232740262-sindrom-nefritik-akut.docx

  • Uploaded by: Nadia Rezky Eliza
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 232740262-sindrom-nefritik-akut.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,768
  • Pages: 19
HALAMAN PENGESAHAN UJIAN “SINDROM NEFRITIK, TERAPI STEROID, TATALAKSANA SLE DAN MACAM-MACAM ISK”

Disusun oleh:

Nadia Rezki Erliza

1810221011

Diajukan untuk Memenuhi Syarat Lulus Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof.Dr.Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui, Pada tanggal:

2019

Mengetahui, Dokter Penguji

dr, Aditya Warman, Sp.PD-KGH

SINDROM NEFRITIK AKUT Sindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan suatu kumpulan gejala klinik berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oligouria, dan hipertensi (PHAROH) yang terjadi secara akut.(1) Istilah SNA sering digunakan bergantian dengan Glomerulonefritis Akut (GNA). GNA ini adalah suatu istilah yang sifatnya lebih umum dan lebih menggambarkan proses histopatologi berupa proliferasi dan inflamasi sel glomeruli akibat proses imunologik. Jadi, SNA merupakan istilah yang bersifat klinik dan GNA merupakan istilah yang lebih bersifat histologik.(1) Berbagai penyakit atau keadaan yang digolongkan ke dalam SNA antara lain: (1,6) 

Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut



Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria: o

Glomerulonefritis fokal

o

Nefritis heriditer (sindrom Alport)

o

Nefropati Ig-A Ig-G (Maladie de Berger)

o

Benign recurrent hematuria



Glomerulonefritis progresif cepat



Penyakit-penyakit sistemik: o

Purpura Henoch-Schoenlein (HSP)

o

Lupus erythematosus sistemik (SLE)

o

Endokarditis bakterial subakut (SBE) (1,6)

Glomerulonefritis sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2) Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.(2)

ETIOLOGI 1. Faktor Infeksi a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta Hemolyticus (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus). Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan). Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif. (6) b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain : endokarditis bakterialis subakut dan Shunt Nephritis. Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit, penyakit ginjal dan sistemik, endokarditis, pneumonia. Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus: Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus, hepatitis B, rubella. Jamur dan parasit : Toxoplasma gondii, filariasis, dll. (6)

2. Penyakit multisistemik, antara lain : a. Lupus Eritematosus Sistemik b. Purpura Henoch Schonlein (PHS) (1,6)

3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain : a. Nefropati IgA (1)

EPIDEMIOLOGI Glomerulonefritis akut pasca streptokok yang klasik terutama menyerang anak dan orang dewasa muda, dengan meningkatnya usia frekuensinya makin berkurang. Paling sering ditemukan pada anak berumur antara 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1 dan jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. (2, 3) Lebih sering pada musim dingin dan puncaknya pada musim semi. Paling sering pada anak-anak usia sekolah.(3)

PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina, diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita. (3,7) Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus. (7) Patogenesis yang mendasari terjadinya GNAPS masih belum diketahui dengan pasti. Berdasarkan pemeriksaan imunofluorosensi ginjal, jelas kiranya bahwa GNAPS adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan imunologis. Pembentukan kompleks-imun in situ diduga sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokokus. (1) Hipotesis lain yang sering disebut adalah neuraminidase yang dihasilkan oleh streptokokus, merubah IgG menjadi autoantigenic. Akibatnya, terbentuk autoantibodi terhadap IgG yang telah berubah tersebut. Selanjutnya terbentuk komplek imun dalam sirkulasi darah yang kemudian mengendap di ginjal. (7) Streptokinase yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya GNAPS. Sreptokinase mempunyai kemampuan merubah plaminogen menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen. Pada pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan endapan dari C3 pada glomerulus, sedang protein M yang terdapat pada permukaan molekul, dapat menahan terjadinya proses fagosistosis dan meningkatkan virulensi kuman. Protein M terikat pada antigen yang terdapat pada basal membran dan IgG antibodi yang terdapat dalam sirkulasi. (3) Pada GNAPS, sistem imunitas humoral diduga berperan dengan ditemukannya endapan C3 dan IgG pada subepitelial basal membran. Rendahnya komplemen C3 dan C5, serta normalnya komplemen pada jalur klasik merupakan indikator bahwa aktifasi komplemen melalui jalur alternatif. Komplemen C3 yang aktif akan menarik dan mengaktifkan monosit dan neutrofil, dan menghasilkan infiltrat akibat adanya proses

inflamasi dan selanjutnya terbentuk eksudat. Pada proses inflamasi ini juga dihasilkan sitokin oleh sel glomerulus yang mengalami injuri dan proliferasi dari sel mesangial. (1,7) Dari hasil penyelidikan klinis imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab glomerulonefritis akut. Beberapa ahli mengajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrane basalis glomerulus dan kemudian merusaknya. 2. Proses auto imun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan auto-imun yang merusak glomerulus. 3. Streptococcus nefritogen dengan membrane basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrane basalis ginjal. (7) Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya : 1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit) 2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun. 3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi. Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi. (1)

