coklat seperti teh. Pada pemeriksaan fisik anak tampak sakit berat, kompos mentis, dan pucat, serta sklera tidak ikterik. Laju nadi, laju jantung 124 x/menit, isi cukup, teratur. Frekuensi nadi basal 90x/menit. Laju napas 24 x/menit, teratur, suhu aksila 37,8oC. Jantung dan paru tidak ditemukan kelainan. Perut membuncit, tidak terlihat venektasi. Perabaan lemas, turgor cukup, tidak terdapat nyeri tekan, hati teraba 2 cm di bawah procesus xyphoideus, 2 cm di bawah arkus aorta. Limpa teraba 3 cm di bawah arkus kosta kiri. Tidak ditemukan adanya asites. Palmar eritema juga tidak ditemukan. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan kadar hemoglobin 4,1 g/dl, leukosit 13.300/l, trombosit 315.000/l, hitung jenis (%): basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 42%, limfosit 53% dan monosit 5%. Hitung trombosit 315.000/l. Albumin 3,8 g/dl (3,5-5,5), kolesterol 145 mg% (140-250), SGOT 20 mU/ml (N:<40), SGPT 41 mU/ml . (N:<40), bilirubin direk 0,24 mg% (<0,2), bilirubin indirek 0,51 mg% (N <0,6), gula darah sewaktu 81 mg/dl, waktu protrombin (PT) 13,2 detik (kontrol 13,2 detik), dan aPTT 28,4 detik (kontrol 38,3 detik). Ditegakkan diagnosis hematemesis melena yang dicurigai akibat pecahnya varises esofagus karena tersangka hipertensi porta ektrahepatik (non sirosis).

Pendahuluan Pada hipertensi porta terjadi abnormalitas hemodinamik. Pada orang dewasa, hipertensi porta umumnya disebabkan oleh sirosis hepatis, sedangkan pada anak lebih banyak disebabkan oleh kelainan ekstrahepatik dengan fungsi hati yang normal. Hipertensi porta dan komplikasinya seperti varises esofagus dan asites sering terjadi pada orang dewasa dengan penyakit hati kronis. Perdarahan gastrointestinal merupakan manifestasi klinis hipertensi porta

yang paling berat baik pada dewasa maupun anak. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta paling sering disebabkan oleh perdarahan varises esofagus dan gaster. 1,2

Definisi Hipertensi porta didefinisikan sebagai peningkatan tekanan porta di atas nilai normal, yaitu 1-5 mmHg. Secara klinis hipertensi porta yang signifikan didefinisikan sebagai tekanan porta di atas 12 mm Hg karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya perdarahan akibat hipertensi porta. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi porta ini berhubungan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.3,4

Angka kejadian Pada penelitan prospektif orang dewasa, lebih dari 90% pasien sirosis akan terbentuk varises esofagus, dan sekali waktu dalam kehidupannya varises ini akan pecah. Pada penelitian anak dengan sirosis hepatis, kira-kira dua pertiganya ditemukan varises. Miga dkk meneliti 134 pasien dengan atresia biliaris mendapatkan risiko perdarahan yang meningkat sejalan dengan pertambahan waktu. Dalam 5 tahun terjadi perdarahan pada 40% anak tersebut. Pada penelitian lain pada anak remaja dengan obstruksi vena porta ekstrahepatik, kemungkinan perdarahan pada usia 16 tahun sebesar 49%, dan meningkat menjadi 76% pada usia 24 tahun. Kemungkinan perdarahan semakin meningkat pada anak yang mengalami perdarahan pertama sebelum usia 12 tahun.5,6

Etiologi Pada dewasa, umumnya hipertensi porta disebabkan oleh sirosis, sedangkan pada anak kurang lebih setengahnya disebabkan oleh obstruksi vena porta ekstrahepatik. Tabel 21.1 menunjukkan penyakit anak yang berhubungan dengan hipertensi porta.7,8

Tabel 21.1. Penyakit anak berhubungan dengan hipertensi porta-klasifikasi berdasar patofisiologi I. a.

Kelainan prehepatik Peningkatan resistensi Trombosis vena porta-transformasi kavernosa Omphalitis, kateterisasi neonatal, trauma, sepsis, peritonitis, dehidrasi, kelainan pembekuan (defisiensi protein S, C) Trombosis vena lienalis Primer, sekunder (pankreatitis)

b.

Peningkatan aliran darah Fistula A-V Giant hemangiomatosis

Splenomegali masif kronis

II. a.

Kelainan intrahepatik Hepatoselular Hepatitis kronis (virus) Hepatitis autoimun Fibrosis hati kongenital Penyakit Wilson Defisiensi alfa-1 antitripsin Glycogen storage disease tipe IV Hepatotoksisitas kronis Histiositosis Schistosomiasis Hepatic storage disease-Gaucher’s disease

b.

Penyakit saluran bilier Atresia biliaris ekstrahepatik Penyakit kolestasis intrahepatik (Sindrom Alagille, PFIC) Cystic fibrosis Sclerosing cholangitis Choledochal cyst

III. a.

Kelainan post-hepatik Sindrom Budd-Chiari Hiperkoagulopati Neoplasma, penyakit kolagen, penggunaan kontrasepsi oral

b. c. d. e.

