250080572-makalah-legal-drafting-ok.docx

  • Uploaded by: Dita oktaviani
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 250080572-makalah-legal-drafting-ok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,037
  • Pages: 9
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Indonesia adalah negara hukum. Gagasan negara hukum dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata

supra

struktur dan

infra

struktur

kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran

hukum yang rasional dan impersonal dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu, sistem hukum perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Sejak lahirnya negara Republik Indonesia dengan Proklamasi kemerdekaannya, serta ditetapkannya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi, terbentuklah pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Apabila dibandingkan dengan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teoi jenjang norma hukum (Die Treorie vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, maka dapat dilihat adanya cerminan dari kedua sistem norma tersebut dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia.

B. Rumusan Masalah 1. Sistem Norma Hukum Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 2. Hubungan Antara Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945 3. Hubungan Undang-Undang Dasar 1945 Dan Ketetapan Mpr 4. Hubungan Pancasila, UUD 1945 Dan Ketetapan Mpr 5. Hubungan Norma Hukum Dasar Dan Norma Perundang-Undangan

1

BAB II PEMBAHASAN A. Sistem Norma Hukum Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dalam sistem norma hukum Negara Republik Indonesia maka norma-norma hukum yang berlaku berada dalam suatu sistem yang berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, sekaligus berkelompok-kelompok, di mana suatu norma itu selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tiggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar negara (Staatsfundamentalnorm) Republik Indonesia adalah Pancasila. Di dalam sistem norma Hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatamegaraaan sebagai Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undangundang (Formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Mentri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otomom lainya (atau istilah yang dipakai oleh Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undang adalah, Peraturan Presiden sampai Peraturan Daerah, dan sebagainya).

B. Hubungan Antara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Pembahasan

tentang

hubungan

antara

Norma

Fundamental

Negara

(Staatsfundamentalnorm) Pancasila dan Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara (Verfassungsnorm) Undang-undang Dasar 1945, dapat dilakukan dengan melihat dan mencermati rumusan dalam Penjelasan tentang Undang-Undang Dasar 1945 Angka III yang menentukan sebagai berikut: “ Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya. Pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. PokokPokok pikiran ini mewujutkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-UndangDasar) maupun hukum yang 2

tidak tertulis. Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran ini di dalam pasal-pasalnya.” Dari perumusan tersebut dapat dilihat bahwa kedudukan dari Pembukaan UUD1945 adalah lebih utama dari pada Batang Tubuh UUD 1945, oleh karena pembukaan UUD 1945 itu mengandung pokok-pokok pikiran yang tidak lain adalah Pancasila. Apabila pokok-pokok yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 tersebut mencerminkan Pancasila yang menciptakan pasal-pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945,

dengan

demikian

Pancasila

merupakan

Norma

Fundamental

Negara

(Staatsfundamentalnorm) yang menjadi dasar dan sumber bagi Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Verfassungnorm) yaitu Batang Tubuh UUD 1945. Selain dari pada itu Penjelasan UUD 1945 juga menyebutkan istilah cita-cita hukum (Rechtsidee): Istilah ‘cita-cita hukum (Rechtsidee)’ di dalam penjelasan UUD 1945 ini menurut A. Hamid S. Attamimi dikatakan kurang tepat oleh karena istilah ‘cita-cita’ itu berarti keinginan, kehendak, atau suatu harapan, sedangkan istilah ‘Rechtsidee’ sendiri lebih tepat kalau diterjemahkan dengan Cita Hukum. Cita Hukum’ ialah terjemahan dari Rechtsidee. Berbeda dengan terjemah yang digunakan dalam Penjelasan UUD1945, penulis berpendapat Rechtsidee sebaiknya diterjemahkan dengan ‘Cita hukum’ dan bukan dengan ‘cita-cita hukum’ mengingat cita ialah gagasan, rasa, cita, pikiran, sedangkan cita-cita ialah keinginan, kehendak, harapan yang selalu ada di pikiran atau dihati. Selanjutnya dikemukakan bahwa ‘ Kelima sila dari Pancasila dalam kedudukannya sebagai Cita hukum rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara secara positif merupakan “Bintang Pemandu” yang memberikan pedoman dan bimbingan dalam semua kegiatan memberi isi kepada tiap peraturan perundang-undangan, dan secara negatif merupakan kerangka yang membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan uraian tersebut jelaslah bahwa Pancasila sebagai Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm) dan sekaligus sebagai Cita hukum merupakan sumber dan dasar serta pedoman bagi Batang Tubuh UUD 1945 sebagai Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Verfassungsnorm) serta peraturan perundang-undangan lainya.