GEJALA KLINIS

SNA sering terjadi pada anak laki-laki usia 2-14 tahun, gejala yang pertama kali muncul adalah penimbunan cairan disertai pembengkakan jaringan (edema) di sekitar wajah dan kelopak mata (infeksi post streptokokal). Pada awalnya edema timbul sebagai pembengkakan di wajah dan kelopak mata, tetapi selanjutnya lebih dominan di tungkai dan bisa menjadi hebat. Berkurangnya volume air kemih dan air kemih berwarna gelap karena mengandung darah, tekanan darah bisa meningkat. Gejala tidak spesifik seperti letargi, demam, nyeri abdomen, dan malaise. Gejalanya : (8) 

Onset akut (kurang dari 7 hari)



Hematuria baik secara makroskopik maupun mikroskopik. Gross hematuria 30% ditemukan pada anak-anak.



Oliguria



Edema (perifer atau periorbital), 85% ditemukan pada anak-anak; edema bisa ditemukan sedang sampai berat.



Sakit kepala, jika disertai dengan hipertensi.



Dyspnea, jika terjadi gagal jantung atau edema pulmo; biasanya jarang.



Kadang disertai dengan gejala spesifik; mual dan muntah, purpura pada HenochSchoenlein, artralgia yang berbuhungan dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). (6,7,8)

Gejala lain yang mungkin muncul : 

Pengelihatan kabur



Batuk berdahak



Penurunan kesadaran



Malaise



Sesak napas (6)

Pemeriksaan Urine terdapat sedimen eritrosit (+) sampai (++++), juga torak eritrosit (+) pada 60-85% kasus. Pada pemeriksaan darah, didapatkan titer ASO meningkat dan kadar C3 menurun. Pada pemeriksaan ‘throat swab’ atau ‘skin swab’ dapat ditemukan streptokokkus.

Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). (8)

DIAGNOSIS 1. Kriteria Klinik:(8) 1. Onsetnya akut. (kurang dari 7 hari) 2. Edema. Paling sering muncul di Palpebra pada saat bangun pagi, disusul tungkai, abdomen, dan genitalia. 3. Hematuri. Hematuri makroskopik berupa urin coklat kemerah-merahan seperti teh tua / air cucian daging biasanya muncul pada minggu pertama. Hematuri makroskopik muncul pada 30 – 50 % kasus, sedangkan hematuri mikroskopik ditemui pada hampir semua kasus 4. Hipertensi. Muncul pada 50-90% kasus, umumnya hipertensi ringan dan timbul dalam minggu pertama. Adakalanya terjadi hipertensi ensefalopati (5-10% kasus). Dikatakan hipertensi jika tekanan darah sistolik dan atau diastolik tiga kali berturut-turut di atas persentil 95 menurut umur dan jenis kelamin. Praktisnya: 1. Hipertensi ringan jika tekanan darah diastolik 80 – 95 mmHg 2. Hipertensi sedang jika tekanan darah diastolik 95 – 115 mmHg 3. Hipertensi berat jika tekanan darah diastolik lebih dari 115 mmHg 5. Oligouri. Terdapat pada 5-10% kasus. Dikatakan oligouri bila produksi urin kurang dari atau sama dengan 1 cc/kgBB/jam. Umumnya terjadi pada minggu pertama dan menghilang bersama dengan diuresis pada akhir minggu pertama. 2. Laboratorium(8) 1. Sedimen Urin 1. Eritrosit (+) sampai (++++) 2. Torak eritrosit (+) pada 60 – 85% kasus 2. Darah 1. Titer ASO meningkat pada 80 – 95% kasus. 2. Kadar C3 (B1C globulin) turun pada 80 – 90% kasus.

3. Pemeriksaan Penunjang(8) 1. Laboratorium 1. Darah 

LED dan hematokrit diperiksa pada saat masuk rumah sakit dan diulangi tiap minggu



Eiwit spektrum (albumin, globulin) dan kolesterol diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulangi bila perlu



Kadar ureum, kreatinin, klirens kreatinin diperiksa waktu masuk rumah sakit.