Trauma, idiopatik Penyakit jantung kongenital Obstruksi vena kava inferior Penyakit veno-oklusif Hipertensi porta idiopatik

A-V=arteriovena ; PFIC=Progressive familial intrahepatic cholestasis Sumber: Chen7

Patogenesis/Patofisiologi Peningkatan tekanan porta disebabkan oleh peningkatan resistensi vaskular dan peningkatan aliran darah porta. Tempat peningkatan resistensi tergantung pada proses penyakitnya. Tempat obstruksi dapat terjadi prehepatik (obstruksi vena porta), intrahepatik (presinusoid: misalnya fibrosis hepatik kongenital; parasinusoidal: sirosis, terapi obat hepatotoksik, hepatotoksitas vitamin A; postsinusoidal: venocclusive disease) dan/atau posthepatik (sindrom Budd-Chiari, perikarditis konstriktiva). Secara praktis yang penting adalah menentukan apakah ada penyakit parenkim hati atau tidak. Penyakit hati terjadi pada semua kelompok di atas kecuali pada kelainan prehepatik. Hipertensi porta terjadi karena: (1) peningkatan resistensi vaskular intrahepatik dan (2) peningkatan aliran vena porta. Pada sirosis terjadi perubahan struktural berupa peningkatan tahanan vaskular intrahepatik melalui gangguan langsung pada aliran darah di sinusoid. Selain itu pada hati yang sirosis terjadi peningkatan tonus vaskular akibat defisiensi relatif vasodilator lokal intrahepatik, terutama nitrat oksida (nitric oxide).11 Selain peningkatan resistensi vaskular intrahepatik, terjadi juga peningkatan aliran darah porta karena vasodilatasi splanknik yang diperantarai oleh nitrat oksida. Akibatnya terjadi sirkulasi hiperdinamik yang tergantung pada vasodilatasi perifer dan retensi natrium kompensatorik dengan ekspansi volume plasma karena pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis dapat dilihat pada Tabel 21.2. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta dapat dilihat pada Tabel 21.3.9,10,11

Manifestasi klinis Manifestasi klinis hipertensi porta umumnya mengejutkan. Kira-kira dua pertiga anak dengan hipertensi porta datang dengan hematemesis-melena, biasanya karena pecahnya varises esofagus. Perdarahan gastrointestinal juga dapat terjadi karena gastropati hipertensi porta, gastric antral vascular ectasia (GAVE), atau dari varises gaster, duodenum, periostomal atau rektum. Perdarahan dapat sangat hebat dan mengancam kehidupan. Hampir seluruh pasien yang dilaporkan di atas juga dengan splenomegali pada saat datang dengan perdarahan, oleh sebab itu kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali perlu dipikirkan akibat hipertensi porta terlebih dahulu sampai terbukti bukan.12,13

Tabel 21.2. Patogenesis hipertensi porta pada sirosis I. Peningkatan resistensi A. Makroskopis (irreversibel?) 1. Nodul regenerasi 2. Fibrous septa 3. Trombosis vena intrahepatik 4. Ablasi parenkim hati B. Mikroskopis (reversibel)

II.

1. Pembengkakan sel hepatosit 2. Aktivasi hepatic stellate cell (HSC) perisinusoidal 3. Kolagenosis perisinusoidal Peningkatan aliran darah vena porta A. Dilatasi vena porta B. Peningkatan produksi vasodilator C. Splenomegali D. Sirkulasi hiperdinamik sistemik

Sumber: de Franchis12

Tabel 21.3. Patogenesis sirkulasi hiperdinamik hipertensi porta TAHAP AWAL Ekspansi volume darah-vasorelaksasi

TAHAP AKHIR Ekspansi volume darah Vasodilatasi umum -

Peningkatan vasodilator yang bersirkulasi (nitrat oksida, prostasiklin, glukagon, dll) - Penurunan respons vaskular vasokonstriktor yang bersirkulasi Peningkatan pirau (shunting) Sumber: de Franchis12

Selain perdarahan gastrointestinal, manifestasi lain yang sering adalah splenomegali. Umumnya splenomegali diketahui pada pemeriksaan fisik rutin secara tidak sengaja. Pasien umumnya telah merasakan perutnya membesar pada sebelah kiri atas selama bertahun-tahun. Kadang-kadang ditemukan manifestasi hipersplenisme berupa trombositopenia, leukopenia, petekie, atau ekimosis yang pada pemeriksaan selanjutnya ditemukan adanya hipertensi porta. Walaupun splenomegali merupakan gejala hipertensi porta, tetapi ukurannya tidak berhubungan dengan tekanan porta.14 Gejala vena yang melebar di dinding abdomen juga spesifik untuk hipertensi porta. Gambaran venektasi ini terjadi akibat pirau portokolateral melalui pembuluh darah subkutan. Arah aliran pada vena tersebut menunjukkan tempat obstruksi. Jika vena kava inferior yang tersumbat, arah aliran di atas umbilikus biasanya cephalad (ke arah kepala). Dekompresi vena porta juga menimbulkan gejala kaput medusa, ini adalah dekompresi pada vena umbilikus yang berakibat pelebaran kolateral periumbilikalis yang hebat, tetapi kaput medusa jarang ditemukan pada anak.9,14