3

C. Hubungan Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan MPR 1. Sebelum Perubahan UUD 1945 Apabila dilihat dari teori jenjang norma hukum dari Hans Nawiasky, maka kelompok norma dari Staatsgrundgesetz di Negara Republik Indonesia terdiri dari Verfassungsnorm UUD 1945 yang terdapat dalam Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR, serta Hukum Dasar tidak tertulis (Konvensi Ketatanegaraan). Norma-norma Hukum yang ada dalam Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara yaitu dalam Verfassungsnorm UUD 1945 dan dalam ketetapan MPR merupakan norma-norma hukum yang masih bersifat umum dan garis besar serta masih merupakan norma tunggal, jadi belum dilekati oleh sanksi pidana maupun sanksi pemaksa. Secara Hierarkis kedudukan Verfassungsnorm UUD 1945 lebih tinggi dari pada ketetapan MPR, walaupun keduanya dibentuk oleh lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Lembaga tertinggi di Negara Republik Indonesia. Selama ini (Sebelum ada perubahan UUD 1945) masih banyak orang yang mempersoalkan mengapa ketetapan MPR mempunyai kedudukan setingkat lebih rendah dari pada Undang-Undang Dasar 1945, padahal keduanya dibentuk oleh sebuah lembaga yang sama yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Pertanyaan ini timbul oleh karena selama ini banyak orang yang beranggapan bahwa ketiga fungsi dari Majlis Permusyawaratan Rakyat itu mempunyai bobot yang sama, namun demikian, apabila diperhatikan secara saksama, ketiga fungsi dari Majlis Permusyawaratan Rakyat itu bisa dibedakan dalam dua kualitas yaitu: Fungsi I : Menetapkan Undang-Undang Dasar. Fungsi II a : Menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara. II b : Memilih Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam menjalankan fungsi yang pertama mempunyai kedudukan yang lebih utama dari pada dalam menjalankan fungsi yang kedua, oleh karena dalam menjalankan fungsi yang pertama Majlis Permusyawaratan Rakyat mempunyai kualitas sebagai ‘konstituante’, yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar yang hanya dilaksanakan apabila negara benar-benar menghendaki, jadi tidak secara teratur, sedangkan dalam menjalankan fungsi yang kedua itu dapat dilaksanakan secara teratur dalam jangka waktu lima tahun sekali, yaitu pada waktu Majelis Permusyawaratan Rakyat Bersidang.

4

Keduanya Verfassungsnorm UUD 1945 yang berada di atas ketetapan MPR ini menjadi lebih jelas apabila dikaji dengan teori Pengikatan Diri (Selbtsbindungtheorie) dari George Jellinek. Secara teori Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mempunyai kualitas utama sebagai Konstituante itu mula-mula menjalankan fungsi yang pertama yaitu menetapkan Undang-Undang Dasar Negara. Setelah Undang-Undang Dasar itu terbentuk, kemudian Majelis Permusyawaratan Rakyat tersebut mengikatkan diri pada ketentuan

dalam

Undang-Undang

Dasar

yang

ia

bentuk

(Sesuai

dengan

Selbtsbindungtheorie). Selanjutnya dalam menjalankan fungsinya yang kedua, yaitu menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara, dan memilih Presiden dan Wakil Presiden yang dituangkan dalam Ketetapan-ketetapan MPR, dan pada saat itu Majelis Permusyawaratan Rkyat tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan dalam UndangUndang Dasar tersebut. Selain dari kajian berdasarkan fungsinya, keduanya Majelis Permusyawaratan Rakrat, dapat pula dikaji dari tata cara atau proses ‘perubahanya’. Dalam hal perubahan Undang-Undang Dasar 1945 terdapat persyaratan-persyaratan formal yang tertuang dalam Pasal 37 UUD 1945. Kemudian persyaratan-persyaratan formal lainya yang ditentukan untuk perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah harus memenuhi ketentuan ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang menentukan dalam pasal 2. Di samping persyaratan formil tersebut, sebenarnya terdapat persyaratanpersyaratan material yang lebih utama dan lebih esensial, yaitu: ‘Perubahan UndangUndang Dasar 1945 tidak boleh “mengganggu” keselarasan dan harmoni kaidah-kaidah yang tercantum dalam pembukaannya sebagaimana terlihat pada Penjelasan Umum UUD 1945 Angka II yang berbunyi “ Undang-Undang Dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan di dalam pasal-pasalnya”. Ini berarti bahwa norma-norma hukum yang tertuang dalam pasal-pasal Batang Tubuh UUD 1945 adalah “penciptaan” atau pengejawantahan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan, yang menurut tafsiran Penjelasan UUD 1945 sendiri tidak lain dan tidak bukan adalah pancasila. Apabila dilihat dari uraian tersebut, jelaskan bahwa dalam hal menetapkan, mengubah ataupun mencabut Undang-Undang Dasar (dalam hal ini UUD 1945) di 5

perlukan yang sangat besar, sedangkan dalam hal menetapkan, mengubah atau mencabut suatu Ketetapan MPR tidak diperlukan persyaratan formal dan material seberat persyaratan bagi Undang-Undang Dasar, dalam hal ini Batang Tubuh UUD 1945. Oleh karna ketetapan MPR itu tidak secara langsung merupakan ‘Penciptaan Dalam Pasa-Pasal’ dari Norma Fundamental Negara dan Pancasila, yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945. ketetapan MPR mempunyai fungsi untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam verfassungsnorm UUD 1945 yang masih mengatur hal-hal pokok saja. selain itu di mana perlu menjabarkan lebih lanjut ketentuan dalam verfassungsnorm UUD 1945 secara lebih terinci dan mengarahkan garis-garis besar daripada haluan negara sesuai perkembangan negara republik indonesia yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 2. Sesudah Perubahan UUD 1945 Sesudah perubahan UUD 1945, terdapat perubahan yang mendasar tentang fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Berdasarkan Perubahan UUD 1945, fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah: Fungsi I

: Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

Fungsi II

: Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Fungsi IIIa

:Memperhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

IIIb

: Memilih Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan).

IIIc

: Memilih Presiden dan Wakil Presiden (dalam hal terjadi kekosongan).

D. HUBUNGAN PANCASILA, UUD 1945 DAN KETETAPAN MPR Dilihat dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia, maka staatsfundamentalnorm pancasila, Verfassungsnorm UUD 1945, Grundgesetznorm ketetapan MPR, danGesetznorm Undang-Undang merupakan suatu bagian dari sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Staatsfundamentalnorm Pancasila yang merupakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang 6

1945

adalah

sumber

dan

dasar

bagi

pembentukan

pasal-pasal

dalam

verfassungnormUUD 1945, sedangkan aturan yang ada dalam verfassungnorm UUD 1945 merupakan sumber dan dasar bagi pembentukan aturan-aturan dalam Grundgedetznorm ketetapan MPR dan juga sekaligus merupakan sumber dan dasar pembentukan Gesetznorm Undang-Undang. Oleh karena Grundgedetznorm ketetapan MPR itu juga merupakan Aturan Dasar Negara atau Aturan Pokok Negara yang berada diatas Gesetznorm Undang-Undang, maka Grundgedetznorm ketetapan MPR ini juga merupakan sumber bagi pembentukan norma-norma hukum dalam Gesetznorm Undang-Undang yang merupakan peraturan perundang-undangan yang tertingggi di Negara Republik Indonesia.

E. HUBUNGAN NORMA HUKUM DASAR DAN NORMA PERUNDANGUNDANGAN Ketentuan dalam Aturan Pokok Negara yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dapat dikembangluaskan atau aturan lebih lanjut dalam Undang-Undang yang lebih mudah caranya membuat, mengubah dan mencabut. Berdasarkan hal itu maka suatu Undang-Undang dapat melaksanakan atau mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun hal-hal yang secara yang tidak tegas-tegas menyebutkannya. Selain itu, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, sehingga Undang-Undang juga merupakan sumber dan dasar bagi peraturan perundang-undangan lain di bawahnya, yang merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom. Apabila dilihat dari sifat norma hukumnya, dapat diketahui bahwa norma-norma hukum dalam suatau hukum dasar itu masih merupakan norma hukum tunggal, masih mengatur hal-hal umum dan secara garis besar atau masih merupakan norma-norma hukum yang pokok-pokok saja. Sehingga norma-norma dalam suatu Hukum Dasar itu belum dapat langsung berlaku mengikat umum. Hal tersebut berbeda dengan normanorma hukum yang ada dalam suatu perundang-undangan. Dalam Peraturan Perundangundangan, norma-norma hukum itu sudah lebih konkret, lebih jelas dan sudah dapat berlaku megikat umum, bahkan dalam peraturan perundang-undangan sudah dapat dilekati oleh sanksi pidana dan sanksi pemaksa. 7

BAB III PENUTUP A Kesimpulan Di dalam sistem norma Hukum Negara Republik Indonesia, Pancasila merupakan Norma Fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tinggi, dan kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan MPR serta Hukum Dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatamegaraaan sebagai Aturan Dasar Negara / Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-undang (Formell Gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom (Verordnung & Autonome Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Mentri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan otomom lainya Undang-Undang dapat melaksanakan atau mengatur lebih lanjut hal-hal yang ditentukan secara tegas-tegas oleh Undang-Undang Dasar 1945 maupun hal-hal yang secara yang tidak tegas-tegas menyebutkannya. Selain itu, Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang tertinggi di

Negara Republik

Indonesia, sehingga Undang-Undang juga merupakan sumber dan dasar bagi peraturan perundang-undangan lain di bawahnya, yang merupakan peraturan pelaksanaan atau peraturan otonom. B Penutup sebagai bagian dari karya tangan manusia, tentunya makalah in tak akan lepas dari kekurangan. oleh karena itu penulis memohon maaf sebesar-besarnya apabila dalam penulisan makalah ini baik dalam hal tata tulis, ejaan, ungkapan maupun penjabaran yang tidak sesuai.wassalam

8

DAFTAR PUSTAKA

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius

9

More Documents from "Dita oktaviani"