2. Urin. Proteinuri diperiksa tiap hari 

Kualitatif (-) sampai (++), jarang yang sampai (+++)



Kuantitatif kurang dari atau sama dengan 2 gram/m2/24 jam



Volume ditampung 24 jam setiap hari

3. Bakteriologi. Pada Throat swab atau skin swab dapat ditemukan streptokokkus pada 10-15% kasus 4. Pencitraan. Foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan. Pemeriksaan foto thorax PA tegak dan lateral dekubitus kanan dapat ditemukan kelainan berupa kardiomegali, edema paru, kongesti paru, dan efusi pleura (nephritic lung). Foto thorax diperiksa waktu masuk rumah sakit dan diulang 7 hari kemudian bila ada kelainan. Diagnosis GNAPS ditegakkan bila ada lebih dari atau dua dari empat gejala klinik kardinal (edema, hematuri, hipertensi, oligouri) disertai meningkatnya kadar ASO dan turunnya kadar C3. Juga dapat ditegakkan bila keempat gejala kardinal muncul bersamaan (full blown case).(8)

KOMPLIKASI

1.

Fase Akut :

Komplikasi utamanya adalah Gagal Ginjal Akut. Meskipun perkembangan ke arah sklerosis jarang, pada 0.5%- 2% pasien dengan Glomerulonefritis Akut tahap perkembangan ke arah gagal ginjal periodenya cepat.(6)

Komplikasi lain dapat berhubungan dengan kerusakan organ pada sistem saraf pusat dan kardiopulmoner, bisa berkembang dengan pasien hipertensi berat, encephalopati, dan pulmonary edema. Komplikasinya antara lain : 1. Retinopati hipertensi 2. Encephalopati hipertensif 3. Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume overload) 4. Edema Paru 5. Glomerulonefritis progresif(7) 2. Jangka Panjang: 1. Abnormalitas urinalisis (microhematuria) 2. Gagal ginjal kronik 3. Sindrom nefrotik (6,7)

PENATALAKSANAAN Prinsip penatalaksaaannya adalah untuk mengurangi inflamasi pada ginjal dan mengontrol tekanan darah. Pengobatannya termasuk penggunaan antibiotik ataupun terapi lainnya.(6) 1. Tirah baring Terutama pada minggu pertama penyakit untuk mencegah komplikasi. Sesudah fase akut istirahat tidak dibatasi lagi tetapi tidak boleh kegiatan berlebihan. Penderita dipulangkan bila keadaan umumnya baik, biasanya setelah 10-14 hari perawatan.(8) 2. Diet a. Protein: 1-2 gram/kg BB/ hari untuk kadar Ureum normal, dan 0,5-1 gram/kg BB/hari untuk Ureum lebih dari atau sama dengan 40 mg% b. Garam: 1-2 gram perhari untuk edema ringan, dan tanpa garam bila anasarka. c. Kalori: 100 kalori/kgBB/hari. d. Intake cairan diperhitungkan bila oligouri atau anuri, yaitu: Intake cairan = jumlah urin + insensible loss (20-25cc/kgBB/hari + jumlah kebutuhan cairan setiap kenaikan suhu dari normal [10cc/kgBB/hari])(8)

3. Medikamentosa 1. Antibiotik Penisilin Prokain (PP) 50.000-100.000 SI/KgBB/hari atau ampisilin/amoxicillin dosis 100mg/kgBB/hari atau eritromisin oral 30-50 mg/KgBB/hari dibagi 3 dosis selama 10 hari untuk eradikasi kuman. Pemberian antibiotik bila ada tonsilitis, piodermi atau tanda-tanda infeksi lainnya.(8) 2. Anti Hipertensi a. Hipertensi Ringan: Istirahat dan pembatasan cairan. Tekanan darah akan normal dalam 1 minggu setelah diuresis. b. Hipertensi sedang dan berat diberikan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari dan furosemide 12mg/kgBB/hari per oral.(8)

4. Tindakan Khusus Edema Paru Akut: Bila disertai batuk, sesak napas, sianosis, dan pemeriksaan fisis paru menunjukkan ronkhi basah. Tindakan yang dilakukan adalah:(8) 1. Stop Intake peroral. 2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam 3. Pemberian oksigen 2-5 L/menit 4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10 mg/kgBB/hari. 5. Bolus NB 2-4 mEq/kgBB/hari bila ada tanda asidosis metabolik Hipertensi Ensefalopati: Hipertensi dengan tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau diastolik ≥ 120 mmHg, atau selain itu tetapi disertai gejala serebral berupa sakit kepala, muntah, gangguan pengelihatan, kesadaran menurun, dan kejang. Tindakan yang dilakukan adalah:(8) 1. Stop Intake peroral. 2. IVFD dextrose 5%-10% sesuai kebutuhan per 24 jam 3. Nifedipin sublingual 0,25mg/kgBB diulangi 30-60 menit bila perlu. Atau klonidin 0,002mg/kgBB/kali (IV), dinaikkan dengan interval 2 sampai 3 jam, maksimal 0,05mg/kgBB/hari. 4. Furosemide 2 mg/kgBB (IV) dan dinaikkan secara bertahap sampai maksimal 10 mg/kgBB/hari.