Gejala asites dapat ditemukan dan umumnya berhubungan dengan penyakit hati yang diderita pasien. Hipertensi pulmonal juga dapat ditemukan pada anak, dan merupakan suatu keadaan yang mengkhawatirkan bila ditemukan. Patofisiologinya belum jelas, tetapi berhubungan dengan hipertensi porta. Komplikasi ini jarang terjadi tetapi dilaporkan terjadi pada anak.1,7 Sindrom hepatopulmonal juga merupakan manifestasi klinis yang penting. Pada keadaan ini terjadi pirau darah dari kanan ke kiri intrapulmonal yang menyebabkan desaturasi sistemik. Gejalanya berupa sesak nafas, intoleransi terhadap latihan, dan jari gada (clubbing finger). Pengukuran saturasi oksigen perifer posisi berdiri pada saat diperiksa penting untuk uji penapisan kelainan ini. Saturasi oksigen dibawah 96% perlu diperiksa lebih lanjut untuk menyingkirkan sindrom hepatopulmonal.15

Diagnosis Hipertensi porta perlu dipikirkan pada anak dengan perdarahan gastrointestinal yang signifikan atau splenomegali yang tidak dapat diterangkan penyebabnya. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan juga diperlukan untuk menilai adanya gangguan pertumbuhan, lesi kutaneus yang mengarah pada kelainan hati kronis (misalnya teleangiektasia, eritema palmaris). Kombinasi perdarahan gastrointestinal dan splenomegali sangat sugestif untuk hipertensi porta. Pemeriksaan laboratorium ditujukan untuk menilai fungsi hati. Pemeriksaan jumlah leukosit dan trombosit dapat mengarah pada hipersplenisme.14,16 Idealnya adanya hipertensi porta ditentukan dengan menentukan tekanan porta secara langsung. Jika tekanan porta meningkat di atas batas normal maka disebut hipertensi porta, tetapi pengukuran langsung tekanan porta bersifat invasif dan tidak praktis sehingga dicari metode lain untuk menentukannya. Metode yang dapat digunakan adalah: (1) pengukuran gradien tekanan vena porta, (2) USG Doppler abdomen, dan (3) endoskopi.17

1.

Pengukuran gradien vena porta Penentuan gradien tekanan vena porta (hepatic vein pressure gradient-HVPG) adalah metode tidak langsung tetapi akurat untuk memperkirakan tekanan porta. Pengukuran HPVG dilakukan dengan cara melakukan kateterisasi vena hepatika melalui jalan transfemoral atau transjugular. HVPG dihitung dengan cara mengurangi tekanan vena porta bebas dari tekanan wedge vena hepatika. Batas atas normal HVPG adalah 5 mmHg, diatas nilai itu berarti terdapat hipertensi porta. Pengukuran HVPG bermanfaat untuk menilai risiko terbentuknya varises esofagus dan risiko perdarahan. Varises tidak terbentuk dan tidak berdarah bila HVPG nilainya kurang dari 12 mmHg. HVPG juga bemanfaat untuk evaluasi pengobatan dan untuk menilai prognosis perdarahan varises akut. Walaupun HVPG aman dan akurat, pemeriksaan ini tidak praktis karena bersifat invasif dan relatif mahal serta memerlukan ahli yang terlatih. Walaupun pemeriksaan ini bermanfaat pada orang dewasa, pada anak belum dilaporkan.18

2. USG Doppler abdomen Pemeriksaan USG Doppler abdomen mendeteksi secara tidak langsung tanda hipertensi porta. Pada USG ditentukan apakah terdapat ekogenisitas hati yang abnormal, splenomegali, asites, dilatasi vena porta, vena porta yang berkelok-kelok, patensi vena umbilikalis, atau adanya kolateral vena lainnya. Selain itu dapat dihitung kecepatan aliran vena porta (apakah terdapat perlambatan aliran?), arah aliran porta (hepatopetal atau reversi/hepatofugal), dan ada tidaknya turbulensi. Pemeriksaan USG termasuk pemeriksaan yang tidak invasif dan relatif mudah diulang, tetapi pemeriksaan ini sangat bergantung pada operator dan terdapat variabilitas antar alat yang tinggi dan kesepakatan hasil antar observer yang rendah (intra-observer variabilitas sampai 30% dan interobserver variabilitas sampai dengan 50%), walaupun variabilitas intra- dan inter-observer dapat ditingkatkan dengan pelatihan. Walaupun USG Doppler menggambarkan secara tidak langsung adanya hipertensi porta, tetapi tidak dapat menggantikan HVPG untuk menilai beratnya hipertensi porta dan kurang baik untuk menilai respons pengobatan untuk menurunkan tekanan porta pada sirosis hati.19,20,21

3. Endoskopi Endoskopi gastrointestinal atas lebih tersedia dibandingkan pengukuran HVPG dan metode yang lebih disukai untuk menilai hipertensi porta. Dengan endoskopi dapat dinilai ada tidaknya varises esofagus atau gaster, ukuran varises, gastropati hipertensi porta. Endoskopi terutama bermanfaat untuk menentukan sumber perdarahan, apakah karena pecahnya varises atau karena sebab lain seperti gastritis atau ulkus peptikum. Terdapat kesepakatan inter-observer dalam menilai ukuran varises dan dicapai akurasi yang cukup memuaskan.22

Terapi Terapi hipertensi porta tergantung pada 3 keadaan klinis yaitu: (1) pencegahan perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer), (2) pengobatan perdarahan akut, dan (3) pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder).23,24

1.

Pencegahan perdarahan varises pertama kali (profilaksis primer) Pada orang dewasa, pencegahan perdarahan varises pertama kali secara prinsip ditujukan untuk: (1) mencegah pembentukan varises, (2) mencegah pertumbuhan varises kecil menjadi besar, dan (3) mencegah pecahnya varises sedang-besar.

2. Pencegahan pembentukan varises (profilaksis pre-primer) Terdapat dua penelitian pada orang dewasa yang menilai profilaksis primer yang membandingkan pemberian penghambat reseptor beta-adrenergik (beta blocker) dan

plasebo. Pada penelitian-penelitian tersebut, disimpulkan terapi beta blocker tidak efektif untuk mencegah terjadinya varises dengan hipertensi porta, walaupun data yang ada mungkin belum lengkap. Belum ada laporan pada anak mengenai pencegahan pembentukan varises yang dilaporkan.12

3. Pencegahan pertumbuhan varises kecil menjadi besar Terdapat dua penelitian pada orang dewasa mengenai hal ini: penelitian di Perancis dan Italia. Penelitian di Perancis, mendapatkan bahwa propranolol tidak efektif untuk mencegah pertumbuhan varises pada pasien dengan varises kecil saat awal penelitian. Penelitian di Italia, meneliti nadolol dibandingkan dengan plasebo. Pada 3 tahun pengamatan, nadolol dapat mencegah pertumbuhan varises. Pada kelompok nadolol jumlah pasien yang mengalami perdarahan secara bermakna lebih rendah dibandingkan plasebo. Mengingat kedua hasil penelitian ini berlawanan, belum dapat disimpulkan mengenai efikasi beta blocker untuk mencegah pembesaran varises.25,26 4. Pencegahan pecahnya varises sedang-besar Operasi pirau portokaval dan skleroterapi telah ditinggalkan untuk mencegah perdarahan pertama varises. Operasi pirau portokaval ditinggalkan karena secara bermakna lebih tinggi kematiannya pada kelompok yang dioperasi dibandingkan kelompok kontrol. Skleroterapi ditinggalkan karena hasil penelitian satu dan yang lain tidak konsisten. Saat ini pada orang dewasa umumnya disetujui untuk pasien dengan varises berukuran sedang-besar perlu diberikan terapi profilaksi. Propranolol merupakan obat yang paling sering digunakan untuk profilaksi. Penelitian meta-analisis yang membandingkan beta blocker dan plasebo, melaporkan hasil bahwa beta blocker menurunkan mean insidens perdarahan dari 25% menjadi 15%. Bila pasien dapat diturunkan HVPG-nya di bawah 12 mmHg atau diturunkan 20% di bawah HVPG semula, insidens perdarahan bisa kurang dari 10%. Kekurangan beta blocker ini adalah mengenai efek sampingnya. Isosorbid mononitrat (ISMN) memiliki efek samping yang lebih rendah daripada nadolol, tetapi ternyata kurang efektif untuk mencegah perdarahan primer. Kombinasi beta blocker dan ISMN jika dibandingkan dengan beta blocker tersendiri tidak menunjukkan perbedaan bermakna dalam mencegah perdarahan pertama. Dalam meta-analisis, ligasi secara bermakna menurunkan insidens perdarahan pertama dan mortalitas.27,28,29 Sampai saat ini beta blocker masih merupakan pilihan utama untuk pencegahan perdarahan pertama kali pada orang dewasa, tetapi ligasi juga dapat digunakan dan sebaiknya digunakan sebagai pilihan utama pada pasien dengan kontraindikasi atau menunjukkan intoleransi terhadap beta blocker.30,31 Pemberian profilaksis untuk perdarahan varises pertama kali pada anak masih kontroversial. Endoskopi surveilans pada anak dengan penyakit hati dan stigmata hipertensi porta hanya dibenarkan jika dokter mengantisipasi pemberian profilaksis, baik beta blocker atau ligasi dengan endoskopi. Terapi beta blocker pada hipertensi porta memberikan efek primer penghambatan reseptor 2 pada splanchnic bed, yang menyebabkan tidak dihambatnya stimulasi terhadap reseptor adrenergik, sehingga menurunkan perfusi splanknik dan porta. Selain itu beta blocker juga menurunkan

frekuensi denyut jantung karena penghambatan reseptor 1 adrenergik sehingga menurunkan cardiac output dan perfusi porta. Propranolol juga diketahui menurunkan sirkulasi kolateral seperti aliran darah di vena azigos. Dosis terapeutik diharapkan dapat menurunkan frekuensi denyut nadi minimal 25% dari frekuensi basal saat istirahat. Dosis propranolol 0,6 sampai 8,0 mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis perhari diperlukan untuk mendapatkan efek terapeutik. Efek samping utama penggunaan propranolol adalah blok jantung dan eksaserbasi asma. Beta blocker juga berpotensi mengganggu respons fisiologis terhadap hipoglikemia sehingga obat ini tidak boleh digunakan pada anak dengan diabetes.32,33

5.