5. Bila tekanan darah telah turun, yaitu diastol kurang dari 100mmHg, dilanjutkan dengan kaptopril 0,5-3mg/kgBB/hari + furosemide 1-2mg/kgBB/hari. 6. Kejang diatasi dengan antikonvulsan. (8)

SINDROM NEFROTIK SENSITIF STEROID Publikasi ISKDC melaporkan bahwa SNKM (SN kelainan minimal) 80-90% mengalami remisi total dengan pengobatan steroid 8 minggu Tetapi jumlah yang relaps juga mencapai 70%, setengahnya akan menjadi relaps sering dan dependen steroid3. Skema pengobatan ISKDC di adopsi oleh semua pusat pendidikan nefrologi di seluruh dunia. Mulamula dipakai batasan resisten bila dalam 8 minggu pemberian steroid tidak terjadi remisi kemudian diubah menjadi 4 minggu, karena yang remisi pada 4 minggu kedua jumlahnya sedikit.

Rekomendasi Kidney Disease Improving Global Outcomes 2012-2013 Penilaian KDIGO dilakukan menggunakan kajian evidence based (kajian berbasis bukti)

Dalam rekomendasi KDIGO tersebut, pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan prednison/prednisolone, memberi dua pilihan: 

Prednison oral dosis penuh (full dose) selama 6 minggu (maksimal 60 mg/m2/hari), dilanjutkan 6 minggu dengan dosis alternating, diberikan single dose pagi hari (1B)



Pemberian prednison dosis penuh 4 minggu, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua 40 mg/m2 atau 1,5 mg/kgbb/hari alternating, jadi tetap 8 minggu seperti sebelumnya, tetapi dilanjutkan 3 bulan dosis diturunkan (tapering off) sebelum prednison dihentikan.

Pengobatan inisial sindrom nefrotik dengan prednisone 6-6 minggu pernah dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dengan hasil jumlah remisi lebih banyak namun secara statistik tidak signifikan.9 . Pemberian prednison 6-6 minggu dilakukan juga di Jerman dan berhasil membuktikan secara signifikan mengurangi relaps dibandingkan skema ISKDC 4-4 minggu.10,11 Preparat kortikosteroid boleh diberikan secara single dose, sebaiknya dipergunakan metil prednisolon yang mempunyai tablet dosis tinggi yaitu 16 mg/tablet, sehingga tidak terlalu banyak tablet yang diminum sekaligus. Jika di poliklinik kita berikan tablet prednison yang lebih murah dengan dosis 1 tablet berisi 5 mg, maka untuk satu kali minum jika berat badan pasien 20-30 kg, sekaligus minum 8-12 tablet. Dalam hal ini kepatuhan minum obat akan berkurang. Oleh karena itu diberi kesempatan memberikan dosis terbagi per hari dalam 4 minggu pertama.

Pemberian steroid jangka panjang pada terapi inisial. Pemberian selama 3-7 bulan dan dimulai dengan dosis penuh jangka pendek 4-6 minggu dilanjutkan dosis alternating dengan tapering off dapat mengurangi jumlah relaps, dan relaps sering.13. Pada pemberian dosis inisial prednison lebih dari 3 bulan akan mengurangi relaps sampai 30% dibandingkan pemberian hanya 2 bulan, dalam pengamatan selama 12-24 bulan.8 Rekomendasi lain KDIGO meliputi: 

Pemberian kortikosteroid pada pasien sindrom nefrotik relaps, sama dengan panduan lama. Hal ini berlaku juga pada pasien sindrom nefrotik yang relaps jarang.



Pada sindrom nefrotik yang sudah remisi namun sedang mengalami infeksi (antara lain ISPA) diberi prednison tiap hari selama infeksi untuk mencegah relaps, juga jika infeksi terjadi pada saat pemberian dosis alternating.

TATA LAKSANA SLE Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas12 . Pasien dengan SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan otot dan luas gerakan dari persendian.

A. Terapi Farmakologi. Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan, NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen, naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadang- kadang, obat yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol. Kortikosteroid lebih baik dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian (nekrosis) dari persendian yang besar. 12,13,14

Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE. Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas12,13,15 . Untuk penyakit kulit yang resisten, obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa dikombinasikan dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A) 13,14,15 . Pengobatan immunosupresan digunakan pada pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide,

chlorambucil

dan

cyclosporine.