Pengobatan perdarahan akut Penatalaksanaan perdarahan akut terdiri dari penilaian awal pasien, resusitasi efektif, diagnosis, pengendalian perdarahan dan pencegahan berulang dini, dan pencegahan komplikasi seperti infeksi, gagal ginjal atau ensefalopati hati.

Penilaian awal pasien Adanya konsumsi obat-obat NSAID atau aspirin, riwayat perdarahan sebelumnya dan diagnosis penyakit hati sebelumnya perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk mencari tanda-tanda penyakit hati kronis. Pemeriksaan awal perlu menilai beratnya perdarahan (takikardi, hipotensi), disfungsi ginjal atau penyakit lain, beratnya penyakit hati (Child-Pugh score) dan ada tidaknya infeksi (kultur). Pasien yang sedang menggunakan beta blocker mungkin tidak ditemukan gejala takikardi walaupun telah terjadi gangguan hemodinamik sehingga meningkatkan risiko terjadinya gangguan hemodinamik yang lebih berat karena keadaan yang sebenarnya tidak dikenali.23,29

Resusitasi Pasien perlu dihindarkan dari kemungkinan aspirasi, terutama bila pasien tidak sadar. Jalur intravena perlu dipasang. Pemberian volume cairan untuk menggantikan perdarahan perlu diperhatikan dengan seksama karena pemberian volume restitusi sepenuhnya justru akan meningkatkan tekanan vena porta melebihi yang semestinya sehingga berisiko menimbulkan perdarahan selanjutnya. Saat ini bila akan memberikan transfusi packed red cells dianjurkan untuk mempertahankan hematokrit antara 25%-30% saja. Pemasangan nasogastric tube (NGT) aman dilakukan serta perlu untuk menilai perdarahan yang masih berlangsung dan mengeluarkan darah. Darah merupakan sumber protein yang dapat mempresipitasi ensefalopati. Selain itu darah di dalam lambung akan meningkatkan

aliran darah splanknik dan berpotensi memperburuk hipertensi porta dan perdarahan berikutnya. Trombosit perlu diberikan bila jumlahnya kurang dari 50.000/l dan koagulopati perlu dikoreksi dengan vitamin K atau dengan fresh frozen plasma terutama pada pasien dengan kolestasis. Antibiotik intravena sangat dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan asites karena risiko terjadinya peritonitis bakterial spontan meningkat pada keadaan perdarahan varises terutama yang membutuhkan endoskopi emergensi.23,28

Diagnosis Secepatnya pasien stabil, endoskopi perlu dilakukan untuk menentukan apakah perdarahan memang berasal dari pecahnya varises. Tanda perdarahan baru adalah adanya bekuan darah, adanya varises dengan perdarahan baru di lambung, dan tidak adanya sumber perdarahan yang lain. Endoskopi merupakan bagian terintegrasi penanganan emergensi perdarahan gastrointestinal akut pada anak dengan hipertensi porta. Cukup banyak pasien dengan penyakit hati kronis dan perdarahan gastrointestinal dengan sumber perdarahan bukan dari varises, misalnya ulkus duodenum atau ulkus gaster, tetapi farmakoterapi untuk perdarahan akut tidak perlu ditunda sampai endoskopi dilakukan.34,35

Pengontrolan perdarahan dan pencegahan perdarahan berulang dini Pengobatan perdarahan varises akut perlu ditujukan untuk mengontrol perdarahan dan mencegah perdarahan dini. Terapi farmakologis (vasopressin, somatostatin, octreotide) dan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) efektif untuk mengontrol perdarahan akut. Terapi farmakologis adalah menggunakan vasopressin atau somatostatin (atau analognya). Vasopressin paling lama digunakan, bekerja dengan cara meningkatkan tonus vaskular splanknik dan akhirnya menurunkan aliran darah porta. Penggunaannya dibatasi oleh efek samping yang mungkin timbul, seperti gagal ventrikel kiri, iskemia usus, angina, nyeri dada dan perut. Akibat dari efek samping yang mungkin timbul ini, penelitian-penelitian dilakukan untuk mendapatkan alternatif terapi. Somatostatin dan homolog sintetis octreotide juga menunjukkan penurunan aliran darah splanknik. Efek ini dianggap karena penghambatan sekresi peptida vasoaktif peptida di usus. Efek obat ini untuk perdarahan akut serupa dengan vasopressin, tetapi dengan efek samping yang lebih rendah. Dosis octreotide yang dianjurkan untuk anak adalah 1,0-5,0 g/kgBB/jam dengan infus kontinyu, didahului pemberian bolus 1 kali dosis yang setara pemberian infus 1 jam.36,37 Terapi kombinasi dengan obat vasoaktif (terlipressin, somatostatin atau analog- octreotide atau vapreotide) dengan terapi endoskopi (skleroterapi atau ligasi) dievaluasi secara luas. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa terapi farmakologis dengan endoskopi lebih efektif daripada terapi endoskopi tersendiri untuk mengontrol perdarahan dan mencegah perdarahan berulang dalam 5 hari, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Kombinasi terapi endoskopi dan farmakologis dapat mengontrol perdarahan pada 90% pasien dan mencegah

perdarahan berulang dini sekitar 80%. Algoritme tatalaksana perdarahan yang dicurigai varises dapat dilihat pada Gambar 21.1.38

Pencegahan komplikasi Infeksi bakteri merupakan komplikasi serius pada sirosis lanjut, terutama pada pasien dengan perdarahan. Pada keadaan ini, infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, asites, atau infeksi pada berbagai tempat dapat terjadi. Infeksi umumnya berasal dari flora usus, dan yang paling sering adalah karena E. coli. Infeksi terjadi pada lebih dari sepertiga pasien sirosis dengan perdarahan dalam waktu 7 hari perawatan, dan berhubungan dengan kegagalan pengendalian perdarahan, perdarahan berulang dini, dan kematian dini. Profilaksi antibiotik sudah merupakan bagian integral penanganan perdarahan pada pasien sirosis.39,40,41

Curiga perdarahan varises

Resusitasi Dengan obat vasoaktif (misalnya octreotide)

Tidak tersedia fasilitas dan tenaga ahli

Obat vaso aktifTransfer ke RS yang ada fasilitas tsb

Endoskopi diagnosis

Ligasi atau Skleroterapi

Perdarahan terkontrol?

YA

Survailans Endoskopi + Obat

Tidak

TIPS

Berhasil

Ya

Tidak

Operasi pirau

Gambar 21.1. Algoritme tatalaksana anak dengan kecurigaan perdarahan varises

6.

Pencegahan perdarahan varises berikutnya (profilaksis sekunder) Sekali varises berdarah, rekurensi pada dewasa dapat mencapai 2/3 pasien, biasanya selama beberapa minggu pertama. Prinsip pencegahan sekunder adalah dengan obatobatan, endoskopi, dan transjugular hepatic portosystemic stent shunt (TIPS), dan operasi pirau. Pada umumnya pencegahan sekunder dilakukan dengan obat atau dengan endoskopi.42,43

Beta blocker terbukti lebih efektif dibandingkan plasebo untuk mencegah perdarahan berulang dan kematian. Endoskopi skleroterapi juga lebih efektif daripada terapi konservatif. Perbandingan antara skleroterapi dan beta blocker menunjukkan sedikit lebih baik pada skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Studi meta-analisis menunjukkan bahwa ligasi lebih efektif daripada skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak ada perbedaan mortalitas. Ligasi saat ini direkomendasikan sebagai terapi endoskopi untuk mencegah perdarahan varises berulang.22 Zargar dkk yang membandingkan skleroterapi dan ligasi untuk pencegahan sekunder pada penelitian randomized clinical trial, perdarahan berulang pada kelompok skleroterapi adalah 25%, sedangkan kelompok ligasi 4% dengan nilai p= 0,049. Ligasi mempunyai keuntungan dengan lebih sedikitnya sesi yang diperlukan (4 vs 6) dan menyebabkan komplikasi yang lebih rendah (4% vs 25%), tetapi tidak ada perbedaan timbul kembali varises esofagus maupun terbentuknya varises gaster.44,45 Kombinasi beta blocker dan ISMN yang dibandingkan dengan skleroterapi menunjukkan kombinasi terapi obat lebih superior dibandingkan skleroterapi untuk mencegah perdarahan berulang, tetapi tidak berbeda pada mortalitas. Studi meta-analisis yang membandingkan terapi obat kombinasi dan ligasi tidak menunjukkan adanya perbedaan 4 keduanya dalam mencegah perdarahan berulang. Pada pasien dengan perdarahan varises yang tidak dapat dikontrol dengan endoskopi dan terapi farmakologis, tersedia dua pilihan, yaitu operasi pirau portosistemik dan TIPS. Operasi pirau efektif untuk menghentikan perdarahan tetapi berhubungan dengan tingginya mortalitas bila dilakukan secara emergensi. Operasi pirau dapat diperberat dengan trombosis pirau dan ensefalopati. Teknik pirau yang baru untuk pasien dengan obstruksi vena porta ekstrahepatik dilaporkan oleh de Ville de Goyet, prosedur ini menggunakan conduit vena mesenterika ke vena porta kiri sehingga sirkulasi antegrad dipertahankan melalui parenkim hati pada pasien dengan obstruksi vena porta. Pasien dengan hipertensi porta nonsirosis atau sirosis dengan Child Pugh A dapat diharapkan mempunyai fungsi hati jangka panjang yang baik dan hidup bebas dari perdarahan setelah spleno renal shunt.47,48,49 Pada dua studi meta-analisis yang melaporkan perbandingan TIPS dengan terapi endoskopi memberikan hasil yang sama yaitu TIPS secara bermakna menurunkan perdarahan berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi (19% vs 47%, p<0,001), tetapi secara bermakna meningkatkan ensefalopati (34% vs 19%; p<0,001), dan tidak ada perbedaan angka survival. TIPS pada anak telah dilakukan pada dua seri kasus yang kecil.50,51

Daftar Pustaka 1. 2.

de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: report of the Baveno III consensus workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal hypertension. J Hepatol. 2000; 33: 846-52. Molleston JP. Variceal bleeding in children. JPGN. 2003; 37: 538-45.

3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

15. 16. 17. 18. 19. 20.