Semua

immunosupresan

menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat. Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi ginjal12. Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan pengobatan imunosupresan yang tradisional.12 Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan bahan-bahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien SLE, hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah platelet. Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus. Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah putih, sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi.

Sel B ditemukan memainkan peranan penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi. 13,14 B. Terapi Non Farmakologi. Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan persendian.12,13 Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan agar melindungi dirinya daripada cahaya matahari.

JENIS INFEKSI SALURAN KEMIH Pembagian secara tradisional, klasifikasi ISK berdasarkan gejala klinis, hasil pemerikasaan laboratorium, dan penemuan mikrobiologis. Secara praktis, ISK dibagi menjadi ISK Non Komplikata , ISK Komplikata dan Sepsis. Tujuan umum klasifikasi ini adalah agar para klinisi dan peneliti mempunyai suatu alat dan nomenklatur yang terstandarisasi tentang ISK. Panduan yang ada saat ini, merangkum klasifikasi ISK berdasarkan: 

Infeksi sesuai dengan level anatomis



Tingkat keparahan infeksi



Faktor risiko yang mendasari



Temuan mikrobiologi

Gejala-gejala, tanda-tanda dan hasil pemeriksaan laboratorium dititikberatkan pada level anatomis dan derajat keparahan infeksi. Analisis faktor risiko berperanan untuk mendefinisikan terapi tambahan yang diperlukan (misalnya drainase). Infeksi Sesuai Dengan Level Anatomis Gejala-gejala yang dikelompokkan berdasarkan infeksi level anatomis, adalah : 

Uretra: Uretritis (UR)



Kandung kencing : Sistitis (CY)



Ginjal : Pyelonefritis (PN)



Darah/sistemik: Sepsis (US)

Dalam diagram berikut ini menggambarkan penanganan dan strategi mengatasi ISK. Uretritis, yang saat ini hanya sedikit dimengerti, merupakan kondisi menular seksual yang tidak termasuk ISK. Selain itu, IKAP, orkitis, epididimitis dan prostatitis juga tidak dimasukan ke dalam klasifikasi ISK. Bakteriuria asimptomatik sebagai hal yang dipertimbangkan mempunyai penyebab khusus karena dapat bersumber dari kedua saluran kemih bagian atas maupun bawah yang tidak memerlukan penanganan, kecuali pasien dalam keadaan hamil atau memerlukan tindakan pembedahan urologi.

Tingkat Keparahan Adapun klasifikasi ISK melihat pada tingkat keparahan yang berhubungan dengan risiko untuk timbulnya keadaan yang membahayakan, berikut adalah Klasifikasi ISK dan Derajat Keparahannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta. 2. Maria, Marella. Penegakan Diagnosos Glomerulonefritis Akut pada Anak, [online], http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?page=Penegakan+Diagnosis+Glomerulon efritis+Akut+pada+Pasien+Anak 3. Glomerulonefritis Akut. 2005. [online], http://www.pdfcoke.com/mobile/doc/48862772 4. Sjaifullah Noer, Muhammad. Niniek Soemyarso. Glomerulonefritis Akut Paska Streptokokkus. [online], http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepd f=0&pdf=&html=07110-puzf261.htm 5. http://www2.niddk.nih.gov/NIDDKLabs/Glomerular_Disease_Primer/KidneyDisease. htm 6. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm (diakses pada 31 Juli 2012) 7. http://dp-coass.blogspot.com/2010/05/sna-pada-anak.html 8. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin: Standar Pelayanan Medik Anak. Makassar. 2009 9. Trihono P, Marwali EM, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Pengaruh lama pengobatan awal sindrom nefrotik terhadap terjadinya kekambuhan. Sari Pediatri 2002;4:2-4 10. Brodehl J. Conventional therapy for idiopathic nephrotic syndrome in children. Clin Nephrol 1991;25suppl1:58- 15 11. Ehrlich JH, Brodehl J. Long versus standard prednisone for initial treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Eur J Pediatr 1993;152:357-61. 12. Beer MH, Fletcher AJ, Jones TV. The Merck Manual of Medical Information. 2 nd ed. 13. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauseer SL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 17 th ed. USA: McGraw-Hill; 2005.

14. Rahman A, Isenberg DA. Mechanisms of Disease Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med 2008;358:929-39 15. Maidhof W, Hilas O. Lupus: An Overview of the Disease And Management Options. P&T. Vol.37. No.4. April 2012.

More Documents from "Nadia Rezky Eliza"