21.

22. 23. 24.

25.

26. 27. 28. 29.

Garcia-Tsao G. Portal hypertension. Curr Opin Gastroenterol. 2003; 19: 250-8. Reif S, Blendis L. Portal hypertension and ascites.Dalam: Walker WA,Durie PR, Hamilton JR, Walker-Smith JA, Watkins JB, penyunting. Pediatric gastrointestinal disease, edisi ke-3. Canada: BC Decker. 2000. h. 233-43. Krowka MJ, Cortese DA. Hepatopulmonary syndrome: current concepts in diagnostic and therapeutic considerations. Chest. 1994; 105: 1528-37. Shneider BL. Portal hypertension. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF, editors. Liver disease in children. Philadelphia:Lippincott WW. 2001, edisi ke-2. h. 129-51. Garcia-Tsao G, Groszmann RJ, Fisher RL, ConnHO, Atterbury CE, Glickman M. Portal pressure, presence of gastro-esophageal varices and variceal bleeding. Hepatology. 1985; 5: 419-24. Soh H, Hasegawa T, Sasaki T, Azuma T, Okada A, et al. Pulmonary hypertension associated with postoperative biliary atresia: report of two cases. J Pediatr Surg. 1999; 34: 1779-81. Lange PA, Stoller KJ. The hepatopulmonary syndrome. Ann Intern Med. 1995; 122: 521-9. Sokal EM, VanHoorebeeck N, VanObbergh L. Upper gastrointestinal track bleeding in cirrhotic children candidates for liver transplantation. Eur J Pediatr. 1992; 151: 326-8. Weist R, Groszmann RJ. Nitric oxide and portal hypertension: Its role in the regulation of intrahepatic and splanchnic vascular resistance (review). Semin Liver Dis. 1999; 19: 411-26. Lykavieris P, Gauthier F, Hadchouel P, Duche M, Bernard O. Risk of gastrointestinal bleeding during adolescentce and early adulthood in children with portal vein obstruction. J Pediatr. 2000; 136: 805-8. Westaby S, Wilkinson SP, Warren R, Williams R. Spleen size and portal hypertension in cirrhosis. Digestion. 1978; 17: 63-8. Shah SHA, Hayes PC, Allan PL, Nicholl J, Finlayson ND. Measurement of spleen size and its relationship to hypersplenism and portal hyperdinamics in portal hypertension due to hepatic cirrhosis. Am J Gastroenterol. 1996; 91: 2580-83. Graham DY, Smith JL. The course of patients after variceal hemorrhage. Gastroenterology. 1981; 80: 800-9. Grace ND. Diagnosis and treatment of gastrointestinal bleeding secondary to portal hypertension. American College of Gastroenterology Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol. 1997; 92: 1081-91. de Franchis R, Dell’Era A, Iannuzzi F. Diagnosis and treatment of portal hypertension. Digestive and Liver Disease. 2004; 36: 787-798. Groszmann RJ, Wongcharatrawee S. The hepatic vein pressure gradient: anything worth doing should be done right. Hepatology. 2004; 39: 280-2. Conn HO, Lindenmuth WW, May CJ, Ramsby GR. Prophylactic portocaval anastomosis; a tale of two studies. Medicine. 1972; 51: 27-40. Sabba C, Merkel C, Zoli M, Ferraioli G, Gainani S, Sacerdoti D, et al. Interobserver and interequipment variability of echo-Doppler examination of the portal vein: effect of a cooperative training program. Hepatology. 1995; 21: 428-33. Sacerdoti D, Gaiani S, Buonamico P, Merkel C, Zoli M, et al. Interobserver and interequipment variability of hepatic, splenic and renal artery Doppler resistance indices in normal subjects and patients with cirrhosis. J Hepatol. 1997; 27: 886-92. de Franchis R, Primignani M. Endoscopic treatments for portal hypertension. Semin Liver Dis. 1999; 19:439-55. D’Amico G, Pagliaro L, Bosch J. The treatment of portal hypertension: a meta-analytic review. Hepatology. 1995; 22: 332-54. The North Italian Endoscopic Club for the Study ant Treatment of Esophageal Varices. Prediction of the first variceal hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. N Engl J Med. 1988; 319: 9839. Cales P, Oberti F, Payen JL, Naveau S, Guyader D, Blanc P, et al. Lack of effect of propranolol in the prevention of large oesophageal varices inth patients with cirrhosis: a randomized tial. Eur J Gastroenterol Hepatol. 1999; 11: 741-5. Villanueva C, Minana J, Ortiz J, Gallego A, Soriano G, et al. Nadolol plus isosorbid mononitrate compared with sclerotherapy for prevention of variceal rebleeding. N Engl J Med. 1996; 334: 1624-9. Borroni G, Salerno F, Cazzaniga M, Bissoli F, Lorenzano E, et al. Nadolol is superior to isosorbide mononitrat for prevention of the first variceal bleeding in cirrhotic patients with ascites. J Hepatol. 2002; 37: 315-21. Ozsoylu S, Kocak N, Yuce A. Propranolol therapy for portal hypertension in children. J Pediatr. 1985; 106: 31720. Vivas S, Rodriguez M, Palacio MA, Linares A, Alonso JL, Rodrigo L. Presence of bacterial infection in bleeding cirrhotic patients is independently associated with early mortality and failure to control bleeding. Dig Dis Sci. 2001; 46: 2752-7.

30. Groszmann R, Garcia-Tsao G, Makuch R, Bosch J, Escorsell A, et al. Multicenter randomized trial of nonselective beta blocker in the prevention of complications of portal hypertension: final result and identification of a predictive factor. Hepatology. 2003; 38: 206A. 31. Shashidhar H, Langhans N, Grand RJ. Propranolol in prevention of portal hypertension hemorrhage in children: a pilot study. J Pediatr Gastroenterol Nur. 1999; 29: 12-7. 32. Chen L, Groszmann RJ. Blood in the gastric lumen increases splanchnic blood flow and portal pressure in portal hypertension rats. Gastroenterology. 1996; 111: 1103-10. 33. Merkel C, Marin R, Angeli P, Zanella P, Felder M, et al. Beta-blockers in the prevention of the aggravation of esophageal varices in patients with cirrhosis and small varices:a placebo-controlled clinical trial. Heptology. 2003; 38: 217A. 34. Banares R, Albillos A, Rincon D, Alonso S, Gonzalez M, et al. Endoscopic treatment versus endoscopic plus pharmacologic treatment for acute variceal bleeding: a meta-analysis. Hepatology. 2002; 35: 609-15. 35. Stringer MD, Howard ER, Mowat AP. Endoscopic sclerotherapy in the management of oesophageal varices in 61 children with biliary atresia. J Pediatr Surg. 1989; 24: 438-42. 36. D’Amico G, Paglioro L, Bosch J. Pharmacologic treatment of portal hypertension: an evidence-based approach. Semin Liver Dis. 1999; 19: 475-505. 37. Kravets D, Bosch J, Teres J, Bruix J, Rimola A, Rodes J. Comparison of intravenous somatostatin and vasopressin infusions in the treatment of acute variceal hemorrhage. Hepatology. 1984; 4: 442-6. 38. Burroughs AK, McCormic PA, Hughes MD, Sprenger D, D’Heygere F, MCIntyre N. Randomized, doubleblinded, placebo-controlled trial of somatostatin for variceal bleeding: Emergency control and prevention of early variceal rebleeding. Gastroenterology. 1990; 99: 1388-95. 39. Bernard B, Cadranel JF, Valla D, Escolano S, Jarlier V, Opolon P. Prognostic significance of bacterial infection in bleeding cirrhotic patients. Gastroenterology. 1995; 108: 1828-34. 40. Borzio M, Salerno F, Piantoni L, Cazzaniga M, Angeli P, et al. Bacterial infection in patients with advanced cirrhosis: a multicenter prospective study. Dig Liv Dis. 2001; 33: 41-8. 41. Rolando N, Gimson A, Philpot-Howard J, et al. Infectious sequelae after endoscopic sclerotherapy of oesophageal varices:role of antibiotic prophylaxis. J Hepatol. 1993; 18: 290-4. 42. Botha JF, Campos BD, Grant WJ, Horslen SP, Sudan DL, et al. Portosystemic shunts in children: A 15 year experience. J Am Coll Surg. 2004; 199: 179-85. 43. Luca A, D’Amico G, La Galla R, Midiri M, Morabito A, Pagliaro L. TIPS for prevention of recurrent bleeding in patients with cirrhosis: meta-analysis of randomized clinical trials. Radiology. 1999; 212: 411-21. 44. Imperiale TF, Chalasani N. A meta-analysis of endoscopic variceal ligation for primary prophylaxis of esophageal variceal bleeding. Hepatology. 2001; 33: 802-7. 45. Zargar SA, Javid G, Khan BA, Yatto GN, Shah AH, et al. Endoscopic ligation compared with sclerotherapy for bleeding esophageal varices in children with extrahepatic portal venous obstruction. Hepatology. 2002; 36: 66672. 46. Feu F, Garcia-Pagan JC, Bosch J, Luca A, Teres J, Escosell A, et al. Relation between portal pressure response to pharmacotherapy and risk of recurrent variceal haemorrhage in patients with cirrhosis. Lancet. 1995; 346: 1056-9. 47. Heyman MB, LaBerger JM. Role of transjugular intrahepatic portosystemic shunts in the treatment of portal hypertension in pediatric patients. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 1999; 29: 240-9. 48. Merkel C, Bolognesi M, Bellon S, Zuin R, Noventa F, Finucci G, et al. Prognostic usefulness of hepatic vein catheterization in patients with cirrhosis and esophageal varices. Gastroenterology. 1992; 102: 973-9. 49. McKieman PJ. Treatment of variceal bleeding.Ped Gastroint Endosc. 2001; 11: 789-813. 50. Heyman MB, LaBerge JM, Somberg KA, Rosenthal P, Madge C, et al. Transjugular intrahepatic portosystemic shunts (TIPS) in children. J Pediat. 1997; 131: 914-9. 51. Papatheodoridis GV, Goulis J, Leandro G, Patch D, Burroughs AK. Transjugular intrahepatic portosystemic shunt compared with endoscopic treatment for prevention of variceal rebleeding: a meta-analysis. Hepatology. 1999; 30: 612-22.

Related Documents


More Documents from ""